PENGEMBANGAN GERAK DASAR MELALUI AKTIVITAS BERMAIN …lib.unnes.ac.id/35148/1/UPLOAD_SELVI.pdf ·...
Transcript of PENGEMBANGAN GERAK DASAR MELALUI AKTIVITAS BERMAIN …lib.unnes.ac.id/35148/1/UPLOAD_SELVI.pdf ·...
i
PENGEMBANGAN GERAK DASAR MELALUI AKTIVITAS
BERMAIN PADA ANAK TUNAGRAHITA
DISERTASI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Doktor Pendidikan Olahraga
Oleh
Selvi Atesya Kesumawati
0601614006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN OLAHRAGA
PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
ii
iii
PERNYATAAN KEASLIAN
Dengan ini Saya
Nama : Selvi Atesya Kesumawati
NIM : 0601614006
Program Studi : Pendidikan Olahraga S3
menyatakan bahwa yang tertulis dalam disertasi yang berjudul “Pengembangan
Gerak Dasar melalui Aktivitas Bermain pada Anak Tunagrahita” ini benar-benar
karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain atau pengutipan dengan
cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku, baik sebagian
atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam disertasi
ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Atas pernyataan ini saya
secara pribadi siap menanggung resiko/ sanksi hukum yang dijatuhkan apabila
ditemukan adanya pelanggaran etika keilmuan dalam karya ini.
Semarang, Februari 2019
Yang membuat pernyataan,
Selvi Atesya Kesumawati
NIM 0601614006
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Karena keterbatasan bukan alasan untuk berkarya, bagaimanapun keadaan kita,
tugas hamba hanya mengabdi pada Tuhannya, selebihnya bersyukur untuk segala
titipanNya”.
“Manusia yang paling bermanfaat untuk sesama adalah manusia yang tak pernah
berhenti berkarya dan cara bersyukur yang terbaik adalah dengan terus menjadi
baik”.
PERSEMBAHAN
1. Almamater Pascasarjana Universitas
Negeri Semarang.
2. Pendidikan Olahraga Program
Pascasarjana Universitas Negeri
Semarang.
v
ABSTRAK
Selvi Atesya Kesumawati. 2018. “Pengembangan Gerak Dasar melalui Aktivitas
Bermain pada Anak Tunagrahita”. Disertasi. Program Studi Pendidikan Olahraga.
Pascasarjana Universitas Negeri Semarang. Promotor Prof. Dr. Tandiyo Rahayu,
M. Pd., Kopromotor Prof. Dr. Hari Amirullah Rachman, M. Pd., Anggota
Promotor Dr. Setya Rahayu, M. S.
Kata Kunci : Gerak Dasar, Aktivitas Bermain, Anak Tunagrahita.
Keterampilan gerak dasar anak tunagrahita mengalami gangguan dan
memerlukan bantuan dari orang lain untuk dapat mengembangkan potensi
geraknya secara maksimal. Tujuan penelitian dan pengembangan gerak dasar
melalui aktivitas bermain pada anak tunagrahita diharapkan dapat membantu
meningkatkan keterampilan gerak dasar, kemampuan kognitif, kesenangan dan
fokus perhatian anak tunagrahita, sehingga anak tunagrahita memiliki pengalaman
yang berharga dalam hidupnya untuk dapat mandiri menjalani kehidupan sehari-
harinya.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian dan pengembangan
yang dikemukakan oleh Borg dan Gall yang dimodifikasi menjadi lima langkah
utama, yaitu; 1) melakukan analisis produk yang dikembangkan, 2)
mengembangkan produk awal, 3) validasi Ahli, 4) validasi empirik, 5) revisi
produk. Subjek uji coba kelompok kecil 32 orang siswa tunagrahita dan 3 orang
guru, uji coba kelompok besar 70 orang siswa tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 SDLB
C dan 12 orang guru. Instrumen penelitian menggunakan pedoman wawancara
dan skala penilaian. Teknik analisis data menggunakan Content Validity Ratio
(CVR) untuk membuktikan tingkat validitas model aktivitas bermain dalam
meningkatkan keterampilan gerak dasar siswa, dan menggunakan uji perbedaan
untuk membuktikan efektifitas peningkatan hasil gerak dasar siswa SDLB C.
Penelitian ini menghasilkan; 1) 9 model aktivitas bermain yaitu;
permainan ayo berolahraga, sayangi tubuh kita, kegiatan di pagi hari, aku sayang
ayahku, ibuku pahlawanku, lingkungan rumahku, ruang kelasku, hewan di
sekitarku dan mengenal tanaman bunga, 2) 9 model aktivitas bermain memiliki
nilai rata-rata validitas sebesar 0,58. 3) 9 model aktivitas bermain efektif
meningkatkan gerak dasar, kogniitif, kesenangan dan fokus perhatian anak
tunagrahita.
Simpulan penelitian, 1) penelitian ini menghasilkan 9 model aktivitas
bermain bertema, 2) hasil uji validitas sembilan model tinggi, sehingga sesuai
dengan karakteristik siswa untuk meningkatkan keterampilan gerak dasar, 3) 9
model aktivitas bermain efektif untuk meningkatkan gerak dasar, kognitif,
kesenangan dan fokus perhatian. Saran, guru perlu memiliki pemahaman secara
menyeluruh terhadap seperangkat pedoman dan tahapan pelaksanaan dari setiap
model, sehingga kesalahan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan model di
lapangan dapat dihindari.
vi
ABSTRACT
Selvi Atesya Kesumawati. 2018. “Model of Developing Fundamental Movement
Skill (FMS) Through Play Activities on Children With Intellectual Disabilities”.
Disertation. Physical Education Study Program, Postgraduates Universitas
Negeri Semarang. Promotor Prof. Dr. Tandiyo Rahayu, M. Pd., Co-Promotor
Prof. Dr. Hari Amirullah Rachman, M. Pd., Member of Co- Promotor Dr. Setya
Rahayu, M. S.
Key Words : Fundamental Movement Skill (FMS), Playing Activities, Intellectual
Disabilities.
Fundamental Movement Skills (FMS) of children with intellectual
disabilities (ID) has disruption experience, therefore children with ID need help
from others to be able to develop their potential for movement maximally. The
purpose of research and development of FMS through play activities in children
with ID is expected to help improve FMS, cognitive abilities, pleasure and focus
of attention of children with ID, so that children with ID have valuable
experience in their lives, to be able to independently live their daily lives.
The research method used was by research and development proposed by
Borg and Gall which was modified into five main steps, namely: 1) analyzing
product, 2) developing product, 3) expert validation, 4) empiric validation, 5)
revision product. The subjects of small group trial used 32 learner with ID and 3
teachers, and the stages of large group trial used 70 learners with ID and 12
teachers in Primary School. The research instrument used interview guidelines
and rating scale. The data analysis technique was by using Content Validity Ratio
(CVR) analysis to prove the validity level of model of developing FMS through
play activities, and use the difference test to prove the effectiveness of increasing
the FMS results of children with ID in primary school.
The research results: 1) 9 play activity models namely; the game let's play,
care for our bodies, activities in the morning, I love my father, my mother my
hero, my home environment, my classroom, animals around me and recognize
flower plants, 2) 9 play activity models average validity of 0.58. 3) 9 play
activities models efective to improve FMS, kogniitif, interests and focus of
attention of children with ID.
Conclusion of the study, 1) this study resulted in 9 themed play activity
models, 2) the results of the validity of nine high model tests, so that they matched
the characteristics of students to improve FMS 3) 9 effective play activities
models to improve FMS, cognitive, interests, and focus of attention. Suggestions,
teachers must have a complete understanding of the guidelines and stages of
implementation of each model, so that errors that may occur in the
implementation of models in the field can be avoided.
vii
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-
Nya. Berkat karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul
“Pengembangan Gerak Dasar melalui Aktivitas Bermain pada Anak Tunagrahita”.
Disertasi ini disusun sebagai salah satu persyaratan meraih gelar Doktor pada
Program Studi Pendidikan Olahraga Pascasarjana Universitas Negeri Semarang.
Penelitian ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari beberapa pihak. Oleh
karena itu, peneliti menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian penelitian ini.
ucapan terima kasih peneliti sampaikan pertama kali kepada Tim pembimbing
Prof. Dr. Tandiyo Rahayu, M. Pd (Promotor), Prof. Dr. Hari Amirullah Rachman,
M.Pd (Kopromotor) dan Dr. Setya Rahayu, M. S (Anggota Promotor) yang telah
membimbing dan mengarahkan peneliti selama proses bimbingan.
Ucapan terima kasih peneliti sampaikan juga kepada semua pihak yang
telah membantu selama proses penyelesaian studi, diantaranya :
1. Rektor Universitas Negeri Semarang atas kesempatan yang diberikan kepada
peneliti untuk menempuh studi di Universitas Negeri Semarang.
2. Direksi Pascasarjana UNNES, yang telah memberikan kesempatan serta
arahan selama pendidikan, penelitian, dan penulisan disertasi ini.
3. Koordinator Program Studi dan Sekretaris Program Studi Pendidikan
Olahraga Pascasarjana Unnes yang telah memberikan kesempatan dan arahan
dalam penulisan disertasi ini.
viii
4. Bapak dan Ibu dosen Pascasarjana UNNES, yang telah banyak memberikan
bimbingan dan ilmu kepada peneliti selama menempuh pendidikan.
5. Rektor, Wakil Rektor I, Wakil Rektor II Universitas Bina Darma yang telah
memberikan rekomendasi dan mendukung saya untuk mengikuti pendidikan
S3 di Pascasarjana UNNES.
6. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bina Darma,
yang telah memberikan saya rekomendasi untuk mengikuti pendidikan S3 di
Pascasarjana UNNES.
7. Ketua Program Studi Pendidikan Olahraga Universitas Bina Darma, yang
telah memberikan saya rekomendasi dan arahan untuk mengikuti pendidikan
S3 di Pascasarjana UNNES.
8. Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) C Karya Ibu Palembang, Kepala SLB C
YPAC Palembang, dan Kepala SLB B Negeri Pembina Palembang, yang
telah memberikan izin untuk melaksanakan penelitian.
9. Responden peserta didik SDLB C Karya Ibu Palembang, peserta didik SDLB
C YPAC Palembang, peserta didik SDLB B Negeri Pembina Palembang.
10. Bapak dan Ibu guru SDLB yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang
telah membantu kegiatan penelitian ini dari awal sampai akhir.
11. Kedua pasang orang tuaku Syafii Djaelani dan Temas Wati, Prof. Dr.
Fakhruddin, M. Pd dan Sulistiandari, S.Pd yang sangat saya cintai dan
hormati, yang selalu memberikan do’a restu, bimbingan, arahan, kasih
sayang dan dukungan dalam menyelesaikan disertasi ini dengan penuh
ketulusan.
ix
12. Suamiku Husni Fahritsani, M. Pd yang sangat saya cintai yang selalu
memberikan keridhaan di setiap langkah dan perjalanan saya dalam
menyelesaikan pendidikan ini, anakku Gendis Safina Khairunnisa yang
sangat saya cintai yang selalu memberikan pengalaman berharga tak terduga
untuk saya menikmati peran sebagai ibu sekaligus sebagai mahasiswa.
13. Saudaraku Yunita Atesya Kesumawati, A. Md, Rossy Atesya Kesumawati,
S.Pd, Shakira Atesya Kesumawati, Saipul Ambri Damanik, M.Pd, Andin Vita
Amalia, M.Si, Eko Budi W, S. Pd, Husna Fahritsani, SE, Miftahul Ulum,
A.Md, yang sangat saya sayangi yang selalu menguatkan diri saya disaat
saya sudah hampir menyerah.
14. Keluarga besarku, yang selalu menantikanku di kota kelahiranku Palembang.
Terimakasih atas do’a restu dan dukungannya.
15. Keluarga Kos Lamongan Tengah IV, Ibu Bokartini dan keluarga ibu kos yang
sangat baik seperti ibu sendiri, Diana Darmawati, M.Pd, Nurdiana M.Pd, Nur
Latifah, Jian Andri, M.Pd, Gesti Maria,M.Pd dan saudara kos yang lainnya
yang tidak dapat saya sebut satu persatu yang selalu nasehat menasehati
dalam menjalani hari-hari sebagai mahasiswa.
16. Teman seperjuangan POR S3 UNNES 2014 kak Wasti Danardani, mas Rifqi
Qomarullah, bang Dadi Dartija, pak Hadi, pak Agung, pak Feri, dan pak Dr.
Dedi Kenedi, M.Pd yang saling mendukung dan nasehat menasehati dalam
hal penyelesaian disertasi ini.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu
penyelesaian disertasi ini.
x
Penulis sadar bahwa dalam disertasi ini mungkin masih terdapat
kekurangan, baik isi maupun tulisan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun dari semua pihak sangat peneliti harapkan. Semoga hasil
penelitian ini bermanfaat dan merupakan kontribusi pengembangan ilmu
pengetahuan.
Semarang, Januari 2019
Selvi Atesya Kesumawati
xi
DAFTAR ISI
COVER ........................................................................................................... i
PERSETUJUAN TIM PROMOTOR UJIAN TERBUKA ......................... ii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
PRAKATA ...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR TABEL........................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ........................................................................... 15
1.3 Cakupan Masalah ............................................................................... 16
1.4 Rumusan Masalah ............................................................................. 16
1.5 Tujuan Penelitian ............................................................................... 17
1.6 Manfaat Penelitian ............................................................................. 17
1.7 Spesifikasi Produk yang Dikembangkan ........................................... 19
1.8 Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan ......................................... 19
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS
DAN KERANGKA BERFIKIR ...................................................... 21
2.1 Kajian Pustaka ................................................................................... 21
2.2 Kerangka Teoritis ............................................................................... 33
2.2.1 Konsep Pengembangan Model ................................................. 32
2.2.2 Konsep Model yang Akan Dikembangkan ............................... 37
2.2.3 Gerak Dasar .............................................................................. 41
xii
2.2.3.1 Pengertian Gerak Dasar .................................................. 41
2.2.3.2 Manfaat Keterampilan Gerak Dasar ............................... 44
2.2.3.3 Belajar Gerak .................................................................. 48
2.2.3 Anak Tunagrahita...................................................................... 51
2.2.3.1 Pengertian Anak Tunagrahita ......................................... 51
2.2.3.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita ......................................... 53
2.2.3.3 Faktor Penyebab Tunagrahita ......................................... 56
2.2.3.4 Karakteristik Anak Tunagrahita ...................................... 60
2.2.3.5 Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita .................... 66
2.2.3.6 Perkembangan Motorik Anak Tunagrahita ..................... 74
2.2.3.7 Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita ...................... 78
2.2.3.8 Perkembangan Psikososial Anak Tunagrahita ................ 83
2.2.4 Pembelajaran bagi Anak Tunagrahita ....................................... 83
2.2.4.1 Pembelajaran Penjas bagi Anak Tunagrahita ................. 87
2.2.4.2 Layanan Penjas bagi Anak Tunagrahita ......................... 91
2.3 Kerangka Berfikir .............................................................................. 98
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 101
3.1 Desain Penelitian ............................................................................... 101
3.2 Prosedur Pengembangan .................................................................... 104
3.3 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ......................................... 109
3.3.1 Teknik Pengumpulan Data ........................................................ 109
3.3.2 Instrumen Penelitian ................................................................. 110
3.4 Uji Keabsahan Data, Uji Validitas, Reliabilitas ................................. 113
3.5 Teknik Analisis Data .......................................................................... 113
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 115
4.1 Model Aktivitas Bermain yang Sesuai untuk meningkatkan
Keterampilan Gerak Dasar Anak Tunagrahita di SDLB C ................ 115
4.1.1 Validasi Pertama Produk/Draf Awal ........................................ 115
4.1.2 Hasil Analisis Validitas Model Aktivitas Bermain ................... 122
4.1.2.1 Hasil Validasi Instrumen Model Aktivitas Bermain
xiii
Ayo Berolahraga ...........................................................122
4.1.2.2 Hasil Validasi Instrumen Model Aktivitas Bermain
Sayangi Tubuh Kita ..................................... ................ 123
4.1.2.3 Hasil Validasi Instrumen Model Aktivitas Bermain
Kegiatan di Pagi Hari .................................................. 124
4.1.2.4 Hasil Validasi Instrumen Model Aktivitas Bermain
Aku Sayang Ayahku .................................................... 125
4.1.2.5 Hasil Validasi Instrumen Model Aktivitas Bermain
Ibuku Pahlawanku ....................................................... 126
4.1.2.6 Hasil Validasi Instrumen Model Aktivitas Bermain
Lingkungan Rumahku ................................................. 126
4.1.2.7 Hasil Validasi Instrumen Model Aktivitas Bermain
Ruang Kelasku ............................................................. 127
4.1.2.8 Hasil Validasi Instrumen Model Aktivitas Bermain
Hewan di Sekitarku ..................................................... 128
4.1.2.9 Hasil Validasi Instrumen Model Aktivitas Bermain
Mengenal Tanaman Bunga ...........................................129
4.1.3 Hasil Analisis Reliabilitas Antar Rater
Model Aktivitas Bermain ........................................................ 130
4.1.3.1 Hasil Reliabilitas Antar Rater Model Aktivitas Bermain
Ayo Berolahraga .......................................................... 131
4.1.3.2 Hasil Validasi Antar Rater Model Aktivitas Bermain
Sayangi Tubuh Kita ..................................... ................ 131
4.1.3.3 Hasil Validasi Antar Rater Model Aktivitas Bermain
Kegiatan di Pagi Hari .................................................. 132
4.1.3.4 Hasil Validasi Antar Rater Model Aktivitas Bermain
Aku Sayang Ayahku .................................................... 132
4.1.3.5 Hasil Validasi Antar Rater Model Aktivitas Bermain
Ibuku Pahlawanku ....................................................... 133
4.1.3.6 Hasil Validasi Antar Rater Model Aktivitas Bermain
Lingkungan Rumahku ................................................. 133
xiv
4.1.3.7 Hasil Validasi Antar Rater Model Aktivitas Bermain
Ruang Kelasku ............................................................. 134
4.1.3.8 Hasil Validasi Antar Rater Model Aktivitas Bermain
Hewan di Sekitarku ..................................................... 134
4.1.3.9 Hasil Validasi Antar Rater Model Aktivitas Bermain
Mengenal Tanaman Bunga .......................................... 135
4.2 Hasil Analisis Pelaksanaan Model Aktivitas Bermain .................... 136
4.2.1 Hasil Analisis Model Aktivitas Bermain Kelompok Kecil....... 136
4.2.2 Revisi dan Penyempurnaan Uji Coba Kelompok Kecil ............ 137
4.2.3 Hasil Analisis Model Aktivitas Bermain Kelompok Besar ...... 138
4.3 Hasil Analisis Keefektifan Model Aktivitas Bermain ..................... 140
4.3.1 Hasil Analisis Keefektifan Model Aktivitas Bermain
Kelompok Kecil ........................................................................ 140
4.3.2 Hasil Analisis Keefektifan Model Aktivitas Bermain
Kelompok Besar ....................................................................... 141
4.3.3 Produk Akhir Hasil Pengembangan ......................................... 143
4.3.4 Kelebihan dan Keterbatasan Model Aktivitas Bermain .......... 144
4.3.4.1 Kelebihan Model Aktivitas Bermain .............................144
4.3.4.1 Keterbatasan Model Aktivitas Bermain .................... 145
V PENUTUP ................................................................................................ ... 146
5.1 Simpulan ............................................................................................ 146
5.2 Implikasi ........................................................................................... 146
5.3 Saran ................................................................................................. 147
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 148
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Instructional Design RnD................................................................ 36
Gambar 2.2 Klasifikasi Tunagrahita ................................................................... 55
Gambar 2.3 Penyebab Tunagrahita ..................................................................... 57
Gambar 2.4 Proses Kognisi ................................................................................. 67
Gambar 2.5 Proses Memori................................................................................. 71
Gambar 2.6 Kerangka Berfikir ............................................................................ 100
Gambar 3.1 Tahapan Pengembangan Gerak Dasar
melalui Aktivitas Bermain .............................................................. 102
Gambar 3.2 Langkah-Langkah Validasi Ahli ..................................................... 106
Gambar 3.3 Langkah-Langkah Validasi Ahli Kelompok Kecil ......................... 107
Gambar 3.2 Langkah-Langkah Validasi Ahli Kelompok Besar ......................... 108
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Identifikasi Kebutuhan dan Rancangan Pengembangan .................. 6
Tabel 1.2 Model yang Sudah Ada dan Model yang Dikembangkan ............... 14
Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SDLBC Kelas 1 ......... 91
Tabel 2.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SDLBC Kelas 2 ......... 91
Tabel 2.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SDLBC Kelas 3 ......... 92
Tabel 3.1 Responden Peserta Didik dan Guru
Uji Coba Kelompok Besar .............................................................. 109
Tabel 3.2 Teknik Pengumpulan Data Penelitian .............................................. 110
Tabel 3.3 Kisi-Kisi Skala Penilaian Produk/Draf Awal Model Aktivitas
Bermain untuk Mengembangkan Gerak Dasar Anak Tunagrahita
pada 9 Model Permainan ................................................................. 112
Tabel 3.4 Kisi-Kisi Penilaian Keterlaksanaan Model Aktivitas Bermain untuk
Mengembangkan Gerak Dasar Anak Tunagrahita pada 9 Model
Permainan ......................................................................................... 112
Tabel 3.5 Skala Penilaian Model Aktivitas Bermain untuk Mengembangkan
Gerak Dasar Anak Tunagrahita pada 9 Model Permainan ............... 112
Tabel 3.6 Kisi-Kisi Penilaian Aktivitas Bermain untuk Mengembangkan
Gerak Dasar Anak Tunagrahita pada 9 Model Permainan ............... 113
Tabel 3.7 Skala Penilaian Model Aktivitas Bermain untuk Mengembangkan
Gerak Dasar Anak Tunagrahita ........................................................ 114
Tabel 4.1 Respons Ahli dan Revisi Tahap Pertama Draf Awal
Model Aktivitas Bermain pada Anak Tunagrahita .......................... 118
Tabel 4.2 Hasil Uji CVR Produk Awal Model Aktivitas Bermain untuk
Meningkatkan Keterampilan Gerak Dasar Anak Tunagrahita ......... 121
Tabel 4.3 Validasi Model Permainan Ayo Berolahraga ................................. 123
Tabel 4.4 Validasi Model Permainan Sayangi Tubuh Kita.............................. 124
Tabel 4.5 Validasi Model Permainan Kegiatan Dipagi Hari ........................... 124
Tabel 4.6 Validasi Model Permainan Aku Sayang Ayahku ............................ 125
Tabel 4.7 Validasi Model Permainan Ibuku Pahlawanku ................................ 126
Tabel 4.8 Validasi Model Permainan Lingkungan Rumahku ......................... 127
Tabel 4.9 Validasi Model Permainan Ruang Kelasku ..................................... 128
Tabel 4.10 Validasi Model Permainan Hewan di Sekitarku ............................ 129
xvii
Tabel 4.11 Validasi Model Permainan Mengenal Taman Bunga .................... 129
Tabel 4.12 Reliabilitas Instrumen Ayo Berolahraga ........................................ 131
Tabel 4.13 Reliabilitas Instrumen Sayangi Tubuh Kita ................................... 131
Tabel 4.14 Reliabilitas Instrumen Kegiatan di Pagi Hari ................................ 132
Tabel 4.15 Reliabilitas Instrumen Aku Sayang Ayahku .................................. 132
Tabel 4.16 Reliabilitas Instrumen Ibuku Pahlawanku ..................................... 133
Tabel 4.17 Reliabilitas Instrumen Lingkungan Rumahku ............................... 133
Tabel 4.18 Reliabilitas Instrumen Ruang Kelas ............................................... 134
Tabel 4.19 Reliabilitas Instrumen Hewan di Sekitarku ................................... 134
Tabel 4.20 Reliabilitas Instrumen Mengenal Tanaman Bunga ........................ 135
Tabel 4.21 Hasil Uji Pelaksanaan Model Aktivitas Bermain
oleh Guru / Praktisi Pada Uji Coba Kelompok Kecil ..................... 137
Tabel 4.22 Hasil Uji Pelaksanaan Model Aktivitas Bermain
oleh Guru / Praktisi Pada Uji Coba Kelompok Besar ..................... 139
Tabel 4.23 Hasil Keefektifan Kelompok Kecil Kesembilan
Model Pembelajaran Gerak Dasar melalui Aktivitas Bermain ...... 141
Tabel 4.24 Hasil Keefektifan Kelompok Besar Kesembilan
Model Pembelajaran Gerak Dasar melalui Aktivitas Bermain ...... 142
xviii
LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Tim Promotor...................................................... 166
Lampiran 2 Surat Permohonan Validator Ahli ................................................... 167
Lampiran 3 Surat Keterangan Validasi Ahli ...................................................... 168
Lampiran 4 Surat Izin Penelitian ........................................................................ 172
Lampiran 5 Surat Keterangan Penelitian ............................................................ 173
Lampiran 6 Lembar Penilaian Ahli terhadap Kesembilan Model
Aktivitas Bermain Bagi Anak Tunagrahita .................................... 176
Lampiran 7 Rekapitulasi Hasil Penilaian Ahli terhadap Model
Aktivitas Bermain .......................................................................... 221
Lampiran 8 Lembar Penilaian Guru terhadap Pelaksanaan Kesembilan
Model Aktivitas Bermain Bagi Anak Tunagrahita
Uji Coba Kelompok Kecil .............................................................. 226
Lampiran 9 Rekapitulasi Hasil Penilaian Guru Terhadap Model
Aktivitas Bermain Pada Uji Coba Kelompok Kecil ...................... 266
Lampiran 10 Lembar Penilaian Guru terhadap Pelaksanaan Kesembilan
Model Aktivitas Bermain Bagi Anak Tunagrahita
Uji Coba Kelompok Besar ........................................................... 269
Lampiran 11 Rekapitulasi Hasil Penilaian Guru Terhadap Model
Aktivitas Bermain Pada Uji Coba Kelompok Besar ..................... 313
Lampiran 12 Instrumen Penilaian Aktivitas Bermain Kesembilan Model
Aktivitas Bermain Bagi Anak Tunagrahita .................................. 316
Lampiran 13 Hasil Uji Keefektifan Kesembilan Model Aktivitas Bermain
Pada Uji Coba Kelompok Kecil ..................................................
Lampiran 14 Hasil Uji Keefektifan Kesembilan Model Aktivitas Bermain
Pada Uji Coba Kelompok Kecil ..................................................
Lampiran 15 Produk Akhir Penelitian Pengembangan .....................................
Lampiran 16 Dokumentasi Penelitian .................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap manusia di dunia ini selalu menginginkan yang terbaik dalam
hidupnya, tidak ada satupun yang ingin dilahirkan dalam keadaan tidak sempurna,
atau tumbuh dan berkembang tidak sesuai usianya, namun ada beberapa pasang
orang tua yang mendapatkan titipan khusus dari Tuhan, untuk itulah sebagai
orangtua harus siap lahir dan batin dalam menghadapi hal demikian, karena anak
adalah anugerah sekaligus amanah yang diberikan Tuhan kepada orangtua.
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik
khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya. Memiliki anak berkebutuhan
khusus merupakan tantangan yang cukup berat bagi kebanyakan orangtua, tidak
sedikit orangtua yang mengeluhkan bahwa merawat dan mengasuh anak
berkebutuhan khusus membutuhkan tenaga dan perhatian yang lebih ekstra karena
tidak semudah saat melakukannya pada anak normal, namun orang tua harus
menyikapi hal demikian secara positif agar dapat menemukan langkah-langkah
yang tepat dalam rangka mengoptimalkan perkembangan dan berbagai potensi
yang dimiliki oleh anak tersebut.
ABK tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki
intelegensi di bawah intelegensi normal dengan skor intelegence quotient (IQ)
sama atau lebih rendah dari 70, hal ini sependapat dengan Rini, dkk (2009:7-10)
Anak tunagrahita adalah kelainan yang meliputi fungsi intelektual yang lamban
1
2
atau di bawah rata-rata yaitu IQ 70 ke bawah sesuai tes baku. Secara khas
tunagrahita dibedakan manjadi 4 (empat) antara lain: (1) tunagrahita ringan (IQ
55-69), (2) tunagrahita sedang (IQ 40-54), (3) tunagrahita berat (IQ 20-39), (4)
tunagrahita sangat berat (IQ 20 ke bawah). Anak yang mengalami hambatan
intelektual dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu; Pertama, anak mampu
didik yaitu anak yang dengan potensi kecerdasannya masih dapat dididik hingga
menguasai pendidikan dasar. Kedua, anak mampu latih yaitu anak yang potensi
kecerdasannya tidak memungkinkan untuk menguasai pendidikan dasar, namun
dapat dilatih untuk mengerjakan pekerjaan tertentu. Ketiga, anak perlu bantuan
yaitu anak yang sudah tidak dapat lagi mengurus dirinya sendiri).
Dua puluh lima persen (25%) dari jumlah penderita retardasi mental yang
penyebab utamanya dapat diidentifikasi penyebab spesifik yang dapat
diidentifikasi tersebut umumnya adalah penyebab biologis yang sudah diketahui,
penyebab hendaya termasuk faktor-faktor genetik, penyakit infeksi, kecelakaan,
dan bahaya lingkungan (Davison, dkk., 2006:710).
Anak tunagrahita masih dianggap sebagai anak yang menjadi beban
keluarga dan masyarakat, karena keterbatasan kemampuan intelegensi di bawah
rata-rata mereka tidak dapat hidup seperti anak-anak normal dan jelas ini akan
menghambat segala aktivitas kehidupannya sehari-hari dalam bersosialisasi,
komunikasi dan yang paling menonjol adalah ketidakmampuannya dalam
menerima pelajaran yang bersifat akademik sebagaimana anak-anak sebayanya
(Kemis dan Rosnawati, 2013:1).
3
Anak tunagrahita dalam hidupnya memerlukan bantuan dari orang lain
untuk dapat mengembangkan potensi geraknya secara maksimal dan mereka tidak
dapat berjuang secara mandiri untuk membela hak-hak dan melaksanakan
tanggung jawabnya serta memiliki beberapa keterbatasan, oleh sebab itu orang-
orang terdekat seperti orangtua, guru dan keluarga memiliki peran yang sangat
penting dalam rangka menemukan langkah-langkah yang tepat untuk
mengoptimalkan perkembangan dan menemukan potensi yang ada pada anak
tunagrahita, sehingga lebih mandiri dan tidak menjadi beban bagi keluarga dalam
kehidupan sehari-harinya, pada prinsipnya di balik kelemahan atau kekurangan
yang dimiliki, anak tunagrahita masih memiliki sejumlah kemampuan atau
modalitas yang dapat dikembangkan untuk membantunya menjalani hidup seperti
individu lain pada umumnya.
Hasil observasi (pada tanggal 6-18 Februari 2017) dilakukan peneliti pada
anak tunagrahita di SDLB C Karya Ibu Palembang, didapat bahwa pertumbuhan
fisiknya tidak mengalami gangguan bahkan sama seperti anak normal pada
umumnya, akan tetapi mengalami kesulitan dalam mempelajari hal-hal baru
terutama yang terkait pada gerak, anak masih terlihat kaku, kurang indah dilihat,
dan tidak proporsional pada saat melakukan gerakan. Pentingnya gerak seperti
yang diungkapkan oleh Giriwijoyo (2012:18) Gerak adalah ciri kehidupan, tiada
hidup tanpa gerak dan apa guna hidup bila tak mampu bergerak. Memelihara
gerak adalah mempertahankan hidup, meningkatkan kemampuan gerak adalah
meningkatkan kualitas hidup, oleh karena itu “bergeraklah untuk lebih hidup
jangan hanya bergerak karena masih hidup”.
4
Pernyataan di atas mengungkapkan bahwa setiap insan di dunia ini selalu
bergerak, namun tingkat kemampuan setiap individu berbeda satu sama lain,
seperti halnya anak tunagrahita yang memiliki hambatan atau kendala dalam
perkembangan geraknya, oleh sebab itu dibutuhkan suatu langkah yang tepat
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan anak tunagrahita agar dapat
tumbuh dan berkembang layaknya anak-anak normal, sehingga dapat memenuhi
aktivitas sehari-harinya sendiri.
Pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan manusia,
pendidikan berkembang begitu pesat sehingga menuntut setiap orang
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, termasuk di dalamnya anak
yang membutuhkan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Menurut
Kustawan dan Meimulyani (2016:19) bahwa pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki hambatan belajar dan hambatan
perkembangan atau memiliki kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran
karenan kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan atau yang memiliki potensi
kecerdasan dan bakat istimewa.
Anak tunagrahita memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan
yang layak sebagaimana amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat 1 dijelaskan bahwa
“Setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak”.
Selanjutnya diperjelas lagi oleh Undang- Undang No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang erat kaitannya dengan pendidikan bagi Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK), diungkapkan bahwa :
5
“Bab I (pasal 1 ayat 18) yang berbunyi wajib belajar adalah program pendidikan
minimal yang harus diikuti oleh warga negara indonesia atas tanggung jawab
pemerintah dan pemerintah daerah”.
“Bab III (pasal 4 ayat 1) yang berbunyi pendidikan diselenggarakan secara
demokratis berdasarkan HAM, agama, kultural, dan kemajemukan bangsa”.
“Bab IV (pasal 5 ayat 1) yang berbunyi setiap warga negara mempunyai hak yang
sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh
pendidikan khusus”.
“Bab VI bagian 11 Pendidikan Khusus (pasal 32 ayat 1) yang berbunyi
pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial
atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa”.
Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan tempat pelayanan pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus, termasuk anak tunagrahita. Menurut Kemis dan
Rosnawati (2013:44) Pembelajaran di Sekolah Luar Biasa (SLB) harus didasarkan
pada masalah, kemampuan dan kebutuhan anak bukan hanya berorientasi pada
kurikulum. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, maka selanjutnya
peneliti melakukan studi pendahuluan untuk memperoleh data tentang analisis
kebutuhan (need assessment) pada Sekolah Luar Biasa (SLB C) tingkat Sekolah
Dasar (SD) yang menangani anak tunagrahita di Kota Palembang yaitu: SDLB
C Karya Ibu, SDLB C YPAC dan SDLB B Negeri Pembina. Dari hasil studi
pendahuluan tersebut diperoleh data bahwa kemampuan gerak dasar anak
tunagrahita mengalami gangguan. Data yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 1.1
pada halaman berikutnya (halaman 6).
6
Tabel 1.1 Identifikasi Kebutuhan dan Rancangan Pengembangan
1) Wawancara Guru sebagai Responden
Latar Belakang (Pendidikan guru Penjas)
Hasil Temuan Harapan Responden
6 orang guru yang mengajar Penjas di
ketiga SDLB yang melayani anak
tunagrahita di Kota Palembang hanya
ditemukan 1 orang guru yang berlatar
Penjas, 5 orang lainnya berlatar belakang
selain Penjas (guru pelajaran lain yang
merangkap menjadi guru penjas).
Guru-guru Penjas membutuhkan
pengetahuan, workshop, seminar, lokakarya
dan media pengembangan pembelajaran
mengenai pembelajaran Penjas adaptif,
sehingga guru yang tidak memiliki latar
belakang Penjas dapat melaksanakan
pembelajaran Penjas dengan lebih baik.
Kegiatan dan proses pembelajaran Penjas di SDLB
yang dilaksanakan guru
Ditemukan hasil bahwa pembelajaran
penjas dilakukan 2 kali dalam seminggu,
setiap hari Selasa dan Jum’at, dengan
melakukan kegiatan senam irama dan
permainan olahraga bersama.
Guru-guru menginginkan pembelajaran
penjas di SDLBC dapat dilaksanakan sesuai
substansi isi (Standar Kompetensi (SK),
Kompetensi Dasar (KD) dan Indikator),
namun membutuhkan model pembelajaran
yang sudah siap dilaksanakan.
Pemahaman Guru mengenai keterampilan gerak dasar
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru,
4 dari 6 orang guru sudah memahami
tentang keterampilan gerak dasar dan
manfaatnya bagi siswa namun 5 dari 6
orang guru masih kesulitan untuk
mengembangkan materi dan instrumen
pembelajaran gerak dasar dikarenakan
kurangnya referensi dan pengetahuan guru
dalam mengembangkan pembelajaran
materi gerak dasar.
Guru-guru membutuhkan model dan
instrumen pembelajaran alternatif yang
bertujuan meningkatkan keterampilan gerak
dasar, kemampuan kognitif, kesenangan dan
fokus perhatian yang sesuai dengan
karakteristik siswa melalui aktivitas bermain.
Bermain merupakan aktivitas yang disukai
anak.
Pendapat guru mengenai ketersediaan peralatan pembelajaran
4 dari 6 orang guru menyatakan
ketersediaaan peralatan untuk permainan
dan olahraga, belum disesuaikan dengan
karakteristik anak, masih menggunakan
peralatan permainan olahraga yang standar
bagi anak normal dan jumlahnya juga
masih sangat terbatas, masih menggunakan
peralatan senam irama untuk menjalankan
pembelajaran Penjas. Guru juga mengalami
kesulitan dalam mengembangkan atau
memodifikasi peralatan pembelajaran
Penjas.
Guru-guru membutuhkan pengetahuan untuk
memilih, memodifikasi dan contoh peralatan
pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik, menarik dan bermanfaat bagi
siswa. Guru-guru sangat berharap ada
peralatan pembelajaran baru yang bisa
digunakan untuk meningkatkan pembelajaran
Penjas.
7
Model permainan gerak dasar yang sudah dikembangkan
di SDLB C Kota Palembang
Hasil Temuan Harapan Responden
5 dari 6 orang guru menyatakan belum ada
guru yang mengembangkan model
pembelajaran gerak dasar Penjas dengan
menggabungkan materi pelajaran lain dan
penelitian serupa mengenai model aktivitas
bermain pada anak tunagrahita masih
jarang ditemukan oleh guru.
Guru setuju dan mendukung pengembangan
model pembelajaran gerak dasar dengan
menggabungkan beberapa materi pelajaran
lain sederhana seperti (menyebutkan gambar,
mencocokkan gambar atau kata, membaca
cerita singkat, menghitung sederhana,
menyebutkan warna, meletakkan sesuai
tempatnya dan sebagainya).
2) Hasil Observasi pada Peserta Didik
Keaktifan peserta didik
Hasil Temuan Harapan Responden
Berdasarkan hasil observasi, 52 orang
peserta didik kelas 1,2 dan 3 di SDLB C
kurang aktif, cenderung terlihat malas-
malasan dan cepat bosan pada saat
kegiatan olahraga bersama (senam irama)
berlangsung.
Peserta didik memerlukan pengalaman gerak
yang berharga bagi peningkatan keterampilan
gerak dasar mereka. Model pembelajaran
yang dirancang diharapkan dapat
meningkatkan keaktifan, sehingga dapat
meningkatkan keterampilan gerak dasar,
kemampuan kognitif, kesenangan dan fokus
perhatian.
Keterampilan Gerak Dasar Peserta Didik
50 orang siswa mengalami kesulitan dalam
melakukan gerak dikarenakan hambatan
motorik yang diakibatkan oleh keterbatasan
fungsi kognitifnya ditambah dengan
kurangnya pengalaman gerak yang
diberikan sekolah dan lingkungan orang
terdekat.
Peserta didik sangat memerlukan berbagai
pengalaman gerak yang sengaja dirancang
untuk meningkatkan keterampilan gerak
dasar baik lokomotor, non lokomotor maupun
manipulatif (kontrol objek) yang disesuaikan
dengan kemampuan dan karakteristik anak,
mulai dari gerak yang sederhana hingga gerak
kompleks, memiliki tantangan di masing-
masing permainan sehingga siswa tidak
merasa jenuh.
Keseimbangan Peserta Didik
Berdasarkan hasil observasi pada kelas 1,2,
dan 3 SDLB C ditemukan 43 orang peserta
didik memiliki keseimbangan baik statis
dan dinamis dalam kategori kurang dan 20
orang dalam kategori sedang.
Siswa sangat membutuhkan model
pembelajaran gerak dasar yang dapat
meningkatkan keseimbangan statis maupun
dinamis. Keseimbangan adalah hal mendasar
untuk semua yang kita lakukan, baik untuk
memindahkan atau mempertahankan. Mampu
menjaga stabilitas juga penting dalam
aktivitas sehari-hari seperti meraih sesuatu
dari pohon, atau sekadar berpakaian.
(Departement of Education WA, 2013:5).
8
Ketertarikan dan Fokus Perhatian Peserta Didik
Pada saat kegiatan senam irama
berlangsung 40 orang peserta didik kurang
tertarik dan cenderung menunjukkan diam
di tempat, dan hanya menggoyangkan
tangan saja, dan jalan di tempat dan
beberapa peserta didik lainnya kurang
fokus cenderung sibuk dengan dunia
mereka sendiri.
Peserta didik membutuhkan model aktivitas
bermain yang menarik untuk mereka coba
lakukan, karena bermain adalah aktivitas
yang sangat disukai anak-anak, dan dalam
aktivitas bermain tersebut biasanya
menggunakan peralatan bermain, peralatan
bermain harus membuat anak tertarik untuk
mencobanya, memiliki nilai terapis (warna,
tekstur, dan material atau bahan) sehingga
bermanfaat untuk perkembangan dan
peningkatan keterampilan anak.
3) Hasil Wawancara dengan orangtua
Pengetahuan Orangtua Mengenai Keterampilan Gerak Dasar
Hasil Temuan Harapan Responden
4 dari 6 orangtua belum mengerti tentang
gerak dasar dan 2 orangtua mengerti namun
tidak pernah memberikan latihan mengenai
gerak dasar kepada anak atau peserta didik
di rumah. Orangtua jarang sekali bermain
dengan anak di rumah karena sebagian
besar bingung untuk membuat permainan
sendiri, selain pengetahuan tentang gerak
dasar sangat kurang, orangtua juga
memiliki anak lain yang memerlukan
perhatian.
Orangtua harus terlibat langsung dengan
peserta didik dalam meningkatkan
keterampilan gerak dasar anak, oleh sebab itu
orang tua sangat setuju jika dikembangkan
model pembelajaran gerak dasar melalui
aktivitas bermain yang tidak hanya bisa
dilakukan di sekolah namun bisa menjadi
sarana terapi di rumah bagi anak-anak
mereka.
Hasil wawancara dengan guru di SDLB B
Negeri Pembina Palembang sebagian besar
orang tua peserta didik bekerja sebagai
buruh, buruh harian lepas dan wiraswasta,
hal serupa dijumpai pada SDLB C Karya
Ibu Palembang yang sebagian peserta didik
berasal dari ekonomi menengah ke bawah,
sementara itu data hasil wawancara dengan
guru di SDLB C YPAC peserta didik
berasal dari keluarga yang mampu dan
cukup mampu.
Orangtua sangat berharap anak-anak mereka
mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhannya
dan mengalami peningkatan dalam proses
pembelajarannya sehingga anak-anak mereka
memiliki kemandirian dan bekal untuk
menjalani kehidupan mereka sehari-hari.
(ketika orangtua tidak lagi dapat
mendampingi mereka, mereka tetap bisa
bertahan hidup untuk dirinya sendiri).
(Sumber : Penelitian Awal, 2017)
Berdasarkan data yang diperoleh di atas dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar anak tunagrahita mengalami hambatan atau kendala dalam
melakukan pembelajaran gerak dasar, sehingga memerlukan batuan dari guru atau
9
orangtua, padahal gerak dasar merupakan modal yang sangat penting bagi
keberlanjutan kemampuan gerak yang lebih kompleks bagi seseorang termasuk
anak tunagrahita untuk dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari. Temuan lainnya
yaitu beberapa guru mengalami kesulitan dalam pengembangan pembelajaran
dalam hal ini materi pembelajaran gerak dasar. Beberapa guru mengakui
kurangnya referensi untuk memodifikasi dan menyampaikan materi gerak dasar,
sehingga proses pembelajaran terkesan kurang menarik bagi anak tunagrahita.
Kesulitan guru dalam memodifikasi materi dalam pembelajaran Penjas
dikarenakan, guru Penjas yang ada di ketiga SDLB C tersebut hanya 1 (satu)
orang saja yang berlatar belakang pendidikan penjas, sementara 5 (lima) orang
lainnya berlatar pendidikan selain Penjas. (guru kelas, guru PPKN, dan guru BK).
Gerak merupakan unsur pokok dan sifat kehidupan manusia, tanpa gerak
manusia menjadi kurang sempurna dan dapat menyebabkan kelainan dalam tubuh
maupun organ-organnya, oleh sebab itu gerak menjadi kebutuhan yang sangat
penting untuk memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup seseorang tak
terkecuali anak tunagrahita. Gerak mengalami perubahan yang dapat kita amati
sejak manusia lahir hingga dewasa, dari gerak bebas yang tidak bermakna menjadi
gerak yang terarah dan memiliki makna, dari gerak kasar menjadi gerak halus,
dari gerak yang tidak beraturan menjadi gerak beraturan, dan banyak sekali jenis
gerakan yang perlu dipelajari dan dibina serta disesuaikan dengan kebutuhan diri,
perkembangan dan norma sosialnya.
Keterampilan gerak dasar (Fundamental Movement Skills) merupakan
keterampilan dasar yang menggunakan anggota tubuh dan merupakan pola
pendahuluan untuk keterampilan yang khusus dan kompleks, seperti yang
dinyatakan oleh Department of Education WA (2013: 15), Fundamental
10
Movement Skills (FMS) are movement patterns that involve body parts such as the
legs, arms, trunk and head, and include such skills running, hopping, catching,
throwing, striking, and balancing. they are foundation movements or precusor
patterns to the more specialised, complex skills use in play, games, sports, dance,
gymnastic, outdoor education and physical recreation activities.
Artinya keterampilan gerak dasar adalah pola gerakan yang melibatkan
bagian-bagian tubuh seperti kaki, lengan, togok dan kepala, yang termasuk
didalamnya seperti keterampilan berlari, melompat, menangkap, melempar,
menyerang, dan menyeimbangkan. Gerakan-gerakan tersebut merupakan gerakan
fondasi atau pola precusor ke keterampilan yang lebih khusus dan kompleks
dalam bermain, permainan, olahraga, menari, senam, pendidikan luar ruangan dan
kegiatan rekreasi fisik.
Orang -orang yang percaya diri dengan keterampilan gerak dasar yang
dimilikinya dapat memudahkannya dalam menjalani aktivitas sehari-hari serta
dapat memberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan rekreasi
sepanjang hidupnya (Departement of Education Western Australia, 2013 :15).
Hasil penelitian Somantri (2007:108) yang menunjukkan bahwa tingkat
kesegaran jasmani anak tunagrahita yang memiliki kemampuan mental pada usia
2 tahun sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori kurang sekali, sedang anak
normal pada umur yang sama ada dalam kategori kurang. Penelitian senada yang
dilakukan dari Westendorp, M, at al. (2012:1) didapatkan hasil penelitian bahwa
anak-anak tunagrahita ringan mempunyai skor yang secara signifikan lebih rendah
pada hampir semua item keterampilan motorik tertentu, dan juga keterampilan
terhadap kontrol objek bila dibandingkan dengan teman sebaya non-tunagrahita.
Kondisi rendahnya tingkat kemampuan gerak dasar dan tingkat kebugaran
11
jasmani akan membawa dampak pada derajat kesehatan seseorang, apalagi bagi
peserta didik tunagrahita. Mereka akan rentan sekali pada daya tahan tubuhnya
terhadap penyakit, hal ini secara ekonomi akan memberikan beban tambah untuk
biaya pengobatan.
Berdasarkan uraian di atas, maka pembelajaran Penjas materi gerak dasar
memiliki peranan yang sangat penting bagi peserta didik SDLB C tunagrahita
agar memiliki keterampilan gerak dasar yang efektif, efisien dan aman sehingga
akan lebih mudah dalam melakukan gerakan-gerakan yang diperlukan dalam
menjalani kehidupan sehari-sehari, sehingga dapat mengurangi ketergantungan
dengan orang lain. Pembelajaran Penjas materi gerak dasar dapat mempromosikan
gerakan-gerakan yang benar dalam melakukan keterampilan gerak dasar yang
akan digunakan dalam gerakan yang lebih kompleks untuk berpartisipasi dalam
aktivitas sehari-hari, olahraga, dan permainan. Keberhasilan pembelajaran Penjas
materi gerak dasar di SDLB tunagrahita sangat ditentukan oleh persiapan guru
dan peserta didik. Ada beberapa unsur yang saling terkait yang menjadi satu
kesatuan dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran berjalan sesuai dengan
harapan. Salah satu unsur yang penting untuk dipersiapkan oleh guru antara lain
yaitu model pembelajaran. Kemampuan gerak dasar anak tunagrahita baik ringan
maupun sedang memiliki gangguan, oleh sebab itu diperlukan suatu cara untuk
mengarahkan anak tunagrahita pada kemampuan gerak dasar yang optimal dan
memperoleh kesenangan melalui gerak.
Aktivitas fisik yang teratur baik untuk semua orang, namun menjadi
sangat penting dan berharga bagi anak-anak. Lima tahun pertama kehidupan
12
mereka adalah tahun terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangannya, dan
pada saat inilah mereka akan mengembangkan kebiasaan yang akan mereka bawa
bersama sampai mereka dewasa, dan tanggung jawab kita sebagai orang tua dan
pendidik untuk memberi kesempatan dan pengalaman kepada anak-anak di sekitar
kita yang secara positif mempengaruhi pilihan mereka seputar bermain aktif,
namun berbeda dengan anak tunagrahita, anak tunagrahita membutuhkan waktu
dan proses belajar yang lebih lama dalam menerima pembelajaran, oleh sebab itu
guru dan orangtua harus memiliki cara khusus dan kesabaran yang lebih dalam
menghadapi mereka.
Anak tunagrahita pada dasarnya memerlukan pembelajaran yang
menyenangkan dan tidak membosankan karena perubahan tingkah laku anak
tunagrahita sering berubah-ubah dengan cepat, seperti pendapat Tarigan (2000:25)
walaupun secara umum siswa yang mengalami keterbelakangan mental ringan
dan sedang, ia tetap dapat mengikuti aktivitas Penjas. Guru harus berhati-hati
terhadap perubahan-perubahan tingkah laku yang sering berubah secara cepat dan
dapat mengganggu kenyamanan siswa lain, sehingga aktivitas yang cocok untuk
mereka adalah aktivitas bermain yang dapat menimbulkan kesenangan.
Pembelajaran Penjas di SDLB C harus dirancang sesuai dengan karakteristik anak
tunagrahita untuk meningkatkan kesenangan dan memperoleh kepuasan dalam
gerak sehingga dapat meningkatkan kemampuan gerak dasar dan merangsang
kemampuan intelektual mereka.
Berdasarkan data temuan di lapangan (observasi, Februari 2017) dan
melalui analisis kebutuhan dan pengembangan, aktivitas bermain merupakan
13
media meningkatkan kemampuan gerak dasar anak tunagrahita yang dipilih
peneliti dalam penelitian ini, karena bermain merupakan salah satu bentuk terapi
yang diberikan pada anak tunagrahita untuk membantu meningkatkan kemampuan
mereka menjadi lebih baik. Faktor utama pada terapi bermain adalah fokus pada
ekspresi gerak. Anak diharapkan mau bergerak tanpa merasa terpaksa sehingga
pembelajaran yang dilakukan bisa efektif bagi perkembangannya (Wikasanti,
2014:133).
Aspek yang bisa dikembangkan dalam aktivitas bermain antara lain : (1)
aspek fisik, meliputi kekuatan organ tubuh, ketahanan otot-otot dan organ tubuh,
serta perbaikan sikap tubuh, (2) aspek kognitif, meliputi kemampuan berhitung
(melalui hitungan angka dalam suatu permainan), mengenal benda sekitar dan
fungsinya, kemampuan memori (mengingat peraturan permainan), (3) aspek
emosi, meliputi kepatuhan dalam menjalankan aturan permainan, menunjukkan
rasa senang atau tidak senang terhadap aktivitas permainan, (4) aspek sosialisasi,
meliputi interaksi dan komunikasi yang dilakukan dengan tim dan lawan mainnya,
bagaimana menerima maupun menyatakan pendapat pada orang lain, serta
bagaimana menjalin hubungan yang sehat dalam suatu kelompok permainan
(Wikasanti, 2014:136-137). Pendapat serupa Kenneth (2007)“Play is essential to
development because it contributes to the cognitive, physical, social and
emotional well-being of children and youth. Play also offers an ideal opportunity
for parents to engage fully with their children”. Berarti bahwa bermain itu
penting untuk perkembangan dikarenakan berdampak pada kognitif, fisik,sosial
dan kesejahteraan emosional anak-anak dan remaja. Bermain juga menawarkan
14
kesempatan yang ideal bagi orangtua untuk terlibat langsung sepenuhnya dengan
anak-anak mereka.
Bermain merupakan aktivitas yang menyenangkan bagi anak. Permainan
itu sendiri dapat memberikan kesempatan untuk melatih keterampilan anak
tunagrahita secara berulang-ulang dan dapat mengembangkan ide-ide sesuai
kemampuannya sendiri, oleh sebab itu pembelajaran penjas harus mampu
memberikan kesempatan bermain pada anak tunagrahita di lingkungan sekolah.
Berdasarkan uraian di atas dan masih jarang ditemukannya penelitian yang
berhubungan dengan model aktivitas bermain bagi anak tunagrahita maka peneliti
merancang model aktivitas bermain untuk anak tunagrahita kelas 1, 2, dan 3
SDLB C yang aman, murah, meriah, menyenangkan dan bermakna untuk
mengembangkan kemampuan gerak dasar, kognitif, kesenangan dan fokus
perhatian, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kemandirian, rasa percaya
diri dan perasaaan dihargai oleh lingkungan sekitar. Adapun tabel perbedaan
model yang sudah ada dengan model yang dikembangkan dapat dilihat pada tabel
1.2 di bawah ini :
Tabel 1. 2 Model yang Sudah Ada dan Model yang Dikembangkan
No. Model yang sudah ada Model yang dikembangkan
1. Model permainan lebih
menekankan pada aktivitas
motorik kasar.
Model permainan yang dikembangkan
mengandung aktivitas motorik kasar
dan halus.
2. Model permainan belum
memanfaatkan barang yang ada di
lingkungan sekitar.
Sebagian dari peralatan model
permainan memanfaatkan alat yang ada
di lingkungan sekitar yang bisa
digunakan dalam permainan.
3. Model permainan yang sudah ada
belum mengandung aktivitas
gerak fleksibilitas.
Model permainan yang dikembangkan
mengandung aktivitas gerak
fleksibilitas yang dapat meningkatkan
kualitas gerakan anak.
15
No. Model yang sudah ada Model yang dikembangkan
4. Model permainan yang sudah ada
belum menstimulasi kemampuan
merawat diri (Activity Daily
Living).
Model permainan dikembangkan
menstimulasi kemampuan merawat diri
(Activity Daily Living).
5. Permainan yang sudah ada belum
berkolaborasi dengan materi
pelajaran lain.
Model permainan yang dikembangkan
berkolaborasi dengan materi pelajaran
lain.
(Sumber : Peneliti, 2017)
Berangkat dari data analisis kebutuhan di atas, maka peneliti melakukan
penelitian yang berjudul “Pengembangan Gerak Dasar melalui Aktivitas Bermain
pada Anak Tunagrahita”, melalui model aktivitas bermain yang dikembangkan ini
dapat membantu meningkatkan kemampuan gerak dasar, kemampuan kognitif,
kesenangan, dan fokus perhatian anak tunagrahita sebagai media pembelajaran di
lingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarga.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat
diidentifikasi masalahnya sebagai berikut :
1.2.1 Anak tunagrahita mengalami gangguan dan hambatan dalam melakukan
gerakan, mengalami kesulitan dalam beradaptasi dan berinteraksi sosial
terutama yang berkaitan dengan gerak dan perpindahan gerak.
1.2.2 Pelaksanaan Penjas belum menjadi sarana yang optimal untuk mengatasi
masalah atau hambatan gerak bagi anak tunagrahita di SDLB C Kota
Palembang, dikarenakan sebagian besar guru Penjas bukan berlatar
belakang Penjas.
16
1.2.3 Belum adanya kerjasama antara guru Penjas, guru kelas, dan guru mata
pelajaran lain untuk berkolaborasi membuat materi pembelajaran yang
dituangkan dalam aktivitas bermain anak tunagrahita.
1.2.4 Sarana dan prasarana yang digunakan dalam pembelajaran masih kurang.
1.2.5 Orang tua kurang mendapatkan pengetahuan bagaimana cara menstimulasi
keterampilan gerak dasar pada anak tunagrahita sehingga dapat dilatih di
rumah.
1.3 Cakupan Masalah
Identifikasi masalah di atas, dalam penelitian ini hanya dibatasi pada
permasalahan pengembangan gerak dasar melalui aktivitas bermain pada anak
tunagrahita di SDLB yang melayani Tunagrahita.
1.4 Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di depan, maka rumusan
masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Bagaimana model aktivitas bermain yang sesuai bagi keterampilan gerak
dasar, kemampuan kognitif, kesenangan dan fokus perhatian anak
tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C ?
1.4.2 Bagaimana pelaksanaan model aktivitas bermain anak tunagrahita pada
guru Penjas di SDLB C ?
17
1.4.3 Bagaimana efektifitas model aktivitas bermain untuk meningkatkan
keterampilan gerak dasar, kemampuan kogntif, kesenangan dan fokus
perhatian anak tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C ?
1.5 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.5.1 Menganalisis validitas model aktivitas bermain bagi keterampilan gerak
dasar, kemampuan kognitif, kesenangan dan fokus perhatian anak
tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C.
1.5.2 Menganalisis pelakasanaan model aktivitas bermain yang dilakukan oleh
guru Penjas di SDLB C.
1.5.3 Menganlisis efektifitas model aktivitas bermain yang sesuai untuk
meningkatkan keterampilan gerak dasar, kemampuan kogntif, kesenangan
dan fokus perhatian anak tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian tentang pengembangan gerak dasar melalui aktivitas bermain
pada anak tunagrahita di SDLB C diharapkan dapat bermanfaat :
1.6.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini menghasilkan sintesis mengenai model aktivitas bermain
yang sesuai dan efektif untuk mengembangkan keterampilan gerak dasar,
kemampuan kogntif, kesenangan dan fokus perhatian anak tunagrahita kelas 1,2
dan 3 di SDLB C yang dapat digunakan sebagai bahan masukan dan referensi
18
bagi para guru Penjas dan guru selain Penjas untuk lebih kreatif dalam
mengembangkan aktivitas bermain pada materi keterampilan gerak dasar.
1.6.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini memiliki manfaat praktis :
1.6.2.1 Bagi guru
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk membantu guru yang
kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran Penjas khususnya materi
gerak dasar kelas 1,2 dan 3 di SDLB C.
1.6.2.2 Bagi Kepala Sekolah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengembangan kurikulum (kolaborasi) antara materi pelajaran Penjas
dengan materi pelajaran lain di SDLB C.
1.6.2.3 Bagi Anak Tunagrahita
Hasil penelitian ini dapat membantu anak tunagrahita dalam meningkatkan
keterampilan gerak dasar, kemampuan kognitif, kesenangan dan fokus
perhatian anak tunagrahita di SDLB C.
1.6.2.4 Bagi Masyarakat
Hasil penelitian dapat memberikan informasi bahwa ada model aktivitas
bermain yang dapat meningkatkan keterampilan gerak dasar, kemampuan
kognitif, kesenangan dan fokus perhatian anak tunagrahita di SDLB C.
19
1.7 Spesifikasi Produk yang Dikembangkan
Penelitian dan pengembangan ini menghasilkan produk berupa model
aktivitas bermain yang sesuai dan efektif untuk mengembangkan keterampilan
gerak dasar, kemampuan kognitif, kesenangan dan fokus perhatian anak
tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C yang dituangkan dalam 3 buah buku
pedoman pelaksanaan model aktivitas bermain yang dikemas ke dalam flashdisk,
setiap model berisi prosedur pembelajaran yaitu; pendahuluan, inti, penenangan,
dan instrumen penilaian aktivitas bermain, serta dilengkapi dengan video tutorial
model permainan yang dikemas dengan media flashdisk sebagai penjelas bagi
guru dan orang yang akan menggunakan agar memperoleh gambaran yang lebih
komprehensif tentang model aktivitas bermain yang sesuai untuk
mengembangkan keterampilan gerak dasar siswa kelas bawah di SDLB C.
1.8 Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan
Asumsi penelitian pengembangan ini adalah dihasilkannya model aktivitas
bermain yang sesuai untuk mengembangkan keterampilan gerak dasar,
kemampuan kognitif, kesenangan dan fokus perhatian anak tunagrahita kelas 1, 2
dan 3 di SDLB C. Produk ini hanya terbatas pada model aktivitas bermain yang
sesuai untuk mengembangkan keterampilan gerak dasar, kemampuan kognitif,
kesenangan dan fokus perhatian anak tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C.
Produk yang dihasilkan diharapkan dapat membantu guru dalam melaksanakan
pembelajaran Penjas khususnya materi gerak dasar kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C.
20
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORITIS DAN
KERANGKA BERFIKIR
2.1 Kajian Pustaka
Ada beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
2.1.1 Penelitian yang dilakukan oleh Sumaryanti, Wara Kushartini, Rachmah
Lakshmi H, tahun 2015 berjudul Dissemination Model of Adaptive
Physical Education Learning For The Brain Optimalization of Retarded
Kids: Physical Therapy And Neuroscience Overview. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa model Aktifitas Fisik Adaptif dapat mengoptimalkan
otak anak tunagrahita.
2.1.2 Penelitian yang dilakukan oleh Kimiyasu Hayakawa dan Kando
Kobayashi tahun 2011 berjudul Physical and Motor Skill Training for
Children With Intellectual Disabilities. Menunjukkan hasil bahwa program
latihan kemampuan fisik dan gerak yang dirancang dapat meningkatkan
kecepatan dan keseimbangan, penampilan fisik (physical performance),
dan hasil quesioner menunjukkan bahwa program tersebut memiliki
manfaat bagi sampel yang diteliti serta meningkatkan kegembiraan bagi
mereka dalam mengikuti setiap sesi latihan.
2.1.3 Penelitian yang dilakukan oleh Jae Hoon Jeong, Youn Seon Choi, Soojin
Yoo, Bog Ja Jeoung berjudul The Fundamental Movement Skill of Male
21
Student with Intellectual Disability in Korea, Penelitian ini dilakukan
untuk menguji Fundamental Movement Skill (FMS) siswa laki-laki
penyandang intelektual disabiliti usia 10 sampai 18 tahun, sebanyak 126
siswa dengan IQ kurang dari 50, di sekolah khusus Korea, FMS dinilai
menggunakan Test of Gross Motor Development (TGMD-2), yang
mengevaluasi kemampuan lokomotor (Berlari, melompat, melompat,
meluncur dan melompat) dan keterampilan kontrol objek (melempar dari
atas, menangkap, menendang, memukul, memukul dan menggiring bola).
Hasilnya menunjukkan bahwa Siswa yang lebih tua memiliki nilai yang
jauh lebih baik pada semua lokomotor dan objek keterampilan kontrol
kecuali menendang. Proporsi siswa yang lebih tinggi ditunjukkan
Penguasaan kriteria kinerja untuk subtes lokomotor dan keterampilan
kontrol objek yang hanya melibatkan gerakan kaki atau lengan, daripada
subtes yang dibutuhkan gerakan tubuh dan lengan terkoordinasi.
2.1.4 Penelitian yang dilakukan Pauli Rintala dan Michael Loovis tahun 2013
berjudul Measuring Motor Skills in Finnish Children with Intellectual
Disabilities, Investigasi ini meneliti perbedaan dalam pengembangan
keterampilan motorik antara anak tunagrahita di Finlandia (12 anak laki-
laki, dan 8 perempuan ) dengan anak-anak normal berusia 7 sampai 11
tahun menggunakan tes perekembangan keterampilan motorik kasar yang
lebih dikenal dengan Ulrich’s Tes Gross Motor Development (TGMD-2)
yang di rekam dengan perangkat video.
22
2.1.5 Penelitian yang dilakukan Lynne M. Boddy, Samantha J. Downs, Zoe R.
Knowles, dan Stuart J. Fairclough tahun 2015 berjudul “Physical Activity
and Play Behaviours in Children and Young People with Intellectual
Disabilities: A Cross-Sectional Observation Study”, Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa anak sudah cukup untuk mendapatkan
keuntungan kesehatan fisik mereka (23% dari kohort) yang aktif. Tidak
ada perbedaan dalam aktivitas kebiasaan fisik, perilaku menetap, atau
Perilaku bermain reses diamati adalah antara laki-laki dan perempuan.
Peserta menghabiskan sebagian besar waktu istirahat mereka bermain
sendiri atau dalam kelompok-kelompok kecil, dengan tidak ada peserta
kelompok besar terlibat dalam bermain.
2.1.6 Penelitian yang dilakukan Amal Dandashi, Abdel Ghani Karkar, Sawsan
Saad, Zaara Barhoumi, Jihad AL-Jaam, dan Abdulmotaleb El Saddik
tahun 2015 berjudul “ Enhancing the Cognitif and Leraning Skills of
Children with Intellectual Disability through Physical Activity and
Edutaintment Games. Tujuannya untuk mempromosikan proses belajar,
menghafal, dan gerakan fisik sambil bersenang-senang. Permainan dapat
dengan mudah disesuaikan dengan kebutuhan spesifik masing-masing
tingkat kategori tunagrahita. Hasil yang dikumpulkan menunjukkan
dampak positif bagi kemampuan kognitif anak-anak dalam hal nilai,
pemahaman pedoman, koordinasi, konsentrasi, komunikasi, dan
keterampilan menghafal.
23
2.1.7 Penelitian yang dilakukan Necmiye Un Yildrim, Fatih Erbahceci dan
Nevin Ergun, Kenneth H. Pitetti, Michael W. Beets berjudul “ The Effect
of Physical FitnessTrainning on Reaction Time in Youth with Intellectual
Disabilities” tahun 2010. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai
apakah waktu reaksi pada penyandang cacat intelektual dapat ditingkatkan
dengan program latihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu
reaksi dapat ditingkatkan dengan program latihan di masa muda anak
tunagrahita.
2.1.8 Penelitian yang dilakukan oleh Shaqayeq Bana, Firoozeh Sajedi, Hoshang
Mirzaie, Pouria Rezasoltani berjudul “The Efficacy of Cognitive
Behavioral Play Therapy on Self Esteem of Children With Intellectual
Disability” tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki
efektivitas Cognitive-Behavioral Play Therapy (CBPT) pada harga diri
anak-anak penyandang intelektual disabilitas. Menggunakan desain quasi-
intervensi Pre-test dan post-test, kelompok kontrol, jumlah sampel dalam
penelitian ini terdiri dari 40 anak yang dipilih berdasarkan kriteria inklusi
dan eksklusi dari antara anak-anak penyandang intelektual disabilitas
terdidik di dua pusat perawatan di Teheran. Instrumen penelitian
menggunakan Cooper-smith Self-Esteem Inventory (CSEI). Untuk
kelompok intervensi, sesi CBPT dilakukan dalam 12 sesi masing-masing
60 menit (dua hari seminggu). Post-test juga diberikan kepada kedua
kelompok setelah intervensi. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan
independent t-test dan Levine's test oleh perangkat lunak SPSS. Hasil
24
penelitian Harga diri diamati meningkat secara signifikan pada kelompok
intervensi (P <0,01) dibandingkan dengan kelompok kontrol.
2.1.9 Penelitian Yusakarim yang berjudul Implementasi Program Alternatif
Pendidikan Olahraga (Pendidikan Olahraga Adaptif) Bagi Siswa
Berkebutuhan Khusus tahun 2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
olahraga telah disajikan dalam format baru dengan memanfaatkan
peralatan yang ada di sekolah dan yang mudah didapat di pasaran,
olahraga ditampilkan menjadi suatu aktivitas fisik yang menyenangkan
dengan berbagai ragam olahraga dan permainan yang melibatkan siswa
dengan berbagai tingkat keterampilan yang berbeda, dan lebih menjadikan
siswa sebagai pusat dari kegiatan tersebut. Olahraga disajikan dengan
merujuk pada senang bergerak tanpa harus merasa dipaksa dan takut. Di
kedua sekolah ditemukan bahwa guru, siswa, kepala sekolah, dan orang
tua merespon pengajaran olahraga adaptif secara positif.
2.1.10 Penelitian Abdul Jabar yang berjudul Pengajaran melalui Aktivitas
Jasmani sebagai Bentuk Terapi Gerak bagi Siswa Disabilitas di Sekolah
Luar Biasa tahun 2010, Aktivitas jasmani yang diorganisasir oleh guru
pendidikan jasmani adaptif perlu melibatkan bentuk-bentuk aktivitas
jasmani yang berdasar pada: (1) movement oriented method (metode
berorientasi gerak) dan (2) body oriented method (metode berorientasi
tubuh). Penerapan pendekatan terapi gerak dalam pelaksanaan pengajaran
pendidikan jasmani adaptif perlu mempertimbangkan (1) pemikiran; (2)
perasaan; (3) perilaku siswa, atas interaksi antara intervensi guru pendi-
25
dikan jasmani dengan respon yang diperlihatkan siswa. Interaksi intervensi
dan respon ini menjadi alat pengamatan dalam pelaksanaan terapi gerak.
2.1.11 Penelitian Dede Rohmat dan Mulyana yang berjudul Mengembangkan
Perilaku Asosiatif Siswa SD melalui Penerapan Pendekatan Bermain
dalam Konteks Pembelajaran Penjas tahun 2010, Kesesuaian penerapan
pendekatan mengajar dalam konteks pembelajaran pendidikan jasmani
terkadang belum sesuai dengan karakteristik peserta didik. Siswa SD yang
masih tergolong ke dalam kelompok anak besar memiliki perilaku yang
didominasi oleh kegiatan bermain. Bagi mereka, bermain adalah dunianya.
Penerapan pendekatan bermain dalam pembelajaran penjas tidak hanya
untuk menyesuaikan karakter kegiatan pembelajaran dengan karakter
siswa. Melalui pendekatan bermain, ranah psikomotor menjadi jelas
terlihat ketika siswa bermain dan bergerak. Sedangkan aspek afektif
diharapkan juga turut berkembang. Salah satunya adalah perilaku asosiatif
yang terdiri dari kerja sama, akomodasi, dan asimilasi. Landasan
sosiologis yang meyakinkan keber-maknaan bermain merupakan rujukan
utama yang dapat meyakinkan kebermaknaan pendekatan bermain dalam
rangka mengembangkan perilaku asosiatif, khususnya bagi perkembangan
afektif siswa SD.
2.1.12 Penelitian Yoyo Bahagia yang berjudul Pengembangan Komponen
Biomotorik melalui Aktivitas Bermain Atletik dalam Pembelajaran
Pendidikan Jasmani di Sekolah Dasar 2010. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengungkap sejauh mana aktivitas bermain atletik dapat
26
meningkatkan kemampuan biomotorik siswa dengan instrumen
pengumpul data berupa tes kemampuan biomotorik. Hasil analisis data tes
awal dan tes akhir kemampuan biomotorik secara parsial menunjukkan
perkembangan yang signifikan artinya, aktivitas bermain atletik dalam
pembelajaran pendidikan jasmani dapat meningkatkan aspek-aspek
kemampuan biomotorik secara signifikan dan dapat diterapkan atau
dikembang-kan dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah-
sekolah dasar.
2.1.13 Penelitian Dadan Mulyana berjudul Identifikasi Guru Pendidikan Jasmani
terhadap Faktor-Faktor Penyebab Kesulitan Belajar Kemampuan Gerak
Dasar pada Siswa Sekolah Dasar Kelas Bawah tahun 2009. Penelitian ini
mencoba mengungkapkan hasil identifikasi guru terhadap faktor-faktor
yang menyebabkan kesulitan belajar kemampuan gerak pada siswa
Sekolah Dasar. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa variabel
pengalaman belajar (metode dan tugas) yang disajikan oleh guru
pendidikan jasmani berpengaruh lebih besar pada terjadinya kesulitan
belajar gerak siswa Sekolah Dasar bila dibandingkan dengan variabel
lingkungan belajar.
Pendidikan jasmani sangat erat kaitannya dengan belajar gerak, dimana
melakukan gerak yang seefektif mungkin (Amung Ma’mun dan M. Saputra
Yudha, 2000). Dasar gerak yang baik akan meningkatkan fungsi organ tubuh
menjadi baik, berarti anak mengalami perkembangan dalam melakukan tugas-
27
tugas gerak. Perkembangan kemampuan gerak ini berarti juga harus
dikembangkan keterampilan geraknya atau meningkatkan kemampuan tekniknya
(Sukintaka, 1992).
Gerak dasar fundamental adalah gerakan - gerakan dasar yang berkembang
sejalan dengan pertumbuhan dan tingkat kematangan pada anak-anak (Arif
Nurokhman, 2004). Gerakan ini pada dasarnya berkembang menyertai gerakan
refleks yang sudah dimiliki sejak lahir. Gerak dasar fundamental dapat
disempurnakan melalui proses berlatih yaitu dalam bentuk latihan berulang-ulang
(Rusli Lutan, 2003). Anak tunagrahita memiliki keterampilan gerak dasar yang
kurang maksimal karena pengaruh dari kemampuan anak itu sendiri yaitu
kurangnya kemampuan anak dalam memahami perintah dan merespon stimulus
yang diberikan oleh orang lain (Widianto,2012). Pendapat ini dipertegas dengan
sebagaimana disebutkan Kephart (dalam Lemer 1988; 276) bahwa kesulitan
dalam belajar bagi anak tunagrahita terjadi karena respon motorik anak tidak
berkembang ke dalam pola-pola motorik, akibatnya ketrampilan motorik anak
tunagrahita rendah dan sesekali kurang bervariasi.
Pendapat yang sama menurut Widati dan Murtadlo (2007:261) bahwa
tunagrahita adalah suatu keadaan perkembangan mental yang terhenti atau
tidak lengkap yang ditandai oleh kendala ketrampilan selama masa
perkembangan sehingga berpengaruh pada semua tingkat intelegensia, antara
lain kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial. Setiap anak yang
berkebutuhan lebih seperti tunagrahita memiliki kemampuan gerak yang berbeda-
beda, tergantung pada kekuatan dan kondisi tubuh, salah satu kekurangan yang
28
dimiliki anak tunagrahita adalah dalam ketrampilan gerak. Anak tunagrahita
harus selalu melakukan aktivitas gerak secara rutin agar terbiasa melakukan
gerakan tersebut untuk meningkatkan ketrampilan geraknya.
Pengembangan gerak dasar sangat diperlukan untuk meningkatkan
keterampilan gerak dasar anak tunagrahita. Aktivitas bermain merupakan bentuk
pengembangan gerak dasar yang dipilih oleh peneliti dalam penelitian ini. Irianto
(2005: 88) menyatakan bahwa bermain berupa aktivitas dalam bentuk gerak fisik,
merupakan aktualisasi potensi, sikap dan perilaku anak. Dengan bermain anak
akan memperoleh adaptasi positif, meliputi; kepuasan, kesenangan, dan
penyaluran energi. Permainan yang dilakukan dengan takaran yang benar akan
mampu meletakkan dasar kebuigaran anak, yang selanjutnya memacu proses
pertumbuhan dan perkembangan anak. Bodrova & Leong (2005: 6) menyatakan
bermain memiliki hubungan dengan perkembangan kognitif dan keterampilan
sosial yang dibutuhkan dalam proses belajar anak. Seperti, bermain
menumbuhkan memori, pengaturan diri sendiri, berkomunikasi lisan, dan
mengenali simbol. Bermain juga meningkatkan keterampilan literasi dan bidang
akademik yang lainnya. Eberle (2011: 19) menyatakan bermain memberikan
manfaat dalam mengembangkan mental, fisik, dan keterampilan sosial. Lebih
lanjut bahwa bermain dapat digunakan sebagai media dalam mengembangkan
kecerdasan pada anak. Gusril (2004:3) berpendapat bahwa mengembangkan
motorik anak diperlukan suatu proses pembelajaran yang sesuai dengan
karakteristik anak yang suka bermain. Siswa SDLB C memerlukan aktivitas
bermain yang mengandung unsur keterampilan gerak dasar, kemampuan kognitif,
29
yang dikemas semenarik mungkin agar dapat menimbulkan kesenangan dan fokus
perhatian pada siswa sehingga siswa merasa tertarik dan tertantang untuk
mencoba melakukan permainan secara berulang-ulang yang pada akhirnya
melalui latihan yang berulang-ulang itulah keterampilan gerak dasar siswa dapat
meningkat.
Hasil penelitian Smith (1970:44) tentang perseptual motorik dan
kemampuan membaca pada anak TK, menunjukkan bahwa perseptual motorik
memiliki hubungan langsung dengan pembelajaran dan meningkatkan kesiapan
membaca anak. Program perseptual motorik yang diberikan berupa; melompat ke
lingkaran, berjalan seperti binatang, menyentuh dan mengidenifikasi bagian
tubuh, meniti balok keseimbangan dan memanipulasi bola. Lebih lanjut Barnet,
et.al, (2008:10) menyatakan bahwa dalam pembelajaran yang berupa aktivitas
berpindah ruang dan kemampuan merubah arah yang merupakan unsur dalam
perseptual motorik, serta kemampuan dalam memebrikan reaksi terhadap sinyal
audio dan videomerupakan keterampilan motorik yang dibutuhkan dalam interaksi
sosial dan juga berpartisipasi dalam olahraga.
Anggita & Rachman, (2014: 180) kemampuan perseptual motorik yang
dibangun oleh komponen-komponen pemahaman tubuh, pemahaman ruang,
kualitas gerak, pemahaman arah, dan hubungan dengan objek di luar tubuh yang
baik menjadikan anak memilikigerak dasar yang baik, mampu melakukan
manuver gerak dalam berbagai posisi, dapat mengatasi rintangan saat bergerak,
dan memiliki koordinasi gerak serta keseimbangan yang baik pula. Shonhadi, dkk
(2013:54) hubungan antara keterampilan motorik dengan IQ anak sangat
30
berpengaruh satu sama lain. Jika seorang anak memiliki keterampilan motorik
yang baik akan mampu beraktivitas dengan lincah, tentunya anak tersebut lebih
berpotensi untuk mampu belajar dengan baik pula.
IQ anak lebih terkait erat dengan keberhasilan kerja anak di kemudian hari
daripada status sosial ekonomi keluarga di mana anak tumbuh, pendapatan
keluarga, sekolah anak yang hadir, atau variabel lain yang telah dipelajari
(Siegler, 2003: 314 ). Ringkasan Siegler tentang data empiris menggarisbawahi
kebutuhan untuk memahami konstruk intelejensi yang kompleks dan
kontribusinya terhadap aspek perkembangan normal dan patologis.
Pertanyaan paling mendasar melibatkan sifat kecerdasan. Definisi kerja
kecerdasan kita adalah “kognisi yang terdiri dari pengetahuan indrawi, perseptual,
asosiatif dan relasional” (Day, 2004). Hipotesis tentang komponen kecerdasan
berkisar dari satu kompetensi tunggal yang mempengaruhi hampir semua yang
kita lakukan (dan bahwa kita masing-masing memiliki tingkat yang lebih besar
atau lebih kecil), ke koleksi unik bakat dan keterampilan tertentu yang
menunjukkan sedikit tumpang tindih, ke set hierarkis terorganisir kemampuan
umum dan khusus. Kebanyakan ahli teori setuju bahwa kecerdasan melibatkan
kinerja tugas-tugas mental dasar, termasuk memahami lingkungan, komunikasi
dan bahasa, dan tugas tingkat tinggi seperti penalaran, pemecahan masalah, dan
perencanaan (Birney & Sternberg, 2006). Meskipun model tradisional
menekankan pada komponen atau kapasitas kecerdasan yang terkait dengan hasil
akademik, pendidikan, dan pekerjaan (yaitu, kemampuan verbal dan matematika),
model ini juga dapat mencakup kapasitas untuk musik, seni, mekanik, dan
31
hubungan (Siegler, 2003). Selain komponen-komponen ini, mekanisme seperti
kecepatan (atau efisiensi) pengolahan mental dan memori kerja harus dicatat
dalam model fungsi intelektual (Anderson, 2001). Aspek motivasi seperti rasa
ingin tahu dan eksplorasi juga harus dipahami (Wentworth & Witryol, 2003).
Untuk memahami jalur yang diperlambat dan menyimpang untuk anak-anak
dengan keterbelakangan mental, kita harus menghargai perkembangan kognitif,
atau tren umum yang berkaitan dengan usia, dan perkembangan kecerdasan, atau
perbedaan individu yang diamati di antara anak-anak yang berkembang secara
normal di setiap usia. Sehubungan dengan perkembangan kognitif, dapat diterima
dengan baik bahwa ada kemajuan linear yang stabil dengan bertambahnya usia,
dengan reorganisasi sesekali, atau “lompatan perkembangan” yang secara
kualitatif berbeda (Hodapp & Zigler, 1995). Kemajuan ini tercermin baik dalam
konten kognitif dan proses kognitif (Barnett & Ceci, 2005). Misalnya, anak-anak
belajar dan mengingat lebih banyak informasi seiring dengan bertambahnya usia
mereka, tetapi mereka juga menjadi lebih cepat dan lebih efisien dalam
memanipulasi informasi itu: laju kemajuan lebih besar melalui tahun-tahun
prasekolah dan sekolah dasar, dan melambat selama masa remaja (Kail, 2003) .
Sehubungan dengan perkembangan intelektual, ada munculnya fungsi intelektual
secara umum, serta pola-pola spesifik dari kekakuan dan kelemahan dalam kedua
komponen dan mekanisme, tercermin dalam perbedaan individu dalam berbagai
domain intelektual (Birney & Sternberg, 2006). Pola-pola perbedaan individu ini
tampak stabil secara nyata dari usia 4 atau 5 tahun sampai dewasa, dengan
pertumbuhan dan penurunan yang diamati selama masa hidup (Siegler, 2003).
32
Sensory integrasi sebagai salah satu bentuk terapi okupasi
dan treatment pada anak berkebutuhan khusus yang juga seringkali digunakan
sebagai cara untuk melakukan upaya perbaikan, baik untuk perbaikan gangguan
perkembangan atau tumbuh kembang atau gangguan belajar, gangguan interaksi
sosial, maupun perilaku lainnya. Sensori Integrasi merupakan suatu proses
mengenal, mengubah, membedakan sensasi dari sistem sensori untuk
menghasilkan suatu respon berupa “perilaku adaptif bertujuan”. Terapi Sensori
integrasi menekankan stimulasi pada tiga indera utama, yaitu taktil, vestibular,
dan proprioseptif, ketiga sistem sensori ini memang tidak terlalu familiar
dibandingkan indera pengelihatan dan pendengaran, namun sistem ini sangat
penting karena membantu interpretasi dan respon anak terhadap lingkungan.
Dari beberapa penelitian yang terdahulu dan beberapa kajian teori di atas
dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita mengalami hambatan dalam segala
aktivitas kehidupannya sehari-hari, baik dalam bergerak, berkomunikasi dan
bersosialisasi, namun yang lebih menonjol adalah ketidakmampuannya dalam
menerima materi pelajaran yang bersifat akademik, oleh sebab itu peneliti ingin
mengembangkan kemampuan gerak dasar melalui aktivitas bermain yang
memiliki nilai edukasi, sehingga diharapkan tidak hanya dapat meningkatkan
kemampuan gerak dasarnya saja, tetapi juga kemampuan kognitif, afektif maupun
kemampuan berbahasa peserta didik Tunagrahita.
33
2.2 Kerangka Teoritis
2.2.1 Konsep Pengembangan Model
Model adalah representasi, formalisasi atau visualisasi. Model juga dapat
menunjukkan gambaran utuh dari sesuatu yang akan dikerjakan dan hasil yang
akan dicapai. Menurut Tangkudung (2012:60) model merupakan sebuah tiruan,
simulasi dari suatu kenyataan yang disusun dari elemen-elemen yang khusus dari
sejumlah fenomena yang dapat diselidiki oleh seseorang dan hal ini merupakan
isomorphs dari suatu bayangan/ gambaran yang diperoleh secara abstrak, yaitu
suatu proses mental pembuatan generalisasi dari contoh yang nyata (sama dengan
menggambarkan suasana pertandingan). Sebuah model biasanya menggambarkan
keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Model bisa dianggap sebagai suatu
upaya mengkonkretkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan
representasi dari variabel-variabel yang terdapat dalam teori tersebut.
Model juga dapat dipahami sebagai: (1) suatu tipe atau disain; (2) suatu
deskripsi atau analogi yang dipergunakan untuk membantu proses visualisasi
sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem asumsi-
asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan
secara matematis suatu obyek atau peristiwa; (4) suatu desain yang
disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang
disederhanakan; (5) deskripsi suatu sistem yang mungkin imajiner; (6) Penyajian
data diperkecil agar dapat menjelaskan, menunjukkan sifat bentuk aslinya
(Komaruddin, 2006: 175).
34
Model dapat diartikan sebagai suatu desain yang disederhanakan dari suatu
sistem kegiatan dan dapat mewakili sistem yang sesungguhnya. Model bisa
menjadi sarana untuk menerjemahkan teori ke dalam dunia kongkret untuk
aplikasi ke dalam praktek (model dari) dan bisa juga model menjadi sarana
memformulasikan teori berdasarkan temuan praktek (model untuk).
Kaitannya dengan pengembangan, pengembangan model dapat diartikan
sebagai upaya memperluas atau mewujudkan potensi, untuk membawa suatu
keadaan secara bertingkat kepada keadaan yang lebih lengkap, lebih besar atau
lebih baik. Pengembangan disini maksudnya diarahkan untuk menyempurnakan
suatu program yang telah atau sedang dilaksanakan menjadi program baru yang
lebih baik. Tangkudung (2012:7) mengatakan bahwa, penelitian pengembangan
merupakan penelitian yang dipergunakan untuk menciptakan produk baru dan
atau mengembangkan produk yang telah ada berdasarkan analisis kebutuhan yang
terdapat di lapangan (observasi, wawancara, kuesioner kebutuhan awal).
Pengembangan suatu model tidak dapat dipisahkan dari sebuah penelitian karena
penelitian bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang terjadi dengan
menjawabnya secara ilmiah. Ilmiah berarti sesuatu yang dibuat berdasarkan
kaidah keilmuan. Penelitian ilmiah adalah penyelidikan yang sistematis,
terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan dipandu
oleh teori dan hipotesis-hipotesis.
Dalam pengembangan model terdapat beberapa model yang sering
digunakan dalam penelitian pengembangan (Research and Development). Berikut
adalah beberapa model yang sering digunakan tersebut, diantaranya :
35
1) Model Pengembangan Perangkat Menurut Kemp
2) Model Pengembangan Intruksional (MPI)
3) Model Pengembangan Dick dan Carey
4) Model Pengembangan Instructional Development Institute (IDI)
5) Model Pengembangan ADDIE
6) Model Pengembangan ASSURE
7) Model Pengembangan 4D
8) Model Pengembangan Sugiyono
9) Model Pengembangan Borg and Gall
Dalam teknologi pembelajaran, deskripsi tentang prosedur dan langkah-
langkah penelitian pengembangan sudah banyak dikembangkan. Prosedur
penelitian pengembangan pada dasarnya terdiri dari dua tujuan utama, yaitu
mengembangkan produk, dan menguji keefektifan produk dalam mencapai tujuan.
Tujuan pertama disebut sebagai fungsi pengembang sedangkan tujuan kedua
disebut sebagai validitas. Dengan demikian, konsep penelitian dan pengembangan
lebih cepat dapat diartikan sebagai upaya pengembangan yang sekaligus disertai
dengan upaya validitasinya.
Pendekatan penelitian dan pengembangan menurut (Borg & Gall, 2007:
775) terdiri dari 10 tahapan, yaitu : “1) Research and information collecting, 2)
Planning, 3) Develop preminary form of product, 4) Preliminary field testing, 5)
Main product revision, 6) Main field testing, 7) Operational product revision, 8)
Operational field testing, 9) Final product revision, and 10) Dissemination and
36
implementation”. Tahapan pengembangan dapat kita lihat pada gambar 2.1 di
bawah ini:
Gambar 2.1 Instructional Design RnD
Sumber : Borg and Gall, 2007: 775
Jika kesepuluh langkah penelitian dan pengembangan diikuti dengan
benar, maka akan dapat menghasilkan suatu produk pendidikan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, langkah-langkah tersebut bukanlah hal baku
yang harus diikuti, langkah yang diambil bisa disesuaikan dengan kebutuhan
peneliti.
Berdasarkan teori-teori dan model-model yang telah dijelaskan di atas
maka yang dimaksud dengan konsep dalam pengembangan model adalah suatu
jenis penelitian yang bertujuan untuk memvalidasi dan mengembangkan suatu
produk atau menyempurnakan produk yang telah ada untuk kepentingan
pendidikan/ pembelajaran yang diawali dengan analisis kebutuhan dilanjutkan
37
dengan pengembangan produk, serta uji coba produk hingga meghasilkan produk
akhir.
Berangkat dari teori dan beberapa model yang telah dijelaskan maka
peneliti memilih rancangan model pengembangan dari Borg dan Gall, Adapun
alasan peneliti memilih model dari Borg dan Gall tersebut adalah sebagai berikut :
(1) mampu mengatasi kebutuhan nyata dan mendesak melalui pengembangan
solusi atas suatu masalah sembari menghasilkan pengetahuan yang bisa digunakan
di masa datang; (2) mampu menghasilkan suatu produk/ model yang memiliki
nilai validasi tinggi, karena melalui serangkaian uji coba lapangan dan divalidasi
oleh ahli; (3) mendorong proses inovasi/ model yang tiada henti sehingga
diharapkan akan selalu ditemukan model/ produk yang selalu aktual dengan
tuntutan kekinian; dan (4) merupakan penghubung antara penelitian yang bersifat
teoritis dan lapangan.
2.2.2 Konsep Model yang Dikembangkan
Gerak dasar merupakan modal utama bagi keberlanjutan kemampuan
gerak anak yang lebih kompleks sehingga dapat menunjang aktivitasnya sehari-
hari. Gerak dasar terdiri dari gerak lokomotor, non lokomotor, dan manipulatif. Di
sekolah guru berperan penting dalam memberikan pengalaman gerak dasar kepada
peserta didiknya, melalui pembelajaran Penjas tak terkecuali anak tunagrahita
yang mendapatkan pelayanan pendidikan di SLB C. Anak tunagrahita memiliki
keterbatasan dalam gerak, meskipun demikian anak tunagrahita hendaknya tetap
diberikan kesempatan yang cukup banyak untuk melakukan berbagai bentuk
38
gerakan agar mereka memperoleh pengalaman gerak yang dapat bermanfaat untuk
menjalani aktivitasnya sehari-hari.
Penjas adaptif merupakan sarana dalam rangka meningkatkan kemampuan
dan pengalaman gerak dasar anak tunagrahita. Program pembelajaran gerak dasar
untuk anak tunagrahita harus dirancang dan dilaksanakan secara tepat dan benar
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Materi yang diberikan oleh guru juga
tidak boleh disamakan dengan siswa regular karena kebutuhan anak tunagrahita
berbeda dengan anak normal sehingga materi harus disesuaikan dengan kebutuhan
anak tunagrahita. Sarana dan prasarana yang harus mendukung pembelajaran
Penjas adaptif juga harus diperhatikan, karena sarana dan prasarana sangat
membantu dalam proses pembelajaran Penjas adaptif, serta media yang digunakan
juga harus dibuat dengan kebutuhan anak tunagrahita. Pelaksanaan pembelajaran
gerak dasar dengan cara yang tidak tepat akan mempengaruhi perkembangan
anak, baik secara fisiologi ataupun psikologis. Sebagaimana dikatakan Abdul
Majid (2005: 24) bahwa pengembangan pembelajaran adalah suatu proses
mendesain pembelajaran secara logis dan sistematis dalam rangka untuk
menetapkan segala sesuatu yang akan dilaksanakan dalam proses kegiatan belajar
dengan memperhatikan potensi dan kompetensi siswa.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Fatma I Kerkej (2011),
permainan-permainan yang bersifat aktivitas fisik yang disajikan harus sesuai
dengan perkembangan peserta didik dan juga terstruktur agar memberikan hasil
yang baik terhadap keterampilan gerak dasar anak, mengingat peserta didik
dengan kategori tunagrahita pada saat melakukan gerak dasar gerakannya lambat,
39
refleknya pun juga lamban, tampak tidak harmonis, hal itu diakibatkan oleh
adanya gangguan dalam keseimbangan, koordinasi, konsentrasi dan persepsi,
sehingga untuk merencanakan aktivitas menangkap benda yang bergerak
membutuhkan waktu yang lama dibandingkan dengan non tunagrahita.
Konsep model yang dikembangkan dalam penelitian ini yaitu suatu
pengembangan untuk meningkatkan keterampilan gerak dasar anak tunagrahita
ringan. Pengembangan ini untuk mendukung proses belajar gerak yang lebih baik
bagi anak tunagrahita ringan yang berbasis pada kebutuhan gerak dan hidup
mereka. Pengembangan gerak dasar melalui aktivitas bermain dalam
pembelajaran penjas didasarkan pada beberapa asumsi yaitu: (1) pembelajaran
merupakan suatu proses belajar yang didampingi oleh guru untuk memperoleh
pengalaman belajar gerak dasar, (2) pembelajaran Penjas merupakan sarana bagi
anak untuk mempelajari dan meningkatkan kemampuan gerak dasar yang sudah
dimiliki, (3) pembelajaran yang disesuaikan kemampuan dan karakteristik anak
tunagrahita diharapkan dapat melatih motorik anak melalui gerakan dalam
permainan yang dikembangkan dan bertujuan untuk mengarahkan energi yang
berlebihan pada beberapa anak tunagrahita ringan yang memiliki karakteristik
hiperaktif agar lebih terarah dan efektif, membentuk sikap tubuh yang baik,
melatih konsentrasi dan fokus perhatian anak, mengenal pola hitungan, mengenal
huruf, mengenal bilangan, mengenal aktivitas sehari-hari, menanamkan rasa
percaya diri, serta melatih anak untuk mampu mengendalikan emosi, (4) Model
permainan yang dikembangkan lebih menerapkan tidak hanya berfokus pada
unsur motorik kasar, namun juga pada motorik halus, fleksibility, dan
40
berkolaborasi dengan materi pelajaran lain, sehingga melalui model permainan ini
dapat menstimulasi rasa percaya diri dan meningkatkan kemampuan beradaptasi
dengan lingkungan sosial anak (5) Model permainan yang dikembangkan ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan keterampilan
gerak dasar anak tunagrahita ringan, kemampuan kognitif, kesenangan dan fokus
perhatian, sehingga mengurangi ketergantungannya pada orang lain.
Penjas adaptif merupakan salah satu aspek dari seluruh proses pendidikan
secara keseluruhan. Penjas adaptif merupakan suatu sistem penyampaian layanan
yang bersifat menyeluruh dan dirancang untuk mengetahui, menemukan dan
memecahkan masalah dalam ranah psikomotor. Masalah psikomotor sebagai
akibat dari keterbatasan dalam kemampuan sensomotorik dan kemampuan belajar,
serta bermasalah dalam interaksi sosial dan tingkah laku, dengan demikian dapat
dipastikan bahwa peranan Penjas bagi ABK khususnya anak tunagrahita sangat
besar. Program pembelajaran Penjas di layanan pendidikan dalam hal ini SLB
harus disesuaikan dengan karakteristik kelainan anak dengan tujuan memberikan
kesempatan kepada anak yang memiliki kelainan dan hambatan dalam bergerak
serta dapat berpartisipasi dengan aman, sukses dan memperoleh kepuasan.
Dalam penelitian dan pengembangan ini, hasil akhir dari ide ini
dituangkan dalam bentuk buku pedoman pelaksanaan model disertai dengan video
pelaksanaan sembilan model aktivitas bermain untuk meningkatkan keterampilan
gerak dasar anak tunagrahita yang dikemas menggunakan media flashdisk. Model
yang dibuat oleh peneliti berisikan variasi model yang mudah, menarik,
menyenangkan dan memiliki nilai terapis bagi anak tunagrahita ringan, dengan
kata lain, unsur bermain dimasukkan dalam model ini, karena selain diharapkan
41
dapat membantu perkembangan fisik, intelektual, emosi, sosial secara optimal
juga mengurangi rasa bosan anak terhadap aktivitas fisik yang selama ini
dilakukan.
Menurut Somantri (2005:110) bahwa mempelajari bentuk-bentuk gerak
fungsional dapat memberikan dasar bagi semua keterampilan gerak yang lain.
Keterampilan gerak dasar sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup anak
tunagrahita. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan fisik dan motorik, salah satunya melalui permainan. Permainan
merupakan salah satu bentuk aktivitas gerak dalam Penjas. Penjas adalah proses
pendidikan melalui aktivitas jasmani, permainan atau olahraga yang terpilih untuk
mencapai tujuan pendidikan. Oleh sebab itu permainan atau bermain mempunyai
tugas dan tujuan yang sama dengan tugas dan tujuan Penjas.
2.2.3 Gerak Dasar
2.2.3.1 Pengertian Gerak Dasar
Menurut Department of Education Western Australia (2013:15), bahwa
keterampilan gerak dasar adalah pola gerakan yang melibatkan bagian-bagian
tubuh yang berbeda seperti kaki, lengan, batang dan kepala, dan termasuk
keterampilan seperti berjalan, melompat, menangkap, melempar, memukul dan
menyeimbangkan. Itu adalah gerakan dasar untuk menjadi pola gerak yang khusus
untuk keterampilan kompleks yang dapat digunakan dalam bermain, permainan,
olahraga, tari, senam, pendidikan luar ruangan dan kegiatan rekreasi.
Gerak dasar terdiri dari (1) body management skills : kemampuan
mengatur tubuh dalam bentuk gerakan. Contohnya adalah keseimbangan ststis dan
42
dinamis, bergulir, berhenti, membungkuk, peregangan, memutar, berayun dan
mendaki, (2) locomotor skill : kemampuan memindahkan tubuh ke segala arah
dari satu titik ke titik lain. Contohnya adalah: merangkak, berjalan, berlari,
melompat, melompat, berlari, melompat-lompat, menghindari, dan berenang dan
(3) object control skill: kemampuan mengendalikan alat/ objek. Contohnya
adalah: melempar, menangkap, menendang, memukul, memantul, dan dribbling
(Departement of Education Western Australia, 2013: 15).
Sedangkan menurut Bambang (2015) bahwa gerak dasar terdiri dari gerak
lokomotor, nonlokomotor dan manipulatif. Berikut adalah penjelasannya
2.2.3.1.1 Gerak lokomotor adalah aktivitas gerakan dengan cara memindahkan
tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Beberapa gerakan yang
termasuk pada gerakan lokomotor adalah :
(1) Melangkah, yaitu memindahkan tubuh dari satu tempat ke
tempat yang lain dengan menggerakkan salah satu kaki ke
depan, belakang, samping atau serong dengan diikuti kaki yang
satunya lagi.
(2) Berjalan, yaitu memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat
yang lain dengan melangkahkan kaki secara berulang-ulang dan
bergantian, dimana salah satu kaki pasti menginjak bumi.
(3) Berlari, yaitu mirip berjalan namun dengan jangkauan yang
lebih jauh dan ada waktu, dimana kedua kaki tidak menginjak
bumi.
43
(4) Melompat, yaitu memindahkan tubuh ke depan dengan
bertumpu pada salah satu kaki dan mendarat dengan kedua kaki.
(5) Meloncat, yaitu memindahkan tubuh ke depan atau ke atas
dengan bertumpu pada kedua kaki dan mendarat dengan kedua
kaki.
(6) Merangkak, yaitu menggerakkan tubuh dengan bertumpu pada
telapak tangan, kedua lutut dan kedua ujung kaki.
(7) Merayap, yaitu menggerakkan tubuh dengan bertumpu pada
telapak tangan sampai siku dan badan bagian depan mulai dari
dada sampai ujung kaki.
(8) Berjingkat, yaitu memindahkan tubuh ke depan dengan cara
bertumpu pada salah satu kaki baik kiri maupun kanan dan
mendarat dengan kaki yang sama.
(9) Berguling, yaitu memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat
lain dengan cara merebahkan diri lalu menggulingkan seluruh
badan ke kanan atau ke kiri.
2.2.3.1.2 Gerak nonlokomotor
Gerak nonlokomotor adalah aktivitas atau tindakan dengan tidak
memindahkan tubuh dari satu tempat ke tempat lain. Contoh gerakan
nonlokomotor adalah sebagai berikut :
(1) Gerakan-gerakan memutar tubuh atau bagian-bagian tubuh
(kepala, lengan, pinggang, kedua lutut, pergelangan kaki, dan
pergelangan tangan).
44
(2) Menekuk atau membungkukkan tubuh, seperti gerakan bangun
tidur (sit up), duduk dan membungkuk sambil memeluk dua
kaki, menelungkup, dan menarik ke atas kedua kaki, dada
sampai kepala.
(3) Latihan keseimbangan, seperti sikap lilin (berbaring telentang
dan kedua kaki dinaikkan lurus ke atas), gerak pesawat terbang
(salah satu kaki diangkat, kedua tangan direntangkan lalu
perlahan badan dibungkukkan).
2.2.3.1.3 Gerak manipulatif
Gerak manipulatif adalah aktivitas yang dilakukan tubuh dengan
bantuan alat. Contoh gerakan manipulatif adalah melempar, menangkap,
menggiring, menendang, memantulkan bola atau benda-benda lainnya.
2.2.3.2 Manfaat Keterampilan Gerak Dasar
Menurut Simcoe Muskoka District Health Unit dalam Bahtiar (2015)
bahwa gerak dasar bermanfaat terhadap berbagai aspek berikut ini, yaitu :
2.2.3.2.1 Manfaat perkembangan gerak untuk kesehatan anak
Perkembangan gerak memberikan beberapa manfaat untuk kesehatan
anak, antara lain: meningkatkan pertumbuhan otot, memperkuat
tulang, mempertahankan tekanan darah sehat, meningkatkan kinerja
jantung dan paru-paru, meingkatkan postur tubuh, meningkatkan
kebiasaan tidur yang baik, meningkatkan kebugaran dan tenaga,
45
mempertahankan berat badan yang ideal pada anak, dan mengenalkan
pola hidup sehat.
2.2.3.2.2 Manfaat perkembangan gerak pada perkembangan motorik anak
Perkembangan gerak memberikan beberapa manfaat pada
perkembangan motorik anak, antara lain: meningkatkan kekuatan otot,
kelentukan, keseimbangan dan koordinasi tubuh, meningkatkan
kinerja visual, meningkatkan kesadaran tubuh, dan mengembangkan
gerakan yang lebih komplek seperti berlari, melompat, melempar dan
lain-lain.
2.2.3.2.3 Manfaat perkembangan gerak pada perkembangan kognitif anak
Perkembangan gerak memberikan beberapa manfaat pada
perkembangan kognitif anak, antara lain: meningkatkan koneksi otak,
merangsang pembelajaran, mengembangkan kemampuan berbicara
dan berbahasa, meningkatkan daya ingat dan konsentasi,
meningkatkan kreativitas dan kemampuan mengatasi permasalahan,
meningkatkan pemikiran abstrak, serta mampu mengemukakan Ide.
2.2.3.2.4 Manfaat perkembangan gerak pada kemampuan sosial anak
Perkembangan gerak memberikan beberapa manfaat pada kemampuan
sosial anak, antara lain: mendorong untuk bekerjasama, mendorong
untuk berinteraksi sosial secara positif, mendorong jalinan
persahabatan, dan meningkatkan pembelajaran tentang konsekuensi
dari tingkah laku.
2.2.3.2.5 Manfaat perkembangan gerak pada perkembangan emosional anak
46
Perkembangan gerak memberikan beberapa manfaat pada
perkembangan emosional anak, antara lain: membangun kepercayaan
diri, meningkatkan rasa keberhasilan, mengatasi rasa cemas dan
depresi, meningkatkan kemampuan mengatasi tekanan, meningkatkan
ilmu disiplin dan kontrol diri, mengurangi kebiasaan agresif, dan
mampu mengemukakan perasaan dengan baik.
Dari penjelasan manfaat perkembangan gerak dasar di atas bahwa
pengenalan gerak dasar harus dipelajari sedini mungkin, sehingga pada masa
kanak-kanak anak telah menguasai beberapa gerak dasar, oleh sebab itu
dibutuhkan suatu program khusus yang harus dijalankan agar anak-anak
mendapatkan pengalaman dan penguasaan gerak dengan baik. Adapun rambu-
rambu yang harus dipenuhi dalam pembuatan program khusus tersebut adalah
sebagai berikut, seperti yang dikemukakan oleh Gallahue, dkk (2012: 145-146) :
2.2.3.3.1 Apa yang harus dilakukan?
(1) Berikan anak-anak program keterampilan gerak terstruktur setiap
hari dimana anda yang memimpin kegiatan ini.
(2) Ajarkan kompetensi keterampilan gerak dasar. Analisa level
perkembangan anak dan rencanakan kegiatan yang sesuai dengan
level perkembangan anak serta berikan banyak masukkan.
(3) Sediakan banyak waktu untuk anak bisa bermain bebas di
lingkungan yang meningkatkan gerak dasar.
(4) Ikut berpatisipasi dengan anak, mereka suka jika anda ikut aktif.
47
(5) Bantu anak memulai jalurnya untuk menjadi berkompetensi
secara motorik dan aktivitas fisik seumur hidup.
2.2.3.3.2 Program tersebut hendaknya memberi kesempatan yang luas untuk
bermain mengasah kemampuan motorik kasar anak secara langsung
atau tidak langsung.
2.2.3.3.3 Pengalaman gerak harus ditekankan pada eksplorasi gerak dan
aktivitas penyelesaian masalah untuk memaksimalkan kreativitas anak
dan keinginan untuk mengeskplorasi.
2.2.3.3.4 Tekanan harus diterapkan sesuai dengan perkembangan variasi
lokomotor dasar, manipulatif dan kemampuan stabilitas, meningkat
dari aktivitas yang sederhana hingga komplek agar anak usia dini siap
memasuki sekolah dasar.
2.2.3.3.5 Aktivitas tersebut mendorong fungsi perseptual-motorik
Gerak dasar merupakan dasar untuk mempelajari dan mengembangkan
berbagai keterampilan teknik dalam berolahraga dan aktivitas fisik seumur hidup.
Dengan demikian, jika kompetensi gerak dasar anak tidak dikembangkan, mereka
tidak berhasil menggunakan berbagai keterampilan olahraga dan permainan pada
usia kanak-kanak dan remaja mereka. Selanjutnya, hal inilah yang menjadikan
banyak anak-anak dan remaja tidak memilih dan berminat untuk ikut serta dan
berpatisipasi pada berbagai macam kegiatan yang membutuhkan keterampilan
fisik dalam permainan dan olahraga.
48
2.2.3.3 Belajar Gerak
Belajar gerak merupakan suatu proses belajar dengan tujuan untuk
meningkatkan berbagai keterampilan gerak yang optimal secara efektif dan
efisien. Magil (2011: 3) menyatakan bahwa :
“Motor learning is the study of the acquisition of motor skills, the
performance enhancement of learned or highly experienced motor skills,
or the reacquisition of skills that are difficult to perform or cannot be
performed because of injury, disease, and the like. Of interest are the
behavioral and/or neurological changes that occur as a person learns a
motor skill and variables that influence those changes”.
Artinya adalah belajar motorik merupakan studi tentang kemampuan
motorik, peningkatan kinerja dalam belajar keterampilan motorik untuk
meningkatkan pengalaman gerak, atau memperoleh kembali keterampilan yang
sulit untuk dilakukan atau tidak dapat dilakukan karena cedera, penyakit dan
sejenisnya. Hal menarik dalam proses tersebut adalah perubahan perilaku dan/atau
neurologis yang terjadi pada seseorang saat mempelajari keterampilan motorik
dan variabel lain yang mempengaruhi perubahan tersebut.
Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Edward (2011: 9-10) :
“Motor learning is the study of the processes involved in acquiring motor
skills and of the variables that promote or inhibit such acquisition. In defi
ning motor skills, we said that they are movement capacities that are
learned rather than gained through normal growth and
development………………… Many factors infl uence the learning of motor
skills, but it is common to classify them into three distinct categories. These
categories include the study of (1) the learner, (2) the skill to be learned,
and (3) the conditions under which the skill is learned. All three factors play
a signifi cant role in the acquisition of motor skills.”
Maksudnya adalah belajar motorik adalah suatu proses dalam memperoleh
keterampilan motorik. Dalam mempelajari keterampilan motorik ini melalui
pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Banyak faktor yang mempengaruhi
49
keterampilan motorik dan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu (1)
pelajar/subjeknya, (2) keterampilan yang akan dipelajari, dan (3) kondisi dimana
keterampilan yang dipelajari. Ketiga faktor tersebut memainkan peran penting
dalam meningkatkan kemampuan motorik. Seseorang membutuhkan proses dan
tahapan dalam mempelajari gerak sehingga menjadi gerak yang sempurna, efektif
dan efisien. Adapun tiga hal yang dapat diidentifikasi dalam tahapan belajar gerak
menurut Amung dan Yudha (200:83) yaitu; (1) tahap verbal atau kognitif, (2)
tahap motorik dan (3) tahap otomatisasi. Menurut Fitts and Posner’s dalam
Edward (2011: 251-255) bahwa tahap belajar gerak terdiri dari tiga tahap, yaitu :
2.2.3.3.1 Tahap Kognitif atau Cognitive Stage
“Fitts and Posner referred to this stage as cognitive because conscious
mental processes dominate early in learning. In this stage, learners are
almost totally dependent on declarative memory, and information is
consciously manipulated and rehearsed in formulating motor
commands. Learners quite literally attempt to “think” their way
through the performance of skills in this stage.”
Maksud dari tahap kognitif ini adalah tahap pemahaman konsep, yang
berarti bagaimana konsep-konsep harus dipahami lebih teliti.
2.2.3.3.2 Tahap Asosoatif atau Asosiative Stage
“In Fitts and Posner’s associative stage of learning, learners are no
longer wholly dependent on declarative memory. Some elements of skill
have been encoded into procedural memory form, even though others
remain under the control of declarative memory. As practice
progresses, however, more and more movement-related elements
become procedurally encoded. The need for every aspect of movement
to be controlled consciously is therefore gradually attenuated
throughout the associative stage of learning.”
Maksud dari tahap ini yaitu seseorang sudah tidak lagi bergantung pada
memori yang didapatnya akan tetapi pada tahap ini dengan pemahaman
50
yang didapat tersebut diimplementasikan sesuai dengan kemampuannya
masing-masing yang tentunya masih terdapat kesalahan gerak.
2.2.3.3.3 Tahap Otomatisasi atau Autonumous Stage
“In this stage, the underlying knowledge needed to perform skills has
been entirely transferred from declarative memory into procedural
memory. Learners no longer need to think about how to perform a skill.
In fact, over time, learners may even forget exactly how they perform a
skill, even though they can do it proficiently.”
Maksud dari tahap ini yaitu gerakan yang dihasilkan oleh anak
merupakan suatu gerakan yang otomatis. Hal ini karena telah diberikan
latihan yang berulang sehingga gerakan terlihat seakan-akan gerakan
tersebut dapat dilakukan tanpa dipikir lagi padahal hasil tersebut
didapat dari latihan yang kontinyu.
Perkembangan motorik kasar antara anak laki-laki dan anak perempuan
pada dasarnya sama, namun anak laki-laki cenderung lebih memperlihatkan
keaktifan motoriknya. Anak laki-laki akan melakukan gerakan seperti menendang,
melompat, atau berputar lebih banyak dibandingkan anak perempuan, tidak
mengherankan jika anak laki-laki akan lebih sering mengalami luka-luka pada
tubuhnya dibandingkan perempuan karena keaktifannya dalam bergerak.
Gerak motorik dibedakan juga dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Jenis kelamin anak berpengaruh terhadap perkembangan secara langsung dan
tidak langsung. Pengaruh secara langsung terjadi sebelum dan sesudah lahir, dan
pengaruh langsung pada perkembangan berasal dari kondisi hormon.
51
2.2.3 Anak Tunagrahita
2.2.3.1 Pengertian Anak Tunagrahita
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki
kemampuan intelektual di bawah rata-rata (Soetjiningsih, 2007: 103). Istilah-
istilah seperti mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental
defective, intellectual disabilities dan lain-lain digunakan dalam kepustakaan
bahasa asing. Di Indonesia tunagrahita disebut dengan istilah lemah pikiran,
terbelakang mental, bodoh atau dungu, pander, tolol, oligofrenia, mampu didik,
mampu latih, dan ketergantungan penuh (Kemis dan Ati Rosnawati, 2013: 9).
Wikasanti (2014: 12) Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk
menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata.
Kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally
retarded (retardasai mental), mental deficiency, mental defective, down syndrome
dan lain-lain. Tuna berarti merugi dan grahita berarti pikiran. Definisi menurut
peraturan Pemerintah RI nomor 72 tahun 1991, anak berkebutuhan khusus yang
mengalami retardasi mental disebut sebagai tunagrahita.
Retardasi mental, suatu gangguan Aksis II, didefinisikan dalam DSM-IV-
TR sebagai: (1) fungsi intelektual yang sangat di bawah rata-rata bersama dengan,
(2) kurangnya perilaku adaptif; dan (3) terjadi sebelum usia 18 tahun (Davison,
dkk 2006: 706). Menurut Armatas, V (2009) Mental retardation (MR) is a genetic
disorder mainfested in significantly below average overall intellectual functioning
and deficits in adaptive behaviour. Mental retardation is a particular state of
functioning that begins in childhood and is characterized by decreased
intelligence and adaptive skills and also is the most common developmental
52
disorder. Pernyataaan tersebut menyatakan bahwa keterbelakangan mental (MR)
adalah disebabkan oleh kelainan pada genetik yang berakibat secara signifikan
terhadap fungsi intelektual di bawah rata-rata sehingga berpengaruh pada perilaku
adaptif anak-anak. Keterbelakangan mental terjadi dalam keadaan tertentu yang
dimulai di masa kecil dan ditandai oleh penurunan kecerdasan dan keterampilan
adaptif dan juga adalah gangguan perkembangan yang paling umum.
Pengertian lain mengenai tunagrahita adalah (1) fungsi intelektual yang
lamban, yaitu IQ 70 ke bawah berdasarkan tes intelegensi baku, (2) kekurangan
dalam perilaku adaptif, dan (3) terjadi pada masa perkembangan yaitu antara masa
konsepsi hingga usia 18 tahun (Kemis dan Rosnawati, 2013: 10-11) pengertian ini
diperkuat lagi oleh R. Schalock, et. al (2007: 116) bahwa Intellectual disability is
characterized by significant limitations both in intellectual functioning and in
adaptive behavior as expressed in conceptual, social, and practical adaptive
skills. This disability originates before age 18 berarti bahwa, cacat intelektual
ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik dalam fungsi intelektual
maupun perilaku adaptif seperti yang diungkapkan dalam konseptual, sosial, dan
praktis keterampilan adaptif. Cacat ini sebelum usia 18.
Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa, anak
tunagrahita adalah anak yang belajar lebih lambat dari anak-anak lain pada usia
yang sama dan memiliki kesulitan dalam mempelajari berbagai keterampilan yang
dibutuhkan untuk hidup, mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan
lingkungan, kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak dengan kata
lain anak tunagrahia memiliki tingkat kecerdasan jauh di bawah anak normal
53
sehingga mereka sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah reguler
secara klasikal sehingga mereka membutuhkan layanan dan bimbingan khusus
yang disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik mereka. Kecerdasan jauh
di bawah normal ini diukur dari kecerdasan rata-rata anak sesuai dengan usia
biologis/ kronologis mereka.
2.2.3.2 Klasifikasi Anak Tunagrahita
Menurut Wikasanti (2014:15-17) berdasarkan gambar 2.2 kemampuan
mental anak tunagrahita terbagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu tunagrahita
ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat. Berdasarkan klasifikasinya,
setiap anak tunagrahita membutuhkan perlakuan dan dukungan yang berbeda-
beda sesuai dengan yang dibutuhkannya untuk dapat bertahan hidup di lingkungan
sosialnya.
2.2.3.2.1 Anak tunagrahita ringan (IQ 50-70)
Anak tunagrahita yang tergolong ringan, memiliki kemampuan untuk
dididik sebagaimana anak-anak normal. Mereka mampu mandiri,
mempelajari berbagai ketrampilan dan life skills, serta mampu belajar
sejumlah teori yang ringan dan bermanfaat bagi kehidupan keseharian.
Misalnya mempelajari bahasa dan berkomunikasi yang tepat,
matematika perhitungan sederhana, ilmu alam dan ekonomi, namun
untuk dapat membuat mereka paham dibutuhkan waktu yang cukup
lama dan guru/ pendidik yang sabar serta fokus pada beberapa anak
saja. Apabila diberi pembelajaran dan pendidikan secara konsisten,
54
maka anak tunagrahita ringan bisa mencapai usia perkembangan mental
setara dengan anak –anak reguler berusia 12 tahun. Sangat
dimungkinkan anak tunagrahitafringan ini untuk dapat mandiri, mencari
nafkah, bahkan memegang tanggung jawab dalam satu pekerjaan yang
telah tersususn secara sistematis masalah instruksi dan ketentuannya.
2.2.3.2.2 Anak tunagrahita sedang (IQ 30-50)
Anak tunagrahita yang tergolong pada klasifikasi sedang merupakan
anak-anak yang masih mampu dilatih untuk mandiri, memenuhi, dan
melakukan kebutuhannya sendiri. Misalnya mandi sendiri, makan
sendiri, berpakaian dan berhias, serta melakukan ketrampilan sederhana
seperti menyiram bunga, memberi makan hewan ternak dan
membersihkan kandangnya. Anak tunagrahita kondisi sedang ini
disebut juga golongan imbesil. Mereka masih dimungkinkan untuk
mampu mandiri dengan tetap dalam pengawasan orang lainyang siap
membantu apabila mereka membutuhkan bantuan.
Apabila dilatih secara konsisten dan tepat, maka golongan imbesil ini
bisa mencapai kecerdasan mental anak-anak usia 7 tahun. Peran
orangtua dan keluarga sangat dibutuhkan untuk menemani mereka
beradaptasi dan berlatih kemandirian. Fungsi terapis dan pendidik di
sekolah juga dibutuhkan meskipun anak hanya beberapa jam saja dalam
sehari bersama mereka.
55
Gambar 2.2 Klasifikasi Tunagrahita
Sumber: Wikasanti, 2014:15
2.2.3.2.3 Anak tunagrahita berat (IQ di bawah 30)
Anak tunagrahita yang digolongkan dalam klasifikasi berat, memiliki
tingkat intelegensi di bawah 30. Dengan tingkat intelegensi tersebut,
anak-anak yang biasa disebut dengan idiot ini sulit sekali untuk dilatih
apalagi dididik untuk belajar berbagai teori akademis. Perawatan
khusus dan keikhlasan dari orangtua dan keluarga sangat dibutuhkan
oleh mereka. Biasanya keadaan idiot ini dibarengi dengan berbagai
kelainan dan kelemahan dalam fungsi tubuh lainnya. Mereka perlu
perawatan khusus dan dibantu dalam setiap aktivitasnya. Untuk
bertahan hidup saja rasanya membutuhkan banyak bantuan dari
orangtua dan keluarga. Kecerdasan optimal yang dimiliki hanya setara
Bisa mencapai kecerdasan anak usia 12 tahun
Tunagrahita
Ringan (IQ 50-70)
Sedang (IQ 30-50)
Berat IQ <30
Bisa mencapai kecerdasan anak usia 7 tahun
Bisa mencapai kecerdasan anak usia 3 tahun
56
dengan anak usia 3 tahun. Jika mereka bisa berjalan dan membersihkan
diri sendiri hal tersebut sudah cukup baik bagi pencapaian stimulasi
yang bisa dilakukan.
2.2.3.3 Faktor Penyebab Tunagrahita
Pada saat ini hanya 25 persen dari jumlah penderita retardasai mental yang
penyebab utamanya dapat diidentifikasi. Penyebab spesifik yang dapat
diidentifikasi tersebut umumnya adalah penyebab biologis. Orang-orang yang
mengalami retardasi mental ringan atau sedang sejauh yang diketahui saat ini
mengalami kerusakan otak yang dapat diidentifikasi. Dan bila orang-orang yang
mengalami retardasi mental karena kerusakan biologis yang dapat diidentifikasi
terdapat dalam seluruh kelompok sosioekonomi, etnis, dan ras dengan persentase
yang sama, mereka yang mengalami retardasi ringan atau sedang jauh lebih
banyak berasal dari kelas sosioekonomi rendah, menunjukkan kemungkinan
bahwa kondisi kekurangan sosial tertentu merupakan faktor-faktor besar yang
meretardasi perkembangan intelektual dan behavioral mereka (Davison, dkk,
2006: 710).
Setiap anak adalah unik, demikian juga dengan anak tunagrahita. Anak-
anak tunagrahita merupakan individu yang utuh dan unik yang pada umumnya
juga memiliki potensi atau kekuatan dalam mengimbangi kelainan yang
disandangnya. Seseorang dapat mengalami ketunagrahitaan disebabkan oleh
karena adanya beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal
(lingkungan). Anak tunagrahita banyak jenisnya, ada yang disertai dengan buta
warna, disertai dengan kelainan bentuk badan, disertai dengan kepala panjang,
57
disertai dengan bau badan tertentu, dan sebagainya, namun ada pula yang tidak
disertai apa-apa. Penyebab ketunagrahitaan pada seseorang anak dapat
divisualisasikan melalui gambar 2.3 di bawah ini;
Gambar 2.3 Penyebab Tunagrahita
Wikasanti (2014: 13)
Menurut Davison (2006: 710) penyebab hendaya termasuk faktor - faktor
genetik, penyakit infeksi, kecelakaan dan bahaya lingkungan.
Genetis/
Keturunan
Kelainan pada kromosom 21 -> Down Syndrome.
Kelainan pada kromosom 15- > Patau’s Syndrome.
Trauma dan Zat
Radioaktif
Kelahiran yang sulit dan menggunakan tang.
Penyinaran/ sinar X saat kehamilan.
Kelahiran bermasalah, kejang dan nafas pendek.
Lingkungan
Kurangnya keasadaran orangtua akan pendidikan dan
kesehatan anak.
Kurangnya nutrisi/ gizi.
Kurangnya stimulasi.
Gangguan
metabolisme dan
gizi
Gangguan metabolisme asam amino dan enzym/
Phenylketonuria.
Kekurangan Tyroxin/ Cretinisme.
Infeksi keracunan dan kehamilan.
Campak Jerman/ Rubella.
Sphilis bawaan dalam janin.
Bayi prematur yang mengalami kekurangan aliran
darah pada plasenta/ Syndrome Gradivity.
58
2.2.3.3.1 Anomali genetik atau kromosom,
Abnormalitas kromosom terjadi pada kurang dari 5 persen dari seluruh
kehamilan yang dapat bertahan. Mayoritas kehamilan tersebut berakhir
dengan aborsi spontan atau keguguran. Secara keseluruhan sekitar
separuh dari 1 persen bayi yang dilahirkan mengalami abnormalitas
kromosom. Sebagian bayi-bayi tersebut meninggal tidak lama setelah
dilahirkan, diantara bayi yang dapat bertahan hidup, mayoritas
mengalami Sindroma Down (DS) atau trisomi 21. Sindroma Down
terjadi pada sekitar satu dalam 800 hingga 1200 kelahiran yang selamat.
Kelainan kromosom lainnya yang menyebabkan retardasi mental adalah
sindrom X rapuh dimana kromosom X pecah menjadi dua. X rapuh
merupakan penyebab utama kedua setelah DS dari retardasi mental
yang berbasis kromosom.
2.2.3.3.2 Penyakit gen resesif
Ada beberapa ratus penyakit gen resesif yang telah teridentifikasi dan
banyak diantaranya menyebabkan retardasi mental, salah satunya
adalah fenilketonuria (PKU). PKU bayi yang saat lahir normal, tidak
lama kemudian mengalami defisiensi enzim hati, yaitu fenilalanin
hidrolakse. PKU terjadi sekitar 1 dalam 14.000 kelahiran selamat, dan
diperkirakan 1 diantara 70 orang adalah pembawa gen resesif.
2.2.3.3.3 Penyakit infeksi
Ketika berada dalam rahim janin mengalami peningkatan risiko
retardasi mental yang diakibatkan penyakit infeksi yang dialami ibu
59
hamil seperti rubella (campak Jerman). Konsekuensi penyakit ini
paling berbahaya pada trisemester pertama ketika janin belum memiliki
respons imunologis yang dapat dideteksi. Selain itu infeksi kehamilan
yang dapat menyebabkan cacat fisik dan retardasi mental yaitu;
citomegalovirus, toksoplasmosis, rubella, herpes simpleks, dan sifilis.
2.2.3.3.4 Kecelakaan
Kecelakaan merupakan penyebab utamaberbagai disabilitas parah dan
kematian pada anak-anak berusia di atas 1 tahun. Jatuh, nyaris
tenggelam, kecelakaan mobil merupakan beberapa kecelakaan yang
paling umum terjadi di masa kanak-kanak dan dapat menyebabkan
berbagai cedera otak dalam tingkat yang bervariasi dan retardasi
mental.
2.2.3.3.5 Bahaya Lingkungan
Beberapa polutan lingkungan dapat menyebabkan retardasi mental
salah satunya adalah merkuri, yang masuk ke dalam tubuh dengan
mengonsumsi ikan yang mengandung merkuri. Polutan yang lain adalah
timah, yang terdapat dalam cat yang mengandung timah, kabut asap,
dan asap buangan kendaraan bermotor yang ditimbulkan akibat
pembakaran bensin bertimbal.
Menurut Cherney, Fulker, & Hewit, dalam Paritz, (2011: 104) ada banyak
bukti bahwa baik hereditas maupun lingkungan berkontribusi pada perkembangan
kognitif dan intelektual anak-anak. Data dari berbagai studi kembar, keluarga dan
60
adopsi menunjukkan bahwa gen mempengaruhi sekitar 50% variasi kecerdasan
(dengan overlaping efek genetik pada kemampuan kognitif tertentu), dan bahwa
pengaruh genetik meningkat seiring usia (Alarcon, Plomin, fulker, corely, & De
Fries, 1999), itu adalah "kontribusi genetik terhadap kecerdasan menjadi lebih
besar, tidak lebih kecil, ketika anak-anak berkembang" (Siegler, 2003: 314).
Lingkungan yang segera dan lebih besar anak juga memiliki dampak yang cukup
besar (Dickens & Flyn, 2001). Dari keduanya, stimulasi dan daya tanggap
orangtua dikaitkan dengan fungsi intelektual afeksi yang spesifik dan tidak
langsung (Bornstein & Tamis Le-Monda 1997). Faktor seperti pendidikan orang
tua, minat orang tua dalam akreditasi, dan kepercayaan orang tua tentang
kecerdasan anak-anak telah dikaitkan dengan hasil yang lebih positif (Nevo & Bin
Khader, 1995).
2.2.3.4 Karakteristik Anak Tunagrahita
Anak berkembang bukan karena faktor genetik saja, tetapi juga karena
stimulus lingkungan, ketika stimulus lingkungan terjadi, dan masuk ke dalam
otak, kemudian diproses sedemikian rupa oleh sistem syaraf pusat yang akan
menghasilkan sebuah sensasi dan sensasi tersebut yang mendorong agar indera-
indera anak bergerak memberikan respon pada stimulus tadi. Semakin banyak
stimulus yang diberikan, semakin banyak anak mendapatkan pengalaman dan
setiap stimulus akan menghasilkan respon yang berbeda, namun berbeda dengan
anak yang memiliki hambatan intelektual atau yang biasa disebut tunagrahita,
anak-anak dengan hambatan intelektual akan memiliki keterbatasan dalam
61
kemampuan berpikir, termasuk kemampuan untuk berpikir (mengerjakan sesuatu)
dan mengingatnya.
Anak tunagrahita akan mengalami kesulitan dengan perhatian dan
pengorganisasian informasi, serta kesulitan melihat bagaimana keadaan atau
bagaimana kejadian berhubungan satu sama lain, hal ini dikarenakan karena
kemampuan mental (mental age) yang dimilikinya selalu lebih rendah daripada
usia kalendernya (chronological calender). Pendapat di atas diperkuat lagi oleh
Kennedy dalam Sumaryanti dkk (2010: 31) karakteristik anak tunagrahita
mengalami keterbatasan dalam prilaku sosial, konsep diri, proses belajar,
koordinasi motorik, keterampilan berkomunikasi, dan kemampuan dalam
mengikuti instruksi. Menurut Robinson dalam Sumaryanti dkk (2010: 31)
mengatakan bahwa anak tunagrahita mengalami kesulitan untuk mengolah
informasi, menyimpan, dan menggunakan kembali informasi yang sebelumnya
sudah disimpan, rentang perhatian sempit, dan kesulitan dalam menyelesaikan
masalah.
Adapun karakteristik umum anak tunagrahita yang dapat kita pelajari
menurut Soemantri (2010: 105-106) sebagai berikut :
2.2.3.4.1 Keterbatasan Intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi yang komplek yang dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan keterampilan-
keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-
situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir
abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-
62
kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan dan kemampuan untuk
merencanakan masa depan. Anak tunagrahita memiliki kekurangan
dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tungrahita terutama
yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan
membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa
pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.
2.2.3.4.2 Keterbatasan Sosial
Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga
memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat.
Oleh karena itu, mereka memerlukan orang lain. Anak tunagrahita
cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya,
ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu
memikul tanggung jawab sosial secara bijaksana, sehingga mereka
harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi
dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
2.2.3.4.3 Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu yang lebih lama untuk
menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka
memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang rutin
dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari. Anak tunagrahita
tidak dapat menghadapi sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka
waktu yang lama. Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam
penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi
63
akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang
berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itu mereka
membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya. Selain itu
perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang.
Selain itu, anak tunagrahita kurang mampu untuk mempertimbangkan
sesuatu, membedakan antara yang baik dan buruk, dan membedakan yang benar
dan salah. Ini semua karena kemampuannya terbatas sehingga anak tunagrahita
tidak dapat membayangkan terlebih dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan.
Karakteristik anak tunagrahita menurut Delphie dalam Wikasanti (2014:
24) meliputi hal-hal sebagi berikut:
2.2.3.4.4. 1 Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama
seperti anak-anak yang tidak menyandang tunagrahita.
2.2.3.4.4.2 Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali
melakukan kesalahan (expectancy for failure).
2.2.3.4.4.3 Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya
mengatasi kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan.
2.2.3.4.4.4 Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri.
2.2.3.4.4.5 Mempunyai masalah yang berkaitan dengan perilaku sosial (Social
behavioral).
2.2.3.4.4.6 Mempunyai permasalahan berkaitan dengan karakteristik belajar.
2.2.3.4.4.7 Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan
2.2.3.4.4.8 Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik.
64
2.2.3.4.4.9 Kurang mampu untuk berkomunikasi.
2.2.3.4.4.10 Mempunyai kelainan pada sensor dan gerak
2.2.3.4.4.11 Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatri, adanya gejala-gejala
depresif.
Adapun ciri-ciri fisik anak tunagrahita, terutama tunagrahita sedang dan
berat yang berbeda dengan anak normal lainnya menurut wikasanti (2014: 25-27)
adalah sebagai berikut:
2.2.3.4.5.1 Memiliki sendi yang lebar dan mudah digerakkan.
Sendi-sendi yang ada pada tubuh anak tunagrahita terasa lentur dan
mudah digerakkan. Siku, pinggul, dan pergelangan kaki mereka
lentur, sehingga terlihat seperti terkulai. Dengan sendi yang lentur
seperti ini maka anak tunagrahita sulit untuk dapat berdiri dan duduk
dengan tegap. Tubuh mereka pasti seringkali terkulai dan pada
akhirnya terjatuh saat sudah tak kuat lagi menopang tubuhnya.
2.2.3.4.5.2 Mata anak nampak penuh dengan lipatan kulit terutama di sudut
kelopak mata . Ciri fisik kedua dari anak tunagrahita adalah adanya
lipatan kulit yang menebal, berkerut-kerut di sudut mata mereka.
Lipatan kulit ini nampak seperti gelambir dan kadangkala berwarna
lebih gelap daripada warna kulit di sekitarnya. Dampak dari lipatan
kulit ini seringkalimembuat penglihatananak tunagrahita kurang
begitu jelas dan terarah sehingga semakin menambah kelemahan
mereka.
65
2.2.3.4.5.3 Memiliki postur tubuh yang pendek dengan kepala kecil.
Penyandang tunagrahita jarang sekali memiliki tubuh yang tinggi
tegap. Postur yang pendek dengan kepala kecil menjadi penanda
lemahnya kecerdasan mental si anak. Postur ini yang membuat
anak tunagrahita terkendala secara fisik dan mental untuk belajar
hal-hal baru. Pada klasifikasi sedang dan ringan, mungkin hal ini
bisa diatasi dengan banyak latihandan pembelajaran sesuai porsi
mereka. Namun pada klasifikasi erat/idiot pembelajaran dan
pelatihan kemandirian pun sulit untuk dilakukan.
2.2.3.4.5.4 Jarak antara kedua mata jarang dengan dahi dan hidung yang rata.
Ciri fisik ini seringkali ditemui pada anak tunagrahita, yaitu jarak
antara kedua mata yang lebar/ jarang dengan dahi dan hidung rata.
Keadaan ini membuat beberapa anak tunagrahita memliki wajah
hampir mirip satu dengan yang lainnya.
2.2.3.4.5.5 Bagian belakang kepala lebar dan datar.
Apabila dilihat dari belakang, kepala anak tunagrahita nampak
datar melebar/ pipih. Keadaan ini membuat topi yang dikenakan
seringkali kebesaran di bagian belakangnya.
2.2.3.4.5.6 Mata miring atau juling.
Kurang mampunya anak tunagrahita untuk memandang dengan
fokus disebabkan oleh kondisi mata yang miring atau sedikit juling.
Kadangkala kita merasa diabaikan saat mereka bicara padahal
sebenarnya mereka sudah mencoba untuk memperhatikan kita.
66
2.2.3.4.5.7 Rambut jarang dan tipis.
Kurang sehatnya anak tunagrahita juga ditandai dengan rambut
yang jarang dan memerah / terkena sinar matahari. Sedikit saja
mereka berjemur pasti rambutnya mudah merah karena pada
dasarnya rambut mereka memang tak sehat.
2.2.3.4.5.8 Berwajah datar dengan telinga rendah.
Kemiripan anak tunagrahita juga ditandai satu sama lain juga
nampak dari wajah yang rata-rata datar dengan daun telinga yang
rendah.
2.2.3.4.5.9 Memiliki jari-jari yang masuk ke dalam
Jika kita memperhatikan sulitnya anak tunagrahita untuk berjalan
dengan tegap dan normal, hal ini terlebih karena kondisi kaki
mereka yang berbeda . jari-jari kakinya masuk ke dalam sehingga
sulit bagi telapak kaki untuk menapak dengan tepat di atas pijakan
dan sulit pula untuk berjalan dengan tegap.
2.2.3.5 Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita
Pertanyaan paling mendasar melibatkan sifat kecerdasan. Definisi kerja
kecerdasan kita adalah “kognisi yang terdiri dari pengetahuan indrawi, perseptual,
asosiatif dan relasional” (Day, 2004). Pendapat yang sama dikemukakan oleh
Suppes dalam Wikasanti (2014: 27) menjelaskan bahwa kognisi merupakan
bidang yang luas yang meliputi semua keterampilan akademik yang berhubungan
dengan wilayah persepsi. Anak tunagrahita akan mengalami perkembangan
67
kognitif yang berbeda dengan perkembangan kognitif anak-anak pada umumnya.
Perbedaan ini terletak pada perbedaan keterampilan dan bagaimana
mengembangkan wilayah persepsinya.
Messen, Conger, dan Kagan dalam Wikasanti (2014: 28) menjelaskan
bahwa kognisi paling sedikit terdiri dari lima proses, yaitu seperti gambar 2.4
halaman selanjutnya.
Gambar 2.4 Proses Kognisi
Wikasanti (2014: 28)
2.2.3.5.1 Persepsi
Merupakan cara bagaimana seseorang memandang dan mengartikan
satu hal/obyek sesuai dengan pemahaman yang bisa dijangkaunya.
Persepsi diperoleh dari hasil penginderaan dari stimulasi/ rangsangan
Persepsi
Memori Penalaran
Evaluasi
Pemunculan Ide
Proses Kognisi
68
yang didapat oleh seseorang. Setelah menerima stimulus tertentu maka
seseorang mengartikan stimulus tersebut menurut persepsi mereka.
Hal-hal yang mempengaruhi persepsi:
2.2.3.5.1.1 Faktor Internal
Merupakan faktor yang datang dari dalam seseorang, yang termasuk
dalam faktor internal antara lain:
(a) Faktor fisiologis, berhubungan dengan pancaindera seseorang
yang menginterpretasi lingkungan sekitarnya. Pancaindera anak
tunagrahita yang lemah menyebabkan persepsi mereka terhadap
suatu obyek/ benda juga lemah.
(b) Fokus, berhubungan dengan kapasitas seseorang untuk
memperhatikan suatu stimulus dan mengartikannya sesuai
dengan persepsi masing-masing. Anak tunagrahita memiliki
energi yang berbeda dengan anak lainnya sehingga hal ini
mempengaruhi fokus persepsi mereka.
(c) Minat, berhubungan dengan kesukaaan dan apa yang diinginkan
oleh seseorang terhadap satu stimulus yang diperolehnya. Anak
tunagrahita memiliki minat yang rendah terhadap satu obyek/
benda kecuali apabila ada pendamping yang mengarahkan
mereka bahwa stimulus tersebut menyenangkan dan bisa
diarahkan menjadi satu hal yang bermanfaat.
69
(d) Kebutuhan, merupakan apa yang dibutuhkan seseorang terhadap
suatu stimulus yang diterimanya. Anak tunagrahita lebih
memandang terhadap sebuah stimulus yang diterimanya. Anak
tunagrahita lebih memandang pada stimulus yang berhubungan
dengan pertolongan bagi aktifitasnyadan kasih sayang yang
mereka butuhkan untuk membantu aktifitas kesehariannya.
(e) Memori dan pengalaman, berhubungan dengan kejadian masa
lampau yang memengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu
stimulus/ obyek yang diberikan. Apabila yang ada dalam ingatan
adalah memori baik maka stimulus serupa akan direspon dengan
baik/ positif sebaliknya apabila mereka memiliki pengalaman
yang buruk maka stimulus serupa dipersepsi dengan buruk pula.
(f) Mood, merupakan suasana hati seseorang saat sebuah stimulus
datang atau diberikan pada mereka. Suasana hati ini berkaitan
dengan memori masa lampau dan kebutuhan masa kini.
2.2.3.5.1.2 Faktor Eksternal
Merupakan faktor yang memengaruhi persepsi seseorang dan
datangnya dari luar diri mereka. Faktor eksternal ini memiliki
pengaruh yang cukup kuat karena pada dasarnya manusia adalah
makhluk sosial yang memperhatikan pendapat dan pandangan
lingkungan sekitarnya dari berbagai hal. Yang termasuk dalam faktor
eksternal antara lain:
70
(a) Ukuran stimulus menurut seseorang yang
mempersepsikannya.
Semakin besar dan jauh jangkauan sebuah stimulus dari
pemikiran seseorang maka sulit bagi mereka untuk
mempersepsi dengan tepat. Misalnya saat berbincang
dengan anak tnagrahita usahakan untuk menggunakan
bahasa yang sederhana, sebab penggunaan bahasa yang
rumit akan membuat mereka bingung dan sulit
mengartikannya.
(b) Warna, keunikan , dan kekontrasan stimulus yang diberikan.
Warna dan cahaya yang dilihat oleh seseorang turut
memengaruhi persepsi mereka tentang hal tersebut. Bagi
anak tunagrahita stimulus yang memiliki visual yang bagus
seperti warna cerah memiliki daya tarik tersendiri sehingga
memungkinkan mereka untuk lebih mudah memahami
maksudnya.
(c) Intensitas stimulus.
Sering atau tidaknya stimulus yang diberikan membuat
seseorang mudah/ sulit dalam mempersepsikannya.
Stimulus yang sering didapat memungkinkan anak
tunagrahita untuk lebih mudah mempelajari dan
mempersepsikannya dibandingkan dengan stimulus yang
jarang didapatkannya.
71
(d) Gerakan
Adanya gerak dari sebuah obyek/ benda menumbuhkan
daya tarik sehingga memengaruhi persepsi sesorang
terhadap satu stimulus yang diberikan tersebut.
2.2.3.5.2 Memori
Merupakan satu proses umum yang disebut sebagai ingatan seseorang
terhadap suatu hal/ objek/benda tertentu. Setiap orang memiliki
kemampuan tersendiri untuk mengingat informasi yang masuk ke
dalam otaknya. Hal lain yang memengaruhi memori/daya ingat adalah
proses mengingat, ketertarikan seseorang terhadap satu hal, dan letak
indormasi yang didapatkan di dalam memori seseorang. Untuk lebih
jelas lagi mengenai prose memori pada diri seseorang dapat dijelaskan
pada gambar 2. 5 di bawah ini;
Gambar 2.5 Proses Memori
Wikasanti (2014: 31)
2.2.3.5.2.1 Proses pertama dari memori adalah penerimaan, hal ini berkaitan
dengan stimulus yang diterima oleh seseorang baik secara bentuk,
Penerimaan Penyimpanan Pemanggilan
(Recall)
72
ciri khas, warna, ukuran, rasa, dan lainnya. Penerimaan ini berkaitan
dengan persepsi seseorang tersebut.
2.2.3.5.2.2 Proses kedua dalah penyimpanan, apa yang telah diterima oleh
pancaindera disimpan di dalam ingatan seseorang dan inilah tahap
penyimpanan dari sebuah memori.
2.2.3.5.2.3 Proses ketiga adalah pemanggilan kembali / recall, merupakan cara
untuk mengingat suatu hal/ obyek yang telah diingat dan disimpan
dalam memori seseorang untuk digunakan sebagaimana kebutuhan
mereka.
2.2.3.5.3 Pemunculan ide-ide
Pemunculan sebuah ide merupakan buah kreatifitas dari seseorang
terhadap apa yang telah diketahui dan dipelajari sebelumnya.
Pemunculan ide ini sulit dilakukan oleh anak tunagrahita. Mereka
sebatas mampu menjalankan instruksi dan seringkali membutuhkan
waktu yang lama untuk memunculkan sebuah ide/ kreatifitas. Salah
satu hal yang berhubungan dengan kognisi dan sulit dimiliki oleh
tunagrahita adalah pemunculan ide tersebut.
2.2.3.5.4 Evaluasi
Adanya evaluasi terhadap apa yang telah dipelajari berkaitan erat
dengan proses kognisi seseorang. Seperti halnya trial eror, seseorang
akan mampu belajar dari pengalaman mas lalunya. Apabila
73
pengalaman tersebut bersifat baik dan mendukung tentu dia akan
mengulangi tindakan itu kembali, berbeda jika pengalaman
menunjukkan hal buruk maka seseorang cenderung melupakannya.
Bagi anak tunagrahita, evaluasi dalam proses kognisi ini tetap ada
sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Meskipun tidak utuh,
namun evaluasi tetap tumbuh karena insting mereka tentang hal-hal
yang bisa membahayakan dan mana hal-hal yang bisa membahagiakan
mereka.
2.2.3.5.5 Penalaran
Proses menalar sulit untuk dijumpai pada anak-anak tunagrahita.
Fungsi kognisi mereka tidak menjangkau proses menalar selain hanya
melakukan kegiatan yang telah diajarkan dan membawa dampak
positif bagi mereka saja. Jika anak berhubungan dan diasuh oleh
seseorang yang ingin berbuat jahat pada orang lai misalnya, maka bisa
saja anak diperalat untuk mencapai tujuannya tersebut.
Anak tunagrahita menunujukkan keterbatasan dalam pengetahuan seperti
yang digambarkan pada situasi tes. Kognisi meliputi proses dimana pengetahuan
itu diperoleh, disimpan dan dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan
intelektual maka dapat diketahui pada satu atau beberapa proses kognitif seperti
penjelasan yang dikemukakan oleh Mussen (persepsi, memori, evaluasi, dan
penalaran). Berdasarkan uraian sebelumnya dapat diketahui bahwa kemampuan
74
kognitif anak tunagrahita yaitu mampu mengetahui atau menyadari situasi, benda-
benda, dan orang di sekitarnya, tetapi merekatidak mampu memahami keberadaan
dirinya. Hal tersebut disebabkan oleh faktor bahasa yang mengakibatkan mereka
sulit untuk mengatakan atau menyampaikan keadaan yang diinginkannya. Mereka
kesulitan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, tidak mampu menbuat
suatu rencana bagi dirinya, dan anak tersebut pun sulit untuk memilih alternatif
pilihan yang berbeda. mereka sulit sekali untuk menulis simbol-angka, sehingga
secara umum mereka kesulitan dalam bidang membaca, menulis dan berhitung.
Kemampuan belajar anak tunagrahita terbatas. Mereka mengalami kesulitan yang
berarti dalam pengetahuan yang bersifat konsep dan dalam menempatkan dirinya
dengan kedaan situasi lingkungan.
2.2.3.6 Perkembangan Motorik Anak Tunagrahita
Seorang manusia tidak diciptakan langsung menjadi dewasa, melainkan
dengan mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan mulai dari masa
konsepsi hingga masa kelahiran, yang berlanjut pada masa perkembangan bayi,
anak-anak, remaja dan dewasa. Pertumbuhan fisik ditandai dengan perubahan
ukuran organ fisik secara eksternal dan internal. Perkembangan eksternal
(meliputi tangan, kaki, badan) yang semakin membesar,melebar, memanjang atau
semakin tinggi, sedangkan perkembangan secara internal ditandai dengan makin
matangnya sistem syaraf dan jaringan sel-sel yang makin kompleks, sehingga
mampu meningkatkan kapasitas fungsi hormon, kelenjar maupun keterampilan
motoriknya. Keterampilan motorik, yang mana perkembangan psikomotorik
75
merupakan modal dasar bagi kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh seorang
bayi yakni adanya perubahan dari gerakan-gerakan reflek (terutama reflek
sementara) berubah menjadi gerakan motorik yang disadari.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi perkembangan motorik
seseorang diantaranya faktor genetik, gizi, pengasuhan serta perbedaan latar
budaya. Rendahnya berat badan lahir atau malnutrisi pada bayi juga
mempengaruhi perkembangan motorik anak. Menurut Hildayani, dkk (2008:8)
secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motorik anak
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penyediaan makanan yang bergizi dan
pemberian kesempatan serta bimbingan pada anak untuk bermain dan berlatih.
Menurut Gleitman dalam Muhibbin (2003:13) bahwa anak yang baru lahir
sudah mempunyai bekal sebagai dasar perkembangan kehidupannya selama di
dunia, yaitu (1) bekal kapasitas motor (jasmani), dan (2) bekal kapasitas panca
indera (sensori). Muhibbin (2003:18-21) mengatakan bahwa “selain dua macam
bekal bawaan tersebut ada empat faktor lain yang mendorong keterampilan
motorik anak yang memungkinkan campur tangan orang tua dan guru, yaitu : (1)
pertumbuhan dan perkembangan sistem saraf, (2) pertumbuhan otot-otot, (3)
perkembangan dan pertumbuhan fungsi kelenjar endokrin, dan (4) perubahan
striktur jasmani.
Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan motorik
seorang anak sehingga berdampak pada kemampuan gerak seorang anak untuk
aktivitasnya sehari-hari. Faktor tersebut diantaranya adalah faktor genetik, tinggi
76
rendahnya IQ, rendahnya berat badan lahir atau malnutrisi pada bayi, kematangan
saraf, rangsangan dari lingkungan sekitar, pengasuhan serta perbedaan latar
budaya juga dapat menggangu perkembangan motorik anak.
Karakteristik motorik anak tunagrahita dapat dilihat dari kemampuan
motoriknya. Kemampuan motorik anak tunagrahita tentunya berbeda dengan
kemampuan motorik yang dimiliki anak normal. Kemampuan motorik sering
tergambar dalam kemampuan anak menyelesaikan tugas motorik tertentu.
Kemampuan motorik terbagi dua yaitu motorik kasar dan motorik halus.
Motorik kasar adalah aktivitas dengan menggunakan otot-otot besar yang meliputi
gerak dasar lokomotor, nonlokomotor, dan manipulatif, sedangkan yang dimaksud
dengan motorik halus adalah kemampuan anak untuk beraktivitas menggunakan
otot-otot halus (otot kecil) seperti menulis dan menggambar.
Menurut Toho dan Gusril (2004: 50) bahwa unsur-unsur yang tergantung
dalam kemampuan motorik terdiri dari :
2.2.3.6.1 Kekuatan
Kekuatan adalah kemampuan sekolompok otot untuk menimbulkan
tenaga sewaktu kontraksi. Kekuatan otot harus dipunyai oleh anak sejak
dini. Apabila anak tidak mempunyai kekuatan otot tentu dia tidak dapat
melakukan aktivitas bermain yang menggunakan fisik seperti berjalan,
berlari, melompat, melempar, memanjat, bergantung dan mendorong.
2.2.3.6.2 Koordinasi
Koordinasi adalah kemampuan untuk mempersatukan atau memisahkan
dalam suatu tugas kerja yang kompleks. Dengan ketentuan bahwa
77
gerakan koordinasi meliputi kesempurnaan waktu antara otot dan
sistem saraf. Anak dalam melakukan lemparan harus ada koordinasi
seluru anggota tubuh yang terlihat. Anak dikatakan baik koordinasi
gerakannya apabila ia mampu bergerak dengan mudah dan lancar dalam
rangkaian dan irama gerakannya terkontrol.
2.2.3.6.3 Kecepatan
Kecepatan adalah sebagai kemampuan yang berdasarkan kelentukan
dalam satuan waktu tertentu. Dalam melakukan lari 4 detik, semakin
jarak yang ditempuh maka semakin tinggi kecepatannya.
2.2.3.6.4 Keseimbangan
Keseimbangan adalah kemampuan seseorang untuk mempertahankan
tubuh dalam berbagai posisi.Keseimbangan dibagi dalam dua bentuk
yaitu: keseimbangan statis dan dinamis. Keseimbangan statis menunjuk
kepada menjaga keseimbangan tubuh ketika berdiri di suatu tempat,
keseimbangan dinamis adalah kemampuan untuk menjaga
keseimbangan tubuh berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
2.2.3.6.5 Kelincahan
Kelincahan adalah kemampuan seseorang mengubah arah dan posisi
tubuh dengan cepat dan tepat pada waktu bergerak pada suatu titik lain,
dalam lari zig-zag, semakin cepat waktu yang ditempuh maka semakin
tinggi kelincahannya.
Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagrahita bermacam-macam. Ada
yang tertinggal jauh dari anak normal, ada yang hampir menyamai, ada
78
pula yang sama dengan anak normal. Di antara fungsi-fungsi yang
menyamai atau hampir menyamai anak normal adalah fungsi
perkembangan motoriknya. Perkembangan motorik anak tunagrahita
tidak secepat perkembangan anak normal. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat motorik anak tunagrahita yang memiliki
kemampuan mental 2 tahun sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori
kurang sekali, sedangkan anak normal pada usia yang sama ada dalam
kategori kurang (Martasuta dalam Somantri, 2007). Sehingga dapat
diketahui bahwa kemampuan motorik anak tunagrahita setingkat lebih
rendah dibandingkan dengan anak normal pada umur yang sama.
Dikaji dari unsur-unsur motorik yang dijelaskan sebelumnya bahwa anak
tunagrahita kurang cakap memaksimalkan unsur kekuatan, koordinasi, kecepatan,
keseimbangan dan kelincahan secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan kognitif anak tunagrahita yang di bawah rata-rata disebabkan oleh
sistem kerja otot dan syaraf yang tidak sebagaimana mestinya. Berdasarkan kajian
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa karakteristik motorik anak tunagrahita
yaitu lemahnya kekuatan, kurangnya koordinasi, kurangnya kecepatan, kurangnya
keseimbangan, dan kurangnya kelincahan.
2.2.3.7 Perkembangan Bahasa Anak Tunagrahita
Bahasa didefinisikan oleh Myklebust dalam Soemantri (2007) sebagai
perilaku simbolik yang mencakup kemampuan mengikhtisarkan, mengikatkan
79
kata-kata dengan arti, dan menggunakannya sebagai simbol untuk berfikir dan
mengekspresikan ide, maksud, dan perasaan. Terdapat lima tahapan abstraksi,
yakni sensori, persepsi, perumpamaan, simbolisasi dan konseptualisasi. Kapasitas-
kapsitas tersebut saling melengkapi dan dipandang sebagai tahap perkembangan
yang berhubungan secara langsung dengan pengalaman. Perkembangan bahasa
secara sederhana bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang berkomunikasi dan
menggunakan alat untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya. Hal ini perlu
dipelajari semenjak seseorang masih bayi atau bahkan saat mereka masih dalam
kandungan. Pada anak tunagrahita, perkembangan bahasa ini mungkin lebih
lambat dibandingkan anak lainnya. Hal tersebut berhubungan dengan fungsi
sensorik, motorik, dan keseluruhan kognisi yang memang berbeda. Kesulitan
bicara dan komunikasi mendasari profil kognitif x rapuh (Abbeduto, Braddy, &
Kover, 2007).
Menurut Wikasanti (2014: 40) kemampuan berbahasa antara satu orang
dengan orang lain mengalami perbedaan, hal ini terjadi antara anak-anak lain
dengan anak tunagrahita. Ada beberapa teori tentang perkembangan berbahasa,
yaitu:
2.2.3.7.1 Teori behavorist
Teori behavorist menekankan kemahiran berbahasa sebagai satu
keahlian khusus seorang manusia sebagai makhluk sosial yang
didukung oleh alam atau lingkungannya. Oleh karenanya
perkembangan bahasa pada seseorang tak bisa terlepas dari kemampuan
diri dan interaksi sosialnya.
80
2.2.3.7.2 Teori kognitif sosial
Kognitif sosial menekankan pada kemahiran berbahasa sebagai hasil
pembelajaran anak dan hasil meniru orang terdekat, terutama orangtua
atau pengasuh mereka. Saat anak beranjak dewasa, kemampuan
berbahasanya bukan lagi pengaruh orangtua/ pengasuh saja tetapi
banyak juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar mereka terutama
pergaulan di sekolah, bersama guru, dan teman-temannya. Di sinilah
anak mulai memperoleh kemahiran berbahasa dari observasi dan
mendengarkan sesuatu yang berasal dari luar diri dan lingkungannya.
2.2.3.7.3 Teori psikolinguitik
Setiap orang memiliki kemampuan untuk berbicara dan bisa muncul
apabila ada rangsangan/ stimulus dari lingkungan sekitarnya. Setiap
anak berbicara dari pembawaannya masing-masing. Namun, intinya
mereka memiliki dasar dalam struktur kalimat yang sudah umum
dibicarakan oleh manusia lain di sekeliling mereka.
Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognisi.
Keduanya memiliki hubungan timbal balik. Perkembangan kognisi anak
tunagrahita mengalami hambatan, karena itu perkembangan bahasanya juga akan
terlambat. Adapun tahapan perkembangan bahasa secara umum menurut
Myklebust dalam Wikasanti (2014: 41) meliputi lima tahapan, yaitu;
81
1) Experience
Merupakan penyerapan stimulus dari sekitar anak berupa pengalaman mereka
tentang sebuah stimulus/obyek/ benda tertentu dan diungkapkan dengan kata-
kata/ bahasa.
2) Inner language, auditory symbol and experience
Merupakan pengembangan bahasa dengan meniru simbol-
simbolpendengaran/ perkataan orang lain dan juga pengalaman terhadap satu
stimulus tertentu.
3) Auditory receptive language, comprehending sppoken word
Merupakan perkembangan bahasa dari pembelajaran dengan cara mendengar
dan membaca untuk mengungkapkan apa yang didengar tersebut ke dalam
bahasa/ pembicaraan dengan topik yang sama.
4) Auditory expressive language speaking
Merupakan perkembangan bahaa yang telah menuju pada tahapan ekspresi
saat pengucapan suatu bahasa tertentu sesuai dengan stimulus/ obyek/ benda/
yang dimkasud.
5) Visual receptive language reading
Merupakan perkembangan bahasa secara tertulis dan membaca tulisan.
Anak tunagrahita pada umumnya tidak dapat menggunakan kalimat
majemuk. Pada saat percakapan sehari-hari, anak tunagrahita banyak
menggunakan kalimat tunggal. Ketika anak tunagrahita dibandingkan dengan
anak normal pada usia kalender yang sama, anak tunagrahita pada umumnya
82
mengalami gangguan artikulasi, kualitas suara dan ritme. Selain itu anak
tunagrahita mengalami kelambatan dalam perkembangan bicaranya (expressive
auditory language).
Pada perkembangan morfologi, anak normal menguasai peningkatan
sejumlah morfem seiring dengan perkembangan usianya. Demikian juga anak
tunagrahita dan anak normal yang memiliki kemampuan mental yang sama,
menunjukkan tingkatan yang sama dalam pekembangan morfologi. Namun, pada
anak tunagrahita yang memiliki usia kalender yang sama dengan anak normal,
memiliki tahap yang lebih rendah dalam perkembangan morfologinya.
Penelitian yang dilakukan oleh Rochyadi dalam Somantri (2007)
menunjukkan bahwa kemampuan mental berkorelasi dengan kemampuan tata
bahasa (sintaksis), sedangkan usia kalender berkorelasi dengan perbendaharaan
kata. Hal ini berarti sintaksis membutuhkan kemampuan kecerdasan yang baik.
Hal terakhir dari perkembangan bahasa yang berkaitan dengan
kemampuan bahasa yang disebut semantik. Anak-anak memperlihatkan
perkembangan semantik sama seperti komponen lainnya. Anak tunagrahita
menunjukkan perkembangan semantik yang lebih lambat daripada anak normal.
Tetapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka memiliki perbedaan pola
perkembangan sintaksis.
Perkembangan vocabulary anak tunagrahita telah diteliti secara luas.
Hasilnya menunjukkan bahwa anak tinagrahita lebih lambat daripada anak
normal. Anak tunagrahita lebih banyak menggunakan kata-kata positif, lebih
sering menggunakan kata-kata yang lebih umum, hampir tidak pernah
83
menggunakan kata-kata yang bersifat khusus, tidak pernah menggunakan kata-
kata ganti, lebih sering menggunakan kata-kata tunggal, dan tidak dapat
menggunakan kata-kata yang bervariasi.
2.2.3.8 Perkembangan Psikososial Anak Tunagrahita
Manusia adalah makhluk sosial yang tentu saja mengadakan hubungan
sosial dengan masyarakat di sekitarnya. Pertama kali, mengadakan hubungan
sosial dengan orangtua dan keluarga terdekat, lalu dengan tetangga, dengan teman
sepermainan, dengan teman sekolah, dan masyarakat luas. Demikian pula anak
tunagrahita memiliki perkembangan sosial sendiri. Mereka tetap perlu
betrhubungan dengan orang lain sejauh kapasitas yang dimilikinya. Tinggal
orang-orang di sekelilingnya saja yang diusahakan memahami keadaan
penyandang tunagrahita agar mereka mendapatkan bimbingan yang benar
bagaimana memahami dan menjalankan hubungan sosial sesuai dengan norma
yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
2.2.4 Pembelajaran bagi Anak Tunagrahita
Istilah pembelajaran berbeda dengan istilah pengajaran. Pembelajaran
(instruction) lebih luas dari pada istilah pengajaran (teaching). Pembelajaran
harus menghasilkan belajar pada peserta didik dan harus dilakukan suatu
perencanaan yang sistematis, sedangkan pengajaran hanya salah satu penerapan
strategi pembelajaran diantara strategi-strategi pembelajaran yang lain dengan
tujuan utamanya menyampaikan informasi kepada peserta didik. Pengajaran
84
berorientasi pada guru (teacher-centered) sedangkan pembelajaran berorientasi
pada peserta didik (student-centered). Kegiatan pendidikan kita yang semula lebih
berorientasi pada “mengajar” (guru lebih banyak berperan) telah berpindah
kepada konsep “pembelajaran” yaitu merencanakan kegiatan-kegiatan yang
orientasinya kepada peserta didik agar terjadi belajar di dalam dirinya
(Eveline,dkk , 2010: 12).
Pembelajaran adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang melibatkan
siswa dan guru dengan menggunakan berbagai sumber belajar baik dalam situasi
kelas maupun di luar kelas (Daryanto, 2016 : 250). Undang-Undang No. 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat 20 menyatakan bahwa pembelajaran adalah
proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar.
Pembelajaran menurut Uno (2008: V) adalah suatu kegiatan yang
berupaya membelajarkan siswa secara terintegrasi dengan memperhitungkan
lingkungan belajar, karakteristik siswa, karakteristik bidang studi serta berbagai
strategi pembelajaran, baik penyampaian, pengelolaan, maupun pengorganisasian
pembelajaran. Guru merupakan salah satu faktor yang berperan sangat penting
dalam mempengaruhi proses belajar di sekolah. Guru juga yang menentukan
bentuk suatu model pembelajaran yang dipilih untuk mencapai tujuan dari proses
belajar tertentu.
Pembelajaran dalam pendidikan anak tunagrahita pada dasarnya adalah
untuk memberikan pengalaman belajar kepada mereka sesuai dengan masalah dan
kebutuhan masing-masing individu. Melalui proses pembelajaran secara
85
individual (apa kebutuhan mereka) diharapkan anak tunagrahita akan belajar
secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kapasitas perkembangannya
(Kemis dan Ati, 2013: 106).
Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggerakan secara
interaktif,inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik dalam hal ini anak tunagrahita (Kustawan dan
Meimulyani, 2016: 76). Pelaksanaan proses pembelajaran bagi peserta didik
berkebutuhan khusus harus memperhatikan jumlah maksimal peserta didik per
kelas dan beban mengajar maksimal per pendidik, rasio maksimal buku teks
pelajaran setiap peserta didik berkebutuhan khusus, dan rasio maksimal jumlah
peserta didik setiap pendidik peserta didik berkebutuhan khusus yaitu 1 : 5 pada
satuan pendidikan SDLB dan 1 : 8 pada satuan pendidikan SMPLB dan SMALB/
SMKLB (Permendiknas Nomor 1 Tahun 2008 tentang Standar proses Pendidikan
Khusus Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa dan Tunalaras).
Kemauan guru dalam pelaksanaan pembelajaran secara individual bagi
anak tunagrahita sangat penting sebab semakin kreatif dan inovatif para guru
tersebut maka makin bermakna pembelajaran untuk anak, dan apabila guru
semakin malas maka akan semakin terpuruk dan tidak mendapatkan apa-apa anak
didiknya, mungkin sebelum dan sesuadah mendapatkan pembelajaran sama saja
bahkan lebih mundur lagi, sebab guru tidak berbuat apa-apa untuk anak didiknya.
86
Pembelajaran bagi anak tunagrahita idealnya bersifat individual akan tetapi
pada umumnya hal tersebut masih dianggap sulit untuk dilakukan oleh beberapa
guru. Kesulitan tersebut berkaitan dengan dua hal, yaitu kesulitan menyusun
program pembelajaran sesuai dengan “kebutuhan” setiap peserta didik dan
kesulitan mencari bentuk-bentuk intervensi yang dianggap cocok dengan
“kebutuhan peserta didik. Berangkat dari dua hal tersebut maka guru yang
menangani anak tunagrahita, mau atau tidak mau harus melakukan/mempunyai
kemampuan sebagai berikut, yaitu :
1) Membuat program asesmen, asesmen merupakan suatu kegiatan awal dari
seluruh proses pembelajaran dalam pendidikan tunagrahita. Tanpa asesmen
mustahil program pembelajaran yang didasarkan kepada kebutuhan dapat
dipenuhi, sebab asesmen pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang
sistematis untuk memperoleh data atau informasi dalam rangka memahami
kemampuan kesulitan dan kebutuhan belajar setiap anak.
2) Melaksanakan asesmen untuk mengetahui informasi peserta didik terutama
karakteristik, kelemahannya, sebagai dasar untuk menyusun program
pembelajaran.
3) Pengembangan kurikulum berdasarkan hasil asesmen yang diselaraskan
dengan kurikulum yang ada, tetapi kurikulum bukan sebagai acuan utama,
tetap hasil asesmen sebagai patokan dalam pengembangan bahan ajar maupun
dalam pembelajarannya.
4) Mempunyai dedikasi yang tinggi, kreativitas, dan inovatif yang tiada henti
sebab bagi guru di pendidikan luar biasa kalau berhenti berkreasi maka sama
87
saja dengan berhenti menjadi guru PLB, kreativitas itulah yang menjadi roh
sebagai guru PLB.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pembelajaran yang diberikan kepada anak tunagrahita itu disusun secara
terprogram, sistematis, terfasilitasi, terbimbing, terarah, terorganisasi, terkendali
dan didasarkan pada “kebutuhan” anak secara aktif, interaktif dan efektif. Dengan
begitu pembelajaran yang diberikan akan berguna bagi mereka dalam aktivitas
sehari-hari sehingga mereka tidak terlalu bergantung kepada orang lain.
2.2.4.1 Pembelajaran Penjas bagi Anak Tunagrahita
Pembelajaran yang semata-mata didasarkan pada kurikulum ternyata tidak
menunjukkan hasil yang sesuai dengan potensi dan harapan orang tua.
Pembelajaran secara individual diyakini dan banyak disepakati sebagai cara untuk
memberdayakan anak tunagrahita secara cepat, oleh karena itu, kegiatan belajar-
mengajar yang berbasis gerak umumnya disusun atas dasar pertimbangan adanya
“kejenuhan” belajar para peserta didik dalam suatu bidang studi, sering kali tidak
ada kemajuan dan kesulitan mengatasi proses pembelajaran yang disebabkan
terdapat “kelainan-kelainan khusus” peserta didik. Solusi penyajian pola gerak
diharapkan dapat membantu peserta didik bersangkutan, dengan catatan bahwa
guru telah memahami pola gerak dan dapat menerapkan bentuk-bentuk kegiatan
olah tubuh yang bersifat penyembuhan atau theraupetic, sesuai dengan
karakteristik khusus dari peserta didik bersangkutan.
88
Menurut Delphie (2012:40) Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum
menyusun program pembelajaran harian atau satuan pelajaran yang berbasis
gerak, antara lain adalah sebagai berikut:
1) Guru hendaknya sudah mengetahui, melalui asesmen, tentang kekuatan dan
kelemahan otot atau tingkah laku tertentu dari setiap individu peserta
didiknya.
2) Dalam menyusun program, usahakanlah kegiatan gerak berorientasi pada
kemampuan koordinasi kerja otot tubuh.
3) Setiap kegiatan yang diterapkan mengacu pada usaha peserta didik untuk
dapat menambah potensi geraknya.
4) Proses kegiatan pembelajaran diupayakan juga untuk memperbaiki sikap
postur tubuh.
5) Hasil kegiatan pola gerak diharapkan dapat memberikan kemampuan peserta
didik dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
6) Setelah pembelajaran selesai, diharapkan dapat membantu peserta didik untuk
memperbaiki sikap, mental ke arah yang lebih baik.
7) Guru hendaknya memperhatikan azas kepentingan”kebutuhan peserta didik”
baru kepentingan kurikulum.
Menurut Winarno (2006:13) pendidikan jasmani bertujuan “untuk
mengembangkan individu secara organis, neuromaskuler, intelektual dan
emosional melalui aktivitas jasmani”. Tujuan tersebut menggambarkan
keunggulan sumber daya manusia di Indonesia. Sedangkan menurut BSNP
89
(2006:684), mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan bertujuan
agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Mengembangkan
keterampilan pengelolaan diri dalam upaya pengembangan dan pemeliharaan
kebugaran jasmani serta pola hidup sehat melalui berbagai aktivitas jasmani dan
olahraga yang terpilih; (2) meningkatkan pertumbuhan fisik dan pengembangan
psikis yang lebih baik; (3) meningkatkan kemampuan dan keterampilan gerak
dasar; (4) meletakkan landasan karakter moral yang kuat melalui internalisasi
nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan;
(5) mengembangkan sikap sportif, jujur, disiplin, bertanggungjawab, kerjasama,
percaya diri, dan demokratis; (6) mengembangkan keterampilan untuk menjaga
keselamatan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan; (7) memahami konsep
aktivitas jasmani dan olahraga di lingkungan yang bersih sebagai informasi untuk
mencapai pertumbuhan fisik yang sempurna, pola hidup sehat, dan kebugaran,
terampil, serta memiliki sikap yang positif.
Penyampaian dan penyajian materi Penjas berbeda dengan mata pelajaran
lain. Penjas cenderung menggunakan aktivitas fisik. Winarno (2006:15)
menyatakan bahwa “aktivitas fisik merupakan media utama yang digunakan untuk
mencapai tujuan”. Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
pemilihan materi yang tepat dalam pembelajaran Penjas melalui aktivitas fisik,
khususnya dalam pembelajaran gerak harus disusun secermat mungkin dan dapat
dilaksanakan secara tepat oleh para peserta didik tunagrahita, sehingga terhindar
dari cedera otot atau sendi serta dapat membantu mereka dalam memperbaiki
motoriknya.
90
Penjas adaptif pada dasarnya merupakan Penjas seperti pada umumnya
atau sama dengan Penjas biasa. Penjas merupakan salah satu aspek dari seluruh
proses pendidikan secara keseluruhan. Penjas adaptif menurut Abdoellah (2011:9)
adalah pendidikan jasmani yang diadaptasikan dan atau dimodifikasi untuk
memudahkan peserta didik berkebutuhan khusus berpartisifasi aktif dalam
pembelajaran pendidikan jasmani peserta didik di sekolah.
Adaptasi dan atau modifikasi dalam pembelajaran Penjas adaptif tersebut
ditujukan untuk memudahkan peserta didik berkebutuhan khusus, agar peserta
didik memiliki kesempatan yang sama dalam berpartisipasi aktif secara aman
dengan kegiatan yang menyenangkan dalam pembelajaran bersama peserta didik
regular yang lain termasuk juga di sekolah inklusi. Menurut Winnick dalam
Widati & Murtadlo (2007:3) menyatakan bahwa pendidikan jasmani adaptif
adalah suatu program yang dibuat secara individual berupa kegiatan
perkembangan, latihan, permainan, ritme, dan olahraga yang dirancang untuk
memenuhi kebutuhan pendidikan jasmani atau Physical education, hal ini
mencakup pengajaran yang direncanakan secara individual (perseorangan) atau
Individualized Education Program untuk memenuhi kebutuhan para siswa yang
membutuhkan adaptasi dalam pendidikan jasmani.
Dari pendapat-pendapat di atas ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran
Penjas adaptif adalah pendidikan untuk melayani anak yang berkebutuhan khusus
dimana pendidikannya berbasis kebutuhan siswa. Sehingga nantinya dapat
bermakna bagi mereka dalam kehidupan sehari-hari.
91
2.2.4.2 Layanan Penjas bagi Anak Tunagrahita
Peserta didik dengan hambatan intelektual (tunagrahita) adalah peserta
didik dengan kecerdasan di bawah rata-rata peserta didik normal disertai
kemampuan adaptasi sosial kurang dan terjadi dalam masa perkembangan (0 s/d
18 tahun. Layanan pendidikan jasmani bagi peserta didik dengan hambatan
intelektual penting dan perlu diberikan karena secara umum kebugaran jasmani
mereka cenderung rendah/kurang, gerakan mereka serba kaku bahkan tidak dapat
bergerak dengan cepat, koordinasi sensomotorik dan kekuatan otot kurang baik.
Adapun Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar di SDLB C Kelas 1, 2 dan 3
dapat dilihat pada tabel 2.1, 2.2, 2.3 pada gambar di bawah ini;
Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SDLBC Kelas 1
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
2.2.3.8 Kelas 1 (Semester I):
Melakukan gerak dasar permainan
sederhana/ aktivitas fisik dan
nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
1.1 Melakukan gerak dasar jalan, lari, dan lompat dalam
permainan sederhana (percaya diri).
1.2 Melakukan gerak dasar memutar mengayun atau
menekuk dalam permainan sederhana (percaya diri).
1.3 Melakukan gerak dasar lempar tangkap dan
sejenisnya dalam permainan sederhana.
2.2.3.9 Kelas 1 (Semester II):
Melakukan berbagai variasi gerak
dasar ke dalam aktivitas jasmani
dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
2.1 Melakukan variasi gerak dasar jalan,lari dan lompat
ke berbagai arah dengan berbagai pola dalam
permainan sederhana.
2.2 Melakukan gerak dasar memutar, mengayun,
menekuk dalam permainan sederhana.
2.3 Melakukan gerak dasar menangkap objek berbagai
ukuran dalam permainan sederhana.
Tabel 2.2 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SDLBC Kelas 2
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Kelas 2 (Semester I): Melakukan gerak
dasar permainan sederhana/ aktivitas
fisik dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
1.1 Melakukan gerak dasar jalan, lari, dan lompat
yang bervariasi dalam permainan yang
menyenangkan.
1.2 Melakukan gerak dasar memutar, mengayun
dan menekuk lutut dalam berbagai variasi
permainan sederhana.
92
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1.3 Melakukan gerak dasar melempar, menangkap
dan menggiring bola ke berbagai arah dalam
permainan sederhana.
2. Kelas 2 (Semester II): Melakukan gerak
dasar kebugaran jasmani dan nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya.
2.1 Melakukan latihan dasar untuk meningkatkan
kekuatan otot dada, otot punggung dengan
mengikuti aturan.
2.2 Melakukan latihan dasar untuk melatih
kelentukan persendian anggota badan bagian
atas dengan mengikuti aturan.
Tabel 2.3 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar SDLBC Kelas 3
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Kelas 3 (Semester I): Melakukan
gerak dasar permainan sederhana/
aktivitas fisik dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
1.1 Melakukan kombinasi berbagai pola gerak
jalan dan lari dalam permainan sederhana,
serta aturan dan kerjasama.
1.2 Melakukan gerak dasar memutar, mengayun
dan menekuk lutut dalam berbagai variasi
permainan sederhana.
1.3 Melakukan kombinasi gerak dasar melempar,
menangkap dengan koordinasi yang baik
dalam permainan sederhana, serta aturan dan
kerjasama.
2. Kelas 3 (Semester II): Melakukan
gerak dasar dalam permainan
sederhana dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
2.1 Melakukan kombinasi gerak dasar jalan, lari
dan lompat dengan koordinasi yang baik
dalam permainan sederhana.
2.2 Melakukan kombinasi gerak memutar,
mengayun lengan dan meliukkan badan
dengan koordinasi gerak yang baik dalam
permainan sederhana.
2.3 Melakukan gerak dasar memvoli,
memantulkan, menendang dan mengontrol
bola dengan koordinasi yang baik dalam
permainan sederhana.
(Sumber: BSNP SDLBC, 2006)
Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Penjas adaptif
bagi peserta didik dengan hambatan menurut Abdoellah (2011:30-31) adalah
sebagai berikut:
93
1) Arah pembelajaran pendidikan jasmani adaptif lebih pada fungsi
pengembangan, penyembuhan dan rekreatif.
2) Sasaran pengembangan terutama pada fungsi fisik, intelektual, emosi dan
sosial.
3) Terkait dengan aturan perlu dilakukan penyederhanaan aturan kegiatan.
4) Dalam memberikan arahan atau intruksi gunakan bahasa yang sederhana,
singkat dan jelas.
5) Pendekatan dapat dilakukan secara individual dan kelompok.
6) Untuk kegiatan/aktivitas yang lebih komplek perlu modeling (contoh
langsung ada siswa sebagai model yang memperagakan). Dengan modeling
mereka dapat memperoleh contoh sehingga dapat mengikuti kegiatan dengan
cara menirukan gerakan/aktivitas yang harus dilakukan.
7) Adanya kesulitan terkait dengan kemampuan mengingat, maka perlu
dilakukan pengulangan/drill untuk beberapa kegiatan yang diajarkan.
8) Rendahnya motivasi pada peserta didik dengan hambatan intelektual dalam
belajar sehingga mereka perlu bimbingan dan dorongan yang lebih dari guru.
Menurut Sriwidati dan Murtadlo (2007:278-279) mengatakan bahwa
latihan-latihan terhadap anak tunagrahita pada tingkat pertama adalah
mengaktifkan sensomotoris untuk dapat membantu perkembangan motoris.
Latihan terhadap alat-alat sensoris anak tunagrahita sangat perlu untuk
mengimbangi keterbatasan kecerdasan yang mereka miliki. Peran alat-alat
94
sensoris dikemukakan Sjarifudin & Matakupan dalam Sriwidati dan Murtadlo
(2007:279), yaitu:
2.2.4.1.1 Latihan perabaan
Latihan perabaan bertujuan agar anak dapat menggunakan sensoris
perabaan dengan baik, sedangkan bagi anak tunagrahita latihan
perabaan merupakan suatu alat membantu untuk memperkaya
pengalaman dan pengetahuan didalam membantu keterbatasan cara
berfikir mereka. Bentuk dari latihan perabaan yaitu: (1) latihan untuk
membedakan bentuk benda, (2) mengetahui dan membedakan sifat
benda, (3) untuk mengetahui membedakan suhu, dan (4) penerapan
latihan dengan bentuk perabaan.
2.2.4.1.2 Latihan penglihatan
Latihan penglihatan bertujuan agar anak mampu menggunakan fungsi
penglihatannya dengan baik, dengan adanya sensoris penglihatan yang
baik, maka akan lebih banyak mengenal dan membedakan bentuk,
tempat suatu benda, keadaan, warna, jarak, dan lain-lain sebagainya.
2.2.4.1.3 Latihan pendengaran
Bertujuan agar mampu menggunakan fungsi pendengarannya dengan
tepat, sehingga mampu mengetahui irama dan gerakan.
2.2.4.1.4 Latihan praktis
Latihan praktis dimulai dengan gerakan lengan, tungkai dan gerakan-
gerakan campuran atau kombinasi.
95
2.2.4.1.5 Latihan lanjutan
Latihan lanjutan yaitu seperti senam untuk mengaktifkan dan
menguatkan berbagai kelompok otot.
2.2.4.1.6 Latihan khusus
Latihan khusus yaitu latihan-latihan yang dikonsentrasikan untuk
mengatasi terjadinya athrophy (otot yang tidak berkembang atau
semakin kecil).
Bermain adalah salah satu bentuk aktivitas jasmani. Aktivitas bermain
sudah dilakukan sejak masa kanak-kanak sampai dengan dewasa, atau bermain
dilakukan sepanjang hayat manusia. Bermain merupakan aktivitas yang disukai
oleh anak-anak dalam kehidupan sehari-hari, oleh sebab itu bermain dapat
digunakan sebagai sarana dalam pembelajaran Penjas di sekolah. Keterampilan
motorik anak berkembang secara alamiah ketika bermain, namun sekarang ini
waktu anak untuk bermain sangat terbatas, oleh sebab itu Penjas harus
memberikan kesempatan anak untuk melakukan aktivitas bermain agar
keterampilan motoriknya berkembang. Bermain bagi anak merupakan kegiatan
harian yang sangat menarik dan menyenangkan untuk dilakukan sepanjang waktu.
Yoyo Bahagia dan Adang Suherman (2000:15-16), menjelaskan beberapa
keuntungan yang akan diperoleh melalui pemberian permainan dan olahraga,
yaitu :
96
1) Menunjukkan kemampuan mengkombinasikan keterampilan manipulatif,
lokomotor, dan non lokomotor baik yang dilakukan secara perorangan
maupun dengan orang lain.
2) Menunjukkan kemampuan pada aneka ragam bentuk aktivitas jasmani.
3) Menunjukkan penguasaan pada beberapa bentuk aktivitas jasmani.
4) Memiliki kemampuan tentang bagaimana caranya mempelajari keterampilan
baru.
5) Menerapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip pengembangan keterampilan
gerak.
6) Mengetahui aturan, strategi, dan perilaku yang harus dipenuhi pada aktivitas
jasmani yang dipilih.
7) Memahami bahwa aktivitas jasmani memberi peluang untuk mendapatkan
kesenangan, menyatakan diri pribadi, dan berkomunikasi.
8) Menghargai hubungan dengan orang lain yang diperoleh dari partisipasi
dalam aktivitas jasmani
Menurut Mutiah (2010:91) bahwa bermain harus dilakukan atas inisiatif
anak dan atas keputusan anak itu sendiri. Bermain harus dilakukan dengan rasa
senang, sehingga semua kegiatan bermain yang menyenangkan akan
menghasilkan proses belajar pada anak. Sedangkan menurut Piaget dalam Yuliani
(2009:34) mengatakan bahwa bermain adalah suatu kegiatan yang dilakukan
berulang-ulang dan menimbulkan kesenangan/kepuasan bagi diri seseorang.
97
Sarwono, Priyono & Ismaryanti (2012) menyebutkan bahwa pemilihan
tema didasarkan pada prinsip 4K yaitu sebagai berikut: (1) Kedekatan, artinya
tema dipilih mulai dari yang terdekat dari kehidup-an siswa hingga tema yang
semakin menjauh, (2) Kesederhanaan, artinya tema dipilih mulai dari yang mudah
menuju ke yang sulit, dan dari yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks,
(3) Kekonkretan, artinya tema yang dipilih bersifat konkret menuju ke yang
abstrak, (4) Kemenarikan, artinya tema yang dipilih hendaknya menarik dan
memungkinkan terjadinya proses berpikir pada pribadi siswa. Menurut Sutapa
(2014:152) Banyak muatan materi yang dapat dikembangkan melalui
pendidikan jasmani dengan pendekatan bermain baik kognitif, afektif maupun
psikomotor. Materi yang terkait dengan aspek psikomotor selalu berhubungan
dengan keterampilan fisik yang menunjukkan adanya fase-fase atau pentahapan
penguasaan mulai specific responding, motor chining dan rule using.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bermain
memiliki peranan yang sangat strategis dalam mendukung pertumbuhan dan
perkembangan anak, oleh sebab itu peneliti mengangkat judul pengembangan
gerak dasar melalui aktivitas bermain pada anak tunagrahita, melalui aktivitas
bermain dapat meningkatkan aspek keterampilan gerak dasar, aspek kognitif,
aspek kesenangan dan aspek fokus perhatian, kemandirian, dan kepercayaan diri
anak tunagrahita untuk digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
98
2.3 Kerangka Berfikir
Kegiatan penelitian ini dimulai dari adanya suatu studi pendahuluan yang
dilakukan oleh peneliti melalui observasi dan wawancara dengan guru Penjas
untuk mengetahui permasalahan dan kebutuhan yang muncul dalam proses
pembelajaran Penjas terutama materi gerak dasar yang diajarkan oleh guru dan
kemampuan gerak dasar anak tunagrahita yang mengalami kendala/ hambatan
dalam proses pembelajaran gerak, oleh sebab itu peneliti merancang beberapa
aktivitas bermain yang dikembangkan menjadi beberapa model aktivitas bermain
untuk anak tunagrahita ringan kelas 1, 2 dan 3 SDLB C yang disesuaikan dengan
karakteristiknya, sehingga penelitian pengembangan ini efektif meningkatkan
keterampilan gerak dasar, kemampuan kognitis, kesenangan dan fokus perhatian
anak tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C. Adapun kerangka konseptual
berdasarkan kajian teori dan penelitian yang relevan dalam pengembangan gerak
dasar melalui aktivitas bermain pada anak tunagraghita dibagi menjadi dua
komponen utama yaitu: (1) desain (perencanaan) aktivitas bermain, (2)
implementasi aktivitas bermain. Desain aktivitas bermain materi gerak dasar
dikaji terlebih dahulu, disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik anak
tunagrahita sebelum proses pelaksanaan aktivitas bermain yang meliputi tiga
aspek yaitu : (1) isi materi gerak dasar, (2) peralatan yang digunakan pada model
permainan, (3) penilaian aktivitas bermain. Aspek keterampilan gerak dasar yang
dikembangkan adalah gerak dasar lokomotor, non lokomotor dan manipulatif
yang disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik anak tunagrahita melalui
aktivitas bermain. Permainan yang dikembangkan ini juga memasukkan unsur
99
keterampilan motorik halus seperti aktivitas lacing, membuka dan menutup
risleting, kancing dan buckle yang berfungsi untuk melatih fokus perhatian anak
tunagrahita.
Aspek peralatan dalam aktivitas bermain menggunakan peralatan yang
dikemas menarik, bervariasi dari segi tekstur dan warna, aman, ada tantangan,
tematik dan memiliki nilai terapis dalam menstimulasi motorik kasar dan halus,
indera perabaan dan visual. Sebagian alat dibuat dari pemanfaatan barang yang
ada di lingkungan sekitar namun tetap aman digunakan, seperti tutup botol air
mineral, dan beberapa peralatan yang mudah didapatkan di pasaran. Aspek
penilaian hasil belajar merencanakan pedoman pengamatan keterampilan gerak
dasar, kemampuan kognitif, kesenangan, dan fokus perhatian. Implementasi
pembelajaraan (aktivitas bermain) ada dua langkah yaitu : (1) memberikan
pemahaman kepada guru mengenai model aktivitas bermain untuk meningkatkan
keterampilan gerak dasar anak tunagrahita, kemampuan kognitif, kesenangan dan
fokus perhatian (2) melaksanakan model aktivitas bermain untuk meningkatkan
keterampilan gerak dasar anak tunagrahita, serta melakukan penilaian selama
proses aktivitas bermain berlangsung. Untuk lebih jelas lagi mengenai kerangka
konseptual penilitian ini dapat dilihat pada gambar 2.6 halaman selanjutnya
(halaman 101).
100
Gambar 2.6 Kerangka Berfikir
Model Pembelajaran Penjas
materi gerak dasar yang
faktual
Materi pembelajaran belum mempertimbangkan karakteristik ATG.
Sarpras masih kurang dan menggunakan standar anak normal.
Pembelajaran kurang menarik dan kurang bervariasi, sehingga anak mudah bosan.
9 Model Aktivitas bermain disesuaikan
dengan Karakteristik ATG di SDLB C
Anak Tunagrahita di SDLB C
Keterampilan gerak dasar rendah. Kemampuan kognitif kurang. Ketertarikan (motivasi) untuk bergerak
kurang. Fokus perhatian rendah.
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3
Model bervariasi, menarik
perhatian anak, ada gradasi
tugas gerak dan kognitif.
1. Permainan Ayo Berolahraga 2. Permainan Sayangi Tubuh Kita 3. Permainan Kegiatan di Pagi
Hari
1. Permainan Aku Sayang Ayahku 2. Permainan Ibuku Pahlawanku 3. Permainan Lingkungan Rumahku
1. Permainan Ruang Kelasku 2. Permainan Hewan di Sekitarku 3. Permainan Mengenal Tanaman
Bunga
Implementasi ATG termotivasi untuk melakukan gerak. Menstimulasi keterampilan gerak dasar, kemampuan kognitif,
kesenangan dan fokus perhatian ATG Menambah pemahaman guru mengenai gerak dasar.
Model sesuai dan efektif sehingga meningkatkan keterampilan gerak dasar, kemampuan kognitif, kesenangan dan fokus perhatian ATG kelas 1, 2 dan 3 SDLB C.
146
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Hasil penelitian pengembangan ini dsimpulkan sebagai berikut;
5.1.1 Kesembilan model aktivitas bermain mempunyai validitas isi yang tinggi
dengan kata lain model ini sesuai dengan karakteristik anak tunagrahita
kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C.
5.1.2 Pelaksanaan kesembilan model aktivitas bermain mudah dilaksanakan
oleh guru Penjas di SDLB C.
5.1.3 Kesembilan model aktivitas bermain efektif untuk meningkatkan
keterampilan gerak dasar, kemampuan kognitif, kesenangan dan fokus
perhatian bagi anak tunagrahita kelas 1,2 dan 3 di SDLB C.
5.2 Implikasi
Implikasi penelitian ini adalah sebagai berikut;
5.2.1 Kesembilan model aktivitas bermain dapat dijadikan referensi/ pedoman
bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran Penjas khususnya materi
gerak dasar bagi anak tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 di SDLB C.
5.2.2 Model aktivitas bermain yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus
menerus bagi anak tunagrahita dapat menjadi sarana untuk meningkatkan
kepercayaan diri dan mengurangi ketergantungan dengan orang lain
(mandiri).
147
5.2.3 Bagi kepala sekolah, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam
mengembangkan kurikulum terkaita pembelajaran Penjas khususnya
materi gerak dasar.
5.2.4 Bagi masyarakat, menambah pengetahuan bahwa ada model aktivitas
bermain yang dapat menstimulasi kemandirian anak tunagrahita.
5.3 Saran
Berdasarkan temuan, hasil penelitian dan pengembangan yang telah
dipaparkan sebelumnya, maka peneliti menyampaikan saran sebagai berikut:
5.3.1 Saran bagi guru, diharapkan dapat mengimplementasikan model aktivitas
bermain untuk meningkatkan keterampilan gerak dasar, kemampuan
kognitif, kesenangan dan fokus perhatian sebagai upaya meningkatkan
kemandirian anak tunagrahita kelas 1, 2 dan 3 SDLB C.
5.3.2 Saran bagi orangtua, model ini sangat mungkin untuk dilakukan di
lingkungan keluarga sebagai sarana terapi bagi anak mereka.
148
DAFTAR PUSTAKA
Abbeduto L, Brady N, Kover S. Language development and fragile X syndrome:
Profiles, syndrome-specificity, and within-syndrome differences. Mental
Retardation and Developmental Disabilities Research
Reviews. 2007;13:36–46.
Alarcon, M., Plomin, R., Fulker, D. W., Corley, R., & DeFries, J.C. 1999.
Molarity not modularity: Multivariate genetic analysis of specific
cognitive abilities in parents and their 16-year-old children in the Colorado
Adoption Project. Cognitive Development, 14(1), 175-193.
Anggita, Gustiana M., Rachman H, A. 2014. Pengaruh Aktivitas Bermain dan
Perseptual Motorik Terhadap Keterampilan Motorik Siswa Sekolah Dasar
Kelas Bawah. Yogyakarta: Jurnal Keolahragaan Vol 2 No 2.
Armatas, V. Mental retardation: definitions, etiology, epidemiology and
diagnosis, (Aristotle University of Thessaloniki, Greece :Journal of Sport
and Health Research, 2009). 1(2):112-122.
Astramovich, R. L., Lyons, C., & Hamilton, N. J. (2015). Play Therapy for
Children With Intellectual Disabilities. Journal of Child and Adolescent
Counseling, 1(1), 27–36.
Atwi, M. Suparman. 2012.. Desain Instruksional Modern. Jakarta: Erlangga.
B, Abdul Jabar. ( 2010). Pengajaran Melalui Aktivitas jasmani Sebagai Bentuk
Terapi Gerak Bagi Siswa Disabilitas Di Sekolah Luar biasa. Jurnal
Pendidikan Olahraga, Volume 4, Nomor 2 / September 2010: FPOK UPI.
Bahagia, Yoyo dan Adang Suherman. 2000. Prinsip-prinsip Pengembangan dan
Modifikasi Cabang Olahraga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek dan
Penataran Guru SLTP Setara D-III.
Bahagia, Yoyo. (2009). Pengembangan Komponen Biomotorik Melalui Aktivitas
Bermain Atletik Dalam Pembelajaran Pendidikan Jasmani Di Sekolah Dasar.
Jurnal Pendidikan Olahraga:Volume 1, Nomor 1, Pebruari 2009: FPOK UPI.
Bahtiar Syahrial. 2015. Merancang Pembelajaran Gerak Dasar Anak,.
Padang : UNP Press.
Bana, S., Sajedi, F., Mirzaie, H., & Rezasoltani, P. (2017). Research Paper: The
Efficacy of Cognitive Behavioral Play Therapy on Self Esteem of Children
With Intellectual Disability. Iranian Rehabilitation Journal, 15(3), 235–242.
149
Barnett, L.M., Morgan, P.J, Van B.E, & Beard, R.J. 2008. ”Perceived Sports
Competence Mediates the Relationship Between Childhood Motor Skill
Proficiency and Adolescent Physical Activity and Fitness: A Longitudinal
Assessment”. Interactive Journal of Behavioral Nutrition and Physical
Activity, 5(40): 1-12.
Birney, D.P., & Stenberg, R. J. 2006. Intellegence and cognitive abilities as
competencies in development. In E, Bialystok & F.I.M. Fergus (Eds.),
Lifespan cognition: Mechanism of change (pp. 315-330). New York:
Guilford Press.
Bodde, A. E., Seo, D. C., Frey, G. C., van Puymbroeck, M., & Lohrmann, D. K.
(2013). Correlates of Moderate-to-Vigorous Physical Activity Participation
in Adults With Intellectual Disabilities. Health Promotion Practice, 14(5),
663–670.
Boddy, L. M., Downs, S. J., Knowles, Z. R., & Fairclough, S. J. (2015). Physical
Activity and Play Behaviours in Children and Young People with
Intellectual Disabilities: A cross-sectional observational study. School
Psychology International, 36(2), 154–171.
Bodrova, E., & Leong, D. J. (2015). Vygotskian and Post-Vygotskian Views on
Children’s Play. American Journal of Play, 7(3), 371–388.
Borg, W.R. & Gall, M.D. 2007., Educational Research An Introduction. Longman
New, York.
Bornstein, M. H. & Tamis-LeMonda, C. S. 1997. Maternal responsiveness and
infant mental abilities: Specific predictive relations. Infant Behavior and
Development, 20(3), 283-296.
Cahill, S. M. (2009). Where Does Handwriting Fit In? Intervention in School and
Clinic, 44(4), 223–228.
Canadian Association of Occupational Therapists. (1996). Occupational therapy
and children’s play. Canadian Journal of Occupational Therapy, 63(2).
Capio, C. M., Mak, T. C. T., Tse, M. A., & Masters, R. S. W. (2017).
Fundamental movement skills and balance of children with Down syndrome.
Journal of Intellectual Disability Research, 62(3), 225–236.
Carmichael, K. D. (2015). Play Therapy With Children With Disabilities.
Handbook of Play Therapy: Second Edition, 7810(September), 397–416.
Cheryl, Missiuna. 2003. Children with developmental coordination disorder.
Diambil pada tanggal 29 juni 2011, dari www. fhs.memaster.ca/canchild.
150
Choi, B., Leech, K. A., Tager-Flusberg, H., & Nelson, C. A. (2018). Development
of fine motor skills is associated with expressive language outcomes in
infants at high and low risk for autism spectrum disorder. Journal of
Neurodevelopmental Disorders, 10(1).
Coaching, Ireland. 2012. Fundamental Skills & Physical Literacy. Ireland:
Coaching Ireland.
Crowley, V., Rose, J., Smith, J., Hobster, K., & Ansell, E. (2008). Psycho-
educational groups for people with a dual diagnosis of psychosis and mild
intellectual disability. Journal of Intellectual Disabilities, 12(1), 25–39.
Dandashi, A., Karkar, A. G., Saad, S., Barhoumi, Z., Al-Jaam, J., & El Saddik, A.
(2015). Enhancing the cognitive and learning skills of children with
intellectual disability through physical activity and edutainment games.
International Journal of Distributed Sensor Networks, 2015.
Daryanto. 2016. Media Pembelajaran Perannya, Sangat Penting Dalam
Mencapai Tujuan Pembalajaran, Yogyakarta: Gava Media.
Davison, Gerald C., dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
Delphie Bandi. 2012. Pembelajaran Anak Tunagrahita Suatu Pengantar dalam
Pendidikan Inklusi. Bandung: PT. Refika Aditama.
Departemen of Education. 2013. Fundamental Movement Skills Learning
Teaching and Assessment, Book 1, Preparing Children For An Active
And Healthy Lifestyle. Western Australia: Departemen of Education.
Dickens, W. T., & Flynn, J.R. 2001. Heritanility estimates versus large
environmental effects: The IQ paradox resolved. Psychological Review,
108(2), 246-369.
Downing, J. E., & Peckham-Hardin, K. (2007). Supporting Inclusive Education
for Students with Severe Disabilities in Rural Areas. Rural Special
Education Quarterly, 26(2), 10–15.
Eberle, S.G. 2011. Play is with the Multiple Intellegences. American Journal of
Play, 4(1): 19.
Edwards, H. Wiliam. 2011. Motor Learning and Control From Theory to
Practice. USA : Wadsworth.
Eliasa, E. I. (1988). Pentingnya Bermain Bagi Anak Usia Dini. Universitas Negeri
Yogyakarta.
151
Emerson, E., & Turnbull, L. (2005). Self-reported smoking and alcohol use
among adolescents with intellectual disabilities. Journal of Intellectual
Disabilities, 9(1), 58–69.
Gallahue, David L; Ozmund. Jhon C., Goodway Jacqueline D. 2012
Understanding Motor Development: Instant Children Adolescents Adults
(Second Edition), New York: Mc Graw Hill.
Gaul David, Issartel Johann. 2016. Fine Motor Skill Proficiency In Typically
Developing Children: On Or Off The Maturation Track?. Human Movement
Science. Volume 46, 78-85
Goldstein, J. (2012). Play in Children ’ S Development , Health and Well-Being.
Toy Industries of Europe. Brussles, (February), 1–41.
Gruber, J. J. (1969). Implications of physical education programs for children
with learning disabilities. Journal of Learning Disabilities, 2(11), 593–599.
Harsuki. 2012. Pengantar Manajemen Olahraga. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Harsuki. 29-13 Oktober 2004. Pembelajaran Aktivitas Pengembangan “Makalah
Disampaikan Pada Pendidikan dan Pelatihan Tingkat Dasar Guru Penjas
SMA”. Parung, Bogor.
Hayakawa, K., & Kobayashi, K. (2011). Physical and Motor Skill Training for
Children with Intellectual Disabilities. Perceptual and Motor Skills, 112(2),
573–580. https://doi.org/10.2466/06.13.15.PMS.112.2.573-580
Haycock, D., & Smith, A. (2010). Inadequate and inappropriate?: The assessment
of young disabled people and pupils with special educational needs in
National Curriculum Physical Education. European Physical Education
Review, 16(3), 283–300.
Hestbaek, L., Andersen, S. T., Skovgaard, T., Olesen, L. G., Elmose, M., Bleses,
D.,Lauridsen, H. H. (2017). Influence of motor skills training on children’s
development evaluated in the Motor skills in PreSchool (MiPS) study-DK:
study protocol for a randomized controlled trial, nested in a cohort study.
Trials, 18(1).
Hildayani, Rini dkk. 2009. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta : Universitas
Terbuka.
Hodapp, R. M., & Ziggler, E. 1995. Past, present, and future issues in the
developmental approach to mental retardation and developmental
disabilities. In D. Cicchetti & D.J. Cohen (Eds.), Developmental
psychopathology: Vol. 2 Risk, disorder, and adaptation (pp. 299-331).
Oxford, England: Wiley.
152
Homeyer, L. E., & Morrison, M. O. (2008). Play Therapy Practice, Issues, and
Trends. American Journal of Play, 1, 210–228.
Hurlock, 2013. Perkembangan Anak. McGraw-Hill Education.
Irianto, D.P. 2005. “Bermain sebagai Uapaya Diri Meletakkan Dasar Kebugaran
bagi Anak”. Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, 2(1): 81-90.
Johnstone, J.A. & Ramon, M. 2011. Perceptual – Motor Activities for Children.
USA: Human Kinetic.
Julianur, Hidayah, T., & Handayani, O.W.K 2017. Pengaruh Metode Permainan
dan Intelegence Quotient (IQ) terhadap Kemampuan Gerak Dasar
Manipulatif pada Siswa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)”. Journal of
Physical Education and Sports, 6(2): 172-178.
Kemendikbud. 2013. Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Jasmani
Adaptif Bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Kemendikbud.
Kemis dan Ati, Rosnawati. 2013. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Tunagrahita. Jakarta Timur : PT. Luxima Metro Media.
Kenneth, R. Ginsburg. 2007. American Journal Academy of Pediatric, Vol. 119
No. 1, 1 Januari 2007). 182-191.
Kokasih, E. 2012. Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung :
Yrama Widya.
Konstantinidou, E., Michalopoulou, M., Agelousis, N., & Kourtesis, T. (2013).
Primary Physical Education Perspective on Creativity: The Characteristics of
the Creative Student and Their Creative Outcomes. International Journal of
Humanities and Social Science, 3(3), 234–247.
Kustawan, Dedy dan Meimulyani, Yani. 2016. Mengenal Pendidikan Khusus
dan Pendidikan Layanan Khusus Serta Implementasinya. Jakarta Timur :
Luxima.
Lancioni, G. E., Singh, N. N., O’Reilly, M. F., Sigafoos, J., Alberti, G., Perilli, V.,
… Russo, R. (2018). Promoting physical activity in people with intellectual
and multiple disabilities through a basic technology-aided program. Journal
of Intellectual Disabilities, 22(2), 113–124.
Lavin, Jim. 2008. Creative Approaches to Physical Education. New York :
Routledge.
Libertus, K., & Hauf, P. (2017). Editorial: Motor Skills and Their Foundational
Role for Perceptual, Social, and Cognitive Development. Frontiers in
Psychology, 8.
153
Lohrmann, D. K. (2012). Intervention on Physical Activity Knowledge and
Intellectual Disabilities, 26(5), 313–317.
Lucarelli, J., & Davidson, E. J. (2017). Fine Motor Skills for Children with Down
Syndrome. Journal of Developmental & Behavioral Pediatrics, 38(3), 196.
Lynch, M. 2012. “Children at Play : an Interactive Method For Studying and
Teaching Nutritional Behaviours”. Journal of Pediatric Nursing, 38 (3): 139-
144.
M. Ramakrishnan. (2014). The effectiveness of occupational therapy intervention
on \nmoderate Intellectually challenged (Mentally Retardation)\n. IOSR
Journal of Nursing and Health Science (IOSR-JNHS), 3(5), 15–16.
Ma’mun A & Saputra, Y.M. 2000. Perkembangan dan Belajar Gerak. Jakarta:
Depdiknas Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Bagian
Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III.
Ma’munn, Amung dan Yudha. 2000. Perkembangan Gerak dan Belajar
Gerak, Jakarta : Depdikbud.
Magil, A. Richard. 2011. Motor Learning and Control Concepts and Application
(9thed). New York: McGraw-Hill.
Majid, Abdul. 2005. Perencanaan Pembelajaran (mengembangkan kompetensi
guru). Bandung : Remaja Rosdakarya.
Marten, Rainer. 2004. Successful Coaching, Third Edition. United States: Human
Kinetics.
Maskum, Ali. 2012. Metode Penelitian Dalam Olahraga. Surabaya : Unesa
University Press.
McKeon, M., Slevin, E., & Taggart, L. (2013). A pilot survey of physical activity
in men with an intellectual disability. Journal of Intellectual Disabilities,
17(2), 157–167.
Meimulyani, Yani dan Tiswara, Asep. 2013. Pendidikan Jasmani Adaptif.
Jakarta: PT. Luxima Metro Media.
Nevo, B., & Bin Khader, A. M. 1995. Cross-cultural, gender, and age differences
in Singaporean mothers’ conceptions of children’s intellegence. The Journal
of Social Psychology, 135(4), 509-517.
Pribadi, Beny. 2009. Model Desain System Pembelajaran. Jakarta : Dian Raya.
Rachmayana, Dadan. 2013. Diantara Pendidikan Luar Biasa Menuju Anak Masa
Depan Yang Inklusif. Jakarta Timur : Luxima.
154
Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development (Perkembangan Masa Hidup).
Jakarta: Erlangga.
Santrock, W. Jhon. 2014. Educational Psychology (terjemahan). Jakarta:
McGraw-Hill Eduaction dan Salemba Empat.
Schalock, R. 2007. The Renaming of Mental Retardation: Understanding the
Change to the Term Intellectual Disability, (American Association on
Intellectual and Developmental Disabilities, April 2007), volume 45,
number 2: 116–124.
Sepherd, A.J., Pintado, I.T., & Bean, M.H. 2011. “Physical education and
Academic Achievement: A review”. Delta Journal Education, 1(1): 16-23.
Siegler, R. S. 2003. Thinking and Intellegence. In M. H. Bornstein, L. Davidson,
C. L. M. Keyes, & A. Moore (Eds.), Well-being: Positive development
across the life course (pp. 311-320). Mahwah, NJ: Erlbaum.
Siregar, Evelin dan Hartini, Nara. 2010. Teori Belajar dan Pembelajaan. Bogor :
Ghalia Indonesia.
Smith, P. 1970. “Perceptual – Motor Skills and Reading Readiness of
Kindergarten Children”. Journal of Health, Physical Education, Recreation.
41(4): 43-44.
Soemantri, Sutjihati. 2006. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : Refika
Aditama,
Sofyan, H. 2016. “Increasing Children’s Motor Development by Using Thematic
Approach”. Indonesian Journal of Early Childhood Education Studies, 5 (1):
29-37.
Sport New Zealand. 2012. Fundamental Movement Skills among children in New
Zealand. Wellington: Sport New Zealand.
Sudjana, Nana. 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta.
Suherman, W.S., Nopembri, S., & Muktiani, N.R. 2015. “Piloting Model of
Educative Physical Activities Based on Dolanan Anak”. Jurnal Kependidikan,
45 (2): 1-11.
Sujarwo. 2010. Upaya Mengembangkan Kemampuan Motorik Kasar melalui
Aktivitas Bermain pada Anak Usia 3-6 Tahun. Jurnal Pendidikan Jasmani
Indonesia, 8(1): 36-40
155
Sujiono, Bambang. dkk. 2014. Metode Pengembangan Fisik, Tanggerang Selatan:
Universitas Terbuka.
Sukarmin. Y. 2013. Pengembangan Model Pembelajaran Bermain Penjasorkes
Mataeri Kebugaran Jasmani di Sekolah Dasar Kelas Bawah. Disertasi.
Semarang: UNNES.
Sumaryanti, dkk. 2010. Pengembangan model pembelajaran jasmani adaptif
untuk optimalisasi otak anak tunagrahita. Jurnal Kependidikan. Mei No. 1
hal. 29. Yogyakarta: FIK UNY.
Suparman, M. Atwi. 2012. Desain Instruksional Model. Jakarta : Erlangga.
Suratno. 2005. Pengembangan Kreativitas Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas.
Tadkiroatun, Masfiroh. 2008. Cerdas Melalui Bermain (cara Mengasuh Multiple
Intelligences pada Anak Usia Dini). Jakarta : Grasindo.
Tangkudung, James & Puspitorini, Wahyuningtyas. 2012. Kepelatihan
Olahraga”Pembinaan Prestasi Olahraga”. Jakarta : Cerdas Jaya.
Tangkudung, James AP. 2016. Macam-Macam Metodologi Penelitian Uraian dan
Contohnya. Jakarta : Lensa Media Pustaka Indonesia.
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Surabaya
: Pustaka Ilmu.
Trudeau, F., &Shephard, R.J. 2009. “Relationships of Physical Activity to Brain
Health and Academic Performance of School Children”. American Journal of
Lifestyle Medicine, 10 (10): 1-13.
Trust, S.G. 2007. Active Education: Physical Education, Physical Activity. And
Academic Performance. Active Living Research. A National Program of
Robert Wood Johnson Foundation.www.activelivingresearch.org.
Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 31 ayat 1.
Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Uno, B. Hamzah. 2008. Model Pembelajaran, Menciptakan Proses Belajar
Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Walter, Dick., Carey L dan Carey, James O. 2009. The Systematic Design of
Instruction. Ohio : Pearson New Jersey Columbus.
Widati CH, Sri dan Murtadlo. 2007. Pendidikan Jasmani dan Olahraga Adaptif.
Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Direktorat Ketenagaan.
156
Widiastuti. 2011. Tes dan Pengukuran Olahraga. Jakarta : PT Bumi Timur Jaya.
Wijaya, Shonhadi., Nugroho, P., Sumartiningsih, S. 2013. Sumbangan
Keterampilan Motorik Terhadap Kecerdasan Intelligence Quotient Siswa
Kelas Iii Putra Sdn Kawengen 02. Semarang: Journal of Sport Sciences and
Fitness 2 (1)(2013).
Wikasanti, Esthy. 2014. Mengupas Theraphy Bagi Para Tunagrahita: Retardasai
Mental Sampai Lambat Belajar. Jogjakarta: Redaksi Maxima.
Williams, H.G., Pfeiffer, K.A., O’Neill, J.R., Dowda, M., McIver, KL., Brown,
W.H, & Pate, R.R. 2008. Motor Skill Performance and Physical Activity in
Preschool Children. Obesity, 16 (6): 1421-1426.
Yudanto. 2006. Upaya Mengembangkan Kemampuan Motorik Anak Prasekolah.
Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia, 3(3): 31-39.
Yudanto. 2010. Upaya Guru Penjas dalam Mendeteksi Gangguan Perseptual
Motorik pada Siswa Sekolah Dasar. Mendikora, VI (1): 41-52.
Yusakarim (2011). Implementasi Program Alternatif Pendidikan Olahraga
(Pendidikan Olahraga Adaptif) Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus (SPLB -C
Cipaganti dan SPLB B Cicendo) Di Bandung–Jawa Barat: Prelimanary
Study). Jurnal Pendidikan Olahraga, Volume 5 Nomor 1 / Pebruari / 2011:
FPOK UPI.