PERTEMUAN 12 AUDIT SIKLUS TENAGA KERJA DAN SIKLUS PRODUKSI 1. Siklus Jasa Tenaga Kerja.
Pengetahuan Mengenai Siklus Hidup A. lumbricoides dan ...
Transcript of Pengetahuan Mengenai Siklus Hidup A. lumbricoides dan ...
1
Pengetahuan Mengenai Siklus Hidup A. lumbricoides dan Karakteristik Demografi Anak
di Panti Asuhan Jakarta Timur Tahun 2012
Fiorella Andani Sihombing*, Saleha Sungkar** *Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
**Staff Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Abstrak: Penyakit cacingan yang disebabkan oleh A. lumbricoides masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Panti asuhan merupakan lingkungan tempat tinggal yang padat sehingga rentan terjadi infeksi dan penularan askariasis. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan mengenai siklus hidup A. lumbricoides dan hubungannya dengan karakteristik demografi anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur pada tahun 2012. Penelitian dilakukan menggunakan desain cross-sectional. Data diambil pada tanggal 10 Juni 2012 dengan memberikan kuesioner berisi data demografi dan enam soal mengenai siklus hidup A. lumbricoides kepada responden (n=153) yang dipilih secara populasi total. Hasil menunjukkan tingkat pengetahuan anak tergolong rendah (pengetahuan baik 0,7%; cukup 3,9%; kurang 95,4%) dan uji Kolmogorov-Smirnov menghasilkan nilai p>0,05 pada setiap karakteristik demografi, sehingga disimpulkan tingkat pengetahuan anak tidak berhubungan dengan karakteristik demografi. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena anak di panti asuhan hidup dalam lingkungan dengan sumber informasi yang sama, sehingga pengetahuan yang dimiliki anak relatif sama. Dengan demikian, perlu dilakukan penyuluhan mengenai A. lumbricoides kepada seluruh anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur secara merata tanpa memandang karakteristik demografi.
Kata kunci: A. lumbricoides; demografi; panti asuhan; siklus hidup; tingkat pengetahuan
Abstract: Helminthiasis caused by A. lumbricoides remains a public health problem in Indonesia. An orphanage is a dense residential neighborhood, hence susceptible to infection and transmission of ascariasis. This research was conducted to determine the knowledge level of A. lumbricoides life cycle related to demographic characteristics of children in Orphanage X, East Jakarta in 2012. The study design was cross-sectional. The data were taken on June 10, 2012 by handing out questionnaires containing demographic data and six questions about A. lumbricoides life cycle to the respondents (n=153) whom were selected by total population. The results revealed, the knowledge level of the orphans was classified as poor (good knowledge 0,7%; fair 3,9%; poor 95,4%) and Kolmogorov-Smirnov test produced p>0,05 on every demographic characteristic, therefore concluded that the knowledge level was not related to demographic characteristics. This is likely due to children in orphanages living in an environment with the same resources, thus the knowledge among children are relatively the same. Accordingly, health promotions about A. lumbricoides need to be held for all children in Orphanage X, East Jakarta evenly regardless of demographic characteristics.
Keywords: A. lumbricoides; demographic; knowledge level; life cycle; orphanage
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
2
Pendahuluan
Infeksi parasit pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh cacing masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Salah satu cacing penyebab infeksi saluran
pencernaan yang banyak ditemukan adalah Ascaris lumbricoides.1 Infeksi yang disebabkan
oleh A. lumbricoides disebut dengan askariasis. Di Indonesia, prevalensi askariasis tergolong
cukup tinggi, yaitu 30,4%.2 Pada penelitian yang dilakukan di suatu daerah kumuh di Jakarta
Utara tahun 2008, prevalensi askariasis pada anak sekolah dasar (SD) adalah 80%. Di Jakarta
Barat prevalensi askariasis pada anak SD adalah 74,70%,3 sedangkan di Kepulauan Seribu
prevalensi askariasis pada anak SD adalah 68,8%.4
Askariasis dapat terjadi pada semua kelompok umur, namun prevalensi tertinggi
banyak dijumpai di kalangan anak, terutama usia sekolah dasar.5 Askariasis dapat
menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, salah satunya yang terpenting adalah malnutrisi.
Pada anak usia sekolah, hal tersebut dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, gangguan
perkembangan psikologis dan sosial serta penurunan prestasi belajar.1
Askariasis banyak ditemukan di kelompok penduduk yang miskin dan hidup di
lingkungan padat penghuni dengan sanitasi yang buruk.5 Salah satu lingkungan tempat tinggal
yang rentan terjadi infeksi dan penularan askariasis adalah panti asuhan, antara lain
dikarenakan oleh fasilitas sanitasi yang terbatas dan kondisi hidup bersama yang
memudahkan terjadinya penularan. Hal lain yang mungkin berpengaruh terhadap kejadian
askariasis adalah pengetahuan tentang patogen askariasis sendiri, salah satunya adalah siklus
hidup A. lumbricoides, yang mungkin berkaitan dengan perilaku pencegahan terhadap
askariasis. Namun demikian, pada umumnya tingkat pengetahuan setiap orang berbeda-beda
dan dipengaruhi oleh karakteristik demografi yang berbeda-beda pula pada setiap individu.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat pengetahuan
mengenai siklus hidup A. lumbricoides dan hubungannya dengan karakteristik demografi
pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur.
Tinjauan Teoritis A. lumbricoides merupakan cacing golongan soil-transmitted helminths, yaitu cacing
yang siklus hidupnya membutuhkan tanah untuk dapat hidup dan berkembang. Cacing ini
dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yang disebut dengan askariasis.1
Askariasis tersebar secara luas di seluruh dunia dan terdapat baik di daerah tropis
maupun subtropis. Daerah yang terbanyak mengalami askariasis adalah Asia Timur dan
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
3
Kepulauan Pasifik, yaitu sebesar 204 juta kasus, kemudian daerah Sub Sahara Afrika sebesar
173 juta kasus, dan yang paling sedikit mengalami infeksi adalah daerah Timur Tengah dan
Afrika Utara.6
Indonesia merupakan daerah yang memiliki kelembaban udara tinggi, mengandung
tanah liat dan memiliki temperatur rata-rata antara 250-300 C, yang merupakan kondisi optimal
untuk pertumbuhan A.lumbricoides.1 Prevalensi askariasis di Indonesia mencapai 30,4%.2
Askariasis pada umumnya banyak ditemukan pada anak dengan usia 10 tahun ke bawah.
Prevalensi askariasis sangat tinggi pada rentang usia 7-12 tahun.7
Di Indonesia, prevalensi askariasis pada anak SD pada tahun 2002-2006 adalah
17,8%.8 Berdasarkan hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, prevalensi
askariasis tergolong tinggi dan bervariasi, yaitu di provinsi DKI Jakarta 4-91%, Jawa Barat
20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jawa Timur 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumatera
Utara 46-75%, Sumatera Barat 2-71%, Sumatera Selatan 51-78% dan Sulawesi Utara 30-
72%.9
A. lumbricoides merupakan nematoda usus terbesar. Ukuran cacing tersebut bervariasi
dan cacing betina berukuran lebih besar dibandingkan cacing jantan. Cacing betina berukuran
20-35 cm, sedangkan cacing jantan berukuran 15-30 cm.1A. lumbricoides bereproduksi secara
seksual dengan cara bertelur. Seekor cacing betina dapat mengeluarkan telur sebanyak 20
hingga 200.000 butir per hari, terdiri atas telur yang dibuahi maupun tidak dibuahi. Telur A.
lumbricoides berbentuk oval dan berukuran sekitar 60 x 45 µm. Telur tersebut memiliki 3
lapisan, yaitu lapisan albuminoid, hialin dan litelin.1,10
Manusia terinfeksi askariasis melalui tertelannya telur A. lumbricoides yang infektif,
baik melalui makanan dan air yang terkontaminasi telur infektif maupun kontak dengan tanah
yang mengandung telur infektif. Telur yang infektif adalah telur yang telah dibuahi dan telah
mengalami kontak dengan tanah selama sekitar 1 bulan, sehingga telur telah mengalami
maturasi dan berisi larva. Telur tersebut dapat bersifat infektif selama beberapa bulan.11
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
4
(a) (b)
Gambar 1. (a) Telur dan (b) cacing dewasa A. lumbricoides
Sumber: (a) Centers for Disease Control & Prevention Center for Global Health. Parasites and Health: Ascariasis; 2009.
23 Maret 2013. <http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/a-
f/ascariasis/body_Ascariasis_il3.htm>
(b) Centers for Disease Control & Prevention Center for Global Health. Parasites and Health: Ascariasis; 2009.
23 Maret 2013. <http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/ImageLibrary/a-
f/ascariasis/body_Ascariasis_il5.htm>
Setelah telur yang infektif tertelan oleh manusia, telur akan menetas dan
mengeluarkan larva di usus halus, yaitu di duodenum. Selanjutnya, larva akan menembus
mukosa usus dan masuk ke vena di dinding usus, lalu bermigrasi melalui sistem pembuluh
darah.10,11 Awalnya larva akan bermigrasi ke hati melalui sistem porta hepatika, kemudian
larva akan memasuki sirkulasi sistemik dan setelah 4-7 hari larva akan bermigrasi hingga ke
paru.10 Larva berdiam di kapiler paru, kemudian menembus alveoli dan bermigrasi dari
bronkiolus hingga ke trakea dan faring.
Di faring, larva akan tertelan dan kembali ke usus halus, lalu kemudian mengalami
maturasi menjadi cacing dewasa di usus halus.11 Di usus halus, cacing dewasa akan
bereproduksi dan menghasilkan telur, yang kemudian akan dikeluarkan dari tubuh hospes
bersama feses. Telur yang tersebut dapat bertahan selama bertahun-tahun di tanah dengan
kondisi lembab, namun sensitif terhadap kekeringan.10 Siklus hidup A. lumbricoides terpenuhi
dalam waktu 7-9 minggu. Waktu hidup cacing dewasa berkisar antara 12 hingga 18 bulan.10
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
5
Gambar 2. Siklus Hidup A. Lumbricoides
Sumber: Centers for Disease Control & Prevention Center for Global Health. Parasites and Health: Ascariasis;
2009. 23 Maret 2013. <http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Ascariasis.htm>
Askariasis dapat menyebabkan gangguan absorbsi nutrisi. Hal ini dikarenakan di
dalam tubuh manusia, A. lumbricoides hidup di usus halus yang merupakan organ utama
untuk pencernaan dan absorbsi nutrisi. Gangguan absorbsi yang ditimbulkan terutama
terhadap karbohidrat, protein, lemak dan vitamin A, sehingga dapat menyebabkan malnutrisi,
anemia defisiensi besi dan defisiensi vitamin A. Oleh karena itu, infeksi jangka panjang dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak.1,10
Larva yang bermigrasi melalui paru dapat menyebabkan batuk, dyspneu, wheezing,
terkadang hemoptisis, dan gejala respiratorik lainnya. Selain itu, larva dapat menimbulkan
respons inflamasi di paru sehingga terjadi pneumonitis. Hal tersebut dapat memicu terjadinya
spasme bronkial, produksi mukus dan Loffler syndrome yang ditandai dengan batuk,
eosinofilia dan infiltrat paru.11
Cacing dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan obstruksi mekanis di saluran
pencernaan, duktus biliaris dan duktus pankreatikus. Hal tersebut dapat menimbulkan nyeri
abdominal, mual dan muntah, serta jaundice, walaupun jarang ditemukan. Konsumsi obat-
obatan seperti agen anestetik dan steroid dapat meningkatkan migrasi cacing, sehingga dapat
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
6
terjadi perforasi usus dan peritonitis, keluarnya cacing dari anus, muntah dan nyeri
abdominal.11
Diagnosis askariasis dilakukan dengan pemeriksaan feses dan ditegakkan dengan
ditemukannya telur A. lumbricoides di dalam feses. Selain itu, ditemukannya cacing dewasa
yang keluar melalui mulut, hidung atau anus dapat menegakkan diagnosis askariasis.1,10 Larva
yang bermigrasi dapat dideteksi secara tidak langsung dengan pemeriksaan antibodi serologi,
terutama pemeriksaan IgE spesifik, namun jarang dilakukan.10
Pada fase migrasi larva, dapat ditemukan eosinofilia pada pemeriksaan hitung jenis
leukosit, dan pada fase migrasi paru dapat ditemukan gambaran opak yang berpindah-pindah
(fleeting opacities) pada pemeriksaan radiografi. 10
Untuk penatalaksanaan askariasis, dapat digunakan beberapa pilihan obat antara lain
mebendazol, albendazol dan pirantel pamoat. Mebendazol dapat diberikan dengan dosis yang
sama untuk anak maupun dewasa, yaitu 2 x 100 mg per hari selama 3 hari berturut-turut.
Albendazol dapat diberikan dengan dosis tunggal 400 mg untuk dewasa dan anak berusia di
atas 2 tahun, dan pada infeksi berat dapat dilanjutkan selama 2-3 hari. Pirantel pamoat
diberikan dengan dosis tunggal 10 mg/kgBB untuk dewasa dan anak berusia di atas 2 tahun,
dengan dosis maksimal 1 g. Pengobatan dapat diulangi apabila telur masih ditemukan di feses
2 minggu setelah pengobatan pertama.12,13
Panti Asuhan X terletak di Kelurahan Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur.
Lokasi Panti Asuhan X berada di tengah pemukiman penduduk yang cukup padat. Perumahan
di sekitar panti asuhan tampak berdempetan antara satu dan lainnya. Di dekat panti asuhan
terdapat pasar tradisional yang ramai dikunjungi penduduk terutama pada pagi hari, sehingga
seringkali jalan ke arah panti asuhan sulit untuk dilewati. Sanitasi di sekitar pasar dan
lingkungan panti asuhan terkesan kurang baik. Hal tersebut terlihat dari banyaknya penjual
makanan yang berjualan di pinggir selokan dan makanan jualannya diletakkan di jalan hanya
dengan alas kain dan ember. Selain itu, tampak banyak sampah makanan dan plastik
berserakan di jalan dan di selokan.
Di panti asuhan tersebut terdapat SD tempat sebagian anak panti asuhan bersekolah.
Di SD tersebut terdapat beberapa ruang kelas, aula, perpustakaan, musholla, dan beberapa
kamar kecil. Lapangan di panti asuhan terbuat dari semen dan di lingkungan panti asuhan
banyak terdapat tempat sampah. Lingkungan panti asuhan tampak cukup bersih dan tidak
terdapat sampah yang berserakan di sekitar gedung.
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
7
Pemiliki panti asuhan ini adalah seorang dokter spesialis anak. Panti asuhan dikelola
oleh pemilik bersama yayasan pengelola. Sumber dana untuk panti asuhan diperoleh dari
pemilik, yayasan pengelola dan beberapa donatur.
Panti Asuhan X menampung anak yatim piatu dan anak jalanan. Anak-anak tersebut
tinggal di panti asuhan dan bersekolah di Yayasan X maupun di beberapa sekolah yang
terletak di sekitar panti asuhan. Di panti asuhan tersebut terdapat 165 anak yang berusia 7
hingga 22 tahun. Anak-anak di panti asuhan tersebut merupakan siswa-siswi SD, SMP hingga
SMA dan sederajatnya.
Di panti asuhan, anak-anak tidur bersama dalam 1 kamar yang berisikan 30 anak.
Tempat tidur mereka berupa kasur tipis, sehingga apabila tidak digunakan kasur dapat
ditumpuk. Anak-anak mencuci dan menyetrika pakaian mereka masing-masing sekali dalam 1
minggu pada akhir pekan.
Metode
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan desain cross-sectional. Pengambilan
data dilakukan pada tanggal 10 Juni 2012 di sebuah panti asuhan di Jakarta Timur. Sumber
data adalah data primer yang bersumber dari kuesioner yang telah divalidasi yang
mengandung data demografi dan enam pertanyaan mengenai siklus hidup A. lumbricoides.
Sampel penelitian dipilih secara populasi total dan merupakan anak-anak yang tinggal di
Panti Asuhan X, Jakarta Timur yang hadir saat pengambilan data dan sedang menjalani
pendidikan SD, SMP, SMA atau sederajat (n=153).
Pada penelitian ini, variabel terikat adalah tingkat pengetahuan mengenai siklus hidup
A. lumbricoides, sedangkan variabel bebas adalah karakteristik demografi. Karakteristik
demografi yang diteliti adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, riwayat cacingan pada
responden dan riwayat cacingan di keluarga. Variabel perancu yang tidak diteliti adalah
pemahaman anak terhadap pertanyaan kuesioner dan keseriusan anak dalam pengisian
kuesioner.
Pada saat pengambilan data, responden diberikan petunjuk mengenai tata cara
pengisian kuesioner, kemudian responden diberikan waktu untuk mengisi kuesioner dengan
lengkap. Setelah pengisian kuesioner selesai, kuesioner dikumpulkan dan diperiksa
kelengkapannya oleh peneliti. Selanjutnya, jawaban kuesioner diperiksa satu per satu dan
setiap responden diberikan skor sesuai dengan jumlah jawaban yang benar. Hasil pengolahan
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
8
skor kuesioner menunjukkan tingkat pengetahuan responden yang dikategorikan ke dalam
baik (nilai 80-100%), sedang (nilai 60-79%) dan kurang (nilai 0-59%).
Data kemudian diolah menggunakan program SPSS versi 20. Analisis deskriptif
dilakukan untuk mengetahui distribusi karakteristik demografi dan tingkat pengetahuan anak.
Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk
menganalisis hubungan antar-variabel yang diteliti, yaitu tingkat pengetahuan dan
karakteristik demografi. Uji Kolmogorov-Smirnov digunakan sebagai alternatif karena hasil
uji chi squre tidak memenuhi syarat kurang dari 20% perhitungan yang diharapkan (expected
count) memiliki nilai kurang dari 5.
Hasil Penelitian Responden pada penelitian ini terdiri atas 64 laki-laki (41,8%) dan 89 perempuan
(58,2%) dengan rentang usia antara 7 hingga 22 tahun. Berdasarkan Tabel 1, diketahui bahwa
usia responden terbanyak berada pada rentang usia 7-12 tahun (54,2%), jenis kelamin
terbanyak adalah perempuan (58,2%), dan pendidikan terbanyak adalah SD (52,3%). Selain
itu, sebanyak 85,6% responden tidak memiliki riwayat cacingan dan sebanyak 78,4%
responden tidak memiliki riwayat cacingan di keluarga.
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi
Variabel Kategori n %
Usia
7-12 tahun 83 54,2
13-15 tahun 57 37,3
16-22 tahun 13 8,5
Jenis kelamin Laki-laki 64 41,8
Perempuan 89 58,2
Pendidikan
SD 80 52,3
SMP 58 37,9
SMA 15 9,8
Riwayat cacingan pada
responden
Tidak 131 85,6
Ya 22 14,4
Riwayat cacingan di
keluarga
Tidak 120 78,4
Ya 33 21,6
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
9
Tabel 2 menampilkan tingkat pengetahuan responden mengenai siklus hidup A.
lumbricoides berdasarkan karakteristik demografi responden. Berdasarkan analisis data,
diketahui bahwa 1 responden (0,7%) memiliki pengetahuan baik, 6 responden (3,9%)
memiliki pengetahuan cukup dan 146 responden (95,4%) memiliki pengetahuan kurang.
Tingkat pengetahuan terbanyak pada setiap karakteristik demografi juga berada di dalam
kategori kurang.
Pada karakteristik usia, responden yang memiliki pengetahuan kurang adalah
sebanyak 81 orang (52,9%) pada kelompok usia 7-12 tahun, 52 orang (34%) pada kelompok
usia 13-15 tahun dan 13 orang (8,5%) pada kelompok usia 16-22 tahun. Responden laki-laki
yang memiliki pengetahuan kurang adalah sejumlah 59 orang (38,6%), sedangkan perempuan
sejumlah 87 orang (56,9%). Pada kategori pendidikan, tingkat pengetahuan kurang dimiliki
oleh 78 orang (51%) siswa SD, 54 orang (35,3%) siswa SMP dan 14 orang (9,2%) siswa
SMA. Pengetahuan kurang yang terdapat pada rresponden yang tidak memiliki riwayat
cacingan adalah sebanyak 124 orang (81%) dan yang memiliki riwayat cacingan sebanyak 22
orang (14,4%), sedangkan responden yang tidak memiliki riwayat cacingan di keluarga
sebanyak 116 orang (75,8%) dan yang memiliki riwayat cacingan di keluarga sebanyak 30
orang (19,6%).
Dari hasil pengujian hipotesis menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov, diperoleh
bahwa pada setiap karakteristik demografi nilai p > 0,05, yaitu 0,292 pada kategori usia;
0,340 pada kategori jenis kelamin; 0,269 pada kategori pendidikan; 0,232 pada riwayat
cacingan pada responden; 0,293 pada riwayat cacingan di keluarga. Nilai p > 0,05
menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan dan masing-
masing karakteristik demografi, sehingga dapat disimpulkan dalam penelitian ini tidak
terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan responden dan karakteristik demografi
responden.
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
10
Tabel 2. Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Siklus Hidup A. lumbricoides Berdasarkan Karakteristik Demografi
Karakteristik Kategori Tingkat Pengetahuan
p Kurang Cukup Baik n % n % n %
Usia 7-12 tahun 81 52,9 2 1,3 0 0
0,292 13-15 tahun* 52 34 4 2,6 1 0,7
16-22 tahun* 13 8,5 0 0 0 0
Jenis Kelamin Laki-laki 59 38,6 5 3,3 0 0
0,340 Perempuan 87 56,9 1 0,7 1 0,7
Pendidikan SD 78 51 2 1,3 0 0
0,269 SMP* 54 35,3 4 2,6 0 0
SMA* 14 9,2 0 0 1 0,7
Riwayat Cacingan
pada Responden
Tidak 124 81 6 3,9 1 0,7 0,232
Ya 22 14,4 0 0 0 0
Riwayat Cacingan
di Keluarga
Tidak 116 75,8 3 2 1 0,7 0,293
Ya 30 19,6 3 2 0 0
*digabung untuk kepentingan Uji Kolmogorov-Smirnov
Berdasarkan Tabel 3, diperoleh bahwa soal kuesioner dijawab oleh responden dengan
skor tertinggi (5) terbanyak pada soal nomor 1 (44,4%), sedangkan paling sedikit pada soal
nomor 6 (2,6%). Soal nomor 1 berisi pertanyaan mengenai cacing apa yang menghinggapi
manusia dan berukuran paling besar, sedangkan soal nomor 6 berisi pertanyaan mengenai
bagaimana cara manusia dapat terinfeksi cacing gelang (A. lumbricoides).
Soal kuesioner dijawab oleh responden dengan skor terendah (0) terbanyak pada soal
nomor 3 (77,8%), sedangkan paling sedikit pada soal nomor 4 (32%). Soal nomor 3 berisi
pertanyaan mengenai kelompok usia di mana cacing gelang paling banyak ditemukan,
sedangkan soal nomor 4 berisi instruksi untuk mencocokkan gambar cacing dewasa dengan
nama cacingnya.
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
11
Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Skor Soal Kuesioner
Soal Skor n %
1 0 85 55,6
5 68 44,4
2 0 112 73,2
5 41 26,8
3 0 119 77,8
5 34 22,2
4 0 49 32
2 50 32,7
4 1 0,7
5 53 34,6
5 0 72 47,1
2 42 27,5
4 1 0,7
5 38 24,8
6 0 72 47,1
2,5 77 50,3
5 4 2,6
Diskusi
Dari hasil analisis data, diketahui bahwa tingkat pengetahuan responden terbanyak
adalah pada kategori kurang (95,4%), diikuti oleh kategori cukup (3,9%) dan baik (0,7%).
Oleh karena itu, pengetahuan anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur mengenai siklus hidup
A. lumbricoides tergolong rendah. Tingkat pengetahuan yang rendah perlu ditingkatkan
melalui pengadaan penyuluhan secara berkala oleh guru beserta petugas kesehatan yang
memiliki kompetensi di bidang parasitologi. Namun demikian, agar dapat menentukan
metode pemberian penyuluhan yang sesuai, perlu diketahui adanya hubungan antara tingkat
pengetahuan dan karakteristik demografi anak.
Salthouse14 (2002) menyatakan, dengan semakin tingginya usia, maka pengetahuan
yang dimiliki seseorang akan semakin banyak. Dari distribusi data diketahui bahwa tingkat
pengetahuan responden tergolong rendah baik pada kelompok usia 7-12 tahun maupun pada
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
12
kelompok usia yang lebih tinggi. Hasil analisis data menunjukkan tidak terdapat hubungan
antara tingkat pengetahuan dan usia pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur. Hasil
tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Salthouse.
Beier dan Ackerman15 (2003) menyatakan bahwa pada umumnya perempuan
memiliki pengetahuan yang lebih tinggi mengenai kesehatan dibandingkan dengan laki-laki. Pada penelitian ini, pernyataan Beier dan Ackerman tidak terbukti karena tidak terdapat
hubungan antara tingkat pengetahuan dan jenis kelamin pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta
Timur.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wade16 (1970), Beier15 (2003), Cutler17 (2006)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
pengetahuan mengenai kesehatan. Dalam penelitian ini, responden yang memiliki tingkat
pengetahuan kurang lebih banyak jumlahnya pada tingkat pendidikan SD dibandingkan pada
tingkat pendidikan SMP hingga SMA. Namun demikian, berdasarkan hasil analisis data, tidak
terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan tingkat pendidikan pada anak di Panti
Asuhan X, Jakarta Timur. Hasil tersebut juga bertentangan dengan hasil penelitian oleh
Wade, Beier dan Cutler.
Pada umumnya, seseorang yang pernah mengalami suatu penyakit akan memiliki
pengetahuan yang lebih baik mengenai penyakit tersebut. Begitu juga halnya apabila
seseorang memiliki anggota keluarga yang pernah terkena suatu penyakit. Dalam penelitian
ini, tingkat pengetahuan yang kurang lebih banyak ditemukan pada responden yang tidak
memiliki riwayat cacingan dibandingkan pada responden yang memiliki riwayat cacingan.
Hal tersebut juga ditemukan pada riwayat cacingan di keluarga. Setelah dilakukan pengujian
dengan uji hipotesis Kolmogorov-Smirnov, hasilnya tidak terdapat hubungan antara tingkat
pengetahuan dan riwayat cacingan pada anak maupun di keluarga pada anak-anak di Panti
Asuhan X, Jakarta Timur.
Berbagai hasil tersebut kemungkinan disebabkan karena responden tinggal bersama
dalam lingkungan yang sama dengan sumber informasi kesehatan yang relatif sama. Dengan
demikian, pegetahuan yang dimiliki oleh anak-anak yang saling berbeda karakteristik
demografinya tidak berbeda bermakna antara satu dan lainnya. Hal lain yang mungkin juga
menjadi penyebabnya adalah karena anak yang memiliki tingkat pendidikan SMA dan
sederajat di panti asuhan tersebut sebagian besar memiliki program studi Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS), sehingga mereka tidak mendapatkan mata pelajaran Biologi di sekolah. Hal lain
yang mungkin ikut mendasari hasil tersebut adalah kurangnya sumber informasi yang
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
13
beragam pada lingkungan hidup responden dan kurangnya minat responden untuk mengetahui
lebih jauh mengenai penyakit cacingan, khususnya askariasis.
Oleh karena itu, apabila akan dilakukan pemberian penyuluhan untuk meningkatkan
tingkat pengetahuan anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur, penyuluhan harus dilakukan
secara merata pada seluruh anak tanpa memandang karakteristik demografi berupa usia, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, riwayat cacingan pada anak maupun riwayat cacingan di
keluarga anak.
Kesimpulan
Karakteristik demografi anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur beragam dengan usia
responden terbanyak antara 7-12 tahun (54,2%), jenis kelamin terbanyak adalah perempuan
(58,2%), pendidikan terbanyak adalah SD (52,3%), sebanyak 85,6% responden tidak
memiliki riwayat cacingan dan sebanyak 78,4% responden tidak memiliki riwayat cacingan di
keluarga. Tingkat pengetahuan anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur mengenai siklus hidup
A. lumbridoides tergolong rendah, dengan jumlah anak yang memiliki pengetahuan baik
berjumlah 1 orang (0,7%), pengetahuan cukup berjumlah 6 orang (3,9%) dan pengetahuan
kurang sebesar 146 orang (95,4%). Berdasarkan hasil uji hipotesis, dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai siklus hidup A. lumbridoides
dan karakteristik demografi pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur.
Saran
Tingkat pengetahuan anak di Panti Asuhan X, Jakarta Timur perlu ditingkatkan
dengan memberikan penyuluhan secara teratur dan berkala tanpa memandang karakteristik
demografi hingga pengetahuan anak tergolong baik. Selain itu, dibutuhkan penelitian lebih
lanjut untuk mengetahui perilaku pencegahan cacingan pada anak di Panti Asuhan X, Jakarta
Timur.
Daftar Pustaka 1 Supali T, Margono SS, Abidin SAN. Nematoda Usus. Dalam: Sutanto I, Ismid IS,
Sjarifuddin PK, Sungkar S, editor. Parasitologi Kedokteran. Edisi ke-4. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2008. 2 Muniroh L, Martini S, Soedirham O, Andreas DR. Analisis Pengetahuan, Sikap, dan
Tindakan Guru Sekolah Dasar Negeri di Surabaya tentang Masalah Kecacingan.
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
14
Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Airlangga;
2005. 3 Mardiana, Djarismawati. Prevalensi Cacing Usus pada Murid Sekolah Dasar Wajib Belajar
Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh. Jurnal Ekologi
Kesehatan. 2008; Agustus; 7(2): 769-74. 4 Margono SS, Sasongko A, Mahaswiati M. School-based Control of Soil-Transmitted
Helminthiases in Kepulauan Seribu, Jakarta. Denpasar: Simposium Parasitologi dan
Penyakit Tropis; 2007. 5 Rasmaliah. Askariasis dan Upaya Penanggulangannya. Medan: Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara; 2001. 6 UNICEF. “Mapping human helminth infections in Southeast Asia”. Diunduh pada 23 Maret
2013 dari:
http://www.unicef.org/eapro/Mapping_human_helminth_p_31-53.pdf 7 Angraini R, Dimyati Y, Lubis B, Pasaribu S, Lubis CP. Association between Soil-
Transmitted Helminthiasis and Hemoglobin Concentration in Primary School
Children. Paediatrica Indonesiana. 2005; 45(1-2):24-5. 8 Profil Kesehatan Indonesia, 2006, Depkes RI. Diunduh pada 23 Maret 2013 dari:
http://www.depkes.go.id/downloads/publikasi/Profil%20Kesehatan%20Indonesia%20
2006.pdf 9 Tjitra, Emiliana. Penelitian-penelitian Soil-Transmitted Helminths di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokteran 72; 1991. 10 Kayser FH, Bienz KA, Eckert J, Zinkernagel RM. Medical Microbiology. New York:
Thieme Medical Publisher; 2005. p 576-579. 11 Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA, Mietzner TA. Jawetz, Melnick, & Adelberg's
Medical Microbiology. 25th Edition. McGraw-Hill Co, Inc; 2010. p 684. 12 Syarif A, Elysabeth. Kemoterapi Parasit. Dalam: Gunawan SG, editor. Farmakologi dan
Terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2012. p 541-545. 13 Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Clinical Pharmacology of the Anthelmintic Drugs.
In: Basic and Clinical Pharmacology. 11th edition. New York: McGraw hill; 2009. p
923-932. 14 Salthouse TA. Interrelations of Aging, Knowledge, and Cognitive Performance. Virginia:
University of Virginia; 2002. p 265-72.
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013
15
15 Beier ME, Ackerman PL. Determinants of Health Knowledge: An Investigation of Age,
Gender, Abilities, Personality, and Interest. Journal of Personality and Social
Psychology. 84(2):439-448; 2003. 16 Wade S E. Trends in Public Knowledge about Health and Illness. Public Health Education
in American Public Health Association. 60 (3): 485-91; 1970. 17 Cutler DM, Lleras-Muney A. Education and Health: Evaluating Theories and Evidence.
NBER Working Paper No. 12352. JEL No. I1, I2; 2006.
Pengetahuan mengenai siklus..., Fiorella Andani Sihombing, FKUI, 2013