Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

20
Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui Perspektif Arsitektur Interior Studi Kasus: Rumah Orang Betawi yang Pindah Keluar Jakarta Annisa Meydina Putri, Toga H. Panjaitan (Pembimbing) Arsitektur Interior, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Manusia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang telah dibentuk pada tempat tinggal asal manusia tersebut. Kebudayaan juga diketahui dapat mempengaruhi pembentukan pola tatanan rumah tinggal. Namun, bagaimana jika mereka dituntut untuk keluar dari daerah dimana kebudayaannya berasal, apakah pola terkait pengaruh kebudayaan asal masih tercemin pada rumah mereka yang telah berada di lingkungan baru. Tulisan ini mencoba membahas mengenai pengaruh kebudayaan pada pembentukan pola ruang rumah yang telah pindah keluar dari daerah asalnya. Pembahasan dilihat melalui perspektif arsitektur interior yang menitikberatkan pada pengaturan pola tatanan ruang dalam rumah. Pola tersebut ditinjau berdasarkan tingkatan intervensi penghuni terhadap rumahnya, organisasi ruang, tata letak elemen interior, dan pemanfaatan ruang. Studi kasus dilakukan pada dua rumah orang Betawi yang berada di Cimahi, Jawa Barat. Hasil studi kasus menunjukkan bahwa keduanya masih mencerminkan pola kebudayaan asal mereka, meskipun lokasinya sudah berada di luar daerah asalnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam subconscious mind penghuni masih tertanam pola tertentu yang berasal dari kebudayaan asal dan terus terbawa sehingga mereka cenderung membentuk rumahnya sesuai dengan pola tadi. The Influence of Culture on House’s Spatial Pattern through the Interior Architecture Perspective. Case Study: Betawis’ House outside Jakarta Abstract Men cannot be separated from their culture that has been established in their origin place. Culture is also known that it can affect the arrangement of house’s spatial order pattern. However, what if a group of people is required to migrate out of their origin place, is their original culture of patterns still represented in their new house. This study discusses the influence of culture on the configuration of house’s spatial pattern that had moved outside its origin place. This discussion is observed from the interior architecture perspective that focuses on the arrangement of space order pattern in the house. The pattern reviews based on the level of residents’ intervention toward their house, the space organization, the layout of the interior elements, and the space utilization. The case study was carried out in two Betawis’ houses in Cimahi, West Java. The result showed that both of them are still representing its origin pattern, although the location is not in its origin place anymore. It indicates that the specific pattern which comes from its origin culture is still embedded and involved in the residents’ subconscious mind, so that they will configure their house accordance with that pattern. Keyword : Betawi; Culture; Dwelling; Space Order Pattern 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya, manusia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, meliputi nilai, pandangan hidup, keyakinan, kebiasaan, serta norma yang dianut sebagai ketetapan yang Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Transcript of Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

Page 1: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah

Melalui Perspektif Arsitektur Interior

Studi Kasus: Rumah Orang Betawi yang Pindah Keluar Jakarta

Annisa Meydina Putri, Toga H. Panjaitan (Pembimbing)

Arsitektur Interior, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Email: [email protected]

Abstrak

Manusia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang telah dibentuk pada tempat tinggal asal manusia tersebut.

Kebudayaan juga diketahui dapat mempengaruhi pembentukan pola tatanan rumah tinggal. Namun, bagaimana

jika mereka dituntut untuk keluar dari daerah dimana kebudayaannya berasal, apakah pola terkait pengaruh

kebudayaan asal masih tercemin pada rumah mereka yang telah berada di lingkungan baru. Tulisan ini mencoba

membahas mengenai pengaruh kebudayaan pada pembentukan pola ruang rumah yang telah pindah keluar dari

daerah asalnya. Pembahasan dilihat melalui perspektif arsitektur interior yang menitikberatkan pada pengaturan

pola tatanan ruang dalam rumah. Pola tersebut ditinjau berdasarkan tingkatan intervensi penghuni terhadap

rumahnya, organisasi ruang, tata letak elemen interior, dan pemanfaatan ruang. Studi kasus dilakukan pada dua

rumah orang Betawi yang berada di Cimahi, Jawa Barat. Hasil studi kasus menunjukkan bahwa keduanya masih

mencerminkan pola kebudayaan asal mereka, meskipun lokasinya sudah berada di luar daerah asalnya. Hal ini

menunjukkan bahwa dalam subconscious mind penghuni masih tertanam pola tertentu yang berasal dari

kebudayaan asal dan terus terbawa sehingga mereka cenderung membentuk rumahnya sesuai dengan pola tadi.

The Influence of Culture on House’s Spatial Pattern through the Interior Architecture

Perspective. Case Study: Betawis’ House outside Jakarta

Abstract

Men cannot be separated from their culture that has been established in their origin place. Culture is also known

that it can affect the arrangement of house’s spatial order pattern. However, what if a group of people is required

to migrate out of their origin place, is their original culture of patterns still represented in their new house. This

study discusses the influence of culture on the configuration of house’s spatial pattern that had moved outside its

origin place. This discussion is observed from the interior architecture perspective that focuses on the

arrangement of space order pattern in the house. The pattern reviews based on the level of residents’ intervention

toward their house, the space organization, the layout of the interior elements, and the space utilization. The case

study was carried out in two Betawis’ houses in Cimahi, West Java. The result showed that both of them are still

representing its origin pattern, although the location is not in its origin place anymore. It indicates that the

specific pattern which comes from its origin culture is still embedded and involved in the residents’

subconscious mind, so that they will configure their house accordance with that pattern.

Keyword : Betawi; Culture; Dwelling; Space Order Pattern

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Pada hakekatnya, manusia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan, meliputi nilai,

pandangan hidup, keyakinan, kebiasaan, serta norma yang dianut sebagai ketetapan yang

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 2: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

sudah ditentukan oleh suatu kelompok masyarakat. Selanjutnya, kebudayaan tadi akan

mempengaruhi pola pikir, lingkungan fisik, dan setiap tindakan yang diambil oleh manusia.

Hal ini dikarenakan dalam kebudayaan terkandung hal-hal yang berkaitan dengan persepsi

manusia terhadap kelompok dan lingkungannya dimana persepsi tersebut kemudian akan

diproyeksikan ke dalam suatu perwujudan tertentu (Sumaatmaja, 1996). Kemudian,

Koentjaraningrat (1981) menspesifikasikan perwujudan kebudayaan menjadi tiga kelompok,

yaitu wujud ide berupa gagasan, nilai, serta norma; wujud sistem sosial meliputi pola perilaku

manusia dalam masyarakat; dan wujud fisik berupa benda-benda hasil karya manusia.

Arsitektur sebagai hasil karya manusia terindikasi dapat merepresentasikan kebudayaan

suatu masyarakat yang berpedoman pada nilai, pandangan hidup, kebiasaan, serta keyakinan

mereka. Rumah yang merupakan produk arsitektur dianggap mampu menggambarkan sistem

dan nilai kebudayaan penghuni yang kemudian dimanifestasikan dalam perwujudannya (Babu

dan Kuttiah, 1996). Hal ini menunjukkan, setiap perwujudan yang terjadi pada rumah akan

mendapat pengaruh dari kebudayaan penghuni yang terlibat dalam proses pembentukannya.

Rumah adalah wadah dari ekspresi fisik gaya hidup dimana komponen dari gaya hidup

tersebut merupakan gabungan dari konsep kebudayaan, etika, karakter, dan pandangan hidup

penghuninya (Rapoport, 1969). Rumah selalu didesain dan dibangun sesuai dengan tradisi

tertentu yang mencerminkan pola atau cara penghuninya tinggal (Friedmann dkk, 1070).

Elemen pengisi ruang beserta pola penyusunannya pun disusun atas dasar tradisi tersebut

sehingga tercipta interior yang harmonis antara kebutuhan dengan struktur yang melingkupi

(Friedmann dkk, 1970). Membangun rumah merupakan fenomena kebudayaan dimana bentuk

fisik dan organisasi ruangnya sangat dipengaruhi oleh kebudayaan penghuni (Rapoport, 1969).

Kebudayaan itu sendiri adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya

manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri dan diperoleh dengan cara

belajar (Koentjaraningrat, 1981). Sedangkan menurut Rapoport (1969), kebudayaan adalah

cara hidup yang khas dalam suatu kelompok yang memiliki sekumpulan nilai dan

kepercayaan untuk mewujudkan cita-cita serta kebutuhan manusia. Kebudayaan yang ada di

masyarakat dihasilkan dan dikukuhkan di daerah asal masyarakat itu sendiri (Rapoport, 1969).

Namun, permasalahannya adalah bagaimana ketika suatu kelompok masyarakat dituntut

untuk keluar dari daerah asalnya, apakah pola terkait pengaruh kebudayaan asal masih

tercemin pada rumah mereka yang telah berada di lingkungan baru. Salah satu contoh

nyatanya yaitu pada masyarakat Betawi. Menurut Ayyubi (2013), sebagai penduduk asli kota

Jakarta, masyarakat Betawi kerap terpinggirkan akibat derasnya arus kaum urban yang

berdatangan sehingga banyak dari mereka yang bermigrasi keluar dari daerah asalnya, Jakarta.

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 3: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

Dikarenakan oleh tindakan migrasi tersebut, mereka kemudian dihadapkan pada pilihan untuk

tetap mempertahankan pola kebudayaan asal atau beradaptasi dengan kondisi yang telah ada

di lingkungan barunya. Tidak bisa dipungkiri bahwa nilai-nilai kebudayaan yang telah

melekat pada masyarakatnya akan mengalami dialektika. Begitupun pengaruhnya pada proses

pengaturan rumah. Segala bentuk pengaturan terkait pengaruh kebudayaan mereka pun akan

berdampak pada pembentukan pola tatanan di dalam rumah, khususnya pada pembentukan

organisasi ruang interior dimana mereka cenderung lebih sering berinteraksi terhadapnya.

1.2 Perumusan Masalah

a. Bagaimana penghuni membentuk pola tatanan ruang dalam rumah setelah mendiami

lingkungan baru di luar daerah asalnya?

b. Apakah pola ruang terkait pengaruh kebudayaan asal penghuni masih tercermin pada

tatanan dalam rumah yang berada di lingkungan baru?

c. Sejauh mana upaya intervensi ruang yang penghuni lakukan terhadap rumah mereka

agar sesuai dengan kebudayaannya?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaruh kebudayaan asal yang dipegang

penghuni pada pembentukan pola tatanan di dalam rumah yang telah pindah keluar dari

daerah asal mereka pada kasus rumah orang Betawi di luar Jakarta. Selain itu, penulisan ini

juga bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang tingkat intervensi ruang yang dilakukan

penghuni terhadap rumah di lingkungan barunya. Tulisan ini diharapkan bisa menjadi bahan

pertimbangan dalam merancang tempat tinggal dengan memperhatikan kebudayaan penghuni.

2. Tinjauan Teoritis

2.1 Pengaruh Kebudayaan dalam Pembentukan Arsitektur dan Interior

2.1.1 Manusia, Kebudayaan, dan Arsitektur

Geertz (1973) menyatakan bahwa kebudayaan dikarakterisasikan sebagai sekumpulan

rencana mekanisme kontrol, cara, peraturan, dan instruksi yang disebut program untuk

mengatur tingkah laku manusia. Menurut Geertz (1973), tingkah laku manusia berasal dari

kebiasaan tertentu yang dikontrol oleh nilai dan kepercayaan berupa kebudayaan yang telah

ditanamkan padanya. Menurut Hall (1973), “Culture controls behavior in deep and persisting

ways, many of which are outside of awareness and therefore beyond conscious control of the

individual” (p.25). Dengan kata lain, setiap tindakan manusia dipengaruhi kebudayaannya.

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 4: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

McIver (dalam Supsiloani, 2008) mengatakan bahwa kebudayaan diciptakan manusia,

tapi pada gilirannya, kebudayaan menjadi kekuatan yang mengatur bahkan memaksa manusia

untuk melakukan tindakan dengan pola tertentu. Kebudayaan bukan hanya kekuatan dari luar

diri manusia, tapi juga tertanam dalam kepribadian masing-masing individu (McIver dalam

Supsiloani, 2008). McIver (dalam Supsiloani, 2008) melanjutkan, unsur paling sentral dalam

kebudayaan adalah nilai-nilai yang merupakan konsepsi tentang apa yang benar atau salah

(nilai moral), baik atau buruk (nilai etika), serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari sistem

nilai ini kemudian tumbuh norma sebagai patokan atau rambu-rambu yang mengatur manusia

dalam masyarakat (McIver dalam Supsiloani, 2008). Dengan demikian, manusia menciptakan

kebudayaan sebagai pedoman, kemudian kebudayaan akan mengatur kehidupan manusia agar

sesuai dengannya hingga terbentuk pola tertentu dalam berpikir, berperilaku, dan berkehendak

yang nantinya juga turut mempengaruhi mereka dalam membentuk suatu karya tertentu.

Arsitektur sebagai hasil karya manusia merupakan salah satu wujud kebudayaan dimana

kebudayaan sebagai ide akan menghasilkan suatu pola atau bentuk tertentu kemudian

mengkomunikasikan kebudayaan yang berupa ide tadi (Prijotomo, 1988). Ini berarti bahwa

kebudayaan dapat dipahami melalui pola dan pembentukan arsitekturnya mengingat arsitektur

merupakan ekspresi suatu masyarakat dalam menanggapi permasalahan yang ada di sekitar

mereka. Menurut Budhisantoso (dalam Budihardjo, 1997), jika ingin memahami keterkaitan

antara arsitektur dengan kebudayaan suatu masyarakat, selain wujud dan gaya arsitekturnya,

kegunaan setiap ruangan, fungsi suatu arsitektur, dan makna sosialnya pun harus diperhatikan.

Arsitektur dapat mencerminkan penggunanya baik secara individual maupun dalam

kehidupan sosial budaya (Boedojo dkk, 1986). Menurut wawasan ini, arsitektur merupakan

lingkungan buatan manusia yang tidak hanya menjembatani antara manusia dan lingkungan

saja, tapi juga merupakan wahana ekspresi kultural untuk menata kehidupan mereka.

Kebudayaan dan pengalaman manusia akan menghasilkan tindakan tertentu yang

diimplementasikan pada lingkungan alami maupun lingkungan buatan (Boedojo, dkk, 1986).

Menurut Rapoport (dalam Snyder & Catanese, 1984), lingkungan buatan dirancang

manusia agar sesuai dengan kebudayaan dan aktivitas mereka. Lingkungan buatan dibangun

berdasarkan pilihan, keputusan, serta cara yang khas untuk melakukan sesuatu karena

manusia memiliki aturan untuk setiap tindakannya. Peraturan ini mengarahkan kepada pilihan

yang sistematik, konsisten, cenderung menurut pada hukum, dan mencerminkan kebudayaan

masyarakat terkait. Lingkungan buatan dikonseptualisasikan sebagai wadah kebudayaan

manusia yang bersifat normatif berupa nilai dan kepercayaan yang kemudian menjadi ciri

khas kelompok tersebut yang membedakannya dengan kelompok lain. Berbagai pilihan yang

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 5: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

dibuat oleh manusia secara konsisten menurut pada kebudayaannya akan melahirkan gaya

(style) tertentu (Rapoport dalam Snyder & Catanese, 1984). Lingkungan buatan itu sendiri

adalah lingkungan yang telah melibatkan campur tangan manusia dalam penciptaannya.

Arsitektur merupakan salah satu lingkungan buatan manusia. Dengan kata lain, dalam

pembentukan arsitektur, kebudayaan menjadi faktor yang sangat berpengaruh. Hal ini berarti

bahwa setiap perwujudan arsitektur dipengaruhi oleh kebudayaan penghuninya yang sangat

menentukan dalam pembentukan ruang-ruang yang ada di dalam arsitektur tersebut.

2.1.2 Pengaruh Kebudayaan terhadap Pola Tatanan dalam Rumah Tinggal

Rumah sebagai produk arsitektur terindikasi dapat mencerminkan pengaruh kebudayaan

dan sistem nilai suatu masyarakat yang tidak hanya akan mempengaruhi bentuk fisik rumah

saja, melainkan juga organisasi ruangnya (Babu dan Kuttiah, 1996; Rapoport, 1969). Faktor

sosial budaya merupakan faktor utama dan paling menentukan dalam pembentukan rumah,

sedangkan faktor lain seperti kondisi iklim, ketersediaan material, dan teknologi yang

digunakan merupakan faktor sekunder atau faktor modifikasi saja (Rapoport, 1969).

Pertimbangan aspek norma, budaya, dan psikologis manusia dapat mempengaruhi

pembentukan pola ruang dalam rumah dimana rumah itu sendiri merupakan kelembagaan dan

perwujudan kebudayaan dasar (Rapoport dalam dalam Snyder dan Catanese, 1984). Rumah

tidak hanya dipandang sebagai struktur fisik wadah kegiatan sehari-hari saja, tapi juga pusat

jaringan sosial budaya dan tempat penghuni mengekspresikan dirinya dengan bebas sebagai

jati diri (Hayward, 1987). Perwujudan yang terjadi di dalam rumah menggambarkan makna

yang menunjukkan eksistensi kebudayaan, kebiasaan, dan karakter penghuni (Siregar, 2008).

Menurut Friedmann dkk (1970), rumah merupakan suatu indoor place yang selalu

dirancang sesuai dengan tradisi tertentu yang mencerminkan pola atau cara penghuninya

tinggal agar sesuai dengan kepribadian, kebiasaan, dan aktivitas mereka (Friedmann dkk,

1970). Berbagai elemen pengisi interior beserta pola penyusunannya pun disusun atas dasar

tradisi tersebut sehingga akan tercipta interior yang harmonis antara kebutuhan dengan

struktur yang melingkupinya (Friedmann dkk, 1970). Hal ini berarti bahwa kebudayaan juga

mempengaruhi pembentukan pola tatanan atau organisasi ruang dalam (interior) rumah.

2.1.3 Ruang dan Pembentukannya terkait Kebudayaan

Franck dan Lepori (2000) mengungkapkan tiga orientasi ruang, yaitu inside, outside,

dan insideout. Orientasi inside memposisikan manusia sebagai subjek dalam ruang sehingga

sangat memperhitungkan ruang personalnya. Dalam pembentukannya, kepekaan panca indra

serta pola pergerakan aktivitas di dalam ruang sangat diperhatikan sehingga ruang yang

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 6: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

dihasilkan mengacu pada kegiatan manusia itu sendiri. Outside memposisikan manusia

sebagai the position of maker dan spectator. Hal ini berkaitan dengan bagaimana manusia

melihat ruang dari luar ruang tersebut yang menekankan pada visualitas manusia dan

lingkungan sekitarnya. Insideout menjelaskan pembentukan ruang terkait pengalaman ruang

dan pengaruh faktor sosial budaya yang telah dialami manusia (Franck dan Lepori, 2000).

Dengan demikian, pembentukan ruang dalam arsitektur tidak hanya melihat ruang luar

atau dalam saja, tapi juga hubungan antara keduanya serta faktor sosial budayanya. Arsitektur

diharapkan mampu memfasilitasi kebutuhan dan kegiatan manusia berdasarkan pengamatan

terhadap lingkungan sekitar dan pengaruh faktor lain yang melingkupinya sehingga muncul

gagasan mengenai manusia sebagai pembentuk dan pengguna ruang dengan menggabungkan

berbagai orientasi tadi dimana setiap ruang akan disesuaikan dengan penggunanya.

Pada proses pembentukan ruang, manusia merupakan subjek penentu sebagai pusat

pengalaman terhadap lingkungan sekitarnya sejak lahir (Franck dan Lepori, 2000). Dengan

kata lain, pada proses pembentukan ruang dalam arsitektur, pola tindakan dan pengalaman

manusialah yang menjadi referensi utama. Tubuh manusia memiliki respon individual

berdasarkan aksi natural yang terbentuk dari reaksi yang ditangkap oleh indra manusia dan

pola pergerakan berdasarkan aktivitasnya (Franck dan Lepori, 2000). Lebih lanjut lagi, Franck

dan Lepori (2000) mengungkapkan bahwa pembentukan ruang terkait dengan pengalaman

ruang yang telah dialami manusia, ruang yang telah diingat akan mempengaruhi pembentukan

ruang-ruang selanjutnya. Hal ini berkaitan dengan stimulus dalam diri manusia terkait kondisi

sosial dan budaya yang ada disekitarnya (Franck dan Lepori, 2000).

Kesemua aspek yang telah disebutkan mengacu pada kebudayaan manusia. Kebudayaan

membentuk suatu preferensi dan pola aktivitas tertentu. Manusia bergerak, mengalami, dan

melakukan tindakan sesuai dengan cara yang mereka ketahui, yaitu cara yang sehari-hari

mereka gunakan sesuai dengan latar belakang kebudayaan mereka. Tinggal dalam lingkungan

baru memicu dialektika dan tindakan adaptasi. Dalam hubungan antara proses adaptasi

dengan kebudayaan, konsep kebudayaan asal akan memberi masukan berupa persepsi moral

sebagai pengendali dalam mengambil keputusan (Bennet 1976). Oleh karena itu, akan tercipta

suatu tindakan yang mengarah pada pilihan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yang ada

atau justru membuat lingkungan agar sesuai dengan kebudayaan manusia tersebut. Adaptasi

terkait pengaruh kebudayaan ini dapat terjadi saat pembentukan rumah sebab menurut Turner

(1972), rumah bukanlah hasil fisik yang sekali jadi, melainkan suatu proses berkelanjutan

terkait mobilitas sosial budaya penghuni dalam suatu kurun waktu. Ini menunjukkan bahwa

kebudayaan penghuni merupakan faktor penting dalam perancangan rumahnya.

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 7: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

2.1.4 Metode Pembentukan Rumah melalui Pendekatan Arsitektur Interior

Menurut Ching (2012), perancangan interior merupakan suatu perencanaan, layout, dan

perancangan ruang di dalam suatu bangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal tadi

dapat mempengaruhi jenis dan bentuk aktivitas; menjaga aspirasi dan mengekspresikan ide;

serta mempengaruhi penampilan, mood, dan kepribadian dengan tujuan perbaikan fungsional,

nilai estetis, dan psikologis ruang (Ching, 2012). Hubungan antar elemen dibangun oleh pola

yang menentukan kualitas visual serta fungsional ruang interior yang mempengaruhi cara

manusia dalam menggunakan dan merasakan ruang tersebut (Ching, 2012).

Menurut Frazer Hay (2007), arsitektur interior adalah manipulasi ruang spasial meliputi

metode yang berkaitan dengan transformasi eksisting dan interior bangunan, terdiri dari

insertion, installation, dan intervention dimana pada pengaplikasiannya tetap memperhatikan

komposisi, fungsi, konteks, serta konektivitasnya dengan bangunan lain. Insertion merupakan

proses penyisipan elemen baru, namun dimensinya mengikuti elemen lama sehingga tidak

mengubah bentuk bangunan. Elemen baru menyesuaikan dengan elemen yang telah ada

sebelumnya. Installation merupakan proses pengubahan dimana elemen lama dan baru dapat

berdiri sendiri-sendiri. Elemen baru menjadi independent batasan bangunan yang dapat

dihilangkan sehingga bangunan dapat kembali seperti keadaan semula. Sedangkan pada

intervention, existing bangunan ikut ditransformasikan hingga membongkar bentuk bangunan

lama. Keadaan bangunan lama sudah benar-benar berubah sehingga elemen lama dan elemen

baru tidak dapat berdiri sendiri-sendiri lagi karena sifat dasar dari perubahan bentuk elemen-

elemen tersebut sudah sepenuhnya terjalin dan bergabung (Hay, 2007).

2.2 Kebudayaan Masyarakat Betawi

Shahab (2004) membagi kelompok masyarakat Betawi menjadi Betawi Tengah,

Betawi Pinggir, dan Betawi Pesisir. Masyarakat Betawi Pinggir terbagi lagi menjadi dua yaitu

Betawi Pinggir di Jakarta Utara dan Barat yang terpengaruh budaya Cina serta Betawi Pinggir

di Timur dan Selatan Jakarta yang dipengaruhi budaya Jawa khususnya Jawa Barat yang juga

bercampur dengan suku-suku lain. Betawi Pinggir di Utara Jakarta biasa disebut juga sebagai

Betawi Pesisir yang terbagi lagi menjadi Betawi Pesisir Darat (pesisir Jakarta Utara) dan

Pesisir Pulo (Kepulauan Seribu) (Shahab, 2004). Masyarakat Betawi Betawi Tengah dinilai

lebih adaptif, sedangkan masyarakat Betawi Pinggir dianggap paling kuat dalam memegang

teguh budaya serta tradisi Betawi (Shahab, 2004; Swadarma dan Aryanto, 2013).

Masyarakat Betawi memiliki ciri sederhana, santai, terbuka, humanis, senang dan

sering menjamu tamu, serta mayoritasnya beragama Islam (Saidi, 1997; Dinas Komunikasi,

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 8: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 2010). Sedangkan untuk ciri-ciri atau

tipikal pada rumah tinggal masyarakat Betawi, diantaranya adalah :

• Tidak mengenal fengshui, orientasi ruang berdasarkan alasan praktis

• Cenderung simetris, terdapat satu sumbu imajiner lurus di tengah massa bangunan

yang berfungsi sebagai jalur sirkulasi utama dengan ruangan lain pada sisi-sisinya

• Terbagi menjadi tiga bagian yang tersusun berurutan dari depan ke belakang, yaitu

ruang depan (publik), ruang tengah (privat), dan ruang belakang (servis)

(Dinas Komunikasi, Informatika dan Kehumasan Pemprov DKI Jakarta, 2010;

Prasetya, 2007; Boedhisantoso dalam Prasetya, 2007)

3. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis dengan

pendekatan kualitatif untuk mengetahui pengaruh kebudayaan asal penghuni dalam

pembentukan pola tatanan rumah di luar daerah asalnya. Penelitian dilakukan pada dua rumah

orang Betawi di Cimahi, Jawa Barat. Kedua rumah sebelumnya sudah memiliki eksisting

bangunan awal, namun telah dilakukan renovasi untuk menyesuaikan dengan preferensi

penghuninya. Kondisi ini dipilih karena berarti penghuni telah melibatkan diri sebagai subjek

utama pengguna ruang. Mereka membentuk rumahnya agar sesuai dengan preferensi ataupun

kebudayaan mereka sendiri, dan bukan merupakan rumah yang mass production lagi. Dari

proses renovasi yang dilakukan, yang menjadi fokus penelitian adalah pembentukan pola-pola

yang berkaitan dengan pengaruh kebudayaannya. Sejumlah pola kegiatan penghuni yang akan

dijelaskan memang memiliki kesamaan dengan beberapa kebudayaan non-Betawi lain. Tapi,

yang menjadi poin di sini adalah tindakan penghuni yang berupaya untuk membentuk dan

mengatur pola dalam rumahnya sebagai akibat dari pengaruh kebudayaan asal mereka.

Terdapat perbedaan kondisi pada kedua studi kasus, yaitu perbedaan spesifikasi daerah asal,

jangka waktu penempatan, serta waktu dilakukannya renovasi yang memungkinkan

terbentuknya pola ruang berbeda diantara keduanya terkait penyesuaian kebudayaan mereka.

Penelitian dilihat berdasarkan analisis keterlibatan penghuni dalam membentuk rumah

tinggalnya melalui metode arsitektur interior Frazer Hay (2007) serta analisis yang mengacu

pada pola keruangan tipikal rumah masyarakat Betawi berdasarkan organisasi ruang, tata

letak, pemanfaatan ruang, serta perbandingannya dengan rumah lama yang berlokasi di

Jakarta. Analisis tersebut akan menunjukkan intensitas pembentukan rumah tinggal yang

dilakukan oleh penghuni sehingga akan terindikasi sejauh mana kebudayaan asal penghuni

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 9: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

Ket. gambar: 1. Teras

2. Ruang tamu

3. Kamar anak perempuan

4. Kamar ibu mertua

5. Ruang keluarga

6. Kamar mandi

7. Kamar Bapak R & isteri

8. Dapur

9. Halaman belakang

dapat terlibat mempengaruhi pola dalam rumahnya. Informasi pada studi kasus diperoleh

melalui metode observasi langsung dan wawancara terhadap penghuni rumah. Nama-nama

pada studi kasus sengaja disamarkan demi menjaga keprivasian narasumber terkait.

4. Hasil Penelitian

4.1 Studi Kasus Pertama

Rumah dihuni oleh empat penghuni tetap yaitu bapak R, isterinya, ibu mertuanya, anak

perempuannya, serta satu penghuni tidak tetap yaitu anak laki-laki bapak R. Mereka berasal

dari Betawi Tengah. Rumah yang telah ditempati selama sepuluh tahun ini dibeli dalam

keadaan terbangun. Saat pindah, rumah langsung ditempati begitu saja karena awalnya

mereka menganggap dapat beradaptasi dengan pola yang sudah ada di rumah barunya tersebut.

Tapi setelah dua tahun, mereka menyadari bahwa terdapat pola yang tidak sesuai hingga

kemudian merenovasinya. Menilik dari metode Hay (2007), penghuni telah melakukan

pengubahan sampai tahap intervention dimana existing bangunan ikut ditransformasi hingga

membongkar bentuk lama untuk menyesuaikan dengan kebutuhan ruang di dalamnya.

Pada bagian luar, penghuni memperluas teras untuk mendukung kegiatan dan kebiasaan

mereka. Pada bagian dalam, posisi dapur yang awalnya berada di bagian depan dipindahkan

ke belakang. Menurut mereka, dapur merupakan area yang tidak pantas terlihat orang lain.

Dapur dianggap sebagai sesuatu yang harus disembunyikan karena berantakan dan merupakan

privasi penghuni. Ini juga disebabkan oleh aroma masakan dan bau asap yang dapat

mengganggu tamu sehingga membuatnya tidak nyaman. Menurut Saidi (2002), orang Betawi

Gambar 1. Denah rumah bapak R sebelum renovasi (kiri) dan sesudah renovasi (kanan)

Sumber: Ilustrasi pribadi berdasarkan observasi

1

2 3 4

5 6

7 8

9

1 2

5 8

3

4

6

7

9

Publik

Privat

Servis

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 10: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

dikenal sangat menghargai tamu yang datang. Dikarenakan oleh pemindahan dapur, kamar

ibu mertua dan anak perempuan bapak R menjadi pindah ke depan. Menurut mereka, kamar

tidurlah yang sepantasnya berada di depan, sedangkan dapur di belakang. Hal ini disebabkan

lingkungan mereka telah membiasakan dan menanamkan pola seperti itu sehingga mereka

cenderung memberi labelling terhadap sesuatu yang pantas dan tidak pantas. Hal tersebut

mengakibatkan perubahan zona rumah yang semakin mendekati tipikal rumah Betawi.

Pembagian zona pada tipikal rumah orang Betawi terdiri dari tiga bagian yang

tersusun berurutan dari depan ke belakang meliputi publik, privat, dan servis (Boedhisantoso

dalam Prasetya, 2007). Pembagian zona rumah bapak R tidak terlalu berurutan seperti itu lagi,

melainkan lebih membaur. Namun, antara tipikal rumah Betawi dengan rumah bapak R

sebenarnya tidak jauh berbeda. Hanya posisi kamar mandi saja sebagai area servis yang

biasanya pada tipikal rumah Betawi tersembunyi di belakang, tapi justru terletak di tengah.

Selebihnya, pembagian ruang di rumah bapak R masih tersusun berurutan yaitu publik di

depan, privat di tengah, dan servis di belakang.

Seperti rumah orang Betawi umumnya, rumah bapak R juga memiliki teras yang cukup

luas dimana mereka memiliki kebiasaan untuk sering mengobrol bersama, menjamu tamu,

dan mengadakan acara tertentu. Karena teras sering digunakan, mereka tidak sekedar

memfasilitasinya dengan kursi teras biasa, tapi justru dengan sofa dan meja tamu. Teras yang

selalu digunakan bersama ini menunjukkan keterbukaan penghuni sebagai ciri orang Betawi.

Rumah ini memiliki tiga kamar dimana anak laki-laki bapak R tidak memiliki kamar

tersendiri. Anak laki-laki bapak R tidur di ruang keluarga karena jarang berada di rumah. Bila

ditilik dari kebudayaan Betawi, anak laki-laki yang tidak memiliki kamar adalah hal biasa

karena dianggap bisa tidur dimana saja (Prasetya, 2007). Kamar tidur anak perempuan bapak

R berada di depan dekat dengan pintu masuk. Pada tipikal rumah Betawi, kamar anak

perempuan memang biasanya diposisikan di paling depan dekat dari pintu masuk (Prasetya,

2007). Dahulunya, hal ini dipercaya dapat mempermudah akses anak tersebut untuk bertemu

teman laki-lakinya (Prasetya, 2007). Namun, sekarang hal tersebut sudah tidak dihiraukan lagi.

Posisi ini lebih dikarenakan mereka telah terbiasa dengan hal tersebut yang kemudian

tertananam menjadi pola tertentu dan terus diterapkan pada rumah tinggal mereka.

Semua kamar tidur di rumah bapak R diatur agar menyisakan space melintang ke arah

Barat (kiblat) untuk melakukan ibadah sholat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Saidi

(1997) yang menyatakan bahwa mayoritas orang Betawi merupakan penganut agama Islam

yang cukup taat. Oleh karena itu pula, posisi WC pada rumah ini tidak menghadap kiblat

karena WC yang menghadap kiblat dianggap tidak etis. Mungkin hal ini tidak hanya berlaku

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 11: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

pada masyarakat Betawi saja, tapi sebagai masyarakat yang memiliki pengaruh Islam cukup

kuat, sebagian besar orang Betawi juga turut menerapkan hal tersebut pada rumah mereka.

Di ruang keluarga, mereka hanya menggunakan karpet yang dianggap lebih terasa

kebersamaannya karena dinilai santai dan tidak kaku. Rumah bapak R tidak memiliki ruang

makan karena mereka tidak terbiasa makan di meja makan. Meja makan di dapur hanya

digunakan untuk meletakkan masakan matang. Mereka biasanya makan sambil mengobrol

dan menonton TV di ruang keluarga. Menurut Prasetya (2007), keberadaan ruang makan pada

kebanyakan rumah orang Betawi memang jarang, meskipun ada, biasanya penggunaannya

kurang maksimal. Berdasarkan keterangan bapak R dan penjelasan Saidi (1997) mengenai

sifat orang Betawi, disimpulkan bahwa kurang maksimalnya penggunaan ruang makan di

rumah orang Betawi mungkin karena anggapan bahwa makan di meja makan terlalu formal

dan kaku, sedangkan orang Betawi cenderung memiliki sifat sederhana dan santai.

Kelompok ruang pada kebanyakan rumah orang Betawi ditata ke dalam bentuk persegi

panjang sederhana berpola simetris. Terdapat sumbu abstrak imajiner lurus di tengah massa

bangunan sebagai jalur sirkulasi utama dimana ruangan lainnya berada pada sisi sumbu

tersebut (Prasetya, 2007). Rumah bapak R masih memiliki satu jalur sirkulasi utama dengan

ruangan lain pada sisinya, tapi tidak membentuk garis lurus yang simetris lagi.

Saat rumah bapak R di Jakarta dan di Cimahi dibandingkan, ternyata hanya terdapat

sedikit perbedaan dimana pada pembagian zona rumah di Jakarta masih tersusun menyerupai

tipikal rumah Betawi, sedangkan rumah di Cimahi lebih membaur. Selebihnya, kedua rumah

masih memiliki pola pengaturan yang sama. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

Gambar 2. Denah umum rumah Betawi (kiri); denah rumah di Jakarta (tengah); denah rumah di Cimahi (kanan)

Sumber: Prasetya, 2007 (telah diolah kembali) (kiri); ilustrasi pribadi berdasarkan observasi (tengah & kanan)

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 12: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

meskipun berada di luar kota asalnya, pola-pola kebudayaan asal penghuni masih terbawa.

Organisasi ruang rumah bapak R masih cukup mencerminkan kebetawiannya, tapi telah

mengalami penyesuaian pada bagian-bagian tertentu.

4.2 Studi Kasus Kedua

Rumah dihuni oleh bapak H, isterinya, dan anak perempuannya. Mereka berasal dari

Kalisari, Betawi Pinggir. Masyarakat Betawi Pinggir cenderung akan lebih menunjukkan

kebetawiannya, begitupun pada rumah mereka (Swadarma dan Aryanto, 2013). Rumah bapak

H dibeli dalam keadaan terbangun dan telah ditempati selama enam tahun. Berbeda dengan

keluarga bapak R, keluarga bapak H sejak awal dapat langsung menyadari pola yang kurang

sesuai pada rumah mereka sehingga langsung merenovasinya mengingat mereka berasal dari

Betawi Pinggir yang menurut Shahab (2004) paling teguh memegang nilai budayanya.

Setelah selesai direnovasi, barulah kemudian mereka menempati rumah tersebut.

Dilihat dari metode Frazer Hay (2007), keluarga bapak H juga melakukan pengubahan

sampai tahap intervention. Existing rumah ikut ditransformasi hingga membongkar bentuk

lama agar sesuai dengan kebutuhan ruang di dalamnya. Pada bagian luar, penghuni

memperluas teras karena mereka telah terbiasa dengan teras yang luas. Selain itu, pada

eksisting sebelumnya, terdapat ruang makan, tapi, diubah menjadi kamar tidur. Berbagai

pengubahan yang dilakukan tadi berdampak pada perubahan aktivitas dan zona di dalam

rumah yang sebelumnya membaur, tapi, setelah dilakukan renovasi menjadi lebih berurutan.

Organisasi ruang rumah ini persis mengikuti pola pada tipikal rumah Betawi. Terdapat

teras yang cukup luas untuk mewadahi acara tertentu serta kebiasaan mereka mengobrol dan

bersantai. Saat di teras, mereka selalu menyapa tetangga yang lewat dan tidak jarang berakhir

Gambar 3. Denah rumah bapak H sebelum renovasi (kiri) dan sesudah renovasi (kanan)

Sumber: Ilustrasi pribadi berdasarkan observasi

Publik

Privat

Servis

Ket. gambar: 1. Teras

2. Ruang tamu

3. Kamar anak perempuan

4. Kamar bapak H & isteri

5. Ruang keluarga

6. Kamar mandi

7. Dapur

8. Ruang makan

9. Gudang/kamar tambahan

1 1

2 2 3 3

4

4 5 5

6 6 7 7

8

9

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 13: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

pada kegiatan mengobrol di teras. Di teras terdapat kursi dan meja plastik yang ringan dan

mudah ditambah sesuai dengan jumlah tamu yang sering datang. Menurut Saidi (2002), bagi

orang Betawi, teras menjadi bagian terfavorit untuk melakukan aktivitas bersama.

Pengaturan posisi kamar tidur di rumah bapak H sama dengan rumah bapak R dan

tipikal rumah Betawi lain. Kamar anak perempuan bapak H juga terletak di depan. Dahulunya

memang terdapat pemaknaan tertentu, tapi sekarang posisi ini lebih karena faktor kebiasaan.

Pengaturan ini juga dikarenakan faktor efektifitas akses karena organisasi ruang pada rumah

Betawi juga ditentukan berdasarkan tuntutan praktis. Ruang keluarga bapak H juga sengaja

hanya menggunakan karpet karena mereka menganggap duduk lesehan terkesan lebih santai.

Posisi semua ruang servis terletak di belakang. Menurut bapak H, ruang servis berada di

belakang karena bersifat pribadi dan berantakan. Di dapur bapak H juga terdapat meja makan

untuk menyiapkan dan meletakkan masakan saja. Mereka biasanya makan di ruang keluarga

sambil mengobrol dan menonton TV. Di kebanyakan rumah Betawi memang jarang terdapat

ruang makan, meskipun ada biasanya penggunaannya kurang maksimal (Prasetya, 2007).

Mayoritas orang Betawi merupakan pemeluk agama Islam sehingga nilai-nilai

keislaman sering tercermin pada rumah mereka. Diantaranya, setiap kamar yang ada di rumah

bapak H menyisakan space yang melintang ke arah Barat (kiblat) untuk melakukan ibadah

sholat. Selain itu, posisi WC di kamar mandi pun tidak menghadap kiblat karena alasan etika.

Berbeda dengan rumah keluarga bapak R, pengelompokkan ruang di rumah bapak H

masih identik dengan pola pada tipikal rumah Betawi kebanyakan, yaitu berbentuk persegi

panjang berpola simetris dan terdapat sumbu abstrak imajiner lurus di tengah sebagai jalur

Gambar 4. Denah umum rumah Betawi (kiri); denah rumah di Jakarta (tengah); denah rumah di Cimahi (kanan)

Sumber: Prasetya, 2007 (telah diolah kembali) (kiri); ilustrasi pribadi berdasarkan observasi (tengah & kanan)

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 14: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

sirkulasi utama, ruangan-ruangan lain berada pada sisi sumbu tersebut (Prasetya, 2007).

Selain itu, jika rumah bapak H yang berada di Jakarta dan di Cimahi dibandingkan, organisasi

dan pemanfaatan ruangnya ternyata masih sangat identik, keduanya menyerupai pola pada

tipikal rumah Betawi. Pembagian ruangnya terbagi menjadi tiga area yang teratur dan

berurutan yaitu publik, privat, dan servis. Kedua rumah juga memiliki satu jalur sirkulasi

utama dengan ruangan lain pada sisi-sisinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

pola-pola yang berasal dari kebudayaan asal penghuni masih dapat terbawa dan turut

mempengaruhi pembentukan rumah mereka sehingga meskipun berada di luar kota asalnya,

pola pengaturan rumah bapak H masih sangat mencerminkan kebetawiannya.

5. Pembahasan

Pada dasarnya, kedua studi kasus menunjukkan bahwa penghuni telah melibatkan diri

dalam pembentukan rumahnya. Hal tersebut terlihat dari upaya renovasi dan pengaturan yang

dilakukan karena terdapat beberapa hal yang dianggap tidak sesuai dengan nilai, norma,

budaya, ataupun kebiasaan penghuni. Ini mengindikasikan bahwa meskipun berada di luar

daerah asalnya, mereka masih membawa pola-pola akibat dari pengaruh kebudayaan asalnya.

Berdasarkan studi kasus, diketahui bahwa meskipun lokasinya telah berada di luar

daerah asalnya, rumah masih dapat mencerminkan pola-pola yang berasal dari pengaruh

kebudayaan asal -pada kasus ini kebudayaan masyarakat Betawi-. Terdapat persamaan dan

perbedaan yang diperlihatkan oleh kedua studi kasus dalam upaya mereka membentuk rumah

tinggal agar sesuai dengan kebiasaan, preferensi, dan kebudayaannya. Persamaannya terlihat

pada tingkatan pengubahan yang dilakukan, keduanya merenovasi rumah mereka sampai pada

tahap intervention dalam metode Frazer Hay (2007). Hal tersebut terindikasi dari upaya

penghuni yang mengubah fisik bagian dalam rumah dan juga turut mentransformasi eksisting

luar bangunan hingga menciptakan bentuk dan pola ruang baru pada rumah mereka.

Berbagai pengaturan dan renovasi yang dilakukan oleh penghuni di kedua studi kasus

membuktikan pernyataan Franck dan Lepori (2000) yang mengungkapkan, pada proses

pembentukan ruang, manusia adalah subjek penentu bagaimana arsitektur terbentuk karena

sangat dipengaruhi oleh keberadaan penggunanya. Tindakan penghuni di kedua studi kasus

menunjukkan bahwa mereka adalah subjek utama dalam pembentukan rumah tinggalnya

sehingga rumah diatur agar sesuai dengan kebudayaan mereka sendiri. Pengaturan ini

dipengaruhi oleh faktor kebiasaan dan kepercayaan pada nilai-nilai dalam kebudayaan mereka

yang kemudian tercermin pada organisasi serta pola ruang rumah. Hal ini berkaitan dengan

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 15: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

pernyataan Rapoport (dalam Snyder & Catanese, 1984), pertimbangan aspek norma, budaya,

dan psikologis masyarakat dapat mempengaruhi pembentukan pola ruang dalam rumah.

Terdapat sedikit perbedaan pada pembentukan organisasi ruang diantara kedua studi

kasus. Dalam tipikal rumah Betawi, pembagian zonanya tersusun berurutan mulai dari area

publik di depan, privat di tengah, dan servis di belakang. Hal tersebut masih sangat diterapkan

di rumah bapak H. Namun pada rumah bapak R, pengaturan zonanya cenderung lebih

membaur. Selain itu, posisi jalur sirkulasi utama rumah bapak R tidak membentuk garis lurus

yang simetris lagi seperti pada tipikal rumah Betawi kebanyakan. Meskipun begitu, rumah

bapak R masih memiliki satu jalur sirkulasi utama dengan ruangan lain pada sisinya, hal

tersebut tidak berbeda jauh dengan pola pada rumah Betawi. Ini menunjukkan bahwa

organisasi ruang rumah bapak R masih mengikuti pola rumah Betawi, tapi telah mengalami

penyesuaian pada bagian-bagian tertentu. Berbeda dengan bapak R, posisi jalur sirkulasi

utama di rumah bapak H berada tepat di tengah massa bangunan membentuk garis lurus yang

di sisinya terdapat ruangan-ruangan lain, identik dengan pola pada tipikal rumah Betawi.

Perbedaan diantara dua studi kasus ini diduga disebabkan oleh perbedaan daerah asal mereka.

Keluarga bapak R berasal dari Betawi Tengah yang diketahui cenderung lebih adaptif

terhadap hal-hal di luar kebetawian (Swadarma dan Aryanto, 2013). Sedangkan keluarga

bapak H berasal dari Betawi Pinggir yang menurut Shahab (2004) merupakan masyarakat

Betawi yang paling kuat dan teguh memegang tradisi Betawi dibandingkan Betawi lainnya.

Ada beberapa kesamaan pada pemanfaatan ruang di kedua studi kasus. Keduanya sama-

sama memanfaatkan ruang keluarga sebagai tempat untuk makan. Mereka tidak memiliki

ruang makan khusus, padahal keduanya masih memiliki space yang cukup jika ingin

merealisasikan keberadaan ruang makan, mereka juga sebenarnya memiliki meja makan di

dapur. Tapi, meja makan tersebut hanya digunakan untuk menyiapkan dan meletakkan

masakan matang saja. Mereka biasanya makan di ruang keluarga karena tidak terbiasa makan

di meja makan yang dianggapnya terlalu kaku. Clovis Heimsath (1988) mengungkapkan

bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh kebudayaannya dimana tingkah laku tersebut

memicu kegiatan tertentu yang dilakukannya secara berulang-ulang hingga menjadi kebiasaan.

Berbagai pengaturan yang dilakukan penghuni mendapat pengaruh dari nilai, norma,

dan kepercayaan mereka terkait latar belakang budayanya, seperti peletakkan WC yang tidak

etis menghadap kiblat (Barat), posisi area servis yang dinilai tidak pantas berada di bagian

depan rumah dan seharusnya disembunyikan dari pandangan tamu, kebiasaan menjamu tamu

yang dianggap baik karena alasan tertentu, dan pengaturan lainnya membuktikan pernyataan

McIver (dalam Supsiloani, 2008) yang mengatakan, kebudayaan merupakan sesuatu yang

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 16: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

diciptakan oleh manusia, tapi pada gilirannya, kebudayaan menjadi suatu kekuatan yang

mengatur bahkan memaksa manusia untuk melakukan tindakan dengan polanya

tertentu. Kebudayaan memberikan konsepsi tentang apa yang benar atau salah (nilai moral),

baik atau buruk (nilai etika) serta indah atau jelek (nilai estetika). Dari sistem nilai tumbuh

norma sebagai patokan atau rambu-rambu yang mengatur (McIver dalam Supsiloani, 2008).

Kebudayaan akan menanamkan pandangan hidup, norma, dan nilai (moral, etika, juga

estetika) kepada masyarakatnya untuk melakukan sesuatu dengan pola tertentu berupa aturan,

larangan, ataupun kepercayaan sehingga mereka cenderung akan mentaati dan melakukan

pola tadi secara terus menerus dan berulang hingga menjadi terbiasa (Prijotomo, 1988;

McIver dalam Supsiloani, 2008; Heimsath 1988). Secara sadar ataupun tidak, pola tersebut

Gambar 5. Skema pengaruh kebudayaan pada pembentukan pola rumah yang berada di luar daerah asal

Sumber: Ilustrasi pribadi

Manusia subjek utama dalam ruang

arsitektur/ interior mengacu pada pola perilaku,

aktivitas, kebiasaan, & kebudayaannya

Sadar atau tidak, pola yang berasal dari

pengaruh kebudayaan asal masih tertanam

dan terbawa dalam subconscious mind

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 17: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

terus melekat dan terbawa di dalam diri sehingga mereka cenderung akan membentuk

lingkungannya -dalam hal ini rumah tinggal- mengikuti pola tadi.

Dikarenakan mereka sudah terbiasa dan familiar akan suatu pola dari kebudayaan

asalnya, mereka baru akan merasa nyaman jika berada di dalam perwujudan pola tersebut. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Franck dan Lepori (2000) yang menyatakan, pembentukan ruang

pada manusia berkaitan dengan pengalaman ruang yang telah dialaminya sejak lahir. Ruang

yang telah diingat akan mempengaruhi pembentukan ruang-ruang selanjutnya berkaitan

dengan stimulasi mengenai kondisi sosial dan budaya di sekitarnya (Franck dan Lepori, 2000).

Arsitektur merupakan wujud kebudayaan dimana kebudayaan sebagai ide akan menghasilkan

suatu pola atau bentuk tertentu kemudian arsitektur akan menunjukkan bagaimana pola dan

bentuk tersebut mengkomunikasikan pengaruh kebudayaan yang berupa ide tadi (Prijotomo,

1988). Tinggal di lingkungan baru memicu dialektika antara kebudayaan yang dibawa

penghuni dengan kondisi lingkungan yang ada. Menurut Bennet (1976), kebudayaan akan

memberi masukan berupa persepsi moral sebagai pengendali atau kontrol dalam mengarahkan

dan mengambil keputusan -dalam hal ini keputusan saat merancang pola rumah tinggal-.

6. Kesimpulan

Manusia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang melingkupinya. Kebudayaan

akan mempengaruhi setiap tindakan yang mereka ambil, salah satunya pada saat merancang

rumah sebagai perwujudan dari kebudayaan tersebut. Manusia cenderung akan membentuk

rumahnya sesuai dengan kebudayaan mereka karena manusia sebagai penghuni merupakan

pengguna atau subjek utama di dalam rumahnya. Hal ini berkaitan erat dengan aktivitas,

kebiasaan, kepercayaan, nilai, juga norma yang berasal dari kebudayaan asal manusia tersebut.

Ketika manusia dituntut untuk keluar dari daerah asalnya, mereka dihadapkan pada

pilihan untuk mempertahankan pola-pola kebudayaan asal mereka atau beradaptasi dengan

lingkungan barunya. Dalam hal ini, studi kasus yang diteliti adalah orang Betawi yang berada

di luar Jakarta yaitu di Cimahi, Jawa Barat. Fakta dari studi kasus menunjukkan bahwa pola-

pola kebudayaan asal penghuni masih tercermin dan turut mempengaruhi pembentukan rumah

tinggalnya, meskipun telah berada di luar daerah asalnya. Pola tadi tertanam dan terbawa

dalam subconscious mind mereka. Hal tersebut terlihat dari pengaturan yang dilakukan

penghuni terhadap rumah yang awalnya dibeli dalam keadaan terbangun, tapi kemudian,

mereka renovasi agar sesuai dengannya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat

beberapa hal yang telah mengalami penyesuaian karena alasan efektifitas penggunaan ruang.

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 18: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

Berdasarkan studi kasus, dapat disimpulkan bahwa pengaruh kebudayaan di dalam

rumah dapat tercermin pada pola pengaturan dan penataan keruangannya yang terdiri dari:

Pengubahan secara fisik

Keterlibatan penghuni dalam mengubah bentuk fisik rumah, mulai dari pengubahan

eksisting pada bagian luar juga bagian dalam bangunan untuk menyesuaikan dengan

preferensi, kebutuhan, dan kebudayaan penghuni tersebut.

Organisasi ruang

Berupa pengaturan posisi ruang berikut sirkulasi di dalam rumah. Hal ini berkaitan

dengan rasa familiaritas penghuni terhadap suatu pola serta faktor efektifitas ruang

yang saling berhubungan untuk mempermudah akses terkait pola kegiatan dan

kebiasaan akibat pengaruh dari kebudayaannya.

Tata letak elemen interior

Diperlihatkan dari pengaturan posisi furnitur di dalam rumah yang dilakukan oleh

penghuni berkaitan dengan kebiasaan, nilai, dan norma yang mereka pegang, seperti

nilai dan norma moral ataupun agama. Tata letak elemen interior berupa furnitur ini

merupakan hal yang paling fleksibel karena dapat diatur dengan mudah.

Pemanfaatan ruang

Faktor kebiasaan dan pola kegiatan juga sangat berperan dalam poin ini yang

mengakibatkan adanya pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, bahkan sampai pada

penumpukan dan pengalihfungsian ruang. Oleh karena itu, perlu dipelajari benar

kebiasaan dan pola aktivitas penghuni di dalam rumah tinggalnya.

Berdasarkan tingkatannya, kedua studi kasus melakukan pengubahan fisik sampai pada

tahap intervention (pengubahan eksisting luar & dalam). Berdasarkan organisasi ruang, tata

letak elemen interior, dan pemanfaatan ruangnya, keduanya cenderung masih mengikuti pola-

pola dari kebudayaan asal mereka. Pengaturan dan pengubahan yang dilakukan oleh penghuni

terhadap rumahnya tersebut menunjukkan bahwa penghuni memiliki peran penting sebagai

referensi dasar saat dilakukan perancangan arsitektur. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa

manusia memiliki keterikatan yang cukup kuat dengan kebudayaannya yang mempengaruhi

dan mengatur mereka sebagai pengendali dalam memberikan persepsi moral dan rasa familiar

atau kebiasaan dalam bentuk pola tertentu. Kebudayaan mempengaruhi masyarakatnya

dengan menanamkan pandangan hidup, nilai, dan norma yang kemudian melahirkan aturan

dan kepercayaan berupa pola yang dilakukan secara berulang hingga menghasilkan kebiasaan.

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 19: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

7. Saran

Pada akhirnya, dengan memahami perlakuan penghuni dalam membentuk rumah

tinggal mereka agar sesuai dengan kebudayaannya, kita dapat mengambil beberapa pelajaran.

Dalam merancang pola keruangan suatu arsitektur -dalam hal ini rumah tinggal-, kita harus

memperhatikan aspek kebudayaan penghuni sebagai referensi dasar karena mereka adalah

aktor utama yang tinggal dan menggunakan arsitektur tersebut. Kita juga seharusnya

menyadari bahwa dalam merancang -pada kasus ini adalah merancang rumah tinggal- tidak

hanya mementingkan aspek estetika saja, tapi juga harus memperhatikan kebiasaan, pola

aktivitas, bahkan kepercayaan, nilai, dan norma tertentu terkait kebudayaan penghuninya.

Tulisan ini tentu masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Terbatasnya referensi

mengenai tipikal rumah masyarakat Betawi menjadi permasalahan utama yang penulis temui.

Sumber-sumber mengenai tipikal rumah Betawi dalam tulisan ini pun masih terbuka untuk

dilakukan penelitian selanjutnya. Oleh karena itu, disarankan untuk dilakukan penelitian-

penelitian sejenis demi pengembangan dan perbaikan tulisan yang telah ada sebelumnya.

8. Daftar Referensi

Al Ayyubi, Sholahuddin. 2013. “Budaya Betawi Mulai Terpinggir”.

http://metro.sindonews.com/read/…/budaya-betawi-mulai-terpinggir. [diakses pada 24 April

2013 pukul 02.36 WIB].

Babu, Venkatesh dan Kalpana Kuttiah. 1996. “Cultural Continuity in Development”, Journal

Traditional Dwelling and Settlement, Vol. 96/IASTE, University of California at Berkeley,

Berkeley.

Bennet, J. W. 1976. The Ecological Transition Cultural Anthropology and Human Adaptation.

New York: Pergamon Press Inc.

Boedojo, Poedio, dkk. 1986. Arsitektur, Manusia, dan Pengamatannya. Jakarta: Djambatan.

Budhisantoso. 1997. Simposium: “Peranan Identitas Budaya dalam Karya Arsitektur”. Dalam

Jati Diri Arsitektur Indonesia oleh Eko Budihardjo (Ed.). Bandung: IKAPI.

Ching, D. K. dan Corky Binggeli. 2012. Interior Design Illustrated. New York: Wiley.

Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2010.

“Suku Betawi”. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/…/Betawi-Suku. [diakses pada 30

April 2013 pukul 15.05 WIB].

Franck, Karen A. dan R. Biancha Lepori. 2000. Architecture Inside Out. New York: Wiley-

Academy.

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013

Page 20: Pengaruh Kebudayaan pada Pola Ruang Rumah Melalui ...

Friedmann, Arnold, dkk. 1970. Interior design: an introduction to architectural interiors.

New York: American Elsevier.

Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of cultures. London: Hutchinson & Co. Publishers.

Gwinn, Robert P. 1986. The New Encyclopaedia Britannica - Volume 1. Chicago:

Encyclopaedia Britannica Inc.

Hall, Edward T. 1973. The Silent Language. New York: Anchor Doubleday.

Hay, Frazer. 2007. Interior Architecture, dalam Thinking Inside The Box. London: Middlesex

University.

Hayward, P.G. 1987. Homes as an Environmental and Psychological Concept. New York :

Holt, Renehart, dan Wiston.

Heimsath, Clovis. 1988. Arsitektur dari Segi Perilaku, Menuju Proses Perancangan yang

Dapat Dijelaskan. Bandung: Intermatra.

Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.

Prasetya, Liu Ardy. 2007. “Sekolah Tinggi Arsitektur Jakarta”. Tesis. Fakultas Teknik.

Universitas Bina Nusantara. Jakarta.

Prijotomo, Josef. 1988. Ideas and Form of Javanese Architecture. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Rapoport, Amos. 1969. House Form and Culture. New Jersey: Prentice-Hall International.

Saidi, Ridwan. 1997. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya.

Jakarta: Gunara Kata.

Saidi, Ridwan. 2002. Badud Tanah Betawi. Jakarta: Gria Media Prima.

Shahab, Yasmine Zaki. 2004. Identitas dan Otoritas Rekonstruksi Tradisi Betawi. Depok:

Laboratorium Antropologi FISIP UI.

Siregar, Laksmi Gondokusumo. 2008. Makna Arsitektur. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia.

Snyder, James C. dan Anthony J. Catanese. 1984. Pengantar Arsitektur. Jakarta: Erlangga.

Sumaatmaja, Nursid. 1996. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan lingkungan Hidup.

Bandung: Alfabeta.

Supsiloani. 2008. “Analisa Nilai Budaya Masyarakat Dan Kaitannya Dalam Pembangunan

Wilayah Di Kecamatan Raya Kabupaten Simalungun”.

http://repository.usu.ac.id/…/Chapter%20I.pdf. [diakses pada 20 April 2013 pukul 01.02

WIB].

Swadarma, Deni dan Yunus Aryanto. 2013. Rumah Etnik Betawi. Depok: Griya Kreasi.

Turner, John F. C. 1972. Freedom to Build. London: Marion Boyars Publisher Ltd.

Pengaruh kebudayaan..., Annisa Meydina Putri, FT UI, 2013