Dody Firmanda 2005 - 016. Peran Komite Medik Dalam Mutu Pelayanan
PERAN KOMITE PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN...
Transcript of PERAN KOMITE PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN...
i
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN KOPERTIS V
PERAN KOMITE PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK-HAK
PENYANDANG DISABILITAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DISABILITAS KORBAN
KEKERASAN
TIM PENELITI
KETUA : IIN SUNY ATMADJA, SH., MH NIDN : 0518085801
ANGGOTA : ANDRIE IRAWAN, SH., MH NIDN : 0520038604
UNIVERSITAS COKROAMINOTO YOGYAKARTA
FAKULTAS HUKUM
OKTOBER 2016
Kode/Nama Rumpun Ilmu: 596/Ilmu Hukum
ii
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya serta memberikan kesehatan sehingga penelitian dalam
program Hibah Koordinator Perguruan Tinggi Swasta V Wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta yang berjudul: Peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak
Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perlindungan Hukum bagi
Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan dapat terselesaikan.
Sholawat dan salam semoga tercurah kepada Junjungan Rasulullah Muhammad SAW
yang telah membawa Islam sebagai agama yang sempurna dan sebagai inti ilmu pengetahuan
kepada kita semua. Serta tak lupa kita haturkan salam kepada keluarga dan sahabat beliau
serta semoga kita mendapat safa’at diakhir zaman kelak.
Penulis menyadari bahwa penulisan penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan motivasi dari
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, penulis ingin
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat:
1. Dr. Surifah, SE, M.Si, Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
2. Drs. Setia Adi Purwanta, M.Pd, Ketua Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak
Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta
3. Winarta, SH, Komisioner Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang
Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta
4. Nuning Suryatiningsih, Direktur Center for Impoving Qualified Activity in Live of People
with Disabilities (CIQAL)
5. Ibnu Sukaca, pengurus di Center for Impoving Qualified Activity in Live of People with
Disabilities (CIQAL)
6. Purwanti, pengurus di Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)
7. M. Syafi’ie, SH., MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
8. Kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
di dalam penyelesaian penelitian ini
Akhir kata, dengan keterbatasan pengetahuan penulis, penulis sangat menyadari
penelitian ini masih jauh dari kata sempurna dan dimungkinkan untuk terus dikembangkan
dalam upaya meningkatakan kesetaraan dan keadilan terhadap Hak Asasi Perempuan
khususnya Hak Asasi Perempuan Penyandang Disabilitas di Indonesia. Oleh karena itu, kritik
iv
dan saran yang membangun sangat penulis harapkan agar berguna bagi penelitian-penelitian
selanjutnya. Mudah-mudahan penelitian ini dapat memberikan manfaat, serta menambah
khasanah ilmu pengetahuan baik bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada
umumnya.
Wassalamu’alaikum. wr wb.
Yogyakarta, 14 Oktober 2016
Penulis,
Iin Suny Atmadja, SH., MH
dan
Andrie Irawan, SH., MH
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL...................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... iii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................................... vii
ABSTRAK......................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………... 5
C. Tujuan Penelitian……………………………………………………………………. 5
D. Manfaat Penelitian…………………………………………………………………... 6
E. Target Luaran Penelitian.............................................................................................. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………. 8
A. Peran Pemerintah dalam Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Penyandang
Disabilitas.................................................................................................................... 8
B. Perlindungan Hukum terhadap Penyandang Disabilitas............................................. 10
C. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan ............... 13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN........................................................................... 17
A. Fokus Penelitian.......................................................................................................... 17
B. Lokasi Penelitian......................................................................................................... 17
C. Bahan atau Materi Penelitian Hukum......................................................................... 17
D. Cara mengumpulkan Bahan Hukum........................................................................... 18
E. Analisis Penelitian ...................................................................................................... 18
BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................................................ 20
A. Gambaran Umum Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta.................................................................... 20
B. Tugas dan Fungsi Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta.................................................................... 21
C. Perlindungan Hukum bagi Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan di Daerah Istimewa
Yogyakarta.................................................................................................................. 22
vi
D. Peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban
kekerasan .................................................................................................................... 24
E. Upaya yang dilakukan oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang
Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dan Hambatan dalam perlindungan hukum bagi
perempuan disabilitas korban kekerasan .................................................................... 27
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 31
A. Kesimpulan................................................................................................................. 31
B. Saran ........................................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Personalia tenaga peneliti beserta kualifikasinya
Lampiran 2 Surat ijin penelitian dari Pemerintah Daerah DIY
Lampiran 3 Biaya penelitian
Lampiran 4 Bukti pemanfaatan uang
Lampiran 5 Foto kegiatan diseminasi hasil penelitian
Lampiran 6 Biodata pembahas penelitian
Lampiran 7 Kesepakatan bersama antara Komite Disabilitas DIY dan Polda DIY
Lampiran 8 Materi kegiatan diseminasi hasil penelitian
viii
ABSTRAK
Judul dalam penelitian ini adalah Peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-
hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perlindungan Hukum bagi
Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan. Alasan utama dari penelitian ini adalah melihat
efektifitas dari keberadaan dan Komite Disabiltas DIY yang merupakan komite dengan
bentuk lembaga non struktural pemerintah daerah dan ad hoc pertama kali yang di bentuk di
tingkat provinsi di Indonesia. Selain itu dalam kapasitas perannya dari Komite Disabilitas
DIY juga ingin melihat tentang wujud nyata berupa upaya perlindungan hukum terhadap
perempuan penyandang disabilitas termasuk anak perempuan penyandang diasbilitas korban
kekerasan, dimana secara jumlah memang kecil terjadi di DIY namun hal ini seperti
fenomena gunung es dikarenakan yang terdata lebih kepada yang berani melaporkan diri.
Penelitian ini bertujuan yaitu (1) Mengetahui tentang Peranan Komite Perlindungan
dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan dan (2) Mengetahui
tentang upaya perlindungan hukum dan hambatan pelaksanaanya yang dihadapi oleh oleh
Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan
Pendekatan analisis dari penelitian ini adalah analisis yuridis sosiologis, yaitu
penelitian hukum yang mengkaji persepsi dan perilaku hukum orang (manusia dan badan
hukum) dan masyarakat serta efektivitas berlakunya hukum positif di masyarakat.
Hasil penelitan ini yaitu: 1) Peran Komite Disabilitas DIY dalam Perlindungan
Hukum bagi Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan berupa memantau kasus yang sedang
ditangani oleh aparat penegak hukum, memastikan prosedur hukum yang belaku berjalan
dengan baik bagi korban dan bekerjasama dengan organisasi bantuan hukum dalam
mendampingi penyandang disabilitas, 2) Upaya kongretnya berupa melakukan kesepakatan
bersama atara komite dengan Polda DIY tentang Penyelenggaraan Layanan Perlindungan dan
Pemenuhak Hak bagi Penyandang Disabilitas di DIY, dan 3) Hambatan yang ditemukan baik
dari internal korban maupun eksternal korban, selain itu juga hambatan dari sisi keberadaan
Komite Disabilitas DIY itu sendiri yaitu dalam hal keterbatasan sarana dan prasarana dalam
menunjuang kinerjanya serta independesi komite yang masih terbatas.
Kata kunci: perempuan disabilitas, perlindungan hukum, komite disabilitas
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Isu tentang penyadang disabiltas atau lain pihak menyebutnya kaum difabel (different
ability) sebenarnya merupakan isu yang sudah lama di Indonesia, dulu orang umum
mengenalnya dengan istilah cacat yang ternyata akrab di masyarakat. Beberapa pihak, mulai
dari masyarakat awam sampai dengan pejabat negeri ini yang juga masih belum mau
merubah istilah untuk penyebutan penyandang cacat meskipun sebenarnya pergeseran
paradigma itu telah mulai ada sejak beberapa waktu yang lalu. Penggunanan istilah inilah
yang menjadi salah satu sebab terhambatnya pemenuhan hak-hak bagi mereka (penyadang
disabilitas atau kaum difabel) yang dikatakan sebagai cacat tersebut. Penyebutan atau
pelabelan masyarakat terhadap mereka yang memilikki disfungsi dan terkesan bermakna
negatif pada salah satu indra atau ketidakmaksimalan penggunaan indera mereka ini pun
berdampak pada bagaimana pemenuhan hak-hak bagi mereka dan bagaimana stigma
masyarakat terhadap mereka.
Padahal dengan penyebutan kata cacat yang berujung bentuk dari wujud diskriminasi
sangat dilarang dalam konstitusi Indonesia, karena secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 28I
ayat (2)1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tentunya
menjadikan kewajiban tidak hanya pemerintah tetapi juga seluruh warga negara Indonesia
bahwa setiap warga negara Indonesia harus bebas dari perilaku ataupun tindakan buruk tanpa
terkecuali. Pergeseran perubahan istilah cacat ternyata mengarah kepada hal yang lebih
positif menjadi penyandang disabilitas. Istilah ini dalam beberapa waktu terakhir ini yaitu
semenjak Indonesia meratifikasi konvensi penyandang disabilitas (convention on the right of
person with disability/CRPD) pada tahun 2011. Istilah ini didapatkan melalui perdebatan
yang cukup panjang di Perserikatan bangsa-Bangsa untuk menggantikan atau memperhalus
istilah “cacat” dan padanan kata lain sebelumnya.2 Sedangkan definisi istilah dari
1 Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif” 2 Ketua Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan dalam
tulisannya “bahwa sebutan itu (cacat, disabilitas, difabel) merupakan bagian dari bahasa yang tidak lepas dari
bentuk kekuasaan, sebutan itu memposisikan, paham yang mendasari penggunaan sebutan, dan makna yang
terkandung dalam sebutan, maka sebutan yang kita gunakan akan menunjukkan bahwa termasuk golongan
manakah kita, paham apakah yang kita anut, bagaimana kita memposisikan pihak yang kita sebut, apakah
bentuk dan tujuan kegiatan yang kita lakukan”, lihat lebih lanjut dalam “Bagaimana Aku Menyebut Mereka,
Penyandang Cacat, Penyandang Disabilitas, Ataukah Difabel?”
2
penyandang disabilitas dalam konvensi ini adalah termasuk mereka yang memiliki
keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika
berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan
efektif mereka dalammasyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.3 Menurut
World Health organization (WHO) penyandang disabilitas atau disability adalah suatu
keadaan dimana individu mengalami kekurangmampuan yangdimungkinkan karena adanya
impairment seperti kecacatan pada organ tubuh.4
Perlindungan hak asasi bagi penyandang disabilitas di Indonesia dapat dikatakan
sudah mulai ada kemajuan, terutama dalam hal instrumen hukum yang sudah dibuat oleh
Pemerintah Indonesia. Instrumen hukum yang dimaksud adalah berupa ratifikasi instrumen
hukum internasional tentang Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dalam bentuk Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas). Keberadaan Undang-Undang tersebut menjadi
hal yang penting sebagai payung hukum dalam upaya untuk mewujdukan kewajiban dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam merealisasikan hak yang termuat dalam
Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas5, selain itu dalam merealisasikan hak
serta pemantauan terhadap pelaksanaan konvensi tersebut, Pemerintah Indonesia juga
berkewajiban menujuk lembaga pemerintah yang bertanggung jawab terkait pelaksanaan
konvensi ini.
Berbicara tentang perlindungan hukum terhadap penyadang disabilitas secara umum
tentunya akan banyak hal yang diuraikan, baik dari pemenuhan dan perlindungan hak sipil
dan politik serta pemenuhan dan perlindungan hak ekonomi, sosial dan budaya, namun
ternyata dalam konvensi disabiltas ada beberapa hal menjadi perhatian khusus, diantaranya
tentang perempuan penyandang disabilitas karena sebagaimana dinyatakan dalam konvensi
disabiltas bahwa penyandang disabilitas perempuan dan anak
http://komitedisabilitasdiy.blogspot.co.id/2015/12/bagaimana-aku-menyebut-mereka.html, diakses pada Selasa,
15 Maret 2016 pukul 22.05 WIB 3Pasal 1 Konvensi Penyandang Hak-Hak Disabilitas sebagaimana Lampiran terjemahan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) 4Pendidikan ABK dan Inklusif dalam http://pendidikanabk.blogspot.com/2011/10/definisi-anak-
berkebutuhan-khusus.html diakses pada tanggal 14 Maret 2016 pukul 20.40 WIB 5 Lihat lebih lanjut bagian Penjelasan tentang kewajiban negara dalam Undang Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak
Penyandang Disabilitas)
3
perempuan adalah rentan terhadap diskriminasi ganda.6 Permasalahan pemenuhan dan
perlindungan hak bagi penyadang diasbilitas dalam isu kesetaraan dan keadilan gender7
ternyata juga ada bias gender8 yang menimbulkan ketimpangan terutama bagi perempuan
penyadang disabilitas. Bentuk ketimpangan gender berupa kekerasan terhadap perempuan
penyandang disabilitas, sebagaimana data Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kurang
lebih 40 kasus kekerasan menimpa para perempuan penyandang disabilitas di Indonesia dan 6
perempuan sebagai korban kasus kekerasan seksual yang didampingi LBH APIK. Dari
jumlah ini, hanya 1 kasus yang berlanjut ke pengadilan. Fakta ini hanya fenomena gunung es,
data sesungguhnya pasti lebih banyak.9
Berdasarkan data kekerasan sebagaimana yang disajikan dalam penelitian oleh Sentra
Advokasi Perempuan Disabilitas dan Anak (SAPDA) pada tahun 2012 yang berjudul
“Menguak Tabir Kekerasan Terhadap Perempuan Difabel tahun 2009” dengan melibatkan
60 responden perempuan disabilitas baru dan berdomisili di Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta diperoleh data hampir sebagian pelaku kekerasan adalah pasangan baik
suami atau pacar dari responden. Sementara itu, hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa
sebagian besar responden relatif tidak berdaya melakukan perlawanan atas kekerasan yang
dialaminya, dan memilih untuk tetap bertahan dengan pasanganyan walaupun dalam kondisi
tertekan. Sebagian besar atau sekitar 49 orang responden (81,66 % ) memilih untuk bersikap
pasrah dan bungkam menerima keaadaan tersebut dan hanya sekitar 14 responden (18,34 %)
perempuan difabel yang berani untuk melakukan perlawanan terhadap kekerasan yang
dialaminya10
.
Selain itu sebagaimana data pelaporan yang diterima oleh Pusat Pelayanan Terpadu
Perempuan dan Anak “Arum Dalu” Pemerintah Kabupaten Bantul, Selama 3 tahun terakhir
(2013-2015) P2TP2A “Arum Dalu” telah memberikan pelayanan bagi 10 korban penyandang
6 Lihat lebih lanjut Pasal 6 ayat (1) dan (2) Konvensi Penyandang Hak-Hak Disabilitas sebagaimana
Lampiran terjemahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of
Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) 7 Gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial maupun kultural, sebagaimana dikutip dari Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, hlm. 8. Patut dipahami bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin dan
bukan merupakan fitrah baik bagi laki-laki maupun perempuan karena gender lebih kepada peran sosial yang
dapat dipertukarkan. 8 Bias Gender sama dengan Ketidakadilan Gender baik bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan
dimana ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum laki-laki dan perempuan
menjadi korban dari sistem tersebut, Ibid, hlm. 12 9 Catatan Ketimpangan Terhadap Perempuan di Indonesia Hari Perempuan Internasional 2016 oleh
Koalisi Perempuan Indonesia, http://www.koalisiperempuan.or.id/2016/03/07/catatan-ketimpangan-terhadap-
perempuan-di-indonesia-hari-perempuan-internasional-2016/ diakses pada 14 Maret 2016 pukul 21.25 WIB 10
Nurul Saadah Adriani, dkk, Mekanisme Pendampingan Hukum bagi Perempuan Disabilitas Korban
Kekerasan, Yogyakarta, SAPDA, 2015, hlm. 7-8
4
disabilitas (1 laki-laki, 6 perempuan dewasa, 3 anak perempuan) dengan jenis disabilitas:
disabilitas netra (2 orang), disabilitas daksa (2 orang) dan disabilitas grahita (slow learner 1
anak, retardasi mental 2 anak, 1 perempuan dewasa retardasi mental) dan disabilitas rungu
wicara (2 perempuan dewasa) dengan jenis kekerasan berupa seksual, fisik dan penelantaran
rumah tangga.11
Melihat fenomena kekerasan yang terjadi terhadap perempuan penyadang disabilitas
termasuk anak perempuan penyadang disabilitas menjadi permasalahan sosial yang dikenal
dengan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial12
selain itu juga menjadi permasalahan
dalam hal pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Negara pihak dalam konvensi
disabilitas, salah satunya Indonesia berkewajiban untuk memberikan perlindungan bersama-
sama dengan pemerintah daerah karena urusan sosial serta pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak menjadi urusan wajib dari pemerintah daerah.13
Wujud kepedulian dari salah satu pemerintah daerah di Indonesia dalam merespon
permasalahan tentang penyadang disabilitas adalah sebagaimana langkah yang dilakukan
oleh Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan membentuk sebuah komite
yang bertugas secara umum untuk melakukan koordinasi dan komunikasi tentang
pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas dilaksanakan oleh
lembaga Pemerintah Daerah, organisasi sosial dan masyarakat melalui Komite Perlindungan
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas.14
Keberadaan dari komite disabilitas ternyata di tingkat pemerintah pusat belum ada,15
sehingga dapat dikatakan bahwa komite atau lembaga pemerintah ini merupakan yang
pertama kali dibentuk di Indonesia untuk tingkat provinsi.16
11
Sutatik, Data Pelayanan Korban Kekerasan di P2TP2A “Arum Dalu” Kabupaten Bantul tahun 2013-
2015, diolah oleh P2TP2A “Arum Dalu” Kabupaten Bantul, Desember 2015 12
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang atau keluarga yang karena
suatu hambatan, kesulitan atau gangguan tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dan karenanya tidak dapat
menjalin hubungan yang serasi dan kreatif dengan lingkungannya sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan dan gangguan tersebut
dapat berupa kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial maupun perubahan lingkungan (secara
mendadak) yang kurang mendukung atau menguntungkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial 13
Lihat lebih lanjut di Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah 14
Pasal 97 Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan
dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas 15
Pasal 33 ayat (2) dan (3) Konvensi Penyandang Hak-Hak Disabilitas sebagaimana Lampiran
terjemahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons
with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) yang menyatakan tentang implemntasi
dan pengawasan nasional, dimana pemerintah wajib membuat lembaga khusus independen beranggotakan
penyandang disabilitas untuk mengawasi implementasi hak-hak penyandang disabilitas, namun senayatanya
belum ada. Lihat lebih lanjut Pembentukan Komisi Nasional Penyandang Disabilitas Terancam Ditolak pada
5
Melihat dari paparan diatas, penelitian merupakan penelitian pertama yang memang
fokus khusus ke Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas DIY
merupakan lembaga non struktural dan bersifat ad hoc yang ada dilingkungan Pemerintah
Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta yang bertanggung jawab langsung kepada Gurbernur
melalui Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah terkait yaitu Dinas Sosial Daerah Istimewa
Yogyakarta.17
Selanjutnya kenapa dikatakan penelitian pertama, sebagaimana pernyataan
yang di sampaikan oleh ketua Komite bahwa sejak berdiri yang kurang lebih 1 (satu) tahun
yang lalu, dimana personil komite baru dilantik pada Desember 2014, memang belum ada
penelitian khusus yang berkenaan dengan peranan dari Komite Perlindungan dan Pemenuhan
Hak Penyandang Disabilitas DIY, sehingga dapat dikatakan bahwa penetlitian ini merupakan
penelitian pertama dengan objeknya adalah komite, termasuk dengan fokusnya pada
perlindungan hukum bagi perempuan dan anak perempuan penyadang disbilitas korban
kekerasan.18
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas
korban kekerasan?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak
Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi
perempuan disabilitas korban kekerasan?
3. Hambatan apa saja yang dihadapi oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak
Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perlindungan Hukum bagi
Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan?
http://www.mediaindonesia.com/news/read/25204/pembentukan-komisi-nasional-penyandang-disabilitas-
terancam-ditolak/2016-01-18#sthash.O84RdM48.dpuf diakses pada 14 Maret 2016 pukul 21.30 WIB 16
Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dibentuk pada ditetapkan di
Yogyakarta, pada tanggal 17 Mei 2013 dan dikukuhkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Desember 2014 melalui
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 31 Tahun 2013 tentang Komite Perlindungan dan
Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas 17
Lihat lebih lanjut Pasal 1 Angka 2 dan Pasal Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 31 Tahun 2013 tentang Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas 18
Wawancara awal pra riset yang dilakukan pada 23 Februari 2016 bersama Ketua Komite
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta Setya Adi
Purwanta, M.Pd
6
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat gambaran faktual berbasis dari perundang-undangan
yang berlaku tentang hak-hak penyandang disabilitas khususnya perempuan penyadang
disabilitas dan anak perempuan penyandang disabilias korban kekerasan dengan melihat
peran dari Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyadang Disabilitas Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam bidang perlindungan hukum, adapun batasan utama dari tujuan
ini adalah:
1. Mengetahui tentang Peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang
Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan
disabilitas korban kekerasan
2. Mengetahui tentang upaya perlindungan hukum dan hambatan pelaksanaanya yang
dihadapi oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas
korban kekerasan
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara teoritis
Secara teoritis akan mengmbangkan pengetahuan dalam perlindungan hukum bagi
kamum marginal yaitu penyandang disabilitas dan perempuan serta anak perempuan
disabilitas korban kekerasan secara khusus. Selain itu juga akan memberikan gambaran
tentang pola pemerintahan daerah yang postif dan peduli akan perlindungan dan
pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, dilihat dari inisiatif pembentukan Komite
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas.
2. Manfaat secara praktis
1) Manfaat bagi pemerintah daerah
Mengetahui efektifitas keberadaan dari Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-
hak Penyandang Disabilitas dalam perannya untuk memberikan perlindungan hukum
atas pelanggaran hak penyandang disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta
2) Manfaat bagi Komite
Memberikan gambaran secara tentang capaian kerja dari komite dalam perlindungan
dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitasi di Daerah Istimewa Yogyakarta
umumnya serta bagi perempuan serta anak perempuan disabilitas korban kekerasan
secara khusus
7
3) Manfaat bagi masarakat umum
a) Mengetahui lebih tentang keberadaan dan peran dari Komite Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas
b) Memberikan gambaran postif berupa best practice bagi pemerintah daerah
lainnya dalam upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas
E. Target Luaran Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti berharap bahwa hasil penelitian tidak hanya bermanfaat bagi
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta khususnya Komite Perlindungan dan Pemenuhan
Hak-hak Penyandang Disabilitas dalam melihat perkembangan organisasi yang masih relatif
baru ini untuk menuju lebih baik tetapi juga dapat menjadi pedoman sebagai best practice
untuk daerah lain di Indonesia dalam memberikan layanan publik dalam bentuk perlindungan
hukum bagi perempuan disabilitas dan anak perempuan disabilitas korban kekerasan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peran Pemerintah dalam Perlindungan dan Pemenuhan Hak Asasi Penyandang
Disabilitas
Peran pemerintah atau dalam hal ini dimaksud sebagai negara dalam memberikan
perlindungan hak asasi manusia kepada warga negara lebih banyak terlihat dalam konsep
negara kesejahteraan (welfare state). Pengakuan dan perlindungan hak sipil dari warga negara
yang berkenaan dengan hak-hak dasar setiap warga negara dimana dalam perkembangannya
akan dikenal sebagai hak asasi manusia yang menjadi dasar utama dalam mewujudkan
welfare state.
Berkenaan dengan perlindungan dan pemenuhan hak sipil dari warga negara maka
peranan pemerintah hanya sedikit dengan dalil “pemerintahan yang paling sedikit
kekuasaanya yang paling baik” sehingga sifatnya pasif dan tunduk pada kemauan rakyat yang
liberalistik sehingga konsep ini disebut dengan negara hukum formil.19
Gagasan bahwa pelarangan pemerintah untuk turut campur dalam urusan warga
negaranya dalam bidang sosial dan ekonomi juga telah bergeser ke arah gagasan baru bahwa
pemerintah harus bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dengan dikenal sebagai
konsep welfare state atau negara hukum materiil yang memilki perbedaan konsep dengan
negara hukum klasik (formil).20
Konsep negara hukum materiil atau negara kesejahteraan
(welfare state) dimana tujuan negara adalah mewujudkan kesejahteraan umum dimana negara
dipandang sebagai alat yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama, yakni suatu
tatanan masyarakat yang di dalamnya ada kebahagian, kemakmuran dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat negara itu,21
sehingga dalam hal ini pemerintah memilki peran harus
bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat.
Melihat adanya tuntutan bahwa negara harus mewujudkan suatu tatanan masyarakat
yang di dalamnya ada kebahagian, kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
negara, maka dalam rangka mengembangkan konsep perlindungan dan pemenuhan hak asasi
manusia dengan mengedepankan peran pemerintah, pada tahun 1965, International
Commision of Jurist melaksanakan konferensi di Bangkok yang menekankan bahwa di
19
Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Ins Trans Publishing, Malang, 2008, hlm. 49 20
Ibid, hlm. 50 21
Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Total Media,
Pekanbaru, 2007, hlm.11
9
samping hak-hak poltik rakyat harus diakui, maka perlu juga pengakuan hak-hak sosial dan
ekonomi sehingga perlu dibentuk standar-standar dasar sosial ekonomi.22
Secara praktis pertemuan tersebut semakin menguatkan posisi rule of law dalam
kehidupan bernegara dengan perumusan oleh komisi tentang syarat-syarat pemerintahan
demokratis di bawah rule of law (yang dinamis, baru) yakni:23
a) Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individual, konstitusi
harus pula menentukan teknis prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-
hak yang dijamin (constitusional protection of human rights),
b) Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak (an independent and impartial
judiciary),
c) Pemilihan umum yang bebas (fair and free general elections),
d) Kebebasan menyatakan pendapat (recognition of the right to express an opinion),
e) Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi (freedom to organize and freedom
to dissent)
f) Pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Gambaran ini mengukuhkan posisi negara sebagai welfare state, karena akan sangat
mustahil mewujudkan cita-cita rule of law sementara posisi dan peran negara pasif, atas dasar
itulah negara diberikan kebebasan dan kemerdekaan bertindak atas inisiatif parlemen.24
Negara, dalam hal ini pemerintah, memiliki freis ermessen atau pouvoir discretionare, yaitu
kemerdekaan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial dan
keleluasaan untuk tidak selalu terikat produk legislasi parelemen.25
Gagasan welfare state ternyata negara memilki kewenangan yang relatif besar
ketimbang format negara dalam tipe hukum klasik (formal). Selain itu, welfare state yang
terpenting adalah negara semakin otonom untuk mengatur dan mengarahkan fungsi dan peran
negara bagi kemaslahatan masyarakat.26
22
Anwar C, op.cit, hlm. 50 23
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 2002, hlm. 60. Sebagaimana
dikutip oleh Majda Ek Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 sampai dengan
Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 27 dan Anwar C,
Teori dan hukum Konstitusi, Ins Trans Publishing, Malang, 2008, hlm. 50 24
Majda Ek Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 sampai dengan
Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana Perdana Media Group, Jakata, 2007, hlm. 27 25
Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Kosntitusi di Indonesia: Studi tentang Interaksi Politik dan
Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 30. Sebagaimana dikutip oleh Majda Ek Muhtaj,
Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun
2002, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 27 26
Ibid, hlm. 29
10
Perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dalam konteks negara hukum juga
memerlukan kesempatan yang sama bagi setiap pihak tanpa terkecuali termasuk juga untuk
kelompok rentan, seperti anak-anak, orang lanjut usia, penyandang disabilitas, penduduk
pribumi dan bahkan perempuan.
B. Perlindungan Hukum terhadap Penyandang Disabilitas
Secara umum, penyandang disabilitas di Indonesia adalah juga warga negara dan
tentunya memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya sebagaimana yang diatur
dalam konstitusi. Khusus dalam hal perlindungan hukum dalam kedudukan soerang warga
negara di mata hukum, Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa “semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”. Ketentuan pasal ini mengasakan bahwa sistem hukum di Indonesiasecara
prinsip menyatakan bahwa hukum tidak boleh berlaku diskriminiatif atau equality before the
law, hukum tidak boleh saling bertentangan, siapa yang bersalah harus dihukum, hukum
harus ditegakkan sekalipun langit akan runtuh dan sebagainya, namun kenyataannya terdapat
kesenjangan (gap atau diskrepansi) dengan kenyataan hukum yang terjadi, khususnya jika
yang menjadi pencari keadilan adalah kelompok marginal, misalnya para penyandang
disabilitas.
Selain perlindungan hukum dalam konstitusi, Indonesia juga telah meratifikasi
UNCRPD (United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities) oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada bulan November 2011
menjadiUndang-undang Nomor 19 tahun 2011 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 107 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang Disabilitas
sebagai upaya pemajuan, penghormatan, pemenuhan dan perlindunganhak-hak kaum
disabilitas di seluruh Indonesia, dalam memperkuat komitmen untuk memajukan hak asasi
bagi disabilitas.
Pasal 5 Konvensi Penyandang Disabilitas antara lain mengatakan bahwa negara-
negara pihak mengakui bahwa semua manusia adalah sama di hadapan hukum dan berhak
mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang sama. Selain itu, negara-negara pihak
wajib mencegah semua diskriminasi yang difundamentalkan disabilitas serta menjamin
perlindungan hukum yang sama dan efektif bagi penyandang disabilitas.
Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) Konvensi Penyandang
Disabilitas bahwa:
11
1) Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas memiliki hak
untuk diakui dimana pun berada sebagai seorang manusia di muka hukum
2) Negara-Negara Pihak wajib mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas
hukum atas dasar kesamaan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan
3) Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah yang tepat untuk menyediakan akses
bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang mungkin mereka perlukan dalam
melaksanakan kapasitas hukum mereka.
Selain dari langkah ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia, sebenarnya jika melihat
lebih lanjut tentang perlindungan hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, walaupun secara khusus tidak
menyebutkan tentang perlindungan hak terhadap penyadang disabilitas, tetapi dalam
ketentuan Pasal 4 menyatakan bahwa “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Lagi-lagi menyatakan bahwa tidak
ada perlakukan yang berbeda di mata hukum bagi siapapun di Indonesia, apalagi untuk
penyandang disabilitas baik sebagai korban, saksi maupun pelaku. Pasal 5 ayat (3)
menyatakan bahwa:
1. Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh
perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di
depan hukum.
2. Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang
objektif dan tidak berpihak.
3. Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Sebagaimana yang diuraikan dalam Pasal 5 ayat (3) angka 3 dalam dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa ada perlakuan
dan perlindungan khusus bagi kelompok rentan27
, salah satu kelompok rentan tersebut adalah
Difabel atau Penyandang Disabilitas, sehingga seharusnya perlakuan khususnya
27
Kelompok rentan ini dalam konteks Hak Asasi Manusia antara lain: Pengungsi, Pengungsi dalam
negeri, kelompok minoritas, pekerja luar negeri, difabel, masyarakat hukum adat, perempuan dan anak.
Sebagaimana yang disampaikan dalam Andrie Irawan, Handout Hukum dan Hak Asasi Manusia (Subyek dan
Sumber Hukum Hak Asasi Manusia), Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Yogyakarta,
2014
12
dimungkinkan dalam hal penegakan hukum dimana jika penyadang disabilitas tersebut
berhadapan dengan hukum.
Berbicara tentang pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks
dilarangnya segala bentuk diskriminasi dan hambatan untuk memperoleh hak dasar tanpa
terkecuali baik untuk anak-anak, dewasa, perempuan, laki-laki, orang berkebutuhan khusus
atau tidak, semua berhak mendapatkan porsi yang sesuai. Misalnya perlakuan khusus bagi
orang seperti lansia, anak-anak, penyandang cacat, hal ini tentunya dengan
mempertimbangkan keterbatasan mereka.28
Bentuk perlakuan khusus ini bukan menjadikan bahwa hukum menganggap
penyadang disabilitas adalah kelompok yang perlu dikasihani, namun hukum melihat bahwa
karena kekhususan yang ada di penyadang disabilitas tersebut maka perlndungannga juga
berbeda. Ketika kita tarik makna perlindungan hukum ini dalam kontek memberikan
perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak disabilitas korban kekerasan, maka ada
hak-hak khusus yang perlu diperhatikan selain hak-hak korban secara umum.
Selain hak-hak khusus sebagai korban, banyak beberapa pihak menyatakan bahwa
jika seorang penyadang disabilitas yang menjadi pelaku, korban ataupun saksi dianggap tidak
cakap hukum29
(terutama untuk rekan-rekan disabilitas grahita), sehingga untuk beberapa
jenis disabilitas tertentu ditaruh dibawah pengampuan.
Ketentuan seseorang disabilitas (jenis tertentu) dikategorikan dibawah pengampuan
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang mentakan bawah alasan sesorang ditaruh dibawah pengampuan yaitu:
1. Keborosan (verkwisting)
2. Lemah akal budinya (zwakheid van vermogen), misalnya mental retardasi
3. Kekurangan daya pikir, seperti: sakit ingatan (krankziningheid), dungu (onnolzeheid),
dungu dan disertai sering mengamuk (rajernij)
28
Pasal 42 UU Nomor 39 Tahun 1999: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan
cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus atas biaya negara,
untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa
percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 29
Cakap hukum ataupun cakap melakukan perbuatan hukum (Rechtsbekwaamheid) adalah seseorang
(subyek hukum) yang dianggap mampu untuk melakukan suatu perbuatan hukum yang sah, sedangkan tidak
cakap hukum sebagimana diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan bahwa:
1. orang yang belum dewasa
2. mereka yang dibawah pengampuan
3. orang perempuan, dalam hal-hal yang diterapkan oleh undang-undang dan semua orangkepada
siapaundang-undangtelah melarang membuat perjanjian tertentu (ktentuan ini dicabut setelah berlaku
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lihat di Pasal 31 ayat (2))
13
Bahkan jika tidak ada pengampuan maka dalam kasus pidana, penyataan dari rekan-
rekan disabilitas dalam beberapa kasus tidak dapat dipertanggungjawabkan, sebagiaman yang
dinyatakan dalam Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan:
1) Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah
akal
2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang
sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan
memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa
Terlihat dari kedua ayat diatas, berbicara sesorang diasbilitas yang akan berhadapan
dengan hukum tidak hanya yang bersangkutan dinyatakan disabilitas dari pendektan sosial
semata ternyata juga pendekatan medis sebagaimana yang dipertegas kembali dalam Pasal 44
ayat (2) KUHP dalam konteks melihat bahwa seorang disabilitas dalam kategori tertentu
adalah tidak cakap hukum. Selain tidak cakap hukum, penyadang disabilitas sebagaiman
yurisprudensi dari Mahkamah Agung adalah seorang yang tidak berdaya.30
Penekanan hukum untuk penyadang disabilitas jika kita lihat dari konteks Hak Asasi
Manusia sebagaimana diutarakan diatas, bukan melihatnya bahwa penyadang disabilitas itu
adalah kelompok yang perlu “dikasihani” melainkan adalah kelompok yang memiliki
kekhususan tersendiri. Sehingga dalam melihat perlindungan hukum bagi perempuan dan
anak disabilitas korban kekerasan tidak bisa diperlakukan secara umum, namun lebih melihat
kebutuhan dari kekhususan yang ada pada setiap jenis disabilitas untuk pendekatan hukum
yang akan digunakan.
Berkenaan dengan perlindungan hukum terhadap disabilitas adalah bagaimana
melihat hukum tersebut tidak dari sisi positivisme semata yang hanya melihat hukum sebagai
teks dalam undang-undang atau peraturan tertulis tetapi juga melihat hukum sebagai
bangunan sosial (social institution) yang tidak terlepas dari bangunan sosial lainnya dengan
menggunakan pendekatan yuridis-sosiologis.
C. Perlindungan Hukum terhadap Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan
Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi Konvensi CEDAW
(Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women) sehingga
pemebrlakuan dari CEDAW (Konvensi Perempuan) tidak hanya sebatas berada di dataran
30
Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor: 377/Pid. B/2011/PN.BB
14
hukum internasional yang dianggap sebagai soft law. Keberadaan dari ratfikasi konvensi ini
mengakibatkan pemerintah Indonesia harus mengadopsi seluruh strategi Konvensi,
melaksanakan Rekomendasi Komite, dan terlibat secara terus menerus terhadap berbagai
perkembangan dan keputusan internasional yang berhubungan dengan perempuan (seperti
Beijing Platform for Action, hasil-hasil konferensi internasional tentang kependudukan,
kesehatan reproduksi, kekerasan terhadap perempuan dan sebagainya).
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 memang terjadi di dua orde
pemerintahan yaitu orde baru dan orde reformasi, namun untuk memabatasi kajian yang
berhubungan dengan pengarusutamaan gender dalam melindungi hak perempuan di daerah
maka pembahasan pemberlakuan konvensi pada era orde baru tidak bahas secara mendalam
tapi yang jadi catatan pada orde baru, pemberlakuan konvensi ini masih bersifat artifisial
yang isinya tetap melanggengkan sterotip peran perempuan dalam bidang domestik.31
Hal ini
juga dapat dilihat dengan adanya penguatan peran PKK dan Dharmawanita (ideology
ibuisme), artinya perempuan masih dipakai sebagai alat untuk kepentingan ekonomi
maupun kepentingan politik negara yang tujuannya bukan untuk perbaikan situasi
perempuan.32
Berbeda dengan era reformasi yang mendengungkan demokratisasi dalam segala
aspek pembangunan, pemeberlakuan dari konvensi ini bahkan menelurkan suatu peraturan
perundang-undang yang cukup progresif dalam bidang perkawinan. Keberadaan Undang-
Undang tersebut memang lebih banyak memberikan perlindungan kepada hak perempuan dan
anak di dalam lembaga perkawinan tanpa juga melupakan perlindungan bagi suami, yaitu
dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
Pasal 15 Konvensi Perempuan mencantumkan persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan di hadapan hukum. Hak tersebut meliputi hak untuk berurusan dengan instansi
hukum, diakui kecakapan hukumnya, kesempatan untuk menjalankan kecakapan hukumnya
antara lain dalam hal membuat kontrak, mengurus harta benda, serta perlakuan yang
sama pada setia tingkatan prosedur di muka penegak hukum. Selain hak tersebut juga
hak untuk berhubungan dengan orang, kebebasan memilih tempat tinggal maupun
domisili mereka.33
31
Sri Wiyanti Eddyono, Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW, Seri Bahan Bacaan Kursus
HAM untuk Pengacara X Tahun 2004, ELSAM, Jakarta, 2004, hal. 28 32
Ibid. 33
Ibid, hal. 15
15
Pasal 16 Konvensi Perempuan menjamin tentang hak-hak perempuan di dalam
perkawinan. Khusus untuk persmaan kedudukan di dalam perkawinan, konvensi ini
menekankan kepada hak untuk memasuki jenjang perkawinan, hak untuk memilih suami
dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya, hak yang sama dengan suami dalam
kewajibanya untuk pengasuhan terhadap anak dan berhubungan dengan hal-hal lain yang
masih berhubungan dengan kebutuhan anak, hak untuk memilih pekerjaan antara suami dan
istri serta hak yang sama bagi suami dan istri dalam hal pengelolaan terhadap harta benda di
dalam perkawinan.
Berkenaan dengan posisi seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan dan
juga sebagai penyadang disabilitas, tentunya ketentuan hukum baik yang diatur dalam
CEDAW maupun Undang-Undang PKDRT (khusus kasus dalam lingkung rumah tangga)
dapat diterapkan tanpa pengecualian dan bahkan dimungkinkan ada perlakuan khusus dari
kekhususan yang ada terhadap perempuan dimaksud. Kehususan perlakuan tersebut diatur
dalam Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H Ayat (2)
menyatakan “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Salah satu kelompok warga negara yang karena kondisinya membutuhkan perlakuan
khusus adalah perempuan terutama lagi perempuan dengan disabilitas. Tanpa adanya
perlakuan khusus, perempuan dengan disabilitas tidak akan dapat mengakses perlindungan
hukum dan pemenuhan haknya karena perbedaan dan pembedaan yang dihasilkan dan
dilanggengkan oleh struktur masyarakat patriarkis. Perlindungan hukum dan pemenuhan
haknya tanpa adanya perlakuan khusus, justru akan cenderung mempertahankan diskriminasi
terhadap perempuan dengan disabilitas yang menjadi korban kekerasan dan tidak mampu
mencapai keadilan.
Selain itu, dalam hal pengembangan hak-hak perempuan yang menjadi catatan
menarik adalah adanya sebuah instrumen paling progresif tentang hak perempuan yaitu
Protokol Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan dan
Rakyat tentang Hak Perempuan di Afrika. Protokol ini diterima pada Juli 2003
dan sebagai instrumen demikian merupakan salah satu instrumen hak asasi
manusia pertama yang diterima oleh Uni Afrika. Bidang hak yang tercantum di
dalamnya luar biasa yang mencerminkan hubungan timbal balik hak ekonomi,
sosial sipil, politik dan budaya yang memberi ciri Piagam Afrika tentang
16
Hak Asasi Manusia dan Rakyat.34
Perempuan cacat dan perempuan dalam penderitaan
dirujuk secara khusus sebagai orang yang memerlukan perhatian khusus.35
Adapun alasan seorang perempuan disabilitas termasuk anak perempuan disabilitas
yang menjadi korban kekerasan harus ada perlakuan khusus dalam hukum dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu:36
1. Internal / disabilitas sendiri
Hambatan disabilitasnya yang mengkibatkan banyak perempuan disabilitas korban
kekerasan merasa malu dan tidak mau aibnya diketahui orang lain
2. Informasi
Selain dari diri sendiri, perempuan disabilitas juga banyak yang tidak mengenyam
pendidikan yang tinggi sehingga banyak yang masih minim informasi. Mereka tidak
paham apa itu kekerasan, mereka anggap itu wajar menimpa kelompok yang lemah,
mereka tidak tahu kemana dan bagaimana harus melapor.
3. Mobilitas
Hambatan ini banyak dirasakan oleh disabilitas daksa khususnya pengguna kursi roda,
walaupun tidak terkecuali disabilitas yang lain misalnya disabilitas Netra.
4. Layanan
Sering perempuan disabilitas korban kekerasan tidak dilayani dengan ramah, ditempat
layanan kesehatan atau dikantor polisi petugas masih kurang empati terhadap korban
karena perspektif disabilitas yang masih sedikit.
5. Partisipasi
Kita masih jarang melihat partisipasi perempuan disabilitas dilibatkan, baik dalam
keluarga ataupun lingkungan sekitar. Kondisi tersebut semakin menguatkan posisinya
sebagai korban, mereka tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan ikut
berpartisipasi dalam aktifitas atau kegiatan.
34
Rhona K. M. Smith, at.al, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2008, hlm. 153 35
Lihat Pasal 20, 22-24 Protokol Afrika, sebagaimana dikutip Ibid, hlm. 154 36
Nurul Saadah Andriani, dkk, op. cit. hlm. 51-53
17
BAB III
METODE PENELITIAN
a. Fokus Penelitian
Penelitian ini akan meneliti tentang pelaksanaan dari Peran Komite Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam
Perlindungan Hukum bagi Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan, dimana akan
difokuskan baik dari penerapan peraturan dan pelaksanaannya terutama untuk bidang
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas dan khususlagi dalam
perlindungan hukumnya yang diberikan oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-
hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta.
b. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini akan dilakukan di wilayah administratif Pemerintah Daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta, hal ini dilakukan karena keberadaan Komite Disabilitas untuk
tingkat provinsi pertama kali hanya diawali oleh Pemerintah Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta, sehingga harapanya hasil penelitiannya ini dapat menjadi best practice bagi
daerah lain
c. Bahan atau Materi Penelitian Hukum
Adapun yang dijadikan bahan atau materi penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian kepustakaan
Bahan yang diperoleh dari penelitian kepustakaan adalah bahan hukum yang
meliputi data primer, sekunder dan tersier
1) Data primer adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan berupa peraturan
perundang-undangan tentang perlindungan anak dan pemerintah daerah
termasuk juga peraturan perundang-undangan lainnya yang berhubungan
dengan pemenuhan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas secara
umum dan perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas termasuk anak
perempuan disabilitas korban kekerasan
2) Data Sekunder adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi
hukum serta jurnal-jurnal hukum.37
3) Data Tersier adalah bahan yang diperoleh dari buku-buku hukum, buku-buku
non hukum dan kamus hukum
37
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 155
18
2. Penelitian lapangan
Adapun untuk mendukung akurasi bahan hukum yang ada, diperlukan penelitian
lapangan yang akan dilakukan dengan mewawancarai dan menelaah data-data yang
disajikan oleh instansi terkait dari beberapa pihak sebagai subyek penelitian dari
bidang hukum (Hukum Tata Negara dan Hak Asasi Manusia) yang melibatkan pihak
birokrasi dan pendamping/konselor hukum di pusat layan terpadu masing-masing
d. Cara mengumpulkan bahan hukum
Untuk mendapatkan data yang menyeluruh dan akurat dalam penelitian ini, maka cara
yang digunakan dalam mengumpulkan bahan hukum adalah:
1. Studi Kepustakaaan
Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggali data dari buku-
buku literatur ilmiah, peraturan peundang-undangan yang berlaku, dokumen-
dokumen dan keputusan lain yang berkaitan dengan masalah
2. Wawancara
Yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara lansung dengan
narasumber. Teknik wawancara secara langsung ini dilakukan untuk memperoleh
data dari narasumber dengan berpedoman pada pokok masalah yang disusun dalam
daftar pertanyaan yang telah disiapkan. Adapun narasumber yang akan dilibatkan
dalam penelitian ini antara lain:
1) Komite Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas
Daerah Istimewa Yogyakarta
2) Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam pemenuhan dan
perlindungan hak-hak penyandang disabilitas, khususnya dalam hal pengada
layanan untuk perempuan disabilitas dan disabilitas anak perempuan korban
kekerasan
e. Analisis Penelitian
Bahan hukum yang telah dikumpulkan dijadikan pisau analisis untuk menganalisis data-
data dan wawancara hasil penelitian lapangan secara kualitatif. Tahapan analisis dibagai
menjadi dua tahap. Tahapan analisis pertama adalah melihat bagaimana kesiapan
peraturan perundang-undangan dalam upaya memberikan perlindungan hukum terhadap
perempuan disabilitas dan anak perempuan disabilitas korban kekerasan di wilayah
administratif Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam tahapan ini akan
dihadirkan data terbaru untuk lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta tentang jumlah
19
korban kekerasan terhadap perempuan disabilitas termasuk anak perempuan disabilitas,
data akan diperoleh baik dari rekan Lembaga Swadaya Masyarakat penggiat isu
disabilitas yang juga memberikan layanan bagi perempuan disabilitas dan disabilitas
anak perempuan korban kekerasan dan/atau dari instansi pemerintah terkait. Tahapan
analisis kedua adalah melihat pelaksanaan ataupun bentuk upaya lain dalam hal
perlindungan hukum terhadap perempuan disabilitas dan anak perempuan disabilitas
korban kekerasan beserta hambatan yang dilakukan dan menjadi rencan kerja oleh
Komite Disabilitas
Pendekatan analisis penelitian adalah yuridis sosiologis, yaitu penelitian hukum
berdasarakan peraturan perundang-undangan yang ada kemudian melihat penerapannya
oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam peraturan perundang-undangan yang
dimaksud berdasarkan fenomena sosial untuk menerima penerpan suatu hukum yang
dimaksud.
20
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta
Komite Pemenuhan dan perlindungan hak-hak Disabilitas Daerah Istimewa
Yogyakarta yang selanjutnya disebut komite penyandang disabilitas adalah lembaga non
struktural yang bersifat ad hoc,38
dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan hak-hak
Penyandang Disabilitas39
. Dimana kedudukan dari Komite Pemenuhan dan perlindungan hak-
hak Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta selanjutnay disebut Komite Disabilitas DIY
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur DIY Nomor 31 tahun 2013 tentang Komite
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas, sebagaimana ketentuan
Pasal 97 Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012. Komite Disabilitas DIY lahir sebagai instrumen
untuk mengawal dan memastikan implementasi dari Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012
tentang Perlindungan dan Pemenuhan hak-hak Penyandang Disabilitas.
Tujuan dibentuknya komite ini pertama, untuk mendorong pengarusutamaan
penyandang disabilitas dalam kebijakan dan pelayanan publik. Kedua, membantu
terwujudnya perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas meliputi hak
dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, seni, budaya, olah raga, politik,
hukum, penanggulangan bencana, tempat tinggal, dan aksesibilitas. Ketiga, mendorong
terwujudnya kesamaan dan kesempatan bagi penyandang disabilitas.40
Ide pembentukan Komite Disabilitas muncul pada tahun 2011 saat membahas draf
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) DIY tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas. Pemikiran yang melatarbelakangi antara lain:41
a. Perlunya instrumen kelembagaan untuk mengawal pelaksanaan Perda.
b. Komite sebagai mediator antara Penyandang Disabilitas dengan para pemangku
kewajiban.
38
Lihat lebih lanjut Pasal 1 angka 2 Peraturan Gubernur DIY Nomor 31 tahun 2013 tentang Komite
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas 39
http://komitedisabilitasdiy.blogspot.co.id/2015/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-
x.html?view=mosaic, diakses pada Kamis, 23 Agustus 2016 jam 9.30 WIB 40
Ibid 41
Hasil wawancara dengan Winarta, Komisioner Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak
Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta pada Kamis, 22 September 2016
21
c. Komite sebagai lembaga yang membantu penyelesaian kasus pelanggaran hak-
hak Penyandang Disabilitas
d. Komite sebagai lembaga yang memberi saran kepada pemerintah dan DPRD
dalam mewujudkan hak-hak Penyandang disabilitas.
Menurut Winarta, keberadaan dari Komite Disabilitas awalnya masih mendapatkan
keraguan dari DPRD DIY karena dianggap tidak akan dapat bekerja optimal sebagaimana
lembaga-lembaga lain yang sudah ada. Namun keberadaan dari Komite merupakan
kebutuhan Perda itu sendiri agar benar-benar dilaksanakan oleh seluruh pemangku
kewajiban. Sehingga agar Komite dapat bekerja secara optimal maka harus didukung oleh
pemberian kewenangan yang kuat serta dukungan sumber daya yang diperlukan.42
B. Tugas dan Fungsi Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang
Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta
Sebagaimana dijelaskan bahwa Komite Disabilitas DIY lahir menggunakan payung
hukum Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012 dan lebih lanjut lagi untuk keabsahan keberadaan
dari Komite tersebut maka dibentuklah Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2013 sebagai
pelaksanaan atauran dari Perda terkait, berkenaan dengan hal tersbut maka Komite Disabilitas
DIY memiliki tugas dan fungsi sebagai berikut:
Komite Penyandang Disabilitas mempunyai tugas:43
a. Mediasi, komunikasi, dan informasi antara Penyandang Disabilitas dan Pemerintah
Daerah;
b. Menerima pengaduan dari Penyandang Disabilitas yang mengalami kasus-kasus
diskriminasi; dan
c. Menindaklanjuti aduan dari Penyandang Disabilitas
Komite Penyandang Disabilitas mempunyai fungsi :44
a. Memberikan usulan, pertimbangan dan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah,
Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam pembuatan
kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas;
42
Ibid 43
Pasal 5 Peraturan Gubernur DIY Nomor 31 tahun 2013 tentang Komite Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas 44
Pasal 6 Peraturan Gubernur DIY Nomor 31 tahun 2013 tentang Komite Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas
22
b. Mendorong peningkatan partisipasi aktif Penyandang Disabilitas, keluarga dan
masyarakat secara umum dalam pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan
Penyandang Disabilitas;
c. Menerima, menampung dan menganalisa pengaduan serta mengkoordinasikan
pembelaan secara litigasi dan/atau non litigasi;
d. Menyalurkan aspirasi Penyandang Disabilitas kepada pihak-pihak terkait; dan
e. Membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak dalam upaya mengembangkan
program-program yang berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas.
C. Perlindungan Hukum bagi Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan di Daerah
Istimewa Yogyakarta
Keberadaan Perda Nomor 4 Tahun 2012 memberikan batasan bahwa hak-hak
penyandang disabilitas sebagiamana yang diatur dalam pasal 3 huruf b meliputi hak dalam
bidang bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial, seni, budaya, olah raga,
politik, hukum, penanggulangan bencana, tempat tinggal, dan aksesibilitas. Berkenaan
dengan hal tersebut, maka penulis dalam penelitian ini memberikan batasan dalam hal
perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas DIY dalam bidang hukum,
khususnya perempuan disabilitas yang menjadi korban kekerasan.
Berkenaan dengan perlindungan hukum yang merupakan juga perlindungan sosial
bagi penyandang disabilitas, dalam konteks perempuan disabilitas korban kekerasan, secara
umum diatur dalam ketentuan pasal 58 huruf d joncto pasal 65 dan 66 Perda Nomor 4 Tahun
2012 dinyatakan bahwa penyandang disabilitas mendapatkan perlindungan sosial yang
dimaksudkan untuk mencegah dan mengatasi risiko dari guncangan dan kerentanan
Penyandang Disabilitas agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan
dasar. Selanjutnya perlindungan sosial dilaksanakan melalui bantuan sosial dan bantuan
hukum. Pemberian bantuan hukum dalam penelitian ini diarahakan penulis kepada salah satu
bentuk perlindungan hukum kepada perempuan disabilitas korban kekerasan dimana sesuai
dengan ketentuan Pasal 79 Perda Nomor 4 Tahun 2012 dinyatakan bahwa:
1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota bekerjasama dengan Lembaga
Bantuan Hukum tertentu untuk menyediakan pelayanan pendampingan hukum kepada
Penyandang Disabilitas yang terlibat permasalahan hukum.
2) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan sarana dan prasarana
yang diperlukan penyandang disabilitas yang terlibat permasalahan hukum.
23
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata cara penyediaan pelayanan pendampingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur.
Peraturan Gubernur DIY yang dimaksud dalam ketentuan ayat (3) diatas adalah
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 60 Tahun 2014 tentang Tata Cara
Penyediaan Bantuan Hukum bagi Penyandang Disabilitas. Namun memang secara khusus
dalam Pergub DIY tentang bantuan hukum tersebut belum secara eksplisit menerangkan
tentang perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan45
karena lebih
kepada penyandang disabilitas secara umum yang berhadapan dengan hukum46
, sehingga
dalam penelitian ini penulis ingin melihat tentang bagaimana bentuk peran hukum dari tugas
dan fungsi Komite Disabilitas DIY dalam datarannya ketika ada aduan seorang ataupun
sekelompok perempuan penyadang disabilitas yang mendapatkan tindakan diskriminasi.
Perlindungan perempuan maupun perempuan disabilitas yang menjadi korban
kekerasan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta mendapatkan perlindungan dalam bentuk
payung hukum berupa Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3
Tahun 2012 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. Sebagimana
diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2012
tentang Perlindungan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Pasal 33, korban mendapatkan
pelayanan berupa:
a. pelayanan pengaduan, konsultasi, dan konseling;
b. pelayanan pendampingan;
c. pelayanan kesehatan;
d. pelayanan rehabilitasi sosial;
e. pelayanan hukum; dan
f. pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial.
Berkenaan dengan penelitian ini, perlidnungan hukum yang dimaksud adalah
pelayanan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan berupa membantu korban
45
Perempuan disabilitas korban kekerasan termasuk dalam kategori korban yang memang khusus
dengan kategori sebagai perempuan disabilitas, sedangkan definisi korban adalah perempuan dan anak yang
mengalami kesengsaraan dan atau penderitaan baik langsung maupun tidak langsung sebagai akibat dari
kekerasan yang terjadi di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana termaktub dalam Pasal 1
angka 6 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perlindungan
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan. 46
Penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 60 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penyediaan Bantuan Hukum bagi Penyandang Disabilitas,
dijelaskan sebagai penerima bantuan hukum penyandang disabilitas atau kelompok penyandang disabilitas
miskin dan rentan miskin sebagiamana termaktub dalam Pasal 1 angka 2
24
dalam menjalani proses peradilan dengan cara: (Pasal 38 Perda DIY tentang Perlindungan
Perempuan dan Anak Korban Kekerasan)
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan
proses peradilan;
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang
pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan yang
dialaminya;
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja
sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.
Sehingga ketentuan dalam pasal 38 diatas menjadi dasar dari melihat bagaimana
sebenarnya peran dari Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas
DIY dalam memberikan perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan.
D. Peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas
Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan
disabilitas korban kekerasan
Peran pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan
daerah merupakan salah satu syarat mutlak dalam era demokrasi yang menuntut transparasi
dan akuntabilitas dalam pemerintahan. Pengabaian terhadap peran pemerintah dengan
peranan utamanya adalam mewujdukan pembangunan daerah yang adil dan makmur, terbukti
telah menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan
itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Perihal tentang kesejahteraan masyarkat khususnya bagi penyandang disabilitas,
pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah memulai inisiatif tidak hanya dalam
membentuk aturan hukum dalam bentuk peraturan daerah dan peraturan pelaksanaan lainnya
dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Bahkan juga ada
komite pemantau penerapan Peraturan Daerah yang dimaksud dalam semua aspek baik sosila,
budaya, pemerintahan, ekonomi maupun hukum.
Khusus dalam bidang hukum sebagaimana menjadi fokus dalam penelitian ini,
penulis melakukan wawancara dengan salah satu komisioner Komite Disabilitas DIY tentang
peran Komite Disabilitas DIY dalam memberikan perlindungan hukum bagi perempuan.
Peran dari Komite Disabilitas sebagaimana yang ditelusuri dari hasil wawancara dengan
Winarta, salah satu Komisioner Komite Disabilitas DIY, kewenangan dari Komite Disbilitas
25
DIY diantaranya menerima pengaduan dan menindaklanjuti aduan terkait pelanggaran hak-
hak Penyandang Disabilitas.
Komite mempunyai divisi pemantauan dan layanan pengaduan. Komite menerima
aduan terkait pelanggaran hak penyandang disabilitas. Terhadap Penyandang Disabilitas yang
berhadapan dengan hukum, baik sebagai korban, tersangka/ terdakwa, atau saksi, Komite
melakukan jemput bola kepada yang bersangkutan atau adanya pengaduan dari yang
bersangkutan. Adapaun peran yang dilakukan Komite adalah:
a. Memantau kasus yang sedang ditangani penegak hukum untuk memastikan penyandang
Disabilitas diperlakukan secara adil dan dipenuhi kebutuhan aksesibilitasnya (cara
komunikasi, akses Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan lain-lain dalam hal memenuhi
akses keadilan bagi peempuan disabilitas korban kekerasan)
b. Memastikan Penyandang disabilitas (perempuan disabilitas dan disabilitas anak) yang
menjadi korban tindak pidana, kasusnya diproses secara hukum sesuai dengan prosedur
yang berlaku
c. Bekerja sama dengan organisasi bantuan hukum dalam mendampingi Penyandang
Disabilitas yang menjadi korban tindak pidana
Komite Disabilitas DIY memiliki beberapa mekanisme baik pengaduan maupun
pendampingan yaitu:47
1. Mekanisme pengaduan: Penyandang Disabilitas, kelurga, atau pihak lainnya (organisasi
dan masyarakat umum) dapat menyempaikan aduan secara tertulis, lisan atau
menggunakan bahasa isyarat ke kantor Komite. Aduan juga dapat disampaikan melalui
email, telepon, SMS, WA, dan media sosial lainnya (tidak harus datang ke kantor,
selanjutnya Komite yang akan proaktif mendatangi Penyandang Disabilitas).
2. Mekanisme pendampingan: pendampingan dilakukan setelah ada pengaduan dan
penyandang disabilitas atau yang mewakili mengisi formulir pengaduan. Untuk kasus
yang ada aspek pelanggaran hak penyandang disabilitas maka Komite langsung
menindaklanjuti dengan melakukan pendampingan sesuai dengan kebutuhan
penyelesaian kasus. Untuk aduan yang tidak ada kaitannya dengan pelanggaran hak
penyandang disabilitas, maka Komite melimpahkan ke Organisasi/ Lembaga lainnya
yang sesuai.
Selain itu untuk melihat peran Komite Disabilitas DIY dalam penelitian ini juga
melibatkan lembaga pendamping korban kekerasan khususnya bagi perempuan disabilitas
47
Hasil wawancara dengan Winarta, Komisioner Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak
Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta pada Kamis, 22 September 2016
26
korban kekerasan, lembaga terkait yang menjadi rujukan adalah SIGAB48
dan CIQAL49
.
Kedua lembaga dimaksud memiliki program kerja dalam hal pendampingan bagi perempuan
disabilitas korban kekerasan di DIY, walaupun masih banyak lembaga terkai lainnya namun
kedua lembaga ini dianggap penulis cukup sering menangani kasus-kasus tentang perempuan
diasbilitas korban kekerasan, selain itu juga dalam kerjanya teribat berjejaring baik di lingkup
kabupaten/kota bahkan di lingkungan pemerintah darerah DIY.
Berkenaan dengan peran Komite Disabiltas DIY yang menjadi fokus dalam penelitian
ini, SIGAB berpendapat bahwa keberadaan komite sebagai pengawas terhadap pelaksanaan
Peraturan Daerah DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan hak-hak
Penyandang Disabilitas secara kelembagaan masih kurang kuat. Hal tersebut dikarenakan
keberaadaan bersifat sementara (ad hoc)50
sehingga di masa akan datang ketika dianggap
tidak dibutuhkan maka komite ini dapat dibubarkan.51
Namun catatan dari SIGAB perihal
keberadaan dari Komite Disabilitas DIY khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi
perempuan disabilitas korban kekerasan diantaranya masih lemah dalam hal koordinasi dan
jejaring terutaa dalam hal mekanisme rujukan dianggap belum ada. Pernyataan ini juga
disampaikan sama oleh CIQAL, karena komite masih dianggap memiliki keterbatasan gerak
baik dalam hal pengawasan implemenrasi Perda DIY tentang Perlindungan dan Pemenuhan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan gerakan komite masih parsial.52
Berdasarkan wawancara dengan kedua lembaga terkait beranggapan bahwa Komite
Disabilitas DIY belum terlalu khusus menyentuh soal perlindungan hukum bagi perempuan
disabilitas korban kekerasan di DIY, hal ini mungkin dapat dilihat dari beberapa alasan
menurut penulis, pertama umur dari keberadaan komite yang masih baru, kedua keberadaan
48
Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) adalah organisasi non pemerintah yang bersifat
independen, nirlaba, dan nonpartisan. SIGAB didirikan di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 2003. Organisasi
yang mempunyai motto “Bersama Menuju Masyarakat Inklusi” ini mempunyai cita-cita besar untuk membela
dan memperjuangkan hak-hak difabel di seluruh Indonesia hingga terwujud kehidupan yang setara dan inklusif,
lihat lebih lanjut dalam https://www.sigab.or.id/id/article/profil-lembaga-sigab yang diakses pada 6 Oktober
2016 jam 09.20 WIB 49
CIQAL (Center for Impoving Qualified Activity in Live of People with Disabilities) adalah
organisasi yang berdiri 2003 dan bekerja untuk penyandang disabilitas/difabilitas. CIQAL fokus pada kegiatan
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dari teman-teman difabel/disabel. Agar mereka bisa
mendapatkan kesempatan yang sama dalam hidup bermasyarakat, lihat lebih lanjut dalam
http://ciqal.blogspot.co.id/2012/05/tentang-ciqal.html yang diakses pada 6 Oktober 2016 jam 09.20 WIB 50
Pasal 1 angka 2 Peraturan Gubernur DIY Nomor 31 Tahun 2013 tentang Komite Perlindungan dan
Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas, yaitu Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang
Disabilitas yang selanjutnya disebut Komite Penyandang Disabilitas adalah lembaga nonstruktural yang bersifat
ad hoc dalam membantu koordinasi dan komunikasi pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak
Penyandang Disabilitas 51
Hasil wawancara dengan SIGAB yang diwakili oleh Purwanti pada 18 Agustus 2016 52
Hasil wawancara dengan CIQAL yang diwakili oleh Nuning Suryatinimgsih pada 28 September
2016
27
komite sendiri yang tidak permanen sehingga ruang geraknya terbatas atau keweanganan dan
mungkin anggaran juga terbatas, dan ketiga masih berlum terlalu intensif dalam hal
berjejaring khusus di permasalahan perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban
kekerasan di DIY.
Melihat hasil wawancara baik dari Komite Disabiliata maupun lembaga masyarakat
yang melakukan pendampingan, penulis berpendapat ternyata ada harapan bahwa keberadaan
lembaga pemerintah yang bersifat ad hoc dianggap langkah progresif pemerintah dalam
upaya memberikan pelayanan publik yang lebih optimal sebagai kebutuhan masyarakat
secara umum.
E. Upaya yang dilakukan oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak
Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dan Hambatan dalam
perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan
Peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban
kekerasan dinyatakan oleh Komite telah berjalan dengan baik walaupun masih ada beberapa
catatan, namun dalam mewujudkan peran yang dimaksud Komite Disabilitas DIY telah
melakukan langkah kongkret yaitu melakukan penandatanganan nota kesepahamaan
(Memorandum of Understanding/MoU) antara Komite Disabilitas DIY dengan Kepolisian
Daerah (Polda) DIY terkait layanan kepolisian yang ramah bagi Penyandang Disabilitas yang
berhadapan dengan hukum. Pelaksanaan penandatanganan MoU ini dilakukan pada Senin, 28
September 2015 di Polda DIY yang langsung ditandatangai oleh Ketua Komite Disabilitas
DIY, Drs. Setia Adi Purwanta, M.Pd dan Kepala Kepolisian Daerah Daerah Istimewa
Yogyakarta, Brigadir Jenderal Polisi Drs. Erwin Triwanto, SH.
Berkenaan MoU yang dilakukan oleh Komite Disabilitas DIY dan Polda DIY
memang merupakan hal yang progresif namun masih bersifat umum sebagaimana judul dari
MoU yang dimaksud. Selain itu, jika dilihat khusus untuk perlindungan perempuan
disabilitas korban kekerasan yang berhadapan dengan hukum tidak diatur rinci, hal yang
diatur hanya umum ketika bahkan dalam ranah ketika penyandang disabilitas berhadap
dengan hukum53
sebagaimana pemahaman dari penulis terhadap MoU tersebut.
53
Ketentuan dalam MoU antara Komite Disabilitas DIY dan Polda DIY memiliki ruang lingkup
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan khusus bagi yang berhadapan dengan hukum fokusnya dalam hal
penyelidikan dan penyidikan bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum (Pasal 2 huruf b)
28
Langkah konkret dari peran Komite Disabilitas DIY sebagaimana termuat dalam
MoU tersebut ketika ada penyadang disabilitas berhadapan dengan hukum maka komite
memberikan layanan berupa pendampingan konseling.54
Melihat hal tersebut tentunya ada
kesatuan alur lahirnya MoU yang dimaksud, ketika ditanyakan kepada lembaga pengada
layanan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan, CIQAL, dimana menurut mereka MoU
ini juga menjawab permasalahan kasus dalam hal penanganan terhadap kasus kekerasan yang
terjadi pada perempuan disabilitas dan hal tersebut merupakan aksi nyata dari Komite
Disabilitas DIY walaupun Komite Disabilitas DIY masih melihatnya secara berupa
pendampingan bagi penyadang disabilitas yang berhadapan dengan hukum baik dalam
posisinya sebagai pelaku maupun korban.55
Komite Disabilitas DIY juga menyatakan bahwa walaupun MoU tersebut masih
bersifat umum, namun khusus untuk pendampingan bagi perempuan disabilitas korban
kekerasan, Komite melalui kebijkan internalnya akan memberikan perhatian yang lebih
kepada Perempuan Disabilitas yang menjadi korban kekerasan. Komite mensosialisasikan
kepada para pemangku kepentingan agar membantu dan memberikan dukungan kepada
perempuan disabilitas korban kekerasan. Komite juga meminta kepada kepolisian untuk
memproses kasus kekerasan yang dialami perempuan disabilitas.56
Langkah kongkret ataupun upaya dalam memberikan perlindungan hukum bagi
perempuan disabilitas korban kekerasan sejak awal berdiri komite juga berdasarkan laporan
kasus kekerasan yang diterima oleh Komite Disabilitas DIY dengan jumlah 20 (dua puluh)
kasus berupa kekerasan seksual maupun kekerasan lainnya dalam lingkup lingkungan umum
dan rumah tangga.57
Namun dalam memberikan layanan terhadap penyadang diasbilitas yang
berhadap dengan hukum, khususnya juga bagi perempuan disabilitas korban kekerasan,
Komite Disabilitas DIY memiliki beberapa hambatan yaitu:58
a. Masyarakat masih menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok yang tidak
terlalu penting diperhatikan sehingga apabila terjadi kekerasan apalagi kekerasan
tersebut terjadi kepada perempuan disabilitas cenderung kurang diperhatikan.
54
Lihat lebih lanjut ketentuannya dalam Pasal 5 nota kesepahamaan (Memorandum of
Understanding/MoU) antara Komite Disabilitas DIY dengan Kepolisian Daerah (Polda) DIY 55
Hasil wawancara dengan CIQAL yang diwakili Ibnu Sukaca pada 17 September 2016 56
Hasil wawancara dengan Winarta, Komisioner Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak
Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta pada Kamis, 22 September 2016 57
Ibid 58
Ibid
29
b. Sebagian korban, keluarga korban, bahkan masyarakat masih ada yang menghendaki
supaya kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas tidak diproses secara hukum
dengan alasan malu, merepotkan, dan pesimis untuk mendapatkan keadilan.
c. Penegak hukum tidak memahami bagaimana berkomunikasi dengan penyandang
disabilitas dengan berbagai ragam disabilitasnya (terutama disabilitas intelektual, tuli,
dan netra)
d. Aksesibilitas (fisik maupun nonfisik) bagi penyandang disabilitas di institusi penegak
hukum masih kurang ketika mereka ingin mengakses keadilan tentunya makin sulit.
Penulis berpendapat bahwa keberadaan dari Komite Perlindungan dan Pemenuhan
Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam rangka memberikan
perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Daerah Istimewa
Yogyakarta sangatlah penting, namun posisi ad hoc dalam struktur pemerintah daerah DIY
tentunya sangat rawan karena sifatnya sementara, padahal keberadaan penyandang disabilitas
selalu ada karena mereka juga warga negara Indonesia dan penduduk DIY yang memiliki hak
yang sama dengan non-penyandang disabilitas.
Penulis juga berpendapat dalam hal perlindungan hukum bagi penyadang disabilitas
di DIY, peran Komite Disabilitas DIY tentunya sudah dapat dikatakan progresif namun
masih bersifat umum, sedangkan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan masih berlaku
parsial padahal di DIY sudah ada peraturan daerah yang mengatur tentang perlindungan bagi
perempuan dan anak korban kekerasan, sehingga perlu ada haromonisasi kebijakan di komite
itu sendiri. Selain itu langkah koordinas dan komunikasi dalam bentuk jejaring perlu
ditingkatkan lagi khususnya dalam hal perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas
korban kekerasan, hal ini menurut penulis dapat diakomoidir dalam wadah Forum
Perlindungan Korban Kekerasan Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melibatkan Komite
Disabilitas DIY untuk lebih aktif dalam forum pengada layanan bagi perempuan dan anak
korban kekerasan khususnya dengan kondisi korban penyandang disabilitas.59
Selain itu berdasarkan kunjungan ke sekretariat Komite Disabilitas DIY, penulis dan
juga hasil diskusi saat diseminasi hasil penelitian60
ini ditemukan fakta bahwa dari sisi sarana
59
Lihat lebih lanjut perihal jejaring Forum Perlindungan Korban Kekerasan Daerah Istimewa
Yogyakarta dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 66 Tahun 2012 tentang Forum
Perlindungan Korban Kekerasan 60
Diseminiasi hasil penelitian ini dilaksanakan pada Kamis, 13 Oktober 2016 di Auditorium
Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, dengan menghadirkan 2 (dua) orang pembahas yaitu Drs. Setia Adi
Purwanta, M.Pd (Ketua Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah
Istimewa Yogyakarta) dan Moh. Syafi’ie, SH., MH (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan
Peneliti di PUSHAM UII)
30
dan prasarana komite jauh dari memadai, sejak awal berdiri sampai dengan penelitian ini
ditulis, komite menempati bangunan yang masih bersifat meminjam bangunan milik non
pemerintah dan juga kelengkapan lainnya masih belum memadai walaupun ada rencana dari
Pemerintah DIY pada tahun 2017, Komite Disabilitas DIY akan menempati salah satu
bangunan pemerintah. Melihat hal tersebut, dari sisi kewenangan Komite Disabilitas DIY
yang sangat strategis namun pada kenyataanya belum diakomodir sebagaimana amanat dari
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan hak-hak
Penyandang Disabilitas sehingga ada pertanyaan apakah kondisi yang ada saat ini sebagai
langkah pembiaran atau pengkerdilan peran dari Komite Disabilitas DIY. Catatan lainnya
yang didapatkan saat diseminasi hasil penelitian ini dalam rangka memperkaya hasil
penelitian, keberadaan komite sebagai lembaga pemerintah yang independen namun dianggap
salah satu satu pembahas jika komite tidak independen, keberadaan komite sebagai salah satu
lembaga HAM dituntut untuk independen namun pada kenyataannya dilihat dari komposisi
komisioner tidak hanya dari unsur non pemerintah tetapi juga melibatkan unsur pemerintah
dalam hal ini perwakilan dari Dinas Sosial DIY dan Polda DIY, namun dinyatakaan oleh
ketua komite bahwa komisioner yang ada di komite sudah cukup rensopsif akan isu
pemenuhan dan perlindungan hak-hak penyadang disabilitas.
Penulis berpendapat dari catatan akhir ini bahwa kondisi yang dimaksud diatas
ternyata juga menjadi hambatan bagi Komite Disabilitas DIY dalam mengoptimalkan
perannya baik secara umum maupun secara khusus dalam hal perlindungan hukum bagi
perempuan disabilitas korban kekerasan. Catatn lain dalam penelitian iny yang ingin
disampaikan oleh penulis, dimana penelitian ini memang belum mengharmonisasikan dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, karena saat disusun
penelitian yang dimaksud, undang-undnag tersebut masih berstatus rancangan undang-
undang sehingga belum disesuaikan.
31
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Peranan Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban
kekerasan yaitu:
a. Memantau kasus yang sedang ditangani penegak hukum untuk memastikan
penyandang Disabilitas diperlakukan secara adil dan dipenuhi kebutuhan
aksesibilitasnya (cara komunikasi, akses Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan lain-
lain dalam hal memenuhi akses keadilan bagi peempuan disabilitas korban
kekerasan)
b. Memastikan Penyandang disabilitas (perempuan disabilitas dan disabilitas anak)
yang menjadi korban tindak pidana, kasusnya diproses secara hukum sesuai dengan
prosedur yang berlaku.
c. Bekerja sama dengan organisasi bantuan hukum dalam mendampingi Penyandang
Disabilitas yang menjadi korban tindak pidana
Selain itu untuk mewujudkan peran yang dimaksud, Komite Disabilitas DIY memiliki
beberapa mekanisme penanganan terhadap perempuan penyandang diasbiltas korban
kekrasan, yaitu
a. Mekanisme pengaduan: Penyandang Disabilitas, kelurga, atau pihak lainnya
(organisasi dan masyarakat umum) dapat menyempaikan aduan secara tertulis, lisan
atau menggunakan bahasa isyarat ke kantor Komite. Aduan juga dapat disampaikan
melalui email, telepon, SMS, WA, dan media sosial lainnya (tidak harus datang ke
kantor, selanjutnya Komite yang akan proaktif mendatangi Penyandang Disabilitas).
b. Mekanisme pendampingan: pendampingan dilakukan setelah ada pengaduan dan
penyandang disabilitas atau yang mewakili mengisi formulir pengaduan. Untuk
kasus yang ada aspek pelanggaran hak penyandang disabilitas maka Komite
langsung menindaklanjuti dengan melakukan pendampingan sesuai dengan
kebutuhan penyelesaian kasus. Untuk aduan yang tidak ada kaitannya dengan
pelanggaran hak penyandang disabilitas, maka Komite melimpahkan ke Organisasi/
Lembaga lainnya yang sesuai.
32
2. Upaya kongkret dari Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang
Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan
disabilitas korban kekerasan adalah melakukan kesepakatan bersama antara Komite
Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta
tentang Penyelenggaraan Layanan Perlindungan dan Pemenuhak Hak bagi Penyandang
Disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta, tertanggal 28 September 2015. Namun
kesepakatan bersama yang dimaksud masih sangat umum bagi penyandang disabilitas
yang berhadapan dengan hukum baik korban maupun pelaku, sedangkan khusus bagi
perempuan disabiltas korban kekerasan, Komite Disabilitas DIY dalam kebijakan
internalnya memberikan perhatian khusus diantaranya mensosialisasikan kepada para
pemangku kepentingan agar membantu dan memberikan dukungan kepada perempuan
disabilitas korban kekerasan termasuk juga bagi pihak kepolisian.
3. Hambatan yang dihadapi Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang
Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan
disabilitas dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu internal dari korban dan eksternal:
1) Internal korban:
Sebagian korban, keluarga korban, bahkan masyarakat masih ada yang
menghendaki supaya kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas tidak diproses
secara hukum dengan alasan malu, merepotkan, dan pesimis untuk mendapatkan
keadilan.
2) Eksternal korban
a. Masyarakat masih menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok yang
tidak terlalu penting diperhatikan sehingga apabila terjadi kekerasan apalagi
kekerasan tersebut terjadi kepada perempuan disabilitas cenderung kurang
diperhatikan.
b. Penegak hukum tidak memahami bagaimana berkomunikasi dengan
penyandang disabilitas dengan berbagai ragam disabilitasnya (terutama
disabilitas intelektual, tuli, dan netra)
c. Aksesibilitas (fisik maupun nonfisik) bagi penyandang disabilitas di institusi
penegak hukum masih kurang ketika mereka ingin mengakses keadilan tentunya
makin sulit.
33
Selain hambatan dilihat dari sisi korban juga hambatan dari sisi keberadaan Komite
Disabilitas DIY itu sendiri yaitu dalam hal keterbatasan sarana dan prasarana dalam
menunjuang kinerjanya serta independesi komite yang masih terbatas.
B. Saran
1. Sebaiknya Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas
Daerah Istimewa Yogyakarta lebih membangun jejering dan komunikasi dengan
lembaga-lembaga penyedia layanan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan
sehingga peran komite khususnya dalam perlindungan hukum dapat berjalan dengan
lebih efektif lagi
2. Perlu adanya sosialisasi perihal mekanisme pengaduan dan pendampingan kepada
masyarakat umum dan lembaga-lembaga penyedia layanan bagi perempuan disabilitas
korban kekerasan serta mekanisme monitoring terhadap kasus-kasu yang dilaporkan
3. Khusus bagi Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta agar dapat lebih memperhatikan
keberadaan dari Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas
Daerah Istimewa Yogyakarta baik dalam hal penguatan kelembagaan dalam
memfasilitasi sarana dan prasarana pendukunya serta memperkuat posisinya
sebagaimana kewenangannya yang diberikan dalam Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun
34
Daftar Pustaka
Buku:
Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Ins Trans Publishing, Malang, 2008
Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Total
Media, Pekanbaru, 2007
Majda Ek Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 sampai
dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2007
Mansour Fakih, 2008, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Nurul Saadah Adriani, dkk, 2015, Mekanisme Pendampingan Hukum bagi Perempuan
Disabilitas Korban Kekerasan, Yogyakarta, SAPDA
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Jakarta
Rhona K. M. Smith, at.al, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta
Sri Wiyanti Eddyono, 2004, Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW, Seri Bahan
Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2004, ELSAM, Jakarta
Data Elektronik
Catatan Ketimpangan Terhadap Perempuan di Indonesia Hari Perempuan Internasional 2016
oleh Koalisi Perempuan Indonesia,
http://www.koalisiperempuan.or.id/2016/03/07/catatan-ketimpangan-terhadap-
perempuan-di-indonesia-hari-perempuan-internasional-2016/
Pembentukan Komisi Nasional Penyandang Disabilitas Terancam Ditolak pada
http://www.mediaindonesia.com/news/read/25204/pembentukan-komisi-nasional-
penyandang-disabilitas-terancam-ditolak/2016-01-18#sthash.O84RdM48.dpuf
Pendidikan ABK dan Inklusif dalam http://pendidikanabk.blogspot.com/2011/10/definisi-
anak-berkebutuhan-khusus.html
Setia Adi Purwanta, “Bagaimana Aku Menyebut Mereka, Penyandang Cacat, Penyandang
Disabilitas, Ataukah Difabel?”
http://komitedisabilitasdiy.blogspot.co.id/2015/12/bagaimana-aku-menyebut-
mereka.html
35
Data lainnya
Andrie Irawan, 2014, Handout Hukum dan Hak Asasi Manusia (Subyek dan Sumber Hukum
Hak Asasi Manusia), Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta,
Yogyakarta
Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2014 “Kekerasan
Terhadap Perempuan: Negara Segera Putus Impunitas Pelaku”, Jakarta, 6 Maret 2015
Sutatik, Data Pelayanan Korban Kekerasan di P2TP2A “Arum Dalu” Kabupaten Bantul
tahun 2013-2015, diolah oleh P2TP2A “Arum Dalu” Kabupaten Bantul, Bantul, 2
Desember 2015
36
Lampiran 1 Personalia tenaga peneliti beserta kualifikasinya
A. Identitas Diri (Ketua Peneliti)
1 Nama Lengkap (dengan
gelar) Iin Suny Atmadja, SH, MH
2 Jenis Kelamin Perempuan
3 Jabatan Fungsional IIIb/Penata Muda TK I
4 NIP/NIK/Identitas lainnya E.8501010
5 NIDN 0518085801
6 Tempat, Tanggal Lahir Cirebon 18 Agustus 1958
7 E-mail [email protected]
8 Nomor Telepon/HP 08122771516
9 Alamat Kantor Jl.Perintis Kemerdekaan,Gambiran,Umbulharjo,Yogyakarta
10 Nomor Telepon/Faks Tep: (0274) 372274, Faks : (0274) 4340644
11 Lulusan yang telah
dihasilkan -
12 Mata Kuliah yang Diampu
Hukum Tata Negara
Kenegaraan Per-uu-an
Legal drafting
Hukum Administrasi Daerah dan Desa
Penyelesaian Pertanahan
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2
Nama Perguruan Tinggi Universitas Islam Indonesia Universitas Islam Indonesia
Bidang Ilmu Ilmu Hukum Ilmu Hukum
Tahun Masuk-Lulus 1978 - 1983 1999 - 2002
Judul Skripsi/Tesis/Disertasi
Judul Skripsi : Kekuatan
Hukum Minderheids Nota
MPR dalam Proses
Pengambilan Keputusan-
Keputusan MPR
Judul Thesis : Kedudukan Partai
Oposisi Dalam Negara Hukum
Indonesia Menurut UUD 1945
(Kajian Dari Sudut Hukum Tata
Negara)
Nama
Pembimbing/Promotor Soedarjatin,SH
Prof,Dr.Dahlan Thaib, SH, M.Si
Hj. Ni’matul Huda, SH,Mhum
37
C. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun
Disertasi)
No. Tahun Judul Penelitian
Pendanaan
Sumber* Jml (Juta
Rp)
1 2011
Akibat Hukum Klausula Eksonerasi dalam
perjanjian sewa beli sepeda motor terhadap
perlindungan Konsumen di kecamatan
prambanan
Kantor Notaris
dan PPAT Hj.
Iin Suny
Atmadja, SH.,
MH
10.000.000
2 2012
Pelaksanaan Bantuan Hukum Cuma - Cuma
terhadap masyarakat tidak mampu oleh lembaga
bantuan hukum Indonesia (LBH) Yogyakarta
Kantor Notaris
dan PPAT Hj.
Iin Suny
Atmadja, SH.,
MH
5.000.0000
3 2013
Potensi Kerawanan Tindak Pidana Perdagangan
Orang dan Eksploitasi Seksual Anak Tahun 2013
di Kecamatan Bantul, Jetis, Sanden dan
Srandakan Kabupaten Bantul
SAPA 10.000.000
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber
lainnya.
D. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber* Jml (Juta
Rp)
1 2013
Advokasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang
dan Eksploitasi Seksual Anak Tahun 2013 di Kecamatan
Bantul, Jetis, Sanden dan Srandakan Kabupaten Bantul
SAPA 20.000.000
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema pengabdian kepada masyarakat DIKTI
maupun dari sumber lainnya.
E. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/Nomor/Tahun
1
Penyelesaian sengketa Pajak
Ditinjau dari Aspek Hukum
Administrasi Negara
Jurnal Lensa Hukum
Fakultas Hukum Univ.
Cokroaminoto Yogyakarta
2011
2
Peranan Pemerintah Desa dalam
Sistem Administrasi (Studi di Desa
Sariharjo Kecamatan Ngaglik
Kabupaten Sleman)
Jurnal Lensa Hukum
Fakultas Hukum Univ.
Cokroaminoto Yogyakarta
2012
38
F. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir
No. Nama Pertemuan
Ilmiah/Seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1 Pelatihan Contract Administration Melia purosani hotel11-13 juli
2011
2 Pelatihan Contract Monitoring Hotel Jogja Plaza
25 – 27 Oktober 2011
3 Seminar
politik hukum dan
pertanahan dalam
memberikan perlindugan
terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat
Fak Hukum Udayana
27 April 2012
4 Workshop
Dokumen Dokumen
Pokok Dalam Kridit
Bank BTN cab Yogyakarta
20 sept 2012
5
Diskusi
peningkatan kapasitas
layanan dengan tema:
tugas, wewenang notaries
dan PPAT dalam jual beli
tanah
LOS DIY
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya siap menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam laporan akhir penelitian Hibah Kopertis Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta
Yogyakarta, 14 Oktober 2016
Ketua Peneliti,
Iin Suny Atmadja, SH., MH
39
B. Identitas Diri (Anggota Peneliti)
1 Nama Lengkap (dengan
gelar) Andrie Irawan, SH., MH
2 Jenis Kelamin Laki-laki
3 Jabatan Fungsional Tenaga Pengajar
4 NIP/NIK/Identitas lainnya E. 1409084
5 NIDN 0520038604
6 Tempat, Tanggal Lahir Banjarmasin, 20 Maret 1986
7 E-mail [email protected]
8 Nomor Telepon/HP 081328777614
9 Alamat Kantor Jalan Perintis Kemerdekaan, Gambiran, Umbulharjo,
Yogyakarta
10 Nomor Telepon/Faks 0274-372274/0274-4340644
11 Lulusan yang telah
dihasilkan -
12 Mata Kuliah yang Diampu
1. Ilmu Negara
2. Hukum dan Hak Asasi Manusia
3. Hukum Adat
4. Hukum Acara Perdata
5. Hukum Perburuhan
6. Praktek Peradilan dan Peradilan Semu
8. Hukum Lingkungan
A. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2
Nama Perguruan Tinggi Universitas Islam Indonesia Universitas Islam Indonesia
Bidang Ilmu Ilmu Hukum Ilmu Hukum
Tahun Masuk-Lulus 2004-2008 2008-2014
Judul Skripsi/Tesis/Disertasi
Open Sky Policy Sebagai
Konsekuensi Penerapan
ASEAN Framework
Agreement for the
Integration of Priority
Sectors (FAIPS) di
Indonesia ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 15
Tahun 1992 Tentang
Penerbangan
Gerakan Affirmasi (Affrimative
Action) dalam Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia
(Studi Tentang Hak Politik
Perempuan dalam Pemilihan
Umum 2009)
Nama
Pembimbing/Promotor Sefriani, SH., M.Hum
Dr. Drs. Muntoha, SH., M.Ag
Dr. Suparman Marzuki, SH., M.Si
40
B. Pengalaman Penelitian Dalam 5 Tahun Terakhir (Bukan Skripsi, Tesis, maupun
Disertasi)
No. Tahun Judul Penelitian
Pendanaan
Sumber* Jml (Juta
Rp)
1 2012
Potensi Kerawanan Tindak Pidana Perdagangan
orang dan Eksploitasi Seksual Anak di
Kecamatan Pajangan dan Kecamatan Dlingo
Kabupaten Bantul Tahun 2012
SAPA 5.000.000,-
2 2013
Potensi Kerawanan Tindak Pidana Perdagangan
Orang dan Eksploitasi Seksual Anak Tahun 2013
di Kecamatan Bantul, Jetis, Sanden dan
Srandakan Kabupaten Bantul
SAPA 10.000.000,-
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema penelitian DIKTI maupun dari sumber
lainnya.
C. Pengalaman Pengabdian Kepada Masyarakat dalam 5 Tahun Terakhir
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat
Pendanaan
Sumber* Jml (Juta
Rp)
1 2012
Advokasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Orang dan Eksploitasi Seksual Anak Tahun 2012 di
Kecamatan Dlingo dan Kecamatan Pajangan
SAPA 10.000.000,-
2 2013
Advokasi Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Orang dan Eksploitasi Seksual Anak Tahun 2013 di
Kecamatan Bantul, Jetis, Sanden dan Srandakan
Kabupaten Bantul
SAPA 20.000.000,-
* Tuliskan sumber pendanaan baik dari skema pengabdian kepada masyarakat DIKTI
maupun dari sumber lainnya.
D. Publikasi Artikel Ilmiah Dalam Jurnal dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal Volume/Nomor/Tahun
1
Harmonisasi Hukum
Nasional dan hukum Islam
dalam mencari Batasan
Usia Minimal Menikah
Bagi Anak
Jurnal Hukum Respublica Fakultas
Hukum Universitas Lanca Kuning Vol. 10, No.2, Mei
2011
2
Peraturan Daerah Vis a Vis
Peraturan Perundang-
Undangan (Fenomena
Marginalisasi Perempuan
dalam Perda Syari’at)
Jurnal Lensa Hukum Fakultas
Hukum Universitas Cokroaminoto
Yogyakarta
Vol. 5, 2011
3 Hukum dalam Pandangan
Feminisme guna
Jurnal Lensa Hukum Fakultas
Hukum Universitas Cokroaminoto Vol. 6, 2012
41
Mewujudkan
Pembangunan
Berprespektif Gender
Yogyakarta
4
Penerjemehan Affirmative
Action dalam Konstitusi
Guna Mendukung Hak
Politik Perempuan
Jurnal Lensa Hukum Fakultas
Hukum Universitas Cokroaminoto
Yogyakarta
Vol. 7, 2013
5
Kritikan Perkawinan Beda
Agama dalam Perspektif
Islam
Journal Academy of Education,
Jurnal Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Cokroaminoto
Yogyakarta
Vol 5, No. 1, Januari
2014
E. Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) dalam 5 Tahun Terakhir
No. Nama Pertemuan
Ilmiah/Seminar Judul Artikel Ilmiah Waktu dan Tempat
1
Penguatan FPK2PA Tingkat
Kecamatan dalam Pencegahan
dan Penanganan Korban
Kekerasan Berbasis Gender
serta Trafficking di Kabupaten
Bantul
Pelayanan Terpadu kepada
Korban Kekerasan Berbasis
Gender dan Trafficking
Parasmaya Komplek
Pemerintah Kabupaten
Bantul, 18 Nopember
2013
2
Pelatihan Pencegahan dan
Pelayanan terhadap Korban
Kekerasan Berbasis Gender
serta Trafficking
Pelayanan Terpadu kepada
Korban Kekerasan Berbasis
Gender dan Trafficking
dan
Pengantar tentang UU No.
21 Tahun 2007 tentang
Pemberantas Tindak Pidana
Perdagangan Orang
Parasmaya Komplek
Pemerintah Kabupaten
Bantul 26-28 Nopember
2013
3 Seminar “Meet the Practician
with The Real PR” Peran Humas dalam NGO
Prodi Ilmu Komunikasi
UMY, 23 Mei 2014
5
Workshop “Kesehatan
Reproduksi Remaja (KRR) dan
Perlindungan Anak bagi Pelajar
SMP se Kabupaten Bantul”
Pengantar Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak
Dan
Konvensi Hak Asasi Anak
4-5 September 2014
6
Diskusi “Proses Pendampingan
Perempuan dengan Disabilitas
Korban Kekerasan dalam Sisi
Hukum dan Psikologis”
Perlindungan Hukum bagi
Perempuan dan Anak
Penyandang Disabilitas
Korban Kekerasan
Jaringan Perempuan
Yogyakarta dan SAPDA,
14 Desember 2014
42
F. Karya Buku dalam 5 Tahun Terakhir
No. Judul Buku Tahun Jumlah
Halaman Penerbit
1 Panduan Pendampingan Hukum Bagi
Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan 2015 127
Sentra Advokasi
Perempuan Disabilitas dan
Anak
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila dikemudian hari ternyata dijumpai
ketidaksesuaian dengan kenyataan, saya siap menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan
dalam laporan akhir penelitian Hibah Kopertis Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta
Yogyakarta, 14 Oktober 2016
Anggota Peneliti,
Andrie Irawan, SH., MH
43
Lampiran 2 Surat ijin penelitian dari Pemerintah Daerah DIY
44
Lampiran 2 Surat ijin penelitian dari Pemerintah Daerah DIY
45
Lampiran 3 Biaya penelitian
Honor Peneliti
Honor Honor/jam (Rp) Waktu
(jam/minggu) Minggu
Rincian
Harga/biaya Bukti
Ketua 1.250 42 jam/minggu 16 minggu 840.000 Lampiran 4
Anggota 1.250 32 jam/minggu 16 minggu 640.000 Lampiran 4
Sub total (Rp) 1.480.000
Peralatan Penunjang dan bahan habis pakai
Material Justifikasi Pemakaian Kuantitas Harga Satuan
(Rp)
Rincian
Harga/biaya Bukti
Flashdisk 16 GB Penyimpanan data
penelitian 1 unit 100.000 100.000
Lampiran 4
Voice Recorder Alat rekam untuk
wawancara 1 unit 400.000 400.000
Lampiran 4
Pembelian kertas 4 rim 40.000 160.000 Lampiran 4
Pembelian cadtrige 2 buah 250.000 500.000 Lampiran 4
Sub total (Rp) 1.160.000
Perjalanan
Material Justifikasi Pemakaian Kuantitas
Harga Satuan
(Rp)
Rincian
Harga/biaya Bukti
Perjalanan ke
Komite Disabilitas
DIY
Biaya perjalanan dan
konsumsi untuk 2
orang guna
wawancara dan
ambil data penelitian
6 kali 50.000 300.000 Lampiran 4
Perjalanan ke
Dinsos DIY
Biaya perjalanan dan
konsumsi untuk 2
orang guna
wawancara dan
ambil data penelitian
3 kali 50.000 150.000 Lampiran 4
Perjalanan ke LSM
Biaya perjalanan dan
konsumsi untuk 2
orang guna
wawancara dan
ambil data penelitian
4 kali 50.000 200.000 Lampiran 4
Sub total (Rp) 650.000
Laporan akhir dan seminar hasil penelitian
Material Justifikasi Pemakaian Kuantitas Harga Satuan
(Rp)
Rincian
Harga/biaya Bukti
Konsumsi seminar
konsumsi berupa
snack dan makan
siang dalam kegiatan
50 orang 17.500 875.000 Lampiran 4
46
Uang transport
panitia
Uang transport
panitia untuk
mempersiapkan dana
pelaksanaan kegiatan
5 orang 30.000 150.000 Lampiran 4
Uang transpor juru
bahasa isyarat
Uang pengganti
untuk juru bahasa
isyarat karena ada
peserta seminar yang
tuli
1 orang 75.000 75.000 Lampiran 4
Uang transport
pembahas
Uang pengganti
transport pembahas
dalam memberi
masukan terhadap
hasil penelitian baik
dari Komite
Disabilitas DIY dan
ahli hukum lainnya
2 orang 200.000 400.000 Lampiran 4
Beli CD dan
burning CD
laporan akhir
Laporan akhir tidak
hanya dalam bentuk
hardfile/dicetak
tetapi juga dalam
bentuk softfile/dalam
bentuk CD untuk
dilaporkan ke pihak
terkait
2 keping 5.000 10.000 Lampiran 4
Laporan akhir
penelitian
Laporan akhir dijilid
untuk dilaporkan ke
pihak terkait
3 buku 50.000 200.000 Lampiran 4
Sub total (Rp) 1.710.000
Total (Rp) 5.000.000
47
Lampiran 4 Bukti pemanfaatan uang
48
49
50
51
52
53
Lampiran 6 Biodata pembahas penelitian
54
Lampiran 6 Biodata pembahas penelitian
55
Lampiran 5 Foto kegiatan diseminasi hasil penelitian
56
Lampiran 7 Kesepakatan bersama antara Komite Disabilitas DIY dan Polda DIY
57
58
59
60
61
62
63
DASAR HUKUM
UUD NKRI THN 1945 PASAL 27 AYAT(1)
UU NO 19 TAHUN 2011 TENTANG TATIFIKASI KONVENSI INTERNASIONAL HAK HAK PENYANDANG DISABILITAS
UU NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM
UU NO 7 THN 1984 TENTANG RATIFIKASI KONVENSI PERLINDUNGAN PEREMPUAN THD DISKRIMINASI
PERDA NO 3 TAHUN 2012 TENTANG
PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK
KORBAN KEKERASAN
PERDA NO 4 THN 2012 TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PEMENUHAN HAK HAK
PENYANDANG DISABILITAS
PERATURAN GUBERNUR DIY NO 31 TAHUN
2013 PERATURAN PELAKSANAAN PERDA NO 4
TAHUN 2012
PERATURAN GUBERNUR DIY NO 60 TAHUN
2014 TENTANG TATACARA PENYEDIAAN
BANTUAN HUKUM BAGI PENYANDANG
DISABILITAS
Latar belakang Masalah
Isu tentang penyadang disabiltas atau lain pihak menyebutnya kaum difabel (different ability) sebenarnya
merupakan isu yang sudah lama di Indonesia, dulu orang umum mengenalnya dengan istilah cacat yang
ternyata akrab di masyarakat.Beberapa pihak, mulai dari masyarakat awam sampai dengan pejabat
negeri ini yang juga masih belum mau merubah istilah untuk penyebutan penyandang cacat meskipun
sebenarnya pergeseran paradigma itu telah mulai ada sejak beberapa waktu yang lalu.
Padahal dengan penyebutan kata cacat yang berujung bentuk dari wujud diskriminasi sangat dilarang
dalam konstitusi Indonesia, karena secara eksplisit dijelaskan dalam pasal 28I ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tentunya menjadikan kewajiban tidak hanya
pemerintah tetapi juga seluruh warga negara Indonesia bahwa setiap warga negara Indonesia harus
bebas dari perilaku ataupun tindakan buruk tanpa terkecuali. Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif”
Pergeseran perubahan istilah cacat ternyata mengarah kepada hal yang lebih positif menjadi
penyandang disabilitas. Istilah ini dalam beberapa waktu terakhir ini yaitu semenjak Indonesia
meratifikasi konvensi penyandang disabilitas (convention on the right of person with disability/CRPD)
pada tahun 2011
Latar belakang Masalah Berbicara tentang perlindungan hukum terhadap penyadang disabilitas secara umum tentunya akan banyak hal
yang diuraikan, baik dari pemenuhan dan perlindungan hak sipil dan politik serta pemenuhan dan perlindungan
hak ekonomi, sosial dan budaya, namun ternyata dalam konvensi disabiltas ada beberapa hal menjadi perhatian
khusus, diantaranya tentang perempuan penyandang disabilitas karena sebagaimana dinyatakan dalam
konvensi disabiltas bahwa penyandang disabilitas perempuan dan anak
perempuan adalah rentan terhadap diskriminasi ganda
Bentuk ketimpangan gender berupa kekerasan terhadap perempuan penyandang disabilitas, sebagaimana data
Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kurang lebih 40 kasus kekerasan menimpa para perempuan
penyandang disabilitas di Indonesia dan 6 perempuan sebagai korban kasus kekerasan seksual yang
didampingi LBH APIK. Dari jumlah ini, hanya 1 kasus yang berlanjut ke pengadilan.Fakta ini hanya fenomena
gunung es, data sesungguhnya pasti lebih banyak
Penelitian yang dilakukan oleh Sentra Advokasi Perempuan Disabilitas dan Anak (SAPDA) pada tahun 2012 yang
berjudul “Menguak Tabir Kekerasan Terhadap Perempuan Difabel tahun 2009” dengan melibatkan 60
responden perempuan disabilitas baru dan berdomisili di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
diperoleh data hampir sebagian pelaku kekerasan adalah pasangan baik suami atau pacar dari responden
Data pelaporan yang diterima oleh Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak “Arum Dalu” Pemerintah
Kabupaten Bantul, Selama 3 tahun terakhir (2013-2015) P2TP2A “Arum Dalu” telah memberikan pelayanan bagi
10 korban penyandang disabilitas (1 laki-laki, 6 perempuan dewasa, 3 anak perempuan) dengan jenis
disabilitas: disabilitas netra (2 orang), disabilitas daksa (2 orang) dan disabilitas grahita (slow learner 1 anak,
retardasi mental 2 anak, 1 perempuan dewasa retardasi mental) dan disabilitas rungu wicara (2 perempuan
dewasa) dengan jenis kekerasan berupa seksual, fisik dan penelantaran rumah tangga
Rumusan Masalah
Bagaimana Peranan Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan?
Bagaimana upaya yang dilakukan oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan?
Hambatan apa saja yang dihadapi oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perlindungan Hukum bagi Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat gambaran faktual berbasis dari perundang-undangan yang berlaku tentang hak-hak penyandang disabilitas khususnya perempuan penyadang disabilitas dan anak perempuan penyandang disabilias korban kekerasan dengan melihat peran dari Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyadang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam bidang perlindungan hukum, adapun batasan utama dari tujuan ini adalah:
Mengetahui tentang Peranan Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam perlindungan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan
Mengetahui tentang upaya perlindungan hukum dan hambatan pelaksanaanya yang dihadapi oleh Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta
TUGAS KOMITE
Mediasi, komunikasi, dan informasi antara
Penyandang Disabilitas dan Pemerintah Daerah;
Menerima pengaduan dari Penyandang
Disabilitas yang mengalami kasus-kasus
diskriminasi; dan
Menindaklanjuti aduan dari Penyandang
Disabilitas
FUNGSI KOMITE
a. Memberikan usulan, pertimbangan dan rekomendasia.kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas;
b. Mendorong peningkatan partisipasi aktif Penyandang Disabilitas, keluarga dan masyarakat secara umum dalam pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan Penyandang Disabilitas;
c. Menerima, menampung dan menganalisa pengaduan serta mengkoordinasikan pembelaan secara litigasi dan/atau non litigasi;
d. Menyalurkan aspirasi Penyandang Disabilitas
kepada pihak-pihak terkait; dan
e. Membangun jaringan kerja dengan berbagai
pihak dalam upaya mengembangkan program-
program yang berkaitan dengan perlindungan dan
pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
PEREMPUAN DISABILITAS KORBAN
KEKERASAN DI DIY
pasal 58 huruf d joncto pasal 65 dan 66 Perda
Nomor 4 Tahun 2012 dinyatakan bahwa
penyandang disabilitas mendapatkan perlindungan
sosial yang dimaksudkan untuk mencegah dan
mengatasi risiko dari guncangan dan kerentanan
perlindungan sosial dilaksanakan melalui bantuan
sosial dan bantuan hukum.
KEWAJIBAN PEMDA/KOTA (PASAL 97
PERDA NO 4/2012)
a. Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota bekerjasama dengan Lembaga Bantuan Hukum tertentu untuk menyediakan pelayanan pendampingan hukum kepada Penyandang Disabilitas yang terlibat permasalahan hukum.
b. Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan penyandang disabilitas yang terlibat permasalahan hukum.
PELAYANAN THD PEREMPUAN DAN ANAK
KORBAN KEKERASAN (PASAL 33 PERDA
NO 3/2012
pelayanan pengaduan, konsultasi, dan konseling;
pelayanan pendampingan;
pelayanan kesehatan;
pelayanan rehabilitasi sosial;
pelayanan hukum; dan
pelayanan pemulangan dan reintegrasi sosial.
FOKUS PENELITIAN
PERLINDUNGAN HUKUM YG BERUPA pelayanan hukum bagi perempuan disabilitas korban kekerasan berupa membantu korban dalam menjalani proses peradilan dengan cara Pasal 38 Perda No 3/2012) ;
a. memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan
b. mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan yang dialaminya;
c. melakukan koordinasi dengan sesama penegak
hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial
agar proses peradilan berjalan sebagaimana
mestinya.
KESIMPULAN
1. PERAN KOMITE DLM PERLINDUNGAN BAGI PEREMPUAN DISABILITAS KORBAN KEKERASAN YAITU :
a. Memantau kasus yang sedang ditangani penegak hukum untuk memastikan penyandang Disabilitas diperlakukan secara adil dan dipenuhi kebutuhan aksesibilitasnya (cara komunikasi, akses Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dan lain-lain)
b. Memastikan Penyandang disabilitas yang
menjadi korban tindak pidana, kasusnya diproses
secara hukum.
c. Bekerja sama dengan organisasi bantuan hukum
dalam mendampingi Penyandang Disabilitas yang
menjadi korban tindak pidana
DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PERAN TSB
KOMITE MEMPUNYAI MEKANISME SBB :
a. Mekanisme pengaduan: Penyandang Disabilitas, kelurga, atau pihak lainnya (organisasi dan masyarakat umum) dapat menyempaikan aduan secara tertulis, lisan atau menggunakan bahasa isyarat ke kantor Komite. Aduan juga dapat disampaikan melalui email, telepon, SMS, WA, dan media sosial lainnya (tidak harus datang ke kantor, selanjutnya Komite yang akan proaktif mendatangi Penyandang Disabilitas).
b. Mekanisme pendampingan: pendampingan dilakukan setelah ada pengaduan dan penyandang disabilitas atau yang mewakili mengisi formulir pengaduan. Untuk kasus yang ada aspek pelanggaran hak penyandang disabilitas maka Komite langsung menindaklanjuti dengan melakukan pendampingan sesuai dengan kebutuhan penyelesaian kasus. Untuk aduan yang tidak ada kaitannya dengan pelanggaran hak penyandang disabilitas, maka Komite melimpahkan ke Organisasi/ Lembaga lainnya yang sesuai.
2. UPAYA KOMITE DLM PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DISABILITAS KORBAN KEKERASAN
a. melakukan kesepakatan bersama antara Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta tentang Penyelenggaraan Layanan Perlindungan dan Pemenuhak Hak bagi Penyandang Disabilitas di Daerah Istimewa Yogyakarta, tertanggal 28 September 2015. Namun kesepakatan bersama yang dimaksud masih sangat umum bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum baik korban maupun pelaku, sedangkan khusus bagi perempuan disabiltas korban kekerasan, Komite Disabilitas DIY dalam kebijakan internalnya akan memberikan perhatian khusus diantaranya mensosialisasikan kepada para pemangku kepentingan agar membantu dan memberikan dukungan kepada perempuan disabilitas korban kekerasan termasuk juga bagi pihak kepolisian.
3. HAMBATAN YG DIHADAPI KOMITE DLM PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DISABILITAS KORBAN KEKERASAN
a. Internal korban:
Sebagian korban, keluarga korban, bahkan masyarakat masih ada yang menghendaki supaya kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas tidak diproses secara hukum dengan alasan malu, merepotkan, dan pesimis untuk mendapatkan keadilan.
b. Eksternal korban
Masyarakat masih menganggap penyandang disabilitas sebagai kelompok yang tidak terlalu penting diperhatikan sehingga apabila terjadi kekerasan apalagi kekerasan tersebut terjadi kepada perempuan disabilitas cenderung kurang diperhatikan.
Penegak hukum tidak memahami bagaimana berkomunikasi dengan penyandang disabilitas dengan berbagai ragam disabilitasnya (terutama disabilitas intelektual, tuli, dan netra)
Aksesibilitas (fisik maupun nonfisik) bagi penyandang disabilitas di institusi penegak hukum masih kurang ketika mereka ingin mengakses keadilan tentunya makin sulit.
SARAN
Sebaiknya Komite Perlindungan dan Pemenuhan
Hak-hak Penyandang Disabilitas Daerah
Istimewa Yogyakarta lebih membangun jejering
dan komunikasi dengan lembaga-lembaga
penyedia layanan bagi perempuan disabilitas
korban kekerasan sehingga peran komite
khususnya dalam perlindungan hukum dapat
berjalan dengan lebih efektif lagi
Perlu adanya sosialisasi perihal mekanisme pengaduan dan pendampingan kepada masyarakat umum dan lembaga-lembaga penyedia layanan bagi perempuan disabilitas korban kekerasan serta mekanisme monitoring terhadap kasus-kasu yang dilaporkan
Catatan akhir, penelitian ini diajukan pada Maret 2016 dimana saat itu Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas masih berstatus RUU dan penelitian ini selesai saat perundangan yang dimaksud baru juga selseai diundangkan
KEBERADAAN KOMITE HAK DIFABEL DIY
OLEH
DRS. SETIA ADI PURWANTA, MPD
RANAH ADVOKASI
1. content of pilicy ( isi kebijakan)
2. structure of policy (tata laksana dan penegakan kebijakan)
3. culture of policy (kultur/ kesadaran kebijakan)
HAK ASASI MANUSIA
Merupakan hak asasi setiap orang/ warga negara yang harus dihormati, dilindungi, dipenuhi, dan dimajukan oleh negara
Pemerintah sebagai penyelenggara negara berkewajiban menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukan hak asasi setiap warga negaranya.
Hak asasi manusia merupakan area relasi antara pemerintah sebagai penyelenggara negara dengan warga negara
CONTENT OF POLICY (ISI KEBIJAKAN)
KEBIJAKAN
EKSEKUTIF LEGISLATIF
MASYARAKAT DIFABEL
STRUCTURE OF POLICY (TATA LAKSANA & PENEGAKAN KEBIJAKAN)
KEBIJAKAN
EKSEKUTIF
(pemenuhan dan
penghormatan
hak asasi)
YUDIKATIF
(perlindungan dan
penghormatan hak
asasi)
MASYARAKAT DIFABEL
CULTURE OF POLICY (KESADARAN KEBIJAKAN)
KEBIJAKAN
EKSEKUTIF
(sosialisai dan
kesadaran
masyarakat)
YUDIKATIF
(kesadaran kebijakan)
MASYARAKAT DIFABEL
KEBERADAAN KOMITE HAK DIFABEL DALAM PROSES LEGISLASI
KEBIJAKAN
EKSEKUTIF LEGISLATIF
MASYARAKAT DIFABEL
KOMITE HAK DIFABEL
KEBERADAAN KOMITE HAK DIFABEL DALAM TATA LAKSANA KEBIJAKAN
KEBIJAKAN
EKSEKUTIF YUDIKATIF
MASYARAKAT DIFABEL
KOMITE HAK DIFABEL
LEGISLATIF
KEBERADAAN KOMITE HAK DIFABEL DALAM KESADARAN KEBIJAKAN
KEBIJAKAN
EKSEKUTIF YUDIKATIF
MASYARAKAT DIFABEL
KOMITE HAK DIFABEL
TERIMAKASIH
M. Syafi’ie, S.H., M.H
Membaca Penelitian : Peran, Upaya
dan Hambatan Komite Disabilitas DIY
Untuk Melindungi Perempuan
Disabilitas Korban Kekerasan
Pengantar
Penelitian Peran Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dalam melindungi perempuan disabilitas korban kekerasan merupakan aktivitas yang cukup berharga mengingat komite merupakan lembaga pengaduan dan pengawasan terhadap ragam pelanggaran hak difabel yang telah diatur dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012. Pada pada sisi yang lain, kekerasan terhadap perempuan difabel sampai saat ini masih terhitung banyak dan seringkali tidak terselesaikan secara sistemik
Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas merupakan mandat Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012; telah ditetapkan tanggal 17 Mei 2013 dan dikukuhkan tanggal 2 Desember 2014 melalui Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 31 Tahun 2013 tentang Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
Membaca Komite Disabilitas dan kasus kekerasan terhadap perempuan di sisi yang lain merupaka dua bahasan yang saling terkait. Walau pun secara isu dan kelembagaan, penanganan terhadap perempuan korban kekerasan akan begitu banyak lembaga yang saat ini terlibat menanganinya
Komite Bagian Lembaga HAM?
Komite Disabilitas biasa kita sebut, kita melihatnya akan „mirip‟ seperti lembaga-lembaga “HAM” yang bertugas mengawasi dan menerima pengaduan pelanggaran hak publik seperti Komisi Nasional HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap perempuan, Ombudsman, dan beberapa lembaga yang lain.
Lembaga-lembaga HAM umumnya berfungsi sebagai pendidikan, pemantauan, penelitian dan mediasi, sehingga hak asasi manusia bisa dihargai, dihormati, dijunjung tinggi, dan dipenuhi. Lembaga-lembaga HAM memiliki mekanisme masing-masing, bergantung pada instumen hukum yang memandatkannya
Sebagai lembaga publik dan mengawasi pemenuhan hak, lembaga HAM mendasarkan pada prinsip-prinsip Paris, dimana eksistensinya berdiri netral antara pemerintah dan masyarakat sipil. Prinsip paris memandatkan syarat independensi independesi
Lembaga-lembaga HAM dibentuk agar dapat memantau, meneliti, memediasi dan mendorong pemajuan pemenuhan hak yang dimiliki setiap orang, di mana pemangku kewajiban penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak tersebut ialah pemerintah/negara (UUD 1945, ICCPR, ICESCR, CRPD)
Lanjutan…
Bagaimana dengan Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak
Penyandang Disabilitas? Lembaga ini cukup strategis karena
merupakan mandat Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 2012
tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas.
Dalam Perda ini diatur hak-hak difabel dengan sangat lengkap.
Pengaturan hak-hak difabel dalam Perda ini bahkan menyamai
kelengkapan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang negara
Indonesia juga telah meratifikasinya.
Lalu siapa yang mengawal Perda yang bagus ini? Komite Perlindungan
dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas yang paling diharapkan.
Komite seperti mandat Perda bertugas sebagai lembaga koordinasi dan
komunikasi pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang
Disabilitas dilaksanakan oleh lembaga Pemerintah Daerah, organisasi
sosial dan masyarakat.
Lanjutan.. Komite Disabilitas berfungsi, pertama, mediasi komunikasi dan informasi dari
penyandang disabilitas kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya. Kedua, menerima pengaduan Penyandang Disabilitas yang mengalami kasus-kasus diskriminasi. Ketiga, menindaklanjuti aduan dari Penyandang Disabilitas
Komite memiliki kewenangan strategis, pertama, memberikan usulan, pertimbangan dan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas. Kedua, mendorong peningkatan partisipasi aktif Penyandang Disabilitas, keluarga dan masyarakat secara umum dalam pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan Penyandang Disabilitas. Ketiga, menerima, menampung, dan menganalisa pengaduan serta mengkoordinasikan pembelaan secara litigasi dan/atau non-litigasi. Keempat, menyalurkan aspirasi Penyandang Disabilitas kepada pihak-pihak terkait; dan Kelima, membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak dalam upaya mengembangkan program-program yang berkaitan dengan perlindungan dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.
Dengan fungsi dan kewenangan di atas, yang menjadi pertanyaan sejauhmana struktur keanggotaan Komite, khususnya yang berasal dari unsur pemerintah daerah dan penegak hukum yang nota bene aparat negara efektif (PNS) bekerja mengawal dan memproses pelanggaran hak yang menimpa difabel? Karena dalam kajian kelembagaan HAM, yang diawasi soal pemenuhan hak ialah tanggungjawab pemerintahnya dan independensi person yang ada di lembaga HAM menjadi sangat fundamental.
Perempuan Difabel Korban Kekerasan
Perempuan korban kekerasan menjadi persoalan serius yang dihadapi Indonesia saat ini. Survei IMAGES (International Men and Gender Equality Survey) terhadap 2.500 lebih laki-laki yang dilakukan di tiga wilayah di Indonesia, Jakarta, Purworejo dan Jayapura tahun 2012/2013 menyatakan bahwa 25,7 % - 60,2 % laki-laki mengaku pernah melakukan kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan pasangan intimnya.
Laporan Komnas Perempuan yang dihimpun dari berbagai lembaga layanan di Indonesia sejak tahun 2001 hingga 2014 mencatat kasus KTP setiap tahunnya dengan kecenderungan jumlah yang meningkat dari tahun ke tahun, yaitu 3.169 kasus pada tahun 2001 menjadi 293.220 pada tahun 2014. Sebagian besar atau lebih dari 90 % kasus KTP tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga.
Perempuan difabel korban kekerasan? Pasti jumlahnya sangat banyak. Karena perempuan difabel kalau kita telaah lebih rentan daripada perempuan non difabel. Dan kesadaran akan hak-hak dan berani melapor pada institusi pengaduan publik juga masih lemah. Situasi tersebut menjadi tantangan lembaga-lembaga pengaduan saat ini, yaitu terkait kesadaran akan pentingnya untuk mengadu, melapor dan memperjuangkan hak-haknya agar bebas dari kekerasan
Membaca Penelitian
Penelitian ini hendak menggali peranan, upaya dan hambatan Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perlindungan Hukum bagi Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan
Secara umum penelitian sangat bermanfaat untuk perbaikan sistem dan tata kelola Komite, yaitu agar Komite dapat keluar dari ragam hambatan-hambatannya yang selama ini melemahkan kinerja komite.
Hambatannya bisa muncul dari para pelapor/perempuan difabel korban kekerasan, atau hambatan itu muncul dari sistem yang lebih luas : mulai norma-norma hukum, paradigm aparat penegak hukum, sistem pengaduan komite, proses dan penyelesaian pengaduan, sarana prasarana, bantuan hukum, kerjasama kelembagaan dengan lembaga hukum, sampai dengan perlunya kemitraan dengan gerakan sosial yang bergerak pada advokasi dan pemantauan kasus difabel korban kekerasan
Penelitian ini berkepentingan untuk membongkar pernak-pernik hambatan yang lebih spesifik, sistemik dan lebih luas agar eksistensi Komite kedepannya dapat bekerja secara efektif dalam menangani kasus-kasus perempuan difabel korban kekerasan. Apalagi Komite Disabilitas bukanlah lembaga pengaduan satu-satunya yang menangani kasus perempuan difabel korban kekerasan
Lanjutan..
Terkait dengan peran dan upaya Komite, penelitian ini telah menguraikannya
sesuai dengan standar operasional fungsi dan kewenangan yang dimiliki
Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Namun
demikian, perlu penggalian lebih spesifik dan sistemik terkait bagaimana
peran dan upaya Komite sebenarnya untuk mendampingi, memproses dan
menciptakan standar yang spesifik dalam sistem terkait perlindungan
perempuan difabel yang menjadi korban kekerasan
Kita tahu, „perempuan difabel korban kekerasan‟ memiliki karakteristik,
keunikan dan proses hukum yang relatif berbeda dengan perempuan non
difabel yang menjadi korban kekerasan. Hambatan-hambatan yang khas
dimiliki difabel menjadi pembeda tersendiri. Kajian dan dorongan substansi
terkait perempuan difabel korban kekerasan penting dilakukan, serta
dorongan mikanisme hukum yang fair bagi perempuan difabel korban
kekerasan sangat penting ditelaah, sesuai dengan kewenangan Komite yang
begitu strategis di daerah Yogyakarta
Lanjutan..
Ada beberapa hal juga yang perlu dilihat kembali dari draf penelitian ini :
1. Penelitian masih menyebut bahwa Komite Disabilitas di tingkat pusat belum ada (hlm 4). Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Komite di tingkat nasional sudah ada, namanya Komisi Nasional Disabilitas (Pasal 131). Secara kelembagaan KND ialah non struktural dan bersifat independen.
2. Rumusan masalah penelitian ini mengangkat perihal „peranan‟ dan „upaya‟ Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Perlindungan Hukum bagi Perempuan Disabilitas Korban Kekerasan. Sepertinya perlu penjelasan lebih spesifik makna, terminologi dan maksud pembeda telaah dari keduanya.
3. Dari rumusan tujuan penelitian, belum ditulis terkait tujuan rumusan ketiga terkait hambatan-hambatan yang dihadapi Komite
Secara umum, penelitian ini cukup berharga untuk perbaikan tata kelola Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta. Apresiasi sepenuhnya atas penelitian ini.