Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

198
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di Indonesia. semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syari’ah. Wewenang baru tersebut bisa dikatakan sebagai tantangan dan sekaligus peluang bagi lembaga peradilan agama. Dikatakan sebagai tantangan karena selama ini bagi Pengadilan Agama belum ada pengalaman apa pun dalam menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah, sehingga kalau pun sekiranya datang suatu perkara tentang

Transcript of Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Page 1: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang

ada di Indonesia. semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi

absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili

serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syari’ah.

Wewenang baru tersebut bisa dikatakan sebagai tantangan dan sekaligus

peluang bagi lembaga peradilan agama. Dikatakan sebagai tantangan karena

selama ini bagi Pengadilan Agama belum ada pengalaman apa pun dalam

menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah, sehingga kalau pun

sekiranya datang suatu perkara tentang sengketa ekonomi syari’ah , maka

bagi lembaga peradilan agama ini mesti mencari dan mempersiapkan diri

dengan seperangkat peraturan perundangan maupun norma hukum yang

terkait dengan persoalan ekonomi syari’ah.

Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia menghalami

perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan ini.

Perkembangan tersebut antara lain dapat dilihat dari kewenangan yang

dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia.

Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha', eksekusinya harus

Page 2: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

dikuatkan oleh Peradilan Umum, Para hakimnya hanya berpendidikan

Syari'ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak

berpuncak ke Mahkamah Agung, dan lain-lain. Sekarang keadaan sudah

berubah. Salah satu perubahan mendasar akhir-akhir ini adalah penambahan

kewenangan PA dalam Undang-Undang Peradilan Agama yang baru, antara

lain bidang ekonomi syari'ah.1

Persoalannya sampai saat ini belum ada aturan hukum positive yang secara

terperinci mengatur tentang acara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah,

namun demikian bukan berarti tidak ada aturan hukumnya atau dengan kata

lain telah terjadi “kekosongan hukum” dalam persoalan ini. Karena pada

asasnya pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan

memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum

tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili2

Oleh karena itu walau pun aturan formal yang berkenaan dengan penyelesaian

sengketa ekonomi syari’ah belum ada, pengadilan agama sebagai lembaga

yang diberi wewenang oleh negara untuk memeriksa, mengadili dan

menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah sudah seharusnya mengerahkan

segenap potensinya untuk menjawab tantangan tersebut.

Untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses

penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah ini kiranya pengadilan agama harus

berani dan mampu menggali nilai-nilai maupun norma-norma hukum Islam,

1 ? Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, dalam Varia Peradilan . tahun ke XXI, NOMOR245 April, 2006,hal. 12.2 ?Lihat pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2

Page 3: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

baik yang terdapat dalam kitab Al-Qur’an, al-Sunnah maupun kitab-kitab fiqh

/ushul fiqh serta fatwa-fatwa Majelis Ulama’ yang dalam hal ini melalui

Dewan Syari’ah Nasional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan

diseputar ekonomi syari’ah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan kepada latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan

pokok-pokok masalah sebagai berikut :

1. Mengapa sengketa ekonomi syari’ah mesti diselesaikan melalui Badan

Peradilan Agama ?

2. Bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah

di Pengadilan Agama ?

3. Pengadilan Agama mana yang paling berwenang menyelesaikan sengketa

ekonomi syari’ah (kompetnsi relative) ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang sengketa ekonomi syari’ah dan penyelesaiannya di

Pengadilan Agama mengandung maksud dan tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui lebih mendalam mengapa Pengadilan Agama lebih

berwenang dalam meyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah ?

2. Untuk menganalis lebih jelas bagaimana cara-cara dan proses

penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama.

3

Page 4: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

3. Untuk memperoleh informasi yang pasti tentang Pengadilan Agama

mana yang paling berwenang (kompetensi relatif) memeriksa, mengadili

dan menyelesaikan perkara sengketa ekonomi syari’ah.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan

Pengadilan agama diharapkan memiliki manfaat tertentu.. Manfaat tersebut

sekurang-kurangnya meliputi dua aspek, yaitu:

1. Manfaat sosial (social value), yang diharapkan berguna untuk :

a. Memberi gambaran atau pedoman awal bagi lembaga Peradilan Agama

tentang bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi

syari’ah.

b. Memberi informasi kepada masyarakat muslim Indonesia pada

umumnya, khususnya para pelaku bisnis syari’ah tentang cara-cara

menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah melalui pengadilan agama.

c. Memberi pedoman praktis kepada para praktisi hukum khususnya dalam

hal-hal yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa ekonomi

syariah.

2. Manfaat akademik (academic value)

a. Diharapkan penulisan tesis tentang proses penyelesaian sengketa

ekonomi syari’ah di pengadilan agama ini dapat dijadikan sebagai

pemenuhan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Studi

Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia.

4

Page 5: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

b. Manfaat lain dari penulisan tesis ini diharapkan bisa menambah

khazanah keilmuan dalam bidang penyelesaian sengkerta ekonomi

syari’ah.

E. Telaah Pustaka

Dari penelusuran referensi yang ada tidak banyak dijumpai karya-karya

ilmiyah yang membahas persoalan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di

lingkungan Pengadilan Agama . Hal ini bisa dimaklumi karena persoalan ini

relatif masih baru. Namun demikian hal-hal yang masih ada relevansinya

dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dapat dijumpai pada beberapa

karya ilmiyah, diantaranya adalah tulisan Dr. Dadan Muttaqien tentang

“Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan”.

Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa pada prinsipnya penyelesaian sengketa

ekonomi syari’ah di luar lembaga peradilan (non litigasi) ada dua cara yang

bisa ditempuh, yaitu melalui lembaga perdamaian (al-Shulh) dan melalui

lembaga arbitrase (al-Tahkim). 3

Di Indonesia, lembaga perdamaian telah diakui keberadaannya melalui

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa

negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah

3 ? Dadan Muttaqien, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXIII NOMOR 266 Januari 2008 (Jakarta : IKAHI, 2008) Hal. 60.

5

Page 6: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

sengketa bisnisnya di luar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi,

mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli.4

Sedangkan lembaga tahkim disini yang dimaksud adalah penyelesaian

sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional

(BASYARNAS ). Sebagai gambaran tentang peraturan dan prosedur Badan

Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah sebagai berikut:

1. Penagajuan Permohonan

Proses arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk

mengadakan arbitrase oleh Sekretaris dalam Register Badan Arbitrase

Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Dalam surat permohonannya tersebut

harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat tinggal atau

tempat kedudukan kedua belah pihak, suatu uraian singkat tentang

salinan naskah perjanjian Arbitrasenya dan suatu surat kuasa khusus jika

diajukan oleh kuasa hukum.

2. Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh Badan Arbitrase

Syari’ah Nasional (BASYARNAS) , untuk menentukan apakah Badan

Arbitrase Nasional (BASYARNAS) berwenang memeriksa dan

memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal

perjanjian atau klausula arbitrase dianggap tidak cukup kuat dijadikan

dasar kewenangan Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) untuk

memeriksa sengketa yang diajukan, maka Badan Arbitrase Syari’ah

Nasional (BASYARNAS) akan meyatakan permohonan itu tidak dapat

diterima (niet outvankelijk verklaard) yang dituangkan dalam sebuah

4 ?Ibid.

6

Page 7: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

penetapan yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional

(BASYARNAS) sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan

oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang ditunjuk dalam hal

pemeriksaan telah dimulai. Sebaliknya, jika perjanjian atau klausula

arbitrase dianggap telah mencukupi, maka Ketua Badan Arbitrase

Syari’ah Nasional (BASYARNAS) segera menetapkan dan menunjuk

arbiter tunggal atau majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa

berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut

dapat dipilih dari arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus

yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaanya memerlukan

suatu keahlian khusus. Dengan demikian susunan arbiter dapat pula

dalam bentuk tunggal atau majelis.

3. Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat

permohonan kepada Termohon disertai perintah untuk menanggapi

permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis

selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak

diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Segera setelah

diterimanya jawaban dari Termohon, atas perintah Arbiter tunggal atau

Ketua ArbiterMajelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada

Pemohon dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak

untuk menghadap di muka sidang Arbitrase pada tanggal yang ditetapkan,

selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak

tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa

7

Page 8: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

mereka boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing

dengan surat kuasa khusus.

4. Pemeriksaan persidangan Arbitrase dialakukan di tempat kedudukan

Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), kecuali ada

persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaan dapat dilakukan di

tempat lain. Arbiter Tunggal atau Majelis dapat melakukan sidang

ditempat untuk memeriksa saksi, barang, atau benda dokumen yang

mempunyai hubungan dengan para pihak yang bersengketa. Putusan

harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Badan Arbitrase

Syari’ah Nasional (BASYARNAS).

5. Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung Arbiter

tunggaal atau majelis harus memberi perlakuan dan kesempatan yang

sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the law) untuk

membela dan mempertahankan kepentingan yang disengketekannya.

Arbiter tunggal atau Majelis , baik atas pendapat sendiri atau para pihak

dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi,

termasuk saksi ahli dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak,

setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada

Arbiter Tunggal atau Majelis salinannya harus disampaikan kepada pihak

lawan. Namun, pemeriksaan dibolehkan secara lisan (oral hearing).

Tahap pemeriksaan dimulai dari jawab-menjawab (replik-duplik),

pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter

Tunggaal atau Majelis.

8

Page 9: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

6. Dalam jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan,

Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie).

Terhadap bantahan yang diajukan Termohon, Pemohon dapat mengajukan

jawaban (replik) yang dibarengi dengan tambahan tuntutan (Additional

Claim) asal hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung

dengan pokok yang disengketekan serta termasuk dalam Yurisdiksi

Badaan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), baik tuntutan

konvensi, rekonvensi maupun addional Claim akan diperiksa dan diputus

oleh Arbiter atau maajelis terlebih dulu akan mengusahakan tercapainya

perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka Arbiter Tunggal

akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk

memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut masing-masing. Sebaliknya,

apabila perdamaian tidak berhasil, maka Arbiter Tunggal atau Majelis

akan meneruskan pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal yang

diteruskan para pihak dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan

pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap

perlu untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara

tertutup sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup.

7. Arbiter tunggal atau Majelis akan menutup pemeriksaan sengketa

arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan

yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup, dengan tidak

menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to open)

sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu.

9

Page 10: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

8. Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri kedua

belah pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut, tetapi jika tidak

ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan. Seluruh proses

pemeriksaan sampai diucapkannya putusan oleh Arbiter Tunggal atau

Majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6

(enam) bulan habis, terhitung sejak dipanggilnya pertama kali para pihak

untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.

9. Putusan Arbitrase tersebut harus memuat alasan-alasan, kecuali para

pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan. Arbiter Tunggal

atau Majelis harus memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai

dengan ketentuaan hukum yang berlaku bagi perjanjiaan yang

menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak. Putusannya bersifat

final dan mengikat para pihak yang bersengketa dan para pihak wajib

mentaati seta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas.

Apabila putusan tidak dipenuhi secara suka rela, maka putusan

dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 RV dan Pasal

639 RV. 5

Walaupun putusan arbiter itu bersifat final , namun Peraturan Prosedur

Badan Arbitrase Syari’ah Nasional memberikan kemungkinan kepada

salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis, permintaan pembatalan

putusan (annulment of the award) arbitrase tersebut yang disampaikan

kepada sekretaris BASYARNAS dan tembusan kepada pihak lawan

sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan paling lambat

5 ?Ibid, hal. 65.

10

Page 11: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali

mengenai alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam

waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan

putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan sebagai

berikut:

a. Penunjukan Arbiter Tunggal atau Majelis tidak sesuai dengan

ketentuan,

b. Putusan melampaui batas kewenangan BASYARNAS,

c. Putusan melebihi yang diminta para pihak,

d. Terdapat penyelewengan diantara saalah salah seorang arbiter,

e. Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok dan putusan tidak

memuat alasan-alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan.6

Sementara itu dalam tulisan Dr. Rifyal Ka’bah yang berjudul”

Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru

Peradilan Agama” yang termuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan tahun

Ke XXI Nomor 245 April 2006, lebih banyak mambahas tentang pengalaman

BASYARNAS dalam menyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan

kepadanya, dimana didalam menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah

BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda, yakni hukum Islam

seperti yang diformulasikan oleh DSN (Dewan Syari’ah Nasional) dan pasal-

pasal dalam KUHPerdata. Hal ini dilakukan karena ketiadaan peraturan

6 ? Ibid.

11

Page 12: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

perUndang-Undangan tentang perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi

syari’ah secara umum.7

Selain kedua referensi di atas terdapat satu tesis MSI-UII Yogyakarta yang

disusun oleh Yususf Buchori dengan judul “Litigasi Sengketa Perbankan

Syari’ah Dalam Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” , dalam

pembahasannya lebih terfokus kepada studi kasus pada sengketa perbankan

syari’ah yang diadili dan diselesaikan oleh pengadilan Agama Purbalinga,

bukan kepada penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah pada umumnya.

Sebaagaimana dalam salah satu kesimpulannya Yusuf Buchori menyatakan,

bahwa dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah terdapat dua

lapangan hukum (two level playing fields) , yaitu syari’ah level dan legal

level. Hal ini dikarenakan dalam praktek Bank Syari’ah dalam mengadakan

akad secara formal berpedoman kepada KHUPerdata (BW) dan secara

materiil atau substansinya berdasarkan prinsip syari’ah.8

Dari ketiga referensi di atas secara jelas belum ada yang membahas proses

penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dilingkungan Peradilan Agama.

Oleh karena itu cukup alasan bagi diri Penyusun untuk menyusun tesis ini

dalam rangka untuk menambah khazanah keilmuan dalam hal penyelesaian

sengketa ekonomi syari’ah, khususnya bagi lembaga Pengadilan Agama.

7 ? Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah …,hal. 20. 8 ? Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah Dalam Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” , Tesis MSI-UII Yogyakarta, 2007, hal. 148.

12

Page 13: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

F. Kerangka Teori

Ekonomi atau ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi atau ilmu

ekonomi konvensional yang berkembang di dunia dewasa ini, karena yang

pertama terikat kepada nilai-nilai Islam dan yang kedua memisahkan diri dari

agama semenjak negara-negara Barat berpegang kepada sekularisme dan

menjalankan politik sekularisasi.9 Sungguh pun demikian, tidak ada ekonomi

yang terpisah dari nilai atau tingkah laku manusia, tetapi pada ekonomi

konvensional, nilai yang digunakan adalah nilai duniawi semata (profane,

mundane).

Yang dimaksud dengan kata syari'ah dalam ekonomi syari'ah sebenarnya

adalah fiqh para fuqaha'. Hal itu karena salah satu pengertian syari'ah yang

berkembang dalam sejarah adalah fiqh dan bukan ayat-ayat dan/atau hadits-

hadits semata sebagai inti agama Islam atau ayat-ayat dan/atau hadts-hadits

hukum saja secara khusus. Pemakaian kata syari'ah sebagai fiqh tampak

secara khusus pada pencantuman syari'ah Islam sebagai sumber legislasi di

beberapa negara muslim (dan juga pada 7 kata dalam Piagam Jakarta),

perbankan syari'ah, asuransi syari'ah, ekonomi dan keuangan syari'ah secara

umum di Indonesia, serta Pengadilan Syari'ah (Mahkamah Syar'iyah) di

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD). Inilah yang diistilahkan dalam

bahasa Barat sebagai Islamic Law, de Mohammadan wet/recht, la loi

islamique, dan lain-lain.10

9 ?Khurshid Ahmad (ed), Studies in Islamic Economics , dalam Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah., hal. 12.10 ?Rifyal Ka'bah,Hukum Islam di Indonesia, (Buletin Dahwah) DDII, DKI Jakarta, Mei 2006.

13

Page 14: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Ada pun pengertian ekonomi Islam adalah merupakan suatu ilmu yang

mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam

yang mengikuti Al-Qur’an, hadits Nabi Muhammad SAW., ijma’ dan qiyas.11

Islam memang sebagai suatu sistem nilai yang sedemikian lengkap dan

menyeluruh dalam mengatur kehidupan umat manusia di dunia ini, tak

terkecuali di dalam persoalan perekonomian. Dalam hal ini Islam telah

mengatur bagaimana nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem

perekonomian Islam tersebut. Untuk ini Muhammad Syafi'i Antonio dalam

bukunya Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek, telah menguraikan :12

1. Perekonomian masyarakat luas – bukan hanya masyarakat Muslim – akan

menjadi baik bila menggunakan kerangka kerja atau acuan norma-norma

Islami.

Banyak ayat Al-Qur'an yang menyerukan penggunaan kerangka kerja

perekonomian Islam, diantaranya adalah :

13

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”

Semua ayat tersebut merupakan penentuan dasar pikiran dari pesan

Al-Qur'an dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat tersebut dapat difahami

11 ?Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah, Buku Saku Lembaga Bisnis Syari’ah , (Jakarta: PKES, 2006), hal.112 ?Muhammad Syafi'I Antonio, Bank Syari'ah, dari Teori ke Praktek, Cet.kesembilan (Jakarta: Gema Insani, 2005)hal. 10. 13 ? Q.S. Al-Baqarah (2): 87-88.

14

Page 15: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

bahwa Islam mendorong penganutnya untukmenikmati karunia yang telah

diberikan oleh Allah. Karunia tersebut harus didayagunakan untuk

meningkatkan pertumbuhan ,baik materi maupun non materi.

Islam juga mendorong penganutnya berjuang untuk mendapatkan

materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang

telah ditetapkan.

Salah satu hadits Rasulullah SAW menegaskan :

اواحل حالال حرم اال شروطـهم على االمســلمون

حـــرامـا

Artinya :"Kaum Muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."14

Rambu-rambu tersebut di antaranya: carilah yang halal lagi baik; tidak

menggunakan cara batil; tidak berlebih-lebihan/melampaui batas; tidak di

zhalimi maupun menzhalimi; menjauhkan diri dari unsur riba; maisir

(perjudian dan intended speculation); dan gharar (ketidak-jelasan dan

manipulatif ) serta tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infak

dan sedekah. Ini yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan

perekonomian konvensional yang menggunakan prinsip self interest

(kepentingan pribadi) sebagai dasar perumusan konsepnya.

2. Keadilan dan Persaudaraan Menyeluruh.

14 ? H.R. At-Turmudzi, dalam kitab Subulus Salam,Syarah Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Juz III, Jilid II, disusun oleh Imam Muhammad ibn Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy (t.t.p., Dar al-Fikr, t.t.)hal. 59.

15

Page 16: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Islam bertujuan untuk membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang

solid. Dalam tatanan itu setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih

sayang bagai satu keluarga. Sebuah persaudaraan yang universal dan tak

diikat batas geografis.

Keadilan dalam Islam memiliki implikasi sebagai berikut :

a. Keadilan Sosial;

b. Keadilan Ekonomi;

3. Keadilan Distribusi Pendapatan.

Kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat,

berlawanan dengan semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan

keadilan sosial-ekonomi. Kesenjangan harus diatasi dengan menggunakan

cara yang ditekankan Islam.

4. Kebebasan Individu dalam Konteks Kesejahteraan Sosial.

Konsep Islam amat jelas. Manusia dilahirkan merdeka. Karenanya tidak ada

seorang pun – bahkan negara mana pun – yang berhak mencabut kemerdekaan

tersebut dan membuat hidup manusia menjadi terikat. Dalam konsep ini setiap

individu berhak menggunakan kemerdekaannya tersebut sepanjang tetap berada

dalam kerangka norma-norma Islami. Dengan kata lain, sepanjang kebebasan

tersebut dapat dipertanggung-jawabkan, baik secara sosial maupun dihadapan

Allah.

Sedangkan yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” menurut Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

16

Page 17: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah” perbuatan atau kegiatan usaha

yang dilakukan menurut prinsip syari’ah,” 15 antara lain meliputi :

a.bank syari’ah;

b.asuransi syari’ah;

c.reasuransi syari’ah;

d.reksadana syari’ah;

e.lembaga keuangan mikro syari’ah;

f.obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;

g.sekuritas syari’ah;

h.pembiayaan syari’ah;

i.pegadaian syari’ah;

j.dana pensiun lembaga keuangan syari’ah;

k.bisnis syari’ah.

Menegenai sendi-sendi Islam, menurut catatan Abu A’la Al-Maududi

terdapat tujuh hal sebagai berikut :

a. Adanya prinsip perbedaan antara yang halal dan yang haram mengenai jalan-

jalan mencari kekayaan. Dalam hal ini Islam tidak membenarkan bagi

umatnya untuk mencari kekayaan semau-mau mereka, tetapi Islam

menegaskan perbedaan antara mereka dalam mencari penghidupan melalui

jalan-jalan yang sah dan yang tidak sah. Prinsip ini diterangkan oleh Allah

dalam firman-Nya :

15 ?Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pasal 49 huruf i.

17

Page 18: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

16

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu17; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”

Ayat ini telah menetapkan dua perkara sebagai syarat bagi

sahnya perdagangan. Pertama, hendaklah perdagangan itu

dilakukan dengan suka sama suka diantara kedua belah

pihak. Kedua, hendaklah keuntungan satu pihak, tidak berdiri

di atas dasar kerugian pihak yang lain. Maksudnya adalah

bahwa tiap-tiap orang yang merugikan orang lain untuk

membela kepentingan pribadinya, maka seolah-olah ia

menumpahkan darahnya dan membukakan jalan kebinasaan

bagi dirinya akhir kesudahannya. Pencurian, penyuapan,

perjudian, jual beli secara gharar 18 , penipuan, pemalsuan,

membungakan uang dan lain-lain jalan mencari kekayaan,

apabila terdapat di dalamnya kedua sebab ini menjadikan dia

tidak sah. Dan jika hanya terdapat sebagian syarat , misalnya

16 ? Q.S. An-Nisa’ (4) : 29-30. 17 ?Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, Karena umat merupakan suatu kesatuan.

18 ? Jual beli secara gharar, artinya jual beli yang membawa kebinasaan (resiko), seperti tidak diketahuinya ketentuan barang yang diperjual belikan, atau tidak diketahui harganya,banyaknya, temponya kalau di sana ada tempo, atau tidak diketahui kepastian adanya barang itu dan keselamatannya.

18

Page 19: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

“suka sama suka”, diantara kedua belah pihak, maka ia masih

membutuhkan satu syarat lagi, yaitu sebagaimana yang

dimaksud dalam ayat :

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.”

b. Larangan menumpuk / mengumpulkan harta.

Bahwa seyogyanya seseorang yang baik tidak mengumpulkan harta yang

didapatnya dengan jalan yang sah, karena yang demikian itu menghambat

perputaran kekayaan dan merusak keseimbangan dalam pembagiannya

dikalangan masyarakat ramai. Orang yang mengumpulkan harta dan tidak

membelanjakannya, tidak hanya mencampakkan dirinya ke dalam berbagai

penyakit moril saja, tetapi juga melakukan sesuatu kejahatan yang besar

terhadap masyarakat seluruhnya, dimana madharatnya dan keburukannya akan

kembali menimpa dirinya juga. Oleh karena itu Islam sangat mencela dan

memerangi sifat kebakhilan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-

Qur’an:

19

Artinya :” Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

19 ?Q.S. Ali Imran (5): 180.

19

Page 20: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

c. Perintah untuk membelanjakan harta. Tetapi walaupun demikian Islam tidak

membenarkan umatnya membelanjakan hartanya dengan jalan boros, semata-

mata untuk memuaskan hawa nafsu. Akan tetapi didalam membelanjakan

harta tersebut haruslah didasari “fi sabilillah”. Hal ini sesuai dengan firman

Allah SWT :

20

Artinya : “…. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”

21

Artinya : “ Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta).”

22 Artinya : “ Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,

akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).”

d. Zakat.

Kewajiban zakat dimaksudkan agar supaya kekayaan tidak dibiarkan

terkumpul disalah satu tempat dalam masyarakat.20 ? Q.S. Al-Baqarah (2) : 219.21 ? Q.S. Al-Ma’arij (70) : 24-25.22 ? Q.S. Al-Baqarah (2) : 272.

20

Page 21: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

e. Hukum Waris.

Yang dikehendaki dalam aturan ini adalah apabila seseorang meninggalkan

harta benda, maka harta bendanya tersebut dibagi-bagikan kepada sanak

kerabatnya yang terdekat, dan apabila tidak meninggalkan sanak kerabat

semua harta peninggalannya harus diserahkan ke Baitul Mal kaum muslimin,

supaya dapat dinikmati manfaatnya oleh seluruh umat.

f. Pembagian rampasan perang.

Islam telah mengatur harta-harta yang diperoleh dari hasil rampasan perang,

secara lebih adil dan lebih bermanfaat bagi sesama pihak.

g. Perintah untuk berhemat dalam perbelanjaan.

Islam menghendaki, bahwa tidak seyogyanya seseorang membelanjakan

hartanya kecuali dalam batas-batas kemampuan ekonominya 23

Berangkat dari uraian di atas, dapat dimunculkan kerangka teori sebagai

berikut :“Bahwa ikatan antara kepentingan pribadi dan kepentingan

masyarakat adalah erat-semata-mata karena fitrah keduanya. Antara keduanya

harus ada keselarasan dan keserasian, bukan persaingan dan pertarungan.”24

Sementara itu, untuk menyelesaikan sengketa ekonomi/bisnis syari’ah pada

umumnya pihak penggugat menuntut ganti rugi dari pihak tergugat atas tidak

terpenuhinya “prestasi” yang telah disepakati bersama dalam suatu akad

perjanjian yang telah dibuat oleh mereka. Oleh karena itu disini perlu

dijelaskan beberapa teori ganti rugi (ta’wid, daman).

23 ?Abu A’la Al-Maududi, Dasar-Dasar Ekonomi Islam dan Berbagai System Masa Kini,alih bahasa Abdullah Suhaili, cet. Kedua (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984) hal . 13624 ?Ibid, hal. 13.

21

Page 22: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Berkaitan dengan hal tersebut definisi .daman mengandung makna-makna

sebagai berikut:

1. Objek wajib Odaman terletak pada zimmah (perjanjian). Kewajiban .daman

tidak akan gugur kecuali dengan memenuhi atau dibebaskan oleh pihak

yang berhak menerima ganti rugi tersebut. Pihak yang dirugikan

(mutadarrar) berhak mengadukan ke pengadilan untuk memaksa pihak

yang menyebabkan terjadinya kerugian (mutasabbib) agar memenuhi

kewajibannya. Hal ini berbeda dengan kewajiban yang bersifat moral atau

keagamaan di mana Syari’ hanya mendorong untuk memenuhinya tanpa

implikasi hukuman keduniaan atas pelenggaran itu. Hal ini termasuk

katagori khitab al-targib yang meliputi, dalam istilah kaum ushuli,

makruhat dan mandubat. Zimmah menurut bahasa adalah al-aqdu

(perjanjian). Menurut tradisi fuqaha’ zimmah adalah suatau sifat yang

menjadikan seseorang mempunyai kompetensi untuk menerima hak atau

melakukan kewajiban.

2. Hak yang dibebankan kepada seseorang berdasarkan .daman berbeda

dengan kewajiban seseorang berdasarkan ‘uqubah baik pada karakter

maupun tujuannya. Wajib karena .daman disyariatkan untuk melindungi

hak-hak individu. Pada saat yang sama ‘uqubah disyariatkan karena

adanya unsur pelanggaran (al-ta’addi) terhadap hak-hak Allah SWT.

Wajib pada .daman disyariatkan untuk mengganti atau menutupi (al-ajru)

kerugian yang terjadi pada seseorang. Sementara ‘uqubah ditetapkan

22

Page 23: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

untuk menghukum pelaku agar jera dan tidak melakukan perbuatan itu

kembali (al-zajru).

3. Sebab-sebab .daman adalah adanya unsur al-ta’adi , yaitu melakukan

perbuatan terlarang dan atau tidak melakukan suatu kewajiban menurut

hukum. Ta’addi dapat terjadi karena melanggar perjanjian dalam akad

yang semestinya harus dipenuhi. Misalnya, tempat penitipan barang (al-

muda) tidak memelihara barang sebagaimana mestinya, seorang al-ajir

(buruh upahan, orang sewaan) dengan al-musta’jir (penyewa) sama-sama

meyalahi akad. Ta’addi juga dapat terjadi karena melanggar hukum

syari’ah (mukhalafatu ahkam syari’ah) seperti pada kasus perusakan

barang (al-itlaf), perampasan(al-gash), maupun kelalaian atau penyia-

nyiaan barang secara sengaja (al-ihmal).

4. Ta’addi yang mewajibkan .daman benar-benar menimbulkan ..darar

(kerugian). Jika tidak menimbulkan kerugian, maka tidak ada .daman,

karena secara fatual tidak ada .darar yang harus digantirugikan. Itulah

sebabnya jika seorang pengendara yang lalai menabrak barang orang lain

tetapi tidak menimbulkan kerusakan, tidak diwajibkan untuk memberikan

.daman. Namun demikian, tedapat suatu perbuatan dengan sendirinya

mewajibkan .daman seperti al-gasbu (perampasan) . Menurut jumhur

ulama, pelaku perampasan harus mengganti manfaat barang yang

dirampas walaupun tidak memanfaatkannya. Ini adalah bagian dari adanya

asumsi bahwa kerugian akan selalu ada pada kasus-kasus perampasan.

Damikian pula diduga kuat akan terjadi kerugian (.darar) bagi seseorang

23

Page 24: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

yang dibatasi kebebasannya atau seseorang yang ditahan secara ilegal

menurut fuqaha’ Hanabilah. Hal ini mirip dengan Strict Liability dalam

hukum Inggris. Pengecualian ini memperkuat kaidah bahwa al-.darar

syarthum liwujubi .daman (kerugian adalah syarat terhadap keharusan

ganti rugi).

5. Antara ta’addi (pelanggaran) dengan .darar (kerugian) harus memiliki

hubungan kausalitas. Artinya, .darar dapat dinisbatkan kepada pelaku

pelanggaran secara langsung. Jika .darar dinisbatkan kepada sebab-sebab

lain, bukan perbuatan pelaku pelanggaran (muta’addi) sendiri,

maka .daman tidak dapat diberlakukan , karena seseorang tiadak dapat

dibebani tanggungjawab atas akibat perbuatan orang lain. Kaidah syariah

mengenai masalah ini adalah:

غيره بجريرة احد يؤاخذ ال ؛ اخر وزر وازرة .التزر

6. .darar harus bersifat umum sesuai dengan keumuman hadit Nabi:

laa .darara wa la .dirara (tidak boleh merugikan diri sendiri dan

merugikan orang lain). Tingkat .darar diukur berdasarkan ‘urf

(kebiasaan) yang berlaku. Hal ini sejalan dengan kaidah ushul: yajibu

hamlu al-laf.zi ‘ala ma’nahu al-muhaddah fi as-syar’i in wujida, wa illa

wajaba hamluhu ‘ala ma’nahu al-‘urfi (suatu keharusan membawa kata

kepada maknanya yang definitif secara syara’ jika ditemukan, tetapi kalau

tidak ada harus dialihkan kepada makna definitif berdasarkan ‘urf).

Karena Syari’ tidak menetapkan makna .darar , sehingga ukurannya, baik

kualitas maupun kuantitas, mengaju kepada ‘urf. Dengan demikian, .darar

24

Page 25: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

yang diganti rugi berkaitan dengan harta benda, manfaat harta benda, jiwa,

dan hak-hak yang berkaitan dengan keharta-bendaan jika selaras dengan

‘urf yang berlaku di tengah masyarakat.

7. Kualitas dan kuantitas .daman harus seimbang dengan .darar. Hal ini

sejalan dengan filosofi .daman, yaitu untuk mengganti dan menutupi

kerugian yang diderita pihak korban, bukan membuat pelakunya agar jera.

Kendati demikian, tujuan ini selalu ada dalam berbagai sanksi, walau

hanya bersifat konvensional.25

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Oleh karena penelitian ini bersifat penelitian pustaka ( Library Research),

maka metode yang dipergunakan untuk memperoleh data yang dikehendaki

adalah dengan jalan menggali/mengeksplorasi nilai-nilai maupun norma-

norma hukum Islam yang berkaitan dengan persoalan yang sedang diteliti,

baik yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an, kitab-kitab hadis, kitab-

kitab fiqh/ushul fiqh, peraturan perUndang-Undangan, fatwa Majelis Ulama

Indonesia maupun sumber-sumber lain yang berkaitan.

2. Jenis Penelitian

Dari segi kegunaan atau manfaatnya, penelitian ini lebih tepat

dikategorikan sebagai jenis penelitian terapan (Applied Research), yakni

25 ?Asmuni Mth, Teori Ganti Rugi (.daman) Perspektif Hukum Islam, diktat kuliah pada program Magister Studi Islam UII Yogyakarta. Hal. 8.

25

Page 26: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

jenis penelitian yang dilakukan dalam rangka menjawab kebutuhan dan

memecahkan masalah-masalah praktis, sehingga jenis penelitian ini dapat

juga di sebut dengan operational research (penelitian operasi) atau action

research (penelitian kerja).26

3. Pendekatan

Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menjawab persoalan yang

telah dirumuskan adalah menggunakan pendekatan perUndang-Undangan

(statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach) dan

sekiranya dalam proses penulisan tesis ini muncul kasus tentang sengketa

ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama, maka tidak menutup

kemungkinan juga akan dipergunakan pendekatan kasus (case approach).

Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan

menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan

praktis, pendekatan Undang-Undang ini akan membuka kesempatan bagi

peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu

Undang-Undang dengan Undang-Undang lainnya atau antara Undang-

Undang dengan Undang-Undang Dasar atau antara regulasi dan Undang-

Undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk

memecahkan suatu isu yang dihadapi. 27

26 ?Supardi, Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis, Cet.1 (Yogyakrta: UII Press,2005) ,hal. 26 27 ? Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Edisi Pertama, cet. Ke-2 (Jakarta: Kencana,2005), hal. 93

26

Page 27: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam

suatu ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide

yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum

dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman

akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan

sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dalam

memecahkan isu yang dihadapi.28

Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah

terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah

menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang

tetap. Kasus bisa berupa kasus yang terjadi di Indonesia maupun di

negara lain. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah

ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk

sampai kepada suatu putusan. Baik untuk keperluan praktik maupuin

untuk kajian akademis, ractio decidendi atau reasonimg tersebut

merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu

hukum. Perlu dikekmukakan di sini bahwa pendekatan kasus tidak sama

dengan studi kasus (case study). Didalam pendekatan kasus (case

approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum.

28 ?Ibid, hal. 95

27

Page 28: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Studi kasus merupakan suatu studi terhadap kasus tertentu dari berbagi

aspek hukum, …29

4. Metode Analisis Data

Lebih lanjut untuk menganalisis data yang diperoleh dipergunakan

metode induktif, yakni berusaha mencari aturan-aturan, nilai-nilai maupun

norma-norma hukum yang terdapat dalam pustaka yang terkait untuk

dirumuskan sebagai suatu kaidah hukum tertentu yang bisa diberlakukan

untuk menyelesaikan kasus sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan

Agama.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk memperoleh gambaran awal tentang isi, pembahasan tesis ini

disusun berdasaarkan sisitematika sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan; dalam bab ini dibahas tentang latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka dan

kerangka teori serta metode penelitian dan sisitematika pembahasan.

BAB II : Tinjauan Umum tantang Ekonomi Syariah; dalam bab ini

dibahas tentang konsep dan sistem ekonomi syari’ah, macam-macam aktivitas

ekonomi syari’ah, sumber-sumber hukum ekonomi syari’ah dan ragam

konflik ekonomi syari’ah, bab ini dimaksudkan untuk menjawab persoalan

hal-hal apa saja yang rawan terjadinya konflik atau sengketa dalam aktivitas

perekonomian yang berbasis syari'ah, serta prinsip-prinsip ekonomi syari’ah.

29 ?Ibid, hal. 94

28

Page 29: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

BAB III : Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah; dalam bab ini

dibahas tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dengan jalan

musyawarah, melalui badan arbitrase dan penyelesaian sengketa ekonomi

syari’ah melalui Badan Peradilan Agama. Dalam bab ini dimaksudkan untuk

menjelaskan dan menjawab persoalan bagaimana mestinya sengketa dibidang

perekonomian syari'ah tersebut dapat diselesaikan sesuai dengan nilai-nilai

yang Islami yang menjunjung tinggi rasa keadilan serta Pengadilan Agama

mana yang berwenang menyelesaikan sengketa dimaksud .

BAB IV : Analisis Data; Dalam bab ini dimaksudkan untuk menganalisis

data yang diperoleh sepanjang penelusuran pustaka yang relevan mapun dari

hasil wawancara dengan praktisi hukum yang berkompeten dalam

penyelesaian perkara sengketa ekonom syari'ah.

BAB V : Penutup; pada bab ini dideskripsikan kesimpulan penyusun

hasil analisis pembahasan dan saran/rekomendasi yang dipandang perlu.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EKONOMI SYARI'AH

A. Konsep dan Sistem Ekonomi Syari'ah.

Gagalnya kapitalisme maupun sosialisme dalam menciptakan

kesejahteraan masyarakat, mengharuskan adanya pemecahan. Karena itu,

negara-negara muslim sangat membutuhkan suatu sistem yang lebih baik

yang mampu memberikan semua elemen berperan dalam rangka mencapai

kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia sejati. Sesuai dengan firman

Allah dalam Al-Qur’an :

29

Page 30: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

.30

Artinya :”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu31, Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya 32dan Sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan “.

Sistem Ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada

ketentuan Al-Qur’an dan Sunnah berisi tentang nilai

persaudaraan, rasa cinta, penghargaan kepada waktu, dan

kebersamaan. Adapun sistem ekonomi Islam meliputi antara

lain :

1.Mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan

masyarakat.

2. Individu mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan

berdasarkan potensi masing-masing.

3.Adanya jaminan sosial dari negara untuk masyarakat

terutama dalam pemenuhan kebutuihan pokok manusia .

4.Mencegah konsentrasi kekayaan pada sekelompok kecil

orang yang memiliki kekuasaan lebih.

5. Melarang praktek penimbunan barang sehingga

mengganggu distribusi dan stabilitas harga.

30 ? Q.S. Al-Anfal (8) : 24. 31 ?Maksudnya: menyeru kamu berperang untuk meninggikan kalimat Allah yang dapat membinasakan musuh serta menghidupkan Islam dan muslimin. juga berarti menyeru kamu kepada iman, petunjuk jihad dan segala yang ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

32 ? Maksudnya: Allah-lah yang menguasai hati manusia

30

Page 31: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

6. Melarang praktek asosial (mal-bisnis).33

B.Macam-Macam Aktivitas Ekonomi Syari’ah

Aktivitas ekonomi syari’ah atau ekonomi Islam sangatlah luas dan banyak

sebanyak aktivitas kehidupan manusia didalam memperoleh kesejahteraan

kehidupan di dunia ini, sebab menusia memang diperintahkan untuk

memenuhi kesejahteraannya di dunia ini tanpa melupakan kebahagiannya di

akhirat kelak. Sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat Al-

Qoshosh ayat 77 :

Artinya :” Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Namun dalam hal ini akan dibatasi pada aktivitas-aktivitas ekonomi

syari’ah yang sudah populer dan melembaga di Indonesia, sebagaimana yang

tercantum didalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Untuk itu berikut ini akan diuraiakan beberapa aktivitas ekonomi syari’ah

yang berkembang di Indonesia , diantaranya :

1. Bank Syari’ah33 ? Gita Danupranata, Ekonomi Islam, cetakan pertama (Yogyakarta : UPFE-UMY,2006) hal 26-27.

31

Page 32: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

a.Pengertian

Bank Islam atau bank syari’ah secara teknis mempunyai persamaan

pengertian. Para Pakar pebankan Islam memberikan beberapa definisi.

Menurut Karnaen A. Perwaatmadja, bank syari’ah adalah bank yang

beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, yakni bank dengan tata

cara dan operasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam. Salah

satu unsur yang harus dijauhi dalam muamalah Islam adalah praktik-

praktik yang mengandung unsur riba.34

Sedangkan Warkum Sumitro mengatakan bahwa bank Islam berarti

bank yang tata cara operasinya didasarkan pada tata cara bermuamalah

secara Islami, yakni mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan

hadits. Dalam operasionalisasinya, bank Islam harus mengikuti atau

berpedoman kepada praktik-praktik usaha yang dilakukan pada zaman

Rasulullah SAW, bentuk-bentuk yang sudah ada sebelumnya tetapi tidak

dilarang oleh Rasulullah bentuk-bentuk usaha baru sebagai hasil ijtihad

para ulama atau cendekiawan muslim yang tidak menyimpang dari

ketentuan Al-Qur’an dan hadits.35

Senada dengan pengertian di atas, Amin Azis juga berpendapat bahwa

bank Islam adalah lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan

operasi berdasarkan syariah Islam. Hal ini berarti, operasional bank syari

’ah harus sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an maupun hadits, yaitu

34 ?Karnaen A. Perwaatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, dalam Sofiniyah Ghufron (Penyunting) Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah, cet. 1, (Jakarta : Renaisan, 2005), hal.18. 35 ? Ibid, hal.19.

32

Page 33: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

menggunakan sistem bagi hasil dan imbalan lainnya sesuai dengan

syari’ah Islam.36

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan bank Islam adalah sebuah lembaga keuangan yang

berfungsi sebagai penghimpun dana dan menyalurkannya kepada

masyarakat. Di mana sistem, tata cara, dan mekanisme kegiatan usahanya

berdasarkan pada syariat Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits.

Dalam Al-Qur’an, istilah bank tidak pernah disebutkan secara

eksplisit, tetapi menurut Arifin, jika yang dimaksud merujuk pada sesuatu

yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan

kewajiban, maka semua itu disebutkan dengan jelas seperti zakat,

shodaqoh, ghanimah, bai’, dan sebagainya., atau segala sesuatu yang

memiliki fungsi atau peran tertentu yang dilaksanakan dalam kegiatan

ekonomi.37

Sedangkan dilihat dari sisi ahlak, Al-Qu’an juga menyebutkan sebuah

konsep yang secara eksplisit disebutkan dalam bentuk kisah maupun

perintah. Konsep accountability merupakan contoh kongkrit yang tertera

dalam beberapa ayat, misalnya QS al-Baqarah(2):282-283,

36 ? Ibid.37 ?Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, dalam Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Ibid, hal. 20.

33

Page 34: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah38 tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah

38 ? Bermuamalah ialah seperti berjualbeli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.

34

Page 35: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

. Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang 39

(oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Q.S. Surat Al-Baqarah: 282-283)

Konsep trust (amanah) dalam QS al-Baqarah (2): 283, dan masih

banyak ayat lain yang berkaitan dengan konsep keadilan, amar ma’ruf

nahi mungkar, menegakkan kebenaran, dan berlaku sabar dalam rangka

menjaga stabilitas lembaga tersebut.40

b.Prinsip-Prinsip Prilaku Bisnis Syari’ah

Untuk menyesuaikan dengan aturan dan norma-norma Islam, sudah

semestinya diterapkan dalam perilaku bisnis termasuk dalam hal ini

praktek perbankan Islam, lima prinsip sebagai berikut :

1). Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba);

2). Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah, zakat;

3). Pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan sistem

nilai Islam (haram);

39 ?barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.

40 ? Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Konsep dan Implementasi Bank Syari’ah, cet. I (Jakarta: Renaisan, 2005) hal.20.

35

Page 36: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

4). Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maisir (judi) dan

gharar (ketidakpastian);

5). Penyediaan Takaful (asuransi Islam).41

2. Reksadana Syari’ah

a. Memahami Reksadana Syari’ah

Menurut Undang-Undang Pasar Modal Nomor8 Tahun 1995, Pasal 1

ayat 27, Reksadana adalah suatu wadah yang dipergunakan untuk

menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya

diinvestasikan dalam portofolio efek oleh manajer investasi yang telah

mendapat izin dari Bapepam. Reksadana dapat terdiri dari berbagai

macam instrumen surat berharga seperti saham, obligasi, instrumen

pasar uang, atau campuran dari instrumen-instrumen di atas.

Dengan demikian, sebuah reksadana merupakan hubungan trilateral

karena melibatkan beberapa pihak yang terikat sebuah kontrak atau trust

deed secara legal. Mereka adalah pemilik modal, manajer investasi, dan

bank kustodian.

Manajer investasi biasanya berbentuk perusahaan yang kegiatan

usahanya mengelola portofolio efek. Perusahaan pengelola disebut

dengan fund management company. Di samping sebagai pengelola

investasi, fund management company juga menangani masalah-masalah

yang berhubungan dengan pemasaran dan adaministrasi dana. Portofolio

41 ? Latifa M. Algaud dan Mervyn K. Lewis, Islamic Banking, diterjemahkan oleh Burhan Wirasubrata dengan judul Perbankan Syari’ah, Prinsip, Praktek, Pospek, cet.II (Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 48.

36

Page 37: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

efek adalah kumpulan (kombinasi) sekuritas, atau surat berharga atau

efek, atau instrumen yang dikelola.

Reksadana Syari’ah (Islamic Investment Funds) dalam hal ini

memiliki pengertian yang sama dengan reksadana konvensional, hanya

saja cara pengelolaan dan kebijakan investasinya harus berdasarkan

pada syariat Islam, baik dari segi akad, pelaksanaan investasi, maupun

dari segi pembagian keuntungan.

Islamic Investment Fund merupakan lembaga intermediaris yang

membantu surplus unit melakukan penempatan dan untuk

diinvestasikan. Salah satu tujuan dari Reksadana Syari’ah adalah

memenuhi kebutuhan kelompok investor yang ingin memperoleh

pendapatan investasi dari sumber dan cara yang bersih dan dapat

dipertanggungjawabkan secara religius, serta sejalan dengan prinsip-

prinsip syari’ah.

Dengan demikian, Reksadana Syari’ah adalah suatu wadah yang -

digunakan oleh masyarakat untuk berinvestasi secara kolektif, di mana

pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syri’at Islam.

Reksadana merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang

ingin ikut serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif

kecil dan kemampuan menanggung resiko yang sedikit. Reksadana

memiliki andil yang amat besar dalam perekonomian nasional karena

dapat memobilisasi dana untuk pertumbuhan dan pengembangan

perusahaan-perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta. Di sisi

37

Page 38: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

lain, reksadana memberikan keuntungan kepada masyarakat berupa

keamanan dan keuntungan materi yang meningkatkan kesejahteraan

material.

Dari sisi tujuan Reksadana Syari’ah dapat disejajarkan dengan Sosial

Responsible Investment (SRI) atau Etical Investment , Sosially Aware

Investment, dan Value-based investment. Tujuan utama Reksadana

Syari’ah bukan semata-mata mencari keuntungan, tetapi juga memiliki

tanggungjawab sosial terhadap lingkungan, komitmen terhadap nilai-

nilai yang diyakini tanpa harus mengabaikan keinginan investornya.

Oleh karena itu, Reksadana Syari’ah tidak boleh menginvestasikan

dananya pada bidang-bidang yang bertentangan dengan Syariat Islam,

misalnya saham-saham atau obligasi-obligasi dari perusahaan yang

pengelolaan dan produknya bertentangan dengan syariat islam; pabrik

makanan atau minuman yang mengandung alkohol, daging babi, rokok,

tembakau, jasa keuangan konvensional, pornografi, pelacuran, serta

bisnis hiburan yang berbau maksiat.42

Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Nomor 20/DSN-

MUI/IV/2001, Reksadana Syari’ah adalah :

“ Reksadana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip syari’ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahibul maal/rabb al maal) dengan manajer investasi sebagai wakil shahibul maal, maupun antara manajer investasi sebagai wakil shahibul maal dengan pengguna investasi.”

b. Ciri-Ciri dan Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah

42 ? Sofiani Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Investasi Halal di Reksa Dana Syari’ah, cet.1 (Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 16.

38

Page 39: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Ciri-Ciri Operasional Reksadana Syari’ah :

1). Mempunyai Dewan Syariah yang bertugas memberikan arahan

kegiatan Manajer Investasi (MI) agar senantiasa sesuai dengan

syariah Islam.

2). Hubungan antara investor dari perusahaan didasarkan pada sistem

mudharabah, di mana satu pihak menyediakan 100% modal

(investor), sedangkan satu pihak lagi sebagai pengelola (manajer

investasi).

3). Kegiatan usaha atau investasinya diarahkan pada hal-hal yang

tidak bertentangan dengan syariah Islam.

Mekanisme Operasional Reksadana Syari’ah

Perbedaan paling mendasar antara reksadana konvensional dan

reksadana syari’ah adalah terletak tada proses screening dalam

mengkonstruksi portofolio. Filterisasi menurut prinsip syariah adalah

mengeluarkan saham-saham yang memiliki aktifitas haram seperti

riba, gharar, minuman keras, judi, daging babi, rokok dan lain

sebagainya. Di samping itu, proses filterisasi juga dilakukan dengan

cara membersihkan pendapatan yang dianggap diperoleh dari kegiatan

haram dan membersihkannya dengan cara charity.

Dalam mekanisme kerja yang terjadi di reksadana ada tiga pihak

yang terlibat dalam pengelolaan dan, yaitu:

39

Page 40: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

1). Manajer investasi sebagai pengelola investasi. Manajer investasi

ini bertanggungjawab atas kegiatan investasi, yang meliputi

analisa dan pemilihan jenis investasi, mengambil keputusan-

keputusan investasi, memonitor pasar investasi, dan melakukan

tindakan-tindakan yang dibutuhkan untuk kepentingan investor,.

Manajer investasi (perusahaan pengelola) dapat berupa:

a). Perusahaan efek, dimana umumnya berbentuk devisi tersendiri

atau PT yang khusus menangani reksa dana.

b). Perusahaan yang secara khusus bergerak sebagai perusahaan

manajemen investasi (PMI) atau investment manajemen

company.

2). Bank kustodian adalah bagian dari kegiatan usaha suatu bank yang

bertindak sebagai penyimpan kekayaan (safe keeper) serta

administrator reksadana. Dana yang terkumpul dari sekian banyak

investor bukan merupakan bagian kekayaan manajer investasi

maupun bank kustodian, tetapi milik para investor yang disimpan

atas nama reksadana dari bank kustodian. Baik manajer investasi

maupun bank kustodian yang akan melakukan kegiatan ini terlabih

dahulu harus mendapat ijin dari Bapepam.

3). Pelaku (perantara) di pasar modal (broker, underwriter) maupun

di pasar uang (bank) dan pengawas yang dilakukan oleh Bapepam.

c. Jenis dan Instrumen Investasi

40

Page 41: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Investasi hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai

dengan syari’ah Islam, yaitu :

1).Instrumen saham yang sudah melalui penawaran umum dan

pembagian deviden didasarkan atas tingkat laba usaha.

2).Penempatan dalam deposito pada Bank Umum Syari’ah.

3) Surat hutang jangka panjang dan jangka pendek yang sesuai dengan

prinsip syari’ah. 43

Berikut ini adalah kaidah-kaidah syari’ah yang telah dipenuhi dalam

instrumen saham :

1). Kaidah syar’iah untuk saham :

a). Bersifat musyarakah jika saham ditawarkan secara terbatas;

b). Bersifat mudharabah jika saham ditawarkan secara terbatas.

c).Tidak boleh ada perbedaan jenis saham karena resiko harus

ditanggung oleh semua pihak.

d).Seluruh keuntungan akan dibagi hasil, dan jika terjadi kerugian akan

dibagi rugi bila perusahaan dilikuidasi.

e). Investasi pada saham tidak dapat dicairkan kecuali setelah likuidasi.

2). Kaidah syari’ah untuk emiten :

a). Produk/jasa yang dihasilkan dikategorikan halal. Dalam hal ini, JII

(Jakarta Islamic Index) telah melakukan penyaringan terhadap

saham yang listing. Berdasarkan fatwa DSN, BEJ memilih emiten

yang unit usahanya sesuai dengan syari’ah.

43 ? Ibid, hal.32.

41

Page 42: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

b). Hasil usaha tidak mengandung unsur riba dan tidak bersifat zalim.

c). Tidak menempatkan investor dalam kondisi gharar atau maysir.

_ Memberi informasi yang transparan

_ Resiko usaha yang wajar dan memenuhi ketentuan.

_ Manajemen Islami

_ Menghormati HAM

_ Menjaga sumber daya alam dan lingkungan hidup.

3). Kaidah syariah untuk pasar perdana :

a). Semua akad harus berbasis pada transaksi yang riil (dengan

penyerahan) atas produk dan jasa yang halal dan bermanfaat.

b). Tidak boleh menertibkan efek hutang untuk membayar kembali

hutang.

c). Dana hasil penjualan efek yang diterbitkan akan dietrima oleh

perusahaan.

d). Hasil investasi yang akan diterima pemodal merupakan fungsi dan

manfaat yang diterima emiten dari modal yang diperoleh dari dana

hasil penjualan efek dan tidak boleh semata-mata merupakan fungsi

dari waktu..

4). Kaidah syariah untuk pasar sekunder :

a). Semua efek harus berbasis pada transaksi riil (dengan penyerahan)

atas produk dan jasa yang halal.

b). Tidak boleh membeli efek hutang dengan dana dari hutang atau

menerbitkan surat hutang.

42

Page 43: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

c). Tidak boleh membeli berdasarkan tren atau indek.

d). Tidak boleh memperjual belikan hasil yang diperoleh dari suatu efek

(misalnya kupon, dividen) walaupun efeknya sendiri dapat

diperjualbelikan.

e). Tidak boleh melakukan transaksi murabahah dengan menjadikan objek

transaksi sebagai jaminan.

f). Transaksi tidak menyesatkan, seperti penawaran palsu dan cornering

Salah satu faktor utama yang menyebabkan gerakan yang tidak stabil

dalam harga saham adalah spekulasi dalam pembayaran uang muka atau obral

saham dengan harga marjinal. Para spekulan mencari keuntungan perbedaan

harga dalam transaksi jangka pendek.

Spekulan berbeda kontras dengan investor. Tujuan investor yang sungguh-

sungguh adalah mencari jalan keluar dari tabungan saham yang mereka miliki

jika mereka benar-benar mau menjual di kemudian hari. Investor yang

sesungguhnya tidak tertarik pada transaksi berjangka pendek dan tujuan

mereka, setidaknya saat pembelian, adalah memegang saham dalam jangka

panjang. Oleh karena itu, ada tiga hal yang mencirikan suatu inventasi di pasar

modal yaitu ;

a). Mengambil saham yang telah dibeli,

b) Melakukan pembayaran penuh,

c) Keinginan pada saat membeli untuk memegang saham dalam jangka waktu

yang tidak tertentu.44

44 ? Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Sistem Keuangan dan Investasi Syari’ah, cet.I,(Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 33-36.

43

Page 44: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

3. Gadai Syari’ah

a. Rukun dan Syarat Transaksi Gadai

Setiap akad harus memenuhi syarat syah dan rukun yang telah ditetapkan

oleh para ulama fiqih. Walaupun terdapat perbedaan mengenai hal ini,

namun secara syarat syah dan rukun dalam menjalankan pegadaian sebagai

berikut:

Rukun Gadai :

1). Shigat adalah ucapan berupa ijab dan qabul.

2). Orang yang berakad, yaitu orang yang menggadaikan (rahin) dan orang

yang menerima gadai (murtahin).

3). Harta / barang yang dijadikan jaminan (marhun).

4). Hutang (Marhun bih)

Syarat Sah Gadai :

1). Shigat

Syarat shigat tidak boleh terikat dengan syarat tertentu dan dengan

masa yang akan datang. Misalnya; rahin mensyaratkan apabila tenggang

waktu marhunbih habis dan marhunbih belum terbayar, maka rahin

dapat diperpanjang satu bulan. Kecuali jika syarat tersebut mendukung

kelancaran akad maka diperbolehkan seperti pihak murtahin minta agar

akad itu disaksikan oleh dua orang.

44

Page 45: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

2). Orang yang berakad. Baik rahin maupun martahin harus cakap dalam

melakukan tindakan hukum, baligh dan berakal sehat, serta mampu

melakukan akad. Bahkan menurut ulama Hanafiyah, anak kecil yang

mumayyis dapat melakukan akad, karena ia dapat membedakan yang

baik dan yang buruk.

3). Marhun bih

a). Harus merupakan hak yang wajib dikembalikan kepada murtahin.

b).Merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak dapat

dimanfaatkan, maka tidak syah.

c). Barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.

4). Marhun

a). Harus berupa harta yang bisa dijual dan nilainya seimbang dengan

marhun bih.

b). Marhun harus mempunyai nilai dan dapat dimanfaatkan.

c). Harus jelas dan spesifik.

d). Marhun itu secara sah dimiliki oleh rahin.

e). Merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran dalam beberapa tempat.

b. Hak dan Kewajiban pihak Penerima Gadai (Murtahin)

1). Hak Murtahin ( Penerima Gadai ) :

(a).Pemegang gadai berhak menjual marhun apabila rahin tidak dapat

memenuhi kewajibannya pada sat jatuh tempo. Hasil penjualan barang

45

Page 46: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

gadai (marhun) dapat digunakan untuk melunasi pinjaman (marhun

bih) dan sisanya dikembalikan kepada rahin.

(b).Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah

dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marhun.

(c).Selama pinjaman belum dilunasi, pemegang gadai berhak menahan

barang gadai yang diserahkan oleh pemberi gadai (nasabah/rahin).

2.) Adapun kewajiban penerima gadai (murtahin) adalah :

(a) Penerima gadai bertanggung jawab atas hilang atau merosotnya

barang gadai, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaiannya.

(b) Penerima gadai tidak boleh menggunakan barang gadai untuk

kepentingan sendiri.

(c) Penerima gadai wajib memberitahukan kepada pemberi gadai sebelum

diadakan pelelangan barang gadai.

c. Hak dan Kewajiban Rahin (Pemberi Gadai)

1). Hak pemberi gadai adalah:

(a). Pemberi gadai berhak mendapatkan kembali barang gadai, setelah ia

melunasi pinjaman.

(b). Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan

hilangnya barang gadai, apabila hal itu disebabkan kelalaian penerima

gadai.

(c). Pembari gadai berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai setelah

dikurangi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya.

46

Page 47: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

(d). Pemberi gadai berhak meminta kembali barang gadai apabila penerima

gadai diketahui menyalahgunakan barang gadai.

2). Kewajiban pembari gadai:

(a) Pemberi gadai wajib melunasi pinjaman yang telah diterimanya dalam

tenggang waktu yang ditentukan, termasuk biaya-biaya yang ditentukan

oleh penerima gadai.

(b) Pemberi gadai wajib merelakan penjualan atas barang gadai miliknya,

apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan pemberi gadai tidak

dapat melunasi pinjamannya.

d. Akad Perjanjian Transaksi Gadai

Untuk mempermudah mekanisme perjanjian gadai antara rahin (pemberi

gadai) dan murtahin (penerima gadai), maka dapat menggunakan tiga akad

perjanjian, antara lain:

1). Akad Qard al-Hasan

Akad ini biasanya dilakukan pada nasabah yang ingin menggadaikan

barangnya untuk tujuan konsumtif. Untuk itu, nasabah (rahin) dikenakan

biaya berupa upah / fee kepada pihak pegadaian (murtahin) karena telah

menjaga dan merawat barang gadaian (marhun).

Sebenarnya, dalam akad qard al-hasan tidak diperbolehkan memungut

biaya kecuali biaya administrasi. Namun demikian, ketentuan untuk biaya

administrasi pada pinjaman dengan cara:

Harus dinyatakan dalam nominal, bukan persentase.

47

Page 48: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Sifatnya harus jelas, nyata dan pasti serta terbatas pada

hal-hal yang mutlak diperlukan dalam kontrak.

Mekanisme pelaksanaan akad qard al-hasan:

(a). Barang gadai (marhun) berupa barang yang tidak dapat dimanfaatkan,

kecuali dengan jalan menjualnya dan berupa barang bergerak saja,

seperti emas, barang elektronik, dan sebagainya.

(b). Tidak ada pembagian bagi hasil, karena akad ini bersifat sosial. Tetap

diperkenankan menerima fee sebagai pengganti biaya administrasi

yang biasanya diberikan pihak pemberi gadai (rahin) kepada penerima

gadai.

.

2). Akad Mudharabah

Akad mudharabah adalah akad yang dilakukan oleh nasabah yang

menggadaikan jaminannya untuk menambah modal usaha atau

pembiayaan yang bersifat produktif. Dengan akad ini, nasabah (rahin)

akan memberikan bagi hasil berdasarkan keuntungan yang didapat

nasabah kepada pegadaian (marhum) sesuai dengan kesepakatan, sampai

modal yang dipinjam dilunasi.

Jika barang gadai (marhun) dapat dimanfaatkan, maka dapat

diadakan kesepakatan baru mengenai pemanfaatan barang gadai, dengan

jenis akad yang dapat disesuaikan dengan jenis barangnya. Jika pemilik

barang gadai tidak berniat memanfaatkan barang gadai tersebut, penerima

48

Page 49: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

gadai dapat mengelola dan mengambil manfaat dari barang itu. Akan

tetapi hasilnya harus diserahkan kepada pemilik barang gadai sebagian.

Ketentuan akad mudharabah:

.(a). Jenis barang gadai dalam akad ini adalah semua jenis barang asal bisa

dimanfaatkan, baik berupa barang bergerak maupun barang tidak

bergerak. Seperti kendaraan bermotor, barang elektronik, tanah,

rumah, bangunan dan lain sebagainya.

(b). Keuntungan yang dibagikan kepada pemilik barang gadai adalah

keuntungan setelah dikurangi biaya pengelolaan. Adapun ketentuan

persentase nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan antara kedua

belah pihak.

3). Akad Ba’i Muqayyadah

Akad Ba’i Muqayyadah adalah akad yang dilakukan apabila nasabah

(rahin) ingin menggadaikan barangnya untuk keperluan produktif. Seperti

pembelian peralatan untuk modal kerja. Untuk memperoleh pinjaman,

nasabah harus menyerahkan barang sebagai jaminan berupa barang-

barang yang dapat dimanfaatkan, baik oleh rahin maupun murtahin.

Dalam hal ini, nasabah dapat memberi keuntungan berupa mark up atas

barang yang dibelikan oleh murtahin. Atau dengan kata lain, murtahin

(pihak pegadaian) dapat memberikan barang yang dibutuhkan oleh

nasabah dengan akad jual beli, sehingga murtahin dapat mengambil

keuntungan berupa margin dari penjualan barang tersebut sesuai dengan

kesepakatan antara keduanya.

49

Page 50: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

4). Akad Ijarah

Akad Ijarah adalah akad yang objeknya adalah penukaran manfaat

untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama

dengan menjual manfaat. Dalam kontrak ini ada kebolehan untuk

menggunakan manfaat atau jasa dengan ganti berupa kompensasi.

Dalam gadai syariah, penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan

tempat penyimpanan barang (deposit box) kepada nasabahnya. Barang

titipan dapat berupa barang yang menghasilkan manfaat maupun tidak

menghasilkan manfaat. Pemilik yang menyewakan disebut muajjir

(pegadaian), sementara nasabah (penyewa) disebut mustajir, dan sesuatu

yang diambil manfaatnya disebut major, sedangkan kompensasi atau balas

jasa disebut ajron atau ujrah.45

4. Asuransi Syari’ah

a. Pengertian Asuransi Syari’ah

Sebagaimana telah diterangkan pada bab terdahulu, dalam konsep

agama Islam terdapat suatu terminologi yang membedakan hubungan

manusia dengan Tuhan (hablum minallah) di satu sisi dan hubungan

manusia dengan sesamanya (hablum minannas) dan lingkungan sekitarnya

(hablum minal alam) di sisi lainnya. Hukum-hukum yang mengatur

hubungan manusia dengan Tuhan seperti peribadatan misalnya adalah

bersifat limitatif (ta’abudi) artinya tidak dimungkinkan bagi manusia untuk

45 ?Sofiniyah Ghufron (Penyunting), Briefcase Book Edukasi Profesional Syari’ah, Mengatasi Masalah Dengan Pegadaian Syari’ah, cet. I (Jakarta : Renaisan, 2005), hal. 31.

50

Page 51: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

mengembangkannya. Sedangkan hukum-hukum yang mengatur hubungan

manusia dengan sesamanya dan lingkungan alam di sekitarnya adalah

bersifat terbuka, artinya Allah SWT dalam Al-qur’an hanya memberikan

aturan yang bersifat garis besarnya saja. Selebihnya adalah terbuka bagi

mujtahid untuk mengembangkan melalui pemikirannya.

Lapangan kehidupan ekonomi termasuk di dalamnya usaha

perasuransian, digolongkan di dalam hukum-hukum yang mengatur

hubungan manusia dengan sesamanya yang disebut dengan hukum

muamalah, oleh karena itu bersifat terbuka dalam pengembangannya.46

Pengertian kehidupan ekonomi dalam konteks perusahaan asuransi

menurut syari’ah atau asuransi Islam secara umum sebenarnya tidak jauh

berbeda dengan asuransi konvensional. Di antara keduanya, baik asuransi

konvensional maupun asuransi syari’ah mempunyai persamaan yaitu

perusahaan asuransi hanya berfungsi sebagai fasilitator hubungan struktural

antara peserta penyetor premi (penanggung) dengan peserta penerima

pembayaran klaim (tertanggung). Secara umum asuransi Islam atau sering

diistilahkan dengan takaful dapat digambarkan sebagai asuransi yang prinsip

operasionalnya didasarkan pada syarat Islam dengan mengacu kepada Al-

Qur’an dan As-Sunnah.47

Dalam menerjemahkan istilah asuransi ke dalam konteks asuransi Islam

terdapat beberapa istilah, antara lain takaful (bahsa Arab), ta’min (bahasa

46 ?Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan Perasuransian Syari’ah di Indonesia , cetakan ke-4 (Jakarta : Kencana, 2007),hal. 135. 47 ?H.A. Dzajuli dan Yadi Janwari, Lembaga-Lembaga Perekonomian Umat (Sebuah Pengenalan), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) hal. 120.

51

Page 52: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

arab) dan Islamic insurance (bahasa Inggris). Istilah-istilah tersebut pada

dasarnya tidak berbeda satu sama lain yang mengandung makna

pertanggungan atau menanggung. Namun dalam prakteknya istilah yang

paling populer digunakan sebagai istilah lain dari asuransi dan juga paling

banyak digunakan di beberapa negara termasuk Indonesia adalah istilah

tafakul. Istilah tafakul ini pertama kali digunakan oleh Dar Al Mal Islami ,

sebuah perusahaan asuransi Islam di Genewa yang berdiri pada tahun

1983.48

Istilah tafakul dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar kafala-yakfulu-

takafala-yatakafalu-takaful yang berarti saling menanggung atau

menanggung bersama. Kata takaful tidak dijumpai dalam Al-Qur’an namun

demikian ada sejumlah kata yang seakar dengan kata takaful, seperti

misalnya dalam QS. Thaha (20) : 40 :

Artinya :"Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan

memeliharanya?"

Apabila kita memasukkan asuransi tafakul ke dalam lapangan kehidupan

muamalah, maka tafakul dalam pengertian muamalah mengandung arti yaitu

saling menanggung resiko di antara sesama manusia sehingga di antara satu

dengan lainnya menjadi penanggung atas resiko masing-masing. Dengan

demikian, gagasan mengenai asuransi tafakul berkaitan dengan unsur saling

menanggung resiko di antara para peserta asuransi, di mana peserta yang

satu menjadi penanggung peserta yang lainnya. Tanggung menanggung

resiko tersebut dilakukan atas dasar saling tolong-menolong dalam kebaikan

48 ? Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum...., hal. 136.

52

Page 53: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

dengan cara masing-masing mengeluarkan dana yang ditujukan untuk

menanggung resiko tersebut. Perusahaan asuransi takaful hanya bertindak

sebagai fasilitator saling menanggung di antara para peserta asuransi. Hal

inilah salah satu yang membedakan antara asuransi tafakul dengan asuransi

konvensional, di mana dalam asuransi konvensional terjadi saling

menanggung antara perusahaan asuransi dengan peserta asuransi.

b. Prinsip-prinsip Asuransi Syari’ah

Prinsip utama dalam asuransi syari’ah adalah ta’awanu ‘ala al birr wa

al-taqwa (tolong –menolong kamu sekalian dalam kebaikan dan takwa)

dan al-ta’min (rasa aman). Prinsip ini menjadikan para anggota atau peserta

asuransi sebagai sebuah keluarga besar yang satu dengan yang lainnya

saling menjamin dan menanggung resiko. Hal ini disebabkan transaksi yang

dibuat dalam asuransi tafakul adalah akad takafuli (saling menanggung),

bukan akad tabaduli (saling menukar) yang selama ini digunakan oleh

asuransi konvensional, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang

pertanggungan.

Para pakar ekonomi Islam mengemukakan bahwa asuransi syari’ah atau

asuransi tafakul ditegakkan atas tiga prinsip utama, yaitu:

1). Saling bertanggung jawab, yang berarti para peserta asuransi takaful

memiliki rasa tanggung jawab bersama untuk membantu dan menolong

peserta lain yang mengalami musibah atau kerugian dengan ikhlas,

karena memikul tanggung jawab dengan niat akhlas adalah ibadah.

53

Page 54: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Rasa tanggung jawab terhadap sesama merupakan kewajiban setiap

muslim. Rasa tanggung jawab ini tentu lahir dari sifat saling

menyayangi, mencintai, saling membantu dan merasa mementingkan

kebersamaan untuk mendapatkan kemakmuran bersama dalam

mewujudkan masyarakat yang beriman, bertakwa dan harmonis.

Dengan prinsip ini, maka asuransi tafakul merealisir perintah Allah

SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang

kewajiban untuk tidak memerhatikan kepentingan diri sendiri semata

tetapi juga mesti mementingkan orang lain atau masyarakat.

2). Saling bekerjasama atau saling membantu, yang berarti di antara peserta

asuransi tafakul yang satu dengan yang lainnya saling bekerja sama dan

saling tolong menolong dalam mengatasi kesulitan yang dialami karena

sebab musibah yang diderita. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-

Maidah ayat 2 :

Artinya :”... dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)

kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Dengan prinsip ini maka asuransi takaful merealisir perintah Allah

SWT dalam Al-Qur’an dan Rasulullah SAW dalam As-Sunnah tentang

kewajiban hidap bersama dan saling menolong di antara sesama unat

manusia.

54

Page 55: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

3). Saling melindungi penderitaan satu sama lain, yang berarti bahwa para

peserta asuransi takaful akan berperan sebagai pelindung bagi musibah

yang di deritanya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Quraisy (106)

ayat 4:

Artinya :”Yang Telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

Dengan begitu maka asuransi takaful merealisir perintah Allah SWT tentang

kewajiban saling melindungi di antara sesama warga masyarakat.

Karnaen A. Perwataatmadja mengemukakan prinsip-prinsip asuransi

takaful yang sama, namun beliau menambahkan satu prinsip dari prinsip yang

telah ada yakni prinsip menghindari unsur-unsur gharar, maisir dan riba.

Sehingga terdapat 4 prinsip asuransi syariah yaitu:

1. Saling bertanggung jawab;

2. Saling bekerja sama atau saling membantu;

3. Saling melindungi penderitaan satu sama lain, dan

4. Menghindari unsur gharar, maisir dan riba.49

Terdapat beberapa solusi untuk menyiasati agar bentuk usaha asuransi

dapat terhindar dari unsur gharar, maisir dan riba.

1. Gharar (uncertainty) atau ketidakpastian ada dua bentuk:

a. Bentuk akad syari’ah yang melandasi penutupan polis. Secara

konvensional, kontrak dan perjanjian dalam asuransi jiwa dapat

49 ? Muhammad Syafi’i Antonio, Prinsip Dasar Operasi Asuransi Takaful dalam Arbitrase Islam di Indonesia (Jakarta : Badan Arbitrase Muamalat indonesia,1994), hal. 148.

55

Page 56: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

dikatagorikan sebagai akad tabaduli atau akad pertukaran yaitu

pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara

harfiah dalam akad pertukaran harus jelas berapa yang dibayarkan dan

berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu (gharar) karena

kita tahu berapa yang akan diterima (sejumlah uang pertanggungan),

tetapi tiadak tahu berapa yang akan dibayarkan (sejumlah seluruh

premi) karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan

meninggal. Dalam konsep syari’ah keadaan ini akan lain karena akad

yang digunakan adalah akad takafuli atau tolong menolong dan saling

menjamin di mana semua peserta asuransi menjadi penolong dan

penjamin satu sama lainnya.

b. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan syar’i penerima uang

klaim itu sendiri. Dalam konsep asuransi konvensional, peserta tidak

mengetahui dari dana pertanggungan ysng diberikan perusahaan

asuransi berasal. Peserta hanya tahu jumlah pembayaran klaim yang

akan diterimanya. Dalam konsep takaful, setiap pembayaran premi

sejak awal akan dibagi dua, masuk ke rekening pemegang polis dan

satu lagi di masukkan ke rekening khusus peserta yang harus di

niatkan tabarru’ atau derma untuk membantu saudaranya yang lain.

Dengan kata lain, dana klaim dalam konsep takaful diambil dari dana

tabarru’ yang merupakan kumpulan dana shadaqah yang di berikan

oleh para peserta.

56

Page 57: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

2. Maisir (gambling) artinya ada salah satu pihak yang untung namun di

pihak lain justru mengalami kerugian. Unsur ini dalam asuransi

konvensional terlihat apabila selama masa perjanjian peserta tidak

mengalami musibah atau kecelakaan, maka peserta tidak berhak

mendapatkan apa-apa termasuk premi yang disetornya. Sedangkan,

keuntungan diperoleh ketika peserta yang belum lama menjadi anggota

(jumlah premi yang disetor sedikit) menerima dana pembayaran klaim

yang jauh lebih besar.

Dalam konsep takaful, apabila peserta tidak mengalami kecelakaan atau

musibah selama menjadi peserta, maka ia tetap berhak mendapatkan

premi yang disetor kecuali dana yang di masukkan ke dalam dana tabarru’.

3. Unsur riba tercermin dalam cara perusahaan asuransi konvensional

melakukan usaha dan investasi di mana meminjamkan dana premi yang

terkumpul atas dasar bunga. Dalam konsep takaful dana premi yang

terkumpul diinvestasikan dengan prinsip bagi hasil, terutama mudharabah

dan musyarakah.50

4.Baitul Mal Wa at-Tamwil (BMT)

a. Pengertian

Baitul Maal Wat at Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri

Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang di oprasikan dengan

prinsip bagai hasil, menumbuh-kembangkan bisnis usaha mikro dalam

rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan

50 ? Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum ....,hal. 150.

57

Page 58: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari

tokoh-tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem

ekonomi yang salam : keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian,

dan kesejahteraan.

b. Asas dan prinsip dasar

BMT didirikan dengan berasaskan pada masyarakat yang salam, yaitu

penuh keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan.

Prinsip Dasar BMT, adalah :

1). Ahsan (mutu hasil kerja terbaik), thayyiban (terindah), ahsanu

‘amala (memuaskan semua pihak), dan sesuai dengan nilai-nilai

salam: keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan

2). Barokah, artinya berdayaguna, berhasil guna, adanya penguatan

jaringan, transparan (keterbukaan), dan bertanggung jawab

sepenuhnya kepada masyarakat.

3). Spiritual communication (penguatan nilai ruhiyah).

4). Demokratis, partisipatif, dan inklusif.

5). Keadilan sosial dan kesetaran jender, non-diskriminatif.

6). Ramah lingkungan.

7). Peka dan bijak terhadap pengetahuan dan budaya lokal, serta

keanekaragaman budaya.

8). Keberlanjutan, memberdayakan masyarakat dengan meningkatkan

kemampuan diri dan lembaga masyarakat lokal.

c. Sifat, peran dan fungsi

58

Page 59: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

BMT bersifat terbuka, tidak partisan, berorientasi pada pengembangan

tabungan dan pembiayaan untuk mendukung bisnis ekonomi yang produktif

bagi anggota dan kesejahteraan sosial masyarakat sekitar, terutama usaha

mikro dan fakir miskin.

Peran BMT di masyarakat, adalah sebagai berikut:

1). Motor penggerak ekonomi dan sosial masyarakat banyak.

2). Ujung tombak pelaksanaan sitem ekonomi syari’ah.

3). Penghubung antara kaum aghnia (kaya) dan kaum dhu’afa (miskin).

4).Sarana pendidikan informal untuk mewujudkan prinsip hidup yang berkah,

ahsanu ‘amala, dan salam melalui spiritual communication dan dzikir

qalbiyah ilahiah.

Fungsi BMT di masyarakat adalah untuk:

1). Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus, dan pengelola menjadi

lebih profesional, salam (selamat, damai dan sejahtera), dan amanah

sehingga semakin utuh dan tangguh dalam berjuang dan berusaha

(beribadah) menghadapi tantangan hidup.

2). Mengorganir dan memobilisasi dana sehingga dana yang dimiliki oleh

masyarakat dapat termanfaatkan secara optimal di dalam dan di luar

organisasi untuk kepentingan rakyat banyak.

3). Mengembangkan kesempatan kerja.

4). Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar produk-produk

anggota.

59

Page 60: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

5). Memperkuat dan meningkatkan kualitas lembaga-lembaga ekonomi dan

sosial masyarakat banyak.

d. Pendiri BMT

BMT dapat didirikan oleh :

1). Sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang.

2. Satu pendiri dengan yang lainnya tidak memiliki hubungan keluarga

vertikal dan horisontal satu kali.

3). Sekurang-kurangnya 70% anggota pendiri bertempat tinggal di sekitar

daerah kerja BMT.

4). Pendiri dapat bertambah dalam tahun-tahun kemudian jika disepakati oleh

rapat para pendiri.

e.Permodalan BMT

Modal BMT, terdiri dari:

1). Simpanan Pokok (SP) yang ditentukan besarnya sama besar untuk semua

anggota.

2) Simpanan Pokok Khusus (SPK) , yaitu simpanan pokok yang khusus

diperuntukkan untuk mendapatkan sejumlah modal awal sehingga

memungkinkan BMT melakukan persiapan-persiapan pendirian dan

memulai operasinya. Jumlahnya dapat berbeda antar anggota pendiri.

Pada pendirian BMT, para pendiri dapat bersepakat agar dalam waktu 4

(empat) bulan sejak disepakati dapat berkumpul uang sejumlah:

(a). Minimal Rp 75 juta untuk wilayah JABOTABEK.

(b). Minimal Rp 50 juta untuk wilayah ibukota propinsi.

60

Page 61: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

(c). Minimal Rp 30 juta untuk wilayah ibukota kabupaten / kota.

(d). Minimal Rp 20 juta untuk wilayah ibukota kecamatan

(e). Minimal Rp 15 juta untuk daerah pedesaan.

f.Status BMT

Status BMT ditentukan oleh jumlah aset yang dimiliki sebagai berikut:

1). Pada awal pendiriannya hingga mencapai aset lebih kecil dari Rp 100 juta

BMT adalah Kelompok Swadaya masyarakat yang berhak meminta

/mendapakan Sertifikat Kemitran dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis

Usaha Kecil).

2). Jika BMT telah memiliki aset Rp 100 juta atau lebih, maka BMT

diharuskan melakukan proses pengajuan Badan Hukum kepada notaris

setempat, antara lain dapat berbentuk:

a). Koperasi Syari’ah (KOPSYAH).

b).Unit Usaha Otonomi Syari’ah dari KSP (koperasi Simpan Pinjam), KSU

(Koperasi Serba Usaha), KUD (Koperasi Unit Desa), Kopontren

(Koperasi Pondok Pesantren), atau Koperasi lainnya yang beroperasi

otonom termasuk pelaporan dan pertanggung jawabannya.

g.Anggota BMT

Anggota BMT, terdiri dari :

1). Anggota pendiri BMT, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok,

simpanan wajib, dan simpanan-simpanan pokok khusus minimal 4% dari

jumlah modal awal BMT yang direncanakan.

61

Page 62: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

2). Anggota biasa, yaitu anggota yang membayar simpanan pokok dan

simpanan wajib.

3). Calon anggota, yaitu mereka yang memanfaatkan jasa BMT tetapi belum

melunasi simpanan wajib.

4). Anggota kehormatan, Yaitu anggota yang mempunyai kepedulian untuk

ikut serta memajukan BMT baik moral amupun materiil tetapi tidak bisa

ikut serta secara penuh sebagai anggota BMT.

h. Cara Kerja BMT

Cara kerja BMT adalah sebagai berikukt:

1). Pendamping atau beberapa pemrakarsa yang mengetahui tentang BMT,

menyampaikan dan menjelaskan ide atau gagasan ini kepada rekan-

rekannya sebagai upaya untuk menarik beberapa orang sebagai pemrakarsa

awal hingga mencapai lebih dari 20 (dua puluh) orang.

2). Dua puluh orang atau lebih tersebut kemudian menyepakati pendirian BMT

di desa, kecamatan, pasar, atau masjid dan bersepakat mengumpulkan

modal awal pendirian BMT.

3). Modal awal kemudian ditentukan sesuai dengan kesepakatan bersama, tidak

harus sama jumlahnya antara pemrakarsa, hingga mencapai jumlah yang

telah ditentukan untuk pendirian sebuah BMT.

4). Pemrakarsa membuat rapat untuk memilih pengurus BMT.

5). Pengurus BMT kemudian merapatkan dan merekrut pengelola / manajeman

BMT dari lingkungan tersebut yang memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh,

62

Page 63: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

fatonah dan benar-benar menguasai visi, misi, tujuan, dan usaha-usaha

BMT, serta memiliki keinginan keras dan dengan sepenuh hati untuk

mengembangkan BMT.

6). Pengurus BMT menghubungi PINBUK setempat untuk memberikan

pelatihan kepada calon pengelola / manajemen BMT tersebut (umumnya 2

minggu pelatihan dan magang).

7). Pengelola yang telah diberi pelatihan kemudian membuka kantor dan

menjalankan BMT, dengan giat menggalakkan simpanan masyarakat dan

memberikan pembiayaan pada usaha mikro dan kecil di sekitarnya.

8). Pembiayaan pada usaha mikro dilakukan dengan menerapkan sistem bagi

hasil yang disampaikan sesuai dengan akad yang telah disepakati.

9). Hasil bagi hasil ini kemudian digunakan oleh para pengelola untuk

membayar honor para pengelola dan membayar kegiatan operasional BMT.

10).Hasil bagi hasil juga digunakan untuk membayar bagi hasil kepada

penyimpan dana, diupayakan agar nilai bagi hasil yang diperoleh para

penyimpan dana busa kebih besar dari bunga konvensional.51

C. Sumber-Sumber Hukum Ekonomi Syari’ah

Ajaran Islam memberikan jalan tengah yang adil untuk berbagai pasangan ,

antara dunia dan akhirat, antara rasio dan hati, antara rasio dan norma, antara

idialisme dan fakta, antara individu dan masyarakat, dan lain sebagainya.

Ajaran Islam mengacu pada berbagai sumber yang telah ditetapkan

51 ?Buku Saku Lembaga Bisnis Syari’ah (Jakarta : Pusat Komunikasi Ekonomi Syari’ah, 2006),hal. 28.

63

Page 64: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Al-Qur’an adalah sumber utama pengetahuan sekaligus sumber hukum

yang memberi inspirasi pengaturan segala aspek kehidupan.

Artinya: “Kitab (Al Quran)52 Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi

mereka yang bertaqwa.53

Artinya : “ (Al Quran) Ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. 54

Dengan menggunakan Al-Qur’an berarti manusia menjalani

hidup dengan mengacu pada buku pedoman dari yang

menciptakan manusia karena yang paling tahu tentang

manusia .

Sunnah Rasul, berarti, kebiasaan yang merujuk pada

perintah (fi’il), ucapan (qaul), dan ketetapan (taqrirat) dari

Rasulullah Muhammad SAW. Sunnah Rasul merupakan

sumber hukum yang berisi banyak tentang penjelas yang

disampaikan dalam Al-Qur’an disamping pedoman hidup

manusia yang belum diatur dalam Al-Qur’an.

Ijma’ adalah konsensus opini dari sahabat dan atau ahli

hukum Islam (fuqoha’, mufti) atas masalah tertentu yang

tidak secara eksplisit dijelaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Salah

52 ? Tuhan menamakan Al Quran dengan Al Kitab yang di sini berarti yang ditulis, sebagai isyarat bahwa Al Quran diperintahkan untuk ditulis.53 ? takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja. ( Q.S.Al-Baqarah (2) :2)54 ? Q.S.Ali Imran (3): 138

64

Page 65: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

satu contoh adalah ijma’ tentang keabsahan kontrak jual beli

komoditi yang belum diproduksi (aqad Al-Istisna).

Ijtihad, adalah penggunaan alasan logika rasional dalam

melakukan interpretasi atas teks Al-Qur’an dan Hadits. Dalam

Al-Qur’an disebutkan tentang kedudukan dan fungsi akal

sebagai berikut :

Artinya :” Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.”55

Dengan terbukanya kembali pintu ijtihad maka akan

semakin meningkatkan keeratan Ilmu Ekonomi Islam dengan

fiqh, karena disebabkan adanya ilmu ekonomi konvensional

yang banyak dianut negara-negara muslim dan kekuatan

fiqh. Analisis ekonomi akan memberikan berbagai cara

menyelesaikan permasalahan yang selalu berkembang,

sementara fiqh akan merespon dengan ikut memberikan

solusi yang merekomendasikan perkembangan zaman.

Apabila ini dapat terbentuk akan mendorong interaksi antara

55 Q.S. Ali Imran (3) :190-191

65

Page 66: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

para ekonom dengan fuqaha yang selanjutnya akan

memberikan pemahaman pada masing-masing untuk dapat

menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul saat ini.

Pada tahapan yang lebih jauh akan terwujud yang sering

disebut saintifikasi ilmu agama dan Islamisasi ilmu

pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi.

D. Ragam Konflik Aktivitas Ekonomi Syari’ah

Walaupun dalam kontrak atau akad bisnis syari’ah telah

diatur sedemikian rupa guna menjamin terpenuhinya rasa

keadilan bagi semua pihak yang terkait, namun dalam

perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya hal-hal

yang tidak memuaskan bagi sebagian pihak yang lain. Hal ini

dikarenakan salah satu pihak atau sebagian pihak yang lain

telah melakukan ingkar janji atau wan prestasi terhadap

perjanjian atau kontrak yang telah dibuatnya sehingga pihak

yang lain merasa dirugikan hak-haknya.

Berdasarkan informasi dari hasil penelitian di Pengadilan

Agama Purbalingga baik melalui wawancara dengan Ketua

Pengadilan Agama maupun dari penelusuran putusan atas

perkara sengketa ekonomi syari:ah dapat dinformasikan

bahwa ragam konflik yang terjadi dalam aktivitas ekonomi

syari:ah adalah berpangkal dari adanya perbuatan ingkar

66

Page 67: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

janji atau wan prestasi dari pihak-pihak yang terkait,

sehingga akibatnya pihak yang lainnya akan merasa

dirugikan hak-haknya akibat dari perbuatan ingkar janji

tersebut .

Ragam dari perbuatan ingkar janji atau wan prestasi

tersebut bisa berupa kridit macet, penyalahgunaan dana

pembiayaan, seperti dalam akad disebutkan pembiayaan

untuk usaha perdagangan, tetapi pada kenyataannya

dipergunakan untuk membiayai konser musik dangdut, dan

lain-lain.56

BAB III

PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARI’AH

Apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan sengketa ekonomi syari’ah itu ?

Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni “conflict”dan

“dispute”yang kedua-duanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan

kepentingan di antara kedua pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan.

Kosa kata conflict sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “konflik”,

sedangkan kosa kata dispute”dapat diterjemahkan dengan kosa kata “sengketa.”

Sebuah konflik, yakni sebuah situasi di mana 2 (dua) pihak atau lebih dihadapkan 56 ?Wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama Purbalingga, hari Rabu, tanggal 9 Januari 2008.

67

Page 68: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

pada perbedaan kepentingan, tidak akan berkembang menjadi sebuah sengketa

apabila pihak yang merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau

keprihatiannya. Sebuah konflik berubah atau berkembang menjadi sebuah

sengketa bilamana pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas

atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai

penyebab kerugian atau kepada pihak lain. 57

Ini berarti sengketa merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik akan

berubah menjadi sengketa bila tidak dapat terselesaikan. Konflik akan diartikan

“pertentangan” di antara para pihak untuk menyelesaikan masalah yang kalau

tidak terselesaikan dengan baik dapat mengganggu hubungan di antara mereka.

Sepanjang para pihak tersebut dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik,

maka sengketa tidak akan terjadi. Namun, bila terjadi sebaliknya, para pihak tidak

dapat mencapai kesepakatan mengenai solusi pemecahan masalahnya, maka

sengketalah yang timbul. Penyelesaian sengkata dapat dilakukan melalui beberapa

cara, yakni melalui badan Peradilan (Litigasi) dan di luar badan Peradilan (Non

Litigasi).

Pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa setua keberadaan

manusia itu sendiri. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan oleh

Tuhan kepada manusia, membawa manusia itu ke dalam bermacam-macam

konflik, baik dengan manusia lain, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya

sendiri. Namun, karena kodrat manusia juga,maka manusia selalu berusaha

mencari cara penyelesaian konflik dalam rangka untuk selalu mencapai posisi

57 ? Siti Megadianty Adam dan Takdir Rahmadi, Sengketa dan Penyelesaiannya, Buletin Musyawarah Nomor 1 Tahun I, (Jakarta : Indonesian Center for Environmental Law, 1997)hal.1.

68

Page 69: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

keseimbangan dan agar tetap dapat berusaha hidup. Sejarah menunjukkan bahwa

peradaban manusia berkembang sesuai dengan alam lingkungannya,

kebutuhannya, serta nilai-nilai baru yang berkembang kemudian. Demikian pula

konflik dan cara-cara penyelesaiannya pun berkembang sejajar dengan

perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Pada saat posisi individualitas

manusia masih tenggelam dalam kepentingan kelompok, konflik individu, baik ia

dengan individu dalam kelompok yang sama maupun antara ia dengan individu

lain dari kelompok yang berbeda, akan ditransformasi manjadi konflik kelompok

dan penyelesaiannya pun menjadi penyelesaian kelompok. Peradaban manusia

yang berkembang semakin komplek membawa serta perubahan posisi manusia

dari ketertenggelamannya dalam kepentingan kelompok menjadi individu-

individu yang mandiri, yang memiliki kepentingan-kepentingan yang tidak dapat

begitu saja ia korbankan pada kepentingan kelompok, maka konflik, cara

penyelesaiannya, serta nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu pun ikut

mengalami perkembangan.58

Pada saat kepentingan manusia masih bertumpu pada kekuasaan atau kekuatan

fisik, nilai yang ingin dicapai dengan penyelesaian itu menang atau kalah, jaya

atau hancur, tanpa kompromi. Setelah kekuasaan atau kekuatan fisik itu mulai

ditransformasiakan ka dalam hukum, nilai menang atau kalah masih kuat melekat

pada tujuan menyelesaikan konflik tersebut, meskipun cara penyelesaiannya tidak

lagi mengandalkan pada kekuatan atau kekuasaan fisik, tetapi dengan mengadu

pembuktian di depan hukum. Ekses perkembangan hukum yang semakin

58 ? Roedjiono, Alternative Dispute Resolution (Pilihan Penyelesaian Sengketa), Makalah pada Penataran Dosen Hukum Dagang Se-Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajahmada, 1996) hal. 1-2.

69

Page 70: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

memberikan perlindungan atas hak-hak yang dimiliki oleh seseorang dari

perbuatan orang lain yang merugikannya, tata pergaulan dunia baru pasca Perang

Dunia 11, semakin langkanya sumber daya alam, pandangan sustainable business

relationship, telah memberikan sumbangan bagi munculnya cara-cara

penyelesaian sengketa yang tidak melulu bertumpu pada nilai-nilai menang atau

kalah, jaya atau hancur sama sekali.59

Penyelesain sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) proses. Proses

penyelesaian sengketa tertua melalui proses litigasi di dalam pengadilan,

kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerja sama

(kooperatif) di luar pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang

bersifat adversarial yang belum mampu merangkul kepentingan bersama,

cenderung menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya,

membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan

di antara pihak yang bersengketa. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan

menghasilkan kesepakatan yang bersifat “ win-win solution” , dijamin

kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena

hal proseduraldan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif

dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Akan tetapi, di negara-

negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat. Satu-satunya kelebihan proses

nonlitigasi ini sifat kerahasiaannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil

keputusannya pun tidak dipublikasikan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan

ini umumnya dinamakan dengan Alternative Dispute Resolution (ADR).

59 ? Ibid.

70

Page 71: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resolution (ADR) ini

merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian

sengketa bisnis pada era globalisasi dengan ciri “moving quickly”, menuntut cara-

cara yang “informal procedure and be put in motion quickly” . Sejak tahun 1980,

di berbagai negara Alternative Dispute Resolution (ADR) ini dikembangkan

sebagai jalan terobosan alternatif atas kelemahan penyelesaian litigasi dan

arbitrase, mengakibatkan terkuras sumberdaya, dana, waktu dan pikiran dan

tenaga eksekutif, malahan menjerumuskan usaha ke arah kehancuran.60 Atas

dasar itulah dicarikan pilihan lainnya dalam menyelesaiakan sengketa di luar

proses litigasi.61

Sengketa berarti terjadinya perbedaan kepentingan antara dua pihak atau

lebih yang saling terkait. Baik antara pihak Bank dengan Nasabah atau antara

mudharib dengan baitul mal maupun antara rahin dengan murtahin. Hal ini

dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban secara wajar dan semestinya

oleh pihak-pihak yang terkait. Sungguh pun aktivitas ekonomi syari’ah telah

dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip syari’ah, namun dalam

proses perjalanannya tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara

pihak-pihak yang bersangkutan. Jadi yang dimaksudkan dengan sengketa dalam

bidang ekonomi syari’ah adalah sengketa didalam pemenuhan hak dan kewajiban

bagi pihak-pihak yang terikat dalam akad aktivitas ekonomi syari’ah.

60 ? M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 280-281. 61 ? Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2003) hal. 4.

71

Page 72: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Menurut Hakim Agung Habiburrahman, sengketa di bidang ekonomi

syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama adalah meliputi :

1. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan

lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;

2. Sengketa di bidang ekonomi syari’ah antara sesama lembaga keuangan

dan lembaga pembiayaan syariah;

3. Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama

Islam, yang dalam akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa

perbuatan/kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip

syari’ah.

Oleh karena itulah dalam hal ini diperlukan suatu konsep penyelesaian sengketa

yang menjamin rasa keadilan bagi pihak-pihak yang bersengketa. Uraian berikut

ini dicoba untuk memaparkan beberapa alternatif penyelesaian sengketa dalam

bidang perekonomian syari’ah.

A. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Musyawarah

Jalan musyawarah adalah merupakan jalan yang paling aman, tanpa resiko

didalam menyelesaian setiap persoalan kehidupan. Tak terkecuali dalam

persoalan sengketa ekonomi syari'ah. Walau pun akad atau kontrak bisnis

telah dibuat atau dirumuskan sedemikian rupa, lengkap, cermat dan sempurna,

namun dalam perjalanannya sering mengalami kendala-kendala maupun

hambatan-hambatan yang pada akhirnya akan membawa kerugian bagi salah

satu atau bahkan kedua pihak yang terikat dalam akad tersebut. Kendala-

72

Page 73: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

kendala yang muncul tersebut tidak jarang meruncing menjadi sebuah

sengketa antar pihak-pihak yang bersangkutan. Setiap sengketa atau konflik

selalu meminta penyelesaian. Dan penyelesaian sengketa dengan jalan

musyawarah merupakan jalan yang terbaik dan pasti menguntungkan bagi

semua pihak, sehingga boleh dikatakan jalan musyawarah merupakan

"mahkota" bagi setiap penyelesaian sengketa.

Konsep shulh (perdamaian) merupakan doktrin utama dalam Hukum Islam

di bidang muamalat untuk menyelesaian suatu sengketa, dan itu sudah

merupakan conditio sine qua non dalam kehidupan masyarakat manapun,

karena pada hakekatnya perdamaian bukanlah suatu pranata positif belaka,

melainkan berupa fitrah dari manusia.62

Musyawarah atau perdamaian selalu menjadi target pertama dan utama

dalam setiap menyelesaikan sengketa. Hal ini telah lama diatur baik dalam

kitab suci Al-Qur'an maupun peraturan perundangan yang berlaku.

Kitab suci Al-Qur'an telah mengisyaratkan supaya menempuh jalan

musyawarah untuk menyelesaikan setiap persoalan yang ada. Sebagaimana

teruraikan dalam beberapa ayat berikut ini :

Artinya: “ Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai

62 ? Dadan Muttaqien, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah,… Hal. 60.

73

Page 74: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”(Q.S. Al-Hujurat ayat :9-10)

Artinya : “ Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.(Q.S.Asy-Syuraa ayat: 38)

Dari ayat-ayat tersebut di atas dapat difahami, bahwa penyelesaian

sengketa melalui jalan musyawarah dan perdamaian adalah merupakan cara-

cara yang terbaik yang dikehendaki oleh Allah SWT. Karena cara-cara/jalan

tersebut lebih mendatangkan manfaat dan ketenangan bagi pihak-phak yang

bersengketa (win-win solution). Bahkan Kholifah Umar ibn Khottob telah

memberikan pengarahan dalam persoalan ini dengan menyatakan :

lحn nنt جـائزpالصlل tي لمينt ب nسlلمn اآحــلt ا wصلحt وn حtرامـا االtt مt آ pـرtح w ttال حtـال

Artinya : Perdamaian itu diperbolehkan diantara orang-orang Muslim, kecuali

perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan

yang halal.63

Penyelesaian sengketa dengan melalui jalan musyawarah dan perdamaian ini

dalam dunia hukum positif sering disebut dengan istilah “mediasi”.

Trend dunia masa kini adalah "effective judiciary" atau badan peradilan yang

63 ?Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,diindonesiakan oleh Drs. Mudzakir AS dengan judul Fikih Sunnah, Jilid X IV,(Bandung: Alma’arif,1993), hal.36.

74

Page 75: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

efektif. Maksudnya adalah bagaimana kita menjadikan pengadilan efektif.

Hanya sengketa perdata yang benar-benar memerlukan suatu putusan

pengadilan saja yang diajukan ke Pengadilan, sedangkan sengketa lainnya

diupayakan perdamaian sehingga Pengadilan lebih fokus kepada sengketa

tertentu tersebut.

Sebagai perbandingan dapat kita lihat bahwa di Singapura lebih dari 90%

perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama dapat

diselesaikan melalui perdamaian, begitupula di Filipina sekitar 75% dan di

Jepang lebih kurang 33%.64

Selain Pengadilan, lembaga-lembaga seperti Bar Association di Jepang

ataupun Advokat. Tokoh masyarakat dapat juga mengupayakan perdamaian

(Alternative Dispute Resolution).

Bagaimana keadaannya di Indonesia?

Berbeda dengan hukum acara perdata di negara-negara lain, HIR/R.Bg

yang merupakan hukum acara perdata di Pengadilan Negeri mewajibkan

Hakim pada hari sidang pertama yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang

berperkara, untuk mendamaikannya (Pasal 130 ayat (1) HIR/Pasal 154 R.Bg).

Jika perdamaian tercapai, maka dibuatlah perjanjian perdamaian yang

diajukan ke sidang Pengadilan, di mana para pihak yang wajib

mentaati/memenuhi perjanjian tersebut yang berkekuatan sebagai putusan

Hakim yang tidak dapat dimintakan banding, maka sesuai dengan pasal 43

ayat (1) Undang-Undang nomor 14 tahun 1985 sebagaimana yang telah

64 ? Pengarahan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Pada Rapat Kerja Nasional Tahun 2006 di Batam.

75

Page 76: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 juga tidak dapat

dimintakan kasasi. Secara tidak langsung putusan perdamaian dapat

membatasi perkara-perkara kasasi.65

Di samping itu, oleh karena putusan perdamaian bersumber peda

kesepakatan para pihak yang bersengketa (win-win solusion) maka diharapkan

akan dapat mengurangi fitnah tentang putusan direkayasa. Keuntungan lain,

khusus bagi pencari keadilan, adalah bahwa putusan perdamaian tersebut

langsung berkekuatan hukum tetap dan karenanya jika ada pihak yang lalai

atau tidak bersedia melaksanakan perjanjian yang telah disepakatinya itu,

maka atas permohonan pihak lainnya putusan perdamaian tersebut dapat

dieksekusi oleh Pengadilan Negeri.

Pasal 130 ayat (1) HIR hanya mewajibkan Hakim untuk mendamaikan

para pihak, namun tidak ada ketentuan lain tentang apa dan bagaimana

perdamaian tersebut. Karena itu Mahkamah Agung berdasarkan kewenangan

yang ada padanya, yang salah satunya "Membuat peraturan sebagai

pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang

diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan" telah membuat Peraturan

Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 02 Tahun 2003 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan yang ditanda tangani oleh Ketua Mahkamah Agung

pada tanggal 11 September 2003. Dalam PERMA tersebut diatur prosedur

pada tahap pra mediasi dan tahap mediasi sehingga memudahkan Mediator

(bukan Hakim litigasi) untuk melaksanakannya. Pasal 18 PERMA tersebut

menegaskan bahwa PERMA tersebut berlaku sejak tanggal ditetapkan,

65 ? Ibid.

76

Page 77: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

karenanya para Ketua Pengadilan Negeri ( jika diperlukan juga Ketua

Pengadilan Agama sesuai dengan pasal 16 PERMA) melaksanakan PERMA

tersebut dengan penuh tanggung jawab. Sediakanlah suatu ruangan kecil dan

ditata agar nyaman sebagai suatu ruangan mediasi. Mahkamah Agung

menyadari bahwa banyak sekali Hakim yang belum memperoleh pelatihan

mediator mengingat keterbatasan biaya, namun janganlah hal tersebut menjadi

penghalang pelaksanaan PERMA . Tentunya para Hakim yang telah

mengikuti pelatihan mediasi membagi pengetahuannya kepada teman-

temannya.66

B. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Badan Arbitrase

1. Pengertian Arbitrase

Arbitrase merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa.

Sengketa yang harus diselesaikan tersebut berasal dari sengketa atas

sebuah kontrak dalam bentuk sebagai berikut :67

a. Perbedaan Penafsiran (disputes) mengenai pelaksanaan perjanjian,

berupa :

1). Kontraversi pendapat (controversy);

2). Kesalahan pengertian (misunderstanding);

3). Ketidaksepakatan (disagreement).

b. Pelanggaran perjanjian (breach of contract), termasuk di dalamnya

adalah :

66 ?Ibid.

67 ? M. Yahya Harahap, Arbitrase , (Jakarta : Pustaka Kartini, 1991)hal. 106.

77

Page 78: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

1). Sah atau tidaknya kontrak;

2). Berlaku atau tidaknya kontrak.

c. Pengakhiran kontrak (termination of contract);

d. Klaim mengenai ganti rugi atas wanprestasi atau perbuatan melawan

hukum.

Sedangkan menurut Nomor 30 Tahun 1999, yang dimaksud dengan

arbitrase adalah, cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan

umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

oleh para pihak yang bersengketa .68

Dalam literatur lain dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan

“arbitrase” adalah “submission of controversies by agreement of the

parties there to persons chosen by themselves for determination.” 69

Dari beberapa definisi tersebut di atas, dapat ditarik beberapa

karakteristik yurudis dari arbitrase, sebagai berikut :70

Adanya kontroversi di antara para pihak;

Kontroversi tersebut diajukan kepada arbiter;

Arbiter diajukan oleh para pihak atau ditunjuk oleh badan tertentu;

Arbiter adalah pihak di luar badan peradilan umum;

Dasar pengajuan sengketa ke arbitrase adalah perjanjian;

Arbiter melakukan pemeriksaan perkara;

68 ?Lihat pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 69 ? Maksudnya adalah suatu pengajuan sengketa , berdasarkan perjanjian antara para pihak kepada orang-orang yang dipilih sendiri oleh mereka untuk mendapatkan suatu keputusan. Lihat, Steven H. Gifis, Law Dictionary, (New York USA, Barron’s Educational Series Inc, 1984) hal.27.70 ? Munir Fuady, SH, MH, LL.M, Arbitrase Nasional, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, cet. 1 (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,2000), hal. 13

78

Page 79: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Setelah memeriksa perkara, arbiter akan memberikan putusan arbitrase

tersebut dan mengikat para pihak.

2.Prinsip-prinsip Arbitrase

Agar dapat menjadi badan penyelesaian yang ampuh, Arbitrase

seharusnya menganut beberapa prinsip sebagai berikut :71

a.Efisien

Dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui badan-badang

peradilan umum, penyelesaian sengketa lewat arbitrase lebih efisien,

yakni efisien dalam hubungannya dengan waktu dan biaya.

b.Accessibilitas

Arbitrase harus terjangkau dalam arti biaya, waktu dan tempat.

c.Proteksi Hak Para Pihak

Terutama pihak yang tidak mampu, misalnya untuk mendatangkan

saksi ahli atau untuk menyewa pengacara terkenal , harus

mendapatkan perlindungan yang wajar.

d.Final and Binding

Keputusan arbitrase haruslah final and binding, kecuali memang para

pihak tidak menghendaki demikian atau jika ada alasan-alasan yang

berhubungan dengan “due proses”.

e.Fair and Just

71 ? Ibid, hal. 93.

79

Page 80: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Tepat dan adil untuk pihak bersengketa, sifat sengketa dan sebagainya.

f.Sesuai Dengan Sence Of Justice Dari Masyarakat.

Dengan demikian akan lebih terjamin unsur “deterrant” dari si

pelanggar, dan sengketa akan dapat dicegah.

g.Credibilitas

Para arbiter dan badan Arbitrase yang bersangkutan haruslah orang-

orang yang diakui kredibilitasnya, sehingga keputusannya akan lebih

dihormati.

3. Kelebihan – Kelebihan Arbitrase

Dibandingkan dengan pengadilan konvensional, maka arbitrase

mempunyai kelebihan atau keuntungan, antara lain :

a. Prosedur tidak berbelit dan keputusan keputusan dapat dicapai

dalam waktu relatif singkat

b. Biaya lebih murah.

c. Dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum.

d. Hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih relaks.

e. Para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan

oleh arbitrase.

f. Para pihak bisa memilih sendiri para arbiter.

g. Dapat memilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya.

h. Keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.

80

Page 81: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

i. Keputusannya umumnya final dan binding (tanpa harus naik

banding atau kasasi).

j. Keputusan arbitrase pada umumnya dapat diberlakukan dan

dieksekusi oleh pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama

sekali.

k. Proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerti oleh masyarakat

luas.

l. Menutup kemungkinan untuk dilakukan “Forum Shopping”.

4. Kekurangan-kekurangan Arbitrase

Bila dibandingkan dengan pengadilan konvensional kelebihan-

kelebihan, kelemahan dan kritikan terhadap arbitrase sering diajukan,

antara lain sebagai beikut :

a. Hanya baik dan tersedia dengan baik terhadap perusahaan-

perusahaan bonafide.

b. Due prosess kurang terpenuhi.

c. Kurangnya unsur finality.

d. Kurangnya power untuk menggiring para pihak ke settlement.

e. Kurangnya power untuk menghadirkan barang bukti, saksi dan

lain-lain.

f. Kurangnya power untuk hak law enforcement dan eksekusi

keputusan.

81

Page 82: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

g. Dapat menyembunyikan dispute dari “Public Scrutiny”.

h. Tidak dapat menghasikan solusi yang bersifat preventif.

i. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu

sama lain karena tidak ada sistem “presedent” terhadap keputusan

sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibelitas dari arbiter.

Karena itu keputusan arbitrase tidak predektif.

j. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para

arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga

standar mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu sering dikatakan

“An arbitration is as good as arbitrators”.72

k. Berakibat kurangnya upaya untuk mengubah sistem pengadilan

konvensional yang ada.

l. Berakibat semakin tinggi rasa permusuhan kepada pengadilan.

Penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase sesungguhnya telah

diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase, dimana dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan kemungkinan

diselesaikannya suatu sengketa melalui badan arbitrase.

Meskipun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diundangkan dan karenanya

mulai berlaku mulai pada tanggal 12 Agustus 1999, namun dibeberapa

Pengadilan Negeri masih saja ada Hakim yang kurang memahaminya.

Pasal 3 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa

72 ?Haula Adolf dan A. Candrawulan, Yurisdiksi Badan Arbitrase ICSID, DALAM Varia Peradilan , Nomor 54, Maret 1990, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia, 1990), hal. 18.

82

Page 83: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak

yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Bahkan menurut pasal 11

Undang-Undang tersebut, adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis

meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau

beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam

suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali

dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999.

5. Upaya Hukum Putusan Arbitrase

Terhadap suatu putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan

permohonan pembatalan apabila putusan tersebut mengandung unsur-unsur

sebagaimana yang tertera pada pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999. Meskipun dalam paal 70 tersebut tertera permohonan pembatalan,

namun oleh karena suatu putusan arbitrase mengikat baik Pemohon maupun

Termohon Arbitrase, maka permohonan pembatalan putusan tersebut harus

dalam bentuk gugatan yang pihak-pihaknya adalah pihak-pihak dalam

putusan arbitrase. Selain dari permohonan pembatalan putusan arbitrase,

Undang-Undang juga menentukan bahwa tuntutan ingkar terhadap Arbiter

yang diangkat oleh KETUA Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud oleh

Pasal 23 ayat (1) dan dalam hal yang seperti tertera dalam pasal 25 ayat (1)

83

Page 84: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan upaya ini dilakukan

sebelum adanya putusan arbitrase.

Ketentuan dalam Undang-Undang Arbitrase tersebut jelas, tetapi masih saja

ada Hakim yang dalam memeriksa gugatan perbuatan melawan hukum

antara para pihak dalam putusan arbitrase mengabulkan tuntutan provisi

dengan "Menangguhkan berlakunya putusan arbitrase". Bahkan Arbiter

Tunggal yang memutus arbitrase juga digugat telah melakukan perbuatan

melawan hukum.

Pasal 21 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa

arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum

apapun atas segala tindakan yang diambil selama proses persidangan

berlangsung untuk menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis

arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya iktikad tidak baik dari tindakan

tersebut.73

6. Beberapa Hal Yang Berkaitan Dengan Acara Arbitrase

Berikut ini penjelasan dari masing-masing masalah dalam acara bagi

arbitrase sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999,

yaitu sebagai berikut:

a. Pemeriksaan Tertutup

Pemeriksaan perkara arbitrase dilakukan secara tertutup. Hal ini berbeda

dengan perkara perdata biasa di Pengadilan Negeri yang dilakukan

73 ? Pengarahan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial Pada Rapat Kerja Nasional Tahun 2006 di Batam

84

Page 85: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Keharusan sidang

pemeriksaan perkara arbitrase yang tertutup ini merupakan salah satu

ciri dari prosedur arbitrase. Dengan demikian kerahasiaan perkara dari

para pihak tetap terjamin. Hal ini disebabkan anggapan masyarakat

bernada miring terhadap suatu sengketa hukum, sehingga menyebabkan

cukup banyak pihak yang merasa tidak enak jika ada orang lain

mengetahui bahwa dia sedang terlibat dalam suatu sengketa.

Pasal 27 dari Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 tidak

memberikan kekecualian terhadap sifat tertutupnya sidang pemeriksaan

dalam proses arbitrase. Bahkan, para pihak juga tidak boleh

mengenyampingkan ketentuan ketertutupan ini. Hal ini disebabkan

formulasi dari Pasal 27 tersebut memberikan indikasi akan sifat

memaksa dari ketentuan ketertutupan tersebut, dengan menyatakan

bahwa “semua” pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase

dilakukan secara tertutup. Jadi, menutup kemungkinan adanya

penyimpangan. Artinya, jika para pihak menghendaki agar putusan

tersebut dipublikasikan, maka kewajiban para pihak sendirilah untuk

mempublikasikan.

b. Bahasa Yang Digunakan

Bahasa yang digunakan dalam proses pemeriksaan oleh arbiter adalah

bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa lain selain bahasa Indonesia dapat

dilakukan jika:

85

Page 86: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

1). Para pihak bersengketa menghendaki penggunaan bahasa lain dan

hal tersebut disetujui oleh para arbiter, atau

2). Terhadap arbitrase yang tidak berlaku Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999, misalnya terhadap arbitrase Internasional, di mana

bahasa Inggris sering digunakan.

c. Keterlibatan Para Pihak

Pihak-pihak yang bersengketa mempunyai hak untuk diperlakukan

secara sama satu sama lain. Mereka diberi kesempatan yang sama untuk

didengar oleh para arbiter. Di samping itu, mereka juga dapat diwakili

oleh pihak pengacaranya ( dengan kuasa khusus) jika hal tersebut

diinginkannya.74

d. Keterlibatan Pihak Ketiga.

Selain dari keterlibatan para pihak kuasanya, pihak ketiga diluar

perjanjian arbitrase juga dapat ikut serta dan menggabungkan diri

dalam suatu proses arbitrase. Keterlibatan pihak ketiga dalam suatu

perkara perdata sebenarnya juga merupakan hal yang lazim dalam

proses peradilan umum di Pengadilan Negeri. Undang-Undang

Arbitrase Nomor30 Tahun 1999 memberikan beberapa syarat agar pihak

ketiga dapat ikut serta dan menggabungkan diri dalam suatu proses

arbitrase. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

1). Terdapat unsur kepentingan yang terkait dengan perkara yang

bersangkutan;

2). Keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa;

74 Lihat Pasal 29 Undang-Undamg Arbitrase Nomor30 Tahun 1999.

86

Page 87: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

3). Keikutsertaannya disetujui oleh arbiter atau majelis arbitrase yang

bersangkutan.75

e. Penggunaan Acara Arbitrase

Sesuai dengan praktek arbitrase dan ketentuan dalam Undang-Undang

tentang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999, maka pemilihan acara untuk

arbitrase adalah sebagai berikut;

1). Dengan suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, para pihak bebas

menentukan sendiri secara arbitrase yang digunakan dalam proses

penyelesaian sengketa yang bersangkutan.

2). Para pihak dapat juga memilih acara yang berlaku dari suatu lembaga

arbitrase yang ada untuk menjadi acara arbitrase dalam penyelesaian

sengketanya.

3). Jika para pihak tidak menentukan sendiri acara arbitrase maka

berlaku ketentuan sebagai berikut:

(a).Berlaku ketentuan dari lembaga arbitrase (nasional atau

internasional) yang dipilih oleh para pihak;

(b).Jika tidak dipilih arbitrase lembaga (seperti BANI), maka para

arbiter sendiri yang akan menentukan acara arbiter tersebut

dengan tetap memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang

Arbitrase Nomor30 Tahun 1999dan peraturan yang berlaku

75 Lihat Pasal 30 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

87

Page 88: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

lainnya. Lihat Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase

Nomor 30 Tahun 1999.76

4). Khusus tentang jangka dan tempat arbitrase juga ditentukan sendiri

oleh para pihak yang bersengketa..

5). Apabila para pihak tidak menentukan sendiri jangka waktu dan

tempat arbitrase, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan

menentukan tempat dan waktunya, dengan ketentuan bahwa

pemeriksaan atas sengketa tersebut harus sudah selesai dalam waktu

maksimal 180 (seratus delapan puluh) hari.

Namun demikian, jangka waktu tugas dari arbitrase dapat

diperpanjang jika memenuhi salah satu dari syarat-syarat

sebagaimana disebut dalam Pasal 33 Undang-Undang Arbitrase

Nomor30 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:

(a). Apabila diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai

hal khusus tertentu. Hal khusus tertentu ini, misalnya karena

adanya gugatan atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa,

seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam

Hukum Acara Perdata.77

(b).Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan

selainnya.

76 ?Lihat Pasal 31 ayat (3) juncto Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999. 77 ? Lihat penjelasan Pasal 33 (a) Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun

1999.

88

Page 89: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

(c)Untuk kepentingan pemeriksaan, apabila dianggap perlu oleh

arbiter atau majelis arbitrase.

.f. Putusan Provisi

Seperti juga badan pengadilan (konvensional), maka arbitrase di

samping dapat menjatuhkan putusan final, dapat juga menjatuhkan

putusan provisional atau putusan sela untuk mengatur ketertiban

jalannya pemeriksaan sengketa. Termasuk ke dalam putusan sela

tersebut adalah perintah penitipan barang kepada pihak ketiga, menjual

barang yang mudah rusak dan lain-lain. Karena pelaksanaan putusan

sela memerlukan jangka waktu tertentu, maka jangka waktu pelaksanaan

putusan sela ini di luar dari jangka waktu arbitrase sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun

1999.

g. Terjemahan Alat Bukti

Apabila terdapat kesulitan masalah bahasa, maka arbiter atau majelis

arbitrase dapat menginstruksikan agar terhadap setiap dokumen alat

bukti dibuat juga terjemahan ke dalam bahasa yang ditetapkan oleh

arbiter atau majelis arbitrase.

h. Pemeriksaan Lisan / Tertulis

Pada prinsipnya, suatu pemeriksaan arbitrase haruslah dilakukan

secara tertulis. Maksudnya adalah bahwa pihak pemohon harus

mengajukan permohonan pemeriksaan arbitrase secara tertulis.

Demikian pula pihak termohon harus mengajukan bantahannya secara

89

Page 90: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

tertulis pula. Keterangan saksi ahli pun dilakukan secara tertulis (Pasal

50 ayat (1)), kecuali dianggap perlu oleh arbiter untuk didengar saksi

ahli secara lisan. Sedangkan pemeriksaan saksi lainnya dapat

dilakukan secara tertulis, tetapi dapat juga secara lisan, bila dianggap

perlu oleh arbiter atau bila disetujui oleh para pihak.

Pemeriksaan seluruh acara arbitrase secara lisan ( tanpa perlu surat

permohonan atau surat tuntutan tertulis misalnya) dapat saja dilakukan

jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) Jika disetujui oleh para pihak yang bersengketa, atau

2) Jika dianggap perlu oleh pihak arbiter.78

i. Penentuan Tempat Arbitrase

Mengenai tempat dilangsungkannya pemeriksaan arbitrase, berlaku

ketentuan sebagai berikut:

1). Tempat yang ditentukan oleh para pihak, jika para pihak ada yang

menentukannya , atau jika para pihak tidak menentukannya.

2). Berlaku tempat yang dilakukan oleh para arbiter;

3). Atau jika yang dipilih adalah arbitrase kelembagaan, berlaku tempat

sebagaimana berlaku untuk lembaga arbiotrase yang bersangkutan.

4). Bila perlu, pemeriksaan saksi dan saksi ahli dapat dilakukan di

tempat tertentu di luar tempat arbitrase.

5). Bila perlu, pemeriksaan setempat dapat dilakukan, yakni di tempat

lokasi objek yang bersangkutan.

78 ? Lihat Pasal 36 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

90

Page 91: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

( vide Pasal 37 Undang-Undang Arbitrase Nomor30 Tahun 1999)

j. Pemeriksaan Setempat

Seperti telah disebutkan bahwa pemeriksaan setempat (site visit)

dapat saja dilakukan jika dianggap perlu oleh arbiter dan hal tersebut

memang dimungkinkan oleh Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang

Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999. Dalam hal ini, bahkan bila dianggap

perlu, para arbiter dapat juga memanggil para pihak untuk datang dan

hadir ke lokasi pemeriksaan. Yakni ke lokasi di mana objek yang akan

diperiksa terletak.

k. Surat Tuntutan oleh Pemohon.

Apabila permohonan dari pihak pemohon untuk dilakukan

pemeriksaan arbitrase disetujui oleh pihak arbiter dan arbiter atau

majelis arbitrase sudah dibentuk, pemeriksaan ditingkatkan ke fase

pengajuan surat tuntutan oleh pemohon. Surat tuntutan (Statement of

claim) tersebut diajukan kepada pihak arbiter dalam jangka waktu yang

telah ditentukan.

Syarat minimal dari isi surat tuntutan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Nama lengkap dan tempat tinggal/kedudukan para pihak;

2. Uraian singkat tentang sengketa disertai dengan lampiran bukti-

bukti pendukung.

3. Isi tuntutan yang jelas.79

l.Jawaban dari Termohon

79 ?Lihat pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

91

Page 92: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Atas surat tuntutan yang diajukan oleh pemohon, termohon dapat

mengajukan bantahan tertulisnya. Bantahan tertulis ini diajukan oleh

termohon dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah termohon

menerima salinan Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999).tuntutan tersebut dari

arbiter atau dari ketua majelis arbitrase.80

m. Penetapan Hari Sidang

Setelah diterimanya jawaban atas tuntutan dari pemohon arbitrase,

maka satu salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada pemohon

oleh arbiter atau oleh ketua majelis arbitrase. Setelah itu pihak arbiter

baru menentukan hari sidang dan memerintahkan agar para pihak

atau kuasanya menghadap di depan sidang. Hari sidang harus

ditetapkan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak

dikeluarkannya perintah itu.81

n. Tuntutan Balasan

Disamping memberikan jawaban atas tuntutan dari pihak pemohon,

pihak termohon dapat juga mengajukan tuntutan balasan (counter

claim, rekonvensi) jika memang ada sesuatu yang dituntut kepada

pihak pemohon arbitrase. Pengajuan tuntutan balasan oleh pihak

termohon ini dapat dilakukan dengan dua cara sebagai berikut :

1). Diajukan dalam jawabannya, atau

2). Diajukan selambat-lambatnya pada sidang arbitrase yang pertama.

80 ? Lihat Pasal 39 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

81 ?Lihat Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Arbitrse Nomor 30 Tahun 1999.

92

Page 93: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Terhadap tuntutan balasan ini , oleh pihak pemohon arbitrase dapat

mengajukan tanggapan. Ditentukan juga, bahwa tuntutan balasan dari

pihak termohon bersama dengan tanggapan pemohon atas tuntutan

balasan tersebut haruslah diperiksa dan diputus bersama-sama dengan

pokok sengketa.82

o. Usaha Perdamaian oleh Arbiter

Seperti untuk proses peradilan biasa, maka pada sidang pertama

dari Arbiter juga diusahakan dan ditawarkan perdamaian kepada para

pihak yang bersengketa oleh pihak arbiter. Apabila usaha perdamaian

tersebut tercapai, maka oleh pihak arbiter atau mahelis arbitrase dibuat

suatu akta perdamaian yang berkekuatan final dan mengikat (final and

bindang). Selanjutnya, pihak arbiter memerintahkan kepada para pihak

yang bersengketa untuk melaksanakan isi perdamaian tersebut.

p. Jika Perdamaian Tidak Tercapai

Bagaimana halnya jika perdamaian di muka arbiter tidak tercapai.

Untuk itu, pemeriksaan terhadap pokok perkara dilanjutkan oleh arbiter

Dalam hal ini mulailah dilakukan hal-halk sebagai berikut :

1). Para pihak dalam suatu jangka waktu tertentu diberikan kesempatan

lagi untuk terakhir kalinya menjelaskan secara tertulis pendirian

masing-masing disertai dengan pengajuan bukti-bukti.

82 ? Lihat Pasal 42 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

93

Page 94: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

2). Arbiter atau majelis arbitrase berhak meminta kepada para pihak

dokumen tambahan, bukti lain atau penjelasan secara tertulis dalam

jangka waktu tertentu.83

q. Jika Pemohon Tidak Datang Menghadap

Bagaimana seandainya pada hari sidang pihak pemohon tidak datang

untuk menghadap sidang, padahal yang bersangkutan sudah dipanggil

secara patut. Dalam hal ini berlaku ketentuan dalam pasal 43 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999, dimana tuntutan dinyatakan gugur, dan

tugas arbiter atau majelis arbutrase dianggap seleai ampai disitu.

r. Jika Termohon Tidak Datang Menghadap

Bagaimana pula seandainya pihak termohon yang tidak datang untuk

menghadap pada sidang pertama padahal yang bersangkutan sudah

dipanggil secara patut. Dalam hal pihak termohon haruslah dipanggil

sekali lagi secara patut. Apabila 10 (sepuluh) hari setelah pemannggilan

kedua pihak termohon belum juga datang menghadap tanpa alasan yang

jelas, maka pemeriksaan akan dilanjutkan tanpa hadirnya pihak

termohon (verstek) dan tuntutan akan diterima seluruhnya. Tuntutan

akan ditolak oleh arbiter atau majelis arbitrase jika tuntutannya tidak

beralasan atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.84

s. Pencabutan surat Permohonan Arbitrase

83 ?Lihat Pasal 46 Undang-Undang Arbitraae Nomor 30Tahun 1999.84 ?Lihat Pasal 44 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

94

Page 95: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Pada prinsipnya pemohon arbitrase dapat mencabut surat

permohonan, menambah atau mengubah surat tuntutan untuk

penyelesaian sengketa tersebut. Hanya saja, bagaimana tata cara

pencabutan, penambahan atau perubahan tersebut sangat bergantung

pada waktunya dilakukan. Prosesnya adalah sebagai berikut:

1). Jika diajukan sebelum ada jawaban dari termohon, pemohon dapat

mencabut surat permohonan arbitrase tanpa perlu persetujuan dari

pihak termohon.

2). Jika sudah ada jawaban dari pemohon, maka perubahan atau

penambahan atas urat tuntutan arbitrase hanya dapat dilakukan jika

a). Ada persetujuan dari termohon; dan

b). Perubahan atau penambahan tersebut hanya bersangkutan dengan

hal-hal yang bersifat fakta, tidak bersangkutan dengan dasar-

dasar hukum dari permohonan.85

t. Batas Waktu Penyelesaian Pemeriksaan Oleh Arbiter

Pemeriksaan sengketa di depan arbitrase harus dituntaskan dalam

waktu paling lama 180 hari sejak arbiter atau majelis arbitrase dibentuk.

Lihat Pasal 48 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

Namun demikian, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang jika

memenuhi ketentuan sebagai berikut :

1). Diajukan permohonan perpanjangan pemeriksaan oleh salah satu

pihak mengenai hal khusus tertentu.Contoh dari “hal khusus

85 ? Lihat Pasal 47 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

95

Page 96: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

tertentu” misalnya karena gugatan insidentil di luar pokok sengketa,

seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam hukum

acara perdata. Lihat penjelasan atas pasal 33 huruf (a) dari Undang-

Undang arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

2). Apabila hal tersebut sebagai akibat ditetapkannya putusan

provisional atau putusan sela lainnya.

3). Apabila hal tersebut dianggap perlu oleh arbiter atau majelis

arbitrase untuk kepentingan pemeriksaan.86

C. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah Melalui Badan Peradilan

Agama

Mengapa mesti ke Pengadilan Agama ?

Hal ini didasarkan atas beberapa alasan sebagai berikut :

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”

Pasal 2 jo Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

Bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.

Dalam Penjelasan Pasal 49 dinyatakan :

86 ?Lihat Pasal 33 Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999.

96

Page 97: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

“Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai ketentuan pasal ini.”

Dari penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga

keuangan dan lembaga pembiayaan syari’ah, atau bank konvensional yang

membuka unit usaha syari’ah (seperti Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah,

dan lain-lain) dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syari’ah,

baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.

Setelah diuraikan secukupnya tentang penyelesaian sengketa ekonomi

syari'ah secara non-litigasi sebagaimana telah dijelaskan di atas, berikut ini

adalah sebuah tawaran penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah secara litigasi

yang dalam hal ini adalah melalui Badan Peradilan Agama.

Apa dan bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah melalui

Pengadilan Agama itu ?

Sebelum sampai kepada jawaban atas pertanyaan diatas ada baiknya

dikemukakan terlebih dahulu sekilas tentang kedudukan Peradilan Agama

sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang

Peradilan Agama.

1. Kedudukan Peradilan Agama Sebelum Berlakunya Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Perbedaan yang sangat mendasar pada kedudukan Peradilan Agama

sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, adalah

97

Page 98: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

terletak pada kewenangan absolutnya. Ketika masih diberlakukannya

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagai payung hukum terakhir bagi

tugas-tugas Peradilan Agama, kewenangan Pengadilan Agama hanya

sebatas menyelesaian perkara-perkara sebagai berikut:

a.Perkara di bidang perkawinan; yang meliputi :

1). Izin beristeri lebih dari seorang;

2). Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21

(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali atau keluarga

dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

3). Dispensasi kawin;

4). Pencegahan perkawinan;

5). Penolakan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

6). Pembatalan perkawinan;

7). Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;

8). Perceraian karena talak;

9). Gugatan perceraian;

10). Penyelesaian harta bersama;

11). Mengenai penguasaan anak-anak;

12). Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak

memenuhinya;

98

Page 99: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

13). Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami

kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas

isteri;

14). Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;

15). Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

16). Pencabutan kekuasaan wali;

17). Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut;

18). Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup

umur 18 (delapan delas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya

padahal tidak adanya penunjukan wali oleh orang tuanya;

19). Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah

menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah

kekuasaannya;

20). Penetapan asal usul seorang anak;

21). Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk

melakukan perkawinan campuran;

22). Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

dijalankan menurut peraturan yang lain.

b. Perkara dibidang kewarisan, wasiat dan hibah, yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam.

99

Page 100: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989, yang dimaksud dengan perkara dibidang

kewarisan adalah meliputi penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli

waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian

masing-masing ahli waris, dan melakanakan pembagian harta

peninggalan tersebut.

c. Perkara dibidang wakaf dan shadaqah.

2. Kedudukan Peradilan Agama Setelah Berlakunya Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kedudukan

Badan Peradilan Agama semakin eksis. Hal ini seiring bertambahnya

kewenangan absolut peradilan agama dalam menangani perkara-perkara

tertentu. Lebih jelasnya, perbedaan mendasar tersebut adalah peradilan

agama semakin mendapatkan kepercayaan masyarakat dan negara

Indonesia untuk mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara selain yang

telah diuraikan di atas juga terhadap perkara-perkara sebagai berikut :

a. Perkara zakat;

b. Perkara infaq;

c. Perkara dibidang ekonomi syari’ah; dan

d. Perkara Penetapan Pengangkatan Anak berdasarkan Hukum Islam.

Selain perkara-perkara tersebut dengan berlakunya Undang-Undang

tentang peradilan agama yang terbaru tersebut, pengadian agama juga

100

Page 101: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

diberi tugas khusus terkait dengan penetapan kesaksian rukyat hilal dalam

penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah. Pengadilan Agama juga dapat

memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah

kiblat dan penentuan waktu shalat.

Kewenangan untuk melaksanakan tugas pokok pengadilan tersebut

dibagi dua yaitu:87

1. Kewenangan relatif.

Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk

menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara

yang diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan

mana tergugat bertempat tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur

pembagian kekuasaan pengadilan yang sama, misalnya antara Pengadilan

Agama Banjarnegara dengan Pengadilan Agama Purbalingga, sehingga

untuk menjawab apakah perkara ini menjadi kewenangan Pengadilan

Agama Banjarnegara ataukah Pengadilan Agama Purbalingga, didasarkan

kepada wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa

Belanda kewenangan relatif ini disebut dengan “distributie van

rechtsmacht” . Atas dasar ini maka berlakulah asas “actor sequitur forum

rei”.88

Berdasarkan ketentuan pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,

87 ?Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah,…. hal.103-104.88 ? Maksudnya adalah yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Agama tempat tinggal tergugat, Baca Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Pedata Dalam Teori dan Praktek, (Bandung Mandar Maju, 1989), hal. 8.

101

Page 102: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

menyatakan bahwa wilayah hukum Pengadilan Agama adalah meliputi

wilayah kotamadya atau kabupaten, sedangkan untuk Pengadilan Tinggi

Agama wilayah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Namun demikian ada penyimpangan dari asas tersebut di atas, yaitu

khusus perkara gugat cerai bagi yang beragama Islam, maka gugatan

dapat diajukan kepada Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat

tinggal. Hal ini adalah hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex

specialis derogat legi generalis” artinya aturan yang khusus dapat

mengalahkan aturan yang umum.

2. Kewenangan mutlak

Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah

wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis

perkara tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa oleh

badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini untuk

menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya

sengketa ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan

Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Agama. Dalam

bahasa Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van

rechtsmacht” atau atribut kekuasaan kehakiman.

Setelah reformasi bergulir dan dilakukan amandemen

Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 24 yang

mengukuhkan Badan Peradilan Agama masuk dalam

102

Page 103: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

dalam sistem hukum nasional, maka politik hukum

Indonesia mulai merespon kepentingan dan kebutuhan

hukum umat Islam dalam menjalankan syariatnya.,

kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama.

Perubahan yang terpenting dalam Undang-Undang Nomor

3 Tahun 2006 adalah sebagimana telah diuraikan di atas.

Kegiatan-kegiatan usaha ekonomi syari’ah sebagaiman

tersebut di atas, pada dasarnya lahir karena adanya akad

atau perjanjian yang didasarkan kepada prinsip syari’ah.

Sedangkan makna prinsip syari’ah adalah sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Dalam kaitannya menyelesaikan sengketa ekonomi

syari’ah, Pengadilan Agama berwenang pula mengadili

tentang tuntutan ganti rugi (ta’wid, .daman) baik yang

disebabkan oleh adanya wanprestasi ataupun karena adanya

perbuatan melawan hukum. Acuan untuk mengadili ganti rugi

ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 19 jo

Peraturan Bank Indonesia Nomor7/46/PBI/2005 dan Fatwa

DSN Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004. Dalam Pasal 19 Peraturan

Bank Indonesia tersebut ditentukan hal-hal sebagai berikut:

103

Page 104: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

a. Pada dasarnya pihak bank dapat mengenakan ganti

kerugian (ta’wid) hanya atas kerugian riil yang dapat

diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan

sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang

menyimpang dari ketentuan akad dan mengakibatkan

kerugian pada pihak bank.

b. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan

bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil yang

berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh

pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang

diperkirakan akan terjadi karena adanya peluang yang

hilang.;

c. Ganti rugi hanya boleh dikenakan pada akad ijarah dan

akad yang menimbulkan utang-piutang seperti: salam,

istishna’, serta murabahah yang pembayarannya tidak

dilakukan secara tunai;

d. Ganti rugi dalam akad mudharabah dan musyarakah,

hanya boleh dikenakan bank sebagai shahibul mal apabila

bagian keuntungan bank yang sudah jelas tidak

dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;

e. Mengenai ganti rugi atas sesuatu kerugian harus

ditetapkan secara jelas dalam klausula akad yang

dipahami secara jelas pula oleh nasabah;

104

Page 105: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

f. Besarnya ganti rugi atas suatu kerugian riil ditetapkan berdasarkan

kesepakatan antara bank dan nasabah.

Sumber Hukum Dalam menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah

Sebagai pedoman dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan

Pengadilan Agama, perlu dicermati sumber-sumber hukum yang berkaitan.

Sumber-sumber hukum tersebut meliputi sumberber hukum formil (acara) dan

sumber hukum materiil.

1. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 pada pokoknya

menyatakan bahwa Hukum Acara yang berlaku di Pengadilan Agama adalah

Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara

khusus dalam Undang-Undang tersebut. Untuk mengadili sengketa ekonomi

syari’ah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang diperbarui dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 belum mengatur secara khusus,

sehingga berpedoman kepada Hukum Acara yang sekarang berlaku di

Peradilan Umum. Pada dasarnya hukum acara yang dipergunakan mengacu

kepada hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum, selain itu

juga dipedomani kaidah-kaidah fiqhiyah yang berkaitan.89

Hukum Acara yang berlaku di Peradilan Umum (Pengadilan Negeri dan

Pengadilan Niaga) adalah antara lain:

a. Herzeine Inlandsch Reglement (HIR) untuk daerah Jawa-Madura;

89 ?Hasil wawancara dengan Majelis Hakim Pengadilan Agama Purbalinga yang mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah pada tahun 2006.

105

Page 106: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

b. Rechtsrglement Voor De Buittengewesten (R.Bg) untuk daerah luar Jawa-

Madura;

c. Burgerlijk Wetboek (BW), dikenal dengan KUHP Perdata khususnya

buku IV tentang Pembuktian;

d. Reglement op de Bourgerlijke Rechtsvordering (Rv);

e. Wetboek Van Koophandel (WvK) dikenal dengan Kitab Undang-Undang

Hukum Dagang, khususnya tentang Acara Kepailitan;

f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-Undang Nomor 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU.

Selain itu perlu diperhatikan pula asas-asas yang berlaku dalam hukum acara

perdata, sehingga seorang hakim maupun para pihak pencari keadilan didalam

beracara tidak perlu harus melanggar asas yang berlaku yang oleh karenanya

putusan hakim bisa dinyatakan batal demi hukum.

Asas-asas tersebut adalah denagai berikut :

1. Hakim Bersifat Menunggu

Nemo Yudek Sine Aktore : Tak ada tuntutan hak, tak ada hakim

Ius curia novit : Hakim dianggap tahu

2. Hakim Pasif

Verharlungs maxime : Para pihak yang wajib membuktikan

Unterlungs maxime : Hakim wajib mengumpulkan bahan.

3. Sifat Terbuka Persidangan: Terbuka untuk umum, tujuan memberi

perlindungan hak asasi manusia, menjamin obyektifitas, pemeriksaan fair,

tidak memihak, putusan yang adil.

106

Page 107: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

4. Mendengar Kedua Belah Pihak (Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970)

5. Tidak memihak (audi et alteram partem) : Tidak boleh menerima keterangan

satu pihak sebagai benar, pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka

sidang yang dihadiri kedua pihak (Pasal 132a,121 ayat (2) HIR, 145 ayat(2),

157 RBg., Pasal. 47 Rv).

6. Beracara Dengan Biaya : (Pasal 4 ayat(2) ,Pasal 5 ayat(2) Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1970 , Pasal 121 ayat ( 4 ) ,182,183, HIR).

7. Putusan Harus Disertai Alasan (Pasal 23. Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970, Pasal 184 ayat (1), 319 HIR) : Sebagai pertanggungjawaban hakim,

nilai obyektif.

8. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan : yang bersangkutan yang tahu persoalan

9. Sederhana, Cepat, Biaya Ringan:

Sederhana : Acara yang jelas, mudah difahami, tidak berbelit-belit, sederhana

formalitasnya.

Cepat : Jalannya peradilan, baik di muka sidang, penyelesaian berita acara

sampai dengan penandatanganan putusan hakim.

Biaya ringan: terpikul oleh rakyat.

10. Obyetifitas, Fair Trial : (Pasal. 5 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970) :

dikenal hak ingkar, susunan majelis, 2 tingkat pemeriksaan, tingkat pertama

dan tingkat banding sebagai yudex facti.

Nemo yudex idoneus in propria causa : tak seorang pun dapat menjadi hakim

dalam perkaranya sendiri.

107

Page 108: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Wraking : Penolakan memimpin persidangan sampai derajat tertentu oleh

hakim dengan alasan sebagai berikut:

a.Punya kepentingan secara pribadi.

b.Karena hubungan suami istri, keluarga derajat dengan pihak-

pihak yang berperkara.

Tingkat pertama : Pengadilan Agama : Original yuridiction Segi

peristiwa dan hukum.

Tingkat banding : Pengadilan Tinggi Agama : Apellate yurisdiction

mengulangi.

Tingkat Kasasi : M.A terakhir: penerepan hukum : sebagai yudex

yuris.

11. Bebas dari campur tangan diluar kekuasaan Kehakiman.90

2. Sumber Hukum Materiil

a. Al-Qur’an dan As-Sunnah khususnya yang berkaitan dengan muamalat atau

ekonomi Islam;

b. Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku terdiri dari:

1).Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998 tentang Perbankan beserta aturan pelaksanaannya baik

peraturan Bank Indonesia maupun Surat Edaran Bank Indonesia;

2). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria ;

90 ?Widan Suyuthi Musthofa, Kajian Hukum Acara Perdata, Makalah disampaikan pada kegiatan Kajian Hukum Acara Perdata Agama Para Ketua PA Kelas I Se-Jawa tanggal 4-6 Juni 2007 di Yogyakarta., hal.5-6. Telaah pula Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kedua (Yogyakarta : Liberty, 1985),hal. 9 dst.

108

Page 109: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

3). Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang BUMN;

4).Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar

Perusahaan;

5).Undang-Undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Perasuransian

6).Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian;

7 ).Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas

tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah;

8).Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia;

9 ).Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;

10).Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS;

11 ).Beberapa peraturan pemerintah yang erat kaitannya dengan

pertanahan, perusahaan, perseroan terbatas dan pasar modal;

12).Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama’ Indonesia (Fatwa

DSN-MUI ) yang hingga tahun 2006 sudah mencapai 53 buah;

c. Aqad/Perjanjian (Kontrak)

Salah satu asas dari akad / perjanjian adalah keridhaan kedua belah

pihak,91 konsekwensinya apa yang telah disepakati bersama dalam akad

harus dilaksanakan.

Menurut Taufiq, dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah,

termasuk di dalamnya perbankan syari’ah, sumber hukum utamanya

adalah perjanjian, kedudukan perjanjian sama dengan Undang-Undang.

Isi perjanjian lebih khusus jika dibanding dengan Undang-Undang.

91 ?Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia , (Jakarta : Kencana, 2005) hal.36.

109

Page 110: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Sesuai kaidah lex specialis derogat legi generalis, maka isi perjanjian

didahulukan daripada Undang-Undang.92 Dalam hubungan ini berlaku

asas “Pacta Sunt Servanda” yaitu perjanjian yang sah merupakan

Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.

Dalam hukum bisnis, perjanjian sering disebut dengan nama

“kontrak”93, sedangkan dalam hukum perikatan Islam, perjanjian dikenal

dengan nama “akad”. Akad adalah pertalian antara ijab dan kabul yang

dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap

obyeknya. Akad merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum yang

disebut “tasharruf” . Sedangkan tasharruf adalah segala sesuatu

(perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’

menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum yaitu hak dan kewajiban.94

d. Yurisprudensi

Yurisprudensi mengandung banyak arti, di antaranya adalah:

1). Putusan hakim mengenai kasus tertentu (judge’s decesion in

aparticular case).

2). Putusan yang dijatuhkan merupakan kasus yang berhubungan dengan

perkembangan hukum, sehingga pada hakekatnya kasus yang

diputuskan berkaitan erat dengan perubahan sosial;

92 ?Taufiq, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyyah, Makalah disampaikan pada acara Pelatihan Teknis Fungsional Peningkatan Profesionalisma bagi Para Ketua Pengadilan Agama se Jawa di Malang pada tanggal 2 Mei 2006 (Jakarta : Pusdiklat Mahkamah Agung RI), hal 3. 93 ?Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2003), hal. 27. 94 ?Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan, hal. 47-48.

110

Page 111: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

3). Putusan terhadap kasus yang kemungkinan besar belum diatur dalam

Perundang-Undangan, sehingga diperlukan penciptaan hukum baru.95

Di Indonesia, Yurisprudensi diartikan sebagai putusan pengadilan

atau hukum pengadilan (rechterrechts/judge made law). Menurut

Subekti, yurisprudensi adalah putusan hakim yang telah berkekuatan

hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan

negara tertinggi.96

Sampai saat ini belum ada yurisprudensi yang berhubungan dengan

sengketa ekonomi syari’ah atau khususnya perbankan syari’ah.

Yurisprudensi yang ada hanya putusan dari lingkungan Peradilan Umum

termasuk di dalamnya putusan Pengadilan Niaga tentang perbankan

konvensional atau ekonomi konvensional. Yurisprudensi ini dapat

dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam memeriksa, memutus

dan menyelesaikan perkara niaga syari’ah atau perbankan syari’ah.

e. Fiqh dan Ushul Fiqh

Fiqh merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam

menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah termasuk perbankan syari’ah.

Demikian pula kaidah-kaidah fiqh dan ushul fiqh, sebab kaidah-kaidah ini

sangat berguna dalam menyelesaikan sengketa perkara muamalat. Kitab-

kitab fiqh yang dapat dipedomani antara lain :

Fiqhul Islam Waadillatuhu oleh Wahbah Zuhaili Juz IV dan V;

95 ?Mahkamah Agung RI, Pustaka Peradilan, (Jakarta : Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, 1995), Jilid VIII, hal.38.96 ?Subekti, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Jakarta: Pradnza Paramita, 1987), hal.97.

111

Page 112: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Fiqhus-Sunnah oleh Sayyid Sabiq Juz II;

Al-Milkiyah wa Nadhariyyatul Uqud oleh Abu Zahroh;

Hukum Muamalat oleh Ahmad Azhar Basyir;

Kitab Hukum Perdata Islam, terjemahan dari Majallah al-‘Adliyyah

oleh Prof. Djazuli.

Fiqh Ekonomi Keuangan Islam oleh Prof. Dr. Abdullah al-Muslih;

Pertumbuhan Hukum Bisnis Syari’ah Indonesia oleh Prof.Dr. Sholah

as-Shawi.97

f. Perjanjian Internasional.

Adanya perjanjian antara Indonesia dengan negara lain, misalnya

kesepakatan mengadakan kerjasama dalam menyampaikan dokumen-

dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam perkara hukum

perdata dan dagang. Warga negara kedua belah pihak akan mendapat

keleluasaan berperkara dan menghadap pengadilan di wilayah pihak

lainnya dengan syarat-syarat yang sama seperti warga negara pihak itu.

g. Ilmu Pengetahuan atau Doktrin.

Kewibawaan ilmu pengetahuan yang dikemukakan oleh para ahlinya,

dan didukung oleh para pengikutnya, dan juga karena sifatnya yang

obyektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim

bernilai obyektif juga. Doktrin bukanlah hukum, melainkan menjadi

97 ? Taufiq, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyyah,...hal. 3.

112

Page 113: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

sumber hukum di mana hakim dapat menggali hukum dari doktrin atau

pendapat para ahli hukum.98

BAB IV

ANALISIS DATA

A. Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa

Syari’ah

Kewenangan Pengadilan Agama untuk menyelesaikan perkara ekonomi

syari’ah didasarkan atas ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara

orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan; dst i. Ekonomi

syari’ah”. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 tersebut, Pengadilan Agama

bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara

perkawinan, waris, wasiat, hibah, waqaf, zakat, infaq, shadaqah, dan

ekonomi syari’ah . Oleh karena itu, terhitung mulai tanggal 20 Maret 2006

penyelesaian perkara ekonomi syari’ah menjadi kewenangan absolut

Pengadilan Agama. Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 tersebut memang belum pernah ada peraturan Perundang-

98 ?Yusuf Buchori, Litigasi Sengketa Perbankan, hal.116.

113

Page 114: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Undangan yang secara khusus melimpahkan kewenangan kepada pengadilan

tertentu untuk memeriksa daan mengadili perkara ekonomi syari’ah.

Namun demikian, meskipun Pengadilan Agama telah diberi kewenangan

untuk memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah,

ternyata hal tersebut tidak dibarengi pula dengan perangkat hukum yang

mengaturnya lebih lamjut, baik perangkat hukum materiil maupun perangkat

hukum formil. Oleh sebab itu dalam rangka pelayanan kepada masyarakat

dan supaya Pengadilan Agama dapat segera melakukan tugas-tugas barunya,

maka harus dilakukan terobosan hukum guna memenuhi perkembangan

kebutuhan hukum masyarakat.

Terobosan tersebut adalah :

1. Dengan melakukan penafsiran argumentum per-analogian (analogi), yakni

dengan memperluas berlakunya peraturan perUndang-Undangan yang

mengatur tentang kegiatan ekonomi pada umumnya terhadap kegiatan

ekonomi syari’ah karena adanya persamaan-persamaan antara keduanya.

2. Dengan menerapkan asas lex posterior derogat legi apriori, yakni bahwa

hukum yang baru mengalahkan hukum yang lama. Dengan demikian,

maka ketentuan-ketentuan hukum yang lama yang dahulu tidak berlaku

pada Pengadilan Agama menjadi berlaku karena adanya kesamaan-

kesamaan antara keduanya dan atauran-aturan yang berkaitan dengan

ekonomi syari’ah yang dahulu bukan menjadi kewenangan Pengadilan

Agama maka sekarang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dengan

114

Page 115: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, sepanjang berkenaan

dengan ekonomi syari’ah.

Diantara peraturan Perundang-Undangan yang mengatur kegiatan ekonomi

adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) dan Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang. Melalui penafsiran

argumentum per analogian (analogi), maka ketentuan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut

diberlakukaan pada Pengadilan Agama. Kata-kata “Pengadilan Negeri”

atau “Pengadilan Umum” dalam Undang-Undang tersebut dapat diberlakukan

pada “Pengadilan Agama” atau “Peradilan Agama” sepanjang menyangkut

ekonomi syari’ah. Berbagai ketentuan tentang badan arbitrase dalam

Undang-Undang tersebut secara mutatis mutandis diterapkan pada Badan

Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) sebagai satu-satunya badan

arbitrase dalam ekonomi syari’ah yang ada di Indonesia. Demikian juga

halnya tentang kepailitaan. Dengan mengadopsi dua Undang-Undang tersebut

maka dapat dipakai sebagai pedoman dalam menyelesaikan perkara yang

berkaitaaan dengan alternatif penyalesaian sengketa, arbitrase, dan kepailitan

di bidang ekonomi syari’ah pada Pengadilan Agama.

115

Page 116: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999

dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka kewenangan Pengadilaan

Agama dalam menangani perkara ekonomi syari’ah ini meliputi:

1. Menunjuk arbiter dalam hal para pihak tidak dapat mencapai

kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuaan yang

dibuat mengenai pengangkatan arbiter (Pasal 13-14 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999).

2. Memutus hak ingkar yang diajukan oleh para pihak atau salah satu dari

mereka terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Agama

(Pasal 22-25 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999).

3. Membatalkan keputusan BASYARNAS manakala dalam putusan

BASYARNAS terdapat hal-hal yang menjadikan keputusan itu tidak

valid lagi karena: (1). Adanya surat (dokumen) palsu yang menjadi dasar

keputusan, (2). Ada dokumen yang ternyata disembunyikan oleh pihak

lawan sehinggaa merugikan pihak lain, atau (3) Karena keputusaan

didasarkan atas tipu muslihat dari pihak lawan sehingga merugikan pihak

lainnya (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999);

4. Melaksanakan keputusan badan alternatif penyelesaian sengketa (ADR)

dan keeputusan BASYARNAS melalui eksekussi paksa manakala

diperlukan (Pasal 59-63 Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999).

Keputusan tersebut dapat dieksekusi oleh Pengadilan Agama selambat-

lambatnyaa 30 hari setelaah penandatanganan keputusan tersebut (Pasal 6

ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999). Apabila ketentuan ini

116

Page 117: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

tidak diindahkan maka keputusan tersebut tidak dapat dieksekusi (Pasal 59

ayat (4) Undang-Undang Nomor30 Tahun 1999);

5. Menyatakan pailit debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan

tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor4 Tahun 1998);

6. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah

(Pasal 49 Undang-Undang Nomor3 Tahun 2006).99

Uraian di atas telah menjelaskan tentang hal ihwal yang terkait dengan

kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi

syari’ah. Sedangkan mengenai Pengadilan Agama mana yang paling berwenang

menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah apabila ternyata antara pihak

penggugat dan pihak tergugat berbeda alamat tempat tinggal bahkan obyek

sengketa juga berada di tempat yang berlainan dengan kedua belah pihak yang

berperkara. Mengenai hal ini berdasarkan ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal

142 ayat (1) RBg., Pengadilan Agama yang berwenang menyelesaikan sengketa

ekonomi syari’ah adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi

tempat tinggal tergugat, sesuai asas actor sequitur forum rei. Sedangkan apabila

obyek gugatannya itu mengenai benda tetap berlaku aturan sebagaimana diatur

dalam pasal 118 ayat (3) HIR/pasal 142 ayat (5) RBg., yakni gugatan dapat

diajukan ke Pengadilan Agama dimana letak atau lokasi obyek sengketa tersebut

berada di wilayah hukumnya, sesuai dengan asas forum rei sitae. Atau dapat juga

diajukan gugatan ke Pengadilan Agama tertentu yang telah menjadi kesepakatan

99 ?Abdullah Dhia, dkk, Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan Agama, Makalah Dalam Pemenuhan Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Sengketa Bisnis Syari’ah pada Program Pascasarjana MSI-UII Yogyakarta, 2006, hal. 8.

117

Page 118: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

kedua belah pihak yang tertuang didalam akta perjanjian yang telah dibuat

sebelumnya ( Pasal 118 ayat (4) HIR/pasal 142 ayat (4) RBg.).

Apabila ternyata para tergugat berada pada tempat tinggal yang berlain-lainan,

maka gugatan bisa diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya

meliputi tempat tinggal salah seorang tergugat yang ada (Pasal 118 ayat (2)

HIR/Pasal 142 ayat (3) RBg.).

B. Tatacara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Pada Pengadilan

Agama

Apabila perkara ekonomi syari’ah diajukan ke Pengadilan Agama, maka

Pengadilan Agama wajib memeriksa, memutus dan menyelesaikannya secara

profesional, yakni pertama: dengan proses yang sederhana, cepat, dan biaya

ringan; kedua: dengan pelayanan yang prima, yaitu pelayanan secara resmi,

adil, ramah, rapi, akomodatif, manusiawi, dan tertib; dan ketiga: dengan

hasil (keputusan) yang tuntas, final dan memuaskan.

Dalam menyelesaikan perkara ekonomi syari’ah, maka Pengadilan Agama

harus menjalankan fungsi holistik pengadilan, yaitu sebagai pelayaan hukum

dan keadilan kepada para pencari keadilan, sebagai penegak hukum dan

keadilan terhadap perkara yang dihadapi, dan sebagai pemulih kedamaian

antara pihak-pihak yang bersengketa.

Tugas pokok hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan serta

memulihkan hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa melalui

118

Page 119: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

proses peradilan. Sebagai penegak hukum, hakim berkewajiban untuk

memeriksa (mengkonstatir) apakah akad (perjanjian) antara para pihak telah

dilakukan sesuai dengan ketentuan syari’ah Islam, yakni memenuhi syarat

dan rukun sahnya suatu perjanjian yang berupa: 1. asas kebebasan

berkontrak, 2. asas persamaan dan kesetaraan, 3. asas keadilan, 4. asas

kejujuran dan kebenaran, 5. asas tidak mengandung unsur riba dengan

segala bentuknya, 6. asas tidak ada unsur gharar atau tipu daya, 7. asas

tidak ada unsur maisir atau spekulasi, 8. asas tidak ada unsur dhulm atau

ketidak- adilan, 9. asas tertulis, dan lain sebagainya sesuai dengan obyek

(jenis) kegiatan ekonomi syari’ah tertentu. Apabila perjanjian (akad)

tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya maka perjanjian (akad) tersebut

adalah syah dan mempunyai kekuataan hukum. Namun jika ternyata tidak

memenuhi syarat dan rukunnyaa, maka akad tersebut tidak sah dan karenanya

tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga tidak mengikat kedua belah

pihak. Dalam hal ini, maka hakim karena jabatannya berwenang untuk

mengesampingkan bagian-bagian yang tidak sesuai (menyimpang) dari syarat

rukunnya tersebut untuk kemudian mengambil langkah-langkah yang sejalan

dengan ketentuan syari’ah Islam dan mengembalikan kepada asas-asas

tersebut. Asas-asas yang bersifat dwangen recht ditegakkan secara

imperatif, sedangkan asas-asas yang bersifat anvullen recht ditegakkan

secara fakultatif.

Sebagai penegak keadilan, hakim wajib memeriksa pokok gugatan dengan

membuktikan (mengkonstatir) dalil-dalil gugatan yang dijadikan dasar

119

Page 120: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

tuntutan (petitum). Hakim harus membuktikan fakta-fakta yang dijadikan

dasar gugatan, menetapkan siapa-siapa yang terbukti melakukan wanprestasi

untuk kemudian menghukum yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi

yang seharusnya ia lakukan agar pihak lain tidak dirugikan dan terciptalah

rasa keadilan antara kedua belah pihak.

Sebagai pemulih hubungan sosial (kedamaian), maka hakim wajib

menemukan apa yang menjadi penyebab timbulnya sengketa antara kedua

belah pihak. Suatu sengketa dapat saja timbul karena: kesahpahaman,

perbedaan penafsiran, ketidakjelasan perjanjian (akad),

kecurangan/ketidakjujuran/ketidakpatutan, ketersinggungan, kesewenang-

wenangan atau ketidakadilan, ketidakpuasan, kejadian tak terduga, prestasi

tidak sesuai dengan penawaran, prestasi tidak sesuai dengan spesifikasinya,

prestasi tidak sesuai dengan waktunya, prestasi tidak sesuai dengan aturan

main yang diperjanjikan, prestasi tidak sesuai dengan layanan atau birokrasi

yang tidak masuk dalam akad, lambatnya proses kerja, atau wanprestasi

sepenuhnya, dan lain sebagainya. Dengan mengetahui apa penyebab

timbulnya sengketa maka hakim akan apat memilih dan menemukan cara

yang tepat untuk menyelesaikan sengketa antara kedua belah pihak.

Tugas Pengadilan Agama bukan sekedar memutus perkara melainkan

menyelesaikan sengketa sehingga terwujud pulihnya kedamaian antara pihak-

pihak yang bersengketa, tercipta adanya rasa keadilan pada masing-masing

pihak yang berperkara dan terwujud pula tegaknya hukum pada perkara yang

diperiksa dan diputus tersebut.

120

Page 121: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Dengan berpegang pada asas-asas proses penyelesaian perkara yang baik,

hakim menyelesaikan perkara dengan berpedoman pada hukum acara perdata

yang ada dengan penyesuaian pada karakteristik sengketa ekonomi syari’ah.

Proses peradilannya dilakukan sesuai dengan hukum acara perdata yang

berlaku pada Pengadilan Agama.

Proses penyelesaian perkara sengketa ekonomi syari’ah dilakukan hakim

dengan tata urutan sebagai berikut :

1. Hakim memeriksa apakah syarat administrasi telah tercukupi atau belum .

Administrasi perkara ini meliputi berkas perkara yang didalamnya telah

dilengkapi dengan kuitansi panjar biaya perkara, nomor perkara,

penetapan majelis hakim, dan penunjukan panitera sidang. Apabila syarat

tersebut belum lengkap maka berkas dikembalikan ke paniteraan untuk

dilengkapi, apabila sudah lengkap maka hakim menetapkan hari sidang

dan memerintahkan kepada juru sita agar para pihak dipanggil untuk hadir

dalam sidang yang waktunya telah ditetapkan oleh hakim dalam surat

Penetapan Hari Sidang (PHS).

2. Hakim memeriksa syarat formil perkara yang meliputi kompetensi dan

kecakapan penggugat, kompetensi (kewenangan) Pengadilan Agama baik

secara absolut maupun relatif, ketepatan penggugat menentukan tergugat

(tidak salah menentukan tergugat), surat gugatan tidak obscuur, perkara

yang akan diperiksa belum pernah diputus oleh pengadilan dengan

putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap (tidak ne bis in idem), tidak

terlalu dini, tidak terlambat, dan tidak dilarang oleh Undang-Undang

121

Page 122: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan. Apabila ternyata para pihak

telah terikat dengan perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Agama tidak

berwenang memeriksa dan mengadilinya (Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999).

3. Apabila syarat formil telah terpenuhi berarti hakim dapat melanjutkan

untuk memeriksaa pokok perkara. Dalam persidangan ini, tugas pertama

dan utama hakim adalah berusaha mendamaikan kedua belaah pihak

sesuai dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 dan PERMA Nomor 1

Tahun 2002.

Apabila tercapai perdamaian, maka hakim membuat akta perdamaian.

Apabila tidak dapat dicapai perdamaian maka pemeriksaan dilanjutkan ke

tahap berikutnya.

4. Hakim melakukan konstatiring terhadaap dalil-dalil gugat dan

bantahannya melalui tahap-tahap pembacaan surat gugatan, jawaban

tergugat, replik, duplik, dan pembuktian.

5. Hakim melakukan kualifisiring melalui kesimpulan para pihak dan

musyawarah hakim.

6. Hakim melakukan konstituiring yang dituangkan dalam surat putusan.100

C. Hukum Acara Yang Berlaku Pada Pengadilan Agama

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menyebutkan : “Hukum

acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama

adalah hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan

100 ?Ibid, hal. 11.

122

Page 123: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-

Undang ini.

Dengan demikian maka pada dasarnya tehnis peradilan dalam lingkungan

Peradilan Agama adalah sama dengan tehnis peradilan dalam perkara perdata

dari Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Oleh karenanya

Pedoman Pelaksanaan tugas Bidang tehnis Peradilan Angka I Peradilan

Umum huruf A. Perdata dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan

Administrasi Pengadilan Buku II dapat pula dipedomani, kecuali hal-hal

yang secara telah diatur di dalam dan atas dasar Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 dan peraturan perundangan yang lainnya. 101

101 ? Pedoman Pelaksanaan Tugas Dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Edisi Revisi, cetakan ke 13 (Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1998), hal. 215.

123

Page 124: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

BAB IV

P E N U TU P

A. Kesimpulan

Berdasarkan data dan hasil analisa di atas dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut :

1. Bahwa Pengadilan Agama berwenang memeriksa, mengadili dan

menyelesaian perkara sengketa ekonomi syari’ah karena sesuai dengan

amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 ayat (2) joncto pasal 2 dan

pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama.

2. Bahwa hukum acara yang berlaku bagi Peradilan Agama didalam

menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah sebelum diberlakukannya atau

diundangkannya peraturan perundangan yang khusus untuk itu adalah

hukum acara perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum.

3. Bahwa Peradilan Agama yang paling berhak menyelesaikan suatu sengketa

ekonomi syari’ah adalah Peradilan Agama yang wilayah hukumnya

mewilayahi tempat tinggal tergugat dan/atau tempat obyek sengketa

berada.

124

Page 125: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

B. Saran dan rekomendasi

1. Untuk lembaga Eksekutif dan Legislatif :

a. Bahwa mengingat penting dan mendesaknya perangkat peraturan

perundangan yang mengatur tentang cara-cara penyelesaian sengketa

ekonomi syari’ah melalui badan Peradilan Agama, maka dipandang

perlu dan mendesak untuk segera diatur dan diundangkannya Peraturan

Perundangan yang mengatur Acara Pemeriksaan dan Penyelesaian

Sengketa Ekonomi Syari’ah melalui Pengadilan Agama.

b. Bahwa untuk segera merealisir maksud di atas perlu dibentuk tim

khusus yang terdiri dari pakar-pakar hukum acara baik dari kalangan

akademisi maupun para praktisi hukum.

2. Untuk lembaga Peradilan Agama dan Perguruan Tinggi :

a. Mengingat latar belakang akademis para hakim Peradilan Agama pada

umumnya adalah sarjana syari’ah dan sarjana hukum, maka untuk lebih

memantapkan profesionalitas Hakim dibidang penyelesaian sengketa

ekonomi syari’ah dipandang perlu untuk membekali setiap Hakim ilmu-

ilmu ekonomi Islam, baik melalui pendidikan formal maupun kursus-

kursus dan pelatihan singkat tentang penyelesaian sengketa ekonomi

syari’ah.

b. Untuk memudahkan para Hakim didalam mencari dan menemukan

referensi hukum-hukum ekonomi syari’ah, disarankan setiap kantor

Pengadilan Agama melengkapi diri dengan perpustakaan yang

125

Page 126: Penyelesaian sengketa ekonomi syariah

memadai, khususnya referensi yang terkait dengan bidang penyelesaian

sengketa ekonomi syari’ah.

c. Bagi Perguruan Tinggi yang mencetak sarjana hukum (fakultas syari’ah

dan/atau fakultas hukum) hendaknya memasukkan mata kuliah hukum

bisnis syari’ah sebagai mata kuliah inti, sehingga diharapkan nantinya

akan melahirkan praktisi-praktisi hukum maupun akademisi hukum

yang handal dan mumpuni dalam melaksanakan tugasnya, khususnya

yang berkaitan dengan persoalan ekonomi syari’ah.

126