Pengembangan Pasar Tradisional
-
Upload
garusti-garista-nasta-etos -
Category
Documents
-
view
477 -
download
5
Transcript of Pengembangan Pasar Tradisional
ANALISIS KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL
DI KOTA BOGOR
DYAH ARUM ISTININGTYAS
A14303046
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN
SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN DYAH ARUM ISTININGTYAS. Analisis Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor. Di bawah bimbingan ACENG HIDAYAT.
Adanya kebijakan otonomi telah mengarahkan kebijakan pembangunan Kota Bogor pada upaya peningkatan taraf hidup masyarakat dengan potensinya pada sektor perdagangan dan jasa. Kebijakan yang dilakukan Pemda Kota Bogor untuk meningkatkan kontribusi sektor perdagangan adalah meningkatkan aktivitas pasar-pasar tradisional. Program khusus bagi pengembangan pasar tradisional, yaitu pemindahan Pasar Ramayana ke Pasar Jambu Dua, Pasar Induk Kemang dan Pasar Cimanggu dan pembangunan empat unit pasar tradisional yaitu Pasar Tanah Baru, Pasar Pamoyanan, Pasar Katulampa dan Pasar Bubulak. Namun hasil program tersebut ternyata hanya Pasar Kemang yang berfungsi sebagai pasar induk dan ketiga pasar yang telah dibangun (Pasar Tanah Baru, Pasar Bubulak dan Pasar Pamoyanan) tidak berfungsi sama sekali.
Penelitian ini menggunakan tiga analisis. Analisis stakeholders dilakukan untuk mengetahui tingkat keterlibatan, kepentingan dan pengaruh dari seluruh stakeholders yang terkait dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui penyebab kegagalan kebijakan, apakah proses penyusunannya yang tidak tepat atau penerapannya yang tidak berjalan dengan baik. Analisis PHA digunakan untuk merumuskan strategi pengembangan pasar tradisional yang tepat di Kota Bogor sehingga dapat menjadi masukan bagi pemerintah.
Berdasarkan hasil analisis stakeholders, stakeholders yang terkait dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional, yaitu Bapeda, Disperindagkop, masyarakat pedagang, UPTD, pengelola swasta, Dispenda, DLHK dan DTKP. Stakeholders yang memiliki pengaruh dan kepentingan tertinggi adalah Bapeda dan Disperindagkop sedangkan masyarakat pedagang dan UPTD memiliki kepentingan tinggi namun pengaruhnya rendah. Dispenda, DLHK dan DTKP memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh yang tinggi. Pengelola pasar swasta memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang rendah.
Hasil dari analisis deskriptif menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan disebabkan karena proses penyusunan dan perencanaan kebijakan yang kurang tepat sehingga menyebabkan penerapannya yang kurang tepat pula. Kriteria utama yang menyebabkan proses pembuatan kebijakan pengembangan pasar tradisional kurang tepat yaitu keterlibatan stakeholders dan proses penyusunan kebijakan pengembangan pasar tradisional yang benar. Kriteria utama yang menyebabkan penerapan kebijakan pengembangan pasar tradisional kurang tepat yaitu penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien.
Berdasarkan hasil kajian, maka dapat ditarik kesimpulan secara khusus bahwa dari hasil analisis stakeholders menunjukkan bahwa tidak semua stakeholders yang berkepentingan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional dilibatkan dalam proses perencanaan dan penerapan kebijakan. Sehingga adanya kegagalan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional disebabkan karena tidak dilibatkannya seluruh stakeholders yang berkepentingan terhadap kebijakan ini.
Hasil analisis PHA menunjukkan bahwa aspek yang paling penting dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional secara berurutan yaitu aspek ekonomi, aspek manajemen, aspek sosial dan aspek teknis. Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek ekonomi yaitu menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan pedagang dan masyarakat dan meningkatkan PAD. Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek manajemen yaitu penataan dan pembinaan PKL, meningkatkan manajemen pengelolaan pasar tradisional secara profesional, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien. Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek sosial yaitu terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi konsumen, menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih kompetitif dan mengurangi potensi konflik dengan masyarakat. Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek teknis yaitu peningkatan sarana dan prasarana pasar dan kondisi fisik pasar yang lebih bersih dan rapi. Prioritas alternatif strategi dalam pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu pembentukan PD. Pasar, pemberdayaan pedagang dan pengelola pasar, pendistribusian PKL ke pasar-pasar yang telah dibangun, pembangunan pasar lingkungan, menjalin kemitraan dengan UKM dan koperasi, pemberian bantuan kredit dan pembentukan forum komunikasi.
ANALISIS KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL
DI KOTA BOGOR
Oleh : DYAH ARUM ISTININGYAS
A14303046
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN
pada
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2008
Judul Skripsi : Analisis Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pasar Tradisional
di Kota Bogor
Nama : Dyah Arum Istiningtyas
NIM : A14303046
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT.
NIP. 132 007 149
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr.
NIP. 131 124 019
Tanggal Kelulusan: ________________________
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PASAR
TRADISIONAL DI KOTA BOGOR” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK
TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA
MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA
SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG
PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI
SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Januari 2008
Dyah Arum Istiningtyas A14303046
RIWAYAT PENULIS
Penulis dilahirkan di Kota Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 3
November 1985 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara, keluarga Bapak Totok
Djoko Winarto dan Ibu Kisnani, SmPh. Penulis mengikuti pendidikan Sekolah
Dasar di SD Negeri X Semarang pada tahun 1997 kemudian penulis melanjutkan
pendidikan lanjutan di SLTP Negeri 21 Semarang pada tahun 1997-2000.
Pendidikan Tingkat Atas diselesaikan penulis di SMU Negeri 3 Semarang pada
tahun 2003. Penulis diterima di IPB melalui jalur USMI pada tahun 2003 pada
Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya, Departemen Ilmu-ilmu
Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif
menjadi asisten mata kuliah Pengantar Ilmu Kependudukan (2005/2006). Penulis
juga aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Pertanian (BEM A) periode 2004 – 2005 dan berbagai kepanitiaan di
IPB. Penulis juga menjadi Finalis dalam Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa
(KPKM) Tahun 2007 dengan judul tulisan “Ketidakmampuan Kinerja Subsidi
Pupuk Urea dalam Mewujudkan Kesejahteraan Petani di Provinsi Jawa Barat”.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan rizkiNya
sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan dan Strategi
Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor” dengan menggunakan analisis
kualitatif deskriptif dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat
kelulusan Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pihak yang terlibat dalam
kebijakan dan penyebab dari belum berhasilnya kebijakan serta merumuskan
strategi pengembangan yang tepat untuk pasar tradisional di Kota Bogor. Harapan
penulis adalah agar karya ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak
khususnya yang terkait dengan penulisan ini.
Bogor, Januari 2008
Dyah Arum Istiningtyas
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kehadirat Allah
SWT atas segala limpahan rahmat, berkah, hidayah, dan rizki yang telah membuat
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis ingin mengucapkan
terima kasih atas segala dukungan moril maupun materiil, doa, serta kerjasama
yang telah diberikan selama ini kepada:
1. Kedua orangtua yaitu Bapak dan Mami tersayang atas cinta, motivasi,
dorongan dan kesabaran yang telah diberikan selama membesarkan saya.
2. Kakak saya Mbak Wening atas ketegarannya menghadapi hidup dan mimpi-
mimpinya yang telah membuka jalan untukku. We can do it sis...
3. Mas Daya dan Mbak Eni atas segala kasih sayang dan curahan doa yang terus
mendukung saya selama ini.
4. Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan
bimbingan dengan sabar, serta telah memberikan arahan, saran dan kritik yang
membangun dalam penyelesaian skripsi.
5. Ir. Nindyantoro, Msp atas kesediaannya menjadi dosen penguji utama pada
sidang ujian skripsi dengan arahan pada substansi penelitian.
6. A. Faroby Falatehan, SP. ME atas kesediaannya menjadi dosen penguji
akademik pada sidang skripsi dengan kritik sarannya.
7. Mbak Pini atas kesabarannya membantu saya menyelesaikan semuanya.
8. Naufal Isnaeni, S.Si. dari Bapeda Kota Bogor, Irwan Riyanto dan Anwar
Yuswadi dari Disperindagkop Kota Bogor.
9. Alan Tandiyar dari DTKP Kota Bogor, Rike Ratina dari Dispenda Kota
Bogor.
10. Yayat Sukrina beserta staf dari UPTD Jambu Dua atas data-data dan informasi
yang diberikan.
11. Mas Erwien atas kesabaran dan kebaikannya telah menemani hari-hari turun
lapang. Terimakasih. It’s time for you to take the way. I Believe in you always.
12. Sahabat sejatiku ’Genk Gonjrenk’ : Adis, Ok, Dyah, Tuti, Dessy dan Fahma.
Pada akhirnya kita akan menapaki jalan masing-masing, tapi kalian selalu
menjadi teman terbaikku.
13. Teman-teman di ’Tri Regina’ : Ochie, Dattu, Iin, Wiwik, Ira, Faiq, Dewi,
Silvi, Prista, INMTers, Mbak Dhona, Mbak Uwie, Mbak Aida, Mbak Lury.
14. Rekan-rekan EPS 40 atas pengalaman dan kekompakannya (Fitrina, Hanum,
Ari, Puri, Angke, Andi, Dara, Hamna, Reni, Yudha dan Ainun).
15. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................. x DAFTAR TABEL .................................................................................... xii DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xiii I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6 1.4. Kegunaan Penelitian .................................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 8
2.1. Analisis Kebijakan ..................................................................... 8 2.2. Otonomi Daerah ......................................................................... 9 2.3. Pasar Tradisional ........................................................................ 10 2.4. Studi Terdahulu .......................................................................... 12
III. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................... 15
3.1. Kerangka Pemikiran Operasional .............................................. 15 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 17 3.3. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 18 3.4. Metode Pemilihan Responden .................................................... 19 3.5. Metode Analisis Data ................................................................. 20
3.5.1. Analisis Stakeholders ....................................................... 20 3.5.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional...... 26 3.5.3. Proses Hierarki Analisis ................................................... 26 3.5.4. Struktur Hierarki Kebijakan Pengembangan Pasar
Tradisional ....................................................................... 33
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ........................... 38 4.1 Keadaan Perekomian Wilayah Kota Bogor ................................ 38 4.2 Visi dan Misi Kota Bogor ........................................................... 40 4.3 Kebijaksanaan Pengelolaan Pasar di Wilayah Kota Bogor ........ 42
4.2.1 Pasar Besar ....................................................................... 43 4.2.2 Pasar Sedang .................................................................... 44 4.2.3 Pasar Kecil ....................................................................... 45
V. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL .... 48
5.1 Proses Perencanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional 48 5.2 Penerapan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional ........... 50
5.2.1. Pemindahan Pasar Induk Ramayana ................................ 50 5.2.2. Pembangunan Pasar Tradisional ...................................... 54 5.2.3. Program Pendukung Lainnya ........................................... 58
VI. ANALISIS STAKEHOLDERS .......................................................... 60
VII. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL ................................................................. 71
7.1 Analisis Proses ........................................................................... 71 7.2 Analisis Penerapan Kebijakan ................................................... 81 7.3 Hubungan antara Analisis Proses dan Analisis Penerapan ........ 86
VIII.STRATEGI PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL ....... 87 8.1. Prioritas Aspek Pengembangan Pasar Tradisional ..................... 87 8.2. Prioritas Kriteria Pengembangan Pasar Tradisional .................. 88
8.2.1. Aspek Ekonomi ................................................................ 88 8.2.2. Aspek Manajemen ............................................................ 89 8.2.3. Aspek Sosial ..................................................................... 90 8.2.4. Aspek Teknis .................................................................... 91
8.3. Prioritas Alternatif Strategi dalam Pengembangan Pasar Tradisional ................................................................................. 92
8.4. Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional ...... 95 IX. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 99
9.1 Kesimpulan ................................................................................ 99 9.2 Saran ........................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 102 LAMPIRAN .............................................................................................. 105
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Tabel PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (Tahun 2000) Tahun 2001 – 2005 ......................... 2 2. Tabel Jumlah Pedagang di Pasar Tradisional Kota Bogor ............. 5
3. Tabel Pengumpulan Data ............................................................... 19 4. Tabel Analisis Stakeholders ........................................................... 23 5. Tabel Nilai Skala Banding Berpasangan ........................................ 29 6. Tabel Matriks Pendapat Individu ................................................... 30 7. Tabel Matriks Pendapat Gabungan ................................................ 30 8. Tabel Daftar Nilai Random Indeks ................................................ 32 9. Tabel Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2004-2005 .. 38 10. Tabel Besarnya Tarif Retribusi Pasar di Wilayah Kota Bogor ...... 47 11. Tabel Hasil Analisis Stakeholders dalam Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .................................................... 61
12. Tabel Analisis Proses Perencanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional ............................................................................ 74 13. Tabel Pertumbuhan Penduduk dan Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2005 ........................... 76 14. Tabel Analisis Hasil Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional ............................................................................ 82
DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Gambar Diagram Alir Kerangka Pemikiran .................................. 17 2. Gambar Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders ........... 23 3. Gambar Pasar Induk Jambu Dua..................................................... 52 4. Gambar Pasar Grosir Cimanggu .................................................... 53 5. Gambar Pasar Induk Kemang ......................................................... 54 6. Gambar Pasar Tanah Baru .............................................................. 56 7. Gambar Pasar Pamoyanan .............................................................. 57 8. Gambar Pasar Bubulak.................................................................... 58 9a. Gambar Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders dalam
Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .............................................................................................. 62 9b. Gambar Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders pada Kondisi Ideal dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar
Tradisional di Kota Bogor .............................................................. 68 10. Gambar Peringkat (%) Faktor Penyebab Ketidakberhasilan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional dari Segi Proses Pembuatan Kebijakan .................................................................... 72
11. Gambar Peringkat (%) Faktor Penyebab Ketidakberhasilan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional dari SegiPenerapan Kebijakan ....................................................................................... 81
12. Gambar Prioritas Aspek Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .............................................................................................. 87
13. Gambar Prioritas Kriteria pada Aspek Ekonomi dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .......................... 88
14. Gambar Prioritas Kriteria pada Aspek Manajemen dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .......................... 89
15. Gambar Prioritas Kriteria pada Aspek Sosial dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .................................................... 91
16. Gambar Prioritas Kriteria pada Aspek Teknis dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .................................................... 92
17. Gambar Prioritas Alternatif Strategi dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor .................................................... 93
18a. Gambar Kondisi Pasar Tradisional yang Kotor, Becek dan Tidak Rapi ................................................................................................ 95 18b. Gambar Kondisi Pasar Modern yang Bersih, Nyaman dan Rapi.... 95 19a. Gambar Pasar Modern BSD dari Depan Tampak Bersih dan Menarik ........................................................................................... 96 19b. Gambar Kondisi Pasar BSD yang Bersih, Tidak Becek dan Rapi.. 96 19c. Gambar Label Jenis Komoditi yang Dijual pada Tiap Lorong di Pasar BSD ................................................................................... 96 19d. Gambar Interaksi Sosial antara Penjual dan Pembeli di Pasar BSD 96
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebijakan otonomi daerah yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 telah memberikan arah baru dalam pembangunan nasional
yang bersifat top down menjadi bottom up. Masing-masing daerah diberi
kesempatan untuk melaksanakan proses pembangunan yang didasarkan pada ide-
ide, nilai-nilai sosial, teknologi serta potensi sumberdaya lokal. Hal ini menuntut
adanya peran aktif pemerintah daerah dalam berbagai kebijakan untuk menggali,
mengembangkan dan mengelola potensi sosial ekonominya dalam rangka
memperkuat pembangunan yang berkelanjutan.
Perkembangan otonomi daerah telah membawa sejumlah implikasi
terhadap perubahan fungsi-fungsi pemerintah daerah dalam berbagai kebijakan,
baik dalam kelembagaan, pemanfaatan dan penggalian sumber daya alam, sumber
daya manusia serta sumber-sumber kegiatan ekonomi di berbagai bidang.
Pemerintah daerah harus dapat menggali seluruh potensi yang ada di dalam
pengelolaan keuangan melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan
sumber-sumber keuangan lainnya untuk menunjang pelaksanaan pembangunan
sehingga diharapkan daerah dapat berkembang secara mandiri.
Kebijakan pembangunan Kota Bogor berdasarkan otonomi daerah
diarahkan pada upaya peningkatan taraf hidup masyarakat dengan titik berat pada
pembangunan ekonomi. Salah satu potensi yang dominan dalam menunjang
pembangunan Kota Bogor adalah sektor perdagangan. Sektor ini mampu
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi Kota Bogor dan memberikan
kontribusi sebesar 31,20 persen terhadap Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) Kota Bogor (Badan Pusat Statistik Kota Bogor, 2003), seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan (Tahun 2000) Tahun 2001 – 2005
(Jutaan Rupiah) No Sektor 2001 2002 2003 2004* 2005** 1 Pertanian 10.755,40 11.094,84 11.642,98 12.193,68 12.716,02 2 Pertambangan dan Penggalian 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 3 Industri Pengolahan* 779.846,18 827.318,66 881.718,49 940.062,95 1.002.371,58 4 Listrik, Gas dan
Air Bersih 85.758,27 91.743,05 98.132,83 105.087,61 112.491,06 5 Bangunan 227.279,58 234.466,55 244.414,67 255.205,11 266.037,24 6 Perdagangan, Hotel
dan Restoran 908.410,21 949.697,09 988.571,26 1.029.072,26 1.071.266,44 7 Pengangkutan dan Komunikasi 264.303,07 281.187,90 301.110,33 322.575,82 344.684,12 8 Keuangan, Persewaan,
dan Jasa Perusahaan 325.512,18 358.608,64 398.668,99 441.570,29 489.525,24 9 Jasa-jasa 221.565,32 232.720,65 243.925,99 255.671,20 268.139,21
Produk Domestik Regional Bruto 2.823.430,21 2.986.837,37 3.168.185,54 3.361.438,93 3.567.230,91
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2005 *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
Tabel 1 menunjukkan bahwa kegiatan perekonomian di Kota Bogor
didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran khususnya sektor
perdagangan besar dan eceran yang terus mengalami peningkatan dari tahun 2001
sampai tahun 2005. Pembenahan aspek ekonomi diarahkan pada upaya
mewujudkan Kota Bogor sebagai bursa perdagangan komoditi penting di tingkat
regional, nasional dan internasional (Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor,
2000). Kebijakan yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) Kota Bogor untuk
meningkatkan kontribusi sektor perdagangan dan jasa adalah melalui peningkatan
dan perbaikan sarana dan prasarana perekonomian yang ada di Kota Bogor. Salah
satu strategi yang dilaksanakan oleh Pemda Kota Bogor yaitu dengan
meningkatkan aktivitas pasar-pasar tradisional sebagai basis kekuatan ekonomi
rakyat. Pengembangan pasar-pasar tradisional diarahkan pada penyediaan lahan,
pembangunan dan pemanfaatan pasar tradisional di setiap kecamatan sebagai
sentra ekonomi.
Pemerintah Daerah Kota Bogor telah melaksanakan program khusus bagi
pengembangan pasar tradisional selama periode tahun 1999 sampai tahun 2004,
yaitu pemindahan pusat perdagangan regional dari pusat kota ke daerah pinggiran
dan pengembangan pasar-pasar tradisional di setiap kecamatan. Implementasi dari
program tersebut adalah pemindahan Pasar Induk Ramayana yang berada di pusat
kota ke Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Induk Kemang dan Pasar Grosir Cimanggu
serta pembangunan pasar tradisional minimal terdapat satu unit pasar di tiap
kecamatan (Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor, 2005). Program ini dibuat
supaya kegiatan perdagangan regional di Kota Bogor tidak hanya terkonsentrasi di
pusat kota namun juga di daerah pinggiran yang memiliki tingkat aksesibilitas
tinggi, dan dengan pengembangan kegiatan perdagangan lokal di tiap kecamatan
akan membantu tercapainya pemerataan kegiatan ekonomi di seluruh kota.
Pada kenyataannya pelaksanaan program yang ditetapkan Pemda Kota
Bogor tidak berjalan secara optimal. Kegagalan program tersebut di antaranya
adalah tidak berfungsinya Pasar Jambu Dua dan Pasar Cimanggu sebagai
pengganti Pasar Induk Ramayana. Pasar Induk Ramayana yang berada di tengah
kota telah menimbulkan kemacetan lalu lintas sehingga pemerintah kemudian
menutup Pasar Induk Ramayana dan memindahkan para pedagang di pasar
tersebut ke Pasar Jambu Dua, Cimanggu dan Kemang. Tetapi setelah kepindahan
lokasi Pasar Induk Ramayana ke ketiga lokasi pasar induk alternatif, hanya Pasar
Kemang yang berfungsi sebagai pasar induk. Pasar Jambu Dua dan Pasar
Cimanggu berfungsi sebagai pasar pengecer. Dampak dari perpindahan lokasi
Pasar Induk Ramayana secara umum menyebabkan penurunan volume penjualan
di pasar-pasar pengecer Kota Bogor sehingga penerimaan pedagang pun menurun.
Pasar Cimanggu dan Pasar Jambu Dua mengalami penurunan volume penjualan
yang paling besar yaitu sebesar 86.63 persen dan 82.53 persen. Hal ini disebabkan
karena sepinya pembeli di kedua pasar tersebut (Kartini, 2002).
Kebijakan lain yang ditempuh sebagai upaya untuk memeratakan
pembangunan ekonomi yaitu pembangunan empat unit pasar tradisional di empat
kecamatan yaitu di Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Selatan dan Bogor Utara.
Sampai tahun 2001 dari empat pasar tradisional yang akan dibangun yaitu Pasar
Tanah Baru, Pasar Pamoyanan, Pasar Katulampa dan Pasar Bubulak, baru dua
pasar saja yang telah terealisasi yaitu Pasar Tanah Baru dan Pasar Pamoyanan dan
hanya satu pasar saja yang sudah berfungsi yaitu Pasar Tanah Baru. Meskipun
pada kenyataannya perkembangan tersebut belum optimal, karena kios yang terisi
di Pasar Tanah Baru hanya sepuluh kios dari 120 kios yang ada. Sampai saat ini
belum ada pemungutan tarif retribusi yang dilakukan oleh pihak pengelola pasar.
Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi dari rencana dan implementasi kebijakan
Pemda Kota Bogor untuk mengetahui penyebab kegagalan kebijakan tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Letak Kota Bogor yang dekat dengan Jakarta menyebabkan Bogor
mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang pesat yaitu sebesar 20,41 persen pada
tahun 2003 dengan kegiatan utamanya adalah sektor perdagangan (Badan
Perencanaan Daerah Kota Bogor, 2005). Perda No 1 Tahun 2001 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor Tahun 1999-2009 menyatakan bahwa salah
satu fungsi utama Kota Bogor adalah sebagai kota perdagangan. Untuk mengimbangi
laju pertumbuhan Kota Bogor yang sedemikian pesat khususnya pada sektor
perdagangan dan jasa maka prioritas pembangunan yang perlu diutamakan yaitu
meningkatkan aktivitas perdagangan melalui pembangunan dan perbaikan sarana
publik.
Salah satu kebijakan yang ditempuh Pemda Kota Bogor dalam
mengembangkan sektor perdagangan yaitu dengan kebijakan pengembangan pasar
tradisional. Kebijakan pengembangan pasar tradisional yang dilaksanakan tersebut
ternyata tidak berjalan secara optimal. Hal ini dapat ditunjukkan dari jumlah
pedagang yang mengisi kios-kios yang tersedia di pasar-pasar tradisional Kota
Bogor. Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat beberapa pasar tradisional di Kota
Bogor yang jumlah pedagangnya kurang dari 50 persen dari total kios dan los
yang disediakan di pasar tersebut. Pasar-pasar tersebut di antaranya yaitu Pasar
Jambu Dua, Pasar Merdeka dan Pasar Tanah Baru. Kios yang terisi paling sedikit
terjadi pada Pasar Tanah Baru, sehingga dapat disimpulkan bahwa program
pengembangan pasar tradisional yaitu pembangunan pasar tradisional baru belum
mencapai hasil yang diharapkan.
Tabel 2. Jumlah Pedagang di Pasar Tradisional Kota Bogor NO PASAR JUMLAH KIOS JUMLAH KIOS TERISI (%) 1 Pasar Kebon Kembang 2.343 2.168 92.53 2 Pasar Bogor 2.250 1.179 52.4 3 Pasar Jambu Dua 756 335 44.31 4 Pasar Merdeka 601 208 34.61 5 Pasar Sukasari 275 140 51 6 Pasar Padasuka 220 214 97.27 7 Pasar Gunung Batu 203 198 97.54 8 Pasar Tanah Baru 120 10 8.33 9 Pasar Kemang 104 63 60.58 TOTAL 6.872 4452 64.79
Sumber: UPTD Pasar Tradisional Kota Bogor, 2003 (diolah)
Berdasarkan fakta yang diuraikan di atas, maka untuk itu perlu diketahui:
1. Bagaimana kepentingan dan pengaruh dari stakeholders yang terlibat dalam
kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor?
2. Apa penyebab dari belum berhasilnya kebijakan pengembangan pasar
tradisional di Kota Bogor? Apakah hal ini disebabkan oleh proses penyusunan
program pengembangan pasar tradisional yang kurang tepat? Atau
penerapannya yang tidak berjalan dengan baik?
3. Bagaimana rencana dan strategi pengembangan pasar tradisional yang tepat
untuk Kota Bogor?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi kepentingan dan pengaruh dari stakeholders yang terlibat
dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor.
2. Menganalisis penyebab dari belum berhasilnya kebijakan pengembangan
pasar tradisional di Kota Bogor.
3. Menganalisis rencana dan strategi pengembangan pasar tradisional yang tepat
untuk Kota Bogor.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :
1. Bagi Pemerintah Daerah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan dalam
rangka pengembangan pasar tradisional serta sebagai bahan pertimbangan
dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan pasar
tradisional di Kota Bogor.
2. Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan pengetahuan terkait
dengan kebijakan pengembangan dan pengelolaan pasar tradisional.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai sarana untuk meningkatkan
kemampuan berpikir, daya nalar dan daya analitis dalam mengidentifikasi,
merumuskan dan menganalisis masalah yang berkaitan dengan kebijakan
pengembangan pasar tradisional.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan
menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari
para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan (E.S. Quade dalam Dunn,
1994). Analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan publik.
Kebijakan didasarkan pada masalah yang ada di daerah, selanjutnya kebijakan
harus secara terus menerus dipantau, direvisi dan ditambah agar tetap memenuhi
kebutuhan yang terus berubah.
Analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun dan menguji teori-
teori deskriptif yang umum namun mengkombinasikan dan mentransformasikan
substansi dan metode beberapa disiplin ilmu sehingga menghasilkan informasi
yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah
publik. Analisis kebijakan juga meliputi evaluasi dan rekomendasi kebijakan.
Analisis kebijakan diharapkan untuk menghasilkan informasi mengenai : (1) nilai
yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah
telah teratasi, (2) fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan
pencapaian nilai-nilai, dan (3) tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan
pencapaian nilai-nilai.
Terdapat 3 (tiga) pendekatan dalam analisis kebijakan, yaitu :
1. Pendekatan empiris adalah pendekatan yang menjelaskan sebab dan akibat
dari suatu kebijakan publik.
2. Pendekatan evaluatif adalah pendekatan yang berkenaan dengan penentuan
bobot atau nilai dari beberapa kebijakan.
3. Pendekatan normatif adalah pendekatan yang ditekankan pada rekomendasi
serangkaian tindakan yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik.
Sebagai proses penelitian analisis kebijakan menggunakan prosedur
analisis umum yang biasa dipakai untuk memecahkan masalah-masalah
kemanusiaan, yaitu: deskriptif, prediksi, evaluasi, dan rekomendasi. Dari segi
waktu dalam hubungannya dengan tindakan maka prediksi dan rekomendasi,
digunakan sebelum tindakan diambil, sedangkan evaluasi digunakan setelah
tindakan terjadi.
2.2. Otonomi Daerah
Otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan seluas-luasnya kepada
daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No. 32 Tahun 2004).
Tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang
bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan
terhadap masyarakat.
Pada hakekatnya penerapan prinsip ini ditujukan untuk mengurangi
ketergantungan pada pusat bagi pelaksanaan pembangunan di daerah. Otonomi
daerah tidak hanya dipahami sebagai pemindahan sentralisasi kekuasaan dari
pusat kemudian diberikan ke daerah (dekonsentrasi kekuasaan). Gagasan otonomi
tidak lepas dari gagasan demokratisasi, yaitu memfasilitasi kebebasan dan
otonomi rakyat sehingga bisa berkembang semaksimal mungkin sesuai dengan
potensi dan konteksnya. Otonomi daerah membuat pemerintah semakin dekat,
mengenali, dan memahami masyarakat sehingga fungsi sebagai fasilitator dapat
berjalan dengan baik (Ismawan, 2003).
2.3. Pasar Tradisional
Pasar tradisional merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli yang
ditandai dengan adanya transaksi penjual dan pembeli secara langsung, bangunan
biasanya terdiri dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka
oleh penjual maupun suatu pengelola pasar, sebagian besar pasar menjual
kebutuhan sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-
sayuran, telur, daging, kain, pakaian barang elektronik, jasa dan lain-lain.1
Hierarki pasar dibagi menjadi tiga, yaitu :
1. Pasar Kawasan 30.000 Penduduk (Pasar Kelurahan/Desa)
Fungsi utama sebagai pusat perbelanjaan di lingkungan yang menjual
keperluan sehari-hari termasuk sayur, daging, ikan, buah-buahan, beras, tepung-
tepungan, bahan-bahan pakaian, pakaian, barang-barang kelontong, alat-alat
pendidikan, alat-alat rumah tangga dan lain-lain. Lokasinya berada pada jalan
utama lingkungan dan mengelompok dengan pusat lingkungan dan mempunyai
terminal kecil untuk pemberhentian kendaraan. Penduduk minimum yang dapat
mendukung sarana ini adalah 30.000 penduduk. Luas tanah yang dibutuhkan
adalah 13.500 m2.
2. Pasar Kawasan 120.000 Penduduk (Pasar Kecamatan)
Fungsi utama sama dengan pasar lingkungan lain hanya dilengkapi sarana-
sarana niaga lainnya seperti kantor-kantor, bank, industri-industri kecil seperti
konveksi dan lain-lain. Lokasinya mengelompok dengan pusat kecamatan dan 1 Dikutip dari situs Wikipedia Indonesia, http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar pada tanggal 20
Januari 2008
mempunyai pangkalan transportasi untuk kendaraan-kendaraan jenis angkutan
penumpang kecil. Jumlah minimum penduduk yang dapat mendukung sarana ini
adalah 120.000 penduduk. Luas tanah yang dibutuhkan adalah 36.000 m2.
3. Pasar Kawasan 480.000 Penduduk (Pasar Kabupaten/Kota)
Fungsi utama sama dengan pasar yang lebih kecil dengan skala usaha yang
lebih besar dan lengkap. Lokasinya dikelompokkan dengan pusat wilayah dan
mempunyai terminal bis, oplet dan kendaraan-kendaraan jenis angkutan
penumpang kecil lainnya. Penduduk minimum yang dapat mendukung sarana ini
adalah 480.000 penduduk. Luas tanah yang dibutuhkan adalah 96.000 m2
(Rahayu, 2005).
Hierarki pasar menurut Perda Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005 tentang
Penyelenggaraan Pasar dibedakan berdasarkan pengertian menurut pengelola,
tingkat pelayanan dan kelas mutu pelayanan, yaitu :
1. Pasar menurut Pengelolanya :
a. Pasar Pemerintah, yaitu pasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah
Daerah.
b. Pasar Swasta, yaitu pasar yang diselenggarakan atau dikelola oleh orang
pribadi atau badan.
2. Pasar menurut Tingkat Pelayanannya :
a. Pasar Regional, yaitu pasar dengan komponen bangunan-bangunan yang
lengkap, sistem arus barang dan orang baik di dalam maupun di luar
bangunan, dan melayani perdagangan tingkat regional.
b. Pasar Kota, yaitu pasar dengan komponen bangun-bangunan, sistem arus
barang dan orang baik di dalam maupun di luar bangunan, dan melayani
perdagangan tingkat kota.
c. Pasar Wilayah, yaitu pasar dengan komponen bangun-bangunan, sistem
arus barang dan orang baik di dalam maupun di luar bangunan, dan
melayani perdagangan tingkat kota.
d. Pasar Lingkungan, yaitu pasar dengan komponen bangun-bangunan,
sistem arus barang dan orang terutama di dalam bangunan, dan melayani
perdagangan tingkat lingkungan.
3. Pasar menurut Kelas Mutu Pelayanan :
a. Pasar Tradisional, yaitu pasar yang dibangun dengan fasilitas sederhana,
dikelola dengan manajemen sederhana dengan tempat usaha berupa toko,
kios, los, ataupun tenda yang diisi oleh pedagang kecil, menengah dan
koperasi dengan proses jual beli melalui tawar menawar.
b. Pasar Modern, yaitu pasar yang dibangun dan dikelola dengan
menggunakan metode manajemen modern, didukung dengan teknologi
modern serta mengutamakan pelayanan dan kenyamanan berbelanja.
2.4. Studi Terdahulu
Penelitian mengenai pengembangan pasar tradisional pernah dilakukan
oleh Rangkuti (2005) di Kota Medan. Tesis tersebut menganalisis pengaruh
pengembangan pasar tradisional terhadap pembangunan wilayah. Hasil analisis
menunjukkan bahwa menurut persepsi responden pengembangan pasar tradisional
dalam aspek kebersihan, keamanan dan penataan gerai akan dapat meningkatkan
jumlah pengunjung/pembeli di pasar-pasar tradisional Kota Medan.
Pengembangan pasar-pasar tradisional di Kota Medan dapat menyebabkan
terjadinya pengembangan wilayah dengan bertambahnya aktivitas sosial ekonomi
masyarakat dan peningkatan pendapatan pedagang sehingga retribusi yang
diperoleh PD. Pasar dapat digunakan untuk pembangunan dan pengembangan
sarana-sarana fisik pasar-pasar tradisional di Kota Medan.
Penelitian mengenai pemindahan lokasi pasar induk pernah dilakukan oleh
Kartini (2002) di Kota Bogor. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis
dampak perpindahan lokasi terhadap sistem pemasaran sayur-mayur di Kota
Bogor. Hasil penelitian mengemukakan bahwa dari ketiga alternatif pasar induk
yang ditawarkan oleh Pemda Kota Bogor, ternyata hanya Pasar Induk Kemang
yang betul-betul berfungsi sebagai pengganti Pasar Ramayana. Perpindahan
tersebut berdampak pada peningkatan biaya transfer dan penurunan volume
penjualan. Kegiatan pemasaran sayur-mayur menjadi lebih efisien dengan Pasar
Induk Kemang sebagai pasar acuan dan barometer harga dalam pemasaran sayur-
mayur di Kota Bogor.
Penelitian mengenai pembangunan pasar tradisional di Kota Bogor pernah
dilakukan oleh Tandiyar (2002). Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan
kajian terhadap faktor penentu pendukung perkembangan Pasar Tanah Baru,
sebagai acuan bagi pembangunan pasar tradisional baru di Kota Bogor. Hasil
analisis menunjukkan bahwa perkembangan Pasar Tanah Baru dipengaruhi oleh
variabel market area, aglomerasi dan threshold population dari segi keruangan,
ketersediaan sarana angkutan umum dan besarnya nilai rupiah yang dibelanjakan
dari segi konsumen serta jenis jualan dan besarnya nilai transaksi yang terjadi dari
segi pedagang, meskipun pada kenyataannya perkembangan tersebut belum
mencapai perkembangan yang menggembirakan. Berdasarkan hasil acuan tersebut
ternyata dari ketiga lokasi pasar yang dibangun, hanya Pasar Katulampa yang
memenuhi semua kriteria, sedangkan Pasar Pamoyanan dan Bubulak masih
dianggap belum memenuhi, terutama dalam aglomerasi dan ketersediaan sarana
angkutan umum. Peningkatan perkembangan Pasar Tanah Baru direkomendasikan
dengan pembangunan jalan tembus ke lokasi perumahan yang ada di Kelurahan
Tegal Gundil dan penataan rute angkutan kotanya. Pasar Katulampa
direkomendasikan untuk ditindaklanjuti dengan pembangunan, sedangkan yang
lainnya harus ditunda atau dipindahkan lokasinya ke tempat lain yang lebih
memenuhi persyaratan.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Operasional
Otonomi daerah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk
merumuskan kebijakan sebagai upaya untuk menggali seluruh potensi yang ada
dalam pengelolaan keuangan melalui peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
dan sumber-sumber keuangan lainnya untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan. Kota Bogor memiliki potensi dalam sektor perdagangan dan jasa
yang besar untuk dikembangkan menjadi sektor unggulan. Eksistensi sektor
perdagangan terutama subsektor perdagangan besar dan eceran telah memberikan
kontribusi yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan PDRB Kota Bogor.
Sektor ini merupakan penyumbang kontribusi terbesar terhadap PDRB.
Pemerintah Daerah Kota Bogor menetapkan kebijakan pengembangan
pasar tradisional untuk meningkatkan kontribusi sektor perdagangan. Kebijakan
ini dilaksanakan dalam dua program yaitu pemindahan pusat perdagangan
regional dari pusat kota ke daerah pinggiran dan pengembangan pasar-pasar
tradisional di tiap kecamatan. Implementasi dari program ini yaitu pemindahan
Pasar Ramayana ke Pasar Induk Kemang, Pasar Induk Jambu Dua dan Pasar
Grosir Cimanggu serta pembangunan pasar tradisional di empat kecamatan yaitu
Pasar Tanah Baru, Pasar Pamoyanan, Pasar Katulampa dan Pasar Bubulak.
Program tersebut belum memperlihatkan hasil seperti yang diharapkan.
Hal ini dapat ditunjukkan dari kegagalan program tersebut dalam mencapai target.
Pasar Kemang merupakan satu-satunya pasar yang berfungsi sebagai pasar induk
sedangkan Pasar Jambu Dua dan Pasar Cimanggu berfungsi sebagai pasar
pengecer. Selain itu dari empat pasar tradisional yang dibangun, hanya satu pasar
yang berfungsi yaitu Pasar Tanah Baru meskipun hasilnya belum optimal.
Dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional ini banyak
melibatkan stakeholders. Masing-masing stakeholders yang terlibat memiliki
kepentingan dan pengaruh yang berbeda-beda terhadap kebijakan pengembangan
pasar tradisional. Hal ini dapat ditunjukkan dengan peranan serta keterlibatan
masing-masing stakeholders dalam program pengembangan pasar tradisional.
Kondisi ini dapat mempengaruhi keberhasilan proses perencanaan dan penerapan
kebijakan pengembangan pasar tradisional dalam mencapai tujuannya. Oleh
karena itu dalam penelitian ini menggunakan analisis stakeholders untuk
mengidentifikasi stakeholders yang terlibat, terkait dengan kepentingan dan
pengaruhnya terhadap kebijakan.
Untuk mengidentifikasi penyebab dari belum optimalnya hasil dari
program pengembangan pasar tradisional dilakukan menggunakan analisis
deskriptif, apakah hal ini disebabkan oleh proses penyusunan program
pengembangan pasar tradisional yang kurang tepat (Lampiran 1), atau
penerapannya yang tidak berjalan dengan baik (Lampiran 2). Untuk menganalisis
strategi pengembangan pasar tradisional digunakan metode Proses Hierarki
Analisis/PHA (Lampiran 3). Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah untuk mengambil keputusan
dalam merumuskan kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Otonomi Daerah
Potensi Perdagangan Kota Bogor
Program Pengembangan Pasar Tradisional
Pemindahan Pusat Perdagangan Regional dari Pusat Kota ke Daerah
Pinggiran
Pengembangan Pasar-Pasar Tradisional di Setiap
Kecamatan
Berhasil (Pasar Induk Kemang)
Belum Berhasil (Pasar Jambu Dua, Pasar Cimanggu, Pasar Tanah Baru, Pasar Pamoyanan)
Identifikasi/Analisis Penyebab Kegagalan Kebijakan
Proses Penerapan
Strategi Pengembangan Pasar Tradisional
Rekomendasi Pemda
Deskriptif
PHA
Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Analisis Stakeholders
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan
lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kota
Bogor merupakan kota satelit bagi Jakarta sehingga mengalami pertumbuhan
ekonomi yang tinggi terutama di sektor perdagangan. Hal ini membutuhkan
kebijakan pengembangan sektor perdagangan khususnya dalam hal
pengembangan pasar tradisional untuk mengimbangi pertumbuhan sektor
perdagangan yang pesat. Waktu penelitian berlangsung dari bulan Juli sampai
dengan Oktober 2007.
3.3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder, baik kualitatif maupun kuantitatif (Tabel 3). Data primer diperoleh
dari hasil kuesioner melalui wawancara langsung dengan para pengambil
kebijakan yang berasal dari Lembaga/Instansi Pemerintah, Tokoh Masyarakat,
Swasta dan para pedagang. Data primer mencakup: (1) proses perencanaan
kebijakan pengembangan pasar tradisional, (2) penerapan program, dan (3)
strategi pengembangan pasar tradisional. Data sekunder diperoleh dari studi
pustaka dan data penunjang yang relevan dengan penelitian. Data sekunder
diperoleh dari Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop)
Kota Bogor, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapeda) Kota Bogor,
Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, Dinas Tata Kota dan
Pertamanan (DTKP) Kota Bogor, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan
(DLHK) Kota Bogor, Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, Unit Pelaksana
Teknis Dinas Pasar Tradisional (UPTD) Kota Bogor. Data penunjang diperoleh
dari laporan hasil penelitian terkait, jurnal, buletin, internet serta sumber-sumber
lainnya.
Tabel 3. Pengumpulan Data No Tujuan Penelitian Data yang dikumpulkan Sumber Data Analisis 1 Mengidentifikasi
stakeholders yang terlibat dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional
Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholders terhadap keberhasilan program
Data Primer: Wawancara dengan instansi terkait Data Sekunder: Visi dan Misi, Tupoksi
Stakeholders
2 Mengidentifikasi penyebab kurang berhasilnya program pengembangan pasar tradisional: • Proses • Penerapan
• Rencana Strategi (Renstra)
• Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Bogor
• Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
• Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK)
• Perda Tata Ruang • Perda lainnya.
Data Sekunder: Renstra Kota Bogor, RTRW, RDTR Data Primer: Wawancara dengan instansi terkait
Deskriptif
3 Mengidentifikasi strategi pengembangan pasar tradisional
Persepsi responden tentang pengembangan pasar tradisional terdiri dari tujuan, aspek, kriteria dan alternatif strategi kebijakan
Data Primer: Wawancara dengan pihak pengambil kebijakan (Pemda), Disperindag, DTKP, DLHK, UPTD
PHA
3.4. Metode Pemilihan Responden
Identifikasi stakeholders yang terlibat dalam kebijakan pengembangan
pasar tradisional dilakukan dengan teknik bola salju (snow ball) yaitu dengan
melacak keterangan dari setiap stakeholders untuk mengetahui keberadaan
stakeholders lainnya. Jika keterangan dari setiap stakeholders tidak menyebutkan
stakeholders yang baru lagi, berarti semua stakeholders sudah diidentifikasi.
Pengkajian dilakukan secara mendalam untuk setiap stakeholders terkait dengan
peran dan keterlibatannya dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional serta
untuk analisis kebijakan pengembangan pasar tradisional terkait dengan
pemahaman stakeholders terhadap setiap tahapan proses dan penerapan kebijakan.
Pemilihan responden untuk analisis PHA dilakukan dengan metode
Purposive Sampling, yaitu metode pengambilan contoh responden tidak secara
acak tetapi pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan baik individu atau
lembaga sebagai responden yang mengerti permasalahan yang terjadi dan
memiliki pengaruh dalam pengambilan kebijakan baik langsung maupun tidak
langsung pada pelaksanaan kebijakan atau memberi masukan kepada para
pengambil kebijakan yaitu Pemerintah, Non Pemerintah, dan Masyarakat.
Responden antara lain: Staf atau Pejabat Pemda, Bapeda, Disperindagkop,
Dispenda, DTKP, dan DLHK.
3.5. Analisis Data
3.5.1. Analisis Stakeholders
Untuk menilai kebijakan pengembangan pasar tradisional, diperlukan
suatu analisis stakeholders yang terkait dengan kebijakan tersebut. Analisis
stakeholders adalah sebuah proses sistematis untuk mengumpulkan dan
menganalisis informasi secara kualitatif untuk menentukan kepentingan siapa
yang harus diperhitungkan ketika mengembangkan atau menerapkan suatu
kebijakan atau program (Schmeer, 2007). Stakeholders dapat diartikan sebagai
individu, kelompok atau lembaga yang kepentingannya dipengaruhi oleh isu atau
pihak yang tindakannya secara kuat mempengaruhi isu. Stakeholders dibagi
menjadi tiga kelompok berdasarkan besar kecilnya pengaruh atau kepentingan
terhadap suatu kebijakan yaitu:
a. Stakeholders utama, mempunyai pengaruh yang lemah terhadap lahirnya suatu
kebijakan/keputusan tetapi kesejahteraan mereka sangat penting
dipertimbangkan bagi pengambil kebijakan/keputusan. Dalam hal ini adalah
masyarakat yang berada di sekitar areal yang akan dikembangkan serta pihak
lain yang memanfaatkan wilayah tersebut.
b. Stakeholders sekunder (tingkat kedua), yaitu mereka yang mempengaruhi
keputusan/kebijakan pada saat kebijakan dibuat (pembuat kebijakan) dan
pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan tersebut. Pada program
pengembangan pasar tradisional ini, yang menjadi stakeholders sekunder
adalah pihak pemerintah daerah atau pihak swasta.
c. Stakeholders eksternal, adalah individu atau grup yang dapat menggunakan
pengaruhnya misalnya dengan melakukan lobi kepada pembuat keputusan.
Yang digolongkan pada stakeholders eksternal adalah Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan pemerhati lingkungan (Brown et al., 2001 dalam
Dharmayanti, 2006).
Langkah-langkah dalam melakukan analisis stakeholders yaitu :
1. Membuat tabel stakeholders (Tabel 4)
• Membuat daftar semua stakeholders yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh program.
• Menuliskan kepentingan stakeholders (yang tertutup maupun terbuka) dalam
kaitannya dengan program dan tujuannya. Kepentingan stakeholders mengacu
pada motif dan perhatian mereka pada kebijakan atau program.
• Menuliskan kepentingan utama stakeholders minimal dua.
• Menuliskan sikap stakeholders terhadap kebijakan atau program. Sikap
mengacu pada reaksi utama dari berbagai stakeholders dalam memutuskan
pandangan terhadap kebijakan.
• Menilai sikap dari stakeholders terhadap kebijakan sebagai berikut :
3 = sangat mendukung/menyetujui
2 = cukup mendukung/menyetujui
1 = netral
-2 = cukup menentang/menolak
-3 = sangat menentang/menolak
• Membuat penilaian awal tentang tingkat kekuatan dan pengaruh dari masing-
masing stakeholders. Kekuatan stakeholders mengacu pada kuantitas
sumberdaya yang dimiliki stakeholders yaitu sumberdaya manusia (SDM),
finansial dan politik.
• Menentukan nilai tingkat kekuatan stakeholders dengan kriteria SDM,
finansial dan politik di mana :
5 = sangat kuat; 4 = kuat; 3 = rata-rata; 2 = lemah; 1 = sangat lemah
• Menentukan tingkat pengaruh yaitu jumlah dari tingkat kekuatan (SDM +
finansial + politik) dari masing-masing stakeholders.
• Menentukan nilai total yaitu perkalian antara sikap dengan pengaruh untuk
setiap stakeholders.
• Memutuskan kebutuhan keterlibatan stakeholders dalam kebijakan atau
program, di mana jika total < 10 maka stakeholders dapat diabaikan, dan jika
total > 10 maka stakeholders harus dilibatkan dalam kebijakan atau program.
• Menentukan tingkat keterlibatan stakeholders. Untuk analisis ini, stakeholders
dibagi dalam tiga grup yaitu :
Grup 1 dengan total = 10 – 20 maka stakeholders akan menjadi pihak
penerima informasi.
C (KEEP SATISFIED)
*1 *4 *6
B (MANAGE CLOSELY)
*2
D (MONITOR) *7 *8
A (KEEP INFORMED)
*3
Tinggi
Tingkat Pengaruh
Tinggi Rendah Tingkat Kepentingan
* Stakeholders
Sumber: DFID (2006)
Gambar 2. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders
Grup 2 dengan total = 20 – 30 maka stakeholders akan menjadi pihak pemberi
pertimbangan.
Grup 3 dengan total > 30 maka stakeholders merupakan pihak pengambil
keputusan kebijakan.
Tabel 4. Analisis Stakeholders Kriteria Evaluasi Keputusan
Kekuatan Stakeholders Kepentingan Sikap SDM Finansial Politik Pengaruh Total Keterlibatan Tingkat Keterlibatan
Sumber: Abdrabo dan Hassaan (2007)
2. Identifikasi partisipasi stakeholders yang tepat (lihat Gambar 2).
• Membuat ringkasan matriks partisipasi untuk mengklarifikasi peranan yang
harus dilaksanakan oleh semua stakeholders pada berbagai tahapan siklus
program.
• Membahas bersama stakeholders mengenai peranan yang harus mereka
lakukan, sehingga diketahui posisinya bila ditempatkan dalam matriks.
Berdasarkan Gambar 2 menunjukkan keterangan sebagai berikut :
Kotak A :
Pihak yang sangat penting bagi kebijakan, tapi pengaruhnya rendah. Mereka
membutuhkan inisiatif khusus jika ingin melindungi kepentingan mereka. Pihak
ini harus terus diberikan informasi yang cukup mengenai kebijakan serta
meyakinkan mereka bahwa tidak ada masalah besar yang timbul. Pihak ini
seringkali sangat berguna bagi proses penyusunan kebijakan secara terperinci.
Kotak B :
Pihak yang sangat penting bagi kebijakan, tapi juga sangat penting bagi
pencapaian keberhasilan. Penyusun kebijakan dan donor perlu membina hubungan
kerja yang baik dengan para pihak ini untuk memastikan adanya dukungan
terhadap program. Stakeholders yang termasuk pihak ini harus dilibatkan secara
penuh dalam setiap proses maupun penerapan kebijakan.
Kotak C :
Pihak yang berpengaruh besar, karena dapat mempengaruhi hasil kebijakan, tapi
tidak memiliki minat terhadap kebijakan. Usaha nyata diperlukan untuk membuat
mereka tetap puas dengan hasil kebijakan.
Kotak D :
Pihak yang berada pada prioritas rendah, tapi membutuhkan monitoring dan
evaluasi yang terbatas. Mereka tidak mungkin menjadi subyek kebijakan.
Tingkat kepentingan dan pengaruh yang berbeda dari masing-masing
stakeholders memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan
pengembangan pasar tradisional. Dalam kondisi yang ideal seharusnya
stakeholders yang memilki tingkat kepentingan yang tinggi, maka akan memiliki
pengaruh yang tinggi pula terhadap pelaksanaan kebijakan, begitu juga
sebaliknya. Sehingga penyebaran stakeholders dalam matriks akan membentuk
garis diagonal (DFID, 2006).
Analisis stakeholders dilakukan dengan cara mengolah data dan informasi
yang berhubungan dengan stakeholders yang terlibat dalam pelaksanaan
kebijakan pengembangan pasar tradisional. Pihak-pihak yang terlibat dalam
kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu pedagang, Badan
Perencanaan Daerah (Bapeda) Kota Bogor, Dinas Perindustrian Perdagangan dan
Koperasi (Disperindagkop) Kota Bogor, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan
(DLHK) Kota Bogor, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, Dinas
Tata Kota dan Pemukiman (DTKP) Kota Bogor dan pihak pengelola pasar baik
swasta maupun UPTD.
Pada penelitian ini dibatasi untuk mengkaji tingkat kepentingan dan
pengaruh stakeholders di atas, karena stakeholders tersebut memiliki kepentingan
yang nyata terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional dan memiliki
pemahaman yang tinggi terhadap kebijakan. Selain itu terdapat beberapa
stakeholders yang terkait seperti masyarakat konsumen, Dinas Pemadam
Kebakaran, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Dinas Tenaga Kerja dan
Sosial. Stakeholders ini tidak dimasukkan dalam kajian penelitian karena
kepentingannya terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional tergolong
rendah sekali serta stakeholders ini bukan merupakan pihak yang benar-benar
memahami kebijakan pengembangan pasar tradisional.
3.5.2. Analisis Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional
Analisis dilakukan secara deskriptif dengan menggabungkan semua
informasi yang diperoleh dari stakeholders. Analisis meliputi tahapan pelaksanaan
kebijakan pengembangan pasar tradisional mulai dari tahap perencanaan, proses
penyusunan program, penerapan kebijakan hingga hasil yang diperoleh dari
kebijakan yang telah dilaksanakan. Analisis dilakukan dengan membandingkan
kesesuaian antara proses perencanaan kebijakan dengan pelaksanaan kebijakan
serta tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan dengan hasil yang dicapai dan
manfaat kebijakan bagi stakeholders yang terlibat.
3.5.3. Proses Hierarki Analisis
Proses analisis yang dikembangkan tahun 1970-an ini dimaksud untuk
dapat mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan secara rasional
(judgement) agar dapat memilih alternatif yang paling disukai. Metode ini
dimaksudkan untuk membantu memecahkan masalah kualitatif yang komplek
dengan memakai perhitungan kuantitatif, melalui proses pengekspresian masalah
dimaksud dalam kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan
dilakukannya proses pengambilan keputusan secara efektif. Metode ini memiliki
keunggulan tertentu karena membantu menyederhanakan persoalan yang komplek
menjadi persoalan yang berstruktur, sehingga mendorong dipercepatnya proses
pengambilan keputusan terkait. Menurut Saaty (1993) kerangka kerja PHA terdiri
dari delapan langkah utama sebagai berikut :
(b) Mendefinisikan persoalan dan merinci pemecahan persoalan yang diinginkan.
Hal yang perlu diperhatikan dalam langkah ini adalah penguasaan masalah
secara mendalam, karena yang menjadi perhatian adalah pemilihan tujuan,
kriteria dan elemen-elemen yang menyusun struktur hierarki. Tidak terdapat
prosedur yang pasti untuk mengidentifikasikan komponen-komponen sistem,
seperti tujuan, kriteria dan aktivitas-aktivitas yang akan dilibatkan dalam suatu
sistem hierarki. Komponen-komponen sistem dapat diidentifikasikan
berdasarkan kemampuan pada analisa untuk menemukan unsur-unsur yang
dapat dilibatkan dalam suatu sistem.
(c) Membuat struktur hierarki dari sudut pandang manajemen secara menyeluruh.
Struktur hierarki ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, tersusun dari
sasaran utama, sub-sub tujuan, faktor-faktor pendorong yang mempengaruhi
sub-sub sistem tujuan tersebut, pelaku-pelaku yang memberi dorongan,
tujuan-tujuan pelaku dan akhirnya ke alternatif strategis, pilihan atau skenario.
Penyusunan hierarki ini berdasarkan jenis keputusan yang akan diambil. Pada
tingkat puncak hierarki hanya terdiri dari satu elemen yang disebut dengan
fokus, yaitu sasaran keseluruhan yang bersifat luas. Tingkat di bawahnya
dapat terdiri dari beberapa elemen yang dibagi dalam kelompok homogen,
agar dapat dibandingkan dengan elemen-elemen yang berada pada tingkat
sebelumnya.
(d) Menyusun matriks banding berpasangan. Matriks banding berpasangan
dimulai dari puncak hierarki yang merupakan dasar untuk melakukan
pembandingan berpasangan antar elemen yang terkait yang ada di bawahnya.
Pembandingan berpasangan pertama dilakukan pada elemen tingkat kedua
terhadap fokus yang ada di puncak hierarki. Menurut perjanjian, suatu elemen
yang ada di sebelah kiri diperiksa perihal dominasi atas yang ada di sebelah
kiri suatu elemen di puncak matriks.
(e) Mengumpulkan semua pertimbangan yang diperlukan dari hasil melakukan
perbandingan berpasangan antar elemen pada langkah tiga. Setelah itu
dilakukan perbandingan berpasangan antar setiap elemen pada kolom ke-i
dengan setiap elemen pada baris ke-j. Pembandingan berpasangan antar
elemen tersebut dilakukan dengan pertanyaan : ”Seberapa kuat elemen baris
ke-i didominasi atau dipengaruhi, dipenuhi, diuntungkan oleh fokus di puncak
hierarki, dibandingkan dengan kolom ke-i?”. Apabila elemen-elemen yang
diperbandingkan merupakan suatu peluang atau waktu, maka pertanyaannya
adalah : ”Seberapa lebih mungkin suatu elemen baris ke-i dibandingkan
dengan elemen kolom ke-j sehubungan dengan elemen di puncak hierarki?”.
Untuk mengisi matriks banding berpasangan, digunakan skala banding yang
tertera pada Tabel 5. Angka-angka yang tertera menggambarkan relatif
pentingnya suatu elemen dibanding dengan elemen lainnya sehubungan
dengan sifat atau kriteria tertentu. Pengisian matriks hanya dilakukan untuk
bagian di atas garis diagonal dari kiri ke kanan bawah.
(f) Memasukkan nilai-nilai kebalikannya beserta bilangan sepanjang diagonal
utama. Angka satu sampai sembilan digunakan bila F, lebih mendominasi atau
mempengaruhi sifat fokus puncak hierarki (X) dibandingkan dengan Fj.
Sedangkan bila F, kurang mendominasi atau kurang mempengaruhi sifat X
dibandingkan Fj maka digunakan angka kebalikannya. Matriks di bawah garis
diagonal utama diisi dengan nilai-nilai kebalikannya. Contoh: bila elemen F24
memiliki nilai tujuh, maka nilai elemen F42 adalah 1/7.
Tabel 5. Nilai Skala Banding Berpasangan Intensitas
Pentingnya Definisi Penjelasan
1
3
5
7
9
2,4,6,8
Kedua elemen sama pentingnya. Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya. Elemen yang satu sangat penting daripada elemen yang lainnya. Satu elemen jelas lebih penting daripada elemen yang lainnya. Satu elemen mutlak lebih penting daripada elemen yang lainnya. Nilai-nilai antara di antara dua pertimbangan yang berdekatan.
Dua elemen menyumbang sama besar pada sifat tersebut. Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lainnya. Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas yang lainnya. Satu elemen dengan kuat disokong dan dominasinya telah terlihat dalam praktek. Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lainnya memiliki tingkat penegasan yang tertinggi yang mungkin menguatkan. Kompromi diperlukan di antara dua pertimbangan.
Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka (x) jika dibandingkan dengan aktivitas j, maka memiliki nilai kebalikannya (1/x).
Sumber: Saaty, 1993
(g) Melaksanakan langkah tiga, empat dan lima, untuk semua tingkat dan gugusan
dalam hierarki tersebut. Pembandingan dilanjutkan untuk semua elemen pada
setiap tingkat keputusan yang terdapat pada hierarki, berkenaan dengan
kriteria elemen di atasnya. Matriks pembandingan dalam metode PHA
dibedakan menjadi : (1) Matriks Pendapat Individu (MPI) dan (2) Matriks
Pendapat Gabungan (MPG). MPI adalah matriks hasil pembandingan yang
dilakukan individu. MPI memiliki elemen yang disimbolkan dengan a, yaitu
elemen matriks pada baris ke-i dan kolom ke-j. Matriks pendapat individu
dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Matriks Pendapat Individu X A1 A2 Aj ........... An
A1 A2 Ai
.......... An
a11 a21 a31
........... an1
a12 a22 ai2
........... an2
a1j a2j aij
........... anj
...........
...........
...........
...........
...........
a1n a2n ain
........... Ann
Keterangan: X : kriteria sebagai dasar pembanding. Ai, Aj : elemen-elemen pembanding. ai, aj : angka pembanding elemen baris ke-i terhadap elemen kolom ke-j yang diperoleh dengan
menggunakan skala berbanding berpasangan. Sumber: Saaty, 1993
MPG adalah susunan matriks baru yang elemen (gij) berasal dari rata-rata
geometrik pendapat-pendapat individu yang rasio inkonsistensinya lebih kecil
atau sama dengan sepuluh persen dan setiap elemen pada baris dan kolom yang
sama dari MPI yang satu dengan MPI yang lain tidak terjadi konflik. Persyaratan
MPG yang bebas dari konflik adalah :
(1) Pendapat masing-masing individu pada baris dan kolom yang sama memiliki
selisih kurang dari empat satuan antara nilai pendapat individu yang tertinggi
dengan nilai yang terendah.
(2) Tidak terdapat angka kebalikan (resiprokal) pada baris dan kolom yang sama.
MPG dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Matriks Pendapat Gabungan X A1 A2 Aj ........... An
G1 G2 Gi
.......... Gn
g11 g21 g31
........... gn1
g12 g22 gi2
........... gn2
g1j g2j gij
........... gnj
...........
...........
...........
...........
...........
g1n g2n gin
........... gnn
Sumber: Saaty, 1993
Rumus matematika yang digunakan untuk memperoleh rata-rata geometrik
adalah: mm
kijij kag1
)(=
= π
di mana : ijg = elemen MPG baris ke-i kolom ke-j
kaij )( = elemen baris ke-i kolom ke-j dari MPI ke-k m = jumlah MPI yang memenuhi persyaratan
m
k 1=π = perkalian dari elemen k = 1 sampai k = m
m = akar pangkat m
(h) Mensintesis prioritas untuk melakukan pembobotan vektor-vektor prioritas.
Menggunakan komposisi secara hierarki untuk membobotkan vektor-vektor
prioritas itu dengan bobot kriteria-kriteria dan menjumlahkan semua nilai
prioritas terbobot yang bersangkutan dengan nilai prioritas dari tingkat bawah
berikut dan seterusnya .
Pengolahan matriks pendapat terdiri dari dua tahap, yaitu (1) pengolahan
horisontal dan (2) pengolahan vertikal. Kedua jenis pengolahan tersebut dapat
dilakukan untuk MPI dan MPG. Pengolahan vertikal dilakukan setelah MPI dan
MPG diolah secara horisontal, dimana MPI dan MPG harus memenuhi
persyaratan inkonsistensi.
a. Pengolahan Horisontal, terdiri dari tiga bagian, yaitu penentuan Vektor
Prioritas (Vektor Eigen), uji konsistensi dan revisi MPI dan MPG yang
memiliki Rasio Inkonsistensi tinggi. Tahapan perhitungan yang dilakukan
pada pengolahan horisontal ini adalah :
(1) Perkalian baris (Z) dengan rumus :
ij
n
ki aZ1=
= π (i,j = 1, 2,3, ... n)
(2) Perhitungan Vektor Prioritas (VP) atau Eigenvektor adalah :
∑= =
==n
i
nij
n
k
nij
n
ki
a
aVP
1 1
1
π
π VP = (Vpi), untuk i = 1, 2, 3, ... n)
(3) Perhitungan Nilai Eigen Maks (Maks) dengan rumus :
VpaVA ij ×= )( dengan VA = (vai)
VPVAVB = dengan VB = (vbi)
∑=
=n
kiimaks vb
n1λ untuk i = 1, 2, 3, ... n
(4) Perhitungan Indeks Konsistensi (CPI) dengan rumus :
1−−
=n
nCI maksλ
(5) Perhitungan Rasio Inkonsistensi (CI) adalah :
RICICR =
Tabel 8. Daftar Nilai Random Indeks Ordo Matriks (n) Indeks Random (RI)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15
0 0
0,5 0,90 1,12 1,24 1,32 1,41 1,45 1,19 1,51 1,48 1,56 1,57 1,59
Sumber: Oak Ridge National
Nilai rasio inkonsistensi (CR) yang lebih kecil atau sama dengan 0,1
merupakan nilai yang mempunyai tingkat konsistensi yang baik dan dapat
dipertanggungjawabkan. Hal ini dikarenakan CR merupakan tolok ukur bagi
konsistensi atau tidaknya suatu hasil perbandingan berpasangan dalam suatu
matriks pendapat (Saaty, 1993).
b. Pengolahan Vertikal, yaitu menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada
tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama atau fokus. Apabila
Cvij didefinisikan sebagai nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-
i terhadap sasaran utama, maka :
∑ −×−= )1()1;( aVWitCHCV tijij
Untuk ; i = 1, 2, 3, ... n; j = 1, 2, 3, ... n; t = 1, 2, 3, ... n
di mana :
)1;( −itCH ij = nilai prioritas elemen ke-i terhadap elemen ke-t pada tingkat di atasnya (i-1), yang diperoleh dari hasil pengolahan horisontal
)1( −iVWt = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-t) terhadap sasaran utama, yang diperoleh dari hasil perhitungan horisontal
P = jumlah tingkat hierarki keputusan r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i-t)
c. Mengevaluasi inkonsistensi untuk seluruh hierarki. Pada pengisian judgement
pada tahap MPB (Matriks Banding Berpasangan) terdapat kemungkinan
terjadinya penyimpangan dalam membandingkan elemen satu dengan elemen
yang lainnya, sehingga diperlukan suatu uji konsistensi. Dalam PHA
penyimpangan diperbolehkan dengan toleransi Rasio Inkonsistensi di bawah
sepuluh persen. Langkah ini dilakukan dengan mengalikan setiap indeks
konsistensi dengan prioritas-prioritas kriteria yang bersangkutan dan
menjumlahkan hasil kalinya. Hasil ini dibagi dengan pernyataan sejenis yang
menggunakan indeks konsistensi acak, yang sesuai dengan dimensi masing-
masing matriks. Untuk memperoleh hasil yang baik, rasio inkonsistensi
hierarki harus bernilai kurang dari atau sama dengan sepuluh persen.
3.5.4. Struktur Hierarki Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional
Penentuan struktur hierarki dalam Proses Hierarki Analisis (Lampiran 3)
didasarkan pada literatur-literatur dan didiskusikan bersama dengan narasumber.
Struktur hierarki ini terdiri dari empat level sebagai berikut :
1. Level pertama merupakan tujuan dari dilakukannya proses hierarki analisis
yaitu pengembangan pasar tradisional. Tujuan ini ditetapkan terkait dengan hasil
analisis kebijakan sehingga dapat digunakan sebagai masukan untuk pemerintah
daerah bagi kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor.
2. Level kedua yaitu penentuan aspek yang paling diutamakan dalam tujuan
pengembangan pasar tradisional, terdiri dari :
• Aspek ekonomi, penentuan aspek ini didasarkan pada kebijakan pembangunan
di Kota Bogor yang dititikberatkan pada pembangunan ekonomi, sehingga
tujuan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor dapat diarahkan untuk
pertumbuhan ekonomi.
• Aspek manajemen, penentuan aspek ini didasarkan pada kebutuhan akan
pengelolaan manajemen pasar secara lebih profeional.
• Aspek teknis, penentuan aspek ini didasarkan pada kondisi riil di mana pasar
tradisional mulai tersaingi oleh keberadaan pasar modern yang lebih bersih,
menarik dan rapi sehingga aspek ini penting untuk diperhitungkan.
• Aspek sosial, penentuan aspek ini didasarkan pada keberadaan pasar
tradisional yang tidak lepas dari kehidupan sosial masyarakat karena adanya
proses pertemuan langsung antara pembeli dan penjual.
3. Level ketiga merupakan kriteria dari aspek-aspek pada level kedua, yaitu :
• Aspek ekonomi, kriterianya yaitu meningkatkan PAD, menciptakan lapangan
kerja dan meningkatkan kesejahteraan pedagang dan masyarakat.
• Aspek manajemen, kriterianya yaitu meningkatkan manajemen pengelolaan
pasar tradisional secara profesional; membentuk pasar tradisional menjadi
usaha yang efisien; meningkatkan pelayanan kepada masyarakat; penataan dan
pembinaan PKL.
• Aspek teknis, kriterianya yaitu peningkatan sarana dan prasarana pasar dan
kondisi fisik pasar lebih bersih dan rapi.
• Aspek sosial, kriterianya yaitu mengurangi potensi konflik dengan
masyarakat; terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi
konsumen dan menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih
kompetitif.
4. Level keempat merupakan alternaif strategi bagi pengembangan pasar
tradisional yang terdiri dari :
• Pembentukan PD. Pasar, pemilihan strategi ini didasarkan pada rekomendasi
dari penelitian yang dilakukan oleh Balitbangdiklat dan PT. Oxalis Subur.
Penelitian ini menyatakan bahwa upaya untuk mengembangkan pasar
tradisional di Kota Bogor dapat dilakukan dengan pembentukan PD. Pasar
bagi seluruh pasar tradisional yang ada di Kota Bogor. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa pasar tradisional di Kota Bogor layak untuk dijadikan
sebagai PD. Pasar dilihat dari potensi dan peluangnya.
• Pemberdayaan pedagang dan pengelola pasar, pemilihan strategi ini
didasarkan untuk mendorong pedagang supaya lebih berkembang dan mandiri
dalam usahanya. Pemberdayaan pedagang dilaksanakan dengan memberikan
penyuluhan kepada para pedagang mengenai kewirausahaan, pengelolaan
usaha sehingga lebih efisien dan sistem pemasaran. Pemberdayaan pengelola
pasar dilakukan dengan pemberian pelatihan atau diklat tentang manajemen
usaha yang profesional.
• Pendistribusian PKL ke pasar-pasar yang telah dibangun. Salah satu kendala
dalam pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu banyaknya
pedagang yang tidak mau menempati kios-kios yang ada di pasar-pasar yang
baru dibangun. Akibatnya mereka lebih memilih menjadi PKL yang tersebar
di sekitar Pasar Kebon Kembang, Pasar Baru Bogor, di Jalan Surya Kencana
dan di Jalan Otista. Hal tersebut berdampak pada pasar-pasar yang baru
dibangun oleh Pemerintah. Akibat sepinya pedagang maka konsumen pun
enggan berbelanja di pasar tersebut. Maka strategi ini dapat menjadi alternatif
dengan mendistribusikan seluruh PKL ke pasar-pasar yang belum terisi seperti
Pasar Jambu Dua, Pasar Cimanggu, Pasar Tanah Baru dan Pasar Pamoyanan.
• Pembangunan pasar lingkungan, penentuan strategi ini didasarkan pada
kondisi geografis dan budaya masyarakatnya yang lebih suka berbelanja di
tempat yang dekat dengan rumahnya. Pasar lingkungan merupakan pasar yang
berskala pemukiman dan lebih bersifat tidak permanen. Meskipun
bangunannya tidak permanen bukan berarti kondisinya tidak baik, hal ini pula
dapat menjadi insentif bagi pedagang karena harga kios yang jauh lebih
murah.
• Menjalin kemitraan dengan UKM dan koperasi, pemilihan strategi ini
didasarkan pada upya untuk meningkatkan pertumbuhan pasar tradisional
melalui kemitraan yang dijalin dengan UKM dan koperasi, karena basis
kegiatan dari pasar tradisional merupakan usaha yang bersifat kerakyatan.
Adanya UKM maka pasar tradisional dapat menjadi tempat pemasaran bagi
produk-produk UKM sehingga akan lebih berkembang. Koperasi dapat
membantu para pedagang di pasar tradisional terutama dalam hal permodalan.
• Pemberian bantuan kredit, pemilihan strategi ini karena salah satu
permasalahan utama yang dimiliki pedagang yaitu kepemilikan modal.
Seringkali terjadi banyak pedagang yang mengalami kebangkrutan akibat
tidak memiliki modal dan terpaksa menjadi pengangguran. Untuk
pengembangan pasar tradisional, maka pemberian bantuan kredit kepada para
pedagang sangat diperlukan. Pemerintah dapat memfasilitasi pedagang dengan
kredit bunga kecil melalui koperasi.
• Pembentukan forum komunikasi. Alternatif ini dipilih karena untuk
merencanakan suatu kebijakan dalam pengembangan pasar tradisional perlu
dibuat forum komunikasi di mana semua pihak yang berkepentingan terlibat.
Sehingga tujuan yang ingin dicapai melalui kebijakan dapat mengakomodir
semua kepentingan dari stakeholders. Forum komunikasi yang dilaksanakan
harus melibatkan instansi Pemerintah Daerah, Pemerintah Kelurahan,
Pemerintah Kecamatan, pihak pengelola pasar baik UPTD maupun swasta dan
pedagang serta masyarakat sekitar pasar.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Keadaan Perekonomian Wilayah Kota Bogor
Kota Bogor memiliki luas wilayah 11.850 km2. Jarak dari Jakarta kira-kira
sejauh 60 km2. Hal ini mengakibatkan Kota Bogor memiliki potensi yang strategis
untuk menjadi pusat perkembangan dan pertumbuhan kegiatan ekonomi. Pada
Tabel 9 terlihat bahwa laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor mencapai 30,33
persen pada tahun 2005. Angka relatif ini mengalami peningkatan dibandingkan
dengan tahun 2004. Sektor yang memiliki kontribusi paling besar pada
pertumbuhan perekonomian Kota Bogor adalah sektor perdagangan, hotel dan
restoran, yaitu sebesar 41,86 persen, dengan sub sektor perdagangan besar dan
eceran sebagai kontributor terbesar.
Tabel 9. Laju Pertumbuhan PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2004-2005
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku
PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kode
Sektor Lapangan Usaha 2004*) 2005**) 2004*) 2005**)
1 Pertanian 11,62 10,82 4,73 4,28 2 Pertambangan & Penggalian - - - - 3 Industri Pengolahan 18,41 26,02 6,62 6,63 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 13,27 13,95 7,09 7,05 5 Bangunan 12,67 12,72 4,41 4,24 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 41,15 41,86 4,10 4,10 7 Angkutan dan Komunikasi 22,32 27,02 7,13 6,85 8 Keuangan, Persewaan & Jasa
Perusahaan 14,32 20,21 10,76 10,86
9 Jasa-jasa 7,93 9,86 4,82 4,88 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO 25,93 30,33 6,10 6,12
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bogor 2005 *) Angka Perbaikan **) Angka Sementara
Sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang
memberikan kontribusi paling besar dalam menunjang pembangunan di Kota
Bogor. Oleh karena itu berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2000 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor 1999-2009, Kota Bogor memiliki
fungsi sebagai kota perdagangan, industri, pemukiman dan wisata ilmiah. Strategi
pembangunan dalam mewujudkan fungsi kota tersebut antara lain melalui
pembenahan aspek fisik dan lingkungan, ekonomi dan politik. Pembenahan aspek
fisik dan lingkungan untuk mendukung fungsi kota sebagai kota perdagangan,
berupa penataan fasilitas perdagangan dan jasa meliputi penyelesaian
pembangunan tiga unit pasar induk, yaitu Pasar Jambu Dua, Pasar Cimanggu dan
Pasar Induk Kemang. Pada tahun 1999 – 2004, Pemda Kota Bogor membangun
dua pasar tradisional di Kecamatan Bogor Utara yaitu Pasar Tanah Baru dan di
Kecamatan Bogor Selatan yaitu Pasar Pamoyanan.
Pembenahan aspek ekonomi diarahkan pada upaya mewujudkan Kota
Bogor sebagai bursa perdagangan komoditi penting di tingkat regional, nasional
dan internasional melalui peningkatan aktivitas pasar-pasar tradisional, pasar-
pasar modern, maupun pasar maya di internet dalam rangka memasyarakatkan
pertumbuhan ekonomi, memberdayakan ekonomi rakyat dan mewujudkan
pemerataan kesejahteraan masyarakat. Langkah-langkah yang dilakukan antara
lain menjadikan Kota Bogor sebagai big station yang menjadi tempat transit
semua arus barang dan jasa di bidang pertanian, peternakan, industri kecil,
makanan-makanan khas dan hasil kesenian dengan membuat pasar-pasar induk,
kompleks pergudangan, dan pusat-pusat pameran untuk memaksimumkan
kapasitas perdagangan pada tingkat regional dan nasional. Penyediaan pasar-pasar
induk harus didukung oleh mekanisme pengaturan penggunaan sebagai pasar
massif yang hidup 24 jam dengan pembagian siang hari sebagai pasar eceran dan
malam hari sebagai pasar grosir (Pemerintah Kota Bogor, 2002).
4.2. Visi dan Misi Kota Bogor
Berdasarkan Perda No 1 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Bogor (Tahun 1999-2009), visi Kota Bogor sebagai berikut :
“KOTA JASA YANG NYAMAN DENGAN MASYARAKAT MADANI DAN PEMERINTAHAN AMANAH”
Visi tersebut mengandung makna bahwa Kota Bogor akan diarahkan
untuk menjadi suatu kota yang aktivitas masyarakatnya terutama bergerak di
sektor jasa. Aktivitas-aktivitas lainnya yang ada di masyarakat, baik aktivitas
budaya, ekonomi, penataan fisik kota, maupun penanganan masalah kota, harus
merupakan pendukung bagi berkembangnya sektor jasa. Sektor jasa yang perlu
diprioritaskan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian Kota Bogor ke
depan terutama sektor tersier pada jasa perdagangan, hotel dan restoran; jasa
angkutan dan komunikasi; jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta
jasa-jasa lainnya. Hal ini sesuai dengan peranan sektor tersebut kepada PDRB Kota
Bogor yang sangat dominan pada tahun 2003 yaitu atas dasar harga berlaku sebesar 61,75
persen, dibandingkan sektor primer sebesar 0,40 persen, sektor sekunder 37,85 persen.
Sedangkan kontribusi sektor tersier atas dasar harga konstan sebesar 60,85 persen,
dibandingkan sektor primer sebesar 0,39 persen, sektor sekunder 38,76 persen.
Terwujudnya kota jasa ditandai dengan tingginya PDRB Kota Bogor pada sektor jasa
serta tingginya jumlah penduduk yang bekerja pada sektor ini.
Kota Bogor sebagai kota jasa harus menjadi suatu kota yang nyaman yang
berarti bersih, indah, tertib, dan aman, serta berwawasan lingkungan sehingga di
setiap sudut manapun di Kota Bogor setiap orang dapat merasakan kenyamanan
sesuai yang diharapkan. Kondisi ini ditandai oleh tingkat kebersihan kota yang tinggi
yang diukur dengan tingkat cakupan pelayanan kebersihan dan tingkat pencemaran
lingkungan yang rendah terutama pencemaran air dan udara/kebisingan, serta tingkat
pelanggaran terhadap peraturan daerah yang rendah. Masyarakat madani berarti
bahwa masyarakat Kota Bogor harus memiliki derajat kualitas kehidupan yang
tinggi baik dari segi keimanan, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, dan daya
beli masyarakat. Pemerintahan yang amanah yaitu pemerintahan yang baik yang
senantiasa mengacu kepada kepentingan masyarakat. Untuk dapat mewujudkan
kondisi ini harus ada dukungan dari pemerintahan, selaku regulator, yang amanah
dan memegang teguh komitmen yang ditandai dengan terwujudnya pelayanan
publik yang prima di segala bidang dengan indikator menurunnya pengaduan atas
pelayanan.
Sebagai penjabaran dari visi tersebut di atas, dirumuskan misi-misi Kota Bogor
sebagai berikut :
Misi Pertama : Mengembangkan perekonomian masyarakat dengan titik berat pada jasa yang mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada.
Misi ini mengandung makna bahwa pembangunan diarahkan kepada
peningkatan kemampuan ekonomi rakyat yang memprioritaskan pembangunan
ekonomi dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Selain itu juga, diarahkan
untuk pengembangan sektor jasa agar lebih efisien, produktif dan berdaya saing.
Sektor jasa yang perlu diprioritaskan untuk mendorong pertumbuhan perekonomian Kota
Bogor kedepan terutama sektor tersier pada jasa perdagangan, hotel dan restoran; jasa
angkutan dan komunikasi; jasa keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa
lainnya.
Misi Kedua : Mewujudkan kota yang bersih, indah, tertib, dan aman dengan sarana dan prasarana perkotaan yang memadai dan berwawasan lingkungan.
Misi ini mengandung makna bahwa Kota Bogor akan diarahkan kepada
penampilan kota yang bersih, indah, tertib, dan aman, dengan memprioritaskan kepada
penanganan masalah transportasi, sampah, dan Pedagang Kaki Lima (PKL). Kualitas dan
kuantitas sarana dan prasarana perkotaan juga akan terus ditingkatkan untuk dapat
mengarah kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat dengan tetap memperhatikan
konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan sehingga masyarakat kota dapat
merasa kenyamanan kotanya.
Misi Ketiga : Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang beriman dan berketerampilan.
Misi ini mengandung makna bahwa pembangunan akan diarahkan kepada
peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga masyarakat Kota Bogor memiliki
tingkat pendidikan dan derajat kesehatan yang tinggi dengan tetap memiliki kadar
keimanan disertai keterampilan yang memadai agar mampu menjadi masyarakat yang
mandiri.
Misi Keempat : Mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan efisien serta menjunjung tinggi supremasi hukum.
Misi ini mengandung makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan diarahkan
kepada pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab dengan
menerapkan prinsip-prinsip good governance dan clean government, sehingga mampu
memberikan pelayanan yang maksimal kepada masyarakat dengan disertai penegakkan
supremasi hukum.
4.3. Kebijaksanaan Pengelolaan Pasar di Wilayah Kota Bogor
Menurut Perda Kota Bogor Nomor 7 Tahun 2005 tentang penyelenggaraan
pasar, menyatakan bahwa pasar adalah tempat yang ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah sebagai tempat bertemunya pihak penjual dan pihak pembeli untuk
melaksanakan transaksi di mana proses jual beli barang atau jasa terbentuk,
sedangkan pelayanan pasar adalah fasilitas pasar berupa kios atau los yang
dikelola Pemerintah Daerah dan khusus disediakan untuk pedagang.
Pada tahun 1991 berdasarkan Perda Nomor 13 Tahun 1991 tentang
Peraturan Pasar di Wilayah Kota Bogor, Pemerintah Daerah Kota Bogor
mendirikan Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) yang bertanggung jawab langsung
kepada Walikota. Pada tahun 2001, DPP diubah menjadi Unit Pelaksana Teknis
Dinas Pengelolaan Pasar (UPTD Pengelolaan Pasar) yang berada di bawah
wewenang Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop).
Pembentukan UPTD Pengelolaan Pasar berdasarkan Surat Keputusan Walikota
Nomor 2 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2001 tentang
perubahan pertama organisasi dan tata kerja UPTD. Pengelolaan pasar di Kota
Bogor saat ini dilaksanakan oleh UPTD yang berada di bawah Kepala
Disperindagkop. Bagan struktur organisasi Disperindagkop dan UPTD dapat
dilihat pada Lampiran 4 dan 5.
Sampai saat ini telah ada 7 unit pasar yang berada di bawah pembinaan
dan pengawasan UPTD dengan kondisi sebagai berikut :
4.3.1. Pasar Besar
Pasar besar terdiri atas Pasar Kebon Kembang dan Pasar Baru Bogor.
Kedua pasar ini terletak di Kecamatan Bogor Tengah, dan menjadi tempat
masyarakat sekitar memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pasar Kebon Kembang merupakan pasar yang terluas yaitu 26.757 m2
sehingga jumlah pedagangnya pun paling banyak yaitu 2.326 orang yang terdiri
atas 744 pedagang kios, 1.424 pedagang los dan 158 pedagang kaki lima (PKL).
Pasar ini mempunyai dua lantai yaitu basement dan lantai satu dan dibagi atas
blok-blok A, B, C, D, E, F, dan G. Blok C dan D tidak dikelola oleh Pemerintah
tetapi dikelola oleh pihak swasta yaitu PT. Propindo Mulia Utama. Kegiatan pasar
ini dimulai pagi hari hingga sore hari.
Jumlah pedagang di Pasar Baru Bogor sebanyak 1.529 orang yang terdiri
dari pedagang kios sebanyak 1.091 orang, pedagang los 88 orang dan PKL
sebanyak 350 orang. Para pedagang ini tersebar di dua lantai yaitu lantai dasar dan
lantai satu. Lantai dasar banyak digunakan untuk berjualan sayuran, buah-buahan,
daging, ikan, sembako dan lainnya. Lantai satu umumnya digunakan untuk
berjualan pakaian, sembako, beras, obat dan barang-barang yang kering. Di lantai
satu tidak disediakan tempat berdagang berupa los. Pasar Baru Bogor beroperasi
pagi hari hingga sore hari. Malam hari di sekitar pasar bermunculan para
pedagang sayur mayur yang berjualan mulai jam 19.00 hingga jam 07.00 WIB,
sehingga pada malam hari pasar ini selalu ramai.
4.3.2. Pasar Sedang
Pasar sedang terdiri dari Pasar Jambu Dua, Merdeka dan Sukasari. Pasar
Jambu Dua baru berdiri selama kurang lebih tujuh tahun. Pedagang di pasar ini
umumnya pedagang yang berasal dari Pasar Ramayana yang telah ditutup.
Jumlah pedagang di Pasar Jambu Dua sebanyak 425 orang terdiri dari
pedagang di kios 304 orang, 31 orang pedagang los dan 90 orang PKL. Jumlah
kios dan los yang ada sebanyak 756 buah dan hampir separuhnya masih kosong
karena menurut para pedagang pasar ini belum terlalu ramai sehingga keuntungan
yang diperoleh belum memadai. Pasar Jambu Dua terdiri dari dua lantai. Lantai
dasar diisi oleh kios dan los. Lantai satu sebagian besar merupakan los PKL yang
tersebar di pelataran pasar dan baru terlihat aktifitasnya pada sore hingga malam
hari.
Unit Pasar Merdeka mengelola kios atau los yang tersebar di daerah yang
berbeda yaitu Pasar Merdeka sendiri, Pasar Devries yang terletak di daerah
Panaragan, kios di jalan Pejagalan dan kios yang ada di sekitar Taman Kencana.
Kios dan los yang ada seluruhnya berjumlah 601 buah dengan pedagang 436
orang. Pasar ini beroperasi mulai pagi hingga sore hari.
Pasar Sukasari terdiri dari dua lantai dan beroperasi pada pagi hingga sore
hari tetapi pada tengah hari biasanya sudah banyak kios dan los yang tutup karena
pengunjung mulai berkurang. Kios dan los yang ada berjumlah 275 buah dengan
jumlah pedagang 173 orang terdiri dari 108 pedagang kios, 32 orang pedagang los
dan 33 orang PKL.
4.3.3. Pasar Kecil
Pasar kecil terdiri atas Pasar Gunung Batu dan Pasar Padasuka. Pasar
Gunung Batu terletak di Kecamatan Bogor Barat, terdiri atas dua lantai yaitu
lantai dasar dan lantai atas. Pasar ini beroperasi pada pagi hari hingga sore hari.
Jumlah kios dan los sekitar 203 buah dengan jumlah pedagang 248 orang terdiri
dari 122 pedagang kios, 76 pedagang los dan 50 PKL.
Pasar Padasuka terletak di Kecamatan Bogor Barat. Pasar ini beroperasi
pada pagi hingga sore hari. Jumlah kios dan los sekitar 220 buah dengan jumlah
pedagang 374 orang terdiri dari 64 pedagang kios, 150 orang pedagang los dan
160 orang PKL.
Adapun Pasar Cimanggu dan Pasar Induk Kemang masih dikelola oleh
pihak swasta, antara lain oleh PT. Mayo Waya dan PT. Galvindo Ampuh sehingga
kedua pasar tersebut tidak bertangung jawab kepada UPTD. Kontribusi dari kedua
pihak swasta tersebut terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak yang
dibayarkan kepada Dinas Pendapatan Daerah selama masa kontrak. Pasar Tanah
Baru dan Pasar Pamoyanan belum memberikan kontribusi terhadap PAD Kota
Bogor karena tidak adanya pemungutan retribusi oleh UPTD. Hal ini dikarenakan
kedua pasar tersebut masih berstatus tidak aktif karena sepinya pedagang dan
pembeli.
UPTD Pengelolaan Pasar memiliki tugas pokok, yaitu melaksanakan
pengelolaan pasar. Sedangkan fungsi UPTD antara lain :
a. Penyusunan rencana program dan rencana kerja UPTD pasar.
b. Pengelolaan administrasi keuangan dan administrasi umum di lingkungan
UPTD pasar.
c. Pelaksanaan koordinasi, pengendalian dan pengawasan kegiatan dalam
penggunaan sarana dan prasarana pasar.
d. Perumusan kebijaksanaan teknis di bidang pengelolaan pasar.
Secara khusus, tugas UPTD di bidang pendapatan adalah melaksanakan
pengelolaan pemungutan retribusi pasar serta melaksanakan pelayanan terhadap
pedagang maupun pengunjung pasar terutama dalam menciptakan situasi aman
dan nyaman. Besarnya tarif retribusi mengacu pada Perda Kota Bogor Nomor 3
Tahun 2006 tentang retribusi pelayanan pasar, seperti yang tercantum pada Tabel
10.
Tabel 10. Besarnya Tarif Retribusi Pasar di Wilayah Kota Bogor (Tarif Rp/M2/hari)
KIOS LOS KELAS PASAR 0 – 5 m2 > 5 m2 0 – 5 m2 > 5 m2 Pasar Regional 600 650 550 600 Pasar Kota 550 600 500 550 Pasar Wilayah 500 550 450 500 Pasar Lingkungan 450 500 400 450
Sumber : Perda Kota Bogor Nomor 3 Tahun 2006
Para pedagang yang melakukan kegiatan jual beli terdiri dari pedagang
tetap dan pedagang musiman. Pedagang tetap adalah mereka yang memiliki kios
dan los di dalam pasar. Ada juga pedagang yang berjualan di depan kios orang
lain. Sedangkan pedagang tidak tetap atau yang bersifat musiman umumnya
berjualan di pelataran jalan atau tempat parkir. Pedagang-pedagang tersebut
dikenakan tarif retribusi sesuai ketentuan yang berlaku. Sedangkan pedagang kaki
lima tidak dikenakan tarif retribusi.
V. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL
5.1. Proses Perencanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional
Keberadaan pasar tradisional yang berada di tengah kota telah
menyebabkan ketimpangan pertumbuhan pembangunan ekonomi yaitu masih
terpusatnya kegiatan perekonomian di pusat kota. Kondisi ini selain menimbulkan
ketidakmerataan hasil pembangunan, juga mengakibatkan menumpuknya arus
orang dan barang ke pusat kota yang pada akhirnya menimbulkan dampak seperti
kemacetan lalu lintas dan pencemaran lingkungan. Hal ini kemudian menjadi
salah satu dasar dari perumusan kebijakan perdagangan. Atas dasar itu, dalam
RTRW Kota Bogor 1999-2009 telah direncanakan untuk merelokasi pasar dari
pusat kota ke daerah pinggiran dan membangun pasar-pasar di setiap kecamatan.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi di daerah-
daerah pinggiran. Pasar tradisional yang akan dibangun sebagai berikut :
a. Pasar Katulampa di Kecamatan Bogor Timur
b. Pasar Cimanggu di Kecamatan Tanah Sareal
c. Pasar Tanah Baru di Kecamatan Bogor Utara
d. Pasar Bubulak di Kecamatan Bogor Barat
e. Pasar Pamoyanan di Kecamatan Bogor Selatan
Salah satu program yang berkaitan dengan RTRW Kota Bogor 1999-2009
yaitu memindahkan pasar tradisional yang lokasinya terletak di tengah kota ke
daerah pinggiran. Pasar yang dipindahkan adalah Pasar Ramayana. Pasar ini
merupakan pasar induk untuk sayur mayur yang melayani wilayah Kota Bogor
dan sekitarnya. Pasar Ramayana terletak di Kecamatan Bogor Tengah dan bekas
lokasinya sekarang dibangun Bogor Trade Mall. Keberadaan Pasar Ramayana
yang berada di tengah kota menimbulkan banyak keluhan dari warga Bogor yang
tinggal di sekitar pasar tersebut2. Adanya pasar ini telah menimbulkan kemacetan
lalu lintas dan menebarkan bau yang tidak sedap bagi lingkungan sekitar akibat
sampah yang menumpuk.
Pemda Kota Bogor menetapkan kebijakan untuk memindahkan lokasi
Pasar Ramayana. Pada mulanya lokasi yang menjadi tempat pemindahan Pasar
Ramayana hanya Pasar Jambu Dua, kemudian terdapat tawaran dari pihak swasta
untuk membangun dan mengelola Pasar Kemang dan Pasar Cimanggu. Pada
akhirnya ditetapkan bahwa Pasar Ramayana akan direlokasi ke tiga tempat yaitu
Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Induk Kemang dan Pasar Grosir Cimanggu.
Kesepakatan antara Pemerintah dan pihak swasta berupa sistem sewa
kontrak, yaitu pihak swasta menyerahkan biaya sewa dan pajak selama masa
kontrak dan apabila masa kontrak telah habis maka pengelolaan pasar diserahkan
kembali kepada Pemerintah. Pemerintah melakukan suatu uji kelayakan yang
dilaksanakan oleh Bapeda Kota Bogor untuk menentukan apakah lokasi yang
akan menjadi tujuan pemindahan merupakan lokasi strategis.
Sebelum pemindahan Pasar Ramayana dilaksanakan, Pemerintah melalui
pihak pengelola pasar melaksanakan sosialisasi terhadap pedagang di Pasar
Ramayana dan warga sekitar pasar. Pihak pengelola pasar mendata pedagang yang
mau direlokasi ke pasar lain. Pedagang yang mau direlokasi harus membayar uang
muka terlebih dahulu untuk pembayaran kios. Pasar Jambu Dua disiapkan dengan
dibangun kios dan los sejumlah 750 buah sesuai dengan data pedagang yang mau
pindah.
2 Berdasarkan pernyataan dari narasumber di Bapeda Kota Bogor dan Disperindagkop Kota Bogor
Sosialisasi mengenai pembangunan pasar tradisional di empat kecamatan
dilakukan oleh Dinas Informasi, Pariwisata dan Kebudayaan melalui media
massa, sedangkan pada desa-desa sekitar pasar yang akan dibangun sosialisasi
dilakukan oleh aparat kelurahan dan kecamatan untuk menyampaikan maksud dan
tujuan pembangunan pasar tradisional.
5.2. Penerapan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional
5.2.1. Pemindahan Pasar Induk Ramayana
Relokasi Pasar Ramayana dilaksanakan setelah pembangunan dan
persiapan Pasar Jambu Dua, Pasar Kemang dan Pasar Cimanggu selesai.
Pemindahan pedagang Pasar Ramayana ke ketiga pasar tersebut dilakukan dengan
undian. Pedagang akan mendapatkan kios baru di pasar yang sesuai dengan
undian yang diperolehnya. Pedagang yang tidak mau pindah ke ketiga pasar
tersebut lebih memilih menjadi pedagang kaki lima (PKL) di Pasar Bogor pada
malam hari dan Pasar Kebon Kembang.
Tidak semua pedagang eks Ramayana menempati kios di Pasar Jambu
Dua, karena sebagian ada yang menempati Pasar Kemang dan Cimanggu.
Pemindahan pedagang Pasar Ramayana ke Pasar Jambu Dua dilakukan pada
tanggal 28 Juli – 9 Agustus 2000. Pasar Ramayana ditutup secara resmi pada
tanggal 10 Agustus 2000. Kondisi Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Induk Kemang
dan Pasar Grosir Cimanggu pasca relokasi Pasar Ramayana sebagai berikut:
a) Pasar Induk Jambu Dua
Pasar Induk Jambu Dua (Gambar 3) dibangun oleh PT. Graha Agung Wibawa
tahun 1995 dan mulai beroperasi pada Agustus 2002. Pasar Jambu Dua terletak di
Jl. Ahmad Yani, Kecamatan Bogor Utara, yang memiliki luas lahan dan bangunan
sebesar 9.780 m2 terbagi menjadi dua blok, yaitu blok A dan B dengan luas
masing-masing 2.472 m2 dan 3.108 m2, sedangkan sisanya adalah luas jalan
sebesar 4.200 m2. Pembangunan Pasar induk Jambu Dua telah sesuai dengan
rencana yaitu los dengan ukuran 1,5 m x 2 m yang jumlahnya mencapai 756 los.
Pedagang yang memiliki tempat berdagang berupa los membuat sekat sendiri
sehingga bentuknya mirip dengan kios. Semua pedagang yang menempati los
telah membeli los tersebut. Pembelian tempat untuk los tersebut ditangani oleh
PT. Graha Agung Wibawa. Pengelolaan pasar ditangani oleh pihak Pemda, yang
meliputi pemungutan tarif retribusi dan penanganan sampah.
Sebagian pedagang Pasar Jambu Dua merupakan pedagang grosir tetapi masih
banyak juga yang merupakan pedagang eceran. Di pasar ini hanya blok A yang
aktif dalam kegiatan jual beli sayuran, sembako, daging dan beberapa keperluan
rumah tangga lainnya, sedangkan di blok B hanya terdapat beberapa orang
pedagang yang berjualan. Los yang tersedia tidak terisi semuanya. Pembelinya
pun masih berasal dari satu sisi yaitu dari Cibinong dan Depok serta penduduk
sekitar pasar.
Keramaian Pasar Jambu Dua masih relatif sepi dan komoditi yang
diperjualbelikan masih kurang lengkap. Hal ini mengakibatkan banyak los yang
tidak aktif atau tidak dipergunakan pemiliknya. Total los yang disediakan
pemerintah sebanyak 756 los, tapi hanya sebanyak 335 los yang terisi dan sekitar
45 los yang aktif.
Pedagang-pedagang di Pasar Jambu Dua sebagian besar berasal dari Pasar
Ramayana. Aktivitas pasar dimulai pada pukul 15.00 WIB – 23.00 WIB dengan
keramaian pasar hanya sekitar 3 – 4 jam saja. Akibatnya banyak pedagang Jambu
Dua yang menjadi PKL di sekitar Pasar Kebon Kembang dan Pasar Baru Bogor
pada pagi hari dan baru berjualan di Pasar Jambu Dua sore harinya. Tetapi ada
juga yang berjualan pagi hari di Pasar Jambu Dua namun malamnya mereka
menjadi PKL di Pasar Baru Bogor dan di sekitar jalan Surya Kencana.
Gambar 3. Pasar Induk Jambu Dua
b) Pasar Grosir Cimanggu
Pasar Cimanggu (Gambar 4) terletak di Jl. Raya Kemang, Kecamatan Tanah
Sareal dengan luas sekitar 3,3 ha. Pasar ini dibangun oleh PT. Mayo Waya.
Pembangunan Pasar Cimanggu telah sesuai dengan rencana berupa los, kios dan
ruko. Los terdiri dari dua ukuran yaitu 2 m x 3 m dan 2 m x 6 m, sedangkan kios
berukuran 3 m x 5 m. Adapun ukuran ruko adalah sebesar 4,5 m x 10 m. Pasar
Cimanggu dibangun untuk menampung pedagang Pasar Ramayana yang tidak
dapat ditampung oleh Pasar Jambu Dua. Kegiatan operasional pasar dimulai
setelah para pedagang di Pasar Ramayana dipindahkan.
Keramaian Pasar Cimanggu hanya bertahan hingga tiga bulan. Awal mula
kegiatan pasar dioperasionalkan masih banyak pedagang yang berdagang di Pasar
Cimanggu, akan tetapi pembeli yang berkunjung sedikit karena hanya berasal dari
penduduk sekitar kompleks Taman Yasmin. Hal ini mengakibatkan banyak
pedagang yang gulung tikar, sehingga mereka pindah ke Pasar induk Kemang.
Pasar Cimanggu beroperasi selama 24 jam dengan kondisi yang stabil sepanjang
waktu, artinya tidak ada puncak-puncak keramaian. Sampai saat ini belum ada
pemungutan tarif retribusi yang dilakukan oleh pihak pengelola pasar. Pedagang
hanya dipungut tarif listrik dan kebersihan masing-masing sebesar Rp 1000 dan
Rp 500 setiap harinya.
Gambar 4. Pasar Grosir Cimanggu
c) Pasar Induk Kemang
Pasar Induk Kemang (Gambar 5) terletak di Jl. Kyai H. Soleh Iskandar, Desa
Cibadak, Kelurahan Kayu Manis, Kecamatan Tanah Sareal dengan luas 3,7 ha.
Pasar ini dibangun oleh PT. Teknik Umum bekerja sama dengan PT. Fradanita
Sakti pada tahun 1996. Pada tahun 1999, Pasar Induk Kemang berada di bawah
pengelolaan PT. Galvindo Ampuh. Kegiatan operasionalnya mulai berjalan
tanggal 11 Agustus 2000 dengan jumlah kios sebanyak 104 buah, dibagi menjadi
4 blok dengan ukuran 3 m x 4 m per kios, 27 blok untuk los yang terdiri dari
1.516 buah dengan ukuran 2 m x 3 m serta los mini sebanyak 895 buah dengan
ukuran 1,5 m x 2 m. Pedagang yang aktif sebanyak 600 orang terdiri dari sebagian
besar pedagang Pasar Ramayana, Pasar Induk Kramat Jati, pasar lainnya dan
pedagang baru. Pedagang yang memiliki kios sekitar 60 orang dan pedagang yang
memiliki los sekitar 500 orang. Dengan demikian terdapat kios dan los yang tidak
aktif.
Pasar ini merupakan pasar yang benar-benar berfungsi sebagai pasar induk di
antara kedua pasar induk baru lainnya. Hal ini terlihat dari pedagang yang terdapat
di Pasar Induk Kemang merupakan pedagang grosiran. Pasar Induk Kemang
relatif ramai dibandingkan pasar induk baru lainnya, terlihat dari konsentrasi
pembeli berasal dari berbagai daerah seperti Kabupaten Bogor, Ciputat,
Tangerang, Serang dan Jakarta. Pasar Induk Kemang beroperasi dari pukul 13.00
WIB sampai pagi hari dengan keramaian pada pukul 16.00 WIB – 23.00 WIB.
Sampai saat ini belum ada pemungutan tarif retribusi terhadap para pedagang.
Pedagang hanya dipungut untuk membayar keamanan dan kebersihan masing-
masing sebesar Rp 500 dan Rp 1000 setiap harinya.
Gambar 5. Pasar Induk Kemang
5.2.2. Pembangunan Pasar Tradisional
Untuk mendukung pemerataan pertumbuhan ekonomi, Pemerintah Kota
Bogor menetapkan untuk membangun pasar tradisional di empat kecamatan.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat. Hasil yang diharapkan dari kegiatan tersebut adalah tersedianya
sarana perekonomian sebagai salah satu wadah untuk menggerakkan dan
menumbuhkan ekonomi wilayah sehingga kegiatan ekonomi masyarakat dapat
berkembang dengan baik serta terbukanya kesempatan. Hingga saat ini baru tiga
pasar yang telah direalisasikan pembangunannya yaitu sebagai berikut :
a) Pasar Tanah Baru
Pasar Tanah Baru (Gambar 6) dibangun atas keinginan warga sekitar Desa
Tanah Baru yang disampaikan oleh aparat kelurahan melalui kegiatan
musyawarah pembangunan desa (musbangdes). Lokasi pasar ditetapkan pertama
kali di Desa Cibuluh, berdekatan dengan lokasi rencana pembangunan terminal
type B. Namun setelah APBD disetujui, ternyata harga lahan di tempat tersebut
sudah melebihi anggaran yang disiapkan sehingga pemerintah mengalihkan ke
lokasi baru yaitu di pinggir Jalan Tanah Baru sesuai usulan Pemerintah Desa
Tanah Baru.
Pasar ini dibangun pada tahun 1999-2000 pada lahan seluas ± 2.400 m2
dengan anggaran Rp 385.267.000,00. Jumlah kios dan los yang telah dibangun
adalah sebanyak 120 los dengan ukuran 2 x 2 meter yang dikelompokkan atas
pedagang sembako, pakaian, kelontong, buah-buahan dan sayuran, masing-masing
sebanyak 24 los yang dibuat berderet per baris. Pemerintah pada awalnya hanya
membangun emplacement dengan penutup asbes, antar los satu dengan lainnya
hanya dibatasi oleh garis saja. Namun setelah los tersebut dimiliki oleh para
pedagang, maka mulailah dilakukan penataan-penataan dengan melakukan
penyekatan dengan kayu, bahkan ada pula yang sudah memakai pintu rolling
door. Sampai saat ini los yang telah dimiliki pedagang sebanyak 94 los dan yang
terisi sebanyak 46 los. Namun yang benar-benar aktif berjualan hanya sebanyak
10 los saja. Kepemilikan kios dilakukan tanpa adanya uang muka, harga jual akan
ditentukan setelah pasar benar-benar berkembang. Penentuan kios dilakukan
secara undian dengan mendahulukan warga sekitar pasar dengan perbandingan 60
persen warga Kelurahan Tanah Baru dan 40 persen penduduk luar.
Untuk meningkatkan aktivitas perdagangan di Pasar Tanah Baru, Pemda Kota
Bogor telah berupaya untuk memperbaiki kondisi fisik pasar yaitu dengan
program Penataan Pasar Tradisional Tanah Baru dengan anggaran dana sebesar
Rp 12.355.000,00. Program ini bertujuan untuk menyempurnakan sarana
penunjang di Pasar Tanah Baru seperti fasilitas mushola, toilet serta perbaikan
atap dan sekat los.
Gambar 6. Pasar Tanah Baru
b) Pasar Pamoyanan
Selain di Kelurahan Tanah Baru, pemerintah juga telah membangun pasar
tradisional di Kelurahan Pamoyanan. Lokasi Pasar Pamoyanan (Gambar 7) berada
di jalan alternatif Bogor – Sukabumi melalui Caringin. Daerah ini merupakan
daerah dengan penduduk yang masih jarang namun didukung dengan kondisi
jalan yang cukup baik dan adanya angkutan perkotaan. Pasar Pamoyanan
dibangun dengan tujuan untuk menampung pedagang yang belum memiliki
kios/los. Pengembangan Pasar Pamoyanan menghabiskan dana sebesar Rp
404.282.500,00. Pada tahun 2001 dilakukan pengadaan tanah dan pembangunan
pasar tradisional di Kelurahan Pamoyanan yang menghabiskan dana sebesar Rp
199.720.000,00. Pasar Pamoyanan dibangun dengan luas sekitar ±1.200 m2
dengan jumlah kios sebanyak 72 buah.
Status pasar saat ini masih tidak aktif dalam kegiatan jual beli karena sepinya
pedagang, hanya sekitar 2 buah kios yang berjualan. Kios tersebut dimiliki oleh
penduduk sekitar pasar, dan barang yang diperdagangkan berupa alat-alat listrik
dan barang-barang kebutuhan pokok. Pembeli yang datang ke pasar ini pun hanya
sebatas penduduk sekitar pasar saja. Sampai saat ini tidak ada kegiatan jual beli
sayuran, sembako dan kebutuhan pokok lainnya di pasar ini. Penduduk sekitar
pasar lebih memilih membeli kebutuhan pokok langsung ke Pasar Sukasari karena
harga yang lebih murah dan barang yang lebih lengkap.
Gambar 7. Pasar Pamoyanan
c) Pasar Bubulak
Rencana lokasi Pasar Bubulak (Gambar 8) berada di lintasan Jalan Baru
Kemang – Sindang Barang, yang merupakan jalan baru hasil pembangunan.
Kondisi wilayahnya pada waktu itu merupakan daerah jarang penduduk, namun
dengan adanya jalan tersebut dan pembangunan Terminal Bubulak menjadikan
wilayah ini berpotensi untuk berkembang lebih cepat. Pembangunan Pasar
Bubulak mendapat alokasi dana Rp 500.000.000,00, dan sampai dengan akhir
Desember 2003 telah terealisasi satu unit pasar dengan kapasitas 72 unit los
dengan ukuran 2 m x 2 m.
Pembangunan Pasar Bubulak didukung dengan adanya pembangunan jalan
masuk ke areal pasar sepanjang 1.460 m, pembuatan pagar pembatas dengan
panjang 220 m, pembangunan talud sepanjang 256 m dan pembangunan saluran
air sepanjang 196 m. Sejak dibangun hingga saat ini, kegiatan operasional pasar
tidak berjalan. Hal ini karena tidak ada pedagang yang mau menempati los di
pasar ini, sehingga bangunan pasar tidak dimanfaatkan sama sekali. Saat ini
bangunan pasar telah dialihfungsikan sebagai terminal bis Trans Pakuan.
Gambar 8. Pasar Bubulak
Sampai saat ini, ketiga pasar tradisional tersebut belum dikelola oleh Unit
Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) karena sepinya pedagang sehingga belum bisa
memberikan kontribusi PAD berupa retribusi. Dengan demikian, pengelolaan
pasar masih ditangani oleh aparat kelurahan dan kecamatan.
5.2.3. Program Pendukung Lainnya
Berbagai upaya lain yang telah dilaksanakan oleh pemerintah untuk
meningkatkan peran dan fungsi pasar sebagai salah satu media bagi
berlangsungnya kegiatan perdagangan di tingkat masyarakat antara lain:
a) Memantau lalulintas barang dan jasa, untuk mengetahui tingkat perkembangan
harga bahan kebutuhan pokok masyarakat sebagai bahan penghitungan inflasi,
serta sebagai upaya pengendalian stock barang.
b) Penataan dan penertiban Pedagang Kaki Lima (PKL), bertujuan untuk
meminimalisasi jumlah PKL yang terkonsentrasi di pusat kota sehingga dapat
disebar ke berbagai wilayah Kota Bogor.
c) Pengembangan sistem informasi dan pemasaran dengan tujuan untuk
menciptakan informasi pasar, harga dan hasil produk serta mempromosikan
produk dalam rangka perluasan pasar.
d) Optimalisasi pemanfaatan kios dan los berupa anjuran kepada pemilik kios
untuk segera menempati kios dan losnya, penertiban pemanfaatan kios serta
peningkatan kemampuan SDM pengelola pasar melalui diklat atau pelatihan.
VI. ANALISIS STAKEHOLDERS
Hasil analisis stakeholders yang dilakukan menunjukkan terdapat beberapa
stakeholders yang terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan
pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. Penggolongan stakeholders
dibuat berdasarkan tingkat kepentingannya terhadap kebijakan pengembangan
pasar tradisional. Stakeholders primer merupakan mereka yang dipengaruhi secara
langsung, baik secara positif (penerima manfaat) atau negatif (terkena dampak
negatif) akibat pengembangan pasar tradisional, yaitu kelompok pedagang, Badan
Perencanaan Daerah (Bapeda) Kota Bogor, Dinas Perindustrian Perdagangan dan
Koperasi (Disperindagkop) Kota Bogor dan pihak pengelola pasar pemerintah
(UPTD).
Stakeholders sekunder merupakan mereka yang terkait dengan kebijakan
secara tidak langsung dalam proses pengembangan pasar tradisional. Pihak yang
tergolong stakeholders sekunder adalah Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan
(DLHK) Kota Bogor, Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Bogor, Dinas
Tata Kota dan Pemukiman (DTKP) Kota Bogor dan pengelola pasar swasta.
Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional
di Kota Bogor dipengaruhi oleh tingkat kepentingan dan tingkat pengaruh
stakeholders. Masing-masing stakeholders memiliki tingkat kepentingan dan
pengaruh yang berbeda-beda. Intensitas pengaruh dan kepentingan stakeholders
didasarkan pada bentuk interaksi, keuntungan dan dampak yang dihasilkan
terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional serta posisi yang kuat dalam
setiap pengambilan keputusan yang akan dilakukan. Hasil analisis stakeholders
ditunjukkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil Analisis Stakeholders dalam Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor Kriteria Evaluasi Keputusan
Kekuatan Stakeholders Kepentingan Sikap SDM Finansial Politik
Pengaruh Total Keterlibatan Tingkat Keterlibatan
Meningkatkan aktivitas ekonomi (berdagang) Masyarakat Pedagang Meningkatkan kesejahteraan hidup
2 2 2 1 5 10 Terlibat Penerima informasi
Pelaksanaan penyusunan perumusan kebijakan perencanaan daerah, penyusunan program serta kebijakan keuangan Bapeda Mengatur koordinasi antar instansi Pemda dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis
3 5 5 5 15 45 Terlibat Pengambilan keputusan kebijakan
Pelaksanaan kebijakan teknis operasional di bidang perdagangan (pasar tradisional) Disperindagkop Pembinaan terhadap pedagang
3 5 5 4 14 42 Terlibat Pengambilan keputusan kebijakan
Pelaksana teknis dalam pengelolaan pasar UPTD Pembinaan terhadap pedagang
2 3 3 2 8 16 Terlibat Pemberi pertimbangan
Pelaksana teknis dalam pembangunan fasilitas umum (termasuk pasar tradisional) DTKP Pengendalian tata kota
2 5 5 4 14 28 Terlibat Pemberi pertimbangan
DLHK Menjaga kualitas lingkungan dan kebersihan kota termasuk lingkungan pasar tradisional 2 5 5 4 14 28 Terlibat Pemberi pertimbangan
Dispenda Pembukuan dan pelaporan PAD termasuk retribusi pasar tradisional 2 5 5 4 14 28 Terlibat Pemberi pertimbangan
Pengelola Pasar Swasta
Meningkatkan pengelolaan pasar secara profesional 1 3 3 1 7 7
Tidak terlibat Tidak terlibat
Sumber: Data primer (diolah)
C *8 *6 *7
B *1 *2
D *5
A *4 *3
Tinggi
Tingkat Pengaruh
Tinggi Rendah Tingkat Kepentingan
Keterangan: 1. Bapeda Kota Bogor 2. Disperindagkop Kota Bogor 3. Masyarakat pedagang 4. UPTD 5. Pengelola pasar swasta 6. DLHK Kota Bogor 7. DTKP Kota Bogor 8. Dispenda Kota Bogor
Sumber: Data primer (diolah)
Gambar 9a. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Tabel 11 memperlihatkan tingkat pengaruh dan kepentingan masing-
masing stakeholders dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional.
Stakeholders yang memiliki kepentingan tinggi merupakan stakeholders primer
yaitu yang kepentingannya dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan.
Stakeholders yang memiliki kepentingan rendah merupakan stakeholders
sekunder yang kepentingannya dipengaruhi secara tidak langsung terhadap
kebijakan.
Kepentingan stakeholders dalam kebijakan pengembangan pasar
tradisional dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya. Pengaruh
stakeholders yang berbeda-beda dalam kebijakan ini dipengaruhi oleh politik,
birokrasi dan struktural. Hasil dari kajian pada Tabel 11 digunakan sebagai dasar
dalam penyusunan matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders dalam
kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 9a.
Gambar 9a menunjukkan bahwa stakeholders yang memiliki pengaruh dan
kepentingan tertinggi adalah Bapeda Kota Bogor dan Disperindagkop Kota Bogor
terkait dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Bapeda merupakan
lembaga pemerintah yang bertugas mengumpulkan semua data dan program yang
direncanakan oleh semua instansi-instansi pemerintah di wilayah Kota Bogor.
Seluruh data dan program tersebut bersumber mulai dari tingkat masyarakat desa,
kelurahan, kecamatan dan disampaikan dalam Musyawarah Rencana
Pembangunan (Musrenbang).
Penentuan hasil dan keputusan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan
harus berdasarkan program prioritas pembangunan nasional yang tertuang pada
rancangan awal rencana kerja pembangunan. Hasil yang didapat oleh Bapeda
dituangkan dalam bentuk Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana
Detail Tata Ruang Kota (RDTRK). Melalui RTRW dan RDTRK, Bapeda
menuangkan apa yang menjadi keinginan dari masing-masing instansi pemerintah
dengan tujuan untuk menciptakan kesinergisan dan tidak terjadi tumpang tindih
kepentingan masing-masing instansi.
Bapeda memiliki peran dan pengaruh yang kuat dalam kebijakan
pengembangan pasar tradisional. Peran Bapeda yaitu merencanakan pembangunan
wilayah Kota Bogor dalam skala makro di semua bidang kerja Kota Bogor
termasuk di bidang perdagangan. Pada kebijakan pengembangan pasar tradisional
ini, Bapeda yang merencanakan kebijakan pemindahan Pasar Ramayana dan
pembangunan pasar tradisional di setiap kecamatan dengan tujuan untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di setiap wilayah. Bapeda juga menentukan
lokasi pasar yang akan jadi pasar pengganti dan lokasi yang akan dibangun pasar
tradisional.
Tingkat kepentingan Bapeda Kota Bogor terhadap kebijakan
pengembangan pasar tradisional tinggi karena berdasarkan pada tugas pokoknya
dalam upaya perencanaan dan pembangunan daerah serta mengkoordinasikan
progam kegiatan seluruh instansi pemerintah kedinasan Kota Bogor agar berjalan
sesuai dengan prioritas pembangunan daerah. Bapeda merupakan pihak yang
memiliki pengaruh tertinggi dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional
berdasarkan tingkat kewenangannya dalam merencanakan suatu kebijakan.
Bapeda memiliki wewenang dalam mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan
mulai dari perencanaan lokasi hingga tahap implementasi.
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kota Bogor memiliki
tugas pokok yaitu melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah di bidang
perdagangan, perindustrian dan koperasi serta melaksanakan program yang telah
ditetapkan oleh Bapeda. Fungsi Disperindagkop di antaranya yaitu di bidang
perdagangan dengan melakukan pengawasan terhadap barang-barang yang
dijualbelikan di pasar, baik pasar tradisional maupun pasar modern.
Disperindagkop juga berfungsi dalam melakukan pembinaan dan pemberdayaan
terhadap pedagang, usaha kecil menengah (UKM) dan koperasi dalam hal
permodalan, kebutuhan fasilitas kredit serta melaksanakan program untuk
peningkatan sarana dan prasarana pasar. Oleh karena itu, Disperindagkop
memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi.
Pada kebijakan pengembangan pasar tradisional, Disperindagkop
merupakan instansi pemegang tanggungjawab dalam pelaksanaan program
pemindahan Pasar Ramayana dan pembangunan pasar tradisional. Disperindagkop
memiliki kekuatan untuk mempengaruhi keputusan yang diambil terkait dengan
pengambilan keputusan kebijakan karena Disperindagkop memiliki wewenang
dalam mengelola dana proyek serta menentukan bentuk kegiatan yang dapat
dilakukan atau tidak dapat dilakukan dalam kebijakan ini.
Masyarakat sebagai sasaran program dalam hal ini khususnya pedagang
memiliki kepentingan tertinggi, tetapi tidak memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi kebijakan pengembangan pasar tradisional. Mereka memiliki
kepentingan tertinggi karena pasar tradisional merupakan tempat mereka bekerja
sehingga kebijakan pengembangan pasar tradisional akan mempengaruhi tingkat
pendapatan mereka. Namun tingkat kekuatan pedagang dalam kebijakan ini
rendah sehingga mereka tidak memiliki pengaruh dalam pengambilan keputusan
kebijakan. Mereka hanya dilibatkan dalam proses perencanaan yaitu ketika Pasar
Ramayana akan dipindah melalui musyawarah antara kelompok pedagang dan
pejabat pemerintah. Keluhan-keluhan pedagang selama ini disampaikan kepada
pihak pengelola pasar, yang kemudian akan disampaikan oleh pihak pengelola
pasar kepada Disperindagkop.
Pihak pengelola pasar pemerintah (UPTD) memiliki kepentingan tinggi
terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional. Hal ini didasarkan pada tugas
pokok UPTD sebagai pengelola pasar pemerintah yang berkaitan langsung dengan
pedagang yaitu melakukan pengelolaan pasar terutama dalam hal pendataan
pedagang dan penarikan retribusi. UPTD tidak memiliki kekuatan untuk ikut
mengambil keputusan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional karena
secara struktural dan birokrasi UPTD berada di bawah Kepala Disperindagkop,
sehingga kekuatan pengaruh UPTD dalam kebijakan pengembangan pasar
tradisional tergolong rendah yaitu terbatas pada usulan-usulan yang tercantum
dalam laporan pertanggungjawaban UPTD. Padahal pihak UPTD yang menerima
keluhan langsung dari para pedagang.
Instansi lain yang ikut terlibat dalam kebijakan ini yaitu Dispenda, DLHK
dan DTKP Kota Bogor. Ketiga instansi ini memiliki tingkat pengaruh yang tinggi
namun tingkat kepentingannya terhadap kebijakan rendah. Kepentingan rendah
pada tiga stakeholders tersebut karena ketiga instansi ini tidak terlibat secara
langsung dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Kepentingan mereka
terhadap kebijakan ini hanya terbatas pada tugas pokok dan fungsi masing-masing
instansi.
Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan memiliki tugas untuk menjaga
kebersihan lingkungan Kota Bogor, sehingga masalah sampah pasar menjadi
tanggung jawab dari DLHK, sedangkan DTKP berfungsi sebagai pelaksana teknis
yaitu pemegang proyek untuk pembangunan pasar tradisional, sehingga tugasnya
terbatas pada pembangunan fisik pasar sesuai rencana yang telah ditentukan oleh
Bapeda. Dispenda memiliki kepentingan rendah karena hanya berkaitan dengan
pembukuan dan laporan penerimaan retribusi pasar tradisional. Ketiga
stakeholders tersebut memiliki tingkat pengaruh yang tinggi dalam kebijakan
pengembangan pasar tradisional karena secara birokrasi dan struktural ketiga
instansi tersebut memiliki posisi yang sama dengan Bapeda dan Disperindagkop.
Pada pembahasan rencana kebijakan, mereka dapat memberikan pertimbangan
sesuai dengan fungsi masing-masing instansi yang dapat mempengaruhi hasil
perencanaan kebijakan.
Pihak swasta sebagai pengelola pasar memiliki kepentingan dan pengaruh
yang rendah karena kepentingan mereka hanya terbatas pada pasar yang mereka
kelola saja, sehingga mereka tidak dilibatkan dalam proses kebijakan
pengembangan pasar tradisional.
Tindakan yang perlu dilakukan bagi stakeholders yang memiliki pengaruh
dan kepentingan tinggi adalah pelibatan stakeholders dalam setiap pengambilan
keputusan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Tindakan bagi
stakeholders yang memiliki kepentingan tinggi dengan pengaruh rendah adalah
dilibatkan dalam hal penyaluran data dan informasi mengenai potensi pasar
tradisional dan upaya pengembangannya. Stakeholders yang memiliki
kepentingan rendah dengan pengaruh tinggi dapat dilibatkan untuk memberi
pertimbangan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Sedangkan bagi
stakeholders yang memiliki pengaruh dan kepentingan rendah maka tindakan
yang perlu dilakukan cukup dengan melakukan pengawasan (monitor) tanpa perlu
terlibat secara langsung dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional.
Pada kondisi ideal (Gambar 9b), tingkat kepentingan dan pengaruh
stakeholders memiliki hubungan yang erat. Stakeholders yang memiliki
kepentingan yang tinggi, akan memiliki kekuatan yang tinggi pula dalam
kebijakan pengembangan pasar tradisional. Pada kenyataannya stakeholders yang
memiliki kepentingan tinggi justru tidak memiliki kekuatan dalam mempengaruhi
kebijakan pengembangan pasar tradisional.
Pedagang dan pihak pengelola pasar yang memiliki kepentingan tinggi
terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak memiliki tingkat
pengaruh yang tinggi dalam pengambilan keputusan. Akibatnya dalam
C *8*6 *7
B *1 *2 *3 *4
D
A *5
Tinggi
Tingkat Pengaruh
Tinggi Rendah Tingkat Kepentingan
Keterangan: 1. Bapeda Kota Bogor 2. Disperindagkop Kota Bogor 3. Masyarakat pedagang 4. UPTD 5. Pengelola pasar swasta 6. DLHK Kota Bogor 7. DTKP Kota Bogor 8. Dispenda Kota Bogor
Sumber: Data primer (diolah) Gambar 9b. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholders pada Kondisi
Ideal dalam Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
perencanaan dan penyusunan kebijakan, pemerintah kurang mendapat informasi
mengenai kondisi riil di lapangan karena tidak dilibatkannya pedagang, UPTD
dan pengelola swasta. Oleh karena itu, kebijakan yang dihasilkan pun akhirnya
menjadi tidak tepat karena lebih mementingkan kepentingan dari pemerintah saja
tanpa mengakomodir kepentingan pedagang dan masyarakat.
Gambar 9b menunjukkan kondisi yang seharusnya terjadi dari tingkat
pengaruh dan kepentingan stakeholders yang terlibat dalam kebijakan
pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. Masyarakat pedagang yang
memiliki kepentingan tertinggi seharusnya memiliki tingkat pengaruh yang tinggi
pula dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional. Hal ini dikarenakan
kebijakan pengembangan pasar tradisional disusun untuk mengakomodir
kepentingan pedagang sehingga dengan adanya kebijakan ini pedagang tidak akan
merasa dirugikan. Selain itu, dengan dilibatkannya para pedagang dalam
perencanaan kebijakan, maka dukungan terhadap kebijakan akan bertambah
dalam artian tidak ada pedagang yang akan menolak kebijakan. Dengan demikian
kemungkinan kebijakan ini untuk berhasil dilaksanakan akan semakin besar.
Pihak UPTD sebagai pengelola pasar pemerintah juga seharusnya
memiliki tingkat pengaruh yang tinggi dalam kebijakan pengembangan pasar
tradisional, karena pihak UPTD-lah yang benar-benar berhubungan dengan para
pedagang dan konsumen di pasar sehingga mereka mengerti kondisi riil di
lapangan. Keterlibatan UPTD dalam penyusunan kebijakan akan sangat berguna
dalam perumusan kebijakan yang tepat sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Pihak swasta sebagai pengelola pasar juga seharusnya dilibatkan dalam
kebijakan pengembangan pasar tradisional. Meskipun peran mereka hanya
terbatas pada pasar yang mereka kelola saja, namun mereka memiliki potensi
untuk berpengaruh terhadap kebijakan pengembangan pasar tradisional. Pihak
swasta dapat mengelola pasar milik pemerintah secara profesional sehingga pasar
tradisional dapat berkembang secara mandiri dan tidak tergantung pada anggaran
pemerintah.
Keterlibatan masyarakat pedagang dalam kebijakan pengembangan pasar
tradisional ini yaitu dengan keterlibatan komunitas pedagang pasar melalui
asosiasi pedagang untuk menjadi mitra pemerintah dalam mengelola pasar,
sehingga dengan dilibatkannya pedagang dalam mengelola pasar maka mereka
juga akan ikut menjaga kebersihan dan kenyamanan pasar sehingga lebih bersih
dan rapi. Selain itu, dengan dilibatkannya pedagang akan lebih menarik konsumen
karena pedaganglah yang mengerti kondisi riil konsumennya.
Sebelum pemerintah melakukan suatu kebijakan pengembangan pasar
tradisional maka seharusnya dilakukan studi kelayakan yang komprehensif
terlebih dahulu untuk mengetahui kondisi riil di lapangan. Studi kelayakan yang
dilakukan dapat berupa diskusi atau musyawarah dengan warga dan pedagang
untuk mengetahui kondisi riil di lapangan melalui suatu forum komunikasi.
Diskusi ini dilakukan untuk menjembatani perbedaan-perbedaan kepentingan
antara pemerintah, pengelola pasar dan pedagang sehingga pada akhirnya seluruh
pihak dapat dipuaskan dengan adanya kebijakan. Adanya diskusi bukan hanya
mengenai sosialisasi kebijakan kepada pedagang saja namun pemerintah juga
harus mendengarkan keberatan-keberatan dari pihak pedagang dan mencari solusi
bersama. Studi kelayakan ini merupakan salah satu bentuk partisipasi dari
keterlibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan.
Apabila kesepakatan telah tercapai maka seluruh pihak harus mau menaati
kebijakan dan ditetapkan sanksi bagi yang melanggar kebijakan yang telah
disepakati. Pedagang juga memiliki hak atas informasi apapun yang berkaitan
dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Perlu dibentuk dinas atau
lembaga yang menangani keluhan pedagang/masyarakat selama proses
perencanaan sampai dengan pelaksanaan kebijakan. Dinas ini memiliki kewajiban
untuk menindaklanjuti keluhan pedagang. Pengelola pasar (UPTD) perlu
diberikan pelatihan khusus agar dapat mengelola manajemen pasar secara lebih
profesional.
VII. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL
Analisis kebijakan pengembangan pasar tradisional dilakukan untuk
mengetahui penyebab ketidakberhasilan kebijakan di Kota Bogor. Penyebab
kegagalan kebijakan dalam pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor dapat
dilihat dari dua aspek, yaitu proses dan penerapan. Proses dalam perencanaan
kebijakan pengembangan pasar tradisional dapat mempengaruhi penerapan
kebijakan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil kebijakan.
7.1. Analisis Proses
Analisis proses dimaksudkan untuk mengetahui tahapan-tahapan
perencanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional serta keterlibatan
stakeholders. Adanya penyimpangan dalam tahapan proses perencanaan dan
perumusan kebijakan dapat memberikan petunjuk dalam menganalisis penyebab
ketidakberhasilan kebijakan. Proses perencanaan kebijakan pengembangan pasar
tradisional yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor dianalisis sesuai dengan
kriteria dan indikator yang telah ditentukan (Lampiran 1), kemudian baru dikaji
mengenai penyebab ketidakberhasilan kebijakan. Apabila dalam penyusunan
kebijakan itu sendiri kurang tepat maka akan berdampak pada implementasi
kebijakan.
Faktor yang menyebabkan proses pembuatan kebijakan pengembangan
pasar tradisional kurang tepat berdasarkan persepsi responden secara berurutan
yaitu keterlibatan stakeholders sebesar 16,24 persen, proses penyusunan kebijakan
pengembangan pasar tradisional yang benar sebesar 14,72 persen, partisipasi
publik sebesar 13,20 persen, akuntabilitas sebesar 12,18 persen, responsivitas
sebesar 10,15 persen, transparansi sebesar 9,64 persen, ego sektoral sebesar 9,14
persen, sosialisasi kebijakan sebesar 7,61 persen, kebijakan lain yang tidak
tumpang tindih dari pengembangan pasar tradisional sebesar 7,11 persen dan
terakhir yaitu tersedianya dana yang memadai dan berkelanjutan sebesar 4,06
persen. Hasil selengkapnya mengenai peringkat faktor penyebab
ketidakberhasilan kebijakan pengembangan pasar tradisional dari segi proses
pembuatan kebijakan dapat dilihat pada Gambar 10.
14.72
12.18
16.24
7.6113.20
9.64
10.15
4.06
9.14
7.11A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Keterangan : A. Proses Penyusunan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional yang Benar B. Akuntabilitas C. Keterlibatan Stakeholders D. Sosialisasi Kebijakan E. Partisipasi Publik F. Transparansi G. Responsivitas H. Tersedianya Dana yang Memadai dan Berkelanjutan I. Ego Sektoral J. Kebijakan Lain yang Tidak Tumpang Tindih dari Pengembangan Pasar Tradisional
Gambar 10. Peringkat (%) Faktor Penyebab Ketidakberhasilan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional dari Segi Proses Pembuatan Kebijakan
Gambar 10 memperlihatkan urutan kriteria penyebab kurang berhasilnya
kebijakan pengembangan pasar tradisional dari segi proses pembuatan kebijakan
yaitu :
7.1.1. Keterlibatan stakeholders. Indikatornya yaitu melibatkan seluruh
stakeholders yang berkepentingan dalam proses perencanaan; pemahaman fungsi,
wewenang dan tanggungjawab dari stakeholders yang terlibat; teridentifikasinya
kepentingan setiap stakeholders; dan stakeholders yang terlibat memahami
program dengan baik. Kriteria ini merupakan faktor utama yang menyebabkan
kebijakan kurang berhasil mencapai tujuannya berdasarkan persepsi responden.
Hal tersebut dapat dilihat dari indikator keterlibatan seluruh pihak dalam proses
perencanaan kebijakan ini, ternyata tidak semua stakeholders yang terkait dengan
kebijakan pengembangan pasar tradisional terlibat dalam proses pengambilan
keputusan dalam perencanaan kebijakan.
Proses perencanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional ini
seharusnya melibatkan tiga stakeholders utama yaitu pemerintah daerah diwakili
oleh Bapeda dan UPTD, pihak swasta dan pedagang. Hasil analisis stakeholders
terlihat bahwa pedagang yang memiliki kepentingan tinggi tidak dilibatkan dalam
proses perencanaan kebijakan. Pada proses perencanaan kebijakan ini, Bapeda
memiliki peran utama. Hal ini dikarenakan Bapeda yang merumuskan
perencanaan dan menentukan lokasi tempat yang akan menjadi pengganti Pasar
Ramayana serta menetapkan lokasi di setiap kecamatan di mana pasar tradisional
akan dibangun, juga menilai apakah lokasi tersebut layak untuk dibangun pasar
tradisional.
Pihak pengelola pasar pada waktu itu masih berupa Dinas Pengelolaan
Pasar (DPP) yang bertugas untuk menyampaikan sosialisasi kepada pedagang
Pasar Ramayana mengenai rencana pemindahan dan mendata jumlah pedagang
yang akan dipindah. Pihak swasta berperan sebagai developer, yaitu PT. Mayo
Waya yang menangani relokasi Pasar Ramayana ke Pasar Jambu Dua dan Pasar
Kemang serta PT. Teknik Umum yang membangun Pasar Cimanggu.
Tabel 12. Analisis Proses Perencanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional
No Kegiatan Stakeholders yang seharusnya terlibat
Stakeholders yang terlibat
Keterangan
1 Penyusunan kebijakan
Bapeda, UPTD, Disperindagkop, DLHK, DTKP, Dispenda, Pemkec, Pemdes, pedagang, pengelola pasar
Bapeda, UPTD, Disperindagkop, DLHK, DTKP, Dispenda, Pemkec, Pemdes, pedagang, pengelola pasar
Kebijakan diusulkan dari tingkat desa untuk dibahas instansi pemerintah bersama Walikota
2 Perencanaan kebijakan
UPTD, Bapeda, Disperindagkop, DLHK, DTKP, Dispenda, developer, pedagang
Bapeda, Disperindagkop, DLHK, DTKP, Dispenda
Terdapat dominasi peran Bapeda
3 Pelaksanaan kebijakan
UPTD, Bapeda, Disperindagkop, DLHK, DTKP, Dispenda, pedagang, developer
Disperindagkop, Bapeda, DTKP, pedagang, UPTD, developer
Pada pelaksanaan program hanya melibatkan sebagian pedagang
Sumber : Data primer (diolah)
Tabel 12 menunjukkan bahwa pada proses perencanaan kebijakan,
dominasi paling tinggi terdapat pada pihak Bapeda. Pedagang hanya
disosialisasikan mengenai rencana pemindahan pasar tetapi tidak ikut dilibatkan
dalam proses penentuan tempat sebagai pasar pengganti. Adanya dominasi yang
tinggi oleh Bapeda mengakibatkan proses perencanaan hanya didasarkan pada
pandangan pihak Pemerintah dan kurang memahami kepentingan pedagang. Pada
mulanya para pedagang setuju untuk dipindahkan ke Pasar Jambu Dua, akan
tetapi setelah Pemerintah menetapkan bahwa Pasar Ramayana akan dipindah ke
tiga lokasi yaitu Pasar Jambu Dua, Pasar Kemang dan Pasar Cimanggu, banyak
pedagang yang menolak untuk pindah.
Selain itu, penentuan tempat pemindahan dilakukan secara undian
sehingga pedagang harus mau menempati kios baru di pasar yang sesuai dengan
undian yang diambilnya. Alasan lain, pedagang yang menolak untuk pindah lebih
memilih menjadi PKL di pasar-pasar lain seperti di Pasar Baru Bogor, Pasar
Kebon Kembang dan di sekitar Jalan Surya Kencana. Para pedagang berpendapat
dengan dipindahkannya Pasar Ramayana ke tiga lokasi akan mengurangi
keramaian ketiga pasar tersebut karena seluruh pedagang yang ada di Pasar
Ramayana terpisah-pisah ke tiga lokasi. Akibatnya Pasar Jambu Dua dan Pasar
Cimanggu, kurang berhasil menjadi pasar induk karena sepinya pedagang di
ketiga pasar tersebut. Banyak pedagang yang semula menempati kios di Pasar
Cimanggu lebih memilih pindah ke Pasar Induk Kemang karena tempat yang
lebih ramai.
7.1.2. Proses penyusunan kebijakan pengembangan pasar tradisional.
Indikatornya yaitu penyusunan kebijakan pengembangan pasar tradisional dibuat
secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan; terdapat
kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil dan sesuai dengan visi yang
dirumuskan dan misi yang diemban; penyusunan kebijakan berdasarkan informasi
yang akurat, terbaru dan lengkap.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden, ternyata dalam proses
penyusunan kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak didasarkan pada
informasi yang akurat dan lengkap. Ketika Bapeda merencanakan suatu kebijakan
pengembangan pasar tradisional yaitu pembangunan pasar tradisional, tidak
dilakukan suatu uji kelayakan secara tepat terlebih dahulu. Uji kelayakan yang
dilakukan hanya sebatas menilai apakah lokasi tersebut strategis atau tidak tanpa
mempertimbangkan jumlah penduduk di sekitar areal, sarana pendukung lainnya
seperti sarana transportasi di sekitar pasar dan kondisi sosial ekonomi lainnya. Hal
ini dapat ditunjukkan dari ketiga pasar yang dibangun oleh Pemerintah, ternyata
dua pasar tidak layak untuk dibangun yaitu Pasar Bubulak dan Pasar Pamoyanan.
Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk sekitar pasar yang masih rendah serta
kedua lokasi tersebut bukan merupakan lokasi pusat pemukiman penduduk.
Tabel 13. Pertumbuhan Penduduk dan Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2005
Jumlah Penduduk No Kecamatan
Luas Wil
(km2)
Jml RT (KK) L P Tot
Kep Pddk (/km2)
1 Tanah Sareal 21,07 35,517 79,958 78,233 158,187 7.507 2 Bogor Tengah 8,33 24,256 52,034 51,142 103,176 12.386 3 Bogor Utara 17,72 35,187 74,999 74,579 149,578 8.441 4 Bogor Selatan 28,61 39,050 85,058 81,627 166.745 5.828 5 Bogor Timur 10,15 18,594 43,486 43,492 86.978 8.569 6 Bogor Barat 32,62 41,753 96,333 94,088 190,421 5.199
KOTA BOGOR 18,5 194,357 431,864 423,221 855,085 7.215 Sumber : BPS, 2005
Pasar Pamoyanan terletak di wilayah Kecamatan Bogor Selatan dan Pasar
Bubulak berada di Kecamatan Bogor Barat. Tabel 13 menunjukkan bahwa dua
kecamatan tersebut merupakan kecamatan di wilayah Kota Bogor yang memilki
kepadatan penduduk paling rendah di antara kecamatan lainnya. Dengan jumlah
penduduk yang sedikit maka daya beli masyarakat di Kecamatan Bogor Barat dan
Bogor Selatan pun rendah, akibatnya pasar tradisional yang dibangun di dua
kecamatan ini tidak berkembang.
Pada waktu pembangunan Pasar Bubulak, belum ada angkutan umum
yang dapat mencapai ke pasar ini sehingga tidak ada pedagang yang mau
menempati Pasar Bubulak, sedangkan di Pasar Tanah Baru meskipun saat ini
termasuk lokasi pusat pemukiman penduduk, akan tetapi angkutan umum yang
tersedia masih merupakan kendaraan plat hitam (odong-odong) dengan waktu
operasional terbatas yaitu dari pukul 06.00 sampai dengan 18.00. Kendaraan
umum lainnya tidak ada yang melewati Pasar Tanah Baru sehingga jangkauan
pasar menjadi terbatas karena konsumennya hanya penduduk di sekitar pasar saja.
7.1.3. Partisipasi publik. Indikatornya yaitu adanya forum untuk menampung
partisipasi masyarakat yang representatif, jelas arahnya, dapat dikontrol dan
bersifat terbuka; sasaran dan tujuan pengembangan ditetapkan berdasarkan
konsesus antara pemerintah dan masyarakat; terdapat akses terbuka dan bebas
bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat dalam proses penyusunan
kebijakan. Selama ini keluhan pedagang disampaikan kepada pemerintah melalui
forum komunikasi yang difasilitasi oleh pengelola UPTD. Kemudian oleh
pengelola UPTD akan disampaikan kepada Kepala Disperindagkop. Akibatnya
keluhan pedagang selama ini kurang mendapat respon dari dinas terkait karena
pihak UPTD sendiri tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan kebijakan sehingga kepentingan pedagang dan
masyarakat tidak terakomodir secara optimal.
7.1.4. Akuntabilitas. Dalam kriteria akuntabilitas, terdapat beberapa indikator
yaitu penyusunan kebijakan memenuhi standar etika, prinsip-prinsip administrasi
yang benar dan nilai-nilai yang berlaku di stakeholders; terdapat mekanisme yang
menjamin bahwa prinsip dan nilai yang berlaku telah terpenuhi, dengan
konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika tidak terpenuhi; penyusunan
kebijakan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosial; pemahaman
tanggungjawab dari pembuat kebijakan terhadap publik dan lembaga stakeholders
lain. Ketika penyusunan dan perencanaan kebijakan pengembangan pasar
tradisional dilakukan, prinsip akuntabilitas tidak diterapkan pada waktu itu. Hal
ini dikarenakan prinsip akuntabilitas belum terlalu dipahami oleh para
stakeholders sehingga penyusunan dan perencanaan kebijakan menggunakan
prosedur yang biasa dilakukan. Dengan demikian tidak ada mekanisme yang
menjamin bahwa proses penyusunan kebijakan dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum dan sosial.
7.1.5. Responsivitas. Indikator-indikator dalam kriteria responsivitas yaitu
perumusan kebijakan sesuai dengan kebutuhan publik dan perubahan lingkungan;
kepekaan stakeholders dalam menanggapi kepentingan masyarakat; terdapat
upaya dari stakeholders untuk merespon pendapat masyarakat. Pemerintah telah
melakukan upaya yang cukup baik dalam menanggapi kepentingan masyarakat
seperti keluhan masyarakat terhadap keberadaan Pasar Ramayana di tengah kota
yang menimbulkan kemacetan dan pencemaran lingkungan. Upaya yang
dilakukan oleh Pemerintah yaitu dengan memindahkan Pasar Ramayana ke tempat
lain. Namun ternyata pasca pemindahan Pasar Ramayana, banyak pedagang eks
Ramayana yang menjadi PKL di sekitar Pasar Baru Bogor, Pasar Kebon Kembang
dan Jalan Surya Kencana. Hal ini sudah menjadi keluhan bagi pedagang di Pasar
Jambu Dua karena keberadaan PKL tersebut telah mengurangi keramaian Pasar
Jambu Dua. Selama ini upaya yang dilakukan Pemerintah untuk merelokasi para
PKL tersebut belum berhasil, sehingga para PKL masih berjualan dengan bebas di
sekitar tempat-tempat tersebut.
7.1.6. Transparansi. Indikator-indikator yang terdapat pada kriteria transparansi
yaitu tersedianya informasi yang jelas tentang prosedur, proses dan biaya
perencanaan kebijakan; terdapat aturan hukum yang menjamin kemudahan
stakeholders lain dan masyarakat untuk mengakses informasi kebijakan secara
bebas. Tidak tersedianya informasi yang jelas mengenai prosedur, proses dan
biaya perencanaan kebijakan menjadi salah satu faktor penyebab
ketidakberhasilan kebijakan pengembangan pasar tradisional. Tidak semua
masyarakat dapat mengakses informasi tersebut secara bebas.
7.1.7. Ego sektoral. Indikatornya yaitu pembangunan pasar tradisional
memperhatikan kepentingan sektor dan kawasan lain; dan kebijakan
pengembangan pasar tradisional tidak menimbulkan konflik antar sektor atau
antar kawasan maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Pada awalnya
kebijakan pemindahan Pasar Ramayana tidak menimbulkan konflik yang besar
antara pedagang dengan pemerintah karena kebijakan ini merupakan upaya
Pemerintah dalam merespon keluhan masyarakat.
Meskipun terdapat beberapa konflik dengan pedagang yang awalnya tidak
mau dipindah namun pada akhirnya dapat terselesaikan setelah disosialisasikan
mengenai maksud dan tujuan pemindahan. Pasca relokasi Pasar Ramayana justru
terjadi konflik antara pedagang yang mau pindah dengan pedagang yang tidak
mau pindah. Sebagian pedagang yang menolak pindah lebih memilih menjadi
PKL, karena mereka beranggapan di pasar baru yang akan menjadi pengganti
Pasar Ramayana, pembeli tidak akan sebanyak seperti di Pasar Ramayana
sehingga mereka khawatir bahwa pendapatan mereka akan berkurang. Akibatnya
pembeli di Pasar Jambu Dua menjadi sepi karena mereka lebih memilih lokasi
pasar yang ramai penjualnya maupun PKL-nya seperti di Pasar Anyar dan Pasar
Baru Bogor. Hal ini masih belum dapat diselesaikan oleh pemerintah hingga saat
ini, karena para PKL tersebut menolak untuk dipindahkan ke pasar-pasar yang
belum penuh seperti Pasar Tanah Baru, Pasar Pamoyanan dan Pasar Cimanggu.
7.1.8. Sosialisasi kebijakan. Indikatornya antara lain penyebarluasan informasi
mengenai program pengembangan pasar tradisional melalui media massa maupun
elektronik pada publik; adanya seminar/workshop oleh dinas terkait; terdapat
upaya untuk meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa
dan lembaga non pemerintahan. Sosialisasi kebijakan pengembangan pasar
tradisional dilakukan oleh pihak pengelola pasar dan aparat kelurahan dan
kecamatan. Sosialisasi dilaksanakan melalui musyawarah dengan pedagang atau
tokoh masyarakat. Pemerintah tidak melakukan sosialisasi melalui media massa
maupun elektronik terhadap publik. Namun sosialisasi yang dilakukan langsung
oleh aparat pemerintah cukup diterima oleh pedagang dan masyarakat.
7.1.9. Kebijakan lain yang tidak tumpang tindih dari pengembangan pasar
tradisional. Indikatornya adalah tujuan kebijakan pengembangan pasar
tradisional tidak menimbulkan konflik dengan alternatif program perekonomian
wilayah. Alternatif program perekonomian wilayah di antaranya yaitu program
pengembangan ekspor dan sistem distribusi. Program perekonomian wilayah ini
tidak menimbulkan konflik dengan kebijakan pengembangan pasar tradisional.
7.1.10. Tersedianya dana yang memadai dan berkelanjutan. Indikator dalam
kriteria ini yaitu teridentifikasinya biaya atau dana untuk pengembangan pasar.
Kriteria ini merupakan peringkat terendah dari kriteria yang menjadi penyebab
ketidakberhasilan kebijakan pengembangan pasar tradisional, karena biaya dan
sumber dana yang digunakan untuk kebijakan ini telah teridentifikasi dengan baik
dan dana yang digunakan telah sesuai dengan besarnya dana yang dianggarkan
serta pembangunan pasar tradisional telah sesuai dengan rencana yang ditetapkan.
7.2. Analisis Penerapan Kebijakan
Analisis penerapan dimaksudkan untuk mengetahui apakah pelaksanaan
kebijakan telah sesuai dengan rencana, sesuai dengan kriteria dan indikator yang
telah ditentukan (Lampiran 2). Faktor yang menyebabkan penerapan kebijakan
pengembangan pasar tradisional kurang tepat berdasarkan persepsi responden
secara berurutan yaitu penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional
secara efektif dan efisien sebesar 11,18 persen; akuntabilitas sebesar 9,94 persen;
transparansi sebesar 9,32 persen; responsivitas sebesar 8,07 persen; legalitas
kebijakan sebesar 7,45 persen; keadilan sebesar 6,21 persen; ketepatan sebesar
5,59 persen; monitoring dan evaluasi program sebesar 4,35 persen; dan terakhir
yaitu keterlibatan swasta sebesar 3,73 persen.
11.18
4.35
8.07
9.949.32
7.45
3.73
5.59
6.21
A
B
C
D
E
F
G
H
I
Keterangan : A. Penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara efektif dan efisien B. Monitoring dan evaluasi program C. Responsivitas D. Akuntabilitas E. Transparansi F. Legalitas kebijakan G. Keterlibatan swasta H. Ketepatan I. Keadilan
Gambar 11. Peringkat (%) Faktor Penyebab Ketidakberhasilan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional dari Segi Penerapan Kebijakan
Gambar 11 menunjukkan urutan kriteria penyebab kurang berhasilnya
kebijakan pengembangan pasar tradisional dari segi penerapan kebijakan yaitu :
7.2.1. Penerapan perencanaan pengembangan pasar tradisional secara
efektif dan efisien. Indikatornya, yaitu program atau aktivitas telah dilaksanakan;
program atau aktivitas dilaksanakan secara efektif dan efisien; sasaran atau hasil
yang diinginkan telah tercapai; ketepatan alokasi sumberdana; konsistensi
pelaksanaan program sesuai target operasional yang telah ditetapkan. Meskipun
sebagian program atau kegiatan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional
telah dilaksanakan namun ternyata hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Hasil pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional dapat dilihat pada
Tabel 14.
Tabel 14. Analisis Hasil Pelaksanaan Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional
No Program Kondisi ideal Kenyataan di lapangan 1 Pemindahan Pasar
Ramayana Seluruh pedagang eks Ramayana pindah ke Pasar Jambu Dua, Kemang dan Cimanggu
Sebagian pedagang menolak pindah dan memilih menjadi PKL
2 Pembangunan Pasar Induk Jambu Dua, Pasar Kemang dan Pasar Cimanggu
Ketiga pasar dapat berfungsi sebagai pasar grosir
Hanya Pasar Kemang yang berfungsi sebagai pasar grosir
3 Pembangunan Pasar Tanah Baru
Wilayah Tanah Baru menjadi berkembang akibat adanya pasar
Pasar Tanah Baru masih berstatus non aktif
4 Pembangunan Pasar Pamoyanan
PKL di pusat kota berkurang dan tersedianya fasilitas pasar tradisional di wilayah Bogor Selatan
Pasar Pamoyanan tidak dimanfaatkan karena pedagang tidak mau pindah dan masyarakat lebih suka berbelanja di Pasar Sukasari
5 Pembangunan Pasar Bubulak
Meningkatkan potensi wilayah supaya lebih berkembang
Pasar Bubulak tidak berjalan sama sekali
6 Pembangunan Pasar Katulampa
Peningkatan pertumbuhan ekonomi di wilayah Katulampa
Pembangunan Pasar Katulampa dibatalkan
Sumber : Data primer (diolah)
Berdasarkan Tabel 14, kebijakan pengembangan pasar tradisional yang
dilaksanakan oleh pemerintah belum berhasil mencapai sasarannya. Tidak semua
program kebijakan dilaksanakan yaitu dibatalkannya pembangunan Pasar
Katulampa. Hal ini dikarenakan ketidakberhasilan tiga pasar sebelumnya yang
telah dibangun oleh Pemerintah, selain itu banyaknya pedagang yang menolak
pindah dan lebih memilih menjadi PKL telah menimbulkan masalah baru bagi
upaya pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor. Keberadaan PKL di tengah
kota telah mengambil jalan-jalan utama di Kota Bogor sehingga menyebabkan
kemacetan seperti di Jalan Surya Kencana dan Otista dan secara tidak langsung
telah mempengaruhi tingkat keramaian Pasar Jambu Dua dan Cimanggu. Warga
Bogor lebih suka berbelanja di Pasar Kebon Kembang dan Pasar Bogor karena
banyaknya PKL yang memberikan konsumen pilihan yang lebih banyak. Hal ini
mengakibatkan Pasar Jambu Dua dan Cimanggu kekurangan konsumen dan
banyak pedagang yang memutuskan untuk pindah ke Pasar Kemang atau menjadi
PKL juga.
7.2.2. Akuntabilitas merupakan kriteria yang menempati urutan kedua. Hal ini
karena belum adanya sanksi yang tegas bagi para pelaku pelanggar kebijakan
sehingga pelaksanaan dan hasil kebijakan belum dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum. Hal ini dapat ditunjukkan dari keberadaan PKL yang telah
menganggu ketertiban umum. Selama ini belum ada tindakan tegas dari aparat
pemerintah untuk melarang mereka berjualan di pinggir jalan. Upaya yang
dilakukan hanya sebatas mengusir keberadaan PKL pada waktu-waktu tertentu
saja. Setelah proses penggusuran selesai, keesokan harinya para pedagang kaki
lima tersebut kembali berjualan di pinggir jalan.
7.2.3. Transparansi. Indikatornya yaitu keterbukaan informasi dalam
pelaksanaan kebijakan terkait sumberdaya, alokasi dana, proses tender, jadwal
pelaksanaan proyek dan hasil yang dicapai. Seluruh informasi terkait dengan
kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak disampaikan kepada masyarakat
dan pedagang. Pedagang dan masyarakat hanya disosialisasikan mengenai
program-program yang akan dilaksanakan dan jadwal pelaksanaan program saja,
sedangkan alokasi dana dan sumberdaya serta proses tender yang digunakan
dalam pelaksanaan kebijakan tidak dapat diakses secara bebas oleh masyakat.
7.2.4. Responsivitas. Indikatornya yaitu hasil kebijakan memuaskan kebutuhan
publik. Pada Tabel 14, sasaran yang diharapkan dalam kebijakan pengembangan
pasar tradisional belum tercapai sehingga kebijakan ini belum memuaskan
kebutuhan publik. Para pedagang di Pasar Jambu Dua dan Pasar Cimanggu masih
mengeluhkan mengenai kondisi pasar yang relatif lebih sepi dibandingkan dengan
pasar-pasar lain.
7.2.5. Legalitas kebijakan. Indikatornya antara lain terdapat dasar hukum yang
jelas dalam pelaksanaan program kebijakan pengembangan pasar; tersedianya
mekanisme pengaduan masyarakat; adanya sanksi yang tegas bagi pelaku
pelanggar kebijakan, adanya peraturan mampu menjawab permasalahan
pengembangan pasar tradisional. Tidak tersedianya mekanisme pengaduan dan
sanksi yang tegas terhadap pelanggar kebijakan menjadi faktor utama dalam
kriteria ini. Selama ini pengaduan dari masyarakat hanya disampaikan kepada
aparat kelurahan dan kecamatan, dan dari pedagang disampaikan kepada
pengelola pasar. Dengan demikian sangat besar kemungkinan bahwa pengaduan
dari masyarakat dan pedagang tidak tersampaikan ke instansi yang lebih tinggi
wewenangnya. Sanksi yang tidak tegas juga terlihat dari rendahnya hukuman pada
para aparat pemerintah yang tidak melakukan kegiatan operasi terhadap para PKL.
Keberadaan aparat tersebut hanya pada waktu-waktu tertentu saja, sehingga PKL
masih bebas berjualan di pinggir jalan dan sekitar pasar.
7.2.6. Keadilan. Indikatornya yaitu manfaat kebijakan dapat dirasakan secara
merata oleh seluruh pihak dan keikutsertaan pedagang dalam pelaksanaan dan
pengawasan program. Pedagang hanya dilibatkan dalam pelaksanaan program tapi
tidak dilibatkan dalam pengawasan program.
7.2.7. Ketepatan. Indikatornya yaitu hasil kebijakan yang dicapai dapat
memberikan manfaat kepada kebutuhan publik dan hasil kebijakan yang dicapai
dapat memecahkan masalah. Berdasarkan Tabel 14 menunjukkan bahwa hasil
kebijakan yang dicapai belum memberikan manfaat kepada masyarakat dan justru
terdapat beberapa masalah yang timbul setelah kebijakan dilaksanakan, yaitu
keberadaan PKL di sekitar pasar yang telah mengganggu ketertiban umum.
7.2.8. Monitoring dan evaluasi program. Kegiatan monitoring dan evaluasi
program dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional dilaksanakan
Disperindagkop yang dibantu oleh UPTD. Namun masyarakat kurang dilibatkan
dalam pemantauan dan pengawasan program kebijakan pengembangan pasar
tradisional.
7.2.9. Keterlibatan swasta. Dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional
ini pihak swasta dilibatkan sebagai developer dan sebagai pengelola pasar swasta.
Pihak swasta sebagai developer hanya melaksanakan pembangunan pasar sesuai
dengan yang telah direncanakan oleh Bapeda, sedangkan sebagai pengelola pasar
pihak swasta lebih berprinsip pada profit oriented sehingga pasar yang mereka
kelola relatif lebih berkembang dibandingkan dengan pasar yang dikelola
pemerintah.
7.3. Hubungan antara Analisis Proses dan Analisis Penerapan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan
pengembangan pasar tradisional tidak mencapai keberhasilan. Hal ini disebabkan
karena dalam proses penyusunan dan perencanaan kebijakan yang kurang tepat
sehingga menyebabkan implementasinya yang kurang tepat pula. Perencanaan
kebijakan pengembangan pasar tradisional lebih mempertimbangkan pada aspek
teknis saja yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah pinggiran
dengan membangun sebuah pusat perdagangan
Pada proses perencanaan tidak diperhitungkan pula bahwa faktor
demografi dan ekonomi sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu
wilayah. Selain itu dalam proses perencanaan tidak melibatkan seluruh
stakeholders yang betkepentingan. Stakeholders yang dilibatkan seluruhnya hanya
berasal dari Pemerintah Daerah, sehingga kebijakan yang dihasilkan lebih banyak
mengakomodir kepentingan Pemerintah tanpa memperhatikan kepentingan
masyarakat dan pedagang. Akibatnya dalam proses penerapan mengalami banyak
ketidakberhasilan dalam mencapai tujuannya. Meskipun penerapan yang
dilakukan telah sesuai dengan rencana yang ditetapkan.
VIII. STRATEGI PENGEMBANGAN PASAR TRADISIONAL
Pasar tradisional merupakan basis ekonomi rakyat yang memberikan
kontribusi nyata dalam perekonomian nasional. Pasar tradisional merupakan
sarana dalam rangka pemberdayaan masyarakat sehingga penyusunan strategi
maupun pengembangan pasar tradisional merupakan hal yang sangat penting.
Pemilihan prioritas strategi pengembangan pasar tradisional dilakukan dengan
menggunakan teknik AHP. Penentuan prioritas strategi merupakan pendapat
gabungan dari 6 responden yang mewakili stakeholders yaitu dari Bapeda,
Disperindagkop, DLHK, DTKP, Dispenda dan pihak UPTD.
8.1. Prioritas Aspek Pengembangan Pasar Tradisional
Hasil analisis pendapat gabungan responden mengenai prioritas aspek
yang paling penting dalam pengembangan pasar tradisional dapat dilihat pada
Gambar 12.
0.253
0.131
0.195
0.421
Manajemen
Teknis
Sosial
Ekonomi
Keterangan : Rasio Inkonsistensi = 0,01
Gambar 12. Prioritas Aspek Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Berdasarkan penilaian pendapat gabungan dari responden, keempat aspek
dominan ini teridentifikasi bahwa secara keseluruhan aspek ekonomi (0,421)
merupakan aspek yang paling penting, kemudian aspek manajemen (0,253), sosial
(0,195) dan terakhir aspek teknis (0,131). Hasil ini menunjukkan bahwa pendapat
para responden sesuai urutan prioritas di atas sejalan dengan tujuan yang ingin
dicapai pada penyusunan kebijakan pengembangan pasar tradisional.
Kebijakan pengembangan pasar tradisional disusun dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah sehingga terjadi
pemerataan perekonomian di seluruh wilayah Kota Bogor. Kebijakan ini disusun
dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan pasar
tradisional sehingga aspek manajemen dalam hal pengelolaan pasar penting, dan
untuk mengakomodir kepentingan seluruh pihak yang terkait maka aspek sosial
juga penting. Terakhir, aspek teknis terkait dengan kondisi fisik pasar yang dapat
mendukung pertumbuhan dan perkembangan pasar.
8.2. Prioritas Kriteria Pengembangan Pasar Tradisional
8.2.1.Aspek Ekonomi
Hasil analisis mengenai prioritas kriteria pada aspek ekonomi dapat dilihat
pada Gambar 13.
0.269
0.482
0.250
Kesejahteraan
Kerja
PAD
Keterangan : Rasio Inkonsistensi = 0,02
Gambar 13. Prioritas Kriteria pada Aspek Ekonomi dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Pada Gambar 13 terlihat bahwa kriteria yang memiliki bobot relatif atau
memiliki faktor paling dominan adalah menciptakan lapangan kerja (0,482)
kemudian diikuti oleh meningkatkan kesejahteraan pedagang dan masyarakat
(0,269) dan terakhir yaitu meningkatkan PAD (0,250). Hal ini menunjukkan
bahwa hal yang paling utama dalam pengembangan pasar tradisional adalah untuk
menciptakan lapangan kerja. Untuk meningkatkan tingkat perekonomian yaitu
dengan memberikan kesempatan kerja pada penduduk Kota Bogor. Apabila
kesempatan kerja telah ada maka peluang untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan pedagang semakin tinggi, dengan semakin banyaknya jumlah
pedagang maka PAD pun akan meningkat.
8.2.2.Aspek Manajemen
Hasil analisis mengenai prioritas kriteria pada aspek manajemen dapat
dilihat pada Gambar 14.
0.370
0.253
0.090
0.288
Penataan PKL
Pelayanan
Usaha Efisien
Profesional
Keterangan : Rasio Inkonsistensi = 0,01
Gambar 14. Prioritas Kriteria pada Aspek Manajemen dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 14 menunjukkan dari keempat kriteria ini teridentifikasi bahwa
secara keseluruhan kriteria penataan dan pembinaan PKL merupakan faktor yang
paling penting dalam aspek manajemen (0,370), diikuti oleh kriteria
meningkatkan manajemen pengelolaan pasar tradisional secara profesional
(0,288), meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (0,253) dan terakhir
membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien (0,090).
Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk mendukung pertumbuhan dan
perkembangan pasar tradisional di Kota Bogor maka penataan dan pembinaan
PKL merupakan kriteria yang paling penting pada aspek manajemen. PKL yang
tersebar di sekitar pasar dan di pinggir jalan menjadi kendala utama bagi
pertumbuhan pasar tradisional, sehingga pengembangan pasar tradisional
diarahkan untuk menata PKL dan merelokasi ke pasar-pasar yang ada.
Manajemen pengelolaan pasar harus ditingkatkan supaya pasar tradisional
dapat menjadi usaha yang profitable sehingga dapat mengatur sendiri
keuangannya tanpa tergantung dari anggaran Pemerintah. Untuk memuaskan
kebutuhan masyarakat maka kriteria berikutnya yang penting yaitu meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat sehingga masyarakat tidak beralih ke pasar modern,
dan terakhir yaitu membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien.
8.2.3.Aspek Sosial
Hasil analisis mengenai prioritas kriteria pada aspek sosial dapat dilihat
pada Gambar 15.
0.274
0.498
0.227
Kompetitif
Aman dan Nyaman
Mengurangi Konflik
Keterangan : Rasio Inkonsistensi = 0,01
Gambar 15. Prioritas Kriteria pada Aspek Sosial dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 15 menunjukkan bahwa urutan kriteria yang paling penting dalam
aspek sosial yaitu terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi
konsumen (0,498), menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih
kompetitif (0,274), mengurangi potensi konflik dengan masyarakat (0,227). Pada
pengembangan pasar tradisional yang dapat mendukung pertumbuhan pasar
tradisional yaitu dengan menciptakan kondisi pasar yang aman, bersih dan
nyaman sehingga konsumen lebih suka berbelanja di pasar tradisional
dibandingkan di tempat lain. Untuk menghadapi usaha-usaha lain seperti toko
serba ada, mini market dan pasar swalayan maka pasar tradisional harus menjadi
usaha yang kompetitif supaya tidak kalah dari usaha lainnya. Keberadaan pasar
tradisional di tengah masyarakat juga harus dapat meminimalisasi konflik dengan
masyarakat agar tidak terjadi benturan kepentingan antar stakeholders.
8.2.4.Aspek Teknis
Hasil analisis prioritas kriteria pada aspek teknis dapat dilihat pada
Gambar 16.
0.567
0.433
Peningkatan Fasilitas
Bersih dan Rapi
Keterangan : Rasio Inkonsistensi = 0,00
Gambar 16. Prioritas Kriteria pada Aspek Teknis dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 16 menunjukkan bahwa kriteria yang paling penting pada aspek
teknis yaitu peningkatan sarana dan prasarana pasar (0,567) diikuti oleh kondisi
fisik pasar yang lebih bersih dan rapi (0,433). Supaya pedagang mau menempati
kiosnya di pasar maka fasilitas pasar harus ditingkatkan sehingga pedagang betah
berjualan di pasar tersebut. Bangunan fisik pasar juga harus diperbaiki supaya
lebih bersih dan rapi sehingga dapat menarik orang untuk berbelanja di pasar.
8.3. Prioritas Alternatif Strategi dalam Pengembangan Pasar Tradisional
Berdasarkan hasil analisis dari pendapat responden ahli maka untuk
mencapai tujuan pengembangan pasar tradisional maka prioritas alternatif strategi
dapat dilihat pada Gambar 17.
0.136
0.093
0.115
0.155
0.125
0.133
0.243
Pendistribusian PKL
Pembentukan Forum Komunikasi
Pemberian Bantuan Kredit
Pemberdayaan
Menjalin Kemitraan
Pembangunan Pasar Lingkungan
Pembentukan PD. Pasar
Keterangan : Rasio Inkonsistensi = 0,1
Gambar 17. Prioritas Alternatif Strategi dalam Pengembangan Pasar Tradisional di Kota Bogor
Gambar 17 memperlihatkan prioritas alternatif strategi utama dalam
pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yaitu Pembentukan PD. Pasar.
Alternatif ini menduduki peringkat tertinggi sebagai strategi dalam pengembangan
pasar tradisional. Menurut pendapat responden, pembentukan PD. Pasar dapat
menjadi jalan untuk pertumbuhan dan perkembangan pasar tradisional, dengan
adanya PD. Pasar diharapkan pengelolaan pasar dilakukan dengan sistem profit
oriented. Usaha pasar tradisional dapat lebih berkembang serta efisien tanpa
tergantung pada sumber dana dari pemerintah serta dengan manajemen yang lebih
profesional diharapkan pasar tradisional dapat menjadi usaha yang bersaing.
Seluruh pasar yang ada di Kota Bogor akan berada di bawah satu
pengelolaan yaitu dalam bentuk PD. Pasar sehingga kebijakan yang akan
ditetapkan pun akan memperhatikan kepentingan seluruh pasar sehingga tidak
tumpang tindih antar masing-masing program kegiatan. Selama ini pasar
tradisional yang ada di Kota Bogor masing-masing dikelola oleh Kepala UPTD
dan bawahannya yang bertanggungjawab langsung kepada Kepala
Disperindagkop. Dengan demikian di Kota Bogor sendiri terdapat tujuh UPTD.
Hal ini menyebabkan ketujuh UPTD tersebut berdiri secara sendiri-sendiri dan
tidak saling berkaitan. Sehingga terdapat beberapa konflik antar UPTD itu sendiri.
Selama ini, UPTD merupakan instansi pemerintah yang mengelola pasar
pemerintah.Tugas harian yang dilakukan oleh UPTD yaitu penarikan retribusi dari
pedagang. Selain uang retribusi, UPTD juga meminta uang keamanan kepada
pedagang yang tidak memiliki kios/los dan berjualan di pelataran parkir atau di
depan pasar (PKL). Uang yang ditarik dari PKL ini telah memberikan penerimaan
sendiri untuk UPTD sehingga pengelola UPTD kurang tegas dalam mengatur
PKL. PKL sendiri juga merasa memiliki hak untuk berjualan di pasar tersebut
karena merasa telah membayar uang kepada pihak UPTD. Masalah ini telah
menimbulkan konflik antar UPTD di Kota Bogor, terutama di pasar yang
memiliki banyak PKL dan yang sepi pedagang sepeti Pasar Anyar dan Pasar
Jambu Dua.
Pembentukan PD. Pasar akan membawahi seluruh UPTD pasar tradisional
yang ada di Kota Bogor sehingga diharapkan konflik antar UPTD dapat
diselesaikan karena pengelolaan manajemen pasar berada di bawah satu
organisasi. Selain itu, salah satu penyebab pasar tidak berkembang adalah
kurangnya aspek promosi dan pemasaran pasar kepada masyarakat. Pemerintah
dalam hal ini UPTD kurang memasarkan pasar ke masyarakat sehingga hanya
sedikit masyarakat yang membeli kios/los. Adanya PD. Pasar diharapkan dapat
mengelola pasar secara komersial. Upaya pemasaran dapat dilaksanakan melalui
iklan sehingga keberadaan pasar tradisional dikenal secara luas oleh masyarakat.
8.4. Rekomendasi Kebijakan Pengembangan Pasar Tradisional
Selama ini pasar tradisional identik dengan pasar yang kumuh, becek, bau,
tidak tertata, dan banyak PKL, akibatnya banyak konsumen yang enggan
berbelanja di pasar tradisional karena kondisinya yang tidak nyaman bagi
pembeli. Hal ini sangat berbeda dengan pasar modern seperti minimarket,
swalayan dan supermarket. Tempat yang bersih dan nyaman, produk yang
beragam serta keamanan yang terjamin menjadi keunggulan dari pasar modern
dibandingkan pasar tradisional.
Gambar 18a Gambar 18b
Gambar 18 menunjukkan dua kondisi yang berbeda antara pasar
tradisional dan pasar modern. Pada Gambar 18a menunjukkan pasar tradisional
yang terkesan becek, kotor, dan tidak rapi, sedangkan pada pasar modern (Gambar
18b) terkesan rapi, nyaman dan bersih. Hal utama yang membedakan antara pasar
modern dan pasar tradisional yaitu adanya pengelolaan manajemen pasar secara
profesional pada pasar modern. Pasar modern lebih bersifat profit oriented
sehingga manajemennya lebih efektif dan efisien. Berkaitan dengan kondisi
tersebut, maka upaya pengembangan pasar tradisional dapat dilakukan melalui
pembenahan pasar tradisional dengan mengadopsi konsep pasar modern tetapi
tetap mempertahankan ciri khas transaksi antara penjual dan pembeli.
Salah satu contoh pasar tradisional yang telah menerapkan konsep
manajemen modern adalah Pasar Modern di Bumi Serpong Damai (BSD),
Tangerang (Gambar 19). Pasar ini layak menjadi acuan bagi pengembangan dan
pembenahan pasar tradisional di Indonesia karena pengelolaannya sangat
profesional meski dilakukan pihak swasta. Kebersihan, keamanan serta
keteraturan dan kedisiplinan pedagang menjadi fokus utama dari pengelola pasar
dengan tetap mempertahankan karakteristik pasar tradisional (tawar menawar).
Gambar 19a. Gambar 19b.
Gambar 19c. Gambar 19d.
Konsep pasar tradisional dengan manajemen modern ini telah berhasil
menampilkan pasar tradisional yang menyerupai mal, supermarket atau swalayan
dari aspek kebersihan dan kerapiannya. Pasar tradisional ini berada di dalam
bangunan beratap dan berlantai keramik serta tempatnya di dalam gedung
pertokoan (Gambar 19a). Pada bagian depan bangunan merupakan toko-toko
modern seperti restoran, kantor dan butik/toko pakaian, sehingga bangunan pasar
terlihat bersih dan menarik dari luar (Gambar 19b).
Setiap pedagang dikelompokkan sesuai dengan jenis komoditi yang dijual
di masing-masing lorong. Pada setiap lorong diberi label komoditi yang dijual
sehingga memudahkan pembeli untuk berbelanja (Gambar 19c). Meskipun
menggunakan konsep pasar modern, tetapi di pasar ini masih menggunakan
sistem pasar tradisional yaitu adanya interaksi sosial antara pembeli dan penjual
melalui proses tawar menawar (Gambar 19d).
Untuk menjaga ketertiban dan kerapian, pengelola pasar menetapkan
peraturan yang harus dipatuhi pedagang. Para pedagang dilarang meletakkan
barang dagangan di jalan atau lorong. Apabila melanggar, barang dagangan akan
diambil atau dibawa ke kantor pengelola. Jika terbukti telah dua kali melakukan
pelanggaran, maka pedagang akan mendapat sanksi pemutusan perjanjian sewa
kios/lapak secara sepihak. Pedagang tidak diperbolehkan membiarkan sampah
berceceran. Sampah harus dimasukkan ke dalam kantong plastik dan meletakkan
di areal yang ditentukan, sampai petugas kebersihan mengambilnya pada jam
tertentu. Para pedagang juga harus menata dan mengatur dagangannya hingga
terlihat menarik. Apabila kegiatan operasional pasar sudah selesai, lantai pasar
akan dibersihkan oleh petugas kebersihan sehingga pasar akan selalu terlihat
bersih.
Selain itu perlu adanya upaya pemberdayaan pengelola pasar dan
pedagang tradisional dengan perbaikan prasarana umum pasar tradisional oleh
pemerintah, mendorong asosiasi pedagang untuk ikut mengelola pasar, dan
adanya insentif bagi swasta untuk mendanai renovasi pasar atau kredit kepada
pedagang tradisional. Pasar tradisional dengan konsep modern ini adalah salah
satu solusi untuk pengembangan pasar tradisional sehingga diharapkan pasar
tradisional dapat tumbuh dan berkembang.
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan sebelumnya, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat beberapa stakeholders yang terkait dalam perencanaan dan
pelaksanaan kebijakan pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor, yaitu
Bapeda, Disperindagkop, masyarakat pedagang, UPTD, pengelola swasta,
Dispenda, DLHK dan DTKP, dengan kondisi sebagai berikut :
• Stakeholders yang memiliki pengaruh dan kepentingan tertinggi adalah
Bapeda dan Disperindagkop.
• Masyarakat pedagang dan UPTD memiliki kepentingan tinggi namun
pengaruhnya rendah.
• Dispenda, DLHK dan DTKP memiliki kepentingan yang rendah dan pengaruh
yang tinggi.
• Pengelola pasar swasta memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh rendah.
2. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan
pengembangan pasar tradisional tidak mencapai keberhasilan yang disebabkan
karena :
• Proses penyusunan dan perencanaan kebijakan yang kurang tepat sehingga
menyebabkan implementasinya yang kurang tepat pula.
• Kriteria utama yang menyebabkan proses pembuatan kebijakan
pengembangan pasar tradisional kurang tepat yaitu keterlibatan stakeholders
dan proses penyusunan kebijakan pengembangan pasar tradisional yang benar.
• Kriteria utama yang menyebabkan penerapan kebijakan pengembangan pasar
tradisional kurang tepat yaitu penerapan perencanaan pengembangan pasar
tradisional secara efektif dan efisien.
• Hasil analisis stakeholders menunjukkan bahwa tidak semua stakeholders
yang berkepentingan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional
dilibatkan dalam proses perencanaan dan penerapan kebijakan. Sehingga
adanya kegagalan dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional
disebabkan karena tidak dilibatkannya seluruh stakeholders yang
berkepentingan terhadap kebijakan ini.
3. Strategi pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor yang diolah dengan
analisis PHA menunjukkan bahwa :
• Aspek yang paling penting dalam kebijakan pengembangan pasar tradisional
secara berurutan yaitu aspek ekonomi, aspek manajemen, aspek sosial dan
aspek teknis.
• Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek ekonomi secara berurutan yaitu
menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan pedagang dan
masyarakat dan meningkatkan PAD.
• Kriteria-kriteria yang penting dalam aspek manajemen secara berurutan yaitu
penataan dan pembinaan PKL, meningkatkan manajemen pengelolaan pasar
tradisional secara profesional, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
dan membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien.
• Kriteria-kriteria yang penting secara berurutan dalam aspek sosial yaitu
terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi konsumen,
menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih kompetitif dan
mengurangi potensi konflik dengan masyarakat.
• Kriteria-kriteria yang penting secara berurutan dalam aspek teknis yaitu
peningkatan sarana dan prasarana pasar dan kondisi fisik pasar yang lebih
bersih dan rapi.
• Prioritas alternatif strategi dalam pengembangan pasar tradisional di Kota
Bogor yaitu pembentukan PD. Pasar, pemberdayaan pedagang dan pengelola
pasar, pendistribusian PKL ke pasar-pasar yang telah dibangun, pembangunan
pasar lingkungan, menjalin kemitraan dengan UKM dan koperasi, pemberian
bantuan kredit dan pembentukan forum komunikasi.
9.2. Saran
1. Pemerintah sebaiknya baik dalam proses penyusunan maupun pelaksanaan
kebijakan melibatkan seluruh stakeholders yang benar-benar memiliki
kepentingan terhadap kebijakan.
2. Untuk meningkatkan kekuatan pengaruh dari masyarakat pedagang maka
perlu dibentuk suatu asosiasi atau paguyuban pedagang untuk memperkuat
posisi tawar mereka dalam proses pengambilan keputusan kebijakan.
3. Pemerintah seharusnya melaksanakan suatu studi kelayakan sesuai dengan
kondisi riil di lapangan sebelum menyusun suatu perencanaan kebijakan,
sebagai salah atu bentuk partisipasi masyarakat..
4. Upaya pengembangan pasar tradisional di Kota Bogor dapat dilakukan dengan
pembentukan PD. Pasar yang dapat menaungi seluruh pengelolaan pasar
tradisional yang berada di Kota Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Abdrabo, Mohamed A. dan Mahmoud A. Hassaan. Stakeholder Analysis.
www.wadi-unifi.com. [30 Agustus 2007]. Badan Perencanaan Daerah Kota Bogor. 2005. Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kota Bogor. Bogor. -----------------------------------------------------. 2006. Revisi Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. 2006. Kota Bogor Dalam Angka 2005. BPS.
Bogor. Balitbangdiklat Kota Bogor dan PT. Oxalis Subur. 2007. Studi Kelayakan PD.
Pasar di Kota Bogor. Laporan Penelitian. Tidak Dipublikasikan. Bogor. DFID. 2006. Manajemen Daur Proyek dan Penggunaan Kerangka Kerja Logis.
http://www.deliveri.org [30 Agustus 2007]. Dharmayanti, Indrani. 2006. Kajian Reklamasi Pantai Dadap Kabupaten
Tangerang (Sebuah Analisa Persepsi Stakeholder). Tesis. Sekolah PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi. 2006. Peraturan Daerah Kota
Bogor Nomor 7 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Pasar. Bogor. ---------------------------------------------------------------------. Peraturan Daerah Kota
Bogor Nomor 3 Tahun 2006 tentang Retribusi Pelayanan Pasar. Bogor. Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Penerjemah:
Samodra Wibawa. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Dwijowijot, Riant Nugroho. 2003. Kebijakan Publik; Formulasi, Implementasi
dan Evaluasi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta. Hakim, Dzulfikar Ali. 2007. Analisis Prospek Permintaan Jasa Pasar dan Studi
Kelayakan Pembangunan Pasar Tradisional Kecamatan Cicantayan Kabupaten Sukabumi. Skripsi. Program Sarjana Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ismawan, B. 2003. Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Otonomi Daerah.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Kartini, Rini. 2002. Dampak Perpindahan Lokasi Pasar Induk terhadap Sistem Pemasaran Sayur Mayur di Kota Bogor. Skripsi. Program Sarjana. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lamadlauw, Meidina Trijadi. 2006. Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah Agroindustri di Kabupaten Bogor. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mishra, Satish C. 2005. Pembuatan Kebijakan Demokratis dalam Konteks yang
Berubah. United Nations Support Facility for Indonesian Recovery. Jakarta. Nindyantoro. 2004. Kebijakan Pembangunan Wilayah: Dari Penataan Ruang
Sampai Otonomi Daerah. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian.
Pemerintah Kota Bogor. 2002. Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran
Walikota Bogor Tahun 2001. Bogor. ----------------------------. 2003. Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran
Walikota Bogor Tahun 2002. Bogor. ----------------------------. 2004. Pertanggungjawaban Akhir Tahun Anggaran
Walikota Bogor Tahun 2003. Bogor. Rahayu, Sri. 2005. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pasar Tradisional sebagai
Pusat Perdagangan di Kota Bekasi dalam Pengembangan Wilayah. Skripsi. Program Sarjana. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rangkuti, Khairunnisa. 2005. Analisis Pengembangan Pasar Tradisional dan
Dampaknya Terhadap Pembangunan Wilayah (Studi Kasus Pasar Tradisional di Kota Medan). Tesis. Program Pasca Sarjana. Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Universitas Sumatera Utara.
Saaty, Thomas L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin.
Penerjemah: Liana Setiono. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Safitri, Benny. Analisis Respon Stakeholders terhadap Kebijakan Perluasan
Kawasan di Taman Nasional Gunung Halimun – Salak (Studi Kasus Kabupaten Lebak, Provinsi Banten). Skripsi. Program Sarjana. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Schmeer, Kammi. 2007. Stakeholder Analysis at a Glance. www.lachsr.org [7
Januari 2008]. Tandiyar, Alan. 2002. Kajian Perkembangan Pasar Tanah Baru Sebagai Acuan
Bagi Pembangunan Pasar Tradisional Baru di Kota Bogor. Tesis. Magister Teknik Pembangunan Kota. Universitas Diponegoro. Semarang.
Untoro, Fathoni. 2006. Evaluasi Pelaksanaan Kesepakatan Konservasi Desa
(KKD) dalam Kerinci Seblat-Integrated Conservation and Development
Project (KS-ICDP) melalui Analisis Stakeholders (Studi Kasus Kabupaten Meranging, Provinsi Jambi). Skripsi. Program Sarjana. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Matriks Kriteria, Indikator dan Nilai Proses Pembuatan Kebijakan
NO KRITERIA INDIKATOR NILAI 1. Penyusunan kebijakan
pengembangan pasar tradisional dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan
Tidak tertulis dan tidak tersedia (1), tertulis dan tidak tersedia (3), tertulis dan tersedia (5)
2. Terdapat kejelasan dari sasaran kebijakan yang diambil, dan sesuai dengan visi yang dirumuskan dan misi yang diemban
Tidak jelas (1), cukup jelas (3), sangat jelas (5)
A
Proses penyusunan kebijakan
pengembangan pasar tradisional yang benar
3. Penyusunan kebijakan berdasarkan informasi yang akurat, terbaru dan lengkap
Tidak (1), perpaduan lama dan baru (3), ya (5)
4. Penyusunan kebijakan memenuhi standar etika, prinsip-prinsip administrasi yang benar dan nilai-nilai yang berlaku di stakeholders
Tidak memenuhi (1), cukup memenuhi (3), sangat memenuhi (5)
5. Terdapat mekanisme yang menjamin bahwa prinsip dan nilai yang berlaku telah terpenuhi, dengan konsekuensi mekanisme pertanggungjawaban jika tidak terpenuhi
Tidak ada (1), ada, konsekuensi tidak terlaksana (3), ada, konsekuensi terlaksana (5)
6. Penyusunan kebijakan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosial
Tidak dapat (1), cukup (3), dapat (5)
B Akuntabilitas
7. Pemahaman tanggungjawab dari pembuat kebijakan terhadap publik dan lembaga-lembaga stakeholders lain atau sektor lain
Tidak paham (1), cukup paham (3), sangat paham (5)
8. Melibatkan seluruh stakeholders yang berkepentingan dalam proses perencanaan
Tidak (1), sebagian (3), seluruhnya (5)
9. Pemahaman fungsi, wewenang dan tanggungjawab dari stakeholders yang terlibat
Tidak paham (1), cukup paham (3), sangat paham (5)
10. Teridentifikasinya kepentingan setiap stakeholders terhadap kebijakan sesuai dengan tupoksi-nya
Tidak diidentifikasi (1), cukup diidentifikasi (3), diidentifikasi (5)
11. Stakeholders yang terlibat memahami program dengan baik
Tidak paham (1), cukup paham (3), sangat paham (5)
C Keterlibatan stakeholders
12. Terdapat kejelasan koordinasi antar stakeholders yang terlibat
Tidak jelas (1), cukup jelas (3), sangat jelas (5)
Lanjutan Lampiran 1...
NO KRITERIA INDIKATOR NILAI 13. Penyebarluasan informasi
mengenai program pengembangan pasar tradisional melalui media massa maupun elektronik pada publik
Tidak ada (1), ada tapi jarang (3), ada sering dilakukan (5)
14. Adanya seminar/workshop oleh dinas terkait
Tidak ada (1), ada tapi jarang (3), ada sering dilakukan (5)
D Sosialisasi kebijakan
15. Terdapat upaya untuk meningkatkan arus informasi melalui kerjasama dengan media massa dan lembaga non pemerintahan
Tidak ada (1), ada tapi tidak berhasil (3), ada berhasil (5)
16. Adanya forum untuk menampung partisipasi masyarakat yang representatif, jelas arahnya, dapat dikontrol dan bersifat terbuka
Tidak ada (1), ada tapi kurang efektif (3), ada dan sangat efektif (5)
17. Sasaran dan tujuan pengembangan ditetapkan berdasarkan konsensus antara pemerintah dan masyarakat
Tidak (1), sebagian (3), ya (5) E Partisipasi publik
18. Terdapat akses terbuka dan bebas bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat dalam proses penyusunan kebijakan
Tidak ada (1), ada tapi tidak bebas (3), ada dan bebas (5)
19. Tersedianya informasi yang jelas tentang prosedur, proses dan biaya perencanaan kebijakan
Tidak tersedia (1), tersedia sebagian (3), tersedia seluruhnya (5)
20. Terdapat aturan hukum yang menjamin kemudahan stakeholders lain dan masyarakat (pedagang pasar) untuk mengakses informasi kebijakan secara bebas
Tidak ada (1), ada tapi belum menjamin sepenuhnya (3), ada dan menjamin seluruhnya (5)
F
Transparansi
21. Tersedianya informasi yang memadai sehingga mudah dimengerti
Tidak tersedia (1), tersedia sebagian (3), tersedia seluruhnya (5)
22. Perumusan kebijakan sesuai dengan kebutuhan publik dan perubahan lingkungan
Tidak sesuai (1), cukup sesuai (3), sangat sesuai (5)
23. Kepekaan stakeholders dalam menanggapi kepentingan masyarakat dan lembaga stakeholders lain
Tidak peka (1), cukup peka (3), sangat peka (5) G Responsivitas
24. Terdapat upaya dari stakeholders untuk merespon pendapat masyarakat
Tidak ada (1), ada tapi tidak semuanya (3), ada dan semuanya (5)
H Tersedianya dana
yang memadai dan berkelanjutan
25. Teridentifikasinya biaya atau dana untuk pengembangan pasar
Tidak diidentifikasi (1), cukup diidentifikasi (3), diidentifikasi (5)
Lanjutan Lampiran 1...
NO KRITERIA INDIKATOR NILAI 26. Pembangunan pasar tradisional
memperhatikan kepentingan sektor dan kawasan lain
Tidak memperhatikan, dampak berat (1), tidak memperhatikan, dampak ringan (3), memperhatikan, tidak timbul dampak (5) I Ego sektoral
27. Kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak menimbulkan konflik antar sektor atau antar kawasan maupun antara masyarakat dengan pemerintah
Terdapat konflik, tidak terselesaikan (1), terdapat konflik, terselesaikan (3), tidak terdapat konflik (5)
J
Kebijakan lain yang tidak tumpang tindih dari pengembangan
pasar tradisional
28. Tujuan kebijakan pengembangan pasar tradisional tidak menimbulkan konflik dengan alternatif program perekonomian wilayah
Tidak ada alternatif program (1), ada alternatif program yang tumpang tindih tapi cukup diatasi (3), ada alternatif program tapi tidak tumpang tindih (5)
Lampiran 2. Matriks Kriteria, Indikator dan Nilai Penerapan Kebijakan
NO KRITERIA INDIKATOR NILAI 1. Program atau aktivitas telah
dilaksanakan Tidak dilaksanakan (1) dilaksanakan (3), dilaksanakan sesuai sasaran dan tujuan (5)
2. Program atau aktivitas dilaksanakan secara efektif dan efisien
Tidak (1), cukup efektif dan efisien (3), sangat efektif dan efisien (5)
3. Sasaran/hasil yang diinginkan telah tercapai
Tidak tercapai (1), sebagian sasaran tercapai (3), tercapai seluruhnya (5)
4. Ketepatan alokasi sumberdana Tidak tepat (1), cukup tepat (3), sangat tepat (5)
A
Penerapan perencanaan
pengembangan pasar tradisional secara efektif dan
efisien
5. Konsistensi pelaksanaan program sesuai target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai target tersebut
Tidak konsisten (1), cukup konsisten (3), sangat konsisten (5)
6. Terdapat kegiatan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan program pengembangan pasar tradisional
Tidak ada (1), ada tapi jarang dilakukan (3), ada sering dilakukan (5)
7. Tersedianya lembaga/dinas/badan yang malaksanakan kegiatan monitoring dan evaluasi
Tidak tersedia (1), tersedia tapi jarang dilakukan (3), tersedia sering dilakukan
8. Arsip dan dokumen dari laporan kegiatan monitoring dan evaluasi tersedia
Tidak tersedia (1), cukup tersedia (3), tersedia lengkap (5)
B Monitoring dan evaluasi program
9. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemantauan dan pengawasan
Tidak terlibat (1), cukup terlibat (3), sangat terlibat (5)
C Responsivitas 10. Hasil kebijakan memuaskan
kebutuhan publik Tidak memuaskan (1), cukup memuaskan (3), sangat memuaskan (5)
D Akuntabilitas 11. Pelaksanaan dan hasil kebijakan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan sosial
Tidak dapat (1), cukup (3), dapat (5)
E Transparansi
12. Keterbukaan informasi dalam pelaksanaan kebijakan terkait sumberdaya, alokasi dana, proses tender, jadwal pelaksanaan proyek dan hasil yang dicapai terhadap segenap stakeholders dan masyarakat
Tidak (1), cukup (3), ya (5)
Lanjutan Lampiran 2...
NO KRITERIA INDIKATOR NILAI 13. Terdapat dasar hukum
(UU/Perda) yang jelas dalam pelaksanaan program kebijakan pengembangan pasar
Tidak ada (1), ada cukup jelas (3), ada sangat jelas (5)
14. Tersedianya mekanisme pengaduan masyarakat jika ada peraturan yang dilanggar maupun penyimpangan tindakan aparat publik (misalnya menerima uang suap) di dalam pelaksanaan program
Tidak tersedia (1), tersedia tapi pengaduan tidak ditanggapi (3), tersedia ditanggapi (5)
15. Adanya sanksi yang tegas bagi pelaku yang menyimpang dari kebijakan
Tidak ada sanksi (1), sanksi cukup tegas (3), sanksi tegas (5)
F Legalitas kebijakan
16. Adanya peraturan mampu menjawab permasalahan pengembangan pasar tradisional
Tidak mampu (1), cukup mampu (3), mampu (5)
17. Pelaksanaan program pengembangan pasar tradisional melibatkan pihak swasta
Tidak terlibat (1), terlibat sebagian (3), terlibat seluruhnya (5)
G Keterlibatan swasta 18. Keterlibatan pihak swasta memberi pengaruh terhadap keberhasilan pengembangan pasar tradisional
Tidak berpengaruh (1), berpengaruh kecil (3), berpengaruh besar (5)
19. Hasil kebijakan yang dicapai dapat memberikan manfaat kepada kebutuhan publik
Tidak bermanfaat (1), cukup bermanfaat (3), sangat bermanfaat (5) H Ketepatan
20. Hasil kebijakan yang dicapai dapat memecahkan masalah
Tidak dapat (1), cukup (3), dapat (5)
21. Manfaat kebijakan dapat dirasakan secara merata oleh seluruh pihak yang berkepentingan sehingga tidak ada pihak yang dimarginalkan
Tidak dapat (1), didistribusikan tidak merata (3), didistribusikan merata (5) I Keadilan
22. Keikutsertaan pedagang dalam pengelolaan dan pelaksanaan program
Tidak terlibat (1), terlibat sebagian (3), terlibat sepenuhnya (5)
Pengembangan Pasar Tradisional (1,000)
Manajemen (0,253) Teknis (0,131) Ekonomi (0,421) Sosial (0,195)
• Peningkatan sarana dan prasarana pasar (0,567)
• Kondisi fisik pasar lebih bersih dan rapi (0,433)
• Meningkatkan manajemen pengelolaan pasar tradisional secara profesional (0,288)
• Membentuk pasar tradisional menjadi usaha yang efisien (0,090)
• Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (0,253)
• Penataan dan pembinaan PKL (0,370)
• Mengurangi potensi konflik dengan masyarakat (0,227)
• Terciptanya kondisi pasar yang aman, nyaman dan bersih bagi konsumen (0,498)
• Menciptakan pasar yang berdaya saing sehingga lebih kompetitif (0,274)
• Meningkatkan PAD (0,250)
• Menciptakan lapangan kerja (0,482)
• Meningkatkan kesejahteraan pedagang dan masyarakat (0,269)
Pendistribusian PKL ke pasar-
pasar yang telah dibangun (0,136)
Pembentukan forum komunikasi
(0,053)
Pemberian bantuan kredit
(0,115)
Pemberdayaan pedagang dan
pengelola pasar (0,155)
Menjalin kemitraan
dengan UKM dan Koperasi
(0,125)
Pembangunan pasar tradisional skala lingkungan di lokasi strategis dekat pemukiman
(0,133)
Pembentukan PD. Pasar
(0,243)
Lampiran 3. Struktur Hirarki AHP Tujuan Aspek Kriteria Alternatif
KEPALA
BAGIAN TU
SUBBAG UMUM SUBBAG KEU
BIDANG PERINDUSTRIAN
BIDANG PERDAGANGAN
BIDANG PM & PROMOSI
BIDANG KOPERASI & UKM
SEKSI BINA IKKR
SEKSI PEMBINAAN
USAHA PERDAGANGAN
SEKSI PENANAMAN
MODAL
SEKSI BINA LEMB &
USAHA KOPERASI
SEKSI BINA LKA
SEKSI PEMASARAN & EKSPOR IMPOR
SEKSI PROMOSI
SEKSI BINA UKM
& PKL
7 UPTD PASAR
Lampiran 4. Bagan Struktur Organisasi Diperindakop Sumber : Disperindagkop Kota Bogor, 2005
KEPALA
KOORDINATOR
STAF/PELAKSANA
KOORDINATOR HARTIB
KOORDINATOR RETRIBUSI
KOORDINATOR PENGOLAHAN & PEMELIHARAAN
STAF/PELAKSANA HARTIB
STAF/PELAKSANA RETRIBUSI
STAF/PELAKSANA PENGOLAHAN & PEMELIHARAAN
PETUGAS
Lampiran 5. Gambaran Umum Struktur Organsisasi UPTD
Sumber : Laporan Tahunan 7 UPTD Pasar Kota Bogor, Tahun 2005