Penggunaan Bahasa Indonesia Dan Asing Pada Menu Makanan Yang Didagangkan Di Sekitar Jatinangor

3
Penggunaan Bahasa Indonesia dan Asing pada Menu Makanan yang Didagangkan Di sekitar Jatinangor Jatinangor, sebuah kecamatan di wilayah Sumedang, Jawa Barat. Wilayah Jatinangor langsung berbatasan dengan Cileunyi, Kab. Bandung, sehingga Jatinangor menjadi daerah sisimpangan dari Sumedang atau Tanjungsari menuju Bandung. Mahasiswa di sekitar Jatinangor sering menyebut Jatinangor sebagai kota atau kawasan pendidikan. Walaupun statusnya masih sebagai kecamatan, penyebutan tersebut memang tidak aneh karena di Jatinangor terdapat beberapa lembaga setingkat perguruan tinggi diantaranya, Universitas Padjadjaran, ITB Jatinangor, IPDN, dan IKOPIN. Perguruan tinggi tersebut adalah perguruan tinggi yang bukan saja dikenal di Jawa Barat tetapi juga daerah lainnya di Indonesia. Hal ini tentu saja mengundang banyak calon mahasiswa dan para pelaku usaha baik masyarakat Jawa Barat dan masyarakat lainnya di Indonesia untuk kuliah dan membuka usaha. Sehingga karena banyaknya pendatang dari luar daerah mengakibatkan datangnya pengaruh-pengaruh dari luar Jatinangor yang memengaruhi kebiasaan dan cara hidup masyarakat Jatinangor, termasuk dari segi bahasa. Jika kita jalan-jalan atau membeli makanan di Jatinangor, kita akan menemukan daftar menu makanan yang disediakan atau didagangkan yang penamaannya ada yang memakai bahasa lokal (sunda), bahasa Indonesia, dan bahkan bahasa asing. Dari bahasa Sunda misalnya comro (oncom dijero), gehu (togé tahu), bala-bala, lotek, dan lainnya. Kalau dari bahasa Indonesia misalnya tahu bulat, pisang aroma, nasi goreng, nasi kuning, ayam goreng, dan

description

Sebuah tulisan mengenai fenomena kebahasaan di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.

Transcript of Penggunaan Bahasa Indonesia Dan Asing Pada Menu Makanan Yang Didagangkan Di Sekitar Jatinangor

Page 1: Penggunaan Bahasa Indonesia Dan Asing Pada Menu Makanan Yang Didagangkan Di Sekitar Jatinangor

Penggunaan Bahasa Indonesia dan Asing pada Menu Makanan yang Didagangkan Di sekitar Jatinangor

Jatinangor, sebuah kecamatan di wilayah Sumedang, Jawa Barat. Wilayah Jatinangor

langsung berbatasan dengan Cileunyi, Kab. Bandung, sehingga Jatinangor menjadi daerah

sisimpangan dari Sumedang atau Tanjungsari menuju Bandung. Mahasiswa di sekitar Jatinangor

sering menyebut Jatinangor sebagai kota atau kawasan pendidikan. Walaupun statusnya masih

sebagai kecamatan, penyebutan tersebut memang tidak aneh karena di Jatinangor terdapat

beberapa lembaga setingkat perguruan tinggi diantaranya, Universitas Padjadjaran, ITB

Jatinangor, IPDN, dan IKOPIN. Perguruan tinggi tersebut adalah perguruan tinggi yang bukan

saja dikenal di Jawa Barat tetapi juga daerah lainnya di Indonesia. Hal ini tentu saja mengundang

banyak calon mahasiswa dan para pelaku usaha baik masyarakat Jawa Barat dan masyarakat

lainnya di Indonesia untuk kuliah dan membuka usaha. Sehingga karena banyaknya pendatang

dari luar daerah mengakibatkan datangnya pengaruh-pengaruh dari luar Jatinangor yang

memengaruhi kebiasaan dan cara hidup masyarakat Jatinangor, termasuk dari segi bahasa.

Jika kita jalan-jalan atau membeli makanan di Jatinangor, kita akan menemukan daftar

menu makanan yang disediakan atau didagangkan yang penamaannya ada yang memakai bahasa

lokal (sunda), bahasa Indonesia, dan bahkan bahasa asing. Dari bahasa Sunda misalnya comro

(oncom dijero), gehu (togé tahu), bala-bala, lotek, dan lainnya. Kalau dari bahasa Indonesia

misalnya tahu bulat, pisang aroma, nasi goreng, nasi kuning, ayam goreng, dan sebagainya. Dan

dari bahasa asing ada kebab, sandwich, omelet, steak, dan lainnya.

Jika diperhatikan dari wilayah geografis Jatinangor berada di wilayah Jawa Barat yang

notabene memiliki kebudayaan sunda dengan masyarakatnya yang menjaga nilai-nilai kearifan

lokal kasundaan-nya. Namun ada sebuah fenomena dalam pemakaian/penggunaan kosakata

dalam nama menu makanan-makanan yang didagangkan umumnya banyak memakai bahasa

Indonesia dan bahkan asing. Masyarakat asli Jatinangor jika mau beli makanan mereka misalnya

akan mengatakan “hayang nasi goreng euy!” atau “meuli ayam goreng wé lah!” padahal bahasa

pertama mereka adalah bahasa Sunda, tetapi ketika mau makan di luar atau beli di luar dalam

menyebutkan nama makanan dalam bahasa Indonesia. Begitu juga pedagangnya jika mau

menawarkan dagangan makanannya mereka mengatakan (walaupun ke sesama orang sunda)

“palay nasi goreng A?” atau “mésér atuh sandwich-na!”. Fenomena seperti ini tentu

Page 2: Penggunaan Bahasa Indonesia Dan Asing Pada Menu Makanan Yang Didagangkan Di Sekitar Jatinangor

menimbulkan pertanyaan, terutama penggunaan nama menu makanan yang sudah umum seperti

nasi goreng dan ayam goreng, walaupun pedagang dan pembelinya sama-sama orang Sunda

tetapi dalam menyebut nama menu makanan, mereka tidak dibasa Sundakeun nama menu

makanannya misalnya menjadi goréng hayam atau goréng sangu. Apa yang terjadi dengan

masyarakat asli Jatinangor dan urang Sunda lainnya?

Fenomena tersebut tentu bisa terjadi karena adanya interaksi-interaksi yang pesat antara

masyarakat Jatinangor dengan para pendatang sehingga banyak aspek-aspek yang datang dari

luar Jatinangor memengaruhi masyarakat asli terutama dalam penggunaan bahasa, termasuk

penamaan nama makanan-makanan dalam daftar menu yang didagangkan para pelaku dagang di

Jatinangor termasuk masyarakatnya sendiri. Karena bahasa akan selalu berkembang bahkan

berubah dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Kita tidak bisa memaksakan supaya

bahasa terjaga atau tetap dalam keasliannya, karena setiap budaya akan selalu memengaruhi

budaya lainnya.

Zulfikar N. Nugraha

180210110007

Dialektologi