PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PELAKSANAAN AKAD … · MAPS = Mekanisme Alternatif Penyelesaian...
Transcript of PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PELAKSANAAN AKAD … · MAPS = Mekanisme Alternatif Penyelesaian...
i
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PELAKSANAAN AKAD
MUDHARABAH MUQAYYADAH PERBANKAN SYARIAH
(Analisis kasus pada Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah
Mandiri dan PT Sari Indo Prima)
Tesis
Diajukan Kepada Program Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Magister Hukum (MH)
Oleh:
AMELISAH
NIM: 21140433000003
PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Tesis ini merupakan hasil asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar magister strata 2, di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan di Universitas yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 05 Juni 2018
Amelisah
iii
iv
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademika Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Amelisah
NIM : 21140433000003
Program Studi : Magister Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : Syariah & Hukum
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan
kepada Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Hak Bebas
Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang
berjudul:“PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PELAKSANAAN AKAD
MUDHARABAH MUQAYYADAH PADA PERBANKAN SYARIAH” (Analisis kasus pada
Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima).
Dengan hak bebas royalti nonekslusif ini Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta berhak menyimpan, mengalih media/formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan
tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya
sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini
saya buat dengan sebenarnya.
Ciputat, 05 Juni 2018
Amelisah
vi
PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PELAKSANAAN AKAD
MUDHARABAH MUQAYYADAH PADA PERBANKAN SYARIAH
(Analisis kasus pada Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima)
Oleh: Amelisah
Abstrak
Kesimpulan besar tesis ini membuktikan bahwa Sengketa Dalam
Pelaksanaan Akad Mudharabah Muqayyadah Pada Perbankan Syariah Tesis ini juga
membuktikan bahwa kasus pada Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah
Mandiri dan PT Sari Indo Prima sudah selesai. Penyaluran pembiayaan dengan
prinsip syariah, bank diwajibkan untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian
(prudential banking principles). Salah satu bentuk pembiayaan dalam perbankan
syariah adalah bentuk mudharabah muqayyadah. Berkaitan dengan penerapan
prudential banking principles dalam pembiayaan dengan akad mudharabah
muqayyadah, muncul permasalahan antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima. Di dalam kasus ini, Bank Syariah
Mandiri dinilai tidak melaksanakan prudential banking principles dalam proses
pengajuan dan pelaksanaan pembiayaan dengan akad mudharabah muqayyadah
tersebut. Penyusunan Tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif atau
kepustakaan. Penyusunan Tesis ini adalah untuk menjawab Bagaimana Penerapan
akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank
Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima dan bagaimana penyelesaian sengketa
dalam pembiayaan Mudharabah Muqayyadah yang dilakukan oleh Dana Pensiun
Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima.
vii
Sumber primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan
Basyarnas (Badan Syariah Nasional), Bank Syariah Mandiri dan Dana Pensiun
Angkasa Pura II dam peraturan Perundang-undangan serta Fatwa DSN MUI,
diantaranya: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia: Fatwa DSN-MUI
Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah, sedangkan Sumber
sekunder dalam penelitian ini adalah pandangan para ahli (pakar), akademisi ataupun
para praktisi melalui penelusuran literatur yang ada dan tersedia. Di samping itu juga
buku-buku, jurnal yang terkait dengan penelitian ini dan media internet. Metodologi
penelitian menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridus normatif
dan pendekatan empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah penelitian yang
membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dalam ilmu hukum, baik yang terdapat
dalam Al-Quran, Hadist maupun dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan
pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian terhadap efektivitas hukum yang
menggunakan pengumpulan data melalui wawancara dan dokumentasi. Adapun
mengenai metode analisis data, penelitian menggunakan analisis deskriptif kualitatif,
yakni menganalisa data yang sudah diperoleh dan mendeskripsikannya.
Kata kunci: Mudharabah Muqayyadah, Mudharib, Shahibul Mall
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah yang telah melimpahkan segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Segala nikmat yang
Allah berikan telah memberikan kekuatan kepada peneliti untuk menyelesaikan tesis
ini. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan seluruh keluarganya, sahabat,
dan pengikut sunnahnya.
Tesis ini ditulis untuk menganalisis tentang implementasi Sengketa
Dalam Pelaksanaan Akad Mudharabah Muqayyadah Pada Perbankan Syariah
(Analisis kasus pada Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri
dan PT Sari Indo Prima) dalam menyelesaikan penulisan tesis ini banyak hambatan
dan rintangan yang penulis hadapi. Tesis ini tidak akan terealisasi tanpa adanya
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu peneliti mengucapkan banyak terimaksih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dede Rosyada, MA, sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dr.
Asep Saefuddin Jahar, MA, sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dosen pembimbing DR. Nahrowi SH.MH. penulis yang dengan segala keikhlasan
dan ketulusan bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
mengoreksi dan mengarahkan peneliti sehingga tesis ini memenuhi kualifikasi
akademik baik dari segi penulisan maupun substansinya.
3. Dr. Nurhasanah, M.Ag sebagai ketua program studi Magister Hukum Ekonomi
Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti secara
tidak langsung dalam menyiapkan tesis ini.
4. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada para guru besar dan dosen Program
MHES Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memperkenalkan banyak teori dan juga
perspektif, serta berhasil mem-provokasi penulis untuk terus berfikir progresif,
seperti Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Prof. Dr. H
ix
Fathurrohman Djamil, MA, Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, MA, Prof. Dr. Hj.
Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MM, dan lain-lain
yang tidak bisa disebut satu persatu.
5. Hasil karya tesis ini, penulis persembahkan kepada seluruh keluarga, orang tua
Ayahanda Muniri dan Ibunda Ani yang tak pernah lelah setiap harinya selalu
memberikan semangat, motivasi dan do’anya sehingga dapat menyelesaikan
penulisan ini. Barakallahu Fikum Daiman Abadaa.
6. Terimakasih Banyak kepada Pahlawan yang sangat menginspirasi saya yaitu Ibu
Dra. Mahmuda Tasyrifatun seseorang wanita terhebat yang memotivasi hidup
saya karena beliau saya bisa berusaha untuk mencapai impian saya.
7. Kepada sahabat seperjuang MHES angkatan 2014, yang tidak bisa peneliti
sebutkan satu persatu. Terimakasih telah berdiskusi, tempat berbagi keluh kesah
dan menggapai cita-cita bersama.
8. Penelitian untuk penulisan tesis ini dilakukan dibeberapa lembaga Dana Pensiun
Angkasa Pura II, Badan Arbitrase Syariah Nasional, Bank Syariah Mandiri, PT
Sari Indo Prima telah memberikan informasi untuk penulis memperoleh sebagian
referensi yang menunjang penulisan
9. Segenap pimpinan Staf Akademik, Staf perpusatakaan Fakultas Syariah dan
Hukum, Staf perpustakaan utama yang telah memberi bantuan dan fasilititas
untuk penulis memperoleh sebagian referensi yang menunjang penulisan.
10. Seluruh rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu, yang telah
memberikan kontribusi yang cukup besar sehingga penulis dapat menjalani
perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa tesis yang ditulis ini seperti setitik air di lautan.
Namun, besar harapan penulis atas sedikitnya ilmu yang tertuang ini untuk
menjadi manfaat baik bagi penulis, utamanya bagi umat manusia, bangsa dan
Negara, serta menjadi kontribusi keilmuan dalam ranah ilmu hukum ekonomi
x
syariah yang terus berjalan. Akhir kata, penulis berbesar hati apabila pembaca
memberikan masukan dan kritik yang konstruktif dalam rangka perbaikan kualitas
dalam penulisan karya ilmiah berikutnya.
Ciputat, 17 Januari 2017
Amelisah
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
I. KONSONAN
Transliterasi Transliterasi Transliterasi
a = ا
b = ب
t = ت
ts = ث
j = ج
h = ح
kh = خ
d = د
dz = ذ
r = ر
z = ز
s = س
sy = ش
ص = sh
dh = ض
th = ط
zh = ظ
‘ = ع
gh = غ
f = ف
q = ق
k = ك
l = ل
m = م
n = ن
w = و
h = ه
y = ي
at/ah = ة
II VOKAL PENDEK III
‒ˉ = a
‒ ˍ = i
ۥ‒ = u
â - âmanû = ا
ỉ - ỉman = ي
û - ûlama = و
IV DIPOTONG
V PEMBAURAN
aw = او
ay = اي
al - al- Dabbu = ال
al- syams - al- Syamsu = الشمس
wa al - wa al-taa’min = وال
IV. PENGECUALIAN
Huruf Hamzah (ء) di awal kata ditulis dengan huruf vokal tanpa diikuti tanda (‘),
seperti امهات ditulis Ummahat, bukan ‘ummahat
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN ....................................................................................................... i
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................. ii
LEMBAR PEMBIMBING ............................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................................................................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ...................................................................... xi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Permasalahan......................................................................... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 13
D. Review Studi Terdahulu ....................................................... 14
E. Kerangka Teori dan Konseptual............................................ 20
F. Metodologi Penelitian .......................................................... 24
1. Metode Penelitian dan Pendekatan Penelitian ................. 24
2. Sumber Data ................................................................... 24
3. Teknik Pengumpulan Sumber Data ................................ 25
4. Teknik Analisa Data........................................................... 26
5. Teknik Penulisan ............................................................. 27
G. Sistematika Pembahasan ...................................................... 27
xiii
BAB II SISTEM AKAD MUDHARABAH MUQAYYADAH DALAM
PERBANKAN SYARIAH
A. Prinsip Operasional Bank Syariah ........................................ 29
B. Kedudukan Bank Syariah dalam Pembiayaan dengan Akad
Mudharabah Muqayyadah ..................................................... 34
C. Tinjauan Umum tentang akad Mudharabah Muqayyadah dalam
pembiayaan Perbankan Syariah ............................................ 56
D. Pandangan Ulama Fiqih Tentang Akad Mudharabah
Muqayyadah ......................................................................... 62
BAB III PENYELESAIAN SENGKETA MODAL USAHA DALAM
PERBANKAN DI INDONESIA
A. Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan (Litigasi)........... 70
B. Penyelesaiaan Sengketa di Luar Pengadilan (Non Litigasi) . 79
C. Perbandingan Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
dengan Arbitrase .................................................................... 97
D. Penyelesaiaan Sengketa dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesa (DSN-MUI) ................... 99
BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA AKAD
MUDHARABAH MUQAYYADAH ANTARA DANA
PENSIUN ANGKASA PURA II DENGAN BANK MANDIRI
SYARIAH
A. Penarapan Akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana
Pensiun Angksa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan
PT Sari Indo Prima ................................................................ 103
B. Penyelesaian Sengketa Akad Mudharapah Muqayyadah
terhadap kasus Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima .................... 116
xiv
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................... 144
B. Implikasi ................................................................................ 145
C. Saran dan Rekomendasi ........................................................ 146
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 148
GLOSSARIUM
BIODATA PENULIS
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Perbandingan Pengadilan dengan APS ............................................... 82
Tabel 3.2 Lembaga Penyelesaian Sengketa ........................................................ 100
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Jalur Penyelesaian Sengketa............................................................ 8
Gambar 1.2 Kerangka Teori ................................................................................ 12
Gambar 2.1 Skema Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah .............................. 22
Gambar 2.2 Skema Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah ............................. 55
Gambar 3.1 Kekuasaan Kehakiman .................................................................... 71
Gambar 3.2 Mekanisme Arbitrase ..................................................................... 85
xvi
DAFTAR SINGKATAN
ADR = Alternative Dispute Resolution
APS = Alternatif Penyelesaian Sengketa
APSI = Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia
ATMR = Aktiva Tertimbang Menurut Risiko
AYDA = Agunan Yang Diambil Alih
BI = Bank Indonesia
BIS = Bank for International Settlement
BANI = Badan Arbitrase Nasional Indonesia
BASYARNAS = Badan Arbitrase Syariah Nasional
BAMUI = Badan Arbitrase Muamalat Indonesia
BMI = Bank Muamalat Indonesia
BMPK = Batas Maksimum Pemberian Kredit
CAR = Capital Adequacy Ratio
DSN = Dewan Syariah Nasional
DPK = Dana Pihak Ketiga
GWM = Giro Wajib Minimum
KUK = Kredit Usaha Kecil
KYC = Know Your Customer
xvii
KPMM = Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
LKS = Lembaga Keuangan Syariah
LDR =Loan to Deposit Ratio
(L/C) = Letter Of Credit.
MAPS = Mekanisme Alternatif Penyelesaian
Sengketa
MUI = Majelis Ulama Indonesia
NPWP = Nomor Pokok Wajib Pajak
NPL = Non Performing Loan
PBI = Peraturan Bank Indonesia
PDN = Posisi Devisa Neto
PPS = Pilihan Penyelesaian Sengketa
PPA = Penyisihan Penghapusan Aktiva
PA = Peradilan Agama
PPATK = Analisis Transaksi Keuangan
SK = Surat Ketarangan
TPU = Tindak Pidana Pencucian Uang
TNR = Toerekening Naar Redelijkheid
UUPA = Undang-Undang Peradilan Agama
UUPS = Undang-Undang Perbankan Syariah
xviii
Walhi = Wahana Lingkungan Hidup
YLBH = Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia
4P = Character, Capital, Capacity, Collateral,
Condition Of Economy, Personality,
Purpose, Prospect, Payment
3R = Returns, Repayment, Dan Risk
5C = Character, Capacity, Capital, Collateral,
Condition).
7P = (Personality, Party, Purpose, Prospect,
Payment,Profitability, Protection).
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu jenis akad yang dipergunakan dalam penyaluran dana di
perbankan syariah adalah Mudharabah. Fatwa DSN yang mengaturnya adalah
Fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh).Jenis pembiayaan yang menggunakan akad mudharabah ini sangat
popular dalam kegiatan usaha perbankan syariah. Pembiayaan mudharabah
adalah pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah kepada pihak lain
untuk suatu usaha yang produktif, dalam pembiayaan ini perbankan syariah
sebagai pemilik dana (shahibul maal) membiayai 100% kebutuhan suatu
proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai pengelola
usaha (mudharib).
Mudharabah adalah kontrak (perjanjian) antara pemilik modal (rab al
mal) dengan pengguna dana (mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas
yang produktif dimana keuntungan dibagi dua antara pemodal dan pengguna
modal.1 Ditinjau dari fungsinya, secara umum bentuk akad mudharabah dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah
muqayyadah.2 Ketentuan prinsip mudharabah muthlaqah adalah shahibul
maal tidak dapat memberikan batasan-batasan terhadap dana yang
diinvestasikan.3 Dengan demikian mudharib diberi kewenangan penuh untuk
mengelola dana tanpa keterikatan waktu, tempat, bentuk usaha dan jenis
pelayanan.4 Pada akad mudharabah muqayyadah, shahibul maal memberikan
batasan terhadap dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa
1 Hirsanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Mataram: Genta Press, 2008),
hlm. 13.
2 Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: UII Press,
2008), hlm. 267.
3 Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: UII Press,
2008), hlm. 267.
4 Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: UII Press,
2008), hlm. 267.
2
mengelola dana sesuai dengan permintaan atau persyaratan pemilik modal
yang dapat berupa jenis usaha, tempat, dan waktu tertentu saja.5
Perbankan syariah terus melakukan perkembangan dan inovasi
terhadap berbagai produknya agar tetap dapat menarik minat masyarakat.
Perkembangan dan inovasi produk tersebut harus tetap menerapkan prinsip
syariah, prinsip kehati- hatian dan prinsip perlindungan nasabah sebagaimana
ditentukan di dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NO.24/POJK.03/2015
Tentang Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah
(selanjutnya disebut POJK Tentang Produk dan Aktivitas Bank Syariah dan
UUS).
Perkembangan praktik perbankan syariah beberapa tahun terakhir ini
menunjukkan adanya pelaksanaan Mudharabah muqayyadah off balance
sheet. Perbankan syariah dalam akad ini bertindak sebagai perantara
(arranger) antara shahibul maal dan mudharib, dimana transaksi ini tidak
dicatatkan di dalam neraca bank, namun dicatat pada neraca khusus di luar
itu. Hal ini sangat menarik untuk dikaji mengingat belum adanya ketentuan
yang secara khusus mengatur mengenai akad mudharabah muqayyadah off
balance sheet ini dan mengingat perbankan syariah sangat rentan terhadap
berbagai macam risiko, khususnya risiko hukum dan risiko reputasi. Selain
itu perbankan syariah sebagai lembaga keuangan yang sangat bergantung
kepada kepercayaan masyarakat harus mampu menjaga dan meningkatkan
tingkat kesehatannya sebagaimana ditentukan di dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan No.8/POJK.03/2014 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatan
Bank Umum Syariah dan unit Usaha Syariah (selanjutnya ditulis POJK
Tentang Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan UUS). Tingkat
kesehatan bank merupakan hasil penialaian kondisi bank berdasarkan risiko,
termasuk risiko terkait penerapan prinsip syariah dan kinerja bank (Risk-
based Bank Rating).
5 Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: UII Press,
2008), hlm. 267.
3
Bank merupakan lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang
sangat strategis dalam menyerasikan dan mengembangkan stabilitas
perekonomian nasional.6 Kegiatan utama dari perbankan adalah menyerap
dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat.7 Sejak
diberlakukannya Undang-Undang No 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No 7 Tahun 1992 (Undang-Undang tentang perbankan),
industri perbankan di Indonesia berlaku sistem perbankan ganda (dual
banking system) yakni system perbankan konvensional atau pengganti bunga
(yang disebut bank konvensional) dan sistem perbankan bagi hasil atau akad-
akad yang sesuai dengan prinsip syariah Islam (yang disebut Bank Syariah).
Pada tahun 2008 dengan disahkannya Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, eksistensi bank syariah di Indonesia
secara faktual terus menguat dan menunjukkan perkembangan yang sangat
pesat.8 Pesatnya perkembangan Bank Syariah Mandiri yang begitu cepat pada
akhirnya menimbulkan sejumlah problam.9 Terkait hal tersebut Suyud
Margono menyatakan bahwa dengan maraknya kegiatan bisnis (termasuk
perbankan syariah), tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa antara pihak
yang terlibat, baik antara pelaku bisnis (perusahaan) satu dengan pelaku
bisnis (perusahaan) yang lain, atau pelaku bisnis (perusahaan) dengan
6 Dimas Ardiansyah dan Multifiah, “Implementasi Pembiayaan Dengan Akad
Mudharabah (Studi Pada Tiga Bank Syariah di Kota Malang)”, Jurnal Ilmiah Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang, (2013), hlm. 1. 7 Maya Heni Maila Sari, Pengaruh Penilaian Kesehatan Bank Terhadap Tingkat Bagi
Hasil Simpanan Mudharabah Pada Bank Umum Syariah Dan Bank Umum Dengan Unit Syariah
Di Indonesia”, Jurnal Aplikasi Bisnis, Vol.3 No. 2, April (2013), hlm. 2. 8 Kehadiran perbankan syariah telah memberikan warna baru terhadap dunia perbankan di
Indonesia, terlebih lagi setelah disahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah No. 21 Tahun
2008 oleh DPR RI. Hal ini tentu tidak hanya dilihat dari aspek kepastian hukum dan eksistensi
perbankan syariah secara legal formal, tetapi juga akan menambah geliat industry perbankan
syariah secara umum sehingga dapat berpartisipasi secara lebih maksimal dalam menumbuhkan
perekonomian nasional. Abdurrauf, “Penerapan Teori Akad Pada Perbankan Syariah” Jurnal Ilmu
Ekonomi Syariah (Al-iqtishad) Vol. IV, No. 1, Januari (2012) hlm, 15. Lihat Juga Hasan, Analisis
Industri Perbankan Syariah Di Indonesia, Jurnal Dinamika Ekonomi Pembangunan, Juli, Volume
1, No. 1 (2011), hlm, 5. 9 Christina Binder, “Stability and Change In Times Of Fragmentation: The Limit of Pacta
Sunt Servanda Revisited: Leiden Journal of International Law, Vol. 25, Issue 04, Desember,
(2012), hlm, 909.
4
konsumennya.10
Diantaranya persoalan yang ditimbulkan adalah dalam
perjanjian/kontrak yang dibuat oleh para pihak.11
Secara etimologis perjanjian/kontrak dalam bahasa Arab diistilahkan
dengan Mu‟ahadah Ittfa, atau Akad. Sedangkan dalam hukum perdata Islam,
kontrak atau perjanjian disebut dengan istilah akad (al-„aqd).12
Dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan kontrak, perjanjian atau persetujuan yang artinya
adalah suatu perbuatan dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap seseorang lain atau lebih.13
Sedangkan akad atau kontrak menurut
istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat,
maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum
yang mengikat untuk melaksanaknnya.14
Subhi Mahmasaniy mengartikan
kontrak sebagai ikatan atau hubungan diantara ijab dan qabul yang memiliki
akibat hukum terhadap hal-hal yang dikontrakan.15
Dalam hukum Islam
istilah kontrak tidak dibedakan dengan perjanjian, keduanya identic dan
disebut akad.16
Menurut Blak‟s Law Dictionary, kontrak/contract diartikan
sebagai suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang menciptakan
kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu hal yang khusus.17
10
Suyud Margono, Alternative Dispute Resulotion (ADR) dan Arbitrase (Bogor: Ghalia
Indonesia, hlm 2. 11
Munir Fuady, Teori-teori Besar dalam Hukum: Grand Theory (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, (2014), hlm. 210. 12
Pengertian akad dapat dilihat dari tiga sudut pandang: etimologi (lughawi), terminology
(istilahi) dan perundang-undangan (al-qanun al-wad‟i). Secara etimologi, akad dipergunakan
untuk beragam makna, yang seluruhnya bermakna al-ribt (keterikatan, perikatan, perta;ian.
Sedangkan secara terminology, akad dalam syariah dipergunakan untuk pengertian umum dan
khusus. Lihat Al-Dabhu, Al-Iqtishad al-Islami: Dirasah wa Tatbiq, hlm, 171. 13
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
(Yogjakarta: Citra Media), (2006), hlm, 19. 14
Ramani Timorita Yulianti, Asas-asas Perjajjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syariah,
La_Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol II, No. 1, Juli (2008). hlm. 93. 15
Subhiyy Mahmasani, Al-Nazariyyat al-Ammah li al-Mujibat wa al-Uqud fi al-Shariah
al-Islamiyyah, (Mesir: Dar al-Kitab al-„Arabiyy), hlm, 210. 16
Sehingga akad didefinisikan sebagai pertemuan ijab yang dinyatakan oleh salah satu
pihak dengan kabul dari pihak lain secara sah menurut syara yang tampak akibat hukumnya pada
obyeknya. Lihat Syamsul Anwar, Kontrak dalam Islam, makalah disampaikan Pada Pelatihan
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Pengadilan Agama (Yogyakarta: Kerjasama
Mahkamah Agung RI dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII, (2012),
hlm, 7. 17
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafika), (2012), hlm,12
5
Daminto Danansuryo dalam disertasinya menyatakan kontrak adalah
perjanjian antara dua pihak, dimana kedua belah pihak berhak untuk
membuat, mengubah dan mengakhiri ikatan hukum, para pihak berhak untuk
memilih hukum yang akan mengatur hubungan kontrak kedua belah pihak
dengan syarat tidak bertentangan dengan peraturan umum yang berlaku dan
kesusilaan. Terdapat juga pakar yang mendefinisikan sebagai satu perbuatan
yang sengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan kesepakatan atau
kerelaan bersama.18
Menurut Fathurrahman Jamil dalam bukunya Penerapan Hukum
Perjajnjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syariah menyatakan ada
tiga unsur dari kontrak, yaitu:
1. Adanya kesepakatan tentang fakta antara kedua belah pihak (The Fact
Between the Parties);
2. Persetujuan tersebut dibuat secara tertulis (The Agreement is written);
dan
3. Adanya orang-orang yang berhak dan berkewajiban untuk membuat
kesepakatan dan persetujuan tertulis.19
Dalam konteks ini, kontrak menjadi hal yang sangat penting terutama
dalam melakukan perjanjian ekonomi syariah. Permasalahan yang timbul dari
kontrak menurut Boulding disebabkan karena para pihak menyadari potensi
ketidakcocokan. Setiap pihak menginginkan untuk menempati suatu posisi
yang tidak sesuai dengan keinginan pihak lain.20
Kontrak sebagai sebuah bentuk perjanjian mempunyai potensi
masalah yang timbul diakibatkan oleh kontrak tersebut, baik disebabkan oleh
wanprestasi dari pihak atau disebabkan akibat yang ditimbulkan dari kontrak
terhadap pihak ketiga yang tidak terikat dalam kontrak tersebut, akan tetapi
18
Hasbi al-Shiddieqiyy. Pengantar Fiqih Muamalah, (Jakarta: Bulan BIntang, 2006),
hlm 34. 19
Berdasarkan unsur-unsur kontrak tersebut, mengenai definisi kontrak, ada yang menilai
memiliki arti yang sama dengan perjanjian, tetapi ada yang menilai kontrak adalah suatu perjanjian
yang dituangkan dalam tulisan atau perjanjian tertulis atau surat. Singkatnya kontrak adalah
perjanjian tertulis. 20
I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase (Jakarta: Fikakahati
Aneska, 2014), hlm. 27.
6
mempunyai pengaruh terhadap para pihak yang mengingatkan diri dalam
sebuah kontrak. Kontrak yang dikenal dengan istilah teori Facta Sunt
Servada yang berarti kontrak itu mengikat.21
Kontrak atau perjanjian dalam
pandangan hukum perdata merupakan kegiatan untuk memperoleh serta
mengalihkan kekayaan, oleh karena itu, yang menjadi objek perjanjian adalah
setiap benda yang dapat diperdagangkan yang mempunyai nilai ekonomi.22
Kontrak/perjanjian tersebut seringkali menyebabkan permasalahan
atau sengketa (dispute) fenomena yag tak terpisahkan dari kehidupan umat
manusia. Potensi terjadinya sengketa atau perselisihan senantiasa ada selama
masih ada interaksi antara sesame manusia. Pada umumnya sengketa terjadi
karena bentuk melawan hukum atau wanprestasi. Wanprestasi itu sendiri
dapat terjadi apabila, (1) pihak-pihak atau salah satu pihak tidak melakukan
apa yang dijanjikan/disepakati untuk dilakukan; (2) pihak-pihak atau salah
satu pihak telah melaksanakan apa yang telah disepakati, tetapi tidak
pelaksanaannya “sama persis” sebagaimana yang dijanjikan; (3) pihak-pihak
atau salah satu pihak melakukan apa yang telah dijanjikan, tetapi terlambat
menunaikan janji; (4) pihak-pihak atau salah satu pihak melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.23
Setiap individu dan masyarakat mempraktikkan dan mengembangkan
pelbagai sikap dan perilaku tentang bagaimana menghadapi dan
menyelesaikan sengketa. Dilihat dari segi pihak yang terlibat, penyelesaian
sengketa (dispute resolution) dapat dibedakan menjadi tiga bagian. Pertama,
bersipat satu pihak saja, dalam bentuk memaafkan dan mendiamkan. Kedua,
melibatkan kedua belah yang berperkara, yang biasanya dilakukan dalam
21
Penjelasan suatu kontrak yang dibuat secara sah dan sesuai dengan hukum yang
berlaku seta sesuai dengan kebiasaan dan kelayakan, sehingga dilihat sebagai sebuah kontrak yang
dilandasi dengan itikad baik, maka klausul-klausul dalam kontrak mengikat para pihak yang
membuat kontrak tersebut. Lihat Munir Fuady, Teori-teori besar dalam Hukum: Grand Theory
(Jakarta: Kencana Prenadamedia Group), (2014), hlm. 210. Dan persoalan muncul dan menjadi
perdebatan hukum ketika ada perubahan dalam perjanjian kontrak, Lihat Juga Christina Binder,
“Stability and Change in Times of Fragmentations: The limits of Pacta Sunt Servanda Revisited”.
Leiden Journal of International Law, Vol 25, Issue 04, Desember (2012), hlm 99. 22
Saptono,Teori-teori Hukum Kontrak bersumber dari Paham Individualisme, Jurnal
Repertorium, ISSN: 2355-2646 (2014), hlm, 68. 23
Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Ekonomi Syariah di Dunia Islam
Kontemporer. (Depok: Gramata Pulishing), (2011), hlm, 123.
7
bentuk musyawarah (negotiation). Ketiga, disamping melibatkan kedua belah
pihak, melibatkan pihak ketiga, pihak ketiga ini bertindak sebagai perantara
(mediation), tetapi juga memiliki wewenang untuk mendamaikan
(arbitration). Bentuk ketiga ini termasuk juga penyelesaian perkara melalui
lembaga peradilan formal (litigation).
Dalam kajian hukum bisnis, dikenal adanya dua pembedaan dalam
mekanisme penyelesaian sengketa24
, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non
litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa melalui
lembaga peradilan. Menurut Hasbi Hasan jalur litigasi pada dasarnya
merupakan the last resort atau ultimatum remedium, yaitu sebagai upaya
terakhir manakala penyelesaian secara kekeluargaan atau perdamaian diluar
pengadilan ternyata tidak menemukan titik temu atau jalan keluar. sedangkan
jalur nonlitigasi merupakan mekanisme penyelesaian sengketa di luar
pengadilan.25
Perbedaan karakter yang dimiliki oleh lembaga pengadilan
dengan lembaga di luar pengadilan dalam menyelesaikan suatu perkara,
menyebabkan hasil akhir yang dicapai pula bertolak belakang. Hasil akhir
penyelesaian perkara (konflik) antar masyarakat melalui jalur ini popular
24
Pengertian sengketa Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia No.
8/5/PBI/ 2006 adalah permasalahan yang diajukan oleh nasabah atau perwakilan nasabah kepada
penyelenggara mediasi perbankan, setelah melalui proses pengaduan. 25
Penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan disebut juga ajudikasi dengan
menggunakan pendekatan hukum (law approach) melalui aparat atau lembaga penegak hu
kum yang berwenang sesuai dengan aturan perundang-undangan. Christopher W. Moore,
The Mediation Process Practical Strategies for Resolving Conflict, San Francisco: Jossey-Bas
Publisher 2008. hlm 5. Sedangkan penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengadilan disebu
juga sengketa non ajudikasi, pada umumnya menggunakan mekanisme yang hidup di dalam
masyarkat yang bentuk dan macamnya sangat bervariasi, seperti, musyawarah, perdamaian,
kekeluragaan, penyelesaian adat dan sebagainya. Salah satu cara yang sekarang sedang
berkembang dan diminati adalah melalui lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)/
Alternatif Dispute Resolution (ADR). Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, model
penyelesaian sengketa semacam ini diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 2 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan ruang lingkup
pengaturan dari Undang-Undang ini sebagaimana berikut: “Undang-Undang ini mengatur
penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak dalam suatu hubungan hukum
tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase yang secara tegas menyatakan bahwa semua
sengketa atau beda pendapat yang timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum
tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternative penyelesaian sengketa.
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, (Yogyakarta: Citra Media, 2006), hlm 9.
8
dengan sebutan win win solution.26
Guna mengetahui jalur penyelesaian
sengketa melalui litigasi dan non litigasi dapat dilihat dalam bagan sebagai
berikut:
Gambar 1.1 Jalur Penyelesaian Sengketa
Berkaitan dengan kontrak muncul sengketa perjanjian ekonomi
syariah yaitu muncul permasalahan wanprestasi/cidera janji akad kontrak
Mudharabah Muqayyadah.27
Pada akad Mudharabah Muqayyadah, Shahibul
Maal memberikan batasan terhadap dana yang diinvestasikannya. Mudharib
hanya bisa mengelola dana sesuai dengan permintaan atau persyaratan
pemilik modal yang dapat berupa jenis jenis usaha, tempat dan waktu tertentu
saja. Berikut skema pembiayaan Mudharabah Muqayyadah.
26
Win win solution adalah lawan dari win lose solution yang merupakan hasil akhir dari
penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi. Lebih lengkap baca dalam Suyud Margono,
Alternative Dispute Resulotion (ADR) dan Arbitrase (Bogor: Ghalia Indonesia), hlm, 23. 27
Akad mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk perbankan berupa
pembiayaan dan pendanaan. Namun dari segi penghimpunan dana, akad mudhrabah dapat
diterapkan pada produk-produk perbankan berupa, giro mudharabah dan depositi mudharabah.
Akad mudharabah dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu: (1) Mudharabah Muthlaqah dan
Mudharabah Muqayyadah. Burhanuddin Susanto, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press Yogyakarta), hlm 267.
SENGKETA
Non Litigasi
Melalui Lembaga Penyelesaian Sengketa diluar Badan Peradilan
Negara
litigasi
Melalui Badan Peradilan Negara
9
Gambar 1.2 Skema Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah
Sengketa perjanjian ekonomi syariah dalam akad mudhrabah
muqayyadah ini terjadi antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank
Syariah Mandiri dan dan PT. Sari Indo Prima. Perkara yang terjadi melalui
jalur non litigasi ini, sebagaimana tertuang dalam putusan No. 15/ Tahun
2007/ BASYARNAS/Ka. Jak adalah perkara Dana Pensiun Angkasa Pura II
yang selanjutnya disebut (Dana Pensiun Angkasa Pura II) dengan Bank
Syariah Mandiri yang selanjutnya disebut (Termohon 1) dan PT. Sari Indo
Prima yang selanjutnya disebut (PT Sari Indo Prima). Dana Pensiun Angkasa
Pura II adalah nasabah dari Termohon 1 dengan menempatkan dana deposito
sejak tahun 2000.
Berdasarkan penawaran Termohon 1 kepada Dana Pensiun Angkasa
Pura II mengenai pembiayaan Mudharabah Muqayyadah28
sebesar Rp.
28
Mudharabah muqayyadah (special investment) adalah bentuk kerja sama antara
shahibul maal dan mudharib yang cakupannya dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan
tempat usaha. Lihat Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah, hlm, 174. Lihat juga Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/ 2005
Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, telah ditetapkan bahwa ketentuan pembiayaan melalui akad
mudharabah muqayyadah pasal 7 yaitu: Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan berdasarkan mudharabah muqayyadah berlaku persyaratan paling kurang sebagai
Akad Bagi Hasil
Proyek Usaha Nasabah
(Mudharib)
Bank
(Shahibul Maal)
Bagi
Keuntungan
Modal
10
10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) untuk PT Sari Indo Prima, telah
dibuat akad pembiayaan Mudharabah Muqayyadah No. 108 antara Dana
Pensiun Angkasa Pura II, Termohon 1 dan PT Sari Indo Prima pada tangga
28 Januari 2004. Perjanjian ini berlaku untuk 3 (tiga) tahun dengan nisbah
masing-masing untuk Dana Pensiun Angkasa Pura II dan PT Sari Indo Prima,
dan fee per annum untuk Termohon 1. Namun, sejak bulan Agustus 2004 PT
Sari Indo Prima tidak melakukan pembayaran angsuran kewajiban pokok
maupun margin bagi hasil kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II. Sebelum
akad dibuat, Termohon 1 telah memberikan pembiayaan sebesar Rp.
6.500.00.000,00 (enam milyar lima ratus juta rupiah) kepada PT Sari Indo
Prima.
PT Sari Indo Prima tidak menggunakan dana pembiayaan tersebut
seperti yang telah disepakati, yaitu untuk perluasan pabrik dan membiayai
overhead, bukan untuk membeli mesin-mesin dan menambah modal kerja.
Dana Pensiun Angkasa Pura II dalam hal ini Dana Pensiun Angkasa Pura II
menganggap bahwa Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima telah
melakukan cidera janji atas tidak dilaksanakannya pembayaran kewajiban
pokok dan nisbahnya, dan telah melakukan perbuatan melawan hukum karena
Termohon 1 dan PT Sari Indo Prima dari akad pembiayaan yang telah
dilakukan sebelumnya. Dalam proses perkara penyelesaian sengketa ini
menggunakan jalur non litigasi yaitu BASYARNAS, dimana majelis arbiter
memutuskan bahwa membatalkan akad pembiayaan Mudharabah
berikut: (a) Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent) kepada
nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha dengan persyaratan dan jenis
kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor; (b) Jangka waktu pembiayaan, pengambilan dana,
dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan
bank; (c) Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam
pengawasan dan pembinaan usaha nasabah; (d) pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau
barang; (e) dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan
harus dinilai dengan harga perolehan atau harga pasar; (f) Bank sebagai agen penyalur dana dapat
dapat menerima fee (imbalan) yang perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak; (g)
pembagian keuntungan dari pengelolaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah yang
disepakati anatar investor dan nasabah; (h) Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor
tidak menanggung risiko kerugian usaha yang dibiayai dan (i) investor sebagai pemilik dana
mudharabah muqayyadah menanggung seluruh risiko kerugian kegiatan usaha kecuali jika
nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian
usaha.
11
Muqayyadah No. 108 antara Dana Pensiun Angkasa Pura II, Termohon 1 dan
Termohon 11 dan menghukum Termohon 1 dan Termohon 11 bersama-sama
secara tanggung renteng membayar pokok pembiayaan pada akad tersebut.
Namun setelah bersidang dan majelis arbiter menjatuhkan putusan, para pihak
yang bersengketa tidak menemukan titik temu.
Dalam konteks fenomena tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk
menjelaskan bagaimana sesungguhnya akad kontrak dan penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank
Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima. Serta menjelaskan bagaimana
putusan sengketa yang telah dilakukan oleh Basyarnas serta bagaimana
proses akhir dari sengketa perjanjian tersebut. Sehingga penelitian ini penting
dilakukan untuk menganalisis kontrak akad antara Dana Pensiun Angkasa
Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima dan bagaimana
putusan yang sesungguhnya dalam penyelesaian sengketa perjanjian ekonomi
syariah tersebut.
Oleh karena itu, studi penelitian yang dilakukan oleh peneliti
merupakan studi yang bersifat original. Untuk itu penulis mengajukan
penelitian dengan judul Tesis “Sengketa Dalam Pelaksanaan Kontrak Akad
Mudharabah Muqayyadah” (Analisis kasus pada Dana Pensiun Angkasa
Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima)”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dipaparkan
diatas, penulis merumuskan beberapa permasalahan yang akan diteliti dalam
penulisan ini, diantaranya:
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, dengan
meningkatnya perkembangan Bank Syariah Mandiri yang begitu cepat
pada akhirnya menimbulkan sejumlah problem yang pada akhirnya
menimbulkan sengketa yang diakibatkan oleh kontrak. Peneliti
12
mengidentifikasikan permasalahan yang diakibatkan oleh sengketa,
antara lain adalah:
a. Konsep akad Mudharabah Muqayyadah dalam pelaksanaan perjanjian
antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri
dan PT Sari Indo Prima dalam ushul fiqih.
b. Meningkatnya perkembangan Bank Syariah Mandiri yang begitu
cepat pada akhirnya menimbulkan sengketa perjanjian ekonomi
syariah.
c. Penyelesaian sengketa kontrak mempunyai opsi apakah mau
diselaikan melalui pengadilan atau diluar pengadilan.
2. Pembatasan Masalah
Dalam penerapan akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana
Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo
Prima, permasalahan dalam kasus ini dibatasi pada penyelesaian
sengketa pada akad Mudharabah Muqayyadah pada tahun 2004 - 2008 di
Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS).
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah
diatas. Pokok bahasan dan menjadi rumusan masalah dalam tesis ini
adalah:
a. Bagaimana konsep akad Mudharabah Muqayyadah dalam
pelaksanaan perjanjian antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima dalam ushul fiqih?
b. Bagaimana Penerapan akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana
Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari
Indo Prima?
c. Bagaimana penyelesaian sengketa akad Mudharabah Muqayyadah
pada kasus Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah
Mandiri dan PT. Sari Indo Prima?
13
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini diharapkan dapat mengenal, memahami,
mendalami dan mengungkap persoalan sengketa perjanjian ekonomi syariah
pada akad Mudharabah Muqayyadah pada kasus pada Dana Pensiun Angkasa
Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima dengan tujuan:
1. Mengetahui konsep akad Mudharabah Muqayyadah dalam pelaksanaan
perjanjian antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah
Mandiri dan PT Sari Indo Prima dalam ushul fiqih?
2. Menganalisis akad Mudharabah Muqayyadah pada kasus pada Dana
Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo
Prima.
3. Menganalisis penyelesaian sengketa akad Mudharabah Muqayyadah
pada kasus pada Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah
Mandiri dan PT. Sari Indo Prima.
Adapun tesis ini akan menjadi bahan masukan dan bermanfaat bagi:
1. Praktisi, diharapkan dapat menambah wawasan dan memperluas
pemahaman terkait hukum dalam pelaksanaan akad Mudharabah
Muqayyadah Perbankan Syariah.
2. Penulis dan akademisi, dapat menjadi salah satu untuk mengembangan
keilmuan peneliti dalam bidang hukum ekonomi syariah. Terutama
dalam bidang penyelesaian sengketa perjanjian syariah di lembaga
keuangan syariah.
3. Lembaga, Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pencerah
bagi dunia hukum ekonomi syariah dalam penyelesaian perjanjian
syariah pada lembaga keuangan syariah.
14
Penulis mempunyai alasan mendasar bahwa penelitian ini penting
untuk dilakukan, yaitu sebagai berikut:
1. Segi Akademis
Penelitian ini untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan
khususnya tentang pelaksanaan akad Mudharabah Muqayyadah dalam
Perbankan Syariah.
2. Segi Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan secara praktis bermanfaat pada
tiga hal, yaitu:
a. menjadi bahan pertimbangan dan masukan terhadap terjadinya
sengketa pelaksanaan akad Mudharabah Muqayyadah dalam
Perbankan Syariah.
b. Memberikan pelayanan kepada nasabah yang lebih baik, profesional
dan memberikan nilai manfaat secara optimal;
c. Menambah referensi dan pengetahuan tentang manajemen
pengelolaan dana haji di Indonesia serta kepada yang berkepentingan
terhadap permasalahan ini.
d. Segi Teoritis
Studi ini diharapkan akan memberikan kontribusi bagi sistem
pelaksanaan akad Mudharabah Muqayyadah dalam Perbankan
Syariah.
D. Review Studi Terdahulu
No. Judul Isi Penelitian Perbedaan
1 Erni Susana, Annisa
Prasetyanti,Pelaksanaan
& Sistem Bagi Hasil
Pembiayaan Al-
Mudharabah pada Bank
Syariah. Jurnal Keuangan
& Perbankan Vol.15,
Jurnal ini menemukan
bahwa penyaluran
pembiayaan mudharabah di
salurkan ke segala sektor
perekonomian yang tidak
dapat memberikan
keuntungan dan melarang
Yang menjadi
perbedaan dalam
penelitian ini adalah
dalam penelitian ini
penulis juga meneliti
lebih berfokus pada
Sengketa dalam
15
No.3, September 2011:
466-478.
penyaluran untuk usaha
yang menggantungkan
unsur tidak halal.
Pengambilan keputusan
pembiayaan akad
mudharabah
pelaksanaan akad
mudharabah
muqayyadah perbankan
syariah pada Dana
Pensiun Angkasa Pura II
dengan Bank Syariah
Mandiri dan PT. Sari
Indo Prima.Penelitian
ini merupakan jenis field
research dengan
pendekatan kualitatif.
Sedangkan sumber data
yang digunakan dalam
penelitian ini berupa
data primer dan data
sekunder. Data
dianalisis dengan
metode analisis
deskriptif. Pengumpulan
data dilakukan melalui
observasi, wawancara
dan dokumentasi.
2 Faeruca Nindi Farotami,
Koenta Adji Koerniawan,
R. Anastasia Endang
Susilawati. Pengaruh
Kontribusi Pembiayaan
Murabahah Dan
Musyarakah Terhadap
Tingkat Profitabilitas
(Return On Equity) (Studi
pada BPR Syariah di
Wilayah Jawa Timur
Jurnal penelitian ini
menguji dan menjelaskan
pengaruh kontribusi
pembiayaan murabahah dan
musyarakah terhadap
tingkat profitabilitas BPR
Syariah di wilayah Jawa
Timur yang terdaftar di
Bank Indonesia periode
2010- 2013 dengan
menggunakan rasio Return
Yang menjadi
perbedaan dalam
penelitian ini adalah
dalam penelitian ini
penulis juga meneliti
lebih berfokus pada
Sengketa dalam
pelaksanaan akad
mudharabah
muqayyadah perbankan
syariah pada Dana
16
Yang Terdaftar di Bank
Indonesia Periode 2010-
2013).
On Equity (ROE). Jenis
penelitian yang digunakan
adalah explanatory research
dengan pendekatan
korelasioanal. Populasi
yaitu seluruh BPR Syariah
di wilayah Jawa Timur
yang terdaftar di Bank
Indonesia periode 2009-
2013. Sampel yang
digunakan sebanyak 40
data meliputi 10 BPR
Syariah selama 4 tahun
periode. Sampel diambil
dengan menggunakan
teknik purposive sampling.
Metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian
ini adalah regresi linier
berganda dengan program
SPSS. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
pembiayaan murabahah dan
musyarakah secara
simultan berpengaruh
terhadap tingkat ROE.
Pembiayaan murabahah
secara parsial berpengaruh
terhadap tingkat ROE.
Pembiayaan musyarakah
secara parsial tidak
berpengaruh terhadap ROE.
Pembiayaan murabahah
Pensiun Angkasa Pura II
dengan Bank Syariah
Mandiri dan PT. Sari
Indo Prima.Penelitian
ini merupakan jenis field
research dengan
pendekatan kualitatif.
Sedangkan sumber data
yang digunakan dalam
penelitian ini berupa
data primer dan data
sekunder. Data
dianalisis dengan
metode analisis
deskriptif. Pengumpulan
data dilakukan melalui
observasi, wawancara
dan dokumentasi.
17
merupakan pembiayaan
yang paling dominan
berpengaruh terhadap
tingkat ROE. Untuk
peneliti selanjutnya,
penelitian ini perlu dikaji
secara mendalam yang
terkait kemungkinan
dengan variabel lain
misalnya Mudharabah,
ijarah, qardh, salam,
isthisna dikarenakan
variabel pembiayaan
musyarakah tidak
berpengaruh terhadap
tingkat ROE
3. Ahmad Supriyadi,
Struktur Akad Rahn di
Pegadaian Syariah Kudus
Tahun 2012 (Suatu
Tinjauan Yuridis
Normatif Terhadap
Praktek Pegadaian
Syariah di Kudus).
Jurnal penelitian islam ini
lebih menguraikan dan
menganlisa tentang
Bagaimana struktur hukum
akad rahn di Pegadaian
Syariah Kudus dari
perspektif hukum positif
dan hukum Islam pada
Tahun 2012. Penelitian ini
berfokus kepada akad Rahn
di Pegadaian Syariah Tapi
struktur ini berbeda dengan
gadai konvensional yang
memberikan pinjaman uang
dengan meminta bunga atas
sejumlah uang yang
dipinjam, sedangkan gadai
Yang menjadi
perbedaan dalam
penelitian ini adalah
dalam penelitian ini
penulis juga meneliti
lebih berfokus pada
Sengketa dalam
pelaksanaan akad
mudharabah
muqayyadah perbankan
syariah pada Dana
Pensiun Angkasa Pura II
dengan Bank Syariah
Mandiri dan PT. Sari
Indo Prima.Penelitian
ini merupakan jenis field
research dengan
18
syariah atau rahn meminta
imbalan atas sewa tempat
menaruh barang gadai dan
biaya pemeliharaannya.
pendekatan kualitatif.
Sedangkan sumber data
yang digunakan dalam
penelitian ini berupa
data primer dan data
sekunder. Data
dianalisis dengan
metode analisis
deskriptif. Pengumpulan
data dilakukan melalui
observasi, wawancara
dan dokumentasi.
4. Yusuf, Yasin (2014)
Analisis penerapan sistem
bagi hasil dalam
pembiayaan Mudharabah
di Koperasi Jasa
Keuangan Syariah
(KJKS) Cemerlang
Weleri Kendal.
Undergraduate (S2)
thesis, UIN Walisongo.
Jurnal Penelitian ini
bertujuan untuk
mengevaluasi penerapan
sistem bagi hasil dalam
pembiayaan Mudharabah
dan menganalisis faktor-
faktor dalam menetapkan
besarnya nisbah bagi hasil
pada pembiayaan
Mudharabah di KJKS
Cemerlang Weleri
Kendal.Penelitian ini
merupakan jenis field
research dengan
pendekatan kualitatif.
Sedangkan sumber data
yang digunakan dalam
penelitian ini berupa data
primer dan data sekunder.
Data dianalisis dengan
metode analisis deskriptif.
Yang menjadi
perbedaan dalam
penelitian ini adalah
dalam penelitian ini
penulis juga meneliti
lebih berfokus pada
Sengketa dalam
pelaksanaan akad
mudharabah
muqayyadah perbankan
syariah pada Dana
Pensiun Angkasa Pura II
dengan Bank Syariah
Mandiri dan PT. Sari
Indo Prima.Penelitian
ini merupakan jenis field
research dengan
pendekatan kualitatif.
Sedangkan sumber data
yang digunakan dalam
penelitian ini berupa
19
Pengumpulan data
dilakukan melalui
observasi, wawancara dan
dokumentasi di KJKS
Cemerlang Weleri Kendal.
Hasil penelitian yang
dilakukan penulis
membuktikan bahwa
penerapan sistem bagi hasil
di KJKS Cemerlang Weleri
Kendal ditentukan dengan
penetapan nisbah serta
perhitungan dengan adanya
rumus dalam menghitung
besarnya bagi hasil yang
nantinya akan dibagikan
kapada kedua belah pihak
(KJKS dan anggota).
Penentuan besarnya nisbah
dilihat dari berbagai faktor,
diantaranya; jenis usaha
anggota, modal usaha, lama
usaha yang dijalankan
anggota, keuntungan modal
awal anggota, karakteristik
anggota dan prospektif
usaha anggota.
data primer dan data
sekunder. Data
dianalisis dengan
metode analisis
deskriptif. Pengumpulan
data dilakukan melalui
observasi, wawancara
dan dokumentasi.
20
E. Kerangka Teori dan Konseptual
Perbankan syariah menyalurkan pembiayaan dengan menggunakan
berbagai macam akad sesuai dengan kebutuhan.Salah satunya adalah
pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah.
Akad mudharabah dapat digunakan baik dalam proses
penghimpunan dana maupun dalam proses penyaluran dana. Penghimpunan
dana dengan menggunakan akad mudharabah dilakukakan antara nasabah
investor dengan perbankan syariah, sedangkan penyaluran dana dengan
menggunakan akad mudharabah dilakukan antara bank syariah dengan
nasabah penerima fasilitas. Dalam khazanah fikih muamalah, mudharabah
tidak bisa dilepaskan dari konsep syirkah, karena mudharabah bagian dari
syirkah.29
Syirkah merupakan perkongsian atau bentuk kerjasama usaha
tertentu guna mendapatkan keuntungan (berorientasi pada profit).30
Secara
teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana
pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola.31
Sebagaimana ditentukan di dalam Fatwa DSN Tentang Pembiayaan
Mudharabah (qiradh) bahwa pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan
yang disalurkan oleh Lembaga Keuangan Syariah kepada pihak lain untuk
suatu usaha yang produktif, sehingga dalam hal ini perbankan syariah
bertindak sebagai pemilik dana (shahibul mal) dan nasabah penerima fasilitas
bertindak sebagai pengelola dana (mudharib). Dalam skema pembiayaan
mudharabah ini perbankan syariah sebagai shahibul mal menyediakan 100%
dana yang dibutuhkan oleh mudharib untuk melakukan usahanya. Perbankan
syariah tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek yang
dilakukan oleh mudharib, namun perbankan syariah mempunyai hak untuk
melakukan pembinaan dan pengawasan.perbankan syariah sebagai shahibul
mal menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika
29
Jaih Mubarok, Akad Mudharabah (Bandung: Fokus Media, 2013), hlm. 32
30
Jaih Mubarok, Akad Mudharabah, hlm. 32
31
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik (Jakarta: Gema
Insani, 2001), hlm. 95.
21
mudharib melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi
perjanjian.
Mudharib sebagai pengelola dana boleh melakukan berbagai macam
usaha asalkan telah disepakati sebelumnya dengan shahibul mal. Pada
prinsipnya tidak ada jaminan dalam pembiayaan mudharabah, namun agar
mudharib tidak melakukan penyimpangan, perbankan syariah dapat meminta
jaminan dari mudharib atau pihak ketiga.Jaminana ini hanya dapat dicairkan
apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah
disepakati bersama di dalam akad.
Akad mudharabah dibedakan menjadi dua: Mudharabah-muthlaqah
(mudharabah tidak terikat/bebas); dan Mudharabah-muqayyadah
(mudharabah terikat). Mudharabah muthlaqah (unrestricted investment)
adalah akad dalam bentuk kerja sama antara shahibul ml dan mudharib yang
cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu,
dan daerah bisnis.Mudharabah muqayyadah (restricted investment) adalah
kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Hal dimaksud, mempunyai akad yang
berlaku dalam pembatasan atas jenis usaha, waktu dan tempat usaha sehingga
jenis dan ruang lingkup usaha yang akan dilakukan oleh mudharib (nasabah
penerima pembiayaan) sudah ditentukan di awal akad.
Pada prinsipnya kegiatan usaha mudharib dapat dibatasi tergantung
dari jenis akad mudharabah yang disepakati yaitu apakah akad mudharabah
muthalaqah (mudharabah tidak terikat/bebas) ataukah mudharabah
muqayyadah (mudharabah terikat).Apabila perbankan syariah dan nasabah
penerima fasilitas menyepakati akad mudharabah muthalaqah maka nasabah
penerima fasilitas sebagai mudharib boleh melakukan kegiatan usaha yang
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis tertentu,
sebaliknya bila perbankan syariah dan nasabah penerima fasilitas
menyepakati akad mudharabah muqayyadah, maka nasabah penerima fasilitas
sebagai mudharib dibatasi baik dalam hal jenis usaha, waktu, maupun tempat
usahanya, sehingga jenis dan ruang lingkup usaha yang dapat dilakukan oleh
mudharib sudah ditentukan pada awal akad.
22
Gambar 2.1 Skema Akad Mudharabah Muqayyadah:
Keterangan:
1. Investor menyatakan keinginannaya secara tertulis kepada perbankan
syariah untuk menginvestasikan dananya dengan syarat- syarat khusus
(dibuat akad penyertaan investor) dan menyetorkan dananya kepada
perbankan syariah (biasanya menggunakan produk giro wadiah)
2. Pelaku usaha mengajukan permohonan pembiayaan secara tertulis
kepada perbankan syariah dan perbankan syariah mengajukan analisis
3. Dibuat akad mudharabah muqayyadah antara pelaku usaha dengan
investor yang diwakili oleh perbankan syariah
4. Perbankan syariah memperoleh arranger fee yang dapat dibebankan
kepada investor atau pelaku usaha sesuai dengan kesepakatan
5. Pelaku usaha sebagai mudharib memberikan bagi hasil kepada perbankan
syariah/arranger sesuai nisbah yang disepakati
6. Perbankan syariah sebagai arranger menyerahkan bagi hasil kepada
investor/shahibul mal sesuai nisbah yang disepakati dan perbankan
3
23
syariah sebagai arranger memperoleh management fee yang diambil dari
perolehan pendapatan bisnis investor yang dibagikan kepada bank sesuai
porsi bagi hasil setelah dikurangi porsi bagi hasil dengan pelaku usaha
sebagai mudharib.
7. Bank memperoleh administration fee dari pelaku usaha sebagai mudharib
yang diperoleh bank setiap tahun selama masa periode pembiayaan
8. Pelaku usaha sebagai mudahrib melunasi pokok pembiayaan secara
cicilan/sekaligus pada akhir periode pembiayaan dan ditransfer ke
rekening investor/shahibul mal oleh perbankan syariah.
Berdasarkan latar belakang masalahan diatas, agar lebih bisa dipahami
secara sistematis tentang pembahasan tesis ini, maka dapat digambarkan
sebuah kerangka konseptual secara menyeluruh tentang sengketa dalam
pelaksanaan akad Mudharabah Muqayyadah pada kasus pada Dana Pensiun
Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima. yang
merupakan kerangka konseptual dalam penelitian ini adalah:
Gambar 1.2 Kerangka Teori
SENGKETA
Dana Pensiun Angkasa Pura II
(shahibul maal)
Bank Syariah Mandiri
(Mudharib)
Akad Mudharabah
Muqayyadah
PT. Sari Indo Prima
(Membutuhkan Modal)
24
F. Metodologi Penelitian
1. Metodologi Penelitian & Pendekatan Penelitian
Dalam pencarian jawaban permasalahan yang dikemukakan
sebelumnya, maka jenis penelitian dalan tesis ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif yang dimaksud sesuai dengan pendapat
Kaelan, yaitu objek penelitian. Pertama, masalah-masalah dan hukum-
hukum yang mungkin terjadi. Kedua, manusia sebagai makhluk budaya
yang bersifat multidimensional yang tidak hanya dapat diteliti dari
perspektif yang pasti saja. Melainkan ada hal-hal yang bersifat kualitatif
yang harus dilihat oleh ilmu pengetahuan secara objektif.32
Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analisis, penelitian ini
akan menggambarkan dan menjelaskan bagaimana sengketa dalam
pelaksanaan kontrak akad Mudharabah Muqayyadah. Setelah itu
menjelaskan bagaimana penyelesaian sengketa ekonomi syariah akad
Mudharabah Muqayyadah pada kasus pada Dana Pensiun Angkasa Pura
II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima serta
bagaimana realita sesungguhnya putusan sengketa Ekonomi Syariah
yang telah diputuskan oleh lembaga yang berwenang dalam
menyelesaikan sengketa Ekonomi Syariah dalam hal ini, yaitu
BASYARNAS.
2. Sumber Data
Dalam menggali sumber data, peneliti menggunakan penelitian
lapangan (Field Research) yang akan dilakukan secara mandiri dengan
terjun ke lapangan. Menurut Koentjaraningrat, penelitian lapangan dalam
pengambilan data dapat menggali dari pengalaman individu tertentu
sebagai warga dari suatu masyarakat yang dapat dijadikan sumber data,
sebagai objek penelitian.33
Pada penelitian ini tidak hanya menggunakan
kajian pustaka, melainkan mengumpulkan sumber-sumber yang berasal
32
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisioliner (Yogyakarta: Paradigma,
2010), hlm 9. 33
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: PT. Gramedia,
1981), hlm 197.
25
dari sengketa yang terjadi antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan
Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima.
Sumber data dalam penulisan tesis ini terdiri atas dua sumber,
yaitu data primer dan data sekunder.34
Pertama, sumber data primer
adalah data yang diperoleh langsung.35
Bersumber dari studi dokumen
dan wawancara terhadap pihak Dana Pensiun Angkasa Pura II dan
lembaga penyelesaian sengketa perjanjian syariah, yaitu di Basyarnas.
Data-data yang dimaksud berkaitan erat dengan tema pembahasan
yaitu sengketa yang terjadi antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan
Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima. Kedua, data sekunder,
merupakan data yang telah disusun oleh pihak lain dalam hal ini lembaga
terkait yang digunakan sebagai data pendukung penelitian atau data yang
diperoleh dari sumber data kedua atau sumber sekunder dari data yang
dibutuhkan.36
Data sekunder bersumber dari referensi yang mendukung,
seperti, artikel-artikel, jurnal, makalah workshop, jurnal, surat kabar,
internet dan buku-buku yang berhubungan dengan topik pembahasan,
yaitu sengketa dalam pelaksanaan kontrak akad Mudharabah
Muqayyadah.
3. Teknik Pengumpulan Sumber Data
Teknik pengumpulan sumber data diperoleh melalui dua sumber,
yaitu: pertama, study dokumen37
yaitu berupa Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor:
8/5/PBI/2006 tentang Mediasi Perbankan dan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif
34
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: PT Raja,
2004), hlm, 67. 35
Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Rajawali
Pess, 2005), hlm, 14. 36
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif (Kominikasi, Ekonomi dan
Kebijakan Publik SERA Ilmu-ilmu Sosial Liannya), (Jakarta: Kencana, 2006), hlm, 35. 37
Dokumen menurut Kaelan dengan mengutip pendapat Sugiyono adalah catatan
peristiwa yang telah lalu. Dokumen dapat berbentuk tulisan, gambar atau karya monumental.
Dokumen yang dimaksud adalah Undag-Undang dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan
langsung dengan topik penelitian. Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, 112
26
Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Kedua, in-depth
interview38
dilakukan kepada pihak terkait dengan topik penelitian.
Adapun Narasumber yang akan diwawancarai yaitu dengan beberapa
orang praktisi dan akademisi serta staff dari Dana Pensiun Angkasa Pura
dan Basyarnas yang memiliki kewenangan dalam bidangnya. Selain itu
penulis juga melakukan library research dengan mencari data-data,
literatur-literatur dan referensi yang berkaitan dengan judul tesis serta
pembahasannya.
4. Teknik Analisa Data
Analisis data dilakukan dengan deskriptif-kualitatif. Data primer
berupa study dokumen dan hasil wawancara dari informan terpilih
kemudian ditranskrip dan dikategorisasi berdasarkan tema. Kemudian
data-data sekunder diolah berdasarkan kronologi dan hirarki. Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris,
pendekatan ini menjadi pilihan dalam penelitian ini. Pendekatan empiris
yang dimaksud penelitian yang menekankan pada fakta-fakta yang
diperoleh dari hasil penelitian yang didasarkan pada metode ilmiah serta
berpedoman teori hukum dan perundang-undangan yang ada.39
Proses pemahaman terhadap masalah dalam penelitian ini
menggunakan metode interpretasi. Interpretasi digunakan untuk
mengungkapkan, menerangkan, dan menterjemahkan realitas.Menurut
Poespoprodjo sebagimana dikutip oleh Kalan bahwa metode interpretasi
adalah menyampaikan dan merumuskan tentang makna yang terkandung
dalam realitas, serta berusaha untuk mengungkap makna terselubung
kedalam bahasa atau simbol lainnya.40
Semua bahan dan data yang diperoleh kemudian diolah dan
dianalisis menggunakan pendekatan hukum normatif dan data dalam
38
Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk berinteraksi langsung dengan narasumber
sehingga didapatkan data secara langsung dari narasumber. H.B. Sutopo, Pengantar Penelitian
Kualitatif , (Surakarta: UNS Press, 2002), hlm 67. 39
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), hlm. 10. 40
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, 112
27
penelitian ini disajikan secara deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan
fakta yang ada kemudian dilakukan analisis berdasarkan Undang-Undang
dan teori yang terkait. Pelaksanaan metode deskriptif tidak terbatas pada
tahap dan interpretasi tentang arti data itu sendiri.41
Sedangkan analisis
data dalam pengumpulan data ini menggunakan metode analisis
kualitatif, yaitu dengan menginterpretasikan, menguraikan, menjabarkan,
dan menyusun data secara sistematis logis sesuai dengan tujuan
pengumpulan data.42
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
berdasarkan pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”
G. Sistematika Pembahasan
Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan sistematika penulisan tesis
sebagai berikut: Bab I sebagai “Pendahuluan”, berisi tentang latar belakang
penelitian yang berkaitan dengan sebagai pendahuluan menjelaskan tentang
latar belakang masalah untuk memahami masalah yang melatar belakangi
ditulisnya penelitian ini kemudian menguraikan permasalahan berupa;
identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah.
Dilanjutkan tujuan dan manfaat penelitian, signifikansi penelitian, review
studi terdahulu, kerangka teori, metodologi penelitian dan terakhir sistematika
pembahasan.
Selanjutnya Bab II, sistem akad Mudharabah Muqayyadah dalam
perbankan syariah memuat: Prinsip Operasional Bank Syariah dan
Kedudukan Bank Syariah dalam Pembiayaan dengan Akad Mudharabah
Muqayyadah, Tinjauan Umum tentang akad Mudharabah Muqayyadah dalam
41
Soejono dan Abdurrahman, Metode Pengumpulan data Hukum , (Jakarta: Rineka
Tercipta, 2003), hlm. 22. 42
Sunaryati Hartono, Pengumpulan data Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke XX,
(Bandung: Alumni, 1994), hlm. 152.
28
pembiayaan Perbankan Syariah dan pandangan ulama fiqih tentang akad
Mudharabah Muqayyadah.
Bab III mengkaji tentang penyelesaiaan sengketa modal usaha dalam
Perbankan di Indonesia memuat: penyelesaiaan Sengketa melalui Pengadilan
(Litigasi), Penyelesaiaan Sengketa di luar Pengadilan (Non Litigasi) dan
Perbandingan Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan dengan Arbitrase,
dan Penyelesaiaan Sengekta dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Selanjutnya dalam Bab IV, memaparkan hasil penelitian tesis
mengenai analisis penyelesaian sengketa akad Mudharabah Muqayyadah
antara Dana Pensiun Angkasa Pura II Dengan Bank Mandiri Syariah.
Bab V Sebagai bab “Penutup” berisi uraian kesimpulan dari hasil
penelitian yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Kemudian saran-saran
sebagai masukan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh. Selain itu, bab
ini juga memberikan rekomendasi untuk beberapa pihak yang berkepentingan
dalam pelaksanaan akad Mudharabah Muqayyadah.
29
BAB II
SISTEM AKAD MUDHARABAH MUQAYYADAH DALAM
PERBANKAN SYARIAH
A. Prinsip Operasional Bank Syariah
Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penerapan fatwa di bidang syariah.43
Bank syariah juga dikenal dengan nama bank berdasarkan prinsip bagi
hasil karena menjalankan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil, yang
berbeda dengan bank umum konvensional yang mendasarkan usahanya dari
pemberian bunga. Perbankan syariah mulai diperkenalkan di Indonesia
setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan yang secara implisit menunjukkan bahwa bank diperbolehkan
menjalankan usahanya berdasarkan prinsip bagi hasil.44
Hubungan antara bank syariah dengan nasabah pada bank syariah
adalah hubungan antara subyek hukum yang terikat pada hukum dalam Islam
yang tercipta melalui hubungan kontraktual, yaitu dengan membuat suatu
perjanjian atau akad.45
Secara etimologis, perjanjian dalam bahasa Arab
diistilahkan dengan mu‟ahadah ittifa‟ atau akad. Dalam bahasa Indonesia
disebut dengan kontrak, perjanjian atau persetujuan yang artinya adalah suatu
perbuatan atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau
lebih.46
Karakteristik bank syariah adalah menekankan aspek keadilan,
menyeimbangkan aspek moral dan amterial, dana yang terkumpul harus
dikelola untuk memperoleh nilai tambah guna menciptakan kesejahteraan,
43
Indonesia (d) Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 21 Tahun 2008,
LN Nomor 94 Tahun 2008, TLN. No. 4867, Penjelasan Umum, Pasal 1 angka 12. 44
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), hlm 5. 45
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), hlm 64. 46
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika,2004), hlm.1.
30
harta dipergunakan untuk memakmurkan bumi demi kemaslahatan umat,
adanya pelarangan kegiatan usaha yang bersifat spekulatif atau pentingnya
keberadaan underlying asets dalam setiap transaksi dan hubungan antara
nasabah dengan bank syariah adalah kemitraan.47
Bank sebagai suatu lembaga keuangan yang salah satu fungsinya
adalah menghimpun dana masyarakat harus memiliki suatu sumber untuk
menghimpun dana sebelum disalurkan ke masyarakat kembali.48
Sumber
dana yang dimiliki oleh bank terdiri dari empat jenis dana. Yang pertama
adalah dana modal, yaitu dana dari pendiri bank tersebut. Yang kedua adalah
dana titipan masyarakat yang dikelola oleh bank, yang dalam istilah
perbankan syariah dikenal dengan istilah wadi‟ah. Yang ketiga adalah dana
masyarakat yang diinvestasikan melalui bank. Dana jenis ini juga sering
disebut dengan dana investasi tak terbatas. Yang keempat adalah dana
investasi khusus atau investasi terbatas. Investasi khusus atau investasi
terbatas dalam perbankan syariah dikenal dengan Mudharabah
Muqayyadah.49
Islam mengenal modal sebagai suatu komponen utama dalam usaha.
Hak atas modal diakui dalam Islam sebagai hak individu atau golongan yang
berbeda dengan hak atas modal menurut pandangan kapitalis. Pada kapitalis,
modal merupakan hak mutlak individu.50
Dana modal yang berasal dari pemilik bank digunakan terutama untuk
kegiatan operasional bank dan investasi bank itu sendiri pada sektor-sektor
yang dibenarkan menurut syariat.51
Dalam hal ini, seseorang atau sekumpulan
orang bersepakat untuk mendirikan sebuah usaha bank yang akan dikelola
oleh sebagian pemilik modal tersebut.
47
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, hlm.3. 48
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta: Djambatan, 2003), hlm.57. 49
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, hlm.65. 50
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, hlm.58. 51
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, hlm.58.
31
Untuk menjalankan fungsi bank sebagai penghimpun dana
masyarakat, bank syariah dapat menghimpun dana dari pihak ketiga. Dalam
penghimpunan dana masyarakat, bank syariah dapat memasukkan produk-
produk bank konvensional seperti giro, tabungan atau deposito dengan
formulasi yang dibedakan dangan cara yang digunakan oleh bank
konvensional, karena bank syariah tidak mengenal bunga.52
Produk-produk bank syariah muncul karena didasari oleh
operasionalisasi fungsi bank syariah. Dalam menjalankan operasinya, bank
syariah memiliki empat fungsi sebagai berikut:53
1. Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi dana-dana yang
dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas dasar
prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank;
2. Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki pemilik
dana/Shahibul Maal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki
oleh pemilik dana;
3. Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan
4. Sebagai pengelola fungsi sosial.
Dari keempat fungsi operasional tersebut kemudian diturunkan menjadi
produk-produk bank syariah, yang dikelompokan ke dalam produk
pendanaan, produk pembiayaan, produk jasa perbankan dan produk
kegiatan sosial.54
Produk-produk pendanaan bank syariah ditujukan untuk mobilisasi
dan investasi tabungan untuk pembangunan perekonomian dengan cara
yang adil. Sehingga keuntungan yang adil dapat dijamin bagi semua
pihak. Tujuan mobilisasi ini adalah karena Islam tidak menghendaki adanya
penimbunan dana dalam tabungan dan menuntut penggunaan sumber dana
52
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Konsep, Produk dan
Implementasi Operasional Bank Syariah, hlm.58. 53
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),
hal.112. 54
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, hal.112.
32
secara produktif dalam rangka mencapai tujuan sosial-ekonomi Islam. Dalam
mobilisasi dana ini, bank syariah melakukannya tanpa menggunakan prinsip
bunga, melainkan dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syariat Islam.55
Berdasarkan Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/24/PBI/2004, kegiatan-kegiatan usaha Bank Umum Syariah antara lain
sebagai berikut:56
1. Penghimpunan Dana
b. Giro berdasarkan prinsip Wadi‟ah
c. Tabungan berdasarkan prinsip Wadi‟ah dan atau Mudharabah
d. Deposito berjangka berdasarkan prinsip Mudharabah
2. Penyaluran Dana
Secara garis besar, produk penyaluran dana kepada masyarakat
adalah berupa pembiayaan didasarkan pada empat jenis akad, yaitu:
a. Akad jual beli yang menghasilkan produk murabahah, Salam
dan Istishna.
b. Akad sewa-menyewa menghasilkan produk berupa Ijarah dan Ijarah
Muntahiya Bitamlik (Ijarah Wa Itiqna);
c. Akad bagi hasil menghasilkan produk Mudharabah, Musyarakah,
Muzzaro‟ah Dan Musaqah; dan
d. Akad pinjaman yang bersifat sosial (Tabarru) berupa qardh dan
qardh al hasan.57
3. Pemberian Jasa Pelayanan
Selain dari jenis-jenis pembiayaan tersebut di atas, perbankan
syariah juga menyelenggarakan pelayanan-pelayanan dengan
memperoleh upah atau fee. Jenis-jenis pelayanan yang lazim
diselenggarakan oleh perbankan syariah antara lain adalah Wakalah,
Hawalah, Kafalah, dan Rahn.
55
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah,hlm. 112. 56
Indonesia (k), Peraturan Bank Indonesia Tentang Bank Umum yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, Nomor 6/24/PBI/2004, LN. No. 122 DPbs,
TLN.4434. Pasal 36. 57
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), hal.99.
33
Selain produk-produk di atas, bank syariah juga bisa memberikan
pelayanan sebagai berikut:
a. Membeli, menjual dan atau menjamin risiko sendiri surat berharga
pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (Underlying
Transaction) berdasarkan prinsip syariah.
b. Membeli surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang diterbitkan
oleh pemerintah dan Bank Indonesia.
c. Menerbitkan surat berharga berdasarkan prinsip syariah;
d. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah
berdasarkan prinsip syariah;
e. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan
dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga
berdasarkan prinsip syariah;
f. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat
berharga berdasarkan prinsip Wadi‟ah Yad Amanah;
g. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penata usahaannya untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip
wakalah.
h. Memberikan fasilitas Letter Of Credit (L/C) berdasarkan prinsip
syariah;
i. Memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip syariah;
j. Melakukan kegiatan usaha kartu debet, Charge Card berdasarkan
prinsip syariah;
k. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah;
l. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang
disetujui oleh Bank Indonesia dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah
Nasional.
34
B. Kedudukan Bank Syariah dalam Pembiayaan dengan Akad
Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah merupakan jasa yang diberikan dengan
cara mempertemukan pihak pemilik dana (Shahibul Maal) yang ingin
menginvestasikan dananya dengan pihak pengelola (Mudharib) yang
mempunyai suatu proyek/usaha yang layak, setelah dilakukan analisa-
analisa bisnis yang lazim terlebih dahulu. Pihak yang menjadi penghubung
(Arranger) dari kedua belah pihak tadi akan mendapatkan upah atas jasanya
sebagai Arranger, dan dapat pula diminta melakukan pengadministrasian atas
pembayaran bagi hasil maupun pengembalian dana Shahibul Maal
berdasarkan akad atau kontrak Mudharabah Muqayyadah yang telah
disepakati.58
Dalam akad Mudharabah Muqayyadah terdapat hubungan kemitraan
antara Mudharib dengan Shahibul Maal. Menurut Sutan Remi Sjahdeini
perjanjian Mudharabah adalah bukan perjanjian utang piutang, melainkan
perjanjian kerjasama mengenai usaha bersama dengan para pihak yang
memperjanjikan untuk berbagi hasil atau keuntungan.59
Dengan kata lain,
bank syariah tidak menerapkan konsep hutang-piutang tetapi mengguanakan
konsep pembiayaan, salah satunya adalah Mudharabah Muqayyadah yang
termasuk dalam konsep pembiayaan bagi hasil.
Dengan demikian, akad Mudharabah Muqayyadah memiliki unsur
kemitraan kerjasama usaha dimana Mudharib mengelola usaha dengan dana
diserahkan oleh Shahibul Maal atas dasar kepercayaan dengan bagi hasil atas
keuntungan sesuai dengan nisbah yang telah disepakati bersama, dimana yang
terjadi adalah investasi langsung (Direct Financing) antara Shahibul Maal
sebagai surplus unit dengan Mudharib sebagai Deficit Unit.60
58
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), hal.124. 59
Cut Meutia Hanoun,”Telaah Terhadap Akad (Kontrak) Al-Mudharabah Muqayyadah
dan Pelaksanaanya pada Bank Syariah.” (Skripsi Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok, 2001), hal.86-93. 60
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, hal.125.
35
Dalam praktek Mudharabah pada umumnya memiliki ciri-ciri khusus
yaitu hubungan antara Shahibul Maal dengan Mudharib bersifat personal,
langsung dan berdasarkan rasa saling percaya. Shahibul Maal hanya mau
bekerja sama atau menyerahkan modalnya kepada orang yang dikenal, baik
secara professional maupun karakter.61
Dalam perkembangan praktek
Mudharabah saat ini, selain Shahibul Maal dan Mudharib, ada pihak lain
yang terlibat, yaitu Bank Syariah.Sehingga Mudharabah yang bersifat
personal, langsung, saling percaya dan saling mengenal tidak efisien lagi dan
kecil kemungkinannya untuk diterapkan dimana bank ikut terlibat transaksi
tersebut.
Tambahan satu pihak tersebut yang diperankan oleh bank syariah
sebagai perantara yang mempertemukan Shahibul Maal dan Mudharib
menyebabkan terjadinya perubahan skema yang semula direct financing
menjadi indirect financing. Bank Syariah menerima dana dari Shahibul Maal
dalam bentuk dana pihak ketiga sebagai sumber dananya. Dana-dana tersebut
dihimpun dalam bentuk tabungan dan simpanan deposito Mudharabah dengan
jangka waktu yang bervariasi yang kemudian disalurkan kembali oleh bank
ke dalam bentuk pembiyaan-pembiyaan yang menghasilkan. Keuntungan dari
penyaluran pembiayaan inilah yang dibagihasilkan antara bank dengan
pemilik dana pihak ketiga.62
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam
perkembangan praktek Mudharabah dalam sistem perekonomian modern saat
ini, khususnya dalam bidang perbankan, ada tiga pihak yang terlibat dalam
akad Mudharabah, yaitu:63
1. Pihak yang menyimpan dana (Depositor/Shahibul Maal)
2. Pihak yang membutuhkan dana atau pengusaha (Debitur/Mudharib)
61
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan (Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada,2004), hlm. 210. 62
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan,), hlm. .211. 63
Elias G. Kazarian, Islamic Versus Traditional Banking, Financial Inovation in Egypt,
(Boulder San Fransisco, Oxford:1993), hlm. 61-62.
36
3. Pihak yang mempertemukan antara Shahibul Maal dan Mudharib yaitu
bank sebagai perantara (Intermediary)
Ketiga pihak tersebut di atas dalam sistem perbankan syariah
memposisikan pihak bank sebagai pihak yang mempunyai fungsi ganda, yaitu
bank sebagai Mudharib sekaligus sebagai shahibul maal. Sebagai Mudharib,
pada saat bank mengelola dana yang disimpan oleh nasabah (Shahibul Maal).
Sedangkan bertindak sebagai Shahibul Maal pada saat bank menyalurkan
dana nasabah (Shahibul Maal) kepada pengusaha yang membutuhkan
untuk dikelola pada suatu usaha yang menguntungkan (Mudharib).
Jadi dapat disimpulkan di bank syariah terdapat dua macam akad
Mudharabah Muqayyadah yang pembagiannya didasarkan pada peranan bank
syariah dalam akad Mudharabah Muqayyadah, yaitu:64
1. Akad Mudharabah Muqayyadah dimana bank syariah berperan sebagai
shahibul maal, dan
2. Akad Mudharabah Muqayyadah dimana bank syariah berperan sebagai
wakil (Agen).
Pada akad Mudharabah Muqayyadah dimana bank syariah
berkedudukan sebagai Shahibul Maal hanya diperlukan akad Mudharabah
Muqayyadah yang mengatur hubungan antara Shahibul Maal dengan
Mudharib. Sedangkan mengenai akad Mudharabah Muqayyadah dimana
bank syariah berkedudukan sebagai wakil (agen), maka selain akad
Mudharabah Muqayyadah yang mengatur hubungan antara Shahibul Maal
dan Mudharib, maka diperlukan suatu akad Wakalah65
yang mengatur seluruh
64
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan, (Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada,2004), hlm.96. 65
Wakalah atau wikalah adalah penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
Dalam pengertian perbankan syariah, wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
kepada orang lain, dalam hal ini diwakilkan, yaitu jasa melakukan tindakan atau pekerjaan
mewakili nasabah sebagai pemberi kuasa. Untuk mewakili nasabah melakukan tindakan atau
pekerjaan tersebut, nasabah diminta untuk mendepositokan dana secukupnya. Contoh dari
penerapan prinsip ini adalah pembukaan letter of credit (L/C), inkaso, transfer uang oleh bank atas
nama nasabah. Untuk menerima kuasa mewakili nasabah melakukan tindakan atau pekerjaan ini,
bank memperoleh fee. Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali
kegagalan karena force majeur menjadi tanggung jawab nasabah. Apabila bank yang ditunjuk
lebih dari satu, masing-masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah
dengan bank lain, kecuali atas izin dari nasabah. Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank
37
hubungan antara bank syariah sebagai wakil dengan Mudharib dan shahibul
maal. Hal ini dinyatakan pada Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 10
Tahun 1998 yang menyebutkan:66
Huruf b
“Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan,
atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad
Mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip
Syariah.” Penjelasan pasal tersebut menyebutkan:67
“Yang dimaksud dengan “Akad Mudharabah” dalam menghimpun
dana adalah Akad kerja sama antara pihak pertama (malik, shahibul maal,
atau nasabah) sebagai pemilik dana dan pihak kedua („amil, Mudharib, atau
Bank Syariah) yang bertindak sebagai pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam Akad.”
Dalam pasal 19 ayat (1) huruf c UU.No. 10 Tahun 1998 disebutkan
yaitu menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad Mudhabah,
Akad Musyarakah, atau Akad lain yang bertentangan dengan prinsip
syariah.68
Dan dalam penjelasan pasal tersebut diterangkan:69
“Yang dimaksud dengan “Akad Mudharabah” dalam Pembiayaan
adalah Akad kerjasama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul
maal, atau Bank Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua
(„Amil, Mudharib, Atau Nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana
harus jelas sesuai dengan kehendak nasabah. Setiap tugas yang dilakukan harus mengatasnamakan
nasabah dan harus dilakukan oleh bank. Bank memperoleh pengganti biaya atas pelaksanaan tugas
tersebut berdasarkan kesepakatan bersama. (Lihat Adiwarman Karim, op.cit., hal 73) 66
Indonesia (b), Undangan-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, LN Tahun 1998 Nomor 182 TLN Nomor 3790, Pasal 19 ayat (1)
huruf b. 67
Indonesia (b), Undangan-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, LN Tahun 1998 Nomor 182 TLN Nomor 3790, Pasal 19 ayat (1)
huruf b. 68
Indonesia (b), Undangan-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, LN Tahun 1998 Nomor 182 TLN Nomor 3790Pasal 19 ayat (1)
huruf c. 69
Indonesia (b), Undangan-Undang tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, LN Tahun 1998 Nomor 182 TLN Nomor 3790,Penjelasan Pasal
19 ayat (1) huruf c.
38
dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh
Bank Syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja,
lalai atau menyalahi perjanjian.”
Berdasarkan peraturan di atas, Bank Syariah terlibat dalam
transaksi Mudharabah, dimana status atau kedudukan Bank Syariah dapat
bertindak sebagai Mudharib dan juga bertindak sebagai Shahibul Maal.
Sebagai Mudharib ketika bank syariah menerima dana simpanan nasabah dan
bertindak sebagai Shahibul Maal ketika bank syariah menyalurkan dana
kepada nasabah dalam pembiayaan. Dalam praktek Mudharabah mutlaqah,
sesuai konsep manajemen dana, bank syariah menyalurkan dana
Mudharabah Mutlaqah kepada pembiayaan Mudharabah Mutlaqah.
Dalam penyaluran dana nasabah dengan akad Mudharabah mutlaqah,
bank syariah sebagai Shahibul Maal tidak memberikan batasan-batasan
kepada Mudharib dalam pengelolaan dana, artinya Mudharib bebas untuk
menggunakan dana tersebut dalam berbagai macam usaha selama masih
dalam lingkup aturan syariah.70
Pada pembiayaan dengan akad Mudharabah
mutlaqah yang disebut juga unrestricted investment, ruang lingkup dan jenis
usaha yang akan dilakukan oleh nasabah sudah ditentukan di awal akad.
Dengan demikian, bank selaku Shahibul Maal lebih mudah dalam melakukan
kegiatan monitoring terhadap usaha yang dilakukan nasabah selaku
Mudharib. Sedangkan dalam pembiayaan Mudharabah Muqayyadah, ada
perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama membolehkan
adanya batasan-batasan dalam pengelolaan dana dan ada juga yang tidak.
Ulama Mazhab Maliki dan Syafi‟I termasuk yang tidak membolehkan adanya
batasan-batasan dalam Mudharabah.71
70
Muhammad, Manajemen Pembiayaan di Bank Syariah: Strategi Memaksimalkan
Return dan Meminimalkan Risiko Pembiayaan di Bank Syariah sebagai Akibat Masalah Agency,
(Jakarta:Raja Grafindo, 2008), hlm. 93. 71
Muhammad, Manajemen Pembiayaan di Bank Syariah: Strategi Memaksimalkan
Return dan Meminimalkan Risiko Pembiayaan di Bank Syariah sebagai Akibat Masalah Agency,
hlm. 93.
39
Pada prakteknya, pembiayaan Mudharabah Muqayyadah atau yang
disebut juga dengan restricted investment, biasanya bank hanya berperan
sebagai penghubung (Arranger) antara nasabah dengan pemilik usaha.
Sehingga bank syariah pada pembiayaan dengan akad Mudharabah
Muqayyadah ini tidak mendapatkan bagi hasil, melaikan fee atas jasa yang
diberikan, misalnya jasa pembukukan.72
Pembiyaan dengan akad Mudharabah Muqayyadah sendiri dibagi
menjadi dua bentuk, yaitu On Balance Sheet Dan Off Balance Sheet. Yang
dimaksud dengan Mudharabah On Balance Sheet adalah aliran dana terjadi
dari satu nasabah investor ke sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa
sektor terbatas, misalnya pertanian, manufaktur dan jasa. Nasabah investor
lainnya mungkin mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk
pembiayaan di sektor properti, pertambangan dan pertanian. Selain
berdasarkan sektor, nasabah investor juga dapat mensyaratkan berdasarkan
jenis akad yang digunakan, misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan
akad penjualan cicilan saja, atau penyewaan cicilan saja, atau kerjasama
usaha saja. Skema demikian disebut on balance sheet karena aliran dana
tersebut dicatat dalam pembukuan neraca bank dan bank ikut serta dalam
pemberian modal, sehingga bank syariah akan mendapat pendapatan berupa
jasa mempertemukan antara Shahibul Maal dengan Mudharib dan bagi hasil
dari modal yang disertakan dalam proyek pembiayaan. Skema ini disebut
juga dengan Mudharabah executing.73
Dalam Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet, aliran dana
berasal dari satu nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan dimana
bank syariah bertindak sebagai Arranger (Agen). Pencatatan atas transaksi di
bank syariah dilakukan secara Off Balance Sheet karena transaksi tidak
dicatat dalam neraca bank, tetapi dicatat dalam rekening administratif saja.74
72
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), hlm. 124. 73
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, hlm. 57. 74
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan, ( Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada,2004), hlm. 200-201.
40
Nisbah bagi hasil hanya diberikan kepada nasabah investor dan nasabah
pembiayaan, yang besarnya sesuai dengan kesepakatan. Sedangkan bank
hanya mendapat arranger fee saja. Skema Mudharabah Muqayyadah seperti
ini juga disebut dengan Mudharabah Muqayyadah Chanelling.75
Skema pembiayaan Mudharabah Muqayyadah Chanelling ini
diterapkan dalam bentuk special investment, dimana bank akan menyalurkan
dana nasabah tertentu untuk diinvestasikan ke dalam proyek yang telah
dipelajari dan dianalisa oleh pihak bank, layak dan Profitable sehingga pihak
bank merekomendasikan kepada nasabah pemilik dana untuk investasi ke
proyek tersebut. Bank hanya memberikan beberapa alternatif sesuai hasil
evaluasi dan analisa bank, sedangkan keputusan untuk investasi tetap ada
pada nasabah pemilik dana, sehingga dalam ini pihak bank tidak
menanggung risiko sama sekali. Apabila terjadi kesepakatan antara pemilik
dana dan pemilik proyek, maka tugas bank sudah selesai, dan bank akan
mendapatkan upah (Arranger Fee).76
Dalam transaksi perbankan, sistem Mudharabah Muqayyadah ini
lazim dipergunakan apabila nasabah pemilik dana menghendaki dananya
diinvestasikan dalam proyek-proyek tertentu (Special Investment), dimana
mereka menentukan syarat-syarat investasi yang mereka inginkan, kemudian
di lain pihak, bank sebagai arranger akan mencarikan nasabah yang memiliki
proyek yang sesuai dengan keinginan pemilik dana tadi. Sebelum kedua belah
pihak (pemilik dana dan pengelola dana) dipertemukan, bank akan melakukan
analisa dan evaluasi terhadap proyek tersebut terlebih dahulu, sehingga bank
dapat memberikan rekomendasi yang tidak mengikat tentang prospek proyek
dan Performance nasabah pengelola dana (Mudharib). Pemberian jasa
Mudharabah Muqayyadah Chanelling tidak akan mempengaruhi aktiva
produktif bank, karena di sini bank bukan berperan sebagai pemberi
pembiayaan atau kredit, tetapi hanya memberikan jasa perantara (Arranger).
Namun, secara tidak langsung akan dapat membantu meningkatkan sumber
75
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan, hlm. 212. 76
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, hlm. 229.
41
pendanaan bank karena dalam Mudharabah Muqayyadah ini dapat
disyaratkan masing-masing pihak untuk membuka Account di bank dan
kemudian bank berfungsi melakukan pengadministrasian atas transaksi yang
terjadi sehubungan dengan perjanjian Mudharabah Muqayyadah antara
pemilik dana (Shahibul Maal) Mudharabah Muqayyadah off balance
sheet/chanelling ini diatur dalam Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia Nomor
dan pengelola dana (Mudharib).77
Aturan mengenai transaksi 7/46/PBI/2005 tentang Akad
Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah berlaku ketentuan, diantaranya:78
“Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (chanelling
agent) kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan
usaha dengan persyaratan dan jenis kegiatan usaha yang ditentukan oleh
investor.”
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa status atau
kedudukan bank syariah dalam transaksi Mudharabah Muqayyadah adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai Mudharib pada kegiatan penghimpunan dana masyarakat;
2. Sebagai Shahibul Maal pada kegiatan penyaluran dana masyarakat;
3. Sebagai agen (Perantara) antara nasabah investor yang bertindak sebagai
Shahibul Maal dengan nasabah pembiayaan yang bertindak sebagai
Mudharib. Kedudukan sebagai agen dalam bank syariah terjadi dalam
akad pembiayaan Mudharabah Muqayyadah Off Balance Sheet.
Dalam status atau kedudukan sebagai agen atau perantara bank
syariah dapat bertindak sebagai Wakil Shahibul Maal, Wakil Dari Mudharib,
atau sebagai wakil dari kedua-duanya. Sebagai wakil dari Shahibul Maal
dalam proses penyaluran dana pembiayaan, pengawasan dan pembinaan
77
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, op.cit., hal. 230. 78
Indonesia(I), Peraturan Bank Indonesia tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran
Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. PBI Nomor
7/46/PBI/2005, LN No. 124 DPbs, TLN No. 4563, Pasal 7 butir c.
42
dalam pengelolaan usaha oleh Mudharib yang menggunakan dana shahibul
maal. Bank syariah sebagai wakil dari Mudharib adalah dalam proses
pembayaran bagi hasil dan angsuran pokok pembiayaan. Apabila terjadi
kerugian dalam pengelolaan usaha Bank Syariah tidak ikut bertanggung
jawab.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediary dalam
sistem perekonomian, Bank Syariah harus selalu menaati peraturan
perundang-undangan dalam operasionalnya. Baik dalam status sebagai
Mudharib, shahibul maal, maupun agen (perantara) dalam pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah off balance sheet pada perbankan syariah.
Transaksi pembiayaan tersebut merupakan bagian dari produk dan jasa bank
syariah. Di antara aturan dalam operasional bank adalah mengenai prinsip
kehati-hatian (Prudential Banking Principle) sebagaimana diatur dalam Pasal
2 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebelum kemudian diatur secara
khusus dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yaitu
Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasakan demokrasi
ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Dengan demikian, maka
aturan mengenai prinsip kehati-kehatian berlaku baik untuk Bank Syariah
maupun Bank Konvensional.
Di dalam perspektif agama Islam sendiri, prinsip kehati-hatian telah
diterapkan dalam ber-muamalah. Hal ini disebabkan karena dalam muamalah
kegiatan yang dilakukan adalah menyangkut atas hak milik atau harta
orang lain.79
Bahkan dalam operasionalnya bank syariah harus memegang
teguh Prinsip Syariah, yang di antaranya dalam menjalankan usaha tidak
mengandung unsur:80
1. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (Bathil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitasnya,
79
Hirsanudin, “Kemitraan Dalam Bisnis: Perpestif Hukum Islam (Studi Terhadap
Pelaksanaan Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Mudharabah di Perbankan Syariah)” (Disertasi
Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 170. 80
Indonesia (d), Undang-Undang tentang Perbankan Syariah, UU Nomor 21 Tahun
2008, LN Nomor 94 Tahun 2008, TLN No. 4867, Penjelasan Pasal 2.
43
kuantitas, dan waktu penyerahan (Fadhl). Atau dalam transaksi pinjam-
meminjam yang mempersyaratkan nasabah Penerima Fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (Nasi‟ah);
2. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan.
3. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi
dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
4. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
5. Zhalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.
Selain itu, dalam menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principle), dimana Bank diwajibkan untuk mengetahui identitas
nasabah dan memantau kegiatan transaksi nasabah81
, dalam penyaluran dana,
bank harus menganalisa kemampuan dan kesanggupan calon nasabah dalam
mengembalikan kredit atau pembiayaan yang diberikan. Dengan
memperhatikan dan menjalankan prinsip ini dalam operasionalnya,
khususnya dalam penyaluran dana, maka bank telah melakukan antisipasi atas
risiko yang akan dihadapi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
kepercayaan nasabah terhadap bank karena modal utama dalam bisnis
perbankan adalah kepercayaan. Hal ini diatur dalam Pasal 8 UU N0. 10
Tahun 1998, yaitu:82
1. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atau itikad baik dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah
81
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles), PBI No.3/10/PBI/2001, LN. No.78 Tahun 2001, TLN. No. 4107, Pasal 1
butir 2. 82
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles), PBI No.3/10/PBI/2001, LN. No.78 Tahun 2001, TLN. No. 4107, Pasal 8
44
Debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan
dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
2. Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Syariah.
Dalam penjelasan ayat (1) Pasal 8 tersebut, disebutkan bahwa
pembiayaan dengan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung
risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas
perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk
mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan
yang diperjanjikan merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan
oleh bank.83
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kemudian
pengaturan tersebut diatur dalam Bab II tentang Kelayakan Penyaluran Dana,
Pasal 23, yaitu:
1. Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah harus mempunyai keyakinan
atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas untuk
melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebalum Bank Syariah
dan/atau Unit Usaha Syariah menyalurkan dana kepada Nasabah
Penerima Fasilitas.
2. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, Bank Syariah atau Unit
Usaha Syariah wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari calon
Nasabah Penerima Fasilitas.
Hal ini mengandung makna bahwa secara yuridis bank bertanggung
jawab untuk melakukan analisis yang mendalam atas kemampuan dan
kemauan nasabah untuk melunasi fasilitas pembiayaan yang diperjanjikan.
83
Indonesia, Peraturan Bank Indonesia tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles), PBI No.3/10/PBI/2001, LN. No.78 Tahun 2001, TLN. No. 4107, Pasal 8
ayat (1).
45
Dari analisis tersebut bank syariah harus mendapatkan keyakinan bahwa
usaha/kegiatan nasabah layak untuk dibiayai dengan fasilitas pembiayaan.
Berdasarkan peraturan-peraturan di atas, maka bank syariah sebelum
menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan, sebelumnya
harus mempunyai keyakinan bahwa kredit tersebut akan kembali. Keyakinan
tersebut dapat diperoleh dengan berbagai cara, di antaranya adalah
dengan melakukan penilaian nasabah dengan kriteria-kriteria standar yang
berlaku untuk semua bank. Kriteria yang berlaku untuk melakukan penilaian
tersebut yaitu dengan analisis 5C (Character, Capacity, Capital, Collateral,
Condition) dan untuk mengetahui kondisi calon nasabah pembiayaan dapat
menggunakan metode analisa 7P (Personality, Party, Purpose, Prospect,
Payment, Profitability, Protection).
Selain itu bank juga harus memperhatikan kondisi usaha atau proyek
yang akan dibiayai. Adapun aspek yang perlu dipertimbangkan adalah
mengenai:84
1. Biaya pemantauan proyek;
2. Tingkat kesehatan usaha;
3. Usaha terus berkembang;
4. Kepastian pembayaran bagi hasil;
5. Jaminan proyek/usaha;
6. Tingkat return proyek;
7. Tingkat risiko proyek;
8. Prospek proyek yang dibiayai;
9. Sistem informasi akuntansi;
10. Arus kas proyek atau usaha;
11. Klausul atau persyaratan kontrak;
12. Jangka waktu pembiayaan; dan
13. Usia proyek yang dibiayai.
84
Muhammad, Bank Syriah: Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia,
(Yogyajakarta: Penerbit Graha Ilmu,2005) , hlm. 117-131
46
Apabila aspek-aspek tersebut dipertimbangkan dengan baik, maka
pembiayaan Mudharabah akan berjalan dengan optimal dan bila bank dapat
mengidentifikasi ciri-ciri calon nasabah pembiayaan tersebut, maka dana
yang disalurkan kepada Mudharib dapat memiliki return yang baik dan risiko
atas pembiayaan dapat diminimalkan.
Dalam pembiayaan juga dikenal adanya pembatasan dalam pemberian
pembiayaan, yaitu diantaranya:85
1. Bank dilarang memberikan pembiayaan baik dalam Rupiah atau dalam
Valuta Asing (Valas) kepada perorangan atau perusahaan yang berstatus
bukan penduduk (Non-Resident), termasuk bukan penduduk yang
telah menerima surat kuasa. Dasar hukum ketentuan ini ada dalam SEBI
No. SE.8/28/UPK tanggal 27 November 1975 sebagaimana diubah
dengan PBI No. 3/3/PBI/2001.
2. Bank tidak diperkenankan mempertimbangkan permohonan pembiayaan
yang tidak memenuhi kewajiban penyampaian NPWP (Nomor Pokok
Wajib Pajak) dan Laporan Keuangan sebagaimana ditetapkan dalam SK
Direksi BI No. 27/121/KEP/DIR tanggal 25 Januari 1995 tentang
Penyampaian NPWP dan Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit.
3. Bank tidak diperkenankan memberikan pembiayaan untuk pembelian
saham dan modal kerja dalam rangka kegiatan jual-beli saham
sebagaimana yang ditetapkan dalam SK Direksi BI No. 24/32/KEP/DIR
dan SEBI No. 24/1/UKU, masing-masing tanggal 12 Agustus 1991
tentang Pembatasan Pemberian Kredit untuk Pembelian Saham dan
Pemilikan Saham oleh Bank.
4. Bab VII Peraturan Bank Indonesia PBI No. 7/3/2005 tanggal 25 Januari
2005 tentang BMPK.
85
Aad Rusyad, “Aspek Hukum Perkreditan dan Jaminan Kredit (Suatu Tinjauan
Singkat)”, (Makalah disampaikan pada Pelatihan Hukum Perbankan LPLIH – FHUI di Jakarta,
tanggal 20 Juli 2006), hlm. 5-6, seperti dikutip oleh Achmad Andy Rifai, “Analisis atas Ketentuan
Denda dan Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Sindikasi Berdasarkan Prinsip Ijarah dengan
PT Bank Muamalat Tbk. Sebagai Lead Sindikasi”. (Skripsi Program Sarjana Reguler Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2008), hlm. 64 -65.
47
5. Pembatasan pemberian pembiayaan oleh bank untuk pengadaan dan
pengolahan tanah sebagaimana ditetapkan dalam SK Direksi BI
No. 30/46/KEP/DIR dan SEBI No. 30/2/UKU masing-masing tanggal 7
Juli 1997 tentang Pembatasan Pemberian Kredit untuk Pembiayaan
Pengadaan dan atau Pengolahan Tanah.
6. Larangan bagi bank untuk menerima pelunasan pembiayaan dengan
Commercial Paper (CP) menurut SK Direksi BI No. 28/52/KEP/DIR
tanggal 11 Agustus 1995.
7. Larangan untuk memberikan pembiayaan yang bertentangan dengan
undang-undang. Hal ini sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata dimana
suatu perjanjian harus memenuhi syarat kausa yang halal, yaitu tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban dan kesusilaan.
Terkait dengan Pasal 1320 KUHPerdata, suatu kontrak atau
perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat,
kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dengan dipenuhinya
empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi
sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.86
Rukun dan Syarat Mudharabah Muqayyadah Akad Mudharabah
Muqayyadah memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi secara
keseluruhan untuk dapat dikatakan sah. Syarat akad Mudharabah terdiri
dari:87
1. Pihak yang berakad
Yaitu Pemodal (shahibul maal) dan Pengelola (Mudharib)
a. Shahibul Maal dan Mudharib harus cakap dalam melakukan transaksi
dan sah secara hukum. Shahibul Maal dan Mudharib adalah sebagai
pelaku atas terjadinya akad (perikatan), yang dari sudut hukum
disebut juga sebagai subjek hukum yang diartikan sebagai pihak yang
mengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum terdiri dari dua
86
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004),
hlm 1. 87
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Tazklia Institute, 1999), hlm. 174.
48
macam, yaitu manusia (pribadi kodrati) dan badan hukum. Adapun
menurut hukum Islam, manusia yang telah cakap sebagai subjek
hukum adalah apabila dia telah MUKALLAF. Yang kedua adalah
badan hukum, namun dalam Islam mengenai hal ini tidak diatur
khusus tapi terlihat dalam beberapa dalil yang menunjukkan bahwa
adanya badan hukum dengan menggunakan istilah Syirkah.88
b. Baik Shahibul Maal maupun Mudharib harus mampu bertindak
sebagai wakil dan kafil dari masing-masing pihak.
c. Ada tiga kategori tindakan bagi Mudharib, yaitu:
1) Tindakan yang berhak dilakukan Mudharib berdasarkan kontrak,
yaitu menyangkut seluruh pekerjaan utama dan sekunder yang
diperlukan dalam pengelolaan usaha berdasarkan kontrak.
2) Tindakan yang berhak dilakukan Mudharib berdasarkan kekuasaan
perwakilan secara umum, yaitu tindakan yang tidak ada
hubungannya dengan aktivitas utama tapi membantu melancarkan
jalannya usaha.
3) Tindakan yang tidak berhak dilakukan Mudharib tanpa izin yang
jelas dari Shahibul Maal, misalnya meminjam atau menggunakan
dana Mudharabah untuk kepentingan pribadi.
d. Tindakan yang dilakukan Shahibul Maal dalam Mudharabah antara
lain adalah tindakan yang berhubungan dengan pengambilan
kebijakan tekhnis operasional, seperti menjual dan membeli.
Penyertaan modal meliputi:
a. Modal
1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya
2) Modal harus tunai. Beberapa ulama membolehkan modal
Mudharabah berupa aset perdagangan, misalnya inventaris. Pada
waktu akad, nilai aset tersebut beserta biaya yang telah terkandung
88
Kata “mukallaf” berasal dari bahasa arab yang berarti yang dibebani hukum, yang
dalam hal ini adalah orang-orang yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di
hadapan Allah SWT. Baik yang terkait dengan perintah maupun larangan-Nya.
49
di dalamnya (historical cost) harus dianggap sebagai modal
Mudharabah. Mazhab Hambali membolehkan penyediaan aset-aset
non moneter seperti pesawat, kapal, dan lain-lain untuk modal
Mudharabah. Mudharib memanfaatkan aset-aset ini dalam usaha
dan berbagi hasil dari usahanya dengan Shahibul Maal dan pada
akhir masa kontrak Mudharib harus mengembalikan aset-aset
tersebut. Modal juga tidak diperkenankan berbentuk hutang
maupun piutang, tetapi diperbolehkan berbentuk Wadiah89
, yaitu
titipan dari Shahibul Maal kepada Mudharib.
b. Syarat Usaha
Syarat diperlukan terutama berkaitan dengan bidang usaha
yang akan dikelola oleh Mudharib harus disetujui oleh pihak shahibul
maal. Jika pembiayaan tersebut melalui bank syariah, maka harus
disetujui oleh bank syariah. Bidang usaha yang akan dikelola oleh
Mudharib diharuskan tidak boleh bertentangan dengan hukum syariah
maupun hukum positif Indonesia.
c. Nisbah Keuntungan
1) Nisbah keuntungan harus dibagi untuk kedua belah pihak. Salah
satu pihak tidak diperkenankan untuik mengambil seluruh
keuntungan tanpa membagi kepada pihak yang lain.
2) Proporsi keuntungan masing-masing pihak harus diketahui pada
waktu membuat akad. Proporsi keuntungan masing-masing pihak
harus diketahui dan disepakati pada waktu membuat akad. Proporsi
tersebut harus dari keuntugan, misalnya 60% (enam puluh persen)
dari keuntungan untuk shahibul maal dan 40% (empat puluh
persen) dari keuntungan untuk Mudharib. Jika bagian keuntungan
masing-masing pihak tidak disebutkan dengan jelas dalam akad,
maka dapat menyebabkan akad Mudharabah rusak atau disebut
89
Wadiah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang
atau uang (muwaddi) dengan pihak yang diberi kepercayaan (mustawda) dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uanng. (Lihat juga Widyaningsih,ed.
Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana,2005), hlm. 127.
50
juga fasid, sehingga perjanjian Mudharabah tidak sah. Selain itu,
jika Shahibul Maal mensyaratkan bahwa kerugian harus
ditanggung secara bersama, maka akad ini pun rusak karena tidak
sesuai dengan konsep Mudharabah. Pembagian keuntungan
dilakukan setelah pengelola (Mudharib) mengembalikan seluruh
maupun sebagian keuntungan dari usaha yang dikelola tersebut.
3) Bila jangka waktu pembiayaan Mudharabah relatif lama atau lebih
dari tiga tahun, maka nisbah keuntungan dapat disepakati untuk
ditinjau dari waktu ke waktu.
4) Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja
yang ditanggung Shahibul Maal dan biaya-biaya apa saja yang
ditanggung oleh Mudharib. Kesepakatan ini harus dibuat karena
akan mempengaruhi pendidikan.
5) Untuk pengakuan keuntungan harus ditentukan suatu waktu untuk
menilai keuntungan yang dicapai dalam suatu Mudharabah.
Keuntungan dapat dibayarkan pada waktu dibagikan. Menurut
Mazhab Syafi‟I, keuntungan harus diakui seandainya keuntungan
usaha sudah diperoleh (Walaupun Belum Dibagikan). Sedangkan
Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab Hambali menyebut bahwa
keuntungan hanya dapat diakui ketika dibagikan secara tunai
kepada kedua belah pihak. Pembagian keuntungan umumnya
dengan mengembalikan lebih dahulu modal yang ditanamkan oleh
shahibul maal, namun kebanyakan ulama menyetujui bila kedua
belah pihak sepakat membagi keuntungan tanpa mengembalikan
modal. Hal ini berlaku sepanjang kerjasama masih berlangsung.
51
Rukun Akad Mudharabah
Rukun akad Mudharabah meliputi beberapa hal, antara lain:90
1. Para Pihak
Pihak yang berakad di sini menjadi pokok dari akad
Mudharabah terdiri dari pihak pemilik modal (shahibul maal) dan pihak
pengelola usaha (Mudharib). Para pihak diutamakan harus jujur dan
memiliki itikad baik.
2. Modal
Penyerahan modal mutlak diperlukan. Tanpa adanya penyerahan
modal dari pihak pemilik modal (shahibul maal) kepada pengelola
usaha (Mudharib) berdasarkan kepercayaan (Trust Financing) akan
menyebabkan tidak sahnya akad Mudharabah, karena sama sekali tidak
terjadi inti dari suatu transaksi Mudharabah.
3. Keuntungan (hasil)
Sesuai dengan kegiatan usaha Mudharabah yang dilakukan,
tentunya ada suatu keuntungan (hasil) yang akan diperoleh dan ini harus
dijelaskan pada akad Mudharabah dalam bentuk prosentase bagi hasil
masing-masing yang harus disetujui para pihak. Namun demikian, jika
tidak diperoleh keuntungan atau mengalami kerugian dalam usaha maka
yang menanggung kerugian modal adalah shahibul maal, sedangkan
Mudharib menanggung kerugian berupa waktu dan tenaga. Terhadap
hal ini ada pengecualian jika Mudharib melakukan kelalaian disengaja,
kecurangan ataupun beritikad buruk, maka kerugian yang terjadi harus
ditanggung oleh Mudharib.
4. Kerja
Fasilitas pembiayaan bagi hasil Mudharabah berkaitan dengan
aktivitas kerja atau usaha yang diperbolehkan hukum syariah Islam dan
hukum positif Indonesia. Mudharib memiliki keterampilan dan keahlian
untuk bekerja mengelola usaha, sedangkan Shahibul Maal memiliki
90
Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Tazklia Institute, 1999), hlm. 75.
52
kemampuan finansial yang baik sebagai penyedia dana. Fasilitas
pembiayaan bagi hasil Mudharabah menjembatani kemungkinan
kerjasama yang menguntungkan antara kedua belah pihak.91
5. Akad
Akad dalam Islam pada umumnya harus terdapat sighat yang
terdiri dari ijab dan kabul. Demikian pula dalam akad Mudharabah. Ijab
adalah pernyataan diserahkannya modal dari pemilik modal kepada
pengelola usaha, sedangkan kabul yaitu pernyataan menyetujui dan
menerima modal tersebut dari pengelola usaha. Pernyataan tersebut
dituangkan dalam bentuk akad Mudharabah tertulis (kontrak), sesuai
dengan QS Al-Baqarah ayat 282-283.
a. Sighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-
syarat yang diajukan dalam penawaran, atau salah satu pihak
meninggalkan tempat berlangsungnya negosiasi kontrak tersebut,
sebelum kesepakatan disempurnakan.
b. Menurut para ulama, kontrak boleh dilakukan secara lisan atau
secara tertulis dan ditandatangani atau juga melalui korespondensi
dan cara-cara komunikasi modern, seperti faksimili atau email.
Batasan-batasan Menurut Fiqh
Untuk mengatur kontribusi Mudharib, para ulama membuat
ketentuan sebagai berikut:
1. Pengelolaan usaha adalah hak ekslusif Mudharib. Shahibul Maal tidak
boleh ikut campur operasional tekhnis usaha yang dikelolanya. Namun
mazhab Hambali mengizinkan partisipasi penyedia dana dalam
pekerjaan itu.
2. Shahibul Maal tidak boleh membatasi tindakan Mudharib sedemikian
rupa yang dapat mengganggu upaya mencapai tujuan Mudharabah,
yaitu keuntungan.
91
Cut Meutia Hanoun, Telaah Terhadap Akad (Kontrak) Al-Mudharabah Muqayyadah
dan Pelaksanaanya pada Bank Syariah.(Skripsi Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Depok, 2001), hlm. 76.
53
3. Mudharib tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam
tindakannya yang berhubungan dengan Mudharabah dan harus
mematuhi kebiasaan yang berlaku pada aktifitas tersebut.
4. Mudharib harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Shahibul
Maal jika syarat-syarat itu tidak bertolak belakang dengan isi
akad Mudharabah.
Pembatalan Akad Mudharabah Muqayyadah dalam perspektif
Hukum Islam, apabila suatu akad atau perjanjian telah memenuhi rukun dan
syaratnya, maka akad tersebut mengikat dan wajib dipenuhi sebagai hukum.
Dengan kata lain, bahwa dengan lahirnya akad atau perjanjian menimbulkan
akibat hukum yang wajib dilaksanakan oleh para pihak yang
menyepakatinya. Secara umum, yang menjadi syarat sahnya suatu akad atau
perjanjian adalah:92
1. Tidak menyalahi hukum syariah yang telah disepakati adanya.
Maksudnya adalah bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu
bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan
yang melawan hukum syariah, sebab perjanjian yang bertentangan
dengan ketentuan hukum syariah adalah tidak sah dan dengan
sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk
menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan kata lain
apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum
syariah, maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi
hukum.
2. Harus sama ridha dan ada pilihan
Yaitu perjanjian yang diadakan oleh para pihak haruslah
didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing
pihak rela/ridha akan isi perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain,
harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini,
berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang
92
Chairuman Pasaribu dan Suhrawadi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika,2004), hlm.2-3.
54
lain, dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak mempunyai
kekuatan hukum apabila tidak didasarkan kepada kehendak bebas
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
3. Harus jelas dan gamblang.
Yaitu apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang
tentang apa yang menjadi isi perjanjian, sehingga tidak
mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman di antara para pihak
tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.
Dengan demikian, pada saat pelaksanaan atau penerapan perjanjian,
masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian atau yang
mengikatkan diri dalam perjanjian haruslah mempunyai interpretasi
yang sama tentang apa yang telah mereka perjanjikan, baik
terhadap isi maupun akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian itu.
Suatu akad dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya.
Selain telah tercapai tujuannya, akad atau perjanjian dianggap berakhir
apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya. Fasakh
terjadi karena sebab- sebab sebagai berikut:93
1. Di-fasakh (dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan
syara‟ seperti yang disebutkan dalam akad rusak.
2. Adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majelis.
3. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lainnya membatalkan karena
merasa menyesal atas akad yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan
cara ini disebut iqalah.
4. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Karena habis waktunya.
6. Karena tidak mendapat izin yang berwenang.
7. Karena kematian.
93
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syriah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 92.
55
Gambar 2.2 Skema Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah94
Keterangan:
1. Dalam proses penghimpunan dana dari nasabah, kedudukan bank dalam
akad Mudharabah adalah sebagai Mudharib dan nasabah investor sebagai
shahibul maal;
2. Dalam proses penyaluran dana, kedudukan bank adalah sebagai
3. Shahibul Maal dan nasabah pembiayaan sebagai Mudharib;
4. Bank juga berkedudukan sebagai agen dalam akad Mudharabah
Muqayyadah, bank bertindak sebagai fasilitator atau pihak yang
mempertemukan antara Shahibul Maal dan Mudharib.
94
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan. Jakarta:PT RajaGrafindo
Persada,2004), hal.199
PENYALURAN DANA PENGHIMPUNAN DANA
Bagi Hasil
BANK SYARIAH
Intermediasi keuangan Bank sebagai agen
Bagi Hasil
Mudharib
Pelasana Usha
Shahibul Mall
Pemilik Dana
56
C. Tinjauan Umum tentang akad Mudharabah Muqayyadah dalam
pembiayaan Bank Syariah
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti memukul atau
berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih mengacu kepada
proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.95
Mudharabah juga bisa diterjemahkan menjadi Adhdharbu Fil Ardhi, yaitu
yang berarti berpergian untuk urusan dagang. Disebut juga qiradh yang
berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-qathu yang berarti potongan,
karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
memperoleh sebagian keuntungan.96
Secara teknis, Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua
pihak dimana pihak pertama (Shahibul Maal) menyediakan seluruh modal
sedangkan pihak yang lainnya menjadi pengelola. Mudharabah merupakan
salah satu bentuk kerjasama usaha dalam Islam antara orang yang memiliki
modal (dana) dan orang yang terampil dalam mengelola usaha. Keuntungan
usaha secara Mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan
dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu
disebabkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus
bertanggung jawab atas kerugian tersebut.97
Pembagian hasil usaha atas kesepakatan yang disetujui oleh para
pihak berdasarkan prinsip syariah. Apabila terjadi kerugian dalam
pengelolaan usaha tersebut, kerugian itu ditanggung sepenuhnya oleh pemilik
modal sepanjang kerugian tersebut tidak disebabkan kelalaian yang disengaja,
kecurangan maupun itikad buruk pengelola usaha. Jika kerugian terjadi
95
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, ( Jakarta: Gema
Insani Press,2001), hlm. 174 96
Edillus dan Sudarsono, Kamus Ekonomi, Uang dan Bank, (Jakarta:Rhineka Cipta,
1994), hlm. 76. 97
Edillus dan Sudarsono, Kamus Ekonomi, Uang dan Bank, (Jakarta:Rhineka Cipta,
1994), hlm 76.
57
karena hal-hal tersebut, maka kerugian menjadi tanggung jawab pengelola.
Hal ini diatur dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional:98
“Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari Mudharabah,
dan pengelola tidak boleh menganggung kerugian apapun kecuali diakibatkan
dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.” Sebagai
orang kepercayaan, Mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung
jawab untuk kerugian yang terjadi akibat kelalaiannya. Sedangkan sebagai
wakil dari Shahibul Maal, dia diharapkan untuk mengelola modal dengan
cara tertentu untuk menciptakan laba yang optimal. Mudharabah dalam
literatur fiqh berbentuk perjanjian kepercayaan (Uqud Al-Amanah) yang
menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karena
masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama
dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan
ketidakadilan pembagian pendapatan yang dapat merusak nilai-nilai dalam
ajaran Islam.
Modal yang diberikan oleh pemilik modal (Shahibul Maal) pada
pengelola usaha (Mudharib) pada dasarnya harus berbentuk uang tunai dan
penyerahan modal tersebut harus berdasarkan prinsip kepercayaan (trust
financing). Unsur kepercayaan sangat penting dalam kerjasama usaha
Mudharabah. Tanpa adanya kepercayaan dari Shahibul Maal untuk
menyerahkan modalnya pada Mudharib, maka sudah pasti tidak mungkin
terjadi kerjasama usaha Mudharabah antara kedua belah pihak. Seluruh isi
akad kerjasama Mudharabah harus dituangkan dalam bentuk tertulis yang
harus dipatuhi para pihak. Hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2)
huruf a UU No. 10 Tahun 1998 bahwa pembiayaan syariah harus dibuat
tertulis.
Beberapa landasan dasar syariah mengenai Mudharabah
mencerminkan anjuran untuk berusaha. Di antaranya adalah sebagai berikut:99
98
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh), bag. Kedua, angka 4 huruf c. 99
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema
Insani Press,2001), hlm. 95
58
1. Al-Quran
a. Q.S. Al-Muzzammil: 20, “…dan dari orang-orang yang berjalan di
muka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…”
b. Q.S. Al-Jumu‟ah: 10, “Apabila telah ditunaikan shalat
maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah
SWT…”
c. Q.S. Al-Baqarah: 198, “Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk
mencari karunia Tuhanmu…”
2. Al-Hadits
a. HR Thabrani
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abbas bin
Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara
Mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa
mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli
ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan
bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat
tersebut kepada Rasulullah SAW dan Rasulullah pun
membolehkannya.
b. HR Ibnu Majah no. 2280, Kitab At-Tijarah
Dari Shalil bin Shuhaib r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara
tangguh, muqaradhah (Mudharabah) dan mencampurkan gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.”
c. Ijma‟
Imam Zailai menyatakan bahwa para sahabat telah
berkonsensus terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara
Mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadits
yang dikutip Abu Ubaid.
Sedangkan dalam landasan hukum positif, pengaturan
mengenai akad Mudharabah terdapat dalam UU No. 10 Tahun 1998,
yakni pada ketentuan Pasal 1 butir 13 yang mendefinisikan mengenai
59
Prinsip Syariah, dimana Mudharabah merupakan salah satu akad yang
digunakan dalam produk pembiayaan perbankan syariah.
Selengkapnya bunyi Pasal 1 butir 13 UU No. 10 Tahun 1998:
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum
Islam antara bank atau pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau
pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (Mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan
modal (Musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh
keuntungan (Murabahah), atau pembiayaan berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan
kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain
(Ijarah Wa Iqtina).
Pembiayaan Mudharabah juga diatur dalam Pasal 36 huruf b poin
kedua Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank
Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
yang intinya menyatakan bahwa bank wajib melaksanakan prinsip syariah
dan prinsip kehati- hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi
penyaluran dana melalui prinsip bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah.
Dalam Fatwa DSN Nomor 02/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 1 April 2000
tentang Tabungan dinyatakan bahwa dalam rangka mengembangkan dan
meningkatkan dana Lembaga Keuangan Syariah (LKS), pihak LKS dapat
menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara Mudharabah, yaitu akad
kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (yaitu
Shahibul Maal atau LKS) menyediakan seluruh modal. Sedangkan pihak
kedua (Mudharib atau nasabah) bertindak selaku pengelola. Keuntungan
usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak.
Pelaksanaaan kontrak Mudharabah atau penyaluran dana dengan
menggunakan akad Mudharabah di bank syariah juga diatur dalam fatwa
60
Dewan Syariah Nasional (DSN) Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Di dalam fatwa tersebut, dijelaskan
bahwa penyaluran dana Mudharabah adalah penyaluran dana yang disalurkan
oleh Bank Syariah kepada pihak lain untuk suatu usaha produktif. Dalam
penyaluran dana tersebut, bank syariah bertindak sebagai pemilik modal atau
Shahibul Maal yang membiayai seluruhnya (100%) kebutuhan suatu proyek
atau usaha. Sedangkan pengusaha atau nasabah yang bertindak sebagai
pengelola usaha atau Mudharib.
Konsep Mudharabah diterapkan pada produk perbankan syariah baik
dalam menghimpun dana masyarakat dalam bentuk investasi, maupun dalam
menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Mudharabah
sebagai investasi mempunyai tujuan kerja sama antara pemilik dana (Shahibul
Maal) dan pengelola dana (Mudharib). Pemilik dana yaitu nasabah deposan
di Bank Syariah Mandiri yang memiliki peran sebagai investor murni yang
menanggung aspek Sharing Risk and Return dari bank. Sedangkan yang
berperan sebagai pengelola dana atau Mudharib adalah bank syariah. Dengan
demikian, deposan bukanlah Lender atau kreditor bagi bank seperti halnya
pada bank konvensional.100
Yang membedakan Mudharabah yang digunakan dalam produk
investasi dengan Mudharabah yang digunakan dalam produk pembiayaan
adalah pada Mudharabah investasi nasabah bertindak sebagai penyandang
dana atau Shahibul Maal dan bank sebagai Mudharib. Sedangkan dalam
produk Mudharabah pembiayaan, bank bertindak sebagai Shahibul Maal dan
pengelola usaha bertindak sebagai Mudharib. Fasilitas ini dapat diberikan
untuk jangka waktu tertentu, sedangkan bagi hasil dibagi secara periodik
dengan nisbah yang disepakati di awal akad. Setelah jatuh tempo, nasabah
mengembalikan jumlah dana tersebut beserta porsi bagi hasil yang menjadi
bagian bank.101
100
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syriah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 83. 101
Gemala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syriah di
Indonesia, hlm. 85.
61
Dari segi transaksi yang dilakukan oleh Shahibul Maal dengan
Mudharib, fasilitas pembiayaan Mudharabah terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Mudharabah Mutlaqah (General Investment)
Dalam Mudharabah mutlaqah, Shahibul Maal tidak memberikan
batasan- batasan atas dana yang diinvestasikannya. Dengan begitu
Mudharib diberi kewenangan penuh mengelola dana tanpa terikat waktu,
tempat, jenis usaha, dan jenis pelayanannya. Dalam pembahasan fiqih
ulama salaf ash shalih, seringkali dicontohkan dengan ungkapan if
al ma syi‟ta (lakukanlah sesukamu) dan Shahibul Maal ke Mudharib
yang memberikan kekuasaan yang sangat besar. Walaupun demikian,
bidang usaha yang dikelola tetap tidak boleh bertentangan dengan hukum
syariah Islam dan hukum positif nasional Indonesia.
2. Mudharabah Muqayyadah (Special Investment)
Dalam Mudharabah jenis ini, Shahibul Maal memberikan batasan
atas dana yang diinvestasikannya. Mudharib hanya bisa mengelola dana
tersebut dengan mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan oleh shahibul
maal, yaitu sesuai dengan batasan jenis usaha, tempat dan waktu tertentu
saja. Syarat-syarat yang diberikan oleh Shahibul Maal juga tidak boleh
bertentangan dengan landasan hukum syariah dan hukum nasional
Indonesia.
Di dalam fatwa DSN No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh) hanya diatur mengenai Mudharabah secara umum, atau
juga disebut Mudharabah mutlaqah dimana bank sebagai shahibul maal.
Sedangkan pengaturan dalam bentuk fatwa DSN yang mengatur mengenai
Mudharabah Muqayyadah secara khusus belum ada. Dalam pelaksanaannya,
Mudharabah Muqayyadah secara garis besar merujuk pada fatwa DSN
tersebut.
Perbedaan yang mutlak di antara keduanya terletak pada ada dan tidak
adanya pembatasan dalam mengelola usaha yang mengakibatkan ada atau
tidak adanya persyaratan yang ditentukan oleh Shahibul Maal pada
62
Mudharib. Jadi, pada Mudharabah Muqayyadah terdapat syarat dan
ketentuan yang harus dipenuhi Mudharib karena itu bersifat terbatas.
sedangkan pada Mudharabah Mutlaqah, Shahibul Maal tidak menetapkan
syarat dan ketentuan pada Mudharib karena itulah bersifat mutlak (tidak
terbatas).
Akad Mudharabah Mutlaqah diterapkan pada bank syariah dalam
bentuk hubungan antara pihak bank syariah dengan nasabah penyimpan dana
tabungan maupun deposito Mudharabah. Di sini bank syariah memiliki
kebebasan untuk mengelola dana penghimpunan dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Sedangkan akad Mudharabah
Muqayyadah diterapkan dalam bentuk hubungan antara bank syariah dengan
nasabah debitur (Mudharib), tepatnya pada mekanisme pembiayaan al-
Mudharabah Muqayyadah. Bank syariah menetapkan syarat-syarat yang
harus dipenuhi nasabah debitur (Mudharib) dalam menjalankan kegiatan
usahanya, tetapi syarat tersebut tidak membatasi Mudharib untuk memperoleh
keuntungan. Bank syariah juga tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan
usaha oleh pihak Mudharib.
D. Pandangan Ulama Fiqih Tentang Akad Mudharabah Muqayyadah
Al-mudharabah al-muqayyadah(restriced mudharabah) Disebut al-
mudharabah al-muqayyadah atau mudharabah yang terbatas apabila Rabb-ul
mal menentukan bahwa mudarib hanya boleh berbisnis dalam bidang tertentu.
Berarti mudarib hanya boleh menginvestasikan uang rabb-ul mal pada bisnis
di bidang tersebut dan tidak boleh pada bisnis di bidang yang lain.
Maksudnya yaitu si mudharib dibatasi dengan batasan batasan jenis usaha,
waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan
kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis usaha.102
Menurut Atang abd. Hakim mudharabah terbagi menjadi dua:
pertama, mudharabah muthlaqat (investasi tidak terikat), yaitu mudharabah
102
Sutan remy sjahdeini,Perbankan syariah: produk-produk dan aspek-aspek hukumnya,
(Jakarta:Kencana 2014), hlm. 206.
63
yang jangkauannya luas. Transaksi ini tidak dibatasai oleh spesifikasi jenis
usaha, waktu dan wilayah bisnis. Disini shahib al-mal memberikan
keleluasaan kepada mudharib untuk melakukan usaha sesuai dengan
kehendaknya tetapi sesuai dengan prinsip syari‟ah, dengan modal yang
diberikan kepadanya. Pada usaha perbankan syari‟ah, mudharabah bentuk ini
diaplikasikan pada tabungan dan deposito. Kedua,mudharabah muqayyadat,
yaitu kebalikan dari jenis mudharabat yang pertama. Dalam mudharabah jenis
ini, mudharib terikat oleh persyaratan yang diberikan oleh shahib al-mal
didalam meniagakan modal yang dipercayakan kepadanya. Persyaratan bisa
berupa jenis usaha, tenggang waktu melakukan usaha, dan atau wilayah
niaga.103
Sedangkan dalam buku Fiqh ekonomi syariah: fiqh muamalah DR.
Mardani menjelaskan mudharabah terbagi menjadi dua jenis,yaitu:
1. Mudharabah muthlaqah yaitu bentuk kerja sama antara shahib al-mal dan
mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi
jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqh ulama
Salafus Saleh sering kali dicontohkan dengan ungkapan if‟al maa syi‟ta
(lakukan sesukamu) dari shahib al-mal yang memberi kekuasaan yang
sangat besar.
2. Mudharabah Muqayyadah disebut juga dengan istilah restricted
mudharabah|specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau
tempat usaha. Adanya batasan ini seringkali mencerminkan
kecenderungan umum si shahib al-mal dalam memasuki jenis dunia
usaha.104
103
Atang abd.hakim,fiqih Perbankan Syariah transormasi fiqih muamalah kedalam
peraturan perundang-undangan,(bandung:PT.Refika Aditama,2011), hlm. 215.
104 Mardani,fiqh ekonomi syariah fiqh muamalah,(jakarta:Kencana Frenada
Media Group,2012 ), hlm. 199-200.
64
Menurut ulama syafi‟iyah, rukun-rukun qiradh ada enam, yaitu:
a. Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya;
b. Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik
barang;
c. Aqad mudharabah, dilakukan pemilik dengan pengelola barang;
d. Mal, yaitu harta pokok atau modal;
e. Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba;
f. Keuntungan.105
Menurut sayyid sabiq, rukun mudharabah berhubungan dengan rukun-
rukun mudharabah itu sendiri, syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai
berikut:
a. Modal atau barang yang diserahkan itu berbentuk uang tunai. Apabila
b. barang itu berbentuk emas atau perak batangan (tabar), emas hiasan atau
barang dagangan lainnya, mudharabah tersebut batal.
c. Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan
tasharruf, maka dibatalkan akad anak-anak yang masih kecil, orang gila,
dan orang-orang yang berada dalam pengampuan.
d. Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal
yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagngan
tersebut yang akan dibagikan kepada kedua belah pihak sesuia dengan
perjanjian yang telah disepakati.
e. Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus
jelas persentasenya, umpamanya setengah, sepertiga, seperempat.
f. Melafazkan ijab dari pemilik modal, misalnya aku serahkan uang ini
kepadamu untuk dagang jika ada keuntungan akan dibagi dua dan kabul
dari pengelola.
g. Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola
harta untuk berdagang di negara tertentu, pada waktu-waktu tertentu,
sementara diwaktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering
105
Hendi suhendi,Fiqh Muamalah,(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,2010), hlm. 139.
65
menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan.106
Menurut
pendapat al-Syafi‟i dan Malik Bila dalam mudharabah ada persyaratan-
persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid), sedangkan
menurut Abu Hanifah dan Ahmad Ibn Hanbal, Mudharabah tersebut
sah.107
Menurut Ibrah im al-Nakha‟i dan Hasan al-Basriberpendapat bahwa
pengelola modal berhak atas nafkah atau biaya hidup, baik saat bepergian,
menjalankan usaha maupun saat dirumah.108
Al-„Allaamah Ibnu Qayyim berkata, “mudharib (pihak pekerja) adalah
orang yang dipercaya, orang yang diupah, wakil dan mitra kongsi bagi
pemilik modal. Ia sebagai orang yang dipercaya ketika memegang harta
pemiliknya; ia sebagai wakil ketika ia mengembangkan harta tersebut; ia
sebagai orang yang diupah dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk
mengembangkan harta tersebut; dan ia sebagai mitra kongsi ketika ada laba
dari harta yang dikembangkan tersebut. Dan, untuk sahnya mudharabah ini
disyaratkan agar bagia pekerja ditentukan, karena ia berhak menerima bagian
dari laba berdasarkan kesepakatan.109
Ibnu Mundzir berkata,”para ulama sepakat bahwa pekerja harus
mensyaratkan kepada pemilik modal bahwa ia mendapatkan sepertiga atau
setengah dari laba, atau berdasarkan kesepakatan keduanya setelah laba
tersebut diketahui bagian-bagiannya. Seandainya ditetapkan untuk semua
laba, sejumlah dirham yang telah diketahui sebelumnya atau bagian yang
tidak diketahui, maka kongsi ini tidak sah.110
Para imam mahzab sepakat diperbolehkannya mudharabah atau qiradh
menurut bahasa orang Madinah, yaitu seorang menyerahkan modal kepada
106
Hendi suhendi,Fiqh Muamalah,(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,2010), hlm. 139.
107
Imam mustofa sebagaimana dikutip dari wahbah al-zuhaili, al-fiqih al-islami wa
adillatuh, (Beirut:Dar al-fikr,2004), hlm. 159.
108
Imam mustofa sebagaimana dikutip dari wahbah al-zuhaili,al-fiqih al-islami wa
adillatuh,(Beirut:Dar al-fikr,2004), hlm. 59
109
Imam mustofa sebagaimana dikutip dari wahbah al-zuhaili,al-fiqih al-islami wa
adillatuh,(Beirut:Dar al-fikr,2004), hlm. 159
110
Saleh Al-fauzan,Fiqh sehari-hari,(Jakarta:Gema Insani,2005), hlm. 256
66
orang lain untuk diperdagangkan dan keuntungannya dibagi bersama. Apabila
seseorang memberikan barang kepada orang lain, seraya mengatakan
kepadanya: juallah barang ini, dan harganya(uangnya) jadikan qiradh, maka
qiradh-nya rusak (tidak sah). Demikian menurut Maliki, Syafi‟i, dan Hambali.
Hanafi:Qiradh-nya adalah sah. Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan
para ulama tentang ber-qiradh dengan mata uang. Para Imam Mahzab tidak
mengesahkannya, sedangkan Ashab dan Abu Yusuf membolehkannya, kalau
mata uang tersebut masih berlaku.
Menurut pendapat umumnya para ulama, apabila pelaksana pekerjaan
telah mengambil harta qiradh dengan persaksian, tidak terlepas ia
daripadanya ketika terjadi pertengkaran, kecuali dengan persaksian. Para
ulama Irak: diterima pengakuan pekerjaan tersebut dengan sumpah.111
Apabila modal telah diserahkan kepada pelaksana pekerjaan (amil),
lalu dibelikan barang, kemudian modalnya habis sebelum diserahkan kepada
penjual, ia tidak dapat kembali meminta modal untuk membayar barang
tersebut kepada pemberi modal. Dan barang menjadi milik pelaksana kerja,
dan ia wajib membayarnya sendiri. Demikian menurut pendapat Maliki,
syafi‟i dan hambali. Hanafi : ia meminta kembali kepada pemilik modal.
Qiradh tidak boleh ditentukan batas waktunya, yang tidak menjadi batal
sebelum datangnya, atau sudah sampai temponya. Kemudian, diakhiri hak
menjual dan membeli. Demikian menurut pendapat Maliki, Syafi‟i, dan
Hambali. Hanafi: dibolehkan yang demikian itu.
Apabila pemilik modal memberikan syarat kepada pelaksana kerja,
yaitu jangan membeli sesuatu kecuali dari si fulan, qiradh-nya. Menjadi batal
(tidak sah). Demikian menurut pendapat Maliki dan Syafi‟i. Hanafi dan
Hambali: sah qiradh-nya.
Apabila qiradh tidak sah, lalu pemilik modal bekerja, dan mendapat
keuntungan (laba), pelaksana berhak upah sebanding dengan pekerjaannya,
sedangkan laba hak dari pemilik modal (investor), dan kerugian menjadi
tanggung jawabnya. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Syafi‟i.
111
Abdullah Zaki Alkaf,Fiqih Empat Mahzab,(Bandung:Hasyimi,2012), hlm. 275-277.
67
Maliki mempunyai pendapat yang berbeda, yaitu laba dikembalikan
kepada qiradh, baik terjadi keuntungan maupun kerugian. Al-Qadhi Abdul
Wahab: dikembalikan kepada qiradh bila terjadi kerugian. Pendapat Maliki
lainnya: Pelaksana diberi upah, sebagaimana pendapat Mazhab Hanafi dan
Syafi‟i.
Apabila pelaksana kerja bepergian untuk kepentingan perdagangan
yang memerlukan biaya, belanjanya (keperluannya) diambilkan dari harta
qiradh tersebut. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Maliki. Hambali:
ditanggung sendiri, bahkan ongkos kendaraan.
Syafi‟i mempunyai dua pendapat, dan pendapatnya yang paling jelas
adalah belanjanya dari miliknya sendiri. Barang siapa yang membuat qiradh
dengan dasar semua keuntungan diperuntukkan baginya (investor) dan ia
tidak dikenakan kerugian, hal ini diperbolehkan. Demikian menurut pendapat
Maliki.112
Para ulama Irak: Modal menjadi utang baginya. Syafi‟i: pelaksana
mendapat upah yang bisa diterima orang lain, dan keuntungan menjadi milik
investor. Pelaksana qiradh mendapat untung dengan jalan pembagian, bukan
karena semata-mata memperoleh laba. Demikian menurut pendapat Syafi‟i
yang paling sahih dan Maliki. Hanafi: ia mendapat laba dengan semata-mata
mendapat keuntungan. Seperti ini juga pendapat Syafi‟i lainnya.
Para imam mahzab pun berbeda pendapat, apabila pemilik modal
membeli sesuatu dengan modal qiradh, yang menurut pendapat Maliki dan
Abu yusuf sah , menurut pendapat syafi‟i tidak sah. Seperti ini juga salah satu
pendapat Hambali yang paling kuat.
Jika pelaksana menyatakan bahwa pemilik modal mengizinkan dirinya
dalam menjual dan membeli dengan kontan dan tidak kontan, sedangkan
pemilik modal(investor) bawa ia tidak mengizinkan kepadanya menjual atau
membeli kecuali dengan kontan saja, yang diterima adalah perkataan
pelaksana dengan sumpahnya. Demikian menurut pendapat Hanifi, Maliki,
112
Abdullah Zaki Alkaf,Fiqih Empat Mahzab,(Bandung:Hasyimi,2012), hlm. 275-277.
68
dan Hambali. Syafi‟i: yang diterima adalah perkataan investor (pemilik
modal) dengan sumpahnya.
Apabila pelaksana bermudharabah (qiradh) dengan orang lain, lalu ia
menyerahkan modal kepada orang tersebut, kemudian mendapat keuntungan ,
kerja sama tersebut tidak diperbolehkan. Adapun kalau ia telah berbuat
demikian, keuntungannya diberikan kepada qiradh yang pertama. Demikian
menurut pendapat Hambali.
Menurut mayoritas ulama termasuk Abu Hanifah, Imam Malik dan
kalangan Zaidiyah, pengelola modal berhak mendapatkan nafkah (living cost)
saat menjalankan usahanya, termasuk tempat tinggal, makan dan keperluan
lainnya. Hanya saja dia tidak berhak atas nafkah tersebut saat dirumah atau
sedang tidak menjalankan usaha. Biaya nafkah tersebut bisa diambil dari
modal maupun dari keuntungan. Sementara menurut kalangan hambaliyah
pengelola modal diperbolehkan mensyaratkan adanya nafkah atau meminta
nafkah kepada pemilik modal. Persyaratan ini dibuat saat akad.113
Akad mudharabah menjadi batal apabila ada beberapa perkara sebagai
berikut:
1. Tidak terpenuhinya salah satu syarat mudharabah,
2. Pengelola dengan sengaja meninggalkan tugasnya atau bertentangan
dengan tujuan akad sebagai pengelola modal maka harus
bertanggungjawab jika terjadi kerugian karena mudharib menjadi
penyebab kerugian
3. Apabila pelaksana atau pemilik modal meninggal dunia, akad mudharabah
menjadi batal. Perkara tersebut menjadi penyebab akad mudharabah tidak
bisa dilanjutkan walaupun sebelumnya sudah disepakati antara pihak
shahibul mal dengan mudharib.
Prinsip mudārabah sebagai prinsip operasional dalam perbankan
syari‟ah, berdasarkan kajian sebelumnya juga menyimpan permasalahan
hukum, khususnya dalam kaitannya dengan nilai keadilan. Ketidakadilan
113
wahbah al-zuhaili sebagaimana dikutip oleh Imam mustofa, Fiqih Muamalah
kontemporer,(Jakarta:PT.Rajagrafindo Persada,2016), hlm. 159.
69
yang muncul dalam prinsip mudārabah.ini dapat dilihat dari adanya jaminan
yang diperjaminkan oleh pihak bank syari‟ah. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008, tentang Perbankan Syari‟ah, Pasal 1 ayat (2) di atas,
kegiatan bank menghimpun dana dari masyarakat dan meyalurkan kembali
kepada masyarakat apabila dikaitkan dengan prinsip mudārabah, maka dapat
dijelaskan seperti berikut:
1. Nasabah menyimpan atau menabung uangnya di bank syari‟ah,
berdasarkan prinsip mudārabah. Nasabah bertindak sebagai kreditur/șahib
al-māl, sedangkan bank bertindak sebagai debitur/mudārib. Kreditur dan
debitur merupakan mitra kerja yang meletakkan kepecayaan sebagai
landasan hubungan kerja. Atas dasar kepercayaan ini kreditur tidak
meminta jaminan apapun kepada pihak debitur/mu dārib dalam
melakukan akad kerjasama pengembangan uang simpanan atau
tabungannya.
2. Pihak bank sebagai debitur/mudārib, menjalankan uang tabungan atau
simpanan dengan pihak nasabah lain berdasarkan prinsip mudārabah juga.
Di sini, pihak bank bertindak sebagai kreditur/șahīb al-māl dan
nasabah sebagai debitur/mudārib. Pihak bank sebagai kreditur/ șahīb al-māl
dan pihak nasabah sebagai debitur/mudārib merupakan mitra kerja yang
meletakkan kepecayaan sebagai landasan hubungan kerja. Atas dasar
kepercayaan ini semestinya kreditur tidak meminta jaminan apapun kepada
pihak debitur/mudārib dalam melakukan akad kerjasama untuk
pengembangan uang simpanan atau tabungannya, sebagaimana ketika bank
bertindak sebagai debitur/mudārib dalam hal menghimpun dana dari
masyarakat (nasabah kreditur/ șahīb al-māl).
70
BAB III
PENYELESAIAN SENGKETA PERJANJIAN EKONOMI SYARIAH
Dengan semakin luas dan beragamnya perjanjian bisnis berbasis ekonomi
syari‟ah, maka aspek perlindungan dan kepastian hukum dalam penerapan asas
perjanjian dalam akad atau kontrak di setiap Lembaga dan transaksi ekonomi
Syari‟ah menjadi sangat urgent diupayakan implementasinya. Karena pada tataran
pelaksanaan transaksi bisnis ekonomi Syari‟ah tidak menutup kemungkinan
terjadinya penyimpangan-penyimpangan dari kesepakatan yang telah dibuat oleh
kedua belah pihak. Dan bila hal tersebut di atas terjadi, kemana dan siapa yang
berwenang untuk memeriksa dan memutuskannya? Cara-cara penyelesaian
sengketa perjanjian syariah akan dibahas dalam Bab III.
A. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan (Litigasi)
Berdasarkan kajian teori mungkin masih benar pandangan bahwa
dalam negara hukum yang tunduk kepada the rule of law.114
Kedudukan
pengadilan dianggap sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman (judicial
power) yang berperan sebagai katup penekan (pressure valve) atas segala
pelanggaran hukum dan ketertiban masyarakat.115
Oleh karena itu, pengadilan
masih tetap relevan sebagai the last resort atau tempat terakhir mencari
kebenaran dan keadilan.116
Sehingga secara teoritis masih diandalkan sebagai
badan yang berfungsi dan berperan menegakkan kebenaran dan keadilan (to
enforce the truth and justice) termasuk menyelesaikan sengketa. Penyelesaian
sengketa melalui pengadilan disebut penyelesaian secara litigasi yang dimulai
dengan gugatan dan diatur dalam lapangan hukum acara perdata (burgerlijk
procesrecht, civil law of procedure). Dalam rangka penegakkan hukum
perdata materil, fungsi hukum acara perdata sangat menentukan. Hukum
perdata materil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa adanya dukungan
114
Robert N. Corley and Lee Reed, The Legal Environment of Business (New York: Mg
Graw Hill Book Company, 2005) hlm, 267. 115
Daminto Danansuryo, Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pada Lembaga Keuangan
Syariah Melalui Basyarnas, Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, (2016), hlm. 95. 116
Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development,” Journal of International
Law and Policy, Vol. 9. (1999), hlm. 231.
71
hukum acara perdata. Melalui hukum acara perdata ini diharapkan para pihak
yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh
pihak lain melalui pengadilan.117
Setiap lembaga hanya berwenang mengadili sebatas kasus yang
dilimpahkan Undang-Undang kepadanya. Oleh karena itu, masing-masing
lembaga peradilan mempunyai wewenang dalam menangani setiap perkara.
Untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan,
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka. Kekuasaan
kehakiman, selain dilakukan oleh Mahkamah Agung juga dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.118
Guna melihat kekuasaan kehakiman dan
kekuasaan kehakiman pada lembaga peradilan agama menurut Undang-
Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagai berikut:
Gambar 3.1 Kekuasaan Kehakiman
Tugas pokok peradilan, yang menyelenggarakan kekuasaan
kehakiman adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.119
Dalam hal
117
Pengadilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh
sebuah Mahkamah Agung yang membawahi empat lingkungan peradilan yaitu, lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer dan lingkungan
peradilan tata usaha negara. 118
Mahkamah Agung berkompeten mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
kompetensi lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Mahkamah Konstitusi berkompeten
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kompetensi lembaga negara yang
kompetensinya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil
presiden menurut Undang-Undang Dasar. 119
Sudikno Mertokusumo, “Hukum Acara Perdata Indonesia”, Edisi Keenam,
(Yogyakarta: Penerbit Liberty 2002), hlm, 75.
Mahkamah Agung
Peradilan
Umum
Peradilan
Agama
Peradilan TUN Peradilan
Militer
72
mengadili setiap pengadilan mempunyai kewenangan tertentu atau
kompetensi absolut (attributie van rechtsmacht). Sifat kewenangan masing-
masing lingkungan peradilan bersifat absolut. Apa yang telah ditentukan
menjadi kekuasaan (yurisdiksi) suatu lingkungan peradilan, menjadi
kewenangan “mutlak” baginya untuk memeriksa dan memutus perkara.
Kewenangan mutlak ini disebut kompetensi absolut atau yurisdiksi absolut.120
Sebaliknya setiap perkara yang tidak termasuk bidang kewenangannya secara
absolut tidak berwenang pula untuk mengadilinya. Kompetensi absolut antara
masing-masing lingkungan peradilan, diumpamakan sebagai rel yang
menertibkan jalur batas kewenangan (yurisdiksi) mengadili. Perkembangan
masyarakat serta laju kontribusi industri keuangan dan bisnis syari‟ah
berlangsung demikian pesat.121
Dinamika dan kepesatan yang terjadi pada
industri keuangan dan bisnis syari‟ah telah membawa implikasi yang cukup
mendasar terhadap pranata maupun lembaga hukum. Implikasi terhadap
pranata hukum disebabkan sangat tidak memadainya perangkat norma untuk
mendukung kegiatan ekonomi dan bisnis syariah yang sedemikian pesat.
Kondisi tersebut kemudian diupayakan untuk diatasi dengan melakukan
reformasi hukum dibidang kegiatan ekonomi dan bisnis syariah, yaitu dengan
membuat peraturan perundang-undangan baru mengenai bidang-bidang yang
menunjang kegiatan ekonomi dan bisnis syariah.
120
M. Yahya Harahap, “Hukum Acara Perdata, tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm, 102. 121
Termasuk mengalami kemajuan dan pesatnya dalam bentuk kajian akademis di
Perguruan Tinggi maupun secara praktik operasional. dalam bentuk kajian, ekonomi Islam telah di
kembangkan di berbagai University, baik di negara-negara muslim juga negara barat. Misalnya di
Inggris ada beberapa university yang telah mengembangkan kajian ini seperti University of
Durham, University of Portsmouth dan yang lainnya. Di Amerika sendiri dikaji di University of
Harvard, bahkan Australia pun melakukan hal yang sama di University of Wolongong. Di
Indonesia perkembangan kajian dan praktek ilmu ekonomi Islam juga berkembang pesat. Kajian-
kajiannya sudah banyak diselenggarakan di berbagai university negeri maupun swasta. Sementara
itu dalam bentuk prakteknya, ekonomi dan bisnis syariah telah berkembang dalam bentuk
perbankan dan lembaga-lembaga keuangan ekonomi Islam non bank. Perkembangan Ekonomi
Islam di Indonesia mulai mendapatkan momentum yang berarti sejak didirikannya Bank Muamalat
Indonesia pada tahun 1992. Pada saat itu sistem perbankan Islam memperoleh dasar hukum secara
formal dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, sebagaimana
yang telah direvisi dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 dan dilengkapi oleh Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Rahmani Timorita Yulianti, Sengketa
Ekonomi Syari‟ah (Antara Kompetensi Pengadilan Agama dan Badan Arbitrase Syari‟ah), Jurnal
Al-Mawarid, Edisi XVII , (2007), hlm, 46.
73
Sementara itu, implikasi dari kegiatan ekonomi dan bisnis syariah
yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap peradilan. Saat
ini di Indonesia lingkungan peradilan yang mempunyai kewenangan dalam
hal penyelesaian sengketa ekonomi yaitu lingkungan peradilan umum dan
lingkungan peradilan agama. Pengadilan Agama berwenang menyelesaikan
sengketa ekonomi berdasarkan Undang-Undang Peradilan Agama.
Pengadilan Negeri berwenang menyelesaikan sengketa perdata pada
umumnya, berdasarkan Undang-Undang Peradilan Umum.122
Kompetensi absolut Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman mengalami perubahan strategis sebagai respon atas
perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, terutama
menyangkut ekonomi syari‟ah,123
hal tersebut dibuktikan dengan lahirnya
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagiamana diubah dengan Undang-
Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA).124
Terbitnya Undang-
Undang tersebut telah menambah kuatnya eksistensi lembaga peradilan
agama,125
serta membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga
Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang mendasar adalah
122
Sufiarina, Urgensi Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi Syariah,
Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 2 April-Juni 2014, hlm, 228. 123
Khamim dan M. Lutfi Hakim, Kompetensi Pengadilan Agama Dalam Sengketa
Perbankan Syari‟ah (Studi Terhadap Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang
Perbankan Syari‟ah), Jurnal Eksos, November 2013, Th. IX, No. 3, hlm 186. 124
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ini disahkan pada Tanggal 20 Maret 2006, diundangkan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 No. 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia No. 4611. Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama disahkan pada tanggal 29 Oktober
2009. Diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 159.
Sungguhpun Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 diubah dengan Undang-Undang No. 50 Tahun
2009, namun tidak merubah substansi kompetensi absolut peradilan agama dalam menyelesaikan
perkara ekonomi syariah. Lihat Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian
Perkara Ekonomi Syariah, (Depok: Gramata Publishin, 2010), hlm, 1. 125
Dessy Sunarti, Tinjauan Yuridis Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di
Indonesia, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta, 2012, hlm, 4.
74
penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama yang selanjutnya disebut
(PA) dalam bidang ekonomi syariah.126
Lembaga Peradilan Agama melalui Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama telah menetapkan hal-hal yang menjadi
kewenangan lembaga Peradilan Agama. Adapun tugas dan wewenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi yang beragama
Islam dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shadaqah dan ekonomi syari‟ah, yang dimaksud dengan ekonomi syari‟ah
adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip
syariah yang meliputi:
1. Bank syari‟ah,
2. Lembaga keuangan mikro syari‟ah,
3. Asuransi syari‟ah,
4. Reasuransi syari‟ah,
5. Reksadana syari‟ah,
6. Obligasi syari‟ah dan surat berharga berjangka menengah syari‟ah,
7. Sekuritas syari‟ah,
8. Pembiayaan syari‟ah,
9. Pegadaian syari‟ah,
10. Dana pensiun lembaga keuangan syari‟ah dan
11. Bisnis syari‟ah.127
Dari penjelasan pasal 49 huruf (i) tersebut dapat diketahui bahwa
jangkauan kewenangan mengadili lingkungan peradilan agama dalam bidang
ekonomi syari‟ah sudah meliputi keseluruhan bidang ekonomi syari‟ah. Hal
ini dapat dipahami dari maksud kata ekonomi syari‟ah itu sendiri yang dalam
penjelasan pasal tersebut diartikan sebagai perbuatan atau kegiatan usaha
yang dilaksanakan menurut prinsip syari‟ah. Artinya, seluruh perbuatan atau
126
Rahmani Timorita Yulianti, Sengketa Ekonomi Syari‟ah (Antara Kompetensi
Pengadilan Agama dan Badan Arbitrase Syari‟ah), Jurnal Al-Mawarid, Edisi XVII 2007, hlm, 45. 127
Lihat Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
75
kegiatan usaha apa saja dalam bidang ekonomi yang dilakukan menurut
prinsip syari‟ah ia termasuk dalam jangkauan kewenangan mengadili
lingkungan peradilan agama.128
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama juga Menjelaskan yang dimaksud dengan
subyek hukum dalam sengketa ekonomi syari‟ah, subyek hukum yaitu orang-
orang yang beragama Islam, orang-orang yang beragama bukan Islam namun
menundukkan diri terhadap hukum Islam dan badan hukum yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan hukum Islam. Artinya, orang atau badan hukum
tersebut telah melakukan choice of law (telah memilih hukum), yaitu siap
mengikuti ketentuanketentuan yang ada dalam hukum Islam.
Dengan adanya kewenangan dalam memutuskan perkara syariah yang
telah disebutkan diatas, maka peran dari PA akan bertambah luas karena
ekonomi syariah berhubungan dengan disiplin ilmu ekonomi. Penyebutan
ekonomi syariah dalam melalui Pasal 49 huruf (i) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama menjadi penegas bahwa kewenangan
pengadilan agama tidak dibatasi dengan menyelesaikan sengketa di bidang
perbankan saja, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya.129
Perluasan kewenangan tersebut, tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi
aparatur peradilan agama, terutama hakim.
M. Taufik Eman Suparman Ketua Asosiasi Pengacara Syari‟ah
Indonesia (APSI) saat itu, mengatakan bahwa perluasan itu membawa
konsekuensi pada sumber daya manusia di lingkungan Pengadilan Agama.
Selain itu, perluasan kewenangan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi
128
Lystio Budi Santoso, Kewenangan Pengadilan Agama Dalam Menyelesaikan Sengketa
Ekonomi Syariah (Berdasarkan Undang-Undand No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama),
Tesis Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro
Semarang, 2009, hlm, 78. 129
Berdasarkan kajian pasal 49 tersebut, seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah atau bank konvensional yang membuka unit usha syariah, dengan sendirinya
terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam pelaksanaan akad maupun dalam
penyelesaian perselisihan. Adapun sengketa bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan
pengadilan agama adalah: (1) Sengketa dibidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan
lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya (2) Sengketa dibidang ekonomi syariah antara
sesame lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah (3) Sengketa di bidang ekonomi
syariah antara orang-orang yang beragama Islam.
76
aparatur Peradilan Agama, terutama hakim. Para hakim dituntut untuk
memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya, yaitu hakim
dianggap tahu akan hukumnya, sehingga hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa perkara dengan dalih hukumnya tidak atau kurang jelas (adagium
ius curia novit).
Kompetensi Peradilan Agama dalam perkara ekonomi syariah
kemudian diperteguh oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (UUPS), setelah melalui proses pembahasan secara
intensif, komfrehensif dan cermat. Pada tanggal 17 Juni 2008 dalam rapat
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat disahkannya Undang-Undang No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang memberikan kompetensi kepada
Peradilan Agama dalam menangani perkara (sengketa) ekonomi syariah.
Menurut Hasbi Hasan dalam bukunya Kompetensi Peradilan Agama Dalam
Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah, pada dasarnya UUPS tersebut
memiliki orientasi dan tujuan untuk mewadahi kehendak masyarakat
beragama, terutamanya masyarakat Islam di Indonesia agar mau
menggunakan akses perbankan, tanpa harus dihantui perasaan takut soal
haral-haramnya riba.130
Terkait dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, Daminto Danasuryo dalam disertasinya,
berpendapat pembentukan Undang-Undang perbankan syariah menjadi
kebutuhan bagi berkembangnya lembaga perbankan syariah, perbankan
syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional memerlukan berbagai
130
Istilah riba secara bahasa berarti tambahan (ziyadah). Dengan kata lain, riba artinya
tumbuh dan membesar. Sedangkan secara terminologi, riba dapat diartikan sebagai pengambilan
tambahan dari harta pokok secara batil sehingga hukumnya dharamkan. Muhammad Syafii
Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: Central Bank of Indonesia
and Tazkia Institute, 1999), hlm, 4. Lihat Juga Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A
Study of the Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, (Leiden: EJ Brill, 1996),
hlm, 15. Selain agama Islam, agama samawi yang lain seperti Yahudi dan Nasrani juga telah
melarang penerapan riba. Meskipun larangan tersebut kemudian disempurnakan dalam kitab suci
al-Quran. Kitab Perjajnjian lama (Taurat) “Jika engkau meminjamkan uang kepada seorang dari
umat-Ku, orang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang
terhadap dia; janganlah engkau membebankan bunga uang terhadapnya (Keluaran {22}: 25);
janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan atau
apapun yang dapat di bungakan. (Ulangan {23}:19).
77
sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi
pengembangan ekonomi nasional.131
Senada dengan Hasbi Hasan dan Daminto Danasuryo, Dede
Nurohman dalam penelitiannya berpendapat diterbitkannya undang-undang
perbankan syariah tersendiri, artinya, keberadaan industri perbankan syariah
dianggap tidak saja sebagai kebutuhan masyarakat, tetapi juga mempunyai
prospek dan potensi besar. Ada banyak peluang positif didepan sehingga
harus dibuat undang-undang tersendiri.132
Ali Maskur juga berpendapat
dengan disahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah (UUPS) No. 21
tahun 2008, diharapkan akan lebih menjamin kepastian hukum dalam
penyelenggaraan perbankan syariah, sehingga para pelaku dan investor lebih
confidence dalam mengembangkan perbankan syariah.133
Dalam pasal 55 (1)
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang
menyatakan bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Namun, pasal 55 (2)134
Undang-Undang tersebut memberi peluang kepada para pihak yang
bersengketa untuk menyelesaikan perkara mereka di luar pengadilan agama
apabila disepakati bersama dalam isi akad. 135
Ketentuan pasal 55 (2)
menunjukan bahwa telah terjadi reduksi yang mengakibatkan polemik
terhadap kompetensi Peradilan Agama dalam bidang perbankan syariah.
Berdasarkan UU. No. 3 Tahun 2006, Peradilan Agama memiliki kompetensi
dalam menagani perkara ekonomi syariah. Selanjutnya Pasal 59 ayat (3)
131
Daminto Danansuryo, Penyelesaian Sengketa Perjanjian Pada Lembaga Keuangan
Syariah Melalui Basyarnas, Disertasi Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, (2016), hlm. 62. 132
Dede Nurohman, Undang-Undang Perbankan Syariah: Makna, Implikasi dan
Tantangan, Jurnal Ekonomi Isla La-Riba, Vol. II, No. 2, Desember (2008), hlm, 280. 133
Ali Maskur, Tantangan Implementasi Undang-Undang Perbankan Syariah, Jurnal
Bisnis dan Ekonomi (JBE), Vol. 16, No.1 Maret (2009), hlm, 43. 134
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UndangUndang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syari‟ah menyatkan: Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa
dilakukan sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut: a). musyawarah; b). mediasi
perbankan; c). melalui Badan Arbitrase Syari‟ah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain;
dan/atau d). melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. 135
http://business-law.binus.ac.id/2015/02/17/penyelesaian-sengketa-perbankan-syariah-
di-indonesia-bagian-1-dari-2-tulisan/ oleh Abdul Rasyid, Penyelesaian sengketa Perbankan
Syariah di Indonesia, diaksek pada Jumat, 3 November 2017, 13.00 WIB.
78
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman memberikan kompetensi kepada pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum.
Pada tanggal 29 Agustus 2013, Majelis Mahkamah Konstitusi
membuat putusan atas perkara Nomor 93/PUU-X/2012, mengabulkan
sebagian permohonan Dadang Achmad, menyatakan bahwa penjelasan Pasal
55 ayat [2] UU 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Lebih
lanjut dalam salah satu pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa adanya pilihan tempat penyelesaian sengketa (choice of forum) untuk
menyelesaikan sengketa perbankan syariah sebagaimana tersebut dalam
Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU 21 Tahun 2008 pada akhirnya akan
menyebabkan adanya tumpang tindih kewenangan untuk mengadili, karena
ada dua peradilan yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
perbankan syariah, padahal dalam UU 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama secara tegas dinyatakan bahwa peradilan agama yang berwenang
menyelesaikan tersebut.
Dengan adanya putusan Mahkamah Kontitusi tersebut, maka tidak ada
lagi dualisme dalam penyelesaian sengketa Perbankan Syariah. Pengadilan
Agama menjadi satu-satunya pengadilan yang berwenang dalam
menyelesaikan sengketa Perbankan syariah. Hal ini semakin mengokohkan
eksistensi Pengadilan Agama di Indonesia, akan tetapi di sisi lain menjadi
tantangan tersendiri, karena bidang perbankan syariah secara khusus dan
ekonomi secara umum merupakan bidang baru yang sangat kompleks
permasalahannya. Keraguan banyak pihak akan kemampuan Peradilan
Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah harus dihilangkan
dengan membuktikan kecakapan para hakim di lingkungan peradilan agama
dalam menyelesaikan sengketa-sengketa yang diputuskanya. Para hakim
harus memiliki pengetahuan yang mendalam tentang ilmu ekonomi syariah,
baik dari segi teori maupun praktik.
79
B. Penyelesaian Sengketa di luar Pengadilan (Non Litigasi)
Cara penyelesaian sengketa pada dasarnya sudah ada sejak zaman
dahulu mengikuti perkembangan peradaban manusia. Manusia diciptakan
tuhan dengan berbagai karakter, ras suku yang berbeda-beda, dengan
perbedaan tersebut manusia tidak terlepas dari konflik, baik dengan manusia
lainnya, alam lingkungannya, bahkan dengan dirinya sendiri. kemudian
dengan perkembangan peradaban manusia berkembang pula penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
menghasilkan kesepakatan yang “win-win solution” karena penyelesaian
sengketa di luar pengadilan melalui kesepakatan dan musyawarah di antara
para pihak sehingga dapat menghasilkan suatu keputusan bersama yang dapat
diterima baik oleh kedua belah pihak, dan keputusan yang dihasilkan dapat
dijamin kerahasiaan sengketa para pihak karena tidak ada kewajiban untuk
proses persidangan yang terbuka untuk umum dan dipublikasikan.
Di Indonesia, penyelesaian sengketa di luar pengadilan dinamakan
jalur non litigasi yang diatur dalam pasal (6) UU No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 1 angka 10 UU No. 30
Tahun 1999 mendefenisikan “alternative penyelesaian sengketa adalah
lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang
disepakati para pihak, yakni dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.136
Berikut Bentuk-bentuk alternative penyelesaian sengketa
diluar pengadilan:
1. Alternative Dispute Resolution (ADR)
Alternative Dispute Resolution yang selanjutnya disingkat
menjadi ADR, merupakan konsep baru tentang penyelesaian sengketa
atau perbedaan pendapat antara pihak yang sangat populer secara global
yang merupakan alternatif dalam menyelesaikan sengketa selain melalui
pengadilan (litigasi). Istilah Alternative Dispute Resolution (ADR)
merupakan suatu kata asing yang perlu dicariakan padanannya dalam
136
Illy Yanti & Habriyanto, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Studi Kasus
Sengketa Ekonomi Syariah di Lembaga Keuangan Syariah Kota Jambi, Jurnal Media Akademika,
Vol. 27, No. 3, Juli (2012), hlm, 318.
80
Bahasa Indonesia. Pengertian alternatif maksudnya bahwa pranata
hukum dalam ADR memberikan alternatif atau menawarkan pilihan-
pilihan bagi para pihak untuk memilih bagaimana bentuk (pranata
hukum) yang cocok untuk menyelesaikan sengketa yang sedang mereka
hadapi. Pranata hukum yang ada dalam ADR tidak berarti cocok untuk
semua jenis dan sifat sengketa.137
Jacqueline M. Noan Haley yang dikutip oleh Joni Emizon dalam
bukunya Hukum Bisnis Indonesia menjelaskan ADR adalah: “is
umbrella term which refers generally to alternatives to court
adjudication of dispute such an negotiation, mediation, arbitration, mini
trial and summary jury trial”.138
Disini Jacqueline M. Noan Haley
menekankan bahwa penyelesaian sengketa alternative itu sebagai istilah
protektif yang merujuk secara umum kepada alternative ajudikasi
pengadilan atas konflik tanpa menyinggung konsiliasi sebagai bentuk
penyelesaian sengketa alternative.
Berbagai istilah ADR dalam Bahasa Indonesia telah
diperkenalkan dalam berbagai forum oleh berbagai pihak, yakni Pilihan
Penyelesaian Sengketa (PPS), Mekanisme Alternatif Penyelesaian
Sengketa (MAPS), pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan, dan
mekanisme penyelesaian sengketa secara kooperatif. Alternative Dispute
Resolution (ADR) menawarkan beberapa bentuk proses penyelesaian
sengketa yang disesuaikan dengan kebutuhan para pihak yang
bersengketa dalam rangka menuju kepada penyelesaian yang final and
binding dan saling menguntungkan, diantaranya:
a. Konsultasi, Konsultasi yakni suatu tindakan yang bersifat personal
antara suatu piohak tertentu yang disebut dengan klien dengan pihak
lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya
137
Marwah M. Diah, Prinsip Dan Bentuk-Bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa Di
Luar Pengadilan, Jurnal Hukum Dan Dinamika Masyarakat , VOL.5 NO.2 APRIL (2008),
hlm, 113. 138
Jacqueline M. Noan Haley, Alternative Dispute Resolution in Arbitration Nushell (ST.
Paul Minn: West Publishing, 1992), hlm, 2.
81
kepada klien tersebut untuk memenuhi untuk memenuhi keperluan
dan kebutuhan klien tersebut.139
b. Negosiasi, negosiasi yakni suatu proses tawar menawar atau
pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah
tertentu yang terjadi diantara para pihak. Negosiasi dilakukan baik
karena telah ada sengketa diantara para pihak, maupun hanya karena
belum ada kata sepakat disebabkan belum pernah dibicarakan masalah
tersebut.140
Negosiasi dapat dilakukan jika para pihak yang
bernegosiasi mempunyai kekuasaan untuk melepaskan hak-haknya
atas hal-hal yang termaktub dalam kesepakatan tertulis, sepanjang
hak-hak dan tuntutan tersebut ada hubungannya dengan perselisihan
yang menjadi sebab perdamaian.
c. Mediasi, mediasi yakni suatu proses negosiasi untuk memecahkan
masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan netral yang akan
bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan
solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi
kedua belah pihak.
d. Konsialisasi, konsiliasi yakni proses pemecahan masalah antara dua
pihak atau lebih dengan melibatkan pihak ketiga yang netral yang
bertugas memfasilitasi kedua belah pihak sehingga dapat diketemukan
solusi oleh para pihak sendiri. Dengan demikian pihak konsiliator
hanya melakukan tindakan-tindakan sep erti mengatur waktu,
mengatur tempat pertemuan, mengarahkan para pihak, membawa
pesan dari satu pihak kepada pihak yang lain.
Untuk mengetahui perbedaan penyelesaian sengketa melalui
litigasi dan APS dapat dilihat dalam 3.1 sebagai berikut:
139
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), hlm, 86. 140
Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Bandung: Citra
Aditya, 2003), hlm, 42
82
Tabel 3.1
Perbadingan Pengadilan dengan APS
No Pengadilan Mediasi Negosiasi Karakteristik
1 Tidak Sukarela Sukarela Sukarela Bentuk Sikap
2 Hakim Para Pihak Para Pihak Pemutus
Perkara
3 Mengikat dan
berkekuatan
eksekutorial
Mengikat, namun
tidak punya
kekuatan
eksekutorial
Mengikat
(kontrak/pacta sunt
servanda)
Kekuatan
Putusan
4 Terbuka Tertutup Tertutup Sifat
5 6 bulan-5 tahun Berdasarkan
kesepakatan para
pihak
Berdasarkan
kesepakatan para
pihak
Jangka Waktu
6 Formal (KUHP
Perdata)
Informal Informal Prosedural
7 Mahal Relatif Lebih
Murah
Relatif Lebih
Murah
Biaya
8 Hakim Mediator Para Pihak Pihak Tertentu
Sumber: Hukum Penyelesaian Sengketa
2. Arbitrase dan Perkembangan Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas)
Arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim
berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan
seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Lembaga ini telah dikenal
sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat sistem
peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak milik
waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru
damai atau wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang
83
berselisih.141
Dalam perjalannya arbitrase memiliki sejarah panjang dan
mengalami pasang surut di dunia. Pada awal berdirinya Islam, telah ada
perjanjian arbitrase yakni Perjanjian Madinah yang menyerukan sengketa
arbitrase oleh Nabi Muhammad.142
Peranan arbitrase telah dijalankan
sejak zaman Rasulullah ketika menyelesaikan sengketa mengenai
peletakkan Hajar Aswad.143
Gagasan berdirinya Lembaga Arbitrase Islam di Indonesia,
diawali dengan bertemunya para pakar, cendekiawan muslim, praktisi
hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar pikiran tentang pentingnya
lembaga arbitrase di Indonesia. Pertemuan ini dimotori Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 22 April 1992. Setelah
mengadakan beberapa kali rapat dan beberapa kali penyempurnaan
terhadap rancangan struktur organisasi dan prosedur beracara akhirnya
pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan Arbitrase
Muamalat Indonesia (BAMUI).144
Dasar-dasar hukum penyelesaian
sengketa Ekonomi Syariah diluar pengadilan diselesaikan oleh Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia yang kini namanya Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) yang didirikan secara bersama oleh
141
A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase dalam Prespektif Islam dan Hukum Positif,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm, 9. 142
Piagam Madinah (Bahasa Arab: صحیفة المدینه, shahifatul madinah) juga dikenal dengan
sebutan Konstitusi Madinah, , ialah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad SAW,
yang merupakan suatu perjanjian formal antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum
penting di Yathrib (kemudian bernama Madinah) pada tahun 622. Dokumen tersebut disusun
sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan pertentangan sengit antara Bani Aus
dan Bani Kharaj di Madinah. Untuk itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban bagi kau muslim, kaum yahudi, dan komunitas-komunitas pagan Madinah;
sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut
ummah. https://id.wikipedia.org/wiki/Piagam_Madinah, Diakses pada 5 November 2017. 143
Para petinggi masyarakat Qurais dari berbagai macam rumpun suku merasa paling
berhak untuk meletakkan batu Hajar Aswad. Mereka saling berdebat satu sama lain tentang siapa
yang berhak. Perselisihan tersebut mulai reda setelah Rasulullah memberikan solusi yang
menguntungkan semua pihak yang bertikai. Solusi tersebut adalah membentangkan kain persegi
empat dan setiap kepala suku memegang setiap ujung kain dan bersama-sama meletakkan Hajar
Aswad. 144
Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait
(BAMUI, Takaful dan pasar Modal Syari‟ah di Indonesia), hlm, 167.
84
Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.145
Pergantian nama tersebut berdasarkan pertimbangan agar Lembaga
arbitrase syariah tidak secara spesifik menyebutkan kata “muamalat”
karena ada salah satu lembaga keuangan syariah yaitu Bank Muamalat
Indonesia (BMI). Dengan demikian, perubahan nama dari BAMUI
menjadi Basyarnas akan lebih bersifat umum dan netral serta tidak
terkesan merupakan lembaga yang memihak kepada suatu bank.
Ketentuan mengenai arbitrase di Indonesia diatur dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Di dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
disebutkan bahwa Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh
para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai
sengketa tersentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat
yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal
belum timbul sengketa. Kewenangan arbitrase menyelesaikan sengketa
dapat didasarkan atas kesepakatan ketika membuat perjanjian (pactum de
compromittendo) atau dibuat ketika terjadi sengketa (akta kompromi).
Berikut untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa melalui
arbitrase menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa:
145
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) adalah perubahan dari nama Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI), BAMUI didirikan dalam bentuk badan hukum yayasan
sesuai dengan akta notaris Yudo Paripurno, S.H No. 175 tanggal 21 Oktober 1993 dan diresmikan
tanggal 21 oktober 1993. Peresmiannya ditandai dengan penandatangan akta notaris oleh dewan
perdiri, yaitu Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diwakili K. H. Hasan Basri
dan H.S Prodjokusumo; masing-masing sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Umum Dewan
Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai saksi yang iku menandatangani akta notaris
masing-masing H.M Soejono dan H. Zainulbahar Noor (Dirut Bank Muamalat Indonesia) saat
itu.Tujuan pendirian BAMUI adalah untuk menyelesaikan pelbagai sengketa yang berhubungan
dengan muamalat. Mariam Darus Badrulzaman. Peranan BAMUI dalam Pembangunan Hukum
Nasional, dalam Arbitrase Islam di Indonesia, (Jakarta: Badan Arbitrase Muamalat Indonesia,
1994), hlm, 57.
85
Gambar 3.2
Mekanisme Arbitrase Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Berdirinya basyarnas di Indonesia terdapat 2 lembaga arbitrase
yaitu BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang berwenang
menyelesaikan semua masalah sipil di Indonesia dan basyarnas yang
berwenang menyelesaikan semua permasalahan muamalat Islam secara
tahkim menurut syariat Islam. Kedudukan basyarnas semakin kuat
Para Pihak Para Pihak
Sengketa
Arbitrase
Arbitrase
Institusional
Dipimpin
Artbiter
Dalam Waktu 30
Hari
Pendapat dan
Keputusan Arbitrase
Acara
Pemeriksan 30
hari
Pelaksanaan
Pendapat
dan Putusan
Dilaksanakan Tidak Dapat
Dilaksanakan
Mahkamah
Agung
Mahkamah
Agung
Kasasi Kasasi
86
setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Dalam Pasal 1338
KUHPerdata, dijelaskan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat sesuai
dengan Undang-Undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain
dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh Undang-Undang. Perjanjian harus dilaksanakan dengan
baik”. Ketentuan Pasal tersebut menunjukkan bahwa dalam hal hukum
perjanjian, hukum yang berlaku di Indonesia menganut sistem
“terbuka”. Dasar hukum basyarnas, di Indonesia yang berupa hukum
positif, yaitu sebagai berikut:
a. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) yang diatur dalam Undang-Undang
tersebut dapat dikelompokkan kedalam 10 BAB yang terdiri dari 82
Pasal dan tujuh Bagian, yang terdiri dari hal berikut:
1) Ketentuan umum (Pasal 1 sampai dengan Pasal 5)
2) Alternatif Penyelesaian Sengketa (Pasal 6)
3) Syarat arbitrase, pengangkatan arbiter, hak ingkar (Pasal 7 sampai
dengan Pasal 26)
4) Acara yang berlaku di hadapan majelis arbitrase (Pasal 27 sampai
dengan Pasal 51)
5) Pendapat dan putusan arbitrase (Pasal 52 sampai dengan 58)
6) Pelaksanaan putusan arbitrase (Pasal 59 sampai dengan Pasal 72)
7) Berakhirnya tugas arbiter (Pasal 73 sampai dengan Pasal 77)
8) Ketentuan perahliah (Pasal 78 sampai dengan 79)
9) Ketentuan Penutup (Pasal 80 sampai dengan Pasal 82)
10) Dilengkapi dengan penjelasan umum dan penjelasan Pasal demi
Pasal.
b. Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pasal 58 sampai dengan Pasal 59 c tentang Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Tahun 2006 Nomor
87
05,06,07 dan 08.146
Semua fatwa DSN-MUI perihal hubungan perdata
(muamalah) senantiasa diakhiri kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak,
penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah
tidak tercapai melalui musyawarah.
Adapun tujuan didirikannya serta ruang lingkup Basyarnas
berdasarkan isi dari pasal 4 Anggaran Dasar yayasan Arbitrase muamalah
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Memberikan penyelesaian yang adil dan cepat dalam sengketa-
sengketa muamalah/perdata yang timbul dalam perdagangan, industri,
keuangan, jasa dan lain-lain.
b. Menerima permintaan yan diajukan oleh pihak yang bersengketa
dalam suatu perjanjian, ataupun tanpa adanya suatu sengketa untuk
memberikan suatu pendapat yang mengikat mengenai suatu persoalan
berkenaan dengan perjanjian tersebut.
Adanya Basyarnas sebagai suatu lembaga permanen berfungsi
untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata. Sengketa
tersebut bisa ditimbulkan diantara bank-bank syariah dengan para
nasabahnya atau para pengguna jasa mereka pada khusunya dan antara
sesame umat Islam yang melakukan hubungan-hubungan keperdataan
yang menjadikan syariah Islam sebagai dasarnya. Pada umumnya adalah
merupakan suatu kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata. Sesuai dengan
Visi dan Misi berdirinya basyarnas, sebagai Arbitrase Islam yang
tentunya berlandaskan Islam dan nilai-nilai Agama dalam menyelesaikan
sengketa Perbankan Syariah maupun sengketa lainnya yang juga
berlandaskan Islam, maka penerapan basyarnas dalam menyelesaikan
perbankan Syariah yang sering terjadi hingga saat ini harus tetap
146
Lihat Dewan Syariah Nasional Nasional MUI, Fatwa No. 7,8,4 dan 9
DSN/MUI/IV/2000 tentang Mudharabah, Musharakah, Ijarah dan Murabahah.
88
mengutamakan prinsip kedamaian dan mencerminkan rasa keadilan bagi
para pihak yang bersengketa.
Prosedur beracara maupun pelaksanaan putusan Basyarnas
mengacu pada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Adapun prosedur
penyelesaian sengketa melalui Basyarnas dimulai dengan penyerahan
secara tertulis oleh para pihak yang sepakat untuk menyelesaikan
persengketaan melalui Basyarnas sesuai dengan peraturan prosedur yang
berlaku. Pihak yang bersengketa sepakat akan menyelesaikan
persengketaan mereka dengan perdamaian (islah) tanpa ada suatu
persengketaan berkenaan dengan perjanjian atas permintaan para pihak
tersebut. Kesepakatan ini dicantumkan dalam klausula arbitrase. Usaha
penyelesaian sengketa melalui arbiter hendaklah memegang teguh
kerahasiaan, dan dalam waktu paling lam 30 hari harus tercapai
kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak
yang terkait.147
Dalam hal ini, proses beracara di Basyarnas harus diselesaikan
secara tuntas dengan cara Arbiter/Hakam memberikan keputusan yang
bersifat final dan binding/ mengikat dan tidak dapat diganggu gugat.
Sehingga keputusan Arbiter/Hakam tersebut memiliki kekuatan hukum
tetap. Seorang Arbiter/Hakam harus mampu membuat suasana proses
arbitrase bersih, jelas dan bebas dari argumentasi forensik. Ia harus
mampu menilai buku-bukti yang diajukan, berhubungan dengan sengketa
yang akan diselesaikan. Seorang Arbiter juga harus memperhatikan
fakta-fakta yang muncul yang berkaitan dengan permasalahan sengketa
dan putusannya harus berdasarkan sesuatu yang bersifat praktis atau tidak
memihak, wajar dan adil. Selain itu, ia juga harus memiliki pengetahuan
dasar tentang prosedur arbitrase, hukum, tata cara pembuktian, faham
akan hukum kontrak, hukum hak milik dan sudah tentu terutama hukum-
147
Pasal 6 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
89
hukum arbitrase itu sendiri. Para pihak yang bersengketa berhak
melakukan penilaian yang dipermasalahkan sejak awal pada saat dengar
pendapat dan berhak menilai para arbitrer apakah ia telah bertindak di
dalam wewenang yang telah disepakati menurut hukum. Oleh karena itu,
basyarnas memiliki tanggung jawab terhadap semua penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah maupun sengketa syariah lainnya terutama
bagi seorang Arbiter/Hakam.148
3. Sumber Hukum Islam tentang Arbitrase Islam (Badan Arbitrase
Syariah Nasional (BASYARNAS)
Keberadaan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
sebagai lembaga arbitrase Islam di Indonesia merupakan salah satu kaitan
yuridis yang sangat menarik dalam prespektif Islam. Berdasarkan kajian
yuridis, historis maupun sosiologis keislaman dapat dikemukakan bahwa
sangat kuat landasan hukum yang bersumber dari AL-Qur‟an dan As-
Sunnah serta Ijma‟Ulama. Terdapat sejumlah alasan dan argumentasi
tentang keharusan adanya Lemabaga Arbitrase Islam seperti halnya
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas). Demikian juga kenyataan
sosiologis menunjukkan bahwa masyarakat dimanapun sangat
membutuhkan suatu lembaga untuk menyelesaikan sengketa di antara
mereka dengan cara mudah, murah, dan memperoleh rasa keadilan.
Dari segi kajian yuridis formal keislaman, menunjukkan bahwa
keharusan dan keberadaan Lembaga Arbitrase Islam (Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) yang bertujuan menyelesaikan sengketa
atau permasalahan umat Islam merupakan suatu kewajiban. Sumber
hukum yang mengharuskan adanya Lembaga Arbitrase Islam (Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), yaitu Al-Qur‟an sebagai sumber
hukum Islam pertama. Perintah Allah Swt. Tentang keharusan dan
keberadaan Lembaga Arbitrase Islam terdapat dalam Al-Qur‟an:
148
Muthia Sakti dan Yuliana Yuli, Tanggung Jawab Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) Dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah, Jurnal Yuridis, Vol. 4 No. 1, Juni(
2017), hlm, 78.
90
Q.S Surat Al-Hujarat: 9
Artinya: “jika 2 (dua) golongan yang beriman bertengkar,
damaikanlah mereka. Tetapi jika salah satu dari 2 (dua) golongan
berlaku aniaya terhadap orang lain, maka perangilah orang yang
menganiaya sampai kembali kepada perintah Allah Swt. Apabila ia telah
kembali, damaikanlah keduanya dengan adil dan bertindaklah benar.
Sesungguhnya Allah Swt sangat menyukai orang-orang yang berlaku
adil.”
Q.S Surat An-Nisa: 35
Artinya: “Dan jika kamu khawatir akan terjadi persengketaan
antara keduanya (suami-istri), maka kirimlah seorang hakam (Arbiter)
dari keluarga perempuan dan dari keluarga laki-laki. Jika kedua orang
hakam itu mengadakan perbaikan (perdamaian) niscaya Allah Swt akan
memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Swt Maha
Mengetahui dan Mengenal.”
Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa lembaga
hakam dalam perspektif Hukum Islam atau Badan Arbitrase dalam
perspektif Hukum Positif merupakan suatu kebutuhan untuk
menyelesaikan sengketa umat/masyarakat di manapun berada Ukhuwah
Islamiyah tetap terjaga secara utuh. Bahkan, pada Surat Al-Hujarat ayat 9
di atas disebutkan apabila salah satu dari keduanya melakukan
wanprestasi atau pelanggaran (aniya), maka harus diberi sanksi dengan
jalan upaya paksa (diperangi). Apalagi wanprestasi dan pelanggaran
tersebut memunyai nilai eksekutorial, maka harus dilakukan upaya paksa
tersebut sesuai dengan klausula perjanjian para pihak atau putusan Badan
Arbitrase, baik putusan tunggal maupun majelis.
Ajaran Islam memerintahkan bahwa memenuhi kewajiban sesuai
dengan perjanjian atau yang dijanjikan merupakan kewajiban dan apabila
mengabaikannya atau melakukan wanprestasi atau pelanggaran
merupakan dosa yang harus dinal sanksi hukum. Dalam Al-Qur‟an Surat
91
Al-maidah ayat 1 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah penuhilah perjanjian perjanjian.”
Sumber Hukum Islam kedua, yang mengharuskan adanya
Lembaga Arbitrase Islam, yaitu As-Sunnah/al-Hadist. Bayak kejadian
dan peristiwa yang dialami oleh Rasullah SAW sebagai Arbiter dalam
menyelesaikan sengketa umat dan mendamaikan para pihak yang
berselisih. Rasullah Saw yang memunyai gelar Al-Amin (orang
terpercaya) dalam setiap terjadi perselisihan umat selalu tampil sebagai
Arbiter Tunggal melalui proses dan sistem Arbitrase Ad-hoc yang sesuai
dengan masa itu. Ketika Islam itu terus berkembang dan juga masalah
umat Islam juga semakin luas, dengan sendirinya muncul berbagai
sengketa, tidak hanya yang berkaitan dengan masalah-masalah perdata
saja seperti konflik ekonomi dari keluarga. Tetapi juga merambah kepada
masalah politik dan perang. Sebelum lembaga peradilan berkembang,
hampir semua masalah ini diselesaikan melalui proses Arbitrase, baik
Tunggal maupun Majelis oleh Rasullah Saw dan/atau para sahabatnya.
Di antara para perawi hadist, yaitu At-Tirmizi, Ibnu Majah, Al-Hakim
dan Ibnu-Hibbah, telah meriwayatkan bahwa:149
“Rasullah Saw telah bersabda, perjanjian di antara orang-orang
muslim itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dari
mengharamkan yang halal. At-Tarmizi dalam hal ini menambahkan mumalah
orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka.”
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dai Abu Hurairah, bahwa :150
“Rasullah Saw bersabda, ada seorang laki-laki membeli pekarangan
dari seseorang. Orang yang membeli tanah pekarangan tersebut menemukan
sebuah guci yang berisikan emas. Kata orang yang membeli pekarangan,
ambillah esmasmu yang ada pada saya, aku hanya membeli daripadamu
tanahnya dan tidak membeli emasnya. Jawab orang memiliki tanah, aku telah
menjual kepadamu tanah dan barang-barang yang terdapat didalamnya. Kedua
149
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 13, (Bandung: PT Al-Ma‟arif1997), hlm, 190. 150
Fatur Rahman, Hadist-hadist tentang Peradilan Agama, Cet 1 (Jakarta: Bulan Bintang,
1977), hlm. 65.
92
orang itu lalu bertahkim (mengankat arbiter) kepada seseorang. Kata orang
yang diangkat menjadi Arbiter, apakah kamu berdua memunyai anak. Jawab
dari salah seorang dari kedua yang bersengketa, ya saya memunyai seorang
anak laki-laki, dan yang lain menjawab pula, saya memunyai anak perempuan.
Kata Arbiter labih lanjut kawinkanlah anak laki-laki itu dengan anak
perumpuan itu dan biayailah kedua mempelai dengan emas itu. Dan kedua
orang tersebut menyedekahkan (sisanya kepada fakir miskin).”
Selain dasar hukum Arbitrase yang bersumber dari Al-Qur‟an dan
As-Sunnah, juga bersumber dari Hukum Islam ketiga, yaitu Ikma
(konsensus) para ulama dalam menetapkan hukum terhadap sesuatu yang
dijadikan dasar hukum Islam. Dalam catatan sejarah Islam keberlakuan
dan keberadaan lembaga tahkim (Arbitrase) pada masa sahabat banyak
dilakukan dan mereka tidak menentangnya. Misalnya pernyataan
Sayyididna Umar Ibnu Khatab, bahwa:151
“Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena
pemutusan perkara melalui pengadilan akan mengembangkan
kedengkian di antara mereka.”
Sebagai salah satu contoh dari keberhasilan Ijma Ulama itu adalah
lahirnya Lembaga Arbitrase Islam Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) atas dasar adanya kesepakatan para Ulama, Cendikiawan
Muslim dan para ekonom Muslim di Indonesia yang digagas oleh Majelis
Ulama Indonesia untuk mendirikan Lembaga Arbitrase Islam. Hal ini
dipandang penting untuk mengantisipasi perkembangan kepentingan
umat dalam berbagai kasus sengketa, terutama di bidang bisnis dan
ekonomi.152
Dari uraian di atas dapat disimpulkan keberadaan Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) sebagai salah satu contoh lembaga
arbitrase Islam yang ada di Indonesia, apabila dilihat dari aspek yuridis
memunyai dasar hukum yang sangat kuat, yaitu bersumber dari Al-
151
K.Suhrawardi lubis, Hukum Ekonomi Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm, 179. 152
Tri Setiady, Arbitrase Islam Dalam Perspektif Islam Dan Hukum Positif, Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 9 No. 3, Juli-September (2015), hlm, 438.
93
Qur‟an, As-Sunnah dan Ijma Ulama. Secara historis dapat dikatakan
bahwa keberadaan lembaga Arbitrase Islam sudah sejak masa Rasulullah
SAW dan berkembang sampai sekarang dari Lemabaga Ad-Hoc menjadi
Lembaga Permanen. Demikian juga secara sosiologis keberadaan
Arbitrase Islam merupakan kebutuhan umat dalam menyelesaikan setiap
terjadi sengketa di antara mereka yang meliputi masalah politik,
peperangan, perdagangan, keluarga, ekonomi dan bisnis. Selain juga
dapat dilakukan secara murah, mudah dan cepat dibandingkan dengan
proses pengadilan.
4. Kedudukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)
dalam Hukum Positif
Menurut hartono Mardjono, bahwa adanya suatu “lembaga
permanen” yang berfungsi untuk menyelesaikan kemungkinan terjadinya
sengketa perkara perdata di antara bank-bank syariah dengan para
nasabahnya, atau khususnya menggunakan jasa mereka dan umumnya
antara sesama umat Islam yang melakukan hubungan-hubungan
keperdataan yang menjadi syariat sebagai dasarnya. adalah suatu
kebutuhan yang sungguh-sungguh nyata. Selanjutnya, ia mengatakan
bahwa kehadiran lembaga permanen yang berfungsi untuk
menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa perdata di antara pihak-
pihak yang bersangkutan, di samping memang merupakan suatu
kebutuhan nyata, juga memiliki dasar-dasar yang kuat berdasarkan
hukum positif yang berlaku.153
Dari segi kelembagaan, status hukum Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas) adalah yayasan dibentuk berdasarkan Akta Notaris
nomor 175 pada hari kamis tanggal 21 Oktober 1993 bertepatan dengan
tanggal 5 Jumadil Awal 1414 Hijriyah. Yayasan adalah badan hukum
yang menjadi subyek hukum. Bahwa istilah yayasan pada mulanya
153
H. Hartono Mardjono, Menegakan Syariat Islam dalam Konteks KeIndonesian,
Bandung: Mizan (1997), hlm 66.
94
digunakan sebagai terjemahan dari “stichting” dalam bahasa Belanda,
“foundation” dalam bahasa inggris. Terdapat sejumlah definisi yayasan
dikemukakan oleh para ahli, antara lain:
Dr.Chatamarrasyid, mengemukakan bahwa:154
“Yayasan adalah suatu badan yang menjalankan usaha yang
bergerak dalam segala macam usaha, baik yang bergerak dalam usaha
yang nonkomersial maupun yang secara tidak langsung bersifat 100%
komersial.”
Paul Scholten mengemukakan bahwa:155
“Yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan oleh suatu
pernyataan sepihak, pernyataan itu harus berisikan pemisahan suatu
kekayaan untuk tujuan tertentu, dengan penunjukan bagaimana
kenyataan itu harus diurus dan dipergunakan.”
Berdasarkan definisi di atas Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) sebagai yayasan/badan/lembaga Arbitrase Islam memunyai
asas, tujuan, operasional, dan kewenangan yang tercantum di dalam Akta
Pendirian, Anggaran Rumah Tangga dan Peraturan Prosedur Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam upaya hukum untuk
menyelesaikan sengketa bisnis para pihak memunyai kewenangan
tercantum dalam peraturan prosedur Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) sebagi berikut:
a. penyelesaian sengketa yang timbul dalam hubungan perdagangan
industri, keungan jas dan lain-lain mana para pihak sepakat secdra
tertulis untuk menyelesaikan penyelesaiannya kepada Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) sesuai dengan Peraturan Prosedur
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas); dan
b. memberikan suatu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu
sengketa mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian atas
154
Chatamarrasyid, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 5. 155
Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroaan, Perkumpulan,
Koperasi, Yayasan, Wakaf, (Bandung: Alumni, 1986), hlm, 22.
95
permintaan para pihak. Kesepakatan klausula seperti itu bisa
dicantumkan dalam perjanjian atau dalam suatu akta tersendiri setelah
sengketa timbul.
Dari segi Tata Hukum Indonesia, keberadaan Badan Arbitrase
Syariah Nasional (Basyarnas) secara yuridis formal memunyai legitemasi
yang kuat di negara Indonesia. Terdapat dasar hukum negara sebagai
hukum positif yang berlaku saat ini memungkinkan suatu lembaga lain di
luar lembaga peradilan umum dapat menjadi wasit/hakim dalam
penyelesaian sengketa para pihak. Walaupun, penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman pada dasarnya diserahkan kepada badan peradilan
dengan berpedoman kepada Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kehakiman. Hal tersebut merupakan induk
dan kerangka umum yang meletakkan dasar dan asas peradilan serta
pedoman bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang masing-masing diatur
dalam undang-undang tersendiri.Namun demikian, di dalam penjelasan
Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 disebutkan antara
lain, bahwa:
“Penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui Arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan Arbiter
hanya memunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau
perintah untuk eksekusi (executoir) dari pengadilan.”
Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan Arbitrase di
Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan 651 Reglemen Acara Perdata
(Reglement op De Rechtvordering Staatsblad 1847) dan Pasal 377
Reglemen Indonesia yang diperbaharui (het Herziene Indonesisch
Reglement, Staatbald 1941) dan Pasal 705 Reglemen Acafra untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buiitengewesten
Staatblad 1927). Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
melalui Pasal 81 Undang-Undang tersebut secara tegas mencabut ketiga
96
macam ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal diundangkan. Maka
berarti segala ketentuan yang berhubungan dengan Arbitrase, termasuk
putusan Arbitrase asing tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 1999, meskipun secara lex specialis ketentuan yang
berhubungan (pelaksanaan) Arbitrase asing telah diatur dalam Undang-
Undnag nomor 5 Tahun 1968 yang merupakan pengesahan atas
persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar
Negara dan Warga Negara Asing mengenai penanaman modal
(International Centre for the Settlement of Invensment Disputes (ICSID)
Convnebtion), Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang
Pengesahaan New York Convention 1958 dan Peraturan Makamah Agung
Nomor 1 Tahun 1990.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan kedudukan hukum Badan
Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dalam tata hukum Indonesia
memunyai landasan hukum yang sangat kuat. Basyarnas sebagai lembaga
Arbitrase Islam dengan status badan hukum Yayasan diberi atau
memunyai kewenangan dalam upaya penyelesaian sengketa bisnis para
pihak sesuai dengan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas). Berdasarkan hukum positif yang berlaku yaitu
UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 3 ayat (1) penyelesaian
sengketa di luar pengadilan dibolehkan melalui lembaga Arbitrase. Hal
demikian juga diatur melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa ADR/APS adalah suatu cara dan proses
penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa dapat
membantu atau dilibatkan dalam menyelesaikan persengketaan atau
melibatkan pihak ketiga yang bersifat netral.
97
C. Perbandingan Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan dengan
Arbitrase
Melihat adanya fenomena keanekaragaman dalam penyelesaian
sengketa penggunaan sistem pengadilan (litigasi) mempunyai keuntungan dan
kelebihan. Kelebihan sistem litigasi dimaksud menurut Hasbi Hasan dalam
bukunya Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah, yaitu:156
1. Dalam mengambil alih keputusan para pihak, litigasi sekurang-
kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat
mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial.
2. Litigasi sangat baik sekali untuk menemukan pelbagai kesalahan dan
masalah dalam posisi pihak lawan.
3. Litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan
memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar
keterangannya sebelum mengambil keputusan.
4. Dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang
terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Terkait dengan keunggulan sistem litigasi ini, Nur Fadhil Lubis
mengemukakan bahwa dengan meluasnya gagasan tentang negara hukum
dan menguatnya paham paham positivism, berkembang juga keyakinan
bahwa segala sesuatu harus diputus sesuai dengan aturan hukum (umumnya
dalam pengertian Undang-Undang tertulis) dan oleh lembaga hukum formal.
Pandangan ini mempunyai kecenderungan bahwa di negara hukum yang
maju lembaga peradilan harus berperan penting dalam menyelesaikan
sengketa.157
Namun dewasa ini cara penyelesaian sengketa melalui
peradilan mendapat kritik yang cukup tajam, baik dari praktisi maupun
teoritisi hukum, peran dan funsi peradilan, dianggap mengalami beban yang
156
Hasbi Hasan, Kompetensi Peradilan Agama Dalam Penyelesaian Perkara Ekonomi
Syariah, (Depok: Gramata Publishin, 2010), hlm, 163. 157
Nur Fadhil Lubis, Peluang dan Tantangan Peradilan Agama dalam Menyelesaikan
Sengketa Ekonomi Syariah Pasca Lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 2006, Makalah Seminar
Nasional Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah, Kerja Sama Fakultas Syariah IAIN Sumatera
Utara dengan Mahkaman Agung RI, Jakarta: 2006, hlm, 5
98
terlampau padat (overload), lamban dan buang waktu (waste of time), biaya
mahal (very expensive) dan kurang tanggap (unresponsive) terhadap
kepentingan umum, atau dianggap terlampau teknis (technically).158
Berikut di bawah ini penjelasan mengenai kelebihan dan kelemahan
dari penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui jalur arbitrase, kelebihan
penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang diambil dari beberapa sumber,
yaitu:
1. Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin.
2. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal procedural dan
administrative.
3. Para pihak dapat memilih arbiter yang memiliki pengalaman dan latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, secara jujur
dan adil.
4. Biaya relative murah.
5. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
6. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui
prosedur sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.
Sedangkan kelemahan penyelesaian melalui arbitrase yang diambil
dari beberapa sumber, yaitu:
1. Putusan arbitrase sangat tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk
memberikan putusan yang memuaskan kepada kedua belah pihak, karena
arbiter adalah seorang ahli, namun belum tentu memuaskan para pihak.
2. Kurangnya power untuk law enforcement dan eksekusi keputusan
3. Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat prefentif.
4. Kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama
lain karena tidak ada sistem “precedent” terhadap keputusan sebelumnya,
dan juga karena unsure fleksibilitas dari arbiter. Karena itu keputusan
arbitrase tidak predektif.
158
Nevey Varida Ariani, Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis diluar Pengadilan,
Jurnal Rechts Vinding, Vol 1, No. 2, (2012), hlm, 278.
99
5. Kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu
sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standar mutu
keputusan arbitrase.
D. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
Di Indonesia, agen hukum yang aktif melakukan reformasi hukum
ekonomi Islam adalah Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disebut
(MUI). Khusus di bidang ekonomi, MUI membentuk Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang bertugas menerbitkan
fatwa ekonomi syariah di Indonesia. Selama tahun 2000-2017, DSN-MUI
menerbitkan 109 fatwa ekonomi syariah.159
penyelesaian sengketa ekonomi
syariah dalam Fatwa DSN-MUI dari aspek lembaga penyelesaian sengketa
ekonomi syariah mengalami perubahan redaksi klausula sebanyak empat kali
perubahan, yaitu dalam rentang waktu 2000-2017.160
1. Periode 1 April 2000 sampai 23 Maret 2006 (fatwa nomor 4 sampai
fatwa nomor 53). Redaksi klausula penyelesaian sengketa berbunyi “Jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya
diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah”.
2. Periode 10 Oktober 2006 sampai 6 Maret 2008 (fatwa no 54 sampai
fatwa no 68). Redaksi klausula berbunyi “Jika salah satu pihak tidak
menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-
pihak terkait, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan
159
Fatwa secara etmologis berasal dari bahasa Arab yaitu al-fatwa, dengan bentuk jamak
fatawa, yang berarti petuah, nasihat, Jawaban pertanyaan hukum. Keberadaan fatwa dalam
masyarakat Islam merupakan sesuatu yang lazim terjadi. Dikatakan lazim karena banyak
pertanyaan atas permasalahn yang terjadi dalam masyarakat yang diajukan kepada orang atau
kelompok orang yang dianggap memahami ajaran Islam secara mendalam. Yeni Salma Barinti,
Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Seri
Disertasi, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, (2010), HLM, 63. 160
Mohamad Nur Yasin, Reformasi Hukum Ekonomi Islam Di Indonesia Studi Klausula
Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional 2000-2017, Jurnal
of Islamic Law/Jurnal Hukum Islam, vol. 16, No. 1 (2017), hlm, 243.
100
Arbitrase Syariah atau melalui Pengadilan Agama setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah”.
3. Periode 26 Juni 2008 sampai 6 Juni 2012 (fatwa nomor 69 sampai fatwa
nomor 83). Redaksi klausula penyelesaian sengketa berbunyi “Jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai
prinsip syariah”.
4. Periode 6 Juni 2012 sampai 17 Pebruari 2017 (fatwa no 84 sampai fatwa
no 109). Redaksi klausula penyelesaian sengketa berbunyi “Jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah”.
Tabel 3.2
Lembaga Penyelesai Sengketa pada Klausula Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah dalam Fatwa DSN-MUI (1 April 2000 s.d. 31 Maret 2017)
No
Fatwa
LEMBAGA PENYELESAI SENGKETA
Basyarnas
Basyarnas
dan
Pengadilan
Agama
Sesuai UU
dan prinsip
Syariah
Sesuai
kesepakatan
dan prinsip
syariah
1 Nomor 4 - 53 Thn
2000-2006
√
2 Nomor 54 – 68 Thn
2006-2008
√
3 Nomor 69 – 83 Thn
2008-2012
√
4 Nomor 84 – 109
Thn 2012-2017
√
Dengan adanya empat kali perubahan redaksi klausula penyelesaian
sengketa ekonomi syariah dari waktu ke waktu dan menyesuaikan dengan
dinamika hukum dan ekonomi di Indonesia menunjukkan bahwa DSN-MUI
101
melakukan aktivitas hukum yang menurut K. Tucker dan Bryan Adam bisa
disebut reformasi hukum.161
Konsep reformasi hukum model Tucker ini
selaras dengan konsep reformasi hukum yang dirumuskan Bryan Adams
dalam Black Law Dictionary, bahwa reformasi hukum adalah untuk
mengoreksi (correct), meralat (rectify), mengubah (amend), atau membentuk
ulang (remodel).
Mengacu pada rumusan Tucker dan Bryan Adams diatas, dapat
ditegaskan bahwa suatu reformasi hukum bisa dilakukan dengan empat
model. Pertama, menyesuaikan hukum dengan kondisi terkini (accord with
current conditions). Kedua, menghapus cacat pada hukum (the elimination of
defects in the law). Ketiga, menyederhanakan hukum (the simplification of
the law). Keempat, mengadopsi metode baru dan efektif (the adoption of new
or more effective methods).
Menurut penulis berbagai model reformasi hukum di atas adakalanya
dilakukan oleh berbagai pihak secara bertahap, kasuistik, sporadis, dan ada
pula yang melakukannya secara total. Perubahan klausula penyelesaian
sengketa ekonomi syariah dalam Fatwa DSN-MUI yang terbagi ke dalam
empat periode (2000-2006, 2006-2008, 2008-2012, dan 2012-2017)
menggambarkan bahwa telah terjadi reformasi hukum ekonomi syariah di
Indonesia dengan menggunakan empat model.
Pada prinsipnya, industri perbankan merupakan suatu kegiatan
usaha yang penuh dengan risiko (full risk business). Namun apabila dikelola
dengan baik dan hati-hati akan menghasilkan keuntungan yang sangat besar,
sebaliknya jika dikelola dengan buruk, akan menimbulkan risiko kerugian
yang besar pula. Oleh karena bank, senantiasa berhadapan dengan berbagai
risiko, apalagi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
161
Menurut K. Tucker, reformasi hukum adalah modernisasi hukum dengan cara
menyesuaikan hukum dengan situasi terkini (accord with current conditions), eliminasi cacat pada
hukum (the elimination of defects in the law), penyederhanaan hukum (the simplification of the
law), dan pengadopsian metode baru yang efektif untuk dispensasi keadilan (the adoption of new
or more effective methods for the dispensation of justice). K. Tucker, “Law Reform”
Encyclopaedic Australian Legal Dictionary. 2017. http://guides.lib. monash.edu/law/lawreform.
Diakses 5 Novembe, 2017.
102
lingkungan eksternal bank menyebabkan risiko usaha perbankan dari hari
kehari semakin kompleks sehingga harus diantisipasi sebaik mungkin.
103
BAB IV
ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA AKAD MUDHARABAH
MUQAYYADAH ANTARA DANA PENSIUN ANGKASA PURA II
DENGAN BANK MANDIRI SYARIAH
A. Penerapan Akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana Pensiun
Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima.
Penerapan pembiayaan Mudharabah di Indonesia dapat diklasifikasi
menjadi dua kategori, yaitu
1. Mudharabah Muthlaqah(General Investment) merupakan akad transaksi
dimana Mudharib diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola modal
dengan tidak dibatasi, baik mengenai empat, tujuan maupun jenis
usahanya.
2. Mudharabah Muqayyadah (Spesial Investment) adalah pihak Shahibul
Maal menetapkan syarat ketentuan yang harus dipatuhi Mudharib, baik
mengenai tempat, tujuan maupun jenis usahanya, dan dalam skim ini
Mudharib tidak diperkenakan untuk mencampurkan dengan modal atau
dana lain.162
Perbedaan pokok dari kedua skim Mudharabah ini adalah pada akad
transaksi kerjasama dalam skim Mudharabah Muthlaqahyang memberikan
kekuasaan penuh kepada Mudharib untuk mengelola modal dengan cakupan
yang sangat luas tanpa suatu batasan spesifikasi jenis usaha, waktu dan
daerah bisnis (tempat usaha) tertentu, sementara pada akad transaksi kerja
sama dalam skim Mudharabah Muqayyadah justru memberikan kekuasaan
penuh kepada Shahibul Maal untuk menetapkan syarat tertentu bahwa
Mudharib tidak diperkenankan untuk mencapurkan dengan modal atau dana
lain.
Sistem operasional skim pembiayaan Mudharabah menurut Nasrun
Haroen adalah penyerahaan modal dilakukan secara mutlak tanpa suatu syarat
162
Pembiayaan Muddharabah diatur DSN dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional
No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
104
dan pembatasan tertentu, sehingga Mudharib bebas mengelola modal dengan
usaha apa saja yang menurutnya akan mendatangkan keuntungan dan di
daerah mana saja yang ia inginkan sedangkan dalam sistem operasional skim
pembiayaan Mudharabah Muqayyadah syarat-syarat dan batasan-batasan
ditentukan oleh shahibul maal, Mudharib harus mengikuti apa yang telah
ditentukan, sehingga Mudharib harus berdagang barang tertentu, di daerah
tertentu dan membeli barang pada orang tertentu.
Dalam operasional kedua skim pembiayaan ini, Bank dapat bertindak
selaku Shahibul Maal terhadap pihak lain selalu pengelola (Mudharib) dan
dapat pula bertindak selaku pengelola (Mudharib) terhadap pihak lain selaku
shahibul maal.163
Muhammad Syafi`i Antonio, menyatakan bahwaa perbedaan
karakteristik sistem operasional Mudharab Muthlaqah dengan Mudharabah
Muqayyadah tersebut secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pada Mudharabah Muthalaqah, Shahibul Maal tidak memberikan
batasan-batasan (restriction) atas dana yang diinvestasikannya,
sedangkan pada Mudharabah Muqayyadah, Shahibul Maal memberikan
batasan-batasan (Restricton) atas dana yang diinvestasikannya.
2. Pada Mudharabah muthlaqah, Mudharib diberi wewenang penuh
mengelola dana tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha dan jenis
pelayanannya, sementara dalam Mudharabah Muqayyadah, Mudharib
hanya bisa mengelola dana sesuai dengan batasan yang telah ditentukan
oleh Shahibul Maal, dan terikat hana untuk jenis usaha tertentu, waktu
dan tempat tertentu saja.
3. Pada Mudharabah Muthlaqah, aplikasi perbankan yang sesuai dengan
akad ini adlaah time deposit biasa, sedangkan pada Mudharabah
Muqayyadah, aplikasi perbankan yang sesuai dengan akad ini adalah
special investment.164
163
Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta:Gaya Media Pratama,2000) , hlm. 178-179 164
Muhammad, Buchori, et-al, Lapora Hasil Kajian Standarisasi Akad Bagi Perbankan
Syari`ah (Jakarta:Direktorat Perbankan Syari`ah Bank Indonesia,2004), hlm. 47
105
Berdasarkan dari 2 (Dua) model pembiayaan di atas yang dikaji
dalam Tesis ini berdasarkan hasil kajian standarisasi akad bagi Perbankan
Syari`ah yang dilakukan oleh Direktorat Perbankan Syari`ah Bank Indonesia.
Bahwa di dalam transaksi selalu dinilai apakah suatu transaksi
dianggap memenuhi ketentuan hukum fiqh atau tidak, karena itu selalu
memperhatikan tuntunan Al-Qur`an, As-Sunnah dan Jurisprudensi transaksi
syariah yang pernah dibahas oleh para Fuqaha (terdokumentasi dalam Kitab
Fiqih Muamalat). Namun demikian dalam pelaksanaannya tidak semua
kondisi yang mendasari transaksi pada saat kitab tersebut disusun oleh para
puqaha sesuai dengan sistem keungan saat ini. Karena itu, selalu dilakukan
adaptasi terhadap bentuk akad dengan tujuan agar dapat diterima oleh
pemikiran warga masyarakat.
Hal dimaksud, bila dikaitkan pembiayaan Mudharabah dalam hukum
Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pembiayan
Mudharabah yang dijalankan oleh Bank Syariah Indonesia telah dapat
dinyatakan sesuai dengan Fatwa DSN dan Undang-undangan No. 21 Tentang
Perbankan Syariah.
Sistem operasional Mudharabah sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan
penyaluran dana bagi yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip
syariah. Hal dimaksud, tidak hanya dalam bentuk bagi hasil. Melainkan juga
dapat berupa pernytaan modal, bahkan pembiayaan bagi hasil. Ketentuan
tersebut menunjukan bahwa skema pembiayaan Mudharabah ternyata bentuk
kegiatan usaha lainya juga dapat berupa transaksi jual beli berdasarkan
prinsip Murabahah, istisna, Ijarah, dan Salam.165
Bank juga terkait selaku Shahibul Maal terhadap nasabah debitur,
dalam hal ini bnk kewajiban untuk bertindak secara amanah dalam
menjalankan kegiatan pembiayaan kepada pihak yang menjalankan kegiatan
165
Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran dana bagi yang melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah.
106
usaha. Menurut Iwan Triyuwono166
bahwa prespektif amanah dalam kontek
sebagai usaha adalah berikatan dengan pencapaian keuntungan berdasarkan
nilai-nilai normatif Ilahiyah.
Akad dalam kegiatan usaha pembiayaan Mudharabah, pada pokoknya
secara teknis yuridis telah dijelaskan dalam fatwa Dewan Syariah Nasional
No.07/DSN-MUI/IV/2000167
Yang dalam fatwa tersebut setidaknya terdapat
tiga bagian pokok, yaitu tentang ketentuan pembiayaan, tentang ketentuan
rukun dan syarat pembiayaan serta tentang ketentuan hukum pembiayaan.
Kententuan pembiayaan, dalam fatwa tersebut pada pokoknya
disebutkan bahwa di dalam pembiayaan Mudharabah:
1. Penyaluran pembiayaan hanya diperuntukan bagi suatu usaha produktif.
2. Lembaga keuangan syariah berkedudukan Shahibul Maal (pemilik dana)
yang membiayaai 100% kebutuhan usaha, sedangkan nasabah bertindak
sebagai Mudharib (pengelola).
3. Jangka waktu, tata cara pengambilan dana dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan Shahibul Maal dan Mudharib.
4. Mudhrib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati
bersama dan sesuai dengan syariah, meskipun Shahibul Maal tidak ikut
serta dalam manajemen perusahaan atau proyek, namun Shahibul Maal
punya hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jenis dalam bentuk
tunai dan bukan piutang.
6. Shahibul Maal sebagai penyandang dana bertanggung jawab atas semua
kerugiaan, kecuali jika kerugian itu diakibatkan oleh kesalahan Mudharib
yang disengaja atau karena kelalaian dan atau karena tindakan yang
meyalahi perjanjian.
7. Biaya operasional menjadi tanggung jawab Mudharib atau sepenuhnya
dibebankan kepada Mudharib.
166
Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akutansi Syariah (Yogyakarta, LKIS, 2000),
hlm. 207. 167
Fatwa Dewan Syariah Nasuinal No.07/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 7 April 2018.
107
8. Dalam hal Shahibul Maal tidak melakukan kewajibannya atau
melakukan perlanggaran terhadap kesapakatan, maka Mudharib berhak
mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikelurkan.
Pada prinsipnya tidak ada jaminan, namun agar Mudharib tidak
melakukan penyimpangan, shahibul al-maal dapat meminta jaminan, dan
jaminan tesebut hanya dapat dicairkan apabila Mudharib terbukti melakukan
pelanggran hal-hal yang telah disepakati dalam akad.
Kriteria Mudharib, prosedur pembiayaan dan mekanisme pembagian
keuntungan diatur oleh Shahibul Maal dengan tetap memperhatikan fatwa
Dewam Syariah Nasional.
Pada Akad Mudharabah Muqayyadah No. 108 tertanggal 28 Januari
2004 antara Dana Pensiun Angkasa Pura II, PT. Sari Indo Prima, dan Bank
Syariah Mandiri mengatur mengenai hubungan hak dan kewajiban antara para
pihak yang di antaranya berisi:
Pasal 1:
1. Pihak Pertama (Dana Pensiun Angksa Pura II) sebagai funder akan
menyediakan plafond limit sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar
rupiah)
2. Dari penyediaan plafond tersebut, Pihak Pertama akan menerima margin
setara 13,5% (tiga belas koma lima perseratus) per-annum efektif yang
akan diterima selambat-lambatnya tanggal 23 setiap bulan.
3. Kerjasama ini berlangsung selama 3 (tiga) tahun terhitung tanggal 23
Januari 2004 sampai dengan tanggal 23 Januari 2007. Setiap tahun akan
ada penurunan plafond sebesar yang disepakati Pihak Pertama dan Pihak
Kedua (PT. Sari Indo Prima).
Pasal 2:
1. Pihak Kedua akan menggunakan plafond sebagaimana Pasal 1 di atas
untuk melaksanakan pembelian mesin dan penambahan modal kerja.
2. Pihak Kedua akan membayar margin setiap bulannya kepada Pihak
Pertama secara proporsional dan margin 13,5% (tiga belas koma
108
lima perseratus) per-annum efektif yang mana pembayaran margin
tersebut difasilitasi oleh Pihak Ketiga (Bank Syariah Mandiri).
3. Pihak Kedua menjamin ketesediaan dana bagi pembayaran margin
sebagaimana tersebut pada butir 2 (dua) di atas.
4. Pihak Kedua akan membayar pokok dari plafond sebagaimana Pasal 1
(satu) di atas, dengan jadwal pembayaran sebagaimana tersebut di bawah
ini:
a. Pada akhir tahun pertama, sekurang-kurangnya sebesar 10%
(sepuluh perseratus) dari seluruh sisa jumlah plafond.
b. Pada akhir tahun kedua, sekurang-kurangnya sebesar 20% (dua
puluh perseratus) dari jumlah plafond.
c. Pada akhir jangka waktu kerjasama di tahun ketiga, seluruh sisa dari
jumlah plafond yang belum dibayar harus dibayar lunas.
Pasal 3:
1. Pihak Ketiga melaksanakan kerjasama ini sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang berlaku pada Bank Syariah Mandiri sesuai dengan
Mudharabah Muqayyadah.
2. Pihak Ketiga menyimpan seluruh bukti kepemilikan kekayaan (aset)
berupa mesin atas nama PT. Sari Indo Prima yang sudah diasuransikan
sebagai jaminan atas pembiayaan sebagaimana Pasal 2 ayat (1) dan
mengembalikan kepada Pihak Kedua di akhir periode kerjasama ini.
3. Pihak Ketiga akan memperoleh margin setara 1% (satu perseratus) per-
annum efektif.
4. Pihak Ketiga akan memfasilitasi pembayaran margin dari Pihak Kedua
kepada Pihak Pertama setiap bulannya sesuai dengan Pasal 2 ayat (2).
5. Apabila ternyata Pihak Kedua tidak dapat menyelesaikan kewajibannya
tepat waktu yang diperjanjikan sesuai Pasal 1 ayat (3) di atas, Pihak
Ketiga akan mengambil langkah-langkah sesuai dengan yang
diperjanjikan untuk kepentingan Pihak Pertama.
109
Selain itu, dalam akad ini juga disepakati tentang kewajiban Bank
Syariah Mandiri sebagai perantara sekaligus sebagai wakil dari kedua belah
pihak, sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Akad Mudharabah
Muqayyadah No. 108, yaitu sebagai berikut:
1. Membuat akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana Pensiun Angkasa
Pura II dengan PT. Sari Indo Prima;
2. Membukuan pembiayaan Dana Pensiun Angkasa Pura II kepada PT. Sari
Indo Prima secara off balance sheet;
3. Memonitor penggunaan dana Dana Pensiun Angkasa Pura II oleh
PT Sari Indo Prima. sesuai peruntukkannya;
4. Sebagai booking office atau fasilitator dalam hal pembayaran pokok
maupun bagi hasil dari PT. Sari Indo Prima kepada Dana Pensiun
Angkasa Pura II pada periode yang telah disepakati oleh Dana Pensiun
Angkasa Pura II dan PT. Sari Indo Prima;
5. Melaksanakan kerjasama ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
berlaku pada Bank Syariah Mandiri sesuai denggan skim pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah;
6. Menyalurkan dana Dana Pensiun Angkasa Pura II kepada PT. Sari Indo
Prima untuk keperluan pelaksanaan Akad Mudharabah Muqayyadah
antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dan PT. Sari Indo Prima;
7. Menyimpan seluruh bukti kepemilikan kekayaan PT. Sari Indo Prima
sebagai jaminan dan monitoring dana untuk kepentingan Dana Pensiun
Angkasa Pura II.
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) juncto Pasal 8 ayat (1) dan ayat (5) yang
disepakati dalam pembiayaan dimaksud adalah akad pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah off balance sheet, dimana Dana Pensiun Angkasa
Pura II bertindak sebagai shahibul maal, PT. Sari Indo Prima bertindak
sebagai Mudharib dan Bank Syariah Mandiri sebagai Booking
Officer/Fasilitator (Perantara). Dengan skim pembiayaan Mudharabah off
balance sheet maka aliran dana dari Shahibul Maal kepada Mudharib tidak
110
dicatat dalam neraca keuangan Bank Syariah Mandiri, namun dicatat hanya
dalam rekening administratif saja.
Akad pembiayaan Mudharabah Muqayyadah ini dibuat pada tahun
2003 dimana pada saat itu peraturan mengenai standar pembuatan akad pada
produk pembiayaan dengan prinsip syariah belum ada. Peraturan mengenai
standar akad dalam penghimpunan dana dan penyaluran dana pada perbankan
dengan prinsip syariah baru dibuat oleh Bank Indonesia tahun 2005 yaitu
dengan adanya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang
Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana tersebut di atas.
PBI No. 7/46/PBI/2005 tersebut kini telah dicabut oleh PBI No.
9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah. Selain itu, pada saat pembuatan akad tersebut kebijakan atas
pembuatan akad dikembalikan pada masing-masing Bank Syariah dengan
berlandaskan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Fatwa DSN yang
menjadi pedoman dalam pembuatan akad tersebut yaitu Fatwa DSN No.
07/DSN- MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
Sedangkan undang- undang perbankan syariah yang berlaku pada saat itu
adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Sejak awal proses pembiayaan pihak Bank Syariah Mandiri tidak
menyampaikan secara transparan kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II
bahwa pada bulan Oktober 2003, yaitu tiga bulan sebelum adanya akad
pembiayaan Mudharabah Muqayyadah antara Dana Pensiun Angkasa Pura II,
PT. Sari Indo Prima dan Bank Syariah Mandiri, PT. Sari Indo Prima telah
mendapatkan pembiayaan dari Bank Syariah Mandiri sebesar Rp.
6.500.000.000.000,- (enam milyar lima ratus juta rupiah) sebagaimana yang
dibuat dalam akad no. 5/123/017/AKAD/MRBH dan akad no.
5/124/017/AKAD. Sedangkan pada akad pembiayaan no. 108, disebutkan
bahwa PT. Sari Indo Prima tidak dalam keadaan berhutang pada pihak lain.
111
Hal ini bertentangan dengan prinsip prudential banking yang mewajibkan
bahwa bank wajib menyampaikan informasi kepada nasabah secara benar,
lengkap, jelas, dan jujur.
Selain itu, sebelum mendapatkan pembiayaan dengan akad
Mudharabah Muqayyadah no. 108, PT Sari Indo Prima telah lebih dahulu
mendapatkan pembiayaan murabahah dan pembiayaan Musyarakah dari Bank
Syariah Mandiri pada tanggal 21 Oktober 2003. Atas permasalahan tersebut,
untuk menjadi nasabah pembiayaan Mudharabah maka terlebih dahulu harus
menjadi nasabah murabahah, jika yang bersangkutan memiliki tabiat baik.
Dengan dilakukannya proses ini, tabiat nasabah diketahui oleh bank syariah,
sehingga tindakan-tindakan curang dapat diminimalkan karena bank telah
mengetahui track record dari calon nasabah pembiayaan Mudharabah.168
Melihat dari hal tersebut, Bank Syariah Mandiri dan PT.Sari Indo Prima
kurang lebih baru 3 (tiga) bulan melakukan transaksi pembiayaan Murabahah
dan Musyarakah. Dengan demikian, mestinya PT Sari Indo Prima belum
layak untuk dinaikkan menjadi nasabah pembiayaan Mudharabah
Muqayyadah.
Untuk sampai pada keyakinan bahwa PT Sari Indo Prima layak
dibiayai dengan fasilitas Mudharabah, tentunya analisis perlu
dilaksanakan dalam tenggang waktu yang memadai, tetapi tidak sampai
berlarut-larut. Apabila tenggang waktu antara pemberian pembiayaan dengan
saat terjadi permasalahan terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat, hal
tersebut dapat menjadi indikasi bahwa penilaian atas kemampuan dan
kemauan dari nasabah pembiayaan untuk membayar kembali fasilitas
pembiayaannya tidak dianalisa oleh bank syariah secara mendalam.169
Hal ini
terbukti dengan adanya permasalahan bahwa PT Sari Indo Prima tidak
melaksanakan kewajiban membayarkan angsuran pokok dan margin bagi
hasil sebesar 13,5% (tiga belas koma lima perseratus) setiap bulan kurang
168
Adiwarman Karim, Bank Islam Analisa Fiqih dan Keuangan, hlm. 126 169
Jonker Sihombing, Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah,
(Bandung: Penerbit Alumni, 2009), hlm. 124.
112
lebih setelah 7 (tujuh) bulan akad pembiayaan tersebut berjalan, yaitu mulai
bulan Agustus 2004.
Tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian perbankan secara mendalam
terlihat juga dalam hal Bank Syariah Mandiri sebagai fasilitator tidak
melakukan pengawasan atas penggunaan dana oleh PT Sari Indo Prima sesuai
dengan peruntukkannya, dimana Mudharib (PT Sari Indo Prima) telah
melakukan Side Streaming (menggunakan dana tidak sebagaimana
kesepakatan dalam akad) yaitu dengan senggaja menggunakan dana milik
Shahibul Maal untuk memperluas pabrik dan membiayai overhead. Padahal
dalam kesepakatan, dana tersebut digunakan untuk membeli mesin-mesin dan
menambah modal kerja. Kewajiban mengenai pengawasan oleh Bank Syariah
Mandiri tersebut tercantum dalam Pasal 8 huruf c Akad Mudharabah
Muqayyadah No. 108. Dalam kondisi demikian, Bank Syariah Mandiri tidak
transparan terhadap analisa pembiayaan ini dan tidak amanah atas kewajiban
dan tugasnya sesuai dengan kesepakatan.
Terkait dengan permasalahan tersebut, kewajiban bank syariah adalah
melakukan perlindungan terhadap nasabah, antara lain bank diwajibkan
untuk:170
1. Menjaga usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan
melaksanakan ketentuan batas maksimum pemberian pembiayaan,
pemberian jaminan. Penempatan investasi surat berharga, atau hal lain
yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-
perusahaan dalam kelompok yang sama dengan baik yang
bersangkutan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
2. Dalam memberikan pembiayaan dalam melakukan usaha lainnya,
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepada nasabah
yang mempercayakan dananya ke bank;
170
Subagyo Joyosuminto, Masalah Legal Lending Limit dalam Dunia Perbankan,
(Jakarta: Biro Hukum Bank Indonesia, 1993), hlm. 24.
113
3. Untuk kepentingan nasabah, bank menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya risiko kerugian bagi transaksi nasabah yang
dilakukan melalui bank.
Atas dasar uraian di atas, maka apabila Bank Syariah Mandiri dalam
membuat nota analisa pembiayaan secara baik dan benar, serta transparan,
yang sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU No. 10 Tahun 1998, maka
risiko dalam pembiayaan ini tidak akan terjadi karena pihak Dana Pensiun
Angkasa Pura II akan enggan dan berpikir ulang untuk ikut dalam
pembiayaan akad Mudharabah Muqayyadah ini. Dengan demikian Bank
Syariah Mandiri telah bertindak tidak professional dan melanggar prinsip
kehati-hatian perbankan dalam pembuatan akad pembiayaan Mudharabah
Muqayyadah tersebut.
Selain itu, di dalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan No. 10 Tahun
1998 disebutkan bahwa untuk mendapatkan keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya, maka bank wajib melakukan penilaian yang seksama
atas watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur.
Berdasarkan analisis kredit atau pembiayaan yang dilakukannya, bank akan
memberikan keputusan menolak atau menyetujui permohonan calon debitur.
Oleh karena itu, setiap analisis kredit atau pembiayaan harus memuat
penilaian yang lengkap dan sempurna sehingga dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan peraturan intern bank dan peraturan perundang-undangan
lainnya.171
Sehubungan dengan itu, bank syariah dalam fungsinya sebagai
pemberi ataupun perantara dalam pembiayaan yang diberikan kepada
Mudharib wajib melakukan upaya pengamanan agar pembiayaan tersebut
dapat dikembalikan oleh Mudharib yang bersangkutan. Pembiayaan yang
tidak dikembalikan oleh Mudharib, baik seluruhnya maupun sebagian,
merupakan kerugian bagi bank syariah. Kerugian yang menunjukkan
171
M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 81.
114
jumlah yang relatif besar akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan
kelanjutan usaha bank syariah.172
Oleh karena itu, sekecil apapun nilai uang
dari pembiayaan yang telah disalurkan kepada Mudharib harus tetap diawasi
sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Secara umum, pengamanan pembiayaan
dapat dilakukan melalui tahap analisis kredit dan melalui penerapan ketentuan
hukum yang berlaku.
Terkait dengan permasalahan jaminan, sebagai sebuah kerjasama
antara dua pihak yang berbeda untuk suatu tujuan, diperlukan beberapa
kesepakatan berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi aturan dan wewenang
yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi patokan hukum
selama perjanjian atau akad Mudharabah Muqayyadah ini berlangsung. Hal
yang perlu disepakati antara lain mengenai jaminan. Pada dasarnya, dalam
sebuah perjanjian Mudharabah atau bagi hasil, eksistensi dari jaminan atau
collateral tidak dibutuhkan lagi, mengingat di dalamnya sudah mengatur
mengenai risiko bagi para pihak jika terjadi kerugian. Tingkat urgenitas dari
jaminan ini adalah berkaitan dengan kekhawatiran Shahibul Maal mengenai
kemungkinan terjadinya penyelewengan (Side Streaming) yang dilakukan
oleh Mudharib. Dengan kata lain, moral hazard menjadi faktor mengapa
jaminan menjadi penting. Adanya jaminan juga diharapkan dapat
meng-cover kemungkinan terjadinya total loss, walaupun mengenai jaminan
ini sendiri masih menjadi perdebatan dari para ulama.173
Keterkaitan jaminan dengan pengamanan pembiayaan merupakan
upaya atau alternatif yang dapat digunakan bank syariah untuk mendapatkan
pelunasan pembiayaan pada waktu Mudharib cidera janji terhadap
kesepakatan dalam akad. Terhadap setiap objek jaminan kredit yang
diserahkan dan disetujui oleh bank, harus segera diikat sebagai jaminan. Bank
harus mengikat objek jaminan secara sempurna. Pengikatan atau penguasaan
jaminan pembiayaan dilakukan sebelum diizinkannya Mudharib menarik
dana pembiayaan. Kewajiban pengikatan dan penguasaan jaminan
172
M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, hlm. 103. 173
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, hlm. 134
115
pembiayaan merupakan bagian dari persyaratan administratif yang sudah
diselesaikan sebelum pembiayaan disalurkan kepada debitur.174
Mengenai
adanya jaminan ini juga diatur dalam Pasal 6 PBI 7/46/PBI/2005 yang
menyebutkan bahwa bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk
mengantisipasi risiko bila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban
sebagaimana dimuat dalam akad, karena kelalaian dan/atau kecurangan.
Di dalam kasus pembiayaan Mudharabah Muqayyadah antara Dana
Pensiun Angkasa Pura II dengan PT Sari Indo Prima dimana Bank Syariah
Mandiri sebagai perantara, Bank Syariah Mandiri tidak dengan baik
melaksanakan pengikatan barang jaminan PT Sari Indo Prima sebagai
Mudharib dan melakukan pengawasan penggunaan dana guna menjamin dana
dari Dana Pensiun Angkasa Pura II sebagai shahibul maal. Hal tersebut
mengakibatkan adanya side streaming175
yang dilakukan oleh PT Sari Indo
Prima sebagai Mudharib, salah satunya adalah PT Sari Indo Prima juga
membayar atau mengangsur hutangnya kepada Bank Syariah Mandiri pada
akad murabahah yang dilakukan sebelum adanya pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah ini.
Berdasarkan penjelasan diatas, Bank Syariah Mandiri sebagai
perantara tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam akad yang dapat
melindungi kepentingan Dana Pensiun Angakasa Pura II sebagai nasabah
pemberi dana. Bank Syariah Mandiri tidak melakukan analisis yang
mendalam terhadap kondisi keuangan dari PT Sari Indo Prima sebelum
dibuatnya akad pembiayaan mudahabah muqayyadah antara Dana Pensiun
Angkasa Pura II, Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima. Bank
Syariah Mandiri dalam mengalisa pembiayaanya tehadapat PT Sari Indo
Prima tidak menganalisa apakah pembiayaan tersebut berstatus macet atau
tidak, bahwa Bank Syariah Mandiri sebelumnya telah melakukan pembiayaan
174
M.Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, hlm. 132. 175
Beberapa risiko yang terdapat dalam pembiayaan mudharabah, yaitu: Side streaming,
yaitu nasabah menggunakan dana tersebut bukan seperti yang disebut dalam kontrak; Lalai dan
kesalahan yang disengaja; Penyembunyian keuntungan oleh nasabah, bila nasabahnya tidak jujur.
(Lihat Muhammad Syafi‟I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001), hlm. 94.
116
Mudharabah dengan PT Sari Indo Prima, namun melakukan pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah yang melibatkan Dana Pensiun Angkasa Pura II,
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima, sehingga didalam pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah ini aset PT Sari Indo Prima telah terjaminkan
sebelumnya kepada Bank Syariah Mandiri. Jadi disini Bank Syariah Mandiri
telah melakukan pelanggaran prinsip mengenal nasabah walaupun terlebih
dahulu telah ada keterangan dari audit independen mengenai total aset PT
Sari Indo Prima. Seandainya Bank Mandiri Syariah dalam membuat Nota
analisa pembiayaan dibuat secara lengkap dan benar maka Dana Pensiun
Angkasa Pura II sebagai Shahibul Maal akan enggan melakukan pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah dengan PT Sari Indo Prima sebagai Mudharib
dikarekan PT Sari Indo Prima telah terlebih dahulu terkait dengan
pembiayaan Murabahah dengan Bank Syariah Mandiri.
B. Penyelesaian Sengekta Akad Mudharabah Muqayyadah terhadap kasus
Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT
Sari Indo Prima
Dana Pensiun Angkasa pura II dengan PT. Sari Indo Prima dan Bank
Syari‟ah Mandiri telah mencantumkan bahwa penyelesaian sengketa yang
akan terjadi akan diselesaikan melalui BASYARNAS. Kewenangan tersebut
dicantumkan dalam kesepakatan bersama antara Dana Pensiun Angkasa pura
II dengan PT. Sari Indo Prima dan Bank Syari‟ah Mandiri cabang Tangerang
No.006/MOU/DPAP II/I/2004 – No. 103/0110/MOU-SIPI/2004 –
No05/1393/017 yang dibuat pada tanggal 23 Januari 2004 pada Pasal 4
dinyatakan bahwa jika terjadi perselisihan akan diselesaikan melalui BAMUI
yang saat ini telah diganti menjadi BASYARNAS.
Karena perjanjian yang disepakati para pihak merupakan Undang
Undang bagi para pihak menurut pasal 1338 KUH Perdata
Dengan adanya penyelesaian sengketa maka peran BASYARNAS
dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah baru dapat dilaksanakan
karena BASYARNAS memiliki kewenangan absolut untuk menyelesaikan
117
permasalahan yang terjadi. Dalam perjanjian ini telah disepakati penyelesaian
sengketa melalui Basyarnas dengan. Dengan para pihak yang mengajukan
sengketa yang didalam perjanjiannya mencantumkan klausula arbitrase maka
Pengadilan Agama harus menolak permohonan tersebut.
Dalam menjalankan perannya, BASYARNAS harus melakukannya
sesuai dengan prosedur yang tercantum dalam Peraturan Prosedur Badan
Arbitrase Syari‟ah Nasional (BASYARNAS). Setelah surat permohonan
diperiksa dan terdapat klausula arbitrase maka BASYARNAS akan menunjuk
arbiter atau majelis arbitrase yang akan memeriksa dan memutus sengketa
antara kedua belah pihak. Pada penetapan arbiter, siapa saja dapat menjadi
arbiter asal mempunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan
sengketa yang sedang terjadi. Seorang arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa
juga seorang yang ahli dalam bidang tertentu.176
Arbiter yang ditunjuk oleh
ketua BASYARNAS dipilih dari para anggota anggota Dewan Arbiter yang
telah terdaftar pada BASYARNAS.
BASYARNAS juga memiliki peran dalam hal pengupayaan
perdamaian bagi kedua belah pihak yang bersengketa. Perdamaian sangat
dianjurkan oleh Allah SWT sebagaimana tercantum dalam surat an-Nisaa‟ (4)
ayat 126 yang artinya (lebih kurang) :
“perdamaian itu adalah jalan terbaik”.
Perdamaian (Sulh) berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk
mengakhiri perselisihan/pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa
secara damai.177
Jika perdamain tercapai maka arbiter atau arbiter majelis
akan membuat akta perdamaian yang bersifat final dan mengikat para pihak
untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Dalam hal perdamaian yang
dilakukan tidak tercapai oleh kedua belah pihak, maka arbiter atau arbiter
majelis akan melanjutkan pemeriksaan terhadap pokok perkara.
Proses pemeriksaan oleh dan melalui pranata arbitrase ini tidak
berbeda jauh dalam dengan proses pemeriksaan peradilan perdata yang
176
Rachmadi Usman, Op.cit, hlm 168. 177
Abdul manan, Hukum Ekonomi Syari`ah dalam presfektif kewenangan peradilan
agama, Penerbit:Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm 427
118
menjurus ke arah perdamaian. Akan tetapi, pranata arbitrase yang merupakan
suatu alternatif penyelesaian sengketa yang dilakukan BASYARNAS hanya
terhadap hal-hal yang dimungkinkan adanya kebebasan dari para pihak untuk
melakukan penyimpangan dari ketentuan hukum yang berlaku umum.178
Artinya adalah dalam proses pemeriksaan para pihak diberikan kebebasan
untuk menentukan sendiri acara dan proses pemerikasaan sengketa akan
tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Seperti pemeriksaan peradilan pada umumnya dalam penyelesain
melalui arbitrase masing-masing pihak juga memiliki kesempatan yang sama
untuk didengar pendapatnya untuk melakukan pembelaan dan
mempertahankan kepentingannya. Dalam sidang pertama, Termohon dapat
mengajukan tuntutan balasan (rekopensi), tuntutan balasan tersebut harus
diajukan sekaligus dalam jawaban pertama atau pada saat hari pemeriksaan,
kemudian Dana Pensiun Angkasa Pura II akan diberi kesempatan untuk
menanggapinya (replik). Tuntutan masing-masing pihak akan diperiksa dan
diputus bersama-sama dalam satu putusan. Para pihak dapat mengajukan
bukti-bukti serta saksi atau ahli ke meja persidangan untuk didengar
keterangannya. Apabila arbiter tunggal atau arbiter majelis telah menganggap
bahwa pemeriksaan telah selesai maka pemeriksaan akan ditutup dan akan
ditetapkan hari sidang guna membacakan putusan.
Mengenai putusan No.15/tahun 2007/BASYARNAS/Ka.Jak yang
merupakan putusan majelis arbitrase terdapat hal yang penting untuk
dianalisa yaitu 1) Mengenai Perbuatan hukum dan wanprestasi 2) Mengenai
ganti rugi.
1. Perbuatan melawan hukum dan wanprestasi
Pada duduk perkara disebutkan bahwa Dana Pensiun Angkasa
Pura II menganggap Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima telah
melakukan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Perbuatan
melawan hukum yang telah dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri dan PT
178
Jaih Mubarok, Op.cit, hlm 91
119
Sari Indo Prima menurut Dana Pensiun Angkasa Pura II adalah Bank
Syariah Mandiri tidak melaksanakan prudentian banking principles
(Prisip Kehati-Hatian) serta adanya ketidak transparansi dalam hal
informasi yang diberikan Bank Syariah Mandiri mengenai keadaan PT
Sari Indo Prima kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II sejak awal. Di
mana informasi yang diberikan oleh Bank Syariah Mandiri kepada Dana
Pensiun Angkasa Pura II tidak benar, tidak lengkap, dan tidak jelas,
sehingga menyebabkan kerugian kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II.
Selain itu Bank Syariah Mandiri tidak melaksanakan kewajibannya
dalam hal memonitor dana yang digunakan PT Sari Indo Prima sehingga
dan tersebut disalahgunakan oleh PT Sari Indo Prima.
Sementara dalam eksepsi Bank Syariah Mandiri menyatakan
bahwa gugatan yang diajukan Dana Pensiun Angkasa Pura II kabur/tidak
jelas karena menggabungkan perbuatan melawan hukum dengan
perbuatan cidera janji sehingga menurut Bank Syariah Mandiri sudah
sepatutnya arbiter menyatakan permohonan yang diajukan pemohom
tidak dapat diterima. Bank Syariah Mandiri memberikan beberapa
pendapat untuk menguatkan pendapatnya tersebut salah satunya yaitu
Putusan Mahkamah Agung RI No 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari
2001 yang menyatakan :
“Penggabungan Perbuatan melawan hukum dengan Wanprestasi
dalam satu gugatan melanggar tata tertib beracara dan harus
diselesaikan tersendiri. Konstruksi gugatan seperti itu mengandung
kontradiksi, dan gugatan dikategorikan obscuur libel, sehingga tidak
dapat diterima.”
Pebuatan melawan hukum ialah tidak hanya perbuatan yang
langsung melanggar hukum, melainkan juga perbuatan yang secara
langsung melanggar peraturan lain dari pada hukum, akan tetapi dapat
dikatakan secara tidak langsung melanggar hukum. Yang dimaksud
peraturan lain adalah peraturan di lapangan kesusilaan, keagamaan, dan
120
sopan santun.179
Semula pengertian perbuatan melawan hukum hanya
diartikan secara sempit yaitu perbuatan yang melanggar undang-undang
saja. Akan tetapi kemudian Hoge Raad dalam kasus yang terkeanal
Lindenbaum melawan Cohen memperluas pengertian melawan hukum
bukan hanya sebagai perbuatan yang melaggar Undang-undang, tetapi
juga setiap perbuatan yang melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan
kesusilaan. dalam hubugan antara sesama warga masyarakat dan terhadap
benda orang lain.180
Bank Syariah Mandiri dalam hal perbuatan melawan hukum telah
melanggar kehati- hatian dan kepatutan. Pelanggaran prinsip kehati-
hatian terjadi dalam hal pihak Bank Syariah Mandiri tidak menggunakan
prinsip kehati-hatian dalam hal pemberian pembiayaan sehingga
menimbulkan kerugian bagi Dana Pensiun Angkasa Pura II. Mengenai
prinsip kehati-hatian dalam pemberian pembiayaan telah di jelaskan
dalam Undang- undang No.10 tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-
undang No.70 Tahun 1992 tentang perbankan pada Pasal 8 ayat (1) dan
(2) yang berbunyi:
a. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syari‟ah, Bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksu sesuai dengan yang
diperjanjikan.
b. Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan
dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syari‟ah, sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Bank Syariah Mandiri juga telah melanggar asas kepatutan
dimana Bank Syariah Mandiri tidak menjalankan kewajibannya untuk
179
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Penerbit: Sumur, Bandung,
1976, hlm. 12-13 180
Suharnoko, Hukum Perjanjian:Teori dan Analisa Kasus, Penerbit:Kencana, Jakarta,
2004, hlm.119
121
memonitoring dana dari shahib al-mal yang digunakan oleh PT Sari Indo
Prima. Akibat dari kelalaian Bank Syariah Mandiri dalam memonitoring
usaha yang dilakukan oleh PT Sari Indo Prima mengakibatkan PT Sari
Indo Prima menyalahgunakan dana yang telah diberikan tersebut.
PT Sari Indo Prima berdasarkan pendapat majelis arbiter telah
melakukan kesalahan fatal kerena dengan sengaja menyalahgunakan
dana milik shahib al-mal tidak sebagaimana yang tertulis dalam
perjanjian, yaitu untuk membeli mesin- mesin dan menambah modal
kerja, tetapi oleh PT Sari Indo Prima ternyata dana tersebut digunakan
untuk kepentingan lain yaitu memperluas pabrik. Mudharabah adalah
pemberian harta tertentu kepada orang lain supaya dijadikan modal usaha
dan keuntungannya dibagi berdasarkan syarat yang disepakati antara
pemilik modal dengan yang menjalankan modal. Berdasarkan pengertian
Mudharabah tersebut maka tidak tepat bahwa dana shabib al-mal tersebut
digunaan sebagai inventori (bukan modal kerja).
Perbuatan melawan hukum selanjutnya yang telah dilakukan oleh
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima adalah penipuan.
Penipuan yang dimaksudkan disini adalah bahwa Bank Syariah Mandiri
dan PT Sari Indo Prima memberikan informasi yang tidak sebenarnya
kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II. Bank Syariah Mandiri
menyatakan bahwa PT Sari Indo Prima tidak dalam keadaan berhutang
kepada pihak lain, akan tetapi pada kenyataannya PT Sari Indo Prima
masih terikat perjanjian Murabahah dan perjanjian Musyarakah dengan
Bank Syariah Mandiri sejak tanggal 21 Oktober 2003. Penipuan ini
dilakukan atas perbuatan Bank Syariah Mandiri mengajak PT Sari Indo
Prima yang membutuhkan biaya memanfaatkan dana dari Dana Pensiun
Angkasa Pura II.
Perbuatan yang dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri dan PT Sari
Indo Prima sangat dilarang oleh Allah, sebagaimana tercantum dalam Al-
Quran Surat Al-Baqarah 188 yang artinya (lebih kurang):
122
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang
lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu
membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebaagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat
dosa, sedangkan kamu mengetahui.”
Dalam dalil permohonan yang diajukan oleh Dana Pensiun
Angkasa Pura II juga terdapat dalil wanprestasi. Hal ini didasari oleh
ketidakmampuan PT Sari Indo Prima untuk membayar pokok pinjaman
maupun margin bagi hasil kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II karena
penggunaan modal yang tidak relevan dengan akad Mudharabah
Muqayyadah. Berdasarkan akad pembiayaan Mudharabah Muqayyadah
nomor: 108 yang dibuat antara Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima, dana yang diinvestasikan
oleh Dana Pensiun Angkasa Pura II kepada PT Sari Indo Prima adalah
sebesar Rp 10.000.000.000,00, margin bagi hasil bagi untuk Dana
Pensiun Angkasa Pura II sebesar 13,5% (tiga belas koma lima persen)
dan Bank Syariah Mandiri mendapat fee sebesar 1% (satu persen).
Jangka waktu akad tersebut berakhir terhitung sejak tanggal 23 Januari
2007. Akan tetapi PT Sari Indo Prima tidak kunjung membayarkan
penjiman pokok dan margin bagi hasilnya kepada Dana Pensiun Angkasa
Pura II, sehingga menimbulkan kerugian bagi Dana Pensiun Angkasa
Pura II.
Wanprestasi adalah keadaan di mana salah satu pihak ingkar janji
terhadap perikatan atau perjanjian antara para pihak baik perikatan
tersebut didasarkan atas perjanjian sesuai Pasal 1338 sampai dengan
Pasal 1341 KUHPerdata maupun perjanjian yang bersumber pada
Undang-undang seperti diatur dalam Pasal 1352 sampai dengan Pasal
1380 KUHPerdata.181 Perbuatan ingkar janji dalam Islam sangat
181
Darwin Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata , Penerbit:Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.131
123
dilarang oleh Allah, Allah berfirman dalam Al- Quran Surat Ash-Shaf
(61) ayat 2-3 yang artinya (lebih kurang):
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan
apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”
Dalam Islam disebutkan bahwa menepati janji adalah bagian dari
Iman dan termasuk diantara sifat para Nabi dan Rasul. Rasullah
bersabda “Menepati janji dengan baik adalah sebagian dari iman dan
baginya tidak ada pahala kecuali surga”.182
Selain itu Allah Swt
berfirman dalam surah Al-israa‟ (17) ayat 34 yang artinya (lebih kurang):
“...dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya”
Wanprestasi dapat terjadi karena disengaja ataupun tidak
disengaja. Wanprestasi dapat berupa:183
a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
b. Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;
c. Terlambat memenuhi presatasi;dan
d. Melakukan apa yang dilakukan dalam perjanjian dilarang untuk
dilakukan.
2. Ganti Rugi
Dalam hukum Islam ganti rugi dikenal dengan nama dhaman
sebagaimana dijelaskan oleh Asmuni Mt, bahwa kata dhaman memiliki
makna yang cukup beragam, baik makna secara bahasa maupun makna
secara istilah. Secara bahasa dhaman diartikan sebagai ganti rugi atau
tanggungan. Dhaman di dalam hukum Islam dibedakan menjadi dua
macam, yaitu:
182
Departemen Agama RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Penerbit:Departemen
Agama RI, 2002, Hlm 222 183
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Bernuansa Islam, Penerbit:Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2012, hlm 95.
124
a. Dhaman akad (dhaman al-'aqd), yaitu tanggung jawab perdata untuk
memberikan ganti rugi yang bersumber kepada ingkar akad;
b. Dhaman udwan (dhaman al-'udwan), yaitu tanggung jawab perdata
untuk memberikan ganti rugi yang bersumber kepada perbuatan
merugikan (al-fi'l adh- dhan) atau dalam istilah hukum perdata
Indonesia disebut perbuatan melawan hukum.
Terdapat perbedaan antara ganti rugi perbuatan melawan hukum
dan ganti rugi dalam hal wanprestasi. Menurut ketentuan Pasal 1243
KUHPerdata, ganti kerugian karena tidak dipenuhinya suatu perikatan,
barulah mulai diwajibkan apabila debitur setelah dinyatakan lalai
memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.
Adapun bunyi Pasal 1243 KUH Perdata adalah sebagai berikut :
“Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya
suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah
dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan
atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah
ditentukan.”
Yang dimaksud kerugian dalam pasal ini ialah kerugian yang
timbul karena debitur melakukan wanprestasi (lalai memenuhi
perikatan). Kerugian tersebut wajib diganti oleh debitur terhitung sejak ia
dinyatakan lalai. Ganti kerugian sebagaimana yang disebutkan dalam
Pasal 1243 di atas, terdiri dari tiga unsur yaitu:
a. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan, misalnya ongkosa cetak,
biaya materai, biaya iklan.
b. Kerugian karena Kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat
kelalaian debitur, misalnya busuknya buah-buah karena kelambatan
penyerahan, amburuknya rumah karena kesalahan konstruksi sehingga
merusakkan prabot rumah tangga.
125
c. Bunga atau keuntungan yang diharapkan, misalnya bunga yang
berjalan selama piutang terlambat diserahkan (dilunasi), keuntungan
yang tidak diperoleh karena kelambatan penyerahan bendanya.
Dalam hukum Islam besaran mengenai ganti rugi yang dapat
diminta oleh pihak yang dirugikan diukur berdasarkan urf (kebiasaan)
yang berlaku. Dengan demikian, dharar (kerugian) berkaitan dengan
harta benda, manfaat harta benda, jiwa, dan hak-hak yang berkaitan
dengan keharta bendaan harus selaras dengan kebiasaan yang berlaku di
tengah masyarakat. Kualitas dan kuantitas dhaman harus seimbang
dengan darar. Hal ini sejalan dengan filosofi dhaman, yaitu untuk
mengganti dan menutupi kerugian yang diderita pihak korban, bukan
membuat pelakunya agar menjadi jera.
Berdasarkan analisis diatas maka jelas bahwa Bank Syariah
Mandiri dan PT Sari Indo Prima telah melakukan perbuatan melawan
hukum dan wanprestasi, sehingga keputusan majelis arbiter yang dalam
putusannya membatalkan akad pembiayaan Mudharabah Muqayyadah
No.108 tanggal 28 Januari 2004 dan menghukum Bank Syariah Mandiri
dan PT Sari Indo Prima bersama-sama secara tanggung renteng
membayar jumlah pokok pembiayaan sebesar Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) telah sesuai dengan hukum yang berlaku baik dari
segi hukum positif maupun hukum Islam.
Putusan Basyarnas bersifat final dan mengikat (final and binding)
untuk dilaksanakan antara nasabah dan bank. Pendapat hukum yang
diberikan lembaga arbitrase syariah bersifat mengikat (binding) oleh
karena pendapat yang diberikan tersebut akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari perjanjian pokok (yang dimintakan pendapatnya pada
lembaga arbitrase tersebut). Setiap pendapat yang berlawanan terhadap
pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap
perjanjian (breach of contract - wanprestasi). Oleh karena itu, tidak dapat
dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
126
Permohonan pembatalan ini dapat diajukan mengingat bahwa
adanya kemungkinan bahwa mejelis arbiter atau arbiter dalam
memutuskan sengketaa yang terjadi mengalami kekeliruan, dikarenakan
arbiter juga merupakan manusia. Suatu putusan arbitrase tidak kebal
terhadap pengawasan atau pemeriksaan oleh Pengadilan. Justru, untuk
menjaga kualitasnya sehingga pada akhirnya arbitrase dapat berkembang,
arbitrase membutuhkan kontrol pengadilan. Meski demikian, tentu saja,
upaya pembatalan putusan arbitrase tidak boleh dilakukan secara
berlebihan. Campur-tangan pengadilan melalui kewenangannya untuk
membatalkan putusan arbitrase perlu dibatasi, dengan tetap
memperhatikan nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
mengenai arbitrase.184
Hakim dalam memeriksa perkara Permohonan
Pembatalan Arbitrase dibatasi oleh Pasal 70 Undang-undang No.30
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang berbunyi:
Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat
menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Selain hal yang telah disebutkan maka jelas bahwa pengadilan
tidak berwenang untuk memeriksa ulang pokok perkara yang telah
dipertimbangkan dan diputus oleh Arbitrase.
184
Terdapat pada, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol13217/pembatalan-
putusan-arbitrasedi-indonesia, diakses pada Selasa 4 Januari 2018, pukul 13.01 WIB.
127
Berdasarkan uraian diatas maka peranan BASYARNAS sangat
penting dalam penyelesaian sengketa perbankan syari‟ah dimana
BASYARNAS berwenang untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi
pada perbankan syari‟ah apabila terdapat perjanjian yang mencantumkan
bahwa sengketa yang terjadi akan diselesaikan melalui BASYARNAS.
BASYARNAS memiki peran penting dalam penyelesaian sengketa
perbankan syari‟ah sejak dimulainya pendaftaran sampai dengan putusan,
peran ini dapat dilihat dalam penyelesaian sengketa perbankan syari‟ah
yang terjadi antara PT.Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank
Syariah Mandiri dan PT.SIPI yang telah diputus berdasarkan putusan
No.15/Tahun 2007/BASYARNAS/Ka.Jak.
Perjanjian yang dibuat oleh nasabah dan pihak bank syariah
intinya memuat hak dan kewajiban para pihak. Bahwa perjanjian atau
kontrak yang bagus adalah kontrak yang rigid dan memuat klausula-
klausula yang tidak multitafsir (multi interpretable) sehingga dapat
meminimalisir terjadinya dispute di kemudian hari.185
Menyangkut dengan penerapan prinsip kehati-hatian perbankan,
ada berbagai permasalahan yang potensial timbul dalam praktik
perbankan syariah antara bank dengan dengan nasabah.
Kemungkinan-kemungkinan sengketa biasanya berupa komplain karena
ketidaksesuaian antara realitas dengan penawarannya, tidak sesuai
dengan akad dan pelaksanaannya, tidak sesuai dengan aturan main yang
diperjanjikan, layanan dan alur birokrasi yang tidak masuk dalam draft
akad, serta komplain terhadap lambatnya proses kerja.186
Dalam suatu perjanjian sering dijumpai ketentuan bahwa para
pihak telah bersepakat menyimpang atau melepaskan Pasal 1266
KUHPerdata.187
Akibat hukumnya jika terjadi wanprestasi, maka
185
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
(Yogjakarta: Citra Media), (2006), hlm, 185. 186
Abdul Ghofur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,
(Yogjakarta: Citra Media), (2006), hlm, 182. 187
Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan
dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
128
perjanjian tersebut tidak perlu dimintakan pembatalan kepada hakim,
tetapi dengan sendirinya sudah batal demi hukum. Dalam hal ini
wanprestasi merupakan syarat batal. Akan tetapi beberapa ahli hukum
berpendapat sebaliknya, bahwa dalam hal terjadinya wanprestasi,
perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi harus dimintakan pembatalan
kepada hakim dengan alasan antara lain bahwa sekalipun debitur sudah
wanprestasi namun hakim masih berwenang untuk memberi kesempatan
kepadanya untuk memenuhi perjanjian.188
Kesepakatan akad Mudharabah Muqayyadah No. 108 antara Dana
Pensiun Angkasa Pura II, PT Sari Indo Prima, dan Bank Syariah Mandiri
menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Dalam perspektif
Hukum Islam, apabila perjanjian telah memenuhi rukun dan syaratnya,
maka perjanjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi sebagai hukum.
Dengan kata lain, bahwa dengan lahirnya perjanjian menimbulkan akibat
hukum yang wajib dilaksanakan oleh para pihak yang menyepakatinya.
Hal tersebut juga berlaku pada ketentuan hukum perdata. Dalam Pasal
1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, akibat dari disepakatinya perjanjian adalah
mengikat bagi para pihak dalam pemenuhan kesepakatan dalam
perjanjian tersebut. Lebih lanjut dalam pengertian ini, salah satu pihak
tidak diperbolehkan menarik kembali kesepakatannya kecuali disepakati
oleh pihak yang lain, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
kewajiban. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus
dimintakan kepada Hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai
tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan
dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat,
memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajiban. (Lihat Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2007) 188
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004),
hal. 62.
129
“Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-
undang dinyatakan cukup untuk itu.”
Dengan demikian suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
atau dibatalkan kecuali atas kesepakatan para pihak.
Di dalam Al-Quran sendiri ditanamkan tentang kewajiban
pemenuhan atas kesepakatan dalam akad, sebagaimana diterangkan
dalam Surat Al-Maidah ayat (1):
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan
kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu
ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
Dalam kaitan dengan kewajiban memenuhi akad, Rasyid Ridha
dalam menafsirkan Surat Al-Maidah ayat 1 di atas dalam Kitab Tafsir
Al-Manar menyebutkan:
“Setiap pertanyaan dan tindakan yang dipandang sebagai akad
wajib dipenuhi sebagaimana diperintahkan oleh Allah, selama tidak
berisi pengharaman yang halal dan penghalalan yang haram yang telah
ditegaskan dalam Syariah, seperti akad dengan paksaan, akad
membakar rumah seseorang, memotong pohonnya, berbuat keji atau
makan harta sesame dengan janji bathil, semisal riba, judi,
penyogokan.”189
Begitu juga di dalam Surat Al-Isra ayat 34:
189
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah: 1426/2005), cet.
2.,VI:99.
130
“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali
dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai dia dewasa dan
penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya.”
Sedangkan Hadist Rasulullah SAW menyebutkan:
“Orang-orang Muslim itu setia kepada ayat-ayat (klausul) yang
mereka buat, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan yang
menghalalkan yang halal. (HR. At-Tirmidzi, At-Tabrani dan Al-Baihaqi)
Akad atau perjanjian yang disebutkan dalam dasar-dasar hukum
di atas mencakup janji setia hamba kepada Allah dan perjanjian yang
dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesama manusia (muamalah).
Berdasarkan uraian di atas, maka melihat bahwa pelanggaran
yang dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri adalah pelanggaran terhadap
prinsip kehati-hatian dalam Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah
No. 108 karena dalam hal ini Bank Syariah Mandiri tidak menjalankan
amanah sebagaimana yang diwajibkan di dalam akad tersebut, sesuai
dengan Surat Al-Baqarah ayat 283:
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia
bertaqwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi)
menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalam kasus ini pihak Bank Syariah Mandiri tidak melaksanakan
kewajibannya dalam menganalisa pembiayaan yang akan diberikan terhadap
PT Sari Indo Prima, sehingga Bank Syariah Mandiri merugikan Dana Pensiun
131
Angkasa Pura II sebagai shahibul maal. Kedudukan Bank Syariah Mandiri di
sini sebagai fasilitator pembiayaan berkewajiban untuk melindungi Shahibul
Maal dari kerugian akibat kelalaian PT Sari Indo Prima sebagai Mudharib.
Bank Syariah Mandiri sebagai fasilitator juga tidak melaksanakan
kewajibannya dalam memonitor penggunaa dana oleh Mudharib sesuai
dengan peruntukkannya dan tidak memberikan informasi yang benar tentang
keadaan Mudharib sesuai dengan perjanjian.
Hal ini bertentangan dengan prinsip kehati-hatian perbankan, terlebih
lagi juga bertentangan dengan prinsip syariah itu sendiri dimana pembiayaan
dilakukan oleh bank syariah dengan amanah. Oleh karena itu, akad yang
bertentangan dengan prinsip kehati-hatian perbankan dan prinsip syariah
adalah batal dan para pihak dikembalikan kepada keadaan semula. Menurut
Prof. Subekti mengenai pembatalan perjanjian:190
“Dalam hal perjanjian
dibatalkan, maka kedua belah pihak dibawa dalam keadaan sebelum
perjanjian diadakan. Dikatakan, pembatalan itu berlaku surut sampai pada
detik dilahirkannya perjanjian. Apa yang sudah terlanjur diterima oleh satu
pihak harus dikembalikan kepada pihak lainnya.”
Ketika suatu perjanjian Mudharabah telah disepakati, maka perjanjian
tersebut menjadi sebuah hukum yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah
pihak. Jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka akan
menimbulkan konsekuensi yuridis berupa gugurnya kontrak tersebut.
Adanya kesepakatan para pihak untuk membuat kontrak Mudharabah,
menjadikannya mengikat seperti undang-undang (Pasal 1338 jo 1320
KUHPerdata).191
Istilah pembatalan akad atau perjanjian dalam hukum perjanjian Islam
disebut dengan iqalah, yaitu tindakan para pihak berdasarkan kesepakatan
bersama untuk mengakhiri suatu akad yang telah mereka tutup dan
menghapus akibat hukum yang timbul, sehingga status para pihak kembali
190
Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, (Jakarta: Kencana, 2004),
hal. 51. 191
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), hal. 133.
132
seperti sebelum terjadinya akad yang diputus tersebut. Hal ini juga dapat
disebut sebagai terminasi akad yaitu dengan kata lain bahwa iqalah adalah
kesepakatan bersama para pihak untuk menghapus akad dengan segala akibat
hukumnya, sehingga seperti tidak pernah terjadi akad. Dengan demikian,
akibat hukum dari iqalah tidak hanya berlaku sejak dilakukannya
pemutusan, tetapi juga pada saat dibuatnya akad. Atau iqalah mempunyai
akibat hukum berlaku surut.192
Atas dasar penjelasan tesebut serta pendapat Prof. Subekti di atas,
maka kedudukan para pihak kembali sebagaimana semula sebelum terjadinya
kesepakatan akad. Dengan demikian para pihak harus mengembalikan setoran
modal yang diterima. PT Sari Indo Prima sebagai Mudharib harus
mengembalikan setoran modal yang diterima. Dana Pensiun Angkasa Pura II
sebagai Shahibul Maal yang telah menerima bagi hasil sampai bulan Agustus
2004 harus mengembalikan apa yang sudah diterimanya. Bank Syariah
Mandiri sebagai perantara harus mengembalikan ujrah (fee) yang sudah
diterimanya.
Permasalahan pada kasus Dana Pensiun Angkasa Pura II terhadap PT
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima ini bermula dari adanya
sebuah penawaran kerjasama dari Bank Syariah Mandiri kepada Dana
Pensiun Angkasa Pura II dimana penawarannya Dana Pensiun Angkasa Pura
sebagai calon shahibul maan dan PT Sari Indo Prima sebagai Mudharib
dengan menggunakan pembiayaan Mudharabah Muqayyadah. Sedangkan
Bank Syariah Mandiri berkedudukan hanya sebagai fasilitator (booking office
atau arranger). Penawaran tersebut adalah karena PT Sari Indo Prima
membutuhkan modal sebesar Rp.10.000.000.000,- (Sepuluh Milyah Rupiah)
untuk pembelian mesin sebesar Rp.8.000.000.000,- (Delapan Milyar Rupiah)
192
Muhammad Shobirin, “Tanggung Jawab Bank Syariah dalam Akad Pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah dalam Hal Mudharib Wanprestasi: Studi Kasus Putusan atas
Permohonan Dana Pensiun Angkasa Pura II melawan PT Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo
Prima di Badan Arbitrase Syariah Nasional”. (Skripsi Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok, 2009), hal.179
133
dan pembiayaan modal kerja usaha sebesar Rp.2.000.000.000,- (Dua Milyar
Rupiah).
Berdasarkan permohonan modal yang dibutuhkan PT Sari Indo Prima
kemudian dibuat kesepakatan kerjasama antara Bank Syariah Mandiri, Dana
Pensiun Angkasa Pura II dan PT Sari Indo Prima dengan MOU tanggal 23
Januari 2004 Nomor 006/MOU/DPAP II/2004-Nomor 103/0110/MOU-
SIP/I/2004 Nomor 005/1393/017 yang mengatur hubungan para pihak satu
sama lain, yaitu Dana Pensiun Angkasa Pura II sebagai pihak pertama sebagai
funder akan menyediakan plafond limit sebesar Rp.10.000.000.000,- (sepuluh
milyar rupiah).
Dana Pensiun Angkasa Pura II menyediakan dana sebesar
Rp.10.000.000.000,- (Sepuluh milyar rupiah) yang akan diberikan dalam
perjanjian kerjasama antara Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima.
Dari penyediaan dana yang diberikan Dana Pensiun Angkasa Pura oleh pihak
pertama tersebut, pihak pertama akan menerima margin sebesar 13,5% (tiga
belas koma lima perseratus) pertahun efektif yang akan diterima selambat-
lambatnya tanggal 23 setiap bulanya. Sementara Bank Syariah Mandiri
mendapatkan fee sebesar satu persen pertahun terhitung sejak pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah masih berjalan (outstanding). Dalam kesepakatan
ini disepakati bahwa kerjasama berlangsung selama 3 (tiga) tahun terhitung
tanggal 23 Januari 2004 sampai dengan 23 Januari 2007 sesuai kesepakatan.
Kerjasama yang disepakati oleh Dana Pensiun Angkasa Pura II
dengan PT Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima maka pihak Dana
Pensiun Angkasa Pura adalah Pihak Pertama sedangkan PT Sari Indo Prima
adalah Pihak Kedua dan Bank Syariah Mandiri adalah Pihak Ketiga.
PT Sari Indo Prima Pihak Kedua yang akan menggunakan dana dari
pihak pertama Dana Pensiun Angkasa Pura II untuk melaksanakan pembelian
mesin dan penambahan modal kerja sesuai permohonan yang dirincikan
untuk pembelian mesin sebesar Rp.8.000.000.000,- (Delapan Milyar Rupiah)
dan pembiayaan modal kerja usaha sebesar Rp.2.000.000.000,- (Dua Milyar
Rupiah). Sesuai kesepakatan pihak kedua akan membayarkan margin setiap
134
bulanya kepada pihak pertama secara proporsional dan margin 13,5% (tiga
belas koma lima perseratus) pertahun efektif yang mana pembayaran margin
tersebut difasilitasi oleh Bank Syariah Mandiri sebagai Pihak Ketiga
(arranger).
Dana Pensiun Angkasa Pura II setuju atas penawaran Bank Syariah
Mandiri karena berdasarkan tahun 2000. Dana Pensiun Angkasa Pura II telah
menempatkan dana pada perbankan syariah dalam bentuk deposito dan saat
itu diperoleh return (bagi hasil keuntungan yang cukup memuaskan.
Pemahaman Dana Pensiun Angkasa Pura II terhadap skim pembayaran
Mudharabah adalah menempatkan deposito pada Bank Syariah Mandiri dan
dengan pemahan tersebut Dana Pensiun Angkasa Pura II setuju untuk
menempatkan dananya pada Bank Syariah Mandiri. Selanjutnya pada tanggal
16 Desember 2003 Bank Syariah Mandiri telah mengajukan proposal
penawaran kerjasama pembiayaan Mudharabah Muqayyadah kepada Dana
Pensiun Angkasa Pura II surat No.05/1323/017 perihal penawaran kerjasama
pembiayaan Mudharabah Muqayyadah untuk PT Sari Indo Prima.
Dana Pensiun Angkasa Pura II menyampaikan surat kepada Bank
Syariah Mandiri perihal penerbitan Deposito pada tanggal 23 Januari 2004
sebesar Rp.5.000.000.000,- (Lima Milyar Rupiah), dan tanggal 27 Februari
2004 dengan jumlah yang sama yaitu Rp.5.000.000.000,- (Lima Milyar
Rupiah). Pada tanggal 28 Januari 2004 dilakukan Akad Mudharabah
Muqayyadah No.108 antara Dana Pensiun Angkasa Pura II, PT Sari Indo
Prima dan Bank Syariah Mandiri sejumlah Rp.10.000.000.000,- (Sepuluh
Milyar Rupiah) dengan jangka waktu 3 (tiga tahun).
Setelah perjanjian akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana
Pensiun Angkasa Pura II, PT Sari Indo Prima dan Bank Syariah Mandiri.
Dibulan Agustus tepatnya sudah enam bulan berlalu sampai gugatan
dilayangkan, Dana Pensiun Angkasa Pura II yang dalam hal ini sebagai
Shahibul Maal tidak mendapatkan nisbah bagi hasil karena PT Sari Indo
Prima dan Bank Mandiri Syariah tidak membayarkan angsuran sebagaimana
mestinya, baik kewajiban pokok maupun margin (Selisih) bagi hasil sesuai
135
perjajian. Dengan demikian pihak PT Sari Indo Prima dianggap telah
melakukan wanprestasi atas kesepakatan yang tertuang pada akad
Mudharabah Muqayyadah tersebut.
Sejak awal proses pembiayaan, Dana Pensiun Angkasa Pura II menilai
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima tidak transparan. Hal itu
antara lain terlihat dari pembiayaan yang dilakukan lebih dulu oleh
Bank Syariah Mandiri kepada PT Sari Indo Prima sebesar
Rp.6.500.000.000,- (enam milyar lima ratus juta rupiah) pada Oktober 2003,
sebelum Akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana Pensiun Angkasa Pura
II, Bank Syariah Mandiri, dan PT SARI INDO PRIMA dibuat. Dalam akad
pembiayaan No. 108 disebutkan bahwa PT SARI INDO PRIMA tidak dalam
keadaan berutang pada pihak lain. Sehingga dengan demikian menurut Dana
Pensiun Angkasa Pura II, Bank Syariah Mandiri tidak melaksanakan prinsip
kehati-hatian perbankan (prudential banking principles) baik dalam proses
pengajuan maupun pelaksanaan pembiayaan, serta tidak menyampaikan
informasi kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II secara benar, lengkap, jelas,
dan jujur.
Seiring dengan berjalannya pembiayaan tersebut, Bank Syariah
Mandiri juga tidak melaksanakan kewajibannya dengan benar terhadap
pengikatan barang jaminan dan monitoring dana untuk pembayaran margin
bagi hasil kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II, sehingga PT Sari Indo
Prima membayar atau mengangsur hutangnya kepada Bank Syariah Mandiri.
Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima telah berbuat zhalim dan
gharar terhadap Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan melakukan transaksi
yang mengandung tipuan yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak Dana
Pensiun Angkasa Pura II.
Dana Pensiun Angkasa Pura II kemudian membawa perkara itu ke
Basyarnas. Hal itu sesuai dengan Pasal 14 ayat (2) Akad Pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah yang mengatur apabila terjadi perselisihan maka
para pihak akan menunjuk Basyarnas untuk menyelesaikan sengketa. Atas
gugatan dari Dana Pensiun Angkasa Pura II tersebut telah diadakan
136
persidangan-persidangan di Basyarnas yang dipimpin oleh Hj. Fatimah A.,
S.H. sebagai Ketua Majelis Arbitrer, Prof. H. Bismar Siregar, S.H., dan H.
Hidayat Achyar, S.H., sebagai anggota Majelis Arbiter.
Pada tanggal 21 Agustus 2008 telah diputus gugatan tersebut dengan
dihadiri oleh Dana Pensiun Angkasa Pura II selaku Dana Pensiun Angkasa
Pura II, kuasa hukum Dana Pensiun Angkasa Pura II, Bank Syariah Mandiri
yaitu Bank Syariah Mandiri, kuasa hukum Bank Syariah Mandiri, serta PT
Sari Indo Prima selaku PT Sari Indo Prima. Isi putusan adalah sebagai
berikut:
Dalam eksepsi:
Menolak permohonan eksepsi. Dalam Pokok Perkara:
1. Mengabulkan permohonan Dana Pensiun Angkasa Pura II untuk
sebagian;
2. Menyatakan Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima melakukan
ingkar janji;
3. Membatalkan Akad Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah No.
108 tanggal 28 Januari 2004 dan kesepakatan yang terkait sebelumnya;
4. Menghukum Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima bersama-
sama secara tanggung renteng membayar Jumlah Pokok Pembiayaan
uang tunai sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) kepada
Dana Pensiun Angkasa Pura II selambat- lambatnya 30 (tiga puluh) hari
sejak putusan ini diucapkan;
5. Menyatakan putusan ini bersifat final dan mengikat dan oleh karena itu
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sejak diucapkan;
6. Membebani biaya perkara kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II, Bank
Syariah Mandiri, dan PT Sari Indo Prima masing-masing 1/3 bagiannya;
7. Menolak permohonan Dana Pensiun Angkasa Pura II untuk selebihnya;
Memerintahkan kepada sekretaris sidang untuk mendaftarkan turunan
resmi Putusan Arbitrase ini di Kepaniteraan Pengadilan Negeri masing-
masing dalam tenggang waktu sebagaimana ditetapkan Undang-Undang
137
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
Akad pembiayaan Mudharabah Muqayyadah ini dibuat pada tahun
2003 dimana pada saat itu peraturan mengenai standar pembuatan akad pada
produk pembiayaan dengan prinsip syariah belum ada. Peraturan mengenai
standar akad dalam penghimpunan dana dan penyaluran dana pada perbankan
dengan prinsip syariah baru dibuat oleh Bank Indonesia tahun 2005 yaitu
dengan adanya Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/46/PBI/2005 tentang
Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank Yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana tersebut di atas.
PBI No. 7/46/PBI/2005 tersebut kini telah dicabut oleh PBI No.
9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank
Syariah. Selain itu, pada saat pembuatan akad tersebut kebijakan atas
pembuatan akad dikembalikan pada masing-masing bank syariah dengan
berlandaskan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Fatwa DSN yang
menjadi pedoman dalam pembuatan akad tersebut yaitu Fatwa DSN No.
07/DSN- MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
Sedangkan undang- undang perbankan syariah yang berlaku pada saat itu
adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Berkaitan dengan akad pembiayaan Mudharabah Muqayyadah antara
Dana Pensiun Angsa Pura II, PT Sari Indo Prima, dan Bank Syariah Mandiri,
berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
Bank Syariah Mandiri sebagai perantara tidak menerapkan prinsip kehati-
hatian dalam akad yang dapat melindungi kepentingan Dana Pensiun Angsa
Pura II sebagai nasabah pemberi dana. Bank Syariah Mandiri tidak
melakukan analisis yang mendalam terhadap kondisi keuangan dari PT Dana
Pensiun Angkasa Pura II sebelum dibuatnya akad pembiayaan Mudharabah
Muqayyadah antara Dana Pensiun Angsa Pura II, Bank Syariah Mandiri dan
PT Sari Indo Prima. Bank Syariah Mandiri dalam menganalisa
138
pembiayaannya terhadap PT Sari Indo Prima tidak menganalisa apakah
pembiayaan tersebut berstatus macet atau tidak, bahwa Bank Syariah Mandiri
sebelumnya telah melakukan pembiayaan murabahah dengan PT Sari Indo
Prima, namun melakukan pembiayaan Mudharabah Muqayyadah yang
melibatkan Dana Pensiun Angkasa Pura II, Bank Syariah Mandiri dan PT
Sari Indo Prima, sehingga di dalam pembiayaan Mudharabah muqayyadah
ini aset PT Sari Indo Prima telah terjaminkan sebelumnya kepada Bank
Syariah Mandiri. Jadi di sini Bank Syariah Mandiri telah melakukan
pelanggaran Prinsip Mengenal Nasabah walaupun terlebih dahulu telah ada
keterangan dari audit independen mengenai total aset PT Sari Indo Prima.
Seandainya Bank Syariah Mandiri dalam membuat Nota Analisa Pembiayaan
dibuat secara lengkap dan benar maka Dana Pensiun Angkasa Pura II sebagai
shahibul maal akan enggan melakukan pembiayaan Mudharabah
Muqayyadah dengan PT Sari Indo Prima sebagai Mudharib dikarenakan PT
Sari Indo Prima telah terlebih dahulu terikat dengan pembiayaan murabahah
dengan Bank Syariah Mandiri.
Sejak awal proses pembiayaan pihak Bank Syariah Mandiri tidak
menyampaikan secara transparan kepada Dana Pensiun Angsa Pura II bahwa
pada bulan Oktober 2003, yaitu tiga bulan sebelum adanya akad pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah antara Dana Pensiun Angsa Pura II, PT Sari Indo
Prima dan Bank Syariah Mandiri, PT Sari Indo Prima telah mendapatkan
pembiayaan dari Bank Syariah Mandiri sebesar Rp. 6.500.000,- (enam milyar
lima ratus juta rupiah) sebagaimana yang dibuat dalam akad no.
5/123/017/AKAD/MRBH dan akad no. 5/124/017/AKAD. Sedangkan pada
akad pembiayaan no. 108, disebutkan bahwa PT Sari Indo Prima tidak dalam
keadaan berhutang pada pihak lain. Hal ini bertentangan dengan prinsip
prudential banking yang mewajibkan bahwa bank wajib menyampaikan
informasi kepada nasabah secara benar, lengkap, jelas, dan jujur.
Selain itu, sebelum mendapatkan pembiayaan dengan akad
Mudharabah Muqayyadah no. 108, PT Sari Indo Prima telah lebih dahulu
mendapatkan pembiayaan murabahah dan pembiayaan musyarakah dari Bank
139
Syariah Mandiri pada tanggal 21 Oktober 2003. Atas permasalahan tersebut,
untuk menjadi nasabah pembiayaan Mudharabah maka terlebih dahulu harus
menjadi nasabah murabahah, jika yang bersangkutan memiliki tabiat baik.
Dengan dilakukannya proses ini, tabiat nasabah diketahui oleh bank syariah,
sehingga tindakan-tindakan curang dapat diminimalkan karena bank telah
mengetahui track record dari calon nasabah pembiayaan Mudharabah.161
Melihat dari hal tersebut, Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima
kurang lebih baru 3 (tiga) bulan melakukan transaksi pembiayaan murabahah
dan musyarakah. Dengan demikian, mestinya PT Sari Indo Prima belum
layak untuk dinaikkan menjadi nasabah pembiayaan Mudharabah
Muqayyadah. Untuk sampai pada keyakinan bahwa PT Sari Indo Prima
layak dibiayai dengan fasilitas Mudharabah, tentunya analisis perlu
dilaksanakan dalam tenggang waktu yang memadai, tetapi tidak sampai
berlarut-larut. Apabila tenggang waktu antara pemberian pembiayaan dengan
saat terjadi permasalahan terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat, hal
tersebut dapat menjadi indikasi bahwa penilaian atas kemampuan dan
kemauan dari nasabah pembiayaan untuk membayar kembali
fasilitas pembiayaannya tidak dianalisa oleh bank syariah secara
mendalam.162 Hal ini terbukti dengan adanya permasalahan bahwa PT Sari
Indo Prima tidak melaksanakan kewajiban membayarkan angsuran pokok dan
margin bagi hasil sebesar 13,5% (tiga belas koma lima perseratus) setiap
bulan kurang lebih setelah 7 (tujuh) bulan akad pembiayaan tersebut berjalan,
yaitu mulai bulan Agustus 2004.
Tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian perbankan secara mendalam
terlihat juga dalam hal Bank Syariah Mandiri sebagai fasilitator tidak
melakukan pengawasan atas penggunaan dana oleh PT Sari Indo Prima sesuai
dengan peruntukkannya, dimana Mudharib (PT Sari Indo Prima) telah
melakukan side streaming (menggunakan dana tidak sebagaimana
kesepakatan dalam akad) yaitu dengan senggaja menggunakan dana milik
Shahibul Maal untuk memperluas pabrik dan membiayai overhead. Padahal
dalam kesepakatan, dana tersebut digunakan untuk membeli mesin-mesin dan
140
menambah modal kerja. Kewajiban mengenai pengawasan oleh Bank Syariah
Mandiri tersebut tercantum dalam Pasal 8 huruf c Akad Mudharabah
Muqayyadah No.108.Dalam kondisi demikian, Bank Syariah Mandiri tidak
transparan terhadap analisa pembiayaan ini dan tidak amanah atas kewajiban
dan tugasnya sesuai dengan kesepakatan.
Terkait dengan permasalahan tersebut, kewajiban bank syariah adalah
melakukan perlindungan terhadap nasabah, antara lain bank diwajibkan
untuk:
1. Menjaga usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan
melaksanakan ketentuan batas maksimum pemberian pembiayaan,
pemberian jaminan. Penempatan investasi surat berharga, atau hal lain
yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau
sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-
perusahaan dalam kelompok yang sama dengan baik yang
bersangkutan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
2. Dalam memberikan pembiayaan dalam melakukan usaha lainnya,
menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepada nasabah
yang mempercayakan dananya ke bank;
3. Untuk kepentingan nasabah, bank menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya risiko kerugian bagi transaksi nasabah yang
dilakukan melalui bank.
Bank Syariah Mandiri dalam membuat nota analisa pembiayaan
secara baik dan benar, serta transparan, yang sesuai dengan Pasal 8 ayat (1)
dan (2) UU No. 10 Tahun 1998, maka risiko dalam pembiayaan ini tidak akan
terjadi karena pihak Dana Pensiun Angsa Pura II akan enggan dan berpikir
ulang untuk ikut dalam pembiayaan akad Mudharabah Muqayyadah ini.
Dengan demikian Bank Syariah Mandiri telah bertindak tidak professional
dan melanggar prinsip kehati-hatian perbankan dalam pembuatan akad
pembiayaan Mudharabah Muqayyadah tersebut.
Selain itu, di dalam Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan No. 10 Tahun
1998 disebutkan bahwa untuk mendapatkan keyakinan berdasarkan analisis
141
yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk
melunasi hutangnya, maka bank wajib melakukan penilaian yang seksama
atas watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur.
Berdasarkan analisis kredit atau pembiayaan yang dilakukannya, bank akan
memberikan keputusan menolak atau menyetujui permohonan calon debitur.
Oleh karena itu, setiap analisis kredit atau pembiayaan harus memuat
penilaian yang lengkap dan sempurna sehingga dapat dipertanggungjawabkan
sesuai dengan peraturan intern bank dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Sehubungan dengan itu, bank syariah dalam fungsinya sebagai
pemberi ataupun perantara dalam pembiayaan yang diberikan kepada
Mudharib wajib berlaku sejak dilakukannya pemutusan, tetapi juga pada saat
dibuatnya akad. Atau iqalah mempunyai akibat hukum berlaku surut.
Permasalahan kasus ini, sudah selesai yang awalnya memang benar
setelah mendapatkan keputusan dari Basyarnas pihak Dana Pensiun Angkasa
Pura II mendaftarkan kasus ini ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat tetapi
kasus ini hanya sampai pendaftaran saja karena pihak Bank Syariah Mandiri
mau memenuhi kesepakatan antara keduanya untuk mengembalikan uang
kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II.
Pihak Basyarnas tidak membenarkan jika kasus ini masih belum
selesai sampai saat ini, Ibu Euis Nurhasanah, memberikan informasi kasus
Bank Syariah Mandiri dengan Dana Pensiun Angkasa Pura II Akad
Mudharabah Muqayyadah sudah selesai pada tahun 2008 dan pihak Bank
Syariah Mandiri bertanggung jawab atas pengembalian uang yang sudah
disepakati.
Untuk web hukum online yang menyebutkan tentang basyarnas. Pihak
web hukum online memberitakan kasus ini tidak meminta izin membuat
artikel tersebut dan menyebutkan kasus ini sampai banyak para mahasiswa
yang tertarik dengan kasus ini.
Banyak yang hadir ke Basyarnas ingin meneliti tentang kasus ini,
tetapi pihak basyarnas tidak mempunyai hak untuk memberitahukan
142
informasi kasus Bank Syariah Mandiri dengan Dana Pensiun Angkasa Pura
II. Kasus ini sudah selesai sejak tahun 2008 pada saat setelah mendaftarkan
ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat dan tidak dibenarkan jika kasus ini belum
selesai.
Setelah wawancara dengan Ibu Euis Nurhasanah, mengenai kasus
permasalahan ini, tidak seharusnya percaya dengan kasus ini yang beredar di
dunia maya karena belum tentu benar dan fakta seharusnya mencari sumber
yang benar dengan menanyakan kasus ini kepada orangnya langsung atau
observasi wawancara kepihak yang mengetahui kasus ini. Dengan
mendapatkan informasi ini ternyata benar kasus ini sangat berbeda dengan
yang diberitakan di hukum online. Banyak mahasiswa yang menarik dengan
kasus ini yang beranggapan bahwa kasus ini belum selesai ternyata itu salah.
Kasus ini sudah selesai setelah mendaftarkan Pengadilan Agama Jakarta
Pusat tetapi pihak Bank Mandiri Syariah dan Dana Pensiun Angkasa Pura II
bersepakat untuk menyelesaikan permasalahanya dan pihak Bank Mandiri
Syariah bertanggung jawab atas semua kesalahanya dan memberikan
kewajiban ganti rugi untuk membayarkan semua kewajiban pokok yang telah
dikembalikan kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II. 193
Ketika suatu perjanjian Mudharabah telah disepakati, maka perjanjian
tersebut menjadi sebuah hukum yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah
pihak. Jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka akan
menimbulkan gugurnya kontrak teserbut seperti Dana Pensiun Angkasa Pura
II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima. PT Sari Indo Prima
harus mengembalikan setoran modal yang diterima kepada Dana Pensiun
Angkasa Pura II.
Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Ali Fitran Bank Syariah
Mandiri mengakui kesalahanya dan bersedia untuk bertanggung jawab
sepenuhnya kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II. Akibat Bank Syariah
Mandiri tidak melakukan transparan kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II
dan tidak mengikat barang jaminan PT Sari Indo Prima sebagai pelindung
193
Euis Nurhasanah, Wawancara, Tanggal 18 November 2016 di Gedung MUI Jakarta.
143
untuk shahibul maal. Bank Syariah Mandiri terlebih dahulu melakukan
pembiayaan murabahah dengan PT Sari Indo Prima tanpa memberitahukanya
kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II sebelum diadakanya akad pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah.194
Bank Syariah Mandiri sudah mengembalikan setoran modal yang
sudah diterima secara bertahap kepada Dana Pensiun Angkasa Pura II. Kasus
pembiayaan mudahrabah muqayyadah antara Dana Pensiun Angkasa Pura II
dengan Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indo Prima sudah selesai.
194
Muhammad Ali Fitran, Wawancara, Tanggal 9 Februari 2018 di Gedung BSM Jakarta
144
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Konsep akad mudharabah muqayyadah dalam pelaksanaan perjanjian
Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank syariah mandiri dan PT Sari
Indo Prima dalam fiqih adalah berdasarkan seharusnya Dewan Syariah
Nasional Indonesia membuat pengaturan secara khusus mengenai akad
mudharabah muqayyadah agar diperoleh landasan hukum secara khusus
menenai pelaksanaan akad mudharabah muqayyadah tersebut dalam
prakteknya, secara khusus mengenai prinsip kehati-hatian, manajemen risiko
dan tingkat kesehatan bank dalam pelaksanaan akad mudharabah
muqayyadah di Indonesia. namun berdasarkan sengketa Angkasa Pura II
dengan Bank Syariah Mandiri dan PT Sari Indonesia Prima tidak memenuhi
standar kelayakan aturan-aturan dalam fiqih.
Penerapan akad Mudharabah Muqayyadah antara Dana Pensiun
Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari Indo Prima tidak
sesuai dengan Akad Perjanjian yang telah di sepakati, bahwa Bank Syariah
Mandiri akan memberikan keuntungan (Profit) pada Dana Pensiun Angkasa
Pura II yang telah dijanjikan oleh Bank Syariah dalam kontrak perjanjian.
Selanjutnya, pihak Dana Pensiun Angkasa Pura II merasa dirugikan oleh
pihak PT Sari Indo Prima yang tidak memberikan pengembalian kewajiban
pokok maupun margin (selisih) bagi hasil sesuai perjanjian dengan demikian
pihak PT Sari Indo Prima dianggap telah melakukan wanprestasi atas
kesepakatan yang tertuang pada akad Mudharabah Muqayyadah.
Kasus sengketa akad Mudharabah Muqayyadah yang terjadi antara
Dana Pensiun Angkasa Pura II dengan Bank Syariah Mandiri dan PT. Sari
Indo Prima bahwa telah terjadi pembatalan akad yang dilakukan oleh Bank
Syariah Mandiri karena tidak adanya transparansi oleh pihak Dana Pensiun
Angkasa Pura II bahwa pihak PT Sari Indo Prima sudah mempunyai
keterikatan kerja sama pinjaman modal pada Bank Syariah Mandiri sebesar
145
Rp.6.000.000.000 (Enam Milyar Rupiah) sebelum terjadi akad kontrak
tersebut sehingga dibawa kasus ini diselesaikan di Basyarnas, meskipun telah
diselesaikan di Basyarnas namun pihak Dana Pensiun Angkasa Pura II
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Tanah Abang namun di cabut
kembali karena pihak Bank Syariah Mandiri mengakui bahwa telah
melakukan wanprestasi dan siap bertanggung jawab untuk membayar
kewajiban pokok.
B. Implikasi
Dalam pelaksanaan akad Mudharabah Muqayyadah untuk mencapai
tujuan tertentu dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah dan mampu
memberikan keyakinan yang memadai kepada pemerintah. hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa penyelesaian sengketa dapat diselesaiakan dengan
Basyarnas hal ini mengandung implikasi agar kedepannya pihak lembaga
keuangan syariah dapat menerapkan prinsip kehati-hatian secara seksama
dalam perannya sebagai perantara dalam pembiayaan tersebut karena
kewajiban Bank Syariah dalam akad bukan hanya sebagai perantara tanpa
kewajibanm namun juga mempunyai kewajiban untuk melindungi pihak
nasabah pemberi dana (Shaibul mall) dari cidera janji dan penipuan yang
dilakukan oleh pihak pengelola usaha (Mudharib) tersebut, sehingga tujuan
dari penyelesaian sengketa dapat terselesaikan.
Undang-Undang dan regulasi yang mengatur tentang penyelesaian
sengketa yang berpengaruh untuk melindungi Pihak nasabah. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa terjadinya sengketa dalam pelaksanaan akad
Mudharabah Muqayyadah dengan Perbankan Syariah. Kedepannya
pemerintah lebih memperjelas peraturan-peraturan (tertulis) sehingga dalam
sengketa perbank syariah dapat berhati-hati dan selalu mematuhi peraturan
yang ada, sehingga tidak adanya sengketa dalam Perbankan Syariah.
146
C. Saran dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil kesimpulan penelitian ini, yang menyatakan
bahwa sengketa dalam pelaksanaan akad mnudharabah muqayyadah, peneliti
mencoba untuk memberikan beberapa rekomendasi sebagai berikut:
1. Lembaga
Agar pihak Lembaga Khususnya Bank Syariah Mandiri, dalam
menyalurkan pembiayaan dengan akad Mudharabah Muqayyadah, yang
melibatkan dana dari nasabah menerapkan prinsip kehati-hatian secara
seksama dalam perannya sebagai perantara dalam pembiayaan tersebut
karena kewajiban Bank Syariah Mandiri dalam akad bukan hanya
sebagai perantara tanpa kewajiban, namun juga mempunyai kewajiban
untuk melindungi pihak nasabah pemberi dana (shahibul maal) dari
cidera janji dan penipuan yang dilakukan oleh pihak pengelola usaha
(Mudharib).
2. Bagi Pemerintah
Hendaklah dilakukan peraturam kontruksi sistem operasional
pembiayaan Mudharabah Muqayyadah pada Bank Syariah Indonesia agar
selalu di dasarkan pada standart Fatwa Dewan Syariah Nasional
No.07/DSN-MUI/IV/2000 dan No. 08/DSN-MUI/IV/2000, untuk itu
hendaknya standar fatwa tersebut dapat ditingkatkan fungsinya menjadi
instrumen pengaturan untuk menjamin kepatuhan operasional Bank
Syariah Indonesia terhadap prinsip dasarnya, yakni prinsip syariah.
3. Bagi peneliti selanjutnya
a. Variabel yang digunakan untuk penelitian ini sangat sedikit, yaitu
hanya tiga variabel, oleh sebab itu pada penelitian selanjutnya
diharapkan dapat menambah variabel lainnya yang berhubungan
dengan sengketa dalam pelaksanaan akad Mudharabah Muqayyadah.
Sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih luas mengenai
penyelesaian sengketa.
b. Variabel yang digunakan oleh peneliti masih terbatas dan
pertanyaannya masih kurang memadai, oleh sebab itu pada penelitian
147
selanjutnya dapat menambah dan memperbaiki pertanyaan-pertanyaan
yang ada dalam penelitian ini.
c. Diharapkan pada penelitian selanjutnya untuk mengembangkan data
dan variabel yang lebih luas dan lebih mendalam, sehingga
mendapatkan hasil penelitian yang maksimal dan akurat.
148
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Achmad Didy. “Analisa Yuridis Manajemen Risiko Terhadap
Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia”. Tesis Program Pasca
Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.
Al-shiddieqiyy, Hasbi. Pengantar Fiqih Muamalah. Jakarta: Bulan Bintang,
2006.
Antonio, Muhammad Syafi‟I. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta:
Gema Insani Press, 2001.
Anshori, Abdul Ghofur. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2007.
Arafat, Wilson. Manajemen Perbankan Indonesia. Teori dan
Implementasi. Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2006.
Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2007.
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Analisis dan Evaluasi Hukum tentang
Pengaturan Perbankan Syariah di Indonesia. Jakarta: Badan Pembinaan
Hukum Nasional, 2003.
Dewi, Gemala. Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
, et.al. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2006.
Dewan Syariah Nasional. Fatwa tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh).
Fatwa No. 07/DSN-MUI/IV/2000.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Penerbit PT
Citra Aditya Bakti, 2006.
Djamil, Faturrahman. Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di
Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Edillus dan Sudarsono. Kamus Ekonomi. Uang dan Bank. Jakarta: Penerbit
Rhineka Cipta, 1994.
149
Fuady, Munir. Teori-teori Besar dalam Hukum: Grand Theory(Jakarta: Penerbit
Kencana Prenadamedia Group, 2014,
Hanoun, Cut Meutia. “Telaah Terhadap Akad (Kontrak) Al-Mudharabah
Muqayyadah dan Pelaksanaannya pada Bank Syariah.” Skripsi Program
Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Depok, 2001.
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana, 2009.
Hirsanudin. “Kemitraan Dalam Bisnis: Perpektif Hukum Islam (Studi Terhadap
Pelaksanaan Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Mudharabah di
Perbankan Syariah).” Disertasi Program Doktor Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2005.
Indonesia. Undang-undang Dasar 1945. Pembukaan Alinea Keempat.
Indonesia.Undang-undang Dasar 1945.
Joyosuminto, Subagyo. Masalah Legal Lending Limit dalam Dunia Perbankan.
Jakarta: Biro Hukum Bank Indonesia, 1993.
Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisioliner. Yogyakarta:
Paradigma, 2010.
Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia,
1981.
Karim, Adiwarman. Bank Islam: Analisa Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT
Kazarian, Elias G. Islamic Versus Traditional Banking. Financial Inovation in
Egypt. Boulder San Fransisco. Oxford, 1993.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek. Diterjemahkan oleh
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Jakarta: Pradnya Paramita, 2007.
Mahmasani, Subhiyy. Al-Nazariyyat al-Ammah li al-Mujibat wa al-Uqud fi al-
Shariah al-Islamiyyah, (Mesir: Dar al-Kitab al-„Arabiyy
Mamudji, Sri, et.al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan
Penerbit FHUI, 2005.
M. Bahsan. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Muhammad. Bank Syariah: Problem dan Prospek Perkembangan di Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005.
150
---------------. Manajemen Pembiayaan di Bank Syariah: Strategi
Memaksimalkan Return dan Meminimalkan Risiko Pembiayaan di Bank
Syariah sebagai Akibat Masalah Agency. Jakarta: Raja Grafindo, 2008.
Pasaribu, Chairuman dan Suhrawadi K. Lubis. Hukum Perjanjian dalam Islam.
Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Ridha, Rasyid. Tafsir Al-Manar. Beirut. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah: 1426/2005).
cet. 2.. VI:99.
Salim, Peter. The Contemporary English – Indonesian Dictionary. Sixth Edition.
Jakarta: Modern English Press, 1991.
Sari, Maya Heni Maila. Pengaruh Penilaian Kesehatan Bank Terhadap Tingkat
Bagi Hasil Simpanan Mudharabah Pada Bank Umum Syariah Dan Bank
Umum Dengan Unit Syariah Di Indonesia”, Jurnal Aplikasi Bisnis, Vol.3
No. 2, April 2013
Saptono,Teori-teori Hukum Kontrak bersumber dari Paham Individualisme,
Jurnal Repertorium, ISSN: 2355-2646 2014,
Slamat, Dahlan. Manajemen Lembaga Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2001.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1983.
Sihombing, Jonker. Tanggung Jawab Yuridis Bankir atas Kredit Macet Nasabah.
Bandung: Penerbit Alumni, 2009.
Suharnoko. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus. Jakarta: Kencana, 2004.
Sumitro, Warkum. Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait
(BAMUI. Takaful dan Pasar Modal Syariah) di Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2004.
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia. Konsep. Produk
dan Implementasi Operasional Bank Syariah. Jakarta: Djambatan, 2003.
Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2001.
151
Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 2003.
Widnyana, I made. Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase. Jakarta:
Fikakahati Aneska, 2014.
Wijaya, Krisna. Bank dan Prinsip Kehati-hatian dalam Reformasi Perbankan
Nasional. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2000.
Wirdyaningsih, et.al. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2005.
Yualianti, Ramani Timorita. Asas-asas Perjajjian (Akad) dalam Hukum Kontrak
Syariah, La_Riba Jurnal Ekonomi Islam, Vol II, No. 1, Juli 2008.
Zainal Asikin,dan Amirudin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT
Raja, 2004
Internet.
Bank.” http://id.wikipedia.org/wiki/Bank. 5 Januari 2018.
“Bank Indonesia Official Website”. http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/. 5
Mei 2018
“Bank Syariah Mandiri Terbelit Akad Mudharabah Muqayyadah.”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21873/bank-syariah-mandiri-
terbelit-akad-mudharabah-muqayyadah. 3 Januari 2018.
PenyelesaianSengketahttp://business-law.binus.ac.id/2015/02/17/penyelesaian-
sengketa-perbankan-syariah-di-indonesia-bagian-1-dari-2-tulisan/ oleh
Abdul Rasyid, Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah di Indonesia,
diaksek pada Jumat, 3 November 2017, 13.00 WIB.
Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principle) dalam Kerangka UU
Perbankan di Indonesia,”
http:/library.usu.ac.id/dowload/fh/06002654.pdf,diunduh 30 Maret 2018.
“Analisis Materi Perkuliahan Hukum Perbankan”, http://mini-
lambara.blogspot.com/2010/01/makalah-hukum-perbankan.html, diakses
tanggal 3 Maret 2018.
GLOSSARIUM
A
-Akad : Suatu yang menjadi tekad seseorang untuk
melaksanakan, baik yang muncul dari satu pihak,
seperti wakaf, talak, dan sumpah maupun yang
muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa,
wakalah dan gadai, atau kerelaan antara dua pihak
untuk melakukan, atau menyerahkan sesuatu.
Penyerahan sesuatu dalam akad ini diwujudkan
dalam bentuk pernyataan ijab (menyerahkan) dan
pernyataan kabul (menerima).
- Amanah : Kepercayaan yang diberikan suatu pihak kepada
pihak lain untuk melakukan sesuatu atau
kepercayaan sesuatu pihak kepada pihak lain dalam
mengelola aset, atau harta.
-BI : Bank Indonesia
- Bank : Lembaga Keuangan yang usaha pokoknya
memberikan kredit, atau jasa dalam lalu lintas
pembayaran peredaran uang.
-Bank Konvensional : Bank yang beroperasi dengan sistem bunga
- Bank Syariah : Lembaga Keuangan yang berfungsi sebagai
perantara bagi pihak yang berkelebihan dana
dengan pihak yang kekurangan dana untuk
kegiatan usaha atau kegiatan lainnya sesuai dengan
hukum islam
-DPS : Dewan Pengawas Syariah
-DSN : Dewan Syariah Nasional
-Fatwa : Ketepatan hukum islam, atau pendapat hukum
-Gharar : Ketidak jelasan yang menimbulkan perselesihan
-Riba : Tambahan dalam hutang-piutang/pinjaman
meminjam uang
-Riba Al-Fadl : Tambahan pada salah satu dua ganti yang lain
ketika terjadi tukar-menukar sesuatu yang sama
secara tunai
-Riba Nasiah : Tambahan dari pijaman.hutang.
BIODATA PENULIS
Amelisah, Lahir di Jakarta pada tanggal 07 Juli 1992, tinggal di
Jl.Ir.H.Juanda Nomer 63D Pisangan Ciputat, Tangerang Selatan Propinsi Banten.
Pendidikan formal yang telah diselesaikan sebagai berikut:
1. Taman Kanak-kanak Aisyah tahun 1997-1998 di Ciputat Tangerang
Selatan
2. Sekolah Dasar Negeri II 1998-2004 di Ciputat Tangerang Selatan
3. Madrasah Tsanawiyah Negeri 3 2004-2007 di Pondok Pinang Jakarta
Selatan
4. Sekolah Menengah Atas 2007-2010 di Rempoa Jakarta Selatan
5. Fakultas Syariah & Hukum Jurusan Asuransi Syariah Konsentrasi
Muamalat (SI) Syarif Hidayatullah Jakarta 2010-2014
6. Pasca Sarjana Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta (S2), Konsentrasi Ekonomi Syariah, tahun 2014-2018
Ciputat, 05 Juni 2018
Amelisah