Penggunaan Neostigmin Intravena sebagai Terapi Paliatif Untuk Ileus Derajat Berat
-
Upload
lukman-nurhakim -
Category
Documents
-
view
66 -
download
11
description
Transcript of Penggunaan Neostigmin Intravena sebagai Terapi Paliatif Untuk Ileus Derajat Berat
Laporan Kasus
Penggunaan Neostigmin Intravena sebagai Terapi Paliatif
Untuk Ileus Derajat Berat
Pashtoon Murtaza Kasi
Neostigmin merupakan suatu obat parasimpatomimetik yang berperan
sebagai inhibitor asetilkolineterase reversible. Dalam praktik klinis, obat ini
digunakan pada pasien-pasien dengan pseudo-obstruksi kolon akut (acute colonic
pseudo-obstruction [ACPO] atau sindrom Ogilvie, yang merupakan suatu
gangguan motilitas gastrointestinal dengan ciri khas berupa dilatasi kolon yang
nyata tanpa disertai obstruksi mekanis), ileus post-operatif, retensi urin, miastenia
gravis, dan pada anestesi untuk melawan efek obat-obat relaksan otot non-
depolarisasi. Baik pemberian secara bolus maupun per infus diketahui sama-sama
efektif dan dapat melancarkan pengeluaran flatus ataupun feses serta mengurangi
distensi abdomen pada pemeriksaan fisik. Rata-rata durasi kerja obat ini adalah
selama 4-30 menit pada beberapa percobaan klinis. Pada artikel ini, kami akan
melaporkan pengalaman kami saat menggunakan 2 mg neostigmine intravena
untuk menangani distensi abdomen dan ileus derajat berat pada pasien dengan
impaksi feses berat setelah seluruh upaya penatalaksanaan secara konservatif
lainnya tidak membuahkan hasil apapun. Efek samping dari obat ini yang paling
sering ditemukan adalah nyeri/kram pada abdomen, yang juga ditemukan pada
pasien kami. Komplikasi lainnya meliputi bradikardi yang sangat jarang
menimbulkan gejala sampai harus mendapatkan atropine. Secara keseluruhan,
neostigmine merupakan suatu strategi penatalaksanaan yang sederhana, aman, dan
efektif; dan seperti yang ditunjukkan oleh beberapa penelitian sebelumnya, obat
ini tampaknya kurang sering digunakan untuk pasien yang tidak memiliki
kontraindikasi mutlak terhadap obat ini.
1. Presentasi Kasus
Seorang laki-laki berusia 76 tahun yang memiliki riwayat serangan stroke
dengan gejala sisa berupa hemiplegia pada sisi kanan tubuh/afasia (terbaring di
tempat tidur), demensia vaskuler, hipertensi, dan depresi dibawa ke rumah sakit
kami dari suatu rumah perawatan (nursing home) karena mengalami perburukan
distensi abdomen dan nyeri akibat konstipasi berat sejak beberapa minggu
sebelumnya.
Dari rekam medis pasien selama dirawat di rumah perawatan tersebut,
pasien telah mengalami konstipasi selama 2-3 minggu. Selama dirawat di sana,
pasien telah mendapatkan penatalaksanaan berupa obat laksatif oral, termasuk
magnesium sitrat, docusate, senna, polyethylene glycol, dan jus buah prem yang
telah dikeringkan, serta pemberian obat enema (enema soap sud) tanpa
memberikan hasil apapun. Obat-obatan prokinetik (termasuk eritromisin dan
metoklopramid) juga telah diberikan. Injeksi methylnaltrexone (Relistor) juga
diberikan namun tidak menunjukkan hasil apapun.
Melihat kondisi distensi/nyeri abdomen pasien yang semakin memburuk,
disertai dengan konstipasi yang terus berlanjut, pasien akhirnya dirujuk ke rumah
sakit kami (pusat pelayanan kesehatan tersier) untuk pemeriksaan dan
penatalaksanaan lebih lanjut.
Saat pasien masuk rumah sakit, dilakukan pemeriksaan CT scan abdomen,
dan diketahui bahwa ternyata pasien mengalami impaksi feses yang sangat berat
(Gambar 1). Berdasarkan pemeriksaan radiologis tersebut, tampak suatu impaksi
feses derajat berat di seluruh bagian kolon pasien dengan ukuran diameter
transversal rektum mencapai 19 cm. Selain itu, ditemukan juga suatu penebalan
dinding derajat ringan dan stranding perirektal, serta suatu ulkus sterkoral.
Gambar 1. Potongan koronal hasil pemeriksaan CT scan yang menunjukkan impaksi feses derajat berat. Pada potongan ini, rektum mengalami distensi hingga berukuran sekitar 16 cm.
Melalui laporan kasus ini, kami akan memaparkan pengalaman kami
menggunakan neostigmine intravena untuk menangani distensi abdomen dan ileus
yang berat tersebut setelah strategi penatalaksanaan lainnya tidak membuahkan
hasil apapun.
2. Diskusi
Neostigmin merupakan suatu obat parasimpatomimetik yang berperan
sebagai inhibitor asetilkolinesterase reversible. Obat ini pertama kali ditemukan
oleh Aeschlimann dan Reinert pada tahun 1931. Dengan mengintervensi proses
pemecahan asetilkolin, secara tidak langsung neostigmine akan menstimulasi
reseptor nikotinik dan muskarinik.
Dalam praktik klinis, obat ini dapat digunakan untuk menatalaksana pasien
dengan pseudo-obstruksi kolon akut (acute colonic pseudo-obstruction atau
sindrom Ogilvie, yang merupakan suatu gangguan motilitas gastrointestinal
dengan ciri khas berupa dilatasi kolon yang nyata tanpa obstruksi mekanik), ileus
post-operatif, retensi urin, miastenia gravis, dan pada praktik anastesi untuk
melawan efek obat relaksan otot nondepolarisasi. Pseudo-obstruksi diduga terjadi
akibat adanya suatu ketidakseimbangan sistem saraf otonom, dan biasanya
ditemukan pada pasien-pasien berusia lanjut dengan berbagai penyakit
komorbiditas lainnya, dimana kondisi ini berhubungan dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.
Penggunaan methylnaltrexone juga telah dilaporkan pada beberapa pasien
dengan pseudo-obstruksi kolon akut atau sindrom Ogilvie; namun efektivitasnya
tampaknya masih terbatas pada pasien yang sedang berada di bawah pengaruh
obat-obat narkotik dosis tinggi.
Beberapa penelitian klinis terkontrol menunjukkan bahwa neostigmine
inhibitor asetilkolinesterase merupakan suatu penatalaksanaan yang efektif
dengan tingkat respon awalnya mencapai 60-90%; obat-obat lainnya yang
digunakan dalam kasus ini masih dalam penelitian. Obat ini terbukti efektif baik
diberikan secara bolus maupun per infus.
Efek samping obat ini yang paling sering ditemukan adalah nyeri/kram
abdomen, yang juga ditemukan pada pasien kami. Komplikasi penggunaan
neostigmine lainnya adalah bradikardia. Dalam suatu penelitian terkontrol acak
yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada tahun 1999, dua
orang pasien mengalami bradikardia yang simptomatik, sampai harus
mendapatkan atropine. Seorang pasien dalam penelitian tersebut mengalami
sinkope saat berjalan ke kamar mandi dalam waktu 30 menit setelah pemberian
neostigmine, yang merupakan pelanggaran protokol penggunaan obat neostigmin.
Pasien sebenarnya disarankan untuk beristirahat di tempat tidur selama beberapa
jam setelah mendapatkan obat ini. Selain komplikasi-komplikasi di atas, tidak
ditemukan komplikasi lainnya.
Dari berbagai penelitian lainnya, obat ini terbukti efektif, dapat ditoleransi
dengan baik, aman, serta dapat menimbulkan perbaikan secara cepat. Namun,
walaupun jarang, terdapat juga laporan kasus henti jantung serta iskemik/perforasi
usus setelah pemberian neostigmine. Dan seperti yang dinyatakan oleh Loftus
dkk, obat ini tampaknya kurang sering digunakan sekalipun oleh pasien-pasien
yang tidak memiliki kontraindikasi mutlak untuk mengkonsumsi neostigmine.
Dalam kasus pasien kami, pada masa awal rawatannya, tidak tampak
adanya perbaikan apapun. Melihat beratnya derajat impaksi feses pasien dan
perburukan kondisi pasien, pilihan operasi dan evakuasi per endoskopik bahkan
dipertimbangkan. Namun, saat itu pasien tidak berada dalam kondisi yang cocok
sebagai kandidat operasi.
Dalam kondisi tersebut, pemberian enema tampaknya akan berguna untuk
membantu melunakkan feses; namun, karena penyakit tersebut telah berlangsung
kronis, pemberian enema tidak sepenuhnya memberikan hasil yang memuaskan.
Nyeri juga merupakan faktor yang membatasi terapi ini, mengingat adanya ulkus
sterkoral. Dalam kondisi ini, kami akhirnya menggunakan jel lidokain topikal
dalam jumlah besar dan melakukan disimpaksi manual ekstensif. Setelah prosedur
tersebut, pemberian enema menjadi lebih mudah untuk dilakukan dan pasien
diberikan regimen usus yang komprehensif. Untuk terapi enema tersebut, regimen
enema soap sud diganti dengan enema gastrografin dalam dua hari pertama
rawatan; setelah itu, enema soap sud dapat diberikan mengingat adanya risiko
perforasi akibat penggunaan enema gastrografin secara berulang.
Pemeriksaan pencitraan follow-up menunjukkan adanya perbaikan impaksi
feses yang signifikan (Gambar 2); namun, distensi abdomen dan ileus masih
menetap. Pada saat itulah, setelah berdiskusi dengan para konsultan dan ahli
farmasi, neostigmine 2 mg IV diberikan secara lambat selama 3-4 menit. Dalam
30-45 detik setelah pemberian obat tersebut, pasien memperlihatkan perbaikan
secara cepat dengan evakuasi flatus dan feses secara maksimal. Selain itu, dari
pemeriksaan fisik, ditemukan distensi abdomen berkurang secara signifikan
(terdapat > 5 liter feses yang dikeluarkan dalam 45 menit pertama; dengan
konsistensi cair/kental serta padat). Setelah itu, pasien sempat merasakan
peningkatan gerakan peristaltic usus yang tidak terkontrol dalam dua jam
selanjutnya. Secara klinis, abdomen pasien, yang awalnya teraba keras dan
mengalami distensi, dalam waktu satu jam setelah pemberian neostigmine
menjadi lunak. Selain itu, nyeri/stress yang pasien alami hampir hilang secara
sempurna (Gambar 3).
Gambar 2. Perbaikan impaksi feses secara signifikan namun masih disertai dengan distensi abdomen dan ileus yang persisten.
Gambar 3. Potongan transversal hasil pemeriksaan CT scan yang menunjukkan adanya perbaikan impaksi dan ileus secara signifikan.
Tidak ditemukan adanya komplikasi apapun. Denyut jantung pasien
dipantau selama dan setelah pemberian obat. Denyut jantung pasien berkisar
antara 90-100 kali per menit pada saat pemberian neostigmine dan dalam waktu 5
detik kemudian menurun hingga 60 kali per menit; dan segera setelah pasien
mulai mengalami kram abdomen serta peningkatan gerakan peristaltik usus,
denyut jantungnya meningkat kembali menjadi 90 kali per menit. Atropin telah
tersedia di samping tempat tidur pasien, sebagai persiapan jika sewaktu-waktu
dibutuhkan. Selain itu, juga disiapkan peralatan untuk mengantisipasi aspirasi.
Berdasarkan hasil klinis dan berkurangnya stress yang pasien alami secara
signifikan, sebagaimana yang terlihat pada kasus pasien kami tanpa adanya
komplikasi yang berarti, kami sangat menganjurkan penggunaan neostigmine
pada pasien dengan kasus yang sama serta pada pasien dengan distensi
abdomen/ileus derajat berat lainnya, dimana strategi konservatif lainnya yang
telah dilakukan tidak membuahkan hasil apapun. Namun, hal yang sangat penting
untuk diperhatikan adalah perlunya dilakukan pemeriksaan rectal touché inisial
dan disimpaksi manual dengan menggunakan enema dan hidrasi secara ekstensif
untuk membantu melunakkan feses. Jika tidak demikian, penggunaan neostigmine
secara langsung untuk menginduksi gerakan peristaltik usus (saat impaksi rektum
belum diatasi) berpotensi dapat menyebabkan nyeri dan stress yang lebih berat
bagi pasien serta menyebabkan perforasi. Elektrolit pasien harus dipantau secara
berkala mengingat pasien mengalami kehilangan elektrolit secara massif setelah
pemberian terapi neostigmine tersebut.
3. Kesimpulan
(i) Neostigmin merupakan suatu terapi yang sederhana, aman, dan efektif
bagi pasien-pasien dengan distensi abdomen yang berat akibat impaksi
feses/ileus.
(ii) Hal yang penting dalam penatalaksanaan pasien dengan impaksi berat
adalah perlunya dilakukan pemeriksaan rectal touché inisial dan
disimpaksi manual dengan menggunakan enema dan hidrasi secara
ekstensif untuk membantu melunakkan feses. Jika hal ini tidak dilakukan,
maka penggunaan neostigmine secara langsung untuk menginduksi
gerakan peristaltik (saat impaksi rektum belum diatasi) berpotensi dapat
menyebabkan nyeri dan stress yang lebih berat bagi pasien dan juga dapat
menyebabkan perforasi.
(iii) Elektrolit harus dipantau secara berkala mengingat pasien mengalami
kehilangan elektrolit tubuh secara massif setelah pemberian neostigmine.