cabai sulandari.pdf

download cabai sulandari.pdf

of 20

Transcript of cabai sulandari.pdf

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    1/48

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1  Latar Belakang

    Cabai merupakan salah satu jenis sayuran penting yang dibudidayakan

    secara komersial di negara-negara tropis. Tercatat berbagai spesies cabai yang

    telah didomestikasi, namun hanya Capsicum annuum L. dan C. frutescens L. yang

    memiliki potensi ekonomis (Sulandari, 2004). Cabai yang dibudidayakan secara

    luas di Indonesia juga termasuk kedua spesies ini. Cabai besar dan cabai keriting,

    misalnya, termasuk spesies C. annuum  sedangkan cabai rawit termasuk C.

     frutescens.

    Penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus merupakan salah satu faktor

     pembatas penting dalam budidaya cabai. Beberapa macam virus telah dilaporkan

    dapat menyerang berbagai kultivar cabai di Indonesia (Duriat   et al., 1995;

    Suryaningsih dkk., 1996), empat virus penting di antaranya yaitu cucumber

    mosaic virus (CMV), chilli veinal mottle virus (ChiVMV), potato virus Y  (PVY)

    dan tobaco mosaic virus (TMV) dapat menginduksi gejala mosaik (Nurdin, 1998),

    tiga di antaranya ditemukan berasosiasi dengan penyakit mosaik yaitu TMV,

    CMV dan ChiVMV.

    Penyakit mosaik menjadi penting karena kerugian yang ditimbulkannya

    cukup besar. Penurunan hasil panen akibat penyakit mosaik pada tujuh kultivar

    cabai berkisar mulai dari 32 sampai 75% (Sulyo, 1984). Bahkan hasil penelitian

    Sari dkk. (1997) menunjukkan bahwa serangan virus penyebab penyakit mosaik

    1

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    2/48

    2

    dapat menurunkan jumlah dan bobot buah per tanaman berturut-turut sebesar 81,4

    dan 82,3%. Penurunan produksi juga semakin tinggi karena virus penyebab

     penyakit mosaik ini dapat dengan cepat tersebar ke pertanaman di sekitar sumber

    virus sesuai dengan aktivitas kutudaun (aphids) yang berfungsi sebagai vektornya.

    Sampai saat ini beberapa usaha yang dilakukan untuk pengendalian penyakit

    mosaik pada tanaman cabai belum memberikan hasil seperti yang diharapkan

    (Gallitelli, 1998; Suryaningsih dkk. 1996).

    Sampai sekarang tindakan pengendalian yang dilakukan masih kurang

    memberikan hasil yang memadai karena beberapa alasan, tanaman cabai yang

    terlanjur terinfeksi tidak dapat disembuhkan karena belum ada bahan kimia yang

    yang mampu membasmi virus, hampir semua varietas cabai yang dibudidayakan

    di Indonesia rentan terhadap infeksi virus ( Duriat, 1997; Sulandari, 2004; Taufik,

    2005); sumber inokulum virus di lapang selalu tersedia karena pola penanaman

    cabai yang umumnya tidak serempak; serangga vektor selalu pada tingkat

     populasi yang efektif menularkan virus, sehingga kedua faktor terakhir ini

    memberikan tekanan infeksi yang sangat berat pada tanaman cabai muda yang

     baru dipindahtumbuhkan ( transplanting ).

    Sifat-sifat bioekologi dari ketiga virus ini (TMV, CMV, dan ChiVMV)

    sudah banyak dipelajari (Palukaitis et al. 1992; Laemmlen, 2004; Taufik, 2005).

    Berdasarkan peta bioekologi ini beberapa desain tindakan pengendalian mungkin

    dapat disusun. TMV misalnya, dapat terbawa benih cabai namun tidak dapat

    ditularkan oleh serangga, sehingga penggunaan benih cabai bebas virus bisa

    digunakan sebagai alternatif pengendalian. Teknologi dry heat   treatment  

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    3/48

    3

    (perlakuan panas) terhadap benih cabai mampu menghilangkan sumber inokulum

     primer di lapangan. CMV dan ChiVMV ditularkan oleh kutudaun, maka untuk

    menghindarkan tanaman cabai dari infestasi kutudaun yang membawa virus

    (viruliferous) perlu dicegah agar tidak terjadi infeksi. Dua pendekatan yang

    mungkin dapat dilakukan agar kutudaun infektif tidak mendatangi pertanaman

    cabai yaitu dengan pemasangan mulsa yang bersifat menolak (repellent )

    kedatangan kutudaun dan menggunakan tanaman penghalang. Di samping itu,

     pemanfaatan RNA satellite ( Satellite RNA/SatRNA) sebagai agen proteksi silang

     juga mungkin menjadi salah satu alternatif yang potensial untuk dikembangkan

    dalam pengendalian penyakit mosaik pada tanaman cabai.

    Beberapa penelitian pengendalian penyakit mosaik sudah dilakukan

     berdasarkan bioekologi virusnya di antaranya dengan perlakuan panas dan

     pemanfaatan strain virus lemah. Hasil penelitian Nyana, 2008 pada benih cabai

    dengan perlakuan dry heat  pada suhu 70°C selama 72 jam dapat menginaktifkan 

    TMV, dan meningkatkan daya kecambahnya. Hasil Penelitian Siadi, 2006 (belum

    dipublikasikan) pada tanaman cabai dengan perlakuan penggunaan strain lemah

    CMV-T1 dan CMV-T2 sebagai vaksin menunjukkan bahwa penggunaan vaksin

    CMV-T2 dapat meningkatkan hasil sebesar 57.68% dan 50.48% berturut-turut

    dibandingkan dengan perlakuan kontrol dan perlakuan attenuated-CMV -T1.

    Kemungkinan penelitian untuk menghindarkan tanaman cabai dari infestasi vektor

     belum ada dilaporkan.

    Pada kondisi udara tenang, kutudaun (vektor virus mosaik) akan lebih

     banyak terbang ke arah lokasi yang berwarna hijau seperti adanya pertanaman.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    4/48

    4

    Kutudaun mempunyai prevalensi terhadap warna dan warna yang disukai maupun

    yang tidak disukai sangat tergantung dari spesies kutudaun. Dari spesies-spesies

    kutudaun yang sudah diteliti ternyata hampir semuanya menghindari pantulan

    cahaya perak (Blackman dan Eastop, 2000). Sifat repellent  dari cahaya perak ini

    memberi peluang kepada kita untuk menggunakan mulsa plastik perak sebagai

     pemantul cahaya yang bersifat repellent   terhadap kutudaun. Penularan virus

    dilakukan secara non persisten dan cara penularan ini bisa menjadi celah untuk

    menghindari penularan virus ke tanaman utama dengan menggunakan suatu

    tanaman berukuran lebih tinggi sebagai tanaman penghalang.

    Oleh karena itu, cara pengendalian yang perlu dilakukan dan pendekatan

    yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencegah kontak antara kutudaun

    infektif membawa virus (viruliferous) dengan tanaman cabai yang dibudidayakan.

    Pencegahan dapat dilakukan dengan menggunakan mulsa plastik hitam perak dan

    tanaman penghalang.

    1.2 

    Rumusan Masalah

    Beberapa masalah yang perlu dirumuskan dalam melaksanakan penelitian

    ini antara lain :

    1.  Apakah tanaman penghalang mampu menurukan persentase gejala mosaik

     pada pertanaman cabai.

    2. 

    Apakah mulsa plastik hitam perak mampu menurukan persentase gejala

    mosaik pada pertanaman cabai.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    5/48

    5

    1.3 Tujuan Penelitian

    Beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

     berikut:

    1.  Penggunaan tanaman penghalang mampu menurukan persentase gejala

    mosaik pada pertanaman cabai.

    2.  Penggunaan mulsa plastik hitam perak mampu menurukan persentase gejala

    mosaik pada pertanaman cabai.

    1.4 

    Manfaat Penelitian

    Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh luaran seperti:

    1. 

    Secara akademis, hasil penelitian ini akan memperkaya khasanah ilmu

     pengetahuan khususnya di bidang Virologi Tumbuhan, yang dapat

    digunakan sebagai dasar untuk merancang strategi pengendalian penyakit

    mosaik pada tanaman cabai.

    2. 

    Secara praktis, hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan atau referensi

    untuk mengembangkan teknik pengendalian penyakit mosaik.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    6/48

    6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Karakteristik Tanaman Cabai

    Tanaman cabai merupakan tanaman yang menyerbuk sendiri (self –

     pollinated crop). Namun demikian, persilangan antar varietas secara alami sangat

    mungkin terjadi di lapangan yang dapat menghasilkan ras-ras cabai baru dengan

    sendirinya (Cahyono,2003), sehingga bisa juga terjadi penyerbukan silang. 

    Beberapa sifat tanaman cabai yang dapat digunakan untuk membedakan antar  

    varietas di antaranya adalah percabangan tanaman, pembungaan tanaman, ukuran

    ruas, dan tipe buahnya (Prajnanta,1999).

    Bunga pada tanaman cabai terdapat pada ruas batang dan jumlahnya

     bervariasi antara 1-8 bunga tiap ruas tergantung pada spesiesnya. C. annuum

    mempunyai satu bunga tiap ruas. Sedangkan cabai rawit (C. frutescens)

    mempunyai 1-3 bunga tiap ruas. Ukuran ruas tanaman cabai bervariasi dari

     pendek sampai panjang. Makin banyak ruas makin banyak jumlah bunganya, dan

    diharapkan semakin banyak pula produksi buahnya. Buah cabai bervariasi antara

    lain dalam bentuk, ukuran, warna, tebal kulit, jumlah rongga, permukaan kulit dan

    tingkat kepedasannya. Berdasarkan sifat buahnya, terutama bentuk buah, cabai

     besar dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu : cabai merah, cabai keriting dan

    cabai paprika (Prajnanta,1999). Karakteristik agronomi cabai merah (besar)

     buahnya rata atau halus, agak gemuk, kulit buah tebal, berumur genjah, kurang

    tahan simpan dan tidak begitu pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Timur,

    6

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    7/48

    7

    Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi. Sedangkan cabai merah keriting buahnya

     bergelombang atau keriting, ramping, kulit buah tipis, berumur lebih lama, lebih

    tahan simpan, dan rasanya pedas. Tipe ini banyak diusahakan di Jawa Barat dan

    Sumatera. Cabai paprika buahnya berbentuk segi empat panjang dan biasa

    dipanen saat matang hijau (Nawangsih dkk., 1999; Semangun,2000).

    Umur cabai sangat bervariasi tergantung jenis cabai. Tanaman cabai besar

    dan keriting yang ditanam di dataran rendah sudah dapat dipanen pertama kali

    umur 70 –75 hari setelah tanam. Sedangkan waktu panen di dataran tinggi lebih

    lambat yaitu sekitar 4 – 5 bulan setelah tanam. Panen dapat terus-menerus

    dilakukan sampai tanaman berumur 6 – 7 bulan. Pemanenan dapat dilakukan

    dalam 3 – 4 hari sekali atau paling lama satu minggu sekali (Nawangsih dkk.,

    1999). Cabai rawit juga memiliki banyak varietas, di antaranya adalah cabai mini,

    cabai cengek/ceplik (rawit putih), cabai cengis (rawit hijau) dan lombok japlak.

    Tinggi tanaman cabai rawit umumnya dapat mencapai 150 cm. Daunnya

    lebih pendek dan menyempit. Posisi bunga tegak dengan mahkota bunga

     berwarna kuning kehijauan. Panjang buahnya dari tangkai hingga ujung buah

    hanya mencapai 3,7 – 5,3 cm. Bentuk buahnya kecil dengan warna biji umumnya

    kuning kecoklatan (Setiadi,1997). Pemanenan pertama cabai rawit dapat

    dilakukan setelah tanaman berumur 4 bulan dengan selang waktu satu sampai dua

    minggu sekali. Tanaman cabai rawit dapat hidup sampai 2 – 3 tahun, berbeda

    dengan cabai merah yang lebih genjah (Nawangsih dkk., 1999; Cahyono,2003).

    Tanaman cabai akan tumbuh baik pada lahan dataran rendah yang

    tanahnya gembur dan kaya bahan organik, tekstur ringan sampai sedang, pH tanah

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    8/48

    8

     berkisar antara 5.5 – 6.8, drainase baik dan cukup tersedia unsur hara bagi

     pertumbuhannya. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhannya adalah 18 – 30oC

    (Cahyono, 2003). Secara geografis tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian

    0–1200 m di atas permukaan laut. Pada dataran tinggi yang berkabut dan

    kelembabannya tinggi, tanaman cabai mudah terserang penyakit. Cabai akan

    tumbuh baik pada daerah yang rata-rata curah hujan tahunannya antara 600–1250

    mm dengan bulan kering 3–8,5 bulan dan pada tingkat penyinaran matahari lebih

    dari 45 % (Suwandi dkk., 1997).

    2.2  Penyakit Virus pada Tanaman Cabai

    Terjadinya infeksi virus pada tanaman cabai dapat menurunkan

     pertumbuhan dan produksi tanaman, baik secara kuantitatif maupun kualitatif

    (Syamsidi et al., 1997). Tanaman cabai yang terinfeksi virus menunjukkan gejala

    mosaik; klorosis , keriting , nekrotik, dan kerdil. Gejala mosaik yang terjadi, dapat

    disebabkan oleh beberapa virus yang menyerang tanaman cabai secara bersama-

    sama (sinergi). Penyakit virus mosaik pada tanaman cabai umumnya disebabkan

    oleh gabungan beberapa patogen virus, yaitu CMV (Cucumber Mosaic Virus),

    PVY (Potato Virus Y ), TMV (Tobacco Mosaic Virus). Beberapa virus yang umum

    menyerang tanaman cabai yaitu : virus CMV (Cucumber mosaic virus), TMV

    (Tobacco mosaic virus  ), TEV (Tobacco etch virus), PVY (Potato virus Y ),

    ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus) dan TYLCV (Tomato yellow leaf curl

    virus) (Semangun, 1994; dan Pracaya, 1994). 

    Virus yang menginfeksi tanaman cabai juga menginfeksi tanaman spesies

    lain. Lebih dari 1800 spesies tanaman dilaporkan dapat terserang virus yang sama

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    9/48

    9

    dengan virus yang menyerang tanaman cabai. Untuk mengendalikan virus yang

    menyerang tanaman, hal yang sangat penting dilakukan adalah mendiagnosis

    virus yang menyerang tanaman tersebut. Dengan hasil diagnosis tersebut, dapat

    digunakan sebagai panduan untuk pemberantasan (eradikasi) beberapa sumber

    virus yang potensial, sehingga tanaman cabai maupun tanaman dari spesies lain

    terhindar dari infeksi virus yang menyerang tanaman cabai (Edwarson dan

    Christie, 1997).

    Tanaman cabai seringkali terserang virus dengan menunjukkan gejala

    mosaik, sehingga dapat menurunkan produksi buah cabai. Penyakit virus tersebut

     pada umumnya tersebar karena adanya vektor misalnya, Myzus persicae (aphids),

     Bemisia tabaci (lalat putih), Thrips tabaci (Pracaya, 1994). TMV merupakan virus

    yang diketahui dapat ditularkan melalui benih (seed transmission).

    2.2.1 CMV (Cucumber Mosaic Virus)

    CMV termasuk dalam kelompok Cucumovirus, bersama-sama dengan

    Peanut stunt virus  (PStV) dan Cabaio aspermy virus  (CAV) (Palukaitis et al.,

    1997). CMV mempunyai tiga RNA genom beruntai tunggal (RNA 1, 2, 3), satu

    RNA subgenom (RNA 4). Masing-masing RNA ini mempunyai fungsi genomik

    yang berbeda (Kaper dan Waterwoth 2001). Virus ini mempunyai kisaran inang

    terluas di antara virus tanaman yang diketahui saat ini, dilaporkan dapat

    menginfeksi lebih dari 800 spesies tumbuhan, dapat menyebabkan kerugian besar

     pada berbagai jenis tanaman (Palukaitis et al., 1997). Lebih dari 60 isolat CMV

    sudah diketahui sifat-sifatnya (Kaper dan Waterwoth 2001). Berdasarkan

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    10/48

    10

     beberapa kriteria, isolat CMV dibagi menjadi subgroup I dan II. Wang et al.,

    (1998) membaginya berdasarkan bobot RNA 1 dan RNA 2, Edward dan

    Gonsalves (1999) berdasarkan peptide mapping dari protein mantel (coat protein),

    dan Piazolla et al. (2000) dengan menggunakan hibridisasi RNA. cDNA probe

    yang dikembangkan oleh Owen dan Palukaitis (1998), Wahyuni dan Francki,

    (1996) juga berhasil membedakan isolat CMV subgroup I dari isolat subgroup II.

    CMV terdapat hampir di semua negara dengan strain dan sifat biologinya

    yang berbeda-beda. Dengan kisaran inang yang luas maka gejala yang

    ditimbulkannya pun beragam (Siregar, 1993). CMV mempunyai kisaran inang

    yang sangat luas, terdapat pada tanaman sayuran, hias dan buah-buahan. Selain

    menyerang mentimun, CMV juga menyerang tanaman melon, labu, cabai,

     bayam, tomat, seledri, bit, polong-polongan, pisang, tanaman famili crucifereae,

    delphinium, gladiol, lili, petunia, tulip, zinia, dan beberapa jenis gulma (Agrios,

    2005).

    CMV membutuhkan 3 buah RNA untai tunggal fungsional (RNA 1,2, dan

    3) untuk dapat menginfeksi. Subgenom RNA ke-4 (RNA4) adalah kurir lapisan

     protein subgenomik, komponen RNA ke-5 (CARNA 5) merupakan molekul RNA

     berukuran kecil yang sepenuhnya bergantung pada virus penolong untuk

    replikasinya tetapi tidak mendukung virus penolong dengan fungsi esensial

    apapun (Gallitelli, 1998).

    Ketergantungan satRNA pada virus penolongnya dan ketergantungan

    CMV pada suatu inang yang menyediakan komponen dan proses enzimatik yang

    diperlukan untuk replikasinya, merupakan suatu contoh yang baik dari parasitisme

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    11/48

    11

    tingkat molekuler. Serangan CMV pada cabai dapat menyebabkan berbagai

     perubahan pada daun seperti perubahan warna (mosaik/mosaic  atau

     belang/mottle); perubahan bentuk (menggulung, deformasi, menyempit,

    mengkerut atau berubah seperti tali sepatu/shoestring, berukuran lebih kecil); dan

    mengalami nekrosis (membentuk cincin-cincin nekrotik). Gejala pada batang

    adalah batang mengalami stunt  (kerdil). Sedangkan pada buah adalah buah akan

    mengalami distorsi, diskolorasi, deformasi, sunken areas, black spot , bercak dan

    cincin-cincin nekrotik, serta buah bengkok. Pada tanaman cabai, CMV dapat

    menyebabkan gejala mosaik yang parah pada daun. Pada daun yang lebih tua akan

    tampak gejala nekrotik cincin, buah akan mengalami malformasi, serta terdapat

     bercak atau cincin berwarna kuning di tengah, pada buah dari tanaman yang

    terserang CMV (Gallitelli, 1998).

    Adanya variasi gejala yang ditimbulkan CMV akan sangat sulit untuk

    mengidentifikasinya hanya berdasarkan gejalanya saja. Selain itu, juga sulit untuk

    membedakan isolat CMV dari Cucumovirus lainnya (seperti; Alfalfa mosaic virus,

    Tomato aspermy virus, dan Peanut stunt virus). CMV melakukan infeksi secara

    sistemik pada banyak tanaman. Organ atau jaringan tanaman lebih tua yang

     berkembang sebelum terinfeksi virus biasanya tidak dipengaruhi oleh keberadaan

    virus, namun jaringan atau sel-sel muda yang berkembang setelah terinfeksi virus

    sangat dipengaruhi dan umumnya memperlihatkan gejala akut. Gejala virus akan

    meningkat beberapa hari setelah terjadinya infeksi, kemudian menurun sampai

     pada taraf tertentu atau sampai tanaman mati. CMV relatif kurang stabil dalam

    ekstrak tanaman (sap). Pada suhu ruang infektivitasnya cepat menurun dan akan

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    12/48

    12

    hilang setelah beberapa jam. Pada perlakuan suhu 70oC atau lebih infektivitasnya

    akan hilang sama sekali setelah pemanasan selama 10 menit (Agrios, 2005).

    Penyebaran CMV dapat dilakukan oleh lebih dari 60 spesies aphid,

    khususnya oleh Aphis gossypii dan Myzus persicae secara non-persisten. Virus ini

     bisa ditularkan hanya dalam waktu 5-10 detik dan ditranslokasikan dalam waktu

    kurang dari satu menit. Kemampuan CMV untuk ditranslokasikan menurun kira-

    kira setelah 2 menit dan biasanya hilang dalam 2 jam. Selain itu, beberapa isolat

    dapat kehilangan kemampuannya untuk ditularkan oleh spesies kutudaun tertentu

    tapi tetap dapat ditularkan oleh spesies kutudaun yang lain. Berbagai spesies

    gulma dapat menjadi inang CMV, oleh karenanya dapat menjadi sumber virus

     bagi tanaman budidaya lain (Khetarpal et al., 1998). Pada daerah subtropis CMV

    dapat melewati musim dingin dan bertahan pada gulma-gulma tahunan (Agrios,

    2005).

    2.2.2 ChiVMV (Chilli Veinal Mottle Virus)

    ChiVMV (Chilli veinal mottle virus )  merupakan salah satu virus yang

    menginduksi gejala mosaik, yang dapat menginfeksi tanaman cabai, sehingga

    menjadi kendala dalam produksi cabai Indonesia. Survei yang dilakukan

    sebelumnya pada tahun 2005 melaporkan kejadian penyakit ChiVMV di lapangan

    mencapai 100% (Opriana, 2009). Pengendalian secara konvensional terhadap

    ChiVMV seringkali tidak efisien. Survei juga telah dilakukan di Bali

    menunjukkan bahwa ChiVMV telah menyebar di seluruh kabupaten di Bali (hasil

     pengamatan Nyana,dkk 2010 data tidak diperlihatkan). Karakteristik gejala dari

    virus ChiVMV ini adalah daun belang dan berwarna hijau gelap. Gejala yang

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    13/48

    13

     paling keras akan tampak pada daun yang paling muda, tanaman yang terinfeksi

     pertumbuhannya akan terhambat dan memiliki garis-garis hijau gelap pada batang

    dan cabang. Sebagaian besar terjadi pada bunga sebelum pembentukan buah

    cabai. Beberapa buah yang dihasilkan akan nampak belang-belang, dan hal ini

    akan berdampak pada kehilangan hasil secara signifikan (Opriana, 2009).

    ChiVMV ditularkan oleh beberapa jenis kutudaun seperti: Myzus persicae,

     Aphis gossypii, A craccivora, A spiraecola, dan Hysteroneura setariae. Penularan

    virus ini melalui kutudaun dilakukan secara non persisten, dimana aphids

    mendapat virus dengan mengisap tanaman yang terinfeksi hanya dengan waktu

     beberapa detik, kemudian aphids akan menularkan virus dengan cepat pada

    tanaman sehat, setelah itu dia akan kehilangan virus dan tidak mampu lagi

    menularkan virus pada tanaman yang lain (Millah, 2007).

    2.2.3 TMV (Tobacco Mosaic Virus)

    TMV merupakan virus yang menyerang tanaman dan pertama kali

    ditemukan pada tanaman pada tahun 1880. TMV dapat menginfeksi lebih dari 350

    spesies tanaman dan menyebabkan kerugian yang besar pada tembakau. TMV

    dapat memperbanyak diri jika berada pada sel hidup, tapi virus ini dapat tetap

     bertahan hidup pada fase dorman dan jaringan tanaman yang mati selama

     bertahun-tahun maupun di luar tanaman baik itu di dalam tanah, di permukaan

    tanah maupun pada peralatan yang telah terkontaminasi virus ini. TMV menyebar

    secara mekanis dan serangga seperti aphids tidak dapat menjadi vektor bagi virus

    ini (Garry, 2002).

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    14/48

    14

    Tanaman yang terserang TMV menunjukkan gejala, yaitu daun-daun

    muda berubah menjadi warna belang kuning hijau, keriting serta berkerut,

    tanaman kerdil, buah belang dan berwarna kuning. Gejala lain yang terlihat adalah

    munculnya garis nekrosis pada daun cabai yang menyebabkan terjadinya gugur

    daun (Widodo dan Wiyono, 1995). Virus ini dapat ditularkan secara mekanis

    melalui cairan perasan tanaman sakit, gesekan antar daun yang sakit dan daun

    sehat, melalui biji dan melalui tanah.

    Usaha pengendalian yang dapat dilakukan terhadap TMV adalah dengan

    menghindari bekas tanah yang telah terinfeksi sebelumnya untuk areal pembibitan

    cabai. Selain itu, agar steril tangan pekerja harus dicuci dahulu dengan alkohol

     pada waktu perempelan daun, bunga dan pemindahan bibit ke kebun produksi

    (Nawangsih et. al., 1999). Teknologi dry heat treatment  dengan suhu 70º selama

    48 jam mampu untuk menghilangkan kontiminasi TMV pada benih cabai, tanpa

    merusak daya kecambahnya (Nyana et.al., 2008).

    2.3 Tanaman Penghalang (Barier)

    CMV mempunyai lebih dari 800 spesies tanaman inang termasuk beberapa

    gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman inang utama (Palukaitis et al. 1992;

    Ong, 1995). Banyaknya jenis tanaman inang akan memudahkan virus ini untuk

     bertahan pada saat tanaman inang utama tidak ada di lapangan. Virus ini juga

    dengan mudah dapat ditularkan oleh berbagai spesies kutudaun termasuk di

    antaranya  Aphis glycines, A. craccivora dan  Myzus persicae  yang banyak

    mengkoloni tanaman cabai (Palukaitis et.al., 1992; Ong, 1995). Penularan

    dilakukan secara non-persisten yaitu kutudaun dapat langsung menularkan virus

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    15/48

    15

    ke tanaman sehat segera setelah makan akuisisi pada tanaman sakit sumber virus.

     Namum demikian, kutudaun akan hilang kemampuannya untuk menularkan virus

    setelah makan inokulasi pada tanaman sehat. Kutudaun infektif (membawa virus)

    yang mendatangi pertanaman cabai akan segera menularkan virus pada tanaman

     baru yang dihinggapinya, sehingga walaupun kutudaun tersebut mungkin mati

    akibat pestisida yang diaplikasikan namun tanaman sudah terlanjur tertular virus.

    Cara penularan non-persisten ini menjadi penyebab kegagalan pengendalian

     penyakit mosaik pada tanaman cabai melalui pemberantasan kutudaun dengan

    insektisida.

    Pola penularan virus non-persisten yang tidak mempunyai masa retensi,

    yaitu kemampuan penularan kutudaun akan hilang segera setelah vektor  probing 

     pada tanaman yang dihinggapi (Matthews, 1992), dapat menjadi celah untuk

    menghindari penularan ke tanaman utama dengan menggunakan suatu tanaman

     berukuran lebih tinggi sebagai tanaman penghalang. Kutudaun yang baru hinggap

     pada suatu pertanaman, akan melakukan probing yaitu mencucukkan styletnya ke

    dalam jaringan tanaman untuk mencari tahu apakah tanaman yang dihinggapinya

    itu merupakan inangnya atau bukan. Bila tanaman tersebut mengandung

    komponen yang sesuai bagi kebutuhan hidupnya maka dia akan menetap pada

    tanaman tersebut dan mengkoloninya. Namun kalau tanaman tersebut tidak sesuai

    dengan kebutuhannya maka ia akan meninggalkannya dan terbang ke tempat lain

    sampai inang ditemukan. Bagi kutudaun yang membawa virus, maka kemampuan

    untuk menularkan akan hilang setelah melakukan  probing (Hull, 2002). Peristiwa

    ini dapat digunakan untuk melindungi tanaman cabai yang berukuran lebih

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    16/48

    16

     pendek dengan mengitarinya dengan tanaman yang lebih tinggi, misalnya jagung.

    Kutudaun bersayap yang membawa virus, bila datang ke pertanaman cabai

    cenderung hinggap terlebih dahulu pada tanaman yang lebih tinggi (jagung yang

    mengitari tanaman cabai), lalu melakukan probing sehingga virus yang dibawanya

    habis tercuci, dan apabila kemudian kutudaun pidah ke tanaman cabai tidak akan

    menularkan virus.

    2.4 Mulsa

    Mulsa dapat didefinisikan sebagai setiap bahan yang dihamparkan untuk

    menutup sebagian atau seluruh permukaan tanah dan mempengaruhi lingkungan

    mikro tanah yang ditutupi tersebut. Penggunaan mulsa plastik sudah menjadi

    standar umum dalam produksi cabai, baik di negara-negara maju maupun di

    negara berkembang, termasuk Indonesia. Penggunaan mulsa plastik, terutama

    mulsa plastik hitam perak, dalam produksi sayuran yang bernilai ekonomis tinggi

    seperti cabai, tomat, terong, semangka, melon dan mentimun, semakin hari

    semakin meningkat sejalan dengan peningkatan kebutuhan dan permintaan

    konsumen terhadap produk sayuran tersebut. Meskipun penggunaan mulsa plastik

    ini memerlukan biaya tambahan, tetapi nilai ekonomis dari hasil tanaman mampu

    menutupi biaya awal yang dikeluarkan (Lamont 1993).

    Pengaruh mulsa plastik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sayuran

    terutama ditentukan melalui pengaruhnya terhadap keseimbangan cahaya yang

    menerpa permukaan plastik yang digunakan. Secara umum sebagian cahaya

    matahari yang menerpa permukaan plastik akan dipantulan kembali ke udara,

    dalam jumlah yang kecil diserap oleh mulsa plastik, dan diteruskan mencapai

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    17/48

    17

     pemukaan tanah yang ditutupi mulsa plastik. Kemampuan mulsa plastik dalam

    memantulkan, menyerap dan melewatkan cahaya tersebut ditentukan oleh warna

    dan ketebalan mulsa plastik tersebut (Decouteau et al., 1988, 1989 ; Lamont,

    1993). Cahaya yang dipantulkan permukaan mulsa plastik ke amosfir akan

    mempengaruhi bagian atas tanaman, sedangkan cahaya yang diteruskan ke bawah

     permukaan mulsa plastik akan mempengaruhi kondisi fisik, biologis dan kimiawi

    rizosfir yang ditutupi.

    Cahaya matahari yang diteruskan melewati permukaan mulsa terjebak di

     permukaan tanah yang ditutupinya dan membentuk efek rumah kaca dalam skala

    yang kecil (Tanner, 1974 ; Mahrer, 1979). Panas yang terjebak ini akan

    meningkatkan suhu permukaan tanah, memodifikasi keseimbangan air tanah,

    karbondioksida tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan meningkatkan aktifitas

    mikroorganisme. Secara umum, peningkatan suhu permukaan tanah mungkin

     bukan merupakan yang menguntungkan bagi sayuran yang ditanam di daerah

    tropis, tetapi hal ini sangat menguntungkan bagi tanaman yang ditanam di daerah

    yang dingin dan beriklim sub-tropis. Namun demikian di daerah tropis, pengaruh

    mulsa plastik terhadap aktifitas mikroorganisme (sebagai akibat peningkatan suhu

    rizosfir) sangat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman

    melalui peningkatan konsentrasi karbon dioksida di zona pertanaman (Fahrurrozi

    et al., 2001) dan suplai beberapa hara makro (Hill et al.,  1982). Efektifitas

     penggunaan mulsa plastik di daerah tropis juga diperoleh dari kemampuan fisik

    mulsa plastik melindungi tanah dari terpaan langsung butir hujan,

    mempertahankan kegemburan tanah-tanah di bawahnya, mencegah pencucian

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    18/48

    18

    hara, mencegah percikan butir tanah ke tanaman, mencegah penguapan air tanah,

    dan memperlambat pelepasan karbon dioksida tanah hasil respirasi aktivitas

    mikroorganisme.

    Mulsa plastik yang berwarna perak memiliki kemampuan memantulkan

    sekitar 33 persen cahaya matahari yang menerpa permukaannya (Fahrurrozi dan

    Stewart, 1994), tergantung jumlah zat pewarna yang digunakan dan ketebalan

    mulsa. Pantulan cahaya ini mampu mengurangi efek pemanasan rizosfir di bawah

     permukaan plastik, dan juga merupakan rentang cahaya yang disukai oleh

    serangga, sehingga serangga akan mengikuti arah pantulan dan meninggalkan

     pertanaman, akibatnya populasi serangga, misalkan aphids  dan thrips, dapat

     berkurang di areal pertanaman yang diusahakan. Kemampuan menekan populasi

    serangga ini dan mencegah terjadinya pemanasan berlebihan merupakan salah

    satu alasan mengapa plastik bewarna perak digunakan dalam produksi tanaman

    sayuran. Fungsi lain dari mulsa hitam perak adalah agar pemanfaatan sinar

    matahari tidak hanya secara langsung terkena tanaman cabai, sehingga proses

    fotosintetsis dapat berlasung pada kedua sisi daun. Keuntungan lain dari adanya

    warna perak itu adalah sinar yang dipantulkan oleh mulsa dapat mengurangi

     perkembangan hama aphids dan tungau yang selalu bersarang pada tanaman cabai

    serta secara tidak langsung dapat menekan serangan penyakit virus (Fahrurrozi et

    al., 2001). 

    Pada kondisi udara tenang, telah diketahui bahwa kutudaun akan lebih

     banyak terbang ke arah lokasi yang berwarna hijau seperti adanya pertanaman.

    Telah diketahui pula bahwa kutudaun mempunyai prevalensi terhadap warna dan

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    19/48

    19

    warna yang disukai maupun yang tidak disukai sangat tergantung dari spesies

    kutudaun. Dari spesies-spesies kutudaun yang sudah diteliti ternyata hampir

    semuanya menghindari pantulan cahaya perak (Blackman dan Eastop, 2000).

    Sifat repellent dari cahaya perak ini memberi peluang kepada kita untuk

    menggunakan mulsa plastik hitam perak sebagai pemantul cahaya yang bersifat

    repellent terhadap kutudaun.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    20/48

    20

    BAB III

    KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Kerangka Konsep Penelitian

    Tingkat produksi cabai di Indonesia masih sangat rendah, dengan rata-rata

    hasil 6,35 ton/ha, apabila dibandingkan dengan potensi produksi cabai yang dapat

    mencapai 10 ton/ha. Salah satu faktor penyebab rendahnya produksi cabai

    diakibatkan oleh penyakit mosaik. Kerugian atau penurunan hasil akibat adanya

    serangan dari virus mosaik ini berkisar antara 32% sampai dengan 75%. Virus

    yang berasosiasi dengan mosaik di antaranya CMV, TMV dan ChiVMV. Masing-

    masing virus memiliki karakter tertentu, dimana TMV yang ditularkan melalui

     benih dapat dikendalikan dengan DHT (dry heat treatment ), untuk CMV dan

    ChiVMV pemanfaatan RNA satelit (Satellite RNA/SatRNA) atau CMV avirulen

    sebagai agen proteksi silang juga menjadi salah satu alternatif yang potensial

    untuk dikembangkan dalam pengendalian penyakit mosaik pada tanaman cabai.

    CMV dan ChiVMV diketahui sangat mudah ditularkan oleh kutudaun, maka

    menghindarkan tanaman cabai dari infestasi kutudaun yang membawa virus

    (viruliferous) dapat dilakukan dengan pemasangan mulsa yang bersifat menolak

    (repellent ) kedatangan kutudaun, dan penanaman tanaman penghalang diharapkan

    agar kutudaun infektif tidak sampai membawa virus ke pertanaman cabai.

    Desain pengendalian dalam penelitian ini berdasarkan sifat dan prilaku

    kutudaun sebagai vektor yang menginduksi gejala mosaik pada tanaman cabai. Di

    samping itu, deteksi yang dilakukan guna menentukan penyebab gejala mosaik

    dilakukan melalui uji ELISA. Penelitian ini dilakukan pada lahan yang memiliki

    20

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    21/48

    21

    sumber inokulum penyakit mosaik yang cukup tinggi, sehingga hasilnya akan

    mendekati kondisi pertanaman cabai yang dimiliki oleh petani.

    Secara skematis kerangka berpikir dapat dilihat pada Gambar 3.1.

    Gambar 3.1 Kerangka berpikir dan konsep penelitian

    3.2 Hipotesis

    Beberapa hipotesis yang diajukan dan akan dibuktikan dalam penelitian ini

    adalah sebagai berikut:

    1. 

    Penggunaan tanaman penghalang mampu menurunkan persentase gejala

    mosaik pada pertanaman cabai.

    2. 

    Penggunaan mulsa plastik hitam perak mampu menurunkan persentase

    gejala mosaik pada pertanaman cabai.

    Uji Lapang 

    Pengendalian 

    1.CMV avirulent

    2. Dry Heat

    3. Pencegah vektor (mulsa plastik

    dan tanaman penghalang 

    Penyakit mosaik berasosiasi

    dengan TMV, CMV dan ChiVMV

    Produksi cabai rendah

    Faktor Pembatas 

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    22/48

    22

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian

    Universitas Udayana Jalan Pulau Moyo Kecamatan Denpasar Selatan pada

    ketinggian tempat enam (6) meter di atas permukaan laut. Waktu pelaksanaan

     penelitian dimulai dari bulan Maret 2010 – Oktober 2010.

    4.2 Bahan dan Alat

    Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai rawit

    lokal yang sudah diberi perlakuan dry heat , benih jagung, mulsa plastik hitam

     perak, sekam, bambu, pupuk kandang dan pupuk NPK, Reagen untuk ELISA,

    Antiserum CMV, TMV, dan ChiVMV. Alat yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah tray, gunting, cangkul, sabit, cawan Petri, pinset, kertas merang,

    timbangan, meteran, penggaris, selang, dan ember.

    4.3 Rancangan Percobaan

    Penelitian ini menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin ( Latin

    Square) dibagi menjadi 3 kelompok dengan 3 perlakuan dan 3 kali ulangan dalam

    masing-masing petak atau perlakuan. Perlakuan terdiri dari : penanaman cabai

    menggunakan tanaman penghalang (Barier), penanaman cabai dengan

    menggunakan mulsa (Mulsa) dan tanpa tanaman penghalang dan mulsa (Kontrol).

    Jarak tanam yang digunakan 50 cm x 100 cm , dengan jumlah tanaman per petak

    22

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    23/48

    23

    22 tanaman, sehingga jumlah tanaman seluruhnya adalah 198 tanaman. Tata letak

     petak percobaan diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi kaidah rancangan

     bujur sangkar latin. Penempatan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 4.1.

    4.4 Pelaksanaan Penelitian 

    4.4.1 Pembenihan 

    Pembuatan benih cabai rawit dilakukan dengan penyeleksian benih yaitu

    dengan cara merendam biji cabai rawit dalam air. Biji yang  baik akan tenggelam

    sedangkan biji-biji yang keriput akan mengambang dan yang mengambang

    dibuang. Sebelum disemai, benih cabai rawit diperam dengan cara meletakkan

     benih di atas kertas merang lembab kemudian di tempatkan di germinator selama

    dua hari. Pemeraman ini bertujuan untuk mendapatkan benih-benih yang

     perkecambahannya seragam sebelum ditanam dalam persemaian.

    S

    U

    Mulsa

    Barier

    KontrolMulsa

    Kontrol

    Barier

    Barier

    Mulsa

    Kontrol

    Keterangan :I, II, III = Kelompok

    Ukuran petak : 200 X 600 cmJarak tanam : 50 X 100 cm

    I

    II

    III

    Gambar 4.1 Denah Penempatan Percobaan di Lapangan

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    24/48

    24

    4.4.2 Penanaman Benih di Pesemaian

    Selama pemeraman benih dilakukan penyiapan media pesemaian, berupa

    tanah yang sudah diayak halus dan ditempatkan pada tray. Tray  dengan 128

    lubang yang sudah berisi media ditanami benih-benih yang sudah berkecambah

    dalam pemeraman sebanyak 2-3 biji per lubang. Setelah penanaman selesai,

    ditaburi sekam padi untuk mengamankan benih dari gangguan fisik pada saat

     penyiraman.

    Benih yang sudah ditanam dipelihara secara intensif. Pemeliharaan tersebut

    meliputi penyiraman, penyiangan, penyulaman, pemupukan, pengendalian hama

    dan penyakit. Pemeliharaan benih di pesemaian sejak semai sampai siap pindah ke

    lapangan memerlukan waktu kurang lebih 32 hari. Pemeliharaan benih dilakukan

    di rumah kaca yang kedap serangga.

    4.4.3 Persiapan Lahan dan Penanaman

    Lahan diolah sebagaimana mestinya dan dibuat guludan dengan panjang

    600 cm dan lebar sekitar 200 cm. Setiap lubang tanam diisi dengan pupuk

    kandang dengan dosis 5 kg dan pupuk NPK sebanyak 20 g per lubang sebagai

     pupuk dasar. Untuk perlakuan mulsa, guludan ditutup dengan mulsa plastik yang

     berwarna hitam perak dan dibuatkan lubang berdiameter 10 cm dengan jarak 50

    cm x 100 cm sesuai dengan jarak tanam. Demikian juga untuk perlakuan tanaman

     penghalang dan kontrol, dilakukan pengolahan tanah yang sama.Petak-petak

     perlakuan dibuat sedemikian rupa sehingga masing-masing memiliki 3 guludan.

    Tata letak petak percobaan diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi kaidah

    rancangan acak latin.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    25/48

    25

    Bibit cabai ditanam pada lubang-lubang yang sudah ditentukan sesuai

    dengan jarak tanamnya, dan dilakukan pemeliharaan tanaman yang disesuaikan

    dengan kebutuhan tanaman.

    Untuk perlakuan barier, tiga minggu sebelum bibit cabai ditanam, di

    sekeliling petak perlakuan ditanami dua baris tanaman jagung dengan jarak tanam

    rapat (20 cm) sebagai barier. Penanaman jagung sebagai barier untuk kedua

    kalinga dilakukan setelah jagung yang ditanam pertama mencapai umur 70 hari.

    4.4.4 Pemeliharaan Tanaman di Lapangan

    Pemeliharaan tanaman di lapangan meliputi: penyiraman, penyulaman,

     penyiangan, dan pemupukan. Penyiraman tanaman dilakukan secara intensif pada

     pagi hari atau sore hari pada awal pertumbuhan. Setelah tanaman tumbuh kuat dan

     perakarannya dalam, pengairan berikutnya dilakukan dengan cara leb dan

    dilakukan setiap minggu. Penyulaman dilakukan untuk menggantikan tanaman

    yang mati, dan ini dilakukan sampai umur tanaman dua minggu di lapangan.

    Penyiangan dilakukan untuk mengendalikan gulma yang tumbuh di sekitar

     pertanaman dan dilakukan tiap dua minggu sekali. Pemupukan dilakukan setelah

    umur tanaman mencapai satu bulan di lapangan dengan menggunakan pupuk NPK

    dengan dosis 20 g tiap tanaman, selanjutnya pemberian pupuk dilakukan setiap

    satu bulan sekali.

    4.5 Pengamatan

    Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mengamati perkembangan

    gejala mosaik yang terjadi pada semua individu tanaman pada setiap petak

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    26/48

    26

     percobaan. Konfirmasi infeksi virus pada tanaman yang bergejala mosaik

    dilakukan melalui uji ELISA. Data dari pengamatan-pengamatan selama

     pertumbuhan tanaman dikumpulkan dan data tersebut disusun dalam bentuk tabel.

    Beberapa variabel pertumbuhan dan hasil tanaman yang diamati dalam percobaan

    ini adalah :

    1.  Gejala penyakit

    Gejala yang diamati adalah gejala mosaik yang tampak pada tanaman

    cabai. Seperti daun belang hijau tua atau hijau muda, perubahan bentuk

    daun menjadi lengkung kriting atau memanjang. Pengamatan gejala

    dilakukan setiap minggu mulai minggu ke-3 setelah tanam dengan

    mencatat perkembangan gejala mosaik yang terjadi pada semua individu

    tanaman pada setiap petak percobaan.

    2.  Tinggi tanaman (cm)

    Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai pucuk tanaman

    tertinggi. Pengamatan mulai dilakukan ketika cabai sudah berumur 2

    minggu setelah tanam dan diteruskan setiap minggu sampai tercapai hasil

    maksimum.

    3. 

    Jumlah cabang primer per tanaman (buah)

    Jumlah cabang primer per tanaman diperoleh dengan menghitung semua

    cabang yang tumbuh pada batang utama, yang sudah mempunyai panjang

    2 cm dan dua pasang daun telah terbuka. Pengamatan dimulai pada

    minggu ketiga setelah penanaman di lapangan. Selanjutnya diamati setiap

    minggu sampai mencapai jumlah cabang maksimum.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    27/48

    27

    4. Hasil buah per tanaman (g)

    Hasil panen adalah berat segar buah panen per tanaman (g).

    Berat segar buah panen didapat dengan menimbang buah yang baru

    dipanen per tanaman kemudian dihitung secara kumulatif berat segar dari

    setiap kali panen, selama tujuh kali penen.

    4.6 ELISA. 

    Konfirmasi infeksi virus pada tanaman yang bergejala mosaik dilakukan

    melalui uji ELISA sebagai berikut: Sebanyak 0,5 ul antiserum terhadap virus

    TMV, CMV atau ChiVMV (Agdia, USA) di campurkan ke dalam 100 ul coating

     buffer (0.1 g magnesium klorid, 0,2 g sodium azid, dan 97 ml dietanolamin

    dilarutkan dalam 1000 ml dengan pH akhir 9,8) dan dimasukkan ke plat mikrotiter

    sebanyak 100 ul tiap sumuran plat kemudian diinkubasikan pada suhu 37ºC

    selama 2 jam atau -4ºC semalam. Selanjutnya plat mikrotiter dicuci sebanyak 6

    kali dengan bafer PBST 1X (8 g sodium klorid, 1,15 g sodium fosfat dibasic, 0,2 g

     potassium fosfat monobasic, dan 0,5 g tween-20 yang dilarutkan dalam 1 liter air

    dengan pH 7,4). Sebanyak 0,1 g jaringan daun cabai bergejala dilumatkan dengan

    mortar dalam 1 ml general  extract buffer   ( 1,3 g sodium sulfite, 20 g

     polyvinylpyrolidone, 0,2 g sodium azide, 2 g powdered egg (chiken) albumin, dan

    20 g tween-20 yang dilarutkan ke dalam 1 l PBST 1X dengan pH 7,4. Cairan

     perasan (sap) yang dihasilkan diambil sebanyak 100 ul kemudian dimasukkan ke

    dalam sumuran plat mikrotiter dan kemudian diinkubasikan selama waktu seperti

    tahap sebelumnya. Selanjutnya plat mikrotiter dicuci lagi sebanyak 6 kali dengan

    PBST 1X. Setelah dicuci dengan bufer PBST 1X, pada sumuran yang sama diisi

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    28/48

    28

    100 ul enzim konjugat yang sudah diencerkan dengan  ECI buffer (2 g bovine

    serum albumin, 20 g  polyvinylpyrrolidone, dan 0,2 g sodium azide yang

    dilarutkan dalam 1 l PBST 1X dan ph 7,4) dan diinkubasi pada 37ºC selama 2

     jam. Setelah pencucian, sumuran kemudian ditambah 100 ul larutan PNP (1

    mg/ml  p-nitrophenyl phosphate  dalam 10% triethanolamine, pH 9,8) dan

    diinkubasi sampai muncul warna kuning (+ 30 menit). Nilai absorban diukur pada

    405 nm dengan ELISA Reader .

    4.7 Analisis Data

    Untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan yang diberikan, maka data

    hasil pengamatan ditabulasikan sehingga diperoleh nilai rata-rata. Selanjutnya

    dilakukan analisis keragaman sesuai rancangan yang digunakan. Apabila

     perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nilai rata-rata

    dengan uji BNT.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    29/48

    29

    BAB V

    HASIL DAN PEMBAHASAN 

    5.1 Gejala Penyakit

    Gejala yang diamati dengan adanya infeksi virus mosaik pada penelitian

    ini adalah dengan gejala mosaik yang tampak pada tanaman cabai. Seperti daun

     belang hijau tua atau hijau muda, perubahan bentuk daun menjadi lengkung

    kriting atau memanjang dan kerdil. 

    Dari hasil penelitian ini didapatkan, terjadinya

    infeksi mosaik pada kontrol sebesar 60.6% menunjukkan bahwa tempat dimana

     penelitian ini dilakukan memiliki sumber inokulum mosaik yang cukup tinggi.

    (Tabel 5.1).

    Tabel. 5.1 Persentase tanaman bergejala mosaik

    3 4 5 6 7 CMV TMV Chi VMV 

    PerlakuanJumlahTanaman

    Tanaman bergejala mosaik

     pengamatan minggu ke-

    (%)

    Konfirmasi dengan ELISA

     pada pengamatan minggu

    ke-7 (%)

    Barier 66 12.1 18.2 21.2 24.2 57.6 13.6 7.6 3.0

    Mulsa 66 3 4.5 9.1 12.1 22.7 4.5 4.5 -

    Kontrol 66 24.2 27.3 60.6 93.9 95.5 48.5 19.7 12.1

    Gejala mosaik tertinggi didapatkan pada kontrol, dan setelah dikonfirmasi

    dengan ELISA hasilnya menunjukkkan positif terinfeksi virus mosaik. Kejadian

    ini berpengaruh nyata terhadap perkembangan tinggi tanaman, jumlah cabang dan

    hasil.

    29

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    30/48

    30

    Persentase tanaman yang menunjukkan gejala mosaik pada perlakuan

    kontrol sudah mulai terlihat paling tinggi pada umur 3 minggu setelah tanam

    (mst), sampai dengan pengamatan 7 mst, yang kemudian diikuti oleh perlakuan

     barier dan perlakuan mulsa yang terendah. Demikian juga dengan konfirmasi uji

    ELISA menunjukkan bahwa pada perlakuan kontrol, infeksinya paling tinggi,

    kemudian diikuti oleh perlakuan barrier dan mulsa, baik terhadap infeksi CMV,

    TMV dan ChiVMV.

    Tingginya infeksi CMV pada perlakuan kontrol, disebabkan karena CMV 

    mempunyai banyak jenis tanaman inang, yaitu lebih dari 800 spesies tanaman

    inang termasuk beberapa gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman inang utama

    (Palukaitis et al. 1992; Ong, 1995). Banyaknya jenis tanaman inang akan

    memudahkan virus ini untuk bertahan pada saat tanaman inang utama tidak ada di

    lapangan. Virus ini juga dengan mudah dapat ditularkan oleh berbagai spesies

    kutudaun termasuk diantaranya  Aphis glycines, A. craccivora dan Myzus persicae 

    yang banyak mengkoloni tanaman cabai (Palukaitis et al. 1992; Ong, 1995).

    Penularan CMV dilakukan secara non-persisten yaitu kutudaun dapat langsung

    menularkan virus ke tanaman sehat segera setelah makan akuisisi pada tanaman

    sakit sumber virus. Namum demikian, kutudaun akan hilang kemampuannya

    untuk menularkan virus setelah menginokulasi tanaman sehat (barier). Cara

     penularan non-persisten ini menjadi penyebab kegagalan pengendalian penyakit

    mosaik pada tanaman cabai melalui pemberantasan kutudaun dengan insektisida.

    Kutudaun infektif (membawa virus) yang mendatangi pertanaman cabai akan

    segera menularkan virus pada tanaman baru yang dihinggapinya, sehingga

    walaupun kutudaun tersebut mungkin mati akibat pestisida yang diaplikasikan

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    31/48

    31

    namun tanaman sudah terlanjur tertular virus. Pola penularan virus non-persisten

    akan hilang segera setelah ia  probing pada tanaman yang dihinggapi (Matthews,

    1992). Bagi kutudaun yang membawa virus, maka kemampuan untuk menularkan

    akan hilang setelah melakukan  probing (Hull, 2002). Peristiwa ini dapat

    digunakan untuk melidungi tanaman cabai yang berukuran lebih pendek dengan

    mengitarinya dengan tanaman yang lebih tinggi, misalnya jagung. Kutudaun

     bersayap yang membawa virus, bila datang ke pertanaman cabai cenderung

    hinggap terlebih dahulu pada tanaman yang lebih tinggi (jagung yang mengitari

    tanaman cabai), lalu melakukan probing sehingga virus yang dibawanya habis

    tercuci, dan apabila kemudian kutudaun pidah ke tanaman cabai tidak akan

    menularkan virus. Kutudaun akan lebih banyak terbang ke arah lokasi yang

     berwarna hijau seperti adanya barier. Kutudaun mempunyai prevalensi terhadap

    warna dan warna yang disukai maupun yang tidak disukai sangat tergantung dari

    spesies kutudaun.

    Spesies-spesies kutudaun yang sudah diteliti ternyata hampir semuanya

    menghindari pantulan cahaya perak yang berasal dari mulsa plastik (Blackman

    dan Eastop, 2000). Sifat repellent dari cahaya perak ini memberi peluang untuk

    menggunakan mulsa plastik hitam perak sebagai pemantul cahaya yang bersifat

    repellent terhadap kutudaun (Fahrurrozi et al., 2001).

    Munculnya gejala penyakit sebagai interaksi antara patogen, inang dan

    lingkungan, yang sering dinyatakan dalam bentuk hubungan segi tiga, dimana

    untuk bisa terjadi dan berkembangnya penyakit secara optimal, makaharus

    terdapat kondisi seperti; tumbuhan inang yang rentan, patogen yang aktif, dan

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    32/48

    32

    kondisi lingkungan yang menguntungkan. Pengaruh keadaan lingkungan terhadap

     penyakit virus terutama adalah terhadap inang, mengingat virus tidak dapat

    mengadakan metabolisme sendiri sehingga tidak dapat dimodifikasikan. Sinar

    matahari dan suhu sering bersifat menentukan terhadap sifat dan beratnya gejala.

    Pada kondisi yang sangat ekstrem, gejala bahkan mungkin tidak nampak untuk

    sementara waktu, dan baru akan muncul kembali bila kondisinya sudah sesuai

    lagi. Unsur hara dan air adalah merupakan faktor lingkungan yang sangat

    menentukan juga, karena kebanyakan virus memerlukan metabolisme inang yang

    aktif untuk keperluan perbanyakannya (Bos, 1994). Adapun gejala mosaik yang

    dijumpai dalam penelitian ini adalah ; daun menguning, menggulung, belang,

    nekrotik, tanaman kerdil, sampai terjadinya perubahan bentuk (malformasi).

    Munculnya gejala penyakit virus pada tanaman inang disebabkan oleh

    adanya asam nukleat virus (RNA atau DNA) yang masuk kedalam jaringan

    tanaman. Walaupun demikian dalam jumlah asam nukleat virus yang cukup besar

    dalam tumbuhan belum tentu dapat memperlihatkan gejala. Konsentrasi virus

    yang tinggi pada tumbuhan bukan hanya memerlukan protein sebagai selubung

    yang disintesis oleh virus untuk kebutuhan sendiri, tetapi yang lebih penting

    adalah pengaruh secara tidak langsung terhadap metabolisme inang. Pengaruh

    tersebut mungkin terjadi melalui sintesis protein baru (asing) oleh tumbuhan yang

    disebabkan oleh virus (enzim, hormon, dan lain-lain) yang menyebabkan

    metabolisme inang menjadi terganggu (Bos, 1994). Gejala yang disebabkan oleh

    CMV, TMV dan ChiVMV. (Gambar 5.1.)

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    33/48

    33

    B

    C D

    A

     

    Gambar 5.1 Karakteristik tanaman cabai yang terinfeksi virus mosaik

    (A) tanaman sehat ; (B) gejala CMV : Bagian daun berwarna lebih hijau dari

     bagian lain sebagai akibat klorofil di sekitarnya telah mengalami klorosis ; (C)

    gejala ChiVMV : Daun belang, berwarna hijau gelap, paling keras pada

    tanaman yang paling muda, pertumbuhannya terhambat, dan memiliki garis

    hijau gelap pada batang dan cabang ; (D) gejala TMV : Daun-daun muda

     berubah menjadi warna belang kuning hijau, keriting serta berkerut, tanaman

    kerdil, buah belang dan berwarna kuning, nekrosis pada daun sampai bisa

    terjadi gugur daun.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    34/48

    34

    0

    10

    20

    30

    40

    50

    60

    70

    80

    90

    II III IV V VI VII VIII IX

       T   i   n   g   g   i   T   a   n   a   m   a   n    (   C   m    )

    Waktu Pengamatan (Minggu)

    BARIER

    MULSA

    KONTROL

    5.2 Tinggi Tanaman 

    Hasil analisis menunjukkan bahwa tinggi tanaman pada perlakuan mulsa

     berbeda nyata (P< 0,05) dengan perlakuan kontrol dan barier, berdasarkan uji

    BNT pada taraf 5%. Tabel 5.2.

    Tinggi tanaman maksimum tertinggi terdapat pada perlakuan mulsa yaitu

    81.8 cm, yang diikuti oleh perlakuan barier yaitu 62.06 cm, dan paling rendah

    ditunjukkan oleh perlakuan kontrol yaitu 47.6 cm. Perkembangan tinggi tanaman

    akibat pengaruh perlakuan mulsa dan barier dapat dilihat pada Gambar 5.2.

    Gambar 5.2 Grafik perkembangan tinggi tanaman selama 9 minggu yang diberi

     perlakuan barier, mulsa dan kontrol

    Gejala yang muncul dari tanaman yang terinfeksi virus pada umumnya

    dapat menyebabkan terjadinya khlorosis yang dapat mengganggu sistem

    metabolisme dari tanaman itu sendiri. Hampir pada semua penyakit virus

    tanaman, virus tersebut terdapat pada seluruh bagian tanaman dan gejala yang

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    35/48

    35

    dihasilkan disebut gejala sistemik. Gejala sistemik yang dihasilkan oleh interaksi

    antara inang dengan virus tertentu sangat bervariasi dari ringan, lemah (mild )

    sampai kuat atau tajam (severe). Infeksi virus yang sudah menyebar secara

    sistemik pada jenis atau kultivar inang tertentu mengakibatkan gejala yang

     bervariasi, misalnya kerdil. Mosaik ditandai dengan terbentuknya pulau-pulau

    hijau yaitu bagian daun berwana lebih hijau dari bagian lain sebagai akibat

    klorofil disekitarnya mengalami klorosis. Perubahan morfologi juga terjadi karena

    malformasi, yaitu perubahan bentuk bagian tumbuhan. Epinasti yaitu terjadinya

     pertumbuhan anak daun yang kecil dan memanjang pada permukaan bawah

    tulang utama daun. Distorsi yaitu pengurangan ukuran bagian tumbuhan, gejala

    lain yaitu daun mengeriting, daun menggulung atau nekrosis yang meluas. Gejala

    yang sangat nyata dari tanaman yang terinfeksi virus biasanya muncul pada daun,

    tetapi beberapa jenis virus mungkin menyebabkan gejala yang lebih kuat pada

     batang, buah dan akar dengan atau tanpa gejala yang berkembang pada daun.

    Beberapa virus yang sudah berhasil menyebar secara sistemik dalam inang

    tertentu ada yang tidak memberikan gejala makroskopis. Banyak virus yang

    menginfeksi inang tertentu tanpa pernah menyebabkan gejala yang dapat dilihat,

    dan virus tersebut disebut virus laten dan inangnya disebut pembawa tanpa gejala.

    Tanaman yang menghasilkan gejala setelah infeksi oleh virus tertentu mungkin

    tetap tanpa gejala dibawah lingkungan tertentu, dan gejala yang demikian disebut

    gejala terselubung. Gejala berat yang muncul segera setelah inokulasi yang

    mungkin dapat menyebabkan kematian inang, namun jika inangnya dapat

     bertahan hidup pada permulaan fase serangan , maka gejala cenderung menjadi

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    36/48

    36

    lebih lemah pada bagian tanaman yang berkembang, kemudian yang mungkin

    dapat sembuh sebagian atau secara total dan keadaan ini akan sangat berpengaruh

    terhadap pertumbuhan tinggi tanaman (Agrios, 1996).

    Tinggi tanaman sangat berkaitan dengan gejala yang muncul pada

    tanaman yang terinfeksi. Tanaman yang menunjukkan adanya gejala infeksi virus

    akan mengalami gangguan dalam sistem metabolismenya. Penurunan produksi

    hormon tumbuh yang dihasilkan tanaman yang disertai dengan penurunan jumlah

    khlorofil adalah merupakan pengaruh umum yang terjadi pada tanaman yang

    terinfeksi virus, hal ini akan menyebabkan terjadinya gangguan dalam

     pertumbuhan tanaman yang akan mempengaruhi tinggi tanaman (Agrios, 1996).

    Pada umumnya virus dapat menyebabkan terjadinya penurunan laju

    fotosintesis melalui penurunan jumlah khlorofil, meningkatkan respirasi,

    meningkatkan aktivitas enzim, menurunkan jumlah zat pengatur tumbuh yang

    dapat mempengaruhi sistem fungsional sel tanaman secara langsung maupun

    tidak langsung. Bila kekacauan metabolik tersebut dapat ditolerir oleh tumbuhan

    maka tidak menyebabkan gejala, sedang yang lain mempunyai pengaruh buruk

    terhadap inang sehingga menimbulkan gejala (Agrios, 1996).

    5.3 Jumlah Cabang

    Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah cabang tanaman cabai pada

     perlakuan mulsa berbeda nyata (P0,05) berdasarkan uji

    BNT. (Tabel 5.2 ).

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    37/48

    37

    0

    2

    4

    6

    8

    10

    12

    III V VII IX

       J   u   m    l   a    h   C   a    b   a   n   g    (   B   u   a    h    )

    Waktu Pengamatan (Minggu ke)

    BARRIER

    MULSA

    KONTROL

    Jumlah cabang maksimum tertinggi terdapat pada perlakuan mulsa yaitu

    10.6 buah, yang diikuti oleh perlakuan barier yaitu 8.9 buah, dan paling rendah

    ditunjukkan oleh perlakuan kontrol yaitu 7.8 buah Gambar 5.3.

    Gambar. 5.3 Grafik perkembangan jumlah cabang tanaman cabai selama 9

    minggu pada petak yang diberi perlakuan barier, mulsa dan kontrol

    Pertumbuhan vegetatif tanaman yang lebih baik pada perlakuan mulsa

    dapat mengakibatkan terjadinya proses metabolisme yang lebih baik terutama

    dalam proses fotosintesis. Proses metabolisme yang lebih baik pada periode

    vegetatif sangat mempengaruhi proses dimana tanaman memasuki periode

    generatif. Keadaan ini menunjukkan bahwa tanaman yang diberikan perlakuan

     barier dan kontrol akan mengalami gangguan awal pada periode pertumbuhannya.

    Pengaruh mulsa plastik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman

    ditentukan melalui keseimbangan cahaya yang menerpa permukaan plastik yang

    digunakan. Secara umum seluruh cahaya matahari yang menerpa permukaan

     plastik, sebagian akan dipantulan kembali ke udara, dan hanya sebagian kecil

    diserap dan diteruskan mencapai pemukaan tanah. Kemampuan mulsa plastik

    dalam memantulkan, menyerap dan melewatkan cahaya tersebut ditentukan oleh

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    38/48

    38

    warna dan ketebalan mulsa plastik tersebut (Decouteau et al., 1988, 1989 ;

    Lamont, 1993). Cahaya yang dipantulkan permukaan mulsa plastik ke amosfir

    akan mempengaruhi bagian atas tanaman, sedangkan cahaya yang diteruskan ke

     bawah permukaan mulsa plastik akan mempengaruhi kondisi fisik, biologis dan

    kimiawi rizosfer yang ditutupi.

    Cahaya matahari yang diteruskan melewati permukaan mulsa terjebak di

     permukaan tanah yang ditutupinya dan membentuk efek rumah kaca dalam skala

    yang kecil (Tanner, 1974 ; Mahrer et al., 1979). Panas yang terjebak ini akan

    meningkatkan suhu permukaan tanah, memodifikasi keseimbangan air tanah,

    karbondioksida tanah, menekan pertumbuhan gulma, dan meningkatkan aktifitas

    mikroorganisme.

    5.4 Berat Segar Buah

    Hasil analisis menunjukkan bahwa berat segar buah yang dicapai pada

     perlakuan mulsa berbeda nyata (P

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    39/48

    39

    Berat segar buah dari hasil panen yang didapatkan dalam penelitian ini

    sangat berfluktuasi dari masing-masing waktu panen. Hasil buah segar tertinggi

    dicapai pada panen ke-5 untuk perlakuan mulsa dan kontrol, sedangkan untuk

     perlakuan barier panen tertinggi dicapai pada panen ke-4 seperti terlihat pada

    gambar 5.4.

    Gambar. 5.4 Berat segar buah cabai selama 7 kali panen pada perlakuan barier,mulsa dan kontrol

    Penggunaan mulsa plastik hitam perak dan penanaman tanaman

     penghalang terbukti sangat berpengaruh terhadap hasil berat segar buah tanaman

    cabai. Berat segar buah tertinggi tanaman cabai dicapai pada perlakuan mulsa

    yaitu 22 ton/Ha, yang diikuti oleh perlakuan barier yaitu sebesar 16 ton/Ha, dan

     paling rendah dicapai oleh perlakuan kontrol yaitu sebesar 5.6 ton/Ha seperti

    terlihat pada Gambar 5.5.

    0

    50

    100

    150

    200

    250

    1 2 3 4 5 6 7

       B   e   r   a   t   s   e   g   a   r    b   u   a

        h    (   g    )

    Waktu Panen ( minggu)

    BARRIER

    MULSA

    KONTROL

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    40/48

    40

    Gambar 5.5 Pengaruh perlakuan terhadap berat segar buah cabai pada perlakuan

     barier, mulsa dan kontrol

    Peningkatan berat segar buah pada perlakuan mulsa dan barier yaitu

    sebesar 74.54%  dan 65% dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Tingginya

     berat segar buah pada perlakuan mulsa disebabkan karena pertumbuhan tanaman

    dari awal sudah lebih baik dari perlakuan barier dan kontrol. Pada perlakuan

     barier dan kontrol dari awal pertumbuhannya sudah mengalami hambatan, karena

    terjadinya infeksi virus mosaik pada tanaman cabai yang cukup tinggi sehingga

    dapat mengganggu veriabel pertumbuhan tanaman yang akan berpengaruh

    terhadap berat segar buah.

    Penurunan berat segar buah sebagai akibat dari adanya infeksi virus

    mosaik akan menyebabkan terjadinya gangguan dalam sistem metabolisme

    inangnya. Gejala yang biasanya dominan muncul pada tanaman yang terinfeksi

    virus mosaik terdapat pada daun maupun pada batangnya. Penurunan hormon

    0

    5

    10

    15

    20

    25

    BARRIER MULSA KONTROL

    16

    22

    5.6

       H   a   s   i    l

        (   t   o   n    /    h   a    )

    Perlakuan

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    41/48

    41

    tumbuh yang dihasilkan tanaman yang disertai dengan penurunan jumlah

    khlorofil, adalah merupakan pengaruh umum yang terjadi pada tanaman yang

    terinfeksi virus. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya gangguan dalam

     pertumbuhan tanaman, khususnya tinggi tanaman (Agrios, 1996).

    Pengaruh mulsa plastik terhadap aktivitas mikroorganisme (sebagai akibat

     peningkatan suhu rizosfir) sangat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan

    dan hasil tanaman melalui peningkatan konsentrasi karbon dioksida di zona

     pertanaman (Fahrurrozi et al., 2001) dan suplai beberapa hara makro (Hill et al., 

    1982). Efektifitas penggunaan mulsa plastik dapat melindungi tanah dari terpaan

    langsung butir hujan, mempertahankan kegemburan tanah-tanah di bawahnya,

    mencegah pencucian hara, mencegah percikan butir tanah ke tanaman, mencegah

     penguapan air tanah, dan memperlambat pelepasan karbon dioksida tanah hasil

    respirasi aktivitas mikroorganisme.

    Mulsa plastik yang berwarna perak memiliki kemampuan memantulkan

    sekitar 33 persen cahaya matahari yang menerpa permukaannya (Fahrurrozi dan

    Stewart, 1994), tergantung jumlah zat pewarna yang digunakan dan ketebalan

    mulsa. Pantulan cahaya ini mampu mengurangi efek pemanasan rizosfir di bawah

     permukaan plastik, dan juga merupakan rentang cahaya yang disukai oleh

    serangga, sehingga serangga akan mengikuti arah pantulan dan meninggalkan

     pertanaman, akibatnya populasi serangga, seperti aphids  dan thrips, yang

    merupakan vektor virus penyebab penyakit mosaik dapat berkurang di areal

     pertanaman yang diusahakan. Kemampuan menekan populasi serangga ini dan

    mencegah terjadinya pemanasan berlebihan merupakan salah satu alasan mengapa

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    42/48

    42

     plastik bewarna perak digunakan dalam produksi tanaman sayuran. Fungsi lain

    dari mulsa plastik hitam perak adalah agar pemanfaatan sinar matahari tidak

    hanya secara langsung terkena tanaman cabai, sehingga proses photosintesis dapat

     berlasung pada kedua sisi daun. Keuntungan lain dari adanya warna perak itu

    adalah sinar yang dipantulkan oleh mulsa dapat mengurangi perkembangan hama

    aphids dan tungau yang selalu bersarang pada tanaman cabai serta secara tidak

    langsung dapat menekan serangan penyakit virus, sehingga jika pertumbuhan

    lebih baik maka ketahanan tanaman akan lebih meningkat. (Fahrurrozi et. al.,

    2001). 

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    43/48

    43

    BAB VI

    SIMPULAN DAN SARAN

    6.1 Simpulan

    Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat

    disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

    1. 

    Dalam penelitian ini mulsa plastik dan barier terbukti mampu untuk

    menurunkan persentase gejala infeksi virus mosaik pada areal pertanaman

    cabai.

    2. 

    Produksi cabai tertinggi dicapai pada perlakuan mulsa plastik yaitu sebesar

    22 ton/ha.

    6.2 Saran

    Mulsa plastik hitam perak bisa dijadikan alternatif pengendalian penyakit

    mosaik pada tanaman cabai melengkapi perlakuan dry heat dan attenuated CMV

    yang sudah dibuktikan mampu mengendalikan serangan virus mosaik.

    43

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    44/48

    44

    DAFTAR PUSTAKA

    Agrios, G.N. 1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan, Gajah Mada University Press,

    Yogyakarta.

    Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th

     Ed. Academic Press, New York.

    Blackman RL, Eastop VF. 2000.  Aphids on the World’s Crop. An identification

    and Information Guide 2nd  eds. New York : John Wiley and Sons.

    Bos, L. 1994. Pengantar Virologi Tumbuhan. Penerjemah Triharso. Gajah Mada

    University Press.

    Cahyono, B. 2003. Teknik Budidaya Cabai rawit dan Analisis Usaha Tani.

    Kanisius. Yogyakarta.

    Dauffus, J. 1971. Role of weeds in the incidence of virus diseases. Annu. Rev.

    Phytopathol. 9: 224-319.

    Decoteau, D.R., M.J. Kasperbauer, D.D. Daniels and P.G. Hunt. 1988. Plastic

    mulch color effects on reflected light and tomato plant gowth. Scientia

    Hortic. 34:169-175. 

    Dolores, L. M. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the AVNETII Midterm Workshop Philippines 21-23 Februari 1995. AVRDC.

    Duriat, A. S., Y. Sulyo, N. Gunaeni, E. Korlina. 1995. Screening of pepper

    cultivars for resistance to Cucumber mosaic virus (CMV) and Chilli veinal

    mottle virus (ChiVMV) in Indonesia. Proceeding of the AVNET II MidtermWorkshop Philippines 21-23 Februari 1995. AVRDC.

    Edwardson, J.R., R.G. Christie. 1997. Virus Infecting Peppers and Other

    Solanaceus Crop. University of Florida. USA.

    Edwards, M. C., D. Gonsalves. 1999. Gouping seven biologically defined isolates

    of Cucumber mosaic virus (CMV) by peptide mapping. Phytopathology 73:1117-1120.

    Escriu, F., K. L. Perry, F. Garcia-Arenal. 2000. Transmissibility of Cucumber

    mosaic virus  (CMV) by  Aphis gossypii  correlates with viral accumulation

    and is affected by the presence of its satellite RNA. Phytophathology 90:1068-1072.

    Fahrurrozi, K.A. Stewart. 1994. Effects of mulch optical properties on weed

    gowth and development. HortScience 29 (6):545 

    Fahrurrozi, K.A. Stewart, S. Jenni. 2001. The early gowth of muskmelon in

    mulched mini-tunnel containing a thermal-water tube. I. The carbon dioxideconcentration in the tunnel. J. Amer. Soc. For Hort. Sci. 126:757-763.

    44

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    45/48

    45

    Gallitelli. D. 1998. Present status of controlling Cucumber mosaic virus (CMV). In: Hadidi A, Khetarpal RK, Koganezawa H (eds.) Plant Virus Disease

    Control. APS Press. pp: 507-523.

    Garry. 2002. Tobacco Mosaic Virus. In: Plant disease Facts. Departemen of Plant

    Phatologhy. University of Pennsyvania State University. Geenleaf , W. H. 1986. Pepper breeding. In: Hawkes JG (ed.) Breeding Vegetable

    Crops. The Avi Publishing Company Inc. Connecticut. pp: 67-134.

    Hill, D.E., L. Hankin, G.R. Stephens. 1982. Mulches: Their effect on fruit set,

    timing and yield of vegetables. Conn. Ag. Exp. Sta. Bulletin. 805. 

    Hull R. 2002. Matthews’ Plant Virology. Fourth Ed. San Diego: Academic Press.

    [IISR] Indian Institute of Spices Research. 2004. Chillipepper database of

    varieties. India.

    Khetarpal, R. K., B. Maisonneuve, Y. Maury, B. Chalhouh, Dinant, H. Lecoq, A.Varma. 1998. Breeding for resistance to plant viruses.  In: Hadidi A,

    Khetarpal RK, Koganezawa H (eds.) Plant Virus Disease Control. APS

    Press. pp: 14-32.

    Kaper, J. M., H. E. Waterworth. 2001. Cucumoviruses.  In: E. Kurstak (ed.)

    Handbook of Plant Virus Infections: Comparative Diagnosis. Elsevier/North

    Holland Biomedical Press. pp: 257-332.

    Lamont, W. J. 1993. Plastic mulches for the production of vegetable crops.HorTechnology. 3 (1) : 35-38. 

    Mahrer, Y. 1979. Prediction of soil temperatures of a soil mulched with

    transparent polyethylene. J. Applied Meteorology. 18:1263-1267. 

    Matthews, REF. 1991. Plant Virology. Academic Press. San Francisco.

    Matthews, REF. 1992. Foundamentals of plant virology. Academic Press, Inc.

    California.

    Millah, Z. 2007. Pewarisan Karakter Ketahanan Tanaman CabaiTerhadap InfeksiChilliVeinal Mottle Virus. Tesis. Departemen Agronomi dan Hortikultura.

    IPB.

     Nawangsih, A.A., H. Purwanto, W. Agung. 1999. Budidaya Cabai  Hot Beauty.Cetakan kedelapan. Penebar Swadaya. Jakarta.

     Nurdin. 1998. Identifikasi Virus Penyebab Mosaik dan Kerdil pada Cabai Besar(Capsicum annuum L.). Thesis Pascasarjana IPB.

     Nyana, D.N. 2002. Penggunaan Attenuated-CMV untuk mengendalikan

    Cucumber Mosaic Virus (CMV) Starin Bali pada Tanaman Tomat. Tesis.Progam Studi Bioteknologi Pertanian Progam Pasca Sarjana Universitas

    Udayana. Denpasar.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    46/48

    46

     Nyana, D.N., G.Suastika, K.T.Natsuaki, H.Sayama. 2008. Control of CucumberMosaic Virus on Tobacco by Attenuated-CMV. ISSAAS Journal 11 (3) : 97-

    102.

    Ong C.A. 1995. Symptomatic variants of CVMV in Malaysia. Proceeding of the

     AVNET II Midterm Workshop. Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC.

    Opriana, E. 2009. Metode Deteksi Untuk Pengujian Respon Ketahanan Beberapa

    Genotipe Cabai Terhadap Infeksi Chilli Veinal Mottle Potyvirus (ChiVMV).Tesis. Departemen Proteksi Tanaman IPB.

    Owen, J., P. Palukaitis. 1998. Characterization of Cucumber mosaic virus. I.

    Molecular heterogeneity mapping of RNA 3 in eight CMV strains. Virology

    166: 495-502.

    Palukaitis, P., M. J. Roossinck, R. G. Dietzgen, R. I. B. Francki. 1997. Cucumber

    mosaic virus. Adv. Virus Res. 41: 281-348.

    Parker, W .E., R. H. Collier, P. R. Ellis, A. Mead, D. Chandler, J. A. Blood

    Smyth, G. M. Tatchell. 2002. Matching control options to a pest complex:

    The integated pest management of aphids in sequentially-planted crops of

    outdoor lettuce. Crop Protection 21: 235-248.

    Piazolla, P., J. R. Diaz-Ruiz, J. M. Kaper. 2000. Nucleic acid homologies of

    eighteen Cucumber mosaic virus  isolates determined by competitionhybridization. J. Gen. Virol. 45: 361-369.

    Prajnanta, F. 1999. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Cetakan ke 4.Penebar Swadaya. Jakarta.

    Sari, C. I. N., R. Suseno, Sudarsono, M. Sinaga. 1997. Reaksi Sepuluh Galur

    Cabai Terhadap Infeksi Isolat Cucumber mosaic virus  (CMV) dan Potato

    virus Y   (PVY) asal Indonesia.  In: Prosiding Konges Nasional XIV dan

    Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Palembang 27-29Oktober 1997. pp: 116-119.

    Sayama, H. M. Kominato, M. Ubukata, T. Sato. 2001. Three-year assessment

    of the practical application of cross-protection in processing tomato fieldsusing an attenuated Cucumber mosaic virus  (CMV) strain containing an

    ameliorative satellite RNA. In: Hartz TK (ed.) Proceeding of the SeventhInternational Symposium on the Processing Tomato. Acta Horticulture

     Number 542: VII. International symposium on the processing tomato.

    Sayama, H., T. Sato, M. Kominato, K. T. Natsuaki, J. M. Kaper. 1999. Field

    testing of a satellite-containing attenuated strain of Cucumber mosaic virus 

    (CMV) for tomato protection in Japan. Phytophathology: 83: 405-410.

    Setiadi. 1997. Bertanam Cabai. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    47/48

    47

    Siregar, E.B.M, 1993. Assosiasi Virus Mosaik Ketimun-Satelit RNA-5 dalamMemproteksi Tanaman Tomat ( Lycopersicon esculentum Mill.) dan Cabai

    Merah (Capsicum annuum L.) terhadap Virus Mosaik Ketimun Patogenik.

    Laporan Penelitian Progam Pascasarjana. IPB.

    Sulyo, Y. 1984. Penurunan hasil beberapa varietas Lombok akibat infeksi

    Cucumber mosaic virus  (CMV) di rumah kaca. Laporan Hasil Penelitian,Balai Penelitian Hortikultura Lembang 1982/1983.

    Sulandari S. 2004. Karakterisasi Biologi, Serologi dan Analisis Sidik Jari DNA

    Virus Penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai. Disertasi SPs IPB.

    Bogor.

    Suryaningsih, Sutarya R, Duriat AS (1996) Penyakit tanaman cabai merah dan

     pengendaliannya. In: Duriat AS, Wijaya W, Hadisoeganda A, Soetiarso TA,Prabaningum L (eds.) Teknologi Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan PengembanganPertanian. p: 64-84.

    Sutarya, R., A. S. Duriat. 1991. Respon beberapa kultivar cabai terhadap

    Cucumber mosaic virus (CMV), Tobacco etch virus (TEV) dan campuaran

    dari CMV+TEV. Buletin Penelitian Hortikultura. 21(1): 72-76.

    Suwandi, N., Nurtika, S. Sahat. 1997. Bercocok tanam sayuran dataran rendah.

    Balai Penelitian Hortikultura Lembang dan Proyek ATA 395. Lembang. pp:

    3.1-3.6.

    Syamsidi, S.R., T. Hasdiatono., dan S.S Putra. 1997. Ketahanan cabai merah

    terhadap Cucumber Mosaic Virus (CMV) pada umur tanaman pada saatinokulasi. Prosiding Konggres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah.

    Perhimpunan Fitopalogi Indonesia.

    Tanner, B. 1974. Microclimate modification : Basic concepts. HortScience, 9:555-

    560.

    Wewerarane, W. A. P. G., D. R. Yapa. 2002. Reaction of chilli accession to local

    isolates of Cucumber mosaic virus  (CMV) and Chilli veinal mottle virus (ChiVMV). Annals of the Sri Lanka Department of Agiculture 4: 345-352.

    Wahyuni, W.S., R. I. B. Francki. 1996. Responses of some gain and pasture

    legumes to 16 strains of Cucumber mosaic virus (CMV). Austr. J. Agic. Res.

    43: 465-477.

    Wahyuni, W.S. 2005. Dasar-Dasar Virologi Tumbuhan. Gajah Mada University

    Press. Bulaksumur, Yogyakarta.

    Wang, W. Q., K. T. Natsuaki, S. Okuda, M. Teranaka. 1998. Comparison of

    Cucumber mosaic virus (CMV) isolates by double-stranded RNA analysis.

    Ann. Phytophathol. Soc. Japan 54: 536-539.

  • 8/20/2019 cabai sulandari.pdf

    48/48

    48

    Widodo., S. Wiyono. 1995. Agrotek. Wahana Informasi dan Alih TeknologiPertanian. 2(2) : 70-72