PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH...

75
PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH ISLAMIYAH Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I) Oleh Frengki Swito NIM: 107011000943 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011

Transcript of PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH...

Page 1: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN

AQIDAH ISLAMIYAH

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)

Oleh

Frengki Swito

NIM: 107011000943

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011

Page 2: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN

AQIDAH ISLAMIYAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam (S.Pd.I)

Oleh

Frengki Swito

NIM: 107011000943

Pembimbing,

Dr. Khalimi, M. Ag

NIP: 196505151994031006

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011

Page 3: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Frengki Swito

NIM : 107011000943

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Alamat : Jl. Pelataran Air Ketekok Atas No. B29 RT 05/02 Tanjung

Pandan Belitung Prov: Bangka Belitung Kode Pos 33414

Judul Skripsi :“Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian Aqidah Islamiyah”

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S1) di Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka

saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 08 Desember 2011

Frengki Swito

Page 4: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

ABSTRAK

Studi ini merupakan kajian sejarah, dengan tujuan untuk

mendeskripsikan secara analisis berbagai pandangan dan kiprah Ibu Taimiyah

dalam pemurnian “ajaran Islam”. Ibnu Taimiyah dilahirkan sekitar abad ke 13

M., dimana dunia Islam mengalami “kemunduran”. Prilaku dan kehidupan

masyarakat Islam sangat menyimpang dari ajaran Islam (al-Qur’an dan

sunnah rasul), aliran dan sekte-sekte yang mengatasnamakan Islam bertambah

subur, taklid buta, fanatisme mazhab, khurafat an bid’ah mengeruhkan

cakrawala pemikiran umat Islam, ditambah dengan berkembangnya pengaruh

logika dan filsafat Yunani yang posisinya nyaris “menggusur” al-Qur’an dan

as-Sunnah.

Kondisi tersebut semakin memburuk manakala dunia Isalam

mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi moral

yang diakibatkan oleh berbagai intervensi bangsa jajahan, bangsa tartar dan

kaum salib, disamping gejolak intern yang terjadi dalam pemerintahan Islam.

Melihat kondisi seperti ini Ibnu Taimiyah tampil dengan ide “pemurnian”

terhadap seluruh tradisi pemikiran Islam. Ia dikenal sebagai tokoh salaf yang

pertama kali mengulirkan gagasan pemurnian terhadap “ajaran Islam” yang

mengajak umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam “orisinil” yaitu al-

Qur’an dan as-Sunnah serta paradigma pemikiran salaf. Aktifitas Ibnu

Taimiyah dalam melancarkan misinya masih bersifat teoritis dan akademis.

Hal ini disebabkan oleh kondisi yang kurang mendukung.

Meskipun demikian, khazanah pemikiran intelektula yang digagas

Ibnu Taimiyah tetap menggelinding dan mengelaborasi dalam sejarah

pemikiran dalam Islam. Pemikiran Ibnu Taimiyah kendatipun cukup tertunda,

ternyata mempengaruhi gerakan pemurnian di Indonesia yang dikenal dengan

gerakan tiga serangaki yaitu; Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis yang

muncul pada abad ke 20 M. Keterpengaruhan gerakan ini terhadap wancan

pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

kepada ajaran Islam murni yaitu al-Qur’an dan sunnah rasul plus paradigma

pemikiran kaum salaf dan sikap anti terhadap segala bentuk kesyirikan,

khurafat dan bid’ah.

Penulisan skripsi dengan judul Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian

Aqidah Islamiyah ini diharapkan dapat menambah wawasan kita mengenai

aqidah islam yang benar yang sesuai dengan al-Qur’an dan as-sunnah serta

dapat mengambil manfaat dari sosok pigur pribadi multidimensi sperti beliau

yaitu; berwawasan luas, visioner, dan tak kenal menyerah.

Page 5: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

I

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT penulis sampaikan, shalawat dan salam

penulis sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, keluarganya dan para

sahabatnya yang telah membawa umatnya dari alam kegelapan menuju alam

terang benerang.

Alhamdulillah, berkat Rahmat Allah SWT penulis akhirnya dapat

menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana

pendidikan pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Jakarta.

Berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya skripsi ini dapat

terselesaikan. Untuk itu, perkenankanlah penulis menghanturkan terima kasih

kepada seluruh pihak yang telah banyak membantu baik dari segi spiritual

maupun material terhadap penyelesaian skripsi ini, yaitu antara lain:

1. Dra. Nurlena Rifai, MA., Ph.D Pgs. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah memberikan

pengarahan dan bimbingan.

2. Bahrissalim, M.Ag Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI)/Peningkatan

Tenaga Teknis dan Masyarakat (PTTM) yang telah memberikan pengarahan,

bimbingan dan pengetahuannya sebagai masukan yang sangat berharga.

3. Dr. Khalimi, M.Ag, pembimbing dalam penulisan skripsi ini, yang ditengah-

tengah kesibukannya beliau menyediakan waktu untuk memberikan motivasi,

pengarahan, bimbingan dan petunjuk dengan kesabaran dan keikhlasan.

4. Bapak Ibu Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan yang telah

banyak memberikan masukan dan bimbingan serta arahan.

5. Pimpinan dan staf Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

membantu memberikan fasilitasnya.

Page 6: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

II

6. Ayahanda Sahori dan Ibunda Darmia selaku orang tua penulis yang telah

memberikan doa restu, dorongan dan bantuan baik moril maupun materil

spiritual kepada penulis dengan penuh kesabaran dan hrapan sehingga penulis

dapt menyelesaikan skripsi ini.

7. Kakanda Ashadi dan Ratna Juwita serta adik penulis yang bernama Ivan Syah,

yang selalu memberikan dorongan kesemangatan sehingga skripsi ini bisa

terselesaikan.

8. Tema penulis terutama seluru anggota kelas VIII B 2007 Pendidikan Agama

Islam yang telah memberikan dorongan dan masukan kepada saya sehingga

saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak

mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis hanya dapat memohon doa kepada Allah SWT semoga

keikhlasan semua pihak dalam membantu kelancaran penulisan skripsi ini

mendapatkan balasan dari-Nya. Jazaakumullahu khairan katsiran.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak

kekurangan, untuk itu penulis membuka diri untuk menerima segala masukan

demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada u dan bagi pembaca

pada umumnya.

Jakarta, 12 Desember 2011

Penulis

Frengki Swito

Page 7: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

III

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... I

DAFTAR ISI ....................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 6

C. Pembatasan Masalah ...................................................................... 6

D. Perumusan Masalah ...................................................................... 6

E. Tujuan dan Kegunaan Hasil Penelitian ........................................... 6

F. Metodelogi Penelitian

1. Jenis Penelitian ........................................................................... 7

2. Metode Penulisan........................................................................ 7

3. Fokus Penelitian ......................................................................... 7

4. Sumber Penelitian ....................................................................... 8

5. Prosuder Penelitian ..................................................................... 8

6. Teknik Penelitian ........................................................................ 8

BAB II KONSEP KEMURNIAN AQIDAH ISLAM

A. Pengertian Kemurnian........................................... ………………..9

B. Ciri-Ciri Aqidah Islam yang Murni

1. Aqidah Islam Sebagai Aqidah Tauhid ....................................... 11

2. Kejelasan Ruang Lingkup Aqidah Islam ................................... 14

3. Kejelasan Sumber Aqidah Islam ............................................... 15

4. Aqidah Sebagai hal Pokok Dalam Islam ................................... 17

C. Upaya-Upaya Pemurnian Aqidah Islam ........................................ 18

BAB III GERAKAN PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH

A. Biografi Ibnu Taimiyah

1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah .................................................. 21

2. Perkembangan Spiritual dan Intelektual Ibnu Taimiayah .......... 30

Page 8: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

IV

3. Karya-karya Ibnu Taimiyah ...................................................... 35

B. Karakteristik Pemurnian Ibnu Taimiyah ....................................... 37

C. Jihad yang Benar Dalam Membela dan Mempersatukan

Aqida dalam Pandangan Ibnu Taimiyah........................................ 44

BAB IV PENGARUH PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH DI

INDONESIA

A. Gerakan Muhammadiyah ............................................................. 52

B. Gerakan al-Irsyad ......................................................................... 55

C. Gerakan Persatuan Islam (PERSIS) .............................................. 57

BAB V KESIMPULAN

A. Penutup ........................................................................................ 61

B. Saran ............................................................................................ 63

Page 9: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Pembaharuan(Pemurnian) merupakan terjemahan bahasa Barat

“modernisasi,” atau dalam bahasa Arab al-tajdid, mempunyai pengertian “pikiran,

gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam dengan

perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi modern.” Dengan jalan itu pemimpin-pemimpin Islam modern

mengharap akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran kepada

kemajuan.1

Tajdid (pembaharuan) dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali

rambu-rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini

dengan menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama

ini dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang

Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah (perilaku

akhlak).2

Ada sejumlah ayat yang dapat dikemukakan yang sering menjadi dasar

bagi kaum muslim dalam mencari kemurnian Islam yaitu ayat al-Quran yang

paling sering dikutip adalah :

1 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:

Bulan Bintang,1982)hal. 1 2 Agus Hasan Bashari, LC. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur‟an, (Surabaya:

Pustaka as-Sunnah 2003)hal.35

Page 10: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

2

Artinya : “Sesungguhnya agama (yang benar) di sisi Allah ialah Islam”

(QS. Ali Imran: 19); dan dalam surat al-Maaidah ayat 3 Allah berfirman :

Artinya: “Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kamu sekalian agamamu,

dan Aku sempurkan nikmat-Ku bagimu, Aku ridhai Islam sebagai agamamu” (QS.

5: 3). Juga sebuah hadits yang sering dikemukakan adalah yang artinya: “Aku

tinggalkan untukmu dua perkara yang tidak akan sesat bila kamu sekalian

memegangi keduanya (yakni) Al-Quran dan Sunnah Rasulullah”.

Gerakan kemurnian (pembaharuan) dilakukan karena terjadinya krisis

akidah, kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam

pemikiran. Dapat diartikan juga bahwa kondisi tersebut terjadi karena adanya

sikap yang melampaui batas dalam urusan agama yang tidak sesuai dengan

syari‟at Islam.

Sesunguhnya sikap melampaui batas itu tidak hanya terdiri dari satu

macam, melainkan terdiri dari beberapa macam tergantung dengan jenis perbuatan

yang dilakukan para hambah. Akan tetapi secara umum terbagi menjadi dua

macam, yaitu: i‟tiqadi atau yang berhubungan dengan akidah dan amali atau yang

berhubungan dengan muamalah.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan seseorang atau kelompok

melenceng dari jalan yang lurus dan jauh dari manhaj yang benar yang telah

dibawa Rasulallah SAW dan manhaj para sahabat dan tabi‟in setelah mereka. Di

antara faktor-faktor itu terdapat faktor-faktor yang bersifat eksternal dan internal.

Salah satu contoh faktor eksternal adalah masuknya para misionaris dari umat

Yahudi, Majusi dan dari penganut agama-agama sesat lainnya ke dalam agama

islam dengan tujuan untuk melakukan tipu daya, serta ambisi mereka untuk

menghancurkan islam lalu menggantikan agama islam dengan kesesatan. Mereka

melakukan itu dengan cara menjauhkan kaum muslimin dari agama mereka yang

benar dengan menimbulkan keraguan di hati mereka terhadap agama mereka,

serta dengan membuat hal-hal baru di dalam agama yang bertentangan dengan apa

yang telah dijalani oleh golongan Salafus-Shalih dari umat ini.

Page 11: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

3

Sedangkan faktor internal terbagi menjadi dua bagian, yaitu faktor-faktor

yang bersifat umum dan faktor-faktor yang bersifat khusus. Yang terpenting di

antara faktor-faktor umum adalah: berbuat bid‟ah, kebodohan, mengikuti hawa

nafsu, mengutamakan akal dari pada nash, fanatik (mengikuti dengan membabi

buta mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang telah ada) dan melemparkan tuduhan

buruk kepada orang-orang dari golongan Ahli Sunnah wal Jama‟ah. Faktor khusus

ringkasnya adalah menentang atau bertetangan dengan manhaj Ahla Sunnah wal

Jamaa‟ah dalam pandangan dan dalam pembuktian.3

Akibat faktor-faktor tersebut salah satunya adalah kolonialisme Barat

(Yahudi, Majusi, dan lain-lain) terhadap dunia Islam yang berkepanjangan

menyebabkan kehidupan kaum Muslim di permukaan bumi tercabik-cabik.

Kehidupan mereka terhiasi formalisme keberagamaan, kehidupan mistik yang

tidak sehat, tahayul menggantikan sikap orisinal Islam yang kreatif, lenyapnya

daya kritis dan keimanan terdesak menjadi ortodoksi yang sempit.

Situasi demikian meniscayakan umat Islam untuk mencari “sesuatu” sebagai

tempat menggantungkan harapan untuk mendapatkan rasa aman. Sebagian

besar umat memilih untuk mengingat kembali masa lalu Islam yang gemilang.

Masa kesempuranaan Islam yang telah menyejarah, yakni pada masa

Rasulullah dan para sahabat, zaman di mana Islam masih berada dalam wilayah

yang masih terbatas. Islam dalam ruang dan waktu demikian didefinisikan

sebagai ideal, murni atau autentik. Islam autentik (al-ashalah) telah lama

hilang dari masyarakat muslim, baik disebabkan kelalaian maupun oleh karena

“sengaja dicuri” orang lain.4 Oleh karena itu, umat Islam memandang perlu

mencari autentisitas Islam supaya umat Islam mendapatkan kembali

keemasannya. Salah satu toko pembaharu pada abat ke-14 adalah Taqiyuddin

Abul Abbas Ahmad ibnu Abd al-Halim ibnu Taimiyah, atau yang lebih dikenal

dengan syikh al-Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan masyarakat hanbali.

3 Rusli, Rizal. Berlebih-lebihan dalam agama, (jakarta: Pustaka Azzam 2002)hl 86-89 4Imam Khoiri. Dekontruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam. (Yogyakarta:

LkiS.2000)hl. 19-20

Page 12: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

4

Dalam tulisannya (Ibnu Taimiyah) yang berjudul "Muhammadiyah dan

Matarantai Pembaruan Islam", Haedar Nashir memaparkan bahwa jatuhnya

Kota Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada 1258 telah menimbulkan dua

kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan

yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moral umat kala itu,

yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam. Kedua, kejatuhan politik

Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut

kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral,

lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan.

Dalam kondisi yang demikian itulah, muncul gerakan untuk memurnikan

kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan sebagaimana

dipelopori oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) untuk

memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.

Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan al-ruju ila al-Quran

wa As-Sunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah).

Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini sering disebut dengan muhyi

atsar al-salaf (menghidupkan kembali ajaran ulama salaf yang saleh), yakni

praktik ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan tiga

generasi sesudahnya, yakni generasi para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.

Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan

pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah, tetapi

sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada

ijtihad. Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan pemurnian tersebut

menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi pada bagaimana

membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan.

Ibnu Taymiyyah memandang bahwa Islam telah dikotori oleh tasawuf dan tarekat

yang sama sekali tidak berorientasi kepada Sunnah Nabi. Tarekat yang dimaksud

mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah, dan karamah yang mengandung

unsur khurafat dan syirik seperti kelompok sufi al-Ahmadiyah pasa masa Ibnu

Page 13: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

5

Taimiyah.5 Ibnu Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dengan

menyerukan “kembali kepada tauhid”.6

Dari permasalahan ini, dan atas dasar pentingnya mengetahui bagaimana

Islam yang sebenarnya dengan berlandaskan pada al-Qur‟an dan as-Sunnah, maka

penulis mengangkat sebuah judul: “Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian

Aqidah Islam”. Dengan harapan dapat mengigatkan dan menumbuhkan rasa

kesadaran seluruh umat Islam terhadap pentingnya kemurnian akidah (keyakinan)

sebagai modal dasar yang paling utama.

Adapun alasan memilih judul tersebut, yakni:

1. Ibnu Taimiyah adalah sosok monumental sepanjang sejarah yang telah

dilahirkan oleh sejarah. Umat ini sangat membutuhkan pribadi multi

dimensi seperti beliau; berwawasan luas, visioner, dan tak kenal

menyerah. Beliau adalah prototipe ulama pembaharu yang memiliki

pemahaman Islam yang orisinil dan mendalam. Ilmu dan amalnya

senantiasa membawa manfaat dan kemaslahatan bagi umat.

2. Memberi pemahaman yang jelas tentang kemurnian ajaran Islam. Salah

satu indikasinya adalah penerapan akidah yang benar tersebut dalam

kehidup umat islam. Supaya sesuai dengan hakikat ajaran islam yang

sebenarnya yaitu kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah.

3. Kewajiban penulis sebagai mahasiswa jurusan pendidikan agama Islam

untuk membina dan menumbuh kembangkan nilai-nilai keagamaan,

dengan titik penekanannya pada akidah tauhid sehingga memperoleh

keutamaan dalam taqarub (ibadah) kepada Allah, dan bukan untuk mencari

kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan duniawi.

4. Sebelumnya sudah ada mahasiswa program pascasarjana Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang dalam sebuah Tesisnya yang

membahas tentang pemurnian ajaran agama Islam dalam pandangan Ibnu

5Ibnu, Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu

Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan

Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal.23-

24 6Nurcholish, Madjid. Kaki Langit Peradaban Islam. (Jakarta: Paramadina, 1997)hal.157

Page 14: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

6

Taimiyah. Akan tetapi ia lebih cenderung membahas masalah

keterkaitannya atau pengaruhnya terhadapa gerakan Wahabi tanpa

menjelaskan dampak kemurnian Ibnu Taimiyah di Indonesia. Maka disini

penulis merasa perlu untuk membahas dampak kemurniannya juga di

Indonesia.

Demikian lebih dan kurang beberapa alasan penulis dalam memilih judul

di atas.

B. Identifikasi Masalah

Sehubungan dengan latar belakang di atas, ada beberapa masalah yang

dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut:

1. Masyarakat pada masa Ibnu Taimiyah sangat fanatisme mazhab, taqlik

buta dan berlebih-lebihan dalam agama sehingga timbul sikap melampaui

batas yang menyalahi akidah islam yang sebenarnya.

2. Kurangnya kesadaran masyarakat Islam pada masa Ibnu Taimiyah bahwa

penganut agama sesat baik itu Yahudi, Majusi, dan penganut agama sesat

lainnya yang senantiasa masuk ke dalam agama islam dengan tujuan untuk

melakukan tipu daya, menimbulkan keraguan, membuat hal-hal baru

dalam agama dan mengantikan agama islam dengan kesesatan.

3. Tentang tarekat yang mengetengahkan konsep-konsep wali, wasilah,

keramat yang mengandung unsur khurafat dan syirik seperti kelompok sufi

al-Ahmadiyah pada masa Ibnu Taimiyah.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memberikan batasan-

batasan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pandangan Ibnu Taimiyah tentang pemurnian ajaran

agama islam?

2. Bagaimanakah pandangan Ibnu Taimiyah tentang akidah yang benar

yang sesuai dengan syari‟at islam yaitu akidah tauhid?

D. Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah

Bagaimanakah Peran Ibnu Taimiyah Dalam Pemurnian Aqidah Islamiyah Atau

Page 15: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

7

dengan kalimat yang lebih rinci: Bagaimanakah akidah islam yang benar dalam

pandangan Ibnu Taimiyah, yaitu aqidah para salafus shalah(ahlu sunnah wal

jamaah)?

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep kemurnian

ajaran agama islam dalam pandangan Ibnu Taimiyah. Salah satu indikasinya

adalah penerapan akidah yang benar tersebut dalam kehidup umat islam. Maka

kemurnian ajaran/ akidah yang benar harus diterapkan sebagaimana pandangan

pemikiran Ibnu Taimiyah yaitu gerakan al-ruju ila al-Quran wa As-Sunnah

(kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah), dengan tekanan

dalam pemurnian akidah.

Hasil yang diperoleh dari skripsi ini diharapkan memberi manfaat praktis

yang dapat menumbuh kembangkan akidah yang benar yang sesuai dengan

syari‟at islam baik itu dalam hubungannya dengan Allah atau dengan sesama

manusia itu sendiri. Serta menuntun umat islam sehingga terhindar dari kesesatan

dan bangkitan dari keterpurukan.

F. Metodelogi Penelitian

1. Jenis Penelitain

Penelitian yang sedang dilakukan ini, jika dilihat dari bahan-bahan atau

obyek yang akan diteliti, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian

kepustakaan (library research) karena penelitian ini menggunakan buku-buku dan

majalah-majalah. Jika penelitian ini dilihat dari segi cara analisisnya, maka

peneltian ini bersifat kualitatif.

Cara penyajiannya bersifat deskriptif analitik. Penyajian deskriptif adalah

menjelaskan tentang pengertian, maksud dan tujuan dari kemurnian ajaran agama

islam serta pengaruhnya dalam masyarakat. Analisisnya adalah menganalisa

pemikiran Ibnu Taimiyah dengan berbagai dalil-dalil yang memiliki keterkaitan,

baik dari al-Qur‟an, Hadits, dan beberapa disiplin ilmu pengetahuan.

2. Metode Penulisan

Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode penelitian

kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis mengupulkan

Page 16: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

8

bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan konsep kemurnian

(pembaharuan) ajaran agama islam kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah dari

berbagai sumber.

3. Fokus Penelitian

Subyek penelitian ini adalah pandangan Ibnu Taimiyah terhadap

kemurnian ajaran agama Islam kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah dalam

implementasinya di dalam masyarakat terutama masyarakat pada zamanya dan

khususnya di Indonesia. Sedangkan obyek penelitiannya adalah peningkatan

kualitas keimanan (aqidah islam) dari kemurnian (pembaharuan) ajaran agama

islam dalam pandangan Ibnu Taimiyah.

4. Sumber Penelitian

Dalam pengumpulan data, penulisan sepenuhnya menggunakan metode

penelitian kepustakaan. Untuk mendapatkan data-data penelitian, penulis

mengumpulkan bahan kepustakaan, terutama yang berkaitan dengan kemurnian

(pembahruan) ajaran agama islam dari beberapa sumber: Dalil-dalil nash (al-

Qur‟an dan as-Sunnah), Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiya, Qa‟idah Jalilah fi at-

Tawassul wa al-Wasilah, tajdidu salafi wa dakwah al-ishlahiyah sebagai sumber

primer, beberapa pemikiran tentang kemurnian islam, pemikiran Para Tokoh

Kemurnian (pembaharuan) Islam, dan lain-lain, sebagai sumber sekunder.

1. Prosuder Penelitian

a. Tahap Persiapan

Pada tahapan ini, penulis mengadakan kunjungan perpustakaan dalam

rangka pengumpulan data.

b. Tahap Pelaksanaan

Tahap ini penulis mengumpulkan data dari buku-buku sumber yang

diperoleh dari perpustakaan untuk penelitiaan.

c. Tahap Penyelesaian

Dalam tahap ini, peneliti menyimpulkan hasil observasi dan kemudian

menafsirkan serta menyusun data dalam bentuk hasil penelitian.

Page 17: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

9

2. Teknik Penulisan

Teknik penulisan Skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan

Skripsi” yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

Page 18: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

10

BAB II

KONSEP KEMURNIAN AQIDAH ISLAM

A. Pengertian Kemurnian (Tajdid)

Secara bahasa, kata tajdid berarti ia merupakan proses menjadikan sesuatu

yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Dalam hal ini tajdid-

aktivitas koreksi ulang atau konseptualisasi ulang pada hakikatnya selalu

berorientasi pada pemurnian yang sifatnya kembali pada ajaran asal dan bukan

adopsi pemikiran asing dalam pelaksanaannya diperlukan pemahaman yang

dalam akan paradigma dan pandangan hidup islam yang bersumber dari al-

Qur‟an dan as-Sunnah, serta pendapat para ulama yang terdahulu yang secara

ijma‟ dianggap shahih. Selain itu diperlukan juga pemahaman terhadap

kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun pemahaman

yang dimaksud bukanlah mengambil konsep asing tersebut.7

Pemurnian dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali rambu-

rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini dengan

menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan agama ini

dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam bidang

Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah

(perilaku akhlak).8

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembaharuan islam

bukanlah sesuatu yang evolusioner melainkan lebih cenderung devolusioner,

7 http://www.scribd.com/doc/15189839/Konsep-Pembaruan-Dalam-Islam 8 Agus Hasan Bashari, LC. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur‟an, (Surabaya:

Pustaka as-Sunnah 2003)hal.35

Page 19: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

11

dengan arti bahwa pembaharuan bukan merupakan proses perkembangan

bertahap dimana yang datang kemudian lebih baik dari sebelumnya.

Seputar tajdid ini Rasulullah SAW sendiri telah menegaskan dalam

hadistnya tetang kemungkinan itu, beliau bersabda:” sesungguhnya Allah akan

mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang

akan melakukan tajdid terhadap agamanya”.(HR. Abu Daud. No 3740).9

Sumber Islam al-Qur‟an dan Hadist tidak dapat diperbaharui. Namun, al-

Qur‟an dan Hadist telah diijtihadkan oleh para ulama menjadi kitab-kitab

tahuid, tafsir, fiqih, falsafah Islam, dan lain-lain dan ini juga menjadi pedoman

bagi umat Islam. Kalau al-Qur‟an dan Hadist tidak boleh diubah atau

diperbaharui, tetapi ijtihad ulama tentang al-Qur‟an dan Hadist yang kemudian

menjadi pedoman-pedoaman bidang tahuid, fiqih, dan lain-lain, itu pada masa

ulama-ulama yang berijtihad mungkin masih sesuai dengan kebutuhan umat,

tapi pada masa selanjutnya mungkin perlu diperbaiki. Dalam bidang inilah

pembaharuan islam berkecimpung.10

Akan tetapi pada dasarnya pembaharuan

islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau konsep asalnya

dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi masyarakat pada

masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan dengan

aslinya. Disini bukan perubahan yang terjadi, tetapi peragaman makna dan

penafsiran. Disamping itu, tajdid ini bisa memperbaharui ingatan orang yang

telah melupakan ajaran agama islam yang benar, dengan memberi penjelasan

dan argumentasi-argumentasi baru sehingga meyakinkan orang yang tadinya

ragu, dan meluruskan kekeliruan atau kesalah pahaman mereka yang keliru

dan salah paham.

Sebenarnya prose ini telah diramalkan sendiri oleh Nabi SAW dalam

hadistnya seperti yang telah disebutkan diatas. Hal ini mengandung peringatan

bagu kaum Muslimin untuk selalu bersikap optimis dalam menghadapi hidup,

karena Allah tidak akan membiarkan kerusakan terjadi pada hambah-hambah-

9 DSyamsudin Arif. Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani 2008)hal.

167 10 Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2005) hal. 302

Page 20: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

12

Nya dari kesesatan dan kebingungan dengan mengirimkan seseorang mujadid

yang akan menghidupkan kembali ajaran-ajaran-Nya. Proses tajdid ini juga

diperlukan karena pemahaman umat islam terhadap ajaran islam telah

semangkin jauh dari bentuk aslinya. Namun sang mujadid akan tetap

berpegang teguh pada kebenaran mutlak yang terdapat dalam al-Qur‟an. Pada

pengertian ini, pembaharuan islam berbeda dengan pembaharuan yang terjadi

di dunia lain yang bersifat reformasi dan revolusi. Dimana yang datang

kemudian akan menjadi evaluasi dan menghapuskan pendapat yang lama.

Begitu juga pembaharuan islam mempunyai rujukan yang jelas, yaitu al-

Qur‟an. Sementara pembaharuan lain akan terus berproses mencari dan tidak

memiliki rujukan yang mutlak dan pasti.

B. Ciri-Ciri Aqidah Islam yang Murni

1. Aqidah Islam Sebagai Aqidah Tauhid

Konsep fundamental dalam Islam adalah Tauhid yakni mengakui keesaan

Tuhan dan menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Konsep ini

dituangkan dengan jelas dan sederhana pada surat Al-Ikhlas (surat ke 112)

yang terjemahannya antara lain :

a. Katakanlah “Allah (Tuhan) itu satu”.

b. “Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu”.

c. “Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan”.

d. “dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”.

Tauhid merupakan bentuk masdhar (gerund) dari “Wahhada

Yuwahhidu Tauhiidan” yang artinya “mengesakan” atau “menunggalkan”,

dan secara lengkap bermakna mengesakan Allah dalam segala perbuatan-Nya,

dan meyakini bahwa Dia sendiri lah yang menciptakan, mengatur serta

menguasai alam semesta dan seisinya (Rubbubiyah-Nya), Ikhlas beribadah

kepada-Nya (Uluhiyah-Nya) serta menetapkan baginya nama-nama dan sifat-

sifat-Nya. Dengan demikian, tauhid ada tiga macam pembagiannya; tauhid

rubbubiyah, tauhid uluhiyah dan tauhid asma‟ wa sifat.11

Dan seperti yang

11 Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-

Kautsar 2008)hal. 48-53

Page 21: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

13

sudah masyur diketahui bahwa pembagian ini sudah disepakati oleh jumhur

ulama dengan dalil-dalil yang shahih dan qoth‟i.

Dalam bahasa Arab, Tuhan disebut sebagai Allah. Kata ini secara

etimologis terhubung dengan ilah “ketuhanan“, Allah adalah juga kata yang

digunakan oleh orang Kristen (Nasrani) dan Yahudi Arab sebagai terjemahan

dari ho theos dari Perjanjian Baru dan Septuaginta.

Nama “Allah” tidak memiliki bentuk jamak dan tidak diasosiasikan

dengan jenis kelamin tertentu. Dalam Islam sebagaimana disampaikan dalam

Al Qur‟an dikatakan:

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis

kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-

pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha

Mendengar dan Melihat”. (QS 42-11)

Allah adalah Nama Tuhan (ilah) dan satu-satunya Tuhan sebagaimana

perkenalan-Nya kepada manusia melalui Al Quran :

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain

Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS.

20 : 14)

Pemakaian kata Allah secara linguistik mengindikasikan kesatuan. Umat

Islam percaya bahwa Tuhan yang mereka sembah adalah sama dengan Tuhan

umat Yahudi dan Nasrani, dalam hal ini adalah Tuhan Ibrahim. Namun, Islam

menolak ajaran Kristen menyangkut paham Trinitas dimana hal ini dianggap

Politheisme.

Mengutip Qur‟an, surat An-Nisa(4) :171:

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agama dan

janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.

Sesungguhnya Al-Masih, Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang

diciptakan dengan kalimat-Nya) yang disampaikannya kepada Maryam dan

(dengan tiupan ) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan

rasul-rasul-Nya. Dan janganlah kamu mengatakan :”Tuhan itu tiga”,

berhentilah dari ucapan itu. Itu lebih baik bagi kamu. Sesungguhnya Allah

Tuhan yang Maha Esa. Maha suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di

Page 22: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

14

langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah sebagai

Pemelihara”.

Dalam Islam visualisasi atau penggambaran Tuhan tidak dijumpai, hal ini

dilarang karena dapat berujung pada pemberhalaan dan justru penghinaan,

karena Tuhan tidak serupa dengan apapun (Asy-Syuraa QS. 42 : 11). Sebagai

gantinya, Islam menggambarkan Tuhan dalam 99 nama/ gelar/ julukan Tuhan

(asma‟ul husna) yang menggambarkan sifat ketuhanan-Nya sebagaimana

terdapat pada Al Qur‟an.

Ajaran Islam dituliskan di dalam Alquran dan hadis. Seseorang yang ingin

mempelajari agama Islam mutlak harus menguasai bahasanya, bisa

mempelajari sendiri atau mengikuti apa-apa saja yang dikatakan oleh para

buya, ustaz, kyai dan guru mereka. Tidak semua umat Islam membaca

langsung dan mampu memahami isi Alquran dan hadis.

Sebagian besar orang Islam menempuh cara yang kedua yaitu mengikuti

apa-apa yang diucapkan para ulama. Hal ini seringkali menghasilkan

penghayatan Islam yang hanya sepotong-sepotong. Padahal Islam merupakan

dien, ajaran lengkap yang memberikan dasar acuan hidup manusia untuk

mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada empat jenis penghayatan Islam

secara sepotong-sepotong oleh penganutnya yaitu :

1. Dogmatis.

Ajaran dari ulama diterima bulat-bulat dan ditelan mentah-mentah tanpa

sikap kritis, sehingga memunculkan sikap fanatisme yang membuta. Sikap

fanatisme ini dapat dijadikan hiburan bagi si miskin dan perisai bagi si kaya.

2. Rasionalistik.

Menerima ajaran Islam sebatas jangkauan pikirannya saja; yang

dilaksanakan hanyalah syariat agama yang menurutnya berguna bagi dirinya.

3. Formalistik.

Melaksanakan ajaran Islam sebagai formalitas belaka, misalnya karena

keturunan orang Islam. Agama sering difungsikan sebagai perisai, alat politik

dalam pergaulan.

Page 23: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

15

4. Hakikat.

Inti ajaran diserap/diterima tetapi syariatnya tidak dilaksanakan.

Contohnya, karena inti ajaran sholat adalah berdoa dan ingat kepada Allah,

maka mereka meninggalkan sholat. Yang mereka lakukan hanya doa dan

ingat. Melakukan puasa cukup hanya tidak memakan makanan tertentu saja

atau puasa khusus lainnya tanpa tuntunan syariat.

Untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, Islam harus

dihayati dan diamalkan secara kaffah (utuh), tidak sepotong-potong atau

sebagian. Penghayatan Islam secara kaffah dilakukan dengan cara

menggabungkan penghayatan yang sepotong-potong, sehingga menghasilkan

penghayatan yang utuh.

2. Kejelasan Ruang Lingkup Aqidah Islam

Meminjam sistematika Hasan al-Banna maka ruang lingkup pembahasab

aqidah adalah:

a. Ilahiyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang behubungan

dengan Ilah (Tuhan, Allah) seperti wujud Allah, nama-nama dan sifat-

sifat Allah, af‟al Allah dan lain-lain.

b. Nubuwat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan

dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembahasan tentang kita-kitab

Allah, mu‟jizat, keramat dan lain sebagainya.

c. Ruhaniyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang

berhubungan dengan alam metafisik seperti Malaikat, Jin, Iblis

Syaitan, Roh dan lain sebagainya.

d. Sam‟iyyat. Yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya bias

diketahui lewat sam‟I (dail naqli berupa al-Qur‟an dan Sunnah) seperti

alam barzakh, akhirat, azab kubur, tanda-tanda kiamat, surge neraka

dan lain-lain sebagainya.12

Disamping sistematika di atas, pembahasan aqidah bisa juga mengikuti

sistematika arkanul iman yaitu: “ Iman kepada Allah, iman kepada Malaikat

(termasuk pembahasan tentang makhluk rohani lainnya seperti Jin, Iblis dan

12 Drs. H. Yunahar Ilyas, Lc., MA. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI 2000) hal. 6

Page 24: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

16

Syaitan), iman kepada kita-kita Allah, iman kepada Nabi dan Rasul, iman

kepada Hari Akhir, dan iman kepada Taqdir Allah.

3. Kejelasan Sumber Aqidah Islam

Para ulama, semoga Allah merahmati mereka semua, telah sepakat aqidah

islam yang suci mulia ini bersumber kepada:

1. Al-Qur‟an

Secara bahasa al-Qur‟an berasal dari kata qur‟aana yang artinya bacaan

atau yang dibaca, yang asal katanya adalah qara. Inilah pendapat yang terkuat

menurut Dr. Shubhi Ash-Shalih yang dikutip pula oleh Depag RI. Sedangkan

istilah syara‟, al-Qur‟an adalah kalam (firman) Allah SWT yang merupakan

mu‟jizat yang diturunkan (diwahyukan) kepada Nabi Muhammad SAW dan

yang ditulis di mushaf dan diriwayatkan secara mutawatir serta membacanya

adalah ibadah.13

Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, mengatakan al-Qur‟an itu wahyu illahi

yang diturunkan kepada Muhammad SAW, yang telah diturunkan kepada kita

umatnya dengan jalan mutawatir, yang dihukum kafir orang yang

mengingkarinya.14

Setelah ditampilkan berbagai definisi, dapat dikatakan bahwa al-Qur‟an

adalah firman Allah, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui

Malaikat Jibril secara mutawatir, berbahasa Arab, sebagai mu‟jizat, untuk

menuntun manusia, agar memperoleh kebahagian dunia dan akhirat serta

membacanya mendapat pahala.

Bagi kaum muslimin, al-Qur‟an merupakan sumber utama dalam segala

hal yang meliputi masalah aqidah (keyakinan), syari‟at (hukum), akhlak

(moral), dan masalah-masalah lainnya yang menyangkut tashauwur

(konsepsi). Mereka meyakini bahwa al-Qur‟an kalam Allah yang merupakan

13 Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-

Kautsar 2008) hal. 10 14 Prof. Dr. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an (Jakarta: Bulan

Bintang 1988) hal. 17

Page 25: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

17

sebaik-baik perkataan. Mereka menggunakan perkataan yang mulia itu di atas

segala perkataan manusia dari golongan mana pun.15

2. As-Sunnah

Secara bahasa sunnah berarti, jalan yang ditempuh baik yang terpuji atau

tercela atau tradisi yang dibiasakan, sekalipun tidak baik. Sedangkan menurut

istilah syara‟, sunnah bermakna segala sesuatu yang dinukil (diterima) dari

Rasulullah SAW baik berupa perkataan, perbuatan, sifat kejadian (bentuk),

tingkah-laku, atau perjalanan hidup beliau, baik sebelum diangkat menjadi

rasul maupun sesudahnya.

Dalam keyakinan (aqidah) kaum muslimin, as-Sunnah mendapatkan

tempat yang sangat mulia. Ia berada pada urutan kedua sebagai petunjuk,

pegangan bagi umat manusia setelah kitab suci al-Qur‟an. Ketinggian dan

kemuliannya itu telihat dari berbagai ketetapan hukum dalam ajaran islam,

bahkan as-Sunnah merupakan kunci untuk memahami agama yang mulia ini.

Tidak seorang pun yang diperbolehkan keluar dari kedua ketentuan ini, seperti

berpegang pada al-Qur‟an saja tanpa melihat pada ketetapan Sunnah,

sebagaima yang telah diperlihatkan oleh Inkar Sunnah. Meninggalkan Sunnah

dalam agama Islam, bukan hanya mendurhakai Muhammad sebagai Rasul

Allah, lebih dari itu sesungguhnya manusia yang seperti ini telah mendurhakai

Allah SWT. Karena pada hakikatnya, Allah lah yang memerintahkan untuk

senantiasa mentaati Rasulullah SAW.16

Jadi sumber aqidah Islam adalah al-

Qur‟an dan as-Sunnah. Artinya apa saja yang disampaikan oleh Allah dalam

al-Qur‟an dan Rasulullah dalam Sunnahnya wajib diimani (diyakini dan

diamalkan).

4. Aqidah Sebagai Hal Pokok Dalam Islam

Aqidah adalah dasar, fondasi untuk mendirikan bangunan. Semakin tinggi

bangunan yang akan didirikan, harus semakin kokoh fondasi yang dibuat.

15Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim, Majmu‟ al-Fatawa, (Riyadh:

Darul Buhuts) Jilid 13, hal.157 16 Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta: Pustaka al-

Kautsar 2008) hal. 10

Page 26: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

18

Kalau fondasinya lemah bangunan itu akan cepat ambruk. Tidak ada bangunan

tanpa fondasi.

Kalau ajaran Islam kita bagi dalam sistematika Aqidah, Ibadah, Akhlak

dan Mu‟amalat atau Aqidah, Syari‟ah dan Akhlah, atau Iman, Islam dan Ihsan,

maka ketiga aspek atau keempat aspek di atas tidak dapat dipisahkan sama

sekali. Satu sama lain saling terikat.

Seseorang yang memiliki aqidah yang kuat, pasti akan melaksanakan

ibadah dengan tertib, memiliki akhlak yang mulia dan bermu‟amalat dengan

baik. Ibadah seseorang tidak akan diterima oleh Allah SWT kalau tidak

dilandasi dengan aqidah. Seseorang tidaklah dinamai berakhlak mulia bila

tidak memiliki aqidah yang benar. Begitu seterusnya bolak- balik dan

bersilang.17

Dengan demikian, aqidah Islam adalah aqidah yang dapat menyelamatkan

umat manusia yang penuh dengan segala kekurangan dan kelemahan dari

berbagai penyimpangan dan penyelewengan yang berakibat kepada

kezhaliman. Karenanya, aqidah Islam merupakan aqidah yang bersumber dari

Zat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, Yang Maha Tahu dengan segala

persoalan yang dihadapi oleh para hambaNya, berfunsi untuk menuntun agar

manusia tersebut dapat menjalani kehidupannya sebagaimana layaknya

seorang hambah Allah yang sesunggunya.

C. Upaya-Upaya Pemurnian Aqidah Islam

Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh suatu proses yang

panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam perkembangan

dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan

peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara

Islam dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk

membahas aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan

argumentasi untuk mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah

lain (terutama Nashrani dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani).

Akhirnya untuk menghadapi orang-orang Nashrani, umat Islam pun

17 Darwis Abu Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah……………..hal. 10

Page 27: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

19

mempelajari filsafat untuk membantah tuduhan-tuduhan terhadap aqidah

Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan ilmu kalam.

Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi setelah shahabat (khalaf) yang

berbeda dengan generasi shahabat (salaf). Kalangan khalaf telah membahas

lebih jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan metode pembahasan

filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar pemikiran untuk

membahas segala hal tentang iman.

Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam dengan pemikiran

filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan penafsiran yang

menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal ini

ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam.

Mereka merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam

dan justru menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum

muslimin terhadap penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang

terjadi sejak abad ke-7 H, mengakibatkan Islam semakin mengalami

kemerosotan.

Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal

abad ke-13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan pembaruan untuk

memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Islam

ditafsirkan tidak semata-mata selaras dengan isi kandungan nash-nash.

Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan berfikir, cara pandang

mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah Islam kian

melemah. Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru

memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi

hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka

mengeluarkan kaidah-kaidah umum dan hukum-hukum terperinci sesuai

dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka membuat kaedah umum yang

tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan Hadits).

Page 28: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

20

Diantara kaedah dasar yang sering digunakan adalah : „Tidak ditolak

perubahan hukum karena perubahan zaman‟. „Adat istiadat dapat dijadikan

patokan hukum‟.18

Upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi

nash-nash syar‟i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar‟I dengan

metode yang menyelisihi ijma‟ ulama islam. Adapun secara spesifik fungsi

tajdid diantaranya:

a. Merupakan upaya untuk menghadirkan kembali sesuatu yang

sebelumya telah ada untuk diperbaiki dan disempurnakan.

b. Sebagai upaya pemurnian yang sifatnya kembali ke ajaran asal dan

bukan adopsi pemikiran asing.

c. Upaya yang sama sekali bukan pembenaran kepada segala upaya

mengkoreksi nash-nash syar‟i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks

syar‟i dengan metode yang menyelisihi ulama.

d. Upaya memodernisasikan islam dari ketinggalan (yang bersifat tidak

mutlak yang dapt dirubah-rubah) dengan tidak menghilangkan “cirri

khas” nya (al-Qur‟an dan Hadist).

Singkatnya, bahwa memberi pengertian akan pentingnya upaya pemurnian

Islam dari segala sesuatu yang menyusup masuk ke dalamnya serta pembinaan

umat diatas Islam yang telah dimurnikan tersebut. Dengan kata lain,

pemurnian tauhid dari kesyirikan, pemurnian Sunnah Rasulullah SAW dari

bid‟ah, pemurnian akhlak/moral dari perangai umat-umat yang binasa dan

buruk, dan pemurnian hadist-hadist Nabi SAW yang shahih dari hadist-hadist

yang lemah dan palsu yang telah dibuktikan kebohongannya serta telah

disingkap kepalsuannya…dan seterusnya.19

18 http://www.angelfire.com/md/alihsas/tinjauan.html 19 „Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani. 6 Pilar Utama Dakwah Salafiyyah. (Jakarta:

Pustaka Imam asy-Syafi‟I 2005)hal. 257

Page 29: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

21

BAB III

GERAKAN PEMURNIAN AQIDAH IBNU TAIMIYAH

A. Biografi Ibnu Taimiyah

1. Riwayat Hidup Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah, nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad Taqiyuddin

Ibnu as-Syaikh Syihabuddin Abi al-Mahasin Abdul al-Halim Ibnu as-Syaikh

Majdi ad-Din Abi al-Barakat Abdu as-Salam Ibnu Abi Muhammad Abdillah Abi

al-Qosim al-Khadhri.20

Ia lahir pada tanggal 10 R. Awal 661 H./ 22 Januari 1263

M. di Harran, daerah Palestina dekat Damaskus, dari keluarga ulama Syiria yang

setia dengan ajaran puritan dan amat terikat dengan mazhab Hambali.21

Kakeknya

adalah Abdu as-Salam adalah seoarang ulama pemuka agama tersohor di Bagdad.

Tradisi ini turun-temurun sampai Abdul al-Halim ayahnya Ibnu Taimiyah yang

menjabat kepala sekolah terkemuka di Damaskus.22

Julukan Ibnu Taimiyah adalah Abul Abbas, namanya adalah Ahmad dan

gelarnya adalah Taqiyuddin. Lengkapnya adalah Abul Abbas Ahmad Taqiyuddin.

Sedangkan sebab munculnya laqab “Ibnu Taimiyah” menurut suatu riwayat,

Kakek Syaikhul Islam, Muhammad bin Khadir pergi menunaikan haji dan dia

memiliki seorang istri yang tengah hamil (yang ditinggalkannya) melewati daerah

Taima‟. Disana kakenya melihat seorang anak perempuan masih kecil keluar dari

tempat persembunyiannya (karena sedang bermain). Ketika sang kakek kembali

20 Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam

Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 203 21 Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu

Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 ) hal. 20 22 Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:

Pustaka Mantiq, 1995) hal. 47

Page 30: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

22

ke Harran, dia mendapatkan istrinya telah melahirkan seorang anak perempuan

(yang kemudian akan menjadi Ibunya Ibnu Taimiyah), maka ketika ia melihatnya

(ia teringat anak perempuan di daerah Taima‟ mengatakan, “Ya Taimiyah, ya

Taimiyah”, sehingga kemudian Syikhul Islam digelari dengan Ibnu

Taimiyah(anak Taimiyah).23

Menurut pendapat lain, dari Ibnu an-Najjar berkata: “bahwa ibu dari kakek

Ibnu Taimiyah yang bernama Muhammad ini adalah Taimiyah, seorang da‟i

perempuan (seorang pemberi nasihat(ustazah), maka Ibnu Taimiyah dinisbahkan

kepadanya dan kemudian dikenal dengan laqab tersebut.

Ibnu Taimiyah berasal dari Harran. Ibnu Jubair berkata, “cukup bagi

kampung ini sebagai kemuliaan dan kebanggaan, bahwa kampung inilah tempat

bapak kita Nabi Ibrahim Alaihissalam.” Cuaca di Harran sangat berpengaruh pada

sikap Ibnu Taimiyah, yakni menjadikan seorang yang berprilaku bersih, bagus

tingkah laku dan istiqamah, di samping cuaca panasnya mampu mengobarkan

semangat bela agama.24

Sekitar tahun 667 H./ 1268 M. keluarganya (Ibnu Taimiyah) berimigrasi ke

Damaskus untuk menghindari kekejaman bangsa Mongol atau tentara tartar.

Beliau (Ibnu Taimiyah) datang bersama orang tuanya dan keluarganya ke

Damaskus ketika beliau masih sangat kecil. Mereka eksodus dan melarikan diri

dari kota Harran demi menghindari kezhaliman dan kesewenang-wenangan

bangsa tartar kala itu. Mereka berjalan di malam hari, dengan membawa kitab-

kitab yang mereka angkut dengan gerobak yang ditarik sapi ternak karena tidak

ada hewan tunggangan, sehingga hampir saja mereka berhasil disusul oleh musuh.

Dan karena beratnya muatan gerobak tersebut mogok, maka mereka bermunajat

kepada Allah untuk memohon pertolongan kepada-Nya, hingga mereka pun

terhindar dari musuh dan selamat. Mereka tiba di Damaskus pada pertengahan

tahun 57 H, dan disanalah untuk pertama kalinya Syekhul Islam kecil menghadiri

23 Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu

Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan

Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 18 24 Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,

terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2005) hal. 17

Page 31: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

23

majelis ilmu guru beliau yang pertama, asy-Syekh Zainuddin Ahmad bin ad-

Da‟im al-Maqdisi.25

Ketika pindah ke Damaskus tersebut, Ibnu Taimiyah baru berusia 6 tahun.

Orang tuanya mempunyai pandangan jauh kedepan dan mengerti pentingnya

pendidikan. Oleh sebab itu ia diasuh dan di didik dengan baik. Dengan pendidikan

yang begitu terarah, sehingga dalam usia yang relatif muda sudah hafal al-Qur‟an.

Di samping potensi kecerdasannya, lingkungan keluarga, ia sangat mencintai ilmu

dan giat mencarinya pada siapa, dimana dan kapan saja. Tiada hari baginya tanpa

membaca, mendengar dan berdiskusi.

Di Damaskus Ibnu Taimiyah berhasil menyelesaikan studinya, di bawa

bimbingan sang ayah. Dirasah dan studi yang ditekuninya didasarkan paradigma

dan kaedah-kaedah mazhab Hambali. Ia jg banyak belajar kepada syekh-syekh

yang lain, oleh sebab itu tidak mengherankan jika kemudian ia sangat menguasai

berbagai disiplin ilmu seperti, alQur‟qn, hadist, tafsir, fiqh, ushul fiqh, bahasa,

berhitung, logika dan filsafat,26

dan juga belajar kaligrafi, ilmu olah raga.

Ilmu tafsir adalah disipil ilmu yang paling disukai oleh Ibnu Taimiyah.

Minatnya terhadap ilmu yang satu ini kelihatannya sangat begitu tinggi, hal ini

dapat dipahami dari pernyataannya bahwa dia telah mempelajari lebih dari seratus

kitab tafsir al-Qur‟an.27

Agaknya minat dan kecerdasannya dalam lapangan ilmu

tafsir inilah; yang membuat ia begitu independen dalam pemahamannya dalam

berbagai persoalan keagamaan, disamping penguasaan ilmu lainnya.

Disebutkan bahwa, pendidikan Ibnu Taimiyah dimulai dengan mengaji

kepada ayah dan pamannya. Ia juga belajar kepada beberapa ulama terkemuka

terutama di Damaskus dan sekitarnya. Jumlah ulama dan guru besar Ibnu

25 Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu

Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan

Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 19 26 Persoalan filsafat banyak dibicarakannya,ketika melancarkan kritik terhadap kesesatan

dan kekeliruan dalam alur logika, terutama filsafat Yunani. Masalah tersebut banyak dimuatnya

dalam sebuah kitab; Naqd al-Mantiq, lihat Nurholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1984) hal. 39-40 27 Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:

Pustaka Mantiq, 1995) hal. 45

Page 32: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

24

Taimiyah mencapai lebih dari dua ratus syikh.28

Di antara sekian banyak guru

yang telah mentransformasi ilmunya dapat disebutkan antara lain:

1. Syam ad-Din Abd Rahman Ibnu Muhammad Ibnu Ahmad al-Maqdisi

(597-682 H.) adalah seorang ahli hukum Islam (fiqih) dan Hakim Agung

pertama dari kalangan mazhab Hambali di Siria, setelah Sultan Baybars

(1260-1277 M) melakukan pembaharuan di bidang peradilan.29

2. Al-Munaja‟ Ibnu „Utsman al-Tanukhi (611-695 H.). Ia seorang guru Ibnu

Taimiyah di bindang fiqih, tokoh tersohor bidang fiqih pada zamannya di

Syam (Suriah). Ia juga seorang Mufassir dan ahli nahwu, pemberi fatwa

dan pengarang. Karangannya antara lain; Syarh al-Mughni sebanyak

empat jilid, Tafsir al-Qur‟an, ikhtisar al-Mashul, dan lain sebagainya.

3. Ibnu Abd al-Qawiyy (603-699 H.) adalah seorang ahli hadist, fiqh, nahwu

dan pengarang, karyanya antara lain; Kitab al-Furuq.

4. Ibnu Abd al-Da‟im (557-678 H.) seorang guru Ibnu Taimiyah di bidang

hadist. Di antara ulama yang meriwayatkan hadist darinya adalah al-

Syaikh al-Muhy al-Din al-Nawawi dan Ibnu Daqiq al-„id. Ibnu Taimiyah

belajar dengannya Musnad Imam Ahmad dan kitab-kitab Shahih Enam

(Kutub al-Sittah).30

Melihat jumlah dan kualitas guru-guru Ibnu Taimiyah, di samping

keberadaan sosok Ibnu Taimiyah sendiri, maka dapat dimengerti mengapa ia

menjadi seorang yang berilmu luas, kritis dan berpandang orisinil. Dan pada

gilirannya ia mampu melahirkan muri-murid yang memiliki kualitas ilmu

keagamaan yang handal; al-Hafiz Ibnu Qoyyim,31

al-Hafiz Ibnu Katsir,32

al-

Hafiz IbnuAbdil Hadi,33

al-Hafiz Ibnu Rajab34

dan lain-lain.

28 Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,

dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)

cet I hal. 16 29Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2008) hal. 85 30 Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:

Pustaka Mantiq, 1995) hal. 45 31 Ia adalah murid yang paling pintar, yakni seorang yang ahli fiqh mazhab Hambali, ahli

ilmu ushul, hadist, nahwu, sastra dan orator dan karyanya tidak kurang dari 40 jilid (w. 751 H.)

lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah

Reformasi... hal. 18

Page 33: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

25

Seorang sejarawan besar, al-Dzahabi pernah memberi komentar tentang Ibnu

Taimiyah; sesungguhnya Ibnu Taimiyah figur pembaca yang berhasil. Ia mahir di

bidang ilmu hadist dan fiqih dalam usia yang relatif muda, selain itu ia juga

menguasai ilmu tafsir, ushul fiqih dan hampir semua ilmu keislaman, baik ushul

maupun furu‟ nya secara global, kecuali ilmu qira‟at.

Apabila menyebut tafsir, maka dialah pembawa panjinya, apabila menghitung

nama-nama fuqaha, maka dialah seorang mujtahid mutlak pada zamannya. Jika

menghadiri majelis huffaz (hafalan), Ibnu Taimiyah berbicara dengan lantang,

semua hadirin diam, ia menghafal tidak seorangpun mampu mengikutinya, bahkan

ketika hafalannya yang lain masih banyak, yang lain sudah kehabisan hafalan.

Ketika menyebut ahli ilmu kalam, dialah orangnya dan kepadanyalah orang-orang

merujuk.35

Demikianlah beberapa komentar tentang ketokohan Ibnu Taimiyah

dalam sejarahnya.

Kehebatan Ibnu Taimiyah, tidak hanya diakui dari kalangan yang

mengaguminya, sebutlah kelompok yang setuju dengan pemikirannya, tetapi lebih

dari itu, ternyata lawan polemiknyapun memberi komentar yang sama. Kamal al-

Din Ibnu al-Zamlakani, seorang penganut mazhab syafi‟i, sengaja menulis

beberapa jilid buku untuk menentang pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah. Dalam

sebuah tulisannya tetap mengakui kehebatan Ibnu Taimiyah, ia berkomentar; jika

dia (Ibnu Taimiyah) berbicara tetang sesuatu ilmu, dia selalu lebih dari pada yang

dibutuhkan, dalam hal tulis-menulis dia begitu indah memilih kata-kata,

32 Ia adalah ahli tafsir, hadist dan fiqh. Ia adalah seorang yang bermazhab Syafi‟i namun

berguru kepada Ibnu Taimiyah dan merasa takjub kepadanya dan karangnya yang paling populer

tafsir al-Qur‟an al-Azhim (tafsir Ibnu Katsir) dan buku yang lain, al-bidayah wa an-Nihayah, lebih

jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi...

hal. 19-20 33 Seorang faqih, mempuni, ahli dalam ilmu tajwid, ahli hadist, hafizh, ahli nahwu, cerdas

dan mempunyai wawasan yang luas, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah

Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 19 34 Seorang imam yang hafiz yang menjadi rujukan bagi faqih, seorang ulama, guru para

ahli hadist serta penasehat kaum muslimin, lebih jelas lihat; Syekh Said Abdul Azhim, Ibnu

Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi... hal. 20 35Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;

Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama),

1960) hal. 16

Page 34: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

26

paparannya tepat pada sasaran, pandai menyusun kerangka dan kata-kata.36

Agaknya menjadi pertanyaan, apa motiv tokoh ini secara sadar memberi komentar

demikian. Barangkali komentar tersebut, tidak lebih dari kesadaran yang muncul

dari kondisi, dimana seseorang secara jujur mengakui, bahwa setiap manusia

dalam beberapa segi pasti memiliki kelebihan dan dalam segi-segi tertentu mesti

terdapat pula kekurangan-kekurangan. Asumsi ini paling tidak ingin melihat

secara husnu zhon dari sikap tokoh tersebut diatas terhadap Ibnu Taimiyah.

Meskipun demikian, Ibnu Taimiyah tidak selalu mendapat komentar positif.

Banyak juga kalangan yang justru menyudutkannya, ia dituduh sebagai seorang

yang tidak pernah naik haji atau melarang naik haji.37

Padahal Ibnu Taimiyah

tidak pernah melarang seseorang untuk naik haji dan beliau sendiri ketika pergi ke

Mekkah pada tahun 1292 melakukan ibadah haji.38

Bahkan pada tingakat yang

paling ekstrim, Ibnu Taimiyah dituduh seorang “atheis”.

Ibnu Taimiyah adalah penentang keras terhadap setiap bentuk khurafat dan

bid‟ah atau inovasi terhadap agama. Dengan sikapnya yang demikian itu dia

dimusuhi oleh banyak kelompok Islam, dan kerap kali berlawanan pendapat

dengan kebanyakan ulama ahli hukum. Dia sering pula menentang arus,

karenanya berkali-kali masuk penjarah, bahkan akhirnya meninggal di dalam

penjara.

Ibnu Taimiyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi

politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Masyarakat, khususnya

tempat Ibnu Taimiyah lahir, dan umumnya di seluruh wilayah kekuasaan

Mamalik,39

atau bahkan di banyak kawasan lain, sangat heterogen, baik dalam hal

36 Ahmadie Thaha, Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-Pikirannya, (Surabaya: Bina Ilmu,

1982) hal. 20-21 37 Komentar Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka

Tarbiyah, 1996) hal. 278 38M. Atiqul Haque, Hundred Muslim Heroes of the World , terj. Ira Puspitorini, 100

Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia (Jogjakarta: Diglossia, 2007) hal. 82

39 Mamalik adalah nama dinasti yang berkuasa di Mesir (1250-1517) setelah Dinasti al-

Ayyubiyah runtuh. Dinasti Mamalik ni dibagi menjadi dua periode. Pertama, periode kekuasaan

Mamluk Bahri, sejak berdirinya (1250 M) sampai berakhirnya pemerintahan Hajji II tahun 1389

M. Kedua periode kekuasaan Mamluk Burji, sejak berkuasanya Burquq untuk kedua kalinya tahun

1389 M sampai kerajaan ini dikalahkan oleh kerajaan Usmani tahun 1517 M.

Page 35: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

27

kebangsaan, status sosial, agama, aliran, budaya dan hukum. Sebagai akibat sering

terjadi perang, mobilitas penduduk dari berbagai bangsa sangat tinggi. Dalam satu

wilaya banyak macam bangsa; Arab asal Irak, Arab asal Suriah, Mesir, Turki,

Tartar yang jatuh tertawan dan kemudian menetap, Armenia, dan sebagainya,

sedang mereka semua berbeda satu sama lain dalam adat istiadat, tradisi, prilaku,

dan alam pikiran. Hal itu jelas menimbulkan kerawanan-kerawanan kehidupan

bernegara. Dalam suasana demikian sukar diciptakan stabilitas politik, keserasian

sosial dan pemupukan moral serta akhlak. Yang lebih parah lagi, pada waktu itu

masalahnya tidak hanya banyak agama yang berbeda satu sama lain, tetapi juga

banyak mazhab, termasuk juga mazhab-mazhab Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan

Hambali.40

Disamping kondisi sosial politik yang begitu semerawut, ternyata pada

tataran selanjutnya, bermplikasi pada dinamika perkembangan ilmu pengetahuan,

dimana kondisi keilmuan pada abad ini boleh dikatakan kurang mendapat

perhatian, sehingga tidak diperluas dan diperdalam. Kecendrungan yang ada

hanya mengkopi dan mengambil “begitu saja” pada pemikiran dan pengkajian

dalam disiplin ilmu tertentu. Tiap-tiap penganut mazhab fiqih bersikap kaku, tidak

memiliki kelembutan dan kelonggaran, meskipun ada semboyan; bahwa

kebenaran itu berkisar pada mazhab empat, kenyataannya, para pengikut masing-

masing mazhab telah membatasi kebenaran dalam mazhabnya. Kelapangan

mereka tidak lebih dari mengatakan “ Imam kami melihat kebenaran yang boleh

jadi salah, sedangkan selain kami melihat kesalahan yang boleh jadi benar.41

Dengan kondisi seperti ini, tidak jarang terjadinya pertentangan-pertentangan

sengit, karena timbulnya sentimen politik dan ambisi perorangan demi

kepentingan mazhab dan kelompok tertentu. Sehingga pada puncaknya mereka

sepakat untuk mengklaim, bahwa pintu ijtihad perlu ditutup.

Kalau Ibnu Taimiyah sering keluar masuk penjara, bukan berarti dia

memusuhi penguasa, namun tidak lebih dari pengaduan atau tuntutan dari

40Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-

Press, 2003) hal. 80-81 41 Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:

Pustaka Mantiq, 1995) hal. 37

Page 36: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

28

sekelompok mazhab tertentu, terutama karena ketajaman kritiknya terhadap

kebiasaan memuja para Nabi, para Wali dan panatisme mazhab.42

Sehingga dalam tataran selanjutnya, muncul pula ahli tarikat yang

membimbing masyarakat, melalui suluk, yang di gariskan ulama tasawwuf yang

terkadang jauh dari nilai-nilai agama. Ahli tarikat menempuh cara pendidikan

individual, melalui proses “baiat” antara syikh dan murid. Para yang ditempuh

penganut tarikat membawa akibat sampingan, yaitu sikap kultus individu dan

pada gilirannya seorang syikh dianggap suci dengan menjadikan ziarah kepadanya

suatu yang wajib, dan jika telah wafat dianggap mempunyai keramat dan lain

sebagainya.43

Menurut Ibnu Taimiyah, ziarah kubur serta mengkramatkan

kuburan para wali bahkan para nabi merupakan perbuatan ahli bid‟ah dan

perbuatan tersebut tidak diridhai oleh Allah, sesuai dengan firman Allah dalam

surat as-Syura ayat 21: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain

Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah.”

44

Kondisi tersebut semakin memburuk dan bertambah parah dengan munculnya

kelompok-kelompok yang berkolusi dengan musuh-musuh Islam, seperti

Nashairiyah, Kisriwiyah, Syi‟ah (sesat), Yahudi dan Nasrani. Kelompok-

kelompok sporadis ini sengaja melakukan perlawanan berdarah terhadap umat

Islam. Mereka itu pada hakikatnya, sebagaimana digambarkan Ibnu Taimiyah,

adalah fanatisme pemuja filsafat, pengikut Hindu dan Yunani, pewari Majusi,

musyrikin dan penerus kesesatan Yunani, Nasrani dan Syabi‟in (penyembah

batu)45

Kesimpulannya, bahwa kondisi umat Islam pada masa Ibnu Taimiyah, pada

umumnya sudah menyimpang dari ajaran yang murni. Aqidah mereka bercampur

42Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-

Press, 2003) hal. 81 43 Juhaya S. Praja, Epistemologi Hukum Islam, (Jakata: 1988) hal. 36 44 Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,

dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)

cet I hal. 70 45 Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;

Etika Politik Islam, terj. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama), 1960)

hal. 17

Page 37: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

29

syirik, ibadah yang dikerjakan dicampur dengan unsur-unsur bid‟ah, semangat

ijtihad sudah menurun, ruh taklid merajalela dan faham tasawwuf beserta tarikat-

tarikat telah berbaur dengan tradisi pemikiran di luar Islam. Begitulah kondisi

keagamaan yang terjadi pada masa Ibnu Taimiyah, yang kemudian mendorongnya

untuk melakukan perbaikan-perbaikan dan pemurnian ajaran Islam.

Ibnu Taimiyah adalah pedang Allah yang terhunus bagi para ahli filsafat, para

atheis dan para ahli bid‟ah yang berlebih-lebihan. Dan pada akhirnya, pada masa

pemerintahan al-Malik al-Nasir, Ibnu Taimiyah dimasukan penjara, sekali lagi

karena keritikannya yang tajam terhadap kebiasaan ziarah kubur atau makam para

nabi dan para wali. Mula-mula meskipun dalam penjarah Ibnu Taimiyah masih

dapat meneruskan kegiatan ilmiahnya dengan menulis buku atau makalah, tetapi

kemudaian jiwanya sangat terpukul ketika di penjara Damaskus dia tidak diberi

keras dan tinta lagi. Dan tidak tahan menerima penghinaan itu, dan akhirnya tutup

usia pada tahun 728 H atau 1329 M, pada usai lebih kurang 66 tahun.46

Kepergian Syikhul al-Islam menghadap Allah merupakan peristiwa terbesar

yang menjadikan manusia bersedih dan meneteskan air mata. Mereka berkata,

“Manusia berdesak-desakan untuk melayat jenazahnya, suara tangis mereka

terdengar keras, demikian pula pujian, doa untuknya. Sehingga jenazahnya sampai

ke pemakaman sebelum ashar, sementara mereka telah menunggu sejak pagi,

mereka datang dari penjuru desa, ladang serta sawah-sawah sekitar tempat

tersebut.

Berikut ini ungkapan Ibnu Katsir ketika menceritakan jenazah Syikhul Islam

Ibnu Taimiyah dan meludaknya para pelayat, “Pada saat itu tidak ada seorang pun

yang tidak hadir melayat kecuali yang ada halangan, para wanita yang berjumlah

kira-kira 15.000 orang juga datang melayat, ini belum termasuk suara isakan

tangis dan doa yang terdengar di atas rumah-rumah disepanjang jalan menuju

makam, sementara lelaki yang hadir diperkirakan mencapai 60.000 sampai

46Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI-

Press, 2003) hal. 81-82

Page 38: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

30

100.000 orang pelayat bahkan lebih.47

Semoga Allah selalu mencurahkan rahmat

dan keridhaan-Nya kepadanya, Amin.

2. Perkembangan Spritual dan Intelektual Ibnu Taimiyah

Sejak masih kecil Ibnu Taimiyah sudah mulai menghafal al-Qur‟an, yang ia

lanjutkan dengan menghafal hadist serta riwayatnya, ia juga telah belajar kitab

dari syikh ternama dan dari buku-buku induk dalam hadits seperti Musnad Imam

Ahmad, Shahih al-Bukhari dan Muslim, Jami‟ at-Tirmidzi, Sunnah Abi Dawud

dan an-Nasa‟i, Ibnu Majah serta Darul Quthni.

Para ulama berkata; “Buku pertama yang ia hafal adalah “al-Jam‟u baina as-

Shahihaini” karya Imam al-Humaidi”, mereka juga berkata, “Sesungguhnya ia

telah mendengar hafalan Musnad Imam Ahmad beberapa kali.”

Selain memperdalam ilmu hadits ia juga belajar ilmu lain seperti matematika,

sangat perhatian terhadap ilmu-ilmu bahasa Arab, menghafal beberapa matan

dalam berbagai disiplin ilmu dan sejarah bangsa Arab klasik, ia mempunyai

pandangan dan perhatian khusus terhadap buku Sibawaih sehingga buku ini

didalami dengan sangat teliti.48

Oleh karena kesungguhan dan kecerdasan otaknya, maka sebelum berusia

genap 20 tahun, ia telah menjadi seorang yang alim yang disegani. Dalam usianya

yang masih sangat muda itu, Ibnu Taimiyah telah menjadi seorang ahli Agama

dan ahli hukum. Bahkan menurut Prof. Gibb, ia berhasil menjadi professor dari

Mazhab Hambali dalam ilmu hukum.49

Ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap

fiqih Hambali, dengan cara mengikuti dan meneliti mazhab ini dari masa ke masa,

namun ia tidak meninggalkan mazhab lain terutama Mazhab Syafi‟i.

Pada usianya yang belum genap 20 tahun itu juga ia harus kehilangan

ayahnya. Dan pada usia 22 tahun kemudian Ibnu Taimiyah menggantikan posisi

ayahnya sebagai guru besar hukum mazhab Hambali serta menggantikannya

47 Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam

Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 225-226 48 Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam

Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 205-206 49 Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;

Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama),

1960) hal. 9

Page 39: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

31

dalam mengajar Hadits; sejajar dengan Ibnu Daqiq a-„Ied dan para ulama besar

lainya yang pada zaman itu sedang naik daun, dan sudah mengajar di berbagai

sekolah dan Masjid Jami‟ di Damaskus. Namun demikian kredebilitas Ibnu

Taimiyah bila tidak bisa dikatakan melebihi, tidak lebih rendah pula.

Ayahnya (Abdul Hamid bin Abdussalam Syihabuddin) merupakan sebaik-

baik pendidik bagi anaknya, karena ia merupakan ulama besar dalam Mazhab

Hambali serta seorang ulama Hadits yang sangat otoritatif (menonjol). Ia melihat

anaknya memiliki kelebihan dibanding teman sebayanya dalam hal kesungguhan

dan perhatian kepada hal-hal yang bermanfaat dalam bidang ilmu dan studi, akal

dan hatinya terbuka terhadap hal-hal disekelilingnya, ia memiliki ingatan yang

cukup tajam, pikiran yang selalu siaga, hafalan yang cukup kuat, pemikiran yang

lurus serta kecerdasan semenjak kanak-kanak.

Ia menggunakan seluruh apa yang dianugerahkan Allah kepadanya di jalan

ilmu pengetahuan untuk mendalami pendapat dan gagasan para Sahabat. Dengan

menggunakan methode induktif ia meneliti dan mempelajari kajian-kajian fiqih

yang telah ditulis oleh ulama-ulama yang sangat otoritatif dalam bidang teori dan

esperimen empiris seperti seperti Umar bin al-Khathab, Ali bin Abi Thalib,

Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhum. Ia juga sangat intens mempelajari

fatwa-fatwa Said bin al-Musayyib, Ibrahim Nahk‟i, a-Qasim bin Muhammad dan

ulama-ulama Tabi‟iin yang lain.

Semua ilmu ini ia sinergikan dengan pengetahuan yang berkembang pada

zamannya, sehingga dapat disimpulkan tidak ada satu bidang ilmu pun yang tidak

ia dalami.

Salah seorang ulama zamannya berkata; “Sungguh Allah telah melembutkan

ilmu pengetahuan dihadapan Ibnu Taimiyah sebagaimana Allah Subhanallah wa

Ta‟ala telah melembutkan besi dihadapan Nabi Dawud, apabila ia ditanya tentang

disiplin ilmu tertentu, orang-orang yang saat itu mendengar jawabannya pasti akan

mengira bahwa ia tidak menguasai disiplin ilmu lain selain itu, dan akan

menyimpulkan bahwa tidak ada orang lain yang lebih menguasai darinya.

Adapun kakeknya (Adussalam bin abdullah), seorang faqih dari mazhab

hambali, ia seorang imam, ahli Hadits, juga mufassir yang faqih dan menguasai

Page 40: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

32

ilmu-ilmu bahasa, ia dikenal sebagai salah seorang Huffadz yang tersohor

pengarang kita; “Muntaqa al-Akbar”, buku ini telah disyarah oleh Imam Asy-

Syaukani dengan judul, “Nailul Authar Syarh Muntaqa al-Akbar.”50

Dari sini

dapat kita ketahui bahwa baik Ayah maupun kakek Ibnu Taimiyah merupakan

tokoh dan ulama Muslimin yang ternama, keduanya memiliki kontribusi yang

cukup signifikan dalam membentuk kehidupan Imam kita Syekhul Islam Ibnu

Taimiyah.

Sebenarnya sejak ia masih muda telah terkumpul sifa-sifat sebagai seorang

mujtahid. Dan benar, tidak lama kemudian ia telah menjadi seorang imam, yang

diakui oleh ulama-ulama besar yang dikenal ilmu, keutamaan dan keimanannya.

Dan semua itu sebelum beliau mencapai umur tiga puluh tahun. Disamping ia

dikenal sebagai ulama yang hebat, ia juga dikenal sebagai seorang yang banyak

ibadah, banyak berzikir dan banyak membaca al-Qur‟an.

Ia juga seorang yang wara‟ dan zuhud, hampir tak memiliki sesuatupun dari

perbendaharaan dunia, kecuali apa-apa yang merupakan kebutuhan pokoknya. Ini

adalah keadaannya yang dikenal oleh orang-orang yang sezaman dengannya,

bahkan oleh semua manusia secara umum. Bahkan ia juga dikenal sebagai

seorang yang memiliki firasat yang tajam, memiliki doa yang dikabulkan, dan

memiliki banyak karamah yang diakui banyak kalangan.

Dan tentang keberkahan Ibnu Taimiyah, al-Allamah al-Umari menuturkan,

“Abu Hafash Umar bin Ali bin Musa al-Bazzar al-Baghdadi menceritakan, dia

berkata, Aku dituturkan oleh as-Syaikh al-Muqri‟ Taqiyuddin Abdullah bin

Ahmad bin Sa‟id, dia mengatakan, “(suatu kali) aku sakit parah di Damaskus,

maka Syaikhul Islam datang menjengukku, sedang saya didera oleh demam dan

sakit yang berat. Maka Syaikhul Islam datang mendoakanku, lalu berkata

kepadaku, „Bangunlah, keafiatan telah datang‟. Maka ketika ia berdiri dan

50 Syikh M.Hasan al-Jamal, Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam

Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005) hal. 205-206

Page 41: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

33

meninggalkanku, kesembuhan benar-benar telah datang kepadaku, dan aku

sembuh setelah itu.51

Untuk mengetahui lebih dalam lagi dedikasi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

terhadap usahanya menyebarkan syiar Islam, dapat dilihat dari beberapa

pandangan tokoh-tokoh Islam lainnya. Diantara beberapa pandangn tentang Ibnu

Taimiyah ialah sebgai berikut:

1. Imam al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi

(wafa tahun 744 H.) berkata: “Dia adalah Syaikhl al-Imam ar-Rabbani,

imamnya para imam, mufti (pemberi fatwa) umat, samudra ilmu, penghulu

para penghafal hadits, ahli makna dan lafadz, orang yang tiada duanya

pada masanya, Syaikh al-Islam, tanda zaman dan turjumal al-Qur‟an, ahli

zuhud yang paling alim, ahli ibadah, penghalau para ahli bid‟ah dan salah

seorang mujtahid terakhir, pendatang Damaskus dan pemilik beberapa

karya yang tidak ada padanannya.

2. Imam al-Hafidz, ahli fiqih dan sastra Ibnu Sayyid an-Nas Fathuddin Abu

al-Fath Muhammad al-Ya‟muri al-Mishri al-Syafi‟i, ketika berbicara

tentang al-Mizzy berkata: “Dialah (al-MIzzy) yang menuntunku untuk

melihat Syaikh al-Islam Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul

Halim bin Abdus Salam bin Taimiyah. Saya melihatnya termasuk orang

yang menddapatkan ilmu, hampir saja ia menguasai seluruh hadits dan

atsar secara hafalan, jika berbicara dalam bidang tafsir, maka ia adalah

pembawa panjinya, jika ia berfatwa dalam fiqih, maka ia mengetahui

ghayah dan tujuannya, jika berbicara dalam hadits, maka ia adalah pemilik

ilmunya dan mempunyai riwayatnya, jika dihadirkan dihadapannya ilmu

perbandingan agama (al-Milal wa an-Nihal) tidak terlihat orang yang lebih

luas wawasanya dalam hal itu darinya. Ia menonjol dalam setia bidang

cabang ilmu atas sesamanya, tidak ada mata yang melihatnya kemudian

51 Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu

Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan

Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal.

19-40

Page 42: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

34

melihat yang semisal dengannya dan mata beliau tidak melihat orang yang

semisal dengannya.

3. Imam Abu al-Hajjaj Yusub al-Mizzy (wafat tahun 742 H.) berkata: “ saya

tidak melihat semisalnya dan dia tidak melihat orang semisal dengannya.

Saya tidak melihat orang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah dan

Sunnah Rasulullah dan tidak lebih mengetahui keduanya (a-Qur‟an dan

sunnah) dari padanya.

4. al-Allamah Kamaluddin bin al-Zamlaki berkata: “Jika ditanya salah satu

cabang ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya menyangka bahwa

dia tidak mengetahui selain cabang ilmu tersebut dan menghukumi bahwa

tidak ada seorangpun yang mengetahui cabang ilmu tersebut seperti dia.

Para ahli fiqih dari berbagai kelompok jika duduk bersamanya, mereka

mengambil dari padanya faedah dalam mazhab-mazhab mereka yang tidak

mereka ketahui sebelumnya, tidak pernah diketahui bahwa beliau

bermunadzarah (berdebat) dengan seseorang kemudian dia terputus

(kalah), tidak berbicara dalam suatu ilmu baik ilmu syariah maupun ilmu

yang lainnya kecuali ia mengungguli para ahlinya dan para ilmuan yang

menisbahkan dirinya pada ilmu tersebut, ia mempunyai tangan panjang

dalam mengarang dengan bagusnya kata-kata pilihan, urutan, pembagian

dan penjelasan, dan terkumpul pada dirinya syarat-syarat ijtihad.”52

5. Al-Qadhi al-Imam Ibnu Daqiq al-„Id berkata: “Ketika saya bertemu

dengan Ibnu Taimiyah, saya melihat seorang laki-laki yang pada dirinya

terkumpul semua disiplin ilmu di hadapanya. Beliau mengambil apa yang

beliau inginkan dan meninggalkan apa yang beliau inginkan.” (Dinukil

oleh al-Allamah Shiddiq Hasan Khan dalam Abjad al-Ulum).53

Dan masih

banyak lagi pandang tokoh-tokoh Islam lainnya tentang Ibnu Tamiyah.

Namun demikian, Ibnu Taimiyah tidak selalu mendapat komentar positif.

Banyak juga kalangan yang justru menyudutkannya, ia dituduh sebagai seorang

52 Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu

Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan......... hal. 42 53 Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,

dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul.... hal. 13-14

Page 43: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

35

yang tidak pernah naik haji atau melarang naik haji.54

Bahkan pada tingakat yang

paling ekstrim, Ibnu Taimiyah dituduh seorang “atheis”. Akan tetapi merupakan

suatu hal yang alamiah jika kekerasannya terhadap musuh-musuhnya

mendatangkan reaksi yang keras juga. Ada juga yang menuduhnya zindik, seperti

Ibnu Bathuthah, Ibnu Hajar al-Haytami, Taqiyuddin al-Subki, Izzuddin bin

Jama‟ah, Abu Hayyan al-Zhahiri al-Andalusi. Diantara mereka juga ada yang

memintak sultan untuk mengenakan sanksi kepadanya. Usulan itu mendapatkan

sambutan. Beberapa tahun lamanya ia menjalani hidup dalam beberapa penjara di

Mesir dan Damaskus. Sebenarnya lawan-lawannya itu tidak mampu

menandinginya dalam hal pengetahuan, tetapi mereka melebihinya dalam hal

persengkokolan.

Demikianlah sedikit mengenai perkembangan spritual dan intelektual Ibnu

Taimiyah, dan bagaimana sikapnya yang sangat tegas dan bersungguh-sungguh

dalam menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Ia tidak hanya menyerang

dengan pena, tetapi juga dengan sekuat tenaga (dengan pedang), terlebih lagi

dengan musuh-musuh Islam.

3. Karya-karya Ibnu Taimyah

Karya-karya imam ini banyak sekali, yang mana para murid dan pencintanya

tidak mampu untuk menghitungnya, salah satu muridnya Ibnu Qoyim berkata:

“Amma ba‟da, Sesungguhnya sekelompok pencinta sunnah dan ilmu memintak

kepadaku agar aku menyebutkan karya-karya Syikh al-Islam Ibnu Taimiyah,

maka saya katakan kepada mereka bahwa saya tidak mampu untuk menyebutkan

secara pasti jumlahnya karena beberapa hal yang saya sebutkan kepada sebagian

mereka dan akan saya sebutkan insya Allah seperti ini.”

Kemudian beliau berkata:

1. “Di antara yang saya lihat dalam bidang tafsir”, kemudian dia

menyebutkan 92 karya tulis yang berupa risalah maupun kaidah.

2. “Di antara yang dikarang dalam bidang ushul baik ia karang sejak awal

ataupun karena menjawab penanya atau orang yang memberi i‟tiradh

54 Komentar Siradjuddin Abbas, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka

Tarbiyah, 1996) hal. 278

Page 44: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

36

(bantahan)”, kemudian ia menyebutkan 20 karya tulis baik yang berupa

kitab, risalah maupun kaidah.

3. Dalam bidang qawaid dan fatwa disebutkan 145 karya yang meliputi buku,

risalah dan kaidah.

4. Kitab-kitab fiqih, 55 karya, yang mencakup kitab risalah dan kaidah.

5. Washaya (wasiat), ijazah dan risalah-risalah yang mengandung beberapa

ilmu mencapai 22 karya.55

Az-Zirikli mengutip dari al-Hafizh Ibnu Hajar yang menyebutkan dalam ad-

Durr al-Kaminah, bahwa hasil karya tulis Syikh Islam Ibnu Taimiyah mencapai

lebih dari 4000 buku manuskrip. Dalam Fawat al-Wafayat disebutkan bahwa

karya tulis beliau mencapai 300 jilid. Bahkan al-Fasi mengutip perkataan al-

Hafizh adz-Dzahabi yang menyatakan bahwa jumlah karya tulis Syikhul Islam

mencapai 500 jilid.56

Di antara sekian banyak buku-buku tersebut, sampai sekarang masih banyak

tersebar. Inilah contoh-contoh di antara karangan monumental Ibnu Taimiyah ;

1. Majmu‟ al-Fatawa (Kumpulan fatwanya tentang aqidah, fiqh, tafsir, hadist,

ushul fiqh dan lain sebagainya), kitab ini dikoleksi oleh Abd al-Rahman

Ibnu Qasim dan dicetak dalam 37 jilid besar.

2. Muwafaqah Shahih al-Manqul li Sharih al-Ma‟qul (Tentang kedudukan

nash al-Qur‟an dan as-Sunah, kaitan dengan akal- logika), terdiri dari 10

jilid.

3. Al-Jawab al-Shahih Lima Baddal Din al-Masih (tentang bantahan terhadap

keyakinan orang Nasrani), sebanyak 4 jilid.

4. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi al-Raad „ala al-Syi‟ah wa al-Qadariyah

(tentang bantahan terhadap Syi‟ah dan Qodariah) sebanyak 4jilid.

5. Al-Qawa‟id al-Nuraniyyah al-Fiqhiyah (tentang kaidah-kaidah fiqh).

6. Kitab al-Iman (tentang iman dan akidah)

55 Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,

dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)

cet I hal. 17-18 56 Ibnu Taimiyah, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa Ibnu

Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan, Hukum Murtad, Pengadilan

Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008) hal. 33

Page 45: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

37

7. Kitab Naqd al-Mantiq (tentang gugatan terhadap ilmu logika)

8. Iqtida al-Shirath al-Mustaqim (tentang bid‟ah dan sunnah)

9. Muqaddimah fi Ushul al-Tafsir (pengantar ilmu tafsir al-Qur‟an)

10. Al-Ubudiyah (tentang konsepsi intgralitas ibadah)

11. Ishlah al-Ra‟i Warra‟iyah (Tatanan Bernegara dan Bermasyarakat dalam

Islam).

12. Raf‟ulmalam „an A „immah al-„a „lam (Hakikat dan Sebab-sebab

Perbedaab Pendapat antara Ulama).

13. Al-Kalimah al-Thaiyyibah (tentang Doa dan Zikir Rasulallah).

14. Hijab al-Ma‟rifah wa Limasuha fi al-Shalah (tentang Kewajiban

Berkerudung dan Busana Wanita Ketika Shalat).

15. Al-Qa‟idah al-Jalilah fi Tawassul wa al-Wasilah (tentang Hukum dan

Kaidah Bertawasul dalam Berdoa).

16. Dan lain-lain.57

B. Karakteristik Pemurnian Ibnu Taimiyah

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, Ibnu Taimiyah hidup ditengah-tengah

pergolakan seru yang berkepanjangan, dengan dampak kemerosotan politik dan

agama. Ia menemukan kondisi umat Islam, di mana kesucian dan kemurnian

aqidah Islam telah ternodai oleh percikan-perciakan berbagai amalan bid‟ah dan

khurafat dalam agama. Oleh sebab itu dalam kiprah pemurnian aqidah, Ibnu

Taimiyah menyusun sasaran-sasaran perjuangan yang cukup beragam, dari

perjuangan membalas serangan yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam

dengan kekuatan fisik,58

sampai perjuangan untuk mengembalikan kaum

muslimin pada aqidah salafiyah, aqidah firqah najiah (golongan selamat), yakni

aqidah tauhid.

Aspek tauhid adalah merupakan perhatian khusus sebagai prioritas utama

dalam sejarah perjuangan Ibnu Taimiyah, di samping aspek-aspek lain. Ia

57 Kitab-kitab tersebut dilacak dan diinventaris penulis dari beberapa buku-buku yang

menjelaskan tentang ketokohan Ibnu Taimiayah. 58 Ali Sami‟ al-Nasysyar dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah Syar‟iyah;

Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena (Djawatan Penerangan Agama),

1960) hal. 17

Page 46: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

38

memberantas panji-panji jihad dan ishlah dalam rangka memberantas aktifitas,

pemikiran dan tradisi syirik yang berkembang pesat. Dalam menegakkan panji-

panji tersebut ia tidak memperdulikan reaksi kemarahan dari berbagai kalangan. Ia

membasmi akar-akar aqidah dan berbagai mitos yang menjadi asas dalam segala

aktifitas kesyirikan.

Ibnu Taimiyah menghalangi orang-orang yang berziarah ke kubur,

menentang tradisi mereka dalam berbagai bentuk kesyirikan, di mana kaum

muslimin memohon kepada ahli kubur untuk merealisasikan beberapa tujuan,

pertolongan dan perlidungan. Ia dengan vulgarnya menjelaskan secara kritis

dalam berbagai forum dan tulisan, bahwah memohon kepada selain Allah itu tidak

dibenarkan dalam Islam sebab itu merupakan syirik yang nyata dan merupakan

perbuatan ahli bid‟ah.59

Ibnu Taimiyah banyak mengomentari dalam beberapa kitabnya, tentang

hikmah diharamkannya berdoa kepada selain Allah. Ia mengatakan Nabi

Muhammad telah melarang segala modus tersebut, karena usaha demikian

merupakan kesyirikan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Ia juga

menerangkan ketidak bolehan permintaan-permintaan kepada nabi-nabi atau

syehk yang telah meninggal, kepada ahli kubur dan lain sebagainya. Siapa-siapa

yang melakukan perbuatan tersebut di atas, berarti orang tersebut telah

menyekutukan Tuhannya (syirik).60

Agaknya, jika dilihat secara makro, sebenarnya tentang ziarah kubur yang

dimaksud Ibnu Taimiyah, jika itu membawa dampak kepada kesyirikan. Dalam

pengertian jika maksud untuk membuat seseorang menjadi sadar atau insyaf,

bahwa suatu saat, semua orang akan merasakan masuk kubur, atau untuk

mendoakan agar ahli kubur mendapat rahmat dan syafaat, tentu tidak menjadi

persoalan, sebab bukan untuk bertawasul, memintak syafaat dan lain-lain

sebagainya. Hal ini barangkali dapat dilihat salah satu pendapatnya yang

59 Ibnu Taimiyah, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul Munir. Lc,

dkk. Ibadah Tanpa Peantara Kaidah-Kaidah dalam Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)

cet I hal. 70 60 Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:

Pustaka Mantiq, 1995) hal. 178-179

Page 47: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

39

mengatakan bahwa; berziarah kubur Nabi, sahabat, atau orang-orang yang

dianggap shaleh, semua itu hanya merupakan hiasan syaithan, lebih-lebih bila

berziarahnya itu sambil memintak-memintak.61

Itulah bentuk pemikiran dan upaya Ibnu Taimiyah dalam upaya

memurnikan aqidah umat Islam di masanya. Oleh sebab itu dapat dibayangkan

betapa kontroversial dan spektakulernya ide tersebut. Terjadi kontraversi ide

tersebut, sebenarnya muncul karena pemahaman yang berkembang pada saat itu

adalah adanya issu dari kalangan umat Islam, bahwa ziarah kubur (terutama kubur

Nabi) itu sesuatu yang dianggap wajib, sebagai ibadah haji.62

Oleh sebab itu Ibnu

Taimiyah hanya memperingatkan umat Islam, bahwa ziarah kubur bukan

“penunaian ibadah haji” sesuatu yang wajib, serta tempat meminta-minta

pertolongan dari orang yang telah meninggal. Mengangap ziarah kubur sebagai

salah satu ragam ibadah haji dan tempat memintak, jelas terkutuk dan tidak

dibenarkan dalam Islam.63

Orang-orang yang anti Ibnu Taimiyah, menganggap

bahwa fatwa Ibnu Taimiyah tersebut dipandang sebagai issu yang menghasut

rakyat. Bahkan ada yang lebih ekstrim yang mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah

melarang untuk melaksanakan ibadah haji dan Ibnu Taimiyah sendiri tidak pernah

naik haji seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya.

Pada dasarnya, munculnya penyelewengan pemahaman aqidah, yakni

dengan penerapan filsafat Yunani yang menyebabkan munculnya takwil firman

Allah dan penggalian makna lahir kepada makna yang lebih jauh. Dalam masalah-

masalah aqidah, saat itu (masa Ibnu Taimiyah) kaum muslimin terbagi menjali

dua golongan dan mazhab; salaf64

dan khalaf.65

61 Ibnu Taimiyah, Tawassul wa Wasilah, Terj. Prof. Dr. Ahmad Tafsir (Bandung: PT

Remaja Rosada, 2006) hal. 38-41 62Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah.... hal 170 disebutkan issu ini

dihembuskan oleh kalangan Syi‟ah. 63 63 Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu

Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 ) hal. 64 Salaf adalah metode pemahaman Islam dan pengamalannya dengan kembali kepada

sejarah Salafus-Shalih; Para sahabat, generasi setelah sahabat dan kemudian manusia yang datang

setelah mereka. Jalan mereka adalah yang paling jelas, paling bijak, paling baik dan paling

selamat, lihat Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah

Reformasi, terj. Faisal Saleh.... hal. 34

Page 48: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

40

Mentakwilkan al-Qur‟an merupakan perbuatan yang tidak dibenarkan, dan

perbuatan tersebut condong kepada kesesatan. Larangan tersebut sesuai dengan

firman Allah: “Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur‟an) kepadamu. Di

antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur‟an

dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya

condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat

daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (QS.

Ali Imran: 7). Dan dalam hal ini dipertegas lagi oleh Rasul SAW dalam sabdanya

yakni: “Jika kalian melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat

daripadanya, maka mereka itulah yang disebut Allah (dengan sebutan “dalam

hatinya condong kepada kesesatan”), karena itu waspadalah terhadap mereka.”

(HR. Bukhari). 66

Dengan penjelasan diatas, jelas sekali bagi kita untuk tidak

mentakwilkan al-Qur‟an demi menjaga kesucian maknanya dan tidak

menyimpang dari makna yang seharusnya.

Salah satu contoh adalah dari kaum Mu‟tazilah yang mentakwilkan makna

istawa „ala al-arsy itu adalah istaula (menguasai) arsy (bukan bersemayam), atau

merajai, dan Allah Azza wa Jalla itu berada di semua tempat. Mereka memang

mengingkari keberadaan Allah di atas arsy.67

Mereka merukan salah satu kaum

bid‟ah, mereka menafikan ru‟yah (melihat Allah diakhirat kelak) dan menafikan

sifat-sifat Allah.68

Ibnu Taimiyah menuturkan; setiap orang yang ingin menjadi bagian dari

golongan yang selamat, maka dia harus kembali kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah

dengan pemahaman ulama salaf, dan ketika itu dia berada di jalan Rasulullah

Shallallah „Alaihi wa Sallam juga para sahabat.

65 Khalaf adalah golongan setelah tabi‟ tabiuun yang telah mempelajari filsafat dan logika

Yunani, bahkan telah terpengaruh dengan keduannya, lihat Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu

Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi, terj. Faisal Saleh.... hal. 34 66 Syakhul Muhammad at-Tamimi, Kasyfusy Syubuhaat fit Tauhid, terj. Ainul Haris,

Ahmad Amin Syihab (Jakarta: Yayasan al-Sofwa, 1997) hal. 26-27 67 Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiayh, Jilid 3 terj. Abdurrahim Sufandi, dkk.

Kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah; Kitab Aqidah Salaf, Kita Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah SWT

(Jakarta; Pustaka Azzam, 2010) hal 502 68 Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,

terj. Faisal Saleh.... hal. 156

Page 49: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

41

Para sahabat Rasulullah SAW tidak pernah memperdalam maknanya (al-

Qur‟an) atau membahas kandungannya, padahal mereka adalah orang-orang yang

sangat teguh memegang syariat. Andaikan takwil itu diperbolehkan atau bahkan

diwajibkan tentu perhatian mereka dalam masalah ini lebih besar ketimbang

masalah-masalah furu‟ syariat.

Masa para sahabat dan tabi‟in adalah menjauhkan diri dari takwil, maka

itulah kebenaran yang harus diikuti. Merupakan kewajiban seorang yang

beragama untuk mensucikan al-Bari (Allah) dari segala sifat makhluk yang

terbarukan, serta tidak memperdalam diri dengan menakwil ayat dan hadits yang

musykil. Hendaknya menyerahkan kepada Allah semata.69

Ibnu Taimiyah

menegaskan bahwa Allah mempunyai sifat mendengar, melihat dan lain

sebgainya, akan tetapi ia menolak bahwa Allah dapat disamakan dengan makhluk-

Nya. Prinsip ini menujukkan bahwa Ibnu Taimiyah, hanya menerapkan

metodologinya, yang menerangkan bahwa al-Qur‟an adalah petunjuk yang baik

untuk menjelaskan agama, sedangakan sunnah dan pendapat para kaum salaf

menduduki peringkat kedua.

Selain mu‟tazilah kalangan yang lebih mendahulukan akal dalam urusan

agama dari pada al-Qur‟an dan sunnah, banyak lagi dari kalangan kaum bid‟ah

yang lain yang terlalu mengikuti hawa nafsu mereka dalam urusan agama, terlebih

lagi dalam urusan aqidah. Seperti bid‟ahnya kaum Rafidhah,70

Khawarij,71

Murjiah72

dan Jahmiyah.73

69

Ibnu Taimiyah, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiayh, Jilid 3 terj. Abdurrahim Sufandi, dkk.

Kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah; Kitab Aqidah Salaf, Kita Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah SWT

(Jakarta; Pustaka Azzam, 2010) hal 508 70 Rafidhah (Syi‟ah) adalah aliran bid‟ah yang muncul pada masa pemerintahan Ali bin

Abi Thalib, yang mendukung pemerintahannya tersebut, lihat Dr. Ahmad ibnu Abdul Aziz al-

Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal. 74 71 Khawarij adalah aliran ahli bid‟ah yang memberontak terhadap Ali bin Abi Thalib.

Mereka terpecah menjadi beberapa cabang, dan salah satu yang terbesar adalah kaum Azariqah

dan Najdat, lihat Dr. Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal. 74 72 Aliran bid‟ah yang berpendapat bahwa maksiat itu tidak memberikan mudharat bila

disertai dengan iman, sebagaimana ketaatan (ibadah) tidak akan memberikan manfaat bila disertai

dengan kufur. Mereka disebut “Murjuah” karena mereka memberikan “raja” (harapan) untuk

mendapatkan pahala disisi Allah bagi orang mukmin yang berbuat maksiat. Dan mereka

beranggapan bahwa iman kepada Allah hanyalah sekedar mengenal-Nya, mengenal Rasul-Nya dan

mengenal ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Menurut mereka pengakuan dengan lisan,

Page 50: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

42

Misalnya dalam hal menjatuhkan vonis kafir terhadap sesama muslim,

mereka menvonisnya bedasarkan hawa nafsu. Padahal penjatuhan vonis kafir

tersebut adalah hak prerogatif Allah Ta‟ala. Dan orang yang suka menjatuhkan

vonis kafir berdasarkan hawa nafsunya adalah para ahli bid‟ah. Seperti kaum

rawafidh (Syi‟ah) yang menjatuhkan vonis kafir terhadap Abu Bakar74

dan

Umar75

ra. Atau kaum Khawarij Haruriyah yang menjatuhkan vonis kafir kepada

Ali bin Abi Thalib ra dan memerangi manusia atas nama agama sampai mereka

mau meninggalkan apa yang ditetapkan oleh al-Qur‟an, as-Sunnah, dan ijma‟ para

sahabat menuju kepada bid‟ah yang mereka tetapkan dengan penakwilan mereka

yang batil dan pemahaman mereka yang sesat terhadap al-Qur‟an. Meskipun

demikian, Ali bin Abi Thalib menegaskan bahwa mereka adalah orang-orang

beriman, bukan kafir dan bukan munafiq.76

Ibnu Taimiyah mengingatkan besarnya masalah penjatuhan vonis kafir

atau fasiq secara umum. Beliau menyatakan. “ketahuilah bahwa masalah vonis

kafir atau fasiq adalah bagian dari masalah nama dan status hukum yang berkaitan

dengan janji dan ancaman di Akhirat, dan berhubungan dengan masalah

pertemanan dan permusuhan, pembunuhan dan perlindungan dan sebagainya di

dunia. Karena Allah Ta‟ala mewajibkan Surga bagi orang-orang mukmin dan

mengharamkan Surga bagi orang-orang kafir.”77

ketundukan dengan hati dan beramal dengan anggota badan bukanlah bagian dari iman. (Maqalatul

Islamiyin karya al-Asy‟ari, 1/214 dan al-Milal wa Nihal karya Asy-Syahrastani, 1/139), lihat Dr.

Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal. 74

73 Aliran bid‟ah yang dinisbahkan kapada Jahm bin Shafwan, orang pertama yang

bependapat bahwa al-Qur‟an adalah makhluk. Aliran ini menafikan sifat-sifat Allah Ta‟ala dan

menafikan kehendak bagi makhluk. Dan mereka berpendapat bahwa iman hanya sekedar

mengenal Allah. (Al-Mihal wan Nihal karya Asy-Syahrastani, 1/86-88), lihat Dr. Ahmad ibnu

Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,… hal.

74 74 Beliau adalah Abdullah bin Ustman al-Qurasyi at-Taimi ash-Shiddiq, Khalifah

Rasyidin pertama. Beliau wafat pada tahun 13 H. (al-Ishabah karya Ibnu Hajar, 6/115). 75 Al-Faruq, Khalifah Rasyidin kedua. Beliau syahid di Madinah pada tahun 23 H. (al-

Ishabah karya Ibnu Hajar, 7/74). 76Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul

Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki. (Surabaya: CV. Fitrah Mandiri

Sejahtera, 2007) hal 115 77 Dinukil dari Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 12/468 oleh Dr. Ahmad ibnu Abdul

Aziz al-Hulaibi, lihat Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc... hal 114

Page 51: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

43

Lantaran demikian besar dan kursialnya kedua masalah ini, maka

penjatuhan vonis kafir atau fasiq kepada seseorang tidak boleh dilakukan keculai

berdasarkan sebab yang qath‟i (pasti). Apalagi vonis kafir, yang setara dengan

pendustaan terhadap apa yang disampaikan oleh Rasulullah, atau penolakan untuk

mengikuti padahal yang bersangkutan mengetahui kejujuran beliau. Seperti

kufurnya Fir‟aun, kaum Yahudi, kaum Nasrani, dan sebagainya. Dan hal itu

berkaitan dengan apa yang menjadi kaitan iman. Kedua hal tersebut sama-sama

berkaitan dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah. Dan kedua hal tersebut saling

berlawanan. Sehingga tidak ada iman besama adanya pendustaan dan permusuhan

terhadap Rasulullah. Dan tidak ada kekufuran bersama adanya kebenaran dan

ketaatan kepada beliau. Penjatuhan vonis itu tidak akan jelas keculai melalui jalan

syara‟.78

Dengan demikian, jangalah terlau mudah bagi kita untuk menjatuhkan

vonis kafir maupun fasiq kepada sesama muslim, apalagi mengkafirkan seseorang.

Karena hal tersebut merupakan urusan aqidah, kecuali melalui jalan syara‟, seperti

halnya orang tersebut benar-benar telah keluar dari ajaran yang dibawa oleh

Rasulullah (agama Islam). Mereka kaum bid‟ah juga tidak dikatakan kafir, mereka

tetap orang mukmin. Hanya saja kemungkinan mereka salah dalam memberikan

fatwa atau berijtihad.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa betapa besarpun bid‟ah,

ia tetap merupakan perbuatan dosa. Dan setiap perbuatan dosa bisa diampuni oleh

Allah Ta‟aala. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta‟aala:

78 Dinukil dari Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 1/4242-243 oleh Dr. Ahmad ibnu

Abdul Aziz al-Hulaibi, lihat Dr. Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala

Mubtadi‟ati inda Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc... hal 114-115

Page 52: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

44

Artinya: “Katakanlah, „Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas

terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.

Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 53).

Jelas sekali bagi kita dengan firman Allah diatas bahwa kalangan ahli

bid‟ah bukanlah orang kafir, hanya saja mereka terlalu melampaui batas dalam

memahami agama dan terlalu jauh dalam mentakwilkan kalam Allah sehinggah

tidak sesuai dengan makna seharusnya. Mereka tetap mendapatkan ampunan dari

Allah apabila mereka benar-benar bertaubat dan kembali kepada jalan yang benar

yang sesuai dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah.

Begitu pentingnya aspek pemurnian dan ketahuidan dalam pandangan Ibnu

Taimiyah, maka dalam banyak tulisannya, hampir separo atau bahkan dua pertiga

dari jumlah karangannya, memfokuskan bahasanya tentang ilmu kalam (tauhid).79

Informasi ini paling tidak memberi indikasi, bahwa Ibnu Taimiyah dalam usaha

pemurniannya, lebih bersifat akademik dan kurang bersifat praktis.

Itulah sedikit gambaran mengenai karakteristik pemurnian yang diusung

oleh Ibnu Taimiyah yang lebih berorientasi kepada pemurnian aqidah Islam yang

sesuai dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau disebut juga dengan aqidah

salafiyah, aqidah firqah najiah (golongan selamat), yakni aqidah tauhid.

C. Jihad Yang Benar Dalam Membela dan Mempersatukan Aqidah Dalam

Pandangan Ibnu Taimiyah

Imam Ibnu Taimiyah dianggap sebagai mujadid (Pembaharu) agama dan

keimanan di dalam hati manusia dan kehiddupan umat.

Pembaharuan yang beliau lakukan itu dibarengi dengan perjuangan yang

panjang dan kesabaran serta kesungguhan yang dalam. Sehingga, wajar bila dalam

perjuangan tersebut beliau dapatkan berbagai macam rintangan dan siksaan.

Sekalipun demikian beliau tetap teguh pendirian, rela menanggu resiko berat dan

tetap terus menyeru kepada kebenaran dan keyakinan yang beliau ketahuinya.80

79 Abul Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:

Pustaka Mantiq, 1995) hal. 97 80 Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.

Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: Titian Ilahi

Press, 1995) hal 68

Page 53: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

45

Dalam membela aqidah Islam Ibnu Taimiyah sebenarnya juga terlibat

dalam perjuangan fisik. Pada tahun 699 H, ketika tentara Tartar memasukin

wilayah Damsyik, yang membawa pengaruh yang mengakibatkan kerusakan

masyarakat Islam di sekitarnya, karena mereka menganut paham Masehi, aliran

Bhatiniyah dan aliran Syi‟ah Ismailiyah, disamping sifat sadis mereka dalam

memperlakukan masyarakat muslim.81

Ibnu Taimiyah ikut terjun dalam

kancahnya, dengan kapasitas sebagai da‟i, yang mencoba meluruskan kekeliruan-

kekeliruan yang terjadi di antara masyarakat.

Sekitar tahun 700-702 H., Ibnu Taimiyah ikut pula dalam rangka

perjuangan mengantisipasi serangan Tartar ke wilayah Syam (Syiria). Dalam

perperangan ini ia menjadi salah seorang diplomator yang berupaya untuk

meredam serangan Tartar, tetapi sayang tentara Tartar tidak memberikan respon

positif terhadap upaya yang dilakukan. Sehingga sampai titik kulminasinya, Ibnu

Taimiyah dengan tegas menyatakan sikap (hampir di berbagai forum) dan

membakar semangat umat Islam untuk berjihat demi memperjuangkan agama

Islam.82

Pada tahun 704 H., di Quluth, Ibnu Taimiyah sempat menghancurkan

batu-batu dan benda-benda yang dianggap keramat, yang menjadikan masyarakat

muslim menjadi syirik.83

Agaknya, ini merupakan tindakan yang pertama dan

boleh jadi terakhir dalam aktifitas Ibnu Taimiyah, yang begitu tegas dalam sikap

praktis. Sebab dari beberapa sumber, hampir tidak dan sedikit sekali yang

memberikan informasi tentang respon Ibnu Taimiyah dalam bentuk manuver-

manuver yang brutal.

Dalam penyebaran dan usaha pemurnian Islam (jihad), Ibnu Taimiyah

tidak bersifat agresif, tetapi menerapkan prinsif defensif. Ia mengatakan bahwa

perang baru diizinkan jika kaum yang diajak masuk Islam memerangi mereka

(umat Islam), hal ini berdasarkan firman Allah (Q.S. 11: 190). Ia juga merujuk

pada Hadits Nabi, yang melarang pembunuhan terhadap kaum jompo, anak-anak,

81 Abu Hasan Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah....... hal. 62 82 Abu Hasan Ali an-Nadawi, Syekh Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur....... hal. 62-70 83 Abu Hasan Ali an-Nadawi, Syekh Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur....... hal. 62-70

Page 54: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

46

wanita dan para pendeta yang memencilkan diri selama perang berlangsung.84

Prinsip ini membuktukan bahwa perang dalam Islam menurut Ibnu Taimiyah,

hanya dimaksudkan untuk mempertahankan diri.

Islamisasi secara paksa kepada orang lain sangat tidak disukai Ibnu

Taimiyah, ia mengatakan, andai seorang kafir harus dibunuh lantaran tidak

bersedia masuk Islam, maka prilaku tersebut bertentangan dengan al-Qur;an (Q.S.

11: 256) yang menegaskan bahwa “tidak ada paksaan dalam memeluk Islam”.85

Dengan demikian, orang-orang yang tidak bersenjata yang tidak terlibat dalam

peperangan atau menyerang umat Islam, apapun kepercayaannya, tidak boleh

untuk diserang, karena mereka tidak mempunyai daya untuk mempertahankan

diri. Disini tampak bahwa Ibnu Taimiyah sangat memandang aspek perdamaian

dalam hidup bermasyarakat.

Terlebih lagi dalam menghadapi sesama muslim, Ibnu Taimiyah

menegaskan bahwa pentingnya bekerja dengan syarat-syarat amr ma‟ruf nahi

munkar dalam mempertahankan sunnah dan melarang bid‟ah, serta

memperingatkan agar menjahui niat buruk dan kepentingan bahwa nafsu. Karena,

kedua hal itu bisa menyebabkan batalnya pahala amal dan berkembangnya

perpecahan.

Beliau menyatakan, “Memerintahkan sunnah dan melarang bid‟ah adalah

amr ma‟ruf nahi munkar. Itu merupakan salah satu amal shalih yang paling utama.

Karenanya, ia harus diniatkan untuk mencari ridha Allah dan dilaksanakan sesuai

denagan perintah. Di dalam hadits diterangkan bahwa orang yang melakukan amr

ma‟ruf nahi munkar haruslah mempunyai ilmu tentang apa yang diperintahkan

dan dilarang, bersikap lembut pada apa yang diperintahkan dan dilarang, juga

santun pada apa yang diperintahkan dan santun pada apa yang dilarang. Karena,

harus memiliki ilmu sebelum memerintah, bersikap lembut ketika memerintah,

dan harus bersikap santun ketika memerintah. Jika seseorang tidak memiliki ilmu

maka ia tidak boleh mengikuti sesuatu yang tidak ia kuasai ilmunya. Jika ia

84 Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa jilid 28 hal 354-355 85Lihat Lahmuddin Mardjuni (Sebuah Tesisi tentang Pemurnian dan Pengaruhnya

Terhadap Gerakan Wahabi) dinukil dari Majid Khudduri, The Islamic Law of Nations,

(Baltimore: Jhon Hopkins Press, 1966) hal 59

Page 55: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

47

memiliki ilmu tapi tidak bisa bersikap lembut, maka ia seperti dokter yang tidak

bisa bersikap lembut. Ia bersikap kasar terhadap pasien, sehingga si pasien tidak

mau menerima nasihatnya. Atau, seperti pendidik yang bersifat kasar dan yang

tidak bisa diterima oleh si anak. Hal ini sesuai dengan firman Allah yakni ketika

berfirman kepada Musa dan Harun: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya

dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia mau menerima

peringatan atau merasa takut.” (QS, Thahah: 44).86

Jadi dalam mengajak

melakukan amr ma‟ruf nahi munkar menurut Ibnu Taimiyah adalah menyeruhkan

yang ma‟ruf dengan cara ma‟ruf pula serta menyeruhkan kepada nahi mungkar

harus dengan cara ma‟ruf pula.

Ibnu Taimiyah juga memiliki sifat tegar serta teguh pendirian dalam

berpendapat (jihad dalam membela aqidah) bila mana pendapatnya itu sesuai

dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah. Ibnu Taimiyah tidak takut dengan ancaman dari

manapun. Beliau tidak takut kepada lembaga, tuan tanah, tidak pula kepada harta,

kedudukan maupun penguasa (raja) sekalipun. Bila mana beliau mati dibunuh

karena membela aqidah yang benar berarti beliau mati syahid. Penjara bagi beliau

adalah tempat atau anugerah yang sangat besar, karena dimana pun beliau berada

beliau tetap akan meneruskan dakwahnya, meskipun di dalam penjara. Karena

meskipun beliau di penjara, beliau masih menulis karya-karyanya serta justru nara

pidana yang ada belajar dan menjadi murid-murid beliau.87

Ibnu Taimiyah hanya

takut kepada Allah dan takut jika aqidah Islam mengalami kemerosotan bahkan

kehancuran karena umat Islam sendiri pada waktu Ibnu Taimiyah hidup

aqidahnya telah ternodai oleh percikan-percikan bid‟ah, khurafat, serta kesyirikan-

kesyirikan yang lainnya.

Ibnu Taimiyah adalah penyeru kepada tauhid yang murni dan aqidah yang

terjaga dari kesesatan, pada waktu yang sama beliau juga penyeru kepada

kesatuan dan persatuan umat Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang universal.

86 Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul

Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki. (Surabaya: CV. Fitrah Mandiri

Sejahtera, 2007) hal 160-161 87 Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.

Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: Titian Ilahi

Press, 1995) hal 72

Page 56: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

48

Diantara ucapan dan perbuatan Ibnu Taimiyah dalam bidang ini adalah:

“Semua orang yang telah mengerti bahwa antara golongan Hambali dan golongan

Asy‟ari terjadi hubungan yang tidak enak. Sedang, saya adalah orang yang paling

besar perannya dalam menyatukan hati umat Islam dan mencari titik kesepakatan

antara mereka. Hal ini semata-mata hanya didorong oleh perintah Allah yang

memerintahkan kepada kita agar berpegang teguh kepada tali (agama) Allah.

Sekaligus saya berusaha untuk menghilangkan segala hubungan yang tidak

harmonis yang terdapat dalam setiap hati orang yang sekalian saya jelaskan

kepada mereka, bahwa Asy‟ari adalah termasuk pakar teologi yang

mengatasnamakan dirinya kepada Imam Ahmad bahkan dia termasuk para

pembela terhadap metode yang ditempuh oleh Imam Ahmad. Hal ini yang

dikemukakan sendiri oleh Asy‟ari dalam berbagai bukunya.88

Ibnu Taimiyah, di

dalam buku Naqdh al-Manthiqnya (hal 16), menyatakan, “Al-Asy‟ari adalah

orang yang pandangan-pandangannya lebih dekat dengan pandang-pandangan

Imam Ahmad ibnu Hambal dan pendahulunya dari ulama sunnah dan hadits.”

Dalam buku tersebut Ibnu Taimiyah juga menyatakan, bahwa Asy‟ari setelah

mengundurkan diri dari Mu‟tazilah, mengikuti jalan yang ditempuh oleh ahlu

sunnah dan ahlu hadits, lalu ia berafiliasi kepada Imam Ahmad Ibnu Hambal,

sebagaimana ia nyatakan di dalam Al-Ibanah dan Maqalah Al-Islamiyyin-nya.89

Akhirnya golongan Asy‟ari dan golongan Hambali saling menerima dan bersatu,

maka gembiralah kaum muslimin dengan kesepakatan pendapat. Dan Ibnu

Taimiyah mengemukakan pendapat yang dipaparkan oleh Ibnu Asakir dalam kita

“Manaqib”: Golongan Hambali dan golonga Asy‟ariyah senantiasa bersepakat

sampai zaman Qusyairi. Setelah terjadi fitnah (bencana) di kota Bagdad, maka

pecah belahlah mereka. Perlu diketahui bahwa pada saat itu hampir semua

88 Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.

Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, (Yogyakarta: Titian Ilahi

Press, 1995) hal 74 89 Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,

terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2005) hal. 168

Page 57: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

49

golongan ada yang sudah menyimpang dan ada pula yang masih lurus.90

Bagdad

pada awalnya merupakan pusat kejayaan Islam. Di kota ini banyak terdapat para

intelektual Islam serta banyak sekali buku-buku yang dikarang oleh intelektual

Islam tersebut. Setelah jatuhnya bagdad di tangan tentara salib, maka umat Islam

tersebut dibantai habis oleh para tentara salib termasuk juga para intelektual

Islam. Tentara salib tidak hanya sekedar ingin menduduki wilayah kekuasaan

Islam. Akan tetapi, mereka juga ingin menghancurkan agama Islam, baik dengan

cara terang-terangan maupun menyusupi dalam ajaran Islam dengan paham

mereka. Dan harapan mereka sedikit demi sedikit Islam mengalami kemerosotan

aqidah, dan pada akhirnya Islam hancur serta kembali kezaman jahiliyah.

Ibnu Taimiyah mengajak umat Islam untuk menyatukan kekuatan dalam

melawan tentara salib, baik itu kekuatan secara fisik maupun intelektual. Jika

umat Islam bersatu serta memiliki wawasan yang luas dalam keilmuan agama

maupun umum, terlebih lagi memiliki aqidah yang kokoh. Maka umat Islam sulit

untuk digoyakan dan umat Islam akan jaya. Dalam menyerukan kepada pokok-

pokok agama (aqidah) Ibnu Taimiyah tidak pernah kepada madzhab Hambali dan

selain Hambali. Dan beliau juga tidak pernah mati-matian untuk membela

madzhab tersebut, serta beliau pun tidak pernah mengemukakan pendapat

Hambali dalam setiap perkataannya. Beliau mengemukakan pendapat yang telah

disepakati dan telah ditetapkan oleh ulama salaf. Beliau akan memberikan waktu

kepada orang yang menyalahi pendapatnya selama tiga tahun, jika orang tersebut

datang dengan membawa satu huruf dari ulama-ulama yang hidup pada tiga

generasi, dan membuktikan jelas-jelas kesalahan pendapatnya. Maka beliau akan

mengakui hal itu.91

Dapat dipahami bahwa Ibnu Taimiyah menghindari dari taqlid

buta terhadap suatu mazhab. Karena taqlid buta dapat menibulkan kefanatikan

terhadap mazhab tertentu dan akan saling menyalahakan antar mazhab satu

dengan madzhab yang lain. Ibnu Taimiyah menyerukan kepada umat Islam hanya

90 Abdullah Ibnu Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.

Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah,………………….. hal 74

91 Syekh Dr. Said Abdul Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi,

terj. Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,

2005) hal. 170

Page 58: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

50

untuk berpegang teguh kepada Salafus Shalih yang mereka senantiasa berpegang

teguh pada al-Qur‟an dan as-Sunnah.

Abu Hasan Ali An-Nadawi, memberi gambaran, begitu gigih dan getolnya

Ibnu Taimyah dalam usaha pemurnian aqidah terhadap ajaran Islam, ketika dalam

penjarapun tetap menyampaikan dakwah dan misinya. Ia mengajar para nara

pidana, sehingga disebutkan banyak kalangan nara pidana yang telah bebas dari

penjara, ingin selalu tetap bersama Ibnu Taimiyah kembali tinggal di penjara.92

Melihat dari uraian-uraian sebelumnya, tentu menjadi semakin jelas,

bahwa Ibnu Taimiyah adalah orang yang sangat intres terhadap keselamatan

masyarakat diamana ia tinggal (muslim). Keselamatan itu tidak saja dari aspek

fisik karena serangan bangsa penjajah, tetapi lebih dari itu, aspek keselamatan

keagamaan yang berdampak pada kebahagiaan di hari akhirat.

Akhirnya, dapat disimpulkan, bahwa upaya pemurnian yang dilakukan

Ibnu Taimiyah, Sebagaimana ia jelaskan; “Amr ma‟ruf nahi munkar dan jihad

termsuk keutamaan yang diperintahkan Allah kepada kita. Namun, siapa yang

melakukan kewajiban ini tanpa pemahaman hukum dan fiqh dakwah, tanpa

kelembutan dan kesabaran, tanpa mau melihat mana yang harus diperbaiki, maka

ia telah melanggar perintah Allah, meskipun ia melakukan dengan keyakinan

menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya.93

Disamping usaha-usaha tersebut, prestasi yang paling monumental yang

pernah dicetuskan Ibnu Taimiyah adalah pembukaan kembali “pintu ijtihad”

setelah umat Islam terbuai dengan metoda taklid. Implikasi dari metoda pemikiran

itulah, dalam perkembangannya meskipun cukup panjang, meresap kedalam tubuh

intelegensia keagamaan dan berpengaruh secara perlahan, mengelaborasi dalam

perkembangan pemikiran pembaharu (pemurnian) dari gerakan-gerakan

keagamaan dalam sejarah Islam.

92Abu Hasan Ali An-Nadawi, Syekh Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur.... hal. 97 93Ahmad ibnu Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda Syaikhul

Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki. (Surabaya: CV. Fitrah Mandiri

Sejahtera, 2007) hal 161-162

Page 59: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

51

BAB IV

PENGARUH PEMURNIAN IBNU TAIMIYAH DI INDONESIA

Setiap kehidupan ini, paling tidak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi

yang dapat membentuk seseorang, manakala lembaga pendidikan tidak bisa

melakukannya, kelahiran seorang ulama misalnya, sudah barang tentu

merupakan proses dari sebuah zaman disaat mana ia berada. Jika saat itu

rusak, maka rusak pulalah orang-orang di zaman itu, demikian pula

sebaliknya. Itulah sebuah fenomena yang sering menjadi suatu keniscayaan

dalam realitas kehidupan.

Akan tetapi, betapapun rusaknya sebuah zaman, terkadang pengaruh

yang muncul dari zaman itu, justeru dalam bentuk kontradiktif dengan

zamannya. Kekacauan politik, kerusakan dan kebejatan moral dan lain

sebagainya, dengan segala dampaknya, mendorong seseorang untuk

melakukan “sesuatu”, dengan menganalisis secara kritis, untuk mencari

faktor-faktor penyebab dari “keterlanjuran” kondisi zaman tersebut, mencoba

menggambarkan begitulah proses dialog yang terjadi antara Ibnu Taimiyah

dengan zamannya.

Reformisme yang dilakukan Ibnu Taimiyah, selama pemerintahan

Mamluk dalam sejarah Islam, mempunyai tujuan utama untuk mengajak umat

Islam agar kembali kepada dasar-dasar agama mereka dalam bentuknya yang

“murni”, yaitu al-Qur‟an dan as-Sunnah Rasul. Tujuan itu didasarkan pada

asumsi bahwa luka politik dan spiritual, yang melanda umat Islam selama

periode tersebut kebanyakan disebabkan oleh sikap mereka yang menjauhkan

diri dari sumber-sumber asli itu. Dalam aneka perdebatan dan polemiknya,

Page 60: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

52

Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa sikap tersebut tercermin dalam dua faktor

; pertama kebiasaan taklid, dan kedua pengaruh faham-faham heterodoks,

terutama yang berasal dari para sufi dan golongan Syi‟ah.

Menurut Ibnu Taimiyah, jihad melawan khurafat, bid‟ah merupakan

kewajiban sepanjang hidup. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ia harus

menghadapi berbagai kendala dan “sikap keras” penguasa dan sentimen

penduduk di sekitar ia berada. Memang dalam sebuah perjuangan, ada

kalanya membuahkan hasil, tetapi jauh dari maksimal, sebab berbagai

kendala dan kegagalan memberi warna aktifitasnya.

Sejarah mencatat, saat Ibnu Taimiyah wafat (1328) seluruh warga

Damaskus mengiringkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir, baik

dari mereka yang pro, simpatisan, maupun mereka yang kontra. Inilah sebuah

gambaran ketokohan Ibnu Taimiyah.

Betapapun, digambarkan Nurcholis Majid, bahwa Ibnu Taimiyah

belum mampu melakukan gerakan besar,94

tetapi warisan intelektual Islam

terkemuka itu tetap dilestarikan oleh murid-muridnya, seperti Ibnu Qayyim,

Abdul Hadi, Azdzahabi dan lain sebagainya. Meskipun cukup tertunda,

pemikiran Ibnu Taimiyah juga mempengaruhi gerakan pembaharuan di

Indonesia pada awal abad ke-20. Gerakan-gerakan tersebut terkenal dengan

gerakan tiga serangkai yaitu; Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persatuan Islam

(PERSIS). Disini penulis akan memeparkan sidikit tentang gerakan tersebut

secara satu-persatu serta gagasannya dalam pembaharuan Islam di Indonesia.

1. Gerakan Muhammadiyah

Pada tahun 1911, K. H. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah agama

yang diberi nama Muhammadiyah, perguruan ini tidak diadakan di surau atau

di masjid, tetapi bertempat di gedung yang menggunakan meja, kursi dan

papan tulis. Kemudian berdiri secara resmi pada tanggal 19 November 1912

bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 H.95

94 Nurcholis Majid, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) hal. 43 95 Drs. H. M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan

Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998) hal.100

Page 61: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

53

K. H. Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama Muhammad

Darwis, lahir pada tahun 1968 dari pernikahan K. H. Abu Bakar dengan Siti

Aminah. K. H. Abu Bakar adalah khatib di Masjid Agung Kesultanan

Yogyakarta, sedangkan ayah Siti Aminah adalah penghulu besar di

Yogyakarta.96

Semenjak kecil, dahlan diasuh dan didik sebagai putera kiyai.

Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji al-

Qur‟an dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari

ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama

kepada beberapa ulama besar waktu itu. Di antaranya ia K. H. Muhammmad

Saleh (ilmu fiqh), K. H. Muhsin (ilmu nahwu), K. H. R. Dahlan (ilmu falak),

K. H. Mahfuldz dan Syeikh Khayyat Sattokh (Ilmu hadits), Syeikh Amin dan

Sayyid Bakri (qira‟at al-Qur‟an), serta beberapa guru lain.97

Dengan data ini,

tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai

disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat

dirinya selalu tidak puas dengan ilmu yang dipelajarinya dan terus berupaya

untuk lebih mendalaminya.

Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun

1890 ia berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studiya dan bermukim

disana selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya yang

pertama, maka pada tahun 1903, ia berangkat lagi ke Mekkah dan menetap

selama dua tahun. Kepergian Ahmad Dahlan ke Mekkah yang kedua kali ini

merupakan pengalaman yang sangat berharga baginya. Di Mekah ia

memperdalam berbagai disiplin ilmu, ilmu fiqh, ilmu falak, ilmu qiraah.

Ahmad Dahlan bahkan sempat berdiskusi dengan beberapa ulama yang

berasal dari Indonesia antara lain: Muhammad Khatib dari Minangkabau,

Kiyai Nawawi dari Banten, Kiyai Mas Abdullah dari Serabaya, Kiyai Pagih

96 Weinata Sairin, MTh. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2008) hal. 39 97 Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan

Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat

Press Group, 2005) hal. 202-203

Page 62: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

54

Kumambang dari Gersik. Penting sekali dicatat bahwa dalam kepergian

kedua kali ke Mekah ini, Ahmad Dahlan sempat berjumpang dengan Rasyid

Ridha, tokoh pembaharu Islam dari Mesir. Perjumpaannya dan dialog dengan

Rasyid Ridha ini memberikan pengaruh yang kuat terhadap pemikiran Ahmad

Dahlan, karena pandangan para pembaharu Islam itu menitikberatkan pada

pemurnian tauhid (keesaan Allah), tidak beriman secara taqlid (secara

membabibuta percaya kepada keterangan seseorang tanpa mengetahui

landasan yang primer); yang selama ini juga dipikirkan oleh Ahmad Dahlan.98

Selain itu juga Ahmad Dahlan menelaah berbagai buku dan memperdalam

Ibnu Taimiyah serta Muhammad Abduh yang dipublikasikan oleh majalah al-

Urwatul Wutsqa (Tali yang Kuat) dan al-Mannar (Mercu Suar).99

Dari para

ulama terutama Rasyid Ridha itulah akhirnya pada tanggal 19 November

1912 bertepatan dengan 8 Zulhijjah 1330 H., Ahmad Dahlan mendirikan

gerakan yang dinamakan Muhammadiyah dengan prinsip-prinsip sebagai

berikut:

1. Memurnikan ajaran Islam dengan membersihkan praktek serta

pengaruh yang bukan dari ajaran Islam.

2. Reformasi ajaran dan pendidikan Islam.

3. Reformasi doktrin-doktrin dengan pandangan alam pikiran

modern.

4. Mempertahankan Islam dari pengruh dan serangan dari luar

Islam.100

Dalam pengembangan wawasan keagamaan atau prinsip-prinsipnya

ini, Muhammadiyah cenderung menitikberatkan pada tranformasi nilai-nilai

lewat sarana kultural yang tidak menimbulkan kegoncangan, misalnya lewat

98 Weinata Sairin, MTh. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 2008) hal. 43-46 99 Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan

Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat

Press Group, 2005) hal. 203 100 Drs. H. M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan

Dalam Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998) hal. 100

Page 63: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

55

tabligh dan pendidikan. Dengan cara yang demikian, maka Muhammadiyah

dapat mengembangkan sayapnya ke seluruh Nusantara.

2. Gerakan al-Irsyad

Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam‟iyat al-Islah wal Irsyad al-

Islamiyyah) kemudian dikenal dengan nama al-Irsyad berdiri pada 6

September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian

Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan

hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11

Agustus 1915.

Pendiri al-Irsyad adalah Syeikh Ahmad Surkati yang nama lengkapnya

ialah Ahmad bin Muhammad Surkati al-Kharrajn al-Anshari. Ia lahir pada

tahun 1872 di Afdu Donggalan Sudan dari keluarga yang taat beragama.

Ayahnya bernama Muhammad, seorang yang dianggap masih memiliki

hubungan dengan Jabir bin Abdul al-Anshari (sahabat Rasul SAW).101

Syeikh

Ahmad Surkati yang sampai ke Jakarta dalam bulan februari 1912, seorang

alim yang terkenal dalam agama Islam. Beberapa lama kemudian

meninggalkan Jami‟at Khair dan mendirikan gerakan agama sendiri bernama

al-Ishlah wal Irsyad, dengan haluan mengadakan pembaharuan dalam Islam

(reformisme).102

Pendiri-pendiri al-Irsyad kebanyakan adalah pedagang, tetapi guru

sebagai tempat memintak fatwa ialah Syeikh Ahmad Surkati yang sebagian

besar dari umurnya dicurahkan bagi penelaahan pengetahuan. Ia telah banyak

mengetahui ayat-ayat al-Qur‟an ketika masih kecil dan akhirnya ia menjadi

seorang penghafal al-Qur‟an terkenal di Sudan. Tetapi, ia tidak dapat

memenuhi keinginannya untuk belajar di Mesir, karena ketika ayahnya

meninggal nasib membawa ia ke negeri Arab dan tinggal di Madinah selama

empat tahun untuk menuntut ilmu disana. Selama menuntut ilmu, Ahmad

Surkati selalu memperlihatkan prestasi yang sangt gemilang. Sehingga pada

101 Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan

Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat

Press Group, 2005) hal. 55 102 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) hal. 162

Page 64: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

56

tahun 1906, ketika berumur 34 tahun, ia berhasil memperoleh ijazah tertinggi

guru agama (al-allamah) dari pemerintah Istambul. Dengan prestasinya yang

gemilang, menempatkan seorang pelajar Sudan pertama memperoleh ijazah

tersebut, bahkan ia termasuk salah seorang di antara empat orang guru agama

di Arab Saudi yang memperoleh penghargaan dari prestasi tersebut.

Penghargaan tersebut deserahkan oleh majelis ulama Mekkah.103

Dengan

demikian, tidak diragukan lagi keluasan pengetahuan ilmu agama yang

dimiliki oleh Surkati. Dan suatu tindakan yang tepat baginya memilih

Indonesia untuk berdakwah (jihad) meneruskan perjuang Nabi SAW dengan

mendirikan al-Irsyad, karena ketika itu masyarakat Indonesia dalam tekanan

kolania Belanda dan masyarak Islam Indonesia khususnya, aqidah mereka

tidak murni lagi karena ternodai oleh khurafat, bid‟ah dan perbuatan-

perbuatan menyimpang lainnya.

Di antara prinsip-prinsip gerakan al-Irsyad yang diusung oleh Surkati

adalah:

1. Untuk mengukuhkan doktrin persatuan dengan membersihkan

shalat dan doa dari kontaminasi unsur politheisme.

2. Untuk mewujudkan kesetaraan di antara kaum muslimin dan

mencari dalil yang shahih dalam al-Qur‟an dan sunnah dan

mengikuti jalan yang benar untuk semua solusi masalah agama

yang diperdebatkan.

3. Untuk memerangi taqlid „am (penerimaan membabi buta) yang

bertentangan dengan dalil aqli dan naqli.

4. Untuk mensyiarkan pengetahuan alam sesuai Islam dan

menyebarkan kebudayaan Arab yang sesuai dengan ajaran Allah.

5. Mencoba untuk menciptakan pemahaman dua arah antara dua

muslim yaitu Indonesia dan Arab.104

103 Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan

Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat

Press Group, 2005) hal. 57 104 Prof. Dr. H. Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan

Islam; Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia, (Ciputat: PT. Ciputat

Press Group, 2005) hal. 57-58

Page 65: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

57

Dari prinsip-prinsip gerakan al-Irsya di atas terlihat bahwa, al-Irsyad

yang dimotori Ahmad Surkati telah membawa peradaban baru dunia

pendidikan di nusantara, serta memberikan kontribusi yang sangat signifikan

terhadap perkembangan agama Islam masa selanjutnya.

3. Gerakan Persatuan Islam (PERSIS)

Persatuan Islam didirikan di Bandung pada tanggal 17 September 1923

oleh K. H. Zamzam. Ketika orang-orang Islam di daerah-daerah lain telah

lebih dahulu maju dalam usaha untuk mengadakan pembaharuan dalam

agama. Bandung kelihatan agak lambat dalam pembaharuan ini dibandingkan

dengan daerah-daerah lain, sungguhpun Sarekat Islam telah beroprasi di kota

ini semenjak tahun 1913. Kesadaran tentang keterlambatan ini merupakan

salah satu sebuah cambuk untuk mendirikan organisasi.

Pendirian Persatuan Islam merupakan usaha sejumlah umat Islam yang

memperluas diskusi-diskusi tentang topik-topik keagamaan yang telah

dilakukan pada basis informal selama beberapa bulan. Umat Islam yang

terlibat dalam diskusi-diskusi ini semuanya adalah kelas pedagang dan

berasal dari kelompok-kelompok keluarga yang dua generasi lebih awal telah

migrasi, karena alasan-alasan perdagangan, dari daerah Palembang di

Sumatera ke daerah Jawa Barat dimana akhirnya mereka menyatakan diri

sebagai orang-orang Sunda, kelompok etnis yang paling dominan di Jawa

Barat. Dua tokoh utama dalam diskusi-diskusi ini adalah H. Zamzam dan H.

Muhammad Yunus. H. Zamzam menghabiskan tiga setengah tahun belajar di

Dar al-Ulum di Mekah kemudian menjadi guru di Madrasah Darul

Muta‟allimun di Bandung.

Diskusi-diskusi yang menghantarkan pada pendirian Persatuan Islam

tidak begitu terpusat pada ajaran-ajaran yang aktual sebagaimana pada

gagasan-gagasan baru kaum reformis yang kemudian menikmati popularitas

besar di Sumatera, dengan beberapa kemudian di Jawa, dan pada konflik

antara ide-ide baru ini dengan sistem-sistem keagamaan yang mapan. Mereka

mendiskusikan isi al-Manar (manara), publikasi Islam modernis yang

diterbitkan di Kairo, dan al-Munir (cahaya), sebuah kecenderungan seminar

Page 66: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

58

yang diterbitkan di Singapura dan diselundupkan di Indonesia. Mereka juga

mengikuti perdebatan antara al-Irsyad dan Jamiyyatul Khair (juga al-

Jamiyyatul al-Khariyya), organisasi-organisasi terpenting bagi orang-orang

Arab yang tinggal di Indonesia, mengenai status orang-orang Arab di tengah-

tengah umat Islam non-Arab.105

Tokoh yang sangat berperan peting dalam kemajuan gerakan Persis

adalah Ahmad Hasan. Sehingga tidak heran jika terdapat dibeberapa buku

gerakan Persisi didirikan oleh Ahmad Hasan. Ahmad Hasan memiliki

karakter yang keras dan tegas. Untuk menyebarkan fahamnya, Ahmad Hasan

pada tahun 1926 telah memilih Persis yang telah berdiri pada tahun 1923 di

Bandung. Ahmad Hasan masuk Persis sebenarnya bukan karena tertarik pada

faham-fahamnya, bahkan Ahmad Hasan-lah yang membawa Persis untuk

menjadi gerakan Ishlah. Ahmad Hasan Sadar bahwa pemikirannya harus

dituangkan dalam sebuah gerakan agar bisa berkembang secara efektif. Dan

tampaknya gabungan watak Ahmad Hassan yang tajam dan ciri Persis yang

keras telah menghasilkan sebuah gerakan faham yang cepat meluas.106

Ahmad Hasan akan mangkritik dengan cara yang tajam dan terbuaka

terhadap siapa saja yang dianggap salah. Dalam salah satu perdebatannya

yang paling sukses, yakni dengan para wali dari Ahmadiyah Qadiyah di

Batavia pada bulan April 1933, sebanyak 2.000 orang hadir, termasuk

seorang pejabat Kantor Departemen Dalam Negeri Hindia Belanda, wartawan

dari beberapa surat kabar dan majalah terkemuka, dan para wakil dari

sejumlah organisasi Islam Jawa Barat.107

Meskipun perdebatan ini tampaknya

merupakan perdebatan terbesar, perdebatan-perdebatan lain juga dihadiri oleh

ratusan orang.

105 Howard M. Pederspeil, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX,

(Ypgyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996) cet. I hal. 15-16 106 LIPPM, Pak Natsir 80 Tahun; Penghargaan dan Pnghormatan Generasi Muda,

(Jakarta: Media Da‟wah Anggota IKAPI, 1981) cet. I, Hal. 168-169 107 Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si, Sosiologi Agama: Kajian Tentang Perilaku

Institusional dalam Beragam Anggota Persis dan Nahdatul Ulama, (Bandung: PT. Reifika

Aditama, 2007) cet I, Hal. 102

Page 67: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

59

Dari berbagai perjuangan yang dilakukan Ahmad Hasan Bersama

Persis, maka Persis identik dengan Ahmad Hassanya, serta dapat

mempengaruhi pemikiran dasar Persis itu sendiri.

Beberapa pemikiran dasar Persis itu sendiri dalam masalah-masalah

berikut adalah:

1. Sumber pokok ajaran: al-Qur‟an dan Hadits

2. Teologi: Allah mempunyai sifat

3. Fiqih: tidak berdasarkan suatu madzhab, tetapi berdasarkan al-

Qur‟an dan Hadits.

4. Akhlak: berdasarkan al-Qur‟an dan Hadits.

5. Filsafat: panduan ayat al-Qur‟an tentang ketuhanan alam semesta

dan manusia dengan pendapat ahli pengetahuan modern.

6. Tasawuf: tidak jauh menyimpang dari rasio yang sangat diperlukan

bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

7. Tarikh: zaman Rasullulah SAW dan al-Khulafa ar-Rasyidin adalah

masa yang dianggap menggambarkan Islam yang sebenarnya.108

Dari prinsip-prinsip tersebut dan di bawah kepemimpinan Ahmad

Hasan, Persis mampu berkembang cepat dan meluas. Dan sangat berperan

penting dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat Islam Indonesia

dan khusunya msyarakat Islam di Bandung, bagaimana aqidah Islam yang

sebenarnya yang tidak bercampur dengan kesyirikan, khurafat dan tahayyul.

Itulah tiga gerakan Islam di Indonesia sebagai dari pengaruh

pemurnian Ibnu Taimiyah. Dan dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya tiga

gerakan (Muhammadiyah, al-Irsyad, dan Persis) di atas mempunyai tujuan

yang sama yaitu:

1. Membersihkan Islam dari pengaruh kebiasaan non Islam.

2. Reformasi doktrin Islam dengan pandanga alam pikiran modern.

3. Reformasi pendidikan dan ajaran Islam.

4. Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar.

108 Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru, 1993)

Jilid. IV, Cet. I, Hal. 96

Page 68: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

60

5. Melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan.

Akan tetapi dalam praktiknya mereka mempunyai metode yang

berbeda. Gerakan al-Irsyad dan Persis menempuh cara polemik dan debat

sekalipun, sedangkan Muhammadiyah cenderung menitikberatkan pada

tranformasi nilai-nilai lewat sarana kultural yang tidak menimbulkan

kegoncangan, misalnya lewat tablig dan pendidikan. Itulah metode

pembaharuan Muhammadiyah. Dengan cara yang demikian maka

Muhammadiyah dapat mengembangkan sayapnya ke seluruh Nusantara, tidak

seperti al-Irsyad dan Persis tidak menyebar di Nusantara

Page 69: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

61

BAB V

KESIMPULAN

A. Penutup

Pemurnian(tajdid) dalam istilah islam berarti menghidupkan kembali

rambu-rambu Islam dan menegakkan kembali pilar-pilar Islamiyah agama ini

dengan menjaga nash-nash yang shahih secara bersih, dan membersihkan

agama ini dari bid‟ah dan penyimpangan yang mengotorinya, baik dalam

bidang Nazhariyah (pemikiran), Amaliyah (ibadah) maupun bidang Sulukiyah

(perilaku akhlak).

Gerakan pemurnian (tajdid) dilakukan karena terjadinya krisis akidah,

kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam

pemikiran. Dapat diartikan juga bahwa kondisi tersebut terjadi karena adanya

sikap yang melampaui batas dalam urusan agama yang tidak sesuai dengan

syari‟at Islam.

Salah satu tokoh ulama yang mengusung gerakan pemurnian ini adalah

Syekh Ibnu Taimiyah. Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan

al-ruju ila al-Quran wa as-Sunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni

al-Qur‟an dan Sunah). Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini

sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf (menghidupkan kembali ajaran

ulama salaf yang saleh), yakni praktik ajaran Islam sebagaimana yang

dilakukan Rasulullah SAW dan tiga generasi sesudahnya, yakni generasi para

sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.

Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan

pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah,

Page 70: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

62

tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi

terbuka pada ijtihad. Karena dalam perkembangan berikutnya, gerakan

pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi

pada bagaimana membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari

kemunduran dan kejumudan. Ibnu Taimiyyah memandang bahwa Islam telah

dikotori oleh tasawuf dan tarekat yang sama sekali tidak berorientasi kepada

Sunnah Nabi. Tarekat yang dimaksud mengetengahkan konsep-konsep wali,

wasilah, dan karamah yang mengandung unsur khurafat dan syirik yang salah

satunya adalah seperti kelompok sufi al-Ahmadiayah pada zamannya. Selain

itu juga masuknya pengaruh pemikiran barat seperti kelompok sporadis

Majusi, Nasrani, serta filsafat Yunani yang telah merasuk kedalam dunia

Islam yang melakukan tipu daya untuk menhancurkan kaum Muslim. Ibnu

Taimiyyah berusaha menghilangkan itu semua dengan menyerukan “kembali

kepada tauhid”.

Begitu pentingnya aspek pemurnian dan ketahuidan dalam pandangan

Ibnu Taimiyah, maka dalam banyak tulisannya, hampir separo atau bahkan

dua pertiga dari jumlah karangannya, memfokuskan bahasannya tentang ilmu

kalam (tauhid). Informasi ini paling tidak memberi indikasi, bahwa Ibnu

Taimiyah dalam usaha pemurniannya, lebih bersifat akademik dan kurang

bersifat praktis.

Itulah sedikit gambaran mengenai karakteristik pemurnian yang

diusung oleh Ibnu Taimiyah yang lebih berorientasi kepada pemurnian aqidah

Islam yang sesuai dengan al-Qur‟an dan as-Sunnah, atau disebut juga dengan

aqidah salafiyah, aqidah firqah najiah (golongan selamat), yakni aqidah

tauhid.

Khazanah pemikiran intelektula yang digagas Ibnu Taimiyah tetap

menggelinding dan mengelaborasi dalam sejarah pemikiran dalam Islam.

Pemikiran Ibnu Taimiyah kendatipun cukup tertunda, ternyata mempengaruhi

gerakan pemurnian di Indonesia yang dikenal dengan gerakan tiga serangaki

yaitu; Muhammadiyah, al-Irsyad dan Persis yang muncul pada abad ke 20 M.

Keterpengaruhan gerakan ini terhadap wancan pemikiran Ibnu Taimiyah,

Page 71: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

63

paling tidak gagasan untuk merujuk kembali kepada ajaran Islam murni yaitu

al-Qur‟an dan sunnah rasul plus paradigma pemikiran kaum salaf dan sikap

anti terhadap segala bentuk kesyirikan, khurafat dan bid‟ah.

B. Saran

Ibnu Taimiyah adalah ulama salaf yang menggagas pemurnian ajaran

agama islam salah satunya di bidang akidah pada zamannya yang dikenal

ketegasannya dalam meluruskan kepada akidah yang murni sesuai dengan al-

Qur‟an dan as-Sunnah apabila masyarakat melenceng dari akidah yang benar.

Hal tersebut patut kita jadikan sebagai tauladan karena sebagai sesama muslim

kita harus saling mengingatkan apabila saudara kita melakukan kesalahan.

Salah satu bentuk kesyirikan yang diperangi oleh Ibnu Taimiyah adalah

bentuk ziarah kubur yang berlebihan, dimana orang-orang berdoa dan

memohon, memintak kepada ahli kubur tersebut. Hal ini juga masih sering

terjadi pada masyarakat kita walaupun hanya sebagian kecil seperti berziarah

ke para makam wali, Gusdur, dan lain sebagainya. Perbuatan tersebut

dibolehkan apabila ziarah tersebut dimaksudkan untuk mendoakan ahli kubur

dan yang paling terpenting mengingatkan kita dengan kematian sehingga

menambah keimanan kita kepada Allah SWT.

Page 72: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

64

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin, I‟tiqad Ahlussunnah Wal-Jama‟ah, (Jakarta: Pustaka

Tarbiyah, 1996)

Abu, Darwis Ubaidah. Panduan Akidah ahlu Sunnah wal Jamaah, (Jakarta:

Pustaka al-Kautsar 2008)

Abdul, Said Azhim, Ibnu Taimiyah Pembaharu Salafi & Dakwah Reformasi, terj.

Faisal Saleh, Lc. M.Si, Khoerul Amru Harahap, Lc, M. Hi. (Jakarta:

Pustaka al-Kautsar, 2005)

Ahmad, Beni, Saebani, M. Si, Sosiologi Agama: Kajian Tentang Perilaku

Institusional dalam Beragam Anggota Persis dan Nahdatul Ulama,

(Bandung: PT. Reifika Aditama, 2007)

Ahmad, Hafiz al-Hakami, Benarkah Aqidah Ahlussunnah Wal Jamaah, (Jakarta:

Gema Insani Press,t.t)

Al-Jamal, M. Hasan Hayatu al-A,Immatun, terj. M.Khaled Muslih, Imam

Awaluddin, Biografi 10 Imam Besar (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005)

Arif, Syamsudin. Orientalis & Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani

2008)

Ash-Shiddieqy, Hasbi Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur‟an (Jakarta: Bulan

Bintang 1988)

Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan Dalam

Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998)

at-Tamimi, Muhammad, Kasyfusy Syubuhaat fit Tauhid, terj. Ainul Haris, Ahmad

Amin Syihab (Jakarta: Yayasan al-Sofwa, 1997)

Bakar, Abu Jabir al-Jazairi. Aqiidatul Mukmin, terj. Salim Bazemool. Aqidah

Seorang Mukmin (Solo: CV. Pustaka Mantiq 1994)

Page 73: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

65

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru,

1993)

Hasan, Agus, Bashari. Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi al-Qur‟an,

(Surabaya: Pustaka as-Sunnah 2003)

Hasan, Abul Ali an-Nadawi, Syikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Qadirunnur,(Solo:

Pustaka Mantiq, 1995)

Halimuddin. Kembali Kepada Akidah Islam, (Jakarta: Rineka Cipta 1990)

Haque, M. Atiqul, Hundred Muslim Heroes of the World , terj. Ira Puspitorini,

100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia (Jogjakarta: Diglossia,

2007) hal. 82

Ibnu, Ahmad, Abdul Aziz al-Hulaibi, Ushulul Hukmi ala Mubtadi‟ati inda

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terj. Najib Junaidi, Lc; Wafi Marzuki.

(Surabaya: CV. Fitrah Mandiri Sejahtera, 2007)

Ibnu, Abdullah, Abdul Muhsin al-Turki, Mujmalu I‟tiqad Aimmah al-Salaf, Terj.

Ghazali Mukri, Kajian Komprehensif Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah,

(Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1995)

Ibnu, Nasir „Abdul Karim al-„Aql. Mujmal Ushul Ahlisunnah Wal Jama‟ah fi al-

„Aqidah, ter. Muhammad Yusuf Harun MA. Prinsip-Prinsib Aqidah

Ahlussunnah Wal Jama‟ah. (Jakarta: Gema Insani Press 1993)

Ibrahim, Khalid Jindan, The Islamic Theory of Government According to Ibnu

Taimiyah, terj. Masroni, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995 )

Ilyas, Yunahar Lc., MA. Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI 2000)

Khoiri, Imam. Dekontruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam. (Yogyakarta:

LkiS.2000)

LIPPM, Pak Natsir 80 Tahun; Penghargaan dan Pnghormatan Generasi Muda,

(Jakarta: Media Da‟wah Anggota IKAPI, 1981)

Page 74: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

66

Madjid, Nurcholish. Kaki Langit Peradaban Islam. (Jakarta: Paramadina, 1997)

Majid, Nurholis, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984)

Malik, „Abdul bin Ahmad Ramadhani. Sittu Durar min Ushuli Ahli Atsar,terj.

Mubarak B. M Bamuallim, Lc. 6 Pilar Utama Dakwah Salafiyyah.

(Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‟I 2005)

M. Howard, Pederspeil, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad

XX, (Ypgyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996)

Munawir Sjadzaki. Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan Pemikiran),

(Jakarta: UI- Press 2008)

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, (Jakarta: UI-Press

1985)

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,

(Jakarta: Bulan Bintang,1982)

Ramayulis dan Dr. H. Samsul Nizar, M. A, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam;

Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia,

(Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005)

Rizal, Rusli. Berlebih-lebihan dalam agama, (jakarta: Pustaka Azzam 2002)

Sairin, Weinata, MTh. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2008)

Sami‟, Ali al-Nasysyar, dalam Mukoddimah Editor, Ibnu Taimiyah, Siyasah

Syar‟iyah; Etika Politik Islam, terj. H. Firdaus A. N, (Jakarta: Dja Pena

(Djawatan Penerangan Agama), 1960)

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara; Ajaran Sejarah dan Pemikiran,

(Jakarta: UI-Press, 2003)

Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2005)

Page 75: PERAN IBNU TAIMIYAH DALAM PEMURNIAN AQIDAH …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/509/1/103274... · pemikiran Ibnu Taimiyah, paling tidak gagasan untuk merujuk kembali

67

Suwito, MA, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2008)

Taimiyah, Ibnu, Manhaj Da‟wah Salafiyah, terj. Amiruddin bin Abdul Jalil

(Jakarta: Pustaka Azzam 2001)

Taimiyah, Ibnu Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim, Majmu‟ al-Fatawa,

(Riyadh: Darul Buhuts)

Taimiyah, Ibnu, Tawassul wa Wasilah, Terj. Prof. Dr. Ahmad Tafsir (Bandung:

PT Remaja Rosada, 2006)

Taimiyah, Ibnu, Majmu‟ Fatawa Ibnu Taimiayh, Jilid 3 terj. Abdurrahim Sufandi,

dkk. Kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah; Kitab Aqidah Salaf, Kita Nama-

Nama dan Sifat-Sifat Allah SWT (Jakarta; Pustaka Azzam, 2010)

Taimiyah, Ibnu, Majmua‟h al-Fatawa, terj. Izzudin Karimi, Lc. Fatwa-Fatwa

Ibnu Taimiyah tentang Khilfah Islamiyah, Memerangi Pemberontakan,

Hukum Murtad, Pengadilan Negeri, Sumpah dan Nadzar, Makanan

Halal dan Haram, (Jakarta: Pustaka Sahifah, 2008)

Taimiyah, Ibnu, Qa‟idah Jalilah fi at-Tawasul wa al-Wasilah, terj. Misbahul

Munir. Lc, dkk. Ibadah Tanpa Peantara, Kaidah-Kaidah dalam

Tawassul, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006)

Thaha, Ahmadie, Ibnu Taimiyah Hidup dan Pikiran-Pikirannya, (Surabaya: Bina

Ilmu, 1982)

Zaini, Syahminan, Pedoman Aqidah Islam, (Bekasi: Pustaka Darul Ilmi 2006)

Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010)