Ibnu Taimiyah Dan

29
Ibnu Taimiyah dan Ta’wil 2 JUL Pengantar Cobaan bertubi sepertinya tak henti menjumpai Ibnu Taimiyah bahkan hingga lebih dari 700 tahun dari wafatnya, namun perumpaan beliau layaknya cendana yang memang harus dibakar agar tercium wanginya, dan terbukti bahwa wangi dan keagungannya tak lekang oleh zaman. Kali ini tuduhan aneh menyambangi beliau. Bagaiman tidak aneh, atas dasar permusuhannya dengan Aqidah takwillah beliau keluar masuk penjara dan bahkan menghembuskan nafas terakhirnya dibalik jeruji besi didalam benteng yang kokoh. hal ini adalah sesuatu yang umum dikalangan sahabat, murid dan musuhnya. Permusuhan beliau dengan Aqidah takwil khususnya Asya’irah tidak mungkin samar lagi. Kalaulah beliau melakukan takwil dalam memahami nash-nash terkait asma dan sifat Allah, maka apa arti permusuhan dengan orang-orang yang mempertahankan aqidah tersebut dan apapula arti dari pembelaan murid-murid beliau terhadap keyakinan gurunya itu. Mari kita ulas keanehan ini dengan memohon taufik dan hidayah semoga pembahasan dan mungkin diskusi terkait tema ini adalah hanya mengharapkan ridho dari Allah Subhanahu Wataala. Makna Takwil

description

imam ibn taymiyah

Transcript of Ibnu Taimiyah Dan

Page 1: Ibnu Taimiyah Dan

Ibnu Taimiyah dan Ta’wil

2

JUL

Pengantar

Cobaan bertubi sepertinya tak henti menjumpai Ibnu Taimiyah bahkan hingga lebih dari 700 tahun dari wafatnya, namun perumpaan beliau layaknya cendana yang memang harus dibakar agar tercium wanginya, dan terbukti bahwa wangi dan keagungannya tak lekang oleh zaman.

Kali ini tuduhan aneh menyambangi beliau.

Bagaiman tidak aneh, atas dasar permusuhannya dengan Aqidah takwillah beliau keluar masuk penjara dan bahkan menghembuskan nafas terakhirnya dibalik jeruji besi didalam benteng yang kokoh.

hal ini adalah sesuatu yang umum dikalangan sahabat, murid dan musuhnya. Permusuhan beliau dengan Aqidah takwil khususnya Asya’irah tidak mungkin samar lagi. Kalaulah beliau melakukan takwil dalam memahami nash-nash terkait asma dan sifat Allah, maka apa arti permusuhan dengan orang-orang yang mempertahankan aqidah tersebut dan apapula arti dari pembelaan murid-murid beliau terhadap keyakinan gurunya itu.

Mari kita ulas keanehan ini dengan memohon taufik dan hidayah semoga pembahasan dan mungkin diskusi terkait tema ini adalah hanya mengharapkan ridho dari Allah Subhanahu Wataala.

Makna Takwil

Disini harus didudukkan makna takwil berdasarkan pendapat salaf yang diikuti oleh ibnu Taimiyah dan pengikutnya yang menjulukkan diri sebagai Salafi agar kita dapat membuat keputusan yang adil tentang sikap ibnu Taimiyah yang sebenarnya tentang Takwil

Page 2: Ibnu Taimiyah Dan

Takwil menurut Kholaf dan Asya’irah

Takwil dikalangan Kholaf sangat popular dengan makna:

ذلك تقتضي بقرينة الظاهر عن اللفظ صرف

Takwil adalah memalingkan sebuah kata dari Žahirnya dengan petunjuk-petunjuk yang menyertainya.

Definisi ini merupakan istilah Mutaakhirin yang berbeda dengan takwil secara bahasa dan perkataan salaf

Takwil Menurut Salaf dan Ibnu Taimiyah

Dalam Mukhtar Shihhâh dikatakan:

ذلك تقتضي شيئ إليه يؤول ما تفسير التأويل

Ta’wil adalah tafsir yang dikembalikan sesuatu kepadanya[1]

Dalam Lisaanul arab dikatakan bahwa ia berarti عاد و yang artinya kembali[2] رجع

Secara ringkas dalam bahasa arab kata takwil bermuara kepada dua hal:

Pertama: tempat kembalinya sesuatu, yaitu hakikat yang perkataan dikembalikan kepadanya.

sebagaiman kita tahu bahwa kalam itu bisa Khobariyah atau Thalabiyah, maka:

Takwil Khobar adalah hakikat dan kejadiannya (kejadian yang sebenarnya): Seperti dalam firman Allah :

*ل( ق,ب م.ن* ,اي, ؤ*ي ر( و.يل(* ,أ ت ه,ذ,ا

Page 3: Ibnu Taimiyah Dan

Artinya: inilah ta’wil mimpiku yang dahulu itu

maksudnya inilah hakikat dan kejadian sebenarnya dari mimpi yang pernah dia alami[3]

Allah juga berfirman:

*ل( ق,ب م.ن* وه( ,س( ن 5ذ.ين, ال ,ق(ول( ي (ه( و.يل* ,أ ت .ي *ت ,أ ي ,و*م, ي ,ه( و.يل

* ,أ ت .ال5 إ ون, *ظ(ر( ,ن ي *ه,ل* م.ن ,اي, ؤ*ي ر( و.يل(* ,أ ت ه,ذ,ا

Artinya: Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu

Maksudnya: mereka hanyalah menunggu terjadinya hal yang sama dengan yang diberitakan oleh Allah berupa janji dan ażab

Sedangkan ta’wil Thalabiyah yang merupakan amr (perintah) dan nahy (larangan) adalah sama dengan perbuatan yang diperintahkan untuk melaksanakannya dan beramal dengannya dan juga sama dengan larangan yang ditinggalkan. Hal ini seperti perkataan Aisyah Radiyallâhu anhu:

أللهم: )) وبحمدك، ربنا اللهم سبحانك وسجوده؛ ركوعه في يقول وسل:م عليه الله صل:ى النبي: كانالقرآن؟. يتأو:ل ((اغفرلي

Artinya: Nabi Shallallâhu alaihi Wasallam pernah membaca:

اغفرلي أللهم: وبحمدك، ربنا اللهم سبحانك

pada ruku dan sujudnya. (Aisyah berkata) : engkau mentakwilkan Al qur’an?

Maksudnya apakah engkau melaksanakan amalan sesuai dengan firman Allah:

Page 4: Ibnu Taimiyah Dan

ه( ,غ*ف.ر* ت و,اس* Lك, ب ر, .ح,م*د. ب Lح* ب ف,س,

Artinya: maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya.[4]

Kedua: takwil dengan makna tafsir

Yaitu perkataan yang digunakan untuk menjelaskan sebuah lafaz hingga dapat dipahami maknanya. Inilah yang dimaksud dari perkataan para Mufassirin تعالى قوله yang sering digunakan oleh تأويلpara Mufassirin[5]. Bahkan Ibnu Jarir al Thabarî menamai kitabnya:

القرآن آي تأويل عن البيان جامع

Berdasarkan makna yang pertama maka takwil dari apa yang diberitakan oleh Allah tentang sifat dan perbuatanNya adalah sama dengan keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut adalah hak Allah subhanahu wataala yang tidak diketahui oleh selainNya dan tidak ada celah bagi kita untuk mengetahuinya dan melingkupinya[6].

Berdasarkan makna yang pertama ini juga maka waqaf jatuh setelah kata berikut: 5ال. إ ,ه( و.يل* ,أ ت ,م( ,ع*ل ي و,م,ا

5ه( الل

Sedangkan berdasarkan makna kedua maka takwil tentang apa yang diberitakan Allah mengenai sifat-sifatnya yang tinggi adalah tafsir dan pemahaman makna dari apa yang Ia beritakan tentang dirinya yang memiliki sifat-sifat yang agung dan tinggi. Inipun dikenal dalam bahasa yang Allah gunakan kepada manusia dan kita pahami dengan perantaraan bahasa tersebut, namun dengan pemahaman bahwa Allah tidak sama dengan apapun baik zatNya, SifatNya, maupun perbuatannya.

Berdasarkan makna ini maka waqaf jatuh setelah kata berikut: . *م *ع.ل ال ف.ي اس.خ(ون, و,الر5

Sebagaimana mazhab kebanyakan ulama Salaf.

Page 5: Ibnu Taimiyah Dan

Ibnu Jarîr berkata: Ahli takwil (tafsir, red) berselisih tentang takwilnya, apakah kata الراسخون menjadi athaf dari lafadz ألله yang berarti mereka dapat mengetahui ayat yang mutasyabih ataukah itu adalah isti’naf (kalimat baru selanjutnya) yang disebutkan untuk memberitakan mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) yang berkata bahwa mereka beriman kepada ayat-ayat mutasyabih termasuk menyatakan bahwa pengetahuan tentang ayat-ayat tersebut hanyalah dimiliki oleh

Allah.

Sebagian dari mereka mengatakan: maknanya adalah tidak ada yang tahu takwilnya kecuali Allah saja dengan pengetahuannya.

Adapun kata العلم في adalah kalimat selanjutnya yang menyatakan bahwa mereka الراسخونberiman kepada ayat-ayat mutasyabih dan Muhkam serta semua itu berasal dari sisi Allah. Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin…. : Aisyah, ibnu Abbas, urwah, Abi Nahik, dll.

Yang lain berkata: maknanya adalah tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. dengan memiliki pengetahuan dan kedalaman ilmunya tersebut mereka tetap mengatakan “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Kemudian beliau menyebutkan yang berpendapat demikin…. : Ibnu Abbas, Mujahid, Rabî’ bin Anas, dan Muhammad bi Ja’far bin Zubair, dll[7]

Inilah takwil yang dimaksud oleh para salaf dan juga Ibnu Taimiyah ketika dia mengikuti mereka dalam menjelaskan beberapa makna ayat-ayat sifat.

Ibnu Taimiyah berkata:

من – كثير في أقوله وإنما أجوبتي من تقدم فيما اكتبه لم كنت وإن واكتبه اآلن أقوله الذي وأماتأويلها – في اختالف الصحابة عن فليس الصفات آيات من القرآن في ما جميع إن المجالس

الله شاء ما على ذلك من ووقفت الحديث من رووه وما الصحابة عن المنقولة التفاسير طالعت وقدالصحابة – – من أحد عن هذه ساعتي إلى أجد فلم تفسير مائة من اكثر والصغار الكبار الكتب من تعالى

من عنهم بل المعروف المفهوم مقتضاها بخالف الصفات أحاديث أو الصفات آيات من شيء تأول انهالله إال يحصيه ال ما المتأولين كالم يخالف ما الله صفات من ذلك أن وبيان وتثبيته ذلك تقرير

Page 6: Ibnu Taimiyah Dan

Adapun yang aku katakan sekarang dan aku tulis sekalipun aku belum pernah menulisnya dalam jawaban-jawabanku adalah bahwa semua yang ada di qur’an berupa ayat-ayat sifat tidak pernah didapat perselisihan dari sahabat seputar takwilnya. Sungguh aku telah menelaah berbagai tafsir yang dinukil dan diriwayatkan dari para sahabat dan hadits-hadits. Aku juga telah membaca-Masya Allah- banyak dari kitab-kitab para pembesar dan Sighar lebih dari seratus tafsir, namun sampai saat ini aku belum mendapatkan satupun dari sahabat yang mentakwilkan ayat-ayat atau hadits-hadits sifat dengan tafsiran yang menyelisihi tuntutan-tuntutan makna yang dipahami dan populer. Bahkan yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.[8]

Dalam penjelasan ibnu taimiyah jelaslah bagi kita bahwa para sahabat juga melakukan takwil yang bermakna tafsir terhadap ayat-ayat sifat, namun Ibnu Taimiyah juga mengatakan:

Bahkan yang aku dapat adalah persetujuan, penetapan, dan penjelasan mereka bahwasanya hal tersebut termasuk sifat-sifat Allah yang menyelisihi perkataan tukang-tukang takwil yang tidak terhitung jumlahnya.

Point penting dalam bahasan ini adalah bahwa ta’wil dengan makna tafsir justeru memperkuat istbat atau penetapan sifat-sifat Allah. Hal ini terbukti dengan banyaknya penjelasan salaf tentang Sifat-sifat Allah misalnya Allah Ta’ala bersemayam di atas Arsy. Di dalam ayat disebutkan Ar-Rahmaanu ‘alal ‘arsy istawaa. Secara bahasa istiwa’ itu memiliki empat makna yaitu:

1. ‘ala (tinggi)

2. Irtafa’a (terangkat)

3. Sho’uda (naik)

4. Istaqarra (menetap)

Page 7: Ibnu Taimiyah Dan

Imam Bukhari membuat bab khusus tentang istiwa dengan teks berikut:

ارتفع السماء الى استوى العالية ابو قال العظيم العرش هورب و الماء على عرشه كان و قوله بابالعرش على عال العرش على استوى مجاحد قال و خلقهن هن فسو

Ibnu Taimiyah juga mengatakan:

“Sesungguhnya lafadz ta’wil menurut pemahaman orang-orang yang suka bertentangan (yakni Ahlul Kalam), bukanlah ta’wil yang dimaksud dalam At-Tanzil (wahyu yang diturunkan). Bahkan bukan pula yang dikenal oleh para ulama tafsir terdahulu.

Sesungguhnya para ulama tafsir Al-Qur’an terdahulu memahami lafadz ta’wil dengan maksud tafsir. Ta’wil semacam ini dapat diketahui oleh ulama yang mengetahui tafsir Al-Qur’an. Oleh sebab itulah Imam Mujahid, imamnya ahli tafsir dan murid Ibnu Abbas, pernah menanyakan seluruh tafsir Al-Qur’an kepada Ibnu Abbas, dan Ibnu Abbas pun telah menjelaskan tafsir seluruhnya. Ketika beliau (Mujahid) mengatakan : “Sesungguhnya orang-orang yang benar-benar ahlil-ilmi (Ar-Rasikhum fi Al-‘Ilmi) jika memahami tentang ta’wil, maka maksud ta’wil itu adalah tafsir yang telah disebutkan pada ibnu Abbas”.

Adapun lafal ta’wil menurut At-Tanzil (wahyu yang diturunkan), maknanya adalah “hakikat”, yakni sesuatu yang menjadi asal sebuah pembicaraan. Dan itu sama dengan hakikat-hakikat yang telah diberitakan oleh Allah Ta’ala, misalnya ta’wil tentang hari akhir yang telah diberitakan oleh Allah ialah kejadian yang akan terjadi di hari akhir itu sendiri (hakikat kejadiannya). Ta’wil tentang apa yang Dia beritakan mengenai Diri-Nya itu sendiri yang Maha Suci lagi tersifati dengan sifat-sifat Maha Tinggi. Ta’wil (dalam arti hakikat) inilah yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala sendiri.

Oleh karena itulah kaum salaf mengatakan :”Istiwa’ telah dimaklumi (maknanya), sedangkan bagaimana hakikatnya itu majhul (tidak dapat diketahui)”. Untuk itu kaum salaf mengistbatkan (menetapkan) pengetahuan tentang Istiwa’. Inilah yang disebut ta’wil dalam arti tafsir, yaitu memahami makna yang dimaksud oleh suatu pembicaraan, sehingga dapat merenungi, memahami dan mengerti.

Sedangkan perkataan mereka “Al-Kaif (bagaimana hakikatnya) adalah majhul (tidak dapat diketahui). Hal ini adalah ta’wil yang hanya bisa diketahui oleh Allah semata, yaitu tentang hakikat yang tiada satu mahluk pun dapat mengetahuinya”.[9]

Page 8: Ibnu Taimiyah Dan

Adapun istilah yang digunakan oleh para Mutaakhirin dari kalangan Muatthilah berbeda dengan definisi diatas dimana mereka mengatakan bahwa takwil adalah: Memalingkan[10] lafaz dari zohirnya dan hakikatnya kepada majaz dan apa yang berbeda dengan zohirnya dengan adanya penyertaan (Qarinah)[11]. Ini adalah istilah yang baru.

Mereka menjadikan Qarinah-qarinah untuk memalingkan makna sifat-sifat Allah dari zohirnya dan hakekatnya berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh akal mereka bukan berdasarkan apa yang ditunjukkan oleh Atsar dan yang telah disepakati oleh salaf. Mereka menjadikan akal mereka sebagai hakim untuk sifat-sifat Allah yang merupakan hakikat dan yang bukan hakikat. Bukan berdasarkan dalil-dalil Naqli berupa ayat-ayat, hadits, maupun qaul Salaf.

Inilah jenis takwil yang telah dikarang oleh Abu Bakr bin Faurak[12] dalam sebuah kitab yang berjudul “ Ta’wîl al Musyki al Qur’ân” dan dibantah oleh Qadhî Abu Ya’la dengan sebuah kitab yang berjudul “ibthâl al ta’wîlât fî akhbâ al Shifât”. Begitu juga Ibnu Qudamah yang telah mencela takwil dengan kitabnya yang berjudul “Zamm al ta’wîl”

Batalnya klaim-klaim takwil oleh salaf terkait ayat-ayat sifat

Yang sering terjadi dalam klaim-klaim orang-orang yang menukil takwil tentang ayat-ayat sifat dari kaum salaf yang dilakukan oleh kalangan Asya’irah lalu mereka jadikan pembelaan untuk melakukan pemalingan makna terhadap semua ayat-ayat sifat adalah sebagai berikut:

klaim itu tidak benar karena tidak ada sumbernya atau dhoif sanadnya, atau menyalahi perkataan yang lebih masyhur dari salaf tersebut

tidak sesuai dengan tempatnya, seperti takwilan tersebut bukanlah pada nash-nash yang terkait dengan ayat-ayat sifat atau diperselisihkan sebagai ayat sifat

tidak memahami perbedaan takwil bathil yang berarti pemalingan makna dengan takwil yang bermakna tafsir.

Sebagai contoh yang sering adalah klaim bahwa Mujahid, Al Dhahak, Al Syafii, dan al Bukhârî mentakwil lafadz wajah dalam firman Allah taala : .5ه الل و,ج*ه( ,م5 ف,ث cوا (و,ل ت ,م,ا *ن ي

, ف,أ

Dengan mengatakan bahwa Mujahid berkata: Qiblatullah dan Imam Syafii mengatakan

Page 9: Ibnu Taimiyah Dan

: إليه الله وجهكم الذي الوجه فثم: الل5ه و,ج*ه( ,م5 ف,ث cوا (و,ل ت

yaitu arah yang ditunjukkan oleh Allah bagi kalian ..

Jawabannya dari semua itu adalah bahwa ayat ini termasuk yang diperselisihkan oleh salaf ayat sifat atau bukan. Kebanyakan salaf menganggapnya bukan ayat sifat maka mereka mentafsirkannya sebagaimana telah disebutkan diatas.

Hal ini karena الوجه   dalam bahasa arab terkadang berarti arah, dan inilah yang populer. Dzohir ayat menunjukkan bahwa yang dimaksudkan adalah arah bukan sifat Allah, yang semisal ini bukanlah takwil karena takwil berdasarkan pemahaman mutaakhirin adalah memalingkan ayat dari maksud, penunjukkan, dan arti yang dikenal.

Seluruh penukilan tafsir ayat ini adalah sehubungan dengan pendapat mereka bahwa ayat ini bukanlah ayat sifat. Adapun dalam ayat lain yang merupakan ayat sifat mereka menetapkan bahwa Allah memiliki wajah dalam arti yang hakiki

Al-Qadli Abu Ya’la rahimahullah meriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :

, ) ( ) ( d وجها له وإن بيمينه مطويات والسموات بقوله d يمينا له وأن مبسوطتان يداه بل بقوله يدين له وأن ) ( ,) النبي ) بقول d قدما له وأن واإلكرام الجالل ذو ربك وجه ويبقى وقوله وجهه إال هالك شيء كل بقوله

) جهنم ) يعني قدمه فيها وجل عز الرب يضع حتى وسلم عليه الله صلى

“Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan dengan dalil firman-Nya : “Tetapi kedua tangan Allah itu terbuka” (QS. Al-Maaidah : 64). Dia juga memiliki wajah dengan dalil firman Allah : “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali (wajah) Allah” (QS. Al-Qashaash : 88) dan juga firman-Nya : “Dan tetap kekal wajah Rabbmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dia juga mempunyai kaki dengan dalil sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Hingga Rabb (Allah) ‘azza wa jalla meletakkan kaki-Nya padanya…” (HR. Bukhari dan Muslim) yaitu pada neraka” [13]

Page 10: Ibnu Taimiyah Dan

Adapun yang diriwayatkan dari Mujahid, al Dhahak, Abu ubaidah, dan Bukhari tentang firman Allah taala : وجهه إال هالك شيء bahwa al Dhahak dan Abu Ubaidah berkata: artinya kecuali Dia, Maka كلini bukanlah pemalingan makna sama sekali, karena sesuatu terkadang diungkapkan dengan sebagian kriterianya, maka maksud وجهه adalah zatNya yang disifatkan dengan beberapa sifat إالdiantaranya لوجه dan ini jelas karena tidak sama sekali menafikan sifat Allah Taala. Allah mengungkapkan zatNya dengan menyebutkan salah satu sifatnya yaitu wajah Allah taala.

Adapun riwayat dari Imam Bukhari serta Mujahid mengatakan: kecuali apa yang dilakukan untuk menharapkan wajahnya.

Maka hal ini merupakan tafsir yang sesuai dengan syariat dimana segala sesuatu yang dilakukan memang harus diniatkan untuk Allah Subhanahu wataala.

Namun begitu, hal tersebut tidak dimaksudkan untuk menolak penetapan sifat Allah yang memiliki wajah yang sesuai

dengan keagungan dan kebesaran Allah Subahanahu Wataala. Dalam mentafsirkan firman Allah Subahanahu Wataala:

والزيادة الحسنى احسنوا للذين

Al imam Daruquthni meriwayatkan dalam kitab al ru’yah dari al dhahak ia berkata:

Al ziyadah adalah memandang wajah Allah ajja Wajalla[14]

al Lalikâi juga menyandarkan kepada Mujahid dari jalan ibnu abi Hatim bahwasanya ia berkata : والزيادة الحسنى احسنوا ia berkata: Al Husna adalah Syurga dan Al ziyâdah adalah memandang للذين

Rabb.[15]

Imam Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan kandungan bab itu sendiri.

Page 11: Ibnu Taimiyah Dan

Imam al Bukhâri menyatakan dalam kitab Shahihnya:

ه,ه( } و,ج* .ال5 إ iك. ه,ال jي*ء ش, cل) ك ,ع,ال,ى ت 5ه. الل ق,و*ل. ,اب {ب

ه(و, } ق(ل* ,ة( ي اآل* ه,ذ.ه. ل,ت* ,ز, ن ,م5ا ل ق,ال, 5ه. الل *د. ع,ب *ن. ب .ر. اب ج, ع,ن* ع,م*رjو ع,ن* jد* ي ز, *ن( ب ح,م5اد( ,ا ,ن د5ث ح, jع.يد س, *ن( ب ,ة( *ب ,ي ق(ت ,ا ,ن د5ث ح, { و* { , أ ف,ق,ال, .و,ج*ه.ك, ب ع(وذ(

, أ 5م, ل و,س, *ه. ,ي ع,ل 5ه( الل ص,ل5ى cي. 5ب الن ق,ال, (م* ف,و*ق.ك م.ن* dا ع,ذ,اب (م* *ك ,ي ع,ل *ع,ث, ,ب ي ,ن* أ ع,ل,ى *ق,اد.ر( ال } { } cي. 5ب الن ف,ق,ال, ,عdا ي ش. (م* ك .س, *ب ,ل ي و*

, أ ق,ال, .و,ج*ه.ك, ب ع(وذ(, أ 5م, ل و,س, *ه. ,ي ع,ل 5ه( الل ص,ل5ى cي. 5ب الن ف,ق,ال, (م* .ك ل ج( ر*

, أ ,ح*ت. ت م.ن*ر( *س, ,ي أ ه,ذ,ا 5م, ل و,س, *ه. ,ي ع,ل 5ه( الل ص,ل5ى

“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’

Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini : ‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ini lebih ringan’

Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam Bukhârî terhadap makna yang ada pada bab tersebut.ini terungkap dalam sebuah kaedah :

بابه في البخاري فقه

Pemahaman Bukhâri terletak pada babnya, yaitu kesimpulan tentang pendapat beliau mengenai suatu masalah biasanya direpresentasikan dalam bab yang beliau buat. Ketika Imam Bukhârî menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada makna-makna lain.. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Dari sini juga kita bisa melihat bahwa Imam Bukhârî menjadikan hadits tersebut sebagai tafsir dari wajah. Ini menunjukkan bahwa Imam Bukhârî menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.

Page 12: Ibnu Taimiyah Dan

Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam Bukhârî memilih pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan al Tsaurî. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.

Al-Imam al Thobâry menyatakan dalam tafsirnya juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:

… والع,م,ل( الو,ج*ه( *ه. ,ي إل الع.باد. cب ر, م(ح*ص.يه( ل,س*ت( dا *ب ذ,ن الله, ,غ*ف.ر( ت س*, أ

“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…

(Dialah) Rabb hamba-hamba, kepadaNyalah wajah (kehendak) dan amalan

Lafadz الوجه (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan. Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.

Ibnu taimiyah mengatakan : ta’wil dari salaf jika berasal dari sahabat maka hal itu diterima, karena mereka mendengarnya dari Rasul, Jika berasal dari selain mereka dan pengikut mereka (tabiin) dan dijadikan pedoman oleh para Imam maka kita juga menerimanya. Namun kalau ia menyendiri maka kita berpaling darinya sebagaimana kita berpaling dari takwil kholaf.[16]

Kesimpulan

Dari penjelasan diatas dan praktek-praktek yang dilakukan Ibnu Taimiyah dalam banyak tulisannya maka jelaslah bahwa komentar-komentar beliau terkait sifat Allah hanyalah sebatas tafsiran yang berasal dari para pendahulu kaum muslimin dari kalangan salaf dan sahabat. Kalaupun dia menulis

Page 13: Ibnu Taimiyah Dan

dengan kata takwil maka hal tersebut bermakna tafsir yang sangat berbeda dengan pemahaman Mutaakhirin yang memalingkan makna atau bahkan merubah (tahrif).

Tafsir-tafsir tersebut sama sekali tidak menodai akidah terhadap Sifat Allah berupa penetapan sifat sebagai mana datangnya dan sesuai dengan apa yang Allah sifatkan bagi diriNya tanpa tahrif ta’thil dan tamsil. Beliau banyak menjelaskan hal ini dalam kitab-kitabnya, maka ambillah pelajaran.

Wallahu a’lam Bisshowab

Semoga bermanfaat

Saudaramu: dobdob

Maraji:

Al Asyâirah Fî Mizâni Ahli al Sunnah

Mauqif Ibnu Taimiyah Min Asyâirah

Majmu Fatâwa

al Risâlah al Tadmuriyyah

http://www.darussalaf.or.id

http://www.almanhaj.or.id

[1] Mukhtar Sihhâh: unsur-unsur أول

[2] Lisân al arab: unsur-unsur أول

[3] Diawal surat yusuf dijelaskan tentang cerita dimana planet-planet bersujud padanya dan kejadian itu terjadi dimesir ketika beliau menjadi salah seorang pembesar negeri itu. Itulah takwil atau kejadian yang sebenarnya dari mimpi tersebut.

Page 14: Ibnu Taimiyah Dan

[4] Maksudnya isi bacaan Rasulullah ketika ruku dan sujud berisi tasbih dan istighfar sesuai dengan ayat dalam surat al Nashr ayat 3 tersebut

[5] Perkataan seperti ini sering sekali ditemukan dalam tafsir-tafsir semisal al Thabarî dan Ibnu katsir serta lain-lain ketika memulai mentafsirkan sebuah ayat Al qur’an

[6] Inilah yang merupakan ranah kaifiat yang kita jahil tentang hal tersebut kecuali yang telah diberitakan oleh Allah, tidak ada jalan lain kecuali menetapkan sesuai dengan dzohirnya, yakni yang sesuai dengan keagungan dan kebesarannya tanpa takyif, tasybih dan tamsil.

[7] Tafsir Ibnu Jarîr ( 3/182-183). Secara jelas juga bahwa waqaf dalam ayat tersebut memiliki dua riwayat yang keduanya boleh digunakan dan kedua pendapat tersebut memiliki Faidah yang melengkapi bukan bertentangan

[8] Majmu’ Fatâwa 6/394

[9] Dar’u Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, Ibnu Taimiyah, jilid 5/381-383, Tahqiq. Dr Muhammad Rosyad Salim

[10] Seharusnya mereka menyebutnya dengan istilah tashrif (pemalingan) atau tahrif (perubahan) karena kata takwil sejatinya berkonotasi positif dan akrab ditelinga kaum salaf. Mungkin mereka menggunakan istilah takwil demi untuk dianggap baik lalu mereka menyebutkan sesuatu bukan dengan namanya untuk mengaburkan pendengar.

[11] Yaitu qarinah yang mereka klaim sebagai Tanzih (pensucian), namun sejatinya justeru jurang yang menjerumuskan mereka kepada berbicara tentang Allah yang mereka tidak memiliki ilmu tentang hal tersebut. Mereka mengatakan bahwa istiwa bermakna istawla, karena kalau bermakna istiwa maka sesuai pikiran sempit mereka akan membuat Allah sama dengan makhluknya, padahal dengan memaknakan istawla justeru membuat tandingan-tandingan bagi Allah karena dalam bahara arab istawla hanya digunakan untuk Sesutu yang berkuasa setelah mengalahkan sesuatu. Apakah Allah perlu mengalahkan sesuatu untuk menguasai alam semesta padahal ia menciptakan yang tidak ada menjadi ada? Wal iyadzu billah

[12] Salah seorang pemuka Asy’ariyah yang menjadi penyebar mazhab ini setelah sebelumnya redup

Page 15: Ibnu Taimiyah Dan

[13] Thabaqat Al-Hanabilah oleh Al-Qaadliy Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Cet. Tahun. 1419

[14] Al Ru’yah al Dâruqutni 162

[15] Al-lâlikâi 3/454-463

[16] Naqdhut ta’sis (manuskrip/2/20) nukilan dari atsar yang didapat dari para Imam sunnah tentang bab I’tiqad dari kitab siyar a’lami al Nubalâ.

Jawaban Ahlussunnah Terhadap   Argumentasi   Takwil   Para   Pengingkar Sifat ‘Uluw

Oleh: DR. Alimusri Semjan Putra, MA

Para pembaca yang dirahmati Allah! Semoga petunjuk Allah senantiasa tercurah kepada kita semua.

Pada bahsan yang lalu kita telah menjelaskan tentang jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhadap

Syubhat ’Aqliyah )argumen logika( para pengingkar sifat ’Uluw. Sebagai kelanjutan dari pembahasan

tersebut, bagaimana pula jawaban dan bantahan Ahlussunnah terhada Syubhat Naqliyah )argumen

takwil( para pengingkar sifat ‘uluw terhadap ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut

bagi Allah?

Ada dua cara yang dilakukan oleh para pengingkar sifat ‘Uluw terhadap nash-nash yang menetapkan

sifat ‘Uluw bagi Allah:

Cara Pertama: Mereka mencoba menolak dalil-dalil yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah dengan

caramentafwidh )menyerahkan maknanya kepada Allah( dan mengingkari makna yang terkandung

lafaz secara zohir. Sebahagian mereka menisbahkan cara ini kepada para ulama salaf. Mereka tidak

bisa membedakan antar tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf dengan tafwidh yang pahami oleh

Ahlul kalam. Tafwidh yang dipahami oleh ulama salaf adalah dalam masalah kaifiyah )bentuk

/hakikat( tentang sifat tersebut bukan makna dari sifat. Adapun tafwidh yang pahami oleh Ahlul kalam

adalah tafwidh terhadap makna sifat.

Tentang kebatilan manhaj Tafwidh yang dipahami oleh Ahlul kalam sudah pernah kita jelaskan dalam

pembahasan tentang kaedah-kaedah dalam memahami nash-nash sifat. Secara ringkas dapat kita

sebutkan kembali di sini sisi-sisi kebatilan mahaj Ahlul Tafwidh;

1. Mereka telah menutup jalan yang paling utama untuk mengenal Allah, yaitu melalui nama dan sifat-

sifat-Nya yang mulia. Karena menurut Ahlu Tafwidh nash-nash sifat tersebut tidak bisa dipahami

dan tidak dimengerti makna dan maksudnya.

2. Menurut mereka Al Qur’an tidak dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk mengenal Allah, karena

menurut mereka ayat-ayat sifat tersebut adalah lafaz-lafaz yang tidak diketahui maknanya.

3. Mereka telah menuduh -tanpa mereka sadari- bahwa Nabi r dan para sahabat y dalam membaca

ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah mereka tidak memahaminya dan tidak mengetahui

maknanya. Ini adalah prasangka yang amat buruk kepada Nabi r dan para sahabat mulia y.

Cara Kedua: Mereka mentakwil ayat dan hadits-hadits yang menetapkan sifat tersebut.

Page 16: Ibnu Taimiyah Dan

Namun bila kita cermati sesungguhnya takwil-takwil yang mereka sebutkan sangat bertolak belakang

dengan maksud dari nash-nash tersebut, bahkan terkesan mereka telah mempermainkan ayat-ayat

Allah atau hadits-hadits Rasulullah r. Sebelum kita masuk kepada topik pembahasan takwil para Ahli

kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw, ada baiknya terlebih dahulu kita kemukakan penjelasan para ulama

tentang pengertian takwil secara ringkas.

Takwil dalam penjelasan para ulama memiliki tiga pengertian[1]:

Pertama takwil bermakna: tafsir, pengertian takwil dengan makna ini sangat masyhur dikalangan

ulama salaf dan sangat banyak terdapat dalam ungkapan para ulama ahli tafsir yang terdahulul

)mutaqaddimin(.

Seperti yang terdapat dalam do’a Nabi r untuk sahabat yang mulia Ibnu ‘Abbas t:

” التأويل“ وعلمه الدين، في فقهه اللهم

“Ya Allah! Pahamkanlah ia tentang agama dan ajarkan kepadanya takwil (tafsir)” [2]

Demikian pula ungkapan Imam Thobary -yang digelari sebagai imam mufassirin- berulang kali

menggunakan kata takwil untuk makna tafsir dalam kitab tafsir beliau yang monumental “Jaami’ul

Bayaan“:      ““ تعالى قوله تأويل في القول

“Penjelasan tentang takwil )tafsir( firman Allah Ta’alaa“.

Kedua takwil bermakna: hakikat tentang sesuatu perkara/kejadian, sebagaimana hakikat dari mimpi

nabi Yusuf u, ketika beliau melihat sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud kepadanya. Lalu

mimpi tersebut terbukti setelah beberapa waktu kemudian, sebagaimana dinyatakan dalam firman

Allah:

/ ] } يوسف} ح,قmا Lي ب ر, ,ه,ا ج,ع,ل ق,د* *ل( ق,ب م.ن* ,اي, ؤ*ي ر( و.يل(* ,أ ت ه,ذ,ا ,ت. ,ب أ ,ا ي و,ق,ال, ج5دdا س( ,ه( ل وا cو,خ,ر *ع,ر*ش. ال ع,ل,ى *ه. ,و,ي ب

, أ ف,ع, ]100و,ر,

“Dan ia menaikkan kedua ibu-bapanya ke atas singgasana. Dan mereka (semuanya) menundukkan

diri seraya bersujud kepada Yusuf. Dan berkatalah Yusuf: “Wahai ayahku inilah takwil mimpiku yang

dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan”.

Makna yang kedua ini juga makna yang sering dipergunakan oleh para ulama salaf dalam ungkapan

mereka.

Ketiga takwil bermakna: memalingkan lafaz dari maknanya yang zohir kepada makna lain karena

adanya qorinah (dalil) yang membolehkannya. Takwil dengan pengertian ini hanya dikenal dikalangan

para ulama yang zaman terakhir )muta-akhirin( secara khusus lebih banyak dipergunakan oleh para

ulama ahli ushul fiqh. Para ulama yang memakai takwil untuk makna ini menetukan syarat-syarat

yang harus terpenuhi untuk melakukan takwil terhadap sebuah nash/dalil.

Diantara syarat-syarat tersebut adalah:

1. Penentuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus ada qorinah/dalil lain yang

mendukungnya, baik dalil syar’i atau dalil lughawi )bahasa(.

Maka seseorang tidak boleh mentakwil hanya sekedar berdasarkan kepada logikanya

semata, dan mengabaikan dalil-daliil yang lain, karena hal tersebut akan menimbulkan

kontradiksi /kerancuan dalam memahami nash-nash agama.

2. Penetuan makna dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat harus memperhatikan gramatika

bahasa Arab serta memperhatikan susunan rangkaian kata-kata dari sebuah lafaz dan kalimat.

Dalam bahasa Arab sebuah kata bisa memiliki bebrapa makna, seperti kata ‘Ainun bisa

berarti mata yang dapat melihat, dan bisa berarti mata air, atau berarti jasus )intel( dan bisa

juga berarti bagian dari sesuatu untuk diteliti di labor. Yang dapat menetukan makna yang

sebenarnya adalah tergantung dari gramatika dan susunan rangkaian kata yang terdapat

dalam sebuah ungkapan.

3. Makna yang menjadi pilihan dalam mentakwilkan sebuah lafaz/kalimat haruslah diantara makna-

makna yang tercakup dan terkandung dalam lafaz/kalimat tersebut dalam bahasa Arab.

Page 17: Ibnu Taimiyah Dan

Maka tidak boleh mentakwilkan sebuah lafaz dengan kata yang tidak tercakup dalam makna

lafaz tersebut. Seperti takwilan orang-orang bathiniyah terhadap lafaz puasa dengan

makna menjaga rahasia guru-guru mereka.

4. Tidak terdapat dalil lain yang menolak lebih kuat terhadap makna yang ditakwilkan tersebut, baik

dalil syar’i maupun dalil lughawi )garamatika bahas Arab(.

Seperti mentakwilkan kata tangan dengan qudrat dalam firman Allah berikut ini:

/ ] } ص} ,د,ي5 .ي ب ,ق*ت( خ,ل .م,ا ل ج(د, ,س* ت ,ن* أ ,ع,ك, م,ن م,ا *ل.يس( .ب إ ,ا ي ]75ق,ال,

“Allah berfirman: “Hai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-

ciptakan dengan kedua tangan-Ku?.

Seandainya kata tangan ditakwil dengan qutrat, berarti qudrat Allah ada dua! karena kata

tangan dalam ayat di atas dikaitkan dengan bilangan dua. Kemudian

jika tangan diartikan qutrat berarti tidak ada keistimewaan Adam dari Iblis karena Iblis juga

diciptakan dengan qudrat Allah.

Jika salah satu syarat yang kita sebutkan di atas tidak terpenuhi maka takwil tersebut dinilai

sebagaitakwil fasid )cacat(. Takwil dalam pengertian terakhir ini yang selalu menjadi perdebatan

kalangan para ulama. Karena takwil dalam pengertian ini bisa benar atau bisa salah, dan bahkan bisa

menimbulkan kesesatan dalam agama. Konsep takwil seperti ini sering dipergunakan oleh para

pengingkar sifat-sifat Allah dalam argumentasi mereka, sebagaimana yang akan kita jelaskan pada

berikutnya nanti. Alat untuk mengukur dan memastikan kebenaran takwil tersebut adalah dengan

merujuk kepada pemahaman para ulama salaf dalam memahami nash /dalil.

Takwil-takwil Ahlul kalam terhadap dalil-dalil ‘Uluw

Pada berikut ini kita kemukakan beberapa takwil yang digunakan Ahlul kalam dalam mengingkari

sifat-sifat Allah subhaanahu wata’alaa  yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, secara khusus

sifat ‘Uluw.

Pertama: Mentakwil nash-nas yang menunjukkan tentang sifat ‘Uluw dan Fauqiyyah (Allah di

atas seluruh zat makhluk) dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan (rutbah dan qohhar).

Mereka mencontohkannya dalam ungkapan seseorang: “emas lebih tinggi dari perak”, “ketua lebih

tinggi dari wakilnya”. Ketinggian yang dimaksud dalam ungkapan tersebut adalah ketinggian nilai dan

kekuasaan, bukan ketinggian zat masing-masing di atas yang lainnya. Demikian analogi yang mereka

pakai dalam mentakwil nash-nash yang menetapkan sifat ‘Uluw bagi Allah subhaanahu wata’alaa.

Sebagai contoh firman Allah:    } م,اء الس5 ف.ي م,ن* (م* *ت م.ن, ,أ ] }أ 16الملك/ ]

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit”

Maka menurut pemahaman Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari

langit atau Allah lebih berkuasa dari langit. Bukan berarti Allah berada di atas langit.

Contoh lain firman Allah:    } ف,و*ق.ه.م* م.ن* 5ه(م* ب ر, ,خ,اف(ون, ] }ي 50النحل/ ]

“Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka“

Menurut Ahlu Takwil maksud firman Allah tersebut ialah: Allah lebih mulia dari mereka atau Allah

lebih berkuasa dari mereka. Bukan berarti Allah berada di atas mereka.

Maka mereka tidak mengimani bahwa Zat Allah Maha Tinggi di atas seluruh makhluk-Nya, akan

tetapi mereka hanya membatasi keimanan pada bahwa Allah Maha Kuasa dan Maha Mulia di atas

seluruh makhlukn-Nya.

Adapun Ahlussunnah mengimani seluruh bagian dari makna ‘uluw secara mutlak bagi Allah, baik dari

segi zat maupun sifat-sifat-Nya termasuk sifat Maha Kuasa dan sifat Maha Mulia.

Jawaban Ahlussunnah:

Jika kita cermati takwil mereka terhadap sifat ‘Uluw dengan makna ketinggian nilai dan kekuasan

seperti dalam dua ayat di atas memiliki kesalahan dari beberapa sisi:

Page 18: Ibnu Taimiyah Dan

1. Mentakwil nash-nas ‘Uluw dengan makna Maha Mulia dan Maha Kuasa tidak sesuai dengan

gramatika yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut. Karena ayat-ayat tersebut tidak berbicara

tentang konteks perbandingan kelebihan Allah di atas makhluk-Nya dalam segi kekuasan dan

kemulian. karena tidak ada sedikitpun kedekatan antara Allah dan makhluk dalam hal tersebut! Hal

tersebut sama dengan ungkapan seseorang: “permata lebih tinggi nilainya dari kulit bawang” atau

“pedang lebih tajam dari pada tongkat”. Bila ada seseorang yang berkata demikian sungguh semua

orang akan ketawa mendengarkannya. Karena hal tiu tidak perlu dibandingkan sebab begitu jauh

perbedaan anatar keduanya. Ungkapan tersebut adalah sesuatu yang sia-sia, apalagi perbandingan

kemulian dan kekuasaan Allah dengan kemulian dan kekuasaan makhluk! Sesungguhnya Allah

Maha Suci dari segala perkataan yang sia-sia.

2. Allah tidak pernah dalam memuji diri-Nya baik dalam Al Qur’an maupun melalui sabda Rasul r,

bahwasanya Dia )Allah( lebih mulia dari ‘Arasy, atau lebih baik dari langit. Akan tetapi perbandingan

yang sering disebutkan dalam Al Qur’an tentang sesembahan dari selain Allah manakah yang lebih

baik dari Allah? Seperti dalam firman Allah:

*ق,ه5ار(} ) ال *و,اح.د( ال 5ه( الل . م, أ iر* ي خ, ق(ون, Lف,ر, م(ت iاب, ب ر*

, ,أ ل,( 39أ *ز, ,ن أ م,ا (م* ,اؤ(ك ,ب و,آ (م* *ت ن, أ (م(وه,ا *ت م5ي س, dم,اء س*

, أ .ال5 إ .ه. د(ون م.ن* (د(ون, ,ع*ب ت م,ا

} ,م(ون, ,ع*ل ي ال, 5اس. الن ,ر, *ث ك, أ ,ك.ن5 و,ل Lم( *ق,ي ال الدLين( ذ,ل.ك, 5اه( .ي إ .ال5 إ (د(وا ,ع*ب ت ال5

, أ م,ر,, أ 5ه. .ل ل .ال5 إ *م( *ح(ك ال .ن. إ jل*ط,ان س( م.ن* .ه,ا ب 5ه( الل

/ ]40، 39يوسف[

“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi

Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-

nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu

keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah

memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi

kebanyakan manusia tidak mengetahui.”

3. Nash-nash yang menyatakan tentang sifat ‘Uluw )keMahatinggian Zat Allah( di atas seluruh

makhluk-Nya diungkapkan dalam berbagai redaksi dan sinonim yang menafikan takwil terhadap

sifat tersebut.

Sebagai contoh firman Allah:

/ فاطر} [ ف,ع(ه{( ,ر* ي .ح( الص5ال *ع,م,ل( و,ال Lب( الط5ي ,ل.م( *ك ال ,ص*ع,د( ي *ه. ,ي .ل إ ج,م.يعdا ة( *ع.ز5 ال 5ه. .ل ف,ل ة, *ع.ز5 ال (ر.يد( ي ,ان, ك ]10م,ن*

“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu

semuanya. Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh Ia angkat

kepada-Nya“.

Dan firman Allah:    } *ه ,ي .ل إ 5ه( الل ف,ع,ه( ر, ,ل* ] }ب 158النساء/ ]

“Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya“.

Kata-kata; naik dan diangkat dalam dua ayat tersebut sangat jelas lafaz yang menunjukan posisi

dari bawah ke atas dan tidak mungkin ditakwil lagi dengan ketinggian nilai dan kekuasaan atau

makna-makna lain yang mau dicari oleh Ahlu Takwil.

Kedua: Mereka mentakwil lafaz Istawaa )استوى( yang terdapat dalam Al Qur’an dengan

makanaIstawlaa  )استولى(.

Dianatara dalil yang menyatakan bahwa Allah bersifat ‘Uluw adalah ayat-ayat yang menyatakan

bahwa Allah beristiwaa di atas ‘Arasy. Sebagaimana telah kita jelaskan permasalahan ini dalam

pembahasan tentang dalil-dalil ‘Uluw dari ayat-ayat Al Qur’an. Namun orang-orang Ahlul kalam

berusaha menolak makna Istiwaa dengan cara mentakwilnyat dengan makna istilaa )berkuasa(.

Jawaban Ahlussunnah:

1. Garamatika penggunaan lafaz istiwaa dalam bahasa Arab ada dua bentuk:

1. Mutlak yaitu penggunaannya tidak dihubungkan dengan huruf bantu .

2. Muqayyad yaitu penggunaannya dihubungkan dengan huruf bantu .

Page 19: Ibnu Taimiyah Dan

Ketika lafaz istiwaa dalam gramatika Mutlak berbeda maknanya ketika berrada dalam

gramatikaMuqayyad, begitu pula dalam garamatika Muqayyad dengan huruf tertentu maka

maknanya bisa sama atau bebrbeda bila saat Muqayyad dengan huruf yang lain.

Bila lafaz istiwaa berada dalam gramatika Mutlak maka ia bermakna: sempurna atau matang )

وتم: (   :seperti diungkapkan dalam bahasa Arab . )كمل الطعام واستوى النبات، :atinya )استوى

tanaman itu telah tumbuh sempurna dan makanan itu telah matang.

Adapun lafaz istiwaa yang Muqayyat dengan huruf, ia berada dalam tiga gramatika:

1. Digabung dengan huruf banru Ilaa )إلى( seperti dalam ungkapan berikut:   إلى فالن استوى artinya: Sipulan naik ke atas loteng”. Untuk gramatika ini terdapat dalam Al Qur’an dalam السطح

dua ayat:

Pertama dalam firman Allah:

/ ] } البقرة} jم,و,ات س, *ع, ب س, و5اه(ن5 ف,س, م,اء. الس5 .ل,ى إ ,و,ى ت اس* (م5 ث ج,م.يعdا ر*ض., األ* ف.ي م,ا (م* ,ك ل خ,ل,ق, 5ذ.ي ال ]29ه(و,

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak

(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit”.

Kedua dalam firman Allah:    } iد(خ,ان و,ه.ي, م,اء. الس5 .ل,ى إ ,و,ى ت اس* (م5 ] }ث 11فصلت/ ]

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap“.

Dalam konteks ini istawaa mennjukkan dua Makna:  قصد )bermaksud( dan makna  عال

tinggi/ di atas( untuk menetukkan makna yang tepat dari dua makna tersebut dilihat( وارتفع

dari sisi gramatikanya, sebagaimana dalam contoh di atas.

b. Digabung dengan huruf bantu ‘Alaa )على( sebagaimana dalam beberpa ayat berikut:

Pertama dalam firman Allah:         } Lج(ود.ي* ال ع,ل,ى ,و,ت* ت ] }و,اس* 44هود/ ]

“Dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi“

Kedua firman Allah:                          } ظ(ه(ور.ه. ع,ل,ى ,و(وا ت ,س* .ت ] }ل 13الزخرف/ ]

“Supaya kamu duduk di atas punggungnya“.

Ketiga firman Allah:                             } وق.ه. س( ع,ل,ى ,و,ى ت ] }ف,اس* 29الفتح/ ]

“Tegak lurus di atas rumpunnya”.

Dalam konteks ini dalam semua nash istawaa menunjukkan makna  وارتفع )tinggi/ di atas( عال

dan tidak bisa tawil dengan makna dari selain itu. Dalam sifat Istiwaa Allah terdapat tujuh

ayat[3] yang muqayyad dengan huruf ‘Alaa )على( sebagaimana telah jelaskan ketika

membahas dalil-dalil‘Uluw dalam Al Qur’an.

Bila kita cermati semua nash yang menunjukkan tentang Istiwaa Allah hanya berada dalam

hal yaitu: muqayyad dengan huru  Ilaa )إلى( atau huruf  ‘Alaa )على( saja.

c. Digabung dengan huruf penghubung Waaw  )واو( yang menunjukkan akan makna maf’ul ma’ah

)kesamaan /sebanding( seperti ungkapan seseorang:   ) والخشبة الماء artinya air dan kayu  )استوى

sejajar.

Jika kita cermati lafaz Istawaa )استوى( dalam dari berbagai gramatika bahasa Arab tidak ada

satupun yang bermakna Istawlaa )استولى( dan tidak ada satupun dari ulama pakar bahasa

arab yang terpercaya menyebutkannya.

Seorang ulama pakar bahasa Arab yaitu Khalil bin Ahmad pernah ditanya: apakah engkau

pernah menemukan dalam bahasa Arab Istawaa )استوى( dengan makna Istawlaa )استولى(?

Beliau menjawab: “ini adalah sesuatu yang tidak pernah dikenal orang Arab dan tidak pernah

digunakan dalam bahasa mereka”[4].

2. Istawaa )استوى( dan Istawlaa )استولى( adalah dua kata yang berbrbeda dari sisi lafaz dan makna.

Karena tidak penah ditemukan penggunaan Istawlaa )استولى( dalam Al Qur’an dan sunnah maupun

dalam bahasa Arab untuk menunjukkan makna Istawaa )استوى(, ini membuktikan bahwa

lafaz Istawaa )استوى( tidak boleh ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى(,  kalau hal tesebut

diperbolehkan tentu akan terdapat penggunaan kedua lafaz tersebut saling bergantian.

Page 20: Ibnu Taimiyah Dan

Andaikan lafaz Istawlaa )استولى( disebutkan dalam Al Qu’an, namun bila dibandingkan

lafaz Istawaa)استوى( jumlahnya lebih banyak disebutkan umpamanya, tentu yang seharusnya

dilakukan adalah menggunakan makna Istawaa )استوى( untuk lafaz Istawlaa )استولى(, bukan

sebaliknya! Apalagi kenyataanya justru lafaz Istawlaa )استولى( tidak pernah penah disebut dalam

Al Qur’an, lalu dari mana bisa kita bisa menjadikan makna Istawlaa )استولى( sebagai takwil bagi

lafaz Istawaa )استوى(?

3. Bila Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( hal tersebut akan melazimkan

kerancuan dalam makna dan dalam pemahaman kaum muslimin. Hal tersebut ditinjau dari

beberapa segi:

1. Tatanan gramatika bahasa Arab, kalimat Istawaa )استوى( didahului oleh kata penghubung Tsumma)

.)tartib( yang menunjukkan runtutan kejadian /peristiwa )ثم

Sebagaimana dalam firman Allah:

/ ] } السجدة} *ع,ر*ش. ال ع,ل,ى ,و,ى ت اس* (م5 ث j 5ام ي, أ 5ة. ت س. ف.ي ,ه(م,ا *ن ,ي ب و,م,ا ر*ض,

, و,األ* م,او,ات. الس5 خ,ل,ق, 5ذ.ي ال 5ه( ]4الل

“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam

enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy“.

Bila lafaz Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( berarti ‘Arsy

sebelumn pencitaan langit dan bumi berada di luar kekuasaan Allah. Lalu ‘Arasy tersebut di

bawah kekuasaan siapa sebelumnya? Karena arti dari makna Istawlaa )استولى(

itu menguasai  jauh beda dengan makna Istawaa )استوى(.

b. Bila Bila lafaz Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( berarti ada yang

berusaha menguasai ‘Arasy dari selain Allah! karena penggunaan lafza Istawlaa )استولى( dalam

bahsa Arab adalah untuk menunjukkan dua pihak yang saling berebut menguasai sesuatu, bila

salah satu di anatara keduanya dapat mengalahkan yang lainnya maka ia disebut menguasanya )

استولى عليه (. Apakah ada yang berusaha merebut ‘Arasy dari kekuasaan Allah sebelumnya? Bila

ada di anatara manusia yang berasumsi demikian sesunggunya ia telah jatuh kedalam kesesatan

yang nyata.

4. Jika lafaz Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( yang artinya menguasai.

Melazimkan para Ahlu Takwil memilih salah satu dari dua pilihan yang kedua-duanya bagaikan

memakan buah simalakama:

1. Berarti boleh dikatakan oleh seseorang bahwa Allah Istiwaa )استواء( di atas gunung, di atas pohon,

dan di atas semua makhluk yang ada di muka bumi. Karena kekuasaan tidak terbatas atas ‘Arasy

saja. Lalu apa artinya Allah mengkhusus ‘Arasy dengan sifat istiwaa )استواء( dalam setiap ayat

dalam Al Qu’an!?

2. Atau Allah hanya mengusai ‘Arasy saja setelah menciptakan langit dan bumi, karena Allah

mengkhusus ‘Arasy dengan sifat istiwaa )استواء( dalam setiap ayat dalam Al Qu’an!? Lalu siapa

yang menguasai langit dan bumi kalau bukan Allah!?

Kesimpulanya lafaz Istawaa )استوى( tidak bisa ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى(

karena kedua saling berbeda dilalahnya menurut syara’ dan lughah.

5. Jika lafaz Istawaa )استوى( ditakwilkan dengan makna Istawlaa )استولى( ini adalah tahrif 

)penyelewengan( terhadap kalam Allah. Seperti perbuatan orang-orang Bani Irail ketika

diperintahkan Allah untuk mengucapkan Hiththoh )ampunan( mereka menukar ucapan tersebut

dengan kata Hinthoh )gandum(.

Sebagaimana diceritakan dalam firman Allah:

.ين,} ) ن *م(ح*س. ال ,ز.يد( ن و,س, (م* ,اك خ,ط,اي (م* ,ك ل ,غ*ف.ر* ن iح.ط5ة (وا /58و,ق(ول ] } البقرة( ,ه(م* ل ق.يل, 5ذ.ي ال *ر, غ,ي dق,و*ال ,م(وا ظ,ل 5ذ.ين, ال ,د5ل, ،58ف,ب

59[

Page 21: Ibnu Taimiyah Dan

“Dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu,

dan kelak Kami akan menambah (kebaikan) kepada orang-orang yang berbuat baik. Lalu orang-

orang yang zalim mengganti ucapan yang tidak dikatakan kepada mereka“.

Maka orang yang suka metakwil kalam Allah adalah telah meniru kebiasaan orang-orang Bani

Israil yang telah merubah-rubah kalam Allah yang diturunkan kepada mereka. Oleh sebab itu

ulama kita mengatakan Laam  )ل( yang ditambahkan oleh Ahlu Kalam terhadap lafaz )استوى(

sehinggga menjadi )استولى( sama dengan perbuatan orang Bani Israil yang menambah Nuun )ن(

terhadap kalimat )حط:ة( sehingga menjadi )حنطة(.

6. Alasan utma orang Ahlul kalam mentakwil lafaz Istawaa )استوى( dengan makna Istawlaa )استولى(

adalah takut terjatuh kedalam aqidah Tasybih )menyerupakan Allah dengan makhluk(. Akan tetapi

dalam kenyataannya justru mereka terjatuh pada lubang yang mereka gali sendiri, karena makhluk

juga memilki sifat Istawlaa )استولى(. Jika mereka menetapkan sifat Istawlaa )استولى( bagi Allah

berarti mereka juga menyerupakan Allah dengan makhluk. Bahkan lebih keliru lagi ketika mereka

mentakwil sifat Allah dengan makna yang tidak pantas dinisbahkan kepada Allah. Karena  Istawlaa )

maknanya menyadingkan Allah dengan makhluk dalam berebut menguasai ‘Arasy. Oleh )استولى

sebab itu Allah tidak pernah menisbahkan sifat tersebut kepada diri-Nya dalam Al Qu;an, demikian

pula Rasulullah r dalam sabdanya.

Di sini mereka harus mengakui kebenaran pandangan Ahlussunnah tentang sifat Istiwaa’ )استواء(:

bahwa Allah beristiwaa di ‘Arasy sesuai dengan kebesaran dan keagungan-Nya, tidak sama

seperti beristiwaa’nya makhluk.

7. Takwil yang dilakukan oleh Ahlul kalam terhadap ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw adalah takwil yang

cacat hukum karena tidak memenuhi syarat-syarat dan kriteria yang ditetukan oleh para ulama

sebagaimana yang kita sebutkan di awal bahasan ini. Bahkan Tidak ditemukan seorang pun dari

para sahabat dan para ulama salaf dikalangan umat ini yang mentakwil ayat-ayat tentang sifat ‘Uluw

bagi Allah. Kecuali mereka yang terpengaruh dengan aqidah filsafat Yunani.

8. Sebagai pemungkas untuk orang-orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam Abu hasan Asy’ari.

Di sini kami sebutkan bantahan beliau terhadap orang yang mentakwil lafaz )استوى( dengan makna

,dalam kitab munumental beliau “Al Ibaanah“[5]: “Sesungguhnya orang-orang Mu’tazilah )استولى(

Jahmiyah dan Haruriyah berpendapat bahwa firman Allah:  } ,و,ى ت اس* *ع,ر*ش. ال ع,ل,ى ح*م,ن( ] }الر5 5طه/ ]

“Tuhan Yang Maha Pemurah beristiwaa’ di atas ‘Arsy“.

Menurut mereka makna  )استوى( adalah menguasai  ) وقهر استولى وملك ( dan zat Allah berada

disetiap tempat. Mereka mengikari bahwa Allah berada di atas ‘Arasy sebagaimana yang diyakini

oleh Ahlul Haq, mereka mengartikan Istiwaa’ dengan Qudrah.

Kalau benar apa yang mereka sebutkan tentu tidak ada perbedaanya antara ‘Arasy dengan bumi

yang dilapisan ketujuh! Karena segala sesuatu berada di bawah kekuasan Allah. Bumi, tempat

buang kotoran dan segala yang di dalam alam ini adalah di bawah kekuasaan Allah.

Jika istiwaa’ Allah di atas ‘Arasy diartikan istilaa’  tentu Allah itu beristiwaa’ di atas segala

sesuatu?! berarti Allah beristiwaa’ di atas ‘Arasy, bumi, langit, tempat buang hajat dan di atas

segala tempat yang kotor?! Karena Zat Yang kuasa atas segala sesuatu  berarti Ia telah

memilikinya ) عليه Sekalipun Allah menguasai segala sesuatu, namun tidak ada .)مستول

seorangpun dari kalangan kaum muslimin yang membolehkan ungkapan: Allah beristiwaa’ di

atas  tempat buang hajat dan kotoran…”.

“Asumsi orang-orang Mu’tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah bahwa zat Allah berada disetiap

tempat, melazimkan Allah berada dalam perut Maryam, tempat buang kotoran dan tempat buang

hajat, hal ini adalah bertentangan dengan agama”. Hal ini juga melazimkan Allah berada diantara

diantara langit dan bumi, dianatara dua langit dan dianatara dua lapis bumi, ini senua merupakan

kemustahilan dan saling bertentangan”.

Page 22: Ibnu Taimiyah Dan

Demikian bantahan Imam Abu Hasan Asy’ary secara ringkas. Semoga orang-

orang Asyaa’irah yang mengaku sebagai pengikut beliau mau menerima keyakinan imam mereka

dan meninggalkan keyakinan orang-orang Mu’Tazilah, Haruriyah dan Jahmiyah.

Wallahu A’lam wa Ahkam

 

[1]  Penjelasan lebih luas tentang hal ini dapat dilihat dalam kitab “Jinayah at Takwil al Faasid”

karangan Dr. Muhammad Ahmad Luh, MA. Dan kita-kitab ‘Ulumuttafsir.

[2]  H.R. Imam Ahmad no )2397(, dan dishohihkan oleh Syeikh Al Bany dalam “silsilah shohihah” no

)2589(.

[3]   Lihat: Q.S. Al A’raaf: )54(, Yunus: )3(, Thohaa: )5(, Ar Ra’d: )2(, Al Furqon: )59(, As Sajdah: )4(,

Fushshilat: )11(.

[4]   Lihat: Aqoowiil Ats Tsiqqoot karangan Al karmy, hal: 124.

[5]   Lihat: ‘Al Ibaanah”, hal: 98-99.