Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke · PDF fileEfektifitas Pemberian...

73
Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat Melalui Pendekatan Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau Tri Widodo, Suharman, Widodo Hariyono ............................................................................................... 1 Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia ................................................................................. 12 Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen di ICU RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto Budi Widiyanto, S. Hudijono ..................................................................................................................... 20 Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial Kepala Ruang terhadap Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Untung Halajur, Berthiana Tinse .............................................................................................................. 29 Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Reny Sulistyowati, Barto Mansyah ............................................................................................................. 38 Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Kanker Payudara Di RSUD dr Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2011 Arainiati, Legawati, Noordiati ................................................................................................................... 48 Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi di Palangka Raya Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia ................................................................................ 56 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perubahan Konsep Diri : Harga Diri Pada Lansia Di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya Syam’ani, Reny Sulistyowati, Untung Halajur ......................................................................................... 62

Transcript of Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke · PDF fileEfektifitas Pemberian...

Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat Melalui Pendekatan

Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau

Tri Widodo, Suharman, Widodo Hariyono ............................................................................................... 1

Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke

Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia ................................................................................. 12

Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen di ICU

RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto

Budi Widiyanto, S. Hudijono ..................................................................................................................... 20

Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial Kepala Ruang terhadap Pelaksanaan Manajemen

Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Untung Halajur, Berthiana Tinse .............................................................................................................. 29

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam

Pemberian Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Reny Sulistyowati, Barto Mansyah ............................................................................................................. 38

Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Kanker Payudara

Di RSUD dr Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2011

Arainiati, Legawati, Noordiati ................................................................................................................... 48

Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi di Palangka Raya

Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia ................................................................................ 56

Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perubahan Konsep Diri : Harga Diri Pada Lansia

Di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya

Syam’ani, Reny Sulistyowati, Untung Halajur ......................................................................................... 62

TIM REDAKSI

Jurnal Ilmiah Forum Kesehatan Politeknik Kesehatan

Kementerian Kesehatan Palangka Raya

Tim Penyunting :

Penanggung Jawab : Santhy K. Samuel, S.Pd, M.Kes

Redaktur : Iis Wahyuningsih, S.Sos

Editor : Vissia Didin Ardiyani, SKM, MKM

Tim Pembantu Penyunting :

Penyunting Pelaksana : Erma Nurjanah Widiastuti, SKM

Pelaksana TU : 1. Deddy Eko Heryanto, ST

2. Daniel, A.Md.Kom

3. Arizal, A.Md

Tim Mitra Bestari :

1. Prof. Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., MARS Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia

2. Prof. Rr. Tutik Sri Hariyanti, S.Kp., MARS Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia

3. Djazuly Chalidyanto, SKM, MARS Fakultas Kesehatan Malang

Universitas Airlangga

Alamat Redaksi :

Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Jalan George Obos No. 32 Palangka Raya 73111- Kalimantan Tengah

Telepon/Fax : 0536 – 3230730, 3221768

Email : [email protected], [email protected]

Website : www.poltekkes-palangkaraya.ac.id

Terbit 2 (dua) kali setahun.

PENGANTAR REDAKSI

Salah satu tugas utama dari lembaga pendidikan tinggi sebagaimana tercantum dalam

Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah melaksanakan penelitian. Agar hasil-hasil penelitian

dan karya ilmiah lainnya yang telah dilakukan oleh civitas akademika Politeknik Kesehatan

Kemenkes Palangka Raya lebih bermanfaat dan dapat dibaca oleh masyarakat, maka

diperlukan suatu media publikasi yang resmi dan berkesinambungan.

FORUM KESEHATAN merupakan Jurnal Ilmiah sebagai Media Informasi yang

menyajikan kajian hasil-hasil penelitian, gagasan dan opini serta komunikasi singkat maupun

informasi lainnya dalam bidang ilmu khususnya keperawatan, kebidanan, gizi, dan umumnya

bidang ilmu yang berhubungan dengan kesehatan.

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya

berkat bimbingan dan petunjuk-Nyalah upaya untuk mewujudkan media publikasi ilmiah

Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya yang diberi nama FORUM KESEHATAN

volume kedua nomor keempat ini dapat terlaksana. Dengan tekat yang kuat dan kokoh, kami

akan terus lebih memacu diri untuk senantiasa meningkatkan kualitas tulisan yang akan

muncul pada penerbitan – penerbitan selanjutnya.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes

Palangka Raya sebagai Penanggung Jawab serta Dewan Pembina yang telah memberikan

kepercayaan dan petunjuk kepada redaktur hingga terbitnya FORUM KESEHATAN Volume

III Nomor 5, Pebruari 2013 ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan

kepada Dewan Redaksi dan Tim Mitra Bestari yang telah meluangkan waktunya untuk

mengkaji kelayakan beberapa naskah hasil penelitian/karya ilmiah yang telah

disampaikan kepada redaksi.

Kepada para penulis yang telah menyampaikan naskah tulisannya disampaikan

penghargaan yang setinggi-tingginya dan selalu diharapkan partisipasinya untuk mengirimkan

naskah tulisannya secara berkala dan berkesinambungan demi lancarnya penerbitan FORUM

KESEHATAN ini selanjutnya.

Akhirnya, semoga artikel-artikel yang dimuat dalam FORUM KESEHATAN volume

kedua nomor keempat ini dapat menambah wawasan dan memberikan pencerahan bagai

lentera yang tak kunjung padam. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat

diharapkan demi penyempurnaan penerbitan selanjutnya.

Tim Redaksi

DAFTAR ISI

Hal.

Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat Melalui Pendekatan

Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau

Tri Widodo, Suharman, Widodo Hariyono .................................................................. 1

Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke

Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia .................................................... 12

Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi

Oksigen di ICU RSUD Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Margono Soekarjo

Hospital, Purwokerto

Budi Widiyanto, S. Hudijono ........................................................................................ 20

Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial Kepala Ruang terhadap

Pelaksanaan Manajemen Asuhan Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD

dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Untung Halajur, Berthiana Tinse ................................................................................. 29

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’

Dalam Pemberian Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD

dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Reny Sulistyowati, Barto Mansyah ............................................................................... 38

Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan Kejadian Kanker

Payudara Di RSUD dr Doris Sylvanus, Palangka Raya, 2011

Arainiati, Legawati, Noordiati ...................................................................................... 48

Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi

di Palangka Raya

Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia .................................................. 56

Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perubahan Konsep Diri : Harga Diri

Pada Lansia Di Kecamatan Jekan Raya Kota Palangka Raya

Syam’ani, Reny Sulistyowati, Untung Halajur ........................................................... 62

Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

ARTIKEL PENELITIAN

1

Partisipasi Masyarakat Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat

Melalui Pendekatan Mpa-Phast Di Kabupaten Pulang Pisau

Community Participation In Hygienic And Healthy Behavior Through Mpa-Phast

Aproach At District Of Pulang Pisau

Tri Widodo1, Suharman

2, Widodo Hariyono

3

1. Dinas Kesehatan Pulang Pisau, Kalteng, 2..Rural and Regional Research Center, UGM

3.FKM, Universitas Ahmad Dahlan

Abstrak. Kemiskinan, kebersihan lingkungan dan sanitasi dapat membawa dampak buruk bagi

kesehatan masyarakat. Untuk mencegah beberapa upaya perbaikan harus dibuat. Upaya yang telah

dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pulang Pisau untuk meningkatkan PHBS adalah dengan

melibatkan masyarakat untuk meningkatkan kebersihan lingkungan dan sanitasi. Di Kabupaten

Pulang Pisau persentase PHBS masih relatif rendah (17%). Melalui proyek pelayanan air bersih

(CWSHP) melalui pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan pendekatan MPA PHAST-. Tujuan

dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi perbedaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

keluarga di desa yang berpartisipasi dalam MPA PHAST-dan mereka yang tidak menerima MPA

PHAST di Kecamatan Pandih Batu dan Maliku Kabupaten Pulang Pisau. Penelitian ini

menggunakan pendekatan kuantitatif-kualitatif dan eksperimen semi post test dengan

membandingkan group design. Sampel terdiri dari 294 kepala keluarga diambil dengan teknik

proportional random sampling dari delapan desa, empat desa mendapat MPA-PHAST di Kecamatan

Pandih Batu (Talio Muara, Talio Hulu), Kecamatan Maliku (Tahai Jaya, Tahai Baru) dan empat desa

yang tidak mendapatkan MPA-PHAST di Kecamatan Pandih Batu (Pangkoh Sari, Pangkoh Hilir),

Kecamatan Maliku (Buntoi, Maliku). Tidak ada perbedaan pengetahuan tentang PHBS dan perilaku

cuci tangan keluarga di desa yang mendapat MPA PHAST-dan mereka yang tidak MPA PHAST-

dengan p> 0,05 (0,536 dan 0,050). Ada perbedaan perilaku penyediaan air bersih dan penggunaan,

toileting di tempat yang tepat, sanitasi lingkungan, dan pengetahuan tentang sanitasi lingkungan

keluarga di desa yang mendapat MPA PHAST-dan mereka yang tidak MPA PHAST-dengan p <0,05

(0,000; 0,001, 0,000, dan 0,000). Para keluarga di desa yang mendapat pemberdayaan melalui MPA-

PHAST umumnya lebih baik daripada keluarga yang tidak.

Kata kunci: kebersihan, sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat, tokoh masyarakat,

MPA-PHAST

Abstract. Poor environmental hygiene and sanitation can bring bad impact to public health. In order

to that prevent that efforts for improvement have to be made. An effort that has been made by Pulang

Pisau District of Health Office to improve PHBS is involving the community to increase

environmental hygiene and sanitation. At District of Pulang Pisau the percentage of PHBS is still

relatively low (17%). Through the project of community water services and health (CWSHP)

community empowerment is undertaken using MPA-PHAST approach. The objective of the study

was to identify the difference in PHBS of the family in the village that participated in MPA-PHAST

and those that did not receive MPA-PHAST at Sibdistrict of Pandih Batu and Maliku District of

Pulang Pisau. The study used quantitative-qualitative approach and quasi experiment post test with

compare group design. Samples consisted of 294 heads of the family taken with proportional

random sampling technique from eight villages; four villages got MPA-PHAST at Subdistrict of

Pandih Batu (Talio Muara, Talio Hulu), Subdistrict of Maliku (Tahai Jaya, Tahai Baru) and four

villages that did not get MPA-PHAST at Subdistrict of Pandih Batu (Pangkoh Sari, Pangkoh Hilir),

Subdistrict of Maliku (Buntoi, Maliku). There was no difference in knowledge on PHBS and

behavior of handwashing of the family at the village that got MPA-PHAST and those without MPA-

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

2

PHAST with p > 0.05 (0.536 and 0.050). There was difference in behavior of clean water provision

and use, toileting in the proper place, environmental sanitation, and knowledge about environmental

sanitation of the family in the village that got MPA-PHAST and those without MPA-PHAST with p

< 0.05 (0.000; 0.001; 0.000; and 0.000). The of family in the village that got empowerment through

MPA-PHAST generally better than the family that did not.

Keywords: hygiene, environmental sanitation, hygienic and healthy behavior, community

empowerment, MPA-PHAST

Pendahuluan

Data dari World Health Organization

(WHO)(1)

, menunjukkan bahwa kira-kira 3,1%

kematian (1,7 juta) dan 3,7% disability adjusted

life years (DALYs) (54,2 juta) disebabkan oleh

air yang tidak layak konsumsi, sanitasi dan

hygiene. Di Afrika dan negara berkembang di

Asia Tenggara, 4-8% penyakit disebabkan oleh

faktor tersebut. Lebih dari 99,8% kematian juga

disebabkan oleh faktor tersebut ,dan 90% nya

yang meninggal adalah anak-anak.

Departemen Kesehatan Republik

Indonesia melalui Program Perilaku Hidup

Bersih dan Sehat (PHBS) mengajak masyarakat

agar menyadari akan pentingnya berperilaku

hidup sehat(2)

. Perilaku hidup bersih dan sehat

di Kalimantan Tengah masih di bawah nasional

(38,7%) yaitu sebesar 33,0%(3)

.

Melalui Direktorat Jenderal Pengendalian

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

Departemen Kesehatan Republik Indonesia (P2

dan PL Depkes RI) tahun 2003 dibentuklah

proyek Community Water Services and Health

Project

(CWSHP)(4)

. Kabupaten Pulang Pisau

merupakan salah satu daerah yang ikut dalam

CWSHP. Proyek CWSHP Pulang Pisau ini

dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan

Methodology for Participatory Assessment-

Participatory Hygiene and Sanitation

Transformation (MPA-PHAST)(5,6)

. Sebagai

tahap awal pelaksanaan kegiatan pemberdayaan

dengan MPA-PHAST dilakukan di 4 desa dalam

2 kecamatan yang telah menyetujui persyaratan

yang diberikan oleh proyek.

Masyarakat yang ikut kegiatan ini adalah

keluarga yang termasuk dalam ekonomi

golongan menengah ke bawah. Dipilihnya

kelompok tersebut karena keluarga yang

berperilaku tidak sehat dalam

hygiene dan sanitasi lingkungan terbanyak

(83%) adalah keluarga ekonomi menengah ke

bawah(7)

. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan dan

perilaku keluarga yang ikut dalam

pemberdayaan dengan metode MPA-PHAST

dengan yang tidak ikut dalam pemberdayaan

dengan metode MPA-PHAST dalam ber- PHBS

dan sanitasi lingkungannya di Kecamatan

Pandih Batu dan Maliku Kabupaten Pulang

Pisau.

Metodologi Pada penelitian ini digunakan metode

kuantitatif - kualitatif, dengan rancangan

penelitian eksperimen semu setelah intervensi

dengan pembanding (quasi experimenl post test

only with compare design).Metode kualitatif

dilakukan untuk mendukung jawaban dari

metode kuantitatif. Penelitian dilakukan Di

Kecamatan Maliku dan Pandih Batu Kabupaten

Pulang Pisau dilaksanakan pada bulan

November 2009– Januari 2010 dengan

pertimbangan di 2 kecamatan tersebut terdapat

desa yang sudah mengikuti pemberdayaan

melalui pendekatan MPA-PHAST. Dua desa di

Kecamatan Maliku yaitu desa Tahai Jaya dan

Tahai Baru, dan dua desa di Kecamatan Pandih

Batu adalah Desa Talio Hulu dan Talio Muara.

Populasi penelitian ini adalah semua keluarga

yang ikut pemberdayaan melalui MPA-PHAST

di Kecamatan Maliku dan Pandih Batu pada

tahun 2008. Subjek Penelitian adalah kepala

keluarga ikut dalam pemberdayaan dengan

MPA-PHAST. Sampel pada penelitian ini

sebanyak 308 kepala keluarga (KK) yang terdiri

dari 154 KK yang ikut pemberdayaan dengan

MPA-PHAST dan 154 KK yang tidak ikut. Data

primer adalah data perilaku cuci tangan dengan

air bersih dan sabun, penyediaan dan

penggunaan air bersih, BAB di jamban, sanitasi

lingkungan dan data tingkat pengetahuan PHBS

dan sanitasi lingkungan. Pengumpulan data

menggunakan kuesioner, checklist, dan

wawancara singkat dengan beberapa responden,

Satker CWSHP dan tenaga kesehatan setempat.

Setelah data dikumpulkan lalu diberikan kode

1

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

3

yang bertujuan untuk memudahkan dalam

tabulasi data.Selanjutnya dilakukan editing data

dan kemudian dianalisis.Data dianalisis secara

kuantitatif secara univariat, dan bivariat. Untuk

analisis uji statistik yang digunakan adalah uji

independent t-test, untuk data berdistribusi

normal dan Mann Whitney test bila data tidak

berdistribusi normal.

Hasil Penelitian

Pelaksanaan penelitian

Subjek penelitian pada awal penelitian

adalah 308 KK untuk kelompok yang

mendapatkan MPA-PHAST 154 KK dan 154 KK

yang tidak mendapatkan. Ada 14 KK yang drop

out yaitu 7 KK dari kelompok yang

mendapatkan MPA-PHAST dan 7 KK yang

tidak mendapatkan. Dari 308 KK setelah

dikurangi yangdrop out yang disebabkan

responden pindah rumah dan tidak bersedia

untuk diwawancarai, subjek penelitian menjadi

berjumlah 294 KK.

Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik yang ditampilkan meliputi

jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan,

pekerjaan responden, dan pendapatan keluarga

yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang

tidak (Tabel 1).

Perbedaan tingkat pengetahuan PHBS

antara keluarga yang mendapatkan MPA-

PHAST dengan keluarga yang tidak

mendapatkan

Tabel 2 dapat dinyatakan bahwa tingkat

pengetahuan PHBS desa yang mendapatkan

MPA-PHAST yang berkategori baik lebih

banyak daripada yang tidak mendapatkan (79

KK dan 76 KK). Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan

PHBS keluarga yang mendapatkan MPA-

PHAST dengan keluarga yang tidak

mendapatkan, dengan nilai p hitung = 0,536

lebih besar dari p tabel (0,05).

Untuk mengetahui penyebab hal tersebut

terjadi, dilakukan wawancara terhadap

responden, petugas kesehatan dan satker

CWSHP.Wawancara dilakukan terhadap

responden yang tidak mendapatkan MPA-

PHAST. Mereka mengatakan meskipun tidak

mendapatkan MPA-PHAST, mereka

memperoleh pengetahuan PHBS dari petugas

kesehatan yang setiap bulan melakukan

penyuluhan kepada masyarakat tentang cara

berperilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan

masyarakat yang mendapatkan pemberdayaan

melalui pendekatan MPA-PHAST ketika ditanya

tentang pengetahuan PHBS merasa dirinya tidak

mampu.

“…setiap bulan kami mendapatkan

penyuluhan tentang kesehatan oleh bu

bidan di sini pak…setiap ada kegiatan

posyandu...” (R1DT,15-01-2010)

“…kami ini dhedhel pak (bodoh

pak)…SD saja tidak tamat…belum

mikir pekerjaan kami diladang untuk

bertahan hidup…ya namanya orang

miskin pak…”(R2DP,10-01-2010)

Dengan promosi yang dilakukan melalui

penyuluhan secara berulang-ulang, pengetahuan

tentang PHBS keluarga yang tidak mendapatkan

MPA-PHAST ternyata tidak jauh berbeda

dengan yang mendapatkan.Selain itu,

pendidikan formal juga memegang peranan

penting bagi seseorang untuk menerima

pengetahuan atau hal yang baru.

Tabel 1.

Karakteristik RespondenYang Mendapatkan MPA-PHAST dan Tidak Mendapatkan MPA-PHAST di

Kecamatan Pandih batu dan Maliku Tahun 2010

Karekteristik Responden

Jumlah KK Desa

Persentase

(%) Tidak

mendapatkan

MPA-PHAST

Mendapatkan

MPA-PHAST

Umur

< 36 tahun 27.2 22.4 24,8

36 – 55 tahun 48.3 53.7 51

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

4

> 55 tahun 24.5 23.8 24,1

Jenis Kelamin

Laki-laki 71.4 88.4 79,9

Perempuan 28.6 11.6 20,1

Tabel 1. Karakteristik RespondenYang Mendapatkan MPA-PHAST dan Tidak Mendapatkan MPA-

PHAST di Kecamatan Pandih batu dan Maliku Tahun 2010

Karekteristik Responden

Jumlah KK Desa

Persentase

(%) Tidak

mendapatkan

MPA-PHAST

Mendapatkan

MPA-PHAST

Pendidikan

Tidak Sekolah 8.2 12.9 10,5

Tamat SD 25.9 40.8 33,3

Tamat SMP 26.5 25.2 25,9

Tamat SMA 32.7 14.3 23,5

PT 6.8 6.8 6,8

Pekerjaan

Petani 50.3 74.8 62,6

Nelayan 2.0 0.7 1,4

Pedagang 8.8 4.1 6,5

Buruh 17.7 8.2 12,9

PNS 17.0 9.5 13,3

Lain-Lain 4.1 2.7 3,4

Pendapatan

< Rp 400.000,- 19.7 50.3 35

Rp 400.000,- - Rp 800.000,- 51.0 32.0 41,5

> Rp 800.000,- 29.3 17.7 23,5

Tabel 2. Analisis perbedaan tingkat pengetahuan PHBS desa yang mendapatkan

MPA-PHAST dan tidak mendapatkan MPA-PHAST

Variabel Tingkat pengetahuan PHBS

Md p Kurang % Baik %

Desa

Tidak mendapatkan MPA-PHAST 71 (51.1%) 76 (49%) 14 0.536

Mendapatkan MPA-PHAST 68 (48,9%) 79 (51%)

Untuk mengetahui penyebab hal tersebut

terjadi, dilakukan wawancara terhadap

responden, petugas kesehatan dan satker

CWSHP.Wawancara dilakukan terhadap

responden yang tidak mendapatkan MPA-

PHAST. Mereka mengatakan meskipun tidak

mendapatkan MPA-PHAST, mereka

memperoleh pengetahuan PHBS dari petugas

kesehatan yang setiap bulan melakukan

penyuluhan kepada masyarakat tentang cara

berperilaku hidup bersih dan sehat. Sedangkan

masyarakat yang mendapatkan pemberdayaan

melalui pendekatan MPA-PHAST ketika ditanya

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

5

tentang pengetahuan PHBS merasa dirinya tidak

mampu.

“…setiap bulan kami mendapatkan

penyuluhan tentang kesehatan oleh

bu bidan di sini pak…setiap ada

kegiatan posyandu...” (R1DT,15-01-

2010)

“…kami ini dhedhel pak (bodoh

pak)…SD saja tidak tamat…belum

mikir pekerjaan kami diladang untuk

bertahan hidup…ya namanya orang

miskin pak…”(R2DP,10-01-2010).

Dengan promosi yang dilakukan melalui

penyuluhan secara berulang-ulang, pengetahuan

tentang PHBS keluarga yang tidak mendapatkan

MPA-PHAST ternyata tidak jauh berbeda

dengan yang mendapatkan. Selain itu,

pendidikan formal juga memegang peranan

penting bagi seseorang untuk menerima

pengetahuan atau hal yang baru.

Perbedaan perilaku cuci tangan dengan air

bersih dan sabun antara keluarga yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga

yang tidak mendapatkannya

Tabel 3 menyatakan bahwa jumlah keluarga

dengan perilaku cuci tangan dengan air bersih

dan sabun, di desa yang tidak mendapatkan

MPA-PHAST berkategori baik jumlahnya lebih

banyak, daripada yang mendapatkan (90 KK dan

73 KK). Tidak ada perbedaan perilaku cuci

tangan dengan air bersih dan sabun antara

keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST

dengan keluarga yang tidak mendapatkannya,

dengan nilai p hitung= 0,05, sama dengan p

tabel (0,05). Ketika ditanyakan kepada

responden tentang perilaku cuci tangan dengan

air dan sabun mereka menjawab bahwa mereka

biasa cuci tangan tetapi tidak menggunakan

sabun.

“…kami ini petani pak…kalau cuci

tangan ya..yang penting sudah tidak

ada lumpur dan tanah cukup saja…

tidak perlu pakai sabun...” (R2DP,10-

01-2010)

Hal tersebut ditanyakan juga pada

Satker CWSHP mereka menjawab bahwa

untuk perilaku cuci tangan dengan sabun

baru diawali pada siswa SD. Di setiap SD

yang desanya mengikuti program CWSHP,

disediakan sarana dan prasarana untuk cuci

tangan dengan air dan sabun.

“…ya benar saja pak karena kegiatan

cuci tangan baru dilakukan di siswa-

siswa SD, untuk orang tuanya hanya

diberitahu saat penyuluhan dalam

kegiatan proyek…sedangkan untuk

pengawasan apa mereka melakukan

cuci tangan dengan benar atau tidak

kami tidak melakukan…sedangkan

untuk siswa SD ada pengawasan dari

gurunya…” (CWSH,18-01-2010).

Penyuluhan tentang pentingnya perilaku

cuci tangan dengan air bersih dan sabun

dilakukan pada siswa SD, dengan harapan agar

perubahan perilaku tersebut juga dilakukan di

rumah para siswa.

Tabel 3. Analisis perbedaan perilaku cuci tangan dengan menggunakan air bersih dan sabun,

antara keluarga di desa yang mendapatkan MPA-PHAST dan

tidak mendapatkan MPA-PHAST

Variabel

Perilaku cuci tangan dg menggunakan

Air bersih& sabun Md P

Kurang % Baik %

Desa

Tidak mendapatkan MPA-PHAST 57 (43.5%) 90 (55,2%) 16 0.050

Mendapatkan MPA-PHAST 74 (56.5%) 73 (44.8%)

Perbedaan tingkat pengetahuan tentang

sanitasi lingkungan keluarga yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga

yang tidak mendapatkannya

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

6

Tabel 4 menyatakan bahwa, jumlah

keluarga dengan tingkat pengetahuan sanitasi

lingkungan, di desa yang mendapatkan MPA-

PHAST yang berkategori baik lebih banyak

daripada yang tidak mendapatkan (105 KK dan

87 KK).

Wawancara singkat pada masyarakat yang

mendapatkan MPA-PHAST dilakukan untuk

mengetahui pengetahuan tentang sanitasi

lingkungan.

“…saat mas-mas dan mbak-mbaknya

dari proyek datang (CWSHP)…kami

diberitahu bagaimana menata keadaan

lingkungan tempat tinggal agar sesuai

kesehatan…kami juga tidak hanya

diajari (diberitahu) tapi langsung

praktek pak…jadi sampai sekarang kami

masih ingat bagaimana membuat

lingkungan kami jadi sehat…”(R1DP,10-

01-2010)

Pada masyarakat yang tidak mendapatkan

MPA-PHAST dilakukan wawancara mengenai

pengetahuan sanitasi lingkungan. Mereka

menjawab bahwa tidak semuanya dapat diingat

pengetahuan sanitasi lingkungan yang diperoleh

dari tenaga kesehatan saat penyuluhan

kesehatan, karena hal tersebut tidak langsung

dipraktekkan.

“…ya…kami diberitahu sama petugas

kesehatan tentang sanitasi lingkungan

tapi ya…hanya sebatas tahu saja

pak…tidak dibimbing langsung untuk

praktek yang benar itu gemana…maka

saat ditanya ya…kelalen pak (kelupaan

pak)…”(R1DT,15-01-2010)

Ada perbedaan antara tingkat pengetahuan

sanitasi lingkungan keluarga yang mendapatkan

MPA-PHAST dengan keluarga yang tidak

mendapatkan, dengan nilai p hitung = 0,000

lebih kecil dari p tabel (0,05), CI = -2,628 - (-

1,032).Pada tabel 4 dapat diketahui

bahwakeluarga yang mendapatkan MPA-PHAST

memiliki tingkat pengetahuan sanitasi

lingkungan yang baik dibandingkan dengan

keluarga yang tidak mendapatkan MPA-

PHAST.Dengan CI 95% kita percaya bahwa

pemberian MPA-PHAST yang dilakukan pada

populasi akan memberikan perbedaan tingkat

pengetahuan sanitasi lingkungan antara keluarga

yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang

tidak mendapatkan adalah antara -2,628 sampai

- 1,032.

Tabel 4.

Analisis perbedaan tingkat pengetahuan sanitasi lingkungan desa yang mendapatkan MPA-PHAST

dan tidak mendapatkan MPA-PHAST

Variabel

Tk. pengetahuan sanitasi

lingkungan µ Nilai p

(95% CI) Kurang % Baik %

Desa

- Tidak mendapatkan

MPA-PHAST

60 (58,6%) 87 (45,3%) 15.05 0.000

-2.100-(-1.032)

- Mendapatkan MPA-

PHAST

42 (41,2%) 105 (54,7%) 16.88

Perbedaan perilaku buang air besar di

jamban antara keluarga yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan

keluarga yang tidak mendapatkannya

Tabel 5 terlihat bahwa jumlah

keluarga dengan perilaku buang air besar

di jamban, di desa yang

mendapatkanMPA-PHAST berkategori

baik lebih banyak (56%), daripada yang

tidak mendapatkan (112 KK dan 88 KK).

Wawancara dengan salah satu

keluarga yang mengikuti pemberdayaan

dengan MPA-PHAST mengatakan bahwa

atas anjuran dari Satker CWSHP, maka

jamban mereka perbaiki agar sesuai

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

7

dengan jamban yang sehat dan tidak

menimbulkan penyakit.

“…saat mas dan mbaknya datang

ke desa ini (Satker CWSHP),

mereka mengajari kami membuat

jamban yang sehat pak…sehingga

jamban yang selama ini kami

pakai untuk buang air besar

ya…kami perbaiki sesuai anjuran

mereka…” (R1DP,10-01-2010)

Ada perbedaan perilaku buang air

besar di jamban antara keluarga yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan

keluarga yang tidak mendapatkannya,

dengan nilai p hitung = 0,001 lebih kecil

darip tabel (0,05), CI = - 2.081- (-0.586).

Pada tabel 5 dapat diketahui

bahwakeluarga yang mendapatkan MPA-

PHAST memiliki perilaku buang air besar

di jamban yang baik dibandingkan

dengan keluarga yang tidak mendapatkan

MPA-PHAST.Dengan CI 95% kita

percaya bahwa pemberian MPA-PHAST

yang dilakukan pada populasi akan

memberikan perbedaan perilaku buang

air besar di jamban antara keluarga yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan yang

tidak mendapatkan adalah antara -2.081-

sampai -0.586.

Tabel 5. Analisis perbedaan perilaku BAB di jamban desa dan perilaku penyediaan dan penggunaan

air bersih terhadap desa yang mendapatkan MPA-PHAST

dan tidak mendapatkan MPA-PHAST

Variabel

Perilaku BAB di jamban

µ p Confidence Interval

95% Kurang % Baik

%

Desa

- Tidak mendapatkan

MPA-PHAST

59 (62.8%) 88 (44%) 12.24 0.001 -2.08- (-0.586)

- Mendapatkan MPA-

PHAST

35 (37.2%) 112 (56%) 13.57

Variabel

Perilaku penyediaan dan

penggunaan air bersih µ p Confidence Interval

95% Kurang % Baik %

Desa

- Tidak mendapatkan

MPA-PHAST

77 (68.8%) 70 (38.5%) 16.39 0.000 -2.713 - (-1.205)

- Mendapatkan MPA-

PHAST

35 (31.3%) 112 (61.5%) 18.35

Perbedaan perilaku penyediaan dan

penggunaan sarana air bersih antara

keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST

dengan keluarga yang tidak mendapatkan

Tabel 5 menyatakan bahwa jumlah

keluarga dengan perilaku penyediaan dan

penggunaan sarana air bersih, di desa yang

mendapatkanMPA-PHAST berkategori baik

jumlahnya lebih banyak (61,5%), daripada yang

tidak mendapatkan (112 KK dan 70 KK).

Ada perbedaan perilaku penyediaan dan

penggunaan air bersih antara keluarga yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan keluarga

yang tidak mendapatkan, dengan nilai p hitung =

0,000 lebih kecil darip tabel (0,05), CI = - 2.713

- (-1.205). Pada tabel 6 dapat diketahui bahwa

keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST

memiliki perilaku penyediaan dan penggunaan

sarana air bersih yang baik dibandingkan dengan

keluarga yang tidak mendapatkan MPA-

PHAST.Dengan CI 95% kita percaya bahwa

pemberian MPA-PHAST yang dilakukan pada

populasi akan memberikan perbedaan perilaku

penyediaan dan penggunaan sarana air bersih

antara keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

8

dengan yang tidak mendapatkan adalah antara -

2.713 sampai -1.205.

Perbedaan sanitasi lingkungan keluarga yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan yang

tidak mendapatkan.

Tabel 6 menyatakan bahwa, jumlah

keluarga dengan perilaku sanitasi lingkungan,

keluarga di desa yang mendapatkan MPA-

PHAST berkategori baik jumlahnya lebih

banyak (66,5%), daripada yang tidak

mendapatkan (127 KK dan 64 KK).

Ada perbedaan sanitasi lingkungan antara

keluarga di desa yang mendapatkan MPA-

PHAST dengan yang tidak mendapatkan, dengan

nilai p hitung = 0,000 lebih kecil darip tabel

(0,05), CI = -4.528 - (-2.493).Pada tabel 6 dapat

diketahui bahwakeluarga yang mendapatkan

MPA-PHAST memiliki sanitasi lingkungan yang

baik dibandingkan dengan keluarga yang tidak

mendapatkan MPA-PHAST.Dengan CI 95% kita

percaya bahwa pemberian MPA-PHAST yang

dilakukan pada populasi akan memberikan

perbedaan sanitasi lingkungan antara keluarga

yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang

tidak mendapatkan adalah antara -4.528 sampai

-2.493.

Tabel 6. Analisis perbedaan perilaku dan ketersediaan sarana dan prasarana berkaitan

dengan sanitasi lingkungan desa yang mendapatkan MPA-PHAST

dan tidak mendapatkan MPA-PHAST

Variabel

Perilaku berkaitan dg

sanitasi lingkungan µ

Nilai p

(95% CI) Kurang %

Baik

%

Desa

- Tidak mendapatkan

MPA-PHAST

83 (80.6%) 64 (33.5%) 10.01 0.000

-4.343 - (-2.786)

- Mendapatkan MPA-

PHAST

20 (19.4%) 127 (66.5%) 13.57

Variabel

Ketersediaan sarana dan

prasarana sanitasi

lingkungan µ Nilai p

(95% CI)

Kurang % Baik %

Desa

- Tidak mendapatkan

MPA-PHAST

83 (65.4%) 64 (38.3%) 7.93 0.000

-4.528 - (-2.493)

- Mendapatkan MPA-

PHAST

44 (38.3%) 103 (61.7%) 11.44

Dilihat dari sarana dan prasarana yang

dimiliki antara keluarga desa yang mendapatkan

pemberdayaan dengan metode MPA-PHAST

dengan yang tidak mendapatkan ada perbedaan

yang bermakana. Kemaknaan tersebut

ditunjukkan dengan nilai p hitung = 0,000, CI =

-3.812 - (-1.460). Sedangkan ketersediaan sarana

dan prasarana keluarga desa yang mendapatkan

MPA-PHAST berkategori baik lebih tinggi

(61,7%) daripada yang tidak mendapatkan (103

KK dan 64 KK).

Pembahasan

Umur responden antara desa yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan yang tidak

terbanyak (51%) pada usia antara 36 – 55 tahun.

Dengan jenis kelamin responden

terbanyak adalah laki-laki (79%).Hal tersebut

menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan

dalam pemberdayaan masih rendah

dibandingkan dengan laki-laki. Padahal peran

serta perempuan sangatlah penting dalam

kehidupan karena perempuan merupakan central

of role(5)

.

Tingkat pendidikan responden antara desa

yang mendapatkan MPA-PHAST dengan yang

tidak lebih banyak berpendidikan SD (33,3%).

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

9

Dengan jumlah keluarga terbanyak yang

pendidikan hanya tamat SD pada desa yang

mendapatkan MPA-PHAST (60 KK).Keluarga di

desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST

tingkat pendidikannya lebih banyak yang tamat

SMP/SMA (77 KK).Tingkat pendidikan

seseorang dapat berpengaruh terhadap perilaku

kesehatannya.Sander(8)

,

dari penelitiannya menyimpulkan bahwa jenjang

pendidikan memegang peranan penting dalam

kesehatan masyarakat.

Pekerjaan responden baik desa yang

mendapatkan MPA-PHAST maupun tidak, yang

terbanyak adalah petani, Sebagai masyarakat

yang memiliki profesi sebagai petani, kesibukan

mereka lebih banyak di ladang atau di

sawah.Hal tersebut tentu berdampak pada

perilaku ber PHBSnya. Pendapatan masyarakat

kedua desa tersebut yang terbanyak (41,5%)

antara Rp 400.000,00 - Rp 800.000,00.

Pendapatan keluarga tersebut telah sesuai

dengan pendapatan per kapita untuk wilayah

Kalimantan Tengah sebesar Rp. 700.000,00(9)

.

Hasil analisis tingkat pengetahuan PHBS

dalam penelitian ini yang memiliki kategori baik

lebih banyak (51%) diperoleh di desa yang

mendapatkan MPA-PHAST, sedangkan desa

yang tidak mendapatkan tingkat pengetahuannya

yang berkategori baik hanya 49%. Bila dilihat

dari presentase ternyata tidak besar, bedanya,

hanya 1%. Hal tersebut menunjukkan bahwa

tingkat pengetahuan PHBS keluarga antara

kedua desa adalah tidak jauh berbeda.Kondisi

tersebut bisa terjadi karena, meskipun tidak

mendapatkan MPA-PHAST, masyarakat desa

tersebut juga mendapatkan penyuluhan

kesehatan yang dilakukan oleh petugas

puskesmas satu bulan sekali.

Tingkat pendidikan juga dapat

berpengaruh, semakin tinggi tingkat pendidikan

akan semakin mudah untuk menerima

pengetahuan dan perubahan(10)

. Semakin tinggi

pendidikan formal, akan semakin baik

pengetahuan tentang kesehatan(11)

. Keluarga di

desa yang tidak mendapatkan MPA-PHAST

lebih banyak yang tamat SMP/SMA (77 KK).

Dengan pendidikan formal yang lebih tinggi

tersebut, keluarga di desa yang tidak

mendapatkan MPA-PHAST, memiliki

pengetahuan PHBS yang tidak jauh berbeda

dengan yang mendapatkan, meskipun hanya

mendapat penyuluhan yang dilakukan oleh

nakes setempat.

Tidak ada perbedaan perilaku cuci tangan

antara keluarga di desa yang mendapatkan MPA-

PHAST dengan yang tidak. Di daerah penelitian,

mayoritas penduduknya adalah petani dan

pendatang.Kebiasaan cuci tangan dengan

menggunakan sabun merupakan hal baru yang

harus dilakukan.Selain itu sebagai permulaan

untuk melakukan perubahan perilaku baru

dipromosikan melalui siswa SD setempat.

Dengan harapan melalui anak-anak kebiasaan

cuci tangan dengan sabun dapat ditransfer

kepada orang tua atau anggota keluarga yang

lain.

Menurut Wijk(12)

, perubahan perilaku

merupakan proses yang berisikan beberapa

tahapan, dimulai dari keinginan untuk berubah

dan memutuskan sesuatu perubahan untuk

membuat keputusan mencobanya dan bila

positif, akan dipeliharanya. Selama ini

masyarakat merasa tidak ada masalah walaupun

cuci tangan tanpa sabun.

Jenjang pendidikan memegang peranan

penting dalam kesehatan masyarakat(8)

.

Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan

keluarga yang mendapatkan MPA-PHAST sulit

memahami akan arti pentingnya hygiene

perorangan dan sanitasi lingkungan untuk

mencegah terjangkitnya penyakit menular.

Ada perbedaan pengetahuan sanitasi

lingkungan antara keluarga di desa yang

mendapatkan MPA-PHAST dengan yang

tidak.Hal tersebut menunjukkan bahwa

pengetahuan sanitasi lingkungan keluarga di

desa yang mengikuti pemberdayaan lebih baik

daripada yang tidak mengikuti.Salah satu

responden yang terlibat langsung dengan

kegiatan MPA-PHAST mengatakan bahwa

mereka masih mengingat hal yang dilakukan

saat pemberdayaan.

Masyarakat, dalam kegiatan pemberdayaan

yang terjun langsung ke lapangan juga membuat

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan

sendiri dengan dibimbing oleh Satker CWSHP.

Untuk pengetahuan sanitasi lingkungan, karena

langsung praktek di lapangan maka mudah

mengingat kembali, sedangkan desa

yang tidak mendapatkan MPA-PHAST tidak

langsung praktek di lapangan sehingga sulit

untuk mengingat kembali hal yang berkaitan

dengan sanitasi lingkungan.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Kolesar(13)

bahwa dengan adanya

partisipasi masyarakat secara aktif dalam

Widodo, Partisipasi Masyarakat Berprilaku PHBS melalui Pendekatan Mpa-PHAST

10

kegiatan pemberdayaan akan memberikan

dampak positif pada yang terlibat langsung.

Ada perbedaan perilaku buang air besar

antara keluarga di desa yang mendapatkan MPA-

PHAST dengan yang tidak.Kesadaran yang baik

tersebut menunjukkan adanya pemahaman yang

baik terhadap dampak negatif yang disebabkan

oleh buang air besar di sembarang tempat.

Menurut Wibowo, dkk.(14)

, tempat pembuangan

tinja yang tidak sanitair akan meningkatkan

risiko terjadinya diare pada balita sebesar 2,55

kali dibandingkan dengan yang sanitair.

Perilaku penyediaan dan penggunaan air

bersih, keluarga yang mendapatkan MPA-

PHAST lebih baik daripada yang tidak

mendapatkan. Adanya penyediaan dan

penggunaan air ini juga tidak terlepas dari

adanya sarana dan prasarana. Kesadaran tersebut

tidak terlepas dari pemahaman keluarga yang

mengikuti MPA-PHAST akan pentingnya air

bagi kesehatan. Hasil penelitian Atmosukarto(15)

,

menunjukkan bahwa morbiditas diare paling

tinggi terjadi pada penduduk yang menggunakan

air minum dari sungai.

Menurut Green(16)

, perubahan perilaku

dipengaruhi oleh 3 faktor, salah satunya adalah

faktor pendukung. Responden yang diberi sarana

dan prasarana air bersih di dekat tempat tinggal

mereka memanfaatkan sarana tersebut, sehingga

perilaku masyarakat yang biasanya

memanfaatkan air sungai sebagai sumber air

bersih, mulai tidak menggunakan lagi.Menurut

Tan(17)

, bahwa perubahan perilaku bukan karena

pendidikan kesehatan yang diberikan oleh

petugas kesehatan tetapi karena adanya sarana

dan prasarana untuk berubah.

Lingkungan yang kondusif untuk

terwujudnya keadaan sehat, adalah lingkungan

yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih,

sanitasi lingkungan yang memadai, kawasan

perumahan dan pemukiman yang sehat, serta

terwujudnya kehidupan masyarakat yang

memelihara nilai-nilai budaya bangsa(18)

.

Pentingnya lingkungan yang sehat dibuktikan

oleh WHO(19)

, yaitu angka kematian dan

kesakitan yang tinggi serta epidemi sering

terjadi pada masyarakat yang higiene dan

sanitasi lingkungannya buruk.

Dampak sanitasi lingkungan yang buruk

telah diketahui oleh keluarga yang mendapatkan

MPA-PHAST.Pembuangan sampah rumah

tangga telah menjadi perhatian keluarga yang

mendapatkan MPA-PHAST agar tidak menjadi

sumber penyakit. Menurut Kusnoputranto(20)

penentuan lokasi pembuangan sampah harus

mempertimbangkan beberapa hal, yaitu : tidak

mencemari lingkungan seperti sumber air, tanah

dan udara, tidak terjangkau dan digunakan

sebagai tempat perkembangbiakan vektor

penyakit, tidak mengganggu pemandangan dan

berbau tidak sedap akibat proses pembusukan.

Kesimpulan Dan Saran

Kesimpulan

1. Tidak ada perbedaan tingkat pengetahuan

PHBS, perilaku cuci tangan denagn air

bersih dan sabun antara keluarga di desa

yang mendapatkan MPA-PHAST dengan

yang tidak.

2. Ada perbedaan tingkat pengetahuan sanitasi

lingkungan, perilaku BAB di jamban,

penyediaan dan penggunaan air, perilaku

sanitasi lingkungan antara keluarga di desa

yang mendapatkan MPA-PHAST dengan

yang tidak.

Saran

Program promosi kesehatan hendaknya

dilakukan terus menerus untuk melakukan

perubahan perilaku kepada masyarakat yang

sesuai dengan PHBS. Hal yang perlu dilakukan

oleh instansi terkait antara lain :

1. Dinas Kesehatan Kabupaten Pulang Pisau

sebaiknya saat melakukan promosi

kesehatan sedapat mungkin menyesuaikan

kondisi masyarakat yang ada. Masyarakat

yang ada adalah mayoritas transmigran

dengan pekerjaan sebagai petani. Promosi

kesehatan yang dilakukan sebaiknya

menyesuaikan dengan kultur dan budaya

masyarakat, dengan cara memasukkan

muatan lokal sebagai bahan promosi.

2. Tenaga kesehatan yang berada di wilayah

kerja Dinas Kesehatan sebaiknya melakukan

pembinaan kepada masyarakat secara

berkesinambungan agar perubahan PHBS

dapat lebih cepat dilakukan. Masyarakat

desa yang telah mendapatkan MPA-PHAST

sebaiknya mulai mempraktekkan cuci

tangan dengan sabun untuk mengurangi

risiko terkena penyakit.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization (WHO).

Sanitation and Hygiene Promotion:

Programming Guidance, Geneva; 2005.

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

11

2. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan

RI. No. 1114/Menkes /SK/VIII/2005 tentang

Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan

di Daerah, Jakarta; 2006a

3. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan, Riset

Kesehatan Dasar 2007,Laporan Nasional

2007:2008b

4. Asian Developing Bank (ADB).Water for

All: The Water Policy of the Asian

Development Bank .Manila;2000.

5. Dayal, R., Wijk, C. van, Mukherje, N.

Methodology for Participatory Assessments

with Communities Institution and Policy

Makers Linking Sustainability with

Demand, Gender and Poverty, Water and

Sanitation Programme, World Bank;2000.

6. World Health Organization, 1997, The

PHAST Initiative, Participatory Hygiene

and Sanitation Transformation, A New

Approach to Working with Communities,

UNDP-World Bank, Geneva;1997

7. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia., Lembar Catatan dan Skoring

Tahap I CWSHP Pulang Pisau Kalimantan

Tengah, Dirjen P2 dan PL;2007.

8. Sander, M.A. 2005. Hubungan Faktor

Sosio Budaya dengan Kejadian Diare di

Desa Candinegoro Kecamatan Wonoayu

Sidoarjo. Jurnal MedikaI. Vol 2.No.2. Juli-

Desember 2005: 163-193.

9. DinasKesehatan Propinsi Kalimantan

Tengah. 2008. Profil Kesehatan Provinsi

Kalimantan Tengah tahun 2007. Palangka

Raya.

10. Daud, R.K. Hubungan antara Tingkat

Pendidikan, Pendapatan, dan Perilaku

Masyarakat dengan Kualitas Sanitasi

Lingkungan di Pesisir Pantai Desa

Huangobatu Kecamatan Kabila Kabupaten

Gorontalo, Tesis, Program Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta;2000.

11. Hastono, PS. 1997. Hubungan Faktor

Sosial Demografi Ibu dengan Pemanfaatan

Penolong Persalinan di Kabupaten Cianjur

1995. Jurnal Penelitian UI.Makaro no I

seri A.

12. Wijk, C. van, and Murre, T.,1994.

Mechanisms of Change Motivating Better

Hygiene Behaviour :Importance for Public

Health Mechanisms of Change. IRC

International Water and Sanitation

Centre.The Hague. The

Netherlands.UNICEF

13. Kolesar, R., Kleinau, E. , Torres, MP.,

Candida Gil, C,. Cruz, V. de la, and Post,

M. 2004. Combining Hygiene Behavior

Change with Water and Sanitation:

Monitoring Progress in Hato Mayor,

Dominican Republic Part II Prepared for

the Office of Health, Bureau for Global

Health, U.S. Agency for International

Development, under EHP Project

26568/CESH.DR.Y5

14. Wibowo, T,A, Soenarto, S,S, dan Pramono,

D, 2004, Faktor-faktor Risiko Kejadian

Diare Berdarah pada Balita di Kabupaten

Sleman;2004. BKM, Vol. 20. No.01, pp.41-

47

15. Atmosukarto, K. Peran Sumber Air Minum

dan Kakus Saniter dalam Pemberantasan

Diare di Indonesia, Cermin Dunia

Kedokteran;1996.No. 109, pp. 39-41

16. Green, L.W., Kreuter, H.W., Deeds, S.G.,

and Patridge, K.B. Health Education

Planning :A Diagnostic Approach.

Mayfield Publishing Company,

California;1980.

17. Nachuk, S., Tan, E.S.M., Gaduh, A.B.,

Leisher, S.H., Kuznezov, L., and Ginting,

J.I., 2006, Making Services Work for the

Poor (MSWP) Nine Case Studies from

Indonesia : Water Supply and Health in

Lumajang District, East Java, World

Bank;2006.

18. Departemen Kesehatan Republik

Indonesia. Panduan Manajemen PHBS

Menuju Kabupaten/Kota Sehat,

Jakarta;2002

19. Entjang, I.Ilmu Kesehatan Masyarakat,

PT.Citra Aditya Bakti, Bandung;1991.

20. Kusnoputranto, H., 1986, Kesehatan

Lingkungan. Badan Penerbit Kesehatan

Masyarakat, Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Indonesia,

Jakarta;1986.

ARTIKEL PENELITIAN

12

Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Klien Pasca Stroke

Family’s Role in Physical Rehabilitation of Post Stroke Patient

Gad Datak, Aida Kusnaningsih, Ester Inung Sylvia

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Dampak yaang ditimbulkan dari penyakit stroke adalah kecacatan, sehigga

mengakibatkan ketergantungan klien kepada keluarganya. Upaya yang dilakukan adalah

memberikan pelayanan rehabiltasi fisik melalui peran keluarga dengan harapan ketergantungan

klien kepad aorang lain menjadi minimal dan klien mampu mandiri.Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui peran keluarga dalam melakukan rehabilitasi fisik di rumah terhadap kemandirian

aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke. Desain penelitian adalah kuasi eksperimen pre-pos tes

dengan kelompok kontrol. Besar sampel adalah 27 responden kelompok kontrol dan 27 responden

kelompok intervensi. Cara pemilihan sampel adalah non probability sampling jenis consecutive

sampling. Uji statistik yang digunakan adalah uji beda dua mean dependent sample test paired t

test, uji beda dua mean independent sample t test dan ANOVA. Hasil penelitian penelitian

menunjukkan bahwa kelompok intervensi menunjukkan peningkatan kemandirian dibandingkan

kelompok kontrol (p=0.000). Peningkatan kemandirian klien pasca stroke dipengaruhi oleh posisi

di dalam keluarga dan pendidikan (p=0,000). Diharapkan perawat mengembangkan potensi yang

dimiliki keluarga dan klien untuk meningkatkan kemandirian aktifitas sehari-hari.

Kata Kunci : Peran keluarga, rehabilitasi fisik, kemandirian aktifitas sehari-hari, klien pasca stroke

Abstract : One of the apparent impacts resulting from stroke is disability which may cause the

client to be dependent on the family. An effort which can be done to cope with this problem is

providing physical rehabilitation service through the role of familiy. The purpose is to reduce

clients independecy at the end and the clients can live independently or self care. The purpose of

tthis research is to find out an role in carrying out physical rehabilitation on daily activity

independence of post stroke clients at home in Palangka Raya city. This research used the design of

quasi experimental pre test-post test with control group. The sample covered, 27 respondents in

control group and 27 respondents in the intervention group. The sample was drawn using non

probability sampling method of consecutive sampling type. The statiscal test used here was the

mean dependent samples test paired, mean independent sample t test and ANOVA. The results

showed that intervention group to increase independency compared to the to the control group.

(p=0,000). Independency to increase of post stroke client was ifluence by client education and

family in positions (p=0,000). Recommended for nurses should be developed further so that

potensials of clients and family can be increased and exlored well

Key words : Family role, physical rehabilitation, activity independence, post stroke client

Pendahuluan

Stroke adalah suatu sindrom klinis dengan

gejala berupa gangguan fungsi otak secara fokal

atau global yang dapat menimbulkan kematian

atau kelainan yang menetap lebih dari 24 jam,

tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular

(WHO, 1983 dalam Mulyatsih, 2007)1.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2007)2, di

di Indonesia

prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per

1.000 penduduk dan merupakan penyebab

kematian utama pada usia > 45 tahun (15,4%

dari seluruh kematian)., stroke menjadi

penyebab kematian tertinggi baik di perkotaan

maupun pedesaan di Indonesia. Laporan World

Stroke Organization (2009) memperlihatkan

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

13

bahwa stroke adalah penyebab utama hilangnya

hari kerja dan kualitas hidup yang buruk.

Kecacatan akibat stroke tidak hanya berdampak

bagi para penyandangnya, namun juga bagi

para anggota keluarganya. Beban ekonomi yang

ditimbulkan akibat stroke juga sedemikian

beratnya.

Merujuk pada hasil Riskesdas tahun 2007,

memperlihatkan prevalensi stroke Propinsi

Kalimantan Tengah mencapai 7 per 1000

penduduk dan untuk Kotamadya Palangka Raya

8-9 per 1000 penduduk. Hal ini memerlukan

perhatian dari serius dari tenaga kesehatan agar

prevalensi stroke dapat dikurangi atau

diminimalkan. Berdasarkan penyebabnya stroke

diklasifikasikan menjadi stroke hemoragik dan

stroke iskemik (Misbach, 1999)3. Dari seluruh

kejadian stroke, 83% adalah stroke iskemik dan

sisanya 17% stroke hemoragik. Namun

demikian pemulihan akibat penyakit stroke ini

tergantung dari berbagai faktor antara lain

faktor risiko yang dimiliki pasien, ketepatan

dan kecepatan penatalaksanaan, penyakit yang

memperberat stroke dan perawatan untuk

mencegah salah satu komplikasi.

Studi yang dilakukan menunjukkan bahwa

klien stroke yang mampu hidup sampai 6 bulan

, 27 % tidak mengalami kecacatan, 24 %

mengalami cacat ringan, 23 % mengalami cacat

sedang dan 6 % mengalami cacat berat (

Gordon, 2000 dalam Winarni 2004).4

Berdasarkan data WHO (1989, dalam

Tandrawarsito, 1993)5 menyatakan bahwa pada

akhir tahun pertama klien stroke yang

membutuhkan bantuan untuk aktifitas sehari-

hari sebanyak 60 % dan 20 % diantaranya

membutuhkan bantuan aktifitas secara total, 15

% mengalami ketergantungan parsial dan 5 %

mengalami ketergantungan minimal kepada

orang lain serta 20 % klien mampu mandiri.

Winarni (2004)4 juga menyatakan bahwa dari

klien stroke yang mengalami hemiparese, 68 %

mengalami ketergantungan total, 15%

mengalami ketergantungan sebagian dan 16 %

mengalami ketergantungan minimal. Hal ini

menunjukkan bahwa klien pasca stroke

mempunyai kesempatan mandiri dalam

melakukan aktifitas sehari-hari, apabila klien

mendapatkan latihan rutin yang dapat dilakukan

oleh anggota keluarga di rumah dan dilakukan

pengawasan oleh perawat.

Rehabilitasi fisik merupakan salah satu

upaya untuk mengatasi dampak pasca stroke

yang dapat dilakukan secara terintegrasi dalam

bentuk kerjasama secara tim seperti dokter

spesialis saraf, dokter rehabilitasi medik,

perawat dan anggota keluarga. Tindakan

rehabilitasi fisik dapat dilakukan oleh keluarga

yang pada awalnya dilatih oleh perawat dan

selanjutnya dapat dilakukan secara mandiri oleh

keluarga. Keluarga mempunyai peran sebagai

pemberi perawatan utama apabila salah satu

anggota mengalami sakit atau ketidakmampuan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran

keluarga dalam rehabilitasi fisik terhadap

kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca

stroke di kota Palangka Raya

Metode

Desain yang digunakan dalam penelitian

ini adalah quasi eksperimen dengan pendekatan

pre-post test with control group. Pengukuran

kemandirian kepada klien pasca stroke sebelum

(pre test) dan sesudah (post test) pemberian

rehabilitasi fisik terhadap klien pasca stroke.

Pre test dilakukan satu hari sebelum klien

stroke pulang baik pada kelompok intervensi

maupun kelompok kontrol. Rehabilitasi fisik

pada kelompok intervensi melalui kunjungan

rumah dan dilakukan selama 4 minggu dengan

frekuensi 2 kali seminggu bersama keluarga

pada , sedangkan pada kelompok kontrol

dilakukan 2 kali selama 4 minggu. Setelah

minggu ke 4 dilakukan post test.

Populasi adalah seluruh keluarga pasien

stroke yang di rawat di ruang neurologi RSUD

Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya dengan

teknik sampling yang digunakan dalam

penelitian ini adalah consecutive sampling,

dimana semua subjek penelitian yang datang

dan memenuhi kriteria pemilihan di masukkan

ke penelitan sampai batas waktunya

terpenuhi.6,7

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah

keluarga pasien pasca stroke yang mengalami

hemiparese atau hemiplegia, kesadaran compos

mentis, berkomunikasi dengan baik, tidak

mengalami depresi, bersedia dikunjungi dan

berdomisili di kota Palangka Raya.

Penelitian ini dilakukan di ruang H

(neurologi) Rumah Sakit Umum Daerah Dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya dan dilanjutkan

kunjungan rumah di wilayah kota Palangka

Raya mulai bulan Juli 2011 sampai dengan

Desember 2011.

Datak, Kusnaningsih, Sylvia, Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Paska Stroke

14

Hasil

Karakteristik Responden

Karakteristik responden pada penelitian ini

meliputi jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan

dan usia pada kelompok kontrol serta kelompok

kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian, jenis kelamin

anggota keluarga yang merawat klien pasca

stroke pada penelitian ini paling banyak adalah

perempuan, yaitu 40 orang dengan rincian pada

kelompok kontrol 18 orang (66,6%) dan

kelompok intervensi 22 orang ( 81,4%).

Berdasarkan latar belakang pendidikan,

terlihat bahwa keluarga yang merawat klien

sebagian besar berpendidikan SLTA yaitu 26

orang, dengan 9 orang (33,3%) pada

kelompok kontrol dan 17 orang (63,0%) pada

kelompok intervensi. Keluarga klien yang

berpendidikan SLTP adalah 13 orang, dengan 9

orang (33,3%) pada kelompok kontrol dan 4

orang (14,8%) pada kelompok intervensi.

Keluarga klien yang berpendidikan SD adalah

11 orang, dengan 6 orang (22,2%) pada

kelompok kontrol dan 5 orang (18,5%) pada

kelompok intervensi, sedangkan keluarga klien

yang berpendidikan perguruan tinggi adalah 4

orang, dengan 3 orang (11,1%) pada kelompok

kontrol dan 41 orang (3,7%) pada kelompok

intervensi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

keluarga yang merawat klien pasca stroke yang

tidak bekerja adalah 28 orang, dimana paling

banyak pada kelompok intervensi 16 orang

(59,3%) sedangkan pada kelompok kontrol

yaitu 12 orang (44,4% ). Pada keluarga yang

merawat klien pasca stroke yang bekerja

sebanyak 26 orang, 15 orang (55,6%) pada

kelompok kontrol dan 11 orang (40,7%) pada

kelompok intervensi.

Berdasarkan posisi di dalam keluarga

dalam merawat klien pasca stroke dapat dilihat

bahwa sebagian besar klien dirawat oleh anak

dan istri. Klien pasca stroke yang dirawat oleh

anak dan yang lainnya adalah 23 orang, 12

orang (44,4%) pada kelompok kontrol dan 11

orang (40,7%) pada kelompok intervensi.

Selanjutnya klien pasca stroke yang dirawat

oleh istri sebanyak 22 orang, 8 orang (29,6%)

pada kelompok kontrol dan 13 orang (48,2%)

pada kelompok intervensi. Suami juga berperan

dalam merawat istri yang stroke, yaitu 7 orang

(26,0%) pada kelompok kontrol dan 3 orang

(11,1%) pada kelompok intervensi.

Hasil analisis tabel 4.1. menunjukkan rata-

rata usia keluarga yang melatih klien stroke di

rumah pada kelompok kontrol adalah 45,19

tahun, median 47 tahun dengan standar deviasi

12, 41 tahun. Usia termuda 24 tahun dan usia

tertua 65 tahun. Dari estimasi interval dapat

disimpulkan bahwa 95 % diyakini bahwa rata-

rata usia keluarga yang merawat pasien pasca

stroke di rumah pada kelompok kontrol antara

usia 40, 28 tahun sampai dengan usia 50,09

tahun. Sedangkan pada kelompok intervensi

menunjukkan rata-rata usia keluarga yang

melatih klien stroke di rumah pada kelompok

kontrol adalah 41,59 tahun, median 45 tahun

dengan standar deviasi 13,06 tahun. Usia

termuda 19 tahun dan usia tertua 70 tahun. Dari

estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95

% diyakini bahwa rata-rata usia keluarga yang

merawat pasien pasca stroke di rumah antara

36,43 tahun dan 46,76 tahun. Secara rinci dapat

dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Distribusi Karakteristik Responden

Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan,

Usia dan Hasil Uji Kesetaraan di Kota Palangka

Raya Periode Juli-Desember 2011 (n=34)

Karakteristik Kelompok p

value Kontrol Intervensi

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

9 (33,3%)

18 (66,7%)

5 (18,6%)

22 (81,4%)

0,352

Pendidikan

SD

SLTP

SLTA

PT

6 (22,2%)

9 (33,3%)

9 (33,3%)

3 (11,1%)

5 (18,5%)

4 (14,8%)

17 (63,0%)

1 (3,7%)

0,140

Pekerjaan

Tidak bekerja

Bekerja

12 (44,4%)

15 (55,6%)

16 (59,3%)

11 (40,7%)

0,414

Posisi di

Keluarga

Suami

Istr

7(26,0%)

8 (29,6%)

12 (44,4%)

3 (11,1%)

13 (48, 2%)

11 (40,7%)

0,242

Usia

Mean

Median

SD

Min-Mak

95% CI

45,19

47

12,41

24-65

40,28-50,09

41,59

45

13,06

19-70

36,43-46,76

0,262

Hasil uji kesetaraan pada karakteristik

keluarga klien pasca stroke menunjukkan

adanya kesetaraan pada antara kelompok

kontrol dan kelompok intervensi, jika ada

perbedaan setelah dilakukan intervensi, maka

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

15

perbedaan tersebut disimpulkan terjadi sebagai

pengaruh dari perlakukan tersebut.

Kemandirian Aktifitas Sehari-hari Klien

Pasca Setelah Dilakukan Rehabilitasi Fisik

di Rumah

Tabel 2 memperlihatkan rata-rata

kemandirian aktifitas fisik sehari –hari klien

pasca stroke pada kelompok kontrol sebelum

dilakukan intervensi adalah 34,07 (SD=14,28)

dan setelah dilakukan intervensi yaitu 64,26

(SD=17,53). Analisis lebih lanjut menunjukkan

bahwa rata-rata kemandirian aktifitas fisik klien

pasca stroke pada kelompok kontrol meningkat

setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000).

Pada kelompok intervensi menunjukkan rata-

rata kemandirian aktifitas fisik sehari-hari

sebelum dilakukan intervensi adalah 39,63

(SD=14,00) dan setelah intervensi yaiu 83,70

(SD=16,68). Analisis lebih lanjut menunjukkan

peningkatan rata-rata kemandirian aktifitas fisik

klien pasca stroke pada kelompok intervensi

setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000).

Berdasarkan tabel 2., hasil analisis lebih

lanjut menunjukkan bahwa peningkatan selisih

rata-rata kemandirian aktifitas fisik setelah

dilakukan rehabilitasi fisik pada kelompok

intervensi lebih tinggi yaitu 44,26 (SD=10,44)

dibandingkan kelompok kontrol yaitu 30,19

(SD=8,38), sehingga dapat disimpulkan

rehabilitasi fisik sebanyak pada sebanyak 8 kali

selama 4 minggu dapat meningkatkan

kemandirian aktifitas fisik sehari-hari pada

pasien pasca stroke dibandingkan yang

dilakukan hanya 2 kali selama 4 minggu.

Tabel 2 memperlihatkan rata-rata

kemandirian aktifitas fisik sehari –hari klien

pasca stroke pada kelompok kontrol

sebelum dilakukan intervensi adalah 34,07

(SD=14,28) dan setelah dilakukan intervensi

yaitu 64,26 (SD=17,53). Analisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa rata-rata kemandirian

aktifitas fisik klien pasca stroke pada kelompok

kontrol meningkat setelah dilakukan rehabilitasi

fisik (p=0,000).

Pada kelompok intervensi menunjukkan

rata-rata kemandirian aktifitas fisik sehari-hari

sebelum dilakukan intervensi adalah 39,63

(SD=14,00) dan setelah intervensi yaiu 83,70

(SD=16,68). Analisis lebih lanjut menunjukkan

peningkatan rata-rata kemandirian aktifitas fisik

klien pasca stroke pada kelompok intervensi

setelah dilakukan rehabilitasi fisik (p=0,000).

Berdasarkan tabel 2., hasil analisis lebih

lanjut menunjukkan bahwa peningkatan selisih

rata-rata kemandirian aktifitas fisik setelah

dilakukan rehabilitasi fisik pada kelompok

intervensi lebih tinggi yaitu 44,26 (SD=10,44)

dibandingkan kelompok kontrol yaitu 30,19

(SD=8,38), sehingga dapat disimpulkan

rehabilitasi fisik sebanyak pada sebanyak 8 kali

selama 4 minggu dapat meningkatkan

kemandirian aktifitas fisik sehari-hari pada

pasien pasca stroke dibandingkan yang

dilakukan hanya 2 kali selama 4 minggu. Secara

rinci dapat dilihat pada tabel.2. rata-rata

kemandirian aktifitas fisik setelah dilakukan

rehabilitasi fisik pada kelompok intervensi lebih

tinggi yaitu 44,26 (SD=10,44) dibandingkan

kelompok kontrol yaitu 30,19 (SD=8,38),

sehingga dapat disimpulkan rehabilitasi fisik

sebanyak pada sebanyak 8 kali selama 4

minggu dapat meningkatkan kemandirian

aktifitas fisik sehari-hari pada pasien pasca

stroke dibandingkan yang dilakukan hanya 2

kali selama 4 minggu.

Tabel 2. Analisis Rata-rata Kemandirian Aktifitas Klien Pasca Stroke Di Kota Palangka RayaPeriode

Juli-Desember Tahun 2011 (n=34)

Kemandiran

Aktifitas

Sehari –hari

Mean SD SE p

value

Kelompok Kontrol

Pre test

Post test

34,07

64,26

14,28

17,53

2,75

3,37

0,000

Kelompok Intervensi

Pre test

Post test

39,63

83,70

14,00

16,68

2,97

3,68

0,000

Peningkatan Kemandirian

Kelompok Kontrol

Kelompok Intervensi

30,19

44,26

8,38

10,44

2,01

1,61

0,000

Datak, Kusnaningsih, Sylvia, Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Paska Stroke

16

Pengaruh Karakteristik Keluarga Terhadap

Kemandirian Aktifitas Fisik Sehari-Hari

Klien Pasca Stroke

Analisis yang dilakukan dengan

menggunakan uji t pada variabel usia dan uji

anova pada variabel jenis kelamin, pekerjaan,

pendidikan dan peran keluarga secara terinci

dapat dilihat pada tabel 3.

Berdasarkan tabel 3, memperlihatkan

koefisien determinasi (R square) adalah 0,117

yang menjelaskan variabel usia keluarga hanya

dapat menjelaskan variabel peningkatan

kemandirian aktifitas fisik sehari-hari klien

pasca stroke sebesar 11,7% dan hasil uji F

menunjukkan usia keluarga tidak

mempengaruhi terhadap peningkatan

kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca

stroke (p=0,723).

Rata-rata pengaruh jenis kelamin keluarga

terhadap peningkatan kemandirian aktifitas

fisik sehari-hari klien pasca stroke, dimana

keluarga yang berjenis kelamin laki laki yaitu

39,93 (SD=9,42) dan perempuan 36,63

(SD=12,53). Lebih lanjut setelah dilakukan

analisis diperoleh hasil tidak ada perbedaan

yang signifikan berdasarkan jenis kelamin

terhadap peningkatan kemandirian aktifitas

sehari-hari klien pasca stroke (p=0,533)

Dilihat dari pekerjaan keluarga klien pasca

stroke, diperoleh rata-rata keluarga responden

yang tidak bekerja yaitu 40,36 (SD=11,78),

sedangkan keluarga yang bekerja yaitu 33,85

(SD=10,98). Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa status pekerjaan keluarga bermakna

terhadap kemandirian aktifitas fisik klien pasca

stroke (p=0,041).

Rata-rata pengaruh pendidikan keluarga

responden terhadap kemandirian aktifitas

sehari-hari klien pasca stroke dengan latar

belakang SD adalah 22,55 (SD=6,50), SLTP

yaitu 31,15 (SD=6,81) dan SLTA yaitu 45,19

(SD=9,21), kemudian perguruan tinggi adalah

40 (SD=10,00). Hasil uji statistik menunjukkan

bahwa ada perbedaan latar belakang pendidikan

keluarga terhadap kemandirian aktifitas fisik

sehari klien pasca stroke (p=0,000).

Jika dilihat dari rata-rata anggota keluarga

yang melatih klien pasca stroke lebih tinggi

oleh istri dibandingkan dengan suam atau anak

serta yang lainnya. Hal ini dapat dilihat dari

rata-rata peningkatan kemandirian aktifitas fisik

sehari-hari klien pasca stroke yang dilatih istri

adalah 42,38 (SD=10,44), jika oleh suami

adalah 38,50 (D=9,44) dan oleh anak serta yang

lainnya adalah 31,96 (SD=11,94). Hasil uji

statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan

yang signifikan posisi di keluarga terhadap

peningkatan aktifitas fisik sehari-hari klien

pasca stroke (p=0,010).

Tabel 3. Pengaruh Karaktersitik Keluarga Terhadap Peningkatan Kemandirian Aktifitas Fisik

Sehari-hari Klien Pasca Stroke di Kota Palangka Raya

Periode Juli-Desember 2011 (n=34)

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

17

Pembahasan

Kemandirian Aktifitas Sehari-hari Klien

Pasca Setelah Dilakukan Rehabilitasi Fisik

di Rumah

Berdasarkan hasil penelitian ini

disimpulkan rehabilitasi fisik dapat lebih

meningkatkan kemandirian aktifitas fisik

sehari-hari pada pasien pasca stroke pada

kelompok intervensi dibandingkan kelompok

kontrol (p=0,000). Peningkatan kemandirian

aktifitas sehari-hari klien pasca stroke dapt

terjadi karena adnya faktor pemulihan secara

alammiah dari dalam tubuh dengan adanya

perbaikan fungsional atau kesembuhan yang

terjadi.8

Selain dari proses penyembuhan alamiah,

juga dapat dihasilkan dari pengaruh pengobatan

yang dapat mengurangi perluasan stroke atau

intervensi lain seperti rehabilitasi fisi yang

dilakukan untuk mempertinggi fungsi

neurologis sehingga klien menunjukkan kontrol

motorik yang baik.4

Hasil penelitian ini mendukung hasil

penelitian sebelumnya oleh Gilbertson, et al

(2000)9 bahwa rehabilitasi fisik di rumah klien

pasca stroke yang pulang dari rumah sakit

sebanyak 8 kali dengan waktu selama 30-45

menit selama 8 minggu menunjukkan hasil

yang bermakna pada kelompok perlakuan

dibandingkan kelompok kontrol (p=0,001).

Penelitian yang lain dilakukan Weiss, et al

(2005)10

menyebutkan bahwa klien yang

dilakukan rehabilitasi fisik di rumah terkait

aktifitas fisik sehari-hari, pergerakan sendi,

tonus dan koordinasi serta sensasi yang

dilakukan 6 minggu sampai 8 minggu

menunjukkan hasil kemampuan berjalan

dengan alat dan mandiri secara parsial dalam

pemenuhan aktifitas sehari-harinya.

Peningkatan kemandirian aktifitas sehari-

hari klien pasca stroke tidak terlepas dari peran

keluarga melakukan rehabilitasi fisik.

Pengembangan ketrampilan keluarga dalam

merawat atau melatih klien dalam melakukan

rehabilitasi fisik di rumah dan mendukung

keluarga agar dapat mengambil keputusan

dalam menentukan perawatan klien.11

WHO (1989, dalam Tandarwarsito, 1993)5

menyatakan bahwa program rehabilitasi fisik

dapat dilanjutkan di ruah agar rehabilitasi fisik

yang sudah dilakukan di rumah sakit menjadi

optimal dan peranan keluarga sangat penting

untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi fisik

klien. Keluarga mempunyai waktu dan

kesempatan yang lebih banyak dalam

memberikan perawatan pada anggota keluarga

yang mengalami stroke, sehingga kemitraan

perawat dengan keluarga dapat mewujudkan

kelanjutan perawatan yang dilakukan di rumah.

Pengaruh Karakteristik Keluarga Terhadap

Kemandirian Aktifitas Fisik Sehari-Hari

Klien Pasca Stroke

Usia

Usia adalah umur individu yang terhitung

mulai saat dilahirkan sampai saat berulang

tahun.12

Semakin cukup umur, tingkat

kematangan dan kekuatan seseorang lebih

matang dalam berpikir dan bekerja dan hal ini

terlihat dari hasil penelitian yang

memperlihatkan bahwa rata-rata usia anggota

keluarga yang melakukan rehabilitasi fisik

adalah 45, 19 (kelompok kontrol) dan 41,59

(kelompok intervensi), yang berarti rata-rata

usia keluarga termasuk usia dewasa madya,

Karakteristik Keluarga Koef.Regresi Beta T p value

Usia 0,107

R=0.117

0,117

R²=0,014

0,850 0,399

Mean SD 95% CI p value

Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan

38,93

36,63

9,42

12,53

33,48-44,38

32,62-40,63

0,533

Pekerjaan Tidak Bekerja

Bekerja

40,36

33,83

11,78

10,98

35,79-44,38

29,41-38,28

0,041

Pendidikan

SD SLTP

SLTA PT

24,55 31,15

45,19 40,00

6,50 6,81

9,21 10,00

20,18-28,92 27,03-35,27

41,47-48,92 24,09-55,91

0,000

Posisi Keluarga

Suami

Istri Anak dan lainnya

38,50

42,38 31,96

9,44

10,44 11,94

31,75-45,25

37,63-47,13 26,79-37,12

0,010

Datak, Kusnaningsih, Sylvia, Peran Keluarga dalam Rehabilitasi Fisik Paska Stroke

18

dimana dalam menyelesaikan suatu masalah

langsung memasuki masalahnya dan mampu

mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit

dan dapat melihat akibat langsung dari usaha-

usahanya guna menyelesaikan masalah tersebut, walaupun setelah dianalisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa usia keluarga tidak

mempengaruhi terhadap peningkatan

kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca

stroke (p=0,723).

Bagi keluarga yang memberikan

perawatan, usia dari pemberi perawatan di

rumah akan berdampak terhadap perawatan

yang diberikan kepada klien pasca stroke

kemarena semakin tua umur seseorang atau

keluarga diharapkan semakin konstruktif dalam

menyelesaikan yang dialami oleh klien pasca

stroke.

Jenis Kelamin

Jenis kelamin penting untuk

dipertimbangkan karena perbedaan pengalaman

antara laki-laki dan perempuan dapat berkaitan

efek terapeutik. Berdasarkan hasil penelitian ini

memperlihatkan bahwa jenis kelamin anggota

keluarga yang merawat klien pasca stroke pada

penelitian ini paling banyak adalah perempuan,

40 orang dengan rincian pada kelompok kontrol

18 orang (66,6%) dan kelompok intervensi 22

orang ( 81,4%). Setelah dilakukan analisis lebih

lanjut disimpulkan jenis kelamin keluarga yang

melakukan rehabilitasi fisik pada klien pasca

stroke tidak pengaruh terhadap peningkatan

kemandirian aktifitas sehari-hari klien pasca

stroke (p=0,533). Jenis kelamin merpakan

sebuah set yang diduga atau diyakini

mempunyai perbedaan perilaku dan

pengalaman antara laki-laki dan perempuan.

Keyakinan ini dikembangkan oleh adanya

budaya, agama dan pengaruh dari keluarga

sendiri.

Pendidikan Tingkat pendidikan dalam penelitian ini

adalah pendidikan formal tertinggi yang dicapai

oleh keluarga. Berdasarkan latar belakang

pendidikan, terlihat bahwa keluarga yang

merawat klien sebagian besar berpendidikan

SLTA yaitu 26 orang, SLTP 13 orang, SD 11

orang dan berpendidikan perguruan tinggi

adalah 4 orang. Pendidikan dapat

mempengaruhi seseorang termasuk juga

perilaku seseorang akan pola hidup terutama

dalam memotivasi untuk sikap berperan dalam

bidang kesehatan.13

Analisis lebih lanjut memperlihatkan

bahwa ada perbedaan latar belakang pendidikan

keluarga terhadap kemandirian aktifitas fisik

sehari klien pasca stroke (p=0,000). Pendidikan

yang dimiliki oleh keluarga akan dapat

mempengaruhi kemandirian aktifitas sehari-hari

klien pasca stroke di rumah. Semakin tinggi

tingkat pendidikan seseorang semakin mudah

mengerti, mampu menyelesaikan masalah, lebih

trampil dan lebih cakap serta mempunyai sikap

yang positif terhadap perawatan.

Pekerjaan

Pekerjaan merupakan kegiatan yang dapat

menghasilkan uang atau pendapatan sebagi

sumber penghasilan. Berdasarkan hasil

penelitian ini memperlihatkan bahwa keluarga

yang merawat klien pasca stroke yang tidak

bekerja adalah 28 orang dan yang bekerja

sebanyak 26 orang. Analisis lebih lanjut

menunjukkan bahwa status pekerjaan keluarga

berpengaruh terhadap kemandirian aktifitas

fisik sehari-hari klien pasca stroke (p=0,041).

Bagi keluarga yang merawat klien pasca

stroke, jenis pekerjaan keluarga memberikan

dampak pada kemampuan keluarga untuk

memberikan dukungan yang lebih baik dalam

perawatan yang menunjang kelanjutan dari

pengobatan dan penggunaan fasilitas kesehatan

yang tersedia.

Posisi di Keluarga

Keluarga merupakan sistem pendukung

utama yang memberikan perawatan langsung

kepada klien selama di rumah dalam keadaan

sehat ataupun sakit (Friedman, Bowman &

Jines, 2003). Berdasarkan hasil penelitian ini

memperlihatkan bahwa posisi di dalam

keluarga dalam merawat klien pasca stroke

sebagian besar klien dirawat oleh anak dan

yang lainnya adalah 23 orang, dirawat oleh istri

sebanyak 22 orang dan dirawat oleh suami

sebanyak 10 orang. Lebih lanjut analisis

statistik menunjukkan bahwa ada perbedaan

yang signifikan posisi di keluarga terhadap

peningkatan aktifitas fisik sehari-hari klien

pasca stroke (p=0,010). Posisi di dalam

keluarga berkaitan dengan status-status yang

diciptakan dalam sebuah keluarga. Dalam

sebuah keluarga terdapat sejumlah peran forml

yaitu sebagai orang tua atau anak. Peran

keluarga apabila salah satu anggota keluarga

mengalami kondisi sakit adalah sebagai

pemberi keperawatan yang dapat dilakukan

oleh istri, anak atau suami. Perubahan peran ini

dapat terjadi jika ada anggota keluarga yang

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

19

sakit, ketidakmampuan melakukan aktifitas,

kematian atau kelahiran.

Kesimpulan

1. Peran keluarga dalam melakukan rehabilitasi

fisik bermakna terhadap kemandirian

aktifitas sehari-hari klien pasca stroke.

2. Tingkat kemandirian aktifitas sehari-hari

klien pasca stroke pada kelompok intervensi

lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol

setalah dilakukan rehabilitasi fisik.

3. Setelah dilakukan rehabilitasi fisik,

karakteristik keluarga yang bermakna

terhadap kemandirian kemandirian aktifitas

fisik sehari klien pascastroke adalah

pendidikan, pekerjaan dan posisi di

keluarga, sedangkan usia dan jenis kelamin

tidak bermakna terhadap kemandirian

aktifitas fisik sehari-hari klien pasca stroke.

Saran

1. Perlu diperkuat sistem follow up pasien

pasca stroke antara rumah sakit dan

puskesmas sebagai tindak lanjut perawatan

di rumah.

2. Perlu dikembangkan pelayanan keperawatan

di rumah (home care) sebagai modela

pelayanan keperawatan berkelanjutan yang

dapat dilakukan bersama oleh perawat atau

antar profesi kesehatan sehingga perawatan

lanjutan bagi pasien stroke dapat dilakukan

secara paripurna.

3. Perlu support mental melalui kunjungan

rumah terhadap keluarga yang melakukan

latihan rehabilitasi fisik pada pasien-pasien

stroke yang di rawat di rumah.

4. Perlu dikembangan penelitian lanjutan

terhadap variabel-variabel yang diduga

berpengaruh terhadapa penelitian ini

Daftar Rujukan

1. Mulyatsih,E & Ahmad,A .(2008). Stroke

:Petunjuk perawatan pasien pasca stroke di

rumah. Jakarta :Balai penerbit FKUI

2. Balitbangkes, (2007). Laporan Nasional

Riskesdas 2007

3. Miscbah,J.(1999). Stroke aspek diagnostik,

patofisiologi, managemen. Jakarta : Balai

penerbit FKUI

4. Winarni, S (2004). Pola Tindakan

Keperawatan untuk Meningkatkan

Kemandirian Pada Pasien Stroke Dengan

Hemiparese. Laporan Penelitian. Tidak

Dipublikasikan

5. Tandrawarsito, A.L (1993). Gambaran

Tentan Aktifitas Hidup Sehari-Hari

Penderita Pasca Stroke Di Uni Rawat Jalan

RSU Dr . Soetomo Surabaya. Laporan

Penelitian Pendahuluan. Tidak

Dipublikasikan.

6. Sabri, L., & Hastono, S.P. (2006). Statistik

kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

7. Sastroasmoro, S. (2006). Pemilihan subyek

penelitian, dalam Sastroasmoro & Ismael,

dasar-dasar metodologi penelitian klinis

(hlm.67-77). Jakarta: Sagung Seto.

8. Hadinoto, S., Setiawan & Soetedjo (1992).

Stroke Pengelolaan Mutakhir.Semarang-

Badan Penerbit UNDIP.

9. Gilbertson, L., Langhorne P., Alle &

Murray,G.D. (2000). Domiciliary

Occupational Therapy For Patient With

Stroke Discharge From Hospital :

Randomized Controlled Trial,

http:///bmjjournal.com. Diakses 24 Januari

2010

10. Weiss, et.al (2005)

11. Friedman, M.M., Bowman, V.R., Jones,

E.G.(2003). Family Nursing,

Research,theory & Practice. New Jersey:

Appleton & Lange

12. Hurlock, E.B. (1995). Psikologi

Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang

rentang Kehidupan.Alih Bahasa :

Istiwidayanti & Soedjarwo. Edisi lima.

Jakarta : Penerbit Erlangga

13. Notoatmojo, S.(1997). Ilmu Kesehatan

Masyarakat. Jakarta : Rineka Cipta

ARTIKEL PENELITIAN

20

Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk Suction Endotrakheal Terhadap Saturasi Oksigen di ICU RSUD

Prof Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Effect Of Suction Endotracheal Preoxygenation FOR THE OXYGEN Saturation

in ICU Prof Dr. Margono Soekarjo Hospital, Purwokerto

Budi Widiyanto, S. Hudijono

Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Semarang

Abstrak. Tindakan suction bertujuan untuk mengeluarkan sputum dari rongga mulut, trakhea,

dan bronchus sehingga jalan napas tidak terganggu, akan tetapi ada dampak lain yang

ditimbulkan dari tindakan tersebut yaitu adanya hipoksemia yang ditandai penurunan saturasi

oksigen, dan salah satu cara untuk mengatasi hipoksemia adalah dengan pemberian

preoksigenasi sebelum dilakukan tindakan suction endotrakheal. Tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100 % untuk suction

endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto.Metode penelitian menggunakan pre eksperimental design dengan desain one group

pra test-post test design. Alat yang digunakan adalah Pulse Oksimetri dan lembar observasi.

Sampel yang diperoleh 17 responden dengan teknik purposive sampling. Hasil penelitian ini

nilai rata-rata saturasi oksigen setelah suction endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100 %

adalah 97,2941 % dan nilai rata-rata saturasi oksigen setelah suction endotrakheal dengan

preoksigenasi O2 100 % adalah 99,7647 %, dari analisa statistik dengan t-test dependent

didapat p = 0.000 (<0.05), sehingga kesimpulannya terdapat pengaruh peningkatan yang

signifikan pemberian preoksigenasi sebelum dilakukan tindakan suction endotrakheal terhadap

saturasi oksigen.

Kata Kunci : Suction, pre oksigenasi, saturasi oksigen

Abstract. Mucus suction aimed to release sputum of mouth cavity, trachea, and bronchus, so

that the airway is not obstructed. However there is an impact from those suction ie : the

existence of hypoxemia which is marked by degradation of saturation oxygen .One of the ways

to overcome hypoxemia is by giving pre oxygenation before conducting Endo tracheal suction.

The aim of this research is to know the influence of giving pre oxygenation for Endo tracheal

suction toward oxygen saturation in ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. This

research has been conducted from 15 August until 14 September 2008. The research method

was pre experimental with design one group pre test-post test. The instruments used were Pulse

oxymetri and observation sheet. The obtained samples were 17 respondents by using purposive

sampling technique. The result of this research revealed that average value of oxygen saturation

after suction without O2 pre oxygenation 100 % was 97, 2941 % and the average value of

oxygen saturation after suction with O2 pre oxygenation 100 % was 99,7647 %. The statistical

analysis with dependent t-test showed p = 0.000 (< 0.05), so that it was concluded that there was

significance influence from delivering pre oxygenation toward oxygen saturation before Endo

tracheal suction has been conducted.

Keyword : Suction, pre oxygenation, oxygen saturation

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

Pendahuluan

Beberapa kondisi pasien yang memerlukan

pelayanan intensif adalah pasien dengan

gangguan sistem penapasan. Salah satu bentuk

gangguan pernapasan diantaranya adalah

obstruksi saluran pernapasan yang bisa

diakibatkan oleh adanya penumpukan sekret /

cairan ataupun benda yang menghalangi saluran

pernapasan. Apabila benda tersebut tidak dapat

dikeluarkan maka akan berakibat sangat fatal

bagi kelangsungan hidup. Obstruksi jalan napas

adalah resiko yang dihadapi pasien tidak sadar

karena epiglotis dan lidah mungkin rileks, yang

menyumbat orofaring, atau pasien mungkin

muntah atau sekresi nasofaring.1

Salah satu intervensi yang dilakukan oleh

perawat di pelayanan intensif adalah

pelaksanaan suction / suction saluran

pernapasan. Ada 3 macam bentuk penghisapan

yaitu penghisapan orofaring dan penghisapan

nasofaring, penghisapan orotrakhea dan

nasotrakhea, dan penghisapan napas buatan.2

Tujuan dari tindakan keperawatan suction ini

adalah untuk mengeluarkan sputum dari rongga

mulut, trakhea, dan bronchus sehingga jalan

napas tidak terganggu, akan tetapi ada dampak

lain yang ditimbulkan dari tindakan tersebut

yaitu hipoksemia yang ditandai dengan

penurunan saturasi dan peningkatan frekuensi

pernapasan jika dilakukan dengan teknik yang

kurang tepat.3

Menurut Baun (1984), Judson (1994),

Lookinland (1991), Mancinelli-Van (1992),

Peruzzi (1995) yang dikutip oleh Wynne R,

Botti M, Paratz J (2004)4 Preoksigenasi

direkomendasikan pada suction/suction

endotrakheal untuk mencegah hipoksemia.

Adapun salah satu bentuk teknik preoksigenasi

yaitu hiperoksigenasi dengan meningkatkan

pemberian oksigen pada saat inspirasi. Menurut

Bresler (1998)5 untuk mencegah terjadinya

hipoksemia adalah dengan melakukan

preoksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik

sampai 3 menit.

Pengukuran saturasi oksigen kapiler yang

kontinu dapat dilakukan dengan menggunakan

oksimetri kutaneus. Saturasi oksigen adalah

persentase hemoglobin yang disaturasi

oksigen. Menurut Whitney (1990) dikutip oleh

Potter dan Perry (2005)2 keuntungan

pengukuran oksimetri transkutaneus yaitu

mudah dilakukan, tidak invasif, dan dengan

mudah diperoleh. Oksimetri yang paling umum

digunakan adalah oksimeter nadi. Jenis

oksimeter ini melaporkan amplitudo nadi

dengan data saturasi oksigen. Perawat biasanya

mengikatkan sensor noninvasif ke jari tangan,

jari kaki, atau hidung klien yang memantau

saturasi oksigen darah.

Di ruang Intensif Care Unit (ICU) RSUD Prof.

Dr. Margono Soekarjo Purwokerto jumlah

pasien dari bulan Januari sampai April 2008

sebanyak 138 orang, dan yang dilakukan

tindakan suction/suction sebanyak 76 orang

artinya sekitar 55 % pasien-pasien di ruang ICU

RSUD Prof.Dr. Margono Soekarjo dilakukan

pengisapan lendir/suction. Penghisapan lendir

harus dilakukan dengan prosedur yang tepat

untuk mencegah terjadinya infeksi, luka,

spasme, edema, serta perdarahan jalan napas,

dan yang tidak kalah pentingnya adalah untuk

menghindari terjadinya hipoksia atau

hipoksemia. Sedangkan di ruang ICU RSUD

Prof. Dr. Margono Soekarjo tidak semua

perawat sebelum melakukan tindakan suction /

suction endotrakheal melakukan preoksigenasi

dengan O2 100 % terlebih dahulu.

Berdasarkan fenomena di atas penulis tertarik

untuk menyusun laporan penelitian tentang

pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100 %

untuk suction / suction endotrakheal terhadap

saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto. Berdasarkan

latar belakang masalah tersebut diatas maka

dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai

berikut, ’’Adakah pengaruh pemberian

preoksigenasi O2 100 % untuk suction / suction

endotrakheal terhadap saturasi oksigen di

ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui apakah ada pengaruh pemberian

preoksigenasi O2 100 % untuk suction / suction

endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang

ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto .

Metode Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan pada

penelitian ini menggunakan metode pre

eksperimental design, atau sering juga disebut

dengan istilah quasi eksperimen dengan jenis

penelitian menggunakan desain one group pra

test-post testwithout control group yaitu

caranya dengan dilakukan pre test dahulu

sebelum diberikan intervensi kemudian setelah

intervensi lalu diberikan post test. Sebelum

21

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

dilakukan intervensi kelompok subyek di

lakukan tindakan pengukuran saturasi oksigen

(SaO2) dengan pulse oksimetri dan setelah

dilakukan intervensi dengan cara memberikan

preoksigenasi O2 100 % pada suction/suction

endotrakheal kemudian dilakukan pengukuran

SaO2 setelah tindakan suction/suction

endotrakheal selesai, kemudian dibandingkan

apakah ada perbedaan, untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Perlakuan terhadap subyek penelitian

Subyek Pra Perlakuan Paska Test

K 1O I 1

2O

Time 1 Time 2 Time 3

Keterangan:

K : Subyek (Pasien dengan terpasang endotrakheal)

1O : Observasi saturasi oksigen (SaO2) setelah dilakukan suction/suction tanpa preoksigenasi O2 100%.

I 1 : Intervensi pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction.

2O : Observasi saturasi oksigen (SaO2) setelah dilakukan suction/suction dengan preoksigenasi O2 100%.

Populasi dan Sampel.

Dalam penelitian ini populasi yang diambil

adalah seluruh pasien dengan terpasang

endotrakheal yang dilakukan suction/suction

di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo dari tanggal 15 Agustus sampai

dengan 14 September 2008.

Sampel pada penelitian ini diambil dengan

teknik Purposive sampling yaitu dengan cara

mengambil subjek bukan didasarkan atas

strata, atau random tetapi didasarkan atas

adanya tujuan penelitian penulis dari seluruh

populasi yang dirawat inap di ruang ICU

RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo dalam

jangka waktu yang telah ditetapkan untuk

penelitian ini. Jumlah sampel pada penelitian

ini adalah 17 orang. Kriteria sampel yang

digunakan adalah :

Pasien yang terpasang endotrakheal, keluarga

Pasien bersedia menjadi responden, semua

golongan jenis kelamin yang kooperatif,

pasien yang terpasang ventilator dan

dilakukan tindakan suction/suction, tidak ada

kontra indikasi dilakukan preoksigenasi O2

100%”.

Instrumen dan Cara Pengumpulan Data

Pada penelitian ini alat yang digunakan

adalah pulse oksimetri yang terdapat pada

bedside monitor untuk mengukur saturasi

oksigen (SaO2) dari sampel yang akan diteliti,

sedangkan pemberian O2 100% yaitu dengan

setting ventilator yang terhubung dengan

oksigen sentral. Disamping itu peneliti juga

menggunakan lembar observasi untuk

menuliskan hasil pengukuran saturasi oksigen

(SaO2). Lembar observasi diisi oleh peneliti

atau enumerator (jika peneliti berhalangan

hadir) yang terlibat dalam penelitian ini.

Cara Pengumpulan Data.

Peneliti meminta ijin secara tertulis kepada

Direktur RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto untuk melakukan penelitian di

ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto. Setelah mendapatkan ijin untuk

melakukan penelitian, peneliti dan

enumerator menjelaskan maksud dan tujuan

penelitian kepada responden atau keluarga

pasien. Responden yang bersedia

berpartisipasi secara sukarela dalam

penelitian ini dimohon untuk menandatangani

lembar persetujuan menjadi responden.

Peneliti atau enumerator melakukan tindakan

suction tanpa preoksigenasi O2 100%

kemudian mencatat saturasi oksigen dilembar

observasi.

Selanjutnya dilakukan preoksigenasi O2

100% selama 2 menit dilanjutkan tindakan

suction selama maksimal 15 detik kemudian

kita lakukan pengukuran kembali saturasi

oksigen (SaO2).

22

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

Etika Penelitian

Peneliti atau enumerator memberikan lembar

persetujuan (Informed Consent) yang

merupakan cara persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian, hal ini bertujuan

agar subyek mengerti maksud dan tujuan

penelitian, mengetahui dampak dari

penelitian, jika bersedia maka subyek diminta

untuk menandatangani lembar persetujuan

yang telah disediakan, apabila responden

menolak maka peneliti akan menghormati hak

pasien dan tidak akan melakukan pemaksaan

kehendak. Pada lembar pengumpulan data

nama responden tidak dicantumkan, hanya

dituliskan kode pada lembar alat ukurnya

yaitu menggunakan nomor 1 sampai 17.

Confidentiality (kerahasiaan). Pelaporan hasil

riset hanya kelompok data tertentu yang dapat

mewakili, semua informasi yang telah

dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti.

Metode Pengolahan Data dan Analisa Data

Pengolahan Data.

Hasil dari pengumpulan data merupakan data

kasar, kemudian diolah agar data kasar dapat

diorganisir, disajikan dan dianalisa hingga

bisa ditarik kesimpulan, ini merupakan proses

penataan data.

Editing. Tujuan dari editing adalah agar

kesalahan atau kekurangan data yang

ditemukan dengan segera dapat dilakukan

perbaikan dengan cara mengoreksi data yang

meliputi kelengkapan pengisian dan hasil

pengamatan, koreksi ini dilakukan dilapangan

setelah pengukuran saturasi oksigen (SaO2)

dan pengisian chek list selesai.

Koding. Setelah editing data selesai maka

dilakukan pemberian kode atau tanda tertentu

terhadap hasil tindakan dan pengamatan yang

diperoleh untuk mempermudah penyusunan

tabel.

Tabulasi Guna memudahkan dalam

menganalisa data maka dilakukan kegiatan

memasukkan data-data hasil penelitian ke

dalam tabel-tabel sesuai dengan kriteria

tertentu.

Pengolahan data.Untuk mengetahui pengaruh

preoksigenasi O2 100% untuk tindakan

suction terhadap nilai saturasi oksigen (SaO2)

dengan cara menghitung selisih nilai SaO2

tindakan suction dengan preoksigenasi O2

100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa

preoksigenasi O2 100%.

Analisa Data.

Analisa Univariat. Digunakan dengan tujuan

untuk menggambarkan tiap variabel dengan

menggunakan tendensi sentral yang berupa

Standart Deviasi (SD) dan Mean, dari hasil

tersebut akan tergambar hasil pengukuran

nilai SaO2 tindakan suction dengan

preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2

tindakan suction tanpa preoksigenasi O2

100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto.

Analisa Bivariat. Analisa data ini digunakan

untuk mengetahui hasil pengukuran nilai SaO2

tindakan suction dengan preoksigenasi O2

100% dan nilai SaO2 tindakan suction tanpa

preoksigenasi O2 100% di ruang ICU Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto dengan

menggunakan alat bantu komputer melalui

program SPSS versi 11.5. kemudian

dilanjutkan uji statistik menggunakan t-test

dependen untuk uji beda yang digunakan

untuk menganalisa perbedaan nilai Mean

hasil pengukuran nilai SaO2 tindakan suction

dengan preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2

tindakan suction tanpa preoksigenasi O2

100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto, untuk semua responden

yang didapat.

Berdasarkan uji tersebut dapat disimpulkan

nilai p value jika ≥0,05 maka hipotesis nol

(Ho) diterima dan Ha di tolak, yang berarti

tidak ada pengaruh hasil pengukuran nilai

SaO2 tindakan suction dengan preoksigenasi

O2 100% dan nilai SaO2 tindakan suction

tanpa preoksigenasi O2 100% di ruang ICU

Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto,

sebaliknya nilai p value jika < 0,05 maka

hipotesis nol (Ho) ditolak dan Ha diterima

yang berarti ada pengaruh hasil pengukuran

nilai SaO2 tindakan suction dengan

preoksigenasi O2 100% dan nilai SaO2

tindakan suction tanpa preoksigenasi O2

100% di ruang ICU Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto.

Hasil

Dalam Bab ini akan disampaikan tentang hasil

penelitian yang telah dilaksanakan di ruang

ICU Rumah Sakit Umum Daerah Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto dengan jumlah

23

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

sampel 17 yaitu antara lain karakteristik

responden, nilai saturasi oksigen (SaO2)

setelah tindakan suction/suction endotrakheal

tanpa preoksigenasi O2 100%, nilai SaO2

setelah tindakan suction/suction endotrakheal

dengan preoksigenasi O2 100%, pengaruh

pemberian preoksigenasi O2 100% untuk

suction/suction endotrakheal terhadap SaO2 di

ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto.

Karakteristik Responden

Dari rincian tabel 2 dapat kita uraikan hasil

penelitian terhadap 17 responden yang

memenuhi kriteria inklusi, berdasarkan

analisa data dapat diketahui bahwa jumlah

proporsi responden antara laki-laki dan

perempuan lebih besar laki-laki yaitu 11

responden (64,7 %) perempuan 6 responden

(35,3 %).

Dari tabel 2. dapat diuraikan usia terbanyak

antara usia 13-44 tahun yang berjumlah 10

orang (58,8 %) kemudian usia 45-60 tahun

berjumlah 5 orang (29,4 %) dan usia lebih

dari 60 tahun paling sedikit yaitu hanya 2

responden (11,8%).

Table 1. Karakteristik responden menurut jenis kelamin di ruang ICU RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto (n=17)

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)

Jenis kelamin

Laki-laki 11 64,7

Perempuan 6 35,3

17 100,0

Table 2. Karakteristik responden menurut umur di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto (n=17)

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)

Umur

a. 13-44 tahun 10 58,8

b. 45-60 tahun 5 29,4

c. > 60 Tahun 2 11,8

17 100,0

Nilai saturasi oksigen (SaO2) setelah

tindakan suction/suction endotrakheal

tanpa preoksigenasi O2 100%

Dari rincian pada tabel 3 dapat diterangkan

bahwa berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan pada pasien dengan terpasang

endotrakheal yang dilakukan tindakan

suction/suction tanpa preoksigenasi O2 100%

di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono

purwokerto terdapat 17 responden, nilai rata-

rata (Mean) SaO2 adalah 97,2941 %, SaO2

tertinggi (Maksimal) adalah 100 %, SaO2

terendah adalah 95 % dan standar deviasi

adalah 1,57181.

Nilai saturasi oksigen (SaO2) setelah

tindakan suction/suction endotrakheal

dengan preoksigenasi O2 100% .

Pada tabel 4. dapat dijelaskan bahwa

berdasarkan penelitian yang telah dilakukan

pada pasien dengan terpasang endotrakheal

yang dilakukan tindakan suction/suction

dengan preoksigenasi O2 100% di ruang ICU

RSUD Prof. Dr. Margono purwokerto

terdapat 17 responden, nilai Mean SaO2

adalah 99,7647 %, SaO2 tertinggi (Maksimal)

adalah 100 %, SaO2 terendah adalah 99 % dan

standar deviasi adalah 0,43724.

24

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

Tabel 3. Hasil pengukuran nilai SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal tanpa

preoksigenasi O2 100% di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

N Mean (%) Maksimal (%)Minimal

(%)Standart Deviasi

17 97,2941 100 95 1,57181

Tabel 4. Hasil pengukuran nilai SaO2 setelah tindakan suction/suction endotrakheal dengan

preoksigenasi O2 100% di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

N Mean

(%)

Maksimal

(%)

Minimal

(%) Standart Deviasi

17 99,7647 100 99 0,43724

Pengaruh pemberian preoksigenasi O2

100% sebelum tindakan suction/suction

endotrakheal terhadap saturasi oksigen di

ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto. Pada tabel 5. berdasarkan analisa statisik

dengan menggunakan uji beda t- test

dependen menunjukan bahwa nilai p value

adalah sebesar 0,000 (< 0,05) dengan nilai

thitung = -6,769 < ttabel = -2,120 yang berarti

terdapat pengaruh pemberian preoksigenasi

O2 100% sebelum tindakan suction/suction

endotrakheal terhadap saturasi oksigen.

Table 5. Pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100% sebelum tindakan suction/suction

endotrakheal terhadap saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto

Tindakan suction X SD t P

( %) value

Tanpa O2 97,2 + 1,5

- 6,769 0,000

Dengan O2 99,7 + 0,4

Pembahasan

Pada bab ini akan dibahas mengenai

karakteristik responden, hasil pengukuran

saturasi oksigen (SaO2) setelah dilakukan

tindakan suction/suction endotrakheal tanpa

preoksigenasi O2 100%, hasil pengukuran

SaO2 setelah dilakukan tindakan

suction/suction endotrakheal dengan

preoksigenasi O2 100%, menganalisa

pengaruh pemberian preoksigenasi O2 100%

untuk suction/suction endotrakheal terhadap

saturasi oksigen di ruang ICU RSUD Prof. Dr.

Margono Soekarjo Purwokerto yang telah

selesai diteliti.

Karakteristik Responden. Hasil penelitian dari 17 responden yang

memenuhi syarat inklusi didapatkan bahwa

proporsi responden antara laki-laki dan

perempuan adalah lebih besar laki-laki yaitu

11 orang (64,7 %) dibandingkan perempuan

yaitu 6 orang (35,3 %) pada pasien yang

dilakukan tindakan suction/suction

endotrakheal dengan terpasang ventilator.

Sedangkan karakteristik sampel menurut umur

pada penelitian ini jumlah sampel terbanyak

pada rentang usia 13-44 tahun yaitu 10 orang

(58,8 %) kemudian usia 45-60 tahun sebanyak

25

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

5 orang (29,4 %) dan yang paling sedikit usia

lebih dari 60 tahun sebanyak 2 orang (11,8

%).

Angka kejadian tersebut bukan berarti jumlah

pasien yang terpasang endotrakheal dan

dilakukan tindakan suction/suction laki-laki

lebih besar dari perempuan, hal ini merupakan

suatu kebetulan saja pada saat dilaksanakan

penelitian pasien yang dilakukan

suction/suction endotrakheal lebih banyak

laki-laki. Sementara dilihat dari karakteristik

usia, kelompok usia yang paling banyak

adalah usia 13-44 tahun hal ini kemungkinan

adalah karena usia tersebut adalah usia

produktif dimana angka kejadian trauma

kepala lebih besar karena dari 17 responden

yang dijadikan sampel 82,3 % adalah pasien

dengan trauma kepala. Hal ini diperkuat data

dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2008

jumlah pasien yang terpasang ventilator dan

dilakukan suction/suction endotrakheal

sebanyak 52 orang dan 44 orang atau 85 %

adalah pasien cedera kepala.

Hasil pengukuran saturasi oksigen (SaO2)

setelah tindakan suction/suction

endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100%

Berdasarkan penelitian yang telah

dilaksanakan diperoleh bahwa Nilai rata-rata

SaO2 setelah tindakan suction/suction

endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100%

adalah 97,2941 % hal ini lebih rendah

dibandingkan dengan nilai rata-rata SaO2

setelah tindakan suction/suction endotrakheal

dengan preoksigenasi O2 100% yaitu 99,7647

% sehingga sesuai dengan apa yang ditulis

oleh Hudak dan Gallo (1997)3 bahwa ada

dampak lain yang ditimbulkan dari tindakan

suction/suction yaitu hipoksemia yang

ditandai dengan penurunan saturasi dan

peningkatan frekuensi pernapasan jika

dilakukan dengan teknik yang kurang tepat,

dan salah satu cara untuk mengatasi

hipoksemia tersebut adalah dengan terapi

oksigen atau pemberian preoksigenasi O2

100% sebelum tindakan suction/suction

endotrakheal dilakukan (Hudak dan Gallo,

1997).3

Adapun menurut Fikri dan Ganda (2005)6,

sistem pengangkutan oksigen dalam tubuh

melibatkan fungsi paru-paru dan sistem

kardiovaskuler. Oksigen yang ditranspor ke

jaringan tergantung dari jumlah oksigen yang

masuk ke paru-paru, difusi oksigen antara

alveolus dan arteri, aliran darah ke jaringan

dan kemampuan darah dalam mengangkut

oksigen (hemoglobin). Sependapat dengan

Hudak dan Gallo (1997)3, mayoritas oksigen

yang dibawa oleh darah dibawa oleh

hemoglobin, dan dalam jumlah sangat sedikit

dilarutkan dalam plasma. Persentase saturasi

hemoglobin dengan oksigen memberikan

perkiraan mendekati jumlah total oksigen

yang dibawa oleh darah. Tiap gram

hemoglobin dapat membawa maksimum 1,34

ml oksigen. Persentase saturasi hemoglobin

diartikan sebagai jumlah oksigen yang dibawa

hemoglobin dibandingkan dengan jumlah

oksigen yang dapat dibawa oleh

hemoglobin,ditunjukan sebagai persentase :

Jumlah O2 Hb yang dibawa

Persen saturasi O2 Hb = X 100

Jumlah O2 yang dapat dibawa Hb

Hasil pengukuran saturasi oksigen (SaO2)

setelah tindakan suction/suction

endotrakheal dengan preoksigenasi O2

100%

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat

diketahui bahwa nilai saturasi oksigen (SaO2)

setelah tindakan suction/suction endotrakheal

dengan preoksigenasi O2 100% diperoleh rata-

rata SaO2 99,7647 % hal ini lebih tinggi

dibandingkan nilai SaO2 setelah tindakan

suction/suction endotrakheal tanpa

preoksigenasi O2 100% yang hanya 97,2941

%, sehingga dapat diartikan bahwa pemberian

preoksigenasi sebelum dilakukan tindakan

suction endotrakheal mampu meningkatkan

nilai saturasi oksigen. Hal ini sesuai dengan

apa yang dikemukakan oleh Baun (1984),

Judson (1994), Lookinland (1991),

Mancinelli-Van (1992), Peruzzi (1995) yang

dikutip oleh Wynne , Botti , Paratz (2004)4

bahwa Preoksigenasi direkomendasikan pada

suction/suction endotrakheal untuk mencegah

hipoksemia. Teknik untuk preoksigenasi ada

tiga cara yaitu dengan memasukan

hiperoksigenasi atau meningkatkan

pengiriman oksigen inspirasi, kemudian

dengan hyperinflasi atau meningkatkan tidal

volume, dan teknik hyperventilation atau

meningkatkan menit volume atau kecepatan

respirasi. Adapun salah satu bentuk teknik

preoksigenasi yaitu hiperoksigenasi dengan

26

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

meningkatkan pemberian oksigen pada saat

inspirasi.

Sedangkan terapi pemberian preoksigenasi

dengan O2 100% pada pasien yang dilakukan

tindakan suction/suction endotrakheal

bertujuan untuk mengatasi hipoksemia sesuai

dengan analisis gas darah, serta menurunkan

kerja nafas dan menurunkan kerja miokard.

Terapi pemberian oksigen dapat berjalan

dengan baik dilihat dari hasil observasi

saturasi oksigen. Menurut (Rupii, 2005)7

saturasi oksigen adalah kemampuan

hemoglobin mengikat oksigen. Ditunjukkan

sebagai derajat kejenuhan atau saturasi

(SaO2). Saturasi yang paling tinggi (jenuh)

adalah 100%. Artinya seluruh tangan

hemoglobin mengikat oksigen. Sebaliknya

saturasi yang paling rendah adalah 0% artinya

tidak ada oksigen sedikitpun yang terikat oleh

hemoglobin. Hemoglobin yang tidak berikatan

dengan oksigen disebut reducen hemoglobin.

Menurut (Hudak & Gallo, 1997)3 tiap gram

hemoglobin dapat membawa maksimal 1,34

ml oksigen. Presentase saturasi hemoglobin

diartikan sebagai jumlah oksigen yang dibawa

oleh hemoglobin dibandingkan dengan jumlah

oksigen yang dapat dibawa oleh hemoglobin

(Hudak & Gallo, 1997).3

Adapun transport oksigen ke jaringan

tergantung pada jumlah oksigen dalam darah

arteri (kandungan oksigen arteri) dan

kemampuan jantung untuk memompa darah

yang mengandung oksigen ini keseluruh

jaringan. Sedangkan kandungan oksigen arteri

tergantung pada seberapa baik paru mampu

mendapatkan oksigen dari udara ke dalam

darah dan jumlah normal hemoglobin yang

berfungsi untuk membawa oksigen.

Sependapat dengan Fikri dan Ganda (2005)6

pengangkutan oksigen ke dalam jaringan

tubuh tergantung dari jumlah oksigen yang

masuk ke paru-paru, difusi oksigen antara

alveolus dan arteri, aliran darah ke jaringan

dan kemampuan darah dalam mengangkut

oksigen.

Pengaruh pemberian preoksigenasi O2

100% untuk suction/suction endotrakheal

terhadap saturasi oksigen (SaO2)

Berdasarkan hasil penelitian pada pasien

dengan ventilator yang dilakukan

suction/suction endotrakheal di Ruang ICU

RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto yang dilakukan terhadap 17

responden didapatkan hasil bahwa ada

pengaruh pemberian pemberian preoksigenasi

O2 100% untuk suction/suction endotrakheal

terhadap saturasi oksigen (SaO2). Hal ini

dapat dilihat dari data adanya peningkatan

nilai rata-rata SaO2 99,7647 % dari tindakan

suction/suction endotrakheal yang dilakukan

preoksigenasi O2 100% terlebih dahulu

dibandingkan nilai rata-rata saturasi oksigen

dari tindakan suction suction/suction

endotrakheal tanpa preoksigenasi O2 100%

yaitu hanya 97,2941 %. Dari uji beda dengan

t-test dependent diperoleh p value 0,000

(<0,05) yang berarti ada pengaruh yang

signifikan sekali dari pemberian preoksigenasi

O2 100% sebelum tindakan suction/suction

endotrakheal.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan teori

yang dikemukakan oleh Hudak dan Gallo

(1997)3 bahwa preoksigenasi O2 100%

diberikan untuk mencegah hipoksemia,

takipnea, takikardi pada pasien yang

dilakukan suction/suction endotrakheal.

Sependapat dengan Baun (1984), Judson

(1994), Lookinland (1991), Mancinelli-Van

(1992), Peruzzi (1995) yang dikutip oleh

Wynne, Botti , Paratz (2004)4 Preoksigenasi

direkomendasikan pada suction/suction

endotrakheal untuk mencegah hipoksemia.

Weingart & Levitan (2011)8 bahkan meminta

preoksigenasi dilakukan pada semua kategori

baik resiko rendah (SpO2 96%–100%), tinggi

(SpO2 91%–95%) hingga hypoksemia SpO2

90% sehingga tidak terjadi desaturasi pada

akhirnya berkaitan dengan tindakan

emergency airway management.

Ada banyak penyebab terjadinya hipoksia

jaringan yang mengakibatkan ketidakcukupan

oksigen. Empat penyebab mengapa darah

arteri tidak dapat membawa jumlah oksigen

normal yaitu Hipoventilasi alveolar yang

berhubungan dengan PCO2 tinggi, kerusakan

difusi yang berhubungan dengan PCO2 rendah

atau normal, pirau kanan ke kiri, ketidak

cocokan ventilasi dan aliran darah pada paru.

Salah satu cara untuk mengetahui ada atau

tidaknya hipoksia atau hipoksemia adalah

dengan mengukur saturasi oksigen. Saturasi

oksigen dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang

masuk paru-paru (ventilasi), kecepatan difusi,

dan kapasitas homoglobin dalam membawa

oksigen. Kapasitas darah membawa oksigen

dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang larut

27

Widiyanto, Hudijoyo, Pengaruh Pemberian Pre-Oksigenasi terhadap Saturasi Oksigen

dalam plasma. Jumlah dan kecenderungan

homoglobin untuk berikatan oksigen.

Kesimpulan dan Saran

Berdasarkan hasil penelitian mengenai

Pengaruh Pemberian Preoksigenasi Untuk

Suction/Suction Endotrakheal Terhadap

Saturasi Oksigen Di Ruang ICU RSUD Prof.

Dr. Margono Soekarjo Purwokerto yang

dilakukan pada 17 responden yang dianalisa

dengan SPSS versi 11.5 dapat diambil

kesimpulan nilai rata-rata saturasi oksigen

setelah tindakan suction/suction endotrakheal

tanpa preoksigenasi O2 100% adalah 97,2941

%, saturasi oksigen tertinggi 100 %, saturasi

oksigen terendah 95 %, dengan standar

deviasi 1,57181, nilai rata-rata saturasi

oksigen setelah tindakan suction/suction

endotrakheal dengan preoksigenasi O2 100%

adalah 99,7647 %, saturasi oksigen tertinggi

100 %, saturasi oksigen terendah 99 %,

dengan standar deviasi 1,50489, hasil analisis

dari uji beda dengan menggunakan t-test

dependen didapatkan p value 0,000 (<0,05)

yang berarti bahwa terdapat pengaruh yang

signifikan dari pemberian preoksigenasi O2

100% untuk tindakan suction/suction

endotrakheal terhadap saturasi oksigen di

Ruang ICU RSUD Prof. Dr. Margono

Soekarjo Purwokerto. Dari kesimpulan ini

peneliti menyarankan agar klien yang

terpasang ventilator agar diberikan tindakan

suction/suction endotrakheal dengan

preoksigenasi O2 100%.

Daftar Pustaka

1. Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan

Medikal Bedah, (terjemahan), Edisi 8

volume 3, Jakarta: EGC.

2. Perry & Potter. 2005. Buku saku

ketrampilan dan prosedur dasar,

(terjemahan), Jakarta: EGC.

3. Hudak & Gallo. 1997. Keperawatan Kritis,

(terjemahan), Jakarta,EGC.

4. Wynne R, Botti M, Paratz J. 2004.

Preoxygenation for tracheal suctioning in

ventilated adults,diakses dari

doi.wiley.com/10.1002/14651858.Cd

005142, tanggal 14 mei 2008 jam 11.00

WIB.

5. Bressler, M. 1998. Buku saku: Penuntun

Kedaruratan medis (terjemahan) ,Edisi V,

Jakarta: EGC.

6. Fikri B, Ganda I.J. 2005. Transpor

Oksigen, Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin/RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar.

7. Rupi’i. 2005. Kumpulan makalah pelatihan

PPGD,RSUP dr. Karyadi, Semarang: tidak

dipublikasikan.

8. Weingart, S. & Levitan, R. 2011.

Preoxygenation and prevention of

desaturation during emergency airway

management. Annals of Emergency

Medicine

Volume 59, Issue 3 , Pages 165-175.e1.

Diakses 20 Maret 2012.

28

ARTIKEL PENELITIAN

29

Hubungan Persepsi Perawat Tentang Fungsi Manajerial

Kepala Ruang terhadap Pelaksanaan Manajemen Asuhan

Keperawatan Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD

dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

Association Between Nurse Managerial Functions Head Of Nursing Perception In

dr. Doris Sylvanus Hospital Palangkaraya

Untung Halajur, Berthiana Tinse

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Palangka Raya

Abstrak. Perawat sebagai ujung tombak rumah sakit akan selalu menghadapi secara langsung

baik pasien maupun keluarga, selalu berinteraksi selama 24 jam sehingga lebih banyak

memiliki waktu dan jumlah kontak,juga dituntut untuk memberikan pelayanan kesehatan

profesional,merupakan salah satu indikator dalam menciptakan kepuasan dan loyalitas pasien.

Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi

manajerial kepala ruangan terhadap pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan di ruang rawat

inap RSUD Dr. Doris Sylavanus Palangka Raya. Desain penelitian merupakan studi cross-

sectional,unit analisis akan dilakukan kepada responden yaitu perawat pelaksana dengan

pengukuran melalui kuesioner persepsi perawat pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang

dan pengukuran manajemen asuhan keperawatan melalui penilaian 5 dokumen keperawatan

pasien yang sudah dinyatakan pulang pada masing-masing ruangan. Hasil analisis univariat

tentang pelaksanaan penerapan standar asuhan keperawatan di RSUD dr. Doris Sylvanus

menunjukan bahwa hasil askep yang dinilai dan pencapaian rata-rata dalam asuhan keperawatan

kategori cukup (68,6%), persepsi perawat terhadap fungsi perencanaan kepala ruangan yaitu

73,3% baik,fungsi pengorganisasian kepala ruangan 66,7% baik, fungsi pengarahan kepala

ruangan 66,7% baik, fungsi pengawasan kepala ruangan 50% baik. Hasil analisis bivariat

menunjukkan tidak ada hubungan antara persepsi perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan

dan pengorganisasian kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan,

sedangkan persepsi perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan dan pengawasan menunjukkan

ada hubungan yakni p<0,05.

Kata kunci: fungsi manajerial, kepala ruang, asuhan keperawatan, rumah sakit

Abstract. Nurses as the spearhead of the hospital will always face directly either the patient or

the family, always interacting for 24 hours so that more have the time and the number of

contacts, are also required to provide health care professionals, is one of the indicators in creating

patient satisfaction and loyalty. The effort is very important in improving the quality of nursing

services one of which is to improve human resources management and nursing. The research

objective was to analyze the relationship nurse's perception of managerial functions chief

executive room on the implementation of nursing care management in the inpatient hospital Dr.

Doris Sylavanus Palangkaraya.

Method. The study design was cross-sectional study, the unit of analysis will be done to the

respondent that the nurse practitioner through a questionnaire measuring perceptions of the nurse

practitioner on managerial functions and measurement of head space management nursing care

through assessment document five nursing home patients who had been declared in each room.

The results of univariate analysis of implementation of the standards of nursing care in hospitals

dr. Doris Sylvanus showed that nursing outcomes were assessed and the average achievement in

nursing care enough category (68.6%), the perception of the head nurse of the planning function

Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep

30

room which is 73.3% better, the head of the organizing function rooms 66.7% good, function

direction of head room 66.7% good, room monitoring function heads 50% good. The results of

bivariate analysis showed no association between nurse executive perceptions about the

functions of planning and organizing head space with the implementation of nursing care

management ie p> 0.05, while the nurse executive perceptions about the direction and

controlfunctions show no relationship that is p <0.05.

Keywords: managerial functions, the head of the room, nursing care, hospital

Pendahuluan

Rumah Sakit merupakan salah satu tatanan

pemberi jasa layanan kesehatan, dimana rumah

sakit dituntut harus mampu dan mau

menyediakan berbagai jenis pelayanan kesehatan

yang bermutu bagi pelanggan/pasien. Salah satu

tuntutan yang harus diperhatikan adalah

pelayanan prima yang tidak hanya memberikan

pelayanan sesuai standar tetapi mengedepankan

kepuasan pelanggan/pasien. Perawat sebagai

ujung tombak rumah sakit secara langsung

berinteraksi dengan pelanggan baik pasien

maupun keluarga, juga selalu berinteraksi

dengan pasiennya selama 24 jam, sehingga lebih

banyak memiliki waktu kontak dan jumlah

kontak, dengan demikian memiliki kontribusi

yang besar dalam upaya meningkatkan kualitas

dan kuantitas pelayanan kesehatan khususnya

pelayanan keperawatan.1Perawat juga dituntut

untuk memberikan pelayanan yang profesional

sebagai salah satu indikator dalam menciptakan

kepuasan dan loyalitas pelanggan. Salah satu

upaya yang sangat penting dalam meningkatkan

mutu pelayanan keperawatan adalah

meningkatkan sumber daya manusia dan

manajemen keperawatan.2Melihat pentingnya

peran seorang pemimpin khususnya kepala

ruangan dalam memimpin terutama melakukan

fungsi manajerial dalam memberikan pelayanan

kepada pasien dan penting mengetahui persepsi

perawat pelaksana terhadap fungsi manajerial

kepala ruangan agar bisa tercapainya pelayanan

keperawatan sesuai dengan standar praktek

keperawatan, maka penelitian ini penting

dilakukan.

Menurut Sarlito persepsi adalah kemampuan

untuk membeda-bedakan, mengelompokkan dan

memfokuskan perhatian terhadap suatu objek ,

sehingga setiap orang akan berlainan dalam

mempersepsikan suatu objek, dan menurut

Menurut Walgito (2001) Cit Sunaryo persepsi

adalah proses pengorganisasian,

penginterpretasian terhadap rangsang yang

diterima oleh organisme atau individu sehingga

merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan

aktivitas yang integrated dalam diri individu,

sedangkan menurut Maramis (1999) Cit Sunaryo

persepsi adalah daya mengenal barang, kualitas

atau hubungan dan perbedaan antara hal ini

melalui proses mengamati, mengetahui, atau

mengartikan setelah pancainderanya mendapat

rangsang.3Jadi dengan demikian dapat

disimpulkan, bahwa persepsi adalah suatu proses

diterimanya rangsang melalui pancaindera yang

didahului oleh perhatian sehingga individu

mampu mengetahui, mengartikan, dan

menghayati tentang hal yang diamati, baik hal

yang diluar dirinya maupun hal yang didalam

dirinya.Manajemen adalah proses melaksanakan

pekerjaan melalui upaya orang lain (Gillies).1

Manajemen keperawatan sebagai proses

pelaksanaan pelayanan keperawatan melalui staf

keperawatan untuk memberikan Asuhan

Keperawatan, pengobatan dan rasa aman kepada

pasien/keluarga/masyarakat. Fungsi manajemen

yang harus dilaksanakan oleh pengelola

keperawatan yakni kepala ruangan adalah untuk

merencanakan, mengorganisasi dan

mengarahkan serta mengawasi sumber-sumber

yang ada (dana dan daya) untuk membuat

pelayanan asuhan kesehatan khususnya

pelayanan keperawatan dapat berlangsung secara

efektif dan efisien dan sesuai dengan standar

asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan.4

Adapun tujuan umum penelitian ini adalah

Menganalisis hubungan persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi manajerial kepala

ruangan terhadap pelaksanaan manajemen

asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD

Dr. Doris Sylavanus Palangka Raya.

Metode

Desain penelitian ini merupakan studi cross-

sectional, populasi dalam penelitian adalah

seluruh perawat pelaksana rawat inap dan

dokumen keperawatan pasien yang telah pulang

dalam kurun waktu 2 (dua) bulan pada Oktober –

Nopember 2011 di RSUD Dr. Doris Sylvanus

Palangka Raya.Pengambilan sampel penelitian

untuk perawat pelaksana, ini ditentukan melalui

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

31

Proportionate Stratified Random Sampling yaitu

teknik pengambilan sampel dari anggota

populasi secara acak dan berstrata secara

proposional serta berdasarkan ruangan dimana

perawat pelaksana berada.5 Selain itu responden

ditentukan berdasarkan kriteria: bersedia

menjadi responden, pendidikan minimal DIII

keperawatan, bekerja minimal 2 tahun diruangan

tempat dimana responden berada saat penelitian,

dan bekerja sebagai perawat pelaksana.Sebagai

unit analisis akan dilakukan kepada responden

yaitu perawat pelaksana sebanyak 30 responden

yang berasal dari ruangan A, B, D, E dan F serta

ruang kelas utama masing-masing diambil 5

orang sebagai responden yang memenuhi

kriteriadengan pengukuran melalui kuesioner

persepsi perawat pelaksana tentang fungsi

manajerial kepala ruang dan kuesioner

pengukuran manajemen asuhan keperawatan

melalui penilaian 5 dokumen keperawatan pasien

yang sudah dinyatakan pulang pada masing-

masing ruangan yang didapat dari bagian

medikal record rumah sakit Doris Sylvanus dan

ditentukan secara random sampling.

Alat untuk mengumpulkan data dalam

penelitian ini digunakan jenis instrumen yanig

terdiri dari :a. Kuisioner Penelitian Perawat

Pelaksana; 1) Daftar isian karakteristik

demografi perawat, 2) Daftar pernyataan persepsi

tentang faktor fungsi manajerial kepala

ruangan.b. Instrumen Studi Dokumentasi

Penerapan Standar Asuhan Keperawatan.

Analisis data pada penelitian ini terdiri dari :a.

Analisis Univariat; dilakukan untuk

mendiskripsikan seluruh variabel, yaitu variabel

independen maupun variabel dependen dengan

menggunakan analisis statistik deskriptif

(persentase, ukuran nilai tengah dan ukuran

varian), b. Analisis Bivariata Analisis bivariat ini

menggunakan analisis tabulasi silang (Crosstab)

yaitu menyajikan data dalam bentuk tabulasi

yang meliputi baris dan kolom yang datanya

berskala nominal atau kategori. Chi-

squaremenguji adakah assosiasi antara masing-

masing variabel independen persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang

yaitu fungsi perencanaan, fungsi

pengorganisasian, fungsi pengarahan, dan fungsi

pengawasan secara sendiri-sendiri terhadap

variabel dependen tentang pelaksanaan

manajemen asuhan keperawatan, sehingga

diketahui variabel independen mana yang secara

bermakna berhubungan dan layak untuk diuji

secara bersama-sama (multivariat). Apabila hasil

uji Chi-squares (χ²) nilai p<0.05, maka dapat

disimpulkan ada hubungan atau assosiasi antara

variabel independen dan dependen.c. Analisis

Multivariat; digunakan regresi logistik (logistic

regression) karena skala pengukuran pada

variabel dependen berskala nominal dikotom dan

skala pengukuran pada variabel independen juga

berskala numerik dan nominal. Disini diuji

apakah probabilitas terjadinya variabel dependen

dapat diprediksi dengan variabel

independennya.Karena dalam penelitian ini

diteliti variabel independen persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi manajerial kepala ruang

yang diukur dengan skala nominal berpengaruh

terhadap variabel dependen tentang pelaksanaan

manajemen asuhan keperawatan yang juga

berskala nominal.

Hasil

Karakteristik responden penelitian kepala

ruangan adalah 1) berdasarkan tingkat

pendidikan kepala ruangan di RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya paling banyak

berpendidikan D3 Keperawatan (93,3%) dan S1

keperawatan sebanyak 6,7%. 2) berdasarkan

umur kepala ruangan berumur 26-30 tahun

sebanyak 50%, yang berumur 31-35 tahun

sebanyak 33%, dan berumur 21-24 tahun

sebanyak 16,7%. Sebagian besar kepala ruangan

adalah perempuan (86,7%), laki-laki berjumlah

13,3 %. kepala ruanganyang sudah menikah

sebanyak 70% dan 30% belum menikah.

Pelaksanaan Penerapan Standar Asuhan

Keperawatan di RSUD dr. Doris Sylvanus

Pada tabel 1.menunjukan bahwa hasil askep

yang dinilai dan pencapaian rata-rata dalam

asuhan keperawatan di RSUD dr. Doris

Sylvanus, Palangka Raya, 2011 di kategori

cukup (68,6%). Hal ini dapat dilihat pada nilai

pengkajian keperawatan 74,2%, diagnose

keperawatan 63,3%, perencanaan keperawatan

93,3%, evaluasi keperawatan 91,7%, dan catatan

askep 88,7%.(Lihat tabel1).

Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep

32

Tabel 1. Evaluasi Pelaksanaan Penerapan Standar Askep di RSUD dr. Doris Sylvanus

Palangka Raya, 2011

No Askep Jumlah Nilai

seharusnya

Rata-Rata

(%)

1 Pengkajian 89 120 74,2

2 Diagnose 57 90 63,3

3 Perencanaan 168 180 93,3

4 Tindakan 99 120 82,5

5 Evaluasi 55 60 91,7

6 Catatan Askep 133 150 88,7

Total 493,7

Pencapaian Rata-rata 68,6

Persepsi Perawat tentang Fungsi Manajerial

dan PelaksanaanManajemen Askep di Ruang

Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus

Pelaksanaan manajemen Askep dinilai

dari 6 standar pelaksanaan Askep yaitu

pengkajian keperawatan, diagnosa

keperawatan, perencanaan keperawatan,

tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan,

dan catatan asuhan keperawatan.

Berdasarkan 6 standar ini kemudian

dikelompokan menjadi pelaksanaan

manajemen Askep tidak baik, bila nilai

kurang dari nilai rata-rata dan dikatakan baik

bila lebih atau sama dengan nilai rata-rata.

Sedangkan persepsi perawat tentang fungsi

manajerial Kepala Ruangan ditanyakan 5

fungsi manajerial Kepala Ruangan. Fungsi

perencanaan terdiri dari 8 pertanyaan, fungsi

pengorganisasian terdiri dari 7 pertanyaan,

fungsi pengarahan 4 pertanyaan, fungsi

pengawasan terdiri dari 6 pertanyaan, dan

fungsi pengendalian terdiri dari 8

pertanyaan. Berdasarkan 6 standar ini

kemudian dikelompokan menjadi persepsi

perawat tentang fungsi manajerial Kepala

Ruangan tidak baik bila kurang dari nilai

rata-rata dan dikatakan baik bila lebih atau

sama dengan nilai rata-rata.

Hasil analisis bivariat ditemukan variable

independen yang memenuhi kriteria kandidat

model adalah fungsi pengarahan (nilai

p=0,002) dan pengawasan (nilai p=0,009)

(Lihat tabel 2).

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate Fungsi Manajerial Kepala Ruangan terhadap Pelaksanaan Asuhan

Keperawatan di RSBLUD dr. Doris Sylvanus, 2011

Variabel Manajemen

Askep

Total OR 95% CI Nilai P

Tidak

baik Baik

Perencanaan Tidak baik Jumlah 4 4 8 1 0,198-5,045 1,000

% 50.0% 50.0% 100.0%

Baik Jumlah 11 11 22

% 50.0% 50.0% 100.0%

Pengorganisasian Tidak baik Jumlah 3 7 10 0,29 0,056-1,446 0,121

% 30.0% 70.0% 100.0%

Baik Jumlah 12 8 20

% 60.0% 40.0% 100.0%

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

33

Tabel 2. Hasil Analisis Bivariate Fungsi Manajerial Kepala Ruangan terhadap Pelaksanaan Asuhan

Keperawatan di RSBLUD dr. Doris Sylvanus, 2011

Variabel Manajemen

Askep

Total OR 95% CI Nilai P

Tidak

baik Baik

Pengarahan Tidak

baik

Jumlah 7 3 10 2,5 1,092-7,714 0,002

% 70.0% 30.0% 100.0%

Baik Jumlah 8 12 20

% 40.0% 60.0% 100.0%

Pengawasan Tidak

baik

Jumlah 6 5 11 2,3 2,130-5,915 0,009

% 54.5% 45.5% 100.0%

Baik Jumlah 9 10 19

% 47.4% 52.6% 100.0%

Model akhir multivariat terdapat

hubungan antara pengarahan dan pengawasan

terhadap pelaksanaan Asuhan Keperawatan di

Ruang Rawat Inap RSUD dr.Doris Sylvanus

Palangka Raya. Terlihat bahwa Fungsi

pengarahan dengan nilai p=0,014 (p<0,05) dan

OR=3,4, menunjukkan persepsi perawat

tentang fungsi pengarahan kepala ruang tidak

baik, mempunyai pengaruh terhadap

manajemen asuhan keperawatan tidak baik 3,4

kali lebih besar dibandingkan dengan persepsi

perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan

kepala ruang baik,danfungsi pengawasan

dengan nilai p=0,044 (p<0,05) dan OR=1,19,

menunjukkan persepsi perawat pelaksana

tentang fungsi pengawasan kepala ruang tidak

baik, mempunyai pengaruh terhadap

pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan

tidak baik sebesar 1,19 kali lebih besar,

dibandingkan dengan persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi pengawasan kepala

ruang baik. Variabel yang paling dominan

mempengaruhi pelaksanaan Askep di Ruang

Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus adalah

fungsi pengarahan (OR=3,4)(Lihat tabel 3).

Tabel 3. Model Akhir Regresi Logistik Fungsi Manajerial Kepala Ruangan terhadap Pelaksanaan

Asuhan Keperawatan di RSBLUD dr. Doris Sylvanus, 2011

Fungsi Manajerial Koefisien OR 95% CI Nilai P

Pengarahan

Pengawasan

Konstanta

1,304

-0,144

-1,952

3,46

1,19

1,73 – 5,60

1,09 – 4,37

0,014

0,044

R2 = 0,601

Pembahasan

Pelaksanaan penerapan standar Askep di

RSUD Dr.Doris SylvanusPalangka Raya

Nopember 2011 khususnya pada ruangan A,

B, D, E dan F serta ruang kelas utama yang

dijadikan sampel penelitian, menunjukan hasil

bahwa asuhan keperawatan yang dinilai dan

pencapaian rata-rata dalam asuhan

keperawatan di RSUD Dr.Doris Sylvanus di

kategorikan cukup baik (68,6%), hal ini dapat

dilihat pada nilai pengkajian keperawatan

74,2%, diagnosa keperawatan 63,3%,

perencanaan keperawatan 93,3%, evaluasi

keperawatan 91,7%, dan catatan askep 88,7%.

Hal ini terkait dengan pendidikan perawat

dimana sebagian besar responden

berpendidikan D III Keperawatan (93,3%),

dimana sudah mendapat pengetahuan dan

pengalaman mengelola pasien dengan

pendekatan asuhan keperawatan selama

Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep

34

pendidikan.Menurut Nursalam (2009) seorang

manajer diharapkan mampu mengelola

pelayanan keperawatan di ruang rawat inap

dengan menggunakan pendekatan manajemen

keperawatan yaitu melalui fungsi

perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,

dan pengawasan.

Hasil penelitian menunjukkan persepsi

perawat pelaksana tentang fungsi perencanaan

kepala ruangan sebagian besar setuju pada

perencanaan kegiatan askep kepala ruang,

khususnya kegiatan setiap bulan (70%) dan

setiap hari (70%), ada sebagian ragu-ragu,

khususnya pada perencanaan askep tiap tahun

(53,3%) dan sebagian kecil yang kurang

setuju, khususnya pada perencanaan kegiatan

askep tiap minggu (53,3%),akan tetapi secara

kumulatif persepsi perawat pelaksana tentang

fungsi perencannaan kepala ruangan yang

tidak baik proporsinya sama baik pada

perencanaan yang baik maupun tidak baik,

masing-masing yaitu 50%, demikian pula

dengan manajemen askep yang baik.

Berdasarkan uji Chi-squares

menunjukkan tidak ada hubungan antara

persepsi perawat pelaksana tentang fungsi

perencanaan kepala ruang dengan

pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan

di ruang rawat inap RSUD Dr. Doris Sylvanus

Palangka Raya (p>0,05). Dimana perawat

pelaksana yang melaksanakan manajemen

asuhan keperawatan baik maupun tidak baik,

tidak terkait dengan persepsi mereka tentang

fungsi perencanaan kepala ruang baik maupun

tidak baik. Hal ini dikarenakan dari 6 kepala

ruangan tingkat pendidikannya D-IV (30,3

%) dan S-1 (30,3%) serta S-1 + Ners (30,3%)

walaupun mereka mempunyai masa kerja

yang cukup lama, hal tersebut tidak

mempengaruhi kemampuan manajerial

kepala ruangan. Disamping itu perawat

pelaksana sebagian besar tingkat

pendidikannya D-III (93,3%) sebagai ahli

madya yang sifatnya hanya operasional dalam

pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan.

Hasil penelitian fungsi pengorganisasian

kepala ruang menurut persepsi perawat

pelaksana menunjukkan sebagian besar setuju

bahwa ada perumusan metode/sistem

penugasan (56,7%), membuat rincian tugas

katim dan anggota tim (56,7%), mengatur dan

mengendalikan tenaga keperawatan (40%),

pendelegasian tugas keperawatan (53,3%),

dan memberikan wewenang kepada tenaga

TU (50%).Ada sebagian persepsi perawat

pelaksana ragu-ragu tentang merumuskan

metoda/system penugasan (26,7%), Akan

tetapi secara kumulatif persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi pengorganisasian

kepala ruangan yang tidak baik proporsinya

lebih besar berasal dari pelaksanaan karu yang

baik (60%), daripada yang tidak (30%).

Demikian pula dengan manajemen askep karu

yang baik lebih banyak berasal dari fungsi

pengorganisasian yang tidak baik (70%)

daripada yang baik (40%).

Berdasarkan uji Chi-squares menunjukan

tidak ada hubungan antara persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi pengorganisasian

kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen

asuhan keperawatan di ruang rawat inap

RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

(p=0,121), dimana perawat pelaksana yang

melaksanakan manajemen asuhan

keperawatan baik maupun tidak baik, tidak

terkait dengan persepsi mereka tentang fungsi

pengorganisasian kepala ruang baik maupun

tidak baik. Hal ini dikarenakan dari 6 kepala

ruangan sebagian tingkat pendidikannya

bervariasi walaupun mereka mempunyai masa

kerja yang cukup lama, hal tersebut tidak

mempengaruhi kemampuan manajerial

kepala ruangan. Disamping itu perawat

pelaksana sebagian besar tingkat

pendidikannya D-III (93,3%) sebagai ahli

madya yang sifatnya hanya operasional dalam

pelaksanaan manajemen asuhan keperawatan.

Hasil penelitian menunjukkan persepsi

perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan

kepala ruang sebagian besar kurang setuju

(43,3%) bahwa kepala ruang tidak melibatkan

perawat sejak awal hingga akhir, tidak

memberi motivasi dalam meningkatkan

asuhan keperawatan (40%), tidak pernah

membimbing perawat dalam asuhan

keperawatan dengan benar (43,3%). Sebagian

besar setuju, jika kepala ruangan memberi

pujian kepada perawat dalam asuhan

keperawatan (50%), Hal tersebut didukung

oleh data sejumlah persepsi perawat pelaksana

tentang fungsi pengarahan kepala ruangan

yang tidak baik (70%), daripada yang baik

(40%). Demikian pula dengan manajemen

askep yang baik lebih besar berasal dari

pengarahan yang baik (60%) daripada

pengarahan yang tidak baik (40%).

Berdasarkan uji Chi-squares menunjukan

ada hubungan antara persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala

ruangan dengan pelaksanaan manajemen

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

35

asuhan keperawatan di ruang rawat inap

RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

(p=0,002), dimana perawat pelaksana yang

melaksanakan manajemen asuhan

keperawatan baik maupun tidak baik, terkait

dengan persepsi mereka tentang fungsi

pengarahan kepala ruang baik maupun tidak

baik. Hasil uji regresi logistik bahwa persepsi

perawat pelaksana tentang fungsi pengarahan

kepala ruang tidak baik, mempunyai pengaruh

terhadap pelaksanaan manajemen asuhan

keperawatan tidak baik 3,4 kali lebih besar,

dibandingkan dengan persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi pengarahan kepala

ruang baik. Pentingnya fungsi pengarahan ini

dilakukan oleh seorang kepala ruang adalah

karena manusia pada dasarnya dapat

diarahkan dan dapat menerima kepemimpinan

untuk berbagai alasan diantaranya

administrasi mereka, kekuasaan, penghasilan

dan keamanan. Pengarahan efektif yaitu yang

sesuai dengan situasi dan kebutuhan sangat

berguna dalam meningkatkan dukungan staf

untuk mencapai tujuan manajemen

keperawatan dan tujuan asuhan keperawatan.

Fungsi pengarahan yang dilakukan oleh

kepala ruangan dalam melakukan kegiatan

asuhan keperawatan berupa saling memberi

motivasi, membantu pemecahan masalah,

melakukan pendelegasian, menggunakan

komunikasi yang efektif, melakukan

kolaborasi dan koordinasi, hal ini akan

memberikan dampak dan pengaruh yang besar

terhadap pelaksanaan kegiatan asuhan

keperawatan yang dilakukan oleh perawat

pelaksana, karena apa yang dipersepsikan

oleh seseorang terhadap objek tertentu itu

akan di interpretasikan oleh orang tersebut

melalui perilakunya, demikian juga halnya

yang akan dilakukan seorang perawat

pelaksana.

Hasil penelitian menunjukkan persepsi

perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan

kepala ruang sebagian besar kurang setuju,

jika kepala ruangan tidak menilai pelaksanaan

asuhan keperawatan (73,3%), tidak terlibat

perbaikan askep pada saat suvervisi (63,3%),

dan tidak menggunakan standar untuk menilai

askep (53,3%). Persepsi perawat pelaksana

tentang fungsi pengawasan kepala ruang

sebagian besar setuju, jika kepala ruangan

melakukan supervisi langsung (63,3%), saat

supervisi memperhatikan kemajuan dan

kualitas asuhan keperawatan (63,3%), dan

menilai pengetahuan dan ketrampilan perawat

dalam asuhan keperawatan (53,3%). Persepsi

perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan

kepala ruangan yang tidak baik proporsinya

lebih besar berasal dari pengawasan karu yang

tidak baik (54,5%), daripada yang baik

(47,4%). Demikian pula dengan manajemen

askep yang baik, lebih besar berasal dari

pengawasan yang baik (52,6%) daripada

pengawasan yang tidak baik

(45,5%).Berdasarkan uji Chi-squares

menunjukan ada hubungan antara persepsi

perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan

kepala ruang dengan pelaksanaan manajemen

asuhan keperawatan di ruang rawat inap

RSUD Dr. Doris Sylvanus (p=0,009), dimana

perawat pelaksana yang melaksanakan

manajemen asuhan keperawatan baik maupun

tidak baik, terkait dengan persepsi mereka

tentang fungsi pengawasan kepala ruang baik

maupun tidak baik. Hasil uji regresi logistik

bahwa persepsi perawat pelaksana tentang

fungsi pengawasan kepala ruang tidak baik,

mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan

manajemen asuhan keperawatan tidak baik

1,19 kali lebih besar, dibandingkan persepsi

perawat pelaksana tentang fungsi pengawasan

kepala ruangan baik. Pentingnya

pengawasan dilakukan karena pengawasan

adalah suatu proses untuk mengetahui apakah

pelaksanaan kegiatan/pekerjaan sesuai dengan

renacan, pedoman, ketentuan, kebijakan,

tujuan dan sasaran yang sudah ditentukan

sebelumnya, sehingga dapat mencegah

terjadinya penyelewengan, penyalahgunaan

wewenang, juga dapat meningkatkan rasa

tanggung jawab, mendidik serta dapat

memperbaiki kesalahan, penyelewengan dan

penyalahgunaan wewenang yang telah terjadi.

Fungsi pengawasan kepala ruang dalam

pelayanan keperawatan dapat dilaksanakan

dengan kegiatan supervisi keperawatan secara

langsung maupun tidak langsung. Selain itu

juga dilaksanakan penilaian pelaksanaan

asuhan keperawatan, memperhatikan

kemajuan dan kualitas asuhan keperawatan,

memperbaiki kekurangan/kelemahan asuhan

keperawatan, meningkatkan pengetahuan dan

ketrampilan perawat dalam asuhan

keperawatan, dan menggunakan standar untuk

menilai asuhan keperawatan, hal ini akan

sangat membantu perawat pelaksana dalam

kegiatan asuhan keperawatan, hal ini akan

memberikan dampak dan pengaruh yang besar

terhadap pelaksanaan kegiatan asuhan

keperawatan yang dilakukan oleh perawat

Halajur, Tinse, Hubungan Persepsi Perawat terhadap Fungsi Manajerial Askep

36

pelaksana, karena didukung oleh kehadiran

seorang atasan yang dianggap mempunyai

pengaruh terhadap bawahan.Hasil penelitian

ini mendukung hasil penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Warsito, pada tahun 2006

dimana perawat pelaksana yang

melaksanakan manajemen asuhan

keperawatan baik maupun tidak baik, tidak

berhubungan dengan persepsi mereka tentang

fungsi perencanaan dan pengorganisasian

kepala ruang baik maupun tidak baik, dan

fungsi pengarahan dan pengawasan dimana

perawat pelaksana yang melaksanakan

manajemen asuhan keperawatan baik maupun

tidak baik, berhubungan dengan persepsi

mereka tentang fungsi pengarahan dan

pengawasan kepala ruang baik maupun tidak

baik.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat

disimpulkan sebagai berikut :1). Perawat

pelaksana yang mempunyai persepsi tentang

pelaksanaan manajemen kepala ruang inap

RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

yang baik adalah memiliki jumlah yang sama

dengan yang tidak baik.2). Persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi perencanaan kepala

ruangan terhadap pelaksanaan manajemen

asuhan keperawatannya di Ruang Rawat Inap

RSUD Dr. Doris Sylvanusyai Palangka Raya

perencanaan yang tidak baik proporsinya

sama baik pada perencanaan yang baik,

maupun yang tidak baik, masing-masing

mempunyai proporsi yang sama, demikian

juga halnya dengan manajemen askep yang

baik mempunyaing sama.3). Persepsi perawat

pelaksana tentang fungsi pengorganisasian

kepala ruangan yang tidak baik proporsinya

lebih besar berasal dari pelaksanaan karu yang

baik daripada yang tidak baik. Demikian juga

halnya dengan manajemen askep karu yang

baik lebih banyak berasal dari fungsi

pengorganisasian yang tidak baik daripada

yang baik.4). Persepsi perawat pelaksana

tentang fungsi pengarahan kepala ruangan

yang tidak baik proporsinya lebih besar

berasal dari pengarahan karu yang tidak baik

daripada yang baik. Demikian juga halnya

dengan manajemen askep karu yang baik

lebih banyak berasal dari fungsi pengarahan

yang baik daripadapengarahan yang tidak

baik. 5). Persepsi perawat pelaksana tentang

fungsi pengawasan kepala ruangan yang

tidak baik proporsinya lebih besar berasal dari

pengawasan karu yang tidak baik daripada

yang baik.Demikian juga halnya dengan

manajemen askep karu yang baik, lebih

banyak berasal dari fungsi pengawasan yang

baik daripada pengawasan yang tidak baik.6).

Persepsi perawat pelaksana tentang fungsi

perencanaan dan pengorganisasian (p>0,05)

kepala ruangan tidak terdapat pengaruhnya

terhadap pelaksanaan manajemen asuhan

keperawatannya di Ruang Rawat Inap RSUD

Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, dimana

perawat pelaksana yang melaksanakan

manajemen asuhan keperawatan baik maupun

tidak baik, tidak terkait dengan persepsi

mereka tentang fungsi perencanaan dan

pengorganisasian kepala ruang baik maupun

tidak baik.7).Persepsi perawat pelaksana

tentang fungsi pengarahan dan pengawasan

kepala ruangan terdapat pengaruhnya

terhadap pelaksanaan manajemen asuhan

keperawatannya di Ruang Rawat Inap RSUD

Dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, dimana

perawat pelaksana yang melaksanakan

manajemen asuhan keperawatan baik maupun

tidak baik, terkait dengan persepsi mereka

tentang fungsi pengarahan kepala ruang baik

maupun tidak baik.

Saran

Kepada RSUD Dr. Doris Sylvanus

Palangka Raya, a).Perlu meningkatkan

kemampuan kepemimpinankepala ruang

dengan pelatihan manajemen keperawatan.

b).Perlu rekruitmen dan seleksi kepala ruang

dengan latar minimal pendidikan S-1

keperawatan dan masa kerja diperhitungkan

sebagai prasyarat. Untuk penelitian

selanjutnya adalah perlu melihat hubungan

antara persepsi dan pelaksanaan dengan latar

belakang pendidikan kepala ruang S-1 dan

pendidkan kepala ruang D-III diteliti secara

tersendiri, selanjutnya juga bisa meneliti

hubungan persepsi dan pelaksanaan dari

masing-masing ruangan secara tersendiri.

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

37

Daftar Pustaka

1. Nursalam. Manajemen Keperawatan

Aplikasi dalam Praktek Keperawatan

Profesional Edisi ke-2. Jakarta : Salemba

Medika, 2009.

2. Gomes C.F. Manajemen Sumber Daya

Manusia. Edisi ke-1. Yogyakarta : Andi

Offset, 2001.

3. Sunaryo. Psikologi untuk Keperawatan.

Jakarta : EGC, 2004

4. Suarti. S, Bahtiar Y. Manajemen

Keperawatan dengan Pendekatan Praktis.

Jakarta: Erlangga 2002.

5. Kountur R. Metode Penelitian untuk

penulisan Skripsi dan Tesis. Jakarta :

PPM, 2005.

6. Warsito B.E. Pengaruh Persepsi Perawat

Pelaksana tentang Fungsi Manajerial

Kepala Ruang Terhadap Pelaksanaan

Manajemen Asuhan Keperawatan di

RSJD Dr.Amino Gondohutomo

Semarang, Tesis. Semarang : 2006

ARTIKEL PENELITIAN

38

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Penerapan

Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Oleh Perawat Di

Ruang Rawat Inap RSU BLUD Doris Sylvanus Palangka Raya

Nurse Knowledge On Six Right Principles In Medication At RSU BLUD

dr Doris Sylvanus Palangka Raya

Reny Sulistyowati, Barto Mansyah

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Prinsip enam tepat merupakan prinsip yang harus diperhatikan oleh perawat dalam

pemberian obat untuk menghindari kesalahan pemberian obat dan keberhasilan pengobatan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran dan melihat hubungan antara karakteristik

perawat meliputi usia, jenis kelamin, pendidikan dan masa kerja serta tingkat pengetahuan perawat

dengan tingkat penerapan prinsip enam tepat dalam pemberian obat di Ruang Rawat Inap RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya. Disain yang digunakan adalah cross sectional. Responden pada

penelitian ini adalah perawat ruang rawat inap yang berperan dalam pemberian obat. Pengambilan

sampel dengan cara purposive sampling berjumlah 50 orang dari 10 ruang rawat inap di RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya. Data dikumpulkan dengan cara menyebarkan kuisioner untuk

memperoleh data deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat penerapan prinsip

enam tepat oleh perawat secara umum baik. Urutan tingkat penerapan masing-masing komponen

adalah tepat klien, tepat waktu, tepat obat, tepat rute atau cara, tepat dokumentasi dan tepat dosis.

Namun tingkat penerapan prinsip umum yang berkaitan dengan aspek keamanan bagi perawat masih

rendah. Faktor internal yang mempengaruhi tingkat penerapan ini adalah karakteristik responden

dan tingkat pengetahuan. Upaya mempertahankan dan meningkatkan tingkat penerapan prinsip ini

dapat dilakukan dengan meningkatkan pelaksanaan pendidikan keperawatan berkelanjutan.

Kata Kunci: prinsip enam tepat, kesalahan pemberian obat

Abstract. The purpose of this study was to identify the relationship between nurse‟s knowledge with

the level of application of six rights principles in medication at ward. Six rights principles were the

principles that must be attention by nurses in medication to avoid errors medication and to take a

successful of medication. The design of this study was cross-sectional with purposive sampling.

Fifty (50) nurses who gived medication from 10 (ten) wards were participated as respondens in this

study. The study has been conducted in RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya by distributed a

set of quisioner to get data about the relation ship between the level of nurse‟s knowledge with the

level of application and factors influencing in application of six rights principles in medication. The

result revealed that most nurses has good level of application of six rights principles such as right

patient, right time, right drug, right route, right documentation and right dose. This study also

revealed that most nurses has poor implementation in level of application of universal precaution.

The internal factors that influence in application of six rights principles were responden‟s

characteristics and level of knowledge. To maintain and increase of level of application should be

done by increasing nurse education.

Key words: six rights principles, error in drug administration

Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat

39

Latar Belakang

Obat merupakan salah satu bagian terpenting

dalam proses penyembuhan penyakit, pemulihan

kesehatan dan juga pencegahan terhadap suatu

penyakit. Penentuan obat untuk pasien adalah

wewenang dari dokter, tetapi para perawat pun

dituntut untuk turut bertanggung jawab dalam

pengelolaan obat tersebut. Mulai dari memesan

obat sesuai order dokter, menyimpan dan

meracik obat sesuai order hingga memberikan

obat pada pasien. Memastikan bahwa obat

tersebut aman bagi pasien dan mengawasi akan

terjadinya efek dari pemberian obat tersebut pada

pasien. Karena hal tersebut maka perawat dalam

menjalankan perannya harus dibekali dengan

ilmu keperawatan (UU No.23 th. 23 th. 1992

pasal 32 ayat (3). Dalam pemberian obat yang

aman, perawat perlu memperhatikan prinsip lima

tepat (five rights) yang kemudian berkembang

menjadi six rights atau enam benar pemberian

obat.

Istilah lima benar1 yaitu : pasien yang benar,

obat yang benar, dosis yang benar, cara/rute

pemberian yang benar, dan waktu yang benar.

Persiapan dan pemberian obat harus dilakukan

dengan akurat oleh perawat. Perawat

menggunakan “Lima Benar” pemberian obat

untuk menjamin pemberian obat yang aman

(Benar Obat, Benar Dosis, Benar Klien, Benar

Rute Pemberian, dan Benar Waktu)2. Kemudian

berkembang menjadi prinsip 6 benar dalam

pemberian obat yang dianggap lebih tepat untuk

perawat. Joyce (1996) Prinsip “enam benar”

yaitu: klien yang benar, obat yang benar, dosis

yang benar, waktu yang benar, rute yang benar

dan ditambah dengan dokumentasi yang benar.

Six Rights Of medication Administration are :

Right Medication, Right Dose, Right Time, Right

Role, Right Client and Right Documentation3.

Mengingat di ruang rawat inap seorang

perawat harus memberikan berbagai macam obat

kepada beberapa pasien yang berbeda. Data

tentang kesalahan pemberian obat (medication

error) yang dilakukan terutama oleh perawat di

Indonesia belum dapat ditemukan. Darmansjah,

ahli farmakologi FKUI menyatakan bahwa kasus

pemberian obat yang tidak benar maupun

tindakan medis yang berlebihan (tidak perlu

dilakukan tetapi dilakukan) sering terjadi di

Indonesia, hanya saja tidak terekspos media

massa4. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh peneliti dari Auburn University di 36 rumah

sakit dan nursing home di Colorado dan Georgia,

USA, pada tahun 2002, dari 3216 jenis

pemberian obat, 43% diberikan pada waktu yang

salah, 30% tidak diberikan, 17% diberikan

dengan dosis yang salah, dan 4% diberikan obat

yang salah5. Pada penelitian ini juga

dikemukakan hasil penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Institute of Medicine error pada

tahun 1999, yaitu kesalahan medis (medical

error) telah menyebabkan lebih dari 1 (satu) juta

cedera dan 98.000 kematian dalam setahun. Data

yang didapat JCHO juga menunjukkan bahwa

44.000 dari 98.000 kematian yang terjadi

dirumah sakit setiap tahun disebabkan oleh

kesalahan medis6. Data penelitian mengenai

tingkat pengetahuan farmakologi (pemberian

obat) yang dilakukan oleh Kuntarti pada tahun

20047 di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo

(RSCM) Jakarta di kemukakan sekitar 61,7%

perawat belum pernah mengikuti seminar atau

pelatihan tentang pemberian obat dan hanya

38,3% perawat yang sedah mengikuti kegiatan

tersebut.

Pada penelitian ini penulis memilih

hubungan antara tingkat pengetahuan perawat

terhadap prinsip enam benar dengan tingkat

penerapannya yang harus diperhatikan oleh

perawat dalam pemberian obat. Karena fakta di

lapangan beberapa kali ditemui kasus kesalahan

pemberian obat, contohnya dari hasil penelitian

yang dilakukan oleh Ahmad Qosim (2007)

dirumah sakit di Gombong, ditemukan antara

lain kesalahan cara pemberian obat yaitu perawat

hanya memberikan obat oral pada pasien tanpa

menunggu pasien tersebut meminumnya,

pemberian obat kepada pasien tanpa

memvalidasi identitas pasien yang dituju dan

pemberian obat yang tidak didokumentasikan

oleh perawat, serta perawat tidak memakai

sarung tangan ketika memberikan obat secara

parenteral.

Tenaga perawat merupakan tenaga

kesehatan yang memiliki jumlah terbesar dalam

pelayanan kesehatan di rumah sakit dan harus

selalu siap membantu klien setiap saat serta

bekerja selama 24 jam setiap harinya untuk

memberikan asuhan keperawatan yang

komprehensif dan profesional7. Sehingga dapat

dikatakan bahwa tenaga perawat menempati

posisi yang menentukan tinggi rendahnya mutu

pelayanan kesehatan yang diberikan di rumah

sakit karena tenaga keperawatan yang setiap hari

berinteraksi langsung dengan klien, demikian

halnya dengan proses pemberian obat.

Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat

39

40

Berdasarkan hasil pengamatan penulis di

RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya belum

pernah dilakukan penelitian tentang tingkat

penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian

obat oleh perawat di ruang rawat inap.

Mengingat kesalahan dalam pemberian obat

merupakan hal yang dapat menimbulkan

ancaman jiwa bagi pasien, maka perlu diadakan

penelitian berkenaan dengan hal tersebut agar

kesalahan serupa tidak terjadi kembali.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metoda analitik

dengan pendekatan cross sectional, yaitu seluruh

variabel independen dan dependen diamati dalam

satu saat yang bersamaan, dalam rangka mencari

hubungan antara karakteristik dan tingkat

pengetahuan perawat tentang prinsip „enam

tepat‟ dalam pemberian obat dengan

pelaksanaannya. Dalam penelitian ini populasi

penelitian adalah seluruh perawat pelaksana

fungsional yang bertanggung jawab dalam

memberikan obat kepada klien dan yang bekerja

di ruang rawat inap RSUD dr. Doris Sylvanus

Palangka Raya. Sedangkan sampel penelitian

adalah perawat yang bertugas di ruang rawat

inap dewasa RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya (total sampling) yaitu sebanyak 50 orang

dengan tingkat pendidikan minimal SPK/SPR.

Alasan mengambil sampel perawat pelaksana

fungsional di ruang rawat inap karena perawat

memiliki kesempatan interaksi dengan pasien

secara individual lebih lama daripada perawat

yang bertugas di bagian rawat jalan. Sampel

dipilih dengan cara purposive sampling.

Pengolahan dan analisa data hasil penelitian

dilakukan melalui tahap-tahap dari Pengolahan

Data, Editing, Coding,Tabulasi, Data entry dan

Data cleaning serta melalui Analisa Univariat

dan Analisa Bivariat.

Hasil Penelitian

Karakteristik Responden

Distribusi karakteristik perawat dibedakan

menurut umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan

dan masa kerja dapat dilihat pada tabel 4.1.Umur

responden yang terendah 23 tahun dan tertinggi

51 tahun dengan rata-rata 31 tahun. Umur

dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu umur

dewasa muda 20 – 39 tahun dan umur dewasa

tua antara 40 – 60 tahun8. Pada penelitian ini

umur perawat dikelompokkan berdasarkan umur

yang paling membahagiakan diusia 30 yaitu

umur 33 tahun9. Dari seluruh responden dapat

terlihat bahwa sebagian responden berada pada

kelompok umur ≤ 33 tahun (88%), sedangkan

yang berumur > 33 tahun sebanyak 12% (tabel

1).

Dari seluruh responden jenis kelamin laki-

laki paling sedikit, yaitu sejumlah 6%.

Sedangkan wanita sebanyak 94% (tabel 4.1).

Dari seluruh responden dapat terlihat yang

memiliki latar belakang pendidikan

SPK/SPR/D1 bidan ada 12%, tingkat pendidikan

DIII Keperawatan (88%) (tabel 1). Dari seluruh

responden, rata-rata sudah bekerja selama 6

tahun dengan variasi 1 tahun sampai 31 tahun.

Masa kerja dikelompokkan menurut lama masa

kerja menjadi tiga kategori, yaitu masa kerja

pendek (< 5 tahun) yang mana pengalaman

dalam memberikan obat masih belum cukup,

masa kerja lama (≥ 5 tahun), yang idealnya

pengalaman dalam melaksanakan penerapan

prinsip „enam tepat‟ dalam pemberian obat lebih

banyak. Berdasarkan masa kerja diperoleh

sebagian besar responden memiliki masa kerja

pendek (48%) dan masa kerja lama (52%)

(tabel1).

Tabel 1. Karakteristik Perawat Yang Bekerja

Di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya (n=50), 2011

Grafik 1. Tingkat Pengetahuan Perawat Tentang

Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian Obat Di

Ruang Rawat Inap RSUD dr. Doris Sylvanus

Palangka Raya (n=50), 2011

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

2

Baik42%

Buruk58%

41

Pengetahuan

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan

responden, digunakan 20 pertanyaan tentang

pemberian obat. Penilaian untuk tiap butir

pertanyaan diberikan nilai 5 bila responden

menjawab benar dan nilai 0 bila menjawab

salah. Tingkat pengetahuan dibagi dalam 2

kategori dengan cut of point median. Nilai

pengetahuan berkisar yang terendah 30 dan

nilai tertinggi 100 dengan nilai median 75.

Tingkat pengetahuan responden

dikategorikan tinggi bila nilai ≥ 75 dan

rendah bila < 75.

Hasil analisa univariat terhadap seluruh

responden menunjukkan pengetahuan buruk

sebanyak 21 orang (42%) dan pengetahuan

baik sebanyak 29 orang (58%) (Grafik 1).

Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam

Pemberian Obat

Penerapan pemberian obat dengan

menerapkan prinsip enam tepat diukur

dengan pertanyaan dengan skala likert (1-5)

sebanyak 27 pertanyaan mengenai cara

pemberian obat dan 3 pertanyaan mengenai

tindakan universal pre-caution.

Tabel 2. Komponen Enam Tepat dalam Pemberian Obat oleh Perawat di Ruang Rawat

Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya (n=50), 2011

No. Komponen Enam Tepat selalu sering kadang htp tp

I Tepat Obat

1 Mengecek program terapi pengobatan

dari dokter

42

84%

8

16%

0

0%

0

0%

0

0%

2 Menanyakan ada/tidaknya alergi obat 25

50%

17

34%

8

16%

0

0%

0

0%

3 Menanyakan keluhan klien sebelum dan

setelah memberikan obat

34

68%

8

16%

8

16%

0

0%

0

0%

4 Mengecek label obat 3 kali 33

66%

17

34%

0

0%

0

0%

0

0%

5 Mengetahui interaksi obat 21

42%

16

32%

21

42%

0

0%

0

0%

6 Mengetahui efek samping obat 23

46%

17

34%

10

20%

0

0%

0

0%

7 Hanya memberikan obat yang

disisapkan sendiri

14

28%

8

16%

18

36%

4

8%

6

12%

II Tepat Waktu

1 Mengecek program terapi pengobatan

dari dokter

50

100%

0

0%

0

0%

0

0%

0

0%

2 Mengecek tanggal kadarluarsa obat 42

84%

2

4%

6

12%

0

0%

0

0%

3 Memberikan obat dalam rentang 30

menit seblum sampai 30 menit setelah

waktu yang diprogramkan

45

90%

5

10%

0

0%

0

0%

0

0%

III Tepat Dosis

1 Mengecek terapi pengobatan dari dokter 45 5 0 0 0

Karakteristik Jumlah %

Umur

a. ≤ 33 tahun

b. > 33 tahun

44

6

90%

10%

Jenis Kelamin

a. Laki-laki

b. Wanita

5

45

6%

94%

Pendidikan

a. DIII Keperawatan

b. SPR/SPK/D1 bidan

44

6

88%

12%

Masa Kerja

a. < 5 tahun (pendek)

b. ≥ 5 tahun (lama)

24

26

48%

52%

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

2

42

90% 10% 0% 0% 0%

2 Mengecek hasil hitungan dosis dengan

perawatan lain (double cek)

29

58%

16

32%

5

10%

0

0%

0

0% *htp = hampir tidak pernah; tp = tidak pernah

Hubungan Karakteristik dan Pengetahuan

Responden Tentang Prinsip Penerapan

‘Enam Tepat’

Untuk melihat hubungan antara variabel

independen (bebas) dengan variabel dependen

(terikat) maka dilakukan uji chi square (X2)

dan nilai p. Hasil analisis hubungan faktor

karakteristik responden (umur, jenis kelamin,

pendidikan dan masa kerja) serta pengetahuan

responden tentang prinsip penerapan „enam

tepat‟ dengan penerapannya oleh perawat

terdapat pada tabel 2.

Hubungan Umur Dengan Penerapan

Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian

Obat

Umur perawat dikelompok berdasarkan

umur yang paling membahagiakan diusia 30

yaitu umur 33 tahun9. Berdasarkan tabel 3

penerapan prinsip enam tepat yang baik lebih

banyak ditemukan pada perawat dengan usia

≤33 tahun sedangkan penerapan prinsip enam

tepat yang buruk lebih banyak ditemukan pada

perawat dengan usia diatas 33 tahun.

Berdasarkan hasil uji Chi Square didapatkan

nilai p= 0,041 yang artinya ada perbedaan

yang signifikan pada penerapan prinsip enam

tepat antara perawat yang berumur ≤33 tahun

dengan perawat yag berumur >33 tahun. Odds

ratio adalah 3,9 tahun yang artinya perawat

dengan umur >33 tahun cenderung melakukan

penerapan prinsip „enam tepat‟ yang buruk

sebesar 3,9 kali dibandingkan dengan perawat

yang berumur ≤ 33 tahun (95% CI: 1-15,2).

Hubungan Jenis Kelamin Dengan

Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam

Pemberian Obat

Jenis kelamin perawat tidak menunjukan

adanya perbedaan (nilai P=0,218). Hal ini

disebabkan kurangnya responden yang berjenis

kelamin laki-laki hanya 3 orang saja, sehingga

ada 2 sel yang nilai expectednya < 5. (Tabel 2).

Hubungan Tingkat Pendidikan Dengan

Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam

Pemberian Obat

Tingkat pendidikan perawat tidak

menunjukan adanya perbedaan (nilai p=0,339).

Hal ini disebabkan kurangnya responden yang

berasal dari pendidikan SPK/SPR/D1 bidan

sehingga ada 2 sel yang nilai expectednya < 5.

(Tabel 2.).

Hubungan Masa Kerja Dengan Penerapan

Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian

Obat

Penerapan penerapan prinsip enam tepat

diihat dari masa kerja perawat tidak

menunjukan perbedaan yang signifikan.

Penerapan prinsip enam tepat yang baik sedikit

lebih banyak ditemukan pada perawat dengan

masa kerja <5 tahun (70,8%) dibandingkan

dengan perawat yang masa kerjanya ≥ 5 tahun

(61,5%). Sedangkan penerapan prinsip enam

tepat yang buruk sedikit lebih banyak pada

perawat dengan masa kerja ≥ 5 tahun (38,5%)

dibandingkan dengan perawat yang masa

kerjanya <5 tahun (29,2%). Namun,

berdasarkan hasil uji chi-square nilai P = 0,488

artinya tidak ada perbedaan yang signifikan

dalam penerapan prinsip enam tepat antara

masa kerja ≥ 5 tahun dengan masa kerja <5

tahun (table 2).

Hubungan Pengetahuan Dengan Penerapan

Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam Pemberian

Obat

Penerapan prinsip enam tepat yang baik

lebih banyak sedikit pada perawat yang

pengetahuannya baik (69%) dibandingkan

dengan perawat yang pengetahuannya buruk

(61,9%). Sedangkan pelaksaan prinsip enam

tepat yang buruk lebih banyak sedikit pada

perawat dengan pengetahuan kurang (38,1%)

dibandingkan dengan perawat yang

pengetahuannya baik (31%). (Tabel 2.).

Pembahasan

Penerapan Prinsip ‘Enam Tepat Dalam

Pemberian Obat

Hasil kuesioner pernyataan responden

didapatkan 33 orang (66%) perawat telah

melaksanakan prinsip enam tepat dengan

dalam pemberian obat kepada klien sedangkan

yang penerapannya buruk sebanyak 17 orang

(34%). Hasil pernyataan (self assessment) ini

tanpa didukung dengan hasil observasi,

sehingga apabila dilakukan penelitian sejenis

berikutnya hendaknya juga disertai dengan

observasi sebagai perbandingan. Rata-rata

responden menyatakan telah menjalankan

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

2

43

prinsip „enam tepat‟ dalam memberikan obat

kepada klien, hal ini terlihat dari hasil

pernyataan yang diberikan, rata-rata responden

melakukan prinsip „enam tepat‟ pemberian

obat sebagai rutinitasnya sehari-hari. Kecuali

pada item tepat cara pemberian, yaitu

pemberian per oral: mengecek kemampuan

menelan, menunggui klien sampai meminum

obatnya, antara pernyataan selalu dan kadang-

kadang sama-sama sebanyak 13%.

Tepat waktu memiliki tingkat penerapan

yang paling tinggi, yaitu pada bagian

pernyataan mengecek program terapi

pengobatan dari dokter, sebanyak 45

responden (90%) menerapkannya. Tindakan

untuk meyakinkan bahwa obat diberikan pada

waktu yang tepat, perawat sebaiknya

memberikan obat dalam waktu 30 menit

sebelum dan sesudah waktu yang terjadwal

jika interval pemberian obat lebih dari 2

jam9,10

.

Tabel 3. Hasil Uji Chi Square Hubungan antara Karakteristik dan Pengetahuan Perawat dengan

Pemberian Obat oleh Perawat di Ruang Rawat Inap RSU BLUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya

(n=50), 2011

Penerapan Total χ2

Nilai p OR

95% CI Baik Buruk

Umur ≤33 tahun Jumlah 28 10 38 4,166 0,041 3,9

(1 – 15,2) % 73.7% 26.3% 100.0%

>33 tahun Jumlah 5 7 12

% 41.7% 58.3% 100.0%

Jenis Kelamin laki-laki Jumlah 1 2 3 1,518 0,218 0,234

(0,02-2,8)

% 33.3% 66.7% 100.0%

perempuan Jumlah 32 15 47

% 68.1% 31.9% 100.0%

Pendidikan SPK/SPR/ Jumlah 5 1 6 0,913 0,339 2,857

(0,306-26,655)

D1 bidan % 83.3% 16.7% 100.0%

D3 Jumlah 28 16 44

% 63.6% 36.4% 100.0%

Masa Kerja ≥5 tahun Jumlah 16 10 26 0,480 0,488 0,659

(0,202 – 2,150) % 61.5% 38.5% 100.0%

<5 tahun Jumlah 17 7 24

% 70.8% 29.2% 100.0%

Pengetahuan baik Jumlah 20 9 29 0,271 0,603 1,4

(0,420 – 4,455) % 69.0% 31.0% 100.0%

buruk Jumlah 13 8 21

% 61.9% 38.1% 100.0%

Perawat juga harus mempertimbangkan efek

yang akan terjadi setelah pemberian obat

dengan waktu pemberian. Hasil ini berbeda

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

peneliti dari Auburn University di 36 rumah

sakit dan nursing home di Colorado dan

Gergia, USA, pada tahun 2002, bahwa dari

3216 jenis pemberian obat, 43% diberikan

pada waktu yang salah5.

Tingkat penerapan terbaik kedua adalah

tepat klien, yaitu 44 (88%) responden

mengecek identitas klien pada papan atau

kardeks. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh

karakteristik responden yang hampir

seluruhnya wanita (94%), berpendidikan D-III

Keperawatan (88%) dan lama kerja ≥ 5 tahun

(62,5%). Dengan karakteristik responden

seperti itu, penerapan kemampuan komunikasi

perawat lebih baik karena salah satu tindakan

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

2

44

yang perlu dilakukan untuk menjamin

ketepatan klien ini adalah memanggil nama

klien ketika akan memberikan obat12

.

Tingkat penerapan yang cukup baik

berikutnya adalah tepat dokumentasi.

Dokumentasi pemberian obat yang tepat

mencakup aspek lima tepat yaitu tepat klien,

obat, dosis, cara pemberian dan waktu

pemberian serta respons klien terhadap

pengobatan. Aspek legal dalam

pendokumentasian yang perlu diperhatikan

antara lain nama atau inisial dan tanda tangan

atau paraf perawat yang memberikan. Prinsip

yang perlu diterapkan oleh perawat yaitu

mencatat yang dikerjakan diri sendiri dan tidak

mencatat apa yang dikerjakan oleh orang

lain12

.

Komponen dari prinsip „enam tepat‟ dalam

pemberian obat yang tingkat penerapannya

cukup banyak yang rendah adalah penerapan

tepat obat dan tepat cara atau rute pemberian.

Tindakan untuk meyakinkan bahwa perawat

memberikan obat yang tepat kepada klien,

perawat harus mampu mengintepretasikan

program terapi pengobatan dokter secara tepat.

Selain itu perawat juga dianjurkan membaca

label obat paling sedikit tiga kali sebelum

memberikan obat, yaitu saat melihat botol atau

kemasan obat, sebelum menuangkan obat dan

sesudah menuangkan obat11

. Hasil penelitian

ini menunjukkan ada 10 orang (20%) yang

rendah. Begitu juga dengan ketepatan cara

pemberian obat, hanya 3 orang (6%) yang

tingkat penerapannya rendah. Tindakan untuk

menjamin bahwa cara atau rute yang

digunakan untuk memberikan obat adalah

tepat, perawat harus yakin bahwa bentuk obat

sesuai dengan cara yang tertulis dalam

program terapi pengobatan10

. Untuk

pemberian obat secara oral atau melalui mulut,

perawat harus mengkaji kemampuan klien

dalam menelan dan tidak meninggalkan klien

sebelum yakin bahwa klien benar-benar

menelan obatnya.

Pada tindakan universal caution dalam

pemberian obat, item pernyataan membuang

jarum suntik bekas pada tempat khusus dalam

keadaan terbuka, didapatkan hasil selalu 14%,

yang lebih rendah dibandingkan dengan

pernyataan tidak pernah sebanyak 16%. Hal

ini berdasarkan pengamatan dari peneliti rata-

rata diruang rawat inap RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya belum memiliki

tempat pembuangan jarum suntik bekas pakai

yang khusus, di tiap ruangan masing

menggunakan tempat sampah tradisional dan

belum ada alat khusus perusak jarum

disposable. Padahal prinsip universal

precaution penting diperhatikan dan diterapkan

oleh perawat, terutama untuk keamanan

(safety) bagi perawat. Perawat juga harus

menggunakan teknik aseptik ketika

memberikan obat. Untuk pemberian obat

secara parenteral, perawat harus menggunakan

teknik steril dan mengikuti cara atau instruksi

penyiapan dan pemberian dari perusahaan

pembuat obat11

.

Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan

Responden

Dilihat dari karakteristik perawat yang

bekerja di ruang rawat inap RSUD dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya sebagian besar

berumur dewasa muda (88%), sedangkan yang

berumur dewasa tua hanya 12%. Di satu sisi

hal ini menguntungkan bagi rumah sakit

karena para perawatnya masih berada dalam

usia produktif dan berkesempatan dalam

mengembangkan diri.

Hasil analisa univariat terhadap seluruh

responden menunjukkan pengetahuan buruk

sebanyak 21 orang (42%) dan pengetahuan

baik sebanyak 29 orang (58%). Hal ini

kemungkinan kurangnya pelatihan atau

seminar tentang penerapan pemberian obat

yang diikuti oleh perawat yang bekerja di

RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya.

Tampak dari item pertanyaan yang diajukan

pada kuesioner, seluruh perawat menjawab

tidak pernah mengikuti pelatihan atau seminar

tentang pemberian obat.

Variabel-Variabel Yang Berhubungan

Dengan Prinsip ‘Enam Tepat’ Dalam

Pemberian Obat

Umur

Hasil penelitian membuktikan ada

hubungan yang bermakna antara umur dengan

penerapan prinsip „enam tepat‟ oleh perawat

dengan nilai p= 0,041. Dengan demikian

penerapan prinsip enam tepat yang baik lebih

banyak ditemukan pada perawat dengan usia

≤33 tahun sedangkan penerapan prinsip enam

tepat yang buruk lebih banyak ditemukan pada

perawat dengan usia diatas 33 tahun. Teori

Gibson (1987)13

tentang faktor demografi

khususnya umur dapat mempengaruhi perilaku

seseorang, dalam penelitian ini terbukti.

Variabel-Variabel Yang Tidak

Berhubungan Dengan Prinsip ‘Enam

Tepat’ Dalam Pemberian Obat

Jenis Kelamin

Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat

39

45

Hasil penelitian membuktikan tidak ada

hubungan bermakna antara umur dengan

penerapan komunikasi terapeutik dengan nilai

p= 0,218. Sehingga hipotesis yang

menyatakan adanya hubungan antara jenis

kelamin dengan penerapan komunikasi

terapeutik tidak terbukti. Demikian pula teori

Gibson (1987)13

tentang jenis kelamin dapat

mempengaruhi perilaku kerja individu, dalam

penelitian ini tidak terbukti. Hal ini

menunjukkan bahwa responden laki-laki

maupun perempuan memiliki peluang yang

sama untuk melaksanakan prinsip „enam tepat‟

dalam pemberian obat kurang atau baik.

Tidak adanya hubungan yang bermakna

antara jenis kelamin dengan penerapan prinsip

„enam tepat‟ bisa disebabkan karena dari

keseluruhan jumlah responden yang berjumlah

50 orang, hanya 3 orang dengan jenis kelamin

laki-laki, sedangnya selebihnya adalah

perempuan (47 orang).

Pendidikan

Hasil penelitian menunjukkan tidak

terdapat hubungan bermakna antara

pendidikan dengan penerapan prinsip „enam

tepat‟ dalam pemberian obat dengan nilai p=

0,339, OR= 2,857 (95% CI = 0,306-26,655).

Sehingga hipotesis yang menyatakan adanya

hubungan antara tingkat pendidikan dengan

penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam

pemberian obat tidak dapat dibuktikan.

Tingkat pendidikan dapat dijadikan indikator

dalam penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam

pemberian obat yaitu semakin rendah tingkat

pendidikan perawat, semakin kurang pula

tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam

pemberian obat. Teori Green (1980) tentang

faktor predisposisi khususnya pendidikan

dapat mempengaruhi perilaku individu tidak

terbukti dalam penelitian ini. Hal ini bisa

disebabkan tidak adanya responden yang

berasal dari pendidikan S-1 perawat, karena

perawat yang memiliki latar belakang

pendidikan S-1 di RSUD Doris Sylvanus rata-

rata menjabat sebagai kepala ruangan.

Masa Kerja

Hasil penelitian menunjukkan tidak

terdapat hubungan bermakna antara masa kerja

dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam

pemberian obat dengan nilai p= 0,488, OR=

0,659 (95% CI = 0,202 – 2,150). Sehingga

hipotesis yang menyatakan adanya hubungan

antara masa kerja dengan penerapan prinsip

„enam tepat‟ dalam pemberian obat tidak dapat

dibuktikan. Teori Gibson (1987) yang

menyatakan bahwa pengalaman termasuk

variabel individu yang mempengaruhi perilaku

kerja tidak terbukti dalam penelitian ini. Masa

kerja perawat di ruang rawat inap RSUD dr.

Doris Sylvanus Palangka Raya yang

menerapkan „prinsip „enam tepat‟ dalam

pemberian obat antara yang ≥ 5 tahun dengan

yang < 5 tahun hampir sama banyak.

Sehingga hasil penelitian ini menunjukkan

tidak ada hubungan antara masa kerja perawat

dengan tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟

dalam pemberian obat.

Tingkat Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian dalam analisis

bivariat membuktikan tidak ada hubungan

bermakna antara tingkat pengetahuan dengan

penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam

pemberian obat dengan nilai p= 0,603 ; OR =

1,4 (95% CI = 0,420 – 4,455). Sehingga

hipotesis yang menyatakan adanya hubungan

antara tingkat pengetahuan dengan penerapan

prinsip „enam tepat‟ tidak dapat diterima.

Menurut Notoatmodjo (2002)14

pengetahuan

atau kognitif merupakan domain yang sangat

penting untuk terbentuknya tindakan seseorang

apabila suatu tindakan didasari oleh

pengetahuan, maka pengetahuan tersebut akan

bersifat langgeng. Pengetahuan seseorang

dapat menurun setelah beberapa lama apabila

tidak ada pengulangan atau tidak dipraktekkan

secara terus menerus7.

Tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟

dalam pemberian obat yang telah dikemukakan

diatas mungkin dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Pada penelitian ini yang

teridentifikasi adalah faktor internal yaitu

karakteristik responden dan tingkat

pengetahuan; dan faktor eksternal yaitu pernah

tidaknya responden mengikuti seminar atau

pelatihan tentang pemberian obat. Pada

tingkat pengetahuan, penelitian ini

menunjukkan bahwa kemampuan responden

dalam menyelesaikan kasus tentang pemberian

obat pada kuisioner sebagian besar baik. Hasil

tersebut mungkin dipengaruhi oleh sebagian

besar responden merupakan perawat

berpendidikan D-III (88%). Hal ini juga

dibuktikan dengan pengenalan responden

terhadap istilah „enam tepat‟. Padahal hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa dari 50

responden tidak satupun yang pernah

mengikuti kegiatan seminar atau pelatihan

tentang pemberian obat. Tingkat penerapan

prinsip „enam tepat‟yang baik, yang dicapai

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

4

46

oleh sebagian besar responden pada penelitian

ini juga mungkin disebabkan oleh pemahaman

mereka terhadap besarnya peranan perawat

dalam pemberian obat.

Selain itu dari hasil penelitian ini tampak

bahwa tingkat penerapan prinsip „enam tepat‟

dalam pemberian obat yang sebagian besar

cukup baik, lebih dipengaruhi oleh faktor

internal perawat, yaitu karakteristik responden

meliputi umur responden yang membuktikan

ada hubungan yang bermakna antara umur

dengan penerapan prinsip „enam tepat‟ oleh

perawat dengan nilai p= 0,041. Dengan

demikian penerapan prinsip enam tepat yang

baik lebih banyak ditemukan pada perawat

dengan usia ≤33 tahun sedangkan penerapan

prinsip enam tepat yang buruk lebih banyak

ditemukan pada perawat dengan usia diatas 33

tahun. Dengan demikian responden yang

berumur muda memiliki risiko untuk

melakukan penerapan prinsip „enam tepat‟

dalam pemberian obat lebih baik daripada

yang berusian > 33 tahun. Teori Gibson

(1987)13

tentang faktor demografi khususnya

umur dapat mempengaruhi perilaku seseorang,

dalam penelitian ini terbukti.

Kesimpulan

Tingkat pengetahuan perawat tentang prinsip

„enam tepat‟ dalam pemberian obat

menunjukkan hasil yang lebih banyak yang

memiliki tingkat pengetahuan tinggi

dibandingkan yang rendah. Gambaran

mengenai tingkat penerapan prinsip „enam

tepat‟ dalam pemberian obat oleh perawat

menunjukkan bahwa sebagian besar cukup

baik, lebih dipengaruhi oleh faktor internal

perawat yaitu karakteristik responden terutama

umur responden yang membuktikan ada

hubungan yang bermakna antara umur dengan

penerapan prinsip „enam tepat‟ oleh perawat

dengan nilai p= 0,041. Tingkat pengetahuan

responden juga baik terbukti pada penelitian

ini menunjukkan bahwa kemampuan

responden dalam menyelesaikan kasus tentang

pemberian obat pada kuisioner sebagian besar

baik dan perlu dipertahankan.

Saran Perlu diadakan kegiatan seminar, pelatihan

atau workshop secara kontinyu mengenai

pentingnya prinsip „enam tepat‟ dalam

pemberian obat untuk meningkatkan mutu

pelayanan dibidang keperawatan mengingat

semakin ketatnya persaingan antar rumah sakit

dalam memberikan pelayanan yang terbaik

kepada klien selaku pengguna pelayanan

kesehatan serta mengirimkan staf keperawatan

ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,

minimal sampai setingkat sarjana keperawatan.

Karena semakin tinggi tingkat pendidikan

perawat, penerapan prinsip „enam tepat‟ dalam

pemberian obat idealnya lebih optimal

dilaksanakan.

Daftar Rujukan

1. Tambayong, J. 2002. Farmakologi

Untuk Keperawatan. Jakarta: Widya

Medika.

2. Perry dan Potter (2005). Buku Ajar

Fundamental Keperawatan: Konsep,

Proses dan Praktik Edisi 4 Volume 1,

Alih Bahasa Yasmin Asih, SKp.

Jakarta: EGC. 3. Kozier, Erb & Olivieri. 2004.

Fundamentals of Nursing: Concepts,

Process and Practice. California:

Addison-Wesley.

4. Nainggolan, N. 2003. Pemakaian

Antibiotik Dosis Tinggi Merusak

Ginjal Anne. Suara Pembaruan, 09

Desember 2003.

5. Joint Commission on Accreditation of

Health Organization. 2002. Research

Shows Disturbing Drug Error Rates,

diunduh pada 20 November 2011 dari

http://www.glencoe.com/ps/health/arti

cle/php4?articleId=518.

6. Kinninger, T & Reeder, L. 2003.

Establishing Roi For Technology to

Reduce Medication Errors is Both a

Science and an Art, diunduh pada 20

November 2011 dari

http://www.highbeam.com.

7. Kuntarti, 2005). Tingkat Penerapan

Prinsip Enam Tepat Dalam Pemberian

Obat Oleh Perawat Di Ruang Rawat

Inap. Jakarta: FKUI.

8. Taylor, C, Lilis, C & Le Mone, P.

1989. Fundamentals of Nursing:

Concepts, Process and Practice. New

York: Lippincot.

9. Chernecky, C, et al. 2002. Real-

World Nursing Survival Guide: Drug

Calculations and Drug

Administration. Philadelphia: WB

Saunders Co. 40

Sulistyowati, Mansyah, Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Prinsip Enam Tepat

39

47

10. Kee, J.L & Hayes, E.R. 2000.

Pharmacology: A Nursing Process

Approach, 3rd

Ed. Philadelphia: WB

Saunders Co.

11. Abrams, A.C. 1995. Clinical Drug

Therapy: Rationales For Nursing

Practice, 4th

Ed Philadelphia: J.B.

Lippincott Co.

12. Gibson, J.H. 1987. Fundamentals of

Management. Chicago: Irwin.

13. Notoadmojo. 2002. Metodologi

Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka

Cipta.

ARTIKEL PENELITIAN

48

Hubungan Penggunaan Metode Kontrasepsi Hormonal Dengan

Kejadian Kanker Payudara Di RSUD dr Doris Sylvanus,

Palangka Raya, 2011

Association Between Hormonal Contraseptive And Breast Cancer In

dr Doris Sylvanus Hospital, Palangka Raya, 2011

Arainiati, Legawati, Noordiati

Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Palangka Raya

Abstrak. Menurut WHO 8-9% wanita akan mengalami kanker payudara. Ini menjadikan kanker

payudara sebagai jenis kanker yang paling banyak ditemui pada wanita. Setiap tahun lebih dari

250,000 kasus baru kanker payudara terdiagnosa di Eropa dan kurang lebih 175,000 di Amerika

Serikat. Estimasi insidens kanker payudara di Indonesia sebesar 26 per 100.000 perempuan dan

kanker leher rahim sebesar 16 per 100.000 perempuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara

Jenis penelitian yang dilaksanakan menggunakan rancangan cross sectional study melalui

pendekatan kuantitatif sampel 115 ibu. Analisa data dilakukan melalui tiga tahapan yaitu analisis

univariabel, analisis bivariabel dengan menggunakan uji ( ) dan RR sedangkan

untuk analisis multivariat secara regresi logistic. Hasil analisis bivariabel menunjukkan terdapat

hubungan yang bermakna antara penggunaan metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker

payudara.Beberapa variabel yang berhubungan adalah genetik dan paritas. Hasil multivariabel

dengan permodelan menunjukkan hubungan yang bermakna antara penggunaam metode

kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara dengan mengontrol variabel genetik dan

paritas dapat memberikan kontribusi sebesar 17%.Terdapat hubungan yang bermakna antara

metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker payudara, variabel lain yang mempengaruhi

kejadian kanker payudara adalah paritas dan genetik dan yang tidak berpengaruh terhadap kejadian

kanker payudara adalah umur, pendidikan dan pekerjaan.

Kata Kunci: Kontrasepsi hormonal, Kontrasepsi non hormonal dan kanker payudara

Abstract. According to the WHO 8-9% of women will develop breast cancer. This makes breast

cancer as the type of the most common cancer in women. Each year more than 250,000 new cases

of breast cancer diagnosed in Europe and approximately 175.000 in the United States. According to

WHO, in 2000 an estimated 1.2 million women diagnosed with breast cancer and more than

700,000 die from it. There are no accurate statistics in Indonesia, but the data collected from

hospitals showed that breast cancer ranked first among other cancers in women breast cancer is the

leading cause of cancer death in women. Each year, in the United States 44.000 patients died of the

disease while in Europe, more than 165.000. This study was aim to know the relationship of use of

hormonal contraceptive methods with the incidenceof breast cancer. The design conducted using

cross sectional design study with a quantitative approach to sample 115 mothers. Quantitative data

analysis carried out in three stages, namely analysis univariabel, bivariabel analysis using an χ2

(Chi square) and RR, while for the multivariate logistic regression analysis. The analysis showed

bivariabel there was a significant association between use of hormonal contraceptive methods with

the incidence of breast cancer (RR = 2.4, 95% CI = 1.13 to 4.93). Several variables related to the

genetic (RR = 1.39 95% CI = 1.1 to 1.7) and parity (RR = 2.85, 95% CI = 1.01 to 8.04). The results

of the multivariable modeling demonstrated a significant association between use of hormonal

contraceptive methods with the incidence of breast cancer (RR = 7.41, 95% CI = 2.05 to 26.73) to

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

49

control the genetic variables and parity can contribute by 17% for events breast cancer in addition

there are many other risk factors that cause increased incidence of breast cancer.

Conclusion: Breast cancer in users of hormonal contraceptive methods was more pronounced, as

many as 71 people (73.2%) compared with those not using hormonal contraception methods were

26 men (26.8%). There is a significant association between hormonal contraceptive method with

the incidence of breast cancer. Another variable affecting the incidence of breast cancer is the

parity (number of children) and genetic (family history of breast cancer). Another factor that has no

effect on the incidence of breast cancer are age, education and employment ..

Keywords: hormonal contraceptives, non-hormonal contraceptives and breast cancer

Pendahuluan

Menurut WHO 8-9% wanita akan

mengalami kanker payudara. Ini menjadikan

kanker payudara sebagai jenis kanker yang

paling banyak ditemui pada wanita. Setiap

tahun lebih dari 250,000 kasus baru kanker

payudara terdiagnosa di Eropa dan kurang lebih

175,000 di Amerika Serikat. Masih menurut

WHO, tahun 2000 diperkirakan 1,2 juta wanita

terdiagnosis kanker payudara dan lebih dari

700,000 meninggal karenanya. Belum ada data

statistik yang akurat di Indonesia, namun data

yang terkumpul dari rumah sakit menunjukkan

bahwa kanker payudara menduduki ranking

pertama diantara kanker lainnya pada wanita(1)

.

Kanker payudara merupakan penyebab utama

kematian pada wanita akibat kanker. Setiap

tahunnya, di Amerika Serikat 44,000 pasien

meninggal karena penyakit ini sedangkan di

Eropa lebih dari 165,000. Setelah menjalani

perawatan, sekitar 50% pasien mengalami

kanker payudara stadium akhir dan hanya

bertahan hidup 18 – 30 bulan(2)

. Penyakit

kanker merupakan penyebab kematianke–5 di

Indonesia. Kanker tertinggi di Indonesia adalah

kanker payudara. Sudah lebih dari 30 tahun

kanker payudara menjadi suatu penyakit yang

paling ditakuti oleh wanita. Insiden kanker di

Indonesia masih belum diketahui secara pasti

karena belum ada registrasi kanker berbasis

populasi yang dilaksanakan(3)

.

Penyebab pasti kanker payudara tidak

diketahui. Ada sejumlah faktor yang dapat

meningkatkan risiko pada individu tertentu,

yang meliputi:Jenis kelamin perempuan, Umur,

Genetik, Mutasi genetik dari kanker ovarium,

riwayat keluarga, mempunyai peluang besar

menderita kanker payudara dari hasil

mammography, hasil biopsi memperlihatkan

adanya hyperplasia, riwayat terkena radiasi

pada usia muda, tidak pernah punya anak,

mempunyai anak pada umur diatas 35 tahun,

tingginya kadar androgen dan estrogen dalam

darah, penggunaan hormonal pengganti,

obesitas, kepadatan tulang yang tinggi, minum

alkohol setiap hari, menopause umur diatas 55

tahun,menarche umur ≤ 12 tahun menggunakan

pil hormonal kontrasepsi secara langsung

maupun tidak langsung(4)

. Pentingnya faktor

usia sebagai faktor risiko diperkuat oleh data

bahwa 78% kanker payudara terjadi pada pasien

yang berusia lebih dari 50 tahun dan hanya 6%

pada pasien yang kurang dari 40 tahun. Rata-

rata usia pada saat ditemukannya kanker adalah

64 tahun. Studi juga mengevaluasi peranan

faktor gaya hidup dalam perkembangan kanker

payudara yang meliputi pestisida, konsumsi

alkohol, kegemukan, asupan lemak serta

kurangnya olah fisik (5)

.

Penelitian lain menyatakan bahwa ada dua

faktor penting yang bisa meningkatkan kejadian

kanker payudara adalah tindakan menghentikan

kehamilan dan kontrasepsi hormonal dapat

meningkatkan risiko kejadian kanker payudara.

Kontrasepsi hormonal yang mengandung

estrogen dan progestin dapat menyebabkan sel-

sel payudara berkembang biak sehingga

meningkatkan kemungkinan mutasi yang

menyebabkan sel kanker dan bersifat

karsinogenik (6)

. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui hubungan kejadian kanker

payudara dengan penggunaan metode

kontrasepsi hormonal di Rg Perawatan Bedah

Wanita RSUD Dr. Doris Sylvanus Palangka

Raya.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan rancangan

cross sectional study(7)

. Subjek penelitian ini

adalah ibu yang menderita/ pernah di rawat di

Ruang Perawatan Bedah Wanita RSUD dr

Doris Sylvanus Palangka Raya pada Periode

Januari-Desember 2010 (8)

dengan diagnosis

kanker payudara dan tidak menderita kanker

payudara. Penelitian ini dilakukan di Ruang

Bedah Wanita terdiri dari 78 orang penderita

Ariniati, Legawati, Noordiati, Hubungan Penggunaan Metoda Kontrseptif Hormonal dengan Kanker Payudara

50

kanker payudara dan 37 orang penderita yang

bukan penderita kanker payudara yang dirawat

di Ruang Bedah Wanita RSUD Dr. Doris

Sylvanus Palangka Raya. Pengambilan data

dilakukansecarasekunder menggunakan catatan

rekam medik pasien yang ada.

Besar sampel ditentukan dengan

menggunakan total populasi penderita yang

pernah di rawat di Ruang Bedah Wanita RSUD

dr. Doris Sylvanus Palangka Raya Periode

Januari- Desember 2010(8)

.Data dianalisis

secara kuantitatif dengan analisis univariabel,

bivariabel dan multivariabel. Uji statistik yang

digunakan chi-square dengan melihat risiko

relatif (RR) dengan tingkat kemaknaan p < 0.05

serta confidence interval 95%(7)

.

Hasil

Karakteristik subjek penelitian

Karakteristik subjek penelitian dapat

dilihat pada Tabel 1.

Analisis kuantitatif

Analisis bivariabel untuk melihat

hubungan antara variabel penggunaan metode

kontrasepsi hormonal dan kejadian kanker

payudara serta variabel umur ibu, pendidikan,

paritas, genetik, pekerjaan dapat dilihat

padaTabel 2.

PadaTabel 2 terlihat bahwa terdapat

hubungan antara penggunaan metode

kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker

payudara. Dan ini dapat dilihat dari nilai RR 2,4

yang menunjukkan bahwa penggunaan metode

kontrasepsi hormonal dapat meningkatkan

kejadian kanker payudara 2,4 kali lebih besar

dibandingkan dengan penderita yang tidak

menggunakan metode kontrasepsi non

hormonal. Dari tabel 2 juga terlihat bahwa

faktor lain yang mempengaruhi kejadian kanker

payudara adalah genetik (RR= 1,39; dimana

kejadian kanker payudara meningkat pada

responden yang mempunyai keluarga dengan

riwayat penyakit kanker payudara 1,39 kali

lebih besar dibandingkan dengan yang tidak

memiliki riwayat keluarga menderita kanker

payudara) dan paritas (RR= 2,85: dimana

kejadian kanker payudara lebih besar dialami

multipara 2,85 kali lebih besar dibandingkan

primirapa)

Tabel 1. Karakteristik Responden, RSUD DR Doris Sylvanus Palangka Raya,

2011 (n=106)

Variabel Frekuensi Persentase

n=106 (%)

Kanker Payudara

Ya

Tidak

78

37

67,8

32,2

Penggunaan Kontrasepsi

Hormonal

Non Hormonal

97

18

84,4

15,6

Umur

20-35 tahun

>35 tahun

78

37

67,9

32,1

Pendidikan

Menengah

Tinggi

73

42

63,5

36,5

Genetik

Ya

Tidak

18

97

15,7

84,3

Paritas

Primipara

Multipara

34

81

29,6

70,4

Pekerjaan

Bekerja

Tidak Bekerja

22

93

19,1

80,9

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

51

Tabel 2. Analisis Chi Square (χ2) Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara, RSUD

dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106)

Variabel

Kanker Payudara

x2

RR

95% CI Ya Tidak

n % N %

Penggunaan kontrasepsi

Hormonal

Non Hormonal

71

7

73,2

38,9

26

11

26,8

61,1

8,19

2,4

1,13-4,93

Umur

20-35 tahun

>35 tahun

23

55

62,2

70,5

14

23

37,8

29,5

0,93

0,68

0,87-1,53

Pendidikan Ibu

Menengah

Tinggi

49

29

67,1

69,1

24

13

32,9

30,9

1,4

0,91

0,82-2,03

Genetik

Ya

Tidak

12

62

66,7

63,9

6

35

33,3

36,1

4,3

1,39

1,1-1,7

Paritas

Primipara

Multipara

25

53

73,5

65,4

9

28

26,5

34,6

5,57

2,85

1,01-8,04

Pekerjaan Ibu

Tidak Bekerja

Bekerja

64

14

68,8

63,6

29

8

31,2

36,4

0,21

0,92

0,66-1,31

Keterangan:

RR (95% CI) = Risk Ratio (95% Confidence Interval)

Analisis multivariabel dilakukan dengan

menggunakan permodelan yang bertujuan untuk

melihat hubungan antara variabel bebas dan

variabel terikat dan melakukan kontrol pada

beberapa variabel yang mempunyai hubungan

yang bermakna pada analisis bivariat dan

variabel yang secara teoritis mempunyai

hubungan dengan variabel bebas dan terikat.

Berdasarkan hasil analisis multivariat pada

Tabel 3 dengan regresi logistikdan melakukan

permodelan, terdapat hubungan yang bermakna

antara penggunaan metode kontrasepsi

hormonal dengan kejadian kanker payudara

dengan melakukan kontrol pada beberapa

variabel lain.

Tabel 3. Analisis Regresi Logistik Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara,

RSUD DR Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106)

Variabel

Model 1 Model 2 Model 3 Model 4

RR RR RR RR

95% CI 95% CI 95% CI 95% CI

Penggunaan Metode

Kontrasepsi

Hormonal

Non Hormonal

6,18

(1,96-19,47)

7,69

(2,19-27,04)

6,04

(1,83-19,93)

7,41

(2,05-26,73)

Genetik

Ya

Tidak

6,45

(1,25-32,24)

6,22

(1,09-35-32)

Ariniati, Legawati, Noordiati, Hubungan Penggunaan Metoda Kontrseptif Hormonal dengan Kanker Payudara

52

Tabel 3. Analisis Regresi Logistik Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kanker Payudara,

RSUD DR Doris Sylvanus Palangka Raya, 2011 (n=106)

Variabel

Model 1 Model 2 Model 3 Model 4

RR RR RR RR

95% CI 95% CI 95% CI 95% CI

Paritas

Primipara

Multipara

4,08

(1,41-11,74)

3,80

(1,29-11,13)

N 115 115 115 115

R2

0,07 0,12 0,13 0,17

Deviance 133,8 126,9 125,9 120,04 Keterangan: OR(95%CI): odd ratio (95% confidence interval)

Pemodelan dalam logistic regression

menampilkan nilai RR danconfidence interval

(CI) 95%. Nilai -2 log likelihood atau deviance

digunakan untuk membandingkan perbedaan

regresi model 1 dengan model regresi lainnya.

Perbedaan bermakna secara statistic jika model

regresi yang lain berbeda dengan regresi model

1, berarti variabel tambahan lain selain variabel

bebas mempunyai peluang mempengaruhi

variabel terikat dan berpeluang merubah nilai

RR pada variabel bebasnya. R2 yaitu melihat

seberapa jauh seluruh variabel dalamsetiap

model memprediksi proporsi ibu yang

mengalami kejadian kanker payudara.

Dapat disimpulkan bahwa model yang

dipilih adalah model dengan nilai R2

tertinggi

sebagai pertimbangan untuk melakukan

intervensi. Banyak hal yang menjadi faktor

risiko kejadian kanker payudara sehingga dari

permodelan regresi logistik ini maka dapat

dipilih model 4 dimana terlihat adanya

hubungan yang bermakna antara penggunaan

metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian

kanker payudara dengan nilai RR= 7,41; 95%

CI= 2,05-26,73, sehingga dapat dibuat sebuah

pernyataan bahwa untuk ibu-ibu yang

menggunakan metode kontrasepsi hormonal

mempunyai peluang 7,41 kali lebih besar

mengalami kanker payudara dibandingkan

dengan ibu yang tidak menggunakan metode

kontrasepsi hormonal, apalagi dengan adanya

riwayat genetik dalam keluarga tentang

penyakit kanker payudara dan jumlah anak

lebih dari 1 (multipara) akan memperbesar

peluang risiko (kontrasepsi hormonal dapat

memberikan kontribusi peningkatan kejadian

kanker payudara sebanyak 17%).

Pembahasan

Penelitian ini secara umum bertujuan

untuk mengetahui hubungan penggunaan

metode kontrasepsi hormonal dengan kejadian

kanker payudara dan melihat beberapa variabel

lain yang juga mempengaruhi meliputi: umur,

pendidikan, genetik, paritas dan pekerjaan.

Hubungan Kejadian Kanker Payudara

dengan penggunaan Metode Kontrasepsi

Hormonal

Berdasarkan hasil analisis multivariat

kontrasepsi hormonal dapat memberikan

kontribusi kejadian kanker payudara sebesar

17% setelah dilakukan pengontrolan pada

variabel genetik dan paritas. Penelitian ini

sejalan dengan penelitian lain yang dilakukan

oleh Penelitian lain (3)

yang menyatakan bahwa

penggunaan metode kontrasepsi hormonal

kombinasi (estrogen dan progesteron)

meningkatkan kejadian kanker payudara 1,864

kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang

bukan pengguna metode kontrasepsi hormonal

kombinasi (OR=1,864; p =0,118). Dari nilai p

value = 0,118 yang lebih besar dari p>α=0,05

maka dapat dikatakan bahwa meskipun nilai

OR=1,864 atau kemungkinan pengguna

kontrasepsi hormonal kombinasi memiliki

peluang lebih besar 1,864 kali lebih besar

dibandingkan dengan yang bukan pengguna

metode kontrasepsi hormonal non kombinasi

akan tetapi kontrasepsi hormonal kombinasi

bukan faktor risiko yang signifikan dapat

meningkatkan kejadian kanker payudara.

Non Hormonal Kontrasepsi harus digunakan

sebagai pilihan pertama pada penderita kanker

yang survival. Sterilisasi dan pemasangan IUD

non hormonal dapat merupakan pilihan

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

53

metode kontrasepsi non hormonal. Penelitian

lanjut untuk penggunaan metode kontrasepsi

hanya hormon progestin dibutuhkan oleh

penderita kanker payudara yang survival (9)

.

Hubungan Kejadian Kanker Payudara

dengan Umur responden

Penelitian ini menunjukkan bahwa analisis

bivariabel menunjukkan tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara umur dengan

kejadian kanker payudara. Penelitian yang

dilakukan di Perjan RS Dr. Cipto

Mangunkusumo (3)

menunjukkan bahwa

karakteristik kejadian kanker payudara terbesar

pada responden umur 40-44 tahun. Akan tetapi,

tidak dilakukan analisis bivariabel untuk

melihat hubungan antara umur dengan kejadian

kanker payudara.

Berdasarkan program SEER (Surveillance,

Epidemiology and End Results) yang dilakukan

NCI (National Cancer Institutte) insidensi

kanker payudara meningkat seiring dengan

pertambahan usia. Diperkirakan 1 dari 8 wanita

mengalami perkembangan penyakit payudara

sepanjang hidupnya. Kemungkinan terbesar

perkembangan payudara mulai terjadi pada

wanita dengan kisaran umur 40-50 tahun (3)

Penelitian ini mendukung penelitian lain

yang dilakukan(5)

menyatakan bahwa penderita

kanker payudara pada kisaran umur 60 tahun.

Dan ini mendukung penelitian lain (4)

yang

menyatakan bahwa ada perbedaan kejadian

kanker payudara pada masing-masing kisaran

umur meliputi : umur 20 tahun (1 dari 232),

umur 40 tahun ( 1 dari 69), umur 50 tahun (1

dari 42), umur 60 tahun ( 1 dari 29) dan Umur

70 tahun ( 1 dari 27).

Penelitian lain yang dilakukan (1)

menyatakan bahwa umur pertama melahirkan >

30 tahun akan meningkatkan kejadian kanker

payudara (OR=2,27; 95% CI = 1,02-5,05). Hal

ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara umur dengan kejadian kanker

payudara 2,27 kali pada umur melahirkan > 30

tahun dibandingkan dengan ibu yang

melahirkan pertama pada umur < 30 tahun.

Hubungan Kejadian Kanker Payudara

dengan Pendidikan Responden

Pendidikan bukan merupakan salah satu

faktor yang bisa meningkatkan atau

menurunkan kejadian kanker payudara).

Penelitian lain yang dilakukan(1)

didapatkan bahwa status pendidikan adalah

pada pendidikan menengah sebanyak 34 orang

(54%) dibandingkan pendidikan rendah

sebanyak 4 orang (6,3%). Setelah dilakukan

analisis bivariabel ditemukan bahwa tidak

terdapat hubungan yang bermakna dan

signifikan antara pendidikan dengan kejadian

kanker payudara

Penelitian berbeda dilakukan oleh (2)

yang

menyatakan bahwa pendidikan akan

meningkatkan kewaspadaan tentang kesehatan,

pemeriksaan sadari dan pemeriksaan klinisi

untuk penyakit kanker payudara. Dengan

pendidikan yang tinggi dapat memudahkan

kerjasama dalam memberikan pengobatan atau

penanganan apabila ditemukan/ terdeteksi awal

menderita kanker payudara.

Hubungan Kejadian Kanker Payudara

dengan Pekerjaan Responden

Pekerjaan bukan merupakan salah satu

faktor yang bisa meningkatkan atau

menurunkan kejadian kanker payudara).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian

lain yang dilakukan (1)

yang menunjukkan

bahwa angka kejadian kanker payudara paling

banyak diderita oleh ibu rumah tangga

sebanyak 48 orang (76,2%) dibandingkan

dengan wanita pekerja. Walaupun demikian

tidak terdapat hubungan antara pekerjaan

dengan kejadian kanker payudara.

Penelitian berbeda dilakukan (4)

menemukan bahwa paparan radiasi pada umur

muda yang berlangsung lama akan

meningkatkan risiko kejadian kanker payudara.

Paparan radiasi yang lama dan kontinyu

merupakan salah satu faktor predisposisi

kejadian kanker payudara karena dapat

meningkatkan perkembangan sel baru yang

sifatnya abnormal atau adanya mutasi genetik

dari pertumbuhan sel baru tersebut sehingga

terjadi pertumbuhan sel kanker. Ini banyak

ditemukan pada kelompok wanita yang terkena

radiasi pada umur yang sangat muda.

Hubungan Kejadian Kanker Payudara

dengan Paritas responden

Terdapat hubungan yang bermakna antara

paritas dengan kejadian kanker payudara (RR=

2,85, dan p= 0,01; dimana kejadian kanker

payudara meningkat dengan semakin

Ariniati, Legawati, Noordiati, Hubungan Penggunaan Metoda Kontrseptif Hormonal dengan Kanker Payudara

54

banyaknya jumlah anak yang dilahirkan dimana

multipara 2,85 kali lebih besar kejadian kanker

payudara dibandingkan dengan primipara).

Penelitian lain (10)

menemukan bahwa

paritas mempengaruhi kejadian kanker

payudara. Karena ditemukan perbedaan antara

kanker payudara pada ibu yang melahirkan satu

kali dengan yang melahirkan anak 4 orang atau

lebih.

Menyusui bayi setelah melahirkan dapat

menurunkan faktor risiko kejadian kanker

payudara sepanjang proses menyusui. Karena

dalam proses menyusui kelenjar air susu

mengalami perubahan. Dalam periode

menyusui tersebut akan menghasilkan rentang

waktu untuk kehilangan siklus menstruasi.

Siklus menstruasi menyebabkan setiap bulan

wanita melepaskan hormon estrogen dan

progesteron. Paparan hormon estrogen selama

periode mestruasi inilah yang diketahui

merupakan faktor risiko yang dapat

meningkatkan kejadian kanker payudara.

Sehingga ditemukan perbedaan dengan

penelitian yang lain bahwa paritas dapat

mempengaruhi kejadian kanker payudara.

Dengan semakin banyaknya anak yang

dilahirkan dan semakin panjangnya proses

menyusui akan menurunkan risiko kejadian

kanker payudara (6)

.

Hubungan Kejadian Kanker Payudara

dengan Genetik (Riwayat Penyakit Kanker

Payudara dalam keluarga)

Dan hasil analisis bivariabel menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang bermakna

antara genetik dengan kejadian kanker payudara

Persentase penderita kanker payudara yang

memiliki riwayat keluarga penderita kanker

payudara sekitar 6-12%. Riwayat menderita

kanker payudara yang diwarisi menjadi salah

satu faktor risiko terjadinya kanker payudara.

Carrier kanker payudara akan meningkatkan

perkembangan kanker payudara pada usia muda (3)

Penelitian lain yang dilakukan (4)

menyatakan bahwa pada kenyataannya bahwa

ada beberapa wanita yang menderita kejadian

kanker payudara akan tetapi tidak memiliki

riwayat keluarga yang menderita kanker

payudara. Seorang wanita yang memiliki ibu,

saudara perempuan atau anak perempuan

menderita kanker payudara akan meningkatkan

faktor risiko kejadian kanker payudara.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :1) Kanker

payudara pada pengguna metode kontrasepsi

hormonal lebih tinggi yaitu sebanyak 71 orang

(73,2%) dibandingkan dengan yang tidak

menggunakan metode kontrasepsi hormonal

sebanyak 26 orang (26,8%); 2)Terdapat

hubungan yang bermakna antara metode

kontrasepsi hormonal dengan kejadian kanker

payudara; 3) Variabel lain yang mempengaruhi

kejadian kanker payudara adalah paritas

(jumlah anak) dan genetik (riwayat kanker

payudara dalam keluarga); 4) Faktor lain yang

tidak berpengaruh terhadap kejadian kanker

payudara adalah umur, pendidikan dan

pekerjaan.

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut maka

dapat ada beberapa saran atau rekomendasi

meliputi : 1) Bagi Petugas Kesehatan dapat

melakukan penyuluhan kesehatan secara gencar

dalam setiap kegiatan tentang pengaruh metode

kontrasepsi hormonal terhadap kejadian

peningkatan kanker payudara, 2). Bagi BKKBN

membantu fasilitasi penyedian metode

kontrasepsi non hormonal serta menggalakkan

metode kontrasepsi jangka panjang non

hormonal.

Daftar Pustaka

1. Harrison, PA., Srinivasan, K., Binu, VS.,

Vidyasagar, MS., Nair, S. Risk Factor for

Being Cancer Among Women Attending a

Tertiary Care Hospital in Southern

India.International Journal of Collaborative

Reasearch on Internal Medicine & Public

Health. 2010 April;2(4):109-116.

2. Schulman, LN., Willet, W,., Sievers, A.,

Knaul, FM. Breast Cancer in Developing

Countries: Oppurtunities for Improved

Survival. Oncology.J.2010 May-Oct

3. Harianto., Mutiara, R., Surachmat. Risiko

Penggunaan Pil Kontrasepsi Kombinasi

terhadap Kejadian Kanker Payudara pada

Reseptor KB di Perjan RS Dr. Cipto

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

55

Mangunkusumo. Majalah Ilmu

Kefarmasian. II(1): 84-99.

4. Susan G. Facts For Life Breast Cancer Risk

Factors. Health Communication Research

Laboratory at Saint Louise University

2012

5. Klein, RL., Brown, AR., Castro, CMG.,

Chambers, SK., Cragun, JM., Le Beu, LG.,

Long, JI. Ovarian Cancer Metastatic to the

Breast Presenting as Inflammatory Breast

Cancer: A Case Report and Literature

Review. Journal of Cancer. 2010

June;1:27-31.

6. Lanfranchi, A. The Reasons Hormonal

Contraceptives and Induced Abortion

Increase Breast Cancer Risk, Agust

2009.76(3):236-249

7. Bonita R, Beaglehole R, Kjellstrom T.

Basic Epidemiology. 2nd ed. Geneva:

WHO; 2006.

8. Bagian Medical Record. Register Pasien

Perawatan Ruang Bedah Wanita. RSUD

dr. Doris Sylvanus Palangka Raya 2011

9. Chair, DMP., Lea, RH., Jeffrey,JF., Oza, A.,

Reid, RL., Swenerton, KD. Progesteron

Only and Non Hormonal Contraception in

The Breast Cancer Survivor: Joint Review

and Committee Opinion of the Society of

Obstericians and Gynaecologist of Canada

and the Society og Gynecologic

Oncologists of Canada. Joint Clinical

Practice Guidelines, July 2006.

10. National Breast and Ovarian Cancer Centre.

Report to The nation Breast Cancer

2010.Australian Goverment Department

of Health and Ageing.

ARTIKEL PENELITIAN

56

Efektifitas Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu Hamil

Dengan Hipertensi di Palangka Raya

Effect of Relaxation Theraphy on Pregnancy induced Hypertension in

Palangka Raya

Berthiana Tinse, Aida Kusnaningsih, Nita Theresia

Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Palangka Raya

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Efektifitas Pemberian Relaksasi

Progresif Pada Ibu Hamil Dengan Hipertensi Di Puskesmas sekota Palangka Raya.Desain

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan pendekatan pre

dan post test, tekanan darah diukur sebelum dan setelah pemberian relaksasi progresif. Data

karakteristik ibu hamil dikumpulkan melalui kuisoner. Uji statitistik ada 2 tahap yaitu univariate

dan bivariate. Terdapat 10 orang dengan hasil sistoliknya lebih rendah setelah relaksasi daripada

sebelum relaksasi, 16 orang tetap, dan 0 orang mempunyai sistolik yang tinggi dari sebelum

relaksasi. Test statistics menunjukkan hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai P <0,05, dengan

demikian disimpulkan terdapat perbedaan rerata sistolik antara sebelum relaksasi dan sesudah

relaksasi.Jika dilihat dari perbedaan rerata tekanan darah sistolik sebelum dan sesudah relaksasi

yaitu sebesar 5 mmHg Sedangkan tekanan diastolic sebelum dan sesudah relaksasi tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0,06). Hal tersebut juga terlihat dari perbedaan rerata

diastolic antara sebelum dan sesudah relaksasi yaitu nol. Secara deskriptif, terdapat 4 orang

dengan hasil diastoliknya lebih rendah setelah relaksasi daripada sebelum relaksasi, 22 orang

tetap, dan 0 orang mempunyai diastolik yang tinggi dari sebelum relaksasi.Kesimpulan ada

penurunan tekanan darah sistolik setelah dilakukan relaksasi progresif. Sedangkan tekanan

diastolik tidak ada penurunan yang signifikan dengan dilakukan relaksasi progresif. Tidak terjadi

penurunan tekanan darah yang signifikan terutama tekanan darah diastolik hal ini dapat

disebabkan waktu pemberian atau latihan relaksasi yang singkat yaitu 1 bulan.

Kata Kunci : Relaksasi Progresif, hipertensi pada ibu hamil

Abstract. Hypertension is one of the complication in the pregnancy. Hypertension was defined

as systolic and diastolic pressure increased until it reaches or exceeds140/90 mmHg. Hypertensice

disease in pregnancy plays a major role in morbidity and maternal mortality and perinatal,

complications of hypertension is estimated to be approximately 7-10% of all pregnancies. One of

the measure for hypetension in pregnant women is the relaxation. Relaxation is one way that can

be done by individuals to reduce stress, and reduces blood pressure due to relaxation training can

be by achieved a relaxed state, the general decline in the level of tension and increase comfort.

Purpose research to knowing in purpose of effectiveness research provision progressive

relaxation in pregnant women with hypertension the public health service in Palangka Raya.

Method used in this study was quasi experemental approach to pre and post test, blood pressure

was measured before and after administration of progresive relaxation. Maternal characteristics

data collected throught questionnaires. The are 2 test statistic univariate and bivariate stages.

There are 10 people with lower systolic outcomes after relaxation than before relaxation, 16

people remain, and 10 people have high systolic relaxation than before. Test stastics show the

result obtained by the Wilcoxon test P< 0,05, thus there is a difference rerata sistolic concluded

between the before and after relaxation. It seen from the diffrence in mean systolic blood pressure

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

57

before and after the relaxation is equal to 5 mmHg, while diastolic pressure before and after

relaxation showed significant diffrence (P>0,06). It is also evident from the mean diastolic

difference between before and after relaxation is zero. Discriptively, the are 4 people with lower

diastolic result after relaxation than before relaxation, 22 people remain, and o people have high

distolic relaxation of before. There is a decrease in systolic blood pressure after progresive

relaxation while the diastolic pressure there was no significant decrease with progressive

relaxation cone.

Keywords :Progressive relaxation, hypertension in pregnance women

Pendahuluan

Pada masa kehamilan ibu harus

mempersiapkan diri sebaik-baiknya, karena

ibusehatakanmelahirkanbayi yang sehat,

begitu pula sebaliknya. Faktor kesehatan ibu

sangat menentukan dalam menentukan

kemampuan melahirkan bayi yang sehat.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

kesehatan ibu dan kemampuan dalam

melahirkan bayi yang sehat adalah ibu hamil

dengan penyakit hipertensi.

Penyakit hipertensi pada kehamilan

berperan besar dalam morbiditas dan

mortalitas maternal dan parinteral, hipertensi

diperkirakan menjadi komplikasi sekitar 7-10

% seluruh kehamilan. Di dunia yaitu berkisar

5-8% disebabkan oleh hipetensi dalam

kehamilan. Di Amerika Serikat, kematian ibu

disebabkan hipetensi dalam kehamilan,

preeklampsia dan eklampsia kurang dari 1%

dan kematian janin sekitar 12%. Di negara

berkembang Kematian ibu yang disebabkan

oleh Hipetensi dalam kehamilan dan

Preeklampsia Berat (PEB) masih tinggi,

sekitar 5 – 10 %, dan kematian janin sekitar

40 %. Dari seluruh ibu yang mengalami

hipertensi selama masa hamil, setengah

sampai dua pertiganya didiagnosa mengalami

preeklamsi atau eklamsi. Prevalansi

kehamilan pada wanita dengan penyakit ginjal

kronis atau penyakit pembuluh darah seperti

hipertensi esential, diabetus mellitus dan lopus

eritematosus meningkat sampai 20-40%.1

Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia

saat ini masih tinggi dibandingkan dengan

AKI negara-negara ASEAN lainnya. Angka

kematian ibu di Indonesia pada tahun 2006

sebanyak 255 per 100.000 kelahiran hidup,

tahun 2007 sebanyak 228 per 100.000

kelahiran hidup, dan pada tahun 2008

sebanyak 248 per 100.000 kelahiran hidup.

Penyebab kematian ibu yang paling besar

adalah perdarahan 28%, keracunan

kehamilan/eklamsi (kaki bengkak dan darah

tinggi) sebanyak 24% dan infeksi sebanyak

11%. Pada tahun 2009 angka kematian ibu

(AKI) masih cukup tinggi, yaitu 390 per

100.000 kelahiran hidup. 2

Di Indonesia preeklampsia-eklampsia

masih merupakan salah satu penyebab utama

kematian maternal dan kematian perinatal

yang tinggi. Hipertensi diperkirakan menjadi

komplikasi sekitar 7% sampai 10 % seluruh

kehamilan. Hipertensi dalam Kehamilan

adalah penyebab kematian utama ketiga pada

ibu hamil setelah perdarahan dan infeksi.

Angka kejadian Hipertensi dalam Kehamilan

kira-kira 3.7 % seluruh kehamilan. 3

Salah satu tindakan untuk mengatasi

hipertensi pada ibu hamil adalah dengan

relaksasi. Relaksasi merupakan salah satu cara

yang dapat dilakukan sendiri oleh individu

untuk mengurangi stres, kekalutan emosi dan

bahkan dapat mereduksi pelbagai gangguan-

gangguan fisiologis dalam tubuh sehingga

dengan relaksasi dapat memberikan

keuntungan secara fisik dan psikis yaitu

memberikan rasa tenang, mengurangi tekanan

darah, mengatur pernafasan, mengurangi atau

bahkan terhindar dari serangan panik akibat

kekurangan oksigen, memperlancar aliran

darah, mengurangi pegal akibat meningkatnya

tekanan otot di saat stres, menghilangkan

gangguan somatisasi seperti sakit kepala

(migrain), sakit Punggung, memberikan

kontrol baik ketika marah atau frustrasi,

memberikan tenaga lebih dalam menghadapi

stres, meningkatkan kemampuan konsentrasi,

memberikan ketenangan dalam pengambilan

keputusan dan tenang dalam menghadapi

masalah dan bertindak lebih efisien.

Penelitian yang dilakukan oleh Reshma

dkk dengan judul Effect of Relaxation

Therapy on mild pregnancy incuded

hypertesiondengan menggunakan metode

kuasi eksperimen didapatkan hasil

Tinse, Kusnaningsih, Theresia, Efek Pemberan Relaksasi pada Ibu Hamil dengan Hipertensi

58

terapirelaksasitelahmengurangitingkatstrespad

aibuhamil pertama dengan

dengan hipertensi yaitu rata-rata Score

prarelaksasi 17,4, dan postrelaksasi 7,17.

Berdasarkan hal itu maka penelitian ini

bertujuan untuk mengetahuiEfektifitas

Pemberian Relaksasi Progresif Pada Ibu

Hamil Dengan Hipertensi.

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan

quasi eksperimen dengan pendekatan pre dan

post test yaitu tekanan darah ibu diukur

sebelum dan setelah diberikan relaksasi

progresif. Prosedur yang dilakukan yaitu pada

awal penelitian tekanan darah ibu diukur,

bagi ibu dengan tekanan darah yang melebihi

140/90 mmHg diberikan relaksasi progresif

dengan frekuensi 2 kali dalam seminggu

selama 1 bulan, dan terakhir dilakukan

pengukuran tekanan darah kembali.Penelitian

dilakukan di Puskesmas Sekota Palangka

Raya dengan waktu Penelitian dilaksanakan

selama 6 bulan yaitu dari bulan Juni sampai

dengan Desember 2011.Populasi dalam

penelitian ini adalah semua ibu hamil dengan

hipertensi di Puskesmas sekota Palangka

Raya.Sampel penelitian ini adalah semua ibu

hamil yang ada di puskesmas sekota Palangka

Raya dengan hipertensi (tekanan darah di

atas 140/90 mmHg) . Besar sampel dalam

penelitian ini adalah sesuai kriteria subyek

penelitian yang dibatasi oleh lamanya waktu

penelitian yaitu berjumlah 26 orang dengan

kriteria inklusi ibu hamil dengan hipertensi

tanpa melihat usia kehamilan dan berapa

jumlah kehamilan, kesadaran kompos mentis,

dan kriteria inklusi ibu hamil dengan diabetes

mellitus, gangguan perdarahan, ibu hamil

dengan riwayat penyakit hati, dan

ginjal.Variabel yang diteliti dalam penelitian

ini terdapat dua variabel yaitu variabel

independen dan dependen. Variabel

independen yaitu relaksasi progresif dan

variabel dependen penurunan tekanan darah.

Pengumpulan data dilakukan pada kelompok

ibu hamil dengan hipetensi dan dilakukan

relaksasi progresif, selanjutnya data yang

diperoleh diolah dan dianalisa dengan

menggunakan aplikasi statistik pada program

komputer.

Hasil Dan Pembahasan

Karakteristik responden dalam penelitian

inidilihat dari umur, pekerjaan, pendidikan

dan usia kehamilan. Responden yang berumur

kurang dari 20 tahun (< 20 tahun) sebanyak

5orang (19%), umur 20-35 tahun sebanyak 16

orang (62%) dan lebih dari 35 tahun (> 35

tahun) sebanyak 5 orang (19%).

Perkerjaannya adalah sebagai Ibu Rumah

Tangga yaitu sebanyak 16 orang (62%), dan

yang lainnya swasta sebanyak 7 orang (27 %)

dan PNS sebanyak 3 orang (11%).Dari umur

dan pekerjaan terlihat bahwa sebagaian besar

responden berada pada usia produktif yaitu 16

orang dan bekerja baik sebagai ibu rumah

tangga, swasta dan PNS. Seorang ibu yang

bekerja bertujuan untuk membantu

perekonomian keluarga, dan stess dari

pekerjaan dapat dapat memberikan dampak

tersendiri terutama pada ibu yang sedang

hamil.

Berdasarkan tingkat pendidikan

responden dalam penelitian ini adalah

SD/Sederajat yaitu sebanyak 9 orang (34,6%),

SMP/sederajat 9 orang (34,6%),

SMU/sederajat 5 orang (19,2%), perguruan

tinggi (PT) 1 orang (3,8%) dan tidak sekolah

2 orang (7,6%). Dari tingkat pendidikan

terlihat bahwa masih banyak responden pada

tingkat pendidikan SD dan tidak sekolah.

Tingkat pendidikan termasuk dalam latar

belakang psikososial yang dapat menjadi

penyebab stress pada ibu.

Usia kehamilan respondendalam

penelitian ini adalah usia kehamilan lebih dari

20 minggu (> 20 minggu) sebanyak 24 orang

(92%) dan kurang dari 20 minggu (<20

minggu) sebanyak 2 orang (8%).

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

59

Tabel 1. KarakteristikSubjekPenelitian (n=26)

Karakteristik Rerata SD Min-Max

Sistoliksebelum (mmHg) 150 8,9 140-170

Sistoliksesudah (mmHg) 145 9,5 130-160

Dstoliksebelum (mmHg) 90 4,7 90-100

Diastoliksesudah (mmHg) 90 5,5 80 - 100

Analisis bivariate yang

digunakanyaituujihipotesis non parametric

Wilcoxon (uji alternative dependent T-

test).Uji ini digunakan karena setelah

dilakukan transformasi data untuk upaya

distribusi data menjadi normal tidak berhasil.

Tabel2.memperlihatkan hasil uji analisis

Wilcoxon. Terdapat 10 orang dengan hasil

sistoliknya lebih rendah setelah relaksasi

daripada sebelum relaksasi, 16 orang tetap,

dan 0 orang mempunyai sistolik yang tinggi

dari sebelum relaksasi. Test statistics

menunjukkan hasil uji Wilcoxon diperoleh

nilai P <0,05, dengan demikian disimpulkan

terdapat perbedaan rerata sistolik antara

sebelum relaksasi dan sesudah relaksasi. Jika

dilihat dari perbedaan rerata tekanan darah

sistolik sebelum dan sesudah relaksasi yaitu

sebesar 5 mmHg (table 4.1.).

Sedangkan tekanan diastolic sebelum dan

sesudah relaksasi tidak menunjukkan

perbedaan yang signifikan (p>0,06). Hal

tersebut juga terlihat dari perbedaan rerata

diastolic antara sebelum dan sesudah relaksasi

yaitu nol. Secara deskriptif, terdapat 4 orang

dengan hasil diastoliknya lebih rendah setelah

relaksasi daripada sebelum relaksasi, 22 orang

tetap, dan 0 orang mempunyai diastolik yang

tinggi dari sebelum relaksasi.

Tabel 2. Analisis Non Parametrik Wilcoxon Tekanan Darah Sistolik dan Distolik Sebelum dan

Sesudah Relaksasi (n=26)

N Statistik

Z P

Sistoliksesudahrelaksasi –

sistoliksebelumrelaksasi

Negative Ranks 10a -2,84

0,005

Positive Ranks 0b

Ties 16c

Total 26

Diastoliksesudahrelaksasi –

diastolicsebelumrelaksasi

Negative Ranks 4a -1,890 0,06

Positive Ranks 0b

Ties 22c

Total 26

a. after<before

b. after>before

c. after =before

Relaksasi pada ibu hamil dengan

hipertensi dapat membantu menurunkan

tekanan darah. Dalam penelitian ini

menunjukkan terjadi penurunan tekanan darah

dengan pada ibu hamil dilakukan relaksasi

yaitu terdapat 10

orangdenganhasilsistoliknyalebihrendahsetela

hrelaksasidaripadasebelumrelaksasi, 16 orang

Tinse, Kusnaningsih, Theresia, Efek Pemberan Relaksasi pada Ibu Hamil dengan Hipertensi

60

tetap, dan 0 orang mempunyaisistolik yang

tinggidarisebelumrelaksasi.

Hal inisesuai dengan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Reshma dkk

pada penelitiannya yang berjudul Effect of

Relaxation Therapy on mild pregnancy

incuded hypertesionmenunjukkanbahwa,

terapirelaksasitelahmengurangitingkatstrespad

aibuhamil pertama dengan

dengan hipertensi.Studi menunjukkan bahwa

stres memainkan peranan besar dalam tekanan

darah tinggi. Pernapasan lambat adalah teknik

aktif untuk mengurangi stres dan tekanan

darah membuka pembuluh darah santai otot di

diafragma.

Sistem saraf manusiater diri dari atas

system saraf pusat dan system saraf

otonom.Sistem saraf otonom terbagi menjadi

system saraf simpatetis yang bekerja

diantaranya dengan meningkatkan rangsangan

atau memacu organ-organ tubuh dan saraf

parasimpatetis yang menstimulasi turunnya

semua fungsi yang dinaikkan oleh system

saraf simpatetis dan menstimulasi naikknya

semua fungsi yang diturunkan oleh saraf

simpatetis. Saat tubuh mengalami ketegangan

dan kecemasan maka yang bekerja adalah

system saraf simpatetis sedangkan system

saraf para simpatetis bekerja pada waktu

tubuh dalam keadaan rileks. Dengan demikian

relaksasi dapat menekan rasa tegang dan rasa

cemas.4,6

Relaksasi aka nmengubah ketegangan

otot menjad irelaks, sehingga tekanan darah

penderita hipertensi dapat

diturunkan.Relaksasi memperlancar proses

metabolism tubuh, laju denyutjantung,

peredaran darah.4,6

Relaksasi dapat mengurangi ketegangan

dan kecemasan.Relaksasi adalah suatu teknik

yang merupakan bagian dari terapi perilaku.

Relaksasi adalah perpanjangan serabut otot

skeletal, sedangkan ketegangan adala

hkontraksi terhadap perpindahan serabu

totot.4,6

Gold friend dan trier melaporkan terapi

relaksasi efektif menurunkan kecemasan,

metode yang digunakan sebagai self control

coping skill. Jacobson melaporkan bahwa

terjadi penurunan nadi dan tekanan darah pada

pasien ansietas setelah dilakukan terapi

relaksasi. Prawitasari melaporkan bahwa

terapi relaksasi sangat efektif untuk pasien

dengan kecemasan menyeluruh, kecemasan

berbicara di muka umum.4,5,6

Karyono dkk melaporkan bahwa

relaksasi dapat menurunkan tekanan darah

sistolik dan diastolic pada pasien hipertensi.6

Relaksasi bernafas lambat dapat

membuat nafas menjadi lebih dalam dan

lambat. Dengan bernafas secara rutin dapat

membantu mengatur tekanan darah. Bernafas

lambat selama 15 menit selama 2 bulan dapat

menurunkan tekanan darah 10-15 poin.4,5,6

Kesimpulan Dan Saran

Pada ibu hamil yang mengalami

hipertensi setelah dilakukan relaksasi

progresif, terdapat penuruan tekanan darah

terutama tekanan darah sistolik. Sedangkan

tekanan diastolik tidak ada penurunan yang

signifikan dengan dilakukan relaksasi

progresif. Tidak terjadi penurunan tekanan

darah yang signifikan terutama tekanan darah

diastolik hal ini dapat disebabkan waktu

pemberian atau latihan relaksasi yang singkat

yaitu 1 bulan. Penelitian tentang relaksasi

progresif pada ibu hamil dengan hipertensi ini

perlu dilanjutkan, terutama waktu

pelaksanaan relaksasi. Diperlukan waktu >1

bulan dengan frekuensi yang sering untuk

melihat tingkat keefektifitas relaksasi terhadap

penurunan tekanan darah.Perlu

dipertimbangkan untuk penggunaan relaksasi

progresif dalam penanganan ibu hamil dengan

hipertensi.Perlu disosialisasikan hasil

penelitian agar bisa dimamfaatkan oleh

masyarakat terutama ibu hamil.

Daftar Pustaka

1. Bobak. 2004. KeperawatanMaternitas.

Jakarta : EGC

2. Manuaba Ida Bagus. 1993.

PenuntunKepanitraanKlinikObstetridanG

inekologi. Jakarta : EGC

3. PedomanPengelolaanHipertensiDalamKe

hamilan di Indonesia, Edisi 2.

HimpunanKedokteranFetomaternal .

POGI 2005

4. Jones Richard Nelson. 2011, Teori dan

Praktik Konseling dan Terapi Yogyakarta

Pustaka Belajar

Forkes, Jurnal Forum Kesehatan, Volume III Nomor 5, Pebruari 2013

61

5. Karyono, 1994, Efekivitas Relaksasi

Dalam Menurunkan Tekanan Darah Pada

Penderita Hipertensi Ringan, Yogyakarta

: Tesis Program Pasca Sarjana UGM.

6. Komala sari G., et al Teori dan Teknik

Konseling. Jakarta indeks

7. SS.Reshma, Alice Salins, SS. Kiron, and

M. Saritha, Effect of Relaxation Therapy

On Mild Pregnancy incuded

Hypertension

1. Jurnal ini memuat naskah di bidang kesehatan.

2. Naskah hasil penelitian atau naskah konsep yang

ditujukan kepada Forum Kesehatan, belum

dipublikasikan di tempat lain.

3. Naskah yang dikirim harus disertai surat persetujuan

publikasi dan ditandatangani oleh penulisa.

4. Komponen naskah:

Judul ditulis maksimal 150 karakter termasuk huruf

dan spasi.

Identitas peneliti ditulis dicatatan kaki di halaman

pertama.

Abstrak dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris

maksimal 200 kata, dalam satu alenia mencakup

masalah, tujuan, metoda, hasil, disertai dengan 3-5

kata kunci.

Pendahuluan tanpa subjudul, berisi latar belakang,

sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian.

Metode dijelaskan secara rinci, desain, populasi,

sampel, sumber data, teknik/instrumen pengumpul

data, prosedur analisa data.

Pembahasan mengurai secara tepat dan argumentatif

hasil penelitian, temuan dengan teori yang relevan,

bahasa dialog yang logis, sistematik, dan mengalir.

Tabel diketik 1 spasi sesuai urutan penyebutan dalam

teks. Jumlah maksimal 6 tabel dengan judul singkat.

Kesimpulan dan saran menjawab masalah penelitian

tidak melampaui kapasitas temuan, pernyataan tegas.

Saran logis, tepat guna, dan tidak mengada-ada.

5. Rujukan sesuai dengan aturan Vancouver, urut sesuai

dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, dibatasi

25 rujukan dan 80% merupakan publikasi 10 tahun

terakhir.

Cantumkan nama belakang penulis dan inisial nama

depan. Maksimal 6 orang, selebihnya diikuti “dkk (et

al)”.

Huruf pertama judul ditulis dengan huruf besar,

selebihnya dengan huruf kecil, kecuali penamaan

orang, tempat dan waktu. Judul tidak boleh digaris

bawah dan ditebalkan hurufnya.

Artikel Jurnal Penulis Individu:

Rivera JA, Sotres-Alvares D, Habicht JP, Shamah T,

Villalpando S. Impact of the Mexican Program for

Education, Health, and Nutrition on Rates of Growth

and Anemia in infants and young children a

randomized effectiveness study. JAMA. 2004;

291(21):2463-70.

Artikel Jurnal Penulis Organisasi

Diabetes Prevention Program Research Group.

Hypertension, insulin, and prosulin in participants with

impaired glucose tolerance. Hypertension.

2002;40(5):679-86.

Buku yang ditulis Individu:

Price, SA, Koch, MW, Basset, S. Health Care Resource

Management: Present and Future Challenges. St. Louis:

Mosby;1998.

Buku yang ditulis Organisasi dan Penerbit:

Royal Adelaide Hospital; University of Adelaide,

Departement of Clinical Nursing. Compendium of

nursing research and practice dvelopment, 1999-2000.

Adelaide (Australia): Adelaide University; 2001.

Bab dalam Buku:

Soentoro. Penyerapan Tenaga Kerja Luar Sektor

Pertanian di Pedesaan. Dalam Faisal Kasryno, editor.

Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia.

Jakarta:Yayasan Obor; 1984. p.202-262.

Artikel Koran:

Tynan T. Medical improvements lower homicide rate:

study sees drop in assault rate. The Washington Post.

2002 Aug 12; Sect. A:2 (col.4).

CD-ROM:

Women and HIV/AIDS: Reproductive and Sexual

Health [CD ROM], London: Reproductive Health

Matters;2005.

Artikel Jurnal di Internet:

Griffith, AI. Cordinating Family and School:

Mothering for Schooling, Education Policy Analysis

Archives [Online]. 1997 Jan [Cited 1997 February12] ;

102 (3): [about 3 p.]. Available from:

http://olam.ed.asu.edu/epaa/.

Buku di Internet:

Foley KM, Gelband H, editors. Improving palliative

care for cancer [monograph on the internet].

Washington: National Academy Press; 2001 [cited

2002 Jul 9]. Available from:

http://www.nap.edu/books/0309074029/html/.

Situs Internet:

Canadian Cancer Society [homepage on the internet].

Toronto: The Society; 2006 [update 2006 May 12;

cited 2006 Oct 17]. Available from:

http://www.cancer.ca/.

6. Naskah maksimal 20 halaman kuarto spasi ganda,

ditulis dengan program komputer Microsoft Word,

dalam softcopy dan 2 (dua) eksemplar copy dokumen

tertulis.

7. Naskah harus disertai surat pengantar yang

ditandatangani penulis dan akan dikembalikan jika ada

permintaan tertulis.

8. Naskah dikirimkan kepada: Redaksi Jurnal „Forum

Kesehatan‟, Perpusatakaan Gedung B Lantai 2

Politeknik Kesehatan Palangka Raya, Jalan George

Obos No.32 Palangka Raya. Telp/Fax: 0536-3230730

Atau email : [email protected].

UNIT PPM

PEDOMAN PENULISAN NASKAH