Penyakit Autoimun

35
Systemic Lupus Eritomatosus Lezdyana Nur Islami, Haeril Aswar I. Pendahuluan Systemic Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubugan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. (1) Systemic Lupus Eritematosus (SLE) digambarkan sebagai suatu gangguan kulit pada sekita tahun 1800-an dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk “kupu-kupu (butterfly rash)”, melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang mnyerupai gigitan serigala (lupus dalam bahasa latin yang berarti serigala). (2) Pemahaman terhadap patogenesis/imunopatologi SLE merupakan hal yang sangat penting agar bisa memberikan terapi yang sesuai. (1)

description

Systemic Lupus Eritomatosus

Transcript of Penyakit Autoimun

Systemic Lupus EritomatosusLezdyana Nur Islami, Haeril Aswar I. Pendahuluan Systemic Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit rematik autoimun yang ditandai dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubugan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.(1)Systemic Lupus Eritematosus (SLE) digambarkan sebagai suatu gangguan kulit pada sekita tahun 1800-an dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk kupu-kupu (butterfly rash), melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang mnyerupai gigitan serigala (lupus dalam bahasa latin yang berarti serigala).(2)Pemahaman terhadap patogenesis/imunopatologi SLE merupakan hal yang sangat penting agar bisa memberikan terapi yang sesuai. (1)

II. Insidens dan epidemiologi Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda antara 2.9/100.000-400/100.000. Systemic Lupus Eritematosus (SLE) sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua jenis usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar pada antara (5-5,9) : 1. Pada lupus eritomatosus yang disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah yaitu 3:2.(1) Sytemic Lupus Eritematosus (SLE) menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Di Amerika Serikat penyakit ini menyerang perempuan amerika tiga kali lebih sering daripda perempuan kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada uasi 60 tahun keatas, biasanya akan lebih mudah diatasi. (2) Penderita lupus di Indonnesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Pada september 2010 penderita lupus (odapus) di Indonesia berjumlah 10.314 orang , 12.700 orang pada tahun 2012 dan 13.300 orang per april 2013 dengan rentang umur antara 15-45 tahun dan 90 persen diantaranya adalah perempuan muda serta 10 persennya sisanya diderita oleh laki-laki dan anak anak. (3)

III. Etiologi dan patogenesis SLE Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. (1) Faktor inilah yang menyebabkan toleransi imunologi yang ireversibel terhadap respon imun endogen. (4)Faktor genetik memegang peranan yang banyak pada penderita lupus dengan resiko yang meningkat pada kembar monozigot (>20%) dan pengelompokan familial serta HLA clustering menunjukan predisposisi genetik. (6). Elemen genetik yang paling banyak diteliti konstribusinya terhadap SLE pada manusia adalah gen dari kompleks Histokompabiitas Mayor (MCH). Penelitian populasi menunjukan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen) kelas II yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen (yaitu C1q, C1r/s, C4 dan C2), selain itu gen yang juga mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin. (1)Faktor hormonal juga dikaitkan dengan kejadian SLE. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukan terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imum. Estrogen mengaktivasi sel B poliklonal sehingga mengabkibatkan produksi autoantibodi yang berlebihan pada pasien LES.(7) Antibodi yang ditunjukan kepada self molecules yang terdapat pada nucleus, sitoplasma, permukaan sel dan juga terdapat pada molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Antbodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang banyak ditemukan pada penderita SLE (lebih dari 95%). Anti double stranded DNA (anti ds-DNA dsn anti Sm-antibodi merupakan antibodi yang spesifik pada SLE, sehingga dimasukan dalam kriteria klasifikasi untuk SLE. Titer antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai waktu dan aktivitas penyakit, sedangkan titer antibodi anti-Sm biasanya konstan. Antibodi anti-DNA pada umumnya berhubungan dengan adanya glomerulonefritis, walaupun korelasi antara antibodi anti-DNA dengan lupus nefritis tidaklah sempurna karena beberapa penderita lupus yang aktif tidak ditemukan titer antibodi anti-DNA, sedangkan beberapa tidak ditemukan antibodi anti-DNA yang menetap tinggi tidak menunjukan adanya keterlibatan ginjal. (5)Meskipun faktor genetik dan faktor hormonal merupakan predisposisi terhadap kejadian SLE akan tetapi, insiasi penyakit juga diduga karena merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan lingkungan. Epstein Barr Virus (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik melalui kemiripan molekular.(1) Epstein Barr Virus (EBV) ini akan berinteraksi dengan sel B dan meningkatkan produksi interferon (IFN) oleh sel dendritik plasmasitoid. Peningkatan kadar IFN pada pasien lupus menandakan terjadinya infeksi virus kronis. (4) Selain itu, toksin/obat-obatan memicu modifikasi respon seluler dan imunogenitas dari self antigen sedangkan agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel, dan menyebabkan kerusakan jaringan.(5) Tabel 1. Faktor lingkungan yang mungkin berhubungan dengan patogenesis systemic lupus erythematosus (1)Faktor fisik/kimia Amin aromatik Hydrazines Obat-obatan (procainamide, hydralazine, chlorpromazine, isoniazid, phenytoin, penicillamine) Merokok Pewarna rambut Sinar Ultraviolet (UV) Faktor makanan Konsumsi lemah jenuh yang berlebihan L-canavanine (kuncup dari alfafa)Agen infeksi Retrovirus DNA bakteri/endotoksinHormon dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen) Terapi sulih hormon (HRT), pil kontrasepsi oral Paparan estrogen prenatal

IV. Patofisiologi Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang menghasilkan antibodi, hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi dan pemebentukan kompleks imu. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan oleh adanya stimulasi antigen spesifik yang dibawa oleh antigen precenting cells (APCs) yang berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B dan diproses menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarakn sitokin yang dapat merangsang sel B membentuk autoantibodi yang patogen.(5)Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi olehsel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganngu cell mediated immunity. Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnyarespon terhadap pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+9 (supresor/sitotoksi k) dan CD4+ (inducer/helper). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+, dimana CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+. Berkurangnya jumlah sel T akan menyebabkan berkurangnya subset signal sampai CD8+ sehingga menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. (5)Gangguan sistem imun pada pasien SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun yang disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcgRIIA and FcgRIIIA, dimana berhubungan dengan defisiensi komponen C1,C2 dan C4. Adanya gangguan tersebut menyebabkan peningkatan paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadilah deposisi komplek imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa aktivasi komplemen ini akan menghasilkan mediator inflamasi yang akan menimbukan reaksi radang sehingga menyebabkan timbulnya keluhan atau gejala pada organ tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, dan sebagainya.(5)Pajanan sinar ultraviolet pada pasien SLE diketahui sebagai pemicu inflamasi yang dapat minimbulkan modifikasi struktur radikal bebas self antigen yang dapat meningkatkan imunogenitas. (11)

V. Gambaran Klinis Gambaran klinis SLE dapat membingungkan, terutama pada awalnya. Gejala-gejala konstituonal yang dapat ditemukan adalah demam, rasa lelah, lemah dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalananya. Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai gejala sekunder anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE.(6) Kelelahan yang disebabkan aktivitas penyakit SLE, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan pada penyakit ini memberikan respon pada pemberian steroid atau latihan. Penurunan berat badan disebabkan menurunnya nafsu makan atau disebabkan gejala gastrointestinal, sedangkan demam pada pasien SLE tidak disertai mengigil. Gejala lain yang dapat ditemukan seiring dengan aktifitas penyakitnya seperti sakit kepala, mual, muntah, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, rambut rontok dan hilangnya nafsu makan. (1)A. Manifestasi kulit Manifestasi kulit meliputi ruam eritomatosa yang dapat timbul pada wajah, leher, ekstremitas, atau pada tubuh. Kira-kira 40% dari pasien SLE memiliki ruam berbentuk kupu-kupu.(6) Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagian dari SLE dapat berupa fotosensitivitas, diskoid LE, subacute lupus srythematosus, lupus profundus, alopecia, lesi vaskular, berupa eritema periungual, teleangiectasis, fenomena raynaunds atau vaskulitis.(1)

Gambar 3 Acute cutaneus lupus erythematosus (4)B. Manifestasi muskuloskeletalKeluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi yang paling sering dijumpai yakni lebih dari 90 % dari waktu perjalanan penyakit.(6) Keluhan dapat berupa nyeri otot, nyeri sendi atau suatu arthritis yang tampak bukti adanya inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggp sebagai Arthritis Reumatoid.(1) Perbedaannya adalah poliarthritis SLE jarang bersifat erosif atau menimbulkan deformitas serta jarang juga ditemukan nodul subkutan pada penderita SLE.(1)C. Manifestasi kardiologis Pericarditis terdapat sekitar 25 % pada setiap pasien SLE. Efusi pericardium bersifat asimptomatik dan kadang-kadang ringan sampai sedang. (5) PJK dapat pula dijumpai dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita usia muda dengan jangka penyakit yang oanjang serta penggunaan steroid jangka panjang. (1)D. Manifestasi paru Penyebab tersering dari manifestasi paru pada pasien SLE adalah pleuritis. Nyeri pleuritik 45-60% pasien SLE dengan atau tanpa efusi pleura dengan presentasi klinis efusi pleura dilaporkan sekitar 50 %. Efusi biasanya bilateral dan distribusi yang sama antara hemithoraks kanan dan kiri. Akut lupus pneumonitis memberikan gambatran klinis berupa batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, hipoxemia dan demam pada 1-4 % kasus.(4 )Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat SLE dan memerlukan penanganan yang tepat, dimana tidak hanya pemberian steroid namun tindakan pengobatan lain seperti lasmaferesis atau pemeberian sitostatika.(1)E. Manifestasi renal Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75 % penderita yang sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita SLE. Gejala dan pada umumnya tidak tampak sebelum terjadinya kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin > 500 mg/24 jam atau +3 semikuantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobi, tubuler, eritrosit atau gabungan serta piuria (>5/LBP) tanpa bukti adanya infeksi atau peningkatan kadar serum kretinin. Untuk memperoleh data yang lebih akurat untuk melihat keterlibatan ginjal dengan biopsi ginjal dan WHO membaginya dalam klasifikasi keterlibatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6 kelas.(1)Klasifikasi WHO dinilai berdasarkan pola histologi dan lokasi dari imun kompleks, sementara klasi ikasi ISN/RPS juga membagi menjadi lesi fokal, difus, aktif, tidak aktif, dan kronis. Bila biopsi tidak dapat dilakukan oleh karena berbagai hal, maka klasifikasi lupus nefritis dapat dilakukan penilain berdasarkan panduan WHO. (8)Tabel 2. Klasifikasi lupus nefritis menurut World Health Organization (8)

Tabel ini hanyalah panduan, parameter bervariasi, biopsi diperlukan untuk ketepatan diagnosis. (8)Tabel 3. Klasifikasi lupus nefritis oleh International Society of Nephrology/Renal Pathology Society 2003 (ISN/RPS) (8)

F. Manifestasi Gastrointestinal Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada SLE. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan adanya inflamasi. Nyeri perut bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase. Hpatomegali juga merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada SLE, disertai peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan Laktat Dehidrigenase ( LDH). (1)G. Manifestasi neuropsikiatrikKeterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik.(1) Keterlibatan saraf otak jarang ditemukan. Kelainan psikiatrik yang sering ditemukan mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Dapat dijumpai kelainan pada EEG namun tidak spesifik.(7) Perubahan pada sistem saraf pusat sering diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan bersifat fatal. H. Manifestasi hemapoetik Kelainan hematologik sering menjadi tanda dan gejala SLE. Kriteria mayor meliputi anemia, leukopenia, trombositopenia dan syndrome antifosfolipid. Patogenesis anemia meliputi anemia karena penyakit kronik, hemolitik, kehilangan darah, insufisiensi renal, infeksi, obat, hiperplenisme, mielofibrosis, dan anemia aplastik. Kadar leukosit 3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif ataub. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran.

Gangguan neurologia. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).ataub. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).

Gangguan hematologika. Anemia hemolitik dengan retikulosis ataub. Lekopenia