PENGANTAR REDAKSI - STIE Pelita Nusantara...
Transcript of PENGANTAR REDAKSI - STIE Pelita Nusantara...
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009
i
PENGANTAR REDAKSI
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan terbitnya Fokus Ekonomi Vol. 4 No. 1 Juni 2009 yang dikelola STIE Pelita Nusantara Semarang. Dengan hadirnya Fokus Ekonomi diharapkan dapat meningkatkan kontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ekonomi.
Fokus Ekonomi ini menyajikan berbagai macam topik pembahasan dalam lingkup ekonomi. Untuk kesempurnaan pada terbitan volume atau nomor berikutnya, redaksi sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak yang telah memberikaan apresiasi pada jurnal ilmiah ekonomi ini.
Redaksi mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusinya sehingga jurnal ilmiah ekonomi ini dapat terbit. Dengan harapan artikel yang dimuat pada edisi ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca. Harapan redaksi berikutnya adalah mohon kesediaan dari pemerhati untuk dapat
menyumbangkan tulisannya sebagai materi terbitan volume atau nomor berikutnya.
Semarang, Juni 2009
Redaksi
Pengantar Redaksi
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009
iii
FOKUS EKONOMI
Analisis Potensi Penerimaan Pajak Reklame Kota BandungPeriode Tahun 2001 - 2007Aristanti Widyaningsih .......................................................................................... 1-12
Perbandingan Persepsi Auditor Internal, Akuntan Publik,dan Auditor Pemerintah Terhadap Penugasan Fraud Auditdan Profil Fraud Audit Eman Sukanto ....................................................................................................... 13-26
Hubungan Struktur Sistem Pengendalian Manajemendan Proses Sistem Pengendalian Manajemendengan Kinerja Keuangan Perusahaanpada PT. Kereta Api Indonesia (Persero)Imas Purnamasari ................................................................................................. 27-43
Fungsi dan Peran Bisnis Ritel Dalam Saluran PemasaranTri Joko Utomo ..................................................................................................... 44-55
Memanfaatkan Tingginya Beban Tetap Untuk Memperoleh KeuntunganYang OptimalLies Indriyatni ....................................................................................................... 56-63
Pengaruh Karakteristik Sistem Akuntansi Manajemen dan DesentralisasiSebagai Variabel Moderating Terhadap Kinerja Manajerial(Studi Empiris Perusahaan Manufaktur di Kabupaten SemarangAchmad Solechan, Ira Setiawati .......................................................................... 64-74
Pengaruh Motivasi Kerja dan Kompetensi Profesional GuruTerhadap Proses Pembelajaran di SMP Negeri Kota SemarangTri Sulasmiati ........................................................................................................ 75-86
VOL. 4 NO. 1 JUNI 2009 ISSN : 1907-6304
JURNAL ILMIAH EKONOMI
Daftar Isi
ANALISIS POtENSI PENERIMAAN PAJAK REKLAME KOtA BANdUNgPERIOdE tAHUN 2001 - 2007
Aristanti Widyaningsih
1
Analisis Potensi Penerimaan Pajak Reklame Kota BandungPeriode Tahun 2001 - 2007
(Analysis Potential of Advertisement Tax Income in BandungPeriod 2001 – 2007)
Aristanti Widyaningsih *)
Abstract
The research is purposed to know the potential of advertisement tax income in Bandung. The research method, descriptive analytical method with calculate the level of region autonomy with collecting financial report 2001 up to 2007 in official bandung region income.
The results of the research shows that the potential of the advertisement tax from 2001 up to 2002 under target and realization of advertisement tax income. Whereas, the potential of the advertisement tax from 2003 up to 2007 higher from target and realization of advertisement tax income.
The writer also wants to give the recommendation to increase collecting subject and object af advertisement tax so that the potention and the realization advertisement tax income can be known.
Keywords : advertisement tax , Original region income, Region autonomy
Abstraksi
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui potensi penerimaan pajak reklame dan kontribusi pajak reklame di kota Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis dengan mengambil sampel laporan keuangan kota Bandung tanun anggaran 2001-2007 pada dinas pendapatan daerah kota Bandung.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi penerimaan pajak reklame dari tahun 2001 hingga tahun 2002 berada di bawah target dan realisasi penerimaan pajak reklame. Sedangkan, potensi penerimaan pajak reklame tahun 2003 hingga tahun 2007 lebih tinggi dari target dan realisasi penerimaan pajak reklame.
Penulis ingin memberikan rekomendasi, untuk meningkatkan pendataan subjek dan objek pajak reklame sehingga dapat diketahui potensi dan realisasi penerimaan pajak reklame .
Kata Kunci: Pajak reklame, PAD, Kemandirian Daerah
*) Dosen Universitas Pendidikan Indonesia
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 1 - 12
2
1. PendahuluanDalam upaya peningkatan kemandirian daerah, maka pemerintah daerah
dituntut untuk mengoptimalkan potensi pendapatan asli daerah. Salah satunya melakukan intensifikasi maupun ekstensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah, yang pemungutannya diatur dalam undang-undang No.18 tahun 1997 yang telah diubah menjadi undang-undang No. 34 tahun 2000.
Pajak reklame merupakan salah satu sumber potensi dalam meningkatkan pendapatan asli daerah kota Bandung, namun dalam upaya mengoptimalkan pajak, seringkali terhalang oleh penunggakan pajak khususnya pajak reklame. Seperti pada kasus tunggakan pajak reklame pada November 2007 sebesar Rp.4,4 miliar yang merupakan tunggakan pajak tertinggi di kota Bandung, sementara sisanya Rp.6 miliar merupakan tunggakan dari empat jenis pajak lainnya, yakni pajak hotel, pajak hiburan dan pajak parkir dari total tunggakan pajak daerah kota Bandung sebesar Rp.10,41 miliar, yang sebelumnya pada tahun 2006 tunggakan pajak reklame mencapai Rp.1,6 miliar dan meningkat menjadi Rp.2,8 miliar pada tahun berikutnya (Panjaitan, 2007).
Hal ini menjadi fenomena dimana pajak reklame merupakan pajak yang kontribusinya ke pajak daerah kota Bandung hanya menduduki peringkat/urutan ke empat setelah pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan jalan, tetapi tunggakannya merupakan yang tertinggi di antara semua pajak daerah kota Bandung.
Hal ini dijelaskan oleh Kasubdin pengendalian pajak dinas pendapatan daerah (Dispenda) kota Bandung Dadang Iriana (Panjaitan, 2007) yang menyatakan bahwa “tunggakan pajak reklame tersebut berasal dari tunggakan 742 wajib pajak, dan jumlah ini merupakan tunggakan dari reklame yang berizin, belum termasuk reklame yang illegal”. Hal ini sejalan dengan pernyataan Adi Wahyono anggota DPRD dari PKS (Bigs, januari 2006) mengungkapkan “dalam rencana perubahan anggaran, target pemasukan dari pajak reklame memang Rp.15 miliar, ini angka yang sangat kecil bila kita melihat menjamurnya iklan atau reklame di kota Bandung saat ini. Secara logis kita tidak bisa memahami target pendapatan dari pajak reklame hanya sebesar itu, harusnya bisa mencapai Rp.50 miliar”.
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimana potensi penerimaan pajak reklame Kota Bandung dari tahun 2001 hingga tahun 2007.
2. Pembahasan2.1. Pajak Reklame
Pajak reklame menurut Ahmad yani (2004:48) adalah : “Pajak atas penyelenggaraan reklame, yaitu benda, alat, perbuatan, atau media menurut bentuk dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar dari suatu tempat oleh umum kecuali yang dilakukan oleh pemerintah”
ANALISIS POtENSI PENERIMAAN PAJAK REKLAME KOtA BANdUNgPERIOdE tAHUN 2001 - 2007
Aristanti Widyaningsih
3
Pemungutan pajak reklame juga harus mengikuti peraturan dan undang-undang yang berlaku. Menurut undang-undang No.18 tahun 1999 pasal 3 ayat (1) tarif pemungutan untuk pajak reklame maksimalnya sebesar 25%, dan selanjutnya ditetapkan oleh peraturan daerah masing-masing. Hasil dari pajak reklame tersebut nantinya akan memberikan kontribusi terhadap total pajak daerah. ini akan memberikan peluang untuk PAD mengalami peningkatan pula.
2.2. EfektivitasEfektivitas adalah perbandingan atau rasio antara penerimaan dengan target pajak reklame
yang telah ditetapkan setiap tahunnya berdasarkan potensi yang sesungguhnya. Adapun rumus perhitungan efektivitas menurut Abdul Halim (2004:93) adalah sebagai berikut :
Efektivitas = Realisasi Pajak Reklame X
100%
Potensi pajak reklame
Dalam perhitungan efektivitas menurut Abdul Halim (2008:234) apabila yang dicapai minimal satu atau 100% maka rasio efektivitas semakin baik, artinya semakin efektif pajak reklame.
Demikian pula sebaliknya, semakin kecil persentase efektivitasnya menunjukkan pemungutan pajak reklame semakin tidak efektif. Untuk mengukur nilai efektivitas secara lebih rinci digunakan Kriteria berdasarkan Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996 tentang pedoman penilaian dan kinerja keuangan yang disusun dalam tabel berikut:
Tabel 2.1Kriteria Kinerja Keuangan
Sumber : Depdagri, Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996 (Yuni Mariana,2005:26)
2.3. Analisis Potensi Perolehan Pajak Reklame Kota BandungUntuk menghitung potensi perolehan pajak reklame yang seharusnya diterima oleh
pemerintah kota Bandung dapat kita lihat data dibawah ini :
ditetapkan oleh peraturan daerah masing-masing. Hasil dari pajak reklame
tersebut nantinya akan memberikan kontribusi terhadap total pajak daerah. ini
akan memberikan peluang untuk PAD mengalami peningkatan pula.
2.2. Efektivitas
Efektivitas adalah perbandingan atau rasio antara penerimaan dengan
target pajak reklame yang telah ditetapkan setiap tahunnya berdasarkan potensi
yang sesungguhnya. Adapun rumus perhitungan efektivitas menurut Abdul Halim
(2004:93) adalah sebagai berikut :
Efektivitas = Realisasi Pajak Reklame 100%X
Potensi pajak reklame
Dalam perhitungan efektivitas menurut Abdul Halim (2008:234) apabila
yang dicapai minimal satu atau 100% maka rasio efektivitas semakin baik, artinya
semakin efektif pajak reklame.
Demikian pula sebaliknya, semakin kecil persentase efektivitasnya
menunjukkan pemungutan pajak reklame semakin tidak efektif. Untuk mengukur
nilai efektivitas secara lebih rinci digunakan Kriteria berdasarkan Kepmendagri
No.690.900.327 tahun 1996 tentang pedoman penilaian dan kinerja keuangan
yang disusun dalam tabel berikut:
Tabel 2.1
Kriteria Kinerja Keuangan
Persentase kinerja keuangan Kriteria
Di atas 100% Sangat efektif
90%-100% Efektif
80%-90% Cukup efektif
60%-80% Kurang
Kurang dari 60% Tidak efektif
Sumber : Depdagri, Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996 (Yuni Mariana,2005:26)
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 1 - 12
4
Tabel 3.1Penggolongan/ Jenis Reklame dan Jumlah Reklame Kota Bandung
Tahun 2001- 2007
Sumber : Dinas Pendapatan daerah Kota Bandung (data diolah)
Dengan asumsi :• Rata-rata pemasangan reklame
1. Papan/biilboard : 1 tahun 2. Spanduk : 15 hari3. Balon Udara : 1 bulan4. Kendaraan : 1 tahun5. Megatron : 1 tahun6. Bando/JPO : 1 tahun
• Rata-rata ukuran reklame1. Papan/billboard : 5 x 2 x 32. Spanduk : 4 x 0,9 3. Balon udara : 3 x 3 x 204. Kendaraan : 1 x 1 5. Bando/JPO : 8 x 4 x 5
Menurut Kesit Bambang Prakosa (2005,151) bahwa potensi pajak reklame yang dapat diraih adalah dengan rumus :
Potensi reklame (PPrk) = R X S X D X Pr
Peraturan daerah kota Bandung tentang pajak reklame sejak otonomi daerah dimulai dengan peraturan No.18 tahun 2001. Dalam peraturan tersebut cara perhitungan nilai strategis pemasangan reklame (NSPR) belum memakai skor dan bobot, hanya mematok harga yang telah ditentukan. Sedangkan untuk nilai jual objek pajak reklame (NJOPR) perhitungannya sama dengan perda No.08 tahun 2003 hanya nominal patokan harganya yang lebih kecil. Berikut analisis potensi pajak reklame tahun 2001 hingga 2002:
2.3. Analisis Potensi Perolehan Pajak Reklame Kota Bandung
Untuk menghitung potensi perolehan pajak reklame yang seharusnya
diterima oleh pemerintah kota Bandung dapat kita lihat data dibawah ini :
Tabel 3.1 Penggolongan/ Jenis Reklame dan Jumlah Reklame Kota Bandung
Tahun 2001- 2007 Jenis Reklame 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Papan/biilboard 98 8357 3038 5486 5449 6745 5430
Spanduk 69 3336 3037 2346 1346 1073 946
Balon - 19 33 15 6 8 6
Kendaraan 1 148 91 125 97 190 173
Megatron - - - - - - -
Bando/Jpo - - - - - 18 31
Total 168 11860 6199 7972 6898 8034 6586
Sumber : Dinas Pendapatan daerah Kota Bandung (data diolah)
Dengan asumsi :
• Rata-rata pemasangan reklame
1. Papan/biilboard :1 tahun
2. Spanduk : 15 hari
3. Balon Udara : 1 bulan
4. Kendaraan : 1 tahun
5. Megatron : 1 tahun
6. Bando/JPO :1 tahun
• Rata-rata ukuran reklame
1. Papan/billboard : 5 x 2 x 3
2. Spanduk : 4 x 0,9
3. Balon udara : 3 x 3 x 20
4. Kendaraan : 1 x 1
5. Bando/JPO : 8 x 4 x 5
Menurut Kesit Bambang Prakosa (2005,151) bahwa potensi pajak reklame
yang dapat diraih adalah dengan rumus :
ANALISIS POtENSI PENERIMAAN PAJAK REKLAME KOtA BANdUNgPERIOdE tAHUN 2001 - 2007
Aristanti Widyaningsih
5
Tabel 3.4Analisis ukuran potensi pajak reklame Kota Bandung
Tahun 2001 hingga tahun 2002 (Perda No.18 Tahun 2001 Tentang pajak reklame)
Jenis Ukuran
Papan/Billboard
Nilai Strategis Pemasangan reklame (NSPR)Nilai Fungsi Ruang : Rp.300.000Nilai Fungsi jalan : Rp.300.000Nilai Sudut Pandang : Rp.150.000Jumlah : Rp.750.000Nilai Jual Objek reklame (NJOR)Ukuran Reklame :( 4 x 2) x Rp.250.000 = Rp.2.000.000Ketinggian : 10% x Rp.2000.000 = Rp. 200.000Jumlah = Rp. 2.200.000Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR) = Rp 2.950.000
Spanduk
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)Nilai Fungsi Ruang : Rp.300.000Nilai Fungsi jalan : Rp.300.000Nilai Sudut Pandang : Rp.150.000Jumlah : Rp.750.000Nilai Jual Objek Reklame (NJOR)Ukuran Reklame :( 4 x 0,9) x Rp.2.500 = Rp.9.000Ketinggian : - x - = Rp. -Jumlah = Rp. 9.000Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp 759.000
Balon
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)Nilai Fungsi Ruang : Rp.300.000Nilai Fungsi jalan : Rp.300.000Nilai Sudut Pandang : Rp.150.000Jumlah : Rp.750.000Nilai Jual Objek reklame (NJOR)Ukuran Reklame :( 3 x 3) x Rp.750.000 = Rp.6.750.000Ketinggian : 10% x Rp.6.750.000 = Rp. 675.000Jumlah = Rp.7.425.000Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp 8.175.000
Kendaraan
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)Nilai Fungsi Ruang : Rp.300.000Nilai Fungsi jalan : Rp.300.000Nilai Sudut Pandang : Rp.150.000Jumlah : Rp.750.000Nilai Jual Objek reklame (NJOR)Ukuran Reklame :( 1 x 1) x Rp.350.000 = Rp.350.000Ketinggian : - x Rp. - = Rp.Jumlah = Rp.350.000Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp 1100.000
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 1 - 12
6
Tabel 3.2Potensi Pajak reklame Kota Bandung tahun 2001
Sumber : Data diolah
Tabel 3.3Potensi Pajak reklame Kota Bandung tahun 2002
Sumber : Data diolah
Selanjutnya untuk mengukur potensi penerimaan pajak reklame maka penulis mengikuti peraturan daerah N0.08 Tahun 2003 tentang pajak reklame yang dimulai pada tahun 2003. Adapun untuk mengukur ukuran yaitu yang termasuk nilai strategis pemasangan reklame (NSPR) ditambah nilai jual objek reklame (NJOR) penulis menggunakan asumsi dengan ukuran rata-rata terkecil. Berikut data perhitungannya :
Nilai Sudut Pandang :Rp.150.000
Jumlah : Rp.750.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 3 x 3) x Rp.750.000 = Rp.6.750.000
Ketinggian : 10% x Rp.6.750.000 = Rp. 675.000
Jumlah = Rp.7.425.000
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp 8.175.000
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)
Nilai Fungsi Ruang : Rp.300.000
Nilai Fungsi jalan : Rp.300.000
Nilai Sudut Pandang :Rp.150.000
Jumlah :Rp.750.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 1 x 1) x Rp.350.000 = Rp.350.000
Ketinggian : - x Rp. - = Rp.
Jumlah = Rp.350.000
Kendaraan
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp 1100.000
Tabel 3.2
Potensi Pajak reklame Kota Bandung tahun 2001
Jenis R S D Pr Jumlah
Papan/billboard 98 Rp.2.950.000 1 tahun 25% Rp 72.275.000
Spanduk 69 Rp.759.000 1 bulan 25% Rp 13.092.750
Balon Udara - Rp.- 1 bulan 25% Rp -
Kendaraan 1 Rp.1.100.000 1 tahun 25% Rp 275.000
Total Potensi Rp 85.642.750
Sumber : Data diolah
Tabel 3.3
Potensi Pajak reklame Kota Bandung tahun 2002
Jenis R S D Pr Jumlah
Papan/billboard 8357 Rp.2.950.000 1 tahun 25% Rp.6.163.287.500
Spanduk 3336 Rp.759.000 1 bulan 25% Rp.633.006.000
Balon Udara 19 Rp.8.175.000 1 bulan 25% Rp.38.831.250
Kendaraan 148 Rp.1.100.000 1 tahun 25% Rp.162.800.000
Total Potensi Rp.6.997.924.750
Sumber : Data diolah
Nilai Sudut Pandang :Rp.150.000
Jumlah : Rp.750.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 3 x 3) x Rp.750.000 = Rp.6.750.000
Ketinggian : 10% x Rp.6.750.000 = Rp. 675.000
Jumlah = Rp.7.425.000
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp 8.175.000
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)
Nilai Fungsi Ruang : Rp.300.000
Nilai Fungsi jalan : Rp.300.000
Nilai Sudut Pandang :Rp.150.000
Jumlah :Rp.750.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 1 x 1) x Rp.350.000 = Rp.350.000
Ketinggian : - x Rp. - = Rp.
Jumlah = Rp.350.000
Kendaraan
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp 1100.000
Tabel 3.2
Potensi Pajak reklame Kota Bandung tahun 2001
Jenis R S D Pr Jumlah
Papan/billboard 98 Rp.2.950.000 1 tahun 25% Rp 72.275.000
Spanduk 69 Rp.759.000 1 bulan 25% Rp 13.092.750
Balon Udara - Rp.- 1 bulan 25% Rp -
Kendaraan 1 Rp.1.100.000 1 tahun 25% Rp 275.000
Total Potensi Rp 85.642.750
Sumber : Data diolah
Tabel 3.3
Potensi Pajak reklame Kota Bandung tahun 2002
Jenis R S D Pr Jumlah
Papan/billboard 8357 Rp.2.950.000 1 tahun 25% Rp.6.163.287.500
Spanduk 3336 Rp.759.000 1 bulan 25% Rp.633.006.000
Balon Udara 19 Rp.8.175.000 1 bulan 25% Rp.38.831.250
Kendaraan 148 Rp.1.100.000 1 tahun 25% Rp.162.800.000
Total Potensi Rp.6.997.924.750
Sumber : Data diolah
ANALISIS POtENSI PENERIMAAN PAJAK REKLAME KOtA BANdUNgPERIOdE tAHUN 2001 - 2007
Aristanti Widyaningsih
7
Tabel 3.4Analisis Ukuran Potensi Pajak Reklame Kota Bandung
Tahun 2003 Hingga Tahun 2007 (Perda No.08. tahun 2003)
Tabel 3.4
Analisis Ukuran Potensi Pajak Reklame Kota Bandung
Tahun 2003 Hingga Tahun 2007 (Perda No.08. tahun 2003) Jenis Ukuran
Nilai strategis Pemasangan reklame (NSPR)
Nilai Fungsi Ruang : 10 x Bobot 60% = 6
Nilai Fungsi jalan : 10 x Bobot 15% = 1,5
Nilai Sudut Pandang : 4 x Bobot 25% = 1
Jumlah : 8,5 x Rp.1000.000 = Rp.8.500.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 5 x 2) x Rp.1.000.000 = Rp.10.000.000
Ketinggian : 3 m x Rp.100.000 = Rp. 300.000
Jumlah = Rp. 10.300.000
Papan/Billboard
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR) = Rp.18.800.000
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)
Nilai Fungsi Ruang : 10 x Bobot 60% = 6
Nilai Fungsi jalan : 10 x Bobot 15% = 1,5
Nilai Sudut Pandang : 4 x Bobot 25% = 1
Jumlah : 8,5 x Rp.25.000 = Rp.212.500
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 4 x 0,9) x Rp.3.000 = Rp.10.800
Ketinggian : - x - = Rp. -
Jumlah = Rp. 10.800
Spanduk
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp.223.300
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)
Nilai Fungsi Ruang : 10 x Bobot 60% = 6
Nilai Fungsi jalan : 10 x Bobot 15% = 1,5
Nilai Sudut Pandang : 4 x Bobot 25% = 1
Jumlah : 8,5 x Rp.500.000 = Rp.4.250.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame : 1 bln x Rp 3.000.000 = Rp 3.000.000
Ketinggian : 20 m x Rp.100.000 = Rp. 2.000.000
Jumlah = Rp. 5.000.000
Balon
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp.9.250.000
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 1 - 12
8
Sumber : Data diolah
Tabel 3.5Potensi Pajak reklame Kota Bandung tahun 2005 s.d tahun 2007
Secara jelas akan terlihat perbedaan antara penerimaan pajak reklame, potensi pajak reklame dan juga target dari perolehan pajak reklame di kota Bandung untuk tahun 2001 hingga tahun 2007 pada tabel berikut ini :
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)
Nilai Fungsi Ruang : 10 x Bobot 60% = 6
Nilai Fungsi jalan : 10 x Bobot 15% = 1,5
Nilai Sudut Pandang : 4 x Bobot 25% = 1
Jumlah : 8,5 x Rp.200.000 = Rp.1.700.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 1 x 1) x Rp.3500.000 = Rp.3.500.000
Ketinggian : - x Rp. - = Rp.
Jumlah = Rp.3.500.000
Kendaraan
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp.5.200.000
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)
Nilai Fungsi Ruang : 10 x Bobot 60% = 6
Nilai Fungsi jalan : 10 x Bobot 15% = 1,5
Nilai Sudut Pandang : 4 x Bobot 25% = 1
Jumlah : 8,5 x Rp.1.000.000 = Rp.8.500.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 8 x 4) x Rp.2.000.000 = Rp.64.000.000
Ketinggian : 5 m x Rp. 500.000 = Rp. 500.000
Jumlah = Rp.64.500.000
Bando/JPO
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp.73.000.000
Sumber : Data diolah
Tabel 3.5
Potensi Pajak reklame Kota Bandung tahun 2005 s.d tahun 2007 Potensi Pajak Reklame
Jenis Reklame 2004 2005 2006 2007
Papan/billboard Rp.25.784.200.000 Rp.25.610.300.000 Rp.31.701.500.000 Rp.25.521.000.000
Spanduk Rp.1.964.481.750 Rp.1.127.106.750 Rp.898.503.375 Rp.792.156.750
Balon Udara Rp. 34.687.500 Rp. 13.875.000 Rp. 18.500.000 Rp. 13.875.000
Kendaraan Rp.162.500.000 Rp.126.100.000 Rp.247.000.000 Rp.224.900.000
Bando/JPO Rp. 328.500.000 Rp. 565.750.000
Total Potensi Rp. 27.945.869.250 Rp. 26.877.381.750 Rp. 33.194.003.380 Rp. 27.117.681.750
Secara jelas akan terlihat perbedaan antara penerimaan pajak reklame,
potensi pajak reklame dan juga target dari perolehan pajak reklame di kota
Bandung untuk tahun 2001 hingga tahun 2007 pada tabel berikut ini :
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)
Nilai Fungsi Ruang : 10 x Bobot 60% = 6
Nilai Fungsi jalan : 10 x Bobot 15% = 1,5
Nilai Sudut Pandang : 4 x Bobot 25% = 1
Jumlah : 8,5 x Rp.200.000 = Rp.1.700.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 1 x 1) x Rp.3500.000 = Rp.3.500.000
Ketinggian : - x Rp. - = Rp.
Jumlah = Rp.3.500.000
Kendaraan
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp.5.200.000
Nilai Strategis Pemasangan Reklame (NSPR)
Nilai Fungsi Ruang : 10 x Bobot 60% = 6
Nilai Fungsi jalan : 10 x Bobot 15% = 1,5
Nilai Sudut Pandang : 4 x Bobot 25% = 1
Jumlah : 8,5 x Rp.1.000.000 = Rp.8.500.000
Nilai Jual Objek reklame (NJOR)
Ukuran Reklame :( 8 x 4) x Rp.2.000.000 = Rp.64.000.000
Ketinggian : 5 m x Rp. 500.000 = Rp. 500.000
Jumlah = Rp.64.500.000
Bando/JPO
Nilai Sewa reklame (NSPR + NJOR ) = Rp.73.000.000
Sumber : Data diolah
Tabel 3.5
Potensi Pajak reklame Kota Bandung tahun 2005 s.d tahun 2007 Potensi Pajak Reklame
Jenis Reklame 2004 2005 2006 2007
Papan/billboard Rp.25.784.200.000 Rp.25.610.300.000 Rp.31.701.500.000 Rp.25.521.000.000
Spanduk Rp.1.964.481.750 Rp.1.127.106.750 Rp.898.503.375 Rp.792.156.750
Balon Udara Rp. 34.687.500 Rp. 13.875.000 Rp. 18.500.000 Rp. 13.875.000
Kendaraan Rp.162.500.000 Rp.126.100.000 Rp.247.000.000 Rp.224.900.000
Bando/JPO Rp. 328.500.000 Rp. 565.750.000
Total Potensi Rp. 27.945.869.250 Rp. 26.877.381.750 Rp. 33.194.003.380 Rp. 27.117.681.750
Secara jelas akan terlihat perbedaan antara penerimaan pajak reklame,
potensi pajak reklame dan juga target dari perolehan pajak reklame di kota
Bandung untuk tahun 2001 hingga tahun 2007 pada tabel berikut ini :
ANALISIS POtENSI PENERIMAAN PAJAK REKLAME KOtA BANdUNgPERIOdE tAHUN 2001 - 2007
Aristanti Widyaningsih
9
Tabel 3.6Perbandingan Target, Realisasi, dan Potensi Pajak Reklame Kota Bandung
Tahun 2001 Hingga Tahun 2007
Sumber : Data diolah
Analisis yang dapat diperoleh dari data perbandingan target, realisasi dan potensi penerimaan reklame di atas adalah adanya perbedaan antara potensi reklame dengan realisasinya. Pada tahun 2001 hingga tahun 2002 potensi yang ada lebih kecil dari target dan realisasinya. Hal ini dikarenakan pendataan banyaknya reklame belum lengkap dan peraturan daerah No.18 tahun 2001 yang nilai tarif reklamenya masih kecil dibandingkan peraturan daerah No.08 tahun 2003.
Pada tahun 2003 hingga tahun 2007 dapat dilihat bahwa potensi pajak reklame jauh lebih besar dibandingkan target dan realisasinya. Hal ini dipengaruhi oleh peraturan daerah No.08 tahun 2003 kota Bandung yang perhitungan nilai strategis pemasangan reklame (NSPR) yang menggunakan bobot dan skor dalam menentukan Nilai Fungsi Ruang (NFR), Nilai Fungsi jalan (NFJ) dan Nilai Sudut Pandang (NSP).
Tabel 3.6
Perbandingan Target, Realisasi, dan Potensi Pajak Reklame Kota Bandung Tahun 2001 Hingga Tahun 2007
Tahun Target Realisasi Potensi 2001 3.950.000.000 3.600.800.167 Rp.85.642.750
2002 8.600.000.000 7.901.111.760 Rp.6.997.924.750
2003 12.000.000.000 10.302.704.000 Rp.17.016.320.380
2004 15.000.000.000 16.211.576.000 Rp.27.945.869.250
2005 14.000.000.000 14.841.996.000 Rp.26.877.381.750
2006 18.725.960.000 26.103.432.000 Rp.33.194.003.380
2007 22.915.170.000 23.416.691.000 Rp.27.117.681.750
Sumber : Data diolah
Analisis yang dapat diperoleh dari data perbandingan target, realisasi dan
potensi penerimaan reklame di atas adalah adanya perbedaan antara potensi
reklame dengan realisasinya. Pada tahun 2001 hingga tahun 2002 potensi yang
ada lebih kecil dari target dan realisasinya. Hal ini dikarenakan pendataan
banyaknya reklame belum lengkap dan peraturan daerah No.18 tahun 2001 yang
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 1 - 12
10
Berbeda dengan Perda tahun No.18 kota Bandung tahun 2001 yang perhitungan nilai strategis pemasangan reklame (NSPR) masih mematok harga. Begitu juga untuk perhitungan nilai jual objek reklame (NJOR) dimana dalam peraturan daerah No.08 tahun 2003 tarif reklame jauh lebih mahal dibandingkan Perda No.18 tahun 2001. Seperti reklame papan/billboard dalam perda No.18 tahun 2001 hanya mematok tarif Rp.375.000/ untuk lahan milik pemerintah dan Rp.300.000/ untuk lahan milik pribadi, sedangkan dalam Perda No.08 tahun 2003 tarif reklame papan bervariasi dari ukuran lebih kecil (<)10 Rp 750.000 untuk setiap satu meternya , selanjutnya ukuran antara 10-50 Rp 1.000.000 untuk setiap meternya dan ukuran lebih besar (>) 50 Rp 1.250.000 untuk setiap meternya untuk semua lahan.
3. Simpulan dan Saran3.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan analisis potensi penerimaan pajak reklame Kota Bandung dari tahun 2001 hingga tahun 2007, dapat ditarik kesimpulan bahwa potensi penerimaan pajak reklame untuk tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 masih di atas target dan realisasi yang dicapai pemda Kota Bandung. Sedangkan untuk tahun 2001 dan 2002 berada di bawah target dan realisasi yang diperoleh.
2.2. SaranBerdasarkan kesimpulan yang penulis kemukakan di atas maka masukan atau saran bagi
pemerintah daerah kota Bandung adalah sebagai berikut :1. Pendataan kembali subjek dan objek subjek dan objek pajak reklame yang sudah
ada sehingga dapat diketahui potensi yang sebenarnya melalui pemutakhiran data subjek dan objek pajak reklame. Selain itu proses penetapan target seharusnya memperhatikan potensi yang sebenarnya sehingga pemerintah akan terpacu untuk mencapai target tersebut dan dapat meningkatkan pnerimaan pajak reklame.
2. Hendaknya lebih ditingkatkan lagi koordinasi dan pengawasan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dalam hal ini tim penyelenggara perijinan reklame (TP2R) terhadap pelaksanaan pemungutan pajak reklame agar tidak terjadi penyimpangan dalam pemungutan dan pelaporan penerimaan pajak reklame. Pemberian sanksi yang tegas sesuai perda No.08 tahun 2003 terhadap pelanggaran pajak reklame akan lebih meningkatkan kedisiplinan terhadap wajib pajak reklame.
ANALISIS POtENSI PENERIMAAN PAJAK REKLAME KOtA BANdUNgPERIOdE tAHUN 2001 - 2007
Aristanti Widyaningsih
11
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim. 2004. Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta: (UPP) AMP YKPN
---------------. 2004. Akuntansi Keuangan Daerah. Jakarta: Salemba Empat
Ahmad Yani. 2004. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia. Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada
Anis Dwi Ariani. 2007.”Efektivitas Pemungutan Pajak Reklame Dan Kontribusinya Terhadap Penerimaan Pajak Daerah”.Skripsi. Bandung :Universitas Pendidikan Indonesia
Basdi Ati. 2002“ Analisis Penerimaan Pajak Reklame”. Skripsi. Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia
Deddi Nordiawan.2006. “Akuntansi Sektor Publik”. Jakarta : Salemba empat
Erly Suandy.2002.Perpajakan Edisi Pertama. Jakarta : Salemba Empat
Forum dosen akuntansi sektor publik.2006. Runtuhnya Sistem Manajemen Keuangan Daerah.Yogyakarta : BPFE Yogyakarta
HAW Widjaja. 2002. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta : PT. Raja grafindo Persada
Kesit Bambang Prakosa. 2005. “Pajak Dan Retribusi Daerah edisi revisi .Yogyakarta. UII Press
Kompas.(6 Januari 2007). 3.000 Reklame di Kota Bandung Ilegal, Estetika Kota Telah Terganggu
Nick Devas et al.1987. “Keuangan Pemerintah Daerah Di Indonesia”.Jakarta :Universitas Indonesia (UI-Press)
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. 2007. Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bandung :Pemerintah Jawa Barat
P.J.A Andriani.2003. Dasar-Dasar Perpajakan. Jakarta : Salemba Empat
Suharsimi Arikunto. 2006. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 1 - 12
12
Susi Susanti.2006. Pengaruh Kontribusi Pajak Reklame Terhadap Penerimaan Pajak Daerah Kota Bandung.skripsi. Bandung :FE YPKP.
Wirawan Setiaji dan Priyo Hari Adi. 2007. “Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah Daerah Otonomi Daerah : Apakah Mengalami Pergeseran?.Jurnal ilmiah.Salatiga: Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana
PERBANdINgAN PERSEPSI AUdItOR INtERNAL, AKUNtAN PUBLIK, dAN AUdItOR PEMERINtAHtERHAdAP PENUgASAN FRAUD AUDIT dAN PROFIL FRAUD AUDITOR
Eman Sukanto
13
PERBANDINGAN PERSEPSI AUDITOR INTERNAL,AKUNTAN PUBLIK, DAN AUDITOR PEMERINTAH TERHADAP
PENUGASAN FRAUD AUDIT DAN PROFIL FRAUD AUDITOR
(The Comparation of Perception Between Internal Auditor, Public Accountans, and Government Auditors to Fraud Audit
Assignation and Internal Auditor Profile)
Eman Sukanto *)
Abstract
The Fraud scheme that is happened in the government and commercial entity has a bad influence to the economic system and harmful to the stakeholders. A professional auditor as the locomotive to move good corporate governance and as a goalkeeper to prevent fraudulence has a great role to create a healthy and accountable economic system. Recent years, there are significant changes in the auditor profession. The change influenced by regulatory from foreign or domestic, directly or indirectly, demand higher requirement in the auditor’s work system.
Internal auditor, public accountant, or government auditor relatively different in organization structural, employment status, job assignment, and guidance used in the audit. However, their work is essentially the same, that is giving sufficient “ to plan and perform the audit to obtain reasonable assurance about whether the financial statements are free of material misstatement, whether caused by error or fraud” to plan and perform the audit to obtain , whether caused by error or fraud”. This study held to asses and analyze the perception of internal auditor, external auditor, and governmental auditor to the fraud audit and the profile of the fraud auditor when they conducted the examination duty.
Sampling technique used the purposive sampling. There are 153 respondents, 33 internal auditors work in business entity, 66 external auditors work in the Public Accountant Office and 54 government auditors work in BPK. To examine the hypothesis, this study used One Way Anova.
The result that there is no different perception significantly between internal auditor, external auditor and government auditor to the Fraud Audit assignation and The Fraud Auditor profile. Averaged perceptions they have were high. This shows that the three groups of auditor all have strong willingness to prevent, detect, and investigate fraud.
Key words: Internal auditor, external auditor, government auditor, fraud audit, fraud auditor.
*) Dosen STIE Pelita Nusantara Semarang
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 13 - 26
14
Abstraksi
Fraud scheme yang diterapkan oleh pelakunya di entitas pemerintah maupun komersial berdampak buruk terhadap perekonomian dan sangat merugikan stakeholders. Profesi auditor sebagai salah satu pilar dalam mengawal good (corporate) governance dan penjaga gawang dalam pencegahan tindak kecurangan, memiliki andil yang besar dalam menciptakan sistem keuangan yang sehat dan akuntabel. Beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan yang signifikan terhadap profesi auditor. Perubahan tersebut dipengaruhi regulasi dari luar maupun dalam negeri dimana secara langsung maupun tidak, menuntut persyaratan yang lebih tinggi terhadap sistem kerja mereka. Auditor internal, auditor eksternal maupun auditor pemerintah secara struktur organisasi, status pegawai, lingkup pekerjaan, serta pedoman yang digunakan dalam pelaksanaan audit relatif berbeda, namun secara esensi tugas mereka sama yakni memberi keyakinan memadahi bahwa laporan yang diaudit bebas dari salah saji material yang disebabkan kekeliruan (error) maupun kecurangan (fraud). Penelitian ini dilakukan untuk menguji dan menganalisis persepsi kelompok auditor internal, akuntan publik, dan auditor pemerintah terhadap penugasan audit kecurangan (fraud audit) dan profil auditor kecurangan (fraud auditor).
Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Responden terdiri dari 33 auditor internal yang bekerja di beberapa perusahaan besar, 66 auditor eksternal yang bekerja di Kantor Akuntan Publik, serta 54 auditor pemerintah yang bekerja di BPK. Untuk menguji hipotesis, penelitian ini menggunakan teknik One Way Anova.
Hasilnya menyatakan tidak ada perbedaan persepsi signifikan antara auditor internal, akuntan publik dan auditor pemerintah terhadap fraud audit maupun profil fraud auditor. Rata-rata tingkat persepsi yang mereka miliki tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok auditor sama-sama memiliki keinginan yang kuat dalam mencegah, mendeteksi dan mengungkap fraud pada entitas yang sedang mereka periksa.
Kata kunci: Auditor internal, Auditor eksternal, Auditor pemerintah, Fraud audit, Fraud auditor.
1. Pendahuluan Fraud audit merupakan isu menarik untuk dibahas dalam lingkup pemeriksaan keuangan
akhir-akhir ini. Lebih menarik lagi jika bahasan masuk ke topik korupsi, bagian dari fraud yang paling sering didiskusikan di media atau forum lain. Hal ini tidak lepas dari dampak besar yang ditimbulkan korupsi, terutama di sektor perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Di Indonesia, begitu besar efek korupsi, sehingga dukungan untuk memberantasnya pun juga besar, hampir semua lembaga termasuk LSM bahkan negara sahabat ikut membantu. Permasalahan dan solusi mengenai korupsi dibahas dari sudut pandang ekonomi, sosiologi, agama, budaya, sistem pemerintahan serta hukum. Namun demikian arah menciptakan kehidupan bernuansa anti korupsi terutama di lingkungan pemerintahan masih perlu ditingkatkan.
Dari sudut pandang akuntansi, masih jarang kita melihat terobosan ataupun kontribusi nyata dari para akuntan secara tegas melawan fraud. Padahal akuntan memiliki ”hak istimewa”
PERBANdINgAN PERSEPSI AUdItOR INtERNAL, AKUNtAN PUBLIK, dAN AUdItOR PEMERINtAHtERHAdAP PENUgASAN FRAUD AUDIT dAN PROFIL FRAUD AUDITOR
Eman Sukanto
15
dalam tugas pencegahan dan pemberantasan fraud lewat pemeriksaan laporan keuangan. Ibarat pasukan besar yang akan menyerbu suatu lokasi, akuntan layaknya unit khusus yang masuk lebih dulu dibanding pasukan lainnya. Hal ini tentu membutuhkan akuntan-akuntan yang memiliki kemampuan lebih. Sosok fraud auditor ideal adalah orang yang memiliki kemampuan tinggi di bidang akuntansi, didukung kemampuan luas di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, perpajakan, bisnis, teknologi informasi dan tentu ilmu hukum. Ia juga seorang investigator yang handal, yang memiliki pengetahuan dan intuisi di bidang penyidikan. Dalam mengungkap fraud yang sangat rumit dalam sebuah sistem birokrasi pemerintah maupun komersial, tidak bisa dikerjakan oleh auditor biasa yang memiliki kemampuan terbatas, lebih dari itu harus seorang akuntan yang memiliki kompetensi baik dengan pengetahuan dan pengalaman luas. Syarat lain yang tidak kalah penting adalah fraud auditor wajib memiliki sikap independen, motivasi tinggi, berani, dan tahan terhadap godaan uang, maupun godaan lain. Sosok ideal tersebut tentu tidak mudah didapat. Namun setiap profesi tentu memiliki standar terbaik yang digunakan sebagai acuan kerja dan menjaga etika profesi.
Perubahan yang signifikan menyangkut profesi auditor akhir-akhir ini juga tampak. Perubahan tersebut dipengaruhi regulasi dari luar negeri diantaranya amandemen SAS, Sarbanes-Oxley Act, dan UN Convention Against Corruption dan beberapa regulasi lainnya. Sedangkan di dalam negeri dipengaruhi antara lain UU Tipikor, UU KPK, UU BPK, UU Keuangan Negara, Keppres Pengadaan Barang dan Jasa, serta peraturan-peraturan lain yang mewajibkan penerapan transparansi, akuntabilitas, dan good governance di tiap entitas. Semua regulasi di atas secara langsung maupun tidak, menuntut persyaratan yang tinggi terhadap sistem kerja auditor.
Meskipun tanggung jawab laporan keuangan berada di tangan managemen, sebagian masyarakat mengklaim bahwa auditor sebagai salah satu penyebab krisis keuangan yang terjadi, karena tidak mampu menjalankan tugas sesuai amanat profesi. Semestinya, mereka bisa diandalkan oleh pemangku kepentingan sebagai penjamin atas kebenaran laporan keuangan entitas.
Statement on Auditing Standards (SAS) No. 99 - Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit sebagai pengganti SAS No. 82 menyatakan bahwa: “The auditor has responsibility to plan and perform the audit to obtain reasonable assurance about whether the financial statements are free of material misstatement, whether caused by error or fraud”. “Auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna mendapatkan keyakinan memadai bahwa laporan keuangan bebas dari salah saji material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan”. Dengan perkembangan teknologi, khususnya bidang teknologi informasi saat ini, kesalahan akibat error relatif mudah dideteksi. Yang perlu diwaspadai adalah kesalahan karena fraud yang diciptakan oleh pelakunya.
Merujuk pada teori persepsi yang dikemukakan Robbins (2005), bahwa apa yang dipersepsikan seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif, dimungkinkan juga berlaku bagi auditor khususnya di Indonesia. Secara individu, para auditor memiliki keinginan yang tinggi terhadap upaya pencegahan fraud. Mereka memiliki sikap, minat dan harapan yang besar terhadap upaya itu. Namun kenyataan di lapangan, sistem yang berjalan kurang mengakomodasi idealisme tersebut. Seolah para akuntan ingin berbuat, tetapi terbentur tembok, sehingga pandangan masyarakat terhadap auditor di masa lalu kurang baik.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 13 - 26
16
Fungsi dan peran auditor internal, akuntan publik dan auditor pemerintah secara struktur organisasi, status pegawai, job description dan cakupan pekerjaan adalah berbeda, namun secara prinsip sama, yakni membuktikan bahwa laporan yang dibuat auditee benar dan wajar terbebas dari kesalahan (error) maupun kecurangan (fraud). Visi ketiganya tentang fraud sama, bagaimana mencegah dan mendeteksi sedini mungkin tindakan fraud supaya kerugian yang ditimbulkan diminimalkan bahkan dihindari.
Pertanyaan menarik untuk diteliti adalah berbedakah pandangan auditor internal, eksternal dan pemerintah terhadap fraud? Benarkan fraud menjadi faktor utama penyebab timbulnya krisis? Lebih jauh lagi, banyaknya praktek fraud di entitas komersial maupun pemerintah itu dikarenakan sosok auditor masih jauh dari ideal ataukah kehebatan pelaku kecurangan yang dapat menciptakan fraud scheme sedemikian rupa sehingga sulit dideteksi para auditor? Jika sosok fraud auditor ideal tersebut ternyata ada, tetapi sistem pemerintahan dan penegakan hukum belum mendukung, dapatkah good governance berjalan dengan mulus?
2. Pembahasan2.1. Fraud dan Fraud Audit
Statement on Auditing Standards No. 99 mendefinisikan fraud sebagai “an intentional act that result in a material misstatement in financial statements that are the subject of an audit. Sedangkan menurut the Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), fraud adalah: “perbuatan-perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu (manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain) dilakukan orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi ataupun kelompok yang secara langsung atau tidak langsung merugikan pihak lain”.
Fraud audit adalah pelaksanaan audit yang dilakukan dalam rangka mencegah, mendeteksi dan mengungkap kecurangan, sedangkan fraud auditor adalah auditor yang melakukan tugas tersebut. Fraud merupakan penipuan yang disengaja dilakukan, yang menimbulkan kerugian pihak lain dan memberikan keuntungan bagi pelaku kecurangan dan atau kelompoknya. Kecurangan (fraud) berangkat dari adanya tekanan (pressure) yang dialami seseorang, peluang (opportunity) yang dimiliki karena lingkungan mendukung, dan rasionalitas (rasionalization) dimana pelaku fraud sudah memperhitungkan untung rugi akibat tindakannya. Ketiganya sering disebut fraud triangle. Masing-masing kecurangan memiliki karakteristik tersendiri. Kejadian fraud di entitas komersial, memiliki pola yang berbeda dengan di instansi pemerintah, fraud yang dilakukan manajemen berbeda dengan yang dilakukan karyawan, fraud yang diciptakan orang luar (outsider), berbeda dengan orang dalam (insider), sehingga untuk dapat mendeteksi perlu pemahaman yang baik terhadap jenis-jenis kecurangan. Persepsi, pemahaman dan analisis terhadap karakteristik kecurangan oleh auditor menentukan langkah selanjutnya untuk memperoleh bukti dan mengungkap adanya kecurangan.
2.2. Motif dan Indikator Fraud Identifikasi yang dilakukan Tampubolon (2005), dalam kehidupan sehari-hari motif
seseorang melakukan fraud adalah: (1) Serakah. (2) Terikat perjudian, minuman keras, obat-obatan terlarang, wanita tuna susila atau gaya hidup sejenis. (3) Masalah keluarga yang
PERBANdINgAN PERSEPSI AUdItOR INtERNAL, AKUNtAN PUBLIK, dAN AUdItOR PEMERINtAHtERHAdAP PENUgASAN FRAUD AUDIT dAN PROFIL FRAUD AUDITOR
Eman Sukanto
17
memerlukan biaya tinggi. (4) Pola hidup yang melebihi penghasilan. (5) Krisis keuangan. (6) Memiliki pasangan simpanan. (7) Sakit hati pada perusahaan atau atasan dan ingin membalas. (8) Merasa kerja kerasnya tidak dihargai. (9) Iri kepada atasan atau rekan kerja yang kemampuannya kurang tetapi gaji lebih tinggi. (10) Bangga kalau bisa membobol security system. Motif terakhir ini tidak semata-mata dorongan uang, tetapi lebih pada motif kepuasan.
2.3. Pengelompokan FraudMenurut the Association Certified Fraud Examiners, pengelompokan kecurangan
menjadi tiga hal, yaitu:1. Kecurangan Laporan Keuangan Kecurangan ini didefinisikan sebagai kecurangan oleh manajemen atau pengelola
perusahaan dalam bentuk salah saji material atas laporan keuangan yang merugikan stakeholders khususnya investor, kreditor atau otoritas perpajakan.
2. Penyalahgunaan Aset Kecurangan ini terbagi dalam kecurangan kas dan kecurangan non kas. Kecurangan non
kas sangat sering terjadi pada persediaan.3. Korupsi Kecurangan ini dapat dibedakan ke dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest),
suap (bribery), pemberian ilegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic extortion).
2.4. Tindakan Fraud di Entitas PemerintahDari segi penerimaan:1. Rendahnya anggaran penerimaan pajak, PBB, Bea Cukai, retribusi dan pajak
lainnya dibanding potensi yang tersedia.2. Manipulasi restitusi pajak.3. Laporan SPT pajak bulanan maupun tahunan yang tidak sesuai dengan potensi
pajak yang sesungguhnya. 4. Kesalahan pengenaan tarip pajak maupun bea. 5. Pembebasan pajak atas bahan baku impor tujuan ekspor tidak sesuai data
sesungguhnya.6. Perusahaan yg ditunjuk oleh pemerintah pusat /daerah memperkecil data volume
produksi pertambangan atau hasil alam.7. Memperbesar biaya cost recovery, sehingga setoran hasil menjadi berkurang.8. Kontrak pembagian hasil atas tambang yang merugikan negara.9. Pemegang HPH maupun masyarakat mengeksploitasi hutan diluar
kewilayahannya.10. Penjualan aset pemerintah tidak berdasar harga wajar atau harga pasar.11. Pelaksanaan tukar guling (ruislaag) yang merugikan negara dan pemanfaatan
tanah negara yang harga sewanya dibawah pasar.12. Penerimaan yang seharusnya masuk ke rekening kas negara, namun masuk ke
rekening perorangan.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 13 - 26
18
Dari segi pengeluaran:1. Pengeluaran belanja/jasa atau perjalanan dinas fiktif.2. Pembayaran ganda pejabat atau pegawai, atau pegawai sudah keluar masih
dibayar3. Penggelembungan (mark-up) harga, atau harga patokan terlalu mahal dibandingkan
harga pasar.4. Pelaksanaan sistem tender, penunjukan rekanan dan atau konsultan, persyaratan
kualifikasi, dan lain-lain tidak sesuai standar prosedur, atau sesuai prosedur tetapi hanya memenuhi persyaratan formal.
5. Pemenang tender men-sub kontrak-kan pekerjaannya kepada pihak ketiga, dimana posisi rekanan tidak lebih sebagai broker semata.
6. Rekanan atau konsultan tidak mampu melaksanakan pekerjaannya sesuai standar dan jadwal yang ditetapkan.
7. Pekerjaan atau barang yang dihasilkan tidak sesuai spesifikasi.8. Program bantuan sosial atau penanggulangan bencana yang salah sasaran.9. Adanya “percaloan” dalam pengurusan alokasi dana, sehingga instansi atau
daerah yang ingin mendapatkan alokasi anggaran perlu mencadangkan dana untuk komisi.
10. Biaya yang terlalu tinggi pada penunjukan konsultan keuangan, akuntan, underwriter, dan penggunaan tenaga profesional lainnya terkait dengan program pemerintah atau BUMN.
11. Privatisasi BUMN yang merugikan negara.12. Biaya restrukturiusasi, bantuan likuiditas dan biaya lain-lain yang sejenis yang
merugikan negara.
2.5. Pencegahan FraudDalam hal penindakan terhadap fraud, dapat dikelompokkan dalam tiga tahap yakni,
tindakan preventif, detektif dan represif. Tindakan preventif diantaranya:1. Memberi kesejahteraan yang layak kepada pegawai2. Menjaga kualitas SDM dengan pembekalan pendidikan dan pelatihan
berkelanjutan.3. Memperkuat pengawasan dari atasan maupun dari rekan kerja4. Memperkuat struktur internal control 5. Menerapkan standar prosudur kerja secara konsisten6. Memperkuat posisi internal audit7. Membentuk Komite Audit8. Menerapkan system risk management9. Tidak memberikan pekerjaan dari awal sampai akhir kepada satu bagian.10. Memperkuat instrument anggaran sebagai pengendali organisasi11. Memperkuat penerapan kode etik
PERBANdINgAN PERSEPSI AUdItOR INtERNAL, AKUNtAN PUBLIK, dAN AUdItOR PEMERINtAHtERHAdAP PENUgASAN FRAUD AUDIT dAN PROFIL FRAUD AUDITOR
Eman Sukanto
19
Tindakan detektif terdiri dari:1. Memperbaiki dan menerapkan system tindak lanjut dari pengaduan.2. Melaporkan transaksi-transaksi khusus diluar standar prosedur baku3. Mendalami fraud auditing bagi anggota internal audit4. Memantau gejala-gejala fraud sejak dini, tetapi tidak melanggar aturan sosial maupun
aturan kerja.5. Berpartisipasi dalam gerakan moral
Tindakan represif dapat dilakukan dengan cara:1. Melakukan investigatif audit jika diperlukan2. Jika bukti mendukung, perlu dilanjutkan ke proses berikutnya. Teguran, peringatan,
PHK atau diteruskan ke aparat berwenang.3. Penyitaan barang bukti, dokumen-dokumen, bahkan kekayaan jika terbukti kekayaan
tersebut hasil korupsi.
2.6. InvestigasiTujuan utama investigasi bukan untuk mencari siapa pelakunya, namun menekankan pada
bagaimana kejadian sebenarnya (search for the truth), setelah kejadian sebenarnya terungkap, secara otomatis pelaku fraud akan didapat. Acuan kode etik seorang investigator tidak boleh semata-mata tergantung pada aturan tertulis saja, tetapi harus memahami nilai-nilai keadilan yang tersirat dalam aturan tertulis tersebut. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa tidak semua aturan tertulis memiliki cerminan keadilan. Salah satu kriteria yang harus dimiliki seorang investigator adalah tidak memiliki vested interest dalam pelaksanaan tugasnya.
Salah satu teknik investigasi adalah melakukan wawancara, karena didalamnya bisa mendalami jawaban, bahasa tubuh, dan kejujuran seseorang. Berikut disajikan karakteristik wawancara investigasi yang baik, yakni:
1. Wawancara investigasi harus cukup dari segi waktu dan kedalaman untuk mengungkap fakta-fakta yang relevan.
2. Wawancara investigasi yang baik bisa mencakup semua informasi yang penting dan mengeliminir informasi yang tidak relevan. Data yang tidak relevan seringkali mempersulit analisis.
3. Wawancara investigasi sedapat mungkin dilaksanakan dekat dengan kejadian untuk mengurangi potensi rusaknya memori para saksi.
4. Investigasi harus objektif untuk memperoleh informasi dan dengan cara yang tidak sepotong-sepotong (impartial).
Sedangkan karakteristik investigator yang baik adalah:1. Mereka orang yang mudah bergaul, berbakat dalam berinteraksi, bisa mengajak
orang lain berbagi informasi. Ia tidak menginterupsi lawan bicara dengan pertanyaan yang tidak penting. Sepanjang wawancara, seringkali informasi vital diperoleh dengan cara sukarela sebagai respon dari pertanyaan yang spesifik.
2. Pewawancara semata-mata sedang mencari fakta yang relevan, bukan sekedar bertemu dengan seseorang. Dapat dilakukan dengan gaya yang informal dan rendah hati. Jika yang diwawancarai dalam benaknya terpikirkan “saya akan divonis”,
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 13 - 26
20
maka ia sulit diajak bekerja sama, malah sebaliknya investigator sulit memperoleh informasi yang dibutuhkan. Pewawancara harus bersikap wajar, fair, rapi, tepat waktu, berinteraksi, hangat, dan lain-lain.
2.7. Auditor Keuangan dan PenugasannyaSecara umum terdapat 4 jenis auditor yang berhubungan dengan audit keuangan, yaitu
internal audit, akuntan publik, auditor pemerintah dan auditor pajak. Khusus yang terakhir memiliki tugas spesifik menyangkut pemeriksaan pajak, sehingga tidak kami masukkan dalam penelitian ini. Auditor pemerintah sendiri bisa dikelompokkan auditor internal maupun eksternal, karena undang-undang mengatur demikian, dimana BPK sebagai auditor eksternal, sedangkan BPKP, Irjen dan Itwilda adalah auditor internal. a. Auditor Internal
Definisi internal audit menurut the Institute of Internal Auditors adalah: Internal audit is an independent, objective assurance and consulting activity that adds value to and improves organization’s operation. It helps an organization accomplish its objective by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control, and governance process.
b. Akuntan publik Adalah pihak yang memberikan jasa pemeriksaan kepada pemegang saham perusahaan dan bukan merupakan karyawan perusahaan. Pedoman yang digunakan Standar Profesional Akuntan Publik.
c. Auditor pemerintahAuditor pemerintah atau nama resminya Pejabat Fungsional Auditor berdasarkan Kepmenpan No. 19 tahun 1996 adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan pengawasan pada instansi pemerintah, lembaga dan atau pihak lain yang didalamnya terdapat kepentingan negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Posisi auditor pemerintah atau pejabat fungsional auditor ada pada:1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)2. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)3. Inspektorat Jendral Departemen (Irjen) dan Inspektorat Utama Lembaga Non
Departemen4. Inspektorat Wilayah Propinsi /Kabupaten/Kota (Bawasda).
2.8. Kerangka Penelitian dan Perumusan HipotesisTerdapat dua kelompok variabel yang diteliti yaitu persepsi penugasan fraud audit dan
profil fraud auditor. Masing-masing variabel adalah independen, tidak mempengaruhi satu sama lain, lalu dilakukan uji terhadap tiga kelompok auditor yakni auditor internal, auditor eksternal (akuntan publik) dan auditor pemerintah.
PERBANdINgAN PERSEPSI AUdItOR INtERNAL, AKUNtAN PUBLIK, dAN AUdItOR PEMERINtAHtERHAdAP PENUgASAN FRAUD AUDIT dAN PROFIL FRAUD AUDITOR
Eman Sukanto
21
2.9. Jenis & Sumber DataJenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, diperoleh melalui
survey dengan cara mengirim kuesioner, baik secara langsung maupun via pos kepada auditor internal yang bekerja di perusahaan komersial, auditor yang bekerja KAP serta auditor pemerintah yang bekerja di BPK.
2.10. Pengukuran VariabelVariabel-variabel yang diukur melalui persepsi para kelompok auditor internal,
akuntanpublik dan auditor pemerintah dalam penelitian ini adalah penugasan fraud audit dan profil fraud auditor. Variabel-variabel tersebut diukur dengan menggunakan skala likert 1 – 10.
2.11. SampelTeknik pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling
kemudian di judgment, yakni sampel yang dipilih hanya yang memiliki ciri-ciri tertentu yang oleh peneliti dianggap merupakan ciri penting dari populasi, kemudian ditentukan yang dianggap bisa mewakili serta memiliki peluang kuesioner bisa dikembalikan. a. Auditor internal yang bekerja di beberapa perusahaan swasta dan BUMN sebanyak 33 .b. Auditor yang bekerja Kantor Akuntan Publik nasional atau lokal yang memiliki kantor
di Jakarta, Semarang dan Surabaya sebanyak 66..c. Auditor pemerintah yang bekerja di BPK Pusat dan sebagian perwakilannya di Jawa
sebanyak 54.
2.12. Uji Hipotesis
Tabel-1Hasil Uji Reliabilitas
No Variabel Nilai Cronbach Alpha Keterangan1 Fraud Audit 0,751 Reliabel2 Fraud Auditor 0,763 Reliabel
Tabel-2Hasil Uji Validitas
No Variabel Kisaran Korelasi
KisaranSignifikansi Keterangan
1 Fraud Audit 0,382**-0,820** 0,000 - 0,000 Valid
2 Fraud Auditor 0,423**-0,828** 0,000 - 0,000 Valid
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 13 - 26
22
Tabel-3Data Pengujian Hipotesis
Kelompok Auditor F-Hitung F-Tabel Mean Sig Df Persepsi Hipotesis 0,05 0,05
FRAUD AUDIT
Internal – External –Government Auditor 1,150 3,06 601,402 0,319 150 Tdk ada
perbedaan Diterima
FRAUD AUDITOR
Internal - External-Government Auditor 1,023 3,06 83,781 0,362 150 Tdk ada
perbedaan Diterima
Sumber : data yang diolah 2007
Tabel- 4Uji ANOVA One Way
Persepsi Auditor Internal, Akuntan Publik dan Auditor Pemerintah Terhadap Penugasan
Fraud Audit
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
1,52 2 150 ,289
TOTAL_XTest of Homogensity of Variances
N Mean Std. Deviation Std. Error95% Confidence Interval for
Mean Minimum MaximumLower Bound Upper Bound
INTERNAL 33 187,00 18,589 3,236 180,41 193,59 159 214EKSTERNAL 66 185,55 25,690 3,162 179,23 191,86 135 228PEMERINTAH 54 180,28 21,483 2,923 174,41 186,14 148 222Total 153 184,00 22,887 1,850 180,34 187,66 135 228
TOTAL_XDescrptives
PERBANdINgAN PERSEPSI AUdItOR INtERNAL, AKUNtAN PUBLIK, dAN AUdItOR PEMERINtAHtERHAdAP PENUgASAN FRAUD AUDIT dAN PROFIL FRAUD AUDITOR
Eman Sukanto
23
Tabel- 5Uji ANOVA One Way
Persepsi Auditor Internal, Akuntan Publik dan Auditor Pemerintah Terhadap Profil
Fraud Auditor
3. Simpulan dan Implikasi3.1. Simpulan
Hipotesis 1 yang menyatakan tidak ada perbedaan persepsi signifikan antara auditor internal, akuntan publik dan auditor pemerintah terhadap penugasan Fraud Audit diterima berdasarkan angka yang ditunjukkan dalam F hitung 1,150 pada tingkat signifikansi 0,05.
15
Test of Homogeneity of Variances
TOTAL_Y
1,278 2 150 ,282
LeveneStatistic df1 df2 Sig.
ANOVA
TOTAL_Y
167,562 2 83,781 1,023 ,36212281,379 150 81,87612448,941 152
Between GroupsWithin GroupsTotal
Sum ofSquares df Mean Square F Sig.
3. Simpulan dan Implikasi
3.1. Simpulan
Hipotesis 1 yang menyatakan tidak ada perbedaan persepsi signifikan antara
auditor internal, akuntan publik dan auditor pemerintah terhadap penugasan Fraud
Audit diterima berdasarkan angka yang ditunjukkan dalam F hitung 1,150 pada tingkat
signifikansi 0,05.
Hipotesis 2 yang menyatakan tidak ada perbedaan persepsi signifikan antara
auditor internal, akuntan publik dan auditor pemerintah terhadap profil Fraud Auditor
diterima berdasarkan angka yang ditunjukkan dalam F hitung 1,023 pada tingkat
signifikansi 0,05.
Rata-rata persepsi dari ketiga kelompok auditor tersebut tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga kelompok auditor sama-sama memiliki keinginan yang kuat
untuk mencegah, mendeteksi dan mengungkap fraud pada entitas yang sedang mereka
audit, serta memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi fraud auditor saat mereka
menjalankan tugas pemeriksaan.
3.2. Implikasi Teoritis
LeveneStatistic df Mean Square F Sig.
Between GroupsWithin GroupsTotal
2150152
601,402522,781
1,150 ,319
TOTAL_X
ANOVA
N Mean Std. Deviation Std. Error95% Confidence Interval for
Mean Minimum MaximumLower Bound Upper Bound
INTERNAL 33 71,55 6,755 1,176 69,15 73,94 61 81EKSTERNAL 66 69,45 9,904 1,219 67,02 71,89 46 86PEMERINTAH 54 68,72 9,158 1,246 66,22 71,22 50 88Total 153 69,65 9,050 ,732 68,20 71,09 46 88
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 13 - 26
24
Hipotesis 2 yang menyatakan tidak ada perbedaan persepsi signifikan antara auditor internal, akuntan publik dan auditor pemerintah terhadap profil Fraud Auditor diterima berdasarkan angka yang ditunjukkan dalam F hitung 1,023 pada tingkat signifikansi 0,05.
Rata-rata persepsi dari ketiga kelompok auditor tersebut tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga kelompok auditor sama-sama memiliki keinginan yang kuat untuk mencegah, mendeteksi dan mengungkap fraud pada entitas yang sedang mereka audit, serta memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi fraud auditor saat mereka menjalankan tugas pemeriksaan.
3.2. Implikasi TeoritisPenelitian ini yang menyimpulkan persepsi tiga kelompok auditor terhadap penugasan
fraud audit maupun profil fraud auditor rata-rata kuat, sangat mendukung Statement on Auditing Standards (SAS) No. 99 - Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit.
Merujuk pada teori harapan dalam persepsi, auditor memiliki harapan yang tinggi terhadap terciptanya good (corporate) governance, sistem ekonomi yang sehat dan akuntabel, nilai saham dan laba perusahaan meningkat, kesejahteraan meningkat, serta organisasi memiliki nilai lebih dimata stakeholders. Harapan tersebut akan mendukung kinerja auditor saat menjalankan tugas pemeriksaan,
3.3. Implikasi Praktek1. Kenyataan membuktikan bahwa persepsi internal, akuntan publik maupun auditor
pemerintah terhadap penugasan fraud audit maupun profil fraud auditor sama tingginya. Hal ini menunjukkan mereka sama-sama memiliki keinginan yang kuat untuk mendeteksi, mencegah dan menginvestigasi kecurangan yang ada pada entitas yang sedang mereka periksa, serta berkeinginan kuat untuk menjadi fraud auditor saat menjalankan tugasnya jika dimungkinkan.
2. Pihak regulator maupun pihak-pihak yang berkompeten terhadap kinerja auditor, supaya dapat mengakomodasi kenyataan di atas, agar dapat mendorong terciptanya para auditor yang lebih profesional, independen dan lebih menjamin laporan keuangan bebas dari salah saji material yang disebabkan kecurangan.
3. Masyarakat luas sangat berharap terhadap auditor supaya dapat menjadi motor penggerak untuk mendorong terciptanya good corporate governance di semua sektor, baik itu di lingkungan komersial maupun pemerintahan.
4. Khusus untuk Indonesia, negara yang saat ini sedang giat-giatnya memberantas korupsi, dimana korupsi bagian dari kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), peran auditor sangat diharapkan dapat mendukung agenda pemerintah tersebut.
PERBANdINgAN PERSEPSI AUdItOR INtERNAL, AKUNtAN PUBLIK, dAN AUdItOR PEMERINtAHtERHAdAP PENUgASAN FRAUD AUDIT dAN PROFIL FRAUD AUDITOR
Eman Sukanto
25
DAFTAR PUSTAKA
American Institute of Certified Public Acoountant (AICPA), 2002, Statement on Auditing Standards No 99. USA.
Amrizal, CFE, 2004, Pencegahan dan Pendeteksian Kecurangan oleh Internal Auditor, Jakarta.
Ansah Stephen Owusu et al, 2002, An Empirical Analysis of the Likelihood of Detecting Fraud in Zew Zaeland, Managerial Auditing Journal, MCB UPAR.
Apostolou Barbara, et al, 2001, The Relative Importance Management Fraud Risk Factors, Behavioral Research in Accounting Vol 13, U S A.
Arief Rahman, 1999, Auditing Forensik dan Kontribusi Akuntansi dalam Pemberantasan Korupsi, JAAI Vol 3 Juni 1999
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) – Tim Pengkajian SPKN, 2002, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan APBN/APBD, Jakarta.
Bartkova Alexandra, 2005, Fraud in Financial Reporting: Changes in Corporate Governance, Financial Reporting and Auditing Provoked After the Fall of Enron, Comenius University, Bratislava.
Enawati Maria, 2005, Persepsi Auditor Internal dan Auditor Eksternal terhadap Fraud Audit dan Fraud Auditor dalam Mendeteksi Kecurangan, Indonesia.
Erns & Young, 2006, Fraud Survey 2006: Fraud Risk in Emerging Market, Fraud Investigation and Dispute Service Division EY.
Farrell Barbara & Franco Joseph, 1999, The Role of the Auditor in the Prevention and Detection of Business Fraud: SAS No. 82, Western Criminology Review.
Gallegos Frederick, CISA, CGFM, CDE, 2003, Sarbanes-Oxley Act of 2002 and Impact on the IT Auditor. USA
Hery, 2005, Persepsi Top Eksekutif (Sektor Publik dan Swasta) terhadap Fungsi Internal Audit, Magister Akuntansi, Trisakti, Jakarta.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 13 - 26
26
Huda Santoso, CFE, 2004, Keterkaitan Sarbanes- Oxley Act, SAS No. 99, dan Corporate Governance: Hal-Hal Apa Saja yang Perlu Kita Ketahui, Jakarta.
Imam Ghozali, 2005 Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, BP Universitas Diponegoro, Semarang.
KPMJ, in Association with Paul Coram, Colin Ferguson, Robyn Moroney, 2006, The Value of Internal Audit in Fraud Detection, The University of Melbourne and Monash University, May 2006
Mohammad Abdolmohammadi, 2004, A Comprehensive Taxonomy of Audit Task: Apendix Detailed Audit task, U S A.
Moyes & Hasan Iftekhar, 1996, An Empirical Analysis of Fraud Detection Likelihood, Managerial Auditing Journal, MCB University Press, USA.
Prasetyo, et al , Peak Indonesia, 2003, Fraud Prevention and Investigation, Jakarta.
Robert Tampubolon, 2005, Risk and System Based Auditing, Jakarta.
Robbin, Stephen, 2005, Organization Behavior, Prentice-Hall, USA, terjemahan Erlangga, Jakarta
Vanasco Rocco R., 1998, Fraud Auditing, Managerial Auditing Journal, MCB University Press, Chicago, USA.
Wilks Jeffrey & Zimbelman Mark, 2004, Using Game Theory and Strategic Reasoning Concepts to Prevent and Detect Fraud, Accounting Horizons, Vol. 18, No. 3, USA.
HUBUNgAN StRUKtUR SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMENdAN PROSES SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMEN dENgAN KINERJA KEUANgAN PERUSAHAAN
PAdA Pt. KEREtA API INdONESIA (PERSERO)
Imas Purnamasari
27
HUBUNGAN STRUKTUR SISTEM PENGENDALIAN MANAJEMEN DAN PROSES SISTEM PENGENDALIAN
MANAJEMEN DENGAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PADA PT. KERETA API INDONESIA (PERSERO)
(The Correlation between the Structure of Management Control System and Process of Management Control System and the Company Financial
Performance at Indonesia Railway Company Limited (PT. KAI)
Imas Purnamasari *)
Abstract
Reaching more than 100%, the decrease of financial performance of PT.KAI in 2006 is the highest in recent years. This condition is, to certain extent, caused by insufficient control system. The structure and process of management control system are two parts researchable in an effort to explain the financial performance of PT. KAI. This research is, therefore, conducted to identify: (1) the simultaneous correlation between the structure and process of management control system and company financial performance, (2) the correlation between the structure of management control system and company financial performance, and (3) the correlation between the process of management control system and company financial performance.
This research uses survey-explanatory method by using three different levels of management as research respondent, namely top, middle, and low. Each level represents financial performance and operation area in terms of return on investment (ROI) year 2006.
Findings of the research are as follows: (1) the structure and process of management control system have a simultaneously positive correlation with financial performance. This means that the company financial performance is strongly determined by the system of management control consisting of structure and process, (2) individually, the structure of management control system has positive correlation with financial performance, and (3) the process of management control system has positive correlation with financial performance.
Keywords: Management control system, The structure of management control system, The process of management control system, Financial performance, Investment return level.
*) Dosen Universitas Pendidikan Indonesia
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 27 - 43
28
Abstraksi
Dalam tahun 2006 kinerja keuangan PT. KAI mengalami penurunan yang sangat besar dibanding tahun-tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari 100%. Kondisi ini, salah satunya disebabkan oleh sistem pengendalian yang belum memadai. Struktur dan proses sebagai bagian dari sistem pengendalian manajemen merupakan dua hal yang dapat diteliti dalam upaya untuk memberikan penjelasan mengenai kinerja keuangan PT. KAI. Oleh karena itu, terdapat tiga tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui: (1) hubungan antara struktur sistem pengendalian manajemen dan proses sistem pengendalian manajemen dengan kinerja keuangan perusahaan secara simultan, (2) hubungan antara struktur sistem pengendalian manajemen dengan kinerja keuangan perusahaan, dan (3) hubungan antara proses sistem pengendalian manajemen dengan kinerja keuangan perusahaan.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu survey-explanatory dengan menggunakan manajer setiap jenjang manajemen yaitu manajemen puncak, manajemen tingkat menengah, dan manajemen tingkat bawah sebagai responden yang mewakili tiap daerah operasi, dan kinerja keuangan dalam bentuk tingkat kembalian investasi (ROI) tahun 2006.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) secara simultan struktur dan proses sistem pengendalian manajemen memiliki hubungan yang positif dengan kinerja keuangan, artinya kinerja keuangan perusahaan sangat ditentukan oleh sistem pengendalian manajemen yang didalamnya terbagi atas struktur dan proses, (2) secara individu struktur sistem pengendalian manajemen memiliki hubungan positif dengan kinerja keuangan, dan (3) proses sistem pengendalian manajemen memiliki hubungan positif dengan kinerja keuangan.
Kata kunci: Sistem pengendalian manajemen, Struktur sistem pengendalian manajemen, Proses sistem pengendalian manajemen, Kinerja keuangan, Tingkat kembalian investasi.
1. Pendahuluan1.1. Latar Belakang Masalah
Pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi 13,7 % dari pertumbuhan tahun sebelumnya (Seda: 2002). Kita bisa lihat pada 2002, angka pertumbuhan ekonomi nasional cuma berkisar 3,5 % padahal, banyak kalangan yang menilai bahwa untuk melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi, paling tidak dibutuhkan angka pertumbuhan di atas 5%1. Semua gambaran tersebut akhirnya menjadi cermin betapa buruknya keadaan perekonomian nasional saat ini. Salah satu akibat yang timbul dari keterpurukan ekonomi Indonesia adalah jatuhnya sejumlah perusahaan baik itu perusahaan swasta maupun BUMN..
Dalam beberapa kurun terakhir semenjak BUMN dibentuk, BUMN secara umum belum menunjukkan kinerja yang menggembirakan. Perolehan laba yang dihasilkan masih sangat rendah. Sebagai contoh, pada tahun 2000 BUMN memiliki total asset sebesar Rp. 861,52 trilyun hanya mampu menghasilkan keuntungan sebesar Rp. 13,34 Trilyun, atau dengan tingkat Return on Assets (ROA) sebesar 1,55%. Gambar 1.1 menunjukkan bahwa tingkat ROA BUMN Indonesia pada tahun 1997-2001 hanya berkisar antara 1,55% sampai dengan 3,25%.
1 Tersedia dalam http/www.wartaekonomi.com
HUBUNgAN StRUKtUR SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMENdAN PROSES SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMEN dENgAN KINERJA KEUANgAN PERUSAHAAN
PAdA Pt. KEREtA API INdONESIA (PERSERO)
Imas Purnamasari
29
Gambar 1.1Return on Asset BUMN selama Tahun 1997-2001
0,017
0,033
0,024
0,016
0,024
0,000
0,005
0,010
0,015
0,020
0,025
0,030
0,035
1997 1998 1999 2000 2001
Tahun
RO
A (%
)
ROA
Sumber : Laporan Perkembangan Kinerja BUMN – Dirjen Pembinaan BUMN, Departemen Keuangan R.I., April 2001. (Diolah kembali).
Jika dilihat dari gambar 1.1 kinerja BUMN secara keseluruhan pada tahun 1997 sampai 2001 masih kurang memuaskan. Namun pada tahun 2002-2006 dari master plan BUMN bahwa kinerja keuangan seluruh BUMN naik cukup signifikan. Jelasnya dilihat dari gambar dibawah ini:
Gambar 1.2ROA dan ROE BUMN selama Tahun 2001 - 2006
3,60% 3,68%3,82% 3,90%
4,16%
4,47%
0,02%
1,95% 1,99% 2,06%2,20%
2,37%
0,00%
0,50%
1,00%
1,50%
2,00%
2,50%
3,00%
3,50%
4,00%
4,50%
5,00%
2001 2002 2003 2004 2005 2006
TAHUN
Pers
enta
se R
OE
& RO
A
ROA (%)ROE (%)
Sumber : Kementrian BUMN, (diolah kembali)
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 27 - 43
30
Dengan mengamati dan menganalisis kinerja BUMN dari tahun 1997 sampai 2001 dan membandingkannya dengan kinerja BUMN pada tahun 2002 sampai 2006 sudah terlihat adanya peningkatan kinerja BUMN. Namun untuk tetap menjaga peningkatan kinerja BUMN supaya tidak mengalami penurunan lagi seperti tahun-tahun sebelumnya, maka proses pengendalian dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen perlu dioptimalkan.
PT Kereta Api Indonesia (PT. KAI) adalah salah satu BUMN yang bergerak di bidang pelayanan jasa transportasi darat, mulai tahun 1998 perusahaan ini berbentuk PT (Persero). Keberhasilan PT KAI dalam menghasilkan jasanya tidak hanya tergantung pada keunggulan teknologi, sarana dan prasarana maupun dana yang tersedia, melainkan juga tergantung kepada kepercayaan publik terhadap kinerja manajemen yang mempunyai peranan penting untuk menjamin kelangsungan aktivitas bisnis perusahaan sesuai yang diharapkan.
Para pengelola PT KAI harus selalu menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam pengeloaan semua sumber dayanya. Karena itu para pengelola PT KAI seharusnya mampu mengelola perusahaannya dengan mengedepankan prinsip-prinsip pengelolaan yang memiliki pertanggungjawaban kepada stakeholder-nya. Apalagi dijaman yang serba cepat, perubahan yang tajam dan radikal, para pengelola BUMN diharapkan mampu mengendalikan perusahaannya dan bisa mengiringi perubahan yang terjadi dilingkungan perusahaan, dan bersaing secara sehat.
Keberhasilan manajemen dalam mengelola perusahaan dapat dilihat dari pencapaian tujuan yang ditetapkan sebelumnya, salah satunya adalah memperoleh laba yang besar. Bagi perusahaan yang berorientasi kepada laba (profit-oriented), mendapatkan laba adalah tujuan utama untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan. Keberhasilan perusahaan dapat ditunjukkan oleh ROI yang dicapai perusahaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang Riyanto (2001: 325) bahwa “Return On Investment (ROI), menggambarkan kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto”.
Semakin tinggi ROI perusahaan maka semakin baik keadaan perusahaan. Hal ini termuat dalam pendapat Darsono dan Ashari (2005: 57) bahwa “Semakin tinggi ROI yang dicapai suatu perusahaan menggambarkan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan modal kerja atau aktiva secara efisien dan efektif”. ROI diketahui dengan membagi laba bersih dengan jumlah aktivanya (Munawir, 2004: 335).
Jika dilihat pada gambar 1.3 perolehan laba pada PT. Kereta Api dari tahun 2001 sampai 2006, terlihat masih sangat rendah jika dibandingkan dengan aktiva yang ditanamkan dalam perusahaan.
HUBUNgAN StRUKtUR SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMENdAN PROSES SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMEN dENgAN KINERJA KEUANgAN PERUSAHAAN
PAdA Pt. KEREtA API INdONESIA (PERSERO)
Imas Purnamasari
31
Gambar 1.3ROA PT. Kereta Api selama Tahun 2001 – 2006
Sumber : Laporan keuangan perusahaan, (diolah kembali)
Untuk mendorong perusahaan mampu bersaing dalam persaingan global yang semakin ketat, pengendalian manajemen merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan para manajer profesional. Manajemen modern dalam mendukung pencapaian tujuan perusahaan telah menawarkan konsep yang dikenal sistem pengendalian manajemen (management control system). Sistem pengendalian manajemen merupakan suatu proses dan struktur yang tertata secara sistematik yang digunakan manajemen dalam pengendalian kegiatan agar sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan perusahaan tercapai.
Salah satu tujuan setiap perusahaan adalah untuk mendapatkan keuntungan atau laba, beberapa faktor yang mempengaruhinya adalah pendapatan yang diterima, kembalian dari investasi (ROI), dan biaya yang harus dikeluarkan. Dalam memperbesar laba, usaha yang dapat dilakukan oleh perusahaan adalah memperbesar pendapatan, menurunkan biaya, dan memperbesar kembalian investasi (ROI). Untuk memperbesar pendapatan, penurunan biaya, dan memperbesar kembalian investasi (ROI) dapat dilakukan dengan memotivasi para manajer agar dapat melakukan efisiensi dan memberikan penilaian atas peran manajer tersebut dalam setiap pusat pertanggungjawaban tertentu.
Berdasarkan uraian di atas, diidentifikasi permasalahan di PT. KAI yaitu adanya penurunan kinerja keuangan disebabkan oleh faktor eksternal maupun internal. Berdasarkan pengamatan dan hasil survey pendahuluan, dari kedua faktor tersebut faktor internal merupakan faktor yang diduga menjadi faktor penyebab dari makin menurunnya kinerja keuangan. Faktor tersebut diantaranya adalah sistem pengendalian manajemen yang belum berjalan sebagaimana mestinya.
1.2. Pengertian Sistem Pengendalian ManajemenMulyadi (2001:3-5) menyampaikan bahwa “Sistem pengendalian manajemen pada
dasarnya merupakan suatu sistem yang dipergunakan manajemen dalam membangun masa depan organisasi”.
0.05% 0.11% 0.13% 0.16%
-3.05%
-0.02%
-3.50%
-3.00%
-2.50%
-2.00%
-1.50%
-1.00%
-0.50%
0.00%
0.50%
2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
RO
I (%
)
ROI (%)
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 27 - 43
32
Yoseph A. Maciariello dan Calvin J. Kirby (1994:5) mengatakan bahwa: “A management Control System is a set of interrelated communication structures that
facilitates the processing of information for the purpose of on organization on a continuous basis”.
Berdasarkan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan bahwa sistem pengendalian manajemen merupakan suatu sistem yang digunakan oleh para manajer untuk mengarahkan para anggota organisasi agar melaksanakan kegiatan organisasi secara efektif dan efisien sesuai strategi pokok yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
1.3. Pengertian Kinerja Keuangan Menurut Edy Sukarno (2000:111) ”Kinerja adalah gambaran mengenai tingkat
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi”. Dalam pembahasan ini, kata kinerja dimaksudkan sebagai hasil yang telah dicapai atas segala aktivitas yang dilakukan dalam mendayagunakan sumber-sumber yang tersedia dalam suatu organisasi atau perusahaan, maka kinerja dimaksud adalah kinerja keuangan.
1.4. Rasio Return On Investment sebagai Ukuran Kinerja PerusahaanROI merupakan salah satu bentuk rasio profitabilitas yang dimaksudkan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dengan keseluruhan dana yang ditanamkan dalam aktiva yang digunakan untuk operasi perusahaan untuk menghasilkan keuntungan. Bambang Riyanto, (2001: 335)“Salah satu rasio dalam profitabilitas adalah Return On Investment (ROI), yang menggambarkan kemampuan dari modal yang diinvestasikan dalam keseluruhan aktiva untuk menghasilkan keuntungan netto”.
ROI yang tinggi menunjukkan efisiensi manajemen aset, yang berarti pula efisiensi manajemen sehingga semakin tinggi ROI maka semakin baik keadaan suatu perusahaan. Hal ini termuat dalam pendapat Darsono dan Ashari (2005: 57) bahwa “Semakin tinggi ROI yang dicapai suatu perusahaan menggambarkan keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan menggunakan modal kerja atau aktiva secara efisien dan efektif”.
Dari uraian di atas disimpulkan ROI dapat memberikan informasi menyeluruh mengenai efisiensi penggunaan modal, juga dapat memberikan informasi mengenai profitabilitas perusahaan, serta berguna dalam keperluan perencanaan dan kontrol mengenai kebijakan yang diterapkan perusahaan.
HUBUNgAN StRUKtUR SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMENdAN PROSES SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMEN dENgAN KINERJA KEUANgAN PERUSAHAAN
PAdA Pt. KEREtA API INdONESIA (PERSERO)
Imas Purnamasari
33
Kerangka pemikiran dalam pembahasan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.4 Kerangka Pemikiran
2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan survey-
explanatory. Pendekatan survey artinya penelitian ini diadakan untuk memperoleh fakta-fakta, mencari keterangan-keterangan faktual serta berusaha untuk menggambarkan gejala-gejala dari praktek yang sedang berlangsung (M. Nazir, 2006: 65).
Populasi penelitian ini adalah pusat pertanggungjawaban yang ada di 10 DAOP dan 3 DIVRE, dan populasi respondennya adalah seluruh manajer dan karyawan yang ada di 13 DAOP dan DIVRE tersebut. Mengingat populasi dari DAOP dan DIVRE PT. KAI hanya berjumlah 13, maka keseluruhan populasi tersebut dijadikan sampel seluruhnya atau disebut sampel jenuh (census sampling). Setiap DAOP dan DIVRE diwakili oleh satu orang manajer dari setiap tingkatan manajemen yaitu manajemen puncak (top management), manajemen tingkat menengah (middle management), dan manajemen tingkat bawah (lower management).
Teknik pengumpulan data dalam mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian ini, direncanakan menggunakan :a) Kuesioner/daftar pertanyaan yang disebarkan kepada responden penelitian ini.b) Observasi yang dilakukan, untuk mengamati secara lebih spesifik perilaku dari variabel
yang sedang diteliti. Observasi juga dilakukan dalam upaya mendapatkan data-data umum lainnya tentang organisasi tersebut.
c) Wawancara mendalam dengan pimpinan dan karyawan di lingkungan objek penelitian.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan3.1. Deskripsi tentang Struktur Sistem Pengendalian Manajemen PT. KAI
Gambaran struktur sistem pengendalian manajemen berdasarkan dimensi pusat biaya, pusat pendapatan, pusat laba, dan pusat investasi ditunjukkan pada bagian selanjutnya. Gambaran umum dimensi pusat biaya berdasarkan hasil jawaban 39 responden dapat dilihat pada Tabel 3.1.
informasi mengenai profitabilitas perusahaan, serta berguna dalam keperluan
perencanaan dan kontrol mengenai kebijakan yang diterapkan perusahaan.
Kerangka pemikiran dalam pembahasan ini dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 1.4Kerangka Pemikiran
4
STRUKTUR SISTEM PENGENDALIAN
MANAJEMEN
KINERJA KEUANGAN
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan
survey-explanatory. Pendekatan survey artinya penelitian ini diadakan untuk
memperoleh fakta-fakta, mencari keterangan-keterangan faktual serta berusaha
untuk menggambarkan gejala-gejala dari praktek yang sedang berlangsung (M.
Nazir, 2006: 65).
Populasi penelitian ini adalah pusat pertanggungjawaban yang ada di 10
DAOP dan 3 DIVRE, dan populasi respondennya adalah seluruh manajer dan
karyawan yang ada di 13 DAOP dan DIVRE tersebut. Mengingat populasi dari
DAOP dan DIVRE PT. KAI hanya berjumlah 13, maka keseluruhan populasi
tersebut dijadikan sampel seluruhnya atau disebut sampel jenuh (census
sampling). Setiap DAOP dan DIVRE diwakili oleh satu orang manajer dari setiap
tingkatan manajemen yaitu manajemen puncak (top management), manajemen
tingkat menengah (middle management), dan manajemen tingkat bawah (lower
management).
PERU SAHAAN
PROSES SISTEM PENGENDALIAN
MANAJEMEN
1
2
3
16 8
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 27 - 43
34
Tabel 3-1 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pusat Biaya
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 3.1 di atas, nampak bahwa sebagian besar responden menjawab ‘sering’, hal ini bisa berarti bahwa di setiap pusat biaya daerah operasi PT. KAI telah memahami pentingnya perencanaan biaya sebagai upaya untuk mewujudkan efektivitas penggunaan biaya.
Pada pusat pendapatan sebagian besar manajer pada pusat pendapatan menjawab ‘selalu’ atas berbagai pertanyaan yang diajukan sebagaimana terlihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3-2 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden Berdasarkan Dimensi Pusat Pendapatan
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan jawaban setiap manajer pusat pendapatan dapat diketahui bahwa di setiap daerah operasi telah memiliki perencanaan yang matang atas estimasi pendapatan yang akan diperoleh dalam upaya untuk mencapai maksimalisasi laba dengan melibatkan bagian pemasaran, dan telah dilakukan dilakukan kontrol yang baik atas pendapatan yang diterima, dan nampak telah ada upaya dalam menilai kinerja setiap manajer pusat pendapatan di setiap daerah operasi.
Tabel 3-2Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden Berdasarkan Dimensi Pusat Pendapatan
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 91 46.67Sering 87 44.62
Kadang – kadang 12 6.15Jarang Sekali 5 2.56Tidak pernah 0 0.00
Jumlah 195 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan jawaban setiap manajer pusat pendapatan dapat diketahui
bahwa di setiap daerah operasi telah memiliki perencanaan yang matang atas
estimasi pendapatan yang akan diperoleh dalam upaya untuk mencapai
maksimalisasi laba dengan melibatkan bagian pemasaran, dan telah dilakukan
dilakukan kontrol yang baik atas pendapatan yang diterima, dan nampak telah ada
upaya dalam menilai kinerja setiap manajer pusat pendapatan di setiap daerah
operasi.
Tabel 3-3Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pusat Laba
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 101 43.16Sering 106 45.30
Kadang – kadang 24 10.26Jarang Sekali 3 1.28Tidak pernah 0 0.00
Jumlah 234 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel di atas,dapat diperoleh informasi mengenai karakteristik
yang terjadi pada setiap pusat laba di masing-masing daerah operasi, yaitu ada
upaya untuk memaksimalkan jumlah laba di setiap periodenya. Dalam
perhitungan pendapatan telah menggunakan prinsip pemaduan (matching) atas
jumlah pendapatan yang akan diterima dengan jumlah biaya yang akan
dikeluarkan. Manajer pusat laba selalu mempertanggungjawabkan laba yang
dihasilkan setiap periodenya.
16 10
Teknik pengumpulan data dalam mengumpulkan data yang berkaitan
dengan masalah penelitian ini, direncanakan menggunakan :
a) Kuesioner/daftar pertanyaan yang disebarkan kepada responden penelitian ini.
b) Observasi yang dilakukan, untuk mengamati secara lebih spesifik perilaku dari
variabel yang sedang diteliti. Observasi juga dilakukan dalam upaya
mendapatkan data-data umum lainnya tentang organisasi tersebut.
c) Wawancara mendalam dengan pimpinan dan karyawan di lingkungan objek
penelitian.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
3.1. Deskripsi tentang Struktur Sistem Pengendalian Manajemen PT. KAI
Gambaran struktur sistem pengendalian manajemen berdasarkan dimensi
pusat biaya, pusat pendapatan, pusat laba, dan pusat investasi ditunjukkan pada
bagian selanjutnya. Gambaran umum dimensi pusat biaya berdasarkan hasil
jawaban 39 responden dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3-1 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pusat Biaya
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 83 35.47Sering 96 41.03
Kadang-kadang 39 16.67Jarang Sekali 16 6.84Tidak pernah 0 0.00
Jumlah 234 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 3.1 di atas, nampak bahwa sebagian besar responden
menjawab ‘sering’, hal ini bisa berarti bahwa di setiap pusat biaya daerah operasi
PT. KAI telah memahami pentingnya perencanaan biaya sebagai upaya untuk
mewujudkan efektivitas penggunaan biaya.
Pada pusat pendapatan sebagian besar manajer pada pusat pendapatan
menjawab ‘selalu’ atas berbagai pertanyaan yang diajukan sebagaimana terlihat
pada Tabel 3.2.
16 9
HUBUNgAN StRUKtUR SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMENdAN PROSES SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMEN dENgAN KINERJA KEUANgAN PERUSAHAAN
PAdA Pt. KEREtA API INdONESIA (PERSERO)
Imas Purnamasari
35
Tabel 3-3 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pusat Laba
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel di atas,dapat diperoleh informasi mengenai karakteristik yang terjadi pada setiap pusat laba di masing-masing daerah operasi, yaitu ada upaya untuk memaksimalkan jumlah laba di setiap periodenya. Dalam perhitungan pendapatan telah menggunakan prinsip pemaduan (matching) atas jumlah pendapatan yang akan diterima dengan jumlah biaya yang akan dikeluarkan. Manajer pusat laba selalu mempertanggungjawabkan laba yang dihasilkan setiap periodenya.
Tabel 3-4 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pusat Investasi
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel tersebut, nampak sebagian besar responden menjawab ‘selalu’ atas pertanyaan yang diajukan. Ini berarti secara struktur dari sistem pengendalian manajemen setiap daerah operasi sudah baik. Selanjutnya berdasarkan tabel tersebut, diperoleh beberapa karakteristik dari pusat investasi yaitu telah ada upaya yang baik dalam mengelola investasi yang ditanamkan. Ada kesesuaian atas rencana dan realisasi atas investasi, dan sekaligus membuktikan adanya komitmen yang baik atas kegiatan investasi.
Tabel 3-2Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden Berdasarkan Dimensi Pusat Pendapatan
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 91 46.67Sering 87 44.62
Kadang – kadang 12 6.15Jarang Sekali 5 2.56Tidak pernah 0 0.00
Jumlah 195 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan jawaban setiap manajer pusat pendapatan dapat diketahui
bahwa di setiap daerah operasi telah memiliki perencanaan yang matang atas
estimasi pendapatan yang akan diperoleh dalam upaya untuk mencapai
maksimalisasi laba dengan melibatkan bagian pemasaran, dan telah dilakukan
dilakukan kontrol yang baik atas pendapatan yang diterima, dan nampak telah ada
upaya dalam menilai kinerja setiap manajer pusat pendapatan di setiap daerah
operasi.
Tabel 3-3Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pusat Laba
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 101 43.16Sering 106 45.30
Kadang – kadang 24 10.26Jarang Sekali 3 1.28Tidak pernah 0 0.00
Jumlah 234 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel di atas,dapat diperoleh informasi mengenai karakteristik
yang terjadi pada setiap pusat laba di masing-masing daerah operasi, yaitu ada
upaya untuk memaksimalkan jumlah laba di setiap periodenya. Dalam
perhitungan pendapatan telah menggunakan prinsip pemaduan (matching) atas
jumlah pendapatan yang akan diterima dengan jumlah biaya yang akan
dikeluarkan. Manajer pusat laba selalu mempertanggungjawabkan laba yang
dihasilkan setiap periodenya.
16 10
Tabel 3-4Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pusat Investasi
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 112 47.86Sering 99 42.31
Kadang – kadang 21 8.97Jarang Sekali 2 0.85Tidak pernah 0 0.00
Jumlah 234 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel tersebut, nampak sebagian besar responden menjawab
‘selalu’ atas pertanyaan yang diajukan. Ini berarti secara struktur dari sistem
pengendalian manajemen setiap daerah operasi sudah baik. Selanjutnya
berdasarkan tabel tersebut, diperoleh beberapa karakteristik dari pusat investasi
yaitu telah ada upaya yang baik dalam mengelola investasi yang ditanamkan. Ada
kesesuaian atas rencana dan realisasi atas investasi, dan sekaligus membuktikan
adanya komitmen yang baik atas kegiatan investasi.
3.2. Deskripsi tentang Proses Sistem Pengendalian Manajemen PT. KAI
Tabel 3-5 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pemograman
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 127 46.52Sering 112 41.03
Kadang – kadang 25 9.16Jarang Sekali 7 2.56Tidak pernah 2 0.73
Jumlah 273 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 3.5 terlihat sebagian besar responden menjawab
‘selalu’. Ini berarti berdasarkan dimensi pemograman terkait dengan proses sistem
pengendalian manajemen telah berjalan dengan baik.
16 11
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 27 - 43
36
3.2. Deskripsi tentang Proses Sistem Pengendalian Manajemen PT. KAI
Tabel 3-5 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pemograman
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 3.5 terlihat sebagian besar responden menjawab ‘selalu’. Ini berarti berdasarkan dimensi pemograman terkait dengan proses sistem pengendalian manajemen telah berjalan dengan baik.
Tabel 3-6 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Penganggaran
Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 3.6 terlihat sebagian besar responden menjawab ‘sering’.Hal ini menandakan aspek penganggaran dalam proses pengendalian manajemen sudah dilakukan dengan baik. Ini berarti telah ada upaya yang baik dari manajemen dalam upaya untuk melakukan proses pengendalian atas kegiatan, orang, dan sumber daya yang dibutuhkan.
Tabel 3-4Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pusat Investasi
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 112 47.86Sering 99 42.31
Kadang – kadang 21 8.97Jarang Sekali 2 0.85Tidak pernah 0 0.00
Jumlah 234 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan tabel tersebut, nampak sebagian besar responden menjawab
‘selalu’ atas pertanyaan yang diajukan. Ini berarti secara struktur dari sistem
pengendalian manajemen setiap daerah operasi sudah baik. Selanjutnya
berdasarkan tabel tersebut, diperoleh beberapa karakteristik dari pusat investasi
yaitu telah ada upaya yang baik dalam mengelola investasi yang ditanamkan. Ada
kesesuaian atas rencana dan realisasi atas investasi, dan sekaligus membuktikan
adanya komitmen yang baik atas kegiatan investasi.
3.2. Deskripsi tentang Proses Sistem Pengendalian Manajemen PT. KAI
Tabel 3-5 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pemograman
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 127 46.52Sering 112 41.03
Kadang – kadang 25 9.16Jarang Sekali 7 2.56Tidak pernah 2 0.73
Jumlah 273 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 3.5 terlihat sebagian besar responden menjawab
‘selalu’. Ini berarti berdasarkan dimensi pemograman terkait dengan proses sistem
pengendalian manajemen telah berjalan dengan baik.
16 11
Tabel 3-6Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Penganggaran
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 140 44.87Sering 148 47.44
Kadang – kadang 17 5.45Jarang Sekali 6 1.92Tidak pernah 1 0.32
Jumlah 312 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 3.6 terlihat sebagian besar responden menjawab
‘sering’.Hal ini menandakan aspek penganggaran dalam proses pengendalian
manajemen sudah dilakukan dengan baik. Ini berarti telah ada upaya yang baik
dari manajemen dalam upaya untuk melakukan proses pengendalian atas kegiatan,
orang, dan sumber daya yang dibutuhkan.
Tabel 3-7Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden Berdasarkan Dimensi
Pelaksanaan dan Pengukuran
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 0 0.00Sering 0 0.00
Kadang – kadang 91 38.89Jarang Sekali 106 45.30Tidak pernah 37 15.81
Jumlah 234 100.00
Tabel 3.7 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menjawab
‘jarang sekali’. Ini berarti dalam hal pelaksanaan dan pengukuran proses
pengendalian manajemen belum optimal.
Tabel 3-8Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Analisis dan Pelaporan
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 0 0.00Sering 0 0.00
Kadang – kadang 103 44.02
16 12
HUBUNgAN StRUKtUR SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMENdAN PROSES SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMEN dENgAN KINERJA KEUANgAN PERUSAHAAN
PAdA Pt. KEREtA API INdONESIA (PERSERO)
Imas Purnamasari
37
Tabel 3-7 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Pelaksanaan dan Pengukuran
Tabel 3.7 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menjawab ‘jarang sekali’. Ini berarti dalam hal pelaksanaan dan pengukuran proses pengendalian manajemen belum optimal.
Tabel 3-8 Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Analisis dan Pelaporan
Sumber: Hasil pengolahan data
Tabel 3.8 menunjukkan sebagian besar responden menjawab ‘jarang sekali”. Hal ini mengindikasikan kegiatan analisis dan pelaporan yang merupakan bagian dari proses pengendalian manajemen belum optimal.
3.3. Deskripsi tentang Kinerja Keuangan Daerah Operasi PT. KAI Kinerja keuangan merupakan gambaran secara menyeluruh tentang pengelolaan
perusahaan dalam suatu periode. Kinerja keuangan yang makin baik dan cenderung meningkat menggambarkan manajemen telah berhasil dalam mengelola perusahaan melalui pemanfaatan berbagai sumber daya yang diberikan oleh pemilik perusahaan. Gambar 3.1 memperlihatkan kinerja keuangan perusahaan setiap daerah operasi ditinjau dari ROI yang diperoleh dalam tahun 2006.
Tabel 3-6Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Penganggaran
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 140 44.87Sering 148 47.44
Kadang – kadang 17 5.45Jarang Sekali 6 1.92Tidak pernah 1 0.32
Jumlah 312 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 3.6 terlihat sebagian besar responden menjawab
‘sering’.Hal ini menandakan aspek penganggaran dalam proses pengendalian
manajemen sudah dilakukan dengan baik. Ini berarti telah ada upaya yang baik
dari manajemen dalam upaya untuk melakukan proses pengendalian atas kegiatan,
orang, dan sumber daya yang dibutuhkan.
Tabel 3-7Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden Berdasarkan Dimensi
Pelaksanaan dan Pengukuran
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 0 0.00Sering 0 0.00
Kadang – kadang 91 38.89Jarang Sekali 106 45.30Tidak pernah 37 15.81
Jumlah 234 100.00
Tabel 3.7 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden menjawab
‘jarang sekali’. Ini berarti dalam hal pelaksanaan dan pengukuran proses
pengendalian manajemen belum optimal.
Tabel 3-8Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Analisis dan Pelaporan
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 0 0.00Sering 0 0.00
Kadang – kadang 103 44.02
16 12
Tabel 3-6Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Penganggaran
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 140 44.87Sering 148 47.44
Kadang – kadang 17 5.45Jarang Sekali 6 1.92Tidak pernah 1 0.32
Jumlah 312 100.00Sumber: Hasil pengolahan data
Berdasarkan Tabel 3.6 terlihat sebagian besar responden menjawab
‘sering’.Hal ini menandakan aspek penganggaran dalam proses pengendalian
manajemen sudah dilakukan dengan baik. Ini berarti telah ada upaya yang baik
dari manajemen dalam upaya untuk melakukan proses pengendalian atas kegiatan,
orang, dan sumber daya yang dibutuhkan.
Tabel 3-7Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden Berdasarkan Dimensi
Pelaksanaan dan Pengukuran
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 0 0.00Sering 0 0.00
Kadang – kadang 91 38.89Jarang Sekali 106 45.30Tidak pernah 37 15.81
Jumlah 234 100.00
Tabel 3-8Perhitungan Skor Jawaban 39 Responden
Berdasarkan Dimensi Analisis dan Pelaporan
Pernyataan Jumlah Skor PersentaseSelalu 0 0.00Sering 0 0.00
Kadang – kadang 103 44.02Jarang Sekali 117 50.00Tidak pernah 14 5.98
Jumlah 234 100.00 Sumber: Hasil pengolahan data
16 12
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 27 - 43
38
Gambar 3.1.ROI setiap Daerah Operasi Tahun 2006
0.68
-0.38-0.55
-0.30
0.13 0.17
-0.18-0.05
-2.66
0.05
-0.43 -0.53
0.69
-3.00
-2.50
-2.00
-1.50
-1.00
-0.50
0.00
0.50
1.00
1
RO
I
DAOP 1DAOP 2DAOP 3DAOP 4DAOP 5DAOP 6DAOP 7DAOP 8DAOP 9DAOP 10DAOP 11DAOP 12DAOP 13
(Sumber: Hasil pengolahan data)
Berdasarkan gambar tersebut, nampak dari 13 daerah operasi terdapat 8 daerah operasi memperoleh ROI negatif. Ini menunjukkan rata-rata pengelolaan atas sejumlah investasi yang ditanamkan di setiap daerah operasi masih belum dapat dikelola secara efektif dan efisien, dan menunjukkan kinerja manajemen yang kurang baik.
3.4. Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menguji hubungan variabel
struktur sistem pengendalian manajemen (X1) dan proses sistem pengendalian manajemen (X2) terhadap variabel kinerja keuangan di PT. KAI. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui nilai X2 sebesar 24,154, sedangkan nilai X2 tabel dengan tingkat kesalahan alpha 5% dengan k = 3 adalah 5,991. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan pengujian hipotesis bahwa H0 ditolak sebab X2 hitung > X2 tabel, artinya hipotesis “Struktur Sistem Pengendalian Manajemen dan Proses Sistem Pengendalian Manajemen Secara Simultan Memiliki Hubungan Positif dengan Kinerja Keuangan Perusahaan”, dapat diterima.
Selanjutnya secara individu, pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan nilai Z. Untuk memperoleh nilai Z terlebih dahulu dihitung koefisien korelasi Kendall Tau. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil nilai koefisien korelasi variabel struktur pengendalian manajemen dan proses pengendalian manajemen terhadap kinerja keuangan masing – masing sebesar 0,588 dan 0,693.
Selanjutnya berdasarkan nilai korelasi yang diperoleh, nilai z-score untuk masing – masing variabel dihitung sebagai berikut:
3.4. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menguji
hubungan variabel struktur sistem pengendalian manajemen (X1) dan proses
sistem pengendalian manajemen (X2) terhadap variabel kinerja keuangan di PT.
KAI. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui nilai X2 sebesar 24,154, sedangkan
nilai X2 tabel dengan tingkat kesalahan alpha 5% dengan k = 3 adalah 5,991.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan pengujian hipotesis bahwa H0 ditolak
sebab X2 hitung > X2 tabel, artinya hipotesis “Struktur Sistem Pengendalian
Manajemen dan Proses Sistem Pengendalian Manajemen Secara Simultan
Memiliki Hubungan Positif dengan Kinerja Keuangan Perusahaan”, dapat
diterima.
Selanjutnya secara individu, pengujian hipotesis dilakukan dengan
menggunakan nilai Z. Untuk memperoleh nilai Z terlebih dahulu dihitung
koefisien korelasi Kendall Tau. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh hasil
nilai koefisien korelasi variabel struktur pengendalian manajemen dan proses
pengendalian manajemen terhadap kinerja keuangan masing – masing sebesar
0,588 dan 0,693.
Selanjutnya berdasarkan nilai korelasi yang diperoleh, nilai z-score untuk
masing – masing variabel dihitung sebagai berikut:
)1(9)52(2
ˆ)var(
ˆ
++
==
nnn
Z ττ
τ
287,4157,0673,0
)119(199)5)192((2
673,01 ==
++
=
xx
Z
Dengan cara yang sama diperoleh nilai Z2 sebesar 4,809. Sementara itu nilai
Z-tabel berdasarkan tingkat kesalahan alpha ( ) 5% sebesar 1,960. Hasil
perbandingan antara nilai Z1 dan Z2 dengan Z tabel nampak nilai Z1, Z2 > Z
tabel. Dengan demikian diperoleh informasi hipotesis nol (H0) ditolak, artinya
16 14
HUBUNgAN StRUKtUR SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMENdAN PROSES SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMEN dENgAN KINERJA KEUANgAN PERUSAHAAN
PAdA Pt. KEREtA API INdONESIA (PERSERO)
Imas Purnamasari
39
Dengan cara yang sama diperoleh nilai Z2 sebesar 4,809. Sementara itu nilai Z-tabel berdasarkan tingkat kesalahan alpha () 5% sebesar 1,960. Hasil perbandingan antara nilai Z1 dan Z2 dengan Z tabel nampak nilai Z1, Z2 > Z tabel. Dengan demikian diperoleh informasi hipotesis nol (H0) ditolak, artinya terdapat hubungan positif antara variabel struktur pengendalian manajemen, proses pengendalian manajemen terhadap kinerja keuangan.
3.5. Hubungan Secara Simultan antara Struktur dan Proses Pengendalian Manajemen dengan Kinerja Keuangan
Hasil pengujian hipotesis diperoleh hasil bahwa secara simultan variabel struktur dan proses sistem pengendalian manajemen memiliki hubungan positif dengan kinerja keuangan perusahaan dengan nilai korelasi sebesar 0,929 artinya memiliki hubungan yang sangat kuat. Dengan demikian perubahan dalam variabel kinerja keuangan yang disebabkan oleh variabel struktur dan proses pengendalian manajemen secara bersama-sama sebesar 86,30%.
Menurut Mulyadi (2001:6) struktur dan proses merupakan dua hal yang membangun sistem pengendalian manajemen. Sistem pengendalian manajemen menyediakan struktur yang memungkinkan proses perencanaan dan implementasi rencana dapat dijalankan. Sistem pengendalian manajemen juga menyediakan berbagai sistem untuk melaksanakan proses perencanaan dan implementasi rencana. Melalui sistem pengendalian manajemen, keseluruhan kegiatan utama untuk menjadikan perusahaan sebagai institusi pencipta kekayaan dapat dilaksanakan secara terstruktur, terkoordinasi, terjadwal, dan terpadu, sehingga menjanjikan tercapainya tujuan perusahaan dan bertambahnya kekayaan dalam jumlah yang memadai.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagai sistem, struktur dan proses sistem pengendalian manajemen keduanya saling berinteraksi, dimana ketercapaian tujuan organisasi untuk menciptakan kekayaan sangat ditentukan oleh keduanya.
3.6. Hubungan Struktur Pengendalian Manajemen dengan Kinerja Keuangan Berdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh informasi bahwa struktur pengendalian
manajemen memiliki hubungan yang kuat dengan kinerja keuangan. Selanjutnya dari nilai koefisien korelasi yang diperoleh dapat diketahui keberagaman variabel kinerja keuangan setiap daerah operasi di PT. KAI melalui nilai ROI ditentukan oleh struktur pengendalian manajemen sebesar 34,57% (0,5882 x 100%). Hal ini mengindikasikan kinerja keuangan setiap periode salah satunya ditentukan oleh struktur pengendalian manajemen.
Struktur pengendalian manajemen menggambarkan garis dan tanggung jawab mengenai pengelolaan perusahaan. Secara teoritis struktur pengendalian manajemen yang baik adalah struktur pengendalian yang menggambarkan secara jelas peran dan tanggung jawab sebuah organisasi. Bila melihat struktur organisasi di PT. KAI hal-hal tersebut sudah terlihat dengan baik dimana struktur organisasi yang ada menggambarkan kejelasan fungsi, pembagian tugas atas keempat pusat pertanggungjawaban yaitu pusat biaya, pusat pendapatan, pusat laba, dan pusat investasi.
Struktur yang tepat atas struktur pengendalian manajemen sebuah perusahaan, pada akhirnya akan berkontribusi pada capaian kinerja keuangan. Hal ini disebabkan dalam struktur pengendalian manajemen terdiri dari empat pusat pertanggungjawaban yaitu pusat biaya, pusat
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 27 - 43
40
pendapatan, pusat laba, dan pusat investasi. Secara jelas Suadi (1995:10) menjelaskan pusat biaya merupakan pusat tanggung jawab dimana input diukur, sedangkan output tidak diukur dengan satuan uang. Dengan demikian dalam pusat biaya dapat terlihat secara jelas efektivitas dan efisiensi pengelolaan dana. Bila biaya dapat diperlakukan secara efektif dan efisien, maka akan turut berkontribusi pada jumlah laba yang diperoleh.
Selain pusat biaya, terdapat pusat pendapatan dimana yang menjadi tanggung jawab utama manajer pusat pendapatan adalah memaksimalkan pendapatan. Maksimalisasi pendapatan merupakan bentuk seberapa efektif manajemen menggunakan sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan laba bagi perusahaan. Bila pendapatan yang diperoleh setiap periodenya dapat dioptimalkan maka hal ini akan berkontribusi terhadap perolehan laba begitu juga terhadap ROI.
Pusat laba bertanggung jawab terhadap upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka memperoleh laba yang optimal. Dengan demikian terjadinya peningkatan atau penurunan laba secara langsung turut berkontribusi pada nilai ROI.
Pusat investasi menggambarkan tanggung jawab manajer investasi dalam upaya pemanfaatan investasi yang ditanamkan dalam upaya menghasilkan laba secara optimal. Bila investasi yang ditanamkan dapat dimanfaatkan sebaik – baiknya, sudah pasti akan berkontribusi pada jumlah laba dan ROI yang akan diperoleh. Bila melihat kondisi yang terjadi di setiap daerah operasi mengenai keempat pusat pertanggungjawaban tersebut, dapat disimpulkan secara struktur masalah pengendalian manajemen tidak terlalu begitu lemah, artinya secara empirik manajemen di PT. KAI dilihat dari strukturnya sudah memadai dan seharusnya menjadi katalisator pencapaian laba yang optimal.
3.7. Hubungan Proses Pengendalian Manajemen dengan Kinerja KeuanganBerdasarkan hasil pengujian hipotesis diperoleh informasi bahwa proses pengendalian
manajemen memiliki hubungan yang kuat dengan kinerja keuangan. Selanjutnya dari nilai koefisien korelasi yang diperoleh dapat diketahui keberagaman variabel kinerja keuangan setiap daerah operasi di PT. KAI melalui nilai ROI ditentukan oleh proses pengendalian manajemen sebesar 48,02% (0,6932 x 100%). Hal ini mengindikasikan kinerja keuangan setiap periode salah satunya ditentukan oleh proses pengendalian manajemen.
Proses sistem pengendalian manajemen merupakan langkah yang diambil oleh organisasi untuk mengalokasikan sumber daya dan tujuan organisasi yang terdiri dari pemograman (programming), penganggaran (budgeting), pelaksanaan dan pengukuran (operating and measurement), dan analisa serta pelaporan (reporting and analyzing). Pemograman diartikan sebagai proses penyusunan program organisasi yang akan dilaksanakan dan menetapkan jumlah sumber daya yang dialokasikan kepada masing-masing program tersebut. Dengan demikian pemograman yang tepat akan berdampak pada pengelolaan sumber daya perusahaan secara efektif dan efisien. Efektivitas dan efisiensi perusahaan yang baik menunjukkan perolehan laba secara optimal yang juga berarti ROI dapat diperoleh secara optimal. Sesuai dengan hasil penelitian atas sejumlah responden, pemograman yang dilakukan setiap daerah operasi di PT. KAI sudah baik.
HUBUNgAN StRUKtUR SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMENdAN PROSES SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMEN dENgAN KINERJA KEUANgAN PERUSAHAAN
PAdA Pt. KEREtA API INdONESIA (PERSERO)
Imas Purnamasari
41
Hal kedua dalam proses pengendalian manajemen yaitu penganggaran. Anthony and Recce (1999:859) menyampaikan bahwa penyusunan anggaran merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengintegrasian program-program yang sebelumnya bersifat individual ke dalam pusat-pusat pertanggungjawaban. Produk akhir dari proses ini adalah sejumlah biaya, pendapatan, laba, dan penghasilan yang diharapkan dapat direalisasikan dalam satu periode anggaran. Dengan demikian bila proses penganggaran berlangsung baik, maka penafsiran tentang biaya pendapatan, laba, dan penghasilan yang diharapkan dapat tercapai dengan baik.
Setelah penetapan program dan penganggaran, tahapan selanjutnya adalah pelaksanaan dan pengukuran. Pelaksanaan merupakan implementasi antara rencana dalam bentuk kegiatan maupun biaya. Bila manajemen menginginkan ada kesesuaian antara rencana dengan realisasi, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah konsistensi pelaksanaan dengan rencana baik program maupun penganggaran. Artinya kedua hal tersebut harus dapat dipedomani dalam melaksanakan kegiatan, bila tidak maka akan terjadi penyimpangan. Sementara itu pengukuran berhubungan dengan penilaian dan pengendalian kegiatan berdasarkan program dan anggaran yang ditetapkan. Terkait dengan pelaksanaan dan pengukuran di setiap daerah operasi PT.KAI, hasil jawaban responden menyatakan bahwa kegiatan pelaksanaan dan pengukuran belum optimal, bisa jadi hal ini yang menyebabkan ketercapaian ROI pada periode tersebut sebagian besar adalah negatif. Atau dengan kata lain diperolehnya ROI negatif merupakan cerminan ada pelaksanaan yang menyimpang dari seharusnya.
Hal terakhir dalam proses pengendalian manajemen adalah analisa dan pelaporan. Hasil jawaban responden mengenai hal ini adalah ‘jarang sekali’. Ini berarti kegiatan yang berhubungan dengan proses analisa dan pelaporan belum terlaksana dengan baik. Kegiatan analisis dan pelaporan terkait dengan berbagai evaluasi atas kegiatan selama berlangsung maupun akhir kegiatan. Apabila hal ini tidak berjalan maka kedua kegiatan sebelumnya berupa pemograman, penganggaran di tahun mendatang menjadi tidak sesuai relevan sebab kegiatan ini merupakan kegiatan untuk menilai kemajuan ketiga kegiatan sebelumnya.
4. Simpulan dan Rekomendasi4.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan seperti yang diuraikan di atas maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:1. Berdasarkan hasil analisa atas jawaban responden, struktur pengendalian manajemen
setiap daerah operasi PT. KAI telah memadai, akan tetapi proses pengendalian manajemen dikatakan belum memadai hal ini disebabkan terdapat aspek pelaksanaan dan pengukuran serta analisa dan pelaporan yang belum berjalan sebagaimana mestinya. Ini berarti masih terdapat kelemahan sistem pengendalian manajemen terutama dalam hal proses pengendalian manajemen.
2. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, diperoleh informasi secara simultan variabel struktur dan proses pengendalian manajemen memiliki hubungan positif dengan kinerja keuangan. Dengan demikian perubahan kinerja keuangan disebabkan oleh kedua variabel tersebut secara bersama-sama.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 27 - 43
42
3. Berdasarkan hasil perhitungan statistik, diperoleh informasi variabel struktur pengendalian manajemen memiliki hubungan yang kuat dengan kinerja keuangan. Dengan demikian perubahan kinerja keuangan setidaknya ditentukan oleh struktur pengendalian manajemen.
4. Selain variabel struktur pengendalian manajemen, hasil perhitungan statistik juga menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara proses pengendalian manajemen dengan kinerja keuangan. Dengan demikian proses pengendalian manajemen merupakan variabel yang menyebabkan perubahan dalam kinerja keuangan.
4.2. RekomendasiBerdasarkan kesimpulan, hasil penelitian dan pembahasan maka dapat uraikan
rekomendasi sebagai berikut:1. Adanya temuan mengenai proses pengendalian manajemen yang berhubungan dengan
pelaksanaan dan pengukuran serta analisa dan pelaporan, maka sebaiknya manajemen PT. KAI segera mengambil langkah – langkah stratejik untuk memperbaiki hal tersebut, dengan cara mengaktifkan peran pimpinan puncak untuk lebih berperan aktif pada level manajemen menengah dan bawah sebagai pelaksana kebijakan manajemen puncak.
2. Adanya temuan hubungan yang kuat antara variabel struktur pengendalian manajemen dengan kinerja keuangan, maka sebaiknya pimpinan manajemen puncak, menengah, dan atas untuk senantiasa melakukan koordinasi antar pimpinan sebab secara struktural dalam lingkungan sistem pengendalian manajemen, keempat pusat pertanggungjawaban tersebut dalam pelaksanaannya saling melengkapi dan dapat berjalan dengan baik bila ada kesepahaman diantara pusat pertanggung jawaban tersebut dalam upaya mencapai ROI secara lebih baik.
3. Adanya temuan hubungan yang kuat antara variabel proses pengendalian manajemen dengan kinerja keuangan, dan hasil analisis atas aspek pelaksanaan dan pengukuran serta analisa dan pelaporan yang belum berjalan sebagaimana mestinya, maka sebaiknya manajemen PT. KAI segera memperbaiki hal tersebut dengan cara mengoptimalkan peran manajer dari berbagai level untuk saling mengawasi dan mengingatkan satu sama lainnya sebagai kontrol dalam pelaksanaan aspek tersebut secara lebih baik, dan bila hal tersebut belum teratasi dapat dilakukan rotasi jabatan.
4. Bagi peneliti selanjutnya, dapat dilakukan penelitian serupa dengan memasukkan unsur keputusan manajerial sebagai variabel akibat setelah adanya struktur dan proses sistem pengendalian yang diterapkan di perusahaan.
HUBUNgAN StRUKtUR SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMENdAN PROSES SIStEM PENgENdALIAN MANAJEMEN dENgAN KINERJA KEUANgAN PERUSAHAAN
PAdA Pt. KEREtA API INdONESIA (PERSERO)
Imas Purnamasari
43
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, Robert N., and Dearden, John, and Bedford, Norton M. (1992). Sistem Pengendalian Manajemen (Management Control System). Jakarta Erlangga.
Anthony, Robert N., and Govindarajan. J. (1995). Management Control System. Prentice Hall inc, New Delhi India.
Charles T. Horngren. (1984). Introduction to Management Accounting. New Jersey Prentice-Hall Inc. Englewood Clifts
Frans Seda. (2002). Krisis Moneter Indonesia. In Jurnal Ekonomi Rakyat. Tersedia di http://www.ekonomirakyat.org
Harun Al Rasyid. (1997). Statistika Sosial. Modul Bahan Kuliah pasa PPS UNPAD, Bandung.
Hendry Simamora. (2000). Akuntansi – Basis Pengambilan Keputusan Bisnis. Jakarta, Salemba Empat.
Husein Umar. (1999). Metodologi Penelitian Aplikasi dalam Pemasaran. Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Maciariello A., Joseph and Kirby J. Calvin. (1994). Management Control Systems. Prentice Hall inc., Englewood, New Jersey.
Mamduh M. Hanafi dan Abdul Halim. (2003). Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta : UPP AMP YKPN
Mulyadi dan Johny Setiawan, (2001). Sistem Perencanaan dan PengendalianManajemen, Jakarta, Salemba Empat.
Mulyadi. (1993). Akuntansi Manajemen. Yogjakarta, STIE YKPN. Munawir. (1993). Analisis Laporan Keuangan. Yogyakarta, BPFE.
Sugiyono. (2004). Metode Penelitian Bisnis. Bandung, Alfabeta.
Supriyono. (1992). Akuntansi Manajemen I – II. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi, Yogyakarta, UGM.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 44 - 55
44
FUNGSI DAN PERAN BISNIS RITEL DALAMSALURAN PEMASARAN
The Function and the Role of Retail Business in Marketing Line
Tri Joko Utomo *)
Abstract
Product that be produced must be sold to consumer or end user so that producer gets a financial profit. Producer leads their product to consumer use marketing line. Marketing line usually involves the other side: producer, middlemen, and end consumer or industrial user. There are many kinds of middlemen that can be used by producer to lead their product, one of them is retailer or retail business.
Retail business can be classified based on measurement, possession, operational, etc. Even though marketing line can be classified in several levels according to the amount of the middlemen.
Retail business has function as middlemen in marketing line and the function in information, promotion, negotiation, order, expenditure, risk taker, physical possession, payment and proprietary right. Retail business’s role in marketing line for producer snatch at product, fund, advertising and promotion, consumer, and competitor.
Key words: Retail Business, Marketing Line
Abstraksi
Produk yang telah dihasilkan harus terjual kepada konsumen atau pemakai akhir agar produsen mendapatkan keuntungan finansial. Produsen menyalurkan produknya sampai ke konsumen menggunakan saluran pemasaran. Saluran pemasarn biasanya melibatkan pihak-pihak: produsen, perantara, dan konsumen akhir atau pemakai industri. Terdapat banyak macam perantara yang dapat digunakan produsen untuk menyalurkan produknya, salah satunya adalah pengecer (retailer) atau usaha eceran (bisnis ritel).
Bisnis ritel atau perdagangan eceran dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran, kepemilikan, operasional, dan sebagainya. Sedangkan saluran pemasaran dapat dibagi dalam beberapa tingkatan sesuai banyak sedikitnya perantara.
Bisnis ritel mempunyai fungsi sebagai perantara dalam saluran pemasaran dan fungsi-fungsi dalam hal informasi, promosi, negosiasi, pemesanan, pembiayaan, pengambilan risiko,
*) Dosen STIE Pelita Nusantara Semarang
FUNgSI dAN PERAN BISNIS RItEL dALAM SALURAN PEMASARANtHE FUNctION ANd tHE ROLE OF REtAIL BUSINESS IN MARKEtINg LINE
Tri Joko Utomo
45
pemilikan fisik, pembayaran dan hak milik. Peran bisnis ritel dalam saluran pemasaran bagi produsen mencakup pada produk, pendanaan, iklan dan promosi, konsumen, dan pesaing.
Kata kunci: Bisnis Ritel, Saluran Pemasaran
1. PendahuluanSuatu perusahaan, dengan segala macam bentuk institusi bisnis, didirikan dengan tujuan
utama untuk mendapatkan keuntungan finansial (profit oriented). Dengan demikian produk yang telah dihasilkan harus terjual kepada konsumen atau pemakai akhir. Perusahaan tidak mungkin memperoleh pendapatan finansial untuk menjaga keberlangsungan usahanya bila produk yang telah dihasilkan tidak terserap oleh pasar.
Pemasaran membawa konsekuensi bahwa produsen harus menyalurkan produknya agar sampai ke tangan konsumen. Basu Swastha (2002:200) menjelaskan, setelah barang selesai dibuat dan siap untuk dipasarkan, tahap berikutnya dalam proses pemasaran adalah menentukan metoda dan rule yang akan dipakai untuk menyalurkan barang tersebut ke pasar.
Saluran pemasaran biasanya melibatkan pihak-pihak: produsen, perantara, dan konsumen akhir atau pemakai industri. Namun, bisa saja produsen mempunyai pertimbangan tertentu untuk tidak menggunakan perantara dalam saluran pemasaran. Artinya, produsen berupaya menyalurkan sendiri produknya hingga sampai ke tangan konsumen. Disini produsen akan mendapatkan keuntungan optimal walaupun harus diimbangi dengan penyiapan sumber daya yang sangat besar.
Terdapat banyak macam perantara yang dapat digunakan produsen untuk menyalurkan produknya, salah satunya adalah pengecer (retailer) atau usaha eceran (bisnis ritel). Posisi usaha eceran menjadi semakin penting karena paling dekat dengan konsumen akhir. Kondisi ini bahkan kadang-kadang menempatkan bisnis ritel lebih penting daripada produsen sebagai penghasil suatu produk.
Prospek yang cerah dalam bisnis ritel di Indonesia ditunjukkan oleh pertumbuhan pangsa pasar ritel, dimana salah satu penyebabnya adalah perkembangan demografi atau peningkatan jumlah penduduk. Indikasi yang lain adalah semakin agresifnya bisnis ritel modern, terutama peritel asing, memperluas jaringan usahanya dengan memperbanyak gerainya, misalnya seperti yang dilakukan Carrefour, Makro, Giant, dan lain-lain. Hal ini terjadi juga pada ritel modern dalam ukuran minimarket, seperti Indomaret dan Alfamart.
Perkembangan dan uraian mengenai bisnis ritel diatas akhirnya memunculkan pertanyaan: apa fungsi dan peran bisnis ritel dalam saluran pemasaran? Pembahasan mengenai hal tersebut tentunya harus diawali dengan pemahaman yang pasti mengenai bisnis ritel dan saluran pemasaran.
2. Pembahasan2.1. Bisnis Ritel2.1.1. Definisi dan Pengertian Bisnis Ritel
Bisnis ritel merupakan istilah yang kini lebih populer dibanding kata dengan pengertian yang sama yaitu perdagangan eceran, usaha eceran, atau perdagangan ritel. Dengan demikian pemakaian kata-kata tersebut dapat saling menggantikan satu dengan yang lain.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 44 - 55
46
Kotler (1997:170) mendefinisikan usaha eceran (retailing) meliputi semua kegiatan yang terlibat dalam penjualan barang atau jasa secara langsung ke konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis. Yang dimaksud pribadi disini bukan hanya satu orang pembeli itu saja, tetapi juga mencakup orang-orang terdekatnya yang ikut menikmati sesuatu yang dibelinya. Sebagaimana Berman & Evans (1992, dalam Asep ST Sujana, 2005:11-12) mendefinisikan kata retail dalam kaitannya dengan retail management sebagai ”those business activities involved in the sale of goods and services to consumers for their personal, family, or household use” atau keseluruhan aktivitas bisnis yang menyangkut penjualan barang dan jasa kepada konsumen untuk digunakan oleh mereka sendiri, keluarga, atau rumah tangganya.
Pelaku perdagangan eceran atau perusahaan perdagangan eceran disebut pengecer atau peritel. Seperti dinyatakan Kotler (1997:140) bahwa pengecer (retailer) adalah perusahaan bisnis yang menjual barang atau jasa langsung kepada konsumen akhir untuk keperluan pribadi, bukan usaha, konsumen itu.
Pembeli ritel atau eceran dalam kenyataannya tidak selalu hanya konsumen akhir, tetapi juga dari pasar bisnis yang melakukan pembelian untuk diolah atau dipasarkan kembali. Sesuai pendapat Basu Swastha (2002:205), perdagangan eceran ini meliputi semua kegiatan yang berhubungan secara langsung dengan penjualan barang atau jasa kepada konsumen akhir untuk keperluan pribadi (bukan untuk keperluan bisnis). Namun demikian tidak menutup kemungkinan adanya penjualan secara langsung dengan para pemakai industri karena tidak semua barang industri selalu dibeli dalam jumlah besar.
Namun, batasan untuk dapat disebut sebagai pengecer tentu saja porsi terbesar usahanya tetap pada penjualan kepada konsumen akhir, bukan bisnis. Kotler walaupun mendefinisikan usaha eceran meliputi penjualan ke konsumen akhir untuk penggunaan pribadi dan bukan bisnis, tetapi masih memberi peluang pembelian dari pasar bisnis. Hal ini nampak pada definisi Kotler (1997:170) bahwa Pengecer atau Toko Eceran adalah usaha bisnis yang volume penjualannya terutama berasal dari penjualan eceran. Kata ’terutama’ menunjukkan volume penjualannya bisa berasal dari selain penjualan eceran, dengan kata lain bisa berasal dari pembelian bisnis.
Batasan volume penjualan kepada pasar bisnis agar perusahaan tetap dapat disebut peritel tidak ada ketentuan yang baku. Tetapi tidak lebih dari separoh total penjualan bila mengacu pada Davidson (1988, dalam Asep ST Sujana, 2005:12) yang memberikan gambaran tentang bisnis retail sebagai ”business establishment that derives over 50% of its total sales volume to ultimate consumers whose motive of purchase is for personal or family use” atau suatu institusi atau kegiatan bisnis yang lebih dari 50% dari total penjualannya merupakan penjualan kepada konsumen akhir yang motivasi berbelanjanya adalah untuk kepentingan pribadi atau keluarganya.
Dengan demikian dari berbagai definisi dan pengertian diatas dapat disarikan bahwa definisi bisnis ritel adalah keseluruhan aktivitas bisnis yang menyangkut penjualan barang atau jasa, atau barang dan jasa, yang dilakukan oleh perusahaan atau institusi bisnis secara langsung kepada konsumen akhir yang digunakan untuk keperluan pribadi, keluarga, atau rumah tangganya, dengan volume penjualan terutama atau lebih dari 50% dari konsumen akhir ini dan sebagian kecil dari pasar bisnis.
FUNgSI dAN PERAN BISNIS RItEL dALAM SALURAN PEMASARANtHE FUNctION ANd tHE ROLE OF REtAIL BUSINESS IN MARKEtINg LINE
Tri Joko Utomo
47
2.1.2. Klasifikasi dan Jenis-jenis Bisnis RitelBisnis ritel atau perdagangan eceran dapat diperinci dalam beberapa klasifikasi
berdasarkan ukuran, kepemilikan, operasional, dan sebagainya. Klasifikasi yang relatif mudah adalah membagi bisnis ritel menjadi dua kelompok besar, yaitu perdagangan eceran besar dan perdagangan eceran kecil. Termasuk dalam ritel besar adalah specialty store, department store, supermarket, discount house, hypermarket, general store dan chain store. Ritel kecil terbagi menjadi perdagangan eceran berpangkalan dan perdagangan eceran tidak berpangkalan. Perdagangan eceran berpangkalan kemudian dibagi lagi menjadi berpangkalan tetap (misalnya kios, depot, warung), berpangkalan tidak tetap (misalnya pedagang kaki lima, pasar sore), dan, pakai alat (roda dorong, pedati, alat pikul) (Sopiah dan Syihabudhin, 2008:38).
Kotler (1997:171-175) membagi perdagangan eceran menjadi pengecer toko (store retailing), penjualan eceran tanpa toko (nonstore retailing), dan berbagai organisasi eceran (retail organizations).
1. Pengecer Toko (Store Retailing), jenis-jenisnya adalah:- Toko Khusus (Specialty Stores), yaitu toko yang menjual lini produk yang sempit
dengan ragam yang lebih banyak dalam lini tersebut. Contoh: toko pakaian, toko alat-alat olahraga, toko buku, dan sebagainya.
- Toko Serba Ada (Deparment Stores), yaitu toko yang menjual berbagai lini produk dan tiap lini beroperasi sebagai suatu departemen tersendiri yang dikelola oleh pembeli atau pedagang khusus.
- Pasar Swalayan (Supermarkets), yaitu toko dengan operasi yang relatif besar, berbiaya rendah, margin rendah, volume tinggi, swalayan, dirancang untuk melayani semua kebutuhan konsumen.
- Toko Kelontong (Convenient Stores), yaitu toko yang relatif kecil dan terletak di daerah permukiman, memiliki jam buka yang panjang selama tujuh hari dalam seminggu, dan menjual lini produk convenience yang terbatas dan tingkat perputaran tinggi.
- Toko Diskon (Discount Stores), yaitu toko yang menjual barang-barang standar dengan harga lebih murah karena mengambil margin yang lebih rendah dan menjual dengan volume yang lebih tinggi.
- Pengecer Potongan Harga (Off-price Retailers), yaitu toko yang membeli pada harga yang lebih rendah daripada harga grosir dan menetapkan harga pada konsumen lebih rendah daripada harga eceran. Ada tiga jenis pengecer potongan harga:• Toko Pabrik (Factory Outlets), yaitu toko yang dimiliki dan dioperasikan oleh
produsen dan biasanya menjual barang berlebih, tidak diproduksi lagi, atau tidak reguler.
• Pengecer Potongan Harga Independen (Independent Off-price Retailers), yaitu toko yang dimiliki dan dijalankan oleh pengusaha atau divisi dari perusahaan pengecer besar.
• Klub Gudang (Warehouse Clubs)/ Klub Grosir (Wholesale Clubs), yaitu toko yang menjual pilihan terbatas dari produk makanan bermerek, perlengkapan rumah
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 44 - 55
48
tangga, pakaian, dan beragam barang lain dengan diskon besar bagi anggota yang membayar iuran tahunan.
- Toko Super (Superstores), yaitu toko yang rata-rata memiliki ruang jual 35.000 kaki persegi dan bertujuan memenuhi semua kebutuhan konsumen untuk produk makanan yang dibeli rutin maupun bukan makanan. Jenis-jenis toko super :• Toko Kombinasi (Combination Store), yaitu toko yang merupakan diversifikasi
usaha pasar swalayan ke bidang obat-obatan dan rata-rata memiliki ruang jual seluas 55.000 kaki persegi.
• Pasar Hiper (Hypermarket), yaitu toko yang memiliki ruang jual berkisar antara 80.000 sampai 220.000 kaki persegi dan menggabungkan rinsip-prinsip pasar swalayan, toko diskon, dan pengeceran gudang.
- Ruang Pamer Katalog (Catalog Showrooms), yaitu toko yang menjual banyak pilihan produk bermerek, markup tinggi, perputaran cepat, dengan harga diskon, dimana pelanggan memesan barang dari katalog diruang pamer, lalu mengambil barang tersebut dari suatu area pengambilan barang di toko.
2. Penjualan Eceran Tanpa Toko (Nonstore Retailing), jenis-jenisnya adalah:- Penjualan Langsung (Direct Selling), perusahaan melakukan penjualan dari rumah-ke-
rumah, kantor-ke-kantor, atau pesta-pesta rumahan. Jenis-jenis penjualan langsung: • Penjualan satu-satu (One-to-one selling), seorang wiraniaga mengunjungi dan
mencoba menjual produk ke satu pembeli potensial.• Penjualan satu-ke-banyak/ pesta (One-to-many (party) selling), seorang wiraniaga
datang ke rumah seseorang yang mengundang teman dan tetangganya ke pesta, kemudian mendemonstrasikan produk itu dan menerima pesanan.
• Pemasaran bertingkat/ jaringan (Multilevel (network) marketing), perusahaan-perusahaan merekrut para usahawan independen yang bertindak sebagai distributor untuk produk mereka, yang kemudian akan merekrut dan menjual ke subdistributor, yang akhirnya merekrut orang lain lagi untuk menjual produk mereka, biasanya di rumah pelanggan.
- Pemasaran Langsung (Direct Marketing), mencakup berbagai cara untuk menjangkau orang, termasuk pemasaran lewat telepon (telemarketing), pemasaran tanggapan langsung lewat televisi (program home shopping dan infomercials), dan belanja elektronik.
- Penjualan Otomatis (Automatic vending), menggunakan mesin penjual yang ditempatkan di pabrik-pabrik, kantor, toko eceran besar, hotel, restoran, dan lain-lain, dengan menawarkan keunggulan penjualan 24 jam, swalayan, dan barang dagangan tanpa penanganan.
- Jasa Pembelian (Buying service), melayani konsumen khusus yang menjadi anggota jasa pembelian untuk dihubungkan dengan pengecer terpilih yang telah setuju memberikan diskon dan pengecer nantinya membayar sedikit komisi pada jasa pembelian.
FUNgSI dAN PERAN BISNIS RItEL dALAM SALURAN PEMASARANtHE FUNctION ANd tHE ROLE OF REtAIL BUSINESS IN MARKEtINg LINE
Tri Joko Utomo
49
3. Organisasi Eceran (Retail Organizations), jenis-jenisnya adalah:- Jaringan Toko Korporat (Corporate chain stores), merupakan dua toko atau lebih
yang dimiliki dan dikendalikan secara bersama-sama, melakukan pembelian dan perdagangan yang terpusat, serta menjual lini produk yang sejenis.
- Jaringan Sukarela (Voluntary chain), terdiri dari suatu kelompok pengecer independen yang didukung oleh suatu pedagang besar, yang melakukan pembelian secara borongan dan menjual barang dagangan yang sama.
- Koperasi Pengecer (Retailer cooperative), terdiri dari pengecer-pengecer independen yang membentuk suatu organisasi pembelian terpusat dan melakukan promosi bersama.
- Koperasi Konsumen (Consumer cooperative), suatu perusahaan eceran yang dimiliki oleh para pelanggannya.
- Organisasi Waralaba (Franchise Organization), asosiasi kontraktual antara pemberi waralaba (franchiser, yaitu produsen, pedagang besar, atau organisasi jasa) dengan penerima waralaba (franchisee, yaitu usahawan independen yang membeli hak untuk memiliki dan mengoperasikan satu atau beberapa unit dalam sistem waralaba).
- Konglomerat Perdagangan (Merchandising Conglomerate), perusahaan yang bentuknya bebas yang menggabungkan beberapa lini dan bentuk pengeceran dalam kepemilikan terpusat, yang juga menyatukan fungsi ditribusi dan manajemen.
Schoell (1990, dalam Sopiah dan Syihabudhin, 2008:42-58) mengklasifikasikan perusahaan/ perdagangan eceran ke dalam berbagai bentuk berdasarkan:1. Bentuk kepemilikan, bisa berupa: sewa beli, kerja sama, atau perusahaan.2. Struktur operasional, dengan alternatif untuk menjalankan usaha ritel sebagai: usaha
peritel yang mandiri (retail independent), jaringan ritel, asosiasi independent retailer, dan organisasi franchise.
3. Orientasi harga dan pelayanan, terbagi dalam empat kuadran: kuadran 1 Poor profit performance (low-price high service), kuadran 2 Service-oriented positioning (high-price high-service), kuadran 3 Price-oriented positioning (low-price low-service), dan, kuadran 4 Poor value (high-price low-service),
4. Barang dagangan yang ditawarkan, dilihat dari: lebar barang dagangan (merchandise breadth) yaitu beragam produk yang ditawarkan oleh peritel untuk dijual; atau, kedalaman barang dagangan (merchandise depth) yaitu tersedianya berbagai pilihan atas barang dagangan yang ditawarkan.
5. Di mana peritel menjual barang dagangannya, dengan pilihan: menggunakan toko untuk menjual barang dagangannya (in-store retailing), atau tidak menggunakan toko untuk menjual barang dagangannya (non-store retailing).
Seiring dengan perkembangan bisnis ritel yang pesat menimbulkan klasifikasi yang membagi ritel tradisional dan ritel modern. Pembedaan menjadi semakin tajam ketika ritel modern menjadi pesaing yang mematikan dan pertumbuhannya menjadi ancaman bagi ritel tradisional. Pemerintah dalam upaya untuk melindungi ritel tradisional telah membuat Perpres No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 44 - 55
50
Perbelanjaan dan Toko Modern. Dalam pasal 1 peraturan tersebut diberikan batasan pasar tradisional dan toko modern sebagai berikut: - Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah
Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar.
- Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan. Batasan Toko Modern ini dipertegas di pasal 3, dalam hal luas lantai penjualan sebagai berikut: a) Minimarket, kurang dari 400 m2 (empat ratus meter per segi); b) Supermarket, 400 m2 (empat ratus meter per segi) sampai dengan 5.000 m2 (lima ribu meter per segi); c) Hypermarket, diatas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi); d) Department Store, diatas 400 m2 (empat ratus meter per segi); e) Perkulakan, diatas 5.000 m2 (lima ribu meter per segi).
2.2. Saluran Pemasaran2.2.1. Definisi dan Pengertian Saluran Pemasaran
Saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang saling tergantung yang terlibat dalam proses untuk menjadikan suatu produk atau jasa siap untuk digunakan atau dikonsumsi (Stern dan El-Ansary dalam Kotler, 1997:140).
Basu Swastha (2002:200), dengan memberikan penekanan sesuatu yang disalurkan adalah barang, menyebut juga saluran pemasaran sebagai saluran distribusi. Menurutnya, saluran distribusi untuk suatu barang adalah saluran yang digunakan oleh produsen untuk menyalurkan barang tersebut dari produsen sampai ke konsumen atau pemakai industri.
Rohmad Dwi Jatmiko (2005:119) menyamakan saluran distribusi dengan perantara dagang. Menurutnya, proses yang dilalui untuk menggerakkan atau memindahkan produk dari produsen kepada konsumen disebut saluran distribusi atau biasanya juga disebut perantara dagang (middlemen).
Perantara, menurut Basu Swastha (2002:200-201), adalah individu lembaga bisnis yang beroperasi di antara produsen dan konsumen atau pembeli industri. Perusahaan-perusahaan seperti itu melaksanakan beberapa fungsi pemasaran (penjualan, pengangkutan, dan penyimpanan) dan membantu dalam kegiatan saluran. Adapun macam-macam perantara yang ada adalah :− Pedagang besar yang menjual barang kepada pengecer, pedagang besar lain, atau pemakai
industri.− Pengecer yang menjual barang kepada konsumen atau pembeli akhir.− Agen yang mempunyai fungsi hampir sama dengan pedagang besar meskipun tidak
berhak memiliki barang yang dipasarkan.
FUNgSI dAN PERAN BISNIS RItEL dALAM SALURAN PEMASARANtHE FUNctION ANd tHE ROLE OF REtAIL BUSINESS IN MARKEtINg LINE
Tri Joko Utomo
51
Dari berbagai definisi diatas dapat disarikan bahwa definisi saluran pemasaran adalah organisasi atau serangkaian organisasi yang saling tergantung yang digunakan oleh produsen dalam proses untuk menjadikan suatu produk siap untuk digunakan oleh konsumen atau pemakai industri.
2.2.2. Tingkatan dan Pemilihan Saluran PemasaranAdanya berbagai macam perantara membuat produsen harus menentukan saluran
pemasaran mana yang akan digunakan. Perusahaan dapat memilih satu atau beberapa perantara, atau malah memutuskan tidak menggunakan perantara sama sekali. Dengan melihat jumlah perantara yang terlibat dalam saluran pemasaran, Kotler (1997:142-143) telah membagi beberapa tingkat saluran pemasaran. Satu tingkat saluran menggambarkan keterlibatan perantara dalam hubungannya dengan produsen, atau konsumen, atau perantara yang lain. Semakin banyak perantara dalam saluran pemasaran, semakin panjang tingkat saluran pemasaran.
Untuk barang konsumsi, terdapat beberapa tingkat saluran pemasaran berikut:− Saluran nol-tingkat (juga disebut saluran pemasaran-langsung) terdiri dari suatu perusahaan
manufaktur yang menjual langsung ke pelanggan akhir. Cara utama pemasaran langsung adalah penjualan dari rumah ke rumah, pesta di rumah, pesanan lewat pos, pemasaran melalui telepon, penjualan lewat TV, serta melalui toko-toko milik produsen sendiri.
− Saluran satu-tingkat berisi satu perantara penjualan, seperti pengecer.− Saluran dua-tingkat berisi dua perantara. Dalam pasar barang konsumsi, mereka umumnya
adalah pedagang besar dan pengecer.− Saluran tiga-tingkat berisi tiga perantara. Misalnya pedagang besar, pemborong dan
pengecer. (Kotler, 1997:142-143)
Gambar 1Saluran Pemasaran Barang Konsumsi
Sumber: Kotler, 1997:143Sumber: Kotler, 1997:143
Keputusan produsen untuk menentukan saluran pemasaran mana yang akan
digunakan memerlukan kajian yang cermat. Menurut Basu Swastha (2002:201), dalam
pemilihan alternatif saluran distribusi, produsen harus dapat mengkompromikan beberapa
tujuan yang berbeda.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan saluran distribusi antara
lain :
1. Jenis barang yang dipasarkan
2. Produsen yang menghasilkan produknya
3. Penyalur yang bersedia ikut mengambil bagian
4. Pasar yang dituju
Dengan demikian tidak menutup kemungkinan produsen menggunakan beberapa
saluran (disebut distribusi ganda) secara sekaligus untuk mencapai pasar yang berbeda.
(Basu Swastha, 2002:203-204)
2.3. Fungsi dan Peran Bisnis Ritel dalam Saluran Pemasaran
Produsen dalam menyalurkan produknya kepada konsumen akan dihadapkan pada
dua pilihan, yaitu menggunakan perantara atau menyalurkan sendiri produknya kepada
konsumen.
12
Produsen Konsumen
PengecerPemborongPedagang besar
Pengecer
Pengecer
Pedagang besar
Saluran nol-tingkat
Saluransatu-tingkat
Salurandua-tingkat
Salurantiga-tingkat
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 44 - 55
52
Keputusan produsen untuk menentukan saluran pemasaran mana yang akan digunakan memerlukan kajian yang cermat. Menurut Basu Swastha (2002:201), dalam pemilihan alternatif saluran distribusi, produsen harus dapat mengkompromikan beberapa tujuan yang berbeda.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan saluran distribusi antara lain :
1. Jenis barang yang dipasarkan2. Produsen yang menghasilkan produknya3. Penyalur yang bersedia ikut mengambil bagian4. Pasar yang dituju
Dengan demikian tidak menutup kemungkinan produsen menggunakan beberapa saluran (disebut distribusi ganda) secara sekaligus untuk mencapai pasar yang berbeda. (Basu Swastha, 2002:203-204)
2.3. Fungsi dan Peran Bisnis Ritel dalam Saluran PemasaranProdusen dalam menyalurkan produknya kepada konsumen akan dihadapkan pada
dua pilihan, yaitu menggunakan perantara atau menyalurkan sendiri produknya kepada konsumen.
Pengecer (retailer) merupakan salah satu perantara pemasaran dalam saluran pemasaran. Perantara pemasaran yang lain : pialang (broker), fasilitator (facilitator), perwakilan produsen (manufacturers representatives), pedagang (merchant), agen penjualan (sales agent), armada penjualan (sales force), dan pedagang besar (wholesaler/ distributor) (Kotler, 1997:140). Perdagangan eceran adalah mata rantai terakhir dalam penyaluran barang dari produsen sampai kepada konsumen (Sopiah dan Syihabudhin, 2008:7).
Terdapat beberapa pertimbangan yang mendasari pilihan produsen menggunakan perantara untuk menyalurkan produknya walaupun produsen harus menanggung konsekuensi tertentu atas pilihannya tersebut. Dalam sebuah bukunya Kotler (1997:140) menjelaskan dengan mengawalinya dengan pertanyaan, mengapa produsen bersedia mendelegasikan beberapa tugas penjualan kepada perantara? Delegasi itu berarti melepaskan sejumlah pengendalian atas cara dan kepada siapa produk itu dijual. Produsen seolah meletakkan nasib perusahaan ke tangan perantara. Tetapi produsen memperoleh beberapa keuntungan dengan menggunakan perantara:− Banyak produsen kekurangan sumber daya finansial untuk menjalankan pemasaran
langsung.Sebagai contoh, General Motors menjual mobilnya melalui lebih dari 10.000 toko penyalur; bahkan General Motors sangat sulit untuk mengumpulkan dana untuk mengambil alih semua penyalur.
− Dalam beberapa kasus, pemasaran langsung memang tidak layak.Misalnya, William Wrigley Jr. Company merasa tidak praktis bila harus membangun toko-toko kecil pengecer permen karet di seluruh negara atau menjual permen karet melalui pesanan lewat pos (mail order). Ia akan harus menjual permen karet bersama banyak produk kecil lainnya dan dapat berakhir dalam bisnis toko kelontong dan toko
FUNgSI dAN PERAN BISNIS RItEL dALAM SALURAN PEMASARANtHE FUNctION ANd tHE ROLE OF REtAIL BUSINESS IN MARKEtINg LINE
Tri Joko Utomo
53
pangan. Wrigley merasa lebih mudah bekerja lewat jaringan luas dari organisasi distribusi independen.
− Produsen yang membangun saluran pemasaran mereka sendiri sering dapat memperoleh pengembalian yang lebih besar dengan meningkatkan investasi mereka pada bisnis utama.Jika perusahaan memperoleh tingkat pengembalian 20% dari produksi dan memperkirakan hanya 10% pengembalian dari penjualan eceran, ia tidak akan mau melakukan penjualan eceran sendiri.
Lebih lanjut dijelaskan, penggunaan perantara sebagian besar karena keunggulan efisiensi mereka dalam membuat barang-barang tersedia secara luas dan mudah diperoleh pasar sasaran. Dengan hubungan, pengalaman, spesialisasi, dan skala operasi mereka, perantara biasanya menawarkan pada perusahaan lebih banyak daripada yang dapat mereka capai sendiri (Kotler, 1997:140).
Fungsi dasar bisnis ritel dalam saluran pemasaran atau proses distribusi adalah sebagai perantara antara produsen (atau pedagang besar dan perantara yang lain) dengan konsumen akhir. Namun, terdapat fungsi-fungsi lain yang tidak kalah pentingnya. Mengacu pendapat Kotler (1997:141), anggota saluran pemasaran melaksanakan sejumlah fungsi utama:• Informasi: Pengumpulan dan penyebaran informasi riset pemasaran mengenai pelanggan,
pesaing, serta pelaku, dan kekuatan lain yang ada saat ini maupun yang potensial dalam lingkungan pemasaran.
• Promosi: Pengembangan dan penyebaran komunikasi persuasif yang dirancang untuk menarik pelanggan pada penawaran tersebut.
• Negosiasi: Usaha untuk mencapai persetujuan akhir mengenai harga dan syarat lain sehingga transfer kepemilikan dapat dilakukan.
• Pemesanan: Komunikasi dari para anggota saluran pemasaran ke produsen mengenai minat untuk membeli.
• Pembiayaan: Perolehan dan pengalokasian dana yang dibutuhkan untuk membiayai persediaan pada berbagai tingkat saluran pemasaran.
• Pengambilan Risiko: Penanggungan risiko yang berhubungan dengan pelaksanaan saluran pemasaran tersebut.
• Pemilikan Fisik: Kesinambungan penyimpanan dan pergerakan produk fisik dari bahan mentah sampai ke pelanggan akhir.
• Pembayaran: Pembeli membayar tagihannya ke penjual lewat bank dan institusi keuangan lainnya.
• Hak Milik: Transfer kepemilikan sebenarnya dari satu organisasi atau orang ke organisasi atau orang yang lain.
Fungsi-fungsi diatas menunjukkan betapa pentingnya bisnis ritel sebagai perantara dagang (middlemen). Hal ini diperkuat dengan peran yang dimainkan bisnis ritel dalam saluran pemasaran. Menurut Rohmad Dwi Jatmiko (2005:119-120), pentingnya perantara dagang atau anggota saluran distribusi dalam keseluruhan proses pemasaran dapat ditunjukkan oleh perbedaan peran yang mereka mainkan, meliputi :1) Menyediakan penyimpanan dan pengangkutan bagi produsen atau perusahaan, sehingga
memungkinkan bagi produsen untuk berkonsentrasi pada aktivitas produksi.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 44 - 55
54
2) Menyediakan pemasangan dan perbaikan, sehingga mengurangi peran produsen.3) Menyediakan pendanaan pada konsumen, sehingga beban keuangan produsen
dikurangi.4) Melaksanakan aktivitas advertising dan promosi produk, dengan demikian dapat
meningkatkan kemampuan pasarnya secara keseluruhan.5) Bertindak sebagai agen bagi produsen untuk mendapatkan informasi tentang konsumen,
sehingga produsen dapat mengembangkan produknya.6) Menciptakan guna bentuk, guna waktu, guna tempat dan kepemilikan sehingga produk-
produk dapat disampaikan pada pasar yang tepat pada waktu yang tepat, serta melalui saluran distribusi yang tepat – termasuk ketentuan tentang kecocokan kemasan.
Sopiah dan Syihabudhin (2008:7) menjelaskan, perdagangan eceran sangat penting artinya bagi produsen karena melalui pengecer produsen memperoleh informasi berharga tentang barangnya. Produsen bisa mewawancarai pengecer mengenai komentar konsumen terhadap bentuk, rasa, daya tahan, harga, dan segala sesuatu mengenai produknya. Dapat juga diketahui mengenai kekuatan saingan. Produsen dan pengecer bisa memupuk kerja sama yang saling menguntungkan.
Penjelasan Asep ST Sujana berikut melengkapi uraian mengenai peran bisnis ritel dalam saluran pemasaran. Menurut Asep ST Sujana (2005:13-14), retailer juga berperan sebagai penghimpun berbagai kategori atau jenis barang yang menjadi kebutuhan konsumen sehingga konsumen menjadikan toko retail sebagai tempat rujukan untuk mendapatkan (to choose, to find) barang yang dibutuhkannya. Lebih lanjut bisnis retail berperan sebagai penentu eksistensi barang dari manufacture di pasar konsumsi (consumption market), dan dengan demikian manufacture dan distributor memiliki ketergantungan yang besar terhadap entitas bisnis retail.
3. Simpulan• Bisnis ritel memiliki fungsi dan peran penting dalam saluran pemasaran untuk menyalurkan
produk dari produsen kepada konsumen akhir.• Bisnis ritel selain mempunyai fungsi sebagai perantara dalam saluran pemasaran
juga mempunyai fungsi-fungsi dalam hal informasi, promosi, negosiasi, pemesanan, pembiayaan, pengambilan risiko, pemilikan fisik, pembayaran dan hak milik.
• Peran bisnis ritel dalam saluran pemasaran bagi produsen mencakup pada produk, pendanaan, iklan dan promosi, konsumen, dan pesaing. Terkait dengan produk adalah mengenai pengangkutan, penyimpanan, pemasangan, perbaikan, penghimpun, dan penentu eksistensi. Dalam pendanaan, yang disediakan untuk konsumen, mengurangi beban produsen. Iklan dan promosi yang dilakukan bisnis ritel meningkatkan kemampuan pasar. Produsen juga mendapatkan informasi mengenai konsumen dan pesaing dari peritel, sehingga bisa mengevaluasi produk sendiri dan kekuatan pesaing.
FUNgSI dAN PERAN BISNIS RItEL dALAM SALURAN PEMASARANtHE FUNctION ANd tHE ROLE OF REtAIL BUSINESS IN MARKEtINg LINE
Tri Joko Utomo
55
DAFTAR PUSTAKA
Jatmiko, Rohmad Dwi. 2005. Pengantar Bisnis. Edisi 1. Cet. 2. Malang: UMM Press.
Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran. Alih bahasa Hendra Teguh dan Ronny Antonius Rusli. Edisi 9. Jakarta : Prenhallindo.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007 Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.
Sopiah dan Syihabudhin. 2008. Manajemen Bisnis Ritel. Edisi I. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Sujana, Asep ST. 2005. Paradigma Baru dalam Manajemen Ritel Modern. Edisi1. Cet.1. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Swastha, Basu dan Ibnu Sukotjo. 2002. Pengantar Bisnis Modern. Edisi 3. Cet.10. Yogyakarta: Liberty.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 56 - 63
56
MEMANFAATKAN TINGGINYA BEBAN TETAP UNTUK MEMPEROLEH KEUNTUNGAN YANG OPTIMAL
(Use the high value of fixed cost to get the optimum profits)
Lies Indriyatni *)
Abstract
Some companies, like PT. Telkom, PT. Garuda or some tourist object management companies, obviously need a big infestation for allocating satellite, distribution network, aero planes and some uninstalled utilities. When everything has installed or available, it leaves to the companies to think how to sell the pulses or the tickets as many as possible. It’s concerned that many companies which budget structures contain high fixed costs will face many risks ahead. Companies will be very sensitive to the changes, both in sales volume and the variable costs. These things have been undeniable anymore so that it becomes not relevant to be used as basic accounting in decision making. Instead of being worried by the risks, it’s better to make advantages from the risks itself. It can be done by improving the sales by some other ways; likes setting the more challenging price or fare; become more aggressive in promotion or wider the distribution. The more important thing is not just look on short term profits but also the more important is the long term profits.
Keywords : fixed cost, irrelevant cost, profit.
Abstraksi
Perusahaan-perusahaan, seperti PT. Telkom, PT. Garuda atau pengelola obyek-obyek pariwisata, memang memerlukan investasi yang sangat besar untuk pengadaan satelit,jaringan distribusi,pesawat terbang atau instalasi-instalasi yang harus terpasang.Namun begitu semua sudah terpasang atau tersedia maka tinggallah perusahaan memikirkan bagaimana menjual pulsa atau tiket sebanyak-banyaknya.
Memang diakui bahwa perusahaan-perusahaan yang struktur biayanya mengandung beban tetap yang tinggi akan menghadapi banyak resiko. Perusahaan akan sangat peka terhadap perubahan, baik dalam volume penjualan maupun biaya variabelnya. Hal itu sudah tidak bias dihindari lagi, sehingga tidak relevan untuk dipakai sebagai dasar perhitungan dalam pengambilan keputusan. Maka dari pada hanya khawatir dengan resiko, lebih baik memanfaatkannya.
*) Dosen STIE Pelita Nusantara Semarang
MEMANFAAtKAN tINggINYA BEBAN tEtAP UNtUK MEMPEROLEH KEUNtUNgAN YANg OPtIMAL(USE tHE HIgH VALUE OF FIxEd cOSt tO gEt tHE OPtIMUM PROFItS)
Lies Indriyatni
57
Yaitu dengan menggunakan ruang gerak yang lebih leluasa ( dalam perolehan laba ) ini untuk meningkatkan penjualan dengan berbagai cara; seperti penetapan harga atau tarip yang lebih menantang;promosi yang lebih agresif ataupun distribusi yang lebih luas. Yang lebih penting lagi adalah jangan hanya melihat keuntungan jangka pendek saja, sebab jauh lebih penting adalah keuntungan jangka panjang.
Kata Kunci : beban tetap, biaya tidak relevan , keuntungan/laba
1. PendahuluanSetiap usaha yang dilakukan selalu mangharapkan keuntungan/laba. Dan setiap aktivitas
usaha pasti tidak bias lepas dari kebutuhan dana untuk membiayainya. Dengan kata lain, untuk mendapatkan keuntungan pasti harus ada biaya yang dikeluarkan. Masalahnya adalah bagaimana bisa mensiasati biaya-biaya yang telah dikeluarkan itu untuk mendapatkan laba yang optimal.
Mungkin mengherankan bila perusahaan/operator seluler saling menurunkan biaya/tarip percakapan, perusahaan penerbangan saling menurunkan biaya/tarip penerbangan dan bahkan obyek-obyek wisata menurunkan tarip masuk untuk hari-hari biasa( bukan hari libur ). Apakah hal tersebut memang benar-benar murah? Atau apakah hal-hal seperti itu tidak akan merugikan bagi perusahaan?
Tidak ada perusahaan yang mau menderita kerugian, hal seperti tersebut di atas tentu tidak akan merugikan bagi perusahaan. Karena sebenarnya justru dengan pengenaan tarif yang seperti itulah perusahaan akan mendapatkan keuntungan atau laba. Dengan kata lain, untuk mendapatkan keuntungan yang optimal maka perusahaan harus menetapkan system pertarifan yang sangat longgar seperti itu. ( B.Suwartojo,1986)
Pembahasan berikut akan coba menjelaskan bagaimana perusahaan bisa memanfaatkan tingginya beban tetap untuk memperoleh keuntungan yang optimal.
2. Pembahasan2.1. Biaya Tetap dan Biaya Variabel
Yang dimaksud dengan biaya/beban tetap adalah biaya-biaya yang jumlah totalnya tetap tidak berubah dalam range output tertentu,tetapi setiap satuan produksi akan berubah sesuai perubahan volume produksi( Munawir, 1999). Jadi semakin besar produksi maka biaya tetap per satuan akan semakin kecil. Demikian juga sebaliknya.
Selanjutnya biaya/beban tetap ini akan dibedakan menjadi dua,yaitu : ( Bambang Riyanto,2004)
a. Biaya/beban tetap operasional ( operating leverage )Adalah semua beban tetap yang dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan proses produksi dan penjualan,yang lebih lanjut akan menentukan besarnya laba operasi atau laba sebelum bunga dan pajak. Yang termasuk biaya/beban jenis ini antara lain adalah : depresiasi/penyusutan aktiva tetap; gaji pegawai; biaya sewa dan biaya-biaya kantor.
b. Biaya/beban tetap keuangan (financial leverage)Yaitu beban tetap yang timbul apabila perusahan membiayai semua/sebagian investasi atau kebutuhan dan yang ada dengan dana pinjaman/hutang. Jadi bunga yang harus
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 56 - 63
58
ditanggung adalah merupakan beban tetap karena dalam keadaan apapun biaya tersebut harus tetap dibayarkan. Yang termasuk dalam beban tetap ini antara lain : bunga dan deviden saham prefern.
Sedangkan yang dimaksud biaya variabel adalah biaya-biaya yang jumlah totalnya naik turun sebanding dengan hasil produksi ; tetapi secara per satuan/unit akan tetap sama (Munawir, 1999). Yang termasuk biaya-biaya ini antara lain :
• Biaya bahan baku .• Biaya tenaga kerja langsung .• Komisi penjualan .
2.2. Biaya yang Relevan dan Biaya yang Tidak RelevanUntuk menjelaskan masing-masing pengertian biaya ini terlebih dahulu diberikan
ilustrasi sebagai berikut :A dan B adalah teman sekantor, yang kebetulan rumahnya bertetanggaan.A setiap hari naik mobil, kalau dihitung biaya yang dikeluarkan per hari Rp 10.000,-( untuk bahan bakar dan penyusutan mesin ). B mengajukan penawaran untuk berangkat bersama tetapi hanya membayar sebesar Rp 3.000,- Bila hanya mempertimbangkan keuntungan saja maka penawaran tersebut dapat dianalisa sebagai berikut :Bila A menerima maka ia akan mendapat “keuntungan” sebesar Rp 3.000,-( selisih antara
biaya yang dikeluarkan dengan biaya netto).Tetapi bila A menolak maka ia akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan “keuntungan” tersebut.Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa keputusan apapun yang akan diambil A, dia tetap harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 10.000,-sehingga unsur biaya ini sebenarnya tidak perlu diperhatikan lagi dalan pengambilan keputusan. Biaya-biaya semacam itulah yang disebut biaya tidak relevan( irrelevant cost).
Jelaslah bahwa yang dimaksud dengan biaya tidak relevan adalah biaya-biaya yang tidak ada pengaruh secara langsung dengan keputusan yang diambil. Dan semua biaya/beban tetap adalah termasuk biaya tidak relevan.
Sedangkan biaya relevan adalah biaya-biaya yang harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan yang akan diambil. Dan yang termasuk dalam biaya relevan adalah semua biaya-biaya variabel.
2.3. Pengaruh Tingginya Biaya Tetap Operasional pada Laba OperasiUntuk perusahaan-perusahaan yang mempunyai struktur biaya dengan beban tetap yang
sangat tinggi (karena penyusutan alat-alat instalasi, gedung dengan segala peralatannya dan bunga atas modal pinjaman). Seperti pada PT.TELKOM, PT.GARUDA, objek-objek wisata dan perusahaan-perusahaan padat modal lainnya, maka berarti perusahaan yang bersangkutan
• Biaya tenaga kerja langsung .
• Komisi penjualan .
2.2.Biaya yang Relevan dan Biaya yang Tidak Relevan
Untuk menjelaskan masing-masing pengertian biaya ini terlebih dahulu diberikan
ilustrasi sebagai berikut :
A dan B adalah teman sekantor, yang kebetulan rumahnya bertetanggaan.A setiap
hari naik mobil, kalau dihitung biaya yang dikeluarkan per hari Rp 10.000,-( untuk
bahan bakar dan penyusutan mesin ). B mengajukan penawaran untuk berangkat
bersama tetapi hanya membayar sebesar Rp 3.000,- Bila hanya mempertimbangkan
keuntungan saja maka penawaran tersebut dapat dianalisa sebagai berikut :
Bila A menerima maka ia akan mendapat “keuntungan” sebesar Rp 3.000,-( selisih
antara biaya yang dikeluarkan dengan biaya netto).Tetapi bila A menolak maka ia
akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan “keuntungan” tersebut.
Dari ilustrasi tersebut dapat dilihat bahwa keputusan apapun yang akan diambil A, dia
tetap harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 10.000,-sehingga unsur biaya ini
sebenarnya tidak perlu diperhatikan lagi dalan pengambilan keputusan. Biaya-biaya
semacam itulah yang disebut biaya tidak relevan( irrelevant cost).
Keterangan Jika Diterima Jika Ditolak
Biaya yang dikeluarkan Rp 10.000,- Rp 10.000,-
Penerimaan Rp 3.000,- Rp 0,-
Biaya netto yg dikeluarkan Rp 7.000,- Rp 10.000,-
MEMANFAAtKAN tINggINYA BEBAN tEtAP UNtUK MEMPEROLEH KEUNtUNgAN YANg OPtIMAL(USE tHE HIgH VALUE OF FIxEd cOSt tO gEt tHE OPtIMUM PROFItS)
Lies Indriyatni
59
mempunyai biaya tidak relevan yang sangat tinggi pula. Biaya tersebut tidak perlu lagi menjadi pertimbangan dalam penetapan tarif sehingga hanya biaya-biaya variabel saja yang harus dipertimbangkan
Selama harga jual (tarif yang ditetapkan) masih bisa menutup biaya variabelnya dan perusahaan sudah dapat mencapai titik impas (BEP) maka penetapan tarif yang longgar/luwes itu dapat ditetapkan. Karena kontribusi margin (selisih antara harga jual dengan biaya variabel) seluruhnya akan menjadi keuntungan
Salah satu keuntungan dari adanya biaya tetap operasional yang tinggi adalah bahwa sebagian besar biaya itu sebenarnya sudah dibayar/dikeluarkan terlebih dahulu sehingga satu-satunya usaha yang penting dilakukan adalah dapat menjual produk dalam jumlah yang sebesar-besarnya, kalau perlu dengan penetapan harga khusus. Karena perubahan penjualan akan sangat peka mempengaruhi perolehan laba dalam arti kenaikan penjualan yang relative kecil akan dapat menaikkan laba dalam jumlah yang besar. Sebaliknya penurunan penjualan yang relative kecil akan berakibat penurunan laba yang besar. Contoh berikut akan memperjelas uraian di atas :
Dua perusahaan A dan B bergerak dalam usaha yang sama, dalam proses produksinya perusahaan A lebih banyak menggunakan tenaga manual sedangkan B lebih banyak menggunakan tenaga mesin. Perbandingan keduanya akan nampak pada table 1 berikut :
Tabel 1Perbandingan Pengaruh Biaya Tetap Operasional pada Laba Operasi
perubahan penjualan akan sangat peka mempengaruhi perolehan laba dalam arti kenaikan
penjualan yang relative kecil akan dapat menaikkan laba dalam jumlah yang besar.
Sebaliknya penurunan penjualan yang relative kecil akan berakibat penurunan laba yang
besar. Contoh berikut akan memperjelas uraian di atas :
Dua perusahaan A dan B bergerak dalam usaha yang sama, dalam proses
produksinya perusahaan A lebih banyak menggunakan tenaga manual sedangkan B lebih
banyak menggunakan tenaga mesin. Perbandingan keduanya akan nampak pada table 1
berikut :
Tabel 1
Perbandingan Pengaruh Biaya Tetap Operasional pada Laba Operasi
Keterangan Perusahaan A Perusahaan B
a. Biaya tetap Rp10,000,000.00 Rp 120,000,000.00
b. Biaya variable per
unit
Rp 400.00 Rp 200.00
c. Harga jual per unit Rp 500.00 Rp 500.00
d. Kontribusi (c-b) Rp 100.00 Rp 300.00
e. Titik impas (a:d) 100.000 unit 400.000 unit
f. Penjualan 1 500.000 unit 500.000 unit
g. Laba operasi 1 (f-e)d Rp 40,000,000.00 Rp 30,000,000.00
h. Penjualan 2 1.000.000 unit 1.000.000 unit
i. Laba operasi 2 (h-e)d Rp 90,000,000.00 Rp 180,000,000.00
j. Kenaikan Penjualan 100% 100%
k.Kenaikan laba
operasi125% 500%
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa laba perusahaan B lebih peka terhadap
perubahan penjualan dibandingkan dengan perusahaan A.Penjualan sama-sama naik
100% akan tetapi laba perusahaan B naik sebesar 500% sedangkan perusahaan A hanya
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 56 - 63
60
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa laba perusahaan B lebih peka terhadap perubahan penjualan dibandingkan dengan perusahaan A.Penjualan sama-sama naik 100% akan tetapi laba perusahaan B naik sebesar 500% sedangkan perusahaan A hanya 125%. Hal ini disebabkan karena beban biaya tetap perusahaan B jauh lebih besar dibandingkan dengan perusahaan A. Walau bila dilihat dari pencapaian titik impas ( BEP) perusahaan A lebih cepat mencapainya ( pada tingkat penjualan 100.000 unit) sedangkan perusahaan B baru tercapai pada tingkat penjualan 400.000 unit.
Jadi sekalipun titik impas dicapai pada tingkat penjualan yang lebih besar akan tetapi perusahaan yang mempunyai beban/biaya tetap yang tinggi, dalam struktur biayanya akan dapat memanfaatkan kepekaan laba terhadap perubahan penjualan. Bagi perusahaan semacam ini ruang gerak untuk mengatur laba menjadi lebih luas, setelah titik impas dicapai. Harga jual atau tarif lebih leluasa untuk dimainkan, sejauh masih di atas biaya variabel dan dapat meningkatkan volume penjualan dalam jumlah yang cukup berarti.
Untuk analisa lebih lanjut tentang hubungan antara beban/biaya tetap, titik impas dan kesempatan memperoleh laba yang lebih besar; maka kondisi kedua perusahaan tersebut digambarkan dalam bentuk grafik di bawah ini.
Gambar : 1Grafik titik impas
MEMANFAAtKAN tINggINYA BEBAN tEtAP UNtUK MEMPEROLEH KEUNtUNgAN YANg OPtIMAL(USE tHE HIgH VALUE OF FIxEd cOSt tO gEt tHE OPtIMUM PROFItS)
Lies Indriyatni
61
Keterangan : OR = garis penerimaan penjualan BT = biaya/beban tetap TC = garis biaya total BV = biaya variabel I = titik impas
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa untuk perusahaan yang mempunyai beban tetap yang lebih besar ( perusahaan B ) akan mempunyai ruang gerak perolehan laba/keuntungan yang lebih luas ( I – TC – R ) dibandingkan dengan perusahaan yang beban tetapnya lebih kecil ( perusahaan A )
Jadi dengan beban tetap yang tinggi perusahaan bisa memanfaatkannya, dengan jalan pencapaian tingkat penjualan yang sebesar-besarnya melalui penetapan harga/tariff yang lebih murah/rendah dari pada yang seharusnya.
2.4. Pengaruh Tingginya Beban Tetap Keungan pada Laba BersihPerusahaan-perusahaan yang memenuhi kebutuhan dananya, yang cukup besar untuk
investasi,dengan dana pinjaman, akan menanggung konsekwensi mempunyai beban bunga yang cukup tinggi.
Karena bunga adalah merupakan biaya tetap keuangan yang harus tetap dibayarkan, apapun kondisi perusahaan, maka perusahaan harus bisa memanfaatkan atau mensiasati untuk tetap dapat meraih laba/keuntungan. Disisi lain pemilik atau pemegang saham akan lebih tertarik pada laba bersih dari pada laba operasi, karena sekalipun laba operasi tinggi, tetapi kalau sebagian besar digunakan untuk menutup/membayar bunga pinjaman, maka dapat saja terjadi bahwa pemilik tidak mendapat pembagian laba.
Untuk itu berikut akan dibahas bagaimana pengaruh tingginya beban tetap keungan pada laba bersih yang mungkin diperoleh perusahaan. Yang penting harus disadari bahwa kenyataannya, semakin besar bunga yang harus dibayar akan semakin pekalah laba bersih terhadap perubahan yang terjadi pada laba operasi.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 56 - 63
62
Dari contoh perbandingan dua perusahaan A dan B di atas,pembahasan dilanjutkan pada tabel berikut :
Tabel : 2Pengaruh Beban Tetap Keuangan pada Laba Bersih
Dari contoh perbandingan dua perusahaan A dan B di atas,pembahasan dilanjutkan pada
tabel berikut :
Tabel : 2
Pengaruh Beban Tetap Keuangan pada Laba Bersih
Keterangan Perusahaan A Perusahaan B
Penjualan Rp500,000.00
Rp1,000,000.00
Rp500,000.00
Rp1,000,000.00
Laba Operasi Rp 40,000.00 Rp 90,000.00 Rp 30,000.00 Rp 180,000.00
Bunga Rp - Rp - Rp 10,000.00 Rp 10,000.00
Laba sebelum Pajak Rp 40,000.00 Rp 90,000.00 Rp 20,000.00 Rp 170,000.00
Pajak 40% Rp 16,000.00 Rp 36,000.00 Rp 8,000.00 Rp 68,000.00
Laba Bersih Rp 24,000.00 Rp 54,000.00 Rp 12,000.00 Rp 102,000.00
KenaikanLaba Operasi 125% 500%
KenaikanLaba Bersih 125% 750%
Pada tabel di atas tampak bahwa untuk perusahaan A, dampak kenaikan penjualan
terhadap Laba Bersih sama besarnya dengan dampak terhadap Laba Operasi, yaitu
sebesar 125 % . Sedangkan untuk perusahaan B , dampak terhadap Laba Bersih menjadi
sangat besar, yaitu 750 %, dan terhadap Laba Operasi hanya 500 %. Hal ini sekali lagi
menunjukkan bahwa Bunga sebagai beban tetap, akan meningkatkan kepekaan Laba
Bersih terhadap perubahan Penjualan dan Laba Operasi.( Fred Weston, 1991 )
Kenyataan inilah yang mendorong untuk sedapat mungkin lebih memanfaatkan
situasi ini, dengan usaha-usaha yang maksimum untuk peningkatan penjualan.
3. Kesimpulan
Bagi Perusahaan-perusahaan yang karena operasionalnya mempunyai beban tetap
yang tinggi, seperti PT.Telkom, sekalipun titik impas dicapai pada tingkat penjualan
yang lebih besar ( bila dibanding dengan perusahaan lain yang mempunyai beban tetap
Pada tabel di atas tampak bahwa untuk perusahaan A, dampak kenaikan penjualan terhadap Laba Bersih sama besarnya dengan dampak terhadap Laba Operasi, yaitu sebesar 125 % . Sedangkan untuk perusahaan B , dampak terhadap Laba Bersih menjadi sangat besar, yaitu 750 %, dan terhadap Laba Operasi hanya 500 %. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa Bunga sebagai beban tetap, akan meningkatkan kepekaan Laba Bersih terhadap perubahan Penjualan dan Laba Operasi.( Fred Weston, 1991 )
Kenyataan inilah yang mendorong untuk sedapat mungkin lebih memanfaatkan situasi ini, dengan usaha-usaha yang maksimum untuk peningkatan penjualan.
3. Simpulan Bagi Perusahaan-perusahaan yang karena operasionalnya mempunyai beban tetap yang
tinggi, seperti PT.Telkom, sekalipun titik impas dicapai pada tingkat penjualan yang lebih besar ( bila dibanding dengan perusahaan lain yang mempunyai beban tetap yang lebih kecil ), akan tetapi perusahaan yang mempunyai beban tetap yang tinggi dalam struktur biayanya tersebut, akan dapat memanfaatkan kepekaan Laba nya terhadap perubahan penjualan. Maka perusahaan semacam ini ruang gerak untuk mengatur laba menjadi lebih luas, setelah titik impas dicapai. Harga jual menjadi lebih leluasa untuk dimainkan, sejauh masih di atas biaya variabelnya dan dapat meningkatkan volume penjualan dengan jumlah yang cukup berarti.
MEMANFAAtKAN tINggINYA BEBAN tEtAP UNtUK MEMPEROLEH KEUNtUNgAN YANg OPtIMAL(USE tHE HIgH VALUE OF FIxEd cOSt tO gEt tHE OPtIMUM PROFItS)
Lies Indriyatni
63
DAFTAR PUSTAKA
Agus Sartono, 1997, Manajemen Keuangan, BPFE, Yogyakarta
Bambang Riyanto, 2004, Pembelanjaan Perusahaan, BPFE,Yogyakarta
B.Suwartojo,1986, Tingginya Beban Tetap pada Struktur Biaya,Majalah Manajemen no.40 Tahun VII,Desember 1986,PT.Gramedia,Jakarta.
Fred Weston,1991, Managerial Finance 8th Ed, The Dryden Press,Los Angeles.
Munawir, 1999, Analisa Laporan Keuangan, Liberty,Jogjakarta
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 64 - 74
64
*) Dosen STMIK HIMSYA Semarang
PENGARUH KARAKTERISTIK SISTEM AKUNTANSI MANAJEMEN DAN DESENTRALISASI SEBAGAI VARIABEL
MODERATING TERHADAP KINERJA MANAJERIAL (STUDI EMPIRIS PERUSAHAAN MANUFAKTUR
DI KABUPATEN SEMARANG)
(The Influence Of Management Accounting System (MAS) Characteristic And Decentralization On Managerial Performance At Manufacturing
Company In Kabupaten Semarang)
Achmad Solechan *)Ira Setiawati *)
Abstract
This research is aimed for investigating the influence of Characteristic of Management Accounting System (MAS) and Decentralization on Managerial Performance at Manufacturing Company in Kabupaten Semarang. Data was gathered from 68 respondents that were chosen using purposive sampling. This research employed regression technique to analyze the obtained data. This research showed that Characteristic of Management Accounting System (MAS) positively influence on Managerial Performance; Decentralization is not influence on Managerial Performance; and then the relationship between Characteristic of Management Accounting System (MAS) and Decentralization is not influence on Managerial Performance. Number Coefficient Determination (Adjusted R Square) equal to 0,812. Matter this means that Characteristic of MAS variable (X1) and Variable Characteristic MAS and Decentralization as Variable Moderating (X1.X2) to Managerial Performance (Y) have contributed to 81,20% in explaining Managerial Performance (Y). While other factors which have an effect on to Managerial Performance have its contribution equal to 18,80%.
Keywords : Characteristic of Management Accounting System, Decentralization and Managerial Performance
Abstraksi
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh karakteristik sistem akuntansi manajemen (SAM) terhadap kinerja manajerial di perusahaan manufaktur di Kabupaten Semarang, dengan variabel desentralisasi sebagai variabel moderating. Data terdiri dari 68 responden yang dipilih menggunakan metode purposive sampling. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa
PENgARUH KARAKtERIStIK SIStEM AKUNtANSI MANAJEMEN dAN dESENtRALISASISEBAgAI VARIABEL MOdERAtINg tERHAdAP KINERJA MANAJERIAL
(StUdI EMPIRIS PERUSAHAAN MANUFAKtUR dI KABUPAtEN SEMARANg)
Achmad SolechanIra Setiawati
65
kharakteristik sistem akuntansi manajemen berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial, desentralisasi tidak berpengaruh terhadap kinerja manajerial, sedangkan hubungan antara kharakteristik sistem akuntansi manajemen (SAM) dan desentralisasi tidak berpengaruh terhadap kinerja manajerial. Dengan nilai koefisien determinasi sebesar 81,20% yang berarti bahwa kharakteristik variable SAM (X1), desentralisasi dan interaksi antara X1,X2 terhadap Kinerja manajerial (Y) dipengaruhi oleh faktor lain, sebesar 18,8%.
Kata kunci : Kharakteristik Sistem Akuntansi Manajemen, Desentralisasi dan Kinerja Manajerial
1. PendahuluanSistem akuntansi manajemen merupakan prosedur dan sistem formal yang menggunakan
informasi untuk mempertahankan dan menyediakan alternatif dari berbagai kegiatan perusahaan. Karakteristik sistem akuntansi manajemen yang bermanfaat berdasarkan persepsi manajerial sebagai pengambil keputusan antara lain : broad scope, timeliness, aggregation dan integration (Chenhall dan Morris, 1986 dalam Aida Ainul Mardiyah dan Gudono, 2001). Salah satu fungsi karakteristik sistem akuntansi manajemen adalah sebagai sumber informasi penting untuk membantu manajer mengendalikan aktivitasnya, serta mengurangi ketidakpastian lingkungan dalam usaha mencapai tujuan organisasi dengan sukses (Ietje Nazaruddin, 1998).
Karakteristik informasi yang tersedia dalam organisasi akan menjadi efektif apabila mendukung kebutuhan pengguna informasi akan pengambilan keputusan. Hal ini sejalan dengan pendekatan kontigensi bahwa tingkat ketersediaan dari masing-masing karakteristik informasi sistem akuntansi, mungkin tidak selalu sama untuk setiap organisasi tetapi ada faktor tertentu lainnya yang akan mempengaruhi tingkat kebutuhan terhadap informasi akuntansi manajemen. Hal ini dapat digambarkan bahwa informasi akuntansi manajemen sebagai sub sistem kontrol dalam organisasi, akan selalu dihadapkan dengan sub sistem kontrol lainnya seperti desentralisasi karena kedua sub sistem kontrol tersebut secara signifikan selalu ada dalam suatu organisasi. (Outley, 1980 dalam Ietje Nazaruddin, 1998)
Tingkat desentralisasi akan mempengaruhi tingkat kebutuhan terhadap karakteristik informasi akuntansi manajemen. Dampak interaksi antara sistem akuntansi manajemen dengan desentralisasi akan semakin positif terhadap kinerja manajerial. Kesesuaian antara informasi dengan kebutuhan pembuat keputusan akan mendukung kualitas keputusan yang akan diambil dan pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja perusahaan.
Penilaian kinerja merupakan penentuan secara periodik efektifitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawan berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Penilaian kinerja berarti penilaian atas perilaku manajer dalam melaksanakan beban yang mereka mainkan dalam organisasi secara efektif dan efisien.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan adanya hasil penelitian yang berbeda-beda. Miah and Mia (1996), Ietje Nazarudin (1998), Aida Ainul Mardiah dan Gudono (2001), Tjhai Fung Jen (2002) berhasil membuktikan bahwa sistem akuntansi manajemen berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja manajer. Namun penelitian yang dilakukan oleh Rustiana (2002) belum berhasil membuktikan adanya pengaruh yang signifikan antara sistem akuntansi manajemen terhadap kinerja manajer. Hasil penelitian lainnya dilakukan Aulia Fuad Rahman
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 64 - 74
66
(2000), Rustiana (2002), Aida Ainul Mardiah dan Gudono (2001), Ietje Nazarudin (1998) membuktikan bahwa desentralisasi berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial, sedangkan Miah and Mia (1996) tidak berhasil membuktikan adanya pengaruh yang positif dan signifikan antara desentralisasi terhadap kinerja manajerial. Dari hasil-hasil tersebut membuktikan adanya perbedaan penelitian (gap research) dan menunjukkan bahwa setiap penelitian memiliki situasi dan kondisi yang menyebabkan pengaruh desentralisasi dan sistem akuntansi manajemen tidak sama diterapkan pada beberapa obyek penelitian yang dikaji oleh para peneliti tersebut.
Penelitian ini mengambil obyek penelitian pada perusahaan manufaktur di Kabupaten Semarang. Alasan pemilihan obyek karena perusahaan manufaktur yang ada di Kabupaten Semarang tidak sebanyak perusahaan-perusahaan yang ada kawasan Jabodetabek yang memang merupakan salah satu kawasan industri di Indonesia. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk menganalisis pengaruh karakteristik sistem akuntansi manajemen (SAM) terhadap kinerja manajerial. Disamping itu juga menganalisis pengaruh desentralisasi terhadap kinerja manajerial serta untuk menganalisis pengaruh karakteristik sistem akuntansi manajemen terhadap kinerja manajerial dengan desentralisasi sebagai variabel moderating.
2. Pembahasan2.1. Sistem Akuntansi Manajemen
Menurut Mulyadi (1997) akuntansi manajemen dapat dipandang dari dua sudut yaitu akuntansi manajemen sebagai salah satu tipe akuntansi dan akuntansi manajemen sebagai salah satu tipe informasi. Sebagai salah satu tipe akuntansi yaitu akuntansi manajemen merupakan suatu sistem pengolahan informasi keuangan yang digunakan untuk menghasilkan informasi keuangan bagi kepentingan pemakai intern organisasi. Akuntansi manajemen merupakan salah satu tipe akuntansi diantara dua tipe akuntansi yaitu akuntansi keuangan dan akuntansi manajemen. Sedangkan sebagai salah satu tipe informasi, akuntansi manajemen merupakan tipe informasi kuantitatif yang menggunakan uang sebagai satuan ukuran, yang digunakan untuk membantu manajemen dalam pelaksanaan pengelolaan perusahaan. Akuntansi manajemen adalah informasi keuangan yang merupakan keluaran yang dihasilkan oleh tipe akuntansi manajemen yang dimanfaatkan terutama oleh pemakai intern organisasi.
Akuntansi manajemen menghasilkan informasi yang berguna untuk membantu para pekerja, manajer, dan eksekutif untuk membuat keputusan yang lebih baik (Atkinson, 1995). Secara tradisional informasi manajemen didominasi oleh informasi financial, tetapi dalam perkembangannya ternyata peran informasi non financial juga menentukan. Informasi akuntansi manajemen dapat dihubungkan dengan tiga hal : obyek informasi, alternatif yang akan dipilih, dan wewenang manajer. Jika informasi akuntansi manajemen dihubungkan dengan obyek informasi, maka akan dihasilkan konsep informasi akuntansi penuh. Jika informasi akuntansi manajemen dihubungkan dengan alternatif yang dipilih, maka akan dihasilkan konsep informasi akuntansi diferensial.
Penelian Chenhall dan Morris (1986) menemukan bukti empiris mengenai karakteristik informasi yang bermanfaat menurut persepsi para manajerial yaitu terdiri dari informasi broad scope, timeliness, agregasi dan integrasi. Menurut Itje Nazarudin (1998) kriteria umum mengenai karakteristik informasi yang baik dapat dijabarkan pada pembahasan berikut :
PENgARUH KARAKtERIStIK SIStEM AKUNtANSI MANAJEMEN dAN dESENtRALISASISEBAgAI VARIABEL MOdERAtINg tERHAdAP KINERJA MANAJERIAL
(StUdI EMPIRIS PERUSAHAAN MANUFAKtUR dI KABUPAtEN SEMARANg)
Achmad SolechanIra Setiawati
67
1. Broad ScopeBroad scope merupakan informasi yang memiliki cakupan luas dan lengkap,
yang biasanya meliputi aspek ekonomi (pangsa pasar, produk domestik bruto, total penjualan) dan aspek non ekonomi misalnya : kemajuan teknologi, perubahan sosiologis, demografi (Chia, 1995 dalam Itje Nazarudin, 1998). Tingginya tingkat desentralisasi menyebabkan manajer membutuhkan informasi broad scope untuk meningkatkan otoritas, tanggung jawab, dan fungsi kontrol. Perbedaan tingkat desentralisasi akan mengakibatkan perbedaan kebutuhan informasi broad scope. Informasi broad scope berguna untuk mencapai kinerja yang lebih baik (Sathe dan Watson, 1987).
2. TimelinessTimeliness menunjukkan ketepatan waktu dalam memperoleh informasi mengenai
suatu kejadian (Echols, 1996 dalam Itje Nazarudin, 1998). Informasi dikatakan tepat waktu apabila informasi tersebut mencerminkan kondisi terkini dan sesuai dengan kebutuhan manajer (Bordnar, 1995 dalam Juniarti dan Evelyn, 2003). Informasi yang tepat waktu akan membantu manajer dalam pengambilan keputusan (Chusing, 1994 dalam Itje Nazarudin, 1998).
3. Agregasi Informasi yang disampaikan pada karakeristik informasi agregasi ini dalam
bentuk yang lebih ringkas, tetapi tetap mencakup hal-hal penting sehingga tidak mengurangi nilai informasi itu sendiri (Bordnar, 1995 dalam Itje Nazarudin, 1998). Informasi yang teragregasi akan berfungsi sebagai masukan yang berguna dalam proses pengambilan keputusan karena lebih sedikit waktu yang diperlukan untuk mengevaluasinya, sehingga meningkatkan efisiensi kerja manajemen (Chia, 1995 dalam Itje Nazarudin, 1998). Informasi agregasi diperlukan dalam organisasi desentralisasi karena dapat mencegah kemungkinan terjadinya overload informasi (Iselin, 1988 dalam Itje Nazarudin, 1998).
4. Integrasi Karakteristik informasi integrasi mencerminkan kompleksitas dan saling
keterkaitan antara bagian satu dengan bagian lain (Nazarudin, 1998 dalam Itje Nazarudin, 1998). Informasi terintegrasi berperan sebagai koordinator dalam mengendalikan pengambilan keputusan yang beraneka ragam. Manfaat informasi yang terintegrasi dirasakan penting saat manajer dihadapkan pada situasi dimana harus mengambil keputusan yang akan berdampak pada unit yang lain. Informasi integrasi mencakup aspek seperti ketentuan target atau aktivitas yang dihitung dari proses interaksi antar sub unit dalam organisasi. Informasi terintegrasi bermanfaat bagi manajer ketika mereka dihadapkan untuk melakukan decision making yang mungkin akan berpengaruh pada sub unit lainnya.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 64 - 74
68
2.2. DesentralisasiDesentralisasi merupakan pendelegasian wewenang tanggung jawab kepada para manajer
lebih rendah. Tingkat pendelegasian menunjukkan seberapa jauh manajemen yang lebih tinggi mengizinkan manajemen yang lebih rendah untuk membuat kebijakan secara independen artinya pendelegasian yang diberikan kepada menajemen yang lebih rendah (subordinate) dalam kaitannya dengan otoritas pembuatan keputusan (decision making) dan desentralisasi memerlukan tanggung jawab terhadap aktivitas subordinate tersebut.
2.3. Kinerja ManajerialKinerja merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menilai pekerjaan yang dilakukan
seseorang dengan cara membandingkan dengan kinerja dengan uraian atau deskripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu. Kinerja manajerial adalah kinerja manajer dalam kegiatan-kegiatan yang meliputi perencanaan, investigasi, pengoordinasian, evaluasi, pengawasan, pengaturan staf (staffing), dan perwakilan/representatif di lingkungan organisasinya. (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2002)
Kinerja yang efektif adalah kesadaran bahwa keberhasilan seseorang paling tidak dipengaruhi oleh masalah prosedur dan proses maupun jenis bentuk atau sistem pencatatan standar yang digunakan. Penilaian kinerja merupakan proses subyektif yang menyangkut penilaian manusia. Dengan demikian, penilaian kinerja sangat mungkin keliru dan sangat mudah dipengaruhi oleh sumber yang tidak aktual. Tidak sedikit sumber tersebut mempengaruhi proses penilaian, sehingga harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dengan wajar. Penilaian kinerja dianggap memenuhi sasaran apabila memiliki dampak yang baik pada tenaga kerja yang baru dinilai kinerjanya. Menurut Siswanto Sastrohadiwiryo (2002) unsur-unsur yang dapat dinilai dalam menilai kinerja antara lain: (1) Kesetiaan, (2) Prestasi Kerja, (3) Tanggung Jawab, (4) Ketaatan, (5) Kejujuran, (6) Kerjasama, dan (7) Prakarsa.
2.4. Pengaruh Sistem Akuntansi Manajemen dan Desentralisasi terhadap Kinerja Manajerial
2.4.1. Pengaruh Sistem Akuntansi Manajemen terhadap Kinerja ManajerialPerusahaan mendesain sistem akuntansi manajemen untuk membantu organisasi
melalui para manajer dalam hal perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengambilan keputusan. Para manajer membutuhkan dukungan informasi untuk menjalankan aktivitasnya. Seberapa besar dukungan informasi yang diperlukan oleh para manajer tergantung pada variabel lingkungan tugas yang dihadapinya. Karakteristik hubungan antar sub unit organisasi dan besarnya tingkat desentralisasi yang diperlukan oleh organisasi.
2.4.2. Pengaruh Desentralisasi terhadap Kinerja ManajerialTingkat desentralisasi akan mempengaruhi tingkat kebutuhan terhadap karakteristik
informasi akuntansi manajemen. Dampak interaksi antara sistem akuntansi manajemen dengan desentralisasi akan semakin positif terhadap kinerja manajerial. Hubungan tersebut terjadi karena adanya desentralisasi, para manajer diberikan hak untuk mengambil keputusan oleh superior (atasannya) dan mengimplementsikannya, tetapi di sisi lain manajer bertanggung jawab trhadap keputusanyang telah ditetapkan.
PENgARUH KARAKtERIStIK SIStEM AKUNtANSI MANAJEMEN dAN dESENtRALISASISEBAgAI VARIABEL MOdERAtINg tERHAdAP KINERJA MANAJERIAL
(StUdI EMPIRIS PERUSAHAAN MANUFAKtUR dI KABUPAtEN SEMARANg)
Achmad SolechanIra Setiawati
69
Gambar 2.1.Kerangka Pemikiran
2.5. HipotesisHipotesis adalah suatu pernyataan yang masih lemah kebenarannya dan perlu dibuktikan
atau dugaan yang sifatnya masih sementara (M. Iqbal Hasan, 2002). Berdasarkan permasalahaan dan tujuan penelitian yang dikemukakan di atas maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan yaitu :
H1 : Sistem Akuntansi Manajemen (SAM) berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial
H2 : Desentralisasi berpengaruh positif terhadap kinerja manajerialH3 : Interaksi SAM dan Desentralisasi berpengaruh positif terhadap kinerja
manajerial
2.6. Definisi Operasional dan PengukurannyaVariabel independen adalah tipe variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi terhadap
variabel lain (Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, 1999). Variabel-variabel dalam penelitian ini terdiri dari :
a. Variabel independent : Karakteristik Sistem Akuntansi Manajemen (X1) Karakteristik sistem akuntansi manajemen yaitu suatu sistem pengolahan informasi keuangan yang digunakan untuk menghasilkan informasi keuangan bagi kepentingan pemakai intern organisasi (Menurut Mulyadi,1997). Pengukurannya dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Chenhall dan Morris (1996), yaitu terdiri dari empat dimensi (aspek) yaitu informasi Broad scope diukur dengan enam item pertanyaan. Timeliness diukur dengan empat item pertanyaan. Agregasi diukur dengan lima item pertanyaan. Integrasi diukur dengan tiga item pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diukur dalam 5 skala.
b. Variabel moderating : Desentralisasi (X2) Desentralisasi merupakan pendelegasian wewenang tanggung jawab kepada para
manajer lebih rendah. Tingkat pendelegasian menunjukkan seberapa jauh manajemen yang lebih tinggi mengizinkan manajemen yang lebih rendah untuk membuat
8
yang dihadapinya. Karakteristik hubungan antar sub unit organisasi dan besarnya
tingkat desentralisasi yang diperlukan oleh organisasi.
2.4.2. Pengaruh Desentralisasi terhadap Kinerja Manajerial
Tingkat desentralisasi akan mempengaruhi tingkat kebutuhan terhadap
karakteristik informasi akuntansi manajemen. Dampak interaksi antara sistem
akuntansi manajemen dengan desentralisasi akan semakin positif terhadap kinerja
manajerial. Hubungan tersebut terjadi karena adanya desentralisasi, para manajer
diberikan hak untuk mengambil keputusan oleh superior (atasannya) dan
mengimplementsikannya, tetapi di sisi lain manajer bertanggung jawab trhadap
keputusanyang telah ditetapkan.
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
KINERJA MANAJERIAL
KARAKTERISTIK SISTEM INFORMASI AKUNTANSI
MANAJEMEN
Variabel Moderating
DESENTRALISASI
2.5. Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih lemah kebenarannya dan
perlu dibuktikan atau dugaan yang sifatnya masih sementara (M. Iqbal Hasan,
2002). Berdasarkan permasalahaan dan tujuan penelitian yang dikemukakan di
atas maka hipotesis penelitian dapat dirumuskan yaitu :
H1 : Sistem Akuntansi Manajemen (SAM) berpengaruh positif terhadap
kinerja manajerial
H2 : Desentralisasi berpengaruh positif terhadap kinerja manajerial
H3 : Interaksi SAM dan Desentralisasi berpengaruh positif terhadap kinerja
manajerial
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 64 - 74
70
kebijakan secara independen artinya pendelegasian yang diberikan kepada menajemen yang lebih rendah (Hellriegel dan Slocum, 1978 dalam Itje Nazarudin, 1998).
Variabel desentralisasi diukur dengan menggunakan instrumen yang telah dikembangkan oleh Gordon dan Narayan (1984), yakni diukur dengan lima item pertanyaan dalam 5 skala. Kelima pertanyaan tersebut untuk mengetahui seberapa jauh pengambilan keputusan didelegasikan pada para manajer, yaitu kebijakan dalam pengambilan produk atau jasa baru, kebijakan dalam pemutusan hubungan kerja, penentuan investasi dalam skala besar, pengalokasian anggaran dan penentuan harga jual.
c. Variabel terikat (dependen) : Kinerja Manajerial (Y) Kinerja manajerial adalah kinerja manajer dalam kegiatan-kegiatan yang meliputi
perencanaan, investigasi, pengoordinasian, evaluasi, pengawasan, pengaturan staf (staffing), dan perwakilan atau representatif di lingkungan organisasinya. (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2002)
Variabel kinerja manajerial diukur dengan menggunakan instrumen self rating yang dikembangkan oleh Mahoney (1963). Para responden diminta menilai kinerja mereka dibandingkan dengan rata-rata kinerja rekan mereka. Kinerja manajerial diukur dengan sembilan item pertanyaan yang diukur dengan 5 skala. Instrumen ini terdiri dari delapan dimensi kinerja personal yaitu perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi, pengawasan, staff, negoisasi, perwakilan dan satu dimensi kinerja secara keseluruhan.
2.7. Data PenelitianPopulasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah manajemen puncak (top management)
yang mengetahui organisasi atau perusahaan manufaktur di Kabupaten Semarang. Teori pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu memilih sampel berdasarkan kriteria yang ditetapkan. Kriteria sampel yang diambil dalam penelitian adalah : manajer / pimpinan / kepala bagian / kepala seksi yang mengetahui organisasi / perusahaan manufaktur di Kabupaten Semarang dan mau berpartisipasi dalam pengisian kuesioner yang diperoleh sebanyak 68 responden.
PENgARUH KARAKtERIStIK SIStEM AKUNtANSI MANAJEMEN dAN dESENtRALISASISEBAgAI VARIABEL MOdERAtINg tERHAdAP KINERJA MANAJERIAL
(StUdI EMPIRIS PERUSAHAAN MANUFAKtUR dI KABUPAtEN SEMARANg)
Achmad SolechanIra Setiawati
71
2.8. Output Regresi Linier Berganda
Tabel Hasil Penelitian
Berdasarkan pengujian statistik dengan SPSS didapatkan angka t-hitung antara Karakteristik SAM (X1) terhadap Kinerja Manajerial (Y) sebesar 2,170 dan angka probabilitas sebesar 0,034 < taraf signifikansi α = 5% (0,05); berarti terletak pada daerah H0 ditolak, sehingga secara parsial (individu) terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Karakteristik SAM (X1) terhadap Kinerja Manajerial (Y). Angka signifikan dan positif ini mengindikasikan bahwa semakin baik karakteristik SAM pada suatu perusahaan, maka akan semakin tinggi pula kinerja manajerial. Sebaliknya, semakin buruk karakteristik SAM pada suatu perusahaan, maka akan semakin rendah kinerja manajerial. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aida Ainul Mardiah dan Gudono (2001); Miah and Mia (1996); Ietje Nazarudin (1998); dan Rustiana (2002) yang mengemukakan bahwa sistem akuntansi manajemen berpengaruh positif dan dapat meningkatkan kinerja manajerial.
Angka t-hitung antara Variabel Desentralisasi (X2) terhadap Kinerja Manajerial (Y) sebesar 0,170 dan angka probabilitas sebesar 0,866 > taraf signifikansi α = 5% (0,05); berarti terletak pada daerah H0 diterima, sehingga secara parsial (individu) tidak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Desentralisasi (X2) terhadap Kinerja Manajerial (Y). Tidak adanya pengaruh yang signifikan ini mengindikasikan bahwa baik buruknya sistem desentralisasi yang diterapkan pada suatu perusahaan, tidak berpengaruh pada kinerja manajerial perusahaan.
Angka t-hitung antara Variabel Karakteristik SAM dan Desentralisasi (X1.X2) terhadap Kinerja Manajerial (Y) sebesar 0,657 dan angka probabilitas sebesar 0,514 > taraf signifikansi α = 5% (0,05); berarti terletak pada daerah H0 diterima, sehingga secara parsial (individu) tidak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Karakteristik SAM dan Desentralisasi sebagai Variabel Moderating (X1.X2) terhadap Kinerja Manajerial (Y). Tidak adanya pengaruh yang signifikan ini mengindikasikan bahwa baik buruknya keterkaitan hubungan antara Karakteristik SAM dan sistem desentralisasi yang diterapkan pada suatu perusahaan, tidak berpengaruh baiknya tinggi kinerja manajerial. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Aida Ainul Mardiah dan Gudono (2001) dan Ietje Nazarudin (1998) yang mengemukakan bahwa desentralisasi dan sistem akuntansi manajemen berpengaruh positif dan dapat meningkatkan kinerja manajerial.
10
pengaturan staf (staffing), dan perwakilan atau representatif di lingkungan
organisasinya. (Siswanto Sastrohadiwiryo, 2002)
Variabel kinerja manajerial diukur dengan menggunakan instrumen self
rating yang dikembangkan oleh Mahoney (1963). Para responden diminta
menilai kinerja mereka dibandingkan dengan rata-rata kinerja rekan
mereka. Kinerja manajerial diukur dengan sembilan item pertanyaan yang
diukur dengan 5 skala. Instrumen ini terdiri dari delapan dimensi kinerja
personal yaitu perencanaan, investigasi, koordinasi, evaluasi, pengawasan,
staff, negoisasi, perwakilan dan satu dimensi kinerja secara keseluruhan.
2.7. Data Penelitian
Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah manajemen puncak (top
management) yang mengetahui organisasi atau perusahaan manufaktur di
Kabupaten Semarang. Teori pengambilan sampel dalam penelitian ini
menggunakan purposive sampling, yaitu memilih sampel berdasarkan kriteria
yang ditetapkan. Kriteria sampel yang diambil dalam penelitian adalah : manajer /
pimpinan / kepala bagian / kepala seksi yang mengetahui organisasi / perusahaan
manufaktur di Kabupaten Semarang dan mau berpartisipasi dalam pengisian
kuesioner yang diperoleh sebanyak 68 responden.
2.8. Output Regresi Linier Berganda
Tabel Hasil Penelitian Model Konstanta X1 X2 X1X2
Koefisien beta standar
7.938 0.280 0.087 0.005
Standar Error 8.507 0.129 0.510 0.007T hitung 0.933 2.170 0.170 0.657Signifikan 0.354 0.034 0.866 0.514Kesimpulan Signifikan Tidak
SignifikanTidak
SignifikanKoefisien determinasi (Adjusted R Square) = 0.812 Multiple R = 0.820 F hitung = 97.266 Signifikan F = 0.000
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 64 - 74
72
3. SimpulanBerdasarkan pembahasan diatas, dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu secara
parsial (individu) terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Karakteristik SAM (X1) terhadap Kinerja Manajerial (Y); secara parsial (individu) tidak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Desentralisasi (X2) terhadap Kinerja Manajerial (Y); secara parsial (individu) tidak terdapat pengaruh yang positif dan signifikan antara Karakteristik SAM dan Desentralisasi sebagai Variabel Moderating (X1.X2) terhadap Kinerja Manajerial (Y).
DAFTAR PUSTAKA
Aida Ainul Mardiyah dan Gudono, 2001. Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan Dan Desentralisasi Terhadap Karakteristik Informasi Sistem Akuntansi Manajemen. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol. 4 No. 1.
Algifari, 2000. Metode Statistik, Jakarta: Penerbit LP3ES.
Amey, 1970. Budget Planning and Control System, New York: Ptiman.
Ansari, 1979. Towards an Open Systems Approach to Budgeting, Accounting, Organization and Society.
Arikunto Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta.
Atkinson, Banker, Kaplan, 1995. Management Accounting, Upper Saddle River: Prentice Hall.
Aulia Fuad Rahman, 2000. Peran Karakteristik Informasi Broad Scope dan Agregaton Sistem Akuntansi Manajemen pada Kondisi Ketidakpastian Lingkungan dan Desentralisasi Serta Peningkatan Kinerja Manajerial. Jurnal Ekuitas.
Bodnar, George and William, Hopwood, 1995. Accounting Information Systems, 8th Edition, Prentice Hall, New Jersey.
Chenhall dan Morris, 1986. The Impact of Structure, Environment and Interdependence on the Perceived Usefulness of Management Accounting System, Accounting Review.
Chia, 1995. Decentralization, Management Accounting System, MAS Information Characteristics and their Interaction Effects on Managerial Accounting Systems, Journal Accounting Review.
Gordon dan Narayana, 1984. Management Accounting System, Perceived Environmental Uncertainty and Organization Structure; an empirical analysis. Journal Accounting, Analysis and Society.,
PENgARUH KARAKtERIStIK SIStEM AKUNtANSI MANAJEMEN dAN dESENtRALISASISEBAgAI VARIABEL MOdERAtINg tERHAdAP KINERJA MANAJERIAL
(StUdI EMPIRIS PERUSAHAAN MANUFAKtUR dI KABUPAtEN SEMARANg)
Achmad SolechanIra Setiawati
73
Gul, 1994. The Effect of Management Accounting System, Perceived Environmental Uncertainty and Decentralization on Managerial Performance A Test of Three Ways Interaction, Accounting, Organization and Society.
Hellriegel dan Slocum, 1978. Management Contingency Approach, Addison Wesley.
Hongren, Foster, and Datar, 1982. Cost Accounting: A managerial emphasis, Englewood Cliffs, Prentice Hall.
Husein Umar, 1998. Metode Riset Bisnis, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ietje Nazaruddin, 1998. Pengaruh Desentralisasi dan Karakteristik Informasi Sistem Akuntansi Manajemen terhadap Kinerja Manajerial. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia Vol. 1 No. 2.
Imam Ghozali, 2005, Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang : Badan Penertbit Universitas Diponegoro.
Iqbal Hasan, 2002, Pokok-pokok Materi Statistik 2 (Statistik Inferensi), Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Iselin, 1988. The Effect of Information Load and Information Diversity on Decision Quality in the Structured Decision Task. Accounting, Organization and Society.
Lorsh dan Allen, 1973. Managing Diversity and Interdependence, Harvard University Press, Cambridge.
Mahoney, 1963. Development of Managing Performance: A Research Approach, Cincinnati, OH : South Western.
Miah and Mia, 1996. Decentralization, Accounting Controls and Performance of Government Organizations : A New Zealand Empirical Study, Journal.
Mulyadi, 1997. Akuntansi Manajemen, Yogyakarta : Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Nur Indriantoro dan Bambang Supomo, 1999, Metodologi Penelitian Bisnis, Untuk Akuntasni dan Manajemen, Yogyakarta : BPFE.
Outley, 1980. The Contingency Theory of Managemenet Accounting : Achievement and Prognosis, Accounting Organization and Society.
Pick, 1971. Is Responsibility Accounting Irresponsible, New York Certified Public Accountants, Vol. 41 No. 7.
Rustiana, 2002. Pengaruh Sistem Akuntansi Manajemen, Desentralisasi, dan Perceived environmental Uncertainty (PEU) terhadap Kinerja Manajerial: Three Way Interaction. Jurnal Riset Ekonomi dan Manajemen, Vol. 2 No. 2 Mei.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 64 - 74
74
Siswanto Sastrohadiwiryo, 2002. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia : Pendekatan Administratif dan Operasional, Jakarta : Bumi Aksara.
Tjhai Fung Jen, 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Sistem Informasi Akuntansi. Jurnal.
Williamson, 1970. Corporate Control and Business Behavior, Prentice Hall, Englewood Clifts, New Jersey.
PENgARUH MOtIVASI KERJA dAN KOMPEtENSI PROFESIONAL gURUtERHAdAP PROSES PEMBELAJARAN dI SMP NEgERI KOtA SEMARANg
Tri Sulasmiyati
75
PENGARUH MOTIVASI KERJA DAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU TERHADAP PROSES PEMBELAJARAN
DI SMP NEGERI KOTA SEMARANG
(The Effect of Work Motivation and Teachers Professional Competence on the Learning Process of State Junior High Schools of Semarang City)
Tri Sulasmiyati *)
Abstract
The study deals with the effect of work motivation and teachers’ professional competence on the learning process of state Junior High Schools of Semarang. The problems under study are (1) to what extent is the effect of work motivation on the learning process of State junior High Schools of Semarang, (2) to what extent is the effect of teachers’ professional competence on the learning process of State Junior Hihg Schools of Semarang, and (3) to what extent is the effect of both work motivation and teachers’ professional competence on the learning process of State Junior High Schools of Semarang.
The study adopts a multiple regression analysis. The analysis is used to examine the extent of the effect of work motivation as the independent variable on the learning process as the dependent variable, the extent of the effect of teachers’ professional competence as the independent variable on the learning process of the State Junior High Schools of Semarang, and the extent of the effect of both work motivation and teachers’ professional competence as the independent variables on the learning process as the dependent variable. The sample consisted of 206 respondents selected by the use of a proportional stratified random sampling technique and the data were collected by the use of questionnaires.
The results of the study show that work motivation significantly affected the learning process of State Junior High Schools of Semarang, indicated by the t-test result of 4.571 which is higher that t-table of 1.660 and had the effect of 31.7%. The teachers’ professional competence significantly affected the learning process of State Junior High Schools of Semarang, indicated by the t-test result of 2.040 which is higher that t-table of 1.660 and had the effect of 28.4%. In addition, both work motivation and teachers’ professional competence simultaneously and significantly affected the learning process of State Junior High Schools of Semarang, indicated by the F-test result of 12.343 which is higher that the F-table of 3.09 and had the effect of 60.1%.
Based on the significant effect of each variable, the teachers of State Junior High Schools of Semarang are suggested to improve their work motivation and professional competence to be able to improve the quality of the teaching-learning process.
Keyword: Work Motivation, Teachers Professional Competence, Learning Process
*) Kepala SMP Negeri 7 Semarang
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 75 - 86
76
Abstraksi
Studi dalam penelitian ini mengenai pengaruh motivasi kerja dan kompetensi professional guru terhadap proses pembelajaran di SMP Negeri di Kota Semarang. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (1) Seberapa besar pengaruh motivasi kerja terhadap proses pembelajaran di SMP Negeri Kota Semarang, (2) Seberapa besar pengaruh kompetensi professional guru terhadap proses pembelajaran di SMP Negeri Kota Semarang, dan (3) Seberapa besar pengaruh motivasi kerja dan kompetensi professional guru terhadap proses pembelajaran di SMP Negeri Kota Semarang.
Dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi ganda. Analisis ini digunakan untuk mengetahui besar pengaruh variable motivasi kerja sebagai variable independen terhadap proses pembelajaran sebagai variabel dependen dan variable kompetensi professional guru sebagai variable independent terhadap proses pembelajaran sebagai variable dependen serta untuk mengetahui pengaruh variable motivasi kerja dan kompetensi professional guru sebagai variable dependen terhadap proses pembelajaran dengan teknik proporsional stratified random sampling dan menggunakan kuesioner untuk memperoleh data.
Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa motivasi kerja guru-guru di SMP Negeri di Kota Semarang termasuk baik. Kompetensi professional guru SMP Negeri di Kota Semarang baik dan proses pembelajaran di SMP Negeri Kota Semarang baik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh signifikan terhadap proses pembelajaran di SMP Negeri Kota Semarang yang dibuktikan dengan hasil uji t sebesar 4.571 lebih besar dari t-tabel (1,660) dan memiliki pengaruh sebesar 31,7%. Kompetensi professional guru berpengaruh signifikan terhadap proses pembelajaran dengan dibuktikan dengan uji t sebesar 2,040 lebih besar dari t-tabel (1,660) dan memiliki pengaruh sebesar 28,4%. Sedangkan hasil variable motivasi kerja dan kompetensi profesional guru berpengaruh siginifikan secara simultan terhadap proses pembelajaran yang dibuktikan dengan uji F sebesar 12,343 lebih besar dari F-tabel 3,09 dan memiliki pengaruh sebesar 60,1%.
Melihat masing-masing variable memiliki pengaruh yang signifikan maka disarankan guru-guru SMP Negeri di Kota Semarang untuk meningkatkan motivasi kerja dan kemampuan profesionalnya untuk dapat meningkatkan mewujudkan proses pembelajaran.
Kata Kunci: Motivasi Kerja, Kompetensi Profesional Guru, Proses Pembelajaran
1. PendahuluanPengertian pendidikan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 (2003:5) adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, alkhak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Sedangkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab ( UU Nomor 20 Tahun 2003, 2003:8 )
PENgARUH MOtIVASI KERJA dAN KOMPEtENSI PROFESIONAL gURUtERHAdAP PROSES PEMBELAJARAN dI SMP NEgERI KOtA SEMARANg
Tri Sulasmiyati
77
Proses pembelajaran dipengaruhi oleh banyak faktor di antaranya adalah motivasi kerja guru dalam melaksanakan tugas dan kompetensi profesional guru. Hamalik (2004:7) menjelaskan bahwa kompetensi yang harus dimiliki guru adalah kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi kemasyarakatan. Lebih lanjut Sembiring (2002:2) mengatakan bahwa seorang guru profesional dalam melaksanakan tugas harus memiliki kompetensi pengelolaan pembelajaran, kompetensi penguasaan akademik, dan kompetensi pengembangan potensi. Oleh karena guru adalah jabatan profesional maka kompetensi profesional guru mutlak diperlukan untuk dapat menciptakan proses pembelajaran yang baik.
2. Pembahasan2.1. Proses Pembelajaran
Pengertian pembelajaran menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (2003:7) adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Berangkat dari pengertian tersebut maka proses pembelajaran diharapkan dapat membantu siswa mengembangkan diri secara optimal serta mampu mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Kegiatan yang dilaksanakan guru di kelas harus dapat memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan dan berguna bagi siswa. Guru perlu memberikan bermacam-macam situasi belajar yang memadai untuk materi yang disajikan dan menyesuaikannya dengan kemampuan serta karakteristik siswa.
Menurut Soekamto (1997:5) proses belajar yaitu apa saja yang dihayati siswa apabila mereka belajar, bukan apa yang harus dilakukan guru untuk mengajarkan materi pelajaran tetapi apa yang akan dilakukan siswa untuk mempelajarinya. Sejalan dengan itu, Suprihatin (1989:210) menjelaskan bahwa proses pembelajaran merupakan berbagai jenis kegiatan yang sengaja dilakukan oleh guru dengan tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses belajar mengajar. Pada kegiatan proses pembelajaran ini termasuk di dalamnya mengatur orang termasuk perilakunya dan mengatur ruang atau barang, untuk menciptakan berbagai kemudahan dalam belajar.
Dirjen Dikdasmen ( 2004:49) menjelaskan bahwa proses pembelajaran meliputi (1) Membuka kegiatan pembelajaran dengan tepat, (2) membantu anak dalam mengenal topik/tema, (3) Menjelaskan isi kegiatan kepada anak,(4) Menggunakan ekspresi dalam berkomunikasi dengan anak, (5) Menggunakan respon anak dalam menyelenggarakan kegiatan, (6) Menggunakan media dan alat pembelajaran yang sesuai dengan tujuan, (7) Menyelenggarakan kegiatan dengan urutan yang logis sesuai dengan usia anaka, (8) Menggunakan berbagai cara dalam menjelaskan isi kegiatan kepada anak, (9) Membimbing anak dalam mengikuti kegiatan secara individual maupun kelompok, (10 ) Memberikan banyak kesempatan kepada anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dilaksanakan, (11) Memberikan penguatan kepada anak, (12) Menunjukkan penguasaan kawasan perkembangan anak, (13) Melaksanakan penilaian selama kegiatan berlangsung, dan (14) Menutup kegiatan dengan tepat.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 75 - 86
78
2.2. Motivasi KerjaSuciati (1997:41) menjelaskan bahwa istilah motivasi berasal dari bahasa latin “movere”,
yang berarti menggerakkan. Berdasarkan pengertian ini makna motivasi menjadi berkembang. Motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu, dan yang memberi arah dan ketahanan pada tingkah laku tersebut. Motivasi juga dapat dijelaskan sebagai tujuan yang ingin dicapai melalui perilaku tertentu. Cropley dalam Suciati (1997:42). Dalam pengertian ini, guru akan berusaha mencapai tujuan karena dirangsang oleh manfaat atau keuntungan yang akan diperoleh.
Motivasi merupakan suatu dorongan yang ada pada diri seseorang yang dapat mengaktifkan dan mengarahkan tingkah lakunya pada sasaran tertentu. Setiap orang bisa berbeda motivasinya, meskipun pekerjaan di antara mereka sama. Motivasi perseorangan dapat meliputi kebutuhan prestasi, afiliasi/perasaan diterima oleh orang lain, kekuasaan, kemampuan, dan lain-lain. Di lain pihak, tujuan perseorangan serta usaha-usaha yang mengarah pada pencapaian tujuan merupakan manifestasi eksternal dari motivasi seseorang.
Motivasi seringkali dikatakan kunci bagi kinerja para guru. Kinerja dapat ditingkatkan dengan motivasi kerja yang tinggi, pengetahuan dan keahlian dalam melakukan tugas dan persepsi, peran yang positif yang dimiliki seseorang. Menurut Robbins (2001 : 208) motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya di dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual.
Gibson (1985:94) menjelaskan bahwa motivasi adalah suatu konsep yang menguraikan tentang kekuatan-kekuatan yang ada dalam diri karyawan untuk memulai dan mengarahkan perilaku bekerja secara bertahap. Seorang manajer harus mempertimbangkan suatu motivasi yang berbeda bagi sekelompok orang yang sukar diduga sebelumnya. Keaneragaman dalam kelompok karyawan ini menyebabkan pola perilaku ,yang berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan.
Menurut Dessler (1998:45) menjelaskan dalam konsep manajemen personalia karyawan yang mempunyai minat, ketrampilan yang memenuhi syarat, dilindungi dan didorong oleh organisasi, untuk tumbuh dan merealisasikan potensinya secara penuh. Di sisi lain pimpinan berkewajiban memanfaatkan kemampuan serta memberi kesempatan meningkatkan karirnya. Sikap ini merupakan upaya memuaskan individu karyawan dan organisasi dalam memperoleh kinerja yang bertanggungjawab. Kinerja yang berhasil tergantung pada motivasi,ketrampilan, profesi yang dipilihnya dan bahkan harus memiliki kompetensi sesuai bidang profesinya. Desseler (1998:50) Menurut Sedarmayanti (2004)135) motivasi kerja adalah bersar kecilnya usaha yang diberikan seorang untuk melaksanakan tugas pekerjaannya dan jika tidak memotivasi , maka sulit diharapkannya produktivitas kerjanya. yang tinggi.
Robbins (2003:274) menjelaskan bahwa motivasi para ahli atau profesional ini banyak memperoleh kepuasan intrinsik dari karya mereka .dan mereka cenderung digaji tinggi atau baik. Sebagai indikator bagi mereka para ahli atau profesional adalah :
1. Mempunyai komitmen jangka panjang dan kuat dibidang keahliannya2. Kesetiaan mereka cenderung pada profesinya3. Selalu mengikuti perkembangan dalam bidangnya4. Mereka tetap memutakhirkan pengetahuannya.5. Komitmen pada profesi yang berarti jarang mendefinisikan jam kerja.
PENgARUH MOtIVASI KERJA dAN KOMPEtENSI PROFESIONAL gURUtERHAdAP PROSES PEMBELAJARAN dI SMP NEgERI KOtA SEMARANg
Tri Sulasmiyati
79
2.3. Kompetensi Profesional Guru Pengertian kompetensi menurut Undang-Undang Guru dan Dosen (2005:3) adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasahi oleh guru dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Sedangkan guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sembiring (2002:12) menjelaskan bahwa guru merupakan pelaku utama dan memiliki peran yang sangat strategis dalam proses belajar mengajar di sekolah. Guru yang berkualitas adalah guru yang menguasai substansi bidang akademik dan pengelolaan pembelajaran serta mengembangkan potensinya. Peran guru yang strategis dalam pembelajaran membawa konsekuensi dalam melakasanakan tugasnya secara profesional. Menurut Ditjen Dikdasmen (2003), guru yang profesional, mempunyai kompetensi tinggi terhadap (1) kompetensi pengelolaan pembelajaran (2) kompetensi penguasaan akademik (3) dan kompetensi pengembangan potensi.
Guru adalah pekerjaan profesi. Sebagai pekerjaan profesi harus tahu benar tugas-tugas profesinya. Menurut Karsidi (2005:71-80) guru mempunyai tugas yang berkaitan dengan profesinya secara garis besar guru memiliki tiga tugas profesi yaitu : (1).tugas profesi, (2).tugas kemanusiaan (3) tugas kemasyarakatan Sebagai salah satu profesi resmi kedudukan guru memerlukan keahlian khusus dan pekerjaan ini tidak dapat dilakukan oleh orang diluar bidang pekerjaannya. Kompetensi guru mencakup (1) kompetensi profesional (2).kompetensi personal dan (3).kompetensi sosial .
Peranan kompetensi profesional guru dalam proses pembelajaran menurut Hamalik (2002:48) adalah
1. Guru sebagai pengajar perlu memiliki keterampilan memberikan informasi kepada siswa di kelas.
2. Guru sebagai pemimpin kelas perlu memiliki keterampilan memimpin kelompok-kelompok siswa.
3. Guru sebagai pembimbing perlu memiliki keterampilan cara mengarahkan dan mendorong kegiatan belajar siswa.
4. Guru sebagai pengatur lingkungan perlu mempersiapkan dan menyediakan alat dan bahan pelajaran.
5. Guru sebagai partisipan perlu memberikan saran, mengarahkan pemikiran kelas, dan memberikan penjelasan.
6. Guru sebagai ekspeditur perlu menyelidiki sumber-sumber masyarakat yang akan digunakan
7. Guru sebagai perencana perlu memiliki keterampilan cara memilih dan meramu bahan pelajaran secara profesional
8. Guru sebagai supervisor perlu memiliki keterampilan mengawasi kegiatan anak dan ketertiban kelas.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 75 - 86
80
9. Guru sebagai motivator perlu mendorong siswa untuk belajar di kelas.10. Guru sebagai penanya memiliki keterampilan bertanya yang merangsang siswa berpikir
dan cara memecahkan masalah.11. Guru seabgai pengganjar perlu memiliki keterampilan cara memberikan penghargaan
terhadap anak yang berprestasi.12. Guru sebagai evaluator perlu memiliki keterampilan cara menilai anak secara objektif,
kontinu, dan komprehensef.13. Guru sebagai konselor perlu memiliki keterampilan cara membantu anak-anak yang
mengalami kesulitan tertentu.
2.4. Kerangka BerpikirSeorang guru yang memiliki motivasi kerja yang tinggi dalam mengelola proses
pembelajaran diduga memiliki pengaruh terhadap pembelajaran. Dengan demikian semakin tinggi motivasi kerja seorang guru maka akan semakin baik pula proses pembelajaran. karena guru mampu mengendalikan persoalan yang timbul di dalam kelas. Dengan demikian tujuan sekolah dapat mencapai tujuan khususnya pembelajaran di sekolah.
Dalam proses belajar mengajar seseorang dipengaruhi oleh motivasi kerja guru dan kompetensi profesional guru. Seorang guru yang memiliki motivasi kerja yang tinggi cenderung berusaha mengembangkan dan menyalurkan kemampuan tugasnya lebih bersemangat dan menekuni pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab. Demikian juga kompetensi profesional guru yang baik akan membuat proses pembelajaran berjalan dengan baik.
2.5. HipotesisHipotesis adalah jawaban sementara yang masih perlu diuji kebenarannya. Berdasarkan
kajian teoretis mengenahi motivasi kerja, kompetensi pfofesional guru, dan proses pembelajaran di SMP Negeri Kota Semarang, hipotesis penelitian ini adalah (1) Terdapat pengaruh motivasi kerja terhadap proses pembelajaran (2)Terdapat pengaruh kompetensi profesional guru terhadap proses pembelajaran (3) Terdapat pengaruh motivasi kerja dan kompetensi profesional guru terhadap proses pembelajaran yang bermutu.
2.6. Populasi dan SampelBerdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Semarang dari 40 SMP Negeri Kota Semarang
diklasifikasi menjadi 3 kelompok yaitu (1) Sekolah Standart Nasional 13 SMP, (2) Sekolah Potensial 24 SMP, dan (3) Sekolah Rintisan 3 SMP. Populasi dalam penelitian ini adalah guru dari Sekolah Standart Nasional, guru dari Sekolah Potensial, dan guru dari Sekolah Rintisan sedangkan jumlah guru secara keseluruhan sebanyak 1511 guru.
Untuk mendapatkan data yang representatif, Arikunto (2006:134) menjelaskan bahwa jika subjeknya kurang dari 100, maka diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, tetapi jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil antara 10 – 15% atau 20 – 25 %. Oleh karena itu, besarnya sampel guru sekolah diambil 25% dari guru-guru yang berasal dari 40 SMP Negeri yaitu guru dari 10 sekolah yang berasal dari guru 4 Sekolah Standart Nasional, guru dari 5 Sekolah Potensial, dan guru dari 1 Sekolah Rintisan. Sedangkan jumlah guru yang
PENgARUH MOtIVASI KERJA dAN KOMPEtENSI PROFESIONAL gURUtERHAdAP PROSES PEMBELAJARAN dI SMP NEgERI KOtA SEMARANg
Tri Sulasmiyati
81
dijadikan sampel adalah 50% dari seluruh jumlah guru yang berasal dari sekolah standart nasional, sekolah potensial, dan sekolah rintisan yang terpilih sebagai sampel penelitian.
2.7. Teknik Analisis Data2.7.1. Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran penyebaran hasil penelitian masing-masing variable secara kategorial. Deskripsi yang dimaksudkan mengenai kondisi nyata motivasi kerja , kompetensi professional guru dan proses pembelajaran di SMP Negeri Kota Semarang. Data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis secara statistic dengan teknik korelassional dengan menggunakan teknik regresi ganda ( Arikunto, 1993:215)
2.7.2. Analisis Uji Syarat/AsumsiUji penyimpangan ekonometri atau penyimpangan asumsi model klasik dimaksudkan
untuk menghadapi permasalahan yang ada (analisis yang menjadi bias) yaitu terhadap uji normalitas, adanya pengaruh multikolinearitas (Multi Colinearity) dan heteroskedastisitas dilakukan dengan cara sebagai berikut:
2.7.2.1. Uji NormalitasUji Normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat
dan bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi data normal atau tidak.
Pada prinsipnya normalitas data dapat dideteksi dengan melihat penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dan grafik atau dengan melihat histrogen dari residualnya. (Ghozali, 2002:76)
Metode yang lebih handal adalah dengan melihat normal probility plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari data sesungguhnya dengan distribus kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk satu garis lurus diagonal, dan ploting data akan dibandingkan dengan garis tersebut.
2.7.2.2. Uji MultikolinieraritasPengujian multikolinearitas adalah menguji apakah dalam model regresi ditemukan
adanya korelasi antar variabel bebas. Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi antar variabel bebas, jika variabel bebas saling berkorelasi maka tidak orthogonal. Variabel Ortogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar variabel bebas sama dengan nol. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas di dalam model adalah dilihat pada nilai variance inflation factor (VIF) jika nilai VIF di atas 10 berarti terjadi multikol (Ghozali, 2002:57).
2.7.2.3. Uji HeteroskedastisitasUji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah homoskedastisitas.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 75 - 86
82
2.7.3. Uji Hipotesis2.7.3.1. Uji Regresi
Untuk menjawab pertanyaan dan permasalahan penelitian, dibutuhkan analisis adalah analisis regresi linier berganda, dengan alasan: a) variabel bebas terdiri dari beberapa variabel, b) diduga apabila variabel-variabel terikat akan berubah juga.
Secara spesifik, analisis regresi linier berganda digunakan untuk menguji seberapa besar pengaruh motivasi kerja dan kompetensi profesional guru terhadap proses pembelajaran yang bermutu.
2.7.3.2. Regresi GandaRegresi ganda digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi kerja
(X1) dan kompetensi profesional guru (X2) secara parsial dan bersama-sama mempengaruhi proses pembelajaran yang bermutu(Y). Motivasi kerja (X1) dan kompetensi professional guru (X2) sebagai variabel independen. Sedangkan proses pembelajaran yang bermutu (Y) sebagai variabel dependen.
Uji Koefisien regresi ini menggunakan uji F dengan langkah sebagai berikut:a. Ho : bi = 0 berarti secara serentak tidak ada pengaruh variabel independent Xi
terhadap Yb. Ha : bi ≠ 0 berarti secara serempak ada pengaruh variabel independent Xi terhadap
Yc. Menentukan tingkat signifikasi 5 % untuk menentukan nilai F tabel yang merupakan
patokan daerah perkiraan dan penolakan hipotesis.d. Ho diterima bila F hitung < F tabele. Ha diterima bila f hitung > F table
2.7.3.3. Uji TUji T dimaksudkan untuk mengetahui apakah pengaruh secara parsial (individu) variabel-
variabel independen (motivasi kerja dan kompetensi profesional guru) terhadap variabel dependen (proses pembelajaran yang bermutu).
Sedangkan kriteria pengujiannya adalah:a. Apabila t hitung > t tabel, maka Ho ditolak dan H1 diterima.b. Apabila t hitung < t tabel, maka Ho diterima dan H1 ditolak.Pengujian atas hal tersebut dilakukan dengan cara perbandingan antara nilai t hitung dengan
t tabel.
2.7.3.4. Uji FUji F (F-test) dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel independen
(motivasi kerja dan kompetensi profesional guru) secara simultan (bersama-sama) terhadap variabel dependen (proses pembelajaran yang bermutu).
Sedangkan kriteria pengujiannya adalah:a. Apabila Fhitung > F tabel, maka Ho ditolak dan H1 diterima.b. Apabila Fhitung < F tabel, maka Ho diterima dan H1 ditolak.
PENgARUH MOtIVASI KERJA dAN KOMPEtENSI PROFESIONAL gURUtERHAdAP PROSES PEMBELAJARAN dI SMP NEgERI KOtA SEMARANg
Tri Sulasmiyati
83
Pengujian atas hal tersebut dilakukan dengan cara membandingkan antara nilai Fhitung dengan Ftabel. Jika Fhitung sebesar lebih besar dari Ftabel, maka Ho ditolak dan H1 diterima. Jadi variabel motivasi kerja dan kompetensi profesional guru secara bersama-sama berpengaruh terhadap proses pembelajaran yang bermutu.
Pengujian dua arah (2-tailed) ini dilakukan dengan membandingkan nilai Fhitung dengan Ftabel. Bila Fhitung < Ftabel, maka Ho diterima dan hipotesis alternatif ditolak. Bila Fhitung > Ftabel, maka hipotesis alternatif diterima dan Ho ditolak, yang berarti seluruh variabel bebas secara bersama-sama mampu mempengaruhi variabel tidak bebas.
2.7.3.5. Koefisien Determinasi (R2)Koefisien determinasi untuk melihat sejauh mana keseluruhan variabel independen
dapat menjelaskan variabel dependen. Apabila angka R2 semakin mendekati 1, maka pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen yang terjadi akan semakin kuat, sebaliknya jika R2 semakin kecil atau mendekati 0 (nol), maka dapat dikatakan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen semakin kecil. Nilai R2 ini berkisar antara 0<R2<1. Secara umum koefisien determinasi untuk data silang (crossection) relatif rendah, karena adanya variasi yang besar antara masing-masing pengamatan (Ghozali, 2002:45).
3. SimpulanKoefisien determinasi diketahui bahwa nilai R square (R2) diperoleh sebesar 0,601. Hal
ini berarti bahwa 60,1% proses pembelajaran (Y) dipengaruhi oleh variabel motivasi kerja (X1) dan kompetensi guru (X2), sedangkan 39,9 % dipengaruhi oleh variabel lainnya. .
Hasil dari analisis kualitatif maupun kuantitatif dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Hasil analisis deskripsi motivasi kerja guru-guru SMP Negeri Kota Semarang 14,56% responden menyatakan sangat baik dan 78,16 % mengaku memiliki motivasi kerja yang baik (mean sebesar 44,34) Penilaian responden mengenai kompetensi profesional guru menunjukkan bahwa 18,93% menyatakan sangat baik dan 66,02 % menyatakan bahwa guru-guru SMP Negeri Kota Semarang telah memiliki kompetensi profesional guru yang baik ( mean sebesar 59,01) Demikian juga untuk proses pembelajaran, responden yang menyatakan sangat baik 33,50% dan 66,50% responden menyatakan telah melaksanakan proses pembelajaran dengan baik ( mean sebesar 48,29).
2. Hasil analisis uji F pada faktor motivasi kerja guru dan kompetensi profesional guru menunjukkan hasil perhitungan Fhitung sebesar 12,343 sedangkan Ftabel sebesar 3,09. Karena Fhitung lebih besar dari Ftabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa variabel motivasi kerja dan kompetensi profesional guru berpengaruh secara simultan terhadap proses pembelajaran. Sedangkan besar pengaruh variabel motivasi kerja dan kompetensi profesional guru terhadap proses pembelajaran sebesar 60,1%.
3. Hasil analisis uji T pada faktor motivasi kerja menunjukkan nilai absolut thitung (4,571) lebih besar dari pada ttabel (1,660) maka H0 ditolak dan H1 diterima. Ini mengartikan bahwa variabel motivasi kerja berpengaruh secara parsial terhadap proses pembelajaran . Sedangkan besar pengaruh motivasi kerja terhadap proses pembelajaran sebesar
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 75 - 86
84
31,7%. Hasil analisis uji T pada faktor kompetensi profesional guru menunjukkan nilai absolut thitung (2,040) lebih besar dari pada ttabel (1,660) maka H0 ditolak dan H1 diterima. Ini mengartikan bahwa variabel kompetensi profesional guru berpengaruh secara parsial terhadap proses pembelajaran. Sedangkan besar pengaruh kedua variabel tersebut sebesar 28,4%.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi.2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Renika Cipta
Alwi, Syafarudin. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia.Yogyakarta: UGM
Bafadal, Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar Dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi Jakarta: Bumi Aksara.
________. 2004. Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.
Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi Pendidikan Dalam Upaya, Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Cetakan Pertama. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Dessler, Gary. 1998. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jilid 2. Terjemahan: Binyamin Molan. Jakarta: PT.Prenhallindo.
Djatmiko, Hayati. 2003. Perilaku Organisasi. Bandung: Alfabeta.
Dirjen Dikdasmen. 2004. Pedoman Supervisi Pendidikan. Jakarta :Dirjen Dikdas
Ekosiswoyo, Rasdi. Rifa`I RC, dan Sutomo. l996. Manajemen Kelas Suatu Upaya Untuk Memperlancar Kegiatan Belajar. Semarang. IKIP Press.
Gibson, L. Ivancevich, M.. dan Donnelly.H.1985. Organisasi Perilaku Stuktur Proses. Jilid satu. Edisi ke lima Terjemahan Djarkasih. Jakarta: Erlangga.
Gitosudarmo, Indriyo. dan Suddita, Nyoman. 2000. Perilaku Keorganisasian. Yogyakarta: BPFE.
Gozali, Imam. 2002. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Edisi ke II. Semarang: Badan Penerbit UNDIP
PENgARUH MOtIVASI KERJA dAN KOMPEtENSI PROFESIONAL gURUtERHAdAP PROSES PEMBELAJARAN dI SMP NEgERI KOtA SEMARANg
Tri Sulasmiyati
85
Hamalik, Oemar. 2002. Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
_________, 2003. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar Berdasarkan CBSA, Bandung : Sinar Baru.
Karsidi, Rawik. 2005. Sosiologi Pendidikan. Surakarta: UNS Press.
Kenna, Mc, dan Beec Nic. 1995. Manajemen Sumberdaya Manusia. Terjemahan Budi Santosa.Yogyakarta: Penerbit Andi.
Kartana, Tri Jaka. 2006. Perencanaan Optimalisasi Peran Guru SMK Negeri Teknologi Didasarkan Faktor-Faktor Diterminasi Kinerja. Desertasi. Semarang : Unes
Pitoyo. 1994. Motivasi dan Hubungan Antar Manusia. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara.
Peraturan Pmerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Depdiknas : Jakarta
Pidarta, Made. 2000. Landasan Pendidikan. Renika Cipta : Jakarta
Robbins, Stephen, P. 2003. Perilaku Organisasi. Jilid I.Terjemahan Tim Indeks, PT. Indeks Kelompok Gramedia.
Rooijakkers.1991. Mengajar Dengan Sukses. Diterjemahkan oleh Soenoro dan Hendrito Susmadi Jakarta : PT.Gramedia.
Rosyan Tabrani,dkk. 1992. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Sevilla, G. Ochave, A. Phunsalan, G. Regala, P. Uriarte, G. 1993. Pengantar Metodologi Penelitian, Terjemahan Allimudin Tuwu. Jakarta: Universitas Indonesia-Press.
Sembiring, Sendah.Yufridawati. Soeparyanti, N. Jakaria, Yaya. 2002 Kemampuan Matematika Sekolah Dasar. Puslittjak Balitbang Depdiknas. http.Puslittjak go.l.d.
Siagian, Sondang, P. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia Jakarta : Bumi Aksara.
Soedarmayanti. 2004. Pengembangan Kepribadian Pegawai. Bandung : Penerbit Mekar Maju.
Soekamto, Toeti, dan Winataputra,Udin, Syaripudin, 1994. TeoriBelajar dan Model-Model Pembelajaran, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Fokus EkonomiVol. 4 No. 1 Juni 2009 : 75 - 86
86
Suciati. 1997. Teori Motivasi dan Penerapannya Dalam Proses Belajar Mengajar. Dirjen Dikti : Jakarta
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Administrasi. Bandung. Penerbit Alfabeta.
Suprihatin, Wetik, B. dan Sugito, Sukewi. l989. Administrasi Siswa, Semarang: IKIP Press.
Undang-undang Republik Indonesia No. 20. Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: diperbanyak Harvarindo.
Undang - undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia no.4586
Usman, Moch, Uzer. 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Zainun, Buchari. 1989. Manajemen dan Motivasi. Edisi Revisi Jakarta: Balai Pustaka
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
Fokus Ekonomi merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala dalam waktu 6 bulan (semester) yaitu bulan Juni dan Desember setiap tahunnya. Jurnal ini memuat naskah atau artikel yang bersifat library research dam emperical research. Artikel-artikel yang dimuat dalam Fokus Ekonomi berasal dari para akademisi, praktisi dan pemerhati dengan beberapa acuan sebagai berikut:
1. Naskah artikel bisa ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dan belum pernah dipublikasikan.
2. Naskah yang dikirim ke redaksi dengan urutan format penulisan yang terdiri dari: Judul, Nama Penulis, Abstraksi, Pendahuluan, Ulasan, Penutup, Referensi berupa textbook, jurnal, majalah, dan harian. Penulis harus menyertakan curriculum vitae (CV).
3. Abstraksi ditulis daalam bahasa Indonesia dan Inggris, lebih kurang 200 kata, berisi tentang high-light hasil penelitian yang menonjol dan terkait dengan judul artikel, kajian kepustakaan, dan ulasan ilmiah mengikuti.
4. Pendahuluan berisi latar belakang dan rumusan masalah, studi kepustakaan, tujuan dan manfaat serta kontribusi hasil.
5. Ulasan berisi metode penelitian serta hasil dan pembahasan.6. Penutup berisi simpulan dan saran, baik yang berkaitan tentang topik
bahasan atau untuk peneliti berikutnya (jika ada).7. Referensi ditulis dengan format sebagai berikut:
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Analisa. Yogyakarta : BPFE UGM.
Baso, Moeradi. HM.1999. “Tantangan dan Peluang Lembaga dan Profesional Pengembangan Sumber Daya Manusia Menjelang dan Dalam Era Globalisasi”. Majalah Manajemen Usahawan Indonesia. Edisi No. 5 Tahun XXVIII, Mei.
8. Print-outnaskahyangdiserahkanharusrangkapduabesertafilenyadenganMicrosoft Word, jarak baris 1.5 spasi, dan kertas ukuran kuarto
9. Sebagai bukti naskah artikel telah dimuat di Fokus Ekonomi, maka penulis berhak menerima satu eksemplar Fokus Ekonomi edisi tersebut yang akan dikirim ke alamat penulis atau dapat diambil di redaksi.
10. Dead-line penyerahan naskah artikel pada redaksi Fokus Ekonomi adalah
minggu kedua bulan Mei dan Nopember.
Vol. 4 No. 1 JUNI 2009 ISSN : 1907-6304
FOKUS EKONOMISkep-10/STIE PENA/V/2006
Penanggung JawabKetua STIE PENA Semarang
Pimpinan RedaksiLuhgiatno, SE, MM
Redaksi PelaksanaDrs. Mohammad Kanzunnudin, MPd
RedaksiTri Joko Utomo, S.Sos, SE
Agus Budi Purwanto, S.Kom
Redaksi AhliProf. Dr. Nurdien H. Kistanto, MA (Universitas Diponegoro Semarang)
Dr. Dandan Supratman (Universitas Negeri Semarang)Drs. Rosa Widyawan, MA. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta)
Sekretaris Redaksi, Produksi & DistribusiNurul Latifah Pancawardani, SE
PenerbitSTIE Pelita Nusantara Semarang
Terbit PertamaJuni 2006
Alamat Redaksi:STIE PELITA NUSANTARA
Jl. Slamet Riyadi No. 40 Gayamsari – Semarang (50160)Telp. (024) 6735 414 Fax. (024) 6711 190
FOKUS EKONOMI dimaksudkan untuk mempublikasikan artikel yang berisi gagasan, laporan hasil penelitian, pembahasan teori dan konsep bidang ekonomi serta berbagai aspek sosial yang terkait erat dengan bidang ekonomi. FOKUS EKONOMI terbit 2 kali setahun pada bulan Juni dan Desember. Artikel yang dimuat bukan cerminan sikap dan/atau pandangan redaksi. Tanggung jawab isi pada penulis.