pengantar studi islam

26
BAB I PENDAHULUAN I.A Latar Belakang Hadits merupakan dasar ajaran umat Islam setelah Al-Quran. Meskipun demikian, Hadist tidak dapat dipisahkan dengan Al Qur’an, karena hadist secara fungsioanal merupakan ekspansi terhadap kandungan isi Al Qur’an. Walaupun Hadits merupakan dasar umat Islam tetapi masih banyak yang belum mengetahui tentang hadits itu sendiri. I.B Rumusan Masalah 1. Menjelaskan hadits sebagai sumber ajaran Islam a) Apa pengertian As- Sunnah/ hadits dan apa perbedaan Hadits Qudsi dan Al- Qur’an? b) Bagaimana kedudukan Hadits Qudsi dan Al- Qur’an? c) Apakah klasifikasi dan tingkatan/derajat suatu hadits? d) Apakah fungsi Hadits terhadap Al- Qur’an? 1

Transcript of pengantar studi islam

Page 1: pengantar studi islam

BAB I

PENDAHULUAN

I.A Latar Belakang

Hadits merupakan dasar ajaran umat Islam setelah Al-Quran. Meskipun

demikian, Hadist tidak dapat dipisahkan dengan Al Qur’an, karena hadist secara

fungsioanal merupakan ekspansi terhadap kandungan isi Al Qur’an.

Walaupun Hadits merupakan dasar umat Islam tetapi masih banyak yang

belum mengetahui tentang hadits itu sendiri.

I.B Rumusan Masalah

1. Menjelaskan hadits sebagai sumber ajaran Islam

a) Apa pengertian As- Sunnah/ hadits dan apa perbedaan Hadits Qudsi dan

Al- Qur’an?

b) Bagaimana kedudukan Hadits Qudsi dan Al- Qur’an?

c) Apakah klasifikasi dan tingkatan/derajat suatu hadits?

d) Apakah fungsi Hadits terhadap Al- Qur’an?

e) Apakah Metode Tahrij hadits?

2. Menjelaskan ijtihad sebagai sumber ajaran Islam

a) Apakah pengertian Al- Ijtihad dan apa urgensi dan kedudukannya dalam

hukum Islam?

b) Apa syarat- syarat mujtahid dan jelaskan sebab- sebab yang menimbulkan

perbedaan hasil- hasil ijtihad?

1

Page 2: pengantar studi islam

I.C Tujuan

a) Mengetahui pengertian As-Sunnah/Hadist dan dapat membedakan Hadits

Qudsi dan Al- Qur’an

b) Mengetahui kedudukan Hadits Qudsi dan Al- Qur’an

c) Mengetahui klasifikasi dan tingkatan/derajat suatu hadits

d) Mengetahui fungsi Hadits terhadap Al- Qur’an

e) Mengetahui Tahrij hadits

f) Mengetahui Pengertian Ijtihad dan urgensi kedudukannya dalam hukum

Islam

g) Mengetahui syarat- syarat mujtahid dan mengetahui sebab – sebab

perbedaan hasil- hasil ijtihad

2

Page 3: pengantar studi islam

BAB II

PEMBAHASAN

II.A. Hadits sebagai sumber ajaran Islam

II.A.1. Pengertian As- Sunah/ Hadist

As- Sunnah/hadits menurut pengertian bahasa/ etomologi berarti tradisi yang

bisa dilakukan, atau jalan yang dilalui baik yang terpuji maupun yang tercela. Hal

ini bisa dipahami dari hadist Nabi SAW:

baik dinilai perjaanan baik atau perjalanan buruk. Misalnya sabda

Nabi SAW :

من سن سنة خير فاتبع عليها فله أجره ومثل أجور من اتبعه غير منقوص من

أجورهم شيئا ومن سن سنة شر فاتبع عليها كان عليه وزره ومثل أوزار من اتبعه

غير منقوص من أوزارهم شيئا

“ Barang siapa mangadakan / mempelopori suatu sunnnah ( tradisi) atau jalan

yang dilalui baik, maka baginya pahala atas perbuatan itu dan pahala orang

yang mengerjakan sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barang siapa

memelopori suatu sunnnah yang buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya itu

dan menanggung dosa orang yang mengerjakan sesudahnya tanpa dikurangi

sedikitpun” ( HR. Ahmad dari Ibnu Jarir dari Ayahnya). Dan dapat dilihat

pengertian As-Sunnah dalam Al-Qur’an surah Al- Kahf18;55.

Dalam pengertian As- Sunnah secara istilah atau terminologi antara ulama

hadis dan ulama filsuf terjadi perbedaan pendapat . Menurut ulama arti hadis

adalah “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammmad SAW, baik berupa

perkataanm perbuatan taqrir( perbuatan yang dilakukan sahabat nabi di depan nabi

3

Page 4: pengantar studi islam

dan beliau mengetahuinnya . Nabi SAW tidak ikut melakukannya tetapi nabi tidak

melarang sahabatnnya) maupun sifat” ( mahmud al- thahan, 1985:15).Menurut

ulama ahli ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadis segala

perkataan, perbuatan, taqrir Nabi SAW yang berkaitan dengan penetapan hukum1

II.A.2. Perbedaan Al – Qur’an dan hadist qudsi

Perbedaan Al- Qur’an dan Hadits Qudsi menurut Dr. Syu’ban Muhammad

ismail, adalah sebagai berikut:

1. Al- Qur’an tiada lain merupakan wahyu yang jelas, yakni Al- Qur’an itu

diturunkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammmad yang berada

dalam kondisi sadar, sedangkan Hadits Qudsi bisa jadi diwahyukan

melalui ilham dan mimpi

2. Al- Qur’an merupakan mukjizat, sehingga tidak ada seorangpun yang

mampu menandinginnya, ia terjaga dari perubahan dan penggantian atau

terpelihara kemurniannya, sedangkan Hadis Qudsi tidak demikian

3. Membaca Al- Qur’an merupakan ibadah sedangkan Hadist Qudsi tidak

demikian

4. Al- Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan makna saja, namun Hadist

Qudsi diperbolehkan

5. Bagi orang yang berhadas dilarang menyentuh Al- Qu’an dan bagi orang

yang junud dilarang menyentuh dan membaca, sedangkan hadits qudsi

tidak demikian

1 pendidikan agama islam,prof.H.Mohammad Daud Ali,S.h.ed 1 Jakarta: rajawali pers 2011 hal 110

4

Page 5: pengantar studi islam

6. Al-Qur’an dinukilkan kepada kita dengan jalan mutawatir Nabi SAW,

sedangkan hadits qudsi diriwayatkan secara ahad dari Nabi SAW

7. Menurut Imam Ahmad bahwa dilarang menjual Al- Qur’an dan menurut

Imam Syafi’i adalah makruh, sedangkan Hadis Qudsi tidak demikian

8. Al- Qur’an merupakan bacaan tertentu dalam shalat, dan tidak sah

seseorang bila tidak mampu membaca Al- Qur’an, sedangkan Hadits

Qudsi tidak demikian

9. Orang yang mengingkari Al- Qur’an termasuk kafir , berbeda dengan

pengingkaran Hadits Qudsi tidak termasuk kafir

10. Lafalz Al- Qur’an berasal dari Allah , berbeda dengan Hadist Qudsi

mungkin lafalznya berasal dari Nabi Muhammmad

11. Bagian- bagian Al- Qur’an disebut dengan ayat dan surat, sedangkan

hadits- hadits Qudsi tidak demikian.

II.A.3. Kedudukan hadist Qudsi dan Al- Qur’an

Kedudukan Hadits Qudsi itu berada di bawah Al- qur’an , karena Al- Qur’an

sampai ketangan umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan

sedikitpun . Al- Qur’an datangnya denagan qath’i al-wurud, yaitu kepastian

jalannya sampai kepada kita dan qath’i al- tsubut yaitu eksistensi atau

ketetapannya meyakinkan atau pasti. sedangkan hadits qudsi sampai ke tangan

umat Islam tidak semuanya mutawatir, tetapi kebanyakan dengan diterima

periwayatan tunggal (ahad), kebenaannya ada yang qath’i dan ada juga zhanni

II.A.4. Klasifikasi dan tingkatan / derajaat suatu hadits

5

Page 6: pengantar studi islam

1. Hadits yang dilihat dari banyak sedikitnya perawi

a. Hadits Mutawatir

Yaitu hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan sekelompok orang dari

beberapa sanad yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta. Berita itu

mengenai hal-hal yang dapat dicapai oleh panca indera. Dan berita itu

diterima dari sejumlah orang yang semacam itu juga. Berdasarkan itu,

maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu hadits bisa

disebut sebagai hadits Mutawatir:

Hadits mutawatir mempunyai empat syarat yaitu:

Rawi-rawinya tsiqat dan mengerti terhadap apa yang dikabarkan

dan (menyampaikannya) dengan kalimat bernada pasti. Sifat

kalimatnya Qath'iy (pasti) dan tidak Dzanni (berdasarkan dugaan)

Sandaran penyampaiannya kepada yang konkret, yaitu perawinya

menyaksikan secara langsung dengan matanya sendiri bahwa hal

itu dikatakan oleh Rasulullah SAW, atau mendengar secara

langsung dengan telinganya sendiri bahwa hal itu

dikatakan/dilakukan oleh Rasulullah SAW, seperti misalnya:

“sami’tu” = aku mendengar

“sami’na” = kami mendengar

“roaitu” = aku melihat

“roainaa” = kami melihat

Bilangan (jumlah) perawinya banyak, sehingga menurut adat

kebiasaan mustahil mereka berdusta secara berjamaah dan

6

Page 7: pengantar studi islam

bersama-sama. Dan kesemuanya menyampaikan dengan nada

kalimat yang bersifat Qath’iy (pasti) dan tidak Dzanni

(berdasarkan dugaan).

Bilangan Perawi yang banyak ini tetap demikian dari mulai awal

sanad, pertengahan sampai akhir sanad. Rawi yang

meriwayatkannya minimal 10 orang. Perawi tersebut terdapat pada

semua generasi yang sama. Adanya keseimbangan jumlah antara

rawi-rawi lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan

berikutnya. Misalnya, kalau ada suatu hadits yang diberi derajat

mutawatir itu diriwayatkan oleh 5 orang sahabat maka harus pula

diriwayatkan oleh 5 orang Tabi’in demikian seterusnya, bila tidak

maka tidak bisa dinamakan hadits mutawatir.

Catatan:

Apabila satu saja dari syarat-syarat di atas tidak terpenuhi maka TIDAK

BISA digolongkan sebagai hadts mutawatir.

b. Hadits Ahad

Yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak

mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah “Dhonniy”.

Sebelumnya para ulama ahli hadits membagi hadits Ahad menjadi dua

macam, yakni hadits Shahih dan hadits Dha’if. Namun Imam At

Turmudzy kemudian membagi hadits Ahad ini menjadi tiga macam, yaitu:

- Hadits Shahih

7

Page 8: pengantar studi islam

Menurut imam ahli hadits Ibnu Sholah, hadits shahih ialah hadits yang

bersambung sanadnya. Ia diriwayatkan oleh orang yang adil lagi dhobit

(kuat ingatannya) hingga akhirnya tidak syadz (tidak bertentangan

dengan hadits lain yang lebih shahih) dan tidak mu’allal (tidak cacat).

Jadi hadits Shahih itu harus memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :

-Kandungan isinya tidak bertentangan dengan Al-Qur’an.

-Harus bersambung sanadnya

-Diriwayatkan oleh orang / perawi yang adil.

- Diriwayatkan oleh orang yang dhobit (kuat ingatannya)

- Tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadits lain yang lebih shahih)

-Tidak cacat walaupun tersembunyi.

- Hadits Hasan

Ialah hadits yang banyak sumbernya atau jalannya dan dikalangan

perawinya tidak ada yang disangka dusta dan tidak syadz.

- Hadits Dha’if

Ialah hadits yang tidak bersambung (terputus) sanadnya dan diriwayatkan

oleh orang yang tidak adil dan tidak dhobit, syadz dan cacat.

2. Hadits menurut macam periwayatannya

a. Hadits yang bersambung sanadnya:(yaitu disebut hadits Marfu’ atau

hadits Maushul)

b. Hadits yang terputus sanadnya:

- Hadits Mu’allaq

8

Page 9: pengantar studi islam

- Hadits Mursal

- Hadits Mudallas

- Hadits Munqathi

- Hadits Mu’dhol

3. Hadits- hadits dha’if disebabkan oleh cacat perawi

a. Hadits Maudhu’

b. Hadits Matruk

c. Hadits Munkar

d. Hadits Mu’allal

e. Hadits Mudhthorib

f. Hadits Maqlub

g. Hadits Munqalib

h. Hadits Mudraj

i. Hadits Syadz

II.A.5. Fungsi hadits terhadap Al- Qur’an

Fungsi Hadist terhadap Al- Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Menetapkan dab memperkuat hukum- huukum yang telah ditentukan oleh

Al- Qur’an, misalnya: dalam Al- qur’an disebutkan mengharamkan

bersaksi palsu Q.S Al- Hajj:30 yang artinya “Demikianlah (perintah

Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa yang terhormatdi sisi

Allah(hurumat), maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan

dihalalkan bagi kamu semua hewan ternak, kecuali yang diterangkan

9

Page 10: pengantar studi islam

kepadamu (keharamannya), maka jauhilah (penyembahan) berhala-

berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta”. Ayat tersebut

diperkuat oleh sabda Nabi SAW dengan hadits: “perhatikanlah,aku akan

memberitahukan kepadamu sekalian tentang dosa yang paling besar,

sahut kami: 1 menyekutukan Allah 2. durhaka kepada kedua orang tua .

saat itu Rasulullah bersandar , tiba tiba duduk seraya bersabda lagi :

“awas berkata palsu” (HR al- Bukhari dan Muslim)

2. Memberikan perincian dan penafsiran ayat- ayat Al- Qur’an yang masih

global, memberikan batasan terhadap hal –hal yang masih belum terbatas

di dalam Al- Qur’an memberikan kekhususan ayat- ayat Al- Qur’an yang

bersifat umum dan memberikan penjelasan terhadap hal- hal yang masih

rumit di dalam Al- Qur’an contoh bayan al- mujmal

3. Menetapkan hukum dan aturan – aturan yang tidak didapati dalam Al-

Qur’an . Hal ini berarti bahwa ketetapan hadits itu merupakan ketetetapan

yang bersifat tambahan hal- hal yang tidak tersinggung oleh Al- qur’an

dan hukum- hukum atau aturan – aturan itu hanya berdasarkan al- hadits

semata- mata. Misalnya larangan berpoligami bagi seseorang terhadap

orang wanita dengan bibinya sebagaimana sabda nabi SAW “ Tidak

boleh dikawini bersama antara wanita dengan ammah dan seorang

wanita dengan kahalah “ ( HR al- bukhari dan muslim) dan Al- Qur’an

surah An- Nisa ayat 23, Tuhan seolah olah memperbolehkan orang

berpoligami antara seorang wanita dengan bibinya . Oleh karena itu, hadits

tersebut diatas menetapkan hukum yang tidak dijumpai dalam Al- Qur’an

10

Page 11: pengantar studi islam

4. Ketetpan hadits itu bisa mengubah hukum dalam Al- Qur’an

Misalnya hadits ( tidak ada hak memperboleh wasiat bagi ahliwaris) .

hadis ini manasakh (mengubah) ketetapan hukum dalam Al- Qur’an surah

Al-Baqarah ayat 180 2

II.6 Metode Takhrij Al hadits( suatu metode penelitian hadits)

Takhrij Al Hadits berguna sekali,antara lain untuk memperluas pengetahuan

seseorang tentang seluk beluk kitab-kitab hadits dalam berbagai bentuk dan sistem

penyusunannya, mempermudah seseorang dalam mengembalikan sesuatu hadits

yang ditemukannya kedalam sumber-sumber aslinya,sehingga dengan demikian

akan mudah pula untuk mengetahui derajat kesahihan tidaknya hadits tersebut.

selain itu dengan takhrij al hadits secara tidak langsung seseorang akan

mengetahui hadits-hadits lain yang sebenarnya tidak dicari dan sempat

membacanya dalam kitab-kitab itu.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan takhrij,yaitu:

1.memperhatikan sahabat yang meriwayatkannya jika disebutkan

2.memerhatikan lafal pertama dari matan hadits

3.memerhatikan salah satu lafal hadits

4.memerhatikan tema hadits

5.memerhatikan tentang sifat khusus sanad atau matan hadits itu.

Berikut beberapa metode-metode takhrij hadits,yaitu:

1. Metode takhrij melalui pengetahuan tentang nama sahabat perawi hadits

2 kawasan dan wawasan studi islam prof dr. muhaimin ,ma dkk ed 1 cetakan 2 jakarta: kencana , 2007 hal 123

11

Page 12: pengantar studi islam

Metode ini dipergunakan bilamana nama sahabat itu tercantum pada

hadits yang ditakhrij.apabila nama sahabat tersebut tidak tercantum dalam

hadits itu dan tidak dapat diusahakan untuk mengetahuinya,maka sudah tentu

metode ini tidak dapat dipakai. Ada 3 macam kitab yang dapat digunakan

untuk metode ini yaitu: kitab- kitab Musnad, Kitab- kitab Mu’jam dan kitab-

kitab Athraf

2. Metode takhrij melalui lafal awal dari matan hadits

Metode ini dipakai apabila permulaan lafal hadits-hadits itu dapat

diketahui dengan tetap.

3. Metode Takhrij melalui pengetahuan salah satu lafal hadits

Metode ini hanya menggunakan satu kitab petunjuk saja.yaitu: al mu’jam

al mufahras li alfadz al-hadits al-nabawi”.kitab ini merupakan susunan jumlah

orientalis yang dipimpin oleh A.J.Wensink.orang muslim yang ikut terlibat

dalam penyusunnya adalah muhammad Fuad Abd al-Baqi.

4. MetodeTakhrij melalui pengetahuan tema hadits

Metode ini akan mudah digunakan oleh orang yang sudah biasa dan ahli

dalam hadits.orang yang awam dalam soal hadits akan sulit untuk

menggunakannya,karena hal yang dituntut dalam metode ini adalah

kemampuan menentukan tema atau salah satu tema dari suatu hadits yang

hendak ditakhrijkan.

5. Metode Takhrij melalui pengetahuan tentang sifat khusus atau sanad

hadits .

12

Page 13: pengantar studi islam

Maksudnya yaitu metode yang memerhatikan keadaan-keadaan dan sifat

hadits,baik yang ada pada matan atau sanadnya.yang pertama diperhatikan

adalah keadaan atau sifat yang ada pada matan,kemudian yang ada pada

sanad,dan selanjutnya yang ada pada dua-duanya.

II.B Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam

II.B.1 Pengertian Ijtihad

Secara bahasa (etimology) kata ijtihad berasal dari bahasa Arab yang kata

kerjanya “jahada”, yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh

Secara syari’ (terminology) adalah mengerahkan upaya serius untuk

melakukana pengambilan hukum syariah dari dalil-dalil syariah. Atau upaya yang

sungguh-sungguh untuk mengusahakan produk hukum syariah baik yang aqliyah

atau naqliyah berdasarkan sumber-sumber yang sudah tetap seperti Al Quran,

hadits, ijmak, qiyas dan lain-lain

II.B.2 Urgensi dan Kedudukannya dalam Hukum Islam

Para ulama membagi hukum melakukan ijtihad yaitu sebagai berikut:

1. Wajib ‘ain

yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa

yang terjadi, dan ia khawatir peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian

hukumnya, atau dia sendiri mengalami peristiwa dan ia ingin mengetahui

hukumnya

2. Wajib kifayah

13

Page 14: pengantar studi islam

yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa

yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, sedangkan selain dia masih

terdapat mujtahid mujtahid lainnya. Maka, apabila kesemua mujtahid itu

tidak ada yang melakukan ijtihad, maka mereka berdosa semua.

3. Sunnah

yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah- masalah yang belum

atau tidak terjadi.

Dari ketiga hukum telah sebenarnya telah menggambarkan urgensi ijtihad,

karena dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum islam dan mengoreksi

kekeliruan dan kekhilafan ijtihad yang lalu.

Urgensi upaya ijtihad dapat dilihat dari fungsi ijtihad yang terdiri atas tiga

macam, yaitu:

1. Fungsi al- ruju’(kembali)

2. Fungsi al-ihya’( kehidupan)

3. Fungsial- inabah ( pembenahan)

Ijtihad harus mengacu pada pembaharuan (tajdid) yang bertujuan untuk mencari

kebenaran. Begitu pentingnya melakukan ijtihad sehingga Rasulullah SAW

bersabda:

“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian benar,

maka ia mendapatkan dua pahala, tetapi Al- Qur’an apabila ia menetapkan hukum

dalam berijtihad itu dan ia salah, maka ia mendapatkan satu pahala”. (HR. al-

Bukhari, Muslim,Abu Dawud,ibn Majah, Ahmad dari Amr ibnu ‘Ash).

14

Page 15: pengantar studi islam

Adapun kedudukan hukum Ijtihad selalu mengikat dan selalu menjadi hujah

bagi mujtahid yang bersangkutan. Ia wajib melakukan hasil ijtihad secara

konsekuen, selama ia belum mengubah pendapatnya. Sebab hukum ijtihad syara’

(praduga) dan tidak boleh meninggalkan ijtihad dan selanjutnya ber-taqlid pada

ijtihad orang lain yang berlawanan pendapat dalm satu masalah, karena masing-

masing mujtahid menggunakan dasa yang sama dalam menetapkan hukum

ijtihadnya yakni sama –sama bersifat kesimpulan sementara.

Demikian pula hukum ijtihad mengikat dan menjadi hujah bagi orang – orang

yang meminta fatwa kepada mujtahid tetang suatu masalah, sebab mazhab orang

yang meminta fatwa itu mengikuti mazhab muftinya.

Hukum ijtihad tidak mengikat dan tidak menjadi hujah bagi keseluruhan umat

Islam, oleh karena itu, tidak seorangpun wajib mengikuti dan bertindak sesuai

dengan hukum ijtihad.

II.B.3 Syarat- syarat Mujtahid

Menurut Nadiyah Syarif al- Umari menyebutkan pembagian syarat- syarat

mujtahid dengan dua bagian , yaitu:

1. Syarat umum, terdiri atas muslim, baligh, sehat pikiran serta dhabit( kuat

ingatannya

2. Syarat keahlian dan profesionalitas Mujtahid

a. syarat- syarat pokok

- Penguasaan tehadap Al- Qur’an

- Penguasaan terhadap As-Sunnah

- Penguasaan terhadap ilmu Bahasa Arab

15

Page 16: pengantar studi islam

- Penguasaan ijma’

b. syarat pelengkap

- mengetahui hukum “Bara’ah Asliyah” yakni hukum asal sesuatu

- mengetahui substansi syariah

- mengetahui kaidah- kaidah hukum

- mengetahui masalah- masalh khilafiyah yang sebelumnya yang

telah dibertebatkan sebelumnya

- mengetahui tradisi tiap negara

- mempunyai keadilan dan kesalehan

- mempunyai metode yang baik dalam pemecahan suatu kasus

- hasil ijtihadnya dapat di percaya dan ia sudah banyak dikenal oleh

kebanyakan manusia akan keahliannya

- antara pebuatan dan pendapatnya terjadi relevansi

II.B.4 Sebab- Sebab yang Menimbulkan Perbedaan Hasil- Hasil Ijtihad

1. Karena perbedaan dalam memahami Al- Qur’an dan As- Sunnah

2. Karena berbeda dalam status Hadits

3. Karena berbeda dalam prinsip –prinsip hukum yang dipergunakan

4. Karena perbedaan kemampuan mujtahid, kecerdasan, keinginan tujuan

serta kecendrungan pengaruh hawa nafsunya, sehingga hasil ijtihad

kadang- kadang terdapat perbedaan dan kekeliruan

5. Karena cara penyelesaian kasus berdasarkan model ijtihad yang

dipergunakan

16

Page 17: pengantar studi islam

BAB III

PENUTUP

III.A Kesimpulan

Hadits dan Ijtihad merupakan sumber ajaran Islam setelah Al- Qur’an. Hadits

adalah segala sesuatu yang dinisabkan atau disndarkan kepada Nabi Muhammad

SAW,baik berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya. Dan Ijtihad adalah berfikir

keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu masalah yang tidak secara

jelas disebutkan dalam Al- Qur’an dan As- Sunnah.

III.B Saran

Begitu banyak sumber ilmu pengetahuan, salah satu ilmu yang sangat penting

kita ketahui adalah ilmu tentang islam, supaya tidak slah dalam menuntut ilmu

kita harus mengacu kepada sumber- sumber ajaran Islam terutama Al- Qur’an dan

hadits

17

Page 18: pengantar studi islam

DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.Muhaimin,MA.2007,Kawasan dan wawasan Studi Islam,Jakarta: Kencana

Daud Ali Prof.H.Mohammad.2011, Pendidikan Agama Islam.Jakarta: Rajawali pers

http://agussulisyanto.blogspot.com/2013/12/pengertiankedudukandan-fungsi-ijtihad.html

18