Penyebaran Budaya Islam Di Indonesia Berlangsung Secara Damai Dan Evolutif

8
Penyebaran budaya Islam di Indonesia berlangsung secara damai dan evolutif. Islam berkembang lewat perantaraan bahasa Arab. Kontak awal Islam dengan kepulauan nusantara mayoritas berlangsung di pesisir pantai, khususnya melalui aktivitas perdagangan antara penduduk lokal dengan para pedagang Persia, Arab, dan Gujarat (India). Kontak-kontak ini memungkinkan proses asimilasi, sinkretisasi, dan akulturisasi budaya. Islam kemudian muncul sebagai competing culture India. M.C. Ricklefs dari Australian National University menyebutkan dua proses masuknya Islam ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing (Arab, India, Cina) pemeluk Islam menetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau suku lainnya, lalu mendifusikan Islam.[1] Teori lain masuknya Islam ke nusantara diajukan Supartono Widyosiswoyo.[2] Menurutnya, penetrasi Islam dibagi ke dalam tiga jalur yaitu: Jalur Utara, Jalur Tengah, dan Jalur Selatan. Ketiga jalur didasarkan pada pangkal wilayah persebaran Islam yang memasuki Indonesia. Jalur Utara adalah masuknya Islam dari Persia dan Mesopotamia. Dari sana, Islam bergerak ke timur lewat jalur darat Afganistan, Pakistan, Gujarat, lalu menempuh jalur laut menuju Indonesia. Lewat Jalur Utara ini, Islam tampil dalam bentuk barunya yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam didifusikan lewat pengalaman personal (eksperensial) dalam mendekati Tuhan. Aliran inilah yang paling cepat mendorong konversi penduduk Indonesia ke dalam Islam nusantara. Aceh adalah salah satu basis persebaran Islam Jalur Utara ini. Jalur Tengah adalah masuknya Islam dari bagian barat lembah Sungai Yordan dan bagian timur semenanjung Arabia (Hadramaut). Dari sini Islam menyebar dalam bentuknya yang relatif asli, di antaranya aliran Wahhabi. Pengaruhnya mengena di wilayah Sumatera Barat. Jalur ini terjadi sebab jika bertolak dari Hadramaut, maka dengan perjalanan laut orang-orang Islam langsung sampai ke pantai barat Sumatera. Konflik kaum adat dengan kaum agama dalam Perang Paderi terjadi setelah pengaruh Islam lewat jalur ini. Jalur Selatan pangkalnya di wilayah Mesir. Saat itu Kairo merupakan pusat penyiaran agama Islam modern dan Indonesia memperoleh pengaruhnya dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah. Kegiatan lewat jalur ini terutama pendidikan, dakwah, dan penentangan bid’ah. Petunjuk tegas munculnya Islam pertama di nusantara adalah nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H atau 1211 M, di pemakaman Lamreh, Sumatera bagian Utara. Nisan ini menunjukkan adanya kerajaan Islam pertama nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah

description

Penyebaran Budaya Islamm

Transcript of Penyebaran Budaya Islam Di Indonesia Berlangsung Secara Damai Dan Evolutif

Page 1: Penyebaran Budaya Islam Di Indonesia Berlangsung Secara Damai Dan Evolutif

Penyebaran budaya Islam di Indonesia berlangsung secara damai dan evolutif. Islam

berkembang lewat perantaraan bahasa Arab. Kontak awal Islam dengan kepulauan

nusantara mayoritas berlangsung di pesisir pantai, khususnya melalui aktivitas

perdagangan antara penduduk lokal dengan para pedagang Persia, Arab, dan Gujarat

(India). Kontak-kontak ini memungkinkan proses asimilasi, sinkretisasi, dan akulturisasi

budaya. Islam kemudian muncul sebagai competing culture India.

M.C. Ricklefs dari Australian National University menyebutkan dua proses masuknya

Islam ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam

dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing (Arab, India, Cina) pemeluk Islam

menetap di suatu wilayah Indonesia, kawin dengan penduduk asli, dan mengikuti gaya

hidup lokal sedemikian rupa sehingga mereka sudah menjadi orang Jawa, Melayu, atau

suku lainnya, lalu mendifusikan Islam.[1]

Teori lain masuknya Islam ke nusantara diajukan Supartono Widyosiswoyo.[2]

Menurutnya, penetrasi Islam dibagi ke dalam tiga jalur yaitu: Jalur Utara, Jalur Tengah,

dan Jalur Selatan. Ketiga jalur didasarkan pada pangkal wilayah persebaran Islam yang

memasuki Indonesia. Jalur Utara adalah masuknya Islam dari Persia dan Mesopotamia.

Dari sana, Islam bergerak ke timur lewat jalur darat Afganistan, Pakistan, Gujarat, lalu

menempuh jalur laut menuju Indonesia. Lewat Jalur Utara ini, Islam tampil dalam bentuk

barunya yaitu aliran Tasawuf. Dalam aliran ini, Islam didifusikan lewat pengalaman

personal (eksperensial) dalam mendekati Tuhan. Aliran inilah yang paling cepat

mendorong konversi penduduk Indonesia ke dalam Islam nusantara. Aceh adalah salah

satu basis persebaran Islam Jalur Utara ini.

Jalur Tengah adalah masuknya Islam dari bagian barat lembah Sungai Yordan dan bagian

timur semenanjung Arabia (Hadramaut). Dari sini Islam menyebar dalam bentuknya yang

relatif asli, di antaranya aliran Wahhabi. Pengaruhnya mengena di wilayah Sumatera

Barat. Jalur ini terjadi sebab jika bertolak dari Hadramaut, maka dengan perjalanan laut

orang-orang Islam langsung sampai ke pantai barat Sumatera. Konflik kaum adat dengan

kaum agama dalam Perang Paderi terjadi setelah pengaruh Islam lewat jalur ini.

Jalur Selatan pangkalnya di wilayah Mesir. Saat itu Kairo merupakan pusat penyiaran

agama Islam modern dan Indonesia memperoleh pengaruhnya dalam organisasi

keagamaan Muhammadiyah. Kegiatan lewat jalur ini terutama pendidikan, dakwah, dan

penentangan bid’ah.

Petunjuk tegas munculnya Islam pertama di nusantara adalah nisan Sultan Sulaiman bin

Abdullah bin al-Basir yang wafat tahun 608H atau 1211 M, di pemakaman Lamreh,

Sumatera bagian Utara. Nisan ini menunjukkan adanya kerajaan Islam pertama

nusantara. Mazhab yang berkembang di wilayah Sumatera bagian Utara ini, menurut

Ibnu Battuta (musafir Maroko) adalah Syafi’i.[3]

Semakin signifikannya pengaruh Islam di nusantara ditandai berdirinya sejumlah

kesultanan. Jean Gelman-Taylor mencatat di Ternate (Maluku) penguasanya melakukan

konversi ke Islam tahun 1460.[4] Di Demak, penguasanya mendirikan kota muslim tahun

Page 2: Penyebaran Budaya Islam Di Indonesia Berlangsung Secara Damai Dan Evolutif

1470, sementara kota-kota pelabuhan di sekitarnya seperti Tuban, Gresik, dan Cirebon

menyusul pada tahun 1500-an. Sekitar tahun 1515 pelabuhan Aceh memiliki penguasa

Islam, disusul Madura pada 1528, Gorontalo 1525, Butung 1542. Tahun 1605 penguasa

Luwuk, Tallo, dan Gowa (Sulawesi Selatan) masuk Islam dan 1611 semenanjung Sulawesi

Selatan telah dikuasai penguasa Islam.

Pada perkembangannya, terjadi proses saling pengaruh antara Islam yang sudah

terakulturasi dengan budaya lokal dengan Islam yang baru masuk dari wilayah Timur

Tengah. Interaksi tersebut di kemudian hari mulai dirundung konflik penafsiran dan ini

terutama semakin mengemuka di saat berkuasanya rezim Ibnu Saud yang menggunakan

Wahhabi sebagai paham keislamannya pada awal abad ke-19. Tulisan ini tidak akan

menyentuh bagaimana konflik yang berlangsung antara aneka tipologi Islam. Tulisan

hanya menghampiri sejumlah pengaruh yang dibawa Islam ke dalam budaya-budaya

yang berkembang di Indonesia.

1. Masuknya Islam ke Indonesia

Durasi penyebaran awal Islam Indonesia dalam kisaran abad ke-7 hingga 13 Masehi.

Penyebarnya berasal dari Arab, Persia, dan India (Gujarat, Benggala). Profesi para

penyebar umumnya pedagang, mubalig, wali, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan

haji-haji. Mereka menyebarkan Islam lewat sejumlah saluran. Saluran-saluran ini

berlangsung dalam enam aras, yaitu perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan,

seni[5] dan tawaran pembentukan masyarakat egalitarian dalam strata sosial.

Perdagangan. Perdagangan merupakan metode penetrasi Islam paling kentara. Dalam

proses ini, pedagang nusantara dan Islam asing bertemu dan saling bertukar pengaruh.

Pedagang asing umumnya berasal dari Gujarat dan Timur Tengah (Arab dan Persia).

Mereka melakukan kontak dengan para adipati wilayah pesisir yang hendak melepaskan

diri dari kekuasaan Majapahit. Sebagian dari para pedagang asing ini menetap di wilayah

yang berdekatan dengan pantai dan mendifusikan Islam mereka.

Tatkala para pedagang asing menetap – baik sementara waktu ataupun seterusnya –

mereka membangun pemukiman yang disebut Pekojan.[6] Banyak di antara pada

saudagar Islam yang kaya sehingga menarik hati kaum pribumi, terutama anak-anak

kaum bangsawan, untuk menikahi mereka. Masalahnya, para pedagang menganggap

pernikahan dengan penganut berhala tidak sah. Mereka mensyaratkan bahwa untuk

menikah, penduduk Indonesia harus masuk Islam dengan mengucapkan syahadat

terlebih dahulu. Proses pernikahan singkat, tidak melalui upacara yang panjang-lebar,

membuat kalangan pribumi semakin menerima keberadaan orang-orang asing berikut

agama barunya ini. Mukimnya pedagang Islam dalam kegiatan perdagangan (sekadar

transit atau menetap), membuat mereka berkembang biak di sekitar wilayah pelabuhan.

Pola ini mampu mengembangkan pemukiman Islam baru (disebut koloni). Ini

menjelaskan mengapa Kerajaan Islam nusantara selalu berawal dari wilayah-wilayah

pesisir seperti Bone, Banjar, Banten, Demak, Cirebon, Samudera Pasai, Ternate, Tidore,

Bacan, Jailolo, Hitu, ataupun Deli.

Page 3: Penyebaran Budaya Islam Di Indonesia Berlangsung Secara Damai Dan Evolutif

Perkawinan. Seperti telah dipaparkan sebelumnya, perkawinan banyak dilakukan antara

pedagang Islam dengan putri-putri adipati. Dalam pernikahan, mempelai pria Islam (juga

wanitanya) mengajukan syarat pengucapan kalimat syahadat sebagai sahnya

pernikahan. Anak-anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut cenderung mengikuti

agama orang tuanya yang Islam. Perkawinan antara saudagar Islam dengan anak-anak

kaum bangsawan, raja, atau adipati menguntungkan perkembangan Islam. Status sosial,

ekonomi, dan politik mertua-mertua mereka memungkinkan Islam melakukan penetrasi

langsung ke jantung kekuasaan politik lokal (palace circle). Saat sudah berada di aras

pusat kekuasaan politik, penerbitan kebijakan-kebijakan yang menguatkan penyebaran

Islam mendapat prioritas dalam input, konversi, dan output kebijakan para sultan atau

para adipatinya.

Tasawuf. Tasawuf merupakan epistemologi Islam yang banyak menarik perhatian

kalangan pribumi. Metodenya yang toleran, tidak mengakibatkan cultural shock

signifikan, membuat banjir penganut Islam baru. Tasawuf cenderung tidak menciptakan

posisi diametral Islam dengan budaya India ataupun tradisi lokal yang dipraktekkan

kalangan pribumi. Tokoh-tokoh tasawuf Hamzah Fansuri, Syamsudin Pasai, ataupun

beberapa tokoh Wali Sanga (termasuk juga Syekh Siti Jenar) mengambil posisi kunci

dalam metode penyebaran ini. Lewat tasawuf pula, bentuk Islam yang diperkenalkan

menunjukkan persamaan dengan alam pikiran orang-orang Jawa-Hindu, çiwa, dan

Buddha. Akibatnya, Islam tidak dipandang sesuatu yang sama sekali asing bagi kalangan

pribumi.

Pendidikan. Sebelum Islam masuk, Indonesia dikenal sebagai basis pendidikan agama

Buddha, khususnya perguruan Nalendra di Sumatera Selatan. Pecantrikan dan Mandala

adalah sekolah tempat para penuntut ilmu di kalangan penduduk pra Islam. Setelah

Islam masuk, peran Pecantrikan dan Mandala tersebut diambil alih lalu diberi muatan

Islam dalam kurikulumnya. Kini pesantren (Islam) berlaku sebagai pusat pembinaan guru

agama, kiai, dan ulama. Selesai pendidikan, lulusan kembali ke kampung dan desa

masing-masing untuk menjadi tokoh agama atau mendirikan pesantren sendiri. Misalnya

Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang mendirikan pesantren di Ampel Denta. Selain itu,

pesantren yang didirikan Sunan Giri menjadi terkenal hingga Maluku dan menyebabkan

penduduk Maluku (khususnya wilayah Hitu) datang berguru pada Sunan Giri. Atau, para

kiai dari Giri diundang mengajar ke Hitu. Biasanya, yang diundang menjadi khatib,

modin, atau kadi masyarakat Hitu dan diberi upah cengkih.

Seni. Tidak bisa dipungkiri, seni punya peran signifikan dalam penyebaran Islam. Orang

Indonesia sebelum kedatangan Islam terkenal sebagai seniman-seniman jenius yang

punya kemashuran tinggi. Lewat seni, Islam mampu menjangkau segmen lebih luas

masyarakat pribumi, termasuk para elitnya. Sunan Kalijaga misalnya, menggunakan

wayang sebagai cara dakwah baik atas penduduk biasa maupun elit sosial. Sunan

Bonang menggunakan gamelan dalam melantunkan syair-syair keagamaan. Ini belum

termasuk tokoh-tokoh lain yang mengadaptasi seni kerajinan lokal dan India yang diberi

muatan Islam.

Page 4: Penyebaran Budaya Islam Di Indonesia Berlangsung Secara Damai Dan Evolutif

Egalitarianisme. Egalitarianisme akhirnya menempati posisi kunci. Problem utama di

budaya sebelumnya adalah stratifikasi sosial berdasarkan kasta. Meski tidak terlampau

ketat, Hindu di Indonesia sedikit banyak dipengaruhi terbentuknya kasta sosial seperti

Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra dan Paria. Masyarakat biasa kurang leluasa dengan

sistem ini oleh sebab mengakibatkan sejumlah keterbatasan dalam hal pergaulan dan

perkawinan. Lalu, Islam datang dan tidak mengenal stratifikasi sosial. Mudah dipahami,

orang-orang Indonesia (terutama dari kasta bawah) yang hendak bebas merespon baik

agama baru ini.

2. Pengaruh Islam di Bidang Bahasa

Konversi Islam nusantara awalnya terjadi di sekitar semenanjung Malaya. Menyusul

konversi tersebut, penduduknya meneruskan penggunaan bahasa Melayu. Melayu lalu

digunakan sebagai bahasa dagang yang banyak digunakan di bagian barat kepulauan

Indonesia. Seiring perkembangan awal Islam, bahasa Melayu pun memasukkan sejumlah

kosakata Arab ke dalam struktur bahasanya. Bahkan, Taylor mencatat sekitar 15% dari

kosakata bahasa Melayu merupakan adaptasi bahasa Arab.[7] Selain itu, terjadi

modifikasi atas huruf-huruf Pallawa ke dalam huruf Arab, dan ini kemudian dikenal

sebagai huruf Jawi.

Bersamaan naiknya Islam menjadi agama dominan kepulauan nusantara, terjadi

sinkretisasi atas bahasa yang digunakan Islam. Sinkretisasi terjadi misalnya dalam

struktur penanggalan Çaka. Penanggalan ini adalah mainstream di kebudayaan India.

Secara sinkretis, nama-nama bulan Islam disinkretisasi Agung Hanyakrakusuma (sultan

Mataram Islam) ke dalam sistem penanggalan Çaka. Penanggalan çaka berbasis

penanggalan Matahari (syamsiah, mirip gregorian), sementara penanggalan Islam

berbasis peredaran Bulan (qamariah). Hasilnya pada 1625, Agung Hanyakrakusuma

mendekritkan perubahan penanggalan Çaka menjadi penanggalan Jawa yang sudah

banyak dipengaruhi budaya Islam. Nama-nama bulan yang digunakan tetap 12, sama

dengan penanggalan Hijriyah (versi Islam). Penyebutan nama bulan mengacu pada

bahasa Arab seperti Sura (Muharram atau Assyura dalam Syiah), Sapar (Safar), Mulud

(Rabi’ul Awal), Bakda Mulud (Rabi’ul Akhir), Jumadilawal (Jumadil Awal), Jumadilakir

(Jumadil Akhir), Rejeb (Rajab), Ruwah (Sya’ban), Pasa (Ramadhan), Sawal (Syawal), Sela

(Dzulqaidah), dan Besar (Dzulhijjah). Namun, penanggalan hariannya tetap mengikuti

penanggalan Çaka sebab saat itu penanggalan harian Çaka paling banyak digunakan

penduduk sehingga tidak bisa digantikan begitu saja tanpa menciptakan perubahan

radikal dalam aktivitas masyarakat (revolusi sosial).

Selain pembagian bulan, bahasa Arab merambah ke dalam kosakata. Sama dengan

sejumlah bahasa Sanskerta yang diakui selaku bagian dari bahasa Indonesia, kosakata

Arab pun akhirnya masuk ke dalam struktur bahasa Indonesia, yang sedikit contohnya

sebagai berikut:

Kosakata Indonesia yang dipengaruhi Bahasa Arab

Page 5: Penyebaran Budaya Islam Di Indonesia Berlangsung Secara Damai Dan Evolutif

Arab Indonesia Arab Indonesia

isnain Senin (dua) `ajā'ib Ajaib

tsalasa Selasa (tiga) `aib Aib (malu)

arbain Rabu (empat) Ahl Ahli

kamis Khamis (lima) `ādil Adil

jumu’ah Jumat (ramai) `abd Abdi

badan Tubuh abadī Abadi

yatim Yatim Abad Abad

wujud Wujud (rupa) dahsha Dahsyat

usquf Pemimpin gereja dalīl Dalil (bukti)

umr Umur ghaira Gairah (hasrat)

daraja Derajat wajh Wajah

darura Darurat wājib Wajib

awwal Awal walīy Wali

atlas Atlas waṣīya Wasiat

asli Asli wilāya Wilayah

‘amal Amal yaqīn Yakin

ala Alat ya`nī Yakni

alama Alamat Nashichah Nasehat/nasihat

alami Alami Ijazah Ijazah/ijasah

Bahasa Arab ini bahkan semakin signifikan di abad ke-18 dan 19 di Indonesia, di mana

masyarakat nusantara lebih familiar membaca huruf Arab ketimbang Latin. Bahkan, di

Page 6: Penyebaran Budaya Islam Di Indonesia Berlangsung Secara Damai Dan Evolutif

masa kolonial Belanda, mata uang ditulis dalam huruf Arab Melayu, Arab Pegon, ataupun

Arab Jawi. Tulisan Arab pun masih sering diketemukan sebagai keterangan dalam batu

nisan. 

3. Pengaruh Islam di Bidang Pendidikan 

Salah satu wujud pengaruh Islam yang lebih sistemik secara budaya adalah pesantren.

Asal katanya pesantren kemungkinan shastri (dari bahasa Sanskerta) yang berarti orang-

orang yang tahu kitab suci agama Hindu. Atau, kata cantrik dari bahasa Jawa yang

berarti orang yang mengikuti kemana pun gurunya pergi. Fenomena pesantren telah

berkembang sebelum Islam masuk. Pesantren saat itu menjadi tempat pendidikan dan

pengajaran agama Hindu. Setelah Islam masuk, kurikulum dan proses pendidikan

pesantren diambilalih Islam. 

Pada dasarnya, pesantren adalah sebuah asrama tradisional pendidikan Islam. Siswa

tinggal bersama untuk belajar ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang disebut

Kyai. Asrama siswa berada di dalam kompleks pesantren di mana kyai berdomisili.

Dengan kata lain, pesantren dapat diidentifikasi adanya lima elemen pokok yaitu:

pondok, masjid, santri, kyai, dan kitab-kitab klasik (kitab kuning).[8] Seputar peran

signifikan pesantren ini, Harry J. Benda menyebut sejarah Islam ala Indonesia adalah

sejarah memperbesarkan peradaban santri dan pengaruhnya terhadap kehidupan

keagamaan, sosial, dan ekonomi di Indonesia.[9] Melalui pesantren, budaya Islam

dikembangkan dan beradaptasi dengan budaya lokal yang berkembang di sekitarnya

tanpa mengakibatkan konflik horisontal signifikan. 

4. Pengaruh Islam di Bidang Arsitektur dan Kesenian 

Masjid adalah tempat ibadah umat Islam. Masjid-masjid awal yang dibangun pasca

penetrasi Islam ke nusantara cukup berbeda dengan yang berkembang di Timur Tengah.

Salah satunya tidak terdapatnya kubah di puncak bangunan. Kubah digantikan semacam

meru, susunan limas tiga atau lima tingkat, serupa dengan arsitektur Hindu. Masjid

Banten memiliki meru lima tingkat, sementara masjid Kudus dan Demak tiga tingkat.

Namun, bentuk bangunan dinding yang bujur sangkar sama dengan budaya induknya.

[10]

Perbedaan lain, menara masjid awalnya tidak dibangun di Indonesia. Menara

dimaksudkan sebagai tempat mengumandakan adzan, seruan penanda shalat. Peran

menara digantikan bedug atau tabuh sebagai penanda masuknya waktu shalat. Setelah

bedug atau tabuh dibunyikan, mulailah adzan dilakukan. Namun, ada pula menara yang

dibangun semisal di masjid Kudus dan Demak. Uniknya, bentuk menara di kedua masjid

mirip bangunan candi Hindu. Meskipun di masa kini telah dilengkapi menara, bangunan-

bangunan masjid jauh di masa sebelumnya masih mempertahankan bentuk lokalnya,

terutama meru dan limas bertingkat tiga. 

Pusara. Makam adalah lokasi dikebumikannya jasad seseorang pasca meninggal dunia.

Setelah pengaruh Islam, makam seorang berpengaruh tidak lagi diwujudkan ke dalam

Page 7: Penyebaran Budaya Islam Di Indonesia Berlangsung Secara Damai Dan Evolutif

bentuk candi melainkan sekadar cungkup. Lokasi tubuh dikebumikan ini ditandai pula

batu nisan. Nisan merupakan bentuk penerapan Islam di Indonesia. Nisan Indonesia

bukan sekadar batu, melainkan terdapat ukiran penanda siapa orang yang dikebumikan. 

Seni Ukir. Ajaran Islam melarang kreasi makhluk bernyawa ke dalam seni. Larangan

dipegang para penyebar Islam dan orang-orang Islam Indonesia. Sebagai pengganti

kreativitas, mereka aktif membuat kaligrafi serta ukiran tersamar. Misalnya bentuk

dedaunan, bunga, bukit-bukit karang, pemandangan, serta garis-garis geometris.

Termasuk ke dalamnya pembuatan kaligrafi huruf Arab. Ukiran misalnya terdapat di

Masjid Mantingan dekat Jepara, daerah Indonesia yang terkenal karena seni ukirnya. 

Seni Sastra. Seperti India, Islam pun memberi pengaruh terhadap sastra nusantara.

Sastra bermuatan Islam terutama berkembang di sekitar Selat Malaka dan Jawa. Di

sekitar Selat Malaka merupakan perkembangan baru, sementara di Jawa merupakan

kembangan sastra Hindu-Buddha. Sastrawan Islam melakukan gubahan baru atas

Mahabarata, Ramayana, dan Pancatantra. Hasil gubahan misalnya Hikayat Pandawa

Lima, Hikayat Perang Pandawa Jaya, Hikayat Seri Rama, Hikayat Maharaja Rawana,

Hikayat Panjatanderan. Di Jawa, muncul sastra-sastra lama yang diberi muatan Islam

semisal Bratayuda, Serat Rama, atau Arjuna Sasrabahu. Di Melayu berkembang Sya’ir,

terutama yang digubah Hamzah Fansuri berupa suluk (kitab yang membentangkan

persoalan tasawuf). Suluk gubahan Fansuri misalnya Sya’ir Perahu, Sya’ir Si Burung

Pingai, Asrar al-Arifin, dan Syarab al Asyiqin.