Penyelesaian sengketa medis

20
Jurnal Mimbar Justitia 369 PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS MELALUI MEDIASI DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR I TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN Trini Handayani Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Alamat Kantor Jl. Pasir Gede Raya Cianjur, E-mail : [email protected] ABSTRAK Banyaknya masyarakat yang kritis dan mulai melek hukum membuat para penjual jasa pelayanan khususnya jasa pelayanan kesehatan harus ekstra hati-hati dalam melakukan pelayanan kesehatan. Berbagai kemungkinan dapat terjadi, apalagi sebagai penyedia jasa di bidang medis, tidak terlepas dari berbagai kemungkinan yang merupakan hasil terapi (pengobatan). Hasil terapi dapat berupa reaksi alergi, reaksi efek samping tindakan ataupun cacat bahkan kematian. Mindset masyarakat langsung mengarah pada adanya malpraktik oleh tenaga kesehatan apabila terjadi reaksi tersebut. Apabila standar prosedur dalam pengobatan sudah ditempuh, sebenarnya bukan merupakan suatu malpraktik tetapi suatu risiko medis. Menghadapi situasi tersebut, perlu adanya mediasi untuk mendamaikan pihak pasien ataupun dokter yang mengalami sengketa medis. Tetapi ternyata mediasi yang difasilitasi oleh mediator tidak memuaskan semua pihak, sehingga tidak dapat memuaskan pihak yang berseteru. Adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa medis tersebut. Prosedur mediasi dalam peraturan tersebut memungkinkan dipatuhinya hasil mediasi para pihak karena hasil tersebut dikuatkan dengan putusan pengadilan. Kata kunci : Sengketa medis, mediasi, Perma. ABSTRACT The number of critical community and begin to make the sellers legal literacy services, especially health services must be extra careful in doing health care. Various possibilities can occur, especially as service providers in the medical field, not out of the possibility that the outcome of therapy (treatment). The results of therapy can be allergic reactions, or adverse reaction to disability and even death action. Given the reaction, the public mindset directly lead to malpractice. In fact, if the procedure adopted in the treatment been taken, not a medical malpractice but a risk. Faced with this situation, the need for mediation to reconcile the patient or the physician who suffered a medical dispute. But it turns

Transcript of Penyelesaian sengketa medis

Page 1: Penyelesaian sengketa medis

Jurnal Mimbar Justitia

369

PENYELESAIAN SENGKETA MEDIS MELALUI MEDIASI

DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR I TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR

MEDIASI DI PENGADILAN

Trini Handayani

Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Alamat Kantor Jl. Pasir Gede Raya

Cianjur, E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Banyaknya masyarakat yang kritis dan mulai melek hukum membuat para

penjual jasa pelayanan khususnya jasa pelayanan kesehatan harus ekstra hati-hati

dalam melakukan pelayanan kesehatan. Berbagai kemungkinan dapat terjadi,

apalagi sebagai penyedia jasa di bidang medis, tidak terlepas dari berbagai

kemungkinan yang merupakan hasil terapi (pengobatan). Hasil terapi dapat berupa

reaksi alergi, reaksi efek samping tindakan ataupun cacat bahkan kematian.

Mindset masyarakat langsung mengarah pada adanya malpraktik oleh tenaga

kesehatan apabila terjadi reaksi tersebut.

Apabila standar prosedur dalam pengobatan sudah ditempuh, sebenarnya

bukan merupakan suatu malpraktik tetapi suatu risiko medis. Menghadapi situasi

tersebut, perlu adanya mediasi untuk mendamaikan pihak pasien ataupun dokter

yang mengalami sengketa medis. Tetapi ternyata mediasi yang difasilitasi oleh

mediator tidak memuaskan semua pihak, sehingga tidak dapat memuaskan pihak

yang berseteru.

Adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2008

tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan merupakan salah satu alternatif yang

dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa medis tersebut. Prosedur mediasi

dalam peraturan tersebut memungkinkan dipatuhinya hasil mediasi para pihak

karena hasil tersebut dikuatkan dengan putusan pengadilan.

Kata kunci: Sengketa medis, mediasi, Perma.

ABSTRACT

The number of critical community and begin to make the sellers legal

literacy services, especially health services must be extra careful in doing health

care. Various possibilities can occur, especially as service providers in the

medical field, not out of the possibility that the outcome of therapy (treatment).

The results of therapy can be allergic reactions, or adverse reaction to disability

and even death action. Given the reaction, the public mindset directly lead to

malpractice.

In fact, if the procedure adopted in the treatment been taken, not a medical

malpractice but a risk. Faced with this situation, the need for mediation to

reconcile the patient or the physician who suffered a medical dispute. But it turns

Page 2: Penyelesaian sengketa medis

370

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

out mediation facilitated by the mediator does not satisfy all parties, so it can not

satisfy the warring parties.

The existence of the 1st Court Regulation on 2008 about Mediation

Procedures in court is one alternative that can be used for medical dispute

resolution. Mediation procedures in compliance with the regulations allow the

parties to mediation results because these results confirmed by a court decision.

Key Words: medical disputes, mediation, High Court Regulation.

I. PENDAHULUAN.

Dalam amandemen Undang-undang Dasar 1945 tercantum “Setiap orang

berhak mendapatkan pelayanan kesehatan”. Hak untuk sehat oleh banyak orang

sering ditafsirkan sebatas hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan,

khususnya pelayanan medik/ kuratif. Pelayanan kesehatan kuratif hanya sebagian

kecil dari hak untuk sehat karena sehat bukan hanya “tersembuhkan dari penyakit”

tetapi meliputi hal yang jauh lebih luas. Pelayanan kesehatan lainnya meliputi

promotif, preventif dan rehabilitatif. Banyak faktor yang ikut berperan terhadap

kesehatan seseorang, antara lain pendidikan, perlindungan terhadap penyakit

menular, tersedianya lingkungan (baik fisik maupun sosial) yang sehat, air bersih

(safe water), makanan bergizi seimbang, dan rumah (shelter) yang sehat.1

Bekerja di bidang kesehatan adalah pekerjaan kemanusiaan yang mulia,

bukan semata-mata karena kemampuan dalam menolong orang lain, namun lebih

karena semua yang dikerjakan menyangkut kepentingan sesama. Memberikan

pelayanan kesehatan tentunya harus dengan sikap professional, dengan

ketinggian moral dan keluhuran budi yang memberikan kebahagiaan tertinggi dan

dapat dirasakan oleh pemberi pelayanan maupun penerima pelayanan kesehatan.2

Ada satu hal yang jarang disadari dokter dalam menjalankan kesehatan

atau kedokteran, yaitu bahwa pada saat menerima pasien untuk mengatasi

masalah kesehatan baik di bidang kuratif, promotif, preventif maupun rehabilitatif

sebetulnya telah terjadi transaksi atau persetujuan/ perjanjian antara kedua belah

1 Kartono Muhammad, Penerapan Hak Untuk Sehat, disampaikan pada Workshop and Conference Health and Human Right, 19-20 Maret 2003 di Jakarta, hlm 151.

2 Uton Muchtar Rafei, Health Politic – Menjangkau yang Tak Terjangkau, Health & Hospital Indonesia, Jakarta, 2007, hlm 221.

Page 3: Penyelesaian sengketa medis

371

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

pihak dalam bidang kesehatan. 3 Di dalam hukum positif Indonesia, ketentuan

mengenai kontrak/perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang

Perikatan (Van Verbintenissen), yang meletakkan hak-hak dan kewajiban kepada

para pihak secara timbali balik.

Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional sesuai dengan kode etik kedokteran,

merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan setelah

pasien meninggal dunia, serta menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

perkembangan ilmu kedokteran.

Oleh karena itu pada dasarnya, seorang dokter dalam memberikan

pelayanan medik kepada pasien selalu dituntut untuk mengutamakan rasa puas

pasien (patient statisfaction) yaitu secara bertanggung jawab berupaya demi

kesembuhan pasien.4 Salah satu prinsip dalam etika kedokteran adalah ‘primum

non nocere’ yang maksudnya adalah bermaksud baik dan tidak ingin merugikan.5

Hal yang perlu dipahami terhadap pelayanan kesehatan yang dilakukan

oleh dokter bahwa pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter merupakan sebuah

usaha untuk menyembuhkan dan meningkatkan derajat kesehatan, yang memiliki

kemungkinan berhasil tetapi juga bisa gagal.

Kecelakaan medis dapat terjadi karena malpraktik medik ataupun adanya

suatu risiko medis. Malpraktik terjadi karena kesalahan atau kelalaian dokter

dalam melakukan tindakan medik dan dokter tidak melaksanakan profesinya

sesuai standar pelayanan medis. Pada risiko medis, dokter sudah melaksanakan

pelayanan medis sesuai standar tetapi terjadi risiko pada pelayanan medis, seperti

adanya efek samping suatu obat atau adanya reaksi hipersensitif terhadap obat

tertentu.6 Keadaan tersebut dapat menimbulkan terjadinya konflik atau sengketa

antara dokter dengan pasien.

3 M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi ke-3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997, hlm 38-39

4 Jurnal Hukum Fakultas Hukum Universitas Suryakancana, Volume V, No 03, Edisi Februari-Mei 2009, Trini Handayani, Malpraktik dan Risiko Medis, hlm 105.

5 Ibid. 6 Jurnal Hukum, Op Cit, hlm 105.

Page 4: Penyelesaian sengketa medis

372

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

Sarana untuk menyelesaikan sengketa di bidang kesehatan pada dasarnya

dapat ditempuh 3 (tiga) cara. Pertama, negosiasi atau alternatif sengketa (ADR);

kedua, arbitrase; dan ketiga melalui lembaga peradilan.7

Merujuk pada ketiga cara penyelesaian sengketa tersebut, secara historis,

penyelesaian sengketa melalui cara mediasi telah lama dikenal dalam praktik

hukum Islam. Hukum Islam yang dimaksud adalah hukum yang sumbernya dari

wahyu Allah. Mediasi di dalam Islam disebut dengan tahkim yang berasal dari

bahasa Arab dan berarti “Menyerahkan putusan pada seseorang dan menerima

putusan itu”. 8

Praktik mediasi (tahkim) ini pernah juga dilakukan antara Ali bin Abi

Thalib ra dengan Mu’awiyah bin Abu Sufyan kerabat dekat Usman dalam perang

Shiffin. Perundingan damai berlangsung pada bulan Ramadan 34, setiap pihak

menunjuk wakil yang akan menjadi juru penengah. Peristiwa ini dikenal dengan

tahkim (arbitrase).9 Praktik mediasi lebih jelas lagi bila dilihat dalam kasus-kasus

pertengkaran dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dinyatakan dalam Surat

An-Nisa ayat 35:

Artinya:

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka

kirimlah seorang hakam (juru penengah) dari keluarga laki-laki dan

seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu

bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada

suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha

Mengenal”.

7 P. Lindawaty S. Sewu, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bahan Kuliah pada Program Magister Hukum Kesehatan, Universitas Katolik Soegijapranata.

8 Siti Juniah, Potret Mediasi dalam Islam, diunduh dari internet, 24 Oktober 2009, hlm 1. 9 Ensiklopedia Islam, jilid 1, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hlm 113.

Page 5: Penyelesaian sengketa medis

373

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

Secara umum, mediasi adalah salah satu alternatif penyelesaian sengketa.

Ada 2 jenis mediasi, yaitu di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Mediasi di

luar pengadilan ditangani oleh mediator swasta, perorangan, maupun sebuah

lembaga independen alternatif penyelesaian sengketa yang dikenal sebagai Pusat

Mediasi Nasional (PMN). Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan PERMA

No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, sebagai

penyempurnaan Surat Edaran (SEMA) No.1 Tahun 2002 tentang pemberdayaan

Pengadilan Tingkat Pertama menerapkan lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154

RBg).

Setelah dievaluasi pelaksanaan Prosedur Mediasi di Pengadilan

berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 ditemukan beberapa

permasalahan, sehingga Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003

direvisi dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang

Prosedur Mediasi Di Pengadilan, untuk tujuan lebih mendayagunakan mediasi

yang terkait dengan proses penyelesaian sengketa di Pengadilan.10

Kemudian penyelesaian sengketa melalui lembaga non peradilan atau

penyelesaian sengketa di luar peradilan atau disebut juga Alternative Dispute

Resolution (ADR) yang dilakukan dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan

penetapan ahli.11 Penyelesaian sengketa melalui mediasi dalam lembaga ini

sifatnya tidak formal, melihat ke depan, kooperatif dan berdasarkan kepentingan.

Seorang mediator membantu pihak-pihak yang bersedia merangkai kesepakatan

dan memandang ke depan serta memenuhi kebutuhan sesuai dengan standar

kejujuran mereka sendiri.12

Manfaat penyelesaian sengketa medik melalui mediasi, yaitu: (1). Lebih

sederhana daripada penyelesaian melalui proses hukum acara perdata;

(2). Efisien; (3). Waktu singkat; (4). Rahasia; (5). Menjaga hubungan baik para

pihak; (6). Hasil mediasi merupakan kesepakatan; (7). Berkekuatan hukum tetap,

10 Ibid. 11 Siti Juniah, Op Cit, hlm 3. 12 Ibid.

Page 6: Penyelesaian sengketa medis

374

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

dan (8). Akses yang luas bagi para pihak yang bersengketa untuk memperoleh

rasa keadilan.

Namun demikian, meskipun penyelesaian sengketa medik melalui mediasi

ini memiliki banyak manfaat, pada praktiknya tidak terlepas dari hambatan-

hambatan yaitu belum adanya aturan yang secara khusus mengatur mengenai hal

tersebut, masih adanya aparat penegak yang memiliki paradigma berpikir bahwa

kasus-kasus malpraktik merupakan kasus yang menguntungkan sehingga sering

dijadikan alat untuk melakukan kompromi hukum yang mengesampingkan

hukum, serta masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang hukum dan ilmu

kedokteran selalu dimanfaatkan untuk melindungi dirinya dalam penyelesaian

suatu sengketa.

II. PEMBAHASAN.

Salah satu tujuan pembangunan kesehatan adalah untuk meningkatkan

kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur

kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bentuk sengketa beraneka ragam dan keanekaragamannya menentukan inti

permasalahan, setiap permasalahan memiliki lika-liku yang pada akhirnya muncul

ke permukaan. Berbagai faktor individual maupun pengaruh lingkungan dapat

menguasai emosi para pihak yang bersengketa melalui pertentangan tertentu yang

kadang-kadang tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Oleh karena itu

akan paling efektif kalau dapat diselesaikan pada putusan final dan mengikat

melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), baik melalui bentuk APS

tertentu maupun arbitrase. Sengketa tersebut dapat diputus atau setidak-tidaknya

diklarifikasi dengan mempersemit persoalannya melalui mekanisme APS yang

Page 7: Penyelesaian sengketa medis

375

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

tepat. Beberapa bentuk sengketa dapat diselesaikan melalui negosiasi langsung

oleh para pihak tanpa perlu bantuan pihak ketiga. 13

Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk

pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas.

Penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai

kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter

yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara

terus menerus mutunya perlu ditingkatkan melalui pendidikan.

Berdasarkan perangkat keilmuan yang dimilikinya, dokter mempunyai

karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang diberikan

oleh hukum yaitu diperkenankannya dokter melakukan tindakan medis terhadap

tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.

Namun demikian, meskipun dokter memiliki kekhasan untuk melakukan

tindakan medis terhadap tubuh manusia, tindakan dokter tersebut baru dapat

dilakukan apabila ada persetujuan terlebih dahulu khususnya dari pasien, sehingga

timbullah hubungan hukum antara pasien dengan dokter.

Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan

pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta

perlindungan dan keselamatan pasien.

Dalam melaksanakan praktik kedokterannya, dokter mempunyai

kewajiban : (1). Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien; (2). Merujuk pasien

ke dokter atau dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih

baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan; (3).

Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga

setelah pasien itu meninggal dunia; (4). Melakukan pertolongan darurat atas dasar

perikemanusiaan, kecuali bila dokter yakin ada orang lain yang bertugas dan

13 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (sebuah pengantar), PT Fikahati Aneska bekerja sama dengan BANI, Jakarta, 2002, hal. 1-2.

Page 8: Penyelesaian sengketa medis

376

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

mampu melakukannya; dan (5). Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

perkembangan ilmu kedokteran.

Adapun Hak Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,

yaitu : (1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; (2).

Meminta pendapat dokter atau dokter lain; (3). Mendapatkan pelayanan sesuai

dengan kebutuhan medis; (4). Menolak tindakan medis; dan (5). Mendapatkan isi

rekam medis.

Selain memiliki hak, pasien pun dalam menerima pelayanan pada praktik

kedokteran, mempunyai kewajiban : (1). Memberikan informasi yang lengkap dan

jujur tentang masalah kesehatannya; (2). Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter

(3). Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan (4).

Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Pelaksanaan hak-hak dan kewajiban yang dilakukan dokter maupun pasien

adakalanya tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Mungkin saja

pasien tidak memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah

kesehatannya, sehingga hasil tindakan medis tersebut tidak sesuai harapan,

bahkan berdampak pada adanya risiko medik yang tidak diharapkan dari pasien.

Bahkan pada praktek kedokteran selalu mungkin terjadi adanya kejadian yang

tidak diharapkan seperti ketidaknyamanan, kecacatan, sampai kematian dari

pasien, padahal para pihak telah melaksanakan hak-hak dan kewajibannya secara

baik. 14

Dampak dari semua itu, menimbulkan konflik atau sengketa antara dokter

dan pasien. Konflik’ berasal mula dari kata asing conflict yang berasal dari

kata confligere (yang berarti bersama atau bersaling-silang)+ fligere (yang berarti

‘tubruk’ atau ‘bentur’). Jika didefinisikan secara bebas dari arti harafiahnya itu,

‘konflik’ adalah ‘perbenturan’ antara dua pihak yang tengah berjumpa dan

bersilang jalan pada suatu titik kejadian, yang berujung pada terjadinya benturan.

Konflik atau sengketa adalah perselisihan atau perbedaan pendapat

(persepsi) yang terjadi antara dua pihak atau lebih karena adanya pertentangan

14 Wawang S. Sukarya, Gugatan Pasien dan Patien Safety, Seminar Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi, Hotel Panghegar, Bandung, 3 November 2008, hlm. 1.

Page 9: Penyelesaian sengketa medis

377

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

kepentingan yang berdampak pada terganggunya pencapaian tujuan yang

diinginkan oleh para pihak.15 Oleh karena itu, konflik atau sengketa yang terjadi

harus cepat diselesaikan oleh para pihak dengan menggunakan lembaga atau

pranata yang tersedia, baik secara formal (melalui lembaga litigasi) maupun non-

formal (nonlitigasi).16

Menurut Priyatna Abdurayid, sengketa juga berhubungan dengan soal

yang sederhana atau kompleks dan melibatkan berbagai jenis persoalan, misalnya:

1. Kenyataan yang mungkin timbul akibat kredibilitas para pihak itu sendiri,

atau dari data yang diberikan oleh pihak ketiga termasuk penjelasan-

penjelasan tentang kenyataan data tersebut;

2. Masalah hukum yang pada umumnya akibat dari pendapat atau tafsiran

menyesatkan yang diberikan oleh para ahli hukum;

3. Akibat perbedaan teknis, termasuk perbedaan pendapat dari ahli teknik

dan professional dari para pihak;

4. Perbedaan pemahaman tentang sesuatu hal yang muncul, misalnya dalam

penggunaan kata-kata yang membingungkan atau adanya perbedaan

asumsi;

5. Perbedaan persepsi mengenai keadilan, konsep keadilan dan moralitas,

budaya, nilai-nilai dan sikap.17

Menurut penulis, sengketa medis adalah sengketa yang terjadi antara

dokter dan pasien atau keluarga pasien atas hasil diagnosa penyakit atau

pengobatan penyakit yang tidak memuaskan pasien atau keluarganya. Adanya

suatu efek samping obat atau tindakan tertentu, adanya suatu reaksi allergi

(idiosinkrasi), adanya kegagalan pengobatan sering dianggap oleh pasien maupun

keluarganya sebagai suatu malpraktik kedokteran.

Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya

tuntutan hukum oleh masyarakat pada dewasa ini disebabkan oleh kegagalan

15 Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, C. V. Mandar Maju, 2010, hlm 2.

16 Ibid. 17 Priyatna Abdurasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Suatu Pengantar), PT

Fikahati dan BANI, Jakarta, 2002, hlm 5-6.

Page 10: Penyelesaian sengketa medis

378

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

upaya penyembuhan oleh dokter. Walaupun kegagalan penerapan ilmu

pengetahuan kedokteran tidak selalu identik dengan gagalnya dalam tindakan

pelayanan.18

Pada kasus di negara maju, dapat disimpulkan bahwa kategori-kategori

malpraktik medik yang banyak terjadi seringkali berkaitan dengan hal-hal sebagai

berikut:

1. Kegagalan atau salah dalam melakukan diagnosa (failure to diagnose);

2. Kesalahan teknis dalam pembedahan (technical surgical errors);

3. Reaksi terhadap kerugian akibat ketidakcocokan obat khususnya penisilin

dan tetanus antitoksin (pendapat penulis, merupakan reaksi alergi/

idiosinkrasi terhadap antibiotik maupun antitoksin dan ini merupakan

adverse effect/ efek yang tidak diharapkan);

4. Pelayanan yang salah atau tidak patut (improper treatment);

5. Ketiadaan proper informed consent;

6. Improper supervision.19

Perbuatan Malpraktik Medik akan berdampak yuridis luas, baik dalam

bidang hukum perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi/ disipliner.

Dalam bidang hukum perdata misalnya, melakukan wanprestasi, melakukan

perbuatan melawan hukum, kelalaian yang mengakibatkan kerugian, melalaikan

pekerjaan sebagai penanggung jawab. Beberapa contoh kasus dalam bidang

hukum pidana, misalnya penipuan terhadap pasien, membuat surat keterangan

palsu, kelalaian yang menyebabkan mati atau luka, pelanggaran kesusilaan,

pengguguran tanpa indikasi medis, pembocoran rahasia pasien, menelantarkan

pasien, euthanasia. Dalam bidang hukum administrasi/ disipliner misalnya praktik

tanpa izin, melanggar kode etik, dan sebagainya.20

Sebagaimana telah disebutkan di atas, sarana untuk menyelesaikan

sengketa di bidang kesehatan pada dasarnya dapat ditempuh 3 (tiga) cara.

18 S. Soetrisno, Malpraktek Medik dan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu, 2010, hlm 1.

19 Idem, hlm 7. 20 Ibid.

Page 11: Penyelesaian sengketa medis

379

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

Pertama, negosiasi atau alternatif sengketa (ADR); kedua, arbitrase; dan ketiga

melalui lembaga peradilan.21

Di dalam upaya mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di

pengadilan, maka dilakukanlah pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara

di pengadilan, karena mediasi sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2008

adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan

dibantu oleh mediator, yang dapat dilakukan secara lebih cepat, murah, serta

dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh

keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang dihadapi.

Ruang lingkup penyelesaian sengketa secara mediasi yang dapat dilakukan

melalui Perma No. 3 Tahun 2002 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(sekarang diubah menjadi Perma Nomor 1 Tahun 2008), termasuk di dalamnya

penyelesaian sengketa medis antara dokter dengan pasien.

Penyelesaian sengketa termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa medis

memang sulit, namun mediasi dapat memberikan keuntungan penyelesaian

sengketa, yaitu :

1. Mediasi diharapkan menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif

murah,

2. Mediasi akan memfokuskan para pihak pada kepentingannya secara nyata

dan pada kebutuhan emosi atau psikologisnya,

3. Mediasi akan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk

berpartisipasi secara langsung dan secara informal dalam menyelesaian

perselisihannya,

4. Memberi para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap proses

dan hasilnya,

5. Memberikan hasil yang akan mampu menciptakan saling pengertian yang

lebih baik di antara para pihak yang bersengketa karena mereka sendiri

yang memutuskan.

21 P. Lindawaty S. Sewu, Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Bahan Kuliah pada Program Magister Hukum Kesehatan, Universitas Katolik Soegijapranata.

Page 12: Penyelesaian sengketa medis

380

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

Bentuk sengketa beraneka ragam, dan keanekaragamannya menentukan

inti permasalahan yang pada akhirnya intinya akan muncul ke permukaan.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi emosi para pihak yang bersengketa,

sehingga pertentangan seringkali tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat.

Penyelesaian sengketa yang paling efektif apabila diputuskan secara final dan

mengikat melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) maupun arbitrase.

Sengketa akhirnya dapat diselesaikan atau diklarifikasi dengan mempersempit

persoalan melalui mekanisme APS yang tepat. Beberapa sengketa dapat

diselesaikan melalui negosiasi langsung oleh para pihak tanpa bantuan pihak

ketiga. Sengketa lainnya menghendaki bantuan dan ketajaman pihak ketiga yang

independen dengan mekanisme yang disusun secara cermat melalui penelitian,

evaluasi permasalahan, penjajagan kepentingan, juga meempelajari faktor emosi

yang tersembunyi serta menerapkan cara yang efektif dengan memanfa’atkan APS

sehingga tercapai suatu penyelesaian final dan mengikat.22

Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution = ADR)

menawarkan berbagai bentuk proses penyelesaian sengketa yang fleksibel dengan

menerapkan satu atau beberapa mekanisme yang dirancang sesuai dengan

kebutuhan sehingga penyelesaian sengketa mencapai suatu penyelesaian final.

Memahami sengketa secara tepat dengan memperhitungkan berbagai

implikasinya, akan membantu pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa

tersebut. Pihak ketiga yang independen diharapkan memiliki keyajaman analisis

(pandangan), motivasi, aspirasi serta memperhatikan kepentingan para pihak yang

bersengketa. Pada akkhirnya, pihak ketiga yang independen ini akan bekerja

secara teliti dan efektif sesuai dengan permasalahan yang dihadapi.23

Ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam

menyelesaikan perselisihan yang timbul, antara lain:

a. Melalui perjanjian informal;

b. Melalui konsiliasi;

22 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm. 1-2.

23 ibid, hlm. 2-3.

Page 13: Penyelesaian sengketa medis

381

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

c. Melalui arbitrase;

d. Melalui pengadilan.24

Apabila para pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang timbul

secara baik-baik, penyelesaian sengketa tersebut dapat diperjanjikan untuk

diselesaikan di luar hukum acara. Perjanjian yang telah disepakati bersama

merupakan undang-undang bagi yang bersangkutan (pacta sunt servanda). Ini

berarti bahwa yang dijadikan dasar hukum dalam Alternative Dispute Resolution

(ADR) atau mekanisme penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan

perselisihannya di luar hakim negara.25

Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-pokok Kekuasaan

Kehakiman Pasal 58, menyebutkan bahwa upaya penyelesaian sengketa perdata

dapat dilakukan di luar pengadilan negara melalui arbitrase atau alternatif

penyelesaian sengketa. Selanjutnya pada Pasal 59 menjelaskan bahwa arbitrase

merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang didasarkan

pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa. Selanjutnya di ayat berikut dijelaskan bahwa putusan arbitrase

bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap serta mengikat para pihak.

Apabila para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan

dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah

satu pihak yang bersengketa. Selanjutnya pada Pasal 60 dijelaskan tentang

alternatif penyelesaian sengketa merupakan lembaga atau penyelesaian sengketa

beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di

luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli. Pada ayat berikutnya dijelaskan bahwa hasil kesepakatan

penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dituangkan ke

dalam kesepakatan tertulis. Pada ayat terakhir disampaikan bahwa kesepakatan

tertulis tersebut bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan

itikad baik.

24 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 15-16.

25 Ibid.

Page 14: Penyelesaian sengketa medis

382

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disampaikan bahwa penyelesaian

sengketa harus diselesaikan pada pertemuan langsung para pihak dalam waktu

paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan pada suatu kesepakatan

tertulis. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis, para

pihak meminta bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang

mediator. Apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari tidak tercapai kesepakatan

lagi, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrasi atau lembaga

alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Dalam waktu

paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai, kemudian

dalam waktu maksimal 30 (tigapuluh) hari harus sudah tercapai kesepakatan

dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak yang terkait. Pada

ayat terakhir dijelaskan bahwa kesepakatan penyelesaian sengketa adalah final

dan mengikat para pihak untuk dapat dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib

didaftarkan ke Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari

sejak penandatanganan.

Menurut Philip D. Bostwick, Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah ‘a

set of practices and legal techniques that aim’ (suatu perangkat praktis dan cara

yang resmi dengan tujuan):

1. To permit legal disputes to be resolved outside the courts for the benefit of

all disputants (menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi

keuntungan para pihak);

2. To reduce the cost of conventional litigation and the delay to which it is

ordinarily subjected (mengurangi biaya litigasi konvensional dan lamanya

waktu yang diperlukan);

3. To pevent legal disputes that would otherwise likely be brought to the

court (mencegah terjadinya sengketa hukum yang biasanya diajukan ke

pengadilan).26

26 H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hlm. 15.

Page 15: Penyelesaian sengketa medis

383

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

Karakteristik Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yaitu:

1. Bukan merupakan badan peradilan negara yang mempunyai kewenangan

memaksa, seperti Pengadilan Negeri;

2. Merupakan lembaga penyelesaian sengketa swasta yang biasa disebut

sebagai lembaga ekstrayudisial;

3. Dipilih para pihak sebagai pilihan penyelesaian sengketa secara sukarela

sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan bersama;

4. Eksekusi putusan tidak serta merta, tetapi masih memerlukan eksekusi

dari Pengadilan Negeri, kecuali para pihak dengan segenap kesadaran dan

sukarela melaksanakan putusan tersebut.27

Pencarian metode alternatif untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa

adalah sesuatu yang urgen dalam masyarakat. Para ahli yang biasanya terdiri dari

ahli non-hukum banyak mengeluarkan energi dan inovasi untuk mengkreasikan

berbaga bentuk penyelesaian sengketa, baik formal maupun informal dan dapat

dijadikan acuan untuk menjawab sengketa yang mungkin timbul.28 Proses

Penyelesaian Sengketa:

1. Proses adjudikasi (adjudicative processes);

2. Arbitrase (arbitration);

3. Proses adjudikasi semu (quasi adjudicatory processes).

Pada proses adjudikasi (adjudicative processes) terdapat 2 (dua) proses,

yaitu litigasi (litigation) dan arbitrase (arbitration). Adjudikasi publik atau

litigasi menjamin perlakuan yang adil kepada para pihak, kesempatan para pihak

untuk didengar, serta menyelesaikan sengketa dan menjaga ketertiban umum

sehingga dapat menjunjung nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Litigasi adalah proses gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan

untuk menggantikan konflik yang sesungguhnya, di mana para pihak

menyerahkan kepada seorang pengambil keputusan atas 2 (dua) pilihan yang

27 Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2010, hlm. 26.

28 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.23.

Page 16: Penyelesaian sengketa medis

384

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

bertentangan. Litigasi merupakan proses yang sangat dikenal (familiar) bagi para

lawyer dengan karakteristik adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan

untuk memutuskan (to impose) solusi diantara para pihak yang bersengketa.

Litigasi diartikan sebagai proses administrasi dan peradilan (court and

administrative proceeding). Menurut Eisenberg litigation are court and

administrative proceedings, the most familiar process to lawyer, features a third

party with power to imposed solution upon the disputants. It usually produce a

“win/ los” result. 29

Litigasi sangat bermanfa’at untuk menemukan kesalahan dan masalah

pihak lawan. Litigasi juga memberikan suatu standar prosedur yang adil dan

memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya

sebelum diambil keputusan.30

Kelemahan litigasi adalah memaksa para pihak pada posisi yang ekstrim

dan memerlukan pembelaan atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi

putusan. Litigasi juga mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara, baik

persoalan materi maupun prosedur dan mendorong para pihak melakukan

penyelidikan fakta. Litgasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris

(melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan

alternatif penyelesaian sengketa). Proses litigasi mensyaratkan pembatasan

sengketa dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil

keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan. Kelemahan litigasi yang

lainnya adalah memaksa pihak yang tidak memiliki sumber daya yang sama

untuk menyelesaiakn masalah menurut syarat-syarat yang menguntungkan pihak

lain.31

Pada arbitrase, para pihak setuju untuk menyelesaikan sengketanya

kepada pihak netral yang mereka pilih untuk menyelesaikan sengketa. Arbitrase

merupakan salah satu bentuk adjudikasi privat, namun dalam beberapa hal

29 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.24.

30 Idem. 31 Ibid, hlm. 25.

Page 17: Penyelesaian sengketa medis

385

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

mempunyai kelebihan dan kelemahan seperti adjudikasi publik. Arbitrase pada

prinsipnya adalah menghindari pengadilan. Dibandingkan dengan litigasi,

arbitrase lebih memberikan kebebasan, pilihan penyelesaian sengketa, otonomi

dan menjamin kerahasiaan para pihak yang bersengketa. Para pihak dapat

memilih hakim yang mereka inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang

hakimnya telah ditetapkan terlebih dahulu. Hal ini dapat menjamin kenetralan

dan keahlian yang mereka anggap perlu dalam menangani sengketa mereka.

Proses arbitrase dapat berlangsung lebih cepat dan murah karena para pihak

memilih hakimnya sendiri, lebih informal, prosedur tidak terlalu kaku dan dapat

menyesuaikan kondisi para pihak yang bersengketa. Berdasarkan Undang-

undang Nomor 30 Tahun 1999, pengertian arbitrase adalah suatu kesepakatan

berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulia dan

dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa atau suatu perjanjian arbitrase

tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.32

III. PENUTUP.

a. Kesimpulan.

Sengketa medis antara pasien dan dokter terjadi akibat efek yang tidak

diharapkan terhadap hasil pengobatan. Hasil pengobatan yang tidak sesuai

harapan, seperti terjadinya efek samping dari pengobatan, terjadinya kecacatan

bahkan kematian ataupun adanya reaksi alergi yang tidak dapat diduga

sebelumnya dapat memicu adanya sengketa tersebut.

Penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan

dibantu oleh mediator, dapat lebih cepat, murah, serta dapat memberikan akses

kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan atau

penyelesaian sengketa yang memuaskan.

Ruang lingkup penyelesaian sengketa secara mediasi yang dapat dilakukan

melalui Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,

termasuk di dalamnya penyelesaian sengketa medis antara dokter dengan pasien.

32 Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm.26-27.

Page 18: Penyelesaian sengketa medis

386

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

Penyelesaian sengketa medis memang sulit, namun mediasi dapat

memberikan keuntungan penyelesaian sengketa, yaitu: cepat, relatif murah dan

yang terpenting dari semua itu adalah semua pihak merasa puas karena mereka

yang memutuskan penyelesaian tersebut.

b. Saran.

Melaksanakan kegiatan audit medis pada setiap kasus sengketa medis

antara pasien dan dokter, dalam upaya penyelesaian sengketa medis yang

memenuhi rasa keadilan, para pihak diundang untuk menghadiri kegiatan tersebut.

Pada kegiatan audit medis, dihadirkan dokter spesialis yang sesuai dengan bidang

sengketa medis sehingga dapat dipahami pada semua pihak dan objek sengketa

menjadi lebih jelas dan diharapkan memudahkan untuk diselesaikan secara

mediasi. Apabila salah satu pihak atau para pihak mengharapkan putusannya

mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimintakan untuk didaftarkan ke

pengadilan dan dibuat putusan pengadilan sesuai dengan prosedur yang telah

ditentukan.

Page 19: Penyelesaian sengketa medis

387

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku.

Abdurrahman, Penyelesaian Sengketa melalui Mediasi Pengadilan dan Mediasi

Alternatif Penyelesaian Sengketa, dalam buku Perspektif Pembaharuan,

Perum Percetakan Negara Republik Indonesia, Jakarta, 2008.

Anny Isfandyarie, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Buku I,

Prestasi Pustaka, Jakarta.

Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan-Pertanggungjawaban Dokter, PT

Rineka Cipta, Jakarta, 2005.

Candra Irawan, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar

Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Mandar Maju,

Bandung, 2010.

H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,

Fikahati Aneska, Jakarta, 2002.

_____________________, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa

(sebuah pengantar), PT Fikahati Aneska bekerja sama dengan BANI,

Jakarta, 2002.

Munir Fuady, Sumpah Hippocrates (Aspek Hukum Malpraktik Dokter), PT Citra

Aditya Bakti, Bandung, 2005.

M. Jusuf Hanafiah & Amri Amir, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, Edisi

ke-3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia,

1984.

S. Soetrisno, Malpraktek Medik dan Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian

Sengketa, Telaga Ilmu, 2010.

Suyud Margono, Alternative Dispute Resolution & Arbitrase Proses

Pelembagaan dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.

Uton Muchtar Rafei, Health Politic-Menjangkau yang Tak Terjangkau, Health &

Hospital Indonesia, Jakarta, 2007.

Page 20: Penyelesaian sengketa medis

388

Vol. VI No. 02 Edisi Juli-Desember 2014.

B. Peraturan Atau Undang-Undang.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata;

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang Penyelesaian Sengketa

dengan Mediasi melalui Lembaga Peradilan.

C. Makalah, Artikel, Jurnal, Majalah, Internet, dan Lain-Lain.

Bahan Kuliah Alternatif Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan pada Program

Magister Hukum Kesehatan, Universitas Katolik Soegijapranata. P.

Lindawaty S. Sewu.

Ensiklopedia Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1993.

Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Suryakancana Cianjur, Volume V,

Nomor 03, Edisi Februari-Maret 2009.

Kartono Muhammad, Penerapan Hak Untuk Sehat, disampaikan pada Workshop

and Conference Health and Human Right, 19-20 Maret 2003 di Jakarta.

Makalah Seminar Perselisihan Kedokteran dan ADR oleh Kazuto Inaba (Guru

Besar Fakultas Kedokteran Universitas Kurume & Sekolah Hukum

Universitas Chukyo).

Siti Juniah (Calon Hakim Pengadilan Agama Balikpapan), Potret Mediasi dalam

Islam, diunduh dari internet, 24 Oktober 2009.

Wawang S. Sukarya, Gugatan Pasien dan Patien Safety, Seminar Penyelesaian

Sengketa Medik Melalui Mediasi, Hotel Panghegar, Bandung, 3

November 2008.