Tema 4, keluargaku 1-kurikulum 2013-bse kelas 1 sd - buku siswa
PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI...
Transcript of PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI...
i
PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI PROPERTI
MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)
KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2014-2015
SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN
PERSYARATAN GUNA MEMPEROLEH GELAR SARJANA HUKUM
OLEH:
FAIQ HIDAYAT
NIM: 12340099
PEMBIMBING:
1. Dr. SRI WAHYUNI, M.Ag., M.Hum.
2. BUDI RUHIATUDIN, S.H., M.Hum.
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2016
ii
ABSTRAK
Posisi tawar yang rendah dari konsumen daripada pelaku usaha sering
memunculkan perselisihan yang akhirnya menjadi persengketaan. Seperti halnya yang
terjadi pada perjanjian jual beli properti/perumahan dengan pelaku usaha. Banyak
faktor yang memunculkan adanya sengketa konsumen dalam lingkup properti dengan
berbagai permasalahan seperti spesifikasi bangunan yang tidak sesuai dengan
perjanjian awal, penyerahan rumah melebihi jatuh tempo, permasalahan surat dan
sertifikat. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Yogyakarta sebagai
badan yang diberi amanat untuk menjalankan tugas dan wewenang menyelesaikan
sengketa konsumen mempunyai kapasitas untuk menenangani persengketaan antara
pelaku usaha dan konsumen di bidang perjanjian jual beli properti. Hal tersebut
didasarkan oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yaitu, menyelenggarakan penyelesaian sengketa alternatif dengan sengekat
khusus konsumen dengan menggunakan mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Keberadaan BPSK Kota Yogyakarta sebagai badan yang menyelenggarakan
penyelesaian sengketa konsumen properti. Lantas apakah penyelesaian sengketa
perjanjian jual beli properti melalui BPSK Kota Yogyakarta sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ? kemudian apa
akibat hukum dari adanya putusan sengketa perjanjian jual beli properti yang
dilakukan oleh BPSK Kota Yogyakarta ?. Guna menjawab dari persoalan tersebut,
penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian lapangan (field research) yang
datanya dihasilkan dengan turun langsung ke lapangan melalui observasi dan
wawancara dengan pihak BPSK Kota Yogyakarta. Sementara pendekatan penelitian
yang diambil adalah dengan secara yuridis empiris, yaitu dengan meninjau peraturan
perundang-undangan terhadap fakta-fakta dan data di lapangan, serta buku-buku yang
masih berkaitan dengan penelitian yang dikaji.
Kesimpulan penelitian ini adalah penyelesaian sengketa konsumen perjanjian
jual beli properti melalui BPSK Kota Yogyakarta tidak sesuai dengan Pasal 55
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen jo. Pasal 38
Kepmenperindag Nomor 350/MPP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu proses penyelesaian
sengketa melebihi jangka waktu yang ditentukan yaitu 21 (dua puluh satu) hari kerja
terhitung sejak pengaduan diterima. Kehadiran BPSK yang diharapkan menjadi solusi
alternatif dalam penyelesaian sengketa dengan prinsipnya biaya murah, cepat dan
sederhana tidak tercermin pada BPSK Kota Yogyakarta. Selain itu terdapatnya
kendala terhadap proses pelaksanaan penyelesaian sengketa yaitu banyaknya kasus
yang masuk tidak diimbangi dengan keadaan sumber daya manusia (SDA), serta
kurang kooperatifnya para pihak. Tidak adanya kekuatan eksekutorial dalam setiap
putusan yang dikeluarkan BPSK Kota Yogyakarta memungkinkan adanya gugatan
baru, baik dari pelaku usaha maupun konsumen. Sifat final dan mengikat (binding)
pada setiap putusan yang dikeluarkan BPSK Kota Yogyakarta tidak memberikan
pengaruh kepada pelaku usaha untuk dapat mengindahkan akta perdamaian sebagai
hasil dari kesepakatan dan menerima putusan. Kemudian, dibukanya peluang yang
dimiliki pelaku usaha untuk mengajukan keberatan terhadap putusan BPSK Kota
Yogyakarta sesuai dengan Pasal 56 ayat (2) UUPK.
Kata Kunci: Perjanjian Jual Beli Properti, Penyelesaian Sengketa Perjanjian Jual Beli,
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Yogyakarta.
vii
MOTTO
“APABILA BELUM BISA BERBUAT BAIK, MINIMAL TIDAK MENYUSAHKAN
ORANG LAIN” (ANONIM)
“YOU’LL NEVER WALK ALONE”
-LIVERPOOL FC-
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan teruntuk :
1. Ayahanda Mahful dan Ibunda Romelah karena telah menjadi orang tua saya yang
sangat super hebat, karena kerja keras, perjuangan dan pengorbanannya sehingga saya
bisa tumbuh seperti sekarang ini dan mendapat gelar Sarjana Hukum.
2. Masyriati, Siti Rohayah, Siti Kharisah, Musyarofah, Suwandi, M. Kifni, Khafifatur
Rohmah dan Habib Mustofa sebagai saudara yang telah banyak memberikan
dukungan moril maupun materil kepada saya.
3. Terima kasih kepada almamater tercinta Univeristas Islam Sunan Kalijaga
Yogyakarta
4. Teman-teman seperjuangan dan seangkatan program studi Ilmu Hukum.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman, islam,
dan ihsan, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Penyelesaian Sengketa Perjanjian Jual Beli Properti Melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Yogyakarta”. Shalawat serta salam tidak lupa tercurahkan
kepada Nabi Agung Muhammad SAW karenanya penyusun dapat merasakan
indahnya Islam.
Terselesaikannya penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan,
bantuan, dan motivasi dari banyak pihak yang senantiasa dengan sabar, tulus dan
ikhlas. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penyusun menyampaikan banyak terima
kasih kepada:
1. Bapak Prof. Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D selaku Rektor Universitas Islam
Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2. Bapak Dr. Agus Najib, M.Ag., selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
3. Ibu Lindra Darnela, S.Ag., M.Hum., dan Bapak Faisal Luqman Hakim,
S.H., M.Hum. selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Sekretaris
Program Studi Ilmu Hukum
4. Bapak Faisal Luqman Hakim, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing
Akademik
5. Ibu Dr. Sri Wahyuni, M.Ag., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang
telah secara ikhlas meluangkan waktu untuk dapat memberikan arahan dan
membagikan ilmunya selama penyusunan skripsi ini
x
6. Bapak Budi Ruhiatudin, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing IIyang
juga dengan sabar dan ikhlas memberikan waktu, arahan, dan membagikan
ilmunya selama penyusunan skripsi ini
7. Seluruh staf pengajar atau dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah
mengenalkan, membekali, membimbing atau mentransformasikan ilmunya
kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan pendidikan di
Program Studi Ilmu Hukum
8. Ibu Tarti, selaku pihak Tata Usaha Program Studi Ilmu Hukum yang
dengan sabar dan telaten membantu penyusun dalam penyelesaian
administrasi
9. Selaku ketua Bidang Perdagangan yang telah memberikan izin kepada
penyusun untuk dapat melakukan penelitian di BPSK Kota Yogyakarta
10. Bapak Ir. Suyana Selaku Ketua BPSK Kota Yogyakarta yang telah
memberikan izin kepada penyusun untuk dapat melakukan penelitian di
BPSK Kota Yogyakarta
11. Jajaran Sekretariat BPSK Kota Yogyakarta yang telah memberikan
pendampingan dalam penyusunan skripsi ini
12. Ibu Yudhit Nitriasari S.H., M.Kn., karena dengan bimbingan dan
pendampingan dalam memperoleh data untuk penyusunan skripsi ini
13. Ayahanda Mahful dan Ibunda Romelah serta saudara-sudaraku semua atas
segala doa dan dukungannya
14. Teman-teman Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2012 untuk dukungan
dan motivasinya
xi
15. Teman-teman IH C, Ozi, Fauzan, Ari, Anwar, Roy, Lega, Trisna dan
lainnya yang tidak saya sebut satu persatu terima kasih atas dukungan dan
kekonyolan kalian.
16. Teman-teman di Pusat Studi dan Konsultasi Hukum, Jafar, Daud, Amin,
Ilham, Ani, Maria, Ana, Putri, Umi dan lainnya yang tidak bisa saya sebut
satu persatu karena memberi warna di hidup saya dan segala dukungannya
17. Teman-teman seperjuangan di Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum
Pandawa, Pak Weni, Mas Fatur, Mas Feri, Mas Supri, Mba Novi, Mas
Gresia, Akbar, Royfa, Riris, Katon, Mba Bangkit, Dika, Esty, Alia, dan
lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu. Terima kasih atas semua
dukungan, ilmu dan semangatnya
18. Teman-teman KKN 103 Kranggan Kidul, Wakhid, Soni, Ofa, Gufron,
Habib, Najib, Noor, Fildzha, dan Arina terima kasih atas kenangan dan
dukunganya
19. Sedulur Ikatan Mahasiswa Kebumen di Yogyakarta (IMAKTA), Faiq
Subhan, Habibi, Lilik, Yuni, Oki, Mba Hikmah, Rohmah, Mas Bahrun dan
lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu atas dukungannya
20. Sedulur Sanggar Ilir Mas Amin, Rizki, Lita, Mba Titik, Sumi, dan lainnya
yang tidak saya sebut satu persatu atas dukungan dan proses bersamanya.
21. Keluargaku di jogja mulai dari kontrakan Racopent menjadi A-One, Imam,
Ipin, Rizki, Ahmed, Heri, Hadi terima kasih atas waktu empat tahun hidup
bersama, sudah banyak cerita dan kenangan indah yang tidak akan pernah
dilupakan
22. Terima kasih juga untuk kelurga Mak Ipong atas tempat tinggal kosnya
serta teman-teman kos atas dukungannya.
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................................... i
ABSTRAK ......................................................................................................................... ii
SURAT PERSETUJUAN SKRIPSI ................................................................................ iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................................... v
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................... vi
MOTTO ............................................................................................................................. vii
PERSEMBAHAN ............................................................................................................. viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ix
DAFTAR ISI...................................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................................ 8
D. Telaah Pustaka ........................................................................................................ 9
E. Kerangka Teoretik .................................................................................................. 13
F. Metode Penelitian ................................................................................................... 23
G. Sistematika Pembahasan ......................................................................................... 27
BAB II TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL
BELI ................................................................................................................................... 29
A. Tinjauan Umum Perjanjian Jual Beli Properti ........................................................ 29
xiv
B. Tinjauan Umum Wanprestasi ................................................................................. 44
C. Tinjauan Umum Penyelesaian Sengketa Alternatif Konsumen .............................. 50
BAB III TINJAUAN UMUM PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN
JUAL BELI PROPERTI MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA
KONSUMEN KOTA YOGYAKARTA .......................................................................... 63
A. Gambaran Umum Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota
Yogyakarta .............................................................................................................. 63
B. Prosedur Pengaduan dan Penyelesaian di BPSK Kota Yogyakarta ........................ 68
C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa ........................................................................ 72
D. Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ................................... 75
E. Perkara atau Kasus Sengketa Jual Beli Properti di Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Kota Yogyakarta ..................................................................... 79
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI PROPERTI
MELALUI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN KOTA
YOGYAKARTA ............................................................................................................... 84
A. Penyelesaian Sengketa Perjanjian Jual Beli Properti Melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Yogyakarta ................................................................... 84
B. Akibat Hukum dari Putusan Penyelesaian Sengketa Perjanjian Jual Beli Properti
Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Yogyakarta ..................... 104
BAB V PENUTUP............................................................................................................. 108
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 108
B. Saran ....................................................................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 112
xv
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Lampiran 2: Keppres Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukkan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota
Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya,
Kota Malang, dan Kota Makassar.
Lampiran 3: Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Lampiran 4: Surat Izin Penelitian
Lampiran 5: Daftar Pertanyaan Wawancara untuk BPSK Kota Yogyakarta
Lampiran 6: Surat Bukti Wawancara
Lampiran 7: Currriculum Vitae
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan berdasarkan data Susenas
2014 dan 2015, jumlah penduduk Indonesia mencapai 254,9 juta jiwa.
Adapun, mengenai komposisi penduduk kota atau desa menunjukan penduduk
Indonesia pada tahun 2015 lebih banyak di perdesaan, yakni 128,5 juta jiwa.
Sementara di perkotaan besar hanya sebanyak 126,3 juta jiwa. Meskipun
jumlah penduduk di pedesaan lebih besar, pertambahan penduduk dari tahun
2014 ke 2015 di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan pedesaan.
Tercatat, pertambahan penduduk di perkotaan mencapai 1,75% sementara di
pedesaan 0,52%.1
Besarnya jumlah penduduk Indonesia menjadikan suatu pekerjaan
rumah bagi pemerintah untuk dapat mewujudkan negara yang berdaulat dari
kemiskinan dan penderitaan. Indonesia sebagai negara hukum dalam
konstitusinya dan tujuan dibentuknya Negara Republik Indonesia tidak lain
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Pelaksanaan kesejahteraan
umum bisa berupa pembangunan nasional dari segala sektor baik yang berupa
lahiriah dan kepuasan batiniah. Pembangunan nasional yang mampu memenuhi
aspek lahiriah dan kepuasan batiniah tidak hanya berpusat pada satu titik,
melainkan juga harus menyeluruh.
1
http://hidayatullah.com/berita/nasional/read/2015/11/20/83632/jumlah-pendududari-
perempuan.html, diakses pada tanggal 25 Maret 2016, pada jam 14.15
2
Seperti halnya yang telah disebutkan dalam Pasal 28 ayat (1) UUD
1945 menegaskan bahwa: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.2 Rumah merupakan kebutuhan
dasar manusia untuk melangsungkan kehidupan setelah pangan dan sandang.
Oleh karena itu, rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia
yang harus dipenuhi. Hal tersebut sebagaimana tercantum dalam Pasal 19 (1)
UU No. 11 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang
berbunyi “Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan
dan pemerataan kesejahteraan rakyat”.3
Rumah sebagai salah satu dari bagian properti yang dimana merupakan
kebutuhan mendasar telah mendorong pelaku usaha untuk membangun rumah
sebagai ladang bisnis yang menjanjikan. Banyak munculnya pengusaha yang
tertarik dalam pengembangan rumah dikarenakan rumah sebagai kebutuhan
dasar di sisi lain rumah sebagai bisnis yang menjanjikan.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri mempunyai pangsa pasar
yang baik untuk segala bidang, tak terkecuali bidang properti. Hal demikian
karena melihat potensi DIY sebagai provinsi yang mempunyai banyak daya
tarik mulai dari budaya, wisata, kuliner, serta pendidikan. Kondisi sosial dan
2 UUD 1945.
3 UU Nomor 11 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
3
ekonomi masyarakat DIY yang sangat beragam memancing pengembang untuk
menginvestasikan dengan membangun hunian properti.
Banyaknya pembangunan hunian properti yang terus mengalami
peningkatan, maka konsumen perlu lebih mencermati terlebih dahulu mengenai
kelayakan, status tanah, status kepemilikan, struktur bangunan, serta perizinan
pembangunan. Informasi dan seluk beluk mengenai hunian properti yang akan
dibeli calon konsumen sangatlah penting begitupun dengan pengembang
sebagai perusahaan properti. Dengan begitu konsumen sebagai penikmat
produk merasa puas dan meminimalisir terjadinya kerugian yang akan
ditimbulkan.
Seringkali calon konsumen mengabaikan poin yang telah disebutkan di
atas. Konsumen terlena dan terbujuk oleh berbagai penawaran menarik yang
ditawarkan oleh pengembang. Pengembang mengabaikan aspek perizinan,
ketika Nomor Izin Mendirikan Bangunan (IMB) belum dikeluarkan, namun
terdapat sebagian kecil pengembang yang dengan nekat sudah melakukan
proses pembangunan. Kasus lain juga disebutkan mengenai penawaran rumah
hunian impian dengan struktur bangunan dengan menggunakan bahan dan
material yang berkualitas namun bahan dan material yang digunakan berbeda
dengan yang telah disebutkan dalam penawaran bahkan kualitasnya lebih
buruk. Sebagai konsumen tentunya harus juga teliti menganai status
kepemilikan bangunan dan tanah. Pengembang yang nakal tidak ragu-ragu
membangun rumah hunian dengan status tanah masih dalam hak milik bukan
induk.
4
Atas kerugian yang ditimbulkan oleh pembeli, pengembang seolah-olah
lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab. Dalam sebuah akta perjanjian
jual beli, seorang penjual mempunyai kewajiban utama untuk:
1. Menyerahkan kebendaan yang dijualnya kepada pembeli;
2. Bertanggung jawab atas cacat tersembunyi pada barang yang
dijualnya termasuk segala kerugian yang diderita oleh pembeli
sehubungan dengan tercapainya perjanjian jual beli sekadar itu telah
dikeluarkan oleh pembeli. Jika ternyata bahwa penjual telah
mengetahui adanya cacat itu, ia diwajibkan pula, selain tersebut diatas,
untuk mengganti seluruh kerugian yang ditimbulkan oleh cacat tersebut;
3. Memenuhi segala apa yang menjadi kewajibannya sesuai dengan
perjanjian, seperti janji-janji, jaminan-jaminan, dan sebagainya.4
Banyaknya permasalahan yang timbul mengenai adanya praktik
perjanjian jual beli properti yang mana konsumen telah menjadi korban, lantas
bagimana upaya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagai
institusi yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan yang
terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha. Perjanjian jual beli porperti
sebagai salah satu kajian di bidang hukum bisnis berimplikasi pada tugas dan
kewenangan BPSK dimana mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan
perkara hukum bisnis yaitu permasalahan konsumen. Hal tersebut didasarkan
4 Janus Sidabolok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia dengan Pembahasan
atas Undang-undang Nomor 8 tahun 199, Ctk Pertama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006),
hlm. 102.
5
pada pasal 52 UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal
tersebut menjelaskan mengenai tugas dan wewenang BPSK dalam upaya
perlindungan konsumen.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK)
sebagai institusi yang menyelenggarakan penyelesaian sengketa non litigasi
didasarkan pada UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
bab XI pasal 49 sampai dengan pasal 58. Pada pasal 49 (1) disebutkan bahwa
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibentuk untuk menyelesaikan
sengketa konsumen di luar pengadilan pada tingkat kota/kabupaten.
Sebagai institusi yang diberi tugas dan wewenang permasalahan antara
konsumen dan pelaku usaha, BPSK Kota Yogyakarta berperan penting dalam
upaya penyelesaian sengketa konsumen. Hal tersebut berdasarkan Keputusan
Presiden No. 90 tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesesaian
Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota
Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota
Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar.
Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan properti di Yogyakarta
menjadikan pekerjaan rumah baru bagi BPSK Yogyakarta dalam kontribusi
pembangunan daerah Kota Yogyakarta. Pembangunan daerah yang merata
tidak hanya dirasakan oleh para pelaku usaha namun konsumen sebagai target
dari pelaku usaha juga berhak atas hal tersebut. Maka dari itu BPSK
6
Yogyakarta mempunyai peran penting dalam keberlangsungan kesejahteraan
konsumen yang ada di Yogygakarta.
Pasal 52 Undang-undang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa
BPSK mempunyai tugas dan wewenang untuk memberikan pelayanan dalam
bentuk konsultasi, pengawasan, dan penyelesaian sengketa konsumen. Hal
tersebut, memberikan dampak pada persentase atau jumlah kasus yang
ditangani oleh BPSK Kota Yogyakarta. Berikut adalah jumlah kasus yang
ditangani oleh BPSK Kota Yogyakarta pada tahun 2014 dan 2015:
Tabel Jumlah Kasus pada Tahun 2014
No Bidang Jumlah
1 Perumahan/properti 4
2 Perbankan dan Pembiyaan 13
3 Pendidikan 1
4 Transportasi 1
5 Leasing 2
6 Laundry 1
7 Kendaraan dan Barang
Elektronik
5
Sumber: BPSK Kota Yogyakarta
7
Tabel Jumlah Kasus pada Tahun 2015
No Kasus Jumlah
1. Leasing 14
2. Properti/ Perumahan 3
3. Perbankan 3
4. Asuransi 2
5. Jasa Parkir 2
6. Jasa PLN 1
7. Jasa Rumah Sakit 1
8. Jasa Laundry 1
9 Penerbangan 1
Sumber: BPSK Kota Yogyakarta
Berangkat dari latar belakang tersebut tentunya menarik untuk dikaji
lebih jauh. Oleh karena itu, penyusun tertarik untuk mengadakan penelitian
dalam kajian ilmiah (skripsi) yang berjudul “PENYELESAIAN
SENGKETA PERJANJIAN JUAL BELI PROPERTI MELALUI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA
YOGYAKARTA TAHUN 2014-2015”.
8
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya,
maka dapat dirumuskan menjadi beberapa pokok dari permasalahan yang
akan dibahas yaitu:
1. Apakah penyelesaian sengketa perjanjian jual beli properti melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Yogyakarta sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen ?
2. Apa akibat hukum dari adanya putusan sengketa perjanjian jual beli
properti yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Kota Yogyakarta ?
B. Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dan kegunaan dari penelitian ini diperlukan untuk mengetahui
lebih lanjut dari apa yang menjadi tujuan dari rumusan masalah. Berikut
tujuan dan kegunaan penilitian ini adalah:
1. Tujuan Penelitian
a. Menjelaskan proses dan mekanisme penyelesaian sengketa perjanjian
jual beli properti melalui BPSK Kota Yogyakarta ditinjau dari
peraturan perundang-undangan.
b. Menyelidiki dan menalaah bagaimana akibat hukum dari adanya
putusan yang dikeluarkan oleh BPSK Kota Yogyakarta.
9
2. Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan teoritis, penelitian ini diharapakan dapat memberikan
kontribusi dan menjadi bahan sumbangan pemikiran keilmuan
dibidang hukum perdata pada umumnya dan hukum perlindungan
konsumen serta penyelesaian sengketa properti pada khususnya serta
sebagai acuan penelitian-penelitian yang berkaitan selanjutnya.
b. Kegunaan praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran bagi kemajuan akademik di lingkungan
Fakultas Syariah dan Hukum dan para pemangku kepentingan di
lingkungan hukum arbitrase, hukum perumahan dan hukum konsumen.
C. Telaah Pustaka
Penelitian yang dilakukan oleh penyusun tentang perlindungan
konsumen bukanlah penelitian yang pertama kali. Dengan demikian bahwa
telah banyak peneltian sebelumnya yang dilakukan. Karenanya penulis
melakukan telaah pustaka untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan
dari penelitian ini serta untuk memastikan orisinalitas penelitian, penyusun
menggunakan beberapa literatur hasil penelitian-penelitian sebelumnya.
Husain Asmara dengan skripsinya yang berjudul “Implementasi
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terhadap
Sengketa Jual Beli Rumah di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Kota Yogyakarta”,5
menjelaskan mengenai bentuk perlindungan
5 Husain Asmara DM, “ Implementasi Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen terhadap Sengketa Jual Beli Rumah di Badan Penyelesaian Sengketa
10
hukum bagi konsumen rumah oleh BPSK Kota Yogyakarta. Persamaan
dengan penyusun adalah sama-sama meneliti dalam lingkup BPSK dan
properti. Perbedaanya adalah penyusun lebih menitikberatkan pada
penyelesaian sengketa dan akibat hukum dari putusan yang dikeluarkan oleh
BPSK Kota Yogyakarta.
Kartono dengan tesisnya yang berjudul “Perlindungan Konsumen
Oleh Pelaku Usaha Property Dalam Pembangunan Perumahan Ditinjau dari
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(Studi Di Kota Pontianak)”,6
dalam tesis ini menitikberatkan pada
perlindungan konsumen oleh pelaku usaha properti atas kerugian yang
diterima oleh konsumen akibat keadaan rumah tidak menggunakan kualitas
yang bagus tidak sesuai dengan penawaran pada awal perjanjian.
Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penyusun adalah sama-
sama mengenai bentuk perlindungan konsumen properti. Kemudian
perbedaannya adalah tesis tersebut mengangkat bentuk perlindungan
konsumen yang dilakukan oleh pelaku usaha sebagai pengembang yang
dilakukan di Pontianak, sedangkan penyusun sendiri mengangkat bentuk
penyelesaian sengketa perjanjian jual beli properti sebagai upaya
Konsumen (BPSK) Kota Yogyakarta”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta:
2016.
6 Kartono,“Perlindungan Konsumen Oleh Pelaku Usaha Property Dalam Pembangunan
Perumahan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Studi Di Kota Pontianak)”, Tesis, Universitas Tanjungpura Pontianak, Pasca Sarjana, Pontianak:
2014.
11
perlindungan konsumen atau upaya hukum apa yang dilakukan oleh pelaku
usaha.
Koko Hermawan dengan skripsinya yang berjudul “Perjanjian Baku
Jual Beli Perumahan dengan Klausula Eksonerasi (Studi Kasus di Lembaga
Perlindungan Konsumen Surabaya)”,7 menjelaskan mengenai perjanjian baku
jual beli perumahan yang mengandung klausula eksonerasi yang dibuat oleh
pelaku usaha dibidang perumahan tidak sah dan merupakan salah satu bentuk
klausula baku yang dilarang Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor
8 tahun 1999. Meskipun telah terjadi kesepakatan oleh pelaku usaha dan
konsumen, namun tidak menjamin adanya keabsahan dari perjanjian yang
dibuat menjadikan sah. Persamaannya dengan penelitian penyusun adalah
masih sama berkaitan dengan perjanjian jual beli perumahan, sedangkan
perbedaannya adalah penelitian penyusun lebih mengkaji mengenai
penyelesaian perjanjian jual beli properti melalui BPSK.
Mariana Anisa Putri dengan skipsinya yang berjudul “Analisis Yuridis
Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) dalam Perspektif Perlindungan Konsumen di Kota
Yogyakarta”,8 dalam skripsi ini materi yang dimuat menitikberatkan pada
bagaimana bentuk perlindungan konsumen oleh BPSK Yogykarta.
7 Koko Hermawa, “Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan dengan Klausula Eksonerasi
(Studi Kasus di Lembaga Perlindungan Konsumen Surabaya)”, Skripsi, Universitas Pembangunan
Nasional Veteran, Fakultas Hukum, Jawa Timur, 2011.
8 Mariana Anisa Putri, “Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Konsumen Oleh Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Perspektif Perlindungan Konsumen di Kota
Yogyakarta”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta: 2015.
12
Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh penyusun adalah sama
sama meneliti mengenai upaya BPSK dalam penyelesaian sengketa.
Sedangkan perbedaannya adalah penyusun lebih menitikberatkan pada
penyelesaian sengketa perjanjian jual beli properti.
Norman Wicaksono dengan skripsinya yang berjudul “Peran Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota Yogyakarta dalam
Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah”,9
dalam skripsi ini lebih
menitikberatkan pada bagaimana peran BPSK dalam permasalahan kredit.
Persamaannya dengan penyusun adalah sama-sama meneliti dengan kajian
BPSK. Sedangkan perbedaannya adalah penyusun lebih menitikberatkan
mengenai penyelesaian dalam perjanjian jual beli properti.
Slamet Iman Berlianto dalam skripsinya yang berjudul “Peran
Lembaga Konsumen Yogyakarta dalam Perlindungan Konsumen terhadap
Informersial”,10
yang menjelaskan mengenai bagaimana bentuk perlindungan
konsumen oleh LKY atas informersial dan cara penyelesain sengketanya.
Persamaannya dengan penelitian yang dilakukan oleh pernyusun adalah sama-
sama mengenai meneliti dibidang hukum konsumen. Kemudian perbedaannya
adalah pada skripsi tersebut lebih menekankan pada informersial, sedangkan
9 Norman Wicaksono, “Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Kota
Yogyakarta dalam Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah”, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Yogyakarta: 2015.
10
Slamet Iman Berlianto, “Peran Lembaga Konsumen Yogyakarta dalam Perlindungan
Konsumen terhadap Informersial”, Skripsi, Universitas Islam Indonesia, Fakultas Hukum,
Yogyakarta: 2009.
13
penyusun sendiri lebih menekankan pada aspek penyelesaian sengketa
perjanjian jual beli properti oleh BPSK Yogyakarta.
D. Kerangka Teoretik
Sebagai landasan penelitian yang akan dilakukan dan sebagai pisau
analisis, maka penyusun menggunakan beberapa teori sebagai berikut:
1. Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen
Alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute
Resolution/ADR) sering diartikan sebagai alternatif to litigation dan
alternative to adjudication. Pada alternative to litigationdisebutkan bahwa
seluruh mekanisme penyelesaian sengketa diselesaikan di luar pengadilan,
termasuk arbitrase merupakan ADR. Sedangkan pengertian ADR sebagai
alternative to adjudication, berarti mekanisme penyelesaian sengketa yang
bersifat konsensus atau kooperatif, seperti halnya negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi.11
Defini lain menyatakan yang dikemukakan oleh Philip D. Bostwick
dalam bukunya Shopar Maru Hutagalung, bahwa ADR merupakan
serangkaian praktik dan teknik hukum yang ditujukan untuk:12
11
Suyud Margono, ADR dan Arbitrase, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2000), hlm 36.
12
Shopar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hlm. 312.
14
a. Memungkinkan sengketa-sengketa hukum diselesaikan di luar
pengadilan untuk keuntungan atau kebaikan para pihak yang
bersangkutan
b. Mengurangi biaya atau keterlembatan kalau sengketa tersebut
diselesaikan melalui litigasi konvensional
c. Mencegah agar sengket-sengketa hukum tidak dibawa ke pengadilan.
UU No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa memberikan pengertian yang berbeda antara alternatif penyelesaian
sengketa dan arbitrase. Pada pasal 1 ayat (10) disebutkan bahwa ADR adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Sedangkan
arbitrase sendiri dalam pasal ini adalah cara penyelesaian sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Lembaga penyelesaian sengketa seperti halnya BPSK mempunyai cara
peyelesaian sengketa tersendiri yaitu sesuai dengan atau berdasarkan pada UU
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada Pasal 52 butir a yang
menyebutkan, bahwa penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh BPSK
adalah dengan melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.
a. Mediasi
15
Mediasi merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di mana para
pihak yang bersengketa menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak ketiga
yang disebut mediator untuk mencapai hasil akhir yang adil.Namun mediator
tidak berfungsi sebagai hakim yang berwenang mengambil keputusan. Inisiatif
dan keputusan tetap berada pada tangan para pihak yang bersengketa.13
Sementara menurut Nurmaningsih dalam bukunya Susilawetty
mengemukakan, bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-unsur yakni a)
mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas
kesukarelaan melalui suatu perundingan, b) mediator yang terlibat dan
diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan, c) mediator
bertugas membantu para pihak yang bersengketa utuk mencari penyelesaian,
d) mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan
selama perundingan berlangsung, dan e) tujuan mediasi adalah untuk
mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima oleh para pihak
yang bersengketa.14
Dari pengertian di atas menunjukkan bahwa dalam mediasi sangat
membutuhkan pihak ketiga yang selanjutnya disebut mediator. Kehadiran
mediator dalam proses mediasi harus mampu memberikan pendampingan,
nasihat, dan fasilitator. Namun berbeda ketika dalam suatu keputusan diambil,
mediator tidak mempunyai kewenangan terhadap keputusan atas sengketa dari
13
Ibid., 313.
14
Susilawetty, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditinjau dalam Perspektif
Peraturan Perundang-undangan, (Bekasi: Gratama, 2013), hlm. 24.
16
para pihak. Hal ini dikarenakan posisi mediator hanya sebagai penengah dari
berlangsungnya proses mediasi. Dengan kata lain, keputusan yang ingin
dicapai oleh para pihak merupakan hasil dari kesepakatan para pihak. Posisi
mediator sendiri dalam berlangsungnya proses mediasi tidak boleh memihak
salah satu pihak yang bersengketa.
b. Konsiliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak
ketiga yang selanjutnya disebut konsiliator. Dalam penyelesaian sengketa ini,
konsilitaor lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan
merumuskan langkah-langkah penyelesaian yang selanjutnya diajukan dan
ditawarkan kepada pihak yang bersengketa. Apabila dalam proses
perundingan, para pihak tidak bisa memberikan atau merumuskan suatu
kesepakatan, maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa.
Meskipun demikian, konsiliator tidak mempunyai kewenangan untuk
membuat putusan, melainka hanya berwenang membuat rekomendasi yang
pelaksanaannya sangat tergantung dari itikad baik para pihak yang
bersengketa.15
Menurut Jimmy Yoses Sembiring, konsiliasi adalah merupakan
lanjutan dari mediasi, di sini mediator berubah fungsi menjadi konsiliator.
Terkadang upaya penyelesaian sengketa dengan mengggunakan mediasi tidak
15
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
(Yogyakarta: Gama Media, 2008), hlm. 32.
17
dapat mencapai hasil yang sesuai dengan harapan dari pihak yang bersengketa.
Hal ini disebabkan kadangkala hal yang dianjurkan oleh mediator sebagai
penengah tiak dapat diterima oleh para pihak. Penyebab lain adalah tidak
dimiliki kuasa atau wewenang dari mediator untuk menekan atau memaksa
para pihak untuk tunduk dan mengikuti hal yang menjadi pendapat mediator.
Sedangkan konsiliasi, pihak ketiga yang memenuhi sengketa memliki
kewenangan untuk memaksa para pihak untuk mematuhi keputusan yang
diambil konsiliator. Konsiliator pada umumnya adalah mereka yang telah
diangkat dan disetujui oleh menteri yang berkaitan dengan bidang yang
dijalani oleh konsiliator sehingga terdapat hubungan antara konsiliator dengan
instansi pemerintah.16
Pada prinsipnya konsiliasi merupakan langkah awal perdamaian
sebelum sidang peradilan (litigasi) dilaksanakan. Bahkan jika melihat pada
ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata, bahwa yang dimaksud dengan
konsiliasi dalam UU No 30 tahun 1999 adalah identik dengan perdamaian
yang diatur dalam KUHPerdata. Berarti konsiliasi tidak hanya dapat
dilaksanakan untuk mencegah dilaksanakannya proses litigasi (peradilan),
melainkan juga dapat dilakukan oleh para pihak dama setiap tingkat peradilan
yang sedang berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan
pengecualian untuk hal-hal atau sengketa dimana telah diperoleh suatu
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dapat
dilaksanakan.
16
Susilawetty, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditinjau dalam Perspektif
Peraturan Perundang-undangan, (Bekasi: Gratama, 2013), hlm. 27.
18
c. Arbitrase
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis
oleh para pihak yang bersengkata. Arbitrase sendiri merupakan penyelesaian
sengketa pada umumnya yang membutuhka pihak ketiga (arbiter) yang diberi
kewenangan penuh untuk menyelesaikan sengketa. Berbeda dengan alternatif
penyelesaian sengketa yang lain yang mana pihak ketiga tidak mempunyai
kewenangan untuk mengambil putusan, di sini arbiter mempunyai
kewenangan penuh mengambil putusan yang bersifat final dan mengikat.
Kewenangan arbiter sudah dijelaskan dalam pasal 3 ayat (1) UU No 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan, bahwa
penyelesaian sengketa dengan cara perdamaian atau arbitrase dibolehkan.
Akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah
memperoleh izin dari pengadilan untuk mengeksekusi.17
Menurut pasal 1 ayat (1) UU No 30 tahun 1999, arbitrase adalah cara
penylesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yag didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Pada dasarnya, arbitrase dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk,
yaitu:
17
Bambang Sutiyoso, Hukum Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
(Yogyakarta: Gama Media, 2008), hlm., 34.
19
1) Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis
yang dibuat oleh para pihak sebelum timbul sengketa
2) Suatu perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa.18
2. Hukum Perjanjian Jual Beli
Menurut Subekti, perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana
seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu hal.19
R. Setiawan, menyebutkan bahwa
perjanjian ialah suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih.20
Pengertian perjanjian sendiri dalam KUHPer tidak dijelaskan secara
ekplisit, namun terdapat pasal yang lebih condong mengarah kedalam
pengertian perjanjian. Perjanjian menurut KUHPer dijelaskan pada pasal 1313
KUHPer “ Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Pada dasarnya pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
antara satu orang atau lebih yang dengan sepakat untuk saling mengikat untuk
melakukan suatu hal yang telah diperjanjikan. Hubungan hukum antar
keduanya telah menciptakan adanya hak dan kewajiban baru untuk patuh dan
taat dilaksanakan sebagai prestasi.
18
Ibid., 35.
19
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 2010), hlm. 36.
20
R. Setiawan, Hukum Perikatan-perikatan pada Umumnya, (Bandung: Bina Cipta,
1987), hlm. 49.
20
Jual beli sebagai salah satu dari bagian hukum perjanjian, pada Pasal
1457 KUHper, “jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak
yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Unsur-unsur pokok perjanjian jual beli adalah barang dan jasa. Sesuai
dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian, perjanjian jual
beli sudah dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan
jasa. Begitu kedua belah pihak sudah setuju tentang barang dan harga, maka
lahirlah perjanjian jual beli yang sah.21
Pengertian perjanjian jual beli tersbut telah melahirkan dua kewajiban,
yaitu:22
a. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang kepada pembeli
b. Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang yang dibeli kepada
penjual.
Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya
perjanjian, yaitu kata sepakat, kecapakapan hal tertentu dan suatu sebab yang
halal, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata.
21
Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995, Cet. X), hlm 2.
22
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 181.
21
3. Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk
menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen
dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan
konsumen itu sendiri. Berkaitan dengan cakupannya perlindungan konsumen
memiliki cakupan yang luas yang meliputi barang dan jasa sehingga sampai
akibat-akibat dari pemakaian barang dan/ atau jasa.
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius menyimpulkan, para
ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai
terakhir dari benda dan jasa (uiteindelijk gebruiker van goederen en dienten).
Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan
pemakai terakhir (konsumen antara) dengan konsumen terakhir.23
Sementara dalam UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen pasal 1 ayat (2) menyebutkan; konsumen adalah setiap orang yang
memakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lainnya
dan tidak diperdagangkan.24
Istilah konsumen itu sendiri muncul karena adanya pelaku usaha.
Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen tidak dapat dipisahkan
karena kedua unsur tersebut merupakan dua hal yang saling terkait. Pada
23
Abdul Halim Barkatallah, Hak-Hak Konsumen, (Bandung: Nusa Media, 2010), hlm 31.
24
UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
22
dasarnya hubungan pelaku usaha dengan konsumen berlaku secara terus
menerus dan berkesinambungan. Adanya kontak baik itu secara langsung
ataupun tidak langsung antar keduanya telah melahirkan hak dan kewajiban
bagi keduanya.
Hak dan kewajiban merupakan pokok yang perlu dan harus di
benarkan karena seringkali dari salah satu pihak menjadi korban. Namun
dalam konsep Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa hak-
hak konsumen adalah:25
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang/jasa;
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang/jasa sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang/jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
25
Ibid.
23
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian, jika
barang/jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hak-hak konsumen menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen
tidak terlepas dari adanya 5 (lima) asas perlindungan konsumen, yaitu asas
manfaat, asas keadilan, asas keseimbangan, asas keamanan dan keselamatan,
dan asas kepastian hukum. Apabila melihat dari substansi asas kelima
tersebut, sesungguhnya dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas, yaitu:26
a. Asas kemanfaatan, yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan;
b. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan;
c. Asas kepastian hukum.
E. Metode Peneltian
Metode penelitian yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan secara
26
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007, Cet 1), hlm. 26.
24
langsung di objek penelitian secara intensif terperinci dan mendalam guna
mendapatkan data yang terkait dengan penyelesaian sengketa oleh pelaku
usaha.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu dengan
mendeskripsikan atau memberi gambaran secara jelas, sistematika dan akurat
mengenai objek penelitian yang selanjutnya dianalisis secara obyektif.
3. Pendekatan Penelitian
Pendeketan penelitian yang penyusun gunakan adalah pendekatan
yuridis empiris, dengan fokus penelitian efektivitas hukum, atau penelitian
yang membahas bagaimana hukum beroperasi di dalam masyarakat.27
Kaitannya dengan penelitian, penulis menekankan pada fakta-fakta di
lapangan terkiat dengan penyelesaian sengketa konsumen properti terhadap
perjanjian jual beli properti dengan melihat dan membandingkan dengan
peraturan perundang-undangan yang relevan.
4. Sumber data
Secara umum, penelitian dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan, instansi ataupun masyarakat yang diteliti (data
empiris) dan data didapatkan dari bahan pustaka. Data yang didapatkan
27
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm 31.
25
langsung dari lapangan disebut data primer dan data yang didapatkan dari
bahan pustaka disebut data sekunder.28
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah data yang didapat dari sumber pertama
baik individu atau perorangan seperti hasil wawancara atau hasil observasi.
Data primer yang penyusun gunakan adalah dari wawancara, observasi, dan
mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan permasalahan yang
diteliti di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Yogyakarta dan
pihak-pihak yang terkait .
b. Sumber Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber data yang digunakan untuk
melengkapi dan menguatkan data primer. Data sekunder yang digunakan oleh
penyusun itu sendiri terdiri dari jurnal, skrispi, buku-buku, perundang-
undangan, artikel, internet ataupun sumber lain yang masih berkaitan dengan
penelitian serta dapat dijadikan sebagai sumber data sekunder.
5. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan penyusun dalam
penelitian ini, antara lain:
a. Observasi
28
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Pres, 2014) hlm 51.
26
Yaitu pengamatan secara langsung terkait dengan penyelesaian
sengketa konsumen properti oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Yogyakarta.
b. Wawancara
Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi-informasi yang
berkaitan dengan penelitian dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada pihak-pihak yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
c. Dokumentasi
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data-data yang
diperlukan, seperti dokumen, buku, jurnal, artikel internet dan literatur lain
yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini.
d. Analisis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data
ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan
tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh
data.29
Dengan demikian analisis data pada penelitian ini menggunakan
metode penelitian kualitatif. Selanjutnya penelitian ini menggunakan metode
induktif untuk menarik kesimpulan, yaitu dengan mengkaitkan data dan fakta
yang ada dengan teori-teori yang bersifat umum.
29
Lexy J. Moelong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Edisi Revisi, 2010), hlm. 280.
27
E. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam menyusun dan menganalisa penelitian
secara sistematis, maka penyusun mebuat rencana sistematika penelitian
sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan Bab Pendahuluan, dimana dalam Bab ini
berisi Sub-bab latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab kedua, menjelaskan ketentuan tentang tinjauan umum
penyelesaian sengketa perjanjian jual beli properti yang meliputi tinjauan
umum perjanjian jual beli, tinjauan perlindungan konsumen, dan tinjauan
umum penyelesaian sengketa.
Bab ketiga, memaparkan mengenai tinjauan umum penyelesaian
sengketa perjanjian jual beli properti melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Yogyakarta mulai dari gambaran BPSK, dan kasus.
Bab keempat, analisa penyelesaian sengketa perjanjian jual beli
properti yang meliputi bagaimana penyelesaian sengeketa properti dan
apakah sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku serta akibat
hukum dari putusan BPSK terhadap sengketa perjanjian jual beli properti.
Bab kelima, merupakan bab penutup meliputi kesimpulan dan saran
atau rekomendasi bagi semua pihak terkait.
107
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sesuai dengan penelitian yang dilakukan penyusun mengenai
penyelesaian segketa perjanjian jual beli properti melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Yogyakarta, penyusun menarik
kesimpulan sebagai berikut”
1. Alternatif penyelesaian sengketa lahir karena kekecewaan proses
penyelesaian sengketa dengan jalur litigasi yang membutuhkan proses
lama, biaya tinggi dan rumit. Keberadaan BPSK dalam
penyelenggaraan alternatif penyelesaian sengketa dengan bentuk
mediasi, konsiliasi dan arbitrase tidak mampu menjawab harapan
adanya prinsip biaya murah, cepat, dan sederhana. Proses penyelesaian
yang dilakukan BPSK Kota Yogyakarta sudah tidak sesuai dengan
amanat pada Pasal 55 UUPK jo. Kepmenperindag No
350/MPP/Kep/12/2001 bahwa proses penyelesaian sengketa harus bisa
diselesaikan dengan kurun waktu 21 (dua puluh) hari kerja terhitung
sejak pengaduan diterima, kurang bisa dimaksimalkan oleh BPSK
Yogyakarta. Selanjutnya kurang tersedianya SDM yang dimiliki
anggota BSPK Yogyakarta baik secara kuantitas dan kualitas telah
melahirkan terlaksananya proses penyelesian yang kurang maksimal.
Latar belakang pendidikan yang dimiliki anggota BPSK menjadi
kendala pokok untuk bisa memahami peraturan perundang-undangan
108
baik dibidang konsumen, atau dibidang kasus yang terkait, arbitrase
dan alternatif penyelesaian sengketa, serta peradilan.
2. Putusan yang bersifat final dan mengikat sesuai dengan pasal 54 ayat
(3) UUPK ternyata telah terjadi tumpang tindih dengan pasal 56 ayat
(2) UUPK yang menghendaki adanya campur tangan pengadilan untuk
melakukan penyelesaian sengketa konsumen. Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 telah memposisikan BPSK Kota Yogyakarta sebagai
badan yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus,
namun tidak dibarengi perangkat untuk melaksanakan putusan. Oleh
karenanya, dalam hal ini BPSK Kota Yogyakarta bukanlah badan yang
memiliki kuasi peradilan. Akibatnya, sengketa konsumen yang
diputuskan BPSK Kota Yogyakarta dimungkinkan lagi diajukan
keberatan kepada PN. Serta tidak adanya kekuatan eksekutorial pada
putusan dan/atau akta perdamaian yang dikeluarkan BPSK Kota
Yogyakarta memberikan kesempatan bagi salah satu pihak terutama
pelaku usaha untuk tidak mengindahkan kewajiban atau dengan kata
lain melakukan suatu wanprestasi terhadap kesepakatan yang berupa
akta perdamaian pada mediasi dan konsiliasi maupun putusan pada
arbitrase.
109
B. Saran
1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Kota Yogyakarta merupakan suatu perkembangan
hukum yang baik dalam merespon perkembangan zaman. Namun perlu
disiapkan yang matang dalam menyikapi setiap tantangan
perkembangan zaman. Artinya semakin ke sini semakin komplek
permasalahan yang muncul, maka akibatnya dibutuhkan sumber daya
manusia yang lebih baik dari segi kualitas sesuai bidang dan kuantitas.
Untuk itu, penyusun menyarankan BPSK Kota Yogyakarta lebih
memperhatikan terhadap prinsip biaya murah, cepat dan sederhana.
Selain itu perlu adanya ketegasan sikap dari BPSK Kota Yogyakarta
terhadap para pihak yang dirasa kurang kooperatif dalam proses
penyelesaian sengketa.
2. Perlu dikaji ulang mengenai peraturan perundangan-undangan
mengenai perlindungan konsumen oleh pemerintah yang mana UUPK
telah mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan peran
lembaga peradilan dengan adanya keberatan pada putusan yang mana
juga telah disebutkan bahwa putusan BPSK bersfiat final dan
mengikat. Untuk itu, penyusun menyarankan kepada pemerintah untuk
merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dan peraturan pelaksana yang berkolerasi dengannya.
110
DAFTAR PUSTAKA
A. Peraturan Perundang-undangan
UUD 1945.
UU Nomor 11 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Keppres Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota Medan, Kota
Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota
Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya,
Kota Malang, Dan Kota Makassar.
Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001/ tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
B. Buku
Ali, Zainudin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Barkatallah, Abdul Halim, Hak-Hak Konsumen,Bandung: Nusa Media,
2010.
Harahap, M. Yahya,Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986.
Hutagalung, Shopar Maru, Praktik Peradilan Perdata dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, Jakarta: Sinar Grafika 2014.
Laporan Rekapitulasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
Yogyakarta Tahun 2014 dan 2015.
111
Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo,Hukum Perlindungan
Konsumen,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, Cet 1.
Moelong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, Edisi Revisi, 2010.
Nugroho, Adi Susanti, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ditinjau
dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Jakarta:
Kencana, Cetakan Pertama, 2008.
Pedoman Operasional Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Direktorat
Perlindungan Konsumen-Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri-Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2013.
Sidabolok, Janus, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia dengan
Pembahasan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 199, Ctk
Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, 2006.
Setiawan, R., Hukum Perikatan-perikatan pada Umumnya, Bandung:
Bina Cipta, 1987.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI-Pres, 2014.
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995, Cet.
X.
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2010.
112
Sutiyoso, Bambang, Hukukm Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Yogyakarta: Gama Media, 2008.
Susilawetty, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ditinjau
dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan, Bekasi:
Gramata, 2013.
Witanto,D.Y Hukum Acara Mediasi, Cetakan Kedua, (Bandung: Alfabeta,
2012.
C. Skrispi dan Tesis
Skripsi Koko Hermawan, Perjanjian Baku Jual Beli Perumahan dengan
Klausula Eksonerasi (Studi Kasus di Lembaga Perlindungan
Konsumen Surabaya),Jawa Timur: Universitas Pembangunan
Nasional Veteran, Fakultas Hukum, 2011.
Skripsi Mariana Anisa Putri, Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa
Konsumen Oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) dalam Perspektif Perlindungan Konsumen di Kota
Yogyakarta, Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015.
Skripsi Norman Wicaksono, Peran Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) Kota Yogyakarta dalam Penyelesaian
Sengketa Kredit Bermasalah, Yogyakarta:UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2015.
113
Skripsi Panji Purnomo, Upaya Lembaga Konsumen Yogyakarta dalam
Meningkatkan Kesadaran Hak Konsumen di Yogyakarta,
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, Fakultas Ilmu
Sosial, 2014.
Skripsi Slamet Iman Berlianto, Peran Lembaga Konsumen Yogyakarta
dalam Perlindungan Konsumen terhadap Informersial,
Yogyakarta:Universitas Islam Indonesia, Fakultas Hukum,
2009.
Tesis Kartono, Perlindungan Konsumen Oleh Pelaku Usaha Property
Dalam Pembangunan Perumahan Ditinjau dari Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(Studi Di Kota Pontianak),Pontianak: Universitas Tanjungpura
Pontianak, Pasca Sarjana, 2014.
D. Internet
http://hidayatullah.com/berita/nasional/read/2015/11/20/83632/jumlah-
pendududari-perempuan.html, diakses pada tanggal 25 Maret
2016, pada jam 14.15
http://uai.ac.id/2011/04/13/opini-ilmiah-hukum/, diakses pada tanggal 28
Maret 2016 pada jam 23.17.
E. Lain-lain
Laporan Rekapitulasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Yogyakarta
Tahun 2014.
114
Laporan Rekapitulasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Yogyakarta
Tahun 2015.
Pedoman Operasional Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Direktorat
Perlindungan Konsumen-Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam
Negeri-Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2013.
Selayang Pandang BPSK Kota Yogyakarta, Dinas Perindagkoptan Kota
Yogyakarta, 2013.
Wawancara dengan Ibu Yudhit Nitriasari, Fasilitator Non-PNS BPSK
Yogyakarta, pada tanggal 29 Agustus 2016.
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIANOMOR 90 TAHUN 2001
TENTANG
PEMBENTUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMENPADA PEMERINTAH KOTA MEDAN, KOTA PALEMBANG, KOTA JAKARTA PUSAT,
KOTA JAKARTA BARAT, KOTA BANDUNG, KOTA SEMARANG, KOTA YOGYAKARTA,KOTA SURABAYA, KOTA MALANG, DAN KOTA MAKASSAR
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentangPerlindungan Konsumen, perlu menetapkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tentang PembentukanBadan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
Mengingat :
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821).
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG PEMBENTUKAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETAKONSUMEN PADA PEMERINTAH KOTA MEDAN, KOTA PALEMBANG, KOTA JAKARTA PUSAT,KOTA JAKARTA BARAT, KOTA BANDUNG, KOTA SEMARANG, KOTA YOGYAKARTA, KOTASURABAYA, KOTA MALANG, DAN KOTA MAKASSAR
Pasal 1
Membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebutBPSK, pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung,Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.
Pasal 2
Setiap konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya dapat menggugat pelaku usaha melalui BPSK di tempatdomisili konsumen atau pada BPSK yang terdekat.
Pasal 3
Biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan AnggaranPendapatan Belanja Daerah.
Pasal 4
Keputusan Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Presiden ini denganpenempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakartapada tanggal 21 Juli 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAttdABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakartapada tanggal 21 Juli 2001
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIAttdMUHAMMAD MAFTUH BASYUNI
Salinan sesuai dengan aslinyaDeputi Sekretaris KabinetBidang Hukum dan Perundang-undangan,
Lambock V. Nahattands
KEPUTUSAN
MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 350/MPP/Kep/12/2001
TENTANG
PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka perlu menetapkan ketentuan lebih lanjut tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
b. bahwa untuk itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821);
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi (Lembaran Negara Tahun 2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 177 Tahun 2000 tentang Susunan Organisasi dan Tugas Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001;
6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintahan Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makassar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 105);
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M Tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong;
8. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 86/MPP/Kep/3/2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN TENTANG PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang selanjutnya dalam Keputusan ini disebut BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen.
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha dalah setiap orang perorangan atau badan, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6. Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
7. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang selanjutnya dalam Keputusan ini disebut LPKSM adalah lembaga non pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegitan menangani perlindungan konsumen.
8. Sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa.
9. Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.
10. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.
11. Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.
12. Majelis adalah forum yang dibentuk oleh BPSK untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen.
13. Panitera adalah petugas yang membantu Majelis. 14. Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
meliputi bidang perdagangan.
BAB II
TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 2
BPSK berkedudukan di Ibu Kota Daerah Kabupaten atau Daerah Kota yang berfungsi untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan.
Pasal 3
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BPSK mempunyai tugas dan wewenang :
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara Konsiliasi, Mediasi atau Arbitrase;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen; m. menjatuhjan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
Pasal 4
(1) Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang.
Pasal 5
(1) Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh Majelis yang bertindak pasif sebagai Konsiliator.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh Majelis yang bertindak aktif sebagai Mediator.
(3) Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh Majelis yang bertindak sebagai Arbiter.
Pasal 6
(1) Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK.
Pasal 7
(1) Sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 wajib diselesaikan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja, terhitung sejak permohonan diterima oleh Sekretariat BPSK.
(2) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) para pihak yang bersengketa dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak pemberitahuan putusan Majelis diterima oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 8
Konsultasi perlindungan konsumen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi :
a. konsultasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban konsumen untuk menuntut ganti rugi sehubungan dengan penggunaan atau pemanfaatan barang dan/atau jasa yang merugikan konsumen;
b. konsultasi tentang upaya untuk memperoleh pembelaan dalam penyelesaian sengketa konsumen;
c. konsultasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban pelaku usaha yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
d. konsultasi tentang bentuk dan tata cara penyelesaian sengketa konsumen di BPSK;
e. konsultasi tentang pelaksanaan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen;
f. hal-hal lain yang berhubungan dengan perlindungan konsumen.
Pasal 9
(1) Pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, dilakukan oleh BPSK dengan atau tanpa pengaduan dari konsumen.
(2) Hasil pengawasan pencantuman klausula baku sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang membuktikan adanya pelanggaran terhadap larangan pencantuman klausula baku di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, diberitahukan secara tertulis kepada pelaku usaha sebagai peringatan.
(3) Peringkatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu untuk masing-masing peringatan 1 (satu) bulan.
(4) Bilamana pelaku usaha tidak mengindahkan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka BPSK melaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perlindungan Konsumen untuk dilakukan penyidikan dan proses penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
Pasal 10
Penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, meliputi :
a. penelitian dan pemeriksaan trhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji laboratorium, dan bukti lain yang diajukan baik oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha;
b. pemeriksaan terhadap konsumen, pelaku usaha, saksi dan saksi ahli atau terhadap orang lain yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Pasal 11
Penelitian, penilaian dan penyelidikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf j dimaksudkan untuk mengetahui adanya pelanggaran terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen.
Pasal 12
(1) Putusan dan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf k, meliputi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa.
(2) Ganti rugi atas kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. pengembalian uang; b. penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau c. perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.
Pasal 13
(1) Pemberitahuan putusan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf l, dilakukan secara tertulis dan disampaikan ke alamat pelaku usaha dengan bukti penerimaan atau bunti pengiriman, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak putusan ditetapkan.
(2) Pelaku usaha dianggap telah menerima pemberitahuan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhitung sejak hari dan tanggal pelaku usaha menandatangani penerimaan surat pemberitahuan putusan.
Pasal 14
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf m, berupa penetapan ganti rugi sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sesuai ketentuan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen.
BAB III
TATA CARA PERMOHONAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 15
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK.
(2) Permohonan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya.
(3) Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diakujan oleh ahli waris atau kuasanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan apabila konsumen :
a. meninggal dunia; b. sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri
baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. belum dewasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yangberlaku; atau d. orang asing (Warga Negara Asing).
(4) Permohonan penyelesian sengketa konsumen yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diterima oleh Sekretariat BPSK diberikan bukti tanda terima kepada pemohon.
(5) Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan secara tidak tertulis harus dicatat oleh Sekretariat BPSK dalam suatu format yang disediakan untuk itu dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima.
(6) Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik tertulis maupun tidak tertulis dicatat oleh Sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.
Pasal 16
Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai:
a. nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri; b. nama dan alamat lengkap pelaku usaha; c. barang atau jasa yang diadukan; d. bukti perolehan (bon, faktur, wkitansi dan dokumen bukti lain); e. keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut; f. saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh; g. foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.
Pasal 17
Ketua BPSK menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen apabila :
a. permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan
b. permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.
BAB IV
MAJELIS DAN PANITERA
Pasal 18
(1) Setiap penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dilakukan oleh Majelis yang dibentuk berdasarkan Keputusan Ketua BPSK dan dibantu oleh Panitera.
(2) Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jumlah anggotanya harus ganjil dan paling sedikit 3 (tiga) orang yang mewakili unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha yang salah satu anggotanya wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum.
(3) Ketua Majelis ditetapkan dari unsur pemerintah.
Pasal 19
1. Panitera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) berasal dari anggota Sekretariat yang ditunjuk dengan surat penetapan Ketua BPSK.
(2) Tugas Panitera meliputi :
a. mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen; b. menyimpan berkas laporan; c. menjaga barang bukti; d. membantu Majelis menyusun putusan;
e. membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha; f. membuat berita acara persidangan; g. membantu Majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa konsumen.
Pasal 20
(1) Ketua Majelis atau Anggota Majelis atau Panitera wajib mengundurkan diri apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan pihak yang bersengketa atau kuasanya.
(2) Pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan baik atas permintaan atau tanpa permintaan Ketua Majelis atau Anggota Majelis atau pihak yang bersengketa.
BAB V
ALAT BUKTI
Pasal 21
Alat bukti dalam penyelesaian sengketa konsumen berupa :
a. barang dan/atau jasa; b. keterangan para pihak yang bersengketa; c. keterangan saksi dan/atau saksi ahli; d. surat dan/atau dokumen; e. bukti-bukti lain yang mendukung.
Pasal 22
Pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
BAB VI
SAKSI
Pasal 23
(1) Dalam setiap proses penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase, saksi dapat dihadirkan oleh Majelis dan/atau atas saran atau permintaan para pihak yang bersengketa.
(2) Saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari saksi dan saksi ahli.
(3) Sebelum dimintai keterangan, majelis menanyakan kepada saksi mengenai identitas diri, derajat hubungan keluarga dan hubungan kerja dengan para pihak yang bersengketa.
Pasal 24
(1) Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa atau karena jabatannya, majelis dapat memerintahkan seorang saksi ahli untuk didengar kesaksiannya dalam persidangan.
(2) Apabila saksi ahli tidak dapat datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun telah dipanggil dengan patut, Majelis dapat meminta kepada penyidik umum untuk menghadirkan saksi ahli tersebut ke persidangan.
(3) Dalam hal saksi ahli tidak dapat datang dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, kesaksiannya wajib disampaikan secara tertulis kepada Majelis.
Pasal 25
(1) Apabila konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa atau saksi tidak mampu menggunakan bahsa Indonesia Majelis dapat menunjuk seorang ahli alih bahasa.
(2) Dalam hal konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa atau saksi bisu dan/atau tuli dan/atau tidak dapat menulis, Majelis wajib mengangkat seorang yang mampu berkomunikasi sebagai juru bicara.
BAB VII
TATA CARA PERSIDANGAN
Pasal 26
(1) Ketua BPSK memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan copy permohonan penyelesaian sengketa konsumen, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Dalam surat panggilan tersebut dalam ayat (1) dicantumkan secara jelas mengenai hari, tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku uaha untuk memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan disampaikan pada hari persidangan pertama.
(3) Persidangan 1 (pertama) dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 (ketujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPKS.
Pasal 27
(1) Majelis bersidang pada hari, tanggal dan jam yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).
(2) Dalam persidangan Majelis wajib menjaga ketertiban jalannya persidangan.
Bagian Pertama
Persidangan Dengan Cara Konsiliasi
Pasal 28
Majelis dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan Konsiliasi, mempunyai tugas :
a. memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; b. memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; c. menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d. menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 29
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi adalah :
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;
b. Majelis bertindak pasif sebagai Konsiliator; c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan
mengeluarkan keputusan.
Bagian Kedua
Persidangan Dengan Cara Mediasi
Pasal 30
Majelis dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara Mediasi, mempunyai tugas :
a. memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
b. memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; c. menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; d. secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; e. secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen
sesuai dengan praturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 31
Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Mediasi adalah :
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;
b. Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa;
c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan ketentuan.
Bagian Ketiga
Persidangan Dengan Cara Arbitrase
Pasal 32
(1) Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase, para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis.
(2) Arbitor yang dipilih oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur Pemerintah sebagai Ketua Majelis.
Pasal 33
(1) Ketua Majelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan pelaku usaha, mengenai upaya upaya hukum yang digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
(2) Dengan izin Ketua Majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.
Pasal 34
(1) Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Majelis wajibmendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka
persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha.
(2) Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan.
Pasal 35
(1) Pada persidangan I (pertama) sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan.
(2) Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka dalam persidangan pertama Majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut.
(3) Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian.
Pasal 36
(1) Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persidangan I (pertama) Majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan ke II (kedua) dengan membawa alat bukti yang diperlukan.
(2) Persidangan ke II (kedua) diselenggarakan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hari persidangan I (pertama) dan diberitahukan dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh Sekretariat BPSK.
(3) Bilamana pada persidangan ke II (kedua) konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.
BAB VIII
PUTUSAN
Pasal 37
(1) Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi atau Mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikuatkan dengan Keputusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan anggota Majelis.
(3) Keputusan Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak memuat sanksi administratif.
(4) Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase dibuat dalam bentuk putusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan anggota Majelis.
(5) Keputusan Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat memuat sanksi administratif.
Pasal 38
Majelis wajib menyelesaikan sengketa konsumen selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.
Pasal 39
(1) Putusan Majelis didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.
(2) Putusan Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai putusan BPSK.
Pasal 40
(1) Putusan BPSK dapat berupa :
a. perdamaian; b. gugatan ditolak; atau c. gugatan dikabulkan.
(2) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa pemenuhan :
a. ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan atau b. sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah).
Pasal 41
(1) Ketua BPSK memberitahukan putusan Majelis secara tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan.
(2) Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK.
(3) Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan.
(4) Pelaku usaha yang menyatakan menerima putusan BPSK, wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK.
(5) Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) setelah batas waktu dalam ayat (4) dilampaui, maka dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui.
(6) Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) maka BPSK menyurahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42
(1) Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
(2) Terhadap putusan BPSK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
(1) Ketentuan teknis dalam beracara persidangan yang belum cukup diatur dalam Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Ketua BPSK.
(2) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Keputusan ini akan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri.
BAB X
PENUTUP
Pasal 44
Keputusan ini mulai berlaku pada saat ditetapkan
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Keputusan Menteri ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Desember 2001
MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN R.I.
RINI M.S. SOEWANDI
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA UNTUK KOMISIONER BADAN
PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) KOTA YOGYAKARTA
1. Dalam hal kewenangan menangani perselisihan atau sengketa konsumen perumahan,
bagiamana pendapat Bapak/Ibu atas masih terdapatnya kasus tersebut ?
2. Dalam hal keanggotan BPSK, mengapa terdapat unsur pemerintah, pelaku usaha, dan
konsumen ?
3. Apa yang melatarbelakangi pengadu untuk memilih BPSK daripada yang lain institusi
yang lain ?
4. Apabila ada kasus perumahan yang masuk, apakah langsung dapat diterima atau harus
ada bukti penyelesaian secara bipartiti terlebih dahulu ?
5. Apakah permohonan dapat diwakilkan oleh kuasa ? lalu apabila boleh diwakilkan,
dapatkan penerima kuasa yang hadir dalam proses penyelesaian ?
6. Siapa yang berwenang menerima kasus pertama kali ? ditunjuk berdasarkan apa ?
7. Dalam menangani kasus, BPSK bertindak sebagai apa ?
8. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa di BPSK secara umum ?
9. Apa saja bentuk penyelesaian sengketa yang digunakan BPSK dalam menyelesaikan
sengketa ?
10. Apa alasan alternatif penyelesaian sengketa yang dipilih BPSK itu mediasi, konsiliasi,
dan arbitrase ?
11. Apa perbedaan dari penyelesaian sengketa mediasi, konsiliasi, dan arbitrse ? lalu
bagaimana tahapan-tahapan penyelesaian sengketa ketiganya ?
12. Apakah para pihak dapat memilih sendiri bentuk penyelesaian sengketa mana yang
mau digunakan ?
13. Ketika dalam proses penyelesaian sengketa gagal, apakah masih bisa dilakukan
penyelesaian sengketa dengan bentuk lain ?
14. Apakah ada spesialisasi kasus harus dan hanya dapat diselesaikan dengan hanya
bentuk penyelesaian sengketa itu saja ?
15. Siapakah yang memilih dan membentuk majlis ?
16. Siapakah yang bertindak sebagai majelis ?
17. Seperti pada jalur litigasi, majelis harus berjumlah ganjil, lalu bagaimana dengan
majelis yang terdapat di BPSK ? lalu bagaimana kompisisi dari majelis tersebut ?
18. Pada konsiliasi dan mediasi para pihak tidak dapat menentukan majelis, berbeda pada
aribtrase. Mengapa hal demikian bisa terjadi ?
19. Dalam penanganan, mediator, konsiliator dan arbiter harus mendapat sertifikat dari
Mahkamah Agung ?
20. Bagaimana kewenangan majelis dalam hal proses penyelesaian sengketa ?
21. Apa saja kewajiban majelis ?
22. Dimana proses penyelesaian sengketa dilakukan ? apakah memungkinkan bila
penyelesaiannya dilakukan di luar Kantor BPSK ?
23. Dalam penyelesaian ini, apakah ada biaya demi terlaksananya proses penyelesaian ?
jika ada, siapa yang menanggung ?
24. Berapa lama proses mediasi atau konsiliasi atau arbiter dilakukan ?
25. Bagaimana jika salah satu pihak atau keduanya yang bersengketa tidak dapat hadir
setelah dipanggil secara patut ?
26. Berapa kali maksimal pemanggilan ?
27. Apakah ada alasan sah untuk tidak dapat hadir dalam proses mediasi atau konsiliasi
atau arbirase ?
28. Apabila mediasi atau konsiliasi atau arbiter mencapai titik kesepakatan, apakah
majelis dapat membantu membuat perjanjian bersama ?
29. Bagaima pelaksanaan eksekusi perjanjian bersama tersebut ? bagaimana jika pihak
yang berkewajiban tidak melaksanakan hasil kesepakatan ?
30. Apabila tidak terjadi kesekapatan, bagaimana langkah selanjutnya ?
31. Bagaimana kekuatan hukum dari putusan yang dikeluarkan oleh BPSK ?
CURRICULUM VITAE
A. Identitas Diri
Nama : Faiq Hidayat
Tempat, Tanggal Lahir : Kebumen, 9 Oktober 1992
Nama Ayah : Mahful
Nama Ibu : Romelah
Alamat Asal : Desa Grogolpenatus RT 02 RW 03, Kec.
Petanahan, Kab. Kebumen
Agama : Islam
Jenis Kelamin : Laki-laki
Email : [email protected]
No.Hp : 083844399740
B. Riwayat Pendidikan Formal
1. RA. Syekh Anom Sidakarsa Grogolpenatus, Kec. Petanahan, Kab.
Kebumen Tahun 1998-1999
2. MIN Grogolpenatus Kec. Petanahan, Kab. Kebumen Tahun 1999-2005
3. MtsN 1 Klirong, Kec. Klirong, Kab. Kebumen Tahun 2005-2008
4. SMAN 1 Petanahan, Kec. Petanahan, Kab. Kebumen Tahun 2008-
2011.
5. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2012-
2016
C. Riwayat Pendidikan non-Formal
1. Taman Pendidikan Quran (TPQ) Miftahul Anwar Tahun 1999-2004.
2. Magang Profesi PSKH UIN Sunan Kalijaga
3. Pendidikan Karakter UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
D. Riwayat Organisasi
1. Sanggar Ilir Tahun 2012-2014
2. IMAKTA (Ikatan Keluarga Mahasiswa Kebumen di Yogyakarta)
Tahun 2012-2014
3. PSKH (Pusat Studi dan Konsultasi Hukum) Tahun 2014-2015
4. LKBH (Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum) Pandawa Tahun
2016
5. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Rayon Ashram Bangsa
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
6. PERMAHI (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) DPC
Yogyakarta
E. Riwayat Pekerjaan
1. PT. Mitra Metal Perkasa Auto Part Tahun 2011-2012
2. Bang Jelly Crispy Tahun 2014
3. Friends Coffee Tahun 2016
4. Pamella Swalayan Tahun 2016