Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

13
PENGOLAHAN BAHAN B3 DENGAN INCINERATOR Sebagian besar limbah organik berbahaya terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen dengan campuran halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat. Struktur molekul umumnya akan menentukan tingkat bahaya substansi organik terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Bila molekul sebuah limbah organik dapat dihancurkan atau direduksi menjadi karbondioksida, air dan substansi organik yang lebih sederhana, maka limbah tersebut bisa dikurangi tingkat bahayanya. Destruksi termal umumnya menjadi pilihan teknologi pengolahan dalam pengelolaan limbah berbahaya dan insinerator merupakan teknologi proses termal yang paling sering digunakan untuk mengolah limbah organik berbahaya, karena teknologi ini memungkinkan destruksi yang tinggi dalam banyak jenis limbah organik, walaupun pada saat yang sama dikeluarkan pencemaran udara dapat ditanggulangi dengan sarana dan kontrol yang sesuai. Insinerator adalah sebuah proses yang memungkinkan materi combustible (bahan bakar) seperti halnya limbah organik mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, residu noncombustible dan abu. Gas/partikulat tersebut dikeluarkan melalui cerobong setelah melalui sarana pengolah pencemar udara yang sesuai. Residu yang bercampur debu dikeluarkan dari insinerator dan disingkirkan pada lahan-urug. Disamping pengurangan massa dan volume, sasaran utama insinerator bagi limbah berbahaya adalah mengurangi sifat bahaya dari limbah itu sendiri, misalnya dalam detoksifikasi. Oleh karenanya peranan temperatur serta waktu tinggal yang akan sesuai akan memegang peranan penting dalam insinerator limbah B3.

description

Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

Transcript of Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

Page 1: Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

PENGOLAHAN BAHAN B3 DENGAN INCINERATOR

Sebagian besar limbah organik berbahaya terdiri dari karbon, hidrogen, oksigen dengan

campuran halogen, sulfur, nitrogen dan logam berat. Struktur molekul umumnya akan

menentukan tingkat bahaya substansi organik terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Bila

molekul sebuah limbah organik dapat dihancurkan atau direduksi menjadi karbondioksida, air

dan substansi organik yang lebih sederhana, maka limbah tersebut bisa dikurangi tingkat

bahayanya. Destruksi termal umumnya menjadi pilihan teknologi pengolahan dalam

pengelolaan limbah berbahaya dan insinerator merupakan teknologi proses termal yang paling

sering digunakan untuk mengolah limbah organik berbahaya, karena teknologi ini

memungkinkan destruksi yang tinggi dalam banyak jenis limbah organik, walaupun pada saat

yang sama dikeluarkan pencemaran udara dapat ditanggulangi dengan sarana dan kontrol yang

sesuai.

Insinerator adalah sebuah proses yang memungkinkan materi combustible (bahan bakar) seperti

halnya limbah organik mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, residu

noncombustible dan abu. Gas/partikulat tersebut dikeluarkan melalui cerobong setelah melalui

sarana pengolah pencemar udara yang sesuai. Residu yang bercampur debu dikeluarkan dari

insinerator dan disingkirkan pada lahan-urug. Disamping pengurangan massa dan volume,

sasaran utama insinerator bagi limbah berbahaya adalah mengurangi sifat bahaya dari limbah itu

sendiri, misalnya dalam detoksifikasi. Oleh karenanya peranan temperatur serta waktu tinggal

yang akan sesuai akan memegang peranan penting dalam insinerator limbah B3.

Teknologi insinerasi merupakan cara pengolahan yang baik bagi materi combustible yang

mempunyai nilai kalor yang memadai untuk itu, misalnya limbah hidrokarbon (cair dan padat).

Limbah berbahaya yang patogen, seperti dari rumah sakit sangat ampuh ditangani cara ini.

Keuntungan lain adalah kemungkinan pemanfaatan panas yang ditimbulkannya. Kelemahan

dari cara ini adalah modal awal yang relatif tinggi dibanding cara lain. Disamping itu masalah

pencemaran udara yang dapat ditimbulkan, membutuhkan sarana yang baik dan cocok

menanggulanginya. Kontrol atau pengoperasian insinerator membutuhkan operator yang terlatih

secara baik. Operasi sebuah insinerator pengolah limbah berbahaya adalah jauh lebih kompleks

dibanding teknlogi lainnya, terutama dengan adanya variasi komposisi limbah untuk mencapai

efisiensi destruksi termal yang diinginkan.

Page 2: Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

Bila sebuah insinerator tidak dilengkapi dan difungsikan dengan baik, maka akan menimbulkan

dampak merugikan bagi kesehatan manusia misalnya dengan timbulnya bau, partikulat, gas-gas

berbahaya yang mungkin lembur. Formasi pencemaran udara yang potensial seperti HCL, CO,

SO2, NO, logam berat dan abu partikulat lainnya dapat menimbulkan dampak serius.

Secara umum tahapan proses dari sebuah insinerator dapat dipisahkan menjadi beberapa

langkah, yaitu:

a. Penyiapan limbah

b. Pemasokan limbah

c. Pembakaran limbah

d. Pengolahan gas dan partikulat hasil pembakaran

e. Penanganan residu abu

Gambar 1. Komponen-komponen incinerator

Sebuah insinerator beroperasi layaknya sebuah sistem, masing-masing langkah tersebut saling

berhubungan. Penyiapan limbah agar sesuai dengan kriteria rancaangan (dimensi butiran dan

sebagainya) serta pemasokan limbah kedalam tungku pembakaran akan menentukan seberapa

jauh limbah tersebut terbakar sempurna dan akhirnya akan mempengaruhi kualitas gas dan abu

yang dihasilkan.

Page 3: Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

1. Beberapa Parameter Operasional

Destruksi limbah B3 dalam sebuah insinerator tercapai dengan terpaparnya limbah pada

temperatur tinggi, biasanya di atas 850ºC. Bila dirancang dan dioperasikan secara tepat maka

cara ini akan memberikan hasil yang baik dalam mengancurkan limbah berbahaya dan sekaligus

mengurangi volume dan massanya. Di USA, sistem sebuah insinerator limbah biasanya

mengacu pada aturan yang terdapat pada RCRA dan SCA. Aturan-aturan tersebut menggariskan

adanya temperatur minimum untuk destruksi yang harus dipertahankan dengan tanggal waktu

tinggal (Td) tertentu pada keadaan oksigen berlebih.

Insenerator limbah B3 biasanya beroperasi dengan aliran yang panas dan terjadi turbulensi

diantara refractori (dinding tungku). Beberapa faktor penting yang akan mempengaruhi

terjaminnya destruksi panas antara lain:

a. Temperatur

Dalam proses termal, maka parameter temperatur agaknya merupakan faktor yang signifikan

dalam menjamin destruksi yang baik bagi limbah B3. Efisiensi destruksi dan penyisihan atau

DRE dalam setiap insenerator akan tergantung pada temperatur insenerator. Dikenal threshold

temperatur yang didefinisikan sebagai temperatur operasi untuk memulai terjadinya destruksi

termal terhadap limbah B3.

b. Waktu tinggal

Volume sebuah insenerator akan menentukan waktu tinggal untuk debit aliran tertentu.

Parameter ini berinteraksi dengan temperatur destruksi untuk menjamin terjadinya DRE. Waktu

tinggal yang cukup diperlukan agar DRE tercapai. Dengan kata lain PIC harus cukup waktu

untuk tinggal dalam insenerator dengan panas tertentu agar destruksi limbah organik menjadi

CO2 dan H2O dapat terjamin. Bila POC tidak tecapai, maka dibutuhkan perlengkapan di hilir

sistem untuk menanggulangi masalah pencemaran udara.

c. Turbulensi

Derajat turbulensi dapat digunakan secara efektif untuk mencapai DRE yang diinginkan dan

mengurangi kegagalan operasional untuk memperoleh temperatur dan waktu tinggal yang

merata. Konfigurasi sebuah insenerator akan mempengaruhi kemampuan DRE secara

keseluruhan. Pemilihan pompa, blower dan penyekat (baffle) hendaknya didasarkan atas jenis

limbah yang akan dibakar serta kebutuhan DRE yang harus dicapai. Transfer panas dan aliran

fluida perlu dipertimbangkan dalam perancangan agar parameter turbulensi ini dapat terpenuhi.

Page 4: Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

d. Tekanan

Banyak insenerator limbah B3 dirancang atas pengoperasian pada tekanan sedikit negatif untuk

mengurangi emisi yang terlalu cepat. Kebocoran udara dapat terjadi pada tekanan rendah ini,

tetapi pengendapan yang sangat ketat tidak dibutuhkan. Beda halnya bila insenerator

dioperasikan pada tekanan tinggi, maka masalah kebocoran udara perlu mendapat perhatian

yang serius, dan penambal yang digunakan juga harus tahan panas, salah satu kelemahan pada

insenerator jenis ini adalah masalah kebocoran yang mungkin terjadi.

e. Pasokan udara

Operasi sebuah insenerator didasarkan atas reaksi komponen-komponen limbah dengan

oksigen. Biasanya udara digunakan sebagai sumber oksigen. Insenerator pada dasarnya

membutuhkan oksigen yang cukup untuk mencapai pembakaran yang sempurna. Namun

beberapa jenis insenerator dioperasikan dengan sistem pirolisis (Starved Incenerator) pada

pembakaran limbah padatnya, dilanjutkan dengan pembakaran sempurna dengan oksigen

berlebih pada bagian gas yang dihasilkan. Suplai udara yang berlebihan akan mempengaruhi

waktu tinggi (lebih pendek), temperatur (lebih rendah). Terjadinya kebocoran udara juga akan

mempengaruhi banyaknya suplai udara.

f. Bahan konstruksi

Insenerator dibuat atau dibangun dengan bahan terpilih untuk memungkinkan operasi menerus

yang bebas masalah dengan kondisi limbah B3 yang tidak homogen. Bahan yang digunakan

biasanya mulai dari baja biasa sampai exotic alloy. Prediksi jenis atau karakteristik limbah yang

akan masuk pada insenerator sangat membantu dalam pemilihan jenis bahan insenerator,

sehingga alat ini dapat beroperasi dengan baik dan berumur panjang.

g. Perlengkapan tambahan

Terdapat beragam perlengkapan tembahan yang perlu dipertimbangkan pada sebuah

insenerator, seperti:

a) Sistem pemasokan yang harus cocok dengan karakter limbahnya.

b) After burner dibutuhkan untuk menjamin DRE.

c) Pengolahan di hilir yang biasnya dibutuhkan untuk mengolah produk tidak diinginkan,

misalnya asam-asam mineral.

d) Sarana penyingkir debu untuk menjamin destruki termal bagian limbah padat atau lumpur.

Page 5: Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

Isolasi insenerator dengan bahan refractrory dibutuhkan untuk menjamin bertahannya panas

dalam insenerator. Insenerator beroperasi pada kondisi siklus temperatur tinggi dan rendah,

sehingga akan mempengaruhi kekeuatan dinding, disamping pengaruh jenis kimia yang ada

pada limbah, jadi sebuah insenerator limbah B3 harus mempunyai ketahanan fisis dan kimia

agar berumur lama. Beberapa jenis refractory yang biasa digunakan adalah fireclay,

alumunium, silica, chromium, magnesia, dan berbagai oksida lainnya. Bahan ini biasanya

dipasok dalam bentuk kering dan dicampur dengan air sebelum dicetakkan pada insenerator.

2. Beberapa Jenis Insenerator

Banyak limbah berbahaya yang bernilai kalor tinggi dibakar pada industri yang menggunakan

boiler dan tungku, sehingga mengurangi bahan bakar sampai 5 – 10%, misalnya pada pabrik

semen. Namun biasanya sarana ini tidak dilengkapi dengan pencegahan pencemaran udara

(misalnya HCl).

Beberapa jenis insenerator untuk limbah berbahaya tersebut akan dibahas secara ringkas.

a. Insenerator dengan injeksi cair (liquid injection inceneration)

Metode insenerasi untuk limbah berbahaya yang paling umum adalah didasarkan atas injeksi

cair, baik horizontal, vertikal maupun tangensial. Mayoritas dari insenerasi ini adalah melalui

nozel-pengatoman (atomizing nozzle) ke ruang pembakaran. Pemasok bahan bakar tambahan

(gas dan cair) atau auxiliary fuel digunakan. Temperatur yang digunakan biasanya antara 1500 –

3000oF (815 – 1650oC). Limbah cair dengan pengatoman disemburkan ke dalam ruang

pembakaran dengan ukuran partikel antara 40 sampai 100 μm. Efesiensi destruksi ditentukan

oleh banyaknya pengembunan dan uap yang bereaksi. Turbulensi sangat diinginkan untuk

mendapatkan destruksi limbah organik berbahaya setinggi mungkin. Penambahan dan peletakan

alat pembakar (fuel burner) serta nozel penginjeksi akan tergantung pada aliran cairan yang

akan diinsenerasi (aksidal, radial ataupun tangensial) untuk mencapai temperatur, tingkat

turbulensi dan waktu tinggal yang diinginkan.

b. Insinerator rotary kiln

Jenis insinerator rotary kiln sering digunakan dalam menangani limbah berbahaya (padat

maupun cair) karena kemampuannya yang baik. Gambar 2 merupakan insenerasi jenis

insenerator ini yang menerima segala jenis limbah cair atau padat.

Page 6: Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

Gambar 2. Insenerator rotary kiln

Limbah padat atau limbah cair dalam drum biasanya dipasok dengan sistem conveyor atau ram,

limbah cair atau lumpur yang dapat terpompa diinjeksi melalui nozel.

Insinerator rotary kiln biasanya mempunyai diameter 1,5 sampai 3,6 m dengan panjang 3

sampai 6 meter serta ratio panjang ke diameter (P/D) antara 2 sampai 8. Rotasi yang digunakan

biasanya 0,2 sampai 1 inchi perdetik. Rotasi lebih kecil digunakan bagi limbah yang

membutuhkan waktu tinggal lebih lama. Waktu tinggal limbah padat didasarkan atas kecepatan

rotasi dan sudutnya.

Persamaan yang biasa digunakan adalah:

Ө = (0,9 L)/ NDS

Ө = waktu tinggal (menit)

L = panjang kiln (ft)

N = rotari kiln (h/menit)

D = diameter kiln (ft)

S = kemiringan kiln (ft/ft)

Drum-drum atau karton-karton limbah berbahaya langsung dipasok ke dalam kiln, tetapi

biasanya perlu dipotong-potong terlebih dahulu. Umumnya sistem kiln terdiri dari 2 kamar,

yaitu:

a) Kamar - 1 beroperasi pada 1500 – 2000ºF (815 – 1540ºC), serta

b) Kamar - 2 agar pembakaran sempurna (after-burner) bekerja pada 1800 – 3000ºF (9800 –

16500ºC). Limbah cair biasanya diinjeksikan lansung pada kamar-2. Limbah yang tervelatil

Page 7: Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

meninggalkan kiln lalu masuk kamar - 2, oksigen serta limbah cair berkalori tinggi atau

bahan bakar ditambahkan. Limbah dihancurkan sesuai dengan DRE yang diinginkan di

kamar-2. Kedua kamar biasanya dilengkapi dengan sistem pengapian untuk startup.

Kelebihan rotary kiln adalah kemampuannya untuk menerima limbah yang bervariasi,

dioperasikan pada temperatur tinggi dan pencampuran yang menerus. Insenerator ini dapat

dioperasikan dalam kondisi kekurangan oksigen (pirolisis). Tetapi insenerator ini membutuhkan

biaya yang tinggi serta tenaga yang terlatih. Jenis lain yang sejenis adalah cement-kiln. Pabrik

semen dapat menghemat energi dengan meninsenerasi limbah cair. Asam hidroklorida dari

limbah hidrokarbon-berkhlorida misalnya, dapat menetralisir kapur dalam kiln sehingga

menurunkan alkalinitas pada produk semen. Cara ini yang diterapkan pada Pusat Pengolah

Limbah B3 di Cibinong, antara Waste Management Indonesia dengan Pabrik Semen di

dekatnya.

c. Insenerasi dengan media terfluidasi (fluidized bed)

Proses temperatur tinggi dengan fluidized bed telah digunakan lama dalam industri. Pada

awalnya teknologi ini digunakan dalam gasifikasi batubara, kemudian berkembang pada

aplikasi catalytic cracking dalam refineri minyak. Teknologi fluized bed ini diadaptasi dalam

berbagai proses karena teknologi ini mempunyai kemampuan memberikan derajat turbulensi

yang tinggi, area transfer panas yang besar untuk mencampur limbah berbahaya, oksigen dan

media terfluidisasi. Dengan pencampuran yang baik antara media inert (biasanya pasir) akan

memberikan hasil insenerisasi yang baik, dengan udara berlebih rendah dan gradien temperatur

yang minimal di seluruh media. Waktu tinggal yang digunakan antara 5 – 8 detik atau lebih,

pada temperatur 1400 – 1600ºF (760 – 870ºC).

Kelebihan jenis insinerator ini adalah nilai DRE yang tinggi temperatur yang relatif seragam

(uniform), residunya yang relatif tidak berbahaya serta biaya operasi dan pemeliharaan yang

rendah. Beberapa jenis fluidized bed ini antara lain: bubling fluidized bed dan circulating

fluidized bed.

Insinerasi bubling-bed mempunyai media dari pasir yang diaduk dengan lewatnya udara melalui

media serta yang memungkinkan media pasir terekspensi dan terfluidisasi. Pemanasan awal dari

media dilakukan melalui sebuah burner. Aliran limbah dilakukan langsung ke media pasir.

Dengan terpaparnya limbah secara langsung dengan media, maka didapat efisiensi insinerasi

yang tinggi. Kedalaman media biasanya anatara 0,60 – 2,4 m.

Page 8: Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

Teknik circulating-bed merupakan pengembangan bubbling-bed dengan kenaikan turbulensi

per-unit area. Teknik ini membutuhkan kecepatan udara yang tinggi dan sirkulasi padatan unuk

menimbulkan turrbulensi yang tinggi serta memungkinkan waktu tinggal yang cukup guna

menghancurkan limbah. Padatan dari area sirkulasi dipisahkan dari gas yang keluar melalui

cyclone dan dikembalikan pada insinerator. Temperatur dari jenis ini biasanya lebih rendah dari

jenis rotary kiln atau bubling-bed, namun cukup mampu untuk menghancurkan limbah

berbahaya dengan pencampuran yang lebih sempurna.

d. Insinerator di lautan

Di negara industri juga dikembangkan kapal insinerator menangani limbah berbahaya.

Insinerator ini mula-mula dikembangkan di Jerman (1967) dengan menggunakan coastal tanker

membakar limbah yang berkhlor yang menghasilkan HCl.

Sejak saat itu beberapa negara Eropa dan Amerika mengembangkan insinerator jenis ini

terutama untuk limbah organik berhorinasi. Insinerator vulkanis merupakan contoh insinerator

tersebut yang digunaan di USA, dengan kapasitas 25 metrik ton per jam, dilakukan dengan

liquid-injection pada tekanan pengembunan limbah yang dipasok sekitar 100 – 150 psig,

temperatur 2300ºF (1260ºC) dan waktu tinggal sebesar 0,5 detik.

Sifat laut yang alkalin akan menetralisir asam yang keluar dari cerobong bila berkontrak dengan

air laut, sehingga tidak dibutuhkan scrubber, dengan demikian akan mengurangi biaya. Namun

di Amerika jenis insinerator ini mendapat kritik, salah satu alasannya karena sulit dipantau

dampaknya sebab tidak menetap di satu titik.

e. Insinerator kamar-jamak

Rancangan insinerator tradisional yang biasa digunakan adalah insinerator kamar-jamak

(multiple chambre incineration), dikenal dua jenis yaitu in-line hearth dan retort hearth. Pada

model in-line, gas pembakaran mengalir lurus melaui insinerator, dan membelok secara vertikal

ke atas, sedang pada model retort aliran gas disamping berbelok secara vertikal tetapi juga

berbelok ke samping. Model in-line berfungsi baik pada kapasitas di atas 340 Kg/jam, sedang

model retort berfungi baik pada kapasitas di bawah 340 Kg/jam, dan biasa digunakan untuk

limbah rumah sakit.

Page 9: Pengolahan Bahan B3 Dengan Incinerator

f. Insinerator dengan kontrol udara

Jenis insinerator yang sekarang banyak dikembangkan, misalya untuk insinerasi limbah rumah

sakit adalah dari jenis controlled-air, yang dikenal di pasaran sebagai pembakaran secara

starved air atau secara modular atau secara pyrolytic.

Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah.

Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran,

heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi.

Dari semua jenis insinerator diatas, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat

mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.

Prinsip Kerja Incenerator

Proses insenerasi akan berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu:

1. Tahapan pertama adalah membuat air dalam limbah B3 menjadi uap air, hasilnya limbah

menjadi kering dan siap terbakar.

2. Selanjutnya terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperatur

belum terlalu tinggi.

3. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna. Ruang bakar pertama digunakan sebagai

pembakar limbah, suhu dikendalikan antara 400 – 600ºC. Ruang bakar kedua digunakan

sebagai pembakar asap dan bau dengan suhu antara antara 600ºC – 1200ºC. Suplai oksigen

dari udara luar ditambahkan agar terjadi oksidasi sehingga materi-materi limbah akan

teroksidasi dan menjadi mudah terbakar, dengan terjadi proses pembakaran yang sempurna,

asap yang keluar dari cerobong menjadi transparan.