PENGGUNAAN MEDIA TELEKONFERENSI DALAM AKAD...
Transcript of PENGGUNAAN MEDIA TELEKONFERENSI DALAM AKAD...
PENGGUNAAN MEDIA TELEKONFERENSI
DALAM AKAD NIKAH
STUDI KOMPARATIF LEMBAGA BAHTSUL MASA’IL NU
DAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
Skripsi
Dijukan untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sajana Hukum Islam (S.H)
Oleh :
MUHAMMAD ARIF PUTRA
NIM: 1112043100003
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438H/2017
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Muhammad Arif Putra
NIM : 1112043100003
Konsentrasi : Perbandinga Mazhab Fikih
Program Studi : Perbandingan Mazhab
Fakultas : Syariah dan Hukum
Alamat : jl. Karangan No. 32 komplek. UNTAN. Pontianak
No. Telepon : 089693706640
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 2 Juni 2017 M
MUHAMMAD ARIF PUTRA
NIM: 1112043100003
v
ABSTRAK
Muhammad Arif Putra, NIM: 1112043100003, Penggunaan Media
Telekonferensi dalam Akad Nikah Studi Komparatif Lembaga Bahtsul Masa’il NU
dan Majelis Tarjih Muhammadiyah, Program Studi Perbandingan Mazhab,
Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1437H/2017M. 78
halaman.
Skripsi ini membicarakan tentang hukum penggunaan media
telekonferensi yang dikeluarkan dua lembaga fatwa yaitu Lembaga Bahtsul
Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Kedua lembaga fatwa ini
mengeluarkan fatwa hukum yang berbeda, bahkan bertolak belakang. Lembaga
Bahtsul Masa‟il NU menghukumi tidak sah akad nikah sepperti itu, sedangkan
Majelis Tarjih Muhammadiyah menghukumi akad nikah seperti itu sah.
Penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan dengan mengomparasi
pendapat antara Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan Majeis Tarjih Muhamadiyah.
Sumber primer dalam kajian ini adalah pendapat Lembaga Bahtsul Masa‟il NU
dan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam bentuk fatwa., sedangkan sumber
sekunder dikutip dari berbagai kitab-kitab yang digunakan kedua lembaga fatwa
tersebut untuk dijadikan rujukan dalam mengeluarkan sebuah pendapat atau
fatwa. Dalam pengumpulan data langkah yang diambil adalah mencari literatur
yang ada hubungannya dengan pokok masalah.
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa Lembaga Bahtsul
Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah memiliki kesamaan dan
perbedaan. Persamaannya sama-sama bersumber dari Al-Qur‟an dan Al-Hadist,
kedua fatwa tersebut merupakan jawaban dari pertanyaan masyarakat, kedua
lembaga fatwa merujuk kepada empat mazhab besar dalam fikih, dan sama-sama
menyepakati syarat ittihad Al-Majlis dalam akad nikah. Perbedaannya, Lembaga
Bahtsul Masa‟il NU merujuk kepada mazhab Syafi‟i, menggunakan metode qiyas,
menerima ijma’ ulama terdahulu, dan fatwa tidak berlaku secara kolektif, berbeda
dari Majelis Tarjih Muhammadiyah yang merujuk kepada mazhab Hanafi, tidak
menyepakati metode qiyas, tidak menerima ijma’ ulama terdahulu, dan fatwa
berlaku secara kolektif.
Kata Kunci : Akad Nikah, Telekonferensi, Lembaga Bahtsul Masa‟il
Nahdlatuul Ulama, Majeis Tarjih Muhamadiyah
Pembimbing : 1. Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A
2. Ummu Hanah Yusuf Saumin, LC, M.A
Daftar Pustaka : Tahun 1980sampai dengan tahun 2017
vi
بسم اهلل الرمحن الرحيمKATA PENGANTAR
Segala puji dipanjatkan ke Hadirat Allah SWT, yang telah memberikan
kenikmatan tiada tara kepada sekalian makhluk-Nya, yang telah memberikan
anugerah akal kepada manusia sehingga dapat merasakan keagungan-Nya.
Sungguh hanya dengan limpahan pertolongan-Nya akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam dicurahkan kepada
Baginda Nabî Besar Muhammad Sallâllâhu ‘Alaihi Wasallam, beserta para handai
tolan, sahabat, dan umatnya, terkhusus para Ulama yang meneruskan estafet
keilmuan sehingga ilmu Islam terus berjaya. Aamiin.
Dengan segala kerendahan hati penulis sadar bahwa skripsi yang
dihadirkan ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, penulis meyakini
skripsi ini didalamnya terkandung informasi cukup penting, dan mengingatkan
tentang relevansi fikih dalam menghadapi kemajuan zaman dengan berbagai
teknologi yang semakin canggih dan penuh problematika yang berbeda dengan
masa sebelumnya. Penulis bersyukur dengan mendalami pengetahuan melalui
pengkajian referensi-referensi banyak hikmah yang penulis dapatkan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi yang dapat dihadirkan ini
bukan sebatas hasil usaha sendiri, akan tetapi berkat bimbingan dan motivasi
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Dr. Phil. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syarî‟ah dan
Hukum dan para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si, Ketua Program Studi Perbandingan
vii
Mazhab dan ibu Hj. Siti Hana, S. Ag, Lc., M.A., Sekretaris Program Studi
Perbandingan Mazhab;
3. Ibu Dra. Hj. Afidah Wahyuni, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik Penulis;
4. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A., dan Ibu Ummu Hanah Yusuf Saumin,
LC, M.A,. dosen pembimbing I dan II yang telah memberikan arahan, saran
dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik;
5. Seluruh dosen Fakultas Syarîah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan Ilmu dan
Akhlaq yang tidak ternilai harganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi di Fakultas Syarîah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarîf
Hidayatullah Jakarta;
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri
Syarîf Hidayatullah Jakarta;
7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda H. Jamaluddin M. Yusuf, S.H, dan
Ibunda Hj. Siti Khadijah, yang telah memberikan do‟a selama penulis
menjalani kehidupan ini;
8. Abang Subli dan kakak-kakak penulis Hj. Hidayah, S.E., M.M., dan Hj. Siti
Zulaiha A.Md., S.H., yang selalu menuntut penulis agar segera
menyelesaikan skripsi ini.
9. Ririn Purnama Dewi yang selalu ada di kala susah maupun senang, dan selalu
memberikan semangat untuk segera menyelesaikan perkuliahan penulis.
10. Seluruh keluarga besar GGX yang tidak henti-hentinya menurunkan
semangat penulis dan berusaha mencegah selesainya skripsi ini
11. Sahabat-sahabat seperjuangan, khususnya teman-teman Mahasiswa/i
Perbandingan Mazhab Fakultas Syarîah dan Hukum UIN Jakarta angkatan
2012, dan Teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Angkatan 2012
viii
Komisariat Fakultas Syarîah dan Hukum UIN Jakarta.
12. Syariah Junior F.C dan Terlambat Lulus F.C yang telah memberikan
kenangan indah Hat-Trick juara futsal selama menjadi mahasiswa di Fakultas
Syarî‟ah dan Hukum UIN Jakarta.
Berkat rahmat Allah SWT kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
skripsi ini. Semoga para pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun
materil dalam penulisan skripsi ini mendapat ganjaran pahala dari Allah
SWT. berlipat ganda. Amin ya Rabb.
Jakarta, 2 Juni 2017 M
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................................ 7
C. Pembatasan Masalah ............................................................................... 7
D. Rumusan Masalah ................................................................................... 8
E. Tujuan dan Manfaan Penelitian .............................................................. 8
F. Metode Penelitian ................................................................................... 9
G. Review Studi Terdahulu .......................................................................... 12
H. Sistematika Penulisan ............................................................................. 13
BAB II KAJIAN TEORETIS TENTANG PERNIKAHAN, AKAD
NIKAH DAN TELEKONFERENSI ................................................. 15
A. Kajian Teoretis Tentang Nikah ............................................................... 15
x
1. Pengertian ............................................................................................... 15
2. Hukum..................................................................................................... 17
3. Rukun dan Syarat .................................................................................... 20
4. Tujuan ..................................................................................................... 24
B. Kajian Teoretis Tentang Akad ................................................................ 25
1. Pengertian ............................................................................................... 25
2. Rukun dan Syarat .................................................................................... 26
C. Kajian Teoretis Tentang Telekonferensi ................................................. 27
1. Pengertian ............................................................................................... 27
2. Prosedur Pererapan ................................................................................. 29
BAB III PROSEDUR PENETAPAN HUKUM LEMBAGA BAHTSUL
MASA’IL NU DAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
TENTANG PENGGUNAAN MEDIA TELEKONFERENSI
DALAM AKAD NIKAH ...................................................................... 32
A. Lembaga Bahtsul Masa‟il Nahdlatul Ulama ........................................... 32
1. Sejarah ............................................................................................. 32
2. Metode istinbat ................................................................................ 35
3. Fatwa ................................................................................................ 40
B. Majelis Tarjih Muhammadiyah............................................................... 48
1. Sejarah ............................................................................................. 48
2. Metode istinbat ................................................................................ 53
3. Fatwa ................................................................................................ 57
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF ................................................................ 63
xi
A. Persamaan pendapat tentang Penggunaan Media Telekonferensi
dalam Akad Nikah antara Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan
Majelis Tarjih Muhammadiyah............................................................... 63
B. Perbedaan pendapat tentang Penggunaan Media Telekonferensi
dalam Akad Nikah antara Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan
Majelis Tarjih Muhammadiyah............................................................... 65
C. Analisis Penulis ....................................................................................... 67
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 77
A. Kesimpulan ............................................................................................. 77
B. Saran-saran .............................................................................................. 78
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI1
1. Di dalam naskah skripsi ini banyak dijumpai nama dan istilah teknis
(technical term) yang berasal dari bahasa Arab ditulis dengan huruf Latin.
Pedoman transliterasi yang digunakan untuk penulisan tersebut adalah sebagai
berikut:
ARAB LATIN
Kons. Nama Kons. Nama
Alif Tidak dilambangkan ا
Ba b Be ب
Ta t Te ت
Tsa ts Te dan es ث
Jim j Je ج
Cha h Ha dengan dengan bawah ح
Kha kh Ka dan ha خ
Dal d De د
Dzal dz De dan zet ذ
Ra r Er ر
Zay z Zet ز
Sin s Es س
Syin sy Es dan ye ش
Shad s Es dengan garis bawah ص
1 Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), Pedoman Penulisan Skripsi, (Ciputat: FSH-
UIN Jakarta, 2012), hal. 43-46.
xiii
Dhat d De dengan garis bawah ض
Tha t Te dengan garis bawah ط
Dzha z Zet dengan garis bawah ظ
„ Ain„ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Ghain gh Ge dan ha غ
Fa f Ef ف
Qaf q ki ق
Kaf k Ka ك
Lam l El ل
Mim m Em م
Nun n En ن
Wawu w We و
Ha h Ha هـ
Hamzah ‟ Apostrof ء
Ya y Ye ي
2. Vokal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong bahasa Arab
yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dengan huruf. Transliterasi
vocal tunggal dalam tulisan Latin dilambangkan dengan gabungan huruf
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan
‒ a fathah
xiv
‒ i Kasrah
‒ i dammah
Sedangkan Transliterasi vocal rangkap dalam tulisan Latin dilambangkan
dengan gabungan huruf sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangkan
ي ‒ ai A dan I
و ‒ au A dan U
3. Vokal panjang atau maddah bahasa Arab yang lambangnya berupa harakat
dan huruf, transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf
dan tanda macron (coretan horisontal):
آ â A dengan topi di atas
î I dengan topi di atas ‒ى
û U dengan topi di atas ‒و
4. Kata sandang, yan dalam bahasa arab dilambangkan dengan huruf (ال),
dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
huruf qomariyyah, Misalnya:
al-ijtihad = اإلجتهاد
al-rukhsah, bukan ar-rukhsah = الرخصة
5. T a’ marb utah mati atau yang dibaca seperti ber-harakat suk un
transliterasinya dalam tulisan Latin dilambangkan dengan huruf “h”,
xv
sedangkan t a’ marb ûtah yang hidup dilambangkan dengan huruf “t”, misalnya
.( ru’yah al-hilâl atau ru’yatul hilâl = رؤية الهالل )
6. Tasydîd, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:
فعةالش = al-Syuf‟ah, tidak ditulis asy-Syuf‟ah
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Nikah” atau “Zawaj” berasal dari bahasa Arab ) كاغ ( atau ) اض ,) و
menurut Ahmad Warson Munawwir dalam kamus Al-Munawwir artinya
nikah, kawin1. Sedangkan menurut Mahmud Yunus berarti nikah
2. Secara
syara‟ berarti aqad pernikahan. Secara terminologi (istilah) “nikah” atau
“zawaj” adalah :
1. Aqad yang mengandung kebolehan memperoleh kenikmatan biologis
dari seorang wanita dengan jalan ciuman, pelukan, dan bersetubuh.
2. Aqad yang ditetapkan Allah bagi seorang lelaki atas diri seorang
perempuan atau sebaliknya untuk dapat menikmati secara biologis
antara keduanya3
Para Ulama‟ Mazhab sepakat bahwa pernikahan baru dianggap sah
jika dilakukukan dengan akad yang mencakup ijab dab qabul antara
wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara pihak
yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak sah
hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad4
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Progressif,
hal. 1461 2 Mahmud Yunus,Kamus Arab-Indonesia, Jakarta, PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyat,
2010, hal. 468 3 Ahmad Sudirman Abbas. Pengantar Pernikahan Analisa Perbandingan Mazhab,
Jakarta, PT PrIma Heza Lestari, 2005, hal. 1 4 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, PT lentera basritama,
1996, hal. 309
1
2
Akad merupakan inti dan puncak dari prosesi pernikahan. Karena
dalam akad itulah apa yang diniatkan dari awal menjadi kenyataan dan
memiliki kepastian hukum. Akad menjadi suatu perjanjian yang kuat atau
mitsaqan ghalizan. Dan oleh karena akadlah seorang pria dan wanita
menjadi pasangan suami istri yang sah.
Dalam undang-undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada
pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawian adalah ikatan
lahir batin antara seoerang pria dan seorang wanita sebaagai suami istri
dengan tujuan membentu keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa5.
Namun, menikah bukanlah hal yang mudah. Banyak yang harus
diperhatikan dalam penikahan. Memenuhi rukun dan syarat merupakan
kewajiban yang harus dilakukan seseorang yang akan menikah. Dalam 4
Mazhab Fikih terbesar sepakat menjadikan akad atau Sighat (ijab dan
qabul) sebagai salah satu rukun nikah. Akad adalah perjanjian yang
berlangsung antara dua pihak yang melangsungkan perkawinan dalam
bentuk ijab dan qabul.6
Ijab adalah lafadz yang diucapkan oleh pihak mempelai wanita
baik dilakukan oleh wali atau yang mewakili yang berisi menyerahkan
sang mempelai wanita kepada mempelai pria. Dan qabul adalah lafaz yang
5 Undang-undangn No. 1 1974 : Tentang Perkawinan.
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2007. Hal.
61
3
diucapkan mempelai pria yang berisi tentang keridhoan atau penerimaan
dalam hal ini mempelai wanita yang ia nikahi.
Para ulama mazhab sepakat bahwa ijab qabul itu sah jika dilakukan
dengan redaksi zawajtuka (aku mengawinkan engkau) atau ankahtuka (aku
menikahkan engkau) dari pihak yang dilamar atau orang yang
mewakilinya dan redaksi qabiltu ( aku terima) atau radhitu (aku setuju)
dari pihak yang melamar atau yang mewakilinya.7
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk keabsahan
ijab kabul, di antaranya adalah ittihad al-Majlis atau bersatu majelis dalam
melakukan akad. Abdurrahman al-Jaziri menukil kesepakatan ulama
mujtahid yang mensyaratkan bersatunya majelis bagi ijab kabul. Dengan
demikian apabila tidak bersatu antara majelis mengucapkan ijab dengan
majelis mengucapkan kabulnya, akad nikah dianggap tidak sah8
Selanjutya dalam hal ittihad al-Majlis ini, timbul pertanyaan
apakah yang dimaksud dengan ittihad al-Majlis ini? Dalam hal ini terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama‟ dalam menafsirkan konsep ittihad
al-Majlis. Yang paling mencolok disini adalah perbedaan pendapat antara
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i.
7 Muhammad Jawad Mughniyah, hal. 309
8 Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr,
Jilid 4, hal. 24
4
Menurut Ulama‟ Mazhab Hanafi, ittihad al-Majlis diartikan
dengan “kesinambungan waktu”. Ibnu Abidin mengungkapkan dalam
kitabnya :
لال ف انثؽه : فه عه الذؽاق ان ؼمك فه نى ى عه رهف ان ـ ا
عاب ه تطم ال ـ م ا اشرغم تؼ ه ا ـ ا فمال ال ظة اؼك 9ا
Artinya : dalam masalah bersatunya majelis berkata dalam kitab Al-Bahr :
maka apabila berbeda majelis maka tidak akan menjadi akad jika salah
satu pihak mengucapkan akad dan pihak yang lain mengucapkan hal lain
(selain kabul), atau pihak lain sedang melakukan hal lain, maka batal
ijabnya.
Sehingga bila ijab dan kabul diucapkan dalam satu acara, lantas setelah
acara tersebut selesai kabul diucapkan pula pada acara berikutnya, maka
hal ini tidak sah walaupun dua acara tersebut dilakukan dalam satu tempat
yang sama berturut-turut, namun karena kesinambungan waktu antara
keduanya tidak terwujud maka tidak sah. Namun sebaliknya, Ibnu Nujaim
yang beliau itu adalah salah seorang ulama‟ Hanafi mencontohkan kasus
dimana salah satu pihak mengucapkan ijab di suatu tempat, kemudian
pihak lain mengucapkan kabul dilantai atas tempat yang tadi digunakan
untuk berijab maka akadnya sah selama kedua belah pihak dapat melihat
mitranya dan mendengar dengan jelas suaranya. Sekalipun kedua belah
9 Muhammad Amin Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid 3,
hal. 14
5
pihak masing masing memiliki jarak yang jauh. Atau kedua belah pihak
berada berseberangan sungai, bahkan sungai yang luas sekalipun.10
Sedangkan Ulama‟ Mazhab Syafi‟i menafsirkan ittihad al-Majlis
dengan berkesinambungan. Namun, menurut Mazhab Syafi‟i
berkesinambungannya ijab dan kabul hanya bisa dilakukan dengan satu
jalan. Yaitu kedua belah pihak berada di tempat yang sama. Sehingga
esensi dari bersatunya majelis dalam akad menyangkut kesatuan tempat
secara fisik, bukan kesatuan waktu pengucapan ijab kabul antara kedua
belah pihak. Maka dari itu, dalam Mazhab Syafi‟i tidak sah ijab kabul
yang dilaukan dengan surat menyurat dan lain lain yang menunjukan
terpisahnya tempat kedua belah pihak. Selain dengan perwalian.
Imam An-nawawi mengemukakan dalam kitabnya
ل رفهم ت شرهغ ا ا لتك ي غح انص انفاي ك انه
ل كلو اظ انمث عاب ه نى عه ػه ال ذفهم كلو فا ث
ؽػ انص11
Artinya : rukun yang kelima adalah Sighat, dan Sighat tersebut harus tidak
terselip diantara ijab dan kabul kata-kata lain diluar akad, apabila terselip
kata sangat sedikit maka itu tidak membahayakan akad menurut pendapat
yang shahih.
10
Zainuddin Ibnu Nujaim al-Hanafi, Al-Bahr al-Raiq: Syarah Kanz al-Daqa’iq, Beirut,
Dar al-Fikr, 1993, Jilid 5, Cet. 3, h. 294 11
Abi Zakaria al-Nawawi al-Syafi‟i, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muttaqin,
Beirut, Dar al-Fikr, 1996, Juz 7, h. 395
6
Apabila dalam ijab kabul tersusup kalimat lain saja ijab kabul tersebut
dianggap tidak sah oleh Imam An-nawawi. Apalagi jika ijab kabul tersebut
dilakukan saat kedua belah pihak tidak berada di satu tempat yang sama.
Maka dari itu dalamMazhab Syafi‟i kesatuan tempat mutlak diperlukan
untuk sahnya suatu akad nikah
Keberadaan dunia yang semakin mengglobal dibantu dengan
berkembang pesatnya teknologi, menjadikan cara seseorang bertatap muka
tidak seperti dulu lagi. Teknologi yang disebut video call, net meeting, dan
telekonfrence, memudahkan manusia untuk bertatap muka satu sama lain.
Mereka tetap bisa bertatap muka walaupun sedang dalam ruang yang
berbeda.
Di Indonesia terdapat dua organisasi islam besar yaitu Nahdatul
Ulama‟ (NU) dan Muhammadiyah. Masing-masing organisasi memiliki
lembaga fatwa sendiri. Nahdatul Ulama‟ dengan Bahtsul Masa‟il-nya dan
Muhammadiyah dengan Majelis Tarjihnya. Sehingga menarik untuk
diteliti keputusan mengenai hukum penggunaan media Telekonferensi
dalam akad nikah yang dikeluarkan kedua lembaga fatwa ini mengingat
kedua lembaga ftawa ini pasti memiliki metode istinbath yang berbeda
satu dengan yang lainnya.
Penulis tertarik untuk mengangkat masalah akad nikah via
Telekonfrensi menurut Lembaga Bahtsul Masa‟il dan Majelis Tarjih
Muhammadiyah. Karena dalam hal akad nikah, syarat “bertatap muka”
7
sudah dapat dipenuhi dengan dibantu berbagai teknologi tersebut.
Selanjutnya muncul pertanyaan bagaimana hukum akad nikah melalui
Telekonfrensi menurut Bahtsul Masa‟il dan Majelis Tarjih.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka penulis mengidentifikasi
beberapa masalah dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Konsep ittihad al-Majlis memiliki banyak tafsiran di kalangan
para ulama‟ mazhab
2. Kemajuan teknologi menimbulkan masalah baru dalam
beribadah di kalangan masyarakat
3. Kemampuan agama beradaptasi dengan kemajuan teknologi
dipertanyakan
4. Hukum Islam dipertanyakan fleksibilitasnya dalam hal
penyesuaian dengan kemajuan teknologi.
C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan efisien, maka
penulis membatasi pembahasan skripsi ini sebegai berikut :
1. Penggunaan Media Telekonferensi yang akan dibahas dalam
skripsi ini hanya penggunaan Telekonferensi yang digunakan
untuk akad nikah
2. Lembaga fatwa yang diteliti di dalam skripsi ini hanya
Lembaga Bahtsul Masa‟il Nahdlatul Ulama‟ dan Majelis
Tarjih Muhammadiyah
8
3. Data yang diteliti dibatasi pada adalah data pada tahun 2008
sampai dengan tahun 2010
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang maslah di atas, maka
setidaknya penulis mendapatkan beberapa rumusan masalah dalam
penelitian yang akan dilakukan ini. Yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan
Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Penggunaan Media
Telekonferensi dalam Akad Nikah?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan pendapat antara kedua
lembaga fatwa tersebut?
E. Tujuan dan Manfaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk Membandingkan
Pendapat Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih
Muhammadiyah tentang Penggunaan Media Telekonferensi
dalam Akad Nikah
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk:
a. Memberikan kontribusi positif bagi pembaca pada
umunya dan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah pada
khususnya tentang Penggunaan Media Telekonferensi
dalam Akad Nikah.
9
b. Memberikan informasi tentang perbandingan Pendapat
Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah
mengenai Penggunaan Media Telekonferensi dalam
Akad Nikah
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan riset pustaka (library research)
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum
doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, acap kali hukum
dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-
undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.12.
Kaitannya dengan penelitian ini, yang dimaksud dengan hukum yaitu
hukum Islam (fiqh) yang bersumber dari al-Qur‟an dan al-Hadits yang
kemudian diinterpretasikan oleh para ulama‟ sehingga muncul
beberapa pendapat dengan berbagai persamaan dan perbedaan. Yang
menjadi objek penelitian pustaka ini adalah status hukum pernikahan
dengan media Telekonferensi serta melihat pendapat-pendapat para
ulama dan melihat dalil-dalil yang digunakan dalam mengeluarkan
argument dan fatwa dalam menyikapi permasalah ini.
2. Kriteria dan Sumber Data
12
Amiruddin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada, 2004, Cet. Pertama, hal. 118
10
Data yang dihimpun dalam penelitian ini terdiri menjadi dua,
yaitu data primer, dan data sekunder.
a. Data primer atau data dasar adalah data yang diperoleh
langsung dari sumber pertama13
, dalam hal ini adalah
pendapat Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih
Muhammadiyah dalam bentuk fatwa.
b. Data sekunder, adalah data yang dapat menjelaskan data-
data primer, dalam hal ini adalah kitab-kitab yang
digunakan kedua lembaga fatwa tersebut untuk dijadikan
rujukan dalam mengeuarkan sebuah pendapat atau fatwa
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dab faktual, teknik
pengumpulan data yang dilakukan dalam skripsi ini dengan cara:
a. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah upaya pengidentifikasian secara
sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-
dokumen yang memuat informasi yang berkaitan erat
dengan tema, objek dan masalah penelitian yang akan
di lakukan14
Sumber data studi pustaka ini dengan
mengkaji kitab-itab fiqh klasik, kitab undang-undang,
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, 2014, hal 12 14
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Cipta
Karya Mandiri, 2010 hal. 17
11
buku, jurnal, artikel, dan situ situs resmi yang berkaitan
dengan pokok pembahasan dalam penelitian ini.
b. Studi Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengumpulan data dengan cara
mencatat dokumen-dokumen atau catatan-catatan
tentang penggunaan media Telekonferensi dalam akad
nikah pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap
apa yang telah ditemukan15
4. Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah analisis komparatif, yaitu
menganalisa pendapat dari kedua lembaga fatwa antara Lembaga
Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang
hukum penggunaan media Telekonferensi dalam akad nikah.
Kemudian membandingkan antara keduanya sehingga dapat
menemukan persamaan dan perbedaan untuk dijadikan kesimpulan
yang akurat16
.
5. Teknik Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN
Jakarta tahun 2012.”
15
Soerjono Soekanto dan Sri Majmud, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan
singkat), Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2004, hal. 241 16
Suharsmi, arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Adi
Mahasatya, cet ke-12, hal. 236
12
G. Review Studi Terdahulu
Demi mendukung lancanya penelitian ini, peneliti mencari refrensi
yang memuat informasi tentang penggunaan media Teleokoferensi dalam
akad nikah baik berupa kitab-kitab fikih maupun skripsi yang telah ada.
Beberapa pembahasan telah dilakukan mengenai status hukum
nikah via Telekonferensi ini. Seperti pada skripsi yang berjudulu
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Akad Nikah Via Net Meeting
Telekonferensi Studi Atas Pemikiran Islam K.H. M.A. Sahal Mahfudh)”
karya Fatah Zukhrufi mahasiswa Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga
ini sama pokok pembahasannya dengan penelitian ini. Namun
perbedaannya adalah perspektif yang digunakan dalam penelitian ini
adalah perspektif Bahtsul Masa‟il dan Lembaga Tarjih. Berbeda dengan
skripsi tersebut yang mengunakan perspektif K.H. M.A. Sahal Mahfudh.
Kedua, adalah skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam
terhadap Akad Nikah Via Net Meeting Telekonferensi” karya mahasiswa
Al-Ahwal Asy-Syahkshiyya Fakultas Syari‟ah UIN Sunan Kalijaga
Mizanul Jihad. Dalam penelitian tersebut, masih menggambarkan
perspektif hukum islam secara umum. Dan tidak konsen membahas pada
perbedaan pendapat ulama‟ yang tentu saja berbeda dengan penilitian ini.
Ketiga, adalah skripsi yang berjudul “Hukum Akad Nikah Melalui
Telekomunikasi (Net Meeting Telekonferensi) Studi Komparasi Mazhab
Hanafi dan Syafi‟i” karya Rohmat seorang mahasiswa jurusan Al-Ahwal
13
Asy-Syakhshiyyah Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga ini
membahas perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Imam
Syafi‟i. Terkait perbedaanya dengan skripsi ini adalah perspektif yang
digunakan, yakni perspektif Bahtsul Masa‟il dan Lembaga Tarjih.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan dengan membagi kepada lima (5) bab, tiap-tiap bab
terdiri dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, review terdahulu,
kerangka berpikir, metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II : Membahas tentang kajian teori pernikahan, akad nikah, dan
Telekonferensi
BAB III : Membahas tentang sejarah, metode istinbat yang
digunakan, dan pendapat Bahtsul Masa‟il dan Lembaga
Tarjih tentang penggunaan media Telekonferensi dalam
akad nikah
BAB IV : Merupakan uraian analisa yang memberikan gambaran hasil
telaah mendalam terhadap objek penelitian sekaligus
memberikan jawaban masalah yang diteliti tentang
14
perbandingan pendapat antara Lembaga Bahtsul Masa‟il
NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam akad nikah.
BAB V : Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran
saran.
15
BAB II
KAJIAN TEORETIS TENTANG NIKAH, AKAD, DAN
TELECONFRENCE
A. Kajian Teoretis Tetang Pernikahan
1. Pengertian
Pernikahan berasal dari kata nikah, bersumber dari bahasa Arab
yaitu nakaha – yankihu – nikahan ( كػ –)كػ كاؼا – yang artinya nikah
atau kawin17
. kata nikah (كاؼا) juga bisa memiliki arti mengumpulkan,
saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi). Kata
“nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga
untuk arti akad nikah18
. Pernikahan sering juga disebut perkawinan yang
berasal dari kata “kawin”, dan dalam KBBI kawin memiliki arti
membangun keluarga dengan lawan jenis; melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh19
Fuqaha juga memiliki pendapat berbeda-beda mengenai definisi
nikah. Muhammad Syata Ad-Dimyati dalam kitabnya i’anah At-Thalibin
menjelaskan sebagai berikut
20اع الظر ى انكاغ نغح : انع
Artinya : Nikah menurut bahasa adalah berhimpun atau berkumpul
17
Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990,
hal. 467 18
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, hal 7 19
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, cet. Ke-3, edisi kedua
hal. 456 20
Muhammad Syata Ad-Dimyati, I’anah At-Thalibin, juz 3, Beirut: Dar Al-Ihya‟ Al-
Kutub Al-Arabiyah, hal. 254
15
16
Pendapat yang lain juga datang dari Abdurrahman Al-Jaziri dalam
kitabnya Al-Fiqh ‘ala Al-Mazahil Al-Arba’ah. Ia mengemukakan sebagai
berikut:
ى انع غء 21انكاغ نغح : ان
Artinya : Nikah menurut bahasa artinya wathi (hubungan seksual) dan
berhimpun.
Syaikh Ibrahim Al-Bajuri dalam kitabnya Hasyiyah Al-Bajuri ala
Syarh Ibnu Qasim Al-Ghazi berpendapat
انؼمك غء ان ى 22انكاغ طهك نغح : ػه انع
Artinya : nikah secara bahasa berarti berhimpun, wathi (hubungan seksual)
dan akad.
Masih banyak lagi pendapat ulama‟ lainnya mengenai definisi secara
bahasa dari nikah ini. Namun, kesemua pendapat tersebut bermuara disatu
makna, yaitu bersetubuh, berkumpul, dan akad.
Pengertian nikah secara istilah ini juga banyak pendapat yang
datang dari para ulama‟. Di antaranya Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, dalam
kitabnya beliau menulis :
غ ه انش م ػه النكا طهك شهػا ػه ػمك يشر23
21
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ala Mazahibil Arbaah, juz 4, Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 2003,hal 7 22
Ibrahim Al-Bajuri, Hasyiyah Al-Bajuri ala Syarhi Ibnu Qasim Al-Gazi, cet kedua,
Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999, hal. 111
17
Artinya : Dan menurut syara‟ (istilah) nikah adalah akad yang termasuk di
dalamnya rukun-rukun dan syarat-syarat.
Abdurrahman Al-Jaziri memberikan 3 pendapat mengenai definisi
nikah menurut istilah ini. Pendapat pertama yaitu nikah adalah secara
hakiki untuk wath’ yaitu berhubungan badan. Ini merupakan pendapat
ulama‟ Mazhab Hanafi. Pendapat kedua yaitu nikah menurut istilah adalah
akad yang dilakukan untuk kebolehan wath’. Pendapat ini merujuk kepada
pendapat ulama‟ Mazhab Malaki dan Mazhab Syafi‟i. Pendapat terakhir
adalah lafaz umum yang menjelaskan tentang akad dan wath’. Pendapat
ini disepakat oleh para imam Mazhab24
.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 berbunyi :
“Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau Mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah25
.
Dari banyaknya pendapat ulama‟ tentang definisi nikah, semua
pendapat itu memiliki kesimpulan bahwa nikah berarti bersetubuh,
berkumpul, dan akad. Selain pendapat ulama, hukum positif juga sudah
mengatur masalah nikah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Kompilasi
Hukum Islam (KHI) mengartikan nikah dengan akad yang sangat kuat.
2. Hukum
23
Ibrahim Al-Bajuri, hal. 111 24
Abdurrahman Al-Jaziri, hal. 8 25
Kompilasi Hukum Islam, Buku 1 , Hukum Perkawinan, pasal 2
18
Dalam Islam, nikah disyari‟atkan berdasarkan pada Al-Qur‟an,
sunnah, dan ijma‟. Adapun ayat yang menunjukkan disyari‟atkannya nikah
dalam islam adalah firman Allah SWT dalam surah An-Nisa (4) ayat 3
berikut :
: ٤)انآء
/ ٣) Artinya : maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua,
tiga, empat.
Selain ayat di atas, dalam surah An-Nur (24) ayat 32 Allah SWT
berfirman :
(٣۴/ ۲٤)انن : Artinya : dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan
orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu
yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Sedangkan dasar hukum nikah yang berasal dari Hadits Nabi SAW adalah
Hadits yang datang dari Abdullah bin Mas‟ud ra sebagai berikut :
لال لال هللا ػ ق نظ ؼ ي ػثك اهللا ت ك ػ ى ت ؼ ػثك انه ػ
هى : ا يؼشه انش ل هللا صه هللا ػه نا ن رطاع ي ثاب ي ى ك ا
ه ؼ ف غ ط ر ى ن ي ض ه ف ه ن ص ؼ ا ه ص ث ه ن ط غ ا إف ض ى ر ه ف ج اء ث ان
)ن يهى( اء ظ ن ا ف و انص ت 26
26
Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyairi Al-Naisaburi, Shahih Muslim, Juz 2,
Beirut: Daarul Kutub al-„Ilmiah, 1992, hal. 1018-1019
19
Artinya : Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah bin Mas‟ud r.a (dia)
berkata, berkata Rasulullah Sallallahu „alaihi wa sallam : “wahai para
pemuda, barang siapa yang mampu untuk menikah maka menikahlah.
Karena sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan dan
menjaga kemaluan (dari pebuatan zina) dan barang siapa yang tidak
mampu maka hendaknya ia berpuasa, karena puasa itu adalah sebuah
penawar”27
. (H.R Muslim)
Dari segi ijma’, para ulama‟ sepakat bahwa nikah itu disyari‟atkan28
.
Mengenai hukumnya, Abdurrahman Al-Jaziri menyebutkan dalam
kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, bahwa menurut ulama‟
Syafi‟iyah hukum dasar dari menikah adalah ibahah atau kebolehan29
.
Namun bisa saja hukum asal tersebut berubah menjadi wajib, sunnah,
makruh atau haram. Tergantung kondisi dan tujuan pelaku nikah tersebut.
a. Wajib
Menurut jumhur ulama‟, nikah menjadi wajib hukumya bagi orang
yang mampu untuk menikah dan khawatir akan melakukan perbuatan
zina. Alasannya, dia wajib menjaga dirinya dari perbuatan haram30
b. Haram
Nikah menjadi haram hukumnya bagi orang yang yakin akan
menzalimi dan membawa mudarat kepada istrinya karena
ketidakmampuan dalam memberi nafkah lahir maupun batin31
c. Sunnah
27
Ahmad Razak dan Rais Lathief, Terjemah Hadits Shahih Muslim Juz II, Jakarta:
Pustaka Al Husna, 1980, hal. 164 28
Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, Al-Mughniy, Riyadh: Dar Al-„Alim Al-Kutub, 1417 H/
1997 M, Juz 9, hal, 340 29
Abdurrahman Al-Jaziri, hal 12 30
Ibnu Qudamah, hal, 340-341 31
Asrorun Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:
eLSAS, 2008, hal. 6
20
Jumhur ulama‟ berpendapat, bagi orang yang apabila ia tidak menikah
ia sanggup menjaga dirinya untuk tidak melakukan perbuatan haram,
dan apabila ia menikah ia yakin tidak akan menzalimi dan membawa
mudarat kepada istrinya, maka hukum nikah baginya adalah sunnah32
.
d. Makruh
Nikah dihukumi makruh bagi orang yang khawatir akan berbuat nista
dan membawa mudarat kepada istrinya dan tidak merasa yakin dapat
menghindari hal itu jika ia menikah, misalnya merasa tidak mampu
memberi nafkah, memberi perlakuan tidak baik kepada istri, serta
merasa tidak terlalu berminat kepada perempuan33
.
3. Rukun dan Syarat
Mengenai masalah rukun pernikahan, ulama‟ berbeda pedapat
mengenai jumlah rukun nikah tersebut. Menurut jumhur ulama‟ rukun niah
itu ada empat, yaitu sighat (ijab dan qabul), calon istri, calon suami, dan
wali. Berbeda dengan pendapat ulama‟ mazhab Hanafi yang mengatakan
bahwa rukun nikah itu hanya ada dua yaitu ijab dan qabul saja, tak ada
yang lain34
.
Abdurrahman Al-Jaziri mengatakan bahwa, sebenarnya menurut
kalangan Malikiyah rukun nikah ada lima, yaitu wali, mahar yang harus
ada namun tidak disyaratkan untuk menyebutkannya saat akad, suami, istri
32
Ibnu Qudamah, hal, 340-341 33
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 9 34
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 14
21
(suami istri ini harus bebas dari hal-hal yang menghalangi pernikahan),
dan yang terakhir sighat35
.
Al-Jaziri juga menyebutkan dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala
Mazahibil Arba’ah bahwa para ulama‟ Syafi‟iyah juga mengatakan bahwa
rukun nikah ada lima, namun sedikit berbeda dengan mazhab Maliki, lima
rukun nikah tersebut terdiri dari suami, istri, wali, dua orang saksi, dan
sighah36
.
Dari banyaknya pendapat ulama mazhab mengenai rukun-rukun
pernikahan, terdapat empat rukun yang disepakati para ulama‟ yaitu
suami, istri, wali dan sighah atau ijab dan qabul. Sedangkan rukun yang
tidak disepakati adalah adanya dua orang saksi menurut ulama Syafi‟iyah,
dan mahar menurut mazhab Maliki.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 14 disebutkan bahwa
untuk melaksanakan pernikahan harus ada37
:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
e. Ijab dan kabul
Syarat pernikahan adalah syarat-syarat yang menghendaki sebuah
akad diakui keabsahannya dan keberadaannya oleh hukum islam, dan tidak
35
Abdurrahman Al-Jaziri, hal 16 36
Abdurrahman Al-Jaziri, hal 17 37
Kompilasi HuKum Islam Pasal 14
22
akan memiliki kekuatan huum tetap sebelum syarat-syarat tersebut
dipenuhi. Seperti keharusan menghadirkan dua orang saksi di tempat akad
dan kelayakan serta kepantasan si calon istri untuk menjalani akad berupa
status hukum muhrim dan lain-lain38
. Adapun syarat tersebut dibagi
menjadi dua syarat secara garis besar. Yaitu :
a. Syarat Nafaz (Pelaksanaan)
Maksudnya adalah syarat-syarat yang menghendaki rentetan hukum
yang berkaitan dengan akad, dimana akad tidak diberlakukan kepada
kedua belah pihak calon suami istri tanpa adanya syarat-syarat itu, dan
akad tidak akan dilangsungkan sebelum syarat-syarat tersebut
terpenuhi. Misalnya, orang yang hendak melakukan akad harus
mempunyai kapasitas untuk itu, bahwa syarat seorang calon suami atau
yang mewakilinya harus baligh dan berakal39
.
b. Syarat Luzum (Kelayakan)
Maksudnya adalah syarat-syarat yang menghendaki suatu akad tidak
layak dilagsungkan tanpa keberadaan syarat itu, dan tanpa memenuhi
syarat tersebut, kedua pihak atau salah satu dari kedua belah pihak
berhak membatalkan akad40
.
Dari penjelasan di atas mengenai rukun dan syarat pernikahan, akan lebih
mudah dipahami bahwasanya pernikahan dianggap sah apabila rukun dan
38
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 29 39
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 29 40
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 29
23
syarat nikahnya terpenuhi. Rincian mengenai rukun dan syarat pernikahan
lebih mudahnya dijelaskan seperti di bawah ini :
a. Calon suami, Syarat suami:
1. Muslim
2. Merdeka
3. Berakal
4. Benar-benar laki-laki
5. Adil
6. Tidak beristri empat
7. Tidak memiliki hubungan mahram (haram dinikahi dengan calon
istri
8. Tidak sedang beribadah haji dan umrah
b. Caoln istri, Syarat istri
1. Muslimah
2. Benar-benar perempuan
3. Telah mendapat izin dari walinya
4. Tidak bersuami atau tidak dalam masa iddah
5. Tidak memiliki hubungan mahram dengan calon suami
6. Tidak sedang berhaji atau umrah
c. Sighah (ijab dan qabul) dan syaratnya :
1. Lafaz ijab dan qabul harus lafaz nikah atau tazwij
2. Lafaz ijab qabul bukan kata-kata kinayah (kiasan)
24
3. Lafaz ijab qabul tidak dikaitkan dengan syarat tertentu yang
dilarang agama
4. Lafaz ijab qabul harus terjadi pada satu majelis, dan harus segera
diucapkan setelah ijab.
d. Wali, Syarat wali :
1. Muslim
2. Berakal
3. Tidak fasik
4. Laki-laki
5. Mempunyai hak untuk menjadi wali
e. Dua orang saksi, Syarat saksi
1. Muslim
2. Baligh
3. Berakal
4. Merdeka
5. Laki-laki
6. Adil
7. Pendengaran dan pengelihatannya sempurna
8. Memahami bahasa yang diucakan dalam ijab qabul
9. Tidak sedang mengerjakan ihram haji atau umrah41
.
4. Tujuan
41
Asrorun Ni‟am Sholeh, hal. 30-32
25
Tujuan nikah menurut agama Islam adalah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban
anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin
disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya. Sehingga
timbullah kebahagiaan yakni kasih sayang antar anggota keluarga42
.
Tujuan nikah diuraikan menjadi lima yaitu43
:
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan
dan kerusankan
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab
menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh
untuk memperoleh hartakekayaan yang halal
e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 3 disebutkan bahwa
perkawinan atau pernikahan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan
rumah tangga yang sakinah mawaddah, wa rahmah44
.
42
Abdurrahman A-Ghazali, hal 22 43
Abdurrahman A-Ghazali, hal 24
26
B. Kajian Teoretis Tentang Akad
1. Pengertian
Akad berasal dari bahasa arab yaitu Aqada ( ػمك) yang artinya
membagun, atau mendirikan, memegang, perjanjian, percampuran,
menyatukan45
. Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh As-Sunnah-nya,
beliau mengartikan akad adalah ikatan atau kesepakatan46
. Akad secara
bahasa adalah ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun
maknaqi, dari satu segi maupun dua segi47
.
Akad menuurut istilah dibagi oleh Wahbah Az-Zuhaili menjadi dua
bagian. Yaitu akad secara umum dan akad secara khusus. Akad secara
umum ini bersumber dari ulama Malikiyyah, Syafi‟iyyah, dan Hanabilah.
Yaitu segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang didasari oleh
keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau segalla
sesuatu yang membentuknya dibutuhukan keinginan dua orang, seperti
jual-beli, perwakilan, dan gadai. Sedangkan akad secara khusus adalah
ucapan seseorang yang berakad dengan yang lainnya secara Syara‟ dan
berdampak pada objeknya. Yang dimaksud disini adalah ijab dan kabul48
.
2. Rukun dan Syarat
44
Kompilasi Hukum Islam Pasal 3 45
Louis Ma‟luf, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-‘Alam, Beirut: Dar Al-Masyriq, 1986, hal.
518 46
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Beirut: Dar Al-Fikr, 1983, jilid ke-3 hal. 127 47
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, Dimsyiq: Dar Al-Fikr, 1985, cet ke-2,
hal. 80 48
Wahbah Az-Zuhaili, hal. 80-81
27
Mengenai rukun akad, ulama‟ berbeda pendapat tentang rukun-
rukunnya. Namun jumhur ulama sepakat bahwa rukun akad terdiri atas49
:
a. Aqid atau Orang yang berakad
b. Ma’qud atau objek akad
c. Sighat atau ijab dan kabul
Syarat-syarat akad adalah sebagai berikut50
:
1. Kedua orang yang berakad ini cakap untuk berbuat akad.
2. Objek dari akad tersebut dapat menerima hukumnya
3. Akad tersebut diizinkan oleh syari‟at.
4. Akad tersebut bukan merupakan akad yang dilarang syari‟at
5. Akad tersebut memberikan manfaat atau faedah
6. Ijab tersebut masih berlaku atau tidak dicabut sebelum
terjadinya kabul
7. Akad dilaksanakan di dalam satu majelis
C. Kajian Teoretis tentang Telekonferensi
1. Pengertian
Telekonferensi dalam bidang telekomunikasi, merupakan
pertemuan berbasis elektronik secara langsung (live) di antara dua atau
lebih partisipan manusia atau mesin yang dihubungkan dengan
suatu sistem telekomunikasi yang biasanya berupa saluran telepon.
49
Wahbah Az-Zuhaili, hal. 92 50
Tengku Muhammad Hasbi As-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009, hal. 29-30
28
Penggunaan telekonferensi memiliki kelebihan efektivitas biaya dan
waktu. Telekonferensi dapat berbentuk konferensi audio atau
konferensi video. Konferensi audio merupakan salah satu jenis
telekonferensi di mana seseorang dapat melakukan percakapan
interaktif didalamnya. Dengan audio-konferensi ini, seseorang dapat
berbicara dengan lebih dari satu orang melalui speaker. Dalam
konferensi video51
, para partisipannya dapat saling melihat gambar
video dan saling mendengar, melalui peralatan kamera, monitor, atau
pengeras suara masing masing.
Jadi, Telekonferensi memungkinkan manusia terhubung secara
berkesinambungan meskipun terpisah jarak yang jauh sekalipun,
namun tetap dalam waktu yang bersamaan atau real time.
Telekonferensi audio atau suara bisa dikatakan sama dengan telepon
yang sudah sering kita gunakan. Berbeda dengan Telekonferensi video
yang memungkinkan kita untuk melihat secara visual lawan bicara kita
di lokasi berbeda.
Telekonferensi dapat terlaksana karena adanya jaringan ISDN
(Integrated Services Digital Network) adalah suatu jaringan yang secaa
umum berevolusi dari suatu jaringan terpadu digital telepon (IDN –
Integrated Digital Network), yang menyediakan konektivitas digital
ujung ke ujung untuk menunjang suatu ruang lingkup pelayanan yang
luas (wide range), mencakup pelayanan suara dan nonsuara, dimana
51
Michael M.A Mirabito dan Barbara L Morgenstern, The New Communication
Technology, USA: Elsevier, 2004, hal, 219
29
para pemakai mempunyai akses melalui satu set antarmuka (interface)
pemakai jaringan multiguna standar52
.
Selain dengan jaringan ISDN, jaringan internet yang
menggunakan protokol TCP/IP juga dapat digunakan untuk melakukan
Telekonferensi. Namun tentunya dengan hasil gambar dan suar yang
berbeda kualitas, hasil berbeda tersebut terjadi karena keterbatasan
bandwidth yang tersedia. Karena mengirim gambar (video) dan suara
(audio) secara bersamaan membutuhkan bandwidth yang lebar. Akan
tetapi keterbatasan ini dapat diatasi dengan teknik kompresi.
Pengiriman gambar dan suara dilakukan dengan fasilitas VOIP (voice
over internet protocol)53
Telekonferensi ini dapat dilakukan untuk kegiatan bisnis,
pendidikan, monitoring, kesaksian dalam persidangan, dll. Bahkan
yang sekarang menarik perhatian penulis adalah penggunaan media
Telekonferensi ini dalam prosesi akad nikah. Lebih tepatnya saat ijab
dan kabulnya. Karena kemajuan teknologi ini manusia dapat
dimudahkan urusannya. Semakin membantu karena kemajuan
teknologi tersebut dapat membantu manusia dalam beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah SWT.
2. Prosedur Penerapan
52 Uke Kurniawan Usman, Pengantar Ilmu Telekomunikasi, Bandung: Informatika, 2008,
hal. 215 53
Erwadi Bakar, Pemanfaatan Ineternet sebagai Media Telekonferensi, Jurnal R & B, 4
(1), pp. 39-43, ISSN 1412-5080 diunduh pada tanggal 7 April 2017 pukul 01.54 AM
30
Sebelum melakukan Telekonferensi, pembicara harus
menyiapkan beberapa komponen yang dipelukan untuk melakukan
Telekonferensi, diantaranya54
:
a. Terminal Pengirim / Penerima
Komputer atau terminal pengirim dan penerima data atau
informasi. Pada sisi terminal harus ada kamera atau
webcam yang berguna untuk menangkap gambar yang akan
dikirim ke lawan bicara, baik kamera statis atau yang
dinamis. Untuk mengirim suara dibutuhkan juga
microphone atau sistem audio PC dan kemudian dikirimkan
kepada lawan bicara. Selanjutnya untuk menerima gambar
dan suara dari lawan bicara diperlukan monitor dan
speaker.
b. Media Transmisi
Media transmisi atau kanal transmisi (Trans-mision chanel)
diperlukan untuk mengirim data dari sumber pengirim
kepada penerima.
c. Pemroses Komunikasi (Comunication Processor)
Pemroses komunikasi merupakan peralatan pendukung
transmisi. Peralatan ini dapat berupa modem, multiplexer,
swiching, dan front-end processor
d. Perangkat Lunak (Software)
54
Erwadi Bakar, Pemanfaatan Ineternet sebagai Media Telekonferensi, Jurnal R & B, 4
(1), pp. 39-43, ISSN 1412-5080 diunduh pada tanggal 7 April 2017 pukul 01.54 AM
31
Perangkat lunak yang digunakan dalam Telekonferensi
dengan menggunakan PC bisa dengan software net meeting,
skype, Gno meeting,dan aplikasi lainnya. Sedangkan pada
smartphone sudah banyak aplikasi messenger yang dapat
melakukan Telekonferensi. Seperti Blacberry Messenger,
Line, WhatsApp, dan lain sebagainya.
Setelah semua komponen lengkap, barulah pembicara dapat
melakukan telekonferensi dengan melakukan panggilan kepada lawan
bicara di tempat yang berbeda. Bahkan tidak hanya bisa mendengar
suara, tapi juga dapat melihat secara fisik lawan bicara yang berada
jauh dari tempat dia berada dengan konferensi video.
32
BAB III
PROSEDUR PENETAPAN HUKUM LEMBAGA BAHTSUL
MASA’IL NI DAN MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
TENTANG PENGGUNAAN MEDIA TELEKONFERENSI
DALAM AKAD NIKAH
A. Lembaga Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama
1. Sejarah Lembaga Bahtsul Masa‟il NU
Sebelum membahas tentang Lembaga Bahtsul Masa‟il, terlebih
dahulu kita harus mengenali organisasi dibalik lembaga tersebut yaitu
Nahdlatul Ulama‟ yang sering juga disebut NU. Nahdlatul Ulama‟
didirikan oleh ulama pengasuh pondok pesantren yang di dalam komunitas
islam mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap, dan pengamalan
ajaran islam Ahussunnah wal Jama‟ah. Kesamaan yang telah membudaya
dan menjadi watak (karakter) itu dilembagakan dalam Nahdlatul Ulama‟
sebagai wadah perjuangan bersama dan sebagai pengejawantahan rasa
tanggung jawab yang mendalam atas kelestarian Izzul Islam wal
Muslimin55
.
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 oleh
K.H. Hasyim Asy‟ari di Surabaya. Latarbelakang berdirinya NU berkaitan
erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia Islam
kala itu. Dalam Anggaran Dasarnya yang pertama (1927), dinyatakan
bahwa Nahdlatul Ulama bertujuan untuk memperkuat kesetiaan kaum
muslimin pada salah satu madzhab empat
55
Kata Pengantar Wakil Rois Aam PBNU, Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah
kembali ke Khittah 1926, (Jakarta, Erlangga, 1992)
32
33
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyyah sekaligus gerakan
Dinniyah Islamiyah dan Ijtima’iyyah, sejak awal berdirinya telah
menjadikan faham Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai basis Teologi (dasar
berakidah dan menganut salah satu darim empat mazhab; Hanafi, Maliki,
Syafi‟i, dan Hambali sebagai pegangan dalam berfikih. Dengan mengikuti
empat mazhab fiqih ini, menunjukkan elastisitas dan fleksibilitas sekaligus
memungkinkan bagi NU untuk beralih mazhab secara total atau dalam
beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan (hajah) meskipun
kenyataan keseharian para ulama NU menggunakan fikih masyarakat
Indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi‟i. Hampir daat dipastikan
fatwa, petunjuk, dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan
kalangan persantren bersumber dari mazhab Syafi‟i. Hanya kadang-
kadang dalam keadaan tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya
konvensional berpaling ke mazhab lain56
.
Nahdlatul Ulama dalam stuktur organisasinya memiliki suatu
Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Sesuai dengan namanya, Bahtsul Masail,
yang berarti pengkajian terhadap masalah-masalah agama, LBM berfungsi
sebagai forum pengkajian hukum yang membahas berbagai masalah
keagamaan.
Secara historis, forum Bahtsul Masa’il sudah ada sebelum NU
berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang
melibatkan kyai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO
56
Kata Pengantar MA.Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam Keputusan Muktamar, munas, Konbes Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya,
Khalista, 2011
34
(Lailatul Ijtima Nahdlatul Oelama). Dalam buletin LINO , selain memuat
hasil Bahtsul Masa’il juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar
para ulama. Seorang kyai menulis ditanggapi kyai lain, begitu
seterusnya57
. Pada dasarnya bahtsul masail muncul karena latar belakang
kebutuhan masyarakat terhadap hukum Islam praktis („amali) bagi
kehidupan sehari-hari masyarakat58
.
Sebelum dilembagakan seperti sekarang, forum bahtsul masa’il
dikenal dengan nama lajnah bahtsul masa’il dinniyah sebagai lembaga
permanen yang khusus menangani persoalan keagamaan59
. Dibentuknya
lajnah bahtsul masa’il dinniyah pada tahun 1990 berdasarkan keputusan
PBNU nomor:30/A/I/05/5/1990 dengan harapan dapat menghimpun para
ulama‟ dan intelekual NU untuk menghasilkan istinbath jama’i
(penggalian dan penetapan hukum secara kolektif)60
.
Sejak terbentuknaya Lajnah bahtsul masail menjadi forum resmi
yang memiliki wewenang menjawab segala permasalahan keagamaan
yang dihadapi warga NU. Di dalam forum inilah para intelektual pesantren
beradu argumen dalam pembahasan persoalan keagamaan. Lajnah Bahtsul
57
Kata Pengantar MA. Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam Keputusan Muktamar, munas, Konbes Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya,
Khalista, 2011 58
Solusi Hukum Islam, Keputusan Mukatamar , Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama
(1926-2004 M), Surabaya: Diantama, 2006, hlm. 9 59
Vivin Baharu Sururi, Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU, Jurnal
Bimas Islam, vol. 6. Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Jakarta, 2013, hal. 428 60
Vivin Baharu Sururi, hal. 428-429
35
masail menurut kiai Makruf adalah taswirul afkar61
-nya kaum pesantren
setelah dibentuknya NU. Dalam pergulatan bahtsul masail, tidak bisa
dilepaskan dari empat mazhab yang dijadikan referensi pemikiran dan
gagasan dalam pembahasan62
.
Lajnah Bahtsul Masail sebagai sebuah institusi akhirnya dirubah
dengan nama Lembaga Bahtsul Masail yang kemudian disingkat LBM.
Lembaga ini sebagaimana dalam AD-ART pasal 18 ayat 6 (l) bertugas
membahas masalah masalah maudlu‟iyah (tematik) dan waqi‟iyah (aktual)
yang akan menjadi keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama63
.
2. Metode istinbat Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dalam menetapkan
hukum
Sebagai lembaga fatwa, Lembaga Bahtsul Masa‟il NU menyadari
bahwa tidak seluruh hukum syari‟at Islam dapat diketahui secara langsung
dari nash Al-Qur‟an. Melainkan banyak aturan-aturan syari‟at yang
membutuhkan daya nalar kritis melalui istinbath hukum. Tidak sedikit
ayat yang memberikan peluang untuk melakukan istinbath hukum baik
dilihat dari kajian kebahasaan maupun esensi makna yang dikandungnya64
.
Dalam kalangan NU, metode penetapan hukum diartikan bukan
mengambil hukum secara langsung dari sumber hukum yang asli yaitu Al-
Quran dan As-Sunnah, tetapi dilakukan dengan mentabiqkan secara
61
Tashwirul afkar merupakan kelompok diskusi keislaman di perkotaan untuk merambah
kalangan yang lebih luas dalam rangka mengembangkan pemikiran Islam di Nusantara. Didirikan
tahun 1918 oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah yang bermarkas di Suarabaya, Jawa Timur 62
Vivin Baharu Sururi, hal. 429 63
Sekretariat Jendral PBNU, Hasil-Hasil Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama, Jakarta,
2011, hal. 40 64
Ahmad Muhtadi Anshor, Bahth al-masail nahdlatul Ulama (NU) Melacak Dinamika
Pemikiran Mazhab Kaum Tradisionalis, Cet. 1. Yogyakarta: Teras, 2012, hal. 76
36
dinamis nash-nash yang telah dielaborasi fuqaha pada persoalan waqi’iyah
yang dicari hukumnya65
.
Mekanisme pemecahan masalah yang ditempuh Lembaga Bahtsul
Masa‟il NU sebagian besar adalah langsung merujuk kitab-kitab
mu’tabarah dari kalangan empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan
Hanbali), terutama mazhab Syafi‟i. Metode yang digunakan dalam sistem
bathsul masa‟il ada tiga macam. Ketiga metode tersebut diterapkan secara
berjenjang, yaitu:
1. Metode Qauli
Metode ini adalah cara istinbath hukum dengan mempelajari
masalah yang dihadapi kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab
fiqh dari mazhab empat dengan mengacu dan merujuk secara langsung
pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain mengikuti pendapat-pendapat
yang sudah jadi dalam lingkup mazhab tertentu66
.
Prosedur penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai
berikut:
a. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab
(tekstual) dan disana hanya terdap satu qoul/wajh67
maka
dipakailah qoul/wajh sebagaimana diterangkan dalam teks itu.
b. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan
disana ada lebih dari satu qoul/wajh maka dilakukan taqrir
65 Imam Yahya, Metode Ijtihad NU, Semarang: Walisongo Press, 2009, hal. 39.
66 Ahmad Zahro, Tradisi intelektual NU: Lajnah Bahth al-Masail 1926-1999,
Yogyakarta: LKiS, 2004, hal. 118 67
Qaul adalah pendapat Imam Mazhab. Wajh adalah pendapat Ulama‟ Mazhab
37
jama’i (upaya kolektif untuk menetapkan pilihan) untuk
memilih satu qoul/wajh.
2. Metode Ilhaqi
Metode ilhaqi biasa disebut juga ilhaq almasail bi nazairiha.
Metode ini adalah cara istinbath hukum dengan menyamakan hukum suatu
kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan
hukumnya) dengan kasus/ masalah serupa yang telah dijawab oleh kitab
(telah ada ketetapan hukumnya, atau menyamakan yang sudah jadi).
Metode ini dipakai apabila metode qouli tidak dapat dilaksanakan karena
tidak ditemukan jawaban tekstual dari kitab mu’tabar.
Prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan ketentuan sebagai
berikut:
a. Mulhaq bih yaitu sesuatu yang belum ada ketentuan
hukumnya)
b. Mulhaq alaih yaitu sesuatu yang sudah ada ketentuan
hukumnya.
c. Wajh Al-Ilhaq yaitu faktor keserupaan antara mulhaq bih
dengan mulhaq alaih.
Metode ilhaqi ini dalam prakteknya mirip qiyas, oleh karena itu
dinamakan metode qiyas versi NU. Ada perbedaan mengenai qiyas dan
ilhaq. Qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada
ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada ketetapannya berdasarkan
nash Al-Quran dan As-Sunnah, sedangkan ilhaqi adalah menyamakan
38
hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah
ada kepastian hukumnya berdasarkan teks suatu kitab mu’tabar68
.
3. Metode Manhaji
Metode Manhaji atau bermazhab adalah Metode istinbath hukum
dengan cara mengikuti jalan fikiran dan kaidah penetapan hukum yang
telah disusun oleh imam madzhab69
. Jawaban terhadap permasalahan yang
dikaji dalam bahtsul masail yang tidak terdapat dalam teks kitab mu’tabar
setelah dilaukannya metode qauli, serta tidak juga ditemukan hukumnya
dengan metode /ilhaqi, maka digunakanlah metode manhaji dengan
mendasarkan jawaban mula-mula pada Al-Qur‟an, setelah tidak ditemukan
jawabannya dalam Al-Qur‟an lalu pada hadits dan begitu seterusnya yang
akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah fiqhiyah70
.
Langkah-langkah Proses pengambilan hukum yang biasa dilakukan
oleh Lembaga Bahtsul Masa‟il NUdapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penetapan hukum yang dilakukan oleh bahtsul masail itu adalah
respon terhadap pertanyaan-pertanyaan riil pada berbagai daerah dari
semua tingkatan organisasi, baik yang diajukan oleh perseorangan atau
masyarakat.
Kedua, sebelum diajukan ketingkat bahtsul masail pusat (PBNU)
pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah dibahas dalam bahtsul masail sesuai
tingkat jajarannya, tetapi tidak mendapat jawaban/solusi yang memuaskan.
68
Ahmad Muhtadi Anshor, hal. 84-89 69
Ahmad Zahro, hal. 122 70
Ahmad Zahro, hal. 126
39
Ketiga, melakukan identifikasi masalah untuk dipersiapkan
jawabannya di pra-sidang bahtsul masail.
Keempat, mencari jawabannya dalam kitab-kitab klasik hingga
modern atau artikel/majalah yang ditulis oleh para ulama yang diakui
kredibilitas keilmuannya. Di sinilah terjadi penilaian yang menjadi ukuran
tertinggi adalah komitmen seorang penulis terhadap pola bermazhab,
utamanya mazhab Syafi‟i, ke-wira’i-an dan kejelasan argumen yang
ditampilkan dalam redaksi kitab atau teks rujukan yang dipilih. Biasanya,
pemilihan dilakukan secara alami, apakah kitab itu diterima oleh kalangan
pesantren yang secara kultural terkait dengan NU atau tidak? Jika
diterima, kitab ini dapat dijadikan rujukan.
Kelima, setelah mendengar argumen dari para peserta Lembaga
Bahtsul Masa‟il dengan landasan redaksional (teks) kitab yang menjadi
pegangannya, pimpinan sidang membuat kesimpulan, dan ditawarkan
kembali kepada peserta bahstul masail untuk ditetapkan ketentuan
hukumnya secara kolektif atau taqrir jama’i.
Keenam, kesimpulan ketetapan hukum atau yang dikenal di
kalangan warga NU dengan ahkam al-fuqaha.
Untuk lebih jelasnya format keputusan hukum bahtsul masail
disusun secara sistematis sebagai berikut:
a. Setiap masalah dikemukakan deskripsi masalahnya.
b. Pertimbangan hukum (tidak selalu ada)
40
c. Rumusan soal (pertanyaan) yang dibahas
d. Jawaban (dengan kalimat yang singkat dan jelas)
e. Dasar pengambilan (ma‟khadh), yakni kitab-kitab fiqh mazhab
yang menjadi rujukan (refrensi).Uraian teks/redaksi dalilnya71
.
4. Fatwa Lembaga Bahtsul Masa‟il NU tentang Penggunaan Media
Telekonferensi dalam Akad Nikah72
KEPUTUSAN KOMISI BAHSUL MASAIL DINIYAH
WAQI‟IYYAH MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA XXXII
2010 23 SAMPAI 27 MARET 2010
1. Transaksi Via Alat Elektronik
A. Deskripsi
Kemajuan teknologi dan Informasi telah mengantarkan
pada pola kehidupan umat manusia lebih mudah sehingga
merubah pola sinteraksi antar anggota masyarakat. Pada era
teknologi dan informasi ini, khususnya internet, seseorang
dapat melakukan perubahan pola transaksi bisnis, baik
berskala kecil mapun besar, yaitu perubahan dari paradigma
bisnis konvensional menjadi paradigma bisnis elektronikal.
Paradigma baru tersebut dikenal dengan istilah Electronic
Commerce, umumnya disingkat E-Commerce.
Kontrak elektronik adalah sebagai perjanjian para pihak yang
dibuat melalui sistem elektronik. Maka jelas bahwa kontrak
71
Ahmad Muhtadi Anshor, hal. 92-93 72
Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar,
munas, Konbes Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya, Khalista, 2011, hal. 714
41
elektronikal tidak hanya dilakukan melalui internet semata,
tetapi juga dapat dilakukan melalui medium faksimili,
telegram, telex, internet, dan telepon. Kontrak elektronikal
yang menggunakan media informasi dan komunikasi terkadang
mengabaikan rukun jual-beli (ba’i), seperti shighat, ijab-qabul,
dan syarat pembeli dan penjual yang harus cakap hukum.
Bahkan dalam hal transaksi elektronikal ini belum diketahui
tingkat keamanan proses transaksi, identifikasi pihak yang
berkontrak, pembayaran dan ganti rugi akibat dari kerusakan.
Bahkan akad nikah pun sekarang telah ada yang menggunakan
fasilitas telepon atau Cybernet, seperti yang terjadi di Arab
Saudi.
B. Pertanyaan:
1. Bagaimana hukum transaksi via elektronik, seperti media
telepon, e-mail atau Cybernet dalam akad jual beli dan akad
nikah?
2. Sahkah pelaksanaan akad jual-beli dan akad nikah yang
berada di majelis terpisah?
3. Bagaimana hukum melakukan transaksi dengan cara
pengiriman SMS dari calon pengantin pria berisi catatan
pemberian kuasa hukum (wakalah) kepada seseorang yang
hadir di majelis tersebut?
C. Jawaban:
42
1. Hukum akad jual beli melalui alat elektronik sah apabila
sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat
memenuhi mabi‟ (barang yang diperjualbelikan) atau telah
dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi
syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya.
Sedangkan hukum pelaksanaan akad nikah melalui alat
elektronik tidak sah, karena: (a) kedua saksi tidak melihat
dan mendengar secara langsung pelaksanaan akad; (b) saksi
tidak hadir di majelis akad; (c) di dalam akad nikah
disyaratkan lafal yang sharih (jelas) sedangkan akad
melalui alat elektronik tergolong kinayah (samar).
2. Pelaksanaan akad jual-beli meskipun di majelis terpisah
tetap sah, sedangkan pelaksanaan akad nikah yang berada
di majelis terpisah tidak sah.
3. Hukum melakukan akad/transaksi dengan cara pengiriman
SMS dari calon pengantin pria berisi catatan wakalah
(pemberian kuasa hukum) kepada seseorang yang hadir di
majelis tersebut hukumnya sah dengan syarat aman dan
sesuai dengan nafs al-amri (sesuai dengan kenyataan).
D. Dasar pengambilan hukum
Aqwal Al-Ulama’
1. Nihayah Al-Muhtaj ila Syarh Al-Minhaj
43
ا يه انفماع ك ه ؽ ( ف غ ل صػ الظه ا (
ا ا ا ش اؼك ا رؼا لكا نى ه ان غ انغا ئة( )ت
تانغا ف غ انث ؼاظها ف يعه كا ن ا يص
ا صف ا ؤذ ا نأ ف اذه ك تطهك انر ؼ
ا ظه نق اتط ف ك ء ن ره انع ء ا ظ
(dan menurut qaul Al-Azhar, sungguh tida sah) selain
masalah fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan
rapat/tidak terlihat (jual-beli barang ghaib), yakni
barang yang tidak terlihat oleh kedua orang yang
bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut
berstatus sebagai alat pembayar ataupun barang tersebut
sebagai barang yang dibayari. Meskipun barang
tersebut ada dalam majelis akad dan telah disebutkan
kriterianya secara detail atau sudah dikenal secara luas
–mutawatir-, seperti keterangan yag akan datang. Atau
terlihat dibawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi
warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut
kajian yang kuat.
2. Hasyiyah Al-Bujairami ‘ala Al-Khatib
ناء ثغ ي ؤنح نإح ان ظائه ان ي لال ؾ ض
ه انع ب ف طه ان ل ذكف ل ظاض انى ن
ظاض ه غانثا ناء انى ء ي ل ؽصم تا إل انش
شهغ و ن ا ػه لف يا ـ ػه
Muhammad Syaubari Al-Khudriy berkata: “Termasuk
padanan kasus tercegah melihat mabi‟-barang yang
dijual- adalah melihat mabi‟ dari balik kaca. Cara
demikian tidak mencukupi syarat jual beli. Sebab,
standarnya adalah menghindari bahaya ketidakjelasan
mabi‟, yang tidak bisa dipenuhi dengan cara tersebut.
Sebab, secara umum barang yang terlihat dari balik
44
kaca terlihat beda dengan aslinya. Demikian keterangan
dari syarh Ar-Ramli.
3. Futuhat Al-Wahhab bi Syarh Manhaj At-Thullab
يا ف يؼا ا انهفع( ا ي ن فاػرثه يا كل ػه )ل
لائى يماي كإشانج كانفػ ا ػثانج ػ ا ي
ال هي ا تهيا ـ
(ungkapan Syaikh Zakaria Al-Anshari: “maka -dalam
jual beli- diperhitungkan ungkapan yang menunjukan
kerelaan.”), atau yang bersubtansi sama dari ungkapan
yang memanifestasikan kerelaan, seperti tulisan atau
sesamanya, seperti isyarat orang bisu. Demikian
penjelsan Barmawi
4. Syarh Al-Yaqut Al-nafis
ػ ن النفاظ ا ل نص ؼا ق ن انؼثهج ف انؼم
انثهلاخ انرهك ف طح انره ا هاء ت انش غ انث
ائم ان م كم م ا انؼ ػه و كج ان ايصانا يؼر
Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah
subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via
telpon, teleks, dan telegram dan semisalnya telah
menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.
5. Hasyiyah Al-Bujairami ‘ala Al-Khatib
ض فل انى ظح انى ن ثػ( ا لنفاظ ن )انع ل
اخ ذشرث الص ح ل ا ف ظه اع انفاظ كف
اػح انؼمكلظم نؽ ظثػ ك ا ثغ نهش نك ق ان
ك ا انش شرهغ ف كم ي ن )تم ان اكصه( ... ل
45
ا يؼهفح ن ثػ انع انثصه غ عا ان ا
رؼالك ان
Ungkapan Al-Khatib Al-Syirbini (dan hafal),
maksudnya hafal ucapan wali istri dan suami. Maka
tidak cukup hanya mendengar ucapan mereka dalam
tempat gelap. Sebab, suara yang satu dengan yang
lainnya itu mirip. Bagi dua orang saksi nikah sebaiknya
juga menghafal jam akad untuk menentukan nasab anak
(dari pasangan tersebut). Ungkapan Al-Khatib As-
Syirbini (bahkan lebih dari enam syarat) ... dan bagi
masing-masing dari dua saksi nikah disyaratkan untuk
mampu mendengar, melihat, menghafal, dan
mengetahui bahasa dua orang yang berakad.
6. Hawasyai Al-Syarwani wa Al-‘Abbadi ‘ala Al-Tuhfah
( انم ل كن ل كها ه ان غ ي غ ؼمك( انث
ف انطلق ح ػه كلو ؤذ ف ام ان ي ن
اء انكراتح ل ػه يائغ ا ح ... )تانكاح( يغ ان
ؼمك ت ك كاح ف نا ػ نؽاظه فهمثم ف ن ح ا يغ ان
ن )ل ن لث ا ل معاء يعه ان ـ رك ػه
الويح ؽكز ف م هك ان ثه ان ـ يصها انكاح انؿ(
ك ا ظه فانؼمك ت اح ف
(dan sah) jual beli dari selain orang yang mabuk, yang
tidak mengerti. Sebab ia tidak termasuk orang yang sah
niatnya, seperti keterangan dalam bab Talak yang akan
datang. (dengan sighat kinayah) beserta niat ... menulis
pada yang tidak zat cair dan udara termasuk kinayah.
Maka jual beli dengannya disertai niat hukumnya sah.
Meskipun bertransaksi dengan orang yang hadir dalam
majelis akad. Maka ia harus segera menerima akad
tersebut ketika mengetahuinya, dan khiyar mereka
46
berlaku sampai bubarnya majelis penerimaan –qabul-
akad. (ungkapan Ibnu Hajar “dan menulis ...”) dan sama
dengannya, berita via teknologi kabel –telpon- yang
dikembangkan pada zaman sekarang ini. Maka akad
dengannya termasuk kinayah menurut kajian yang kuat.
7. Hasyiyah Al-Bujairami ‘ala Al-Khatib
خ ا ه غ ق ا انفط ا الا ف ػثانج ع اي
ه ك س ذؼمن ذ ا ؼ انكاح فصػ كاؼ تكم ي
نا كاغ ؼمك تانكاح ال تانكراتح اشانخ ن
ن ي ا يف ا انفط هي الا اؼرص تف ـ ال
ا شانج انر فرص تف ال م تانكراتح ا ك ايك انر
ك ا لنك ه ل ك ذ ح كاؼ نصؽ ذؼ انفط ا
ؼمك تانكاح ا كم ف انر عا ف كاح ا
Dan ungkapan Ali Sibramalisi, “sementara bila isyarat
orang buta hanya dipahami oleh orang pintar saja,
bukan selainnya, maka dengan kinayah. Maka
pernikahan orang buta tersebut sah dengan isyarat atau
tulisannya, ketika udzur mewakilinya. Bagi kita, tidak
ada nikah yang sah dengan kinayah melainkan dengan
tulisan dan isyarat orang buta ketika hanya orang pintar
saja yang mampu memahaminya. Mafhumnya, andaikan
ia mampi mewakilkan akad dengan penulisan atau
isyarat yang hanya dipahami oleh orang pintar saja,
maka akad nikanya harus diwaklkan. Sebab, meskipun
hal itu termasuk kinayah, namun pada hakikatnya
adalah kinayah dalam mewakilkan. Sementara akad
mewakilkan bisa sah dengan kinayah. Demikian
penjelasan Ali Sibramalisi
8. Sunan Al-Daruquthni
47
هى لتك ف ػه ػائشح لاند لال صه لل ػ
ات ك ا انش ض انى ن انتؼح ان انكاغ ي
افغ ا ة يعل ا انفص هج )ن ي ت
قانلط(
“Dari A‟isyah, ia berkata: Nabi bersabda: “Dalam nikah
harus ada empat orang, yaitu wali, calon suami, dan dua
orang saksi.” Abu Al-Khasib tidak diketahui. Namanya
adalah Nafi‟ bin Maysarah. (HR. Daruquthni)
9. Referensi lain
a) Hasyiyah Al-Bujaraimi ‘ala Al-Manhaji, Juz XI, h.
476
b) Al-Fawaid Al-Mukhtarah li Salik Thariq Al-Akhirah
Al-Mustafadah min Kalam Al-‘Allamah Al-habib
Zain bin Ibtahim bin Smith, edisi Ali bin Hasan
Baharun, h. 246
c) Syarh Al-Yaqut Al-Nafis, h. 356, karya Muhammad
bin Ahmad bin Umar Asy-Syatiri
d) Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh Al-Minhaj,
Juz III, h. 186
e) Hasyiyah Al-Bujaraimi ‘ala Al-Khatib, karya
Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami, Juz III h.
398
f) Baths li Ba’dh Al-Nawazil Al-Fiqhiyah, Juz XII, h.
1-3
48
g) Al-Majmu’, Juz IX, h. 167-169
h) I’anah At-Thalibin, Juz III,h. 103
i) Hasyiyah Al-Jamal, Juz XIII, h. 259
B. Majelis Tarjih Muhammadiyah
1. Sejarah Majelis Tarjih Muhammadiyah
Pada permulaan abad XX umat Islam Indonesia menyaksikan
munculnya gerakan pembaharuan pemahaman dan pemikiran Islam yang
pada esensinya dapat dipandang sebagai salah-satu mata rantai dari
serangkaian gerakan pembaharuan Islam yang telah dimulai sejak dari
Ibnu Taimiyah di Siria, diteruskan Muhammad Ibnu Abdul Wahab di
Saudi Arabia dan kemudian Jamaluddin al Afghani bersama muridnya
Muhammad Abduh di Mesir. Munculnya gerakan pembaharuan
pemahaman agama itu merupakan sebuah fenomena yang menandai proses
Islamisasi yang terus berlangsung. Dengan proses Islamisasi yang terus
berlangsung -meminjam konsep Nakamura- dimaksudkan suatu proses
dimana sejumlah besar orang Islam memandang keadaan agama yang ada,
termasuk diri mereka sendiri, sebagai belum memuaskan. Karenanya
sebagai langkah perbaikan diusahakan untuk memahami kembali Islam,
dan selanjutnya berbuat sesuai dengan apa yang mereka anggap sebagai
standard Islam yang benar
Peningkatan agama seperti itu tidak hanya merupakan pikiran-
pikiran abstrak tapi diungkapkan secara nyata dalam bentuk organisasi-
organisasi yang bekerja secara terprogram. Salah satu organisasi itu di
49
Indonesia adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH.Ahmad Dahlan
pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H bertepatan dengan 18 November 1912
M.
Ahmad Dahlan yang pada masa kecilnya bernama Muhammad
Darwis lahir di Yogyakarta tahun 1968 atau 1969 dari ayah yang bernama
Abu Bakar, beliau adalah Imam dan Khatib Masjid Besar Kauman, dan
Ibu yang bernama Siti Aminah binti Ibrahim penghulu besar di
Yogyakarta. Ahmad Dahlan kemudian mewarisi pekerjaan ayahnya
menjadi khatib masjid besar di Kauman. Disinilah beliau melihat praktek-
praktek agama yang tidak memuaskan di kalangan abdi dalem Kraton,
sehingga membangkitkan sikap kristisnya untuk memperbaiki keadaan.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan Ahmad Dahlan pada
mulanya bersifat lokal, tujuannya terbatas pada penyebaran agama di
kalangan penduduk Yogyakarta. Pasal dua Anggaran Dasarnya yang asli
berbunyi (dengan ejaan baru):
Maka perhimpunan itu maksudnya:
a. Menyebarkan pengajaran Agama Kanjeng Nabi Muhammad
Sallallahu „Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di
dalam residentie Yogyakarta.
b. Memajukan hal Agama Islam kepada anggota-anggotanya
Berkat kepribadian dan kemampuan Dahlan memimpin
organisasinya, maka dalam waktu singkat organisasi itu mengalami
50
perkembangan pesat sehingga tidak lagi dibatasi pada residensi
Yogyakarta, melainkan meluas ke seluruh Jawa dan menjelang tahun 1930
telah masuk ke pulau-pulau di luar Jawa. Misi utama yang dibawa oleh
Muhammadiyah adalah tajdid atau pembaharuan pemahaman agama.
Adapun yang dimaksudkan dengan pembaharuan oleh Muhammadiyah
adalah yang seperti yang dikemukakan oleeh M. Djindar Tamimy: Maksud
dari kata-kata tajdid dalam bahasa Arab yang artinya “pembaharuan”
adalah mengenai dua segi, ialah dipandang dari pada/menurut sasarannya :
a. Pembaharuan dalam arti mengembalikan kepada
keasliannya/kemurniannya, ialah bila tajdid itu sasarannya
mengenai soal-soal prinsip perjuangan yang sifatnya tetap/tidak
berubah ubah.
b. Pembaharuan dalam arti modernisasi, ialah bila tajdid itu
sasarannya mengenai masalah seperti: metode, sistem, teknik,
strategi, taktik perjuangan, dan lain-lain yang sebangsa itu,
yang sifatnya berubah-ubah, disesuaikan dengan situasi dan
kondisi/ruang dan waktu
Tajdid dalam kedua artinya, itu sesungguhnya merupakan watak
daripada ajaran Islam itu sendiri dalam perjuangannya. Dapat disimpulkan
bahwa embaharuan itu tidaklah selamanya berarti memodernkan, akan
tetapi juga memurnikan, membersihkan yang bukan ajaran.
Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bertujuan
mengakkan agama islam ditengah-tengah masyarakat, sehingga dapat
51
terwujud masyarakat islam yang sesungguhnya.islam sebagai agama
terakhir tidaklah memisakan masalah ronahi dan persoalan dunia, tapi
mencakup kedua segi kehidupan manusia ini. Sehingga islam yang
memancar ke dalam berbagai aspek kehidupan tetaplah merupakan satu
keutuhan. Pembaharuan islam sebagai ksatuan inilah yang ditampilkan
Muhammadiyah itu sendiri. Sehingga dalam perkembangan sekarang ini
Muhammdiyah menampakkan diri sebaga pengembangan dari peikiran
perluasan gerakan yang dilahirka Ahmad Dahlan sebagai amal jariyah.
Sekarang ini usaha pembaharuan Muhammadiyah secara ringkas
dapat dibagi ke dalam tiga bidang garapan, yaitu :
a. Bidang Keagamaan
Pembaharuan dalam bidang keagamaan ialah penemuan kembali
ajaran atau prinsip dasar yang berlaku abadi, yang karena waktu,
lingkungan situasi dan kondisi, mungkin menyebabkan dasar-dasar
tersebut kurang jelas tampak dan tertutup oleh kebiasaan dan pemikiran
tambahan lain.
b. bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan sosial,
Muhammadiyah mempelopori dan menyelenggarakan sejumlah
pembaharuan dan inovasi yang lebih nyata. Bagi Muhammadiyah, yang
berusaha keras menyebarluaskan Islam lebih luas dan lebih dalam,
52
pendidikan mempunyai arti penting karena melalui inilah pemahaman
tentang Islam dapat diwariskan dan ditanamkan dari generasi ke generasi.
c. bidang Kemasyarakatan
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, maka usaha yang dirintis
oleh Muhammadiyah adalah didirikannya rumah sakit poliklinik, rumah
yatim piatu, yang dikelola melalui lembaga-lembaga dan bukan secara
individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya di dalam
memelihara anak yatim piatu. Badan atau lembaga pendidikan sosial di
dalam Muhammadiyah juga ikut menangani masalah-masalah keagamaan
yang ada kaitannya dengan bidang sosial.
Dalam usaha pembaharuan ini tidak sedikit rintangan yang dialami
Muhammdiyah, beberapa tafsir yang dilakukan ulama‟ Muhammdiyah
tentang Al-Qur‟an dan Hadits menimbulka perdebatan Theologis. Namun
kemudian untuk mengatasi perdebatan tersebut dalam Muhammdiyah
dibicaran oleh suatu lembaga yang bernama “lajnah tarjih”. Lembaga ini
merupakan realisasi dari prinsip bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.
Majelis Tarjih didirikan atas dasar keputusan kongres
Muhammadiyah ke-XVI pada tahun 1927 atas usulan Mas Mansyur.
Fungsi dari majelis ini adalah untuk mengeluarkan fatwa atau memastikan
hukum tentang masalah tertentu. Masalah yang dimaksud disini tidak
semata masalah keagamaan dalam arti sempit, mungkin juga terletak pada
masalah yang dalam arti biasa tidak terletak dalam bidag agama.
53
Pendapat apapun juga haruslah dengan sendirinya didasarkan atas
syariat yaitu Al-Qur‟an dan Hadits yang dalam proses pengambilan
hukumnya didasarkan pada ilmu ushul fiqh. Majelis ini berusaha untuk
mengembalikan suatu persoalan kepada sumbernya, baik masalah semula
sudah ada hukumnya dan bejalan di masyarakat tetapi masih ada perdeatan
di kalangan umat islam, ataupun merupakan masalah-masalah
kontemporer yang belum ada penjelasan mengenai hukumnya di dalam
Al-Qur‟an dan Hadits73
.
2. Metode istinbat Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan
hukum
Muhammadiyah berpendapat bahwa sumber utama hukum dalam
islam adalah Al-Qur‟an dan As-Sunnah (As-shahihat). Kemudian untuk
menghadapi persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak
berhubungan dengan ibadah mahdah dan tidak terdapat nash sharih dalam
Al-Qur‟an dan Hadits, digunakan ijtihad dan istinbath dari nash yang ada
melalui persamaan illat. Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi
Muhammadiyah ijtihad bukan merupakan sumber hukum, melainkan
sebagai metode penetapan hukum dalam islam74
.
Diantara sumber itu, Al-Qur‟an merupakan “sumber dari segala
sumber”. Artinya, Al-Qur‟an merupakan rujukan pertama dalam
menetapkan hukum. Sedangkan Hadits berfungsi sebagai penjelas
73
Sejarah Mjalis Tarjih Muhammdiyah, http://tarjih.muhammadiyah.or.id/content-3-sdet-
sejarah.html, diakses pada tanggal 23 April 2017 pukul 02.40 AM 74
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammdiyah, Jakarta, Logos,
1995, hal. 70
54
terhadap Al-Qur‟an. Tentu penjelasan dari Nabi tidak boleh bertentangan
dengan apa yang dijelaskannya Al-Qur‟an. Karena itu, menurut sebagian
ahli Hadits, salah satu tolak ukur untuk menyeleksi Hadits adalah harus
“diuji” dengan Al-Qur‟an. Kalau Hadits itu sejalan dengan dengan Al-
Qur‟an, maka Hadits itu dapat diterima. Tetapi kalau Hadits itu tidak
sejalan, mapalagi bertentangan, dengan Al-Qur‟an, maka Hadits itu tidak
dapat diterima75
.
Bagaimana dengan metode ijtihad Muhammadiyah?
Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa ijtihad hanyalah metode
penetapan hukum76
. Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode
ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fikih terdahulu, namun
di sana sini terdapat “modifikasi” atau lebih tepatnya disebut kombinasi
seperlunya.
Ijma’ yang dibahas dalam ushul fikih kelihatannya tidak dalam
setiap periode diterima oleh Muhammadiyah, organisasi ini hanya
menerima ijma’ yang terjadi di kalangan sahabat Nabi SAW. Hal ini
menunjukan bahwa menurut Muhammdiyah, tidak mungkin ijma’ terjadi
lagi setelah masa sahabat. Ijma’ dimungkinkan terjadi pada masa sahabat
karena umat islam masih sedikit jumlahnya77
.
Qiyas yang juga merupakan metode penetapan hukum pada
dasarnya tidak diterima oleh Muhammadiyah, dengan catatan tidak
75
Fathurrahman Djamil, hal. 71 76
Djuwaini, Keterjihan, Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis PPK, hal. 20 77
Fathurrahman Djamil, hal. 73
55
mengenai masalah ibadah mahdah. Saat Muhammadiyah membahas
masalah qiyas sebegai metode penetapan hukum dalam islam, ternyata
banya dari peserta muktamar tarjih yang tidak setuju mengenai
penggunaan qiyas sebagai metode penetapan hukum, namun tidak sedikit
pula perserta yang setuju menggunakan qiyas sebagai metode penetapan
hukum. Dengan kata lain, warga Muhammadiyah tidak sepakat tentang
penggunaan qiyas dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum78
.
Muhammadiyah tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai
penggunaan metode istihsan sebagai metode penetapan hukum yang
digunakan oleh imam Abu Hanifah, namun dari rumusan yang terdapat
dalam manhaj Mahlis Tarjih dapat difahami bahwa Muhammadiyah
menerima metode istihsan sebagai metode penetapan hukum. Seiring
dengan adanya konsep istihsan yang diungkapkan oleh Imam Abu
Hanifah, Imam Malik juga mengemukakan konsep istishlah atau maslahah
mursalah. Metode ini juga digunakan oleh Muhammadiyah dalam
menetapkan sebuah hukum79
.
Metode lain yang digunnakan oleh Muhammadiyah dalam
menetapkan sebuah hukum adalah saddu al-zari’at. Tujuan digunakannya
metode ini oleh Muhammadiyah adalah “untuk menghindari terjadinya
78
Fathurrahman Djamil, hal. 75 79
Fathurrahman Djamil, hal. 76
56
fitnah dan mafsadah”. Jika diambli pengertian sebaliknya maka tujuan
digunakannya metode ini adalah untuk kemaslahatan manusia80
.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa Muhammdiyah dalam
berijtihad menempuh tiga jalur81
, yaitu :
a. Al-Ijtihad Al-Bayani
Yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam
Nash Al-Qur‟an dan Hadits
b. Al-Ijtihad Al-Qiyasi
Yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara
menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur
dalam Al-Qur‟an dan Hadits.
c. Al-Ijtihad Al-Istislahi
Yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat
dalam kedua sumber hukum diatas, dengan cara menggunakan
penalaran yang didasarkan pada kemaslahatan.
Pada dasarnya seluruh jalur di atas selalu berorientasi pada
maslahat yang merupakan tujuan disyari‟atkannya hukum dalam islam.
Namun bila diurut secara rinci jalur yang terakhir menggunakan konsep
maslahat yang lebih banyak daripada jalur sebelumnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa metode ijtihad yang digunakan oleh
Muhammadiyah dalam masalah-masalah mu’amalah dunyawiyyat selalu
80
Fathurrahman Djamil, hal. 78 81
Fathurrahman Djamil, hal. 78
57
bertumpu pada maqashid syari’at, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia dengan cara memperhatikan hal-hal yang bersifat daruriyyat,
hajjiyyat, dan tahsiniyyat. Setiap peringkat memperhatikan lima unsur
utama yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta82
.
3. Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Penggunaan Media
Telekonferensi dalam Akad Nikah83
AKAD NIKAH VIA VIDEO CALL
(disidangkan pada Jum‟at, 16 Jumadats-Tsaniyah 1429 H / 20 Juni
2008)
Pertanyaan:
Dewasa ini, seiring dengan kemajuan teknologi, antara dua
pihak dapat berkomunikasi secara mudah melalui suara dan
gambar menggunakan hand phone yang mempunyai fasilitas video
call dalam jaringan 3G. Berkenaan dengan itu, apakah hukumnya
melakukan akad ijab qabul (pernikahan) antara wali dengan pihak
mempelai pria yang jaraknya berjauhan melalui video call ?
Mohon jawabannya dan terima kasih
Jawab:
Akad nikah sah secara syar’i jika memenuhi rukun-rukun
dan syarat-syaratnya. Rukun-rukun nikah menurut jumhur ulama
82
Fathurrahman Djamil, hal. 78 83
Akad Nikah via Video Call, http://www.fatwatarjih.com/2011/06/akad-nikah-via-
vidieo-call.html diakases pada tanggal 23 April 2017 pukul 03.07 AM
58
ada lima, yaitu adanya mempelai pria, adanya mempelai wanita,
adanya wali nikah, hadirnya dua orang saksi, dan akad ijab-qabul.
Masing-masing rukun tersebut ada syaratnya. Khusus tentang ijab
qabul, ada 4 syarat, yaitu:
1. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis.
2. Kesesuaian antara ijab dan kabul. Misalnya wali
mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya
Khadijah..”, kemudian calon suami menjawab: “Saya
terima nikahnya Fatimah ...”, maka nikahnya tidak sah,
karena antara ijab dan qabul tidak sesuai.
3. Yang melaksanakan ijab (wali) tidak menarik kembali
ijabnya sebelum kabul dari pihak lain (calon suami).
Jika sebelum calon suami menjawab wali telah menarik
ijabnya, maka ijab dan kabul seperti ini tidak sah.
4. Berlaku seketika, maksudnya nikah tidak boleh
dikaitkan dengan masa yang akan datang. Jika wali
mengatakan: “Saya nikahkan anda dengan putri saya
Khadijah besok atau besok lusa”, maka ijab dan qabul
seperti ini tidak sah.
Yang dimaksud dengan ijab qabul dilakukan dalam satu
majelis pada syarat pertama, adalah ijab dan kabul terjadi dalam
satu waktu. Suatu akad ijab dan kabul dinamakan satu majelis jika
setelah pihak wali selesai mengucapkan ijab, calon suami segera
59
mengucapkan kabul. Antara ijab dan qabul tidak boleh ada jeda
waktu yang lama. Sebab jika ada jeda waktu lama antara ijab dan
qabul, qabul tidak dianggap sebagai jawaban terhadap ijab. Ukuran
jeda waktu yang lama, yaitu jeda yang mengindikasikan calon
suami menolak untuk menyatakan qabul. Antara ijab dan qabul
tidak boleh diselingi dengan perkataan yang tidak terkait dengan
nikah sekalipun sedikit, juga sekalipun tidak berpisah dari tempat
akad.
Berdasarkan pengertian tersebut, ijab dan qabul tidak harus
dilakukan antara dua pihak dalam satu tempat. Para ulama imam
madzhab sepakat tentang sahnya akad ijab dan qabul yang
dilakukan oleh dua pihak yang berjauhan melalui sarana surat atau
utusan. Misalnya ijab dan qabul dilakukan melalui surat atau
utusan dari wali yang dikirimkan kepada calon suami. Jika akad
ijab dan qabul melalui surat, yang dimaksud dengan majelis akad
yaitu tempat suami membaca surat yang berisi ijab dari wali di
hadapan para saksi, dan jika calon suami setelah membaca surat
yang berisi ijab dari wali segera mengucapkan qabul, maka akad
dipandang dilakukan dalam satu majelis. Jika akad ijab dan qabul
melalui utusan, yang dimaksud dengan majelis akad yaitu tempat
utusan menyampaikan ijab dari wali pada calon suami di hadapan
para saksi, dan jika setelah utusan menyampaikan ijab dari wali,
60
calon suami segera mengucapkan qabul, maka akad dipandang
telah dilakuakn dalam saut majelis.
Pada zaman dahulu, akad antara dua pihak yang berjauhan
hanya terbatas melalui alat komunikasi surat atau utusan. Dewasa
ini, alat komunikasi berkembang pesat dan jauh lebih canggih.
Seseorang dapat berkomunikasi melalui internet, telepon, atau
melalui Telekonferensi secara langsung dari dua tempat yang
berjauhan. Alat komunikasi telepon atau hand phone (HP), dahulu
hanya bisa dipergunakan untuk berkomunikasi lewat suara
(berbicara) dan Short Massage Service (SMS: pesan singkat
tertulis). Saat ini teknologi HP semakin canggih, di antaranya
adalah fasilitas jaringan 3G. 3G atau third generation adalah istilah
yang digunakan untuk sistem komunikasi mobile (hand phone)
generasi selanjutnya. Sistem ini akan memberikan pelayanan yang
lebih baik dari apa yang ada sekarang, yaitu pelayanan suara, teks
dan data. Jasa layanan yang diberikan oleh 3G ini adalah jasa
pelayanan video, akses ke multimedia dan lain-lain. Dengan
fasilitas ini, yakni dengan video call, seseorang dapat
berkomunikasi langsung lewat suara dan melihat gambar lawan
bicara.
Oleh sebab itulah, jika akad ijab dan qabul melalui surat
atau utusan disepakati kebolehannya oleh ulama madzhab, maka
akad ijab dan qabul menggunakan fasilitas jaringan 3G, yakni
61
melalui video call lebih layak untuk dibolehkan. Dengan surat atau
utusan sebenarnya ada jarak waktu antara ijab dari wali dengan
qabul dari calon suami. Sungguhpun demikian, akad melalui surat
dan utusan masih dianggap satu waktu (satu majelis). Sedangkan
melalui video call, akad ijab dan qabul benar-benar dilakukan
dalam satu waktu. Dalam akad ijab qabul melalui surat atau utusan,
pihak pertama yakni wali tidak mengetahui langsung terhadap
pernyataan qabul dari pihak calon suami. Sedangkan melalui video
call, lebih baik dari itu, yakni pihak wali dapat mengetahui secara
langsung (baik mendengar suara maupun melihat gambar)
pernyataan qabul dari pihak calon suami, demikian pula
sebaliknya. Kelebihan video call yang lain, para pihak yakni wali
dan calon suami mengetahui secara pasti kalau yang melakukan
akad ijab dan qabul betul-betul pihak-pihak terkait. Sedangkan
melalui surat atau utusan, bisa saja terjadi pemalsuan.
Dengan demikian akad ijab dan qabul melalui video call
sah secara syar‟i, dengan catatan memenuhi syarat-syarat akad ijab
dan qabul yang lain, serta memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat
sah nikah yang lain. Apabila akad ijab dan qabul melalui video call
sah antara wali dengan calon suami, maka sah juga untuk akad
tawkil (mewakilkan) dari pihak wali kepada wakil jika wali
mewakilkan akad nikah pada orang lain. Bahkan sah juga akad ijab
dan qabul melalui video call antara wakil dengan mempelai pria.
62
Sekalipun demikian, alangkah baiknya akad ijab dan qabul
dilakukan secara normal dengan bertemunya masing-masing pihak
secara langsung. Ijab dan qabul dilakukan via video call apabila
memang diperlukan karena jarak yang berjauhan dan tidak
memungkinkan untuk masing-masing pihak bertemu secara
langsung.
63
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF
A. Persamaan pendapat tentang Penggunaan Media Telekonferensi dalam
Akad Nikah antara Lembaga Bahtsul Masa’il NU dan Majelis Tarjih
Muhammadiyah
1. Kedua lembaga fatwa ini memiliki sumber hukum yang sama yaitu Al-
Qur‟an dan Al-Hadits.
Seperti yang dibahas pada bab III, lembaga Bahtsul Masa‟il NU
menetapkan hukum berdasarkan Al-Qur‟an dan alHadits. Begitu pula
Majelis Tarjih Muhammadiyah yang sumber penetapan hukumnya adalah
Al-Qur‟an dan alHadits. Karena bagi umat islam memang keduanya inilah
pegangan dalam hidup.
2. Fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga fatwa ini merupakan jawaban atas
pertanyaan dari masyarakat.
Di zaman yang sangat modern ini kita tak lagi bisa bisa
menghindari kemajuan teknologi yang semakin canggih. Dalam bidang
apapun kita pasti akan bersentuhan dengan teknologi itu sendiri. Kemajuan
teknologi ini menjadi masalah tersendiri bagi umat islam dalam segala
aspek kehidupan baik ibadah ataupun mu‟ammalah. Karena di dalam Al-
Qur‟an dan alHadits tidak dijelaskan hukum penggunaanya. Dari sinilah
timbul keinginan masyarakat untuk bertanya bagaimana hukum ibadah
atau mu‟ammalah yang dilakukan dengan menggunakan teknologi dan
63
64
diajukan kepada dua lembaga fatwa ini agar tidak terjadi kegaduhan
diantara masyarakat.
3. Kedua lembaga fatwa ini merujuk kepada empat mazhab besar dalam fikih
yaitu Hanafi, Maliki, Syafi‟i, dan Hambali.
Setelah Al-Qur‟an dan alHadits, kedua lembaga fatwa ini
menjadikan pendapat para imam Mazhab yaitu Abu Hanifah, Maliki,
Syafi‟i, dan Ahmad bin Hanbal sebagai sumber rujukan. Seperti yang telah
dibahas pada bab iii yang lalu, metode yang digunakan dalam menetapkan
suatu hukum baik oleh Lembaga Bahtsul Masa‟il NU maupun Majelis
Tarjih Muhammadiyah, keduanya merujuk kepada pendapat empat imam
mazhab besar ini.
4. Syarat Ittihad Al-Majlis (bersatunya majelis) disepakati oleh kedua lembaga
fatwa ini
Pada bab sebelumnya juga telah dibahas bahwa menurut Lembaga
Bahtsul Masa‟il NU syarat akad nikah salah satunya adalah Ittihad Al-
Majlis atau bersatunya majelis, begitu pula dengan Majelis Tarjih
Muhammadiyah yang juga mensyaratkan akad nikah berlangsung di dalam
satu majelis. Namun perbedaan dalam menafsirkan makna Ittihad Al-
Majlis-lah yang membuat hasil fatwa kedua lembaga ini berbeda.
Perbedaan tersebut akan dibahas pada pembahasan selanjutnya.
65
B. Perbedaan pendapat tentang Penggunaan Media Telekonferensi dalam
Akad Nikah antara Lembaga Bahtsul Masa’il NU dan Majelis Tarjih
Muhammadiyah
1. Lembaga Bahtsul Masa‟il NU
a. Merujuk kepada pendapat Imam Syafi‟i
Dari banyaknya pendapat mengenai hukum penggunaan media
telekonferensi dalam akad nikah, lembaga Bahtsul Masa‟il NU memilih
merujuk kepada pendapat imam Syafi‟i yang terkenal sangat detail dan
berhati-hati dalam menetapkan sebuah hukum. Mazhab Syafi‟i sendiri
merupakan mazhab yang diikuti oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
b. Menggunakan metode Qiyas
Tentu saja pada masa hidup imam Syafi‟i belum ada yang namanya
telekonferensi, bahkan alat komunikasi pun belum ditemukan pada saat
itu. Jika ingin berkomunikasi jarak jauh satu-satunya cara adalah dengan
berkirim surat. Karena imam Syafi‟i tidak pernah menetapkan hukum
penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah, maka dari itu
Lembaga Bahtsul Masa‟il NU menggunakan qiyas antara pengunaan
media telekonferensi dan penggunaan surat dalam akad nikah.
c. Menerima Ijma’ Ulama‟ terdahulu
Sejak berdirinya lembaga ini hingga sekarang, hasil dari kajian Lembaga
Bahtsul Masa‟il ini dapat dijadikan sebagai fatwa, dan boleh di fatwakan
secara parsial tanpa memohon persetujuan kepada pengurus pusat
(PBNU) hal ini yang terkadang sering berbenturan dengan kepengurusan
66
di pusat. Karena dianggap telah mewakili ulama dengan produk
hukumnya, karena telah memenuhi standar kapasitas dan kredibilitas
keluasan ilmu yang dimilikinya, walaupun, secara structural berada di
tingkatbawah (suriyah ranting NU)
d. Fatwa yang dihasilkan dimungkinkan berbeda-beda antara cabang satu
dan cabang lainnya
Bahtsul Masa‟il secara kelembagaan baik ranting, wilayah, wakil cabang,
cabang, dan pusat, mereka diberikan kewenangan untuk menghasilkan
produk hukum yang nantinya produk hukum tersebut akan dipatuhi oleh
seluruh umat pengikutnya dan hasilnya akan langsung difatwakan
kemudian dijadikan sumber hukum yang sah.
2. Majelis Tarjih Muhammadiyah
a. Merujuk kepada pendapat Imam Abu Hanifah
Berbeda dengan Lembaga Bahtsul Masa‟il NU, Majelis Tarjih
Muhammadiyah lebih cenderung meggunakan mendapat Imam Abu
Hanifah dalam menetapkan hukum mengenai penggunaan media
telekonferensi dalam akad nikah. Imam Abu Hanifah dikenal sangat
fleksibel dalam menetapkan suatu hukum.
b. Tidak menerima secara kolektif metode Qiyas
Pada dasarnya Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak menerima
penggunaan metode qiyas sebagai metode penetapan hukum, terlihat dari
banyaknya peserta Muktamar Tarjih yang menolak penggunaan metode
qiyas ini. Namun tidak sedikit pula peserta yang menerima metode ini.
67
Sehingga dapat disimpulkan bahwa warga Muhammadiyah tidak sepakat
dengan penggunaan metode qiyas ini sebagai metode penetapan hukum
c. Tidak menerima Ijma’ Ulama‟ terdahulu
Ijma’ yang biasa digunakan oleh para ahli ushul fiqh dalam menetapkan
sebuah hukum tidak selalu digunakan oleh Majelis Tarjih
Muhammadiyah dalam istinbath hukum, karena Muhammadiyah hanya
mengakui ijma’ yang dilakukan oleh sahabat Nabi SAW, selain dari itu
Muhammadiyah tidak mengakui hasil ijma’nya. Menurut
Muhammadiyah tidak mungkin ada lagi ijma’ setelah masa sahabat, hal
itu dikarenakan pada masa sahabat umat islam masih sedikit, jadi
dimungkikan untuk melaksanakan ijma’.
d. Hasil fatwa ini disepakati secara kolektif oleh seluruh warga
Muhammadiyah.
Berbeda dengan Lembaga Bahtsul Masa‟il NU yang di setiap cabangnya
bisa terjadi perbedaan pendapat mengenai suatu hukum, pada Majelis
Tarjih Muhammadiyah itu Mustahil.karena fatwa yang dikeluarkan oleh
Majelis Tarjih Muhammadiyah ini bersifat kolektif. Oleh sebab itu hasil
fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah harus
dipatuhi oleh seluruh warga Muhammadiyah.
C. Analisis Penulis
Fikih adalah ilmu yang berasal dari pemikiran-pemikiran ulama
dalam mengambil hukum yang bersumber dari Al-Qur‟an dan alHadits.
Fikih dapat dikategorikan sebagai disiplin ilmu klasik yang memiliki
68
konotasi dengan aturan-aturan hidup sehari-hari yang dijalani umat islam,
mulai dari ibadah seperti shalat, zakat, puasa, haji, dll, hingga masalah
mu’ammalah umat islam. Jadi di dalam fikih telah diatur seluruh aturan-
aturan tentang hablu min Allah dan hablu min An-Nas yang berintisari dari
Al-Qur‟an dan Al-Hadits.
Ulama‟-ulama‟ tersebut merumuskan masalah yang dihadapi pada
saat itu, bisa merupakan masalah yang ia temukan sendiri, ataupun
masalah yang dipertanyakan oleh masyarakat. Kemudian setelah
merumuskan hukum dengan cara masing-masing, mereka mengumpulkan
cara tersebut dan meghimpunya. Itulah yang disebut mazhab.
Cara-cara perumusan Al-Qur‟an dan Al-Hadits sebagai sumber
hukum memiliki perbedaan pada tiap ulama‟. Perbedaan tersebut wajar
saja adanya dikarenakan perbedaan latar belakang, tempat tinggal, ataupun
yang lainnya. Dan perbedaan tersebut bukanlah masalah besar sejauh
perbedaan tersebut dalam hal furu’iyyah atau cabang. Yang menjadi
masalah adalah ketika perbedaan tersebut dalam hal ushuliyyah atau
pokok, seperti akidah.
Seiring dengan semakin pesatnya kemajuan zaman, masalah yang
dihadapi umat manusia juga semakin dinamis, dikarenakan persentuhan
dengan teknologi tidak lagi dapat terelakkan oleh umat manusia, bahkan
bisa dikatakan memudahkan hidup manusia zaman modern ini. Hal ini
menyebabkan banyaknya problematika kontemporer yang dihadapi oleh
umat.
69
Diantara problematika umat saat ini yang berkaitan dengan
teknologi adalah penggunaan media telekonferensi dalam prosesi akad
nikah. Tentu saja jika kita cari dalam kitab-kitab terdahulu karya ima-
imam mazhab seperti Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi‟i,
dan Imam Ahmad, pasti kita tidak menemukan keterangan yang jelas
tentang status hukum permasalahan ini. Hal itu wajar karena pada zaman
itu belum ada teknologi yang namanya telekonferensi. Telepon saja belum
ditemukan pada saat itu. Masalah yang dapat kita temukan pada kitab-
kitab fikih klasik hanyalah masalah akad nikah dengan surat dan akad
nikah dengan tawkil atau perwalian. Yang menjadi pertanyaan apakah sah
jika prosesi akad nikah dilakukan dengan media telekonferensi?
Inti dari masalah ini sebenarnya ialah salah satu syarat sah akad
nikah ialah ittihad Al-Majlis atau bersatunya majelis. Baik akad nikah
yang dilakukan dengan surat, perwalaian, atau telekonferensi terdapat illat
yang sama yaitu akad nikah dengan cara seperti ini tidak dilakukan di
dalam satu majelis yang mana beberapa ulama‟ menganggapnya tidak sah.
Pada skripsi ini yang dibahas adalah fatwa yang dikeluarkan oleh
lembaga fatwa dari dua organisasi islam di Indonesia yaitu Lembaga
Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis Tarjih Muhammadiyah. Masing-masing
lembaga ini mengeluarakan fatwa yang berbeda tentang status hukum
penggunaan media telekonferensi dalam prosesi akad nikah, bahkan
keduanya bertolak belakang. Ini yang membuat penulis tertarik membahas
keduanya.
70
Pertama Lembaga Bahtsul Masa‟il NU yang memutuskan bahwa
penggunnan media telekonferensi dalam akad nikah hukumnya tidak sah.
Tentu saja keputusan ini diambil berdasarkan argumen yang kuat tentang
tidak sahnya akad nikah yang dilakukan tidak dalam satu majelis. Karena
lembaga ini menganggap pengertian dari satu majelis itu menyangkut
kesatuan tempat secara fisik sehingga dalam akad nikah seluruh rukun dan
syarat akad nikah harus berada di tempat yang sama.
Berbeda dari Lembaga Bahtsul Masa‟il NU, Majelis Tarjih
Muhammadiyah memutuskan penggunaan media telekonferensi dalam
akad nikah hukumnya sah, yang pastinya diikuti dengan dasar argumen
yang kuat pula. Dari keputusan ini dapat dilihat bahwa menurut lembaga
ini makna kesatuan majelis bukanlah merupakan kesatuan tempat,
melainkan kesinambungan waktu.
Dari dua pendapat di atas, bisa dikatakan kedua lembaga fatwa ini
merujuk kepada dua imam mazhab yang berbeda. Lembaga Bahtsul
Masa‟il merujuk kepada pendapat Imam Syafi‟i, sedangkan Majelis Tarjih
Muhammadiyah merujuk kepada pendapat Imam Abu Hanifah yang
memang berbeda pendapat tentang makna dari ittihad Al-Majlis ini.
Dari keputusan dua lembaga fatwa ini, penulis cenderung lebih
setuju kepada fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah
ysng merujuk kepada pendapat Imam Abu Hanifah yang mengartikan
bersatunya majelis dengan berkesinambungannya waktu. Dengan begitu
71
penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah dapat dikatakan sah
karena telah memenuhi seluruh rukun dan syarat sah nikah.
Apalagi penggunaan media telekonferensi ini dapat meminimalisir
unsur keraguan dari kedua belah pihak yang menikah, karena tidak hanya
dapat berkomunikasi secara audio, namun juga dapat berkomunikasi
secara visual. Sehingga keduanya dapat melihat satu sama lain pada
monitor atau layar besar secara real time, dan dapat mendengar apa yang
dibicarakan dari pengeras suara. Kedua pihak yang berakad juga tentunya
harus sudah mengenal dengan baik satu sama lain, sehingga dapat dengan
yakin bahwa wajah yang ada pada layar dan suara yang terdengar dari
pengeras suara merupakan wajah dan suara dari pihak yang satu dalam hal
ini mempelai yang tidak berada di majelis tersebut.
Landasan hukum yang mengatakan sahnya penggunaan media
telekonferensi dalam akad nikah juga bisa dipertanggungjawabkan, karena
argumen ini berdasarkan kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah yang ada.
Sehingga pendapat ini juga memiliki argumen yang kuat dalam
mengambil keputusan hukum.
Dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan :
84الحكم يدور مع العلة وجودا و عدما
Hukum itu berlaku berdasarkan ada tidaknya illat (alasan/sebab-sebab
tertentu)
84
Muchtar Yahya dan Fathur Rachman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam,
Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1993. hal.550
72
Pada kasus kali ini, illat-nya adalah tidak bersatunya majelis dalam
artian bersatunya tempat secara fisik, namun bagi Majelis Tarjih
Muhammadiyah akad nikah seperti ini dapat dikategorikan sebagai akad
yang berlangsung satu majelis karena dilaksanakan dalam waktu yang
berkesinambungan. Sehingga sah saja jika penggunaan media
telekonferensi dalam akad nikah ini dilakukan.
Tentu saja pada masa hidup imam mazhab belum terpikirkan
masalah kontemporer seperti ini dikarenakan belum ditemukannya
teknologi yang mutakhir seperti saat ini. Yang jika konsep fikih terdahulu
diaplikasikan pada masalah kontemporer dewasa ini, dan konsep fikih
terdahulu terkesan sempit jika dihadapkan dengan masalah ini. Dalam hal
ini ditemukan penyataan Imam Syafi‟i yang dituangkan oleh Imam Jalal
Ad-Din As-Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah wa An-Nazho’ir :
غ يه اذ الا ظاق ا85
Sesuatu (masalah) itu apabila sempit, maka perluaslah (pembahasannya)
Imam Syafi‟i sendiri memerintahkan kepada kita agar memperluas
pembahasan masalah yang kita dapat. Karena saat ini sudah tidak mungkin
masyarakat tidak bersentuhan dengan teknologi dan hal ini menuntut agar
fikih juga dapat beradaptasi dengan kondisi yang ada saat ini.
Dikatakan dalam kitab Syarh Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah karya
Syeikh Ahmad bin Musthafa Al-Zarqa sebagai berikut :
85
Jalal Al-Din Abu Bakr al-Suyuti, Al-Asybah wa al-Nazha'ir, Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyyah, 2005, Tahqiq: Muhammad Hasan Ismail al-Syafi'I, Jilid 1, hal. 165
73
ويا ؼكاو ترغه ا ل كه ذغه ا86
Tidak dapat dipungkiri perubahan hukum terjadi disebabkan oleh
perubahan zaman.
Dari kaidah ini dapat disimpulkan bahwa perubahan zaman bisa
mempengaruhi perubahan hukum. Zaman dahulu tidak sahnya akad nikah
via surat atau sejenisnya yang dikarenakan tidak bersatunya majelis secara
fisik atau kesatuan tempat menurut mazhab Syafi‟i disebabkan oleh
adanya kemungkinan untuk salah satu pihak berbohong dalam akad
tersebut. Wajar saja ditakutkan terjadi kebohongan karena kedua belah
pihak yang berakad tidak melihat satu sama lain, dan akad nikah yang
dilakukan tersebut bersifat kinayah atau samar, sedangkan menurut
Syafi‟iyyah akad itu harus bersifat Sharih atau jelas.
Dalam kasus penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah
ini, memang syarat ittihad Al-Majlis yang didefinisikan oleh Ulama‟
Syafi‟iyyah tidak terpenuhi yaitu kesatuan tempat secara fisik, namun
kemungkinan untuk berbohong dalam akad nikah dengan cara ini sangat
kecil sekali, karena kedua belah pihak dapat melihat secara jelas pihak
lainnya dan dapat mendengar secara jelas juga apa yang dikatakan oleh
pihak lainnya secara real time atau saat itu juga. Sehingga jika ada
kebohongan tentu akan langsung disadari oleh pihak lainnya.
86
Ahmad ibn Mushtafa Al-Zarqa', Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-
Qalam, 1989, hal. 227
74
Selain kaidah-kaidah di atas, ada juga ayat Al-Qur‟an dan Hadits
yang menjadi dasar dari analisis penulis, diantaranya Allah SWT
berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi :
: (۵۸۱ / ۲)انثمهج
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu (Q.S Al-Baqarah : 185)
Dalam ayat lain Alah SWT berfirman :
(( : ۲۲انؽط )٨۸ )
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Q.S Al-Hajj : 78)
Selain firman Allah SWT, Sabda Nabi Muhammad SAW juga ada
yang menguatkan pendapat ini. Diantaranya Hadits Nabi yang berbunyi :
هى : صه هللا ػه لال : لال انث هللا ػ يانك نظ ت ا ػ
ه ل ذؼ ها ل ذفها ا ك ا 87
dari Anas bin Malik ra berkata : bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda :
mudahkanlah dan jangan kalian persulit, berilah mereka ketenangan dan
jangan buat mereka lari. (H.R Al-Bukhari)
dalam Hadits lainnya Nabi SAW bersabda :
ل هللا صه هللا ه ن ـ ا لاند : يا ا ا هللا ػ ػائشح نظ ػ
ا كا اش كا ا فا اش ا يا نى ك ه م ا ـ ال ا ايه هى ت ػه
اتؼك اناي ي88
87
Abu 'Abdullah Isma'il Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Beirut: Dar al-Katsir, 1987,
Jilid. 5, hal. 2269
75
Dari 'Aisyah .ra mengatakan, "Tidaklah Rasulullah saw. diberi kesempatan
memilih di antara dua perkara melainkan beliau akan mengambil yang
paling ringan antara keduanya selama itu tidak terjatuh kepada suatu dosa.
Akan tetapi jika hal itu berupa dosa, maka beliaulah orang paling
menjauhinya". (HR. Al-Bukhari). Dalam kitab Al-Asybah wa An-Nazha’ir juga terdapat kaidah yang
berbunyi :
ه شمح ذعهة انر ان89
Kesulitan itu menuntut adanya kemudahan.
Dari ayat, Hadits, dan kaidah diatas, dapat kita pahami bahwa
islam menghendaki adanya kemudahan untuk umatnya. Hal ini berkaitan
dengan masalah penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah,
dengan sahnya hukum penggunaan media telekonferensi dalam akad
nikah, kita telah menghadirkan kemaslahatan umat. Dengan
menghilangkan kesulitan dan mewujudkan kemudahan untuk umat.
Karena pada dasarnya penggunaan media telekonferensi dalam
akad nikah telah memenuhi seluruh rukun dan syarat sah pernikahan,
konsep ittihad Al-Majlis yang berarti bekesinambungan waktu telah
terpenuhi. Selain itu, teknologi telekonferensi ini juga dapat
menghilangkan keraguan akan adanya kebohongan. Sebab selain dapat
mendengar suara pihak lain, kedua belah pihak juga dapat saling melihat
pada monitor atau layar yang tersedia saat dilaksakannya akad nikah
88
Abu 'Abdullah Isma'il Al-Bukhari, hal. 2269 89
Jalal Al-Din Abu Bakr Al-Suyuti, hal. 157
76
dengan meggunakan media telekonferensi yang sifatnya real time atau
pada waktu yang bersamaan.
Kendati demikian, akad nikah merupakan prosesi sakral yang akan
lebih baik jika dilakukan dalam satu majelis atau pada tempat yang sama.
Momen yang diinginkan untuk dilakukan hanya sekali seumur hidup tentu
akan lebih baik jika seluruh pihak yang berakad baik mempelai maupun
keluarga besar mempelai dapat berada dalam majelis yang sama.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penulis tentang penggunaan media
telekonferensi dalam akad nikah studi komparatif Lembaga Bahtsul Masa‟il NU
dan Majelis Tarjih Muhammadiyah, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Lembaga Bahtsul Masa‟il berpendapat bahwa penggunaan media
telekonferensi dalam akad nikah hukumnya tidak sah, karena akad
nikah dengan cara seperti itu dilakukan tidak dalam satu majelis,
sehingga syarat ittihad al-Majlis tidak terpenuhi. Sedangkan Majelis
Tarjih Muhammadiyah berpendapat bahwa penggunaan media
telekonferensi dalam akad nikah hukumnya sah, karena konsep ittihad
al-Majlis dianggap terpenuhi, meskipun berbeda tempat namun tetap
dalam waktu yang berkesinambungan.
2. Persamaan pendapat antara Lembaga Bahtsul Masa‟il NU dan Majelis
Tarjih Muhammadiyah tentang penggunaan media telekonferensi
dalam akad nikah adalah kedua-duanya memiliki sumber hukum yang
sama yaitu Al-Quran dan Al-Hadits, fatwa yang dikeluarkan dua
lembaga ini meruakan jawaban dari pertanyaan masyarakat, keduanya
merujuk kepada empat mazhab besar dalam fikih, dan keduanya
menyepakati syarat ittihad Al-Majlis dalam akad nikah. Adapun
perbedaannya, Lembaga Bahtsul Masa‟il NU merujuk kepada mazhab
Syafi‟i, menggunakan metode Qiyas, menerima Ijma’ ulama‟
77
78
terdahulu, dan fatwa yang dikeluarkan tidak bersifat kolektif.
Sedangkan Majelis Tarjih Muhammadiyah merujuk kepada mazhab
Hanafi, tidak sepakat dengan penggunaan metode qiyas, tidak
menerima ijma’ ulama‟ terdahulu, dan fatwa bersifat kolektif.
B. Saran-saran
Sebagai salah satu masalah kontemporer yang timbul akibat
perkembangan zaman, hendaknya penggunaan media telekonferensi dalam akad
nikah tetap mengikuti kaidah-kaidah yang sudah ada tentang pelaksanaan akad
nikah pada umumnya dan perlu pemahaman mendalam agar pelaksaan akad nikah
tersebut dilaksanakan tanpa menyalahi syari‟at yang sudah ditetapkan Allah SWT
Penggunaan media telekonferensi dalam akad nikah merupakan metode
baru yang muncul setelah ditemukannya teknologi telekonferensi ini. Tentunya
belum ada hukum yang jelas mengenai pelaksanaannya baik hukum islam maupun
hukum positif indonesia. Meskipun sudah memiliki undang-undang perkawinan,
tapi undang-undang tersebut sudah saatnya direvisi. Tidak menutup kemungkinan
di masa depan akan banyak terjadi proses akad nikah yang seperti ini.
Penelitian ini hanyalah kelanjutan dari penelitian-penelitian terdahulu
yang telah dilakukan oleh para pencinta ilmu di bidang kajian perbandingan
mazhab untuk diaplikasikan dalam era kekinian. Maka dari itu, penelitian ini
tidaklah lepas dari tergelincirnya tulisan yang kadang berakibat fatal, ditambah
dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih dan kemungkinan
ditemukannya data-data baru sehingga diperlukan penelitian lanjutan.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Jalal al-Din al-Suyuti, Al-Asybah wa al-Nazha'ir, Beirut: Dar Al-
Kutub Al-Ilmiyyah, 2005, Tahqiq: Muhammad Hasan Ismail al-Syafi'I,
Jilid 1, hal. 165
Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan
Muktamar, munas, Konbes Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya,
Khalista
Amin, Muhammad Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, (Beirut: Dar al-
Fikr), Jilid 3, h. 14
Amiruddin, dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, 2004
(Jakarta, PT Raja Grafindo Persada)
Baharu, Vivin sururi, Metode Istinbat Hukum di Lembaga Bahtsul Masail NU,
Jurnal Bimas Islam, vol. 6. Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Jakarta, 2013
Bajuri, Ibrahim, Hasyiyah Al-Bajuri ala Syarhi Ibnu Qasim Al-Gazi, cet kedua,
Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999
Bakar, Erwadi, Pemanfaatan Ineternet sebagai Media Telekonferensi, Jurnal R &
B, 4 (1), pp. 39-43, ISSN 1412-5080 diunduh pada tanggal 7 April 2017
pukul 01.54 AM
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammdiyah, Jakarta,
Logos, 1995
Djuwaini, H.M., Keterjihan Jakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majlis PPK
Ghazali, Abdurrahman A-, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003
Ibnu, Zainuddin Nujaim al-Hanafi, Al-Bahr al-Raiq: Syarah Kanz al-Daqa’iq,
(Beirut : Dar al-Fikr, 1993), Jilid 5, Cet. 3, h. 294
Isma'il, Abu 'Abdullah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Katsir,
1987, Jilid. 5, hal. 2269
Jawad Muhammad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab,1996 (Jakarta, PT lentera
Basritama)
Jaziri Abdurrahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al-
Fikr), Jilid 4, h. 24
79
80
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, cet. Ke-3, edisi
kedua
Kata Pengantar DR. KH. MA. Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha’ Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, munas, Konbes
Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya, Khalista, 2011
Kata Pengantar DR. KH. MA. Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha’ Solusi
Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, munas, Konbes
Nahdlatu Ulama’ (1926 – 2010), Surabaya, Khalista, 2011
Kata Pengantar Wakil Rois Aam PBNU, Kacung Marijan, Quo Vadis NU setelah
kembali ke Khittah 1926, Jakarta, Erlangga, 1992
Kompilasi Hukum Islam
Ma’luf, Louis, Al-Munjid fi Al-Lughat wa Al-‘Alam, Beirut, Dar Al-Masyriq, 1986
Mirabito, Michael, Barbara L Morgenstern, The New Communication Technology,
USA: Elsevier, 2004
Muhammad, Fahmi Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, 2010
(Jakarta, Cipta Karya Mandiri)
Muhammad, Tengku Hasbi As-Shiddiqi, Pengantar Fiqh Muamalah, Semarang,
Pustaka Rizki Putra, 2009,
Muhtadi, Ahmad Anshor, Bahth al-masail nahdlatul Ulama (NU) Melacak
Dinamika Pemikiran Mazhab Kaum Tradisionalis, Cet. 1. Yogyakarta:
Teras, 2012
Mushtafa, Ahmad ibn al-Zarqa', Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar
al-Qalam, 1989, hal. 227
Ni’am, Asrorun Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga,
Jakarta, eLSAS, 2008
Qudamah, Ibnu Al-Mughniy, Al-Mughniy, Riyadh, Dar Al-‘Alim Al-Kutub, 1417
H/ 1997 M, Juz 9, hal, 340-341
Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunnah, Beirut, Dar Al-Fikr, 1983, jilid ke-3
Sekretariat Jendral PBNU, Hasil-Hasil Muktamar ke-32 Nahdlatul Ulama,
Jakarta, 2011
81
Solusi Hukum Islam, Keputusan Mukatamar , Munas, dan Konbes Nahdlatul
Ulama (1926-2004 M), Surabaya: Diantama, 2006
Sudirman, Ahmad Abbas, Penganntar Pernikahan Analisa Perbandingan
Mazhab, 2005 (Jakarta, PT PrIma Heza Lestari)
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. 2007 (Jakarta,
Kencana)
Syata, Muhammad Ad-Dimyati, I’anah Atthalibin, juz 3, Dar Al-Ihya’ Al-Kutub
Al-Arabiyah
Usman, Uke Kurniawan, Pengantar Ilmu Telekomunikasi, Bandung: Informatika,
2008
Warson, Ahmad Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta, Pustaka
Progressif, hal. 1461
Yahya, Imam, Metode Ijtihad NU, Semarang: Walisongo Press, 2009
Yahya, Muchtar,Fathur Rachman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fikih Islam,
Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1993. hal.550
Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung,
1990
Zahro, Ahmad, Tradisi intelektual NU: Lajnah Bahth al-Masail 1926-1999,
Yogyakarta: LKiS, 2004
Zakaria, Abi al-Nawawi al-Syafi’i, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muttaqin,
Beirut: Dar al-Fikr, 1996, Juz 7, h. 395
Zuhaili, Wahbah, Fiqh Al-Islam wa Adillatuh, Dimsyiq, Dar Al-Fikr, 1985, cet
ke-2,
Rujukan dari Website:
Akad Nikah via Video Call, http://www.fatwatarjih.com/2011/06/akad-nikah-via-
vidieo-call.html diakases pada tanggal 23 April 2017 pukul 03.07 AM
Sejarah Mjalis Tarjih Muhammdiyah, http://tarjih.muhammadiyah.or.id/content-
3-sdet-sejarah.html, diakses pada tanggal 23 April 2017 pukul 02.40 AM