PENGARUH STRATEGI SCAFFOLDING DALAM PEMBELAJARAN SIMAYANG ...digilib.unila.ac.id/27142/2/SKRIPSI...
Transcript of PENGARUH STRATEGI SCAFFOLDING DALAM PEMBELAJARAN SIMAYANG ...digilib.unila.ac.id/27142/2/SKRIPSI...
PENGARUH STRATEGI SCAFFOLDING DALAM PEMBELAJARANSIMAYANG UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR
DAN MODEL MENTAL PADA MATERI LARUTANELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT
(Skripsi)
Oleh
SHELLA PRATIWI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG2017
ABSTRAK
PENGARUH STRATEGI SCAFFOLDING DALAM PEMBELAJARANSIMAYANG UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR
DAN MODEL MENTAL PADA MATERI LARUTANELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT
Oleh
SHELLA PRATIWI
Penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaruh strategi scaffolding dalam pem-
belajaran SiMaYang untuk meningkatkan motivasi belajar dan model mental pada
materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Populasi dalam penelitian adalah
seluruh siswa kelas X IPA SMA Al-Azhar 3 Bandarlampung yang terdiri dari
enam kelas pada semester genap tahun pelajaran 2016/2017. Metode penelitian
yang digunakan adalah pretest-posttest control group design. Penentuan sampel
dilakukan secara acak dengan menggunakan teknik cluster random sampling dan
diperoleh sampel kelas X IPA 3 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 4 sebagai
kelas kontrol berdasarkan pertimbangan nilai pretes. Menurut kriteria ukuran
pengaruh Dincer bahwa effect size motivasi belajar dan model mental pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol termasuk ke dalam kriteria besar, akan tetapi pada
kelas eksperimen 97% motivasi belajar dipengaruhi oleh pembelajaran dengan
strategi scaffolding sampai kriteria tinggi sebesar 67,44% siswa, sedangkan kelas
kontrol 93% motivasi belajar dipengaruhi oleh pembelajaran SiMaYang tanpa
strategi scaffolding sampai kriteria tinggi sebesar 2,33% siswa. Pada kelas
eksperimen 98% model mental dipengaruhi oleh pembelajaran dengan strategi
Shella Pratiwi
scaffolding sampai kriteria baik sekali sebesar 97,67% siswa, sedangkan kelas
kontrol 97% model mental dipengaruhi oleh pembelajaran SiMaYang tanpa
strategi scaffolding sampai kriteria baik sekali sebesar 48,84% siswa. Kesimpulan
dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh strategi scaffolding dalam pem-
belajaran SiMaYang untuk meningkatkan motivasi belajar dan model mental pada
materi larutan elektrolit dan non elektrolit.
Kata Kunci : model mental, motivasi belajar, pembelajaran SiMaYang, pengaruh,
dan strategi scaffolding
PENGARUH STRATEGI SCAFFOLDING DALAM PEMBELAJARANSIMAYANG UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR
DAN MODEL MENTAL PADA MATERI LARUTANELEKTROLIT DAN NON ELEKTROLIT
Oleh
SHELLA PRATIWI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA PENDIDIKAN
Pada
Program Studi Pendidikan KimiaJurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDARLAMPUNG2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandarlampung pada tanggal 22 November 1995 sebagai
putri pertama dari tiga bersaudara buah hati Bapak Syamsudin dan Ibu Heryati.
Penulis mengawali pendidikan formal di TK Kartika II-26 Bandarlampung pada
tahun 2000 diselesaikan pada tahun 2001. Kemudian melanjutkan pendidikan di
SD Kartika II-5 (Persit) Bandarlampung pada tahun 2001 diselesaikan pada tahun
tahun 2007, SMP Negeri 01 Bandarlampung pada tahun 2007 diselesaikan pada
tahun tahun 2010, SMA Negeri 9 Bandarlampung pada tahun 2010 diselesaikan
pada tahun tahun 2013.
Tahun 2013 terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia
Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Lampung melalui seleksi jalur tes
Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Pada tahun 2016 mengikuti Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang
terintergrasi dengan Kuliah Kerja Nyata Kependidikan Terintegrasi (KKN-KT) di
SMA Negeri 2 Ulubelu, Kecamatan Ulubelu, Kabupaten Tanggamus.
PERSEMBAHAN
Dengan Menyebut Nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
Dengan baitan-baitan syukur kepada-Nya “Alhamdulillahirabbil ‘alamin”
kupersembahkan lembaran goresan tinta ini kepada :
Ayah dan Ibu
Yang penuh kesabaran dalam membimbing, mendidik, menemani,
dan menyemangati dengan kelembutan doa dan kasih sayang.
Terimakasih atas jerih payah dan kerja kerasnya yang tidak akan
pernah terlupakan. Semoga Allah SWT membalas semua jasa dan
pengorbanan ayah dan ibu.
Adik-Adikku (Shinta Octavia dan Sonia Saphira)
Yang selalu memberi semangat, do’a, dan warna di hidupku
Keluarga Besarku (Abdullah Gayounihan dan Solihin Galaratu)
Yang selalu mendukungku dan memberikan motivasi
Rekanku, sahabatku, dan almamaterku
MOTTO
Manusia yang paling baik adalah yang bisa memberi manfaat
bagi manusia lainnya
(HR Al-Thabarani)
Jangan ketergantungan dengan orang lain, berusahalah mandiri
selagi mampu
(Shella Pratiwi)
Selamat, sukses, dan bahagia di dunia maupun di akhirat
(Shella Pratiwi)
SANWACANA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatdan hidayah-
Nya, sehingga skripsi yang berjudul “pengaruh strategi scaffolding dalam
pembelajaran SiMaYang untuk meningkatkan motivasi belajar dan model mental
pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit” sebagai salah satu syarat untuk
mencapai gelar sarjana pendidikan dapat diselesaikan dengan baik. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurah kepada Nabi besar Rasulullah Muhammad SAW atas
suri tauladan serta syafa’atnya kepada seluruh umat manusia.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Dekan FKIP Unila.
2. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA.
3. Ibu Dr. Ratu Betta Rudibyani, M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Kimia dan selaku pembahas atas kesediannya untuk memberikan nasehat,
motivasi, doa, kasih sayang, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian
kuliah dan penyusunan skripsi.
4. Bapak Drs. Tasviri Efkar, M.S., selaku Pembimbing I atas kesediaan dan
pembimbing akademik atas keikhlasan, dan kesabarannya memberikan
bimbingan, doa, motivasi, saran, dan kritik dalam proses perbaikan serta
penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Dr. Sunyono, M.Si., selaku Pembimbing II kesediaannya selama
memberi bimbingan, doa, masukan, kritik dan saran, serta motivasi.
6. Seluruh Dosen Program Studi Pendidikan Kimia dan dosen lain yang telah
memfasititasi penulis dalam menuntut ilmu selama lebih dari tiga tahun ini.
7. Ayah Syamsudin dan Ibu Heryati atas segala doa, pengorbanan, cinta,
semangat, dukungan, serta bimbingannya.
8. Adik Shinta Octavia dan Sonia Saphira serta Seluruh keluarga besar Solihin
Galaratu dan Abdullah Din yang telah memberikan semangat, nasehat, dan
doa selama penyelesaian skripsi.
9. Ibu Ice Rosina Sari, S.Pd., selaku guru pamong saat penelitian di SMA Al-
Azhar 3 Bandarlampung yang telah bersedia membimbing selama pelaksaan
penelitian.
10. Sahabat seperjuanganku, Absurdz atas kerja sama dan dukungannya selama
penyusunan skripsi ini. Sahabat-sahabat terbaikku selama perkuliahan dan
Teman-temanku di Pendidikan Kimia 2013.
11. Seluruh sahabatku dari aku kecil hingga beranjak dewasa dan teman dekatku
terimakasih atas segala doa, dukungan, dan motivasi yang kalian berikan
kepadaku.
12. Semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu per satu.
Akhir kata, sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Aamiin.
Bandarlampung, Juni 2017Penulis,
Shella Pratiwi
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xv
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 6
E. Ruang Lingkup.............................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 10
A. Strategi Scaffolding ....................................................................... 10
B. Pembelajaran SiMaYang ............................................................. 22
C. Motivasi Belajar ........................................................................... 25
D. Model Mental ............................................................................... 33
E. Kerangka Pemikiran ..................................................................... 35
F. Anggapan Dasar ........................................................................... 39
G. Hipotesis Penelitian ..................................................................... 39
III. METODOLOGI PENELITIAN........................................................... 40
xi
A. Populasi dan Sampel Penelitian ................................................... 40
B. Desain Penelitian .......................................................................... 40
C. Prosedur Pelaksanaan Penelitian .................................................. 41
D. Perangkat Pembelajaran ............................................................... 45
E. Instrumen Penelitian ..................................................................... 47
F. Analisis Data ................................................................................. 481. Analisis Validitas dan Reabilitas Instrumen .......................... 482. Analisis Pengaruh Pembelajaran SiMaYang ......................... 50
G. Teknik Pengujian Hipotesis .......................................................... 60a. Uji Normalitas ........................................................................ 61b. Uji Homogenitas .................................................................... 62c. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata ................................................ 63
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 66
A. Hasil Penelitian ............................................................................. 66
B. Pembahasan .................................................................................. 83
V. SIMPULAN DAN SARAN................................................................. 99
A. Simpulan ...................................................................................... 99
B. Saran ............................................................................................ 99
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 101
LAMPIRAN ............................................................................................... 107
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Tipe-tipe scaffolding ............................................................................. 15
2. Sintaks (tahapan) pembelajaran model SiMaYang ............................... 24
3. Desain penelitian pretest-posttest control group desaign ...................... 41
4. Kategori dari validitas instrumen ........................................................... 50
5. Kriteria derajat reliabilitas (r11) ............................................................. 50
6. Rubrik penilaian scaffolding .................................................................. 51
7. Analisis rubrik penilaian scaffolding ..................................................... 53
8. Skoring angket motivasi belajar model ARCS ..................................... 54
9. Kategori motivasi belajar siswa ............................................................ 55
10. Rentangan skor total dan kriteria model mental siswa .......................... 57
11. Klasifikasi kategori-kategori model mental ........................................... 58
12. Tafsiran ketercapaian pelaksanaan pembelajaran .................................. 60
13. Hasil uji validitas tes motivasi belajar ................................................... 67
14. Hasil uji validitas soal tes model mental ............................................... 68
15. Analisis data lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran SiMaYangpada kelas eksperimen............................................................................ 71
16. Analisis data lembar observasi keterlaksanaan pembelajaran SiMaYangpada kelas kontrol................................................................................... 72
17. Uji normalitas one sample kolmogorov-smirnov test motivasibelajar .................................................................................................... 77
xiii
18. Uji homogenitas one sample kolmogorov-smirnov test motivasibelajar .................................................................................................... 77
19. Uji normalitas one sample kolmogorov-smirnov test modelmental ..................................................................................................... 80
20. Uji homogenitas one sample kolmogorov-smirnov test modelmental ..................................................................................................... 80
21. Data hasil uji perbedaan dua rata-rata nilai n-Gain motivasi belajarSiswa ...................................................................................................... 81
22. Data hasil uji perbedaan dua rata-rata nilai n-Gain model mentalSiswa ...................................................................................................... 81
23. Effect size motivasi belajar ..................................................................... 82
24. Effect size model mental......................................................................... 83
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Scaffolding level 1 ........................................................................ 17
2. Scaffolding level 2 ................................................................................. 20
3. Scaffolding level 3 ................................................................................. 21
4. Fase-fase model pembelajaran SiMaYang ............................................ 24
5. Keterkaitan tiga level representatif dengan model mental .................... 34
6. Prosedur pelaksanaan penelitian ........................................................... 45
7. Tingkatan level scaffolding .................................................................... 69
8. Persentase Kriteria ZPD siswa ............................................................... 70
9. Persentase skor motivasi belajar siswa kelas eksperimen ...................... 73
10. Persentase skor motivasi belajar siswa kelas kontrol ............................ 74
11. Persentase nilai motivasi belajar ........................................................... 75
12. Persentase kriteria n-Gain motivasi belajar siswa ................................. 76
13. Persentase kriteria model mental awal siswa ........................................ 78
14. Persentase kriteria model mental akhir siswa ....................................... 79
15. Diagram n-Gain model mental siswa .................................................... 79
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Analisis konsep .................................................................................... 108
2. Analisis SKL-KI-KD ........................................................................... 110
3. Silabus.................................................................................................. 114
4. Contoh RPP pembelajaran SiMaYang................................................. 129
5. Contoh RPP scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang ................... 138
6. Contoh LKS pembelajaran SiMaYang ................................................ 147
7. Contoh LKS scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang................... 161
8. Lembar kerja percobaan daya hantar listrik......................................... 175
9. Rubrik penilaian scaffolding ................................................................ 179
10. Handout larutan elektrolit dan non elektrolit ....................................... 184
11. Lembar observasi dan analisis data keterlaksanaan strategi scaffoldingdalam pembelajaran SiMaYang........................................................... 198
12. Lembar observasi dan analisis data keterlaksanaan pembelajaranSiMaYang ............................................................................................ 203
13. Lembar validitas ahli angket motivasi belajar ..................................... 208
14. Kisi-kisi angket motivasi belajar ......................................................... 218
15. Angket motivasi belajar kimia siswa ................................................... 219
16. Kisi-kisi soal tes model mental materi larutan elektolit dan nonelektrolit ............................................................................................... 222
17. Rubrik penilaian model mental ........................................................... 223
xvi
18. Rubrik penilaian soal tes model mental materi larutan elektrolitdan non elektrolit ................................................................................. 224
19. Soal tes model mental materi larutan elektolit dan non elektrolit........ 229
20. Analisis uji validitas dan reliabilitas angket motivasi belajar.............. 233
21. Analisis uji validitas dan reliabilitas soal tes model mental ................ 237
22. Skor pretes dan postes motivasi belajar siswa ..................................... 239
23. Perhitungan pretes dan postes motivasi belajar siswa ......................... 247
24. Nilai pretes dan postes motivasi belajar siswa..................................... 257
25. Nilai n-Gain motivasi belajar siswa ..................................................... 265
26. Hasil analisis data tes model mental .................................................... 269
27. Analisis ukuran pengaruh (effect size) ................................................. 275
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu kimia awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen untuk
mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam
khususnya yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, transformasi,
dinamika dan energetika zat, oleh karena itu mata pelajaran kimia mempelajari
segala sesuatu tentang hal tersebut yang melibatkan keterampilan dan penalaran.
Ilmu kimia dapat menjelaskan secara mikro (molekuler) terhadap fenomena
makro berbagai aspek tentang zat. Pembelajaran kimia dan penilaian hasil belajar
kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai sikap, proses, dan
produk (Anonim, 2003).
Dalam proses pembelajaran kimia, siswa seringkali dihadapkan pada materi yang
abstrak, dan diluar pengalaman siswa sehari-hari sehingga materi tersebut sulit di-
ajarkan oleh guru dan sulit pula dipahami oleh siswa. Konsep yang abstrak ini
bersifat “kasat logika” artinya kebenarannya dapat dibuktikan dengan logika
matematika sehingga rasionalisasinya dapat dirumuskan/diformulasikan (Anonim,
2006). Selama ini kecenderungan sebagian guru kimia kurang memperhatikan
karakteristik ilmu kimia dalam pembelajaran dan penilaian hasil belajar kimia
(Anonim, 2014).
2
Interkoneksi tiga level fenomena sains terutama kimia memerlukan kemampuan
berpikir tingkat tinggi (berpikir kritis, kreatif, serta model mental), oleh sebab itu
dalam pelaksanaan pembelajarannya fokus utama yang menjadi sasaran adalah ke-
mampuan siswa dalam menggunakan potensi berpikir tingkat tinggi yang di-
milikinya melalui proses imajinasi untuk mengembangkan kemampuan model
mental siswa. Secara konseptual, model mental adalah representasi model skala-
internal terhadap realitas eksternal, atau sebagai representasi pribadi mental
seseorang terhadap suatu ide atau konsep atau sebagai representasi pribadi dari
suatu objek dapat berbentuk diagram, gambar, dan lain lain (Greca dan Moreira,
2000).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Sunyono, dkk., (2011) dan
Sunyono, dkk., (2015) diperoleh data bahwa pembelajaran kimia yang ber-
langsung selama ini belum mampu memfasilitasi siswa dalam belajar untuk men-
capai kemampuan dalam merepresentasikan ketiga level fenomena kimia.
Kemampuan tersebut direpresentasikan sebagai model mental. Hasil studi
tersebut menunjukkan bahwa model mental siswa/mahasiswa belum dibangun
secara baik, sehingga masih didominasi oleh level makroskopik. Model mental
siswa/mahasiswa tersebut tercermin dari ketidakmampuan sebagian besar
siswa/mahasiswa (82,15%) dalam menginterpretasikan gambar submikroskopik
untuk mengidentifikasi perubahan-perubahan kimia yang terjadi. Siswa lebih
banyak menggunakan transformasi makroskopik ke simbolik atau sebaliknya,
namun tidak mampu dalam mentransformasikan level makroskopik dan simbolik
ke level submikroskopik. Kesulitan-kesulitan siswa dalam mentransformasikan
ketiga level fenomena kimia tersebut disebabkan belum dilatihnya mereka dalam
3
belajar dengan representasi level submikroskopik dan pembelajaran kimia yang
berlangsung cenderung memisahkan ketiga level fenomena kimia.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan salah satu guru di SMA Al-Azhar
3 Bandarlampung diperoleh informasi bahwa siswa banyak mengalami kesulitan
dalam pembelajaran yang berkaitan dengan representasi simbolik. Khususnya
dalam pembelajaran larutan elektrolit dan non elektrolit, siswa mengalami ke-
sulitan dalam penulisan rumus-rumus kimia maupun penyetaraan reaksi yang
terjadi dalam larutan. Guru pun belum menerapkan representasi dalam level sub-
mikroskopik.
Pemahaman seseorang terhadap sains ditentukan oleh kemampuannya mentransfer
dan menghubungkan antara fenomena-fenomena makroskopik, submikroskopik,
dan simbolik. Dalam pemecahan masalah sains, sebenarnya kunci pokoknya
adalah pada kemampuan merepresentasikan fenomena sains pada level sub-
mikroskopik (Treagust, dkk., 2003). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ke-
tidakmampuan siswa dalam merepresentasikan fenomena sains pada level sub-
mikroskopik ternyata dapat menghambat kemampuan dalam memecahkan
masalah sains yang berkaitan dengan fenomena makroskopik dan simbolik
(Kozma dan Rusell, 2005; Chandrasegaran, dkk., 2007). Model pembelajaran
yang dapat menginterkoneksikan ketiga multipel representasi adalah model
pembelajaran yang dikemas dengan melibatkan tiga level fenomena kimia
(makroskopik, submikroskopik, dan simbolik), sehingga dapat berdampak pada
peningkatan pemahaman materi kimia siswa (Sunyono, dkk., 2011).
4
Model pembelajaran teoritis SiMaYang merupakan model pembelajaran sains
yang mencoba menginterkoneksikan ketiga level fenomena sains, sehingga topik-
topik pembelajaran yang sesuai dengan model ini menurut penulis adalah topik-
topik sains yang lebih bersifat abstrak yang mengandung level submikro, makro,
dan simbolik (Sunyono, 2013). Melalui pembelajaran dengan model SiMaYang
diharapkan siswa mampu memecahkan fenomena kimia sangat bergantung pada
bagaimana merepresentasikan konsep-konsep kimia berdasarkan karakteristiknya.
Setelah siswa mampu untuk menginterkoneksikan ketiga level representasi kimia,
maka siswa diharapkan akan memiliki motivasi belajar yang baik (Sunyono,
2012; Sunyono, dkk., 2015).
Motivasi belajar dapat menentukan baik atau tidaknya siswa dalam mencapai
tujuan yang akan mempengaruhi ketercapaian hasil belajar siswa. Motivasi
belajar dapat diukur melalui perhatian siswa, relevansi, percaya diri, dan ke-
puasan. Keberhasilan seorang siswa dalam belajar juga ditentukan oleh adanya
motivasi dari dalam diri siswa tersebut (Keller, 2009). Motivasi dapat efektif bila
dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan anak didik. Dengan demikian,
hendaknya guru berperan sebagai motivator. Peranan guru sebagai motivator
sangat penting dalam interaksi edukatif, karena menyangkut esensi pekerjaan
mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, menyangkut performance dalam
personalisasi dan sosialisasi diri (Djamarah, 2000).
Motivasi dapat ditumbuhkan akibat pengaruh dari luar, misalnya guru sebagai
motivator yang menyebabkan siswa giat belajar. Peran guru dalam kegiatan pem-
belajaran adalah mengarahkan langkah peserta didik agar tidak terjerumus dalam
5
konsep pelajaran yang salah. Ketika peserta didik sudah buntu, peran guru di-
butuhkan untuk memberi pencerahan kepada mereka untuk menyelesaikan tugas
serta mengembangkan pemahaman mereka yang belum mereka yakini sehingga
melalui pembelajaran dengan strategi scaffolding diharapkan dapat meningkatkan
motivasi belajar dan model mental siswa. Scaffolding didesain untuk memberikan
bantuan kepada siswa untuk menyelesaikan tugas dan mengembangkan pemaham-
an mereka (Hammond, 2001).
Salah satu kompetensi dasar yang dapat diambil untuk meningkatkan motivasi
belajar dan model mental adalah larutan elektrolit dan non elektrolit. Dalam
materi tersebut mengandung tiga level fenomena kimia sehingga siswa belum
sepenuhnya mampu untuk memahami konsep atau materi yang diberikan oleh
guru dengan baik. Mereka membutuhkan bantuan dari guru untuk memahami
konsep-konsep pelajaran dalam kegiatan pembelajaran agar mereka mampu me-
nyelesaikan permasalahan yang lebih rumit atau kompleks serta mampu meng-
interkoneksikan tiga level fenomena kimia. Berdasarkan hal tersebut, maka
dilakukan penelitian dengan judul “Pegaruh Strategi Scaffolding dalam
Pembelajaran SiMaYang Untuk Meningkatkan Kemampuan Motivasi Belajar dan
Model Mental pada Materi Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini sebagai berikut :
6
1. Apakah terdapat pengaruh strategi scaffolding dalam pembelajaran
SiMaYang untuk meningkatkan motivasi belajar pada materi larutan elektrolit
dan non elektrolit?
2. Apakah terdapat pengaruh strategi scaffolding dalam pembelajaran
SiMaYang untuk meningkatkan model mental pada materi larutan elektrolit
dan non elektrolit?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, maka tujuan
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang
untuk meningkatkan motivasi belajar pada materi larutan elektrolit dan non
elektrolit.
2. Mengetahui pengaruh strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang
untuk meningkatkan model mental pada materi larutan elektrolit dan non
elektrolit.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Siswa
Strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang dapat membantu siswa
menginterkoneksikan ketiga level fenomena sains, yaitu submikro, makro, dan
simbolik dengan optimal dan mandiri serta membantu mengatasi kesulitan
7
mengimajinasikan fenomena sains yang bersifat abstrak sehingga dapat me-
ningkatkan motivasi belajar dan model mental siswa pada materi larutan
elektrolit dan non elektrolit.
2. Guru
Strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang dapat dijadikan informasi
dan alternatif bagi guru untuk meningkatkan motivasi belajar dan model mental
siswa secara optimal pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit.
3. Sekolah
Sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran kimia
di sekolah.
4. Peneliti lain
Dapat dijadikan referensi untuk penelitian yang berkaitan dengan strategi
scaffolding, pembelajaran SiMaYang, motivasi belajar, dan model mental.
E. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pengaruh adalah daya yang ada atau timbul dari sesuatu, baik orang maupun
benda dan sebagainya yang berkuasa atau yang berkekuatan dan berpengaruh
terhadap orang lain (Poerwardaminta, 1983). Ukuran pengaruh dalam penelitian
ini di uji dengan studi perbandingan dua rata-rata (uji-t) pada pretes dan postes
motivasi belajar serta model mental yang diukur melalui perbandingan strategi
yang digunakan di masing-masing kelas dan uji ukuran pengaruh (effect size).
8
Scaffolding merupakan bantuan, dukungan (support) kepada siswa dari orang
yang lebih dewasa atau lebih kompeten khususnya guru secara bertahap di mulai
dari awal pembelajaran dan lama kelamaan siswa diharapkan mampu menyelesai-
kan persoalan yang dihadapinya secara mandiri. Scaffolding ini diberikan dengan
berbagai bentuk scaffold selama proses penyelesaian tugas dan mengupayakan
siswa untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD). Scaffolding yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan scaffolding yang diusulkan oleh
Anghileri (2006) dimana terdapat tiga tingkatan, yaitu level 1 (environmental
provisions), level 2 (explaining, reviewing, and restructuring), dan level 3
(developing conceptual thinking). Tipe scaffolding yang digunakan dalam pe-
nelitian ini adalah handout. Handout adalah media scaffolding yang digunakan
pada penelitian ini untuk membantu siswa selama proses pembelajaran SiMaYang
khususnya pada fase eksplorasi.
Pembelajaran SiMaYang merupakan model pembelajaran sains yang mencoba
menginterkoneksikan ketiga level fenomena sains, sehingga topik pembelajaran
yang sesuai dengan model ini adalah topik-topik sains yang lebih bersifat abstrak
yang mengandung level submikro, makro, dan simbolik (Sunyono, 2015). Pem-
belajaran SiMaYang memiliki empat fase dengan lima kegiatan, yaitu orientasi,
eksplorasi-imajinasi, internalisasi, dan evaluasi. Fase-fase tersebut dalam pe-
laksanaannya tidak selalu berurutan, tetapi bergantung pada konsep yang di-
pelajari oleh siswa, terutama pada fase dua yaitu eksplorasi-imajinasi.
Motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan
munculnya “feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.
9
Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranan-
nya yang khas dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang, dan semangat untuk
belajar. Siswa yang memiliki motivasi kuat, akan mempunyai banyak energi
untuk melakukan kegiatan belajar (Mc.Donals dalam Sardirman, 2011).
Model mental adalah representasi pribadi mental seseorang terhadap suatu ide
atau konsep. Model mental dapat digambarkan sebagai model konseptual,
representasi mental/internal, gambaran mental, proses mental, suatu konstruksi
yang tidak dapat diamati, dan representasi kognitif pribadi (Chittleborough dan
Treagust, 2007; Chittleborough, dkk., 2008).
Materi larutan elektrolit dan non elektrolit pada penelitian ini diantaranya adalah
daya hantar listrik larutan elektrolit dan non elektrolit, penyebab larutan elektrolit
dapat menghantarkan listrik, dan jenis senyawa pada larutan elektrolit.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Strategi Scaffolding
Pada tahun 1976, Wood, Bruner, dan Ross memperkenalkan istilah scaffolding
pertama kali dalam artikel berjudul ‘The Role of Tutoring in Problem Solving’
(Anghileri, 2006). Mereka mempercayai bahwa proses perolehan keterampilan
seorang anak adalah aktivitas dimana keterampilan yang relevan dikombinasikan
agar menjadi keterampilan yang lebih tinggi sebagai syarat menyelesaikan tugas
baru yang lebih kompleks. Aktivitas ini akan berhasil apabila ada intervensi
orang lain sebagai tutor.
Teori scaffolding pertama kali diperkenalkan di akhir 1950-an oleh Bruner (1975)
seorang psikolog kognitif. Dia menggunakan istilah untuk menggambarkan anak-
anak muda dalam akuisisi bahasa. Anak-anak pertama kali mulai belajar ber-
bicara melalui bantuan orang tua mereka, secara naluriah anak-anak telah me-
miliki struktur untuk belajar berbahasa. Scaffolding merupakan interaksi antara
orang-orang dewasa dan anak-anak yang memungkinkan anak-anak untuk me-
laksanakan sesuatu di luar usaha mandirinya.
Bagian penting dalam setiap pembahasan teori dasar scaffolding berhubungan
dengan teori pembelajaran Vygotsky. Meskipun Vygotsky tidak pernah
11
menggunakan istilah scaffolding, landasan teori yang terletak dalam kerangka
Vygotsky, dan karyanya sering dikutip oleh mereka yang telah mengambil
gagasan scaffolding dalam konteks penelitian pendidikan (Hammond, 2001).
Ada dua konsep penting teori Vygotsky yaitu Zone of Proximal Development
(ZPD) dan scaffolding (Atweh, dkk., 1998). Vygotsky mengemukakan tiga
kategori pencapaian siswa dalam upayanya memecahkan permasalahan, yaitu (1)
siswa mencapai keberhasilan dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan
dengan bantuan, (3) siswa gagal meraih keberhasilan (Gasong, 2004). Scaffolding
berarti upaya pembelajar untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai ke-
berhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar pencapaian mereka ke jenjang
yang lebih tinggi menjadi optimum.
Vygotsky (dalam Valamband, 2008) mencari pengertian bagaimana anak-anak
berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum
matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Menurut teori Vygotsky, siswa
mempunyai dua tingkat perkembangan yaitu tingkat perkembangan aktual dan
tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan didefinisikan sebagai
pemungsian intelektual individu saat ini dan kemampuan untuk belajar sesuatu
yang khusus atas kemampuannya sendiri. Zona Perkembangan Proksimal (zona
perkembangan terdekat) merupakan celah antara aktual development dan
potensial development. Aktual development ditentukan apakah seorang anak
dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan
potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan
12
sesuatu, memecahkan masalah dibawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama
dengan teman sebaya.
Atweh, dkk., (1998) mengemukakan ide penting lain yang diturunkan dari
Vygotsky dalam scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar
bantuan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian
anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah
ia dapat melakukannya. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada
siswa untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa
petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah
pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan
mereka belajar mandiri.
Pada bangunan scaffolding berguna untuk mengokohkan bangunan pada awal
pembangunan. Burns dan Joyce (2005) menyatakan bahwa pada ranah pen-
didikan, scaffolding juga seperti pada gedung yang baru dibangun. Dalam
konteks interaksi kelas, scaffolding adalah istilah yang diambil untuk meng-
gambarkan bantuan sementara yang diberikan guru kepada siswa untuk membantu
menyelesaikan tugas atau mengembangkan pemahaman baru, sehingga mereka
nantinya akan dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik.
Scaffolding sebagai kerangka kerja sementara untuk aktivitas dalam penyelesaian.
Konstruksi scaffolding terjadi pada siswa yang tidak dapat mengartikulasikan atau
menjelajahi belajar secara mandiri. Scaffolding dipersiapkan oleh guru untuk
tidak mengubah sifat atau tingkat kesulitan dari tugas, melainkan dengan
scaffolding yang disediakan memungkinkan siswa untuk berhasil menyelesaikan
13
tugas secara mandiri (Cazden, 1983).
Penjelasan di atas dapat ditemukan garis besar, prinsip-prinsip konstruktivis
sosial dengan pendekatan scaffolding yang diterapkan dalam pembelajaran
(Martinis, 2010) sebagai berikut :
a) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.b) Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali hanya
dengan keaktifan siswa sendiri untuk menalar.c) Siswa aktif mengkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi
perubahan konsep ilmiah.d) Guru sekedar memberi bantuan dan menyediakan saran serta situasi agar
proses kontruksi belajar lancar.e) Menghadapi masalah yang relevan dengan siswa.f) Struktur pembelajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan.g) Mencari dan menilai pendapat siswa.h) Menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Siswa yang banyak tergantung pada dukungan guru untuk mendapatkan pe-
mahaman berada di luar daerah Zone of Proximal Development (ZPD), sedang
siswa yang bebas atau tidak tergantung dari dukungan guru telah berada dalam
daerah ZPD-nya. Siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat yang
lebih tinggi ketika mendapat bimbingan (scaffolding) dari seorang yang lebih ahli
atau melalui teman sejawat yang memiliki kemampuan lebih tinggi. Konsep
scaffolding digunakan untuk mendefinisikan dan menjelaskan peran orang dewasa
atau kelompok yang lebih mampu dalam mendukung belajar dan perkembangan
anak. Meskipun scaffolding tidak memberikan kata kunci yang tepat tentang
bagaimana proses pembelajaran berlangsung, scaffolding memberikan pemaham-
an interaksi antara orang dewasa dan anak (Stone, 1998). Demikian juga Piaget
berpendapat bahwa siswa akan mendapat pencerahan ide-ide baru dari seseorang
yang memiliki pengetahuan atau memiliki keahlian (Martinis, 2010).
14
Scaffolding dalam pembelajaran merupakan strategi mengajar yang terdiri dari
mengajar suatu keterampilan baru dengan mengajak siswa bersama-sama me-
nyelesaikan tugas yang dirasa terlalu sukar apabila siswa menyelesaikannya
sendiri. Guru memberikan bantuan belajar secara penuh dan kontinu, dalam hal
ini scaffolding untuk membantu siswa membangun pemahaman atas pengetahuan
dan proses yang baru. Setelah siswa memperoleh pemahaman yang cukup dan
benar maka scaffolding makin lama dikurangi bahkan dihilangkan sama sekali.
Hal ini senada dengan pendapat Herber dan Herber (1993) yang menyatakan
bahwa pemberian scaffolding makin lama makin dihilangkan apabila siswa telah
memperoleh struktur pemahaman yang permanen.
Secara operasional, strategi pembelajaran scaffolding (Anonim, 2006) dapat di-
tempuh melalui tahapan-tahapan berikut :
1) Assesmen kemampuan dan taraf perkembangan setiap siswa untuk menentukanZone of Proximal Development ( ZPD).
2) Menjabarkan tugas pemecahan masalah ke dalam tahap-tahap yang rincisehingga dapat membantu siswa melihat zona yang akan di scaffold.
3) Menyajikan tugas belajar secara berjenjang sesuai taraf perkembangan siswa.Ini dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti melalui penjelasan, peringat-an, dorongan (motivasi), penguraian masalah ke dalam langkah pemecahan,dan pemberian contoh (modelling).
4) Mendorong siswa untuk menyelesaikan tugas belajar secara mandiri.5) Memberikan dalam bentuk pemberian isyarat, kata kunci, tanda mata
(minders), dorongan, contoh atau hal lain yang dapat memancing siswa ber-gerak ke arah kemandirian belajar dalam pengarahan diri.
Menurut Alibali (Spectrum Newslatter, 2008) bahwa untuk dapat melihat ke-
majuan siswa melalui tugas, guru dapat menggunakan berbagai scaffolding untuk
dapat mengakomodasi berbagai tingkat pengetahuan siswa. Masalah yang lebih
kompleks mungkin akan memerlukan sejumlah scaffolding dan diberikan pada
waktu yang berbeda untuk dapat membantu siswa menguasai masalah tersebut.
15
Di bawah ini disajikan beberapa tipe scaffolding menurut Anghileri (2006) serta
cara penggunaannya dalam pengaturan instruksional.
Tabel 1. Tipe-tipe scaffolding
TipeScaffolding
Cara Menggunakan Scaffolding dalam Pengaturan Instruksional
Organisator TingkatTinggi
Peralatan yang digunakan untuk memperkenalkan konten baru dantugas untuk membantu siswa belajar tentang topik baru.
Kartu Petunjuk Menggunakan kartu-kartu yang akan diberikan kepada individu ataukelompok untuk dapat membantu mereka dalam berdiskusi tentangtopik tertentu.
Konsep dan Peta Konsep Peta yang dapat digunakan untuk menunjukkan hubungan.Contoh Memberikan sempel, spesimen, ilustrasi, dan masalah
Penjelasan Informasi lebih rinci yang dapat digunakan untuk bergerak bersamadalam menyelesaikan tugas. Penjelasan lisan tentang bagaimanaproses bekerja.
Handout Handout berisikan informasi tentang tugas-tugas yang melibatkankonten namun disajikan secara rinci.
Petunjuk Saran dan petunjuk yang dapat membuat siswa memahami kontenAnjuran Sebuah isyarat secara verbal yang digunakan untuk mengingatkan hal
sebelumnya.Kartu Pertanyaan Disiapkan kartu yang berisikan tugas dan pertanyaan tertentu
berkaitan dengan konten yang diberikan kepada individu ataukelompok siswa.
Pertanyaan Diberikan kalimat yang tidak lengkap sehingga mendorong siswauntuk dapat menggunakan pertanyaan tingkat tinggi.
Cerita Cerita-cerita yang berkaitan dengan materi kompleks dan abstraksehingga akan menjadi situasi yang lebih dikenal oleh siswa.
Scaffolding Visual Suatu gerakan yang digunakan untuk mengarahkan sesuatu misalnyamenggerakan jari untuk menunjuk ke arah objek.
Scaffolding dalam pembelajaran terdiri dalam dua langkah besar. Langkah
pertama adalah mengembangkan rencana pembelajaran yang membimbing siswa
memunculkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki untuk memperoleh pe-
mahaman mendalam pengetahuan baru. Perencanaan scaffolding harus ditulis
sehingga setiap keterampilan atau informasi baru yang dipelajari siswa berdasar-
kan apa yang sudah mereka pahami atau lakukan. Guru harus mempersiapkan
perencanaan scaffolding untuk menilai proses belajar siswa dan bekal untuk
menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan awal siswa. Langkah kedua
scaffolding pembelajaran adalah pelaksanaan scaffolding yaitu guru memberikan
16
dukungan kepada siswa dalam setiap langkah proses belajar (Turnbull, dkk.,
1999).
Scaffolding terdiri dari beberapa aspek khusus yang dapat membantu siswa
(Lange, 2002) :
a) Intensionalitas: Kegiatan ini mempunyai tujuan yang jelas terhadap aktivitaspembelajaran berupa bantuan yang selalu diberikan kepada setiap siswa yangmembutuhkan.
b) Kesesuaian: Siswa yang tidak bisa menyelesaikan sendiri permasalahan yangdihadapinya, maka guru memberikan bantuan penyelesaiannya.
c) Struktur: Modeling dan mempertanyakan kegiatan terstruktur di sekitar sebuahmodel pendekatan yang sesuai dengan tugas dan mengarah pada urutan alampemikiran dan bahasa.
d) Kolaborasi: Guru menciptakan kerjasama dengan siswa dan menghargai karyayang telah dicapai oleh siswa. Peran guru adalah kolaborator bukan sebagaievaluator.
e) Internalisasi: Eksternal scaffolding untuk kegiatan ini secara bertahap ditariksebagai pola yang diinternalisasi oleh siswa.
Dengan melatih seorang anak menggunakan pikirannya, yang paling penting
untuk diwaspadai adalah apa yang disebut gagasan yang lamban (inert ideas)
yaitu gagasan yang diterima begitu saja ke dalam pikiran tanpa dipergunakan/ di-
coba, digabungkan ke dalam kombinasi yang baru. Biarkan gagasan utama di-
perkenalkan kepada anak sedikit saja, tetapi yang penting, biarkan gagasan
tersebut menjadi miliknya sendiri dan harus paham bagaimana menerapkan dalam
kehidupan nyata (Elaine dan Johnson, 2007).
Scaffolding diberikan secara bertahap kepada anak sehingga, Anghileri (2006)
mengusulkan tiga tingkatan dari penggunaan scaffolding yaitu (enviromental
provisions/classroom organization), (explaining, reviewing, and restructuring),
dan developing conceptual thingking. Level 1 adalah enviromental provisions
(classroom organization) seperti yang tertera pada Gambar 1. Pada level ini,
17
scaffolding diberikan dengan mengkondisikan lingkungan yang mendukung
kegiatan belajar. Misalkan dengan menyediakan lembar tugas secara terstruktur
serta menggunakan bahasa yang mudah dimengerti siswa. Menyediakan media
atau gambar-gambar yang sesuai dengan masalah yang diberikan.
Gambar 1. Scaffolding level 1
Pada level 2 adalah explaining, reviewing, and restructuring (Anghileri, 2006).
Pada level kedua ini terdapat interaksi langsung antara guru dan siswa. Bentuk
interaksi terlihat pada Gambar 2 meliputi: menjelaskan (explaining) yaitu cara
untuk menyampaikan konsep yang dipelajari, meninjau (reviewing) yaitu meng-
identifikasi aspek-aspek yang paling penting berkaitan dengan implisit ide-ide
atau masalah yang akan dipecahkan dan restrukturasi (restructuring) yaitu me-
nyederhanakan sesuatu yang abstrak dalam kimia menjadi lebih dapat diterima
oleh siswa. Pada level selanjutnya, antara guru dan siswa terlibat secara langsung
dalam suatu interaksi. Interaksi yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Explaining (Menjelaskan)
Bentuk interaksi pertama (menjelaskan) menerapkan cara yang digunakan oleh
guru untuk menyampaikan konsep yang dipelajari siswa. Pada tahap ini guru
memfokuskan perhatian siswa pada aspek-aspek yang berhubungan dengan kimia.
18
2. Reviewing (Meninjau/Memeriksa)
Saat siswa terlibat dengan tugas, mereka tidak selalu dapat mengidentifikasi
aspek-aspek yang paling penting berkaitan dengan ide tersirat atau masalah yang
akan dipecahkan. Guru membantu dengan cara menfokuskan kembali siswa dan
memberi kesempatan lebih lanjut untuk mengembangkan pemahaman sendiri dari
pada tergantung dengan guru. Reviewing diklasifikasikan menjadi lima jenis
interaksi diantaranya :
a. Looking, Touching, and Verbalishing
Pada interaksi ini guru mendorong siswa untuk menangani suatu permasalahan,
merefleksikan apa yang bisa dilihat oleh siswa dan meminta siswa untuk men-
ceritakan kembali hasil pengamatannya menggunakan bahasa mereka sendiri.
b. Prompting and Probing
Pada interaksi ini guru mengarahkan siswa untuk dapat menjelaskan dan me-
lakukan pembenaran. Guru memberikan beberapa pertanyaan yang mengarahkan
pada siswa menuju solusi yang diinginkan. Di sisi lain, pertanyaan tersebut dapat
membantu siswa memperluas pemikiran mereka sendiri.
c. Interpreting Students’ Action and Talk
Pada interaksi ini guru mentafsirkan tindakan dan ucapan siswa. Hal tersebut
dapat diperoleh melalui kegiatan tanya jawab dengan siswa mengenai tugas yang
sedang dikerjakanya.
d. Parallel Modeling
Pada saat interaksi yang telah dilakukan dirasa tidak cukup mengarah pada solusi
yang diharapkan, strategi alternatif yang dapat digunakan adalah dengan pemodel-
an yang sama. Guru dapat memberi contoh serupa yang dapat dipahami oleh
siswa.
19
e. Students Explaining and Justifying
Pada interaksi ini guru dapat meningkatkan pemahaman siswa melalui belajar
kelompok (diskusi). Melalui diskusi tersebut, siswa akan secara aktif ber-
partisipasi dan memperjelas pemikiran mereka. Di samping itu, melalui diskusi,
guru juga dapat mengetahui pemahaman individu.
3. Restructuring (Membangun Ulang Pemahaman)
Melalui membangun ulang pemahaman ini, tujuan guru adalah secara bertahap
membuat ide-ide yang lebih mudah dipahami siswa. Restructuring (membangun
ulang pemahaman) terbagi menjadi empat jenis interaksi, sebagai berikut :
a. Providing Meaningful Contexts
Saat siswa dapat dihadapkan pada suatu permasalahan kimia yang abstrak dan
siswa tidak dapat menyelesaikannya, guru dapat menangani hal tersebut dengan
membuat permasalah yang abstrak tersebut menjadi permasalahan yang lebih
konkret sesuai dengan hal-hal yang telah siswa ketahui.
b. Simplifying The Problem
Saat siswa tidak berhasil menyelesaikan suatu permasalahan, guru dapat mem-
bantu siswa dengan menyederhanakan permasalahan tersebut. Cara yang dapat
digunakan adalah mereduksi hal-hal yang kurang relevan dan lebih memfokuskan
pada hal-hal yang relevan.
c. Rephrasing Students Talk
Pada interaksi ini peran penting guru adalah mengamati proses siswa dalam me-
nyelesaikan suatu permasalahan. Guru dapat melakukan tanya jawab berkaitan
dengan proses siswa menyelesaikan masalah tersebut.
20
d. Negotiating Meanings
Pada interaksi ini, guru melakukan negoisasi makna dengan siswa sebelum di-
lakukan penggeneralisasian. Kegiatan ini dilakukan guru untuk menghindari ke-
salahpahaman mengenai suatu permasalahan.
Gambar 2. Scaffolding level 2
Pada level 3 yaitu developing conceptual thingking. Pada level ini, terdiri dari
interaksi pengajaran yang secara gamblang mengembangkan pemikirian konsep-
tual dengan cara mengungkapkan pemahaman pada siswa. Guru mengarahkan
siswa untuk meningkatkan daya pikir secara konseptual, interaksi guru dan siswa
yaitu menciptakan kesempatan untuk mengungkapkan pemahaman secara
bersama-sama. Level ketiga ini menuntut untuk mengulang prosedur yang telah
dipelajari untuk menyelesaikan masalah. Tingkat tertinggi dari scaffolding ini
terdiri dari interaksi pengajaran yang secara gamblang mengembangkan pemikir-
an konseptual dengan menciptakan kesempatan untuk mengungkapkan pemaham-
an pada siswa. Pada tahap ini siswa didukung untuk membuat koneksi dan me-
ngembangkan alat-alat representasi. Siswa juga dilibatkan dalam wacana
21
konseptual yang dapat meningkatkan daya pikir. Interaksi pada level tiga ini
dibagi menjadi tiga yaitu making connections, developing representational tools,
and generating conceptual discourse (Anghileri, 2006). Making connections atau
membuat hubungan dari suatu hal yang sangat penting dilakukan oleh guru untuk
siswa sebagai strategi dalam pemberian dukungan dengan melakukan intervensi
sehingga siswa mampu untuk mengembangkan idenya. Developing
representational tools adalah mengembangkan alat representasi merupakan hal
yang penting dalam pembelajaran. Generating conceptual discourse atau meng-
generalisasikan wacana konseptual, pada interaksi ini peran guru bukan lagi men-
jelaskan atau memberikan pembenaran seperti yang telah di uraikan pada tingkat
scaffolding sebelumnya, melainkan guru lebih menitikberatkan pada strategi atau-
pun proses yang telah digunakan siswa untuk menyadari bentuk lain yang relevan
dari masalah yang diberikan yang diperoleh dari penalaran mereka.
Gambar 3. Scaffolding level 3
Dari definisi yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa scaffolding
merupakan bantuan, dukungan (support) kepada siswa dari orang yang lebih
dewasa atau lebih kompeten khususnya guru yang memungkinkan penggunaan
fungsi kognitif yang lebih tinggi dan memungkinkan berkembangnya kemampuan
belajar sehingga terdapat tingkat penguasaan materi yang lebih tinggi yang di-
tunjukkan dengan adanya penyelesaian soal-soal yang lebih rumit.
22
B. Pembelajaran SiMaYang
Schonborn dan Anderson (Sunyono, 2013) mendefinisikan model pembelajaran
SiMaYang adalah model pembelajaran sains berbasis multipel representasi yang
dikembangkan dengan memasukkan faktor interaksi (tujuh konsep dasar) yang
mempengaruhi kemampuan pembelajar untuk merepresentasikan fenomena sains
kedalam kerangka model IF-SO (Waldrip dalam Sunyono, 2011). Tujuh konsep
dasar pembelajar tersebut yang telah diidentifikasi oleh Schonborn and Anderson
(Sunyono, 2013) adalah kemampuan penalaran pembelajar (Reasoning; R),
pengetahuan konseptual pembelajar (Conceptual; C), dan keterampilan memilih
model representasi pembelajar (Representation modes ; M).
Faktor M dapat dianggap berbeda dengan faktor C dan R, karena faktor M tidak
bergantung pada campur tangan manusia selama proses interpretasi dan tetap
konstan kecuali jika ER (representasi eksternal) dimodifikasi, selanjutnya empat
faktor lainnya adalah faktor R-C merupakan pengetahuan konseptual dari diri
sendiri tentang ER, faktor R-M merupakan penalaran terhadap fitur dari ER itu
sendiri, faktor C-M adalah faktor interaktif yang mempengaruhi interpretasi
terhadap ER, dan faktor C-R-M adalah interaksi dari ketiga faktor awal (C-R-M)
yang mewakili kemampuan seorang pembelajar untuk melibatkan semua faktor
dari model agar dapat menginterpretasikan ER dengan baik.
Berdasarkan pertimbangan faktor interaksi R-C dan C-M maka dalam model pem-
belajaran diperlukan tahapan kegiatan eksplorasi, sedangkan pertimbangan
terhadap interaksi R-M dan C-R-M diperlukan tahapan kegiatan imajinasi.
23
Kegiatan eksplorasi lebih ditekankan pada konseptualisasi masalah-masalah sains
yang sedang dihadapi berdasarkan kegiatan diskusi, eksperimen laboratorium atau
demonstrasi, dan pelacakan informasi melalui jaringan internet (webblog atau
webpage). Imajinasi diperlukan untuk melakukan pembayangan mental terhadap
representasi eksternal level submikroskopik, sehingga dapat mentransformasikan-
nya ke level makroskopik atau simbolik atau sebaliknya (Sunyono, 2013).
Model pembelajaran SiMaYang merupakan model pembelajaran yang menekan-
kan pada interkoneksi tiga level fenomena sains, yaitu level submikro yang ber-
sifat abstrak (proses), level simbolik (abstrak dalam bentuk simbol), dan level
makro yang bersifat nyata dan kasat mata (Sunyono, 2013). Model pembelajaran
SiMaYang terdiri dari lima tahapan, yaitu orientasi, eksplorasi konseptual,
imajinasi, internalisasi, serta evaluasi. Kelima tahapan atau fase dalam model
pembelajaran yang dikembangkan ini memiliki ciri dengan berakhiran “si”
sebanyak lima “si”. Fase-fase tersebut tidak selalu berurutan bergantung pada
konsep yang dipelajari oleh siswa, terutama pada fase dua dan tiga (eksplorasi dan
imajinasi). Fase-fase model pembelajaran yang dikembangkan ini disusun dalam
bentuk layang-layang dan selanjutnya model pembelajaran berbasis multipel
representasi yang dikembangkan dinamakan Si-5 layang-layang atau disingkat
SiMaYang (Sunyono, 2013).
Beberapa ahli melakukan penelitian dan implementasi di kelas, selanjutnya fase-
fase dalam sintaks model pembelajaran SiMaYang yang awalnya terdiri dari lima
direduksi menjadi empat fase. Pada fase eksplorasi dan imajinasi digabungkan
menjadi satu tahap (fase), yaitu fase eksplorasi-imajinasi, namun struktur
24
Evaluasi
sintaksnya tetap berbentuk layang-layang (Sunyono, 2013). Tahap eksplorasi-
imajinasi dijadikan satu sebab imajinasi sangat diperlukan untuk melakukan citra
mental dari representasi eksternal dari tingkat submikroskopik. Selain itu,
imajinasi juga membantu siswa dalam pengetahuan konseptual dan meningkatkan
daya kreatif dari siswa maka, tahap imajinasi masih dimasukkan ke dalam sintaks
dalam mengembangkan model pembelajaran. Lebih lanjut selama tahap konsep-
tual eksplorasi dilakukan kegiatan imajinasi untuk melatih siswa dalam melaku-
kan representasi citra mental melalui imajinasi (Sunyono, 2015). Fase-fase dalam
model pembelajaran SiMaYang disajikan dalam gambar berikut (Sunyono, 2013):
Fase I
Eksplorasi ImajinasiFase II
Fase III
Fase IV
Gambar 4. Fase-fase model pembelajaran SiMaYang
Dengan demikian, sintaks dari model pembelajaran SiMaYang disajikan dalam
tabel berikut (Sunyono, 2015) :
Tabel 2. Sintaks (tahapan) pembelajaran model SiMaYang
Fase Aktivitas Guru
Fase I:Orientasi
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran.2. Memberikan motivasi dengan berbagai fenomena sains yang terkait
dengan pengalaman siswa.Fase II:Eksplorasi-Imajinasi
1. Mengenalkan konsep materi dengan memberikan beberapaabstraksi yang berbeda mengenai fenomena sains secara verbalatau dengan demonstrasi dan juga menggunakan visualisasi :gambar, grafik, atau simulasi atau animasi, dan atau analogi
Internalisasi
Orientasi
25
Fase Aktivitas Guru
dengan melibatkan siswa untuk menyimak dan bertanya jawab.2. Memberikan bimbingan pada siswa untuk melakukan imajinasi
representasi terhadap fenomena sains yang sedang dihadapi secarakolaboratif (berdiskusi).
3. Mendorong dan memfasilitasi diskusi siswa untuk mengembang-kan pemikiran kritis dan kreatif dalam membuat interkoneksidiantara level-level fenomena sains dengan menuangkannya kedalam lembar kegiatan siswa. Misalnya: diberikan gambar sub-mikro tentang reaksi, siswa dapat menyimpulkan peristiwa yangterjadi dan siswa dapat membuat gambar submikro tentangfenomena tersebut bila diberikan informasi verbal tentangfenomena yang lain yang serupa.
Fase III:Internalisasi
1. Membimbing dan memfasilitasi siswa dalam mengartikulasi-kan/mengkomunikasikan hasil pemikirannya melalui presentasihasil kerja kelompok.
2. Memberikan dorongan kepada siswa lain untuk memberikankomentar atau menanggapi hasil kerja dari kelompok siswa yangsedang presentasi.
3. Memberikan latihan atau tugas untuk menciptakan aktivitasindividu dalam mengartikulasikan imajinasinya (latihan individutertuang dalam lembar kegiatan (LK) yang berisi pertanyaandan/atau perintah untuk membuat interkoneksi ketiga levelfenomena sains dan/atau berisi teka-teki silang belajar sains(TTSBS).
Fase IV:Evaluasi
1. Memberikan reviu terhadap hasil kerja siswa.2. Memberikan tugas-tugas untuk berlatih menginterkoneksikan ketiga
level fenomena sains.3. Melakukan evaluasi diagnostik, formatif, dan sumatif.
C. Motivasi Belajar
Motivasi merupakan salah satu aspek psikis yang memiliki pengaruh terhadap
pencapaian hasil belajar. Koeswara, dkk., mengemukakan, motivasi adalah
tenaga pendorong yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang.
Siswa belajar karena didorong oleh kekuatan mentalnya. Kekuatan mental itu
berupa keinginan, perhatian, kemauan, atau cita-cita. Kekuatan mental tersebut
dapat tergolong rendah atau tinggi. Ada ahli psikologi pendidikan yang menyebut
kekuatan mental yang mendorong terjadinya belajar tersebut sebagai motivasi
26
belajar. Motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan
mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Motivasi terkandung
adanya keinginan yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan meng-
arahkan sikap dan perilaku individu belajar (Dimyati dan Mudjiono, 2009).
Banyak penulis kontemporer juga telah mendefinisikan konsep motivasi.
Motivasi telah didefinisikan sebagai proses psikologis yang memberikan tujuan
dan arah perilaku menurut Kreitner (dalam Lindner, 1998); predisposisi untuk ber-
perilaku dengan cara purposive untuk mencapai tujuan tertentu, kebutuhan yang
tak terpenuhi (Buford, 1995), dan kemauan untuk mencapai suatu tujuan menurut
Bedeian (dalam Lindner, 1998). Artinya motivasi secara operasional didefinisi-
kan sebagai kekuatan batin yang mendorong individu untuk mencapai tujuan
pribadi dan organisasi (Lindner, 1998).
Schunk, dkk., (2010) mengelompokkan teori motivasi menjadi dua yaitu teori
behavioral dan kognitif. Teori behavioral memandang bahwa motivasi dapat di-
jelaskan melalui perilaku yang teramati sebagai perubahan perilaku secara
langsung, sedangkan teori kognitif memandang motivasi bersifat internal,
sehingga tidak dapat teramati. Berdasarkan dua teori motivasi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa motivasi membutuhkan aktivitas secara fisik maupun mental.
Aktivitas fisik meliputi usaha, ketekunan, dan aktivitas lain yang terlihat,
sedangkan aktivitas mental meliputi aksi kognitif seperti perencanaan, pelatihan,
pengorganisasian, pemantauan, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah.
Seseorang yang memiliki motivasi senantiasa melibatkan dan mempertahankan
seluruh aktivitas untuk mencapai tujuan, sehingga sanggup menghadapi kesulitan,
27
masalah, kegagalan, dan kemunduran yang mereka temui.
Motivasi belajar penting bagi siswa dan guru. Bagi siswa pentingnya motivasi
belajar adalah sebagai berikut: (1) menyadarkan kedudukan pada awal belajar,
proses, dan hasil akhir, (2) menginformasikan tentang kekuatan usaha belajar,
yang dibandingkan dengan teman sebaya, (3) mengarahkan kegiatan belajar,
(4) membesarkan semangat belajar, (5) menyadarkan tentang adanya perjalanan
belajar dan kemudian bekerja. Kelima hal tersebut menunjukkan betapa penting-
nya motivasi tersebut disadari oleh pelakunya sendiri. Bila motivasi disadari oleh
pelaku, maka sesuatu pekerjaan, dalam hal ini tugas belajar akan terselesaikan
dengan baik (Dimyati dan Mudjiono, 2009).
Adapun indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) adanya hasrat dan keinginan berhasil; 2) adanya dorongan dan kebutuhan
dalam belajar; 3) adanya harapan dan cita-cita masa depan; 4) adanya pengharga-
an dalam belajar; 5) adanya kegiatan yang menarik dalam belajar; 6) adanya
lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan seorang siswa dapat
belajar dengan baik (Uno, 2006).
Ada tiga komponen utama dalam motivasi yaitu (i) kebutuhan, (ii) dorongan, dan
(iii) tujuan. Kebutuhan terjadi bila individu merasa ada ketidakseimbangan antara
apa yang siswa miliki dan harapkan. Sebagai ilustrasi, mereka merasa bahwa
hasil belajarnya rendah, padahal memiliki buku pelajaran yang lengkap dan
adapula yang memiliki cukup waktu, namun kurang baik mengatur waktu belajar.
Waktu belajar yang digunakannya tidak memadai untuk memperoleh hasil belajar
yang baik. Siswa membutuhkan hasil belajar yang baik, oleh karena itu mereka
28
mengubah cara-cara belajarnya. Dorongan merupakan kekuatan mental untuk
melakukan kegiatan dalam rangka memenuhi harapan. Dorongan merupakan
kekuatan mental yang berorientasi pada pemenuhan harapan atau pencapaian
tujuan. Dorongan yang berorientasi pada tujuan tersebut merupakan inti motivasi,
sedangkan tujuan adalah hal yang ingin dicapai oleh seorang individu. Tujuan
tersebut mengarahkan perilaku dalam hal ini perilaku belajar (Dimyati dan
Mudjiono, 2009).
Ada beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan
belajar di sekolah yaitu memberi angka, hadiah, saingan/kompetisi, memberi
ulangan, mengetahui hasil, pujian, hukuman, hasrat untuk belajar, minat, dan
tujuan yang diakui (Sardiman, 2011). Orang akan termotivasi untuk belajar jika
nilai pengetahuan yang disajikan memenuhi kebutuhan pribadi dan terdapat
harapan yang optimis untuk berhasil (Poulsen, dkk., 2008).
Menurut Donald (dalam Sardiman, 2011), motivasi adalah perubahan energi
dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya "feeling" dan didahului
dengan tanggapan adanya tujuan. Beberapa pengertian yang dikemukakan oleh
para ahli bahwa motivasi adalah suatu perubahan yang terdapat pada diri
seseorang untuk melakukan sesuatu guna mencapai tujuan. Motivasi sebagai
suatu perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya
perasaan dan didahului dengan adanya tujuan, maka dalam motivasi terkandung
tiga unsur penting yaitu:
a. Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap
individu manusia, perkembangan motivasi akan membawa beberapa
29
perubahan energi di dalam sistem "neurophysiological" yang ada pada
organisme manusia.
b. Motivasi ditandai dengan munculnya rasa "feeling", afeksi seseorang. Hal ini
motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi, dan emosi
yang dapat menentukan tingkah laku manusia.
c. Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini
sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi yakni tujuan.
Motivasi mempunyai peranan yang strategis dalam aktivitas belajar seseorang.
Tidak ada seorang pun yang belajar tanpa motivasi. Tidak ada motivasi berarti
tidak ada kegiatan belajar. Agar peranan motivasi lebih optimal, maka prinsip-
prinsip motivasi dalam belajar tidak hanya sekedar diketahui, tetapi harus di-
terangkan dalam aktivitas belajar mengajar (Djamarah, 2011). Adapun bentuk
motivasi belajar di sekolah dibedakan menjadi dua macam, yaitu motivasi
intrinsik dan motivasi ekstrinsik (Sardiman, 2011) :
a. Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa
sendiri yang dapat mendorong melakukan tindakan belajar. Motivasi intrinsik
adalah motivasi yang timbul dari dalam diri seseorang atau motivasi yang erat
hubungannya dengan tujuan belajar, misalnya: ingin memahami suatu konsep,
ingin memperoleh pengetahuan dan sebagainya. Faktor-faktor yang dapat me-
nimbulkan motivasi intrinsik adalah adanya kebutuhan, pengetahuan tentang
kemajuan dirinya sendiri, dan cita-cita atau aspirasi.
b. Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah hal atau keadaan yang datang dari luar individu siswa,
30
yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Bentuk motivasi
ekstrinsik ini merupakan suatu dorongan yang tidak secara mutlak berkaitan
dengan aktivitas belajar, misalnya siswa rajin belajar untuk memperoleh hadiah
yang telah dijanjikan oleh orang tuanya, pujian dan hadiah, peraturan atau tata
tertib sekolah, suri tauladan orang tua, guru dan lain-lain merupakan contoh
dalam kegiatan belajar mengajar. Peranan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik
sangat diperlukan. Motivasi siswa dapat mengembangkan aktivitas dan inisiatif
sehingga dapat mengarahkan dan memelihara kerukunan dalam melakukan
kegiatan belajar. Motivasi sangat berperan dalam belajar, siswa yang dalam
proses belajar mempunyai motivasi yang kuat dan jelas pasti akan tekun dan berhasil
belajarnya. Makin tepat motivasi yang diberikan, makin berhasil pelajaran itu
(Sardiman, 2011).
Hubungan positif antara orientasi dan kesadaran belajar dengan motivasi belajar
menonjol sebagai kontribusi paling penting. Siswa yang memiliki tingkat variabel
kepribadian tinggi menunjukkan tingkat motivasi yang lebih tinggi, baik pada
awalnya dan di bangun dari umpan balik selama proses pembelajaran. Individu-
individu yang handal, disiplin, dan tekun lebih mungkin untuk memahami
hubungan antara usaha dan kinerja dan lebih mungkin untuk memperoleh nilai
tingkat kinerja yang tinggi (Colquitt dan Simmering, 1998).
Dalam jurnal penelitian Skinner dan Belmont (1993) yang berjudul motivasi
belajar menyatakan bahwa, studi ini membuat kasus yang menarik untuk efek
timbal balik dari perilaku guru dan keterlibatan siswa, banyak penelitian masih di-
perlukan. Gambaran yang lebih lengkap dari efek timbal balik siswa pada guru
31
dapat dicapai dengan indikator dari kedua keterlibatan emosional dan perilaku
siswa serta mengingat kedua efek timbal balik kompensasi dan pembesaran. Hasil
penelitian menunjukkan saling melengkapi satu dari informasi yang dikumpulkan
mengenai siswa dan guru, perspektif interaksi guru-siswa, dan keterlibatan siswa.
Hasil penelitian memiliki beberapa implikasi untuk praktek pendidikan. Pertama,
menyoroti urgensi intervensi ke dalam pola normal interaksi siswa-guru. Jika di-
biarkan untuk menjalankan pola interaksi siswa-guru, guru cenderung mem-
perbesar tingkat awal anak-anak dari keterlibatan. Hal ini bagus untuk siswa yang
memiliki motivasi belajar tinggi, mereka akan mendapatkan hasil yang lebih baik
dari sebelumnya.
Siswa yang memiliki motivasi awal rendah, pengalaman kelas dengan interaksi
siswa-guru dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut dari motivasi mereka,
artinya hal itu akan menyebabkan siswa mendapatkan hasil yang lebih buruk dari
sebelumnya. Hal yang paling penting adalah penyelidikan empiris ke sumber per-
bedaan antara guru dalam ketentuan keterlibatan mereka, struktur, dan dukungan
otonomi. Jika salah satu tujuan pendidikan adalah untuk mendorong guru untuk
mendukung motivasi anak-anak dalam belajar, serta dapat memahami dan me-
ningkatkan keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar (Skinner dan Belmont,
1993).
Keller (2009) mengelompokkan faktor yang dapat mempengaruhi motivasi belajar
dalam empat komponen yaitu, perhatian (attention), relevansi (relevance), percaya
diri (confidence), dan kepuasan (satisfaction) yang kemudian dikenal dengan
model ARCS. Perhatian dan relevansi menurut teori motivasi Keller sangat
32
penting untuk belajar sebab merupakan komponen kunci untuk motivasi belajar,
perhatian, dan relevansi dapat dianggap sebagai tulang punggung.
Komponen pertama yaitu perhatian, yang berisi variabel motivasi yang terkait
dengan strategi untuk merangsang dan menimbulkan rasa ingin tahu dan minat
siswa. Komponen perhatian terdiri dari tiga kategori (Keller, 2009), yaitu
perceptual arousal (rangsangan minat), inquiry arousal (penyelidikan minat), dan
variability (keragaman). Perceptual arousal, menggunakan situasi mengejutkan
atau tidak pasti untuk membuat rasa ingin tahu dan kagum. Inquiry arousal,
membina siswa untuk berpikir dan membuat siswa bertanya dengan memberikan
masalah sulit untuk dipecahkan. Variability, menggabungkan berbagai metode
pengajaran untuk mempertahankan ketertarikan atau minat siswa.
Relevance (kegunaan) yaitu strategi untuk menghubungkan keperluan, minat, dan
motif siswa. Komponen ini terdiri dari 3 kategori, yaitu goal orientation, men-
jelaskan bagaimana pengetahuan akan membantu pelajar untuk saat ini serta masa
depan. Motive matching, menilai kebutuhan siswa dan alasan untuk belajar dan
memberikan pilihan dalam metode pembelajaran mereka yang sesuai untuk motif
mereka. Familiarity, menghubungkan pelajaran ke dalam pengalaman siswa
dengan memberikan contoh-contoh yang berhubungan dengan kegiatan siswa.
Confidence (percaya diri) yaitu strategi untuk membantu siswa dalam membangun
pemikiran positif untuk mencapai keberhasilan belajar. Komponen ini terdiri dari
3 kategori yaitu, performance requirements, menyediakan standar pembelajaran
dan kriteria evaluatif untuk membangun harapan positif dan percaya diri pada
siswa. Success opportunities, memberikan beberapa tantangan bervariasi pada
33
siswa agar siswa dapat mencapai kesuskesan. Personal control, menggunakan
teknik yang memungkinkan siswa untuk mempunyai cara kesuksesan kemampuan
pribadi atau usaha.
Satisfaction (kepuasan) yaitu strategi untuk memberikan penghargaan ekstrinsik
dan instrinsik. Komponen ini terdiri dari 3 kategori yaitu, intrinsic reinforcement,
membantu dan mendukung kesenangan intrinsik dari pengalaman belajar.
Extrinsic rewards, memberikan penguatan positif dan umpan balik untuk motivasi
dengan memberikan penghargaan. Equity, mempertahankan standar yang
konsisten dan konsekuensi untuk sukses.
D. Model Mental
Istilah model mental banyak digunakan oleh para peneliti bidang psikologi
kognitif, namun akhir-akhir ini istilah itu banyak juga dipakai oleh para peneliti
bidang pendidikan, terutama dalam pendidikan sains (fisika, kimia, dan biologi)
dan matematika (Sunyono, 2013). Model mental merupakan salah satu jenis
keterampilan berpikir tingkat tinggi. Berdasarkan hasil kajian empiris (Sunyono,
2012), siswa dengan kemampuan berpikir tinggi memiliki model mental dengan
kategori “baik” dan mengarah pada model mental target. Menurut Senge
(Sunyono, 2013) menyatakan bahwa proses berpikir seseorang memerlukan
bangunan model mental yang baik. Seseorang yang mengalami kesulitan dalam
membangun model mentalnya menyebabkan orang tersebut akan mengalami
kesulitan dalam mengembangkan keterampilan berpikir, sehingga tidak mampu
melakukan pemecahan masalah dengan baik.
34
Pembelajaran kimia menuntut kemampuan siswa untuk menghubungkan ketiga
level representasi kimia (makroskopik, submikroskopik, dan simbolik) untuk
membangun pemahaman yang bermakna hal ini dapat dicapai dengan mem-
bimbing pengetahuan mereka kearah memori jangka panjang, siswa harus di-
dorong menggunakan model mentalnya secara utuh agar dapat menginterkoneksi-
kan ketiga level representasi dalam memecahkan permasalahan kimia. Keterkait-
an diantara ketiga level representasi kimia menurut Devetak (dalam Sunyono,
2011) dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 5. Keterkaitan tiga level representatif dengan model mental
Model mental menurut Harrison dan Treagust (2000) merupakan representasi
pribadi (internal) dari suatu objek, ide, atau proses yang dihasilkan oleh seseorang
selama proses kognitif berlangsung, yang selanjutnya model mental ini digunakan
siswa untuk upaya menyelesaikan masalah dengan cara berpikir, menggambarkan,
menjelaskan, memprediksi fenomena, dan atau menghasilkan model yang disaji-
kan dalam berbagai bentuk (misalnya, deskripsi verbal, diagram, simulasi, atau
model yang konkrit) untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka kepada orang lain
35
atau untuk memecahkan masalah (Borges dan Gilbert, Buckley dan Boulter,
Greca dan Moreira, Harrison dan Treagust dalam Wang, 2007).
Berdasarkan penjelasan yang sudah disebutkan, dapat dikatakan bahwa model
mental merupakan penjelasan mengenai proses mental berpikir seseorang
mengenai bagaimana sesuatu bekerja dalam dunia nyata yang ditunjukkan dengan
sebuah representasi dari dunia sekitarnya, hubungan antara bagian-bagian ter-
tentunya dan persepsi intuitif seseorang mengenai tindakan mereka dan
konsekuensinya, sehingga mampu saling mempengaruhi dalam hal-hal yang
bersifat positif.
E. Kerangka Pemikiran
Pembelajaran kimia memiliki sisi abstrak yang sulit untuk dilihat dengan mata
telanjang. Seperti pada proses yang terjadi saat percobaan di dalam laboratorium.
Kita dapat melihat larutan berubah warna, namun kita tidak mampu melihat reaksi
yang terjadi di dalam larutan, sehingga dapat menyebabkan perubahan warna
pada larutan. Hal tersebutlah yang sulit untuk siswa pahami. Pembelajaran kimia
menuntut siswa menguasai ketiga representasi yaitu makroskopik, sub-
mikroskopik, dan simbolik, serta harus mampu menginterkoneksi tiga level
fenomena sains, yaitu level submikro yang bersifat abstrak (proses), level
simbolik (abstrak dalam bentuk simbol), dan level makro yang bersifat nyata dan
kasat mata. Namun berdasarkan beberapa penelitian, masih banyak sekali pem-
belajaran kimia di sekolah yang hanya menerapkan representasi makroskopik dan
simbolik, tanpa membimbing siswa kearah level submikro, sehingga diperlukan
36
suatu strategi pembelajaran yang mampu mendukung siswa memahami materi
abstrak yang menginterkoneksikan ketiga level fenomena sains. Salah satu
bentuk strategi yang dapat diambil adalah scaffolding.
Scaffolding adalah bantuan (parameter, aturan atau saran) yang diberikan guru
kepada siswa dalam situasi belajar), dengan menerapkan scaffolding dalam pem-
belajaran membiasakan siswa untuk membangun pengetahuan sendiri, sehingga
mereka akan aktif untuk menalar dan aktif mengkontruksi secara terus menerus
yang mengakibatkan terjadi perubahan konsep ilmiah dan mereka pula akan
cenderung lebih mudah untuk belajar dan memahami konsep larutan elektrolit dan
non elektrolit. Strategi scaffolding dalam penelitian ini mengacu pada scaffolding
yang dikemukakan oleh Anghileri, dimana terdapat tiga tingkatan (level) yang
merupakan dukungan dalam pembelajaran meliputi level 1 (enviromental
provosions/classroom organization), level 2 (explaining, reviewing, and
restructuring), dan level 3 (developing conceptual thinking).
Sebelum pembelajaran berlangsung masing-masing siswa dikategorikan terlebih
dahulu berdasarkan kemampuan awal melalui hasil pretes model mental. Pem-
belajaran dilakukan berkelompok, dimana dalam kelompok tersebut terdapat
berbagai kategori kemampuan awal yang berbeda-beda. Kemudian menceklis
tingkatan level yang telah dilalui siswa berdasarkan rubrik penilaian scaffolding.
Guru akan memberikan bantuan (scaffolding) pada awal-awal penyelesaian tugas
untuk memancing keaktifan dalam penyelesaian masalah secara bertahap dan
terstruktur kemudian ketika siswa telah mencapai level tertingginya maka per-
masalahan tersebut menjadi tanggung jawab mereka sepenuhnya. Dengan
37
berkelompok akan terjadi interaksi antara siswa satu dengan yang lain dalam
diskusi. Selain itu siswa akan dapat bertukar pikiran, bertukar pendapat, dan akan
bersama-sama menggali informasi dalam rangka penyelesaian masalah. Setelah
pembelajaran berlangsung, dilakukan tabulasi dan dihitung persentase tingkatan
level scaffolding siswa sehingga dapat ditentukan dan dihitung persentase ZPD
siswa berdasarkan nilai rata-rata kelas. Tentu strategi ini akan berdampak pada
hasil belajar siswa, sehingga lebih termotivasi dalam belajar dan akan meningkat-
kan model mental. Motivasi belajar dan model mental siswa dapat meningkat
tentunya harus didukung dengan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan
siswa yaitu pembelajaran SiMaYang.
Proses pembelajaran SiMaYang memiliki empat fase. Di dalam setiap fase akan
diberikan scaffolding. Fase awal pada pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran SiMaYang adalah fase orientasi, dimana guru menyampaikan tujuan
pembelajaran dan memberikan motivasi belajar dengan berbagai fenomena sains
yang terkait dengan pengalaman siswa. Motivasi berupa fenomena sains dari
kehidupan sehari-hari atau memberikan pertanyaan yang terkait dengan materi
yang akan dibahas sehingga siswa termotivasi untuk belajar karena ada manfaat
dan keterkaitan belajar dengan kehidupannya sehari-hari.
Fase selanjutnya adalah fase eksplorasi. Pada tahap ini akan diberikan salah satu
media scaffolding berupa handout yaitu berisikan informasi tentang tugas-tugas
yang melibatkan konten namun disajikan secara rinci. Pada tahap ini siswa
diminta untuk melakukan eksplorasi untuk memperluas dan memperdalam
pengetahuannya melalui penjelasan dan pemberian visualisasi dari guru, membaca
38
buku teks, dan menelusuri informasi melalui web, dan diskusi kelompok. Guru
menciptakan aktivitas siswa dalam meningkatkan kemampuan model mental ber-
dasarkan pengetahuan yang diperoleh dengan melakukan imajinasi representasi.
Pada tahap ini siswa akan berimajinasi representasi terkait fenomena sains yang
diberikan dan bekerja keras untuk memahami dan mengembangkan pemikiran
mereka. Pada tahap ini siswa akan dilatihkan model mentalnya agar mengalami
peningkatan dan akan diberikan scaffolding dengan memberikan tugas berupa
soal-soal berjenjang serta mendorong siswa untuk bekerja dan belajar menyelesai-
kan soal-soal secara mandiri. Ketika siswa membutuhkan bantuan maka guru
tidak langsung menjawab pertanyaan siswa dengan langsung mengarah ke per-
masalahan, akan tetapi diberikan isyarat, kata kunci, dorongan, tanda mata
(minders), sehingga siswa mampu bergerak ke arah kemandirian belajar.
Fase selanjutnya adalah fase internalisasi, pada tahap ini guru membimbing dan
memfasilitasi siswa dalam mengkomunikasikan hasil pemikirannya melalui
presentasi hasil kerja kelompok. Kemudian, memberikan dorongan kepada siswa
lain untuk menanggapi hasil kerja kelompok yang sedang dipresentasikan.
Selanjutnya, memberikan latihan atau tugas individu dengan memberikan lembar
kerja siswa yang berisi pertanyaan atau perintah untuk membuat interkoneksi
ketiga level fenomena sains. Pada tahap ini, siswa akan dilatihkan model mental-
nya agar mengalami peningkatan dan akan terjadi scaffolding saat terjadi interaksi
antar siswa dalam pertanyaan hasil persentasi siswa lainnya.
Fase terakhir adalah tahap evaluasi. Tahap evaluasi ini adalah tahap untuk men-
dapatkan umpan balik dari keseluruhan pembelajaran di kelas. Pada tahap ini,
39
guru bersama-sama dengan siswa akan mereviu hasil kerjanya, berlatih untuk
menginterkonekasikan ketiga level fenomena sains, dan melakukan evaluasi
diagnostik, formatif, dan sumatif.
Berdasarkan uraian dan langkah-langkah di atas, dengan diterapkannya model
pembelajaran SiMaYang diyakini dapat meningkatkan kemampuan model mental
dan mempengaruhi motivasi belajar siswa sehingga siswa akan memiliki ke-
mampuan akademik yang tinggi.
F. Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini bahwa hanya strategi scaffolding yang mem-
pengaruhi peningkatan motivasi belajar dan model mental siswa, sedangkan
pengaruh lain diabaikan.
G. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, hipotesis pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh strategi scaffolding dalam model pembelajaran SiMaYang
untuk meningkatkan motivasi belajar pada materi larutan elektrolit dan non
elektrolit.
2. Terdapat pengaruh strategi scaffolding dalam model pembelajaran SiMaYang
untuk meningkatkan model mental pada materi larutan elektrolit dan non
elektrolit.
40
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian dilakukan di SMA Al-Azhar 3 Bandarlampung. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh siswa kelas X IPA SMA Al-Azhar 3 Bandarlampung yang terdiri
dari enam kelas pada semester genap tahun pelajaran 2016/2017. Teknik pengambil-
an sampel yaitu teknik cluster random sampling, dimana sampel yang diambil ber-
dasarkan kelas yang eksis. Kemudian diambil dua sampel yaitu sebagai kelas
eksperimen yaitu X IPA 3 dan kelas kontrol yaitu X IPA 4.
B. Desain Penelitian
Penelitian menggunakan desain pretest-posttest control group design. Pretest di-
lakukan untuk mengetahui kemampuan awal, sedangkan postest dilakukan untuk
memperoleh data penelitian dan kemampuan akhir. Perlakuan yang diberikan pada
kelas eksperimen adalah pembelajaran dengan strategi scaffolding dalam pembelajar-
an SiMaYang pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit sedangkan pada kelas
kontrol adalah pembelajaran SiMaYang tanpa menerapkan strategi scaffolding pada
41
materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Garis besar pelaksanaan penelitian di-
gambarkan pada tabel dibawah ini (Sugiyono, 2009) :
Tabel 3. Desain penelitian pretest-posttest control group desaign
Kelas Eksperimen R O1 X O2
Kelas Kontrol R O3 O4
Keterangan:R : Randomisasi subjekX : Perlakuan (strategi scaffolding)O1 : Pretes sebelum diterapkan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYangO2 : Postes setelah diterapkan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYangO1 : Pretes sebelum diterapkan pembelajaran SiMaYangO1 : Pretes setelah diterapkan pembelajaran SiMaYang
C. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian, sangatlah penting untuk dilakukan observasi pen-
dahuluan dengan mengunjungi sekolah tempat akan dilakukan penelitian dan me-
rancang prosedur pelaksanaan penelitian agar penelitian terarah sehingga tujuan
penelitian yang diinginkan mampu tercapai secara maksimal. Berikut ini adalah
langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini :
1. Penelitian Pendahuluan
Prosedur penelitian pendahuluan terdiri dari beberapa tahap, yaitu :
a. Meminta izin kepada Kepala SMA Al-Azhar 3 Bandarlampung.
b. Mengadakan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan informasi mengenai
data siswa, karakteristik siswa, jadwal pelajaran, cara mengajar guru kimia di
42
kelas, dan sarana-prasarana yang ada di sekolah yang dapat digunakan sebagai
sarana pendukung pelaksanaan penelitian.
c. Menentukan strategi dan model pembelajaran yang akan digunakan pada materi
larutan elektrolit dan non elektrolit, yaitu strategi scaffolding dalam pembelajaran
SiMaYang.
d. Menentukan sampel penelitian, yaitu satu kelas sebagai kelas eksperimen dan
satu kelas sebagai kelas kontrol.
2. Pelaksanaan Penelitian
Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu :
a. Tahap persiapan
Mempersiapkan perangkat pembelajaran meliputi analisis konsep, analisis SKL-KI-
KD, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kerja siswa, lembar kerja
percobaan siswa dan instrumen pembelajaran meliputi angket motivasi belajar, soal
tes model mental, rubrik penilaian scaffolding dan handout, lembar observasi ke-
terlaksanaan RPP strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang, serta lembar
observasi keterlaksanaan RPP pembejaran SiMaYang tanpa strategi scaffolding.
b. Tahap validasi instrumen penelitian
Pada tahapan ini instrumen penelitian yang divalidasi yaitu instrumen angket
motivasi belajar dan soal tes model mental.
c. Tahap penelitian
Pada tahap pelaksanaannya, penelitian dilakukan pada dua kelas, satu kelas sebagai
kelas eksperimen dan yang lainnya sebagai kelas kontrol. Dimana kelas eksperimen
43
diterapkan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang, sedangkan pada kelas
kontrol diterapkan pembelajaran SiMaYang tanpa strategi scaffolding.
Urutan prosedur pelaksanaannya sebagai berikut:
1) Memberikan angket motivasi belajar awal yang kemudian angket tersebut di-
kerjakan oleh siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui
motivasi belajar awal siswa.
2) Memberikan tes model mental awal yang kemudian tes tersebut dikerjakan oleh
siswa pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui model mental
awal siswa.
3) Melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada materi larutan elektrolit dan non
elektrolit sesuai dengan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang pada
kelas eksperimen sedangkan pada kelas kontrol pembelajaran hanya mengguna-
kan pembelajaran SiMaYang tanpa menerapkan strategi scaffolding.
4) Melakukan penilaian scaffolding selama pembelajaran berlangsung berdasarkan
rubrik penilaian scaffolding pada kelas eksperimen serta memberikan handout
sebagai media scaffolding yang membantu siswa dalam fase eksplorasi pem-
belajaran SiMaYang.
5) Melakukan pengamatan keterlaksanaan pembelajaran SiMaYang selama pem-
belajaran berlangsung berdasarkan lembar observasi keterlaksanaan pem-
belajaran SiMaYang pada kelas kontrol dan lembar observasi keterlaksanaan
strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang pada kelas eksperimen.
6) Memberikan angket motivasi belajar akhir setelah pembelajaran pada kelas
eksperimen dan kelas kontrol yang kemudian angket tersebut dikerjakan oleh
44
siswa untuk mengukur peningkatan motivasi belajar siswa dan mengetahui
pengaruh strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang.
7) Memberikan tes model mental akhir setelah pembelajaran pada kelas eksperimen
dan kontrol yang kemudian tes tersebut dikerjakan oleh siswa untuk mengukur
peningkatan model mental siswa dan mengetahui pengaruh strategi scaffolding
dalam pembelajaran SiMaYang.
3. Penelitian Akhir
Berikut ini adalah tahap analisis setelah penelitian berlangsung :
a. Menganalisis data yang terdiri dari:
1) Jawaban angket motivasi belajar untuk mengetahui motivasi belajar awal siswa
sebelum pembelajaran dan mengetahui peningkatan motivasi belajar setelah
proses pembelajaran dengan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang.
2) Jawaban tes model mental untuk mengetahui model mental awal siswa sebelum
pembelajaran dan mengetahui peningkatan model mental siswa setelah proses
pembelajaran dengan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang.
3) Rubrik penilaian scaffolding untuk mengetahui pengaruh strategi scaffolding
dalam pembelajaran SiMaYang.
4) Lembar observasi keterlaksaan pembelajaran SiMaYang pada kelas kontrol dan
lembar observasi keterlaksanaan strategi scaffolding dalam pembelajaran
SiMaYang pada kelas eksperimen.
b. Melakukan pembahasan terhadap hasil penelitian.
c. Menarik kesimpulan.
45
Izin Penelitian
Mempersiapkan perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian
Tes motivasibelajar awal
Tes modelmental awal
Tes motivasibelajar akhir
Tes modelmental akhir
Validasi instrumen penelitian
Strategi Scaffolding dalamModel Pembelajaran
SiMaYang
Analisis Data
Prosedur pelaksanaan penelitian tersebut dapat digambarkan dalam bentuk bagan
berikut ini:
Tahap Pendahuluan
Penelitian
Tahap Pelaksanaan
Penelitian
Tahap Akhir
Penelitian
Gambar 6. Prosedur pelaksanaan penelitian
D. Perangkat Pembelajaran
Perangkat pembelajaran adalah sebuah media yang digunakan sebagai pedoman atau
petunjuk pada sebuah proses pembelajaran. Perangkat pembelajaran merupakan hal
Menentukan sampel penelitian
Pembahasan
Kesimpulan
46
yang harus dipersiapkan oleh guru sebelum melaksanakan pembelajaran yang ber-
tujuan untuk memenuhi suatu keberhasilan guru dalam pembelajaran. Perangkat
pembelajaran menjadi pegangan bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran baik di
kelas, laboratorium, dan di luar kelas. Peranannya sangatlah penting, maka disusun-
lah suatu perangkat pembelajaran dalam penelitian ini meliputi :
1. Analisis Konsep modifikasi dari Neng Rezqi Sri Utami Pendidikan Kimia
Universitas Lampung (2016) terdapat pada Lampiran 1.
2. Analisis SKL-KI-KD modifikasi dari Rahman Aryo Hananto Pendidikan Kimia
Universitas Lampung (2015) terdapat pada Lampiran 2.
3. Silabus modifikasi dari Rahman Aryo Hananto Pendidikan Kimia Universitas
Lampung (2015) terdapat pada Lampiran 3.
4. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) pada penelitian terdapat dua jenis
yang dimodifikasi dari Rahman Aryo Hananto Pendidikan Kimia Universitas
Lampung (2015), yaitu RPP pembelajaran SiMaYang terdapat pada Lampiran 4
dan RPP strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang terdapat pada
Lampiran 5.
5. LKS materi larutan elektrolit dan non elektrolit terdapat dua jenis, yaitu LKS
menggunakan pembelajaran SiMaYang terdapat pada Lampiran 6 dan LKS
menggunakan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMayang terdapat pada
Lampiran 7. LKS pada penelitian ini berjumlah tiga LKS kelompok dan tiga
LKS individu, yaitu LKS 1 mengenai daya hantar listrik larutan elektrolit dan
non elektrolit, LKS 2 penyebab larutan elektrolit dapat menghantarkan listrik,
47
dan LKS 3 jenis senyawa pada larutan elektrolit. LKS ini dimodifikasi dari
Rahman Aryo Hananto Pendidikan Kimia Universitas Lampung (2015).
6. Lembar kerja percobaan penentuan daya hantar listrik terdapat pada Lampiran 8.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah semua alat yang bisa mendukung suatu penelitian, baik
digunakan untuk mengumpulkan, memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau me-
ngumpulkan, mengolah, menganalisa dan menyajikan data-data secara sistematis
serta objektif dengan tujuan memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu
hipotesis. Instrumen penelitian digunakan untuk mengukur nilai variabel yang di-
teliti. Adapun Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Angket motivasi belajar yang dimodifikasi dari Neng Rezqi Utami (2016)
terdapat pada Lampiran 15. Angket motivasi ini digunakan berdasarkan dari
model ARCS karya John Keller (Keller, 2009).
2. Tes tertulis yang digunakan yaitu soal pretes dan postes yang masing-masing
terdiri atas tes model mental dalam bentuk lima soal uraian, modifikasi dari
Rahman Aryo Hananto Mahasiswa Pendidikan Kimia Universitas Lampung
(2015) terdapat pada Lampiran 19.
3. Rubrik penilaian scaffolding pada Lampiran 9 dan handout sebagai media
scaffolding pada Lampiran 10.
4. Lembar observasi keterlaksaan RPP strategi scaffolding dalam pembelajaran
SiMaYang pada Lampiran 11 dan lembar observasi keterlaksanaan RPP
48
pembejaran SiMaYang tanpa strategi scaffolding pada Lampiran 12, modifikasi
dari Dr. Sunyono, M.Si. (2014).
5. Lembar validasi angket motivasi belajar pada Lampiran 13 dan kisi-kisi angket
motivasi belajar pada Lampiran 14, modifikasi dari Neng Rezqi Utami
Pendidikan Kimia Universitas Lampung (2016).
6. Kisi-kisi soal tes model mental materi larutan elektrolit dan non elektrolit pada
Lampiran 16, rubrik penilaian model mental pada Lampiran 17, dan rubrik pe-
nilaian soal tes model mental materi larutan elektrolit dan non elektrolit pada
Lampiran 18.
F. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dibagi ke dalam dua bagian analisis yaitu analisis
validitas dan reabilitas instrumen serta analisis pengaruh pembelajaran SiMaYang.
Berikut ini penjelasan mengenai kedua bagian analisis :
1. Analisis Validitas dan Reabilitas Instrumen
Teknik pengolahan data digunakan untuk mengetahui kualitas instrumen yang
digunakan dalam penelitian. Uji coba instrumen dilakukan untuk mengetahui dan
mengukur apakah instrumen yang digunakan telah memenuhi syarat dan layak
digunakan sebagai pengumpul data. Instrumen yang baik harus memenuhi dua
persyaratan penting yaitu valid dan reliabel (Arikunto, 2006). Analisis validitas dan
realibilitas tes model mental serta angket motivasi belajar menggunakan SPSS 20.
49
a. Validitas
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau ke-
sahihan suatu instrumen tes (Arikunto, 2006). Sebuah instrumen dikatakan valid
apabila mampu mengukur apa yang diinginkan. Validitas angket motivasi belajar
siswa diuji dengan menggunakan uji ahli dan juga diujikan kepada populasi diluar
sampel. Proses validasi dengan uji ahli disebut dengan judgment yang diperlukan
suatu ketelitian dan keahlian penilai, maka perlu meminta ahli untuk melakukannya,
dalam hal ini dilakukan oleh dosen pada program studi bimbingan konseling FKIP
Universitas Lampung.
Validitas tes motivasi belajar dan soal tes model mental diujikan kepada populasi
diluar sampel yaitu 30 siswa kelas XI IPA 1 di SMA Al-Azhar 3 Bandarlampung
yang telah mendapatkan materi larutan elektrolit dan non elektrolit. Uji validitas
dilakukan dengan menggunakan rumus product moment dengan angka kasar yang
dikemukakan oleh Pearson dengan kriteria instrumen valid jika rhitung ≥ rtabel dan
instrumen tidak valid jika rhitung < rtabel. Kategori dari validitas instrumen disajikan
pada tabel berikut (Guilford dalam Suherman, 2003) :
Tabel 4. Kategori dari validitas instrumen
No. Rentangan Validitas Kategori1. 0,80 < rxy ≤ 1,00 validitas sangat tinggi2. 0,60 < rxy ≤ 0,80 validitas tinggi3. 0,40 < rxy ≤ 0,60 validitas sedang4. 0,20 < rxy ≤ 0,40 validitas rendah5. 0,00 < rxy ≤ 0,20 validitas sangat rendah6. rxy ≤ 0,00 tidak valid
50
b. Reliabilitas
Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui seberapa besar kepercayaan instrumen
penelitian yang digunakan sebagai alat pengumpul data. Suatu alat evaluasi disebut
reliabel, bila alat tersebut mampu memberikan hasil yang dapat dipercaya dan
konsisten. Uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach
yang kemudian diinterprestasikan dengan menggunakan derajat reliabilitas alat
evaluasi.
Reliabilitas tes motivasi belajar dan soal tes model mental dilakukan dengan n
sebesar 30, dimana jika rhitung > rtabel maka tes tersebut dikatakan reliabel. Kriteria
derajat reliabilitas (r11) alat evaluasi pada tabel berikut (Guilford dalam Suherman,
2003) :
Tabel 5. Kriteria derajat reliabilitas (r11)
No. Nilai Alpha Cronbach Kriteria1. 0,80 < r11 ≤ 1,00 derajat reliabilitas sangat tinggi2. 0,60 < r11 ≤ 0,80 derajat reliabilitas tinggi3. 0,40< r11 ≤ 0,60 derajat reliabilitas sedang4. 0,20< r11 ≤ 0,40 derajat reliabilitas rendah5. 0,00 < r11 ≤ 0,20 tidak reliabel
2. Analisis Pengaruh Pembelajaran SiMaYang
a. Scaffolding
Scaffolding dinilai berdasarkan tingkatan level scaffolding yang terdiri atas level 1,
level 2, dan level 3 (Anghileri, 2006) serta digunakan handout sebagai media
scaffolding untuk membantu siswa selama kegiatan pembelajaran khususnya pada
51
kegiatan eksplorasi. Penilaian scaffolding dilakukan melalui observasi terhadap kelas
X IPA 3 berjumlah 43 siswa. Tingkatan level scaffolding diukur menggunakan rubrik
penilaian scaffolding menurut Anghileri (2006) yang disajikan pada Tabel 6 berikut:
Tabel 6. Rubrik penilaian scaffolding
No.Tingkatan Level
ScaffoldingKriteria
1. Level 1 :EnviromentalProvisions(ClassroomOrganization)
Mengondisikan lingkungan yang mendukung kegiatan belajar.Adapun kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:1. Menyediakan lembar tugas secara berstruktur.2. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh siswa.3. Mengkondisikan tempat duduk siswa.4. Mengkondisikan kelompok siswa sehingga siswa yang me-
miliki kemampuan awal lebih tinggi dapat membantu temannya.2. Level 2 :
Explaining,Reviewing,andRestrusturing
Terjadi interaksi langsung antara guru dan siswa. Adapun interaksitersebut adalah sebagai berikut :1. Menjelaskan (Explaining )
Memfokuskan perhatian siswa pada aspek-aspek yang ber-hubungan dengan materi.
2. Meninjau/Memeriksa (Reviewing)Membantu memfokuskan kembali siswa dan memberikankesempatan lebih lanjut untuk mengembangkan sendiri tanpabergantung pada guru. Reviewing diklasifikasikan menjadilima jenis interaksi diantaranya :
a. Looking, touching and verbalishingPada interaksi ini guru mendorong siswa untuk menanganisuatu permasalahan, merefleksikan apa yang bisa dilihat olehsiswa, dan meminta siswa untuk menceritakan kembali hasilpengamatannya menggunakan bahasa mereka sendiri.
b. Prompting and probingPada interaksi ini guru mengarahkan siswa untuk dapatmenjelaskan dan melakukan pembenaran. Guru memberikanbeberapa pertanyaan yang mengarahkan pada siswa menujusolusi yang diinginkan. Di sisi lain, pertanyaan tersebut dapatmembantu siswa memperluas pemikiran mereka sendiri.
c. Interpreting students’ action and talkPada interaksi ini guru mentafsirkan tindakan dan ucapansiswa. Hal tersebut dapat diperoleh melalui kegiatan tanyajawab dengan siswa mengenai tugas yang sedang dikerjakan.
d. Parallel modelingPada saat interaksi yang telah dilakukan dirasa tidak cukupmengarahpada solusi yang diharapkan, strategi alternative yangdapat digunakan adalah dengan pemodelan yang sama. Gurudapat memberi contoh serupa yang dapat dipahami oleh siswa.
52
Lanjutan Tabel. Rubrik penilaian scaffolding
No.Tingkatan Level
ScaffoldingKriteria
e. Students explaining and justifyingPada interaksi ini guru dapat meningkatkan pemahaman siswamelalui belajar kelompok (diskusi). Melalui diskusi tersebut,siswa akan secara aktif berpartisipasi dan memperjelas pe-mikiran mereka. Di samping itu, melalui diskusi, guru jugadapat mengetahui pemahaman individu.
3. Membangun Ulang Pemahaman (Restructuring)Melalui membangun ulang pemahaman ini, tujuan guru adalahsecara bertahap membuat ide-ide yang lebih mudah dipahamisiswa. Restructuring (Membangun Ulang Pemahaman)terbagi menjadi empat jenis interaksi, sebagai berikut :
a. Providing meaningful contextsSaat siswa dihadapkan pada suatu permasalahan yang abstrakdan siswa tidak dapat menyelesaikannya, guru membuatpermasalahan yang abstrak tersebut menjadi permasalahan yanglebih konkret sesuai dengan hal-hal yang telah siswa ketahui.
b. Simplifying the problemSaat siswa tidak berhasil menyelesaikan suatu permasalahan,guru dapat membantu siswa dengan menyederhanakan per-masalahan tersebut. Cara yang dapat digunakan adalah me-reduksi hal-hal yang kurang relevan dan lebih memfokuskanpada hal-hal yang relevan.
c. Rephrasing students talkPada interaksi ini peran penting guru adalah mengamati prosessiswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Guru dapatmelakukan tanya jawab berkaitan dengan proses siswamenyelesaikan masalah tersebut.
d. Negotiating meaningsPada interaksi ini, guru melakukan negoisasi makna dengansiswa sebelum dilakukan penggeneralisasian. Kegiatan inidilakukan guru untuk menghindari kesalahpahaman mengenaisuatu permasalahan.
3. Level 3 :DevelopingConceptualThingking
Mengarahkan siswa untuk meningkatkan daya pikir secarakonseptual dengan menciptakan kesempatan untuk mengungkap-kan pemahaman pada siswa.1. Making Connections (Membuat Hubungan)
Memberian dukungan dengan melakukan intervensi sehinggasiswa mampu untuk mengembangkan idenya.
2. Developing Representational Tools (Mengembangkan AlatRepresentasi)
3. Generating Conceptual Discourse (MenggeneralisasikanWacana Konseptual)Memunculkan percakapan konseptual.
53
Adapun pengolahan data scaffolding dilakukan dengan cara berikut ini :
1. Sebelum pembelajaran berlangsung, siswa dikelompokkan berdasarkan ke-
mampuan awalnya. Pengelompokkan dilakukan dengan melihat nilai pretes
siswa.
2. Tingkatan level scaffolding yang telah dilalui siswa diceklis (√) pada setiap per-
temuan berdasarkan rubrik penilaian scaffolding selama proses pembelajaran
berlangsung.
3. Dilakukan tabulasi data keseluruhan tingkatan level scaffolding siswa. Level
satu berarti siswa berada pada ZPD rendah dan memperoleh nilai jauh dari rata-
rata kelas. Level dua berarti siswa berada pada ZPD sedang dan memperoleh
nilai tidak jauh atau sama dengan rata-rata kelas. Level tiga berarti siswa berada
pada ZPD tinggi dan memperoleh nilai diatas rata-rata kelas. Tabulasi dilakukan
berdasarkan rubrik penilaian seperti yang tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Analisis rubrik penilaian scaffolding
No.
Nama ZPDawal
ZPDakhir
Pertemuan-1 Pertemuan-2 Pertemuan-3Lv.1
Lv.2
Lv.3
Lv.1
Lv.2
Lv.3
Lv.1
Lv.2
Lv.3
4. Dihitung persentase tingkatan level scaffolding siswa berdasarkan Zone of
Proximal Development (ZPD) atau level perkembangan siswa yang ditentukan
berdasarkan tingkat kognitifnya pada tiap level dalam Sudjana (2005) dengan
rumus sebagai berikut :
% Xi =Ʃ
x 100%
54
Keterangan:
% Xi = persentase level(-i) tingkatan scaffoldingƩ = jumlah level(-i) tingkatan scaffoldingn = jumlah siswa
5. Data divisualisasikan untuk memberikan informasi berupa data temuan dengan
menggunakan analisis data non statistik yaitu analisis yang dilakukan dengan
cara membaca tabel-tabel, grafik-grafik, atau angka-angka yang tersedia
(Marzuki, 1997).
b. Motivasi Belajar
Analisis data motivasi belajar siswa diukur dengan menggunakan angket motivasi
belajar yang terdiri dari 33 soal pernyataan. Angket motivasi belajar diberikan
untuk mengukur motivasi belajar awal yaitu sebelum dilaksanakan pembelajaran
dan motivasi belajar akhir yaitu setelah dilaksanakan pembelajaran. Data yang
diperoleh dari hasil penelitian adalah data skor motivasi belajar sebelum dan
sesudah dilaksanakannya penelitian. Langkah-langkah analisis data dan kuesioner:
Motivasi belajar siswa dapat diukur dengan menggunakan angket motivasi belajar
ARCS. Pengolahan angket ARCS ini dilakukan dengan cara penskoran semua
pilihan pada setiap pernyataan yang ada di dalam angket. Setiap pilihan pada per-
nyataan memiliki skor yang berbeda Keller (2009) :
Tabel 8. Skoring angket motivasi belajar model ARCS
KriteriaSkor
Pernyataan Positif Pernyataan Negatif
Setuju (S) 3 1Kurang Setuju (KS) 2 2Tidak Setuju (TS) 1 3
55
Setelah diperoleh skor motivasi belajar masing-masing siswa kemudian untuk me-
ngetahui kategori motivasi belajar dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Arikunto,
2006):
Tabel 9. Kategori motivasi belajar siswa
Langkah selanjutnya dalam (Hake, 2002) adalah sebagai berikut :
a. Setelah diperoleh skor dari tiap nomor pernyataan dari masing-masing siswa
langkah selanjutnya dilakukan pengubahan data ordinal menjadi data interval
dengan menggunakan MSI (Method Successive Interval) untuk mendapatkan
data yang bersifat kuantitatif dan memenuhi persyaratan uji statistika dengan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Menghitung frekuensi masing-masing skor
2. Menghitung proporsi yaitu dengan cara membagi frekuensi dengan jumlah
responden
3. Menghitung proporsi kumulatif, yaitu dengan cara menjumlahkan proporsi
secara berurutan untuk setiap nilai.
4. Menghitung nilai z
5. Menghitung nilai densitas fungsi
Nilai densitas F(z)= 1√2πExp(
1
2z2)
Skor Kategori Motivasi Belajarx ≥ 76 Tinggi
56 ≤ x ≤ 75 Sedangx ≤ 55 Rendah
56
6. Menghitung scale value
SV =densitas bawah – densitas atas
Pk atas-Pk bawah
7. Mentransformasikan ke dalam bentuk skala interval
y = SV + [SV min] = 1 – SV1
b. Setelah mendapatkan nilai interval tiap nomor soal. Kemudian mencari nilai
maksimum tiap nomor dan menjumlahkannya. Selanjutnya mengkonversi
jumlah nilai interval menjadi nilai akhir dengan cara membagi nilai tersebut
dengan nilai maksimum, dan dikalikan 100.
Nilai akhir =jumlah nilai interval
nilai maksimumx 100
c. Langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan n-Gain (g) untuk me-
ngetahui efektivitasnya.
N-Gain =Nilai Postes – Nilai Pretes
Nilai Maksimum-Nilai Pretes
c. Model Mental
Analisis data yang digunakan pada model mental adalah analisis deskriptif, yang di-
lakukan dengan menganalisis jawaban-jawaban siswa pada setiap soal tes model
mental. Analisis data model mental siswa diukur dengan menganalisis jawaban siswa
pada setiap soal tes model mental yang terdiri dari lima soal pernyataan untuk materi
larutan elektrolit dan non elektrolit. Soal tes model mental diberikan untuk mengukur
model mental awal yaitu sebelum dilaksanakan pembelajaran dan model mental akhir
57
yaitu setelah dilaksanakan pembelajaran. Jawaban siswa pada penelitian ini sangat
beragam sehingga jawaban-jawaban tersebut perlu dikelompokkan ke dalam beberapa
tipe sesuai dengan kemiripan jawaban siswa yang dituliskan dari yang tidak tepat atau
tidak menjawab, kurang tepat, dan tepat. Selanjutnya banyaknya siswa pada setiap
tipe dinyatakan dalam bentuk persentase, seperti pada tabel di bawah ini:
Tabel 10. Rentangan skor total dan kriteria model mental siswa
NoRentanganSkor Total
Kriteria
Tes sebelumpembelajaran
Tes setelahpembelajaran
Jumlahsiswa
%Jumlahsiswa
%
1 ≤5 Buruk Sekali2 6-10 Buruk3 11-15 Sedang4 16-20 Baik5 ≥21 Baik Sekali
Wang (2007) menyatakan bahwa untuk mengetahui fitur model mental individu
siswa, Wang menggunakan pengkodean terhadap penjelasan verbal dan nonverbal
siswa, dan pengkodean tersebut menggunakan tipe-tipe jawaban siswa sebagai pen-
jelasan dari representasi nonverbal siswa. Pengkodean dari hasil tes model mental
dilakukan dengan cara pemberian skor pada masing-masing jawaban siswa (Park dan
Wang dalam Sunyono, 2014) sesuai dengan tipe jawaban siswa. Teknik penskoran di-
lakukan dengan cara menilai jawaban siswa atas soal tes dengan uraian menggunakan
kategori untuk menentukan tingkat pencapaian. Kategori-kategori tersebut bertulis-
kan “baik sekali”, “baik”, “sedang”, “buruk”, dan “buruk sekali”. Secara berurut-
turut diberikan skor 5, 4, 3, 2, dan 1. Selanjutnya siswa yang memperoleh kategori
yang sama dikelompokkan dan dihitung persentasenya. Berdasarkan klasifikasi yang
58
dilakukan oleh Park, dkk., dalam penelitian ini model mental dengan kategori-
kategori tersebut diklasifikasi sebagaimana tabel dibawah ini (Sunyono, 2014):
Tabel 11. Klasifikasi kategori-kategori model mental
No. KategoriModelMental
Penjelasan
1. BurukSekali
Modelyangbelum jelas
Model mental yang sudah dibawa oleh seseorang sejak lahiratau model mental yang terbentuk karena informasi darilingkungan yang salah, atau konsep dan gambar struktur yangdibuat sama sekali tidak dapat diterima secara keilmuan, ataupembelajar sama sekali tidak memiliki konsep.
2. Buruk Intermediet1
Model mental yang sudah mulai terbentuk atau konsep danpenjelasan yang diberikan mendekati kebenaran keilmuan dangambar struktur yang dibuat tidak dapat diterima atau sebalik-nya.
3. Sedang Intermediet2
Model mental pembelajar yang ditandai dengan konsep yangdimiliki pembelajar dan gambar struktur yang dibuat men-dekati kebenaran keilmuan.
4. Baik Intermediet3
Model mental yang ditandai dengan penjelasan/konsep yangdi-miliki pembelajar dapat diterima secara keilmuan dangambar struktur yang dibuat mendekati kebenaran, atausebaliknya penjelasan/konsep yang dimiliki belum dapat di-terima dengan baik secara keilmuan, tetapi gambar strukturyang dibuat tepat.
5. BaikSekali
Target Model mental yang ditandai dengan konsep/penjelasan dangambar struktur yang dibuat pembelajar tepat secara keilmuan.
Analisis deskriptif juga dilakukan melalui data skor gain ternormalisasi (n-Gain)
yang diperoleh siswa. Analisis terhadap data skor n-Gain tersebut dilakukan dengan
cara pemberian skor pada masing-masing jawaban siswa pada hasil tes model mental
(Park dan Wang dalam Sunyono, 2014) sesuai dengan tipe jawaban siswa. Skor
model mental tersebut kemudian diubah ke skala 100 dengan rumus:
S100 = (S
T) x 100
Keterangan :
S100 = skor model mental pada skala 100S = skor yang diperoleh siswaT = skor total
59
Perhitungan skor n-Gain dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
n-Gain =postes - pretes
100 - pretes
Kriterianya adalah (Hake, 2002) adalah sebagai berikut :
(1) pembelajaran dengan skor n-Gain “tinggi,” jika n-Gain > 0,7
(2) pembelajaran dengan skor n-Gain “sedang,” jika n-Gain terletak antara
0,3 < n-Gain ≤ 0,7
(3) pembelajaran dengan skor n-Gain “rendah,” jika n Gain ≤ 0,3.
d. Analisis data keterlaksanaan pembelajaran SiMaYang
Keterlaksanaan pembelajaran SiMaYang diukur melalui penilaian terhadap ke-
terlaksanaan RPP berupa lembar observasi yang akan diisi oleh dua orang observer,
dimana observer pertama adalah Ice Rosina Sari, S.Pd. selaku guru SMA Al-Azhar 3
Bandarlampung dan observer kedua adalah Rizqa Rahim Taufik selaku salah satu
mahasiswa Pendidikan Kimia Universitas Lampung. Lembar observasi ini memuat
unsur-unsur model pembelajaran yang meliputi sintak pembelajaran, sistem sosial,
dan prinsip reaksi. Kelas eksperimen maupun kontrol diterapkan pembelajaran yang
berbeda, maka lembar observasi keterlaksaan RPP terdapat dua jenis. Lembar
observasi keterlaksanaan RPP strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang
digunakan pada kelas eksperimen dan lembar observasi RPP pembelajaran
SiMaYang tanpa strategi scaffolding digunakan pada kelas kontrol. Adapun analisis
keterlaksanaan RPP dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
60
1. Menghitung jumlah skor yang diberikan oleh pengamat untuk setiap aspek
pengamatan, kemudian dihitung persentase ketercapaian dengan rumus :
% Ji = (ΣJi / N) x 100%
Keterangan :
%Ji = persentase ketercapaian dari skor ideal untuk setiap aspek pengamatanpada pertemuan ke-i
ΣJi = jumlah skor setiap aspek pengamatan yang diberikan oleh pengamat padapertemuan ke-i
N = skor maksimal (skor ideal)
2. Menghitung rata-rata persentase ketercapaian untuk setiap aspek pengamatan
dari dua orang pengamat.
3. Menafsirkan data dengan tafsiran harga persentase ketercapaian rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP) sebagaimana pada tabel tafsiran berikut ini
(Arikunto, 1997) :
Tabel 12. Tafsiran ketercapaian pelaksanaan pembelajaran
No Persentase Kategori Tanggapan1. 80,1 - 100 Sangat Tinggi2. 60,1 - 80 Tinggi3. 40,1 - 60 Sedang4. 20,1 - 40 Rendah5 0,0 - 20 Sangat Rendah
G. Teknik Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan skala pengukuran interval
dan rasio dimana hipotesis pada penelitian termasuk ke dalam hipotesis komparatif.
Hipotesis komparatif adalah dugaan terhadap perbandingan nilai dua sampel atau
61
lebih. Pada penelitian terdapat dua sampel yang diperlakukan secara berbeda
sehingga termasuk ke dalam tidak berpasangan atau independent. Uji hipotesis yang
digunakan dalam penelitian adalah uji statistik parametrik. Sampel pada penelitian
kemudian dibandingkan untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan setelah sampel
tersebut diberikan perlakuan secara berbeda.
Analisis terhadap ukuran pengaruh strategi scaffolding dalam pembelajaran
SiMaYang untuk meningkatkan motivasi belajar dan model mental dilakukan dengan
menggunakan uji perbedaan dua rata-rata dan uji effect size. Uji perbedaan dua rata-
rata dilakukan terhadap perbedaan rerata n-Gain antara postes dan pretes, baik n-
Gain motivasi belajar maupun n-Gain model mental. Taraf kepercayaan yang di-
gunakan adalah α = 0,05. Sebelum melakukan uji perbedaan dua rata-rata diperlu-
kan uji normalisasi dan uji homogenitas terlebih dahulu untuk memenuhi syarat
sampel harus berasal dari populasi dengan distribusi normal dan sampel mempunyai
varians yang sama. Uji normalitas, homogenitas, dan perbedaan dua rata-rata di-
hitung menggunakan SPSS 20.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas ini dilakukan untuk melihat apakah data yang diperoleh berasal dari
populasi berdistribusi normal atau tidak berdasarkan data skor rata-rata aktivitas
sampel. Rumusan hipotesis untuk uji ini adalah sebagai berikut :
H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
62
Dalam Putri (2012) rumus untuk menghitung nilai statistik Uji Kolmogorov-Smirnov
Z, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
Z =Xi-X
s
Keterangan:= angka pada data= rata-rata datas = standar deviasiFT = probabilitas komulatif normalFs = probablititas komulatif empiris
Dengan signifikansi uji, | − | terbesar dibandingkan dengan nilai tabel
Kolmogorov Smirnov. Dalam penelitian ini, uji Kolmogorov-Smirnov dilakukan
dengan bantuan software SPSS Statistic 20. Kriteria pengujian yang dipakai adalah
terima H0 jika nilai probabilitas (Asymp. Sig. (2-tailed)) > 0,05 dan begitu pula
sebaliknya (Trihendradi, 2005).
b. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah variansi populasi bersifat
homogen atau tidak berdasarkan data sampel yang diperoleh. Rumusan hipotesis
untuk uji ini adalah sebagai berikut :
H0 : = (kedua kelompok populasi memiliki varians yang homogen)
H1 : ≠ (kedua kelompok populasi memiliki varians yang tidak homogen)
Dalam Fathoni (2013) rumus yang digunakan dalam uji ini adalah :
F=SSb
SSW
63
Keterangan:
SSb = jumlah kuadrat antar kelompok;SSw = jumlah kuadrat antar kelompok;dengan
SSb=(∑X)2
ntot-∑Xtot
2
ntot
nk-1dan = ∑ (∑ )
Dalam penelitian ini, uji Levene dilakukan dengan bantuan software SPSS Statistic
20. Kriteria uji yang dipakai adalah terima H0 jika Sig.> 0,05 dan begitu pula
sebaliknya (Trihendradi, 2005).
c. Uji Perbedaan Dua Rata-Rata
Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk mengetahui apakah rata-rata nilai n-
Gain motivasi belajar dan rata-rata skor n-Gain model mental siswa di kelas
eksperimen berbeda secara signifikan dengan rata-rata skor n-Gain motivasi belajar
dan rata-rata nilai n-Gain model mental siswa di kelas kontrol. Berdasarkan hal
tersebut, dapat diketahui pengaruh antara pembelajaran kimia dengan strategi
scaffolding menggunakan pembelajaran SiMaYang dan pembelajaran kimia tanpa
strategi scaffolding dengan pembelajaran SiMaYang dalam meningkatkan motivasi
belajar dan model mental siswa. Hipotesis terima H0 apabila nilai Sig.(2-tailed) yang
diperoleh > 0,05 dan hipotesis terima H1 apabila nilai Sig.(2-tailed) yang diperoleh <
0,05 (Trihendradi, 2005). Adapun rumus hipotesis pada uji ini adalah:
Hipotesis 1 (motivasi belajar)
H0 : Tidak terdapat perbedaan antara rata-rata skor n-Gain motivasi belajar siswa
yang menggunakan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang dengan
64
rata-rata skor n-Gain motivasi belajar siswa yang hanya menggunakan
pembelajaran SiMaYang.
H1 : Terdapat perbedaan antara rata-rata skor n-Gain motivasi belajar siswa yang
menggunakan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang dengan rata-
rata skor n-Gain motivasi belajar siswa yang hanya menggunakan pembelajaran
SiMaYang.
Hipotesis 2 (model mental)
H0 : Tidak terdapat perbedaan antara rata-rata skor n-Gain model mental siswa yang
menggunakan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang dengan rata-
rata skor n-Gain model mental siswa yang hanya menggunakan pembelajaran
SiMaYang.
H1 : Terdapat perbedaan antara rata-rata skor n-Gain model mental siswa yang meng-
gunakan strategi scaffolding dalam pembelajaran SiMaYang dengan rata-rata
skor n-Gain model mental siswa yang hanya menggunakan pembelajaran
SiMaYang.
Rumus yang digunakan untuk menguji perbedaan dua rata-rata seperti dalam Sudjana
(2005) dengan rumus sebagai berikut :
t= x1-x2
s 1n1
+ 1n2
dengan s²=n₁- 1 s₁² + n2-1 s₂²
n₁ + n₂ - 2
Keterangan:̅ = skor gain kelas eksperimenx = skor gain kelas kontrol
65
n1 = banyaknya subyek kelas eksperimenn2 = banyaknya subyek kelas kontrols = varians kelompok eksperimens = varians kelompok kontrols = varians gabungan
Berdasarkan uji perbedaan dua rata-rata tersebut, selanjutnya dilakukan perhitungan
untuk menentukan ukuran pengaruh dengan rumus (Abujahjouh, 2014) berikut:
µ²=t²
t²+ df
Keterangan :
µ = effect sizet = t hitung dari uji-tdf = derajat kebebasan
Kriteria ukuran pengaruh (Dincer, 2015) adalah sebagai berikut :
μ ≤ 0,15; efek diabaikan (sangat kecil)0,15 < μ ≤ 0,40; efek kecil0,40 < μ ≤ 0,75; efek sedang0,75 < μ ≤ 1,10; efek besarμ > 1,10; efek sangat besar
99
V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Adapun simpulan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Strategi scaffolding berpengaruh dalam pembelajaran SiMaYang untuk
meningkatkan motivasi belajar pada materi larutan elektrolit dan non
elektrolit dengan kategori effect size besar.
2. Strategi scaffolding berpengaruh dalam pembelajaran SiMaYang untuk
meningkatkan model mental pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit
dengan kategori effect size besar.
B. Saran
Adapun saran berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran konvensional yang belum menginterkoneksikan ketiga multipel
representasi membuat siswa kesulitan dalam meningkatkan model mentalnya,
sehingga disarankan pembelajaran di sekolah menerapkan pembelajaran
SiMaYang dapat dipakai sebagai alternatif model pembelajaran bagi guru
100
dalam kegiatan belajar mengajar yang dapat disesuaikan dengan materi dan
karakteristik siswa.
2. Pemberian scaffolding dengan pemantauan siswa secara individu membuat
guru kesulitan dalam mengelola kelas, sehingga disarankan pembelajaran
dengan strategi scaffolding disesuaikan dengan jumlah siswa yang tidak
terlalu banyak dan waktu pembelajaran yang cukup sehingga guru mampu
menjalankan dan memberikan scaffolding dengan maksimal.
3. Handout sebagai media scaffolding dapat dipertahankan dan dikembangkan
lebih lanjut untuk membantu siswa dalam pembelajaran SiMaYang khusunya
pada kegiatan eksplorasi.
4. Keterbatasan waktu dalam penelitian yaitu tiga kali pertemuan, membuat
pengaruh (effect size) terhadap model mental memiliki peningkatan yang
sangat kecil antara selisih pretes dan postes, sehingga untuk meningkatkan
model mental siswa secara signifikan harus didukung dengan waktu
penelitian yang cukup lama.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, F. A. 2006. The Pattern of Physic Problem-Solving from thePerspective of Metacognition. Master Disertation, University ofCambrige. Tersedia pada : http:// people.pwf.cam.ac.ok/ kst24/ResearchStudents/. Diakses : 19 Desember 2016.
Abujahjouh, Y. M. 2014. The Effectiveness of Blended E-Learning Forum inPlanning for Science Instruction. Journal of Turkish Science Education, 11(4), p. 3-16.
Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices that Enhance Mathematics Learning.Journal of Mathematics Teacher Education. Vol. 9, pp. 33–52.
Anonim. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Kimia SMAdan MA. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/MA. BSNP. Jakarta.
. 2014. Lampiran III Permendikbud nomor 59 tahun 2014. Jakarta.Departemen Pendidikan Nasional tentang Kurikulum SMA.
Arikunto, S. 1997. Penilaian Program Pendidikan. Edisi III. Bina Aksara.Jakarta.
. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta.
Atweh, B., Robert E. B., and Tom, J. C. 1998. The Construction of the SocialContext of Mathematics Classrooms : A Sociolinguistic Analysis. Journalfor Research in Mathematics Education, 29, No.1, p. 63-82.
Bruner, J. S. 1975. From communication to language: A psychologicalperspective. University of Oxford. Cognition, 3, p. 255-287.
Buford, J. A., Jr., Bedeian, A. G., and Lindner, J. R. 1995. Management inExtension (3rd ed.). Ohio State University Extension. Columbus, Ohio.
Burns, A. dan Joyce, HdS. 2005. Teachers’ voices 8: Explicitly supportingreading and writing in the classroom. Australia : Macquarie University.
Cazden, C. B. 1983. Adult assistance to language development: Scaffolds,models, and direct instruction. In R. P. Parker & F. A. Davis (Eds.),Developing literacy: Young children’s use of language. Newark, DE:International Reading Association. p. 3-17.
Chandrasegaran, Treagust, D.F., dan Mocerino. 2007. Enhancing Students’ UseOf Multiple Levels Of Representation To Describe And Explain ChemicalReactions. School Science Review, 88, p. 325.
Chittleborough, G.D., dan Treagust, D. F. 2007. The Modelling Ability of Non-Major Chemistry Students and Their Understanding of Sub-MicroscopicLevel. Chem. Educ. Res. Pract., 8, p. 274-292.
. 2008. Correct Interpretation of Chemical Diagrams RequiresTransforming from One Level of Representatiton to Another . Res SciEduc., 38, p. 463-482.
Coll, R. K. 2008. Chemistry Learners Preferred Mental Models for ChemicalBonding. Journal of Turkish Science Education, 5, (1), p. 22-47.
Colquitt, J. A., dan Simmering, M. J. 1998. Conscientiousness, goal orientation,and motivation to learn during the learning process: A longitudinal study.Journal of applied psychology, 83, 4, p. 654.
Davidowitz, B., Chittleborough, G. D., dan Eileen M. 2010. Students-generatedSubmicro Diagrams: a Useful Tool for Teaching and Learning ChemicalEquation and Stoichiometry. Chemistry Education Res. Pract, 11, p.154-164.
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta.
Dincer, S. 2015. Effect of Computer Assisted Learning on Students’ Achievementin Turkey: a Meta-Analysis. Journal of Turkish Science Education, 12, (1),p. 99-118.
Djamarah, S. B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. RinekaCipta. Jakarta.
. 2011. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. Jakarta.
Elaine, B., dan Johnson. 2007. Contextual teaching and learning: MenjadikanKegiatan Belajar Mengajar Megasyikkan dan Bermakna. Mizan LearningCenter (MLC). Bandung.
Fajaroh dan Dasna. 2007. Pembelajaran dengan Model Siklus Belajar (learningcycle). Universitas Negeri Malang. Malang.
Fathoni, M. 2013. Uji Homogenitas Varians. Tersedia pada :http://www.slideshare.net/mukhamadfathoni1/9-uji-homogenitas-varians/.Diakses : 22 November 2016.
Gasong, D. 2004. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai AlternatifMengatasi Masalah pembelajaran. Tersedia pada: www. muhfida.Com/KONSTRUKTIVISTIK.doc. Diakses : 27 November 2016.
Greca, I. M., dan Moreira, M. A. 2000. Mental models, conceptual models, andModelling. International Journal of Science Education, 22, No.1, p. 1-11.
Hake, R. R. 2002. Reliatonship of Individual Student Normalized Learning Gainsin Mechanis with Gender, High School Physics, and Pretest Score onMathematics and Spatial Visualization. Physics Education ResearchConference.
Hammond, J. 2001. Scaffolding: Teaching and Learning in Language andLiteracyEducation. Australia: Primary English Teaching Association.
Hananto, R. A. 2015. Lembar Kerja Siswa Berbasis Multipel Representasi denganModel Simayang Tipe II Untuk Menumbuhkan Model Mental danPenguasaan Konsep Larutan Elektrolit dan Non-Elektrolit. (Skripsi).Universitas Lampung. Bandarlampung.
Harrison, A. G., dan Treagust, D. F. 2000. Learning About Atoms, Molecules,andChemical Bonds: A Case Study of Multiple‐Model Use in Grade 11Chemistry. International Journal of Science Education, 84, (3), p. 352-381.
Herber, H., dan Herber, J. 1993. Teaching in Content Areas With Reading,Writing, and Reasoning. Allyn & Bacon: Needham Heights, M.A.
Keller, J. M. 2009. Motivational Design for Learning and Performance: TheARCS Model Approach. Springer Science & Business Media. Newyork.
Kozma, R., dan Russel, J. 2005. Student Becoming Chemists: DevelopingRepresentational Competence. In J. Gilbert (Ed.), Visualization in scienceeducation. Dordrecht: Springer. p. 121-145.
Lange, V. L. 2002. Instructional scaffolding. Tersedia pada :http://cmapspublic3.ihmc.us/rid=1KDMQQ3X2-N5J29C-W4P/Scaffolding%20Paper.pdf. Diakses : 08 Desember 2016.
Lindner, J. R. 1998. Understanding employee motivation. Journal of extension,36, (3), p. 1-8.
Mamin, R. 2008. Penerapan Metode Pembelajaran Scaffolding Pada PokokBahasan Sistem Periodik Unsur. Jurnal Chemica. Vol. 10.
Martinis. 2010. Model Pembelajaran Scaffolding. Wordpress. Tersedia pada :http://martinis1960.wordpress.com/2010/07/29/model-pembelajaran-scaffolding/. Diakses : 27 November 2016.
Marzuki. 1997. Metodologi Riset. Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta.
Poerwadarminta, W.J.S. 1983. Kamus Umum Bahasa Indonesia. PN BalaiPustaka. Jakarta.
Poulsen, A., Lam, K., Cisneros, S., dan Trust, T. 2008. ARCS Model ofMotivational Design. Retrieved March, 21, 2011.
Putri, Ratu, dan Indra, I. 2012. Uji Normalitas. Tersedia pada :http://ilma69.files.wordpress.com/2012/10/uji-normalitas-dan-homogenitas-ri.pdf/. Diakses : 20 November 2016.
Sardiman, A. M. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. CV Rajawali.Jakarta.
Schunk, D.H., Pintrich, P.R., dan Meece, J.L. 2010. Motivation in Education:Theory, Research and Applications (3nd ed.). Englewood Cliffs, NJ:Merrill Company.
Skinner, E. A., dan Belmont, M. J. 1993. Motivation in the classroom: Reciprocaleffects of teacher behavior and student engagement across the school year.Journal of educational psychology, 85, (4), p. 571.
Spectrum Newslatter. 2008. Instructional Scaffolding to Improve Learning.Tersedia pada: http://www.niu.edu/spectrum/2008/fall/scaffolding/ shtml.Diakses : 20 Agustus 2015.
Stone, C. A. 1998. The metaphor of scaffolding: Its utility for the field oflearning disabilities. Journal of Learning Disabilities, 31, (4), p. 344-364.
Sudjana, N. 2005. Metode Statistika Edisi keenam. PT.Tarsito. Bandung.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D). Alfabeta. Bandung.
Suherman, E. 2003. Evaluasi Pembelajaran Matematika. JICA UniversitasPendidikan Indonesia. Bandung.
Sunyono, Leny, Y., dan Muslimin , I. 2011. Model Mental Mahasiswa TahunPertama dalam Mengenal Konsep Stoikiometri (Studi pendahuluan padamahasiswa PS. Pendidikan Kimia FKIP Universitas Lampung. ProsidingSeminar Nasional V. 6 Juli 2011. Universitas Islam Indonesia.Yogyakarta.
Sunyono. 2012. Analisis Model Pembelajaran Berbasis Multipel Representasidalam Membangun Model Mental Stoikiometri Mahasiswa. Laporan HasilPenelitian Hibah Disertasi Doktor 2012. Lembaga Penelitian Universitas
Negeri Surabaya.
.2013. Buku Model Pembelajaran Berbasis Pembelajaran BerbasisMultipel Representasi [Model SiMaYang]Untuk Pembelajaran Sains diSekolah dan di Perguruan Tinggi. Aura Publishing. Bandarlampung.
Sunyono dan Yulianti, D. 2014. Pengembangan Model Pembelajaran KimiaSMA Berbasis Multipel Representasi dalam Menumbuhkan ModelMental dan Meningkatkan Penguasaan Konsep Kimia Siswa Kelas X.Laporan Penelitian Hibah Bersaing (Dikti) Tahun I (2014).Universitas Lampung.
Sunyono. 2015. Model Pembelajaran Multipel Representasi. Media Akademi.Yogyakarta.
Suryani, N., dan Leo, A. 2012. Strategi Belajar Mengajar. Penerbit Ombak.Yogyakarta.
Susetyo, Y. F., dan Kumara, A. 2012. Orientasi Tujuan, Atribusi Penyebab, danBelajar Berdasar Regulasi Diri. Jurnal Psikologi, 39, (1), p. 95-111.
Uno, H. B. 2006. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Bumi Aksara. Jakarta.
Utami, N. R. 2016. Hubungan Antara Motivasi Belajar Dan Efikasi Diri DenganModel Mental Siswa Dalam Pembelajaran Larutan Elektrolit Dan Non-Elektrolit Menggunakan Model Simayang. (Skripsi). UniversitasLampung. Bandarlampung.
Treagust, D.F., Chittleborough, G.D., dan Mamiala. 2003. The role ofsubmicroscopic and symbolic representations in chemical explanations. Int.J. Sci. Educ., 25 (11), p.1353-1368.
Trihendradi, C. 2005. Step by Step SPSS 17.0 Analisis Data Statistik. AndiOffset.Yogyakarta.
Turnbull, A., Turnbull, R., Shank, M., dan Leal, D. 1999. Second Edition.Exceptional Lives: Special Education in Today’s Schools. Prentice-Hall,Inc.: Upper Saddle River, N.J.
Valamband. 2008. Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky. Makalah Pendidikan.Tersedia pada : http://www.valmbandmultiply.com. Diakses : 02Desember 2016.
Wang, C. Y. 2007. The Role of Mental-Modeling Ability, Content Knowledge,and Mental Models in General Chemistry Students' Understanding aboutMolecular Polarity. (Doctoral dissertation). University of Missouri.Columbia.
Widari, Y. R. 2016. Pembelajaran SiMaYang Tipe II dalam Meningkatkan ModelMental dan Efikasi Diri Siswa pada Materi Larutan Elektrolit Dan Non-Elektrolit. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandarlampung.