Penggunaan Jamu di Wilayah Jatinangor (Ciseke, Pangkalan Damri dan GKPN)

26
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Indonesia yang merupakan negara terbuka akan modernisasi mulai mengenal sistem pengobatan barat. Dari mulai, fasilitas kesehatan, pelayanan kesehatan bahkan sampai pada obat-obatan kimia modern yang dipakai. Namun, tak dapat dipungkiri pengetahuan lokal dalam setiap kebudayaan Indonesia masih sering dipakai saat melakukan pengobatan terhadap penyakit tertentu. Masih banyak masyarakat Indonesia menggunakan sistem pengobatan tradisional, seperti jamu. Jamu sendiri merupakan ramuan tradisional Indonesia yang telah di buat sejak dahulu oleh leluhur kita yang berasal dari racikan tanaman-tanaman dan bahan-bahan lainnya yang dipercaya memilki suatu khasiat tertentu yang tidak perlu dibuktikan secara ilmiah atau klinis, cukup dibuktikan secara empiris saja (Djoyosugito, 1986). Hal ini masuk akal karena memang khasiat jamu yang sudah dipercaya turun temurun itu, sudah bisa dibuktikan secara nyata. Tidak ada yang tahu mengenai kapan dan dimana jamu pertama kali mulai di buat. Namun, yang jelas hingga saat ini pengguna jamu masih ada. World Resource Institute menyebutkan sekitar 80% penduduk negara berkembang mengandalkan obat-obatan tradisional untuk pelayanan kesehatan primer. Begitu pula dalam survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa sekitar

description

Makalah ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa antropologi Universitas Padjadjaran untuk memenuhi tugas UAS. Penelitian dilakukan pada tahun 2014 tepatnya semester 4 pada mata kuliah Antropologi Kesehatan. Semoga bermanfaat.

Transcript of Penggunaan Jamu di Wilayah Jatinangor (Ciseke, Pangkalan Damri dan GKPN)

BAB IPENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANGIndonesia yang merupakan negara terbuka akan modernisasi mulai mengenal sistem pengobatan barat. Dari mulai, fasilitas kesehatan, pelayanan kesehatan bahkan sampai pada obat-obatan kimia modern yang dipakai. Namun, tak dapat dipungkiri pengetahuan lokal dalam setiap kebudayaan Indonesia masih sering dipakai saat melakukan pengobatan terhadap penyakit tertentu. Masih banyak masyarakat Indonesia menggunakan sistem pengobatan tradisional, seperti jamu. Jamu sendiri merupakan ramuan tradisional Indonesia yang telah di buat sejak dahulu oleh leluhur kita yang berasal dari racikan tanaman-tanaman dan bahan-bahan lainnya yang dipercaya memilki suatu khasiat tertentu yang tidak perlu dibuktikan secara ilmiah atau klinis, cukup dibuktikan secara empiris saja (Djoyosugito, 1986). Hal ini masuk akal karena memang khasiat jamu yang sudah dipercaya turun temurun itu, sudah bisa dibuktikan secara nyata. Tidak ada yang tahu mengenai kapan dan dimana jamu pertama kali mulai di buat. Namun, yang jelas hingga saat ini pengguna jamu masih ada. World Resource Institute menyebutkan sekitar 80% penduduk negara berkembang mengandalkan obat-obatan tradisional untuk pelayanan kesehatan primer. Begitu pula dalam survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa sekitar 49% penduduk Indonesia, terutama di Jawa, Lampung dan Kalimantan mengandalkan perawatan kesehatan dan kebugarannya pada jamu. Teori kebudayaan yang mengatakan bahwa manusia selalu mewariskan kebudayaan memang sangat relevan dengan kenyataan. Jamu telah diwariskan oleh nenek moyang kita secara turun temurun dan terus menerus dengan pengetahuan lokal mereka mengenai sistem pengobatan tradisional ini dan menjadikannya sebagai suatu solusi yang sangat melekat pada masyarakat penganut kebudayaan tersebut, sehingga sulit untuk menggantikannya dengan sistem yang lain, termasuk solusi masyarakat Indonesia yang menggunakan jamu.Obat tradisional berupa jamu banyak digunakan oleh masyarakat terutama pedesaan karena efek samping yang dirasakan relatif lebih kecil daripada mengonsumsi pengobatan yang mengandung zat-zat kimia. Jamu jamu tersebut antara lain adalah beras kencur, sirih, kunir, dan jenis jenis tanaman yang telah dipercaya mempunyai khasiat untuk kesehatan dan kebugaran tubuh. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui alasan selain yang diuraikan bahwa obat tradisional (dalam hal ini adalah jamu) masih digunakan oleh masyarakat, konsumen yang mengonsumsi jamu, dan konteks kebudayaan yang berkaitan dengan penggunaan jamu di suatu masyarakat.

1.2 RUMUSAN MASALAH Mengapa masyarakat percaya untuk menggunakan Jamu sebagai pengobatan? Siapa sajakah pengguna jamu di Wiayah Jatinangor? Bagaimana peranan jamu dalam konteks kebudayaan masyarakat Jatinangor?1.3 MAKSUD DAN TUJUAN Mengetahui alasan masyarakat percaya untuk menggunakan Jamu sebagai pengobatan Mengetahui pengguna jamu di wilayah Jatinangor Mengetahui peranan jamu dalam konteks kebudayaan masyarakat Jatinangor

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian JamuJamu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan obat yang dibuat dari akar akaran, daun daunan dsb. Sedangkan obat tradisional menurut KEMENKES No.0584/MENKES/SK/VI/1995 adalah merupakan bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secara turun-temurun, dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM RI No. 00.05.4.2411 Tahun 2004, berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu :1. Jamu[footnoteRef:2] yang merupakan obat tradisional warisan nenek moyang. [2: Pasal 2 ayat 1 : Jamu harus memenuhi kriteria ; (a) Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, (b) Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, (c) Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu umum dan medium.]

2. Obat herbal terstandar, yang dikembangkan berdasarkan bukti bukti ilmiah dan uji pra klinis serta standarisasi bahan baku.[footnoteRef:3] [3: Cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB) dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 006 Tahun 2012, pasal 37 ayat (1) dan diatur oleh regulasi yang diterapkan oleh Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI (BPOM-RI) dan penerapan SNI yang masih seputar jahe dan kencur sebagai bahan baku obat tradisional (SNI-01-7087-2005 dan SNI-01-7086-2005)]

3. Fitokarma, yang dikembangkan berdasarkan uji klinis, standartisasi bahan baku dan sudah diresepkan dokter.

2.2 Wilayah PenelitianJamu adalah hal yang sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, terutama di daerah Jatinangor. Kami sendiri mengambil tiga daerah yang merupakan daerah penduduk di Jatinangor. Pertama, kawasan Ciseke besar yang merupakan pusat daerah di Jatinangor karena banyak ditinggal oleh warga asli maupun kos-kosan mahasiswa yang kuliah di empat universitas yang ada di Jatinangor, yaitu IPDN, Universitas Padjadjaran, IKOPIN, dan ITB. Kedua, kawasan pangkalan DAMRI ramai oleh tukang ojek dan terletak di persimpangan yang berdekatan dengan mall. Ketiga, kawasan GKPN yang berada di daerah Cibeusi yang sama-sama ramai dengan daerah Ciseke namun lebih banyak warga asli.2.3 Landasan TeoriKonsep dasar yang kami gunakan adalah konsep pewarisan budaya. Menurut konsep ini, dikatakan bahwa dengan adanya pewarisan kebudayaan masyarakat mengenai pengetahuan tentang jamu yang diturunkan dari generasi ke generasi lainnya dalam waktu yang lama mengakibatkan jamu itu sendiri tidak hilang dan masih ada hingga saat ini. Hal ini berkaitan dengan adanya enkulturasi dalam lingkungan tempat hidup suatu individu yang dapat mempengaruhi kebiasaan dan kehidupan sehari hari suatu individu. Seperti yang pernah dibahas oleh C.M. Kluchohn ahli antropologi bersama O.H. Mowrer, ahli psikologi bahwa masalah pengaruh kebudayaan terhadap watak manusia yang sebenarnya merupakan suatu rangkaian dari proses fungsional yang berpusat pada alam rohani yang sangat dipengaruhi berbagai hal dalam lingkungan sesorang yakni alam dan gejala fisik, sesama manusia kelompok manusia sekelilingnya, benda kebudayaan dan juga alam rohani subsadar (Culture and Personality, A Conceptual Scheme, 1941) Dengan adanya pewarisan pengetahuan mengenai jamu ini dapat melestarikan setidaknya pengetahuan lokal masyarakat mengenai tanaman-tanaman dan hewan yang dapat dijadikan bahan-bahan untuk pengobatan berbnagai macam penyakit Selain itu kami juga menggunakan teori relativisme dari Franz Boas. Pengaruh beliau berkembang dalam banyak bidang penyelidikan, terutama pada teori relativisme budaya (cultural relativism), yaitu pendapat bahwa sesuatu budaya itu mestilah difahami mengikut logik budaya masyarakat berkenaan. Mengikut pandangan tersebut agak mengelirukan dari segi analisis jika setiap budaya itu disusun mengikut tinggi rendah di atas anak tangga evolusi. Relativisme budaya masih lagi berguna sebagai alat dalam metodologi penyelidikan hingga hari ini. Relativisme kebudayaan ini dapat menjelaskan mengenai perbedaan kebudayaan antara masyarakat indonesia dengan system kesehatan tradisionalnya dengan system kesehatan modern yang berbeda dari kebudayaan yang ada karena berasal dari kebudayaan lain yang jauh berbeda. Menurut teori ini dengan adanya relativisme budaya, mungkin obat-obatan modern yang berasal dari Barat, di Negara-negara yang memang berkebudayaan barat dapat diterima dengan baik, namun tidak bagi masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda seperti Indonesia, lebih khusus dalam kajian penelitian ini Jatinangor. Di Negara-negara barat penggunaan bahan-bahan kimia buatan untuk membuat obat dapat diterima dengan baik karena memang budayanya menyatakan demikian. Tapi bagi masyarakat Jatinangor, terutama masyarakat aslinya yang menggunakan pola pikir Back to nature tidak bisa sepenuhnya menerima budaya pengobatan baru tersebut.Konsep etnomedisin yang diterangkan oleh Foster and Anderson dalam bukunya yang berjudul Antropologi Kesehatan (1986) juga menjadi salah satu acuan kami dalam melakukan kajian terhadap jamu ini. Etnomedisin itu sendiri merupakan suatu kepercayaan dan praktek-praktek yang berkenaan dengan penyakit yang merupakan hasil dari perkembangan kebudayaan asli dan yang eksplisit yang tidak berasal dari kerangka-kerangka konseptual kedokteran modern (Hughes 1986:99, dalam Foster and Anderson)

BAB IIIISI DAN PEMBAHASAN

Jamu merupakan racikan dari tanaman-tanaman dan juga hewan yang biasa digunakan untuk pengobatan dan juga menjaga dan merawat kondisi tubuh. Jamu ini termasuk kedalam konsep etnomedisin dalam kajian ilmu antropologi kesehatan. Karena jamu merupakan suatu bentuk penyajian dari rangkaian pengetahuan dan kepercayaan yang dibangun karena adanya kerangka kebudayaan asli tanpa terpengaruh oleh sistem kesehatan modern. Jamu bukanlah hal yang aneh lagi bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam kajian ini adalah daerah Jatinangor. Meskipun mungkin tidak semua orang pernah memakai jamu, tapi sebagia besar pasti pernah mendengar tentang jamu itu sendiri.Penelitian mengenai jamu ini kami lakukan dengan memfokuskan penelitian pada kajian penggunaan jamu di masyarakat, baik itu menyangkut alasan-alasan, khasiat kegunaan, dan para pengguna jamu itu sendiri. Penelitian ini dilakukan dengan observasi dan wawancara bersama tiga penjual jamu di tiga daerah yang berbeda dan beberapa masyarakat sekitar di daerah penjualan jamu-jamu tersebut. ketiga daerah tersebut adalah kawasan Ciseke Besar, GKPN Jaya laras, dan dikawasan sekitar pangkalan Damri, Jatinangor. Pemilihan lokasi tersebut bukan tanpa alasan, melainkan karena dari apa yang kami lihat dan ketahui, di ketiga kawsan tersebut memang terdapat para penjual jamu. Dengan kata lain pasti juga ada masyarakat pengguna jamunya sendiri. Dari ketiga kawasan tersebut kami menemukan beberapa fakta mengenai penggunaan jamu di masyarakat. a. Penggunaan Jamu di kawasan Pangkalan DAMRI (PANGDAM)Kawasan pertama yang kami teliti untuk mengetahui tentang penggunaan jamu ini adalah pangdam. Disana kami melakukan penelitian pada sebuah kios khusus jamu. Namun jamu-jamu yang dijual di kios ini adalah jenis jamu yang sudah mengalami peracikan di pabrik, sehingga sudah dalam bentuk di botolkan dan ada yang dalam bentuk sachet dengan berbagai merek. Merek yang paling bnayak digunakan adalah Sidomuncul dan Ayam Jago. Cara peracikannya pun berbeda, yaitu diseduh. Beda dengan jamu-jamu tradisional pada umumnya yang masih diracik secara tradisional dan sudah berupa cairan jamu. Jamu-jamu yang sudah di kemas secara modern ini di dapatkan dari toko Agen Grosiran di daerah Ujung Berung dan di Cileunyi. Menurut pemilik kios yang kami wawancarai, para pembeli jamu di kiosnya kebanyakan merupakan mahasiswa dan masyarakat yang tinggal disekitar daerah PANGDAM tersebut atau orang-orang dari luar daerah tersebut bahkan orang yang hanya kebetulan lewat. Jamu yang dibeli bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan usia pembelinya. kebanyakan jamu yang dibeli adalah jamu pegal linu, jamu kuat, jamu rematik, temulawak, beras kencur, dan sari rapet yang sudah dalam bentuk sachet atau pun botol. b. Penggunaan Jamu di kawasan Ciseke Lokasi kedua yang menjadi daerah penelitian kami adalah Ciseke. Di daerah ini kami mendapatkan informasi mengenai jamu dari seorang penjual jamu gendong. Daerah distribusinya meliputi ciseke besar dan ciseke kecil. Jamu yang di jual merupakan jamu hasil racikannya sendiri yang berasal dari resep turun temurun keluarganya. Penjualan jamu dilakukan setiap hari, setiap pagi dan sore. Ketika pagi hari yang lebih banyak membeli jamunya adalah ibu-ibu sementara sore hari lebih banyak pembeli mahasiswa dan juga bapak-bapak. Biasanya jamu yang paling banyak dibeli adalah jamu kunyit asem dan daun sirih yang berguna bagi kelancaran menstruasi dan juga untuk merawat rahim,. Hal ini karena memang kebanyakan yang menjadi pembeli adalah kaum wanita, baik itu ibu-ibu atau pun mahasiswi. Sementara bapak-bapak lebih banyak membeli jamu-jamu seperti asam urat, pegel linu atau jamu kuat sesuai dengan kebuthan dan keluhan dari para pembeli itu sendiri.c. Penggunaan Jamu di kawasan GKPN Jaya larasLokasi ke tiga di kawasan GKPN. Di daerah ini kami mendapatkan informasi dari pedagang jamu gendong keliling yang berkeliling di daerah GKPN setiap pukul 06.00 sampai pukul 10.00. Tukang jamu tersebut mengatakan bahwa sudah lama beliau menjajakan jamu dan makanan lain untuk pelanggannya, seperti bubur kacang hijau dan bubur sumsum. Pelanggannya sendiri banyak dari ibu rumah tangga dan mahasiswa yang tinggal sementara (ngekos) di daerah GKPN. Jamu yang dibeli oleh ibu-ibu atau mahasisiwi berhubugan dengan diantara lain adalah beras kencur, sirih, kunyit, gula asam. Alasan mengonsumsi jamu tersebut beragam; beras kencur bagi ibu rumah tangga untuk kesehatan dan kebugaran sedangkan bagi mahasiswa untuk menambah berat badan, sirih dan kunyit dikonsumsi untuk memberikan kecantikan dengan menghilangkan bau badan dan gula asam untuk kecantikan kulit. Informasi dari penjual jamu tersebut masyarakat di sekitar GKPN memang sudah mengetahui dan akrab dengan penjual jamu tersebut. Informasi yang lain juga kami dapatkan dari beberapa warga yang membeli jamu tersebut. Rata-rata orang-orang di GKPN membeli jamu tersebut karena mengikuti kebiasaan orang tuanya. Penjual jamu sendiri mendapatkan resep racikan dan tempat berjualan juga dari pengetahuan orang tuanya. Sehingga dapat dikatakan penggunaan jamu selain karena untuk kesehatan juga karena kebiasaan yang sudah diturunkan oleh orang tua.Analisis Perbedaan di ketiga lokasiJika kita teliti lebih lanjut data dari ketiga lokasi penelitian tersebut ada perbedaan diantara ketiganya. Yaitu dari bentuk jamu yang diperdagangkan sendiri. Di daerah Ciseke dan GKPN jamu yang di jual merupakan jamu-jamu tradisional yang diracik secara tradisional dengan kemasan yang juga tradisional. Tapi jika kita melihat ke penjual jamu di daerah PANGDAM, kita mendapati bahwa jamu-jamu yang dijual meskipun tradisional tapi sudah dikemas secara modern dengan penyajian yang dibuat modern pula yang telah melalui proses fabrikasi.. Kita bisa mengambil kesimpulan dari data-data yang ada tersebut bahwa ternyata terjadi perubahan wujud jamu dari mulai yang tradisional menuju pada modern yang tentunya juga dipengaruhi oleh kebudayaan yang juga berkembang di masyarakat dimana ia menjadi salah satu unsur kebudayaannya.Jika dilihat dalam konsep kebudayaan, adanya perubahan penyajian dari jamu-jamu tradisional biasanya kedalam jamu tradisional yang sudah modern ini menjadi cerminan kebudayaan masyarakat dimana ia berada. Jamu menjadi media penyampaian budaya. Misalnya saja, dengan jamu-jamu yang dikemas modern dan dengan penyajian yang lebih di mudahkan memperlihatkan budaya praktis yang kini tengah menjadi kebudayaan yang menjamur di hampir semua Negara termasuk Indonesia. Kebudayaan praktis yang menginginkan segala sesuatu didapat secara praktis dan gampang dengan konsep modern yang mengikutinya juga berpengaruh nyata terhadap produksi jamu tradisional itu sendiri. Karena memang jika dilihat, jamu-jamu tradisional yang alami di Indonesia memang memerlukan waktu yang lama, mulai dari proses peracikan, pembuatan bahkan saat penyajiaannya pun demikian. dengan kata lain, dengan melihat seperti apa jamu yang disediakan, kita juga dapat melihat bagaimana dan seperti apa budaya masyarakat pengguna jamu itu. d. Para pengguna jamu dan khasiatnyaBerdasarkan hasil penelitian kami, para pengguna jamu merupakan hampir semua masyarakat, tak peduli itu ibu-ibu, bapak-bapak, pemuda, anak-anak, nenek-nenek, kakek-kakek yang terdiri dari berbagai tingkatan usia dan status sosial. Jenis jamu yang digunakan atau dikonsumsi biasanya tergantung dari kebutuhan masing-masing yang juga terpengaruh karena usia para penggunanya. Misalnya, anak-anak yang mengkonsumsi jamu, biasanya meminum temulawak yang berkhasiat untuk menambah nafsu makan bagi anak-anak yang susah makan. Para orangtua biasanya percaya dengan racikan temulawak karena memang sudah terbukti secara klinis maupun empiris untuk menambah nafsu makan. Selain untuk penambah nafsu makan, temulawak juga berkhasiat untuk penyembuh penyakit liver, menjaga kebugaran dan untuk membersihkan darah. Selain anak-anak, ada juga ibu-ibu atau pun kaum wanita pengguna jamu ini. Biasanya jamu yang dikonsumsi adalah jamu-jamu seperti kunyit asem yang dipercaya dapat mengurangi rasa sakit ketika menstruasi. Atau jamu daun sirih yang berguna bagi rahim, keputihan, bau badan, gatal-gatal, atau ada juga jamu rapet wangi untuk merawat daerah kewanitaan. Ada pun jamu-jamuan yang biasa dikonsumsi oleh kaum laki-laki misalnya berupa obat kuat untuk keperkasaan laki-laki, jamu penambah stamina yang ditambah kuning telur untuk menambah stamina tubuh sehingga kuat bekerja seharian. Ada pun jamu-jamu seperti wedang jahe untuk mengatasi masuk angin, beras kencur untuk masuk angin, obat capek, penambah daya tahan, batuk, pegal linu untuk mengatasi keluhan-keluhan pegal-pegal atau ngilu di badan, pahitan untuk mengatasi penurunan kolesterol, gula darah, cuci perut, penambah nafsu makan, dan lain-lain merupakan contoh-contoh jamu yang lazim dipakai oleh orang-orang yang sudah tua meski pun ada pula pengguna jamu-jamu tersebut yang masih terbilang muda. Meski pun dari hasil wawancara kami, biasanya anak-anak pengkonsumsi jamu ini hanya mengikuti kebiasaan orang tuanya minum jamu. bukan karena alasan tertentu. Tapi karena sejak kecil sudah diajarkan untuk minum jamu oleh orang tuanya maka hal ini menjadi sebuah kebiasaan. Baik bagi anak-anak itu sendiri, orang tua bahkan masyarakat sekitarnya. Menurut teori pewarisan kebudayaan, budaya yang tetap diwariskan kepada generasi berikutnya tidak akan pernah mati. Begitu juga dengan jamu. Jamu hingga saat ini masih mengalami pewarisan. Pewarisan pengetahuan mengenai jamu ini sendiri menjadi suatu hal yang sangat penting, karena menurut teori ini berarti jika suatu kebudayaan tak diwariskan ia akan lenyap dengan sendirinya. Dengan adanya pewarisan mengenai pengetahuan mengenai jamu ini sendiri dapat secara universal melestarikan kebudyaan jamu yang merupakan kebudayaan asli Indonesia ini.e. Alasan masyarakat masih memilih jamu sebagai obat untuk keluhan kesehatannyaPada masyarakat Indonesia yang kental akan kebudayaan lokalnya, tak heran jika kepercayaan-kepercayaan lokal masih melengkapi kehidupan sehari-harinya. Dalam urusan mencari pengobatan sendiri, meski pun telah mengalami modernisasi dan pengaruh sistem kesehatan barat masih banyak masyarakat yang percaya akan khasiat dan kegunaan dari jamu. Hal ini karena manfaat dari jamu itu sendiri bisa di buktikan secara empiris. Pengetahuan yang sudah turun temurun dalam berbagai generasi telah menumbuhkan keyakinan tentang penggunaan jamu itu sendiri. Bahan jamu yang alami bisa jadi kepercayaan akan keamanan mengonsumsi jamu dan telah teruji secara turun temurun, dan dari beberapa hasil wawancara dengan konsumen juga terbukti bahwa jamu bisa mengatasi atau setidaknya meringankan sakit yang dikeluhkan. Seperti meringankan sakit badan untuk bapak-bapak yang capai karena seharian kerja, dengan mengonsumsi jamu badannya terasa agak mendingan dan terasa lebih ringan, dll. Menurut beberapa informan yang kami wawancarai mengenai alasan mereka mengapa lebih memilih jamu adalah karena banyak faktor. Diantaranya, dilihat dari segi ekonomi, harga jamu lebih murah jika dibandingkan dengan harga obat-obatan lain. selain murah, jamu juga lebih aman karena tidak mengandung unsur-unsur kimia buatan seperti yang ada pada obat-obatan modern dan tidak mengggunakan pengawet sehingga sehat untuk dikonsumsi. Kemudian kemanjuran khasiat dari jamu yang sudah terkenal kemana-mana pun menjadi salah satu alasan mengapa mereka masih mengonsumsi jamu.Selain itu adanya kekurangpercayaan masyarakat terhadap obat modern yang mengandung banyak zat kimia, seperti Sildenafil sitrat, Fenilbutason, Asam Mefenamat, Prednison, Metampiron, dan Parasetamol (dapat menyebabkan kerusakan hati dalam jangka panjang) yang dapat menyebabkan efek samping berupa pusing, mual, muntah dan sakit perut. Konstruksi kebudayaan masing-masing masyarakat juga dapat menentukan bagaimana pandangan masyarakat tersebut terhadap sistem pengobatan. Obat-obatan modern yang asalnya dari barat merupakan jenis obat-obatan yang dipercaya secara ilmiah khasiat dan kegunaannya oleh masyarakat disana. Tapi di Indonesia, meskipun masyarakatnya dikatakan sebagai masyarakat yang sangat konsumtif terhadap obat-obatan modern, tapi disisi lain mereka juga belum bisa membebaskan diri dari keyakinan yang telah diterapkan dan di internalisasikan didalam dirinya sebagai bentuk dari kebudayaan terhadap pengobatan tradisional yang telah mereka ketahui sejak kecil. Hal ini menunjukan bahwa dengan adanya relativisme kebudayaan menyebabkan perbedaan pula dalam pandangannya mengenai sesuatu. Apakah baik atau kah tidak, apakah sesuai ataukah tidak, apakah normal ataukah tidak semuanya tergantung dari konsepsi budaya yang mengikat merekaf. Peran jamu dalam Indonesian Tradisional Wellness ( ITW )Jamu selain sebagai suatu bentuk pengobatan terhadap penyakit, seperti yang telah dijelaskan mengenai khasiatnya, jamu juga dapat digunakan sebagai sistem kebugaran yang berbasis tradisi budaya Indonesia. Jamu selain mempunyai khasiat penyembuhan juga mempunyai khasiat sebagai penjaga daya tahan tubuh dan kebugaran. ITW sendiri merupakan suatu kajian yang sangat penting karena didalamnya mencakup segala macam bentuk pengetahuan lokal mengenai kebugaran tubuh. Termasuk salah satunya adalah pengetahuan tentang jamu. Namun, karena kurangnya perhatian terhadap hal ini, menyebabkan ITW dan unsur pengetahuan jamu menjadi terancam kebaradaanya. Padahal dengan adanya ITW, bisa menjadi salah satu aspek yang menjadi identitas budaya Indonesia. Oleh karena itu, kini dengan adanya produk-produk jamu yang telah diproduksi secara massal dan dalam kemasan modern serta didistribusikan secara luas, dapat membantu peningkatan nilai ITW di ranah Nasional bahkan Internasional. Hal ini sangat membantu karena selain memperkenalkan jamu ke dunia yang lebih luas, juga melestarikan adanya pengetahuan lokal tentang jamu tersebut.g. Bagaimana peran antropolog dalam mensosialisasikan jamu sebagai warisan budayaSeperti yang telah kita ketahui bersama, jamu merupakan salah satu obat tradisional yang ada di Indonesia. Jamu juga dapat dikatakan sebagai sistem pengobatan etnomedisin yang ada di Indonesia. Kegunaan jamu sangat beraneka ragam, mulai dari untuk penyembuhan penyakit, obat untuk vitalitas sampai pada alat untuk pencegahan terjangkitnya penyakit. Jamu sangat erat kaitannya dengan masyarakat Indonesia. Pengetahuan tentang jamu didapat dari pengetahuan masyarakat Indonesia pada zaman dahulu tentang bahan-bahan yang dapat memberikan efek penyembuhan penyakit yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Secara garis besar jamu merupakan salah satu sistem etnomedisin yang ada di Indonesia. Para ahli antropologi kesehatan memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai sistem pengobatan etnomedisin dan jamu termasuk didalamnya. Ada yang pro terhadap sistem pengobatan ini tetapi ada juga yang kontra dengan sistem pengobatan ini. Para pihak yang pro dan yang kontra ini memiliki alasannya tersendiri atas pendapatnya. Menurut pihak yang pro terhadap sistem pengobatan tradisional atau etnomedisin ini berpendapat bahwa sistem pengobatan etnomedisin memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap sistem pengobatan modern yang banyak digunakan sekarang ini. Peran yang dimaksud dapat dilihat dari banyaknya ramuan obat yang digunakan sebagai bahan obat modern sekarang ini. Pihak yang kontra terhadap sistem pengobatan tradisional atau etnomedisin berpendapat bahwa pengobatan dengan cara tradisional ini banyak mengandung resiko. Selain itu apabila dilihat dari segi obat, pengobatan etnomedisin belum teruji secara ilmiah sehingga masih dipertanyakan khasiat dari obat yang digunakan. Dalam hal takaran bahan untuk obat pun tidak terlalu jelas sehingga tidak ada ukuran yang pas seberapa banyak bahan yang harus digunakan untuk membuat obat tersebut. Memang banyak terjadi pro dan kontra tentang masalah pengobatan tradisional atau etnomedisin ini tetapi yang kita harus pahami adalah setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain sehingga dalam masalah kesehatan pun akan saling berbeda dalam sistem pengobatan yang dianutnya. Masing-masing etnis memiliki karakteristiknya yang berbeda-beda. Ini seperti yang dikatakan dalam teori relativisme budaya. Berdasarkan teori relativisme budaya, pemahaman mendalam terhadap kultur masyarakat merupakan persyaratan mutlak sebelum ditarik suatu penilaian budaya. Dari teori ini dapat kita analisis bahwa setiap kebudayaan tidak dapat dikatakan salah ataupun benar sehingga dalam sistem pengobatan tradisional atau etnomedisin juga tidak dapat kita katakan salah ataupun benar karena setiap masyarakat atau etnis mempunyai karakteristiknya masing-masing. Tergantung pada pengetahuan yang masing-masing dimiliki oleh masyarakat tersebut. Ini pula yang seharusnya dilakukan oleh antropolog mengenai pandangannya terhadap jamu. Intinya, pemakaian jamu itu tidak salah ataupun tidak benar, karena bersifat relatif hal ini dapat terlihat dari pemakaian masyarakat itu sendiri yang mana ada masyarakat yang menggunakan ataupun tidak menggunakan jamu sebagai cara pengobatan.

BAB IIIPENUTUP3.1 KesimpulanMasyarakat Indonesia khususnya penduduk Jatinangor masih mengkonsumsi jamu secara rutin karena mereka percaya akan khasiat yang ada dalam jamu lebih ramah terhadap kesehatan mereka. Selain itu harga dan kualitas jamu lebih baik dibandingkan dengan obat modern yang berisikan bahan kimia yang membawa efek samping kepada tubuh mereka. Konsumen setia jamu di Jatinangor datang dari beberapa kalangan mulai dari penduduk asli Jatinangor, sampai mahasiwa dan mahasiswi yang menetap di Jatinangor. Selain itu, konsumen juga datang dari berbagai usia mulai dari anak-anak, dewasa hingga orang tua. Biasanya jamu temulawak diberikan kepada anak-anak agar nafsu makan mereka bertambah mengingat sering kali anak-anak susah makan. Kemudian pengguna dewasa cenderung menggunakan jamu sebagai langkah preventif yaitu mecegah penyakit dan menjaga kesehatan mereka. Selain sebagai pengobatan dan pencegahan penyakit, jamu juga berperan sebagai warisan metode pemeliharaan kesehatan yang telah dipelihara secara turun-temurun dan masih dijaga akan eksistensinya hingga sekarang. Singkatnya, jamu dalam masyarakat Jatinangor adalah warisan dari generasi pendahulu mereka yang mereka pertahankan keasliannya. Namun demikian, kepercayaan terhadap penggunaan jamu ini memang tak sepenuhnya diterima secara universal oleh semua masyarakat. Hal ini masih tergantung pada keyakinan dan pengetahuan mereka terhadap jamu itu sendiri. Bukan semata-mata khasiatnya tapi juga keberadaannya dalam masyarakat tertentu membuat eksistensi jamu juga menjadi sangat relatif adanya. 3.2 SaranJamu merupakan salah satu jenis obat alami yang masih banyak digunakan oleh masyarakat indonesia, salah satunya adalah masyarakat Jatinangor. Selain cara pembuatannya masih menggunakan bahan-bahan alami, cara racikannya pun masih secara turun-temurun dan sangat dipercaya. Selain itu, karena bahan yang digunakan masih alami, dan tidak menggunakan bahan kimia, sehingga tidak ada efek samping yang akan dirasakan oleh para konsumen meskipun di konsumsi sebelum makan, malah baik untuk kesehatan tubuh. Oleh karena itu, mengkonsumsi jamu sangat disarankan untuk masyarakat banyak, terutama yang menginginkan sehat dengan menggunakan bahan-bahan alami. Penggunaan jamu seharusnya tidak ditentang oleh para pengguna obat modern karena jamu merupakan obat tradisional yang melekat dengan kebudayaan. Tidak ada kebudayaan yang lebih baik atau lebih buruk. Semua kebudayaan pastinya baik bagi penganutnya. Sama halnya dengan jamu, pengguna jamu pasti berpendapat bahwa jamu menyehatkan dan tidak membahayakan badan. Agar jamu tetap ada tentu harus ada pihak yang mempertahankan resep dan keaslian jamu. Para praktisi kesehatan seharusnya menulis kembali komposisi, takaran dan khasiat obat agar penggunaannya tidak disalahgunakan dan keaslian jamu bisa dipertahankan di masa depan.Selain itu, masyarakat luas idealnya melestarikan jamu sebagai obat herbal. Jamu dikenal sejak zaman dahulu dan jamu ditetapkan sebagai warisan budaya asli Indonesia. Seharusnya seluruh masyarakat Indonesia, yang menggunakan obat tradisional maupun modern menjaga kelestarian budaya Indonesia yang salah satunya berupa jamu.

Daftar Pustaka

Eriksen, Thomas Hylland.2001.Pengantar Antropologi Sosial dan Budaya.Diterjemahkan oleh Mohamed Yusoff Ismail dalam http://folk.uio.no/geirthe/Antropologi_sosial.html Foster, George M & Barbara G. Anderson. 1986.Antropologi kesehatan.. Penerbit : UI PressHayatulhaya, Brenda. 2009.Pemeriksaan Kemungkinan. dalam http://lontar.ui.ac.id Kodiran.2004.Pewarisan Budaya Dan Kepribadian.. HUMANIORA VOL. 16. Dalam http://jurnal.ugm.ac.id Pinky saptandari, 2010.sistem kebugaran tradisional Indonesia dalam kajian Budaya,.Sipahutar, Yunus Tahan Dilaut. 2012. Tanggung Jawab Pelaku Usaha dalam Penerapan SNI terhadap Jamu berdasarkan UU Nomor. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Pemerintah Nomor. 102 Tahun 2000 tentang SNI. dalam http://fh.unpad.ac.id/repo/2012/10/tanggung-jawab-.. Sudarmin & Rayandra Ashyar. 2012.Transformasi pengetahuan science tradisional menjadi prose sscience ilmiah dalam proses pembuatan jamu tradisional.

Lampiran 1. Bagaimana cara mengetahui khasiat dari jamu khususnya jamu kuat ? (Mahesa 170510120002)2. Jamu yang sudah diproses secara modern apakah masih bisa disebut etnomedisin ? (Afina 170510120025)Etnomedisin masih belum terpengaruh oleh sistem modern ? Bagaimana yang sudah dikemas secara modern ? (Bram 170510120055)Bagaimana dengan jamu yang bertahan hingga dua tahun ? Bukankah itu sudah menggunakan pengawet ? (Rizki Pebrijal 170510120060)Etnomedisin dilihat dari segi yang mana ? Etik atau Emik ? ( Nikosius 170510100001 )3. Apakah khasiat dari jamu yang sudah diracik secara tradisional dan modern masih sama ? (Talitha 170510120066)

Jawaban :

1. Cara mengetahui khasiat tanaman untuk jamu tersebut dengan pengetahuan lokal yang sudah diturunkan secara turun temurun. Pengetahuan tersebut diturunkan secara tradisional oleh para orang tua kepada anak-anaknya.. Selain itu, masyarakat tersebut mengambil tanaman secara acak/random untuk dijadikan bahan obat (trial and error). Sampai akhirnya mereka menyadari bahwa tanaman tersebut mempunyai khasiat sebaga obat tertentu. 2. Jamu meski pun sudah dikemas secara modern, tetap saja dikatakan sebagai etnomedisin. Karena memang komposisi dan khasiatnya masih sama. Selain itu, etnomedisin merupakan konsep dari pemikiran masyarakat. Jadi walau dalam bentuk yang berbeda dan lebih modern, jamu tersebut tetap dikatakan jamu, sesuia dengan pengetahuan masyarakat itu sendiri (emik). Selain itu, adanya perbedaan produksi jamu menjadi lebih modern, baik itu dalam botol atau pun sachet, hanya merupakan usaha yang dipakai untuk mempermudah konsumsi dan distribusi dari jamu itu sendiri.3. Khasiat dari jamu yang masih diracik tradisional dan modern masih sama. Karena takaran dan bahan-bahan yang dipakai baik dalam jamu yang dikemas tradisional atau pun yang modern masih sama. Sehingga khasiat yang didapatkan pun masih sama. MAKALAH PENELITIANPenggunaan Jamu di Wilayah Jatinangor (Ciseke, Pangkalan Damri dan GKPN)

Kelompok

Winda Dyah R170510120009Zaid A170510120010Sri Mega R170510120011Khasnau Saifira 170510120012Arini Nindya 170510120014Asep Muhaemin A 170510120015Nisaa Wahyu P 170510120016Arif Maulana 170510120017

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS PADJADJARANJATINANGOR