Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

22
Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori Vygotsky pada Pembelajaran di Sekolah Dasar Internasional “Y” Berkurikulum International Baccalaureate di Jakarta Selatan Raisa Paramitha A.P, Edward Andriyanto Fakultas Psikologi E-mail : [email protected] Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk melihat gambaran penerapan teori Vygotsky pada salah satu sekolah internasional berkurikulum International Baccalaureate. Dengan mengetahui gambaran penerapan dapat dilakukan peningkatan pada kualitas SDM yang dapat bersaing secara global. Aspek-aspek yang diteliti adalah scaffolding (kontingensi, means, intentions), tools, dan internalisasi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi serta wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar interaksi di kelas adalah kontingen dan bertujuan untuk memahami konsep secara keseluruhan; adanya tingkat pemahaman yang cukup merata pada anak; dan penggunaan tools yang beragam. Abstract The purpose of this study is to have a descriptive overview of the application of Vygotsky‟s theory at one of the international elementary school with International Baccalaureate curriculum. Knowing this will allow the increasing quality of human resources so that we can compete globally with other countries. The aspects that are being studied are scaffolding (contingency, means, intentions), tools, and internalization. The data collection methods are observation and interview. This study shows that most of the teacher-student interactions are contingent and aimed for students to comprehend the whole concept; there‟s a equitable comprehension in most of the students; and the usage of various tools is absent. Keywords : Vygotsky, scaffolding, tools, internalization, international baccalaureate Pendahuluan Pemerintah Indonesia mulai mengambil tindakan melalui peningkatan mutu pendidikan. Ini terlihat pada anggaran pendidikan dalam APBN 2013 yang dinaikkan sebesar 20% Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Transcript of Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

Page 1: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori Vygotsky pada

Pembelajaran di Sekolah Dasar Internasional “Y” Berkurikulum

International Baccalaureate di Jakarta Selatan

Raisa Paramitha A.P, Edward Andriyanto

Fakultas Psikologi

E-mail : [email protected]

Abstrak

Tujuan penelitian adalah untuk melihat gambaran penerapan teori Vygotsky pada salah satu

sekolah internasional berkurikulum International Baccalaureate. Dengan mengetahui gambaran

penerapan dapat dilakukan peningkatan pada kualitas SDM yang dapat bersaing secara global.

Aspek-aspek yang diteliti adalah scaffolding (kontingensi, means, intentions), tools, dan

internalisasi. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode observasi serta wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar interaksi di kelas adalah kontingen dan

bertujuan untuk memahami konsep secara keseluruhan; adanya tingkat pemahaman yang cukup

merata pada anak; dan penggunaan tools yang beragam.

Abstract

The purpose of this study is to have a descriptive overview of the application of Vygotsky‟s theory at one of the

international elementary school with International Baccalaureate curriculum. Knowing this will allow the increasing

quality of human resources so that we can compete globally with other countries. The aspects that are being studied

are scaffolding (contingency, means, intentions), tools, and internalization. The data collection methods are

observation and interview. This study shows that most of the teacher-student interactions are contingent and aimed

for students to comprehend the whole concept; there‟s a equitable comprehension in most of the students; and the

usage of various tools is absent.

Keywords : Vygotsky, scaffolding, tools, internalization, international baccalaureate

Pendahuluan

Pemerintah Indonesia mulai mengambil tindakan melalui peningkatan mutu pendidikan.

Ini terlihat pada anggaran pendidikan dalam APBN 2013 yang dinaikkan sebesar 20%

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 2: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

(Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, 2013). Pemerintah melihat adanya kontribusi yang

signifikan dari pendidikan untuk meningkatkan mutu kualitas sumber daya manusia di

Indonesia sebagai negara berkembang. Ini juga didukung oleh Institute for International

Economic Policy bahwa pendidikan menjadi penting untuk memenuhi standar yang

diakibatkan oleh globalisasi, pendidikan harus membantu individual-individual untuk dapat

memberikan performa dalam menyelesaikan tugas-tugas yang dulu tidak pernah ada,

mempersiapkan jalur karir yang tidak lazim, mengembangkan kemampuan kerja dalam

kelompok, menggunakan informasi secara independen, mengembangkan kemampuan untuk

berimprovisasi serta kreativitas, dan mengaplikasikan dasar-dasar dalam berpikir kompleks

kepada realita kehidupan yang sebenarnya (1998). Pemerintah mencoba mengubah kurikulum

pendidikan menjadi kurikulum 2013 seperti yang banyak diberitakan. Pemerintah mencoba

mengevaluasi pendidikan yang sudah berjalan selama ini di Indonesia.

Para orang tua juga melihat adanya persaingan yang kompetitif untuk mendapatkan masa

depan yang berkualitas bagi anak-anaknya. Terlihat bahwa kebutuhan akan pendidikan

berstandar „global‟ semakin banyak diminati oleh para orang tua. Dimulai dari banyaknya

jumlah sekolah yang terus dibuka di Indonesia khususnya di kota-kota besar, sekolah negeri

unggulan, sekolah swasta unggulan, sekolah national plus, sekolah bertaraf internasional

(SBI), hingga sekolah internasional. Ini terlihat dari adanya statistic peningkatan 15% dari

sekolah yang mengikuti ujian Cambridge (IGCSE) dari tahun 2012 (ANTARA, 2013).

Masing-masing dari jenis kurikulum memiliki kelebihan dan kekurangannya.

Melihat pentingnya pendidikan berstandar global untuk meningkatkan kualitas sumber

daya manusia, peneliti menyimpulkan pentingnya pertanyaan mengenai apakah kualitas

pendidikan sekarang ini di Indonesia sudah memenuhi standar global. Berkaca pada

pendidikan di negara-negara maju seperti Amerika, peneliti mencoba melihat karakteristik

pendidikan yang ada di negara-negara maju tersebut. Banyak penemuan yang telah diketahui

bahwa teknologi edukasional dibangun berdasarkan konstruk-konstruk edukasional seperti

scaffolding, apprenticeship learning, dan zone of proximal development yang merujuk pada

teori oleh Vygotsky (Murray & Arroyo, 2002). Teori Vygotsky juga ditemukan menjadi

instrumen dalam membentuk proses belajar dalam kelas-kelas di Rusia, Eropa, dan Amerika

Serikat (Kozulin, Gindis, Ageyev, & Miller, 2003). Meskipun penelitian Vygotsky yang

berbasis pada sekolah masih sangat sedikit, namun dalam realita, pendekatan Vygotsky dapat

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 3: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

dikatakan merupakan paradigma pendidikan yang paling konsisten diterapkan di dalam kelas

(Kozulin, 2004). Salah satu kurikulum yang didasari oleh teori Vygotsky, The Tools of the

Mind Curriculum, diteliti meningkatkan executive function yang penting untuk pencapaian

akademis sepanjang tahun-tahun sekolah (Diamond, Barnett, Thomas, & Munro, 2007).

Berdasarkan fakta-fakta mengenai Vygotsky yang dipaparkan di atas, peneliti merasa

penting akan adanya penelitian mengenai Vygotsky dalam bidang pendidikan, khususnya

pendidikan di Indonesia. Melihat adanya keunggulan-keunggulan yang diberikan oleh

Vygotsky dalam dunia pendidikan di negara-negara maju, diperlukan adanya penelitian

Vygotsky mengenai pendidikan di Indonesia yang secara tidak langsung menghasilkan

sumber daya manusia yang dapat bersaing di dunia global. Pendidikan yang khususnya

merupakan pendidikan dengan kurikulum internasional di mana anak disiapkan untuk

bersaing secara global dengan pemberian kompetensi yang berstandar global.

Peneliti ingin melakukan penelitian pada beberapa aspek teori Vygotsky seperti

scaffolding, internalisasi dan tools, untuk memperoleh gambaran penerapan aspek

scaffolding, internalisasi dan Technical Tools pada salah satu sekolah dasar berkurikulum

internasional yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate, di Jakarta –

Indonesia. Beberapa aspek yang peneliti pilih diambil dengan pertimbangan porsi dari aspek

tersebut dalam teori Vygotsky, seperti scaffolding sebagai inti dari teori Vygotsky,

internalisasi sebagai output dari scaffolding yang dilakukan, serta tools sebagai media

terjadinya proses scaffolding dan internalisasi. Scaffolding akan diteliti dengan menggunakan

metode observasi dan instrumen penelitian berupa observation checklist yang diadaptasi dari

disertasi oleh van de Pol (2010) lalu internalisasi dan tools akan diteliti dengan menggunakan

metode observasi dan wawancara. Maka penelitian memiliki tujuan untuk melihat gambaran

scaffolding, proses internalisasi, serta tools sebagai aspek dari teori Vygotsky di salah satu

sekolah dasar berkurikulum internasional, khususnya dengan kurikulum International

Baccalaureate, di Indonesia.

Tinjauan Teoritis

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 4: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

Zone of Proximal Development (ZPD)

Scaffolding dilakukan untuk memperkecil jarak antara actual development dan potential

development anak. Pada awalnya, Vygotsky mengelaborasi ide zone of proximal development

untuk tes-tes psikologi di sekolah dengan membawa pernyataan bahwa tes seharusnya tidak

hanya didasarkan pada tingkat achievement yang dimiliki sekarang oleh anak namun juga

perkembangan potensial yang dimiliki anak (Vygotsky dalam Verenikina, n.d.). Vygotsky (dalam

Miller, 2011) mendefinisikan ZPD sebagai “the distance between a child’s actual developmental

level as determined by the dependent problem solving and the higher level of potential

development as determined through problem solving under adult guidance or in collaboration

with more capable peers.”

Vygotsky dan beberapa penganut sosiokultural percaya bahwa perkembangan dari

seorang anak hanya akan dapat dimengerti melalui proses dari perubahan dan bukan dari keadaan

statis seorang anak dalam tahap perkembangan tertentu. Vygotsky menyatakan bahwa zone of

proximal development mendefinisikan fungsi-fungsi dari anak yang belum matang namun dalam

proses menuju kematangan yang dianalogikan Vygotsky sebagai kuntum (buds) dan bukan buah

(fruits) dari perkembangan (Miller, 2011).

Dalam setting pendidikan, guru akan mengajarkan konsep yang memiliki tingkat

kesulitan sedikit di atas kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki anak pada saat itu sehingga

anak dapat termotivasi untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi dari kemampuan atau

pengetahuan mereka (Jaramillo dalam Stuyf, 2002). Bentuk pengajaran yang dicetuskan oleh

Vygotsky berbentuk interaktif di mana anak dan guru akan berinteraksi dua arah membentuk

pengetahuan baru baik bagi guru maupun anak (Stuyf, 2002). Anak mengembangkan atau

mengkonstruksi pemahaman baru dengan bantuan guru atau yang disebut Vygotsky sebagai more

knowledgeable others atau MKO (Raymond dalam Stuyf, 2002).

More Knowledgeable Others (Adult)

MKO memiliki peran sebagai pembimbing atau pemberi bantuan dalam proses transfer

pengetahuan (Bowler, n.d.). MKO membantu anak bagaimana mengasosiasikan pengetahuan

yang sudah dimiliki anak dengan pengetahuan baru melalui komunikasi verbal dan non-verbal

serta modeling. Dalam setting pendidikan, guru sebagai MKO dengan sengaja tidak memberikan

solusi yang lengkap dan membiarkan siswa menyelesaikan masalah yang diberikan (van de Pol,

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 5: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

Volman, & Beishuizen, 2010). Secara singkat, MKO melakukan scaffolding melalui pemberian

model, cues, prompts, hints, partial solutions, think-aloud modeling, dan direct instruction

(Hartman dalam Stuyf, 2002).

Scaffolding

Scaffolding merupakan aplikasi teori Vygotsky tentang adanya interaksi dengan

lingkungan. Scaffolding merupakan sebuah kegiatan yang melibatkan adanya bantuan atau

bimbingan dari individu yang lebih mampu kepada individu yang kurang mampu untuk

menyelesaikan suatu tugas yang bertujuan pada penyelesaian tugas oleh diri sendiri bagi individu

yang kurang mampu (Greenfield; dalam Daniels, 2003). Vygotsky sendiri mendefinisikan

scaffolding sebagai “role of teachers and others in supporting the learner’s development and

providing support structures to get to that next stage or level.” (dalam Stuyf, 2002). Scaffolding

dilakukan untuk memperkecil jarak actual development dan potential development yang terdapat

pada zone of proximal development anak. More knowledgeable others menggunakan scaffolding

sebagai bentuk interaksi agar anak dapat menggunakan cultural tools yang mereka miliki. Tujuan

akhir dari scaffolding adalah membuat anak dapat mencapai internalisasi sehingga berikutnya

anak dapat menjadi independen dalam menyelesaikan suatu masalah (Verenikina, n.d.).

Gambaran skema hubungan antara scaffolding dan ZPD dapat dilihat sebagai berikut :

Skema 2.1 Hubungan antara scaffolding dan ZPD

Secara luas, scaffolding dapat dilakukan dalam berbagai setting kehidupan individu.

Lebih spesifik, scaffolding banyak digunakan dalam dunia pendidikan, khususnya pada kegiatan

Actual Development

Potential Development

Zone of Proximal Development

(diperkecil dengan menggunakan

scaffolding)

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 6: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

belajar mengajar di sekolah atau interaksi antara siswa dan guru. Guru menyusun strategi

scaffolding dalam pengajarannya untuk memberikan penunjang yang berbeda bagi setiap anak

sesuai dengan zone of proximal development dari setiap anak (Chan, Sung, & Chen; dalam Stuyf,

2002). Scaffolding memfasilitasi kemampuan dari seorang siswa untuk mengkonstruksi

pengetahuan baru dan menginternalisasi informasi baru. Dalam instruksi scaffolding yang

diberikan, siswa akan diberikan aktivitas dengan tingkat yang lebih sulit dibandingkan dengan

apa yang dapat dilakukan oleh siswa tersebut tanpa bantuan dari pihak guru (more knowledgeable

others). Tingkat kontrol scaffolding bersifat sementara karena seiring dengan meningkatnya

pengetahuan serta kemampuan dari siswa, more knowledgeable others akan mengurangi tingkat

kontrolnya sehingga pada akhirnya siswa akan dapat melakukan hal tersebut tanpa harus dibantu

oleh guru atau independen (Stuyf, 2002).

Konsep scaffolding sekarang ini banyak digunakan secara luas dalam ilmu mengenai

pengajaran pada berbagai bidang, termasuk baca, tulis, hitung, sains, bahasa (Dunn & Lantolf;

Lantolf & Pavlenko, dalam Chaiklin, 2003), edukasi moral (Tappan dalam Chaiklin, 2003), dan

keterampilan memainkan biola (Gholson dalam Chaiklin, 2003). Konsep ini digunakan dalam

berbagai populasi, usia, dan media. Selain itu juga digunakan dalam berbagai profesi serta prinsip

akademis seperti psychoanalysis, psychotherapy, serta occupational (Chaiklin, 2003). Seiring

dengan luasnya penggunaan scaffolding, semakin banyak penelitian yang dilakukan mengenai

scaffolding, terdapat beberapa karakteristik dari scaffolding yang ditemukan dan akan dibahas

pada subbab berikut.

Characterization of Scaffolding

Terdapat tiga karakteristik utama dari scaffolding, yaitu fading, transfer of responsibility,

dan contingency. Penjelasan rincinya adalah sebagai berikut :

1. Fading

Fading adalah karakteristik scaffolding yang didefinisikan sebagai adanya penarikan

scaffolding secara bertahap. Tingkat fading yang dilakukan oleh guru bergantung kepada

tingkat perkembangan dan kompetensi siswa (van de Pol, 2010).

2. Transfer of Responsibility

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 7: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

Karakteristik berikutnya, transfer of responsibility, berhubungan erat dengan fading.

Dengan adanya fading yang dilakukan oleh guru, maka tanggung jawab dari sebuah performa

dalam tugas secara bertahap berpindah kepada siswa. Tanggung jawab pada konteks ini dapat

diinterpretasikan sebagai aktivitas kognitif atau metakognitif siswa (van de Pol, 2010).

3. Contingency

Kontingensi seringkali merujuk kepada respon guru (more knowledgeable others) dalam

melakukan penyesuaian tingkat dukungan. Kontingensi merupakan fitur yang paling penting

dalam scaffolding. Kontingensi dapat merepresentasikan sifat alami dari scaffolding. Dengan

adanya kontingensi, tingkat kontrol scaffolding barulah dapat perlahan menghilang (fading)

dan muncul adanya transfer dalam suatu tanggung jawab (transfer of responsibility) (van de

Pol, 2012). Kontingensi dalam mengajar dapat didefinisikan dalam dua aturan dasar, yakni :

ketika pelajar gagal, maka kontrol dinaikkan; ketika pelajar berhasil, maka kontrol dikurangi.

Aturan ini dikenal dengan contingent shift people. Oleh karena itu, kontingensi bergantung

pada adaptasi pengajar terhadap reaksi dari pemahaman anak. Model of contingent teaching

terdiri dari empat langkah, yakni ;

(1) menerapkan strategi diagnostik (menemukan pemahaman aktual anak),

(2) memastikan diagnosis yang ada ke anak (menyimpulkan apa yang anak katakan dan

menanyakan apakah hal tersebut benar),

(3) menerapkan strategi intervensi (pemberian bantuan yang sebenarnya berdasarkan

informasi yang telah didapat dari langkah pertama dan kedua), dan

(4) memastikan kembali pemahaman anak (memastikan apakah anak mempelajari

sesuatu).

Respon anak menjadi hal yang penting dalam model tersebut. Kontingensi dari

scaffolding inilah yang akan diukur dalam penelitian ini. (van de Pol, 2012). Lebih lanjut, dalam

analisis scaffolding terdapat means dan intentions dari scaffolding yang akan dibahas lebih lanjut

pada subbab berikutnya yaitu cara pemberian scaffolding (means of scaffolding) dan tujuan

pemberian scaffolding (intentions of scaffolding).

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 8: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

Cara Pemberian Scaffolding

Dalam pengembangan teori Vygotsky, penelitian-penelitian terus dilakukan. Sejalan

dengan perkembangan teori Vygotsky, para peneliti melihat pentingnya melakukan pemisahan

antara means dan intentions dari scaffolding sehingga terdapat deskripsi yang komprehensif

dalam interaksi siswa dan guru (Many, Silliman; dalam van de Pol, Volman, dan Beishuizen,

2010). Dalam jurnalnya, van de Pol (2010) memberikan framework bagi para peneliti yang

ingin melakukan analisis mengenai teori Vygotsky, khususnya scaffolding. Pengajar melakukan

scaffolding berdasarkan enam cara, yaitu ;

(1) memberikan feedback,

(2) memberikan hints,

(3) memberikan instruksi,

(4) memberikan penjelasan lebih mendalam,

(5) modeling, dan juga

(6) bertanya

Memberikan feedback meliputi adanya pemberian informasi kepada siswa mengenai performance

yang telah dilakukan, kemudian memberikan hints atau petunjuk dilakukan pengajar dengan tidak

memberikan solusi sepenuhnya atau instruksi yang rinci mengenai sebuah masalah atau

pertanyaan, lalu scaffolding juga dapat dilakukan dengan means memberikan instruksi kepada

siswa apa yang harus dilakukan atau bagaimana sesuatu harus dilakukan dan alasan di baliknya,

lalu dilanjutkan dengan penjelasan yang mendalam dan rinci atau juga klarifikasi oleh pengajar.

Selain itu, scaffolding juga dilakukan pengajar dengan means memberikan tingkah laku untuk

diimitasi, dan terakhir pengajar juga akan bertanya kepada siswa yang melibatkan linguistic serta

kognitif. Gabungan dari beberapa means akan membentuk sebuah scaffolding strategy yang

dilakukan pengajar pada kegiatan belajar mengajar di kelas (van de Pol, Volman, & Beishuizen,

2010). Menimbang pentingnya means dari scaffolding dalam memberikan gambaran yang

komprehensif mengenai keseluruhan kegiatan scaffolding, maka peneliti memutuskan untuk

melakukan observasi dan wawancara.

Tujuan Pemberian Scaffolding

Selain cara pemberian scaffolding, untuk memberikan gambaran yang komprehensif dari

scaffolding juga perlu dilihat mengenai tujuan pemberian scaffolding. Tujuan pemberian

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 9: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

scaffolding mendeskripsikan bagian dari interaksi yang guru scaffold, apa yang menjadi tujuan

dari scaffold yang dilakukan oleh guru (van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2010). Menurut van

de Pol terdapat enam tujuan pemberian scaffolding, yaitu sebagai berikut :

1) Task Approach

Dalam task approach, scaffolding dilakukan dengan maksud memberikan

pendekatan pada suatu tugas atau materi tertentu. Guru biasanya menggunakan

means of scaffolding dalam kategori instructing dan hints. Contoh dari task

approach yaitu “Coba lihat lagi pada bagian tersebut dan kamu bisa lihat dari

referensi buku tersebut” atau “Menurut video tersebut apa yang dikatakannya

tentang materi ini?”

2) General Principles

General principles merupakan intensi scaffolding yang memberikan framework

keseluruhan materi agar anak dapat mengerti keseluruhan materi yang sedang

dipelajari. Contoh : “Jadi secara keseluruhan, meletakkan bilangan romawi di

depan bilangan romawi lainnya adalah mengurangi dan meletakkan bilangan

romawi di belakang bilangan romawi lainnya adalah menambahkan”

3) Subject-matter

Intensions of scaffolding berikutnya adalah subject-matter. Subject-matter hadir

ketika guru memberikan scaffolding mengenai suatu subjek spesifik yang sedang

dipelajari oleh murid sehingga kemudian pemahamn tersebut dapat digunakan

oleh siswa berikutnya. Biasanya guru akan menggunakan means of scaffolding

berbentuk explaining dan modelling. Contoh : “Ini adalah temperature dan ini

adalah presipitasi.”

4) Recruitment

Recruitment merupakan intensi dari scaffolding yang dilakukan guru dengan

maksud meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam suatu materi

5) Frustration Control

Berikutnya frustration control di mana merupakan usaha guru untuk

meningkatkan motivasi siswa, namun berbeda dengan recruitment, secara spesifik

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 10: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

ini dilakukan dalam bentuk rewards dan punishment. Contoh : “Betul, bagus

sekali.”

6) Miscellaneous (2009)

Keenam intentions of scaffolding di atas akan membantu peneliti dalam menganalisis gambaran

scaffolding dengan lebih komprehensif.

Tools

Anak dalam mengkonstruksi dan mengembangkan pengetahuannya dibantu oleh MKO

yang akan melakukan scaffolding untuk menstimulasi ZPD-nya. Dalam hal ini, MKO harus

mengetahui tingkat pemahaman anak pada saat itu terlebih dahulu dan mengenal budaya atau

tools yang dimiliki oleh anak sepanjang hidupnya (van de Pol, Volman, & Beishuizen, 2010).

Anak dibantu dengan beberapa tools yang dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu

psychological dan technical tools. Tools ini membantu individu untuk mengerti lingkungan

sekitarnya yang akan membentuk kognitif mereka. Psychological tools melingkupi sistem

bahasa, sistem berhitung, menulis, diagram, pemetaan, dan hasil karya seni. Psychological tools

mengontrol pikiran atau tingkah laku dan berubah berdasarkan pikiran (internal) sedangkan

technical tools berubah berdasarkan objek eksternal (Miller, 2011).

Tools yang dimiliki anak sangat berkaitan dengan budaya yang dimiliki anak tersebut.

Pada budaya yang berbeda, tentunya terdapat penggunaan tools, kemampuan, serta interaksi

sosial yang juga berbeda. Guru harus memahami hal tersebut dan menggunakan apa yang sudah

dimiliki anak untuk dapat membantu mengembangkan dan mengkonstruksi pengetahuan baru

pada anak (Miller, 2011). Berkaitan dengan pengukuran scaffolding yang akan dilakukan, peneliti

tentunya harus mengukur tools sebagai media yang digunakan anak untuk menerima proses

scaffolding sehingga terlihat output yang ada. Peneliti akan mendeskripsikan gambaran technical

tools dan psychological tools pada penelitian ini.

Intermental - Intramental

Vygotsky percaya bahwa tools atau culture diturunkan dari orang dewasa kepada anak-

anak. Proses ini juga menjadi perhatian Vygotsky dan dinyatakan sebagai proses internalisasi.

Vygotsky menekankan adanya internalisasi dari bentuk interaksi sosial yang dilakukan anak.

Dalam teorinya, struktur interaksi sosial datang lebih dahulu pada diri anak kemudian dilanjutkan

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 11: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

dengan struktur berpikir. Internalisasi dari proses sosial terjadi ketika anak mengembangkan zone

of proximal development. Secara perlahan anak akan menginternalisasi cara problem solving

yang dikenalkan secara sosial baik dalam bentuk non-verbal maupun verbal. Vygotsky

merangkum pikirannya dalam sebuah kalimat, yaitu “children grow into the intellectual life of

those around them” (Miller, 2011).

Secara kognitif, Vygotsky menjelaskan aktivitas interaksi antara anak dengan more

knowledgeable others sebagai intermental. Proses intermental menekankan adanya pengaruh

budaya yang kuat. Interaksi dengan lingkungan tidak dapat dipisahkan dengan interaksi internal

di dalam diri anak sendiri. Vygotsky menyebutkan interaksi di dalam diri anak sebagai

intramental. Aktivitas mental terjadi dua kali, yaitu saat interaksi antar individu (intermental) dan

interaksi di dalam anak (intramental). Vygotsky menekankan adanya internalisasi dari bentuk

interaksi sosial, yang berarti struktur dari percakapan anak-anak dengan lingkungannya menjadi

struktur berpikir (Miller, 2011).

Metode Penelitian

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan

jawaban mengenai gambaran penerapan teori Vygotsky pada kegiatan belajar-mengajar di salah

satu Sekolah Dasar dengan kurikulum International Baccalaureate yang secara spesifik dilihat

melalui penerapan scaffolding, penggunaan technical tools dan proses internalisasi siswa.

Vygotsky dengan jelas menekankan bahwa individu memiliki keunikan satu sama lain dan setiap

anak harus diberikan pendekatan yang berbeda di kelas (Stuyf, 2002). Vygotsky menekankan

adanya gambaran yang mendalam dan komprehensif dari seorang individu. Peneliti akan

kehilangan kekayaan dari hasil penelitian teori Vygotsky apabila disajikan dalam bentuk angka.

Gambaran dari penerapan teori Vygotsky akan sangat dangkal apabila hanya mendeskripsikan

mengenai “seberapa jauh” dan tidak mendeskripsikan tentang “bagaimana” hal tersebut dapat

terjadi. Dalam penelitian dengan pendekatan kualitatif, peneliti bukan bermaksud untuk

menggeneralisasi kepada sebuah populasi, namun untuk mengembangkan eksplorasi yang

mendalam akan sebuah fenomena sentral (Creswell, 2011). Oleh karena itu peneliti memutuskan

untuk melakukan pendekatan kualitatif dalam penelitian tentang Vygotsky ini. Pendekatan

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 12: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

kualitatif menganalisis data untuk memberikan output bersifat deskriptif dan mengembangkan

pemahaman yang detail dan mendalam tentang sebuah fenomena (Creswell, 2011).

Creswell lebih lanjut pada bukunya mengatakan bahwa penelitian dengan pendekatan

kualitatif lebih tepat digunakan pada fenomena dengan informasi yang terbatas sehingga

diperlukan adanya eksplorasi dari partisipan (2011). Ini sesuai dengan keadaan teori Vygostky

yang peneliti temukan terkait sedikitnya penelitian yang dilakukan terkait dengan teori Vygotsky.

Ini mengapa peneliti memutuskan untuk menggunakan pendekatan kualitatif. Untuk teknik

sampling, peneliti memilih homogenous sampling karena penelitian yang bertujuan untuk

mendeskripsikan sebuah subkelompok dengan mendalam dan komprehensif. Penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan beberapa aspek teori Vygotsky pada sebuah subkelompok

secara mendalam dan komprehensif, yaitu Sekolah Dasar dengan kurikulum International

Baccalaureate.

Populasi penelitian ini adalah para siswa serta pengajar yang terlibat aktif dalam proses

belajar mengajar di salah satu sekolah dasar dengan kurikulum International Baccalaureate.

Pemilihan sekolah dasar didasarkan pada akreditasi dari sekolah tersebut dan juga keunggulan

sekolah yang memang sudah memiliki program yang terstandardisasi, lulusan-lulusan yang

berkualitas, dan memiliki system teknologi yang terdepan dalam implementasinya di dunia

pendidikan. Pada penelitian ini, peneliti akan terfokus dalam meneliti di satu kelas, yaitu pada

kelas empat. Peneliti memilih kelas empat karena pada tingkat ini, siswa mulai diminta untuk

bekerja secara kelompok yang mengharuskan adanya interaksi sosial dengan teman satu kelas,

terdapat lebih banyak dinamika sosial (PBS, 2014). Ini relevan dengan teori Vygotsky yang

menyatakan bahwa anak belajar dari lingkungan sosialnya, tidak hanya dari more

knowledegeable others, namun juga dari teman sebayanya (Miller, 2011). Kelas terdiri dari 22

orang siswa, 13 siswa perempuan dan 9 siswa laki-laki. Penelitian dilakukan pada saat pelajaran

Matematika yang diajar oleh guru yang sudah mengajar selama 9 bulan. Keseluruhan proses

pengajaran dilakukan dengan menggunakan Bahasa Inggris.

Peneliti melakukan observasi dan wawancara pada guru dan siswa di kelas ini. Observasi

dan wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran kontingensi, cara pemberian scaffolding,

tujuan pemberian scaffolding, tools, serta internalisasi dari siswa di salah satu kelas empat

Sekolah Dasar internasional yang menggunakan kurikulum International Baccalaureate.

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 13: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

Hasil Penelitian

Pengolahan data yang peneliti dapatkan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut,

pembuatan transkrip atau verbatim berdasarkan rekaman observasi yang sudah dilakukan di

dalam kelas serta wawancara, lalu peneliti menggunakan tabel yang diadaptasi dari van de Pol

(2012). Secara keseluruhan hari pertama dan kedua, peneliti merangkum bahwa lebih banyak

scaffolding yang kontingen dibandingkan dengan scaffolding yang tidak kontingen. Namun

secara kuantitatif, perbedaan antara keduanya tidak besar. Ditemukan bahwa scaffolding yang

kontingen berjumlah 58 dan scaffolding yang tidak kontingen berjumlah 51. Perbedaan secara

kuantitatif yang tidak terlalu besar dapat peneliti analisa melalui tujuan guru dan materi yang

diajarkan pada kedua hari tersebut. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya di atas, pada hari

pertama guru pertama kali mengenalkan materi tessellation dan guru memang tidak banyak

menjelaskan panjang lebar mengenai materi ini. Guru sudah menyebutkan sebelum kelas

berlangsung bahwa Beliau akan mengajar dengan lebih praktikal dan meminta siswa untuk

melakukan aktivitas. Ini dapat terlihat dari tingkat kontrol guru yang rendah disertai banyaknya

means questioning pada hari pertama. Guru tidak langsung memberikan penjelasan namun lebih

banyak bertanya kepada siswa mengenai materi yang disampaikan pada hari pertama. Guru

memulai hari dengan memberikan video mengenai tessellation dan setelah video selesai diputar,

guru menanyakan kepada siswa mengenai apa yang didapat siswa dari video. Jawaban yang

benar dicatat oleh guru di papan tulis sehingga guru secara tidak langsung sudah merangkum

keseluruhan materi tessellation yang didapatnya dari jawaban-jawaban siswa. Sesekali guru

memberikan penjelasan tambahan dari jawaban siswa sehingga didapat pemahaman yang

komprehensif mengenai tessellation. Kemudian guru memberikan aktivitas yang menuntut siswa

mengaplikasikan pemahaman yang sudah didapat dari video. Pada hari pertama guru lebih

banyak menjadi fasilitator anak sehingga peneliti menemukan adanya tingkat kontrol yang

beragam dari guru disesuaikan dengan tingkat pemahaman siswa.

Sedangkan pada hari kedua, guru menyatakan bahwa tingkat kesulitan materi akan lebih

tinggi dan guru akan lebih banyak mengelaborasi kepada siswa. Guru memperdalam pemahaman

anak mengenai tessellation yang lebih beragam dan kompleks. Sesuai penjelasan awal guru

mengenai tingkat kesulitan materi hari kedua, peneliti melihat adanya peningkatan tingkat kontrol

yang dilakukan oleh guru, antara lain guru lebih banyak melakukan hints dibandingkan

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 14: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

questioning. Explaining juga terlihat meningkat secara signifikan pada hari kedua. Guru

memberikan contoh-contoh tessellation yang lebih kompleks pada hari kedua dan kembali

menerapkan peraturan-peraturan dasar mengenai tessellation yang dijelaskan pada hari pertama.

Berdasarkan adanya perbedaan tujuan guru pada hari pertama dan kedua, peneliti melihat

ini sebagai alasan di balik signifikansi kuantitatif yang rendah antara scaffolding yang kontingen

dan tidak kontingen. Guru mungkin memang melakukan scaffolding yang tidak kontingen,

namun ini terjadi karena adanya tujuan guru dan bagaimana guru melakukan scaffolding yang

akan peneliti bahas lebih lanjut pada means dan intentions. Berikut cuplikan interaksi di dalam

kelas yang dapat dijadikan contoh untuk kontingensi :

“Circle, and we'll see if we can rotate, reflect, or slide circle exactly the same. Can we?

(TDc3)

No (SU2)

Why not? (TDc2)”

Berdasarkan cuplikan interaksi guru dan siswa di atas, peneliti menyimpulkan interaksi tersebut

sebagai kontingen. Ini terjadi sesuai dengan contingent shift model di mana ketika guru

memberikan pertanyaan dengan tingkat kontrol tiga, anak memberikan respon pemahaman di

tingkat yang paling tinggi, lalu guru menurunkan tingkat kontrolnya dengan memberikan

pertanyaan yang lebih luas dengan menggunakan kata tanya mengapa. Ini sesuai dengan

peraturan kontingensi bahwa ketika pemahaman anak tinggi, maka harus dilakukan penurunan

kontrol.

Tidak semua interaksi yang terjadi di dalam observasi kelas yang dilakukan oleh peneliti

merupakan interaksi yang kontingen. Berikut adalah contoh cuplikan interaksi lainnya :

“Now if you see this shape carefully, the top of this shape is the same as? (TDc3)

The bottom (SU2)

The bottom of this shape. Okay? So this shape fits nicely over here. That means the side

over here is the same with? (TDc3)”

Berdasarkan cuplikan interaksi guru dan siswa di atas, peneliti menyimpulkan bahwa

interaksi tersebut tidak kontingen. Pertanyaan yang diberikan oleh guru tentang bagian atas dari

sebuah bentuk hanya memicu jawaban singkat dan tidak mengandung konten baru di dalamnya

sehingga dikategorikan pada tingkat tiga. Lalu pertanyaan ini dijawab dengan tingkat pemahaman

yang tinggi atau jawaban yang benar oleh siswa. Seharusnya, menurut peraturan dalam

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 15: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

kontingensi, guru menurunkan tingkat kontrolnya karena adanya pemahaman siswa yang sudah

tinggi, namun dalam interaksi di atas, guru tetap memberikan kontrol tingkat tiga dengan

menanyakan mengenai bagian samping dari bentuk. Cuplikan interaksi tersebut menjadi bukti

adanya interaksi yang tidak kontingen.

Means pada hari pertama dan kedua berkisar pada questioning, hints, dan feedback.

Peneliti menganalisa ini kembali pada tujuan guru pada kedua hari tersebut. Hari pertama

didominasi oleh questioning yang sesuai dengan tujuan guru untuk tidak memberikan penjelasan

secara menyeluruh namun memberikan siswa kesempatan mengaplikasikan teori yang diajarkan.

Questioning memicu siswa untuk berpikir maka guru tidak memberikan penjelasan sepenuhnya.

Hari kedua didominasi oleh hints dan adanya peningkatan yang signifikan pada explaining. Ini

sesuai dengan tujuan guru untuk mengelaborasi materi yang memang lebih kompleks. Guru

memberikan hints agar siswa dapat memahami materi dengan tingkat kesulitan yang memang

lebih tinggi dibandingkan hari pertama. Guru cenderung melakukan scaffolding dengan means

questioning dan hints agar siswa terpancing untuk berpikir dan tidak hanya menerima dari

penjelasan guru. Guru banyak bertanya balik kepada siswa mengenai hal yang mereka ketahui.

Lalu dibantu dengan sedikit elaborasi pada subjek-subjek tertentu agar terdapat pemahaman yang

komprehensif dari anak. Selain itu untuk mendorong anak agar terus menjawab, guru banyak

melakukan feedback sehingga anak mengetahui apakah jawaban mereka benar atau tidak dan

juga memiliki ketertarikan untuk terus menjawab. Guru lebih banyak meminta anak untuk aktif

dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dan melakukan aktivitas yang dapat membantu anak

untuk memahami materi sepenuhnya.

Selain means, peneliti juga melihat adanya pattern intentions of scaffolding yang

digunakan oleh guru. Guru banyak menggunakan intentions task approach, subject-matter, serta

frustration control. Hal ini berkesinambungan dengan means of scaffolding yang banyak

ditampilkan oleh guru di kelas. Sesuai dengan kategorisasi yang dilakukan oleh van de Pol bahwa

intention task approach akan diikuti dengan means instructing dan hints dan intention subject-

matter akan diikuti dengan means explaining dan modelling (2009), peneliti melihat adanya

kecenderungan guru untuk bertanya mengenai suatu tugas untuk memperoleh pemahaman siswa

dan terus menggali pemahaman siswa berdasarkan tugas tersebut. Sebagai contoh, setelah

menonton video di hari pertama, guru bertanya kepada siswa mengenai video tersebut yang

kemudian menjadi framework dari materi. Pada hari kedua juga terlihat saat guru menggunakan

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 16: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

gambar-gambar untuk melihat pemahaman siswa dengan mengaplikasikan kepada gambar-

gambar yang lebih kompleks. Guru menggali banyak dengan menggunakan video dan gambar-

gambar tersebut. Selain itu guru juga menambahkan hal-hal yang berkaitan dengan keseluruhan

materi setelah bertanya kepada siswa agar siswa dapat mengaplikasikannya di tugas berikutnya.

Technical tools yang digunakan pada saat pengajaran di hari pertama dan kedua kurang

lebih memiliki persamaan. Guru menggunakan computer dan proyektor untuk menampilkan

video serta gambar-gambar yang dapat membantunya dalam pengajaran. Hari pertama guru

menggunakan video untuk memperkenalkan kepada siswa mengenai materi yang akan diajarkan

kepada siswa, kemudian di hari kedua guru menampilkan gambar-gambar yang digunakannya

untuk menjelaskan mengenai lanjutan dari materi di hari pertama. Lalu guru mencatat poin-poin

penting dari gambar dan video yang ditampilkan pada papan tulis. Papan tulis di hari pertama dan

kedua memuat framework dari materi yang guru sampaikan pada hari tersebut. Framework

tersebut dibuat dari jawaban-jawaban siswa. Kemudian siswa akan melakukan aktivitas dengan

menggunakan bahan yang sudah disiapkan oleh guru sebelumnya. Hari pertama, guru

memberikan siswa potongan bentuk geometris untuk dipasangkan dengan siswa lainnya, serta

potongan bentuk geometris yang sedikit lebih kompleks untuk anak salin. Hari kedua, guru

memberikan worksheets untuk dikerjakan agar guru dapat melihat pemahaman anak apakah anak

benar-benar memahami keseluruhan materi dari hari pertama dan kedua.

Pembahasan

Peneliti menemukan adanya kesamaan hasil penelitian dengan disertasi yang peneliti gunakan

untuk melihat kontingensi, cara pemberian scaffolding, dan tujuan pemberian scaffolding.

Disertasi oleh van de Pol menjelaskan bahwa interaksi yang kontingen terjadi ketika terdapat

penyesuaian yang dilakukan oleh guru kepada siswa dalam hal tingkat kontrol guru kepada

pemahaman siswa (2012). Meskipun secara keseluruhan terdapat lebih banyak interaksi yang

kontingen, namun tidak dapat dihindari bahwa interaksi yang tidak kontingen juga hadir dalam

interaksi di kelas. Ini sudah dijelaskan sebelumnya karena adanya perbedaan tingkat kesulitan

materi yang sebelumnya juga sudah disebutkan oleh guru.

Banyaknya interaksi yang kontingen juga membawa hasil pada internalisasi yang cukup baik

dari siswa. Ketika siswa memiliki tingkat pemahaman yang rendah, guru menaikkan kontrolnya

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 17: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

sehingga tingkat pemahaman siswa meningkat dan sebaliknya. Ini dapat menghasilkan

pemahaman siswa yang tinggi dan terjadi internalisasi yang baik di dalam diri siswa. Selain itu

juga dengan banyaknya interaksi yang kontingen, terlihat guru banyak menggunakan means dan

intentions yang mengarah pada memberikan petunjuk dan arahan, bukan memberikan penjelasan

sepenuhnya kepada siswa. Siswa pun diarahkan untuk mengerti keseluruhan materi dan bukan

mengarah kepada penyelesaian tugas semata. Ini sejalan dengan adanya internalisasi yang cukup

baik dari siswa karena siswa dipancing untuk berpikir dan mengerti keseluruhan konsep

sepanjang interaksi yang terjadi di kelas. Sesuai dengan disertasi oleh van de Pol bahwa

scaffolding adalah tentang memberikan bantuan hanya di saat bantuan tersebut diperlukan, berarti

bahwa tokoh utama dalam interaksi adalah siswa, siswa seharusnya melakukan sebanyak yang ia

bisa lakukan (2012). Ini sesuai dengan apa yang guru lakukan di kelas, yaitu memancing siswa

untuk terus berpikir dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirancang guru agar siswa

berpikir dan berpartisipasi aktif dalam pemahaman akan materi.

Peneliti juga menemukan bahwa pembuatan PYP banyak dipengaruhi oleh para constructivist

seperti Vygotsky, Bruner, dan Gardner yang memproposisikan multiple intelligence. Lebih rinci,

Skirrow menjelaskan bahwa tren pendidikan yang didukung oleh IB seperti penekanan akan

pengembangan bahasa dan belajar dalam support kelompok akan membantu implementasi

pendekatan belajar social constructivist (Skirrow, n.d.). Ini juga dapat menjelaskan hasil dari

penelitian ini, yaitu interaksi dalam kelas banyak yang kontingen, means dan intentions yang

mengarahkan pada bantuan yang secukupnya, dan menghasilkan internalisasi yang baik pada diri

siswa. IB PYP sendiri banyak dipengaruhi oleh teori-teori constructivist, khususnya social

constructivist, yaitu Vygotsky.

Pada proses pengumpulan data yang peneliti lakukan, peneliti menemukan adanya beberapa

kekurangan yang peneliti lakukan. Saat melakukan wawancara dengan siswa untuk melakukan

pengujian internalisasi, peneliti kurang membangun rapport dengan siswa sehingga siswa

terkadang terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti. Selain itu peneliti

melihat juga bahwa adanya kontingensi yang mendominasi hasil penelitian berkaitan dengan

tahap kognitif siswa pada usia tersebut. Siswa kelas 4 SD rata-rata memiliki usia 9-10 tahun.

Menurut Piaget, tahap kognitif pada usia tersebut disebut dengan concrete operational stage.

Tahap ini ditandai dengan adanya perubahan yang signifikan pada cara berpikir anak. Anak mulai

dapat membuat argumen yang logis, menggunakan simbol, penguasaan conservation, dan juga

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 18: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

adanya desentralisasi (Papalia, 2009). Desentralisasi menjadi karakteristik yang penting dalam

menganalisis hasil penelitian ini. Anak sudah dapat mengambil sudut pandang orang lain yang

berarti anak mulai dapat menempatkan dirinya menjadi orang lain di sekitarnya dan mencoba

mengerti cara pikir orang tersebut. Dalam interaksi di kelas, guru banyak menggunakan

pertanyaan-pertanyaan kepada siswa, siswa menjawab pertanyaan tersebut dengan mencoba

mengerti sudut pandang guru, apa yang ditanyakan oleh guru, lalu kemudian menjawabnya.

Siswa juga dapat diberikan tingkat kontrol yang rendah sesuai dengan pemahamannya karena

siswa sudah memiliki kemampuan kognitif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan luas serta

terbuka. Siswa mampu memberikan argumen logis dengan penggunaan simbol.

Pengambilan data yang peneliti lakukan sangat mungkin tidak mencakup keseluruhan

karakteristik pengajaran di dalam kelas karena peneliti hanya mengambil data pada satu mata

ajar, sehingga tidak dapat dikatakan hasil penelitian ini merupakan gambaran keseluruhan

pengajaran di kelas tersebut. Beberapa siswa juga terlihat lebih banyak mendominasi interaksi

yang terjadi di kelas walaupun guru sudah melakukan pembagian yang sangat baik dalam hal

menunjuk anak ketika Beliau bertanya. Ini juga menjadi salah satu kemungkinan banyaknya

kontingensi yang terjadi dalam interaksi di kelas tersebut.

Kesimpulan

Dimulai dari aspek scaffolding dengan karakteristik kontingensi, cara pemberian scaffolding,

dan tujuan pemberian scaffolding, peneliti menyimpulkan bahwa interaksi yang terjadi di kelas

lebih banyak interaksi yang kontingen. Ini dapat terlihat juga pada cara pemberian scaffolding

lebih banyak mengarah kepada questioning dan hints. Guru banyak bertanya pertanyaan yang

terbuka dan memancing siswa untuk berpikir dan tidak memberikan jawaban dan penjelasan

terus-menerus kepada siswa. Guru lebih banyak memberikan hints dan menyerahkan kembali

kepada siswa mengenai jawaban dari masalah yang ada di kelas. Guru banyak melakukan

penyesuaian tingkat kontrol pada tingkat pemahaman siswa. Tujuan pemberian scaffolding yang

dilakukan guru di kelas bukanlah semata-mata menyelesaikan aktivitas atau worksheet namun

bagaimana siswa dapat menguasai teori-teori yang mendasari materi dan mengaplikasikannya

pada aktivitas dan worksheet yang guru berikan.

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 19: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

Dilanjutkan dengan gambaran tools di kelas, peneliti melihat guru banyak menggunakan

komputer sebagai media untuk menyampaikan materi yang diberikan. Guru menggunakan video

dan contoh-contoh gambar yang ditayangkan melalui proyektor kemudian guru akan

mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan sehingga guru dapat merangkum jawaban-jawaban siswa

yang ditulisnya di papan tulis. Jawaban-jawaban siswa akan menjadi framework dari keseluruhan

materi yang akan disampaikan di kelas. Kemudian guru akan menggunakan tools berupa

worksheet atau guntingan-guntingan kertas geometri yang dibuatnya dengan tujuan agar siswa

dapat mengaplikasikan teori-teori yang sebelumnya telah dibahas. Kemudian berhubungan

dengan psychological tools, peneliti mendapatkan gambaran bahwa siswa menggunakan

pemahaman akan bangun datar dan transformasi geometri serta bahasa untuk memahami materi

tessellation. Materi tessellation diajarkan tepat setelah materi bangun datar dan transformasi

geometri.

Dilanjutkan dengan gambaran internalisasi yang terjadi sebagai hasil dari interaksi di kelas

antara guru dan siswa, peneliti menyimpulkan adanya internalisasi yang terjadi pada diri siswa.

Terlihat beberapa siswa yang peneliti wawancara dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

sebenarnya sudah diajarkan dan ditanyakan oleh guru di kelas sebelumnya. Peneliti melihat

adanya proses internalisasi dari interaksi yang terjadi di kelas mengakibatkan adanya pemahaman

yang baik pada diri siswa mengenai materi yang diajarkan oleh guru.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penyesuaian tingkat kontrol

guru pada pemahaman siswa, cara pemberian scaffolding yang memancing siswa untuk berpikir

dan bertujuan untuk siswa memahami keseluruhan konsep, serta penggunaan tools, maka akan

diperoleh pemahaman dari siswa yang baik mengenai keseluruhan konsep.

Saran

Berdasarkan penelitian yang sudah peneliti jalankan, terdapat beberapa saran yang akan

peneliti sampaikan berkaitan dengan penelitian selanjutnya karena adanya beberapa

kekurangan yang peneliti temukan seiring dengan berjalanya penelitian ini, yaitu :

1. Melihat adanya penerapan scaffolding yang cukup baik dalam karakteristik kontingensi,

means, dan intentions, didukung pula oleh penggunaan technical tools yang memadai,

ternyata menghasilkan pemahaman yang baik pada diri siswa, maka peneliti

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 20: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

menyarankan adanya penelitian aplikasi teori Vygotsky pada sekolah-sekolah nasional di

Indonesia sehingga diperoleh tingkat korelasi penerapan Teori Vygotsky dengan kualitas

lulusan sekolah. Dengan adanya hasil penelitian lanjutan tersebut, maka dapat dibuatkan

strategi peningkatan mutu sekolah dalam proses belajar mengajar yang pada akhirnya

akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang siap bersaing secara

global

2. Hasil penelitian sebaiknya dijadikan evaluasi oleh guru dalam melakukan pengajaran di

kelas terlepas hasil apapun yang terjadi melalui penelitian ini. Dengan analisa pada

penelitian ini bahwa terjadi kontingensi, guru dapat mempertahankan hal tersebut

sehingga terjadi pengajaran yang efektif.

3. Hasil penelitian sebaiknya dijadikan evaluasi oleh institusi yang bersangkutan sehingga

Institusi tersebut dapat meningkatkan kualitas kegiatan belajar mengajar.

4. Penelitian sebaiknya dilakukan pada dua sampai tiga kelas yang berbeda untuk melihat

adanya keberagaman yang terjadi di setiap kelas, khususnya pada sekolah berkurikulum

IB yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap guru memiliki cara penyampaian yang

berbeda walaupun terdapat framework yang sudah diberikan dari organisasi IB

5. Berkaitan dengan pengambilan data saat internalisasi, peneliti sebaiknya melakukan

wawancara dengan inquiry yang lebih mendalam agar mendapatkan gambaran yang

komprehensif mengenai pemahaman siswa. Juga sebaiknya peneliti membangun rapport

yang lebih baik dengan siswa agar siswa tidak ragu dalam menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan peneliti

Daftar Referensi

ANTARA. (2013). Meningkatnya penerapan kurikulum internasional Cambridge pada sekolah-

sekolah di Indonesia. Diunduh dari :

http://www.antaranews.com/berita/378212/meningkatnya-penerapan-kurikulum-

internasional-cambridge-pada-sekolah-sekolah-di-indonesia

Bowler, L., Large, A.,Beheshti, J., Nesset, V. (n.d.). Children and adults working together in the

zone of proximal development: a theory for user-centered design. McGill University

Chaiklin, Seth. (2003). The zone of proximal development in Vygotsky’s analysis of learning and

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 21: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

instruction. Dalam Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V., Miller, S. (2003). Vygotsky’s

educational theory and practice in cultural context. Cambridge: Cambridge University Press

Creswell, J.W. (2005). Educational research : Planning, conducting, and evaluating quantitative

and qualitative research. Boston: Pearson Education

Daniels, Harry (Ed.). (2003). An introduction to vygotsky. New York: Taylor & Francis

Diamond, A., Barnett, W.S., Thomas, J., Munro, S. (2007, November 30). Preschool Program

Improves Cognitive Control. Sciencemag 317.

IIEP (1998, April-June). Education and globalization. April-June, 1998.

http://www.iiep.unesco.org/fileadmin/user_upload/pdf/apre98.pdf

Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V.S., Miller, S. M. (2003). Vygotsky‟s Educational Theory in

Cultural Context. New York : Cambridge University Press.

Miller, P.H. (2011). Theories of developmental psychology. New York : Worth Publishers.

Murray, T., & Arroyo, I. (2002). Toward Measuring and Maintaining the Zone of Proximal

Development in Adaptive Instructional Systems. Paper presented at International Conference

on Intelligent Tutoring System.

PBS. (2014). Grade-by-grade learning : fourth grade. Diunduh dari :

http://www.pbs.org/parents/education/going-to-school/grade-by-grade/fourth/

Poerwandari, E.K. (2011). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Depok :

Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3)

SKRI. (2013). APBNP 2013 : Anggaran Pendidikan Naik Jadi Rp 345,335 Triliun. Diunduh dari :

http://www.setkab.go.id/berita-9235-apbnp-2013-anggaran-pendidikan-naik-jadi-rp-345335-

triliun.html

Stuyf, R.R.V.D. (2002). Scaffolding as a teaching strategy. Adolescent Learning and

Development

van de Pol, Volman, dan Beishuizen. (2009). Patterns of contingent teaching in teacher-student

interaction. Learning and instruction, 1-12

van de Pol, Volman, dan Beishuizen. (2010). Scaffolding in teacher-student interaction: A decade

of research. Educ Psychol Rev, 22, 271-296

van de Pol et al. (2012). Measuring scaffolding in teacher – small group interactions. Pedagogy:

New Developments in the Learning Sciences. Hauppage: Nova Science Publishers.

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014

Page 22: Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori ...

Verenikina, Irina. (n.d.). Understanding scaffolding and the ZPD in educational research.

University of Wollongong, NSW, Australia, Educational Research.

Penerapan scaffolding..., Raisa Paramitha Adrianto Putri, FPSI UI, 2014