Pengendalian Hama Dan Penyakit Terpadu Pada Komoditas Kubis (Brassica Oleracea L.)

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kubis (Brassicae oleracea L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Produksi kubis selain untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri juga merupakan komoditas ekspor yang termasuk kelompok enam besar sayuran komoditi ekspor unggulan Indonesia (Rukmana, 1994 dalam Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013). Di Indonesia, luas panen kubis pada tahun 2008-2009 mencapai lebih dari 66.000 ha/tahun dengan hasil produksi lebih dari 1,33 juta ton/tahun. Namun, dalam usaha peningkatan produksi tanaman seringkali dihadapkan adanya gangguan hama dan penyakit. Kerugian besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik (Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013; Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Untuk keefektifan pengendalian hama dan penyakit utama yang menyerang tanaman kubis di lapang, maka diperlukan pengetahuan dan pemahaman terhadap bioekologi hama tersebut termasuk struktur komunitasnya di dalam ekosistem tanaman kubis di lapang, serta gejala yang ditimbulkan akibat serangan hama dan penyakit tersebut. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHPT) pada tanaman kubis ini untuk mencegah ataupun mengurangi serangan hama dan penyakit tersebut sehingga dapat menekan kerugian yang diakibatkannya. Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) 1

description

PHPT

Transcript of Pengendalian Hama Dan Penyakit Terpadu Pada Komoditas Kubis (Brassica Oleracea L.)

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar Belakang MasalahKubis (Brassicae oleracea L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Produksi kubis selain untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri juga merupakan komoditas ekspor yang termasuk kelompok enam besar sayuran komoditi ekspor unggulan Indonesia (Rukmana, 1994 dalam Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013). Di Indonesia, luas panen kubis pada tahun 2008-2009 mencapai lebih dari 66.000 ha/tahun dengan hasil produksi lebih dari 1,33 juta ton/tahun. Namun, dalam usaha peningkatan produksi tanaman seringkali dihadapkan adanya gangguan hama dan penyakit. Kerugian besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik (Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013; Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Untuk keefektifan pengendalian hama dan penyakit utama yang menyerang tanaman kubis di lapang, maka diperlukan pengetahuan dan pemahaman terhadap bioekologi hama tersebut termasuk struktur komunitasnya di dalam ekosistem tanaman kubis di lapang, serta gejala yang ditimbulkan akibat serangan hama dan penyakit tersebut. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHPT) pada tanaman kubis ini untuk mencegah ataupun mengurangi serangan hama dan penyakit tersebut sehingga dapat menekan kerugian yang diakibatkannya.

1.2. Rumusan MasalahAdapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini, yaitu:1. Apakah hama utama pada tanaman kubis?2. Apakah penyakit utama pada tanaman kubis?3. Bagaimanakah pengendalian hama terpadu pada tanaman kubis?4. Bagaimanakah pengendalian penyakit terpadu pada tanaman kubis?

1.3. TujuanAdapun tujuan penulisan makalah mata kuliah Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu yang berjudul Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) adalah untuk mengetahui hama dan penyakit utama pada tanaman kubis sehingga dapat diterapkan pengendalian hama penyakit terpadu (PHPT) yang memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi sehingga dapat menekan kerugian yang ditimbulkan oleh serangan hama dan penyakit tersebut.

1.4. ManfaatAdapun manfaat dalam penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu yang berjudul Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) serta untuk mengetahui hama dan penyakit utama pada tanaman kubis sehingga dapat diterapkan pengendalian hama penyakit terpadu (PHPT) yang memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi sehingga dapat menekan kerugian yang ditimbulkan oleh serangan hama dan penyakit tersebut.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA2.1. Pengendalian Hama dan Penyakit TerpaduPengendalian Hama Penyakit Terpadu (PHPT) adalah suatu cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian hama dan penyakit tumbuhan yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan (Agustian, dkk., 2009; Hasibuan, M., 2008). PHPT sangat penting karena berawal dari kegagalan pemberantasan hama secara biasa (konvensional) dapat mengakibatkan munculnya ketahuan hama terhadap insektisida, timbulnya resurgensi (peningkatan populasi hama) dan menyerang kembali setelah disemprot, dan tidak dapat dikendalikan oleh musuh-musuh alami. Di samping itu, dapat terjadi letupan hama kedua (sekunder). Pengembangan PHPT ini didukung oleh kebijaksanaan Pemerintah melalui Undang-undang (UU) No. 12 Tahun 1992 tentang "Sistem Budidaya Tanaman". Hasil-hasil penelitian dan uji coba PHT pada kubis menunjukkan bahwa terjadi penghematan insektisida 80%-86% dan fungisida 100%. (Rukmana, R., 2007).Perlindungan tanaman terutama bertujuan untuk mencegah serangan hama dan penyakit. PHPT memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi, dengan seminimal mungkin bagi manusia dan lingkungan. PHPT meliputi empat prinsip dasar, yaitu:1. Tanaman budidaya yang sehatSasaran pengelolaan agroekosistem adalah produktivitas tanaman budidaya. Pemilihan varietas, tanaman yang memperoleh cukup pemupukan, pengairan, penyiangan gulma dan disertai pengolahan tanah yang baik sebelum masa tanam adalah dasar bagi pencapaian hasil produksi yang tinggi. Budidaya yang sehat dan kuat bagian program PHPT.2. Melestarikan dan Mendayagunakan fungsi musuh alamiKekuatan unsur-unsur alami sebenarnya mampu mengendalikan lebih dari 99% hama kebanyakan lahan agar tetap berada pada jumlah yang tidak merugikan. Tanpa disadari, sebenarnya semua petani bergantung pada kekuatan alami yang sudah tersedia di lahannya masing-masing. PHPT secara sengaja mendayagunakan dan memperkuat peranan musuh alami yang menjadi jaminan pengendalian, serta memperkecil pemakaian pestisida berarti mendatangkan keuntungan ekonomis kesehatan dan lingkungan tidak tercemar. Pemanfaatan pengandalian alami (secara biologis dan mekanis) seoptimal mungkin, dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat mematikan musuh alami atau organisme yang bukan sasaran.3. Pemantauan Lahan Secara MingguanMasalah hama tidak timbul begitu saja. Masalah ini timbul karena kombinasi faktor-faktor lingkungan yang mendukung pertumbuhan populasi hama. Kondisi lingkungan atau ekosistem sangat penting artinya dalam kaitannya dengan timbulnya masalah ham. Dalam hal ini PHPT menganjurkan pemantauan lahan secara mingguan oleh petani sendiri untuk mengkaji masalah hama yang timbul dari keadaan ekosistem lahan yang cenderung berubah dan terus berkembang. Pengendalian Hama Terpadu membantu petani untuk mempelajari dan mempraktekkan keterampilan teknologi pengendalian hama.4. Petani Menjadi Ahli PHPT di Lahannya SendiriPada dasarnya petani adalah penanggung jawab, pengelola dan penentu keputusan di lahannya sendiri. Petugas dan orang-orang lain merupakan nara sumber, pemberi informasi dan pemandu petani apabila diperlukan. Maka untuk itu petani dilatih untuk ahli PHPT dilahannya sendiri. Dengan keahliannya itu petani secara mandiri dan percaya diri mampu untuk melaksanakan dan menerapkan prinsip teknologi PHPT di lahannya sendiri. Sebagai ahli PHPT petani harus mampu menjadi pengamat, penganalisis ekosistem, pengambil keputusan pengendalian dan sebagai pelaksana teknologi pengendalian sesuai dengan prinsip-prinsip PHPT (Lubis, L., 2004).Menurut Agustian, dkk. (2009) dan Hasibuan, M. (2008), terdapat empat unsur dasar setiap program PHPT adalah pengendalian alamiah, pengambilan (sampling), tingkat ekonomik dan pengetahuan yang lebih mendalam tentang biologi dan ekologi dari semua jenis serangga yang penting dalam sistem itu. Setiap unsur adalah penting dan memberikan bantuan peran yang lebih besar kepada semua komponen yang dapat diterapkan dan disesuaikan dalam setiap pengelolaan serangga hama.1. Pengendalian Alamiah (Natural Control)Pengendalian secara alamiah, yaitu pengendalian dengan menggunakan predator dan parasit atau pengendalian secara hayati (biologis) yang terjadi di alam. Dalam hal ini apabila populasi serangga hama rendah maka serangga tersebut bukan merupakan hama yang mengganggu.

2. Tingkat Ekonomik (Ambang Ekonomi)Tingkat ekonomik atau ambang ekonomi adalah sampai berapa tinggi tingkat populasi serangga hama, sehingga pengendalian perlu dimulai untuk mencegah kerusakan ekonomis lebih lanjut dari tanaman yang dibudidayakan tersebut. Apabila serangga hama telah merugikan bagi petani, serta telah menurunkan kualitas dan hasil produksi tanaman yang dibudidayakan oleh petani tersebut maka hal tersebut yang disebut telah mencapai ambang ekonomi. Maka tindakan menggunakan pestisida baru akan diambil oleh petani untuk memusnahkan hama dan penyakit tersebut.3. Biologi dan Ekologi SeranggaPengetahuan tentang biologi dan ekologi serangga hama dan serangga-serangga yang berguna adalah sangat penting dalam menyusun strategi pengendalian terutama dalam pengendalian hama dan penyakit. Informasi baru tentang hama dapat memeberikan kunci atau bahkan cara yang lebih baik dalam memecahkan masalah hama tersebut. Hal tersebut dilakukan juga untuk menghindari agar hama tidak resisten terhadap pestisida.Menurut Agustian, dkk. (2009) dan Hasibuan, M. (2008), cara pengendalian hama penyakit terpadu secara umum, yaitu:1. Pada tahap pencegahan, dapat menggunakan varietas tahan, yaitu usaha mengendalikan hama dan penyakit dengan cara menanam tanaman dengan varietas unggul yang memiliki ketahanan genetik tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Sampai pada akhir abad kesembilanbelas, sebagian besar tanaman-tanaman yang tahan penyakit didapatkan melalui proses seleksi. Dimana prosesnya hanyalah merupakan kelanjutan daripada seleksi alam. Sebagai contoh, pada saat terjadinya suatu epidemik penyakit maka secara alamiah hanya tanaman-tanaman yang paling kuat dan tahan sajalah yang berhasil hidup, dan kemudian biji-biji dari tanaman-tanaman tersebut yang akan dijadikan sebagai benih untuk musim tanam berikutnya. Proses seleksi seperti ini pada prinsipnya sampai kini masih dilakukan, yaitu untuk mendapatkan tanaman-tanaman yang tahan penyakit yang nantinya untuk dipakai sebagai bahan tetua di dalam program pemuliaan tanaman. 2. Pengendalian kultur teknik atau budidaya, yaitu penggunaan tindakan-tindakan kultur teknik yang ada hubungannya dengan produksi tanaman dan yang menyebabkan lingkungan itu kurang sesuai dengan kehidupan, pertumbuhan, perkembangan atau reproduksi dari jenis serangga hama itu. Cara ini dilakukan dengan melakukan kegiatan seperti mengubah cara menanam; pemeliharaan (misalnya kegiatan irigasi dengan penggenangan air yang dapat mencegah keluarnya serangga dewasa dari pupa yang terdapat di dalam tanah.); tanggal panen, yaitu pengunduran saat tanam berarti mengganti periode tanam dari tanaman tersebut, sehingga dapat mengubah daur hidup dari serangga; pembuangan sisa-sisa tanaman, sehingga dapat menghilangkan makanan dari serangga hama tersebut; mengolah tanah (misalnya kegiatan membajak tanah menghasilkan kematian yang tinggi pada pupa yang tinggal dalam tanah sehingga mengurangi banyaknya yang dewasa keluar dalam musim berikutnya); dan pola pergiliran tanaman.3. Pengendalian fisik dan mekanik, yaitu seperti penggunaan suhu tinggi dan rendah, mengurangi kelembaban, menggunakan alat perangkap cahaya dengan suara, membuat penghalang dan batas penolak, memungut dengan tangan, dan lain-lain.4. Pengendalian hayati (biologi), yaitu pengendalian yang menggunakan musuh-musuh alami yang dapat menekan hama. Pengendalian hayati mempunyai kelebihan tertentu dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain, yaitu aman bagi manusia dan hewan, serta ekonomis. 5. Pengendalian secara kimiawi, yaitu pengendalian hama terpadu yang mengguna pestisida. Penggunaan pestisida juga harus bijaksana dan sesuai dengan tata cara aturan yang berlaku, supaya tidak menimbulkan kerugian, yaitu dengan melakukan 6 tepat, yaitu tepat sasaran, tepat mutu, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis/konsentrasi, dan tepat cara penggunaan (Moekasan, T. dan Prabaningrum, L., tanpa tahun).

2.2. Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman KubisBerikut adalah klasifikasi tanaman kubis menurut Backer (1963)Kingdom: PlantaeDivisi : MagnoliophytaKelas : MagnoliopsidaSub Kelas : DilleniidaeBangsa : CapparalesSuku : BrassicaceaeMarga : BrassicaSpesies : Brassica oleracea Kubis memiliki tangkai daun agak panjang dan helai daun berlekuk-lekuk panjang. Massa bunga kubis bunga tersusun secara kompak membentuk bulatan berwarna hijau tua, atau hijau kebiru-biruan, dengan diameter antara 15-20 cm atau lebih. Pada kondisi lingkungan yang sesuai, massa bunga kubis bunga dapat tumbuh memanjang menjadi tangkai bunga yang penuh dengan kuntum bunga, tiap bunga terdiri atas 4 helai kelopak bunga (calyx), empat helai daun mahkota bunga (corolla), enam benang sari yang komposisinya empat memanjang dan dua pendek. Bakal buah terdiri atas dua ruang, dan setiap ruang berisi bakal biji. Biji kubis memiliki bentuk dan warna yang hampir sama, yaitu bulat kecil berwarna coklat sampai kehitaman. Biji tersebut dihasilkan oleh penyerbukan sendiri ataupun silang dengan bantuan sendiri ataupun serangga. Buah yang terbentuk seperti polong polongan, tetapi ukurannya kecil, ramping dan panjangnya sekitar 3-5 mm. Bunga kubis bunga berwarna putih. Sistem perakaran relatif dangkal, dapat menembus kedalaman 60-70 cm. Akar yang baru tumbuh berukuran 0,5 mm, tetapi setelah berumur 1-2 bulan system perakaran menyebar ke samping pada kedalaman antara 20-30 cm (Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang, 2012).Kubis merupakan tanaman sayuran yang berasal dari daerah sub tropis. Temperatur untuk pertumbuhannya, yaitu minimum 15.5-18oC dan maksimum 24oC, dengan kelembaban optimum antara 80-90%. Tanaman kubis dapat dibudidayakan di dataran rendah (0-200 m dpl) dan menengah (200-700 m dpl). Di dataran rendah, temperatur malam yang terlalu rendah menyebabkan terjadinya sedikit penundaan dalam pembentukan bunga dan umur panen yang lebih panjang. Tanah lempung berpasir baik untuk budidaya kubis, tetapi tanaman ini toleran pada tanah berpasir atau liat berpasir. Kemasaman tanah yang baik antara 5,5-6,5 dengan pengairan dan drainase yang memadai. Tanah yang sesuai untuk komoditas ini harus subur, gembur dan mengandung banyak bahan organik (Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang, 2012).

BAB IIIMETODEMetode yang digunakan dalam penyusunan makalah yang berjudul Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.) adalah berupa pengumpulan data berdasarkan diskusi kelompok dan studi pustaka melalui buku, jurnal, dan internet.

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN4.1. Hama Utama pada Tanaman KubisHama yang menyerang tanaman kubis diantaranya yaitu Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae), Crocidolomia pavonana Fab. (Lepidoptera: Pyralidae), Spodoptera litura Fab. (Lepidoptera: Noctuidae), Helicoverpa armigera Hubner (Lepidoptera: Noctuidae), Chrysodeixis orichalcea L. (Lepidoptera: Noctuidae), Liriomyza (Diptera: Agromyzidae) dan Myzus persicae Sulz. (Homoptera: Aphidoidae) (Permadi dan Sastrosiswojo, 1993 dalam Kumarawati, dkk., 2013).Kompleksitas hama yang menyerang tanaman sangat berpengaruh terhadap tingkat serangan yang dialami oleh tanaman. Walaupun demikian, tidak semua jenis hama yang berasosiasi dengan tanaman kubis merupakan hama penting yang menimbulkan kerusakan berat pada tanaman inangnya. Sembel (2010) dalam Kumarawati, dkk. (2013) melaporkan bahwa ada 2 jenis hama penting yang menyerang tanaman kubis di lapangan, yaitu P. xylostella dan C. pavonana. Kelimpahan populasi P. xylostella tertinggi terjadi pada umur tanaman 7 minggu setelah tanam dan kelimpahan populasi C. pavonana tertinggi terjadi pada umur tanaman 10 minggu setelah tanam (Astutik, 2005 dalam Kumarawati, dkk., 2013). Menurut Hasnah dan Nasril (2009) dalam Kumarawati, dkk. (2013), tingkat kerusakan yang disebabkan oleh hama P. xylostella dan C.pavonana berkaitan erat dengan jumlah populasi larva P. xylostella dan C. pavonana, semakin tinggi jumlah larva maka tingkat kerusakan tanaman akan semakin tinggi begitu juga sebaliknya.Kehilangan hasil kubis akibat serangan hama cukup tinggi yakni dapat mencapai 100% oleh Pluttela xylostella (Rukmana, 1994 dalam Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013). Jenis hama ini menempati kedudukan sebagai hama utama (Williams dkk, 1996 dalam Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto, 2013). Hama penting kubis lainnya yaitu ulat krop kubis Crocidolomia binotalis Zell, ulat ini mampu menyebabkan penurunan produksi kubis sebesar 79,81%. Berikut adalah penjelasan mengenai hama utama pada tanaman kubis:1. Ulat daun kubis, Pluttela xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae)a. Morfologi dan biologiSerangga dewasa berupa ngengat kecil, kira-kira 6 mm panjangnya, berwarna coklat kelabu, dan aktif pada malam hari. Pada sayap depan terdapat tiga buah lekukan (undulasi) yang berwarna putih menyerupai berlian (bahasa Inggris: diamond). Oleh sebab itu, serangga ini dalam bahasa Inggris disebut diamondback moth. Ngengat P. xylostella tidak kuat terbang jauh dan mudah terbawa oleh angin. Menurut Harcourt (1954) dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., (2005), pada saat tidak ada angin, ngengat jarang terbang lebih tinggi dari 1,5 m di atas permukaan tanah. Jarak terbang horizontal adalah 3-4 m. Longevitas (masa hidup) ngengat betina rata-rata 20,3 hari. Ngengat betina kawin hanya satu kali (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Perkembangan hidupnya memiliki tipe perkembangan holometabola (metamorfosis sempurna) dengan empat fase hidup, yaitu telur, larva, kepompong dan imago (Wahyuni, S., 2006).1) Telur berbentuk telur oval, ukurannya 0,6 mm x 0,3 mm, warnanya kuning, berkilau dan lembek. Ngengat betina meletakkan telur secara tunggal atau dalam kelompok kecil (tiga atau empat butir), atau dalam gugusan (10-20 butir) di sekitar tulang daun pada permukaan daun kubis sebelah bawah. Ngengat betina bertelur selama 19 hari dan jumlah telur rata-rata sebanyak 244 butir. Lama stadium telur tiga hari (Vos, 1953 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).2) Larva berbentuk silindris, berwarna hijau muda, relatif tidak berbulu,, dan mempunyai lima pasang proleg. Larva P. xylostella terdiri atas empat instar (Vos 1953; Harcourt 1957 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Panjang larva dewasa (instar ke-3 dan 4) kira-kira 1 cm. Larva lincah dan jika tersentuh akan menjatuhkan diri serta menggantungkan diri dengan benang halus. Larva jantan dapat dibedakan dari larva betina karena memiliki sepasang calon testis yang berwarna kuning (Sastrosiswojo, 1987 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Rata-rata lamanya stadium larva instar kesatu 3,7 hari, larva instar kedua 2,1 hari, larva instar ketiga 2,7 hari, dan larva instar keempat 3,7 hari (Vos, 1953 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).3) Pada masa prapupa dan pupa, antara larva instar ke-4 dengan prapupa tidak terjadi pergantian kulit. Panjang pupa rata-rata 6,3-7,0 mm dan lebarnya 1,5 mm. Pupa P. xylostella dibungkus kokon (jala sutera) dan diletakkan pada permukaan bagian bawah daun kubis. Lamanya stadium pupa rata-rata 6,3 hari (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).4) Lamanya daur hidup P. xylostella di Segunung (Pacet) pada suhu 16-25oC rata-rata 21,5 hari. Daur hidup P. xylostella di KP Margahayu (Lembang) pada suhu 15,5-20,6oC rata-rata 22,0 hari (Gambar 4.1) (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).

Gambar 4.1. P. xylostellaSumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005b. Daerah sebar dan ekologiMenurut Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005), hama ini bersifat kosmopolitan dan di Indonesia umumnya dapat ditemukan di pertanaman kubis di dataran tinggi, pegunungan, atau perbukitan. Namun, karena akhir-akhir ini kubis juga ditanam di dataran rendah, P. xylostella juga dapat ditemukan pada pertanaman kubis di dataran rendah. Faktor iklim (curah hujan) dapat mempengaruhi populasi larva P. xylostella. Kematian larva akibat curah hujan lebih banyak terjadi pada larva muda, yakni larva instar ke-1 dan larva instar ke-2 daripada larva instar ke-3 dan larva instar ke-4. Oleh karena itu, umumnya populasi larva P. xylostella tinggi di musim kemarau (bulan April sampai dengan Oktober) atau apabila keadaan cuaca kering selama beberapa minggu. Populasi larva yang tinggi terjadi setelah kubis berumur enam sampai delapan minggu. Hama P. xylostella juga dapat menyerang tanaman kubis yang sedang membentuk krop sampai panen. Keadaan ini dapat terjadi jika:a) Populasi musuh alaminya, yaitu parasitoid D. semiclausum rendah;b) Tidak ada hama pesaing yang penting, yaitu ulat krop kubis (C. binotalis);c) Hama P. xylostella telah resisten terhadap insektisida yang digunakan; dand) Populasi larva P. xylostella sangat tinggi.Keadaan demikian menyebabkan hama P. xylostella dapat merusak krop kubis sehingga menggagalkan panen, karena kerusakan yang ditimbulkan bersama-sama hama C. binotalis. dapat mencapai 100%.c. Tanaman inang dan gejala kerusakanMenurut Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005), P. xylostella merupakan hama utama tanaman kubis putih dan jenis kubis lainnya seperti kubis merah, petsai, kubis bunga, kaelan, selada air, sawi jabung, radis, turnip, dan lain-lain. Selain itu, gulma kubis-kubisan yang juga dapat menjadi inang P. xylostella adalah Capsella bursapastoris (rumput dompet gembala), Cardamine hirsuta (rumput selada pahit berbulu), Brassica pachypoda, Nasturtium officinale, dan Lepidium sp. Biasanya hama P. xylostella merusak tanaman kubis muda. Meskipun demikian hama P. xylostella seringkali juga merusak tanaman kubis yang sedang membentuk krop jika tidak terdapat hama pesaingnya, yaitu C. binotalis. Larva P. xylostella instar ketiga dan keempat makan permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan lapisan epidermis bagian atas. Setelah jaringan daun membesar, lapisan epidermis pecah, sehingga terjadi lubang-lubang pada daun. Jika tingkat populasi larva tinggi, akan terjadi kerusakan berat pada tanaman kubis, sehingga yang tinggal hanya tulang-tulang daun kubis (Gambar 4.2).

Gambar 4.2. Gejala serangan hama P. xylostella pada tanaman kubisSumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005

2. Ulat krop kubis, Crocidolomia binotalis Zell. (Lepidoptera: Pyralidae)a. Morfologi dan biologi (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005)1) Serangga dewasa C. binotalis memiliki dada berwarna hitam, sedangkan perutnya berwarna coklat kemerahan, panjang tubuhnya kira-kira 1,1 cm. Ngengat aktif pada malam hari. Sayap depan ngengat jantan mempunyai rumbai dari rambut halus yang berwarna gelap pada bagian tepi-depan (anterior). Panjang tubuh rata-rata untuk serangga jantan 10,4 mm dan serangga betina 9,6 mm.2) Telur diletakkan dalam kelompok menyerupai genting-genting rumah dan berwarna hijau muda. Kelompok telur dapat ditemukan pada permukaan bawah daun, di tepi daun, atau di dekat tulang daun. Jumlah telur rata-rata 48 butir dan ukurannya 2,6 mm dan 4,3 mm. Masa telur tiga sampai enam hari dan rata-rata empat hari.3) Larva berwarna hijau muda kecoklatan dan terdiri atas lima instar. Pada bagian sisi dan bagian atas tubuh larva terdapat garis-garis putih sepanjang tubuhnya. Larva muda bergerombol pada permukaan bawah daun kubis. Larva tua (instar ke-4 dan ke-5) panjangnya kira-kira 2 cm, bersifat malas, dan selalu menghindari cahaya matahari. Masa larva 11-17 hari dengan rata-rata 14 hari pada suhu udara 26-33,2oC.4) Pembentukan pupa terjadi pada permukaan tanah. Pupa berwarna kuning kecoklatan dan berukuran lebar 3 mm serta panjang 10 mm. Masa pupa 9-13 hari dan rata-rata 10 hari pada suhu udara 26-33oC.5) Dalam kondisi laboratorium, (suhu 16-22,5oC dan kelembaban 60-80%), lamanya daur hidup C. binotalis adalah 30-41 hari (Gambar 4.3).

Gambar 4.3. C. binotalisSumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005b. Daerah sebar dan ekologiC. binotalis umum dijumpai pada pertanaman kubis, baik yang diusahakan maupun pada tanaman kubis liar. Di pulau Jawa, C. binotalis dijumpai menyerang kubis, baik di perbukitan maupun di dataran rendah. C. binotalis merupakan hama utama kedua setelah P. xylostella pada tanaman kubis. Dua jenis hama tersebut seringkali didapatkan saling bergantian menempati kedudukan sebagai hama utama pada tanaman kubis. Daerah sebar C. binotalis dilaporkan di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Australia, Afrika Selatan, Tanzania, dan kepulauan Pasifik. Menurut hasil penelitian Oever (1973), Sudarwohadi (1975), dan Thayib (1983) dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R.(2005) di KP Segunung, puncak populasi telur terjadi pada bulan Februari, Mei dan Juli-Agustus. Puncak populasi larva terjadi pada bulan Maret, Juni dan Agustus. Hal ini menunjukkan adanya korelasi negatif antara populasi larva C. binotalis dengan tinggi/rendahnya curah hujan. Pada tanaman kubis, populasi larva meningkat mulai dua minggu setelah tanam dan mencapai puncaknya pada umur enam sampai delapan minggu setelah tanam lalu menurun sampai saat panen kubis.c. Tanaman inang dan gejala kerusakanTanaman inang C. binotalis adalah pelbagai jenis kubis seperti kubis putih, kubis bunga, petsai, brokoli, dan lain-lainnya. Selain itu tanaman turnip, radis, sawi jabung, dan selada air juga merupakan inang C. binotalis. Larva muda bergerombol pada permukaan bawah daun kubis dan meninggalkan bercak putih pada daun yang dimakan. Larva inster ke-3 sampai ke-5 memencar dan menyerang pucuk tanaman kubis, sehingga menghancurkan titik tumbuh. Akibatnya, tanaman mati atau batang kubis membentuk cabang dan beberapa krop berukuran kecil. Serangan hama C. binotalis pada tanaman kubis yang sudah membentuk krop akan menghancurkan krop atau menurunkan kualitas krop, sehingga kubis tidak laku dijual (Gambar 4.4) (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).

Gambar 4.4. Gejala serangan C. binotalis pada tanaman kubisSumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 20054.2. Penyakit Utama pada Tanaman KubisBerikut adalah penyakit utama yang terdapat pada tanaman kubis:1. Akar Pekuk atau Akar Gada (Plasmodiophora brassicae Wor.)Penyakit akar pekuk (akar gada, akar bengkak atau dalam bahasa Inggris: clubroot) untuk pertama kali diketahui di Indonesia pada tahun 1975. Pada tahun 1975 dan 1976, daerah pencar penyakit ini masih terbatas di sekitar Lembang, Bandung. Namun pada tahun 1979, penyakit ini sudah terdapat di seluruh Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1993 dan 1994 dilaporkan bahwa daerah pencar penyakit akar pekuk sudah meluas di pusat produksi tanaman kubis di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Penyakit ini terdapat pula di banyak negara seperti di Rusia, Malaysia, Filipina, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Penyakit akar pekuk dapat menyerang bermacam tumbuhan dari familia Cruciferae, baik tanaman pertanian maupun tanaman liar. Kerugian yang ditimbulkannya dapat sangat besar, karena pertanaman sama sekali tidak memberikan hasil yang dapat dijual. Di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan, kerusakan pada tanaman dari familia Cruciferae yang diakibatkan oleh penyakit akar pekuk berkisar antara 50-100%. Di Indonesia, kerugiannya ditaksir mencapai Rp. 2,8 milyar setiap musim (Djatnika, 1993 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).a. Penyebab penyakitPenyakit ini disebabkan oleh jamur Plasmodiophora brassicae Wor. yang termasuk klas jamur lendir. Jamur membentuk spora tahan yang berbentuk bulat, hialin, dan garis tengahnya dapat mencapai 4 m. Spora tahan ini dapat berkecambah dalam medium yang sesuai, membengkak sampai mencapai ukuran beberapa kali dari ukuran semula, dan biasanya menjadi satu spora kembara (zoospora). Spora kembara ini telanjang (tidak berdinding sel), merupakan protoplas berinti satu, biasanya sangat aktif dan bergerak seperti amuba. Spora kembara mempunyai dua bulu cambuk (flagellum), yang satu panjang dan satunya lagi pendek. Sampai sekarang belum diketahui pasti dengan cara bagaimana infeksi terjadi (Semangun, 1989 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005). Di dalam akar tanaman, badan jamur yang disebut plasmodium selalu berada di dalam sel tumbuhan inang. Plasmodium mempunyai beberapa inti sampai banyak inti, tidak pernah mempunyai dinding sendiri, dan tidak pernah membentuk di sekitar inti, dan terbentuklah spora tahan yang bebas satu sama lain. Mereka ini ditahan oleh dinding sel sampai dinding sel terurai oleh jasad sekunder di dalam tanah (Walker, 1952 dalam Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).b. Gejala:1) Adanya bintil-bintil atau kelenjar yang tidak teratur yang selanjutnya bersatu menjadi bengkakan memanjang yang mirip batang (gada).2) Rusaknya jaringan akar menyebabkan jaringan pengangkutan terganggu sehingga tanaman menjadi merana, daun-daunnya berwarna hijau kelabu, dan lebih cepat layu dari pada daun yang biasa (Rumahlewang, W., 2008).c. Pengendalian:1) Mencegah masuknya P. brassicae ke daerah daerah yang masih bebas.2) Meningkatkan pH dengan pengapuran.3) Mengobati tanah dengan fungisida (Rumahlewang, W., 2008).Gambar 4.5. Gejala serangan akar pekuk/akar gada pada kubisSumber: Rumahlewang, W., 20082. Bercak Daun Alternaria (Alternaria brassicae Sacc.)Penyakit ini merupakan penyakit yang menjadi masalah khususnya pada petsai, dan menyebar luas hampir di seluruh pertanaman kubis di dunia (Djatnika, 1993 dalam Wahyuni, S., 2006). Penyakit bercak daun alternaria ini disebabkan oleh cendawan Alternaria brassicae atau Alternaria brassicicola. Kedua patogen ini umumnya menyerang pada daun tua, dengan gejala khas berupa bercak-bercak bulat coklat dan lingkaran konsentris yang merupakan kumpulan spora. Penyebaran kedua patogen ini dapat melalui udara atau benih. Miselium A. brassicae bercabang-cabang, bening, halus. Konodiofor dalam bentuk kelompok 2-10 atau lebih dengan konidianya soliter dan kadang-kadang membentuk rantai. Miselium A. brassicicola bercabang-cabang, bening dan kemudian berubah menjadi coklat. Konidifor tunggal atau dalam kelompok 2-12 atau lebih dan bersepta. Konidia relatif lebih pendek dibandingkan dengan konidia A. brassicae (Wahyuni, S., 2006).Gejala yang ditimbulkan, yaitu:a. Pada daun terdapat becak becak kecil berwarna kelabu gelap pada daun, yang meluas dengan cepat sehingga menjadi becak bulat mencapai diameter 1 cm.b. Pada cuaca lembab tampak sebagai bulu bulu halus kebiruan di pusat becak.c. Di dalam becak terdapat cincin-cincin sepusat. Pada tangkai, batang, dan polongan (buah) becak berbentuk garis.d. Penyakit lebih banyak terdapat pada daun daun tua. Jika pada daun terdapat banyak becak, daun akan cepat mati sehingga produksi akan terpengaruh (Rumahlewang, W., 2008).Pengendaliaannya, yaitu dengan perawatan biji dengan air panas bersuhu 50oC selama 30 menit, jarak tanam yang tidak terlalu rapat sehingga sirkulasi udara berjalan dengan baik, pergiliran tanaman dengan tanaman selain kubis-kubisan dan sebagai alternatif terakhir dengan penyemprotan fungisida yang berbahan aktif benomil (Rumahlewang, W., 2008; Wahyuni, S., 2006).Gambar 4.6. Bercak Daun Alternaria pada kubisSumber: Rumahlewang, W., 2008

3. Busuk Basah (Erwinia caratovora)Busuk basah atau busuk lunak (soft rot) adalah penyakit yang merugikan pada tanaman sayuran, termasuk kubis dan kerabatnya, baik di lapangan maupun di dalam penyimpanan serta pengangkutan sebagai penyakit pascapanen. Penyakit ini tersebar umum di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Busuk basah merupakan penyakit yang penting di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).a. Penyebab penyakitMenurut Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005), Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Erwinia carotovora pv. carotovora (Jones) Dye, 1978, yang dahulu lazim disebut sebagai Erwinia carotovora (Jones). Bakteri berbentuk batang yang berukuran 0,7 m x 1,5 m, mempunyai bulu cambuk 2,6 peritrich, tidak membentuk spora atau kapsula, bersifat gram negatif, dan bersifat aerob fakultatif. Bakteri menghasilkan enzim pektinase yang dapat menguraikan pektin (yang berfungsi untuk merekatkan dinding-dinding sel yang berdampingan). Dengan terurainya pektin, sel-sel akan lepas satu sama lain. Bakteri ini juga dapat mempertahankan diri di dalam tanah dan di dalam sisa-sisa tanaman di lapangan. Pada umumnya, infeksi terjadi melalui luka atau lentisel. Infeksi dapat terjadi melalui luka-luka karena gigitan serangga atau karena alat-alat pertanian. Larva dan imago lalat buah (Bactrocera spp.) dapat menularkan bakteri, karena serangga ini membuat luka dan mengandung bakteri di dalam tubuhnya. Di dalam simpanan dan pengangkutan, infeksi terjadi melalui luka karena gesekan dan sentuhan antara bagian tanaman yang sehat dengan yang sakit. Pembusukan karena serangan penyakit ini berlangsung dengan cepat dalam udara yang lembab dan pada suhu yang relatif tinggi. Dalam lingkungan demikian, dalam waktu singkat seluruh bagian tanaman yang terinfeksi membusuk, sehingga mati. Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan penyakit ini pada tanaman di dataran rendah lebih besar daripada di dataran tinggi (Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005).b. Gejala:1) Gejala yang umum adalah busuk basah, berwarna coklat atau kehitam an, pada daun, batang dan umbi.2) Pada bagian terinfeksi mula-mula terjadi becak kebasahan. Becak membesar dan mengendap (melekuk), bentuknya tidak teratur, berwarna coklat tua kehitaman.3) Jika kelembaban tinggi, jaringan yang sakit tampak kebasahan, berwarna krem atau kecoklatan, dan tampak agak berbutir-butir halus.4) Di sekitar bagian yang sakit terjadi pembentukan pigmen coklat tua atau hitam (Rumahlewang, W., 2008).c. Pengendalian dapat dilakukan dengan mengatur jarak tanam, yaitu menanam dengan jarak yang tidak terlalu rapat untuk menghindarkan kelembaban yang tinggi atau pengendalian pascapanen yang dilakukan dengan mencuci tanaman dengan air yang mengandung klorin, mengurangi terjadinya luka dalam penyimpanan dan dan pengangkutan serta menyimpannya dalam ruang yang cukup kering/kelembaban rendah (Wahyuni, S., 2006).Gambar 4.7. Gejala serangan busuk basahSumber: Rumahlewang, W., 2008

Gambar 4.8. Gejala visual serangan penyakit busuk basah (busuk lunak) pada tanaman kubisSumber: Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R., 2005

4. Busuk Hitam (Xanthomonas campestris)Penyakit ini dikenal dengan nama busuk hitam (black rot), busuk coklat atau bakteri hawar daun dan merupakan penyakit penting di Malaysia, Thailand, Filipina, dan Indonesia (Semangun, 2000 dalam Wahyuni, S., 2006). Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. campestris. Bakteri ini berbentuk batang, membentuk rantai, berkapsula, tidak berspora, dan bergerak dengan satu flagelum polar.Patogen dapat bertahan pada biji kubis, dalam tanah atau dalam sisa tanaman sakit (Semangun, 2000 dalam Wahyuni, S., 2006).Gejala penyakit busuk hitam, yaitu:a. Mula-mula di tepi daun terdapat daerah-daerah yang berwarna kuning atau pucat, yang kemudian meluas ke bagian tengah. Di daerah ini tulang tulang daun berwarna coklat tua atau hitam dan bisa masuk ke dalam batang.b. Jaringan helaian daun yang sakit mengering menjadi seperti selaput, dengan tulang-tulang daun berwarna hitam.c. Umumnya penyakit mulai dari daun-daun bawah dan dapat menyebabkan gugurnya daun satu per satu.Pengendalian dapat dilakukan dengan menanam benih yang sehat, mencabut atau memusnahkan tanaman yang terserang, pergiliran tanaman, menjaga kebersihan kebun dari gulma atau sisa-sisa tanaman sakit dan mengatur sistem drainase dengan baik (Rumahlewang, W., 2008; Wahyuni, S., 2006).

4.3. Pengendalian Hama Penyakit Terpadu pada Tanaman KubisBerikut adalah pengendalian hama dan penyakit terpadu pada tanaman kubis menurut Lubis, L. (2004); Kementrian Pertanian Republik Indonesia (2010); Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. (2005); dan Wahyuni, S. (2006):1. Tindak pencegahan dengan cara menanam varietas yang tahan, yaitu dilakukaan sebelum tanam. Tanam varietas yang lebih toleran atau resistan, seperti Warrior. Pemilihan varietas untuk pertanaman merupakan langkah awal dalam pelaksanaan budidaya tanaman sehingga dalam pemilihan ini benar-benar dilaksanakan. 2. Cara budidaya/kultur teknis, yaitu:a. Menggunakan benih sehat, yaitu benih yang bersertifikat.b. Perlakuan benih, dengan menggunakan air panas, untuk menghasilkan benih yang bebas dari penyakit sebelum ditanam. Perlakuan ini efektif karena penyakit penyakit busuk hitam lebih sensitif terhadap air panas dibandingkan dengan benihnya, karena itu mati sedangkan benih tetap produktif.1) Tempatkan dalam kapas longgar atau tas dari cheesecloth2) Panaskan wadah air sedikit di atas 50C. Pastikan suhu yang tepat dengan mengukur suhu dengan mengukur menggunakan termometer alkohol. Ketika suhu tercapai, singkirkan sumber panas.3) Rendam tas bibit dalam air dengan suhu 50 C selama 30 menit. Jaga suhu selama waktu ini dengan terus menambahkan air panas sambil terus membaca termometer. Hal ini penting agar suhu tidak berfluktuasi pada saat benih direndam. Kalau tidak, maka teknik tidak akan bekerja.4) Setelah 30 menit, singkirkan benih dan didinginkan dalam dingin dalam air dingin steril sebelum menebarkannya pada kertas supaya kering. 5) Tanam segera setelah perlakuan tersebut, dan jangan simpan benih yang telah diberikan perlakuan (treatment).

Gambar 4.9. Pendekatan langkah-demi-langkah untuk memperlakukan (treatment) bibit kubis dengan air panasSumber: Kementrian Pertanian Republik Indonesia, 2010c. Sebelum tanam:1) Waktu Tanam:a) Setiap saat, tetapi untuk musim kemarau, serangan hama akan lebih banyak.b) Bibit sudah berumur kira-kira 3 minggu2) Persiapan lahana) 2 hari sebelum tanam, tanah yang sudah diolah mulai di bedeng-bedeng dengan ukuran bedengan 1 m. Bagian yang akan dibuat timbunan ini berguna untuk menutup pupuk kandang yang ditaburkan diatas bedengan.b) Tanah di atas bedengan harus benar-benar gembur. Untuk itu tanah olah harus dicangkul kembali sehingga bongkahan (lungko) menjadi lebih kecil.c) Taburkan pupuk kandang di atas tanah, kemudian tutup dengan lapisan tanah setebal 10 cm.3) Persemaiana) Buatlah petakan dengan ukuran 1 x 3 m, setinggi 30 cm, lalu campurkan pupuk kandang yang benar-benar matang kedalam petakan tersebut, lalu membiarkan 3-4 hari supaya tanah terkena sinar matahari langsung.b) Tanamlah bibit kubis yang sudah siap dari persemaian (setelah berumur 3-4 minggu) dengan jarak tanam 60 x 70 cm, dengan cara memasukkan benih kubis ke dalam lubang yang sudah dibuat, kemudian tutuplah dengan tanah. Berikan pupuk dasar 5 gram TSP/SP 36 dan 5 gram KCL per tanaman dengan cara ditugalkan di sebelah lubang tanam.d. Setelah Tanam:Setelah bibit ditanam di lapang, segera disiram dan diberi naungan, bisa dengan batang pisang, bisa juga dengan daun-daunan yang lain supaya tanaman tidak layu. Selain itu dilkukan penyiraman setiap hari dan diberikan pupuke. Melakukan tumpanggilir tomat-kubisTanaman tomat dapat digunakan sebagai penolak (repellent) terhadap ngengat P. xylostella betina yang akan bertelur pada tanaman kubis, karena kandungan bahan kimia yang ada pada daun-daun tomat. Oleh karena itu tumpanggilir (tumpangsari) tomat (satu baris) dengan kubis (dua baris) dapat mengurangi serangan hama P. xylostella pada tanaman kubis. Agar peranannya sebagai penolak hama nyata, tomat ditanam kira-kira satu bulan sebelum penanaman kubis.f. Tumpangsari rape atau sawi jabung-kubisTanaman rape (caisin) atau sawi jabung (mustard) dapat digunakan sebagai perangkap hama P. xylostella dan C. binotalis, sehingga serangan hama-hama tersebut pada tanaman kubis berkurang. Untuk tujuan tersebut, rape atau sawi jabung ditanam secara tumpangsari dengan kubis. Caranya,yaitu pertanaman kubis dikelilingi dua baris rape atau dua baris sawi jabung. Baris pertama ditanam 14 hari sebelum penanaman kubis, sedangkan baris kedua ditanam setelah kubis berumur 21 hari.3. Secara mekanis, dengan mencabut dan membuang sumber inokulum penyakit atau hama.4. Secara biologis, yaitu menggunakan musuh alami. Diadegma semiclausum (Hellen) merupakan parasitoid Hymenoptera penting bagi larva P. xylostella. Parasitoid tersebut telah mapan di Indonesia dan daerah pencarnya di dataran tinggi cukup luas. Tingkat populasi larva P. xylostella pada tanaman kubis umumnya tinggi mulai umur lima minggu setelah tanam (mst) sampai dengan 9 MST. Oleh karena populasi (tingkat parasitasi) D. semiclausum mengikuti kepadatan inang (larva P. xylostella), maka pengamatan tingkat parasitasi perlu dilakukan ketika kubis berumur 5, 6, 7, 8 dan 9 MST. Selain itu terdapat musuh alami lainnya, yaitu Apanteles plutellae.5. Secara kimia, dengan menggunakan pestsida. Misalnya, untuk pengendalian hama P. xylostella dan Crocidolomia binotalis, dapat menggunakan insektisida selektif dengan bahan aktif Bacillus thuringiensis. Selain itu, untuk penyakit busuk hitam, dapat menggunakan validasmisin A yang telah diregistrasi untuk penyakit busuk hitam pada tanaman kubis di Indonesia. Untuk bercak daun Alternaria dapat menggunakan fungisida yang berbahan aktif benomil. Penggunaan pestisida juga harus bijaksana dan sesuai dengan tata cara aturan yang berlaku, supaya tidak menimbulkan kerugian, yaitu dengan melakukan 6 tepat, yaitu tepat sasaran, tepat mutu, tepat jenis, tepat waktu, tepat dosis/konsentrasi, dan tepat cara penggunaan (Moekasan, T. dan Prabaningrum, L., tanpa tahun).

BAB VKESIMPULANKubis (Brassicae oleracea L.) adalah salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Namun, dalam usaha peningkatan produksi tanaman seringkali dihadapkan adanya gangguan hama dan penyakit. Hama utama pada tanaman kubis adalah Pluttela xylostella dan Crocidolomia binotalis Zell. Sementara penyakit utama pada tanaman kubis adalah akar gada, bercak daun Alternaria, busuk basah, dan busuk hitam. Kerugian besar bahkan kegagalan panen dapat terjadi bila gangguan tersebut tidak diatasi dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHPT) pada tanaman kubis ini yang memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi untuk mencegah ataupun mengurangi serangan hama dan penyakit tersebut sehingga dapat menekan kerugian yang diakibatkannya.

DAFTAR PUSTAKAAgustian, Adang, dan Rachman, B. 2009. Penerapan Teknologi Pengendalian Hama Terpadu pada Komoditas Perkebunan Rakyat. Perspektif Vol. 8 No. 1/Juni 2009. Hlm 30 41.Backer, C.A, Bakhuizen van den Brink. 1963. Flora of Java. Vol. I. Wolter-Noordhoff. NVP. Groningen.Balai Besar Pelatihan Pertanian Lembang. 2012. Teknik Budidaya Kubis Bunga (Brassica oleraceae L.) http://www.bbpp-lembang.info/ (Diakses 4 Oktober 2014).Hasibuan, M. 2008. Kajian Penerapan PHPT pada Petani Padi di Kabupaten Tapanuli Selatan. Universitas Sumatera Utara. Medan.Kementrian Pertanian Republik Indonesia. 2010. Penyakit Busuk Hitam pada Keluarga Kubis. http://www.indopetani.com (Diakses 6 Oktober 2014).Kristanto, S., Sutjipto, dan Soekarto. 2013. Pengendalian Hama pada Tanaman Kubis dengan Sistem Tanam Tumpangsari. Berkala Ilmiah Pertanian. Volume 1, Nomor 1, Agustus 2013, hlm 7-9.Kumarawati, dkk. 2013. Struktur Komunitas dan Serangan Hama-Hama Penting Tanaman Kubis (Brassica oleracea L.). E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika, ISSN: 2301-6515, Vol. 2, No. 4, Oktober 2013.Lubis, L. 2004. Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kubis (Brassica oleracca) dan Kentang (Solanum tuberosum). http://repository.usu.ac.id/ (Diakses 3 Oktober 2014).Moekasan, T. dan Prabaningrum, L. Tanpa tahun. Teknik Aplikasi Pestisida. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung.Rukmana, R. 2007. Seri Budidaya Kubis. Yogyakarta: Kanisius.Rumahlewang, W. 2008. Penyakit-Penyakit Penting Tanaman Kubis. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Universitas Pattimura. Maluku.Sastrosiswojo, S., Uhan, T.S., dan Sutarya, R. 2005. Penerapan Teknologi PHT pada Tanaman Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bandung.Wahyuni, S. 2006. Perkembangan Hama dan Penyakit Kubis dan Tomat pada Tiga Sistem Budidaya Pertanian di Desa Sukagalih Kecamatan Megamendung Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Studi Proteksi Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.Pengendalian Hama dan Penyakit Terpadu pada Komoditas Kubis (Brassica oleracea L.)23