PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA FISIKA MELALUI MODEL ... · 1 Ringkasan hasil penelitian ......
Transcript of PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA FISIKA MELALUI MODEL ... · 1 Ringkasan hasil penelitian ......
1
PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA FISIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN
KOOPERATIF TIPE TEAM ASSITED INDIVUDUALIZATION (TAI) PADA SISWA KELAS
VII SMPN 2 PARIGI1
La Harudu2
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen tetap Pend. Fisika FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Pemerintah dalam mengupayakan mutu
pendidikan disetiap jenjang melalui dari sekolah
dasar (SD) sampai pada perguruan tinggi (PT)
selalu menngikuti perkembangan IPTEK, tetapi
banyak hambatan untuk mencapai sasaran
Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang system
Pendidikan Nasional. Diantaranya lemahnya
proses pembelajaran didalam kelas yang
membutuhkan kemampuan profesional seorang
guru dalam memilih model pembelajaran,
pendekatan mengajar, keterampilan mengajar,
bahkan metode-metode mengajar tidak sesuai
dengan materi.
Kondisi seperti ini berdampak pada
peserta didik yang tercermin pada tingkat
kelulusan siswa SMPN sekabupaten Muna pada
setiap tahun selalu bervariasi ini sudah menjadi
masalah nasional sehingga guru sebagai pendidik
berupaya melakukan perbaikan dan perubahan
system pembelajaran dalam kelas. Dimana guru
dituntut mampu menciptakan suasana interaksi
didalam kelas dengan baik agar tumbuh dan
berkembang menjadi proses pembelajaran yang
menyenangkan tidak sepeti halnya yang
dikemukakan oleh para peneliti bahwa pelajaran
fisika yang diajarkan adalah sangat kompleks,
sering terdengar pelajaran fisika itu
membosankan, tidak menarik bahkan
membingungkan.
Atas dasar pemikiran tersebut banyak hal
yang perlu dikaji oleh guru profesional sebagai
pendidik terus berupaya malakukan perbaikan dan
perubahan system pembelajaran dalam kelas, yang
tadinyaproses pembelajaran hanya ditunjukan
untuk pencapai kurikulum konvesional interaksi
antar sesama siswa serta selama dalam proses
belajar mengajar sangat kurang sehingga
berdampak pada siswa kurang berminat untuk
mengikuti pembelajaran tersebut.
Observasi awal peneliti pada bulan Juli
tahun 2010 di SMPN 2 Parigi bahwa nilai rata-rata
prestasi belajar IPA fisika kelas VII pada semester
I sebesar 63 sedangkan yang diharapkan pada
(KKM) sebesar 65. Selanjutnya proses
pembelajaran yang dilakukan guru masih
menganut model konvensional. Dalam arti bahwa
guru mengajar belum secara optimal
memanfaatkan media maupun sumber fasilitas
pendukung lainnya yang dapat menunjang proses
keberhasilan belajar siswa. Sumber yang selalu
mempertimangkan media selain dari lingkungan
adalah model pembelajaran koperatif tipe Team
Assisted Indivudualization (TAI), sehingga
peneliti tertarik menerapkan model ini dengan
keyakinan nilai 63 diatas setelah proses belajar
mengajar berlangsung dapat meningkat melebihi
KKM.
Dengan demikian aktivitas siswa dalam
menghadapi proses pembelajaran IPA fisika juga
meningkat, yang diikuti peningkatan hasil belajar
siswa. Sehingga sasaran dalam penelitian ini
adalah mendeskripsikan aktivitas siswa, hasil
belajar siswa, peningkatan belajar siswa, dan nilai
rata-rata hasil belajar siswa antar kelas eksperimen
terhadap kelas kontrol pada kelas VII SMPN 2
Parigi.
METODE PENELITIAN
Penelitan ini dilaksanakan pada semester
ganjil tahun ajar 2010 dikelas VII A dan VII B
SMPN 2 PARIGI kab muna dengan jumlah siswa
72 orang terbesar dalam 2 (dua) kelas pararel.
Dimana kelas VII A dijadikan sebagai kelas
experimen dan kelas VII B sebagai kelas kontrol
istrumen penelitian.
Dalam penelitian ini digunakan 2 jenis
istrumen pengempulan data yaitu; tes hasil belajar
dan panduan belajar observasi.
2
1. Tes hasil belajar.
Tes hasil belajar ini digunakan untuk
melihat hasil belajar siswa pada materi pokok
pemuaian zat, yang dibuat dalam bentuk model
pilihan ganda berjumlah 40 item soal.
2. Panduan lembar observasi.
Lembar observasi ditunjukkan sebagai
pedoman untuk melakukan opservasi terhadap
pembelajaran guru selama proses pembelajaran
dengan model koperatif. Tipe Team Assisted
Individualization (TAI) difokuskan pada proses
pelaksanaan pembelajaran.
PROSEDUR PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan dengan prosedur
sebagai berikut :
1. Melakukan opservasi awal di SMPN 2
PARIGI dengan harapan untuk mengetahui
keadaan sekolah dan jumlah populasi yang
bakal dijadikan sebagai objek penelitian.
2. Menyusun istrumen penelitian dalam bentuk
pilihan ganda.
3. Melakukan uji coba instumen dalam
menentukan validitas tes, relibilitas tes,dan
tingkat kesukaran tes.
4. Melakukan tes awal (Pra tes) terhadap sampel
penelitian.
5. Melaksanakan proses pembelajaran dengan
model pembelajaran koperatif tipe Team
Assisted Individualization (TAI) pada kelas
eksperiment dan mengunakan model
pembelajaran konvesional pada kelas kontrol.
6. Melakukan tes akhir (pros tes) setelah proses
pembelajaran pemuaian zat.
7. Membandingkan hasil belajar yang telah
didapat siswa pada kelompok eksperimen dan
kelas kontrol.
8. Mengintreprestasikan data hasil penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Belajar Mengajar.
Belajar dapat diartikan sebagai perubahan
tingka laku pada diri individu dan individu yang
lain terhadap lingkungannya sehingga mereka
lebih mampu berinteraksi (Usaman dan
Setiawati,2001). Dalam proses interaksi antara
siswa dengan guru dibutuhkan komponen-
komponen pendukung seperti model pembelajaran,
alat/teknologi pembelajaran, sarana pembelajaran
dan tujuan pembelajaran. Semua komponen ini
saling mempengaruhi satu sama lain sehingga guru
harus mampu mendesain setiap komponen agar
menciptakan proses belajar-mengajar yang lebih
optimal (Sudibyo, 2003).
Anggota kelompok bertanggung jawab
atas kesuksesan kelompoknya. Model
pembelajaran ini memanfaatkan bantuan siswa
lain untuk meningkatkan pemahaman dan
penguasahan bahan pembelajaran karena
terkadang siswa lebih paham akan hal yang
disampaikan temannya dari pada gurunya, serta
bahsa yang digunakan oleh siswa lebih dipahami
oleh siswa yang lainnya.
Pengertian Cooperative learning.
Cooperative learning dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan pembelajaran
kooperatif. Konsep cooperative learning bukanlah
suatu konsep baru melainkan telah dikenal abad
pertama setelah Masehi, tatkala filsof-filsof zaman
Yunani kuno mengemukakan bahwa agar
seseorang dapat belajar, maka ia harus memiliki
“partner” belajar. Ini mengandung arti bahwa
seseorang dalam melakukan kegiatan belajar
memerlukan teman atau mitra belajar.
Menurut Ibrahim dkk (2003 : 3)
menyatakan pembelajaran kooperatif memiliki
unsur-unsur sebagai berikut :
1. Siswa berada dalam kelompok-kelompok kecil.
2. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu
didalam kelompoknya.
3. Semua anggota kelompok memiliki tujuan yang
sama.
4. Siswa membagi tugas dan tanggung jawab yang
sama diantara anggota kelompok.
5. Siswa diberikan hadia/penghargaan untuk
semua .kelompok.
6. Siswa diminta untuk mempertanggung
jawabkan secara individual tentang materi yang
didiskusikan dalam kelompok.
Dalam situasi tertentu Cooperative
Learning dapat dipandang sebagai suatu model
pembelajaran yang dapat menekan aktivitas siswa
dalam belajar kelompok kecil, mempelajari materi
pembelajaran dan mengerjakan tugas. Sehingga
cooperative learning merupakan suatu pendekatan
dalam proses pembelajaran yang membutuhkan
partisipasi dan kerja sama dalam kelompok.
Menurut Johnson (1984) ada perbedaan kelompok
3
belajar cooperative dengan kelompok belajar
konvensional yang disajikan dalam table berikut.
Table 1. Perbedaan kelompok belajar kooperatif
dengan kelompok belajar konvensional.
No Kelompok
Kooperatif
Kelompok
Konnensional
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Kepemimpinan
bersama
Saling
ketergantungan.
Keanggotaan
kelompok
heterogen.
Adanya kelompok
Cooperative.
Hasil belajar
adalah tanggung
jawab semau
kelompok.
Menekankan
tugas-tugas
berhubungan
dengan
cooperative.
Ditunjang oleh
guru.
Satu hasil belajar
kelompok.
Evalusai
kelompok.
Penghargaan.
Satu
kepemimpinan.
Tidak ada
ketergantungan.
Keanggotaan
kelompok
homogen.
Adanya
keterampilan sosial.
Hasil belajar adalah
tanggung jawab
sendiri-sendiri
siswa.
Hanya menekankan
pada tugas.
Diarahkan oleh
guru.
Hasil belajar
individu.
Evaluasi individu.
-
(kadir. 2009:19)
Model Pembelajaran Cooperative Learning
Tipe TAI.
TAI merupakan singkatan dari Team
Assisted Individualization. Model pembelajaran
TAI termaksud dalam pembelajaran kooperatif.
Salah satu ciri pembelajaran kooperatif adalah
kemampuan siswa untuk bekerja sama dalam
kelompok kecil yang heterogen. Masing-masing
kelompok memiliki tugas yang setara. Karena
pada pembelajaran kooperatif, keberhasilan
kelompok sangat diperhatikan maka siswa yang
pandai ikut bertanggung jawab membentu
temannya yang lemah dalam kelompoknya.
Dengan demikian siswa yang pandai dapat
mengembangkan kemampuan dan
keterampilannya sedangkan siswa yang lemah
dapat terbantu dalam memahami permasalahan
yang diselesaikan dalam kelompok tersebut.
Model pembelajaran tipe TAI memiliki
delapan komponen. 1) Team, ialah pembentukan
kelompok homogeny yang terdiri atas 4 samapi 5
siswa; 2) Placement Test, pemberian pre-test
kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian
siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada
bidang tertentu; 3) Student Creative yakni
melaksanakan tugas dalam suatu kelompok dengan
menciptakan sesuatu dimana keberhasil individu
ditentukan atau dipengeruhi oleh keberhasilan
kelompok. 4) Team Study yaitu tahapan tindakan
belajar yang harus dilaksanakan oleh kelompok
dan guru memberikan bantuan secara individual
kepada siswa yang membutuhkan. 5) Team Scores
dan Team Recognition yaitu pemberian skor
terhadap kelompok yang berhasil secara cemerlang
dan kelompok yang dipandang kurang berhasil
dalam penyelesian tugas; 6) Teaching Group yakni
memberikan materi secara singkat dari guru
menjelang pemberian tugas kelompok; 7) Facts
Test yaitu pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan
fakta yang diperoleh siswa; 8) Whole-Class Units
yaitu pemberian materi oleh guru kembali diakhiri
waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan
masalah.
http://tik-sdntilote.blogspot.com diakses tanggal 7
juli 2010.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil aktivitas siswa.
Hasil aktivitas siswa kelas VII SMP
Negeri 2 Parigi dengan menggunakan model
pembelajaran cooperative tipe Team Assisted
Individualization (TAI) diperlihatkan pada table 2.
4
Table 2. Data aktivitas siswa selama pembelajaran.
Perte
muan Kel.
Aspek yang diobservasi Rerata Kategori
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
I
I 3 3 4 3 4 4 4 3 2 3 4 4 3,4 Baik
II 3 3 4 3 4 4 3 3 2 4 3 3 3,3 Baik
II 3 3 3 4 4 3 3 3 2 4 3 3 3,2 Baik
IV 4 3 4 4 4 4 4 3 2 3 3 3 3,4 Baik
V 4 3 4 3 4 3 4 3 2 4 3 3 3,3 Baik
VI 4 3 3 3 4 3 3 3 2 3 3 3 3,1 Baik
Rerata 3,5 30 3,7 3,3 4,0 3,5 3,5 3,0 2,0 3,5 3,2 3,2 3,3 Baik
II
I 4 4 3 4 3 4 4 3 3 4 3 4 3,6 Baik
II 4 3 4 3 3 3 4 2 2 4 3 4 3,3 Baik
II 3 4 4 3 3 4 4 3 3 3 3 4 3,4 Baik
IV 4 4 4 4 4 4 3 3 3 3 3 4 3,6 Baik
V 4 3 4 4 4 4 4 3 2 3 3 3 3,4 Baik
VI 3 3 3 4 3 3 4 3 2 4 3 4 3,3 Baik
Rerata 3,7 3,5 3,5 3,7 3,3 3,7 3,9 2,9 2,5 3,5 30 3,9 3,4 Baik
III
I 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4,0 Baik sekali
II 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4,0 Baik sekali
II 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4,0 Baik sekali
IV 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4,0 Baik sekali
V 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4,0 Baik sekali
VI 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4,0 Baik sekali
Rerata 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 Baik sekali
2. Hasil belajar siswa.
Hasil belajar siswa pada kelas eksperimen dan kontrol baik prates maupun postes diperlihatahkan
pada table 3.
Tabel 3. Deskripsi Hasil Belajar Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol.
Nilai Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
Pre-test Post-test gain Pre-test Post-test gain
Maksimum 63 93 0,87 63 93 0,85
Minimum 23 47 0,21 27 37 0,14
Rata-rata 45,97 71,29 0,48 46,16 64,55 0,36
Standar Devisi (SD) 9,72 13,05 0,18 10,39 14,57 0,17
Pre-test hasil belajar siswa kelas
eksperimen sebesar 45,97%, sedangkan kelas
kontrol sebesar 46,16 dengan asumsi bahwa relatif
sama antara eksperimen dan control sebelum
proses belajar-mengejar berlangsung. Selanjutnya
setelah proses pembaelajaran berlangsung
diadakan pros-test dengan menunjukkan hasil
belajar rata-rata sebesar 71,29 untuk kelas
eksperimen dan 64,55 untuk kelas control. Hal ini
menunjukkan bahwa model pembelajaran
cooperative tipe TAI lebih efektif meningkatkan
hasil belajar dibandingkan dengan model
pembelajaran konvensional pada kelas kontrol.
Pengkategorian hasil belajar Fisika siswa
kelas eksperimen dan kelas control disajikan pada
table 4 berikut.
5
Tabel 4. Pengkategorian Hasil Belajar Siswa Kelas Eksperimen.
Nilai
Hasil Belajar
Pre-test Post-test
Interval Nilai ƒ % Interval Nilai ƒ %
Rendah Xi ≤ 36 5 14,71 Xi ≤ 58 6 17,65
Sedang 36 < Xi < 56 22 64,71 58 < Xi < 84 22 64,71
Tinggi Xi ≥ 56 7 20,59 Xi ≥ 84 6 17,65
Selanjutnya, pengkategorian hasil belajar Fisika siswa kelas Kontrol disajikan pada tabel 5
berikut.
Tabel 5. Pengkategorian Hasil Belajar Siswa Kelas kontol.
Nilai
Hasil Belajar
Pre-test Post-test
Interval Nilai ƒ % Interval Nilai ƒ %
Rendah Xi ≤ 36 7 18,42 Xi ≤ 50 8 21,05
Sedang 36 < Xi < 57 22 60,53 58 < Xi < 79 23 60,53
Tinggi Xi ≥ 57 8 21,05 Xi ≥ 79 7 18,42
Pengkategorian Peningkatan hasilbelajar IPA-Fisika siswa kelas eksperimen dan kelas control
disajikan pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Pengkategorian Tingkat Hasil Belajar Siswa Kelas eksperimen dan kelas kontol.
Interval Nilai Kategori
Peningkatan Hasil Belajar (Gain)
Kelas Eksperimen Kelas Kontrol
ƒ % ƒ %
0 ≤ g < 0,3 Rendah 3 7,89 18 47,37
0,3 ≤ g ≤ 0,7 Sedang 25 65,79 18 47,37
0,7 < g ≤ 1 Tinggi 6 15,79 2 5,26
Jumlah 34 100 38 100
PEMBAHASAN
1. Aktivitas siswa
Berdasarkan analisis deskiriptif
sabagaimana disajikan pada tabel 2, terlihat
bahwa rata-rata aktivitas siswa dari masing-
masing pertemuan cenderung mengalami
peningkatan. Pada pertemuan pertama aktivitas
sisawa sebesar 3,3, yang termaksud dalam
kategori baik. Selanjutnya pada pertemuan
kedua, rata-rata aktivitas siswa sebesar 3,4, yang
masih berada pada kategori baik, sedangkan pada
pertemuan ketiga, rata-rata aktivitas siswa
sebesar 4,0, atau termaksud dalam kategori baik
sekali.
Peningkatan aktivitas siswa tersebut,
menunjukkan adanyaminat dan motivasi siswa
dalam mengikuti pembelajaran dengan
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
TAI.
2. Hasil belajar siswa
Hasil belajar adalah perubahan tingka
laku, bukti keberhasilan usaha siswa, perubahan-
perubahan bidang pengtahuan, keterampilan, nilai,
sikap, hasil interaksi secara aktif dan positif
dengan lingkungannya, hasil yang dicapai siswa
dalam penguasaan keseluruhan cakupan materi
yang dipelajari siswa tersebut harus dilakukan tes.
Pembelajaran kooperatif TAI merupakan
model pembelajaran dimana siswa ditempatkan
dalam kelompok-kelompok kecil yaitu 4 sampai 5
orang siswa, yang heterogen dan selanjutnya
diikuti dengan pemberian bantuan secara individu
6
bagi siswa yang memerlukannya. Sedangkan,
pembelajaran konvensional merupakan model
pembelajaran yang biasa digunakan oleh guru
dalam mengajar siswa di kelas. Dimana, system
penyampaiannya lebih banyak didominasi oleh
guru yang daya mengajarnya cenderung bersifat
searah dan instruktif, sementara siswa duduk
menerima secara pasif informasi pengetahuan dan
keterampilan dari guru.
Melihat pengertian spesifik dari model
pembelajaran kooperatif tipe TAI dan model
pembelajaran konvesional sebagaimana
dikemukakan di atas maka muncul asumsi bahwa
model pembelajaran kooperatif tipe TAI akan
lebih efektif dalam menungkatkan hasil belajar
siswa jika dibandingkan dengan model
pembelajaran konvensional.
Hasil belajar merupakan ukuran
keberhasilan seseorang dalam memahami materi
yang diberikan. Ukuran keberhasilan itu dapat
diketahui dari evaluasi yang berbentuk skor atau
nilai dan unjuk kerja seseorang dalam memahami
konsep dan sebagaimana menggunakan konsep itu
dalam bidang ilmu itu sendiri maupun terhadap
bidang ilmu lainnya.
Secara rata-rata hasil belajar siswa yang
diajar dengan menggunakan metode pembelajaran
kooperatif tipe TAI lebih tinggi jika dibandingkan
dengan hasil siswa yang diajar dengan moden
komvensional. Ini menunjukkan bahwa proses
belajar yang dilakukan sangat berhasil atau model
pembelajaran kooperatif tipe TAI dalam proses
belajar-mengajar sangat efektif.
Adanya perbedaan hasil belajar IPA-
Fisika siswa sebagaimana yang diuraikan di atas
diduga sebagai akibat adanya perlakukan yang
berbeda dalam proses pembelajaran yaitu pada
kelas eksperimen diterapkan model pembelajaran
kooperatif tipe TAI dan pada kelas control
diterapkan pembelajaran konvensional. Dengan
menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe
TAI maka proses pembelajaran jauh lebih aktif
jika dibandingkan dengan siswa yang diajar
dengan model pembelajaran konvensional. Hal ini
terjadi karena model pembelajaran kooperatif tipe
TAI dalam pelaksanaannya siswa dibagi dalam
beberapa kelompok yang terdiri dari 4 sampai 5
orang sehingga dengan demikian terjadi suatu
diskusi kelompok dalam penyelasian tugas-tugas
yang diberikan.
Secara spesifik, kelebihan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI jika
dibandingkan dengan model pembelajaran
konvensional yaitu dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TAI maka; 1) siswa yang lemah
dapat terbantu dalam penyelesaian masalahnya; 2)
siswa yang pandai dapat mengembangkan
kemampuan dan keterampilannya; 3) adanya
tanggung jawab dalam kelompok dalam
menyelesaikan permasalahannya; dan 4) siswa
diajarkan bagaimana bekerja dalam suatu
kelompok.
Sedangkan kelemahan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI adalah sebagai
berikut: 1) tidak ada persaingan antar kelompok;
dan 2) siswa yang lemah dimungkinkan
menggantungkan pada siswa yang pandai.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran
cenderung mengelami peningkatan, dimana
rata-rata aktivitas siswa pada pertemuan Pada
pertemuan pertama aktivitas siswa sebesar 3,3,
yang termaksud dalam kategori baik.
Selanjutnya pada pertemuan kedua, rata-rata
aktivitas siswa sebesar 3,4, yang masih berada
pada kategori baik, sedangkan pada pertemuan
ketiga, rata-rata aktivitas siswa sebesar 4,0,
dalam kategori baik sekali.
2. Pre-test hasil belajar siswa kelas eksperimen
sebesar 45,97%, sedangkan kelas kontrol
sebesar 46,16 dengan asumsi bahwa relatif
sama antara eksperimen dan kontrol sebelum
proses belajar-mengejar berlangsung.
Selanjutnya setelah proses pembaelajaran
berlangsung diadakan pros-test dengan
menunjukkan hasil belajar rata-rata sebesar
71,29 untuk kelas eksperimen dan 64,55 untuk
kelas control. Hal ini menunjukkan bahwa
model pembelajaran cooperative tipe TAI lebih
efektif meningkatkan hasil belajar
dibandingkan dengan model pembelajaran
konvensional pada kelas kontrol.
7
B. Saran
Sehubungan dengan hasil penelitian yang
diperoleh, maka penulis menyampaikan saran
kepada guru-guru IPA-Fisika di SMP Negeri 2
Parigi agar dapat menerapkan model pembelajaran
kooperatif tope TAI pada pembelajaran IPA-Fisika
sebagai upaya meningkatkan hasil belajar IPA-
Fisika siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto. 2005. Prosedur Penelitian. Yogyakarta :
Rineka Cipta.
Arikunto. 2001. Prosedur Penelitian. Jakarta :
Rineka Cipta.
Dahar, R.W. 1989. Teori-teori Belajar. Jakarta.
Erlangga.
Johnson, E. 2002. Contextual Teaching &
Learning. Bandung. MIc.
Sudjana. 1996. Penelitian Hasil Belajar. Remaja
Rosda Karya.
Syaiful, S. 2006. Konsep dan Makna
Pembelajaran. Bandung. Tarsito.
Tersedia:http://tik-sdntilote.blogspot.com/macam-
macam-metode-pembelajaran.html
diakses tanggal 7 juli 2010.
Usaman dan Setiawati. 2001. Upaya Optimalisasi
Kegiatan Belajar Mengajar. Bandung :
Remaja Rosda Karya.
Winkel, W.S. 1984. Psikologi Pendidikan dan
Evaluasi. Jakarta. Bina Aksara.
8
DESKRIPSI KEMAMPUAN GURU FISIKA MELALUI SERTIFIKASI JALUR PLPG
TAHUN 2008 SUB RAYON 26 SULAWESI TENGGARA1
Erniwati2
Abstrak. Penelitian in bertujuan untuk mengetahui gambaran kemampuan guru fisika yang melalui
Sertifikasi Jalur PLPG Tahun 2008 Sub Rayon 26 Sulawesi Tenggara. Subyek dalam penelitian ini
adalah seluruh peserta yang melalui Sertifikasi Jalur PLPG Tahun 2008 sebanyak 54 orang. Jenis
penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi
yaitu dokumen skor aspek pendalaman materi, skor aspek model-model pembelajaran, skor aspek
penelitian tindakan kelas, skor aspek peer teaching dan skor aspek penskoran teman sejawat. Dari
hasil analisis deskriptif diperoleh bahwa kemampuan guru fisika pada aspek profesionalisme guru
pada tingkat SMP dan SMA berada pada kategori sedang dengan rata-rata 61,41. Untuk skor aspek
pendalaman materi kemampuan guru fisika tingkat SMP dan SMA berada pada kategori tinggi
dengan rata-rata skor 77,22. Untuk skor aspek model-model pembelajaran kemampuan guru fisika
pada tingkat SMP dan SMA berada pada kategori tinggi dengan rata- rata skor 79,38. Untuk skor
aspek penelitian tindakan kelas kemampuan guru fisika pada tingkat SMP dan SMA berada pada
kategori tinggi sekali dengan skor rata-rata 95,15. Untuk skor aspek peer teaching secara keseluruhan
kemampuan guru fisika pada tingkat SMP dan SMA berada pada kategori tinggi sekali dengan rata-
rata skor 88,38. Kemampuan guru fisika secara keseluruhan pada tingkat SMP dan SMA untuk
penskoran teman sejawat berada pada kategori sedang dengan skor rata-rata 58,06. Untuk skor akhir
kelulusan rata-rata keseluruhan pada tingkat SMP dan SMA kemampuan guru fisika cenderung tinggi
dengan skor rata-rata 74,15sedangkan prosentase skor akhir kelulusan untuk guru fisika tingkat SMP
sebesar 82,36 % dan guru fisika tingkat SMA sebesar 84,08%.
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen tetap Pend. Fisika FKIP Unhalu
A. PENDAHULUAN
Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Undang-Undang Nomor 14 tahun
2005 tentang Guru dan Dosen,maka pemerintah
dalam hal ini Depdiknas mewajibkan kepada
semua guru, mulai dari guru TK, SD, SLTP/MTs,
dan SMU/MA/SMK untuk disertifikasi secara
bertahap sesuai dengan ketersediaan anggaran
yang disediakan pemerintah. Tindak lanjut dari
undang-undang tersebut di atas adalah Peraturan
Mendiknas Nomor 16 Tahun 2005 tentang Standar
Kualifikasi dan Kompetensi Pendidik serta
Pedoman Sertifikasi bagi guru dalam jabatan
untuk Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan,
Dinas Pendidikan Propinsi, Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota. Dimana FKIP Unhalu Sub
Rayon 26 dengan jumlah instruktur 53 orang
ditunjuk sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan
Sertifikasi Guru mulai dari guru TK, SD,
SLTP/MTs dan SMU/MA/SMK yang berada di
Propinsi Sulawesi Tenggara.
Sertifikasi guru adalah proses pemberian
sertifikat pendidik kepada guru yang telah
memenuhi persyaratan. Sertifikasi guru bertujuan
untuk (1) menentukan kelayakan guru dalam
melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional,
(2) meningkatkan proses dan hasil pembelajaran,
(3) meningkatkan kesejahteraan guru, (4)
meningkatkan martabat guru; dalam rangka
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Sertifikasi guru diikuti dengan
peningkatan kesejahteraan guru. Bentuk
peningkatan kesejahteraan tersebut berupa
pemberian tunjangan profesi bagi guru yang
memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi
persyaratan lain sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Tunjangan tersebut berlaku, baik bagi
guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS)
maupun bagi guru yang berstatus bukan pegawai
negeri sipil (swasta).
Mengacu pada Permendiknas Nomor 18
tahun 2007, proses pelaksanaan sertifikasi guru
dalam jabatan diproses melalui beberapa tahap
yakni, guru peserta sertifikasi dengan persyaratan
9
membuat berkas portofolio untuk diseleksi sebagai
peserta sertifikasi dan apabila berkas portofolio
peserta tersebut dinyatakan lulus maka peserta
diberikan sertifikat pendidikan sebagai tanda
kelulusan.
Bila peserta sertifikasi tidak lulus maka
peserta diwajibkan untuk mengulang sertifikasi
yakni berupa Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru. Materi PLPG mencangkup empat
kompetensi guru, yaitu: (1) pedagogik, (2)
profesional, (3) kepribadian, dan (4) sosial. Lama
pelaksanaan PLPG diatur oleh LPTK
penyelenggaraan dengan memperhatikan skor
hasil penilaian portofolio. Apabila peserta lulus
ujian PLPG, maka peserta akan memperoleh
Sertifikasi Pendidik. Bila tidak lulus, peserta
diberi kesempatan ujian ulang dua kali, dengan
tenggang waktu sekurang-kurangnya dua minggu.
Apabila belum lulus juga, maka peserta diserahkan
kembali ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Untuk menjamin standarisasi prosedur mutu
lulusan maka rambu-rambu mekanisme, materi,
dan sistem ujian PLPG dikembangkan oleh
Konsorium Sertifikasi Guru (KSG). PLPG
dilaksanakan sesuai dengan rambu-rambu yang
ditetapkan oleh KSG (Ditjen Dikti, 2007 :4-5).
Berdasarkan uraian di atas perlu
dilakukan penelitian yang bertujuaan untuk
memperoleh gambaran mengenai Kemampuan
Guru Fisika Melalui Sertifikasi Jalur PLPG Tahun
2008 Sub Rayon 26 FKIP UNHALU”.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada
semua guru fisika SMP/MTs dan
SMA/MA/SMK yang disertifikasi melalui jalur
PLPG tahun 2008 dengan jumlah peserta
sebanyak 54 orang. Data penelitian diperoleh
dari dokumentasi skor yang diperoleh guru
setelah mengikuti PLPG yang meliputi aspek
profesionalisme guru,aspek pendalaman materi,
aspek model-model pemebelajaran,aspek
Penelitian Tindakan Kelas( PTK),aspek peer
teaching,dan aspek penilaian teman sejawat.
Teknik analisis data yang digunakan
adalah analisis deskriptif,yaitu meliputi skor
maksimum, skor minimum, rata-rata skor,
frekuensi kelulusan, dan persentase (%)
kelulusan dengan rumus sebagai berikut:
100%x PesertaJumlah
Frekwesi DistribusiJumlah %
(Sudjana, 1996).
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.Deskripsi Hasil Penelitian
a. Hasil analisis secara deskriptif sor rata-rata
perolehan skor guru fisika pada pelaksanaan
PLPG tahun 2008 tingkat SMP dan SMA
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Gambaran Skor Rata-Rata Kemampuan Guru Fisika pada Pelaksanaan PLPG Tahun 2008
Tingkat SMP dan SMA
SMP SMA KATEGORI
TEORI PRAK-
TEK
PARTI-
SIPASI TEORI
PRAK-
TEK
PARTI-
SIPASI
RATA-
RATA
ASPEK
PROFESION
ALISME
GURU
64,37 - - 58,44 - - 61,41 SEDANG
ASPEK
PENDALA
MAN
MATERI
86,78 73,41 78,63 59,05 81,14 84,33 77,22 TINGGI
ASPEK
MODEL-
MODEL
PEMBE-
LAJARAN
86,78 74,31 78,62 78,10 78,00 80,48 79,38 TINGGI
10
ASPEK
PENELITIAN
TINDAKAN
KELAS
69,23 86,22 90,71 56,96 88,51 84,22 95,15 TINGGI
SEKALI
ASPEK PEER
TEACHING - 88,91 86,75 - 88,79 88,91 88,38
TINGGI
SEKALI
RATA-RATA 76,79 80,71 83,68 63,14 84,11 84,49 80,31
KATEGORI TINGGI TINGGI TINGGI SEDANG TINGGI TINGGI
SKOR
TEMAN
SEJAWAT
56,39
59,73 58,60 SEDANG
SKOR
AKHIR
KELULUSAN
71,59
76,71 74,15 TINGGI
b. Hasil analisis gambaran persentase kemampuan guru fisika pada pelaksanaan PLPG tahun 2008
dapat kita lihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Tabel Persentase kemampuan guru fisika pada Pelaksanaan PLPG Tahun 2008 Tingkat SMP
dan SMA
SMP SMA
TEORI PRAK
TEK
PARTISI
PASI
PERSEN
TASE
(%)
TEORI PRAK
TEK
PARTISI
PASI
PERSEN
TASE
(%)
ASPEK PROFE-
SIONALISME
GURU
20,96 - - 20,96 23,13 - - 23,13
ASPEK PENDA-
LAMAN MATERI 28,25 22,73 23,59 33,10 23,38 24,14 34,95 27,49
ASPEK MODEL-
MODEL PEMBE-
LAJARAN
28,25 23,02 23,49 27,93 30,92 21,28 23,81 25,33
ASPEK
PENELITIAN
TINDAKAN KELAS
22,54 26,71 22,11 23,78 22,55 26,30 24,92 24,59
ASPEK PEER
TEACHING - 27,36 22,91 25,13 - 28,28 26,30 37,33
JUMLAH 100 100 100 98,96 100 100 100 99,97
SKOR TEMAN
SEJAWAT 56,39 59,73
SKOR AKHIR
KELULUSAN 82,36 84,08
Selanjutnya persentase kemampuan guru fisika pada pelaksanaan PLPG tahun 2008 guru
fisika tingkat SMP dan SMA di sajikan dalam bentuk diagram di bawah ini
11
Gambar 1. Diagram Poligon Persentase Kemampuan Guru Fisika pada Pelaksanaan PLPG
Tagun 2008 tingkat SMP dan SMA
2. Pembahasan
Berdasarkan analisis data pada tabel 1
diperoleh kemampuan guru fisika pada
pelaksanaan PLPG yang meliputi aspek
profesionalisme guru ,aspek pendalaman
materi,aspek Model-model pembelajaran ,aspek
PTK, dan aspek penilaian teman sejawat secara
keseluruhan aspek termasuk kategori tinggi
dengan nilai rata-rata 74,15.Sedangkan pada tabel
2 skor akhir kelulusan guru fisika untuk tingkat
SMP sebesar 82,36 % dan tingkat SMA sebesar
84,08 %.Untuk setiap aspek dapat dibahas sebagai
berikut:
a. Aspek Profesionalisme Guru
Kemampuan guru fisika baik tingkat
SMP maupun Tingkat SMA pada aspek ini masih
berada pada kategori sedang. Hal ini dapat
disebabkan kurangnya pemahaman guru mengenai
materi pengembangan profesionalisme guru
berupa pembinaan guru sebagai profesional,
utamanya pembekalan kompetensi sosial dan
kepribadian karena waktu pelaksanaan kegiatan ini
cukup singkat dan penilaiannya hanya melalui
ujian tertulis sehingga berdampak pada hasil yang
diperoleh.
b. Aspek Pendalaman Materi
Kemampuan guru fisika tingkat SMP
pada aspek ini berada pada kategori tinggi baik
secara teori maupun prateknya. Sedangkan guru
tingkat SMA khususnya pada teori masih berada
pada kategori sedang .Ini menunjukan bahwa pada
aspek pendalaman materi mata pelajaran sebagian
guru sudah menguasai materi pelajaran namun
masih ada sebagian guru belum memiliki
kemampuan sesuai dengan bidangnya karena guru
hanya dapat menguasai materi yang diajarkan pada
kelas-kelas tertentu padahal seoarang guru yang
profesional harus menguasai secara keseluruhan
bidang kajian tersebut.
c. Aspek Model-Model Pembelajaran
Kemampuan guru pada aspek model-
model pembelajaran untuk tingkat SMP dan SMA
berada pada kategori tinggi. Namun kalau dilihat
dari kemampuan teori model-model pemebelajaran
nampak bahwa baik guru SMP maupun guru SMA
masih berada pada kategori sedang,ini
menunjukkan bahwa aspek ini belum dipahami
betul oleh guru yang kenyataanya dilapangan
mereka itu masih cenderung mengajar
menggunakan model konvensional karena
ketidaktahuannya atau kurang mengembangkan
diri dengan inovasi pembelajaran yang aktif,
inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan
12
(PAIKEM), asesmen, dan pemanfaatan media
pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik
perkembangan peserta didik yang mengacu pada
rencana pelaksanaan pembelajaran untuk
meningkatkan pengetahun, teknologi dan seni
termasuk keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia.
d. Aspek Penelitian Tindakan Kelas
Kemampuan guru pada aspek penelitian
tindakan kelas pada pelaksanaan PLPG tahun 2008
untuk tingkat SMP dan SMA berada pada kategori
tinggi sekali namun jika dilihat skor teori yang
diperoleh guru ternyata hanya kategori sedang, hal
ini menunjukkan bahwa kemampuan guru
mengenai penelitian tindakan kelas belum
maksimal .terlihat dari penilaian fortopoilio
sebagian besar guru tidak memiliki karya tulis
ilmiah kalaupun ada masih belum memenuhi
kriteria PTK.
e. Aspek Peer Teaching
Pada aspek ini kemampuan guru fisika
termasuk pada kategori tinggi sekali Pada
dasarnya guru fisika pada aspek ini sudah
menguasai pelaksaan pembelajaran karena ini
merupakan kegiatan yang selalu dilaksanakan di
kelas.Kecenderungan selama mereka per teaching
adalah pada saat latihan mereka masih memiliki
kekurangan mulai dari kesesuaian RPP dengan
pelaksanaannya model yang direncanakan dan
penguasaan materi, namun mereka dapat
mengatasi dengan adanya bimbingan dari setiap
instruktur.
f. Aspek Penilaian Teman Sejawat
Untuk penilaian teman sejawat guru
fisika tingkat SMP dan SMA berada pada kategori
sedang . Hal ini disebabkan penilaian ini belum
dipahami betul cara penilaian tersebut sehingga
terkadang guru hanya memberikan penilaian
seadanya karena penialian tersebut tidak disertai
rubrik yang jelas.
Kemampuan guru fisika secara
keseluruhan baik tingkat SMP dan SMA berada
pada kategori tinggi yakni 74,15. Begitu pula
halnya persentase skor pelaksanaan PLPG tahun
2008 guru fisika tingkat SMP pada aspek
profesionalisme guru; aspek pendalam materi;
aspek model-model pembelajaran; aspek peer
teaching dengan rata-rata persentase sebesar
98,96% serta skor akhir kelulusan dengan
persentase 82,36% Sementara itu untuk tingkat
SMA aspek profesionalisme guru ; aspek
pendalam materi; aspek model-model
pembelajaran; aspek penelitian tindakan kelas;
aspek peer teaching dengan persentase 99,97%
dengan rata-rata persentase skor akhir kelulusan
84,08%.
Adanya perbedaan pada aspek-aspek
tersebut di atas kemungkinan disebabkan oleh
buruknya manajemen terhadap penanganan peserta
PLPG, beratnya beban belajar peserta PLPG yang
waktu pelaksanaannya lebih singkat yaitu 9 hari
dengan bobot materi 90 jam terbagi atas 30 jam
materi teori dan 60 jam praktek. Selain itu tidak
dibarengi pula dengan sarana dan prasarana yang
mendukung berupa kelengkapan referensi dan
buku-buku penunjang untuk materi-materi PLPG,
alat-alat peraga dan sarana-sarana pendukung
lainnyaIni berarti pada setiap aspek kegiatan
pelaksanaan PLPG tahun 2008 telah dikuasai
baik.. Ini menunjukan bahwa pada materi teori
untuk setaip aspek rata-rata berada kemapuan
sedang juga materi teori pada setiap aspek ini
berupa pembinaan guru sebagai guru profesional
utamanya kompetensi sosial dan kepribadian
belum dikuasai.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
kemampuan guru fisika baik Tingkat SMP maupun
Tingkat SMA melalui sertifikasi jalur PLPG
tahun 2008 Sub Rayon 26 cenderung tinggi.
Namun demikian ada beberapa hal yang masih
perlu perhatian bagi pihak penyelenggara adalah
kelayakan sarana tempat pelaksanaan yang
kondusif sehingga membuat peserta lebih siap dan
nyaman dalam mengikuti PLPG ini..Begitu pula
bagi peserta PLPG diharapkan akan lebih
mempersiapkan dan lebih meningkatkan diri
dalam mengikuti kegiatan PLPG ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ardan, 2010. Pelaksanaan Sertifikasi Guru.
Rayon 11 UNY, P3 A1-UNY.
mailto:[email protected].
Donlowd Kamis, 15 Juli 2010.
Bambang, 2009. Pendidikan dan Latihan Profesi
Guru Http://Sertifikasiguru.Blog.
13
Net/Post/1207076030/Permendiknas+N
omor+10+Tahun+2009+Tentang+Sertifi
kasi+Bagi+Guru+Dalam+Jabatan.Blogs
pot.Ditjen_Dikti.Plpg).. Konsersium
Sertifikasi Guru Departemen Pendidikan
Nasional. Donlowd. Senin 21 Oktober
2009.
Burhanudin, 2010. Program Sertifikasi Guru di
Pelosok Negeri. Http://Www.Maito:
[email protected]. Donlowd.
Kamis, 11 Februari 2010.
Darmayanti dan Mudjiono, 1994. Belajar dan
Pembelajaran. Proyek Pembinaan dan
Peningkatan Mutu Tenaga
Kependidikan Dirjen Dikti. Depdikbud.
Jakarta.
Ditjen Dikti Depdiknas, 2007. Pedoman
Sertifikasi Guru dalam Jabatan. Ditjen
Dikti Depdiknas, Jakarta.
Ditjen Dikti Kemendiknas, 2010. Sertifikasi Guru
Dalam Jabatan, Buku 4 Pedoman
Rambu-Rambu Pelaksanaan
Pendidikan dan Pelatihan Profesi
Guru. Jakarta.
Depdiknas, 2007. Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 18 tahun 2003
Tentang Sertifikasi Guru dalam
Jabatan. Jakarta.
Depdiknas, 2009. Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru. Ditjen Dikti. Jakarta.
Fadil, Hasan. 2009. Pengertian Tujuan, Manfaa,
dan Dasar Hukum Pelaksanaan
Sertifikasi Guru. Http://Laboranxp.
Blogspot.Com/2009/06/Tanya-Jawab.
Html). Dowlowd. Kamis Februari 2010.
Harahap, 2010. Sertifikasi Guru Tidak Akurat.
Http://www. Pdf.Co.Id/Web/Detail.
Php?Sid=182308&Actmenu=39.
Donlowd. Kamis, 11 Februari 2010.
Hidayat, 2008. Sertifikasi Guru dan Pelaksanaan
PLPG. Http://www.sertifikasi
guru.uny.ac.id. Donlowd. Kamis, 11
Februari 2010.
Husnan, 2009. Pengembangan Sumber Daya
Manusia dan Penilaian Kebutuhan
Pendidikan dan Pelatihan.
Http://www.bkn.go.id/penelitian/buku.
%20penelitian%202002/Buku%20Dikla
t%20perbaiakan4%20 BAB20II.htm.
Donlowd, Rabu 17 Juni 2009.
Pangerang, 2010. Bentuk Konsorsium Sertifikasi.
Http://www. Pdf.Co.Id/Web/Detail.
Php?Sid=182308&Actmenu=39).
Donlowd. Kamis, 11 Februari 2010.
Panitia Sertfikasi PLPG, 2008. Data Nilai
Pelaksanaan Peserta PLPG Tahun
2008. Rayon 26 Universitas Haluoleo.
Kendari. Santosa, singgih, 2003.
Statistika Deskriptif. Andi Yogyakarta.
Yogyakarta.
Sirodjuddin, 2010. Sertifikasi Guru Melalui
Komponen Portofolio.
Http://www.ardansirodjuddin.
wordpress.com.. Donlowd. Kamis, 11
Februari 2010.
Sudjana, 1996. Metode Statistika. Tarsito.
Bandung.
Supriadi, Dedi., 2003. Makna dan Implikasi
Undang-Undang Sisdiknas. Buliten
Pada Volume 2 Nomor 2, 2003.
Zainudin, 2008. Peserta Diklat Sertifikasi Guru
2008. Http://kendariekspres.
com/index.php?option=com_content&ta
sk=view&id=5076&itemid=28900).
Donlowd. Senin 21 Oktober 2009.
14
KETUNTASAN HASIL BELAJAR SISWA MELALUI PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN KOPERATIF STAD DENGAN EXAMPLES NON EXAMPLES MATERI
SISTEM GERAK PADA MANUSIA SISWA KELAS VIIIA
SMP NEGERI 8 KENDARI1
Oleh : M. Sirih2
Abstrak. Masalah dalam penelitian ini adalah apakah dengan menerapkan model pembelajaran
koperatif STAD dengan Examples non Examples dapat menuntaskan hasil belajar siswa pada materi
sistem gerak pada manusia siswa kelas VIIIa SMP Negeri 8 Kendari. Penelitian ini dilaksanakan pada
semester ganjil tahun pelajaran 2010/2011, di SMP Negeri 8 Kendari berjumlah 25 orang siswa yang
terdiri atas 12 orang siswa laki-laki dan 13 orang siswa perempuan. Jenis penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam 1 siklus, meliputi tahap perencanaan, tindakan,
observasi, dan refleksi. Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa dan guru. Data yang diperoleh
dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian diperoleh
rerata hasil belajar siswa yaitu 78,6 dengan persentase ketuntasan belajar klasikal yaitu 84 % atau
berjumlah 21 orang siswa tuntas sedangkan yang tidak tuntas mencapai 16 % atau berjumlah 4 orang.
Dengan demikian maka Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan sekolah yaitu 75 %
siswa memperoleh nilai ≥ 69 dapat tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menerapan model
pembelajaran koperatif STAD dengan examples non examples dapat menuntaskan hasil belajar siswa
kelas VIIIA di SMP Negeri 8 Kendari pada materi sistem gerak pada manusia.
Kata Kunci : Koperatif STAD, Examples non Examples, Hasil Belajar dan
Sistem Gerak Manusia.
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen tetap Pend. Biologi FKIP Unhalu
A. Pendahuluan
Kegiatan pembelajaran dirancang untuk
memberikan pengalaman belajar yang melibatkan
proses mental dan fisik melalui interaksi antar
siswa dengan siswa, siswa dengan guru,
lingkungan dan sumber belajar lainnya dalam
rangka pencapaian kompetensi dasar yang telah
ditentukan. Setiap siswa memiliki karakteristik
yang berbeda baik dari segi minat, potensi,
kecerdasan dan usaha siswa itu sendiri. Oleh
karena itu, guru sebagai tenaga pendidik dituntut
untuk mampu menciptakan suasana Pembelajaran
Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif dan
Menyenangkan (PAIKEM) bagi siswa. Selain
menguasai materi seorang guru dituntut memiliki
kemampuan dan keterampilan untuk menetapkan
dan menerapkan berbagai model pembelajaran
atau strategi pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik materi pokok serta menguasai
strategi-strategi penyampaian materi tersebut.
Guru tidak hanya mentransfer pengetahuan kepada
siswa tetapi juga harus memberikan kesempatan
kepada siswa untuk ikut aktif dalam
mengembangkan kemampuan yang ada pada
dirinya dan membiasakan dalam memperkaya
pengetahuannya sendiri.
Hasil observasi awal yang ada di SMP
Negeri 8 Kendari menunjukkan bahwa hasil
belajar IPA-Biologi khususnya siswa di kelas
VIIIA pada materi sistem gerak manusia tahun
ajaran 2008/2009 dan 2009/2010 masih tergolong
rendah bila dibandingkan dengan nilai Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan
sekolah. Hal ini ditunjukkan dengan nilai hasil
ulangan harian siswa selama dua tahun berturut-
turut, yaitu pada tahun 2008 dari 28 siswa
dipersentasekan hanya 64,2 % yang mendapatkan
nilai ≥ 69. Tahun 2009 dari 27 siswa yang
memperoleh nilai ≥ 69 hanya mencapai
ketuntasan belajar 66,6% siswa. Sedangkan nilai
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang
ditetapkan yaitu 75% siswa memperoleh nilai ≥
69.
Hasil identifikasi masalah rendahnya hasil
belajar siswa kelas VIIIA di sekolah tersebut
terungkap strategi pembelajaran yang diterapkan
15
kerap kali belum sesuai dengan karakteristik
materi pelajaran yang disampaikan. Menurut
Nasution (1982: 23) bahwa dalam kegiatan
pembelajaran model dan gaya mengajar guru
mempengaruhi hasil belajar. Model yang cocok
dalam proses pembelajaran di kelas harus mampu
membangkitkan minat siswa dalam belajar. Dalam
mengatasi masalah tersebut di atas, perlu
diupayakan suatu model pembelajaran yang
memungkinkan siswa terlibat secara aktif,
sehingga motivasi dan aktivitas siswa akan
meningkat. Salah satu alternatif yang dapat
digunakan, yaitu dengan menerapkan model
pembelajaran koperatif STAD dengan examples
non examples.
Model pembelajaran ini adalah model
pembelajaran yang menggunakan contoh-contoh
melalui kasus atau gambar yang relevan dengan
kompetensi dasar. Melalui model pembelajaran
ini, siswa diharapkan untuk dapat memilih dan
menyesuaikan contoh-contoh yang ada melalui
gambar dengan pernyataan yang tepat untuk
gambar tersebut. Model pembelajaran ini
memiliki kelebihan yaitu siswa lebih kritis dalam
menganalisa gambar, siswa dapat mengetahui
aplikasi dari materi berupa contoh gambar dan
siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya. Dengan kelebihan model
pembelajaran koperatif STAD dengan examples
non examples, maka dapat diyakini bahwa materi
sistem gerak pada manusia dapat menuntaskan
hasil belajar siswa pada materi sistem gerak
manusia siswa Kelas VIIIA SMP Negeri 8
Kendari”.
B. Kajian Teori
Pendekatan konstruktivis dalam
pengajaran dengan menerapkan pembelajaran
kooperatif secara ekstensif, didasari oleh teori
bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan
memahami konsep-konsep yang sulit apabila
mereka dapat saling mendiskusikan konsep-konsep
itu dengan temannya (Nur, 2000).
Pembelajaran kooperatif turut menambah
unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran
IPA. Di dalam pembelajaran kooperatif siswa
belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil
saling membantu satu sama lain. Kelas disusun
dalam kelompok yang terdiri dari 4 atau 5 siswa,
dengan kemampuan yang heterogen. Maksud
kelompok heterogen adalah terdiri dari campuran
kemampuan siswa, jenis kelamin dan suku. Hal
ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima
perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman
yang berbeda latar belakangnya. Pada
pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilan-
keterampilan khusus agar dapat bekerjasama di
dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar
yang baik, memberikan penjelasan kepada teman
sekelompok dengan baik, siswa diberi lembar
kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang
direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja
kelompok, tugas anggota kelompok adalah
mencapai ketuntasan (Nur, 2000).
Tabel 1. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
FASE KEGIATAN GURU
Fase 1
Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
belajar.
Fase 2
Menyajikan informasi
Guru menyajikan informasi kepada siswa baik dengan
peragaan (demonstrasi) atau teks.
Fase 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar
Guru menjelaskan siswa bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar
melakukan perubahan yang efisien.
Fase 4
Membantu kerja kelompok dalam
belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat
mereka mengerjakan tugas.
16
Fase 5
Mengetes materi
Guru mengetes materi pelajaran atau kelompok menyajikan
hasi-hasil pekerjaan mereka.
Fase 6
Memberikan penghargaan
Guru memberikan cara-cara untuk menghargai baik upaya
maupun hasil belajar individu dan kelompok.
Pembelajaran STAD dengan examples
non examples adalah salah satu contoh model
pembelajaran koperatif yang menggunakan
contoh-contoh yang dapat berupa gambar atau
pernyataan. Manfaat contoh-contoh ini adalah
untuk membantu guru dalam proses mengajar
mendekati situasi dengan keadaan yang
sesungguhya sehingga diharapkan proses belajar
mengajar lebih komunikatif dan menarik bagi
siswa dan lebih melatih diri siswa dalam
mengembangkan pola pikirnya sesuai yang
tercakup dalam teori konstruktivisme.
Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa
siswa harus menemukan sendiri dan
mentrasformasikan informasi kompleks, mengecek
informasi baru dengan aturan-aturan lama dan
merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi
sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami
dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus
bekerja memecahkan masalah, menemukan segala
sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah
payah dengan ide-ide (Slavin dalam Nur dan
Wikandari, 2002: 8).
Menurut teori konstruktivis, satu prinsip
yang paling penting dalam psikologi pendidikan
adalah bahwa guru tidak hanya sekedar
memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa
harus membangun sendiri pengetahuan di dalam
benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan
untuk proses ini, dengan memberi kesempatan
kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan
ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa
menjadi sadar dan secara sadar menggunakan
strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat
memberi siswa anak tangga yang membawa siswa
kepemahaman yang lebih tinggi dengan catatan
siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga
tersebut (Nur dan Wikandari, 2002: 8).
Examples non examples merupakan
strategi pembelajaran dengan mempersiapkan
gambar, diagram, atau tabel sesuai materi bahan
ajar dan kompetensi, sajikan gambar ditempel atau
memakai OHP, dengan petunjuk guru siswa
mencermati sajian, diskusi kelompok tentang
sajian gambar tadi, presentasi hasil kelompok,
bimbingan penyimpulan, evaluasi, dan refleksi
(Suyatno, 2009: 73).
Selanjutnya Slavin dalam (Chotimah,
2007:1) dijelaskan bahwa examples non examples
adalah strategi pembelajaran yang menggunakan
contoh-contoh. Contoh-contoh dapat diperoleh
dari kasus atau gambar yang relevan dengan
Kompetensi Dasar. Langkah-langkah dalam proses
pembelajaran examples non examples adalah:
1. Guru menyiapkan gambar-gambar sesuai
dengan tujuan pembelajaran.
2. Guru menempelkan gambar di papan tulis
atau ditayangkan melalui LCD atau OHP.
3. Guru memberi petunjuk dan memberi
kesempatan pada peserta didik untuk
memperhatikan/menganalisa gambar.
4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang peserta
didik, hasil diskusi dari hasil analisa tersebut
dicatat pada kertas.
5. Tiap kelompok diberi kesempatan untuk
membacakan hasil diskusinya.
6. Mulai dari komentar atau hasil diskusi
peserta didik, guru mulai menjelaskan materi
sesuai tujuan yang ingin dicapai.
7. Guru dan peserta didik
menyimpulkan materi sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Modifikasi model pembelajaran STAD
dengan examples non examples adalah sebagai
berikut:
1). Guru menulis topik pembelajaran, 2) Guru
menulis tujuan pembelajaran, 3). Guru membagi
peserta didik dalam kelompok (masing-masing
kelompok beranggotakan 5 orang), 4). Guru
menunjukkan macam-macam gambar melalui LCD
atau OHP, 5). Guru meminta kepada masing-
masing kelompok untuk membuat rangkuman
tentang macam-macam gambar yang ditunjukkan
oleh guru melalui LCD atau OHP, 6). Guru
meminta salah satu kelompok mempresentasikan
hasil rangkumannya, sementara kelompok yang
lain sebagai penyangga dan penanya, 7). Peserta
17
didik melakukan diskusi, 8). Guru memberikan
penguatan pada hasil diskusi.
Hasil Belajar adalah suatu proses yang
dilakukan oleh seseorang guru untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara
keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya. Dalam
usaha mencapai tujuan belajar tersebut, maka
perlu diciptakan adanya sistem lingkungan belajar
yang kondusif (Slameto, 1997: 2).
Dimyati dan Mujiono (2002: 3) mengemukakan
bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu
interaksi tindakan belajar dan tindakan mengajar.
Dari sisi guru, tindakan mengajar diakhiri dengan
proses evaluasi akhir. Dari sisi siswa, hasil belajar
merupakan berakhirnya proses belajar-mengajar.
Selanjutnya menurut Purwanto (1990: 33), yang
dimaksud dengan tes hasil belajar atau
achievement test adalah tes yang digunakan untuk
menilai hasil-hasil pelajaran yang telah diberikan
oleh guru kepada murid-muridnya, atau oleh dosen
kepada mahasiswa, dalam jangka waktu tertentu.
Oleh sebab itu, penilaian hasil dan proses belajar
saling berkaitan satu sama lain sebab hasil
merupakan akibat dari proses (Sudjana, 2008: 3).
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
kecakapan nyata dari seseorang yang lahir dari
proses atau perbuatan belajar yang
dimanifestasikan dalam perbuatan atau perubahan
tingkah laku yang berupa pengetahuan,
pemahaman, sikap dan keterampilan yang
kesemuanya dapat diperoleh dengan menggunakan
alat ukur tertentu. Di sekolah, pemahaman konsep
biologi yang telah diajarkan akan nampak hasilnya
setelah melalui suatu tekhnis pengukuran hasil
belajar, dimana pengukuran ini sering dilakukan
melalui tes. Dari hasil tes ini akan ditemukan
jawaban mengenai kemampuan mengerjakan tes
biologi yang diberikan sekaligus mengetahui hasil
belajar biologi.
Secara umum materi sistem gerak manusia
merupakan salah satu materi ajar pada siswa kelas
VIII SMP yang erat kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari. Ruang lingkup materi ini memuat
beberapa pengalaman belajar serta indikator
pembelajaran yang akan dicapai meliputi sistem
rangka, sendi, otot dan kelainan atau penyakit
yang ditimbulkan. Karakteristik materi tersebut
tentunya tidak hanya dapat dipahami dengan
membaca buku paket dan pengajaran yang
berpusat pada guru atau hanya mengandalkan
strategi diskusi dan tanya jawab tetapi perlu
adanya inovasi-inovasi pembelajaran melalui
pengamatan khusus dan penerapan model
pembelajaran agar siswa aktif untuk mencari dan
menjawab sendiri permasalahan yang diberikan
oleh guru. Untuk mewujudkan hal tersebut maka
salah satu solusi yang dilakukan oleh guru adalah
dengan menggunakan model pembelajaran
koperatif STAD dengan examples non examples
sehingga dapat mengorganisir siswa dan
mempengaruhi pola interaksi siswa agar tercipta
suasana belajar yang aktif, inovatif, kreatif, efektif
dan menyenangkan. Proses pembelajaran
dikatakan berhasil apabila siswa telah mampu
menjawab pertanyaan terkait dengan materi yang
telah diperoleh sebelumnya dan mengetahui
aplikasi konsepnya dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya materi sistem gerak pada manusia.
C. Metode Penelitian
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
semester ganjil tahun ajaran 2010/2011
bertempat di SMP Negeri 8 Kendari.
2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa
kelas VIII-A SMP Negeri 8 Kendari yang
terdaftar pada tahun ajaran 2010/2011
dengan jumlah siswa 25 orang terdiri dari
12 orang laki-laki dan 13 orang
perempuan.
3. Indikator Penelitian
Peningkatan hasil belajar dengan
menggunakan model pembelajaran
koperatif STAD dengan examples non
examples dari segi kognitif (pemahaman
konsep) dengan menggunakan tes hasil
belajar untuk mengetahui skor nilai rata-
rata hasil belajar siswa minimal 75% telah
memperoleh nilai ≥ 69 (sesuai dengan
KKM yang telah ditetapkan oleh pihak
sekolah) untuk materi sistem gerak.
4. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini adalah Penelitian
Tindakan Kelas (Class-Room Action
Reseach).
18
PTK merupakan penelitian dengan
menggunakan proses pengkajian melalui
sistem berdaur (siklus) dari berbagai kegiatan
pembelajaran. Siklus yang dimaksud melalui
tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan
refleksi diri. Tahap-tahap perencanaan,
tindakan, observasi, dan refleksi terdiri dari
beberapa siklus dalam satu simulasi sampai
hal yang ingin diperbaiki itu telah tercapai.
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan 1
(satu) siklus terdiri dari 2 kali pertemuan, hal
ini disebabkan karena indikator ketercapaian
dari siklus I telah tercapai. Tiap siklus
dilaksanakan berdasarkan indikator yang
ingin dicapai pada setiap faktor yang akan
diselidiki, apabila siklus I belum tercapai
akan dilanjutkan pada siklus II.
Desain penelitian tindakan kelas ini
dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Tidak
ya
Gambar 1. Siklus penelitian tindakan yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (dalam
Depdikbud, 1999:21)
5. Teknik Analisis Data
Data-data yang diperoleh dalam
penelitian ini dianalisis dengan menggunakan
statistik deskriptif, yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran peningkatan hasil
belajar siswa yang diajar dengan
menggunakan model pembelajaran koperatif
STAD dengan examples non examples yang
menggunakan instrumen tes hasil belajar,
sebagai berikut:
1. Menghitung hasil evalusi (aspek kognitif)
:
Nilai =
%100XseluruhnyasoalJumlah
benaryangsoaljawabanJumlah
(Usman dan Setiawati, 2001: 138)
2. Menghitung rerata:
n
xx
Keterangan :
x = Nilai rata-rata yang diperoleh siswa
n = Jumlah siswa secara keseluruhan
x = Nilai yang diperoleh setiap siswa
(Sudjana, 2008: 109)
3. Menghitung tingkat pencapaian ketuntasan
belajar :
Secara individual % TB =
idealNilai
dicapaiinginyangNilaix 100%
4. Menentukan persentase ketuntasan :
% TB = N
TBx 100 %
Keterangan :
TB = Jumlah siswa tuntas belajar
N = Jumlah siswa secara keseluruhan
(Usman dan Setiawati, 2001: 139)
Refleksi awal
Perencanaan Tindakan
Pelaksanaan Tindakan Observasi Refleksi
Berhasil
Laporan
Refleksi awal
19
5. Menentukan kriteria keterlaksanaan
tindakan guru dan siswa dalam proses
belajar mengajar :
Skor Penilaian =
PenilaianSatuanJumlah
SkorJumlah
Kriteria Keterlaksanaan Tindakan :
0,00 – 1,69 = Tidak baik
1,70 – 2,59 = Kurang baik
2,60 – 3,50 = Cukup baik
3,51 – 4,00 = Baik
D. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
Hasil perencanaan penelitian siklus ini
berupa skenario pembelajaran yaitu RPP 01
dengan bahasan rangka dan sendi, RPP 02 dengan
bahasan otot dan kelainan/penyakit pada alat gerak
manusia dengan menggunakan model
pembelajaran koperatif STAD dengan examples
non examples yang meliputi Kompetensi Dasar
1.3: Mendeskripsikan sistem gerak pada manusia
dan hubungannya dengan kesehatan. Selain itu
disiapkan LKS 01 pada bahasan rangka dan sendi,
LKS 02 pada bahasan otot dan kelainan/penyakit
pada alat gerak manusia, lembar observasi
aktivitas siswa dan lembar aktivitas guru dalam
menerapkan model pembelajaran STAD dengan
examples non examples serta instrumen hasil
belajar siswa berupa tes tertulis dalam bentuk
pilihan ganda.
Pada pelaksanaan tindakan, skenario
pembelajaran disesuaikan dengan kegiatan
pembelajaran dalam RPP 01 untuk pertemuan
pertama pada materi rangka dan sendi, dan RPP 02
untuk pertemuan kedua pada materi otot dan
kelainan/penyakit pada alat gerak manusia yang
dilakukan oleh guru dengan menggunakan model
pembelajaran koperatif STAD dengan examples
non examples.
Kegiatan pembelajaran ini diawali
dengan guru membuka pelajaran, kemudian
memberikan apersepsi yaitu menghubungkan
materi yang akan dipelajari dengan materi
prasyarat yang ada hubungannya dengan materi
sistem rangka dan sendi untuk pertemuan pertama
dan materi yang ada hubungannya dengan macam-
macam otot dan kelainan/penyakit pada alat gerak
manusia untuk pertemuan kedua, dan memotivasi
siswa dengan memperlihatkan torso dan carta atau
gambar melalui LCD, kemudian guru
menyampaikan topik dan tujuan pembelajaran
yang akan dicapai.
Setelah melaksanakan kegiatan
pendahuluan, guru bersama siswa melakukan
kegitan inti yang diawali dengan pembagian
kelompok belajar terdiri atas lima kelompok
dengan masing-masing kelompok beranggotakan 5
orang siswa. Setelah guru membagi kelompok,
kemudian guru menampilkan gambar macam-
macam sistem rangka dan macam-macam sendi
untuk pertemuan pertama dan gambar macam-
macam otot dan kelainan/penyakit pada alat gerak
manusia untuk pertemuan kedua yang selanjutnya
guru memberikan penjelasan singkat tentang
gambar-gambar yang telah ditampilkan tersebut.
Kemudian guru membagikan LKS kepada siswa
dan memberikan penjelasan tentang petunjuk
pengisian dari LKS. Selanjutnya guru
membimbing siswa untuk mengerjakan tugas
kelompok yang ada dalam LKS. Setelah itu, guru
memanggil salah satu dari anggota kelompok
untuk mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya. Setelah presentasi kelompok, guru
memberi penguatan berupa konsep-konsep penting
yang berkaitan dengan materi yang telah
didiskusikan. Pada kegiatan penutup, guru
membimbing siswa dalam menyimpulkan materi
pelajaran sehingga membantu siswa untuk lebih
memahami materi yang telah dipelajari.
Kemudian guru memberikan evaluasi kepada
siswa untuk mengetahui hasil belajar siswa selama
pembelajaran pada akhir pertemuan kedua.
Hasil Observasi dan Evaluasi. Untuk
mendukung hasil penelitian ini, diperlukan adanya
data pendukung pengamatan aktivitas guru dan
aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Pada
pertemuan I dan II siklus 1, aktivitas yang diamati
pada guru menyangkut membuka pelajaran,
kegiatan inti dan menutup pelajaran. Dari hasil
pengamatan menunjukkan bahwa pada pertemuan
I rerata skor yang dicapai adalah 3,1. Hal ini
dapat dikatakan bahwa aktivitas guru terlaksana
dengan cukup baik. Dari 10 aktivitas guru yang
diamati ada 2 aspek yang memperoleh hasil yang
kurang baik yaitu Meminta kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya dan memberikan
penguatan pada hasil diskusi dan Memberikan
20
evaluasi kepada seluruh siswa pada akhir
pembelajaran. Sedang pada pertemuan II rerata
skor yang diperoleh yaitu 3,9 ( kategori baik). Hal
ini menunjukkan bahwa ada peningkatan aktivitas
guru dalam kegiatan pembelajaran. Dari 10
aktivitas guru yang diamati hanya 1 aspek
memperoleh hasil cukup baik dan ada 9 aspek
memperoleh hasil baik.
Aktivitas siswa pada pertemuan I dan II
selama kegiatan pembelajaran diamati oleh
pengamat dengan menggunakan lembar observasi
aktivitas siswa yang mencakup keterlibatan dalam
membuka pelajaran, keterlibatan dalam
penyampaian apersepsi dan motivasi belajar,
keterlibatan dalam penyampaian topik dan tujuan
pembelajaran, keterlibatan dalam pembentukan
kelompok belajar, keterlibatan dalam penampilan
gambar yang sesuai dengan materi ajar,
keterlibatan dalam pembagian kelompok belajar
dan kerja kelompok, keterlibatan dalam presentasi
dan penguatan dari hasil diskusi kelompok,
keterlibatan dalam menyusun kesimpulan materi,
keterlibatan dalam pemberian evaluasi dan
keterlibatan dalam mengakhiri pembelajaran.
Hasil pengamatan aktivitas siswa selama
kegiatan pembelajaran pada pertemuan I diperoleh
rerata 2,94 dengan kreteria keterlaksanaan cukup
baik. Dari 10 aspek yang diamati ada 9 aspek
menunjukkan kretaria keterlaksaan cukup baik,
dan hanya 1 aspek yang menunjukkan keterlaksaan
kurang baik yaitu keterlibatan dalam
penyampaian apersepsi dan motivasi. Pada
pertemuan II rerata skor aktivitas siswa selama
KBM pada pertemuan II yaitu 3,72 yang berarti
aktivitas belajar siswa terlaksana dengan baik.
Dari 10 aspek yang diamati ada 9 aspek
menunjukkan kretaria keterlaksaan baik, dan
hanya 1 aspek yang menunjukkan keterlaksaan
cukup baik yaitu keterlibatan dalam penyampaian
apersepsi.
Hasil Belajar pada siklus I. Untuk mengetahui
hasil belajar siswa, maka dilakukan evaluasi
berupa tes tertulis dalam bentuk pilihan ganda
yang berjumlah 20 nomor pada pertemuan II.
Hasil analisis ketuntasan belajar siswa pada
siklus I dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Hasil analisis ketuntasan belajar siswa secara klasikal pada siklus I
No. Ketuntasan Jumlah Siswa Persentase (%)
1 Tuntas 21 84
2 Tidak Tuntas 4 16
Sumber : Diolah dari data penelitian
Data dari Tabel 2 di atas menunjukkan
bahwa persentase ketutasan belajar siswa pada
siklus I secara klasikal mencapai 84 % tuntas dan
16% tidak tuntas. Hal ini menunjukkan bahwa 84
% siswa telah memperoleh nilai ≥ 69. Ini berarti
KKM yang telah ditetapkan oleh sekolah untuk
materi sistem gerak sudah tercapai/tuntas (KKM
sekolah adalah minimal 75% siswa telah
memperoleh nilai ≥ 69.
2. Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan dalam 1
(satu) siklus dengan 2 (dua) kali pertemuan. Tiap
kali pertemuan diteliti dan disesuaikan dengan
perubahan yang dicapai terhadap aktivitas guru
dan siswa yang pelaksanaanya disesuaikan dengan
prosedur penelitian. Dari hasil pengamatan
menunjukkan bahwa
aktivitas guru pada pertemuan I
diperoleh rerata skor yang dicapai adalah
3,1(kategori cukup baik) mengalami peningkatan
menjadi 3.9 (kategori baik). Begitupula dengan
aktivitas siswa telah menunjukkan bahwa pada
pertemuan I rerata skor yang diperoleh adalah
2,94 dengan kreteria keterlaksanaan cukup baik
meningkat menjadi 3,72 (kategori baik) pada
pertemuan II. Implikasi dengan baiknya aktivitas
guru dan siswa dalam penerapan model
pembelajaran ini menyebabkan hasil belajar
menjadi tuntas pada siklus 1.
Pencapaian hasil belajar siswa yang
ditetapkan dalam indikator keberhasilan tidak
lepas dari peran guru dalam proses pembelajaran
untuk menerapkan model pembelajaran. Guru
dalam melaksanakan model pembelajaran ini
dilaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab
21
dan memahami sintaks dari model pembelajaran
tersebut. Begitupula dengan siswanya dalam
mengikuti pembelajaran terlebih dahulu dibekali
ilmu tentang sintaks dan skenario model
pembelajaran yang akan diterapkan, sehingga
aktivitas dalam pembelajaran menjadi aktif,
kreatif, inovatif dan menyenangkan. Pendapat
tersebut di atas didukung oleh Wahyudin dkk
(2007: 35-36) bahwa keberhasilan dalam proses
pembelajaran dititik beratkan pada peserta didik
dan guru, dimana peserta didik haruslah dapat
meningkatkan kesiapan dan kesungguhan dalam
proses pembelajaran untuk mencapai prestasi
belajar yang diharapkan dan guru sebagai pendidik
dapat mengantarkan anak didiknya pada tujuan
yang telah ditetapkan.
Penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Anggraeni (2008),
menyimpulkan bahwa penerapan Hands On
Activity dan metode Examples Non Examples
dalam pembelajaran sel dan jaringan tumbuhan
dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar
siswa di SMA Diponegoro Tumpang. Selanjutnya
penelitian yang dilakukan oleh Setyowati (2009),
menyimpulkan bahwa penerapan pembelajaran
kooperatif model Examples non Examples dalam
Numbered Heads Together (NHT) dapat
meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa
kelas VII-B SMP Negeri 2 Sukorejo Pasuruan.
Penerapan model pembelajaran ini juga
siswa diajar dan dibimbing untuk belajar
kelompok (kooperatif), bekerja sama, saling
membantu yang ditunjang oleh langkah-langkah
yang ada pada model pembelajaran koperatif.
Menurut Slavin, Abrani dan Chamberr (1996)
dalam Sanjaya (2006:107) bahwa melalui
pembelajaran kooperatif setiap siswa akan saling
membantu dan berinteraksi dalam
mengembangkan prestasinya sehingga dapat
berpikir dan berusaha untuk memahami serta
menambah informasi sebagai penunjang
pengetahuan kognitifnya.
E. Penutup
1. Kesimpulan
Penerapan model pembelajaran
koperatif STAD dengan examples non examples
dapat menuntaskan hasil belajar siswa kelas VIIIA
di SMP Negeri 8 Kendari pada materi sistem gerak
pada manusia yang ditandai dengan nilai yang
diperoleh yaitu 84% siswa memperoleh nilai ≥ 69.
2. Saran
Bagi peneliti yang berminat untuk
mengkaji hal ini, sebaiknya dapat menerapkan
model pembelajaran ini pada materi yang berbeda
dengan mencoba menggabungkan strategi belajar
yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, D. 2008. Penerapan Hands On
Activity Dan Metode Example Non
Example Dalam Pembelajaran Sel dan
Jaringan Tumbuhan untuk
Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar
Siswa di SMA Diponegoro Tumpang.
Skripsi Program Studi Pendidikan Biologi
Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri
Malang (online)
(http://biologyeducationresearch.
blogspot.com/2010/03/ penerapan –
hands – on – activity - dan-metode. Html.,
diakses tanggal 19 april 2010).
Chotimah, K., 2007. Model-Model Pembelajaran
untuk PTK. Universitas Negeri Malang.
Malang.
Depdikbud. 1999. Penelitian Tindakan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah. Jakarta.
Dimyati dan Mujiono. 2002. Belajar dan
Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.
Irianto, K., 2008. Struktur dan Fungsi Tubuh
Manusia untuk Paramedis. Yrama Widya.
Bandung.
Nur, M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Pusat
Studi Matematika dan IPA Sekolah. Unesa.
Surabaya.
Nur, M dan Wikandari., 2002. Mengajar Berpusat
pada Siswa dan Pendekatan Kontruktivis
dalam Pengajaran. Universitas Negeri
Surabaya. Surabaya.
Purwanto, N., 1990. Prinsi-Prinsip dan Teknik
Evaluasi Pengajaran. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Sanjaya, W., 2006. Pembelajaran dalam
Implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Prenada Media Group. Jakarta.
22
Setyowati, M.D., 2009. Penerapan Pembelajaran
Kooperatif Model
Examples Non Examples dalam Numbered
Heads Together (NHT) untuk
Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar
Biologi Siswa Kelas VII-B SMP Negeri 2
Sukorejo Pasuruan. Skripsi Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang.
(online) (http://karya-ilmiah. um.ac.id
/index. php/ biologi/ article/ view/2105.,
diakses tanggal 19 april 2010).
Slameto, 1997. Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya. Rineka Cipta.
Bandung.
Sudjana, N., 2008. Penilaian Hasil Proses
Belajar Mengajar. PT. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
Suyatno, 2009. Menjelajah Pembelajaran
Inovatif. Masmedia Buana Pustaka.
Surabaya.
Usman, M.U., dan Setiawati, 2001. Upaya
Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar.
Remaja Rosdakarya. Bandung.
Wahyudin, D., Supriadi dan Abduhak, I., 2007.
Pengantar Pendidikan. Penerbit Universitas
Terbuka. Jakarta.
23
PRODUKTIVITAS TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) YANG DIBERI
BERBAGAI TAKARAN EFFECTIVE MIKROORGANISM (EM4) DAN PUPUK NPK
(Suatu penelitian bahan peraga pendidikan pada program studi pendidikan Biologi FKIP Universitas
Haluoleo Kendari)1.
LA SUERE2
Abstract An eksperiment was accomplished to study the effect of EM4, NPK fertilizer and their
interaction on tomato yield ( an instructional model for department of biology education Faculty of
Education Haluoleo University). It was carried out on Laboratory of Biology, Faculty of Education,
Haluoleo University on March to July 2010. It was set up in a 2 – factors randomized complete block
design. First factor NPK fertilizer consisting four levels : NPK0 (controlle), NPK1 (2,5 g urea + 7,5 g
TSP + 7,5 g KCL) polybeg -1
, NPK2 (5 g urea + 10 g TSP + 10 g KCL) polibeg -1
, NPK3 (7,5 g urea +
12,5 g TSP + 12,5 g KCL) polybeg -1
. Second factor EM4 consisting four levels : EM0 (controlle),
EM1 (10 ml EM4) polybeg -1
, EM2 (20 ml EM4) polybeg -1
, EM3 (30 ml EM4) polybeg -1
. An amount of
100 g polybeg -1
organic fertilizer applied as basic fertilizer. Each treatment was repeated three times,
giving a total 48 eksperimental unit growth and yield observed were diameter and biomassa fruit of
tomato. Result showed that there were no significant interaction between EM4 and NPK fertilizer on
fruit diameter of tomato. Neverless there were significant effect for each treatment of EM4 and NPK
fertilizer on fruit biomass and each treatment of EM4 and NPK fertilizer on diameter and biomass fruit
of tomato. BJND analysis showed more higher concentration of NPK fertilizer caused lower biomass,
but by higher concentration of EM4 caused higher biomass fruit of tomato.
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen Pend. Biologi FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Dalam rangka menggalakkan
pembangunan bangsa, mutlak dibutuhkan sumber
daya manusia (SDM) yang berkualitas pada
berbagai kompetensi pokok, yaitu kompetensi
ketuhanan, sosial kemasyarakatan, moral dan
budaya serta akademik. Kualitas SDM yang
dimiliki setiap orang tidak pisahkan dengan sistem
Pendiikian Nasional
Sehubungan dengan itu, dewasa ini
pemerintah dan para ahli telah menyiapkan
kerangkan hukum dan kebijakan serta strategi
dalam upaya pembaharuan Pendidikan Nasional,
hasilnya antara lain berupa UU-RI No. 20 Tahun
2003, UU-RI No. 14 Tahun 2005 dan PP No. 19
Tahun 2005. Hukum dan kebijakan pemerintah
menjadi acuan para ahli untuk merancang
pelaksanaan pembangunan pendidikan nasional .
Implementasi rancangan para ahli selanjutnya
dilaksanakan secara bertahap dijajaran satuan
pendidikan Kementrian Pendidikan Nasional
antaranya standarisasi pelaksanaan dan hasil
pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar dan
Menengah serta di Perguruan Tinggi.
Berdasarkan UU R.I. No, 14 tahun 2005,
peraturan Pemerintah R.I. No. 19 tahun 2005,
Peraturan Menteri Pendidkan Nasional No. 16
tahun 2005 dan No. 10 tahun 2009 serta
Keputusan Menteri Diknas tahun 2009. Misi
Perguruan Tinggi bekerja sama dengan Dinas
Pendidikan Provinsi Kabupaten dan Kota
melaksanakan oprasional rancangan pendididkan
yang melibatkan dosen dan guru melalui Lembaga
Kependidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK)
masing-masing Perguruan Tinggi seluruh
Indonesia. Di Universitas Haluoleo dilaksanakan
oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan
(FKIP) sebagai LPTK setempat. Terlepas dari
semua pembicaraaan menyangkut tehnik kebijakan
pemerintah dan teknik oprasional oleh para ahli
yang telah dianut oleh semua komponen, bahwa
setiap studi di Perguruan Tinggi dan di Sekolah
memeliki cirri khas yang sedikit berbeda antara
satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut tampak
adanya sistem pembelajaran yang dilaksanakan di
24
kelas, namun ada pula yang di luar kelas.
Meskipun demikian dosen dan guru/dosen
menempati jajaran terdepan dalam proses
pembelajaran karena langsung berhadapan dengan
siswea maupun mahasiswa.
Dalam pembaharuan sistem pendidikan
dewasa ini, guru dan dosen bukanlah sumber
pengetahuan melainkan siswa dan mahasiswa
sebagai subjek pelaku utama dalam pembelaran,
sedangkan guru dan dosen bertindak sebagai
fasilitator. Guru dan dosen cukup menyiapakan
fasilitas berupa garis besar materi pembelajaran
dan media belajar, sedangkan siswa
mengembangkan inovasi dan kreasinya guna
memperoleh konsepsi yang baru (Roestriyah,
1994, Rusyan, 2004 dan Slanneto, 2003).
Proses pembelajaran bidang Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (MIPA), khususnya pendidikan
biologi tidak cukup dilaksanakan di kelas
melainkan juga di Laboratorium dan di lapangan.
Pada kedua tempat tersebut siswa/mahasiswa
secara terstruktur maupun mandiri dapat
memperoleh pengetahuan praktis dari segi teori di
kelas. Sehubungan dengan itu penulis
merumuskan penelitian yang berjudul“
Produktivitas Tanaman Tomat Lycopersicum
esculentum Mill) yang Diberi Berbagai Takaran
Effective Microorganism (EM4) dan Pupuk NPK.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dalam bentuk eksperimen telah
dilaksanakan di Laboratorium Biologi FKIP
Universitas Haluoleo Kendari pada bulan Maret
sampai Juli 2010 yang bertujuan untuk
mempelajari pengaruh interaksi maupun masing-
masing perlakuan EM4 dan NPK buah tomat.
Parameter yang diukur berupa lingkaran buah dan
bobot segar buah tomat. Sebagai media tanam
digunakan polybeg yang diisi dengan tanah 4900
gram dan 100 gram pupuk organik berupa kotoran
sapi dan dedak dengan perbandingan 3:2 yang
telah dikomposkan. Tanah bersumber dari lahan
sekitar Laboratorium Pengembangan FKIP
Universitas Haluoleo Kendari yang kandungan pH
dan NPK tanah tersebut telah diteliti tanggal 12
November 2006 (La Suere, 2008). Berikut
disajikan tabel 1 yaitu pH dan kandungan NPK
sebagai berikut.
Tabel 1. Hasil Analisis Laboratorium, pH dan kandungan NPK Sumber Tanah Media Penelitian
No Parameter Nilai
1
2
3
4
pH
Nitrogen
Phosfor (ppm)
Kalium
5,53
0,55
20,10
0,09
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium (La Suere 2008)
Metode penelitian adalah eksperimen yang
menggunakan rancangan acak kelompok pola
faktorial (RAKF) pada tanaman tomat yang
menggunakan polybeg. Penelitian dirancang dalam
16 kombinasi dan 3 ulangan, sehingga terdapat 48
unit percobaan.
Perlakuan NPK sebagai faktor pertama
dan EM4 sebagai faktor kedua. Perlakuan takaran
NPK (P) terdiri dari NPK0 (kontrol), NPK1 (2,5 g
urea + 7,5 g TSP + 7,5 g KCL) polybeg -1
, NPK2
(5 g urea + 10 g TSP + 10 g KCL) polybeg -1
,
NPK3 (7,5 g urea + 12,5 g TSP + 12,5 g KCL)
polybeg -1
. Faktor kedua perlakuan EM4 (E), terdiri
dari E0 (kontrol), E1 (10 ml EM4) polybeg -1
, E2
(20 ml EM4) polybeg -1
, E3 (30 ml EM4) polybeg -1
.
Pupuk dasar diberikan 10 hari sebelum penanaman
terdiri dari tiga bagian kotoran sapi dan dua bagian
dedak (3 : 2), sebanyak 100 g polybeg-1 dengan
harapan EM4 bekerja pada proses pembentukan
humus dari pupuk dasar. Demikian pula pupuk
NPK dan EM4 diberikan serentak dengan pupuk
dasar yaitu 10 hari sebelum penanaman. Pada
tanggal 22 April 2010 dilakukan penanaman
sebanyak tiga tanaman polybeg-1
(total 144
tanaman) polybeg -1
. Pada umur 20 HST dilakukan
pencabutan sebanyak 2 tanaman polybeg -
25
1,sehingga yang tertinggal sebagai sampel adalah 1
tanaman polybeg -1
, dan pada tanggal 27 Juni 2010
(73 HST) tanaman tomat dipanen. Untuk
mengetahui pengaruh perlakuan EM4 dan pupuk
NPK terhadap produksi tanaman tomat, maka
ditentukan dua macam parameter yang diukur
masing-masing terdiri dari diameter buah dan
bobot segar buah tomat.
HASIL PENGAMATAN
Pengaruh perlakuan takaran EM4 dan
Pupuk NPK Terhadap Diameter Buah Tomat (cm)
Data diameter buah pada tabel 2,
berdasarkan hasil analisis ragam pada taraf
kepercayaan 95% menunjukkan pengaruh interaksi
yang tidak nyata, namun perlakuan takaran
masing-masing EM4 dan pupuk NPK berpengaruh
nyata. Hasil uji BNT menunjukkan pengaruh
tertinggi diperlihatkan pada perlakuan P1 [(2,5 g
urea + 7,5 g TSP + 7,5 g KCL)+(20 ml EM4)]
polybeg-1
, sedangkan pada perlakuan menengah
dan tinggi yaitu P2 ( 5 g urea + 10 g TSP + 10 g
KCL) polybeg-1
dan P3 (7,5 g urea + 12,5 g TSP +
12,5 g KCL) polybeg-1
menunjukkan hasil yang
rendah dibandingkan dengan perlakuan terendah
dan perlakuan kontrol. Hasil tersebut berbeda
dengan perlakuan EM4 tampak bahwa E3 (30 ml
EM4) polybeg-1
memperlihatkan pengaruh tertinggi
3,88 dibandingkan perlakuan kontrol dan
perlakuan lainnya. E2 (20 ml EM4) polybeg-1
=
3,67, E1 (10 ml EM4) polybeg-1
= 3,66 dan kontrol
= 3,45, untuk jelasnya diameter buah tomat pada
perlakuan terpisah EM4 dan pupuk NPK tampak
pada tabel 2 dan 3 berikut.
Tabel 2. Pengaruh Perlakuan Takaran EM4 Terhadap Diameter Buah Tomat (cm)
Perlakuan EM4 Diameter Buah
(cm)
Hasil Uji BNT
(0,31)
E0
E1
E2
E3
3,45
3,66
3,67
3,98
A
a
a
b
Sumber : Hasil Uji BNT
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang berbeda menunjukkan berbeda nyata pada taraf
kepercayaan 95%.
Pada tabel 2, hasil uji BNT pengaruh
perlakuan takaran EM4 tampak bahwa
perlakuan takaran E3 (30 ml EM4) polybeg-1
menunjukkan diameter tertinggi yaitu 3,98 cm
yang berbeda nyata dibandingkan dengan
kontrol dan perlakuan lainnya. Tampak pula
bahwa semakin rendah perlakuan takaran EM4,
semakin rendah pula diameter buah tomat.
Perlakuan takaran EM4 menghasilkan buah
tomat 3,67 cm > dari takaran E1 3,66 cm > 3,45
(perlakuan kontrol). Perlakuan-perlakuan E2
(20 ml EM4) polybeg-1
, E1 (10 ml EM4)
polybeg-1
tidak berbeda nyata antara satu
dengan yang lain pada taraf kepercayaan 95%.
Untuk perlakuan takaran NPK yang
bersumber dari bahan anorganik yang
dinyatakan berpengaruh nyata terhadap
diameter buah tomat. Untuk jelasnya pengaruh
masing-masing perlakuan dapat dilihat pada
tabel 3 sebagai berikut.
26
Tabel 3. Pengaruh Perlakuan Takaran NPK Terhadap Diameter Buah Tomat (cm)
Perlakuan EM4 Diameter Buah
(cm)
Hasil Uji BNT
(0,31)
P0
P1
P2
P3
3,45
3,78
3,52
3,47
A
b
a
a
Sumber : Hasil Uji BNT
Keterangan : Angka-angka dalam kolom yang berbeda menunjukkan berbeda nyata
pada taraf kepercayaan 95%.
Pada tabel 3 di atas, tampak bahwa diameter buah
tertinggi diperoleh dari perlakuan P1 (2,5 g urea +
7,5 g TSP + 7,5 g KCl) polybeg-1
yaitu 3,78 cm
lebih tinggi dari perlakuan kontrol yang
menghasilkan diameter buah tomat sebesar 3,45
cm. Untuk perlakuan tertinggi yaitu P3(10 g urea +
12,5 g TSP + 12,5 g KCl) polybeg-1
sebesar 3,47
cm lebih rendah daripada dari perlakuan P2 (5 g
urea + 10 g TSP + 10 g KCL) polybeg-1
P2 dan P1.
Hasil uji BNT tampak perlakuan P1 berbeda nyata
dengan kontrol dan perlakuan lainnya, namun
antara perlakuan kontrol, P2 dan P3 tidak
menunjukkan perbedaaan yang nyata.
Pengaruh Perlakuan Takaran EM4 dan Pupuk
NPK Terhadap Bobot Segar Buah Tomat (g)
Data hasil pengukuran (penimbangan)
pada panen 73 HST dianalisis menggunakan
analisis sidik ragam. Hasil analisis sidik ragam
pada taraf kepercayaan 95% F hit > F tabel baik
perlakuan interaksi maupun perlakuan takaran
masing-masing EM4 dan NPK. Karena itu
dilakukan uji lanjut menggunakan BJND ,
hasilnya tampak pada tabel 4, 5 dan 6.
Untuk melihat pengaruh interaksi
perlakuan takaran EM4 dan NPK terhadap bobot
segar buah tomat (73 HST) dapat dilihat pada
tabel 4 sebagai berikut.
Tabel 4. Pengaruh Interaksi Takaran EM4 dan Pupuk NPK Terhadap Bobot Segar
Buah Tomat (g).
Perlakuan
NPK
Perlakuan EM4
E0 E1 E2 E3
P0
P1
P2
P3
264,30a
p
375,40a
q
233,10a
r
244,30a
s
363,80b
p
472,80b
q
401,20b
r
288,90a
r
429,20b
p
500,70b
q
271,50c
r
232,55a
R
466,10b
pq
492,90a
q
422,30d
q
228,50a
R
BJND0,05 2=69,3
6=77,9
3=72,9
7=78,9
4=74,8
8=79,65
5=76,7
9=80,37
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom (pq) atau
baris (ab) yang sama tidak berbeda nyata pada uji BJND (0,05).
Hasil analisis lanjut dengan menggunakan
analisis BNJD pengaruh perlakuan interaksi antara
pupuk NPK dan EM4 menunjukkan perlakuan
P1E2[ (2,5 g urea + 7,5 g TSP + 7,5 g KCl) + (20
ml EM4)] polybag-1
memberi hasil bobot segar
tertinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan
27
lainnya. Perlakuan kombinasi tertinggi yaitu
P3E3[(7,5 g urea + 12,5 g TSP + 12,5 g KCl) + (30
ml EM4)] polybag-1
menghasilkan bobot segar
buah tomat terendah dibandingkan dengan
perlakuan lainnya tetapi tidak berbeda nyata
dengan perlakuan P3E0, P3E1 dan P3E2.
Untuk melihat pengaruh takaran NPK
terhadap bobot segar buah tomat, berdasarkan
analisa sidik ragam pada tingkat kepercayaan
95%, hasilnya menunjukkan bahwa F hitung >F
tabel sehingga dilakukan uji lanjut menggunakan
uji BJND yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 5
sebagai berikut.
Tabel 5, Pengaruh Takaran Pupuk NPK Terhadap Bobot Segar Buah Tomat (g)
Perlakuan Beda Real Jarak P BJND
(0,05) Rerata 2 3 4 5
P2E0
P3E0
P0E0
P1E0
233,1
244,31
264,34
375,42
-
11,2
20
111,1*
-
-
31,12
131,1`*
-
142,3*
-
A
a
a
b
P0,05(p,v) 2,89 3,04 3,12
BJND0,05(p,30) 69,3 72,9 74,8
Keterangan : - Angka-angka dalam kolom yang ditandai dengan huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada uji BJND α 0,05
- * = berbeda nyata
Berdasarkan hasil uji BJND pada tabel 5
menunjukkan semua perlakuan takaran NPK
memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap
bobot segar buah tomat. Bobot segar tertinggi
tampak pada perlakuan P1E0 (2,5 g urea + 7,5 g
TSP + 7,5 g KCl) polybeg-1
sebesar 375,42 g lebih
besar dibandingkan dengan perlakuan kontrol pada
taraf kepercayaan 95%. Untuk perlakuan takaran
menengah yaitu P2E0 (5 g urea + 10 g TSP + 10 g
KCl) polybeg-1
sebesar 233, 1 lebih rendah dan
berbeda nyata dengan perlakuan P1E0 pada taraf
kepercayaan 95%. Demikian pula perlakuan P3E0
(7,5 g urea + 12,5 g TSP + 12,5 g KCl) polybeg-1
lebih rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan
P1E0, namun dari semua perlakuan tersebut di atas
lebih besar dan berbeda nyata dibandingkan
dengan perlakuan kontrol berdasarkan analisis
BJND pada taraf kepercayaan 95%.
Untuk melihat pengaruh takaran EM4
terhadap bobot segar buah tomat, berdasarkan
analisa sidik ragam pada tingkat kepercayaan
95%, hasilnya menunjukkan bahwa F hitung >F
tabel sehingga dilakukan uji lanjut menggunakan
uji BJND yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 6
sebagai berikut.
Tabel 6, Pengaruh Perlakuan Takaran EM4 Terhadap Bobot Segar Buah (g)
Perlakuan Beda Real Jarak P BJND
(0,05) Rerata 2 3 4 5
P0E0
P0E1
P0E2
P0E3
264,3
363,8
429,2
466,1
-
99,5*
65,4
36,9
-
-
164,9*
102,3*
-
201,8*
-
A
b
b
bc
P0,05 (p,v) 2,89 3,04 3,12
BJND0,05
(p,30)
69,3 72,9 74,8
Keterangan : - Angka-angka dalam kolom yang ditandai dengan huruf yang sama tidak
berbeda nyata pada uji BJND α 0,05
28
Berdasarkan hasil uji BJND pada tabel 6
menunjukkan adanya perlakuan takaran EM4
memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap
bobot segar buah tomat. Bobot segar tertinggi
tampak pada perlakuan P0E3 (30 ml EM4) polybeg-
1 sebesar 466,1 g lebih besar dibandingkan dengan
perlakuan kontrol pada taraf kepercayaan 95%.
Untuk perlakuan takaran menengah yaitu P0E2 (20
ml EM4) polybeg-1
sebesar 429, 2 lebih rendah
namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan P0E3
pada taraf kepercayaan 95%. Demikian pula
perlakuan P0E1 (10 ml EM4) polybeg-1
lebih
rendah dan berbeda nyata dengan perlakuan P3E3,
meskipun demikian tampak pula bahwa semakin
tinggi dosis perlakuan EM4 maka semakin tinggi
pula hasil bobot segar pada buah tomat.
PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan Takaran EM4 dan Pupuk
NPK Terhadap Diameter Buah Tomat
Data Interaksi antara EM4 dan pupuk NPK
tidak berpengaruh nyata tetapi perlakuan masing-
masing berpengaruh nyata terhadap diameter buah
tomat. Kondisi tersebut diduga NPK yang
bersumber dari pupuk organik dan yang bersumber
dari pupuk anorganik diproses oleh tanaman tomat
secara sendiri-sendiri (Eddy, 2004). Perlakuan E3
(30 ml EM4) polybeg-1
tertinggi dibanding
perlakuan lainnya sedangkan perlakuan tertinggi
pupuk anorganik terjadi pada P1 (2,5 g urea + 7,5 g
TSP + 7,5 g KCL) polybeg-1
. Hal ini
dimungkinkan karena hasil kinerja EM4 terhadap
pupuk organik selain menghasilkan NPK juga
bahan lain (hara makro dan hara mikro), sehingga
tanaman (termasuk tanaman tomat) lebih respon
pada pupuk organic hasil kinerja EM4 ketimbang
NPK yang sekedar bersumber dari urea, TSP dan
KCL yang bersumber dari bahan anorganik (La
suere dan Sarawa, 2008, Juntias, 1986).
Pengaruh Perlakuan Takaran EM4 dan Pupuk
NPK Terhadap Bobot Segar Buah Tomat (g)
Data hasil pengukuran bobot segar
tanaman tomat, hasil analisis ragam pada taraf
kepercayaan 95% menunjukkan pengaruh interaksi
maupun pengaruh masing-masing perlakuan,
dengan menggunakan anlisisi sidik ragam,
menunjukkan bahwa F hit > F tab pada taraf
kepercayaan 95%. Adanya interaksi tersebut
menunjukkan baik NPK yang bersumber dari
pupuk NPK yaitu urea, TSP dan KCL maupun
NPK yang bersumber dari pupuk organik hasil
kinerja EM4 direspon oleh tanaman tomat dan
menghasilkan bobot segar. Meskipun tanpak
adanya respon tanaman tomat terhadap kedua jenis
pupuk tersebut, ternyata berdasarkan uji interaksi
maka perlakuan takaran NPK terendah
memberikan bobot segar tanaman yang lebih
tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
pupuk anorganik pada dosis menengah dan tinggi
menghasilkan bobot segar buah tomat yang
rendah. Kondisi tersebut menunjukkan pemberian
pupuk anorganik dengan dosis tinggi tidak efektif
bagi pembentukan buah pada tanaman toma. Hal
ini sejalan dengan pendapat Karuseng dan Faisal
(2008), bahwa respon tanaman terhadap
pemberian pupuk meningkat apabila menggunakan
takaran pupuk yang tepat. Selanjutnya
Setyamidjaja (1986), bahwa pupuk yang diberikan
ke dalam tanah tidak semuanya dapat diserap oleh
tanaman. Dengan demikian, pemberian pupuk
anorganik dalam dosis rendah masih dianggap
efektif untuk pertumbuhan tanaman tomat dan
menghasilkan bobot segar buah tomat yang lebih
tinggi ketimbang pemberian NPK menengah dan
tinggi dalam penelitian ini. Ternyata perlakuan
P3E3 adalah terendah dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Dari kenyataan penelitian ini,
ternyata makin rendah pemberian dosis pupuk
NPK, maka makin tinggi bobot segar buah tomat.
Sebaliknya makin tinggi pemberian dosis NPK,
maka semakin rendah bobot segar buah tomat
yang dihasilkan, artinya, makin rendah respon
tanaman terhadap dosis NPK, maka makin baik
bobot segar yang dihasilkan. Makin tinggi takaran
yang diberikan, respon tanaman tomat makin
berkurang dan bobot segar buah tomat yang
dihasilkan semakin rendah.
Berbeda dengan pemberian pupuk NPK
anorganik maka tampak pemberian pada dosis
rendah lebih efektif dibanding dengan perlakuan
menengah dan perlakuan tinggi. Pemberian
29
takaran EM4 diberikan pada pupuk organik
sehingga hasil kinerja EM4 terhadap pupuk
tersebut tanaman tomat memberikan respon yang
baik pada perlakuan tinggi.Ternyata pada
pemberian takaran P0E3 memberikan hasil bobot
segar buah tomat yang lebih tinggi, dan makin
rendah pemberian takaran EM4 semakin rendah
pula produksi bobot segar yang dihasilkan.
Kenyataan ini seirama pula dengan hasil penelitian
yang dilakukan oleh La Suere dan Sarawa (2008)
bahwa perlakuan tertinggi dari EM4 menghasilkan
produksi dan bobot brangkasan jagung manis
membentuk garis linear setelah dilakukan analisis
regresi sedangkan pupuk anorganik menghasilkan
garis kuadratik.
KESIMPULAN
1. Pemberian takaran EM4 dan NPK tidak
memberikan pengaruh interaksi yang nyata
terhadap diameter buah tomat, tetapi masing-
masing perlakuan EM4 dan NPK berpengaruh
nyata terhadap diameter buah tomat.
2. Pemberian takaran EM4 dan Pupuk NPK
berpengaruh nyata baik secara interaksi dan
masing-masing takaran EM4 dan pupuk NPK
terhadap bobot segar buah tomat.
3. Hasil uji BJND terhadap perlakuan mandiri
NPK dan EM4 terhadap bobot segar buah
tomat, bobot segar tertinggi diperoleh pada
perlakuan NPK terrendah (P1E0), sedangkan
perlakuan takaran EM4, semakin tinggi EM4
yang diberikan, maka semakin tinggi pula
bobot segar buah tomat, P0E3 > P0E2 > P0E1 >
kontrol.
DAFTAR PUSTAKA
Dirjen Dikti. Kementrian Pendidikan Nasional.
2010. Petunjuk Teknis Pelaksanaan.
Sertifikasi Guru Buku 1 – 3. Jakarta.
Eddy, P. 2004. Pengaruh Kombinasi Takaran
Punik dan Anorganik Terhadap
Ketersediaan P dan Hasil Jagung pada
Tanah Alfisol Karanggayam. Program
Pascasarjana UGM Yogyakarta.
Hendrowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Medya
Tama. Sarana Perkasa. Jakarta.
Intias, D. 1986. Populasi Tanaman dan
Pemupukan Nitrogen pada Tanaman
Jagung Abimanyu. Balai Penelitian
Tanaman Pangan Bogor.
Karuseng, M.A. dan Faisal. 2008. Produksi
Beberapa Varietas Tanaman Jagung
Pada Dua Dosis Pupuk Urea dan Waktu
Perempesan Daun Di Bawah Tongkol,
Jurnal Agrivigor Vol. 7 No. 2. Makassar.
La Suere dan Sarawa. 2008. Produktivitas
Tanaman Jagung Manis (Zea mays
Saccharata Sturt) yang diberi Berbagai
Takaran Effective Microorganism (EM4)
dan Pupuk NPK. Jurnal Agrivigor No. 2.
Makassar.
NuritaN,. Fauziah, Emaftu‟ah, R.s. Simatupang.
2004. Pengaruh Olah Tanah Konservasi
Terhadap Hasil Varietas Tomat Di lahan
Lebak. Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa. Banjar Baru.
Peraturan Pemerintah R.I. No. 19 Tahun 2005.
Tentang Standar Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Roestiyah. 1994. Masalah Pengajaran Sebagai
Suatu Sistem. Rineka Cipta. Jakarta.
Rusyam. 2004. Pendekatan Dalam Proses
Belajar Mengajar. Rosdakarya. Bandung.
Setyamidjaja, D. 1986. Pupuk dan Pemupukan.
CV. Simples. Jakarta.
Undang-undang Pendidikan R.I. No.20 Tahun
2003. Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta.
Undang-undang R.I. No.14 Tahun 2005. Tentang
Guru dan Dosen. Jakarta.
30
PERBEDAAN KEBUGARAN JASMANI ANAK - ANAK SD KELAS TINGGI1
(Studi Kasus di Kendari dan Pedesaan)
La Anse2
Abstrak. Perbedaan kebugaran Jasmani Anak-anak SD kelas tinggi di kota Kendari dan Konawe
Selatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan kebugaran jasmani antara anak-
anak SD kota Kendari dengan anak-anak SD di Konawe Selatan. Penelitian ini hanya satu variabel
yaitu kebugaran jasmani sebagai variabel konsekwen , sedangkan lokasi SD kota dan SD Konawe
Selatan sebagai variabel anteseden. Populasi dalam penelitian ini adalah 891 orang siswa, sedangkan
sampelnya 147 orang siswa putra dan putri. Instrumen dalam penelitian ini adalah tes kebugaran
jasmani yang terdiri dari (1) lari cepat 40 meter, (2) angkat tubuh (pull up) selama 30 detik, (3)
baring duduk (sit up) 30 detik, (4) loncat tegak (vertical jump) dan (5) lari 600 meter. Pengumpulan
data dalam penelitian ini dengan cara melakukan tes dan pengukuran pada masing-masing item.
Pengolahan, Analisis dan Penafsiran Data. Hasil uji normalitas data, bahwa semua data berdistribusi
normal pada taraf signifikansi 0,05. Pengujian homogenitas variansi data dengan menggunakan
program SPSS 6,0 dan 7,5 for windows. Hasil penelitian disimpulkan bahwa (1) Kebugaran jasmani
anak SD kelas tinggi di Konawe Selatan berbeda dengan kebugaran jasmani anak-anak SD di kota
Kendari. (2)Kebugaran jasmani anak SD kelas t tinggi Konawe Selatan lebih baik dibanding dengan
anak- anak SD di kota Kendari. (3) Terjadinya perbedaan kebugaran jasmani kelas tinggi SD Konawe
Selatan dengan SD kelas tinggi di kota Kendari umumnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial
budaya setempat.
Kata-kata Kunci : Kebugaran jasmani kelas tinggi anak SD
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen Penjaskesrek FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anak-anak SD kota dengan anak-anak SD
pedesaan adalah insan atau individu manusia yang
tidak memiliki perbedaan antara satu sama lain
karena keduanya memiliki struktur tubuh yang
sama. Artinya sama-sama mempunyai
kelengkapan fisik yang sempurna sebagai mahluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Jadi secara nyata
tidak ada perbedaan di antara keduanya. Namun
bila kita pandang dari sisi lainnya seperti,
lingkungan sosial, budaya, dan kebugaran jasmani,
maka kedua kelompok tersebut akan nampak
perbedaan. Perbedaan ini terjadi karena ke tiga
faktor tersebut. Sebab ketiga faktor ini saling
berintegrasi sepanjang manusia itu masih hidup di
muka bumi ini dan di manapun manusia itu
berada.
Kehidupan kota boleh dikata serba
moderen sedangkan kehidupan desa serba
tradisional. Di kota dalam beraktivitas biasanya
dilakukan dengan serba mekanis sedangkan di
desa manusia beraktivitas biasanya masih serba
manual. Gejala seperti inilah di antaranya yang
membuat perbedaan kehidupan kota dan desa itu.
Hal inilah yang kadang-kadang membuat
kebugaran jasmani yang dimiliki anak-anak kota
dan desa akan berbeda.
Baiknya kebugaran jasmani pada setiap
orang biasanya dipengaruhi langsung oleh faktor
lingkungan sosial budaya setempat, Artinya
lingkungan menuntut manusia agar melakukan
gerak/aktivitas fisik. Karena itu manusia mustahil
akan bugar jasmaninya bila tidak melakukan
gerak/ aktivitas. Oleh nya itu manusia selalu
bergerak untuk memenuhi kebugaran jasmaninya,
sebab dengan bugarnya jasmani akan tercipta
kesehatan fisik yang sempurna. Orang bugar pasti
sehat tapi orang sehat belum tentu bugar.
Sudah banyak orang tahu bahwa
lingkungan alam yang luas akan banyak memberi
peluang kepada anak-anak untuk melakukan
aktivitas terutama untuk bermain, sebaliknya
lingkungan alam yang sempit akan mengurangi
ruang gerak anak.Walaupun hal itu juga
tergantung dari pengelolaan dan bimbingan orang
dewasa.
Lingkungan kota Kendari dan lingkungan
kabupaten Konawe Selatan merupakan dua
31
lingkungan sosial budaya yang berbeda. Kota
Kendari yang padat penduduknya, bangunan-
bangunannya cukup banyak, jalanan melintang ke
berbagai penjuru, lalu-lintas jalan padat,
kendaraan lalu-lalang, mobilitas penduduk dapat
dikatakan tanpa henti siang dan malam, taman-
taman dipagari, halaman sekolah sempit (tidak
sebanding dengan jumlah murid), lapangan
olahraga terbatas, lokasi-lokasi kosong dipagari
dsb.
Dari beberapa hal yang disebutkan di atas
merupakan faktor penghambat bagi anak-anak SD
di kota Kendari untuk melakukan aktivitas fisik
seperti bermain, berolahraga, dan sebagainya.
Sedangkan Konawe Selatan yang relatif masih
luas wilayahnya (tanah kosong) dibanding dengan
kota Kendari merupakan indikasi untuk anak-anak
SD dalam melakukan aktivitasnya.
RUMUSAN MASALAH
Masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut “apakah ada
perbedaan kebugaran jasmani antara anak-anak SD
kota Kendari dengan anak-anak SD di pedalaman
Konawe Selatan ?”
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan kebugaran jasmani antara anak-anak SD
kota Kendari dengan anak-anak SD di Konawe
Selatan.
KAJIAN PUSTAKA
Pengertian Kebugaran Jasmani.
Secara harfiah kebugaran diartikan sama
dengan kesegaran. Jadi kebugaran jasmani adalah
derajat kesehatan yang dimiliki seseorang dalam
kehidupan sehari-hari. Depdikbud (1995:1)
mendefenisikan bahwa kebugaran jasmani adalah
kondisi jasmani yang bersangkut paut dengan
kemampuan dan kesanggupannya berfungsi dalam
pekerjaan secara optimal dan efisien. Sajoto
(1988:43) mengutip pendapat Rink dkk & Hafen
dkk bahwa kesegaran jasmani adalah kemampuan
seseorang menyelesaikan tugas sehari-hari tanpa
mengalami kelelahan berarti, dengan pengeluaran
energy yang cukup besar, guna memenuhi
kebutuhan geraknya dan menikmati waktu luang
serta untuk memenuhi keperluan darurat bila
sewaktu-waktu diperlukan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
suksesnya seseorang melakukan pekerjaan fisik
dalam kehidupan sehari merupakan salah satu
indikator bahwa orang tersebut memiliki derajat
kebugaran jasmani yang baik. Tanpa memiliki
kebugaran jasmani yang baik berarti orang
tersebut tidak dapat beraktivitas dengan sempurna.
Soemosasmito (1988:22) berpandangan
bahwa seseorang yang memiliki kesegaran jasmani
tinggi akan memiliki kekuatan dan ketahanan
untuk melakukan tugas-tugas hariannya tanpa
merasakan lelah, dan masih memiliki tenaga
cadangan untuk mengikuti kegiatan waktu luang,
dan yang berkaitan dengan keadaan darurat.
Suhantoro (1986:12) mendefenisikan
kebugaran jasmani adalah aspek fisik dari
kesegaran menyeluruh yang memberikan
kesanggupan kepada seseorang untuk melakukan
pekerjaan produktif sehari-hari, tanpa adanya
kelelahan yang berlebihan dan masih mempunyai
cadangan tenaga untuk menikmati waktu senggang
dengan baik maupun melakukan pekerjaan dengan
mendadak.
Moeloek (1984:1) mendefenisikan
kebugaran jasmani dari sudut pandang fisiologi
bahwa kebugaran jasmani adalah kesanggupan dan
kemampuan tubuh melakukan penyesuaian
terhadap pembebanan fisik yang diberikan
kepadanya (dari kerja yang dilakukan sehari-hari)
tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan.
Sedangkan Siedentop (1990:156)
mendefesikan bahwa kebugaran jasmani sebagai
derajat kekuatan dan ketahanan otot seseorang
yang memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Selanjutnya Siedentop mengutip
pendapat Larson & Yokom menyebutkan
beberapa karakteristik kebugaran jasmani sebagai
berikut ; resistance to deseases (ketahanan
terhadap penyakit), muscular strength and
endurance (kekuatan dan ketahanan otot),
cardiovascular endurance (ketahanan
cardiovascular), muscular power (kemampuan
otot), flexibility (fleksibilitas), speed (kecepatan),
agility (agilitas), balance (keseimbangan), dan
accuracy (akurasi).
Selanjutnya Siedentop (1990:161)
menyatakan bahwa…… it will enable you to
perform motor task better and more efficiently
32
(….kemampuan dengan kebugaran performa gerak
memungkinkan seseorang dapat melakukan tugas
dengan lebih baik dan efisien).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebugaran
Jasmani
Mc Ardle, et al (1994:96) menyatakan
bahwa “the effect of body mass”. Ini berarti
massa tubuh adalah salah satu factor yang
mempengaruhi kebugaran jasmani. Artinya ukuran
tubuh seseorang sangat menentukan dalam
melakukan aktivitas fisik. Selain itu Mc Ardle
(1994:131) menambahkan bahwa program latihan
fisik juga dapat mempengaruhi kebugaran jasmani
tanpa memperhitungkan latar belakang kesehatan
seseorang.
Bouchard, et al (1993:19) mengemukakan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
kebugaran jasmani seseorang yaitu ; gaya hidup,
aktivitas fisik, lingkungan fisik, lingkungan sosial
dan atribut-atribut pribadi.
Perkembangan Fisik Anak – anak SD Kelas
Tinggi.
Anak SD kelas tinggi adalah anak usia
sekitar 10 – 12 tahun. Laki-laki maupun
perempuan, sejalan dengan pertumbuhan dan
perkembangan mereka semakin tinggi dan semakin
besar maka kemampuan fisik pun meningkat.
Beberapa macam kemampuan fisik yang cukup
nyata menurut Depdiknas (2002:42) adalah
kekuatan, fleksibilitas , keseimbangan dan
koordinasi. Ditambahkan bahwa anak perempuan
peningkatan kekuatan tercepatnya dicapai pada
usia antara 9 – 10 tahun, sedangkan pada anak
laki-laki dicapai pada usia 11-12 tahun.
Faktor - faktor yang Mempengaruhi
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Besar.
Pertumbuhan adalah proses peningkatan
yang ada pada diri seseorang yang bersifat
kuantitatif atau peningkatan dalam hal ukuran
(Depdiknas, 2002:4). Istilah pertumbuhan kadang-
kadang digunakan dalam kaitannya dengan
peningkatan kemampuan intelektual dan
sosial,tetapi dalam studi perkembangan gerak
cenderung digunakan dalam kaitannya dengan
peningkatan ukuran fisik, seperti bertambahnya
tinggi badan, lebar bahu, lebar panggul, ketebalan
dada, berat badan dan sebagainya.
Sedangkan perkembangan adalah proses
perubahan kapasitas fungsional atau kemampuan
kerja organ-organ tubuh ke arah kedaan yang
makin terorganisasi dan terspesialisasi. Makin
terorganisasi artinya organ-organ tubuh semakin
bisa dikendalikan sesuai dengan kemauan
fungsinya masing-masing (Depdiknas, 2002:5).
Sebagai contoh adalah anak kecil mula-mula baru
bisa memegang bola dan belum bisa memantul-
mantulkannya ke lantai, kemudian baru bisa
memangtul-mantulkannya sekali-dua kali, dan
selanjutnya bisa melakukannya dengan gerakan
yang lancer menggunakan dua tangan atau satu
tangan berulang kali tanpa terlepas.
Adapaun faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan individu secara
singkat dapat disebutkan sebagai berikut : (1) gizi
makanan, (2) aktivitas fisik dan kondisi emosional,
(3) penyakit yang diidap, (4) Obat-obatan, alkohol
dan rokok. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan fisik menurut Tanner
(1978) dalam Depdiknas (2002:20) adalah sebagai
berikut : (1) keturunan, (2) pengaruh gizi, (3)
perbedaan suku, (4) musim dan iklim, (5)
penyakit, (6) himpitan psikososial, (7) urbanisasi,
(8) jumlah keluarga dan status sosial ekonomi, (9)
kecenderungan sekuler.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode kausal
komparatif dengan tujuan untuk mencari
hubungan sebab – akibat yang terjadi berdasarkan
data yang ada kemudian mencari factor-faktor
peneyebabnya.
Variabel Penelitian
Penelitian ini hanya satu variabel yaitu kebugaran
jasmani sebagai variabel konsekwen , sedangkan
lokasi SD kota dan SD Konawe Selatan sebagai
variabel anteseden.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah 891
orang siswa, berasal dari SDN 1 Kendari Barat,
SDN 21 Kendari Barat, SDN 12 Baruga (SD kota
Kendari), dan SD Kecil Negeri Bungin Kecamatan
Tinanggea, dan SDN Saponda Darat kecamatan
33
Soropia (SD pedalaman Konsel) sedangkan
sampelnya terdiri dari 147 orang siswa putra dan
putri.
Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian ini adalah tes
kebugaran jasmani yang terdiri dari (1) lari cepat
40 meter, (2) angkat tubuh (pull up) selama 30
detik, (3) baring duduk (sit up) 30 detik, (4) loncat
tegak (vertical jump) dan (5) lari 600 meter.
Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini
dengan cara melakukan tes dan pengukuran
masing-masing item sebagai berikut.
1. Lari cepat 40 meter diukur dengan waktu,
menggunakan stop watch.
2. Angkat tubuh (pull up) diukur dengan waktu
menggunakan stop watch, berapa kali
kemampuan mengangkat naik turun tubuh
selama 30 detik.
3. Baring duduk (sit up) juga diukur dengan
waktu menggunakan stop watch, berapa kali
baring dan duduk selama 30 detik.
4. Loncat tegak (vertical jump), tes kemampuan
meloncat tegak ke atas sebanyak 3 kali
loncatan dengan raihan, diukur dengan satuan
meter/sentimeter.
5. Lari 600 meter diukur dengan waktu juga
menggunakan stop watch, berapa menit/detik
yang dicapai dari star hingga finish.
Pengolahan, Analisis dan Penafsiran Data.
Hasil uji normalitas data, bahwa semua
data berdistribusi normal pada taraf signifikansi
0,05. Pengujian homogenitas variansi data dengan
menggunakan program SPSS 6,0 dan 7,5 for
windows.
Hasil Uji Perbedaan Rata-Rata
Rangkuman Hasil Uji Beda Rata-Rata
Kebugaran Jasmani Anak Laki-Laki Kelas
Tinggi (IV,V, dan VI) SD Kota Kendari dan SD
Konawe Selatan.
Secara rata-rata anak laki-laki kelas IV SD
Negeri di Konawe Selatan tingkat kebugaran
jasmaninya lebih baik dibanding dengan anak
laki-laki kelas IV SD Negeri di Kota Kendari dari
5 item tes kebugaran jasmani yang dilakukan.
Demikian pula di kelas V, kecuali pada item tes
sit up antara SD Konsel dan SD kota tidak ada
perbedaan. Untuk item tes pull up anak-anak SD
Konawe Selatan (Konsel) lebih baik disbanding
dengan anak-anak SD di Kota Kendari. Demikian
pula pada item tes vertical jump, lari cepat 40
meter dan lari jauh 600 meter anak laki-laki SD
Konsel sebih baik dibanding dengan dengan anak
laki-laki SD Kota Kendari.
Untuk kelas VI pada item tes pull up 30
detik, sit up 30 detik dan vertical jump tidak ada
perbedaan antara anak laki-laki SD Konsel dengan
anak laki-laki SD Kota Kendari, kecuali pada item
tes lari cepat 40 meter dan lari jauh 600 meter
anak laki-laki SD Konsel lebih baik dibanding
dengan anak laki-laki SD Kota Kendari.
Rangkuman Hasil Uji Beda Rata-Rata
Kebugaran Jasmani Anak Perempuan Kelas
Tinggi (IV,V, dan VI) SD Kota Kendari dan SD
Konawe Selatan.
Secara umum kebugaran jasmani anak
perempuan kelas IV SD Konsel tidak ada
berbedaan dibanding dengan kebugaran jasmani
anak perempuan kelas IV SD di Kota Kendari,
kecuali pada item tes lari cepat 40 meter dengan
lari jauh 600 meter. Lari cepat 40 meter dan lari
jauh 600 meter anak perempuan SD di Konawe
Selatan lebih baik dibanding dengan anak
perempuan SD di kota Kendari. Demikian pula
kebugaran jasmani anak-anak perempuan kelas V,
antara anak SD Konawe Selatan dengan anak
perempuan kota Kendari tidak ada perbedaan,
kecuali pada item tes pull up, sit up dan vertical
jump. Pull up, sit up dan vertical jump anak-anak
perempuan kelas V SD Konawe Selatan lebih baik
dibanding dengan anak-anak perempuan kelas V
SD Kota Kendari.
Untuk kelas VI, antara anak-anak
perempuan SD kota Kendari dengan anak-anak
perempuan SD di Konawe Selatan tidak ada
perbedaan kebugaran jasmani, kecuali pada item
tes lari cepat 40 meter, sit up 30 detik dan vertical
jump. Lari cepat 40 meter dan sit up 30 detik serta
vertical jump lebih baik anak-anak perempuan SD
di Konawe Selatan dibanding dengan anak-anak
perempuan SD di kota Kendari.
34
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN
Lari cepat 40 meter mulai dari kelas
IV,V, dan VI lebih baik anak laki-laki SD
Konawe Selatan dibanding dengan anak laki-laki
SD di kota Kendari. Hal ini dapat dimungkinkan
karena anak pedalaman terbiasa dengan aktivitas
fisik yang mereka lakukan tanpa batas, disamping
itu didukung pula dengan lingkungan alam yang
begitu luas. Anak-anak SD di pedalaman lebih
leluasa mengeksploitasi lingkungan dibanding
dengan anak-anak SD di kota. Untuk perempuan
kecepatan lari 40 meter anak kelas IV dan V SD
Konawe Selatan lebih baik dibanding dengan anak
SD kota Kendari. Di kelas VI anak perempuan SD
Konawe Selatan lebih baik dibanding dengan anak
SD kota Kendari. Hal ini sama dengan yang
ditemukan oleh AAHPER (1976) yang dikutip
oleh Gallahua (1985) dalam Sajoto (1988:55) yang
mengatakan bahwa kecepatan anak - anak
biasanya makin membaik sampai pada usia 12
tahun, baik pada anak laki-laki maupun wanita.
Tetapi setelah itu biasanya anak-anak wanita tidak
menunjukkan kemajuan, sedang anak laki-laki
cenderung membaik sampai usia belasan tahun
saja.
Pull up dan sit up anak laki-laki kelas IV
SD pedalaman lebih baik dibanding dengan anak-
anak SD kota Kendari. Sedangkan di kelas V dan
VI tidak ada perbedaan antara anak pedalaman
dengan anak-anak SD kota Kendari. Untuk anak
perempuan di kelas V dan VI SD Konawe Selatan
lebih baik dibanding dengan anak SD kota
Kendari. Menganai masalah ini banyak hal yang
menjadi pertimbangan di antaranya adalah faktor
kematangan fisik dan fisiologis anak besar karena
pada masa anak besar menurut Waharsono dan
Sajoto dalam Depdiknas (2002:32) pada masa ini
terjadi kemampuan fisik yang semakin jelas
terutama dalam hal kekuatan, fleksibilitas,
keseimbangan dan koordinasi. Karena
pertumbuhan dan tingkat kematangan fisik dan
fisiologis membawa dampak pada perkembangan
kemampuan fisik. Pertumbuhan fisik erat
kaitannya dengan terjadinya proses peningkatan
kematangan fisiologis pada diri setiap individu.
Vertical jump anak laki-laki kelas IV dan
V SD Konawe Selatan lebih baik dibanding
dengan anak laki-laki SD kota Kendari tetapi di
kelas VI anak laki-laki SD kota Kendari lebih baik
dibanding dengan anak SD Konawe
Selatan.Unggulnya anak-anak kota di item vertical
jump diduga kuat karena pengaruh kebiasaan
bermain basket di halaman rumah dan di sekolah
disamping berbagai kegiatan fisik lain yang
dilakukan anak-anak di luar lingkungan sekolah.
Untuk perempuan kelas IV SD Konawe Selatan
tidak ada perbedaan dengan anak SD kota
Kendari. Sedangkan di kelas V dan kelas VI anak-
anak perempuan SD Konawe Selatan lebih baik
dibanding dengan anak-anak SD di kota Kendari.
Hal ini terjadi karena akibat seringnya melakukan
aktivitas fisik membatu orang tua bekerja
menyelesaikan tugas-tugas rutin di rumah dan
kegiatan bermain tradisional seperti bermain tali,
berlari di jalanan, dan berbagai aktivitas lainnya
yang tanpa disadari bahwa aktivitas fisik tersebut
ternyata turut mendukung perkembangan
kemampuan fisik untuk melakukan suatu
keterampilan gerak (vertical jump). Dalam
hubungan inilah sehingga Rusli Lutan (1988:367)
mengatakan bahwa perkembangan dan penguasaan
keterampilan gerak pada umumnya dipengaruhi
oleh kondisi lingkungan sosial budaya.Yang
dimaksud lingkungan sosial budaya di sini adalah
kebiasaan hidup seseorang manusia dimana saja
ia berdomisili.
Lari jauh 600 meter, secara umum anak
laki-laki SD di Konawe Selatan lebih baik
dibanding dengan anak-anak SD di kota Kendari.
Hal ini dapat diduga bahwa anak laki-laki
pedesaan kebebasan beraktivitasnya lebih banyak
dibandingkan dengan anak-anak SD di kota
Kendari seperti, berjalan kaki ke sekolah, bermain
kejar-kejaran, bermain hadang , bermain enggo
dan setumpuk jenis permainan tradisional lainnya
bahkan termasuk permainan modern seperti sepak
bola (futsal) dan lain-lain yang dapat dilakukan di
mana saja tanpa tedeng aling-aling. Kebiasaan-
kebiasaan semacam ini ternyata merupakan suatu
kontribusi yang besar untuk meningkatkan
kemampuan berlari. Sedangkan untuk perempuan
antara anak SD Konawe Selatan dengan anak SD
kota Kendari tidak ada perbedaan.
Masalah ini berkaitan dengan masa
berakhirnya tingkat kematangan fisik dan
fisiologis anak dan kemampuan berlari tentu tidak
lepas dari salah satu faktor pendukungnya yaitu
faktor kebugaran jasmani anak itu
sendiri.Kemudian secara psikologis
35
perkembangan fisik dan fisiologi bagi anak
perempuan biasanya pada umur-umur 11 sampai
12 tahun mengalami penurunan kecepatan berlari.
Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Sugiyanto dan Sudjarwo (1992:155) bahwa
penampilan kebugaran jasmani anak laki-laki
meningkat secara teratur sesuai bertambahnya
umur sampai kira-kira 12 tahun, setelah umur
tersebut penanmpilan meningkat secara drastis,
sebaliknya penampilan anak perempuan setelah
umur 12 tahun makin menurun.
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
Kesimpulan
1. Kebugaran jasmani anak SD kelas tinggi di
Konawe Selatan berbeda dengan kebugaran
jasmani ana-anak SD di kota Kendari.
2. Kebugaran jasmani anak SD kelas tinggi
Konawe Selatan lebih baik dibanding dengan
anak- anak SD di kota Kendari.
3. Terjadinya perbedaan kebugaran jasmani
kelas tinggi SD Konawe Selatan dengan SD
di kota Kendari umumnya dipengaruhi oleh
faktor lingkungan sosial budaya setempat.
4.
Saran-saran
1. Disarankan kepada para guru penjas SD agar
pengajaran praktek langsung di lapangan lebih
diprioritaskan daripada pengajaran teori di
dalam kelas.
2. Pengajaran penjas sebaiknya menggunakan
pendekatan modifikasi agar sesuai dengan
kondisi sekolah dan perkembangan peserta
didik.
3. Para orang tua anak SD baik di Konawe
Selatan maupun orang-orang tua anak SD di
kota Kendari sebaiknya lebih banyak memberi
peluang kepada anaknya untuk melakukan
aktivitas fisik dalam kehidupan sehari-hari
demi terciptanya kebugaran jasmani anak itu
sendiri.
4 Pemerintah daerah dalam mendirikan gedung
SD sebaiknya menyiapkannya dengan halaman
yang representatif untuk tempat bermain anak-
anak atau lapangan yang memadai untuk
kegiatan praktek pengajaran pendidikan
jasmani.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Yogyakarta dan Wahana Komputer
Semarang (1997), Analisis Statistik
Non
Parametrik dengan SPSS 7.5 for Windows 95,
(Terbitan kerjasama).
________(1998), Panduan Lengkap SPSS 6.0 for
Windows (Terbitan kerjasama).
Bouchard, Claude, et al (1993), Physical Activity,
Fitness, and Health Concensus
Statement, USA : Human Kinetics
Publishers.
36
MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP DASAR IPA MELALUI METODE DISCOVERY
PADA MAHASISWA S1 PGSD SEMESTER II FKIP UNIVERSITAS HALUOLEO1
Dorce B.Pabunga2
Abstrak. Telah dilakukan penelitian dengan judul: “Meningkatkan Pemahaman Konsep Dasar IPA
Melalui Metode Discovery pada Mahasiswa S1 PGSD Semester II FKIP Universitas Haluoleo”.
Tujuan penelitian adalah: 1) Untuk meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam menyelesaikan soal
IPA dengan peningkatan pemahaman konsep IPA melalui metode discovery; dan 2) Untuk mengetahui
peningkatan pemahaman konsep dasar IPA mahasiswa S1 PGSD Semester II FKIP Unhalu. Metode
yang digunakan adalah desain penelitian tindakan kelas melalui 2 (dua) siklus, dengan tahapan: (1)
perencanaan; (2) pelaksanaan tindakan; (3) observasi dan evaluasi; (4) refleksi. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) Penerapan metode Discovery dapat meningkatkan kreativitas mahasiswa
dalam proses pembelajaran; dan 2) Penggunaan metode Discovery dapat meningkatkan pemahaman
Konsep dasar IPA mahasiswa S1 PGSD Semester II FKIP Unhalu tahun akademik 2009/2010.
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen Jurusan Pendidikan FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidkan IPA dewasa ini diarahkan pada
pengembangan individu yang melek sains dan
teknologi telah menjadi penekanan dalam
pelaksanaan kurikulum yang berlaku yang
diarahkan pada kemampuan berpikir kritis dan
kreatif berdasarkan metode ilmiah
Konsep IPA adalah suatu ide yang
mempersatukan fakta-fakta. Konsep merupkan
penggabungan antara fakta-fakta yang ada
hubungannya satu sama lain. Contoh: semua zat
tersusun atas partikel-partikel; benda-benda hidup
dipengaruhi oleh lingkungan; materi akan berubah
tingkat wujudnya bila menyerap atau melepaskan
energi; Prinsip IPA adalah generalisasi tentang
hubungan antara konsep-konsp IPA. Contohnya:
udara yang dipanaskan memuai, adalah prinsip
menghubungkan konsep udara, panas, pemuaian.
Artinya udara akan memuai jika udara tersebut
dipanaskan, sedangkan Teori ilmiah merupakan
karangka yang lebih luas dari fakta-fakta, konsep-
konsep, dan prinsip-prinsip yang saling
berhubungan. Teori bisa juga dikatakan sebagai
model, atau gambar yang dibuat oleh ilmuan untuk
menjelaskan gejala alam. Contoh, teori
meteorologi membantu para ilmuan untuk
memahami mengapa dan bagaimana kabut dan
awan terbentuk.
Di dalam Purnell’s; Concise Dictionary of
Science ... (1983), yang terjemahannya ”IPA
adalah pengetahuan manusia yang luas yang
didapatkan dengan cara observasi dan eksprimen
yang sistimatik, serta dijelaskan dengan bantuan
aturan-aturan, hukum-hukum, prinsip-prinsip,
teori-teori dan hipotesa-hipotesa”. Jadi, sekali pun
Anda dalam IPA bebas mempelajari segala
sesuatu, ketika akan menggunakannya perlu
dipikirkan hal-hal lain yang juga mendasar.
Pertama, apakah cukup merusak atau tidak.
Kedua, apakah melanggar etika- estetika atau
tidak, Ketiga, apakah ini benar, dan (karena itu)
boleh dilakukan atau tidak. Jika, tidak merusak,
jika tidak melanggar etika dan estetika, dan jika itu
benar dan boleh, maka lakukanlah. Tetapi, kalau
ketiga petanyaan itu ada jawaban yang negative,
maka lupakan saja rencana Anda. Karena,
mungkin akan merusak, mungkin melanggar etika-
estetika, mungkin melnggar moral. Maka dari itu,
IPA dalam implimentasinya tidak lepas
keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain sebagaimana
keterkaitannya ilmu lain itu dengan ilmu lainnya.
Kekurang tepatan menggunakan suatu
metode dapat menimbulkan kebosanan, kurang
dipahami dan monoton sehingga mengakibatkan
sikap yang acuh terhadap pelajaran IPA. Masalah
ini seringkali menghambat dalam pembelajaran.
Kurang tepatnya pemilihan metode mengajar oleh
guru akan mempengaruhi pretasi belajar yang
dicapai oleh mahasiswa. Selain metode mengajar
hal lain yang juga sangat mempengaruhi adalah
minat mahasiswa dalam pelajaran IPA pada
khususnya masih sangat rendah. Hal ini karena
37
mahasiswa beranggapan bahwa IPA adalah
pelajaran yang sulit dan menakutkan.
Suatu kesalahan yang sering terjadi adalah
ketika dosen kurang memperhatikan tingkat
pemahaman mahasiswa dalam mengikuti
perubahan tahap demi tahap dalam mencapai
materi pelajaran, mahasiswa hanya di buat
tercengang oleh dosen dalam mempermainkan
rumus yang begitu runtut dalam sebuah rangkaian
pokok bahasan. Kondisi ini mungkin bagi dosen
suatu pekerjaan yang remeh jika sekedar menulis
rumus yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai
penuntun mahasiswa dalam memahami materi dan
penyelesaian soal-soal.
Untuk mengantisipasi masalah tersebut
maka perlu dicarikan suatu formula pembelajaran
yang tepat sehingga dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah IPA mahasiswa.
Para guru hendaknya terus berusaha menyusun
dan menerapkan berbagai cara variansi agar
mahasiswa tertarik dan bersemangat dalam
mengikuti pelajaran IPA salah satunya melalui
metode discovery.
Melalui pendekatan pembelajaran
discovery, yaitu mengajak mahasiswa untuk dapat
menemukan masalah-masalah yang berkaitan
dengan materi pelajaran sehingga mahasiswa
dapat terlibat secara aktif dalam proses belajar
mengajar. Guru atau dosen sebagai fasilisator
menciptakan proses belajar aktif, kreatif dan
menyenangkan secara garis besar proses
pembelajaran dengan discovery. Dalam langkah
ini mahasiswa diminta kembali untuk menganalisis
hasil eksperimen yang di lakukan kelompoknya
dengan jalan diberi lembar kegiatan mandiri yang
masih relevan dengan hasil percobaan untuk
dikerjakan secara individu. Dalam proses ini
bertujuan agar mahasiswa dapat mengembangkan
kemampuan berfikir dan dapat menemukan
kesimpulan dari jawaban dari permasalahan yang
ada. Langkah yang ada terakhir adalah
memberikan tugas mandiri kepada mahasiswa
untuk dikerjakan di rumah.
Masalah yang dapat teridentifikasi selama
ini adalah bahwa: 1) Hasil belajar Konsep Dasar
IPA mahamahasiswa relatif lebih rendah jika
dibandingkan dengan nilai mata kuliah lainnya,
sehingga sampai saat ini belum sesuai dengan
harapan; 2) Faktor yang mempengaruhi prestasi
belajar mahamahasiswa yang berupa faktor
individual dan faktor sosial belum dioptimalkan
dalam proses belajar mengajar; 3) Faktor yang
berasal dari diri mahamahasiswa yang berupa
kecerdasan interpersonal belum dioptimalkan
dalam belajar; 4) Setiap mahamahasiswa
mempunyai kecerdasan intrepersonal yang
berbeda-beda adabyang mempunyai skor tinggi
dalam kecerdasan interpersonal dan ada yang
tidak. Sehingga ada yang dapat memotivasi
terhadap dirinya dan ada yang acuh terhadap
dirinya sendiri.
Kenyataan-kenyataan seperti di atas itulah
yang mendorong peneliti untuk mengadakan
penelitian dengan judul “Meningkatkan
Pemahaman Konsep Dasar IPA Melalui
Metode Discovery pada Mahasiswa S1 PGSD
Semester II FKIP Universitas Haluoleo.
B. Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah “
Apakah dengan menggunakan metode discovery
keaktivan dan pemahaman konsep IPA mahasiswa
S1 PGSD Semester II FKIP Unhalu dapat
ditingkatkan?”.
C. Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah “
Apakah dengan menggunakan metode discovery
keaktivan dan pemahaman konsep IPA mahasiswa
S1 PGSD Semester II FKIP Unhalu dapat
ditingkatkan?”.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kesulitan dalam Mempelajari IPA
Pada umumnya seorang akan tertarik
untuk mempelajari sesuatu bila yang bersangkutan
bisa merasakan manfaat bagi dirinya, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Begitu pula
dengan minat mahasiswa terhadap mata pelajaran
IPA di sekolah maupun di perguruan tinggi turut
mempengaruhi hasil belajar mahasiswa tersebut.
Dalam proses belajar mengajar seorang
guru selalu dituntut untuk dapat membantu
mahasiswa yang mengalami kesulitan belajar.
Partowisastro dan Hadi Suparto (1978 : 21)
mengatakan bahwa salah satu tugas yang paling
sulit untuk seorang guru dan penyuluh pendidikan
adalah tugas untuk mengadakan dan membantu
38
pemecahan kesulitan belajar yang dihadapi para
mahasiswa. Kesulitan untuk mengadakan diagnosa
dan membantu memecahkan kesulitan belajar
disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Penyebab kesulitan belajar yang dihadapi para
mahasiswa itu sangat beraneka ragam.
2. Kesulitan belajar itu sangat kompleks,
sehingga penyebab tersebut tidak dapat
dipahami secara sempurna oleh ahli sekalipun.
3. Suatu usaha pemecahan kesulitan belajar
dapat dilakukan dengan baik dan berhasil untuk
seorang mahasiswa akan tetapi belum tentu
berhasil dalam memecahkan kesulitan belajar
mahasiswa lain.
Meskipun disadari begitu beraneka ragam
dan kompleksnya kesulitan belajar yang dihadapi
mahasiswa, tetapi perlu dari para guru untuk
memastikan di mana letak atau kesulitan yang
mengganggunya sehingga dapat memperbaiki
kesulitan belajarnya.
Sehubungan dengan pendapat tersebut,
Silverius (1991 : 160) menyatakan bahwa terdapat
empat langkah utama dalam memperbaiki
kesulitan belajar yaitu:
1. Menentukan mahasiswa yang mana yang
mempunyai kesulitan belajar.
2. Menentukan wujud khusus dari kesulitan
belajar itu.
3. Menentukan faktor-faktor yang menyebabkan
kesulitan belajar.
4. Menentukan prosedur remedial yang sesuai.
B. Menentukan Mahasiswa yang Mempunyai
Kesulitan Belajar.
Menentukan mahasiswa yang mengalami
kesulitan belajar dapat digunakan prestasi belajar
yang diperolehnya sebagai salah satu indikator.
Apabila mahasiswa memperoleh prestasi di bawah
target yang harus dicapai atau mahasiswa tersebut
belum mencapai kemampuan minimal maka
mahasiswa dimaksud mengalami kesulitan belajar.
Jika ditinjau lebih lanjut apa yang telah
diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa mengalami kesulitan dalam
mempelajari IPA akan memperoleh prestasi
belajar rendah. Hal tersebut disebabkah oleh
adanya gangguan belajar yang diidentifikasikan
dari kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan
soal IPA kepadanya.
C. Menentukan Wujud Khusus dari Kesulitan
Belajar
Untuk mengetahui wujud khsusus dari
kesulitan belajar mahasiswa dalam mempelajari
IPA maka dilakukan proses analisis. Adapun
proses analisis tersebut melalui tahapan yakni
tahap transkripsi, klasifikasi dan kesimpulan.
D. Kesulitan dalam Mempelajari IPA
Pada umumnya seorang akan tertarik
untuk mempelajari sesuatu bila yang bersangkutan
bisa merasakan manfaat bagi dirinya, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Begitu pula
dengan minat mahasiswa terhadap mata pelajaran
IPA di sekolah maupun di perguruan tinggi turut
mempengaruhi hasil belajar mahasiswa tersebut.
Dalam proses belajar mengajar seorang
guru selalu dituntut untuk dapat membantu
mahasiswa yang mengalami kesulitan belajar.
Partowisastro dan Hadi Suparto (1978 : 21)
mengatakan bahwa salah satu tugas yang paling
sulit untuk seorang guru dan penyuluh pendidikan
adalah tugas untuk mengadakan dan membantu
pemecahan kesulitan belajar yang dihadapi para
mahasiswa. Kesulitan untuk mengadakan diagnosa
dan membantu memecahkan kesulitan belajar
disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Penyebab kesulitan belajar yang dihadapi para
mahasiswa itu sangat beraneka ragam.
2. Kesulitan belajar itu sangat kompleks, sehingga
penyebab tersebut tidak dapat dipahami secara
sempurna oleh ahli sekalipun.
3. Suatu usaha pemecahan kesulitan belajar dapat
dilakukan dengan baik dan berhasil untuk
seorang mahasiswa akan tetapi belum tentu
berhasil dalam memecahkan kesulitan belajar
mahasiswa lain.
Meskipun disadari begitu beraneka ragam
dan kompleksnya kesulitan belajar yang dihadapi
mahasiswa, tetapi perlu dari para guru untuk
memastikan di mana letak atau kesulitan yang
mengganggunya sehingga dapat memperbaiki
kesulitan belajarnya.
Sehubungan dengan pendapat tersebut,
Silverius (1991 : 160) menyatakan bahwa terdapat
39
empat langkah utama dalam memperbaiki
kesulitan belajar yaitu:
1. Menentukan mahasiswa yang mana yang
mempunyai kesulitan belajar.
2. Menentukan wujud khusus dari kesulitan
belajar itu.
3. Menentukan faktor-faktor yang menyebabkan
kesulitan belajar.
4. Menentukan prosedur remedial yang sesuai.
E. Menentukan Mahasiswa yang Mempunyai
Kesulitan Belajar.
Menentukan mahasiswa yang mengalami
kesulitan belajar dapat digunakan prestasi belajar
yang diperolehnya sebagai salah satu indikator.
Apabila mahasiswa memperoleh prestasi di bawah
target yang harus dicapai atau mahasiswa tersebut
belum mencapai kemampuan minimal maka
mahasiswa dimaksud mengalami kesulitan belajar.
Jika ditinjau lebih lanjut apa yang telah
diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa
mahasiswa mengalami kesulitan dalam
mempelajari IPA akan memperoleh prestasi
belajar rendah. Hal tersebut disebabkah oleh
adanya gangguan belajar yang diidentifikasikan
dari kesalahan mahasiswa dalam menyelesaikan
soal IPA kepadanya.
F. Menentukan Wujud Khusus dari Kesulitan
Belajar
Untuk mengetahui wujud khsusus dari
kesulitan belajar mahasiswa dalam mempelajari
IPA maka dilakukan proses analisis. Adapun
proses analisis tersebut melalui tahapan yakni
tahap transkripsi, klasifikasi dan kesimpulan.
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
Subyek penelitian
Subyek penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa S1 PGSD Semester II FKIP
Universitas Haluoleo Kendari tahun ajaran
2008/2009 yang berjumlah 53 orang.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
tindakan kelas dengan menyelidiki variabel
penelitian berupa tingkat kemampuan pemahaman
Konsep IPA mahasiswa yang diajar dengan
metode discovery.
Prosedur penelitian ini meliputi: 1)
perencanaan; 2) pelaksanaan tindakan; 3)
observasi dan evaluasi; dan 4) refleksi dalam
setiap siklus. Secara rinci kegiatan pada masing-
masing tahap ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Perencanaan tindakan atau alternatif
pemecahan masalah yang timbul dalam
pengajaran di kelas.
Kegiatan pada tahap ini meliputi: (a) Tim
peneliti berdiskusi, dan mengidentifikasi
masalah pembelajaran, serta menetapkan
alternatif tindakan untuk mengatasi masalah
yang dihadapi dalam pembelajaran IPA. (b)
Tim Peneliti menyamakan persepsi tentang
konsep pembelajaran discovery yang akan
diterapkan dalam pembelajaran IPA. (c) Tim
peneliti perencanaan pengajaran/skenario
pembelajaran sesuai dengan tahap-tahap model
discovery yang akan diterapkan untuk
mempercepat pemahaman mengenai konsep
IPA mahasiswa. (d) Tim peneliti
mengembangkan format pengamatan
pembelajaran untuk melihat kemajuan tingkat
pemahaman mahasiswa.
2) Pelaksanaan tindakan
Kegiatan pada tahap ini adalah
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
penerapan metode discovery dalam pembelajaran
stoikiometri larutan sesuai dengan rencana
pengajaran yang akan dilaksanakan oleh seorang
dosen yang telah ditetapkan bersama sebelumnya.
3) Observasi dan Evaluasi
Dalam tahap ini dilaksanakan observasi
terhadap pelaksanaan tindakan dengan
menggunakan format pengamatan pembelajaran
yang telah dirancang sebelumnya.
4) Refleksi
Kegiatan refleksi bertujuan untuk
menganalsis data pada setiap akhir siklus dengan
prosedur analisis sebagai berikut: mereduksi data;
menyajikan data; dan penyimpulan. Refleksi
dilakukan terhadap seluruh hasil observasi oleh
40
tim dosen untuk menentukan tindakan pada tahap
berikutnya.
Adapun indikator dalam penelitian ini
adalah sebanyak 80%. Mahasiswa memiliki
penguasaan konsep dasar IPA telah mencapai
kebenaran 70%
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
1. Tindakan Siklus I
a. Observasi
Hasil observasi terhadap aktivitas
mahasiswa menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
(1). Pada pertemuan pertama (penelitian),
mahasiswa terlihat masih berupaya menyesuaikan
diri dengan penerapan metode Discovery yang
diwujudkan dengan praktikum IPA. Untuk
pertemuan selanjutnya mahasiswa sudah merasa
mulai terbiasa dengan upaya dosen meningkatkan
pelibatan mahasiswa dalam memahami materi
yang disajikan untuk meningkatkan pemahaman
konsep dasar IPA. (2). Dari lembar observasi
pengamatan diskusi kelompok diperoleh bahwa
mahasiswa belum sepenuhnya aktif dalam proses
diskusi kelompok, dan kebanyakan mahasiswa
aktif jika dosen melakukan arahan-arahan
seperlunya dalam merangsang motivasi mereka.
(3). Sumber atau bahan pelajaran sudah disiapkan
oleh dosen berupa panduan praktikum, sehingga
dengan sumber belajar ini mahasiswa dapat
merangkum materi yang dianggap penting.
Meskipun demikian mahasiswa hanya menjadikan
itu menjadi rujukan utama dan tidak berupaya
membawa sumber lain sebagai rujukan
tambahan.(4). Sebagian mahasiswa tidak
memperhatikan penjelasan hasil diskusi dari
kelompok lain, serta tidak termotivasi tidak aktif
pada saat kelompok lain mengemukakan hasil
diskusinya setelah melaksanakan kegiatan
pembelajaran.
Sementara itu, hasil observasi terhadap
kegiatan dosen menunjukkan hal-hal sebagai
berikut: (1). Pada pertemuan pertama, dosen
belum sepenuhnya efektif dalam menyampaikan
tujuan dari pancapaian hasil belajar yang akan
diperoleh mahasiswa setelah proses pembelajaran
selesai. Sedangkan untuk pertemuan selanjutnya
dosen sudah menyampaikan pencapaian hasil
belajar secara lisan dengan baik. (2). Dosen
memantau jalannya diskusi dan
membantu/membimbing kelompok-kelompok yang
mengalami kesulitan, baik dalam prosesur maupun
dalam kaitannya dengan pemahaman konsep
materi IPA yang disampaikan. (3). Pada pertemuan
pertama, dosen sebagai pembimbing belum
sepenuhnya dapat mengorganisasikan waktu
dengan baik. Hal ini terlihat dari bertambahnya
waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan praktikum,
akibatnya kegiatan penyelesaian akhir
dilaksanakan dengan menambah waktu pulang
mahasiswa.
Dari hasil observasi terhadap dosen,
terlihat bahwa masih ada langkah-langkah dalam
proses pembelajaran yang belum dilakukan dari
beberapa langkah yang mesti dilakukan dalam
proses pembelajaran dengan menggunakan metode
Discovery. Langkah tersebut adalah dosen belum
fektif dalam membantu/mengarahkan mahasiswa
dalam kelompok yang mengalami kesulitan dalam
menyelesaikan soal dan laporan sementara.
b. Evaluasi
Setelah materi ajar mengenai Konsep
Dasar IPA yang diajarkan dengan metode
Discovery selama 1 kali pertemuan sudah dirasa
cukup, maka pada pertemuan kedua dilakukan
evaluasi atau tes tindakan siklus I. Hal ini
dilakukan untuk melihat sejauhmana peningkatan
pemahaman konsep dasar IPA mahasiswa setelah
menerapkan metode Discovery. Siswa tetap harus
bertanggung jawab secara individu terhadap hasil
belajarnya masing-masing, meskipun dalam proses
pembelajaran dilakukan secara berkelompok.
Secara umum tindakan siklus I belum
memenuhi criteria ketuntasan yang diharapkan,
sehingga proses pembelajran ini perlu direfleksi
lebih mendalam untuk menemukan solusi bagi
pemecahan masalah yang belum terpecahkan,
sehingga pada siklus berikutnya lebih baik.
c. Refleksi
Pada tahap ini, tim peneliti secara
kolaboratif menilai dan mendiskusikan
kelemahan-kelemahan dan kekurangan-
kekurangan yang terdapat pada pelaksanaan
tindakan siklus I untuk kemudian diperbaiki dan
dilaksanakan pada tindakan siklus II. Pada
tindakan siklus I berdasarkan persentase
41
pelaksanaan metode Discovery melalaui
pelaksanaan praktikum, terlihat bahwa penerapan
metode pembelajaran ini belum maksimal/belum
sempurna.
Berdasarkan hasil observasi, tim peneliti
berasumsi bahwa mahasiswa belum menunjukkan
aktivitas pembelajaran yang seharusnya ada pada
metode Discovery. Hal ini terlihat dari kurangnya
mahasiswa yang berdiskusi untuk menyelesaikan
soal-soal kelompok yang harus diselesaikan,
karena dalam model pembelajaran ini menekankan
pada saling memotivasi antara mahasiswa untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan untuk
diselesaikan bersama dalam kelompok. Masih ada
mahasiswa yang acuh tak acuh pada proses kerja
kelompok, akibatnya banyak mahasiswa yang
belum mampu menjawab soal ketika dilakukan tes
tindakan siklus I. Untuk mengatasi hal ini maka
tim peneliti melakukan pengawasan yang lebih
baik pada saat diskusi dan menginformasikan
bahwa selama kegiatan pembelajaran berlangsung,
sikap dan keaktifan menjadi salah satu aspek yang
dinilai.
Tindakan Siklus II
a. Observasi
Proses pembelajaran dengan menerapkan
metode Discovery pada tindakan siklus II telah
mengalami peningkatan perbaikan kualitas.
Berdasarkan hasil observasi terhadap aktivitas
mahasiswa selama proses pembelajaran
berlangsung menunjukkan hal-hal sebagai berikut:
(1) Sebagian besar mahasisiswa telah memberikan
perhatian penuh pada materi yang diajarkan dan
kegiatan kelompok yang berkaitan dengan
aktivitasnya masing-masing. Hal ini terlihat ketika
dosen melakukan interaksi dan melakukan tanya
jawab terjadi umpan balik yang sangat baik dan
responsif dari mahasiswa. (2) Sebagian besar
mahasiswa telah mampu bekerja sama dalam
kelompok, saling berbagi tugas untuk
menyelesaikan soal di Penuntun Praktikum. Hal
ini terlihat dari besarnya persentase besarnya
mahasiswa yang telah mampu menjawab soal
dengan benar. Sebagian besar mahasiswa telah
mampu memberikan kritikan ilmiah dan
mengungkapkan pendapatnya tentang materi yang
diajarkan serta menemukan sendiri jawabannya.
Sedangkan hasil observasi terhadap
aktivitas dosen menunjukkan hal-hal sebagai
berikut: (1). Dosen senantiasa memberikan
motivasi kepada mahasiswa untuk rajin belajar
dan mampu melakukan sendiri serta menemukan
sendiri hal-hal yang penting bagi perbaikan dasar
pemahaman konsep IPA. (2). Dosen memberikan
penghargaan kepada mahasiswa ketika mereka
bertanya, dapat menjawab atau mengungkapkan
pendapatnya tentang materi yang diajarkan. (3).
Dosen mengumumkan kelompok yang mencapai
perolehan skor tertinggi pada waktu mahasiswa
mengerjakan soal pada penuntun praktikum.
Penerapan model pembelajaran metode
Discovery telah terlaksana sesuai dengan yang
diharapkan, dalam hal ini yang diharapkan adalah
peningkatan aktivitas siswa dan peningkatan
pembelajaran oleh dosen. Hal ini terlihat dari hasil
pengamatan pada lembar observasi bagi aktivitas
mahasiswa dan dosen yang menunjukkan bahwa
tidak ada langkah-langkah dalam penerapan
metode Discovery yang belum dilakukan oleh
dosen, walaupun skor yang diperoleh tidak
seluruhnya mencapai tingkat maksimum.
b. Evaluasi
Rangkaian selanjutnya pada tindakan ini
adalah memberikan tes tindakan siklus II secara
perorangan. Tes ini bertujuan untuk melihat
apakah pelaksanaan tindakan siklus II lebih baik
atau mengalami peningkatan dari pelaksanaan
tindakan siklus II.
c. Refleksi
Kegiatan refleksi pada siklus II ini
menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan
terhadap peningkatan perbaikan proses, baik
terhadap kualitas pembelajaran yang dilakukan
oleh dosen melalui indicator kemunculan tahapan
yang diharapkan. Hasil observasi yang dilakukan
peneliti menunjukkan bahwa pelaksanaan
pembelajaran dengan metode Discovery telah
memberikan hasil yang lebih baik/meningkat.
Mahasiswa telah secara interaktif dalam kelompok
saling memotivasi untuk menyelesaikan soal yang
diberikan. Hal ini menunjukkan mahasiswa telah
mempunyai motivasi belajar yang cukup baik
terhadap pemahaman konsep dasar IPA.
Berdasarkan hasil evaluasi pada aktivitas
siswa terjadi peningkatan, baik secara kelompok
maupun klasikal, bila dibandingkan dengan
aktivitas mahasiswa pada siklus I. Hal ini sesuai
dengan kemampuan pemahaman konsep dasar IPA
42
mahasiswa secara klasikal pada siklus I sebesar
57,69 % dan pada siklus II sebesar 88.19 %.
Bertitik tolak dari data tes hasil belajar setelah
pembelajaran dilaksanakan dengan metode
Discovery yang diperoleh pada tindakan siklus II
terlihat bahwa, jumlah siswa yang mengalami
kemampuan memahami konsep dasar IPA
meningkat sebesar 30,50%. Oleh karena
kemampuan pemahaman konsep dasar IPAmaha
siswa pada sisklus II telah mencapai 30,50%,
maka hasil belajar dianggap telah mencapai
tingkat pemahaman yang diharapkan berdasarkan
indikator yang telah ditentukan yaitu minimal 80%
mahasiswa telah mencapai nilai ≥ 70. Dengan
demikian, hipotesis tindakan telah tercapai yaitu
dengan menggunakan metode Discovery
kemampuan pemahaman konsep dasar IPA
mahasiswa S1 PGSD Semester II FKIP Unhalu
tahun akademik 2008/2009 dapat ditingkatkan.
PEMBAHASAN
Berdasarkan data lembar
pengamatan/observasi aktivitas mahasiswa dalam
kelompok sebagaimana terdapat pada hasil
penelitian pada siklus I, bahwa persentase
mahasiswa yang memberikan perhatian penuh
terhadap informasi yang diberikan relatif kecil.
Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang
berasal dari dalam dan faktor dari luar diri siswa.
Faktor dari dalam diri mahasiswa itu seperti
motivasi, bakat dan potensinya yang dibawa sejak
lahir mempengaruhi seberapa besarnya
perhatiannya terhadap informasi yang diberikan
serta faktor yang berasal dari luar diri mahasiswa
seperti keadaan ekonomi dan lingkungan
sekitarnya. Sebagian besar mahasiswa sudah
merasa mengerti dengan materi yang diajarkan
dengan cukup hanya melihat teori dan prosedur
yang terdapat pada panduan praktikum. Pada
pengamatan tentang aktivitas mahasiswa untuk
mengerjakan soal dan laporan sementara serta
berdiskusi dalam kelompok. Masih ada beberapa
mahasiswa yang acuh tak acuh dengan tugas yang
harus diselesaikan bersama. Hal ini disebabkan
karena mahasiswa terbiasa mengerjakan tugas
secara individu dan masih ada mahasiswa yang
masih malu untuk berdiskusi karena merasa
memiliki kemampuan yang kurang dibanding
dengan teman sekelompoknya. Sedangkan pada
pengamatan tentang kemampuan mahasiswa
mengajukan pertanyaan/menanggapi pertanyaan
dan menghargai dan menerima pendapat terlihat
bahwa masih kurang yang beraktivitas. Hal ini
disebabkan karena sebagian besar mahasiswa
merasa malu untuk bertanya dan apabila salah
dalam menanggapi pertanyaan. Sedangkan untuk
observasi pada mempresentasikan hasil kerja
kelompok terlihat bahwa jumlah mahasiswa yang
melakukan kegiatan ini masih di bawah 10%.
Kebanyakan mahasiswa masih juga merasa enggan
untuk melakukan presentasi hasil diskusi karena
perasaan malu dan merasa memiliki pengetahuan
yang sedikit dibanding dengan teman-temannya
yang lain.
Hal-hal yang perlu perbaikan pada siklus
selanjutnya adalah mahasiswa belum memiliki
kemampuan untuk menghubungkan materi
sebelumnya yang berkaitan dengan materi yang
diajarkan. Hal ini terlihat pada saat menyelesaikan
tugas praktikum yang ada pada penuntun yang
diberikan masih ada sebagian mahasiswa kesulitan
untuk mengaitkan konsep-konsep yang telah
dipelajari sebelumnya.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan
pada siklus I, terlihat adanya peningkatan
kemampuan pemahaman konsep dasar IPA
mahasiswa setelah melaksanakan pembelajaran
dengan menerapkan metode Discovery.
Mahasiswa yang memperoleh nilai ≥ 70 hanya
sebanyak 9 orang siswa atau sekitar 17,31%.
Bertitik tolak dari kekurangan-kekurangan
yang dapat dilihat dari minimnya aktivitas
mahasiswa pada saat pembelajaran tingkat
pemahaman konsep dasar IPA mahasiswa pada
tindakan I yang belum memenuhi indikator
keberhasilan dalam penelitian ini yaitu minimal
80% siswa telah memperoleh nilai minimal 70,
maka penelitian ini dilanjutkan pada tindakan
siklus II. Pada siklus II, metode Discovery
kembali dilaksanakan. Mahasiswa tetap berada
dalam kelompoknya masing-masing sebagaimana
pembagian kelompok pada tindakan siklus I.
Dari hasil observasi terhadap aktivitas
mengajar dosen dan mahasiswa pada siklus II,
menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran telah
sesuai dengan yang diharapkan. Kekurangan-
kekurangan pada siklus I sudah mampu diatasi,
seperti sebagian mahasiswa yang belum mampu
menjawab pertanyaan dengan sedikit bimbingan
43
dari dosen dan bantuan teman sekelompoknya,
mereka akhirnya dapat memahami dan menjawab
pertanyaan sehingga dapat mempresentasikan
jawabannya dengan lebih baik. Selain itu dosen
memberi motivasi kepada mahasiswa untuk
mempelajari materi yang telah diajarkan pada
kelas terdahulu yang berkaitan dengan materi yang
diajarkan sekarang. Hal ini disebabkan konsep
dasar IPA terdiri dari konsep-konsep yang relatif
sulit dan saling berkaitan antara satu dengan yang
lain.
Berdasarkan lembar observasi/pengamatan
aktivitas mahasiswa dalam kelompok telah
menunjukkan perkembangan dibandingkan dengan
siklus sebelumnya. Pengamatan pada aktivitas
mahasiswa yang memperhatikan dengan baik
penjelasan dari dosen dan membaca penuntun
hampir seluruhnya, yang berarti bahwa hampir
semua mahasiswa semakin menyadari pentingnya
memberikan perhatian penuh pada informasi yang
diberikan dosen agar hasil belajarnya dapat
mencapai/melebihi nilai standar. Sementara untuk
mengerjakan tugas praktikum dan berdiskusi
dalam kelompok juga mengalami peningkatan,
yang berarti mahasiswa telah menyadari
pentingnya bekerja sama dalam kelompok untuk
memberikan nilai terbaik untuk kelompoknya
ketika proses pembelajaran berlangsung. Karena
mahasiswa telah memberikan perhatian penuh
terhadap informasi yang diberikan serta telah
mampu bekerja sama dengan baik dalam
kelompok menyebabkan mahasiswa mampu
mengajukan pertanyaan/menanggapi pertanyaan,
menghargai/menerima pendapat serta
mempresentasikan hasil kerja kelompok dan
membuat rangkuman.
Karena indikator keberhasilan dalam
penelitian ini telah tercapai, dalam hal ini minimal
80% siswa telah mencapai nilai ≥ 70, maka
penelitian ini dihentikan pada siklus II. Ini berarti
bahwa hipotesis tindakan telah terjawab yaitu
dengan menggunakan metode Discovery
pemahaman Konsep dasar IPA mahasiswa S1
PGSD Semester II FKIP Unhalu dapat
ditingkatkan.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data hasil penelitian
dapat simpulkan bahwa: Penerapan metode
Discovery dapat meningkatkan keaktivan
mahasiswa dalam proses pembelajaran
pemahaman Konsep dasar IPA mahasiswa S1
PGSD Semester II FKIP Unhalu tahun akademik
2009/2010.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka
direkomendasikan: 1) Perlunya sebuah proses
pembelajaran melibatkan aktivitas mahasiswa
yang lebih besar, sehingga pembelajaran lebih
bermakna; dan 2) Dosen dan mahasiswa
diharapkan memiliki rasa tanggung jawab
terhadap keberhasilan pencapaian indikator
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Amien, M. (1987). Mengajarkan Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) dengan
Menggunakan Metode Discovery dan
Inkuiry. Jakarta: Depdikbud.
Anonimous, 1999, Penelitian Tindakan Kelas;
Bahan Pelatihan Dosen LPTK dan Guru
Sekolah Menengah, TIM Pelatih Proyek
PGSM, Jakarta.
Arikunto, Suharsimi. (1992). Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta
Rineka Cipta.
Dahar, R.W. (1991). Teori-teori Belajar. Jakarta:
Erlangga
Depdiknas, (2006). Alur Pikir Pengembangan
Kurikulum S-1 PGSD; Jakarta
Dirjen Dikti. Eggen and Kauchak, 1996,
Strategies for Teacher, Teaching Content
and Thinking Skill.
Hamalik, Oemar. (1983). Metode Belajar dan
Kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung
Tarsito.
Hamid, Y. (1988). Proses Belajar Mengajar dan
Pengembangan Kurikulum IPA. Jakarta.
Grasindo.
Iskandar, S.M, (1997). Pendidikan IPA PGSD.
Jakarta, Proyek Pengembangan PGSD,
Dirjen Pendidikan Tinggi. Prawotowisastro
44
KERAPATAN DAN POLA PENYEBARAN TUMBUHAN PAKU (PTERIDOPHYTA)
TERESTRIAL DI KAWASAN HUTAN RIMBA MORAMO1
Damhuri2
Abstrak. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kerapatan dan pola penyebaran tumbuhan paku
(Pteridophyta) Terestrial di Kawasan Hutan Tirta Rimba Moramo. Metode yang digunakan dalam
penelitian adalah metode plot kuadrat dengan teknik random sampling.Hasil penelitian tumbuhan paku
(Pteridophyta) terestrial di kawasan hutan Tirta Rimba Moramo terdiri 33 jenis, 7 suku dan 15 marga
dengan jumlah individu terbanyak Tectaria aurita (Sw). S.Candra 528 individu dan yang terendah
Pteris aspericaulis Wall. Ex. Ag.dan Microsom sarawakense (Baker). Jenis tumbuhan paku terestrial
tertinggi adalah Tectaria aurita (Sw.) S. Candra. yaitu 0,85 ind/m2 dengan kerapatan relatif 23.25%.
Nilai kerapatan terendah Microsom sarawakense (Baker) yaitu 0.002 ind/m2 dengan kerapatan relatif
0,44%. Pola penyebaran mengelompok dan secara acak.
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen Pendidikan Biologi FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Berdasarkan UU PokokKehutanan No. 5
tahun 1967 dinyatakan bahwa hutan merupakan
suatu lapangan yang ditumbuh ipohon-pohon yang
secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup
alam hayati, alam lingkungannya dan yang
ditetapkan pemerintah sebagai hutan. Menurut
Junus, dkk (1984: 3) hutan adalah suatu komunitas
tumbuh-tumbuhan yang terutama terdiri dari
pohon-pohon dan vegetasi berkayu lainnya yang
tumbuh berdekatan satu dengan lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa hutan merupakan suatu
ekosistem alamiah yang sangat kompleks dengan
berbagai jenis tumbuh-tumbuhan hidup
berdampingan membentuk suatu masyarakat
hutan.
Dalam suatu masyarakat hutan, masing-
masing tumbuhan mampu mengatur dirinya dalam
berinteraksi secara alami dengan tumbuhan lain,
sehingga terbentuklah kehidupan yang
berdampingan secara serasi sesuai dengan
relungekologinya. Karakteristik yang sangat
penting dari system alam terbuka adalah adanya
kecenderungan berada dalam satu kondisi yang
seimbang dan dinamis, sehingga seluruh
komponen-komponen dari system tersebut berada
dalam keadaan yang harmonis antara satu dengan
yang lainnya (Hukum keseimbangan dinamis)
(Syafei, 1994: 51).Selanjutnya Indriyanto (2006:
120) menyatakan bahwa setiap organisme dimana
saja berada akan selalu berusaha menyesuaikan
diri dengan kondisi lingkungan melalui perubahan
pada tubuh atau fungsinya, sedangkan lingkungan
juga mengalami perubahan melalui proses fisik
atau biogeokimia untuk mempertahankan kualitas
penunjang kehidupan dan keseimbangan sistem
dalam komunitas.
Komunitas merupakan suatu sistem yang
hidup dan dinamis. Soerianegara, (1976) dalam
(Junus dkk, 1984: 46) menjelaskan bahwa
komunitas hutan adalah sekelompok tumbuhan
yang dikuasai pohon yang mempunyai suatu
tempat tumbuh dan terdapat hubungan timbal balik
antar tumbuhan, dan antar tumbuhan dengan
lingkungannya.
Dalam suatu komunitas hutan terjadi pula
persaingan antara individu – individu baik dari
satu ataupun berbagai jenis spesies. Menurut Arief
(1994: 9) hal ini dikarenakan mereka mempunyai
kebutuhan yang sama dalam hal hara mineral,
tanah, air, cahaya dan ruang hidup. Persaingan ini
menyebabkan terbentuknya susunan masyarakat
tumbuhan yang khas, baik bentuk, macam, jenis
dan jumlah individunya yang disesuaikan dengan
tempat tumbuhnya.
Sulawesi Tenggara termasuk wilayah
Indonesia yang memiliki banyak kawasan hutan.
Salah satu kawasan hutan tersebut adalah Hutan
Tirta Rimba Moramo, Kecamatan Moramo.
dengan luas sekitar 40 hektar, yang terletak pada
ketinggian 0-400 m dari permukaan laut (Anonim,
45
1999: 50). Kawasan Hutan Tirta Rimba Moramo
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obyek
wisata. Selain itu terdapat pula daerah aliran
sungai yang dimanfaatkan masyarakat sekitar
untuk pengairan sawah dan sumber air bersih.
Kondisi lingkungan di hutan Tirta Rimba Moramo
sangat lembab sehingga memungkinkan berbagai
jenis tumbuhan dapat tumbuh dengan baik.
Salah satu jenis tumbuhan yang memiliki
tingkat keanekaragaman yang tinggi pada kawasan
Hutan Tirta Rimba Moramo adalah tumbuhan
paku (Pterydophyta). Tumbuhan tersebut tumbuh
tersebar di dalam kawasan hutan. Hal ini
disebabkan kemampuan adaptasi yang tinggi
terhadap kondisi lingkungan hutan, sehingga dapat
dijumpai dipermukaan tanah maupun di
pepohonan yang hidup menempel. Tumbuhan
paku yang tergolong paku tanah disebut paku
terestrial.
Paku-pakuan terestrial menyukai kondisi
lingkungan yang lembab dan ternaung, di sekitar
daerah aliran sungai dan di daerah pegunungan
yang memiliki kelembaban tinggi. Namun, ada
pula yang tumbuh pada tempat yang cukup cerah
dan kering, di sepanjang pinggir jalan. Hal ini
menunjukkan bahwa kondisi lingkungan ikut
menentukan karakteristik dan pola penyebaran
tumbuhan paku. Keberadaan jenis tumbuhan paku
terestrial di hutan Tirta Rimba Moramo
memberikan manfaat penting bagi ekosistem
hutan.
Tumbuhan paku (Pterydophyta) di muka
bumi terdapat sekitar 10.000 jenis. Dari jumlah
tersebut, kawasan Malesiana yang terdiri sebagian
besar atas kepulauan Indonesia, diperkirakan ±
1.300 jenis (Sastrapradja, 1980: 7).Selanjutnya
menurut Sinaga (2004: 2) tumbuhan paku lebih
menyenangi tempat-tempat yang sejuk dan
memiliki kelembaban yang tinggi. Pada tempat
semacam ini populasi paku-pakuan menjadi sangat
tinggi. Hutan hujan tropis yang memiliki
kelembaban yang sangat tinggi ternyata
merupakan salah satu habitat terbaik bagi
tumbuhan paku.
Tumbuhan paku (Pterydophyta)
menempati suatu rentetan luasan habitat yang
berkisar dari lahan liar agak kering dan celah-
celah batuan sampai lumpur basah, dan dari lantai
hutan sampai cabang-cabang pohon yang tinggi.
Tumbuhan ini melimpah ruah di kawasan hutan
tropis yang lebih basah dan lembab. Dari segi
vegetasi, tumbuhan paku (Pterydophyta) terutama
penting sebagai tumbuhan dalam habitat-habitat
basah di daerah tropis, meskipun tipe-tipe yang
berupa pohon dapat memberikan sumbangan yang
cukup besar kepada hutan (Polunin, 1990: 77).
Pterydophyta hidup tersebar luas di
daerah tropis yang lembab. Tumbuhan paku juga
tumbuh dengan subur di daerah beriklim sedang.
Paku di daerah beriklim sedang umumnya tumbuh
didaratan, pada tanah atau bebatuan. Di
daerahtropis, selain jenis paku epifit, juga
dijumpai berbagai jenis paku terestrial. Habitat
tumbuhan paku biasanya lembab dan agak
terlindung. Fungsi ekologi yang umum pada
tumbuhan ini adalah peranannya dalam
pembentukan tanah dan dalam siklus-siklus
pelapukan (Tjitrosomo, 1983: 108).
Pada relung-relung tebing yang curam,
didapatkan jenis-jenis tumbuhan paku yang
menyukai tempat-tempat yang lembab. Bahkan di
sumber-sumber yang panas ataupun di kawah-
kawah gunung, ada jenis-jenis tumbuhan paku
yang dapat tumbuh. Umumnya di daerah
pegunungan, jumlah jenis tumbuhan paku lebih
banyak daripada di dataran rendah. Hal ini
disebabkan oleh kelembaban yang lebih tinggi,
banyaknya aliran air dan adanya kabut. Banyaknya
curah hujan pun mempengaruhi jumlah paku yang
dapat tumbuh (Anonim, 1980: 10).
Hutan hujan tropis merupakan salah satu
habitat yang terbaik bagi tumbuhan paku. Hutan
ini kaya berbagai jenis tumbuhan paku. Hal ini
disebabkan hutan hujan tropis memiliki curah
hujan berlimpah sekitar 2000 - 4000 mm pertahun.
Suhu tinggi sekitar 25-260C dan seragam, dengan
kelembaban rata-rata sekitar 80 % (Ewusie, 1980:
249).
Kerapatan suatu jenis adalah jumlah
individu rata-rata per satuan luas. Kerapatan
ditaksir dengan menghitung jumlah individu setiap
jenis dalam kuadrat yang luasnya ditentukan, dan
kemudian penghitungan ini diulang di tempat-
tempat yang tersebar secara acak. Hasil-hasil dari
semua kuadrat ini kemudian dijumlahkan dan
kerapatan rata-rata dihitung untuk setiap jenis
(Loveless, 1989:247).
Densitas (kerapatan) dapat didefinisikan
sebagai jumlah individu suatu spesies persatuan
luas (unit area) tertentu. Densitas diperoleh
46
dengan tidak perlu menghitung setiap individu
yang terdapat dalam seluruh luas area, tetapi
cukup dengan mengadakan sampling secara acak
dengan plot. Sedangkan kerapatan relatif dihitung
dengan membagi kerapatan suatu spesies dengan
kerapatan seluruh spesies dikalikan persen
(Michael, 1995: 340).
Densitas populasi adalah besarnya
populasi dalam suatu unit ruang, yang pada
umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu-
individu dalam setiap unit luas atau volum.
Pengaruh suatu populasi terhadap komunitas atau
ekosistem sangat bergantung kepada spesies
organisme dan jumlah atau densitas populasinya.
Dengan kata lain, bahwa densitas populasi
merupakan salah satu hal yang menentukan
pengaruh populasi terhadap komunitas atau
ekosistem. Selain itu, densitas populasi sering
dipakai untuk mengetahui perubahan yang terjadi
dalam populasi pada saat tertentu. Perubahan yang
dimaksud adalah berkurang atau bertambahnya
jumlah individu dalam setiap unit luas atau volum
(Indriyanto, 2006:74).
Individu-individu yang ada dalam populasi
mengalami penyebaran di dalam habitatnya
mengikuti salah satu di antara tiga pola
penyebaran yang disebut pola distribusi intern.
MenurutOdum (1993), dalam (Indriyanto, 2006:
82), tigapoladistribusi yang dimaksudantara lain
distribusiacak (random),
distribusiseragam(uniform),
dandistribusibergerombol (clumped).
Penyebaransecaraacakjarangterdapat di
alam.Penyebaransemacaminibiasanyaterjadiapabil
afaktorlingkungannyasangatseragamuntukseluruhd
aerahdimanapopulasiberada.Penyebaransecarasera
gamumumnyaterdapatpadatumbuhan.Penyebarans
emacaminiterjadiapabilaadapersaingan yang kuat
diantara individu-individu dalam populasi
tersebut. Penyebaran secara berkelompok adalah
yang paling umum terdapat di alam, terutama
untuk hewan (Syafei, 1994: 18).
Struktursuatukomunitasalamiahbergantun
gpadacaradimanatumbuhandanhewantersebar di
dalamnya. Pola penyebaran bergantung pada sifat
fisikokimia lingkungan maupun keistimewaan
biologi organisme itu sendiri. Pola-pola
penyebaran adalah khas untuk setiap spesies dan
jenis habitat. Penyebaran spesies dalam suatu
komunitas mencerminkan informasi yang banyak
mengenai hubungan antara spesies. Perubahan-
perubahan dalam jenis habitat juga dapat
menyebabkan perubahan-perubahan dalam pola
penghamburan dan dalam habitat yang sama,
spesies-spesies yang berbeda biasanya
memperlihatkan perbedaan pola penyebaran.
Pengukuran pola penyebaran menggunakan indeks
Morista. Indeks Morista memiliki keuntungan
yaitu relatif tidak bergantung pada jenis
penyebaran, jumlah sampel dan ukuran harga
rataan (Michael, 1995: 341).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hutan
Tirta Rimba Moramo Desa Sumber Sari
Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan.
Sampel penelitian adalah tumbuhan paku terestrial
yang terdapat dalam plot pengamatan. Penelitian
menggunakan metode kuadrat dengan teknik
penempatan plot pengamatan secara random
sampling.
Data jumlah spesies dihitung secara
kuantitatif yaitu dengan mengacu pada rumus
kerapatan, kerapatan relative dan indeks
penyebaran Morista.
1. Kerapatan (K)
L
nKi i (Rasnovi, 2006: 62)
2. KerapatanRelatif (KR)
%100xk
kKRi
i
i
(Rasnovi, 2006: 62)
1. IndeksPenyebaranMorista (Id)
Id =
XX
XXn
2
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel Pola Penyebaran Tumbuhan Paku (Pterydophyta)
Terestrial yang Terdapat di Lokasi Penelitian.
47
No NamaSpesies Id Ket.
1 Asplenium sp. 31.25 Mengelompok
2 Blechnumsp. 155 Mengelompok
3 ChristelladentataForst. 16.18 Mengelompok
4 ChristellahispidulaDecne. 13.81 Mengelompok
5 Christellaparasitica 10.37 Mengelompok
6 Christenseniaaescufolia(Bl.) Maxon. 8.35 Mengelompok
7 Coryphopterissp. 109.29 Mengelompok
8 CoryphopteristahanensisHoltt. 24.01 Mengelompok
9 Diplaziumesculentum(Retz.) Sw. 19.72 Mengelompok
10 DryopterisjuxtopositaChrist. 25.09 Mengelompok
11 Dryopterissp. 32.11 Mengelompok
12 Jenis A 155 Mengelompok
13 Jenis B 155 Mengelompok
14 Jenis C 0 Seragam
15 LindsaeadecompositaWilld. 25.83 Mengelompok
16 Lygodiumcircinnatum Sw. 17.20 Mengelompok
17 Microsorummembranifolium(R. Br.) Ching. 45.58 Mengelompok
18 Microsorumpteropus(Bl.) Ching. 116.82 Mengelompok
19 Microsorumsarawakense(Baker.) Holtt. 0 Seragam
20 Nephrolepisauriculata(Brum. f) Sw. 53.54 Mengelompok
21 Nephrolepishirsutula(Forst.) Pr. 70.45 Mengelompok
22 Nephrolepissp. 93 Mengelompok
23 PterisaspericaulisWall.ex. Ag. 0 Seragam
24 PterislinearisPoir. 155 Mengelompok
25 Pterisquadriaurita Retz. 25.83 Mengelompok
26 Selaginellaciliaris(Retz.) 113.58 Mengelompok
27 SelaginellaplanaHieron. 13.06 Mengelompok
28 Selligueacolysis(Bl.) Presl. 75.81 Mengelompok
29 TectariaangulataWilld. Copel. 44.28 Mengelompok
30 Tectariaaurita(Sw.) S. Candra. 1.00 Mengelompok
31 TectariacrenataCavaniles. 0 Seragam
32 Tectariasp. 1 13.56 Mengelompok
33 Tectariasp. 2 30.54 Mengelompok
PEMBAHASAN
Tumbuhan paku terestrial merupakan
salah satu komunitas tumbuhan bawah yang
menghuni lantai hutan. Tumbuhan ini memiliki
peranan yang sangat besar bagi keseimbangan
ekosistem hutan, yakni sebagai pencegah erosi dan
pengatur tata guna air. Selain itu, kehadiran
48
tumbuhan paku pada kawasan hutan berfungsi
sebagai tumbuhan penutup tanah yang penting
bagi ekosistem hutan. Serasah yang dihasilkan
oleh tumbuhan tersebut dapat membantu proses
pembentukan humus tanah sehingga tanah menjadi
tebal dan mengandung banyak unsur hara yang
baik bagi kehidupan berbagai jenis tumbuhan yang
terdapat di suatu kawasan hutan.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa jenis
tumbuhan paku yang ditemukan di setiap stasiun
memiliki komposisi yang berbeda-beda. Hal ini
didebabkan setiap jenis tumbuhan paku memiliki
batas toleransi untuk dapat tumbuh dan
berkembang. Suin (2002) dalam Sari (2005: 55)
faktor lingkungan abiotik sangat menentukan
pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme
dan setiap jenis hanya dapat hidup pada kondisi
abiotik tertentu yang berada dalam kisaran
toleransi tertentu yang cocok bagi organisme
tersebut.
Kemampuan adaptasi setiap jenis
tumbuhan paku terhadap kondisi faktor lingkungan
pada suatu wilayah mempengaruhi kehadiran
jumlah individunya, sehingga mempengaruhi
kerapatan setiap jenis tumbuhan paku. Kerapatan
merupakan parameter kuantitatif yang
menggambarkan komunitas tumbuhan paku.
Jika dilihat dari nilai kerapatan seluruh
jenis tumbuhan paku yang berada pada luas area
620 m2, menunjukkan bahwa nilai kerapatan
tertinggi terdapat pada jenis Tectaria aurita (Sw.)
S. Candra. sedangkan nilai kerapatan terendah
terdapat pada jenis Pteris aspericaulis Wall. ex.
Ag., Microsorum sarawakense (Baker.) Holtt. dan
jenis C.
Tingginya nilai kerapatan pada jenis
Tectaria aurita (Sw.)
S.Candra.disebabkanolehkondisifaktorlingkungan
yang mendukung pertumbuhannya. Berdasarkan
hasil penelitian bahwa kelembaban udara pada
wilayah ini berkisar antara 61-64 % yang berada
pada ketinggian antara 120-280 dpl. Hal ini
menunjukkan bahwa jenis Tectaria aurita (Sw.) S.
Candra memiliki kemampuan adaptasi terhadap
kondisi lingkungan yang demikian sehingga pada
lokasi penelitian jenis ini jumlahnya lebih
mendominasi dibandingkan jenis tumbuhan paku
lainnya. Menurut Abdurahim (2006: 11) bahwa
tumbuhan ini dapat tumbuh dengan baik pada
daerah yang lembab pada dataran tinggi yang
mencapai ketinggian hingga 1500 dpl.
Nilai kerapatan terendah yang terdapat
pada 3 jenis tumbuhan paku disebabkan oleh
rendahnya tingkat penguasaan terhadap kondisi
lingkungan dalam memperebutkan unsur hara dan
ruang tumbuh bagi kehidupan jenis paku tersebut.
Luasnya penyebaran jenis tumbuhan
bergantung kepada kemampuan jenis tersebut
untuk beradaptasi terhadap tempat tumbuh dan
berasosiasi dengan tumbuhan lainnya. Penyebaran
suatu jenis tumbuhan pada suatu wilayah memiliki
pola penyebaran yang bermacam-macam yaitu
dapat secara acak, mengelompok ataupun dapat
secara seragam. Menurut Krebs (1989) dalam
Lubis (2009: 68), bahwa bila didapatkan indeks
penyebaran bernilai sama dengan 1, maka
penyebaran jenis tersebut adalah acak, bila kurang
dari 1 maka penyebarannya seragam dan bila lebih
dari 1 maka penyebarannya mengelompok.
Pola penyebaran paku terestrial pada
lokasi penelitian memiliki pola penyebaran
mengelompok yang terdapat pada 29 jenis
tumbuhan paku. Hal ini disebabkan adanya
kompetisi interspesifik. Selain itu, perbedaan
kondisi tanah dan iklim menyebabkan tumbuhan
paku cenderung mengelompok. Berdasarkan
relung ekologinya, jenis paku tersebut mampu
beradaptasi terhadap kondisi tempat tumbuh dan
berasosiasi dengan tumbuhan lain dalam
habitatnya.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa :
1. Tumbuhan paku yang memiliki kerapatan
tertinggi jenis Tectaria aurita (Sw.) S. Candra.
mendominasi komunitas jenis tumbuhan paku
di kawasan hutan Terjun Tirta Rimba Moramo.
2. Pola penyebaran pada tumbuhan paku
yang ditemukan pada lokasi penelitian terbagi
kedalam dua kategori yakni penyebaran secara
mengelompok (clumped) dan penyebaran
secara seragam (uniform).
49
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahim, D. 2006. JenisPaku-Pakuan. IPB.
Bogor.
Anonim.1980. JenisPaku Indonesia.Lembaga
BiologiNasional-LIPI. Bogor.
.1999. Informasi Kawasan Konservasi
Propinsi Sulawesi Tenggara.
Departemen Kehutanan Kantor Wilayah
Propinsi Sulawesi Tenggara.Kendari.
Ewusie, Y.J. 1980. Pengantar Ekologi Tropika.
ITB. Bandung.
Holtum, R. E., 1991. Flora Malesiana Volume
II. Leyden University The Netherlands.
Amsterdams.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi
Aksara. Jakarta.
Junus, M., Frensz, Rusmaedy M., Soedirman S.
1984. Dasa rUmum Ilmu Kehutanan.
Badan Kerjasama Perguruan Tinggi
Negeri Indonesia Bagian Timur. Ujung
Pandang.
Krebs, C. J. 1989. Ecological Methodology.
Harper dan Row Publisher. New Yor
50
DAYA HAMBAT FERMENTASI PULP BIJI
KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PERTUMBUHAN
GULMA PUTRI MALU (Mimosa pudica L.)1
Damhuri2
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat fermentasi pulp biji kakao
(Theobroma cacao L.) terhadap pertumbuhan gulma putri malu (Mimosa pudca L.) dan untuk
mengetahui konsentrasi optimum yang dapat menghmbat pertumbuhan gulma putri malu (Mimosa
pudica L.). Variabel penelitian ini terdiri dari variabel bebas (X) berupa perlakuan konsentrasi hasil
fermentasi pulp biji kakao 70%, 80%, 90% dan 100% dan kontrol, variabel terikat (Y) yaitu
pertumbuhan Mimosa pudica L. dengan indikator tinggi batang (cm), biomassa basah dan biomassa
kering (g). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimen dan desain Rancangan
Acak Lengkap (RAL) masing-masing 10 kali ulangan. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan
konsentrasi 70%, 80%, 90% dan 100% menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata dengan kontrol.
Konsentrasi optimum yang dapat menghambat pertumbuhan gulma Mimosa pudica L. adalah 100%.
Kata kunci: Daya hambat, Fermentasi, Teobroma cacao L. Mimosa pudica L.
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen Pendidikan Biologi FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Gulma merupakan tumbuhan
pengganggu yang selalu ada sejak awal
pertumbuhan tanaman dan bahkan selama masih
terbenam dalam tanah. Tanaman-tanaman tersebut
merupakan kompetitor atau pesaing dalam
pemanfaatan air, zat hara tanah, sinar matahari,
dan ruang tumbuh di sekitar tanaman, bahkan
berperan sebagai inang hama serta penyakit
tertentu Perkembangbiakan gulma sangat mudah
dan cepat, baik secara generatif maupun secara
vegetatif. Secara generatif, biji-biji gulma halus,
ringan dan berjumlah sangat banyak dapat
disebarkan oleh angin, air, hewan, maupun
manusia.
Perkembangbiakan vegetatif terjadi
karena bagian batang yang berada di dalam tanah
akan membentuk tunas yang nantinya akan
membentuk tumbuhan baru (Barus, 2003 : 10).
Mimosa pudica L. ádalah salah satu gulma berupa
semak dengan tinggi antara 0,3–1,5 m. Mimosa
pudica L. tumbuh liar di pinggir jalan, tempat–
tempat terbuka yang terkena sinar matahari.
Tumbuhan asli Amerika tropis ini dapat ditemukan
pada ketinggian 1–1200 m dpl.
Menurut Tjitrosoepomo (2000) dan
(Elysabeth, 2007 : 1)., Mimosa pudica L.
merupakan tanaman yang memiliki daun majemuk
menyirip ganda dua yang sempurna. Jumlah anak
daun setiap sirip 5–26 pasang. Helaian anak daun
berbentuk memanjang sampai lanset, ujung
runcing, pangkal membundar, tepi rata, permukaan
atas dan bawah licin, panjang 6–16 mm, lebar 1–3
mm, berwarna hijau, umumnya tepi daun berwarna
ungu. Jika daun tersentuh akan melipatkan diri.
Sirip terkumpul rapat dengan panjang 4–5,5 cm.
Batangnya bulat, berambut, dan berduri tempel.
Batang dengan rambut sikat yang mengarah miring
ke bawah. Akar berupa akar tunggang. Bunga
berbentuk bongkol, bertangkai, berwarna
ungu/merah. Kelopak sangat kecil, bergigi 4,
seperti selaput putih. Tabung mahkota kecil,
bertaju 4, seperti selaput putih. Biji bulat dan
pipih. Buah berbentuk polong, pipih, seperti garis.
Diperlukan upaya alternatif yang
sifatnya lebih inovatif sebagai tindakan preventif
dalam menekan laju penyebaran gulma tersebut,
salah satunya adalah pengendalian dengan
menggunakan herbisida alami, yakni dengan
memanfaatkan hasil fermentasi pulp biji kakao
(Theobroma cacao L). Cairan hasil fermentasi
pulp biji kakao dapat dimanfaatkan sebagai
herbisida alami yang dapat menghambat laju
pertumbuhan gulma. Berdasarkan hal tersebut,
maka peneliti berasumsi bahwa cairan hasil
fermentasi pulp biji kakao (Theoboroma kakao L.)
51
dapat menghambat petumbuhan gulma Mimosa
pudica L.
Secara garis besar proses fermentasi
pada kakao ada dua macam, yaitu fermentasi
eksternal dan fermentasi internal. Fermentasi
eksternal adalah penghancuran pulp yang melekat
pada biji dengan bantuan mikroorganisme.
Sedangkan fermentasi internal adalah perubahan
kimia dalam biji dengan bantuan enzim-enzim
(Susanto, 1994 : 161).
Tujuan fermentasi adalah untuk
mematikan biji, peningkatan aroma dan rasa,
perbaikan konsistensi biji serta untuk melepaskan
pulp. Dengan adanya berbagai reaksi kimia dalam
fermentasi tersebut maka biji kakao yang
difermentasi kualitasnya lebih baik dari pada biji
kakao tanpa fermentasi. Fermentasi juga akan
mempermudah pengeringan dan penghancuran
lapisan pulp yang melekat pada biji (Siregar dkk,
2005 : 111).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium
Pengembangan Unit Biologi Jurusan P.MIPA
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Haluoleo Kendari. Desain yang
digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL).
Konsentrasi cairan pulp kakao 70%, 80%,90% dan
100% daya hambatnya terhadap pertumbuhan
gulma (Mimosa pudica L.)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1. Hasil Analisis Sidik Ragam Tinggi Batang
Sumber Keragaman JK db KT Fhitung Ftabel (α 0,05)
Perlakuan 349,84 4 87,46 7,83* 2,61
Galat 154,28 45 11,16
Total 504,12 49
Keterangan: * = Berbeda nyata
KK = 16,21%
Tabel 2. Hasil Analisis Sidik Ragam Biomassa Basah
Sumber Keragaman JK db KT Fhitung Ftabel (α 0,05)
Perlakuan 19,97 4 4,99 16,60* 2,61
Galat 13,53 45 0,30
Total 33,51 49
Keterangan: * = Berbeda nyata
KK = 19,34%
Tabel 3. Hasil Analisis Sidik Ragam Biomassa Kering
Sumber Keragaman JK db KT Fhitung Ftabel (α 0,05)
Perlakuan 1,20 4 0,30 2,66* 2,61
Galat 5,09 45 0,11
Total 4,23 49
Keterangan: * = Berbeda nyata
KK = 19,98%
Berdasarkan hasil analisis deskriptif
menunjukkan bahwa cairan hasil fermentasi pulp
biji kakao mampu menghambat pertumbuhan
tanaman Mimosa pudica L. hingga mati. Hal ini
dapat dilihat dari perubahan morfologi tanaman
yang terjadi setelah perlakuan selama 7 hari.
Perubahan tersebut meliputi warna daun dan
batang tanaman, dimana warna daun yang semula
berwarna hijau berubah menjadi hijau kekuning-
kuningan, kuning, dan akhirnya gugur. Batang
tanaman yang semula berwarna ungu kehijauan
berubah menjadi coklat dan sebagian mati.
52
Cairan hasil fermentasi pulp biji kakao
mengandung senyawa etanol dan senyawa-
senyawa asam organik (asam asetat dan asam
laktat) yang dapat merusak membran sel dan
dinding sel sehingga dapat bersifat racun bagi
tanaman. Namun, cairan hasil fermentasi tersebut
diduga masih mengandung senyawa lain seperti
flavonoid, tannin, dan alkaloid yang terikut dalam
proses fermentasi.
Perubahan warna daun pada tanaman
Mimosa pudica L. diduga karena adanya
penyerapan senyawa racun oleh daun setelah
perlakuan dengan hasil fermentasi pulp biji kakao
seperti etanol, senyawa-senyawa asam organik
(asam asetat dan asam laktat) dan flavonoid. Hal
ini didukung oleh pendapat Salisbury dan Ross
(1995:152) bahwa flavonoid terdiri atas 3
kelompok yaitu antosianin, flavonol, dan flavon
yang merupakan pigmen berwarna kekuningan.
Masuknya senyawa racun ke daun menyebabkan
kehilangan pigmen (klorofil) dengan cepat,
sehingga penyerapan cahaya yang digunakan
dalam proses fotosintesis juga menurun. Peristiwa
tersebut menyebabkan proses fotosintesis tidak
berlangsung secara normal.
Pemberian cairan hasil fermentasi pulp
biji kakao dari masing-masing konsentrasi 70%,
80%, 90%, dan 100% mengalami perubahan
morfologi yang berbeda-beda. Namun, konsentrasi
yang optimum (terbaik) menghambat pertumbuhan
tanaman Mimosa pudica L. hanya konsentrasi
100%, dimana pada hari kelima setelah perlakuan
sebagian tanaman mati. Hal ini disebabkan karena
pada konsentrasi 100% lebih banyak mengandung
senyawa racun seperti etanol dan senyawa-
senyawa asam organik lainnya sehingga dapat
merusak membran sel dan dinding sel lebih
banyak dibandingkan konsentrasi lainnya.
Konsentrasi 70%, 80%, dan 90% hanya
mampu menghambat pertumbuhan dan tidak
sampai mematikan karena diduga hanya sedikit
membran sel dan dinding sel yang dirusak. Selain
itu juga, karena gulma Mimosa pudica L. memiliki
batang berduri yang mengandung lapisan lilin dan
lignin yang tebal sehingga cukup sulit untuk
ditembus oleh senyawa-senyawa racun seperti
etanol dan senyawa-senyawa asam organik (asam
asetat dan asam laktat). Hal ini sesuai dengan
pernyataan Moenandir (1993: 20), bahwa batang-
batang gulma yang mempunyai duri dapat
menyulitkan pengendaliannya. Selain batangnya,
tanaman ini juga memiliki daun yang sifatnya
mudah menutup sehingga menyebabkan senyawa
racun yang masuk ke daun juga sedikit.
Berdasarkan hasil analisis deskriptif
rata-rata tinggi tanaman (Tabel1) menunjukkan
perbedaan antara perlakuan dengan kontrol. Rata-
rata tinggi batang pada kontrol yaitu 25,91 cm,
untuk konsentrasi 90% dan 100% tidak mengalami
pertambahan tinggi tanaman (konstan) yaitu
19,10 cm dan 19,20 cm. Perbedaan rata-rata yang
diperoleh diduga karena masuknya senyawa racun
seperti etanol dan senyawa-senyawa asam organik
seperti asam asetat dan asam laktat ke dalam tubuh
tumbuhan melalui ujung pembuluh tepi daun
sehingga menyebabkan senyawa racun yang
masuk menyebar ke dalam tubuh tumbuhan
dengan cepat.
Hal ini menyebabkan proses fotosintesis
dan pertumbuhan terhambat, yaitu dengan
mempengaruhi pembesaran sel tumbuhan,
menghambat sintesis bahan-bahan organik,
menurunkan daya permeabilitas membran pada sel
tumbuhan, dan menghambat aktivitas enzim.
Peristiwa tersebut menyebabkan pertumbuhan
tanaman menjadi terganggu. Hal ini sejalan
dengan pendapat Pabinru (1979 : 102) bahwa
terhambatnya laju fotosintesis, respirasi,
penyerapan unsur hara, dan kurang aktifnya
perkembangan jaringan meristem mengakibatkan
perpanjangan dan pembesaran sel menjadi tidak
normal.
Hasil analisis deskriptif rata-rata
biomassa basah (Tabel 2) terendah diperoleh pada
konsentrasi 100% yaitu 2,03 gram dan rata-rata
biomassa basah tertinggi diperoleh pada kontrol
yaitu 3,95 gram. Rendahnya rata-rata biomassa
basah diduga karena energi yang diperoleh
tanaman tidak mencukupi akibat rusaknya
sebagian sel daun sehingga proses fotosintesis
berlangsung tidak sempurna. Hal ini menyebabkan
tanaman dalam menyerap unsur-unsur hara, air
dan garam-garam mineral dari dalam tanah
menjadi terhambat sehingga menekan
pertumbuhan tanaman. Hal ini sejalan dengan
pendapat Guritno dan Sitompul (1995:160) bahwa
biomassa tanaman meliputi semua bahan yang
berasal dari hasil fotosintesis berupa unsur hara
yang diolah dari hasil fotosintesis, apabila
53
fotosintesis berlangsung sempurna maka produksi
biomassa semakin besar pula.
Rata-rata biomassa kering (Tabel 3)
terendah diperoleh pada konsentrasi 100% yaitu
1,13 gram dan rata-rata tertinggi diperoleh pada
kontrol yaitu 1,61 gram. Perbedaan ini terjadi
karena diduga pada konsentrasi 100%, kandungan
bahan organik yang terdapat pada tubuh tanaman
telah mengalami pengurangan sebelum
dikeringkan akibat dari senyawa racun. Hal
tersebut sesuai dengan pernyataan Lakitan (1996)
bahwa biomassa kering tanaman pada dasarnya
mencerminkan dari senyawa organik yang berhasil
disintesis tanaman dari senyawa anorganik
terutama air (H2O) dan karbondioksida (CO2).
Berdasarkan hasil uji inferensial pada
berbagai konsentrasi cairan hasil fermentasi pulp
biji kakao terhadap tinggi batang, biomassa basah
dan biomassa kering tanaman Mimosa pudica L.
pada taraf kepercayaan 95% diperoleh Fhitung >Ftabel
berarti memberikan pengaruh yang berbeda
dengan kontrol artinya ada pengaruh negatif dari
cairan hasil fermentasi pulp biji kakao terhadap
pertumbuhan tanaman Mimosa pudica L..
Konsentrasi optimum menghambat pertumbuhan
tanaman Mimosa pudica L. yaitu konsentrasi
100% karena dapat menghambat pertumbuhan
tanaman hingga mati.
KESIMPULAN
Cairan hasil fermentasi pulp biji kakao
(Theobroma cacao L.) dengan konsentrasi 70%,
80%, 90% dan 100% memberikan daya hambat
terhadap pertumbuhan gulma putri malu (Mimosa
pudica L.) dan konsentrasi 100% merupakan
konsentrasi optimum dalam menghambat
pertumbuhan putrid malu (Mimosa pudica L.)
DAFTAR PUSTAKA
Barus, E., 2003. Pengendalian Gulma di
Perkebunan. Kaninus. Yogyakarta.
Elysabeth, 2007. Morfologi, Anatomi, dan
Fisiologi Mimosa pudica L.
\Morfologi_Anatomi_dan_Fisiologi_Mi
mosa_pudica_L.htm.
Guritno, B. dan S.M., Sitompul, 1995. Analisis
Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada.
University Press. Yogyakarta.
Lakitan, B., 1996. Fisiologi Tumbuhan dan
Perkembangan Tumbuhan. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Moenandir, J., 1993. Ilmu Gulma Dalam Sistem
Pertanian. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Pabinru, 1979. Penelitian Allelopati Pada
Beberapa Macam Tanaman Di Tanah
Kering.. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Salisbury, F.B. dan Ross, C.W., 1995. Fisiologi
Tumbuhan Jilid 2. Terjemahan : Diah R
Lukman dan Sumaryono. ITB. Bandung.
Siregar, T.H.S., Slamet R., Laeli N., 2005.
Budidaya, Pengelolahan Dan
Pemasaran Coklat. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Susanto, F.X., 1994. Tanaman Kakao, Budidaya
dan Pengelolaan Hasil. Balai Industri.
Jakarta.
Tjitrosoepomo, G., 2000. Taksonomi Tumbuhan
(Spermatophyta). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
54
MENINGKATKAN KETERAMPILAN LEMPAR LEMBING MELALUI PENDEKATAN GAYA
MENGAJAR PENUGASAN (TASK STYLE)1
Muhammad Rusli2
Abstrak. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan kelas (PTK) dengan judul” Meningkatkan
Keterampilan Lempar Lembing Melalui Pendekatan Gaya Mengajar Penugasan (Task Style) pada
SMAN 1 Kabawo. Permasalahan dalam penelitian adalah apakah dengan pendekatan gaya mengajar
penugasan (Task Style) dapat meningkatkan keterampilan lempar lembing pada siswa SMAN 1
Kabawo. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar keterampilan
lempar lembing melalui pendekatan dengan gaya mengajar penugasan (Task Style) pada kelas XI
SMAN 1 Kabawo. Desain Penelitian yang digunakan adalah desain penelitian tindakan yang
dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus dimana setiap siklus dilaksanakan dalam dua pertemuan. Hasil
Penelitian menunjukkan bahwa penerapan pendekatan gaya mengajar penugasan (Task Style) dalam
pembelajaran keterampilan lempar lembing dapat meningkatkan hasil belajar siswa dimana pada hasil
tes siklus I 72% meningkat 22% menjadi 94% pada siklus II.
Key Words : Lempar Lembing, Gaya Mengajar Task Style
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen Penjaskesrek FKIP Unhalu
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan jasmani merupakan pendidikan yang
dilakukan melalui aktivitas fifik sebagai media
utama untuk mencapai tujuan pendidikan. Bentuk-
bentuk aktivitas fisik yang lazim digunakan oleh
siswa SMA, sesuai dengan muatan yang
tercantum dalam kurikulum. yaitu yang memuat
tentang berbagai cabang olahraga permainan dan
atletik.
Melalui pendidikan jasmani yang dilakukan di
sekolah dapat diupayakan terwujudnya tujuan
pendidikan nasional, sebab sasaran utama dari
pendidikan jasmani sebagaimana yang dijelaskan
oleh Harsuki (2003) bahwa ada empat asepk yang
dapat dikembangkan melalui pendidikan jasmani
yaitu merangsang pertumbuhn dan perkembangan
organic,keterampilan neuromuscular motorik,
perkembangan intelektual dan perkembangan
emosional.
Tujuan pendidikan jasmani seperti yang
disebutkan sebelunya selaras dengan tujuan
pendidikan nasional yaitu mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepadaTuhan Yang Maha
Esa, berahlak mulia, sehat, cakap kreatif, mandiri
dan menjadi warga Negara yang bertanggung
jawab (Dian Wahyudin:2008).
Pengetahuan dan keterampilan guru dalam proses
belajar mengajar khususnya dalam
mengembangkan dan menerapkan metode-metode
mengajar yang dapat merangsang anak didiknya
untuk aktif dan menyenangi pendidikan jasmani
merupakan suatu tantangan berat bagi guru-guru
penjas.
Fakta dilapangan, khususnya di sekolah Menengah
Atas di Kabupaten Muna umumnya guru masih
menerapkan metode mengajar tradisional, dimana
dalam proses pembelajaran semua berpusat dari
guru sedangkan peserta didik mengikuti apa yang
diperintahkan oleh guru. Kondisi ini tidak jarang
menimbulkan kebosanan dan kejenuhan, bahkan
peserta didik menjadi antipati terhadap pendidikan
jasmani. Dan sebagai dampaknya ketuntasan
belajar dalam setiap kali pembelajaran tidak
mencapai ketuntasan kelas yang diharapkan.
Salah satu kendala yang dirasakan oleh penulis
dalam kegitan pembelajaran adalah pada pokok
bahasan lempar lembing. Pada pokok bahasan ini
sering terjadi ketuntasan belajar tidak mencapai
target yang diharapkan yakni berkisar 50 sampai
60 persen dari 85 persen dari standar ketuntasan
yang telah ditetapkan. Untuk mencari solusi dan
sekaligus menjawab permasalahan seperti yang
55
dikemukakan tersebut, maka penulis mencoba
menerapkan suatu bentuk metode pembelajaran
dengan menggunakan gaya mengajar penugasan
(Task Style). Metode pembelajaran dengan gaya
mengajar penugasan ini merangsang siswa untuk
berkreatif dan meningkatkan motivasi belajar
untuk menyelesaikan tugas belajar yang diberikan
oleh guru. Tugas belajar yang dimaksud dapat
berupa media gambar yang dilengkapi dengan
petunjuk pelaksanaannya yang disipkan oleh guru.
. Gagne (1997) mengatakan bahwa dalam teori
belajar belajar Behaviorisme, anak didik baru
dapat belajar dengan sungguh-sungguh apabila
anak tersebut telah timbul motivasinya tentang apa
yang sedang dipelajari.
Berkenaan dengan permasalahan tersebut, maka
peneliti terdorong untuk mengadakan suatu
penelitian tindakan kelas yang berjudul
“Meningkatkan Keterampilan Lempar Lembing
melalui pendekatan gaya mengajar penugasan
(Task Style). Pada siswa SMA Negeri 1 Kabawo
Kabupaten Muna
PROSEDUR PENELITIAN
Prosedur penelitian tindakan kelas ini
dilaksanakan dalam dua siklus dengan tiap siklus
dilaksanakan satu kali pertemuan sesuai dengan
perubahan yang ingin dicapai pada faktor-faktor
yang ingin diselidiki.
Prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas
terdiri dari : (1) perencanaan, (2) pelaksanaan
tindakan, (3) observasi/ pengamatan, (4) refleksi,.
a Perencanaan
Kegiatan yang akan dilakukan pada tahap
ini setelah ditetapkan untuk menerapakan
pembelajaran lempar lembing dengan
menggunakan pendekatan gaya mengajar
penugasan, maka kegiatan selanjutnya adalah
menyiapkan beberapa hal yang perlu dilakukan
sebagai berikut :
1) Membuat skenario pembelajaran yang
tercantum dalam RPP untuk siklus 1 yang
dilaksanakan dalam satu kali pertemuan.
2) Membuat media gambar sesuai dengan urutan
teknik dalam lempar lembing
3) Membuat lembar observasi untuk guru dan
siswa.
4) Membuat media tiruan atau lembing modifikasi
5) Membuat instrument penelitian yang
meliputi alat evaluasi berupa tes dan panduan
penskoran untuk melihat apakah ada peningkatan
keterampilan lempar lembing dengan
menggunakan pendekatan gaya mengajar
penugasan
b. Pelaksanaan tindakan
Kegiatan yang akan dilaksanakan pada tahap ini
melaksanakan rencana pembelajaran yang telah
dibuat, dimana melaksanakan pembelajaran
lempar lembing dengan menggunakan gaya
mengajar penugasan sebagaimana sesuai dengan
rencana pembelajaran yang telah dibuat
sebelumnya yang terdapat pada lampiran.
c. Obeservasi/ pengamatan
Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah
melaksanakan proses observasi terhadap
pelaksanaan tindakan dengan menggunakan
lembar observasi yang telah dibuat. Proses ini
dilakukan mulai dari awal sampai akhir
pembelajaran.
d. Evaluasi
Evaluasi dilaksanakan pada setiap akhir
siklus-siklus pelaksanaan tindakan. Kegiatan
evaluasi bertujuan untuk melihat apakah ada
peningkatan keterampilan lempar lembing dengan
menggunakan gaya mengajar penugasan (Task
Style) pada siswaKelas XI SMAN 1 Kabawo.
e. Refleksi
Hasil yang diperoleh pada tahap observasi
dan evaluasi dianalisis untuk melihat kelemahan
dan keunggulan keterampilan lempar lembing
dengan menggunakan gaya mengajar penugasan
(Task Style) yang telah dilakukan. Selain itu juga
merupakan bahan pemikiran kemungkinan
melaksanakan perbaikan dan penyempurnaan yang
terjadi pada siklus sebelumnya.
Indikator keberhasilan dalam penelitian tindakan
ini adalah target ketuntasan belajar klasikal
ditentukan yaitu minimal 85 % yang ditentukan
oleh sekolah.
56
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Hasil Observasi dan Evaluasi
siklus I
Uuntuk mengetahui aktifitas guru selama proses
belajar mengajar dengan menggunakan gaya
mengajar penugasan (task style) sebagaimana
dalam tabel berikut ini:
Tabel 1 Aktivitas Guru Selama Proses Belajar
Berdasarkan tabel 1, diatas menunjukkan bahwa
aktifitas guru belum maksimal, ini disebabkan
karena adanya beberapa aspek yang tidak
diperhatikan atau dilaksanakan oleh guru dalam
kegiatan belajar mengajar sehingga hal ini menjadi
catatan untuk dilakukan pada siklus berikutnya.
Adapun aspek tersebut adalah mengaitkan materi
dengan pengetahuan lain, memberikan motivasi
kepada siswa dan menyimpulkan materi pelajaran,
sedangkan aspek lainnya cukup baik . Sedangkan
hasil observasi aktifitas siswa selama proses
kegiatan belajar mengajar berlangsung pada pokok
bahasan lempar lembing dengan menggunakan
metode tugas dapat diuraikan dalam tabel berikut
ini:
Tabel 2: deskripsi aktifitas siswa selama siklus I
No Aspek yang diobservasi Jumlah siswa
Keberhasilan (%) Aktif Tidak
aktif 1. Mendengarkan penjelasan guru 22 10 69% 31%
2. Melaksanakan kegiatan sesuai
instruksi guru 14 18 44% 56%
3 Berusaha dengan serius
mengetahui materi yang dipelajari 25 7 79% 21%
No Aspek yang diobservasi
Terlaksana
Komentar
YA Tidak
1. Mengawali pelajaran dengan berdo‟a Ya Baik
2. Memberikan motivasi kepada siswa Tidak kurang
3. Menyampaikan tujuan pembelajaran Ya Baik
4. Mengawali pelajaran dengan pemanasan Ya Baik
5. Memberikan kesempatan kepada siswa
untuk bertanya
Ya Cukup
6 Mengaitkan materi dengan pengetahuan
lain
tidak Perlu dilakukan
7 Membimbing siswa dalam melakukan
latihan teknik dasar
Ya Baik
8 Memanfaatkan sumber/media Ya baik
9 Melakukan lomba dengan peralatan
modifikasi
Ya Baik
10. Menyimpulkan materi pelajaran Tidak Perlu dilakukan
11. Melaksanankan pendinginan pada akhir
pembelajaran
Ya Baik
57
4 Anggota kelompok siswa saling
membantu 23 9 72% 28%
5. Serius dalam memperagakan
materi lempar lembing 24 8 75% 25%
6. Selalu bertanya kepada guru
terkait dengan pokok 5 27 16% 84%
7 Merasa senang dengan media
yang digunakan 30 2 94% 6%
8 Rasa ingin tahu materi pelajaran 28 4 86% 14%
9 Melakukan pendinginan secara
bersama-sama. 32 0 100% 0%
Dari tabel diatas memperlihatkan bahwa masih ada
sebagian siswa yang tidak melaksanakan aspek
pembelajaran dengan baik atau mendapat
persentase kurang diantaranya : 1). Siswa kurang
mendengarkan penjelasan guru (69%), 2).
Melaksanakan kegiatan sesuai instruksi guru 44%
3), keseriusan dalam mengikuti pembelajaran
melaksanakan gerakan secara aktif (79%), 4).
Memperhatikan contoh teknik dasar dari guru
(63%). 5). serius dalam memperagakkan materi
lempar lembing (75%), ). selalu bertanya kepada
guru terkait pokok bahasan (16%), tetapi ada
aspek yang menunjukkan bahwa aktifitas siswa
sudah cukup baik yakni merasa senang dengan
media yang digunakan (94%), rasa ingin tahu yang
tinggi terhadap materi pelajaran (84%) dan
melaksanakan pendinginan secara bersama-sama
(100%).
Sedangkan hasil tes kemampuan lempar lembing
siswa yang berjumlah 32 orang pada sklus I
diperoleh persentase nilai sebagaimana terdapat
dalam lampiran 6. Adapun persentase ketuntasan
classical siswa sebagai berikut:
Tabel 3. Deskripsi ketuntasan clasiccal siswa pada siklus I
No Jumlah Siswa Keberhasilan % Ketuntasan
1 23 72 Tuntas
2 9 28 Belum Tuntas
Berdasarkan tabel 1, Menunjukkan bahwa
kamampuan lempar lembing siswa pada siklus I
belum mencapai ketuntasan secara classical atau
hanya 23 orang tuntas belajar dengan persentase
ketuntasan 72%. Sehingga berarti tindakan siklus I
belum mencapai indikator kinerja 85% tuntas
secara classical dan perlu dilanjutkan kesiklus
selanjutnya. Hal ini disebabkan karena siswa
belum maksimal dalam mengukuti kegiatan proses
belajar mengajar.
58
B. Deskripsi hasil Observasi dan Evaluasi siklus II
Hasil observasi terhadap aktifitas guru yang dilaksanakan pada tindakan siklus II dapat
diuraikan dalam tabel berikut ini:
Tabel 4: deskripsi observasi aktifitas guru dalam siklus II
Dari tabel 4, menunjukkan bahwa aktifitas guru
sudah sangat maksimal dibanding dengan siklus I,
dimana dari 10 aspek yang diobservasi sudah
terlaksana dengan baik Hal ini berarti skenario
pembelajaran telah mampu diterapkan oleh guru
dengan maksimal.
Untuk mengetahui besarnya persentase aktifitas
siswa pada siklus II dapat dideskripsikan dalam
tabel berikut ini :
Tabel 5: Deskripsi aktifitas siswa selama siklus II
No Aspek yang diobservasi Jumlah siswa Keberhasilan
(%) Aktif Tidak aktif
1. Mendengarkan penjelasan guru 30 2 94 6
2. Melaksanakan kegiatan sesuai
instruksi guru 32 - 100 0
3 Berusaha dengan serius mengetahui
materi yang dipelajari 32 - 100 0
4 Anggota kelompok siswa saling
membantu 32 0 100 0
No Aspek yang diobservasi
Terlaksana
komentar
YA Tida
k
1. Mengawali pelajaran dengan
berdo‟a Ya Terpenuhi
2. Memberikan motivasi kepada siswa Ya Terpenuhi
3. Menyampaikan tujuan
pembelajaran Ya Terpenuhi
4. Mengawali pelajaran dengan
pemanasan Ya Terpenuhi
5. Memberikan kesempatan kepada
siswa untuk bertanya
Ya Terpenuhi
6 Mengaitkan materi dengan aktivitas
kehidupan sehari-hari ya Terpenuhi
6. Membimbing siswa dalam
melakukan latihan teknik dasar Ya Terpenuhi
8 Melakukan lomba dengan peralatan
modifikasi Ya Terpenuhi
9. Menyimpulkan materi pelajaran Ya Terpenuhi
10. Melaksanankan pendinginan
sebelum bubar Ya Terpenuhi
59
5. Serius dalam memperagakan materi
lempar lembing 32 0 100 0
6. Selalu bertanya kepada guru terkait
dengan pokok 5 27 16 84
7 Merasa senang dengan media yang
digunakan 32 - 100 0
8 Rasa ingin tahu materi pelajaran 28 4 86 14
9 Melakukan pendinginan secara
bersama-sama. 32 0 100 0
Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa
aktifitas siswa pada siklus II mengalami
peningkatan yang maksimal dibandingkan dengan
siklus I. dimana ke 9 aspek tersebut menunjukkan
peningkatan aktifitas siswa sebagai berikut : 1).
Mendengarkan penjelasan guru (94%), 2)
Melaksanakan kegiatan sesuai instruksi guru
100% 3)Berusaha dengan sungguh menguasai
materi 100%. 4) Anggota kelompok siswa saling
membantu 100%, 5) melaksanakan gerakan secara
aktif (100%). 6). selalu bertanya kepada guru
terkait pokok bahasan (17%). 7). Merasa senang
dengan media yang digunakan 100%, 9)
melakukan pendinginan secara bersama-sama
(100%).
Hasil evaluasi atau tes yang dilakukan diakhir
tindakan siklus II, yakni berupa tes unjuk kerja
dengan menggunakan rubrik penilaian yang telah
disiapkan sebelumnya cukup baik dibandingkan
dengan siklus I. untuk mengetahu tingkat
kemampuan lempar lembing siswa dapat dilihat
dalam tabel berikut ini:
Tabel 6: Deskripsi ketuntasan siswa secara Classical
No Jumlah Siswa Keberhasilan % Ketuntasan
1 30 94 Tuntas
2 2 7 Belum Tuntas
Dari tabel 6 memperlihatkan bahwa siswa telah
memahami serta mengerti tentang materi yang
diajarkan serta penggunaan pendekatan gaya
mengajar pemberian tugas (Task Style). Ini
terlihat dari persentase skor siswa sebesar 94%
atau ketuntasan calssical siswa telah mencapai
target yakni minimal 85% siswa harus
memperoleh 75% dari skor maksimal.
Berikut adalah diagram yang menampilkan
adanya peningkatan keterampilan melempar
lembing siswa kelas XI SMA Negeri 1 Kabawo
60
Berdasarkan gambar tersebut diatas,
dapat dilihat bahwa tindakan siklus I belum
mencapai indikator kinerja penelitian yang
ditetapkan , ini di sebabkan dari hasil observasi
pada pelaksanaan tindakan siklus I terlihat bahwa
guru belum melaksanaan secara maksimal
skenario pembelajaran, salah satu kelemahan guru
pada tindakan siklus I adalah guru tidak
memotivasi siswa diawal pembelajaran.
Sedangkan dari hasil observasi terhadap siswa
masih terdapat kelemahan-kelemahan di antaranya
;1) Siswa kurang memperhatikan penjelasan guru.
2) Siswa masih kaku dalam melakukan gerakan
tehnik dasar lempar lembing dengan menggunakan
media modifikas 3) Hanya sebagian siswa yang
melakukan gerakan tehnik dasar lempar lembing
dengan menggunakan media modifikasi dengan
serius.
Sehingga ini berdampak terhadap
pemahaman siswa yang kurang terhadap materi
pelajaran. Dari hasil evaluasi atau penilaian
tindakan siklus I menunjukkan persentase
perolehan siswa yang masih dibawah standar
ketuntasan secara classical yang telah ditetapkan
dalam penelitian ini. Persentase perolehan siswa
hanya mencapai 73% secara classical atau 32
orang siswa yang tuntas secara individual yakni 22
orang. Dari hasil tindakan siklus I berarti
penelitian tindakan belum memenuhi standar
ketuntasan yang telah ditetapkan dan perlu
dilanjutkan ke siklus berikutanya.
Setelah guru dan peneliti mendiskusikan
kembali atau merefleksi kembali segala
kekurangan-kekurangan yang terjadi disiklus I,
maka guru dan peneliti melanjutkan ke siklus II,
dengan mengacu pada perbaikan-perbaikan dari
tindakan sebelumnya.
Dari gambar diatas tingkat ketuntasan
belajar siswa untuk siklus II meningkat 20%
menjadi 93% dari tindakan siklus I atau 28 orang
siswa telah memenuhi indikator kinerja yakni
siswa yang memperoleh 75% dari skor maksimal
telah mencapai 85% pada penelitian ini sehingga
penelitian ini dikatakan berhasil atau tuntas, hal
ini berarti pelaksanaan pembelajaran keterampilan
lempar lembing dengan menggunakan media
modifikasi bola kecil dengan menerapkan model
pakem dikatakan berhasil. Ini terlihat dari hasil
observasi terhadap aktivitas guru dan siswa selama
tindakan siklus II, menunjukkan bahwa
guru/peneliti sudah mampu melaksanakan
skenario pembelajaran secara maksimal,
sedangkan siswa telah memperlihatkan :1) siswa
telah memiliki minat atau antusias yang cukup
baik terhadap materi pelajaran. 2) siswa telah
mampu menguasai atau beradaptasi dengan
penggunaan pendekatan metode tugas dengan
menggunakan media modifikasi. 3) siswa
mendengarkan penjelasan guru dengan baik.
Dari hasil penjelasan diatas dapat
dikatakan bahwa pendekatan gaya mengajar
dengan pemberian tugas dapat meningkatkan
kterampilan hasil belajar lempar lembing siswa
kelas XI SMA Negeri 1 Kabawo.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan, maka penelitin ini dapat disimpulkan
bahwa pendekatan gaya mengajar penugasan
(Task Style) dapat meningkatkan hasil belajar
keterampilan lempar lembing pada siswa kelas XI
SMAN 1 Kabawo Kabupaten Muna dimana pada
hasil tes siklus I =72% meningkat 22% menjadi
94% pada siklus II.
Berdasarkan permbahasan, refleksi dan
kesimpulan di atas, maka peneliti menyarankan,
bagi guru mata pelajaran penjas, hendaknya di
dalam mengajarkan keterampilan lempar lembing
dapat menggunakan gaya mengajar penugasan
(Task Style) sebagai salah alternatif dalam, proses
belajar mengajar Penjas di sekolah. Penelitian ini
hanya terbatas pada Model Pembelajaran dengan
Sub pokok bahasan Lempar Lembing, disarankan
untuk menggali lebih dalam melalui penelitian
lanjutan dengan cakupan materi yang lebih luas
dalam nuansa pembelajaran Penjaskes.
DAFTAR PUSTAKA
Ade Mardiani, dkk.2008. Pendidikan Jasmani,
Olahraga Dan Kesehatan. Jakarta:
Penerbit Universitas terbuka 7.
Aip Syarifuddin, 1997. Pendidikan Jasmani dan
Kesehatan, Proyek Pengadaan Buku
Ajar PGSD- DII. Depdiknas, Jakarta
Gagne R, 1997. Belajar dan Pembelajaran.
Rineka Bandung.
61
Harsuki,2003. Perkembangan Olah Raga
Terkini. PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Jonath, U, 1999. Teori dan Praktek Pembelajaran
Atletik I, Raja Grafindo Persada jakarta
Lutan Rusli. 2005. Belajar Motorik, Dirjen Dikti,
Proyek Pengadaan Buku Depdiknas,
jakarta
Nurhasan. 2008. Prosedur Evaluasi dan
Pengukuran Pendidikan Jasmani,
jakarta : kencana.
Rusyan, T., 1994. Pendekatan Dalam Proses
Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya.
Bandung.
62
TATA KRAMA DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT MUNA1
La Ode Baenawi2
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji persepsi masyarakat Muna terhadap adat tata
kelakuan atau tata krama sebagai salah satu varian dari budaya lokal masyarakat tersebut. Penelitian
ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif-analitik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masyarakat Muna memandang tata krama sebagai suatu tatanan yang
fundamental karena mencerminkan kepribadian, sarana penghormatan terhadap sesama, dan pedoman
dalam berperilaku. Dalam tata krama masyarakat Muna terdapat ajaran filsafat etika dan filsafat sosial
yang dapat menciptakan terjadinya tertib sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Kata Kunci: Tata Krama, Tertib Sosial, Masyarakat dan Etnik Muna
1 Ringkasan hasil penelitian 2 Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa FKIP Unhalu
A. Latar Belakang
Koentjaraningrat (1997; 1985)
menyatakan bahwa kebudayaan mempunyai unsur-
unsur atau sub-sub budaya yang turut berperan
menata dan menciptakan tertib sosial. Salah satu
sub budaya yang dimaksud adalah adat tata-
kelakuan yang berfungsi sebagai pengatur
kelakuan. Adat tata kelakuan atau biasa pula
disebut sebagai tata krama atau etika sopan santun
merupakan salah satu unsur budaya yang dimiliki
oleh setiap suku bangsa manapun juga. Dalam
kehidupan sosial, tata krama meiliki peran yang
sangat penting karena tata krama merupakan suatu
filsafat moral yang merefleksikan secara sistematis
tentang pendapat-pendapat, norma-norma dan
penilaian yang dipergunakan oleh masyarakat
yang bersangkutan sebagai pedoman hidup atau
world view dalam pergaulan bermasyarakat dan
berbangasa. Sehingga (Suseno, 1984) memandang
tatakrama sebagai cerminan peradaban suatu
masyarakat atau bangsa.
Setiap masyarakat memiliki seperangkat tata
kelakuan yang disusun berdasarkan pengalaman
hidup mereka di masa lalu, dan memberikan
pemaknaan tersendiri pula terhadap hal itu
berdasarkan kondisi sosial budayanya. Demikian
pula halnya dengan masyarakat Muna,
memandang adat atat kelakuan atau tata krama
yang merupakan bagian dari produk budaya lokal
sebagai hal yang penting. Orang Muna pada
umumnya beranggapan bahwa kenampakkan lahir
merupakan pencerminan batin. Kenampakkan lahir
yang dimaksud adalah tata krama yang
termanivestasi dalam podiu (sikap) dan feeli
(perbuatan). Seseorang yang dapat bertatakrama
dengan baik akan mendapat sanjungan, begitu pula
sebaliknya. Sehingga tata krama bagi masyarakat
Muna merupakan pedoman hidup dalam pergaulan
bermasyarakat yang sudah berlaku secara turun-
temurun.
Akan tetapi, kehadiran era globalisasi saat
ini mengakibatkan pergulatan antara nilai-nilai
budaya lokal dan global menjadi semakin tinggi
intensitasnya. Mengikuti pemikiran Piliang (2004:
28) dan Ali (2007) globalisasi yang bersifat
paradoks, impersonal dan bahkan predator telah
mengikis nilai-nilai kearifan lokal, sehingga
kehidupan sehari-hari menjadi terdistorsi oleh
globalisasi dan lokalitas terdiferensiasi oleh
produk kapitalisme. Arus globalisasi yang
demikian deras, menjadikan pribadi terbuang,
hilangnya tradisi lisan, pepatah orang desa
terkikis, ritus dan simbol lokal dipertukarkan
dengan ritus nasional (imagined community),
kearifan dan khazanah lokal tidak lagi sebagai
praktik.
Bias globalisasi menjadikan sebagian
masyarakat kehilangan rasa percaya diri dan rasa
bangga dengan budaya lokalnya. Bahkan sebagian
masyarakat tidak lagi menjadikan sistem sosial
dan budaya ketimuran sebagai world view dalam
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.
Konstatasi-konstatasi demikian inilah yang
mendorong perlunya pengkajian tentang perspektif
masyarakat Muna terhadap etika sopan-santun,
63
sebagai salah satu varian dari budaya lokal
masyarakat Muna itu sendiri.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kebudayaan dengan menggunakan metode
kualitatif. Mengikuti pendapat Sugiyono, (2008)
dan Moleong, (1994) bahwa metode kualitatif
merupakan suatu strategi penelitian yang
menghasilkan keterangan atau data yang dapat
mendeskripsikan realitas sosial dan kejadian-
kejadian yang terkait dengan kehidupan
masyarakat, sejarah, perilaku, fungsionalisasi
organisasi, hubungan kekerabatan, dan
pergerakan-pergerakan sosial, maka sasaran utama
penelitian ini adalah menjelaskan atau
mendeskripsikan secara kualitatif analitis tentang
tata krama masyarakat Muna. Penelitian ini
dilaksanakan di Kabupaten Muna Sulawesi
Tenggara. Jenis data dalam penelitian ini adalah
data kualitatif dan kuantitatif, yang terdiri dari
data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara, observasi, studi dokumen, dan diskusi
terfokus. Informan dalam penelitian ini ditentukan
secara purposive sampling, dan dilakukan dengan
teknik pengumpulan informasi berantai atau
menggelinding laksana bola salju (snowball) yang
diawali dengan penentuan informan pangkal
menjurus pada terpilihnya beberapa informan
pokok. Analisis data dilakukan secara deskriptif-
kualitatif melalui empat langkah yaitu (a)
menyusun satuan-satuan seluruh data yang
terkumpul dari hasil wawancara, observasi, studi
kepustakaan dan diskusi kelompok terfokus dibagi
satu persatu, dikumpulkan sesuai golongannya,
kemudian dilakukan reduksi data guna
mengeliminir data yang kurang relevan, membuat
abstraksi dan menyusun satuan-satuan data, (b)
melakukan kategorisasi data sehingga proses
kategorisasi dan pengelompokkan data bisa
menjadi lebih baik, (c) menyusun hubungan antar
kategori, membandingkan kategori data yang satu
dengan kategori data yang lainnya, dan melakukan
interpretasi makna-makna setiap hubungan data
tersebut, (d) memberikan interpretasi dan
hubungan antar kategori data yang sudah
dikelompokkan sehingga dapat ditemukan makna
dan kesimpulannya.
C. Hasil dan Pembahasan
Secara umum, dari hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa masyarakat Muna sangat
menganggap penting tata krama dalam kehidupan
sehari-hari. Tata krama merupakan kunci atau
pedoman dalam bergaul dengan anggota keluarga
maupun masyarakat. Sebab, bagi orang Muna,
menjadi manusia Muna yang baik berarti menjadi
manusia berbudaya, manusia beradab yang
mengetahui peran dan kedudukannya dan
mengetahui bagaimana seharusnya bertingkah laku
atau manusia yang mengetahui tatanan. Dalam
pandangan orang Muna hidup yang benar adalah
hidup dengan mengetahui dan memperlihatkan
tingkah laku sopan, mengucapkan kata-kata yang
pantas, serta mempertahankan tatanan yang ada.
Oleh karena itu, semua podiu (sikap) dan feeli
(perbuatan) harus selalu dikendalikan agar tercipta
kehidupan yang harmonis dalam bingkai falsafah
intaidimu dodadi ne junia ini bea dapopiapiara
bhe dapomamasigho,(dalam kehidupan di dunia
ini kita harus saling memelihara dan saling
menyangi).
Untuk mewujudkan podiu yang baik,
maka manusia Muna harus berpegang teguh pada
falsafah “dhaganie pongkemu, dhaganie matamu,
dhaganie lalomu bhahiata nodai” (terjemahan:
jaga telingamu, jaga matamu dan jaga hatimu
jangan sampai rusak). Untuk mewujudkan feeli
yang baik masyarakat Muna berpegang teguh pada
falsafah “dhaganie lelamu, dhaganie limamu bhae
dhaganie ghaghemu (jaga lidamu, jaga tanganmu
dan jaga kakimu). Kedua falsafah ini mengandung
makna perlunya pengendalian diri, karena
lingkungan luar tubuh manusia penuh dengan
dinamika. Banyak masalah-masalah sosial yang
terjadi dalam masyarakat, karena adanya warga
atau sekelompok warga yang tiak mampu
mengendalikan lisannya, tangan, kaki, telinga,
mata dan pikiran, serta hati.
Oleh karena itu, esensi dari filsafat etika
Orang muna adalah upaya bagaimana menjaga dan
membersihkan pendengaran, penglihatan dan hati
agar jangan ternoda dan senantiasa memancarkan
sikap dan perbuatan yang baik. Kesemuanya itu
bisa terwujud melalui tata krama atau pun etiket,
sopan santun, yang berlaku, karena tata krama
merupakan salah satu kunci dalam pergaulan.
Masyarakat Muna memandang tata krama
sebagai sebuah tatanan yang fundamental karena
64
tata krama mencerminkan kepribadian, sebagai
sarana penghormatan atau penghargaan antara
yang muda kepada yang tua atau sebaliknya,
antara atasan dan bawahan. Dalam tatanan
keluarga Muna hubungan sosial secara hierarkhis
sangat menonjol dan masih diatur melalui
perbedaan kedudukan atau status sosial yakni
kaomu-walaka (status bangsawan dalam
masyarakat Muna disebut kaomu). Untuk itu,
menjaga bentuk-bentuk kesopanan secara
proporsional dapat menjadikan hubungan-
hubungan sosial menjadi stabil, kukuh dan bahkan
dapat berfungsi sebagai kekuatan sosial yang amat
integratif. Secara sosio kultural masyarakat Muna
memang masih paternalistik dan masih mewarisi
sisa budaya feodal, sehingga nuansa kaomu-
walaka (bangsawan-bukan bangsawan) masih
sangat kental. Budaya ini terbangun mulai dari
keluarga dan terbawa sampai dalam sistem
pemerintahan saat ini.
Semua orang Muna diwajibkan untuk
menghormati sesamanya, karena manusia yang
satu dengan yang lainya saling membutuhkan dan
saling melengkapi. Manusia Muna tidak bisa eksis
tanpa bantuan sesamanya karena itu harus
membangun relasi sosial. Dalam membangun
hubungan sosial didasarkan pada prinsip popia-
piara (saling pelihara-memelihara), poangka-
angkataa (saling mengikuti), pomaasi-maasigho
(sayang-menyayangi). Popia-piara mengandung
makna sesama anggota atau warga masyarakat
tidak boleh saling mengganggu, tetapi harus saling
melindungi dan saling menopang. Poanka-
angkataa mengandung makna loyalitas, kebesaran
jiwa dan kebersamaan. Pomaasi-masigho
mengandung makna kecintaan terhadap sesama,
rasa memiliki dan humanisme atau berjiwa sosial.
Agar prinsip tersebut teraktualisasi
menjadi praktik sosial, orang Muna harus
memahami dan memaknai falsafah bhini-bhini kuli
(cubit kulit sendiri). Falsafah ini mengandung
makna tenggang rasa. Kalau seseorang mencubit
kulitnya sendiri terasa sakit, itu artinya tidak boleh
mencubit orang lain, karena mereka akan merasa
kesakitan. Kalau seseorang merasa sangat
membutuhkan orang lain ketika susah, maka
hendaknya ia juga harus menolong orang yang
kesusahan, begitu seterusnya. Tujuan dari filsafat
sosial orang Muna adalah terwujudnya tertib
sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam masyarakat Muna tata krama
sangat penting bagi seseorang dalam berperilaku.
Menurut Orang Muna perilaku adalah cerminan
kepribadian. Hal ini akan semakin terasa bagi
seseorang apabila ia telah bergaul di masyarakat.
Seseorang yang halus bertutur kata, sopan, dan
beretika, mencerminkan sesorang yang
berkepribadian baik. Namun sebaliknya, seseorang
yang kadhoro-dhoro (grusa-grusu, acak-acakkan)
dianggap sebagai orang yang berkepribadian jelek.
Oleh karena itu orang Muna yang tidak
berperilaku sebagai orang Muna yang ideal akan
mendapat teguran di masyarakat, karena ia
dianggap tidak mengetahui tata krama. Orang yang
tidak bertatakrama akan menjadi bahan
pembicaraan orang , ditertawakan bahkan
disingkirkan dalam pergaulan. Warga masyarakat
yang tidak memiliki tata karma dalam masyarakat
akan disebut sebagai orang yang tidak tahu adat,
bahkan orang tersebut bisa mendapat sangsi moral
atau sangsi sosial berupa tidak diajak
berkomunikasi oleh warga disekitarnya. Orang
yang berperilaku aneh atau menyimpang dari
ajaran moral dan hidup terasing disebut
nosalaoho.
Menyadari pentingnya tata krama dalam
kehidupan masyarakat, para orang tua di Muna
mulai menanamkan nilai-nilai tata krama kepada
anak-anak mereka sejak dini dalam kehidupan
rumah tangga. Proses sosialisasi nilai-nilai tata
krama dilakukan melalui contoh-contoh, nasehat-
nasehat, serta bebagai larangan yang berlaku
dalam keluarga. Selain itu, derasnya gempuran
arus globalisasi saat ini, para orang tua kembali
menyadari betapa pentingnya institusi keluarga
sebagai medium penanam nilai-nilai religi,
kultural, dan kemanusiaan. Seluruh informan
dalam penelitian ini menginkan anak-anak mereka
menjadi generasi yang mengagungkan nilai
humanistik, keluhuran budi, dan mempunyai
kakolalo yaitu kemampuan memamnfaatkan hati
dan pikiran untuk menghasilkan sikap (podiu) dan
perbuatan (feeli) yang baik. Orang yang memiliki
kakolalo disebut sebagai omie metaano (manusia
yang arif dan bijaksana).
D. Penutup
65
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan di atas, maka dapat ditarik beberapa
simpulan sebagai berikut: (1). Masyarakat Muna
memandang tata krama sebagai sebuah tatanan
yang fundamental karena tata krama
mencerminkan kepribadian, tata krama sebagai
sarana penghormatan, tata krama sebagai
pedoman dalam berperilaku. (2). Dalam tata krama
masyarakat Muna banyak terdapat ajaran filsafat
etika dan filsafat sosial yang dapat menciptakan
suasana tertib sosial dalam masyarakat. (3). Era
globalisasi oleh sebagian besar masyarakat Muna
memandangnya sebagai tantangan untuk semakin
menggali dan merefitalisasi nilai-nilai budaya
lokal dengan menjadikan institusi keluarga sebagai
medium utama dalam proses sosialisasi nilai-nilai
kearifan lokal.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, perlu disampaikan saran-saran sebagai
berikut: (1). Tata krama suku bangsa Muna selain
disosialisasikan kepada generasi muda melalui
pendidikan informal, sebaiknya disosialisasikan
pula melalui jalur pendidikan formal dan
dibakukan dalam kurikulum muatan lokal sejak
pendidikan dasar sembilan tahun, dan materi atau
bahan ajarnya dikemas secara kontekstual. (2).
Diperlukan kajian mendalam dan lebih
komprehensif tentang eksistensi tata krama suku
bangsa Muna.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Madekhan, 2007. Orang Desa Anak Tiri
Perubahan. Malang: Averroes Press.
Kontjaraninggrat, 1997, Pengantar Antropologi :
Pokok – Pokok Etnografi II. Jakarta:
Rineka Cipta.
Moleong, L.J., 1994. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Piliang, Yasraf Amir, 2004. Dunia yang Dilipat:
Tamsya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Soetopo,D., R. 1999. “Nilai – nilai Budaya Tata
Krama Masyarakat Jawa dan
Pergeserannya dalam Masa Globalisasi”.
Makalah Seminar Balai Kajian Jarahnitra
Yogyakarta.
Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suseno, F.M. 1984. Etika Jawa : Sebuah Analisis
Filosofi Tentang Kebijaksanaan Hidup.
Jakarta : Gramedia.
72
ANALISIS KOVARIANSI DALAM PENELITIAN PERCOBAAN
DENGAN RANCANGAN DASAR R A L1
La Ndia2
Nana Sumarna2
1 Ringkasan hasil penelitian bidang statistik 2 Dosen Pendidikan Matematika FKIP Unhalu
A. Pendahuluan
Dalam rangka meningkatkan mutu hasil
penelitian, maka berbagai pertimbangan yang
harus dilakukan sehingga peneliti perlu memilih
alternatif mana yang terbaik agar penelitian yang
dilakukan dapat memecahkan permasalahan yang
sedang diteliti .
Misalnya dalam penelitian eksperimen
seorang peneliti harus tahu memilih jenis
rancangan yang tepat dan sesuai .
Pemilihan jenis rancangan yang digunakan
dalam penelitian experimen didasarkan pada
satuan percobaan yang digunakan, kemampuan
peneliti dalam hal mengumpulkan data dari
percobaan yang dilakukan
Rancangan acak lengkap dalam penelitian
experimen jenis merupakan rancangan yang cukup
sederhana , namunhasilnya cukup terandalkan
bilamana penggunaannya tepat, dalam arti satuan
percobaan yang digunakan relatif homogen .
Pelaksanaan percobaan merupakan
pengaturan pemberian perlakuan kepada satuan-
satuan percobaan dengan maksud agar
keheterogenan satuan percobaan yang digunakan
dapat diwadahi dan disingkirkan atau dibuat
seminimum mungkin.
Namun kenyataan dilapangan kondisi
seperti ini , kadang-kadang sulit untuk terpenuhi,
misalnya adanya gangguan hama, cuaca yang
kurang mendukung, kemampuan peneliti terbatas,
sulitnya mendapatkan satuan percobaan yang
homogen .
Dalam kondisi seperti ini penggunaan
analisis varian cukup berbias, dalam arti bila hasil
penelitian ditemukan adanya perbedaan nilai rata-
rata dari respon yang diamati, maka perbedaan
tersebut mungkin saja bukan hanya akibat dari
perlakuan yang diberikan tetapi ada faktor-faktor
lain yang turut mempengaruhi respon.
Untuk menghindari adanya pengaruh
faktor luar yang tidak dapat diperhitungkan
sebelum pelaksanaan percobaan, maka
penggunaan analisis statistika yang sesuai adalah
anakova , dimana analisis ini bertujuan
mengendalikan pengaruh-pengaruh luar selama
percobaan berlangsung , dimana pengaruh-
pengaruh luar didefinisikan dalam bentuk
variabel-variabel baru yang disebut variabel
pengiring X (concomitant variable), dengan
catatan variabel tersebut tidak dipengaruhi oleh
perlakuan yang diberikan selama percobaan
berlangsung, tetapi variabel tersebut dapat
mempengaruhi respon
Variabel pengiring X (concomitant
vaiable) dalam anakova perlu dipilih secara hati-
hati agar penggunaan variabel pengiring
X(concomitant vaiable) benar-benar sesuai
dengan tujuannya yaitu mengurangi galat (error)
percobaan .
Misalnya seorang peneliti melihat pengaruh jenis
ransum ternak terhadap pertambahan bobot badan
sapi, yang merupakan variabel respon (Y) adalah
pertambahan bobot badan sapi . Dalam
penelitian tersebut bila digunakan analisis varians
tidak memperhitungkan bobot badan awal sapi
tersebut, namun dalam anakova bobot badan awal
sapi dijadikan sebagai variabel pengiring X
(concomitant variable) yang ikut mempengaruhi
pertambahan bobot badan sapi (Y). Sebab bisa
jadi bobot awal badan sapi dapat mempengaruhi
pertambahan bobot badan sapi selama percobaan
berlangsung, untuk itu dalam penelitian tersebut
73
bobot badan awal sapi dijadikan sebagai variabel
pengiring X (concomitant variable).
Dalam anakova pendefinisian variabel
pengiring X(concomitant variable) bisa saja lebih
dari satu variabel, sebagaimana halnya dalam
analisis regresi banyak variabel prediktor yang
mempengaruhi variabel respons, sehingga para
ahli statistika mengatakan bahwa anakova
merupakan gabungan antara analisis varians dan
analisis regresi, dalam hal ini penggunaan
anakova dalam penelitian khususnya penelitian
percobaan akan meningkatkan ketepatan
pendugaan.
Antara kuadrat tengah galat anava dan
kuadrat tengah galat anakova mempunyai pola
hubungan KTG* = KTG (1 - R2)
db galat
db galat - 1
, dimana: KTG* = kuadrat
tengah galat anakova, KTG = kuadrat tengah galat
anava,
R = koefisien korelasi antara variabel pengiring
XX (concomitant variable) dan variabel respons
Y serta db galat merupakan derajat bebas galat
anava.
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa
jika nilai R2 besar, maka KTG* akan semakin
kecil, dalam kondisi seperti ini penggunaan
anakova dapat meningkatkan ketepatan, namun
bila R2
kecil nilai KTG* akan mendekati KTG
dalam kondisi seperti ini penggunaan anakova
bukannya meningkatkan ketepatan percobaan
tetapi sebalikya akan memperumit proses analisis
statistika yang digunakan.
Oleh karena itu pendefinisian variabel
pengiring X(concomitant variable) dalam anakova
harus dilakukan secermat mungkin, agar
penggunaan anakova dalam percobaan dapat
tercapai sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu
meningkatkan ketepatan hasil penelitian.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
bidang statistika terapan, yang dikaji dari berbagai
literatur, sehingga metode yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan metode kepustakaan.
Metode ini digunakan untuk menyeleksi
teori yang dapat mendukung pokok permasalahan
yang diteliti, dalam upaya pembahasan masalah
yang telah diutarakan pada bagian pendahuluan.
C. Permasalahan
Secara implisit permasalahan dalam
makalah ini sudah dipaparkan pada bagian
pendahuluan, namun secara operasional
permasalahan dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah tujuan yang diharapkan dari
penggunaan anakova dalam penelitian
experimen desain acak lengkap.
2) Bagaimana pemilihan model yang tepat
dalam penggunaan anakova pada penelitian
experimen desain acak lengkap.
3) Bagaimana mendefinisikan variabel
pengiring X ( concomitant variable ) dalam
penelitian experimen desain acak lengkap.
D. Pembahasan
Kenyataan yang ada dilapangan suatu
respon tidak hanya dipengaruhi oleh perlakuan
yang diberikan, tetapi kadang-kadang ada faktor
lain yang kehadirannya selama percobaan
berlangsung dapat mempengaruhi respon,
misalnya cuaca, adanya serangan hama,
kemampuan awal atau bobot awal dari unit
percobaan yang digunakan dan lain sebagainya.
Keberadaan faktor-faktor tersebut selama
percobaan berlangsung dapat dikendalikan
dengan cara menggunakan anakova .
Dengan mengendalikan faktor-faktor tersebut,
maka penggunaan anakova dapat meningkatkan
ketelitian hasil peneltian.
Pengendalian terhadap faktor-faktor yang
tidak diharapkan selama percobaan berlangsung
dapat dilakukan dengan cara mengendalikan galat
(error) percobaan dan mengoreksi nilai rata-rata
perlakuan .
Apabila anakova digunakan untuk
mengendalikan galat percobaan dan mengoreksi
nilai rata-rata respon akibat perlakuan, maka
kovarian harus tidak dipengaruhi perlakuan, jika
kovarian dipengaruhi perlakuan, maka
74
pengoreksian mengambil kedua keragaman karena
galat percobaan dan pengaruh perlakuan .
Pengendalian galat dilakukan dengan cara
mengurangi jumlah kuadrat galat akibat perlakuan
dengan jumlah kuadrat galat regresi linier Y
terhadap X, Secara matematika dinyatakan dalam
rumus berikut:
JKGYY Terkoreksi = JKGYY - JK
JK
GXY
2
GXX
Dengan demikian tujuan penggunaan anakova
dalam penelitian experimen adalah untuk
mengurangi galat percobaan yang sebelumnya
kurang diperhitungkan keberadaannya dalam
percobaan oleh peneliti .
Suatu model yang digunakan dalam
anakova dengan menggunakan desain acak
lengkap dikatakan tepat apabila persyaratan
asumsi dari model yang digunakan dapat terpenuhi
. Dalam anakova dengan menggunakan desain
acak lengkap model yang digunakan adalah
Yij = + i + (X - X) + ij ij
Asumsi yang harus dipenuhi dari model
tersebut agar anakova menjadi sahih adalah:
1. Variabel pengiring X (concomitant variable)
bersifat tetap,diukur tanpa kesalahan dan
tidak berkorelasi dengan perlakuan yang
dicobakan, dalam artian variabel pengiring X
(concomitant variable) tidak dipengaruhi oleh
perlakuan.
2. Hubungan pengaruh antara variabel pengiring X
(concomitant variable) dengan variabel respon
harus bersifat linier dan bebas dari perlakuan
yang diberikan.
3. Galat (error) percobaan harus timbul secara
acak, menyebar secara bebas dan normal
dengan nilai rata-rata sama dengan nol dan
ragam 2.
Model tersebut mengindikasikan bahwa
anakova merupakan perpaduan antara analisis
varian dan analisis regresi, analisis varian dalam
uji beda dilakukan dengan menguraikan jumlah
kuadrat total menjadi jumlah kuadrat akibat
perlakuan dan jumlah kuadrat galat, sedangkan
anakova disamping menguraikan jumlah kuadrat
total menjadi jumlah kuadrat akibat perlakuan dan
jumlah kuadrat galat juga mengoreksi jumlah
kuadrat galat dengan menggunakan jumlah
kuadrat regresi .
Agar anakova dapat mengukur apa yang
diharapkan, maka pendefinisian variabel
pengiring X (concomitant variable) diupayakan
semaksimal mungkin agar variabel tersebut bebas
dari perlakuan yang diberikan .
Disisi lain variabel pengiring X
(concomitant variable) harus mempunyai korelasi
dengan variabel respon, sebab jika variabel
pengiring X(concomitant variable) tidak
berkorelasi dengan variabel respon, maka
penggunaan anakova tidak dapat berfungsi
sebagaimana yang diharapkan yaitu
meningkatkan ketelitian penelitian dengan cara
mengurangi galat percobaan .
F. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat
disimpulkan bahwa:
1. Penggunaan anakova dalam penelitian
experimen akan mempertinggi ketelitian
penelitian dengan mengeliminir faktor-faktor
luar yang turut mempengaruhi respon dan
sebelumnya tidak diperkirakan
keberadaannya selama percobaan
berlangsung.
2. Anakova merupakan gabungan antara anava
dan analisis regresi, analisis regresi melihat
hubungan antara variabel respon dan
variabel konkomitan (cocncomitant variable)
.
3. Pola hubungan antara variabel respon dan
variabel konkomitan bersifat linier, serta
variabel konkomitan harus bebas dari
perlakuan yang diberikan atau dengan kata
lain variabel konkomitan tidak dipengaruhi
oleh perlakuan tetapi variabel tersebut
memberikan andil terhadap respon .
4. Semakin besar hubungan antara variabel
respon dan variabel konkomitan, maka
semakin kecil kuadrat tengah galat anakova,
dengan demikian anakova dapat
meningkatkan ketelitian penelitian.
75
DAFTAR PUSTAKA
D.A. Preece. 1980. Covariance Analysis, Faktorial
Experiment and Marginalily. Jurnal
Of The Institute Of Statisticions.
Volume 29 Number 2. Juni 1980.
Robert G.D. Steel, James H. Torrie. 1991. Alih
Bahasa Bambang Sumantri. Prinsip
dan Prosedur Statistika Suatu
Pendekatan Biometrik. Gramedia
Pustaka Utama Jakarta. Institute Of
Statisticions. Volume 34 Number 3.
Juni 1980.
Sudjana. 1985. Disain dan Analisis Eksperimen.
Bandung; Tarsito
Sik-Yum Lee, Wai-Yin Poon. 1985. Further
Developments on Constrained
Estimation in Analysis of Covariance
Structurs . Jurnal Of The
Vincent Gaspersz, 1992. Teknik Analisis Dalam
Penelitian Percobaan. Jilid 1.
Bandung; Tarsito
72
KETERAMPILAN DASAR DALAM PRAKTIKUM DI LABORATORIUM KIMIA1
La Rudi2
Abstrak. Mahasiswa baru pada semester 1, memprogramkan matakuliah Kimia dasar I, diamana
matakuliahn ini terintegrasi dengan kegiatan praktikum dilaboratorium Kimia. Berdasarkan pengamatan
kami, mahasiswa semester I dalam mengikuti kegiatan praktikum banyak yang tidak mengetahui cara-cara
penggunaan peralatan laboratorium Kimia. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut dapat terulang, maka pada
mahasiswa baru angkatan 2010, sebelum mengikuti kegiatan praktikum, kami berikan terlebih dahulu
kegiatan pengenalan alat-alat laboratorium dan cara penggunaanya. Dari hasil kegiatan yang kami lakukan,
mahasiswa banyak yang tertarik untuk mengikuti kegiatan tersebut, namun peserta terbatas maka tidak
semua mahasiswa baru yang ada dijurusan pendidikan MIPA dapat mengukuti kegiatan tersebut. Dari hasil
evaluasi pada proses pelaksaanaan kegiatan praktikum antara mahasiswa yang mengikuti kegiatan dengan
pengenalan penggunaan peralatan laboratorium, rata-rata mahasiswa yang sudah diberikan pengenalan
mengetahui dan mereka yang aktif menggunakan peralatan dalam pelaksanaan praktikum, dan mahasiswa
yang tidak mengikuti kegiatan pengenalan tidak berani menggunakan peralatan.
1 Makalah yang disampaikan pada pelatihan keterampilan kerja dalam Lab.Kimia 2 Dosen Pendidikan Kimia FKIP Unhalu
A. PENDAHULUAN
Dalam kurikulum pengajaran MIPA
tercermin bahwa disamping pengajaran materi
ilmu, juga melibatkan keterampilan, penanaman
sikap, mengasah penalaran yang benar dan
kemampuan bekerjasama dalam kelompok..
Namun demikian, kegiatan praktikum dapat sukses
jika ditunjang dengan kemampuan mahasiswa
yang akan melakukan praktikum. Apabila
komponen tersebut tidak seimbang maka sukar
untuk mencapai tujuan dari praktikum itu sendiri.
Salah satu matakuliah yang didalamnya
mewajibkan mahasiswa untuk melakukan
praktikum adalah Kimia Dasar. Dalam praktikum
Kimia, mahasiswa dituntut untuk memahami dan
trampil menggunakan peralatan kimia agar data
yang diperoleh dapat memperkuat teori-teori yang
telah dipelajari. Dari hasil pengamamatan
terhadap mahasiswa baru pada praktikum Kimia
Dasar tahun-tahun sebelumnya, didapatkan banyak
mahasiswa tidak mengetahui cara penggunaan
peralatan bahkan takut dalam melakukan reaksi-
reaksi Kimia. Dari hasil wawancara terhadap
beberapa mahasiswa, kebanyakan mereka tidak
mengetahui cara penggunaan peralatan disebabkan
karena saat disekolah menengah (SMA) tidak
pernah melakukan praktikum dan kalau pun di
sekolahnya melakukan praktikum, siswa hanya
melihat gurunya saja yang melakukanya.
Akibatnya setelah masuk perguruan tinggi saat
dilakukan praktikum Kimia, peserta (praktikan)
banyak yang hanya menonton saja karena mereka
belum mengetahui cara melakukanya.
Untuk menghindari hal-hal tersebut
terulang kembali pada mahasiswa baru tahun
ajaran 2010/2011 yang akan mengikuti praktikum
Kimia Dasar, maka dipandang perlu untuk
melakukan pembekalan atau pelatihan penggunaan
beberapa peralatan dan teknik-teknik dasar dalam
melakukan praktikum di Laboratorium Kimia.
Diharapkan melalui kegiatan pengenalan
penggunaan peralatan laboratorium ini mahasiswa
mempunyai pengetahuan dan keterampilan dasar
dalam menggunakan peralatan laboratorium kimia
terutama dalam kegiatan praktikum dan juga
terhindar dari resiko
kecelakaan yang diakibatkan kesalahan
menggunakan peralatan.
73
B. TUJUAN
Untuk melatih dan meningkatkan
keterampilan menggunakan peralatan dan
melakukan pengamatan pada praktikum di
Laboratorium Kimia bagi mahasiswa baru
program IPA yang memprogramkan praktikum
Kimia Dasar.
C. PELAKSANAAN
Pelatihan ini dilaksanakan pada tanggal 31
Oktober 2010 yang bertempat di Laboratorium
Pengembangan P.MIPA FKIP Unhalu.
Penyelenggara kegiatan ini adalah HMPS Pend.
Kimia FKIP Unhalu dan diikuti oleh mahasiswa
baru yang akan mengikuti praktikum Kimia Dasar
I tahun ajaran 2010/2011.
D. KAJIAN TEORI
Keterampilan laboratorium dasar yang
perlu diketahui mahasiswa sebelum masuk
laboratorium kimia untuk melaksanakan praktikum
mencakup cara menggunakan spatula dan alat
timbang, menyiapkan larutan, cara membaca
meniskus dengan benar, cara-cara mereaksikan,
cara memanaskan larutan, dan cara menyaring.
1. CARA MENGGUNAKAN TIMBANGAN
DAN SPATULA
Untuk membuat larutan atau dalam
prosedur praktikum menggunakan yang bahan
murninya berasal dari bahan kimia yang berwujud
padat, maka untuk menggambil bahan kimia
tersebut diperlukan keterampilan dalam
mengambilnya agar bahan kimia murninya tidak
terkontaminasi dan bahan yang ditimbang akurat.
Spatula (sendok bahan kimia) yang
digunakan harus bersih/dibersihkan dan setelah
digunakan dibersihkan kembali. Jangan
menyimpan spatula kedalam bahan/wadah bahan
kimia. Berdasarkan bahan pembuatanya, spatula
yang umum digunakan dalam laboratorium kimia
ada 3 jenis yaitu spatula jenis stainless steel,
spatula tanduk, dan spatula dari polietilen.
Untuk menimbang bahan kimia, gunakan
botol timbang atau gelas piala ukuran 50 mL. cara
menimbangnya adalah sebagai berikut: tekan
„on/off‟ dari timbangan, selanjutnya dudukkan
wadah tempat menimbang kemudian nolkan beban
dari wadah dengan cara tekan „zero‟ selanjutnya
masukkan bahan kimia yang akan ditimbang
kedalam wadah sesuai dengan berat yang
diinginkan dengan cara seperti yang telah
dijelaskan pada poin diatas. Prosedur
penggunakan timbangan tergantung pada tipe/jenis
timbangan, tetap prosedur atau langkah-langkah
dalam menimbang umumnya sama.
Yang perlu diperhatikan dalam
penggunan timbangan adalah:
a. Timbangan harus selalu dalam keadan
bersih
b. Bahan kimia tidak boleh diletakkan
langsung pada piringan timbangan, tetpi
gunakan botol timbang.
c. Dalam menyimbang, tidak boleh ada bahan
kimia yang terjatuh dialas piringan
timbanga, karena zat yang terjatuh tadi tetap
akan terbaca sebagai massa oleh timbangan
2. TEKNIK MEMBACA MINISKUS
Untuk mendapatkan volume cairan yang
akan diukur, baik menggunakan pipet volume,
kelas ukur, labu ukur, buret maka cara membaca
cairan pada skala harus benar. Pada alat-alat ukur
tersebut selalu diulengkapi dengan skala atau batas
akhir volume (miniskus) sehingga dalam
mengukur cairan volumenya tepat.
Cara membaca miniskus alat, posisi mata
harus sejajar dengan batas garis/miniskus alat. Jika
cairan yang akan diukur jernih (tidak berwarna)
H2SO4 atau cairan lain, maka miniskusnya ada
pada lengkungan bawah. Jika cairan yang akan
diukur adalah berwarna seperti CuSO4 atau cairan
74
yang berwarna lain dan keruh, maka miniskusnya
bada garis atasnya.
3. TEKNIK MEMBUAT LARUTAN
Dalam laboratorium Kimia bahan kimia
murni ada dalam dua sifat yaitu cairan dan
padatan. Untuk tujuan praktikum, bahan kimia
selalu dalam bentuk larutan yang mempunyai
konsentrasi rendah. terdapat dua jenis bahan
kimia murni yaitu cairan dengan konsentrasi tinggi
(pekat) dan padatan. Olehnya itu, untuk
menyiapkan bahan kimia (larutan/reagen) dalam
konsentrsi rendah diperlukan suatu keterampilan
khusus agar bahan yang dibuat benar dan aman
dalam membuatnya.
Untuk menyiapkan larutan dengan benar,
diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Langkah pertama adalah menghitung berapa
gram yang harus ditimbang (jika bahan
murninya berbentuk padat) atau berapa
milliliter yang harus diambil (jika bahan
murninya berbentuk cairan) yang harus
dilarutkan untuk menyiapkan larutan dengan
konsentrasi dan volume larutan yang akan
dibuat.
2) Cara menimbang harus benar, seperti yang
dijelaskan pada poin 1) diatas. Jika cara
menimbang sudah salah, maka larutan yang
dibuat juga akan tidak sesuai dengan
konsentrasi yang diinginkan.
3) Cara membaca miniskus juga harus benar,
agar volume larutan atau volume cairan
yang dipipet tepat.
4) Jika bahan murninya padatan, maka setelah
menimbang larutkan dulu dengan sedikit
aquades sampai padatannya larut semua.
Setelah itu masukan kedalam labu ukur.
Wadah tempat melarutkan dibilas sampai 3
kali agar semua bahan terlarut semuanya
masuk kedalam labu ukur. Selanjutnya
tepatkan volume labu ukur yang digunakan
sampai batas miniskus.
5) Jika bahan murninya adalah cairan, maka
setelah dihitung volume cairan yang akan
dipipet dengan menggunakan rumus
pengenceran, ambil dengan tepat cairan
tersebut kemudian masukkan kedlam labu
ukur yang digunakan. Ingat..! sebelum
dimasukan cairan yang akan diencerkan,
labu diisi terlebih dahulu dengan aquades
minimal 1/3 dari volume labu. Utamanya
untuk cairan asam pekat (H2SO4) atau HCl.
4. TEKNIK MEREAKSIKAN
Semua reaksi kimia menyangkut
perubahan energi yang diwujudkan dalam bentuk
panas. Kebanyakan reaksi kimia disertai dengan
pelepasan panas (reaksi eksotermis), meskipun
adapula beberapa reaksi kimia yang menyerap
panas (reaksi endotermis). Bahaya dari suatu
reaksi kimia terutama adalah karena proses
pelepasan energi (panas) yang demikian banyak
dan dalam kecepatan yang sangat tinggi, sehingga
tidak terkendalikan dan bersifat destruktif
(merusak) terhadap lingkungan, termasuk
operator/orang yang melakukannya.
Banyak kejadian dan kecelakaan di dalam
laboratorium sebagai akibat reaksi kimia yang
hebat atau eksplosif (bersifat ledakan). Namun
kecelakaan tersebut pada hakikatnya disebabkan
oleh kurangnya pengertian atau apresiasi terhadap
faktor-faktor kimia-fisika yang mempengaruhi
kecepatan reaksi kimia. Beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi kecepatan suatu reaksi kimia
adalah konsentrasi pereaksi, kenaikan suhu reaksi,
dan adanya katalis.
Dalam mereksikan bahan dalam jumlah
sedikit gunakan tabung reaksi. Tekniknya
merekasikanya tidak boleh kaligus ditumpahkan
kedalam bahan yang akan direaksikan, tetapi
75
dengan cara ditetesi sedikit sedikit kedalam wadah
tempat mereaksikan. Dalam mereaksikan zat
gunakan pipet tetes.
Sesuai dengan hukum aksi masa,
kecepatan reaksi bergantung pada konsentrasi zat
pereaksi. Oleh karena itu, untuk percobaan-
percobaan yang belum dikenal bahayanya, tidak
dilakukan dengan konsetrasi pekat, melainkan
konsentrasi pereaksi kira-kira 5-10% saja. Kalau
reaksi telah dikenal bahayanya, maka konsetrasi
pereaksi cukup 2 – 5 % saja sudah memadahi.
Suatu contoh, apabila amonia pekat direaksikan
dengan dimetil sulfat, maka reaksi akan bersifat
eksplosif, akan tetapi tidak demikian apabila
digunakan amonia encer.
5. TEKNIK MEMANASKAN LARUTAN
Dalam reaksi kimia, tujuan dilakukan
pemanasan adalah untuk mempercepat terjadinya
reaksi atau untuk pelarutan. Alat-alat gelas yang
digunakan untuk memanaskan harus sesuai dengan
bahan yang direkomendasikan dan yang sesuai
dengan peruntukannya. Misalnya gelas ukur
digunakan untuk mengukur volume bukan untuk
digunakan untuk memanakan. Untuk memanaskan
digunakan tabung reaksi atau gelas piala.
Cara memanaskan zat dalam tabung
reaksi ada 2 teknik :
1. Secara langsung
Untuk cara langsung, wadah tempat
mereaksikan langsung dipanaskan dalam api
bunsen atau lampu spritus (gambar A). Dalam
cara ini, mulut wadah tempat pemanasan
tidak boleh dihadapkan kearah teman-teman
yang dekat tetapi diarahkan ketempat yang
tidak ada orang. Hal ini dilakukan untuk
menghindari percikakkan atau uap dari
pemansan.
2. Cara tidak langsung
Pada pemanasan dengan cara ini, wadah
tempat mereaksikan seperti tabung reaksi,
dipanaskan dalam wadah air mendidih.
Air dipanaskan dalam gelas piala besar,
setelah mendidih tabung reaksi yang akan
kita panaskan dimasukkan dalam air panas
tersebut
Untuk pemanasan pelarut-pelarut
organik (titik didih di bawah 100 oC), seperti eter,
metanol, alkohol, benzena, heksana, dan
sebagainya, maka penggunaan penangas air adalah
cara termurah dan aman. Pemanasan dengan api
terbuka, meskipun dengan bagaimana api sekecil
apapun, akan sangat berbahaya karena api tersebut
dapat menyambar (meloncat) ke arah uap pelarut
organik. Demikian juga pemanasan dengan hot
plate juga berbahaya, karena suhu permukaan
dapat jauh melebihi titik nyala pelarut organik.
6. TEKNIK MEMBAUI ZAT
Diantara bahan kimia yang
mengeluarkan gas atau uap pada waktu dipanaskan
atau direaksikan dengan zat lain. Untuk
mengetahui gas/uap yang dihasilkan itu, kadang-
kadang dapat dengan mencium baunya, misalnya
gas H2S berbau telur busuk dan bersifat racun.
Cara yang salah
76
Disamping itu ada pula bahan kimia dengan
uapnya dapat menimbulkan rasa pedih pada
hidung bila tercium, misalnya amoniak pekat.
Bahan ini dapat menyebebkan iritasi pada kulit
atau mata, sedangkan uapny mengganggu alat
pernapasan.
Cth lain : CHCl3, CCL4, amil alkohol.
Dari berbagai contoh diatas, kita
mengetahui bahwa kita harus hati-hati dalam
memakainya. Jangan mencium zat tersebut secara
langsung, agar tidak terkena bahaya. Bila hendak
mencium bau uap atau gas dari uatu zat kimia atau
hasil pemanasanya maupun dari hasil reasi
kimianya, gunakan cara yang sesuaseperti berikut
ini. Mulut tabung didekatkan kehidung, kemudian
dikipas-kipas kearah hindung atau kalau bahan
padat, masukan/kerok dengan batang pengaduk
kemudian cium lewat patang pengaduk. Untuk
lebih jelas, perhatikan gambar berikut:
7. TEKNIK MENYARING.
Endapan zat-zat yang tidak melarut dapat
dipisahkan dengan cara penyaringan. Di
Laboratorium, untuk menyaring diperlukan corong
dan kertas saring. Kalau menggunakan gelas
Erlenmeyer sebagai wadah untuk menyimpan
filtrate yang akan disaring, maka corong dapat
dipasang langsung diatas gelas Erlenmeyer. Tetapi
jika menggunakan gelas piala, maka corong
dipasang pada klem dan statif sebagai penyangga
dan dibawahnya dipasang gelas piala, hingga
ujung tangkai corong menyentuh dinding gelas.
Corong yang umum digunakan adalah corong
bersudut 60o dan panjang tangkainya berkisar 5-10
cm. Kertas saring yang digunakan berdiameter 9-
11 cm. sebelum digunakan untuk menyaring,
kertas saring dilipat sebagai berikut; potong kertas
saring dengan diameter persegi 9-11 cm atau
sesuai ukuran corong yang akan digunakan,
kemudian dilipat menjadi setengah bagian,
kemudian dilipat sekali lagi sehingga sisi lipatan
tidak seluruhnya berimpit. Selanjutnya lipatan
dibuka sehingga membentuk kerucut (perhatikan
gambar).
Dalam menyaring, yang perlu diperhatikan
adalah apa yang dibutuhkan. Apakah yang
dibutuhkan filtratnya (cairan yang keluar dari hasil
penyaringan) ataukah endapanya (yang tertinggl
dikertas saring). Kalau yang dibutuhkan adalah
endapanya, maka dalam menyaring harus
diperhatikan betul endapan yang masih tertingal
pada wadah cairan sebelum disaring. Kalau masih
ada yang melengket pada wadahnya, maka untuk
melepskan endapan dapat lepaskan dengan cara
disemprot dengan aquades dengan menggunakan
batang pengaduk (perhatikan gambar diatas). Tetpi
kalau yang diinginkan adalah filtratnya (cairanya),
mak tidak endapan yang melengket tidak perlu
dilepaskan.
Untuk menyaring cairan yang kental, maka
teknik penyaringanya tidak efektif jika
menggunakan corong biasa. Untuk penyaringan
cairan yang kental ini, harus kita menggunakan
corong Buchner. Pada corong Buchner ini men
ggunakan pompa vakum untuk menyedot cairan
yang ada dalam wadah corong bunchner.
8. TEKNIK MEMBERSIHKAN ALAT-
ALAT
77
Hasil eksperimen yang baik dapat dicapai
antara lain menggunakan alat-alat yan bersih.
Alat-alat ukur seperti labu takar, kelas ukur, pipet,
buret serta wadah-dadah untuk mereaksikan
seperti tabung reaksi atau gelas piala atau
Erlenmeyer yang kotor atau tidak bersih utamanya
dari bahan kimia, akan akan menhyebabkan
percobaan yang dilakukan akan salah atau akan
didapatkan data yang salah.
Alat-alat laboratorium harus disimpan
dalam keadan bersih. Biasakan alat-alat yang akan
digunakan dibersihkan terlebih dahulu sebelum
dan sesudah melakukan eksperimen.
Semua alat gelas dicuci dengan deterjen
menggunakan sikat tabung kemudian dibilas
dengan air kran. Dalam hal alat-alat tertentu
seperti pipet, labu ukur, buret, setelah dibilas
dengan air kran dilanjutkan dengan pembilasan
dengan aquades. Bila kotoran masih ada yang
melengket pada pada wadah, maka dibersihkan
dengan menggunakan larutan kalium dikromat
(K2Cr2O7). Larutan pencuci ini dibuat dengan cara
melarutkan 20 g kalium kromat kedalam 30 mL air
kemudian ditambahkan asam sulfat pekat sampai
volume 100 mL. Larutan pencuci ini digunakan
untuk mengoksidasi lapisan/kotoran lemak atau
endapan yang masih menempel pada alas gelas an
susah dibersihkan dengan cara biasa. Cara
membersihkanya dilakukan dengan cara
merendam alat tersebut menggunakan larutan
pencuci tersebut selama beberapa jam. Setelah itu
dicuci dengan air sabun dan dibilas dengan air
kran kemudian dibilas dengan air suling atau
aquades.
Alat-alat gelas dikatakan bersih jika air
dilalukan pada permukaan gelas tidak ada sisa
cairan yang menempel.
PUSTAKA
Achmad Hiskia, 1993. Penuntun Dasar-Dasar
Praktikum Kimia. Direktorat Pendidikan
Tinggi DEPDIKBUD.
Supriyatna, 1996. Petunjuk Praktikum Kimia
Dasar. Unpad. Bandung
Underwood, 1998. Analisis Kimia Kuantitatif.
Edisi keenam. Erlangga. Jakarta
Widodo, 2010. Kimia Analisis Kuantitatif. Dasar
penguasaan aspek eksperimental. Graha
Ilmu Yogyakarta.