PENGARUH GHARAR TERHADAP KEABSAHAN TRANSAKSI JUAL BELI · 2020. 3. 9. · sistem jual beli yang...
Transcript of PENGARUH GHARAR TERHADAP KEABSAHAN TRANSAKSI JUAL BELI · 2020. 3. 9. · sistem jual beli yang...
i
PENGARUH GHARAR TERHADAP KEABSAHAN TRANSAKSI JUAL BELI
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh : ABDUL MALIK LAKIBULA
NIM : 105260013415
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1441 H/ 2020
ii
iii
iv
v
vi
ABSTRAK
Abdul Malik Lakibula NIM : 105260013415. Pengaruh Gharar Terhadap Keabsahan Transaksi Jual Beli (dibimbing oleh Hasan Bin Juhanis dan Supriadi Yosuf Boni) Penelitian ini membahas tentang bagaimana Pengaruh Gharar Terhadap Keabsahan Transaksi Jual Beli, adapun pokok masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Defenisi Gharar menurut Fiqih Islam 2) Cakupan Gharar dalam sistem muamalah islam 3) Pengaruh Gharar terhadap keabsahan transaksi jual beli. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pustaka yaitu penelitian dengan cara mengakaji dan menelaah data yang diperoleh dan sumber kepustakaan seperti buku-buku, rnakalah-rnakalah, artikel, dan lain sebagainya yang menyangkut tentang pengaruh Gharar terhadap keabsahan transaksi jual beli. Dan pandangan ulama, sehingga akan mendapatkan data yang tepat dan jelas yang kemudian data-data tersebut disalin dan disusun dalam penyusunan skripsi setelah melalui penelitian secara seksama. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa; 1) Defenisi Gharar menurut bahasa adalah al-khatar (sesuatu yang belum diketahui) suatu akad mengandung unsur penipuan ketika tidak ada ketidakjelasan, sedangkan menurut istilah gharar adalah hal yang belum diketahui hasilnya atau apa yang belum diterima hasilnya atau apa yang belum diketahui hakikat dan takarannya. 2) Cakupan gharar meliputi; a. jual beli barang yang belum ada (ma‟dum), b. jual beli barang yang belum mutlak, c. jual beli barang yang tidak mampu diserahterimakan, d. Ma‟qud „alaih (benda atau barang). 3) Pengaruh gharar terhadap keabsahan transaksi jual beli yaitu ; segala kegiatan yang berkaitan dengan aspek muamalah atau kemasyarakatan diperlukan adanya suatu aturan yang jelas, agar melakukannya tidak ada kecurangan diantara pihak yang dapat merugikan orang lain. Kemudian implikasi dan hasil penelitian ini adalah diharapkan kepada semua masyarakat khususnya umat islam untuk memahami hak khiyar dalam jual beli, diharapkan kepada seluruh masyarakat dengan sistem jual beli yang sesuai dengan hukum islam, dan diharapkan adanya sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan praktek yang mereka lakukan selama ini tentang muamalah dalam islam, sehingga tidak didapati lagi aplikasi jual beli yang bertentangan dengan hukum islam. Kata Kunci: Pengaruh, Gharar, Keabsahan, Transaksi, Jual Beli.
vii
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله نحمده و نستعنه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا و من إن
سئات أعمالنا, من هده الله فلا مضل له ومن ضله فلاهادي له. وأشهد أن لا
إله إلا الله وحده لا شرك له. وأشهد أن محمدا عبده و رسوله. أما بعد.
Syukur Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT. Atas
limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis bisa
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada junjungan alam Rasulullah Muhammad SAW. juga
kepada keluarga-Nya, para sahabat-Nya, dan semoga sampai kepada kita
sekalian yang tetap istiqamah di jalan-Nya dalam mengarungi bahtera
kehidupan ini hingga akhir.
Skripsi ini berjudul “PENGARUH GHARAR TERHADAP
KEABSAHAN TRANSAKSI JUAL BELI” yang di jadikan sebagai
syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum
Keluarga (Ahwal Syakhshiyah) Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik dari segi bahasa, isi maupun sistimatika penulisan.
Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati dan tangan terbuka
viii
penulis senantiasa menerima kritikan dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan skripsi ini.
Sejak penyusunan skripsi ini penulis menemui banyak hambatan.
Namun akhirnya dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak.
Karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Abd Rahman Rahim SE,MM, Rektor Universitas
Muhammadiyah Makasar Sulawesi Selatan.
2. Syaikh Dr.(HC) Muhammad At-Thayyib Thayyib Khoory Donatur
AMCF beserta jajarannya yang berada di Jakarta.
3. Drs. H. Mawardi Pewangi, M.Pd.I. Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Makassar.
4. Dr. M. Ilham Muchtar, Lc, MA., Ketua Prodi Hukum Keluarga
(Ahwal Syakhsiyah) Universitas Muhammadiyah Makassar
sekaligus sebagai pembimbing I
5. H. Lukman Abd Shamad, Lc. Mudir Ma‟had Al-Birr Universitas
Muhammadiyah Makassar.
6. Hasan Bin Juhanis, Lc.M.S selaku pembimbing pertama dan
Supriadi Yosuf, Lc. M.A selaku pembimbing kedua yang senantiasa
sabar dalam mendampingi dan membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Para dosen yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas
segala bimbingan dan ilmu yang diajarkan kepada penulis selama
ix
di bangku perkuliahan, semoga menjadi amal jariyah yang diterima
Allah SWT.
8. Kepada seluruh teman-teman di Mahad Al-Birr khususnya di Prodi
Ahwal Syakhsiyah Fakultas Agama Islam terkhusus teman-teman
angkatan 2015 dan segenap pengurus HIMAPRODI Ahwal
Syakhshiyah periode 2018-2019 yang telah bersama-sama
menjalani perkuliahan dengan suka dan duka.
9. Teman-teman sepermainan dan seperjuangan yang sesama
perantau terutama para rekan remaja masjid Al Ikhlas Citra Mutiara
yang telah banyak membantu serta menghibur di kala susah
maupun senang, semoga Allah memberkahi.
10. Segenap keluarga yang telah membantu baik dalam doa maupun
materi dalam menuntut Ilmu dan penyelesaian skripsi ini, dan lebih
terlebih khusus kepada istri tercinta Sitti Mulia Sora P yang telah
bersedia mendampingi perjuangan kami sejak Setahun pernikahan
kami yang telah mengandung, menyusui dan merawat putri
pertama kami Shafira Lutfiah Lakibula dengan penuh kesabaran
semoga membalasnya dengan pahala yang berlipat atas
kehadiranmu menemaniku dan menjadi penyemangat jiwaku.
Teristimewa penulis haturkan ucapan terima kasih yang sebesar-
sebesarnya kepada ayahanda tercinta Hensi Lakibula berkat doamu yang
selalu kau panjatkan dalam sujud-sujudmu di sepertiga malam terakhir
serta kesabaranmu menahan Rindu dalam rangka merelakan Anak yang
x
di cintainya untuk menuntut Ilmu di perantauan dalam waktu yang tidak
sebentar semoga Allah menjaga dan memberikan umur yang berkah serta
kemuliaan dunia dan akhirat. Amin dan Ibunda kami Ambiya Mokoagow
yang telah mendahului penulis menemui sang Pencipta, Penulis belajar
banyak tentang banyak hal semasa hidup beliau dari sosok ayah yang
penuh rasa tanggung jawab memimpin keluarga bahagia kami semoga
menjadi amal jariyah pemberat timbangan kebaikan baginya di alam
akhirat. Amin.serta saudara-saudara dan seluruh anggota keluarga
besarku atas segala kesabaran dan ketabahan dalam mendidik, serta
memotivasi, iringan doa dan pengorbanannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
adanya baik terhadap penulis, para pembaca, Agama, Bangsa dan
Negara.
Makassar, 01 Dzulhijjah 1440 H 01 Agustus 2019 H Penulis
Abdul Malik Lakibula
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ........................................................................... i
PENGESAHAN SKRIPSI .................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING. .......................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI. .................................................. iv
BERITA ACARA MUNAQASYAH ....................................................... v
ABSTRAK. ........................................................................................... vi
KATA PENGANTAR. ........................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................ 7
1. Tujuan Penelitian. ........................................................... 7
2. Manfaat Penelitian ......................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian (Review) Studi Terdahulu ......................................... 8
B. Tinjauan Umum mengenai Gharar........................................ 10
1. Pengertian Gharar ......................................................... 10
2. Landasan Hukum terhadap Larangan Gharar ............... 13
3. Gharar dan Tadlis ........................................................ 17
xii
4. Jenis dan Unsur Gharar ................................................ 19
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian .................................................................... 33
B. Pendekatan Penelitian ......................................................... 34
C. Metode Pengumpulan Data . ................................................ 35
D. Metode Pengelolahan dan Analisis Data ............................. 63
BAB IV PEMBAHASAN
A . Definisi Gharar menurut Fiqih Islam. ..................................... 38
B. Cakupan Gharar dalam Sistem Mua‟malah Islam.................. 95
C. Pengaruh Gharar terhadap Keabsahan Jual Beli. ................ 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan . ........................................................................ 73
B. Saran. .................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu bentuk kegiatan muamalah antar sesama manusia
adalah jual beli. Jual beli secara bahasa merupakan proses memiliki atau
memberi atau menjual sesuatu kepada orang lain dengan harga tertentu.
Kata aslinya diambil dari kata bai‟ karena dari masing masing pihak akan
melakukan penjualan dan pembelian. jual beli menurut hukum positif
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) pasal
1457 adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan.1
Mu‟amalah adalah satu aspek dari ajaran yang telah melahirkan
peradaban islam yang maju di masa lalu. Ia merupakan satu bagian dari
syari‟at islam, yaitu yang mengatur kehidupan manusia dalam hubungan
manusia dengan manusia, masyarakat dan alam.Karena mu‟amalah
merupakan aspek dari ajaran islam, maka ia juga mengandung aspek
teologis dan spiritual. Aspek inilah yang merupakan dasar dari mu‟amalah
tersebut.2
Diantara permasalahan yang paling berkembang dalam kehidupan
bermasyarakat hari ini adalah masalah mu‟amalah, khususnya mu‟amalah
maliyah atau interaksi sesama manusia yang berkaitan dengan segala
1 Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: PT. AKA,
2004), hlm. 366 2 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqhi Muamalat (Jakarta: Kencana, 2010), h. 3
1
2
bentuk macam transaksinya. Di dunia manusia diciptakan oleh Allah SWT
untuk melakukan interaksi dengan makhluk lainnya, dalam hal ini manusia
sebagai makhluk social tidak terlepas dari ketergantungan dan saling
berhubungan dengan makhluk lain dalam menjalani kehidupan. Manusia
adalah makhluk Allah SWT, karena itu sebagai makhluk hidup tidak bisa
hidup sendiri dan berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain.
Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki berbagai
kebutuhan hidup dan dalam memenuhi kebutuhan tersebut, tidak mungkin
diproduksi sendiri. Manusia selalu berhubungan satu sama lain untuk
mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Untuk menghindari
kedzaliman dalam usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidupnya, Islam memberikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah
mu‟amalah yang harus ditaati yang dituangkan dalam Al-Qur‟an dan as-
Sunnah.
Mu‟amalah secara bahasa berarti pergaulan atau hubungan antara
manusia lainnya dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat keperluan
jasmaninya dengan cara yang paling baik.
Penjabaran dibidang mu‟amalah biasanya bersifat general
(mujmal). Sehingga memungkinkan untuk dilakukan interprestasi atau
reaktualisasi sesuai dengan tuntunan social dan dinamika zaman atas
dasar kemaslahatan umum. Pada dasarnya segala macam kegiatan
mu‟amalah itu diperbolehkan hingga ada dalil yang melarangnya.
Mu‟amalah menekankan keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah
3
SWT yang telah ditetapkan untuk mengatur, mengelola dan
mengembangkan (harta benda). Diantara prinsip dasar muamalah, yaitu:
1. Hukum asal dari kegiatan mu‟amalah adalah boleh, sepanjang
tidak ada dalil yang menunjukkan pelarangan atau
pengharaman.
2. Tidak ada paksaan satu pihak kepada pihak lain (sukarela dan
saling ridho).
3. Menghindari kemudharatan dan mengutamakan atau
mendahulukan kemaslahatan.
4. Tidak melakukan perbuatan aniaya, dan tidak boleh dianiaya.
Dalam pandangan syariat islam, jual beli dimaknai suatu perjanjian
tukar menukar benda atau barang bernilai manfaat yang didasari rasa
sukarela diantara kedua belah pihak. Salah satu pihak bertindak selaku
penerima barang dan pihak lain sebagai pemberi sesuai dengan
perjanjian atau ketentuan yang telah disepakati dan dibenarkan syariat.
Ajaran Islam memberikan pedoman terhadap pelaksanaan jual beli
agar sesama manusia saling membantu dalam suatu kebaikan dan
melarang tolong-menolong dalam berbuat dosa.Sedangkan makna
khusus sebagaimana definisinya oleh para ulama fiqih melalui perkataan
mereka: yaitu tukar menukar harta atau manfaat dengan yang semisal
salah satu dari keduanya secara langgen.
4
Hukum jual beli telah diterangkan di dalam al-Qur‟an, hadis, ijma‟,
dan kiyas, dan ini lebih jelas untuk menetapkan suatu hukum, Allah ta‟ala
berfirman, QS al-Baqarah : 275
با ل يقومون إل كما يقوم الذي يتخبطه الشيطان من المس ذ لك بأنهم قالوا إنما البيع الذين يأكلون الر
با فمن جاءه موعظة من ربه فانتهى فله ما س م الر البيع وحر با وأحل الل ومن مثل الر وأمره إلى الل ل
خالدون عاد فأولئك أصحاب النار هم فيها
Terjemahnya:
Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya3.
Sesungguhnya manusia amat membutuhkan kepada hal ini untuk
sumber makanan mereka, dan mengembangkan harta mereka,karena sisi
3 Al-Qur’an dan Terjemahan,Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Departemen Agama Bandung:
Syamil Qur’an, 2007
5
kehidupan ada tiga: pengolahan tanah, perinsdutrian dan perdagangan ;
yaitu jual beli.
Tatkala banyak kebutuhan, manusia terkadang merasa kecewa
dalam membeli sesuatu atau menjualnya, maka disysri‟atkan baginya
khiar (hak menentukan pilihan) selama masih berada di tempat.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam berkata, Rasullullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda, „‟
فإن صدقا -او قال : حتى تفرقا -عن حكم ابن حزام قال : قال رسول الله : البعان با لخار مالم تفرقا
وبنا بورك لهما ف بعهما . وإن كتما وكذب محقت بركة بعهما.
Artinya:
Dari Hakim bin Hizam berkata, Rasulullah saw. bersabda, “ Kedua
orang yang melakukan transaksi jual beli terdapat khiar selama
keduanya belum berpisah – atau beliau bersabda, „‟Hingga
keduanya berpisah. „‟Jika keduanya telah sama-sama jujur dan
menjelaskan maka keberkahan diberikan kepada keduanya dalam
jual beli itu dan jika keduanya menyembunyikan informasi dan
berdusta maka keberkahan ditarik dari transaksi jual beli kedunya.4
Dalam hadits ini, disebutkan adanya khiar untuk dua orang yang
melakukan aktifitas jual beli, selama keduanya belum berpisah atau
keduanya menggurkannya.
Selain itu, hadits tersebut di atas m,enganjurkan agar setiap pelaku
transaksi menjunjung tinggi transparansi dan kejujuran agar akuntabilitas
4 Muslim bin al Hajjaj Abu al Hasan al Qusyairy an Naisaburiy, al Musnad as Shahih, (daar
Ihyaau at Turats al „Araby) jilid 3, hal. 1164.
6
transaksi tampak jelas. Hal itu d imaksudkan agar tidak ada satu pihak
yang dirugikan atau berpotensi dirugikan.
Ketidakjujuran pelaku transaksi dan ketidakjelasan spesifikasi atau
harga objek transaksi merupakan sebab utama sebuah transaksi
berpotensi merugikan dan melanggar norma-norma etika dan moral
agama.
Ragam transaksi muamalah modern sering menimbulkan proble di
tengah masyarakat. Bukan disebabkan karena factor riba, gambling,
perilaku zalim semata. Tetapi karena praktik muamalah yang beragam
tersebut mengandung unsur ketidakjelasan yang dalam istilah muamalah
disebut gharar.
Berdasarkan itulah sehingga peneliti memandang perlu melihat
lebih dalam sejauh mana unsur gharar memengaruhi status sebuah
transaksi muamalah terutama jual beli yang banyak dijalankan masyarakat
secara umum dan kaum muslimin secara khusus. Karena itu, penelitian ini
diberi judul „Pengaruh Gharar Terhadap Keabsahan Jual Beli.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan di
atas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut
1. Apa makna gharar menurut fikih Islam?
2. Bagaimana cakupan gharar dalam sistem muamalah Islam ?
3. Bagaimana pengaruh gharar terhadap keabsahaan jual beli?
7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai
berikut
a. Untuk memahami makna gharar menurut fiqhi Islam
b. Memahami bagaimana cakupan gharar dalam sistim muamalat Islam
c. Mengetahui pengaruh gharar terhadap keabsahaan jual beli
2. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi
yang berguna bagi penulis dan memberikan sumbangan keilmuan kepada
pembaca terhadap hukum jual beli yang diharamkan disebabkan unsur
gharar.
Di samping itu juga diharapkan skripsi ini dapat memberikan
sumbangsih kepada pelaku transaksi jual beli pada umumnya dan bagi
masyarakat muslim pada khususnya sehingga dapat menambah informasi
terkait dengan muamalah jual beli. Kemudian pula mengetahui pandangan
para ulama dan hukum-hukum dalam Islam.
8
BAB II
JK TTUT AUAJTIT
A. Kajian (Review ) Studi Terdahulu
Kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui seberapa banyak karya
tulis lain telah membahas permasalahan yang berkaitan dengan hukum
jual beli gharar. Dari pengamatan penulis, penulis menemukan beberapa
judul yang berkaitan dengan hukum jual beli gharar, diantaranya adalah:
Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Nur Elafi Hudayani, dengan judul
“Unsur Gharar dalam Jual Beli Rosok di Kecamatan Kebonharjo Semarang”.
Skripsi ini membahas tentang jual beli rosok tidak menggunakan alat timbang
namun hanya dengan taksiran.5 Dari transaksi jual beli dengan taksiran
maka menimbulkan adanya unsur gharar dalam akad jual beli tersebut,
diperkirakan akan adanya salah satu pihak yang merasa dikecewakan
yaitu konsumen. Hal ini bertentangan dengan hukum Islam yang melarang
adanya unsur gharar dan menyuruh umatnya agar bertransaksi dengan cara
menimbang agar terpenuhinya sukarela sebelum dan sesudah
meninggalkan tempat transaksi (majlis).
Kedua, Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Syaifuddin, dengan judul
“Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Praktek Jual Beli Hasil Pertanian
dengan Cara Borongan”. Skripsi ini membahas tentang bagaimana akad dan
praktek jual beli hasil pertanian dengan cara borongan di Desa Kolomayan
5 Nur Elafi Hudayani, Unsur Gharar dalam Jual Beli Rosok (studi kasus di Kebonharjo Semarang
Utara), (Semarang : IAIN, 2013).
8
9
Kecamatan Wonodadi Kabupaten Blitar.6 Dari jual beli secara borongan
tersebut dapat menimbulkan adanya unsur gharar karena jual beli dengan
sistem borongan semua obyek tidak dapat dilihat dan menimbulkan
adanya ketidakjelasan.
Ketiga, Skripsi yang ditulis oleh Milatul Habibah, dengan judul “Studi
Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Padi yang di Tangguhkan pada Tingkat
Harga tertinggi”. Skripsi ini membahas tentang bagaimana praktek
penangguhan harga serta ketidakjelasan pembayaran jual beli padi
sistem penangguhan harga dalam sektor formal di Kecamatan Gubug
Kabupaten Grobogan.7 Jual beli dengan sistem penangguhan harga jelas
terdapat unsur gharar karena ketidakjelasan pada pembayaran. Hal
tersebut bertentangan dengan hukum Islam, karena dikhawatirkan akan
menimbulkan kelalaian dalam pembayaran yang akan datang yang belum
jelas ketetapan waktu pembayarannya.
Keempat, Skripsi yang ditulis oleh Siti Maghfiroh, yang berjudul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Buah Secara Borongan”. Skripsi ini
membahas tentang bagaimana praktek jual beli buah dengan cara
borongan di pasar Giwangan Yogyakarta.8 Jual beli dengan sistem
borongan pada buah dipasar juga dapat menimbulkan ketidakjelasan
karena pembeli hanya melihat sebagian dan tidak keseluruhan. Hal ini
6Ahmad Syaifuddin, Tinjauan Fiqh Muamalah Terhadap Jual Beli Hasil Pertanian dengan Cara
Borongan (Studi kasus di Desa Kelomayan Kec. Wonodadi Kab. Blitar), (Malang: UIN Malang, 2007). 7 Milatul Habibah, Studi Analisis Hukum Islam Terhadap Jual Beli Padi yang Ditangguhkan Pada
Tingkat harga Tertinggi (studi kasus di Desa Ringin kidul Kec. Gubug Kab. Grobogan), (Semarang:
IAIN, 2010). 8 Siti Magfiroh, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Jual Beli Buah secara Borongan (studi kasus di Pasar
Induk Giwangan Yogyakarta), (Yogyakarta: UIN SUNAN KALIJAGA, 2008).
10
bertentangan dengan hukum Islam karena buah yang dijual terdapat
barang yang belum matang dan perbedaan ukuran.
Persamaan skripsi-skripsi diatas dengan penelitian ini adalah sama-
sama meneliti tentang unsur gharar (penipuan) pada akad jual beli.
Perbedaan khusus dari skripsi-skripsi diatas dengan skripsi ini adalah
mengenai bagaimana pengaruh gharar dalam keabsahan jual beli.
B. Tinjauan Umum mengenai Gharār
1. Pengertian Gharār
Menurut bahasa, arti gharār adalah al-khidā‟ (penipuan), al-
khāthr (pertaruhan) dan al-jahālāh (ketidakjelasan), yaitu suatu tindakan
yang di dalamnya terdapat unsur pertaruhan dan judi.9 Dengan
demikian, jual beli gharār adalah semua jual beli yang mengandung
ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau perjuadian karena tidak dapat
dipastikan jumlah dan ukurannya atau tidak mungkin diserah
terimakan.10
Secara sederhana gharār dapat didefenisikan sebagai suatu
keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi tentang
berbagai elemen subjek dan objek akad. Gharār adalah semua jual beli
yang mengandung ketidakjelasan atau keraguan tentang adanya
9 Abdul „Azim Bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz Ensiklopedi Fiqih Dalam Al-Qur‟an As-Sunnah
As-Shahih, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006), Hlm.655. 10
Ghufran A. Mas‟adi, Fiqh Muamalh Kontekstual, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 133.
11
komoditas yang menjadi objek akad, ketidakjelasan akibat, dan bahaya
yang mengancam antara untung dan rugi.
Jual beli gharār merupakan jual beli yang tidak memiliki
kepastian pada barangnya. Jual beli ini mengandung resiko dan
membawa mudharat karena mendorong seseorang untuk mendapatkan
apa yang diinginkannya sementara dibalik itu justru merugikan dan
membahayakan. Oleh karena itu, setiap jual beli yang masih belum
memiliki kejelasan atau tidak berada dalam kuasanya termasuk
jual beli gharār.
Gharār dapat diartikan sebagai ketidakpastian/ketidakjelasan
(uncertainly). Gharār atau disebut juga taghrīr adalah sesuatu di mana
terjadi incomplete information karena adanya uncertainly to both parties
(ketidakpastian dari kedua belah pihak yang bertransaksi). Gharār ini
terjadi bila kita mengubah sesuatu yang bersifat pasti (certain) menjadi
tidak pasti (uncertain).11
Gharār juga dapat terjadi dalam empat hal, yaitu:
1. Kuatitas;
2. Kualitas;
3. Harga; dan
4. Waktu penyerahan.
Kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal
ini, agar kedua belah pihak tidak didzalimi atau terdzalimi. Karena itu
11
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), hlm. 29
12
Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tanpanya
jual beli dan kontrak menjadi rusak, diantara syarat-syarat tersebut
adalah:
a. Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas dan berat jenis yang
ditimbang)
b. Barang dan harga yang jelas serta dimaklumi, dan tidak boleh harga
yang majhul (tidak diketahui ketika beli)
c. Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi
d. Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.12
Menurut kaidah Islam, praktek ghārar ini merusak akad. Islam
menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi
menyatakan, larangan ghārar dalam bisnis Islam mempunyai peranan
yang hebat dalam menjamin keadilan. Contoh jual beli ghārar ini adalah
membeli dan menjual anak lembu yang masih dalam perut ibunya.
Menjual burung yang terbang di udara. Ia menjadi gharar karena tidak
dapat dipastikan. Sempurnakah janin yang dilahirkan, dapat
ditangkapkah burung itu. Maka jika harga dibayar, tiba-tiba barangnya
tidak sempurna, lalu pembeli tidak puas hati, hingga terjadi permusuhan
dan keributan.
Sedangkan contoh ghārar dalam era modern sekarang, salah
satunya adalah menjual suku cadang yang tidak memiliki kejelasan
kondisi perangkat dan komponen dari mesin suku cadang tersebut,
12
Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syārh Al-Muhazzāb, Jilid. 9. (Terj. Muhammad Najib Al-
Muthi‟i), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), Hlm. 210.
13
apakah suku cadang masih orisinil, terawat dan maih layak pakai.
Dalam kondisi tersebut terdapat ketidakjelasan terhadap suku cadang
yang dijual, hal ini menunjukkan jual beli ini mengandung unsur ghārar.
2. Landasan Hukum terhadap Larangan Gharār
a. Al-Qur‟an
Praktik ghārar dalam jual beli merupakan tindakan yang
mengandung unsur memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.
Allah SWT, berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 188:
Terjemahnya:
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda
orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu
mengetahui.13
13
Al-Qur’an dan Terjemahan,Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Departemen Agama Bandung:
Syamil Qur’an, 2007
14
b. Hadist
هررة قال نهى رسول الله صلى الله عله وسلم عن بع الحصاة وعن بع الغرر عن أب
Artinya:
Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW. bersabda yang
artinya: “Rasulullah telah melarang (kita) dari (melakukan) jual
beli (dengan cara lemparan batu kecil) dan jual beli barang
gharār”. (HR. Abu Daud dan Muslim)14.
Hadist ini menjelaskan tentang larangan melakukan jual beli
ghārar dan jual beli secara melempar krikil. Yang dimaksud dengan
ghārar di sini yaitu suatu objek yang tidak dapat dipastikan apakah
akan bisa diserahkan atau tidak. Menurut Imam Nawawi, jual beli
secara melempar kerikil terdapat tiga penafsiran, yaitu:
a. Seorang penjual berkata kepada pembeli, “saya menjual dari
sebagian pakaian ini, yang terkena lemparan batu saya”. Atau dia
berkata kepada pembeli, “saya menjual tanah ini dari sini sampai
batasan jatuhnya batu ini”.
b. Seorang berkata kepada pembeli, saya jual kepadamu barang ini
dengan catatan engkau mempunyai hak khiyar sampai aku melempar
batu kerikil ini.
c. Pihak penjual dan pembeli menjadikan sesuatu yang dilempar
dengan batu sebagai barang dagangan, yaitu pembeli berkata kepada
14
Muslim Bin Hajjaj Abu Hasan Al Qusyairi An Naisabury, Musnad Shahih Mukhtashar, Jilid 3,
Cet Darul Ihya At Turats Bairut, Hal. 1153
15
penjual, “apabila saya lempar pakaian dengan batu, maka ia saya beli
darimu dengan harga sekian”.15
Selanjutnya hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar:
عن عبد الله ابن عمر رض الله عنهما ان رسول الله صلى الله عله وسلم نهى عن بع حبل الحبلة وكان
م تنتج التى فى بطنهابعا تباعه اهل الجاهلة كان الرجل بتاع الجزور إلى عن تنتج الناقة ث
Artinya:
“Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: “bahwa Rasulullah saw
melarang jual beli habalu habalah. Dulu jual beli seperti itu
dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Dulu seorang membeli
untanya yang disembelih sampai untanya melahirkan (apa yang
ada dalam perutnya), kemudian apa yang ada di perutnya lahir.”
(HR. Bukhari)16
Larangan ini tentunya karena ada ghārar dalam muamalat
seperti ini, tidak diketahui dalam perut onta ini jantan atau betina, hidup
atau mati, kembar atau tidak dan lebih anaknya kelak.
Selanjutnya para ulama juga telah mensyaratkan beberapa
perkara yang harus terpenuhi sehingga suatu muamalah dianggap
terlarang karena ghārar:
1. Jumlah ghārar banyak dan mendominasi akad muamalah. Karena itu
para ulama sepakat bahwa ghārar yang sedikit tidak menghalangi
sahnya akad muamalah apabila tidak mungkin untuk terlepas dari
15
Abdul „Azim bin Badawi Al-Khalafi, Al-Wajiz Ensiklopedi Fiqih dalam Al-Qur’an As- Sunnah
As-Shahih, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006), hlm. 658-659. 16
Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al Bukhary al Ja‟fy, al Jami’ al Musnad, (Daru Tuq an
Najah, cetakan pertama tahun 1422 H) jilid 3, hlm: 70
16
ghārar tersebut secara keseluruhan. Para ulama memberikan contoh
seperti masuk ke dalam toilet dengan upah. Telah dimaklumi bahwa
orang-orang yang masuk kedalam toilet memiliki perbedaan dalam
banyaknya menggunakan air dan lamanya berdiam di toilet tersebut.
Tetapi karena ghārar sedikit, tidak mendominasi akad muamalah dan
tidak mungkin ghārar dihindari secara keseluruhan maka para ulama
membolehkannya.17
2. Mungkin terhindar dari ghārar tanpa adanya kesulitan. Para ulama
sepakat bahwa ghārar yang tidak mungkin terhindar darinya kecuali
dengan kesulitan berat, maka hal tersebut bisa dimaafkan. Para
ulama memberi contoh seperti fondasi bangunan. Orang membeli
rumah tidak mengetahui bagaimana kondisi fondasinya dan sangat
sulit untuk mengetahuinya, hal tersebut dimaafkan karena sangat
sulit untuk mengetahui hal tersebut. Ghārar seperti ini dimaafkan
karena susah untuk dihindari.18
3. Tidak adanya kepentingan umum yang mengharuskan yang
mengharuskan dimaafkannya ghārar tersebut.
4. Hendaknya ghārar tersebut adalah hanya sekedar cabang pengikut
bukan asal atau pokok.
5. Hendaknya ghārar tersebut pada ahkām al-mu‟awadhāt (hukum-
hukum pergantian/pertukaran) dan yang semakna dengannya seperti
nikah.
17
Abdul Ghafur Anshori, Perbankan Syari’ah di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada University,
2007), hlm. 87 18
8Abd. Atang Hakim, Fiqh Perbankan Syari’ah, (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 142.
17
3. Gharār dan Tadlīs
Permasalahan gharār dan tadlīs berkaitan dengan informasi
tentang barang yang ditransaksikan dalam jual beli, dimana tadlīs
berarti salah satu pihak tidak memiliki informasi yang jelas terhadap
barang tersebut sementara pihak lain
mengetahuinya dengan pasti. Sedangkan gharār adalah kedua belah
pihak yang melakukan transaksi tidak memiliki informasi yang utuh dan
sempurna terhadap barang yang ditransaksikan. Jelas ini dilarang
karena akan ada satu pihak atau malah kedua belah pihak yang akan
dizalimi/dirugikan pada transaksi ini. Dengan demikian dalam
muamalah diperintahkan agar adanya keterbukaan informasi darisi
penjual kepada si pembeli terhadap barang yang dijualnya tersebut.19
Kondisi ideal dalam pasar adalah apabila pembeli dan penjual
mempunyai
informasi yang sama tentang barang yang akan diperjualbelikan.
Apabila salah satu pihak tidak memiliki informasi seperti yang dimiliki
pihak lain, maka salah satu pihak akan merasa dirugikan dan terjadi
kecurangan/penipuan.
19 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 4 (Terj. Nor Hasanuddin), (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006),
hlm. 140
18
Adapun tadlīs terdiri dari beberapa jenis, yakni:
1. Tadlīs dalam kuantitas
Tadlīs dalam kuantitas adalah termasuk kegiatan menjual barang
kuantitas sedikit dengan barang kuantitas banyak dengan mengurangi
jumlah barang, yang tentunya tanpa sepengetahuan pembeli.
2. Tadlīs dalam kualitas
Tadlīs dalam kualitas termasuk juga menyembunyikan cacat
atau kualitas
barang yang buruk yang tidak sesuai dengan apa yang disepakati
antara si penjual
dan pembeli.
3. Tadlīs dalam harga
Tadlīs dalam harga ini termasuk menjual barang dengan harga
yang lebih tinggi atau lebih rendah dari harga pasar karena tidak
ketahuan pembeli atau penjual. Yang termasuk dalam penipuan jenis
ini adalah si penjual tahu persis ia tidak akan menyerahkan barang
tersebut pada esok hari, namun menjanjikan akan
menyerahkan barang tersebut pada esok hari. Walau konsekuensi
tadlīs dalam waktu penyerahan tidak berkaitan langsung dengan harga
ataupun jumlah barang
yang ditransaksikan, namun masalah waktu adalah yang sangat
penting.
19
4. Tadlīs dalam waktu penyerahan
Praktik tadīis dalam waktu penyerahan dilakukan penjual dengan
menutupi kemampuannya dalam menyerahkan barang yang
sebenarnya lebih lambat dari yang dijanjikan.
4. Jenis dan Unsur Ghārar
a. Jenis Ghārar dalam Jual Beli
(1). Bai „ataini Fiī Bai‟ah
Rasulullah melarang melakukan dua kesepakatan dalam satu
transaksi (bai „ataini fiī bai‟ah). Para ulama ahli fiqh sepakat dengan
hadist ini secara umum dan mereka melarang seorang untuk
mengadakan dua transaksi dalam satu kesepakatan.
(2). Bai „Arbun
Bai „Arbun adalah seorang membeli sebuah komoditi dan
sebagian pembayaran diserahkan kepada penjual sebagai uang muka.
Jika pembeli jadi mengambil komoditi maka uang pembayaran tersebut
termasuk dalam perhitungan harga. Akan tetapi jika pembeli tidak
mengambil komoditi tersebut maka uang muka tersebut menjadi milik
penjual.20
Larangan bai „Arbun yang dilakukan oleh jumhur ulama
sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Bidāyatul Mujtahid adalah
karena adanya unsur gharār dan resiko serta memakan harta tanpa
20
Husain Shahatah Dan Siddiq Muh. Al-Amin Ad-Dhahir, Transaksi Dan Etika Bisnis Islam,
(Terj. Saptono Budi Satryo Dan Fauziah R.), (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), Hlm. 154
20
adanya iwādh (pengganti) yang sepadan dalam pandangan syari‟ah.21
Adanya unsur gharār tersebut juga karena masing-masing pihak, baik
penjual maupun pembeli tidak mengetahui apakah transaksi jual beli
yang telah disepakati dapat berlangsung secara sempurna atau tidak.
(3). Jual Beli Jahiliyah (Bai „Al-Hāshah, Bai „Al-Mulāmasah, Bai „Al-
Munabāzāh)
unsur gharār juga terdapat dalam tiga macam jual beli yang telah
biasa dipraktekkan oleh orang-orang jahiliyah sebelum Islam. Tiga
macam jual beli tersebut adalah sebagai berikut;
Bai „Al-Hāshah adalah ketika kedua belah pihak (penjual dan
pembeli) melakukan aktivitas tawar menawar atas suatu komoditi,
kemudian apabila calon pembeli menyentuh komoditas tersebut (baik
sengaja maupun tidak) maka harus membelinya baik sang pemilik
komoditas itu rela atau tidak. Atau seorang penjual berkata kepada
seorang pembeli, Jika ada yang menyentuh baju ini maka itu berarti
anda harus membelinya dengan harga sekian, sehingga mereka
menjadikan sentuhan terhadap obyek bisnis sebagai alasan untuk
berlangsungnya transaksi jual beli.22
Bai „al-Mulāmasah dan bai „Al-Munabāzāh, mulāmasah secara
bahasa adalah sighāh (bentuk) yang berarti menyentuh sesuatu
dengan tangan. Sedangkan pengertian mulāmasah secara syar‟i, yaitu
21
Muhamad Ibnu Rusdy Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayat Al-Muqtashid (Terj. Syaikh
Muhammad Wa‟iz, Dr. Muhammad Khadhrah) (Jakarta: Akbar Media, 2003), Hlm. 162. 22
Muhammad, Dasar-Dasar Keuangan Islam, Cet. 1. (Yogyakarta: Ekonsia FE UII, 2004), hlm.
107
21
seorang pedagang berkata, “Kain mana saja yang engkau sentuh,
maka kain tersebut menjadi milikmu dengan harga sekian.” Jual beli ini
bāthil dan tidak diketahui adanya khilaf (perbedaan pendapat) para
ulama akan rusaknya jual beli seperti ini.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahīh-nya dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu, ia berkata, “(jual beli mulāmasah), yaitu masing-
masing dari dua orang menyentuh pakaian milik temannya tanpa ia
perhatikan dengan seksama.”
(4). Bai‟ Al-Mu‟allāq
Bai‟ Al-Mu‟allāq adalah suatu transaksi jual beli dimana
keberlangsungannya tergantung pada transaksi lainnya yang
disyaratkan. Keberhasilan transaksi dapat terjadi dengan mengikuti
instrumen-instrumen yang ada dalam tā‟liq (syarat) tersebut. Sebagai
contoh adalah ketika seorang penjual mengatakan kepada pembeli,
“saya jual rumahku kepada anda dengan harga sekian jika si Fulan
menjual rumahnya kepada saya”. Kemudian pembeli menjawab, “saya
terima”. Kesepakatan dalam suatu transaksi jual beli semestinya tidak
dapat menerima pergantungan atau pernyataan tertentu yang dijadikan
ikatanatau dasar berlangsungnya transaksi. Jika hal tersebut dilakukan
maka transaksi bisnis jual beli tersebut menjadi rusak, karena ada
unsur gharār.23
23
Husain Syahatah Dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi Dan Etika Bisnis Islam,
(Terj. Sapto Budi Satryo Dan Fauziah R.), (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), Hlm. 159
22
Unsur gharār dalam jual beli muallāq adalah ketika kedua belah
pihak (penjual dan pembeli) tidak mengetahui tercapai tidakanya
masalah yang dijadikan ikatan sehingga dapat melangsungkan
transaksi jual beli diantara keduanya, sebagaimana kedua belah pihak
tidak mengetahui dalam kondisi yang bagaimana transaksi dapat
terlaksana, karena bisa saja transaksi semacam ini terlaksana ketika
keinginan pembeli atau penjual berubah seketika. Oleh karena itu jelas
terdapat unsur gharār baik dari aspek terlaksana tidaknya akad, aspek
waktu pelaksanaan,atau juga gharār dalam mewujudkan rasa saling
rela atau tidaknya antara kedua belah pihak ketika ada syarat yang
menyertainya.
(5). Unsur-unsur Ghārar
Dalam hukum perjanjian Islam objek akad dimaksudkan sebagai
suatu hal yang karenanya akad dibuat dan berlaku akibat-akibat hukum
akad. Objek akad dapat berupa benda, manfaat benda, jasa atau
pekerjaan, atau suatu yang lain yang tidak bertentangan dengan
Syari‟ah.24
Kedudukan obyek akad adalah sangat penting karena ia
termasuk bagian yang harus ada (rukun) dalam suatu perjanjian Islam.
Oleh karena keberadaannya
sangat menentukan sah tidaknya suatu perjanjian yang akan dilakukan,
maka obyek akad harus memenuhi syarat-syarat sahnya seperti
24
Husain Syahatah Dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi Dan Etika Bisnis Islam,
(Terj. Sapto Budi Satryo Dan Fauziah R.), (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), Hlm. 159
23
terbebas dari unsur ghārar yang dapat terjadi dalam objek akad dan
akan mempengaruhi sah tidaknya
perjanjian:
a. Ketidak jelasan dalam jenis obyek akad
Mengetahui jenis obyek bakad secara jenis adalah syarat
sahnya jual beli. Maka jual beli yang obyeknya tidak diketahui tidak sah
hukumnya karena terdapat ghārar yang banyak di dalamnya. Seperti
menjual sesuatu dalam karung yang mana pembelinya tidak
mengetahui dengan jelas jenis barang apa yang akan ia beli. Namun
demikian terdapat pendapat dari mazhab maliki yang membolehkan
transaksi jual beli yang jenis obyek transaksinya tidak diketahui, jika
disyaratkan kepada pembeli khiyār ru‟yāh (hak melihat
komoditasnya).25 Begitu juga dengan Mazhab Hanafi merupakan khiyār
ru‟yāh tanpa dengan adanya syarat.26
b. Ketidak jelasan dalam macam obyek akad
Gharār dalam macam obyek akad dapat mengghalangi sahnya
jual beli sebagaimana terjadi dalam jenis obyek akad. Tidak sahnya
akad seperti ini karena mengandung unsur ketidakjelasan dalam
obyeknya. Seperti seorang penjual berkata, “saya jual kepada anda
25
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 137 26
Muhammad Ibnu Rusdy Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayat Al Muqtasid,
(Jakarta: Akbar Media, 2003), hlm. 154.
24
binatang dengan harga sekian” tanpa menjelaskan binatang apa dan
yang mana.27
Oleh karena itu, obyek akad disyaratkan harus ditentukan secara
jelas. Dasar ketentuan ini adalah larangan Nabi saw. Mengenai jual beli
kerikil (bai‟ alhashah) yang mirip dengan judi dan biasa dilakukan oleh
orang jahiliyyah. Yaitu jual beli dengan cara melempar batu kerikil
kepada obyek jual beli, dan obyek mana yang terkena lemparan batu
tersebut maka itulah jual beli yang harus dilakukan. Dalam hal ini
pembeli sama sekali tidak dapat memilih apa yang seharusnya
diinginkan untuk dibeli.28
c. Ketidakjelasan dalam sifat dan karakter obyek
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh tentang
persyaratan dalam menyebutkan sifat-sifat obyek transaksi dalam jual
beli, akan tetapi mayoritas ulama fiqh berpendapat untuk
mensyaratkannya.
Diantara perbedaan itu adalah: Mazhab Hanafiah melihat, bahwa
jika obyek transaksinya terlihat dalam transaksi baik itu komoditas
ataupun uang, maka tidak perlu untuk mengetahui sifat dan
karakternya. Tetapi jika obyek transaksinya tidak terlihat oleh penjual
dan pembeli, maka para ulama fiqh Mazhab Hanafiah berselisih
pendapat. Sebagian mensyaratkan penjelasan sifat dan karakter obyek
27
Muhammad Ibnu Rusdy Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayat Al Muqtasid, (Jakarta:
Akbar Media, 2003), hlm. 154. 28
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hlm. 191.
25
akad, dan sebagian tidak. Mereka yang tidak mensyaratkan
berpendapat bahwa ketidaktahuan sifat tidak menyebabkan
perselisihan, disamping itu, pembeli juga mempunyai hak khiyār
ru‟yah.29
Silang pendapat di atas adalah yang berkaitan dengan
komoditas bukan harga, adapun tentang harga (tsaman) semua ulama
sepakat untuk disebutkan sifat dan karakternya baik terhadap
komoditas maupun harga. Karena tidak adanya kejelasan dalam sifat
dan karakter.30
Komoditas dan harga adalah merupakan gharār yang dilarang
dalam akad.31 Begitu juga ulama Mazhab Syafi‟i mensyaratkan
penyebutan sifat dan karakter komoditas dan mengatakan bahwa jual
beli yang tidak jelas sifat dan karakter komoditas hukumnya tidak sah
kecuali jika pembeli diberi hak untuk melakukan khiyār ru‟yah. Mazhab
Hambali juga tidak membolehkan jual beli yang obyek transaksinya
tidak jelas sifat dan karakternya.
d. Ketidakjelasan dalam ukuran obyek transaksi
e. Ketidaktahuan dalam dzat obyek transaksi
f. Ketidaktahuan dalam waktu akad
g. Ketidaktahuan dalam penyerahan komoditas
h. Melakukan akad atas suatu yang ma‟dum (tidak nyata adanya).
29
Suhrawardi Lubis K, Hukum Ekonomi Islam, Cet. 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 22. 30
Husain Syahatah Dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi Dan Etika Bisnis Islam, ...,
hlm. 168 31
Muhammad Ibnu Rusdy Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayat Al-Mukthashid, hlm. 154
26
i. Tidak adanya hak melihat atas obyek transaksi
(6). Pertanggung Jawaban Risiko dalam Transaksi Jual Beli
Konsep ketidakpastian dalam ekonomi Islam menjadi salah satu
pilar penting dalam proses managemen risiko Islam. Secara natural,
dalam kegiatan usaha, di dunia ini tidak ada seorangpun yang
menginginkan usaha atau investasinya mengalami kerugian.
Ada banyak sebab mengapa apa yang diusahakan oleh manusia
bisa berhasil menguntungkan atau bahkan gagal dan merugi. Alam
sudah mendesain bahwa selalu ada yang namanya propabilitas dimana
tak seorangpun mampu memprediksikan apa yang akan terjadi. Oleh
karena itu kita perlu melakukan pengendalian risiko yang disebut
sebagai managemen risiko. Ibnu rusyd al-Maliki menegaskan, “
diantara akad jual beli yang terlarang adalah berbagai jenis akad jual
beli yang berpotensi menimbulkan kerugian pada orang lain, karena
adanya ketidakjelasan status. Dan ketidakjelasan dalam akad jual beli
dapat ditemukan pada:
a. Ketidakpastian dalam penentuan barang yang diperjualbelikan;
b. Ketidakpastian akad;
c. Ketidakpastian harga;
d. Ketidakpastian barang yang diperjualbelikan;
e. Ketidakpastian kadar harga atau barang;
f. Ketidakpastian tempo pembayaran atau penyerahan barang (bila
pembayaran atau penyerahan barang ditunda);
27
g. Ketidakpastian ada atau tidaknya barang, atau ketidakpastian
apakah penjual kuasa menyerahkan barang yang ia jual;
h. ketidakpastian utuh tidaknya barang yang diperjualbelikan.32
Tidak diragukan lagi ketidakpastian pada salah satu hal di atas,
mudah memicu terjadinya persengketaan dan permusuhan antara
sesama muslim. Tentunya syariat Islam tidak menginginkan terjadinya
perpecahan dan perselisihan semacam ini. Oleh karena itu, syari‟at
Islam menutup pintu ini, guna menjaga utuhnya persatuan dan terjaga
hubungan yang harmonis antara seluruh komponen umat Islam.
Para ulama telah meletakkan kaidah yang jelas dalam menilai
apakah gharār yang ada termasuk terlarang atau yang dimaafkan. Al-
Imam Al-Mawardi memberikan pedoman kepada metode yang benar-
benar bagus dan jelas dalam mengidentifikasi gharār yang ada pada
suatu akad. Beliau berkata: “hakikat gharār yang terlarang dalam akad
jual beli ialah suatu keadaan yang memiliki dua kemungkinan, tetapi
kemungkinan buruklah yang paling besar peluangnya.”33
Dari keterangan al-Mawardi di atas dapat disimpulkan bahwa
batasan gharār yang terlarang dari dimaafkan ialah: bila keadaan
mengharuskan kita untuk mengesampingkan unsur gharār yang ada,
dikarenakan gharar itu tidak mungkin untuk dihindari kecuali dengan
mendatangkan hal yang sangat menyusahkan, maka gharār yang
demikian dianggap gharār yang mudah, sehingga tidak mempengaruhi
32
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Jilid. 2, (Semarang: Pustaka Azzam, 2010), hlm. 155 33
Citraislam.com, Jual Beli Dalam Islam, dari situs http://www.citraislam.com/jual-beli-dalam-
islam/
28
hukum jual beli. Sebaliknya, jika gharār itu dapat dihindari tanpa
mendatangkan kesusahan yang besar, maka jual beli yang
mengandung gharār menjadi terlarang dan batal.
Dalam undang-undang perlindungan konsumen, dijelaskan
bahwa kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen berupa
pemenuhan kewajiban berikut ini:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
29
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.
Kemudian, konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi
oleh produsen atau pelaku usaha, hak-hak tersebut sebagai berikut:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barangdan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
Dari butir-butir pasal perlindungan konsumen tersebut jelas
bahwa jika terjadi ketidaksesuaian pada barang yang diperjualbelikan,
maka pihak penjual berkewajiban untuk mengganti atau memperbaiki
barang tersebut. Sedangkan menurut hukum Islam, jika transaksi
tersebut terindikasi mengandung unsur gharār, maka akad yang
berlangsung tidak sah dan pembeli boleh membatalkan perjanjian.
(7). Hubungan gharār dengan risiko
30
Pada dasarnya risiko merupakan efek yang lahir dari praktek
gharār. Gharār terjadi ketika kedua belah pihak salaing tidak
mengetahui apa yang akan terjadi dan kapan musibah akan menimpa,
yang merupakan produk dari suatu transaksi yang dibuat bersama.
Ketidakjelasan ini kemudian disebut dengan gharar yang dilarang
dalam Islam, dan efek dari ketidakjelasan tersebut disebut dengan
risiko.
Islam melarang gharār hadir dalam kegiatan perekonomian,
karena gharār mengkonstruk ketidakadilan (zhulm). Al-Qur‟an dengan
tegas menolaknya dengan mengatakan bahwa para pihak yang terlibat
dalam transaksi keuangan tidak dibenarkan untuk saling menzalimi dan
dizalimi. Karenanya, Islam mensyaratkan para pelaku ekonomi patuh
dan tunduk pada beberapa ketentuan yang misalnya dalam jual beli,
meliputi:
a. Timbangan yang jelas (diketahui dengan jelas berat jenis yang
ditimbang);
b. Barang dan harga yang jelas serta dimaklumi, dan tidak boleh harga
yang majhul (tidak diketahui ketika beli);
c. Mempunyai tempo tangguh yang dimmaklumi;
d. Ridha kedua belah pihak terhadap bisnis yang dijalankan.34
Memang kegiatan bisnis merupakan salah satu kegiatan yang
selalu berhadapan dengan risiko, karena dalam Islam, suatu bisnis
34
Al Imam Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Jilid 9. (Terj. Muhammad Najib Al
Muthi‟i), (Jakarta: Pustaka Azzam, 2003), hlm. 210
31
tidak bisa terhindar dari dua realitas, realitas untung dan realitas rugi,
atau realitas baru, yaitu realitas tidak untung dan realitas tidak rugi.
Kemungkinan realitas ini menyentuh kedua realitas ini merefleksikan
suatu resiko. Pada dasarnya, resiko muncul karena ada ketidakpastian
di masa depan. Andaikan manusia mengetahui dengan pasti segala
sesuatu yang akan terjadi, niscaya manusia akan mampu
memperhitungkan segala kemungkinan. Ketika manusia mampu
mengantisipasi kemungkinan secara pasti, maka ia tidak perlu
menanggung risiko. Namun hal ini sangat absurd terjadi, karena hanya
Allah lah yang mengetahui masa depan dengan pasti.
Dalam transaksi jual beli agar terhindarnya dari gharar dan
tadlis, maka sangat dibutuhkannya informasi yang jelas dan seimbang
antara penjual dan pembeli. Informasi merupakan hal yang sangat
penting, sebab ia menjadi dasar pembuatan keputusan. Penjual
berkepentingan untuk mengetahui seberapa besar permintaan pasar
dan tingkat harganya, sehingga dapat menawarkan barang
dagangannya secara tepat, demikian juga pembeli, ia harus
mengetahui tingkat harga pasar yang berlaku, kualitas barang yang
dibelinya, sehingga dapat menentukan permintaan secara akurat.35
Oleh karena itu, Rasulullah Saw telah melarang berbagai
transaksi yang terjadi dalam ketidaksempurnaan informasi,
menghalangi transaksi pada harga pasar, mengambil keuntungan yang
35
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekomomi Islam (P3EI) Dan Bank Indonesia,
Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 329-330.
32
tinggi dengan memanfaatkan pembeli. Jika keberadaan informasi yang
seimbang dapat terwujud dalam transaksi antara penjual dan pembeli,
maka ia akan mampu mereduksi risiko yang mungkin terjadi.
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dari segi tempat atau lokasi penelitian yaitu di Perpustakaan
Daerah Sulawesi Selatan, Perpustakaan Umum dan Ahwal Syakshiyah
Unismuh Makassar. Maka jenis penelitian ini yang dilakukan di
perpustakaan (library research). Yaitu penelitian yang dilakukan melalui
riset berbagai buku atau literatur yang berkaitan dengan masalah
penelitian. Literatur yang diteliti meliputi buku yang berkaitan dengan
Masail Fiqih jual beli. Dari literatur tersebut dapat ditemukan berbagai
pendapat yang digunakan untuk menganalisis dan menjawab
permasalahan penelitian.
Berdasarkan jenis data, penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Karakteristik penelitian kualitatif antara lain:
Pertama, lebih bersifat deskriktif.
Kedua, data yang terkumpul membentuk kata kata atau gambar, sehingga
tidak menekankan pada angka.
Ketiga, penelitian kualitatif lebih menekankan pada proses daripada
produk atau outcome.
Keempat, lebih menekankan makna (data dibalik yang teramati).36
36
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R & D,
(Bandung: Alfabeta, 2006), h. 15. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana,
2008), h. 65-70.
33
34
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dimaksud adalah sebuah cara atau metode yang
menjelaskan presfektif yang digunakan dalam membahas obyek penelitian
atau pengumpulan pola pikir yang digunakan untuk membahas obyek
penelitian.37
Penelitian kualitatif dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
Pertama, penelitian kualitatif dalam paradigma kuantitatif (positivisme).
Penelitian kualitatif jenis pertama ini menggunakan paradigma positivisme.
Kriteria kebenaran menggunakan ukuran frekuensi tinggi. Data yang
terkumpul bersifat kuantitatif kemudian dibuat kategorisasi baik dalam
bentuk tabel, diagram maupun grafik. Hasil kategorisasi tersebut
kemudian dideskripsikan, ditafsirkan berbagai aspek, baik dari segi latar
belakang, karakteristik dan sebagainya. Dengan kata lain data yang
bersifat kuantitatif ditafsirkan dan dimaknai lebih lanjut secara kualitatif.
Beberapa peneliti menyebut dengan istilah penelitian deskrptif kualitatif.
Kedua, penelitian kualitatif dalam paradigma bahasa. (dan sastra)
menggunakan paradigma post positipisme. Penelitian kualitatif jenis kedua
ini berusaha mencari makna, baik makna di balik kata, kalimat maupun
karya sastra. Dalam penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan
rasionalistik. Pendekatan rasionalistik adalah pendekatan yang
37
Tim Penyusun Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi,
Tesis dan Desertasi (Makassar: UIN Alauddin 2008), h. 11-12.
35
menekankan pemaknaan empirik, pemahaman intelektual dan
kemampuan berargumentasi secara logika.38
C. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini terpokus pada penelitian perpustakaan (library
reserch) yang berarti semua sumber datanya berasal dari bahan-bahan
tertulis berupa ide, pikiran dan gagasan yang dalam istilah penelitian
adalah data kualitatif berkaitan dengan topik yang dibahas, masalah-
masalah yang dibahas oleh penulis dalam hal ini :
a. Kutipan langsung, yaitu penulisan langsung mengutip dari
sumber dengan tidak mengalami perubahan.
b. Kutipan tidak langsung, yaitu kutipan dari hasil bacaan yang
diuraikan dalam bentuk ikhtiar dari konsep aslinya, namun tidak
mengurangi makna dan tujuannya.
Metode yang digunakan untuk memperoleh data adalah:
dokumentasi dan wawancara , yaitu mencari data-data mengenai hal-hal
yang berupa catatan atau arsip-arsip sebagai sumber data kemudian
wawancara kepada dokter ahli atau pasien yang mengalami hal tersebut
dan sebagainya yang berhubungan dengan objek penelitian.39
Kitab suci Al-Qur‟an merupakan sumber data pokok, sedangkan
kitab-kitab klasik baik yang beraliran assyafiiyyah, hanafiyyah dan yang
lainnya, dapat dijadikan data instrumen, juga data yang bersumber dari
kitab-kitab kebahasaan dan teori-teori pengetahuan lainnya.
38
Neong Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992), h. 83
39 Suharsimi Arikunto, Manajemen Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 134
36
Kemudian dalam hadits atau As-sunnah yang terdapat di
dalamnya,berupa hadits yang shohih sesuai dengan ijma‟ para ulama.
D. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Mengingat karena penelitian ini bercorak kepustakaan, tata kerja
ilmiah bercorak deskripsi dan bersifat kualitatif,40 serta dengan
menggunakan teknik analisis isi (content analysis), yaitu teknik yang
digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan
karakteristik pesan, dan dilakukan secara obyektif dan sistematis.41
Tahapan pengumpulan data sebagai langkah awal dari
pengelolahan dan analisis data, selanjutnya metode pengelolahan data
yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif, data-data
yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library research) diolah dan
dianalisis secara kualitatif dan disimpulkan secara kualitatif pula dengan
menggunakan analisis isi (content analysis) karena metode ini
menghendaki teknik-teknik analisis data, dipilihlah metode analisis dengan
tahapan tahapan berikut:
a) Data yang telah terkumpul diedit dan diseleksi sesuai dengan
ragam pengumpulan data, ragam sumber, dan pendekatan yang
digunakan maka terjadi reduksi data sehingga diperoleh data
halus/pilihan.
40
Koenijaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Cet. XI; Jakarta: PT, Gremedia
Pustaka Utama, 1991), h.3
41 Lexx J.Koleong, Metodologi Penelitian Kualitatif(Cet. XIII; Bandung: PT. Renajayakarya, 2000), h. 163.
37
b) Berdasarkan hasil kerja tahap 1, dilakukan melalui klasifikasi
data, kelas data, dan sub kelas data. Hal ini untuk merujuk
kepada pertanyaan penelitian dan unsur-unsur yang terkandung
dalam fokus penelitian.
c) Data yang telah diklasifikasi dan disusun, lalu dihubungkan.
Hubungan antar data tersebut divisualisasikan dalam bentuk
deskripsi hasil penelitian.
d) Melakukan penafsiran data berdasarkan metode pendekatan
terpakai.
Berdasarkan hasil kerja pada tahapan ke 4 dapat diperoleh
jawaban atas pertanyaan penelitian, sehingga dapat ditarik kesimpulan
internal, yang didalamnya terkandung data baru atau temuan penelitian,
lalu dilakukan konfirmasi dengan sumber data dan sumber lainnya.
38
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Definisi Gharar menurut Fiqih Islam
Gharar menurut etimologi berasal dari kata ا -غر -غر -غر
orang yang terlibat dan menjadi objek (karena merasakan وغرورا
rugi) dalam praktek gharar disebut atau pihak yang merasa ditipu
dan telah mengkonsumsi sesuatu yang tidak halal.42
Gharar menurut pendapat yang lain secara etimologi adalah al-
khatar (sesuatu yang belum diketahui)43 suatu akad mengandung unsur
penipuan ketika ketika tidak ada kepastian atau ketidak jelasan.
Sedangkan menurut terminologi gharar adalah hal yang belum dikethui
hasilnya atau apa yang belum diterima hasilnya atau apa-apa yang belum
diketahui hakikat dan takaranya.44
Istilah turunan lain adalah ghurur, berarti seseorang yang
telah memperdayakanmu, baik dari golongan manusia maupun
setan. Sebagaimana Allah Taa‟la berfirman dalam Al-qur‟an
Surah Al-Faathir: 5
42
Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab, (Bairut: Dar al-Sadir, t.t. juz. 5) 11 43
Ahmad bin Ali Al-Muqri Al-Fiumi, Kitabul Misbah Al-Munir fi ghoribu Al-Syrhi al-Kabir, bab
Al-ghain, Juz 6, H.496 44
Ghufran A.Mas‟adi, Fiqh Muamalah Konstektual, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002.
38
39
Terjemahnya :
“Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka
sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu
dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu,
memperdayakan kamu tentang Allah.”(QS.Al-Faathir/5)45
Ayat ini menerangkan bahwa setan sebagai pelaku akan
menggoda dan memberdayakan manusia ke dalam perangkapnya.
Bisa pula dalam arti membahayakan, baik kepada diri sendiri
maupun harta. Artinya membuka peluang untuk menjadi
hancur/bahaya tanpa diketahui. Isimnya adalah gharar.46Gharar
bermakna bahaya, dan taghrir bermakna menjerumuskan diri ke
dalam gharar.47
Adapun menurut istilah, banyak ulama yang telah memberi
batasanmakna terhadap gharar yang nampak saling berbeda
tetapi memilikikedekatan pengertian. Di antaranyaadalah:
1. Al-Khattabi: “Sesuatu yang tidak diketahui akibatnya, inti
dan rahasianya tersembunyi.”48 Dalam defenisi
menunjukkan kepada kita bahwa setiap jual beli yang
45
Al-Qur’an dan Terjemahan,Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Departemen Agama Bandung:
Syamil Qur’an, 2007 46
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdloi, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, cet. 3, 1998), 1347. 47
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadr, jil. 5, cet. 3, 1993), 11, dan Ibrahim
Mustafa, Mu‟jam al-Wasit (Istanbul: Dar al-Da‟wah, jil. 2, tt), 648. 48
Abu Sulaiman Hamdi bin Muhammadal-Khattabi al-Busti, Ma’alim al-Sunan Sharh
Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, Cet. 1 Jil.3, 1991),75.
40
maksudnya tidak diketahui dan tidak jelas takarannya
adalah termasuk kategori gharar. Misalnya membeli ikan
dalam kolam, atau burung yang lagi terbang di udara dan
transaksi-transaksi lain yang tidak bisa diketahui hasil
akhirnya. Semuanya ini bisa membuat jual beli menjadi
fasakh.49 Penjabaran gharar sangatlah luas, yang
kesemuanya itu bisa disimpulkan dalam bentuk
ketidaktahuan pada pihak-pihak yang bertransaksi.
2. Ibnu Mundhir berpendapat bahwa sesungguhnya Rasulullah
Saw yang telah melarang jual-beli gharar yang termasuk
didalamnya cabang-cabang jaul-beli. Hal tersebut terjadi pada
semua jual-beli yang diakadkan oleh pihak-pihak yang
bertransaksi dan mengandung ketidaktahuan baik pada
penjual dan pembeli,maupun salah satu diantara
keduanya.50
3. Imam Nawawi menjelaskan, “Larangan Rasulullah atas
transaksi gharar merupakan sesuatu yang sangat pokok
dan penting dalam jual beli. Oleh sebab itu, Imam Muslim
menempatkannya di awal pada kitab shahihnya. Banyak
49
MazhabHanafiyah membagi jual beli yang tidak sah kepada dua macam,yaitu
jualbeli bathil dan fasakh. Jual beli bathil bila tidak terpenuhi salah satu rukun jual
belinya.Sedangkan asakh, adalah tidak terpenuhinya salah satu syarat atau
lebih.terpisalah satu rukun jual belinya.Sedangkan fasakh,adalah tidak terpenuhinya
salah satu syarat atau lebih. 50
Abu Bakar bin Muhammad bun Ibrahim bin al-Mundzir al-Naisaburi, Al-Ausat fi al-
Sunan wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, Tahqiq oleh Dr. Sagir Ahmad bin Muhammad
Hanif, (Riyad: Dar Tayyibah, Cet. 2, 1998), h. 314.
41
kasus jual beli bahkan tidak terbatas jumalahnya yang
masuk dalam kategori gharar. misalnya jual beli yang
mengandung cacat, jual beli yang tidak ada barangnya,
tidak diketahui obyeknya, tidak mampu diserahterimakan,
jual beli yang tidak dimiliki secara sempurna oleh penjual,
jual beli ikan dalam kolam yang berisikan banyak air, air
susu yang diperah dan berbagai macam jual beli lainnya.
Semuanya adalah jual beli bathil karena mengandung
gharar dan tidak dalam keadaan mendesak.51
4. Ibnu al-Athir berkata, “Gharar adalah sesuatu yang
zahirnya dapat mempengaruhi dan dalamnya dibenci.
Zahirnya membuat tidak jelas pada diri pembeli dan
dalamnya tidak diketahui.”52
5. Al-Azhari berpendapat, “Gharar adalah bila tidak diiringi
dengan ikatan dan kepercayaan. Al-Asmai‟ menambahkan
bahwa yang termasuk dalam kategori gharar, jual beli yang
kedua belah pihak yang bertransaksi tidak ketahui intinya,
hingga pada akhirnya mereka tahu kekurangannya.”53
6. Ibnu Taimiyah mendefenisikan, gharar adalah “Yang
51
Sahih Muslim Bisharhi al-Nawawi (Kairo: Dar al-Rayyan, Jil. 10, 1407H), 156. 52
Majiduddin Ubai al-Sa‟adat al-Mubarak bin Muhammad bin al-Utsair al-Jazari, Jami
al-Usulfi Ahaditsal- Rasul Saw,Tahqiq oleh Abdal Qadiral Arnaut (Damaskus: Daral
Bayan,jil.10, 1969),156. 53
Rashid Abdul Rahman al-‘Ubaidi (Tahqiq),Almustadrak tahdzib al-Lugha
Lilazhari,h.83-84.
42
tidak diketahuihasil akhirnya.54 Defenisi ini
menggambarkan sesuatu yang ujungnya tersembunyi
dan urusannya kabur. Hasilnya meragukan di antara
bisa terwujud dan tidak.Bila hasil akhirnya baik bagi
pembeli,Maka maksud akad terlaksana.Tapi
sebaliknya,bila tidak terwujud maka maksud akad tidak
terlaksana.Dalam kitab Nazariyatal-„Aqddi sebutkan
bahwa gharar pertaruhan antara kemungkinan bisa
terwujud dan tidak. Inilah yang dimaksud dengan
tersembunyi atau kabur hasil akhirnya.Kondisiseperti ini
semuanya berpulang kepada sampainya obyek
transaksi ke tangan pembeli dan penjual menerima
timbal baliknya.55 Penjelasan ini sesungguhnya
menegaskan pendapat beliau ketika mendefenisikan
tentang gharar.
7. Senada dengan gurunya, Ibnual-Qayyim56 menerangkan
tentang gharar, “Sesuatu yang diragukan dapat berhasil
atau tidak. Atau dalam ungkapan lain, sesuatu yang
informasinya tersembunyi dan tidak diketahui
obyeknya.”57 Ibnu al-Qayyim menambahkan bahwa jual
beli gharar adalah mensandarkan sumber kepada
54
Ibnu Taimiyah, Majumu’ Fatawa, Tahqiq oleh Abdul Rahman bin Muhammad
binQasim, (Madinah Munawwarah: Majma‟ al-Malik Fahd, tt. 55
Ibnu Taimiyah (syaikh al-Islam) Nazariyat al-‘Aqd, (Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tt), 224. 56
Ibnu al-Qayyim adalah murid dari IbnuTaimiyah. 57
Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, Zad al-Ma‟ad fi Hadyi Khair al-„Ibad,
43
obyeknya. Seperti halnya jual beli al-Malaqih58 dan al-
Madamin.59 Misalnya,jual-beli barang yang memiliki
cacat sehingga tidak bisa diserah terimakan,jual-beli
kuda yang lagi lepas, burung diudara dan lain-lain.
Semuanya ini bisa disimpulkan sebagai sesuatu yang
tidak diketahui hasil akhirnya, tidak bisa
diserahterimakan dan tidak diketahui pasti obyek dan
takarannya.60
8. Sedangkan Ibn „Abidin mengatakan, “Gharar adalah
sesuatu yang diragukan keberadaanobyeknya.”61
Membaca defenisi-defenisi di atas, nampak bahwa pada
hakekatnya praktek gharar bisa merugikan pihak-pihak yang terlibat
dalam transaksi, baik pembeli maupun penjual. Sesuatu yang
merugikan tersebut pada awalnya tersembunyi sehingga sangat
memungkinkan keduanya akan merasakan kerugian, atau salah
satu pihak dirugikan di atas keuntungan pihak lainnya. Penulis
melihat bahwa gharar meliputi dua bentuk, yaitu:
pertama, meragukan keberadaan obyek antara bisa dicapai
58
al-Malaqih adalah jual beli air mani pejantan yang nantinya dapat disuntikkan
kepada betinanya.Jual beli cairan seperti ini tidak diperbolehkan karena mengandung
gharar,atau adanya ketidakjelasan dan karaguan apakah penggunaan cairan ini akan
dapat jadi sesuai harapan saat disuntikan ke cairan betina. 59
al-Madamin adalah jenis jual beli pada obyek yang masih belum jelas atau tersembunyi
sehingga tidak bisa dilihat. Misalnya, jual beli janin binatang yang masih dalam perut
induknya. Ataupun jual beli apa saja yang tidak bisa disaksikan langsung. Jelas, seperti
ini masuk kategori gharar. 60
Ibnu al-Qayyim al-Jauzi, Zad al-Ma‟ad,... jil. 5, 818. 61
Muhammad Amin al-Shahir bi Ibnu „Abidin, Hashiyah Rad al-Mukhtar ‘ala al-Dar al-
Mukhtar, (Mesir: Matba‟ah Mustafa al-Bab al-Halabi, Cet. 2, jil. 5, 1386 H), 62.
44
atau tidak.
Kedua, bentuknya yang tidak diketahui, baik pada sifat,
takaran, timbangan dan semacamnya. Kedua bentuk ini bermuara
pada satu kesimpulan bahwa gharar mengandung bahaya
sebagaimana pada defenisi etimologinya. Mencermati lebih dalam
terhadap defenisi-defenisi di atas, lebih mengarah kepada makna
gharar secara umum. Meskipun ada perbedaan dari sisi
pengungkapan.
Nampaknya, para ulama belakangan dalam mendefenisikan
tentang gharar, sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Ibnu
Taimiyah dan al-Sarkhasi, bahwa gharar adalah bila hasil akhirnya
tersembunyi. Bisa dilihat kepada beberapa defenisi yang juga
menyebutkan contoh-contoh kasus tentang gharar bahwa gharar
adalah tersembunyi hasil akhirnya dan adanya keraguan pada dua
probabilitas.62
Hasil akhir yang tersembunyi sangat dipengaruhi oleh
adanya informasi yang tidak sempurna pada mereka yang
bertransaksi. Seperti defenisi Zamir Iqbal dan Abbas Mirakhor,
gharar adalah situasi di mana pihak-pihak yangterikat kontrak
atau salah seorang dari mereka tidak memiliki Informasi
berkaitan dengan sebagian pasal dalam akad atau pasal
kontrak,dancenderung tidak mampu dikontrol oleh salah satu
62
Muhammad Siddiq Hasan Khan al-Qanuji, Al-Raudah al-Nadiyah Sharh al-Darar al-
Bahiyah, Riyad: Maktabah al-Kautsar, Cet. 4, jil. 2, 1996., h.197.
45
pihak.63 Bagi Adiwarman Karim, hal ini menunjukkan bahwa
gharar bersumber dari persoalan ketidaksamaan padainformasi
pada pihak-pihak yangbertransaksi, sehingga melahirkan
ketidakpastian yang diciptakan oleh kekurangan informasi atau
tidak adanya kontrol dalam akad. Gharar dianggap sebagai
pengabaian terhadapun suresensi dalam transaksi. Misalnya
pada kepastian harga jual, kesanggupan penjual menyerahkan
barang jualannya, tempat dan waktu jual beli serta lain
sebagainya. Adanya gharar dalam sebuah transaksi menjadikan
akad tersebut batal dan tidak berlakulagi.64
Adapun defenisi yang bermakna ragu terhadap ada dan
tidaknya obyek, seperti defenisi Ibnu „Abidin, hanya terbatas pada
keberadaan obyek. Tapi, tidak menerangkan tentang sifat
maupun berapa jumlahnya. Misalnya, saya menjual salah satu
dari dua barangku kepadamu, tapi tidak menentukan salah
satunya.
Demikian pula dengan defenisi yang barangnya tidak
diketahui. Seperti defenisi Ubay Muhammad bin Hazm, yang
berkata bahwa gharar adalah “Sesuatu yang dalam akadnya
63
Zami Iqbal dan Abbas Mirakhor, An Introduction To Islamic Finance: Theory and
Practice, (Terj. Oleh A.K. Anwar dengan judul Pengantar Keuangan Islam: Teori dan
Praktek, (Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2008), 88. 64
Adiwarman Karim, Islamic banking: Fiqh and Financial Analysis, Jakarta: Rajawali Press,
Ed. 4, 2011. h.31
46
tidak diketahui pasti berapa kuantitas dan sifat obyek.”65 Defenisi
ini hanya menyebutkan tentang sifat dan jumlah obyek, tapi tidak
menerangkan kepastian ada tidaknya obyek. Contohnya adalah
kasus jual beli kuda yang lepas dari kandangnya. Akad ini
menjelaskan tentang sifat dan seberapa banyak obyek yang
diperjualbelikan, tapi sangat memungkinkan untuk tidak mampu
diserahterimakan di antara pihak yang berakad. Baginya, kasus
ini adalah contoh gharar. tapi berbeda dengan Ibnu Hazm, yang
membolehkan contoh kasus di atas.66
Pemilahan yang lain atas beberapa defenisi yang diungkap
oleh para ulama bisa dibedakan sebagai berikut :
Pertama: “Tampaknya sesuatu secara tidak haqiqi, tapi
disifatkan dengan suatu kriteria yang sebenarnya tidak ada
padanya. Tujuannya agar mempengaruhi pihak lain agar
menyetujui atas apa yang ditransaksikan”.67
Kedua, “Melakukan transaksi pembelian terhadap suatu
obyek, dan pembeli memahami bahwa transaksinya sudah
sempurna tanpa cacat, tapi ternyata masih ada ketidakjelasan”.68
Ketiga, “Munculnya ketidakjelasan dari sisi ungkapan
65
Ibnu Hazm al-Zahiri, al-Mahalli , Tahqiq: Ahmad Muhammad Shakir, Cairo: Maktabah
Dar al-Turats, jil. 8, tt., h.389. 66
Ibnu Hazm al-Zahiri, al-Mahalli ,... h.388. 67
Abdullah Muhammad bin Yusuf al-Mawwaq, Al-Majallah al-„Adliyah (Beirut: Dar al-
Kutub al-„Ilmiyah, cet. 1, Lihat pula, Ahkam al-Mu‟amalat al-Shar‟iyah h. 377-380. 68
Al-Taj wa al-Iklil (jil. 6), h. 349. Lihat pula Abdul Karim al-Rafii, Fath al-„Aziz sharh
al- Wajiz , dikutip dalam kitab al-Majmu‟ Sharh al-Muhadzdzab (Beirut: Dar al-Fikr jil.
8, tt), h. 333.
47
akad, atau transaksi bohong, bertujuan mempengaruhi salah
satu pihak yang bertransaksi untuk setuju atas akad yang
dilakukan”.69
Tiga macam defenisi di atas, dapat dikatakan bahwa setiap
dari defenisi tersebut tidak meliputi atau menggambarkan secara
utuh dari sisi makna serta macam-macam gharar itu sendiri.
Justru defenisi-defenisi tersebut membuat batasan-batasan
gharar semakin sempit. Misalnya, pada defenisi kedua, gharar
hanya dimaknai sebagai perilaku salah dari sisi praktek
perbuatan saja.
Sedangkan defenisi pertama, lebih dominan mengarah
kepada gharar perkataan ketimbang gharar dengan perbuatan
(disifatkan dengan suatu kriteria yang sebenarnya tidak ada
padanya). Meskipun defenisi ini nampak mencakup gharar
perkataan dan perbuatan sehingga membuat nya lebih baik dari
pada defenisi kedua, tapi terasa masih cenderung kepada gharar
perkataan.
Semoga yang paling utuh menggambarkan tentang gharar
adalah defenisi ketiga. Defenisi ini dengan jelas mencakup
perkataan dan perbuatan (akad dan transaksi bohong). Namun,
sebagai catatan terhadap defenisi ketiga ini, penulis melihat
adanya batasan gharar terhadap perkataan dan perbuatan saja,
69
Mustafa al-Zarqa, al-Madkhal al-„Am ( jil. 1), h. 379.
48
padahal secara esensi tidak selamanya penyebab gharar
bersumber dari kedua hal itu. Menelusuri paparan dari mazhab
Hanafiyah dan Syafi‟iyah, mereka tidak menetapkan adanya
khiyar (pilihan memilih atas aib) pada gharar perkataan. Oleh
sebab itu, tidak cukup hanya gharar pada perkataan saja. Hal
tersebut berbeda dengan gharar perbuatan pada sebagian
penjelasannya.
Tiga macam defenisi yang digambarkan di atas hanya
menempatkan gharar bersumber dari kedua belah pihak yang
bertransaksi. Padahal, diketahui bahwa gharar bisa jadi terjadi
tidak dari pihak yang bertransaksi saja, tapi juga bisa dari
perantara, petunjuk-petunjuk pelaksanaan akad, wakil atau kurator
dan lain-lain.
Cakupan keseluruhan makna gharar sebagaimana yang
dipahami dari beberapa defenisi di atas, adalah yang dilontarkan
oleh Dewan Pengkaji Fikih al-Islami pada Organisasi Konfrensi
Islam dalam pertemuan tahunan di Makkah al-Mukarramah tahun
2010, “Gharar adalah ketidakjelasan dari salah satu pihak yang
berakad atau dari pihak lain terkait dengan objek yang
berhubungan dengan transaksi mereka, sehingga dalam akad
tidak sesuai dengan apa yang seharusnya berjalan, baik melalui
perkataan maupun perbuatan, yang bila mereka tahu akan
ketidakpastian tersebut, pasti akan menarik diri dari apa yang
49
mereka telah transaksikan.”70
Perbedaan ulama terhadap gharar berangkat dari
pemahaman dan cakupan kandungan mereka terhadap jual
beli gharar. Ada yang memahami istilah ini hanya terkait
dengan obyek yang ditransaksikan, karena ghararnya hanya
berhubungan dengan saat terjadinya transaksi. Namun,
dominan ulama memahami ghararnya itu sendiri bersumber dari
sifat akad. Sehingga cakupannya selain termasuk obyek transaksi
pada saat berlangsungnya akad, juga terkait dengan sifat-sifat
yang muncul akibat terjadinya akad. Cakupan luasnya ini
menunjukkan bahwa jual beli gharar terkait dengan semua jenis
larangan yang potensi ghararnya ada. Seperti jual beli
melempar batu dimana tempat jatuhnya menjadi pembatas atas
keputusan jual beli. Ini adalah gharar dari sifat akad. Selanjutnya,
gharar dari sighat. Misalnya, jual beli dua transaksi dalam satu akad,
atau jual beli syarat.71
Mencermati lebih jauh kepada defenisi tentang gharar,
sebagaimana pandangan Imam Nawawi, penulis sepakat dengan
pernyataan Khalid bin Abdul „Aziz al-Batili, yang menjelaskan
bahwa gharar sangatlah penting diketahui karena berkonsekuensi
70
Abdullah al-Salami, al-Taghrir fi al-Mudarabat fi Bursah al-Auraq al-Maliyah
Tausifuhu wa Hukumuh, Workshop ke-20 Majlis al-Fiqh al-Islami yang diadakan di
Makkah al-Mukarramah 25-29 Desember 2010, (Makkah al-Mukarramah: Rabitah al-
„Alam al-Islami, Majma‟ al-Fiqh al- Islami, tt) h. 9. 71
Wahbah al-Zuhaili, Mausu'ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadayah al-Mu'asirah, Damaskus:
Dar al-Fikir al-Mu'asir, Jil. 4, Cet. 1, 2010. H. 198
50
luas terhadap praktek jual beli di masyarakat.72 Adapun kasus dan
cabang praktek gharar seakan tidak berbatas, bisa ditinjau dari
sisi sifat luar obyek maupun keadaan obyek itu sendiri. Ini pula
yang disebut oleh Wahbah al-Zuhaili bahwa makna jual beli gharar
luas yang mencakup sifat.
Dalam kitab al-Furuq,73 gharar dapat diklasifikasi menjadi
tiga, yakni pertama: gharar katsir (excessive gharar); yaitu jenis
ketidakjelasan tingkat teratas yang kadar ketidakjelasannya cukup
tinggi. Misalnya, transaksi penjualan ikan yang masih ada di dalam
kolam karena belum bisa dilihat dan diketahui kualitas dan
kuantitas secara jelas sehingga sangat mungkin terjadi kekeliruan
saat menebak. Transaksi jenis ini jelas dilarang dan haram
hukumnya.74
Ulama telah bersepakat, seperti yang termaktub dalam
Mi‟yar al-Shar‟i Li al-Mu‟amalah al-Maliyah, bahwa ada empat
macam aspek yang menyebabkan gharar dilarang. Yaitu, Volume
gharar lebih banyak, Gharar hanya terjadi pada transaksi bisnis,
Gharar ada pada bagian yang pokok dan tidak ada kebutuhan
72
Khalid bin Abdul „Aziz al-Batili, Ahadits al-Buyu‟ al-Manhiyu „anha, (Riyad: Dar al-
Kunuz Isybiliya, Cet 1, 2004), 53. 73
(Ibnu Rajab, al-Furuq, 3/265). 74
Dalam kajian fikih klasik, transaksi kategori gharar katsir (excessive) yang benar-benar
dilarang syariah
51
mendesak.75
Sejalan pula dengan pembagian gharar menurut
pembahasan sebelumnya, dapat disederhanakan sebagai
berikut :
Pertama, besarnya cakupan gharar pada suatu transaksi
Tingkatan cakupan gharar dapat dibedakan atas tiga tingkatan,
yaitu banyak, sedang dan sedikit.
Kedua, dari sisi pengaruh gharar, apakah adanya gharar dapat
merusak akad transaksi atau tidak.
Siddiq Muhammad al-Amin al-Darir mengemukakan
bahwa praktek gharar hanya bisa terjadi pada akad-akad bisnis
(mu‟awadat), khususnya pada shigat akad, tempat, harga dan
waktu pelunasan utang. Jelas bahwa akad yang dipandang
banyak mengandung gharar, dapat merusak kebolehan
transaksi yang dilakukan. Adapun, gharar pada transaksi sosial
(tabarru‟), sesuatu yang diberikan kepada pihak lain meskipun
mengandung gharar, transaksi tersebut dapat dibenarkan.
Alasannya, karena akad yang bersifat sosial didasarkan pada
kerelaan masing-masing pihak yang memberi maupun yang
menerima.76
Telah banyak ulama yang berkomentar tentang larangan
75
Al-Mi‟yar al-Shar‟i No. 31, “Dabit al-Gharar al-Mufsid Lilmu‟amalat al-Maliyah”,
502. 76
Siddiq Muhammad al-Amin al-Darir, Al-Gharar fi al-‘Uqud wa Atsaruhu fi al-Tatbiqat
al-Mu’asirah, (Saudi Arabiyah: al-Ma‟had al-Islami Lilbuhuts wa al-Tadrib [IDB], Cet.
1, 1993), .mlh 8
52
jual beli gharar, begitu pula dengan nash-nash yang terkait
dengannya, serta bahasan lanjutan atau cabang atas hukum
jual beli gharar. Pernyataan para ulama tersebut terhadap
transaksi yang mengandung gharar atau tidak, tergantung
sejauh mana gharar itu sendiri berpengaruh terhadap sah
tidaknya suatu transaksi. Oleh karena itu, mengulangi empat hal
diatas bahwa karakteristik atau batasan gharar bisa dilihat
sebagai berikut. Keempatnya harus ada padatransaksi yang
dipandang gharar. Bila salah satu batasan gharar di atas luput,
atau salah satu unsurnya tidak ada, maka transaksi yang dimaksud
tidak dapat dikatakan sebagai gharar. Berikut adalah batasan-
batasan dimana gharar dapat membatalkan akad transaksi, yaitu77
pertama, Volume gharar lebih banyak. Kedua, Gharar hanya terjadi
pada transaksi bisnis. Ketiga, Gharar ada pada bagian yang pokok.
Keempat, Tidak ada kebutuhan mendesak terhadapnya
Berikut adalah pembahasan masing-masing dari ke empat
batasan gharar di atas.
1. Volume gharar lebih banyak
Sebagaimana yang disebut sebelumnya, bahwa
bahasan ulama yang cenderung berbeda bukan pada
penjelasan pokok tentang gharar, tapi ada pada pada
praktek dilapangan. Praktek yang dimaksud adalah
77
Siddiq Muhammad al-Amin al-Darir, Al-Gharar fi al-‘Uqud,... 39-47.
53
seberapa besar volume gharar ada dalam tranksaksi.
Ulama bersepakat atas larangan gharar yang banyak. Bila
volumenya sedikit, mereka tidak mempermasalahkannya.
Justru, gharar yang volumenya sedang, atau antara banyak
dan sedikit, disinilah terjadi perbedaan luas, di antara
mereka ada yang melarang dan ada pula yang
membolehkan.
Menurut Siddiq Muhammad al-Amin al-Darir, kategori
gharar yang dilarang adalah apabila volume aspek ghararnya
lebih dominan, terjadi pada objek transaksi yang utama, dan
bukannya pada unsur-unsur sebagai pengiring dari objek
utama, serta tidak dijumpainya tanda-tanda dharurat untuk
melaksanakan akad yang mengandung gharar.78
Berikut adalah contoh-contoh transaksi yang volume
ghararnya sedikit, sehingga tidak berpengaruh kepada
legalitas akad yang dimaksud.
a. Jual beli buah yang dilapisi oleh kulit, meski tidak
melihat isinya langsung.
b. Jual beli rumah tanpa melihat pondasinya.
c. Sewa masuk toilet, tanpa membedakan secara pasti
jumlah air yang digunakan serta lamanya berdiam diri
di dalamnya.
78
Siddiq Muhammad al-Amin al-Darir, Al-Gharar fi al-‘Uqud ... 39
54
d. Sewa rumah yang sama pada hitungan perbulan,
meskipun ada perbedaan jumlah hari. Adakalanya
29, 30 atau 31 hari. Contoh jual beli yang volume
ghararnya lebih banyak
e. Jual beli hisah, mulamasah dan munabadhah.
f. Jual beli janin binatang, tanpa induknya.
g. Jual beli janin yang masih dalam perut induknya.
h. Jual beli jaminan.
i. Jual beli buah sebelum matang.
j. Jual beli yang tidak diketahui barangnya, tanpa
pemberian hak kepada pembeli untuk menentukan.
k. Jual beli diketahui jenis barangnya.
l. Menangguhkan harga barang hingga masa berikutnya
secara tidak pasti .
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa kasus
praktek gharar bisa dijumpai pada banyak transaksi, baik
pada kandungan ghararnya banyak maupun yang sedikit.
Demikian pula pada transaksi yang tingkat kandungan
ghararnya adalah sedang, atau diantara yang banyak dan
sedikit. Misalnya:
a. Jual beli sesuatu yang masih terpendam dalam dalam
tanah.
b. Jual beli tanpa timbangan.
55
c. Jual beli dengan harga pasar.
d. Jual beli dengan hanya satu harga.
e. Jual beli seseorang sebelum barangnya
diserahterimakan.
f. Jual beli hasil pertanian, dimana hasilnya tidak
bersamaan, tapi
g. Jual beli sesuatu yang objeknya tidak ada,
h. Pertanian.
Beberapa ulama telah memberi pengertian dan defenisi
antara gharar yang banyak dan gharar yang sedikit. Di
antaranya, al-Baji mengatakan bahwa gharar yang sedikit
adalah : “Sesuatu yang dalam akadnya hampir tidak
mengandung atau sedikit saja mengandung gharar.”
Sedangkan, gharar yang banyak yaitu : “Sesuatu yang
dalam akadnya mengandung banyak gharar, sehingga akad
itu sendiri disifati dengan gharar.”79
2. Gharar hanya terjadi pada transaksi bisnis
Gharar hanya terjadi pada transaksi bisnis saja,
misalnya pada akad jual beli, akad kerjasama dan akad
sewa-menyewa. Sebagaimana yang dipahami secara
umum, bahwa asas bertransaksi adalah semuanya boleh,
kecuali bila ada nash yang melarang. Terkait dengan praktek
79
Sulaiman bin Khalaf al-Baji, al-Muntaqa Sharh al-Muwatta’, Penerbit as-Sa‟adah,
Jilid. 1, h.41
56
gharar, maka hadis Nabi telah jelas-jelas melarang praktek
gharar. tingkatan hadis tersebut adalah shahih, sehingga
tidak ada cara lain dalam meresponnya kecuali meninggalkan
praktek gharar dalam berbagai macam transaksi bisnis.
Adapun pada jenis akad lain, tidak semua praktek
gharar didalamnya dilarang. Misalnya pada akad-akad sosial,
meskipun dijumpai ada gharar, tapi tidak akan mempengaruhi
sah tidaknya transaksi sosial tersebut. Sebab, nash yang
terkait dengan larangan gharar, hanya berhubungan dengan
akad-akad bisnis.
Misalnya dalam akad pemberian (hibah), bila saja ada
gharar di dalamnya, tidak akan memunculkan permusuhan
dan tidak pula memakan harta milik orang lain secara bathil.
Seseorang yang memberikan atau menghadiahkan buah apel
yang masih belum matang dipohonnya kepada pihak lain, bila
saja buahnya jadi semua atau sedikit, maka menjadi milik
orang yang diberikan. Sebaliknya, bila tidak jadi, maka tidak
akan memberikan kerugian pada pihak yang diberikan.
Alasannya adalah dalam transaksi hibah, pihak yang
diberikan tidak memberikan sesuatu sebagai pengganti atas
buah yang dijanjikan kepadanya. Oleh karena itu, tidak ada
alasan untuk marah pihak yang diberikan bila apa yang
diinginkan hasil akhirnya justru tidak memberikan hasil apa-
57
apa.
3. Gharar ada pada bagian yang pokok
Tidak ada perbedaan di antara ahli fikih, bahwa gharar
yang dapat merusak akad adalah bila terjadi pada pokok objek
transaksi. Namun, gharar yang ditemukan pada unsur pengikut
dari transaksi itu sendiri, tidak akan mempengaruhi legalitas
transaksi. Maksudnya bahwa keadaan sesuatu yang
mengikuti tidak akan mempengaruhi pokoknya. Atau yang
pokok tidak terpengaruh terhadap apa yang mengikutinya.
4. Tidak ada kebutuhan mendesak terhadapnya.
Salah satu syarat adanya gharar dalam akad adalah
apabila tidak ada orang yang membutuhkannya atau
berkepentingan kepadanya. Sebaliknya, bila manusia
membutuhkan transaksi akad yang dimaksud, maka tidak
berpengaruh munculnya gharar. Hampir bisa dikatakan bahwa
transaksi yang dilakukan oleh manusia adalah karena
dibutuhkan. Dan pada dasarnya, salah satu prinsip syariah
secara umum adalah menghilangkan kesempitan dan kesulitan.
Firman Allah Swt.,
....
Terjemahnya
“Dan tidaklah Allah menjadikan dalam agama
58
kesulitan/kesempitan...(QS.Al-Haj:78.)”80
Hukum jual beli gharar dilarang dalam Islam berdasarkan al-
Qur‟an dan hadis. Larangan jual beli gharar didasarkan pada ayat-ayat al-
Qur‟an yang melarang memakan harta orang lain dengan cara batil,
sebagaimana firman Allah dalam Al-qur‟an surah An-nisaa‟ : 29
Terjemahnya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.81
80
Al-Qur’an dan Terjemahan,Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur‟an Departemen Agama Bandung:
Syamil Qur’an, 2007 81
Al-Qur’an dan Terjemahan ibid.,
59
Terjemahnya :
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang
bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu
kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian
daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu Mengetahui‟‟. (QS. Al-Baqarah: 188)82
B. Cakupan Gharar dalam Sistem Muamalah Islam
1. Jenis Gharar
Dilihat dari peristiwanya, jual-beli gharar bisa ditinjau dari tiga
sisi.
Pertama : Jual-beli barang yang belum ada (ma‟dum), seperti jual beli
habal al hubalah (janin dari hewan ternak).
Kedua : Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak,
seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual barang dengan harga
seribu rupiah”, tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau
seperti ucapan seseorang : “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan
harga sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau
82
. Al-Qur’an dan Terjemahan ibid.,
60
bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang :
“Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun ukuran
tanahnya tidak diketahui.
Ketiga : Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti
jual beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri.. Ketidak
jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual belinya.
Ketidak jelasan pada harga dapat terjadi karena jumlahnya,
seperti menjual 10 hasta tanah. Adapun ketidak-jelasan pada akad,
seperti menjual dengan harga Rp.10.000 bila kontan dan Rp.20.000
bila diangsur, tanpa menentukan salah satu dari keduanya sebagai
pembayarannya.
2. Gharar yang di perbolehkan
Jual beli gharar yang diperbolehkan ada empat macam :
(1) jika barang tersebut sebagai pelengkap, atau
(2) jika ghararnya sedikit, atau
(3) masyarakat memaklumi hal tersebut karena dianggap sesuatu yang
remeh,
(4) mereka memang membutuhkan transaksi tersebut.
“Kadang sebagian gharar diperbolehkan dalam transaksi jual beli,
karena hal itu memang dibutuhkan (masyarakat). Seperti seseorang
tidak mengetahui kualitas pondasi rumah (yang dibelinya) begitu juga
tidak mengetahui kadar air susu pada kambing yang sedang hamil.
61
“Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila
ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi
penghalang keabsahan akad jual beli.
3. Gharar yang Dilarang
Gharar yang dilarang ada 10 macam yaitu sebagai berikut:
(1) Tidak dapat diserahkan
Yaitu tidak ada kemampuan penjual untuk menyerahkan
obyek akad pada waktu terjadi akad, baik obyek akad itu sudah
ada maupun belum ada. Misalnya: menjual janin yang masih
dalam perut binatang ternak tanpa menjual induknya atau contoh
lain yaitu menjual ikan yang masih dalam air (tambak).
(2) Menjual sesuatu yang belum berada di bawah penguasaan
penjual
Yaitu apabila barang yang sudah dibeli dari orang lain
belum diserahkan kepada pembeli, maka pembeli itu belum boleh
menjual barang itu kepada pembeli lain. Akad semacam ini
mengandung gharar, karena terdapat kemungkinan rusak atau
hilang obyek akad, sehingga akad jual beli pertama dan kedua
menjadi batal.
(3) Tidak ada kepastian tentang jenis sifat tertentu dari barang yang
dijual Misalnya, penjual berkata: “saya jual sepeda yang ada di
rumah saya kepada anda”, tanpa menentukan cirri-ciri sepeda
tersebut secara tegas. Termasuk ke dalam bentuk ini adalah
62
menjual buah-buahan yang masih di pohon dan belum layak
dikonsumsi.
(4) Tidak ada kepastian tentang jumlah yang harus dibayar
Misalnya, orang berkata: “saya jual beras kepada anda
sesuai dengan harga yang berlaku pada hari ini”. Padahal jenis
beras itu banyak macamnya dan harganya juga tidak sama.
(5) Tidak ada ketegasan bentuk transaksi
Yaitu ada dua macam atau lebih yang berbeda dalam satu
obyek akad tanpa menegaskan bentuk transaksi mana yang akan
dipilih pada waktu terjadi akad. Misalnya, sebuah motor dijual
dengan harga 10.000.000,- dengan harga tunai dan 12.000.000,-
dengan harga kredit. Namun, sewaktu terjadi akad tidak
ditentukan bentuk transaksi mana yang akan dipilih.83
(6). Tidak diketahui ukuran barang
Tidak sah jual beli sesuatu yang kadarnya tidak diketahui.
Misalnya, penjual berkata, “aku jual kepada kamu sebagian tanah
ini dengan harga 10.000.000,-”.
(7). Jual beli mulamasah
Jual beli mulamasah adalah jual beli saling menyentuh,
yaitu masing-masing dari penjual dan pembeli pakaian atau
barang lainnya, dan dengan itu jual beli harus dilaksanakan tanpa
ridha terhadapnya atau seorang penjual berkata kepada pembeli,
83
M. Ali Hasan, op. cit., h. 148-149.
63
“jika ada yang menyentuh baju ini maka itu berarti anda harus
membelinya dengan harga sekian, sehingga mereka menjadikan
sentuhan terhadap obyek bisnis sebagai alasan untuk
berlangsungnya transaksi jual beli.84
(8). Jual beli munabadzah
Yaitu jual beli saling membuang, masing-masing dari kedua
orang yang berakad melemparkan apa yang ada padanya dan
menjadikan itu sebagai dasar jual beli tanpa ridha keduanya.
Misalnya: seorang penjual berkata kepada calon pembeli, “jika
saya lemparkan sesuatu kepada anda maka transaksi jual beli
harus berlangsung diantara kita.”85
(9). Jual beli al-hashah
Jual beli al-hashah adalah transaksi bisnis dimana penjual
dan pembeli bersepakat atas jual beli suatu barang pada harga
tertentu dengan lemparan batu kecil yang dilakukan oleh salah
satu pihak kepada pihak lain yang dijadikan pedoman atas
berlangsung tidaknya transaksi tersebut.
(10). Jual beli urbun
Yaitu jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian.
Misalnya: seseorang membeli sebuah komoditi dan sebagian
pembayarannya diserahkan kepada penjual sebagai uang muka
(panjar). Jika pembeli jadi mengambil komoditi maka uang
84
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 4, Jakarta: PT Pena Pundi Aksara, 2009, cet I, h. 61. 85
Imam Abil Husain Muslim bin Al Hujjaj al Qusyairi an Naisaburiy, Shahih Muslim, Juz IX,
Bairut : Darul Kitab al „Immiyyah, 1995
64
pembayarannya termasuk dalam perhitungan harga, akan tetapi
jika pembeli tidak jadi mengambil komoditi tersebut maka uang
muka menjadi milik penjual. Didalam masyarakat dikenal dengan
istilah “uang hangus” atau “uang hilang” tidak boleh ditagih
kembali oleh pembeli.
C. Pengaruh Gharar Terhadap Keabsahan Jual Beli
Segala kegiatan yang berkaitan dengan aspek muamalah atau
kemasyarakatan diperlukan adanya suatu aturan yang jelas, agar dalam
melakukannya tidak ada kecurangan di antara pihak yang dapat
merugikan orang lain. Dalam setiap transaksi kegiatan jual beli , dapat
dikatakan sah atau tidaknya tergantung dari terpenuhinya rukun-rukun
transaksi tertsebut. Rukun berarti tiang atau sandaran atau unsur yang
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sutau perbuatan yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan adanya atau
tidak adanya sesuatu itu. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah
ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara ridha, baik
dengan ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual beli meliputi : Akid yaitu Bai‟ (penjual) dan
Mustari (pembeli), Shighat (ijab dan qabul), Ma‟qud „alaih (benda atau
barang).86
1. Akid yaitu Bai‟ (penjual) dan Mustari (pembeli)
86
Abu malik al-kamal bin sayyid salim, Shahih fiqih sunnah, j 4 hlm 257.
65
Bai‟ (penjual) adalah seorang atau sekelompok orang yang
menjual benda atau barang kepada pihak lain atau pembeli baik
berbentuk individu maupun kelompok, sedangkan Mustari
(pembeli) adalah seorang atau sekelompok orang yang membeli
benda atau barang dari penjual baik berbentuk individu maupun
kelompok.
2. Shighat (ijab dan qabul)
Yaitu ucapan penyerahan hak milik dari satu pihak dan ucapan
penerimaan di pihak lain baik dari penjual dan pembeli.
3. Ma‟qud „alaih (benda atau barang)
Merupakan obyek dari transaksi jual beli baik berbentuk benda
atau barang. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi dalam akad
jual beli adalah sebagai berikut :
a. Terkait dengan subyek akad (Aqid)
Subyek akad (aqid) yaitu penjual dan pembeli yang dalam hal ini
bisa dua atau beberapa orang yang melakukan akad,
adapun syarat- syarat bagi orang yang melakukan akad
yaitu:
1). Berakal, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang
belum berakal dan orang gila hukumnya tidak sah.
2). Kehendak sendiri, hendaknya transaksi ini di dasarkan pada
prinsip- prinsip kerelaan (suka sama suka) antara penjual
dan pembeli yang di dalamnya tersirat makna muhtar,
66
yakni bebas melakukan transaksi jual beli dan terbebas dari
paksaan dan tekanan.
Sebagaimana firman Allah Taa‟la dalam al-qur‟an
Terjemahnya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”87
Keadaannya tidak mubazir, maksudnya para pihak yang
mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli bukanlah manusia yang
boros atau mubazir, sebab orang yang boros menurut hukum
dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap bertindak,
Terjemahnya dia tidak dapat melaksanakan perbuatan hukum sendiri
walaupun berkaitan dengan kepentingannya sendiri. Hal ini sesuai
dengan firman allah swt dalam al-qur‟an
87
(QS. An-Nisa’ : 29
67
Terjemahnya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang
yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang
ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian
(dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka
kata-kata yang baik.”(QS. An-Nisa‟ : 5)88
3.) Baligh, berumur 15 tahun ke atas atau dewasa. Anak
kecil tidak sah jual belinya. Adapun anak-anak yang
sudah mengerti tetapi belum sampai umur dewasa,
menurut pendapat sebagian ulama, mereka
diperbolehkan jual beli barang-barang yang kecil,
karena kalau tidak diperbolehkan, sudah tentu
menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama
Islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan
yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.89
b. Sighat akad (ijab qabul)
88
Departemen Agama RI. h. 61. 89
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010, h. 281
68
Ulama fiqih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama jual
beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat
terlihat pada saat akad berlangsung.Ulama fiqih telah
menyebutkan bahwa syarat ijab qabul adalah sebagai berikut:
1).Orang yang mengucapkannya yaitu penjual dan pembeli (bai‟
dan mustari) telah akil baligh dan berakal.
2).Qabul sesuai dengan ijab, dalam arti seorang pembeli menerima
segala apa yang diterapkan oleh penjual dalam ijabnya.
Misal:
“saya jual sepeda ini dengan harga sepuluh ribu rupiah”,
kemudian pembeli menjawab, “saya beli dengan harga
sepuluh ribu rupiah”.
3).Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, maksudnya adalah
bahwa kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli
hadir dan membicarakan masalah yang sama. Apabila
penjual mengucapkan ijab, kemudian pembeli beranjak
sebelum mengucapkan qabul atau pembeli mengadakan
aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan akad jual
beli tersebut, kemudian sesudah itu mengucapkan qabul,
maka menurut kesepakatan ulama fiqih, jual beli itu tidak
sah, sekalipun mereka berpendirian, bahwa ijab tidak harus
dijawab langsung dengan qabul.90
90
M. Ali Hasan, op. cit, h. 120.
69
4).ijab qabul atau setiap perkataan atau perbuatan yang
dipandang urf (kebiasaan) merupakan tolak ukur syarat suka
sama suka atau saling rela yang tidak tampak.
5).Rukun akad adalah ijab dan qabul. Ijab dan qabul
dinamakan shighatul aqdi atau ucapan yang menunjukkan
kepada kehendak kedua belah pihak, shighatul aqdi ini
memerlukan tiga syarat, yaitu sebagai berikut:
a. Harus terang pengertiannya
b. Harus bersesuaian antara ijab qabul
c. Memperlihatkan kesungguhan dari pihak-pihak yang
bersangkutan.91
Lafadz yang dipakai untuk ijab dan qabul harus
terang pengertian menurut urf (kebiasaan). Haruslah qabul
itu sesuai dengan ijab dari segala segi. Apabila qabul
menyalahi ijab, maka tidak sah akadnya. Kalau pihak penjual
menjual sesuatu dengan harga seribu, kemudian pihak
pembeli menerima dengan harga lima ratus, maka teranglah
akadnya tidak sah, karena tidak ada tawafuq bainal ibaratin
(penyesuaian antara dua perkataan).
Untuk sighat ijab dan qabul haruslah
menggambarkan ketentuan iradad tidak diucapkan ragu-
ragu, apabila sighat akad tidak menunjukkan kemauan atau
91
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, PT. Pustaka Rizki
Putra Semarang, 1997, h. 29.
70
kesungguhan, akad itu tidak sah
c. Ma‟qud „alaih
Ma‟qud „alaih adalah obyek transaksi, sesuatu dimana
transaksi dilakukan di atasnya, sehingga akan terdapat
implikasi hukum tertentu. Ma‟qud „alaih bisa berupa asset-
aset financial (sesuatu yang bernilai ekonomis) ataupun aset
non financial, seperti wanita dalam akad pernikahan ataupun
bisa berupa manfaat seperti halnya dalam akad ijarah
(sewa).92
Ma‟qud „alaih harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
1). Halal, bersih barangnya. Barang najis tidak sah untuk diperjual
belikan dan tidak boleh dijadikan uang sebagai alat tukar,
seperti kulit bangkai yang belum disamak.
2). Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh karena
itu, bangkai, babi dan benda-benda haram lainnya tidak sah
menjadi obyek jual beli, karena benda-benda tersebut tidak
bermanfaat bagi manusia dalam pandangan syara‟.
3). Barang itu ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual
menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang
itu. Namun dalam hal ini yang terpenting adalah saat
92
Dimyauddin Djuwaini, op, cit, h. 57.
71
diperlukan barang itu sudah ada dan dapat dihadirkan pada
tempat yang telah disepakati bersama.93
4). Yang dimiliki, barang yang boleh diperjualbelikan adalah barang
milik sendiri. Bahwa orang yang melakukan jual beli atas
suatu barang adalah pemilik sah barang tersebut atau telah
mendapat izin dari pemilik sah barang tersebut.
5). Mengetahui atau barang yang dijual ini diketahui oleh pihak
penjual maupun pembeli. Barang yang diperjuabelikan harus
dapat diketahui banyaknya, beratnya, takarannya atau
ukurannya, maka tidaklah sah suatu jual beli yang
menimbulkan keraguan salah satu pihak.
Ditegaskan oleh Nazar Bakry barang itu harus
diketahui oleh penjual dan pembeli dengan terang zatnya,
bentuk, kadar dan sifat-sifatnya sehingga tidak terjadi tipu
daya.94 Tujuannya adalah agar tidak terjadi kesalah
pahaman di antara keduanya. Disamping barang tersebut
harus diketahui wujudnya, harga barang tersebut juga harus
diketahui jual beli tersebut sah atau tidak sah, karena
mengandung unsur gharar.
Akibat dilarangnya jual beli gharar selain karena
memakan harta orang lain dengan cara batil, juga
merupakan transaksi yang mengandung unsur judi, seperti
93
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, h. 72. 94
Nazar Bakry, Problematika Pelaksanaan Fiqh Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1994, h. 6
72
menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-
buahan sebelum tampak buahnya dan jual beli dengan
lemparan batu. Larangan jual beli gharar tersebut karena
mengandung ketidakjelasan, seperti pertaruhan atau
perjudian, tidak dapat dipastikan jumlah dan ukurannya. atau
tidak mungkin diserahterimaka Gharar menurut bahasa
adalah al-khatar (sesuatu yang belum diketahui)95. Suatu
akad akan mengandung unsur penipuan ketika tidak ada
kepastian atau ketidak jelasan.
Sedangkan menurut istilah gharar adalah hal yang
belum diketahui hasilnya atau apa yang belum diterima
hasilnya atau apa-apa yang belum diketahui hakikat dan
takarannya96.
95
Ahmad bin ali al-muqri al-fiumi, Kitabal-misbah Al-munir fi ghoribu Al-syarhi Al-kabir, bab
al-ghain, juz 6, H. 496. 96
Ibnul Qoyyim kitab Zadul Ma‟ad juz 5 Hlm 725
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan penulis gharar adalah:
1. Gharar menurut bahasa adalah al-khatar (sesuatu yang belum
diketahui) suatu akad mengandung unsur penipuan ketika tidak ada
kepastian atau ketidakjelasan. Sedangkan menurut istilah gharar
adalah hal yang belum diketahui hasilnya atau apa yang belum
diterima hasilnya atau apa-apa yang belum diketahui hakikat dan
takarannya.
2. Cakupan gharar
a. Jual-beli barang yang belum ada (ma‟dum), seperti jual beli habal
al hubalah (janin dan hewan ternak). tidakjelas (majhul), baik
b. Jual beli barang yang yang muthiak, seperti pernyataan
seseorang : “Saya menjual barang dengan harga seribu rupiah”,
tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan
seseorang : “Aku jual mobilku ini kepadamu dengan harga
sepuluh juta”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa
juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang :
“Aku jual tanah kepadamu seharga lima puluh juta”, namun
ukuran tanahnya tidak diketahui.
73
c. Jual-beli barang yang tidak mampu diserah terimakan. Seperti jual
beli budak yang kabur, atau jual beli mobil yang dicuri.. Ketidak
jelasan ini juga terjadi pada harga, barang dan pada akad jual
belinya. penerimaan di pihak lain baik dañ penjual dan pembeli.
d. Ma „qud „alaih (benda atau barang) Merupakan obyek dan
transaksi jual beli baik berbentuk benda atau barang.
3. Segala kegiatan yang berkaitan dengan aspek muamalah atau
kemasyarakatan diperlukan adanya suatu aturan yang jelas, agar
dalam melakukannya tidak ada kecurangan di antara pihak yang dapat
merugikan orang lain. Dalam setiap transaksi kegiatan jual beli , dapat
dikatakan sah atau tidaknya tergantung dan terpenuhinya rukun-rukun
transaksi tersebut. Rukun berarti tiang atau sandaran atau unsur yang
merupakan bagian yang tak terpisahkan dan suatu perbuatan yang
menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan adanya atau
tidak adanya sesuatu itu. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli
adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara
ridha, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
74
B. Saran
Dan kesimpulan di atas, maka penulis dapat mengemukakan beberapa
saran
sebgai berikut:
1. Diharapkan kepada seluruh masyarakat khususnya umat Islam untuk
memahami hak khiyar dalamjual beli.
2. Diharapkan kepada seluruh masyarakat dengan sistem jual beli yang
sesuai dengan hukum Islam
3. Diharapkan adanya sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan
praktek yang mereka lakukan selama ini tentang muamalah dalam
Islam, sehingga tidak didapati lagi aplikasi jual beli yang bertentangan
dengan hukum Islam.
75
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an dan Terjemahan. 2007. Lajnah Pentashih Mushab Al-Qur‟an Departemen
Agama Bandung:Syamil Qur‟an.
Bungin, M.Burhan, Penelitian Kualitatip( Jakarta: Kencana ,2008). TimPenyusun
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah:Pedoman Penulisan Karya Ilmiah,
Pedoman penulisan KaryaIlmiah: Skripsi, Tesisdan Desertasi ( Makassar :
UIN Alauddin 2008).
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012).
al Qusyairy an-Naisaburiy, Muslim bin al Hajjaj Abu al Hasan al Musnad as Shahih,
(daarIhyaau at Turats al „Araby)
Al-Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syārh Al-Muhazzāb (Terj. Muhammad Najib Al-
Muthi‟i), (Jakarta: PustakjaAzzam, 2003).
al Bukhary al Ja‟fy, Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al Jami’ al Musnad, (Daru
Tuq an Najah, cetakan pertama tahun 1422 H)
Al-Khalafi, Abdul „Azim bin Badawi Al-Wajiz Ensiklopedi Fiqih dalam Al-Qur’an
As-
Sunnah As-Shahih, (Jakarta: Pustaka As-Sunnah, 2006).
Al Albani, Muhammad Nasharuddin Ringkasan Shahih Bukhari, (Terj. M. Faisal,
AdisAldizar), Cet. 1 (Jakarta: PustakaAzzam, 2007).
Anshori, Abdul Ghafur PerbankanSyari’ah di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah Mada
University, 2007).
Hakim, Abd.Atang FiqhPerbankanSyari’ah, (Bandung: RefikaAditama, 2011).
Sabiq, Sayyid FiqhSunnah (Terj. Nor Hasanuddin), (Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006).
Husain Shahatah Dan SiddiqMuh. Al-Amin Ad-Dhahir, Transaksi Dan EtikaBisnis
Islam, (Terj. Saptono Budi Satryo Dan Fauziah R.), (Jakarta: VisiInsani,
2005).
Al-Qurthubi, Muhamad Ibnu Rusdy Bidayatul Mujtahid WaNihayat Al-Muqtashid
(Terj. Syaikh Muhammad Wa‟iz, Dr. Muhammad Khadhrah) (Jakarta: Akbar
Media, 2003).
76
Muhammad, Dasar-DasarKeuangan Islam, Cet. 1. (Yogyakarta: Ekonsia FE UII,
2004).
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 137
Muhammad Ibnu Rusdy Al-Qurthubi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayat Al-Muqtasid,
(Jakarta: Akbar Media, 2003).
Anwar, Syamsul Hukum Perjanjian Syariah: StudiTentangTeori Akad dalam Fiqh
Muamalah, (Jakarta: RajawaliPers, 2007).
Lubis K, Suhrawardi HukumEkonomi Islam, Cet. 3, (Jakarta: SinarGrafika, 2004).
Husain Syahatah Dan SiddiqMuh. Al-Amin Adh-Dhahir, Transaksi Dan EtikaBisnis
Islam.
Abbas Mirakhor Dan Zamir Iqbal, Pengantar Managemen Keuangan Islam Dari
Teori Ke Praktek, EdisiTerjemahan. (Jakata; Kencana, 2008).
SunartoZulkifli, PanduanPraktisTransaksi Perbankan Syariah, Cet. 2, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2003).
Al-Jamal, Muhammad Abdul Mun‟im.Ensiklopedi Ekonomi Islam.(Terj. Selangor),
(Malaysia: DewanBahasa Dan Pustaka Malaysia, 1997).
Al-Jauziyah, Ibnu Qayyim Zaid Al-Ma’ad, (Terj.Tahziib As-Sunan), (Jakarta:
Pustaka Al-Kausar, 2006).
Wahbah Zuhaili, Fiqh Imam Syafi’i, (Beirut: DarulFikri, 2008).
Citraislam.com, Jual Beli Dalam Islam, darisitus http://www.citraislam.com/jual-beli-
dalam-islam. di akses tanggal 20 Juni.
Al Imam Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, (Terj. Muhammad Najib
Al Muthi‟i), (Jakarta: PustakaAzzam, 2003).
Pusat PengkajiandanPengembangan Ekomomi Islam (P3EI) Dan Bank Indonesia,
Ekonomi Islam, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2008).
Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R &
D, (Bandung: Alfabeta, 2006).
NeongMuhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1992).
SuharsimiArikunto, ManajemenPendidikan (Jakarta: RinekaCipta, 2000).
Koenijaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Cet. XI; Jakarta: PT,
Gremedia Pustaka Utama, 1991).
Lexx J.Koleong, Metodologi Penelitian Kualitatif(Cet. XIII; Bandung: PT.
Renajayakarya, 2000).
Abadi, Al-Fairuz. Al-Qamus al-Muhit, al-Maktabah al- Syamilah,tt.
Al-Darir, Siddiq Muhammad al-Amin. Al-Gharar fi al-‘Uqud wa Atsaruhu fi al-
Tatbiqat al-Mu’asirah, Saudi Arabiyah: al-Ma‟had al-Islami Lilbuhuts wa
al-Tadrib [IDB], Cet. 1, 1993.
Ali, Atabik. & Muhdloi, Ahmad Zuhdi. Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, cet. 3, 1998.
Al-Jauzi, Ibnu al-Qayyim. Zad al-Ma’ad fi Hadyi Khair al-‘Ibad, Tahqiq Shu‟aib al-Arnauti dan Ba‟du al-Qadir al-Arnauti, Beirut: Muassasah al-Risalah,
Cet. 14, 1996.
Al-Busti, Abu Sulaiman Hamdi bin Muhammad al-Khattabi. Ma’alim al-Sunan
Sharh Sunan Abu Dawud, Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, Cet. 1,1991.
Al-Darir, Siddiq Muhammad al-Amin. Al-Gharar fi al-‘Uqud wa Atsaruhu fi al-
Tatbiqat al-Mu’asirah, Saudi Arabiyah: al-Ma‟had al-Islami Lilbuhuts wa
al-Tadrib [IDB], Cet. 1, 1993.
Al-Mi‟yar al-Shar‟i No. 31, “Dabit al-Gharar al-Mufsid Lilmu‟amalat al-Maliyah”.
Al-Naisaburi, Abu Bakar bin Muhammad bun Ibrahim bin al-Mundzir. Al-
Ausatfial-Sunanwaal-Ijma’waal-Ikhtilaf, Tahqiq : Sagir Ahmad bin
Muhammad Hanif, Riyad: Dar Tayyibah, Cet. 2,1998.
Al-Nawawi,AbuZakariyaMuhyiddinbinSharf.Al-Majmu‟Sharhal-Muhadzdzab, Tahqiq: Muhammad bin Najib al-Muti‟i, Cairo: Dar al-Turats al-„Arabi, 1994.
Al-Nawawi, Abu Zakariyah Muhyiddin Ibn Sharaf. Al-Majmu’ Sharh al- Muhadhab, Matba‟ah al-Tadamun al-Akhwa, 676.H.
Al-Jazari, Majiduddin Ubai al-Sa‟adat al-Mubarak bin Muhammad bin al-
Utsair. Jami al-Usul fi Ahadits al-Rasul Saw, Tahqiq oleh Abd al-Qadir
al-Arnaut Damaskus: Dar al-Bayan,1969.
Al-Zahiri, Ibnu Hazm. Al-Mahalli, Tahqiq: Ahmad Muhammad Shakir, Cairo: Maktabah Dar al-Turats,tt.
Al-Zuhaili, Wahbah. Mausu'ah al-Fiqhi al-Islami wa al-Qadayah al-Mu'asirah,
Damaskus: Dar al-Fikir al-Mu'asir, Cet. 1, 2010.
Manzur, Ibnu. Lisan al-„Arab, Beirut: Dar Sadr, cet. 3, 1993,
Mustafa al-Zarqa, al-Madkhal al-„Am
Mustafa, Ibrahim. Mu‟jam al-Wasit (Istanbul: Dar al-Da‟wah, tt) Sharh Imam Nawawi „ala Sahih Muslim,
Taimiyah, Ibnu. (syaikh al-Islam) Nazariyat al-‘Aqd, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tt.
Taimiyah, Ibnu. Majumu’ Fatawa, Tahqiq oleh Abdul Rahman bin
Muhammad bin Qasim, (Madinah Munawwarah: Majma‟ al-Malik
Fahd, tt.
L
A
M
P
I
R
A
N