Penyimpangan Pers

7
Latar Belakang Dinamisme arus Informasi atau pemberitaan media massa di Indonesia dalam beberapa tahun belakang ini Pasca Reformasi nampaknya sekarang semakin terkesan “Bebas” atau boleh lebih dikatakan “vulgar” lantas kenapa hal tersebut bisa terjadi tentu ada persoalan yang melatar belakangi hal tersebut sehingga menjadi ketengah sorotan pubik atau khalayak. Media massa dalam pemberitaan cenderung bisa menggiring publik atau Individu untuk melakukan aktivitas yang melanggar hukum dalam arti sebagai inspirasi dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas hampir bisa dipastikan meniru praktik kejahatan melalui media massa indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus kriminalitas. Pada tahun-tahun sekarang. Mengutip pernyataan pakar kriminolog Universitas Indonesia Erlangga Masdiana dalam sebuah media cetak yang penulis baca bahwa media menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal,1 dan memang hal ini menaruh hemat penulis sejalan dengan fakta-fakta atau Indikasi yang beralasan (reasonable) ketika kita melihat begitu banyak kasus-kasus pembunuhan disertai mutilasi yang belakangan muncul berkali-kali yang bisa dibahasakan secara kriminologi adalah perbuatan sadis (sadism). Menurut data riset kompas bahwa 2008 sejak Januari – November terjadi 13 pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia. Nah angka inilah yang cukup fantastis untuk periode tahunan sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. sementara itu pada tahun 2007 hanya terjadi tujuh peristiwa mutilasi2 sedangkan untuk 2009 sejauh ini terdapat hanya satu kasus sejauh yang penulis ketahui. Untuk televisi hampir semua lapisan bisa menyaksikan baik itu masyarakat di level atas (kaya), dan menengah sementara begitu juga surat kabar atau tabloid bisa dibaca banyak orang. Dan bisa dipastikan dapat berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang secara kriminologis asumsinya adalah gejala terhadap kejahatan dalam membuat sebagai inspirasi atas orang untuk meniru perbuatan jahat seperti ditayangkan oleh media dalam hal ini tayangan atau berita kriminalitas tersebut.

description

pkn

Transcript of Penyimpangan Pers

Latar Belakang Dinamisme arus Informasi atau pemberitaan media massa di Indonesia dalam beberapa tahun belakang ini Pasca Reformasi nampaknya sekarang semakin terkesan Bebas atau boleh lebih dikatakan vulgar lantas kenapa hal tersebut bisa terjadi tentu ada persoalan yang melatar belakangi hal tersebut sehingga menjadi ketengah sorotan pubik atau khalayak. Media massa dalam pemberitaan cenderung bisa menggiring publik atau Individu untuk melakukan aktivitas yang melanggar hukum dalam arti sebagai inspirasi dalam melakukan kejahatan. Pelaku kriminalitas hampir bisa dipastikan meniru praktik kejahatan melalui media massa indikasinya adalah munculnya gejala kemiripan kasus kriminalitas. Pada tahun-tahun sekarang. Mengutip pernyataan pakar kriminolog Universitas Indonesia Erlangga Masdiana dalam sebuah media cetak yang penulis baca bahwa media menjadi alat pembelajaran bagi pelaku dalam mengemas perbuatan kriminal,1 dan memang hal ini menaruh hemat penulis sejalan dengan fakta-fakta atau Indikasi yang beralasan (reasonable) ketika kita melihat begitu banyak kasus-kasus pembunuhan disertai mutilasi yang belakangan muncul berkali-kali yang bisa dibahasakan secara kriminologi adalah perbuatan sadis (sadism). Menurut data riset kompas bahwa 2008 sejak Januari November terjadi 13 pembunuhan dengan mutilasi di Indonesia. Nah angka inilah yang cukup fantastis untuk periode tahunan sejak kasus mutilasi muncul tahun 1967. sementara itu pada tahun 2007 hanya terjadi tujuh peristiwa mutilasi2 sedangkan untuk 2009 sejauh ini terdapat hanya satu kasus sejauh yang penulis ketahui.Untuk televisi hampir semua lapisan bisa menyaksikan baik itu masyarakat di level atas (kaya), dan menengah sementara begitu juga surat kabar atau tabloid bisa dibaca banyak orang. Dan bisa dipastikan dapat berpengaruh terhadap perilaku menyimpang yang secara kriminologis asumsinya adalah gejala terhadap kejahatan dalam membuat sebagai inspirasi atas orang untuk meniru perbuatan jahat seperti ditayangkan oleh media dalam hal ini tayangan atau berita kriminalitas tersebut. Oleh karenanya berdasarkan argumentasi dan persoalan di atas maka dalam memenuhi tugas kriminologi kali ini penulis mengangkat makalah dengan tema : Pemberitaan media dan kejahatan dalam ranah kriminologi.

Pembahasan

Maraknya pembunuhan sadis dengan mutilasi, dan yang paling menarik adalah biasanya sering terlihat dalam kejahatan Asasila seperti pornografi dan perkosaan. Media sebagai potensi pemicu timbulnya kejahatan di masyarakat. Realitas kriminalitas cenderung meningkat selama beberapa periode ini terutama pada tahun lalu yakni 2008 dan kritik pedas pun di lontarkan kepada media dalam hal ini media massa (mass media) terutama mengenai masalah sajian tentang kekerasan dalam hal ini adalah berita berpengaruh pada publik dan juga kepada anak-anak. Jika pada anak-anak efeknya bisa langsung, pada orang dewasa efeknya tertunda. Tayangan kriminalitas yang umumnya sebagian televisi swasta menayangkan vulgar memang berpotensi besar di initasi oleh orang dewasa saat diberada dalam kondisi yang sama.

Maraknya kasus pembunuhan disertai mutilasi pada tahun2008 boleh dikatakan sebagai fakta bahwa indikasi terjadinya proses peniruan melalui tayangan-tayangan dimedia massa, menurut Erlangga proses peniruan publik tersebut merujuk pada teori sosiolog asal Prancis, Gabriel Tarde, yang menyebut perilaku dalam masyarakat akan selalu saling tiru, tak terkecuali dalam hal perilaku kriminalitas. Artinya dalam proses peniruan itulah media massa bisa dikatakan sebagai fasilitator. Realitas nyata saja bisa terlihat melalui media televisi dimana televisi semakin bersaing dalam menayangkan informasi yang bertopik informasi kriminal tentu kecenderungan ini adalah kaitannya dengan faktor ekonomis persaingan media dalam hal penyuguhan content atau isi siaran terhadap khalayak atau penonton ada pepatah menarik dikalangan pengusaha media yakni siapa yang lebih berani dia yang menang tentunya makna pepatah ini memang terlihat logis namun tentu sangat berdampak manakala asumsi berani dalam pepatah tersebut tidak mengedepankan aturan atau etika dalam penyiaran. Bahasa sederhananya adalah : siapa yang suguhannya terkesan vulgar dan berani tentu masyarakat akan semakin menyukai terhadap sajian tersebut. Persoalannya adalah ketika sajian itu ditayangkan dalam kondisi nyata dan vulgar maka sudah pasti orang yang menyaksikan tentu mempunyai opini terhadap tayangan tersebut bahkan opini tersebut bisa membentuk pada perbuatan atau perilaku seseorang setelah menyaksikan tayangan tersebut. Parahnya perbuatan tersebut bisa sama bisa juga melebihi apa yang digambarkan dalam tayangan tersebut. Kasus Sri Rumiyati (48)2misalnya adalah fakta dari sekian tindak kejahatan pembunuhan sadis yang boleh dikatakan akibat terinspirasi oleh tayangan media hal ini dipertegas setelah dalam pemberitaan Rumiyati bertutur bahwa. 21 memutilasi pak hendra dikarenakan meniru Ryan, terutama dari tayangan televisi selain dari koran yang saya beli diangkot. Daripada repot, untuk menghilangkan jenazahnya, saya potong-potong saya Pak Hendra seperti yang dilakukan Ryan tuturnya seperti dalam pemberitaan yang penulis kutip melalui internet. Hal tersebut diatas menurut penulis jelas memungkinkan terjadi sebab logikanya jelas ketika membunuh pelaku pasti Panik dan berfikir akan berbuat apa dan Asumsinya pada saat kejadian tersebut sangat mungin pelaku merujuk kepada peniruan seperti tayangan kriminal dimedia artinya sangat relevan bila seorang Sri Rumiyati setelah membunuh kemudian memotong-memotong jasad korbannya untuk meninggalkan jejak dan menghilangkan kepanikan medianya adalah melalui perbuatan yang seperti dilakukan oleh Ryan yang juga membunuh dengan memutilasi korbannya. Pakar kedokteran korensik RSCM Dr. Munim Idris dalam paparannya melalui situs okezone,com mengatakan bahwa kasus mutilasi bisa terjadi karena bermacam-macam karena dendam, amarah atau hal lain yang melatar belakanginya, namun ide memutilasi korban baru ada ketika sudah terjadi pembunuhan dengan tujuan utama menghilangkan jejak. Cara ini diyakini diilhami dari kasus serupa sebelumnya banyak diekspos di media massa. Artinya sangatlah besar potensi media massa sebagai pemilu terjadinya tindak kejahatan di masyarakat walaupun media mempunyai hak penuh atas informasi di tengah masyarakat namun dalam konteks pemberitaan mengenai kriminalitas atau tayangan-tayangan yang berbau kekerasan hendaklah para jurnalis/pewarta dan pengelola. Media melihat kepada faktor-faktor atau atau dampak yang akan terjadi sebab media jangan sampai menjadi faktor kriminogen atau penyebab terjadinya kejahatan manakala media adalah sebagai fungsi informasi yang mendidik, sosial, kontrol dan hiburan ditengah masyarakat. Dalam hukum pidana pers penayangan berita kriminal adalah tergolong bagian dari kebijakan kriminal, artinya adalah proses dalam menanggulangi kejahatan dengan sarana media massa, upaya penanggulangan kejahatan itu dapat ditempuh dengan penerangan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa pidana (prevention without purishment) dan mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (Influencing viws of society on crime and punishment/mass media). Jika disimpulkan bahwa tayangan berita kriminal dalam hukum pidana pers adalah merupakan upaya atas penanggulangan dan pencegahan terhadap kejahatan. Dengan begitu bisa dilihat melalui berita kriminal masyarakat bisa melihat bagaimana cara kepolisian dan penegak hukum dalam menerapkan hukum pidana, juga memang bisa membuat masyarakat melakukan upaya pencegahan terhadap kejahatan juga mendapat pengetahuan akan kejahatan melalui media massa. Artinya memang menayangkan berita atau sajian kriminal di media massa adalah bukan sebagai sesuatu yang melanggar hukum karena bisa memberi informasi kepada masyarakat luas akan tetapi konten atau isi siaran pada tayangan kriminalitas bukan pada tayangan yang vulgar dengan kekerasan, atau pembunuhan dengan kemasan yang bebas di pertontonkan ke tengah khalayak namun lebih mengedepankan perspektif informasi disertai dengan edukasi atau siaran yang lebih mendidik pada masyarakat dalam konteks berita-berita kriminalitas di media massa. Akibatnya jika informasi tersebut dapat berdampak positif maka tingkat kejahatan paling tidak terminimalisir dan citra penegakan hukum kita akan baik dimata masyarakat serta dunia internasional. Paul Johnson seperti di tuangkan dalam refrensinya Dr. Idri Shaffat, M.Ag. 16 Bahwa praktik pers menyimpang atau disebut sebagai tujuh dosa pers (seven Deadly Sins ; tujuh dosa yang mematikan bahwa tujuh dosa terberat pers adalah : (1) Distorsi Informasi, (2). Dramatisasi fakta (3) serangan privacy, (4); pembunuhan karakter, (5). Eksploitasi seks untuk meningkatkan eksploitasi seks untuk meningkatkan sirkulasi atau rating (6), meracuni benak atau pikiran anak dan (7) penyalah gunaan kekuasaan. Ketujuh dosa pers atau lebih tepatnya : penyimpangan pers (diviasi). Tersebut disebabkan karena pers tak bertanggung jawab pers yang senjata menyalahgunakan menyelewengkan informasi dengan mengubah, menambah, atau mengurangi dan beropini terhadap fakta. Pers yang melebih-lebihkan peristiwa atau bahkan mengarang fakta atau jika terdapat fakta dibumbui dengan ilustrasi verbal bahkan vulgar. Dalam media cetak melalui narasi atau melalui sajian foto dan gambar tertentu dalam media elektronika dramatisasi ini dilakukan dengan tehnik pengambilan gambar. Penyimpangan pers ini di samping mengurangi akurasi berita, merugikan seseorang, mengandung pornografi, juga melanggar hak privasi seseorang dan berpotensi menimbulkan tindak kejahatan di masyarakat melalui proses peniruan atas informasi oleh media massa. Umumnya penyimpangan-penyimpangan pers dilakukan oleh media-media tabloid sensasional dalam peliputan kriminal, peliputan kalangan selebritis dan kaelite, atau media baru yang ingin sekedar menjual kertas koran dan ingin tetap bertahan dengan berbisnis media. Media semacam itu haus sensasi dan selalu berupaya mengendus skandal, khususnya skandal seks, dengan menempatkan di head-line atau halaman depan surat kabar supaya menarik konsumen untuk membelinya. Penyimpangan oleh media pers dengan segala bentuknya mengandung arti bahwa pers tidak lagi mematuhi regulasi peraturan perundang-undangan ataupun kode etik jurnalistik. Penyimpangan pers termasuk dalam kategori kejahatan(delik) pers. Dalam KUH pidana pasal 483 dijelaskan; 1 bahwa barang siapa menerbitkan suatu gambar atau tulisan yang karena sifatnya dapat dikenakan pidana diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu satu tahun empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu atau pidana-pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Penyimpangan-penyimpangan pers, sebagaimana disebutkan dalam kode etik jurnalistik, antara lain; menyiarkan berita, tulisan atau gambar yang menyesatkan, yaitu berita yang disampaikan membinggungkan, meresahkan, membodohi, atau melecekkan kemampuan berpikir masyarakat. Pornografi termasuk penyimpangan pers yang harus dihindari, bahkan lebih dari itu ia adalah merupakan kejahatan (delik) Asusila. Seks dan penyimpangannya tidak boleh dipaparkan secara Vulgar dalam koran atau majalah karena disamping dapat melukai perasaan korban dan keluarganya juga dapat menjadi motivator pembaca untuk melakukan perbuatan Asusila. Disamping itu pemaparan seks, diantaranya tubuh wanita telanjang, atau semi telanjang akan dapat merusak kepribadian bangsa yang sopan dan santun. Sebab arus informasi dapat membawa perubahan sikap, kebiasaan cara berpikir, dan bahkan kadang-kadang terjadi kejutan dan benturan budaya. Pornografi dalam kode etik jurnalistik disebut cabul; yaitu penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis, atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan birahi dan KUHP hal ini dikenakan pasal 282 (KUHP). Berita yang mengandung sensasi yang berlebihan, yaitu gambaran yang melebihi kenyataan, bisa menyesatkan dikalangan masyarakat, berita sensasional adalah berita yang terkesan menjijikkan, misalnya; berita perbuatan seks yang merangsang nafsu birahi, kebiasaan individu yang aneh dan kotor, pembunuhan sadis dan sebagainya. Dilihat dari perspektif ini berita sadis, berita yang mengandung kekejaman dan kengerian juga tidak jarang berdampak negatif. Menurut Jiry wilson, bisa jadi media kusus para penjahat atau calon penjahat. Penyimpangan pers lainnya adalah pemaparan berita yang mengandung pemaparan atau renodaan terhadap agama, pelaku penodaan terhadap agama dikenai hukuman dalam pasal 156a KUH pidana.

Kesimpulan

Bertitik tolak dari paparan pembahasan pada makalah ini maka penulis menyampaikan satu pendapat atau kesimpulan, yakni :1.Dalam interaksinya secara yuridis, kriminologis dan sosiologis ada keterkaitan antara media massa dalam hal ini pemberitaan (kriminalitas) dan timbulnya kejahatan yang terjadi ditengah masyarakat. Artinya : potensi timbulnya tindak kejahatan dapat tergolong salah satunya akibat menyaksikan pemberitaan media massa dalam hak tayangan kriminalitas. 2.Melalui proses pembentukan prilaku oleh media massa ke dalam masyarakat atau publik melalui penyebaran informasi adalah satu fakta bahwa reaksi masyarakat bisa dipengaruhi oleh media massa. Hubungan media massa dan kejahatan dapat digambarkan melalui teori yang melihat pada kondisi sosial masyarakat secara kriminologi dan sosiologis, proses peniruan tindak kejahatan akibat terpengaruh media massa adalah fakta empiris bahwa media sangat berkorelasi terhadap kejahatan bahkan bisa menjadi agen atas kejahatan tersebut.