PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMĀR...
Transcript of PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMĀR...
PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMĀR (INVESTASI)
(Studi Komparatif Distribusi Zakat Menurut Wahbah al-Zuhaili dan
Yusuf al-Qaradhawi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Adnan Rosid
NIM: 11140430000015
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019M/ 1440H
ii
PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMĀR (INVESTASI)
(Studi Komparatif Distribusi Zakat Menurut Wahbah al-Zuhaili dan
Yusuf al-Qaradhawi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
Adnan Rosid
NIM. 11140430000015
Di Bawah Bimbingan:
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
v
ABSTRAK
Adnan Rosid. NIM 11140430000015. PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK
ISTITSMĀR (INVESTASI) Studi Komparatif Distribusi Zakat Menurut Wahbah
al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi. Program Studi Perbandingan Mazhab,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1439 H/2018 M. Xv + 85 halaman
Proses pengelolaan dan penyaluran dana zakat di Indonesia memiliki dua
tujuan, yaitu untuk tujuan komsumtif dan produktif. Zakat sebagai dana konsumtif
artinya uang penerimaan zakat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari kaum dhuafa. Sedangkan untuk tujuan produktif, dana zakat dipakai sebagai
modal wirausaha dan pengembangan usaha yang dirintis oleh kaum dhuafa.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan hukum penggunaan dana zakat untuk
istitsmār (investasi) sebelum diterima oleh mustahiq menurut dua tokoh
kontemprer, yakni Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi. Wahbah al-
Zuhaili berpendapat, bahwa tidak boleh melakukan investasi terhadap harta zakat
ke dalam bidang apapun sebelum harta tersebut jatuh ke tangan mustahiq (al-milk
al-tam). Sedangkan Yusuf al-Qaradhawi berpendapat, bahwasanya boleh harta
zakat digunakan untuk investasi ke dalam bidang apapun asalkan dapat
mendatangkan manfaat di masa mendatang bagi mustahiq itu dibolehkan, karena
hasil yang didapati dari proses tersebut bisa melipatgandakan jumlah harta
sehingga nantinya kemanfaatanya kembali kepada para mustahiq dan daat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Penulis sependapat bahwa dana zakat itu dapat diinvestasikan, karena ketika
harta zakat tersebut diinvestasikan maka jumlah harta tersebut akan bertambah
sehingga nanti dapat mencukupi kebutuhan penerimanya. Akan tetapi,
diperbolehkan bilamana mendapatkan kerelaan dari mustahiq zakat.
Kata Kunci : Zakat, Investasi, Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al- Qaradhawi
Pembimbing : Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag
Drs. Ahmad Yani, M.Ag
vii
5. Seluruh staf pengajar atau dosen program studi Perbandingan Mazhab,
Tak lupa pula kepada pimpinan perpustakaan yang telah menyediakan
fasilitas untuk keperluan studi kepustakaan.
6. Orang yang banyak berjasa bagi penulis, yakni ayahanda tercinta Bapak
Matroji, dan ibunda tercinta Ibu Baidah, serta guru Bapak K.H Suherman
Mukhtar, S.HI, M.A.
7. Kepada teman-teman Pondok Pesantren Terbuka Gratis Al-Isyraq
Jakarta, teman-teman angkatan 2014 program studi Perbandingan
Mazhab dan seluruh pihak yang membantu dalam penilisan skripsi ini.
Penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam
penulisan skripsi ini. Pada dasarnya, kritik dan saran yang membangun dapat
diberikan untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi semua orang. Aamin.
Jakarta, 10 Mei 2019
Adnan Rosid
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................. iii iii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... iv ........... iv
ABSTRAK ................................................................................................................ v v
KATA PENGANTAR........... ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. x
BAB 1 : PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 8
C. Pembatasan Masalah ...................................................................................... 9
D. Rumusan Masalah .......................................................................................... 9
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 9
F. Review Studi Terdahulu ................................................................................. 10
G. Metode Penelitian........................................................................................... 12
H. Sistematika Pembahasan ................................................................................ 14
BAB II : LANDASAN TEORI ................................................................................ 16
A. Zakat ............................................................................................................... 16
B. Investasi.......................................................................................................... 33
C. Distribusi ........................................................................................................ 38
BAB III : WAHBAH AL-ZUHAILI DAN YUSUF AL-QARADHAWI:
BIOGRAFI DAN KARYA ...................................................................................... 42
A. Wahbah al-Zuhaili .......................................................................................... 42
B. Yusuf Al-Qaradhawi ...................................................................................... 46
ix
BAB IV : PERBANDINGAN PENDAPAT DAN ANALISIS ............................. 52
A. Hukum Penggunaan Dana Zakat Untuk Istitsmār (Investasi) Menurut
Wahbah al-Zuhaili .......................................................................................... 52
B. Hukum penggunaan Dana Zakat Untuk Istitsmār (Investasi) Menurut
Yusuf Al-Qaradhawi ...................................................................................... 63
C. Perbandingan Pendapat dan Analisis ............................................................. 72
BAB V : PENUTUP ................................................................................................. 80
A. Kesimpulan .................................................................................................... 80
B. Saran ............................................................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 83
x
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing
(terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi
mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab
yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
H ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
S es dengan garis bawah ص
D de dengan garis bawah ض
T te dengan garis bawah ط
Z zet dengan garis bawah ظ
ع
koma terbalik di atas hadap
kanan
Gh ge dan ha غ
xi
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop ء
Y Ya ي
b. Vokal
Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia,
memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut :
Tanda Vokal
Arab
Tanda Vokal
Latin Keterangan
A Fathah ــــــــــ
I Kasrah ــــــــــ
U Dammah ــــــــــ
Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih
aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
__ ي_ Ai a dan i
__ و_ Au a dan u
c. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa
Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
xii
Tanda Vokal
Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
 a dengan topi diatas ـــــا
Î i dengan topi atas ـــــى
Û u dengan topi diatas ـــــو
d. Kata Sandang
Kata sandang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf
alif dan lam (ال ) , dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti
huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:
الإجثهاد= al-ijtihâd
الرخصة= al-rukhsah, bukan ar-rukhsah
e. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah.
Tetapi hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah
ini terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah. Misalnya: الشفعة = al-syuî ‘ah, tidak ditulis asy-syuf ‘ah.
f. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat
contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2), maka
huruf ta marbutah tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha).
Jika huruf ta marbutah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka
huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
syarî ‘ah شريعة 1
al- syarî ‘ah al-islâmiyyah الشريعة الإسلامية 2
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذاهب 3
g. Huruf kapital
Walau dalam bahasa Arab tidak dikenal adanya huruf kapital,
namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai
xiii
dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan
(EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf
awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya.
Misalnya, البخاري= al-Bukhari.
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam
alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau
cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama
yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa
Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nur al-Din al-
Raniri.
h. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi’il), kata benda (ism) atau huruf
(harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih
aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
No Kata Arab Alih Aksara
al-darûrah tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح المحظورات 1
al-iqtisâd al-islâmî الإقتصاد الإسلامي 2
usûl al-fiqh أصول الفقه 3
al-‘asl fi al-asyyâ’ al-ibâhah الأصل في الأشياء الإباحة 4
al-maslahah al-mursalah المصلحة المرسلة 5
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ditinjau dari bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-
Barakah atau keberkahan, al-Nama‟ atau pertumbuhan dan perkembangan,
al-Taharah atau kesucian, al-Ziyadah atau bertambah, dan al-Shalah atau
kemaslahatan. Sedangkan secara istilah, meskipun para ulama
mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dengan
yang lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama bahwa zakat merupakan
bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah SWT mewajibkan
kepada pemiliknya untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya
dengan persyaratan tertentu pula.1
Kewajiban zakat dalam Islam memiliki makna yang sangat fundamental.
Selain berkaitan erat dengan aspek-aspek Ketuhanan, juga ekonomi dan
sosial. Di antara aspek-aspek Ketuhanan (transendental) adalah banyaknya
ayat-ayat al-Qur’an yang menyebut masalah zakat, termasuk di antaranya
terdapat 82 ayat yang menyandingkan kewajiban zakat dengan kewajiban
shalat secara bersamaan.2
Dalam hadits dijelaskan bahwa zakat merupakan salah satu pilar Islam:
دا راسول دا أان لا إلاوا إلا الله واأانا ماما م أان تاشها سلا تقيما الله ال ، وايتا إن استاطاعتا إلايو ، واتاجا الب ا انا ضا تاصوما راما اةا، وا ت ؤتا الزاكا ةا، وا لا الصا
3()رواه ومسلم بيل سا
1 Prof. K.H Didin Hafidhuddin, M. Sc. Membangkitkan Nilai-Nilai Zakat Untuk
Menyadarkan Umat, (Jakarta: FOZ, Dompet Dhuafa, Pemkot Padang, 2008), hal. 12 2 Abdul al-Hamid Mahmud al-Ba’iy, Ekonomi Zakat Sebuah Kajian Moneter dan
Keuangan Syari‟ah (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 16 3 Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2010), juz. 1, h.
58, no. 8
2
Artinya: “Islam ialah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah,
bersaksi bahwa Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, mengerjakan
shalat, membayar zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan melaksanakan
haji ke baitullah jika kamu mampu melaksanakannnya“ (HR. Muslim)
Seseorang baru bisa dikatakan memeluk agama Islam bilamana ia sudah
membaca dua kalimat syahadat. Karena dua kalimat tersebut merupakan
mengandung sebuah persaksian dan bentuk pengakuan bahwasanya Allah
adalah Tuhan Yang Maha Esa serta mengakui bahwasanya Nabi Muhammad
SAW adalah utusan-Nya.
Bilamana salah seorang telah memeluk agama Islam, maka seseorang
tersebut harus mengaplikasikan kewajibannya sebagai muslim pada setiap
harinya. Kewajiban pertama yang harus dilakukannya adalah mendirikan
sholat yang lima waktu tersebut dengan tidak meninggalkannya walaupun
dalam keadaan apapun,
Setelah melaksanakan kewajiban mendirikan dan menjaga sholat lima
waktu tersebut, seorang muslim juga diwajibkan untuk berpuasa selama satu
bulan penuh di bulan Ramadhan. Tujuannya adalah supaya dapat mendidik
kepribadian yang peka terhadap orang-orang yang tidak mampu dan
membentuk kepribadian hamba-hamba yang berkualitas dan bertakwa kepada
Allah SWT.
Kewajiban selanjutnya adalah menunaikan zakat dan menunaikan haji ke
tanah suci Mekkah dan Madinah. Kedua pilar Islam ini hanya berlaku bagi
seorang muslim yang memiliki harta. Adapun zakat berlaku bagi seorang
muslim yang hartanya telah mencapai nishabnya (kadar tertentu), baru ketika
itu diwajibkan baginya mengeluarkan zakat. Sedangkan dalam pelaksanaan
ibadah haji seorang muslim harus memiliki harta dan kemampuan dari segi
fisik dalam pelaksanaannya.
Zakat bagi umat Islam, khususnya di Indonesia dan bahkan juga di dunia,
sudah diyakini sebagai salah satu bagian pokok ajaran Islam yang harus
3
ditunaikan.4 Dari aspek keadilan sosial (al-adālah al-ijtimā‟iyyah), perintah
zakat dapat dipahami sebagai satu kesatuan sistem yang tak terpisahkan
dalam pencapaian kesejahteraan sosial-ekonomi dan kemasyarakatan. Dengan
zakat diharapkan dapat meminimalisir kesenjangan pendapatan antara orang
kaya dan miskin. Di samping itu, zakat juga diharapkan dapat meningkatkan
dan menumbuhkan perekonomian, baik pada level individu maupun pada
level sosial masyarakat.5
Mengenai pendistribusian harta zakat ini sudah dijelaskan oleh Allah
SWT dalam Q.S al-Taubah [9]: 60 yang berbunyi:
)٠(: ٩التوبة ) سورة)
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana”. (Q.S al-Taubah (9): 60)
Ayat di atas telah menjelaskan bahwa setiap harta zakat yang dikeluarkan
oleh muzakki hanya wajib dialokasikan kepada delapan golongan mustahiq
yang telah ditentukan dalam ayat tersebut, tidak boleh ke dalam golongan
yang lain. Bilamana disalurkan juga ke selain delapan golongan tersebut,
maka zakatnya tidak sah, dan hanya dinilai sebagai sedekah biasa saja.
4 Didin Hafidhuddin, dkk, The Power of Zakat; Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat
Asia Tenggara (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h. 3 5 Nuruddin Mhd. Ali. Zakat Sebagai Instrument Dalam Kebijakan Fiskal (Jakarta:
Rajawali Pers ) h.1-2.
4
Banyak hikmah yang terkandung dalam pelaksanaan zakat ini, di
antaranya adalah6, pertama dapat menjaga dan membentengi harta dari
jangkauan tangan-tangan pelaku kejahatan. Rasulullah SAW bersabda;
ء وا للبالا قاة، واأاعد دا اكم بلصا رضا اووا ما دا اة، وا نوا أامواالاكم بلزاكا ص حاعااءا 7)رواه الطبراني(الد
Artinya: “Bentengilah harta yang kalian miliki kalian dengan zakat, obatilah
orang-orang yang sakit di antara kalian dengan shadaqah, siapkanlah doa
untuk bala bencana.” ( HR. al-Thabrani )
Kedua, menolong orang-orang fakir dan orang-orang yang
membutuhkan. Zakat bisa membimbing tangan mereka untuk memulai
pekerjaan. Zakat juga bisa menolong mereka untuk menuju kehidupan yang
mulia jika mereka lemah. Zakat melindungi masyarakat dari penyakit fakir,
melindungi negara dari ketidakmampuan dan kelemahan. Kelompok
masyarakat bertanggung jawab akan jaminan terhadap orang-orang fakir dan
kebutuhan mereka. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda;
ع إنا اللاا ف اراضا عالاى أاغنيااء المسلمينا ف أامواالم قادرا الاذي ياساعروا ماا ياصناع أاغنيااؤىم، اعوا وا رااء إلا إذاا جا دا الفقا لان يها رااءاىم، وا ف قااب نكرا ب هم عاذا معاذ ديدا، وا اب شا ة حسا إنا اللاا مااسب هم ي اوما القيااما أالا وا
8.)جو الطبراني عن علي رضي الله عنهأخر (Artinya: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada orang-orang
muslim yang kaya terhadap harta mereka sesuai dengan kadar yang bisa
mencukupi orang-orang muslim yang fakir. Orang-orang fakir tidak akan
menderita ketika mereka lapar atau telanjang. Kecuali karena perbuatan
orang-orang kaya. Ketahuilah, Sesungguhnya Allah akan menghisab mereka
6 Wahbah al-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu; Penerjemah; Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk ( Jakarta : Gema Insani ), jilid 3, h. 166-167. 7 Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Thabrani, al-Mu‟jam al-Kabir (Maktabah al-
Syamilah), juz 10, h. 128), (hadits ke 10196) 8 Sulaiman bin Ahmad bin Ayub al-Thabrani , Al-Mu‟jam al-Awsath, (Maktabah al-
Syamilah), juz 4, h. 48 hadits ke 3579
5
dengan keras dan menyiksa mereka dengan siksa yang pedih.” (H.R al-
Thabrani dari Sayyidina Ali)
Ketiga, dapat mensucikan diri dari penyakit kikir dan bakhil,. Dengan
berzakat melatih seseorang untuk memberi kepada saudaranya yang
membutuhkan, dengan begitu sifat yang dimiliki setiap seseorang tersebut
sedikit demi sedikit nantinya akan terkikis, sehingga nanti dia akan akan
terbiasa menjadi seorang hamba yang suka memberi terhadap sesamanya.
Keempat, mengharuskan untuk bersyukur kepada Allah. Dengan zakat
yang dikeluarkan oleh seorang muzakki itu merupakan perwujudan rasa
syukur kepada Allah SWT atas nikmat harta yang telah Dia berikan. Maka
sebagian hartanya yang dikeluarkan tersebut untuk zakat nantinya akan
bertambah. Ini semakna dengan pengertian zakat secara bahasa berarti al-
ziyādah yang berarti bertambah.
Ibnu Taimiyah berkata , “Jiwa orang yang berzakat itu menjadi bersih
dan kekayaannya akan bersih pula: bersih dan bertambah maknanya. Arti
“tumbuh” dan “suci” tidak dipakaikan hanya buat kekayaan, tetapi lebih dari
itu, juga buat orang yang menzakatkannya9, hal tersebut sesuai dengan firman
Allah SWT Q.S al-Taubah (9): 103 yang berbunyi:
)١(: ٩التوبة ) سورة)
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S al-Taubah (9): 103)
Ayat tersebut menjelaskan bahwasanya dengan seseorang berzakat dapat
membersihkan diri-diri mereka dari sifat kekikiran dan cinta yang berlebih-
9 H. Sulaiman Rasjid, al-Fiqh al-Islami (Jakarta: Sinar Baru Algensindo, 2010), cet. 45,
h. 192
6
lebihan kepada harta benda, dan nantinya dapat menumbuhkan sifat-sifat
kebaikan dalam hati mereka.
Menurut ulama kontemporer Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya
Musykilah al-Faqr Wakayfa „Ālajah al-Islam, “Islam tidak menempatkan
masalah zakat sebagai urusan perorangan, melainkan sebagai salah satu tugas
pemerintahan Islam. Zakat bukanlah kewajiban individu yang
pelaksanaannya bergantung kepada hati nurani masing-masing. Akan tetapi
zakat adalah suatu kewajiban yang dilaksanakan di bawah pengawasan
negara, di mana negaralah yang mengatur sistem pemungutan dan
pendistribusian zakat itu”.10
Di Indonesia sesuai dengan Undang-undang nomor 11 tahun 2013
tentang Pengelolahan zakat, institusi yang diberikan amanat untuk
mengelolah zakat ialah Badan Amil Zakat Nasional ( BAZNAS ), Lembaga
Amil Zakat ( LAZ ) dan Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Badan Amil Zakat
adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang bertugas membantu
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Sedangkan Unit
Pengumpul Zakat adalah satuan organisasi yang dibentuk BAZNAS untuk
membantu pengumpulan zakat. Adapun tujuan pengelolaan zakat menurut
Undang-Undang Nomor 23 Pasal 3 adalah agar mampu meningkatkan
efektifitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat serta mampu
meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
dan penanggulangan kemiskinan.11
Proses pengelolaan dan penyaluran dana zakat di Indonesia memiliki dua
macam tujuan, yaitu untuk tujuan komsumtif dan produktif. Zakat sebagai
dana konsumtif artinya uang penerimaan zakat dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari kaum dhuafa, seperti penyediaan makanan,
10
Yusuf al-Qaradhawi, Musykilat al-Faqr Wa Kayfa Ālajah al-Islam (Beirut; Muassasah
ar-Risalah, 1994), cet. 10, h. 80 11
Siti Masuko, “Strategi Penyaluran Dana LAZIS Yayasan Amaliah Astra Dalam Rangka
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat”, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014), h.5
7
minum, pakaian, dan tempat tinggal. Sedangkan untuk tujuan produktif, dana
zakat dipakai sebagai modal pelatihan wirausaha dan pengembangan usaha
yang dirintis oleh kaum dhuafa. Dengan harapan dengan adanya pemanfaatan
zakat produktif adalah dapat meningkatkan pendapatan kaum dhuafa
sehingga kelak di masa mendatang mereka bukan lagi sebagai mustahiq lagi,
tetapi sudah menjadi muzakki. Oleh karena itulah sebabnya mengapa dana
zakat sebaiknya dipakai dalam kegiatan produktif bukan konsumtif karena
pada zakat produktif akan dapat menghasilkan manfaat jangka panjang yang
lebih baik bagi kaum dhuafa dibanding hanya pemenuhan kebutuhan sesaat.
Di antara program pendayagunaan zakat produktif ialah dengan
menginvestasikan dana zakat yang tersedia, diharapkan dengan adanya dana
yang diinvestasikan akan bermanfaat kepada mustahiq di masa yang akan
datang. Para ahli mengemukakan pengertian yang berbeda-beda tentang
investasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) investasi adalah
penanaman uang atau model dalam suatu perusahaan atau proyek untuk
memperoleh keuntungan.12
. Alexander dan Sharpe (1997:1) mengemukakan
bahwa investasi adalah pengorbanan nilai tertentu yang berlaku saat ini untuk
mendapatkan nilai di masa yang akan datang yang belum dapat dipastikan
bersarnya. Sementara itu Yogiyanto (1998:5) mengemukakan bahwa investasi
adalah penundaan konsumsi saat ini untuk digunakan dalam produksi yang
efisien selama periode tertentu, Tandelinin ( 2001:4) mendefinisikan investasi
sebagai komitmen atas sejumlah dana atau sumber daya lain yang dilakukan
pada saat ini dengan tujuan memperoleh keuntungan di masa datang.
Dari berbagai definisi itu mengandung tiga unsur yang sama. Pertama,
pengeluaran atau pengorbanan sesuatu (sumber daya). Kedua , ketidakpastian
mengenai hasil (risiko). Ketiga, ketidakpastian hasil keuntugan atau
12
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, Aplikasi Luring Resmi Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 2016.
8
pengembalian di masa mendatang.13
Selain dari sisi tersebut, terdapat juga
faktor ketidakpastian kerelaan dari mustahiq karena harta zakatnya yang
diinvestasikan tersebut. Bisa jadi di antara para mustahiq ada yang tidak rela
jika harta zakat itu diinvestasikan, karena demikian itu dapat mengurangi dan
mengulur waktu pendapatan harta zakat yang semestinya diterima oleh
mereka ketika itu.
Pada dasarnya, dalam hukum Islam bahwasanya seseorang tidak
diperbolehkan untuk mengembangkan harta yang dimiliki orang lain, kecuali
bilamana telah mendapatkan izin dari orang yang bersangkutan tersebut.
Kaidah fiqh menyatakan:
14 ل يوز لأحد أن يتصرف ف ملك الغير بل إذنو
Aritnya: “Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk mendayagunakan harta
milik orang lain dengan tanpa izin dari orang yang bersangkutan.”
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian
mengenai penggunaan dana zakat untuk investasi dengan judul
“PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMĀR (INVESTASI)
(Studi Komparatif Distribusi Zakat Menurut Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf
al-Qaradhawi)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, identifikasi permasalahan dalam
skripsi ini adalah konsep al-fauriyyah (segera) dalam hal pendistribusian
harta zakat kepada para mustahiq masih diperselisihkan keharusannya di
kalangan para ulama.
13
Muhammad Nafik HR, Bursa efek dan Investasi Syari‟ah (Jakarta: Serambi, t.th), h.
67 14
Abdul Aziz Muhammaz Azzam, al-Qawā‟id al-Fiqhiyyah (Kairo: Dar al-Hadits, 2005),
h. 505
9
C. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasanya lebih jelas
dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Adapun pembatasan
masalah pada skripsi ini adalah “penggunaan dana zakat untuk istitsmār
(diinvestasikan) sebelum didistribusikan kepada para mustahiqnya menurut
Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi. Adapun melakukan investasi
harta zakat setelah diterima oleh para mustahiqnya tidak penulis bahas dalam
skripsi ini, karena menurut hemat penulis itu sudah hak masing-masing
mustahiq dalam mempergunakan harta tersebut untuk keperluannya masing-
masing, sehingga demikian itu sudah jelas hukum tentang kebolehannya.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka setidaknya
penulis mendapatkan beberapa rumusan masalah dalam penelitian yang akan
dilakukan ini, yakni sebagai berikut:
Bagaimana hukum menggunakan dana zakat untuk istitsmār (investasi)
menurut Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada permasalahan di atas, maka hasil penelitian
bertujuan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui hukum penggunaan dana zakat untuk investasi
menurut Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi.
b. Untuk Mengetahui persamaan dan perbedaan pandangan Wahbah al-
Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi tentang hukum menggunakan dana
zakat untuk investasi.
c. Untuk mengetahui manfaat dari penggunaan dana zakat jika
dinvestasikan.
d. Untuk mengetahui kendala apa saja yang dihadapi dalam
memperdayakan dana zakat untuk investasi.
10
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang didapati dari hasil penelitian ini, yaitu bias
memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Menambah wawasan mengenai pengembangan penyaluran zakat
melalui investasi.
b. Menambah wawasan mengenai hukum penyaluran dana zakat melalui
investasi dari perspektif ulama kontemporer.
c. Sebagai khazanah ilmu pengetahuan yang terkait dengan
pendistribusian terhadap dana zakat, sehingga kedepannya nanti bisa
menjadi bahan perbandingan bagi penelitian yang lain.
F. Review Studi Terdahulu
1. Jurnal
Judul : Zakat sebagai sumber investasi
Nama Penulis : Djawahir Hejjaziey
Jurnal : Al-Iqtishād
No. Penerbitan: Vol III no.2
Tahun terbit : 2011
Jurnal ini menjelaskan tentang hakikat/ pengertian zakat, amil zakat dan
metode penyaluran zakat. Jurnal ini berdasarkan survei bahwa dalam
menyalurkan zakat hanya sedikit saja yang melalui Badan Amil Zakat.
Kebanyakan muzaki menyerahkan langsung kepada mustahik. Pada bagian
akhir jurnal dijelaskan motivasi pengembangan zakat yakni dengan cara
menginvestasikannya.
Jurnal ini sudah cukup jelas dalam memaparkan hasil penelitiannya
mengenai responden masyarakat dalam menyalurkan dana zakat di mana
tingkat responden masyarakat yang menyalurkan zakatnya melalui badan
11
amil zakat masih rendah. Kebanyakan masyarakat masih menyalurkan
dana zakat kepada para mustahiq. Jurnal ini dengan jelas memaparkan
gagasan mengenai pendanaan dana zakat untuk investasi. Akan tetapi
jurnal ini tidak membahas secara lengkap aspek hukumnya baik hukum
islam maupun hukum positif.
2. Skripsi
Judul : PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT MELALUI
PENYALURAN ZAKAT PRODUKTIF (Studi Kasus BAZIS
DKI Jakarta Dalam Pemberdayaan Zakat Produktif)
Nama : Nur Addini Rahmah
Nim : 1111046300011
Prodi : KONSENTRASI MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF
PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
Tahun : 2015M/1437H
Skripsi ini memaparkan mengenai pemberdayaan dana zakat secara
produktif. Penulis memaparkan tentang pemberdayaan dan zakat produktif.
Dalam observasinya objek penulis ialah badan amil zakat infak dan
shadaqah ( BAZIS ) DKI. Penulis memaparkan data managemen BAZIS
DKI terhadap pengelolahan dana yang diterima. Penulis juga memaparkan
berbagai program BAZIS DKI Jakarta yang menerapakan pemberdayaan
secara produktif yang diharapkan mampun merubah mustahik menjadi
muzaki.
Namun skripsi ini belum menjelaskan secara detail mengenai aspek
hukum terhadap zakat produktif dan belum membahas tentang investasi
beserta aspek hukumnya jika dana zakat diinvestasikan.
12
3. Skripsi
Judul : Zakat Sebagai Alternatif Penggalangan Dana Masyarakat Untuk
Pembangunan
Nama : Mustikorini Indrijatiningrum
Prodi : MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
Tahun : 2005
Dalam skripsi tersebut memaparkan tentang potensi zakat penghasilan
atau profesi yang dihasilkan yang dapat dihimpun oleh masyarakat
Indonesia serta penggunaannya untuk pembangunan. Sementara
bagaimana hukum Islam tentang penggunaan dana zakat untuk investasi
pembangunan tersebut tidak terlalu spesifik.
4. Skripsi
Judul : Pengelolaan Zakat Infak dan Shadaqah (Studi Kasus Pada Rumah
Zakat Indonesia.
Nama : Suharno
Prodi : MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)
Tahun : 2010
Skripsi ini memaparkan mengenai pemberdayaan dana zakat secara
produktif. Penulis memaparkan tentang pemberdayaan dan zakat
produktif. Dalam observasinya objek penulis ialah badan amil zakat infak
dan shadaqah Rumah Zakat Indonesia. Dalam skripsi tersebut, penulis
membatasi permasalahannya hanya sebatas pengelolaan zakat di Indonesia
untuk pemberdayaan ekonomi umat, khususnya umat Islam. Sementara
bagaimana hukum dana zakat diproduktifkan ke dalam bidang-bidang
tertentu tidak terlalu dipaparkan.
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan
deskriptif dan pendekatan perbandingan. Adapun pendekatam deskriptif
dilakukan dengan cara dengan mendeskripsikan data-data yang ada,
kemudian menganalisa dengan proporsional sehingga akan tampak jelas
13
rincian jawaban dan persoalan yang berhubungan dengan pokok
permasalahan. Menurut Mardalis: “penilitian deskriptif bertujuan untuk
mendeskripsikan apa-apa yang berlaku saat ini, di dalamnya terdapat
upaya mendeskripsikan, mencatat analisis, menginterpretasikan kondisi-
kondisi yang saat ini terjadi atau ada.15
Sedangkan pendekatan perbandingan yang dilakukan dalam penulisan
skripsi ini adalah membandingkan pendapat dua ulama kontemporer saat
ini, yakni Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi tentang
penggunaan harta zakat untuk diinvestasikan.
2. Jenis penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam skripsi ini adalah pendekatan
normatif, pendekatan normatif ini disebut juga penelitian hukum yang
doktrinal. Karena pada penelitian hukum jenis ini acap kali dikonsepkan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau
hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan
berprilaku manusia yang dianggap pantas.16
Adapun kaitannya dengan
penelitian ini, yaitu hukum Islam (fiqh) yang bersumber dari al-Quran dan
al-Hadits yang kemudian diinterpretasikan oleh para ulama, sehingga
nantinya akan muncul beberapa pendapat dengan berbagai persamaan dan
perbedaan.
3. Metode pengumpulan data dan sumber data
a. Data yang dikumpulkan adalah jenis data kualitatif, karena yang
menjadi objek dalam penelitian ini adalah konsepsi-konsepsi dalam
pemikiran seseorang atau banyak orang.
b. Dalam proses pengumpulan data, penulis menggunakan metode
kepustakaan (library research). Adapun sumber data dalam penelitian
ini penulis terbagi ke dalam dua jenis data, yaitu :
15
Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal (Jakarta: Bumi Aksara, 2002),
h. 25 16
Amiruddin, dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), Cet. 1, h. 118
14
1) Data primer, yaitu data yang sengaja penulis kumpulkan secara
langsung dari kitab tafsir, kitab hadits, dan buku fiqh. Adapun
pengumpulan data yang dilakukan di sini yakni dengan melakukan
studi kepustakaan.
2) Data sekunder, yaitu data pustaka yang dihimpun dari sejumlah
buku-buku, jurnal-jurnal, surat kabar, media intermet, dan sumber
bacaan lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan pembahasan
skripsi ini.
4. Teknik penulisan skripsi
Penulisan skripsi ini berpedoman pada “Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh FSH UIN Jakarta tahun
2017.
H. Sistematika Pembahasan
Dalam memudahkan penyusunan skripsi ini dan untuk memberikan
gambaran secara rinci mengenai pokok pembahasan, maka di sini penulis
dalam menyusun skripsi ini menjadi beberapa bab dengan sistematika sebagai
berikut.
Bab I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metodologi penelitian, review terdahulu dan sistematika
penulisan.
Bab II LANDASAN TEORITIS TENTANG INVESTASI DANA
ZAKAT. Bab ini memuat tentang pengertian zakat, pembahasannya meliputi
tentang pengertian zakat, dasar hukum zakat, mustahiq zakat, dan hikmah serta
manfaat zakat. Dibahas juga tentang investasi, yang meliputi tentang
pengertian investasi, pandangan islam tentang investasi, dan tujuan melakukan
investasi. Akan disajikan juga tentang distribusi, yang meliputi pengertian
distribusi, prinsip-prinsip distribusi, fungsi serta tujuan-tujuannya.
15
Bab III WAHBAH AL-ZUHAILI DAN YUSUF AL-QARADHAWI:
BIOGRAFI DAN KARYA. Dalam bab ini akan disajikan tentang biografi
Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi. Pembahasan ini meliputi tentang
perjalanan hidup, riwayat pendidikan, dan karya-karya dari masing-masing
tokoh.
Bab IV PERBANDINGAN PENDAPAT DAN ANALISIS. Dalam bab ini
akan membahas tentang hukum penggunaan dana zakat untuk istitsmār
(investasi) menurut Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi, disajikan juga
nanti analisis penulis mengenai kedua pendapat tersebut mengenai masalah ini.
Bab V PENUTUP. Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan saran.
16
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Zakat
Zakat secara etimologi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
“berkembang”, “berkah”, “bertambahnya kebaikan”, dan terkadang diartikan
“menyucikan”.1 Ditinjau dari bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti,
yaitu al-Barakah atau keberkahan, al-Nama‟ atau pertumbuhan dan
perkembangan, al-Taharah atau kesucian, al-Ziyadah atau bertambah, dan al-
Shalah atau kemaslahatan. Sedangkan secara terminologi, zakat adalah
jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam
dan diberikan kepada golongan-golongan yang berhak menerimanya menurut
ketentuan yang telah ditentukan oleh syara’, sebagai salah satu rukun Islam
yang mengatur harta yang wajib dikeluarkan kepada para mustahiq (orang
yang berhak menerima zakat).2
Adapun pengertian zakat menurut terminologis, hampir di setiap fuqaha
memiliki definisi tersendiri, antara lain:
Menurut Abdul Rahman al-Jaziri dalam kitab al-Fiqh alā Madzāhib al-
Arb‟ah, bahwa zakat adalah:
3 ةصوصمخطائرشبوقحتسملمخصوصالميكلتArtinya: “Penyerahan kepemilikan atas harta tertentu kepada orang orang
yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat yang ditentukan.
Menurut Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini dalam kitab Kifāyah al-
Akhyāar „alā Ghāyah al-Ikhtishār, zakat adalah
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, Aplikasi Luring Resmi Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 2016. 2 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2008, Ed 4, h. 1569 3 Abdul Rahman al-Jaziri, al-Fiqh alā Madzāhib al-Arb‟ah (Qahirah: Dar al-Fikr, 2011),
juz. 2, h. 501
17
النمدرقلسما
4 طائرشبمخصوصةافنصلرفصمخصوصيالم
Artinya: Sebutan bagi ukuran harta yang ditentukan kemudian harta tersebut
dialokasikan kepada orang-orang yang ditentukan dengan beberapa syarat.
Menurut Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya fiqh al-Zakah, zakat adalah
sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk diserahkan
kepada orang-orang yang berhak menerimanya.5
Definisi yang luas lagi yang menjadi topik pembahasan penulis dalam
skripsi ini adalah pengertian zakat yang terdapat dalam UU No. 38 Tahun
1999 pada pasal 1 ayat 2 tentang Pengelolaan Zakat, yang berbunyi: “Zakat
adalah harta yang wajib disisihkan oleh orang muslim atau badan yang
dimiliki orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.”
Dari beberapa uraian definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
zakat adalah sejumlah harta yang wajib dikeluarkan bilamana telah mencapai
ukuran dan masa yang telah ditentukan oleh Allah SWT, kemudian harta
tersebut nantinya diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya
sebagaimana yang telah Allah sebutkan dalam al-Quran.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dijalankan, dan
dinyatakan dalam al-Qur’an secara bersamaan dengan sholat sebanyak 82
ayat. Pada masa permulaan Islam di Mekah, kewajiban zakat ini masih
bersifat global dan belum ada ketentuan mengenai jenis dan kadar (ukuran)
harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Hal itu untuk menumbuhkan
kepedulian dan kedermawanan umat Islam. Zakat baru benar-benar
diwajibkan pada tahun kedua Hijriah, namun ada perbedaan pendapat
4 Taqiyuddin Abi Bakr bin Muhammad, Kifāyah al-Akhyāar „alā Ghāyah al-Ikhtishār
(Beirut: Dar al-Minhāj, 2008), h. 258
5 Yusuf al-Qaradhawi, fiqh al-Zakah (Beirut: Mu’assasāh al-Risālah, 1994), juz. 2, h. 38
18
mengenai bulannnya. Pendapat yang masyhur menurut ahli hadits adalah
pada bulan Syawal tahun tersebut.6
Berikut ini sebagian ayat-ayat al-Quran dan Hadits yang dijadikan
sebagai dasar hukum diwajibkannya zakat;
a. Q.S al-Baqarah [2]: 110
)سورةالبقرة: []:)
Artinya: “dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa
saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala
nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S al-Baqarah [2]: 110)
b. Q.S al-Taubah [9]: 103
)(سورةالتوبة:))
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Q.S al-Taubah [9]: 103)
c. Q.S al-Baqarah [2]: 277
البقرة )سورة[:])
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal
saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di
sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati.” (Q.S al-Baqarah [2]: 277)
6 Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Ibadah
Thaharah Sholat Zakat Puasa dan Haji (Jakarta: Amzah, 2013), Cet. 3, h. 344
19
d. Q.Sal-Taubah [9]: 34
[سورةالتوبة(:])
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar
dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar
memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi
(manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah
kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Q.S al-
Taubah [9]: 34)
Dalam haditsnya, Rasulullah SAW menekankan kewajiban dalam
menunaikan zakat dalam beberapa sabdanya, antara lain:
بنموسى،قال:أخب رنحنظلةبنأبسفيان،عن ث ناعب يدالل حدع ابن عن خالد، بن رسولعكرمة قال قال: هما اللعن رضي مر،
الإسلامعلىخس:شهادةأنلاإلو صلىاللهعليووسلم"بن اللوال الزكاة، وإيتاء لاة، الص وإقام ، الل رسول دا مم وأن الل ،إلا ج
7)رواهالبخاري(" وصومرمضانArtinya: “ Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Musa berkata ia,
telah memberitakan kepada kami Hanzhalah bin Abi Sufyan dari „Ikrimah
bin Khalid dari Sayyidina Umar r.a berkata ia: telah bersabda Rasulullah
SAW: Islam itu didirikan atas lima pilar, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan Allah, mendirikan
sholat, menunaikan zakat, menunaikan haji, dan puasa di bulan Ramadhan.
(H.R Bukhari)
عن حزة، أب بن شعيب أخب رن نفع، بن الكم اليمان أبو ث نا حدأب أن مسعود، بن بة عت بن الل عبد بن الل عب يد ث نا حد ، الزىري
7 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari,
Shahih Bukhari, (al-Qahirah: Dar at-Taufiq li at-Turats, 2012), juz. 1, h. 16
20
ت وف ا لم قال: اللعنو، رضي وسلمىري رة عليو الله صلى الل رسولعمر ف قال العرب، من كفر من وكفر اللعنو، رضي بكر أبو وكانالله صلى الل رسول قال وقد الناس؟ ت قاتل كيف عنو: الل رضي
،فمنعليووسلم الل إلوإلا ي قولوا:لا :"أمرتأنأقاتلالناسحتالل على وحسابو و، بق إلا ون فسو مالو من عصم ف قد )رواه" قالا
8البخاري(Artinya: “ Telah menceritakan kepada kami Abu al-Yamani (al-Hakam bin
Nafi‟), telah memberitakan kepada kami Syuaib bin Abi Hamzah dari al-
Zuhry, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Abdillah bin „Utbah
bin Mas‟ud bahwasanya Abu Hurairah berkata: Ketika Rasulullah SAW
wafat, sebagian orang Arab yang memeluk agama Islam menjadi kafir
(mengingkari kewajiban zakat), Sayyidina Umar bertanya kepada Sayyidina
Abu bakar al-Shiddiq: bagaimana bisa engkau memerangi mereka, padahal
Rasulullah SAW bersabda: aku diperintahkan untuk memerangi manusia
sampai mereka berkata bahwa tiada Tuhan kecuali Allah. Maka siapa saja
yang telah mengucapkan demikian, maka mereka telah selamat dariku dan
terjaga jiwa serta raganya, dan perhitungannya di sisi Allah SWT.” (H.R
Bukhari)
Kemudian dalam hadits selanjutnya dijelaskan:
حق الزكاة فإن والزكاة، لاة الص ب ي ف رق من لقاتلن والل ف قال:الله صلى الل رسول إل ي ؤدون ها كانوا عناقا من عون لو والل ال،
الم
منع على لقات لت هم وسلم عليو اللعنو: رضي عمر قال " »ها ف واللأنقدشرحاللصدرأببكررضياللعنو،ف عرفتأنو ماىوإلا
9)رواهالبخاري("الق
8 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari,
Shahih Bukhari, (al-Qahirah: Dar at-Taufiq li at-Turats, 2012), juz. 1, h. 334 9 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari,
Shahih Bukhari, (al-Qahirah: Dar at-Taufiq li at-Turats, 2012), juz. 1, h. 334
21
Artinya: “Kemudian Sayyidina Abu bakar berkata, demi Allah! Akan aku
perangi orang-orang yang memisah-misahkan antara sholat dan zakat,
karena sesungguhnya zakat itu merupakan harta hak. Demi Allah!, jikalau
mereka mengingkari zakat pada masa pemerintahanku sementara dulu pada
masa Rasulullah SAW masih hidup mereka menunaikannya, niscaya akan
aku perangi mereka lantara karena mereka mengingkari zakat tersebut.
Sayyidina Umar pun berkata, Demi Allah! Allah SWT telah membukakan
mata hati Sayyidina Abu Bakar sehingga ia berbuat demikian, belakangan
setelah itu baru aku ketahui bahwasanya yang dilakukannya itu adalah
benar.” (H.R Bukhari)
Dari beberapa dalil di atas menunjukan bahwasanya zakat merupakan
suatu hal yang wajib dan sangat penting dalam Islam. Betapa tidak,
sebutannya pun dalam al-Quran selalu disandingkan dengan sholat,
menandakan bahwa sholat dan zakat merupakan kedua hal yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lainnya. Karena sangat ditekankannya perintah
zakat ini, sampai-sampai sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq ingin memerangi
mereka lantaran enggan mengeluarkan zakat, dan apa yang dilakukannya itu
pun mendapatkan persetujuan pula dari sayyidina Umar bin Khattab.
Zakat yang dikumpulkan oleh lembaga pengelola zakat, harus segera
disalurkan kepada para mustahiq sesuai dengan skala prioritas yang telah
disusun dalam program kerja. Zakat tersebut harus disalurkan kepada para
mustahiq sebagaimana tergambar dalam Q.S at-Taubah [9] ayat 60,10
[سورةالتوبة(:]) Artinya: "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
10
K.H Didin Hafidhuddin, Zakat Dalamm Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani,
2002), h. 132
22
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana " (Q.S al-Taubah [9]: 60)
Dari keterangan ayat di atas, telah jelas bahwasanya orang-orang yang
berhak menerima zakat ada delapan golongan, yaitu fakir, miskin, amil zakat,
muallaf, riqab, gharim, sabilillah, ibnu sabil:
a. Fakir
مري قفالو معقومعقي قئلابسكلاوالمولسيلن: وتايفكنا
11ونومةايفكوArtinya: “Orang fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan pekerjaan
yang dapat mencukupi kebutuhannya”. Menurut Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili fakir itu adalah seseorang yang
makanan, pakaian, dan tempat tinggalnya tidak tercukupi, seperti orang yang
membutuhkan sepuluh dalam setiap harinya, namun dia hanya memiliki tiga
saja.12
Dalam kitab Fiqh al-Muyassar dijelaskan bahwasanya orang-orang fakir
adalah orang yang tidak berharta dan orang yang tidak berpenghasilan, atau
punya harta atau punya penghasilan akan tetapi tidak mencukupi, seperti
orang yang membutuhkan sepuluh namun ia hanya memiliki dua.13
Misalkan, seseorang membutuhkan uang pada setiap harinya Rp. 100.000
untuk mencukupi kehidupannya, akan tetapi setelah ia kerja seharian mencari
uang hasil yang ia dapati kurang dari setengah yang ia butuhkan, seperti
hanya mendapatkan uang Rp. 30.000 untuk memenuhi kebutuhannya pada
hari itu, maka yang demikian itu masuk dalam kategori fakir dan berhak
baginya untuk menerima harta zakat.
11
Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‟in bi Syarhi Qurratu al-„Ain,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), h. 106 12
Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Kuala Lumpur: Darul Fikir, 2011),
juz. 3, h. 282 13
Zaid Husein al-Hamid, Fiqh al-Muyassar, (Jakarta: Pustaka Amani, 1994), h. 194
23
b. Miskin
لاووتاجحنامعقومعقي بسكوأالىملعردقن:ميكسمالو14ةيانثهدنعوةرشعلاجتينمكويفكي
Artinya: “Orang miskin adalah orang yang mampu dari segi harta dan
mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, namun belum mencukupi
kebutuhannya, seperti ia membutuhkan sepuluh sementara ia hanya memiliki
delapan saja”
Sebagian dari mereka memberi batasan, bahwa orang miskin itu adalah
mereka yang dapat memenuhi separuh kebutuhan atau lebih, adapun orang
fakir adalah mereka yang memiliki kurang dari separuh kebutuhannya.
Seperti seseorang yang dalam setiap harinya ia membutuhkan uang
Rp.100.000,., namun yang ia dapati kurang dari itu bahkan hanya
separuhnya.
c. Amil zakat
واعسكلامعالو واكالزذخلامملإاوثعب ي نموى: لاراشحوماسقة 15اضق
Artinya: “Amil zakat seperti halnya pengambil harta zakat adalah orang
yang diutus oleh imam (pemerintah) untuk mengambil zakat, membagika-
bagikan zakat, mengumpulkan zakat, bukan qadhi”.
Jadi amil merupakan bentuk mufrad dari amlilin adalah orang yang
ditunjuk dan ditugasi oleh penguasa (pemerintah) untuk mengumpulkan
zakat dari orang yang berhak membayar zakat, amil itu tersendiri bisa terdiri
dari orang miskin ataupun orang kaya hukumnya sama apabila tugasnya
sama-sama mengumpulkan zakat.
Amil bertugas mengatur organisasi dan administrasi zakat masyarakat,
yang meliputi;
14
Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‟in bi Syarhi Qurratu al-„Ain,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), h. 106 15
Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‟in bi Syarhi Qurratu al-„Ain,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), h. 106
24
1) Mengumpulkan zakat, petugasnya biasa disebut Jubbah atau Su‟ah atau
Hasyarah.
2) Mendaftar dan mencatat para wajib zakat (muzakki) dan yang berhak
untuk menerima zakat (mustahiq). Petugas dalam bidang ini disebut
Katabah atau Hasabah.
3) Membagi-bagikan harta zakat, adapun petugasnya disebut Qasamah.
4) Menyimpan dan memelihara, petugasnya biasa disebut Hazanah atau
Hafazhah.16
d. Muallaf
مفلؤمالو ملاسإوائطعبعقوت ي فرشولوأةفي عضوتي نوملسأنة: 17هيغ
Artinya: “Orang yang masuk Islam yang masih lemah mental keislamannya,
atau orang Islam yang mempunyai wibawa yang dengan diberi zakat
diharapkan orang lain bisa masuk Islam”.
Muallaf itu bermacam-macam, pertama orang kafir yang diharapkan
masuk Islam. Oleh Nabi mereka diberikan zakat supaya hati mereka menjadi
lunak dan terdorong untuk masuk agama Islam, kedua orang kafir yang
dikhawatirkan membahayakan agama dan umat Islam. Mereka diberikan
zakat agar jangan menimbulkan bahaya.18
Adapun orang Islam yang masih lemah keislamannya, mereka pun
termasuk juga dalam golongan ini dan patut diberikan zakat, agar
keislamannya semakin teguh dan tidak tergoyahkan oleh bujuk rayu agama
lain yang ingin mengajaknya keluar dari agamanya.
16
Mila Sartika, Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif Terhadap Pemberdayaan
Mustahuq pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta, Jurnal Ekonomi Islam; La_Riba, no. 1 (Juli
2008), h. 81 17
Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‟in bi Syarhi Qurratu al-„Ain,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), h. 106 18
Ibrahim Muhammad al-Jamal. ed, Fiqh al-Mar‟ah al-Muslimah, Penerjamah Anshori
Umar. Fiqh Wanita. Semarang: CV asy-Syifa’ , t.th, h. 500
25
e. Riqab
المكابقالرو اطعي ف ةحيحصةابتكنوب ات : ونذبدهيسوأباتلمكىإني د وائقب لهديساةكزنملابوسكانكإنواءفلوانعزجعنو
19وكلىملعArtinya: “Budak-budak mukatab yang perjanjian kitabahnya sah. Budak
mukatab diberi atau tuannya atas izin dari mukatab akan sejumlah
tunggakan angsuran tebusan kemerdekaannya. Jika andaikan dia tidak
mampu melunasinya, sekalipun ia pandai bekerja, maka tidak boleh diberi
dari zakat tuannya, karena dirinya masih tetap milik sang tuan”.
Jadi budak mukatab itu adalah seorang budak yang dijanjikan akan
dibebaskan oleh tuannya bilamana si budak tersebut bisa mencarikan uang
sesuai apa yang dibutuhkan oleh tuannya tersebut.
Syarat memberikan zakat kepada seorang budak mukatab yaitu bahwa
keadaan seorang budak itu beragama Islam dan sedang membutuhkan zakat.
Pada zaman ini sudah tidak lagi ditemukannya budak secara hakikatnya,
karena demikian itu sudah dihapus dan diharamkan hukumnya pada hukum
Internasional.20
f. Gharim
اءفونعزجعنإويلطعي ف ةيصعميغلوسفن انلدتاسن:ممارلغاولحنإوائفولوتاجحعفديلابسلكاذإبوسكانكنإونيالد 21نيالد
Artinya: “Orang yang berhutang buat dirinya sendiri untuk kepentingan
yang bukan maksiat. Bilamana ia tidak mampu melunasi hutangnya,
sekalipun ia rajin bekerja, disebabkan karena pekerjaannya itu tidak bisa
19
Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‟in bi Syarhi Qurratu al-„Ain,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), h. 106 20
Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Dimasyqi: Dar al-Fikr, 1997),
Juz. 3, h. 1956 21
Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‟in bi Syarhi Qurratu al-„Ain,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), h. 107
26
menutupi kebutuhannya untuk melunasi hutangnya bila tiba saat
pembayarannya, maka diberilah sejumlah hutangnya”.
Berhutang ada tiga macam, yaitu;
1) Orang yang berhutang karena mendamaikan dua orang yang berselisih.
2) Orang yang berhutang karena kepentingan dirinya sendiri pada keperluan
yang mubah atau pada keperluan yang tidak mubah, tetapi ia sudah
bertobat.
3) Orang yang berhutang karena menjamin hutang orang lain, sedangkan dia
dan orang yang dijaminnya itu tidak dapat membayar hutang.22
g. Sabilillah
23اينغولاوعوطتمادهلبمائقالوى:ولاللهيبسوArtinya: “Pejuang agama Allah sukarelawan sekalipun ia kaya”.
Sabilillah adalah bala tentara yang membantu dengan kehendaknya
sendiri, sedangkan dia tidak mendapatkan gaji yang ditentukan dan tidak pula
mendapatkan bagian dari harta yang disediakan untuk keperluan peperangan.
Kata Ibnu Asir, makna “sabilillah” adalah semua amal kebaikan yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan hanya maknanya itu pada
peperangan saja.24
h. Ibnu Sabil
اهن ماحبمرفئسشنموأاةكالزدلب بازتمرافسموىل:ويبالسنابو 25بتنإلاإةيصعملرافسمالفلابوسكانكوةأىنزلولو
Artinya: “Seorang musafir yang melewati daerah zakat atau melakukan
perjalanan yang mubah dari suatu daerah zakat, sekalipun untuk rekreasi
atau ia rajin bekerja. Lain halnya bilamana seorang musafir itu melakukan
perjalanan maksiat, kecuali ia telah bertaubat”.
22
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h. 213-214 23
Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‟in bi Syarhi Qurratu al-„Ain,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), h. 107 24
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h. 214 25
Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‟in bi Syarhi Qurratu al-„Ain,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), h. 107
27
Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili berpendapat dalam kitabnya, al-Fiqh al-
Islami wa Adillatuhu, beliau mengatakan;
كذ،إهدصقموبغلب اي لميبالسنبىاطعي ول،وهرفساجافتمانا 26ونطوافينغانك
Artinya: “Ibnu Sabil diberikan zakat sekira dengan zakat itu dapat
menyampaikan dirinya sampai ke tempat tujuannya. Apabila ia itu seorang
yang sangat butuh untuk melangsungkan perjalanan tersebut, sekalipun dia
orang yang kaya di tempat kelahirannya.”
Secara garis besar zakat terbagi menjadi dua, yang paling popular yaitu
zakat fitrah yang setiap bulan Ramadhan kita tunaikan dalam bentuk
makanan pokok, dan zakat māl atau zakat harta yang dikeluarkan dengan
persyaratan-persyaratan tertentu.
1) Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan oleh setiap muslim
ketika menjelang hari raya Idul Fitri yang berguna sebagai penyempurna
ibadah puasa. Membayar zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap orang
Islam baik laki-laki ataupun perempuan, tua, muda, kecil, besar, bahkan
kepada bayi yang baru lahir. Kewajiban ini menjadi tanggung jawab
kepala keluarga terhadap istri, anak, bahkan pembantu yang tinggal
bersama mereka.27
2) Zakat māl
Zakat māl adalah kadar harta kekayaan yang wajib dikeluarkan oleh
seseorang dari hartanya karena sudah mencapai haul dan nishabnya untuk
diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
Sedangkan zakat Zakat māl dalam Ensiklopedia Islam adalah
sebagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang wajib
26
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Dimasyqi: Dar al-Fikr, 1997), Juz.
3, h. 1957 27
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), h. 207
28
diberikan kepada orang-orang tertentu setelah mencapai jumlah minimal
tertentu dan dimiliki selama jangka waktu tertentu pula.28
Macam-macam zakat māl, yaitu:
a) Hewan ternak, yaitu unta, sapi, kerbau, kambing, domba
Nishab dan zakat unta
Nisab Bilangan dan jenis zakatnya
5-9 1 ekor kambing (2 tahun lebih) atau 1 ekor domba (1 tahun lebih)
10-14 2 ekor kambing (2 tahun lebih) atau 2 ekor domba (1 tahun lebih)
15-19 3 ekor kambing (2 tahun lebih) atau 3 ekor domba (1 tahun lebih)
20-24 4 ekor kambing (2 tahun lebih) atau 4 ekor domba (1 tahun lebih)
25-35 1 ekor anak unta (1 tahun lebih)
36-45 1 ekor anak unta (2 tahun lebih)
46-60 1 ekor anak unta (3 tahun lebih)
61-75 1 ekor anak unta (4 tahun lebih)
76-90 2 ekor anak unta (2 tahun lebih)
91-120 2 ekor anak unta (3 tahun lebih)
121 3 ekor anak unta (2 tahun lebih)
Mulai dari 121 ini dihitung tiap-tiap 40 ekor unta zakatnya 1 ekor
unta yang berumur 2 tahun lebih, dan tiap-tiap 50 ekor unta
zakatnya 1 ekor unta yang berumur 3 tahun lebih.
Nisab zakat sapi dan kerbau
Nisab Bilangan dan jenis zakatnya
30-39 1 ekor anak sapi atau seekor kerbau (2 tahun lebih)
40-59 1 ekor anak sapi atau seekor kerbau (2 tahun lebih)
60-69 2 ekor anak sapi atau seekor kerbau (1 tahun lebih)
70-… 1 anak sapi / 1 kerbau dan anak sapi / 1kerbau (2 thn lebih)
28
Dewan Direksi Ensiklopedi Islam, Zakat, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994), jilid
5, h. 224
29
Seterusnya tiap-tiap 30 ekor sapi atau kerbau zakatnya 1 ekor sapi
atau kerbau umur 1 tahun lebih, dan tiap-tiap 40 ekor sapi atau
kerbau zakatnya 1 ekor anak sapi atau kerbau umur 2 tahun lebih.
Nisab zakat kambing
Nisab Bilangan dan jenis zakatnya
40-120 1 kambing betina (2 tahun) atau 1 domba betina (1 tahun)
120-200 2 kambing betina (2 tahun) atau 2 domba betina (1 tahun)
201-399 3 kambing betina (2 tahun) atau 3 domba betina (1 tahun)
400-… 4 kambing betina (2 tahun) atau 4 domba betina (1 tahun)
Mulai dari 400 kambing, dihitung tiap-tiap 100 ekor kambing
zakatnya 1 ekor kambing atau domba umurnya sebagaimana
tersebut di atas dan seterusnya.
b) Zakat hasil pertanian, yaitu padi, jagung, gandum, biji-bijian, dan
buah-buahan yang mengenanyangkan.
Nisabnya 690 kg / 930 liter
Haulnya Setiap panen
Kadar
zakatnya
-5% jika pengairan sulit/memerlukan ongkos
-10% jika pengairan sulit/ tidak memerlukan
ongkos
c) Zakat hasil tambang, baik dalam rupa uang ataupun benda
Nisabnya Senilai 93,6 gram emas
Haulnya Satu tahun
Kadar zakatnya 2,5%
d) Zakat perusahaan dan perdagangan
Nisabnya Senilai 93,6 gram emas
Haulnya Satu tahun
Kadar zakatnya 2,5%
30
e) Zakat rikaz (harta yang terpendam).
Nisabnya Senilai 93,6 gram emas
Haulnya Pada waktu ditemukan
Kadar zakatnya 20%
f) Uang simpanan, deposito, dan surat-surat berharga
Nisabnya Senilai 93,6 gram emas
Haulnya Satu tahun
Kadar zakatnya 2,5%
g) Zakat profesi
Nisabnya Senilai 93,6 gram emas
Haulnya Satu tahun
Kadar zakatnya 2,5%
Dalam penyaluran zakat, dapat dibedakan ke dalam dua bentuk, yakni
konsumtif dan produktif:29
1. Kebutuhan sesaat (konsumtif)
Bantuan sesaat bukan berarti bahwa zakat hanya diberikan sekali
atau sesaat saja, namun mempunyai arti bahwa penyaluran kepada para
mustahiq tidak disertai dengan target terjadinya kemandirian ekonomi
(pemberdayaaan) dalam diri mustahiq. Hal ini dilakukan karena
mustahiq yang bersangkutan tidak mungkin lagi mandiri.
2. Kebutuhan produktif (pemberdayaan)
Pemberdayaan adalah penyaluran zakat secara produktif, diharapkan
nantinya akan terjadi kemandirian ekonomi oleh para mustahiq. Dalam
29
Hertanto Widodo, Teten Kutiawan, Akuntansi dan Manajemen Keuangan Untuk
Organisasi Pengelola Zakat (Ciputat: Institut Manajemen Zakat, 2011), h. 84
31
pemberdayaan ini disertai dengan adanya pembinaan atas usaha yang
dilakukan.
Islam tidak sekedar mengatur secara rinci mengenai aturan
pengumpulan, pendistribusian zakat, dan tidak pula pembayarannya
untuk sekedar menolong fakir miskin semata, bahkan lebih dari itu.
Tujuan utamanya adalah agar manusia lebih tinggi nilainya daripada
harta, sehingga ia menjadi tuannya harta bukan budak harta.
Banyak sekali hikmah yang terkandung dalam melaksanakan ibadah
zakat. Karena zakat merupakan salah satu ibadah yang memiliki dimensi
ganda, yakni vertikal dan horizontal. Artinya secara vertikal, zakat sebagai
ibadah dan wujud ketaqwaan dan bentuk syukur seorang hamba kepada Allah
SWT atas nikmat berupa harta yang telah diberikan Allah kepadanya, serta
untuk mensucikan diri dan hartanya itu. Dalam konteks inilah zakat bertujuan
untuk menata hubungan seorang hamba dengan Tuhannya sebagai pemberi
rezki.
Sedangkan secara horizontal, zakat bertujuan mewujudkan rasa keadilan
sosial dan rasa kasih sayang di antara pihak yang mampu dan pihak yang
tidak mampu, dan dapat pula memperkecil problema dan kesenjangan sosial
serta ekonomi umat. Dalam konteks ini, zakat diharapkan dapat mewujudkan
pemerataan dan keadilan sosial di antara kehidupan manusia, terutama umat
Islam.30
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa tujuan dasar ibadah zakat itu
adalah untuk menyelesaikan berbagai macam persoalan seperti
pengangguran, kemiskinan, dan lain-lain. System distribusi zakat merupakan
solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut dengan memberikan bantuan
kepada orang miski tanpa memandang ras, warna kulit, etnis, dan atribut-
atribut keduniawian lainnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat, tentang tujuan pengelolaan zakat:
30
Asnaini, Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), h. 42
32
1. Meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai
dengan tuntunan agama.
2. Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3. Meningkatnya hasil guna dan guna zakat.31
Dalam bukunya Fiqih Islami, Mohammad Rifa’i juga menyebutkan
beberapa hikmah zakat, di antaranya adalah32
;
a. Guna mendekat hubungan kasih sayang dan mencintai antara si miskin
dengan si kaya. Rapatnya hubungan tersebut akan membuahkan beberapa
kebaikan dan kemajuan, serta berfaidah bagi kedua golongan dan
masyarakat umum.
b. Sebagai instrumen syari’at Islam yang bersifat otoritatif kepada muzaki
(orang yang mengeluarkan zakat) untuk mengeluarkan sebagian hartanya
melalui amil lalu diberikan kepada yang berhak yang bersifat bantuan agar
dapat mengurangi beban hidupnya, sehingga terbebas dari problem
kefakiran dan problem lainnya yang memberatkan hidupnya seperti,
banyaknya hutang, kesulitan dalam perjalanan dan lain-lain. Dengan zakat
dapat menghindari kesenjangan sosial antara dua kelompok masyarakat
tersebut.
c. Sebagai pilar amal jam’i antara aghniya dengan para mujtahid dan da’i
yang sedang melaksanakan tugas paling utama dalam Islam sehingga
merasa tenang dalam menjalankan tugasnya dan keluarga yang
ditinggalkannya.
d. Sebagai alat yang sangat efektif untuk mengembangkan umat.
[سورةالنسآء(:])
Artinya: (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat
kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya
31 Hamka dkk, Modul Penyuluhan Zakat (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Zakat, Depag
RI, 2012),h. 8 32
Mohammad Rifa’i, Fiqih Islami, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1978), h. 370
33
kepada mereka. dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir
siksa yang menghinakan.” (Q.S al-Nisa [4]: 37)
e. Menambah pendapatan Negara untuk melaksanakan proyek-proyek
sehingga berguna untuk masyarakat dan dapat mensejahterahkannya.
[سورةالشر(:])
Artinya: “Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya
saja di antara kamu.” (Q.S al-Hasyr [59]: 7)
f. Untuk memberikan dukungan moral bagi orang-orang yang baru masuk
agama Islam sehingga mereka merasa dihargai sebagai anggota
masyarakat Islam.
g. Bersifat sosialistis, karena meringankan beban fakir miskin dan meratakan
nikmat Allah yang diberikan kepada manusia.
B. Investasi
Investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu investire (memakai), sedangkan
dalam bahasa Inggris disebut dengan Invest. 33 Dalam pengertian kamus
Longman Dictionary of Contemporary English, kata invest dapat didefinisikan
sebagai “to use (money) to make more money out of something that will
increase in value”. Selanjutnya, kata investment diartikan sebagai “the act or
action of investing”.
Investasi di dalam teori ekonomi berarti penambahan terhadap stok modal
fisik, apakah itu melalui pembangunan rumah-rumah, pembuatan mesin,
pembangunan pabrik/kantor atapun penambahan terhadap persedian barang-
barang.34
Pengertian investasi secara bahasa adalah طلب الحصول علي الثمر (mencari
suatu pengahasilan berupa keuntungan), adapun menurut istilah investasi
33
Abdul Manan, Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal
Syariah Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), h. 183 34
Nurul Huda dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah
(Jakarta: 2007), h. 7
34
adalah sesuatu cara yang bisa membuat harta menjadi bertambah dari yang
sebelumnya.35
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa investasi diartikan
penanaman uang atau modal dalam suatu perusahaan atau proyek untuk tujuan
memperoleh keuntungan.36
Manan menyatakan, investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu investire
(memakai), sedangkan dalam bahasa Inggris disebut dengan investment.37
Ismanthono mendefinisikan investasi adalah tindakan menanamkan uang
dalam bentuk uang tunai, aset, dan surat-surat berharga lainnya dengan harapan
akan mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang sebagai pendapatan
dari investasi tersebut.38
Definisi investasi adalah menanamkan modal atau menempatkan aset, baik
berupa harta maupun dana, pada suatu yang diharapkan akan memeberikan
hasil pendapatan atau akan meningkatkan nilainya di masa mendatang. Atau
secara sederhana, investasi berarti merubah cashflow agar mendapatkan
keuntungan atau jumlah yang lebih besar di kemudian hari.39
Dari beberapa paparan definisi di atas dapat disimpulkan bahwasanya
investasi merupakan suatu penanaman sejumlah dana atau sumber daya lainnya
yang dilakukan oleh seseorang pada saat ini sebagai modal melakukan
investasi, kemudian dikelola dan dikembangkan dengan tujuan harapan dapat
memperoleh sejumlah keuntungan di masa yang akan datang.
35
Qasim Haji Ahmad, Istitsmār Amwāl al-Zakah wa Dauruhu fi Tahqiqi al-Fi‟liyyah al-
Iqtishādiyyah (T.tp.: al-Markaz al-Jami’, t.th.), 1 36
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, Aplikasi Luring Resmi Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, 2016. 37
Abdul Manan, Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Investasi di Pasar Modal
Syariah Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 183 38
Henricus W Ismanthono, Kamus Istilah Ekonomi Populer, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2006), h. 121 39
Dr. Muhammad Firdaus NH, Sistem Keuangan & Investasi Syariah, (Jakarta: Renaisan,
2005), h. 12
35
Ada beberapa ayat di dalam al-Qur’an yang dapat dijadikan sandaran
dalam melakukan investasi, antara lain:40
1. (Q.S al-Nisa [4]: 9)
[سورةالنسآء(:])
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka
bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang
benar.” (Q.S al-Nisa [4]: 9)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kita diperintahkan agar tidak
meninggalkan dzurriyah dhi‟āfa (keturunan yang lemah) di masa kedepannya,
yakni keturunan yang lemah atau tidak mampu. Supaya tidak terjadi demikian,
maka salah satu caranya adalah memperhatikan kesejahteraan mereka dengan
cara melakukan investasi harta supaya dapat diwariskan ke anak keturunan.
2. Q.S al-Hasyr [59]: 18
[سورةالشر(:])
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S al-Hasyr [59]: 18)
Dalam lafazh waltanzhur nafsun mā qaddamat lighad dapat dipahami
bahwasanya kita diperintahkan supaya jangan hanya fokus terhadap kehidupan
akhirat saja, akan tetapi kita diperintahkan juga untuk memperhatikan
kehidupan duniawi kita di masa akan datang nanti. Salah satu usaha untuk
40
Ari Kristin Prasetyoningrum, Risiko Bank Syariah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),
h. 30-32
36
mempersiapkan masa yang akan datang supaya lebih baik lagi adalah dengan
cara menginvestasikan harta yang dimiliki.
3. (Q.S al-An‟ām [6]: 152)
النعامسورة)[:])
Artinya: “dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada
sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata,
Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan
penuhilah janji Allah yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu ingat.” (Q.S al-An‟ām [6]: 152) Ayat di atas tegas melarang kita untuk mendekati (mengembangkan) harta
anak yatim, kecuali bilamana harta milik anak yatim tersebut bisa diolah dan
kembangkan yang nantinya di masa mendatang berguna untuk mereka sendiri.
Begitu pula harta zakat, bilamana harta zakat itu diinvestasikan kepada
biadang-bidang yang dinilai bahwa harta zakat itu kedepannya dapat
berkembang, seperti dikembangkan dalam bidang usaha, berdagang,
pembangunan, dan lainnya, maka jalan menginvestasikan harta zakat itu
merupakan jalan yang baik, karena di masa mendatang akan merubah
seseorang yang awalnya menjadi mustahiq (penerima zakat) berubah menjadi
muzakki (pemberi zakat).
Setiap investor yang akan menginvestasikan hartanya dalam suatu bidang
yang dinilai akan menjanjikan keuntungan kedepannya pasti akan dihadapi dua
hal, yakni risiko dan return. Return atau keuntungan merupakan salah satu
faktor yang memotivasi investor untuk melakukan investasi dan juga
merupakan imbalan atas keberanian investor dalam menanggung risiko atas
37
investasi yang dilakukannya. Sedangkan risiko adalah besarnya penyimpangan
antara tingkat pengembalian yang diharapkan dengan tingkat pengembalian
yang dicapai secara nyata. 41 Oleh karena itu, semakin besar seorang investor
menginvestasikan hartanya tersebut, maka return yang akan didapatkannya
tersebut akan besar juga. Tetapi tidak menutup kemnungkinan bahwa di balik
keuntungan besar yang akan didapatkannya, pasti risiko yang akan dihadapinya
akan besar pula.
Dalam berinvestasi diharapkan akan suatu keuntungan. Namun
keuntungan tersebut tidak dapat menjadi suatu kepastian, karena adanya
risiko.42
Harapan untuk memperoleh keuntungan tersebut adalah suatu
kompensasi atas waktu dan risiko yang terkait dengan investasi yang
dilakukan. Oleh karena itu, return dan risiko merupakan suatu hal yang mesti
diperhatikan oleh setiap seorang investor bilamana ingin melakukan investasi
terhadap harta bendanya.
Dalam investasi terdapat beberapa tujuan, di antaranya yaitu;
a. Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak di masa yang akan datang.
Setiap orang pasti ingin meningkatkan taraf hidup, atau setiap perusahaan
pasti ingin memajukan perusahaannya di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, mereka melakukan investasi dengan tujuan akan mendapatkan
kehidupan yang lebih layak di masa yang akan datang.
b. Mengurangi tekanan inflasi. Dengan melakukan investasi, seseorang atau
perusahaan dapat menghindarkan kekayaannya dari merosotnya nilai
dikarenakan inflasi.
c. Dorongan untuk menghemat pajak. Kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan investasi salah satunya yaitu fasilitas pajak yang diberikan
kepada seseorang atau suatu perusahaan yang melakukan investasi.43
41
Abdul Halim, Analisis Investasi (Depok: Salemba Empat, 2003),h. 38 42
Suad Husnan, Dasar-dasar Teori Porto Folio dan Analisis Sekuritas (Yogyakarta: UPP
AMP YKPN, 2001), h. 150 43
Ahmad Rodoni, Investasi Syariah, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.
47
38
C. Distribusi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) distribusi adalah
penyaluran (pembagian, pengiriman) kepada beberapa orang atau beberapa
tempat.44
Distribusi berasal dari Bahasa Inggris yaitu distribute yang berarti
pembagian atau penyaluran. Sedangkan secara terminologi distribusi adalah
penyaluran (pembagian) kepada orang banyak atau beberapa tempat.
Pengertian lain mendefinisikan distribusi sebagai penyaluran barang keperluan
sehari-hari oleh pemerintah kepada pegawai negeri, penduduk, dan
sebagainya.45
Sedangkan pengertian distribusi menurut para ahli, antara lain:
Menurut Anaz Zarqa, sebagaimana pendapatnya dikutip oleh
Fathurrahman Djamil dalam bukunya Hukum Ekonomi Islam, bahwa
pengertian distribusi adalah suatu transfer dari pendapatan kekayaan antara
individu dengan cara pertukaran (melalui pasar) atau dengan cara lain
seperti warisan, sedekah, wakaf, dan zakat.46
M Abdul Mannan mengungkapkan bahwasanya teori ekonomi modern
mengenai distribusi merupakan teori tentang menetapkan harga jasa
produksi, sehingga masalah distribusi perseorangam dapat dipecahkan
dengan cara sebaik-baiknya, setelah terlebih dahulu diteliti masalah
kepemilikan serta faktor-faktor produksi.47
Menurut ahli ekonomi, Sofjan Assaur dalam bukunya Manajemen
Pemasaran: saluran distribusi merupakan lembaga-lembaga yang
memasarkan produk yang berpa barang atau jasa dari produsen kepada
konsumen.48
44
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http:
badanbahasa.kemendikbud.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 24/7/2019 pukul 17.27 WIB 45
W.H.S, Poerwadaminta, Kamus Umum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), cet.
ke-7, h. 269 46
Fathurrahman Djamil, Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dam Konsep (Jakarta:
Sinar Grafika, 2013), h. 185 47
M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT Dana Bhakti
Wakaf, 1995),h. 113 48
Sofjan Assaur, Manajemen Pemasaran (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002),h. 181
39
Jadi yang dimaksud dengan distribusi zakat merupakan penyaluran atau
pengalokasian harta yang lebih dan telah sampai waktunya yang dimiliki
seseorang untuk diberikan kepada (mustahiq) orang-orang yang berhak
menerimanya yang telah Allah SWT dalam al-Qur’an.
Munawwar Iqbal mengutip perkataan Muhammad Anas Zarqa dalam
bukunya Distributive Justice and Need Fullfilment in an Islamic Economy
mengungkapkan akan bahwasanya terdapat beberapa faktor yang menjadi dasar
distribusi, yaitu tukar menukar, kebutuhan, kekuasaan, sistem sosial, dan nilai
etika. Karena pentingnya memelihara kelancaran distribusi agar terciptanya
sebuah perekonomian yang dinamis, adil, dan produktif, terdapat beberapa
prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu:
1. Pemenuhan atas kebutuhan semua makhluk
2. Terbentuknya pengaruh positif dalam diri
3. Terciptanya kebaikan di antara sesama
4. Mengantisipasi perbedaan penyaluran pendapatan dan kekayaan
5. Memaksimalkan potensi kekayaan alam
6. Memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian.49
Fungsi distribusi dilakukan oleh badan usaha atau perorangan sejak
pengumpulan barang dengan jalan membelinya dari produsen untuk disalurkan
ke konsumen, berdasarkan hal tersebut maka fungsi distribusi dapat dibagi
sebagai berikut:
a. Fungsi pertukaran, berkaitan dengan kegiatan pemasaran atau jual beli
barang atau jasa yang meliputi pembelian, penjualan, dan pengambilan
risiko untuk mengatasi risiko bisa dilakukan dengan menciptakan situasi dan
kondisi pergudangan yang baik, mengasuransikan barang dagangan yang
akan dan sedang dilakukan.
b. Fungsi penyediaan fisik, berkaitan dengan menyediakan barang dalam
jumlah yang tepat, mencakup dalam masalah pengumpulan, penyimpanan,
pemilahan, dan pengangkutan.
49
Munawwar Iqbal, Distributive Justice and Need Fullfilment in an Islamic Economy
(London: International Institute of Islamic Economis, 1986),h. 164-165
40
c. Fungsi penunjang, ini merupakan fungsi yang berkaitan dengan upaya
memberikan fasilitas kepada fingsi-fungsi lain agar kegiatan distribusi dapat
berjalan dengan lancar, fungsi ini meliputi kekayaan, pembelanjaan,
penyebaran informasi, dan koordinasi.50
Aktivitas usaha distribusi ini dituntut untuk memenuhi hak dan
kewajiban yang diinginkan oleh syariat bagi konsumen dan produsen.
Dengan kata lain, aktivitas distribusi sebaiknya dengan motif dan tujuan
utama dari aktivitas produksi dan konsumsi, yaitu pemenuhan kebutuhan
masyarakat luas. Kebutuhan utama adalah kebutuhan dasar yang harus
menjadi prioritas yang utama untuk dipenuhi dari perekonomian yang
dijalankan oleh produsen, konsumen, dan distributor.51
Distribusi dalam ekonomi Islam mempunyai tujuan-tujuan yang
penting, diantaranya adalah:52
1. Pengembangan harta dan pembersihnya, karena pemilik harta ketika ia
menginfakkan sebagian hartanya kepada orang lain, baik infak wajib
maupun sunnah, maka demikian itu akan mendorongnya untuk
menginvestasikan hartanya sehingga tidak habis karena zakat.
2. Memberdayakan sumber daya manusia yang menganggur dengan
terpenuhi kebutuhannya tentang harta atau persuapan yang lazim untuk
melaksanakannya dengan melakukan kegiatan ekonomi. Pada sisi lain,
bahwa sistem distribusi dalam ekonomi Islam dapat mengilangkan
faktor-faktor penghambat seseorang dari andil dalam kegiatan ekonomi;
dari hutang yang membebani pundak orang-orang yang berhutang atau
hamba sahaya yang terikat untuk merdeka.
3. Andil dalam merealisasikan kesejahteraan ekonomi, di mana tingkat
kesejahteraan ekonomi yang berkaitan dengan tingkat konsumsi.
Sedangkan tingkat konsumsi tidak hanya berkaitan dengan bentuk
50
Basu Swastha, Saluran Pemasaran, (Yogyakarta: BPFE, 1999), h. 60 51
Ali Sakti, Analisis Teoritis Dalam Ekonomi Islam: Jawaban Atas Kekacauan Modern
(Jakarta, Pustaka Kautsar, 2009) h. 76 52
Yusuf al-Qaradhawi, Norma dan Ekonomi Sosial (Jakarta: Gema Insan Press, 2006),h.
20
41
pemasukan saja, namun juga berkaitan dengan cara pendistribusiannya di
antara individu masyarakat. Oleh karena itu, kajian tentang cara distribusi
yang dapat merealisasikan tingkat kesejahteraan ekonomi terbaik bagi
umat yaitu keharusan dan keniscayaan.
42
BAB III
WAHBAH AL-ZUHAILI DAN YUSUF AL-QARADHAWI: BIOGRAFI
DAN KARYA
A. Biografi Wahbah al-Zuhaili
Wahbah al-Zuhaili dilahirkan pada tahun 1932 M, bertempat di Dair
„Atiyah kecamatan Faiha, propinsi Damaskus Suriah. Nama lengkapnya adalah
Wahbah bin Musthafa al-Zuhaili, anak dari Musthafa al-Zuhaili. Yakni,
seorang petani yang sederhana dan terkenal dalam keshalihannya. Sedangkan
ibunya bernama Hajjah Fatimah binti Mustafa Sa‟adah. Seorang wanita yang
memiliki sifat wara‟ dan teguh dalam menjalankan syari‟at agama.1
Wahbah al-Zuhaili adalah seorang tokoh di dunia pengetahuan, selain
terkenal di bidang tafsir beliau juga seorang ahli fiqh. Hampir dari seluruh
waktunya semata-mata hanya difokuskan untuk mengembangkan bidang
keilmuan. Beliau adalah ulama yang hidup di abad ke -20 yang sejajar dengan
tokoh-tokoh lainya, seperti Thahir Ibnu Asyur, Said Hawwa, Sayyid Qutb,
Muhammad Abu Zahrah, Mahmud Syaltut, Ali Muhammad al-Khafif, Abdul
Ghani, Abdul Khaliq dan Muhammad Salam Madku.2
Pendidikan masa kecil beliau diawali dari sekolah dasar (ibtidāiyah) yang
berada di kampungya sendiri, bersamaan dengan itu beliau juga belajar al-
Qur‟an yang juga masih berada di tanah kelahiranya. Pada tahun 1946 Wahbah
menyelesaikan pendidikan ibtidaiyah nya dan melanjutkan pendidikanya di
kuliah Sharī‟ah di Damaskus dan selesai pada tahun 1952. Karena
semangatnya dalam belajar dan kecintaannya terhadap ilmu, sehingga ketika
beliau pindah ke Cairo beliau mengikuti beberapa kuliah secara bersamaan,
yaitu di Fakultas Bahasa Arab al-Azhar University dan Fakultas Sharī‟ah di
Universitas „Ain Shām.3 Ketika itu beliau memperoleh ijasah :
1 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 174 2 Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, Sheikh Prof. Dr.
Wahbah al-Zuḥailī: Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi ( Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2010), 13.
43
a. Ijazah Bahasa Arab dari Fakultas Sharī‟ah Universitas al- Azhar pada
tahun 1956. Ijasah Takhāṣuṣ Pendidikan dari Fakultas Bahasa Arab
Universitas al-Azhar pada tahun 1957
b. Ijazah Bahasa Arab dari Fakultas Sharī‟ah Universitas Ain Shām pada
tahun 1957.3
Dalam masa waktu lima tahun, beliau mendapat tiga ijazah yang kemudian
diteruskan ke tingkat pasca sarjana di Universitas Cairo yang berhasil ditempuh
selama dua tahun dan memperoleh gelar M.A pada tahun 1957 dengan tesisnya
yang berjudul “Al-Zirā’i fī al-Siyāsah al-Sharī’ah wa al-Fiqh al-Islāmī”.
Karena beliau merasa belum puas dengan pendidikanya, selanjutnya beliau
melanjutkan belajarnya ke program doktoral yang diselesaikanya pada tahun
1963 dengan judul desertasinya “Athār al- Ḥarb fī al- Fiqh al- Islāmī
Dirāsatān Muqārānatān” di bawah bimbingan Dr.Muhammad Salmān
Madhkūr.4
Pada tahun 1963 M, beliau diangkat menjadi dosen di Fakultas Shari‟ah
Universitas Damaskus dan menjadi wakil dekan secara berturut-turut,
kemudian menjadi Dekan, dan menjadi ketua jurusan Fiqh al-Islāmī wa
Madzāhabih di fakultas yang sama. Beliau mengabdi selama lebih dari tujuh
tahun, dan menjadi professor pada tahun 1975. Beliau dikenal sebagai seorang
yang ahli dalam bidang Fiqih, Tafsir dan Dirasah Islamiyah.5
Sebagai seorang guru besar, beliau seringkali menjadi dosen tamu di
sejumlah Universitas di negara-negara Arab, seperti pada fakultas Sharī‟ah,
serta fakultas Adab Pasca sarajana di beberapa tempat, yaitu Universitas
Khurtumi, Universitas Ummu Darman, Universitas Afrika yang ketiganya
berada di Sudan. Di samping itu, beliau juga turut memberikan khutbah sholat
3 Sayyid Muhammad „Alī Ayāzi, al-Mufassirun Ḥayātuhum wa Manāhijuhum (Teheran:
Wizānah al-Thaqāfah wa al-Inshāq al-Islām, 1993), 684-685 4 Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, Sheikh Prof. Dr.
Wahbah al-Zuḥailī: Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi ( Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2010), 13. 5 Wahbah al-Zuḥailī, al-Tafsīr al-Munīr fī al- ‘Aqīdah wa al-Sharī’ah wa al-Manhaj
(Damaskus: Dār al-Fikr, 1998), 34
44
jum‟at sejak tahun 1950 di masjid Uthman yang berada Damshiq dan masjid
al-Iman yang berada di Dār „Athiyyah, beliau juga menyampaikan ceramah di
masjid, radio, dan televisi, serta seminar-seminar dalam segala bidang
keilmuan.6
Sebagai seorang ulama dan pemikir islam, Wahbah al-Zuhaili juga aktif
dalam menulis artikel dan buku-buku yang jumlahnya hingga melebihi 133
buah buku. Bahkan, jika tulisan-tulisan beliau yang berbentuk risalah
dibukukan maka jumlahnya akan melebihi dari 500 makalah.7 Adapun karya-
karya beliau yang sudah terbit adalah sebagai berikut:
1. Atsar al-Harb fi al-Fiqh al-Islāmi-Dirāsah Muqāranah, Dār al-Fikr,
Damaskus, 1963
2. al-Wasit fi Ushūl al-Fiqh, Universitas Damaskus, 1966
3. al-Fiqh al-Islāmi fi Uslub al-Jadid, Maktabah al-Hadits, Damaskus, 1967
4. Nazāriat al-Darūrāt al-Syar’iyyah, Maktabah al-Farabi, Damaskus, 1969
5. Nazāriat al-Damān, Dār al-Fikr, Damaskus, 1970
6. al-Usūl al-‘Ᾱmmah li Wahdah al-Din al-Haq, Maktabah al Abassiyah,
Damaskus, 1972
7. al-Alaqāt al-Dawliah fī al-Islām, Muassasah al-Risālah, Beirut, 1981
8. al-Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, (8 Jilid ), Dār al-Fikr, Damaskus, 1984
9. Ushūl al-Fiqh al-Islāmi (2 Jilid), Dār al-Fikr, Damaskus, 1986
10. Juhūd Taqnin al-Fiqh al-Islāmi, Muassasah al- Risālah, Beirut, 1987
11. Fiqh al-Mawāris fi al-Shari’ah al-Islāmiah, Dār al-Fikr, Damaskus, 1987
12. al-Wasāyā wa al-Waqaf fi al-Fiqh al-Islāmi, Dār al-Fikr, Damaskus,
1987
13. al-Islām Din al-Jihād lā al-Udwān, Persatuan Dakwah Islam Antar
Bangsa, Tripoli, Libya, 1990
6 Ardiansyah, Pengantar Penerjemah, dalam Badi al-Sayyid al-Lahham, Sheikh Prof. Dr.
Wahbah al-Zuḥailī: Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi (Bandung: Citapustaka
Media Perintis, 2010), 15. 7 Lisa Rahayu, “Makna Qaulan dalam al-Qur’an; Tinjauan Tafsir Tematik Menurut
Wahbah al-Zuhailī” (Skripsi Sarjana, Fakutas Ushuluddin Univesitas UIN SUSKSA Riau,
Pekanbaru, 2010), hlm. 18
45
14. al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, (16 jilid),
Dār al-Fikr, Damaskus, 1991
15. al-Qisah al-Qur’āniyyah Hidāyah wa Bayān, Dār Khair, Damaskus, 1992
16. al-Qur’ān al-Karim al-Bunyātuh al-Tasri’iyyah aw Khasāisuh al
Hasāriyah, Dār al-Fikr, Damaskus, 1993
17. al-Ruẖsah al-Syari’ah-Aẖkāmuhu wa Dawabituhu, Dār al-Khair,
Damaskus, 1994
18. Khasāis al-Kubra li Hūquq al-Insān fī al-Islām, Dār al-Maktabi,
Damaskus, 1995
19. al-Ulūm al-Syari’ah Bayān al-Wahdah wa al-Istiqlāl, Dār al-Maktabi,
Damaskus, 1996
20. al-Asas wa al-Masādir al-Ijtihād al-Musytarikah Bayān al-Sunah wa al-
Syiah, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1996.
21. al-Islām wa Tahadiyyah al-‘Asr, Dār al-Maktabi, Damaskus,1996
22. Muwajāhah al-Ghazu al-Taqāfi al-Sahyuni wa al-Ajnābi, Dār al Maktabi,
Damaskus,1996
23. al-Taqlid fi al-Madhahib al-Islāmiah inda al-Sunah wa al-Syiah, Dār al-
Maktabi, Damaskus, 1996
24. al-Ijtihād al-Fiqhi al-Hadits, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1997
25. al-Urūf wa al-Adah, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1997
26. Bay al-Asam, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1997
27. al-Sunnah al-Nabawiyyah, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1997
28. Idārah al-Waqaf al-Kahiri, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1998
29. al-Mujādid Jamaluddin al-Afghani, Dār al-Maktabi, Damaskus, 1998
30. Taghyir al-Ijtihād, Dār al-Maktabi, Damaskus, 2000
31. Tatbiq al-Syari’ah al-Islāmiah, Dār al-Maktabi, Damaskus, 2000
32. al-Zirā’i fi al-Siyāsah al-Syar’iyyah wa al-Fiqh al-Islāmi, Dār al
Maktabi, Damaskus, 1999
33. Tajdid al-Fiqh al-Islāmi, Dār al-Fikr, Damaskus,2000
34. al-Taqāfah wa al-Fikr, Dār al-Maktabi, Damaskus, 2000
46
35. Manhāj al-Da’wah fi al-Sirāh a-Nabawiyah, Dār al-Maktabi, Damaskus,
2000
36. al-Qayyim al-Insāniah fi al-Qur’ān al-Karim, Dār al-Maktabi, Damaskus,
2000
37. Haq al-Hurriah fi al-‘Alām, Dār al-Fiqr, Damaskus, 2000
38. al-Insān fi al-Qur’ān, Dār al-Maktabi, Damaskus, 2001
39. al-Islām wa Usūl al-Hadārah al-Insāniah, Dār al-Maktabi, Damaskus,
2001
40. Usūl al-Fiqh al-Hanafi, Dār al-Maktabi, Damaskus, 2001.
B. Biografi Yusuf Al-Qaradhawi
Yusuf al-Qaradhawi lahir di Shafth Turab, Kairo, Mesir, September 1926
adalah salah seorang cendikiawan Muslim yang berasal dari Mesir. Ia dikenal
sebagai seorang Mujtahid pada era modern ini. Beliau merupakan seorang
pemikir, sarjana, dan intelek kontemporer yang tidak asing lagi di dunia Islam.
Selain sebagai seorang Mujtahid, ia juga dipercaya sebagai seorang ketua
majelis fatwa. Banyak dari fatwa yang telah dikeluarkan digunakan sebagai
bahan rujukan atas permasalahan yang terjadi.
Nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Ali bin Yusuf. al-
Qaradhawi merupakan nama keluarganya. Nama ini diambil dari sebuah daerah
yang bernama al-Qardhah. Dinisbatkan kepada keturunanya. Kampungnya
terdapat makam sahabat nabi yang meninggal di Mesir, yaitu Abdullah bin
Harits bin Juz al-Zubaidi, di kampung inilah beliau tinggal dan wafat pada
tahun 86 H, sehingga hingga kini makamnya sangat dimuliakan dan para
penduduk kampung amat berbangga dengannya. Hal ini telah dinyatakan oleh
pengkaji sejarah seperti Ibnu Hajar ketika menceritakan kisah sahabat ini.8
Yusuf al-Qaradhawi berasal dari keluarga yang taat beragama. Ketika ia
berusia dua tahun, ayahnya meninggal dunia. Sebagai anak yatim ia hidup dan
diasuh oleh pamannya yang bernama Ahmad. Ia mendapat perhatian yang
8 Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradhāwi. Alih Bahasa Samson Rahman,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 4
47
cukup besar dari pamannya, sehingga ia menganggap pamannya itu sebagai
orang tuanya. Seperti keluarganya, keluarga pamannya pun taat menjalanka
agama Islam. Sehingga ia terdidik dan dibekali dengan berbagai ilmu
pengetahuan agama dan syariat Islam.9
Ketika berusia 5 tahun, Yusuf telah diantar ke Kuttab di kampungnya untuk
menghafal al-Qur‟an. Sampai usianya 7 tahun, beliau dimasukkan ke sekolah
Madrasah Ibtidaiyah yang diurus oleh Kementerian Pendidikan. Di sekolah
inilah beliau belajar matematika, sejarah, kesehatan, dan lain-lain. Yusuf sejak
kecil mendapatkan pendidikan secara formal melalui sekolah kerajaan dan
pendidikan agama (al-Kuttab). Yusuf menyebutkan “sebelum usia saya
mencapai 10 tahun, saya telah dikaruniakan oleh Allah dengan dapat
menamatkan hafalan al-Qur‟an sepenuhnya bersama hukum-hukum Tajwid”.10
Bukan hanya itu, kefasihan dan kebenaran tajwid serta kemerduan qira’atnya
menjadikan ia sering disuruh menjadi imam masjid.11
Setelah menamatkan pendidikan di Ma‟had Tsanawi, Qardhawi kemudian
melanjutkan ke Universitas al-Azhar Fakultas Ushuluddin dan lulus tahun 1952.
Tetapi gelar doktornya baru ia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi Zakat
dan Dampaknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan, yang kemudian
disempurnakan menjadi Fiqh Zakat. Sebuah buku yang sangat komprehensif
membahas persoalan zakat dengan nuansa modern.
Sebab keterlambatannya meraih gelar doctor, karena dia sempat
meninggalkan Mesir akibat kejamnya rezim yang berkuasa saat itu. Ia terpaksa
menuju Qatar pada tahun 1961 dan di sana sempat mendirikan Fakultas Syari‟ah
di Universitas Qatar. Pada saat yang sama, ia juga mendirikan Pusat Kajian
9 Yusuf Qardhawi, Pasang Surut Gerakan Islam, terj; Faruq Uqbah, Hartono, (Jakarta:
Media Dakwah, 1987), Cet. ke-1, h. 153 10
Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradhāwi. Alih Bahasa Samson Rahman,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 20 11
Yusuf Qardhawi, Fatwa Qardhāwi, terjemahan, H. Abdurrachman Ali Bauzir
(Surabaya: Risalah Gusti), Cet. ke-1, h. 22
48
Sejarah dan Sunnah Nabi. Ia mendapatkan kewarganegaraan Qatar dan
menjadikan Dokha sebagai tempat tinggalnya.12
Dalam perjalanan hidupnya, Qardhawi pernah mengenyam “pendidikan”
penjara sejak mudanya. Saat Mesir dipegang oleh raja Faruq, dia masuk bui
tahun 1949, saat umurnya masih 23 tahun, karena keterlibatannya dalam
pergerakan Ikhwanu al-Muslim. April 1956 ia ditangkap lagi saat terjadi
Revolusi Juni di Mesir, bulan Oktober kembali lagi ia mendekam di penjara
militer selama dua tahun. Qardhawi terkenal dengan khutbah-khutbahnya yang
berani sehingga sempat dilarang menjadi khatib di sebuah masjid di daerah
Zamalik. Alasannya, khutbah-khutbahnya dinilai menciptakan opini umum
tentang ketidakadilan rezim saat itu. 13
Yusuf al-Qaradhawi banyak tertarik kepada tokoh-tokoh Ikhwanu al-Muslim
yang lainnya karena fatwa dan pemikirannya yang kokoh dan mantap. Di antara
tokoh tersebut adalah Bakhi al-Khauli, Muhammad al-Ghazali, dan Muhammad
Abdullah Darras. Ia juga kagum dan hormat kepada Imam Mahmud Syaltut
mantan RektorAl-Azhar dan Abdul Hakim Mahmud sekaligus dosen yang
mengajarnya di fakultas Ushuluddin dalam bidang filsafat. Yusuf al-Qaradhawi
kepada tokoh di atas namun tidak sampai melenyapkan sikap kritis yang
dimilikinya, beliau pernah berkata;
“Termasuk karuina Allah SWT kepada saya, bahwa kecintaan saya kepada
seorang tokoh tidak membuat saya taqlid kepadanya. Karena saya bukan
lembaran copiyan dari orang-orang terdahulu. Tetapi saya mengikuti ide dan
pola prilakunya, hanya saja hal ini bukan merupakan penghalang bagi saya
untuk mengambil manfaat dari pemikiran-pemikiran mereka”14
Yusuf Al-Qardhawi adalah seorang ulama yang tidak menganut suatu
mazhab tertentu. Dalam bukunya al-Halal wa al-Haram ia mengatakan, “saya
tidak rela rasioku terikat dengan satu mazhab dalam seluruh persoalan,
kesalahan besar bila hanya mengikuti satu mazhab”. Ia berpendapat dengan
12
Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradhawi. Alih Bahasa Samson Rahman,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 20-21 13
Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradhawi. Alih Bahasa Samson Rahman,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 22 14
Lihat dalam Ensiklopedi Hukum Islam (5), (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
Cet. ke-1, h. 1449
49
ungkapan Ibnu Juz‟i tentang dasar muqallid yaitu tidak dapat dipercaya tentang
apa yang diikutinya itu dan taqlid itu sendiri sudah menghilangkan rasio, sebab
rasio itu diciptakan untuk berfikir dan menganalisa, bukan untuk semata-mata
taqlid. Sungguh aneh sekali bilamana ada seseorang diberi lilin tetapi ia berjalan
dalam kegelapan.15
Menurut Yusuf al-Qardhawi para imam yang empat sebagai tokoh pendiri
mazhab-mazhab popular di kalangan umat Islam tidak pernah mengharuskan
mengikuti salah satu mazhab. Semua mazhab itu tidak lain hanyalah hasil ijtihad
para imam. Para imam tidak pernah mendewakan dirinya sebagai orang yang
Ishmah (terhindar dari kesalahan). Menurutnya tidak pantas seorang muslim
yang berpengetahuan dan memiliki kemampuan untuk menimbang dan menguji,
malah ia terikat pada satu mazhab atau tunduk kepada pendapat seorang ahli fiqh
yang seharusnya ia menjadi tawanan hujjah dan dalil.16
Yusuf al-Qaradhawi memiliki tujuh orang anak, empat putri dan tiga putra.
Sebagai ulama yang terbuka, dia membiarkan anak-anaknya untuk menuntut
ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat mereka serta kecenderungan
masing-masing. Hebatnya lagi, dia tidak membedakan pendidikan yang harus
ditempuh anak-anaknya. Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika
dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor
dalam bidang kimia dari Inggris, sementara putri yang ketiganya masih
menempuh pendidikan S3. Adapun putrinya yang keempat telah menyelesaikan
pendidikan S1-nya di Universitas Texas, Amerika. Anak laki-laki yang pertama
menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang keduanya belajar
di Universitas Darul „Ulum, Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan
kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.17
15
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terj; H. Mu‟ammal Hamidy,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1976), Cet. ke-1, h. 4 16
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, terj; H. Mu‟ammal Hamidy,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1976), Cet. ke-1, h. 5 17
Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradhawi. Alih Bahasa Samson Rahman,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 22
50
Jika dilihat dari beragam pendidikan anak-anaknya, maka orang-orang bisa
membaca sikap dan pandangan Qardhawi terhadap pendidikan modern. Di
antara tujuh anak-anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul „Ulum,
Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya mengambil
pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri. Sebabnya ialah,
karena Qardhawi merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu
secara dikotomis. Semua ilmu bisa dicari, baik yang Islam maupun yang umum,
hanya saja tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya.
Pemisahan ilmu secara dikotomis itu menurut Qardhawi telah menghambat
kemajuan umat Islam.18
Sebagai seoarang ulama dan cendekiawan besar berkaliber Internasional,
beliau mempunyai kemampuan ilmiah yang sangat mengagumkan. Beliau
termasuk seorang pengarang yang produktif. Telah banyak karya ilmiah yang
dihasilkannya baik berupa buku, artikel, maupun hasil penelitian yang tersebar
luas di dunia Islam. Tidak sedikit pula yang sudah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia. Di antara karya-karya beliau yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, yaitu :19
a. Al-Khashooiish Al-Islam Li Al-Islam, Dialih bahasakan dengan judul
“Karakteristik Islam (Kajian Analitik).” Buku ini membahas bahwa Islam
merupakan ajaran yang diturunkan untuk Rahma li al-‘Alamin.
b. Fii Fiqh al-Auliyyā al-Diraasah Jadiidah Fii Dhau’i al-Qarani wa al-
Sunnah, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dalam judul “Fiqh Prioritas
(Urutan Amal yang Tertentu).” Buku ini membahas tentang persoalan hukum
Islam yang diprioritaskan atau diutamakan dari yang lainnya dengan
argumentasi beliau yang kokoh dan kuat.
18
Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradhawi. Alih Bahasa Samson Rahman,
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 22 19
Muslim, ”Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Tentang Zakat Investasi Dalam Perspektif
Hukum Islam, Riau.” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan
Syarif Kasyim Pekan Baru, 2011), h. 19-20.
51
c. al-Fatwa Baina al-Indhibath wa al-Tassayyub, diterjemahkan kedalam
bahasa Indonesia dengan judul “Konsep dan Praktek Fatwa Kontemporer
(Antara Prinsip dan Penyimpangan).”
d. Ghairu al-Muslim Fi al-Mujtama’ al-Islam, dialih bahasakan dengan judul
“Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat Islam”. Di dalam buku ini
beliau membahas tentang hak-hak non-Muslim di sebuah komunitas
masyarakat Muslim.
e. al-Ijtihad Fi Syari’ah al-Islamiah, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul “Ijtihad Dalam Islam.” Dalam buku ini beliau menganjurkan
bahwa ijtihad merupakan jalan yang akan membimbing manusia kejalan yang
lurus asal dilakukan dengan ijtihad yang benar dan tepat.
f. Fiqh al-Zakah, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul
“Hukum Zakat”. Dalam buku ini diterangkan Mengenai zakat itu dalam sudut
pandang hukum Islam.
g. Min Fiqh al-Daulah Fi al-Islam, Dar al-Qiyam wa al-Akhlaq Fi al-Iqtishadi
al-Islami, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dengan judul “Norma dan
Etika Ekonomi Islam). Dalam buku ini Yusuf Al-Qardhawi mengulas secara
jelas berdasarkan nash-nash tentang ekonomi Islam.
h. Di samping itu masih banyak lagi buku-buku yang ditulis oleh Yusuf Al
Qardhawi ini di dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang belum
diketahui secara rinci oleh penulis.
52
BAB IV
PERBANDINGAN PENDAPAT DAN ANALISIS
A. Penggunaan Dana Zakat Untuk Istitsmār (Investasi) Menurut Wahbah al-
Zuhaili
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili
beliau mengatakan:1
برملاو اني رقوعمنمويقلصفالإفرلص لولصفو لصهن ر؛ عفدااةزكالص فرصري ختةي يالاتيعمجللصزويلويلع.....ووتاجح .رولصفىالعباجواةكالصزعفدن؛لةيعمالابسرلوددميصرك
Artinya: “Adapun perintah dengan memberikannya kepada orang-orang fakir
dan orang-orang yang bersamanya ada indikasi langsung (segera), karena
zakat adalah untuk menolak kebutuhannya….berdasarkan hal ini maka tidak
boleh bagi oranisasi-organisasi sosial mengakhirkan penyaluran zakat sebagai
akun yang dapat diputar untuk kalkulasi suatu organisasi, karena bahwasanya
dalam penyaluran zakat wajib untuk disegerakan”.
Berdasarkan pernyataan di atas telah jelas bahwasanya Wahbah al-Zuhaili
tidak membolehkan harta zakat untuk diinvestasikan, karena demikian itu
berlawanan dengan asal dalam penyaluran zakat yaitu al-fauriyyah (segera).
Pernyataan ini didasari dengan firman Allah SWT Dalam Q.S al-An‟am [6]:
141 Allah SWT berfirman:
([:النعام]سورة)
Artinya: “Tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin);.” (Q.S al-An‟am[6]: 141)
Dalam kutipan ayat di atas jelas memerintahkan bahwa zakat dikeluarkan
ketika masa panen. Ini mengisyaratkan jika harta zakat itu sudah terkumpul,
1 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Dimasyqi: Dar al-Fikr, 1997), Juz.
3, h. 1813-8181
53
maka harus diberikan kepada para mustahiq, tidak boleh diinvestasikan.
Karena yang demikian itu dapat menunda hak harta yang akan mereka
dapatkan.
Selain karena alasan dapat menunda hak mereka, Wahbah al-Zuhaili tidak
membolehkan melakukan investasi harta zakat dikarenakan tidak adanya al-
milk al-tam (kepemilikan yang sempurna) sebab tidak ada akad wakalah
(penyerahan) terlebih dahulu oleh para mustahiq.
ةكالالصزوامأنلمامعموأانبماءنبابهسفن بموقت نأيةعملزويلوعهبرفرلص الا اةالصكولذإيقحتلمسى نمةيعمللصدى ىاافيقحتمسالص
2
Artinya:“Tidak boleh bagi suatu perkumpulan bahwa mereka mendirikan
dengan kepentingan mereka sendiri, seperti mendirikan bangunan, atau
membelanjakan harta zakat dan mendayagunakannya supaya dapat
berkembang dan nanti keuntungannya dapat diberikan kepada para mustahiq.
(tidak dibolehkan) karena tidak adanya akad wakalah yang dilakukan oleh
perkumpulan tersebut dengan para mustahiq pada masalah ini.”
Dari pendapat Wahbah al-Zuhaili di atas dapat dipahami, bahwasanya
tidak diperbolehkan mendayagunakan harta zakat dengan cara
menginvestasikannya pada bidang-bidang yang sekiranya dapat
menguntungkan, sekalipun nantinya itu akan menghasilkan keuntungan. Hal itu
tidak diperbolehkan karena dalam menginvestasikan harta tersebut tidak
adanya akad wakalah (penyerahan kekuasaan) yang dilimpahkan oleh sang
mustahiq kepada orang atau suatu lembaga yang akan menginvestasikan harta
zakat tersebut.
Menurut Abu Bakr Taqiyuddin bin Muhammad al-Husaini dalam kitabnya
Kifāyah al-Akhyāar „alā Ghāyah al-Ikhtishār, secara bahasa wakalah adalah
al-tafwidh yang berarti penyerahan dan al-hifzh yang berarti pemeliharaan.
2 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu (Dimasyqi: Dar al-Fikr, 1997), Juz.
3, h. 1822
54
Sedangkan secara istilah sebagaimana yang ia kemukakan pula di dalam
kitabnya, wakalah adalah 3
وحياتفحالوظفحيلصهقبلالصنيابةإلغيم ايولعفوت فويضمالصArtinya: “Menyerahkan suatu pekerjaan yang dapat digantikan kepada orang
lain supaya dapat dikelola dan dijaga ketika masa hidupnya.”
Menurut Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya
4واتيحفولعفي لصةابيقبلالصنايميرفلآخإهرمأصخشضيوفت Artinya: “Penyerahan seseorang akan uurusannya kepada orang lain terhadap
suatu pekerjaannya yang dapat digantikan supaya dapat dikerjakan di masa
hidupnya.”
Dari kedua definisi tersebut dapat dipahami bahwasanya wakalah itu
merupakan bentuk penyerahan kekuasaan/pekerjaan yang mana seseorang
menunjuk orang lain supaya dapat menggantikan suatu urusan /pekerjaannya
tersebut yang dilakukan semasa hidupnya.
Mengenai wakalah, para ulama telah sepakat membolehkannya, karena
dalam akaq wakalah dipandang sebagai bentuk tolong-menolong atas dasar
kebaikan dan taqwa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Adapun yang menjadi dasar hukum wakalah antara lain:
1. Q.S al-Kahfi [18]: 19
3 Abu Bakr Taqiyuddin bin Muhammad al-Husaini Kifāyah al-Akhyāar „alā Ghāyah al-
Ikhtishār (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2004), juz. 1, h. 273 4 Syekh Zainuddin ibn Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu‟in bi Syarhi Qurratu al-„Ain,
(Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009), h.
55
(١:]١[سورةالصكهف)
Artinya: “dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling
bertanya di antara mereka. berkatalah salah seorang di antara mereka:
sudah berapa lamakah kamu disini?". mereka menjawab: "Kita di sini sehari
atau setengah hari". berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu di sini. Maka suruhlah salah seorang di antara kamu
untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia
lihat manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa
makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah
sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.”(Q.S al-Kahfi [18]: 19
2. (Q.S al-Maidah [6]:2)
(سورةالمائدة][) Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(Q.S al-Maidah [6]:2)
3. Hadits riwayat Imam Muslim
كانالصعبدفعونأخيو )رواهمسلم (5واللهفعونالصعبدماArtinya: “Allah akan menolong hambanya, semasa hambanya itu menolong
saudaranya. (H.R Muslim)
Terdapat beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam akad wakalah ini,
antara lain:6
1. Orang yang mewakilkan (muwakkil), syaratnya dia berstatus pemilik
urusan/benda dan menguasainya, serta dapat bertindak terhadap harta
tersebut dengan dirinya sendiri.
2. Orang yang diwakilkan (wakil), syaratnya dia adalah berakal, jika dia idiot,
gila, atau belum dewasa maka demikian itu batal. Tapi menurut Imam Abu
5 Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, ( al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2010), juz 1, h. 156
6 Abdul Rahman Ghazali, dkk, Fiqh Muamalat (Jakarta: Kencana, 2015), cet. 3, h. 189-
190
56
Hanifah anak kecil yang sudah cerdas maka sudah menjadi wakil.
Alasannya bahwa Amr bin Sayyidah Ummu Salamah mengawinkan ibunya
kepada Rasulullah SAW, saat itu Amr masih kecil yang belum baligh.
3. Sesuatu yang diwakilkan (muwakkal fih), adapun syarat-syaratnya yaitu:
a. Pekerjaan/urusan tersebut dapat diwakilkan oleh orang lain. Oleh karena
itu tidak sah mewakilkan untuk mengerjakan ibadah seperti sholat, puasa,
membaca al-Quran.
b. Pekerjaan itu dimiliki oleh muwakkil sewaktu akad wakalah.
c. Pekerjaan itu diketahui secara jelas
d. Sighat hendaknya berupa lafal yang menunjukan arti “mewakilkan” yang
kemudian diiringi dengan kerelaan dari muwakkil dan kemudian diterima
oleh wakil.
Dari beberapa syarat akad wakalah yang telah disebutkan di atas dapat
dipahami, bahwasanya dalam menginvestasikan harta zakat sebelum jatuh ke
tangan mustahiq itu tidak ada akad wakalah (penyerahan) dan belum diketahui
kerelaan dari sang muwakkil yakni mustahiq. Oleh karenanya menurut
pendapat Wahbah al-Zuhaili di sini tidak memperbolehkan harta zakat tersebut
untuk diinvestasikan.
Pendapat para jumhur ulama, sebagaimana telah dikatakan oleh
Muhammad Utsman Syabir dalam tulisannya Istitsmār Amwāl al-Zakah,
Bahwa jumhur ulama dari Hanafiyyah (pendapat yang dipilih di kalangan
mereka), Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah sepakat bahwasanya
pendistribusian harta zakat kepada para mustahiq wajib al-fauriyyah
(diberikan segera).
Adapun alasan-alasannya sebagai berikut:7
1. Firman Allah Q.S al-An‟am[6]: 141
([:النعام]سورة)
7 Muhammad Utsman Syabir, Istitsmār Amwāl al-Zakah (t.t, t.p, t.t), h. 4
57
Artinya: “tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan
kepada fakir miskin);.” (Q.S al-An‟am[6]: 141)
Kutipan ayat di atas yang dimaksud pada lafaz wa ātū adalah zakat, dalam
kaidah fiqh dikatakan bahwa setiap perintah itu mengaruskan untuk
disegerakan berbuatnya. Oleh karena dalam menginvestasi harta dapat
menunda pendistribusian harta zakat kepada mustahiq, maka tidak
diperbolehkan demikian itu.
2. Hadits Nabi SAW
أىلكتو إل دقةمالقط 8(رواهالميدي)ماخالصطتالصArtinya: “Tidaklah bercampur oleh sedekah dengan harta melainkan nantinya
akan binasah (lenyap). (H.R al-Humaidi)
Hadits di atas menunjuki bahwa pendistribusian harta zakat kepada
mustahiq bila sudah terkumpul harus disegerakan, karena menunda-nunda
pemberian tersebut bisa menyebabkan terjadinya lenyapnya harta zakat
tersebut.
3. Hadits Nabi SAW
عقبة بنسعيد،عنابنأبمليكة،أن ث ناأبوعاصم،عنعمر حد صل ىاللهعليو ثو،قال:صل ىبناالصن ب حد بنالارثرضيالل عنو
ر،فأسرع،ث دخ الصع لالصب يتف لمي لبثأنخرج،ف قلتأووسل م دقة،فكرىتأن منالص را كنتخل فتفالصب يتتب لصو،ف قال: قيل
9(البخاريرواه) أب يتو،ف قسمتوArtinya: “telah menceritakan kepada kami Abu Ashim dari sayyidina Umar bin
Sa‟id dari anaknya Abi Mulaikah, bahwasanya „Uqbah bin al-Harits r.a ia
telah bercerita: telah berkata Nabi SAW pada waktu ashar, ia bergegas masuk
ke dalam rumahnya dan tidak lama nabi pun keluar, kemudian aku bertanya,
“ada apa wahai Rasul?, Nabi kemudian menjawab, “aku lupa membawa biji
8 Abu Bakar Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi, Musnad al-Humaidi (Dimasyqi: Dar al-
Saqa, 1996), juz. 1, h. 275 9 Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju’fi al-Bukhari,
Shahih Bukhari, (al-Qahirah: Dar at-Taufiq li at-Turats, 2012), juz. 1, h. 343
58
emas yang tertinggal di rumahku,aku benci bila aku menginapkan (menunda-
nunda) pemberiannya, maka ketika itu langsing aku bagi-bagikan.” (H.R al-
Bukhari)
Dari hadits di atas dapat menunjukkan bahwasanya dalam pendistribusian
harta zakat harus segera, tidak boleh ditunda. Oleh karena itu tidak boleh
melakukan investasi terhadap harta zakat.
4. Karena hajat orang faqir (yang membutuhkan) harus segera ditunaikan,
maka kalau begitu wajib pendistribusian harta zakat dengan segera.
5. Karena zakat ibadah yang berulang-ulang
ف امعلكفرركتت ةادبعاةكالصزن لو إىري ختزيمل، تقولا ك ا:هلثمبوجو وةلالص موالص
Artinya: Bahwa ibadah zakat merupakan ibadah yang berulang-ulang pada
setiap tahunnya, maka tidak boleh menunda-nunda ketika waktu wajibnya,
seperti sholat, puasa.”
Pernyataan ini menjelaskan bahwa ketika sudah masa wajibnya keluar
zakat maka harus dikeluarkan dan diberikan segera kepada para mustahiq,
karena dalam menginvestasikan harta zakat ini menyebabkan tertundanya hak
mereka, maka melakukan investasi terhadap harta zakat tidak diperbolehkan
Abdullah bin Manshur al-Ghafiliy berkata dalam kitabnya al-Nawāzil al-
Zakah, “Bahwasanya dalam menginvestasikan harta zakat dapat menyebabkan
kepada tertundanya pendistribusian zakat kepada para mustahiqnya, tentulah
itu berlawanan dengan prinsip dasar dalam mengeluarkan zakat yakni (al-
Fauriyyah) segera.10
Najmuddin Sulaiman bin Abdul Qawiy bin Abdul Karim dalam kitabnya
Syarh Mukhtashar al-Raudhah berkata bahwa al-Faur adalah:
10
Abdullah bin Manshur al-Ghafiliy, al-Nawāzil al-Zakah; Dirāsah Fiqhiyyah Ta‟shiliyyah
li Mustajidāt al-Zakah (t.t., Bank al-Bilad, 2008), h. 480
59
لالصشروعفالمتثال 11عقيبالمر،منغيف
Artinya: “Memulai langsung mengerjakan segala pekerjaan setelah adanya
perintah dari tanpa adanya jeda.”
يخأالصتفمالصاوقحلي ثيبانكملااتقوألو أفاءدلاور:ىولصفا 12ونع
Artinya: “al-faur adalah menunaikan sesuatu di awal waktu yang
memungkinkan untuk melaksanakannya, dengan sekira bila itu ditunda
pelaksanaannya dinilai tercela.”
Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwasanya al-faur adalah setiap
pekerjaan yang diperintahkan kepada seseorang dan pekerjaan itu harus segera
dilakukannya tanpa diselingi dengan pemisah (jeda waktu).
Dalam Q.S al-An‟am [6]: 141 Allah SWT berfirman:
(سورة([:النعام]
Artinya: “dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan
yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak
sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia
berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan
disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (Q.S al-
An‟am[6]: 141)
11 Najmuddin Sulaiman bin Abdul Qawiy bin Abdul Karim, Syarh Mukhtashar al-Raudhah
(t.t, al-Mamlakah al-Arabiyyah al-Su’udiyyah, 2008), juz. 2, h. 387
12 Kementerian Wakaf dan Urusan Islam Kuwait, al-Mausū‟ah al-Fiqhiyyah al-Islāmiyyah
(Kuwait: Dar al-Salāsil, 2006), juz. 5, h, 352-353
60
Kalimat wa atū haqqahū yauma hashādih yang dimaksud adalah
menunjukan perintah untuk memberikan (mengeluarkan zakat) begitu masanya
panen dan diberikan kepada mustahiqnya. Sama halnya dengan harta zakat
yang sudah dikumpulkan tersebut sudah terkumpul, maka pemberiannya pun
harus disegerakan juga.
Imam al-Ghazali berkata dalam kitabnya al-Mustasyfa:
أن ولصليابأوالصن دبأوأن وعلىالصفور مطلقالمرإذاوردولي ت ب ي لصلت أن و الصت راخيأو الصلأو اعتقاد علم أفاد الصواحدة لصلمر ة أو كرار
الهت ي 13ومعرفةالصت رددب يArtinya: “Kemutlakan (amr) perintah yakni bilamana perintah itu datang
namun belum jelas ia menunjukan wajib atau sunah, segera atau boleh
ditunda, berulang atau sekali saja, maka yang demikian itu memberikan faidah
mengetahui keyakinan asli dan mengetahui penyebab bimbang diantara kedua
pendapat tersebut.”
Dalam kalimat wa atū haqqahū yauma hashādih pada Q.S al-An‟am [6]:
ayat 141 tidak menjelaskan tentang secara eksplisit tentang bagaimana
mengeluarkannya secara al-faur (segera) atau al-tarākhiy (ditunda), dan lafaz
wa atū adalah fiil amr yang menunjukan kepada suatu perintah, serta perintah
itu menunjukan kepada berbuat segera, maka oleh karena demikian dalam
pendistribusian zakat tidak boleh ditunda.
Adam Syaikh Abdullah berkata, sebagaimana telah dikutip oleh
Muhammad bin Abdul Rahman al-Hafzhawiy dalam kitabnya Ahkām Istitsmār
al-Zakah wa Tathbiqatih:
لصهضرعي اةكالصزالومأارمثتسان إ ام إةارجالصتن لاعيالصض وةارسخلا 14ةارساخم إوحبر
13
Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa (al-
Qahirah: Dar al-Hadits, 2011), juz.1, h.158 14
Muhammad bin Abdul Rahman al-Hafzhawiy, Ahkām Istitsmār al-Zakah wa
Tathbiqatih, h. 141
61
Artinya: “Sesungguhnya dalam mengginvestasikan harta zakat dapat
mendatangkan kerugian dan menyianyiakan harta, karena bahwasanya
dalam berdagang itu bisa adakalanya untung dang kadang pula mengalami
kerugian.”
Adam Syaikh Abdullah beralasan bahwa dalam melakukan investasi
terhadap harta zakat belum dipastikan dapat membuka banyak peluang
keuntungan, seperti halnya orang yang berdagang, adakalanya mandapatkan
keuntungan, di sisi lain bisa menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, ia tidak
membolehkan melakukan investasi terhadap harta zakat.
Dalam kitab yang sama, Abdullah bin Manshur al-Ghafiliy juga
mengutip pendapat Taqiy Utsman, kata beliau:
إ ةي اردلاالمعلافاةزكالالصوماعيض،تكذلصلعف ولصونىاشخان 15اءرقلصفاقحعيضيو
Artinya:“Sesungguhnya aku takut bila berbuat demikiann (menginvestasikan
harta zakat), karena demikian itu dapat menyia-nyiakan harta zakat
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat ketatausahaan dan dapat menyia-nyiakan
haq orang-orang faqir.”
Alasan lain para fuqaha yang berpendapat bahwa harta zakat tidak boleh
diinvestasikan yaitu karena hak kepemilikan. Bahwasanya dalam
menginvestasikan harta zakat yang dilakukan imam (pemerintah) atau
penggantinya menyebabkan kepada tidak adanya hak kepemilikan harta zakat
bagi para mustahik.16
Abdullah bin Manshur al-Ghafiliy berkata dalam kitabnya al-Nawāzil al-
Zakah; Dirāsah Fiqhiyyah Ta‟shiliyyah li Mustajidāt al-Zakah
15
Muhammad bin Abdul Rahman al-Hafzhawiy, Ahkām Istitsmār al-Zakah wa
Tathbiqatih, h.141 16
Abdullah bin Manshur al-Ghafiliy, al-Nawāzil al-Zakah; Dirāsah Fiqhiyyah
Ta‟shiliyyah li Mustajidāt al-Zakah (t.t., Bank al-Bilad, 2008), h. 481
62
كلتمدعليإدؤي وبئنوأامملالبقنماةكالصز الومأارمثتسإن أىاةكلصلز يقحتلمسا ما، عملصلصفاا اطتشانماءهقلصفاروهجويلا
وةكاالصزاءدأفكيلمالصت لالص، لبقنماةزكالص الومأارمثتسإزويا 17وبئنوأامملا
Artinya: “Sesungguhnya menginvestasikan harta zakat dapat mendatangkan
kerugian dan berbuat sia-sia, karena dikhawatirkan ketika seorang imam
(pemerintah) diserahkan kepadanya harta zakat nantinya akan menyia-
nyiakan hak para mustahiq zakat. Ini bertentangan dengan apa yang telah
dipendapati oleh jumhur ulama daripada adanya syarat kepemilikan dalam
menunaikan zakat. Oleh karena ini tidak boleh menginvestasikan harta zakat
oleh seorang imam atau pegawainya.
Pendapatnya ini berdasarkan Q.S al-Taubah [9]: 60 yang berbunyi:
[١)سورةالصتوبة:]) Artinya: "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana " (Q.S al-Taubah [9]: 60)
Lafaz li al-fuqarā pada ayat di atas terdapat huruf lam al-tamlik (yang
menunjukan kepemilikan) hanya untuk golongan-golongan yang telah
disebutkan dalam ayat tersebut saja, seperti perkataan هذا المال لزيد (harta ini
milik Zaid), kalimat tersebut menunjukkan bahwa harta itu khusus milik Zaid.
Maka dapat disimpulkan bahwasanya dalam menginvestasikan harta zakat itu
17
Abdullah bin Manshur al-Ghafiliy, al-Nawāzil al-Zakah; Dirāsah Fiqhiyyah Ta‟shiliyyah
li Mustajidāt al-Zakah (t.t., Bank al-Bilad, 2008), h. 481
63
jelas-jelas tidak adanya kepemilikan, sehingga tidak diperbolehkan
melakukan itu.
Syekh Ahmad al-Zarqa berkata, sebagaimana dikutip oleh Muhammad
bin Abdul Rahman al-Hafzhawiy, Ahkām Istitsmār al-Zakah wa Tathbiqatih:
فل ص ل ا و ل ة د اعاق ذ 18هنإذ ل بي لغ ا كل فف ر ص ت ي ن أ د ح ل ز و Artinya:“Yang menjadi dasar ketidakbolehannya yaitu pada kaidah ini;
Tidak dibolehkan bagi seseorang untuk mendayagunakan harta milik orang
lain tanpa adanya izin dari yang memilikinya terlebih dahulu.”
Dari kaidah tersebut jelas, bahwa tidak boleh investasi harta zakat, karena di
dalamnya ada hak milik orang lain yang belum diketahui kerelaannya.
Bilamana ingin menginvestasikan harta zakat harus mendapatkan izin dan
kerelaan terlebih dahulu kepada si mustahiqnya, karena itu terdapat keterkaitan
dengan waktu dan jumlah harta zakat yang nanti akan diterima oleh mustahiq.
B. Penggunaan Dana Zakat Untuk Istitsmār (Investasi) Menurut Yusuf Al-
Qaradhawi
Yusuf al-Qaradhawi berpendapat bahwasanya harta zakat boleh untuk
diinvestasikan, sebagaimana ia berkata dalam kitabnya Daur al-Zakāh fi „Ilāji
al-Musykilāt al-Iqtishādiyyah:
الصد يطتستو الصوع بمللمسة عنة الومانمئيشنت نأيأالصر هىاىلاءاي اعناتصسسؤماتوارعقعوانماةكالصز وىونةوي ارتوة اكهلتاكرقفللص الهاء لصضهعب وا لعتلومهتايفكبموقلي خدمهيلعرودتا 19اهعيب فقالمل
Artinya: “Suatu negara Islam mampu membangun suatu gagasan yang
bersumber dari harta zakat berupa gedung-gedung, peralatan-peralatan,
18
Muhammad bin Abdul Rahman al-Hafzhawiy, Ahkām Istitsmār al-Zakah wa
Tathbiqatih, h. 141 19
Yusuf al-Qaradhawi, Daur al-Zakāh fi „Ilāji al-Musykilāt al-Iqtishādiyyah (al-Qahirah:
Dar al-Syuruq, 2001), h. 31
64
perkantoran, perdagangan, dan lain sebagainya. Adapun kepemilikannya itu
diserahkan untuk orang-orang fakir baik itu diserahkan semuanya atau
sebagiannya, supaya keuntungan yang didapati itu dapat diputar dan dapat
tercukupi kebutuhan mereka. Kendatipun mereka diberikan hak kepemilikan,
akan tetapi mereka tidak mempunyai hak terhadap harta pokoknya itu dan
tidak boleh menjualnya”
Perkataan Yusuf al-Qaradhawi di atas menjelaskan bahwa bagi
imam/pemimpin dibolehkan untuk menginvestasikan harta zakat dalam bidang
apapun sekira nantinya akan mendatangkan keuntungan, seperti dalam bidang
perkantoran, perdagangan, peralatan-peralatan, dan jalan yang lainnya asalkan
dapat membuka peluang keuntungan.
Adapun yang menjadi dasar Yusuf al-Qaradhawi membolehkan melakukan
investasi terhadap harta zakat yakni qaul shahabi, Qaul shahabi adalah semua
perkataan, tindakan, dan ketetapan sahabat dalam meriwayatkan dan
memutuskan suatu persoalan. Sebagian ulama berpendapat bahwasanya qaul
shahabi boleh untuk dijadikan hujjah untuk tabi’in dan orang-orang yang
sesudahnya. Dalam kalangan ulama ada tiga alasan pokok dipakainya qaul
shahabi:
1. Karena sahabat ialah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasul SAW, dan
lebih paham tujuan syari'at.
2. Karena sangat mungkin masuk sebagai bagian dari sunnah Nabi.
3. Jika berbeda dengan pendapat ulama pada masanya, sedangkan sama-sama
memakai qiyas, maka lebih utama memakai qaul shahabi .20
Dasar kehujjahan qaul shahabi adalah sebagai berikut:
1. Q.S Ali Imran [3]: 110
)سورةآلعمران: []:)
20
Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang: Maktabah al-Syarifah al-
Khodijah, 2008), Cet.1, h. 136
65
Artinya: kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi
mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik.
2. Hadits Nabi SAW
21)رواهعبدابنحميد(متي دتىإمتي دتق إمهيبموجنلصاكابحصأArtinya: “Para sahabatku itu bagaikan bintang-bintang, siapa saja yang di
antara mereka yang kamu ikuti, niscaya engkau akan mendapatkan petunjuk.
رأم ت الص ايني لون هم الصقرنالص ايني لونخي الص ايني لون همث 22ث (رواهمسلم)
Artinya: “Sebaik-baik umatku adalah masa orang-orang yang bertemu
denganku, kemudian masa yang bertemu dengan mereka, kemudian masa yang
bertemu dengan mereka. (H.R Muslim)
Adapun perkataan sahabat Nabi SAW yang telah dikutip oleh Yusuf al-
Qaradhawi dalam kitabnya Daur al-Zakāh fi „Ilāji al-Musykilāt al-
Iqtishādiyyah adalah perkataan Sayyidina Umar r.a, yakni:
23اون اغفمتي طعااذإArtinya: “Apabila salah seorang di antara kamu memberi, maka cukupkanlah
pemberian itu.”
Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwasanya Sayyidina Umar r.a
melakukan sebuah terobosan supaya dapat mencukupi kebutuhan orang-orang
fakir di masa yang akan datang dengan zakat. Selain bisa mencukupi
kebutuhan mereka, ada juga manfaatnya yang lain, yakni menjadikan para
mustahiq menjadi mandiri sehingga nantinya tidak menjadi mustahiq kembali,
21
Abu Bakar Abdullah bin al-Zubair al-Humaidi, Musnad al-Humaidi (Dimasyqi: Dar al-
Saqa, 1996), juz. 1, h. 165 22
Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2010), juz. 1, h.
158, no. 38 23
Yusuf al-Qaradhawi, Daur al-Zakāh fi „Ilāji al-Musykilāt al-Iqtishādiyyah (al-Qahirah:
Dar al-Syuruq, 2001),h. 30
66
melainkan menjadi muzakki. Salah satu cara untuk mencukupi kebutuhan
mereka di masa mendatang nanti adalah dengan cara menginvestasi harta
zakat.
Selain Yusuf al-Qaradhawi yang membolehkan harta zakat untuk
diinvestasikan, ada juga beberapa ulama kontemporer lainnya yang dalam
pendapatnya sama dengan apa yang dikatakan beliau, di antaranya adalah
Musthafa al-Zarqa, Muhammad Utsman bin Syabir, Muhammad bin Abdul
Rahman al-Hafzhawiy, dain lainnya24
.
Musthafa al-Zarqa berkata, sebagaimana telah dikutip oleh Muhammad bin
Abdul Rahman al-Hafzhawiy, Ahkām Istitsmār al-Zakah wa Tathbiqatih:
طهاف لملةحلمويفوببلكلصحوت فمارمثتسلاقيرا ون ،25 ملاةكالصز ةلي حفاعضي
Artinya: “Dengan cara menginvestasikan harta zakat, dapat membuka peluang
pintu kemaslahatan bagi mereka para mustahiq, karena sesungguhnya dengan
cara tersebut dapat menggandakan penghasilan harta zakat untuk mereka.”
Perkataan Musthafa al-Zarqa di atas menjelaskan bahwasanya harta zakat
boleh untuk diinvestasikan, karena dengan cara demikian dapat mendatangkan
kemaslahatan dan membuka peluang berupa keuntungan bagi seorang
mustahiq, yakni bertambahnya hasil dari harta zakat.
Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan:
26ةحلملصبطون مةي رعليالصعامملافرت
Artinya:“Kebijakan seorang imam (presiden) atas rakyatnya harus
berdasarkan kemaslahatan.
24
Zahir bin Umar al-Khulaqiy, Istitsmār Amwāl al-Zakah fi Masyāri‟ Ta‟ūdu Alā
Mustahiqihā (al-Majalah al-Qalam, 2014), h. 226 25
Muhammad bin Abdul Rahman al-Hafzhawiy, Ahkām Istitsmār al-Zakah wa
Tathbiqatih hal 142 26
Jalaluddin bin Abdurrahman al-Suyuthi, al-Asybāh wa al-Nazhāir (Beirut: Dar al-Fikr,
2011), h. 158
67
Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat penting yang berkaitan dengan
siyasah al-syar‟iyyah dan pengaturan pemerintah yang menjadi pembatas serta
pengendali semua kebijakan seorang imam dan setiap pihak yang mengatur
kaum muslimin. Maksud imam di sini adalah penguasa, raja, khalifah,
presiden, dan staf-staf mereka seperti hakim dan lainnya.27
Dari kaidah tersebut dapat disimpulkan bahwasanya seorang pemimpin
harus membuat kebijakan-kebijakan yang sekiranya mempunyai manfaat dan
kemaslahatan kepada rakyat-rakyatnya. Adapun menginvestasikan harta zakat
merupakan salah satu caranya, karena dengan cara ini dapat mendatangkan
kemanfaatan di masa mendatang nanti.
Abu Muhammad, Izzu al-Din bin Abdil Salam dalam kitabnya Qawāid al-
Ahkām fi Mashālih al-Anām berkata:
رفاتباىوالصلحلصلمول ر فالصولةون و اب همباذكرنمنالصت ي تأحدىم ر ي قت ول والصر شاد، لصلن فع وجلبا والصفساد، لصلض رر درءا عليو
لحمعا أني علىالص 28ؤديإلمشق ةشديدلصقدرةعلىالصلحإل Artinya: “Boleh hukumnya bagi seorang imam (pemerintah) dan staf-stafnya
untuk mendayagunakan sesuatu yang lebih mendatangkan kemaslahatan
karena untuk menolak karusakan dan kemudharatan demi menarik
kemanfaatan dan memperoleh kebenaran. Bagi seseorang dari mereka (wali)
juga tidak dibatasi untuk berbuat maslahat apa saja padahal ketika itu ia
mampu berbuat yang lebih maslahat, kecuali jika apa yang akan dia lakukan
tersebut dapat mendatangkan keadaan yang sangat sulit.”
Dari redaksi di atas menyatakan bahwasanya bagi pemerintah boleh
mendayagunakan serta menginvestasikan harta zakat dalam bentuk apapun
asalkan dapat mendatangkan kemaslahatan, seperti juga dalam mengurus dan
mendayagunakan harta anak yatim, bilamana itu dapat mendatangkan
kemaslahatan di masa mendatang, maka dibolehkan. Akan tetapi bilamana
27
M. Hamim HR dan Ahmad Muntaha, Pengantar Kaidah Fiqh Syafi‟iyah; Penjelasan
Nazhom al-Faraidh al-Bahiyah (Kediri: Santri Salaf Press, 2013), h. 145 28
Abu Muhammad, Izzu al-Din bin Abdil Salam, Qawāid al-Ahkām fi Mashālih al-Anām
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), cet 1, h. 58-59
68
dengan mendayagunakan harta tersebut justru disia-siakan dan dapat
mendatangkan kemudharatan dan kerugian maka yang demikian tersebut tidak
diperbolehkan.
Muhammad Utsman Syabir berkata, sebagaimana telah dikutip oleh
Muhammad bin Abdul Rahman al-Hafzhawiy dalam kitab Ahkām Istitsmār al-
Zakah wa Tathbiqatih:
ارمثتساازجملةقي قحةكولميىوامتي لاالومأ ارمثتساازاجذإفتسيلصيه،فملعافنمقيقحتلصيقحتلمسلااإهعفدلبق اةكالصز الومأ
29ىامتلصي االومأنمةمرحدشبArtinya: “Bilamana hukumnya boleh menginvestasikan harta milik anak-anak
yatim, padahal secara hakikat harta tersebut merupakan miliknya, maka
hukumnya boleh pula menginvestasikan harta zakat sebelum diberikan kepada
para mustahiq, padahal itu (mengeinvestasikan harta zakat) tidak terlalu berat
pengharamannya daripada menginvestasikan harta milik anak yatim.”
Keterangan di atas menjelaskan bahwasanya harta zakat itu boleh
diinvestasikan sebagaimana kebolehan menginvestasikan harta milik anak-anak
yatim. Muhammad Utsman Syabir beralasan bahwasanya menginvestasikan
harta zakat dengan menginvestasikan harta anak-anak yatim memiliki
kesamaan ilat yakni harta yang diinvestasikan itu dapat berkembang dan
bermanfaat di masa yang akan datang.30
Qiyas adalah menyamakan suatu hukum sesuatu yang belum ada
keterangan dan ketetapannya di dalam nas al-Qur’an maupun Hadits dengan
hukum sesuatu yang sudah ada keterangan dan hukumnya di dalam nas karena
berdasarkan illat yang sama. Menurut Ahmad bin Muhammad al-Dimyāthi
dalam karangannya al-Waraqāt, qiyas adalah:
29
Muhammad bin Abdul Rahman al-Hafzhawiy, Ahkām Istitsmār al-Zakah wa
Tathbiqatih hal 146 30
Muhammad bin Abdul Rahman al-Hafzhawiy, Ahkām Istitsmār al-Zakah wa
Tathbiqatih hal 146
69
31مكافالمهعمتةل عوأماالصقياسف هوردالصفرعإلالصلبArtinya: “Adapun qiyas adalah mengembalikan hukum cabang kepada hukum
asal dengan illat yang sama pada hukumnya.”
Bila ingin menerapkan metode qiyas pada masalah menginvestasikan harta
zakat dengan mengqiyaskan kepada menginvestasikan harta anak yatim, maka
dapat dipaparkan dengan memasukkan rukun-rukun qiyas, yakni al-ashlu,
hukmu al-ahslu, al-far‟u, dan al-„illah. sebagai berikut:
Hukum tentang kebolehan mendayagunakan harta zakat untuk diolah
(investasi) tidak tertulis secara eksplisit dalam al-Qur’an ataupun hadits.
Namun dalam Q.S al-An‟ām [6]: 152
([:)سورةالنعام]Artinya: “dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara
yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah
takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada
sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata,
Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan
penuhilah janji Allah yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar
kamu ingat.” (Q.S al-An‟ām [6]: 152)
Pada ayat di atas, Allah SWT mengisyaratkan kebolehan mendayagunakan
dan mengolah (investasi) harta anak yatim. Maka metode qiyas yang dapat
digunakan untuk menetapkan hukum mendayagunakan harta zakat untuk
diinvestasikan sebagai berikut:
31
Ahmad bin Muhammad al-Dimyāthi, al-Waraqāt (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islāmiyyah,
2009), h. 46
70
a. الصل : menginvestasikan harta anak yatim
b. حكمالصل : boleh bilamana mendatangkan kemanfaatan
c. الصفرع : menginvestasikan harta zakat
d. الصعلة : dapat menggandakan harta yang akan diinvestasikan
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan, bahwa menginvestasikan harta
zakat dengan mengqiyaskan kepada menginvestasikan harta anak yatim
terdapat persamaan dalam illat, yaitu sama-sama dapat menggandakan harta
sehingga mendatangkan kemanfaatan bagi sang investor di masa mendatang.
Dalam kitab al-Bayan fi Madzhab al-imām al-Syāfi‟iy, Abu al-Husain
Yahya bin Abi al-Khair bin Salim berkata:
كنون لماولفالصطلولصزوي يملاماكلاي،وصلصوا،ودلا،وبال،أولبقنم ملعضارقي ن، الى لصيغالص عليو-ولصوق؛ الل صل ى
32. اةكاالصز هلكتىلامتلصي االومأافوغت ب :ا-وسل مArtinya: “Bagi seorang yang mewalikan anak yang masih kecil dan orang gila,
yang mewakilinya seperti bapaknya, kakeknya, orang yang diberikan wasiat,
hakim yang dapat dipercaya boleh meminjam harta milik anak kecil tersebut
(untuk dikembangkan). Karena ada sabda Nabi SAW: “Maksimalkanlah
(kembangkanlah) harta milik anak yatim agar tidak habis dimakan zakat.”
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwasanya diperintahkan
untuk mengembangkan harta milik anak kecil dan orang gila, supaya hartanya
itu tidak habis. Sama halnya dengan menginvestasikan harta zakat, supaya
harta zakat itu tidak habis, maka perlu adanya investasi.
Fakhruddin al-Razi telah menyebutkan di dalam kitabnya Mafātih al-
Ghaib, bahwasanya zahir lafaz fi sabilillah dalam Q.S al-Taubah [9] ayat 60
tidak hanya terbatas pada berperang di jalan Allah, akan tetapi yang dimaksud
dengan fi sabilillah pada ayat itu adalah setiap jalan/cara yang dinilai baik.
32 Abu al-Husain Yahya bin Abi al-Khair bin Salim, al-Bayan fi Madzhab al-imām al-
Syāfi‟iy (Jeddah: Dar al-Minhāj, 2000), juz.3, h.136
71
Beliau mengutip perkatannya Syekh Qafal, bahwasanya sebagian dari para
ulama membolehkan mengalokasikan harta zakat ke setiap jalan kebaikan,
membangun masjid, jembatan, mengkafani mayat, dsb. Karena makna pada
lafaz itu bersifat umum. 33
Khalid Abdul Razaq berkata dalam kitabnya Mashārif al-Zakah wa
Tamlikuhā fi Dhaw‟i al-Kitab wa al-Sunnah, “Kami telah mendengarkan
sebagian dalil-dalil syara’ yang menjelaskan atas kebolehan menginvestasikan
harta zakat pada jalan-jalan yang dibolehkan syara’, supaya kami bisa putar
keuntungan yang nantinya bisa dibagi-bagikan kepada para mustahiq”.34
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa, bilamana harta zakat
tersebut boleh untuk dialokasikan ke arah yang baik-baik dan dapat
mendatangkan keuntungan nantinya. Maka kalau begitu boleh juga melakukan
investasi terhadap harta zakat juga, karena kemanfaatannya nanti berpulang
kepada para mustahiq.
Pendapatnya ini pun berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW:
فعأخاهف لي فعل 35)رواهمسلم(مناستطاعمنكمأني ن Artinya: “Siapa saja orang yang mampu di antara kamu bahwa dia dapat
berbuat kemanfaatan bagi saudaranya, maka berbuatlah.” (H.R Muslim)
Dari hadits tersebut dipahami bila seseorang mampu untuk
menginvestasikan harta zakat supaya jumlahnya menjadi semakin bertambah
ke depannya nanti dan akan mendatangkan kemanfaatan untuk mustahiqnya
mustahiq pula, maka Nabi memerintahkan untuk mengerjakannya.
33 Fakhruddin al-Razi, Mafātih al-Ghaib (Qahirah: Dar al-Fikr, 2001), juz. 17, h. 87 34
Khalid Abdul Razaq, Mashārif al-Zakah wa Tamlikuhā fi Dhaw‟i al-Kitab wa al-
Sunnah (Oman: Dar Asāmah, 1999), h. 541
35 Imam Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim (al-Qahirah: Dar al-Hadits, 2010), juz 2., h.
258, no. 2199
72
C. Perbandingan Pendapat dan Analisa
Istilah perbandingan hukum berasal dari terjemahan kata comparative law,
comparative jurisprudence, foreign law (dalam Bahasa Inggris). Droit compare
(dalam Bahasa Inggris) Rechtsgelijking (dalam Bahasa Belanda), dan
rechtverleichung atau vergleichende rechlehre (dalam Bahasa Jerman).36
Menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., M.H,. LLM. dalam
bukunya Penelitian Hukum, bahwasanya perbandingan hukum merupakan
kegiatan untuk membenadingkan suatu hukum suatu negara dengan hukum
negara lain, atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu
yang lain.37
Rudolf D. Schlesinger dalam bukunya Comparative Law (1959)
sebagaimana telah dikutip oleh Soedjono Dirdjosisworo dalam buku
karangannya Pengantar Ilmu Hukum, mengemukakan bahwasanya
perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan untuk
memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang bahan hukum
tertentu.38
Adapun perbandingan yang dibicarakan dalam pembahasan bab ini adalah
membandingkan pendapat Yusuf al-Qaradhawi dan Wahbah al-Zuhaili tentang
penggunaan harta zakat untuk istitsmar (investasi), serta beberapa pendapat
dari para imam mazhab dan ulama lainnya yang memiliki pendapat tentang
masalah ini.
Jika dilihat dari segi persamaan di antara kedua pendapat ini, setelah
penulis melakukan analisa dari kedua pendapatnya tersebut, penulis melihat
tidak terdapat persamaan di antara pendapat Yusuf al-Qaradhawi dan Wahbah
al-Zuhaili tentang masalah ini, justru keduanya bertolak belakang dalam
mengomentari masalah ini
Bila ditinjau dari sudut pandang perbedaan, terdapat perbedaan di antara
kedua tokoh tersebut, antara lain:
36
Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Jakarta:Sinar Grafika, 2012), cet. 3, h. 134 37
Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), h. 173 38
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Rajawali Press, 2001), Cet.
7, h. 60
73
Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa harta zakat itu sebelum diberikan
kepada mustahiq tidak boleh diinvestasikan, karena itu masih ada sangkut
pautnya dengan milik mustashiqnya tersebut, kecuali itu telah mendapatkan
izin darinya. Abdullah bin Manshur al-Ghafiliy berkata dalam kitabnya al-
Nawāzil al-Zakah; Dirāsah Fiqhiyyah Ta‟shiliyyah li Mustajidāt al-Zakah
كلتمدعليإدؤي وبئنوأامملالبقنماةكالصز الومأارمثتسإن أىاةكلصلز يقحتلمسا ما، عملصلصفاا اطتشانماءهقلصفاروهجويلا
وةكاالصزاءدأفكيلمالصت لالص، لبقنماةزكالص الومأارمثتسإزويا 39وبئنوأامملا
Artinya: “Sesungguhnya menginvestasikan harta zakat dapat mendatangkan
kerugian dan berbuat sia-sia, karena dikhawatirkan ketika seorang imam
(pemerintah) diserahkan kepadanya harta zakat nantinya akan menyia-nyiakan
hak para mustahiq zakat. Ini bertentangan dengan apa yang telah dipendapati
oleh jumhur ulama daripada adanya syarat kepemilikan dalam menunaikan
zakat. Oleh karena ini tidak boleh menginvestasikan harta zakat oleh seorang
imam atau pegawainya.
Berdasarkan pernyataan di atas menjelaskan bahwasanya tidak boleh bagi
pemerintah untuk menginvestasikan harta zakat karena ketiadaan kepemilikan
yang sempurna (milk al-tam). Karena dalam menunaikan zakat kepemilikan
yang sempurna itu merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi, sementara
dalam menginvestasi harta zakat tersebut tidak jelas kepemilikannya.
Abdullah bin Manshur al-Ghafiliy mengutip pendapat Taqiy Utsman, kata
beliau:
إ ةي اردلاالمعلافاةزكالالصوماعيض،تكذلصلعف ولصونىاشخان اءرقلصفاقحعيضيو
39
Abdullah bin Manshur al-Ghafiliy, al-Nawāzil al-Zakah; Dirāsah Fiqhiyyah Ta‟shiliyyah
li Mustajidāt al-Zakah (t.t., Bank al-Bilad, 2008), h. 481
74
Artinya:“Sesungguhnya aku takut bila berbuat demikiann (menginvestasikan
harta zakat), karena demikian itu dapat menyia-nyiakan harta zakat
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat ketatausahaan dan dapat menyia-nyiakan
haq orang-orang faqir.”
Berdasarkan pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa beliau (Taqiy
Utsman) takut untuk menginvestasikan harta zakat, karena dikhawatirkan
kedepannya dapat menyi-nyiakan harta zakat sehingga bisa dimungkinkan
hilang dan dapat tidak bisa terpenuhinya hak-hak orang miskin ketika itu.
Karena sangat dimungkinkan dengan bilamana harta zakat itu diinvestasikan
akan ada kebutuhan mustahiq yang biasanya dapat terpenuhi dengan harta
zakat menjadi tidak karena harta zakat itu dialifungsikan kegunaannya, dan
masa waktunya pun tidak jelas kapan si mustahiq akan menerimanya.
Sedangkan Yusuf al-Qaradhawi, beliau membolehkan bahwa harta zakat
untuk diinvestasikan dalam bidang apapun sehingga nanti di waktu yang akan
datang dapat memberikan manfaat bagi mustahiq. Pendapatnya ini didasari atas
dasar kemaslahatan bagi mustahiqnya, dan di nash pun tidak secara eksplisit
menjelaskan dalam mendistribusikan zakat harus disegerakan.
Muhammad Utsman Syabir berkata:
ارمثتساازجملةقي قحةكولميىوامتي لاالومأ ارمثتساازاجذإفتسيلصيه،فملعافنمقيقحتلصيقحتلمسلااإهعفدلبق اةكالصز الومأ
ىامتلصي االومأنمةمرحدشبArtinya: “Bilamana hukumnya boleh menginvestasikan harta milik anak-anak
yatim, padahal secara hakikat harta tersebut merupakan miliknya, maka
hukumnya boleh pula menginvestasikan harta zakat sebelum diberikan kepada
para mustahiq, padahal itu (mengeinvestasikan harta zakat) tidak terlalu berat
pengharamannya daripada menginvestasikan harta milik anak yatim.”
Keterangan di atas menjelaskan bahwasanya harta zakat itu boleh
diinvestasikan sebagaimana kebolehan menginvestasikan harta milik anak-anak
yatim. Muhammad Utsman Syabir beralasan bahwasanya menginvestasikan
harta zakat dengan menginvestasikan harta anak-anak yatim memiliki
75
kesamaan ilat yakni harta yang diinvestasikan itu dapat berkembang dan
bermanfaat di masa yang akan datang
Musthafa al-Zarqa berkata, sebagaimana telah dikutip oleh Muhammad bin
Abdul Rahman al-Hafzhawiy, Ahkām Istitsmār al-Zakah wa Tathbiqatih:
طهاف لملةحلمويفوببلكلصحوت فمارمثتسلاقيرا ون ، ملاةكالصز ةلي حفاعضي
Artinya: “Dengan cara menginvestasikan harta zakat, dapat membuka peluang
pintu kemaslahatan bagi mereka para mustahiq, karena sesungguhnya dengan
cara tersebut dapat menggandakan penghasilan harta zakat untuk mereka.”
Berdasarkan pendapat ini telah jelas bahwa menginvestasikan harta zakat
itu boleh, karena demikian itu akan membukan peluang kesempatan dan
memperoleh keuntungan nanti di masa mendatang baik itu bagi yang
mengembangkan ataupun bagi mustahiq, karena jumlah harta zakat yang akan
didapatinya nanti menjadi berkembang.
Di Indonesia, suatu lembaga yang menghimpun para cendikiawan Muslim
untuk merumuskan dan mengeluarkan sebuah fatwa, yang terbesar adalah
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia
(MUI) tentang PENGGUNAAN DANA ZAKAT UNTUK ISTITSMAR
(INVESTASI) dalam ketetapan hukum fatwa tersebut terdapat empat butir
keputusan yang bunyi lengkapnya sebagai berikut:
1. Zakat mal harus dikeluarkan sesegera mungkin (fauriyah), baik dari muzakki
kepada amil maupun dari amil kepada mustahiq.
2. Penyaluran (tauzi’/distribusi) zakat mal dari amil kepada mustahiq,
walaupun pada dasarnya harus fauriyah, dapat di-ta’khir-kan apabila
mustahiqnya belum ada atau ada kemaslahatan yang lebih besar.
3. Maslahat ditentukan oleh Pemerintah dengan berpegang pada aturan-aturan
kemaslahatan sehingga maslahat tersebut merupakan maslahat syar’iyah.
4. Zakat yang di-ta’khir-kan boleh diinvestasikan (istitsmar) dengan syarat-
syarat sebagai berikut :
76
a) Harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh syariah dan
peraturan yang berlaku (al-thuruq al-masyru‟ah).
b) Diinvestasikan pada bidang-bidang usaha yang diyakini akan
memberikan keuntungan atas dasar studi kelayakan.
c) Dibina dan diawasi oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi.
d) Dilakukan oleh institusi/lembaga yang professional dan dapat dipercaya
(amanah).
e) Izin investasi (istitsmar) harus diperoleh dari Pemerintah dan
Pemerintah harus menggantinya apabila terjadi kerugian atau pailit.
f) Tidak ada fakir miskin yang kelaparan atau memerlukan biaya yang
tidak bisa ditunda pada saat harta zakat itu diinvestasikan.
g) Pembagian zakat yang di-ta’khir-kan karena diinvestasikan harus
dibatasi waktunya.
Adapun yang menjadi dasar penetapan dalam fatwa Majelis Ulama
Indonesia tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Al-Quran
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Bijaksana. (Q.S Al-Taubah [9]: 60)
77
Artinya: dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan.
Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (Q.S Al-Baqarah [2]: 213)
Artinya: ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[658] dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (Q.S Al-Taubah [9]: 103)
2. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, antara lain:
لوهدبعفمللمسلىاعسي:لصالصلى الله عليه وسلمقاللهلوسرن أةري رىبأنعكملسماهو)رةقدصرسوف ق1361الصزكاةابت, ىايووالصن ال( ا:اهي فةازكلةين قالصالومأن أفلصأثيدلا
Artinya: dari Abu Hurairah r.a, bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda:
“tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya,”
(H.R Muslim)
Imam Nawawi berkata: “Hadits ini adalah dalil bahwa harta qinyah (harta
yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak
dikenakan zakat.
الله صل ى الصن ب عن عنو، الل رضي حزام بن حكيم وسل معن عليو ر»قال: وخي ت عول، بن وابدأ الصسفلى، الصيد من ر خي الصعليا الصيد
،ومنيست غني غنوالل دقةعنظهرغن،ومنيست عففيعف والل الصالصبخاريرواه) صدقةإل عنظهرغن(,ببل
78
Artinya: “Dari Hakim bin Hizam r.a, dari Nabi SAW bersabda: “Tangan di
atas lebih baik daripada tangan di bawah. Mulailah (dalam membelanjakan
harta) orang yang menjadi tanggung jawabmu. Sedekah yang paling baik
adalah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan. Barang siapa berusaha
menjaga diri (dari keburukan), maka Allah akan menjaganya. Barang siapa
berusaha mencukupi diri, maka Allah akan memberikannya kecukupan”. (H.R
Bukhari)
3. Kaidah Fiqh
ةحلملصبطون مةي عيالصر لعامملافرت
Artinya: “Kebijakan seorang imam (presiden) atas rakyatnya harus
berdasarkan kemaslahatan.
Setelah memperhatikan pendapat dan dalil yang digunakan oleh masing-
masing tokoh yakni Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi, di samping
itu juga melihat fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tentang Penggunaan Dana Zakat Untuk Istitsmar (Investasi), maka penulis
menarik kesimpulan bahwasanya penulis lebih cenderung kepada pendapat
Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan bahwasanya harta zakat itu boleh untuk
diinvestasikan. Akan tetapi penulis berpendapat boleh dana zakat digunakan
untuk diinvestasikan dengan adanya beberapa syarat, di antaranya:
1. Kebutuhan pokok para mustahiq sudah terpenuhi semuanya, karena tidak
bisa bilamana menginvestasikan harta zakat sementara mustahiq kebutuhan
pokoknya masih ada yang belum terpenuhi.
2. Harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh syariah dan peraturan
yang berlaku (al-thuruq al-masyru‟ah). Jadi jangan sampai dana tersebut
dipergunakan untuk investasi ke dalam bidang-bidang yang dinilai maksiat,
seperti investasi ganja, minuman keras, dan sebagainya.
3. Diinvestasikan ke dalam bidang-bidang usaha yang dinilai dan diyakini
dapat memberikan keuntungan nanti di masa yang akan datang.
4. Dilakukan oleh suatu institusi/lembaga yang professional dan dapat
dipercaya (amanah). Sehingga kemungkinan akan terjadinya kecurangan
dan kerugian nanti tidak terlalu besar jumlahnya
79
Contoh menginvestasikan harta zakat ke dalam salah satu bidang yang
mendatangkan manfaat adalah pembangunan Pembangkit listrik Tenaga Mikro
(PLTMH) di Jambi. Berkat dana zakat yang diinvestasikan ke arah tersebut
telah mendukung menyediakan suplai listrik bagi 806 rumah tangga di empat
desa di provinsi Jambi, yaitu Desa Lubuk Bangkar (60 KW), Ngaol (40 KW),
Air Liki (40 KW), dan Air Liki Baru (40 KW), sehingga memberikan
kemanfaatan bagi 8 ribu orang.40
Bayangkan bila dana zakat dipergunakan untuk investasi ke dalam bidang
lain yang menguntungkan seperti itu maka selain harta zakat yang semakin
bertambah, pembangunan di Negeri di daerah kawasan-kawasan yang
tertinggal pun akan semakin merata dan bertambah.
40
https://m.republika.co.id/amp/pjbcw9423
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada bab-bab sebelumnya yang telah dijelaskan dan untuk
mengakhiri dalam pembahasan skripsi ini, penulis dalam bab ini memberikan
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Yusuf al-Qaradhawi berpendapat, bahwasanya boleh harta zakat
digunakan untuk investasi ke dalam bidang apapun asalkan dapat
mendatangkan manfaat di masa mendatang bagi mustahiq itu dibolehkan,
karena hasil yang didapati dari proses tersebut bisa melipatgandakan jumlah
harta sehingga nantinya kemanfaatanya kembali kepada para mustahiq.
Sedangkan Wahbah al-Zuhaili berpendapat, bahwa tidak boleh melakukan
investasi terhadap harta zakat ke dalam bidang apapun sebelum harta tersebut
jatuh ke tangan mustahiq (al-milk al-tam), pendapat ini berdasarkan pada:
a. Bertentangan dengan prinsip al-fauriyyah (segera), karena bila harta zakat
tersebut diinvestasikan otomatis pasti akan menyebabkan tertundanya
pemberian hak mustahiq. Dikhawatirkan ketika pemberiannya ditunda akan
menyebabkan fakir miskin kelaparan dan memerlukan biaya ketika itu.
b. Bila harta zakat tersebut diinvestasikan, dikhawatirkan nanti menyebabkan
terjadinya kerugian dan lenyapnya harta, sedangkan harta tersebut belum
jatuh ke tangan mustahiq dan belum ada proses al-qabdhu (serah terima).
c. Belum diketahui izin dan kerelaan dari mustahiq bila harta zakat yang akan
didapatinya diinvestasikan, karena bisa terjadi ketika dilakukan investasi
terhadap harta zakat akan ada para mustahiq yang tidak menerimanya.
Setelah memperhatikan pendapat dan dalil yang digunakan oleh masing-
masing tokoh yakni Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi, di samping
itu juga melihat fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
tentang Penggunaan Dana Zakat Untuk Istitsmar (Investasi), maka penulis
menarik kesimpulan bahwasanya penulis lebih cenderung kepada pendapat
Yusuf al-Qaradhawi yang mengatakan bahwasanya harta zakat itu boleh untuk
81
diinvestasikan.. Akan tetapi penulis berpendapat boleh dana zakat digunakan
untuk diinvestasikan dengan adanya beberapa syarat, di antaranya:
1. Kebutuhan pokok para mustahiq sudah terpenuhi semuanya, karena tidak
bisa bilamana menginvestasikan harta zakat sementara mustahiq masih
butuh kepada dana zakat tersebut dan kebutuhan pokoknya masih ada yang
belum terpenuhi.
2. Harus disalurkan pada usaha yang dibenarkan oleh syariah dan peraturan
yang berlaku (al-thuruq al-masyru’ah).
3. Harta zakat tersebut diinvestasikan ke dalam bidang-bidang usaha yang
dinilai dan diyakini dapat memberikan keuntungan nanti di masa yang akan
datang.
4. Dilakukan oleh suatu institusi/lembaga yang professional dan dapat
dipercaya (amanah). Sehingga kemungkinan akan terjadinya kecurangan
dan kerugian nanti tidak terlalu besar jumlahnya
82
B. Saran
Setelah melalui proses pembahasan dan kajian tentang penggunaan dana
zakat untuk istitsmār (investasi) studi komparatif distribusi zakat menurut
Wahbah al-Zuhaili dan Yusuf al-Qaradhawi, kiranya penulis perlu
mengemukakan beberapa saran yang nantinya akan menjadi kelanjutan dari
kajian ini, yakni;
a. Sebaiknya ada kerelaan dari para mustahiq bilamana harta zakat itu ingin
diinvestasikan, karena mungkin saja bisa terjadi ada fakir miskin yang
kelaparan atau memerlukan biaya yang tidak bisa ditunda pada saat harta
zakat itu diinvestasikan
b. Bilamana ingin melakukan investasi terhadap harta zakat seyogyanya
diinvestasikan kepada bidang-bidang yang diyakini akan memberikan
keuntungan atas dasar studi kelayakan. Supaya dapat memperkecil
terjadinya kerugian atau bahkan lenyapnya harta zakat tersebut.
c. Diharapkan adanya campur tangan pemerintah, yakni terkait dengan
masalah perzinnan investasi (istitsmar). Dalam proses ini izin harus
diperoleh dari Pemerintah dan Pemerintah harus menggantinya apabila
terjadi kerugian atau pailit. Oleh sebab itu mesti ada pendataan terhadap
institusi/lembaga yang sekiranya itu professional dan dapat dipercaya
(amanah).
83
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Qasim Haji. Istitsmār Amwāl al-Zakah wa Dauruhu fi Tahqiqi al-
Fi’liyyah al-Iqtishādiyyah. T.tp.: al-Markaz al-Jami‟, t.th.
al-Ghafiliy, Abdullah bin Manshur. al-Nawāzil al-Zakah; Dirāsah Fiqhiyyah
Ta’shiliyyah li Mustajidāt al-Zakah. t.t., Bank al-Bilad, 2008.
al-Hafzhawiy, Muhammad bin Abdul Rahman. Ahkām Istitsmār al-Zakah wa
Tathbiqatih.
Ali, Nuruddin Mhd. Zakat Sebagai Instrument Dalam Kebijakan Fiskal. Jakarta:
Rajawali Pers.
al-Jaziri, Abdur Rahman, al-Fiqh alā Madzāhib al-Arb’ah. Qahirah: Dar al-Fikr,
2011. juz. 2, h. 501.
al-Khulaqiy, Zahir bin Umar, Istitsmār Amwāl al-Zakah fi Masyāri’ Ta’ūdu Alā
Mustahiqihā. al-Majalah al-Qalam, 2014.
al-Malibari, Zainuddin ibn Abdul Aziz, Fath al-Mu’in bi Syarhi Qurratu al-‘Ain,
Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2009.
al-Nawawi, Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab.
Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
al-Qaradhawi, Yusuf. Fiqh al-Zakah. Beirut: Mu‟assasāh al-Risālah, 1994.
--------------. Daur al-Zakāh fi „Ilāji al-Musykilāt al-Iqtishādiyyah. al-Qahirah: Dar
al-Syuruq, 2001.
--------------. Fatwa Qardhāwi, terjemahan, H. Abdurrachman Ali Bauzir.
Surabaya: Risalah Gusti.
--------------. Halal dan Haram Dalam Islam, terj; H. Mu‟ammal Hamidy,.
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1976.
--------------. Musykilat al-Faqr Wa Kayfa Ālajah al-Islam. Beirut; Muassasah ar-
Risalah, 1994.
--------------. Norma dan Ekonomi Sosial. Jakarta: Gema Insan Press, 2006.
al-Suyuthi, Jalaluddin bin Abdurrahman. al-Asybāh wa al-Nazhāir. Beirut: Dar al-
Fikr, 2011.
84
al-Zuḥailī, Wahbah. al-Tafsīr al-Munīr fī al- ‘Aqīdah wa al-Sharī’ah wa al-
Manhaj. Damaskus: Dār al-Fikr, 1998.
--------------. al-Fiqh Islam wa Adillatuhu. Dimasyqi: Dar al-Fikr, 1997.
--------------. al-Fiqih Islam wa Adillatuhu; Penerjemah; Abdul Hayyie al-Kattani,
dkk. Jakarta : Gema Insani.
Amiruddin, dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Djamil, Fathurrahman. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori, dam Konsep.
Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Hafidhuddin, Didin, dkk. The Power of Zakat; Studi Perbandingan Pengelolaan
Zakat Asia Tenggara. Malang: UIN-Malang Press, 2008.
--------------. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani, 2002.
Huda, Nurul dan Mustafa Edwin Nasution, Investasi Pada Pasar Modal Syariah.
Jakarta: 2007.
Izzuddin, Abu Muhammad bin Abdissalam. Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-
Anam. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, Aplikasi Luring Resmi Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, 2016.
Masuko, Siti. “Strategi Penyaluran Dana LAZIS Yayasan Amaliah Astra Dalam
Rangka Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat”. Skripsi S1 Fakultas Syariah
Muhammad, Abu Abdillah bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Ju‟fi al-
Bukhari. Shahih Bukhari. al-Qahirah: Dar at-Taufiq li at-Turats, 2012. juz.
Muslim bin al-Hajjaj (Imam Muslim). Shahih Muslim. al-Qahirah: Dar al-Hadits,
2010.
Muslim, ”Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Tentang Zakat Investasi Dalam
Perspektif Hukum Islam, Riau.”. Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasyim Pekan Baru, 2011.
Rahayu, Lisa. “Makna Qaulan dalam al-Qur’an; Tinjauan Tafsir Tematik
Menurut Wahbah al-Zuhailī”. Skripsi Sarjana, Fakutas Ushuluddin
Univesitas UIN SUSKSA Riau, Pekanbaru, 2010.
85
Sulaiman, Najmuddin bin Abdul Qawiy bin Abdul Karim. Syarh Mukhtashar al-
Raudhah. t.t, al-Mamlakah al-Arabiyyah al-Su‟udiyyah, 2008.
Talimah, Ishom, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qaradhāwi. Alih Bahasa Samson
Rahman, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), h. 4
Taqiyuddiin, Abi Bakr bin Muhammad. Kifāyah al-Akhyāar ‘alā Ghāyah al-
Ikhtishār. Beirut: Dar al-Minhāj, 2008.
Yahya, Muchtar dan Fathur Rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fikih
Islam. Bandung: PT. al-Ma‟arif