Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

21
1 Pengembangan Sains, Hukum, Seni, Teknologi dan Ekonomi Di Dunia Islam Dalam Persepktif Sejarah Oleh Ajid Thohir * Abstrac Warisan peradaban yang dihadirkan oleh Dunia Islam, telah memberi kontribusi yang cukup besar bagi kepentingan peradaban Dunia secara umum. Aspek-aspek pengembangan kemanusiaan baik kekuatan aqliyah, ruhaniyah dan jasmaniyah berpadu mengolah potensi material dan kosmologikal. Sehingga warisan peradaban Islam secara umum banyak dinikmati oleh berbagai manusia lintas etnik dan lintas zaman. Bagaimana cara-cara Islam mengembangkan potensi kemanusiaan dan wilayah, bisa ditelusuri dari realitas sejarahnya melalui pengembangan sains, hukum, seni, teknologi dan ekonomi. Key Words: hellensime Islam, sains, hukum, seni, teknologi, ekonomi, assimilasi etnik, produk- produk sains. A. Pendahuluan Sejak Rasulullah SAW wafat, Islam tidak hanya tersebar sebatas di wilayah-wilayah kebudayaan Arab, akan tetapi sudah mulai merambah menaklukan dan memasuki daerah-daerah kebudayaan luar Arab dan sekitarnya (khususnya wilayah-wilayah kekuasaan Romawi dan Persia) yang berdekatan dengannya, seperti Iraq, Persia, Syiria, Mesir dan lainnya 1 . Secara otomatis, penaklukan-penaklukan tersebut membuat wilayah kekuasaan Islam sarat dengan kompleksitas kebudayaan terutama pertemuan dengan berbagai etnik, mulai dari bahasa, suku, ras, termasuk agama. Dari sinilah awal pembentukan dan asimilasi kebudayaan Arab dan non- Arab berkembang. Terjadinya proses asimilasi 2 dan hubungan antar etnik pada masa-masa awal Islam, secara historis menunjukkan dinamika yang sangat kompleks. Fenomenanya bukan hanya dalam dinamika hubungan fisik yang harmonis dengan suasana yang kooperatif, simetris dan dialogis antara Islam, kebudayaan Arab dan non-Arab, namun tidak sedikit pula dalam aspek-aspek * Penulis adalah pengampu mata kuliah Sejarah dan Peradaba Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Alamat E-mail: [email protected] 1 ‘Abd al-Rahman bin Khaldun, Târîkh Ibn Khaldûn, jilid 3, Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, Lubnan, 2006; 3-136. Philip K.Hitty, History of The Arabs, Tenth Edition, The Macmilland Press, 1974; 139-168 2 Istilah asimilasi (assimilation) mengacu pada kajian antropologis, adalah berpadunya dua entitas fisikal dalam sebuah wilayah kebudayaan yang keduanya berupaya untuk saling menerima, mempadukan, dan melengkapi. Kata lain yang mirip dalam hal ini adalah akulturasi (acculturation) yakni proses adaptasi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya atau proses saling mempenagruhi dalam aspek kebudayaan. …every society is a more or less succesfull melting-pot where diverse populations are merged, acculturated and eventually assimilated , at different rates and in different ways, depending on their place in the economic and political systems. Lihat Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives, Secon Edition, Pluto Press London, 2002; 20

Transcript of Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

Page 1: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

1

Pengembangan Sains, Hukum, Seni, Teknologi dan Ekonomi

Di Dunia Islam Dalam Persepktif Sejarah

Oleh Ajid Thohir∗

Abstrac

Warisan peradaban yang dihadirkan oleh Dunia Islam, telah memberi kontribusi yang cukup

besar bagi kepentingan peradaban Dunia secara umum. Aspek-aspek pengembangan

kemanusiaan baik kekuatan aqliyah, ruhaniyah dan jasmaniyah berpadu mengolah potensi

material dan kosmologikal. Sehingga warisan peradaban Islam secara umum banyak dinikmati

oleh berbagai manusia lintas etnik dan lintas zaman. Bagaimana cara-cara Islam

mengembangkan potensi kemanusiaan dan wilayah, bisa ditelusuri dari realitas sejarahnya

melalui pengembangan sains, hukum, seni, teknologi dan ekonomi.

Key Words: hellensime Islam, sains, hukum, seni, teknologi, ekonomi, assimilasi etnik, produk-

produk sains.

A. Pendahuluan

Sejak Rasulullah SAW wafat, Islam tidak hanya tersebar sebatas di wilayah-wilayah

kebudayaan Arab, akan tetapi sudah mulai merambah menaklukan dan memasuki daerah-daerah

kebudayaan luar Arab dan sekitarnya (khususnya wilayah-wilayah kekuasaan Romawi dan

Persia) yang berdekatan dengannya, seperti Iraq, Persia, Syiria, Mesir dan lainnya1. Secara

otomatis, penaklukan-penaklukan tersebut membuat wilayah kekuasaan Islam sarat dengan

kompleksitas kebudayaan terutama pertemuan dengan berbagai etnik, mulai dari bahasa, suku,

ras, termasuk agama. Dari sinilah awal pembentukan dan asimilasi kebudayaan Arab dan non-

Arab berkembang.

Terjadinya proses asimilasi2 dan hubungan antar etnik pada masa-masa awal Islam,

secara historis menunjukkan dinamika yang sangat kompleks. Fenomenanya bukan hanya dalam

dinamika hubungan fisik yang harmonis dengan suasana yang kooperatif, simetris dan dialogis

antara Islam, kebudayaan Arab dan non-Arab, namun tidak sedikit pula dalam aspek-aspek

Penulis adalah pengampu mata kuliah Sejarah dan Peradaba Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan

Gunung Djati Bandung. Alamat E-mail: [email protected] 1 ‘Abd al-Rahman bin Khaldun, Târîkh Ibn Khaldûn, jilid 3, Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, Lubnan, 2006; 3-136. Philip

K.Hitty, History of The Arabs, Tenth Edition, The Macmilland Press, 1974; 139-168 2 Istilah asimilasi (assimilation) mengacu pada kajian antropologis, adalah berpadunya dua entitas fisikal dalam

sebuah wilayah kebudayaan yang keduanya berupaya untuk saling menerima, mempadukan, dan melengkapi. Kata

lain yang mirip dalam hal ini adalah akulturasi (acculturation) yakni proses adaptasi antara satu kebudayaan dengan

kebudayaan lainnya atau proses saling mempenagruhi dalam aspek kebudayaan. …every society is a more or less

succesfull melting-pot where diverse populations are merged, acculturated and eventually assimilated , at different

rates and in different ways, depending on their place in the economic and political systems. Lihat Thomas Hylland

Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives, Secon Edition, Pluto Press London, 2002; 20

Page 2: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

2

tertentu ada juga yang berakhir dengan nuansa konfrontatif, seperti halnya yang banyak terjadi di

kawasan India3.

Asimilasi fisik yang terbentuk akibat adanya penaklukan, percampuran dan perkawinan

antara etnis Arab dengan kekuatan-kekuatan kebudayaan luar Arab yang ditaklukkan yang

dilanjutkan dengan asimilasi kultural, bukanlah sesuatu yang sederhana dan sepele. Karena

masing-masing etnik luar Arab yang secara genetika, bahasa, sistem sosial, pemikiran bahkan

keyakinan, akidah dan keagamaan masing-masing sangat berpengaruh dalam pola penerimaan

terhadap Islam, kesemua itu mengarahkan pada akumulasi yang rumit. Namun untuk

mempermudah dalam melihat hal ini, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan terjadinya

proses asimilasi di dunia Islam khususnya antara masyarakat Islam Arab dengan masyarakat

daerah-daerah yang ditaklukkannya hingga membentuk satu tarikan “kebudayaan baru”. Ketiga

faktor tersebut adalah: 1).Prinsip ajaran Islam dalam Penaklukan, 2).Masuk Islamnya mayoritas

penduduk yang ditaklukan, dan 3).Membaurnya antara orang Arab dan non Arab dalam satu

wilayah negara. Sehingga ketiga aspek ini dengan cepat mempermudah terjadinya hubungan

yang intens antara keduannya, kemudian mereka terdistribusi ke wilayah-wilayah baru yang

telah ditaklukkan4.

B. Prinsip ajaran Islam dalam Penaklukan

Pertama kali yang ajaran Islam tuntut terhadap kaum muslim jika ingin memerangi suatu

negara adalah mengajak penduduknya untuk masuk Islam. Jika mereka bersedia secara sukarela

masuk Islam, maka kedudukan mereka sama posisinya bersama kaum Muslim yang lain. Dengan

demikian, perang menurut ajaran Islam bukan satu-satunya cara untuk menaklukan daerah lain.

Perang hanya jalan terakhir. Dalam salah satu hadits dikatakan: “Aku diperintahkan untuk

memerangi manusia hingga mereka berikrar ‘La Ilaha illa Allah’, jika mereka mengikrarkan

kalimat tersebut, darah dan harta mereka terjaga dengan aman. Apabila mereka menolak maka

hendaknya mereka menyerahkan negara mereka untuk dikuasai orang Islam, mereka masih

3 Studi dan kajian detilnya telah kami lakukan dalam melihat konfrontasi antara Islam dan Hindu dimana puncak

resistensi, ko-eksistensi dan konfrontasi antara Islam dengan kekuatan lokal di Asia Selatan yang sebagiannya

dimainkan oleh Inggris adalah terpecahnya wilayah keagamaan pada wilayah politik dalam bentuk negara, yakni

negara India, Pakistan dan Bangladesh. Lebih jelas lihat, Islam Di Asia Selatan; Melacak Perkembangan Sosial,

Politik, Islam di India, Pakistan dan Bangladesh, Humaniora, 2006 4 Ahmad Amin, Fajr al-Islam ; Bahts ‘an al-Hayat al-‘Aqliyyat fi Shadr al-Islam ila Akhir al-Dulat al-Amawiyyat,

Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i Singgapore, 1933; 85

Page 3: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

3

diperbolehkan menganut agama asalnya tapi harus siap dengan membayar pajak. Jika mereka

menerima tawaran untuk masuk Islam, maka hak dan kewajiban mereka sama dengan kaum

Muslimin lainnya”5

Penaklukan yang dilakukan oleh Islam, pada akhirnya melahirkan sistem perhambaan

dan penawanan yang dinilai merupakan faktor terbesar dalam proses asimilasi ini. Sehingga,.

perhambaan itu kemudian telah melahirkan, pertama “sistem al-wila” yakni kemerdekaan yang

diberikan para pemilik budak terhadap mereka dengan tanpa syarat, dan kemudian dihubungkan

dengan nasab keluarga yang memerdekakannya; dan kedua ashabiyah terjalinnya hubungan

emosional persaudaraan yang cukup kuat di kalangan para penakluk dengan yang ditaklukan.

Sehingga dalam perjalanan berikutnya pada akhirnya melahirkan proses asimilasi baik tradisi,

sikap mental bahkan dalam pemikiran dan lain sebagainya.

Konversi agama penduduk yang ditaklukan pada Islam. Mayoritas penduduk di daerah-

daerah yang ditaklukan masuk ke dalam agama Islam dan berbaur dengan orang-orang Arab

seolah-oleh mereka adalah bagian dari para penakluk Arab. Seperti dituturkan oleh al-Baladzury6

ketika umat Islam memasuki wilayah Dailam Persia, maka penduduk tersebut secara berduyun-

duyun sekitar empat ribu orang memeluk Islam. Begitupun ketika di Qadisiyah saat pimpinannya

Rustam terkalahkan, maka orang-orang Majusi ikut bergabung ke dalam Islam dibawah

perlindungan Saad bin Abi Waqas. Ada beberapa alasan dan tujuan mengapa mereka masuk

Islam pada waktu itu. Pertama; karena alasan benar-benar beriman terhadap Islam, mereka

mengakui kebaikan dan kebenaran ajaran Islam. Kedua, karena tidak mau atau menghindari

membayar pajak (jizyah)7. Ketiga; sebagai bentuk penghindaran diri untuk tidak menjadi hina

dan rendah, sebagai kelompok yang dilindungi (ahl al-dzimmah).

C. Asimilasi antara orang Arab dan non Arab

Setelah terjadi penaklukan, maka daerah-daerah tersebut menjadi suatu wilayah yang

dihuni secara bersama-sama oleh para penakluk dan yang ditaklukkan. Mereka bergerak seirama

dalam menghadapi persoalan kehidupan social dan ekonomi. Seperti halnya yang terjadi di

Kufah, banyak para muslim baru (al-mawali) ini berprofesi sebagai pedagang dan karyawan

5 H.R. Bukhory dan Muslim dari Umar bin Khathab. Lihat Mukhtâr Ahâdits Muhammadiyyah

6 Ahmad Yahya bin Jabir al-Baladzury, Kitab al-Buldan wa Futuhha wa Ahkamuha, Juz 2, Dar Fikr, 1992; 280

7 Jizyah yang diberlakukan biasanya kepada para kepala keluarga, tidak untuk wanita atau anak-anak. Setiap kepala

keluarga 1 sampai 13 Dirham. Bagi mereka-mereka yang cukup kaya, bisa dikenakan sampai 24 Dinar. Jika tidak

menyanggupinya, mereka harus keluar dari wilayah taklukan kaum muslimin. Ahmad Amin, Ibid, 86

Page 4: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

4

dalam berbagai produksi barang dan jasa diberi keleluasan oleh para penakluk Arab. Termasuk

berbagai etnik dari Syam, Mesir, Maghrib yang bukan asli Arab juga berlaku demikian. Dalam

banyak hal, di sinilah terjadinya pembauran antara unsur Arab dan non Arab dengan cepat. Hal

ini terjadi sejak masa Umar bin Khathab ra, saat seluruh pasukan Islam Arab menaklukkan

wilayah-wilayah sekitar luar Arab, kemudian juga mengundang orang-orang luar Arab masuk ke

jazirah Arab. Seperti halnya Abu Lu’lu al-Farisi adalah salah seorang luar Arab yang masuk

serta berdomisili di Madinah, sekaligus kemudian yang membunuh sang Khalifah.

Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas memiliki peranan yang besar pada proses

asimilasi dan hubungan yang intens antar etnik. Tradisi Persia dan Romawi dalam banyak hal

berbaur dengan tradisi Arab, undang-undang Persia dan Romawi berbaur dengan hukum-hukum

yang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.

Begitu pula pada masalah ideologi dan falsafat serta masalah-masalah lainnya, seperti

sistem politik, sistem social dan pola pemikiran berbaur secara alamiyah. Hal ini terlihat dari

berbagai munculnya aliran kalam, filsafat, sains, seni dan teknologi. Apabalagi bangsa-bangsa

yang ditaklukan ini merupakan masyarakat yang yang hidup dalam naungan negara yang lebih

maju pada bidang peradaban dan lebih kuat sistem sosialnya dibanding bangsa Arab. Maka

sudah menjadi maklum, mereka juga membimbing pada pembentukan peradaban baru dengan

system sosio kemasyrakatan barunya. Mereka memberikan kontribusi kebudayaan yang sangat

besar dan hebat. Juga sebaliknya, saat bangsa Arab lebih maju maka mereka lah yang menjadi

penguasa kebudayaan ini. Periode ini disebut sebagai fenomena Hellenisme pada kebudayaan

Islam, yakni ditranformasikannya warisan kejayaan kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia ke

dalam dunia Islam.

Sebagai contoh, dalam masalah pemikiran. Akidah Islam tidak lepas dari proses asimilasi

ini. Karena sudah pasti orang-orang Persia, Romawi dan Qibthy walaupun mereka masuk agama

Islam akan tetapi mereka tidak akan melepaskan sepenuhnya keyakinan yang telah melekat

selama berabad-abad. Dengan demikian, akidah Islam yang ada tidak benar-benar murni

bersumber dari ajaran Islam yang asli. Termasuk sistem dan pola pembentukan hukum undang-

undang serta penataan kemiliteran Islam banyak mengadopsi dari pola-pola Romawi.

Demikianlah, proses asimilasi pada sejarah Islam pertama telah terjadi secara cepat dan

tanpa disadari. Orang-orang Arab, walaupun mereka tidak lebih maju dibanding bangsa Romawi

dan Persia serta bangsa lainnya, akan tetapi mereka cukup memiliki bahasa dan agama yang

Page 5: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

5

dibanggakannya, Islam. Kedua faktor ini membuat bangsa Arab memiliki pengaruh yang cukup

besar dalam pengembangan kebudayaan dunia berikutnya, sebagaimana yang terjadi melalui

proses sejarahnya.

D. Hellenisme Kebudayaan Islam?

Istilah Hellenisme sebenarnya dikenalkan oleh seorang sarjana sejarah Jerman pada abad ke-18,

untuk menyebutkan periode penyatuan wilayah kebudayaan pada masa kejayaan kerajaan

Yunani masa Iskandar Dzulkarnaen sekitar abad 350 SM yang menguasai seluruh wilayah Laut

Mideteranina yang meliputi Eropa, Asia dan Afrika, khususnya wilayah-wilayah yang

berhadapan langsung dengannya. Otorisasi wilayahnya berbentuk penyatuan kebudayaan yang

dibangun atas dasar sinkronisasi atau perpaduan antara kebudayaan Barat dan Timur. Dalam

rangka membangun kebijakan ini, mereka membentuk pola perkawinan massal antara tentara

yang dibawa Dzulkarnaen dengan penduduk setempat, khususnya dengan penduduk Mesir, Syria

dan Persia. Penyatuan kebudayaan ini berkembang dalam semua hal. Kenyataan ini terus

dilanjutkan pada masa kekuasaan Bizantium Romawi berikutnya (150 SM sampai 6 M), akan

tetapi tidak sesukses masa Dzulkarnaen sebelumnya. Begitupun umat Islam sepertinya dalam

realitas seperti ini, telah melakukan kegiatan yang hampir sama dengan apa yang telah dilakukan

oleh masa kekaisaran Dzulkarnain tersebut.

E. Proses Hellenisme Dalam Kebudayaan Islam

Ketika Islam memasuki dunia luar, terutama kawasan-kawasan sekitar Mesir, Syria dan

Persia, pada pertengahan abad ke 7 sampai pertengahan abad ke 8, secara politis, sosiologis dan

antropologis mereka sebenarnya sedang memulai memasuki babak baru dalam membangun

pergaulan intelektual dengan dunia luar, terutama dengan berbagai tradisi di wilayah-wilayah

warisan kejayaan Hellenisme Yunani. Pengetahuan mereka yang selama ini hanya didapatkan

dari alam lingkungan Arab dan warisan kewahyuan Al-Qur’an maupun Sunnah Rasulullah SAW,

maka perjumpaan mereka dengan warisan Yunani telah menambah sesuatu yang baru mengenai

hal-hal yang berkaitan dengan entitas dan proses pencarian “kebenaran” melalui luar wahyu;

meskipun dalam banyak hal, dalam diri wahyu sendiri (al-Qur’an dan Sunnah) terdapat sejumlah

“kebenaran” yang tak terelakkan. Bahkan lebih dari itu tradisi pengetahuan baru seperti filsafat,

sains dan teknologi dari luar Arab ini, semakin membuktikan pada kebenaran pengetahuan ajaran

Page 6: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

6

agama mereka. Pembuktian logika dan empiris telah ditemukan dari konsep-konesp pengetahuan

baru tersebut.

Kaum muslimin menemukan beberapa pusat pengetahuan baru tersebut dari pusat studi

sains dan filsafat yang biasa dilakukan orang-orang Yunani dan Romawi serta rahib-rahib

Nasrani dan Yahudi seperti di Iskandariyah Mesir, Home Syria maupun seperti di Jundishapur,

dekat lembah Teluk Persia. Wilayah-wilayah ini merupakan pusat kegiatan intelektual mereka

dalam mengembangkan tradisi literal, atau tulis menulis. Dengan serta merta umat Islam melihat

pengetahuan baru ini bukan hanya sekedar “ghanimah” tapi lebih dari itu dibanding dengan

bentuk-bentuk ghanimah berupa materi, nilainya jauh di atas segalanya. Bagi mereka, ghanimah

ini kelak akan menjadi alat dan penguat dalam membedah konsep-konsep kewahyuan. Sampai-

sampai Umar bin Khathab ra, selalu berpesan mengenai hal ini pada setiap tentaranya saat

memasuki wilayah-wilayah tersebut, untuk senantiasa menjalin hubungan baik dengan para

pemegang naskah-naskah kitab kuno seperti rahib-rahib Yahudi dan pendeta-pendeta Nasrani8.

Pengetahuan para kaum intelektual non-muslim (rahib-rahib Yahudi, Nasrani,

Mazdakisme dsb.) ini bukan hanya mengenalkan dalam bidang agama, bahkan yang cukup

dominan bagi mereka adalah berkaitan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang berhubungan

dengan segala persoalan kemanusiaan secara umum. Pengetahuan baru umat Islam yang

didapatkan dari mereka ini, sejak abad ke 8 biasa disebut sebagai “ulum al-awail”, pengetahuan

dasar kealaman (kawniyyat). Sedangkan pengetahuan agama yang selama ini mereka gunakan

atau ilmu kewahyuan yang bersumber dari Qur’an dan Sunna Nabi SAW, biasa disebut sebagai

“ulum al-awakhir”, pengetahuan puncak. Karena kelak pengetahuan luar ini akan digunakan

sebagai alat untuk membongkar dan merumuskan berbagai epistemologi ilmu-ilmu kewahyuan,

seperti ilmu tafsir, hadits, kalam, fiqh/ushul fiqh, dan tasawuf. Maka sejak abad ke 8 dimulailah

proses penterjemahan dari sumber-sumber pengetahuan Yunani tersebut ke dalam bahasa Arab.

Karena pengetahuan Yunani ini telah masuk ke dalam masyarakat Syria maupun Persia, maka

tidak sedikit pula mereka menerjemahkannya dari bahasa-bahasa lokal tersebut. Karena ternyata

ilmu-ilmu Yunani juga sejak lama telah ditransfer ke dalam berbagai bahasa luar Yunani.

Naskah-naskah yang berasal dari bahasa Syriac, banyak yang berkaitan dengan pengetahuan

medis maupun filsafat. Ilmu pengobatan terutama dari Hippocrates dan Galen, termasuk filsafat

8 Lihat Philip K.Hitty, History of The Arabs, hal. 231. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,

Paramadina, 2000; 222

Page 7: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

7

dari Aristoteles, Plato dan para muridnya, juga banyak dijumpai di perpustakaan-perpustakaan

Mesir, termasuk bidang ilmu hitung maupun sains lainnya, yang berasal dari Euklidus.

Bukan hanya bidang filsafat, sain dan kedokteran, bidang-bidang lain juga ternyata telah

didapatkannya seperti pengetahuan tentang olah raga, ilmu jiwa, sastra, retorika, sejarah, politik

dan berbagai bidang ilmu pengetahuan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan kebutuhan

kaum muslimin. Sekalipun demikian banyak model-model pengetahuan yang ditemukan, tenyata

para cendikiawan muslim tidak seluruhnya mengadopsinya, mereka menseleksinya sesuai

dengan kebutuhan untuk kepentingan agama dan bagi kesejahteraan kehidupannya. Sesuatu yang

berada di luar kepetingan itu, apalagi yang tidak berkait bahkan merusak keyakinan agama Islam

mereka tidak ambil, bahkan ditinggalkan sama sekali9. Seperti berbagai bentuk mitologi Yunani

yang sangat terkenal itu, hampir tidak ditemukan sama sekali dalam naskah-naskah pemikiran

Islam tahap awal, sementara sesuatu yang berkait dengan cerita-cerita Israiliyat memang sangat

dikenal. Termasuk seni pertunjukkan yang berkait dengan theater, gladiator, melodrama, cerita-

cerita panggung Homeros, maupun cerita-cerita tragedi dan komedi yang begitu popular di

zaman Yunani maupun Romawi, namun hampir tidak dikenal sama sekali di dalam dunia

literatur Islam. Karena nampaknya, semua pengetahuan tentang hal tersebut di samping kurang

mendapat apresiasi dalam ajaran Islam, juga kurang menarik perhatian bagi kalangan masyarakat

muslim yang saat itu nampak lebih akrab dengan tradisi dunia Arab maupun Persia. Bahkan

malah nampaknya mereka lebih akrab untuk mengambil pola-pola hikayat dari dunia Timur,

terutama dalam prosa dan sastra, seperti yang telah ditunjukkan oleh Ibn Muqaffa (720-756)

seorang Persia yang menterjemahkan Kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa India. Termasuk

ilmu tentng tata bahasa dan filologi seperti yang ditunjukkan oleh Imam Sibawaih juga

nampaknya leih senang mengadopsi dari tradisi bahasa Persia atau hanya logikanya Yunani10.

F. Pendukung Gerakan Hellenisme dalam Kebudayaan Islam

Ada beberapa hal yang melahirkan berkembangnya Hellenisme dalam Islam, di antaranya:

1. Islam mengajarkan keterbukaan dalam berbagai persoalan yang menyangkut ilmu

pengetahuan, teknologi maupun segala hal yang bersifat keduniaan. Doktrin Islam mendorong

9 Inilah yang disebut karakter Islam sebagai kekuatan budaya global, selalu saja memiliki pola “terbuka” dan

“tertutup” terhadap realitas kebudayaan luar. Mereka mengambil aspek-aspek kebudayaan luar yang sekiranya

memiliki kesamaan visi dengan Islam itu sendiri. Untuk kajian terhadap nilai-nilai Islam dalam sejarahnya, lihat

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Mizan Bandung, 1991 10

Lihat, Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, jilid 1-2, Dar Fikr 1996; 19-23

Page 8: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

8

bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi cultural atau segala sesuatu yang menyangkut

bagi pengembangan tradisi social dan individual yang berkaitan dengan nilai-nilai kebaikan, asal

tidak bertentangan dengan norma-norma agama (al-hikmat dloolat al-mukminun min ayyi wi’ain

kharajat…demikian bunyi hadits). Kemenangan umat Islam dalam menaklukkan pusat-pusat

kebudayaan Yunani, Romawi dan Persia, memungkinkan untuk bersentuhan secara langsung,

bahkan telah menjadikannya sebagai “khazanah ghanimah” yang sangat bernilai untuk segera

diolah.

2. Islam sebagai agama wahyu, dalam banyak hal di dalamnya berisi dan memberi informasi

tentang pengetahuan alam semesta dan pengetahuan tentang kemanusiaan serta dorongan untuk

mengembangkannya11

. Semua ayat-ayat tersebut telah membentuk kesadaran di kalangan

cendekiawan muslim awal untuk menjadi peneliti (ulul albab) dan mengembangkannya lebih

jauh lagi. Sehingga hampir bisa dipastikan pada saat itu, pada semua lini penelitian selalu

berangkat dari wahyu yang memberi informasi dan menginspirasi awalnya, dan ilmu-ilmu

Yunani atau Persia memberi jalan sebagai metode untuk menjelajahinya lebih jauh lagi.

3. Tokoh-tokoh muslim, baik para khalifah, cendikiawan, ilmuan, maupun ulama, sepakat untuk

saling memberikan kesempatan pada peran mereka masing-masing dalam memanfaatkan dan

mengolah “ghanimah” yang satu ini. Sehingga modal pemerintahan yang digunakan untuk

pengembangan penterjemahan dalam kegiatan tersebut cukup besar dan para ulama serta ilmuan

tidak menyia-nyiakan untuk memanfaatkannya.

4. Para khalifah dalam menentukan tenaga-tenaga profesi penterjemahan keilmuan, sangat

terbuka. Tidak hanya dari kalangan muslim, tapi juga mereka banyak dari kalangan non-muslim

seperti dari Yahudi, Nasrani, bahkan Majusi.

5. Penghargaan para khalifah dalam lapangan ilmu pengetahuan sangat mendukung bagi mereka

yang menggeluti bidang ini. Bahkan berkembang berita cukup mutawwatir, bahwa Khalifah

Harun al-Rasyid dan putranya al-Makmun selalu menghargakan setiap naskah tulisan sesuai

dengan berat timbangan emas12

.

11

Beberapa contoh ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hal ini misalnya; awalam yandhuru fi malakut al-samawat

wal ardl wa ma khalaqallah min syai…”. “Falyandhuril insân minma khuliq.. falyandhuril insân ila tha’âmih annâ

shababna al-maa shabba. Tsumma syaqaqna al-ardl syaqqo. Faanbatna fiha habba wa ‘inab wa qodlba wa

zaituna, wa nahla wa hadaiq ghulba wa fakihah wa abba. “La syams yanbagi laha an tudrik al-qomar wala al-lail

sabiq al-nahar… masih banyak ratusan ayat berbicara mengenai alam semesta yang perlu dilanjutkan oleh penelitian

sains. Lihat Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, hal. 143-144 12

Ahmad Amin, Fajr al-Islâm, hal. 145

Page 9: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

9

G. Pusat Saluran Hellenisme Dalam Islam

Aspek-aspek yang paling dominan, akibat pengaruh Hellenisme bagi dunia Islam pada

umumnya sangat terasa dalam persoalan ilmu pengetahuan (science) dan filsafat. Pusat-pusat

kebudayaan Yunani-Persia-Kristen, banyak terdapat di sejumlah tempat studi dan lokasi

laboratorium. Mereka terus berkembang beserta tokoh-tokoh yang berada di dalamnya, Seperti

di:

a. Jundishapur, lokasi yang dibangun Kisra Anusyrwan Kaisar Persia dalam mengembangkan

kebudayaan dan tradisi sains Yunani, dengan bahasa Aramiyah. Di sini berkembang ilmu

kedokteran dan praktek kedokteran yang ditempatkan di daerah Maristan. Madrasah Jundishapur

nampaknya lebih terkenal dalam pengembangan kebudayaan Yunani pada bidang kedokteran

dan filsafat.

b. Harran daerah yang berada di sekitar Iraq juga merupakan pusat studi Yunani dan Romawi

termasuk Nasrani. Penduduknya berasal dari bangsa Suryani, Makedonia, Greek dan Romawi.

Di daerah ini banyak berkembang pemikiran dan ajaran Babilonia, Yunani Kuno, dan Neo-

Platonisme. Bahkan di kota Hellenopolis, terdapat sebuah kumpulan para pengikut agama pagan,

perpaduan antara doktrin agama Babilonia, Yunani Kuno dan Neo-Platonisme. Sampai pada

masa pemerintahan Al-Makmun Abbasiyah, agama mereka masih banyak dianut. Daerah ini

nampaknya sebagai sumber terbesar dalam Hellenisme pada Kebudayaan Islam, terutama

bidang-bidang teknik fisika, matematika, pertanian dan astronomi. Tokoh-tokohnya seperti

Tsabit bin Qurrah (221-288 H)sebagai gurunya khalifah Al-Makmun yang ahli di bidang

astronomi, Ibn Sinan seorang dokter, keluarga Ibrahim bin Hilal yang ahli selain kedokteran juga

kesusastraan, matematika dan teknik fisika. Bahkan Al-Makmun membangun pusat lembaga

penterjemahan.

c. Iskandariyah Mesir, daerah ini merupakan bagian dari ibukota Yunani dan Romawi saat

mereka menjajah, sebagai salah satu daerah yang cukup penting. Ia merupakan pusat

pengembangan filsafat Neo-Platonisme atau juga disebut sebagai madzhab Iskandariyah, yang

dibangun Plotinus (205-269 M) yang menggabungkan rangkaian pikiran Yunani seperti Plato,

Aristoteles dan Kristen.Neo-Planonisme nampaknya berpengaruh besar dalam pemikiran Islam

terutam dalam theosofi (pemikiran madzhab-madzhab sufi), khususnya mengenai konsep “lahut”

dan “nasut”. Salah satu muridnya, Phorporius memberi pengaruh besar selama lebih dari dua

Page 10: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

10

abad sampai masa pemerintahan Romawi Justinian (529 M). Murid lainnya Clement Iskandary

(150 M), Origen (185-254 M) lebih banyak mempadukan antara pemikiran filsafata dengan

doktrin-doktrin agama Kristen. Nampaknya, secara umum pusat studi Iskandariyah lebih banyak

mengembangkan pemikiran agama dan filsafat. Seperti agama Nasrani dengan bahasa Suryani

dan Qibthi pada madzhab Kristen Nestoriyah dan Yeqobiyah, maupun Yahudi dengan filsafat

Yunani, seperti yang dilakukan oleh Philon. Pengembangan studi agama dan filsafat seperti ini

dilanjutkan pada hampir semua gereja-gereja di Mesir, Palestina, Aleppo dan Home13

.

H. Proses Penerjemahan dan Transmisi Ilmu Ke dalam Dunia Islam

Seteleh ketiga wilayah ini masuk dalam pemerintahan Islam, baik pada masa

Khulafaurrasyidin terutama masa Umar bin Khatab ra, maupun masa-masa berikutnya,

kekhalifahan Amawiyah dan Abbasiyah. Maka dengan seketika umat Islam sedikit banyak telah

mengenal berbagai pola pemikiran baru, dimana hal semacam ini tidak pernah dikenal

sebelumnya di wilayah-wilayah Arab. Bahkan sejak pemerintahan Amawiyah salah satunya

sudah mulai ada yang tertarik untuk menterjemahkan sebagian dari karya-karya mereka ke dalam

bahasa Arab, seperti yang dilakukan oleh Khalid bin Yazid bin Mu’awiyah terhadap Kitab

Ishthafan (buku petunjuk penyembuhan).

Akan tetapi, proses penerjemahan mulai gencar dilakukan pada masa Abbasiyah, dan terbagi ke

dalam tiga gelombang:

1. Dari mulai pemerintahan Al-Mansur sampai akhir pemerintahan Harun Al-Rasyid atau antara

tahun 136-193 H. Pada masa ini diterjemahkan kitab Kalilah wa al-Dimnah dari bahasa Persia,

al-Sindhind dari bahasa India, termasuk juga karya-karya Aristoteles tentang logika dan kitab al-

Majesti tentang astronomi. Para penerjemah terkenal pada periode ini di antaranya, Ibn al-

Muqaffa, serta Jurjis bin Jibrail dan Ruhana bin Masawaih keduanya dokter Nasrani. Pada

periode ini, kelompok pemikir Mu’tazilah telah biasa menggunakan karya-karya Aristoteles

seperti al-Nidzam, yang mengupas tentang metode berlogika dan berfilsafat.

2. Dari masa pemerintahan Al-Makmun (198 H) sampai dengan tahun 300 H. Mereka yang

terkenal dalam bidang ini seperti Yuhana atau Yahya al-Bithriq yang lebih menguasai filsafat

dibanding kedokteran, menterjemahkan berbagai karya Aristoteles. Hajaj bin Yusuf bin Mathar

al-Waraq al-Kufi (214 H), Qostho bin Luqo al-Ba’baky (220 H), Abdul Masih bin Nami’ah (220

13

Lihat Philip K.Hitty, History of The Arabs; 309-310

Page 11: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

11

H), Hunain bin Ishaq (w.260 H) dan anaknya Ishak bin Hunain (w.298 H), Tsabit bin Qurrah

(w.288 H), Jaisy al-A’sam anak saudaranya Hunain dsb. Pada periode ini hampir seluruh karya-

karya penting Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pikiran-pikiran Phytagoras, karya-

karya Socrates dan Galenus, kitab Thimaous, Noumous dan Manajemen Perxxkotaan karya

Plato, termasuk karya Al-Majesti juga diterjemah-ulang, juga kitab al-Muqawwilat Aristoteles,

dan sebagainya, seluruhnya diterjemahkan dengan baik oleh Hunain bin Ishak dan anaknya,

Ishak bin Hunain.

3. Masa berikutnya, para penerjemah dilanjutkan oleh Matta bin Yunus di Bagdad (320 H),

Sinan bin Tsabit bin Qurrah (w.360 H), Yahya bin ‘Addy (364 H), Ibn Zur’ah (398 H), mereka

masih banyak menerjemahkan karya-karya logika dan psikologi Aristoteles, mereka juga sudah

mulai memberi komentar terhadap karya-karya ini.14

Dari berbagai karya luar ini, kaum muslimin selain banyak belajar dari mereka, juga

terinspirasi untuk mengungkap berbagai rahasia, baik yang terkandung dalam doktrin-doktrin

agama mereka, maupun untuk mengetahui berbagai hal tentang rahasia alam semesta. Bahkan

untuk selanjutnya, setelah mereka menguasai berbagai metode berfikir filsafat, termasuk

bagaimana membangun paradigma pengetahuan sains, seperti kedokteran, matematika, fisika,

astronomi dan sebagainya, mereka kemudian mampu mengkoreksi bebagai kekurangan dan

kesalahan cara-cara berfikir para pendahulunya ini. Epistemologi Filsafat yang dikembangkan

oleh kaum Mu’tazilah, al-Ghazaly, Ibn Sina, kelompok Ikhwanushafa, Suhrawardy, Ibn Rusyd,

Ibn Hazm, dan seterusnya telah mempadukannya dengan berbagai nilai-nilai agama. Bahkan

epistemology sains seperti yang dikembangkan Ibn Hayyan al-Jabbar, Abu Ma’sar al-Falaky,

dan seterusnya selalu dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitan bukan hanya dengan kebutuhan

kehidupan manusia, tapi juga dengan hal-hal yang berkaitan dengan kewajiban agama. Ilmu

astronomi untuk mempermudah dalam menentukan ketepatan waktu dalam shalat dan

sebagainya. Ilmu hitung untuk mempermudah pembagian waris dan sebagainya.

I. Perkembangan Sains, Seni dan Teknologi Dalam Islam

Sains dan seni dalam Islam merupakan kesatupaduan (unitas) antara nilai kewahyuan dan

kreatifitas kemanusiaan dalam mengembangkan potensi alam semesta. Proses pengembangan

dan wujud dari puncak kemampuan semua ini selalu disebut sebagai peradaban. Kesemua

14

Philip K.Hitty, ibid; 311-316

Page 12: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

12

fenomena di kalangan masyarakat Islam dalam mewujudkan hal ini, adalah sebagai sesuatu yang

khas yang menunjukkan bahwa Islam sendiri adalah sebagai bagian dari sistem peradaban dunia.

Karena dalam banyak hal, Islam memiliki sejumlah doktrin yang selalu mengarahkan pada

semua penganutnya untuk mewujudkan kemampuan masing-masing semaksimal mungkin dalam

aspek-aspek kebudayaan. Seperti semua seni Islam murni, apakah itu bentuk-bentuk arsitektur

masjid, sya’ir-sya’ir alegoris sufi, dan sebagainya sampai pada bentuk-bentuk dan model alat

pengembangan sains, astrobel, dan sebagainya kesemuanya bermuara sebagai bentuk-bentuk

pengabdian pada nilai-nilai ilahiyah15. Dengan demikian semua bentuk-bentuk sains dan seni

dalam Islam secara keseluruhannya juga memanifestasikan pada pemanfaatan fasilitas alam

semesta, yang secara tidak langsung juga memang berasal dari Allah SWT. Sehingga hampir

tidak ada ruang untuk menjelaskan bahwa, berbagai bentuk sains dan seni dalam Islam bersifat

secular atau terpisah dari pertanggungjawaban (para kreatornya) terhadap Allah Yang

MahaPencipta dan Maha Ahli dalam semua hal “wa fauqo kulli dzi ‘ilmin ‘aliim”(QS. Yusuf).

Dalam sebuah tulisannya Oleg Grabor16

menjelaskan, bahwa sains, seni dan budaya

Islam jelas-jelas memiliki corak dan karakteristik yang berbeda dengan seni dan budaya

masyarakat dunia lainnya yang lainnya, berikut sejumlah kekhasan dan keunikannya. Seperti

halnya juga Kristen, Budha, Eropa, China dan sebagainya. Hal ini bisa dimengerti, karena semua

bentuk-bentuk karya seni dan budaya bahkan sains dan teknologinya tidak semata-mata lahir dari

dunia yang kosong atau hampa, tapi ia merupakan wujud dari hasil dialog antara idealitas dan

system keyakinan si pencipta (kreator)nya dengan realitas dan tuntutan sejarah yang

mengililinginya. Sekalipun demikian bukan berarti sains dan teknologi serta seni dan budaya

Islam sama sekali tanpa mengadopsi dari luar doktrin mereka, bahkan mungkin sebagian dalam

hal-hal yang bersifat teknis hampir sepenuhnya juga berangkat dari luar doktrin. Karena doktrin-

doktrin dalam Islam pada umumnya lebih bersifat dan bernuansa pada sesuatu yang lebih

universal, dorongan kemajuan, tidak berbicara pada hal-hal yang bersifat teknis. Oleh karena itu

para sarjana muslim sebagai kreatornya, telah mengambil dan mengadopsi unsur-unsur luar

dengan begitu antusias, kemudian menyesuaikannya dengan konsep-konsep ajaran Islam itu

sendiri.

15

Seyyed Hossain Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, terj.J.Mahyudin, Penerbit Pustaka, 1997; 11 16

Oleg Grabor, Art and Cultur in the Islamic World, Phaidon, London, 1997; 87

Page 13: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

13

J. Seni Dalam Islam

Berbagai gambaran al-Qur’an yang menceritakan begitu banyak keindahan, seperti surga,

istana dan bangunan-bangunan keagamaan kuno lainya telah memberi inspirasi bagi para kreator

untuk mewujudkannya dalam dunia kekinian saat itu. Istana Nabi Sulaiman as, mengilhami

lahirnya berbagai tempat para khalifah atau pemerintahan muslim membentuk pusat

kewibawaan, istana dengan berbagai “wujud fasilitas ruang” di atas kebiasaan rakyat biasa.

Bahkan hadits Nabi SAW yang menyebutkan “Allah al-Jamiil yuhib al-jamal,” telah mengilhami

banyak hal bagi para seniman muslim yang taat untuk mewujudkan sesuatu yang bisa dicintai

Tuhannya. Asma-asma Allah SWT, seperti al-Jamiil secara theologies sangat membenarkan para

kreator seni untuk memanifestasikannya dalam banyak hal. Namun pada sisi yang lain, berbagai

larangan Nabi SAW dan para ulama mereka untuk melukis dan menggambar mahluk hidup yang

bernyawa/bersyahwat dalam mewujudkan corak keindahan ruangan ---meskipun hal ini tidak

ditemukan teks-nya secara langsung dalam al-Qur’an---, kegiatan mereka dalam mewujudkan

gagasan keindahan, tak pernah kehilangan arah17

.

Kreasi dan potensi seni Islam, kemudian dialihkannya pada berbagai bentuk kaligrafi

Islam, dengan pola dan karaktersitik yang indah dan rumit. Mereka membentuk corak ragam hias

ruangan, benda-benda antik seperti gelas atau guci, karpet, dan sebagainya dengan berbagai

ornamen bunga-bungaan atau tumbuh-timbuhan yang dianggap bukan sejenis hewan atau

manusia. Khusus untuk ruangan-ruangan tertentu atau tempat-tempat yang dianggap layak,

biasanya selalu diselipi atau bahkan dimunculkan ayat-ayat al-Qur’an, hadits atau kata-kata

hikmah, dengan pola seni tulis (kaligrafi); diwany, kuufy, riq’y, naskhy, tsulusty, atau yang

lainnya yang sangat indah.

Semua ini merupakan bentuk-bentuk kesatupaduan antara nilai-nilai seni dan spiritual

termasuk selipan nilai-nilai dakwah islamiyah secara umum. Berbagai desain interior muslim

dimanapun, baik bangunan ibadah, istana maupun umum selalu menunjukkan muatan yang tak

pernah kosong bagi para penghuninya, khususnya dalam menghubungkan antara dirinya dengan

pemilik seluruh ruangan dan alam semesta, Allah Rabb al-‘alamin. Termasuk arsitektur tempat-

tempat ibadah seperti masjid, mushola, dan tempat-tempat yang disucikan seperti makam-makam

juga tidak lepas dari upaya sasaran kreasi seni mereka.

17

Lihat Seyyed Hossain Nasr, Spiritualisme Islam, Mizan, 1999

Page 14: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

14

Arsitektur Islam yang umumnya terpusat pada berbagai bangunan masjid di dunia Islam,

selalu menunjukkan nilai-nilai semangat, dan spirit anak-anak zaman yang antusias pada

kecintaan keindahan. Bahkan Imam Syafi’i sebagai ulama besar abad ke-8 M yang sangat

berpengaruh di dunia Islam Sunni, selalu mensejajarkan antara semangat keagamaan masyarakat

dengan bentuk-bentuk bengunan masjidnya. Karena masjid merupakan jantung masyarakat yang

ada di sekitarnya, jika yang menggunakannya sehat maka jantungnyapun akan sehat, begitupun

sebaliknya. Dalam rangka memperindah bangunan masjid, desain interior dengan pola-pola yang

telah dijelaskan banyak ditemukan dihampir setiap masjid-masjid besar di dunia Islam, dari

mulai di Cordova, Maroko, Mesir, Damaskus, Madinah, Makkah, Baghdad, Kuffah, sampai di

India dan masjid-masjid di Nusantara Indonesia18

.

Berbagai bentuk ruangan masjid yang berkembang pada umumnya mengikuti trends

kebutuhan setempat, namun bangunan utama selalu menunjukkan pola yang sama yakni bujur

sangkar, yang dilengkapi dengan ceruk yang menonjol ke luar bagian depannya bagi tempat

imam. Kesamaan lainnya adalah adanya Mihrab sekalipun yang secara histories baru popular

muncul pada masa Dinasti Amawiyah Damaskus, sebagai tempat yang aman dan terhormat bagi

para khotib memberi fatwa dan nasehat-nasehat spiritual ketakwaan para jama’ah. Termasuk

pula kolam-kolam atau tempat-tempat wudlu sebagai sarana thaharah sebelum mereka beribadah,

semuanya tersedia ada disetiap masjid-masjid agung di dunia Islam. Sebenarnya pusat masjid

dunia Islam selalu terfokus pada tiga pusat bangunan suci Islam (the three-pan Islamic

sanctuaries); Masjid al-Haram Makkah, Masjid al-Munawwaroh Madinah dan Masjid al-Aqsa

Palestina. Ketiganya bukan hanya memiliki nilai histories dalam doktrin dan kewahyuan Islam,

tapi juga karakteristik dan nilai estetikanya yang cukup tinggi, yang hampir tidak ditemukan

kekurangannya dalam nilai dan fungsi sebuah bangunan suci19.

K. Sains dan Teknologi

Salah satu sumbangan terbesar Islam bagi dunia modern sekarang, adalah mewariskan

sejumlah teori pengetahuan tentang alam semesta dan cara-cara menerapkan pengetahuan

tentangnya. Dalam banyak hal, hubungan antara ilmu pengetahuan (sains) dengan cara-cara

menerapkannya (teknologi) telah banyak dicontohkan dan diujicobakan oleh sejumlah sarjana

18

Lihat Omar Amin Hoesin, Kultur Islam, Bulan Bintang, 1964 19

Oleg Grabar, op.Cit, 79-81

Page 15: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

15

muslim pada sekitar abad ke-9 – 13 M.. Mereka bukan hanya ditopang oleh pengetahuan dan

pengalamannya, tapi juga anugrah yang melimpah dengan mendapat fasilitas dari pemerintahan,

terutama pada masa-masa kejayaan Abbasiyah di Baghdad. Sebelum melahirkan teknologi,

pengembangan sains lebih dahulu mereka dapatkan, bukan hanya dari hasil-hasil temuan mereka

sendiri, tapi juga mereka dapatkan dari sejumlah sumber yang berasal bukan hanya dari dalam

doktrin Islam saja. Kebanyakan pengetahuan tentang hukum-hukum alam, ilmu ukur dan

matematika, fisika dan geometrika sampai ilmu gaya dan berat mengenai bermacam-macam

benda, mereka peroleh dari warisan Yunani,, Persia, India dan Mesir. Pengetahuan sains ini

mereka kuasai terlebih dahulu sebelum mengembangkan teknologi. Karena ilmu-ilmu tersebut

adalah sebagai dasar-dasar bagi pengembangan teknologi berikutnya20

. Perbedaan yang

mendasar antara sains dan teknologi adalah, sains lebih banyak berbicara tentang teori dan

pengetahuan mengenai macam-macam objek baik yang bersifat mendasar maupun universal,

objektif dan sistematik. Sedangkan teknologi lebih bersifat praktis, yakni ilmu tentang cara-cara

menerapkan pengetahuan sains untuk memanfaatkan alam semesta bagi kesajahteraan dan

kemudahan serta kenyamanan umat manusia. Keduanya sama-sama bersifat netral bagi

kehidupan umat manusia, baik dalam hubungannya sekedar pengetahuan, maupun sebagai alat

bagi kemudahan mereka hidup

Beberapa contoh sains dan teknologi Islam, yang berkait dengan warisan Hellenisme

Yunani adalah filsafat, astronomi, fisika, geometrika, kimia, pertambangan dan metalurgi,

matematika, kedokteran, pertanian, dan sebagainya. Dalam bidang matematika kontribusi Islam

telah mengenalkan system bilangan India, dengan mengenalkan bilangan baru nol (0) dengan

sebuah titik (.). Hal ini telah mempermudah bagi proses penghitungan berikutnya, sekalipun

dengan jumlah klipatan yang sangat panjang. Penulisan bilangan pertama adalah Muhammad bin

Musa al-Khawarizm (w.875 M), selanjutnya Abul Hasan al-Uqlidisy (w.953), Umar Khayyam

(w.1131). Sedangkan dalam bidang astronomi pengaruh Babilonia dan India sangat terasa,

apalagi sejak diterjemahkanya risalah India, Siddhanta ilmu perbintangan para raja sejak tahun

711 M di Baghdad. Abu Ma’syar al-Falaky al-Balkhy merupakan diantara tokoh yang paling

terkenal dalam membuat ramalan-ramalan perbintangan, karyanya, Kitab al-Uluf.

Bidang fisika yang paling menonjol adalah mengenai teori optik yang dikembangkan

oleh Ibn al-Haitsam dalam karyanya “Kitab al-Manadzir”, al-Khaziny (w.1040 M) juga

20

Seyyed Hossain Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, terj.J.Mahyudin, Penerbit Pustaka, 1997; 1- 5

Page 16: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

16

mengurai tentang gaya gravitasi spesifik dlam karyanya “Kitab Mizan al-Hikmah”. Pengobatan

dalam Islam mereka dapatkan banyak dari Persia atau Mesopotamia, India dan lainnya.

Muhammad Ibn Zakariya al-Razy (w.925 M) seorang dokter dan penulis kitab pengobatan yang

cukup terkenal, juga Ibn Sina dengan Qonun fi al-Thib-nya. Keduanya sama-sama telah

membuktikan penguasaannya dalam hal teknologi farmasi dan kedokteran. Dan hampir menjadi

sebuah kebiasaan bahwa para dalam ahli dalam farmasi dan kedokteran ahli ini biasa merangkap

dalam profesinya, selain sebagai filosof, astronom juga ahli21

.

Salah satu contoh pengembangan teknologi lainnya dalam Islam adalah ditemukannya

penerapan teori-teori fisika dalam menentukan arah waktu dengan membuat jam melalui

mekanisme gerak (escapement) air raksa, yang dibuat oleh al-Muradi pada abad ke 11 M.

Termasuk Ridwan dan al-Jazary juga membuat jam dari gerakan air yang disambungkan dalam

gir-gir bersegmen dan episiklus. Kincir air untuk mengambil air dari saluran yang lebih rendah

untuk ditaikkan ke lokasi yang lebih atas, juga telah biasa digunakan di Murcia Spanyol, dan

contohnya masih berfungsi sampai abad ke 13 M.

Demikian perkembangan sains, seni dan teknologi dalam Islam yang terangkum alam

wujud kebudayaan masyarakat Islam pada zamannya

L. Politik dan Etika Pengembangan Ekonomi

Dr. Badar Abdurrahman Muhammad22

dalam karyanya al-Hayat al-Siyasah wa

Mandzahir al-Hadlarah melihat pola perkembangan dan sistem ekonomi Islam cukup

memberikan kontribusi sosial yang sangat tinggi. Penulis buku ini menggambarkan kepada

pembaca tentang politik ekonomi yang berlangsung pada awal-awal abad ke ke 4 Hijriyah

sampai munculnya Dinasti Saljuk. Ada beberapa hal yang dikemukakannya mengenai hal ini.

a. Proses terjadinya interaksi uang dan bisnis

Penulis menyebutkan interaksi uang/perdagangan yang paling mudah diketahui adalah masalah

pungutan/retribusi. Retribusi ini terjadi di negeri Irak pada barang-barang yang diimpor ke dalam

negeri baik melalui jalur darat maupun laut. Akan tetapi, kewajiban membayar retribusi ini bisa

dihilangkan jika ada kesepakatan antara penguasa. Maskawaih pernah menyatakan: “…pada

21

Seyyed Hossain Nasr, ibid, 871-199 22

Lihat Badar Abdurrahman Muhammad, Al-Hayat al-Siyasah wa Mandzahir al-Hadlarah, Dar Nahdliyyah al-

‘Arabiyyah, Beirut, 1999

Page 17: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

17

tahun 335 H telah terjadi perjanjian antara Mu’izzudaulah ibn Buwaih dengan Nashirudaulah al-

Hamdani untuk tidak membayar retribusi dari barang-barang yang dikirim Nashirudaulah ke

Baghdad”.

Retribusi ini tidak hanya diwajibkan antar negara, akan tetapi juga antar kota di bawah satu

kendali pemerintahan. Seperti yang terjadi antar kota Baghdad dan Bashrah yang mana retribusi

dipungut ketika barang-barang perdagangan dikirim melalui sungai Dajlah. Termasuk para

Jamaah Haji yang kembali ke Kufah dan Bashrah yang membawa tenunan dan barang-barang

dipungut 100 dirham per satu set tenunan. Demikian juga dengan jual beli binatang ternak,

seperti unta, kuda dan keledai dan transaksi perdagangan di pasar-pasar semua dikenai retribusi.

Kebijakan retribusi ini terus bergulir pada setiap pergantian tampuk kekuasaan. Karena dinilai

berguna pada pemasukan negara atau daerah kekuasannya. Akan tetapi ada beberapa penguasa

yang kadang-kadang menghilangkan retribusi ini. Penguasa tersebut menilai bahwa kebijakan

retribusi itu dapat menyulitkan rakyat.

Kebijakan retribusi ini memang banyak menghasilkan dinar. Sebagai contoh, pada tahun 306 H

terkumpul 60,370 Dinar dari Baghdad, Bashrah, Wasith, Samir dan Kufah. Akan tetapi retribusi

ini sangat berlebihan pada transaksi-taransaksi yang kecil sekalipun sehingga menambah biaya

belanja dan sangat menyulitkan rakyat kecil.

b. Alat-alat Ukur (takaran, neraca dan ukuran jarak)

Takaran

Alat ukur isi yang paling popular pada awal abad keempat Hijriyah adalah Sha’ yang sebanding

dengan delapan rithl Kufah. Alat ukur kedua adalah Jarib yang luas isinya adalah 29,5 liter atau

sama dengan 22,715 kg. Ketiga adalah alat ukur Kailajah yang sebanding dengan lima rithl atau

enam ratus dirham. Keempat. Alat ukur Kir, yaitu alat ukur orang Babil yang sebanding dengan

30 Karah.

Timbangan

Alat ukur berat ini berbeda standarnya. Alat ukur untuk menimbang kayu yang basah dan yang

kering dan benda-benda lainnya dibedakan standarnya. Yang paling popular waktu itu adalah

rithl, yang sama dengan 130 dirham atau 406,25 gram.

Alat Ukur Jarak

Page 18: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

18

Alat Ukur Jarak yang sering dan sangat penting digunakan waktu itu adalah hasta. Satu hasta

sebanding dengan 24 jari.

c. Mata uang

Mata uang adalah salah satu media interaksi perdagangan yang dibutuhkan manusia dalam

menentukan jenis-jenis barang. Mata uang yang digunakan di berbagai negara Islam tidak lah

sama. Mesir dan Syiria menggunakan dinar emas, sedangkan Persia menggunakan dirhan perak.

Mata uang emas mulai digunakan oleh negri Islam sejak awal abad ke empat Hijriyah.

Penggunaan jenis mata uang ini kemudian naik turun. Penggunaan mata uang juga dijadikan

kendaraan politik bagi para penguasa. Kebijakan salah satu penguasa untuk memakai mata uang

tertentu dapat merugikan perekonomian penguasa lainnya. Pada dinasti Buwaihi terjadi

percetakan mata uang dari tembaga tanpa menentukan neracanya pada emas. Hal berpotensi

menyebabkan terjadi krisis ekonomi.penguasa Abbasiyah telah mencetak banyak dinar dengan

bentuk yang besar dan berat baik digunakan untuk disimpan atau untuk hadiah. Yang di setiap

sisinya diberi gambar pengausa dan kadang ditulis ayat-ayat Al-Quran. Satu dinar sebanding

dengan seratus mistqol.

d. Percetakan uang

Percetakan uang sangat diawasi secara ketat pada masa dinasti Buwaihi. Mereka tidak

memperbolehkan mencetak uang di luar lembaga resmi milik pemerintah. Hal itu untuk menjaga

nilai mata uang dan agar tidak mudah rusak. Maka tidak heran, yang diberikan tugas mengawasi

adalah orang yang fakih dan wara’ dalam beragama. Dinasti Buwaihi tidak segan-segan untuk

memberikan hukuman mati kepada orang yang melanggar aturan ini. Pada masa Abbasiyah

jumlah percetakan uang yang resmi berjumlah 150 buah.

e. Surat Perintah pembayaran dan Cek

Pola pembayaran dengan cek masuk ke negara Islam dimulai sejak datangnya utusan bisnismen

Persia ke Baghdad pada masa Abbasiyah awal. Maka sejak itu proses transaksi perdagangan

kadang menggunakan cek tanpa bersusah payah memindahkan uang dan barang.

Demikianlah, proses transaksi ekonomi pada awal abad keempat hijriyah sudah memakai

sistem modern yang dikenal sekarang ini. Namun, sistem itu pun tidak lepas dari pengaruh

Page 19: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

19

budaya yang berkembang dan masuk pada kebudayaan Islam. Setiap system perdagangan yang

telah disebutkan di atas tidak luput dari unsur politik penguasa untuk melanggengkan

kekuasaannya.

M. Lembaga Peradilan dan Hukum Islam

Dr. Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawy23

dalam karyanya Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah

Dalam buku ini penulis menjelaskan tentang lembaga hukum dan peradilan pada negara

Utsmaniyah. Lembaga-lembaga hukum dan peradilan agama ini menempati posisi yang cukup

baik dalam masyarakat. Para hakim dipilih secara selektif dan melewati waktu yang panjang

untuk bisa menjabat sebagai seorang hakim. Mereka bertugas dalam masalah-masalah hukum

baik yang berkaitan dengan hukum sipil, pidana, perdata, hukum keagamaan maupun hukum-

hukum positif. Atau secara umum mereka menangani hukum-hukum yang berkaitan dengan

syariat Islam di seluruh pelosok negara baik yang berkaitan intern umat Islam maupun hubungan

dengan non Muslim. Pada masa Daulah Utsmaniyah ini madzhab Imam Abu Hanifah dijadikan

madzhab resmi negara. Terjadi perpindahan madzhab para hakim secara radikal pada masa ini.

Kerena madzhab resmi sebelumnya adalah madzhab Imam Syafei. Para hakim tersebut bernaung

pada beberapa kelompok, diantaranya, Hakim Agung, Lembaga pendidikan (kelompok ulama

dan spesialis), Mula, Muftisy (pengawas), Hakim, dan Notaris/Panitra.

Berikut ini dijelaskan secara singkat pengertian dan tugas masing-masing hakim.

Hakim agung; untuk menyebut jabatan ini diistilahkan dengan Hakim Militer. Dia bertempat di

Ibu Kota Negara dan mengawasi aktivitas para hakim di seluruh pelosok negara dan juga

bertugas memilih dan menyeleksi siapa saja yang layak menjadi hakim. Ada banyak bentuk pada

kelompok ini, seperti hakim Militer Lik (Anadhol) dan Ar-Rumali. Keistimewaan kelompok ini

adalah selalu diadakan upacara resmi setiap kali ada pengangkatan hakim agung dengan

menyematkan selendang kehormatan. Hakim dari kelompok Mulla besar; jumlah hakim ini

selalu berubah setiap waktu. Apda abad ke delapan belas jumlahnya mencapai tujuh belas yang

terhimpun pada beberapa organisasi. Muftisy (para pengawas); mereka termasuk para hakim

walaupun nama mereka tidak diambil dari nama hakim. Jumlah mereka sedikit, yaitu sekitar lima

orang. Mereka termasuk hakim tingkat Mula Bek (Mula Besar). Tugas hakim ini adalah

mengawasi wakaf negara dan mengeluarkannya kepada lembaga-lembaga keagamaan. Hakim

23

Lihat Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawi, Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah, Dar al-Risalah li Nasyr wa al-Tauzi’, 2000

Page 20: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

20

dari kelompok Mulla kecil; hakim dari kelompok ini bekerja di sepuluh kota, yaitu Maras,

Baghdad, Bosna Sirau, Sufiya, Balgrad, dan lain-lain. Hakim adat; kelompok hakim ini sangat

besar jumlahnya. Pada akhir abad kedelapan belas jumlahnya mencapai empat ratus lima puluh

hakim yang tersebar di kota-kota kecil di Eropa, Asia dan Afrika. Di Eropa jumlah mereka

mencapai dua ratus orang. Naib (panitra); kedudukan panitra satu tingkat lebih rendah dari

kedudukan seorang hakim. Tugas mereka adalah di kota-kota kecil dan desa-desa besar dan

menggantikan posisi hakim ketika mereka berhalangan hadir untuk memutuskan suatu perkara.

Pemberi Fatwa; mereka adalah bagian lain dari para hakim. Posisi mereka sejajar dengan para

hakim, akan tetapi pusat kegiatan mereka ada setelah kegiatan para hakim dan senantiasa

memberikan fatwa sepanjang hidupnya.

N. Penutup.

Demikian besar secara historis, Islam sebagai kekuatan kebudayaan dalam merealisasikan

dirinya pada pengembangan sains, hukum, teknologi, ekonomi dan ilmu-ilmu humaniora lainnya.

Hingga saat ini, warisan agung (the great-heritage) yang telah diciptakannya masih tetap agung,

meskipun dalam beberapa hal modernisme Barat telah jauh meninggalkan jejaknya. Bagi

generasi muslim saat ini, keagungan peradaban Islam hendaknya bukanlah hanya sekedar mitos,

tapi menjadi etos dimana upaya-upaya terdahulu para pioner muslim telah mampu

membangkitkan dan mengungkap rahasia keagungan Kalam dan Alam yang Tuhan ciptakan

untuk dikembangkan oleh manusia. Tradisi besar membangun “wahyu memandu ilmu

pengetahuan” telah dicoba pada semua lini, meskipun tentunya dengan sisi-sisi keterbatasan

kemanusiaannya.Wallahu a’lam.***

Page 21: Pengembangan Sains Islam dlm Sejarah.pdf.pdf

21

Daftar Pustaka

Ahmad Yahya bin Jabir al-Baladzury, Kitab al-Buldan wa Futuhuha wa Ahkamuha, Juz 2, Dar

Fikr, 1992

Ahmad Amin, Fajr al-Islam; Bahts ‘an al-Hayat al-‘Aqliyyat fi Shadr al-Islam ila Akhir al-

Daulat al-Amawiyyat, Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i Singgapore, 1933

Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Raja Grafindo, cet.2, 2009

-------------& Ading Kusdiana, Islam Di Asia Selatan; Melacak Perkembangan Sosial, Politik,

Islam di India, Pakistan dan Bangladesh, Humaniora, 2006

Abdul ‘Aziz Muhammad as-Sanawi, Ad-Daulah al-‘Utsmaniyah, Dar al-Risalah li Nasyr wa al-

Tauzi’, 2000

Badar Abdurrahman Muhammad, Al-Hayat al-Siyasah wa Mandzahir al-Hadlarah, Dar

Nahdlah al-‘Arabiyah, 1999

Jurji Zaidan, Tarikh Adab al-Lughah al-‘Arabiyyah, jilid 1-2, Dar Fikr 1996

Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Mizan Bandung, 1991

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Paramadina, 2000

Oleg Grabor, Art and Cultur in the Islamic World, Phaidon, London, 1997

Omar Amin Hoesin, Kultur Islam, Bulan Bintang, 1964

Seyyed Hossain Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, terj.J.Mahyudin, Penerbit Pustaka,

1997

--------------------------, Spiritualisme Islam, Mizan, 1999

Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism; Antropological Perspectives, Second

Edition, Pluto Press London, 2002