Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014...

35
Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan Ekstrak Pinang, Gambir, Sirih, dan Kapur Sirih Control of Stem Rot Disease of Pepper with Extract of Areca, Gambir, Betle, and Lime Paste Dedek Kusvianti, Widodo*, Djoko Prijono Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680 ABSTRAK Lada merupakan komoditas ekspor penting penghasil devisa Indonesia. Faktor pembatas produksi di antaranya ialah patogen Phytophthora capsici penyebab penyakit busuk pangkal batang (BPB). Penelitian ini bertujuan mengevaluasi keefektifan ekstrak pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih sebagai bahan pengendali penyakit BPB. Penelitian secara in vitro dan in vivo disusun untuk mengevaluasi keempat jenis ekstrak dan konsentrasinya. Pengujian secara in vitro dilakukan dengan menumbuhkan isolat P. capsici berumur 4 hari dan berdiameter 5 mm pada medium V8 yang sebelumnya telah dicampur dengan ekstrak uji. Pengujian secara in vivo dilakukan dengan mencelupkan daun lada pada ekstrak uji, kemudian zoospora P. capsici diteteskan di bawah permukaan daun. Ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.005% dan 0.01%; dan pinang 0.04% secara in vitro cukup efektif menghambat perkembangan diameter koloni P. capsici. Selain itu, ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.01% secara in vivo efektif dalam menghambat keparahan penyakit dan memiliki daya efikasi yang menyamai daya efikasi fungisida propineb 0.2%. Kata kunci: antioksidan, bercak daun, fungisida, Phytophthora capsici ABSTRACT Pepper is an important commodity in Indonesia due to its export value. Infection of Phytophthora capsici causing stem rot disease is very critical for the production of pepper plants. Research was conducted to evaluate the efficiency of extracts of areca, gambir, betle, and lime paste for controlling stem rot disease. In vitro and in vivo experiments was designed to evaluate 2 factors, i.e. type and concentration of extracts. In vitro experiment was conducted by growing 4 day old and 5 mm in diameter of P. capsici isolate on V8 media containing the extracts tested. In vivo experiment was done by dipping pepper leaves on the extracts, followed by dropping zoospores of P. capsici on underneath of leaf surface. Mixture of 4 extracts (areca + gambir + betel + lime paste) of 0.005% and 0.01%; and areca extract of 0.04% was able to inhibit the growth of P. capsici colonies effectively in vitro. Similarly, mixture of 4 extracts of 0.01% effectively suppressed disease severity in vivo with equal effect with those of propineb fungicide of 0.2%. Key words: antioxidant, fungicide, leaf spot, Phytophthora capsici *Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor Jalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680 Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected] 103 ISSN: 0215-7950

Transcript of Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014...

Page 1: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014Halaman 103–111

DOI: 10.14692/jfi.10.4.103

Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan Ekstrak Pinang, Gambir, Sirih, dan Kapur Sirih

Control of Stem Rot Disease of Pepper with Extract of Areca, Gambir, Betle, and Lime Paste

Dedek Kusvianti, Widodo*, Djoko PrijonoInstitut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Lada merupakan komoditas ekspor penting penghasil devisa Indonesia. Faktor pembatas produksi di antaranya ialah patogen Phytophthora capsici penyebab penyakit busuk pangkal batang (BPB). Penelitian ini bertujuan mengevaluasi keefektifan ekstrak pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih sebagai bahan pengendali penyakit BPB. Penelitian secara in vitro dan in vivo disusun untuk mengevaluasi keempat jenis ekstrak dan konsentrasinya. Pengujian secara in vitro dilakukan dengan menumbuhkan isolat P. capsici berumur 4 hari dan berdiameter 5 mm pada medium V8 yang sebelumnya telah dicampur dengan ekstrak uji. Pengujian secara in vivo dilakukan dengan mencelupkan daun lada pada ekstrak uji, kemudian zoospora P. capsici diteteskan di bawah permukaan daun. Ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.005% dan 0.01%; dan pinang 0.04% secara in vitro cukup efektif menghambat perkembangan diameter koloni P. capsici. Selain itu, ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.01% secara in vivo efektif dalam menghambat keparahan penyakit dan memiliki daya efikasi yang menyamai daya efikasi fungisida propineb 0.2%.

Kata kunci: antioksidan, bercak daun, fungisida, Phytophthora capsici

ABSTRACT

Pepper is an important commodity in Indonesia due to its export value. Infection of Phytophthora capsici causing stem rot disease is very critical for the production of pepper plants. Research was conducted to evaluate the efficiency of extracts of areca, gambir, betle, and lime paste for controlling stem rot disease. In vitro and in vivo experiments was designed to evaluate 2 factors, i.e. type and concentration of extracts. In vitro experiment was conducted by growing 4 day old and 5 mm in diameter of P. capsici isolate on V8 media containing the extracts tested. In vivo experiment was done by dipping pepper leaves on the extracts, followed by dropping zoospores of P. capsici on underneath of leaf surface. Mixture of 4 extracts (areca + gambir + betel + lime paste) of 0.005% and 0.01%; and areca extract of 0.04% was able to inhibit the growth of P. capsici colonies effectively in vitro. Similarly, mixture of 4 extracts of 0.01% effectively suppressed disease severity in vivo with equal effect with those of propineb fungicide of 0.2%.

Key words: antioxidant, fungicide, leaf spot, Phytophthora capsici

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

103

ISSN: 0215-7950

Page 2: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Kusvianti et al.

PENDAHULUAN

Lada (Piper nigrum) merupakan salah satu produk ekspor unggulan Indonesia. Di pasar internasional, lada Indonesia mempunyai ke-kuatan dan daya jual tersendiri karena cita rasanya yang khas. Lada Indonesia dikenal dengan nama Muntok white pepper untuk lada putih dan Lampong black pepper untuk lada hitam (Yuhono 2007).

Salah satu faktor pembatas produksi lada Indonesia ialah serangan penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang disebabkan oleh Phytophthora capsici. Gejala khas penyakit BPB ialah kelayuan tanaman apabila patogen tersebut menyerang pangkal batang atau akar. Infeksi pada pangkal batang menyebabkan terjadinya perubahan warna kulit menjadi hitam. Pada keadaan lembap, gejala hitam tersebut tampak seperti berlendir berwarna agak biru. Serangan pada akar menyebabkan tanaman layu dan daun-daun menjadi berwarna kuning. Daun-daun yang layu sering tetap tergantung dan berubah warna menjadi cokelat sampai hitam. Serangan patogen pada daun menyebabkan terjadinya bercak daun. Sepanjang tepi bercak terdapat bagian gejala hitam bergerigi seperti renda yang akan tampak jelas bila daun diarahkan ke cahaya, sedangkan serangan pada buah menyebabkan buah berwarna hitam dan menjadi busuk. Umumnya serangan terjadi pada buah yang letaknya dekat permukaan tanah (Manohara dan Kasim 1996).

Pengendalian BPB secara kimia me-rupakan usaha pengendalian yang sudah dilakukan sejak lama. Beberapa senyawa kimia sintetik telah dicoba dan diketahui efektif untuk menekan BPB baik in vitro maupun di lapangan. Fungisida dengan bahan aktif bersifat sistemik cenderung efektif dan banyak digunakan oleh petani, khususnya saat harga lada tinggi (Manohara et al. 2005). Namun demikian, penggunaan fungisida sintetik yang berlebihan dapat berdampak buruk bagi lingkungan, terjadinya resistensi dan terbentuknya galur baru patogen tanaman. Selain itu, kecenderungan permintaan produk yang bebas residu membuat pengendalian

yang ramah lingkungan sangat dibutuhkan untuk mendukung sistem pertanian yang berkelanjutan dan menekan penggunaan pestisida.

Penelitian yang pernah dilakukan me-nunjukkan bahwa sediaan gambir (Uncaria gambir) dengan formulasi 30% cukup efektif mengendalikan penyakit bercak daun (Fusarium sp.) pada serai wangi (Andropogon nardus) (Idris 2007). Ekstrak etanol daun sirih (Piper betle) pada konsentrasi 2.25% dan 1.50% dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan Aspergillus niger, A. oryzae,dan Penicillium sp. hingga 100% (Wanchaitanawong et al. 2005). Biji pinang (Areca cathecu) dilaporkan memiliki aktivitas anticacing, anticendawan, antibakteri, antiinflamasi, antioksidan, insektisida, dan larvasida (Wetwitayakyung et al. 2006). Oleh karena itu, penggunaan gambir, pinang, sirih, dan kapur sirih perlu dievaluasi untuk mengendalikan penyakit BPB pada lada.

BAHAN DAN METODE

Koleksi Sampel dan Ekstrak TanamanDaun lada yang digunakan dalam

pengujian secara in vivo diambil dari tanaman lada varietas Lampung Daun Kecil (LDK) yang berasal dari perkebunan lada masyarakat Membalong, Belitung. Bahan yang digunakan sebagai sumber ekstrak ialah biji pinang, gambir, daun sirih, dan kapur sirih yang dibeli dari kios obat tradisional di Bogor.

EkstraksiBiji pinang, gambir, daun sirih, dan kapur

sirih masing-masing ditumbuk menggunakan mortar. Setelah halus, bahan tersebut dilarut-kan dalam air dengan perbandingan 1 g bahan 100 mL-1 akuades untuk mendapatkan konsentrasi suspensi 1%. Suspensi tersebut kemudian disaring menggunakan corong kaca berdiameter 6 cm beralaskan filter membran Whatman 0.2 µm. Hasil saringan ditampung dalam labu erlenmeyer dan disimpan sebagai stok. Ekstrak stok pinang dan gambir diencerkan hingga didapat konsentrasi masing-masing 0.5%. Kedua ekstrak tersebut

104

Page 3: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Kusvianti et al.

dicampur untuk memperoleh campuran ekstrak pinang dan gambir dengan konsentrasi masing-masing komponen 0.5%. Ekstrak pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih kemudian diencerkan lagi untuk memperoleh ekstrak dengan konsentrasi 0.25%. Ekstrak tersebut dicampur untuk memperoleh ekstrak campuran dengan konsentrasi masing-masing komponen 0.25%.

Perbanyakan Isolat dan Zoospora Phytophthora capsici

Biakan P. capsici diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, Bogor dan diremajakan pada medium agar-agar V8. Perbanyakan P. capsici dilakukan pada cawan berisi medium agar-agar V8. Koloni berdiameter 7 mm dipindahkan pada medium V8 dan diinkubasi selama 4 hari dengan penyinaran lampu secara terus-menerus. Selanjutnya biakan dibagi menjadi 4 bagian. Setiap bagian dipindahkan ke dalam cawan petri steril, biakan dipotong menjadi blok-blok kecil dengan panjang sisi 0.5 cm.

Akuades steril ditambahkan ke dalam cawan yang berisi agar-agar blok hingga agar-agar blok tergenang. Cawan tersebut diinkubasi pada suhu ruang selama 1 jam. Selanjutnya, akuades dibuang dan diganti dengan 18 mL akuades steril hingga menutupi permukaan agar-agar blok. Cawan ini diinkubasi kembali pada suhu 28 °C selama 24 jam dengan penyinaran lampu terus-menerus untuk meng-hasilkan massa sporangium.

Selanjutnya, cawan tersebut dipindahkan ke dalam inkubator suhu 4 °C selama 2 jam untuk menginisiasi pembentukan zoospora. Cawan yang telah berisi massa sporangium dipindahkan ke suhu 28 °C dengan penyinaran lampu selama 1 jam untuk pelepasan zoospora.

Suspensi zoospora yang dihasilkan dituang ke dalam erlenmeyer. Penghitungan jumlah zoospora dilakukan dengan menggunakan hemasitometer. Sebanyak 0.1 mL suspensi zoospora diambil dan dipindahkan ke dalam hemasitometer dan dipanaskan pada suhu 50 °C selama 1 menit. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pergerakan zoospora agar mudah dihitung. Suspensi zoospora yang

diperoleh disimpan dalam keadaan dingin. Suspensi diencerkan dengan air dingin terlebih dahulu sebelum digunakan untuk inokulasi.

Uji Penghambatan Pertumbuhan Koloni Phytophthora capsici secara in Vitro

Biakan P. capsici berumur 4 hari ber-diameter 5 mm diinokulasikan pada medium agar-agar V8 yang telah dicampur dengan bahan ekstrak dan diinkubasi pada suhu ruang selama 6 hari. Perlakuan yang diberikan ialah kontrol (K, tanpa perlakuan bahan ekstrak), ekstrak pinang 0.01%; 0.02%; dan 0.04% dalam medium agar-agar V8, ekstrak gambir 0.01%; 0.02%; dan 0.04% dalam medium agar-agar V8, ekstrak pinang + gambir 0.005%; 0.01%; dan 0.02% dalam medium agar-agar V8, dan ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.0025%; 0.005%; dan 0.01% dalam medium agar-agar V8. Peubah yang dicatat ialah perkembangan diameter miselium terhadap waktu inkubasi.

Uji Penghambatan Kemunculan dan Diameter Gejala Busuk Pangkal Batang secara in Vivo

Daun lada varietas LDK dibersihkan dengan air mengalir dan dibiarkan kering udara. Daun dicelupkan ke dalam cairan perekat, dikeringanginkan, kemudian dicelupkan ke suspensi ekstrak sesuai perlakuan dan dibiarkan kering udara. Jumlah zoospora dalam suspensi ialah 9 x104 sel mL-1. Inokulasi dilakukan dengan meneteskan suspensi zoospora P. capsici masing-masing sebanyak 0.1 mL ke empat titik di permukaan bawah daun.

Perlakuan bahan celup yang diberikan, yaitu kontrol (K, tanpa perlakuan bahan ekstrak); fungisida berbahan aktif propineb 70% konsentrasi 0.2% dalam suspensi (F); ekstrak campuran gambir + pinang + sirih + kapur sirih konsentrasi total 0.005% dalam suspensi (C2); ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih konsentrasi total 0.01% dalam suspensi (C4); dan ekstrak pinang 0.04% dalam suspensi (P4).

Setiap perlakuan diletakkan pada satu baki yang beralas kertas lembap, kemudian sedotan plastik diletakkan di atas tisu tersebut

105

Page 4: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Kusvianti et al.

untuk menyangga supaya permukaan daun tidak mengenai kertas. Daun disusun secara berjajar dengan permukaan bawah daun menghadap ke atas. Daun yang telah diberi perlakuan kemudian disungkup dengan plastik transparan. Penyungkupan dilakukan dengan tujuan menciptakan kondisi lingkungan yang lembap supaya zoospora P. capsici dapat ber-adaptasi dan berpenetrasi ke dalam jaringan daun (Wahyuno et al. 2009).

Daun diinkubasi selama 24 jam di ruang gelap, kemudian diinkubasi pada kondisi normal laboratorium selama 10 hari. Peubah yang digunakan ialah peluang kemunculan gejala dan perkembangan diameter terhadap waktu inkubasi. Penghitungan peluang ter-jadinya penyakit didasarkan pada kemunculan gejala pada lokasi tempat inokulasi. Gejala yang muncul menunjukkan keberhasilan patogen menginfeksi daun tanaman. Persentase kemunculan gejala dihitung dengan rumus:

Keparahan penyakit (KP) didefinisikan sebagai persentase luas jaringan tanaman yang terserang patogen dari total luasan yang diamati.

KP, keparahan penyakit (%); N, jumlah daun yang terserang dengan nilai skala tertentu; v, nilai skala; Z, nilai skala tertentu; n, jumlah daun yang diamati.

Nilai skala dari 0 hingga 4 digunakan untuk menghitung KP (Tabel 1) mengacu pada penentuan gejala nekrosis pada daun kacang tanah (Pudjihartati et al. 2006).

Rancangan Percobaan dan Analisis DataRancangan percobaan yang digunakan

pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap. Pengujian pengaruh bahan ekstrak secara in vitro dilakukan dengan 12 perlakuan ekstrak, yaitu ekstrak pinang 0.01%; 0.02%; dan 0.04% dalam medium agar-agar V8, ekstrak gambir 0.01%; 0.02%; dan 0.04% dalam medium agar-agar V8, ekstrak pinang + gambir 0.005%; 0.01%; dan 0.02% dalam

medium agar-agar V8, dan ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.0025%; 0.005%; dan 0.01% dalam medium agar-agar V8, ditambah 1 perlakuan kontrol. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali dengan inokulasi isolat patogen pada medium sebagai ulangan.

Pengujian pengaruh bahan ekstrak secara in vivo dilakukan dengan 3 perlakuan ekstrak, yaitu ekstrak campuran gambir + pinang + sirih + kapur sirih konsentrasi total 0.005% dalam suspensi, ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih konsentrasi total 0.01% dalam suspensi, dan ekstrak pinang 0.04% dalam suspensi, ditambah perlakuan fungisida berbahan aktif propineb 70% konsentrasi 0.2% dalam suspensi sebagai perlakuan kontrol fungisida, dan perlakuan tanpa ekstrak maupun fungisida sebagai kontrol negatif. Pengulangan sebanyak 5 kali dengan daun sebagai ulangan dan 4 lokasi tempat inokulasi pada daun sebagai unit perlakuan.

Analisis data dengan sidik ragam menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan Statistical Analysis System untuk Windows versi 9.1. Pembandingan nilai tengah antarperlakuan dilakukan dengan uji selang berganda Duncan pada taraf 5%.

HASIL

Pertumbuhan Koloni Phytophthora capsici secara in Vitro

Pengujian pengaruh jenis ekstrak terhadap pertumbuhan koloni P. capsici secara in vitro pada awalnya menggunakan empat jenis

Jumlah titik yang bergejala pada tiap daunJumlah titik inokulasi pada tiap daun × 100%

KP = ∑ (n × v)Z × N × 100%, dengan

Tabel 1 Nilai skala dan kategori serangan yang digunakan untuk menghitung keparahan penyakit busuk pangkal batang pada tanaman lada

Nilai skala Bercak nekrosis terhadap luas daun per lokasi tempat inokulasi (%)

0 01 1–102 11–25 3 26–50 4 >50

106

Page 5: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Kusvianti et al.

Jenis ekstrak Diameter koloni (cm) Persentase penghambatanPinang 5.6 ± 2.2 16.2Gambir 6.7 ± 2.7 -0.6Sirih 6.9 ± 2.5 -2.8Kapur sirih 6.9 ± 2.5 -4.9Kontrol 6.7 ± 2.5 -

Tabel 2 Pertumbuhan koloni Phytophthora capsici pada medium dengan empat jenis ekstrak selama 6 hari

ekstrak tunggal, yaitu pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih masing-masing pada konsentrasi 0.01%, 0.02%, dan 0.04%. Pada pengujian ekstrak sirih dan kapur sirih pada 0.01%, koloni patogen tumbuh sangat cepat dan jauh melebihi pertumbuhan kontrol (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak sirih dan kapur sirih 0.01% tidak efektif menghambat pertumbuhan koloni. Oleh karena itu, pada uji lanjut penggunaan ekstrak tunggal sirih dan kapur sirih dengan konsentrasi 0.02% dan 0.04% ditiadakan.

Perlakuan dengan ekstrak pinang 0.01%, 0.02%, dan 0.04% masing-masing dapat menghambat pertumbuhan koloni patogen (Gambar 1a), sementara itu pada uji ekstrak gambir diketahui tidak terjadi penghambatan pertumbuhan koloni pada konsentrasi 0.01% (Gambar 1b). Pada saat kedua ekstrak tersebut dicampur terjadi penghambatan pada konsentrasi 0.005%, sedangkan pada konsentrasi 0.01% dan

0.02% tidak (Gambar 2). Namun demikian, ketika keempat ekstrak, yaitu pinang, gambir, sirih, dan kapur sirih dicampurkan, penghambatan pertumbuhan koloni patogen terjadi pada semua tingkat konsentrasi. Penghambatan tertinggi ditunjukkan oleh konsentrasi campuran 0.005% (Gambar 3).

Perkembangan Gejala Busuk Pangkal Batang oleh Phytophthora capsici secara in Vivo

Perlakuan ekstrak tanaman menyebabkan perbedaan pada kemunculan gejala. Ke-munculan gejala tertinggi terjadi pada perlakuan ekstrak pinang 0.04% disusul oleh ekstrak campuran 0.005%, ekstrak campuran 0.01%, dan fungisida 0.2% berbahan aktif propineb 70%. Kemunculan gejala umumnya terjadi pada hari ke-3 setelah inokulasi, kecuali perlakuan fungisida. Persentase kemunculan gejala dari hari ke-3 dan seterusnya cenderung menunjukkan nilai yang tetap,

Gambar 1 Perkembangan koloni Phytophthora capsici pada perlakuan. a, ekstrak pinang; dan b, gambir; , 0.01%; , 0.02%; , 0.04%; , kontrol; HSI, hari setelah inokulasi.

10

9876543210

1 65432Waktu pengamatan (HSI)

Dia

met

er k

olon

i (cm

)

1 65432

10

9876543210

Waktu pengamatan (HSI)

Dia

met

er k

olon

i (cm

)

a b

107

Page 6: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Kusvianti et al.

penyakit akan semakin tinggi dan ditandai dengan semakin luasnya diameter gejala. Perlakuan ekstrak pinang konsentrasi 0.04% menunjukkan keparahan penyakit tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Per-lakuan ekstrak campuran 0.005% menunjuk-kan keparahan penyakit yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan ekstrak campuran 0.01% menunjukkan keparahan penyakit yang tidak berbeda nyatadengan fungisida 0.2% (Gambar 5 dan Tabel 4). Ekstrak campuran 0.01% juga memiliki daya efikasi yang tinggi dan hampir menyamai daya efikasi fungisida. Besarnya daya efikasi ekstrak campuran 0.01% terhadapkeparahan penyakit menunjukkan bahwa ekstrak tersebut efektif dalam mengendali-kan penyakit BPB. Keefektifan ekstrak campuran 0.01% tersebut menyamai ke-efektifan fungisida 0.2%. Oleh karena itu, ekstrak campuran 0.01% berpotensi untuk menggantikan fungisida dalam pengendalian P. capsici.

PEMBAHASAN

Jenis dan konsentrasi ekstrak yang digunakan pada penelitian ini menentukan keefektifannya menekan pertumbuhan P. capsici. Perlakuan dengan kapur sirih 0.01% tidak menghambat pertumbuhan koloni patogen karena kapur sirih yang terlarut dalam air dapat menyebabkan tingkat kemasaman medium menjadi berkurang sehingga mendukung pertumbuhan patogen. Kondisi sesuai untuk pertumbuhan P. capsici pada medium V8 cair ialah pada pH 3–7 (Manohara et al. 2005). Demikian pula, perlakuan ekstrak sirih tidak menyebabkan penghambatan pertumbuhan koloni P. capsici. Purnomo dan Asmarayan (2005) menyatakan bahwa sirih dan lada mempunyai kekerabatan morfologi yang dekat. Lebih lanjut Priyono dan Praptiwi (2006) melaporkan bahwa sirih dan lada memiliki kandungan senyawa kimia yang sama sehingga dapat menyebabkan tidak adanya penghambatan pertumbuhan koloni pada pengujian dengan ekstrak sirih. Sirih juga diketahui memiliki sifat ketahanan

Gambar 3 Perkembangan koloni Phytophthora capsici pada perlakuan ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih; , 0.0025%; , 0.005%; , 0.01%;

, kontrol; HSI, hari setelah inokulasi.

kecuali perlakuan campuran empat bahan ekstrak. Perlakuan fungisida menunjukkan gejala setelah hari ke-4. Kemunculan gejala perlakuan fungisida dari hari ke-4 dan seterusnya menunjukkan nilai yang tetap. Perlakuan fungisida menunjukkan persentase kemunculan gejala terendah, yaitu sebesar 10% (Gambar 4).

Perkembangan keparahan penyakit BPB berbanding lurus dengan waktu inkubasi. Semakin lama inkubasi maka keparahan

Gambar 2 Perkembangan koloni Phytophthora capsici pada perlakuan ekstrak campuran pinang + gambir; , 0.005%; , 0.01%; , 0.02%; , kontrol; HSI, hari setelah inokulasi.

1 65432

109876543210

Waktu pengamatan (HSI)

Dia

met

er k

olon

i (cm

)

1 65432

109876543210

Dia

met

er k

olon

i (cm

)

Waktu pengamatan (HSI)

108

Page 7: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Kusvianti et al.

a b c

d e

Gambar 5 Gejala serangan Phytophthora capsici pada daun lada 7 hari setelah inokulasi. a, ekstrak pinang 0.04%; b, ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.005%; c, ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.01%; d, fungisida propineb 0.2%; dan e, kontrol.

Gambar 4 Perkembangan gejala busuk pangkal batang oleh Phytophthora capsici secara in vivo: a, kemunculan gejala dan b, keparahan penyakit. , tanpa perlakuan (kontrol); , fungisida berbahan aktif propineb 0.2%, ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.005%, ekstrak campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih 0.01%, dan

ekstrak pinang 0.04%.

1 65432 1110987

120

100

80

60

40

20

0

Pengamatan hari ke-

Kem

uncu

lan

geja

la (%

)

1 65432 1110987Pengamatan hari ke-

70

60

50

40

30

20

10

0

Kem

uncu

lan

geja

la (%

)

a b

Tabel 4 Keparahan penyakit busuk pangkal batang lada 11 hari setelah inokulasi pada ekstrak pinang dan campurannya

*Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji selang berganda Duncan pada taraf 5%.

Jenis ekstrak Konsentrasi (%) Keparahan penyakit* (%) Daya efikasi (%)Pinang 0.040 61.25 ± 42.48 a -4.66Campuran pinang + gambir + sirih + kapur sirih

0.005 31.59 ± 23.34 b 46.000.010 22.72 ± 17.45 bc 61.17

Fungisida 0.200 21.81 ± 19.85 c 62.73Kontrol - 58.52 ± 32.95 a -

109

Page 8: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Kusvianti et al.

yang sama dengan lada terhadap P. capsici (Wahyuno et al. 2010).

Katekin merupakan zat aktif utama yang terkandung di dalam ekstrak gambir. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kadar katekin dari produk gambir Indonesia bervariasi dari 2.5 sampai dengan 95% per bobot gambir (Amos 2010). Katekin diberikan pada daun strawberi menunjukkan aktivitas anticendawan dengan menghambat infeksi Alternaria alternate. Katekin menghambat pembentukan haustorium walaupun telah terjadi perkecambahan spora dan terbentuk apresorium (Yamamoto 2000). Formula gambir 30% dilaporkan cukup efektif menghambatcendawan Fusarium sp. penyebab penyakit bercak daun serai wangi (Idris 2007).Sementara itu, aktivitas antibakteri juga ditunjukkan oleh ekstrak etil asetat gambir. Ekstrak ini dapat menghambat bakteri Streptococcus mutans, Staphylococcus aureus, dan Bacillus subtilis (Pambayun et al. 2007). Namun demikian, sifat anticendawan dan antibakteri yang dimiliki katekin tidak mampu menghambat pertumbuhan koloni P. capsici.

Berbeda dengan ekstrak sirih, kapur sirih dan gambir, ekstrak biji pinang dapat menghambat perkembangan P. capsici. Wetwitayakyung (2006) dan Takahashi et al.(1999) melaporkan bahwa ekstrak biji pinang memiliki aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan biji pinang tidak hanya ditentukan oleh kadar tanin dan fenol total yang terkandung, tetapi juga ditentukan oleh senyawa-senyawa fenol di antaranya proantosianidin. Senyawa proantosianidin diketahui memiliki sifat antimikrob, pelindung tanaman terhadap sinar ultraviolet, antioksidan, antimutagen, antitumor, anticendawan, dan sebagai pelindung kapiler. Oleh karena itu, adanya penghambatan pertumbuhan koloni patogen diduga merupakan aktivitas dari proantosianidin yang terkandung dalam ekstrak.

Ekstrak campuran memiliki potensi yang cukup baik untuk digunakan sebagai salah satu alternatif pengendalian P. capsici. Bahan-bahan untuk membuat ekstrak campuran juga mudah ditemukan di berbagai daerah

di Indonesia sehingga pemanfaatan ekstrak campuran sebagai fungisida botani dapat dilakukan secara luas. Namun demikian, agar ekstrak campuran lebih efektif dalam mengendalikan P. capsici diperlukan formula ekstrak yang lebih tinggi konsentrasinya agar penekanan penyakit lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Amos. 2010. Kandungan katekin gambir sentra produksi di Indonesia. J Standardisasi. 12(3):149–155.

Idris H. 2007. Pemakaian fungisida gambir terhadap penyakit bercak Fusarium sp. pada daun serai wangi. JIPI. 3:379–385

Manohara D, Kasim R. 1996. Penyakit busuk pangkal batang dan pengendaliannya. Monograf Tanaman Lada. 1:115–128.

Manohara D, Wahyuno D, Noveriza R. 2005. Penyakit busuk pangkal batang lada dan strategi pengendaliannya. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. 17:41–51.

Pambayun R, Gardjito M, Sudarmadji S, Kuswanto KR. 2007. Kandungan fenol dan sifat antibakteri dari berbagai jenis ekstrak produk gambir (Uncaria gambir Roxb.). Majalah Farmasi Indonesia 18(3):141–146.

Priyono SH, Praptiwi. 2006. Identifikasi senyawa kimia dan aktivitas antibakteri ekstrak Piper sp. asal Papua. Laporan Teknis Pusat Penelitian Biologi LIPI 332(2):3–6.

Pudjihartati E, Ilyas S, Sudarsono. 2006. Aktivitas pembentukan secara cepat spesies oksigen aktif, peroksidase, dan kandungan lignin kacang tanah terinfeksi Sclerotium rolfsii. Hayati 13(4):166–172.

Purnomo, Asmarayan R. 2005. Hubungan kekerabatan antar spesies Piper berdasarkan sifat morfologi dan minyak atsiri daun di Yogyakarta. Biodiversitas. 6(1):12–16.

Takahashi T, Kamiya T, Hasegawa A, Yokoo Y. 1999. Procyanidin oligomers selectively and intensively promote proliferation of mouse hair epithelial cells in vitro and

110

Page 9: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Kusvianti et al.

active hair follicle growth in vivo. J Invest Dermatol. 112(3):310–316.

Wahyuno D, Manohara D, Ningsih SD, Setijono RT. 2010. Pengembangan varietas unggul lada tahan penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh Phytophthora capsici. J Litbang Pert. 29(3):86–95.

Wahyono D, Manohara D, Setiyono RT. 2009. Ketahanan beberapa lada hasil persilangan terhadap Phytophthora capsici asal lada. J Penel Tanaman Indust. 15(2):77–83.

Wanchaitanawong P, Chaungwanit P, Poovarodom N, Nitisinprasert S. 2005. In vitro antifungal activity of Thai herbs and

spice extracts against food spoilage fungi. Kasetsart J Nat Sci. 39:400–405.

Wetwitayakyung P, Phaechamud T, Limmatvapirat C, Keokitichai S. 2006. The study of antioxidant capacity in various parts of Areca cathecu L. Naresuan Univ J. 14(1):1–14.

Yamamoto. 2000. Catechin acts an infection-inhibiting factor in strawberry leaf. Phytopathology. 90(6):595–600. DOI: 10.1094/PHYTO.2000.90.6.595.

Yuhono JT. 2007. Sistem agribisnis lada dan strategi pengembangannya. J Litbang Pert. 26(2):76–81.

111

Page 10: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014Halaman 112–118

DOI: 10.14692/jfi.10.4.112ISSN: 0215-7950

Respons Lima Varietas Kacang Panjang terhadap Bean common mosaic virus

Response of Five Varieties of Yard Long Bean to Bean common mosaic virus

Harwan Susetio, Sri Hendrastuti Hidayat*Institut Pertanian Bogor, Bogor 16680

ABSTRAK

Insidensi penyakit mosaik kuning pada tanaman kacang panjang dilaporkan terjadi secara meluas di beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah pada tahun 2008–2009. Penyebab utama penyakit mosaik kuning tersebut ialah Bean common mosaic virus (BCMV) yang bersifat tular benih dan dapat ditularkan melalui kutudaun. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan respons lima varietas kacang panjang (Vigna sinensis), yaitu varietas Parade, New Jaliteng, Long Silk, Super Sainan, dan Pilar terhadap infeksi BCMV. Tanaman kacang panjang diinokulasi BCMV secara mekanis dan dilakukan pengamatan terhadap insidensi dan keparahan penyakit, periode inkubasi, waktu pembungaan, dan bobot polong per tanaman. Lima varietas kacang panjang yang diuji menunjukkan respons rentan terhadap infeksi BCMV. Periode inkubasi berkisar 6–16 hari, insidensi penyakit mencapai 90–100%, keparahan penyakit berkisar 49.1–69.7%. Infeksi BCMV menyebabkan gejala berat berupa malformasi daun dan kekerdilan tanaman. Tanaman terinfeksi mengalami penundaan waktu berbunga berkisar antara 2–5 hari danpenurunan bobot polong per tanaman mencapai 46.6%. Program pemuliaan tanaman untuk me-ngembangkan varietas tahan BCMV sangat diperlukan.

Kata kunci: ELISA, penyakit mosaik kuning, Potyvirus, tular benih

ABSTRACT

Incidence of yellow mosaic disease on yard long bean occurred widely in some areas in West and Central Java in 2008–2009. The causal agent of this disease is Bean common mosaic virus (BCMV) which can be transmitted through seed and aphids. Research was conducted to determine response of five varieties of yard long bean (Vigna sinensis), i.e. Parade, New Jaliteng, Long Silk, Super Sainan, and Pilar to BCMV infection. Yard long bean plants was inoculated by BCMV mechanically, followed by observation of disease incidence and severity, incubation period, flowering time, and yield. All five varieties of yard long bean showed susceptible response to BCMV infection. Incubation period was 6–16 days, disease incidence was 90–100%, and disease severity was 49.1–69.7%. BCMV infection caused severe symptoms of leaf malformation and plant stunting. Flowering time was delayed 2–5 days on infected plants and yield was decreased up to 46.6%. Breeding program to develop resistance varieties to BCMV is necessary.

Key words: ELISA, Potyvirus, seed borne, yellow mosaic disease

112

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian BogorJalan Kamper, Kampus Darmaga IPB, Bogor 16680Tel: 0251-8629364, Faks: 0251-8629362, Surel: [email protected]

Page 11: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Susetio dan Hidayat

PENDAHULUAN

Pada tahun 2008–2009 dilaporkan terjadiledakan penyakit mosaik kuning pada tanaman kacang panjang di beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Damayanti et al. (2009) melaporkan bahwa penyebab utama penyakit mosaik kuning di Jawa Barat (Bogor, Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon) dan Jawa Tengah (Tegal dan Pekalongan) ialah Bean common mosaic virus-black eye cowpea (BCMV-BIC) yang menginfeksi secara tunggal atau bersama dengan Cucumber mosaic virus (CMV). Gejala BCMV ditunjukkan dengan mosaik berupa lepuhan, pola warna kuning dan hijau pada daun, tulang daun menguning, bercak dan malformasi. Tanaman yang terinfeksi dapat menjadi kerdil, menghasilkan hanya sedikit polong, dan masak lebih lambat dibandingkan dengan polong yang tidak terinfeksi.

Bean common mosaic virus (BCMV) termasuk famili Potyviridae, genus Potyvirus. Beberapa anggota Potyvirus dilaporkan meng-infeksi tanaman kacang-kacangan yang secara ekonomis sangat penting karena ditularkan melalui benih dan menyebar secara alami me-lalui kutudaun secara nonpersisten. Beberapa spesies kutudaun yang dapat menularkan BCMV diantaranya Aphis craccivora, A. gossypii, dan Myzus persicae (McKern et al. 1992).

Strategi pengendalian virus, termasuk BCMV umumnya mengandalkan penggunaan benih sehat, menghilangkan tanaman terinfeksi, menggunakan varietas tahan, dan aplikasi insektisida untuk mengendalikan serangga vektor. Sebagai upaya untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap untuk mengatasi permasalahan penyakit mosaik kuning kacang panjang maka dilakukan evaluasi respons beberapa varietas kacang panjang terhadap infeksi BCMV.

BAHAN DAN METODE

Perbanyakan Inokulum BCMVIsolat BCMV yang digunakan ialah isolat

asal Cirebon yang diperoleh dari Laboratorium

Virologi, Departemen Proteksi Tanaman IPB. Sumber inokulum ditularkan secara mekanis pada tanaman kacang panjang varietas Parade berumur 1 minggu setelah tanam (MST). Cairan perasan tanaman dibuat dengan menggerus daun muda yang terinfeksi virus sebanyak 0.5 g dalam 0.01 M bufer fosfat (pH 7) yang mengandung β-merkapto etanol 2% dengan perbandingan 1:10 (b/v). Cairan perasan tersebut dioleskan pada permukaan daun yang sudah ditaburi dengan carborundum 600 mesh. Permukaan daun yang sudah diberi perlakuan dibilas menggunakan air destilata yang mengalir.

Inokulasi BCMV pada Lima Varietas Kacang Panjang

Tanaman kacang panjang yang digunakan dalam penelitian terdiri atas 5 varietas, yaitu Parade, New Jaliteng, Long Silk, Super Sainan, dan Pilar. Benih kacang panjang ditanam pada pot kantong plastik yang sudah berisi tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1 (b/b). Setiap pot kantong plastik ditanami 3 benih dengan kedalaman 2 cm. Penyiangan dan pemilihan 1 bibit terbaik untuk tahapan selanjutnya dilakukan pada umur 1 MST.

Tanaman kacang panjang diinokulasi dengan metode inokulasi mekanis seperti diuraikan sebelumnya. Setelah inokulasi ta-naman dipelihara di rumah kaca. Pengamatan dilakukan terhadap periode inkubasi penyakit, insidensi dan keparahan penyakit, waktu pembungaan, jumlah bunga, dan bobot polong per tanaman.

Deteksi VirusMetode yang digunakan untuk deteksi virus

ialah metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) tidak langsung (indirect-ELISA), menggunakan antiserum Potyvirus (Agdia, USA). Deteksi virus dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-4 setelah inokulasi.

Tahap ELISA diawali dengan penyiapan cairan perasan tanaman. Daun tanaman digerus menggunakan mortar dengan menambah-kan bufer ekstrak dengan perbandingan 1:100 (v/v). Sebanyak 100 µL cairan perasan

113

Page 12: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Susetio dan Hidayat

diisikan ke dalam sumuran pelat ELISA. Pelat ELISA diinkubasi semalam pada suhu 4 °C, setelah itu pelat dicuci sebanyak 7 kali dengan phosphate buffer saline tween 20 (PBST). Tiap sumuran kemudian diisi dengan 100 µL antiserum BCMV (1:200). Pelat diinkubasi kembali pada suhu ruang 24 °C selama 2 jam, kemudian pelat dicuci sebanyak 8 kali dengan PBST. Sumuran pelat selanjutnya diisi 100 µL enzim konjugat goat anti-rabbit yang telah dilabel enzim alkaline phosphate (RaM-AP) dalam conjugate buffer dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu ruang 24 °C. Pelat kemudian dicuci dengan PBST sebanyak 8 kali. Setiap sumuran diisi dengan 100 µL substrat P-nitrophenylphosphate (PNP) dan diinkubasi selam 30–60 menit pada suhu ruang. Perubahan warna diamati pada masing-masing sumuran. Apabila warna telah berubah menjadi kuning, reaksi segera dihentikan dengan menambahkan 50 µL NaOH 3M. Hasil ELISA dianalisis secara kuantitatif dengan ELISA reader (BIO-RAD Model 550) pada panjang gelombang 405 nm.

Rancangan Percobaan dan PengamatanRancangan percobaan yang digunakan

ialah rancangan acak lengkap (RAL). Perlakuan terdiri atas 5 varietas kacang panjang, yaitu Parade, New Jaliteng, Long Silk, Super Sainan, dan Pilar. Setiap varietas tanaman diulang sebanyak 10 kali, untuk masing-masing varietas terdapat kontrol dengan 10 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) dengan taraf nyata 5%. Pengaruh perlakuan yang berbeda nyata diuji lanjut dengan uji selang berganda Duncan (DMRT) dengan taraf nyata 5%. Data diolah dengan program Statistical Analysis System (SAS) versi 9.1.3.

Pengamatan terdiri atas insidensi dan keparahan penyakit, periode inkubasi, waktu berbunga, dan bobot polong per tanaman. Insidensi dan keparahan penyakit dihitung mengikuti rumus sebagai berikut :

IP = n/N x 100%, dengan

IP, insidensi penyakit; n, jumlah tanaman bergejala; N, jumlah tanaman yang diamati.

KP, keparahan penyakit; n, jumlah bagian tanaman yang diamati pada kategori serangan tertentu; v, nilai kategori serangan; Z, nilai skala kategori serangan tertinggi; N, jumlah seluruh bagian yang diamati.

Kategori serangan dibedakan menjadi skor 0, 1, 2, 3, dan 4 dengan deskripsi gejala berturut-turut tanaman tidak bergejala, gejala mosaik ringan dengan pemucatan tulang daun, gejala mosaik sedang, gejala mosaik berat, dan malformasi daun, atau tanaman kerdil.

Periode inkubasi virus dalam tanaman ialah waktu timbulnya gejala, dari mulai inokulasi sampai terlihat gejala pertama. Waktu berbunga ialah waktu munculnya bunga pertama (bakal bunga), jumlah bunga yang muncul dihitung sampai 4 minggu setelah masa berbunga. Bobot polong per tanaman dihitung mulai dari kacang panjang siap panen yaitu pada saat tanaman berumur 60-70 hari. Polong yang tepat untuk dipanen yaitu berwarna hijau segar dan polongnya masih padat. Tanaman kacang panjang dapat dipanen beberapa kali, dengan interval panen dilakukan seminggu sekali berjalan sampai masa produktif terhenti atau setelah tanaman berumur 4 bulan.

HASIL

Respons Lima Varietas Kacang Panjang terhadap Infeksi BCMV

Infeksi BCMV mulai terlihat pada 6 hari setelah inokulasi (HSI) pada varietas Parade, sedangkan gejala paling lama muncul pada varietas Long Silk, yaitu 16 HSI (Tabel 1). Gejala pertama kali muncul berupa pemucatan tulang daun (vein clearing) pada daun-daun muda, mengakibatkan jaringan sekitarnya mengalami klorosis, menjadi hijau muda, kemudian berkembang menjadi mosaik kuning disertai dengan malformasi daun. Gejala akan berkembang menjadi lebih parah, yaitu tulang daun akan mengerut sehingga daun bergelombang dan permukaan daun tidak merata. Gejala lanjut berupa

KP= ∑(n × v)(Z × N)

× 100%, dengan

114

Page 13: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Susetio dan Hidayat

Varietas Periode inkubasi (HSI)

Insidensi penyakit*(%)

Keparahan penyakit*(%)

Parade 6 100 63.8New Jaliteng 10 95 58.4Long Silk 16 72.5 49.1Super Sainan 14 88.8 69.7Pilar 10 88.8 51.9

Tabel 1 Periode inkubasi, insidensi penyakit, dan keparahan penyakit mosaik kuning pada varietas kacang panjang yang diinokulasi Bean common mosaic virus

* Insidensi dan keparahan penyakit diukur pada 8 minggu setelah inokulasiHSI, hari setelah inokulasi

a b c

d e

Gambar 1 Gejala infeksi Bean common mosaic virus pada tanaman kacang panjang. a, mosaik ringan; b, mosaik sedang; c, mosaik berat dan daun mengecil; d, malformasi daun dan pengerdilan tanaman; e, daun tanaman sehat.

pelepuhan daun dan pengerdilan tanaman (Gambar 1). Semua varietas menunjukkan gejala malformasi. Kacang panjang Super Sainan dan Pilar menunjukan gejala yang lebih parah dibandingkan dengan 3 varietas lainnya karena tanaman yang terinfeksi mengalami pengerdilan. Insidensi penyakit dan keparahan penyakit pada 5 varietas berturut-turut berkisar 72.5–100% dan 49.1–63.8% (Tabel 1). Insidensi dan keparahan penyakit yang tertinggi terjadi pada varietas Parade, sedangkan yang terendah terjadi pada varietas Long Silk.

Titer virus pada tanaman terinfeksi diukur pada 2 MSI dan 4 MSI menggunakan metode ELISA. Nilai absorbansi ELISA (NAE) pada 2 MSI lebih tinggi dibandingkan dengan pada 4 MSI. Penurunan NAE pada 5 varietas kacang

panjang berkisar antara 15.4–79.1% dengan penurunan tertinggi terjadi pada varietas Pilar (Tabel 2).

Pembungaan dan Bobot PolongTanaman kacang panjang yang terinfeksi

BCMV mengalami penghambatan waktu berbunga dibandingkan dengan tanaman sehat. Hal tersebut terutama tampak pada varietas Long Silk, Super Sainan, dan Pilar (Tabel 3). Jumlah bunga yang terbentuk lebih rendah pada tanaman terinfeksi dibandingkan tanaman sehat, terutama untuk varietas Parade.

Varietas Parade memiliki potensi bobot polong paling tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya sedangkan varietas Super Sainan potensi bobot polongnya paling rendah

115

Page 14: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Susetio dan Hidayat

(Tabel 4). Infeksi BCMV dapat menyebabkan penurunan bobot polong yang cukup besar, yaitu berkisar 27.1–85.2%. Penurunan bobot polong terendah terjadi pada varietas Parade walaupun varietas Parade mengalami penurunan jumlah bunga yang paling banyak.

PEMBAHASAN

Respons lima varietas kacang panjang yang diuji pada penelitan ini tergolong rentan berdasarkan periode inkubasi, insidensi dan keparahan penyakit. Periode inkubasi, insidensi dan keparahan penyakit diukur berdasarkan gejala yang muncul dan menandakan ke-mampuan virus untuk berkembang dan ber-gerak di dalam jaringan tanaman (Kareem dan Taiwo 2007). Walaupun demikian, Strausbaugh et al. (2003) menyatakan bahwa pengelompokkan respons varietas terhadap BCMV galur NL3K sulit dilakukan bila hanya didasarkan pada perkembangan gejala. Disarankan empat parameter yang harus digunakan untuk melakukan skrining ketahanan tanaman

terhadap BCMV, yaitu kemunculan gejala sistemik, kebugaran tanaman, titer virus, dan bobot kering tanaman. Varietas yang resisten hanya menunjukkan gejala pada daun yang diinokulasi, dan tanaman tidak terganggu pertumbuhannya. Varietas yang rentan di-tandai oleh gejala sistemik yang muncul pada daun trifoliat dan titer virus yang tinggi dengan NAE >1.0.

Gejala yang muncul pada lima varietas kacang panjang yang diuji termasuk gejala sistemik dengan keparahan penyakit yang cukup tinggi. Walaupun demikian, titer virus yang diukur berdasarkan NAE termasuk rendah. Hal tersebut merupakan fenomena yang umum terjadi pada infeksi virus. Titer virus tidak selalu berkorelasi dengan gejala, sehingga untuk menentukan respons ketahanan tanaman harus menggunakan beberapa parameter (Strausbaugh et al. 2003).Pengamatan terhadap gejala dan periode inkubasi umumnya dilakukan untuk pengujian kisaran inang virus. Naderpour et al. (2010) melaporkan beberapa tanaman inang BCMV dengan jenis gejala yang berbeda, yaitu

Varietas 2 MSI* 4 MSI* Penurunan NAE (%)Parade 0.34 ± 0.11 b 0.11± 0.00 a 67.7New Jaliteng 0.41 ± 0.23 b 0.32 ± 0.19 a 22.1Long Silk 0.47 ± 0.21 b 0.32 ± 0.02 a 31.1Super Sainan 0.47 ± 0.18 b 0.39 ± 0.01 a 15.4Pilar 2.13 ± 0.98 a 0.45 ± 0.14 a 79.1

Tabel 2 Nilai absorbansi ELISA (NAE) varietas kacang panjang yang diinokulasi Bean common mosaic virus

*Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%MSI, minggu setelah inokulasi

116

Tabel 3 Waktu berbunga dan jumlah bunga tanaman kacang panjang yang diinokulasi Bean common mosaic virus

Varietas Waktu berbunga (HST)* Jumlah bunga* Tanaman sehat Tanaman sehatTanaman terinfeksi Tanaman terinfeksi

ParadeNew JalitengLong SilkSuper SainanPilar

35.70 ± 2.06 c38.00 ± 2.62 c43.50 ± 4.27 a43.37 ± 4.97 a42.71 ± 4.11 a

38.20 ± 2.78 bc41.55 ± 3.09 bc47.00 ± 9.02 b48.66 ± 8.12 b47.00 ± 6.02 b

16.1 ± 4.38 a 9.00 ± 1.41 bc5.50 ± 2.44 cd7.62 ± 3.08 cd6.00 ± 0.57 cd

9.50 ± 1.17 b6.66 ± 1.73 cd6.00 ± 3.58 cd6.66 ± 3.88 cd4.30 ± 2.58 d

*Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%HST, hari setelah tanam

Page 15: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Susetio dan Hidayat

Chenopodium quinoa, C. amaranticolor, dan P. vulgaris cv. Red Kidney dengan gejala lesio lokal klorotik; sedangkan P. vulgaris var. Bountiful dan P. vulgaris var. Stringless Green Refugee dengan gejala mosaik dan malformasi. Lebih lanjut dilaporkan bahwa tipe gejala penyakit yang disebabkan oleh BCMV ditentukan oleh galur BCMV, suhu, dan genotipe tanaman inang. Lebih dari 15 galur BCMV yang telah diketahui diantaranya Blackeye, US1, US5, NL2, NL3, NL4, NL5, NL6, NL7 dan NL8 (McKernet al. 1992).

Insidensi penyakit mosaik kuning pada tanaman kacang panjang di beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah menyebabkan kehilangan hasil yang sangat nyata. Keparahan penyakit yang terjadi di lapangan tersebut disebabkan oleh penggunaan benih yang membawa virus, aktivitas serangga vektor, dan infeksi campuran BCMV dan CMV (Damayanti et al. 2009). Potensi infeksi BCMV terhadap kehilangan hasil kacang panjang belum diketahui. Dilaporkan oleh Li et al. (2014) bahwa infeksi BCMV secara tunggal pada tanaman Vigna agularis di Changping, Beijing mampu menyebabkan kehilangan hasil berkisar 50–95%. Penurunan bobot polong yang terjadi pada kacang panjang (Parade, New Jaliteng, Long Silk, Super Sainan, dan Pilar) menunjukkan adanya gangguan fisiologis tanaman karena infeksi BCMV. Selain penurunan bobot polong, infeksi BCMV juga menyebabkan waktu berbunga terlambat dan jumlah bunga menurun.Perlakuan inokulasi BCMV pada awal fase

vegetatif tanaman menyebabkan gangguan yang berat terhadap proses fotosintesis. Infeksi Cowpea yellow mosaic virus pada tanaman kacang tunggak menyebabkan penurunan hasil 40–60% bila tanaman diinokulasi pada 7 hari setelah tanam, tetapi hasil hanya menurun 10–15% bila tanaman diinokulasi pada saat fase pembungaan (Kareem dan Taiwo 2007). Hal tersebut menunjukkan bahwa kehilangan hasil akan semakin tinggi bila tanaman terinfeksi sejak awal pertumbuhan.

Pengendalian penyakit mosaik kuning pada kacang panjang perlu dilakukan untuk menghindari infeksi awal dan kehilangan hasil. Penyediaan benih bebas virus, pengendalian serangga vektor, dan penanaman varietas tahan diharapkan dapat diterapkan untuk menjaga stabilitas produksi pertanian. Program pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas tahan dan program sertifikasi benih untuk menyediakan benih bebas virus perlu mendapat perhatian.

DAFTAR PUSTAKA

Damayanti TA, Alabi OJ, Rayapati NA, Rauf A. 2009. Severe outbreak of a yellow mosaic disease on the yard long bean in Bogor, West Java. Hayati J Biosci. 16(2):78–82.

Kareem KT, Taiwo MA. 2007. Interactions of viruses in cowpea: effects on growth and yield parameters. Vir J. 4:15. DOI:10.1186/1743-422x-4-15.

Li YQ, Liu ZP, Yang K, Li YS, Zhao B. 2014. First report of Bean common mosaic virus

Varietas Tanaman sehat (g)*

Tanaman terinfeksi (g)*

Penurunan bobot (%)

Parade 27.57 ± 9.76 a 20.11 ± 5.03 ab 27.1New Jaliteng 25.69 ± 6.22 a 16.20 ± 6.16 bc 36.9Long Silk 15.39 ± 7.78 bc 8.54 ± 3.02 cde 44.5Super Sainan 8.39 ± 3.71 cde 1.25 ± 1.99 e 85.2Pilar 11.58 ± 3.98 cd 7.03 ± 3.66 de 39.3

Tabel 4 Bobot polong per tanaman pada tanaman kacang panjang yang diinokulasi Bean common mosaic virus

*Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%

117

Page 16: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Susetio dan Hidayat

infecting Azuki bean (Vigna angularis) in China. Plant Dis. 98(7):1.017.1. DOI: 10.1094/PDIS-01-14-0064-PDN.

McKern NM, Mink GI, Barnett OW, Mishra A, Whittaker LA, Silbernagel MJ, Ward CW, Shukla DD. 1992. Isolates of Bean common mosaic virus comprising two distinct Potyviruses. Phytopathology. 82(9):923–929.

Naderpour M, Mohammadi M, Mossahebi GH, Koohi-Habibi M. 2010. Identification of three strains of Bean common mosaic

necrosis virus in common bean from Iran. Plant Dis. 94(1):127.1. DOI: 10.1094/PDIS-94-1-0127A.

Strausbaugh CA, Myers JR, Forster RL, McClean PE. 2003. A Quantitative method to screen common bean plants for resistance to Bean common mosaic necrosis virus. Phytopathology. 93(11):1430–1436. DOI: 10.1094/PHYTO.2003:93.11.1430.

118

Page 17: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

Perkembangan Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Tiga Varietas Padi Sawah yang Diinokulasi pada

Beberapa Fase Pertumbuhan

Development of Bacterial Leaf Blight Disease Inoculated on Three Varieties of Paddy Rice at Various Growth Stage

Andi Khaeruni*, Muhammad Taufik, Teguh Wijayanto, Eko Aprianto JohanUniversitas Halu Oleo, Kendari 91232

ABSTRAK

Hawar daun bakteri merupakan penyakit penting pada tanaman padi dengan tingkat kerusakan yang dapat mencapai 50%. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada tiga varietas padi yang diinokulasi Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada fase pertumbuhan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan padi varietas IR64 yang diinokulasi X. oryzae pv. oryzae saat fase persemaian memperlihatkan periode inkubasi tercepat dan keparahan penyakit tertinggi, yaitu 4.25 hari setelah inokulasi dan 90%, sedangkan keparahan penyakit terendah sebesar < 40% terdapat pada varietas Cisantana yang diinokulasi saat fase generatif. Jumlah malai tertinggi diperoleh pada tanaman tanpa inokulasi yaitu rata-rata 10 malai per rumpun. Fase pertumbuhan dan varietas padi berpengaruh terhadap perkembangan penyakit hawar daun bakteri, semakin muda fase pertumbuhan tanaman saat terinfeksi maka semakin cepat perkembangan penyakitnya. Varietas IR64 sangat rentan terhadap penyakit hawar daun bakteri.

Kata kunci: fase generatif, fase vegetatif, Xanthomonas oryzae pv. oryzae.

ABSTRACT

Bacterial leaf blight is an important disease of rice plant and could damage up to 50%. This study aimed to evaluate development of the bacterial leaf blight disease on three rice varieties which inoculated at various growth stage. The results of this study showed that IR64 variety which inoculated at seedling stage has shortest incubation period as well as disease severity i.e. 4.25 day after inoculation and 90%, respectively, while Cisantana variety which inoculated at generative stage showed the lowest of disease severity (< 40%). The highest number of panicles obtained on without inoculation treatment i.e an average of 10 panicles. Therefore growth stage and rice variety influenced to bacterial leaf blight disease development, the younger the plant infected, the faster the progression of the bacterial leaf disease. IR64 variety is highly susceptible to bacterial leaf blight disease.

Key words: generative stage, vegetative stage, Xanthomonas oryzae pv. oryzae

*Alamat penulis korespondensi: Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo, Kampus Bumi Tridharma, Jalan HEA Mohodompit Anduonohu, Kendari 93232Tel: 0401-3193596, Faks: 0401-3193596, Surel: [email protected]

Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014Halaman 119–125

DOI: 10.14692/jfi.10.4.119ISSN: 0215-7950

119

Page 18: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Khaeruni et al.

PENDAHULUAN

Penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. oryzae merupakan salah satu penyakit yang dapat menurunkan produksi padi di Sulawesi Tenggara. Rahim et al. (2012) meneliti reaksi ketahanan beberapa varietas padi komersial terhadap patotipe X. oryzae pv. oryzae dari Sulawesi Tenggara serta melaporkan bahwa padi varietas Cisantana dan Inpari 10 memiliki reaksi ketahanan yang lebih baik dibanding dengan varietas komersial uji lainnya dengan keparahan penyakit kedua varietas tersebut berturut-turut 31% dan 37%, sedangkan pada varietas lainnya di atas 50%.

Berbagai upaya pengendalian penyakit HDB telah banyak dilakukan, namun pengendaliannya belum memberikan hasil yang memuaskan karena patogen penyebab penyakit HDB di Sulawesi Tenggara mempunyai tingkat keragaman patotipe yang tinggi. Faktor lingkungan, varietas padi yang digunakan, dan tingkat mutabilitas gen yang tinggi merupakan penyebabnya (Nayak et al. 2008; Jabeen et al. 2012). X. oryzae pv. oryzae dapat menginfeksi tanaman padi dari pesemaian sampai siap panen (Akhtar et al. 2011; Wahyudin et al. 2011; Jabeen et al. 2012) dan juga merupakan patogen terbawa benih (Agustiansyah et al. 2013). Selain itu informasi mengenai penyakit HDB yang menginfeksi pada berbagai fase pertumbuhan tanaman padi komersial belum banyak dilaporkan sehingga evaluasi perkembangan penyakit HDB pada berbagai waktu dan fase pertumbuhan tanaman padi perlu diteliti.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di dalam rumah kasa menggunakan padi varietas Cisantana, Inpari 10 dan IR64. Bakteri penyebab HDB X. oryzae pv. oryzae patotipe IV merupakan koleksi Laboratorium IHPT, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo.

Inokulasi X. oryzae pv. oryzae dilakukan pada empat tahap perkembangan tanaman sesuai perlakuan, yaitu inokulasi pada benih

melalui perendaman benih ke dalam suspensi X. oryzae pv. oryzae selama 24 jam, inokulasi pada daun bibit tanaman padi saat berumur 21 hari setelah semai, inokulasi pada daun ketika tanaman berumur 35 hari setelah semai (fase vegetatif), dan inokulasi pada daun ketika tanaman berumur 70 hari setelah semai (fase generatif). Inokulasi pada daun dilakukan dengan memotong ujung daun pada 5 lembar daun setiap rumpun dengan gunting yang telah dicelupkan dalam suspensi X. oryzae pv. oryzae (kerapatan 108 cfu mL-1).

Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok dengan pola faktorial yang terdiri atas 2 faktor, yaitu waktu inokulasi dan varietas padi. Waktu inokulasi (W) terdiri atas 5 taraf, yaitu W0, tanpa inokulasi; W1, inokulasi pada fase benih; W2, inokulasi pada fase pesemaian 21 hari setelah semai; W3, inokulasi pada fase vegetatif 2 MST; dan W4, inokulasi pada awal fase generatif 7 MST. Faktor kedua adalah varietas padi (V) yang terdiri atas padi varietas: V1, Cisantana ; V2, Inpari 10; dan V3, IR64 sehingga terdapat 15 kombinasi perlakuan. Masing-masing kombinasi perlakuan diulang 4 kali sebagai kelompok dan setiap satu unit perlaukan ada dua pot sehingga total percobaan ada 120 pot.

Peubah yang diamati ialah periode inkubasi, keparahan penyakit, dan jumlah malai. Periode inkubasi penyakit adalah lamanya waktu (hari) yang diperlukan untuk timbulnya gejala awal penyakit HDB setelah diinokulasi X. oryzae pv. oryzae.

Tingkat keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus:

IP, intensitas keparahan penyakit (%), ni, jumlah tanaman atau bagian tanaman contoh dengan skala kerusakan; vi, nilai skala kerusakan contoh ke-i; N, jumlah tanaman sampel; Z, nilai skala kerusakan tertinggi.

Skor setiap varietas yang diinokulasi X. oryzae pv. oryzae patotipe IV didasarkan pada kriteria gejala penyakit HDB (Tabel 1). Jumlah malai tanaman padi dihitung pada akhir fase generatif, yaitu pada pada 14 minggu setelah tanam (MST).

120

IP =∑n

i=0

(ni × vi)(Z × N) × 100%, dengan

Page 19: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Khaeruni et al.

Data hasil pengamatan periode inkubasi dianalisis menggunakan analisis deskriptif dan keparahan penyakit dan jumlah malai padi menggunakan analysis of variance dan dapat dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf α 5%.

HASIL

Periode InkubasiPeriode inkubasi penyakit HDB yang

tercepat terdapat pada perlakuan inokulasi X. oryzae pv. oryzae saat fase persemaian dan vegetatif pada padi varietas IR64, yaitu 4.25 dan 4.50 HSI. Periode inkubasi terlama terdapat pada padi varietas Cisantana dan

Inpari 10 yang diinokulasi X. oryzae pv. oryzae pada fase benih, waktu inkubasi kedua varietas ini untuk menimbulkan gejala penyakit HDB atau rata-rata mencapai 6.25 hari setelah inokulasi (Tabel 2).

Keparahan Penyakit Keparahan penyakit pada tanaman yang

diinokulasi X. oryzae pv. oryzae di benih, fase pesemaian, dan fase vegetatif mulai teramati pada minggu ke-2. Keparahan penyakitnya bertambah terus sampai akhir pengamatan (Tabel 3). Inokulasi X. oryzae pv. oryzae yang diberikan pada fase generatif, keparahan penyakit mulai teramati pada umur 9 minggu setelah tanam dan terus berkembang hingga akhir pengamatan. Keparahan penyakit ter-tinggi diperlihatkan pada varietas IR64 yang diinokulasi X. oryzae pv. oryzae pada fase benih, pesemaian, dan vegetatif pada akhir pengamatan. Padi varietas Cisantana yang diinokulasi pada fase benih, pesemaian, dan vegetatif, tahan terhadap penyakit HDB dibandingkan dengan dua varietas lainnya. Keparahan penyakit pada akhir pengamatan (11 MST) sebesar 38.89% dan merupakan keparahan penyakit terendah di antara semua perlakuan pada waktu pengamatan 11 MST. Keparahannya dapat dibedakan dari var.

Varietas padi Waktu InokulasiRata-rata periode inkubasi

(hari setelah inokulasi)Cisantana Benih 6.25

Persemaian 5.50Vegetatif 6.25Generatif 7.75

Inpari 10 Benih 6.25Persemaian 5.00Vegetatif 5.25Generatif 6.00

IR64 Benih 5.75Persemaian 4.25Vegetatif 4.50Generatif 5.75

Tabel 2 Rata-rata periode inkubasi penyakit hawar daun bakteri pada semua perlakuan waktu inokulasi Xanthomonas oryzae pv. oryzae

121

SkorLuas daun yang bergejala hawar

(%)0 0 (tidak bergejala hawar)1 1–32 4–63 7–124 13–505 51–756 > 75

Tabel 1 Skor dan kriteria gejala penyakit hawar daun bakteri pada daun tanaman padi

Page 20: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Khaeruni et al.Ta

bel 3

Per

kem

bang

an p

enya

kit h

awar

dau

n ba

kter

i pad

a in

tera

ksi a

ntar

a pe

rlaku

an w

aktu

inok

ulas

i Xan

thom

onas

ory

zae

pv. o

ryza

e da

n je

nis

varie

tas p

adi s

elam

a 11

min

ggu

*Ang

ka-a

ngka

yan

g di

ikut

i ole

h hu

ruf y

ang

sam

a pa

da k

olom

yan

g sa

ma

tidak

ber

beda

nya

ta b

erda

sark

an u

ji D

unca

n pa

da ta

raf n

yata

5%

. W0,

tida

k di

laku

kan

inok

ulas

i X.

ory

zae

pv. o

ryza

e; W

1, in

okul

asi X

. ory

zae

pv. o

ryza

e pa

da b

enih

; W2,

inok

ulas

i X. o

ryza

e pv

. ory

zae

pada

fase

per

sem

aian

; W3,

inok

ulas

i X. o

ryza

e pv

. ory

zae

pada

fase

ve

geta

tif (3

MST

); W

4, in

okul

asi X

. ory

zae

pv. o

ryza

e pa

da fa

se g

ener

atif

(7 M

ST);

V1,

var

ieta

s C

isan

tana

; V2,

var

ieta

s Inp

ari 1

0; V

3, v

arie

tas I

R64

.

Perla

kuan

In

tera

ksi

Perk

emba

ngan

pen

yaki

t haw

ar d

aun

bakt

eri p

ada

min

ggu

ke- s

etel

ah ta

nam

(%)

23

45

67

89

1011

W0V

1 0

.00

e 0

.00

e 0

.00

d 0

.00

f 0

.00

d 0

.00

d 0

.00

d 0

.00

e 0

.00

g 0

.00

eW

0V2

0.0

0 e

0.0

0 e

0.0

0 d

0.0

0 f

0.0

0 d

0.0

0 d

0.0

0 d

0.0

0 e

0.0

0 g

0.0

0 e

W0V

3 0

.00

e 0

.00

e 0

.00

d 0

.00

f 0

.00

d 0

.00

d 0

.00

d 0

.00

e 0

.00

g 0

.00

eW

1V1

11.8

0 d

18.7

5 cd

23.6

1 c

50.6

9 de

49.3

0 c

49.3

0 c

49.3

0 c

49.3

0 c

49.3

0 cd

49.3

0 cd

W1V

213

.19

cd25

.69

a35

.41

b59

.03

cd56

.94

c56

.94

c56

.94

c56

.94

c56

.94

c56

.94

cW

1V3

15.9

7 b

21.5

2 bc

45.8

3 a

68.0

5 bc

90.2

7 a

90.2

7 a

90.2

7 a

90.2

7 a

90.2

7 a

90.2

7 a

W2V

112

.50

d17

.36

d21

.52

c51

.38

de54

.16

c54

.16

c54

.16

c54

.16

c54

.16

cd54

.16

cdW

2V2

14.5

8 bc

20.1

4 cd

35.4

1 b

72.2

2 b

79.1

6 ab

79.1

6 ab

79.1

6 ab

79.1

6 ab

79.1

6 ab

79.1

6 ab

W2V

320

.83

a23

.61

ab38

.19

b76

.38

ab89

.58

a89

.58

a89

.58

a89

.58

a89

.58

a89

.58

aW

3V1

0.0

0 e

0.0

0 e

18.0

5 c

41.6

6 e

52.0

8 c

52.0

8 c

52.0

8 c

52.0

8 c

52.0

8 cd

52.0

8 cd

W3V

2 0

.00

e 0

.00

e20

.13

c65

.97

bc77

.77

b77

.77

b77

.77

b77

.77

b77

.77

b77

.77

bW

3V3

0.0

0 e

0.0

0 e

22.2

2 c

83.3

3 a

83.3

3 ab

83.3

3 ab

83.3

3 ab

83.3

3 ab

83.3

3 ab

83.3

3 ab

W4V

1 0

.00

e 0

.00

e 0

.00

d 0

.00

f 0

.00

d 0

.00

d 0

.00

d16

.66

de25

.00

f38

.89

dW

4V2

0.0

0 e

0.0

0 e

0.0

0 d

0.0

0 f

0.0

0 d

0.0

0 d

0.0

0 d

20.8

3 d

30.5

5 ef

53.4

7 cd

W4V

3 0

.00

e 0

.00

e 0

.00

d 0

.00

f 0

.00

d 0

.00

d 0

.00

d22

.91

d40

.27

de50

.69

cd

122

Page 21: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Khaeruni et al.

IR64 jika inokulasi X. oryzae pv. oryzae dilakukan pada fase generatif maka keparahan penyakitnya sama saja pada uji dan keparahan penyakit untuk ketiga varietas padi.

Jumlah MalaiPada perlakuan waktu inokulasi secara

mandiri, padi yang tidak diinokulasi X. oryzae pv. oryzae menghasilkan malai terbanyak yaitu rata-rata 10 per rumpun, sementara tanaman yang diinokulasi pada fase benih dan vegetatif lebih rendah. Padi varietas IR64 secara mandiri memberikan hasil jumlah malai yang sama dengan varietas Cisantana dan Inpari 10 (Tabel 4).

PEMBAHASAN

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua varietas padi yang diinokulasi X. oryzae pv. oryzae menunjukkan gejala hawar pada daun. Gejala penyakit hawar daun bakteri (HDB) yang sempurna ditandai dengan bercak memanjang dengan tepi bergelombang dari ujung daun yang berkembang sepanjang tepi kemudian berkembang menjadi hawar dan warna daun berubah menjadi kuning pucat, gejala tersebut mulai teramati saat dua minggu setelah inokulasi. Gejala tersebut

serupa dengan gejala HDB yang dikemukakan oleh Liu et al. (2006), Akhtar et al. (2008; 2011).

Periode inkubasi antara perlakuan berbeda-beda. Rata-rata periode inkubasi tercepat terjadi pada perlakuan inokulasi X. oryzae pv. oryzae pada fase pesemaian (4.25 hari),sementara periode inkubasi terlama ditunjuk-kan pada perlakuan inokulasi X. oryzae pv. oryzae pada benih, yakni 6 kali lebih lama. Cepatnya periode inkubasi pada perlakuan waktu inokulasi saat pesemaian karena gejala penyakit HDB ini secara spesifik diamati pada daun dan saat dilakukan inokulasi pada fase pesemaian, jaringan daun masih sangat muda sehingga patogen mudah berkembang dan gejala terbentuk dalam waktu singkat. Sementara pada perlakuan inokulasi pada benih, untuk terbentuknya gejala pada daun dibutuhkan waktu yang cukup lama karena benih perlu waktu untuk berkecambah dan membentuk daun secara sempurna. Perkembangan penyakit HDB dipengaruhi oleh umur tanaman dan biasanya penyakit lebih banyak terdapat pada padi yang dipindah pada umur yang lebih muda.

Perkembangan penyakit HDB pada setiap perlakuan ditentukan berdasarkan pengamatan keparahan penyakit pada daun sampel. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara waktu inokulasi pada fase tanaman yang berbeda dan varietas padi, hal ini menunjukkan bahwa infeksi X. oryzae pv. oryzae pada fase pertumbuhan dan varietas padi yang berbeda berpengaruh terhadap perkembangan penyakit HDB. Hasil pengamatan keparahan penyakit menunjukkan bahwa perkembangan penyakit padi varietas IR64 baik yang diinokulasi X. oryzae pv. oryzae pada benih, pada fase pesemaian, maupun pada fase vegetatif selalu memperlihatkan keparahan penyakit tinggi pada setiap waktu pengamatan dengan perkembangan penyakit yang cepat. Keparahan penyakit pada akhir pengamatan masing-masing mencapai 90.3,89.6, dan 83.3%. Keparahan penyakit te-rendah terdapat pada varietas Cisantana yang diinokulasi pada fase generatif, yaitu 38.9% pada akhir pengamatan 11 MST.

123

Tabel 4 Jumlah malai tanaman padi pada perlakuan secara mandiri

Waktu inokulasi pada fase

Varietas

KontrolBenih

PesemaianVegetatifGeneratif

CisantanaInpari 10

IR64

10.0 a 9.1 bc 9.4 ab 8.7 c 9.5 ab

9.4 a 9.1 a 9.5 a

Perlakuan Jumlah malai*

*Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf nyata 5%. W0, tidak dilakukan inokulasi X. oryzae pv. oryzae; W1, inokulasi X. oryzae pv. oryzae pada benih; W2, inokulasi X. oryzae pv. oryzae pada fase persemaian; W3, inokulasi X. oryzae pv. oryzae pada fase vegetatif (3 MST); W4, inokulasi X. oryzae pv. oryzae pada fase generatif (7 MST); V1, varietas Cisantana; V2, varietas Inpari 10; V3, varietas IR64.

Page 22: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Khaeruni et al.

Keparahan penyakit mengindikasikan bahwa semakin muda umur tanaman terinfeksi semakin cepat perkembangan penyakit, sebaliknya semakin tua umur tanaman pada saat awal terinfeksi semakin lambat per-kembangan penyakit HDB. Perkembangan penyakit juga dipengaruhi oleh varietas padi, semakin tahan varietas maka semakin kecil keparahan penyakit dan semakin lambat perkembangan penyakitnya. Keparahan pe-nyakit pada varietas padi Cisantana lebih rendah dibandingkan dengan varietas Inpari 10 dan IR64 pada perlakuan inokulasi yang sama. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rahim et al. (2011) yang melaporkan padi varietas Cisantana lebih tahan terhadap infeksi X. oryzae pv. oryzae dibandingkan dengan varietas Inpari 10 dan IR64. Tingkat ketahanan varietas tanaman yang diuji terhadap HDB diduga dipengaruhi juga oleh struktur morfologi permukaan daun. Padi varietas Cisantana memiliki permukaan daun yang halus dibandingkan dengan dua varietas lainnya.

Penyakit HDB pada tanaman padi bersifat sistemik dan dapat menginfeksi tanaman pada berbagai stadium pertumbuhan. Persentase keparahan penyakit HDB pada berbagai waktu inokulasi memperlihatkan perkembangan penyakit berbeda-beda. Pada fase pertumbuhan vegetatif, umur 5–8 MST, perkembangan penyakit HDB berlangsung cepat dibandingkan dengan fase pertumbuhan lainnya, khususnya pada varietas rentan dengan perkembangan penyakit HDB rata-rata mencapai 68.5% sampai 90%, sedangkan pada fase pertumbuhan generatif laju perkembangan penyakit mulai melambat atau terhenti. Hasil ini mendukung pendapat Djatmiko dan Fatichin (2009) yang mengemukakan bahwa fase vegetatif tanaman padi lebih rentan dibandingkan dengan fase generatifnya. Padi varietas IR64 dilaporkan pula merupakan varietas padi yang rentan terhadap penyakit HDB. Melambatnya laju perkembangan pada fase generatif diduga disebabkan struktur ketahanan tanaman telah terbentuk sempurna. Lapisan lilin dan ketebalan kutikula pada sel epidermis tanaman sudah sempurna sehingga dapat meningkatkan resistensi tanaman ter-

hadap patogen yang melakukan penetrasi langsung melalui lapisan epidermis.

Rendahnya keparahan penyakit pada perlakuan inokulasi pada fase generatif, selain berhubungan dengan struktur sel tanaman, juga diduga berhubungan dengan kandungan senyawa pertahanan tertentu yang terkandung di dalam jaringan tanaman yang konsentrasinya berkorelasi dengan umur tanaman. Fitoaleksin dari golongan diterpen dan fenol berkorelasi dengan ketahanan padi terhadap patogen. Tanaman padi tahan memiliki kemampuan untuk mengakumulasi senyawa tersebut dengan konsentrasi tinggi dalam waktu cepat setelah infeksi patogen dan makin bertambah umur tanaman potensi produksi fitoaleksin semakin tinggi (Song et al. 2001). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Hasegawa et al. (2010) yang me-ngemukakan bahwa ketahanan tanaman terhadap penyakit blast berkorelasi positif dengan akumulasi fitoaleksin yang dihasilkan oleh tanaman setelah terjadi infeksi patogen. Fitoaleksin adalah senyawa antimikrob yang berbentuk molekul rendah yang disintesis dan diakumulasikan di dalam jaringan tanaman setelah terjadi infeksi patogen.

Serangan X. oryzae pv. oryzae pada tanaman padi yang menyebabkan penyakit HDB akan menghambat pertumbuhan tanaman padi. Pengurangan jumlah daun secara tidak langsung menurunkan produksi melalui pengurangan jumlah malai yang terbentuk atau penghambatan pengisian bulir padi. Hasil pengamatan jumlah malai menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara perlakuan inokulasi patogen pada fase pertumbuhan yang berbeda dan varietas padi. Hal ini diduga karena setiap varietas sudah memiliki potensi produksi malai masing-masing yang berbeda satu sama lainnya. Produksi malai pada tiga varietas padi yang diinokulasi X. oryzae pv. oryzae pada berbagai fase pertumbuhan tanaman hanya berkisar 8.67 sampai 10.8 malai. Secara mandiri perlakuan tanpa inokulasi X. oryzaepv. oryzae menghasilkan jumlah malai terbanyak, yaitu 10 malai per rumpun, sementara perlakuan yang diinokulasi X. oryzae pv. oryzae produksi malainya lebih

124

Page 23: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Khaeruni et al.

rendah. Secara keseluruhan penelitian ini menunjukkan bahwa varietas padi IR64 merupakan varietas paling rentan terhadap penyakit HDB, fase pertumbuhan dan varietas padi berpengaruh terhadap perkembangan penyakit HDB pada padi, semakin muda fase pertumbuhan tanaman terinfeksi semakin cepat perkembangan penyakit HDB. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam pengelolaan penyakit HDB pada tanaman padi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Fundamental Tahun 2012dengan kontrak No 22-8/PK-UPT/Unhalu/2012, tanggal 1 Februari 2012. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiansyah, Ilyas S, Sudarsono, Machmud M. 2013. Karakterisasi rizobakteri yang berpotensi mengendalikan bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae dan meningkatkan pertumbuhan tanaman padi. J HPT Tropika. 13(1):42–51.

Akhtar MA, Abbasi FM, Ahmad F, Shahzad M, Shah MA, Shah AH. 2011. Evaluation of rice germplasm againt Xanthomonas oryzae causing bacterial leaf blight. Pak J Bot. 43(6):3021–3023.

Akhtar MA, Rafi A, Hamed A. 2008. Comparison of methods of inoculation of Xanthomonas oryzae pv. oryzae in rice cultivar. Pak J Bot. 40(5):2171–2175.

Djatmiko AH, Fatichin. 2009. Ketahanan dua puluh satu varietas padi terhadap penyakit hawar daun bakteri. J HPT Tropika. 9(2):168–173.

Hasegawa M, Mitsuhara I, Seo S, Imai T, Koga J, Okada K, Yamane H, Ohashi Y. 2010. Phytoalexin accumulation in the interaction between rice and the blast fungus. Mol Plant Microb Interact. 23(8):1000–1011. DOI: 10.1094/MPMI -23-8-1000.

Jabeen R, Iftikhar T, Batool H. 2012. Isolation, characterization, preservation and pathogenity of Xanthomonas oryzae pv. oryzae causing BLB disease in rice. Pak J Bot. 44(1):261–265.

Liu DN, Ronald PC, Boddanova AJ. 2006. Xanthomonas oryzae pathovars: model pathogens of a model crop. Mol Plant Pathol. 7:57–59.

Nayak D, Bose LK, Singh UD, Singh S, Nayak P. 2008. Measurement of genetic diversity of virulence in population of Xanthomonas oryzae pv. oryzae in India. Comm Biometry Crop Sci. 3(1):16–28.

Rahim A, Khaeruni A. Taufik M. 2012. Reaksi ketahanan beberapa varietas padi komersial terhadap patotip Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolat Sulawesi Tenggara. Berkala Penel Agron. 1(2):132–138.

Song F, Goodman RM. 2001. Molecular biology of disease resistance in rice. Physiol Mol Plant Pathol. 59:1–11. DOI:10.1006/pmpp.2001.0353.

Wahyudin AT, Meliah S, Nawangsih AA. 2011. Xanthomonas oryzae pv. oryzae bakteri penyebab hawar daun bakteri pada padi: isolat, karakterisasi, dan telaah mutagenesis dengan transposon. Makara Sain. 15:89–96.

125

Page 24: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

Serangan Tribolium castaneum pada Beras di Penyimpanan dan Pengaruhnya terhadap Serangan Cendawan dan Susut Bobot

Tribolium castaneum Infestation in Stored Milled Rice and Its Effect on Fungal Infection and Weight Loss

Okky Setyawati Dharmaputra1,3*, Hariyadi Halid2, Sunjaya3

1Institut Pertanian Bogor, Bogor 166802Perusahaan Umum BULOG, Jakarta 12950

3SEAMEO BIOTROP, Bogor 16134

ABSTRAK

Tribolium castaneum merupakan serangga hama penting pada penyimpanan beras di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menguji perbedaan jumlah pasangan T. castaneum terhadap spesies dan populasi cendawan pascapanen pada beras selama penyimpanan dan pengaruhnya terhadap kadar air dan susut bobot beras. Beras ditempatkan di dalam stoples (250 g/stoples) dan diinfestasi dengan 5, 10, dan 20 pasang T. castaneum. Sebagai kontrol, stoples hanya berisi beras. Setiap perlakuan (termasuk kontrol) dibuat tiga ulangan. Penyimpanan dilakukan selama 1, 2, dan 3 bulan pada kondisi laboratorium. Kadar air (berdasarkan bobot basah) ditentukan menggunakan metode oven. Isolasi cendawan dilakukan dengan metode pengenceran yang dilanjutkan dengan metode cawan tuang pada medium Dichloran 18% glycerol agar. Susut bobot (berdasarkan bobot kering) beras ditentukan setelah 3 bulan penyimpanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi imago T. castaneum semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah pasangan T. castaneum yang diinfestasikan dan lama penyimpanan. Kadar air beras relatif konstan selama penyimpanan dan diduga lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan daripada keberadaan T. castaneum. Sebanyak 19 spesies cendawan telah diisolasi selama penyimpanan. Cendawan yang dominan ialah Aspergillus flavus dan Penicillium citrinum. Populasi total cendawan semakin menurun setelah 2 dan 3 bulan penyimpanan dengan bertambahnya jumlah pasangan T. castaneum yang diinfestasikan. Susut bobot semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah pasangan T. castaneum yang diinfestasikan. Berdasarkan susut bobot beras, penyimpanan yang paling baik ialah pada jumlah pasangan T. castaneum adalah lima pasang, baik beras disimpan selama 1, 2, atau 3 bulan penyimpanan.

Kata kunci: Aspergillus flavus, cendawan pascapanen, kadar air, Penicillium citrinum, susut bobot

ABSTRACT

Tribolium castaneum is an important insect pest of stored milled rice in Indonesia. The effect of T. castaneum on fungal infection of stored milled rice was investigated together with moisture content and weight loss. Milled rice were placed in glass jars (250 g/jar) and infested with 5, 10, and 20 pairs of T. castaneum. As control, the jars contained only milled rice. Three replications were made for each treatment (including the control). The jars were stored in storage room for 1, 2, and 3 months. Moisture contents (based on wet weight) of milled rice were determined using the oven method. Fungi were isolated and enumerated using dilution plating, followed by pour plate method on Dichloran 18% Glycerol Agar (DG18). Weight loss (based on dry weight) was determined after 3 months of storage.The results

*Alamat penulis korespondensi: Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,Institut Pertanian Bogor, Jalan Agatis, Kampus Dramaga, Bogor 16680Tel: 0251-8622833, Faks: 0251-8622833, Surel: [email protected]

Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014Halaman 126–132

DOI: 10.14692/jfi.10.4.126ISSN: 0215-7950

126

Page 25: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Dharmaputra et al.

showed, that the population of adult T. castaneum increased with the increase in the number of pairs of infested T. castaneum and storage duration. The moisture contents of milled rice were relatively constant during storage. It was assumed, that the moisture contents were more influenced by the environmental conditions rather than the occurrence of T. castaneum. Nineteen fungal species were isolated Aspergillus flavus and Penicillium citrinum were the dominant fungal species. Total fungal population decreased after 2 and 3 months of storage, with the increase in the number of pairs of infested T. castaneum. Weight loss increased with the increase in the number of pairs of infested T. castaneum. Based on weight loss of milled rice, the best storage duration was found when the number of pairs of T. castaneum was five pairs, the duration of storage was 1, 2 or 3 months of storage.

Key words : Aspergillus flavus, moisture content, Penicillium citrinum, postharvest fungi, weight loss

PENDAHULUAN

Beras adalah bagian bulir padi (gabah) yang telah dipisahkan dari sekam. Selama penyimpanan beras dapat mengalami pe-nyusutan (kerusakan) dalam kualitas maupun kuantitasnya. Hal ini disebabkan antara lain oleh faktor biologi (serangga, cendawan, tikus, dan burung). Serangga dan cendawan masing-masing merupakan penyebab pertama dan ke-2 kerusakan. Serangan cendawan pada biji-bijian yang disimpan dapat mengakibatkan perubahan warna, pemanasan, berbagai perubahan biokimia, produksi mikotoksin, dan susut bobot.

Laju perkembangan cendawan pascapanen pada biji-bijian dan tingkat kerusakan yang disebabkannya dapat dipengaruhi oleh keberadaan spesies dan populasi serangga pada biji-bijian tersebut. Serangga yang menginfestasi biji-bijian dapat membawa spora cendawan pada tubuhnya. Infestasi berat oleh serangga dapat mengakibatkan peningkatan kadar air dan pemanasan sehingga menstimulasi pertumbuhan cendawan (Wicklow 1995) .

Tribolium castaneum merupakan salah satu spesies serangga hama penting di penyimpanan di daerah tropik. Wiranata et al.(2013) melaporkan bahwa T. castaneum merupakan salah satu spesies serangga yang ditemukan pada beras di gudang Perusahaan Umum BULOG. Serangga tersebut mampu bertahan pada bahan pangan dengan kadar air rendah, terutama menimbulkan kerusakan pada serealia yang telah digiling, namun perkembangbiakannya tidak cepat pada

serealia yang berkadar air rendah, masih utuh, dan bebas dari serpihan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh T. castaneum terhadap spesies dan populasi cendawan pascapanen pada beras, serta pengaruhnya terhadap kadar air dan susut bobot beras selama penyimpanan.

BAHAN DAN METODE

Penyimpanan BerasBeras yang berasal dari padi varietas

IR64 dengan derajat sosoh 90%, persentase butir patah 25%, dan kadar air ± 13% di-tempatkan di dalam stoples (250 g/ stoples). Selanjutnya stoples ditutup dengan kain batis dan disimpan selama 1, 2, dan 3 bulanpada kondisi laboratorium. Sebelum di-simpan, beras difumigasi dengan fosfin (2 g ton-1 beras) selama 6 hari. Fumigasi ditujukan untuk membunuh semua stadium serangga yang mungkin terdapat pada beras.

Infestasi Tribollium castaneumTribolium castaneum jantan dan betina

dipisahkan pada stadium pupa serta dipelihara pada medium campuran terigu dan khamir dengan perbandingan 12:1 (Haines 1991). Pada umur antara 0–7 hari dari stadium imago, serangga dipindahkan pada beras selama 7 hari agar dapat beradaptasi dengan perubahan medium tersebut. Setelah itu T. castaneum dipisahkan dari beras dan didesinfeksi dengan natrium hipoklorit 0.6% selama 3 menit, kemudian dibilas 3 kali dengan akuades steril (Sinha dan Sinha 1992). Selanjutnya,

127

Page 26: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Dharmaputra et al.

serangga dimasukkan ke dalam setiap stoples yang berisi beras dengan 3 variasi pasangan, yaitu 5, 10, dan 20 pasang. Sebagai kontrol, beras tidak diinfestasi dengan T. castaneum. Setiap perlakuan dibuat 3 ulangan (3 stoples). Populasi T. castaneum dari masing-masing stoples untuk setiap perlakuan dihitung setelah 1, 2, dan 3 bulan penyimpanan.

Pengambilan Sampel dan Cara Memperoleh Sampel Kerja

Pengambilan sampel dilakukan sebelum penyimpanan, kemudian 1, 2, dan 3 bulan setelah penyimpanan dari setiap stoples. Serangga dipisahkan dari beras dengan menggunakan ayakan. Selanjutnya setiap sampel dibagi dengan pembagi sampel berbentuk boks guna mendapatkan sampel kerja untuk analisis kadar air dan analisis cendawan.

Penentuan Populasi Tribolium castaneum, Kadar Air, Cendawan Pascapanen, dan Susut Bobot

Populasi T. castaneum ditentukan dengan cara menghitung populasi imago dari setiap ulangan. Kadar air (berdasarkan bobot basah) ditentukan dengan menggunakan oven pada suhu 130 °C selama 2 jam (Chen 2003). Setiap ulangan dibuat 3 subulangan (5 g beras per sub ulangan).

Isolasi cendawan dilakukan dengan metode pengenceran berseri yang dilanjutkan dengan metode cawan tuang pada medium Dichloran 18% glycerol agar. Sebanyak 15 g beras yang telah digiling, dibuat suspensi dengan pengenceran 10-1–10-5. Untuk setiap ulangan dibuat 2 subulangan (2 × 15 g) dan untuk setiap pengenceran dilakukan 3 ulangan (3 cawan petri). Populasi setiap spesies cendawan per g beras per subulangan dihitung dengan cara menghitung rata-rata jumlah koloni setiap spesies cendawan dari 3 cawan petri dikalikan dengan faktor pengenceran yang memberikan koloni cendawan secara terpisah.

Cendawan diidentifikasi berdasarkan pada Pitt dan Hocking (2009). Susut bobot (berdasarkan bobot kering) ditentukan setelah 3 bulan penyimpanan, dengan rumus:

SB(Bk) = BAw(Bk) – BAk(Bk), denganSB, susut bobot; Bk, bobot kering; BAw, bobot awal; BAk, bobot akhir.

Rancangan PercobaanRancangan percobaan yang digunakan

ialah rancangan acak lengkap yang disusun secara faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama ialah pemberian serangga yang terdiri atas 4 taraf, yaitu 0, 5, 10, dan 20 pasangT. castaneum. Faktor kedua ialah lama pe-nyimpanan yang terdiri atas 4 taraf, yaitu 0, 1, 2, dan 3 bulan. Setiap perlakuan dibuat 3 ulangan. Untuk mengetahui pengaruhpemberian serangga terhadap populasi cendawan, digunakan rancangan acak kelompok dengan analisis kovarian karena pada awal penyimpanan, populasi total cendawan pada beras yang tidak diinfestasi dengan T. castaneum (kontrol), kemudian yang diinfestasi dengan 5, 10 dan 20 pasang T. castaneum adalah berbeda. Uji banding Duncan dilakukan jika terdapat pengaruh yang nyata terhadap salah satu faktor atau interaksi antarfaktor.

HASIL

Populasi Tribolium castaneumBerdasarkan analisis ragam, jumlah

pasangan T. castaneum, lama penyimpanan, dan interaksi antara keduanya menyebabkan perbedaan yang sangat nyata terhadap populasi serangga tersebut. Populasi T. castaneum semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah pasangan T. castaneum yang diinfestasikan. Semakin lama waktu pe-nyimpanan terutama setelah 2 bulan meng-akibatkan semakin meningkatnya populasi T. castaneum. Setelah 1 dan 2 bulan penyimpanan populasi serangga (imago) tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan setelah 3 bulan penyimpanan. Populasi T. castaneum setelah satu bulan penyimpanan pada pemberian 5, 10, dan 20 pasang masing-masing adalah 10, 20, dan 40 ekor. Populasi tersebut sama dengan jumlah serangga yang diinfestasikan pada awal penyimpanan. Hal ini menunjukkan

128

Page 27: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Dharmaputra et al.

bahwa setelah 1 bulan penyimpanan belum terjadi pertambahan populasi (Tabel 1).

Kadar Air Berdasarkan analisis ragam, tidak

terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah pasangan T. castaneum (termasuk kontrol) serta interaksi antara jumlah pasangan serangga dan lama penyimpanan terhadap kadar air beras, tetapi lama penyimpanan menunjukkan perbedaan yang sangat nyata. Kadar air beras selama 1, 2, dan 3 bulan penyimpanan tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan sebelum penyimpanan. Kadar air beras pada awal penyimpanan yaitu sekitar 13%, sedangkan setelah penyimpanan kadar air beras sekitar 14% (Tabel 2). Tampaknya kadar air beras tidak banyak dipengaruhi oleh T. castaneum yang diinfestasikan, melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, yaitu suhu dan kelembapan relatif ruang simpan. Hal tersebut terlihat dari kadar air beras yang berbeda antara sebelum dan setelah penyimpanan, namun relatif konstan selama penyimpanan. Kisaran suhu dan kelembapan relatif ruang simpan juga relatif konstan selama penyimpanan.

Spesies dan Populasi Total Cendawan Pascapanen

Hasil isolasi cendawan selama penyimpanan, diperoleh 19 spesies cendawan yaitu Alternaria padwickii, Arthrinium sp., Aspergillus candidus, A. flavus, A. fumigatus, A. niger, A. penicillioides, A. restrictus, A. versicolor, A. wentii, Cladosporium cladosporioides, C. sphaerospermum, Mucor circinelloides, Endomyces fibuliger, Eurotium chevalieri, E. repens, Penicillium citrinum, P. herquei, dan Syncephalastrum racemosum. Cendawan yang dominan ialah A. flavus dan P. citrinum.

Empat dari 19 spesies cendawan yang diperoleh sebenarnya tergolong cendawan lapangan, yaitu A. padwickii, Arthrinium sp., C. cladosporioides, dan C. sphaerospermum. Spesies cendawan lainnya tergolong cendawan pascapanen.

Hasil analisis kovarian menunjukkan bahwa populasi total cendawan berbeda nyata antarjumlah pasangan T. castaneum (termasuk kontrol) setelah satu bulan penyimpanan, tetapi tidak berbeda nyata setelah 2 dan 3 bulan penyimpanan (Tabel 3). Dibandingkan dengan kontrol, setelah satu bulan penyimpanan

Lama penyimpanan (bulan)

Pemberian Tribolium castaneum* (pasang)5 10 20

1 10.00 a 20.00 a 40.00 ab2 25.00 a 33.67 ab 62.27 bc3 32.00 cd 97.00 d 186.67 e

Tabel 1 Pengaruh pemberian pasangan Tribolium castaneum dan lama penyimpanan terhadap populasi imago Tribolium castaneum

*Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji banding Duncan pada taraf α 5%

Lama penyimpanan (bulan)

Suhu (°C)

Kelembapan relatif (%)

Kadar air* (% bobot basah)

0 - - 13.12 a1 25.5–30.0 63.3–89.7 13.87 b2 25.5–30.0 62.7–89.7 13.78 b3 25.5–30.0 61.3–89.7 13.92 b

Tabel 2 Kisaran suhu dan kelembapan relatif ruang simpan selama penyimpanan dan pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar air beras

*Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji banding Duncan pada taraf α 5%

129

Page 28: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Dharmaputra et al.

populasi total cendawan meningkat pada pemberian T. castaneum sebanyak 5 pasang, namun menurun pada pemberian 10 pasang. Populasi total cendawan meningkat kembali pada pemberian 20 pasang, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan pemberian5 pasang T. castaneum. Setelah satu bulan penyimpanan, penurunan drastis populasi total cendawan pada pemberian 10 pasang selain disebabkan oleh serangga, diduga terjadi karena adanya antagonisme di antara cendawan.

Setelah 2 dan 3 bulan penyimpanan populasi total cendawan tidak berbeda nyata antar jumlah pasangan T. castaneum (termasuk kontrol). Meskipun demikian, populasi cendawan menurun dengan semakin bertambahnya jumlah pasangan serangga yang diinfestasikan.

Susut Bobot Berdasarkan analisis ragam pemberian

jumlah pasangan T. castaneum yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap susut bobot. Susut bobot pada kontrol dan pemberian 5, 10, dan 20 pasang T. castaneum setelah 3 bulan penyimpanan masing-masing ialah 0.34, 1.39, 2.35, dan 3.59% tidak berbeda nyata menurut analisis ragam. Semakin meningkatnya susut bobot disebabkan oleh peningkatan populasi serangga dengan semakin lamanya penyimpanan dan semakin bertambahnya jumlah pasangan T. castaneum yang diinfestasikan.

PEMBAHASAN

Banyaknya butir retak dan rusak me-rupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan T. castaneum dalam menyerang sorgum di penyimpanan (Utomo 2013. Siklus hidup T. castaneum relatif pendek sehingga laju peningkatan populasinya juga menjadi relatif cepat. Meskipun demikian, T. castaneum memiliki mekanisme khusus untuk membatasi jumlahnya. Umumnya T. castaneum membatasi populasinya melalui tingkah laku kanibalisme yang dilakukan oleh serangga dewasa (imago) dan larva (Flinn dan Campbell 2012). Kanibalisme lebih sering terjadi pada butir jagung yang masih utuh dibandingkan dengan pada butir retak atau yang berupa tepung karena larva lebih sulit memakan butir utuh.

Selain kanibalisme, perkembangan populasi serangga dalam penelitian ini dapat dipengaruhi oleh keberadaan cendawan. Menurut Davis (2013) serangga, tungau, dan cendawan menghasilkan zat volatil yang berbeda, yang bergabung dengan udara intergranular dalam ekosistem penyimpanan biji-bijian. Banyak dari zat volatil ini yang secara terpisah atau bersama-sama mempengaruhi tingkah laku, perkembangan, dan pertumbuhan populasi organisme hama dalam lingkungan atmosfer.

Kadar air biji-bijian dipengaruhi oleh kelembapan relatif, suhu, dan jenis komoditas. Kadar air memiliki pengaruh yang penting dalam menjaga kualitas beras selama penyimpanan karena peranannya

Jumlah pasangan Tribolium castaneum

Populasi cendawan pada penyimpanan bulan ke- (koloni g-1 bobot basah)

0 1 2 3Kontrol 136.67 b 245.78 bc 258.79 a 136.56 b5 100.33 a 291.47 c 140.28 a 128.34 b10 138.67 b 74.73 a 61.18 a 91.12 b20 127.33 b 127.80 ab 54.07 a 70.65 b

Tabel 3 Populasi total cendawan (koloni g-1 b.b.) pada beras selama penyimpanan yang diinfestasi dengan Tribolium castaneum

*Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji banding Duncan dan lanjut analisis kovarian pada taraf α 5%.

130

Page 29: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Dharmaputra et al.

dalam mengendalikan laju kerusakan biji-bijian. Butir rusak menyerap lebih banyak air dibandingkan dengan butir utuh karena luas permukaannya lebih besar. Pada penelitian ini T. castaneum hanya mengakibatkan kerusakan fisik yang relatif kecil terhadap beras, yang ditunjukkan oleh susut bobot yang relatif rendah selama penyimpanan. Selain itu T. castaneum merupakan external feeder, sehingga tidak menyebabkan perubahan kadar air beras. Susut bobot yang relatif rendah pada beras setelah 3 bulan penyimpanan diduga karena T. castaneum tidak menyerang butir utuh, tetapi makan butir retak atau pecah, tanpa masuk ke bagian dalam butir (Sarwar 2013).

Penurunan populasi cendawan dengan semakin bertambahnya jumlah pasangan serangga yang diinfestasikan kemungkinan disebabkan oleh kuinon yang dihasilkan T. castaneum dan oleh aktivitas serangga tersebut dalam memakan cendawan. Pada penelitian ini populasi T. castaneum semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Menurut Prendeville dan Stevens (2002) Tribolium dapat menghasilkan kuinon yang dapat menghambat mikrob. Peningkatan jumlah T. castaneum dalam sistem penyimpanan akan meningkatkan kuinon yang disekresikan oleh T. castaneum sehingga populasi cendawan akan menurun.

Pada pemberian 10 dan 20 pasang T. castaneum, penurunan populasi cendawan hanya terjadi setelah 2 bulan penyimpanan dan meningkat kembali setelah 3 bulan pe-nyimpanan. Peningkatan kembali populasi cendawan diduga disebabkan oleh adanya penurunan aktivitas serangga dalam memakan cendawan dan produksi kuinon yang menurun, namun tingkat kerusakan yang disebabkan oleh serangga meningkat. Aktivitas T. castaneum dalam memakan beras menyebabkan cacat pada butiran beras sehingga cendawan lebih mudah berpenetrasi, sedangkan produksi kuinon yang rendah dapat disebabkan oleh terdapatnya serangga mutan.

Populasi total cendawan pada kontrol meningkat hingga 2 bulan setelah pe-nyimpanan, tetapi menurun setelah 3 bulan

penyimpanan. Diduga hal ini terjadi karenaadanya antagonisme di antara cendawan; dari hasil isolasi setelah 3 bulan pe-nyimpanan diperoleh M. circinelloides yang pertumbuhannya sangat cepat sehingga meng-hambat pertumbuhan cendawan lain.

Populasi imago T. castaneum pada beras semakin meningkat setelah 2 bulan penyimpanan dengan bertambahnya jumlah pasangan T. castaneum yang diinfestasikan. Kadar air beras relatif konstan selama penyimpanan dan diduga lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi ruang simpan daripada keberadaan T. castaneum. Selama 3 bulan penyimpanan diperoleh 4 spesies cendawan lapangan dan 15 spesies cendawan pascapanen. Aspergillus flavus dan P. citrinum merupakan cendawan yang dominan.Populasi total cendawan pada beras semakin menurun setelah 2 dan 3 bulan penyimpanan, dengan bertambahnya jumlah pasangan T. castaneum yang diinfestasikan. Setelah 3 bulan penyimpanan, susut bobot semakin meningkat dengan bertambahnya jumlah pasangan T. castaneum yang diinfestasikan. Susut bobot paling rendah diperoleh apabila beras diinfestasi dengan 5 pasang T. castaneum selama penyimpanan 1, 2 dan 3 bulan penyimpanan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rika Yuliarni dan teknisi Laboratorium Fitopatologi, SEAMEO BIOTROP.

DAFTAR PUSTAKA

Chen C. 2003. Evaluation of air oven moisture content determination methods for roughrice. Biosystems Engineering. 86(4):447–457. DOI:10.1016/j.biosystemseng.2003.08.010.

Davis TS, Crippen TL, Hofstetter RW, Tomberlin JK. 2013. Microbial volatile emissions as insect semiochemicals. J Chem Ecol. 39(6):687–806. DOI: 10.1007/s10886-013-0306-z.

Flinn PW, Campbell JF. 2012. Effects of flour conditioning on cannibalism Tribolium

131

Page 30: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Dharmaputra et al.

castaneum eggs and pupae. Environ Entomol. 41(6):1501–1504. DOI: http://dx.doi.org/10.1603/EN12222.

Haines CP. 1991. Insects and Arachnids of Tropical Stored products : Their Biology and Identification. Edisi ke-2. London (UK): Natural Resource Institute.

Pitt JI, Hocking AD. 2009. Fungi and Food Spoilage. New York (US) : Springer.

Prendeville HR, Stevens L. 2002. Microbe inhibition by Tribolium flour beetles varies with beetle species, strain, sex, and microbial group. J Chem Ecol. 28(6):1183–1190.

Sarwar M. 2013. Development and boosting of integrated insect pests management in stored grains.. Research and Reviews: J Agric Allied Sci. 2(4):16–20.

Sinha KK, Sinha AK. 1992. Impact of stored grain pests on seed deterioration and aflatoxin contamination in maize. J Stored Prod Res. 28(1):211–219.

Utomo IM. 2013. Assessment of grain loss due to insect pest during storage for small-scale farmers of Kebbi. IOSR J Agric Vet Sci. 3(5):38–50.

Wiranata RA, Himawan T, Astuti LP. 2013. Identifikasi arthropoda hama dan musuh alami pada gudang beras Perum BULOG dan gudang gabah mitra kerja di Kabupaten Jember. J HPT Tropika. 1(2):52–57.

Wicklow DT. 1995. The mycology of stored grain: an ecological perspective. Di dalam: Jayas DS et al., editor. Stored Grain Ecosystems. New York (US): Marcel Dekker, Inc. hlm 197–249.

132

Page 31: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

*Alamat Penulis Korespondensi: Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sam Ratulangi, Jalan Kampus UNSRAT, Manado 95115Tel: 0431-863886, 863786 Faks: 0431-822568, Surel: [email protected]

KOMUNIKASI SINGKAT

Aplikasi Trichoderma koningii dan Pseudomonas berfluoresensi untuk Pengendalian Penyakit Cabai di Minahasa, Sulawesi Utara

The Application of Trichoderma koningii and Fluorescent-pseudomonas to Control Diseases on Chili in Minahasa, North

Sulawesi

Johanna Maartje Paath*, Max RatulangiUniversitas Sam Ratulangi, Manado 95115

ABSTRAK

Penyakit penting pada tanaman cabai di Minahasa ialah layu bakteri, antraknosa, dan mosaik yang disebabkan oleh virus. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kemampuan 2 agens hayati, Trichoderma koningii dan Pseudomonas berfluoresensi, dalam mengendalikan penyakit-penyakit penting pada tanaman cabai. Percobaan dilakukan di Desa Toure, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa. Faktor perlakuan, yaitu tanpa agens hayati, T. koningii, Pseudomonas berfluoresensi, dan kombinasi T. koningii dan Pseudomonas berfluoresensi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi T. koningii, Pseudomonas berfluoresensi, dan kombinasi keduanya mampu menekan insidensi penyakit layu bakteri, tetapi tidak menekan penyakit antraknosa dan mosaik. Perlakuan kombinasi T. koningii dan Pseudomonas berfluoresensi berhasil meningkatkan bobot buah cabai.

Kata kunci: agens hayati, bobot buah, insidensi penyakit, pemacu pertumbuhan

ABSTRACT

Major diseases on chili in Minahasa are bacterial wilt, anthracnose, and mosaic caused by virus infection. The objectives of this research were to evaluate the effectiveness of two microbes, Trichoderma koningii and fluorescent Pseudomonas, as biocontrol agents for major diseases of chili. Field experiment was conducted in Toure Village, Tompaso, District of Minahasa. The treatments used were without biocontrol agents, T. koningii, fluorescent Pseudomanas, combination of T. koningii and fluorescent Pseudomanas. The results indicated that application of T. koningii, fluorescent Pseudomonas, and combination of the two biocontrol agents were only successfully suppressed incidence of bacterial wilt, but not of anthracnose nor mosaic diseases. Combination of the two biocontrol agents were able to improve yield of chili.

Key words: biocontrol agent, disease incidence, plant growth promoter, yield

Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014Halaman 133–137

DOI: 10.14692/jfi.10.4.133ISSN: 0215-7950

133

Page 32: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Paath dan Ratulangi

Penyakit utama pada tanaman cabai yang banyak ditemukan di daerah Minahasa, Sulawesi Utara ialah penyakit antraknosa, layu bakteri, dan penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus. Upaya pengendalian yang dilakukan petani umumnya mengandalkan pestisida sintetis, sehingga menimbulkan kekhawatiran konsumen yang semakin sadar akan pentingnya mengonsumsi produk pertanian bebas residu pestisida. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah banyak dikembangkan pestisida botani dan pestisida hayati yang ramah dan aman lingkungan. Beberapa spesies mikrob, antara lain Trichoderma spp. dan Pseudomonas berfluoresensi berhasil diisolasi dan diuji keefektifannya sebagai agens hayati.

Ratulangi dan Paath (1999) membuktikan bahwa P. fluorescens efektif menekan penyakitlayu bakteri dan layu fusarium pada tanaman tomat di Tomohon. Azis et al. (2013) melapor-kan kemampuan T. asperellum menekan penyakit hawar daun phytophthora pada bibit kakao melalui aplikasi perendaman benih dalam spora Trichoderma.

Eksplorasi agens hayati dapat diawali dengan mengisolasi mikrob dari rizosfer tanaman sehat dengan asumsi pada rizosfer tanaman sehat terdapat mikrob yang berpotensi melindungi tanaman dari infeksi patogen. Pada penelitian ini digunakan agens hayati lokal, yaitu T. koningii asal tanaman kentang dan Pseudomonas berfluoresensi asal tanaman daun nasi (Maranta sp.).

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi keefektifan Pseudomonas berfluoresensi dan T. koningii untuk mengendalikan penyakit antraknosa, layu bakteri, dan mosaik pada tanaman cabai di daerah Minahasa, Sulawesi Utara.

Perbanyakan T. koningii dilakukan pada medium jagung (Ratulangi et al. 2010). Medium jagung giling direndam dalam air selama 2 jam, dicuci bersih lalu dikukus selama 30 menit, didinginkan dan ditambahkan gula pasir 70 g kg-1 jagung. Selanjutnya, 100 g campuran ini dimasukkan ke dalam kantong plastik tahan panas. Medium jagung disterilkan selama 1 jam, setelah dingin diinokulasi dengan

T. koningii. Inokulasi dilakukan secara aseptik, selanjutnya diinkubasi pada suhu 27 °C selama 8–15 hari.

Sebanyak 300 g T. koningii pada medium jagung dicampur merata dengan 30 kg pupuk kandang ayam. Campuran ini diinkubasi selama 10 hari dengan mengaduknya setiap 2 hari. Campuran pupuk kandang dan T. koningii ditaburkan secara merata di permukaan lubang tanaman di lapangan, lalu ditutup dengan tanah.

Perbanyakan Pseudomonas berfluoresensi dilakukan dalam campuran air kelapa, gula, dan terasi. Air kelapa yang digunakan berasal dari buah kelapa tua. Pembuatan formula air kelapa dilakukan dengan mencampurkan setiap 1 L air kelapa dengan 2 g terasi dan ditambah 0.5 g gula pasir, diaduk sampai larut. Selanjutnya dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu disterilkan. Setelah itu suspensi Pseudomonas berfluorensi dimasukkan ke dalam 1 L medium cair. Sebelumnya suspensi Pseudomonas berfluoresensi disiapkan dengancara menambahkan 5 mL akuades steril kedalam satu tabung berisi koloni Pseudomonas berfluoresensi berumur 3 hari (72 jam). Selanjutnya, medium di dalam erlenmeyer dikocok menggunakan shaker selama 24 jam.

Aplikasi Pseudomonas dilakukan dengan cara menyuntikkan 40 mL suspensi ke bagian rizosfer akar cabai dengan konsentrasi 108–109 cfu mL-1. Aplikasi dilakukan dua kali, yaitu pada umur tanaman 2 dan 5 minggu setelah tanam.

Pengujian dilakukan menggunakan cabai keriting varietas Taro di lahan pertanian cabai di Desa Toure, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa. Persiapan lahan mengikuti praktik budi daya yang umum dilakukan oleh petani setempat. Pengujian di lapangan disusun dengan rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan, masing-masing diulang 4 kali. Perlakuan terdiri atas perlakuan kontrol (tanpa agens hayati), T. koningii, Pseudomonas berfluoresensi, dan kombinasi T. koningii dan Pseudomomas berfluoresensi terpilih. Pengamatan dilakukan terhadap gejala penyakit cabai, insidensi penyakit, dan

134

Page 33: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Paath dan Ratulangi

bobot buah cabai. Insidensi penyakit dihitung menggunakan rumus

IP = (n/N) ×100%, denganIP, insidensi penyakit (%); n, jumlah tanaman sakit; N,jumlah total tanaman yang diamati.

Gejala infeksi virus merupakan gejala yang paling banyak ditemukan pada tanaman cabai di lahan pengujian. Hampir semua tanaman mengalami malformasi daun terutama daun keriting, dan perubahan warna daun menjadi belang atau menguning. Perlakuan T. koningii atau Pseudomonas berfluoresensi tidak dapat menekan insidensi penyakit mosaik virus (Tabel 1). Demikian pula dengan insidensi penyakit antraknosa, tidak ada perbedaan antarperlakuan. Buah cabai yang terserang menunjukkan gejala bercak cokelat kehitaman, kemudian bercak meluas menjadi busuk lunak atau busuk kering.

Insidensi penyakit layu bakteri dapat ditekan dengan perlakuan agens hayati. Insidensi penyakit layu bakteri pada perlakuan kontrol mencapai 21.9%, sedangkan pada perlakuan agens hayati berkisar 5.6% sampai 8.1%. Gejala penyakit layu bakteri dimulai dengan kelayuan daun dari bawah kanopi tanaman ke atas secara berangsur-angsur, setelah beberapa hari terjadi layu secara keseluruhan dan akhirnya tanaman kering dan mati. Warna kecokelatan tampak pada jaringan pembuluh xilem batang ketika dibelah.

Perlakuan agens hayati mampu me-ningkatkan produksi buah cabai. Bobot buah cabai lebih tinggi daripada tanaman dengan perlakuan kombinasi T. koningii dan

Pseudomonas berfluoresensi dan dengan perlakuan agens hayati tunggal (Tabel 1).

Penggunaan agens hayati untuk menunjang program pengendalian patogen yang ramah lingkungan telah banyak dilaporkan. Pinem dan Sipayung (2005) membuktikan bahwa aplikasi T. koningii dalam medium dedak mampu menurunkan intensitas serangan Fusarium oxysporum f. sp passiflorae pada tanaman markisa. Baharuddin et al. (2005) melaporkan bahwa Pseudomonas berfluoresensi dapat menekan serangan bakteri layu pada tanaman cabai. P. fluorescens P60 dalam formula cair organik yang terdiri atas campuran molase dengan ekstrak khamir merupakan formula terbaik untuk menurunkan insidensi penyakit layu bakteri tomat (Soesanto et al. 2010). Penelitian Priwiratama et al. (2012) menunjukkan bahwa isolat P. fluorescens PG01 dan ES32 mampu menekan penyakit daun keriting kuning cabai pada awal masa pertumbuhan tanaman.

Mikrob sebagai agens hayati dapat bekerja sebagai agens antagonis dan/atau pemacu pertumbuhan tanaman. Pseudomonasberfluoresensi memproduksi pigmen pioverdin yang mengandung siderofor. Siderofor berperanan penting dalam pengendalian hayati patogen tanah karena dapat mengikat Fe3+ sehingga tidak tersedia bagi patogen (Soesanto et al. 2011). Mekanisme T. koningii sebagai agens hayati berkaitan dengan kemampuannya menghasilkan 6-pentyl alpha pyrone yang merupakan senyawa penghambat perkecambahan spora (Worasatit et al. 1994), dan senyawa trichokonins yang memiliki

Perlakuan Insidensi penyakit* (%) Bobot buah*

(kg)Antraknosa Layu Bakteri Mosaik KuningTanpa agens hayati (Kontrol) 9.1 a 21.9 a 100 a 5.9 aTrichoderma koningii 9.0 a 5.6 b 100 a 8.0 bPseudomomas berfluoresensi 8.4 a 8.1 b 100 a 8.1 bKombinasi Trichoderma koningii dan Pseudomomas berfluoresensi

6.3 a 6.3 b 97 a 10.2 c

Tabel 1 Insidensi penyakit dan bobot buah cabai di Desa Toure, Kecamatan Tompaso, Kabupaten Minahasa setelah perlakuan Trichoderma koningii dan Pseudomonas berfluoresensi

*Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata BNT 5%

135

Page 34: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Paath dan Ratulangi

aktivitas antimikrob (Song et al. 2006).Trichoderma dan Pseudomonas berfluoresensi disamping berfungsi sebagai agens antagonis bagi patogen, juga dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan dan pengurai bahan organik bagi pertumbuhan tanaman. Aplikasi T. koningii dilaporkan dapat meningkatkan pengambilan nutrisi dari tanah sehingga bermanfaat bagi kesehatan tanaman (Oyarbide et al. 2001). Baharuddin et al. (2005) berhasil memanfaatkan Pseudomonas kelompok fluorescens untuk menekan intensitas layu bakteri cabai, Biokompos hasil fermentasi T. koningii isolat ENDO_02 dan T. harzianum isolat SAPRO-07 pada tanaman kedelai dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit layu fusarium dan menyebabkan pembungaan tanaman menjadi cepat dan jumlah polong berisi tinggi (Sudantha 2011).

Isolat T. koningii dan Pseudomonas berfluoresensi yang digunakan pada penelitian ini dapat meningkatkan produksi buah cabai dan menekan insidensi penyakit layu bakteri, tetapi tidak dapat menekan penyakit antraknosa dan mosaik. Formulasi dan waktu aplikasi agens hayati perlu dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi agens hayati.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dilaksanakan atas kerja sama antara Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara dan Clemson University, South Carolina, USA. Terima kasih disampaikan kepada IPM-CRSP, USAID yang telah menyediakan dana penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Azis AI, Rosmana A, Dewi VS. 2013. Pengendalian penyakit hawar daun pytophthora pada bibit kakao dengan Trichoderma asperellum. J Fitopatol Indones. 9(1):15–20. DOI: 10.14692/jfi.9.1.15.

Baharuddin, Nursaba, Kuswinanti T. 2005. Pengaruh pemberian Pseudomonas fluorescens dan “effective microorganism

4” dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tanaman cabai. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVI Komda Sul-Sel. 2005 Nov 22; Makasar (ID). PEI dan PFI Komda Sul-Sel. hlm 195–200.

Oyarbide F, Osterrieth ML, Cabello M. 2001. Trichoderma koningii as biomineralizing fungous agent of calcium oxalate crystals in typical Argiu dolls of the Los Padres lake natural reserve (Buenos Aires, Argentina). Microb Res. 156:113–119.

Pinem MI, Sipayung W. 2005. Uji efektifitas jamur (Gliocladium virens dan Trichoderma koningii) pada berbagai tingkat dosis terhadap penyakit busuk pangkal pada tanaman markisah (Passiflorae edulis) di lapangan. J Penel Ilmu Pert. 3(1):11–14.

Priwiratama H, Hidayat SH, Widodo. 2012. Pengaruh empat galur bakteri pemacu pertumbuhan tanaman dan waktu inokulasi virus terhadap keparahan penyakit daun keriting kuning cabai. J Fitopatol Indones. 8(1):1–4. DOI: 10.14692/jfi.8.1.1.

Ratulangi MM, Paath JM. 1999. Pengendalian hayati penyakit layu pada tanaman tomat dengan bakteri antagonis Pseudomonas fluorescens Migula. Eugenia. 5(3):131–137.

Ratulangi MM, Dien MF, Rante, CS. 2010. Penggunaan Trichoderma koningii dan mulsa plastik untuk pengendalian penyakit layu pada tanaman tomat. Eugenia. 16(1):11–14.

Soesanto L, Mugiastuti E, Rahayuniati RF. 2010. Kajian mekanisme antagonis Pseudomonas fluorescens P60 terhadap Fusarium oxysporum f.sp. lycopersici pada tanaman tomat in vivo. J Hama Penyakit Tumbuhan Trop. 10(2):108–115.

Soesanto L, Mugiastuti E, Rahayuniati RF. 2011. Biochemical characteristic of Pseudomonas fluorescens P60. J Biotecnol Biodiver. 2:19–26.

Song XY, Shen QT, Xie ST, Chen XL, Sun CY, Zhang YZ. 2006. Broad spectrum antimicrobial activity and high stability of

136

Page 35: Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang Lada dengan ... · Volume 10, Nomor 4, Agustus 2014 Halaman 103–111 DOI: 10.14692/jfi.10.4.103 Pengendalian Penyakit Busuk Pangkal Batang

J Fitopatol Indones Paath dan Ratulangi

trichokonins from Trichoderma koningii SMF2 against plant pathogens. FEMS Microb Letters. 260:119–125.

Sudantha IM. 2011. Uji aplikasi beberapa jenis biokompos (hasil fermentasi jamur T. koningii isolate ENDO-02 dan T. harzianum isolate SAPRO-07) pada dua varietas kedelai terhadap penyakit layu fusarium dan hasil kedelai. Agroteksos. 21(1): 39–46.

Worasatit N, Sivasithamparam K, Ghisalberti EL, Rowland C. 1994. Variation in pyrone production, lytic enzymes and control of Rhizoctonia root rot of wheat among single-spore isolates of Trichoderma koningii. Mycol Res. 98:1357–1363.

137