PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

12
129 PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: LAKON “JAYAKATONG MBALELARanang Agung Sugihartono 1* , Tatik Harpawati 2 , dan Jaka Rianto 3 Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Surakarta * E-mail: [email protected] Abstrak Industrialisasi semakin meminggirkan eksistensi dan fungsi situs-situs warisan kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jombang dan sekitarnya. Mayoritas generasi muda setempat lebih tertarik menjadi buruh pabrik dan mengabaikan seni tradisi. Penyadaran atas potensi kearifan lokal, perlu dilakukan penggalian potensi warisan leluhur, dengan melakukan kreasi wayang beber. Penggunaan jenis penelitian berbasis praktik (practice-based research) ini mencakup tahapan pengumpulan informasi, seleksi, penyusunan, analisis, evaluasi, presentasi, dan komunikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tahapan perancangan wayang beber mampu menghasilkan wayang beber Babad Majapahit lakon Jayakatong Mbalela yang khas dan berbeda dari wayang beber daerah lain, yaitu: visualisasi bentuk tokoh wayang beber menyerupai tokoh pada relief candi peninggalan Majapahit, pewarnaan wayang beber yang kemerahan identik dengan warna batu-bata candi peninggalan Majapahit, ragam hias (ornamen) juga khas seperti relief candi peninggalan Majapahit. Kata Kunci: Pengembangan, wayang beber, dan babad Majapahit. DEVELOPMENT OF ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: STORY “JAYAKATONG MBALELA” Abstract Industrialization is marginalizing the existence and function of Majapahit royal heritage sites in Mojokerto, Jombang and its surroundings. The majority of the local youths are more interested in becoming factory workers and ignoring their traditional arts. Yet, awareness of the potential of local wisdom is necessary to explore the potential of ancestral heritage, by carrying out wayang beber creation. This Practice-Based Research includes the stages of gathering information, selecting, compiling/ arranging, analyzing, evaluating, presenting, and communicating. The results of this study indicate that the stages of wayang beber design are able to produce wayang beber Babad Majapahit story of “Jayakatong Mbalela” that are unique and different from wayang in other regions, namely: its forms’ visualization resembling those on Majapahit heritage reliefs, the reddish coloring of wayang beber is identical to the colors of the bricks at Majapahit heritage temples, and the various ornamentation is also typical to the temple relief from the Majapahit inheritance. Keywords: Developing, puppet/wayang beber, and babad Majapahit. PENDAHULUAN Gerak industrialisasi di Jombang, Mojokerto dan sekitarnya semakin ganas, banyak pabrik dibangun tiap tahunnya. Situs-situs warisan kerajaan Majapahit mulai terusik eksistensinya. Generasi muda mulai meninggalkan kehidupan

Transcript of PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

Page 1: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

129

PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: LAKON “JAYAKATONG MBALELA”

Ranang Agung Sugihartono1*, Tatik Harpawati2, dan Jaka Rianto3 Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Surakarta

*E-mail: [email protected]

Abstrak

Industrialisasi semakin meminggirkan eksistensi dan fungsi situs-situs warisan kerajaan Majapahit di Mojokerto, Jombang dan sekitarnya. Mayoritas generasi muda setempat lebih tertarik menjadi buruh pabrik dan mengabaikan seni tradisi. Penyadaran atas potensi kearifan lokal, perlu dilakukan penggalian potensi warisan leluhur, dengan melakukan kreasi wayang beber. Penggunaan jenis penelitian berbasis praktik (practice-based research) ini mencakup tahapan pengumpulan informasi, seleksi, penyusunan, analisis, evaluasi, presentasi, dan komunikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tahapan perancangan wayang beber mampu menghasilkan wayang beber Babad Majapahit lakon Jayakatong Mbalela yang khas dan berbeda dari wayang beber daerah lain, yaitu: visualisasi bentuk tokoh wayang beber menyerupai tokoh pada relief candi peninggalan Majapahit, pewarnaan wayang beber yang kemerahan identik dengan warna batu-bata candi peninggalan Majapahit, ragam hias (ornamen) juga khas seperti relief candi peninggalan Majapahit.

Kata Kunci: Pengembangan, wayang beber, dan babad Majapahit.

DEVELOPMENT OF ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: STORY “JAYAKATONG MBALELA”

Abstract

Industrialization is marginalizing the existence and function of Majapahit royal heritage sites in Mojokerto, Jombang and its surroundings. The majority of the local youths are more interested in becoming factory workers and ignoring their traditional arts. Yet, awareness of the potential of local wisdom is necessary to explore the potential of ancestral heritage, by carrying out wayang beber creation. This Practice-Based Research includes the stages of gathering information, selecting, compiling/ arranging, analyzing, evaluating, presenting, and communicating. The results of this study indicate that the stages of wayang beber design are able to produce wayang beber Babad Majapahit story of “Jayakatong Mbalela” that are unique and different from wayang in other regions, namely: its forms’ visualization resembling those on Majapahit heritage reliefs, the reddish coloring of wayang beber is identical to the colors of the bricks at Majapahit heritage temples, and the various ornamentation is also typical to the temple relief from the Majapahit inheritance.

Keywords: Developing, puppet/wayang beber, and babad Majapahit.

PENDAHULUANGerak industrialisasi di Jombang, Mojokerto

dan sekitarnya semakin ganas, banyak pabrik

dibangun tiap tahunnya. Situs-situs warisan kerajaan Majapahit mulai terusik eksistensinya. Generasi muda mulai meninggalkan kehidupan

Page 2: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

130 , Vol. 17, No. No. 2, Oktober 2019: 129 - 140

agraris, karena lebih memilih menjadi buruh pabrik. Berbagai paham Barat mulai tumbuh dan mempengaruhi generasi muda sehingga dikhawatirkan generasi muda akan mengalami kemerosotan atau krisis budaya. Keterpurukan budaya tersebut akan semakin jauh tanpa adanya penyadaran dari pihak-pihak terkait. Dalam perspektif kultural, kearifan lokal amat penting keberadaannya, terutama ketika dikaitkan dengan persoalan mengenai masalah ‘politik identitas’, baik dalam konteks mikro misalnya terkait dengan ranah etnik, maupun secara makro yang terkait dengan risalah negara-bangsa (nation state). Nilai signifikansi yang demikian tinggi akan konsep identitas di semua model dan strata realitas kebudayaan manapun, lebih disebabkan di dalamnya terkandung bulir-bulir insight spirit tentang ciri-ciri dan nilai-nilai budaya penting yang akan menjadi social capital bagi hadirnya entitas sebuah bangsa yang mesti diperjuangkan dan dibela (Kasiyan, 2009:1). Meskipun ketika menyola perihal identitas kebudayaan di mana pun itu, keberadaannya tak pernah stabil apalagi tetap dan selesai, melainkan sebaliknya, labil, cair, dan terus berubah tak kan pernah selesai, karena sejatinya ia (kebudayaan itu) senantiasa berada dalam format terus-menerus “proses menjadi. Perspektif ini yang oleh filsuf Jerman Heidegger (2010) diatribusi sebagai mode of being atau mode of existence.

Salah stau bagian dari proses penyadaran betapa pentingnya budaya dan kearifan lokal tersebut di antaranya dapat melalui sosialisasi mengenai pentingnya memahami keberagaman dan makna kearifan lokal yang terkandung dalam seni budaya, agar tidak dilupakan oleh generasi muda Jombang. Sebagaimana diketahui, bahwa kawasan Trowulan sebagai kota bekas ibukota Majapahit, yang terletak di Kabupaten Jombang dan Mojokerto kaya akan peninggalan-peninggalan sehingga didirikanlah Museum Trowulan yang berada di bawah pengawasan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Timur. Peninggalan-peninggalan yang dapat ditemui di antaranya adalah Candi Arimbi, Gapura Bajang Ratu, Candi Kedaton, Candi Tikus, Candi Genthong,

Candi Brahu, Candi Minakjinggo, Kolam Segaran, dan lain-lain. Sedangkan di lereng Gunung Penanggungan terdapat situs candi dan patirtan yaitu Jolotundo, Candi Kendalisada, Reco Lanang, Reco Wadon, Candi Kama I dan II. Contoh keindahan objek wisata sejarah Majapahit berupa Candi Wringin Lawang dan Petirtan Jolotundo berikut di bawah ini.

Adapun Kabupaten Jombang dan juga Mojokerto, secara geografis berada di perlintasan jalan yang menghubungkan dua propinsi yaitu propinsi Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Jombang memiliki potensi wisata lebih sedikit daripada Mojokerto, yang mendominasi adalah wisata religi terutama yaitu ziarah di makam Gus Dur. Candi peninggalan masa kerajaan Majapahit yaitu Candi Arimbi kurang diminati wisatawan. Tempat wisata alam juga kurang potensial, sedangkan wisata budaya hanya ada wayang topeng Jatiduwur. Sehingga kondisi wisata religi di Jombang “Kota Santri” tersebut lebih perlu lebih didukung dengan wisata budaya, dengan menggali potensi historis yang ada.

Berbagai peninggalan tersebut di atas banyak yang memuat kearifan lokal yang tercermin pada relief candi. Kearifan lokal ini perlu dipertahankan karena merupakan identitas dan karakter bangsa Indonesia. Salah satu cara mempertahankan yaitu dengan melestarikan dan menghargainya. Bentuk pelestarian dan penghargaan dapat dicapai salah satunya melalui transformasi kebesaran Kerajaan Majapahit dalam bentuk lain, yaitu menjadi karya Kreatif Inovatif ke dalam bentuk wayang beber Babad Majapahit yang khas dan berbeda dari wayang beber dari daerah lain. Untuk itu, rumusan masalah dalam bahasan ini adalah bagaimana menciptakan karakter wayang beber Babad Majapahit dengan bersumber dari relief candi ?

Kreasi karakter wayang beber Babad Majapahit ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Menumbuhkan kecintaan masyarakat Mojokerto khususnya pemuda setempat terhadap wayang beber, terutama dengan mengangkat cerita Babad Majapahit, dimana kerajaan itu dulunya berada di wilayah

Page 3: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

131Pengembangan ‘Wayang ... (Ranang Agung Sugihartono, Tatik Harpawati, dan Jaka Rianto)

Jombang dan Mojokerto; 2) Memunculkan alternatif baru (inovasi baru) cerita wayang beber dengan mengangkat kisah Babad Majapahit, sehingga khasanah cerita wayang beber semakin beragam, tidak hanya cerita Panji saja sebagaimana yang masih dominan saat ini; 3) Melestarikan seni budaya dan nilai historis yang merupakan warisan dari kejayaan Majapahit di tempat dimana kerajaan itu dulunya berada yaitu di Kabupaten Jombang dan Mojokerto; dan 4) Menumbuhkan wisata budaya berbasis historis yang berdampak pada peningkatan ekonomi dan kesejakteraan masyarakat Jombang dan sekitarnya.

METODEJenis penelitian yang digunakan adalah

penelitian berbasis praktik (practice-based research). Menurut Linda Candy, penelitian berbasis praktik merupakan suatu investigasi original yang dilakukan dalam upaya memperoleh pengetahuan baru di mana pengetahuan tersebut sebagian diperoleh melalui sarana praktik dan melalui hasil dari

praktik itu (dalam (Guntur, 2016). Penelitian ini dilaksanakan dengan melakukan kegiatan praktik merancang dan melukis wayang beber Babad Majapahit dengan lakon Jayakatong Mbalela. Sumber data primer berupa relief candi peninggalan Majapahit diantaranya adalah Candi Wringin Lawang, Kedaton, Tigawangi, Surawana, dan Penataran. Buku sebagai referensi aspek kesejarahan Mahapahit adalah Serat Babad Majapahit dan Pararaton. Teknik pengumpulan data menggunakan purposive sampling dengan metode yaitu observasi dan studi pustaka.

Tahapan kreasi atau penciptaan wayang beber menggunakan pendekatan ‘multi-metode. Carole Gray dkk (1995). mengatakan sebagian besar peneliti di seni & desain telah menampilkan eklektisisme karakteristik, mengadopsi pendekatan ‘multi-metode’ untuk pengumpulan informasi, seleksi, penyusunan, analisis, evaluasi, presentasi, dan komunikasi. Karya wayang beber yang dihasilkan dipresentasikan dan dikomunikasikan ke publik dalam pameran nasional.

Gambar 1. Konsep pengembangan wayang beber Babad Majapahit.

HASIL DAN PEMBAHASANHasilPengumpulan Informasi

Beberapa candi di kawasan Jombang, Mojokerto dan sekitarnya memiliki relief yang potensial untuk dijadikan referensi pengembangan rupa wayang beber. Candi-candi tersebut diantaranya adalah Candi Wringin Lawang, Jedong, Bajangratu, Minakjinggo, Arimbi, Tigawangi, Tigawangi,

Surawana, dan Makam Sendangdhuwur. Unsur visual pada relief candi yang dijadikan fokus penggalian informasi adalah rupa tokoh, ragam hias, bangunan, properti, dan komposisi dalam relief. Selain melalui artefak di kompleks candi, penggalian informasi pendukung juga dilakukan observasi di Museum Nasional Jakarta dan studi pustaka beberapa buku referensi yang membahas percandian Jawa Timur.

Page 4: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

132 , Vol. 17, No. No. 2, Oktober 2019: 129 - 140

Pengumpulan informasi terkait tentang karakteristik wayang beber dilakukan dengan mencermati gambar wayang beber Pacitan, Wonosari, dan Mangkunegaran beserta hasil penelitian sebelumnya tentang itu. Informasi tersebut diperlukan agar karakteristik wayang beber tetap terjaga meskipun dilakukan kreasi dengan cerita yang berbeda.

SeleksiData unsur rupa yang diperoleh dari relief

candi peninggalan Kerajaan Majapahit tidak sepenuhnya dipakai sebagai acuan dalam pengembangan karakter wayang beber. Peneliti memilih elemen-elemen visual yang relevan dengan cerita Panji dan karakteristik relief candi peninggalan Majapahit.

Salah satu karakteristik rupa tokoh dalam relief candi Jawa Timuran adalah busana kepala berbentuk tekes. Busana tekes banyak dijumpai pada relief dan patung di candi di Jawa Timur, seperti Candi Selokelir, Candi Surawana, Candi Penataran, Candi Tigawangi, Candi Kendalisada, Candi Miri Gambar, dan Candi Jawi. Menurut Agus Aris Munandar (1992) terdapat dua indikasi dalam suatu panil relief yang menggambarkan cerita Panji, yakni 1) terdapat tokoh pria yang bertopi tekes dan 2) Tokoh selalu disertai pengiring berjumlah 1, 2, atau lebih dari dua (Purwanto & Titasari, 2018). Pada masa Kerajaan Majapahit akhir, cerita Panji baru menemukan tempatnya di hati masyarakat saat itu (Pramutomo, 2019). Hal itu tampak pada Candi Penataran terpahat tokoh Satyawan bertopi tekes, atau pada Candi Surawana tokoh Sidapaksa digambarkan bertopi tekes.

Gambar 2. Tekes, busana kepala di Candi Surawana

(Dokumentasi: Ranang, 2018)

Ragam hias (ornamen) relief candi periode Majapahit memiliki karakteristik yang menarik dan memiliki perbedaan dari daerah lain. Selain itu, beberapa ornamen masih linier dengan seni hias prasejarah, seperti motif tumpal (pucuk rebung) yang biasa ditempatkan sebagai hiasa pinggiran panil. Salah satu candi yang banyak dijumpai tumpak yang relatif dominan keberadaannya tampak pada Candi Jedong (Mojokerto), Candi Kedaton (Probolinggo), dan Candi Penataran (Blitar). Tampak motif asli prasejarah ini cukup mewarnai pada kesenian masa kebudayaan Indonesia–Hindu di masa Kerajaan Majapahit. Sebagaimana dikemukakan (Iswahyudi, (2009) bahwa unsur hias medalion dengan motif berbentuk geometris diduga merupakan kontinuitas dari ornamen masa prasejarah, sebagaimana diketahui pada bentuk pilin berganda, tumpal, meander, dan belah ketupat.

Gambar 3. Ragam hias tumpal di Candi Jedong (kiri) dan Candi Kedaton (kanan)

(Dokumentasi: Ranang, 2018)

Kronik internal kerajaan sebelum zaman Majapahit, khususnya masa kerajaan Singasari, diwarnai dengan perihal keris Mpu Gandring. Panil candi pun menyajikan gambaran bentuk senjata tradisional yang berkembang pada masa itu, yaitu keris. Keris merupakan salah satu jenis senjata tradisional yang banyak dijumpai pada relief candi. Candi dari zaman kerajaan Majapahit seperti Candi Penataran, Candi Sukuh juga menampilkan bentuk keris dan senjata tradisional lainnya, bahkan terdapat panil candra sengkala yang divisualkan dalam bentuk proses pembuatan keris. Keberadaan keris pada relief candi, juga dikemukakan

Page 5: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

133Pengembangan ‘Wayang ... (Ranang Agung Sugihartono, Tatik Harpawati, dan Jaka Rianto)

Kuntadi Wasi Darmojo dalam penelitiannya, bahwa gambar keris juga terlihat pada relief Candi Panataran dan Candi Sukuh yang relatif berumur muda pada zaman Majapahit (Darmojo, 2013).

Gambar 4. Keris dan pedang di panil relief Candi Penataran

(Dokumentasi: Ranang, 2018)

PenyusunanWayang beber lazimnya mengangkat cerita

Panji, seperti yang saat ini dapat dijumpai pada wayang beber klasik di Pacitan dan Wonosari, serta pada banyak karya tugas/studi mahasiswa Jurusan Kriya Seni FSRD ISI Surakarta. Secara historis, menurut (Saputra, (2014) purwarupa teks Panji berbentuk lisan, kemudian muncul sebagai artefak berupa relief yang dipahatkan di beberapa dinding candi di Jawa Timur. Teks yang ‘lebih bergaya’ muncul dalam bentuk seni pertunjukan wayang beber yang tampaknya muncul tak jauh setelah kemunculannya dalam bentuk relief.

Di dalam bahasan ini, sumber inspirasi kreasi wayang beber bukan cerita Panji lagi, namun Babad Majapajahit. Beberapa referensi yang dijadikan pijakan yaitu: 1) Buku Pararaton yang meriwajatkan kejadian-kejadian sejarah yang terjadi di dalam zaman kerajaan Singhasari dan Majapahit yakni selama abad XIII dan XIV (Hardjowardojo, 1965), dan 2) Serat Babad Majapahit, menceritakan Kerajaan Majapahit akhir hingga berdirinya Desa Bintara. Selain itu serat ini memaparkan tentang Raja Brawijaya, Raja Majapahit, beserta istri dan keturunannya (Aziza, 2018).

Dari kajian historis tentang Kerajaan Majapahit ini, penulis merumuskan konsep penceritaan wayang beber Babad Majapahit menjadi 4 gulung dengan cerita (lakon) meliputi 1) Jayakatong Mbalela, 2) Adeging Majapahit, 3) Panji Sesura Digdaya, dan 4) Panji Sesura Gung Binathara. Bahasan ini fokus pada gulung ke-1 dengan lakon Jayakatong Mbalela yang terdiri atas 4 adegan (jagong) sepanjang 4 meter dan lebar 50 cm. Penggunaan istilah ‘Panji’ tersebut mengacu pada definisi berikut:

Istilah “Panji” merupakan nama gelar atau jabatan yang masih berhubungan dengan lingkungan istana yang mengacu kepada tokoh ksatria laki-laki yaitu seorang raja, putra, mahkota, pejabat tinggi kerajaan, kepala daerah, dan pemimpin pasukan. Istilah “panji” atau ‘apanji” atau “mapanji” ini terus digunakan secara umum hingga masa Singhasari dan Majapahit (Wardhani, 2019)

Lakon ini menceritakan mulai munculnya tokoh Panji Sesura (calon Raja Majapahit pertama) dan perannya dalam melawan pemberontakan Jayakatong terhadap Kerajaan Singasari. Penulis menyusun urutan jagong dalam lakon Jayakatong Mbalela ini sebagai berikut: 1) Jayakatong, bupati Gelang-Gelang

mengatur siasat dengan Arya Wiraraja, Patih Kebo Mundarang, dan Ardharaja, akan memberontak Kerajaan Singasari dari 2 arah (utara dan selatan kerajaan).

2) Panji Sesura bersama Ranggalawe, Lembu Sora, dan Nambi serta pasukannya menghadang musuh (pasukan Jayakatong) dari utara.

3) Kertanegara (Raja Singasari) sedang pesta tari-arian dan minum tuak di istana, diserang oleh pasukan Jayakatong dari sisi selatan (Patih Mundarang, Patih Pudot dan Patih Bowong dari Gelang-Gelang).

4) Kertanegara gugur bersama Mpu Raganata, Patih Kebo Anengah, Panji Angragani, dan Wiraketi.Setelah sinopsis berupa urutan jagong

tersebut, kemudian divisualisasikan menjadi sketsa dalam bentuk storyboard dalam empat jagong, yang memuat adegan, tokoh,

Page 6: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

134 , Vol. 17, No. No. 2, Oktober 2019: 129 - 140

properti, dan latar yang disajikan dalam sebuah komposisi. Storyboard yang sudah tampak penokohan di dalamnya, dilanjutkan dengan visualisasi karakter tiap tokoh, baik Panji Sesura, Kertanegara, Lembu Sura, Nambi, maupun Jayakatong. Visualisasi tokoh dibarengi dengan penentuan ragam hias, properti, dan bentuk bangunan yang digunakan sebagai latar atau pengisi bidang.

Gambar 5. Pewarnaan (Sungging) Wayang Beber

(Dokumentasi: Ranang, 2019)

Storyboard diimplementasikan ke dalam sketsa di kain yang sudah dilapisi adonan air teh dan lem perekat. Pewarnaan dimulai dari ragam hias latar, properti, bangunan, dan akhirnya gambar tokoh. Setelah semua diwarnai (sungging), tahap akhir adalah pemberian outline di setiap gambar dan pemberian keterangan gambar dalam bentuk aksara Jawa di bagian bawah masing-masing jagong.

AnalisisDari proses perancangan dan kreasi yang

dilakukan, dihasilkan wayang beber sepanjang 4 meter dan lebar 50 cm. Karya tersebut dapat dideskripsikan kekhasannya yang menjadi pembeda dari wayang beber dari daerah lain. Analisis visual difokuskan pada rupa tokoh, ragam hias, bangunan dan properti, serta komposisi dan warna.a. Rupa Tokoh

Beberapa karakter utama dalam wayang beber Babad Majapahit ini dikreasi dengan inspirasi dari relief candi, terutama tokoh utama yaitu tokoh Panji, bupati, dan raja. Adapun

tokoh lainnya, baik patih maupun punakawan masih menggunakan visualisasi karakter wayang beber pada umumnya. Khusus tokoh raja dikenakan garuda mungkur sebagai hiasan bagian belakang kepala.

Gambar 6. Visualisasi hiasan kepala Bupati Jayakatong (atas) dan Panji Sesura (bawah)

(Sumber: Ranang dan Anwaruzzaman, 2019)

Implementasi busana kepala yang disebut tekes, dikuatkan dalam visualisasi karakter tokoh Panji Sesura. Hal ini dilakukan dengan mengacu bentuk tekes pada relief Candi Kendalisada, Candi Surawana, dan Candi Miri Gambar yang perwujudannya cukup jelas. Tekes digunakan untuk menggambarkan karakter pangeran atau perwira utama dalam kerajaan, sehingga tampak pembedanya dengan karakter patih, pasukan, ataupun punakawan.

Penggunaan busana kepala yang bereferensikan pada relief candi ini dimaksudkan agar wayang beber Babad Majapahit mendekatkan kembali pada sumber-sumber artefak yang banyak dijumpai di candi-candi kebudayaan Indonesia-Hindu periode Jawa Timur. Pada relief candi sudah divisualisasikan busana kepala tokoh Panji berupa tekes, maka visualisasinya di wayang beber perlu diperkuat bentuk tekes-nya.

Page 7: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

135Pengembangan ‘Wayang ... (Ranang Agung Sugihartono, Tatik Harpawati, dan Jaka Rianto)

b. Rupa Ragam HiasRagam hias pada wayang beber Babad

Majapahit ini juga digambarkan dengan mengacu ragam hias yang ada di relief candi dari masa Kerajaan Majapahit. Ragam hias geometris yang diambil dari relief candi berupa ragam hias tumpal, dimana banyak sekali digunakan pada relief masa kebudayaan Indonesia-Hindu, bahkan masih berlangsung sampai sekarang pada seni batik. Ragam hias tumpal digunakan sebagai bingkai atas sepanjang 4 meter pada wayang beber Babad Majapahit.

Gambar 7. Ragam hias tumpal (atas) mengacu relief Candi Jedong, dan daun tales (bawah)

bersumber Makam Sendang Dhuwur(Sumber: Ranang dan Mutiana, 2019)

Selain tumpal, ragam hias tetumbuhan juga banyak digunakan dalam wayang beber Babad Majapahit ini, terutama sebagai pengisi latar setiap jagong. Ragam hias yang dijadikan acuan adalah relief Candi Kendalisada dan Makam Sendang Dhuwur. Relief candi sudah kaya dengan ornamen penghias panil, hal ini semakin kompleks dan rumit ragam hiasnya ketika pengaruh Islam masuk ke Majapahit. Tingginya ornamentiknya ragam hias pada akhir masa akhir Kerajaan Majapahit tampak pada Makam Sendang Dhuwur. Maka dari itu, penulis kreasi ragam hias wayang beber ini juga mengacu pada ornamen dari makam kuno tersebut.

Gambar 8. Ragam hias tetumbuhan (atas) bersumber dari Makam Sendang Dhuwur dan (bawah) bersumber dari Candi Kendalisada

(Sumber: Ranang dan Aprilia, 2019)

c. Rupa Bangunan dan PropertiGapura bentar dijadikan pembatas antar-

jagong (adegan) dalam wayang beber Babad Majapahit. Setiap adegan (jagong) dibatasi dengan gapura bentar. Pembatas jagong ini mengacu pada bentuk Candi Wringin Lawang yang diyakini sebagai pintu gerbang Kerajaan Majapahit. Penggunaan gapura sebagai pembatas adegan relief sudah dilakukan nenek moyang pada Candi Tigawangi. Selain itu, hal ini selaras dengan konsep gunungan dalam dunia pewayangan, dimana dalam gunungan juga divisualkan bentuk pintu. Sehingga, penggunaan gapura bentar dalam wayang beber ini dapat dianalogikan dengan gerak gunungan ketika dalang berganti adegan dalam pewayangan. Sampai saat ini, penggunaan gapura bentar menjadi identitas gerbang kawasan, kantor, ataupun rumah di Mojokerto.

Page 8: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

136 , Vol. 17, No. No. 2, Oktober 2019: 129 - 140

Gambar 9. Gapura Bentar Pembatas Jagong (Atas) Bersumber dari Candi Wringin Lawang

dan Keris (Bwah) Bersumber dari Candi Penataran

(Sumber: Ranang dan Titik Lisma, 2019)

Lakon ini mengandung unsur peperangan, maka dalam wayang beber ini penulis memvisualisasikan properti pendukung berupa keris, tombak, dan bendera umbul-umbul, serta tameng. Keris merupakan senjata jenis tusuk. Keris digambarkan dalam wayang beber ini dengan mengacu pada keris yang terpahat di relief Candi Penataran. Keris digambarkan dalam beberapa adegan, selain itu keris juga digambarkan dalam posisi di-sengkelit di bagian belakang tokoh.

d. Komposisi dan WarnSelain aspek bentuk, dalam kreasi wayang

beber Babad Majapahit ini juga memperhatikan aspek komposisi. Tata susun tiap jagong digambarkan secara penuh dengan karakter dan ornamen, tidak ada space kosong. Ini untuk menggambarkan keanekaragaman yang telah menjadi kultur yang dimiliki bangsa Indonesia. Komposisi yang demikian mengacu pada relief-relief Candi Surawana, Candi Tigawangi, dan Candi Jawi yang ornamennya rumit dan memenuhi bidang panil.

Aspek warna dalam wayang beber kreasi baru ini dijadikan pembeda dari wayang beber

daerah lain (Pacitan, Wonosari, dan Solo), yaitu warna merah bata. Hal ini terkait dengan di Mojokerto dan sekitarnya banyak dijumpai candi peninggalan Majapahit yang terbuat dari batu bata, seperti Candi Bajangratu, Candi Brahu, dan Candi Wringin Lawang yang berbeda dari candi-candi lainnya, dimana mayoritas terbuat dari batu andesit. Untuk itu, penulis menjadikan warna merah bata dijadikan warna pokok dalam wayang beber Babad Majapahit, sehingga terkesan monokrom meskipun terdapat sedikit warna lain, namun masih mengandung unsur merah. Warna merah bata menjadi penciri utama pada wayang beber Babad Majapahit.

EvaluasiEvaluasi terhadap hasil karya wayang beber

dilakukan secara internal antara penyusun naskah, perancang storyboard, dan pelukis (penyungging) yang terdiri atas tiga dosen dan lima mahasiswa yang dilibatkan. Selain itu, evaluasi dilakukan melalui Seminar Nasional TJI 2019 bertajuk “Kebudayaan, Ideologi, Revitalisasi, dan Digitalisasi Seni Pertunjukan Jawa dalam Gawai” tanggal 28 Juni 2019 di Semarang. Tanggapan peserta seminar menjadi bahan evaluasi dan perbaikan wayang beber Babad Majapahit, khususnya pada saat dilakukan finishing.

Wayang beber sebagai karya seni hasil kreasi yang berada di luar pakem, karena tidak menggambarkan cerita Panji, terbuka untuk dikritik atau diberikan koreksi. Ruang apresiasi sepenuhnya dimiliki oleh audience, sementara kreator sudah melaksanakan peran berkreasinya.

PresentasiWayang beber karya seni dipresentasikan

melalui pameran. Wayang beber Babad Majapahit lakon Jayakatong Mbalela dipamerkan dalam pameran nasional pada pada Festival Panji Nusantara 2019 di Taman Kridya Budaya Jatim di Malang pada tanggal 11-12 Juli 2019. Kegiatan tersebut diselenggarakan atas kerjasama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Indonesiana:

Page 9: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

137Pengembangan ‘Wayang ... (Ranang Agung Sugihartono, Tatik Harpawati, dan Jaka Rianto)

Platform Kebudayaan, dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Timur. Wayang beber Babad Majapahit mendapat respon yang sangat bagus, sebagian pengunjung mengambil foto selfie di depan karya wayang beber.

Gambar 10. Wayang Beber Babad Majapahit Dipamerkan pada Festival Panji Nusantara

2019 di Taman Kridya Budaya Jatim di Malang

(Dokumentasi: Aprilia, 2019)

KomunikasiWayang beber hasil kreasi baru ini

dikomunikasikan ke khalayak melalui pameran di Festival Panji Nusantara 2019. Kehadiran karya ini mendapat respon yang baik dari media. Majalah Larise (online) memberitakan wayang beber Babad Majapahit di pameran tersebut. Selain itu, juga dijadikan ilustrasi gambar paling dalam pemberitaan kegiatan Festival Panji Nusantara 2019 di Koran Malang Times.

Pemberitaan atas hasil karya wayang beber Babad Majapahit tersebut, merupakan bagian dari penyampaian informasi wayang beber ke khalayak. Selain itu, penyebaran informasi juga sudah dilakukan melalui Whatsap grup Sambang Panji dan Facebook. Dari media sosial tersebut, tampak karya wayang beber Babad Majapahit mendapat respon yang cukup baik, salah satunya dianggap memperkaya khasanah kesenian wayang beber.

Gambar 11. Berita Wayang Beber Babad Majapahit dimuat Majalah Larise dan Koran

Malang Times.

Pembahasan Berdasarkan sajian data penelitian

sebagaimana disajikan di atas, dapat disampaikan bahwa inovasi wayang beber Babad Majapahit yang dihasilkan dengan melukis pada kain panjang 4 meter ini relevan dengan karakteristik jenis seni wayang ini. Sebagaimana definisi yang dikemukakan Bagyo Suharyono bahwa wayang beber berupa kertas atau kain berukuran 1 meter, panjang 4 meter, biasanya terdiri atas 4 adegan, yang digulung dalam satu gulungan, dan apabila dipertunjukkan gambar-gambar cerita itu dibentangkan dari gulungannya (Suharyono, 2005). Lebih lanjut, secara teknis penggambaran wayang beber Babad Majapahit ini juga masih sesuai tradisi, sebagaimana (Suyanto, 2017) mengatakan bahwa gambar-gambar dari wayang beber, dilukis sedemikian

Page 10: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

138 , Vol. 17, No. No. 2, Oktober 2019: 129 - 140

rupa pada kertas atau kain, dibuat satu adegan menyusul adegan lain secara berurutan dengan menggunakan teknik lukis tradisional yang disebut teknik sungging yang bagus sekali, cermat, teliti serta mempunyai gaya yang spesifik.

Namun, cerita yang diangkat dalam wayang beber ini tidak sesuai dengan pakem wayang beber, karena mengangkat cerita Babad Majapahit, lebih lanjut (Subandi, (2011) mengatakan bahwa adegan-adegan dalam gulungan gambar dari cerita rakyat sekitar kisah asmara Raden Panji Inukertapati dengan Galuh Candrakirana. Hal ini memang menjadi tujuan peneliti, melakukan inovasi dari aspek penceritaan dengan menggali sumber lain yaitu Babad Majapahit. Penggunaan cerita Babad Majapahit pada wayang beber ini merupakan bentuk transformasi, sebagaimana hasil penelitian sebelumnya, (Harpawati, Mulyanto, & Sunarto, (2009), menyimpulkan bahwa model transformasi yang bisa diterapkan dalam penulisan lakon wayang adalah transformasi alur, setting, penokohan, dan tema.

Menilik dari definisinya, kata babad dalam KBBI (2002:88) memiliki arti kisahan berbahasa Jawa, Sunda, Bali, Sasak, dan Madura yang berisi peristiwa sejarah; cerita sejarah. Poerwadarminta (dalam (Pudjiastuti, n.d.) mengartikan kata babad sebagai cerita peristiwa yang telah terjadi. Hoesein Djajadiningrat (dalam (Pudjiastuti, n.d.) menyebut babad sebagai ‘historiografi tradisional lokal,’ suatu bentuk karya sastra yang dihasilkan oleh pusat-pusat kekuasaan. Maka Babad Majapahit yang dijadikan referensi bagi penceritaan wayang beber ini, relevan dengan salah satu dari tiga pengertian babad menurut Brandes (dalam (Pudjiastuti, n.d.), khususnya definisi ketiga, yaitu babad yang isinya menceritakan suatu periode tertentu dari sejarah Jawa, artinya isinya hanya menceritakan peristiwa yang terjadi pada suatu masa tertentu. Istilah ‘Babad Majapahit’ dijumpai sebagai nama serat yang dikoleksi Perpustakaan Museum Sonobudoyo dengan judul Serat Babad Majapahit, nomor koleksi SK 148, ditulis menggunakan bahasa Jawa, aksara Jawa, dan berbentuk tembang

macapat. Menurut Lisa Aziza (2018), naskah Serat Babad Majapahit terdiri atas 13 pupuh berisi cerita Kerajaan Majapahit akhir hingga berdirinya Desa Bintara dijumpai dalam pupuh I dan II.

Penggunaan penutup kepala yang disebut tekes dalam wayang beber ini, terutama pada tokoh Panji Sesura, tampak dapat menguatkan kembali karakteristik seni rupa Jawa Timur pada wayang beber agar memiliki pembeda dari seni wayang yang lain, selaras dengan pendapat Lydia (Kieven, 2014) yang menyatakan bahwa:

Kekhasan figur bertopi dan khususnya Panji harus dipandang dalam konteks sekian banyak unsur baru lainnya yang dikembangkan dalam seni rupa Jawa Timur, terutama pada periode Majapahit, yang berbeda dari seni rupa Jawa Tengah. Unsur-unsur itu mencerminkan kreativitas dan mengekspresikan ‘local genius’ yang dapat kita amati dalam arsitektur, seni rupa, kesusastraan dan praktik keagamaan.

Upaya visualisasi tekes dalam wayang beber Babad Majapahit ini, juga selaras dengan upaya Lydia ( dalam Kieven, 2014) yang bermaksud mendalami nilai-nilai maupun esensi budaya Panji, untuk menciptakan keseimbangan dan harmoni dalam melestarikan budaya Panji. Lebih jauh, Lydia (dalam Kieven, 2014) mengatakan bahwa nilai-nilai ini punya potensi untuk diterapkan dan diwujudkan pada kegiatan serta konsep kehidupan masa kini.

Warna merah bata sebagai warna pokok dalam wayang beber Babad Majapahit ini bereferensikan dengan banyaknya candi peninggalan Majapahit yang terbuat dari bata merah. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh R. Bambang Gatot (Soebroto & Nuffida, 2017) bahwa percandian bata merah identik dengan kerajaan Majapahit. Lebih jauh, secara filosofis, bata merah menyimbolkan keadaan manusia yang terdiri dari unsur api, air, tanah dan angin, sehingga candi bata merah sebagai perlambang. Menurut Haryono (dalam (Soebroto & Nuffida, 2017), konsep kepercayaan Jawa (Pangudi), membuat dan memakai batu merah sama

Page 11: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

139Pengembangan ‘Wayang ... (Ranang Agung Sugihartono, Tatik Harpawati, dan Jaka Rianto)

halnya penggambaran sosok manusia berasal dari empat unsur; “api, angin, air dan tanah (amarah, supiah, mutmainah dan aluamah). Tampaknya ini selaras dengan bagaimana bata merah dibuat, dimana terbuat dari bahan tanah liat, dibentuk dengan mencampur air, dan mengeraskan dengan cara menjemur dan membakar dengan cahaya dan api dengan bantuan angin (udara).

Penggunaan unsur cerita babad Majapahit, bentuk penutup kepala (tekes), dan warna merah bata pada wayang beber ini mampu menciptakan karakteristik wayang beber Babad Majapahit yang memiliki pijakan referensial yang kuat, sehingga memiliki secara visual tampak kekhasan yang dapat menjadi pembeda dari wayang beber dari daerah lain. Secara lebih substantif, hal ini merupakan bentuk pelestarian nilai-nilai tradisi agar berlangsung seterusnya, sebagaimana masih terjadi dalam Wayang Topeng Malang, yang menurut (Hidayat, 2014), tema kultural terjalin secara kontinuitas dalam tata nilai yang diturunkan dari generasi ke generasi.

KESIMPULANJombang, Mojokerto, dan sekitarnya

di tengah perkembangan menuju kawasan modern dan industri sebagai imbas dekatnya dengan kota metropolis Surabaya, menyisakan problematika dengan potensi lokal yang memiliki nilai historis yang mulai terabaikan oleh karena besarnya pengaruh modernitas. Penyadaran akan warisan adiluhung dari nenek moyang khususnya dari kerajaan terbesar di Nusantara, Kerajaan Majapahit, perlu dilakukan dengan pendekatan yang menitikberatkan kreativitas melalui penelitian artistik (artistic research) untuk menciptakan karya seni inovatif berbasis seni tradisi.

Kajian terhadap naskah terkait kesejarahan dan pemerintahan Majapahit, menghasilkan konsep lakon Babad Majapahit untuk wayang beber. Lakon Babad Majapahit dikemas dalam 4 gulung, dengan masing-masing gulung sepanjang 4 meter dan terdiri atas 4 adegan (jagong). Gulung 1 mengisahkan lakon Jayakatong Mbalela menceritakan

adegan ketika Jayakatong mengatur siasat pemberontakan, peran Panji Sesura menghadang gempuran pasukan Jayakatong, hingga adegan bagaimana Kertanegara gugur di tangan para punggawa Jayakatong.

Hasil dari kajian terhadap artefak relief-relief candi peninggalan Kerajaan Majapahit dijadikan referensi dan berhasil divisualisasikan dalam bentuk karya lukis wayang beber sepanjang 4 meter dan lebar 50 cm dengan lakon Jayakatong Mbalela. Proses kreasi pada tahap pengumpulan informasi memperoleh referensi visual dari relief candi; tahap seleksi ditentukan elemen-elemen rupa yang dijadikan acuan; tahap penyusunan menghasilkan synopsis, storyboard, dan gambar wayang beber; tahap analisis menghasilkan wayang beber dengan karakteristiknya yang khas; evaluasi menghasilkan koreksi untuk perbaikan; tahap presentasi dilakukan pameran wayang beber dan seminar, dan tahap komunikasi mempublikasikan hasil temuan ke media massa.

Visualisasi bentuk tokoh, pewarnaan, dan ragam hias (ornamen) wayang beber Babad Majapahit yang dihasilkan tampak cukup khas dan memiliki kesesuaian dengan relief candi peninggalan Majapahit yang diacunya. Karya tersebut juga sudah dipamerkan dalam kegiatan Festival Panji Nusantara 2019 di Malang. Wayang beber Babad Majapahit dapat menjadi ikon baru bagi seni budaya khas Mojokerto, Jombang, dan sekitarnya.

DAFTAR PUSTAKAAziza, L. (2018). Serat Babad Majapahit;

Suntingan Teks dan Terjemahan (Skripsi, Universitas Gadjah Mada). Retrieved from http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail&act=view&typ=html&buku_id=167687&is_local=1

Darmojo, K. W. (2013). Keris Jawa Kamardikan: Teknik, Bentuk, Fungsi dan Latar Penciptaan (Tesis). Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Surakarta.

Gray, C., Pirie, I., Malins, J., Douglas, A., & Leake, I. (1995). Artistic Research

Page 12: PENGEMBANGAN ‘WAYANG BEBER BABAD MAJAPAHIT’: …

140 , Vol. 17, No. No. 2, Oktober 2019: 129 - 140

Procedure: Research at the Edge of Chaos?

Guntur. (2016). Metode Penelitian Artistik. Surakarta: ISI Press.

Hardjowardojo, P. (1965). Pararaton. Malang: Penerbit Bhratara.

Harpawati, T., Mulyanto, & Sunarto. (2009). Transformasi Serat Menak dalam Petunjukan Wayang Golek Menak. Surakarta: ISI Surakarta.

Heidegger, M. (2010). Being and Time. Translate by Joan Stambaugh. New York: SUNY Press

Hidayat, R. (2014). Transformasi Nilai Lokal yang diekspresikan wayang topeng malang sebagai Sumber Pendidikan Karakter. Imaji, 12(2). https://doi.org/10.21831/imaji.v12i2.3151

Iswahyudi. (2009). Perkembangan Makna Simbolik Motif Hias Medalion pada Bangunan-Bangunan Sakral di Jawa pada Abad IX – XVI. 7(1). https://doi.org/10.21831/imaji.v7i1.6641

Kasiyan. (2009). “Seni Kriya dan Kearifan Lokal: Tatapan Postmodern dan Postkolonial, dalam Lanskap Tradisi, Praksis Kriya, dan Desain: Cendera Hati Purnabhakti untuk Prof. Drs. SP. Gustami, SU. Yogyakarta: BID-ISI Yogyakarta.

Kieven, L. (2014). Simbolisme Cerita Panji dalam Relief-Relief di Candi Zaman Majapahit dan Nilainya pada Masa Kini. Retrieved from Pusat Panji website: http://www.ppanji.org/cont/publications/Kieven2014.pdf

Pramutomo, R. (2019). Cerita Panji dan Kaitannya dengan Bentuk Seni Pertunjukan Topeng di Jawa. In Bunga Rampai Potret Seni Pertunjukan Kita (pp. 203–216). Surakarta: ISI Press.

Pudjiastuti, T. (n.d.). Babad Arung Bondhan. Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

Purwanto, H., & Titasari, C. P. (2018). Arca di Candi Cetho: Interpretasi Baru sebagai Arca Panji (Statue in Cetho Temple: New Interpretation is as Panji Statue). 31(1), 57–74.

Wardhani, F. (2019). Panji Cerita Asli Indonesia. Retrieved from https://www.museumnasional.or.id/panji-cerita-asli-indonesia-1836

Saputra, K. H. (2014, Oktober). Naskah Panji Koleksi Perpustakaan Nasional. Jumantara, 5(2). Retrieved from https://www.perpusnas.go.id/magazine-detail.php?lang=en&id=8362

Soebroto, R. B. G., & Nuffida. (2017). Konsep Keabadian, serta Kajian Tektonika Arsitektur Candi di Jawa Timur yang Disandingkan dengan Gereja Puh Sarang Kadiri. 161–170. Sekolah Tinggi Teknologi Cirebon, Universitas Indraprasta, Universitas Trisakti.

Subandi, dkk. (2011). Wayang Beber Remeng Mangunjaya Gelaran Wonosari dan Wayang Beber Jaka Kembang Kuning Karang Talun Pacitan serta Persebarannya di Seputar Surakarta. Surakarta: ISI Surakarta.

Suharyono, B. (2005). Wayang Beber Wonosari. Wonogiri: Bina Citra Pustaka.

Suyanto. (2017). Menggali Filsafat Wayang Beber untuk Mendukung Perkembangan Industri Kreatif Batik Pacitan. Panggung, 27(1), 87–98. http://dx.doi.org/10.26742/panggung.v27i1.237.g205