penyakit akbat kerja

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan Perkembangan dunia usaha di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini memberikan dampak positif dan negatif, di satu sisi perkembangan dunia usaha membuka lapangan kerja baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun disisi yang lain, tempat kerja dalam dunia industri juga dapat menjadi ladang sumber penyakit bagi para pekerja yang ada di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh tempat kerja memiliki karakteristik hazard yang berbeda tergantung dari bidang usahanya. Potensi hazard yang umumnya terdapat di tempat kerja adalah kebisingan, getaran, suhu, kelembaban, tekanan, debu, bahan-bahan kimia berbahaya dan juga hazard biologi. Hazard-hazard tersebut dapat menimbulkan penyakit pada pekerja. Setiap tahun angka kejadian penyakit akibat kerja terus mengalami peningkatan, menurut International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit atau yang din sebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanyaadalah kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya (Bucharii, 2007). Menurut Keputusan Presiden Republic Indonesia No. 22 Tahun 1993 yang dimaksud dengan Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Dalam Keputusan Presiden Republic Indonesia No. 22 Tahun 1993 juga disebutkan bahwa terdapat 31 jenis penyakit akibat kerja yang 1

description

penyakit akbat kerja

Transcript of penyakit akbat kerja

Page 1: penyakit akbat kerja

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Perkembangan dunia usaha di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini berkembang dengan

sangat pesat. Perkembangan ini memberikan dampak positif dan negatif, di satu sisi perkembangan

dunia usaha membuka lapangan kerja baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

namun disisi yang lain, tempat kerja dalam dunia industri juga dapat menjadi ladang sumber penyakit

bagi para pekerja yang ada di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh tempat kerja memiliki karakteristik

hazard yang berbeda tergantung dari bidang usahanya. Potensi hazard yang umumnya terdapat di

tempat kerja adalah kebisingan, getaran, suhu, kelembaban, tekanan, debu, bahan-bahan kimia

berbahaya dan juga hazard biologi. Hazard-hazard tersebut dapat menimbulkan penyakit pada

pekerja. Setiap tahun angka kejadian penyakit akibat kerja terus mengalami peningkatan, menurut

International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh

penyakit atau yang din sebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta

kecelakaan dan sisanyaadalah kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160

juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya (Bucharii, 2007).

Menurut Keputusan Presiden Republic Indonesia No. 22 Tahun 1993 yang dimaksud dengan

Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau

lingkungan kerja. Dalam Keputusan Presiden Republic Indonesia No. 22 Tahun 1993 juga disebutkan

bahwa terdapat 31 jenis penyakit akibat kerja yang mungkin dialami oleh pekerja tergantung dari

bidang usaha tempat mereka bekerja. Mengacu pada hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tempat

kerja merupakan tempat yang sangat mengancam kesehatan pekerja, untuk itu maka diperlukan

penerapan sistem manajemen K3 yang tepat untuk mengandalikan potensi-potensi hazard di tempat

kerja untuk memperkecil kemungkinan penyakit yang dapat ditimbulkan di tempat kerja. Namun

untuk mengendalikan penyakit akibat kerja bukanlah hal yang mudah dilakukan, karena sangat sulit

untuk membedakan penyakit tersebut diperoleh selama pekerjaan dilakukan atau di luar lingkungan

tempat kerja. Untuk itu maka diperlukan pengidentifikasin penyakit akibat kerja yang menyangkut

definisi, cara mendiagnosa, gejala, factor risiko dan upaya pengendalian, hal ini bertujuan untuk

memudahkan dalam menentukan penyakit akibat kerja. Berkaitan dengan keterbatasn yang dimiliki

oleh penulis, maka dalam paper ini akan dibahas 4 penyakit akibat hubungan pekerjaan yaitu

bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak.

1

Page 2: penyakit akbat kerja

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimanakah cara mendianosa penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak yang

disebabkan oleh pekerjaan?

2. Apakah hazard yang menyebabkan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak

yang disebabkan oleh pekerjaan?

3. Pekerjaan apakah yang berpotensi untuk terpajan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis

dan katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?

4. Bagaiamankah upaya penanggulangan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan

katarak ditempat kerja?

5. Peraturan apakah yang menjelaskan mengenai penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis

dan katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengtahui cara mendianosa penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak

yang disebabkan oleh pekerjaan?

2 Untuk mngetahui hazard yang menyebabkan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan

katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?

3 Untuk mengetahui pekerjaan yang berpotensi untuk terpajan penyakit bisinosis, heat stress,

pneumoconiosis dan katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?

4 Untuk mengetahui upaya penanggulangan penyakit bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan

katarak ditempat kerja?

5 Untuk mengetahui peraturan yang menjelaskan mengenai penyakit bisinosis, heat stress,

pneumoconiosis dan katarak yang disebabkan oleh pekerjaan?

1.4 Manfaat

1. Menambah pengetahuan penulis mengenai penyakit-penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan.

2. Menambah pengetahun pembaca khususnya para pekerja, sehingga dapat lebih waspada dengan

potensi hazard yang ada lingkungan kerja mereka.

2

Page 3: penyakit akbat kerja

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Bisinosis

2.1.1 Definisi dan identifiksasi Bisinosis

a. Definisi

Bisinosis atau brown lung disease adalah salah satu penyakit kelainan pada paru-paru yang

disebabkan oleh paparan debu organic seperti kapas yang kemudian terhisap ke dalam paru-

paru (Susanto, 2011). Paparan debu kapas dapat menimbulkan obtruksi saluran napas atau

bisinosis. Bisinosis disebut juga dengan Monday fever, hal ini disebabkan karena penyakit

ini memiliki ciri yang khas yaitu secara psikis setiap hari Senin pekerja yang menderita

penyakit bisinosis merasakan beban berat pada dada serta sesak nafas. Reaksi alergi akibat

adanya kapas yang masuk ke dalam saluran pernapasan juga merupakan gejala awal bisinosis.

Pada bisinosis yang sudah lanjut atau berat, penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan

penyakit bronchitis kronis dan mungkin juga disertai dengan emphysema. Patogenesis

bisinosis belum sepenuhnya jelas, beberapa bukti menunjukan bahwa suatu zat toksik yang

melepaskan histmamin menyebabkan gejala khas bisinosis, yaitu sesak napas pada hari

pertama setelah liburan akhir minggu. Secara luas diyakini bahwa pelepasan histamine ini di

sebabkan oleh senyawa molekuler kecil yang larut air dan tahan terhadap  panas yang berasal

dari bulu tanaman kapas, disamping pelepasan histamine, paparan debu kapas juga

menyebabkan iritasi saluran napas bagian atas dan bronkus. Setelah  paparan yang lama

perlahan-lahan berlanjut menjadi penyakit paru obtruktif kronik. Gejala dari bisinosis dibagi

kedalam 4 drajat yaitu:

Tabel 1. Gejala bisisnosis dibagi dalam 4 drajat

3

Page 4: penyakit akbat kerja

b. Identifikasi bisinosis

Diagnosa bisinosis dilakukan dengan menanyakan keluhan pasien, seperti adakah sesak

napas, nyeri dada,batuk, demam, apakah membaik jika pekerja berlibur dan kambuh jika

pasien kembali bekerja, dan menanyakan tempet kerja dari pasien. Untuk memperkuat

penegakan diagnosa maka pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

1. Pemeriksaan fisik  

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran tekanan

darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, dan suhu. Pasien yang menderita bisinosis akan

mengalami penurunan frekuensi nafas dan peningkatan suhu, sedangkan nadi dan tekanan

darah dalam batas normal kecuali terdapat penyakit penyerta lainnya. Didapatkan keluhan

iritasi saluran napas bagian atas seperti : bersin-bersin, iritasi pada mata, hidung, stridor.

2. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengujian

terhadap fungsi Paru dengan melakukan pemeriksaan spirometri. Pemeriksaan spirometri

merupakan pemeriksaan terhadap fungsi ventilasi dengan menggunakan alat spriometer

yang mengukur arus udara dalam satuan isi dan waktu. Spirometer dapat digunakan untuk

berbagai macam uji tetapi yang paling bermanfaat di lapangan adalah volume ekspirasi

paksa 1 detik (VEPI) dan kapasitas vital palsa (KVP). Dengan spirometri, dapat diketahui

uji fungsi paru dasar yang meliputi Vital Capacity (VC), Force Vital Capacity (FVC) dan

Forced Expiratory Volume in One Second (FEV1). Vital Capacity adalah jumlah udara

maksimal yang dapat diekspirasi sesudah inspirasi maksimal sedang Force Vital Capacity

adalah pengukuran kapuritas vital yang di dapat pada ekspirasi dengan dilakukan secepat

4

Page 5: penyakit akbat kerja

dan sekuat mungkin.  Forced Expiratory Volume One Second adalah volume udara yang

dapat diekspirasi dalam waktu satu detik selama tindakan FVC kedua  pembacaan tersebut

dapat dibuat dari usaha ekspirasi yang sama. Pembacaan akhir pada kedua hal tersebut

adalah rata-rata tiga tarikan napas yang di dahului oleh dua tarikan napas latihan. Pada tes

fungsi paru, tes dibagi dalam dua kategori yaitu tes yang berhubungan dengan fungsi

ventilasi paru-paru dan dinding dada serta tes yang berhubungan dengan pertukaran gas.

Pemeriksaan dengan spirometri ini adalah tes yang berhubungan dengan fungsi ventilasi

paru-paru dan dinding dada. Hasil dari tes fungsi paru ini tidak dapat untuk mendiagnosa

suatu penyakit paru-paru tapi hanya memberikan gambaran gangguan fungsi paru yang

dapat dibedakan atas kelainan ventilasi obstruktif dan restriktif. Kelainan obstruktif adalah

setiap keadaan hambatan aliran udara karena adanya sumbatan atau penyempitan saluran

nafas. Sedangkan gangguan restriktif adalah gangguan pada paru yang menyebabkan

kekakuan paru sehingga membatasi pengembangan paru-paru. Pada kasus bisinosis

pemeriksaan dilakukan pada hari pertama bekerja, dilakukan sebelum dan sesudah pajanan

selama 6 jam, dapat menghasilkan penurunan FEV I. Gambaran  penurunan FEV I yang

bermakna (10% atau lebih) , derajat perbaikan penyumbatan jalan napas dapat dikaji

dengan tes FEV I sebelum giliran tugas dilakukan setelah dua hari tidak terpajan.

2.1.2 Hazard dan pekerja berisiko

Hazard yang birisiko sebagai penyebab bisinosis adalah debu kapas. Debu kapas atau serat kapas

ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan

kapas serta pabrik atau bekerja lain yang menggunakan kapas atau tekstil; seperti tempat

pembuatan kasur, pembuatan jok kursi dan lain sebagainya. Risiko untuk terkena bisinosis

sangat ditentukan oleh lamanya paparan dan jumlah debu kapas yang masuk kedalam paru-paru.

Menurut peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 13/Men/X/2011 Tahun

2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia di Tempat Kerja, ditetapkan

NAB debu kapas adalah 0,2 mg/m3 dengan lama kerja sehari-hari tidak lebih dari 8 jam atau 40

jam seminggu.

2.1.3 Kasus

Beberapa penelian menunjukan kejadian bisinosis terjadi di tempat kerja. Penelitian yang

dilakukan oleh Hendarta (2005) menunjukan bahwa Prevalensi bisinosis pada responden yang

bekerja di bagian spinning di perusahaan X sebesar 11,1 % (9 dari 81 pekerja ). Penelitian lain

yang dilakukan oleh Wahab (2001) memperoleh hasil pervalensi bisinosis pada karyawan pabrik

5

Page 6: penyakit akbat kerja

tekstil X di Semarang sebesar 26.2 %. Kedua penelitian tersebut menunjukan bahwa debu kapas

merupakans salah satu hazard di tempat kerja yang dapat menyebabkan bisinosis.

2.1.4Cara penanggulangan

Tindakan penanggulangan bisinosis dapat dilakukan dengan:

a. Penggunaan masker filter

Masker filter merupakan salah satu alat pelindung diri yang dapat digunakan untuk sebagai

upaya pencehagan untuk mengirup debu kapas. Alat ini efektif untuk diguanakan apabila

filtrasi dari masker tersebut diperiksa secara teratur.

b. Ventilasi

Ventilasi adalah tempat keluar masuk dan pertukaran udara yang digunakan untuk

memelihara dan juga mengatur udara sesuai kebutuhan dan kenyamanan. Prinsip kerja

ventilasi ini adalah membuat suatu proses pertukaran udara yang terjadi karena perbedaan

tekanan. Udara akan bergerak dari tempat yang bertekanan tinggi menuju tempat yang

bertekanan rendah. Ventilasi dapat berupa pintu, jendela, lubang angin, ventilasi sistem

pengendali suhu dan kelembaban, ventilasi sistem pengeluaran udara (exhaust system) dan

pemasukan udara (supply system), atau juga bisa dibantu menggunakan kipas angin (fan).

Untuk upaya pengendalian debu kapas, maka jenis ventilasi yang dapat digunakan adalah

sistem pengeluaran udara (exhaust system). Hal ini karena dengan sistem ini, udara kotor

tidak lagi mengalir di sepanjang bukaan, melainkan terhisap masuk ke duct (pipa/saluran

ventilasi).

c. Isolasi

Isolasi adalah salah satu upaya memisahkan atau menjauhkan tempat-tempat yang memiliki

potensi hazard yang berbahaya. Isolasi yang dapat dilakukan untuk mencegah bisinosis

ditempat kerja adalah menutup tempat-tempat dalam proses kerja yang menghasilkan debu

kapas.

d. Pemerikasaan kesehatan pra kerja dan berkala

Pemerikasaan kesehatan bertujuan untuk mengetahui kesehatan pekerja sebelum dan sesudah

bekerja untuk memastikan bahwa pekerja dalam kondisi sehat. Pemerikasaan kesehatan juga

bertujuan untuk memastikan bahwa penyakit akibat kerja dalam hal ini bisinosis yang diderita

oleh pekerja benar-benar disebabkan karena pekerja bersebut bekerja di tempat kerta tertentu.

6

Page 7: penyakit akbat kerja

Pemeriksaan kesehatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan diagnose bisinosis

sesuai dengan identifikasi bisinosis yang disebutkan pada bagian sebelumnya.

2.2 Heat stress

2.2.1 Definisi heat stress

Heat stress merupakan reaksi fisik dan fisiologis pekerja terhadap suhu yang berada diluar

kenyamanan bekerja. Suhu yang dimaksud yaitu suhu panas yang dihasilkan tubuh baik secara

internal pada penggunaan otot atau secara eksternal oleh lingkungan. Suhu panas ini biasanya

didapatkan dari lingkungan kerja yang terus terpapar selama waktu kerja berlangsung sehingga

tubuh akan terus melakukan penyesuaian derajat panas yang konstan dan tepat. Heat Stress

timbul dari bermacam – macam kondisi di mana tubuh mendapat paparan dari suhu panas yang

berlebih. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi heat stress antara lain :

a. Suhu

b. Kelembaban udara

c. Suhu radiasi dari lingkungan

d. Gerak aliran udara

e. Pakaian yang dikenakan

f. Keaktifan fisik ( metabolisme tubuh )

Penyakit akibat kerja yang ditimbulkan dari suhu panas seperti heat stress akan menimbulkan

gejala apabila tubuh sudah tidak mampu menseimbangkan suhu tubuh normal karena besarnya

beban panas dari luar. Jika tubuh terpapar panas, maka sistem yang ada didalam tubuh akan

menpertahankan suhu tubuh internal agar tetap pada suhu normal (36-38 C) dengan cara

mengalirkan darah lebih banyak kekulit dan mengeluarkan cairan atau keringat. Hal tersebut

akan menganggu pekerja dalam bekerja sehingga produktifitas diri dalam bekerja pun menurun.

Tanda dan gejala dari pekerja yang menderita heat stress yaitu

a. Kenaikan suhu, sampai 40°C atau lebih

b. Tidak berkeringat. Jika heat stroke disebabkan oleh karena suhu lingkungan yang sangat

panas, maka kulit cenderung terasa panas dan kering

c. Kemerahan pada kulit

d. Nafas menjadi cepat dan terasa berat

e. Denyut jantung semakin cepat

f. Sakit kepala seperti ditusuk-tusuk

g. Gejala saraf lain, misalnya kejang, tidak sadar, halusinasi

7

Page 8: penyakit akbat kerja

h. Otot bisa terasa kram, lalu selanjutnya terasa lumpuh

Heat sroke akan menimbulkan gejalanya melalui paparan secara kontinu. Berikut merupakan

tahapan Heat Stroke yang terjadi apabila suhu panas dilingkungan kerja tidak dapat diterima

oleh tubuh yang merupakan gabungan dari 2 kondisi serius yang berhubungan dengan suhu:

a. Kondisi pertama adalah heat cramp/ kram akibat kenaikan suhu tubuh, dimana terjadi karena

paparan suhu yang sangat tinggi. Biasanya ditandai dengan keringat berlebihan, kelelahan,

haus, kram otot

b. Kondisi yang lain adalah heat exhaustion/ kelelahan akibat kenaikan suhu tubuh. Heat

exhaustion muncul jika anda tidak mempedulikan gejala dari ‘heat cramp’ yang muncul

gejalanya termasuk sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, mual, kulit dingin dan terasa

lembab, kram otot.

Toleransi suhu tubuh berada pada daerah yang sempit, 36 - 37,5 ⁰C. Peningkatan di dalam suhu

tubuh dari lebih dari 1 derajat berarti tubuh itu mempunyai kesulitan berhadapan dengan panas

di lingkungan. Respon tubuh terhadap panas antara lain  :

a. Peningkatan suhu tubuh

b. Peningkatan denyut jantung / nadi

c. Peningkatan aliran darah

d. Peningkatan kebutuhan oksigen

e. Peningkatan asam laktat dalam otot dapat mempercepat kelelahan

f. Berkeringat dan terjadi pengeluaran elektrolit mengakibatkan dehidrasi

Jika faktor-faktor di atas terus berlanjut maka akan menyebabkan : heat stroke (sengatan panas),

heat exhaustion (kelelahan karena panas), heat cramp (kejang panas), heat collapse(fainting),

heat rashes, heat fatigue dan heat burn (luka bakar).

2.2.2 Potensi tempat kerja

Tempat kerja yang dapat menimbulkan heat stress adalah industri pupuk, industri ayam broiler,

pengerajin pandai besi, pabrik tambang, konstruksi bangunan, perkebunan, pabrik aluminium,

perusahaan pembuat botol kaca dll.

2.2.3 Potenzi hazard

Heat Stress merupakan penyakit akibat kerja yang diderita oleh pekerja dengan suhu

lingkungan yang rendah yaitu dengan suhu panas yang lebih dari 40⁰C. Bekerja di area panas

dapat meningkatkan potensi terjadinya kecelakaan, misalnya karena telapak tangan licin akibat

8

Page 9: penyakit akbat kerja

berkeringat, pusing, fogging dari kaca mata safety dan luka bakar jika tersentuh benda panas.

Selain dari bahaya ini jelas, frekuensi kecelakaan, secara umum tampaknya lebih tinggi di

lingkungan yang panas daripada di kondisi lingkungan yang lebih moderat. Salah satu

alasannya adalah bahwa bekerja di lingkungan yang panas menurunkan kewaspadaan mental

dan kinerja fisik individu. Peningkatan suhu tubuh dan ketidaknyamanan fisik dapat

meningkatkan emosi, kemarahan, dan kondisi emosional lainnya yang kadang-kadang

menyebabkan pekerja mengabaikan prosedur keselamatan atau kurang hati-hati terhadap

bahaya ditempat kerja.

2.2.4 Kebijakan Pengendalian

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. PER.

13/Men/X/2011 tentang Nilai Ambang Faktor Fisika dan Faktor Kimia di tempat Kerja, nilai

ambang batas iklim kerja indeks suhu basah dan bola (ISBB) yang diperkenankan terdapat pada

tabel dibawah ini.

Pengaturan Waktu Kerja

Setiap Jam

ISBB (⁰C)

Beban Kerja

Ringan Sedang Berat

75% - 100% 31,0 28,0 -

50% - 75% 31,0 29,0 27,5

25% - 50% 32,0 30,0 29,0

0% - 25% 32,2 31,1 30,5

Catatan :

- Beban kerja ringan membutuhkan kalori sampai dengan 200 kilo kalori/jam.

- Beban kerja sedang membutuhkan kalori lebih dari 200 sampai dengan kurang dari 350 kilo

kalori/jam

- Beban kerja berat membutuhkan kalori lebih dari 350 sampai dengan kurang dari 500 kilo

kalori/jam

Pengukuran suhu di lingkungan industri sangatlah penting. Pengukuran suhu dapat dilakukan

untuk suhu basah dan suhu kering. Pengukuran suhu basah dan kering menggunakan peralatan

yang sama yaitu termometer suhu udara, perbedaannya terletak pada pemasangan kain katun

9

Page 10: penyakit akbat kerja

pada bola (bulb) termometer tersebut. Suhu basah menunjukkan keadaan uap air dan angin di

udara.

Suhu bola atau suhu radiasi merupakan pengukuran suhu akibat adanya radiasi panas di

lingkungan. Radiasi panas bisa berasal dari sinar matahari, proses produksi ataupun proses

metabolisme tubuh. Kelembaban udara mengukur banyaknya uap air yang berada di udara

sedangkan kecepatan gerakan udara atau angin merupakan pengukuran terhadap gerakan udara.

Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di luar ruangan dengan panas radiasi :

ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,2 Suhu bola + 0,1 Suhu kering

Indeks Suhu Basah dan Bola untuk di dalam atau di luar ruangan tanpa panas radiasi :

ISBB = 0,7 Suhu basah alami + 0,3 suhu bola

2.2.5 Upaya pengendalian

Menurut Suma’mur (1996), suhu nikmat bagi orang-orang Indonesia adalah sekitar 24-26 ⁰C.

Untuk mengurangi gangguan fisiologis selama bekerja maka pekerja harus diatur untuk

istirahat sejenak, minum dan mengganti kehilangan elektrolit, di mana pekerja harus

membiasakan diri mengganti kehilangan cairan secara sistematis, karena bila tidak diganti

akan menyebabkan gangguan kesehatan. Penyediaan air putih dan garam harus dilakukan agar

pekerja dapat memperoleh masukan cairan sebagai pengganti cairan tubuh yang hilang.

Temperatur air minum harus dijaga pada suhu 10-15⁰C, dan ditempatkan pada tempat yang

mudah dijangkau oleh pekerja tanpa meninggalkan pekerjaannya (Megasari dan Juniani,

2005).

Teknik Pengendalian Lingkungan Kerja Panas di bagi menjadi tiga yaitu : pengendalian secara

teknik, administratif dan penggunaan alat pelindung diri.

a. Pengendalian secara Teknik

Pengukuran suhu bola atau suhu radiasi di dapatkan dari tempat kerja dapat dilihat dari alat

monitoring heat stress yang kemudian di analisa, secara teknik pengedalian Lingkungan

kerja panas dapat dilakukan dengan Pengadaan ventilasi umum diharapkan panas yang

menyebar secara radiasi, konduksi dan konveksi ke seluruh ruang kerja dapat mengalir

keluar dimana suhu udaranya lebih rendah. Tetapi panas yang terjadi secara terus menerus

dan kontinyu, sehingga pengadaan ventilasi umum dirasakan kurang. Sebaiknya perusahaan

mem buat exhaust fan, dimana panas dari lingkungan kerja ditarik keluar ke lingkungan

dengan suhu yang lebih rendah. Sehingga pengendalian secara teknik yang perlu dilakukan

adalah penambahan ventilasi umum, memperlebar ventilasi umum, Penggunaan penyekat

10

Page 11: penyakit akbat kerja

( shielding ) terutama untuk mengurangi panas radiasi. Isolasi perubahan tempat perubahan

desain atau substitusi peralatan atau proses untuk menurunkan panas. Pemasangan exhaust

fan dan pemasangan dust collector. Selain itu perusahaan sebaiknya mengontrol panas yang

dihasilkan oleh mesin dan menyediakan pendingin u dara seperti AC.

b. Pengendalian secara Administratif

Lingkungan kerja yang panas membutuhkan tenaga kerja yang fit, kesegaran jasmani baik,

status kesehatan baik dan status gizi baik. Berdasar data yang didapat bahwa tenaga kerja

yang bekerja tidak di periksa kesehatannya saat baru masuk kerja. Sebaiknya pemeriksaan

kesehatan awal diberikan terhadap tenaga kerja yang baru masuk agar tenaga kerja sesuai

dengan pekerjaannya (the right man on the right job). Organisasi ketenagakerjaan di

perusahaan tersebut telah terbentuk yaitu P2K3 (Panitia Pembina Kese lamatan Dan

Kesehatan Kerja) dan SPSI. Organisasi ini dibentuk berdasarkan komitmen direktur

terhadap tenaga kerjanya . P2K3 diketuai oleh direktur dengan anggota para tenaga kerja.

Dengan adanya organisasi ini diharapkan masalah yang berhubungan dengan K3 dapat

diatasi. Selain itu perusahaan juga sebaiknya menyediakan air minum dingin dekat pekerja

dan mengingatkan mereka untuk minum secangkir setiap 20 menit, menetapkan pekerja

tambahan atau memperlambat kecepatan kerja, memberikan pengetahuan untuk mengenali

tanda-tanda heat stress dan pertolongan pertama responden harus tersedia dan rencana

tanggap darurat harus ditempat yang rentan akan penyakit yang berhubungan dengan panas.

c. Pengadaan alat pelindung diri (APD)

Pengadaan alat pelindung diri (APD) dirasakan kurang. Helm sebaiknya harus diberi bila

ada kerusakan, tidak hanya diberi 1 saja selam tenaga kerja bekerja di perusahaan tersebut.

Masker penutup hidung dan mulut sebaiknya diberi setiap hari. Masker yang terbuat dari

kain serap akan cepat lusuh dan rusak bila dipakai seharian apalagi perusahaan tersebut

menghasilkan debu. Demikian pula dengan sepatu dan pakaian kerja. Khususnya sepatu

kerja sebaiknya diberi saat tenaga kerja tersebut mengeluh sepatunya rusak akibat adanya

letikan api dari peleburan metal. Pemberian APD hendaknya diberi konsisten dan

konsekuen agar tenaga kerja terhindar dari bahaya di tempat kerja. Pemberian pakaian kerja

setiap enam bulan sekali.

Apabila heat stress sudah terjadi pada tubuh, faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam

mekanisme pengontrolan agar tidak terjadi heat stress yang lebih parah dan dapat

berdampak buruk bagi kesehatan yaitu :

1. Kondisi Lingkungan (suhu, kelembaban, tingkat radiasi, dan tingkat konveksi)

2. Karakteristik individu

11

Page 12: penyakit akbat kerja

Bentuk tubuh (hubungan antara fisik (jasmani) dengan toleransi terhadap panas

tergantung pada apakah suhu lingkungan di bawah atau di atas suhu kulit, pada suhu

panas ekstrim orang dengan rasio luas permukaan tubuh per massa tubuhnya  lebih

besar akan membentuk panas yang lebih sedikit dari pada yang mempunyai ratio

yang lebih kecil, tetapi kehilangan keuntungannya oleh karena ia akan menerima

panas lebih besar melalui radiasi, konduksi dan konveksi)

Komposisi tubuh (toleransi rendah pada orang gemuk)

Umur (toleransi rendah pada orang tua, toleransi rendah dapat mengakibatkan dampak

yang lebih berbahaya)

Gender (laki-laki dan wanita mempunyai tingkat aerobic power yang ekuivalen yang

menunjukkan perbedaan yang sangat kecil dalam hal toleransi terhadap kerja di

tempat panas (Drinkwater 1977; Paulone et al. 1977)).

3. Penggantian cairan tubuh (volume cairan, suhu cairan, dan kandungan cairan)

4. Turunkan suhu inti (internal) sampal dengan 39°C

5. Gunakan pakaian dingin dan handuk

6. Taruh es pada kulit sambil menyemprot dengan air biasa.

7. Gunakan Selimut Pendingin

8. Posisikan kipas angin listrik sehiugga menghembus pada pasien

9. Pantau secara konstan suhu, dan tanda tanda vital

10. Berikan oksigen dan pasang infus bila ada

11. Segera bawa ke unit pelayanan kesehatan terdekat

2.2.6 Contoh kasus

Desa Hadipolo merupakan salah satu desa di Kecamatan Jekulo Kabupaten Kudus, merupakan

desa sentral kerajinan pandai besi yang sudah turun temurun. Setiap rumah penduduk

mempunyai dapur atau lahan untuk mengerjakan kerajinan pandai besi dengan tenaga kerja

rata-rata 2 orang sampai dengan 50 orang tiap rumah industri. Data yang diperoleh dari

Puskesmas Tanjung Rejo Kecamatan Jeculo,diketahui bahwa ada 110 home industri dengan

jumlah tenaga kerja 412 orang. (41) Hasil survei pendahuluan terhadap kondisi lingkungan

kerja pada tanggal 20 September 2011 dan tanggal 17 Februari 2012, menunjukan bahwa

kondisi lingkungan kerja dikatakan mempunyai resiko yang sangat besar terhadap terjadinya

penyakit akibat kerja. Dimana suhu pada lingkungan kerja berkisar antara 30℃ –35 ℃,

sedangkan suhu yang optimal untuk kerja orang Indonesia berkisar antara 24℃ -26℃. (2)

Selain itu masih ada pekerja yang bekerja lebih dari 8 jam per hari (jam kerja:07.00-17.00

12

Page 13: penyakit akbat kerja

WIB) dan tidak mengenakan pakaian saat bekerja dengan paparan panas yang terus menerus

dari tungku pembakar.

Iklim kerja seperti diatas maka hasil pemeriksaan tekanan darah dan denyut nadi terhadap 85

pekerja pandai besi dengan umur yang bervariasi,diambil dari 10 industri pandai besi

menunjukan bahwa pekerja yang mengalami tekanan darah tinggi atau hipertensi sebanyak

31,9%, hipotensi atau tekanan darah rendah sebanyak 44,3% dan tekanan darah normal

sebanyak 23,8%. Sedangkan untuk denyut nadi dari 85 orang pekerja yang diperiksa

menunjukan denyut nadi terendah adalah dengan detak 60 kali/menit dan yang tertinggi 90

kali/menit.

2.3 Pneumokoniosis

Setiap tempat kerja terdapat berbagai potensi bahaya yang dapatmempengaruhi kesehatan tenaga

kerja atau dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat kerja, debu adalah partikel yang merupakan

salah satu faktor kimia yang ada di tempat kerja (Meita 2012). Debu adalah partikel-partikel zat padat

yang disebabkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis dari bahan-bahan organik maupun

anorganik. Akibat penumpukan debu yang tinggi di paru-paru dapat menyebabkan kelainan dan

kerusakan paru. Penyakit akibat penumpukan debu pada paru disebut pneumokoniosis.

Pneumokoniosis merupakan kelompok penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu di

daerah tambang. International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai

suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu di dalam paru yang menyebabkan reaksi

jaringan terhadap debu tersebut. Bentuk kelainan yang terjadi biasanya berupa peradangan dan

pembentukan jaringan fibrosis. Debu yang berukuran 0.1 – 10 mikron adalah yang gampang terhirup

pada saat kita bernapas, yang berukuran lebih dari 5 mikron akan mengendap disaluran napas bagian

atas. Debu berukuran 3-5 mikron akan menempel disalurun napas bronkiolus, sedangkan yang

berukuran 1-3 mikron akan sampai ke alveoli. Debu-debu tersebut masuk ke dalam paru, dan akan

terdistribusikan di saluran napas dan menimbulkan reaksi sistem pertahanan tubuh sebagai respon

terhadap debu tersebut. Reaksi yang ditimbulkan juga bergantung terhadap komposisi kimia, sifat

fisik, dosis dan lama pajanan yang menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis.

Timbulnya reaksi debu terhadap jaringan membutuhkan waktu yang cukup lama, pada beberapa

penelitian didapatkan sekitar 15 – 20 tahun. Berdasarkan penyebabnya pneumokoniosis dibagi

menjadi tiga kelompok, yaitu yang disebabkan oleh debu organik (bisinosis), anorganik (silika, asbes

13

Page 14: penyakit akbat kerja

dan timah) dan pekerjaan (pneumokoniosis penambang batubara / Coal Worker’s Pneumoconiosis )

atau yang lebih dikenal dengan paru-paru hitam.

2.3.1 Definisi

Pneumokoniosis adalah sekumpulan penyakit yang disebabkan oleh penimbunan debu-debu di

dalam jaringan paru-paru. Biasanya berupa debu mineral, tergantung dari jenis debu mineral

yang ditimbun, nama penyakit nyapun berbeda-beda, tergantung dari derajat dan banyaknya 

debu yang ditimbum didalam paru-paru. Ketika bernafas udara yang mengandung debu masuk

kedalam paru-paru , tidak semua debu dapat menimbun didalam jaringan paru-paru , karena

tergantung dari besar ukuran tersebutSecara umum gejala – gejalanya antara lain batuk – batuk

kering saat nafas , kelelahan umum , berat badan berkurang dan lain-lain Gambaran Rontgen

menunjukkan adanya kelainan dalam paru – paru , namun pemeriksaan ditempat kerja harus

menunjukkan adanya debu yang diduga sebagai penyebab pneumokoniosis. Pekerja yang

paling rentan terkena pneumokoniosis adalah penambang batubara.

2.3.2 Diagnosa

Diagnosa penyakit pneumokoniosis didasarkan dari gejala-gejala yang ada dan hasil

pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan rontgen atau CT scan dada bisa ditemukan adanya bintik-

bintik yang khas di daerah paru pada orang dengan riwayat terpapar debu batubara untuk waktu

yang lama, biasanya orang yang telah bekerja di tambang batubara setidaknya selama 10 tahun.

Selain itu, bisa dilakukan tes fungsi paru-paru.

2.3.3 Pengobatan

Tidak ada pengobatan khusus untuk penyakit ini, pengobatan akan diberikan untuk mengatasi

gejala-gejala yang ada dan komplikasinya ( misalnya gagal jantung atau tuberkulosis paru).

Penambang batubara biasanya dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan foto rontgen dada rutin

setiap tahun sehingga penyakit bisa dideteksi pada tahap yang relatif awal. Jika penyakit

terdeteksi, maka pekerja harus dipindahkan ke tempat dimana kadar debu batubara rendah,

sehingga membantu mencegah terjangkitnya penyakit pneumokoniosis akut.

2.3.4 Pencegahan

Pneumokoniosis bisa dicegah dengan cara menghindari atau menekan paparan debu batubara di

tempat kerja, misalnya dengan menggunakan sistem ventilasi yang baik dan memakai masker

wajah yang dapat menyaring udara. Pekerja batubara yang paling rentan terkena penyakit

14

Page 15: penyakit akbat kerja

pneumokoniosis adalah pekerja yang merokok. Oleh karena itu, pekerja batubara yang merokok

didorong untuk berhenti merokok supaya tidak terkena penyakit pneumokoniosis.

2.3.5 Hazard

Sumber hazard penyakit akibat kerja pneumokoniosis adalah debu, mineral dan batubara.

Jumlahnya bervariasi dengan debu terhirup jenis batubara. Faktor faktor yang dapat

meningkatkan resiko pneumokoniosis pada pekerja batubara antara lain;

Tipe debu; debu yang mengandung silika dapat memperberat terjadinya pneumokoniosis

pada pekerja batubara, usia juga dapat menentukan resiko terjadinya pneumokoniosis pada

pekerja batubara

Usia pekerja saat paparan debu pertama kali

Lama berada di tempat kerja

Merokok

Ukuran debu

Jenis pekerjaan, pekerja yang bertugas sebagai pemotong batu bara secara langsung memiliki

resiko yang lebih tinggi dibandingkan pekerja lainnya.

15

Page 16: penyakit akbat kerja

2.3.6 Contoh kasus

Jumat, 24 Agustus 2012 | 09:22

Pekerja Tambang di China Terkena Sakit Paru Hitam

Para pekerja tambang batu bara di China. (sumber: AFP)

Sekitar 6 juta pekerja tambang diperkirakan terkena pneumoconiosis akibat menghirup debu batu bara.

Pemerintah China berencana menyelidiki sebagian tambang milik negara untuk mencegah penyebaran penyakit paru-paru hitam (pneumoconiosis).

Demikian yang dikemukakan oleh Dinas Keselamatan Tambang Batu Bara Negara, Kamis (23/8). Love Save Pneumoconiosis, sebuah yayasan amal yang didirikan untuk membantu merawat pekerja pendatang yang terserang penyakit itu, memperkirakan sebanyak enam juta petani terserang penyakit tersebut.

Beranjak dari fakta itulah dinas kesehatan tersebut telah meminta Perhimpunan Kesehatan dan Keselamatan Kerja China, untuk melakukan penyelidikan tentang penyebaran pneumoconiosis dan pemantauan debu di beberapa tambang milik negara mulai Agustus sampai Desember.

"Lembaga itu akan meneliti catatan kesehatan pekerja tambang dan memantau tingkat debu di lokasi kerja mereka, " demikian isi pernyataan yang disiarkan oleh lembaga tersebut.

Penelitian tersebut, menurut dinas kesehatan China, akan dilandasi atas data statistik yang dikumpulkan dari hari tambang itu mulai beroperasi sampai 31 Desember 2011.

Ditambahkannya, penelitian tersebut dimaksudkan untuk membantu pembuatan peraturan bagi standard pemantauan dan tingkat debu.

Perlu diketahui, pneumoconiosis adalah penyakit paru-paru yang disebabkan orang menghirup debu batu bara. Penyakit ini merupakan penyakit utama yang berkaitan dengan pekerjaan di China

16

Page 17: penyakit akbat kerja

2.4 Katarak

2.4.1 Definisi

Katarak adalah suatu ukelainan pada mata yang berupa kekeruhan pada lensa yang

disebabkan oleh pemecahan protein atau bahan lainnya oleh proses oxidase dan foto oksidasi.

Katarak merupakan penyebab kebutaan yang paling besar (0,78%) di antara penyebab

kebutaan lainnya.Risiko Terkena Katarak yakni gangguan penglihatan dari derajat yang

ringat sampai berat bahkan bisa sampai buta.

2.4.2 Gejala

Katarak mungkin terjadi tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan saat pemeriksaan

mata.kadang-kadang tidak menimbulkan rasa sakit tetapi mengganggu penglihatan seperti

penglihatan menjadi kabur, penglihatan bagian sentral hilang sampai menjadi buta.

Apabila terjadi penurunan penglihatan secara perlahan-lahan tanpa rasa sakit pada orang usia

tua maka pada umumnya dicurigai menderita penyakit katarak walaupun perlu dilakukan

diagnosis lebih lanjut dan perlu memperhatikan keadaan lain seperti glaucoma kronik,

perubahan macular pada diabetes mellitus dan degenerasi macular senilis.

Salah satu kelihan dini pada katarak adalah keluhan silau atau tidak tahan terhadap cahaya

terang seperti sinar mataharilangsung atau sinar lampu kendaraan bermotor dari arah depan.

Keluhan silau bervariasi tergantung lokasi dan besarnya kekeruhan pada lensa. Kekeruhan

kecil yang terjadi di daerah pupil akan dirasakan sangat mengganggu. Apabila kekeruhan

lensa menjadi semakin parah maka penglihatan jarak jauh dan dekat mulai terganggu.

Keluhan lain dapat berupa penglihatan berkabut, penglihatan warna menjadi tumpul dan

penglihatan ganda.

2.4.3 Diagnosis

Sebagian besar katarak tidak dapat diolihat oleh pengamat awam sampai kekeruhan cukup

padat yaitu pada tingkat matur atau hipermatur yang menyebabkan kebutaan. Secara klinis

tingkatan katarak ditentukan oleh tajam penglihatan, dengan asumsi tidak ada penyakit lain.

Selain pemerikaan tajam penglihatan dilakukan juga pemeriksaan dengan oftalmoskop, lup

atau lampu celah dengan pupil yang dilebarkan. Pemeriksaan proyeksi cahaya pada mata

sangat penting dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab penyakit mata lain

17

Page 18: penyakit akbat kerja

atau kerusakan pada retina. Pada pemeriksaan rutin, katarak tingkat dini mungkin didapatkan

penglihatan yang normal. Tajam penglihatan umunya turun secara langsung sebanding

dengan kepadatan katarak. Pupil pada mata dengan katarak biasanya bereaksi normal

terhadap cahaya yang merupakan tanda klinik penting untuk menandai retina sehat dan

nervus opticus berfungsi baik. Adanya penurunan tajam penglihatan disertai tidak adanya

reflek fundus mengarah kepada diagnosis katarak walaupun perlu memperhatikan kelainan

pada kornea atau pada vitreous body karena penyebab lain. Pada katarak mature/matang,

penglihatan mungkin menurun sehingga hanya dapat melihat gerakan tangan pada jarak

dekan atau bahkan hanya dapat melihat cahaya. Semakin parah kekerusahan lensa semakin

sukar memantau fundus okuli sampai akhirnya reflex fundus negative.

2.4.4 Faktor risiko

Faktor risiko dapat berupa faktor instrinsik yang berasal dari dalam tubuh sendiri atau faktor

ekstrinsik yakni faktor yang berasal dari luar tubuh. Berikut pembagian faktor intrinsic dan

faktor ekstrinsik :

- Faktor intrinsic

1. Usia : hubungan katarak dengan proses ketuaan sudah diketahui sejak dulu. Biasanya

usia diatas 55 tahun berisiko terkena katarak.

2. Jenis kelamin : walaupun penelitian di beberapa Negara melaporkan bahwa katarak

lebih banyak terjadi pada wanita namun hal ini mungkin berhubungan dengan faktor

lain. Faktor lain tersebut adalah relative kurang baiknya secara umum akses kesehatan

terhadap wanita di suatu Negara. Selain itu perlu juga memperhitungkan angka

harapan hidup yang lebih tinggi pada wanita di beberapa Negara.

3. Riwayat atau menderita DM : Adanya peningkatan metabolism glucose dalam lensa

menyebabkan penimbunan sorbitol yang dianggap berhubungan dengan perubahan

osmotic dan akhirnya menyebabkan kekeruhan lensa.

4. Etnik : suatu penelitian melaporkan bahwa berkembangnya gejala katarak pada

kelompok populasi Amerika-Afrika cenderung 4 kali lebih tinggi dibandingkan

kelompok kaukasia. Hal ini mungkin berhubungan dengan faktor lain misalnya,

pengobatan penderita kataran dan glaucoma kurang baik.

- Faktor Ektrinsic

1. Nutrisi : nutrisi dicurigai sebagai salah satu diantara banyak faktor yang menyebabkan

perubahan kepekaan pada protein lensa. Penilitian Robertson dkk mengatakan bahwa

18

Page 19: penyakit akbat kerja

adanya hubungan katarak dengan asupan vitamin. Asupan vitamin C dan E lebih

banyak secara bermakna maka terjadi pengurangan risiko katarak sedikitnya 50%.

Asupan vitamin C menunjukan konsentrasi vitamin C dalam cairan bola mata dan di

dalam lensa yang memiliki efek antioksidan sehingga mengurangi stress oksidatif

yang dapat menimbulkan pembentukan katarak.

2. Radiasi sinar pengion : radiasi sinar pengion ada 2 jenis yaitu jenis elektromagnetik

dan partikel. Yang termasuk jenis elektromagnetik adalah sinar X dan sinar gamma

sedangkan jenis partikel adalah electron, proton, neutron, partikel alfa dan lainya.

Sinar pengion menimbulkan efek stochastic dan stochastic pada tubuh. Efek stochastic

meliputi efek mutagen, efek karsinogen dan efek teratogen. Efek nonstochastic

meliputi efek eritem kulit dan katarak pada lensa. Efek radiasi sinar pengion pada

lensa dapat mengakibatkan terbentuknya kekeruhan lensa setelah beberapa bulan

sampai beberapa tahun kemudian. Frekuensi, keparahan, dan waktu terjadinya

kekeruhan lensa terjadinya kekeruhan lensa tergantung kepada dosis dan penyebaran

sinar dalam waktu dan tempat. Ambang terjadinya kekeruhan lensa diperkirakan

antara 2-3 Sv ( Sievert unit Sv= 100 rem) pada pajanan tunggal yang singkat, sampai

5,5-14 Sv pada pajanan berulang dengan periode waktu bulanan.

3. Radiasi sinar bukan pengion : radiasi bukan pengion yang dapat menimbulkan katarak

adalah sinar ultraviolet dan infra merah. Radiasi UV ditimbulkan oleh gelombang

panas yang berasal dari energy yang mengeluarkan cahaya yang berasal dari alam dan

buatan. Sumber utama UV adalah sinar matahari yang difiltrasi oleh lapisan ozon pada

atmosfir. Pajanan UV akut mempunyai efek pada kulit, kornea dan lensa mata.

Pajanan kronis UVB ddengan tingkat yang bermakna dan waktu yang berlebihan akan

menyebabkan hilangnya elastisitas pada kulit atau penuaan kulit dan risiko terjadinya

kanker kulit dan kekeruhan lensa mata. Pajanan terhadap sinar matahari selama rata-

rata 12 jam menimbulkan katarak 3,8 kali lebih banyak dibandingkan hanya terpajan 7

jam sehari. Selain sinar UV, sinar infra merah juga dapat menyebabkan terjadinya

katarak. Radiasi IR dianggap sebagai sinar elektromagnetik atau sinar penghasil

panas.

4. Merokok : perokok dengan jumlah lebih 20 batang sehari akan meningkatkan risiko

menjadi katarak hamper 2 kali lipat lebih tinggi dan mempunyai risiko khusus

19

Page 20: penyakit akbat kerja

terbentuknya jenis katarak yang berlokasi di bagian tengah lensa, yang mengakibatkan

pandangan menjadi terbatas dan sangat parah dibandingkan katarak di lokasi lain pada

lensa.

5. Trauma : Jenis trauma yang paling sering dijumpai menimbulkan katarak adalah

cedera tumpul pada bola mata akibat terkena peluru senapan angina , anak panah ,

batu, benturan, dan terkena obyek yang berterbangan. Obyek yang bertebangan dapat

berupa serpihan logam atau batu, benda tajam atau pasir/krikil dari proses

penggurindaan (gringidng). Penyebab trauma lain adalah trauma karena terpajan panas

terlalu lama (pada glass blower), sinar X, dan bahan-bahan radioaktif.

6. Penyakit di dalam mata : katarak dapat terjadi secara primer dan sekunder karena

penyakit. Penyakit di dalam mata yang mempengaruhi fisiologi lensa misalnya uveitis

berat kambuhan yang biasanya mulai di daerah subkapsuler dan akhirnya mengenai

seluruh mata. Penyakit mata lain yang bisa menyebabkan katarak adalah uvetis

menahun, glaucoma, retinitis pigmentossa dan ablasi retina.

7. Obat-obatan : Beberapa obat yang diabsorpsi secara oral dan topical dapat merangsang

pembentukan katarak. Pada tahun 1930 banyak terjadi kasus katarak toksik sebagai

akibat pemakaian dinitirfenol sebagai obat menekan nafsu makan. Kesalahan

pemakaian obat lain seperti triparanol, kortikosteroid jangka panjang dan ekotiofat

iodide yang merupakan obat miotik kuat pada pengobatan glaucoma.

2.4.5 Pekerja yang berisiko terkena Katarak

Pekerja yang berisiko katarak adalah pekerjaa yang terpajan oleh faktor-faktor yang

merupakan risiko katarak di lingkungan kerjanya. Adapun pekerjaan yang berisiko terkena

penyakit katarak dibagi menjadi 2 jenis yakni pekerja dengan radiasi sinar pengion dan

pekerja dengan radiasi tanpa sinar pengion.

- Radiasi sinar pengion

Pekerja bidang energy atom

Awak pesawat terbang

Operator electron mikroskop

Operator fluoroskopi

Perbaikan televise voltase tinggi

Industri radiografi

20

Page 21: penyakit akbat kerja

Dokter gigi

Pembantu dokter gigi

Ahli radiologi

Pekerja laboratorium radium

Teknisi sinar X

Pembuat tabung sinar X

Pekerja tambang uranium

Pekerja tambang minyak

- Radiasi sinar bukan pengion

Pekerja di luar gedung dan terpajan radiasi UVB dari sinar matahari

Pekerja yang terpajan UV dengan intensitas tinggi

Pekerja yang terpajan sinar IR

2.4.6 Penanggulangan dan Pencegahan

Pencegahan kebutaan karena katarak melalui tindakan operasi. Upaya untuk menurunkan

prevalensi katarak perlu dilakukan terutama mencegah kebutaan pada usia produktif. Untuk

memperlambat terjadinya katarak dibutuhkan upaya mengurangi pajanan terhadap faktor

perusak antara lain faktor-faktor ekstrinsik seperti faktor lingkungan, cahaya UV, trauma,

merokok dan nutrisi. Beberapa anjuran untuk pencegahan katarak melalui nutrisi antara lain

dengan mengkonsumsi buah dan sayuran lebih dari 3,5 porsi sehari, makan lebih banyak

makanan yang mengandung tinggi asam amino sulfur ( lebih banyak biji-bijian dan legumes)

dan menggunakan banyak bumbu, tumerik dan curcumin.

Khusus pada pekerja

Pada pencegahan terhadap trauma langsung di lingkungan kerja maka pengusaha dan

pekerja perlu memperhatikan keselamatan kerja. Perlindungan mata dan wajah

diperlukan pada pekerjaan dengan kemungkinan bermacam-macam bahaya termasuk

obyek yang melayang ( serpihan logam atau batu, pasir atau kerikil dari proses

penggurindaan), semburan cairan korosif. Logam cair, debu, dan radiasi.

Tim kesehatan kerja mengevaluasi dan memellihara kesehatan mata dan penglihatan

dengan menilai kebutuhan penglihatan dalam melakukan tugas dengan aman dan

adekuat, menilai akses terhadap pertolongan medis dan system untuk pertolongan

pertama dan pelayanan yang ada bila terjadi kecelakaan. Pajanan radiasi pada pekerja

21

Page 22: penyakit akbat kerja

dikurangi tanpa terlalu menakutkan efisiensi pekerja, melalui perencanaan tempat kerja

dan prosedur kerja yang teliti, pelatihan dan pengawasan pekerja, penerapan program

perlindungan radiasi yang telag tersedia, pemberian label pada semua sumber radiasi dan

daerah yang repajan radiasi, perlindungan yang berlapis-lapis dalam mencegah terkena

radiasi karena tidak berhati-hati, dan membuat peringatan lainnya. Pekerja yang terpaksa

harus bekerja pada pukul 10-14 siang di luar bangunan maka sebaiknya bekerja dengan

perlindungan tabir matahari atau bekerja di tempat teduh atau menggunakan topi yang

mempunyai pinggiran lebar dan kaca mata dengan lensa yang dapat mengasborpsi UVB

untuk melindungi mata dari sinar UV. Bagi orang yang berada di dalam ruangan dan di

dalam kendaraan, pajanan terhadap sinar UVB matahari dapat ditekan sangat rendah

dengan asbsopsi UVB oleh kaca jendela baik di ruangan maupun pada kendaraan yang

dilapisi oleh filter penghambat UV.

Pekerja yang bekerja di dlaam ruangan tetapi harus berhubungan dengan UV pada

pekerjaannya perlu melakukan pencegahan dengan cara mengisolasi sumber radiasi UV

intensitas tinggi, memakai peralatan pelindung diri yang sesuai untuk melindungi mata

seperti memakai goggles/pelindung lain dengan filter yang sesuai. Kaca mata yang

dipakai adalah kaca mata yang dapat mengabsoprsi UV dan bila mungkin sesuai dengan

standard Australia AS 1076.

2.4.7 Aturan Kebijakan

a. Peraturan pemerintah RI No. 11 Tahun 1975 Tentang Keselamatan Kerja

Terhadap Radiasi

Dalam peraturan ini diatur nilai ambang batas yang diizinkan. Selanjutnya ketentuan

nilai ambang batas yang diizinkan, diatur lebih lanjut oleh instansi yang berwenang.

Pengaturan mengenai petugas dan ahli proteksi radiasi, pemeriksaan kesehatan calon

pekerja dan pekerja radiasi, kartu kesehatan, pertukaran tugas pekerjaan, ketentuan-

ketentuan kerja dengan zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya, pembagian

daerah kerja dan pengelolaan limbah radioaktif, kecelakaan dan ketentuan pidana.

Rangkuman isi peraturan sebagai berikut :

1. Instalasi atom harus mempunyai petugas dan ahli proteksi radiasi dimana petugas

proteksi mempunyai tugas menyusun pedoman dan instruksi kerja, sedangkan ahli

proteksi mempunyai tugas mengawasi ditaatinya peraturan keselamatan kerja

terhadap radiasi.

2. Pemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada pekerja radiasi adalah:

22

Page 23: penyakit akbat kerja

- calon pekerja radiasi

- berkala setiap satu tahun

- pekerja radiasi yang akan putus hubungan kerja.

3. Pekerja radiasi wajib mempunyai kartu kesehatan dan petugas proteksi radiasi

wajib mencatat dalam kartu khusus banyaknya dosis pajanan radiasi yang

diterimamasing-masing pekerja.

4. Apabila pekerja menerima dosis radiasi melebihi nilai ambang batas yang

diizinkan, maka pekerja tersebut harus dipindahkan tempat kerjanya ketempat lain

yang tidak terpajan radiasi.

5. Perlu adanya pembagian daerah kerja sesuai dengan tingkat bahaya radiasi dan

pengelolaan limbah radioaktif.

6. Perlu ada tindakan dan pengamanan untuk keadan darurat apabila terjadi

kecelakaan radiasi.

7. Pelanggaran ketentuan ini diancam pidana denda Rp. 100.000,- (seratus ribu

rupiah)

b. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 Tentang Izin pemakaian Zat Radioaktif

atau sumber Radiasi lainnya

Dalam peraturan ini diatur tentang pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi

lainnya, syarat dan cara memperoleh izin, kewajiban dan tanggung jawab pemegang izin

serta pemeriksaan dan ketentuan pidana.

c. Keputusan Presiden RI No. 22 Tahun1993 Tentang Penyakit Yang Timbul karena

Hubungan Kerja

Dalam peraturan ini diatur hak pekerja kalau menderita penyakit yang timbul karena

hubungan kerja, pekerja tersebut mempunyai hak untuk mendapat jaminan kecelakaan

kerja baik pada saat masih dalam hubungan kerja maupun setelah hubungan kerja

berakhir (paling lama 3 tahun sejak hubungan kerja berakhir)

23

Page 24: penyakit akbat kerja

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

1. Bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak merupakan 4 dari sekian banyak

penyakit yang dapat disebabkan oleh pajanan hazard yang terdapat di tempat kerja.

2. Bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak disebabkan oleh pajanan hazard yang

berbeda-beda, bisinosis disebabkan oleh pajanan debu kapas, heat stress disebabkan oleh

pajanan suhu panas, pneumoconiosis disebabkan oleh multikausal salah satunya adalah

debu batubara dan katarak juga disebabkan oleh multikausal salah satunya yang berkaitan

dengan pekerjaan adalah paparan sinar radiasi.

3. Upaya penanggulangan bisinosis, heat stress, pneumoconiosis dan katarak dilakukan

dengan cara yang berbeda-beda, salah satunya yang dapat dilakukan adalah dengan

munggunakan alat pelindung diri yang tepat.

4. Terdapat banyak peraturan yang mengatur tentang bisinosis, heat stress, pneumoconiosis

dan katarak, salah satunya adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.

Per. 13/Men/X/2011 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor

Kimia di Tempat Kerja

3.2 Saran

1. Sebaiknya para pekerja lebih tanggap dengan kondisi lingkungan pekerjaannya, dan

bekerja dengan standar yang berlaku untuk meminimalisir kejadian penyakit di tempat

kerja.

2. Sebaiknya para pemberi kerja menerapkan sistem manajemen K3 untuk meminimalisir

timbulnya penyakit di tempat kerja.

3. Sebaiknya pemerintah mengawasi pelaksanaan kesehatan dan keselamatan kerja di setiap

bidang usaha dan memberikan sanksi terhadap para pemberi kerja yang tidak

memperhatiakan kesehatan dan keselamatan kerja pekerjanya.

24