PENGARUH PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN KERJA...
Transcript of PENGARUH PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN KERJA...
PENGARUH PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN KERJA FISIK DAN TIPE KEPRIBADIAN TERHADAP AGRESIVITAS
POLISI LALU LINTAS
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Universitas Islam Negeri
Oleh:
NURMALIA
NIM: 106070002281
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul PENGARUH PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN KERJA FISIK DAN TIPE KEPRIBADIAN TERHADAP AGRESIVITAS POLISI LALU-LINTAS telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 07 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 07 September 2010 Sidang Munaqasyah Dekan/ Pembantu Dekan/ Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP.19561223 198303 2 001
Anggota : Penguji I Penguji II Gazi Salom, M.Si Ikhwan Luthfi, M.Psi NIP. 19711214 200701 1014 NIP. 19730710 200501 1006
Pembimbing I Pembimbing II Ikhwan Luthfi, M.Psi Miftahuddin, M.Si NIP. 19730710 200501 1006 NIP. 19730317 200604 1001
PENGARUH PERSEPSI TENTANG LINGKUNGAN KERJA FISIK DAN TIPE KEPRIBADIAN TERHADAP AGRESIVITAS
POLISI LALU LINTAS
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar
Sarjana Psikologi
Oleh:
NURMALIA
NIM: 106070002281
Di bawah bimbingan,
Pembimbing 1 Pembimbing II
Ikhwan Luthfi, M.Psi Miftahuddin, M.Si
NIP: 197307102005011006 NIP: 197303172006041001
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
HALAMAN PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Nurmalia
NIM : 106070002281
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Persepsi tentang
Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu
lintas” adalah benar karya saya sendiri dan tidak melakukan plagiat. Adapun
kutipan-kutipan dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber
pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang
jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya
orang lain. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Jakarta, 03 September 2010
Nurmalia
ABSTRAKSI
A. Fakultas Psikologi
B. September 2010
C. Nurmalia
D. Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu Lintas
E. Hal : 102 + lampiran
F. Dalam melaksanakan tugasnya, terkadang polisi lalu-lintas (Polantas) tidak terlepas dari perilaku agresif. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku agresif diantaranya adalah lingkungan kerja fisik yang buruk. Karena bila dilihat dari pentingnya kehadiran Polantas dalam mengatur lalu-lintas, maka tidak dapat dihindari bahwa sebagian besar waktu tugas para Polantas berada di jalan raya dengan lingkungan kerja fisik yang sangat buruk setiap harinya, seperti kadar polusi yang tinggi, suhu tinggi, serta kebisingan, dan bila seseorang berada dalam lingkungan kerja fisik yang buruk setiap harinya, maka kemungkinan akan menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak menyenangkan. Namun, seberapa jauh akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara individu mempersepsikannya.
Kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepribadian tipe A dan tipe B. Kepribadian tipe A yang ditandai dengan adanya ketidaksabaran dan perasaan terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu, keterlibatan yang tinggi terhadap tugas atau pekerjaan, nafsu bersaing yang berlebihan, mudah tersinggung atau marah, serta agresif. Kepribadian tipe A dianggap memiliki kesamaan dengan ciri para anggota Polantas yang agresif dalam melaksanakan tugas di lapangan dibandingkan dengan kepribadian tipe B yang menunjukkan manifestasi yang sebaliknya, yaitu lebih sabar, santai, tenang, ambisinya rendah, mampu menahan diri, dan pasif.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian terhadap agresivitas Polisi lalu lintas, serta ingin mengetahui besarnya sumbangan persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian terhadap agresivitas Polisi lalu lintas. Pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah anggota Sat Patwal Polda Metro Jaya sebanyak 100 orang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Instrument pengumpulan data yang digunakan adalah skala semantic differensial untuk skala persespsi tentang lingkungan kerja fisik, skala model likert untuk skala agresivitas, dan skala dikotomi untuk skala tipe kepribadian. Teknik pengolahan dan analisis dilakukan dengan analisis statistik multiple regression atau analisis regresi berganda.
Jumlah item valid untuk skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik adalah 33 item dengan reliabilitas sebesar 0.932, untuk skala tipe kepribadian jumlah item yang valid adalah 27 item dengan reliabilitas sebesar 0.827, sedangkan untuk skala agresivitas jumlah item yang valid 39 item dengan reliabilitas sebesar 0.884. Berdasarkan hasil penelitian menggunakan teknik statistik multiple regression maka dapat disimpulkan terdapat pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas. Hal ini berarti variabel persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama memberikan kontribusi sebesar 26.1% terhadap agresivitas Polantas. Adapun tipe kepribadian memiliki pengaruh yang signifikan terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas, yakni memiliki kontribusi sebesar 23.4% dalam mempengaruhi agresivitas atau lebih besar dibandingkan persepsi tentang lingkungan kerja fisik terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk menambahkan faktor-faktor lain seperti frustasi, provokasi, efek senjata, kekerasan di media, alkohol, obat-obatan, kesesakan, hormon, gender, dan harga diri. Karena variabel-variabel tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi agresivitas individu yang kemungkinan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar.
G. Bahan bacaan : 32 Buku, 8 Jurnal, 1 Internet, 3 Artikel.
MOTTO
Jangan katakan pada Allah kamu memiliki masalah besar, tapi
katakan pada masalah, bahwa kamu memiliki Allah Maha Besar.
Jalani hidup ini dengan keyakinan karena Allah bersama kita
selalu.
(Mala)
iv
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan skripsi ini untuk Ayahanda dan Ibunda
Untuk Kakak, Adik
Serta untuk orang-orang yang kucintai
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama proses penulisan skripsi, penulis menyadari banyak pihak-pihak yang sangat bermurah hati meluangkan waktu membantu kelancaran proses penulisan skripsi. Untuk itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Jahja Umar, P.hD selaku Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh staf pengajar dan staf administrasi fakultas Psikologi atas segala bimbingan dan fasilitas yang diberikan.
2. Bapak Ikhwan Luthfi, M.Psi dan Bapak Miftahuddin, M.Si selaku pembimbing penulisan skripsi. Terima kasih atas bimbingan, saran, arahan, petunjuk, nasihat, dukungan, serta waktu luang yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi dari awal hingga akhir.
3. Keluarga besar Bapak Manhal, terutama Ayahanda yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat merasakan pendidikan di Perguruan Tinggi. Kakak-kakakku tercinta: bang Anang, bang Mbad, dan ka Dian, terima kasih atas semangat dan dorongannya, Aldy, dan Fitri terima kasih atas tawa dan canda kalian yang mempu menghilangkan penat di kepala.
4. Mas Fikri terima kasih telah meluangkan waktunya untuk penulis dan juga terima kasih atas motivasinya.
5. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2006, khususnya kelas C terima kasih atas kebersamaan yang kita lalui bersama, kini saatnya kita memasuki babak baru yang lebih menantang, SEMANGAT!!!!!
6. Sahabat-sahabatku Nofika Sari, Nur Malasari, dan Marissa yang telah meluangkan waktunya dan memberikan perhatian dan motivasi serta bantuan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
7. Anggota Sat. Patwal Polda Metro Jaya terima kasih telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
8. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya tiada kata yang dapat penulis sampaikan kecuali rasa terima kasih yang sebesar-besarnya, semoga Allah SWT meridhoi langkah kita.
Jakarta, 03 September 2010
Nurmalia
KATA PENGANTAR
Tiada untaian yang pantas untuk diucapkan kecuali ucapan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmaan dan RahiimNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat teriring penulis hanturkan kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya dan kepada kita semua sebagai umatnya. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Dalam menyusun skripsi ini tidak sedikit hambatan, rintangan, dan tantangan yang penulis temui, tetapi dibalik itu, kesuksesan dalam menyusun skripsi ini tidak lepas dari peranan dan bantuan dari berbagai pihak, sehingga semua hambatan, rintangan dan tantangan tersebut dapat penulis atasi dengan baik. Oleh karena itu dalam pengantar ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Dekan Fakultas Psikologi, Bapak Jahja Umar, P.hD dan pembimbing
akademik, Ibu Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si yang telah membimbing penulis selama kuliah.
2. Bapak Ikhwan Luthfi, M.Psi selaku pembimbing 1 dan Bapak Miftahuddin, M.Si selaku pembimbing II dalam pembuatan skripsi ini yang telah sabar dan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan arahan-arahan dan masukan-masukan kepada penulis.
3. Ayahanda dan ibunda yang telah banyak membantu dan memberi motivasi baik berupa moril maupun materil, pengorbanan, perhatian serta doa untuk penulis, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan Skripsi ini.
4. Ibu Padmi selaku kepala urusan operasional Sat. Patwal dan Bapak Edy selaku staf TAUD Subbag Renmin Ditlantas yang dengan ikhlas dan sabar membantu penulis dalam memperoleh data penelitian.
5. Sahabat-sahabat seperjuanganku angkatan 2006, semoga kesuksesan selalu menyertai kita.
6. Semua orang yang telah membantu penulis yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tidak sedikitpun mengurangi rasa hormat kepada mereka.
Penulis berdoa kepada Allah SWT semoga kebaikan mereka semua diterima di sisi-Nya sebagai amal shaleh dan mendapat balasan kebaikan yang berlipat ganda, amin. Akhirnya penulis berharap mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis maupun bagi mahasiswa lain, khususnya mahasiswa Psikologi yang membahas tentang materi yang penulis teliti.
Jakarta, 03 September 2010
Nurmalia
DAFTAR ISI
Halaman Judul…………………………………………………………….. i Halaman Persetujuan……………………………………………………… ii Halaman Pengesahan …………………………………. …………………. iii Motto ……………………………………………………………………… iv Persembahan ……………………………………………………………… v Abstraksi ………………………………………………………………….. vi Kata Pengantar…………………………………………………………….. viii Ucapan Terima Kasih……………………………………………………... ix Pernyataan Bukan Plagiat ………………………………………………… x Daftar Isi…………………………………………………………………... xi Daftar Tabel……………………………………………………………….. xiv Daftar Gambar…………………………………………………………….. xvi BAB 1 PENDAHULUAN ………………………………………… 1- 15
1.1. Latar Belakang Penelitian …………………………….. 1
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………. 11
1.2.1. Pembatasan Masalah …………………………… 11
1.2.2. Perumusan Masalah ……………………………. 12
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………. 12
1.3.1. Tujuan Penelitian ……………………………..... 12
1.3.2. Manfaat Penelitian ……………………………... 13
1.4. Sistematika Penulisan ………………………………… 15
BAB 11 KAJIAN TEORI ………………………………………… 16-63
2.1. Agresivitas ……………………………………………. 16
2.1.1. Pengertian Agresivitas …………………………. 16
2.1.2. Teori-teori Agresi ……………………………… 17
2.1.3. Bentuk-bentuk Agresivitas …………………….. 26
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas .. 30
2.2. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik…………….. 34
2.2.1. Pengertian Persepsi ……………………………. 34
2.2.2. Perubahan Persepsi ……………………………. 35
xi
2.2.3. Pengertian Lingkungan Kerja Fisik …………… 36
2.2.4. Pengertian Persepsi tentang Lingkungan
Kerja Fisik …………………………………… 37
2.2.5. Jenis-Jenis Lingkungan Kerja Fisik …………. 38
2.3. Kepribadian ……………………………………….... 49
2.3.1. Pengertian Kepribadian …………………….... 49
2.3.2. Pola Perilaku Kerpribadian Tipe A & Tipe B .. 50
2.4. Polisi Lalu Lintas ………………………………….. 54
2.4.1. Pengertian Polisi Lalu-lintas (Polantas) …….. 54
2.4.2. Tugas dan Fungsi Polisi Lalu Lintas …………55
2.5. Kerangka Berpikir …………………………….….....57
2.6. Hipotesis ……………………………………..……. .63
BAB 111 METODE PENELITIAN ………..…………………… 64- 80
3.1. Pendekatan Penelitian ……………………………… 64
3.2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel...64
3.2.1. Populasi Penelitian ………………………......64
3.2.2. Sampel Penelitian ………………………........64
3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel ………………...65
3.3. Variabel Penelitian ………………………..………...66
3.3.1. Identifikasi Variabel Penelitian ……………...66
3.3.2 . Definisi Operasional Variabel Penelitian….....66
3.4. Pengumpulan Data…………………………………...68
3.4.1. Teknik Pengumpulan Data …………………..68
3.4.2. Instrumen Penelitian ………………………....69
3.5. Uji Instrumen Penelitian …………………………….73
3.5.1. Uji Validitas ………………………………....73
3.5.2. Uji Reliabilitas ………………………………73
3.6. Hasil Uji Instrumen Penelitian ……………………...74
xi
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ………………77
3.8. Prosedur Penelitian …………………………………. 78
BAB IV HASIL PENELITIAN …………………………………. 81-93
4.1. Gambaran Umum Responden ………………………. 81
4.1.1. Responden Berdasarkan Usia ………………… 81
4.1.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan …. 82
4.1.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir... 83
4.1.4. Responden Berdasarkan Jabatan/Pangkat ……. 84
4.1.5. Responden Berdasarkan Masa Kerja ……….... 85
4.2. Analisis Deskriptif ………………………………….. 86
4.2.1. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik ……. 86
4.2.2. Tipe Kepribadian …………………………….. 87
4.2.3. Agresivitas …………………………………… 88
4.3. Hasil Uji Hipotesis ………………………………….. 89
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ……………. 94-102
5.1. Kesimpulan ………………………………………… 94
5.2. Diskusi ……………………………………………... 95
5.3. Saran ……………………………………………….. 101
5.3.1. Saran Teoritis ……………………………….. 101
5.3.2. Saran Praktis ………………………………... 101
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Blue Print Try Out Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik …………………………………………. 70
Tabel 3.2. Penilaian Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik …………………………………………. 71
Tabel 3.3. Blue Print Try Out Skala Tipe Kepribadian ……………………. 71 Tabel 3.4. Blue Print Try Out Skala Agresivitas ………………………….. 72 Tabel 3.5. Penilaian Skala Agresivitas …………………………………….. 73 Tabel 3.6. Kaidah Reliabilitas Guilford ………………………………….... 74 Tabel 3.7. Blue Print Revisi Skala Persepsi tentang
Lingkungan Kerja Fisik ………………………………………… 75
Tabel 3.8. Blue Print Revisi Skala Tipe Kepribadian ……………………... 76 Tabel 3.9. Blue Print Revisi Skala Agresivitas ………………………...….. 77 Tabel 4.1. Responden Berdasarkan Usia ………………………………….. 82 Tabel 4.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan …………………… 82 Tabel 4.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir …………………. 83 Tabel 4.4.Responden Berdasarkan Jabatan/ Pangkat ……………………… 84 Tabel 4.5. Responden Berdarkan Masa Kerja ……………………………... 85 Tabel 4.7. Kategorisasi Persepsi tentang
Lingkungan Kerja Fisik ………………………………………… 87
Tabel 4.8. Responden Berdasarkan Tipe Kepribadian ……………………. 88 Tabel 4.9. Kategorisasi Agresivitas ……………………………………….. 89 Tabel 4.10. Nilai R Square (Koefisien Determinasi) .................................... 90 Tabel 4.11. Nilai Uji F (tabel lampiran Anova regresi linear ganda) ……… 91
xvi
Tabel 4.12. Coefficients(a) ………………………………………………. 91 Tabel 4.13. Variables Entered/Removed(a) ……………………………... 93 Tabel 4.14. Model Summary (Hasil Stepwise) …………………………... 93
xvi
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Proses episodic dari The General Aggression Model (Anderson & Bushman, 2002) ………………………………….. 21
Gambar 2.2. Kerangka Berpikir Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu-lintas …………………………. 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Penelitian
Sejarah panjang kekerasan (tindakan agresi) aparat kepolisian nampaknya
tidak kunjung usai. Seringkali atas alasan menjaga keamanan dan ketertiban,
Kepolisian menggunakan kekerasan fisik maupun psikis terhadap masyarakat sipil
baik dalam penanganan kasus kejahatan maupun kasus non-kejahatan (seperti;
demo, sengketa tanah, pelanggaran lalu lintas, dan lain-lain). Polisi sering
berlindung di balik Undang-Undang demi melegalkan tindakan semena-mena dan
kekerasan, yang pada kenyataannya sebagian besar tindakan tersebut terkesan
berlebihan dan dipaksakan. Misalnya, seperti tragedi yang terjadi di kampus
UNAS (Universitas Nasional), dapat dilihat bagaimana polisi menggunakan
pendekatan represif dalam menghadapi dan menangani aksi demonstrasi
mahasiswa yang menolak kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM.
Penggunaan pola pendekatan ini berakhir dengan penyerbuan aparat kepolisian ke
dalam kampus, terjadinya kekerasan terhadap mahasiswa, serta pengrusakan
sejumlah properti milik kampus (Al Araf, 2008).
Begitu pula dengan polisi lalu lintas (Polantas) sebagai bagian dari Polri
juga tidak terlepas dari perilaku kekerasan (tindakan agresi). Misalnya, seperti
seringkali polisi menggunakan kata-kata kasar untuk memberitahukan
pelanggaran yang dilakukan pengendara, bersikap arogan, bahkan tidak jarang
2
mereka terbawa emosi bila pelanggar mencoba membela diri. Semua itu adalah
kepingan peristiwa yang memperkukuh bahwa praktik brutalitas polisi itu terus
berlanjut. Hal ini membuktikan bahwa masih kuatnya budaya militeristik di dalam
institusi kepolisian (http://citizennews.suaramerdeka.com).
Menurut Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
selama tahun 2007 sampai 2008, mencatat ada 180 kasus kekerasan yang
dilakukan oleh aparat Kepolisian. Jumlah ini lebih besar daripada tindakan agresi
(kekerasan) oleh aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang hanya 18 kasus.
Faktanya, tindakan agresi (kekerasan) tidak saja dilakukan antara aparat polisi
dengan warga masyarakat yang harusnya dilindungi, namun juga antara aparat
polisi dengan aparat keamanan lainnya (TNI) (Yuntho, 2008).
Akibat tindakan agresi (kekerasan), tugas utama polisi yang seharusnya
melindungi dan mengayomi masyarakat, namun dalam kenyataannya justru
sebaliknya membuat masyarakat tidak terlindungi dan tidak nyaman jika
bersentuhan langsung dengan aparat kepolisian. Tentunya bukan secara
institusional kepolisian yang bersalah, tetapi keberadaan personil yang melakukan
tindakan kriminal tersebut mau tidak mau telah mencermarkan nama baik
institusi.
Dari fenomena di atas, nampaknya perjalanan satu dasawarsa reformasi
belum cukup mendorong perubahan dan perbaikan kinerja Polri ke arah yang
lebih baik. Keluarnya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai bagian dari
tahapan reformasi Polri, juga tidak serta merta memperbaiki dan mendorong
3
aparat polisi dapat bekerja dengan baik sesuai fungsi dan tugas yang dinyatakan di
dalam UU tersebut. Serta prinsip-prinsip yang seharusnya dijadikan sebagai
landasan kerja Kepolisian, seperti asas profesionalitas, Hak Asasi Manusia
(HAM), dan pendekatan kerja yang lebih humanis, dalam kenyataannya masih
terus diabaikan oleh aparatnya (Mabruri, 2008).
Karena itu, menjadi aneh bila polisi yang sudah memiliki Prosedur Tetap
(Protap) namun masih terjadi tindakan agresi polisi. Hal ini menjadi pertanyaan
apakah Protap yang salah, ataukah ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi
agresivitas polisi?
Setidaknya terdapat beberapa faktor munculnya perilaku kekerasan
(tindakan agresi) yang dilakukan oleh oknum polisi, antara lain: 1) faktor frustasi
(Baron & Byrne, 2005), 2) provokasi (Baron & Byrne, 2005), 3) efek senjata
(Krahe, 2005), 4) kekerasan di media (Baron & Byrne, 2005), 5) alkohol & obat-
obatan (Baron & Byrne, 2005), 6) temperatur (Baron & Byrne, 2005) , 7)
kesesakan (Krahe, 2005), 8) polusi udara (Berkowitz, 1995), 9) kebisingan
(Krahe, 2005), 10) kepribadian (Baron & Byrne, 2005) , 11) hormon (Sarwono,
2002),12) gender (Baron & Byrne, 2005), dan 13) harga diri (Sarwono, 2002).
Dalam penelitian ini, aspek lingkungan kerja fisik dan pengaruh
kepribadian yang menjadi fokus penelitian. Aspek lingkungan kerja fisik penting
untuk melihat kinerja Kepolisian. Karena mengingat, selain tingkat ancaman dari
lingkungan kerja fisik dan resiko pekerjaan sangat tinggi, polisi bekerja selama 24
jam per hari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa mengenal cuaca (Yuntho,
4
2008). Selain itu, hasil studi ilmiah juga membuktikan bahwa kelemahan polisi di
dalam memberikan pelayanan terbaiknya kepada masyarakat justru disebabkan
karena keterbatasan sarana dan prasarana yang mendukung tugas-tugas Kepolisian
(Tongat, 1997). Memang fenomena yang terjadi di lapangan atau di jalan raya
tidak mencerminkan kenyamanan kerja yang optimal, dikarenakan lingkungan
kerja fisik sangat jauh dari kriteria kenyamanan tersebut, seperti suhu yang terlalu
panas, polusi, dan kebisingan. Dari lingkungan kerja fisik yang ada, menurut
peneliti hanyalah memenuhi batas minimal dimana seseorang hanya bisa bekerja
dengan tanpa kenyamanan yang diinginkan.
Bila dilihat dari pentingnya kehadiran Polantas dalam mengatur lalu-lintas,
maka tidak dapat dihindari bahwa sebagian besar waktu tugas para Polantas
berada di jalan raya dengan lingkungan kerja fisik yang sangat buruk setiap
harinya. Seperti kadar polusi yang tinggi, suhu tinggi, serta kebisingan, dan bila
seseorang berada dalam lingkungan kerja fisik yang buruk setiap harinya, maka
kemungkinan akan menimbulkan reaksi-reaksi yang tidak menyenangkan.
Namun, seberapa jauh akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung
pada bagaimana cara individu mempersepsikannya.
Oleh karena itu, mengenai nyaman dan ketidaknyamanan karyawan
terhadap lingkungan kerja fisiknya merupakan keadaan yang sifatnya subjektif
yang merupakan hasil kesimpulan yang didasarkan pada suatu perbandingan
mengenai apa yang secara nyata diterima oleh karyawan dari lingkungan kerja
fisiknya dengan apa yang diharapkan, diinginkan, dan dipikirkanya sebagai hal
yang pantas atau berhak baginya.
5
Kartono (2002) menyatakan bahwa unsur perasaan memang memiliki
peranan yang besar sekali dalam menentukan sikap. Misalnya, keluhan para
karyawan dalam menanggapi kondisi kerjanya seringkali bukan disebabkan
kondisi fisik yang benar-benar buruk dalam perusahaan, tetapi lebih disebabkan
oleh perasaan mereka yang beranggapan bahwa kondisi tersebut tidak seharusnya
demikian jeleknya, tetapi seharusnya bisa lebih baik, atau kondisi yang buruk
tersebut semestinya bisa dihindari. Karena itu, biasanya selain memperhatikan
kondisi fisik dan materil yang baik dalam perusahaan, psikologi perusahaan lebih
menekankan pada masalah-masalah psikologis, misalnya opini, prasangka,
motivasi kerja, emosi, sikap, termasuk persepsi karyawan.
Hal senada juga dinyatakan oleh Lazarus (dalam Bell, Greene, Fisher dan
Baum, 1978) bahwasanya suatu peristiwa dapat dinilai sebagai ancaman atau
tantangan oleh individu tergantung dari persepsi individu. Reaksi terhadap stres
sangat tergantung bagaimana individu menafsirkan atau menilai, baik secara sadar
atau tidak, arti dari peristiwa yang dialaminya. Hal ini berarti tekanan atau
gangguan dari lingkungan, tidak selalu mengakibatkan stres pada setiap individu.
Namun, tergantung pada bagaimana individu menilainya. Oleh karena itu, besar
kemungkinan bahwa tindak kekerasan Polantas terkait erat dengan persepsi
terhadap lingkungan kerja fisiknya yang penuh dengan stres.
Salah satu penelitian mengenai persepsi terhadap lingkungan kerja fisik
dilakukan oleh Syafrika dan Suyasa (2004), melalui studi korelasi mengenai
persepsi terhadap lingkungan fisik kerja dengan dorongan berperilaku agresif pada
polisi lalu lintas di Satlantas Kota Besar Jambi. Dari studi tersebut dapat
6
disimpulkan bahwa ada hubungan yang positif antara kebisingan dan polusi
dengan dorongan berperilaku agresif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin
individu mempersepsikan kebisingan dan polusi sebagai sesuatu yang sangat
terasa dan tidak nyaman, maka akan semakin tinggi dorongan berperilaku agresif
individu tersebut. Sebaliknya semakin individu mempersepsikan kebisingan dan
polusi sebagai sesuatu yang tidak terasa dan nyaman, maka semakin rendah
dorongan berperilaku agresif individu tersebut.
Dengan demikian, lingkungan kerja yang baik, aman, bersih, dan sehat
akan membuat individu merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas-
tugas yang dibebankan kepadanya. Selain itu, kondisi kerja yang memadai akan
menjadi pendorong serta penunjang kegairahan dan efisiensi kerja, sedangkan
kondisi kerja yang melebihi toleransi kemampuan manusia untuk menghadapinya
akan menjadi sebab malapetaka bagi faktor manusianya. Namun, seberapa jauh
akibat yang akan ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara
individu mempersepsikannya.
Selain faktor persepsi tentang lingkungan kerja fisik, faktor manusia yang
dianggap turut berperan dalam perilaku agresif adalah faktor kepribadian, karena
kepribadian merupakan salah satu variabel person (variabel masukan) yang dapat
menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Selain itu, kepribadian ini juga dapat
mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi di dalam memori
yang dapat mempengaruhi cognition, affect, dan arousal yang dapat
mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Variabel person (kepribadian) dapat
mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di
7
dalam memori. Di dalam memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan
pikiran, agresi, emosi, dan kecenderungan untuk bertingkah laku (Carnagey &
Anderson, 2004). Dengan demikian individu yang memiliki sifat agresif hanya
akan membutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi,
sehingga konsep-konsep agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses
dan lebih siap untuk teraktivasi pada situasi lain, yang dapat membimbing tingkah
laku di masa yang akan datang.
Dalam teorinya Bushman (dalam Carnagey & Anderson, 2004),
menyatakan bahwa terdapat perbedaan individual dalam merespon stimulus
agresif dan ambigu yang disebabkan karena adanya perbedaan individu dalam
struktur memorinya. Menurut Bushman, hal ini disebabkan karena individu yang
memiliki sifat agresif yang tinggi memiliki jaringan asosiatif kognitif tentang
agresi yang lebih banyak dan lebih berkembang daripada individu yang memiliki
sifat agresif rendah. Perbedaan jaringan asosiatif ini menyebabkan individu
dengan sifat agresif tinggi lebih cepat mengakses konsep-konsep agresi, yang
dapat dengan mudah teraktivasi dengan hanya adanya sedikit situasi yang tidak
menyenangkan. Selain itu juga, individu dengan sifat agresif tinggi dapat
menginterpretasi hal-hal yang ambigu menjadi terasosiasi dengan konsep agresi
dibandingkan dengan individu yang memiliki sifat agresif rendah. Maksudnya
adalah individu dengan sifat agresif tinggi akan mengartikan hal-hal yang belum
pasti berhubungan dengan agresi, menjadi terkait dengan konsep-konsep agresi
yang dipunyainya.
8
Steven & Mary (2005) mengatakan bahwa kepribadian bersifat stabil
sepanjang waktu dan memberikan pola perilaku yang konsisten pada individu.
Karena bersifat stabil dan konsisten itulah, individu yang memiliki sifat agresif
akan cenderung berperilaku agresif pada setiap situasi. Selain itu, karena sifatnya
yang permanen, maka dapat mempengaruhi keadaan temporer seseorang dalam
hal ini adalah keadaan psikologis individu yang pada akhirnya turut berperan
terhadap kemungkinan terjadi atau tidaknya perilaku agresif.
Hal senada juga diungkapkan oleh Houston & Vavak (dalam Sarafino,
1994) yang menyatakan bahwa kepribadian pelaku agresi merupakan kondisi yang
stabil. Sehingga ketika individu menampilkan perilaku agresif pada suatu situasi,
individu tersebut akan menampilkan perilaku agresif di situasi yang lain. Dari
penelitian longitudional yang dilakukan menunjukkan bahwa remaja yang terlibat
dalam perilaku agresif cenderung terlibat dalam perilaku antisosial pada saat
dewasa (Sarafino, 1994). Karena itu, kepribadian dapat digunakan untuk
menggambarkan, menjelaskan, dan dapat digunakan sebagai prediksi efektivitas
perilaku yang akan datang yang dapat membedakan antara individu yang satu
dengan yang lain (Larsen & Buss, 2005).
Dengan demikian, faktor psikologis tersebut dinilai esensial lebih
mendasar untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam membuat prediksi dan
estimasi efektivitas sikap dan perilaku Polantas saat sekarang dan yang akan
datang. Selain itu, bahwa selama ini pembahasan dan penelitian dengan tema
permasalahan agresivitas Polantas di jalan raya yang dikaitkan dengan faktor
psikologis belum banyak diteliti. Atas dasar inilah penulis dengan segala
9
keterbatasan yang ada mencoba mengungkap hubungan antara kepribadian
dengan perilaku agresif.
Menurut teori kepribadian, kepribadian seseorang mempengaruhi cara
individu dalam bereaksi, berpikir, merasa, berinteraksi dan beradaptasi dengan
orang lain, termasuk dalam membentuk perilaku agresif (Larsen & Buss, 2005).
Kepribadian itu sendiri didefinisikan sebagai sebuah organisasi dinamis di dalam
sistem psikis dan fisik individu yang menentukan karakteristik perilaku dan
pikirannya (Allport, 1960). Dalam teori-teori kepribadian, beberapa tokoh seperti
Morgan (1986) dan Mischel (2004) menyimpulkan bahwa kepribadian itu terdiri
dari struktur, antara lain adalah trait dan tipe (type). Trait adalah konsistensi
respon individu dalam situasi yang berbeda-beda. Sedangkan tipe adalah
pengelompokkan bermacam-macam trait. Dibandingkan dengan konsep trait, tipe
memiliki tingkat regularity dan generality yang lebih besar daripada trait. Contoh
dari tipe kepribadian antara lain introvert atau ekstrovert, tipe A atau B, dan lain-
lain.
Dalam perkembangan penelitian perilaku agresif, hasil penelitian Glass
(dalam Baron & Byrne, 2005) menyimpulkan bahwa faktor kepribadian berperan
penting dalam perilaku agresif. Menurutnya bahwa kecenderungan seseorang
untuk berperilaku agresif dapat dilihat dari kepribadiannya. Individu yang
memiliki kepribadian tipe A cenderung lebih agresif dalam banyak situasi
daripada individu dengan kepribadian tipe B. Kepribadian tipe A digambarkan
sebagai individu yang memiliki sifat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah
tersinggung, dan agresif. Sedangkan kepribadian tipe B digambarkan sebagai
10
individu yang ambisinya tidak tinggi, cenderung tidak terburu-buru, dan tidak
mudah kehilangan kendali. Kepribadian tipe A inilah yang kemudian akan
menjadi fokus peneliti untuk diteliti, disebabkan karena belum banyak peneliti
yang mengkaji pengaruh kepribadian tipe A dengan perilaku agresif.
Penelitian terhadap agresivitas pernah dilakukan oleh Agung (2008)
melalui penelitian kualitatif mengenai agresi pada anggota TNI-AD yang berdinas
di Jakarta. Dari studi tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling
dominan yang mempengaruhi anggota prajurit TNI-AD melakukan tindakan
agresi adalah provokasi, harga diri, kepribadian, dan proses belajar.
Dengan demikian, dari penjelasan di atas maka penulis ingin mencari tahu
seberapa besar pengaruh faktor kepribadian terhadap munculnya perilaku agresif
pada Polantas. Sehingga penulis memasukkan kepribadian sebagai variabel bebas
untuk menunjang variabel bebas lainnya yaitu persepsi tentang lingkungan kerja
fisik, sehingga dari keduanya dapat dilihat seberapa besar dan signifikankah
pengaruh keduanya terhadap variabel terikat yakni agresivitas Polantas.
Dari sinilah penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam apakah persepsi
tentang lingkungan kerja fisik dan kepribadian tipe A mempengaruhi agresivitas
Polantas. Selain itu, penulis juga tertarik untuk mengetahui lebih mendalam
mengenai perilaku agresif Polisi lalu-lintas, dan tingkat intensitas perilaku agresif
yang dilakukan. Penelitian ini akan dilakukan di kota Jakarta, karena penegakkan
hukum yang dilaksanakan oleh satuan lalu-lintas tidak terlepas dari fenomena
tindak agresi dari para polantas.
11
1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada permasalahan:
a) Persepsi tentang lingkungan kerja fisik yaitu hasil interpretasi atau pandangan
subjek mengenai segala sesuatu yang ada di sekitar tempat kerja yang dapat
mempengaruhi performansi kerja subjek. Dalam penelitian ini, peneliti hanya
membatasi pada suhu, kebisingan, vibrasi atau getaran, polusi dan hygiene atau
kebersihan.
b) Kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepribadian tipe A dan
tipe B. Kepribadian tipe A ditandai dengan adanya ketidaksabaran dan
perasaan terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu, keterlibatan yang tinggi
terhadap tugas atau pekerjaan, nafsu bersaing yang berlebihan, mudah
tersinggung atau marah, dan agresif. Sedangkan kepribadian tipe B
menunjukkan manifestasi yang sebaliknya, yaitu lebih sabar, santai, tenang,
ambisinya rendah, mampu menahan diri, dan pasif.
c) Agresivitas yaitu segala bentuk perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti
seseorang baik secara fisik maupun mental dengan atau maksud tertentu
(Berkowitz, 1995). Dalam penelitian ini, adapun yang dimaksud perilaku
agresif yang dilakukan oleh Polantas yaitu perilaku agresif yang ditujukan
kepada pengguna jalan raya. Oleh karena itu, peneliti hanya membatasi pada
bentuk agresi fisik, dan agresi verbal yang dilakukan secara langsung. Agresi
fisik langsung dapat dilakukan dengan atau tanpa alat terhadap fisik lawan atau
12
obyek sasaran secara langsung (memukul, menendang). Agresi verbal langsung
dapat berupa memaki, mengancam, yang dilakukan secara langsung.
a) Polantas yaitu badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan
keselamatan lalu lintas.
1.2.2. Perumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan antara Persepsi tentang Lingkungan
Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian secara bersama-sama terhadap Agresivitas
Polisi lalu-lintas?
2. Seberapa besar sumbangan yang diberikan Persepsi tentang Lingkungan Kerja
Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi lalu-lintas?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara Persepsi tentang Lingkungan
Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian secara bersama-sama terhadap Agresivitas
Polisi Lalu-lintas.
2. Untuk mengetahui seberapa besar sumbangan yang diberikan Persepsi tentang
Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi
Lalu-lintas.
13
1.3.2. Manfaat Penelitian
1.3.2.1. Manfaat teoritis:
Dapat memberikan data empiris yang telah teruji secara ilmiah, sehingga
dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi, terutama psikologi sosial.
Serta dapat memberikan informasi dalam usaha meningkatkan SDM guna
memperbaiki kinerja Kepolisian Indonesia ke depan.
1.3.2.2. Manfaat praktis:
Diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat, institusi
kepolisian, dan anggota kepolisian lalu lintas khususnya, mengenai gambaran
agresi pada subjek anggota Polantas. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan subjek cenderung melakukan agresi. Sehingga kepada masyarakat
diharapkan untuk lebih berfikir positif terhadap anggota Polantas, dan menjalin
hubungan saling menghormati dan menghargai. Kemudian diharapkan para
anggota Polantas dapat mengontrol emosi dan amarahnya agar tidak ada lagi
kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polantas. Serta kepada institusi kepolisian
diharapkan dalam proses perekrutan dan seleksi calon anggota Polantas agar lebih
ketat dan selektif lagi, sehingga menghasilkan anggota-anggota yang terbaik
sesuai dengan yang diharapkan.
Selain itu, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
menanggulangi permasalahan tindakan agresi pada Polantas, dengan cara
menambahkan sarana dan prasarana atau dengan memberikan pelayanan
konsultasi kesehatan fisik dan psikis serta dengan mengadakan pelatihan-pelatihan
14
mengenai pengendalian emosi serta pengendalian dan penilaian bahaya dari
lingkungan kerja fisik seperti kebisingan, temperatur, polusi udara, sehingga
mereka dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik.
1.4. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari 5 bab, yang setiap babnya mempunyai sub-sub
tersendiri dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Merupakan kajian teori tentang agresivitas (pengertian agresivitas,
teori-teori agresi, bentuk-bentuk agresivitas, dan fakto-faktor yang
mempengaruhi agresivitas), persepsi tentang lingkungan kerja fisik
(pengertian persepsi, perubahan persepsi, pengertian lingkungan
kerja fisik, pengertian persepsi tentang lingkungan kerja fisik, dan
jenis-jenis lingkungan kerja fisik), kepribadian (pengertian
kepribadian, dan pola perilaku kerpribadian tipe A & tipe B),
kerangka berfikir, dan hipotesis penelitian.
BAB III Metode penelitian, mencakup: pendekatan penelitian, pengambilan
sampel (populasi, sampel, serta teknik pengambilan sampel),
variabel penelitian (identifikasi variabel penelitian, definisi
operasional variabel penelitian), pengumpulan data (teknik
pengumpulan data, dan instrumen penelitian), uji instrumen (uji
15
validitas, dan uji reliabilitas), prosedur penelitian, dan teknik
analisa data.
BAB IV Hasil penelitian mencakup : gambaran umum subjek penelitian,
deskripsi data, dan hasil uji hipotesis.
BAB V Kesimpulan mencakup: kesimpulan, diskusi, dan saran.
16
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Agresivitas
2.1.1 Pengertian Agresivitas
Agresivitas atau agresi merupakan bagian dari keseharian manusia sebagai
individu yang normal. Hampir tidak dapat dipungkiri bahwa setiap manusia
memilikinya bahkan bayi pun memiliki sifat agresi tersebut. Namun,
pertanyaannya di sini apakah agresi yang dimiliki setiap individu itu sama
besarnya dan sama intensitas pemunculannya.
Berkowitz (1995) mendefinisikan “perilaku agresif sebagai segala bentuk
perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti seseorang baik secara fisik maupun
mental dengan atau maksud tertentu”. Jadi tindakan agresi adalah tindakan yang
memiliki tujuan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Myers (2005) bahwa yang dimaksud
dengan perbuatan agresif adalah perilaku fisik atau lisan yang disengaja dengan
maksud untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Suatu perilaku agresif harus
disertai dengan adanya niat, intensi, motif, atau kesengajaan untuk menyakiti atau
merugikan orang lain, dan jika suatu perbuatan dilakukan karena desakan situasi,
tidak ada pilihan lain, atau tidak sengaja, maka perbuatan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai perilaku agresif.
17
Sementara Baron dan Byrne (2005) berpendapat “bahwa agresi adalah
tingkah laku yang diarahkan kepada tujuan yang menyakiti makhluk hidup lain
yang ingin menghindari perlakuan semacam itu”.
Dari beberapa penjelasan di atas kiranya dapat disimpulkan mengenai
definisi agresi itu sendiri serta istilah-istilah lain yang penggunaannya sering kali
bias, sebagai berikut:
Agresi adalah perilaku yang dimunculkan seseorang untuk mencapai
tujuan tertentu yang sifatnya menyakiti lawannya baik secara fisik maupun psikis
sehingga tidak dapat diterima secara sosial (agresi sebagai aksi).
Sedangkan agresivitas merupakan kecenderungan internal atau perasaan
ketidaknyamanan yang dirasakan oleh pelaku terhadap tujuan tersebut yang
kemudian dikeluarkan dalam bentuk agresi. Jadi agresivitas merupakan penyebab
dari tingkah laku agresif (agresi sebagai reaksi).
Berdasarkan definisi-definisi yang telah diungkapkan di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa perilaku agresif adalah perilaku seseorang untuk menyakiti,
melukai, merugikan, atau merusak obyek tujuannya baik secara fisik maupun
psikis yang disertai dengan niat, intensi, motif, atau kesengajaan.
2.1.2 Teori-teori Agresi
Untuk menjelaskan mengenai perilaku agresif, peneliti mengemukakan
beberapa sudut pandang yang dikemukakan oleh Sarwono (2002), sebagai berikut:
18
1. Teori Bawaan
a. Teori Psikoanalisa (Teori Naluri)
Teori psikoanalisa dari Sigmund Freud yang menyatakan bahwa
dalam diri manusia mempunyai potensi bawah sadar berupa suatu dorongan
untuk merusak diri atau thanatos. Dorongan tersebut awalnya ditujukan untuk
merusak diri sendiri. Namun, dalam perkembangannya dorongan tersebut
ditujukan untuk orang lain.
Teori naluri lainnya adalah yang dikemukakan oleh Konrad Lorenz.
Ethologist merupakan ilmu yang mempelajari tentang naluri dan perilaku
hewan. Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresi disebabkan oleh faktor
insting, dan perilaku agresi tersebut dilakukan dalam rangka adaptasi secara
evolusioner.
b. Teori Biologi
Teori biologi mencoba menjelaskan perilaku agresif, baik dari proses
faal maupun teori genetika. Sebagaimana yang diungkapkan Moyer, bahwa
perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan
susunan syaraf pusat. Teori ini juga beranggapan bahwa perilaku agresi
disebabkan oleh meningkatnya hormon testosteron. Hormon testoteron dalam
hal ini bukan pemicu langsung dari perilkau agresi, sehingga untuk
menimbulkan perilaku agresi perlu adanya pemicu dari luar (Helmi &
Soedardjo, 1998). Selain itu, menurut Santrock (1995) bahwa perilaku agresi
19
dan kekerasan juga bisa disebabkan karena abnormalitas, misalnya kerusakan
jaringan otak atau abnormalitas kromosom supermale atau XYY.
c. Teori Sosio-biologi dari Wilson
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresi berkembang karena
adanya kompetisi sosial, yaitu kompetisi terhadap sumber daya. Menurut teori
ini, perilaku agresi adalah sesuatu yang penting untuk adaptasi dalam
kehidupan (Krahe, 2005).
2. Teori Lingkungan
a. Teori Frustasi-Agresi Klasik
Teori yang dikemukakan oleh Dollard dan Miller ini menjelaskan
bahwa frustasi mengakibatkan terangsangnya suatu dorongan yang tujuan
utamanya adalah menyakiti beberapa orang atau objek terutama yang
dipersepsikan sebagai penyebab frustasi. Frustasi sendiri adalah hambatan
terhadap pencapaian suatu tujuan. Dengan demikian, agresi merupakan
pelampiasan dari perasaan frustasi.
b. Teori Frustasi-Agresi Baru
Dalam perkembangannya, kemudian terjadi beberapa modifikasi
terhadap teori Frustasi-Agresi Klasik. Teori ini mensinyalir bahwa tidak setiap
perilaku agresif disebabkan frustasi, karena masih ada faktor lain yang memicu
perilaku agresif. Selain itu, teori ini menyatakan bahwa kekuatan dorongan
agresi yang disebabkan oleh frustasi, tergantung besarnya kepuasan yang
20
diharapkan dan tidak dapat diperoleh. Tepatnya jika orang tiba-tiba dihalangi
untuk mencapai tujuannya, akan meningkatlah kecenderungannya untuk
menyakiti orang lain, tergantung:
1. Tingkat kepuasan yang diharapkan,
2. Seberapa jauh gagal memperoleh kepuasan,
3. Seberapa sering terhalang untuk mencapai tujuan.
3. Teori Belajar Sosial
Teori ini berpendapat bahwa perilaku agresif yang dilakukan oleh individu
diperoleh sebagai hasil belajar melalui pengamatan atau observasi atas perilaku
yang ditampilkan oleh individu-individu yang menjadi model. Teori ini
beranggapan bahwa agresi dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, semakin
sering mendapatkan penguatan akan semakin besar kemungkinan perilaku agresif
dapat terjadi.
4. Teori Kognisi
Teori kognisi berintikan pada proses yang terjadi pada kesadaran dalam
membuat penggolongan (kategorisasi), pemberian sifat-sifat (atribusi), penilaian,
dan pembuatan keputusan (Sarwono, 2002).
Banyak tokoh berusaha mendapatkan pemahaman tambahan mengenai
faktor-faktor yang memainkan peran dalam kemunculan perilaku agresi. Di
antaranya adalah Anderson dan Bushman (dalam Carnagey & Anderson, 2004)
21
yang berusaha menjelaskan melalui salah satu pendekatan General Aggression
Model (GAM). GAM merupakan gabungan dari teori-teori agresi terdahulu. GAM
mendeskripsikan proses episodik dari agresi yang terdiri dari beberapa tahapan.
Berikut ini adalah bagan yang dapat menjelaskan tahapan tersebut :
Inputs
Routes
Outcomes
Person Situation
Social Encounter Present Internal State:
Affect
Cognition - - - Arousal
Thoughtful Action
Impulsive Action
Appraisal & Decision Processes
Bagan 2.1 Proses episodic dari The General Aggression Model (Anderson & Bushman, 2002)
Dari bagan di atas dapat terlihat bahwa terdapat dua variabel input
(masukan) yang dapat menyebabkan terjadinya tingkahlaku agresif. Variabel
person (orang) adalah semua faktor yang dibawa oleh seseorang ke dalam situasi
tertentu (Carnagey & Anderson, 2004), seperti trait yang mendorong individu
untuk melakukan agresi, jenis kelamin, sikap dan belief tertentu terhadap
kekerasan, dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Sedangkan variabel situasi
meliputi faktor-faktor di dalam lingkungan yang mengelilingi individual,
22
termasuk faktor-faktor di dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi tindakan
seseorang, seperti aggressive cues, provokasi, frustasi, ataupun suhu udara tinggi
yang tidak nyaman. Variabel situasi ini dapat mengaktivasi konsep-konsep yang
berhubungan dengan agresi di dalam memori (Carnagey & Anderson, 2004).
Kedua macam variabel masukan tersebut dapat mempengaruhi hasil akhir
tingkah laku melalui present internal state (keadaan internal saat ini) yang mereka
ciptakan. Keadaan internal tersebut adalah cognition, affect, dan arousal. Variabel
masukan dapat mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih
mudah diakses di dalam memori (Carnagey & Anderson, 2004). Sifat
pengaksesan konsep agresi ini adalah sementara atau malah menetap. Ketika
sebuah konsep diakses secara terus menerus, waktu pengaktifannya akan
menurun. Hal ini berarti hanya akan dibutuhkan sedikit energi untuk
mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut
menjadi semakin mudah untuk diakses di lain waktu.
Variabel masukan juga dapat mempengaruhi kognisi dengan mengaktivasi
aggressive script (Huesmann, dalam Carnagey & Anderson, 2004). Script
didefinisikan sebagai struktur pengetahuan semantik dan episodik yang besar yang
terakumulasi di memori dan membimbing interpretasi dan pemahaman tentang
pengalaman sehari-hari (Aschraft, 1994). Script agresif akan membuat bias
interpretasi dari situasi dan respon yang mungkin dari situasi dengan cara-cara
yang dapat menimbulkan agresi (Carnagey & Anderson, 2004). Akses yang
berulang-ulang dari script agresif juga dapat membuat script agresif tersebut lebih
23
siap untuk teraktivasi pada situasi lain, yang dapat membimbing tingkah laku di
masa yang akan datang.
Selain mempengaruhi kognisi, variabel masukan juga dapat
mempengaruhi affect seseorang, seperti aggression-related feelings (perasaan
yang berhubungan dengan agresi) tentang anger & hostility (Anderson & Dill,
dikutip dalam Carnagey & Anderson, 2004). Contohnya, pada orang yang
memiliki sifat sgresif yang tinggi, sedikit situasi yang tidak menyenangkan akan
mengakibatkan kemarahan pada orang tersebut. Keadaan internal yang ketiga
adalah arousal yang juga dipengaruhi oleh variabel orang dan situasi. Beberapa
orang cepat sekali mengalami arousal, dan beberapa faktor situasi dapat secara
sementara meningkatkan arousal.
Tidak hanya variabel masukan dapat mempengaruhi kognisi, afek, dan
arousal, tapi ketiga keadaan internal tersebut juga dapat mempengaruhi satu sama
lain dan merupakan aspek yang saling berhubungan (Anderson & Bushman,
dikutip dalam Carnagey & Anderson, 2004). Aktivasi pada satu aspek akan
cenderung dapat mempengaruhi kedua aspek lainnya. Cognition dan affect dapat
dilihat sebagai bagian dari memori yang dapat diaktifkan melalui proses
spreading activation, yang jika salah satu terakses, maka akan memudahkan
pengaksesan yang lainnya (Anderson & Bushman, dikutip dalam Carnagey &
Anderson, 2004). Misalnya hostile cognition dapat membuat hostile feeling lebih
mudah untuk diakses, dan juga sebaliknya.
24
Proses selanjutnya, individu akan melakukan appraisal (penilaian) dan
kemudian akan memilih tingkah laku yang sesuai sebelum tingkah laku itu
muncul. Appraisal bisa dilakukan secara otomatis (automatic appraisal), yaitu
evaluasi pada lingkungan dan keadaan internal yang dilakukan secara cepat
dengan sedikit kesadaran (Anderson & Dill, dikutip dalam Carnagey & Anderson,
2004). Appraisal yang otomatis ini akan mengakibatkan tindakan yang impulsif.
Misalnya, ketika ditampar maka orang akan secara otomatis menilai lingkungan
tersebut mengancam dan dapat membuat marah. Appraisal juga bisa dilakukan
secara terkontrol (controlled appraisal) yang dilakukan lebih pelan dan lebih
membutuhkan sumber kognitif daripada automatic appraisal. Controlled
appraisal akan menghasilkan tindakan yang lebih dipikirkan. Kedua tindakan
impulsive dan yang dipikirkan bisa menjadi agresif atau tidak agresif.
Tingkah laku agresif atau tidak agresif yang dimunculkan oleh seseorang
kemudian diikuti oleh reaksi dari lingkungan, dimana biasanya berupa respon
orang lain dari tingkah laku tersebut (Carnagey & Anderson, 2004). Social
encounter dapat mengubah variabel masukan tergantung dari respon lingkungan.
Social encounter juga dapat memodifikasi variabel situasi, orang, atau keduanya,
yang kemudian dapat menghasilkan reinforcement ataupun inhibition dari tingkah
laku serupa di masa yang akan datang.
2.1.3 Bentuk-bentuk Agresivitas
Berdasarkan sifatnya, Berkowitz (1995) membagi agresi ke dalam dua
macam, yaitu :
25
1. Agresi Instrumental
Yaitu agresi yang terjadi pada saat seseorang merasa tersinggung dan ia
berusaha menyakiti orang lain.
2. Agresi Emosional
Yaitu perilaku agresif yang memiliki tujuan lain selain menyakiti
korban, antara lain dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan kekuasaan,
dominasi atau status sosial seorang individu. Menyakiti korban hanyalah
media untuk meraih tujuan-tujuan tersebut.
Sedangkan dari jenisnya, Berkowitz membagi agresi menjadi dua macam:
1) Agresi Langsung
Agresi langsung, yakni melibatkan aksi yang ditujukan secara langsung
kepada target yang memunculkan amarah (baik dalam bentuk agresi fisik
maupun verbal), bentuk agresi fisik langsung yaitu seperti; memukul, atau
menendang, sedangkan agresi verbal langsung, yaitu pernyataan verbal yang
dimaksudkan untuk menyakiti orang yang sedang dievaluasi, seperti; memaki
atau mengancam.
2) Agresi Tidak Langsung
Agresi tidak langsung, yakni melibatkan aksi tidak langsung yang
ditujukan kepada target yang memunculkan amarah, tanpa menyakiti target
secara frontal. Misalnya, menceritakan kejelekan target kepada orang lain.
26
Sementara Freedman & Peplau (dalam Sarwono, 2002) membagi agresi
menjadi dua macam, yaitu:
1. Agresi Prososial
Agresi prososial adalah tindakan agresi yang sebenarnya diatur atau
disetujui oleh norma sosial, seperti polisi memukul penjahat.
2. Agresi Antisosial
Agresi antisosial adalah tindakan melukai orang lain di mana tindakan
itu secara normatif dilarang oleh norma masyarakat, seperti orang yang
punya kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap warga miskin dan tak
berdaya.
Senada dengan pendapat Berkowitz, Buss (1973) mengklasifikasikan
perilaku agresif secara lebih lengkap, yaitu: perilaku agresif secara fisik atau
verbal, secara aktif atau pasif, dan secara langsung atau tidak langsung. Tiga
klasifikasi tersebut masing-masing akan saling berinteraksi, sehingga
menghasilkan delapan bentuk perilaku agresif, yaitu :
1. Agresi fisik aktif langsung, seperti menusuk, menembak, memukul orang lain.
2. Agresi fisik aktif tidak langsung, seperti membuat jebakan untuk mencelakakan
orang lain.
3. Agresi fisik pasif langsung, seperti tidak mau memberikan jalan kepada orang
lain.
27
4. Agresi fisik pasif tidak langsung, seperti menolak untuk melakukan sesuatu,
menolak mengerjakan perintah orang lain.
5. Agresi verbal aktif langsung, seperti mencaci maki orang lain.
6. Agresi verbal aktif tidak langsung, seperti menyebarkan gossip tentang orang
lain.
7. Agresi verbal pasif langsung, seperti tidak setuju dengan pendapat orang lain,
tetapi tidak mau mengatakan, tidak mau menjawab pertanyaan orang lain.
8. Agresi verbal pasif tidak langsung, seperti menolak untuk berbicara dengan
orang lain.
Dari berbagai bentuk perilaku agresi yang telah diuraikan di atas, maka
secara garis besar bentuk perilaku agresif dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
bagian, yaitu:
a. Berdasarkan Arahnya
Berdasarkan arahnya, agresi dibedakan atas agresi aktif dan agresi pasif.
Agresi aktif ditujukan pada pihak lain, seperti menyerang orang lain atau
merusak barang milik orang lain, sedangkan agresi pasif ditujukan pada diri
sendiri seperti melukai atau menyakiti diri sendiri.
b. Berdasarkan Caranya
Berdasarkan caranya, agresi dibedakan atas agresi langsung dan agresi
tidak langsung. Agresi secara langsung berarti perilaku agresif ditujukkan
28
dengan jelas atau dapat diamati dan sebaliknya agresi secara tidak langsung
berarti perilaku agresif yang dilakukan secara diam-diam atau tidak tampak.
c. Beradasarkan Macamnya
Berdasarkan macamnya, agresi dibedakan atas agresi fisik, verbal, dan
non-verbal. Agresi fisik dapat dilakukan dengan atau tanpa alat terhadap fisik
lawan atau obyek sasaran. Agresi verbal dapat berupa gunjingan, menyebarkan
gosip, mencela, memaki, mengucapkan kata-kata kasar, dan lain-lain. Adapun
agresi non-verbal adalah bahasa tubuh, seperti mencibir dan merengut.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, untuk mengetahui gambaran
agresivitas, maka penulis mengelompokkan perilaku agresif ke dalam dua bentuk
yaitu : perilaku agresif verbal dan perilaku agresif fisik (non verbal) yang
dilakukan secara langsung. Bentuk-bentuk perilaku agresif tersebut akan dijadikan
dimensi dalam penyusunan skala agresivitas dalam penelitian ini, antara lain :
1. Perilaku agresif verbal
Yaitu segala bentuk perilaku yang dilakukan dengan menggunakan ucapan
atau perkataan yang ditujukan secara langsung kepada target yang
memunculkan amarah. Secara verbal dapat ditunjukkan melalui bentuk-bentuk
seperti : berkata kasar, memaki, menghina, mengancam dengan perkataan, dan
membentak.
29
2. Perilaku agresif fisik
Yaitu segala bentuk perilaku yang menggunakan aktivitas fisik yang
ditujukan secara langsung kepada target yang memunculkan amarah. Bentuk
perilaku tersebut antara lain : memukul, menendang, dan meninju.
Adapun dampak perilaku agresif menurut Sarwono (2002) antara lain;
a. Agresi yang dilakukan berturut-turut dalam jangka lama, dapat mempunyai
dampak pada perkembangan kepribadian.
b. Agresi dapat berlanjut dari generasi ke generasi. Ibu yang agresif cenderung
mempunyai anak yang agresif terhadap anaknya pula.
c. Mempunyai harga diri yang rendah.
d. Depresi, setiap orang dapat mengalami kemunduran, ketidakpuasan, dan putus
asa jika perilaku agresif menimpanya.
e. Cacat fisik, perilaku agresif dapat menimbulkan cacat fisik terhadap korban
agresi. Cacat fisik dari perilaku agresif ini dapat berlangsung seumur hidup dan
sulit untuk disembuhkan.
f. Cidera, selain cacat fisik, perilaku agresif juga dapat menimbulkan cidera.
Cidera yang dialaminya tidak sampai seumur hidup, hanya bagian-bagian
tubuh tertentu saja yang mengalami cidera dan dapat disembuhkan.
g. Kematian, perilaku agresif juga bisa mengakibatkan seseorang atau makhluk
lainnya langsung meninggal. Kematian dapat terjadi terhadap korban agresi
30
yang sebelumnya mengalami penyiksaan-penyiksaan atau langsung dibunuh
oleh pelaku agresi dengan menggunakan alat atau tanpa menggunakan alat.
2.1.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Agresivitas
Banyak sekali faktor yang dapat memicu terjadinya perilaku agresif. Untuk
lebih memahami tentang faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi
seseorang untuk melakukan perilaku agresif. Berikut di bawah ini akan dijelaskan
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi agresivitas. Adapun beberapa
pandangan dari beberapa tokoh, antara lain:
1. Frustasi
Frustasi merupakan situasi dimana individu terhambat atau gagal dalam
usaha mencapai tujuan tertentu yang diinginkannya, atau mengalami hambatan
untuk bebas bertindak dalam mencapai tujuan tersebut (Baron & Byrne, 2005).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa ahli mengenai
frustasi agresi menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang memiliki
pengaharapan yang tinggi terhadap sesuatu cenderung lebih agresif ketika
mengalami kegagalan dalam usahanya mendapatkan apa yang diharapkannya
(Myers, 2005).
2. Provokasi
Provokasi adalah perkataan atau tindakan yang dianggap menghina atau
mengancam keselamatan individu yang melakukan agresi. Provokasi dapat
mencetuskan agresi karena provokasi itu oleh pelaku agresi dilihat sebagai
31
ancaman yang harus dihadapi dengan respon agresif untuk meniadakan bahaya
yang diisyaratkan oleh ancaman itu (Baron & Byrne, 2005).
3. Efek senjata
Dalam penelitian Berkowitz dan LePage (dalam Krahe, 2005) yang
menguji tentang efek senjata terhadap kecenderungan perilaku agresif pada
individu menghasilkan kesimpulan bahwa individu yang berhubungan dengan
senjata cenderung menjadi lebih agresif dari pada individu yang tidak
berhubungan dengan senjata.
4. Kekerasan di media
Film dan TV dengan kekerasan dapat menimbulkan agresi pada anak-anak
atau orang dewasa. Anak-anak yang menonton film dan acara televisi yang
mengandung kekerasan, makin tinggi tingkat agresi mereka ketika remaja atau
dewasa. Dengan demikian, makin banyak menonton kekerasan dalam acara TV
makin besar tingkat agresif mereka terhadap orang lain, makin lama mereka
menonton, makin kuat hubungannya tersebut (Baron & Byrne, 2005).
5. Alkohol dan obat-obatan
Percobaan-percobaan di laboratorium juga membuktikan bahwa alkohol
merangsang agresivitas. Gustafson (dalam Baron & Byrne, 2005) menyatakan
orang yang mengonsumsi alkohol dosis tinggi yang cukup untuk membuat
mereka mabuk, ditemukan bertindak lebih agresif, dan merespon provokasi
secara lebih kuat, daripada mereka yang tidak mengonsumsi alkohol. Dengan
demikian, alkohol dapat melemahkan kendali diri peminumnya, sehingga taraf
agresivitas juga tinggi.
32
6. Temperatur
Suhu lingkungan yang tinggi memiliki dampak terhadap tingkah laku
sosial berupa peningkatan agresivitas. Sebagaimana penelitian yang dihasilkan
oleh Anderson (dalam Baron & Byrne, 2005) Suhu udara tinggi cenderung
akan meningkatkan agresi. Hal senada juga dinyatakan oleh Grifft (dalam
Sarwono, 2002) bahwa udara yang sangat panas lebih cepat memicu
kemarahan dan agresi.
7. Kesesakan (crowding)
Kesesakan dapat meningkatkan kemungkinan untuk perilaku agresif
terutama bila sering timbul kejengkelan, dan frustasi/ afek negatif karenanya
(Krahe, 2005).
8. Polusi udara
Polusi udara, bau tidak enak, dan bahkan pemandangan menjijikan
ternyata meningkatkan hukuman yang diberikan, atau kekerasan yang
ditunjukan terhadap orang lain. Jelaslah, tekanan psikologis juga tidak
menyenangkan, dan hal itu pun bisa menyebabkan agresi (Berkowitz, 1995).
9. Kebisingan
Kebisingan dilaporkan dapat meningkatkan perilaku agresif. Dalam
kapasitasnya sebagai pengintensif perilaku yang sedang berlangsung,
kebisingan dapat menguatkan kecenderungan perilaku agresif yang sudah
muncul pada si pelaku. Tetapi, tampaknya bukan kebisingan itu sendiri yang
memfasilitasi agresi, melainkan kenyataan bahwa kebisingan sering kali
merupakan kejadian aversif yang tidak dapat dikontrol. Bila kebisingan itu
33
dipersepsi sebagai dapat dikontrol, maka dampaknya terhadap perilaku agresif
akan berkurang secara substansial (Krahe, 2005).
10. Kepribadian
Kepribadian seseorang mempengaruhi cara individu dalam bereaksi,
berpikir, merasa, berinteraksi dan beradaptasi dengan orang lain, termasuk
dalam membentuk perilaku agresif (Larsen & Buss, 2005). Menurut Glass
(dalam Baron & Byrne, 2005) bahwa orang-orang dengan kepribadian tipe A
(yang bersifat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah tersinggung, dan agresif)
cenderung lebih agresif daripada orang dengan kepribadian tipe B (ambisinya
tidak tinggi, cenderung tidak terburu-buru, dan tidak mudah kehilangan
kendali).
11. Penyebab hormon
Perilaku agresif juga bisa disebabkan oleh meningkatnya hormon
testosteron (Sarwono, 2002).
12. Gender
Peran gender atau jenis kelamin yang dikembangkan oleh Harris (dalam
Baron & Byrne, 2005) yang menyatakan pria secara umum cenderung lebih
banyak melakukan perilaku agresif daripada wanita.
13. Harga diri
Baumerster, Smart & Boden (dalam Sarwono, 2002) menjelaskan bahwa
harga diri yang tinggi justru memberi peluang lebih besar untuk agresif.
Penyebabnya antara lain adalah karena orang dengan harga diri tinggi merasa
lebih percaya diri, kalau berkonflik dengan orang lain ia akan berada di pihak
34
yang menang, dan bahwa selaku orang yang nilainya lebih tinggi dari orang
lain, ia merasa berhak untuk agresif kepada orang lain.
2.2. Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik
2.2.1. Pengertian Persepsi
Robbins (2001) menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses seseorang
dalam mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar dapat memberi arti
terhadap lingkungan sekitarnya.
Sedangkan Rakhmat (2000) menyatakan bahwa persepsi adalah
pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi berhubungan
dengan pemberian makna pada stimuli inderawi. Di dalam prosesnya, pemberian
makna terhadap informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga
atensi, ekspektasi, motivasi, dan memori.
Persepsi merujuk kepada cara kita menyadari benda-benda, manusia, dan
peristiwa-peristiwa. Penilaian meliputi semua cara kita menarik kesimpulan
mengenai apa yang telah diamati. Ada dua cara mempersepsi yang amat berlainan
yakni mengamati melalui indera (sensing) dan mengamati melalui perasaan
(intuiting) dan ada dua cara penilaian yang amat berlainan_penilaian melalui
pikiran (thinking) dan penilaian melalui perasaan (feeling). Bila orang berbeda
secara sistematis dalam cara mereka mempersepsi, masuk akal untuk
mempercayai bahwa mereka akan menunjukkan tipe gaya pengoperasian yang
berlainan pula.
35
Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan yang telah dikemukakan, maka
dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah hasil dari pengorganisasian dan
pengintegrasian terhadap stimulus-stimulus yang diterima oleh panca indera agar
dapat memberi arti terhadap lingkungan sekitar.
2.2. 2. Perubahan Persepsi
Menurut Sarwono (1992) persepsi itu bukan sesuatu yang statis, melainkan
bisa berubah-ubah. Proses perubahan pertama disebabkan oleh proses faal
(fisiologik) dari sistem syaraf pada indera-indera manusia. Jika suatu stimulus
tidak mengalami perubahan, misalnya, maka akan terjadi adaptasi atau habituasi,
yaitu respon terhadap stimulus itu makin lama makin lemah. Habituasi
menunjukkan kecenderungan faali dari reseptor yang menjadi kurang peka setelah
banyak menerima stimulus. Misalnya, jika seseorang mendekati tempat dimana
banyak timbunan sampah, maka mula-mula ia akan mencium bau busuk sampah
yang sangat menusuk sehingga reaksinya adalah menutup hidungnya. Akan tetapi,
setelah beberapa saat bau itu seolah-olah tidak tercium lagi. Dipihak lain, adaptasi
adalah berkurangnya perhatian jika stimulus muncul berkali-kali. Kalau seseorang
mendengar ketokan palu di ruang sebelah, mula-mula ia akan terkejut dan merasa
bising (di luar batas persepsi optimal). Akan tetapi, kalau ketokan-ketokan itu
berlangsung terus berkali-kali untuk jangka waktu lama, orang itu seakan-akan
tidak memperhatikannya lagi sehingga suara ketokan itu tidak mengganggunya
lagi (masuk dalam batas persepsi optimal karena terjadinya peningkatan ambang
toleransi). Dapat ditambahkan di sini, bahwa stimulus yang muncul secara teratur
lebih mudah diadaptasi daripada stimulus yang munculnya tidak teratur.
36
Proses perubahan kedua adalah proses psikologik. Proses perubahan
persepsi secara psikologik antara lain dijumpai dalam pembentukan dan
perubahan sikap. Pada umumnya sikap digambarkan sebagai kesiapan seseorang
untuk bereaksi secara tertentu terhadap suatu objek tertentu. Mc Guire
menyatakan sikap adalah respon manusia yang menempatkan objek yang
dipikirkan ( objects of thought) ke dalam suatu dimensi pertimbangan (dimention
of judgements).
Objek yang dipikirkan adalah segala sesuatu (benda, orang, hal, isu) yang
bisa dinilai oleh manusia. Dimensi pertimbangan adalah semua skala positif-
negatif seperti dari baik ke buruk, dari enak ke tidak enak dan seterusnya.
2.2.3. Pengertian Lingkungan Kerja Fisik
Banyak faktor yang mempengaruhi manusia dalam bekerja. Salah satu
faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang adalah lingkungan kerja fisik.
Nitisemito (1988) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai segala sesuatu
yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam
menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya pewarnaan, kebersihan,
pertukaran udara, penerangan, musik, keamanan, dan kebisingan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Lianto & Kurniawan (dalan Syafrika &
Suyasa, 2004) menyatakan bahwa lingkungan kerja adalah semua faktor atau hal
di tempat kerja yang bisa menimbulkan akibat kepada tenaga kerja.
37
Sedangkan menurut Munandar (2001), lingkungan kerja adalah keadaan
yang memberi kenyamanan atau ketidaknyamanan pada pekerja dalam
menyelesaikan pekerjaannya, seperti ruang kerja dengan peralatan tertentu serta
fasilitas yang digunakan.
Lingkungan kerja fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kinerja seorang karyawan. Seorang karyawan yang bekerja di lingkungan kerja
fisik yang mendukung dia untuk bekerja secara optimal akan menghasilkan
kinerja yang baik, sebaliknya jika seorang karyawan bekerja dalam lingkungan
kerja fisik yang tidak memadai dan mendukung dia untuk bekerja secara optimal
akan membuat karyawan yang bersangkutan menjadi malas, cepat lelah sehingga
kinerja karyawan tersebut akan rendah (Schultz & Sydney, 2006).
Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan lingkungan kerja fisik adalah segala sesuatu yang ada di
sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi performansi kerja seseorang.
2.2.4. Pengertian Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik
Persepsi tentang lingkungan kerja fisik merupakan proses psikologi yang
kompleks yang berhubungan dengan proses penginderaan, pengorganisasian, dan
proses interpretasi serta penilaian terhadap kondisi material.
Definisi persepsi tentang lingkungan kerja yang lebih teoritis dan
operasional dibuat oleh Gibson (dalam Bell, et.al., 1978) yang menyatakan bahwa
persepsi tentang lingkungan kerja adalah serangkaian hal dari lingkungan yang
38
dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi
dan memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan.
Karena itu, semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya
sebagai sesuatu yang sangat terasa mengganggu dan tidak nyaman, maka semakin
tinggi dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sebaliknya semakin
individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang tidak
terasa dan nyaman, maka menyebabkan gangguan baik pada fisik maupun psikis.
Dari pendapat di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi
terhadap lingkungan kerja fisik adalah hasil dari interpretasi atau pandangan
subjek mengenai segala sesuatu yang ada disekitar tempat kerja yang dapat
mempengaruhi performansi kerja subjek.
2.2.5. Jenis-jenis Lingkungan Kerja Fisik
Banyak hal-hal yang tercakup dalam lingkungan kerja fisik. Munandar
(2001) menyatakan bahwa lingkungan kerja fisik mencakup setiap hal yang ada di
sekitar tempat kerja dari fasilitas parkir di luar gedung perusahaan, lokasi, dan
rancangan gedung, suhu sampai jumlah cahaya dan suara yang menimpa meja
kerja atau ruang kerja seseorang. Jenis-jenis lingkungan kerja fisik lainnya akan
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut :
a. Suhu
Manusia menginderakan suhu di alam sekitarnya. Kondisi suhu di
lingkungan sekitar manusia atau di atmosfer dinamakan ambient temperature
39
(suhu lingkungan) (Sarwono, 1992). Kelembaban, arus udara, dengan jumlah,
ukuran, dan suhu dari obyek dan bahan yang ada di tempat kerja semuanya
mempengaruhi reaksi orang terhadap suhu udara. Perbedaan fisiologis masing-
masing orang dapat mempunyai pengaruh yang besar terhadap persepsi
kenyamanan. Karena begitu banyak variabel yang mempengaruhi persepsi
manusia mengenai suhu, maka salah satu bidang penelitian dalam aspek kondisi
kerja ini diarahkan untuk mendapatkan cara yang dapat diandalkan untuk
mengukur apa yang dinamakan suhu efektif. Suhu efektif adalah suhu yang
dirasakan (bukan suhu dari pembacaan termometer) (Jewell & Siegall, 1998).
Karena reaksi tubuh sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu tubuh
harus tetap sekitar 37° C. Jika suhu tubuh lebih rendah dari 25° C atau lebih tinggi
dari 55° C, orang akan mati. Karena itu dalam tubuh ada organ tertentu yang
bertugas mempertahankan suhu tubuh ini. Organ itu adalah hypothalamus. Kalau
suhu lingkungan meningkat, hypothalamus akan merangsang pembesaran pori-
pori kulit, percepatan peredaran darah, pengeluaran keringat, dan reaksi-reaksi
tubuh lain yang bertujuan untuk mengurangi panas tubuh yang berlebihan. Kalau
upaya reaksi tubuh gagal mempertahankan suhu tubuh, kemungkinan akan terjadi
hal-hal sebagai berikut;
1) Heat exhaustion: rasa lelah yang sangat kuat akibat panas disertai dengan rasa
mual, mau muntah, sakit kepala, dan gelisah.
2) Heat stroke: delirium (mengigau), koma (tidak sadar), dan akhirnya
meninggal dunia akibat otak terserang panas berlebihan.
40
3) Heat aesthenia: jenuh, sakit kepala, gelisah, mudah tersinggung, nafsu makan
kurang, dan tidak bisa tidur (insomnia) dengan sebab tidak jelas.
4) Serangan jantung: jantung bekerja terlalu kuat mengedarkan darah ke seluruh
tubuh untuk menurunkan suhu (Sarwono, 1992).
Senada dengan pendapat Sarwono, Shofwati & Satar (2009) menjelaskan
bahwa bekerja pada lingkungan yang panas dapat memberi dampak kepada
pekerja baik fisik maupun mentalnya, dampak-dampak tersebut antara lain:
1) Respon mental awal: meningkatnya iritasi, marah, agresi, perubahan suasana
hati dan depresi.
2) Respon fisik: meningkatnya aktifitas jantung, berkeringat, ketidakseimbangan
kandungan antara cairan dan garam dalam tubuh, dan perubahan aliran darah
di kulit.
3) Gabungan respon fisik dan mental: kurangnya efisiensi dalam menjalankan
tugas-tugas yang berat, tugas-tugas yang perlu keahlian dilakukan dengan
tidak baik, gampang lelah, kurangnya kosentrasi yang mengakibatkan
meningkatnya tingkat kesalahan.
Bell, Fisher, dan Loomis (1978) menyatakan bahwa efek dari suhu
lingkungan yang tinggi terhadap tingkah laku sosial adalah peningkatan
agresivitas. Pada tahun 1968 misalnya, US Riot Commision pernah melaporkan
bahwa dalam musim-musim panas, rangkaian kerusuhan dan agresivitas massa
lebih banyak terjadi di AS daripada musim-musim lain.
41
Selain itu, suhu yang ekstrim di tempat kerja sangat erat hubungannya
dengan dua faktor, yaitu sifat kerja yang dilakukan (kerja mental atau kerja
kognitif) dan lamanya seseorang mengalami suhu ekstrim tersebut (Jewell &
Siegall, 1998).
Beberapa penelitian lainnya mencoba menjajagi hubungan antara cuaca
panas dengan tingkah laku bermusuhan dan agresif. Baron & Lawton (dalam
Anastasi, 1993) menyuguhkan bukti bahwa bila kepada orang-orang ditunjukkan
suatu model yang agresif, maka mereka cenderung menampakkan rasa marah dan
tingkah laku agresif pada suhu yang panas daripada bila suhu itu sejuk.
Baron & Byrne (2005) juga menambahkan bahwa cuaca panas lebih dapat
mempengaruhi tingkah laku. Banyak fakta-fakta yang menunjukkan bahwa pada
saat suhu meningkat, respon negatif interpersonal meningkat dan respon positif
menurun. Sebagai contoh, data penelitian Anderson, dkk tentang mempelajari
suhu panas dan agresi; dari laboratorium sampai catatan polisi atas penyerangan
fisik. Dimana dalam penelitiannya mereka menghubungkan antara suhu dan
agresivitas menunjukkan bahwa kekerasan dan kriminalitas lebih sering terjadi
pada saat terjadinya peningkatan suhu.
b. Kebisingan
Lingkungan di sekitar manusia penuh dengan gelombang-gelombang
suara. Selama gelombang-gelombang suara itu tidak dirasakan mengganggu
manusia, maka namanya adalah bunyi (voice) atau suara (sound). Jika gelombang-
gelombang suara itu dirasakan sebagai gangguan, maka namanya adalah bising
42
atau berisik (noise). Dengan demikian, bising dapat didefinisikan secara
sederhana, yaitu bunyi yang tidak dikehendaki (Sarwono, 1992).
Kebisingan atau suara terdiri dari perubahan tekanan atmosfir yang relatif
kecil. Perubahan tersebut dideteksi oleh gendang pendengar dan dibawa ke sel-sel
rambut dalam telinga bagian dalam. Sel rambut ini mengkonversikan perubahan
tekanan menjadi pulse listrik yang dikirim ke otak. Otak ini kemudian dapat
memproses pulse listrik ini menjadi suara yang bermakna. Jumlah kerusakan yang
disebabkan oleh kebisingan tergantung pada jumlah energi yang diterima dari
waktu ke waktu (Shofwati &Satar, 2009).
Bising biasanya dianggap sebagai bunyi atau suara yang tidak diinginkan,
yang mengganggu, yang menjengkelkan. Bising dapat dipersepsikan berbeda
antara individu yang satu dengan individu yang lain. Suara sangat mengganggu
bagi satu orang, mungkin dirasakan tidak mengganggu bagi yang lain. Karena
bising itu tidak dikehendaki, sifatnya adalah subjektif dan psikologik. Subjektif
karena sangat bergantung pada orang yang bersangkutan. karena sifatnya yang
mengganggu itu, secara psikologik, bising adalah penimbul stress (Sarwono,
1992).
Satuan dasar untuk mengukur bising adalah desibel (db) yang secara teknis
mengukur tingkat tekanan suara. Satu desibel adalah besarnya tekanan suara di
tingkat ambang pendengaran (hearing threshold) pada frekuensi 1000 Hertz (=
1000 cycle per detik), yaitu tekanan minimal yang masih dapat kita dengarkan
sebagai bisikan lembut (Bell, et.al.,1978).
43
Lianto & Kurniawan (dalam Syafrika & Suyasa, 2004) jenis bising dapat
dikategorikan menjadi bising mantap dan bising tidak mantap. Bising mantap
dapat berupa;
a) Bising mantap tanpa nada diskrit, misalnya suara mesin AC, dan suara air
terjun
b) Bising mantap dengan nada diskrit, misalnya suara gergaji, mesin poles, dan
mesin turbo jet.
Bising tidak mantap dapat berupa;
a) Bising yang berfluktuasi, misalnya bising lalu-lintas kendaraan bermotor di
jalan raya.
b) Bising Intermittent, misalnya bising pesawat terbang, atau kereta api, atau
mobil yang lewat.
Menurut Sarwono (1992) kalau suara bising itu dapat diperkirakan
datangnya atau berbunyi secara teratur, kesan gangguan yang ditimbulkannya
akan lebih kecil daripada jika suara itu datang tiba-tiba atau tidak teratur.
Sependapat dengan Anastasi (1993) yang mengungkapkan bahwa bunyi yang
terdengar secara kontinu terasa kurang mengganggu daripada bunyi yang tidak
ajek.
Ada berbagai macam kombinasi kebisingan. Ada suara keras tetapi bisa
diperkirakan dan bisa dikontrol, ada suara tidak keras tetapi tiba-tiba dan tidak
bisa dikontrol, dan sebagainya. Akan tetapi, yang paling mengganggu adalah yang
44
keras tiba-tiba atau tak teratur dan tak terkontrol. Tidak adanya kendali pada
kebisingan ini menimbulkan stres yang jika berlangsung lama pada akhirnya bisa
menimbulkan reaksi learned helplessness (ketidakberdayaan yang dipelajari).
Artinya, orang menjadi tidak berdaya dan membiarkan saja bising itu walaupun
stresnya bertambah besar (Sarwono, 1992).
Ciri-ciri bising yang lain dan memiliki potensi mengganggu ialah
kekenalan, nada, dan keharusan adanya bising pada pekerjaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bunyi-bunyi yang tidak dikenal lebih mengganggu daripada
bunyi-bunyi yang telah dikenal. Nada yang sangat tinggi dan nada yang sangat
rendah lebih mengganggu dan menjengkelkan daripada nada-nada dari rentang
tengah. Bunyi menjadi kurang mengganggu jika merupakan bagian dari pekerjaan
yang dilakukan. Pekerja yang harus menggunakan gergaji listrik dalam
pekerjaannya tidak merasa terganggu oleh suara alat gergajinya dibandingkan
dengat para pekerja lain yang bekerja di dekatnya yang melakukan pekerjaan lain
(Munandar, 2001).
Menurut Munandar (2001) dalam kehidupan sekarang ini bising
merupakan keluhan yang banyak didengar. Orang merasa kebisingan oleh
banyaknya suara yang ditimbulkan oleh ramainya lalu-lintas, suara mesin, dan
sebagainya. Bising dalam lingkungan demikian membuat kita mudah marah,
gelisah, tidak bisa tidur, bahkan dapat membuat kita menjadi tuna rungu. Akibat-
akibat lain dari tingkat bising yang tinggi adalah:
45
a) Timbulnya perubahan fisiologis. Penelitian menunjukkan bahwa pada orang-
orang yang mendengar bising pada tingkat 95-110 desibel, terjadi penciutan
dari pembuluh darah, perubahan detak jantung, dilatasi dari pupil-pupil mata.
Penyempitan dari pembuluh darah tetap berlangsung beberapa waktu setelah
tidak ada bising lagi dan mengubah persediaan darah untuk seluruh tubuh.
Satu paparan (exposure) yang bersinambung terhadap bising yang keras dapat
meningkatkan tekanan darah dan dapat mengakibatkan sakit jantung. Bising
yang keras juga meningkatkan ketegangan otot.
b) Adanya dampak psikologis. Bising dapat mengganggu kesejahteraan
emosional. Mereka yang bekerja pada lingkungan yang ekstrim bising lebih
agresif, penuh curiga, dan cepat jengkel dibandingkan dengan mereka yang
bekerja dalam lingkungan yang lebih sepi.
Selain itu, Shofwati & Satar (2009) memaparkan dampak dari kebisingan
yang tinggi dan kebisingan yang rendah, antara lain:
a) Efek paparan kebisingan tinggi: penurunan kemampuan mendengar, naiknya
tekanan darah, peningkatan denyut jantung, stres sehingga lekas marah, sakit
kepala, depresi, dan mengurangi konsentrasi,
b) Efek paparan kebisingan rendah: stres, lekas marah, sakit kepala, moody,
insomnia, gangguan reaksi psikomotorik, kehilangan konsentrasi,
terganggunya komunikasi.
Hal senada juga diungkapkan oleh Cohen (dalam Bell, et.al., 1978) bahwa
paparan kebisingan yang tinggi dapat menyebabkan sakit kepala, menimbulkan
46
rasa muak, ketidakstabilan, kecemasan,dan perubahan mood. Munandar (2001)
menambahkan paparan (exposure) terhadap bising berkaitan dengan rasa lelah,
sakit kepala, lekas tersinggung, dan ketidakmampuan untuk berkosentrasi. Akibat
paparan terhadap bising dalam bentuk perilaku, misalnya penurunan unjuk
kerja/produktivitas, terjadinya kecelakaan, penurunan perilaku membantu,
bersikap lebih negatif terhadap orang lain, rasa bermusuhan yang lebih terbuka,
dan agresi terbuka. Dengan demikian, suara gaduh sangat berpengaruh pada emosi
karyawan dan sebagai sumber stres. Sementara Glass & Singer (dalam Bell, et.al.,
1978) menyatakan bahwa suara gaduh berpengaruh terhadap efisiensi produksi
kerja. Namun, efek dari bunyi terasa mulai mengganggu apabila individu tidak
dapat mengendalikan bunyi.
c. Vibrasi
Shofwati & Satar ( 2009), menyatakan bahwa vibrasi merupakan getaran
yang beralih dari benda-benda fisik ke tubuh seseorang yang dapat menyebabkan
resiko kesehatan seperti sistem tubuh baik psikomotor, fisiologis, dan psikologis.
Hal senada juga diungkapkan oleh Munandar (2001) bahwasanya vibrasi
atau getaran yang beralih dari benda-benda fisik ke badan dapat memberi
pengaruh yang tidak baik pada unjuk kerja. Dalam penelitian dari Sutherland dan
Cooper ditemukan bahwa kondisi kerja yang tidak menyenangkan karena adanya
getaran dinilai sebagai pembangkit stres oleh 37% pekerja.
47
Menurut Shofwati & Satar (2009), dengan periode waktu yang singkat
terpapar getaran dengan frekuensi antara 2-20 Hz pada 1m/sec2, seseorang dapat
merasakan beberapa gejala yaitu antara lain;
1. Abdominal pain
2. Perasaan ketidaknyamanan seperti sakit kepala
3. Dada sakit
4. Nausea
5. Hilangnya keseimbangan
6. Kontraksi otot dengan penurunan kinerja di tempat kerja
7. Sesak nafas
8. Pengaruh pada bicara
Dengan demikian, sebagian dari getaran-getaran tersebut sampai ke tubuh
dan dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan pada tubuh, yaitu
dapat mempengaruhi konsentrasi kerja, mempercepat datangnya kelelahan serta
gangguan-gangguan pada anggota tubuh seperti mata, syaraf, otot, dan
sebagainya.
d. Polusi
Polusi disebabkan oleh berbagai macam aktivitas manusia, seperti
mengendarai mobil, pembakaran batu bara, rokok, dan sebagainya, yang
48
menyebabkan udara mengalami peningkatan jumlah partikel dan gas yang dapat
menimbulkan efek negatif bagi manusia. Gas-gas dan uap yang ada di sekitar
tubuh akan diserap oleh tubuh lewat pernafasan dan dapat mempengaruhi
berbagai fungsi jaringan tubuh, sehingga dapat menyebabkan masalah kesehatan,
seperti; gangguan penglihatan, pendengaran, ingatan, Parkinson, epilepsi, sakit
kepala, kelelahan, insomnia, depresi, dan gangguan psikotik lainnya. Adapun
keadaan tersebut lebih banyak disebabkan oleh tingginya polutan yang berupa CO
(Karbon Monoksida) (Bell, et.al., 1978). Selain itu, polusi udara juga dapat
mempengaruhi performansi kerja seseorang. Sebagaimana penelitian yang
dilakukan oleh Beard & Wertheim (dalam Bell, et.al., 1978) menjelaskan bahwa
seseorang yang terkonsentrasi CO (Karbon Monoksida) pada 50 ppm – 250 ppm
akan berpengaruh terhadap performansi kerja mereka. Polusi udara juga dapat
mempengaruhi kegiatan sosial dan menimbulkan perilaku agresif.
Dengan demikian, dari berbagai penelitian menyatakan bahwa polusi
udara seperti karbon monoksida dapat menurunkan tingkat konsentrasi, koordinasi
sensorimotor, memori, agresi, dan kemampuan memecahkan masalah.
e. Kebersihan (Hygiene)
Lianto & Kurniawan (dalam Syafrika dan Suyasa, 2004) mengemukakan
bahwa suatu lingkungan kerja yang bersih akan membuat seseorang bekerja
dengan senang dan lebih bersemangat.
49
Sementara lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit
stres bagi pekerja sehingga dapat mempengaruhi performansi kerja seseorang
(Munandar, 2001).
2.3. Kepribadian
2.3.1 Pengertian Kepribadian
Banyak faktor yang mempengaruhi manusia dalam bekerja. Salah satu
faktor yang mempengaruhi adalah kepribadian.
Allport (1960) mengungkapkan kepribadian sebagai“the dynamic
organization within the individual of those psychophysical systems that determine
his characteristic behavior and thought”. Bahwa kepribadian adalah sebuah
organisasi dinamis di dalam sistem psikis dan fisik individu yang menentukan
karakteristik perilaku dan pikirannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh McCurdy (dikutip dalam Sarwono,
2003) kepribadian adalah integrasi interes-interes yang menyebabkan individu
yang bersangkutan cenderung untuk bertingkah laku tertentu.
Sementara Larsen & Buss (2005) menjelaskan bahwasanya kepribadian
merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu dan relatif menetap dan
mempengaruhi individu dalam berinteraksi, beradaptasi dengan orang lain dan
lingkungan sosialnya baik secara fisik maupun psikis.
Sependapat dengan Larsen & Buss, Steven & Mary (2005) menyatakan
bahwasanya kepribadian merupakan pola perilaku yang relatif stabil sepanjang
50
waktu dan memberikan pola perilaku yang konsisten pada individu di dalam
menjelaskan kecenderungan perilaku seseorang.
Jadi, berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa kepribadian adalah suatu kesatuan komponen dalam individu yang khas
yang merupakan peramalan dalam menentukan perilaku seseorang ketika
mengahadapi medan hidupnya.
2.3.2 Pola Perilaku Kerpribadian Tipe A & Tipe B
Pada tahun 1950-an, dua orang dokter peneliti penyakit jantung, Friedman
dan Rosenman mengembangkan suatu pendekatan untuk meramalkan munculnya
penyakit jantung pada manusia, yaitu dengan cara melihat reaksi-reaksi tingkah
laku individu terhadap rangsangan lingkungan. Ditemukan bahwa faktor-faktor
beresiko terhadap penyakit jantung koroner seperti kolesterol, tekanan darah, dan
keturunan tidak dapat meramalkan terjadinya penyakit jantung koroner. Menurut
mereka ada faktor-faktor lain yang mempunyai peran penting dalam penyakit
jantung koroner. Dengan mewawancarai dan mengamati para pasien, mereka
menemukan suatu ciri-ciri khas atau pola perilaku tertentu. Dengan adanya
perbedaan yang signifikan dalam segi perilaku dan emosi pada orang yang
menderita penyakit jantung dengan orang yang tidak memiliki penyakit jantung.
Mereka mengatakan bahwa individu yang menderita penyakit jantung
memperlihatkan suatu gaya perilaku yang disebutnya TABP (Type A Behavior
Pattern) dibandingkan dengan orang yang tidak menderita penyakit jantung. Type
A Behavior Pattern (TABP) diartikan sebagai :
51
“An action-emotion complex that can be observed in any person who is aggressively involved in a chronic, incessant struggle to achieve and more in less time, and if required to do so, against the opposing efforts of other person ” (Friedman dan Rosenman dalam Rice, 2000).
Friedman dan Rosenman (dalam Mischel, 2004) menandai perilaku tipe A
menjadi tiga karakteristik. Ketiga karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:
1. Competitive Achievment Striving (Dorongan kuat untuk bersaing)
Individu dengan kepribadian tipe A memiliki sifat kompetitif atau
memiliki orientasi bersaing yang kuat. Individu tipe ini kemungkinan banyak
terlibat dalam banyak kegiatan, mempunyai banyak komunitas, dan sangat
bertanggung jawab atas tugas mereka sehingga seringkali aspek lain terabaikan
(Friedman dan Rosenman, dalam Mischel, 2004). Mereka memiliki
kesungguhan usaha dengan dorongan tinggi untuk mengerjakan sesuatu lebih
dari apa yang dikerjakan orang lain atau ambisius dan juga memiliki kebutuhan
untuk menguasai situasi (Larsen & Buss, 2005) dan merasa khawatir akan
statusnya, karena mereka cenderung memiliki self-esteem yang tinggi (Schultz
& Sydney, 2006).
2. Exaggerated Sense Time Urgency (Perasaan diburu waktu)
Individu dengan kepribadian tipe A memiliki sifat yang tidak sabaran dan
mudah jengkel atau marah jika terjadi keterlambatan dan melihat orang lain
melakukan sesuatu secara lamban atau terhadap situasi yang dianggap dapat
menghambat dirinya (Friedman dan Rosenman, dalam Mischel, 2004). Waktu
merupakan sesuatu yang penting sehingga mereka melakukan sesuatu dengan
52
cepat dan mereka cenderung melakukan banyak hal dalam jumlah waktu yang
sedikit. Seringkali meraka melakukan dua kegiatan dalam satu waktu atau pada
saat yang bersamaan, seperti makan sambil membaca buku (Larsen & Buss,
2005).
3. Aggressiveness and Hostility (Sifat agresif dan perasaan bermusuhan)
Individu dengan kepribadian tipe A pada umumnya tidak terlalu agresif
daripada orang lain, akan tetapi mereka bisa menjadi lebih agresif ketika
mereka berada dalam keadaan yang dapat mengancam kekuasaan atau tugas
mereka, seperti, adanya kritikan atau desakan waktu (Friedman dan Rosenman,
dalam Mischel, 2004). Mereka juga memiliki hostility yang lebih tinggi
dibandingkan individu dengan kepribadian tipe B. Hostility diartikan sebagai
kecenderungan untuk merespon frustasi yang dirasakan oleh individu dalam
usaha mencapai tujuan dengan kemarahan, agresivitas. Keadaan frustasi ini
membuat mereka bertindak tidak ramah atau berbuat jahat (Larsen & Buss,
2005).
Friedman dan Rosenman (dalam Rice, 1999) menyebutkan ciri-ciri
individu dengan kepribadian tipe A sebagai berikut:
a) Senang bekerja keras, terus menerus berusaha dalam berpikir ataupun
menyelesaikan tugas sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin,
tidak suka menganggur atau bersalah jika santai, serta tidak senang dengan
tugas atau sesuatu yang relatif mengulang.
53
b) Agresif, berambisi, dan memiliki daya saing yang kuat. Namun, ambisi
mereka seringkali disertai dengan rasa permusuhan.
c) Berbicara secara eksplosif atau meledak-ledak, suka menyuruh orang lain
untuk dapat menyelesaikan apa yang dikatakannya.
d) Tidak sabar menghadapi orang atau situasi yang dianggap menghambat
dirinya.
e) Selalu berorientasi pada tugas atau kegiatan, selalu menetapkan target atau
tujuan serta batasan waktu sehingga terus-menerus merasa dikejar oleh
waktu. Fungsi mental dan fisik bekerja dengan cepat sehingga dalam
melakukan apapun cenderung tergesa-gesa.
f) Selalu berusaha keras untuk melawan orang, barang, atau kejadian yang
menghambatnya atau menentangnya.
g) Memiliki acuan keberhasilan yang tinggi dan akan berusaha mendapatkan
penghargaan.
h) Seringkali tidak menyangka bahwa perasaan tertekan atau stress yang
dialaminya merupakan akibat dari perilakunya sendiri dan bukan akibat dari
lingkungan.
Pola kepribadian tipe B meliputi orang-orang yang mempunyai gaya
perilaku yang berlawanan dengan kepribadian tipe A. Kepribadian tipe B
memiliki sifat yang santai (rileks), sabar, tenang, tanpa adanya perasaan bersalah
atau khawatir jika tidak melakukan sesuatu, dan tidak merasa tertekan dengan
54
batasan waktu. Individu dengan kepribadian tipe B tidak terburu-buru oleh waktu,
tidak mudah marah, berbicara dan bersikap dengan lebih tenang (Smet, 1994).
Individu dengan kepribadian tipe B pada umumnya lebih bersifat tidak ingin
repot-repot (easy going), kurang kompetitif, tenang, dan jarang merasa terganggu
dan mengalami stres (Morgan, 1986). Individu dengan kepribadian tipe B mampu
menahan diri, pasif, jarang bersikap tidak sabar, dan tidak mudah
mengembangkan gangguan-gangguan yang berkaitan dengan stres.
Individu dengan kepribadian tipe B jarang menciptakan stres bagi dirinya
sendiri, hal ini berbeda dengan kepribadian tipe A. hal ini terlihat dari adanya sifat
kompetitif yang kuat di dalam kepribadian tipe A dan sifat ini dapat membuat diri
mereka di bawah tekanan yang banyak serta adanya ketidakramahan yang dapat
memancing banyak konflik dengan orang lain. Smith (dalam Weiten dan Lyod,
1997) mengatakan bahwa individu yang memiliki ketidakramahan yang tinggi
akan banyak mendapatkan masalah, kejadian yang negatif, lebih banyak konflik
dalam perkawinan mereka, dan lebih besar stres yang mereka rasakan
dibandingkan dengan individu yang tingkat hostilenya rendah.
2.4. Polisi Lalu Lintas
2.4.1. Pengertian Polisi Lalu-Lintas (Polantas)
Menurut Momo (dalam Gaussyah, 2003) mengemukakan bahwa istilah
polisi pada mulanya berasal dari perkataan Yunani “Politeia”, yang berarti seluruh
pemerintahan Negara kota. Istilah polisi dipakai untuk menyebut bagian dari
55
pemerintahan dan masih dalam arti yang luas, yang meliputi semua pemeliharaan
obyek-obyek kemakmuran dan kesejahteraan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan polisi
adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban
umum atau menangkap orang yang melanggar undang-undang.
Jadi, Polisi Lalu Lintas (Polantas) adalah badan pemerintah yang bertugas
memelihara keamanan dan keselamatan lalu lintas.
2.4.2. Tugas dan Fungsi Polisi Lalu Lintas
Menurut Karyadi (dalam Yungki, 1995) tugas Polisi Lalu Lintas meliputi
segala usaha, pekerjaan dan kegiatan mengenai pendidikan, pelaksanaan dan
penegakan peraturan di bidang keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di
jalan umum.
Di dalam salah satu tugas dan fungsinya, disebutkan bahwa Polri berusaha
mencegah serta meniadakan gangguan, hambatan, dan ancaman di bidang lalu
lintas agar terjamin keamanan, ketertiban, serta kelancaran lalu-lintas di jalan
umum. Adapun tugas Polri Lalu lintas di jalan adalah sebagai berikut;
1. Mengintensifkan dan memantapkan kewaspadaan, kesiapan, serta ketanggap-
segeraan operasional dalam menghadapi berbagai bentuk ancaman dibidang
Kambticar Lantas guna;
Meningkatkan kadar stabilitas Kamtibcar lantas yang mantap dan
dinamis.
56
Mengamankan dan mensukseskan pembangunan nasional di bidang
lalu lintas.
Mewujudkan partisipasi masyarakat dalam rangka pembinaan
Kamtibcar Lantas.
2. Melaksanakan deteksi dini terhadap setiap kemungkinan timbulnya keresahan
masyarakat pemakai jalan yang mengarah kepada gangguan masyarakat pada
umumnya.
3. Mengadakan penelitian terhadap faktor korelatif masalah lalu lintas terutama
yang bersumber pada masalah manusia, jalan, kendaraan, maupun lingkungan.
4. Menanggulagi setiap bentuk gangguan Kamtibcar terutama yang berhubungan
dengan kemacetan, pelanggaran, dan kecelakaan lalu lintas.
5. Melaksanakan koordinasi lintas sektoral di bidang lalu lintas.
6. Memberikan pelayanan kepada masyarakat dibidang pemberian SIM, STNK
dan BPKB yang sekaligus sebagai sarana registrasi dan identifikasi bagi Polri
dalam menjamin keamanan dan perlindungan dari berbagai bentuk
kriminalitas.
Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut di atas, Polri berfungsi sebagai
berikut;
1. Penegakkan Hukum Lalu lintas
a. Penegakkan hukum bidang preventif
Pengaturan lalu-lintas
Penjagaan lalu-lintas
Dan patroli lalu lintas
57
b. Penegakkan hukum lalu-lintas bidang represif
Penindakan pelanggaran (tilang) lalu lintas
Penyidikan kecelakaan lalu lintas
Bukti pelanggaran lalu lintas tertentu
Pengadaan fasilitas surat-surat kelengkapan pengendara kendaraan
bermotor.
2. Pendidikan Masyarakat tentang Lalu lintas
Pendidikan masyarakat tentang lalu lintas adalah segala kegiatan yang
meliputi segala usaha untuk menumbuhkan pengertian, dukungan dan pengikut
sertaan masyarakat aktif dalam usaha menciptakan Kamtibcar.
3. Police Traffic Engineering
Police Trafic Engineering adalah segala kegiatan yang meliputi
penyelidikan atau penelitian terhadap faktor penyebab gangguan, hambatan
Kamtibcar Lantas serta memberikan sasaran-sasaran berupa langkah-langkah
perbaikan, penanggulangan dan pengembangan kepada instansi-instansi yang
berhubungan dengan masalah lalu lintas jalan.
4. Registrasi/ identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor.
2.5. Kerangka Berpikir
Tindakan agresi polisi bukanlah hal yang baru. Fenomena ini banyak
terjadi, namun hal ini kurang mendapatkan perhatian dari institusi Kepolisian dan
pemerintah. Tindakan agresi yang dilakukan biasanya dilakukan oleh polisi
58
terhadap masyarakat sipil. Perilaku ini tidak terlepas dari penggabungan Polri
dengan TNI di masa lalu. Dimana watak represif-militeristik polisi di masa lalu
masih melekat. Padahal sebelumnya, muncul harapan baru dari rakyat bahwa
polisi akan berubah menjadi sosok baru, sosok yang humanis ketika
dideklarasikan lepas dari ABRI/TNI tahun 2000. Upaya pemisahan Polisi dari
ABRI /TNI ini seharusnya membawa konsekuensi di mana polisi bukan lagi
institusi militer, melainkan merupakan institusi sipil. Sejalan dengan itu, institusi
Polri dan juga aparatnya harus meninggalkan sifat-sifat militeristik yang selama
ini dilakukan. Namun, tuntutan ini nampaknya belum disadari betul sebagai satu
keharusan dan sekaligus kebutuhan yang menjadi penting untuk dilakukan
(Mabruri, 2008).
Karena itu, menjadi aneh bila polisi yang sudah memiliki Prosedur Tetap
(Protap) namun masih terjadi tindakan agresi polisi. Hal ini menjadi pertanyaan
apakah Protap yang salah, ataukah ada faktor lain yang mempengaruhi agresivitas
polisi?
Pada dasarnya agresivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1)
frustasi (Baron & Byrne, 2005), 2) provokasi (Baron & Byrne, 2005), 3) efek
senjata (Krahe, 2005), 4) kekerasan di media (Baron & Byrne, 2005), 5) alkohol,
obat-obatan (Baron & Byrne, 2005), 6) temperatur (Baron & Byrne, 2005) , 7)
kesesakan (Krahe, 2005), 8) polusi udara (Berkowitz, 1995), 9) kebisingan
(Krahe, 2005), 10) kepribadian (Baron & Byrne, 2005) , 11) hormon (Sarwono,
2002),12) gender (Baron & Byrne, 2005), dan 13) harga diri (Sarwono, 2002).
59
Alasan yang melatarbelakangi tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
polisi ini pada dasarnya kurang diperhitungkan. Berbagai macam alasan
dikemukakan oleh para pelaku kekerasan agar tindakan mereka dapat diterima,
sebagaimana yang diungkapkan oleh Jenderal Da'i Bachtiar (dalam Al Araf, 2008)
“bahwa masih banyaknya polisi yang menjalankan tugas menggunakan cara-cara
militer (militeristik), salah satunya dikarenakan oleh dampak dari penggabungan
Polri dengan TNI di masa lalu”, sampai merupakan inti dari pekerjaan
kepolisian/budaya kerja kepolisian. Alasan lain dari pelaku kekerasan menurut
hasil penelitian Tongat (1997) bahwa kelemahan polisi di dalam memberikan
pelayanan terbaiknya kepada masyarakat disebabkan karena keterbatasan sarana
dan prasarana yang mendukung tugas-tugas Kepolisian. Kemudian hasil penelitian
ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Yuntho (2008) yang
mengemukakan bahwa faktor munculnya perilaku kekerasan (tindakan agresi)
yang dilakukan oleh oknum polisi, salah satunya disebabkan karena selain tingkat
ancaman dari lingkungan kerja fisik dan resiko pekerjaan sangat tinggi, polisi
bekerja selama 24 jam per hari dan tujuh hari dalam seminggu tanpa mengenal
cuaca.
Dengan demikian, kekerasan yang banyak terjadi dikalangan polisi
kemungkinan besar dilakukan karena adanya faktor lingkungan kerja fisik mereka
yang buruk. Di mana faktor lingkungan ini merupakan salah satu dari variabel
situasi yang dapat mempengaruhi persepsi dan tingkah laku seseorang.
Lingkungan kerja yang baik, aman, bersih, dan sehat akan membuat individu
merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
60
kepadanya. Seorang karyawan yang bekerja di lingkungan kerja fisik yang
mendukung dia untuk bekerja secara optimal akan menghasilkan kinerja yang
baik, sebaliknya jika seorang karyawan bekerja dalam lingkungan kerja fisik yang
tidak memadai dan mendukung dia untuk bekerja secara optimal akan membuat
karyawan yang bersangkutan menjadi malas, cepat lelah sehingga kinerja
karyawan tersebut akan rendah. Namun, seberapa jauh akibat yang akan
ditimbulkan oleh kondisi kerja tergantung pada bagaimana cara individu
mempersepsikannya.
Jika karyawan mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu
yang tidak terasa dan nyaman (persepsi itu berada dalam batas-batas optimal),
maka menyebabkan gangguan baik pada fisik maupun psikis, maka karyawan
dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang.
Keadaan ini biasanya ingin dipertahankan oleh karyawan karena menimbulkan
perasaan-perasaan yang paling menyenangkan. Sebaliknya, jika objek-objek yang
di sekitar lingkungan dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal (terlalu
panas, terlalu bising, kurang dingin, dan sebagainya) maka karyawan akan
mengalami stres. Bahkan pada suatu titik akan terjadi gangguan mental yang lebih
serius, dan ini bisa membuat karyawan yang bersangkutan menjadi malas, cepat
lelah, keputusasaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, menurunnya prestasi
sampai pada titik terendah, sehingga kinerja karyawan tersebut akan rendah, dan
tidak menutup kemungkinan untuk melakukan tindakan agresi. Unsur perasaan
memang memiliki peranan yang besar sekali dalam menentukan sikap (Kartono,
2002).
61
Kegelisahan dan rasa ketidaknyamanan dari persepsi tentang lingkungan
kerja yang dihasilkan inilah yang mendorong seorang Polantas untuk melakukan
tindakan yang tidak berarti (perifer) dan yang tidak dapat diterima secara sosial,
maksudnya adalah melakukan tindakan agresi.
Dengan demikian, semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja
fisiknya sebagai sesuatu yang sangat terasa mengganggu dan tidak nyaman, maka
semakin tinggi dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sebaliknya
semakin individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang
tidak terasa mengganggu dan nyaman, maka menyebabkan gangguan baik pada
fisik maupun psikis.
Kepribadian merupakan salah satu variabel person (variabel masukan)
yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku agresif. Selain itu, kepribadian ini
dapat mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi di dalam
memori yang dapat mempengaruhi cognition, affect, dan arousal yang dapat
mempengaruhi hasil akhir tingkah laku. Variabel person (kepribadian) dapat
mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di
dalam memori. Di dalam memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan
pikiran, agresi, emosi, dan kecenderungan untuk bertingkah laku (Carnagey &
Anderson, 2004). Dengan demikian individu yang memiliki sifat agresif hanya
akan membutuhkan sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi,
sehingga konsep-konsep agresi tersebut menjadi semakin mudah untuk diakses di
lain waktu.
62
Bushman (dalam Carnagey & Anderson, 2004), menyatakan bahwa
terdapat perbedaan individual dalam merespon stimulus agresif dan ambigu yang
disebabkan karena adanya perbedaan individu dalam struktur memorinya.
Menurut Bushman, hal ini disebabkan karena individu yang memiliki sifat agresif
yang tinggi memiliki jaringan asosiatif kognitif tentang agresi yang lebih banyak
dan lebih berkembang daripada individu yang memiliki sifat agresif rendah.
Perbedaan jaringan asosiatif ini menyebabkan individu dengan sifat agresif tinggi
lebih cepat mengakses konsep-konsep agresi, yang dapat dengan mudah
teraktivasi dengan hanya adanya sedikit situasi yang tidak menyenangkan. Selain
itu juga, individu dengan sifat agresif tinggi dapat menginterpretasi hal-hal yang
ambigu menjadi terasosiasi dengan konsep agresi dibandingkan dengan individu
yang memiliki sifat agresif rendah. Maksudnya adalah individu dengan sifat
agresif tinggi akan mengartikan hal-hal yang belum pasti berhubungan dengan
agresi, menjadi terkait dengan konsep-konsep agresi yang dipunyainya.
Ciri-ciri kepribadian yang dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya
perilaku agresif banyak macamnya, salah satunya adalah kepribadian tipe A. Dari
beberapa teori tentang kepribadian tipe A didapat bahwa kepribadian tipe A
adalah individu yang mempunyai kecenderungan giat bekerja, suka menuntut,
agresif, ambisi, orientasi bersaing kuat, berbicara eksploratif, tidak sabar, mudah
tersinggung, mudah marah, berjuang keras melawan orang lain (Friedman dan
Rosenman dalam Rice, 1999).
Kepribadian tipe A tampaknya bila dikaitkan dengan agresivitas Polisi lalu
lintas ada pengaruh implikasi yang nyata. Disebabkan kepribadian tipe A lebih
63
tidak tahan terhadap tekanan-tekanan yang muncul. Mereka cenderung lebih
mudah tersinggung dan mudah marah, sehingga hal itu bisa memancing mereka
untuk melakukan tindakan agresi. Sebaliknya, kepribadian tipe B lebih tahan
terhadap tekanan-tekanan yang muncul. Mereka cenderung lebih mampu menahan
diri, sabar, dan berbicara secara lembut.
Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan melalui kerangka berpikir di
bawah ini;
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Pengaruh Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Tipe Kepribadian terhadap Agresivitas Polisi Lalu-lintas
Persepsi tentang
Lingkungan Kerja Fisik Agresivitas
Tipe Kepribadian
2.6. Hipotesis
Hipotesis alternatif (Ha):
Ha1 : Ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja
fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas
Polisi lalu-lintas?
Hipotesis nihil (Ho):
Ho1 : Tidak ada pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan
kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas
Polisi lalu-lintas?
64
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini, yang hendak diteliti adalah apakah ada pengaruh dari
masing-masing variabel independen (persepsi tentang lingkungan kerja fsisik dan
tipe kepribadian) terhadap Agresivitas. Oleh karena itu, pendekatan yang
digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut adalah pendekatan
kuantitatif, dimana temuan penelitian merupakan hasil kesimpulan statistik beserta
analisisnya.
3.2. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel
3.2.1. Populasi Penelitian
Populasi adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki
karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti (Sevilla, 1993). Populasi
dalam penelitian ini adalah anggota Sat. Patwal (Satuan Patroli dan Wilayah) di
Kepolisian Polda Metro Jaya yang berjumlah 350 orang.
3.2.2. Sampel Penelitian
Sedangkan sampel adalah himpunan atau elemen yang akan diteliti dan
dianggap dapat menggambarkan populasinya (Sevilla, 1993). Adapun
karakteristik sampel yang akan diambil adalah :
65
1. Polisi lalu-lintas di Kepolisian Polda Metro Jaya pada bagian Sat. Patwal
(Satuan Patroli dan Kawal) dengan alasan karena waktu mereka banyak
dihabiskan di lapangan atau di jalan raya.
2. Masih aktif bertugas saat pengambilan sampel berlangsung.
Dengan mempertimbangkan pada kenyataan akan besarnya jumlah populasi
yang akan diteliti dan adanya berbagai keterbatasan dalam pelaksanaan penelitian,
maka dalam menentukan jumlah responden dalam penelitian ini berjumlah 100
orang. Hal ini didasarkan pada pendapat Gay ( Dalam Sevilla, 1993) menawarkan
ukuran minimum yang dapat diterima adalah 30 subjek. Semakin besar jumlah
sampel maka kemungkinan terpilihnya sampel menyimpang akan lebih kecil.
Selain itu, jika jumlah sampel cukup besar, maka distribusi frekuensi akan lebih
mendekati normal.
3.2.3. Teknik Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang digunakan di dalam penelitian ini adalah
non-acak atau non-probability sampling dimana semua anggota atau subyek
penelitian tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel,
dimana pengambilan sampel didasarkan pada hal-hal tertentu yang dikenakan ke
dalam sub kelompok (Sevilla, 1993). Sedangkan teknik pengambilan sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sampel purposive yaitu suatu teknik
pengambilan sampel yang digunakan oleh seorang peneliti jika peneliti memiliki
pertimbangan-pertimbangan tertentu di dalam pengambilan sampelnya (Sevilla,
1993).
66
3.3. Variabel Penelitian
3.3.1 Identifikasi Variabel Penelitian
Menurut Kerlinger (1990) variabel ialah sesuatu yang nilainya berubah-
ubah atau berbeda-beda. Nilai karakteristik suatu elemen merupakan nilai variabel
dan biasanya menunjukkan suatu variabel dipergunakan bilangan atau nilai (X, Y,
Z).
Dalam penelitian ini terdiri dari 3 variabel, yaitu independen variabel atau
variabel bebas terdiri dari 2 (variabel) dan dependen variabel atau variabel terikat
terdiri dari 1 (variabel).
Independent variabel (variabel bebas) :
Persepsi lingkungan kerja fisik (X 1).
Tipe kepribadian (X2).
Dependent variabel :
Agresivitas (Y).
3.3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel bebas (IV)
Variabel bebas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi tentang
lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian.
67
b. Definisi Operasional Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik (X1)
Persepsi tentang lingkungan kerja fisik adalah skor yang diperoleh dari
skala yang mengungkap persepsi tentang lingkungan kerja fisik, yang diukur
melalui 5 komponen, seperti yang diungkapkan Munandar (2001) yaitu: (a)
suhu, (b) kebisingan, (c) vibrasi atau getaran, (d) polusi, dan (e) hygiene atau
kebersihan.
b. Definisi Operasional Tipe Kepribadian (X2)
Tipe kepribadian adalah skor yang diperoleh melalui pengembangan
instrument, menggunakan skala dikotomi dengan tipe jawaban “Ya” dan
“Tidak” yang diukur melalui karakteristik yang diungkapkan oleh Friedman
dan Rosenman (dalam Rice, 1999), yaitu kompetitif, ambisius, tanggung
jawab, pekerja keras, tergesa-gesa/terburu-buru, tidak sabar, sinisme,
kemarahan dan agresi.
Variabel Terikat (DV)
Variabel terikat adalah objek dari suatu studi atau penelitian, variabel
terikat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah agresivitas.
a. Definisi Operasional Agresivitas (Y)
Agresivitas adalah skor yang diperoleh dari skala yang mengungkap
serangkaian perilaku agresif, yang diukur melalui 2 komponen perilaku yang
diungkapkan oleh Berkowitz (1995) yaitu agresi yang dilakukan secara langsung
baik fisik maupun verbal.
68
3.4. Pengumpulan Data
3.4.1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah kuesioner atau angket.
Sedangkan instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala,
dimana skala adalah suatu perangkat simbol atau angka-angka yang ditetapkan
menurut aturan individu atau tingkah laku mereka (Kerlinger, dikutip oleh Sevilla,
1993). Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan 3 macam skala yaitu Skala
Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik, Skala Tipe Kepribadian, dan Skala
Agresivitas Polantas. Seluruh item dalam kuesioner ini berjumlah 161 item, 41
item mewakili persepsi tentang lingkungan kerja fisik dari teori Munandar (2001),
55 item mewakili kepribadian tipe A dari teori Friedman dan Rosenman (1999,
2000), dan 65 item mewakili agresivitas dari teori Berkowitz (1995).
Menurut Sevilla (1993) banyak peneliti yang memberikan penekanan pada
kecenderungan responden untuk mengamankan dan menempatkan jawaban
mereka di tengah sebagai angka netral. Hal ini disebut pengaruh ‘kecenderungan
sentra’, individu tersebut selalu menghindari perilaku atau pengungkapan ekstrim.
Dengan demikian tidak digunakan jawaban yang bersifat netral atau ragu-ragu
guna mendorong responden memutuskan jawaban yang bersifat positif atau
negatif.
Oleh sebab itu, skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik dan Skala
Agresivitas dalam penelitian ini menggunakan enam dan empat alternatif
jawaban, dimana meniadakan kategori jawaban di tengah karena dapat
69
menimbulkan kecenderungan untuk menjawab di tengah terutama subjek yang
ragu-ragu tersebut. Sementara untuk Skala Tipe Kepribadian, dalam penelitian ini
menggunakan skala dikotomi sebagaimana didasarkan pada penelitian terdahulu
yang telah dilakukan oleh Friedman dan Rosenman.
3.4.2. Instrumen Penelitian
a. Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik (X1)
Pada skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik, penulis menggunakan
skala yang dibuat oleh Syafrika dan Suyasa dalam jurnalnya yang berjudul
Persepsi terhadap Lingkungan Fisik Kerja dan Dorongan Berperilaku Agresif
pada Polisi Lalu Lintas, tahun 2004, yang indikatornya didasarkan pada aspek-
aspek yang diberikan oleh Munandar (2001) yaitu ; a) suhu, (b) kebisingan, (c)
vibrasi atau getaran, (d) polusi, dan (e) hygiene atau kebersihan. Skala ini tersusun
dari empat puluh satu (41) butir pernyataan-pernyataan. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
70
Tabel 3.1 Blue Print Try Out Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik
NO DIMENSI INDIKATOR Item Total
1 Suhu Menyebalkan, tidak disukai, buruk, tidak sehat, membuat tegang, panas, dan tidak nyaman.
1, 4, 6, 7, 2, 5, 3
7
2 Kebisingan Bising, tidak sehat, menyebalkan, negative, membuat tegang, buruk, tidak disukai, tidak nyaman, dan memiliki intensitas tinggi
8, 15, 12, 16, 10, 13, 11, 9, 14
9
3 Vibrasi/getaran Sangat terasa, tidak nyaman, membuat tegang, buruk, menyebalkan,tidak disukai, tidak sehat, dan memiliki intensitas tinggi.
17, 21, 20, 22, 19, 18, 24, 23
8
4 Polusi Menyebalkan, tidak sehat, tidak disukai, buruk, membuat tegang, berkabut, memiliki intensitas tinggi, sangat terasa, dan tidak nyaman, membahayakan.
28, 33, 27, 29, 31, 30, 34, 25, 26, 32
10
5 Kebersihan Kotor, menyebalkan, tidak disukai, tidak sehat, membuat tegang, buruk, dan tidak nyaman,
35, 41, 36, 39, 40, 38, 37
7
TOTAL 41 41
Skala ini menggunakan skala semantik diferensial dari Osgood. Skala ini
juga digunakan untuk mengukur sikap, hanya bentuknya tidak pilihan ganda
maupun checklist, tetapi tersusun dalam satu garis kontinu yang jawaban “sangat
positifnya” terletak di bagian kanan garis, dan jawaban “sangat negatif” terletak di
bagian kiri garis, atau sebaliknya. Adapun tipe jawaban terdiri atas 6 rentangan
yang masing-masing kategori memiliki nilai tertentu. Adapun skor untuk masing-
masing pilihan adalah sebagai berikut :
71
Tabel 3.2 Tabel Penilaian Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik
UNFAVORABEL 1 2 3 4 5 6 FAVORABEL
FAVORABEL 6 5 4 3 2 1 UNFAVORABEL
b. Skala Tipe Kepribadian (X2)
Pada skala tipe kepribadian, penulis menggunakan skala yang dibuat
sendiri oleh peneliti dan komponen objeknya didasarkan pada aspek-aspek
pengelompokkan yang diungkapkan oleh Friedman dan Rosenman (dalam Rice,
1999). yaitu kompetitif, ambisius, tanggung jawab, pekerja keras, tergesa-
gesa/terburu-buru, tidak sabar, sinisme, kemarahan dan agresi. Skala yang
digunakan oleh penulis dalam metode pengumpulan data untuk skala tipe
kepribadian menggunakan skala Dikotomi dengan 2 kategori jawaban yaitu “Ya”
dan “Tidak”. Dimana jawaban “Ya” diskor untuk kepribadian tipe A dan diberi
nilai 1, sedangkan untuk jawaban “Tidak” diskor untuk kepribadian tipe B dan
diberi nilai 0.
Tabel 3.3.
Blue Print Try Out Skala Tipe Kepribadian
NO DIMENSI INDIKATOR Item Total Tipe
Kepribadian
- Kompetitif - Ambisius - Tanggung jawab - Pekerja keras - Tergesa-gesa
- Tidak sabar - Sinisme - Kemarahan dan
agresi
2, 15, 16, 22, 27, 28 9, 13, 25, 30, 39, 44 1, 11, 24, 35, 45, 47 6, 40, 48, 49, 50, 51 7, 8, 10, 17, 20, 21, 26 42,43 3, 5, 19, 23, 29, 52 12, 18, 41, 53, 54, 55 4, 14, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38, 46
6 6 6 6 9 6 6 10
TOTAL 55 55
72
c. Skala Agresivitas (Y)
Pada skala agresivitas, penulis mengunakan skala yang dibuat sendiri oleh
peneliti dan komponen objeknya didasarkan pada aspek-aspek pengelompokkan
jenis-jenis bentuk perilaku agresif dari Berkowitz (1995), yang diukur melalui
bentuk agresi secara langsung baik fisik maupun verbal, dimana sebelumnya telah
dimodifikasi sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.4. Blue Print Try Out Skala Agresivitas
NO DIMENSI INDIKATOR Item Fav. Item
Unfav. Total
1 Fisik
- Memukul - Menampar - Menendang - Meninju - Mendorong dengan
keras
1 , 8, 21,58 2, 40 3, 14, 54 34, 56 4, 28
10, 42 9, 18 33, 39 41, 46 32, 35
23
2 Verbal
- Menghina - Memaki - Sebutan buruk/
name calling - Pemerasan - Membentak - Mengancam - Berteriak - Meniup pluit dengan
keras
5, 31 6, 27, 36, 45 13, 23, 44 16, 24, 50 11, 38, 48 19, 43 17, 49, 60 26, 51, 62
15, 29 47, 59 37, 52, 64 12, 63, 65 55, 53, 57 7, 61 22, 25 20, 30
42
TOTAL 36 29 65
Skala agresivitas ini menggunakan skala model Likert yang terdiri dari 4
kategori jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), Sangat
Tidak Setuju (STS). Item-item tersebut terdiri dari item favorabel dan
unfavorabel. Untuk item favorabel, pilihan jawaban Sangat Setuju (SS) diberi
73
nilai 4, Setuju (S) diberi nilai 3, Tidak Setuju (TS) diberi nilai 2, Sangat Tidak
Setuju (STS) diberi nilai 1. Sedangkan untuk item unfavorabel, pilihan jawaban
Sangat Setuju (SS) diberi nilai 1, Setuju (S) diberi nilai 2, Tidak Setuju (TS)
diberi nilai 3, Sangat Tidak Setuju (STS) diberi nilai 4. Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.5 Penilaian Skala Agresivitas
Pilihan SS S TS STS Favorabel 4 3 2 1 Unfavorabel 1 2 3 4
3.5. Uji Instrumen Penelitian
3.5.1. Uji Validitas
Untuk mengetahui validitas instrumen (uji validitas) dimana skor tiap item
dikorelasikan dengan skor total. Untuk menghitungnya penulis menggunakan
program SPSS Versi 13.0.
3.5.2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas menunjukkan sejauhmana suatu hasil pengukuran relatif
konsisten apabila pengukuran diulangi 2 kali atau lebih atau dapat dipercaya
(apabila dalam beberapa kali pengukuran diperoleh hasil yang relatif sama).
Untuk menghitung reliabilitas alat pengumpulan data (uji reliabilitas) digunakan
teknik Alpha Cronbach, dengan perhitungan menggunakan program SPSS Versi
13.0.
74
Tinggi atau rendahnya yang dihasilkan dari kaidah reliabilitas Guilford
dan pendapat Azwar (2008) yang menyatakan bahwa semakin tinggi koefisien
reliabilitas yang mendekati 1,00 berarti semakin baik, sebaliknya koefisien yang
semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya. Hal
tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.6 Kaidah Reliabilitas Guilford
Kriteria Koefisien Reliabilitas
Sangat reliabel > 0.9 Reliabel 0.7 – 0.9
Cukup reliabel 0.4 – 0.7 Kurang reliabel 0.2 – 0.4 Tidak reliabel < 0.2
3.6. Hasil Uji Instrumen Penelitian
Setelah item-item skala dibuat, peneliti mengujicobakan skala tersebut.
Dalam tahap uji coba peneliti memberikan 161 item yang terdiri dari 41 item pada
skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik, 55 item pada skala tipe kepribadian,
dan 65 item pada skala agresivitas.
Berikut ini adalah blue print skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik,
tipe kepribadian, dan agresivitas pasca try out:
Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik (X1)
Hasil uji validitas dan reliabilitas dengan mempergunakan sistem
komputerisasi SPSS versi 13.0. Dari perhitungan tersebut diperoleh 33 item yang
valid. Adapun nilai reliabilitas yang dihasilkan sebesar 0.932. Berdasarkan
75
Guilford angka tersebut termasuk dalam kategori sangat reliabel. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 3.7 Blue Print Revisi Skala Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik
NO DIMENSI INDIKATOR Item Total 1 Suhu Menyebalkan, tidak disukai,
buruk, tidak sehat, membuat tegang, panas, dan tidak nyaman.
1*, 4*, 6*, 7*, 2*, 5*, 3*
7
2 Kebisingan Bising, tidak sehat, menyebalkan, negatif, membuat tegang, buruk, tidak disukai, tidak nyaman, dan memiliki intensitas tinggi
8*, 15*, 12*, 16*, 10*, 13*, 11*, 9*, 14
8
3 Vibrasi/getaran Sangat terasa, tidak nyaman, membuat tegang, buruk, menyebalkan, tidak disukai, tidak sehat, dan memiliki intensitas tinggi.
17*, 21, 20, 22*, 19, 18*, 24*, 23
4
4 Polusi Menyebalkan, tidak sehat, tidak disukai, buruk, membuat tegang, berkabut, memiliki intensitas tinggi, sangat terasa, tidak nyaman, dan membahayakan.
28*, 33*, 27, 29, 31, 30*, 34*, 25*, 26*, 32*
7
5 Kebersihan Kotor, menyebalkan, tidak disukai, tidak sehat, membuat tegang, buruk, dan tidak nyaman.
35*, 41*, 36*, 39*, 40*, 38*, 37*
7
TOTAL 33 33 Ket : * Item yang valid
Skala Tipe Kepribadian (X2)
Hasil uji validitas dan reliabilitas dengan mempergunakan sistem
komputerisasi SPSS versi 13.0. Dari perhitungan tersebut diperoleh 27 item yang
valid. Adapun nilai reliabilitas yang dihasilkan sebesar 0.827. Berdasarkan
76
Guilford angka tersebut termasuk dalam kategori reliabel. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.8 Blue Print Revisi Skala Tipe Kepribadian
NO DIMENSI INDIKATOR Item Total Tipe
Kepribadian - Kompetitif - Ambisius - Tanggung jawab - Pekerja keras - Tergesa-gesa
- Tidak sabar - Sinisme - Kemarahan dan
agresi
2, 15, 16, 22*, 27, 28 9*, 13, 25*, 30, 39*, 44 1, 11*, 24*, 35*, 45*, 47* 6, 40*, 48*, 49*, 50, 51* 7, 8, 10*, 17, 20, 21, 26, 42*, 43 3*, 5*, 19*, 23*, 29, 52* 12*, 18, 41, 53*, 54*, 55 4, 14*, 31, 32, 33*, 34*, 36, 37*, 38, 46
1 3 5 4 2 5 3 4
TOTAL 27 27 Ket : * Item yang valid
Skala Agresivitas (Y)
Sama halnya dengan skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan
skala tipe kepribadian, skala agresivitas ini pun juga telah diuji validitas dan
reliabilitas dengan mempergunakan sistem komputerisasi SPSS versi 13.0. Dari
perhitungan tersebut diperoleh item valid sebanyak 39 item, dengan nilai
reliabilitas sebesar 0.884. Berdasarkan Guilford angka tersebut termasuk dalam
kategori reliabel. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:
77
Tabel 3.9 Blue Print Revisi Skala Agresivitas
NO DIMENSI INDIKATOR Item Fav. Item
Unfav. Total
1 Fisik
- Memukul - Menampar - Menendang - Meninju - Mendorong dengan
keras
1 *, 8*, 21*,58* 2, 40 3*, 14*, 54 34*, 56 4*, 28
10*, 42 9, 18 33*, 39 41*, 46* 32*, 35
13
2 Verbal
- Menghina - Memaki - Sebutan buruk/ name
calling - Pemerasan - Membentak - Mengancam - Berteriak - Meniup pluit dengan
keras
5*, 31* 6*, 27, 36*, 45 13*, 23*, 44 16*, 24, 50* 11*, 38*, 48* 19, 43 17*, 49*, 60* 26, 51*, 62*
15, 29* 47*, 59* 37*, 52*, 64 12*, 63, 65 55, 53, 57* 7*, 61 22*, 25* 20, 30
26
TOTAL 24 15 39 Ket : * Item yang valid
3.7. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
Dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat
pengaruh yang signifikan masing-masing variabel terhadap agresivitas, dan untuk
mengetahui seberapa besar sumbangan yang diberikan masing-masing variabel
terhadap agresivitas, penulis menggunakan metode statistika karena datanya
berupa angka-angka yang merupakan hasil pengukuran atau perhitungan. Dalam
hal ini berdasarkan hipotesis yang akan diukur peneliti menggunakan teknik
analisis multiple regression atau analisis regresi berganda untuk mengetahui besar
dan arah hubungan antara variabel X1 (Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik)
dan X2 (Tipe Kepribadian) dengan variabel Y (Agresivitas). Analisis multi regresi
adalah suatu metode untuk mengkaji akibat-akibat dan besarnya akibat dari lebih
78
satu variabel bebas terhadap satu variabel terikat, dengan menggunakan prinsip-
prinsip korelasi dan regresi (Kerlinger, 1990).
Adapun persamaan umum analisis regresi berganda ini adalah :
Y= a+b1X1+b2X2
Keterangan: Y : Nilai yang diprediksi (DV) yang dalam hal ini adalah agresivitas X : Nilai variabel prediktor (IV) a : Koefisien variabel b : Konstanta Dalam analisis multiple regression ini dapat diperoleh beberapa informasi,
yaitu :
1. R2 yang menunjukkan proporsi varian (presentase varian) dari dependen
variabel (DV) yang bisa diterangkan oleh independen variabel (IV).
2. Uji hipotesis mengenai signifikan atau tidaknya masing-masing koefisien
regresi. Koefisien yang signifikan menunjukkan dampak yang signifikan dari
independen variabel (IV) yang bersangkutan.
3. Persamaan regresi yang ditemukan bisa digunakan untuk membuat prediksi
tentang berapa harga Y jika nilai setiap independen variabel (IV) diketahui.
3.8. Prosedur Penelitian
Ada beberapa tahapan yang akan dilakukan oleh penulis dalam
menyelesaikan penelitian ini, diantaranya yaitu:
79
1. Tahap persiapan
Tahap persiapan dimulai dengan perumusan masalah, menentukan variabel
penelitian, melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan gambaran dan
landasan teoritis yang tepat, menentukan, menyusun, dan menyiapkan ukur yang
akan digunakan dalam penelitian ini, yaitu skala persepsi tentang lingkungan kerja
fisik, tipe kepribadian, dan agresivitas Polantas yang kemudian dilakukan
pengecekkan oleh pembimbing terlebih dahulu. Setelah skala dikatakan baik,
maka penulis melakukan uji coba (try out) instrumen dan langkah selanjutnya
ialah mendatangi lokasi untuk penelitian yaitu Polda Metro Jaya serta mengurus
surat perizinan penelitian.
2. Pengujian alat ukur (Try Out)
Sebelum penelitian ini dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan uji
instrumen kepada 40 orang anggota Sat. Patwal Kepolisian Polda Metro Jaya yang
kemudian tidak diikutsertakan dalam penelitian yang sesungguhnya. Try out
dilaksanakan pada tanggal 03 Agustus 2010.
3. Tahap pelaksanaan penelitian
Penelitian ini melibatkan 100 responden dari jumlah populasi sebanyak
350 orang anggota Sat. Patwal Kepolisian Polda Metro Jaya. Pelaksanaan
penelitian dilakukan sejak tanggal 09 Agustus 2010 sampai dengan tanggal 10
Agustus 2010.
80
4. Tahap pengolahan data
Hasil data yang diperoleh di lapangan dari skala yang telah diisi oleh
responden diberi kode. Data tersebut dihitung dan ditabulasikan, sehingga
kemudian dibuat dalam bentuk tabel data. Selanjutnya dianalisa secara kuantitatif
yaitu menggambarkan data dengan angka-angka yang dipisah-pisahkan menurut
kategori tertentu untuk memperoleh kesimpulan dan gambaran secara umum.
81
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Responden
Berikut ini akan diuraikan gambaran responden berdasarkan usia, status
perkawinan, pendidikan terakhir, jabatan dan masa kerja. Pada penelitian ini,
penulis menggunakan sampel sebanyak 100 anggota Sat. Patwal (Satuan Patroli
dan Kawal) dari populasi sebanyak 350 anggota Sat. Patwal Kepolisian Polda
Metro Jaya.
4.1.1 Responden Berdasarkan Usia
Dalam mengelompokkan responden berdasarkan usia, peneliti
membaginya berdasarkan jarak dari usia termuda sampai usia tertua, dimana usia
tertua dikurangi usia termuda. Adapun usia termuda yaitu 22 tahun, sedangkan
usia tertua yaitu 48 tahun.sehingga luas sebarannya adalah 26. Dikarenakan dalam
penelitian ini skor usia dibagi ke dalam 3 kategori, maka luas sebaran dibagi 3 dan
didapat rentangan sebesar 8. Adapun tujuan dari pengelompokkan ini yaitu agar
masing-masing kelompok usia memiliki proporsi yang sama. Di bawah ini tabel
yang menggambarkan responden berdasarkan usia :
82
Tabel 4.1. Responden Berdasarkan Usia
Usia Jumlah Persentase {%}
22-29 tahun
30-37 tahun
Di atas 38 tahun
57
36
7
57%
36%
7%
Jumlah 100 100 %
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
mayoritas responden dalam penelitian ini yakni berkisar pada usia 22-29 tahun
yakni berjumlah 57 orang atau 57%. Kemudian disusul responden dengan usia 30-
37 tahun berjumlah 36 orang atau 36%, dan responden dengan usia di atas 38
tahun berjumlah 7 orang atau 7%.
4.1.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan
Di bawah ini merupakan tabel yang menggambarkan responden
berdasarkan status perkawinan.
Tabel 4.2. Responden Berdasarkan Status Perkawinan
Status
Perkawinan Frekuensi Presentase (%)
Belum Kawin 44 44 % Sudah Kawin 56 56 %
Jumlah 100 100 %
Berdasarkan tabel di atas, responden yang belum kawin berjumlah 44 atau
44 %, sedangkan responden yang sudah kawin berjumlah 56 atau 56 %. Ini berarti
83
bahwa mayoritas responden berstatus sudah kawin dengan jumlah perbandingan
yang sedikit.
4.1.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Di bawah ini tabel yang menunjukkan jumlah responden berdasarkan
pendidikan terakhir.
Tabel 4.3. Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir
Jenjang
Pendidikan Frekuensi Presentase (%)
SMU 85 85 % S-1 15 15 %
Jumlah 100 100 %
Berdasarkan tingkat pendidikan pada penelitian ini responden yang
pendidikannya SMU atau sederajat lebih banyak dibandingkan dengan responden
yang tingkat pendidikannya sarjana. Responden yang berpendidikan SMU yakni
sebanyak 85 atau 85 %, sedangkan responden dengan tingkat pendidikan S-
1berjumlah 15 atau 15 % dari total responden yang ada. Jadi dapat diambil
kesimpulan bahwa responden berdasarkan tingkat pendidikan dalam penelitian ini
didominasi oleh responden yang berpendidikan SMU atau sederajat. Hal ini
terjadi karena sebagian besar petugas Polantas yang direkrut memang didasarkan
pada pendidikan SMU atau sederajat.
84
4.1.4. Responden Berdasarkan Jabatan/ Pangkat
Di bawah ini tabel yang menunjukkan jumlah responden berdasarkan
jabatan/ pangkat mulai dari pangkat yang terendah sampai dengan pangkat yang
tertinggi :
Tabel 4.4. Responden Berdasarkan Jabatan/ Pangkat
Jabatan/ Pangkat Frekuensi Presentase (%) BRIPDA (Brigadir Dua) 15 15 % BRIPTU (Brigadir Satu) 46 46 % BRIGADIR (Brigadir) 31 31 % BRIPKA (Brigadir Kepala) 6 6 % AIPTU (Ajun Inspektur Satu) 2 2 %
Jumlah 100 100 %
Berdasarkan tabel di atas, responden dengan pangkat BRIPDA (Brigadir
Dua) berjumlah 15 orang atau 15 %. Responden dengan pangkat BRIPTU
(Brigadir Satu) berjumlah 46 orang atau 46 %. Responden dengan pangkat
BRIGADIR (Brigadir) berjumlah 31 orang atau 31 %, Responden dengan pangkat
BRIPKA (Brigadir Kepala) berjumlah 6 orang atau 6 %. Sedangkan responden
dengan pangkat AIPTU (Ajun Inspektur Satu) berjumlah 2 orang atau 2 %.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa responden dalam penelitian
ini mayoritas berpangkat BRIPTU (Brigadir Satu), kemudian disusul oleh subjek
yang berpangkat BRIGADIR (Brigadir), BRIPDA (Brigadir Dua), BRIPKA
(Brigadir Kepala) dan AIPTU (Ajun Inspektur Satu) dari total keseluruhan
responden sebanyak 100 orang.
85
4.1.5. Responden Berdasarkan Masa Kerja
Proses kuantifikasi dilakukan dengan mengolah angka-angka data mentah
dari masa kerja polantas dengan menggunakan statistik deskriptif,
menggambarkan nilai rata-rata, median, modus, simpangan baku dan distribusi
frekuensi.
Banyaknya data masa kerja yang masuk berjumlah 100 buah. Berdasarkan
hasil perhitungan, diperoleh nilai rata-rata skor variabel masa kerja = 8.4050,
modus = 4, median = 8.000, standar deviasi = 4. 87971, varian = 23.812,
minimum = 2, dan maximum = 23. Distribusi frekuensi skor masa kerja yang
sudah dikelompokkan terlihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 4.5. Responden Berdarkan Masa Kerja
No. Interval Kelas Frekuensi Presentase (%) 1 2-4 33 33 % 2 5-7 14 14 % 3 8-10 26 26 % 4 11-13 15 15 % 5 14-16 5 5 % 6 17-19 2 2 % 7 Di atas 20 5 5 % ∑ 100 100 %
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa kelompok skor masa kerja
8-13 tahun sebagian berada di atas harga rata-rata yakni sebanyak 41 (41 %)
responden, kelompok skor masa kerja 2-7 tahun yakni sebanyak 47 (47 %)
responden berada di bawah rata-rata, sedangkan kelompok skor masa kerja di atas
14 tahun yakni sebanyak 12 (12%) responden berada di atas kelompok rata-rata.
86
4.2. Analisis Deskriptif
Dalam penelitian ini, peneliti bermaksud membuat kategorisasi dari
variabel persepsi tantang lingkungan kerja fisik, tipe kepribadian, dan agresivitas
berdasarkan tingkatannya. Untuk itu terlebih dahulu peneliti mengetahui skor
terendah dan skor tertinggi untuk masing-masing variabel.
4.2.1 Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik
Untuk menentukan tingkat persepsi tentang lingkungan kerja fisik, penulis
membuat kategorisasi jenjang, yaitu menempatkan individu ke dalam kelompok-
kelompok terpisah secara berjenjang menurut suatu kontinum berdasar atribut
yang diukur (Azwar, 2008).
Skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik ini terdiri dari 33 item
dengan 6 kategori jawaban (skor 1 sampai dengan 6). Untuk mengetahui jenjang
kontinum tersebut penulis menggunakan kategorisasi rentang untuk setiap
responden. Rentang dibagi menjadi dua interval dengan kategori positif, dan
negatif. Adapun skor minimumnya adalah 33 dan maksimumnya 198, sehingga
luas sebarannya adalah 165. dan mean teoritisnya adalah:
μ= (33x2) + (33x5)/2
= 66+165/2
=115.5 dibulatkan 116
87
Dari 33 item skala persepsi tentang lingkungan kerja fisik, nilai terendah
teoritisnya adalah 33, nilai tengah 116, dan nilai tertingginya adalah 198.
Penggunaan cara ini dimaksudkan agar masing-masing kategori memiliki proporsi
yang sama, sehingga didapatkan hasil yang adil dan tidak memihak. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 4.7 Tabel Kategorisasi Persepsi tentang Lingkungan Kerja Fisik
Kategori Nilai N %
Positif ≥ - 116 35 35% Negatif ≤ - 116 65 65%
Jumlah 100 100 %
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat persepsi tentang lingkungan
kerja fisik responden berada pada kisaran negatif sebanyak 65 orang (65%), dan
untuk kategori positif sebanyak 35 orang (35%). Dengan demikian dapat diambil
kesimpulan bahwa, mayoritas responden mempersepsikan lingkungan kerja
fisiknya sebagai sesuatu yang negatif.
4.2.2 Tipe Kepribadian
Selanjutnya peneliti bermaksud membuat kategorisasi dari variabel tipe
kepribadian berdasarkan tingkatannya. Untuk itu terlebih dahulu peneliti membagi
responden penelitian menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki
kepribadian tipe A dan tipe B.
Responden penelitian yang tergolong ke dalam tipe kepribadian adalah
responden yang mendapatkan nilai total 14-25 untuk skala tipe kepribadian.
88
Sedangkan responden penelitian yang tergolong ke dalam kepribadian tipe B
adalah responden yang mendapatkan nilai total 1-13 untuk skala tipe kepribadian.
Setelah jumlah total untuk skala tipe kepribadian diketahui, maka dapat diketahui
jumlah responden yang memiliki kepribadian tipe A dan tipe B. Tabel di bawah
ini akan menggolongkan responden berdasarkan tipe kepribadian :
Tabel 4.8 Responden Berdasarkan Tipe Kepribadian
No Kategorisasi
Tipe Kepribadian Frekuensi Presentasi
1 A 56 56 % 2 B 44 44 % Total 100 100
Berdasarkan data pada tabel hasil penelitian di atas, terlihat bahwa
frekuensi responden terbanyak ditemui pada kategori tipe kepribadian A yaitu
sebanyak 56 orang (56%) dari total keseluruhan responden sebanyak 100 orang.
4.2.3 Agresivitas
Selanjutnya peneliti bermaksud membuat kategorisasi dari variabel
agresivitas berdasarkan tingkatannya. Untuk itu terlebih dahulu peneliti
mengetahui skor terendah dan skor tertinggi untuk masing-masing variabel.
Untuk mengetahui tingkatan agresivitas penulis menggunakan kategorisasi
rentang yang dibagi ke dalam dua interval dengan kategori tinggi, dan rendah.
Adapun jumlah item pada skala agresivitas adalah sebanyak 39 item pernyataan,
dengan 4 kategori jawaban (skor 1 sampai dengna 4). Adapun skor minimumnya
89
adalah 39 dan maksimumnya 156, sehingga luas sebarannya adalah 117. dan mean
teoritisnya adalah :
μ= (39x2) + (39x3)/2
= 78+117/2
=97.5 dibulatkan 98
Dari 39 item skala agresivitas, nilai terendah teoritisnya adalah 39, nilai
tengah 98, dan nilai tertingginya adalah 156. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 4.9 Tabel Kategorisasi Agresivitas
Kategori Nilai N %
Tinggi ≥ - 98 52 52 % Rendah ≤ - 98 48 48 %
Jumlah 100 100 %
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat agresivitas berada pada
kisaran tinggi sebanyak 52 orang (52%), sedangkan untuk kategori rendah
sebanyak 48 orang (48%). Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa,
sampel pada penelitian ini sebagian besar berada pada rentang agresivitas tinggi
dengan perbandingan yang sedikit.
4.3. Hasil Uji Hipotesis
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus Regresi
berganda yaitu untuk mencari hubungan persepsi tentang lingkungan kerja fisik
dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas. Lalu peneliti
90
menggunakan analisis regresi untuk mengetahui lebih jauh hubungan antara
variabel dengan cara mencari nilai koefisien determinasi. Koefisien determinasi
merupakan suatu nilai yang menggambarkan seberapa besar perubahan antar
variasi dari variabel dependen. Untuk penghitungannya dilakukan dengan
menggunakan program SPSS versi 13. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel
berikut :
Tabel 4.10. Nilai R Square (Koefisien Determinasi)
N R R Square
100 0.511 0.261
Berdasarkan data yang diperoleh melalui tabel di atas terlihat koefisien
determinasi R Square (R2) menunjukkan nilai sebesar 0.261 atau 26.1%. Hal ini
berarti 26.1% variabel agresivitas dapat dijelaskan oleh variasi persepsi tentang
lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian. Sedangkan sisanya 73.9% dijelaskan
oleh faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini diantaranya yaitu ;
frustasi, provokasi, efek senjata, kekerasan di media, alkohol, obat-obatan,
kesesakan, hormon, gender, dan harga diri.
Dengan kata lain terdapat kemungkinan adanya faktor-faktor lain
yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap agresivitas Polantas.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh dari
independen variabel terhadap dependen variabel.
91
Gambar di bawah ini menggambarkan tentang nilai uji F :
Tabel 4.11. Nilai Uji F (tabel lampiran Anova regresi linear ganda)
N F hitung Df 1 Df 2 Sig.
100 17.155 2 97 0.000
Sementara dari uji F, diperoleh F hitung sebesar 17.155 dan signifikansi =
0.000 atau jauh lebih kecil dari alpha = 5%, ini berarti hipotesis nihil (Ho) yang
menyatakan tidak ada pengaruh antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan
tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas Polantas ditolak.
Maka, model regresi dapat dipakai untuk memprediksi agresivitas. Atau dapat
dikatakan, persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara
bersama-sama berpengaruh terhadap agresivitas Polantas atau Ha diterima.
Kemudian peneliti melihat koefisien regresi masing-masing variabel dari
output SPSS 13, seperti tabel dibawah ini:
Tabel 4.12. Coefficients(a)
Unstandardized
Coefficients Standardized Coefficients
Model B Std. Error Beta
t
Sig.
1 (Constant) 80.931 6.588 12.284 .000 PLKF -.089 .047 -.175 -1.899 .060 Kepribadian 1.108 .239 .428 4.642 .000
a Dependent Variable: Agresivitas
Pada tabel coefficients dapat diperoleh persamaan garis regresi, dimana
dapat diketahui koefisien regresi dari masing-masing variabel. Maka persamaan
regresinya adalah: Agresivitas (Y) = 80.931+ -0.089 X1 (PLKF) + 1.108 X2 (tipe
92
kepribadian).
Dengan model persamaan ini, dapat diperkirakan agresivitas dengan
persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian. Nilai koefisien
positif menunjukkan hubungan positif, dan sebaliknya jika nilai koefisien negative
maka menunjukkan hubungan negatif.
Dengan persamaan ini dapat diprediksi bahwa agresivitas akan berubah
sebesar -0.089 untuk setiap unit perubahan yang terjadi pada persepsi tentang
lingkungan kerja fisik, dan berubah sebesar 1.108 untuk setiap perubahan yang
terjadi pada tipe kepribadian.
Sementara itu, dari data tabel pada kolom beta diketahui bahwa nilai
probabilitas pada tabel sig. Tipe kepribadian sebesar 0.000 < 0,05 maka Ha
diterima yaitu ada sumbangan tipe kepribadian terhadap agresivitas Polantas,
sedangkan Ho ditolak. Ini berarti variabel yang paling besar pengaruhnya dan
signifikan terhadap agresivitas dari kedua independent variabel yang di uji peneliti
dalam mengukur agresivitas Polantas adalah variabel tipe kepribadian. Maka
dapat disimpulkan bahwa semakin individu memiliki tipe kepribadian A maka
individu tersebut akan cenderung lebih agresif dalam banyak situasi.
Selanjutnya melalui perhitungan statistik metode stepwise juga diperoleh
informasi bahwa variabel yang paling besar pengaruhnya adalah tipe kepribadian.
Berikut ini tabel hasil perhitungan statistik pengaruh variabel persepsi tentang
lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian terhadap agresivitas dengan bantuan
SPSS versi 13.0:
93
Tabel 4.13. Variables Entered/Removed(a) Model Variables Entered Variables Removed Method 1
Kepribadian .
Stepwise (Criteria: Probability-of-F-to-enter <= .050, Probability-of-F-to-remove >= .100).
a Dependent Variable: Agresivitas
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa variabel yang lebih besar
mempengaruhi agresivitas Polantas adalah tipe kepribadian, sedangkan persepsi
tentang lingkungan kerja fisik terhadap agresivitas Polantas dikeluarkan dari tabel
karena hanya memberikan kontribusi yang kecil.
Tabel 4.14. Model Summary (Hasil Stepwise)
N R R Square
100 0.484 0.234
Berdasarkan tabel di atas, dengan menggunakan metode stepwise maka
besar sumbangan yang diberikan variabel tipe kepribadian tanpa variabel persepsi
tentang lingkungan kerja fisik didapat nilai R Square (R2) sebesar 0.234, ini
berarti besarnya sumbangan yang diberikan variabel tipe kepribadian pada
agresivitas Polantas yaitu sebesar 23.4% kemudian sisanya sebesar 76.6%
disumbangkan oleh faktor-faktor yang tidak terukur yang dapat mempengaruhi
agresivitas Polantas. Faktor-faktor tersebut yaitu seperti : frustasi, provokasi, efek
senjata, kekerasan di media, alkohol, obat-obatan, kesesakan, hormon, gender,
dan harga diri.
94
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Bab ini memaparkan tentang kesimpulan hasil penelitian, diskusi tentang
penelitian serta saran praktis dan saran untuk penelitian selanjutnya.
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data serta pengujian hipotesis yang telah
dikemukakan pada bab sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat diambil dari
penelitian ini berdasarkan dari hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut:
1. Terdapat pengaruh yang signifikan antara persepsi tentang lingkungan kerja
fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama terhadap agresivitas Polisi
lalu-lintas. Dengan demikian semakin negatif persepsi tentang lingkungan
kerja fisik maka semakin tinggi pula agresivitas Polantas, dan semakin
individu memiliki kepribadian tipe A maka individu tersebut akan cenderung
lebih agresif dalam banyak situasi.
2. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa persepsi tentang lingkungan kerja
fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama berpengaruh terhadap
agresivitas Polantas. Besarnya pengaruh yang dihasilkan adalah sebesar
26.1%, dan sisanya sebesar 73.9% berasal dari variabel lain yang tidak diteliti
dalam penelitian ini. Dari kedua variabel tersebut diketahui bahwa yang
memberikan hubungan positif ialah tipe kepribadian sebesar 23.4%. Jadi,
95
dalam penelitian ini didapatkan bahwa variabel yang memiliki pengaruh yang
besar terhadap agresivitas Polantas adalah variabel tipe kepribadian.
5. 2. Diskusi
Dari hasil penelitian telah didapat bahwa ada pengaruh yang signifikan
antara persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara
bersama-sama terhadap agresivitas Polantas. Sementara dari uji F, diperoleh F
hitung sebesar 17.155 dan signifikansi = 0.000 atau jauh lebih kecil dari alpha =
5%, ini berarti hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan tidak ada pengaruh antara
persepsi tentang lingkungan kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama
terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas ditolak. Maka, model regresi dapat dipakai
untuk memprediksi agresivitas. Atau dapat dikatakan, persepsi tentang lingkungan
kerja fisik dan tipe kepribadian secara bersama-sama berpengaruh terhadap
agresivitas Polisi lalu-lintas.
Hasil penelitian ini berarti mendukung asumsi-asumsi dari teori yang telah
dikemukakan sebelumnya, yaitu antara lain teori yang dinyatakan oleh Carnagey
& Anderson (2004) yaitu teori General Aggression Model (GAM). Teori ini
menyatakan bahwa lingkungan kerja fisik sebagai salah satu dari variabel situasi
atau variabel masukan yang merupakan salah satu faktor-faktor yang dapat
memainkan peranan penting dalam kemunculan perilaku agresi. Variabel situasi
ini dapat mengaktivasi konsep-konsep yang berhubungan dengan agresi di dalam
memori. Variabel masukan ini juga dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku
melalui keadaan internal saat ini yang mereka ciptakan. Keadaan internal tersebut
adalah cognition, affect, dan arousal. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa yang
96
tidak menyenangkan akan menstimulasi perasaan negatif. Perasaan negatif akan
menstimulasi secara otomatis berbagai fikiran, ingatan, respon fisiologis, dan
reaksi motorik yang berasosiasi dengan reaksi melawan atau menyerang. Asosiasi
ini menimbulkan perasaan marah dan takut. Semakin buruk lingkungan kerja fisik
yang dialami oleh individu, maka semakin tinggi perasaan negatif yang timbul
sehingga semakin memicu reaksi melawan atau menyerang, dan menimbulkan
perasaan marah bagi individu tersebut.
Gibson (dalam Bell, 1978) yang menyatakan bahwa persepsi tentang
lingkungan kerja adalah serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh
orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan memiliki peran
yang besar dalam mempengaruhi tingkah laku karyawan. Karena itu, semakin
individu mempersepsikan lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang sangat
terasa mengganggu dan tidak nyaman, maka semakin tinggi dorongan berperilaku
agresif individu tersebut. Sebaliknya semakin individu mempersepsikan
lingkungan kerja fisiknya sebagai sesuatu yang tidak terasa dan nyaman, maka
menyebabkan gangguan baik pada fisik maupun psikis.
Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syafrika
dan Suyasa (2004) mahasiswa fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara
melalui studi mengenai persepsi terhadap lingkungan fisik kerja dan dorongan
berperilaku agresif pada polisi lalu lintas di Satlantas Kota Besar Jambi. Dari studi
tersebut menghasilkan adanya hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap
lingkungan fisik kerja dan dorongan berperilaku agresif pada Polantas. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin individu mempersepsikan lingkungan kerjanya
97
sebagai sesuatu yang sangat terasa dan tidak nyaman, maka akan semakin tinggi
dorongan berperilaku agresif individu tersebut. Sebaliknya semakin individu
mempersepsikan lingkungan kerjanya sebagai sesuatu yang tidak terasa dan
nyaman, maka semakin rendah dorongan berperilaku agresif individu tersebut.
Sementara itu tipe kepribadian akan meningkatkan agresivitas Polantas
sebesar 1.108 dan memiliki kontribusi sebesar 23,4% dalam mempengaruhi
agresivitas atau lebih besar dibandingkan persepsi tentang lingkungan kerja fisik
terhadap agresivitas Polisi lalu-lintas.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Larsen & Bush (2005)
bahwa kepribadian seseorang dapat mempengaruhi cara individu dalam bereaksi,
berpikir, merasa, berinteraksi dan beradaptasi dengan orang lain, termasuk dalam
membentuk perilaku agresif.
Kepribadian bersifat stabil sepanjang waktu dan memberikan pola perilaku
yang konsisten pada individu. Karena bersifat stabil dan konsisten itulah, individu
yang memiliki sifat agresif akan cenderung berperilaku agresif pada setiap situasi.
Selain itu, karena sifatnya yang permanen, maka dapat mempengaruhi keadaan
temporer seseorang dalam hal ini adalah keadaan psikologis individu yang pada
akhirnya turut berperan terhadap kemungkinan terjadi atau tidaknya perilaku
agresif (Steven & Mary, 2005).
Carnagey & Anderson (2004) dalam teori General Aggression Model
(GAM) berpendapat bahwa kepribadian sebagai salah satu dari variabel person
atau variabel masukan dapat mempengaruhi hasil akhir tingkah laku melalui
98
keadaan internal saat ini yang mereka ciptakan. Keadaan internal tersebut adalah
cognition, affect, dan arousal. Variabel masukan (kepribadian) ini dapat
mempengaruhi kognisi dengan membuat konsep agresi lebih mudah diakses di
dalam memori. Di dalam memori tersebut, jaringan asosiatif menghubungkan
pikiran, agresi, emosi, dan kecenderungan untuk bertingkah laku. Jaringan
asosiatif kognitif menyebabkan adanya hubungan yang berarti antara konsep-
konsep dalam memori. Ketika sebuah konsep diakses secara terus-menerus, waktu
pengaktifannya akan menurun. Hal ini berarti bahwa hanya akan dibutuhkan
sedikit energi untuk mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep
agresi tersebut manjadi semakin mudah untuk diakses di lain waktu. Semakin
sebuah konsep cepat dapat diakses, maka akan semakin sering digunakan untuk
memproses dan menginterpretasi informasi sosial. Dengan demikian individu
yang memiliki sifat agresif hanya akan membutuhkan sedikit energi untuk
mengaktifkan konsep-konsep agresi, sehingga konsep-konsep agresi tersebut
menjadi semakin mudah untuk diakses dan lebih siap untuk teraktivasi pada
situasi lain, yang dapat membimbing tingkah laku di masa yang akan datang.
Contohnya seseorang yang memiliki sifat agresif yang tinggi sedikit situasi yang
tidak menyenangkan akan mengakibatkan kemarahan pada orang tersebut.
Hal ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bushman
(Carnagey & Anderson, 2004) yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan
individual dalam merespon stimulus agresif dan ambigu yang disebabkan karena
adanya perbedaan individu dalam struktur memorinya. Menurut Bushman, hal ini
disebabkan karena individu yang memiliki sifat agresif yang tinggi memiliki
99
jaringan asosiatif kognitif tentang agresi yang lebih banyak dan lebih berkembang
daripada individu yang memiliki sifat agresif rendah. Perbedaan jaringan asosiatif
ini menyebabkan individu dengan sifat agresif tinggi lebih cepat mengakses
konsep-konsep agresi, yang dapat dengan mudah teraktivasi dengan hanya adanya
sedikit situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu juga, individu dengan sifat
agresif tinggi dapat menginterpretasi hal-hal yang ambigu menjadi terasosiasi
dengan konsep agresi dibandingkan dengan individu yang memiliki sifat agresif
rendah. Maksudnya adalah individu dengan sifat agresif tinggi akan mengartikan
hal-hal yang belum pasti berhubungan dengan agresi, menjadi terkait dengan
konsep-konsep agresi yang dipunyainya.
Hasil penelitian juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Glass
(dalam Baron & Byrne, 2005) yang menyimpulkan bahwa faktor kepribadian
berperan penting dalam perilaku agresif. Menurutnya bahwa kecenderungan
seseorang untuk berperilaku agresif dapat dilihat dari kepribadiannya. Individu
yang memiliki kepribadian tipe A cenderung lebih agresif dalam banyak situasi
daripada individu dengan kepribadian tipe B. Kepribadian tipe A digambarkan
sebagai individu yang memiliki sifat kompetitif, selalu terburu-buru, mudah
tersinggung, dan agresif. Sedangkan kepribadian tipe B digambarkan sebagai
individu yang ambisinya tidak tinggi, cenderung tidak terburu-buru, dan tidak
mudah kehilangan kendali.
Selain itu, penelitian terhadap agresivitas pernah dilakukan oleh Agung
(2008) pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. Dalam
penelitian mengenai agresi pada anggota TNI-AD. Dari studi tersebut didapatkan
100
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi agresivitas seseorang yang paling
dominan mempengaruhi anggota prajurit TNI-AD melakukan tindakan agresi
adalah kepribadian.
Kemudian dari hasil penelitian diketahui bahwa perilaku agresif Polantas
yang paling nyata terlihat lebih ke arah perilaku agresif verbal, seperti memaki,
membentak, menghina, berteriak, dan pemerasan, dibandingkan perilaku agresif
fisik seperti menampar, memukul, menendang, dan meninju. Hal ini kemungkinan
terjadi karena adanya batasan norma dan kode etik kepolisian. Walaupun pada
dasarnya prosedur baku pelaksanaan tugas kepolisian mengijinkan adanya tindak
kekerasan ketika menjalankan tugas, namun pelaksanaanya harus disesuaikan
dengan keadaan yang terjadi sehingga Polantas yang menggunakan tindak
kekerasan dalam bentuk agresif fisik sangat kecil jumlahnya. Hal ini juga
kemungkinan disebabkan sikap Polantas yang dituntut untuk menjaga wibawa dan
kesadaran Polantas bahwa semakin tingginya pengetahuan masyarakat terutama
mengenai hukum sehingga Polantas tidak dapat menggunakan kekuasaannya
secara sewenang-wenang.
5.3. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan ini, penulis menyadari
bahwa secara keseluruhan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan
keterbatasan tersebut, penulis mencoba berbagi pengalaman dan memberikan
saran sebagai pertimbangan dalam melakukan penelitian yang terkait yaitu saran
teoritis dan saran praktis. Berikut uraiannya:
101
5.3.1. Saran Teoritis
1. Peneliti menyadari sekali dalam penelitian ini masih banyak kekurangan
terutama dalam proses penelitian, karena tidak dapat mengontrol variabel yang
dapat mengganggu atau mengurangi ketepatan hasil penelitian seperti kondisi
fisik, atau kesehatan. Selain itu juga, peneliti dalam pengambilan data dalam
penelitian ini kurang memperhatikan jadwal kegiatan Polantas, karena mereka
adalah orang-orang yang sangat sibuk yang sewaktu-waktu mereka dapat
diperintahkan untuk melakukan tugas mendadak. Maka bagi peneliti selajutnya
yang berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan topik yang sama,
disarankan untuk mempertimbangkan hal ini.
2. Sebaiknya dalam responden penelitian ini lebih diperluas klasifikasinya,
misalnya dari Polantas pada bagian GATUR (Penjagaan dan Pengaturan).
Sehingga responden penelitian dapat mewakili tujuan yang ingin dicapai.
3. Pada penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan agar dapat menambahkan
variabel bebas lainnya yaitu frustasi, provokasi, efek senjata, kekerasan di
media, alkohol, obat-obatan, kesesakan, hormon, gender, dan harga diri.
Karena variabel-variabel tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
agresivitas individu yang kemungkinan dapat memberikan kontribusi yang
lebih besar.
5.3.2. Saran Praktis
Dalam hal praktis, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
102
1. Setiap Polantas agar dapat melakukan pencegahan sehingga dapat
meminimalisir kemungkinan efek negatif yang dapat timbul akibat kondisi
kerja fisik, misalnya dengan menggunakan pelindung mulut (masker), dan
pelindung telinga (ear plug).
2. Kepada institusi kepolisian, diharapkan dapat mengerti dan lebih memenuhi
kebutuhan yang dibutuhkan oleh Polantas. Upaya untuk meningkatkan kondisi
anggota adalah suatu hal yang mutlak diperlukan, misalnya dengan
penambahan sarana dan prasarana, atau dengan memberikan pelayanan
konsultasi fisik dan psikologis. Selain itu juga penting untuk diadakannya
pelatihan-pelatihan mengenai persepsi dan pengendalian emosi (ESQ).
Sehingga para Polantas memiliki kepribadian yang baik dan dapat mengontrol
emosi dan amarahnya, serta dapat menjalankan tugasnya lebih baik di dalam
masyarakat.
3. Sesungguhnya, salah satu hal yang paling baik dilakukan intuk menghindari
efek negatif dari pekerjaan Polantas adalah dengan membuat kondisi kerja fisik
senyaman mungkin. Namun, hal itu sangat sulit dilakukan tanpa adanya
bantuan dari pihak lain terutama masyarakat. Untuk itu kepada masyarakat
juga diharapkan kesadarannya baik yang berhubungan dengan penggunaan
lalu-lintas, misalnya dengan mentaati peraturan lalu-lintas, dengan mengurangi
membuat polusi seperti menggunakan bahan bakar dengan oktan tinggi, dan
dengan tidak memodifikasi knalpot yang dapat membuat bising lingkungan.
103
DAFTAR PUSTAKA
Agung W. Andaru. (2008). Agresi pada anggota tentara nasional indonesia angkatan darat (TNI-AD). Jakarta: FPSI Gunadarma.
Al Araf. (2008, Juli-Agustus). Polisi dan penegakan HAM. Analisis dokumentasi
HAM: Polisi antara UNAS dan MONAS. Jakarta: ELSAM.
Alex S. Nitisemito. (1988). Manajemen personalia: Manajemen sumber daya
manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Allport, Gordon W. (1960). Personality a psychological interpretation. New
York: Henry Holt and Company. Anastasi, Anne. Fields of applied psychology. Bidang-bidang psikologi terapan.
Aryatmi Siswohardjono, Paula Hartianta, Ika Pattinasarany, Esther Dharmanta, dan Aloysius Soesilo (terj).1993. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
A.S, Munandar. (2001). Psikologi industry dan organisasi. Jakarta: Penerbit
universitas Indonesia. Avin Fadilla Helmi & Soedardjo. (1998). Beberapa perspektif perilaku agresi.
Buletin Psikologi. No. 2, 9-15. Baron, R.A., & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial. Edisi ke sepuluh. Jakarta:
Erlangga. Bell, Paul P.,Fisher, Jeffrrey D., & Loomis, Ross J. (1978). Environmental
psychology. Toronto: W B. Saunders Company. Bell, Paul A.,Greene ,Thomas C., Fisher, Jefrey D.,&Baum Andrew. (2001).
Enviromental psychology (5th ed). USA: Wadsworth Group/Thomson Learning.
Berkowitz, Leonard. (1995). Agresi 1, sebab dan akibatnya. Jakarta: Pustaka Binaman Pressindo.
Buss, Arnold. (1973). Psychology man in perspective. Toronto: Wiley
International Edition. Carnagey, N.L., dan Anderson, C.A. (2004). Violent video game exposure and
aggression: A literature review. Minerva psichiatr . Vol.45, No.1-18
Emerson Yuntho. (2008, Juli-Agustus). Polisi: Di antara kekerasan dan korupsi.
Analisis dokumentasi HAM: Polisi antara UNAS dan MONAS. Jakarta: ELSAM.
Gufron Mabruri. (2008, Juli-Agustus). Melihat peran polri dalam kasus UNAS
dan MONAS. Analisis dokumentasi HAM: Polisi antara UNAS dan MONAS. Jakarta: ELSAM.
Ine Syafrika., & P. Tommy Y.S. Suyasa. (2004). Persepsi terhadap lingkungan
fisik kerja dan dorongan berperilaku agresi. Insan. Vol. 6, No. 3. Iting Shofwati., dan Yuli P. Satar. (2009). Hygiene industri. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. Jalaluddin Rakhmat. (2000). Psikologi komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Jewell, L.N., dan Siegall, Marc. (1998). Psikologi industri/ organisasi modern:
Psikologi terapan untuk memecahkan berbagai masalah di tempat kerja, perusahaan, industri, dan organisasi. Jakarta: Penerbit Arcan.
Kartini Kartono. (2002). Psikologi sosial untuk manajemen perusahaan dan
industri. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Kerlinger, Fred N. Foundations of behavioral research. Third edition. Asas-asas
penelitian behavioral. Landing R. Simatupang (terj). 1990. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Krahe, Barbara. (2005). Perilaku agresif: Buku panduan psikologi sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Larsen, Randy J., & Buss., David M. (2005). Personality psychology: Domains of
knowledge about human nature. Second Edition. New York: McGraw Hill. Muhammad Gaussyah. (2003). Makna dan Implikasi kedudukan Polisi Sebagai
Alat Negara di dalam Kerangka Penegakan Hukum dan Ketertiban dalam Masyarakat . Kanun. No. 35. Hal. 64.
McShane, Steven L., & Von Glinow, Mary Ann. (2005). Organizational
behavior. Third Edition. New York: Irwin McGraw Hill. Mischel, Walter. (2004). Introduction to personality: Toward an integration (7th
ed). Toronto : John Wiley & Sons, Inc.
Morgan, Thomas Clifford. (1986). Introduction to psychology; International
Edition. Singapore: McGraw Hill.
Myers, David G. (2005). Social psychology (8thed). Toronto: McGraw Hill. Rice, Philip L. (1999). Stress and health. Third edition. California: Brooks/Cole
Publishing Company. Rice, Virginia H. (2000). Type A behavior pattern and cardiovascular health.
Dalam Erika Friedmann & sue Ann Thomas (Eds.), Handbook of stress, coping, and health: Implications for nursing research, theory, and practice (h. 395). New Delhi: Sage Publication, Inc.
Robbins, Stephen P. (2001). Organizational behavior (9th ed). New Jersey:
Prentice Hall. Saifuddin Azwar. (2008). Penyusunan skala psikologi. Yogyakarta; Pustaka
Pelajar.
Santrock, John W. Life-span development. Perkembangan masa hidup. Juda Damanik dan Achmad Chusairi (terj). 1995. Edisi ke lima. Jakarta: Erlangga.
Sarafino, Edward P. (1994). Health psychology: Biopsychosocial interactions.
Second Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Sarlito. W Sarwono. (1992). Psikologi lingkungan. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia. ________________. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi
sosial. Jakarta: Balai Pustaka. ________________. (2003). Pengantar umum psikologi. Jakarta: Bulan Bintang. Smet, Bart. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia. Sevilla, Consuelo G. An introduction to research method. Pengantar metode
penelitian. Alimuddin Tuwu (terj). 1993. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Schultz, Duane P., dan Schultz, Sydney E. (2006). Psychology and work today:
An introduction to industrial and organizational psychology (9thed). New Jersey: Pearson Education, Inc.
Tongat. (1997). Polisi, penegakan hukum dan permasalahannya. Legality, vol 6. Weiten, Wayne., Llyod, Margaret A. (1997). Psychology applied to modern life:
Adjustmen in the 90s (5th ed). California: Brooks/Cole Publishing Company.
Yungki Aldrin. (1995). Perbedaan Skema Mengenai Polisi Lalu Lintas antara Mahasiswa yang Pernah dan Tidak Pernah Melakukan Denda Damai. Jakarta: FPSI UI.
http://citizennews.suaramerdeka.com