penghindaran pajak

28
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam aktivitas bisnis internasional, perusahaan- perusahaan yang memiliki induk perusahaan maupun anak perusahaan yang berada pada negara yang berbeda tentu memiliki kewajiban untuk membayar pajak pada masing-masing negara dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berbeda pula. Dalam praktiknya pembayaran pajak oleh perusahaan kepada pemerintah memiliki beberapa metode- metode dan asas-asas yang berbeda pula, Hambatan-hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara disebut penghindaran pajak. Perlawanan terhadap pajak terdiri dari perlawanan aktif dan perlawanan pasif. Perlawanan pajak aktif inilah yang disebut penghindaran pajak. Masih terdapat beberapa pendapat yang pro maupun kontra mengenai legal dan etiskah praktik penghindaran pajak pada aktivitas bisnis internasional. Dalam makalah ini akan membahas mengenai penghindaran pajak dalam pajak internasional, metode-metode penghindaran pajak, dan upaya yang dapat dilakukan dari sudut pandang pemerintah untuk mencegah hal tersebut terjadi. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah yang dimaksud dengan penghindaran pajak?

description

taxation accounting

Transcript of penghindaran pajak

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDalam aktivitas bisnis internasional, perusahaan-perusahaan yang memiliki induk perusahaan maupun anak perusahaan yang berada pada negara yang berbeda tentu memiliki kewajiban untuk membayar pajak pada masing-masing negara dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berbeda pula. Dalam praktiknya pembayaran pajak oleh perusahaan kepada pemerintah memiliki beberapa metode-metode dan asas-asas yang berbeda pula, Hambatan-hambatan yang terjadi dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara disebut penghindaran pajak. Perlawanan terhadap pajak terdiri dari perlawanan aktif dan perlawanan pasif. Perlawanan pajak aktif inilah yang disebut penghindaran pajak. Masih terdapat beberapa pendapat yang pro maupun kontra mengenai legal dan etiskah praktik penghindaran pajak pada aktivitas bisnis internasional. Dalam makalah ini akan membahas mengenai penghindaran pajak dalam pajak internasional, metode-metode penghindaran pajak, dan upaya yang dapat dilakukan dari sudut pandang pemerintah untuk mencegah hal tersebut terjadi.

1.2 Rumusan Masalah1. Apakah yang dimaksud dengan penghindaran pajak?2. Metode-metode penghindaran pajak apa sajakah yang dapat dilakukan?3. Upaya-upaya pencegahan apa sajakah yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi penghindaran pajak ini

1.3 Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui mengenai konsep penghindaran pajak2. Untuk mengetahui mengenai metode-metode penghindaran pajak 3. Untuk mengetahui upaya-upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh pemerintah

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Penghindaran PajakSalah satu definisi Penghindaran Pajak (tax avoidance) adalah arrangement of a transaction in order to obtain a tax advantage, benefit, or reduction in a manner unintended by the tax law (Brown, 2012). Untuk memperjelas, penghindaran pajak umumnya dapat dibedakan dari penggelapan pajak (tax evasion), di mana penggelapan pajak terkait dengan penggunaan cara-cara yang melanggar hukum untuk mengurangi atau menghilangkan beban pajak sedangkan penghindaran pajak dilakukan secara legal dengan memanfaatkan celah (loopholes) yang terdapat dalam peraturan perpajakan yang ada untuk menghindari pembayaran pajak, atau melakukan transaksi yang tidak memiliki tujuan selain untuk menghindari pajak.Penghindaran pajak sering dikaitkan dengan perencanaan pajak (tax planning), di mana keduanya sama-sama menggunakan cara yang legal untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kewajiban pajak. Akan tetapi, perencanaan pajak tidak diperdebatkan mengenai keabsahannya, sedangkan penghindaran pajak merupakan sesuatu yang secara umum dianggap sebagai tindakan yang tidak dapat diterima.

2.2 Metode Penghindaran PajakPenghindaran pajak dapat dilakukan dengan cara berikut ini: 2.2.1 Allocation of Debt and Earnings StrippingSalah satu metode pergeseran keuntungan dari yurisdiksi pajak tinggi untuk satu pajak rendah untuk meminjam lebih banyak di yurisdiksi pajak tinggi dan kurang dalam satu pajak rendah. Ini merupakan pergeseran utang yang dapat dicapai tanpa mengubah eksposur utang keseluruhan perusahaan. Praktek lebih spesifik disebut sebagai laba pengupasan, di mana baik utang dikaitkan dengan perusahaan terkait atau tidak terkait utang tidak dikenakan pajak oleh penerima. Sebagai contoh bekas laba metode stripping, orang tua asing dapat memberikan pinjaman kepada anak perusahaan AS. Atau, seorang peminjam asing yang tidak terkait tidak dikenakan pajak atas pendapatan bunga AS mungkin memberikan pinjaman kepada perusahaan AS.Kode pajak AS saat ini berisi ketentuan untuk mengatasi pemotongan bunga dan pendapatan stripping. Ini berlaku alokasi kepentingan AS HQ untuk tujuan batas pada kredit pajak asing. Jumlah penghasilan sumber asing berkurang ketika bagian dari bunga AS dialokasikan dan jumlah maksimum kredit pajak luar negeri yang diambil terbatas, ketentuan yang mempengaruhi perusahaan dengan kredit pajak asing berlebih. Tidak ada aturan alokasi, namun, untuk alamat penangguhan, sehingga parent AS bisa mengoperasikan anak perusahaan dengan semua pembiayaan ekuitas dalam yurisdiksi pajak rendah dan mengambil semua bunga utang secara keseluruhan perusahaan sebagai pengurang. Sebuah RUU diperkenalkan pada tahun 2007 (HR 3970) oleh Ketua Rangel Komite Cara dan Sarana akan memperkenalkan aturan alokasi tersebut, sehingga sebagian dari bunga dan biaya overhead lainnya tidak akan dikurangi sampai pendapatan adalah repatriated. Ketentuan ini juga termasuk dalam proposal Presiden Obama untuk revisi pajak internasional dan dalam beberapa proposal kongres.Sementara alokasi-dari-bunga pendekatan dapat digunakan untuk mengatasi alokasi menarik bagi negara-pajak yang tinggi dalam kasus perusahaan multinasional AS, mereka tidak dapat diterapkan untuk anak AS perusahaan asing. Untuk membatasi ruang lingkup laba stripping di kedua kasus, Amerika Serikat memiliki aturan kapitalisasi tipis. (Sebagian besar mitra dagang utama Amerika Serikat 'memiliki aturan yang sama.) Sebuah bagian dari Internal Revenue Code (163 (j)) berlaku untuk sebuah perusahaan dengan rasio utang terhadap ekuitas di atas 1,5 ke 1 dan dengan bunga bersih melebihi 50 % dari penghasilan kena pajak disesuaikan (penghasilan kena pajak umumnya ditambah bunga ditambah depresiasi). Tujuan lebih dari batas 50% yang dibayarkan kepada perusahaan terkait tidak dikurangkan jika korporasi tidak dikenakan pajak penghasilan AS. Pembatasan bunga ini juga berlaku untuk bunga yang dibayarkan kepada pihak yang tidak terkait yang tidak dikenakan pajak kepada penerima.Kemungkinan laba pengupasan mendapat perhatian lebih setelah sejumlah perusahaan AS terbalik, yaitu, diatur untuk memindahkan perusahaan induknya di luar negeri sehingga operasi AS menjadi anak perusahaan dari induk yang. The American Jobs Creation Act of 2004 (AJCA; PL 108-357) membahas masalah umum inversi dengan memperlakukan perusahaan yang kemudian terbalik seperti perusahaan-perusahaan AS. Selama pertimbangan undang-undang ini ada juga usulan untuk penghasilan yang lebih luas pengupasan pembatasan sebagai pendekatan untuk masalah ini yang akan mengurangi pemotongan bunga berlebih. Ini umumnya pendapatan pengupasan usulan itu tidak diadopsi. Namun, AJCA diamanatkan studi Departemen Keuangan ini dan isu-isu lainnya.Tercatat dalam penelitian Departemen Keuangan diamanatkan, ada bukti yang relatif sederhana yang perusahaan multinasional AS mengalokasikan lebih menarik bagi yurisdiksi pajak tinggi, tetapi lebih sulit untuk menilai pendapatan pengupasan oleh orang tua asing anak perusahaan AS, karena rekening seluruh perusahaan tidak tersedia. Studi Keuangan berfokus pada masalah ini dan menggunakan pendekatan yang telah digunakan di masa lalu membandingkan anak perusahaan tersebut untuk perusahaan-perusahaan AS. Penelitian ini tidak mampu memberikan bukti konklusif tentang pergeseran keuntungan dari Amerika Serikat karena tingkat leverage yang tinggi untuk anak US perusahaan asing tetapi tidak menemukan bukti pergeseran untuk perusahaan terbalik.Inversi baru-baru ini menjadi masalah. Meskipun beberapa perusahaan terbalik berikut undang-undang tahun 2004 berdasarkan pengecualian kegiatan, pendekatan yang dibatasi oleh regulasi. Pada tahun 2014, sejumlah perusahaan AS terbalik, atau dianggap inversi, dengan menggabungkan dengan perusahaan asing yang lebih kecil. Presiden telah mengusulkan pembatasan ketat pada inversi ini, dan dua tagihan mengenai hal ini, HR 4679 dan S. 2360, diperkenalkan di Kongres 113. Perubahan peraturan untuk membatasi beberapa manfaat yang telah dibuat.2.2.2 Transfer PricingCara kedua yang sering dilakukan perusahaan untuk mengubah pajak yang tinggi menjadi pajak yang rendah sesuai hukum adalah melalui penetapan harga pada barang dan jasa yang di jual antara afiliasi. Untuk benar-benar menggambarkan pendapatan, harga barang dan jasa yang terjual oleh perusahaan yang memiliki hubungan harus memiliki harga yang sama dengan harga yang di tetapkan pada perusahaan yang tidak memiliki hubungan. Dengan merendahkan harga barang dan jasa yang dijual oleh perusahaan induk dan para afiliasi dapat meningkatkan harga pembelian, sehingga pendapatan dapat di ubah. Isu yang berkembang tentang transfer pricing ialah dengan hak transfer ke intelektual properti, atau berwujud. Jika sebuah paten dikembangkan di US telah di lisensikan pada afiliasi di negara pajak rendah pendapatan dapat diubah jika royalty atau pembayaran lain lebih rendah daripada harga asli dari lisensi. Banyak barang yang merupakan produk yang sama terjual atau metode lain (seperti cost plus a markup) yang dapat digunakan untuk menetapkan apakah harga telah di atur dengan layak. Terlihat, seperti penemuan baru atau obat baru, cenderung tidak memiliki tandingannya, dan sangat sulit untuk tau royalti yang akan dibayar. Terlebih lagi, barang yang terlihat mewakili permasalahan tertentu pada kebijakan transfer pricing.Investasi pada barang sering dilakukan di US karena biaya, selain peralatan modal, dan bangunan, pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan, yang juga dapat dipilih untuk kredit pajak. sebagai tambahan, pengiklanan untuk membangun nama brand juga dapat mengurangi pendapatan. Secara keseluruhan, semua tindakan ini dimaksudkan untuk menghasilkan pajak rendah, nol, atau tarif pajak negatif untuk seluruh investasi pada barang berwujud. Dengan demikian, adanya insentif yang signifikan untuk membuat investasi ini di US. Rata-rata, keuntungan dari pengurangan pajak atau credits ketika membuat investasi dpapat dijadikan penutup kerugian pada pajak masa depan dalam ROI. Tetapi, untuk investasi yang cenderung akan sukses. Keuntungan ini lebih dilihat untuk mengubah pendapatam pada hukum pajak trndah, sehingga ada penghematan pajak pada investasi. Hasilnya, investasi ini dapat menjadi subjek untuk pajak negatif atau subsidiary yang signifikan. Peraturan Transfer pricing yang menghargai properti intelektual jauh lebih rumit karena biaya perjanjian bagi hasil, dimana afilifasi yang berbeda berkontribusi pada biaya. Jika barang tak berwujud telah memilih untuk dikembangkan di perusahaan induk, kontribusi afiliasi berupa buy-inpayement. Hal ini sangat sulit untuk menentukan harga pada kasus dimana teknologi sebagian di kembangkan dan adanya resiko penyatuan dengan hasil yang di harapkan. Suatu studi menemukan beberapa bukti bahwa perusahaan dengan biaya perjanjian bagi hasil lebih menyukai menggunakan profit shifting. Satu masalah dengan profit shifting pada beberapa hukum tax haven, jika aktifitas sebenarnya dibutukhan untuk menghasilkan yang tidak berwujud pada negara ini mungkin tidak memiliki tenaga kerja dan sumber daya untuk menjalankan aktifitasnya. Tetapi, perusahaan dapat mengembangkan teknik untuk mengambil keuntungan dari hukum pajak di negara lain untuk mencapai kedua operasi produktif sementara melakukan profit shifting pada yurisdikasi bukan pajak. sebagai contohnya adalah metode double Irish, Dutch sandwich yang telah digunakan oleh perusahaan US, termasuk seperti yang telah di sebarluaskan pada artikel berita Google. Pada perjanjian ini, perusahaan US transfer aset tak berwujudnya pada perusahaan Irish. Perusahaan ini memiliki perusahaan anak cabang penjualan yang menjual iklan pada Eropa. Tetapi, terjepit antara perusahaan Irish dan anak cabang penjualan Irish adalah anak cabang Dutch, yang mengumpulkan royalti dari penjualan dari anak cabang dan mentransfernya ke perusahaan Irish. Perusahaan Irish mengklaim bahwa pengaturan perusahaannya berasal dari Bermuda, dengan tarif pajak 0% , pada pajak pendapatan perusahaan. Strategi ini memungkinkan operasi Irish menghindari pajak bahkan pajak rendah sebesar 12.5% dan menggunakan Dutch sandwitch untuk menghindari pajak tangguhan Irish. Baru-baru ini, negara-negara Eropa mengkomplain tentang perusahaan seperti Google, Apple, Amazon, Facebook, dan starbuck dengan menggunakan strategi ini di beberapa kasus.2.2.3 Contract ManufacturingKetika anak perusahaan berada di negara dengan pajak rendah dan perubahan laba terjadi, seperti dalam perolehan hak atas suatu berwujud, masalah lebih lanjut yang terjadi yaitu: negara dengan pajak rendah ini mungkin tidak menjadi tempat yang diinginkan untuk benar-benar memproduksi dan menjual produk. Sebagai contoh, pasar anak perusahaan Irlandia mungkin berada di Jerman dan akan diinginkan untuk dapat memproduksi di Jerman. Tetapi untuk mendapatkan keuntungan di Jerman dengan tarif pajak yang lebih tinggi yang tidak meminimalkan pajak. Sebaliknya perusahaan Irlandia mungkin melakukan suatu kontrak dengan perusahaan Jerman sebagai produsen kontrak, yang akan menghasilkan item produk untuk biaya ditambah markup tetap. Sub F pajak secara keuntungan tertentu arus dari pendapatan penjualan, sehingga pengaturan harus disusun untuk memenuhi syarat sebagai pengecualian dari aturan ini. Ada peraturan yang kompleks dan berubah mengenai masalah ini.2.2.4 Check-the-Box, Entitas Hybrid, and Instrumen Hybrid Teknik lain untuk mengalihkan keuntungan ke yurisdiksi pajak rendah sangat diperluas dengan adanya ketentuan check-the-box. Ketentuan ini awalnya dimaksudkan untuk menyederhanakan pertanyaan dari apakah badan usaha itu perusahaan atau kemitraan. Aplikasi mereka kepada keadaan asing melalui pengabaian aturan entitas telah menyebabkan perluasan entitas hybrid, di mana sebuah entitas dapat diakui sebagai sebuah perusahaan dengan satu yurisdiksi tetapi tidak oleh yang lain. Misalnya,cabang pusat AS di negara pajak rendah dapat memberikan pinjaman kepada anak perusahaan di negara pajak tinggi, dengan bunga dikurangkan karena negara pajak tinggi mengakui perusahaan sebagai perusahaan yang terpisah. Biasanya, bunga yang diterima oleh anak perusahaan di negara pajak rendah akan dianggap pasif. Namun, di bawah aturan check-the-box, korporasi pajak tinggi dapat memilih untuk diabaikan sebagai entitas yang terpisah. Dengan demikian, dari perspektif Amerika Serikat, tidak akan ada pendapatan bunga yang dibayarkan karena keduanya adalah entitas yang sama. Check-the-box dan operasi entitas hybrid yang sama juga dapat digunakan untuk menghindari jenis lainnya dari pendapatan Sub F, misalnya dari pengaturan kontrak manufaktur. Menurut David R. Sicular, ketentuan ini yang dimulai sebagai peraturan, telah, meskipun sementara, dikodifikasikan (disebut aturan look-through). Aturan look-through memperluas lingkup check-the-box kepada pihak terkait dan keadaan lainnya. Entitas Hybrid berhubungan dengan isu-isu lain dari Sub F. Sebagai contoh, entitas hybrid terbalik sebelumnya dapat digunakan untuk memungkinkan perusahaan-perusahaan AS untuk mendapatkan keuntungan dari kredit pajak asing tanpa harus mengakui pendapatan yang mendasari. Sebagai contoh, kantor pusat AS bisa mendirikan perusahaan induk di daerah yang diperlakukan sebagai entitas diabaikan, dan perusahaan induk bisa dimiliki oleh perusahaan lain yang diperlakukan sebagai kemitraan dalam yurisdiksi asing lain. Di bawah aturan flow-through, perusahaan induk dikenakan pajak asing dan karena itu bukan entitas yang terpisah, induk perusahaan AS yang bertanggung jawab, tetapi pendapatan bisa saja ditahan di perusahaan asing yang dipandang sebagai entitas perusahaan yang terpisah dari sudut pandang AS. Pada kasus ini, entitas terstruktur sehingga ini kemitraan untuk tujuan asing tetapi sebuah perusahaan untuk tujuan AS.Selain entitas hybrid yang mencapai manfaat pajak yang diperlakukan berbeda di Amerika Serikat dan yurisdiksi asing, ada juga instrumen hybrid yang dapat menghindari pajak dengan diperlakukan sebagai utang dalam satu yurisdiksi dan ekuitas lain.2.2.5. Lintas kredit dan Sourcing Aturan untuk Kredit Pajak Luar NegeriPendapatan dari negara berpajak rendah yang diterima di Amerika Serikat bisa bebas pajak karena penyebrangan kredit: kelebihan penggunaan pajak asing yang dibayar dalam satu yurisdiksi atau pada satu jenis pendapatan untuk mengimbangi pajak AS yang akan jatuh tempo pada pendapatan lainnya. Dalam beberapa periode di masa lalu batas kredit pajak asing diusulkan pada negara-oleh-negara dasar, meskipun aturan itu terbukti sulit untuk menegakkan diberikan potensi untuk menggunakan perusahaan induk. Kredit pajak asing kemudian telah dipisahkan ke dalam keranjang yang berbeda untuk membatasi lintas kredit; keranjang ini dikurangi 9-2 (aktif dan pasif) dalam Undang-Undang Amerika Jobs Penciptaan 2004. Karena perusahaan dapat memilih kapan untuk mengembalikan pendapatan, mereka dapat mengatur realisasi untuk memaksimalkan manfaat dari batas keseluruhan pada kredit pajak asing. Artinya, perusahaan yang memiliki pendapatan dari yurisdiksi dengan pajak lebih dari pajak AS juga dapat memilih untuk mewujudkan pendapatan dari yurisdiksi dengan pajak rendah dan menggunakan kredit berlebih untuk mengimbangi pajak AS yang terutang atas penghasilan yang didapat. Studi menunjukkan bahwa antara lintas kredit dan penangguhan, Tipe perusahaan multinasional US biasanya membayar hampir tidak ada pajak AS pada sumber pendapatan.Kemampuan untuk mengurangi pajak AS karena lintas kredit meningkat, bisa dikatakan, karena pendapatan yang harus dipertimbangkan adalah sumber pendapatan US yang diperlakukan sebagai sumber pendapatan asing, sehingga menaikkan batas kredit pajak asing. Ini termasuk pendapatan dari ekspor AS yang merupakan sumber pendapatan US, karena ketentuan pajak (disebut sebagai bagian aturan ) memungkinkan setengah dari pendapatan ekspor yang akan dialokasikan ke negara di mana Negara melewati lintas kredit dan sourcing aturan. Jenis lain yang penting dari pendapatan yang dianggap sumber asing dan dengan demikian dapat terlindung dengan kredit pajak asing pendapatan royalti dari bisnis aktif, yang telah menjadi semakin penting sumber pendapatan asing. Manfaat ini dapat terjadi di negara-pajak tinggi karena royalti umumnya dikurangkan dari pendapatan. (Perhatikan bahwa pergeseran pendapatan karena harga transfer berwujud, menguntungkan di negara-negara pajak rendah, adalah isu yang berbeda.) Pendapatan bunga adalah jenis lain dari pendapatan yang dapat mengambil manfaat dari aturan kredit pajak asing ini.Karena semua pendapatan ini berasal dari investasi di Amerika Serikat, orang dapat berargumentasi bahwa pendapatan ini sesuai dengan sumber penghasilan Amerika Serikat, atau kegagalan itu, harus dimasukkan ke dalam keranjang kredit pajak asing yang berbeda sehingga kredit berlebih yang dihasilkan oleh dividen tidak bisa digunakan untuk mengimbangi penghasilan tersebut. Dua studi, oleh Harry Grubert dan Grubert dan Rosanne Altshuler, telah membahas sumber aturan dalam konteks proposal untuk menghilangkan pajak dividen aktif Dalam proposal itu, hilangnya pendapatan dari membebaskan deviden aktif dari pajak AS akan diimbangi oleh keuntungan dari pajak royalti.

2.2.6 Profit ShiftingDalam istilah perpajakan, profit shiftin merupakan pemindahan sejumlah pendapatan dan beban biaya di antara perushaaan yang saling berhubungan/berafiliasi atau ke cabang-cabang yang mempunyai kelegalan entitas yang sama (menggunakan metode transfer prcing) untuk mengurangi keseluruhan hutang pajak perusahaan atau grup. Menurut Ragnhild Balsvik (2011), profit shifting merupakan aktivitas internal yang dilakukan oleh perusahaan multinasional untuk melakukan pengalihan atas laba diantara afiliasi mereka untuk mengurangi beban pajak perusahaan secara keseluruhan.Sehingga dapat diartikan bahawa profit shifting merupakan aktivitas pengurangan beban pajak perusahaan dengan cara mengalihkan beban ataupun pendapatan dengan perusahaan afiliasi. Mengingat bahwa perusahaan multinasional melakukan operasi di beberapa negara yang memiliki ketentuan dan tarif pajak yang berbeda-beda, terdapat risiko bagi administrasi perpajakan (tax administration) di setiap negara tentang adanya kemungkinan upaya penghindaran pajak melalui transaksi yang terjadi antara perusahaan multinasional yang tergabung dalam suatu grup usaha yang berkedudukan di negara yang berbeda. Pada umumnya, upaya penghindaran pajak dapat dilakukan antara lain dengan melakukan penggeseran laba (profit shifting) dari suatu negara ke negara yang lain melalui transaksi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang berkedudukan di negara yang berbeda (cross-border transactions). Penggeseran laba juga dapat terjadi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa yang berkedudukan di negara yang sama (domestic transactions) dengan cara memanfaatkan perbedaan tarif pajak yang disebabkan antara lain, dalam hal perlakuan pengenaan Pajak Penghasilan final atau tidak final pada sektor usaha tertentu, perlakukan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, atau transaksi yang dilakukan dengan Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerjasama Migas.Menurut wawancara dengan Lars Feld dari Universitas Freiburg dan Ketua Institut Walter Eucken, fenomena unik yang mendorong perusahaan untuk melakukan profit shifting adalah secara sederhana perusahaan menginginkan untuk meminimalkan beban pajak actual mereka dengan cara mencari celah dalam jeratan peraturan mengenai perpajakan yang dibuat oleh pemerintah sehingga diharapkan adanya sumber penghasilan lain yang mampu didapatkan oleh perusahaan. Dari metode profit shifting, secara umum menuntun perusahaan untuk mengambil keputusan yang terdistorsi karena mereka didorong oleh latar belakang penghindaran pajak.

2.3 Upaya penanggulangan penghindaran pajakWalaupun secara literal tidak ada hukum yang dilanggar, semua pihak sepakat bahwa penghindaran pajak merupakan sesuatu yang secara praktik tidak dapat diterima. Hal ini dikarenakan penghindaran pajak secara langsung berdampak pada tergerusnya basis pajak, yang mengakibatkan berkurangnya penerimaan pajak yang dibutuhkan oleh negara. Dari sudut pandang kebijakan pajak, pembiaran terhadap praktik penghindaran pajak dapat mengakibatkan ketidakadilan dan berkurangnya efisiensi dari suatu sistem perpajakan. Penghindaran pajak umumnya dilakukan melalui skema-skema transaksi yang kompleks yang dirancang secara sistematis dan umumnya hanya dapat dilakukan oleh korporasi besar. Hal inilah yang menimbulkan persepsi ketidakadilan, di mana korporasi besar tampaknya membayar pajak yang lebih sedikit. Hal ini pada ujungnya dapat menimbulkan keengganan Wajib Pajak yang lain untuk membayar pajak yang berakibat pada inefektifitas sistem perpajakan. Secara umum dikenal dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk memerangi praktik penghindaran pajak (Arnold, 2008). Yang pertama dengan pendekatan tanpa menggunakan ketentuan khusus dalam peraturan melalui judicial general anti avoidance doctrine (judicial doctrine) yang dikembangkan terutama oleh putusan pengadilan, yang kedua melalui statutory general anti avoidance rule (GAAR) yaitu ketentuan khusus dalam peraturan yang memberikan kewenangan kepada otoritas pajak untuk membatalkan manfaat dari transaksi yang memenuhi kriteria sebagai penghindaran pajak. Dalam menafsirkan peraturan terutama sehubungan dengan penghindaran pajak, dikenal dua pendekatan yang berlawanan; pertama pendekatan literal, di mana peraturan ditafsirkan berdasarkan apa yang secara eksplisit tercantum dalam naskah peraturan. Kedua, berseberangan dengan pendekatan pertama adalah pendekatan purposive, di mana dalam menafsirkan peraturan juga dipertimbangkan tujuan dan latar belakang dari dibuatnya peraturan tersebut. Judicial doctrine dalam melawan penghindaran pajak dikembangkan terutama oleh negara-negara yang peradilannya berani menggunakan pendekatan purposive dalam menafsirkan peraturan, karena sifat dari penghindaran pajak sebagaimana telah dijelaskan secara literal tidak bertentangan dengan teks yang tercantum dalam peraturan perpajakan, sehingga diperlukan penafsiran alternatif yang menyimpang dari teks peraturan.Di negara-negara yang peradilannya masih cenderung menggunakan penafsiran literal, dapat dikatakan bahwa penggunaan judicial doctrine untuk melawan penghindaran pajak tidak banyak berkembang. Hal ini sering kali mendorong negara-negara untuk mencantumkan dalam peraturan perpajakannya ketentuan khusus dalam bentuk statutory general anti avoidance rule. Judicial General Anti Avoidance DoctrineSebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, judicial doctrine dikembangkan terutama dari putusan-putusan pengadilan terkait dengan penghindaran pajak. Berbagai yurisdiksi banyak mengembangkan judicial doctrine masing-masing, dan pada paragraf berikut akan dijelaskan beberapa judicial doctrine yang paling umum digunakan.

1. Economic Substance DoctrineInti dari economic substance doctrine adalah bahwa suatu skema transaksi yang memiliki dampak berkurangnya beban pajak hanya dapat diakui apabila transaksi tersebut memiliki substansi ekonomi, dan mengandung pertimbangan selain pajak serta tidak semata-mata dilakukan untuk penghindaran pajak. (Arnold, 2008). Economic substance doctrine berasal dari sebuah kasus penghindaran pajak di Amerika Serikat, dimana Mr. Gregory, pemilik tunggal sebuah perusahaan yang memiliki surat berharga pada perusahaan lainnya. Mr Gregory kemudian membuat sebuah perusahaan baru dengan tujuan untuk mengkonversi penghasilan berupa ordinary income dari surat berharga tersebut yang dikenakan pajak menjadi capital gain yang berdasarkan peraturan pada saat itu tidak dikenakan pajak. (Gregory v. Helvering, 1935). Dihadapkan pada skema tersebut, hakim yang menghakimi perkara tersebut mengeluarkan pendapat sebagai berikut:Putting aside, then, the question of motive in respect of taxation altogether, and fixing the character of the proceeding by what actually occurred, what do we find? Simply an operation having no business or corporate purpose a mere device which put on the form of a corporate reorganization as a disguise for concealing its real character ... (Gregory v. Helvering, 1935)Doktrin ini kemudian dikutip dan dikembangkan lebih lanjut dalam putusan-putusan terkait dengan kasus penghindaran pajak di Amerika Serikat, dan saat ini economic substance doctrine telah berkembang menjadi dengan apa yang dikenal sebagai two prong test, yaitu objective economic substance dan subjective business purpose. Tes tersebut menjelaskan bahwa sebuah skema penghindaran pajak dapat dibatalkan apabila (i) Wajib Pajak melakukan transaksi yang tidak memiliki tujuan bisnis selain untuk mengurangi pajak (ii) transaksi tersebut tidak memiliki substansi ekonomis karena tidak ditemukan adanya kemungkinan keuntungan selain pajak. (Frank Lyon v. United States, 1978).2. Step Transaction DoctrineStep transaction doctrine juga diperkenalkan di Amerika Serikat, diantaranya digunakan dalam kasus Minnesota Tea Co. V. Helvering (Minnesota Tea Co. v Helvering, 1938). Dalam kasus tersebut, untuk membayar hutang perusahaan, Minnesota Tea Co. Melakukan reorganisasi perusahaan dengan menukar asetnya dan menerima saham dan sejumlah uang dari perusahaan lain. Uang tersebut dibagikan kepada pemegang sahamnya dalam bentuk distribusi laba, kemudian pemegang saham tersebut menyerahkan uang yang mereka terima kepada debitur dari Minnesota Tea Co. Akibat dari transaksi tersebut, karena berbentuk distribusi kepada pemegang saham maka tidak dikenakan pajak, walaupun secara substansi uang tersebut akhirnya diserahkan kepada pemegang saham tersebut kepada debitur perusahaan.Dalam sidang banding, Hakim memutuskan untuk tidak menerima transaksi tersebut, dan membatalkan skema penghindaran pajak yang dilakukan. Kutipan dari pendapat hakim dalam putusannya sebagai berikut: A given result at the end of a straight path is not made a different result because reached by following a devious path (Minnesota Tea Co. v Helvering, 1938). Hakim pada intinya memutuskan bahwa karena ujung dari rangkaian transaksi tersebut adalah pelunasan hutang, maka secara perpajakan akan diperlakukan sebagai pembayaran utang yang dikenakan pajak.3. Substance over Form DoctrinePrinsip substance over form pada dasarnya menjelaskan bahwa hak dan kewajiban yang timbul secara formal sebagai akibat dari transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak akan tetap diakui, akan tetapi karakterisasi dari transaksi yang dilakukan untuk tujuan pajak akan ditentukan berdasarkan bagaimana secara substansi peraturan perpajakan mengkarakterisasikan hasil dari transaksi tersebut (Arnold, 2008), sehingga berdasarkan prinsip ini, fakta dan konsekuensi perpajakan dari sebuah transaksi ditentukan berdasarkan substansi komersial yang timbul, dan tidak semata-mata dilihat dari bentuk formalnya.(Lampreave, 2012). Doktrin substance over form merupakan salah satu doktrin yang paling dikenal di Indonesia, akan tetapi aplikasinya dalam praktik belum terlalu umum digunakan kecuali sebagai tambahan penguat argumen untuk dasar koreksi dalam pemeriksaan, seperti dalam penentuan beneficial owner, dividen terselubung dan lain sebagainya. Sebagai contoh menurut standar akuntans US GAAP (Standar akuntansi Amerika), perusahaan a baru dianggap memiliki controlling interest di perusahaan B jika perusahaan A memiliki saham lebih dari 50% di perusahaan B. Sedangkan berdasarkan IFRS, substansi (isi) mengungguli bentuk, sehingga meskipun kepemilikian perusahaan A di perusahaan B kurang dari 50% tetapi jika perusahaan A memiliki niat dan tujuan untuk menguasai perusahaan B tersebut, maka perusahaan A tetap dianggap memiliki controlling interest di perusahaan B. Dampaknya nanti adalah akan terdapat perbedaan penyajian laporan keuangan yang nantinya juga akan berdampak pada perbedaan penetapan jumlah pajak, karena terdapat perbedaan penyajian laporan keuangan ketika memiliki dan tidak memiliki controlling interest.

Statutory General Anti Avoidance RuleSelain melalui pendekatan judicial doctrine, beberapa negara memilih pendekatan berbeda untuk mencegah penghindaran pajak, yaitu dengan membuat suatu statutory general anti avoidance rule berupa ketentuan khusus yang dicantumkan dalam peraturan perpajakannya yang bertujuan untuk melawan penghindaran pajak. Walaupun dalam perumusannya menggunakan pendekatan yang berbeda-beda, secara umum terdapat dua fitur utama yang tersirat dalam berbagai statutory GAAR yang diadopsi oleh berbagai negara, fitur tersebut yaitu (1) tujuan dari transaksi atau rangkaian transaksi yang terkait, (2) Apakah outcome dari transaksi tersebut selaras dengan apa yang menjadi tujuan dari peraturan perpajakan terkait. (Arnold, 2008) Untuk memberikan gambaran penggunaan statutory general anti avoidance rule untuk melawan penghindaran pajak, berikut diuraikan praktik yang dilakukan oleh negara Australia dan Kanada dalam merancang sebuah statutory general anti avoidance rule.

AustraliaAustralia telah memiliki statutory general anti avoidance rule sejak tahun 1915, kemudian mengalami amandemen pertama di tahun 1936 dalam section 260 Income Tax Assessment Act 1936 dan kemudian di tahun 1981 menjadi Part IVA. Dalam part IVA tersebut, diatur bahwa otoritas pajak berwenang untuk membatalkan tax benefit yang dihasilkan dari sebuah skema apabila dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dari salah satu atau lebih pihak yang terkait dengan skema tersebut adalah untuk mendapatkan tax benefit dimaksud(Brown, 2012).Penerapan statutory general anti avoidance rule di Australia mencakup identifikasi suatu skema, penentuan adanya tax benefit, dan apakah dari fakta-fakta yang berkaitan dengan skema tersebut, dapat secara objektif disimpulkan bahwa tujuan dari pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut adalah untuk mendapatkan tax benefit dimaksud. Dari drafting Part IVA, pendekatan yang digunakan oleh Otoritas Pajak Australia adalah menggunakan pendekatan purpose atau tujuan, dalam hal ini yang dimaksud adalah predominant purpose atau main purpose yang ditentukan secara objektif dari para pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam skema penghindaran pajak dimaksud(Pagone, 2010). Penggunaan main purpose test di Part IVA tersebut berdampak bahwa walaupun suatu skema penghindaran pajak masih memiliki tujuan komersial, akan tetapi apabila tujuan utamanya adalah penghindaran pajak tersebut skema tersebut tetap dapat dibatalkan menggunakan statutory general anti avoidance rule di Australia.

KanadaKanada memiliki statutory general anti avoidance rule dalam section 245 Undang-undang Pajaknya sejak tahun 1988, yang memberikan diskresi kepada otoritas pajak untuk menentukan kembali untuk kepentingan perpajakan dampak dari suatu skema tax avoidance atau aggresive tax planning. Transaksi avoidance dalam ketentuan perpajakan Kanada didefinisikan sebagai: a transaction or series of transactions that would result, directly or indirectly, in a tax benefit, unless the transaction may reasonably be considered to have been undertaken or arranged primarily for bona fide purposes other than to obtain the tax benefit.(Brown, 2012). Dalam menentukan apakah suatu transaksi atau rangkaian transaksi dapat dikenakan ketentuan dalam statutory general anti avoidance rule, terdapat tiga pertanyaan atau tahapan yang harus dijawab, (1) apakah terdapat tax benefit? (2) apakah transaksi yang menimbulkan tax benefit tersebut memenuhi syarat sebagai transaksi avoidance? (3) apakah transaksi avoidance yang menimbulkan tax benefit tersebut abusive? (Canada Trustco Mortgage Co. v. Canada, 2005)Jadi, berdasarkan ketentuan statutory general anti avoidance rule di Kanada, sebuah transaksi tax avoidance hanya dapat dibatalkan apabila transaksi tersebut abusive. Sebuah transaksi avoidance dikatakan abusive apabila dampak substansi ekonomis yang ditimbulkan dari transaksi tersebut walaupun selaras dengan teks peraturan, akan tetapi tidak selaras dengan apa yang menjadi maksud, semangat atau tujuan dari peraturan tersebut (Copthorne Holdings Ltd. v. Canada, 2011). Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa berbeda dari Australia yang menggunakan pendekatan tujuan dari pihak yang bertransaksi, Kanada menggunakan pendekatan dengan melihat maksud dan tujuan dari suatu peraturan dalam melawan penghindaran pajak. Dalam hal ini tujuan atau motif dari pihak atau para pihak yang melakukan transaksi avoidance tidak relevan dalam penerapan statutory general anti avoidance rule di Kanada.

BAB IIIPENUTUP

3.1 KesimpulanPenghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak melanggar hukum membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak kunjung usai. Adapun metode penghindaran pajak yang dapat dilakukan adalah Allocation of Debt and Earnings Stripping, Transfer Pricing, Contract Manufacturing, Check-the-Box, Entitas Hybrid, and Instrumen Hybrid, Lintas kredit dan Sourcing Aturan untuk Kredit Pajak Luar Negeri, Profit Shifting. Terdapat 2 pendekatan umum yang dapat dilakukan untuk memerangi praktik penghindaran pajak ini yaitu pertama melalui judicial general anti avoidance doctrine yang dikembangkan oleh pengadilan, kedua melalui sebuah statutory general anti avoidance rule yang dicantumkan dalam peraturan perpajakan.Belajar dari praktik di negara lain, dalam kasus Indonesia kedua pendekatan tersebut dapat dipertimbangkan, akan tetapi pendekatan pertama melalui judicial doctrine secara budaya hukum di Indonesia bisa jadi lebih sulit diterapkan karena penafsiran perundangan di Indonesia masih cenderung literal, sebagaimana telah ditunjukkan dalam beberapa putusan pengadilan pajak yang dalam dasar koreksi pemeriksaan menggunakan doktrin substance over form. Mempertimbangkan budaya penafsiran peraturan yang literal tersebut, untuk melawan penghindaran pajak diperlukan sebuah dasar hukum yang secara eksplisit tertulis dalam Undang-undang Perpajakan. Akan tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan bagi otoritas pajak Indonesia untuk mencoba menggunakan judicial doctrine yang sudah dikenal di negara lain sebagai test case dalam rangka mendorong pengadilan pajak untuk menerapkan doktrin-doktrin tersebut dalam menghadapi penghindaran pajak.Saat ini, untuk meminimalisir praktik penghindaran pajak di Undang-undang perpajakan sudah dikenal peraturan specific anti avoidance rule dalam Pasal 18 Undang-undang Pajak Penghasilan, akan tetapi seiring semakin kompleksnya skema-skema penghindaran pajak yang digunakan, ketentuan dalam Pasal 18 tersebut tentu tidak mungkin dapat mencakup seluruh jenis transaksi penghindaran pajak.