PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN...

20
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN TEMULAWAK DAN PRODUK ANTARA SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI OBAT HERBAL DI LAHAN HUTAN KABUPATEN BLORA Agus Sudiman Tjokrowardojo , Nur Maslahah dan Raffi Paramawati ABSTRAK PENDAHULUAN 1 1 2 1 2 Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian E-mail: [email protected] [email protected] Temulawak ( Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia mengandung bahan aktif xanthorrhizol dan curcumin yang berkhasiat obat. Agribisnis temulawak dapat dikembangkan melalui pengembangan teknologi budidaya dan pengolahan temulawak menjadi berbagai produk. Kegiatan ini dirancang mulai dari hulu sampai ke hilir. Pelaksanaan kegiatan melalui beberapa tahapan mulai 2007 - 2009 di Perum Perhutani Unit I Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Randublatung. Tahap I pelatihan budidaya dan olah produk temulawak. Tahap II Pelatihan teknologi lanjutan dengan fokus olah produk sesuai dengan GMP. Tahap III perluasan budidaya, hasil perluasan budidaya mencapai 135 ha, sedangkan pendirian unit pengolah rimpang tidak ada dan Tahap IV pendirian unit pengolah rimpang temulawak. Hasil panen contoh demplot budidaya sesuai SOP adalah 450-1400 g/rumpun dengan kadar xanthorrhizol dan curcumin masing-masing meningkat 90,90 dan 6,25%, dibandingkan dengan cara petani yang hasilnya 50-160 g/rumpun dengan kadar xanthorrhizol 0.22% dan curcumin 1.2%. Rumah pengering 6m x 8m, mesin pencuci rimpang, perajang rimpang, penepung, pemarut dan pengemas dilakukan di desa Ngliron, kolaborasi dengan BB Mektan. Pengembangan kebun temulawak rakyat serta pendirian pabrik mini pengolah rimpang temulawak ini terwujud atas kerja sama multi fihak Tim P4MI Balittro-BB Mektan-Perum Perhutani, Unit I, KPH Randublatung, Assosiasi LMDH Makarti Wana lestari, LMDH Sidodadimulyo Ngliron, LMDH Wonosumber rejeki Semanggi, LMDH Sidomakmur Jaiklampok, LMDH Jatimulyo Singget dan LMDH Wonotani Temulus. Diharapkan akan dapat menyerap tenaga kerja pedesaan, meningkatkan pendapatan petani dan secara tidak langsung akan mengingkatkan pendapatan regional bruto (PDRB) kabupaten Blora. Kata kunci: Hutan, Temulawak, Obat herbal, Produk Antara, Budidaya Curcuma xanthorrhiza Tipologi agroforestry sudah banyak dikembangkan, yang pada dasarnya adalah menggabungkan dua atau lebih komoditi tanaman semusim dengan tanaman hutan secara simultan dengan mengatur jarak tanam. Dengan demikian terjadi pemanfaatan lahan maupun intersepsi cahaya matahari yang optimal. Dalam hal ini ada tiga 66 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Transcript of PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN...

PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TANAMAN TEMULAWAK DAN

PRODUK ANTARA SEBAGAI BAHAN BAKU INDUSTRI OBAT HERBAL

DI LAHAN HUTAN KABUPATEN BLORA

Agus Sudiman Tjokrowardojo , Nur Maslahah dan Raffi Paramawati

ABSTRAK

PENDAHULUAN

1 1 2

1

2

Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik

Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian

E-mail: [email protected]

[email protected]

Temulawak ( Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia mengandung

bahan aktif xanthorrhizol dan curcumin yang berkhasiat obat. Agribisnis temulawak dapat

dikembangkan melalui pengembangan teknologi budidaya dan pengolahan temulawak menjadi

berbagai produk. Kegiatan ini dirancang mulai dari hulu sampai ke hilir. Pelaksanaan kegiatan

melalui beberapa tahapan mulai 2007 - 2009 di Perum Perhutani Unit I Kesatuan Pemangku Hutan

(KPH) Randublatung. Tahap I pelatihan budidaya dan olah produk temulawak. Tahap II Pelatihan

teknologi lanjutan dengan fokus olah produk sesuai dengan GMP. Tahap III perluasan budidaya,

hasil perluasan budidaya mencapai 135 ha, sedangkan pendirian unit pengolah rimpang tidak ada

dan Tahap IV pendirian unit pengolah rimpang temulawak.

Hasil panen contoh demplot budidaya sesuai SOP adalah 450-1400 g/rumpun dengan kadar

xanthorrhizol dan curcumin masing-masing meningkat 90,90 dan 6,25%, dibandingkan dengan

cara petani yang hasilnya 50-160 g/rumpun dengan kadar xanthorrhizol 0.22% dan curcumin 1.2%.

Rumah pengering 6m x 8m, mesin pencuci rimpang, perajang rimpang, penepung, pemarut dan

pengemas dilakukan di desa Ngliron, kolaborasi dengan BB Mektan.

Pengembangan kebun temulawak rakyat serta pendirian pabrik mini pengolah rimpang

temulawak ini terwujud atas kerja sama multi fihak Tim P4MI Balittro-BB Mektan-Perum

Perhutani, Unit I, KPH Randublatung, Assosiasi LMDH Makarti Wana lestari, LMDH

Sidodadimulyo Ngliron, LMDH Wonosumber rejeki Semanggi, LMDH Sidomakmur Jaiklampok,

LMDH Jatimulyo Singget dan LMDH Wonotani Temulus. Diharapkan akan dapat menyerap

tenaga kerja pedesaan, meningkatkan pendapatan petani dan secara tidak langsung akan

mengingkatkan pendapatan regional bruto (PDRB) kabupaten Blora.

Kata kunci: Hutan, Temulawak, Obat herbal, Produk Antara, Budidaya

Curcuma xanthorrhiza

Tipologi agroforestry sudah banyak dikembangkan, yang pada dasarnya adalah

menggabungkan dua atau lebih komoditi tanaman semusim dengan tanaman hutan

secara simultan dengan mengatur jarak tanam. Dengan demikian terjadi pemanfaatan

lahan maupun intersepsi cahaya matahari yang optimal. Dalam hal ini ada tiga

66 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

komponen jenis tanaman yaitu: pertama: tanaman tahunan yang menghasilkan kayu

sebagai tanaman pokok, kedua: tanaman berumur sedang seperti pisang, temu-temuan

(temulawak, lempuyang wangi dan lain-lain), nilam, dan ketiga: tanaman berumur

pendek seperti padi gogo, jagung, kedelai, cabai, semangka,. Tanaman tersebut

ditumpangsarikan secara serasi di gawangan pohon/tanaman hutan, sehingga

memberikan nilai tambah bagi petani desa hutan. Dalam jangka panjang berdampak

terhadap terjaga dan terawatnya hutan serta konservasi lahan.

Temulawak ( Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia

(Prana, 1985) berkhasiat obat karena mengandung bahan aktif xanthorrhizol dan

curcumin. Tanaman tersebut termasuk satu diantara sembilan tanaman obat utama di

Indonesia yang tumbuh tersebar diseluruh pelosok Nusantara. Pada tahun 2004 Badan

POM mencanangkan temulawak sebagai minuman nasional, karena memilki multi

khasiat antara lain: memperbaiki fungsi percernaan/meningkatkan nafsu makan, fungsi

hati. Mengurangi nyeri sendi dan tulang, menurunkan lemak darah, menghambat

penggumpalan darah dan sebagai antioksidan (Badan POM, 2004). Hal demikian ini

memberikan peluang untuk melestarikan temulawak melalui budidaya dengan

menerapkan teknologi sesuai standar operasional prosedur (SOP) agar mutu dan

produktivitasnya meningkat sehingga memenuhi standar yang diminta oleh

pabrik/industri obat herbal/jamu.

Kabupaten Blora memiliki luas teritorial 181.923,54 ha yang 49,7% (90 - 416 ha)

berupa hutan. Hutan tersebut sebagian besar (82.000 ha) adalah hutan jati yang dikelola

oleh Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah yang meliputi tiga kesatuan pemangku hutan

(KPH) Blora, Cepu dan Randublatung, sisanya adalah hutan rakyat (Anonim, 2004).

Perum Perhutani sejak tahun 1972 sudah menerapkan pola tumpangsari pada

tanaman jati dan sengon yang dikenal dengan istilah Wanatani, kemudian tumpangsari

dengan tanaman obat dikenal dengan istilah Wanafarma. Perum Perhutani melalui

program pengelolaan sumber daya hutan bersama masyarakat (PHBM) yang merupakan

bentuk aktivitas (CSR) membentuk Lembaga Masyarakat

Desa Hutan (LMDH) dan berbadan hukum. Sejak 2001 Perum Perhutani bekerjasama

dengan LMDH mengembangkan budidaya tanaman pangan tumpangsari dengan

tanaman hutan antara lain padi gogo, jagung, kedelai maupun tanaman lain seperti

porang dan nilam (Puryono, 2008). Dewasa ini budidaya tanaman pangan (padi gogo,

jagung, kedelai) pola tumpangsari dengan tanaman hutan semakin digalakkan dalam

mendukung ketahanan pangan nasional. Budidaya wanafarma belum berkembang

dengan baik karena keterbatasan pengetahuan dan minat petani desa hutan, yang selama

ini hanya menambang hasil tanaman obat (temulawak, temu kunci, lempuyang wangi,

jati belanda, secang dan lain-lain) yang tumbuh liar di hutan. Akibatnya dalam dasa

warsa terakhir empon-empon dan tanaman obat lainnya semakin sulit didapatkan,

bahkan cenderung punah akibat penjarahan yang merajalela beberapa tahun yang lalu.

Menurut Sri Sulastri (komunikasi pribadi 2007) pada masa lalu cukup mudah memenuhi

quota pasokan 300 kg/hari empon-empon terutama temulawak ke industri jamu di

Curcuma xanthorrhiza

corporate society responsibility

Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat 67

Surabaya, tetapi sekarang sangat sulit untuk mendapatkan temulawak 100 kg/hari.

Menurut Kemala . (2003) kebutuhan temulawak sebagai bahan baku industri obat

tradisional tahun 2002 di Jawa Tengah menduduki urutan kedua terbanyak setelah Jawa

Timur.

Proses pengolahan simplisia rimpang pada prinsipnya meliputi tahap-tahap:

pencucian, pengecilan ukuran (perajangan/pemotongan), dan pengeringan (Paramawati

., 2006). Pada tahap awal rimpang dicuci (kadar air diperkirakan sekitar 85-90%),

diiris dengan ketebalan 7-8 mm. Setelah pengeringan dengan cara dijemur diperoleh

kadar air 10-25% bb dengan ketebalan 5-6 mm (Ketaren, 1985). Rimpang kering

mengalami penyusutan bobot sekitar 60-70%. Serbuk atau tepung temulawak yang

banyak digunakan untuk keperluan industri jamu dan farmasi biasanya berasal dari

simplisia rajangan kering, yang digiling dengan ukuran 40-80 Untuk keseragaman

ukuran, SNI mensyaratkan partikel yang lolos ayakan 40 mesh minimal 90%.

1. Pengembangan budidaya temulawak di bawah tegakan jati akan dapat memberikan

nilai tambah bagi petani desa hutan. Petani khususnya para pesanggem belum

mengenal budidaya empon-empon termasuk temulawak, dan selama ini hanya

memanen beberapa jenis tanaman obat yang tumbuh liar di hutan tanpa melakukan

penanaman kembali (hanya menyisakan sedikit rimpang agar tumbuh kembali

secara alami). Hasil pencarian dari hutan tersebut jumlahnya terbatas dan

kualitasnya rendah, yang dijual dalam bentuk rimpang segar atau simplisia sehingga

tidak memiliki nilai tambah yang memadai.

2. Populasi tanaman obat termasuk temulawak akhir-akhir ini semakin berkurang

bahkan cenderung punah, akibat pembalakan liar yang merusak habitat tanaman

empon-empon. Hal ini terbukti dari keluhan para pengepul simplisia dalam rangka

memenuhi pasokan ke industri jamu secara kontinu, dalam jumlah yang diminta.

3. Temulawak dicanangkan sebagai minuman nasional oleh Badan POM, sehingga

dapat memotivasi petani untuk melakukan budidaya temulawak, serta

menumbuhkan industri minuman skala pedesaan. Diharapkan terwujud desa

mandiri industri minuman sehat atau bahan baku obat herbal.

4. Rintisan budidaya temulawak sebagai inisiasi kebun temulawak rakyat, serta

industri minuman instan atau sirup temulawak dan bahan baku obat herbal sebagai

inisiasi pabrik pengolah rimpang temulawak.

5. Apabila kebun temulawak rakyat dan pabrik mini pengolah rimpang dapat terwujud

maka akan menyerap tenaga kerja regional, menumbuhkembangkan perkonomian

baru di pedesaan niscaya akan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan

petani. Disamping itu juga akan meningkatkan pendapatan domestik regional bruto

PDRB) kabupaten Blora.

et al

et al

mesh.

Dasar pertimbangan

68 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

TUJUAN, SASARAN DAN LUARAN

Tujuan kegiatan

Sasaran kegiatan

Luaran kegiatan

Dampak

Untuk mengatasi permasalahan kurangnya pasokan bahan baku idustri

obat herbal perlu diperkenalkan teknologi budidaya tanaman temulawak sebagai salah

satu bahan baku obat herbal dengan pola tumpangsari di hutan jati.

1. Memotivasi dan memberdayakan masyarakat desa hutan untuk mengelola lahan

tidur di bawah tegakan hutan jati dengan budidaya tanaman temulawak.

2. Menginisiasi kebun temulawak rakyat (kebun bibit dan produksi) desa hutan.

3. Membangun unit pengolah rimpang temulawak sebagai inisasi pabrik/industri

bahan baku obat herbal/jamu

4. Dalam jangka panjang menumbuhkan perekonian baru di pedesaan yang dapat

meningkatkan pendapatan petani, dan konservasi lahan hutan mendukung program

hutan lestari (PHL).

Sasaran kegiatan adalah petani desa hutan (pesanggem) dalam rangka

meningkatkan pendapatan maupun taraf hidup masyarakat melalui PHBM oleh Perum

Perjutani dengan memanfaatkan lahan di bawah tegakan hutan jati untuk budidaya

tanaman temulawak dari hulu sampai ke hilir.

1. Termotivasinya petani pesanggem untuk mengelola lahan tidur di bawah tegakan

hutan jati dengan budidaya temulawak.

2. Produktivitas dan mutu temulawak yang dikelola oleh petani meningkat.

3. Petani mampu mengolah temulawak menjadi minuman sehat sesuai GMP.

4. Terwujudnya kebun temulawak rakyat, dimasa mendatang menjadi sentra

temulawak di Indonesia.

5. Berdirinya unit pengolah rimpang temulawak menjadi pabrik mini.

6. Tumbuh perekonomian baru di kawasan hutan .

Masyarakat desa hutan termotivasi untuk memanfaatkan lahan hutan secara

optimal untuk budidaya tanaman temulawak sebagai pasokan bahan baku industri obat

herbal/jamu maupun minuman sehat. Pendapatan petani desa hutan akan meningkat

yang bermuara pada masyarakat yang sejahtera. Dalam jangka panjang akan tumbuh dan

berkembangnya sektor perekonomian baru di pedesaan khususnya kawasan hutan, yang

secara tidak langsung dapat meningkatkan pendapatan daerah regional bruto (PDRB)

69Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

kabupaten Blora.

Kegiatan dilaksanakan di Perum Perhutani Unit I KPH Randublatung kabupaten

Blora mulai bulan Juli 2007 - 2009.

1. Bahan dan peralatan yang diperlukan untuk kegiatan budidaya temulawak mulai

dari tanam, pemeliharaan sampai dengan panen dan pasca panen.

2. Bahan dan peralatan yang diperlukan untuk pembuatan mesin-mesin: 1. pencuci

rimpang, 2. pemarut rimpang, 3. perajang rimpang, 4. penepung, 5. rumah pengering

dan 6. alat pengemas produk berbasis temulawak (kering dan cair).

Kegiatan ini dirancang mulai dari hulu (demplot budidaya temulawak sesuai SOP,

pengembangan budidaya inisiasi kebun bibit dan produksi) sampai ke hilir (pendirian

unit pengolah temulawak sebagai inisiasi pabrik). Kegiatan dilaksanakan melalui tiga

tahapan, bekerjasama dengan Perum peruhutani Unit I KPH Randublatung.

Tahap I tahun 2007

1. Pelatihan teknologi budidaya sesuai dengan SOP, dan olah produk simplisia, instan

dan sirup temulawak.

2. Penanaman temulawak sesuai SOP berupa Demplot.

Tahap II tahun 2008

1. Pelatihan teknologi lanjutan dengan fokus olah produk sesuai dengan GMP.

2. Kegiatan budidaya meliputi: panen temulawak Demplot, analisis mutu rimpang dan

seleksi rimpang untuk bibit dalam perluasan budidaya temulawak.

3. Merancang site plan unit pengolah rimpang temulawak (pabrik mini).

Tahap III tahun 2008/09

1. Perluasan budidaya temulawak sebagai perwujudan kebun temulawak rakyat.

2. Survai dan penentuan lokasi pendirian unit pengolah rimpang temulawak.

3. Membangun unit pengolah rimpang temulawak.

4. Pelatihan operasional mesin-mesin pengolah rimpang temulawak menjadi “produk

antara” bahan baku obat herbal.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan tempat

Bahan dan alat

Prosedur pelaksanaan

70 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap I tahun 2007

Pelatihan pembuatan minuman dan instan temulawak

Tahap II tahun 2008

1. Pelatihan teknologi budidaya dan olah produk lanjutan

Pelatihan teknologi budidaya dan olah produk temulawak menjadi minuman

sehat dilaksanakan di Aula Wana Graha KPH Randublatung tanggal 22 - 23 Agustus 2007

dengan peserta tujuh perwakilan dari LMDH desa Ngliron, Singget, Bangkleyan, Bodeh,

Tanggel, Jegong, dan Gempol. Narasumber dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan

Aromatik (Balittro), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah, Dinas

Pertanian kabupaten Blora. Hasil evaluasi oleh Tim penilai (wakil KPH Randublatung,

wakil LSM lokal, wakil P4MI Pusat, Penanggung jawab kegiatan dan Instruktur), peserta

dari Ngliron, Singget dan Gempol berturut-turut meraih juara I, II dan III, mendapatkan

hadiah yang disponsori oleh Assosiasi LMDH Wahana Makarti Wana KPH

Randublatung. Perangkat pengolah produk temulawak dihadiahkan kepada peserta

agar dipergunakan sebagai modal usaha/kerja kelompok dalam mengolah produk

temulawak.

Hasil dialog interaktif (monitoring) diperoleh gambaran bahwa: 1) peserta sangat

respon dan antusias untuk mengelola tanaman temulawak yang semula tidak

diperhatikan sama sekali karena dinilai tidak menguntungkan bagi petani, 2) peserta

termotivasi untuk mendapatkan nilai tambah temulawak dengan mengolah menjadi

produk minuman sehat, 3) kelompok tani dari desa Singget didukung oleh LMDH Jati

Mulyo melanjutkan proses produksi instan dan sirup temulawak skala rumah tangga dan

dipasarkan secara getok tular (aktif) dengan harga masing-masing Rp 1000,-/sachet dan

Rp 6000,-/botol, sedangkan kelompok desa ngliron memproduksi instan dan sirup

temulawak berdasarkan atas pesanan (pasif).

Demplot budidaya temulawak di bawah tegakan jati berumur di atas 50 tahun

dilaksanakan di desa Ngliron BKPH Ngliron KPH Randublatung. Penanaman sesuai SOP

dan konvensional masing-masing seluas 1.000 m dilaksanakan adalah petani LMDH

”Sidodadi Mulyo” BKPH Ngliron KPH Randublatung.

Pelatihan teknologi lanjutan dengan fokus olah produk sesuai dengan

(GMP) dilaksanakan tanggal 17 - 18 Juni 2008 diAula Wana Graha

KPH Randublatung dengan peserta perwakilan dari 10 LMDH desa Ngliron, Singget,

Bangkleyan, Bodeh, Tanggel, jegong, Gempol, Kutukan, Kediren dan Randublatung.

Narasumber dari Balittro, BB Pasca Panen, BPTP Jateng, Dinas Pertanian & Perkebunan,

Dinas Perindustrian, Perdagangan & Koperasi, Dinas Kesehatan kabupaten Blora. Hasil

2

good

manufacturring practices

71Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

evaluasi oleh tim penilai terdiri dari Balittro, BB Pasca Panen, KPH Randublatung,

Assosiasi LMDH dan Perwakilan BPTP Jawa Tengah, kelompok tani dari desa Singget,

Bangkleyan dan kelompok gabungan (desa: Kutukan, Kediren, Randublatung) masing-

masing meraih juara I, II dan III.

Panen demplot temulawak di desa Ngliron dilakukan pada umur 9 BST,

menggunakan garpu agar tidak merusak rimpang. Hasil sampel panen budidaya sesuai

SOP adalah: 450-1400 g/rumpun (Gambar 1), dengan kadar xanthorrhizol dan curcumin

masing-masing meningkat 90,90 dan 6,25%, dibandingkan dengan konevensional 50 - 160

2. Panen temulawak musim tanam 2007

Gambar 1. Temulawak konvensional bobot rimpang 50 -160 g/tanaman (atas), dan SOP

450 -1400 g/tanaman (bawah). KPH Randublatung.2008

Tabel 1. Mutu rimpang temulawak lokal Purworejo SOP dan konvensiomal

BudidayaNo. Karateristik Mutu (%)

SPO konvensional

123

45

678

910

Kadar airKadar minyak atsiriKadar abu

Kadar abu tidak larut asamKadar sari larut air

Kadar sari larut alkoholKadar patiKadar serat

Kadar curcuminKadar xanthorrhizol

:::

::

:::

::

8,567,236,89

1,2723,26

2,8848,01

2,43

1,190,42

7,686,167,34

3,8922,94

3,1843,13

2,43

1,120,22

72 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

3. Penanaman temulawak musim tanam 2008

Penanaman temulawak seluas 4 ha melibatkan empat kelompok tani dari desa

Ngliron yang tergabung dalam LMDH Sido Dadi Mulyo yaitu: I. kelompok tani dukuh

Ngliron, II. Kelompok tani dukuh Klampok, III. Kelompok tani dukuh Kedung Glagah,

dan IV. Kelompok tani Dukuh Kaliwader. Kelompok I menanam dan mengelola

temulawak perluasan 1 ha sebagai inisiasi kebun produksi bibit berasal dari hasil panen

demplot, sedang kelompok II, III dan IV menanam dan mengelola temulawak seluas 1 ha

masing-masing menggunakan benih Cursina A, E dan F (jenis unggul Balittro) sebagai

inisiasi kebun bibit. Selain di Ngliron perluasan 1 ha menggunakan benih hasil panen

demplot dilakukan oleh petani yang tergabung dalam LMDH Jatimulyo desa Singget

BKPH Kemadoh KPH Randublatung. Penampilan tanaman temulawak kebun bibit

berumur 3 BST (Gambar 1) dan kebun produksi berumur 4 BST (Gambar 2).

Gambar 1. Temulawak 3 BST dibawah tegakan Jati 50 tahun

(Kebun bibit 3 ha, BKPH Ngliron 2008).

Gambar 2. Temulawak 4 BST dibawah tegakan Jati 50 tahun

(Kebun produksi 1 Ha, BKPH Ngliron 2008)

Tabel 2. Mutu rimpang temulawak di bawah pengaruh umur tanaman dan cara

penyiapan lahan

Umur tanaman dan teknik budidaya /penyiapan lahan

9 BST

2008

12 BST

2009

6 BST Regrowth

2010

SOP Petani Cara Petani Cara Petani

Analisa

P P P A E F P A E F

1. Minyak atsiri (%)

2. Kurkumin (%)

3. Xanthorrhizol (%)4. Kadar air (%)

7,23

1,19

0,428.56

6,16

1,12

0,227.68

5,31

1,03

1,835.68

5,75

1,07

0,908.55

6,88

1,19

1,767.16

5,43

1,30

0,586.59

5,24

1,08

0,847.87

4,09

0,81

0,727.78

4,66

0,93

0,476.59

5,29

1,05

0,628.59

BST: Bulan setelah tanam; SOP: standar operasional prosedur;

73Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

4. Survai sosial ekonomi

Melalui metode keragaan lapang dan pendekatan LMDH dapat dilihat tingkat

adopsi yang diterima oleh masyarakat desa hutan (MDH) yang terlibat dalam kegiatan

budidaya tanaman temulawak dan olah produk instant dan sirup temulawak (Tabel 2).

Besarnya tingkat adopsi teknologi dinyatakan dalam skore 1 - 100%. Sebagai pembanding

digunakan teknologi Balittro(SOP) yang dianggap teknologi standar (100%).

Dari Tabel 2 terlihat bahwa petani belum sepenuhnya menguasai teknologi

budidaya temulawak yang diberikan dalam bentuk pelatihan yang tercermin dari nilai

skore 46,3%. Sedangkan penanaman kedua pada bulan November 2008 nilai skorenya

naik menjadi 56,8%. Hasil evaluasi dan survai terhadap proses produksi skala rumah

tangga di beberapa kelompk tani Ngliron dan Singget menunjukkan bahwa olah produk

instan dan sirup temulawak mampu memberikan nilai tambah cukup besar. Untuk sirup

temulawak nilai tambahnya sebesar Rp 4.077,77/botol dan instan Rp 23.330,-/kg.

Penjualan instan lebih laku daripada sirup, dan kebanyakan berdasarkan atas pesanan,

ikut pameran dan lain sebagainya. Hasil analisis usaha instan dan sirup temulawak

(Tabel lampiran 1 dan 2).

Tabel 2. Rata-rata tingkat adopsi teknologi budidaya dan olah produk temulawak (%)

pada LMDH di KPH Randublatung Blora

Angka skore Th I Angka Skore Th II

Standar MDH Standar MDHNo. Uraian

(%)

1 Penyiapan lahan 100 54 100 80

2 Pemilihan bibit 100 45 100 60

3 Cara penanaman 100 59 100 70

4 Jarak tanam 100 60 100 75

5 Pemupukan 100 40 100 50

6 Penyiangan 100 55 100 68

7 Pembumbunan 100 55 100 55

8 Pengendalian H &P 100 40 100 35

9 Panen&Pasca panen 100 55 100 75

10 Rata-rata 100 46.3 100 56.8

Tahap III tahun 2008/09

Perluasan budidaya temulawak seluas 13.5 ha dengan rincian:1) desa Ngliron

bekerjasama dengan LMDH Sidodadimulyo BKPH Ngliron 4 ha terdiri dari 1 ha inisiasi

kebun bibit dan 3 ha inisiasi kebun produksi, 2) desa Singget bekerjasama dengan LMDH

Jatimulyo BKPH Jati 1 ha (kebun produksi), dan 3) desa Temulus kerjasama dengan

LMDH Wonotani BKPH Beran secara swadaya 8.5 ha (kebun produksi) bulan Februari-

74 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Maret 2009. Penanaman temulawak dilakukan dengan sistem tanpa olah tanah (TOT),

gulma disemprot herbisida glifosat 485 SL dosis 6 l/ha dua minggu sebelum tanam.

Dalam hal ini mendapat bantuan herbisida berbahan aktif glifosat sebanyak 40 liter dari

PT. Surat Tani Jakarta dan bantuan benih temulawak sebanyak 5 ton dari Balttro/P4MI.

Penampilan tanaman temulawak TOT berumur 3 dan 6 bulan setelah tanam di desa

temulus (Gambar 3 dan 4).

Tahun 2009 “Tim P4MI Balittro” berkolaborasi dengan Balai Besar Pengembangan

Mekanisasi Pertanian (BB Mektan) mendirikan unit pengolah rimpang temulawak yang

terdiri dari enam unit yaitu: rumah pengering 7m x 8m tipe ERK (efek rumah kaca) hibrid

dengan tungku biomas, mesin pencuci rimpang tipe drum, mesin perajang rimpang tipe

horisontal, mesin penepung tipe , mesin pemarut dan pengemas

produk di desa Ngliron.

double jacket sealer

Gambar 3. Perluasan 8.5 ha temulawak 3 BST (kiri) 6 BST (kanan) di bawah tegakan Jati

umur 10 tahun Desa Temulus KPH Randublatung, 2009

Kegiatan dilaksanakan 18 Agustus - 10 Oktober 2009 melibatkan tiga LMDH yaitu

LMDH Sidodadimulyo desa Ngliron, LMDH Sidomakmur desa Jatiklampok dan LMDH

Wono Sumber Rejeki desa Semanggi BKPH Ngliron sebagai penyangga pabrik mini telah

membangun lantai rumah pengering 7 m x 8 m, rumah untuk pabrik mini yang berisi lima

unit mesin pengolah temulawak dan gudang. Pelatihan olah produk menggunakan

mesin dilaksanakan 22 - 23 Oktober 2009 oleh Tim BB Mektan dengan narasumber dari BB

Mektan, Balittro, BPTP Jateng, dan Perhutani Unit I KPH Randublatung (Gambar 4).

75Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Gambar 6. Pengoperasian mesin penepung rimpang

temulawak, disaksikan perwakilan Direksi

Perum Perhutani

Pada saat yang sama KPH Randublatung mencanangkan ”gerakan tanam

temulawak” dan terujud perluasan budidaya temulawak di bawah tegakan jati mencapai

34,5 ha yang tersebar di 9 desa/LMDH pada tahun 2009/10.

Dalam pengembangan budidaya tanaman temulawak di bawah tegakan jati antara

lain tingkat pendidikan yang mayoritas rendah sehingga berpengaruh terhadap daya

serap atau tingkat adopsi teknologi olah petani yang telah dibina. Sebagai contoh adalah

tanaman temulawak tahun II yang dipanen secara konvensional yaitu mengambil

rimpang dengan menyisakan sebagian kecil rimpang (sebagai benih) agar nantinya

tumbuh kembali. Penampilan tanaman temulawak regrowth berumur 6 BST di kebun

bibit, desa Ngliron (Gambar 7-10). Dengan cara konvensional demikian maka rimpang

menjadi tidak berkembang optimal untuk cursina A, E, F dan lokal Purworejo masing-

masing bobotnya 410,5, 385,0, 430,0 dan 229,5 g/tanaman lebih ringan dibandingkan

dengan yang sesuai SOP bobot berkisar antara SOP 450 -1400 g/tanaman (Gambar11).

KENDALA

76 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Gambar 7. Temulawak Cursina A tahun II regrowth

umur 6 BST Ngliron Mei 2010

Gambar 9. Temulawak Cursina F tahun II regrowth umur

6 BST Ngliron Mei 2010

Gambar 8. Temulawak Cursina E tahun II regrowth

umur 6 BST Ngliron Mei 2010

Gambar 10. Temulawak Purworejo tahun II regrowth

umur 6 BST Ngliron Mei 2010

Gambar 11. Temulawak regrowth Cursina A, E, F dan P masing-

masing 410,5, 385,0, 430,0 dan 229,5 g/tanaman.

Ngliron.2010

77Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Masyarakat desa hutan kawasan KPH Randublatung merasa tergugah dan bangkit

untuk membudidayakan temulawak sebagai bahan baku industri obat herbal

disamping memproduksi minuman sehat instan dan sirup temulawak skala rumah

tangga. Bahkan Administratur KPH Randublatung menginginkan agar temulawak

bisa menjadi ikon bagi Perhutani.

2. Pendirian pabrik mini pengolah rimpang temulawak hasil kolaborasi Tim P4MI

Balittro dengan BB. Mektan mendapat dukungan dari Perum Perhutani Unit I jawa

Tengah khususnya KPH Randublatung maupun Perum Perhutani Jakarta. Tiga

LMDH Sidomakmur desa Jatiklampok, Sidodadi Mulyo desa Ngliron dan

Wonosumber Rejeki desa Semanggi, BKPH Ngliron mewujudkan bangunan lantai

rumah pengering, rumah untuk pabrik mini yang berisi lima unit mesin pengolah

temulawak dan gudang.

3. Inisiasi kebun temulawak rakyat dan inisiasi pabrik pengolah rimpang dibangun di

desa Ngliron atas kerja sama multi fihak: LMDH Sidodadi Mulyo, Wonosumber

Rejeki, Sidomakmur, Jati Mulyo, Wono Tani dan Asosiasi LMDH Wahana Makarti

Wana.

4. Masyarakat desa hutan KPH Randublatung berencana mengembangkan budidaya

tanaman temulawak untuk memenuhi pasokan bahan baku pabrik mini untuk

memproduksi produk antara berupa simplisia, tepung sebagai bahan baku obat

herbal.

Anomious. 2003. Geliat petani empon-empon: Membuka peluang pasar melalui

kemitraan dengan PT. Sido Muncul Semarang. Majalah Agribisnis Agrimustika IV

(02):9-10.

Anonimous. 2004. Provinsi Jawa Tengah Kabupaten Blora. Http://pilkada.golkar.or.id/

index.php?action=view&pid=kota&idk=184. Download 3 Mei 2007.

Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2004. Informasi Temulawak Indonesia. 36p.

Bangun, P., A.Pirngadi, Pakim dan H.M.Toha. 1998. Pengaruh persiapan tanam dan

sistem pengendalian gulma terhadap pertumbuhan dan hasil gabah kering padi

gogo pada tegakan tanaman sengon dan kelapa sawit. SemNas VI BDP-OTK.

Padang 24 - 26 Maret 1998.

De Padua, L.S., N. Bunyapraphatsara and R.H.M.J. Lemmens. 1999. Medicinal and

Poisonous plant I.Prosea 12 (1).

78 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Kemala, S., Sudiarto, E.R. Pribadi, JT. Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, M. Rahardjo, B.

Waskito dan H. Nurhayati. 2003. Studi serapan, Pasokan dan pemanfaatan tanaman

obat di Indonesia. Laporan teknis penelitian Bagian proyek penelitian tanaman

rempah dan obat.APBN 2003.61 hal.

Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi MinyakAtsiri, PN Balai Pustaka, Jakarta.

Paramawati, R., S. Triwahyudi, R. J. Gultom dan Mardison. 2006. RekayasaAlsin Pengolah

Biofarmaka Penyakit Degeneratif. Laporan Akhir. Balai Besar Pengembangan

Meknaisasi Pertanian.

Prana, M.S. 1985. Beberapa aspek biologi temulawak ( Roxb.)

prosisidng symposium nasional temulawak. Bandung 17 - 18 September 1985. p. 42

- 48.

Puryono, KS. 2008. Pengelolaan hutan bersama masyarakat sebagai upaya mitigasi

perubahan iklim global. Duta Rimba Eds.28/th 3/Okt./2008. p. 17 - 21.

Curcuma xanthorrhiza

79Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Tabel Lampiran 1. Analisis usaha pembuatan instan temulawak

No. Uraian Fisik VolumeHarga

Satuan

Jumlah

(Rp)

1. Upah- Mencuci, mengupas dan

mengolah bahan baku- Memasak/processing

- Packing & membungkus

HOK

HOK

HOK

1

1

3

20.000

20.000

20.000

20.000

20.000

60.000

Sub jumlah (1) 100.000

2. Bahan- Rimpang temulawak- Gula pasir

- Jeruk nipis- Pandan

- Serai wangi- Minyak tanah

- Sachet kosong/bungkus

kgkg

buahikat

ikatliter

lembar

1520

5010

1010

1.600

3.0008.000

1.000500

5003.500

150

45.000160.000

50.0005.000

5.00035.000

240.000

Sub jumlah (2) 540.000

3. Peralatan

- Penyusutan peralatan masak Unit 0,01 1.000.000 10.000

4. Total biaya (1 + 2 + 3) 650.000

5. Produksi- Bentuk instan- Bentuk sachet @ 20 gram

kgsachet

201 000 1000 1 000.000

6. Nilai tambah/keuntungan (5 -4) setiap 15 kg bahan 350.000

7. B/C rasio = 1,54

Keterangan :

1. Satu kali proses produksi menggunakan bahan baku temulawak segar sebanyak 15 kg.

2. Harga jual instan temulawak / sachet, berat 20gram = Rp.1 000,-

3. Nilai tambah yang diperoleh / kg bahan = Rp. 23.330,-

80 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Tabel Lampiran 2. Analisis usaha pembuatan sirup temulawak

No. Uraian Fisik VolumeHarga

Satuan

Jumlah

(Rp)

1. Upaha.Penyiapan bahan, alat,

mencuci, kupas dllb.Mengolah / prosesing

c. Mengemas & paking

HOK

HOK

HOK

1

1

2

20.000

20.000

20.000

20.000

20.000

40.000

Sub jumlah (1) 80.000

2. Bahan- Rimpang temulawak- Gula pasir

- Jeruk nipis- Pandan

- Serai wangi- Minyak tanah

- Botol

kgkg

kgikat

ikatliter

buah

1030

810

108

90

1.0008.000

7.500500

5003.500

1.000

10.000240.000

60.0005.000

5.00028.000

90.000

Sub jumlah (2) 438.000

3. Alat

- Penyusutan alat memasakdan sealer

Unit 0,01 1.500.000 15.000

4. Total biaya (1 + 2 + 3) 533.000

5. Produksi sirup = 60 liter setara ± 90 botol marjan

6. Harga pokok pro ses = 533.000 / 90 = Rp. 5.922 / botol

7. Harga jual per botol ± Rp. 10.000, -

8. Nilai tambah / botol = Rp. 4.078, - atau Nilai Tambah Total sebesarRp 367 000, -

9. B/C rasio = 1,68

Keterangan :

1. Satu kali proses pembuatan sirup temulawak, menggunakan 10 kg temulawak segar.

81Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Lampiran 3.

Skenario Kegiatan

Temulawak

Demplot Budidaya

tanam 4.11.07

Pemeliharaan

Swadaya & Tim

Panen 4.8.08

Data Produksi

Seleksi bibit &

konsumsi

Perluasan Budidaya

- SOP di bawah Jati

Inisiasi KTR.2008/09

Pemeliharaan Swadaya

2009

Rimpang

Pelatihan proses produksi GMP &

Pemantaban Keterampilan

Budidaya & olah produk

-Perencanaan Site Plan pabrik

-Inisisasi pabrik &Kebun

Temulawak

Rakyat (KTR)

Survai/Penentuan Lokasi

pendirian pabrik mini & K T R

Aspek:

1.Sosial Budaya2.Agroekosistem

3.Sarana prasarana

4.Pasca panenDukungan Teknologi Proses:

1.Pasokan bahan baku

2.Teknologi pengolahan3.Peluang pasar

Kerjasama Strategi:

1.Perhutani KPH Randublatung2.Asosiasi LMDH Wahana Makarti Wana

3.Multi LMDH4.Balittro /P4MI

5.BB.Mektan

6.Pemda Kab. Blora (blm)

82 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Diagram Alir Pengolahan Produk Temulawak

Lampiran 4.

Rimpang Temulawak segar

Pencuci rimpang

Rimpang Bersih

Perajang Rimpang

Pengering

Penepung

Serbuk/tepung40/80 mesh

Pengemasan

dalam

karung/kantong

plastik

Serbuk/tepung

dalam kemasan siap

jual(10-25kg)

Sirup

Penambahan gula &

bumbu (serai, pandan,

jeruk limau, asam)

Pemasakan

Pendinginan

Pengemasan

dalam cup

Penghancur(Blender)

Pengepres /

Kempa

Pengaduk

(Formu la Instan)

Instan

Kemasan

Penstabilan

Sealer

Pemarut & Penyaring

Minuman dalam kemasan

cup plastik

83Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Lampiran 5. Seremoni kunjungan Gubernur Jawa Tengah dan Menteri Kehutanan ke

lokasi pabrik mini pengolah rimpang di Ngliron Blora 5 Oktober 2010

Gambar 13. Diesel bantuan Gubernur Jawa Tengah Gambar 14. Peserta pelatihan “Sosialisasi teknologi

Biofarmaka temulawak” oleh BBP Mektan

Gambar 15. Ka.Balittro berbincang dengan PCMU P4MI Gambar 16. Gubernur Jateng Bibit Waluyo hadir

bersama Wamentan Dr. Bayu Krisnamurti

Gambar 12. Suasana seremoni kunjungan gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo ke desa Ngliron

84 Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat

Gambar 17. Menhut Ir. Zulkifli Hasan mendengarkan

penjelasan dari Ka. Perhutani Unit I Jateng

Gambar 18. Sambutan Menhut kepada peserta pelatihan

“Sosialisasi teknologi Biofarmaka temulawak”

Gambar 19. Wawancara Ka.Balittro dengan Wartawan

majalah Kehutanan ”Bina”

Gambar 20. PCMU (Dr.Eko Ananto) & PJK kegiatan Pelatihan

teknologi biofarmaka (Dr. Raffi Paramawati)

85Penguatan Inovasi Teknologi Mendukung Kemandirian Usahatani Perkebunan Rakyat