“Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan...

16
1 “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” 2016-04-30 15:57 GMT+07:00 Chan CT <[email protected] >: Sependapat dengan bung Nesare, saya hendak menambah sedikit saja, bahwa gagasan bung Karno Persatuan Nasional berdasarkan NASAKOM adalah satu gagasan yang berdasarkan kenyataan objektif masyarakat Indonesia, kenyataan ada kekuatan Nasional, Agama dan Komunis yang selama masa kolonial Belanda bergerak dan berjuang mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Mestinya, adanya interaksi dan kontradiksi yang terjadi antar 3 kekuatan dalam masyarakat itulah merupakan tenaga penggerak kemajuan masyarakat. Bersatu dan Berjuang bersama untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Begitu cita-cita bung Karno, ... Jadi, gagasan NASAKOM bung Karno itu TIDAK SALAH! Yang salah bung Karno tidak ada KETEGASAN SIKAP dengan cepat untuk menindak dan melawan “oknum-oknum tidak benar” seperti dinyatakan dalam pidato Nawaksara di depan MPRS 1966 itu. Bukan karena bung Karno tidak cepat-cepat mengutuk dan bubarkan PKI, maka bersimbah darah. Akan lebih TEPAT dikatakan, karena bung Karno TIDAK cepat turunkan PERINTAH melawan “Oknum-oknum tidak benar” itu jadi Nusantara bersimbah darah! Dengan kata lain, selama kekuasan masih ditangan Presiden Soekarno, selama itu Nusantara tidak akan bersimbah darah. Tapi, justru karena perintah yang ditunggu-tunggu tidak juga turun, sedang jenderal Soeharto yang sejak 1 Oktober subuh itu sudah merebut inisyatif menguasai keadaan, ... dan ternyata Soeharto adalah seorang yang BERDARAH-DINGIN, yang merasa tidak cukup menangkap dan membunuh TOKOH-UTAMA G30S, tapi juga mengejar, menangkap dan membunuh orang-orang yang dituduh komunis, Soekarnois, ... maka tidak terhindarkan darah merah rakyat tidak berdosa membanjiri Nusantara ini! Itulah kenyataan yang terjadi, ... Yang salah Presiden Soekarno membiarkan sedang PKI tertipu oleh “oknum-oknum tidak benar” (baca jenderal Soeharto) yang ternyata berusaha membasmi kekuatan KOMUNIS di Indonesia dengan gunakan kekeras tangan besi. Yang kemudian terjadi sebagimana kita saksikan bersama, jenderal Soeharto dengan menggunakan G30S sebagai DALIH untuk membasmi komunis yg dituduh mendalangi G30S itu. Menggunakan dalih “Membunuh lebih dahulu atau dibunuh” inilah yang mengakibatkan Nusantara bersimbah darah, ...! Namun, berhasilkah usaha membasmi komunis di Nusantara ini? Saya tidak yakin! Sekalipun PKI secara organisasi sudah berhasil dihancur-lumatkan, seluruh tokoh-utama

Transcript of “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan...

Page 1: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

1

“Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab”

2016-04-30 15:57 GMT+07:00 Chan CT <[email protected]>:

Sependapat dengan bung Nesare, saya hendak menambah sedikit saja, bahwa gagasan

bung Karno Persatuan Nasional berdasarkan NASAKOM adalah satu gagasan yang

berdasarkan kenyataan objektif masyarakat Indonesia, kenyataan ada kekuatan

Nasional, Agama dan Komunis yang selama masa kolonial Belanda bergerak dan berjuang

mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Mestinya, adanya interaksi dan kontradiksi

yang terjadi antar 3 kekuatan dalam masyarakat itulah merupakan tenaga penggerak

kemajuan masyarakat. Bersatu dan Berjuang bersama untuk membangun masyarakat adil

dan makmur. Begitu cita-cita bung Karno, ... Jadi, gagasan NASAKOM bung Karno itu

TIDAK SALAH! Yang salah bung Karno tidak ada KETEGASAN SIKAP dengan cepat

untuk menindak dan melawan “oknum-oknum tidak benar” seperti dinyatakan dalam

pidato Nawaksara di depan MPRS 1966 itu.

Bukan karena bung Karno tidak cepat-cepat mengutuk dan bubarkan PKI, maka

bersimbah darah. Akan lebih TEPAT dikatakan, karena bung Karno TIDAK cepat

turunkan PERINTAH melawan “Oknum-oknum tidak benar” itu jadi Nusantara bersimbah

darah! Dengan kata lain, selama kekuasan masih ditangan Presiden Soekarno, selama itu

Nusantara tidak akan bersimbah darah. Tapi, justru karena perintah yang

ditunggu-tunggu tidak juga turun, sedang jenderal Soeharto yang sejak 1 Oktober subuh

itu sudah merebut inisyatif menguasai keadaan, ... dan ternyata Soeharto adalah seorang

yang BERDARAH-DINGIN, yang merasa tidak cukup menangkap dan membunuh

TOKOH-UTAMA G30S, tapi juga mengejar, menangkap dan membunuh orang-orang yang

dituduh komunis, Soekarnois, ... maka tidak terhindarkan darah merah rakyat tidak

berdosa membanjiri Nusantara ini! Itulah kenyataan yang terjadi, ...

Yang salah Presiden Soekarno membiarkan sedang PKI tertipu oleh “oknum-oknum tidak

benar” (baca jenderal Soeharto) yang ternyata berusaha membasmi kekuatan

KOMUNIS di Indonesia dengan gunakan kekeras tangan besi. Yang kemudian terjadi

sebagimana kita saksikan bersama, jenderal Soeharto dengan menggunakan G30S

sebagai DALIH untuk membasmi komunis yg dituduh mendalangi G30S itu. Menggunakan

dalih “Membunuh lebih dahulu atau dibunuh” inilah yang mengakibatkan Nusantara

bersimbah darah, ...!

Namun, berhasilkah usaha membasmi komunis di Nusantara ini? Saya tidak yakin!

Sekalipun PKI secara organisasi sudah berhasil dihancur-lumatkan, seluruh tokoh-utama

Page 2: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

2

pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan

sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI yang masih hidup tersisa juga sudah usur,

untuk bergerak saja sudah sulit, ... sudah tidak berdaya. Namun disatu saat akan tetap

muncul bersemi dan tumbuh dengan suburnya ditengah-tengah masyarakat miskin

diseluruh Nusantara ini. Bukankah kenyataan sampai sekarang penguasa atau khususnya

sementara jenderal masih saja menganggap komunis bahaya laten di Indonesia?! Selalu

dibayang-bayangi momok komunis yang sudah mereka bantai-HABIS itu.

Paham komunis yang selalu membela rakyat miskin itu akan senantiasa bangkit kembali

selama masih terjadi penghisapan manusia atas manusia, selama ada lapisan masyarakat

miskin, ... disatu saat akan muncul kembali kekuatan komunis di Nusantara ini, satu

kekuatan yang akan membawa Rakyat Indonesia membangun masyarakat adil dan

makmur.

Salam,

ChanCT

From: mailto:[email protected]

Sent: Saturday, April 30, 2016 3:09 AM

To: [email protected]

Subject: RE: [GELORA45] “G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab”

(Tanggapam wacana Salim Said)

Salim Said: Singkat cerita, sulit untuk tidak mengatakan Gestapu 1965 adalah bukti kongkrit

kegagalan doktrin persatuan nasional berdasarkan Nasakom. Dengan kata lain, konsep dan

ajaran persatuan nasional Sukarno gagal mengatasi konflik antara Komunis dan kekuatan

anti Komunis. Akibatnya tragis dan bersimbah darah.

Nesare: bagaimana kalau dilihat begini: rakyat Indonesia (sebagian saja) tidak mengerti

konsep nasakom yang adalah realitas bangsa Indonesia waktu itu. Sampai sekarang pun

masih begitu wajahnya. Karena tidak mengerti faham nasakom yang adalah realitas

masyarakat Indonesia menjadikan sebagian rakyat Indonesia bertindak beringas dan

sampai menjadi pembunuh bangsanya sendiri karena dikibulin oleh tentara AD dan intel

negara asing. Paham nasakom itu tidak akan gagal karena sampai sekarang pun realitas itu

masih berlaku. Saya jadi bertanya apakah gerakan LGBT pun harus diberantas karena

keberadaannya adalah real dalam masyarakat Indonesia? Apakah rakyat Indonesia juga

harus membunuh para LGBT itu karena tidak setuju dengan mereka? Saya yakin bung

Page 3: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

3

Karno akan melindungi mereka walaupun mungkin bung Karno tidak akan memasukkan

LGBT dalam konsep nasakomnya.

Tidak ada argument mengatakan persoalan Gestapun 1965 itu adalah kegagalan nasakom.

Persoalan Gestapu 1965 itu adalah peristiwa sendiri dimana ada keributan dalam

menguasai Indonesia. Sedangkan nasakom adalah hasil suatu pemikiran. Tidak boleh

dicampuradukkan. Kalau boleh menganaloigikan “Islam tidak bisa bersanding dengan

komunisme” dengan “Islam tidak bia bersanding dengan LGBT” dan atau “Islam tidak bisa

bersanding dengan kristen”, berarti premis bung yang mengatakan “Sukarno gagal

mengatasi konflik antara Komunis dan kekuatan anti Komunis” tidak berdasar.

Salim Said: Presiden Sukarno berkeras tidak bersedia menerima, apalagi mengakui

kegagalan Nasakom. Dan karena itu dia bertahan terhadap tekanan pembubarkan PKI.

Sikap mempertahankan PKI (hingga dibubarkan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soeharto

pada 11 Maret 1966) memperkuat alasan masyarakat bertindak sendiri “menghabisi PKI

sampai ke akar-akarnya.” Ini artinya pertumpahan darah, pembantaian massal. Alasannya,

mereka takut PKI bertahan, tidak dibubarkan, dan lalu melakukan aksi berdarah sebagai

yang dulu mereka lakukan ketika Pristiwa Madiun 1948. Semboyan yang terdengar di

kalangan kaum anti Komunis waktu itu, terutama di Jawa Tengah dan Timur, ”Membunuh

lebih dahulu atau dibunuh.”

Nesare: pertama kecintaan bung Karno terhadap bangsanya melebihi kecintaannya

terhadap dirinya sendiri. oleh karena itu beliau “menghabiskan” dirinya sendiri sebagai

tawanan dalam rumah karena tidak mau melihat ada perang sipil/saudara bagis Indonesia

yang baru. Kedua premis menghubungkan “sikap bung karno mempertahankan PKI” dan

“memperkuat masyakat menjadi pembunuh” itu seakan2 bung mau bilang: bung karnolah

biang permasalahannya yang menyebabkan rakyat beringas dan menjadi pembunuh.

Bukan begitu pemahaman saya: ABRI AD yang memprovokosi rakyat Indonesia terutama

kaum konservatif agama dalam membunuh para anggota PKI dan pengikut bung Karno.

Semua pembunuhan ini terjadi karena adanya provokasi ABRI AD dibawah Soeharto.

Sejarah ini sudah terbuka sedikit demi sedikiti. Ini sudah diperjuangkan lama sekali terutama

dengan Cornell paper dari Ithaca, NY. Jadi jangan berpropaganda dengan mengatakan

pembunuhan massal 1965 itu karena nasakom dan bung Karno yang gagal.

Salim Said: Jenderal Ibrahim Aji, Panglima Siliwangi cepat membubarkan PKI diwilayahnya,

hingga Jawa Barat tidak terpaksa mengalami pembantaian Komunis. Jawa Barat juga

tertolong oleh struktur masyarakatnya yang dominan Islam (partai politik Islam Masyumi

memenangkan pemilu 1955 di Jawa Barat), artinya tidak terpecah antara kaum Abangan

dan kaum Santri seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Page 4: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

4

Nesare: dengan kalimat ini seakan2 bung mau mengatakan “PKI dijawa barat dibubarkan

oleh ibrahim aji makanya kurban berkurang atau tidak ada”. Saya tidak setuju. Kalimat ini

kalau diperluas “kalau PKI kalau dibubarkan oleh bung Karno, niscaya peristawa

pembunuhan massal 1965 tidak akan terjadi”. Pembunuhan massal 1965 bukan disebabkan

oleh ada atau tidak adanya PKI, melainkan ABRI AD mau menjadi penguasa. Tidak ada PKI

pun, kelompok Islam akan menjadi rivalnya ABRI. Inilah realitas politik saat itu bahwa

kekuasaan riil ada ditangan: ABRI, PKI dan Islam. Inilah buah arti pemahaman bung Karno

yang brilian: NASAKOM, yang sampai sekarang masih riil.

Salim Said; Berbeda dengan jalan yang ditempuh Tiongkok, PKI tidak yakin bisa berkuasa

lewat jalan kekerasan. Mereka menghadapi Angkatan Darat yang dipimpin para Jenderal

yang sangat anti Komunis, karena itu mereka merencanakan menang lewat pemilihan

umum (jalan parlementer) yang direncanakan akan diadakan pada tahun 1970.

Nesare: coba kalau pemahamannya begini: PKI adalah partai politik 4 besar dan suaranya

meningkat naik. Dalam tempo singkat setelah peristiwa madiun 1948, PKI bisa bangkit lagi

karena memang hanya PKI lah yang mikirin rakyat jelata. Parpol yg lain mainnya dikalangan

elit. Setelah muso ditembak mati dan amir sjariffoeddin di eksekusi, aidit dan Lukman lari ke

tiongkok. 1950 mereka mulai bangkit. Pemilu 1955 PKI sudah menjadi parpol ke 4

diindonesia. PNI terbesar dengan hampir 23% pemilih, Masyumi 22%, NU 18% dan PKI

16%. Hasil pemilu pertama 1955 itu bikin takut para elit Indonesia atas kekuatan PKI,

makanya pemilu 1959 dibatalkan. Kenapa PKI harus pakai kekerasan, sedangkan

kemenangan melalu jalan konstitusi sudah didepan mata? Saya jadi bertanya2 kenapa

bung mempunyai pendapat: “PKI tidak yakin bisa berkuasa lewat jalan kekerasan”? jawaban

pertanyaan ini jelas sekali: PKI itu bukan partai kekerasan. PKI itu adalah partai rakyat.

Salim said: Tapi pengalaman sejarah menunjukkan kemungkinan tampilnya Komunis

nasional, sebagai yang terlihat pada gagasan-gagasan Tan Malaka dulu, menakutkan

sejumlah orang.

Nesare: mungkin bagi bung kesannya begitu. Bagi saya dan banyak yang lainnya tidak

begitu sederhana dalam menafsirkan jalan pikiran Tan Malaka. Idenya: madilog, adalah

salah satu hasil pendalaman antara pemikiran barat dan konteks kultural Indonesia yang

sangat mendalam. Makanya disebut banyak orang Madilog adalah hasil karya filsafat dan

yang pertama di Indonesia termasuk magnis suseno. Anhar gonggong sejarahwan UI yang

bersuara miring terhadap komunisme juga bilang Tan Malaka adalah pakar keilmuan. Tan

Malaka sebagai filsuf dan ilmuwan lebih pragmatis dalam mengeksekusi pemikiran2nya

dalam memperbaiki nasib rakyat Indonesia terutama dalam melawan penjajah dan kaum

feudal. Konsep materialismenya jelas melihat kesusahan rakyat Indonesia yang dijajah.

Page 5: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

5

Konsep dialetikanya penuh dengan kerohanian dan logika dalam menjabarkan kesusahan2

itu sangat relevan dalam perkembangan bangsa Indonesia saat itu. Semua itu tidak

menakutkan sama sekali melainkan sangat prihatin dengan kehidupan rakyatnya.

Salim said: Kecemasan terhadap kemungkinan demikian itulah yang mendorong munculnya

sikap tidak toleran sebagian anggota masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang

dipersepsikan sebagai tanda-tanda ancaman kebangkitan kembali kekuatan Kiri.

Nesare: oh tidak bukan begitu. Sikap tidak toleran masyarakat dan sampai menjadi

pembunuh itu karena sudah diatur oleh tentara. Tadinya masyarakat ini tidak berani tetapi

karena dikompori oleh tentara yang ada bedil, ya jadi masyarakat jadi berangas. Ini

namanya: diprovokosi. Permintaan maaf pribadi Gus Dur itu adalah cermin kesalahan yang

telah dilakukan oleh Ansor dalam pembunuhan massal 1965.

Salim said: Tapi harap dicatat, sikap intoleran yang cukup marak sekarang ini bukan melulu

tertuju kepada gerakan Kiri melainkan juga terhadap sejumlah kelompok lain. Yang terakhir

ini bersumber pada perbedaan tafsiran pelaksanaan syariat agama. Dengan latar

belakang seperti inilah kita harus mengerti perlakuan kasar dan intoleransi yang dialami

golongan Ahmadiah, Syiah dan GPT di Tanah Air kita. Pertanyaannya tentu apakah nasib

Ahmadiah dan Syiah sama dan sebanding dengan nasib golongan Kiri Indonesia hari-hari

ini?

Nesare: setuju! Memang rakyat Indonesia itu adalah majemuk. Pluralisme itu sudah

disebutkan dengan jelas sebagai: bhinneka tunggal ika. Seharusnya perbedaan ini jangan

menjadi divider melainkan harus jadi pemersatu. Apalagi perbedaan ini digunakan oleh para

provokator untuk memancing diair keruh. Jangan begitu lagi. Sudah banyak yang kita

ketahui bersama bahwa banyak persoalan horizontal masyarakat Indonesia itu menjadi

pertumbahan darah karena diprovokasi. Kasus2 poso, ambon dll itu adalah lagu lama yang

didendangkan terus menerus oleh yang punya bedil.

Jangan lagi begitu! Kalau tidak revolusi sosial akan terjadi! Kita semua tidak mau! Hati hati

bermain api, suatu saat akan kebakaran!

Salam

Nesare

From: [email protected] [mailto:[email protected]]

Sent: Thursday, April 28, 2016 8:02 PM

To: GELORA_In <[email protected]>

Page 6: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

6

Subject: Fw: [GELORA45] “G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab” (Tanggapam

wacana Salim Said)

Begini jawaban bung Salim, ... dan untuk memudahkan kw-2 mengikuti bagaimana sikap

dan posisi bung Salim terhadap G30S, ada baiknya saya lampirkan saja Makalah yang

akhirnya tidak sempat dibacakan didepan Simposium 18-19 April Yl, “Membedah Tragedi

1965”.

Salam,

ChanCT

From: Salim Said

Sent: Friday, April 29, 2016 7:53 AM

To: Group Diskusi Kita ; [email protected] ; alumnas-oot ;

[email protected]

Subject: Re: Fw: [GELORA45] “G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab”

(Tanggapam wacana Salim Said)

Jawaban Prof. Dr. Salim Haji Said, MA,MIA.

Untuk mengerti posisi saya thdp Gestapu dan terjadinya pembunuhan massal pasca

Gestapu 1965, Sdr Julius Gunawan dan siapa saja yang berminat, sangat saya anjurkan

membaca buku saya Gestapu 65 dan makalah saya pada Simposium yang diadakan di

hotel Arya Duta, Jakarta, beberapa hari lalu.

Makalah Singkat Prof.Dr. Salim Haji Said, MA, MAIA Untuk Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965: Pendekatan Kesejarahan. Jakarta 18-19 April 2016.

Tragedi 1965 tidak bisa dimengerti terpisah dari kontek sejarah Indonesia moderen yang bermula

pada awal abad 20. Pertama, haruslah disadari sepenuhnya konsep “Indonesia” adalah konsep baru

yang secara berangsur menggantikan konsep “Hindia Belanda”. Konsep “Hindia Belanda” sendiri

adalah konsep kreasi Belanda akhir abad ke 19. Sebelum itu Nusantara ini belum suatu kesatuan

yang dari padanya ada persepsi diri yang mendasari persatuan yang menciptakan konsep “Kita” bagi

penduduk Nusantara. Sejumlah perang melawan kekuasaan kolonial Belanda hanya merupakan

perang para raja yang bahkan tidak berdasar konsep suku atau wangsa. Ini sebabnya Belanda

dengan mudah melumpuhkan kekuatan para Raja dengan memecah belah mereka.

Page 7: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

7

Sejarah mencatat, konsep pertama tentang “Kita” lahir dari Perang Padri (Sumatra Barat) yang

memandang diri mereka sebagai kekuatan Islam melawan Belanda yang kafir. Konsep “kita”

sebagai Islam kemudian merambat ke Aceh (Perang Aceh) dan Jawa Tengah (Perang

Diponegoro) yang keduanya melihat diri mereka—antara lain -- sebagai kekuatan Islam melawan

Belanda yang kafir.

Dengan latar belakang inilah kita mudah mengerti jika gerakan massal pertama di Indonesia adalah

Sarekat Islam. Waktu itu pada umumnya apa yang kemudian menjadi bangsa Indonesia para

warganya lebih mengenal diri mereka sebagai bangsa Islam. Konsep “Indonesia” secara perlahan

baru muncul pada dekade ke dua abad ke 20. Puncaknya adalah Sumpah Pemuda 1928.

Jadi apa yang sekarang kita kenal sebagai bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa buatan yang

sejarahnya bermula pada awal abad 20. Warga bangsa ini pluralistik dalam hampir semua aspek:

suku,bahasa, tradisi,agama dan kecenderungan. Perbedaan dan keadaan pluralistik itu bukan

sesuatu yang tidak menjadi tantangtan dalam proses menjadi Indonesia yang bersatu dan

rukun.Barangkali menyadari rangkaian perbedaan inilah seruan utama dalam lagu kebangsaan kita

adalah ”Marilah Kita Bersatu.”

Ketika Proklamasi dibacakan oleh Ir Sukarno pada 17 Agustus 1945, usia konsep dan bangsa

Indonesia belumlah setengah abad. Kesadaran terhadap rangkaian perbedaan yang menjadi ciri

terpenting bangsa baru itu menyebabkan metafor sapu lidi sangat menonjol di masa revolusi. Sapu

lidi dipakai sebagai contoh bagi perlunya persatuan, sebab lidi di luar ikatannya amat mudah

dipatahkan.

Mengingat dan menyadari latar belakang kemajemukan masyarakat Indonesia mudah dimengerti

sulitnya persatuan yang tadinya dibayangkan dan didambakan para elit tatkala mereka

menghadapi kekuatan Kolonial Belanda atau fasisme Jepang sekalipun. Dalam kenyataanya, bangsa

majemuk Indonesia dengan kemakmuran yang rendah dan karena itu peradaban yang belum

berkembang menderita “penyakit” fragmented Society. Ciri utama masyarakat yang demikian

adalah tidak adanya trust (kepercayaan) antar fragmen-fragmen dalam masyarakat. Salah satu

penjelasan kegagalan Dewan Konstituante menciptakan sebuah konstitusi yang disepakati bersama

adalah fragmentasi itu. Juga kegagalan sistim parlementer bisa dijelaskan oleh keadaan fragmented

tsb.

Dengan latar belakang inilah kita harus mengerti lahirnya konsep Nasakom yang diperkenalkan

Presiden Sukarno. Konsep persatuan tersebut bukan konsep baru. Sukarno menciptakannya di masa

mudanya (tahun 1926). Latar belakang politik internasional ketika Nasakom diperkenalkan pertama

kali amat berbeda dengan kondisi ketika Nasakom didoktrinkan Sukarno pada masa Demokrasi

Terpimpin. Pada masa Demokrasi Terpimpin Perang dingin sedang berkecamuk dengan ganas dan

Page 8: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

8

Indonesia jelas tidak bebas dari dampak “perang” demikian.

Sebagai respon terhadap Nasakom yang dipaksakan oleh pemerintahan otoriter Presiden Sukarno,

masyarakat Indonesia yang fragmented “terpecah” ke dalam dua kubu. Kubu Komunis dan anti

Komunis. Kedua kubu yang berseteru secara tajam sadar konflik pisik akan datang dan tak

terhindarkan. Kenyataan itu mendorong kedua kubu melakukan mobilisasi. Singkatnya, keduanya

bersiap “perang.”

Dan seperti yang telah diperhitungkan dan diantisipasi, pada Satu Oktober 1965 pihak Komunis

bertindak lebih dahulu. Sebuah pertumpuhan darah yang amat dramatis terjadi di pagi hari. Yang

jadi korban pembantaian adalah para Jenderal pimpinan Angkatan Darat. Mereka menjadi sasaran

pembantaian karena dianggap sebagai penghalang utama kemajuan Komunis yang secara berangsur

membangun kekuasaan.

Pada Satu Oktober 1965 pagi itu sebenarnya yang terbantai bukan hanya pimpinan Angkatan Darat,

tapi juga konsep Nasakom itu sendiri.Pada sore hari Satu Oktober itu juga, lagu “Nasakom Bersatu”

yang selama bertahun-tahun dikumandangkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI)secara resmi

dinyatakan lagu terlarang, dan sejak hari itu orang-orang Komunis juga mulai ditangkapi.

Singkat cerita, sulit untuk tidak mengatakan Gestapu 1965 adalah bukti kongkrit kegagalan doktrin

persatuan nasional berdasarkan Nasakom. Dengan kata lain, konsep dan ajaran persatuan nasional

Sukarno gagal mengatasi konflik antara Komunis dan kekuatan anti Komunis. Akibatnya tragis dan

bersimbah darah.

Presiden Sukarno berkeras tidak bersedia menerima, apalagi mengakui kegagalan Nasakom. Dan

karena itu dia bertahan terhadap tekanan pembubarkan PKI. Sikap mempertahankan PKI (hingga

dibubarkan oleh Pangkopkamtib Jenderal Soeharto pada 11 Maret 1966) memperkuat alasan

masyarakat bertindak sendiri “menghabisi PKI sampai ke akar-akarnya.” Ini artinya pertumpahan

darah, pembantaian massal. Alasannya, mereka takut PKI bertahan, tidak dibubarkan, dan lalu

melakukan aksi berdarah sebagai yang dulu mereka lakukan ketika Pristiwa Madiun 1948. Semboyan

yang terdengar di kalangan kaum anti Komunis waktu itu, terutama di Jawa Tengah dan

Timur, ”Membunuh lebih dahulu atau dibunuh.”

Seandainya Presiden Sukarno cepat membubarkan PKI, besar kemungkinan pembantaian

orang-orang Komunis, bisa dihindarkan. Jenderal Ibrahim Aji, Panglima Siliwangi cepat

membubarkan PKI diwilayahnya, hingga Jawa Barat tidak terpaksa mengalami pembantaian

Komunis. Jawa Barat juga tertolong oleh struktur masyarakatnya yang dominan Islam (partai politik

Islam Masyumi memenangkan pemilu 1955 di Jawa Barat), artinya tidak terpecah antara kaum

Abangan dan kaum Santri seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Page 9: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

9

Selain trauma pengalaman berdarah pembantaian Madiun 1948, menjelang Gestapu 1965

masyarakat Indonesia juga dibanjiri tulisan mengenai kekejaman Komunis di Uni Sovyet, Tiongkok

dan Eropa Timur. Bacaan-bacaan ini – sumbernya besar kemungkinan dari intel Barat -- makin

meningkatkan ketakutan publik kepada golongan Komunis. Ketakutan demikian jelas menambah

“semangat” memberantas PKI dan orang-orangnya “hingga ke akar-akarnya.”

Sebagai catatan tambahan terhadap pembantaian kaum Komunis pada masa pasca Gestapu, saya

melihat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, PKI memang tidak mempersiapkan dan

melibatkan massanya dalam Gestapu. Ini karena kebijakan PKI, khususnya D.N. Aidit, mendesain

Gestapu sebagai hanya “masaalah internal Angkatan Darat.” Artinya bukan atau belum gerakan

PKI untuk merebut kekuasaan yang mempersyaratkan mereka memobilisasi dan mempersiapkan

anggotanya yang konon berjumlah tiga juta dengan simpatisan 20 juta.

Berbeda dengan jalan yang ditempuh Tiongkok, PKI tidak yakin bisa berkuasa lewat jalan kekerasan.

Mereka menghadapi Angkatan Darat yang dipimpin para Jenderal yang sangat anti Komunis, karena

itu mereka merencanakan menang lewat pemilihan umum (jalan parlementer) yang direncanakan

akan diadakan pada tahun 1970.

Gestapu bagi PKI adalah hanya langkah menyingkirkan pimpinan Angkatan Darat yang anti Komunis

untuk membuka jalan bagi para Jenderal pengikut Sukarno menguasai Angkatan Darat. Dengan

tentara yang tidak anti Komunis (seperti Laksamana Madya Omar Dani yang memimpin AURI waktu

itu), perjalanan PKI memenangkan pemilihan umum 1970 diperhitungkan Aidit akan lebih mulus.

Peranan tentara dalam pembantaian orang-orang Komunis juga harus dicatat. Tapi mereka terutama

hanya berperan pada daerah-daerah yang masyarakatnya memang mempunyai pertentangan yang

tajam antara yang Komunis dan anti Komunis. Keadaan seperti ini terutama terjadi di Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Seperti sudah kita ketahui pada kedua provinsi ini ada pertentangan yang

makin menajam antara kaum Santri –umumnya anti Komunis—dan golongan Abangan yang

umumnya pro Komunis.

Di kedua provinsi ini tentara terutama berperan menggalakkan, bahkan kadang secara terbuka

mendukung golongan anti Komunis untuk bertindak. Di Solo, misalnya, pada bulan Oktober

1965 RPKAD melatih para pemuda untuk menghadapi PKI, setelah PKI dengan dukungan satu

Batalion Kodam Diponegoro di Solo membunuh mereka yang berdemo anti Komunis pada

hari-hari awal bulan Oktober.

Pembunuhan massal di Pulau Bali memerlukan pengertian kultural selain penjelasan politik. Tapi

selain faktor kultural, di Pulau itu memang juga terjadi kelumpuhan otoritas militer dan sipil hingga

Page 10: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

10

tidak bisa bertindak mencegah ketegangan berdarah yang menelan banyak korban. Pembantaian

baru dapat diatasi justru setelah tentara (RPKAD) didatangkan dari Jakarta.

Setengah Abad Kemudian.

Akhir-akhir ini muncul kesadaran dan usaha rekonsoliasi mengatasi luka masa lama. Tapi pada saat

yang sama juga tampak adanya aksi-aksi membatasi gerak mereka yang dipandang bahkan dicurigai

sebagai “Kekuatan Kiri” yang mencoba bangkit kembali. Petemuan-pertemuan mereka digrebek,

kegiatan kultural mereka dicegah dan diskusi-diskusi mereka dibubarkan.

Komunisme internasional memang sudah bangkrut setelah Uni Sovyet bubar dan Tiongkok menjadi

kapitalis. Dulu PKI adalah kekuatan integral dari gerakan Komunius internasional dan selama

masa Demokrasi Terpimpin menjadi sangat kuat karena perlindungan Presiden Sukarno di bawah

payung Nasakom.

Tapi pengalaman sejarah menunjukkan kemungkinan tampilnya Komunis nasional, sebagai yang

terlihat pada gagasan-gagasan Tan Malaka dulu, menakutkan sejumlah orang. Kecemasan terhadap

kemungkinan demikian itulah yang mendorong munculnya sikap tidak toleran sebagian anggota

masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan yang dipersepsikan sebagai tanda-tanda ancaman

kebangkitan kembali kekuatan Kiri.

Tapi harap dicatat, sikap intoleran yang cukup marak sekarang ini bukan melulu tertuju kepada

gerakan Kiri melainkan juga terhadap sejumlah kelompok lain. Yang terakhir ini bersumber pada

perbedaan tafsiran pelaksanaan syariat agama. Dengan latar belakang seperti inilah kita harus

mengerti perlakuan kasar dan intoleransi yang dialami golongan Ahmadiah, Syiah dan GPT di Tanah

Air kita. Pertanyaannya tentu apakah nasib Ahmadiah dan Syiah sama dan sebanding dengan nasib

golongan Kiri Indonesia hari-hari ini?

* * * * *

2016-04-28 18:36 GMT+07:00 Chan CT <[email protected]>:

From: mailto:[email protected]

Sent: Thursday, April 28, 2016 5:31 PM

To: Gelora45

Subject: [GELORA45] “G 30 S/PKI, “Gestapu” dan “Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab”

(Tanggapam wacana Salim Said)

Page 11: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

11

“G 30 S/PKI, “Gestapu” dan

“Penyelesaian Peristiwa G 30 S Secara Beradab”

(Tanggapam wacana Salim Said)

Saya belum membaca buku tulisan Salim Said, baik yang berjudul “Dari Gestapu ke

Reformasi: Serangkaian Kesaksian”, maupun yang berjudul “GESTAPU 65: PKI, AIDIT,

SUKARNO, DAN SOEHARTO”. Oleh karena itu, tulisan ini tidak bermaksud

mengomentari kedua buku itu. Yang ingin saya tanggapi -- sebagai warga biasa yang

menginginkan pengungkapan Peristiwa Tragedi Nasional G 30 S se-objektif mungkin --

adalah wacana Salim Said, “bangsa Indonesia harus bisa menyelesaikan masalah ini

[masalah Peristiwa G 30 S] secara beradab” [REPUBLIKA.CO.ID, 21/10/2015] dan

istilah “G 30 S/PKI” dan “Gestapu” yang dalam beberapa kesempatan masih saja dipakai

oleh Guru Besar ilmu Politik Unhan ini.

Saya berpendapat bahwa penyelesaian secara beradab Peristiwa G 30 S -- sebagaimana

diwacanakan Salim Said -- hanya bisa terwujud apabila pengungkapan fakta-fakta di

seputar peristiwa itu dilakukan tanpa diskriminasi terhadap pihak-pihak yang berkonflik

dalam peristiwa yang merupakan tragedi nasional tersebut. Pengungkapan seperti itu

hanya dimungkinkan manakala pihak pengungkap bersih dari konflik kepentingan

(conflicts of interest).

Sebagaimana kita ketahui, pada dini hari 1 Oktober 1965, G 30 S -- gerakan yang

dipimpin oleh perwira-perwira kiri, Sukarnois dan anggota Biro Khusus PKI bernama

Sjam Kamaruzzaman -- telah melakukan operasi militer penjemputan paksa sejumlah

jenderal SUAD (Staf Umum Angkatan Darat) dan Jenderal Nasution. Operasi militer itu

disusul kemudian dengan pendemisioneran Kabinet Dwikora pada pukul 7.20 pagi hari 1

Oktober 1965. Penjemputan paksa sejumlah jenderal tersebut dalam pelaksanaannya

berujung dengan terbunuhnya enam jenderal SUAD dan satu perwira pertama AD.

Pendemisioneran Kabinet Dwikora dan keberadaan anggota Biro Khusus PKI bernama

Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S, oleh mesin propaganda kelompok

Suharto (dan rezimnya) dipropagandakan kepada masyarakat sebagai bukti bahwa PKI

terlibat atau bahkan mendalangi pemberontakan terhadap pemerintah Republik

Indonesia yang sah. Kemudian, peristiwa terbunuhnya enam Pati dan satu Pama AD oleh

mesin propaganda tersebut dibumbui dengan berbagai fitnah agar terbentuk opini

masyarakat bahwa PKI telah melakukan kebiadaban yang setara dengan kebiadaban

Page 12: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

12

Gestapo (Geheime Staatspolizei, Polisi rahasia Jerman Nazi).

Benarkah PKI terlibat/dalang dalam Peristiwa G 30 S?

Sebagaimana telah disinggung di atas, kelompok Suharto dan rezim yang dibangunnya

menjadikan keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S sebagai

bukti bahwa PKI mendalangi gerakan tersebut. Tapi siapa sebenarnya Sjam

Kamaruzzaman ini? Dalam kapasitas sebagai apa keberadaan dia dalam jajaran pimpinan

G 30 S? Sebagai oknum PKI atau sebagai wakil PKI? Siapa yang memberi mandat Sjam

Kamaruzzaman duduk dalam jajaran pimpinan G 30 S? Di depan Mahmilub (Makamah

Militer Luar Biasa), Sjam Kamaruzzaman mengaku bahwa dia adalah Ketua Biro Khusus

(Biro Chusus) PKI. Tapi apa itu Biro Khusus? Bagaimana hubungan hierarki antara Biro

Khusus dengan Biro Politik (Politbiro) PKI?

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa biro politik partai komunis adalah badan

tertinggi pelaksana keputusan kongres partai. Biro Politik menjalankan tugasnya

sepanjang periode antara dua kongres. Adapun ketua partai, adalah fungsionaris

pelaksana keputusan dan bertanggung jawab kepada biro politik.

Lalu, Biro Khusus itu dibawah komando Ketua atau Biro Politik PKI? Sepanjang

pengetahuan saya, apa yang dinamakan Biro Khusus itu tidak terdapat dalam AD/ART

PKI. Oleh karena itu, lumrah bila tidak ditemukan penjelasan tentang hubungan

struktural antara Biro Khusus dengan Biro Politik di dalam AD/ART PKI. “De jure”, Biro

Khusus itu tidak ada, tapi de facto, Biro Khusus itu ada. Secara struktural, Biro Khusus

langsung berada di bawah komando Ketua PKI. Pada perkembangan selanjutnya, selain

Ketua PKI, tidak ada satu pun komponen organisasi atau fungsionaris PKI yang

mengetahui secara eksak aktivitas Biro Khusus. Dengan sendirinya tidak ada satu pun

pula komponen organisasi PKI bisa mengontrol aktivitas Biro Khusus bersama Ketua PKI.

Diakui atau tidak, Ketua PKI berserta Biro Khusus-nya pada hakikatnya merupakan

“organisasi di dalam organisasi” PKI.

Kembali ke pertanyaan: Dalam kapasitas sebagai apa keberadaan Sjam

Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S? Dari uraian terkait Biro Khusus di atas,

kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran

pimpinan G 30 S semata-mata adalah dalam kapasitas sebagai wakil Biro Khusus; bukan

sebagai wakil PKI. Tidak ada satupun kelompok anti-PKI sejauh ini yang bisa

membuktikan bahwa keberadaan Sjam Kamaruzzaman dalam jajaran pimpinan G 30 S

adalah dalam kapasitas sebagai wakil PKI yang mendapat mandat dari Biro Politik PKI.

Jadi, benarkah PKI terlibat/dalang dalam Peristiwa G30S? Menurut pandangan saya,

Page 13: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

13

yang terlibat dalam Peristiwa G 30 S adalah kelompok Biro Khusus bersama Ketua PKI.

Malangnya, disebabkan Ketua PKI ada di dalam kelompok ini, maka secara tak terelakkan

terseret pula lah PKI secara totalitas, en bloc, ke dalam pusaran konsekuensi Peristiwa

Tragedi Nasional G 30 S -- Peristiwa penjemputan paksa sejumlah jenderal dan

pendemisoneran Kabinet Dwikora oleh G 30 S pada dini dan pagi hari 1 Oktober 1965!

Benarkah Suharto tidak terlibat dalam Peristiwa G 30 S?

Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita focus ke inti persoalannya: Benarkah

Suharto tidak mengetahui bahwa G 30 S akan melancarkan operasi militer penjemputan

paksa sejumlah jenderal menjelang operasi itu dilancarkan pada dini hari 1 Otober 1965?

Pada hemat saya, satu fakta krusial yang pertama-tama harus kita kaji adalah perihal

pertemuan Suharto dengan Kolonel Latief di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat)

pada larut malam 30 September 1965.

Pada tahun 1968, kepada seorang wartawan Amerika Serikat bernama Brackman,

Suharto bercerita bahwa tujuan Kolonel Latief datang ke RSPAD adalah untuk

mengecek keberadaannya. Jadi menurut alur cerita ini, Kolonel Latief datang ke RSPAD

sekadar untuk mengecek keberadaan Suharto, tidak untuk membunuh-nya.

Namun dua tahun kemudian, pada tahun 1970, dalam wawancaranya dengan mingguan

Jerman “Der Spiegel”, Suharto mengatakan bahwa tujuan Kolonel Latief datang ke

RSPAD adalah untuk membunuh-nya.

Dalam kesempatan lain, di dalam otobiografinya (Soeharto – Pikiran, Ucapan dan

Tindakan Saya, 1989), cerita Suharto tentang pertemuannya dengan Kolonel Latief di

RSPAD sudah lain lagi. Diceritakan-nya bahwa dia tidak bertemu dengan Kolonel Latief

di RSPAD. Dari kamar tempat anaknya dirawat, dia (Suharto) hanya melihat Kolonel

Latief berjalan di koridor lewat di depan kamar rawat anaknya itu. Bagaimana mungkin,

Kolonel Latief -- seorang perwira militer berpengalaman, salah satu pimpinan kelompok

militer yang beberapa jam kemudian akan melancarkan operasi militer beresiko tinggi --

masih meluangkan waktu untuk blusukan di sebuah rumah sakit? Tidak seorang pun

berakal sehat akan mempercayai cerita Suharto ini.

Berbagai versi cerita Suharto (ver. 1968, ver. 1970 dan ver. 1989) yang berbelit-belit,

tidak konsisten, perihal pertemuannya dengan Kolonel Latief di RSPAD mengundang

kecurigaan orang bahwa ada sesuatu yang busuk yang disembunyikan Suharto.

“Something is rotten in the story of the meeting at the RSPAD”!

Page 14: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

14

Apa sesuatu yang busuk yang disembunyikan Suharto itu? Yang disembunyikannya adalah

fakta yang kemudian diungkap Kolonel Latief di dalam sidang Mahkamah Militer Tinggi

(Mahmilti) pada tahun 1978. Di dalam sidang tersebut, Kolonel Latief menyatakan bahwa

dia telah memberi tahu Suharto pada larut malam 30 September 1965 di RSPAD perihal

G 30 S akan melancarkan operasi militer penjemputan paksa sejumlah jenderal beberapa

jam sesudah pertemuan tersebut.

Di dalam surat yang ditujukan kepada Ketua Mahmilti pada 9 Mei 1978, Kolonel Latief

mengajukan permohonan agar Suharto diajukan sebagai saksi yang meringankan (saksi a

de charge). Permintaan saksi a de charge dari Kolonel Latief ini ditolak Ketua Mahmilti

dengan alasan "tidak relevan". Penolakan Ketua Mahmilti terhadap permohonan Kolonel

Latief tidaklah terpisah dari sikon Indonesia ketika itu di mana kekuasaan mutlak negara

ada di tangan Suharto. Oleh karena itu penolakan Mahmilti tersebut haruslah dimaknai

sebagai perwujudan kemauan sang penguasa mutlak yang punya semboyan “Saya yang

kuasa sekarang”, suatu varian dari semboyan "L'état, c'est moi"!

Jika pernyataan Kolonel Latief tersebut di atas tidak benar, mengapa Suharto tidak

berani menyanggahnya di depan Mahmilti? Padahal ketika itu Suharto sudah menjadi

penguasa mutlak negara RI, yang mana memiliki kekuasaan seribu kali lebih besar

ketimbang Kolonel Latief yang tidak memiliki kekuasaan apapun. Ibarat Suharto seekor

“buaya”, maka Kolonel Latief hanyalah seekor “cecak”.

Seandainya setelah menerima informasi dari Kolonel Latief perihal G 30 S akan

melancarkan operasi militernya, Suharto kemudian melakukan dua tindakan pencegahan:

pertama, melaporkan informasi dari Kolonel Latief tersebut kepada atasannya, yaitu

Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Ahmad Yani;

kedua, (dengan persetujuan Pangad) melancarkan kontra-operasi militer terhadap

operasi militer G 30 S dengan mengerahkan Batalion 454/Raiders dan Batalion

530/Raiders yang berada di bawah komandonya;

bisa dipastikan penjemputan paksa sejumlah jenderal yang berujung dengan terbunuhnya

enam jenderal SUAD dan satu Pama AD serta pendemisioneran Kabinet Dwikora tidak

akan pernah terjadi.

Pertanyaan yang tebersit dari akal sehat tentulah: Mengapa Suharto dengan sengaja

tidak melakukan dua tindakan pencegahan yang sangat menentukan nasib negara dan

bangsa itu? Karena tindakan pencegahan seperti itu tidak mendatangkan keuntungan

apapun bagi Suharto.

Page 15: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

15

Walaupun saya bukan pakar hukum, tapi saya akan mencoba di sini mengkaji kesengajaan

Suharto tidak melakukan tindakan pencegahan dari sudut hukum. Pasal 56 ke-2 KUHP

menyebutkan:

“Dipidana sebagai pembantu kejahatan: ......... mereka yang sengaja memberi

kesempatan ...... untuk melakukan kejahatan.”

Didasarkan pada fakta bahwa Suharto dengan sengaja tidak melakukan tindakan

pencegahan terhadap terjadinya penjemputan paksa sejumlah jenderal oleh G 30 S,

maka secara hukum dia sesungguhnya termasuk ke dalam kategori “mereka yang sengaja

memberi kesempatan ....... untuk melakukan kejahatan” (zij die opzettelijk gelegenheid

verschaffen tot het plegen van het misdrijf). Terhadap perbuatan ini, Suharto

sesungguhnya harus “dipidana sebagai pembantu kejahatan” (medeplichtige van een

misdrijf).

Jadi, benarkah Suharto tidak terlibat dalam Peristiwa G 30 S? Tidak benar! Suharto

jelas termasuk ke dalam kategori pembantu kejahatan (medeplichtige van een misdrijf)

dalam Peristiwa G 30 S!

Tidak hanya itu sesungguhnya. Dengan memanfaatkan tragedi dan blunder menyusul

Peristiwa G 30 S, Suharto mengomandoi sendiri kampanye penghancuran PKI dan

penggulingan Sukarno yang berlangsung dari awal Oktober 1965 hingga awal Maret 1967.

Di ujung kampanye yang dikomandoinya itu, Suharto merayakan kemenangannnya

dengan menobatkan dirinya sebagai penguasa mutlak negara RI pada 12 Maret 1967.

“G 30 S/PKI” dan “Gestapu”

“G 30 S/PKI” dan “Gestapu” (yang jelas merupakan pemlesetan dari “Gestapo”) adalah

dua istilah yang oleh mesin propaganda kelompok Suharto dan rezimnya dijadikan

sebagai slogan propaganda memosisikan PKI sebagai dalang G 30 S dan pihak yang paling

bertanggung jawab atas terbunuhnya enam Pati dan satu Pamen AD.

Aspek jahat dan menyesatkan dari kedua istilah terletak dalam hal pemosisian PKI

sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas meletusnya Peristiwa G 30 S.

Padahal kenyataan di lapangan membuktikan bahwa Suharto juga termasuk sebagai

pembantu kejahatan (medeplichtige) dalam Peristiwa G 30 S (sebagaimana telah dibahas

di muka). Namun demikian, kedua istilah, “G 30 S/PKI” dan “Gestapu”, tidak menyiratkan

sedikitpun peran Suharto sebagai pembantu kejahatan. Mengapa? Karena istilah “G 30

S/PKI” dan “Gestapu” memang sengaja didesain, di satu sisi untuk membusukkan PKI

sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas meletusnya Peristiwa G 30 S; di

Page 16: “Penyelesaian Peristiwa G30S Secara Beradab” file2 pimpinan PKI sudah dibantai, banyak kader dan anggota PKI juga sudah dibunuhi dan sekarang setelah lewat 1/2 abad anggota PKI

16

sisi lain untuk menyelubungi peran busuk Suharto sebagai medeplichtige dalam peristiwa

tersebut.

Penyelesaian masalah Peristiwa G 30 S secara beradab haruslah berupa penyelesaian

yang adil. Artinya, pembedaan terhadap fakta-fakta dalam peristiwa tersebut harus

mutlak dipantangkan. Jika Salim Said memang benar-benar dengan tulus menginginkan

penyelesaian masalah Peristiwa G 30 S secara beradab, maka hal itu pertama-tama harus

dibuktikan dengan menghentikan sama sekali pemakaian istilah laknat “G 30 S/PKI”

dan “Gestapu”. Jika mengambil langkah yang elementer inipun Salim Said tidak mau

melakukannya, maka hanya satu kesimpulan yang bisa saya tarik: Wacana Salim Said --

“bangsa Indonesia harus bisa menyelesaikan masalah ini [masalah Peristiwa G 30 S]

secara beradab” -- hanyalah sebuah kemunafikan belaka!

JULIUS GUNAWAN