pena pendidikan 14

120
GELIAT PAUD Di Sekujur Nusantara Edisi Khusus PAUD/Tahun II/Juli-Agustus 2007/Rp 40.000,- REFERENSI TERPERCAYA DUNIA PENDIDIKAN Ir. Hj. Umi Rosidah, MS JUAL RUMAH DAN MOBIL UNTUK BANGUN PAUD MENGINTEGRASIKAN PAUD FORMAL DAN NONFORMAL Inggris DIBIKIN SIAL UJIAN NASIONAL COVER_PENA14_VOL02_EDISI PAUD.in1 1 7/14/2007 8:54:45 AM

Transcript of pena pendidikan 14

Page 1: pena pendidikan 14

GELIAT PAUDDi Sekujur Nusantara

Edisi Khusus PAUD/Tahun II/Juli-Agustus 2007/Rp 40.000,-

R E F E R E N S I T E R P E R C A Y A D U N I A P E N D I D I K A N

Ir. Hj. Umi Rosidah, MSJUal RUMaH dan MobIlUntUk bangUn PaUd

MEngIntEgRaSIkan PaUd FoRMal dan nonFoRMal

InggrisdIbIkIn SIal UJIan naSIonal

COVER_PENA14_VOL02_EDISI PAUD.in1 1 7/14/2007 8:54:45 AM

Page 2: pena pendidikan 14

PT. REKA GAGAS CIPTAJl. Pengadegan Barat Raya 22 Jakarta 12710, T/F: +62 21 7973957 Email: [email protected]

Referensi Terpercaya Dunia PendidikanMajalah PENA Pendidikan

COVER_PENA14_VOL02_EDISI PAUD.in2 2 7/14/2007 8:55:50 AM

Page 3: pena pendidikan 14

Telah Hadir BUNDEL PENA Pendidikan

Ingin mengoleksi Majalah PENA Pendidikan dari awal tapi sulit mencari edisi lama? Telah tersedia Majalah PENA Pendidikan dalam bentuk Bundel. Buruan!!! Hubungi:

021-7973957

PT. REKA GAGAS CIPTA Jl. Pengadegan Barat Raya 22 Jakarta 12710 T/F: +62 21 7973957 Email: [email protected]

12 Majalah dalam 1 BUNDEL

Hanya Rp 300.000,-

COVER_PENA14_VOL02_EDISI PAUD.in3 3 7/14/2007 8:56:31 AM

Page 4: pena pendidikan 14

Taman Kanak-kanak

Penulis : Saiful AnamPenerbit : WajatriCetakan : April 2007Tebal : XX + 228 halaman

Jangan RemehkanTaman Kanak-kanak

TAMAN YANGPALING INDAH

Siapapun mengakui bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), termasuk di dalamnya pendidikan taman kanak-kanak (TK), merupakan layanan pendidikan yang sangat penting. Pendidikan TK berperan besar dalam membentuk kepribadian seseorang. Bahkan, berbagai penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang mengenyam pendidikan TK pada umumnya memiliki prestasi pendidikan yang lebih baik saat menempuh studi pada jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, setelah dewasa mereka juga memiliki pendapatan ekonomi yang lebih tinggi.

Sayangnya, hingga kini kondisi pendidikan TK kita masih harus diperbaiki. Inilah tantangan serius yang dihadapi Direktorat Pembinaan TK dan SD, Departemen Pendidikan Nasional, yaitu bagaimana terus berupaya meningkatkan pemerataan dan perluasan akses. Selain itu, Direktorat Pembinaan TK dan SD juga mesti meningkatkan mutu dan relevansi, termasuk di dalamnya meluruskan berbagai kekeliruan yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran di TK, misalnya memaksakan pengajaran baca-tulis-hitung secara klasikal.

Buku yang penulisannya menggunakan pendekatan jurnalistik ini berusaha memeaparkan perjalanan pembangunan pendidikan TK di Indonesia serta berbagai program yang telah dan akan digulirkan Direktorat Pembinaan TK dan SD. Selain itu juga dikemukakan pandangan dari akademisi, pengamat, anggota legislatif, penyelenggara TK hingga guru.

COVER_PENA14_VOL02_EDISI PAUD.in4 4 7/14/2007 8:56:43 AM

Page 5: pena pendidikan 14

�Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Edisi 13/Tahun II/Mei 2007

HARI Anak Nasional kembali diperingati pada 2� Juli. Tentunya semua berharap peringatan HAN ini tak sekadar meriah di seremoni belaka. Apalagi pemerintah sendiri menegaskan

visinya buat anak-anak, bahwa pada 2015 mendatang mampu membikin seluruh anak Indonesia sehat, cerdas, berakhlak mulia dan terlindungi.

Tentunya, pemerintah mematok target itu dengan perhitungan sangat serius. Dari sisi perundangan, sejatinya anak telah mendapat tempat. Sudah ada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Lalu lahir UU Nomor � Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kemudian lahir pula Keputusan Presiden Nomor �6 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Yang terakhir tentunya UU Nomor 2� Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

PR besar memang masih mengelayuti dunia anak-anak kita. Dari soal pendidikan, kesejahteraan, hingga maraknya eksploitasi terhadap pekerja anak. Di bidang pendidikan, pemerintah memang masih mengejar penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun. Juga pemberantasan buta aksara. Yang tengah gencar dilaksanakan belakangan ini adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Data Departemen Pendidikan Nasional mencatat, hingga akhir 2006 jumlah TK sebanyak 54.742, hanya 1,�% atawa 708 TK milik pemerintah. Jumlah ini tak sebanding bila disandingkan dengan jumlah SD yang sekira 150.000 sekolah, lebih dari 95% di antaranya berstatus sekolah negeri.

Padahal jumlah anak usia 0-6 tahun yang terekam jumlahnya lebih dari 28 juta. Hanya �.72�.924 atau �2,78% yang mencicipi pendidikan TK. Dalam istilah pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat Taman Kanak-kanak (TK) mencapai �2,78%. Jika ditambah PAUD nonformal, total APK-nya menjadi 45,6�%.

PAUD nonformal? Ya istilah itu dikukuhkan pada UU Nomor 20 Tahun 200� tentang Sistem Pendidikan Nasional. PAUD dijabarkan sebagai pendidikan untuk anak usia 0-6 tahun. Bentuknya terdiri dari PAUD formal (TK, Raudhatul Athfal, Bustanul Atfal), PAUD Nonformal (Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Satuan PAUD Sejenis), dan PAUD Informal (keluarga).

Perkembangan PAUD yang demikian pesat mendorong kami menuliskannya dalam Edisi Khusus ini. Kami sengaja menerjunkan wartawan ke sejumlah kota yang semoga bisa mewakili gambaran perkembangan PAUD. Meski tak terjun ke banyak kota di satu provinsi yang kami kunjungi, namun setidaknya berusaha memotret gambaran di provinsi tersebut.

Provinsi yang kami rekam perkembangan PAUD nya adalah: Sumatera Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan Papua. Di komandoi langsung Saiful Anam, sang Pemimpin Redaksi yang terjun sendiri ke Papua, Gorontalo, dan sejumlah kota di Jawa Timur.

Selain itu kami terjunkan Ayu N Andini ke Banten, dan juga meliput DKI Jakarta. Kemudian Fetty Shinta Lestari (Sumatera Barat dan DKI Jakarta), Robi Sugara (Jawa Barat), Eva Rohilah (Sulawesi Selatan), dan Murnita Dian Kartini (DI Yogyakarta dan Jawa Tengah). Tak terkecuali koresponden kami, Mukti Ali (Malang) dan Mochammad Fathoni Arief (Yogyakarta) kami kerahkan.

Kami berharap sajian kami tidak menjadi potret hitam putih perkembangan PAUD di Tanah Air. Kalaulah ada gambaran menggembirakan semoga tidak menjadi kebanggaan semata. Sedangkan yang masih belum sesuai harapan tidak menjadi noda yang mesti kita tutupi. Sebaliknya menjadi cambuk untuk membangun lebih baik lagi.

Selamat Hari Anak Nasional. Songsong anak Indonesia yang berkualitas, calon pemimpin negeri ini.

Salam Pena

PEMIMPIN UMUM: Iwan Qodar Himawan PEMIMPIN REDAKSI/PEMIMPIN PERUSAHAAN: Saiful Anam REDAKTUR PELAKSANA: Dipo Handoko SIDANG REDAKSI: Iwan Qodar Himawan, Saiful Anam, Dipo Handoko, Ayu N. Andini, Eva Rohilah, Fetty Shinta Lestari, Murnita Dian Kartini, Robi Sugara KORESPONDEN DALAM NEGERI: Suhartono (Balikpapan), Mukti Ali (Malang), M. Arief Fathoni (Jogjakarta), Jatmiko (Surabaya), R. L. Hakim (Bandung) KORESPONDEN LUAR NEGERI: Miranti Hirschmann (Jerman), Asmayani Kusrini (Belgia), Jenni Wang (Spanyol), Frieska Evita Ayurananda (Thailand), Alfian (Belanda) ARTISTIK & DESAIN KOM. VISUAL: Prambudi, Sugiyono

FOTOGRAPHER: Arien T.W. SEKRETARIAT REDAKSI: Yuli Lestari IKLAN: Sari Hidayat KEUANGAN: Ahadian Febrie PENERBIT: PT Reka Gagas Cipta DIREKTUR UTAMA: Iwan Qodar Himawan DIREKTUR: Saiful Anam GENERAL MANAJER OPERASIONAL: Dipo Handoko BANK PT REKA GAGAS CIPTA: Bank Niaga cab. BEJ Jakarta Rek. 064.01.6�285.006 Surat untuk seluruh bagian dialamatkan: Pena Pendidikan Jl Pengadegan Barat Raya 22 JAKARTA 12770, Telp/Faks: +6221 797 �957, E-mail: [email protected] ISSN 1907 - 42�9

Edisi Khusus/Tahun II/Juli-Agustus 2007

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd3 7/14/200710:42:18AM

Page 6: pena pendidikan 14

Edisi Khusus/Tahun IIJuli - Agustus 2007

Cover : PrambudiFoto : Saiful Anam

Nama lengkap : Tempat/tanggal lahir : Alamat rumah : Telpon/fax : Ponsel : Email :

SAYA INGIN BERLANGGANAN MAJALAH PENA PENDIDIKAN.Majalah PENA Pendidikan adalah majalah dengan content berita-berita dunia pendidikan yang sangat menarik untuk dijadikan Referensi Terpercaya Dunia Pendidikan dan collectible item

PAKET LANGGANAN:06 Edisi : Harga Normal : Rp 120.000,- Harga Khusus : Rp 110.000,- 12 Edisi : Harga Normal : Rp 240.000,- Harga Khusus : Rp 200.000,- Berlangganan Mulai Edisi

METODE PEMBAYARAN:Transfer Bank BANK NIAGA KANTOR

CABANG BEJ JAKARTA No. A/C: 064.01.63285.006 a/n PT. REKA GAGAS CIPTABayar di tempat (cash)

khusus untuk DKI JAKARTA

* Formulir ini boleh di perbanyak (fotokopi). Berikan kesempatan kepada saudara atau kolega Anda. Beri tanda pada pilihan Anda

Kirim formulir ini (beserta bukti pembayaran untuk berlangganan) ke alamat redaksi PENA Pendidikan:Jl. Pengadegan Barat Raya 22 Jakarta 12770, Tel/Fax: (021) 797 3957 atau Email: [email protected]

ONGKOS KIRIM PER EDISI:Jabodetabek Rp 2.000,-P. Jawa Rp 5.000,-Luar P. Jawa Rp 7.000,-

Suara Pembaca

USUL RUBRIK (1)

Saya mengikuti perkembangan majalah Pena Pendidikan sejak edisi Narkoba, sejauh ini dari segi konten dan pengemasan sudah cukup bagus. Sayangnya, dari edisi itu saya tidak menemukan adanya rubrik konsultasi pendidikan. Semacam

rubrik khusus yang memberikan wadah komunikasi bagi pembaca dengan redaksi atau dengan instansi yang terkait, dalam hal ini Depdiknas.

Ruang konsultasi ini saya rasa cukup penting karena dengan narasumber yang tersedia, pembaca bisa bertanya segala sesuatu hal menyangkut dunia pendidikan dan mendapat jawaban yang berimbang dari narasumber yang berkompeten.

Sekadar usul untuk kemajuan dunia pendidikan Indonesia, semoga sukses selalu!

Nurrohman Zainurry, S.PdPeminat Pendidikan

Jl. Daan Mogot Kalideres, Jakarta Barat

*) Terimakasih atas usulan Bapak. Kami memang sudah mempertimbangkan akan menambah halaman, di antaranya untuk rubrik Konsultasi. Namun saat ini masih dalam proses pembahasan.

4 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd4 7/14/200710:42:25AM

Page 7: pena pendidikan 14

Kirim formulir ini (beserta bukti pembayaran untuk berlangganan) ke alamat redaksi PENA Pendidikan:Jl. Pengadegan Barat Raya 22 Jakarta 12770, Tel/Fax: (021) 797 3957 atau Email: [email protected]

USUL RUBRIK (2)

Beberapa kali saya membaca usulan mengenai perbaikan rubrik resensi yang hanya menghadirkan buku-

buku formal selama ini. Memang untuk beberapa edisi terakhir ada perbaikan, buku lebih variatif dan luwes. Sepertinya tidak ada salahnya jika mencoba mengulas buku-buku sejarah lama, atau novel-novel karya sastra lama yang tentunya sangat memegang andil dalam kelahiran sastra-sastra baru atau ilmu-ilmu pengetahuan baru di Indonesia seperti pernah diusulkan beberapa pembaca. Dan sepertinya lebih menarik jika ditambahkan rubrik yang mengulas film-film/ pertunjukan teater/ drama yang berkaitan dengan dunia pendidikan dan sekaligus budaya kita. Karena mengandalkan pendidikan dari media televisi rupanya sudah tidak bisa lagi, di mana sinetron-sinetron yang tidak mendidik dan cenderung meracuni generasi muda kita berhamburan di semua stasiun televisi.

Mungkin usulan ini sedikit repetitif, tapi tak ada maksud lain selain perbaikan dan pencerahan. Sebagai catatan saja, edisi khusus Pena Pendidikan kemarin menarik, dari segi isi sangat rapat dan padat, tapi tidak membosankan.

Kinara HarasthriMahasiswi, pendidik nonformal

Menteng Atas, Jakarta Pusat*) Terima kasih usulan Anda juga pujiannya.

Semoga dalam waktu dekat kami bisa menulis tema-tema yang nyastra.

USUL RUBRIK (3)

Saya membayangkan bila Catatan Pena tidak dimonopoli penulis dari redaksi PENA PENDIDIKAN. Misalnya

menerima tulisan dari para guru, pendidik dan tenaga kependidikan yang berkutat langsung di dunia pendidikan. Gaya penulisannya sih sebaiknya ala “Saiful Anam”. Biar senada dengan gaya PENA PENDIDIKAN. Bisa juga tulisan yang dimuat adalah opini terbaik dari pembaca.

Saya rasa menarik. Sebab saya pun sangat tertarik menulisnya.

Retno Inti TriastiWartawan media cetak lokal

Tinggal di Surakarta*) Bagus juga usulan Anda. Kami akan

Suara Pembaca

5Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

pertimbangkan bisa direalisasikan untuk edisi mendatang.

HALO BAHASA DAERAH

Apakah masih ada pelajaran bahasa daerah? Kalaupun masih ada, saya kira penerapannya masih jauh dari

level “dipakai” dengan benar. Anak-anak lebih tertarik memakai bahasa Indonesia yang gaul seperti di sinetron-sinetron. Bahkan salah seorang teman saya mengambil S� Bahasa Jawa malah di luar negeri. Ironis sekali.

Bahasa daerah sebaiknya tidak diajarkan sebagai sebuah wacana saja, artinya mulai digerakkan sebagai sebuah kewajiban dan unsur dalam acara-acara sekolah. Jadi anak-anak juga semakin terbiasa memakai bahasa daerah dengan benar.

Ir. Arief MuhammadPogung Lor, Yogyakarta

UJIAN KESETARAAN APA FUNGSINYA?

Dulu, sebelum ramai kontroversi ujian nasional (UN), ujian kesetaraan d i l a k s a n a k a n s e k i t a r b u l a n

September, jauh setelah UN dilaksanakan. Tapi yang ada sekarang, pelaksanaan ujian kesetaraan malah dimajukan. Dengan kesan agar mereka yang gagal di UN bisa tetap lanjut sekolah.

Ini tidak adil mengingat jeda waktu yang ditetapkan untuk ujian kesetaraan hanya berselang setengah bulan saja. Bagaimana fungsinya kemudian? Kalau fungsinya sama lebih baik ditiadakan, toh hanya mengulur waktu saja.

Kristian S. GijonoPalur, Karanganyar

PENDIDIKAN ANAK JALANAN

Salut buat Majalah Pena Pendidikan. Beberapa nomor terakhir saya termasuk pembaca setia. Dari situ

saya baru tahu masalah pendidikan ternyata tak sesederhana yang saya bayangkan. Ada banyak hal yang hingga kini mengusik bathin saya yaitu berkaitan dengan pemerataan pendidikan.

Selama ini masih banyak anak belum

menikmati pendidikan secara layak. Ketika sebagian dari mereka duduk nyaman di ruang kelas dan mendapat pendidikan bagus, sebagian lainnya terpaksa menerima nasib menghabiskan waktu mereka memeras keringat mencari sesuap nasi. Pendidikan hanya tinggal kenangan dan masa depan hanya menyisakan impian.

Mohon Pena Pendidikan meliput nasib anak jalanan. Rasanya sangat menarik. Harapannya semoga semakin banyak orang, terutama pemerintah, peduli dan memikirkan solusi bagi mereka. Mereka juga bagian dari warga Indonesia yang berhak mendapat pendidikan layak.

Achmad Azis BisriKraton Blumbangan, Sinduadi

Sleman

PENDIDIKAN PULAU TERLUAR

Saya mendapatkan Majalah PENA PENDIDIKAN dari teman. Ternyata susah mencarinya di pasaran. Ternyata,

setelah membaca edisi-edisi sebelumnya, saya nilai majalah ini termasuk langka dan perlu didukung agar tetap terbit. Salut hingga PENA bisa melalui masa satu tahun penerbitan.

Meski telat, saya sempatkan membaca edisi-edisi sebelumnya. Ternyata banyak persoalan pendidikan nasional belum juga membaik. Misalnya, pendidikan di pulau-pulau terluar republik ini yang masih terpinggirkan. Saya bahkan belum pernah membaca artikel panjang yang khusus mengupas nasib pendidikan di pulau-pulau terpencil.

Memang, artikel tentang pulau-pulau terluar pernah saya baca di satu media cetak. Ada satu hal yang cukup ironi ketika penduduk yang tinggal di daerah perbatasan lebih mengenal mata uang ringgit ataupun peso daripada rupiah.

B a g a i m a n a k a l a u m a j a l a h Pe n a Pendidikan mengulas secara mendalam perkembangan sektor pendidikan di daerah-daerah seperti itu. Sebenarnya seperti apa sebenarnya yang terjadi? Tentunya selain saya ada banyak dari para pembaca yang ingin tahu juga. Sebenarnya seperti apa kondisi pendidikan disana?

Heru MartonoJalan Gejayan, Soropadan

Yogyakarta

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd5 7/14/200710:42:25AM

Page 8: pena pendidikan 14

6 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

PENA PENDIDIKAN JULI-AGUSTUS 2007

10

3 SALAM4 SUARA8 TEKNOLOGI

• Kontes Robot: G-Rush Taklukkan Laba-laba

• Brain Trainner Bikin Cerdas• Pulpen Pintar Teman Belajar

10 BAHASAN UTAMA• Ketika PAUD Nonformal Bersemi..• Awal Menentukan Sang Buah Hati• Ikhlas Menjaga Fitrah Anak• Mengajar dengan Sentra dan

Lingkaran• Peletak Dasar PAUD• Tancap Gas Himpaudi

26 JAWA TIMUR • Menyinergikan PAUD Formal dan

Nonformal• Wawancara Ketua Himpaudi Jawa

Timur• Bondowoso: Merangsek Hingga

Dusun• Surabaya: Sertifikat Kepesertaan

PAUD• Lumajang: Gerbang Mas Berlipat

�00• Malang: Menanti Insentif PAUD

Nonformal• Ngawi: Menggenjot Target Setiap

Desa

36 PAPUA • Memperkokoh Fondasi NKRI Melalui

PAUD• Gairah PAUD Bumi Cenderawasih• Aisyiyah: Setiap Tahun Menolak

Murid• Yayasan Pendidikan Kristen-

Katholik: Ujung Tombak Pendidikan

Daftar Isi

BAHASAN UTAMA KETIKA MUSIM PAUD NONFORMAL BERSEMI... PAUD nonformal berkembang dalam satu dekade terakhir. Namun baru digalakkan di daerah sejak kehadiran Direktorat PAUD Depdiknas pada 2001. Kini PAUD nonformal mulai diterima masyarakat luas. Meski belum menjangkau sekujur pelosok negeri. Setidaknya, gairah itu nampak di mana-mana. Dari yang berbentuk Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, Posyandu, dan Satuan PAUD Sejenis. Perlu sinergi antara PAUD Formal dan Nonformal.

INTERNASIONAL DIBIKIN SIAL UJIAN NASIONALPara penjaga gawang kualitas pendidikan di Inggris sedang resah. Dua bulan terakhir, negeri dengan tradisi pendidikan formal berusia ribuan tahun itu terus-menerus bertanya: apakah ujian nasional bagi para murid SD memang diperlukan. Banyak pemerhati pendidikan, guru, juga orangtua murid merasakan ujian nasional tak juga mendongkrak kualitas pendidikan. Ada desakan ujian untuk anak-anak di bawah 16 tahun dihapuskan.

108

WAWANCARA Ace Sur yadi PhD, Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan InformalMENGENTASKAN ANAK KANDUNG YANG DIANAKTIRIKANPenuntasan buta huruf dengan enam strategi. Dari sistem blok di kecamatan hingga Kuliah Kerja Nyata tematik di kampus-kampus. Pendidikan Anak Usia Dini menjadi kunci pendidikan berkelanjutan. Sistem pendidikan matapelajaran sebaiknya

104

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd6 7/14/200710:42:29AM

Page 9: pena pendidikan 14

7Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

PENA PENDIDIKAN JULI-AGUSTUS 2007

44 DKI JAKARTA • Golden Age di Lahan Sempit• Memilih PAUD Terbaik Lewat Lomba• Mangga Ubi Punya Profesor

50 BANTEN • Mengikis Sikap Kolot dengan PAUD• Pelangi PAUD dari Banten

56 JAWA BARAT • Ketika Si Kakak Iri Pada Adiknya • Bergerak untuk Sejuta Anak

62 SUMATERA BARAT • Tradisi Pendidikan Urang Awak• Duo Uni Pendekar PAUD• Mendirikan Sekolah Texas di Padang

70 GORONTALO • Jurusan Ampuh Provinsi Muda

• Wawancara Kepala Dinas Pendidikan Gorontalo

• Wawancara Ketua Himpaudi Gorontalo

76 SULAWESI SELATAN • Menyonsong Generasi Cerdas, Kuat

dan Berkualitas• Wawancara Ketua Forum PAUD

Sulawesi Selatan• Gowa: Konsisten Memajukan

Pendidikan• Merintis dan Memahami Kearifan

Lokal

82 DI YOGYAKARTA • Menebar Seribu Pos PAUD • Sentuhan Imtak dan Kemitraan• Mengusung Orientasi Universal

88 JAWA TENGAH

• Kolaborasi Kuat Jadi yang Tercepat • Dari Setting Kelas Hingga Manajemen

94 NONFORMAL • Dua Bulan Melek Aksara• Memperkuat Kiprah PAUD Nonformal• Yang Cerdas, Berakhlak, dan

Nasionalis

100 FIGUR • Nibras binti OR Salim • Ir Umi Rosidah, MS

111 PERISTIWA • Dari Pelanggan Banjir ke Percontohan• Tuntutan Isntitut Penyerap Devisa• Acara Membimbing SBI

118 CATATAN PENA

DAFTAR ISI

JAWA TIMUR Menyinergikan PAUD Formal dan Nonformal Jawa Timur tercatat sebagai provinsi yang perkembangan PAUD-nya paling pesat. Untuk memperluas akses, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur kini menyinergikan program PAUD formal dan nonformal. Realisasinya, ribuan TK yang sudah ada didorong agar membuka Kelompok Bermain (KB), yang merupakan bagian dari PAUD nonformal. Sedangkan bagi PAUD nonformal yang sudah mapan, diminta membuka TK.

FIGUR Hj. Nibras binti Oedin Rahmani SalimPERJALANAN HIDUP YANG MENGINSPIRASISejak usia 2 tahun terpisah dari orangtuanya. Tergerak menggeluti pendidikan anak lantaran prihatin melihat anak SMA tak hafal kalimat syahadat. Pada 1958 ia merintis TK Islam yang mengenalkan pendekatan bermain sambil belajar, selalu bertaut dengan nafas Islam. TK Istiqlal yang dipimpinnya menjadi rujukan model PAUD tingkat nasional.

26

100

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd7 7/14/200710:42:33AM

Page 10: pena pendidikan 14

8 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

PAGI itu raut muka Satryo Soemantri Brodjonegoro, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi , Depdiknas

sumringah. Ia bangga berbicara mengenai Kontes Robot Indonesia (KRI) dan Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI). Ajang tahunan yang ia tunggu-tunggu itu dilaksanakan di Graha Sepuluh November, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, pada 9-10 Juni 2007.

“Tujuan ajang kreasi mahasiswa ini agar dosen dan mahasiswa mampu menguasai teknologi. Semua perguruan tinggi diharapkan meningkat kualitasnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,” katanya.

KRI kesembilan diikuti 40 tim dari �5 perguruan tinggi di Indonesia. Sebenarnya yang mengajukan proposal untuk bisa unjuk gigi dalam kontes robot bejibun: 1�8 proposal dari 80 perguruan tinggi. Mereka yang bisa tampil adalah peserta yang bisa merangkai robot yang diajukan di proposal. “Tidak seperti tahun lalu, peserta hanya mampu mengajukan proposal, tapi tidak mampu mewujudkannya,” kata Endro Pitowarno, Ketua Dewan Juri KRCI 2007.

Juara KRI 2007 memperoleh piala bergilir Sambhawana Pratimacala dan berhak mewakili Indonesia di kontes Asian Pacific Broadcasting Union (ABU) Robocon 2007 di Hanoi, Vietnam, pada 26 Agustus nanti. Tema KRI “Pencarian Pulau Komodo.” Robot-robot yang berlaga tidak boleh lebih dari 50 kg. Dimensi robot tidak boleh lebih dari 1 meter x 1 meter x 1,5 meter.

G-Rush akhirnya menjadi pemenang KRI. Robot itu karya tim Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS). Mereka terdiri dari Pramudya Airlangga, Marsudi Handoyo, Firdaus Nurdian Syah, Andik Hermawanto dan Ali Murtadlo. G-Rush sempat bermasalah menghadapi sinar terang di panggung. Namun menjelang kontes ABU di Hanoi, sensor G-Rush mampu menantang sinar dua lampu 500 berdaya 500 watt.

Di final, G-Rush mengalahkan Q-Numb-On,

”saudaranya,” karya mahasiswa PENS lainnya. Selain juara, G-Rush meraih penghargaan sebagai robot peraih poin terbanyak dan tim dengan Teknologi Informasi terbaik. Sedangkan penghargaan khusus diberikan kepada Empu Gandring dari Politeknik Negeri Malang. Robot berpenampilan terbaik diraih Robot Bombastic dari Universitas Indonesia.

Robot-robot ditandingkan dalam memecahkan misteri pada susunan lapangan pertandingan berbentuk sarang laba-laba. Sarang laba-labanya terbuat dari benang atau jalur putih. Di persimpangan atau sambungan tertentu terdapat pulau-pulau yang diibaratkan sebagai kepulauan Komodo. Robot-robot harus mampu meletakkan objek berbentuk silinder berdiameter �6 cm yang disebut pearl (mutiara) di pulau yang sudah ditemukan dan dikuasai. Pemenangnya adalah robot yang paling banyak menemukan dan meletakkan mutiara di pulau-pulau tersebut.

Sementara Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI) diselenggarakan kali keempat. Proposal robot cerdas yang masuk meja panitia ada 205. Jumlah ini meningkat dibanding KRCI 2006 yang hanya menerima 90 usulan. Tema KRCI “Robot Cerdas Pemedam Api” mengadopsi tema kontes robot di Amerika Serikat.

KRCI tahun ini mempertandingkan empat divisi: senior beroda, berkaki, expert dan expert s w a r m . S e m u a robot harus mampu memadamkan api di sebuah model l o r o n g - l o r o n g rumah dengan kamar d i k i r i -kanan. Api diwakili s e b u a h l i l i n

menyala yang diletakkan acak di kamar-kamar. Pemenangnya adalah robot yang paling cepat menemukan api, memadamkannya dan kembali ke tempat semula.

Robot di KRCI juga memiliki sensor-sensor canggih. Sensor terbaru mampu mengatasi lampu kamera. “Peserta belajar dari pengalaman tahun lalu ketika robot tidak berfungsi optimal karena terpengaruh cahaya dan panas dari lampu kamera para wartawan dan pengunjung yang datang,” kata Endro.

KRCI juga didominasi PENS. Dzi-Gear dan Mech-Robo menjadi jawara. Dua divisi lain dimenangi robot Ababil dari Universitas Brawijaya Malang dan Tarantula-116 karya Universitas Komputer Indonesia Bandung. Penghargaan robot dengan ide terbaik disematkan kepada Q-Lan Teus karya Universitas Surabaya. Kategori robot dengan inovasi terbaik tak satu pun diraih kontestan.

Robot Indonesia pernah unjuk gigi dalam ajang robotika dunia. Tim robot B-CAK dari Politeknik Elektronika Negeri Surabaya menyabet Juara I ABU Robocon 2001 di Tokyo. Semoga kali ini G-Rush juga mampu berbicara di ajang dunia.

FETTY SHINTA LESTARI

G-RUSH PENAKLUK LABA-LABA Politeknik Elektronika Negeri Surabaya mendominasi kontes robot. Siap berlaga di ajang Asian Pacific Broadcasting Union (ABU) Robocon 2007 di Vietnam.

TeknologiFO

TO-F

OTO:

FETT

Y SHI

NTA

LEST

ARI

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd8 7/14/200710:42:38AM

Page 11: pena pendidikan 14

9Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Teknologi

“Menggunakan Brain Trainer sangat membantu otak Anda memaksimalkan fungsi,” kata Tony Buzan, pakar sohor dunia yang sering melakukan riset dan pelatihan kemampuan otak dan kemampuan berpikir manusia.

Produk yang didesaian untuk segala usia ini karya Dr. Ryuta Kawashima, ahli saraf terkenal dari Jepang. Ryuta memang getol menganalisi fungsi otak. Ia mengadakan berbagai r iset , misalnya penel it ian bagaimana otak berfunsgi ketika seseorang sedang berpikir dan diuji kemampuannya.

Ryuta menyimpulkan bahwa latihan berhitung matematis dan membaca nyaring (oral reading) adalah cara yang paling efektif untuk melatih kemampuan

otak. Sebagian otak akan mengontrol kreativitas, daya ingat, kemampuan komunikasi, dan pengendalian diri.

D a l a m k o t a k m u n g i l ciptaan Ryuta itu tersimpan 100 bentukan puzzle dengan l e v e l p e n y e l e s a i a n d a n tingkat kesulitan bervariatif. Brain Trainer juga punya seri permainan berhitung, mengamati, dan penguji ingatan. M a s i n g - m a s i n g punya skor yang b i s a d i s i m p a n hingga satu tahun. Dari berbagai tes

kemampuan, Anda bisa melihat nilai kemampuan otak Anda. Peningkatan atau penurunan skor akan tercatat dan ditampilkan dalam grafik nilai.

M e n u r u t To n y B u z a n , melatih kemampuan kerja otak prinsipnya sama dengan proses melatih tubuh dan kemampuan fisik dengan olahraga. Mereka yang melatih otot dan tubuh dengan olahraga ter tentu, menjadikan tubuh sehat dan kuat. Begitu pula halnya dengan proses melatih kemampuan kerja otak. Tony merekomendasikan paling tidak, latihan kemampuan

otak dilakukan setiap hari. ”Kita dapat lebih cepat mengetahui sejauh mana peningkatan kemampuan otak kita,” katanya.

Tahun lalu, Braine Trainer yang diproduksi besar-besaran meraih sukses di pasaran Jepang. Tahun ini produk ini mulai merambah pasaran di Eropa dan Amerika Serikat. Di Inggris harganya 9.95 Poundsterling atau sekitar Rp 180.000.

AYU N. ANDINI

BRAIN TRAINER BIKIN CERDAS BENTUKNYA sekilas mirip kalkulator ukuran buku saku, ada tombol-tombol angka dan layar LCD. Untuk pengoperasiannya pun cuma butuh dua baterai jenis AAA yang harganya terjangkau. Sesuai namanya, The Brain Trainer, perangkat yang tampaknya sederhana ini berfungsi untuk melatih otak Anda.

INI bukan pulpen biasa. Sebab fungsinya bisa untuk penyimpan data dan memindai, sekaligus mendengarkan musik format

mp�. Namun pulpen jumbo ini tak bisa dipakai untuk menulis di sembarang kertas. Ia butuh kertas khusus yang permukaannya berlapis koordinat digital agar bisa langsung memindai tulisan ke dalam bentuk file yang tersimpan dalam chip komputer.

Pulpen canggih ini namanya Fly Pentop Computer. Ketika pulpen menunjuk sebuah negara dalam peta, maka akan segera keluar data (berupa suara) tentang ibu kota negaranya sampai lagu kebangsaan negara yang bersangkutan.

Ada tombol-tombol khusus untuk

memilih contoh lagu, sampai perangkat perekam suara. Pulpen ajaib juga dilengkapi program Fly Open Paper yang dibuat agar anak-anak berani menuliskan ide-ide mereka.

A d a j u g a p r o g r a m kalkulator yang bisa membantu anak-anak berhitung. Sebutkan saja oeprasi

perhitungan, Fly Pentop Computer segera mengkalkulasikannya. Bahkan

membacakan hasilnya. Pembuatnya, perusahaan

LeapFrog, menargetkan produk Fly Pentop Computer bisa digunakan anak-anak usia

8 sampai 14 tahun. Ini akan menjadi sebuah langkah cerdas untuk memperkenalkan teknologi komputer sedini

mungkin pada anak-anak.Generasi terbaru Fly Pentop Computer

dipasarkan pada Juli ini. Namanya Fly Fusion Pentop Coumputing. Pulpen keluaran Amerika Serikat ini dijual bebas di Toy “R” Us dengan harga US$100 atau tak lebih dari Rp1 juta.

Sangat disarankan agar tidak dipakai untuk menyontek. Para guru mesti waspada. Jika musim ujian tiba, jangan-jangan pulpen canggih ini dipakai untuk menyontek.

Pulpen Pintar Teman Belajar

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd9 7/14/200710:42:42AM

Page 12: pena pendidikan 14

Bahasan Utama

10 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Bulan Juli terasa istimewa bagi dunia anak. Maklum, setiap tanggal 2� Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN), yang diatur dalam Keppres RI No 44 Tahun 1984.

Peringatan HAN tahun ini dipusatkan di kawasan Ancol, Jakarta, dihadiri Ibu Negara Ani Yudhoyono.

Terminonogi usia anak mencakup 0-18 tahun. Di dalamnya tercakup rentang anak usia dini, yaitu 0-6 tahun. Memperbincangkan anak usia dini, sebenarnya sudah dipikirkan sejak lama oleh Ki Hajar Dewantara. Persisnya, Bapak Pendidikan Indonesia itu membatasi usia dini adalah anak-anak di bawah 7 tahun. Ki Hajar menamai “sekolah anak-anak,” itu dengan TamanKi Hajar menamai “sekolah anak-anak,” itu dengan Taman Indria. Taman Indria lahir di Yogyakarta pada � Juli 1922. LabelTaman Indria lahir di Yogyakarta pada � Juli 1922. LabelLabel ”indria” dipakai karena Ki Hajar mencermati bahwa anak usiakarena Ki Hajar mencermati bahwa anak usia di bawah 7 tahun lebih dominan belajar menggunakan indera (indria).

Gagasan dan penamaannya kalau dicermati lebih pas ketimbang lahirnya kindergarten yang dirintis Friedrich Wilhelm Frobel (1782-1852). Ahli pendidikan Jerman itu mendirikan Taman Kanak-kanak (TK) pertama di dunia pada 18�7. Memang, penamaan kinder (anak-anak) dan garten (taman) pada akhirnya yang diadopsi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia yang menggunakan istilah TK.

Sayangnya, perkembangan Taman Indria di lingkungan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang digagas Ki Hajar Dewantara, tak

berkembang bagus. Sementara (TK) tumbuh subur di banyak kota. Seperempat abad setelah merdeka, TK di Indonesia jumlahnya lebih dari 6.000 dengan murid lebih dari �4�.000. Jumlahnya terus bertambah. Hingga akhir Pembangunan Lima Tahun (Pelita) I pada 1974, TK membengkak menjadi 10.482 sekolah dengan murid tak kurang dari �92.000 (Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, 1995).

Dalam dua dekade belakangan, persisnya pada Pelita IV (1984/1985), jumlah TK mencapai 25.�72 buah dengan guru sekira 56.000 orang. Setahun berikutnya, jumlah TK bertambah menjadi 26.500. Jumlah itu hanya mampu menampung sekira 1,26 jutaJumlah itu hanya mampu menampung sekira 1,26 juta anak atawa rata-rata satu TK berisi 50-an murid. Dari jumlah itu, hanya 1% saja yang merupakan TK negeri.

Di tahun 2000, jumlah TK ada 41.�17. Bertambah banyak memang, tapi jumlah TK negeri malahan berkurang menjadi 225 (0,54%). Jumlah guru TK sebanyak 95.000 untuk mendidik 1,6 juta murid. Sayangnya, perkembangan TK itu tak sepadan dengan jumlah anak-anak usia dini yang ada. Hingga 2000 itu, TK yang ada hanya menyerap 12,65% dari total anak usia 4-6 tahun atawa sekira 12,6 juta anak.

Ki Hajar rasanya akan gundah menyaksikan jumlah TK yang sudah banyak itu ternyata belum menjangkau sekujur pelosok negeri. Data Departemen Pendidikan Nasional hingga akhir 2006 mencatat jumlah TK sebanyak 54.742. Dari jumlah itu, hanya 1,�% atawa 708 TK milik pemerintah. Selebihnya, 54.0�4 (98,7%) diselenggarakan swasta. Tentu saja jumlah ini tak sebanding bila disandingkan dengan jumlah SD yang sekira 150.000 sekolah, lebih dari 95% di antaranya berstatus sekolah negeri.

Belum lagi bila bicara jumlah anak usia TK yang belum

PAUD nonformal baru berkembang dalam satu dekade terakhir. Namun jumlahnya sudah puluhan ribu. Perlu sinergi antara PAUD Formal dan Nonformal.

Murid-murid TK-SD Satu Atap Kembang Ringgit II Mojokerto

DOK.

DEP

DIKN

AS

KETIKA MUSIM PAUD NONFORMAL BERSEMI...

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd10 7/14/200710:42:43AM

Page 13: pena pendidikan 14

11Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

terlayani. Menurut data Depdiknas, hingga akhir 2006 dari jumlah anak usia 4-6 tahun sebanyak 11.�59.805, hanya �.72�.924 atau �2,78% yang sudah mencicipi pendidikan di TK. Dalam istilah pendidikan, Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat Taman Kanak-kanak (TK) mencapai �2,78%. “Jika ditambah pendidikan anak usia dini (PAUD) nonformal, total APK-nya menjadi 45,6�%,” kata Drs Mudjito Ak, Msi, Direktur Pembinaan TK-SD, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.

Yang disebut PAUD nonformal adalah ”sekolah” yang dikenal masyarakat sebagai Kelompok Bermain (playgroup) dan Taman Penitipan Anak (TPA). Sesuai Pasal 28 UU Nomor 20 Tahun 200� tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), PAUD diselenggarakan melalui tiga jalur: formal, nonformal dan informal. PAUD jalur formal diselenggarakan dalam bentuk TK dan raudlatul athfal alias TK Islam. Jalur nonformal khusus menangani anak-anak usia 2-4 tahun yang diserap Kelompok Bermain (Play Group) dan Tempat Penitipan Anak. Sedangkan jalur informal adalah pendidikan di keluarga.

Jumlah anak usia dini hingga akhir 2006 tercatat sebanyak 28.�64.�00. Anak yang menikmati layanan pendidikan anak usia dini, baik formal dan nonformal, jumlahnya mencapai 1�.22�.812. Dari angka-angka itu, nyata terlihat bahwa lebih dari separuh anak-anak belum terlayani pendidikannya. Tingkat APK TK pun terendah dibanding APK SD yang 115%, SMP (88,68%), dan SMA (55%).

Angka partisipasi PAUD Indonesia pun menurut laporan Unesco tahun 2005, terendah di dunia, baru sekitar 20% dari sekitar 20 juta anak usia 0-8 tahun. Di dunia internasional, PAUD didefinisikan sebagai pendidikan bagi anak usia 0 sampai 8 tahun. Sedangkan Indonesia kategori PAUD, untuk usia 0-6 tahun. Unesco mencatat angka partisipasi PAUD di Indonesia lebih rendah dari Thailand (86%), Malaysia (89%), bahkan Filipina (27%) dan Vietnam (4�%).

Prof. Dr. Bambang Sudibyo sejak menjabat Menteri Pendidikan Nasional, Oktober 2004, menyatakan komitmennya yang tinggi terhadap program PAUD. Mendiknas meyakini PAUD

berdampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Selain itu juga berpengaruh pada kenaikan angka indeks pembangunan manusia (HDI/Human Development Index) Indonesia.

Mendiknas mengibaratkan PAUD sebagai masa kecambah. ”Agar kecambah itu tumbuh secara normal, pendidikan di usia ini lebih mementingkan proses pembelajaran melalui bermain. Setiap manusia itu pada dasarnya mempunyai keunikan sendiri. Melalui pendidikan PAUD inilah keunikan tersebut dapat digali,” katanya. Mendiknas berharap pengembangan PAUD, khusus PAUD nonformal, selalu mengacu pada Rencana dan Strategi Depdiknas 2005-2009.

Berkembang Dari Bank DuniaDunia memang menghendaki semua negara memperhatikan

pendidikan anak usia dini. Setidaknya sejak pertemuan di Jomtien, Thailand, pada 1990. Forum itu melahirkan Deklarasi Jomtien yang isinya antara lain menyatakan pentingnya pendidikan untuk semua mulai dari kandungan sampai liang lahat. Riset dunia menyatakan perkembangan otak demikian pesatnya terlihat sejak minggu ketiga embrio bayi hidup. (Lihat: Awal Menentukan Sang Buah Hati)

Konsep pendidikan untuk semua (education for all) lebih ditegaskan lagi dalam pertemuan Dakkar, Senegal pada 2000. Deklarasi Dakkar antara lain menyatakan komitmen untukDakkar antara lain menyatakan komitmen untuk “memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung.” Selain itu juga menekankan pada program wajib belajar pendidikan dasar, life skills, pemberantasan buta aksara, kesetaraan jender, dan peningkatan mutu pendidikan.

Kemudian muncul Deklarasi “A World Fit for Children” di New York, Amerika Serikat, pada 2002. Forum menekankan perlunya penyediaan pendidikan yang berkualitas, serta millennium development goals yang di antaranya meliputi penekanan kepada pemberlakuan pendidikan dasar yang universal.

Di Indonesia, PAUD baru berkembang dalam satu dekade terakhir. Bermula dari tawaran Bank Dunia melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 1996. Perkembangan PAUD tak bisa dilepaskan dari peran sejumlah tokoh, di antaranya

Prof. Dr. Bambang Sudibyo

Nina Sardjunani, M. Sc

DOK.

DIT.

PAUD

SAIFU

L ANA

m

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd11 7/14/200710:42:49AM

Page 14: pena pendidikan 14

Bahasan Utama

12 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

dr. Fasli Jalal, Ph.D. Ketika itu, ahli gizi lulusan Universitas Cornell, Amerika Serikat, itu menjabat Kepala Biro Agama, Pendidikan, Kebudayaan dan Olahraga Bappenas. Bank Dunia memberi pinjaman senilai US$ 20 juta.

Uji coba program PAUD melibatkan Departemen Kesehatan dan Depdiknas. Kala itu, PAUD dikembangkan Direktorat Pendidikan Masyarakat di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (Ditjen PLSP). Program awal PAUD itu dilaksanakan di 12 kabupaten di provinsi Jawa Barat (sekarang plus Banten), Bali, dan Sulawesi Selatan. Proyek ini baru berakhir 2006 lalu.

“Kalau dilihat dari jumlah nilai proyeknya memang sangat kecil, hanya US$ 10 juta. Tapi itu berguna sekali karena kita bisa mendatangkan pakar-pakar PAUD dari luar negeri dan melakukan studi banding,” kata Gutama, Direktur PAUD Depdiknas.

Selain itu, Indonesia juga diundang menghadiri pertemuan-pertemuan internasional. ”Dalam laporan akhir tahun 2006 Bank Dunia begitu bangga melihat perkembangan PAUD di Indonesia, dan menyebutnya sebagai sebuah investasi yang lebih baik.”

Investasi yang lebih baik? Penilaian Bank Dunia itu diamini Nina Sardjunani, staf ahli Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang SDM dan Kemiskinan. ”Investasi program prasekolah jauh lebih menghasilkan dibanding investasi yang

dilakukan pada orang dewasa dalam bentuk job training,” kata Nina pada diskusi tentang PAUD yang digelar Forum Wartawan Peduli Pendidikan (Fortadik) di Jakarta, awal Januari lalu.

”Saya diperkenalkan PAUD pada tahun 2002 oleh Direktur PAUD Depdiknas, Gutama. Kemudian saya mengikuti presentasi tentang PAUD di Washington oleh pakar ternama. Dari situ saya mulai terbuka bahwa pentingnya masa emas PAUD di usia 0-6 tahun,” kata Nina.

Menurut hitung-hitungan Nina, investasi yang diberikan pada program PAUD dibandingkan dengan investasi bagi

manusia dewasa dalam bentuk job trainning nilainya berbanding 1:4. Artinya, ”Satu dolar yang diinvestasikan untuk pre school menghasilkan tambahan nilai ekonomi hingga 8 poin. Sedangkan investasi dalam bentuk job training hanya menambah nilai ekonomi 2 poin saja,” katanya.

Hingga Basis Keluarga PAUD nonformal tersebar dalam bentuk Taman Penitipan

Anak, Kelompok Bermain dan Satuan PAUD Sejenis. Kelompok Bermain dapat diikuti anak mulai usia dua tahun. Sedangkan Taman Penitipan Anak dan Satuan PAUD Sejenis diikuti bayi. Satuan PAUD sejenis di antaranya berupa Bina Keluarga Balita, Taman Pendidikan Quran (TPQ), dan Sekolah Minggu.

TPQ dan Sekolah Minggu adalah PAUD Nonformal yang dikembangkan oleh lembaga bernafaskan agama (Lihat: Ikhlas Menjaga Fitrah Anak). Jumlahnya tergolong banyak. TPQ diperkirakan mampu menyerap anak lebih dari 5,6 juta. Jauh lebih banyak dari jumlah murid TK sekalipun yang baru sekira 2,1 jutaan.

Sedangkan di jalur informal Direktorat PAUD juga tengah merintisnya melalui PAUD berbasis keluarga. ”Prinsip PAUDPrinsip PAUD melalui keluarga adalah bentuk pendidikan nonformal yang

dr. Fasli Jalal, Ph. D Dr. Ace Suryadi

Dr. Gutama, Direktur PAUD, saat mengunjungi PAUD Papua Drs. Mudjito AK, M. Si,saat mengunjungi TK di Malang

ARIE

NDO

K. D

IT. PA

UD

SAIFU

L ANA

m

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd12 7/14/200710:42:58AM

Page 15: pena pendidikan 14

1�Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

dapat mendorong kesiapan anak dalam proses belajar di usia sekolah,” kata Dr Ace Suryadi, Direktur Jenderal Pendidikan Formal dan Informal, Depdiknas, pada acara jumpa pers di Gerai Informasi dan Media, Depdiknas, Jakarta, awal April lalu.

Menurut Ace, konsep dasar dirintisnya PAUD berbasis keluarga karena banyak orangtua mengeluh anak-anak mereka belum memperoleh kesempatan mengirimkan anaknya ke lembaga PAUD yang ada, seperti TK, Playgrup dan Taman Penitipan Anak. “Melalui PAUD berbasis keluarga ini kami berikan pedoman umum berisi prinsip-prinsip mendidik anak dengan baik dan benar,” kata Ace.

PAUD berbasis keluarga masih dalam proses pengembangan konsep. Tahun 2008, baru diselenggarakan di beberapa daerah. Kemajuan luar biasa PAUD itu bukan semata melihat semakin banyak lembaga PAUD di daerah. Namun juga perkembanganNamun juga perkembangan sarana prasarana dan metode pembelajaran. Di semua PAUD benar-benar dipikirkan alat permaian edukatif, juga beraram metode pembelajaran yang menyenangkan bagi anak, seperti Beyond Center and Circle Time (BCCT).

PAUD Menghimpit TK Pelan tapi pasti orangtua semakin banyak melirik ke lembaga

PAUD nonformal. Misalnya, Eddy Susanto yang menitipkan anak mereka Celine Alifia ke TPA Kasih Ibu, milik Yayasan Bunga Bangsa, Semarang. ”Pengasuhan dan kesehatan anak kami terlayani dengan baik karena gizi dan nutrisi sangat diperhatikan di TPA. Anak kami juga jadi lebih mandiri, mampu berkonsentrasi dan bersosialisasi dengan baik. Stimulasi pendidikan di sini sesuai dengan tahap perkembangan anak kami,” kata Eddy Susanto, seperti dikutip majalah Bunga Bangsa.

Beruntung bagi Yayasan Bunga Bangsa yang membuka PAUD bukan cuma TK tapi sekaligus Play Group. Juga lembaga lain yang membuka PAUD nonformal macam Kelompok Bermain dan TPA sekaligus TK. Namun mereka yang cuma punya TK, meski dibagi menjadi TK kecil (untuk anak usia di bawah 5 tahun) dan TK besar (untuk anak usia di atas 5 tahun), merasakan dampak tak sedap kehadiran PAUD nonformal.

Sepak terjang PAUD yang sukses mendapat sambutan masyarakat itu menuai protes dari kalangan penyelenggara TK. Ketika ada pertemuan guru TK yang tergabung dalam Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTK) dan pengelola TK dalam wadah Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia (GOPKTI) di kantor Dinas Pendidikan Propinsi Jawa

TABEL ANGKA PARTISIPASI KASAR PAUD (2004-2006)KETERANGAN 2004 2005 2006

Anak usia 0-6 tahun 28.116.000 (100%) 28.171.000 (100%) 28.�64.�00 (100%)Anak yang mendapat layanan PAUD 7.814.181 (27,8%) 7.984.214 (28,�%) 1�.22�.812 (46,6%)

a. TK/BA/RA 2.215.9�2 1.826.8�4 201780875b. Playgroup 94.076 1.106.456 1.117.629c. Posyandu 15.�08 17.865 20.206d. Satuan PAUD Sejenis 2.847.60� 2.�91.797 1.546.907e. TPQ -- -- 5.651.066f. Prasekolah 2.641.262 2.641.262 2.709.129Anak yang belum dapat layanan PAUD

20.�01.819 (72.2%) 20.186.786 (71.7%) 15.140.488 (5�,4%)

ww

w.G

OOGL

E.cOm

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd13 7/14/200710:42:59AM

Page 16: pena pendidikan 14

Bahasan Utama

14 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Barat, 19 Juni 2007, yang dipantau wartawan PENA Pendidikan, tumpah ruahlah keluhan para guru dan pengelola TK.

Delegasi dari IGTKI Sukabumi, misalnya, menilai Gerakan Sejuta PAUD menimbulkan bentrok di lapangan dengan TK. “Banyak masyarakat yang semula akan memasukkan anaknya ke TK akhirnya tersedot ke PAUD,” katanya. Gerakan Sejuta PAUD memang diluncurkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam memperluas akses PAUD.

Orangtua lebih memilih memasukkan anaknya ke PAUD karena gratis, ketimbang TK yang mesti keluar biaya. PAUD nonformal yang digalakkan dalam Gerakan Sejuta PAUD memang tak memungut biaya sepeser pun alias cuma-cuma. Padahal anak-anak juga mendapat beragam pendidikan yang juga diajarkan di TK.

Mereka juga menyoal anggaran yang timpang. “TK hanya kebagian Rp � juta untuk tahun ini. Sementara PAUD mendapat Rp 12 juta. Padahal TK sudah lebih lama beroperasi daripada PAUD,” kata guru asal Sukabumi itu bersungut.

Yang lebih parah, masih menurut guru TK asal Sumedang, ada beberapa TK gulung tikar karena terhimpit Gerakan Sejuta PAUD. (Lihat: Ketika Kakak Iri pada Adiknya)

TK yang tidak tanggap

dengan perkembangan pendidikan terhadap anak memang bisa tergerus oleh lembaga PAUD baru. Biasanya lembaga PAUD yang bermunculan hadir dengan banyak kelebihan. Dari sarana dan prasarana yang oke, pengasuhan dan layanan kesehatan, hingga metode pembelajaran yang sesuai perkembangan usia anak. Sementara sebagian TK yang berjalan ala kadarnya tergerus kehadiran PAUD nonformal.

Mudjito mengakui nasib TK memang belum menggembirakan. ”Kondisi sarana dan prasarana TK masih memprihatinkan. Maklum, sebagian besar TKMaklum, sebagian besar TK diusahakan swasta,” kata Mudjito.

Selain itu, kata Mudjito, dari sisi proses pembelajaran, juga marak terjadi praktik kekeliruan lantaran rendahnya kompetensi guru TK. Guru TK justru berlomba-lomba memaksakan pengajaran baca-tulis-hitung secara klasikal, yang secara psikologis justru bertentangan dengan kodrat anak itu sendiri yakni bermain sambil belajar.

Menurut pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Profesor Dr. Conny Semiawan buruknya penyelenggaraan pendidikan TK selama ini bukan semata-mata disebabkan kurang pahamnya masyarakat terhadap hakikat dan pentingnya pendidikan TK. “Pemerintah kurang memiliki senses yang tinggi untuk melayani pendidikan anak-anak usia dini. Padahal, pendidikan bagi anak usia dini sangat menentukan bagi pembentukan karakter, kepribadian, dan perilaku manusia setelah dewasa,” kata mantan Kepala Pusat Kurikululum Departemen Pendidikan Nasional itu, seperti dikutip buku Taman Yang Paling Indah, Jangan Remehkan Taman Kanak-kanak (2007) yang ditulis Saiful Anam.

Persinggungan PAUD dan TK juga terjadi di sejumlah daerah yang lembaga PAUD-nya mulai banyak dikembangkan. Namun, sebenarnya tidak semua daerah bisa mengembangkan PAUD sepesat Jawa Barat dengan Gerakan Sejuta PAUD, atau Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan Seribu Pos PAUD. Apalagi semaju Jawa Timur yang dikenal sebagai daerah yang paling cepat mengembangkan PAUD.

Seperti Sumatera Barat misalnya. APK PAUD di sana memang naik pesat dalam dua terakhir. Namun angkanya masih

sangat rendah. Dari 21% pada awal tahun 2006, menjadi 29% pada awal 2007 ini. Menurut data Dinas Pendidikan Sumbar, jumlah lembaga PAUD nonformal di sana 425 buah yang menjangkau 10.000-an anak. Sedangkan TK jumlahnya 1.585 sekolah. Jumlah ini tidak sepadantidak sepadan dengan anak usia 0-6 tahun yang mencapai 6�9.5�7.

Lambatnya perkembangan PAUD karena masyarakat Urang Awak sendiri menilai PAUD adalah “pendidikan luar sekolah”. ”Sebagian besar masyarakat beranggapan pendidikan anak baru dimulai pada umur 6 tahun. Mereka menganggap pendidikan di bawah umur itu tidak penting,” kata Dr. Ir. Rahmat Syahni, M.Sc, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat.

Masyarakat Minang sendiri sejak zaman lampau sebenarnya tergolong masyarakat yang melek

Kegiatan PAUD di Aceh

DOK.

DIT.

PAUD

DOK.

PENA

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd14 7/14/200710:43:03AM

Page 17: pena pendidikan 14

15Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Perkembangan PAUD di dunia dewasa ini seperti apa dan bagaimana konstelasi di Indonesia?

Negara-negara di luar berhasil memasyarakatkan PAUD k e p a d a keluarga. Di tingkat dunia, Amerika Serikat, misalnya, mensubsidi anak

mi sk in yang masuk PAUD. Yang disubsidi bukan l embaganya tapi anaknya karena s emua anak punya akte kelahiran. Di sini kan tidak, dan tidak

disubsidi.

Apakah subsidi di AS itu kebijakan Presiden Bush?

Subsidi itu sudah lama. Amerika

m e n y a d a r i

PAUD sangat penting karena 100 miliar sel otak itu tidak ada artinya jika tidak distimulasi atau dirangsang sejak dini. Pernah ada penelitian di Amerika terhadap penjahat. Setelah ditelusuri, ujung-ujungnya perilaku tersebut bersumber sejak usia dini. Karena begitu pentingnya PAUD, maka Amerika kemudian membuat kebijakan nasional bahwa PAUD itu penting, sejak tahun 1970-an.

Bagaimana dengan negara-negara Eropa?Di negara-negara Eropa juga seperti itu. Jerman,

misalnya, memasukkan TK dalam pendidikan dasar. Sebetulnya kami dulu usulkan begitu, tapi tidak diterima oleh Depdiknas.

Bagaimana Anda melihat PAUD di Indonesia?Masih jauh. Saya sudah lama membicarakan pentingnya

PAUD, sejak tahun 1980-an. Tapi saya dulu malah dimusuhi orang. Orang berkomentar, ini apa lagi sih kan sudah ada pendidikan dasar. Saya tahu karena saya kan dokter anak

Wawancara Prof. Dr. Lily I Rilantono, Ketua Yayasan Kesehatan Anak Indonesia, mantan Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

SEMUA BERSUMBER DARI USIA DINI

pendidikan. ”Pendidikan adalah tradisi orang Minang. Para orangtua rela miskin asal anaknya bersekolah,” kata Rahmat. Hanya saja, PAUD, masih melekat stigma sebagai pendidikan di luar sekolah.

Tidak berkembangnya PAUD di Sumbar juga disebabkan anggaran yang belum tersedia. Para penyelenggara PAUD menganggap akan terus menerima bantuan dari pemerintah untuk mengelola PAUD. Padahal, pemerintah hanya memberikan dana rintisan. Buntutnya, ketika bantuan pemerintah tak ada lagi,

banyak pengelenggara PAUD menutup kegiatannya. (Lihat: Tradisi Pendidikan Urang Awak)

Ada baiknya daerah-daerah meniru Jawa Timur dalam mensinergikan PAUD nonformal dan formal. Sebagai provinsi yang perkembangan PAUD-nya paling pesat, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, mengimbau ribuan TK yang sudah didorong membuka Kelompok Bermain (KB), yang merupakan bagian dari PAUD nonformal. Sedangkan bagi PAUD nonformal yang mapan diminta membuka TK.

Hingga Juni 2007, Jatim punya kurang lebih 16.500 TK, hanya 65 berstatus negeri, dan sekitar 6000 PAUD nonformal yang semuanya diselenggarakan swasta. Meski begitu, secara komulatif angka partisipasi kasar PAUD belum mencapai 50%.

“Kita harapkan tidak ada dikotomi antara PAUD formal dan nonformal. Semua itu kan PAUD. Dengan cara seperti ini maka daya tampung bagi anak-anak usia 2-6 tahun menjadi lebih banyak. Setelah dari KB mereka langsung ke TK di lembaga yang sama,” tambah Dr Rasiyo, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur (Lihat: Menyinergikan PAUD Formal dan Nonformal).

DIPO HANDOKO, ROBI SUGARA, SAIFUL ANAm, mURNITA DIAN KARTINI, dan FETTY SHINTA LESTARI

Liliantono

SAIFUL A

DOK.

DIT.

PAUD

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd15 7/14/200710:43:12AM

Page 18: pena pendidikan 14

Bahasan Utama

16 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

AWAL MENENTUKAN SANG BUAH HATISaat lahir otak bayi memiliki 100 miliar neuron, kira-kira sebanyak bintang di galaksi Bima Sakti. Bila anak-anak jarang diajak bermain dan disentuh, perkembangan otaknya 20% atau 30% lebih kecil daripada ukuran normalnya pada usia itu.

Carla Shatz, ahli neurobiologi University of California, Berkeley, Amerika Serikat

FOcU

S.Hm

S.HAR

vARD

.EDUKEHIDUPAN luar biasa nampak pada minggu ketiga setelah

sperma membuahi sel telur yang bersemayam di rahim. Ketika itu selapis tipis sel dalam embrio calon si jabang

bayi, berkembang pesat, menari-nari, melipat membentuk silinder berisi cairan yang disebut neuron. Sel-sel dalam neuron kemudian berkembang berlipat-lipat dengan kecepatan 250.000 per menit. Otak dan sumsum tulang belakang membentuk diri dalam gerakan-gerakan yang sudah terprogram rapih.

Pada pekan kesepuluh sesudah pembuahan, sel-sel saraf dalam otak janin semakin sibuk dengan aneka kegiatan. Setiap sel otak menghubungi teman-temannya, saling berkomunikasi, terus menerus dan berulang-ulang. Ada gelombang kegiatan neuron yang tengah membentuk sirkuit otak menjadi pola yang lama-kelamaan menyebabkan bayi yang kelak lahir nanti mampu menangkap suara ayah, sentuhan ibu, atawa gerakan mainan gantung di boks tempat tidurnya.

Begitulah Carla Shatz, ahli neurobiologi dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, memerikan keajaiban pertumbuhan otak bayi sejak berbentuk embrio. Perkembangan ilmu mutakhir, memang lebih getol menelisik kegiatan otak dan struktur otak, menyisihkan teori tentang genetika semata. Kini para ahli sependapat bahwa bayi tidaklah dilahirkan sebagai sesuatu yang diprogram sebelumnya secara genetis, ibarat batu tulis yang bisa ditulisi semaunya oleh lingkungan.

Saat lahir otak bayi memiliki 100 miliar neuron, kira-kira sebanyak bintang di galaksi Bima Sakti. Otak orok sudah dilengkapi satu triliun glia. Sel glia (dari bahasa Yunani yang berarti perekat),

membentuk semacam sarang yang melindungi dan memberi makan neuron. “Otak bayi sudah berisi hampir semua sel saraf yang akan dimilikinya. Namun pola penyambungan antara sel-sel itu masih harus dimantapkan,” kata Shatz dari Berkeley, seperti ditulis J Madeleine Nash dalam Otak Kanak-Kanak, yang dimuat dalam Majalah TIME, edisi �

Februari 1997. Sel-sel otak bayi itu

baru sebagian yang telah terhubung dengan sejumlah organ penting, di antaranya sel-sel otak yang mengendalikan d e t a k j a n t u n g , p e r n a f a s a n , g e r a k refleks, pendengaran, dan naluri hidup.

Saat anak usia � tahun, sel otak telah membentuk sekitar 1000 triliun jaringan k o n e k s i ( s i n a p s i s ) . Jumlah ini 2 kali lipat, lebih banyak dari yang dimiliki orang dewasa. Setiap satu sel otak dapat berhubungan dengan 15.000 sel lain. Jaringan koneksi yang jarang digunakan akan mati, sedangkan yang sering digunakan akan semakin kuat dan permanen. Setiap rangsangan atawa stimulasi yang diterima anak melahirkan sambungan baru, dan memperkuat sambungan yang sudah ada.

Pertumbuhan spektakuler otak itu juga dikemukakan Tony Buzan, ahli neurologi yang menulis tak kurang dari 80 judul buku mengenai otak. Selama kurang lebih sembilan bulan dalam kandungan, otak bayi berkembang lebih cepat dibandingkan saat sudah lahir (Tony Buzan, Brain Child, How Smart Parents Make Smart Kids --terjemahan bahasa Indonesia berjudul Brain Child, Cara Pintar Membuat Anak Jadi Pintar, 2005).

Perkembangan otak janin, kata Buzan, juga dipengaruhi berbagai faktor, antara lain faktor genetis dan asupan makanan yang mengalir dalam darah ibunya. Makanan bergizi dan seimbang bukan hanya bermanfaat untuk sang ibu, melainkan juga berpengaruh pada perkembangan janin, terutama untuk pembentukan sel otak.

Ibu hamil mutlak harus memahami faktor-faktor penghambat pertumbuhan sel saraf otak bayi. Di antaranya rokok, alkohol dan obat-obat terlarang. Menurut Buzan, kondisi psikologis si ibu juga

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd16 7/14/200710:43:13AM

Page 19: pena pendidikan 14

17Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

DOK.

DIR

EKTO

RAT P

AUD

berpengaruh pada pertumbuhan janin. Apa yang terjadi pada pikiran ibu dapat mempengaruhi perkembangan mental bayi.

Bila selama pertumbuhan itu, anak tidak mendapat rangsangan yang tepat, otak anak akan menderita. Para peneliti di Baylor College of Medicine, misalnya, menemukan bahwa apabila anak-anak jarang diajak bermain, disentuh, perkembangan otaknya 20% atau �0% lebih kecil daripada ukuran normalnya pada usia itu.

Hasil kajian sangat fenomenal dikemukakan Benjamin S. Bloom. Psikolog kondang Amerika Serikat itu menelurkan tesis bahwa pada usia 4 tahun perkembangan kecerdasan anak mencapai 50%. Pada usia 8 tahun tingkat kecerdasannya mencapai 80 %, dan di usia 18 tahun sudah paripurna alias 100%.

“Dengan kata lain, pertumbuhan intelektual anak sejak lahir sampai usia 4 tahun sama banyaknya dengan usia 4-18 tahun,” kata Dr Gutama, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah, Depdiknas. (Lihat Pena Pendidikan, edisi Desember 2006).

Dilihat dari sisi pertumbuhan fisik, orok baru lahir sudah mencapai 25% kesempurnaan fisik manusia. Pada usia 6 tahun mencapai 90%. Kesempurnaan fisik manusia dicapai pada usia 12 tahun (100%).

Tentu saja, pengetahuan baru ini tidak saja menarik bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Mestinya juga dipahami para orangtua dan pengambilan kebijakan bidang pendidikan. Ahli perkembangan anak di dunia Barat menilai perlunya program prasekolah yang bertujuan memperbesar daya otak anak yang dilahirkan di keluarga miskin di pedesaan dan perkampungan kota. “Ada skala waktu bagi perkembangan otak, dan tahun yang paling penting adalah tahun pertama,” kata Frank Newman, Presiden Komisi Pendidikan Amerika Serikat. Pada usia tiga tahun, anak yang ditelantarkan atau disia-siakan akan membawa cap yang sulit atau bahkan tidak dapat dihapus.

Penelitian baru lainnya memberi harapan bahwa otak anak selama tahun-tahun pertama itu, mudah dibentuk. S e h i n g g a ,

andai anak di usia dini terkena stroke atau cedera yang merusak satu belahan otaknya, ia masih bisa tumbuh menjadi orang dewasa dengan fungsi organ secara penuh. “Kita mungkin tidak dapat berbuat banyak untuk mengubah apa yang terjadi sebelum b a y i dilahirkan. Tetapi kita bisa mengubah apa yang terjadi sesudah anak lahir,” kata Dr Harry Chugani, ahli neurologi pediatri dari Wayne State University Detroit, Amerika Serikat.

Penelitian lain membuktikan bahwa pendidikan anak usia dini berperan besar bagi kehidupan anak, kelak saat dewasa, baik dilihat dari sisi prestasi akademik maupun keberhasilan pendapatan ekonomi. Studi High Scope Perry Preschool Program di Amerika Serikat kurun 1962-1967 memfokuskan penelitian pada anak-anak Amerika Serikat keturunan Afrika dari keluarga berpenghasilan rendah yang punya risiko putus sekolah. Anak-anak itu, baik dari kelompok peserta maupun kontrol, ditelusuri setiap tahun dari usia 3 hingga 11 tahun, dan beberapa kali sampai mereka berusia 40 tahun.

”Faktanya, anak-anak yang mengikuti pendidikan prasekolah terbukti mampu meningkatkan IQ pada usia 5 tahun. Tingkat kelulusan mereka juga lebih tinggi di sekolah menengah, serta memiliki pendapatan yang lebih tinggi pada usia 40 tahun. Analisis rinci menunjukkan program itu menghasilkan rasio antara manfaat berbanding biaya sekitar 17:1,” kata Drs. Mudjito AK, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD, Depdiknas.

Begitu berartinya PAUD mendorong dunia internasional lebih memberikan komitmen dan perhatian tinggi. Antara lain terlihat dari pertemuan di Jomtien, Thailand, pada 1990. Forum itu melahirkan Deklarasi Jomtien yang isinya antara lain menyatakan pentingnya pendidikan untuk semua mulai dari kandungan sampai liang lahat.

Konsep pendidikan untuk semua (education for all) lebih ditegaskan lagi dalam pertemuan Dakkar, Senegal pada 2000.

Deklarasi Dakkar antara lain menyatakan komitmen untuk “memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat rawan dan kurang beruntung.” Selain itu juga menekankan pada program wajib belajar pendidikan dasar, life skills, pemberantasan buta aksara, kesetaraan jender, dan peningkatan mutu pendidikan.

Konsep elok para ilmuwan di abad ke-21 itu dan semangat internasional pada PAUD, sejatinya sudah ditangkap Ki Hajar Dewantara dengan Taman Indria-nya di awal abad ke-20. Sayangnya, kebijakan pemerintah di zaman kolonial, masa kemerdekaan hingga periode panjang di era Orde Baru tidak berpihak kepada pendidikan anak usia dini. Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia (PADU) saja, dibentuk di Depdiknas baru pada 2001 lalu.

DIPO HANDOKO

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd17 7/14/200710:43:15AM

Page 20: pena pendidikan 14

Bahasan Utama

18 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

FOTO

-FOT

O: SA

IFUL A

NAm

BANYAK istilah sering digunakan dalam menggambarkan kasih sayang orangtua terhadap anak. “Anak permata“Anak permata Bunda, belahan jiwa, si jantung hati, dan buah hati mama”.

Sebutan itu mencerminkan betapa anak adalah segalanya. Sebagai buah hati ia mampu menjadi daya pengikat yang kokoh dan perekat yang kuat dalam jalinan kasih sayang dan hubungan harmonis rumah tangga.

Mendidik anak sejak dini menjadi suatu kewajiban orangtua sejak dari kandungan hingga beranjak dewasa. Islam, misalnya, mengajarkan pentingnya pendidikan anak sejak ia berada dalam kandungan ibunya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Quran: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau, anak yang ada dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat. Karena itu terimalah nazar itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah yang maha mendengar lagi maha Mengetahui.”(Quran Surat Ali Imran: �8)

Ayat di atas menegaskan bahwa sejak bayi dalam kandungan, seorang ibu senantiasa mendidik bayinya dengan memanjatkan doa kepada Allah SWT. Kandungan ayat itu klop dengan riset ilmiah ilmu kedokteran, yang menyatakan sejak kandungan berusia 7 minggu, embrio yang ada dalam rahim untuk pertamakalinya saraf dan otot bekerja. Bersamaan dengan itu, embrio mempunyai reflek dan bergerak spontan. Akhir minggu ke-7 ini otak bayi akan terbentuk lengkap.

Saat pembentukan otak dalam kandungan, seorang ibu

selain harus mengonsumsi makanan yang mengandung gizi dan asupan vitamin yang bagus, disarankan juga sang Bapak membaca ayat Al Quran dengan cara diperdengarkan langsung ke perut istrinya yang sedang hamil. Dengan cara ini anak akan merasakan kedamaian dan perhatian terutama nilai-nilai agama dari orangtuanya.

Kewajiban Orangtua Setelah mengalami masa usia sembilan

bulan dalam kandungan, bayi akan lahir ke dunia dengan segala anugerah yang diberikan Allah SWT. Ibarat kertas polos yang kosong, setiap bayi yang dilahirkan adalah fitrah atau suci. Sebagaimana hadits Rasulullah SAW: “Setiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menyebabkan

ia menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi,” (Hadits Riwayat Bukhari).

Hadits ini adalah dalil yang kuat tentang pentingnya orang tua memberikan pendidikan bagi anak. Kelahiran bayi merupakanKelahiran bayi merupakan anugerah Allah SWT, oleh karena itu kelahiran bayi yang dinanti-nantikan baik laki-laki maupun perempuan harus disambut dengan penuh syukur.

Setelah bayi lahir, orangtua harus mengazaninya agar si anak kelak selalu mendengar perintah-Nya dan mendengar hal-hal baik dari lingkungan sekitarnya. Selain itu, ada empat hal yangSelain itu, ada empat hal yang diwajibkan orang tua kepada anaknya saat 7 hari usia bayi. Yaitu memberi nama yang baik, melakukan aqiqah, mencukur rambut dan memberi sedekah pada orang miskin paling kurang perak seberat rambut itu.

Pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang cukup, makanan bergizi dan imunisasi juga sangat penting dalam menjaga pertumbuhan anak agar menjadi generasi yang sehat baik jasmani maupun rohani. Pada saat usia dua tahun anak menunjukkan emosi yang labil dan sukar mengendalikan diri. Ia mudah mengenalIa mudah mengenal identitas dan merasa dirinya penting dan ingin terlihat menonjol. Ia menghendaki apa-apa yang diinginkannya segera dituruti dan mengharapkan perhatian lebih.

Pada masa usia �-5 tahun sebaiknya orangtua memberi keteladanan pada anak dan menyarankan anak untuk memiliki lingkungan baru seperti kelompok bermain, Taman Asuh dan

IKHLAS MENJAGA FITRAH ANAK Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Peran orangtua sangat berpengaruh dalam mengubah anak menjadi berwarna merah, hitam dan kelabu. Agama memiliki tuntunan yang kaya tentang pendidikan anak usia dini sesuai ajaran kitab suci.

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd18 7/14/200710:43:18AM

Page 21: pena pendidikan 14

19Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

sejenisnya. Lingkungan baru ini agak berbeda dengan lingkungan rumah yang selama ini anak jalani.

”Al Quran menyebutkan cita-cita Nabi dan Rasul untuk memperoleh anak yang saleh sebagai pewaris dan penerus usahanya. Al Quran juga menyebutkan tanggung jawab ibu dan bapak untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya sejak dini dengan baik, supaya kelak di kemudian hari jangan menjadi anak yang sengsara dan lemah baik fisik maupun jiwanya,” ujar Dr. K.H. Sahal Mahfudh, Ketua Majelis Ulama Indonesia dalam sambutan buku berjudul Pendidikan Anak Usia Dini Menurut Pandangan Islam.

Apa yang disampaikan Dr. K.H. Sahal Mahfudh semakin mempertegas pentingnya pendidikan anak usia dini untuk bergabung dengan kelompok bermain dan melalui fase sosialisasi. Yakni fase di mana anak-anak mulai kenal teman, guru dan lain-lain di luar hubungannya sebagai anggota keluarga. Ia mulai kenal berbagai peraturan yang harus ditaati. Pada masa ini sifat keakuan mulai berkurang perasaan emosional lebih kecil dibanding dengan sebelumnya.

Pada masa ini juga daya intelektualitas mulai berkembang. Daya fantasi, sifat ingin tahu, dan sifat meniru menjadi lebih menonjol. Dalam hubungan ini yang perlu diupayakan adalah:Dalam hubungan ini yang perlu diupayakan adalah: Pertama memberikan Kebebasan yang terbatas dalam arti memberikan tuntunan, bimbingan, nasihat dan pengendalian.

Selanjutnya yang kedua adalah mengadakan komunikasi timbal balik, Ketiga, melatih mereka bertanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan, Keempat, mengadakan kegiatan bersama seperti shalat berjamaah. Kelima jangan terlaluKelima jangan terlalu memanjakan dan mengekangnya dengan memberikan materi yang berlebihan. Keenam memberikan perhatian, pendidikan kedisiplinan dan akhlakul karimah, serta pendidikan bagaimana menjadi mandiri.

Itulah beberapa usaha yang harus dilakukan orangtua dalam merawat, mengasuh dan mendidik anak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Diharapkan jika hal ini dilakukan dengan ikhlas akan memberi kebahagiaan dan kesejahteraan bagi anak. Anak yang sejahtera adalah penerus kesejahteraan orangtuanya dan merupakan kekayaan bangsanya. Anak idaman adalaha nak yang qurrata a’yun alias penyenang hati dan penyejuk mata.

Pendekatan Iman Dan KasihDalam ajaran Kristiani, perhatian

terhadap pendidikan anak usia dini juga besar. Sebagaimana tersebut dalam Efesus 6:4 yang menyatakan: ”...Kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan.”

Pendidikan iman oleh orangtua diberikan pada anak dengan membiasakan mereka menghayati nilai-nilai iman kristiani di l ingkungan keluarga lewat suasana yang indah dan menggembirakan, iklim

persaudaraan dan cinta kasih. Selain itu orang tuabertanggung jawab mengajar anak-anak berdoa dan menuntun mereka sebagai citra Allah melalui kesaksian hidup sesuai dengan Injil.

Kesadaran dalam penanaman dan pemeliharaan iman menjadi pokok perhatian dalam pelayanan pastoral gereja. Konsili Vatikan II menegaskan bahwa pembinaan iman anak merupakan tugas utama gereja, selain orangtua dan masyrakat (Lumen Gentium 11). Dewasa ini setiap paroki di Indonesia telah menyelenggarakan Pendidikan Bina Iman Anak (BIA)

Tugas dan tanggungjawab pendidikan anak usia dini dalam iman Katholik diselenggarakan oleh keluarga, penanggung jawab (bidang pewartaan dan pendalaman iman di tingkat keuskupan dan paroki, dan pendamping Bina Iman Anak dengan tujuan membantu keluarga Katholik agar sadar akan pentingya pendidikan iman anak sejak usia dini dan mampu memberikan iman kepada anak-anaknya sesuai ajaran Yesus Kristus.

Beberapa hal yang dilakukan gereja adalah - Merencanakan kaderisasi tim pendamping melalui

pelatihan secara berkala dan berjenjang. - Menyiapkan materi pelatihan bagi para pendamping iman

anak - Menyusun materi Bina Iman Anak (BIA) dan metode

pendampingan yang cocok dengan kebutuhan, minat minat dan daya serap anak.

- Menyusun alat peraga atau alat permainan edukatif (APE) secara kreatif. Dan disesuaikan dengan keadaan setempat.

- Bekerjasama dengan dewan paroki, pengurus stasi, orangtua, guru PAUD dan lembaga-lembaga yang peduli akan PAUD dalam mendidik anak secara kristiani.

EvA ROHILAH

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd19 7/14/200710:43:21AM

Page 22: pena pendidikan 14

Bahasan Utama

20 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

BELAKANGAN ini obrolan di kalangan pendidik Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tak lepas dari pembicaraan mengenai metode pembelajaran BCCT (Beyond Centers

and Circle Time) alias pendekatan sentra dan saat lingkaran. AdaAda pula yang menyebutnya metode senling kependekan dari sentra dan lingkaran.

Metode BCCT sendiri lahir dari serangkaian pembahasan di Creative Center for Childhood Research and Training (CCCRT) di Florida, Amerika Serikat. CCCRT meramu kajian teoritik dan pengalaman empirik dari berbagai pendekatan. Dari montessopri, highscope, head start, dan reggio emilia. CCCRT dalam kajiannya telah diterapkan di Creative Pre School selama lebih dari �� tahun.

Di Indonesia, BCCT kali pertama diadaptasi oleh lembaga PAUD berlatar belakang Islam. Adalah Nibras binti OR Salim, pimpinan TK Istiqlal Jakarta, yang pernah terbang langsung ke CCCRT melakukan riset selama tiga bulan.

BCCT dianggap paling ideal diterapkan di Tanah Air. Selain tidak memerlukan peralatan yang banyak, tapi kecerdasan anak tetap bisa dioptimalkan. BCCT diyakini mampu merangsang seluruh aspek kecerdasan anak (multiple inteligent) melalui bermain yang terarah. Setting pembelajaran mampu merangsang anak saling aktif, kreatif, dan terus berpikir dengan menggali pengalaman sendiri. Jelas berbeda dengan pembelajarn masa silam yang menghendaki murid mengikuti perintah, meniru, atau menghapal.

Pendekatan Sentra dan Lingkaran berfokus pada anak. Pembelajarannya berpusat di sentra main dan saat anak dalam lingkaran. Sentra main adalah zona atau area main anak yang dilengkapi seperangkat alat main yang berfungsi sebagai pijakan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung perkembangan anak dalam tiga jenis permainan. Yakni main sensorimotor (fungsional), main peran, dan main pembangunan.

Sedangkan saat lingkaran adalah saat pendidik duduk

bersama anak dengan posisi melingkar untuk memberikan pijakan kepada anak yang dilakukan sebelum dan sesudah main.

KEUNGGULAN BCCTKurikulum BCCT diarahkan untuk membangun pengetahuan

anak yang digali oleh anak itu sendiri. Anak didorong untuk bermain di sentra-sentra kegiatan. Sedangkan pendidik berperan sebagai perancang, pendukung, dan penilai kegiatan anak. Pembelajarannya bersifat individual, sehingga rancangan, dukungan, dan penilaiannya pun disesuaikan dengan tingkatan perkembangan dan kebutuhan setiap anak.

Semua tahapan perkembangan anak dirumusk an d e n g a n r i n c i d a n j e l a s . S e h i n g g a g u r u p u n y a p a n d u a n d a l a m p e n i l a i a n p e r k e m b a n g a n a n a k . Kegiatan pembelajaran tertata dalam urutan yang jelas. Dari penataan lingkungan main sampai pada pemberian pijakan-pijakan (scaffolding).

Setiap anak memperoleh dukungan untuk aktif, kreatif, dan berani mengambil keputusan sendiri, tanpa mesti tahu membuat kesalahan. Setiap tahap perkembangan bermain anak dirumuskan secara jelas, sehingga dapat menjadi acuan bagi pendidik melakukan penilaian perkembangan anak.

Penerapan metode BCCT tidak bersifat kaku. Bisa saja dilakukan secara bertahap, sesuai situasi dan kondisi setempat. Lingkungan bermain yang bermutu untuk anak usia dini setidaknya mampu mendukung tiga jenis main yang dikenal dalam penelitian anak usia dini.

SENSORIMOTOR HINGGA MAIN PERANSensorimotor bisa dilihat saat anak menangkap rangsangan

melalui penginderaan dan menghasilkan gerakan sebagai

MENGAJAR DENGAN SENTRA DAN LINGKARAN

BCCT dianggap paling ideal diterapkan di Tanah Air. Mampu merangsang seluruh aspek kecerdasan anak. Setting pembelajaran mampu merangsang anak aktif, kreatif, dan terus berpikir menggali pengalaman sendiri

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd20 7/14/200710:43:25AM

Page 23: pena pendidikan 14

21Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

reaksinya. Anak bermain dengan benda untuk membangun persepsi. Anak sangat perlu memiliki pengalaman sensorimotor sebab anak usia dini belajar melalui panca inderanya dan melalui hubungan fisik dengan lingkungan mereka.

Main sensorimotor merupakan respons paling sederhana. Gerakan lebih diarahkan pada makna. Misalnya, bayi menggeliat karena terkena dingin, anak memegang, mencium, atau menendang. Main sensorimotor menjadi penting karena diyakini mempertebal sambungan antara neuron.Main sensorimotor juga dianggap memenuhi kebutuhan anak untuk selalu aktif berekplorasi dan bereksperimen.

Main peran atau disebut main simbolik, role play, pura-pura, make believe, fantasi, imajinasi, fantasi, imajinasi, atau main drama. Anak bermain dengan benda untuk membantu menghadirkan konsep yang mereka mil ik . Fungsi main peran menunjukkan kemampuan berpikir anak yang lebih tinggi. Sebab anak mampu menahan pengalaman yang didapatnya melalui panca indera dan menampilkannya kembali dalam bentuk perilaku berpura-pura.

M a i n p e r a n m e m b o l e h k a n a n a k memproyeksikan diri ke masa depan, menciptakan kembali masa lalu, dan mengembangkan keterampilan khayalan. Main peran diyakini menjadi terapi bagi anak yang mengalami traumatik. Pada main peran mikro, anak memainkan peran melalui tokoh yang diwakili benda-benda berukuran kecil. Contohnya kandang dengan binatang-binatangan dan orang-orangan kecil.

Sedangkan pada main peran makro anak diajak memainkan tokoh dengan menggunakan alat berukuran besar ( ukuran sesungguhnya ). Contohnya, anak memakai baju dan menggunakan kardus besar yang dianggap sebagai mobil-mobilan atau binatang. Main pembangunan bertujuan merangsang kemampuan anak mewujudkan pikiran, ide, dan gagasannya, menjadi karya nyata. ”Saat anak menghadirkan dunia mereka melalui main pembangunan, mereka berada di posisi tengah antara main dan

kecerdasan menampilkan kembali,” kata Jean Piaget (1962).

Ketika anak bermain pembangunan, anak terbantu mengembangkan keterampilan koordinasi motorik halus. Juga berkembangnya kognisi ke arah berpikir operasional, d a n membangun keberhasilan sekolah di kemudian hari. Contoh bahan main berupa bahan pembangunan yang terstruktur, seperti balok unit, balok berongga, balok berwarna, lego, puzzle, cat, pulpen hingga pensil.

Anak usia dini yang belum punya pengalaman dengan bahan main pembangunan, memulainya dengan kegiatan sensorimotor. Anak diminta memegang dan membawa bahan main pembangunan sampai mereka mengerti penggunaannya. Ketika anak menguasai bahan-bahan dan anak meningkat keterampilan motorik halusnya, hasil karya anak kian nyata.

Pada metode BCCT, anak-anak dibolehkan memilih serangkaian kegiatan main setiap hari yang menyediakan kesempatan untuk terlibat dalam main peran, main pembangunan, dan sensorimotor. Umpamanya anak dapat menggunakan cat di papan tulis , cat jari, atau cat dengan kuas kecil.

PENGENALAN SENTRA Model pendidikan sentra menitik beratkan pada pandangan

ahli pendidikan, Helen Parkhust yang lahir di Amerika pada 1807. Menurut Helen, kegiatan pengajaran harus disesuaikan dengan sifat dan keadaan individu yang mempunyai tempat dan irama perkembangan berbeda satu dengan yang lain.

” K e g i a t a n p e n g a j a r a n h a r u s memberikan kemungkinan kepada murid untuk berinteraksi, bersosialisasi dan bekerja sama dengan murid lain dalam mengerjakan tugas tertentu secara mandiri,” kata Helen.

Pandangan Helen Parkhust ini tidak mementingkan aspek individu, tapi

juga aspek sosial. Bentuk pengajarannya memadukan model klasikal dan individual.

Ruangan kelas dapat dimodifikasi menjadi kelas-kelas kecil, yang disebut ruangan vak atau sentra-sentra. Setiap sentra terdiri dari satu bidang pengembangan. Ada sentra bahasa, sentra daya pikir, sentra daya cipta, sentra agama, sentra seni, sentra kemampuan motorik.

C o n t o h n y a p a d a s e n t r a b a h a s a . D i s a n a a d a bahan, a lat-alat , ser ta sumber belajar seper t i tape recorder, alat pendengar, kaset, alat peraga, dan gambar. Pada sentra daya pikir berisi bahan-bahan ajar seperti alat mengukur, manik-manik, gambar-gambar, alat-alat geometris, alat-alat laboratorium atau majalah pengetahuan.

DIPO HANDOKO (Sumber: Disarikan dari berbagai sumber)

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd21 7/14/200710:43:30AM

Page 24: pena pendidikan 14

Bahasan Utama

22 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

FOTO

-FOT

O: R

OBI S

UGAR

A

“Perjuangan memasukkan PAUD ke produk UU begitu panjang dan berat,” kata Damanhuri Rosadi di acara Workshop Himpaudi dan Forum PAUD se-Indonesia

di Bandung, 17-19 Juni 2007. Pria kelahiran Bandung 18 Oktober 1940, adalah Ketua Harian Forum PAUD.

Ajang pertemuan Himpaudi dan Forum PAUD itu dimanfaatkan Damanhuri untuk menceritakan proses masuknya PAUD dalam UU Sistem Pendidikan Nasional serta berdirinya Forum PAUD dan Himpaudi. Perjuangan berat yang disebut Damanhuri lantaran sejak awal gerakan PAUD dipandang sebelah oleh banyak kalangan. “Banyak para pejabat yang belum mengerti terkait pentingnya pendidkan usia dini ini,” katanya.

Ungkapan itu beberapa kali juga dikatakan Dr Gutama, Direktur Pendidikan Anak Usia Dini, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Mantan guru TK ini mengatakan, banyak yang mencibir terkait keberadaan direktorat PAUD. Jangankan di luar, di internal Depdiknas sendiri, PAUD tak ubahnya angin lalu. Ketika itu dikatakan, posisi direktur PAUD di Depdiknas tidak begitu penting.

Tapi beruntung, kata Gutama, ia tak berjalan sendiri. Begitu diangkat jadi Direktur PAUD pada 2001, Gutama tak mau berleha-leha. Direktorat PAUD, ketika itu di bawah Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, bersama komponen masyarakat terus bergerak. Damanhuri menjadi salah satu teman seiring perjuangan Gutama pada awal gerakan PAUD.

Damanhuri adalah bekas dokter di Angkatan Laut. Dia bertugas

di angkatan laut sejak 1965. Masuk dalam tim direktorat PAUD, Damanhuri mewakili Yayasan Kesejehteraan Anak Indonesia (YKAI). Pergulatannya sebagai dokter membuat, Damanhuri konsen pada pelayanan anak kecil. “Dahulu saya melihat, banyak anak yang ditinggalkan orangtuanya berlayar. Bagaimana pendidikan mereka?” Begitu yang kerap ditanyakan Damanhuri dalam hatinya.

Begitu ada sinyal-sinyal gerakan PAUD dari pemerintah, Damanhuri bersama teman-temannya menyambut peluang itu. Tak melihat anggarannya ada atau tidak, Damanhuri langsung tergerak membuat sosialisasi ke sejumlah stakeholder penyelenggara pendidikan, khususnya pendidikan nonformal. Mereka melangkah ringan seperti ada yang mendorong terus bekerja dan bekerja mensosialisasikan PAUD. “Ini berangkat dari kepedulian terhadap nasib anak bangsa kita,” ungkapnya.

Lewat diskusi, seminar, semiloka, pelatihan dan sejumlah sosialisasi lainnya, Damanhuri langsung tancap gas. Opini akan pentingnya pendidikan usia dini semakin membludar. Ujungnya, dari pemikiran para praktisi, akademisi, dan sejumlah instansi, Forum PAUD terbentuk pada 21 Februari 2002. Bayangkan, kata Damanhuri, saat itu belum ada UU Sisdiknas. “Himpaudi juga belum ada,” tambahnnya.

Menurut Gutama, nama Forum PAUD muncul tak lepas dari gagasan Fasli Djalal yang saat itu masih menjabat Dirjen Pendidikan Luar Skeolah dan Pemuda. Sebelumnya, forum ini namanya panjang sekali: Forum Perawatan, Pengasuhan,

PELETAK DASAR PAUD Jika melihat gerakan PAUD saat ini, jangan lupakan FORUM PAUD. Lembaga inilah yang pertama bersosialisasi dalam menggolkan PAUD ke dalam UU Sisdiknas. Acara Forum PAUD

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd22 7/14/200710:43:32AM

Page 25: pena pendidikan 14

2�Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini. Penyebabnya, karena urusan anak usia dini melibatkan banyak kalangan. Yakni Raudhatul Atfal di bawah asuhan Departemen Agama, Taman Penitipan Anak di bawah asuhan Departemen Sosial, dan Posyandu di bawah garis kerja Departemen Kesehatan.

Ketika itu selalu muncul protes dari masing-masing pihak. Jika hanya muncul kata pendidikan, departemen lain tidak sepakat. Begitu juga dengan Depdiknas yang keberatan jika tidak ada kata ”pendidikan”. Namun Fasli Djalal lebih suka menyebutnya Forum PAUD. Sepak terjang forum ini meski berjalan seiring dengan direktorat PAUD, sama sekali bukan bagian dari keorganisasian Depdiknas. Memang, ketika itu Forum PAUD banyak ngantor di Direktorat PAUD Depdiknas di Gedung Depdiknas, Jalan Sudirman, Jakarta.

Forum PAUD dan Direktorat PAUD kemudian instens mendekati DPR. Mereka banyak memberikan masukan seputar pentingnya pendidikan anak usia dini. Gerak cepat mereka lantaran memanfaatkan momen penting: pembahasan UU Sistem Pendidikan Nasional.

Dari sisi agama, Damanhuri tak jengah untuk menekankan bahawa pendidikan usia dini adalah anak amanah dan sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ajaran agama, menekankan agar senantiasa menjaga anak karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak-hak sebagai manusia yang wajib dijunjung tinggi.

Selain itu, kehadiran PAUD dikuatkan lagi dengan konvensi Hak Anak sebagai instrumen hukum internasional yang mengikat secara juridis dan politis. Secara substantif sudah termuat dalam Pasal 28 UUD 1945 dan jabarannya pada UU Nomor 2� Tahun 200� tentang Perlindungan Anak. Pengembangan Anak usia dini mencakup upaya pemenuhan hak anak atas kesehatan nutrisi, pendidikan dan perlindungan agar dapat melej itkan potensi kecerdasan anak dan kehidupan lebih baik di masa depan.

Oleh karena itu, pendidikan dan pengembangan anak usia dini merupakan upaya strategis mewujudkan kualitas anak, remaja dan pemuda menuju tujuan nasional, khususnya kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. ”Jadi jelas, pendidkan dan pengembangan anak adalah untuk membangun masa depan bangsa,” kata Damanhuri.

Pada akhirnya DPR, meski Komisi IX yang membawahi bidang pendidikan menyikapi biasa-biasa saja, menerima usulan tentang PAUD. PAUD pun masuk pada pasal-pasal UU Sisdiknas. Pasal 1, butir 14 ditegaskan ”Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan, perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidkan lebih lanjut.”

Selanjutnya pada Pasal 28 dijelaskan bahwa (1) PAUD diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. (2) PAUD dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal. (�) PAUD pada jalur pendidikan formal berbentuk TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat. (4) PAUD pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain, taman penitipan anak, atau bentuk lainnya yang sederajat. (5) PAUD pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Meski secara yuridis keberadaan PAUD kuat, Damanhuri menilai pemerintah, swasta dan masyarakat belum sepenuhnya memahami dan menyadari bahwa Forum PAUD adalah “insfrastruktur sosial” yang bermakna dan sejalan untuk meningkatkan gerakan masyarakat untuk Pendidikan Untuk Semua, terutama pendidikan anak usia dini.

Menurut Damanhuri ada sejumlah aspek yang perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan. Di antaranya, keanggotaan menyangkut para pakar, praktisi, pemerhati, dan LSM. Juga soal pengembangan di bidang PAUD, penerbit buku anak, produsen makanan pengganti ASI/susu/vitamin untuk anak, instansi terkait dan elemen lain.

Damanhuri berharap rintisan PAUD bisa menyentuh sampai ke kelurahan dan desa. Ia juga berharap Forum PAUD lebih beroreintasi pada tugas bukan pada anggaran. Yakni melakukan iuran anggota tiap bulan, ketua forum dan pengurus secara rutin diganti dari para anggotanya, tempat kegiatan bergantian di masing-masing instansi, pelatihan SDM dan peningkatan kualitas pengelola pelayanan PAUD, dan nonpartisan.

Masih banyak PR bagi Forum PAUD yang baru berumur satu dekade. Sayangnya, dalam beberapa tahun terakhir

Forum PAUD sebagai peletak batu pertama keberadaan PAUD, seakan tenggelam oleh kehadiran Himpaudi yang

kini digawangi banyak ahli pendidikan. Sehingga di sejumlah daerah banyak yang belum memahami tugas dan fungsi Forum PAUD dan Himpaudi (Lihat: Tancap Gas

Himpaudi).ROBI SUGARA

Damanhuri, Ketua harian Forum PAUD Pusat

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd23 7/14/200710:43:36AM

Page 26: pena pendidikan 14

Bahasan Utama

24 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

TANCAP GAS HIMPAUDI Direktorat PAUD bersama Forum PAUD membentuk HIMPAUDI. Salah satu tujuannya untuk mensejahterakan honor para tenaga pendidiknya.

DI masyarakat umum mereka ini dipanggil Bu Guru atau Pak Guru. Namun statusnya sebagai pendidik tak ubahnya “saudara kandung yang terbuang.” Kurang lebih itu yang

dialami para “guru” di beragam lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Secara administrasi kepegawaian, mereka ini memang tak berhak menyandang sebutan guru. Label mereka cuma pendidik PAUD. Padahal, saudara kandung mereka, Taman Kanak-Kanak (TK) lebih mengenal Bu Guru untuk menyebut para pengajarnya.

TK pada akhirnya menyandang label sebagai PAUD formal. Pendidiknya pun akrab dipanggil guru TK. Lain halnya dengan pendidik di Kelompok Bermain (playgroup), atau Taman Penitipan Anak (TPA) yang kini melekat label sebagai pendidik di PAUD nonformal. Jangankan bicara kualitas PAUD nonformal dan para pendidiknya, jumlahnya saja masih sangat kurang.

“Mengajar di PAUD nonformal tidak ada honornya. Sehingga sangat sulit mencari lulusan sarjana di daerah-daerah terpencil yang mau menjadi pendidik PAUD nonformal,” kata Dr Gutama, Direktur PAUD, Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Beruntung, kala keberadaan PAUD nonformal secara sah menjadi bagian hirarkis sistem pendidikan nasional, dengan masuknya lembaga ini dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 200� tentang Sistem Pendidikan Nasional. Berbagai seminar, workshop, dan diskusi mulai intensif membahas segala persoalan

mengenai PAUD nonformal ini dan pendidiknya. Direktorat PAUD di Ditjen Pendidikan Nonformal dan Informal

(dulu Ditjen Pendidikan Luar Sekolah) bersama Forum PAUD akhirnya membentuk wadah untuk menampung aspirasi para pendidik PAUD. Namanya, Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia (Himpaudi). Lembaga ini dibentuk dari serangkaian pertemuan.

Pembahasan pertama muncul di pertemuan di Balai Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda (BP PLSP) Surabaya, Jawa Timur, pada Maret 2004. Sejumlah keputusan muncul. Di antaranya nama lembaga disepakati Himpaudi. Keputusan itu diteken sejumlah tokoh, di antaranya, Dr. Masyitoh Chusnan M.Ag, Dra Opih Zaenal, Dra. Kamsanah HDM, Dra. Ella Sulhah, M.Pd, Dra. Latifah T, Drs. Candi Rasidy,Dipl.Int, Ismah Yusuf, Dra. NQ Mei Tientje, M.Pd, dan Dra. Sofia Hartati M.Si.

Selang sebulanm berikutnya, pada pertemuan di Direktorat PAUD Depdiknas, dibentuklah panitia persiapan untuk mengisi kepengurusan Himpaudi. Muncullah nama-nama Dr. Masyitoh Chusnan sebagai ketua panitia, sekretaris Dra. Opih Zaenal,sekretaris Dra. Opih Zaenal, dengan anggota Dra. Ella Sulhah MPd, Dra. Kamsanah HDM, dan Dra. T. Yulia Bambang.

Hingga akhirnya, tim formatur yang diketuai Dr Masyitoh Chusnan, memilih Dra. Gusnawirta M.Pd. sebagai Ketua Umum Himpaudi. Pembahasan singkat itu turut dihadiri sejumlah tokoh masyarakat dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan organisasi profesi, seperti Aisyiyah, Muslimat NU, Wanita Islam, IGTKI, GOP TKI, BPTKI, dan Universitas Negeri Jakarta.

Sudah Sejak 1975Menurut Gusnawirta, gaung pendidikan usia dini (PAUD)

sebenarnya sudah dikumandangkan Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) di Mexico City dalam World Conference International Year of Woman, pada 1975. Konferensi itu menghasilkan deklarasi kesamaan antara perempuan dan laki-laki dalam hal pendidikan. “Pendidikan adalah hak dan kewajiban setiap orang,” katanya.

Workshop Himpaudi yang diadakan di Bandung

FOTO

-FOT

O: SA

IFUL A

NAm

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd24 7/14/200710:43:37AM

Page 27: pena pendidikan 14

25Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Pendidikan usia dini, lanjutnya, merupakan hal yang sangat mendasar dan strategis dalam pembentukan manusia seutuhnya yang berakhlakul karimah, berbudi pekerti luhur dan sehat lahir batin. Gusnawirta memandang upayaGusnawirta memandang upaya itu diperlukan untuk pengembangan pendidikan anak usia dini.

Himpaudi digagas sebagai organisasi yang memiliki visi dan misi untuk turut serta membangun manusia Indonesia agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cerdas, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang bertanggungjawab kepada nusa dan bangsa.

Himpaudi, masih kata Gusnawirta, juga mempunyai fungsi pembinaan kemitraan dan pengembangan peran masyarakat dalam peningkatan pendidikan anak usia dini. ”Himpaudi senantiasa melakukan pembinaan dan sosialisasi terhadap program

pembangunan dan pengembangan pendidikan anak usia dini di seluruh wilayah Indonesia,” katanya.

Setelah Terbentuk Bak tak ada waktu, Gusnawirta

dan pengurus Himpaudi langsung t a n c a p g a s . Sejumlah pertemuan digelar membahas anggaran dasar dan rumah tangga, serta program kerja di setiap bidang. Pembahasan AD/ART tuntas pada pertemuan di Wisma Hijau Cimanggis, Bogor, awal Agustus 2005. Himpaudi sendiri dideklarasikan oleh wakil dari �� provinsi di Hotel Acida Batu Malang, akhir Agustus 2005.

Pertemuan-pertemuan selanjutnya digelar untuk memberi masukan berharga bagi penyempurnaan AD/ART dan program kerja. Munas I Himpaudi pun digelar di Denpasar, pada 2-4 Agustus 2006. Munas mengesahkan AD/ART dan prgram kerja serta rekomendasi. Kepengurusan Himpaudi dikukuhkan untuk periode kepengurusan pada 2006-2010. Pengurus Himpaudi daerah pun ditetapkan masa jabatannya 4 tahun, sama dengan pengurus pusat.

Gebrakan Himpaudi yang cepat itu mendapat apresiasi sejumlah pejabat Depdiknas. Di antaranya Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal Dr Ace Suryadi dan Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal, PhD. Mereka menilai, meski Himpaudi baru seumur jagung, namun mampu bersinergi dengan instansi dan departemen terkait pendidikan anak usia dini. Yakni Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Agama, dan Kementerian Negara Pemberdayaan Wanita

ROBI SUGARA

REKoMENDASI MUNAS HIMPAUDI KE-1 2006

1. Setiap menyelenggarakan pendidikan anak usia dini 0-6 tahun harus menggunakan terminologi PAUD.

2. Dalam rangka menjaga mutu pendidik PAUD perlu ditetapkan kualifikasi pendidikan, sebagai berikut: SMP kompetensi dan kewenangannya mengasuh pendidikan anak usia dini (PAUD), SMA kompetensi dan kewenangannya mengasuh, mendidik, merencanakan dan melaksanakan program PAUD, D-4 atau S-1 kompetensi dan kewenangannya mengasuh, mendidik, merencanakan, melaksanakan dan mengembangkan program PAUD, S-2 dan S-3 PAUD kompetensi dan kewenangannya mendidik, merencanakan,melaksanakan,menyusun dan mengembangkan kurikulum, meneliti dan menetapkan program PAUD.

3. Dalam rangka pemerataan pemberian kesejahteraan perlu diberikan insentif kepada pendidik PAUD minimal Upah Minimum Kabupaten/kota per bulan.

4. Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di Indonesia maka pemerintah Provinsi dan Kab/Kota perlu mendukung dan proaktif kegiatan PAUD.

5. Perlu adanya penghargaan dari pemerintah bagi gubernur, bupati dan walikota yang secara terus menerus mendukung dan proaktif terhadap kegiatan program PAUD.

6. Merekomendasikan kepada peserta Munas untuk mengukuhkan kepengurusan HimpaudiPusat masa bakti tahun 2006-2010.

7. Merekomendasikan untuk mengikuti kegiatan World Forum di Kuala Lumpur

8. Sosialisasi kegiatan yang lebih meluas supaya lebih menggema di masyarakat

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd25 7/14/200710:43:40AM

Page 28: pena pendidikan 14

26 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Jawa Timur

Senyum merekah senantiasa memancar dari bibir Dr. Rasiyo. Maklum, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur itu

baru saja mendapat penghargaan Widya Krama dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang disematkan pada puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional di Prambanan, DIY, 26 Mei lalu. Widya Krama adalah penghargaan bagi daerah yang telah berhasil menuntaskan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Sejumlah provinsi lain juga telah berhasil merengkuhnya, antara lain DKI Jakarta dan DIY.

Jawa Timur mendapat penghargaan lantaran Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP sudah menembus 96,84%. Sementara rata-rata nasional baru 88,68%. Untuk disebut tuntas wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, indikatornya adalah APK SMP minimal 95%. “Kami mendahului rata-

rata nasional. Setelah itu, kami akan fokus pada Wajib Belajar Pendidikan Menengah 12 Tahun, dimulai 2008. Deklarasinya dilakukan September 2007 oleh Presiden RI, bersamaan dengan acara pembukaan Olimpiade Sains Nasional (OSN) di Surabaya. Kita harapkan anak-anak Jawa Timur nantinya berpendidikan minimal SMA deserajat,” kata Rasiyo kepada PENA PENDIDIKAN.

Bagaimana dengan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)? “Tetap prioritas, hanya fokusnya wajib belajar 12 tahun. Jadi tidak perlu dikuatirkan,” ujarnya. Kata Rasiyo, pihaknya telah membuat rencana pembangunan pendidikan jangka panjang sampai 2025. Selanjutnya, dibikin program lima tahunan mengacu pada Rencana Strategis (Renstra) Departemen Pendidikan Nasional.

Menghilangkan DikotomiRasiyo menegaskan, fokus pembangunan

pendidikan periode 2006-2010 adalah pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, termasuk PAUD. Anak-anak usia 2-6 tahun harus mendapat layanan pendidikan, baik melalui PAUD formal (TK) maupun nonformal. Hingga Juni 2007, di Jatim terdapat kurang lebih 16.500 TK (hanya 65 negeri, sisanya swasta) dan sekitar 6000 PAUD nonformal (semuanya swasta). Meski begitu, secara komulatif angka partisipasi kasar PAUD belum mencapai 50%.

Untuk menggenjot APK PAUD, mulai tahun 2007 Rasiyo meluncurkan jurus baru: mengintegrasikan PAUD formal dan nonformal. Ia sudah mengumpulkan anak buahnya yang mengurusi TK maupun PAUD nonformal, Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, plus pengurus HIMPAUDI (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini), Forum PAUD, IGTKI (Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia), dan GOPTKI (Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia).

Setelah dibahas mendalam, Rasiyo kemudian mengambil keputusan bahwa bagi TK, terutama TK Pembina, diminta membuka Kelompok Bermain (KB) atau playgroup sebagai bagian satu paket. Sebaliknya bagi PAUD nonformal yang sudah mapan, yang selama ini fokus membuka KB, juga diminta sekalian membuka TK.

“Kita harapkan tidak ada dikotomi antara PAUD formal dan nonformal. Semua itu kan PAUD. Dengan cara seperti ini maka daya tampung bagi anak-anak usia 2-6 tahun menjadi lebih banyak. Setelah dari KB mereka

MENGINTEGRASIKAN PAUD FORMAL DAN NONFORMALJawa Timur tercatat sebagai provinsi yang perkembangan PAUD-nya paling pesat. Untuk memperluas akses, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur kini menyinergikan program PAUD formal dan nonformal. Realisasinya, ribuan TK yang sudah ada didorong agar membuka Kelompok Bermain (KB), yang merupakan bagian dari PAUD nonformal. Sedangkan bagi PAUD nonformal yang sudah mapan, diminta membuka TK.

FOTO

-FOT

O: SA

IFUL A

NAm

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd26 7/14/200710:43:41AM

Page 29: pena pendidikan 14

27Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jawa Timur

langsung ke TK di lembaga yang sama,” tambah Rasio. Masyarakat juga didorong menyelenggarakan PAUD nonformal, baik di rumah penduduk, pendopo, langgar, hingga balai RW. Sehingga program PAUD menjadi tanggungjawab bersama.

Meski d is inergikan, t idak lantas menimbulkan benturan. Tanggungjawab pengelolaan TK berada di bawah Sub Dinas Pendidikan TK-SD, sedangkan PAUD nonformal di bawah kendali Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah. “Tidak masalah. Ini dilakukan karena kita ingin mengedepankan hak dasar anak memperoleh pendidikan,” tandas Rasiyo.

Sebagai tahap awal, Rasiyo meminta 65 TK Negeri Pembina yang tersebar di �8 kabupaten/kota di Jawa Timur membuka

KB mulai tahun ini. Tidak sulit lantaran lahan yang dimiliki TK Pembina cukup luas. Setelah itu, diharapkan diikuti TK swasta. Bahkan ada sebagian TK swasta yang sudah sejak lama membuka KB.

Hingga Juni 2007, data yang terekam di Dinas Pendidikan Jawa Timur menunjukkan bahwa dari sekitar 6000 PAUD nonformal, terdapat kurang lebih 14.000 guru dan melayani sekitar 1�9.000 murid. Jika TK diminta membuka KB dan sebaliknya PAUD nonformal yang sudah mapan membuka TK, maka jumlah anak-anak usia 2-6 tahun yang mendapat layanan akan berlipat ganda.

Untuk menuju ke sana, agaknya bukan hal yang tidak mungkin direngkuh. Anggaran pendidikan provinsi Jawa Timur tahun 2007 yang sekitar 12,5% dari Anggaran

BERANGKAT DARI GURU

Masyarakat Jawa Timur sungguh beruntung lantaran Rasiyo memiliki komitmen tinggi terhadap pendidikan. Maklum, pria kelahiran Madiun, 17 Desember 1951, itu pernah lama menjadi

guru. Setelah lulus dari STM Siang Madiun tahun 1970, ia melanjutkan ke Jurusan Matematika IKIP Surabaya hingga meraih sarjana muda (BA) tahun 1975.

Sejak masih kuliah, ia sudah mengajar di sebuah SMP di Surabaya. Sambil mengajar, ia melanjutkan kuliah hingga meraih sarjana lengkap tahun 1978. Ia langsung diangkat sebagai guru SMP berstatus PNS.

Tahun 1984-1985, Rasiyo diangkat menjadi Kepala SMP Negeri I Paciran, Kabupaten Lamongan. Berikutnya, 1985-1987, menjadi Kepala SMP Negeri I Cerme, Kabupaten Gresik dan tahun 1988-1993 menjadi Kepala SMP Negeri Gresik. Lalu, 1993-1994, ia ditarik ke Dinas

Pendidikan Provinsi Jawa Timur sebagai pengawas sekolah.Karirnya di Dinas Pendidikan Provinsi terus meroket. Tahun 1994-1997 ditunjuk menjadi Kepala Bidang Pembinaan Generasi Muda.

Selanjutnya, 1997-1998 sebagai Kepala Bidang Pendidikan Menengah Umum, dilanjutkan Koordinator Urusan Administrasi, 1998-2001. Sejak 20 Februari 2001 – sekarang, pria berpenampilan sederhana itu menjadi Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur

Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang mencapai sekitar Rp �,5 triliun, memungkinkan untuk lebih menggenjot perluasan akses PAUD.

Rasiyo mengakui, pesatnya perkembangan PAUD di Jatim antara lain berkat komitmen kuat dari Gubernur Jawa Timur Imam Utomo terhadap pembangunan sektor pendidikan. “Karena Pak Gubernur sangat peduli terhadap pendidikan, maka saya selaku kepala dinas menjadi enak mengikutinya,” katanya. Selain itu, peran organisasi-organisasi wanita, ibu-ibu PKK, Muslimat NU, Aisyiah Muhammadiyah, bupati/walikota hingga lurah, istri-istri pejabat, dan tokoh masyarakat juga sangat berjasa dalam membesarkan PAUD

SAIFUL ANAm (Surabaya)

PUSAT PAUD

Untuk lebih mengembangkan PAUD di Jawa Timur, pada tahun 2003 Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur mendirikan PUSAT PAUD, tetapi baru diresmikan 2005.

Kantornya bertempat di Jl. Walikota Mustajab Surabaya. Dulunya adalah gedung perpustakaan Pemerintah Kota Surabaya.

Menurut Totok Isnanto, Kepala Seksi PAUD Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, PUSAT PAUD dirancang sebagai pusat informasi, pusat layanan, hingga pusat pengembangan PAUD. Siapapun yang ingin tahu tentang PAUD, baik dari sisi pembelajaran, kurikulum, sarana prasarana, hingga manajemennya, silahkan datang ke situ. “Sekarang memang belum bisa dikatakan sudah ideal. Baru kira-kira 40% dari mimpi yang saya harapkan,” kata Totok.

Di PUSAT PAUD sudah ada layanan/model, sekretariat, perpustakaan, pelatihan, ruang konsultasi, ruang observasi, dan tempat bermain. Harapannya ke depan nanti ada dokter dan psikolog anak, sehingga lebih lengkap dan canggih

Dr. Rasiyo,

Kepala Dinas Pendidikan Jatim

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd27 7/14/200710:43:48AM

Page 30: pena pendidikan 14

Rubrik Biasa

28 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Se b a g a i K e p a l a Seksi PAUD, Subdin Pendidikan Luar Sekolah

( P L S ) D i n a s P e n d i d i k a n Provinsi Jawa Timur, Drs. Totok Isnanto mengaku bersyukur memiliki atasan Dr. Rasiyo yang sangat paham terhadap seluk beluk pendidikan, termasuk PAUD. Karena itu, ia mendapat kemudahan dalam menggulirkan dan mengembangkan program PAUD di Jawa Timur.

Totok mulai menjabat Kepala Seksi PAUD sejak akhir 2001. Ia mengaku, pada awalnya tidak tahu apa-apa tentang PAUD. Maklum, sebelumnya ia lama sebagai staf di Subdin Pendidikan Menengah Kejuruan. Namun ia terus belajar tentang PAUD. “Setelah paham, saya kemudian bicara PAUD di mana-mana. Saya seperti seorang sales yang menjual produk PAUD,” katanya. Totok kini bahkan ditasbihkan sebagai tokoh PAUD di Jawa Timur dan salah satu tokoh PAUD nasional.

Meski secara nasional program PAUD digulirkan sejak 1997 melalui proyek Bank Dunia, dan Direktorat PAUD Depdiknas didirikan tahun 2000, namun ketika mengawali tugasnya sebagai Kasi PAUD Totok melihat kondisinya di Jawa Timur masih sangat menyedihkan. Saat itu baru ada �11 Kelompok Bermain (KB) yang semuanya menyatu di TK.

“Ketika itu Pos PAUD (Posyandu Integrasi PAUD) belum ada. Baru setelah diperkuat UU No 20/200� tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang pada pasal 28 menyatakan secara eksplisit tentang PAUD, kita kemudian berpikir untuk mempercepat akses. Maka, selain mendirikan KB, kita juga mulai mengintegrasikan dengan Posyandu, yang disebut Pos PAUD,” ujarnya.

Keterlibatan organisasi-organisasi wanita seperti Muslimat NU, Aisyiah Muhammadiyah, hingga ibu-ibu PKK, diakui Totok sangat berjasa dalam memperluas akses. “Muslimat NU memang sejak awal sangat agresif dalam mengembangkan PAUD, apalagi Jawa Timur dikenal sebagai basisnya NU. Belakangan, Aisyiah, PKK, dan organisasi-organisasi wanita lain juga tak mau ketinggalan. TK-

TK yang dikelolanya lantas ditambahi KB,” katanya.

M u l a i 2 0 0 7 , T o t o k m e m p e r l u a s kerjasamanya dengan merangkul BKPRMI (Badan Komunikasi Pembinaan Remaja Masjid Indonesia) Jawa Timur. Hal itu dibenarkan Siti Aminah, Direktur LPPKS (Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Keluarga Sakinah). LPPKS adalah unit kerja di bawah BKPRMI.

Menurut Siti Aminah, LPPKS memiliki sejumlah program terkait PAUD, antara lain pengembangan TAAM (Taman Asuh Anak Muslim) dan pelatihan bagi generasi muda muslimah untuk menyiapkan mereka menjadi ibu dan muslimah yang solehah. “Termasuk di dalamnya pelatihan tentang pra nikah, membangun keluarga sakinah, dan PAUD,” kata lajang kelahiran Probolinggo, 6 April 1981, yang meraih gelar sarjana hukum dari Universitas Muhammadiyah Surabaya itu.

Hingga Juni 2007 baru ada satu TAAM yang dikelola BKPRMI bersama Dinas Pendidikan Provinsi JawaTimur, yaitu di kawasan Sukolilo, Surabaya. BKPRMI berencana memperluas kerjasama dengan Dinas Pendidikan untuk membina puluhan TAAM lain yang tersebar di �8 kabupaten/kota di JawaTimur. “Selain itu, kerjasama ini juga menyangkut pelatihan bagi guru-guru PAUD, kursus pranikah, dan penyediaan Alat Permainan Edukatif (APE),” katanya.

Totok menambahkan, hingga kini lembaga PAUD nonformal di Jawa Timur sudah tercatat sekitar 6000-an, terdiri dari sekitar 4.500 dan 1.500 Pos PAUD. Dari sekitar 4.500 KB, sebagian terdapat di TK. “Artinya, masih banyak KB yang berdiri sendiri, tidak

jadi satu dengan TK. Karena itu kami menyambut gembira kebijakan Pak Rasiyo yang mendorong TK agar membuka KB, dan sebaliknya PAUD nonformal yang sudah mapan membuka TK,” katanya.

Pesatnya perkembangan PAUD di Jawa Timur, salah faktornya adalah pemecahan dana rintisan. Pada tahun 2002, baru 52 lembaga yang mendapat bantuan dana rintisan masing-masing Rp 25

juta. “Tapi yang terbentuk ternyata sekitar �50 lembaga. Artinya, banyak masyarakat yang membentuk PAUD secara swadaya. Jadi yang dapat bantuan hanya 52, sementara sekitar �00-an tidak dapat apa-apa. Ini kan tidak adil,” kata Totok.

Akhirnya pada 200� dilakukan pemecahan dana rintisan. Satu dana rintisan boleh dipecah untuk lima lembaga, masing-masing Rp 5 juta. Direktorat PAUD Depdiknas pun menyetujui. Maka, dalam waktu singkat PAUD di Jawa Timur tumbuh sangat pesat. Pada tahun 2005, misalnya, dari sekitar 10.000 PAUD nonformal di Indonesia, sekitar 40% berada di Jawa Timur.

Meski mengaku masih belum puas, namun Totok merasa gembira melihat perkembangan PAUD di Jawa Timur. Alokasi anggaran untuk PAUD dari �8 kabupaten/kota di Jawa Timur juga terus meningkat dari tahun ke tahun. “Pada tahun 2002 tidak ada satu pun kabupaten/kota yang menganggarkan untuk PAUD. Tahun 200� total baru sekitar Rp 475 juta. Tahun 2007 ini melonjak sekitar Rp 15 miliar dari akumulasi �8 kabupaten/kota. Ini diluar anggaran pemerintah provinsi, yang tahun ini Rp 1,14 miliar,” katanya.

Ke depan, Totok berharap agar program PAUD lebih mendapat perhatian serius, baik dari sisi kelembagaan, kualitas layanan, peningkatan mutu, hingga kesejahteraan guru-gurunya. Sungguh tidak fair jika pada satu sisi peran PAUD diakui sangat strategis, namun pada sisi lain belum memperoleh perlakuan yang semestinya.

SAIFUL ANAm (Surabaya)

Jawa Timur

Menggandeng Lintas SektorTotok Isnanto Siti Aminah

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd28 7/14/200710:43:53AM

Page 31: pena pendidikan 14

Rubrik Biasa

29Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jawa Timur

HIMPAUDI Jawa Timur dibentuk sejak 6 Juni 2004. Saat i tu namanya masih IKAPAUDI (Ikatan

P e n d i d i k P e n d i d i k a n A n a k Usia Dini). Tahun 2006 d i g e l a r M u s y a w a r a h W i l a y a h ( M u s w i l ) . N a m a n y a

berganti menjadi HIMPAUDI, dan Dra. Hj. Siti Fatimah Soenaryo, M.Pd, terpilih menjadi ketua. Inilah pemilihan ketua HIMPAUDI yang pertama kali berlangsung secara terbuka. “Persis seperti pemilihan ketua partai,” kata Drs. Totok Isnanto, Kepala Seksi PAUD Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur.

Sehari-hari, Bu Fat, demikian Siti Fatimah Soenaryo biasa dipanggil, adalah dosen di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Menurut dia, dari �8 kabupaten/kota di Jawa Timur, hingga

Juni 2007 hanya satu daerah yang belum tertentuk organisasi HIMPAUDI-nya, yaitu Kabupaten Pamekasan.

“Insya Alloh tidak lama lagi terbentuk. Saya merasa tidak enak. Soalnya saya berasal dari Madura,” ujar Bu Fat dengan logat Madura-nya yang kental.

Dra. Hj. Siti Fatimah Soenaryo, m.PdKetua HImPAUDI Jawa Timur

TIDAK BOLEH MAIN-MAIN

Ibu dua anak keturunan Jawa-Minang yang lahir di Klaten, Jawa Tengah, 29 Mei 1958 itu menyelesaikan pendidikan sarjanya dari Jurusan Civic Hukum IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) tahun 1981. Begitu lulus, ia sempat mengajar di sebuah SMA negeri di Jakarta. Tapi hanya betah mengajar selama tiga bulan. Soalnya, wajahnya yang cantik dan postur tubuhnya yang bagus membuat murid-murid SMA tersebut gencar menggodanya. Maklum, usianya saat itu baru 2� tahun, masih kinyis-kinyis. “Kalau pulang dari mengajar saya sering dicegat di depan pintu. Ih, serem…,” kenangnya.

Ia jadi takut mengajar dan memilih bekerja di sebuah perusahaan swasta.

Setelah menikah dengan Agung dan pindah ke Surabaya, Gadis memilih menjadi ibu rumah tangga. Tapi sejak 2006, ia back to basic ke dunia pendidikan. Tapi k a l i ini yang diurus PAUD, bukan SMA.

SAIFUL ANAm

Dra. Hj. Gadis Heria Nurdiana Agung PrasmonoKetua Forum PAUD Jawa Timur

GROGI DIGODA MURIDForum PAUD Jawa Timur terbentuk

pada 2002. Pada Musyawarah Daerah (Musda) I, Juni 2006, Dra. Hj.

Gadis Heria Nurdiana Agung Prasmono terpilih menjadi ketua.

Gadis dikenal sebagai aktivis sosial dan pernah menjadi Ketua Ikatan Istri Dokter Indonesia (IIDI) Cabang Surabaya 2000-200�. Suaminya, dr. H. Agung Prasmono, adalah dokter bedah yang bertugas di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Ia juga mengajar di Universitas Airlangga.

Di benak Gadis, tantangan PAUD ke depan masih berat. “Kerjasama lintas sektor harus berjalan bagus. Selama ini masih terkesan jalan sendiri-sendiri.”

Kegiatan yang dilakukan Forum PAUD sejak setahun terakhir ini antara lain sosialisasi PAUD yang melibatkan lintas sektor dan gebyar PAUD. Kegiatan gebyar PAUD digelar September 2006 lalu, diikuti 550 anak dari �8 kabupaten/kota. Acara dilangsungkan di tempat wisata Sengkaling, Malang.

Sementara yang �7 kabupaten/kota sudah membentuk kepengurusan. Hanya saja 20 kabupaten/kota sudah dilantik, sisanya yang 17 masih belum. Anggotanya sekitar 14.000 guru PAUD. “Jawa Timur memang sedang booming PAUD. Karena itu kita tidak bisa main-main,” tambahnya.

B u F a t m e n g a k u i , d a r i r i b u a n pendidik PAUD tersebut, sebagian besar berpendidikan SMA sederajat. Bahkan ada sebagian yang lulusan SMP/MTs. “Meski begitu ada pula yang lulusan S1, bahkan S2,” kata ibu satu anak kelahiran 19 November 195� itu. Saat ini Bu Fat tengah menyelesaikan disertasi doktornya di Universitas Negeri Malang yang mengusung penelitian tentang PAUD.

Sebagai Ketua HIMPAUDI, hal yang paling merisaukannya adalah melihat kenyataan honor guru PAUD yang masih sangat memprihatinkan. Ada guru PAUD yanghanya dibayar Rp �0.000 atau Rp 50.000 per bulan. “Kami mohon agar pemerintah memberikan insentif kepada mereka,”katanya

Dra. Hj. Fatimah, Mpd, Ketua HIMPAUDI Jatim

Ki Hadjar Dewantara

FOTO

-FOT

O: SA

IFUL A

NAm

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd29 7/14/200710:44:06AM

Page 32: pena pendidikan 14

�0 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

manusianya bermutu. “Dan itu hanya bisa dilakukan lewat pendidikan,” tegasnya.

Saat baru menjabat, Mashoed dihadapkan pada kenyataan bahwa Bondowoso dikenal sebagai kantong buta aksara. Jumlahnya lebih dari 50.000 penduduk. Selain itu, anak-anak usia sekolah enggan masuk SD, terutama mereka yang tinggal di daerah pegunungan. Belum lagi cukup tingginya anak-anak putus sekolah pada kelas-kelas awal SD. Begitu kompleksnya, ia sampai pernah berencana memecah Dinas Pendidikan menjadi dua, yaitu Dinas Pendidikan Formal dan Dinas Pendidikan Nonformal. Tetapi, setelah dikaji ulang, akhirnya dibatalkan.

Berangkat dari berbagai persoalan tersebut, Mashoed kemudian berupaya keras menyukseskan program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, pemberantasan buta aksara, pendidikan kesetaraan, pendidikan kejuruan, hingga PAUD. Hasilnya sungguh patut diacungi jempol. Kini hanya tinggal sekitar 8.500 orang buta aksara. “Agustus nanti diperkirakan sudah beres, dan kami akan mendeklarasikan bebas buta aksara,” kata Mashoed kepada PENA PENDIDIKAN.

Begitu pula dengan pendidikan kejuruan. Mashoed kini sudah membangun 21 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sementara SMA-nya 15. “Komposisi ini sudah sesuai harapan Depdiknas. Kami membangun SMK

Jika Anda baru mengenal Bondowoso hanya sebatas sebagai kota tape singkong, berarti Anda ketinggalan

zaman. Memang, Bondowoso kondang sebagai penghasil tape singkong yang rasanya menggoda selera. Tetapi, Anda juga perlu tahu bahwa sejak beberapa tahun terakhir ini Bondowoso menyandang predikat baru: kota PAUD. Maklum, di kabupaten ini kini berdiri tak kurang dari 600 PAUD nonformal dan �2� PAUD formal (TK).

Menjamurnya PAUD di Bondowoso itu merupakan buah dari komitmen tinggi pemerintah daerah setempat dalam bidang pendidikan. Hal itu tak lepas dari sosok Bupati Bondowoso Dr. H. Mashoed, M.Si dan istrinya, Ny. Hj. Sri Utami Mashoed. Ayah enam anak dan kakek sembilan cucu itu diangkat menjadi Bupati Bondowoso sejak 1998. “Saat itu saya jadi bupati drop-dropan,” ujar Mashoed yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Timur. Setelah habis masa jabatannya yang pertama, ia terpilih kembali melalui Pilkada pada 200�.

Sejak awal dipercaya menjadi bupati, Mashoed menempatkan pembangunan bidang pendidikan sebagai prioritas utama. Bagi dia, Bondowoso yang merupakan daerah miskin sumber daya alam hanya akan diperhitungkan jika sumber daya

di kecamatan-kecamatan. Program keahlian yang dikembangkan disesuaikan dengan kebutuhan dan lingkungan setempat karena pendidikan harus berbasis masyarakat,” tambahnya.

PAUD DI SETIAP DUSUN Mashoed berpandangan, agar ketuntasan

buta aksara berjalan permanen, dan anak-anak mau sekolah, maka ia melihat PAUD sebagai senjata ampuh. Ia lantas menggalakkan PAUD di mana-mana. Hasilnya kini sudah tampak. Selain gairah PAUD menggelora, anak-anak setelah menyelesaikan PAUD langsung masuk sekolah ke SD.

“Dulu, sebelum ada PAUD, guru-guru yang bertugas di daerah pegunungan dan desa-desa pelosok, harus susah payah cari murid. Sekarang mereka tidak perlu lagi. Anak-anak setelah selesai di PAUD pasti minta melanjutkan ke SD. Jadi implikasinya bagi angka partisipasi anak-anak yang masuk SD sangat signifikan,” timpal Drs. Paiman, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso.

“Sejak digencarkan program PAUD, anak-anak jadi keranjingan masuk sekolah. Orangtuanya juga makin menyadari pentingnya pendidikan. Jadi pada bagian atas kita berantas buta aksaranya, pada

Program PAUD di Kabupaten Bondowoso mengalami perkembangan luar biasa. Hingga Juni 2007 tercatat sekitar 600 PAUD nonformal, jauh di atas TK (PAUD formal) yang berjumlah 323 buah. Bupati Mashoed menargetkan seluruh dusun (pedukuhan) yang berjumlah 800, sudah memiliki PAUD nonformal sebelum ia lengser dari jabatannya Agustus 2008.

Bondowoso

Jawa Timur

DOK PEmKAB BONDOwOSO

MERANGSEK HINGGA DUSUN

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd30 7/14/200710:44:08AM

Page 33: pena pendidikan 14

�1Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

bagian bawah kita galakkan PAUD. Ke depan di Bondowoso tidak boleh ada lagi anak usia sekolah yang tidak sekolah dan tidak boleh ada penduduk yang buta aksara,” tegas Mashoed.

Mashoed mengaku bersyukur mendapat dukungan penuh dari istrinya, Ny. Sri Utami Mashoed. Sri Utami bahkan menjadi Ketua Forum PAUD Kabupaten Bondowoso. Ia menggalakkannya melalui jalur ibu-ibu PKK, organisasi wanita, Muslimat NU, Aisyiah Muhammadiyah, dan lain-lain. “Selain itu, dukungan dari aparat Dinas Pendidikan dan tokoh-tokoh masyarakat sangat penting bagi perkembangan PAUD di sini,” kata Mashoed.

Kini, jumlah lembaga PAUD non formal di Bondowoso sudah melebihi jumlah desa yang 21�. Mashoed menargetkan, sebelum ia mengakhiri masa jabatannya Agustus nanti, semua dusun (pedukuhan) yang berjumlah 800 sudah memiliki PAUD nonformal.

Mashoed mengakui, salah satu faktor yang membuatnya memiliki komitmen tinggi terhadap pembangunan sektor pendidikan adalah karena ia dulu pernah bekerja sebagai guru. Ia lahir di Jombang 16 Agustus 1942. “Sejak kecil saya bercita-cita jadi guru,” katanya.

Setelah lulus dari SD, ia masuk ke Sekolah Guru B (SGB), lalu ke Sekolah Guru A (SGA) Jombang. Lulus dari SGA, lantas menjadi guru. Ia pernah mengajar di SD, MI, hingga SMEA, mulai 1962 – 1969. Sejak 1970 ia masuk ke birokrasi pemerintahan. Ia meraih gelar doktor bidang administrasi pemerintahan dari Universitas Tujuh Belas Agustus Surabaya, tahun 2004.

Insentif GuruKabupaten Bondowoso berpenduduk

sekitar 750.000 jiwa. Pada tahun

2007 ini APBD-n y a s e k i t a r 4 0 0 m i l i a r . A n g g a r a n

pendidikannya sekitar 17% dari

A P B D (tidak termasuk gaji). Jika digabung dengan gaji, menjadi sekitar �5%. Dari anggaran itu, sebanyak Rp 50.000 per bulan diberikan kepada 1.4�1 guru PAUD, yang dikucurkan setiap tiga bulan sekali. Maklum, semua guru PAUD itu swasta.

Insentif yang diberikan bagi para guru PAUD, meski jumlahnya jauh dari memadai, dipandang Achmad Huzain Baidjuri , S.Ag, merupakan tingginya kepedulian Bupati Bondowoso terhadap PAUD. “Jumlahnya memang tidak seberapa. Tapi itu sudah sangat membantu. Syukur kalau ke depan kesejahteraan para guru PAUD lebih ditingkatkan, apalagi diangkat menjadi pegawai negeri,” kata Ketua HIMPAUDI (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Anak Usia Dini) Kabupaten Bondowoso itu. Saat ini Huzain Baidjuri mengelola PAUD Nurul Islam yang memiliki 50 murid dan 5 guru. PAUD tersebut terletak di Desa Jubung Lor, Kecamatan Telogosari, Kabupaten Bondowoso.

“Saya sangat senang mendapat bantuan dari Pak Bupati, walaupun hanya Rp 50.000 per bulan. Lebih bagus lagi kalau ke depan jumlahnya ditambah,” timpal Luluk Hikmah, pendidik PAUD Tunas Harapan di Desa Poncogati, Kecamatan Curahdami, Kabupaten Bondowoso. Ia bersama suaminya, Suryadi, S.Ag, mendirikan PAUD tersebut tanpa memungut biaya yang diperuntukkan bagi anak-anak desa setempat. Saat ini jumlah muridnya 2�

anak dengan tiga pengajar.

H u z a i n B a i d j u r i m e n a m b a h k a n , d u k u n g a n B u p a t i d a n I b u B u p a t i Bondowoso terhadap program PAUD tidak hanya dalam bentuk pemberian insentif bagi para guru. Berbagai kegiatan HIMPAUDI, seperti pelatihan bagi para guru, juga difasilitasi. Hal serupa juga dirasakan oleh Forum PAUD. “Setiap Minggu pagi Forum PAUD menggelar talkshow di radio tentang PAUD. Ini dilakukan sejak tahun lalu. Ibu Bupati selalu terlibat dan meluangkan waktu,” ujar Dra. Ida Syafriani, M.Si, Wakil Sekretaris Forum PAUD Kabupaten Bondowoso.

Selain itu, kegiatan penting dan rutin yang dilakukan HIMPAUDI dan Forum PAUD adalah setiap sebulan sekali mereka bersama-sama mengadakan pertemuan untuk mengevaluasi program yang sudah dilakukan dan merancang apa saja yang akan dilakukan ke depan. Pertemuan yang dihadiri sekitar 700 undangan itu digelar setiap Rabu pekan kedua, bertempat di Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso.

Mashoed optimistis program PAUD akan terus dilanjutkan meski tahun depan berganti bupati. “Saya kira, siapa pun yang jadi bupati nanti, tidak akan mampu membubarkan PAUD di Bondowoso. Kami sudah meletakkan fondasinya cukup kokoh, sehingga sulit dirobohkan,” ujarnya.

SAIFUL ANAm (Bondowoso)

Dr. H. Mashoed, MSi.Ibu Sri Utami Masmoed

Ahmad Husain Baijuri

Jawa Timur

DOK P

EmKA

B BON

DOw

OSO

SAIFU

L ANA

m

FOTO: SAIFUL ANAm

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd31 7/14/200710:44:18AM

Page 34: pena pendidikan 14

Rubrik Biasa

�2 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Jawa Timur

Menggeluti dunia anak sungguh menantang dan mengasyikkan. Itulah kesan singkat yang diutarakan

Dyah Katarina Bambang DH, S.Psi, setelah beberapa tahun terakhir ini terlibat aktif dalam program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Istri walikota Surabaya, Bambang Dwi Hartono, M.Pd, itu pertama kali mengikuti sosialisasi PAUD tahun 2002 di Hotel Borobudur Jakarta, yang diselenggarakan oleh Direktorat PAUD, Departemen Pendidikan Nasional. Saat itu statusnya masih istri wakil walikota, lantaran walikota dijabat oleh Soenarto Sumoprawiro (alm).

Setelah mengikuti sosialisasi itu, pemahaman Dyah terhadap anak menjadi semakin mendalam. Ia juga berkomunikasi dengan Plan Internasional, sebuah lembaga n i r l a b a

dari mancanegara yang bergerak di bidang pemberdayaan pendidikan anak. Kebetulan Plan memiliki sejumlah program di Surabaya.

Dyah yang kelahiran Surabaya, 27 Juni 1968, itu sebenarnya sarjana psikologi industri dari Universitas Airlangga, lulus 199�. “Kuliah saya memang psikologi. Tapi yang saya pelajari psikologi perusahaan dan orang dewasa,” ujar ibu tiga anak itu. Kendati begitu, ia mengaku tidak kesulitan mendalami pengetahuan tentang psikologi anak. “Saya jadi tahu, ternyata masa anak usia dini sangat penting bagi pembentukan karakter dan kemampuan intelektual seseorang,” katanya.

Ia mengakui, pada awalnya yang paling sulit dihadapi adalah memberi pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya PAUD. Mereka mengira anak hanya main-main saja. “Dulu kita mengajak masyarakat untuk datang ke kegiatan PAUD susah sekali. Tapi sekarang orang tua justru bangga mengantar anak-anaknya mengikuti PAUD. Bahkan kadang bapak-bapaknya juga tidak mau ketinggalan,” ujarnya.

Untuk menggerakkan PAUD di Surabaya, Dyah memanfaatkan jaringan Bina Keluarga Balita (BKB). BKB ini ada hingga di RW-RW. Sasarannya adalah ibu-ibu. Materi yang disampaikan tentang bagaimana merawat anak. Dulunya, BKB ini hidup segan mati tak mau. Dyah lantas menumpanginya dengan program PAUD. Ternyata sekarang justru jadi bergairah.

Respon masyarakat terhadap PAUD sangat bagus. Kalau awalnya banyak

orang mencibir, kini justru banyak yang mendukung. “Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya 200 PAUD non formal yang tersebar di 16� kelurahan yang ada di Surabaya. Setiap lembaga memiliki 50 sampai 100 anak didik,” katanya. Itu adalah PAUD yang diinisiasi oleh ibu-ibu PKK. Belum lagi yang didirikan oleh Muslimat NU, Aisyiah, yayasan-yayasan pendidikan Kristen/Katholik, dan lain-lain. Kalau ditotal jumlahnya lebih dari 500-an.

Dyah menargetkan setiap RW memiliki PAUD. Ibu-ibu ketua RW, kata Dyah, menyambut positif. “Bahkan ada seorang Bu RW sampai mengontrak rumah hanya untuk kegiatan PAUD,” tambahnya.

Program penting lain khas Surabaya yang mulai tahun ini digulirkan adalah pemberian sertifikat kepesertaan PAUD. Sertifikat itu menerangkan bahwa anak yang bersangkutan sudah ikut PAUD sekian bulan. “Sehingga saat masuk SD, paling tidak gurunya tahu anak tersebut sudah pernah ikut PAUD. Ini bisa jadi bekal awal bagi guru,” katanya.

Program lain yang dilakukan tahun ini adalah memeriahkan Hari Anak Nasional (HAN). Kegiatannya berlangsung sejak awal hingga akhir Juli, melibatkan organisasi-organisasi kewanitaan, lembaga swadaya masyarakat, hingga perusahaan. Ragam kegiatannya antara lain hiburan untuk anak-anak panti asuhan, teater anak, hingga melukis dengan jari (finger painting) secara massal.

SAIFUL ANAm (Surabaya)

SURABAYA

SERTIFIKAT PESERTA PAUDPeran Dyah Katarina Bambang DH, S.Psi, istri walikota Surabaya, dalam menggerakkan program PAUD terlihat nyata. Ia melibatkan ibu-ibu PKK hingga ke tingkat RW. Anak-anak yang mengikuti PAUD diberi sertifikat tanda kepesertaan.

SAIFUL A

Dra. Dyah Katarina Bambang DH, Ibu Walikota Surabaya

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd32 7/14/200710:44:35AM

Page 35: pena pendidikan 14

Rubrik Biasa

��Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jawa Timur

MESKI dikenal sebagai kota yang maju pembangunan pendidikannya, namun Kota Malang masih harus

kerja keras untuk mengangkat derajat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menjadi lebih bermartabat. Para pengajar lembaga PAUD di Malang, kebanyakan berijasah SMP dan SMA. Paling tinggi mengantongi ijasah D-2 Pendidikan Guru Taman Kanak- Kanak.

“Harus kita akui keadaan guru PAUD masih belang bentong,” kata Drs. Suyadi, M.Pd, Kepala Bidang Organisasi Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi) Malang dan juga Wakil Ketua Himpaudi Jawa Timur.

Kendati begitu, komitmen Walikota Malang Drs. Peni Suparto bersama istrinya terhadap program PAUD termasuk salah satu yang terbi lang bagus di Jawa Timur. Hal itu tampak antara lain digelarnya gebyar PAUD tahun lalu.

M e n u r u t c a t a t a n Himpaudi ,

10� lembaga PAUD yang ada, 25 di antaranya dikelola Posyandu. “Tiap PAUD ada � hingga 6 guru. Yang memiliki ijasah S-1 masih kurang dari 50%,” timpa Dra. Mike S. Arifin, M.Pd, Ketua Himpaudi Malang.

Mike berpendapat minimnya pendidik PAUD bergelar sarjana, karena belum ada perguruan tinggi yang membuka Program PAUD di tingkat sarjana. Mike berharap pemerintah segera membuka kesarjanaan jurusan PAUD.

Faricha Ulva, mahasiswi Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang, menilai mereka yang bukan berlatar pendidikan jurusan PAUD bisa saja terjun sebagai guru PAUD. “Asal mau belajar, sebenarnya boleh juga kok” kata Faricha, 22 tahun.

Selain soal kualifikasi, Himpaudi juga akan memperjuangkan peningkatan

kesejahteraan pendidik PAUD. Saat ini rata-rata pendidik PAUD di sana cuma bergaji Rp 200.000-Rp 400.000 sebulan. “Dengan gaji yang sangat kecil, bagaimana mereka bisa melanjutkan kuliah ke jenjang S-1,” kata Mike yang juga Kepala TK Anak

Saleh Malang.M i k e b e r h a r a p P e m e r i n t a h

Kota Malang segera menggulirkan kebijakan pemberian insentif terhadap

pendidik PAUD. Mike mencontohkan Kabupaten Lumajang, sekali

pun kabupaten kecil tetapi mampu memberi insentif

bulanan kepada pendidik PAUD.Keluhan Mike ditanggapi Dra Zubaidah,

Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kota Malang. “Kami selalu mengupayakan adanya insentif guru PAUD, semoga saja secepatnya itu bisa terealisasi,” katanya.

Guru-guru TK sudah mendapatkan insentif sebesar Rp 150.000/bulan. Dananya diambil anggaran buat Pendidikan Luar Sekolah yang totalnya sebesar Rp 5 miliar. ”Insentif untuk PAUD kami usulkan mulai 2008. Kami harus menyeleksi, mereka yang sudah mengajar 2 tahun yang mendapat insentif,” kata Ida, panggilan akrab Zubaidah.

Pos anggaran buat PAUD selama ini lebih diprioritaskan untuk alat permainan edukatif (APE) dan aneka kegiatan peningkatan kompetensi pendidik PAUD, berupa pelatihan, seminar maupun workshop. “Selain untuk APE, kami juga telah memberikan dana rintisan dan dana operasional lain untuk masing-masing PAUD. Total dana yang sudah kami keluarkan lebih dari Rp 500 juta,” Ida menambahkan.

Zubaidah menilai komitmen Pemkot Malang terhadap pengembangan bagus. Semakin bermunculannya lembaga PAUD turut mendongkrak Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD yang mendekati 60%. Forum PAUD sendiri diketuai oleh Ny. Peni Suparto, istri Walikota Malang. Ia telah menggagas pelatihan untuk PKK yang akan dijadikan Pos PAUD.

mUKTI ALI (malang)

malang

MENANTI INSENTIF PENDIDIK PAUD Insentif buat pendidik PAUD rencananya akan dikucurkan mulai 2008. Ada desakan dibuka jurusan PAUD untuk sarjana. Dana Pemkot Malang untuk PAUD tersedot untuk pemenuhan alat permainan edukatif.

Zubaidah

Walikota Malang Drs. Peni Suparto bersama istri dan Direktur PAUD Depdiknas saat acara gebyar PAUD kota Malang

DOK.

DIT.

PAUD

FOTO: SAIFUL ANAm

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd33 7/14/200710:44:45AM

Page 36: pena pendidikan 14

Rubrik Biasa

�4 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Jawa Timur

TAHUN 2001 lalu, cuma ada satu Pos PAUD di Kabupaten Lumajang. Kini tercatat tak kurang dari �26 Pos PAUD

yang didukung sekira seribu pendidik. Menjamurnya Pos PAUD di sana seiring dengan bergulirnya program Gerbang Mas alias Gerakan Membangun Masyarakat Sehat pada 2002. “Dari satu Pos PAUD pada 2001 bertambah menjadi lima pada 2002. Kini sudah �26 Pos PAUD,” kata Drs Agus Eko, Ketua Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang.

Berseminya Pos PAUD di sekujur Lumajang itu menurut Agus, tak lepas dari kepedulian bupati dan Forum PAUD. “Bersyukur sekali kami memiliki pimpinan yang sangat peduli dalam pengembangan pendidikan,” kata Agus.

Gerbang Mas sebenarnya lebih fokus pada pembenahan perilaku hidup masyarakat pedesaan. Simpul-simpul Gerbang Mas dipusatkan di Posyandu Gerbang Mas. Setiap Posyandu mendapat dana rintisan sebesar Rp 4 juta. Setiap desa rata-rata memiliki 2-� Posyandu.

Posyandu Gerbang Mas selain untuk layanan kesehatan dikembangkan menjadi penyelenggara PAUD melalui Bina Keluarga Balita (BKB). Tidaklah berlebihan jika dibilang program nasional tentang Posyandu yang

terintegrasi dengan PAUD yang digulirkan pada 2004, merupakan rintisan Pemkab Lumajang. Lumajang mendahuluinya dua tahun lebih cepat. “Tahun 2002 kami pernah diminta pemerintah pusat memaparkan presentasi di Jakarta,” ujar Hj. Hamidah Fauzi, Ketua Forum PAUD Kabupaten Lumajang, yang juga istri Achmad Fauzi, Bupati Lumajang.

Lumajang boleh berbangga lantaran BKB mereka dinobatkan sebagai Juara I BKB Nasional pada 2004. Menjamurnya Pos PAUD itu juga tak lepas dari kiprah Forum PAUD. Forum PAUD mengenalkan beragam Alat Permainan Edukatif (APE). ”APE juga kami datangkan dari hasil kerjasama dengan salah satu perusahaan swasta di Lumajang,” kata Dra. Nurul Hartono, Wakil Ketua Forum PAUD Lumajang, yang merangkap Wakil Kepala Forum PAUD Jatim.

Pemkab Lumajang sendiri mengucurkan dana buat APE sekitar Rp 250 juta. Sejak 2004, Pemkab juga memberi bantuan dana operasional kepada setiap Pos PAUD sebesar Rp 500 ribu/tahun. Selain itu, ada lagi kebijakan pemberian insentif bagi para pendidik PAUD. Besarnya Rp 40.000/bulan setiap pendidik. Mulai Juli ini, Pemkab menaikkan insentif menjadi Rp 100.000/bulan.

Bantuan pemerintah itu memang kecil. Namun kesungguhan Pemkab menggalakkan PAUD patut diacungi jempol. Pasalnya, belum banyak kabupaten mau menggelontorkan dana APBD untuk pengembangan PAUD. “Kebijakan ini tak lepas dari dukungan Komisi D DPRD yang sangat mendukung program kami,” kata H. Achmad Fauzi, Bupati Lumajang.

Meski kecil, naiknya insentif itu disyukuri para pendidik PAUD. Asal tahu saja, rata-rata PAUD di sana cuma memungut iuran siswa berkisar Rp 1.500-Rp 5.000 per bulan. Jika satu PAUD cuma mendidik 20 anak, uang yang terkumpul hanya Rp 100.000. Buat ongkos penyelenggaran PAUD saja jauh dari mencukupi.

Toh Rahayu, Ketua Himpaudi Kabupaten Lumajang bersyukur. “Senang sekali,” katanya sumringah. “Perhatian terhadap kesejahteraan pendidik PAUD sangat perlu, mengingat penyelenggara PAUD sendiri tidak bisa memberikan insentif cukup,” wanita yang juga Kepala PAUD Melati, Kecamatan Tempeh ini menambahkan. Perhatian Pemkab terhadap nasib pendidik PAUD juga ditunjukkan dengan pemberian bingkisan tahunan, setidaknya menjelang lebaran.

Aktivitas Himpaudi sendiri ditopang dana alakadarnya. Di antaranya iuran bulanan sebesar Rp 5.000 per lembaga. Dana untuk pelatihan masih mengandalkan bantuan dari Pemkab, pemerintah propinsi dan Depdiknas. Aneka pelatihan itu amat dibutuhkan para pendidik PAUD mengingat kualifikasi mereka masih sangat rendah. Pendidik di Pos PAUD tak lain kader Posyandu. ”Rata-rata mereka berijazah SMP atau SMA,” kata Anita Endro, Ketua Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-Kanak Indonesia Kabupaten Lumajang.

Butuh kerja ekstra keras bagi Lumajang untuk memenuhi kualifikasi minimal pendidik PAUD yang harus memiliki ijasah S-1 atau D-4, seperti yang disyaratkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. “Tidak semudah membalikkan tangan memiliki guru-guru PAUD yang semuanya berijasah S-1. Yang paling penting bagi kami, mereka punya kemampuan tinggi mendidik anak usia dini. Sabar, telaten dan teladan,” kata Hamidah Fauzi.

mUKTI ALI (Lumajang)

Pos PAUD berkembang sangat pesat. Menjadi jawaranya Bina Keluarga Balita tingkat nasional. Pemberian insentif sangat diperlukan. Mengingat iuran Pos PAUD cuma lima ribu perak.

Hj. Hamida Fauzi mengikuti senam bersama PAUD

FOTO

: mUK

TI AL

I

Lumajang

GERBANG MAS BERLIPAT 300

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd34 7/14/200710:44:51AM

Page 37: pena pendidikan 14

Rubrik Biasa

�5Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jawa Timur

Ratusan penggiat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menyesaki Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi,

26 Juni lalu. Mereka merupakan sebagian dari anggota HIMPAUDI dan Forum PAUD setempat yang mengikuti kegiatan workshop tentang pembelajaran PAUD. Pembicara yang hadir antara lain Drs. Totok Isnanto, Kepala Seksi PAUD Dinas Pendidikan Jawa Timur.

PAUD di kabupaten yang berpenduduk sekitar 880.000 jiwa itu boleh dibilang berkembang pesat. Menurut Drs. Abdullah Zaini, M.Pd, Kepala Dinas Pendidikan K a b u p a te n N g aw i , p ro gra m PAU D kini merupakan salah satu prioritas pembangunan pendidikan di daerahnya. “Setelah program wajib belajar 9 tahun selesai, kami sekarang memprioritaskan program wajib belajar 12 tahun dan PAUD,” ujarnya.

PAUD di Ngawi berkembang pesat terutama dalam setahun terakhir. Hingga Juni 2007, sudah berdiri 1�5 lembaga PAUD nonformal yang tersebar di 2�0 desa dari 19 kecamatan. “Insya Allah, tahun 2008 seluruh desa di Ngawi punya PAUD. Untuk meningkatkan mutu, pelaksanaan pendidikan PAUD harus sesuai standar. Tidak boleh sekedar mengumpulkan anak-anak ala kadarnya,” tegasnya.

Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi, Drs. Suroyo, menambahkan kucuran dana rintisan dari pemerintah pusat yang besarnya Rp 25 juta per lembaga sangat membantu pertumbuhan PAUD. Pada 2007 misalnya, ada kucuran untuk 8 lembaga.

”Tapi dipecah Rp 5 juta-an, sehingga berdiri 40 PAUD. Ini untuk pemerataan,”katanya.

Berkembangnya PAUD di Ngawi juga tak lepas dari komitmen tinggi dan kerja keras dari Forum PAUD dan HIMPAUDI setempat. Forum PAUD Kabupaten Ngawi berdiri pada 2004. Ketuanya sekarang adalah Novita, seorang akuntan lulusan Politeknik Universitas Brawijaya Malang tahun 199�. Pembinanya adalah Ibu Bupati Ngawi.

Novita yang lahir di Ngawi, 8 November 1972, sejak beberapa tahun terakhir ini mengelola PAUD, yaitu Modern School. Lembaga ini merupakan salah satu PAUD unggulan dan memiliki sarana lengkap. Pada Juni 2007, PAUD (Taman Kanak-kanak dan Kelompok Bermain) tersebut memiliki 112 murid dan 15 guru.

Sedangkan Ketua HIMPAUDI Kabupaten Ngawi adalah Dra. Nurhidayati, seorang sarjana sarstra Inggris lulusan Universitas Sebelas Maret Surakarta tahun 2004, yang kemudian juga terjun menggeluti PAUD. Lajang kelahiran Ngawi, 4 Februari 1979 itu mengajar di PAUD HARUM (Harapan Ummat). Sebulan ia dibayar Rp 125.000. “Tentu tidak cukup, tapi saya senang mengajar anak-anak PAUD. Untuk menutupi kebutuhan, saya memberi les bahasa

Inggris beberapa anak SD,” katanya. Baik Novita maupun Nurhidayati

sependapat bahwa tantangan paling berat terhadap pengembangan program PAUD adalah kecilnya honor guru. Akibatnya, banyak guru PAUD keluar masuk, hanya sekedar sambilan. Jika sudah mendapat pekerjaan lain yang penghasilannya lebih menjanjikan, mereka cabut begitu saja.

Di Kabupaten Ngawi terdapat sekitar 1000 guru PAUD, semuanya honorer. Sekitar 70% adalah lulusan SMA sederajat. Lantaran mereka sering keluar masuk, jika diundang rapat yang datang sering berganti-ganti. “Ini sebenarnya tidak bagus bagi keberlanjutan program,” kata Nurhidayati.

Pemerintah kabupaten Ngawi mulai memberi perhatian. Misalnya mulai 2007 diberikan insentif Rp100.000 per bulan bagi 112 guru terpilih. Novita dan Nurhidayati berharap agar ke depan pemerintah memberi perhatian besar terhadap kesejahteraan guru-guru PAUD. Kalau mereka keluar masuk, tentu yang dirugikan anak-anak juga. Padahal mencari pendidik PAUD yang bagus dan memiliki komitmen tinggi tidak gampang.

SAIFUL ANAm

Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, menjadikan program PAUD sebagai salah satu prioritas pembangunan pendidikan. Tantangan yang paling berat adalah guru suka keluar masuk lantaran honornya sangat kecil.

Pelatihan guru PAUD

Abdullah Zaini, Kepala Dinas

Pendidikan Ngawi Jawa Timur

FOTO

-FOT

O: SA

IFUL A

NGAwI

MENGGENJOT TARGET SETIAP DESA

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd35 7/14/200710:44:58AM

Page 38: pena pendidikan 14

�6 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Papua

Aroma gerakan separatis dalam beberapa hari di akhir Juni hingga awal Juli 2007 tampak mencuat

kembali. Simak saja, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiri puncak acara Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Ambon, Maluku, akhir Juni, dikejutkan oleh manuver tar ian cakalele yang mengibarkan bendera RMS (Republik Maluku Selatan). Beberapa hari kemudian, kejutan datang dari tanah Papua. Dalam pertemuan tokoh masyarakat adat

setempat, digelar suguhan tarian yang mengibarkan bendera Bintang Kejora. Berikutnya, di Aceh muncul deklarasi pembentukan parta i Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gerakan separatis sedang unjuk gigi?

Boleh jadi begitu, dan hal ini tentu cukup merisaukan para petinggi politik dan keamanan di Jakarta. Tiga daerah tersebut, Maluku Selatan, Papua, dan Aceh, memang sudah lama sebagian m a s y a r a k a t n y a m e n d e n g u n g k a n

keinginannya untuk merdeka. Beragam cara selama ini dilakukan pemerintah Indonesia untuk meredamnya, terutama bertumpu pada pendekatan politik dan keamanan. Sejauh ini masih bisa diatasi sehingga ketiga daerah tersebut masih dalam pangkuan Republik Indonesia (RI).

Berbagai kajian sosial, ekonomi, dan politik selama ini banyak dilakukan untuk menganalisa dan memetakan persoalan kronis di tiga daerah itu. Paling mutakhir, para pakar dan praktisi bidang pendidikan, terutama Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), juga melontarkan solusi untuk memperkokoh fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dari sudut pandang pendidikan, s u b u r n y a g e r a k a n y a n g b e r u s a h a memisahkan diri dari NKRI itu lantaran kurangnya pengenalan Indonesia sejak usia dini. Oleh karena itu kehadiran P A U D b u k a n s e m a t a - m a t a u n t u k

Program PAUD di Papua berkembang pesat. Yayasan-yayasan pendidikan keagamaan, terutama Kristen dan Katholik, berperan sangat penting menjangkau layanan pendidikan hingga ke pelosok kampung. Kondisi geografis yang dijejali daerah pegunungan, rumah tinggal penduduk yang berjauhan, beragamnya suku dan bahasa, ditambah kondisi ekonomi yang masih menyedihkan, membuat model pendidikan nonformal seperti PAUD lebih cocok di Papua. Program PAUD juga bisa menjadi wahana efektif untuk memperkokoh rasa nasionalisme sejak dini.

FOTO

-FOT

O: SA

IFUL A Jayapura

MEMPERKOKOH FONDASI NKRI MELALUI PAUD

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd36 7/14/200710:45:03AM

Page 39: pena pendidikan 14

�7Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Papua

mengembangkan seluruh daya dan potensi yang dimiliki anak, tetapi juga memupuk rasa nasionalismenya sejak dini.

Semangat itu kini menggelora dalam rangkaian program PAUD di Papua, provinsi paling timur Indonesia yang berpenduduk sekitar 2 juta jiwa dan memiliki kurang lebih 200 suku dan bahasa. Sebagaimana dikemukakan Drs. Muhammad Yusuf, mantan Kepala Subdin Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua yang baru diganti awal Juni 2007 lalu, untuk menggelorakan semangat ke- Indonesiaan dan memperkokoh f o n d a s i N K R I s e j a k dini i tu di lakukan d e n g a n c a r a memperkenalkan s i m b u l - s i m b u l nasional sejak d i l e m b a g a

PAUD. Pola bermain yang dikembangkan mencerminkan simbul-simbul Indonesia, misalnya lagu kebangsaan, bendera merah putih, dan lain-lain. “Sehingga anak-anak sejak dini sudah dipupuk rasa cinta tanah air,” paparnya.

Y u s u f m e n a m b a h k a n , G u b e r n u r Papua Barnabas Suebu dan Kepala Dinas Pendidikan dan Pengajaran Papua Drs. James Modow, M.Mt, punya perhatian tinggi terhadap PAUD. “PAUD juga sejalan dengan program Pak Gubernur berupa turun kampung ke pelosok-pelosok. Juga senafas dengan cita-cita Pak Gubernur yang ingin menjadikan anak-anak Papua cerdas dan gemilang pada 2025,” katanya.

P r o v i n s i P a p u a t e r d i r i d a r i 2 0 kabupaten/kota. Kata Yusuf, pada 2005 saat ia mengawali tugasnya

sebagai Kepala Subdin PLS, program P A U D b a r u b e r g u l i r d i e n a m

kabupaten/kota, yaitu Merauke, Jayapura, Nabire, Biak, Serui, dan Kota Jayapura.“Sekarang di seluruh

kabupaten/kota sudah ada PAUD-nya. Bahkan di beberapa kabupaten sudah

menjangkau sampai ke kecamatan. Yang paling maju di Kabupaten Jayapura,

berkat peran maksimal dari Ibu Bupati Habel,” ujarnya.

Peran GerejaSekretaris Daerah Provinsi

Papua, Drs. Tedjo Suprapto, m e n a m b a h k a n y a y a s a n -

y a y a s a n p e n d i d i k a n b e r b a s i s k e a g a m a a n

baik Kristen, Katholik, Islam, maupun agama lain sangat berperan dalam penyelenggaraan pendidikan di Papua. Yayasan-yayasan itulah yang menjadi ujung tombak dan berada di barisan terdepan dalam menakhlukkan medan geografis Papua yang sangat berat. Peran gereja sangat dominan lantaran sekitar 70% penduduk Papua beragama Kristen dan Katholik. Kalau hanya mengandalkan aparat pemerintah, jelas t idak akan mampu tertangani.

Ia menegaskan, kehadiran program P A U D s e j a l a n d e n g a n p r i o r i t a s pembangunan di Papua saat ini, yaitu perbaikan makanan dan gizi, pendidikan, dan kesehatan. ”Kita jadikan PAUD sebagai program yang terpadu dengan perbaikan makanan dan gizi serta kesehatan. Jadi tidak berdiri sendiri,” katanya.

Ia menambahkan, tak kurang dari 10 lembaga donor sudah menyatakan siap membantu. ”Kita akan menjadikan program PAUD ini sebagai primadona,” tegas pria kelahiran 26 Desember 1949 itu.

Simson Rombekwan, Kepala Seksi Kurikulum, Subdin Pendidikan Dasar d a n M e n e n g a h , D i n a s P e n d i d i k a n dan Pengajaran Provinsi Papua, juga membenarkan peran yayasan-yayasan pendidikan keagamaan tersebut. Ribuan SD dan SMP didirikan oleh mereka hingga ke pelosok-pelosok. Jika program PAUD digenjot, maka akan berimplikasi positif pada kenaikan angka partisipasi anak mengikuti pendidikan dasar.

SAIFUL ANAm (Jayapura)

Tedjo Soeprapto, Sekda Papua

Muh. Yusuf James Modow, Kadinas Papua

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd37 7/14/200710:45:20AM

Page 40: pena pendidikan 14

�8 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Papua

PAUD KASIH MAMA

Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua tidak main-main dalam menggarap program PAUD. Untuk memberi contoh, didirikan lembaga

PAUD di samping kantornya, yang diberi nama PAUD Kasih Mama, di Jl Tanjung Ria Jayapura. PAUD ini dibina bersama KORPRI Provinsi Papua. Penanggung jawabnya adalah Siti Amanah, staf di Subdin Pendidikan Luar Sekolah, Dinas P dan P Provinsi Papua.

Menurut Amanah, PAUD Kasih Mama memiliki 30 murid dan empat guru. Murid-muridnya campur, ada yang asli keturunan Papua, ada pula yang keturunan pendatang. Empat gurunya adalah Mellinda, Herlin, Regina Yaung, dan Ria. Semua gurunya swasta, dibayar Rp 500.000 per bulan.

PAUD Kasih Mama berdiri pada 15 Juni 2005. Sarana bermainnya lumayan lengkap. ”Bagi penyelenggara PAUD baru yang ingin tahu bagaimana mengelolanya, bisa melihat ke tempat kami,” ujar Amanah

HIMPAUDI DAN FoRUM PAUD

HIMPAUDI Provinsi Papua didirikan sejak 2006, diketuai oleh Ny. Kostafina Bona Suwae, S.Sos. Wanita kelahiran Serui, 22 Agustus 1952, itu juga istri dari Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae. Karena itu ibu enam anak

tersebut akrab dipanggil Mama Habel. Secara jujur Kostafina belum mengetahui persis jumlah pendidik dan tenaga kependidikan anak usia dini di Papua,

karena sedang dilakukan pendataan. Meski begitu, kata dia, tantangan yang dihadapi para pendidik pada umumnya adalah minimnya kesejahteraan dan kualifikasinya yang pada umumnya hanya lulusan SMP dan SMA. Bahkan

ada pula sebagian yang lulusan SD.Dari pengamatannya, organisasi HIMPAUDI yang paling aktif melakukan

kegiatan adalah Kabupaten Jayapura. Lembaga PAUD-nya juga sudah berjibun. Dari 25 kecamatan di Kabupaten Jayapura, semuanya sudah memiliki PAUD.

Sementara Forum PAUD Papua didirikan pada 2003. Ketuanya adalah Pdt. Yuweni, tokoh masyarakat Papua. Sarah Mohari, SE,

dipercaya sebagai Sekretaris. Sarah sehari-hari bekerja di Subdin Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Papua.

Sejauh ini, kerjasama dengan HIMPAUDI berjalan bagus. ”Kalau ada apa-apa, kami gampang sekali berkomunikasi dengan Mama Habel. Melakukan kegiatan apapun, mulai dari memberikan pelatihan hingga menggelar acara gebyar anak, kami selalu bergandengan tangan, ” ujar Sarah.

Ia menambahkan, dari 20 kabupaten/kota di Provinsi Papua, Forum PAUD dan HIMPAUDI baru ada di lima kabupaten/kota. Lainnya masih dalam proses pembentukan.

Ny. Kostafina Bona Suwae, S.Sos Sarah Mohari

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd38 7/14/200710:46:19AM

Page 41: pena pendidikan 14

�9Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Papua

Beka RamandeyWakil Ketua III PKK Provinsi Papua

Rapat Kerja Nasional (Rakernas) VI PKK Provinsi Papua, Juni 2006 lalu, memutuskan program PAUD sebagai salah satu prioritas. Kami merancang agar penggarapannya sampai ke tingkat distrik (kecamatan).

Tantangan paling berat yang kami hadapi dalam menyosialisasikan program PAUD selama ini adalah banyak masyarakat yang belum memahami manfaat dan pentingnya

PAUD. Dikiranya anak-anak yang datang ke lembaga PAUD hanya main-main. Mereka belum melihat PAUD sebagai kebutuhan. Oleh karena itu kami sering turun ke kabupaten, kecamatan, bahkan sampai ke kampung-kampung, untuk meyakinkan pentingnya PAUD.

Sekarang kami sedang mendirikan dua PAUD yang dibina oleh PKK, keduanya di Kabupaten Jayapura. Ini jadi semacam uji coba. Setelah itu kami akan mendirikan di kabupaten/kabupaten lain.

Viktor TebaiPenilik Pendidikan Luar Sekolah dan Pengelola Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)

Simapitoa JayapuraDi Papua cukup banyak PKBM, karena

model pendidikan nonformal memang sangat cocok di sini. Di distrik Jayapura Utara saja, tempat saya bertugas sebagai penilik, hingga Juni 2007 sudah berdiri 11 PKBM. Aktivitas PKBM itu bermacam-macam, mulai dari pemberantasan buta aksara, pendidikan kesetaraan, kursus keterampilan, dan PAUD.

Tantangan yang dihadapi PKBM beragam. Pada umumnya sarana dan prasarananya kurang memadai. Honor tutornya juga kecil. Selain itu, harus kerja keras merayu masyarakat agar mau memanfaatkan PKBM.

Khusus PAUD, kami punya �1 murid, berdiri sejak 2005 lalu. PKBM yang saya kelola ini berada di tengah masyarakat yang tinggal di pegunungan tengah

di Jayapura. Seluruh muridnya asli anak keturunan Papua, tidak ada pendatang.

Robert MariyanKetua Yayasan Fajar Papua dan Pengelola PKBM Fajar Papua

Yayasan dan PKBM yang saya kelola itu berdiri pada 10 November 2002. Melalui dua lembaga itu, saya ingin ikut memberikan andil dalam mewujudkan generasi Papua yang cerdas dan diperhitungkan. Saya juga mengajar di SMA Negeri I Nembora, Kabupaten Jayapura.

Fokus kegiatan kami adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat, pendidikan nonformal, dan advokasi bidang kesehatan. Khusus pendidikan nonformal, kami fokus pada garapan program PAUD. Jumlah muridnya 50, gurunya empat. Kami mendirikan PAUD itu sejak 200�.

Selain itu, kami juga membina dua Satuan PAUD Sejenis (SPS) di bawah naungan gereja . Dua PAUD tersebut adalah Talenta Nembora dan Cahaya Kasih. Masing-masing jumlah muridnya 65 dan 54. Guru yang mengajar di Talenta Nembora empat orang, sedangkan Cahaya Kasih tiga orang.

S a y a t e r t a r i k mengelola PAUD karena

GAIRAH PAUD BUMI CENDRAWASIHModel pendidikan nonformal, termasuk PAUD, dipandang sangat cocok dikembangkan di Papua. Tantangan yang dihadapi beragam. Berikut cuplikan gambaran yang dari sejumlah penggiat PAUD, baik dari aparat pemerintah maupun swasta.

Robert Mariyan

Viktor Tebai

Beka Ramandey

FOTO

-FOT

O: SA

IFUL A

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd39 7/14/200710:46:52AM

Page 42: pena pendidikan 14

40 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Papuapersoalan utama yang dihadapi masyarakat Papua adalah mereka jauh tertinggal dari para pendatang dalam segala hal. Untuk mengangkat derajat anak-anak Papua, tidak ada rumus lain kecuali melalui pendidikan, dan harus dimulai sejak PAUD.

Magdalena SapePamong Belajar BPKB (Balai Pengembangan Kegiatan Belajar) Papua dan Pengelola PKBM Karya Kasih Jayapura

Tantangan pendidikan di Papua, khususnya pendidikan nonformal, sungguh berat dan banyak. Soalnya masyarakatnya beragam, dan tanahnya bergunung-gunung. Tapi kita melakukannya enjoy saja, tidak terlalu dipikirkan. Termasuk dalam membina PAUD.

Di BPKB Papua ada 20 pamong belajar. Pendidikan nonformal memang banyak diminati. Pendidikan kesetaraan, terutama PAKET C, misalnya, dari tahun ke tahun terus meningkat. Umumnya untuk bekal cari kerja atau naik golongan kepangkatan. Yang paling berat adalah memberantas buta aksara, karena medan yang dihadapi sangat berat, naik turun gunung.

PKBM yang saya kelola berdiri tahun 2006. Program utamanya adalah pendidikan kesetaraan dan pemberantasan buta aksara. Total jumlah tutornya 29 orang, terdiri dari masing-masing 8 tutor Paket A dan B, 10 tutor Paket C, dan � tutor keaksaraan. Dalam waktu

dekat kami jutga akan membuka PAUD.

Anton WiamaKepala Subdin Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Dinas Pendidikan Kabupaten Boven Digul

Kabupaten Boven Digul merupakan pemekaran dari Kabupaten Merauke, sejak 200�. Sebagaimana orang Papua pada

umumnya, kami masih jauh tertinggal. Kami beruntung dipimpin Bupati Yusak Yaluwo, SH, M.Si, yang sangat peduli terhadap pembangunan pendidikan, termasuk PAUD.

Tantangan paling berat, khususnya PAUD, adalah anak-anak yang tinggal di desa banyak yang mengikuti tradisi orangtuanya hidup berpindah-pindah. Mereka menggantungkan diri dari hasil hutan. Kalau mencari nafkah di hutan, anak-anaknya dibawa. Kalau yang tinggal di kota kecamatan masih bagus, karena orangtuanya tidak pindah-pindah. Berangkat pagi ke hutan, sore kembali ke rumahnya.

Pendidikan SD juga menghadapi tantangan yang sama. Bahkan kalaupun masih sempat sekolah, paling banter sampai kelas III. Karena itu buta aksara di Boven Digul tinggi, saat ini sekitar 58.000 orang.

Begitu beratnya tantangan yang kami hadapi, sehingga kami baru bisa merintis pendirian 8 PAUD. Ini yang diusahakan oleh pemerintah

melalui dana rintisan. Belum termasuk yang diusahakan yayasan-yayasan swasta. Ke depan akan kami perbanyak lagi.

Markus KilunggaKetua Yayasan Pelayanan Antar Budaya

Yayasan yang kami pimpin beroperasi di Kabupaten Jayawijaya. Awalnya kami hanya fokus pada pemberantasan buta aksara. Ada

��7 kelompok buta aksara yang kami tangani. Pembelajarannya berlangsung di gereja-gereja, karena kami bekerjasama dengan yayasan-yayasan pendidikan Kristen dan Katholik.

Tetapi setelah saya amati, program pemberantasan buta aksara itu sering terhambat karena peserta program ini kerap diganggu oleh anak-anaknya. Kebanyakan pesertanya memang ibu-ibu, dan banyak di antara mereka yang membawa anak-anak usia 0-7 tahun. Kalau anak-anaknya mengganggu orangtuanya, otomatis mereka tidak bisa konsentrasi dalam belajar.

Oleh karena itu, kami kemudian berpikir sekalian saja dibuka PAUD. Dari ��7 kelompok buta aksara, kami sudah membuka �0 PAUD. Kami menargetkan sampai akhir tahun ini seluruh kelompok buta aksara sudah

ada PAUD-nyaSAIFUL ANAm (Jayapura)

Magdalena Sape

Anton Wiama

Markus Kilungga

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd40 7/14/200710:47:05AM

Page 43: pena pendidikan 14

41Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Papua

Jika Anda ke Jayapura, Papua, sempatkan memandang bukit menjulang yang bertengger di punggung pusat kota. Di

atas bukit yang berdiri tegak di bibir Teluk Yoteva itu tertulis “Jayapura City”, yang di sampingnya dipampang simbul salib berukuran raksasa. Jika malam tiba, lampu kerlap-kerlip yang mengelilingi tulisan dan simbul salib tersebut menambah keindahan kota.

Ya, Papua yang dikenal pula dengan

sebutan Bumi Cendrawasih memang dikenal sebagai basis agama Nasrani (Kristen-Katholik). Diperkirakan kurang lebih 70% penduduk provinsi paling timur Indonesia yang berjumlah sekitar dua juta jiwa itu beragama Kristen dan Katholik. Sisanya yang �0% Islam, Budha, Hindhu, dan lain-lain. Wajar jika gereja dan simbul-simbul agama Kristen dan Katholik mudah dijumpai di berbagai tempat.

Sejak dikangkangi penjajah Belanda, P a p u a m e m a n g m e n j a d i b a s i s penyebaran agama Kristen dan Katholik. Z e n d i n g d a n Misionaris, penyebar agama Nasrani, sejak d u l u h i n g g a k i n i b e r p e r a n p e n t i n g dalam berbagai aktivitas kehidupan masyarakat P a p u a , t e r m a s u k pendidikan. Hingga kini

para juru dakwah agama Nasrani itu rajin keluar masuk pelosok kampung, menggunakan pesawat capung.

Para tokoh agama di Papua juga mendirikan yayasan-yayasan agama, yang di dalamnya mencakup pendidikan. Karena itu, yayasan-yayasan pendidikan Kristen-Katholik di Papua usianya sudah sangat tua. Bahkan mereka umumnya lebih diterima masyarakat ketimbang pendekatan yang d i lakukan o leh aparat pemerintah. Begitu pula dalam penyelenggaraan PAUD, keberadaan yayasan-yayasan pendidikan Kristen-Katholik berperan sangat besar. Hampir setiap gereja memiliki Sekolah Minggu.

Di Papua ada puluhan yayasan berbasis agama dan pendidikan. Misalnya Yayasan Gereja Advent, Yayasan Gereja Bethel, Yayasan Gereja Baptis, Yayasan Gereja Injili di Indonesia, Yasayan Gereja Bethel Indonesia, Yayasan Pendidikan Katholik Kristus Radja, dan lain-lain.

Menurut John Piter Ayomi, pengurus Jemaat Protestan-Pantekosta Jayapura, Sekolah Minggu itu diperuntukkan bagi anak-anak usia �-18 tahun. Materi yang diajarkan adalah pendidikan agama. Di Papua diperkirakan terdapat ribuan Sekolah Minggu yang melekat di gereja. Dalam satu sekolah terdiri dari kurang lebih �0 murid.

M a r t e h n T a n a t i , K e p a l a S u b d i n Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kota Jayapura penambahkan, Sekolah Minggu itu dibagi dalam beberapa kelompok. Usia � – 5 tahun adalah Kelompok Bermain (KB) dan Taman Kanak-kanak (TK). Usia 6 – 8 tahun disebut kelompok Anak Kecil. Usia 9 -11 tahun dikenal dengan nama Kelas Tanggung. “Sedangkan kelompok usia 12-15 tahun Kelas Remaja, dan umur 16-18 tahun Kelas Al-Kitab,” kata Tanati yang juga menjadi pimpinan di sebuah Sekolah Minggu.

Tambah bahwa sebelum digulirkannya p r o g r a m P A U D o l e h D e p a r t e m e n Pendidikan Nasional, yayasan-yayasan pendidikan Kristen dan Katholik di Papua sudah mendidik anak-anak usia dini. Hanya saja yang diajarkan murni keagamaan. Kehadiran PAUD kini justru memperkuat keberadaan mereka. “Program PAUD yang digulirkan pemerintah bisa dipadukan dengan kurikulum di sekolah-sekolah minggu,” kata Piter. PAUD dan Sekolah Minggu pun tampak saling memperkuat.

SAIFUL ANAm

Yayasan Pendidikan Kristen dan Katholik sangat berperan dalam pembangunan dan penyelenggaraan pendidikan di Provinsi Papua, termasuk Pendidikan Anak Usia Dini. PAUD yang diselenggarakan oleh mereka berbasis di gereja-geraja, dikenal dengan Sekolah Minggu.

John Piter Ayomi Marthen Tanati

DOK.

DIT.

PAUD

FOTO-FOTO: SAIFUL ANAm

Yayasan PendidikanKristen – Katholik

UJUNG TOMBAK PENDIDIKAN

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd41 7/14/200710:47:19AM

Page 44: pena pendidikan 14

42 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Papua

Sungguh beruntung Muslimat NU memiliki seorang kader berkualitas dan militan seperti Hj. Rubiati. Wanita

kelahiran Kudus, Jawa Tengah, 14 Desember 1951 itu merupakan tokoh penting dalam pengembangan dan penyelenggaraan pendidikan anak usia dini berbasis NU di Papua.

Rubiati merantau ke Jayapura pada 1970, setelah lulus dari SPG Negeri Kudus tahun 1969. Ia kemudian menjadi guru berstatus pegawai negeri sipil. Ia juga melanjutkan pendidikannya di D-1 Universitas Cenderawasih , lalu ke D-2 Universitas Terbuka. Ia lama mengajar di

sebuah SMP di Jayapura.Setelah cukup kenyang mengajar

m a t a p e l a j a r a n P e n d i d i k a n M o r a l Pancasila(PMP) di SMP, ia kemudian ditarik menjadi pengawas sekolah di Dinas Pendidikan dan Pengajaran Kota Jayapura, sejak tahun 2000.

Selain berstatus PNS, Rubiati juga aktif di organisasi Muslimat NU. Ia kini dipercaya sebagai Wakil Ketua Muslimat NU Kota Jayapura dan Ketua Yayasan Pendidikan Muslimat NU Provinsi Papua. Sebagai pimpinan yayasan pendidikan NU, ia dipercaya mengelola PAUD Kartika Aswaja (Ahlussunnah Waljamaah) Jayapura,

muslimat Nahdlatul Ulama

MEMBENTENGIANAK-ANAK SEJAK DINIOrganisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, tak mau ketinggalan dalam penyelenggaraan PAUD di Papua. Melalui Muslimat Nahdlatul Ulama, NU mendirikan sejumlah PAUD berbasis Islam.

berdiri sejak 2005. Ini adalah satu-satunya PAUD berbasis NU di Kota Jayapura.

PAUD Kartika Aswaja Jayapura boleh dibilang merupakan PAUD terbaik yang dikelola Muslimat NU di Papua. Fasilitasnya lengkap. Gedungnya dibangun atas upaya dari sejumlah pengusaha muslim di Papua. “Bu Khofifah pernah berkunjung ke sini pada tahun 2005, memberi semangat pada kami,” kata Rubiati, yang sudah punya 10 cucu dari lima anaknya itu. Khofifah Indarparawangsa adalah Ketua Pimpinan Pusat Muslimat NU.

“Masyarakat muslim Jayapura, khususnya yang berlatarbelakang NU, ingin agar anak-anaknya sejak dini sudah mengenal Islam. Karena itu PAUD Kartika Aswaja bukan sekedar mendidik anak belajar sambil bermain, tapi juga menanamkan nilai-nilai

Islam,” tegas Rubiati yang bersuamikan H. Slamet itu.

Seluruh murid PAUD Kartika Aswaja yang berjumlah 4� anak itu memang beragama Islam dan semuanya keturunan warga pendatang. Kendati begitu, Rubiati sudah berancang-ancang akan membuka PAUD yang diperuntukkan bagi anak-anak non muslim dan asli Papua. Lokasinya berdampingan dengan PAUD Kartika Aswaja.

Kalau ada dua PAUD berbasis Islam dan Nasrani dalam satu kompleks apakah nanti tidak potensial menimbulkan benturan? “Insya Allah tidak ada apa-apa. Justru kami ingin menanamkan pemahaman dan saling menghargai perbedaan beragama itu sejak dini,” ujarnya.

Hingga Juni 2007, di seluruh Irian Jaya (Papua dan Irian Jaya Barat) sudah terdapat 15 PAUD yang dibina Muslimat NU. Khofifah, seperti ditirukan Rubiati, berharap agar seluruh kabupaten/kota di Irian Jaya nantinya memiliki minimal satu PAUD yang dibina Muslimat NU.

Rubiat i berharap agar ke depan p e m e r i n t a h l e b i h m e m p e r h a t i k a n kelangsungan PAUD, terutama honor bagi guru-gurunya

SAIFUL ANAm

FOTO

: SAI

FUL A

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd42 7/14/200710:47:22AM

Page 45: pena pendidikan 14

4�Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Papua

Sebagai organisasi massa Islam, Muhammadiyah tampak sangat gencar melebarkan sayapnya di

bidang pendidikan di Papua. Organisasi Muhammadiyah yang didirikan di Yogyakarta oleh KH Achmad Dahlan pada tahun 1912 itu salah satu bidang garapannya memang pendidikan. Ribuan lembaga pendidikan Muhammadiyah, mulai dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi tersebar di pelosok Nusantara. Selain itu, usahanya di bidang kesehatan dengan mendirikan rumah sakit-rumah sakit Muhammadiyah juga tumbuh subur.

Muhammadiyah memiliki organisasi wanita, yaitu Aisyiah Muhammadiyah. Di Irian Jaya (Provinsi Irian Jaya Barat dan Papua), Aisyiah mempunyai 14 cabang. Khusus di Jayapura, kiprah Aisyiah Muhammadiyah dalam menggarap pendidikan anak usia dini sudah lama, yaitu sejak 197� dengan mendirikan TK. Sejak 2006, TK Aisyiah ”Bustanul Athfal” tersebut juga mendirikan Kelompok Bermain (KB).

Menurut Atmiati, anggota Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Wilayah Aisyiah Provinsi Papua, di seluruh Irian Jaya (Irian Jaya Barat dan Papua) terdapat

sekitar 60 TK Aisyiah (PAUD formal). Dari jumlah itu, yang punya KB ada 6 TK. Jumlah ini memang lebih banyak dibanding punya Muslimat NU. Ke depan bahkan Aisyiah merencanakan untuk mendirikan PAUD (TK plus KB) minimal satu di setiap kabupaten/kota.

Dari sekitar 60 PAUD Aisyiah di Irian Jaya, TK/PAUD Bustanul Athfal yang beralamat di Jl. Gerilyawan, Abepura, Jayapura, boleh dibilang paling maju. Sarananya paling lengkap. Hal itu juga diakui oleh Suhaebah, Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiah Provinsi Papua. Ia menambahkan, di Jayapura ada 11 PAUD Islam, masing-masing dua milik Aisyiah, satu punya Muslimat NU (TK Kartika Aswaja), sisanya dikelola oleh Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS).

PAUD Bustanul Athfal dikepalai oleh Ny. Martini. Wanita kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 10 Januari 195� itu merantau ke Jayapura sejak 1974, setelah lulus dari Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA) di Purworejo. Di Jayapura, Martini yang anak bungsu dari delapan bersaudara pasangan Prawiroredjo dan Siti Khotijah itu ikut kakaknya yang sejak 1962 sudah tinggal di sana.

Pada 1979 Martini diminta Hasan Chasmali,

pimpinan Muhammadiyah Jayapura, untuk membantu mengajar di TK Aisyiah Bustanul Athfal, menggantikan seorang guru yang tengah melahirkan. ”Saya bilang, saya tidak punya bakat mengajar. Tapi kata beliau dicoba dulu. Akhirnya saya mulai mengajar pada Mei 1979,” ujarnya.

Rupanya, bergumul dengan anak-anak membuatnya merasa cocok. Ia kemudian diangkat menjadi guru tetap, sejak 1985. Posisinya semakin mantap lantaran ia dipercaya menjadi kepala TK. Kini di PAUD tersebut terdapat 12 guru TK dan KB.

Sebagai pimpinan PAUD berbasis Islam yang berada di tenga-tengah mayoritas masyarakat Kristen dan Katholik, Martini mengaku harus tahu diri. Misalnya kalau ada liburan hari-hari tertentu bagi umat Kristiani, maka harus ikut libur. “Kalau tidak bisa kurang enak,” katanya.

Animo masyarakat yang memasukkan ke PAUD Bustanul Athfal dari tahun ke tahun terus meningkat. Setiap tahun pasti menolak murid lantaran daya tampungnya cuma 200 anak. “Kami sebenarnya ingin menambah daya tampung, tapi lahannya terbatas,” ujarnya

SAIFUL ANAm

Aisyiah Muhammadiyah sudah lama berkiprah dalam pendidikan anak usia dini di Papua, melalui Taman Kanak-kanak (TK). Animo masyarakat tinggi, sehingga setiap tahun menolak murid. Tahu diri berdiri di tenga-tengah dominasi masyarakat Nasrani.

Aisyiah muhammadiyah

SETIAP TAHUN MENOLAK MURID

FOTO

: SAI

FUL A

NAm

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd43 7/14/200710:47:24AM

Page 46: pena pendidikan 14

44 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Jakarta

“LAHANNYA belum memadai, tapi kami tak bisa menunggu lama. Anak-anak ini butuh sekolah,”

ucap Neneng Suryati, pendidik untuk anak usia dini di Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat. Di lingkungan kumuh dan padat penduduk ini, sekolah untuk anak usia dini didirikan.

Usia emas hanya datang sekali, tatkala manusia berusia teramat belia: 0-6 tahun. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, tak mau usia penting itu lewat begitu saja bagi warganya. Ia pun mengerahkan

segala sumber dayanya untuk mendidik kaum belia di Ibu Kota.

Bang Yos, sapaan akrab Sutuiyoso, yang tak lama lagi lengser dari kursi gubernur, mengajak bawahannya plus istri-istri mereka untuk menggalakkan Pendidikan Anak Usia Dini, biasa disingkat PAUD. Walikota beserta istri, demikian pula camat dan lurah, semua diajak serta. “Kami ingin mempercepat jalur sosialisasi, pertumbuhan, dan peningkatan mutu PAUD itu sendiri,” ungkap Dra. Novida S, M. Pd, Kepala Seksi PAUD, Subdinas Pendidikan Luar sekolah, Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta.

Kini, di DKI Jakarta telah ada 500-an PAUD yang beroperasi. Mereka tersebar di lima kotamadia plus Kabupaten Kepulauan Seribu. Data angka partisipasi kasar terakhir menunjukkan, angka 52,9% dari sekitar 1 juta jiwa anak usia dini ikut berpartisipasi.

Animo masyarakat tentang pentingnya PAUD di kota metropolitan cukup tinggi. Bisa dilihat dari dukungan penuh para lurahnya dalam meningkatkan pertumbuhan PAUD di daerahnya masing-masing. Mereka bahkan punya target, setiap RW punya minimal satu lembaga PAUD nonformal. Gerakan ini makin efektif, karena melibatkan istri mereka sebagai kader PKK.

“Pemerintah DKI Jakarta memang

punya kebijakan bahwa setiap orang bisa jadi kader PKK. Ini didukung oleh dikeluarkannya SK Gubernur DKI Jakarta tentang Penyelenggaraan Pendidikan Formal dan Nonformal,” papar Novida tentang penyebab pesatnya pertumbuhan PAUD di kota metropolitan ini.

Agar nantinya perkembangan dan pertumbuhan PAUD tidak “menyerobot” pertumbuhan TK di DKI Jakarta, dibuatlah kebijakan. ‘’Daerah yang tanpa TK bisa membuka Kelompok Bermain,” ucap Novida.

Warga tak hanya terlibat dan turun tangan langsung sebagai pengelola. Mereka juga bisa sebagai orangtua murid. Mereka tak segan menyumbang semacam iuran bulanan. Jumlahnya cukup variatif.

Biasanya iuran ini digunakan untuk kebutuhan operasional PAUD. Mengingat, kebanyakan yang berdiri adalah PAUD yang terintegrasi dengan Bina Keluarga Balita, alias BKB, yang diselenggarakan oleh ibu-ibu PKK di masing-masing wilayah. Terhadap hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak lepas dukungan. Kucuran bantuan juga mengalir lewat APBN dan APBD.

Melalui APBD, dana yang dianggarkan khusus untuk Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tahun 2007 ini sebesar Rp 1,529 miliar. “Porsinya lebih banyak untuk PAUD nonformal, yakni 60% dari keseluruhan dana khusus untuk PAUD ini,” ungkap Novida.

Kontribusi pemerintah provinsi juga mengalir lewat Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta, berupa pelatihan untuk kader tenaga pendidik PAUD. Walaupun frekuensi pelatihannya hanya setahun sekali, jumlah pesertanya selalu meningkat. Tahun 2006 lalu, pesertanya hanya 150 orang tenaga pendidik PAUD. Namun untuk 2007 ini kuota peserta pelatihan ditingkatkan menjadi dua kali lipat.

Pemberian bantuan alat permainan edukatif (APE) juga berjalan setiap tahun. Selain itu, pembinaan Kerangka Pengembangan Kurikulum PAUD (KPKP) dan pelatihan penyeragaman model penyelenggaraan PAUD juga diselenggarakan Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional juga membantu. Melalui Direktorat PAUD dikucurkan dana dekonsentrasi untuk PAUD nonformal, sebesar Rp 2, 787 miliar. “Dana ini kami gunakan untuk pengadaan buku-buku PAUD, program sosialisasi, dan

Angka partisipasi kasar (APK) PAUD mencapai 52,9% dari sekitar 1 juta jiwa anak usia dini. Sebanyak 60% dana pengembangan PAUD untuk PAUD nonformal.

Ruang belajar BKB PAUD Agung 02, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat--berada di lingkungan kumuh, padat penduduk

FOTO

-FOT

O: AY

U N.

A

Rita Rosmala, M. Pd,

wakil Ketua Himpaudi Jakarta

GOLDEN AGE DI LAHAN SEMPIT

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd44 7/14/200710:47:43AM

Page 47: pena pendidikan 14

45Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jakarta

penyelenggaraan pusat PAUD percontohan di lima kotamadia se-Jakarta,” tutur Novida. Ia menambahkan, tercatat telah ada 68 PAUD di Jakarta yang juga menerima program block grant dari Direktorat PAUD.

Lahan yang SulitRuang adalah permasalahan yang kerap

muncul di kota berpenduduk padat ini. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2004, penduduk Jakarta mencapai jumlah 8,79 juta jiwa. Luas provinsinya 740,28 km². Tak gampang mendapatkan lahan untuk kegiatan PAUD.

Para pendukung PAUD cukup berjibaku untuk menyediakan lahan ruang belajarnya. Akhirnya digunakan alternatif yang banyak digunakan adalah ruang serba guna atau lapangan olahraga di RW atau kelurahan masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh para kader PKK penggagas BKB PAUD Dorang I di Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara. BKB merupakan kependekan dari Bina Keluarga Balita.

Atas dukungan lurahnya, akhirnya pada 2005 gedung BKB PAUD Dorang I rampung didirikan di atas lahan lapangan olahraga RW 01. “Biaya pembangunannya kami cicil dari donatur dan kocek sendiri,” ungkap Ariyanti Yudi M, Wakil Kepala Sekolah BKB PAUD Dorang I, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

BKB PAUD Agung 02 Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, kondisinya tak

berbeda jauh. BKB PAUD agung 02 adalah satu di antara sekian banyak PAUD yang menerima dana rintisan sebesar Rp 25 juta dari Direktorat PAUD. Pengelolanya memaksimalkan lahan di kelurahan mereka.

“Yang kami pakai ini adalah lahan milik Pemda DKI Jakarta. Awalnya, dibuat taman. Eh, tak terawat dan malah jadi tempat parkir gerobak bakso,” ujar Neneng Suryati, Kepala Sekolah dan pengelola BKB PAUD Agung 02 Kecamatan Taman Sari. Lahan yang kini menjadi ruang belajar bagi 85 muridnya, luasnya hanya 5m x 10m. Letaknya di sebuah gang sempit, kumuh, dan padat penduduk.

Novida mengakui, lahan jadi masalah penting untuk PAUD di masyarakat perkotaan. Apalagi di Jakarta. “Kami pernah mendapati ada lembaga PAUD di ruang sangat sempit di tepi rel,” tambahnya. Sebenarnya, ada kebijakan yang bisa jadi jalan keluar dari masalah ini. Dinas Pendidikan Dasar Jakarta membuat kebijakan bahwa TK yang ruang belajarnya cukup untuk melayani anak-anak umur 2 s/d 4 tahun, dapat mendirikan Kelompok Bermain di dalamnya.

Bantuan MasyarakatDalam bahasa Novida, bantuan

dan dukungan APBN dan APBD sesungguhnya merupakan dana

pendukung. “Tidak bisa dijadikan dana operasional terus-terusan, karena pasti akan habis. Hendaknya, ada kontribusi dari orang tua untuk membantu operasional PAUD. Demi kemajuan anak-anak mereka sendiri,” lanjutnya. Ia pun prihatin terhadap penyelenggaraan PAUD di Kepulauan Seribu. “Sarana dan prasarananya sangat minim,” ungkapnya.

Namun di samping semua kendala ini, ada kendala utama yang masih membutuhkan perhatian. “Untuk di DKI Jakarta ini memang terfokus kepada kualitas dan kompetensi tenaga pendidik PAUD nonformal ini,” ungkap Novida. Kaitannya juga erat dengan penguasaan Beyond Centre Circle Time (BCCT ). Metode pembelajaran yang jadi acuan utama untuk PAUD di Indonesia ini, belum tentu bisa diserap dan dipahami

secara merata oleh semua tenaga pendidik PAUD di DKI Jakarta.

Untuk hal ini, Pemda DKI Jakarta melalui dana APBDnya, memberikan bantuannya dalam bentuk pelatihan untuk tenaga pendidik PAUD di DKI Jakarta. “Pelatihan ini berharga untuk meningkatkan mutu tenaga pendidik PAUD. Pelaksanaannya baru setahun sekali, dan diikuti sekitar 200 orang,” jelasnya.

Aktifitas di BKB PAUD Dorang I, Kecamatan Kelapa Gading, Jakarta Utara

Aktifitas di BKB PAUD Agung 02, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat

Hj. Ulha Soraya, sekretaris Yayasan Pendidikan Muslimat Nahdatul Ulama

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd45 7/14/200710:47:59AM

Page 48: pena pendidikan 14

46 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Kontribusi Masyarakat Perkembangan mutu PAUD di DKI Jakarta

tak lepas dari keterlibatan Himpunan PAUD Indonesia Jakarta, Forum PAUD Jakarta, juga beberapa lembaga pendidikan swasta Islam yang memberikan kontribusi metode pembelajaran PAUD Islami.

Sejak berdiri tahun 2006 lalu sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Himpaudi Jakarta banyak berperan mengadakan pelatihan untuk tenaga pendidik dan penyelenggara PAUD, pembelajaran PAUD, dan sosialisasi tentang pentingnya PAUD. “Sekarang kami banyak bekerja sama dengan PKK di setiap kotamadia. Kini, Himpaudi juga telah didirikan di setiap wilayah kodya se-DKI Jakarta, maka jalur kerjasama dan koordinasinya jadi lebih mudah,” ucap Rita Rosmala, S.Pd, Wakil Ketua Himpaudi Jakarta.

Himpaudi Jak ar ta juga ber tugas memonitor dan mengevaluasi kegiatan yang terselenggara di seluruh PAUD se-Jakarta. Pasalnya, dari sekitar 2.000 orang tenaga pendidik PAUD nonformal di DKI Jakarta, hanya 10% berlatar pendidikan sarjana PAUD, 50% lulusan D2 PGTK, dan 40% nya lulusan SMA.

K o n d i s i i n i m e n j a d i s e m a k i n memprihatinkan tatkala semakin banyak PAUD yang diselenggarakan PKK. “Tenaga pendidiknya bahkan ada yang hanya lulusan SD dan SMP. Ini tidak bisa dibiarkan. Kami kerap turun ke lapangan untuk melatih mereka,” tutur Rita.

Setahun sekali H i m p a u d i J a k a r t a

mengadakan pelatihan BCCT di lima wilayah se-DKI Jakarta. Juga melakukan kegiatan roadshow Hardiknas tahun 2006 lalu. Kegiatan ini melibatkan para orangtua murid dan tenaga pendidik PAUD di lima wilayah kodya se-DKI Jakarta. “Bentuknya dialog interaktif, antara para orangtua, tenaga pendidik PAUD, dan pakar PAUD yang kami undang,” jelasnya.

Kualitas mutu PAUD di Jakarta, sedikit banyak juga merupakan hasil urun tangan dari Forum PAUD DKI Jakarta. “Kerja-kerja kami lebih pada bidang sosialisasi kepada masyarakat umum tentang pentingnya PAUD. Sejauh ini, pemahaman atas PAUD di Jakarta nilainya masih sekitar 50%,” ucap Dra. Asni Djaafar, M.Pd , Ketua Forum PAUD DKI Jakarta. Sasarannya tak hanya masyarakat yang masih awam, tetapi juga melibatkan banyak pihak, antara lain, para tenaga pendidik, para penyelenggara PAUD, organisasi-organisasi guru, dan jajaran birokrat di masing-masing wilayah.

Forum PAUD DKI Jakarta berdiri sejak tahun 2004. “Setidaknya, anak usia 2-6 tahun di DKI Jakarta dapat secepatnya memperoleh kesempatan untuk menikmati layanan pendidikan PAUD di kotanya sendiri,” ucap Bu Asni, yang juga menjabat sebagai wakil ketua Divisi TK dan PAUD di Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah di pimpinan Aisyiyah.

Menurut pandangannya, lembaga Aisyiyah di bawah naungan besar Yayasan Muhammadiyah ini juga telah memberikan kontribusinya untuk turut meningkatkan APK PAUD di DKI Jakarta. “Kami sudah mulai menyelenggarakan pendidikan untuk anak usia dini sejak tahun 1919, dalam sebuah naungan lembaga pendidikan yang disebut Bustanul Athfal,” paparnya.

Selama ini Lembaga Aisyiyah, telah mengelola 5.775 TK Aisyiyah yang tersebar di �� provinsi, dan ada 1000-an PAUD di dalamnya. Khusus untuk DKI Jakarta sendiri,

ada 44 PAUD nonformal. Bu Asni yang kini genap berusia 67 tahun ini, masih terus aktif memonitoring

penyelenggaraan TK dan PAUD Aisyiyah di seluruh Indonesia. I a m e n g at a k a n , “ K o n s e p

pembelajarannya memang khas ala Muhammadiyah. P e n g e n a l a n k o n s e p keislamannya lebih kental

daripada PAUD nonformal lainnya.”

M e n g e n a i k o n d i s i m u t u te n a g a pendidik PAUD Aisiyah I DKI Jakarta, Bu Asni mengungkapkan bahwa yang telah memenuhi kualifikasi baru mencapai 10%. “Ada �0 orang tenaga pendidik PAUD Aisiyah Jakarta yang telah lulus S1 PAUD. 65% selebihnya adalah para sarjana dengan latzar pendidikan umum dan pendidikan guru,” papar Bu Asni.

Kondisi mutu ini juga tak berbeda jauh dengan PAUD nonformal di bawah naungan Muslimat Nahdatul Ulama. Dari sejumlah 2.22� PAUD nonformal NU di seluruh Indonesia, masih 60% tenaga pendidiknya yang belum memiliki ijazah S1 PAUD. “Karena kualifikasi guru masih banyak ditentukan oleh Muslimat Nahdatul Ulama bahwa para lulusan SMA atau Aliyah, telah dibolehkan mengajar,” ujar Hj. Ulha Soraya, yang kini menjabat sebagai Sekretaris Yayasan Pendidikan Muslimat NU.

Yayasan Muslimat NU telah memberikan kontribusinya dalam menyediakan layanan pendidikan bagi anak usia dini, sejak tahun 2000 silam. Konsep-konsep pembelajaran khas Muslimat NU juga dimasukkan ke dalam kurikulum PAUDnya. “Kami memberi porsi sebanyak 10% untuk PAUD. Materi-materi yang mulai diperkenalkan kepada para murid PAUD kami, adalah nilai-nilai Sunnah Wal Jama’ah. Tentunya dengan caraTentunya dengan cara belajar sambil bermain,” tegasnya

AYU N. ANDINI

Jakarta

Dra. Novida S. , M. Pd,Kepala Seksi PAUD, Subdin PLS--Dinas Dikdas DKI JKT

Dra. Asni Djaafar, M. Pd,

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd46 7/14/200710:48:10AM

Page 49: pena pendidikan 14

47Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jakarta

minimal lulusan SMA. Di lapangan, ada yang hanya lulusan SMP, karena sulitnya mencari kader PKK yang masih muda. “Yang masih muda lebih memilih untuk berkarir, sehingga kita berdayakan yang ada saja yaitu para sesepuh.” tukas Santi.

Rintangan itu tak menghalangi PKK Propinsi DKI Jakarta untuk mengadakan pelatihan. Materinya beragam. Mulai dari bina keluarga balita seperti asupan gizi yang baik untuk balita sampai ke kurikulum untuk PAUD.

Darimana dana untuk pelatihan? “Kelurahan-kelurahan di DKI Jakarta itu mendapatkan dana minimal 1 milyar untuk Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan dari Pemerintah DKI.” kata Santi. Secuil di antaranya untuk mengembangkan BKB-PAUD di kelurahan tersebut.

Agar para kader mudah mendapatkan literatur mengenai pembinaan BKB-PAUD, rencananya bulan depan PKK propinsi DKI Jakarta akan menerbitkan 5000 buku pedoman untuk pelaksanaan BKB-PAUD. “Materinya kemarin sudah kita godok. Ada materi dari BKKBN dan Dinas Pendidikan Dasar.” kata Santi. Buku pedoman ini diharapakan dapat menjembatani materi antara BKKBN, Dinas Pendidikan Dasar dan Direktorat Pembinaan PAUD Depdiknas.

Untuk meningkatkan pemberdayaan BKB-PAUD, Santi selalu menghimbau kepada kelompok-kelompok BKB PAUD agar bermitra dengan semua pemangku kepentingan. Hal ini

Setelah mendengarkan paparan, Bu Santi balik bertanya kepada kader BKB-PAUD. “Ibu, seragamnya cantik sekali.

Ibu membelinya sendiri?” Ia bertanya sambil tersenyum. Yang ditanya merasa senang.

Santi juga menjadi ketua Kelompok Kerja (Pokja) II, Tim Penggerak PKK Propinsi DKI Jakarta. Kegiatannya terfokus pada pendidikan dan keterampilan. Program unggulannya adalah pembinaan BKB-PAUD. “Untuk membina BKB-PAUD ini PKK bekerja sama dengan Depdiknas, Dinas Kesehatan, dan BKKB Jakarta,” kata Santi. BKKB adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana.

Di Jakarta terdapat ��6 kelompok BKB-PAUD. Untuk membina mereka, Santi sering berkeliling, termasuk ke Kabupaten Kepulauan Seribu. “BKB-PAUD di Jakarta Barat dan Jakarta Timur berkembang dengan pesat. Di Kepulauan Seribu, BKB PAUD juga makin maju,” kata Santi.

Namun belum semua BKB-PAUD di Jakarta maju atau berhasil. Terutama di daerah pinggiran Jakarta. Mereka kepentok masalah tempat. Mereka biasanya hanya menempati ruang RW yang tidak memadai. “Walaupun Direktorat Pembinaan Paud mengatakan bahwa pendidikan usia dini non-formal bisa di mana pun, sekalipun di bawah pohon, kenyataannya sulit dilaksanakan.” ujar Santi.

Kendala lainnya dalam pembinaan BKB-PAUD adalah latar belakang pendidikan kadernya yang heterogen. Standarnya, kader

sudah dilakukan oleh BKB-PAUD percontohan tahun 2006, yaitu BKB-PAUD Mangga Ubi. Si Mangga merupakan kegiatan terpadu antara Posyandu, BKB, dan PAUD. Lembaga ini bermitra dengan seorang guru besar yang tinggal di daerah situ. Juga dengan dokter gigi, dokter umum, psikolog, bahkan pianis yang juga tinggal di sekitar Mangga Ubi. Warga yang etnis cina pun bergabung.

Tujuan pendirian BKB-PAUD adalah memberikan pendidikan usia dini kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu. Sehingga kelompok BKB-PAUD tidak memungut biaya . Meski demikian, para peserta menyumbang semampu mereka. Seperti masyarakat anggota BKB-PAUD Dorang I. Setiap bulan mereka menyumbang Rp 5.000.

Hal seperti ini sangat disadari oleh Santi. Karena itu setiap datang berkunjung ke kelompok BKB-PAUD, Pokja II tim penggerak PKK selalu membawakan sesuatu. “Kemarin kami membagi buku dongeng sekitar 700 eksemplar.” kata Santi.

Harapan Santi, lomba BKB-PAUD ini dapat memotivasi para kadernya, demi peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya orang tua dan anak usia dini. Selain itu, masih ada target yang ingin dicapai oleh Santi, yaitu pendidikan usia dini bagi semua kalangan masyarakat. “Saya menginginkan agar pendidikan anak-anak yang pra sejahtera tidak kalah dengan anak-anak sejahtera,” tegas Santi

FETTY SHINTA LESTARI

MANGGA UBI PUNyAPROFESORNAMANYA Santi Sukesti Martono. Ia sangat serius saat mendengarkan paparan ibu-ibu kader BKB-PAUD (Bina Keluarga Balita-Pendidikan Anak Usia Dini) Dorang I, RW 10, Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara. Bu Santi adalah tim penilai lomba BKB-PAUD tingkat provinsi di Jakarta, tahun ini.

Santi Sukesti Martono, Ketua POKJA 2 Tim Penggerak PKK DKI Jakarta

FOTO

: FET

TY S.

L

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd47 7/14/200710:48:13AM

Page 50: pena pendidikan 14

48 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Pagi itu, 19 Juni 2007, ada kesibukan yang tidak biasa di Dorang I RW 10 Kelurahan Kelapa Gading Barat,

Jakarta Utara. Spanduk yang bertuliskan “Selamat Datang Tim Penilai Lomba BKB PAUD” membentang di atas jalan Sentosa Barat, di komplek Angkatan Laut itu.

Ketua RW dan kader-kadernya dengan pakaian necis bersiap-siap menyambut kedatangan tim penilai lomba BKB (Bina Keluarga Balita) PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di kantor RW. Para anggota satuan pengamanan (Satpam) tak kalah sibuknya berjaga-jaga. Para warga yang pagi itu hendak membayar tagihan listrik dialihkan ke tempat lain. Selama ini, kantor RW memang jadi tempat pembayaran tagihan listrik, selain jadi tempat pelaksanaan BKB PAUD, dan posyandu.

Di dalam kantor RW, sejumlah anak-anak tengah asyik bermain. Sementara para ibu yang mengenakan pakaian seragam PKK berwarna biru, dan batik, sibuk menata ruangan. Di barisan belakang, ibu-ibu yang menangani bagian konsumsi tak kalah repot. Mereka menyiapkan makanan prasmanan ala sunda untuk para tamu.

Lomba BKB PaudHari itu, di Dorang I, Kelapa Gading, digelar

lomba memilih BKB PAUD terbaik tingkat

Provinsi DKI Jakarta. Meskipun seluruh warga Dorang I direpotkan, mereka tampak bersemangat menyambut kegiatan lomba yang akan digelar. Mereka yakin BKB PAUD di RW-nya tidak akan kalah bersaing dengan BKB PAUD di seluruh lima wilayah DKI Jakarta, plus Kepulauan Seribu. Sebelumnya, BKB PAUD Dorang I adalah pemenang lomba BKB PAUD tingkat Kota Jakarta Utara.

Tepat pukul 09.00, acara pun dimulai. Para anggota tim penilai sudah mengambil posisi di tempat duduknya masing-masing. Mereka terdiri dari unsur Tim Penggerak PKK DKI (yang diwakili oleh Santi Sukesti Martono), unsur Dinas Pendidikan Dasar (yang diwakili oleh Septi Novida) dan unsur BKB (yang diwakili oleh Jumadi).

Setelah para juri siap, peserta lomba yang terdiri dari para pengelola BKB PAUD unggulan dari seluruh Jakarta dipanggil untuk memaparkan berbagai hal mengenai BKB PAUD-nya. Yang dinilai oleh tim juri adalah bagaimana pelaksanaan BKB PAUD sehari-harinya, dan upaya-upaya yang dilakukan pengelola untuk menjaga kelangsungan BKB PAUD-nya. Para peserta lomba juga harus memaparkan pandangan-pandangannya tentang pentingnya BKB PAUD bagi masyaralat.

Ketua kelompok BKB PAUD Dorang I , Yuni DK, pun memaparkan banyak hal

tentang lembaga PAUD-nya di depan juri. Kelompok BKB PAUD Dorang I, Kelurahan Kelapa Gading Barat, Jakarta Utara didirikan pada 19 Mei 2006. Saat ini jumlah peserta didik yang aktif di kelompok BKB PAUD Dorang I ada 70 anak. Mereka terdiri dari 10 anak berumur 1 – 2 tahun, 18 anak berusia 2 – � tahun, 27 anak berumur � – 4 tahun dan 15 anak berusia 4 – 6 tahun. BKB PAUD Dorang I dikelola oleh 12 orang kader PKK.

Di Dorang 1, BKB dilaksanakan 2 kali sebulan, yaitu tiap Rabu pekan pertama, dan Jumat pekan ketiga. “Tujuan BKB ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran ibu dan anggota keluarga lainnya dalam membina tumbuh kembang anak balita,” kata Yuni DK. Maka, tiap pertemuan, para kader memberikan materi kepada para ibu tentang cara menjalin interaksi yang baik dengan anak, membentuk karakter anak sejak dini, dan materi lainnya yang berkaitan dengan pembinaan balita.

Sedangkan kegiatan PAUD dilaksanakan dua kali sepekan, yaitu tiap Rabu dan Jumat sore. Kegiatan pendidikan anak usia dini di kelompok BKB PAUD Dorang I, antara lain melatih kemampuan beribadah, berolahraga untuk mengembangkan fisik mereka, mengajak mereka berkomunikasi dan berpikir logis. Juga, mengenalkan mereka pada alam lingkungan, dan lingkugan sosialnya. “Dengan kegiatan-kegiatan ini, diharapkan potensi anak dapat dikembangkan sejak dini, sehingga kelak mereka dapat menyesuaikan diri dengan

BKB PAUD Dorang I Kelapa Gading Barat menjadi yang terbaik di Jakarta Utara. Lomba BKB PAUD tingkat Provinsi DKI Jakarta digelar di sini.

JakartaFO

TO-F

OTO:

FETT

Y S.L

MEMILIH PAUD TERBAIK LEWAT LOMBA

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd48 7/14/200710:48:19AM

Page 51: pena pendidikan 14

49Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

lingkungan untuk menyongsong masa depannya,” ujar Yuni DK.

Dirikan Secara Swadaya Kelompok BKB PAUD Dorang I didirikan

secara swadaya oleh masyarakat. Ide awalnya berasal dari Yuni DK, yang saat ini menjadi Ketua Kelompok BKB PAUD Dorang I. Kala itu, Yuni melihat banyak anak usia dini main berkeliaran. “Saya berpikir alangkah baiknya jika mereka bermain sambil belajar,” kata Yuni.

Yuni kemudian menularkan idenya kepada warga lain. “Sebagai sekretaris PKK, saya lalu door to door mengenalkan manfaat program BKB PAUD,” tutur Yuni. Dan, respons warga pun positif, sehingga akhirnya mereka bahu membahu mendirikan BKB PAUD Dorang I.

Saat pertama kali kelompok BKB PAUD ini dibentuk, mereka tidak punya apa-apa. “Berkat swadaya masyarakat, dan para donatur, kini fasilitas kelompok BKB PAUD Dorang I sudah lengkap,” kata Yuni. Mereka sudah memiliki, antara lain, alat permainan edukatif (APE), seperti alfabet. Ada juga ayunan, dan perpustakaan yang koleksi bukunya cukup lengkap seperti buku-buku dongeng, buku cerita dalam bahasa Inggris dan kaset lagu anak-anak.

Dengan dana yang pas-pasan, BKB Dorang I, terus melangsungkan aktivitasnya. “Dana operasional memang masih amat minim,” kata Yuni. Kelompok BKB PAUD Dorang I tidak pernah mendapat dana rintisan dari pemerintah yang biasa diberikan kepada BKB PAUD lain. “Semuanya kami jalankan secara swadaya,” ujar Yuni.

Para orang tua peserta didik, yang umumnya berasal dari kalangan kurang mampu, hanya menyumbangkan dana sebesar Rp 5.000 per bulan. Karena itu, untuk menutupi kekurangan dana operasional, para kader BKB PAUD ini tak segan-segan merogoh kocek sendiri. “Untuk biaya seragam batik para kader, misalnya, kami membelinya dengan uang sendiri,” ujar Yuni.

Tentang latar belakang pendidikan para pendidiknya, Yuni memang mengakui masih terbilang rendah. Tapi, ia menganggap bukan masalah serius. “BKB PAUD tidak seperti TK, pembelajarannya masih lebih sederhana, jadi tak menuntut pendidikan terlalu tinggi,” katanya.

Yuni memandang penting pelatihan-pelatihan terhadap para pengajar. Selama ini, para kader kelompok BKB PAUD Dorang I

mendapatkan pelatihan yang diberikan oleh Direktorat PAUD Depdiknas, Walikota Jakarta Utara, dan Yayasan Term Education.

Ditawari Magang Hasil lomba BKB PAUD tingkat provinsi itu

tentu tak bisa langsung diumumkan. Namun, pemaparan Yuni, sebagai Ketua Kelompok BKB PAUD Dorang I mengundang simpati juri. Dra, Novida, S.M.Pd, salah satu juri dari Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta menawari para kader BKB PAUD Dorang I magang di TK Percontohan Hang Tuah, Kelapa Gading, Jakarta Utara. “Dengan magang di sana, para kader dapat mengetahui pembelajaran di TK,” kata Septi Novida.

Para kader BKB PAUD Dorang I sangat antusias menyambut tawaran itu. “Ini bagaikan angin segar bagi kami. Kami diberikan kepercayaan untuk magang. Karena kami basicnya bukan pengajar,” ujar Yuni. Selain ditawari magang, BKB PAUD Dorang I juga dijanjikan mendapat dana rintisan dari pemerintah.

Namun, tentunya BKB PAUD Dorang I harus memberikan proposal dan harus mampu bersaing dengan kelompok BKB PAUD lain yang mengajukan proposal yang sama. Lembaga PAUD yang mendapatkan dana rintisan memang terbatas. Untuk satu kotamadia, hanya 10 lembaga BKB PAUD terbaik saja yang mendapatkan dana rintisan. Proses penyeleksiannya dilakukan oleh Suku

Dinas Pendidikan Dasar masing-masing wilayah.

“BKB PAUD Dorang I sudah cukup ideal untuk melaksanakan PAUD non formal di RW ini karena telah memiliki prasarana bermain yang layak,” komentar Novida. Novida mengimbau para kader agar melaksanakan kegiatan BKB PAUD setiap hari untuk anak-anak usia dini yang lebih tua, yaitu 5–6 tahun.

“Kebutuhan anak 5-6 tahun adalah belajar rutin setiap hari. Tidak cukup hanya dua kali dalam seminggu,” ujar Novida. Karena itu, Novida mengingatkan para kader agar menguasai standar kemampuan untuk mendidik anak usia 5–6 tahun.

Menanggapi komentar Novida, Yuni DK sebagai ketua BKB PAUD Dorang I menyatakan akan menyiapkan kadernya untuk mulai mengajarkan anak kelompok usia 5 – 6 tahun. Lalu, apakah tak akan menimbulkan “benturan” atau persaingan dengan Taman Kanak-kanak (TK) di sekitar Dorang I yang sudah berdiri sejak lama?

“Tidak ada,” ujar Yuni. Ia menjelaskan bahwa selama ini, BKB PAUD Dorang I justru telah menjalin kemitraan dengan TK untuk saling tukar informasi, yakni dengan TK Al Barkah. “TK Al Barkah merasa terbantu dengan adanya BKB PAUD ini, karena kami bisa bahu membahu menanganai pendidikan anak usia dini,” kata Yuni. Jika tujuannya sama-sama mulia untuk menangani pendidikan anak, memang tak perlu ada benturan.

EScASTRA dan FETTY SHINTA LESTARI

Jakarta

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd49 7/14/200710:48:23AM

Page 52: pena pendidikan 14

50 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

FOTO

-FOT

O: AY

U N.

A

Banten

Provinsi Banten masih terbilang muda. Wilayah seluas 8.651,2 km2 yang menempel di ujung barat Pulau Jawa

ini resmi ditetapkan menjadi provinsi ke-�0, pada 17 Oktober 2000.

Namun di usianya yang masih belia, Provinsi Banten terus menggeliat membangun dirinya sendiri. Pendidikan termasuk bidang

pembangunan yang diprioritaskan. Kendala memang ditemukan di berbagai sisi, termasuk sikap sebagian besar masyarakatnya yang masih dianggap kolot.

“Banten memang punya warisan tradisi yang biasa disebut Banten Kolot,” ujar H. Nawawi A.F, Kepala Subdinas Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olah Raga, Dinas Pendidikan Provinsi Banten. ”Dengan tradisi kolot itu, memang tak mudah segala hal yang modern masuk ke sini, termasuk bidang pendidikan,” Nawawi melanjutkan.

Namun, sikap-sikap tradisional yang sempit i tu perlahan dikikis . Berkat pembangunan pendidikannya yang terus dipacu, Banten kini malah jadi proyek percontohan Bank Dunia untuk penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

Prioritas Bidang PendidikanPrioritas pemerintah Provinsi Banten

dalam pembangunan bidang pendidikan terfokus pada dua hal, yakni pemberantasan buta huruf dan penuntasan Wajib Belajar (Wajar) Pendidikan Dasar (Dikdas) 9 tahun. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Banten tahun 2006, masih ada sekitar 20�.000 orang penduduk Banten yang buta aksara.

“Dana APBD banyak tersedot ke program penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dan pemberantasan buta aksara. Khusus untuk Pendidikan Anak Usia Dini, masih menduduki prioritas yang kecil,” kata Widodo Hadi, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Banten.

“Penyelenggaraan PAUD yang ideal, masih terbatas,” kata Widodo. Berdasarkan data tahun 2005 dari Subdinas PLSPO Provinsi Banten, APK (Angka Partisipasi Kasar) untuk usia PAUD baru mencapai 15,66% dari sekitar 400.000 anak usia 0-6 tahun di Banten.

PAUD yang diselenggarakan di Banten, lebih ditujukan untuk melayani kebutuhan pendidikan anak 0 - 6 tahun yang tak terlayani Taman Kanak-kanak (TK). “Sebanyak 50% PAUD di sini, adalah PAUD nonformal yang mandiri,” kata Widodo Hadi.

Drs Sugeng Purnomo M. Pd, Ketua Forum PAUD Provinsi Banten, mengatakan bahwa animo masyarakat terhadap PAUD di Banten masih rendah. “Masih sedikit masyarakat Banten yang paham pentingnya PAUD,” ujar Sugeng. Forum PAUD Provinsi Banten didirikan sejak � tahun lalu, beranggotakan

19 orang, terdiri dari para akademisi, praktisi PAUD, unsur Dinas Pendidikan, PKK, BKKBN, Dinas Kesehatan, dan Departemen Agama.

Titik berat program kerjanya adalah sosialisasi PAUD dan program-program PAUD. Menurut Sugeng, selama menjalankan sosialisasi ke kabupaten dan kota, Forum PAUD banyak bekerja sama dengan berbagai instansi, yaitu PKK Provinsi, Dinas Pendidikan kabupaten dan kota, dan Himpaudi Provinsi Banten.

“Kendala terbesar yang dialami PAUD di Banten adalah masih kurangnya dana,” ungkap Sugeng. Masalah ini berimplikasi pada kelengkapan sarana dan prasarana PAUD. “Banyak lembaga PAUD belum punya

MENGIKIS SIKAP KOLOT DENGAN PAUD Gerakan membumikan pendidikan anak usia dini juga menggelora di Provinsi Banten. Tapi dana pendidikan lebih banyak dialokasikan pada program Wajib Belajar Sembilan Tahun.

H. Nawawi AF, Kasubdin PLS, Provinsi Banten

Drs. Sugeng Purnomo, M. Pd,Ketua Forum PAUD Provinsi Banten

Widodo Hadi,kepala dinas pendidikan provinsi Banten

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd50 7/14/200710:48:31AM

Page 53: pena pendidikan 14

51Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Banten

tempat permanen dan belum punya Alat Permainan Edukatif (APE),” kata Sugeng.

Tahun 2006 lalu, Forum PAUD Provinsi Banten mendapat bantuan dana operasional sebanyak Rp 40 juta dari dana dekonsentrasi APBN. ”Dana operasional ini banyak digunakan untuk sosialisasi PAUD dan program-program PAUD sebanyak 2 kali dalam setahun,” kata Sugeng yang sehari-hari mengajar di Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang. Selain itu, juga digunakan untuk kegiatan-kegiatan monitoring dan evaluasi. Sebagian dana juga digunakan untuk pembinaan para tutor PAUD.

Berintegrasi dengan BKB H. Nawawi A.F, Kepala Subdin PLSPO,

Provinsi Banten mengungkapkan, pada tahun ini ada sekitar 400 lembaga PAUD yang telah terselenggara di Banten. “Pertumbuhan jumlah PAUD di Banten tiap tahunnya sekitar 10%,” kata Nawai. Sebagian besar PAUD berintegrasi dengan Bina Keluarga Balita (BKB) yang dikelola PKK.

PAUD yang berintegrasi dengan BKB, roda kegiatannya banyak digerakkan oleh ibu-ibu PKK, termasuk yang menjadi pengajarnya. “Selain dibantu PKK, kami juga banyak dibantu oleh Forum PAUD dan Himpaudi Provinsi Banten,” tutur Nawawi.

Himpaudi Provinsi Banten didirikan pada 22 Agustus 2006. Hj Titin Prihatini M.Pd, Ketua Himpaudi Provinsi Banten menjelaskan bahwa titik berat program Himpaudi adalah pada peningkatan mutu tenaga pendidik dan tenaga kependidikan PAUD di Banten.

“Jika kesadaran tentang pentingnya PAUD ini kuat, biar pun tak ada dana, akan tetap jalan, termasuk dalam upaya m e n i n g k a t k a n m u t u tutornya,” kata Titin yang kini sedang menempuh j e n j a n g S -� J u r u s a n PAUD di Univers i tas Negeri Jakarta. Titin terus berusaha meningkatkan mutu para tutor alias pendidik PAUD.

T i t in bersama t im p e n g u r u s d a n p a r a

anggota di Himpaudi Provinsi Banten yang seluruhnya berjumlah 21 orang, telah menjalankan berbagai upayanya itu tanpa pamrih. “Kami ini hanya sekumpulan orang-orang yang solid saja. Yang mau bekerja tanpa bayaran dan kompensasi,” kata Titin.

M e r e k a b a h u m e m b a h u m e n y e l e n g g a r a k a n diklat, magang, seminar, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain untuk para tutor. Mereka juga mengupayakan pemberian sertifikat kepada para tutor PAUD yang latar belakang pendidikannya bukan dari PAUD atau PGTK.

Himpaudi Provinsi Banten, punya daftar kerja yang cukup panjang untuk menggenjot mutu tenaga pendidik (tutor) PAUD. Dari sekitar 2.000 orang tutor PAUD di Banten, baru sekitar 100 orang saja yang memenuhi kualifikasi atau yang memiliki ijazah PGTK dan ijazah S-1 PAUD.

Himpaudi RoadshowHimpaudi Provinsi Banten punya program

rutin yang disebut, Himpaudi Roadshow. Setiap satu bulan sekali, Himpaudi dari tiap kabupaten, melakukan pelatihan singkat untuk para tutor PAUD. Minimal, di setiap kabupaten ada 5 orang tutor yang ikut pelatihan singkat setiap bulannya. Kegiatan ini sudah dimulai sejak tahun lalu.

Selama perjalanan tugasnya pada tahun 2006 lalu, Subdinas PLSPO Dinas Pendidikan

Provinsi Banten, juga telah mengikutsertakan 40 orang tutor PAUD dalam pelatihan BCCT. Pelatihan i n i d i s e l e n g g a r a k a n atas kerjasama Dinas P e n d i d i k a n d e n g a n H i m p a u d i P r o v i n s i Banten.

Selain itu, pada Mei la lu , beberapa orang pengurus Himpaudi juga dikirim magang di YARSI, Jakarta. ”Kami berharap para pengurus Himpaudi di tingkat Provinsi Banten,

dapat menyosialisasikan w a w a s a n d a n i l m u pengetahuan yang ia peroleh dari kegiatan magang itu, kepada seluruh pengurus Himpaudi di Kabupaten dan Kecamatan di Banten,” kata Nawawi.

Kini Dinas Pendidikan Provinsi Banten terus berupaya meningkatkan kualitas penyelenggaraan P A U D , d e n g a n memanfaatkan segala

potens i yang dimi l ik i , serta dukungan dari seluruh stakeholder PAUD. Dukungan antara lain datang dari Pemerintah Pusat melalui dana APBN. Bantuan juga datang dari Direktorat PAUD dan Direktorat PTK-PNF (Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal), Depdiknas.

“Tahun lalu, Banten telah menerima beasiswa untuk peningkatan mutu PAUD dari Direktorat PTK-PNF, Depdiknas. Ada 100 orang tutor PAUD yang diajukan untuk mendapatkan beasiswa itu. Hasilnya, 42 orang lolos seleksi dan menerima beasiswa S-1,” tutur Nawawi.

Selain itu, bantuan juga datang dalam bentuk dana rintisan dari Direktorat PAUD, Depdiknas. Nawawi memaparkan ada tiga daerah yang menerima bantuan dana rintisan, yakni Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, dan Kabupaten Tanggerang. Untuk masing-masing PAUD, diberikan dana rintisan Rp 25 juta. Dana ini dialokasikan untuk pembangunan sarana fisik, kebutuhan sarana alat permainan edukatif, dan operasional harian.

Pemerintah Provinsi Banten juga turun tangan. APBD provinsi Banten per tahun 2007 ini, mengalokasikan dananya untuk Subdinas PLSPO sebanyak Rp 14 miliar. “Ini memang tak hanya untuk program PAUD saja, tapi untuk seluruh program Pendidikan Luar Sekolah,” kata Nawawi.

Kini masih sekitar setengah dari total PAUD yang ada di Banten, kondisinya masih memprihatinkan. Para pendidiknya pun masih harus ditingkatkan kualitasnya. Dengan kemauan keras dari semua pihak, untuk mewujudkan pendidikan anak usia dini seperti yang diharapkan, tentu segala kendala niscaya bisa diatasi.

EScASTRA dan AYU ANDINI (Banten)

Dra. Titin Prihatini, M. Pd,ketua Himpaudi Provinsi Bandten

Wahyudin, S. Pd,Staf Pengelola Program PAUD Provinsi Banten

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd51 7/14/200710:48:36AM

Page 54: pena pendidikan 14

52 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

FOTO

-FOT

O: AY

U N.

A

Banten

Kabupaten Pandeglang: Menggalakkan TK PAUD

P E N E L I T I A N U n i c e f m e n y a t a k a n Pandeglang masuk kategori kabupaten miskin dan tertinggal. Hasil kajian itu yang mendorong Unicef memasukkan Pandeglang dalam daftar penerima bantuan penyelenggaraan PAUD kurun 2006-2007. “Kami memperoleh bantuan karena penelitian Unicef yang menyatakan Pandeglang tergolong kabupaten miskin dan tertinggal. Ini m e m a n g alasan y a n g a g a k

memalukan,” kata Drs. Agus Rifai, Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Kabupaten Pandeglang.

Bantuan tahun lalu dari Unicef itu sebesar Rp 276 juta. Pada 2007 ini, jumlahnya naik menjadi Rp 600 juta. Dana ini untuk penyelenggaraan PAUD yang terintegrasi dengan Bina Keluarga Balita (BKB) di tiga kecamatan. Bantuan itu di antaranya untuk pelatihan kader. Misalnya, magang di lokasi binaan termasuk ke Yayasan Surya Kanti di Bandung.

Dana ini juga banyak digunakan untuk melengkapi Alat Permainan Edukatif (APE) PAUD. ”Sasarannya PAUD-PAUD terintegrasi dengan BKB yang berlokasi di Kecamatan Kroncong, Kecamatan Mekar Jaya, dan Kecamatan Cikedal”, ucap Ade Suparman, S. Sos, Staf Dikmas Bidang Pendidikan Nonformal Kabupaten Lebak.

Berdasarkan data di Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang, dari sekitar 2 juta penduduknya masih ada 52.426 yang buta

aksara. Masyarakatnya yang tergolong miskin dan buta aksara, menjadi kendala

bagi perkembangan pemahaman penduduknya terhadap PAUD.

Idealnya, sasaran PAUD adalah anak-anak usia dini yang tidak terlayani di TK dan kebanyakan berada dalam golongan ekonomi rendah. Akibatnya, hingga kini PAUD selalu disebut TK PAUD. “Masyarakat belum paham sama sekali tentang PAUD. Berulangkali

kami memberikan penjelasan kepada masyarakat, tapi mereka hanya paham TK saja,” ungkap Ipah Maftuhah, salah satu pengelola PAUD di Kabupaten Pandeglang.

Sosial isasi PAUD memang belum menjangkau lapisan masyarakat ekonomi rendah di Pandeglang. Data 2006 mencatat hanya ada 25 Pusat PAUD, 20 TK Rehab PAUD, 52 Pos PAUD, 6� Posyandu Tumbuh Kembang Anak, dan 15 Lembaga Posyandu Berkah Unicef. Pendidiknya tercatat 102 orang di TK Rehab PAUD, 75 orang di Pusat PAUD, �15 orang kader Posyandu Tumbuh Kembang Anak, dan 75 Kader Pos PAUD Berkah Unicef

Pusat PAUD As-Syifa, adalah salah satu yang cukup lama berdiri. As Syifa berdiri pada 1999. Bentuk kegiatannya memberikan program pola asuh kepada para orangtua dan kegiatan Posyandu rutin setiap sebulan satu kali. Mereka juga menyelenggarakan TK dan Kelompok Bermain.

Di area 400m², As Syifa mengajar �7 murid yang tinggal tak jauh dari lokasi di Desa Sukasari, Kecamatan Pulosari, Kabupaten Pandeglang. Tahun 2005 lalu As Syifa menerima bantuan dana rintisan sebanyak Rp 25 juta dari Direktorat PAUD.

Nadrah, 28 tahun, merangkap pengelola Pusat PAUD sekaligus tutor. Ia mengeluhkan pemahaman masyarakat atas pentingnya PAUD yang masih sangat kurang. “Bahkan, para orangtua anak usia dini di lingkungan k a m i h a n y a m e m a h a m i b a h w a T K mengajarkan anak membaca, menulis, dan berhitung. Jika anak mereka lulus dari TK,

PELANGI PAUD DARI BANTEN BANTEN yang sebagian wilayahnya berbatasan langsung dengan Jakarta, masih belum seberuntung Ibu Kota. PR bidang pendidikan di sana masih berat. Angka Partisipasi Kasar jenjang PAUD di semua kabupaten masih sangat rendah. Banyangkan: APK PAUD di Tangerang, yang berimpitan dengan Jakarta, cuma 7%. Artinya, 93% dari total 400.000 anak Tangerang tak tersentuh layanan PAUD. Berikut gambarans ekilas perkembangan PAUD di beberapa kabupaten di Banten.

Drs. Agus Rifai,kepala seksi PLS kabupaten Pandeglang, Banten

Drs. Agus Rusli,kepala Bidang PAUD, dinas PLS Kabupaten Pandeglang, Banten

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd52 7/14/200710:48:54AM

Page 55: pena pendidikan 14

5�Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Banten

mereka menuntut agar anak-anak sudah bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung),” tutur Nadrah yang sedang menempuh jenjang pendidikan S1 jurusan PAUD di Universitas Negeri Jakarta.

Untuk mendukung kegiatan operasional harian, As Syifa menarik iuran partisipasi dari orangtua murid sebesar Rp 5.000/bulan untuk TK. Sedangkan khusus untuk KB, tak dipungut iuran sama sekali.

Agak berbeda dengan Pusat PAUD As Syifa, di PAUD Al Fatach iuran partisipasi orangtua dipungut di TK dan KB. Jumlahnya sama, perbulannya sebesar Rp 5.000. PAUD Al Fatach yang dikelola Ipah Maftuhah ini berdiri di Desa Saninten Kecamatan Kaduhejo, pada 1999. PAUD ini bermurid 72 anak. Tahun 2005 menerima dana rintisan PAUD dari Bank Dunia sebesar Rp 25 juta.

PAUD Al Fatach didukung 4 pengajar. Penerapan metode BCCT di sana lebih banyak dipakai untuk mengenalkan anak pada huruf-huruf. Hal ini juga dilakukan di PAUD As Syifa.

Tutot di PAUD rintisan ini lumayan bisa bernafas lantaran mendapat insentif dari Pemrintah Provinsi Banten sebesar Rp 400.000/bulan sejak 2006. “Namun, honor ini diterima tidak setiap bulan. Lebih sering dibayarkan dalam kurun waktu � bulan sekali,” ucap Ipah yang kini juga sedang menempuh perkuliahan jenjang S1 PAUD di Universitas Negeri Jakarta.

Kabupaten Lebak: 10 Besar Terbaik

Di daerah seluas 285.996 hektar ini, dunia PAUD baru dikenal sejak 2002. Namun baru ada 16 PAUD di sana. “Mulai tahun depan hingga 2009, kami menargetkan setiap kecamatan punya 1 PAUD. Artinya, masih

ada 12 PAUD harus didirikan di Lebak,” ujar Drs. Zaenal, Kasubdin PLS Kabupaten Lebak.

M e nu r u t Z ae n a l , masalah yang masih mengganjal hingga kini adalah kurangnya tenaga tutor PAUD. Di 16 PAUD didukung ada 62 orang tutor, yang sebagian besar honorer.

P r o v i n s i B a n t e n memberikan bantuan

insentif untuk tutor KB sebesar Rp 200.000 dan tutor PAUD sebanyak Rp 400.000 per bulan. Zaenal berharap kelak ada pengangkatan tenaga honorer menjadi tenaga tetap. “Banyak di antara mereka masa kerjanya sudah 5-6 tahun,” katanya.

Dinas PLS Kabupaten Lebak juga memberikan sokongan biaya operasional sebesar Rp 200.000 yang dibayarkan setiap � bulan sekali. “Paling tidak bisa cukup memenuhi kebutuhan ATK per bulan,” papar Zaenal.

Untuk peningkatan m u t u t e n a g a

pendidik PAUD, Kabupaten Lebak tergolong beruntung. Pasalnya, tahun 2006, dari 16 PAUD ada 14 tutor mendapat beasiswa dari Direktorat PTK-PNF melanjutkan pendidikan S1 di UNJ. Ade Rakhayu Ama, pengelola Pusat PAUD Harapan Mulya misalnya. Ketua Himpaudi Kabupaten Lebak itu tengah menyelesaikan kuliah S-1 di UNJ.

Pusat PAUD Harapan Mulya memulai operasional di Desa Taman Jaya, sejak 2002. “Ini Pusat PAUD yang pernah mendapat prestasi 10 besar terbaik dari 600 PAUD se-Indonesia menurut tinjauan dan penilaian dari Depdiknas tahun 2004,” kata Edi Julyadi.

Pusat PAUD Harapan Mulya membuka Satuan PAUD Sejenis , yakni Taman Pengasuhan Anak Soleh yang kegiatannya diadakan � kali seminggu setiap sore. Muridnya 25 anak-anak usia 4-6 tahun. Mereka diajar konsep keislaman secara sederhana.

Misalnya, belajar mengucap salam, membaca basmalah dan berdoa setiap memulai kegiatan.

Pusat PAUD Harapan Mulya menempati lokasi yang luasnya m e n c a p a i � 0 0 0 m ² . H a l a m a n dan arena bermain outdoor (luar ruangnya) cukup terawat rapi. Di desa berhawa sejuk ini, murid-murid yang seluruhnya berjumlah �9 orang didukung 4 tenaga pendidik.

Pusat PAUD ini melayani anak-anak usia dini dari keluarga golongan ekonomi lemah. “Orangtua mereka

k e b a n y a k a n p a r a

Drs. Zaenal,Kasi PLS Kabupaten Lebak

Pusat PAUD Harapan Mulya, desa

taman jaya, kecamatan Cikulu

para murid dan tenaga pendidik di Pusat PAUD Harapan Mulya

Para tenaga pendidik dan pengelola PAUD di Kabupaten Pandeglang ipah maftuhah, nadrah, dan Ade Suparman

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd53 7/14/200710:49:09AM

Page 56: pena pendidikan 14

54 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Banten

buruh tani dan tukang ojek,” ungkap Sri Aryanti, Ama.Pd, salah satu tutor Pusat PAUD Harapan Mulya. Mereka juga mengadakan kegiatan Bina Keluarga Balita (BKB) yang merangkul anak usia 0-2 tahun.

Kabupaten Tangerang: APK PAUD 7%

Berbatasan dengan Jakarta, menjadikan Tangerang sebagai daerah limpahan aktivitas Jakarta. Antara lain industri, pemukiman perkantoran dan infrastruktur jalan serta kereta api. Tangerang menjadi bagian besar dari Banten bagian utara yang perkembangan ekonominya cukup maju daripada kabupaten lainnya di Banten. Tapi kota ini tak bisa mengelak dari catatan angka buta aksara sebesar 80.000 orang untuk usia 15-44 tahun.

Penyelenggaraan PAUD di Tangerang lumayan bagus. “Di Kabupaten Tangerang berdiri 45 PAUD. Terdiri dari PAUD murni dan yang terintegrasi BKB, 5 di antaranya PAUD yang menjadi proyek percontohan Bank Dunia. Yaitu, kecamatan Rajeg, kecamatan Jambe, kecamatan Kronjo, kecamatan Cisoka, dan kecamatan Balaraja,” papar H. Supyan S, Kasi Kebudayaan dan PLS Kabupaten Tangerang.

Satu di antara proyek percontohan ini, adalah Pusat PAUD Rajawali. Pusat PAUD ini memulai operasionalnya di Kecamatan Rajeg, pada 1997. Pengelolaannya di bawah tanggung jawab langsung Bidang PLS Kabupaten Tangerang.

“Setiap bulan, kami menyusun

laporan pengelolaan Pusat PAUD Rajawali dan disampaikan ke Dinas PLS Kabupaten Tanggerang. Begitu juga dari pihak Dinas PLS Tanggerang, dalam satu bulan bisa satu-tiga kali datang menjenguk kami,” papar Lilis Sumarni, Ama.Pd, pengelola harian sekaligus tutor Pusat PAUD Rajawali.

Pada awal berdiri, ada pengalaman unik dialami pengelolanya. “Waktu itu, kami benar-benar langsung terjun ke lapangan, dari pintu ke pintu mengundang para calon murid mengikuti pembelajaran di Pusat PAUD Rajawali ini,” Lilis mengenang.

Dulunya, Pusat PAUD Rajawali didirikan di daerah kumuh dan miskin. Yang hidup dan tinggal di lingkungan itu adalah masyarakat ekonomi bawah. Selang dua tahun kemudian, di kecamatan ini berdiri perumahan. Murid-muridnya jadi lebih beragam. Setelah 5 tahun operasional, PAUD Rajawali melibatkan partisipasi orangtua murid melalui iuran bulanan sebesar Rp �.000 per murid.

Kini muridnya berjumlah 108 orang, terdiri dari 90 murid TK, dan 18 murid PAUD. Kontribusi yang dibutuhkan juga makin tinggi. Sekarang iuran per bulannya Rp 25.000.

Karakteristik PAUD di Tengarang kebanyakan PAUD mandiri. “Hanya 25% PAUD terintegrasi dan itu

ada di kecamatan Pondok Aren, Pamulang, dan Ciputat,” kata H. Supyan.

Sasaran PAUD secara keseluruhan diutamakan meraih anak-anak usia dini dari golongan ekonomi menengah ke bawah dan yang tak terlayani di TK. Menurut keterangan H. Supyan APK PAUD Tangerang baru 7% dari 400.000 anak usia dini.

Dukungan mengalir dari Depdiknas sejak 2005 hingga sekarang. Bentuknya bantuan APE. Bantuan lainnya berupa dana rintisan Rp 25 juta yang diberikan sejak 2001. Tahun lalu, tercatat 8 PAUD Tangerang menerima bantuan dari Bank Dunia.

Pemerintah Provinsi Banten juga mengucurkan bantuan pengembangan PAUD. Tahun lalu ada 7 PAUD dana operasional dari APBD melalui Dinas Pendidikan Provinsi Banten. Jumlahnya Rp 6 juta untuk setiap PAUD. Provinsi Banten juga memberi kontribusi peningkatan mutu tenaga pendidik PAUD dalam bentuk pelatihan untuk Training of Trainer (TOT) tutor PAUD.

Sasaran TOT setiap tahun bisa menjangkau lebih dari 10 tutor PAUD. Selain itu, program beasiswa S1 tahun 2007 juga datang dari Direktorat PAUD dan telah menyentuh 6 tutor PAUD. Peningkatan mutu tenaga pendidiknya juga ditunjang dana insentif dari Pemerintah Provinsi Banten. Jumlahnya berkisar Rp 250.000-Rp 500.000 per bulan.

H. Supyan S, kepala bidang kebudayan dan PLS Kabupaten tanggerang

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd54 7/14/200710:49:17AM

Page 57: pena pendidikan 14

55Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Kabupaten Serang: Melawan Buta Aksara

Tren penyelenggaraan PAUD dikenal di Serang sejak 1995. Kini, jumlah PAUD di sana mencapai �25 PAUD. Terdiri dari 150 KB, 121 Lembaga BKB Kesehatan Masyarakat, 2 Taman Penitipan Anak, dan 52 Pos PAUD yang tersebar di

�4 kecamatan.“APK PAUD di Serang sudah mencapai

25.000 anak usia dini dari target sebanyak 174.000 anak yang akan diraih pada 2007-2009,” ungkap Drs. Jajang KH, M.Pd, Kasi Bina Pendidikan Masyarakat Kabupaten Serang.

Mengenai peningkatan mutu PAUD, ia menjelaskan bahwa kebijakan Bupati Serang mengerucut pada program menyukseskan PAUD lewat sokongan APBD. Tahun 2007 mengucur dana pengadaan buku-buku PAUD, rintisan PAUD, dan pengembangan PAUD. Jumlahnya Rp �10 juta. Penerimanya 112 PAUD, masing-masing sebesar Rp 10juta. Dukungan lainnya, berupa pemberian insentif t e r h a d a p p a r a

p e n d i d i k n y a d e n g a n

j u m l a h rata-rata Rp 2 0 0 . 0 0 0 /b u l a n . “Ini hanya s e b a g a i

p e n g g a n t i b i a y a

transportasi

untuk mereka,” ucap Jajang KH.Bupati Serang, H.A. Taufik Nuriman

mendukung penuh penyelenggaraan PAUD di daerahnya. “PAUD merupakan keharusan karena modal masa depan kita berasal dari para anak usia emas ini. Kabupaten Serang menargetkan, agar seluruh anak usia dini di sini menjadi anak yang sehat, cerdas, dan

bertakwa,” ucapnya tegas. Menurut Bupati, PAUD dan

pemberantasan buta aksara menjadi prioritas program pendidikan. Berdasarkan data 2006, Kabupaten Serang berpenduduk 1,8 juta jiwa. Dari jumlah itu, masih ada 49.572 orang belum melek huruf.

P A U D G a r u d a y a n g berlokasi di area bekas mushola Komplek Pendidikan dan Kebudayaan, Blok B,

Jl. Manokwari, Panancangan Baru Serang, Kecamatan Cipocok baru berdiri 2 Mei 2007. Namun muridnya luamayan banyak: 40 anak usia �-4 tahun didukung 7 pendidik. Kegiatan belajar mengajar di dalam ruang seluas 150m² ini berjalan lancar. Meski tanpa sarana Alat Permainan Edukatif (APE).

“Metode pembelajaran di sini terbagi dalam beberapa konsep. Mengenal diri, sosialisasi diri dan belajar doa,” papar Aat Suirat Abdul Wahid, pengelola PAUD Garuda.

Di dinding ruang belajarnya memang banyak tempelan kertas warna-warni dan tulisan-tulisan besar yang menyiratkan keislaman yang kental. Tujuannya agar murid terbiasa mengenal huruf Arab dan beberapa doa pendek.

Para pendidik terdiri dari � tenaga tetap dan 4 tenaga magang. “Ada 2 orang tenaga pendidik tetap yang masih kuliah di PGTK dan 1 orang pensiunan kepala SD. Sedangkan untuk tenaga magang, mereka mahasiswi di S-1 dan D2 PGTK Universitas Tirtayasa,” kata ibu rumah tangga berusia 54 tahun ini.

Sebelum mengelola PAUD Garuda, Aat punya pengalaman menjadi koordinator TK. “Awalnya mendirikan PAUD Garuda karena selain menyenangi dan menyayangi anak-anak, juga merupakan gerakan POKJA 2 Kabupaten. Kami dari PKK RW 09 Kecamatan Cipocok menindaklanjuti program tersebut dengan mendirikan PAUD Garuda,” ucap Aat.

Modal awal operasional dikeluarkan dari uang kas PKK RW 09 dan dana pribadi. Hingga kini, PAUD Garuda belum tersentuh bantuan dana dan pelatihan tenaga pendidik, baik dari Depdiknas, Provinsi Banten, maupun Kabupaten Serang. Tapi nampaknya semangat Bu Aat dan rekan kerjanya tak terbendung. Mereka tetap semangat melahirkan anak-anak cerdas di lingkungan mereka.

“Kebanyakan muridnya dari keluarga ekonomi rendah. Orangtua mereka bekerja sebagai buruh pabrik, pemulung, dan supir angkot. Oleh karenanya, PAUD Garuda ini gratis untuk anak-anak mereka,” kata Aat.

AYU N. ANDINI

Banten

Aktifitas belajar

dan mengajar di

PAUD Garuda

Drs. Jajang KH, M. Pd,Kepala Seksi Bina Pendidikan Masyarakat

pelepasan 1000 anak Paud oleh Bupati Kabupaten Serang

Ny. Aat Suirat Abdul Wahib,pengelola PAUD GARUDA

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd55 7/14/200710:49:35AM

Page 58: pena pendidikan 14

56 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Jawa Barat

Dr H Dadang Dally terlihat tenang. S e s e k a l i b i b i r K e p a l a D i n a s Pendidikan (Kadis) Propinsi Jawa

Barat (Jabar) itu tersenyum. Dengan sabar, ia mendengarkan keluhan sekumpulan guru Taman Kanak-kanak (TK) yang tergabung dalam IGTKI (Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia) dan GOPTKI (Gabungan Organisasi Penyelenggara Taman Kanak-kanak Indonesia).

Hari itu Selasa 19 Juni 2007, di ruang acara Dinas Pendidikan Jabar tengah digelar pertemuan. Inisiatif pertemuan itu berasal dari guru-guru TK dari berbagai penjuru Jabar. Para guru TK itu sengaja ingin melakukan pertemuan dengan Dinas Pendidikan untuk membahas kebijakan baru Pemerintah Jabar soal gerakan sejuta PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Pada 2007 ini, Jabar menargetkan sejuta anak usia dini dari umur 0-6 tahun bisa terlayani.

“Silakan Ibu-Ibu, persoalan apa yang bisa saya bantu?” ucap Dadang Dally membuka pertemuan dengan para pengajar dan pengelola TK yang seluruhnya perempuan itu.

Kesempatan itu tak disia-siakan. Para guru TK satu-satu berbicara. Delegasi dari IGTKI Sukabumi, misalnya, mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah dengan gerakan Sejuta PAUD menimbulkan bentrok di lapangan dengan TK yang sudah lama berdiri. “Banyak masyarakat yang semula akan memasukkan anaknya ke TK akhirnya tersedot ke PAUD,” katanya.

Dia juga menyoal anggaran yang timpang. “TK hanya kebagian Rp � juta untuk tahun ini. Sementara PAUD mendapat Rp 12 juta. Padahal TK sudah lebih lama beroperasi daripada PAUD,” sungutnya.

Kemudian keluhan lain muncul dari delegasi IGTKI Subang, Depok, Ciamis, dan Sumedang. Mereka mengungkapkan persoalan yang tidak jauh berbeda dengan IGTKI Sukabumi. Seputar ketimpangan anggaran, benturan dengan PAUD, tersedotnya murid-murid TK dan guru-gurunya ke PAUD. Yang lebih parah, pengakuan dari IGTKI Sumedang. Ternyata ada beberapa TK gulung tikar karena terhimpit gerakan Sejuta PAUD ini.

Acara yang dihadiri pengurus Himpaudi ( H i m p u n a n P e n d i d i k d a n T e n a g a

Kependidikan Usia Dini Indonesia) Jabar, itu mulai gaduh. Beberapa guru tak sabar menyampaikan unek-uneknya dengan emosional. Sang Kepala Dinas dengan kalem menerima semua ungkapan perasaan para g u r u T K i t u . B i b i r n y a beberapa kali tersenyum. “Ayo siapa lagi yang mau berbicara,” kata Dadang.

Guru-guru TK pun masih terus berbicara bergantian. Seluruh yang hadir punya keinginan bicara, bahkan yang sudah bicara pun ingin bicara lagi. Persoalan yang mereka angkat pada prinsipnya sama saja, yakni seputar persaingan TK-PAUD dan ketimpangan jumlah anggaran.

T a p i a d a j u g a y a n g menyempal dari pandangan

teman-temannya. Di antara mereka ada yang mengungkapkan, justru dengan adanya gerakan PAUD, penanganan pendidikan anak usia dini jadi lebih sinergis. Ternyata, mereka yang berpandangan seperti itu memang mengelola TK sekaligus pengelola lembaga PAUD juga.

D a l a m p e n j e l a s a n n y a , D a d a n g berupaya menenangkan para guru TK yang gelisah itu, seraya memberikan pemahaman tentang tujuan pemerintah menggerakkan PAUD. “Pada intinya tidak ada yang harus digundahkan. Justru, kita harus lebih bersinergis,” ujar Dadang. “TK menggarap bidang pendidikan formal anak usia dini, sementara PAUD bergerak di bidang pendidikan nonformal. Jadi tidak ada yang harus kebakaran jenggot. Masing-masing sudah jelas tugasnya,” terang Dadang.

Namun Dadang mengatakan dapat memahami perasaan para guru yang gundah itu. Segala persoalan yang diungkapkan para guru, katanya, akan dijadikan bahan kajian untuk mengevaluasi Gerakan Sejuta PAUD. Para guru TK pun bertepuk tangan. “Inilah enaknya berbicara di depan guru TK, banyak dikasih tepuk tangan,” timpal Dadang sambil tersenyum. Para guru pun tertawa. Suasana pertemuan berubah ceria. Tidak tegang lagi.

PAUD menjadi prioritas dari lima program pendidikan di Provinsi Jabar. Tahun ini ditargetkan sejuta anak usia dini terlayani pendidikannya. Menepis friksi dengan pengelola Taman Kanak-kanak

FOTO

-FOT

O: R

OBBY

SUGA

RA

KETIKA SI KAKAK IRI PADA ADIKNyA

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd56 7/14/200710:49:38AM

Page 59: pena pendidikan 14

57Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jawa Barat

Pertemuan CurhatKepala Seksi (Kasi) Warga Belajar Sub Dinas

Pendidikan Luar Sekolah, Dinas Pendidikan Jabar, Drs H Husen R Hasan, MPd turut hadir dalam pertemuan itu. Husen memang kerap menerima keluhan dari para pengelola TK. “Tapi, jika keluhan itu dialamatkan ke Sub Dinas PLS, jelas salah alamat. Seharusnya, keluhan itu ditujukan ke Subdin Pendidikan Dasar yang mengurusi pendidikan formal,” ujar Husen. Tapi Husen senang, Kepala Dinas Pendidikan ternyata berkenan menanggapi langsung keluhan para guru TK.

“Dengan bijak Pak Kadis menanggapi semua keluhan para pengelola TK dan pertemuan yang semula tegang, jadi berubah ceria,” kata Husen. Himpaudi yang turut hadir dalam pertemuan itu memilih tidak mengomentari keluhan para guru TK, khawatir akan memperuncing masalah.

Husen mengatakan, acara pertemuan dengan Kepala Dinas itu memang dijadikan semacam forum curhat (curahan hati). Para guru TK dipersilakan mengungkapkan segala keluhannya terhadap kebijakan Gerakan Sejuta PAUD yang dibuat oleh pemerintah Provinsi Jabar. Husen pun mengaku bisa memahami keluhan para guru TK. “Mereka, para pengelola TK lama seakan merasa ditinggalkan,” kata Husen.

Para pengelola TK merasa tersaingi, karena banyak orangtua lebih memilih memasukkan anaknya ke PAUD yang gratis ketimbang masuk TK yang harus bayar. “PAUD nonformal yang kita gerakkan memang tak memungut biaya apa pun, meskipun model permainan yang diajarkannya sama saja dengan TK, sedangkan TK memungut biaya macam-macam. Karena itu masyarakat memang lebih memilih PAUD nonformal,” kata Husen.

Husen mengibaratkan PAUD nonformal itu sebagai anak yang baru lahir. Sedangkan para pengelola TK ibarat kakaknya yang cemas, takut kasih sayang orangtuanya akan beralih ke adiknya yang baru lahir itu. “Jadi ini hanya kecemburuan saja,” ungkap Husen sambil tertawa.

Tapi Husen menjelaskan bahwa PAUD nonformal juga tidak akan selamanya gratis. “Dana bantuan yang diberikan pemerintah sifatnya hanya sementara,” ujarnya. Setelah itu, mungkin PAUD juga akan mengutip bayaran dari para orang tua dan masyarakat.

Kepala Subdinas Pendidikan Luar Sekolah,

Drs H Herang Abiyanto, MM mengatakan, PAUD Nonformal tidak sama dengan TK yang sudah memiliki infrastuktur yang sudah mapan. “PAUD Nonformal digerakan untuk membantu meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) yang masih rendah dan peningkatannya berjalan tersendat-sendat,” katanya. “PAUD Nonformal merupakan alternatif bagi masyarakat yang tak mampu membayar TK. Sebab, semua anak usia dini di Indonesia harus bisa terlayani pendidikannya,” ungkap Herang.

Bukan hanya Jabar sebenarnya yang memiliki persoalan dengan APK anak usia dini yang rendah ini. Hampir semua wilayah di penjuru Indonesia mengalami hal serupa. Karena itu pemerintah kini memacu kembali Gerakan PAUD yang sebenarnya sudah dicanangkan sejak tahun 2000 itu. Direktur PAUD, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), Dr Gutama, mengungkapkan bahwa Gerakan PAUD di beberapa daerah telah dimotori para istri pejabat, Ketua Tim Penggerak PKK, anggota DPRD, dan sejumlah stakeholder lain.

Program Sejuta Anak Pemerintah Provinsi Jabar pada tahun

ini memang sedang sibuk-sibuknya menargetkan pencapaian sejuta anak yang terlayani pendidikannya. Program ini diluncurkan pada Selasa 12 Juni 2007 di Bandung. Hadir dalam acara itu Dirjen

Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas, Ace Suryadi, Direktur PAUD Depdiknas, Gutama, Gubernur Jabar, sejumlah pejabat dinas provinsi, DPRD Jabar, dan masyarakat yang peduli pada pendidikan usia dini. Acara itu juga diisi dengan penandatanganan kerjasama antara Dinas Pendidikan dan Tim Penggerak PKK Jabar.

Menurut Dadang, Gerakan PAUD merupakan program prioritas di antara lima program pendidikan Provinsi Jabar. Kelima program itu adalah: pertama, program sejuta anak usia dini terlayani. Kedua, program penuntasan wajib belajar 9 tahun. Ketiga, program perintisan wajib belajar 12 tahun. Keempat role-sharing perbaikan gedung-gedung SD yang rusak antara pemerintah pusat dan daerah. Dan yang kelima, implementasi dan optimalisasi pendidikan yang berorientasi kerja.

Dadang mengakui, di wilayahanya kondisi penyelenggaraan layanan pendidikan bagi anak usia dini masih sangat rendah. Padahal, menurut dia, pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas harus dimulai sejak usia dini. Data Angka Partisipasi Kasar (APK) tahun 2006 tentang PAUD di Jabar hanya 14,28%, berdasarkan jumlah TK, RA, Tempat Penitipan Anak, dan sejumlah PAUD lain kala itu.

Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) Provinsi Jabar, pada tahun 2006 penduduk Jabar berjumlah 40.7�7.594

IGTKI Se Jabar

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd57 7/14/200710:49:42AM

Page 60: pena pendidikan 14

Jawa Barat

DATA PAUD YANG TERLAYANI PADA 2006

NoKabupeten/

KotaJumlah Anak Usia Dini

Jumlah

Jumlah Anak yang terlayaniTotal

Pendidikan FormalPendidikan nonformal

0-2 2-4 4-6 TK RA Jumlah % Jumlah % Jumlah %1. Kota Bogor �6.599 21.859 29.279 87.8�7 7.�49 �.6�7 10.986 20.59 25.560 29,10 �6.546 41,612. Kab. Bogor 217.060 1�0.2�6 17�.648 520.94� 18.086 6.05� 24.1�9 1,41 1.771 0,�4 25.910 4,97�. Kota Depok 52.882 �1.729 42.�06 126.917 14.101 2.785 16.886 11,11 1.�8� 1,09 18.269 14,�94. Kab. Sukabumi 120.898 72.5�9 96.718 290.155 5.262 �.209 8.471 1,81 2.�50 0,81 10.821 �,7�5. Kota Sukabumi 17.659 10.595 14.127 42.�81 2.747 989 �.7�8 6,48 �4� 0,81 4.079 9,626. Kab. Cianjur 110.�28 66.197 88.262 264.787 2.442 1.87� 4.�15 0,92 2.8�� 1,07 7.148 2,707. Kab. Bandung 194.494 116.697 155.595 466.786 14.065 2.074 16.1�9 �,01 �8.864 8,�� 55.00� 11,788. Kota Bandung 95.275 57.165 76.220 228.659 22.622 5.857 28.479 9,89 19.740 8,6� 48.219 21,099. Kota Cimahi �2.479 19.487 25.98� 77.949 �.288 1.845 5.1�� 4.22 6.565 8,42 11.698 15,01

10. Kab. Sumedang 50.462 �0.277 40.�70 121.109 4.954 1.021 5.975 4,09 7.822 6,46 1�.797 11,�911. Kab. Garut 148.405 89.04� 118.724 �56.17� 8.�21 4.0�� 12.�54 2,�4 88.272 24,78 100.626 28,2512. Kab. Tasikmalaya 96.129 57.677 76.90� 2�0.709 6.160 �.155 9.�15 2,67 14.174 6,14 1�.797 11,�91�. Kota Tasikmalaya 28.8�6 17.�02 2�.069 69.206 2.671 2.�09 4.980 �,86 6.601 9,51 11.581 16,7�14. Kab. Ciamis 77.575 46.545 62.060 186.179 8.�0� 4.671 12.974 4,46 29.994 16,11 42.968 2�,0815. Kota Banjar 1�.1�2 7.879 10.506 �1.517 988 - 988 �,1� 2.688 8,5� �.676 11,6616. Kab. Kuningan 40.�06 24.184 �2.245 96.7�5 5.815 1.97� 7.788 6,01 12.418 12,84 20.206 20,8917. Kab. Cirebon 92.25� 55.�52 7�.802 221.406 7.821 2.511 10.��2 �,5� 6.841 �,09 17.17� 7,7618. Kota Cirebon 14.175 8.505 11.�40 �4.020 2.878 864 �.742 8,46 1.054 �,10 4.796 14,1019. Kab. Majalengka 47.064 28.2�9 �7.651 112.954 6.964 2.000 8.964 6,17 16.462 14,57 25.426 22.5120. Kab. Indramayu 95.550 57.��0 76.440 229.�19 8.�55 2.0�5 10.�90 �,64 66.7�2 29,10 77.122 ��,6�21. Kab. Subang 57.681 �4.609 46.145 1�8.4�5 2.955 1.628 4.58� 2,1� 1.99� 1,44 6.576 4,7522. Kab. Purwakarta 28.570 17.142 22.856 68.568 2.510 1.108 �.618 �,66 2.592 �,78 6.210 9,062�. Kab. Karawang 89.897 5�.958 71.918 215.75� 2.077 2.8�8 4.915 0,96 8.716 4,04 1�.6�1 6,�224. Kab. Bekasi 52.828 �1.697 42.26� 126.788 14.�0� �.00 17.�0� 11,28 1.712 1,�5 19.015 15,0025. Kota Bekasi 89.206 5�.524 71.�65 214.094 �0.720 1�.2�1 4�.951 14,�5 �.084 1,44 47.0�5 21,97

Jumlah 1.899.741 1.1�9.845 1.519.79� 4.559.�79 205.757 74.699 280.456 6,15 �70.565 8,1� 651.021 14,28

Sumber: Disdik Jabar 2006

j i w a , d e n g a n l a j u pertumbuhan penduduk rata-rata 2,2 per tahun. Jumlah anak usia dini dari 0-6 tahun mencapai 4.559.�79 jiwa. Tapi

yang terlayani oleh PAUD nonformal baru �70.565 anak atau 8,1�%. Sedangkan yang sudah bisa dilayani pendidikan formal (TK/RA) sebanyak 280.456 anak, atau 6,15%, sehingga total yang terlayani baru 651.021 anak atau 14,28% dari seluruh anak usia dini.

Data tersebut bisa dirinci lagi: untuk kelompok anak lelaki usia 0-2 tahun yang terlayani PAUD baru �8.91� orang, dan anak perempuan baru 82.689 orang, dari jumlah total yang mencapai 1.899.741 anak. Kelompok anak lelaki usia 2-4 tahun baru terlayani �4.049 anak, dan kelompok anak perempuan baru �8.91� orang, dari total 1.1�9.845 anak. Kelompok usia 4-6 tahun untuk laki-laki yang terlayani PAUD baru 41.�45 anak, dan untuk perempuan baru 1�4.656 orang, dari 1.519.79� anak. Jumlah anak usia tersebut tersebar di 25 kabupaten/kota di Jabar.

Jalur Formal dan NonformalA d a s e j u m l a h a l a s a n m e n g a p a

pemerintah Jabar memprioritaskan PAUD dalam program pendidikan. Gubernur Jabar, Danny Setiawan, mengatakan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas harus dipersiapkan sedini mungkin. Menurut Danny, pertumbuhan dan perkembangan manusia terjadi pada usia 0 hingga 6 tahun (golden age), dan negara-negara yang terbukti telah maju, ternyata menaruh perhatian yang tinggi terhadap PAUD. “Inilah yang menjadi sandaran kami,” tambah Danny.

Menurut Danny, dana yang disediakan untuk Gerakan Sejuta PAUD di Jabar mencapai Rp 9.119.750.000. Duit itu berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebanyak Rp 7.5�1.250, dan APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) Jabar sebesar Rp 1.588.500.000.

58 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

dadang Dally,

Kadis Prop. Jabar

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd58 7/14/200710:49:51AM

Page 61: pena pendidikan 14

Jawa Barat

TARGET PAUD YANG AKAN DILAYANI PADA 2007No Kabupeten/Kota

Jumlah Anak Usia Dini 0-6

Jumlah Anak Terlayani Formal/Nonromal

%Jumlah anak yang

belum terlayaniProyeksi target harapan 1

juta anak 2007 jumlah%

1. Kota Bogor 87.8�7 �6.546 41.61 51.291 19.265 1.9� 2. Kab. Bogor 520.94� 25.910 4.97 495.0�� 114.257 11.4��. Kota Depok 126.917 18.269 14.�9 108.648 27.8�6 2.784. Kab. Sukabumi 290.155 10.821 �.7� 279.��4 6�.6�9 6.�65. Kota Sukabumi 42.�81 4.079 9,62 �8.�02 9.295 0.9�6. Kab. Cianjur 264.787 7.148 2,70 257.6�9 58.075 5,817. Kab. Bandung 466.786 55.00� 11,78 411.78� 102.�79 10,248. Kota Bandung 228.659 48.219 21,09 180.440 50.151 5,029. Kota Cimahi 77.949 11.698 15,01 66.251 17.096 1,71

10. Kab. Sumedang 121.109 1�.797 11,�9 107.�12 26.56� 2,6611. Kab. Garut �56.17� 100.626 28,25 255.547 78.119 7,8112. Kab. Tasikmalaya 2�0.709 2�.489 10,18 207.220 50.601 5,061�. Kota Tasikmalaya 69.206 11.581 16,7� 57.625 15.179 1,5214. Kab. Ciamis 186.179 42.968 2�,08 14�.211 40.8�4 4,0815. Kota Banjar �1.517 �.676 11,66 27.841 6.91� 0,6916. Kab. Kuningan 96.7�5 20.206 20,89 76.529 21.217 2,1217. Kab. Cirebon 221.406 17.17� 7,76 204.2�� 48.561 4,8618. Kota Cirebon �4.020 4.796 14,10 29.224 7.462 0,7519. Kab. Majalengka 112.954 25.426 22,51 87.528 24.774 2,4820. Kab. Indramayu 229.�19 77.122 ��,6� 152.197 50.296 5,0�21. Kab. Subang 1�8.4�5 6.576 4,75 1�1.859 �0.�6� �,0422. Kab. Purwakarta 68.568 6.210 9,06 62.�58 15.0�9 1,502�. Kab. Karawang 215.75� 1�.6�1 6,�2 202.122 47.�21 4,7�24. Kab. Bekasi 126.788 19.015 15,00 107.77� 27.808 2,78 25. Kota Bekasi 214.094 47.0�5 21,97 167.059 46.957 4,70

Sumber: Data diambil dari Buku Pedoman Operasional Pengelolaan PAUD Jabar 2007

Danny yakin betul sejuta anak di Jabar bisa terlayani pendidikan pada tahun ini.

A d a d u a j a l u r p e n d i d i k a n y a n g dipersiapkan oleh Dinas Pendidikan Jabar untuk menggenjot angka partisipasi pendidikan anak usia dini. Pertama dengan jalur PAUD pendidikan formal, dan kedua jalur nonformal. Jalur formal dilaksanakan oleh TK dan RA (Raudhtaul Atfal), yang mengurusi pendidikan anak usia 4-6 tahun. Sedangkan PAUD nonformal dijalankan oleh Kelompok Bermain, Taman Penitipan Anak, dan Satuan PAUD sejenis (Pos PAUD, Posyandu, dan Bina Keluarga Balita).

Dari dua jalur itu, ada enam langkah yang ditetapkan oleh pemerintah Jabar dalam mendongkrak angka partisipasi pendidikan usia dini. Pertama, melakukan pendataan sejumlah PAUD di Jabar. “Dari situ akan bisa dipetakan sudah berapa anak usia dini yang terlayani, dan apa saja persoalannya,” kata Danny. Kedua, meningkatkan pemberdayaan tim koordinasi dan kelompok kerja (pokja). “Tim ini disebar dari tingkat provinsi hingga

tingkat desa atau kelurahan,” terang Danny. Ketiga, memberikan bantuan dana block grant rintisan dan kerjasama kelembagaan PAUD. Dana block grant ini diambil dari dua sumber: APBN dan APBD.

Kemudian yang keempat, melakukan peningkatan kapasitas tenaga pendidik

dan pengelola PAUD dengan cara pelatihan secara intensif. Kelima, memberikan penghargaan kepada bupati walikota yang telah berhasil menaikkan angka partsipasi pendidikan anak usia dini. Kemudian yang terakhir, melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan program PAUD yang sudah berjalan.

Kepala Seksi Warga Belajar, Husen R Hasan, pun mengaku optimistis, sejuta anak bisa terlayani pendidikannya tahun ini. “Perangkat-perangkat pelaksananya kini sudah tersedia, terutama Tim Penggerak PKK yang dipimpin oleh Ibu Gubernur,” katanya. Instansi-instansi dan lembaga lain bahu membahu menyukseskan program Sejuta

PAUD, seperti BAPEDA, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial, Departemen Agama, perguruan tinggi, BKKBN, BPS, BPMD, BPPSLP, dan lain-lain. Dengan dukungan berbagai pihak, dan dengan tekad yang kuat, program pendidikan untuk benih-benih penerus bangsa ini niscaya berhasil.

ES cASTRA dan ROBI SUGARA (Bandung)

59Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Hasan R. Husein,

Kasi Warga Belajar Bandung

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd59 7/14/200710:49:52AM

Page 62: pena pendidikan 14

60 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Jawa Barat

Kamis, 21 Juni 2007, mungkin merupakan hari yang paling membahagiakan bagi Yusuf Oktariansyah. Bocah kelahiran

Bandung, 17 Oktober 2002, itu dengan ceria mengenakan toga wisuda sebagai tanda tamat pendidikannya di Kelompok Bermain Bunga Nusantara, Jayagiri, Bandung.

Lilis Purwani (�0 tahun), orangtua Yusuf juga turut merasakan kebahagiaan yang sama menyaksikan wisuda anaknya. “Ada rasa haru bagi saya ketika melihat anak saya memakai toga, bernyanyi, dan berjoget,” ungkap perempuan yang berprofesi sebagai perias pengantin itu.

Lilis senang karena Yusuf bisa ikut pendidikan pra sekolah di Kober—sebutan untuk Kelompok Bermain Bunga Nusantara, yang biayanya terbilang murah. Awalnya,

Lilis tak menganggap penting pendidikan anak usia dini. Apalagi biaya masuk Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak di Bandung tidak murah.

Lalu, ketika Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Jabar) gencar menyosialisasikan gerakan PAUD, Lilis akhirnya tersadarkan bahwa pendidikan usia dini itu amat penting. Akhirnya, Lilis memasukkan anaknya ke Kober Bunga Nusantara, yang menawarkan konsep Kelompok Bermain berbiaya murah. Banyak perubahan yang dialami anaknya setelah masuk Kober. “Anak saya sudah bisa mandiri sendiri, pake baju sendiri, sepatu sendiri, dan kecerdasannya mulai terlihat,” tutur Lilis.

Riany Arista, pengelola Kober Bunga Nusantara, membenarkan bahwa biaya pendidikan di lembaga pendidikannya tidak

mahal. Awalnya malah tidak dipungut biaya, alias gratis. Namun, belakangan, para orang tua murid merasa terpanggil untuk membantu membayar honor para tenaga pendidiknya yang tak seberapa. Honor para pendidik di Kober cuma Rp 175.000 sebulan. “Tapi saya senang saja mengajar di sini,” kata Tri Wuryani, satu di antara tenaga pendidik Kober.

Kober Bunga Nusantara dikelola oleh Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat Jayagiri, Bandung. Tempatnya nebeng di gedung BP-PLSP (Balai Pengembangan- Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda) Regional II. Riany Arista sendiri adalah pengurus BP-PLSP. Saat ini, untuk tahun ajaran 2006-2007, jumlah warga belajar di Kober Bunga Nusantara sebanyak �8 anak. Tiap hari, Kober Bunga Nusantara membuka pendaftaran. Dengan sarana-prasarana permainan yang cukup memadai, Kober Bunga Nusanara merupakan salah satu kelompok belajar yang dijadikan percontohan oleh Pemerintah Provinsi Jabar.

Perlu 30.000 Lembaga PaudSejak Departemen Pendidikan Nasional giat

menyosialisasikan PAUD, seluruh pemerintah daerah sigap merespon program itu. Banyak lembaga PAUD bermunculan. Pemerintah Daerah Provinsi Jabar mematok target memasukkan sejuta anak pada lembaga PAUD, tahun ini. Asumsinya, jika setiap lembaga PAUD menampung �0 anak, berarti harus ada lebih dari �0.000 lembaga PAUD.

Dari data yang tercatat di Dinas pendidikan Jabar, pada 2006 terhitung ada sekitar 1.��� kober yang tersebar di seluruh penjuru Jabar. Selain itu, ada Taman Penitipan Anak sebanyak 1�6 unit, ada 1.008 Pos PAUD, 1.47� Posyandu, dan ada �97 lembaga PAUD lainnya. Jika ditotal, baru ada 4.�47 lembaga PAUD. Masih jauh sekali di bawah kebutuhan.

Kepala Seksi Warga Belajar Subdinas Pendidikan Luar Sekolah (PLS), Dinas Pendidikan Jabar, Drs H Husen R Hasan, mengakui masih sedikitnya jumlah lembaga

PAUD di Jabar. Namun, ia merasa yakin bahwa target sejuta anak yang terlayani PAUD akan tercapai tahun ini. “Di lapangan, gerakan PAUD yang dilakukan masyarakat kian semarak, apalagi setelah dibentuk Forum PAUD dan Himpaudi tahun lalu,” kata Husen.

Selain Forum PAUD, dan Himpaudi, ada sejumlah lembaga lain yang turut concern menggerakkan PAUD, seperti PKK,

Para orangtua di Jawa Barat kian menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini. Sejak disosialisasikan gerakan sejuta PAUD di Jabar, Tim Penggerak PKK, Forum PAUD, Himpaudi, dan organisasi massa

bahu-membahu menggolkan target sejuta anak terlayani pendidikan pada tahun ini.

Ella M, Muslimat NU Anna Anggraeni, Himpaudi Jabar Siti Djubadeah,

Aisyiyah

Arysad Ahmad, Forum PAUD Jabar

FOTO

-FOT

O: R

OBY S

UGAR

A

BERGERAK UNTUK SEJUTA ANAK

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd60 7/14/200710:50:03AM

Page 63: pena pendidikan 14

61Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jawa Barat

JUMLAH LEMBAGA DAN TENAGA PENDIDIK PAUD NoNFoRMAL JABAR 2006

Kabupaten/KotaJumlah anak

usia 0-6Jumlah anak

yang terlayaniJumlah (%)

Jumlah Lembaga Jumlah tenaga pendidikKober TPA Pos PAUD Posyandu Lainnya L P Jml

Kota Bogor 87.8�7 25.560 29,10 18 - �6 79 - 19 105 124Kab. Bogor 520.94� 1.771 0,�4 4� 1 75 98 - �6 154 190Kab. Cianjur 264.787 2.8�� 1,07 45 1 11 42 - 27 157 184Kab. Sukabumi 290.155 2.�50 0,81 68 - 20 102 - 2� 170 19�Kota Sukabumi 42.�81 �4� 0,81 7 5 17 25 - 1 40 41Kota Depok 126.917 1.�8� 1,09 87 2 65 79 15 19 144 16�Kab. Purwakarta 68.568 2.592 �,78 16 9 109 �7 - 1� 159 172Kab. Karawang 215.75� 8.716 4,04 � - 77 - - 77 145 222Kab. Bekasi 126.788 1.712 1,�5 9� - 10 99 - 1� 148 161Kota Bekasi 214.094 �.084 1,44 190 8 79 116 - 5� �87 440Kab. Subang 1�8.4�5 1.99� 1,44 21 2 1� 40 96 46 457 50�Kab. Cirebon 221.406 6.841 �,09 2� - 20 57 22 11 84 95Kota Cirebon �4.020 1.054 �,10 6 2 11 �� 24 7 54 61Kab. Indramayu 229.�19 66.7�2 29,10 �� - 21 1 - 6 76 82Kab. Kuningan 96.7�5 12.418 12,84 69 10 75 51 - 1� 117 1�0Kab. Majalengka 112.954 16.462 14,57 120 1 �1 61 - �1 148 179Kab. Bandung 466.786 �8.864 8,�� 202 40 - 199 �0 56 205 261Kota Bandung 228.659 19.740 8,6� 47 9 72 45 - 75 245 �20Kab. Sumedang 121.109 7.822 6,46 �1 6 16 54 55 20 1�9 159Kab. Garut �56.17� 88.272 24,78 94 �7 122 1� 1� 15 170 185Kab. Tasikmalaya 2�0.709 14.174 6,14 4� - 17 1� 41 12 162 174Kab. Ciamis 186.179 29.994 16,11 44 - 59 25 25 229 500 729Kota Cimahi 77.949 6.566 8,42 12 2 9 �2 - �2 67 99Kota Tasikmalaya 69.206 6.601 9,54 9 1 15 18 76 15 �8 5�Kota Banjar �1.517 2.688 8,5� 9 - 28 154 - 7 28 5�Jumlah 4.559.�79 �70.565 8,1� 1.��� 1�6 1.008 1.47� �97 856 4.099 4.9555

Sumber: Disdik Jabar 2006

PKBM, Aisyiyah, Muslimat NU, Posyandu, dan sejumlah masjid.

Ketua Harian Forum PAUD, Dr . Ir.H. Arsyad Ahmad, M.Pd, mengatakan bahwa tugas yang diemban Forum PAUD adalah men-sinergi-kan lembaga PAUD yang ada di Jabar. Selain itu, Forum Paud juga berusaha menggalang bantuan dari masyarakat dan seluruh stakeholder PAUD. “Kami akan terus melakukan sosialisasi, evaluasi, menjalin kerjasama dengan sejumlah pihak untuk turut membantu gerakan PAUD,” ujar Arsyad. “Pokoknya, tugas kami adalah ngomporin orang untuk mau membantu PAUD,” Arsyad menambahkan sambil tersenyum. Seperti diungkapkan Husen R Hasan, tanpa bantuan semua pihak, program sejuta anak terlayani PAUD tak bakal tercapai tahun ini seperrti yang diharapkan.

Forum PAUD juga akan menggerakkan sejumlah tempat atau fasilitas umum untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan PAUD sesuai dengan kapasitasnya. Misalnya, terminal, stasiun, dan masjid-masjid. “Kami akan selalu bergandengan tangan dengan lembaga

penggerak PAUD lainnya seperti Posyandu, Muslimat NU, Aisiyah dan sebagainya,” kata Arsyad. “Tugas kami adalah menciptakan sinergi di antara semua komponen penggerak PAUD,” Arsal menegaskan.

Himpaudi pun tak mau ketinggalan langkah. “Kami akan terus berupaya meningkatkan kompetensi, kualitas, juga kesejahteraan para pendidik PAUD,” kata Anna Anggraeni, Ketua Himpaudi. Menurut Anna, sebagian besar para pendidik PAUD hanya berpendidikan SMA, bahkan ada yang cuma lulus SMP. “Kami akan tingkatkan pendidikan mereka,” ujar Anna yang memiliki enam lembaga PAUD, tersebar di Bandung.

Tim penggerak PKK yang dimotori Ibu Gubernur, Nyonya Danny Setiawan, juga turut berjibaku menggerakkan perluasan PAUD di seantero Jabar. “Gerakan ini tak akan berhasil jika tak melibatkan kekuatan masyarakat,” ujar Nyonya Danny. “Karena itu saya akan terus mengajak semua lapisan masyarakat untuk terjun membantu gerakan ini,” tegasnya.

Dua organisasi massa terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhamadiyah,

juga turut berpartisipasi aktif dalam Gerakan Sejuta PAUD ini. NU dengan muslimat NU-nya memiliki lembaga PAUD sekitar 194 buah. Ketua Muslimat NU Jabar, Dra.Hj.R.Ella Muhammad, mengatakan bahwa jauh sebelum Pemerintah Jabar menyosialisasikan gerakan PAUD, lembaganya sudah bergerak lebih dulu.

Pendapat senada juga diungkapkan Ketua Aisiyah Jabar, Siti Djubaidah. Ia mengatakan bahwa Aisiyah bahkan telah peduli pada pendidikan anak sejak sebelum kemerdekaan. “Jadi, Aisiyah bisa dibilang gurunya bangsa ini,” ujar Djubaidah.

Muslimat NU dan Aisiyah yakin, Gerakan Sejuta PAUD di Jabar akan sukses. Alasannya, seluruh komponen masyarakat telah ikut tersadarkan untuk mengembangkan PAUD. Apalagi, pemerintah turut membantu dari segi pendanaan, sehingga masyarakat tak terbebani dalam urusan biaya. Dengan bantuan pemerintah itu, PAUD kini bisa dinikmati oleh kalangan masyarakat yang tidak mampu.

ES cASTRA dan ROBI SUGARA

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd61 7/14/200710:50:06AM

Page 64: pena pendidikan 14

62 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Sumatera Barat

NAMA-nama seperti Haji Agus Salim, Drs Mohammad Hatta, Sjahrir, dan ulama besar Haji Abdul Malik Karim

Amrullah alias Hamka, sungguh tak asing bagi kita. Mereka adalah putra-putra terbaik negeri ini yang mewarnai sejarah republik ini. Mereka adalah urang awak yang berasal dari kalangan terpelajar. Mereka pula setidaknya tercatat dalam sejarah emas dunia pendidikan di Sumatera Barat, sebagai tokoh-tokoh yang menorehkan prestasi membanggakan.

Di masa lampau, ranah Minang menjadi tempat tujuan paling populer bagi mereka yang ingin menimba ilmu. Banyak orang dari daerah lain menuntut ilmu di Padang Panjang dan Bukittinggi. Bahkan dari Malaysia pun banyak yang belajar di ranah Minang. Tak heran jika di Padang, kini masih banyak tersisa sekolah-sekolah berumur tua, yang pernah terkenal pada zamannya.

“Pendidikan adalah tradisi orang Minang. Para orangtua rela miskin asal anaknya bersekolah,” kata Dr. Ir. Rahmat Syahni,

M.Sc, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat.

Pendidikan di masyarakat Minang memang menjadi bagian budaya masa lampau yang disebut jujai. Jujai secara harafiah bermakna rangsangan. Tradisi menjujai (memberi stimulan atau memberi rangsangan) berawal dari budaya hidup di rumah gadang. Sebuah rumah gadang yang besar di masa lalu bisa dihuni seluruh keluarga besar, mulai nenek, kakek, putra-putri hingga cucu-cicit.

Semua anak yang lahir di rumah gadang akan selalu dijujai. Yakni diberi pendidikan sesuai adat keluarga. Yang memberi pengajaran semua anggota keluarga yang sudah dewasa. Sang anak diajak bermain, bercakap-cakap, dididik tata krama, hingga dilatih bernyanyi. Meski rumah gadang mulai menghilang, namun tradisi menjujai masih terus hidup.

Kejayaan pendidikan Sumatera Barat (Sumbar) itu masih bersisa, meski tak gilang gemilang. Setidaknya, tiap tahun Sumbar

hampir selalu masuk 10 besar tingkat nasional berdasarkan angka kelulusan siswa. Pada Ujian Nasional 2006 tingkat SMA, Sumbar menduduki posisi delapan besar. Rinciannya: tingkat kelulusan SMA Jurusan IPA mencapai 96,5%, SMA Jurusan IPS 92,2%, dan Jurusan Bahasa 95,5%. Sedangkan untuk tingkat SMP, Sumatera Barat menduduki posisi ketujuh, dengan tingkat kelulusan 92,9%.

Di luar itu, masih banyak tantangan tak ringan. Mulai dari kekurangan sarana-prasarana sekolah, kualifikasi guru, APK PAUD dan TK hanya 29%, sampai masalah klasik: keterbatasan dana.

Menurut Rahmat Syahni, banyak sekolah di Sumbar sudah uzur. Nyaris tak layak disebut bangunan sekolah. “Sekolah-sekolah yang sudah tua dan mulai hampir runtuh itu tentu harus diperbaiki dan biayanya jelas tidak sedikit,” kata doktor statistika dari Iowa State University, Amerika Serikat.

Tak hanya perlu merehabilitasi bangunan

APK PAUD masih rendah: 29%. Selain soal minimnya dana, warga masyarakat

menilai pendidikan dimulai di usia 6 tahun. Anggaran pendidikan tersedot untuk

membangun SMP di pelosok kabupaten.

Kegiatan para guru membina murid PAUD

FOTO

-FOT

O: FE

TTY S

.L

TRADISI PENDIDIKAN URANG AWAK

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd62 7/14/200710:50:09AM

Page 65: pena pendidikan 14

6�Juli - Agustus 2007 Pena Pendidikan

Sumatera Barat

sekolah. Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Sumatera Barat, Rahmat Syahni juga berusaha mendandani para tenaga pengajarnya melalui peningkatan kualifikasi guru. “Banyak guru di Sumatera Barat belum berijasah sarjana,” katanya. ”Mereka yang belum sarjana kita lanjutkan kuliahnya, bahkan kita juga menyekolahkan guru ke tingkat S-2.”

Para guru yang mendapat prioritas melanjutkan studinya ke jenjang S-2 adalah yang membidangi mata pelajaran penting seperti Matematika, Fisika, Kimia, dan Biologi. ”Kita memang membutuhkan guru yang punya kemampuan lebih untuk pelajaran-pelajaran itu,” kata Rahmat.

Saat ini jumlah guru dari SD sampai SMA Negeri di seluruh Sumbar ada 76.1�5 orang. Dari jumlah tersebut, yang berpendidikan sarjana berjumlah �1.076 orang, sisanya belum sarjana. Karena itu, sejak tahun 2006, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat sudah menyekolahkan sekitar 1.700 orang gurunya hingga meraih gelar sarjana. Menurut Rahmat, untuk meningkatkan kualifikasi guru ini, Dinas Pendidikan Sumbar menggunakan dana dari APBD, APBN dan Dana Alokasi Khusus.

Sumbar juga masih bekerja ekstra keras menuntaskan Wajib Belajar 9 Tahun. APK SD/MI tahun 2005 sebesar 109,�7%. Namun APK SMP/MTs masih 87,�2%. Setidaknya butuh mengatrol 8% buat disebut tuntas Wajar 9 Tahun. ”Program Wajib Belajar

di daerah perkotaan memang tak ada masalah, tapi di kabupaten-kabupaten masih menghadapi banyak persoalan,” kata Rahmat. Pemerintah Provinsi Sumbar menargetkan tuntas Wajib Belajar 9 tahun pada 2009.

Menurut Rahmat, masih banyaknya wilayah kabupaten terisolasi yang tingkat APK SMP/MTs masih sangat rendah. Misalnya di Kabupaten Mentawai anak usia SMP masih sulit mengakses sekolah. Lokasi permukiman penduduk yang berpencar-pencar menyebabkan anak-anak tidak mudah mencapai sekolah yang letaknya di ibukota kabupaten. ”Mereka memilih tidak sekolah, daripada harus berjalan kaki selama lima jam untuk mencapai sekolah,” kata Rahmat prihatin.

Untuk mengatasi masalah ini, Dinas Pendidikan berusaha membangun unit-unit sekolah baru, sekolah satu atap dan sekolah kecil, terutama di daerah terpencil. Selain itu, untuk mengakses anak-anak yang putus sekolah, Dinas Pendidikan Sumatera Barat juga memberdayakan program-program kesetaraan.

Supaya guru mau mengajar di tempat terisolasi, Dinas Pendidikan memberi tunjangan khusus bagi mereka yang bertugas di daerah terpencil. Tunjangan itu dimaksudkan sebagai perangsang, agar para guru tetap bersemangat mengajar di pelosok. Sosialisasinya dilakukan melalui radio, televisi, koran dan dengan

pemasangan baliho. “Kami menginstruksikan seluruh dinas

pendidikan kabupaten/kota untuk mengajak anak-anak kembali ke sekolah,” kata Rahmat. Para guru juga diminta membujuk anak-anak putus sekolah di lingkungan tempat tinggalnya kembali bersekolah. Bagi anak-anak pintar dari keluarga kurang mampu disediakan beasiswa dari APBD sebagai pendamping BOS. Dinas Pendidikan juga membagi-bagikan seragam sekolah secara cuma-cuma kepada anak-anak sekolah di daerah terpencil.

Kendala lain yang paling umum dan sudah menjadi masalah klasik adalah masalah dana. Baru dua tahun terakhir ini Dinas Pendidikan berhasil meningkatkan anggarannya. Sebelumnya anggaran pendidikan amat kecil . Tahun 2005, anggaran pendidikan masih �,1% dari APBD. Tahun 2006 meningkat hingga 1�,1% atau sekitar Rp 105 miliar. Tahun ini, anggaran pendidikan naik menjadi 17% atau sekitar Rp 120 miliar.

“Namun belajar dari pengalaman tahun 2006, kami kewalahan kalau mengelola sendiri dana sebanyak itu, maka kini yang kami kelola hanya sekitar Rp 50 miliar. Sedangkan sisanya, langsung kami jadikan block grant di kabupaten kota,” kata Rahmat. Dari Rp 70 miliar dana block grant itu, menurut Rahmat, sebagian besar digunakan untuk rehabilitasi sekolah.

Karena baru dua tahun mendapat anggaran yang cukup besar, maka banyak pekerjaan yang langsung digarap dalam dua tahun ini. “Sepertinya kami harus merapel pekerjaan yang selama ini tertunda penyelesaiannya. Jadi kami agak kewalahan juga menangani pekerjaan yang menumpuk ini,” tutur Rahmat.

Pendidikan Anak Usia DiniSecara umum perkembangan Pendidikan

Anak Usia Dini (PAUD) dan TK di Sumatera Barat juga masih berjalan lambat. Menurut data Dinas Pendidikan Sumbar tahun 2006, jumlah lembaga PAUD di sana 425 buah. Terdiri dari Kelompok Bermain 182 buah, Taman Penitipan Anak 77 buah, dan Satuan PAUD Sejenis 166 buah.

Sementara itu jumlah TK ada 1.585 sekolah. Hanya 16 TK berstatus negeri. Hal ini tidak sepandan dengan jumlah anak usia 0–6 tahun yang mencapai 6�9.5�7.

Dr. Ir. Rahmat Syahni, M.Sc, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd63 7/14/200710:50:18AM

Page 66: pena pendidikan 14

64 Pena Pendidikan Juli - Agustus 2007

Sumatera Barat

Minimnya jumlah lembaga PAUD setara dengan jumlah murid yang tersentuh lembaga PAUD yang baru sekitar 10.8�8. Sisanya, terserap Posyandu yang berjumlah 6.652 unit, yang tersebar di 19 kabupaten.

Belakangan, sejumlah organisasi yang membidangi PAUD bermunculan di sana. Tahun lalu, berdiri Himpaudi dan Forum PAUD Provinsi Sumbar. Himpaudi berdiri pada Juni 2006, sedangkan Forum PAUD ada sejak 2005. Namun, kegiatannya perlahan-lahan mati suri, dan baru diaktifkan kembali tiga bulan lalu. Ibu Gubernur Sumatera Barat, Hj. Vita Gamawan Fauzi, SH, yang terpilih menjadi ketua Forum PAUD, hingga kini belum sempat dilantik, sehingga belum melaksanakan program-program kerja.

Menurut Rahmat Syahni, lambatnya perkembangan penanganan PAUD disebabkan sifat PAUD sendiri yang dinilai “pendidikan luar sekolah”. Para orangtua masih tidak menganggap penting PAUD. ”Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa pendidikan anak, baru dimulai pada umur 6 tahun. Mereka menganggap pendidikan di bawah umur itu tidak penting,” kata Rahmat.

Pendapat Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, Drs Johny Nurdin, senada dengan pandangan Rahmat. ”Kendala PAUD adalah tingkat kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap PAUD yang masih rendah di Sumatera Barat,” katanya. ”Mereka beranggapan pendidikan hanya dimulai dari SD.”

Kendala perkembangan PAUD lainnya adalah dana APBD yang masih minim untuk PAUD. Selama ini dinas pendidikan hanya mengharapkan partisipasi swasta untuk menangani pendidikan anak usia dini. “Kalau kita ingin menangani PAUD berarti kita juga harus siap dengan dana yang besar. Karena jumlah PAUD yang kita tangani cukup besar,” kata Rahmat.

Se la in i tu , menurut Johny, ada anggapan yang sa lah dar i para penyelenggara PAUD. ”Mereka beranggapan a k a n t e r u s m e n e r i m a bantuan dari pemerintah untuk penyelenggaraan PAUD. Padahal pemerintah hanya memberikan dana r i n t i s a n , ” k a t a J o h n y . Buntutnya, ketika bantuan pemerintah tak ada lagi, maka banyak pengelenggara PAUD menutup kegiatannya. ”Biaya penyelenggaraan PAUD itu memang s e h a r u s n y a j a d i t a n g g u n g j a w a b masyarakat, dan orang tua. Pemerintah hanya membantu,” ujar Johny.

Toh, Johny optimistis bahwa PAUD di Sumatera Barat akan terus membaik. Tahun lalu, anak usia 0–6 tahun yang terlayani PAUD baru 21%. Tahun ini meningkat menjadi 29%. Peningkatan ini berkat upaya keras dari dinas pendidikan yang bekerjasama dengan Himpaudi, tim penggerak PKK, dan asosiasi wanita lain seperti BKW, Aisyiyah,

dan Muslimat NU. Diakui Johny, Ibu Gubernur, Ibu

Wakil Gubernur, dan ibu-ibu bupati yang tergabung dalam PKK, berperan penting dalam mengembangkan PAUD. ”Di Kabupaten-kabupaten yang sudah terbentuk Himpaudi dan Forum PAUD, perkembangan pendidikan anak usia dininya makin maju, berkat dukungan aktif PKK,” kata Johny. Kabupaten-kabupaten itu antara lain, Bukittinggi, Padangpanjang, Agam, Tanahdatar, Padangpariaman, Sawahlunto, dan Damasraya.

Dalam membangun PAUD, upaya yang dilakukan Dinas Pendidikan antara lain menyekolahkan �8 pendidik PAUD dari 19 kabupaten hingga meraih gelar sarjana. Saat ini, kualifikasi pendidik PAUD di Sumatera Barat memang masih dianggap sangat rendah. Rata-rata mereka hanya lulusan SMA. Untuk meningkatkan kompetensinya, mereka diikutkan dalam berbagai pelatihan, seperti pelatihan mengenai metode pembelajaran Beyond Centre and Circle Time (BCCT), mengenai tumbuh kembang anak, dan pelatihan membuat alat permainan yang murah.

Menurut Johny, usaha lain yang dilakukan adalah menyosial isasikan

betapa pentingnya PAUD. Sosialisasi dilakukan melalui berbagai media, seperti radio, surat kabar, dan baliho. “Kami menyosialisasikan s e m u a p r o g r a m y a n g diselenggarakan PAUD, serta berusaha mengajak m a s y a r a k a t m e m b a w a anak-anak usia dininya ke lembaga PAUD,” ujar Johny.

Keseriusan Pemerintah P r o v i n s i S u m b a r

meningkatkan PAUD setidaknya bsia disimak dengan terbitnya buku pedoman penyelenggaraan PAUD yang terintegrasi. Buku ini dibuat atas kerjasama Dinas Pendidikan dengan Dinas Kesehatan, PKK, PKBM dan berbagai pihak lain yang jadi stake holder PAUD. Dana untuk membantu penyelenggaraan PAUD pun terus ditingkatkan. Tahun ini, Dinas Pendidikan sudah menganggarkan sekitar Rp 400 juta yang berasal dari APBD

FETTY SHINTA LESTARI (Padang)

waktu melukis � di yari

Drs Johny Nurdin

LO_PENA14_VOL02_PAUD_3-64.indd64 7/14/200710:50:24AM

Page 67: pena pendidikan 14

65Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

“Good Morning, Miss..,” kata Yari kepada gurunya. Pagi itu Yari baru tiba di sekolahnya, dan

berpapasan dengan seorang ibu gurunya. Yari adalah bocah laki-laki, siswa kelas tiga Primary School (setingkat sekolah dasar) di Yari International School, Padang, Sumatera Barat.

Loh.. kok nama Yari sama dengan nama sekolahnya? Ya, karena dari namanya itulah nama sekolah ini berasal. Yari International School didirikan pada Agustus 2002 oleh

ibunda Yari, Dr. Yusticia Katar, yang sehari-hari menjadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang.

Ide mendirikan sekolah berpengantar bahasa Inggris itu berawal dari pemikiran Yusticia akan pentingnya sekolah internasional bagi anaknya. Ia menilai bahasa Inggris sudah jadi bahasa internasional, sehingga harus dikuasai Yari. Namun, di Padang belum ada sekolah internasional yang pas dan bisa dimasuki anaknya itu.

“Saya sempat berkeliling Kota Padang

mencari sekolah yang bagus buat anak saya,” kata Yusticia. Tapi ia merasa tak ada yang cocok dengan harapannya. Maka, Yusticia pun berinisiatif mendirikan sendiri sekolah ini.

Inspirasi Jerman Yusticia terinspirasi oleh sekolah milik

temannya, ketika ia mengambil program S-3 di salah satu perguruan tinggi di Jerman. Di tempat teman Jermannya itu Yusticia pernah

Sumatera Barat

MENDIRIKAN SEKOLAH TEXAS DI PADANG Seorang doktor dari Universitas Andalas mendirikan sekolah internasional di Padang. Idenya berawal dari kebutuhan lembaga pendidikan yang pas buat anaknya.

foto

-fot

o: fE

ttY S

HINt

A LES

tARI

Yusticia Katar bersama murid-muridnya

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd65 65 7/14/2007 10:06:39 AM

Page 68: pena pendidikan 14

66 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

melihat-lihat katalog yang berisi tentang banyak hal yang berhubungan dengan pendidikan anak usia dini. Ia melihat banyak sekali permainan anak di Jerman yang dibuat dari kayu.

Kemudian ia teringat kayu-kayu kualitas bagus yang teronggok di gudang rumahnya di Padang. Yusticia lalu mulai membuat permainan anak dan perlengkapan sekolah seperti bangku dan meja dari kayu, dan kemudian memanfaatkannnya untuk prasarana main anak-anak usia dini di sekolah yang akan didirikannya.

Sebelum menyelenggarakan pendidikan anak usia dini berkonsep internasional itu, Yusticia berkonsultasi dengan temannya, Astrid E.C. Smith-Haan Bsc. Dia seorang guru PAUD (pendidikan anak usia dini) yang pernah bersekolah PAUD di Belanda. Yusticia memaparkan kembali idenya mendirikan lembaga PAUD internasional, karena ia merasa kesulitan mencari lembaga pendidikan prasekolah buat anaknya.

Astrid ternyata menyambut ide Yusticia. Akhirnya bersama Astrid, Yusticia bekerja sama mendirikan lembaga PAUD, dan sekaligus sekolah dasar internasional. Astrid ditugaskan menyusun kurikulum dan

model pembelajarannya. Sedangkan Yusticia bertanggung jawab dalam soal pendanaannya.

Dipilihlah model pembelajaran yang diterapkan lembaga PAUD di Jerman dan Belanda, kemudian dicocokan dengan kultur Indonesia. Yusticia bersemangat sekali mengelola sekolahnya itu, karena cita-citanya menjadi guru dan pengelola TK yang terpendam lama dapat diwujudkan.

Kemudian, Yusticia memasang iklan di koran mencari para calon guru untuk sekolahnya. Menurut Yusticia, syarat utama calon gurunya adalah harus mencintai anak, memiliki emosi yang stabil, dan yang lebih penting, harus mampu berbahasa Inggris. Dari 40 pelamar yang datang pada gelombang pertama, tidak satu pun yang memenuhi seluruh persyaratan tadi.

Namun, selang dua hari datang dua orang yang ternyata memenuhi syarat. Akhirnya kedua orang itulah yang dilatih Astrid menjadi guru. Saat memasuki tahun ajaran baru, Agustus 2002, Yari International School pun

resmi dibuka. Peserta pertamanya sekitar 20 anak.

Dari Playgroup Sampai SMPYari International School yang menempati

lahan seluas 3.500 m2, memiliki empat jenjang. Keempatnya adalah: jenjang infant atau toddler (untuk usia 5 bulan – 18 bulan), playgroup (usia 18 bulan – 4 tahun), kindergaten atau taman kanak-kanak (4 – 6 tahun) dan primary atau sekolah dasar (6 –12 tahun). Namun untuk jenjang primary saat ini baru ada 3 kelas yaitu dari kelas 1 sampai kelas 3. Bangunan untuk Kelas 4 hingga kelas 6 sedang dibangun. Yusticia kini juga tengah menyiapkan jenjang SMP.

Jumlah murid Yari International School saat ini mencapai 134 anak, dan hampir semuanya sudah mampu menggunakan bahasa Inggris. Bagi para siswa mulai dari kelas 3 sekolah dasar, mereka memang harus sudah harus full berbahasa Inggris di dalam kelas maupun di luar kelas.

Namun anak-anak yang berada di kelas infant dan playgroup pun sudah diperkenalkan bahasa Inggris. Guru biasa mengajak mereka beryanyi lagu “Twinkle Twinkle Little Star” atau

berbicara dengan anak-anak mengunakan kata-kata sederhana dalam bahasa Inggris, seperti menyebutkan warna-warna.

“Kami di sini tidak menyuruh anak untuk menghafal kosa kata bahasa Inggris, tapi langsung mengajak mereka bicara dengan bahasa Inggris,” kata Yusticia. “Anak-anak akan menyimpan setiap kata-kata yang didengarnya dalam memorinya. Dan kemudian, ia akan mengucapkannya dengan lancar. Inilah metode bilingual yang kita gunakan,” Yusticia menjelaskan.

Sarana dan prasarana yang dimiliki “Sekolah Texas” ini cukup lengkap. Alat permainan edukatif melimpah ruah, dengan ruang belajar yang bersih, dan jendela besar tak berdaun di setiap kelas yang membuat sirkulasi udara sangat baik. Selain itu, ada perpustakaan, laboratorium komputer dan internet, ruang musik dan keterampilan, serta kendaraan antar jemput anak.

Anak-anak yang bersekolah di Yari dapat memilih ekstrakurikuler yang disukai seperti sempoa, karate, gitar, biola, drum, baca Al Quran, renang dan lain-lain. Dengan fasilitas yang lengkap dan memadai, tentu orang tua juga harus mengeluarkan uang ekstra. Berapa biaya masuk ke sekolah ini? Untuk playgroup Rp 200.000, untuk TK Rp 250.000, dan SD Rp 425.000.

Karena semua warga sekolah di Yari International School harus menggunakan bahasa Inggris, maka para guru pun dituntut untuk mahir berbahasa internasional ini. Mereka diminta untuk terus memperkaya kosa-kata dalam bahasa Inggris. Selain itu mereka juga harus terus mengasah kemampuan pedagogiknya dan memperdalam ilmu psikologi tentang anak.

Yusticia mempunyai cara khusus untuk melatih guru sehingga menjadi guru yang potensial. Ia lebih memilih calon guru lulusan sastra Inggris, daripada lulusan PGTK (Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak). Alasannya karena sekolahnya lebih membutuhkan guru yang bisa berbahasa Inggris. “Kalau syarat mampu berbahasa Inggris sudah terpenuhi, mereka tinggal dididik kemampuan pedagogik dan psikologis anak,” kata Yusticia.

Sebaliknya, para lulusan PGTK umumnya kurang menguasai bahasa Inggris, karena mereka memang disiapkan untuk mengajar di PAUD konvensional, bukan di lembaga pendidikan internasional. “Bagi saya, lebih mudah menerima tamatan sastra Inggris,

Sumatera Barat

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd66 66 7/14/2007 10:06:42 AM

Page 69: pena pendidikan 14

67Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

kemudian baru diberi pengetahuan TK,” kata Yusticia. Umumnya, mereka bisa dibentuk dan mereka juga bisa belajar cepat tentang pedagogik dan psikologi anak.

Di luar kemampuan bahasa Inggris, penguasaan pedagogik dan psikologi anak, kata Yusticia, yang lebih penting, para calon guru di sekolahnya harus punya sifat penyayang terhadap anak-anak.

“Karena itu, ketika saya mencari guru di sini, saya tidak peduli ijazah dan IPK-nya berapa, tapi isi hati nuraninya. Mereka harus menyayangi anak-anak,” katanya.

Menggembleng Guru Menurut Yustisia, kendala utama dalam

menjalankan pendidikan di sekolahnya adalah langkanya guru yang qualified. Para calon guru umumnya punya kelemahan yang sama; kurang menguasai bahasa Inggris. Dampaknya, para guru yang tidak mahir berbahasa Inggris bukan hanya kurang lancar dalam mendidik anak-anak, tapi juga tak piawai memanfaatkan literatur-literatur asing untuk meningkatkan kompetensinya.

Karena itu, Yusticia selalu berusaha untuk menggembleng guru-gurunya dengan memberi pelatihan, dan memberinya bahan-bahan bacaan berbahasa Inggris yang berkaitan dengan dunia PAUD. “Setiap hari saya mengajarkan guru hal yang berbeda. Jika satu hal sudah dikuasai guru dengan baik, maka besok guru akan diberikan hal lain lagi. Sehingga mereka benar-benar menjadi pendidik yang berkualitas,” kata Yusticia.

Y u s t i c i a j u g a kerap mendatangkan n a r a s u m b e r y a n g k o m p e te n s e b a g a i p e l a t i h g u r u k e sekolahnya. Misalnya, E l k e O s t h e i m e r, k e p a l a T K d a r i Jerman. Selama satu setengah tahun, Elke mengajar para guru di Yari International School, dan juga para guru TK di Sumatera Barat.

Dalam pandangan Yusticia, kualitas guru sangat mempengaruhi kualitas anak. “Jika menginginkan anak kritis, maka gurunya pun harus kritis. Jika ingin

Sumatera Barat

anak bisa mandiri, maka guru harus mandiri. Semuanya yang kita inginkan pada diri anak, harus ada pada diri guru. Guru adalah motivator, stimulator, fasilitator. Itu lah guru yang ideal,” tegas Yusticia.

Guru yang berkualitas, kata Yusticia, tentu punya harga. Dan, orang pun berani membayar mahal. Yusticia bersyukur guru-gurunya punnya kualitas lebih bagus. Hal itu terbukti ketika guru-guru di Yari International school ikut bergabung saat Himpaudi Sumatera Barat membuka konseling pasca-gempa. “Ternyata banyak yang memilih konseling dengan guru-guru Yari,” kata Yusticia. “Mereka juga sering diajak bertemu oleh guru lain dan pengurus Himpaudi untuk pelatihan,” lanjutnya.

Yusticia kini mempercayakan Yuri International School kepada Wirdaningsih, yang biasa disapa “Miss Neneng”, sebagai kepala sekolah. Yusticia sendiri, sebagai p e m i l i k , h a ny a m e n g a r a h k a n d a n bertanggung jawab dalam penyiapan prasarananya, selain ikut mengajar.

Dijuluki Sekolah TexasKarena metode pembelajaran di Yari

International School berbeda dengan lembaga PAUD dan sekolah konvensional, maka sekolah ini kerap dijuluki “Sekolah Texas”. Sebutan “Sekolah Texas” juga diberikan karena para guru yang mengajar di Sekolah Yari tidak diwajibkan mengenakan pakaian seragam. Mereka bebas memilih pakian

asal yang sopan. Karena itu banyak yang memilih pakaian santai seperti celana jeans. “Dengan menggunakan pakaian b e b a s , g u r u b e b a s bergerak,” alasan Yusticia.

D i S e k o l a h Ya r i , anak-anak lebih banyak

dibebaskan bermain. “Bermain adalah proses belajar bagi anak. Jika ia senang memanjat, m a k a k a m i a k a n memberi panjatan

yang tinggi. Biarkan anak-anak itu bebas. Saya memang

ingin gaya ‘Texas’. Bebas. Saya bangga,” tukas Yusticia.

Selain itu pembelajaran yang diberikan pada anak di Sekolah Yari bersifat individual.

Para guru memperhatikan karakter masing-masing anak dengan jeli. Jadi, para guru paham benar dengan masing-masing pribadi anak, sehingga tahu cara menghadapinya.

“Tiap anak memiliki karakter emosi dan intelijensia masing-masing,” kata Miss Neneng. “Ada anak yang dalam satu hari dapat menguasai pelajaran dengan baik, tapi ada juga temannya yang dalam tiga hari belum menguasai,” kata Miss Neneng. “Kuncinya, ternyata bagaimana kita menghadapi karakter emosi anak-anak.”

Metode penanganan anak di Sekolah Yari itu sejalan dengan program yang dilaksanakan oleh Direktorat PAUD, Departemen Pendidikan Nasional, yaitu PAUD berbasis keluarga. Yang dimaksud dengan PAUD berbasis keluarga adalah PAUD yang tidak hanya mendidik anak-anak, tapi juga memberi pemahaman kepada para orangtua dalam menangani anak-anaknya. Tiap anak berbeda emosinya, dan orang tua harus mampu mendidik mereka berdasarkan karakter emosinya itu.

“Orangtua harus paham program sekolah anak-anaknya, sehingga bisa saling bekerja sama demi terselenggaranya pendidikan usia dini dengan baik. Misalnya, jika di sekolah anak dilatih untuk mandiri, maka di rumah pun juga dilatih mandiri. Bukan malah sepulang sekolah si anak langsung ditangani baby sitter,” jelas Yusticia.

Menurut Yusticia, tugas Sekolah Yari bukan hanya mendidik anak, tapi juga merangkul seluruh komponen keluarga mulai dari ibu, ayah, hingga kakek dan nenek, untuk bersama-sama mendidik si anak. “Kami menyadari, anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama anggota keluarga mereka, daripada di sekolah,” kata Yusticia. Karena itu, katanya, orang tua harus memahami posisinya sebagai salah satu komponen pendidik.

“Sebagus apa pun kualitas pendidikan di sekolah, tapi jika tidak dibarengi dengan dukungan orang tua terhadap program sekolah di rumah, maka tujuan pendidikan tak akan tercapai dengan baik,” ujar Yusticia. Program anak di sekolah dan di rumah katanya, harus sejalan dan saling dukung. “Jadi yang paling penting dari PAUD berbasis keluarga adalah kerjasama antara keluarga dan sekolah. Dan inilah yang saya hidupkan disini,” kata Yusticia.

ESCAStRA dAN fEttY SHINtA LEStARI (PAdANg)

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd67 67 7/14/2007 10:06:45 AM

Page 70: pena pendidikan 14

68 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Pendidikan anak usia dini (PAUD) termasuk bagian penting dalam proses pendidikan untuk menyiapkan

masa depan anak. Pendidikan prasekolah ini dimaksudkan untuk mengondisikan psikologi anak sebelum memasuki jenjang pendidikan yang sesungguhnya di sekolah, mulai tingkat dasar, menengah, bahkan hingga perguruan tinggi.

Karena itulah, kini pemerintah Provinsi Sumatera Barat tengah terus berupaya memperbaik i dan mengembangkan

pendidikan anak usia dini, yang sebelumnya dirasa masih kurang memadai. Untuk mengurus pendidikan prasekolah itu, dua Srikandi Sumatera Barat telah turun untuk mengoordinasikan penyelenggaraan PAUD yang lebih baik. Dou uni itu adalah Ibu Gubernur, Hj. Vita Gamawan Fauzi, SH, dan Ibu Wakil Gubernur, Dra. Hj. Maerawita Marlis Rahman M.Si.

Vita Gamawan Fauzi ditunjuk sebagai ketua Forum PAUD Provinsi Sumatera Barat, sekaligus ketua Tim Penggerak PKK Provinsi

Sumatera Barat. Sedangkan Maerawita Marlis Rahman diberi amanah menjadi ketua Himpaudi (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini), sekaligus Ketua BKOW (Badan Koordinasi Organisasi Wanita) Provinsi Sumatera Barat.

Forum PAUD Sebenarnya Forum PAUD sudah didirikan

pada 2005, atas permintaan Departemen Pendidikan Nasional. Kala itu, jabatan ketua dan para pengurusnya dipegang para pejabat Dinas Pendidikan Sumatera Barat. Karena itulah dalam perjalanannya sering terjadi ironi yang lucu. Setiap Forum PAUD melakukan kegiatan, yang terlibat orang-orang Dinas Pendidikan juga. Padahal, mestinya kegiatan itu menjaring partisipasi masyarakat. Begitu juga, ketika Dinas Pendidikan memanggil para pengurus Forum PAUD untuk membicarakan perkembangan pendidikan usia dini, yang datang orang Dinas Pendidikan juga.

“ Ibarat jeruk makan jeruk , Dinas Pendidikan memanggil organisasi, tapi yang datang orang Dinas Pendidikan juga,” kata Johny Nurdin, Ketua Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Sumatera Barat. Karena dirasa tidak menyentuh akar sasarannya, maka kegiatan Forum PAUD pun sempat vakum selama hampir dua tahun.

Di pihak lain, pemerintah Provinsi Sumatera Barat , mak in merasak an pentingnya pengembangan PAUD untuk mempersiapkan anak memasuki jenjang sekolah dasar. Akhirnya, Maret lalu, Forum PAUD dibangunkan kembali dari tidurnya. Untuk mengoordinasikannya, ditunjuk Hj. Vita Gamawan Fauzi, SH, sebagai ketua Forum PAUD. Pertimbangannya, karena Vita Gamawan Fauzi adalah istri Gubernur Sumatera Barat, Gamawan Fauzi. Vita juga menjadi ketua Tim penggerak PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) Sumatera Barat. Vita sudah berkecimpung mengurus PKK selama kurang lebih 12 tahun. Dan, PKK menjadi mitra utama Dinas Pendidikan dalam penyelenggaraan PAUD di Sumatera Barat.

Hingga berita ini diturunkan, Vita Gamawan Fauzi belum sempat dilantik secara resmi. “Jadi belum ada aktivitas organisasi, karena saya masih sedang mempelajari cara kerjanya dan segala hal tentang Forum PAUD ini,” kata Vita. Tapi sebagai Ketua PKK,

DUO UNIPENDEKAR PAUD Ibu Gubernur Sumatera Barat, Hj. Vita Gamawan Fauzi, SH, dan Ibu Wakil Gubernur, Dra. Hj. Maerawita Marlis Rahman M.Si, ditunjuk jadi ketua Forum PAUD, dan ketua HIMPAUDI Sumatera Barat. Pendidikan anak usia dini dimulai di posyandu.

fEttY SHINtA LEStARI

Sumatera Barat

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd68 68 7/14/2007 10:06:48 AM

Page 71: pena pendidikan 14

69Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Vita sebenarnya sudah kenyang pengalaman dalam menyelenggarkan pendidikan bagi anak usia dini.

Vita memaparkan bahwa dalam tubuh organisasi PKK ada 10 program PKK, termasuk BKB (Bina Keluarga Balita). BKB adalah kegiatan pendidikan anak usia dini yang pelaksanaannya digabungkan dalam kegiatan pos pelayanan terpadu (posyandu). ” K a re n a i t u , u n t u k m e ny u k s e s k a n penyelenggaraan BKB-PAUD ini dibutuhkan kerja sama terintegrasi dengan Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN),” kata Vita.

Vita menjelaskan, dalam kegiatan BKB, orangtua diberi pengetahuan mengenai tumbuh kembang anak. Anak-anaknya juga dididik mandiri sesuai dengan kelompok umur. Dalam BKB ada lima kelompok umur, yaitu dari 0-1 tahun, 1-2 tahun, 2-3 tahun, 3-4 tahun, 4-5 tahun. Setelah mendapat pendidikan dalam program BKB, anak-anak berusia 5 tahun sudah bisa dimasukkan ke Taman Kanak-kanak (TK).

”Namun karena masih banyak nagari (desa) di Sumatera Barat yang masih belum memiliki TK, maka kelompok bermain BKB inilah yang dimanfaatkan untuk PAUD,” tutur Vita. Jadi, menurut dia, BKB sebetulnya adalah cikal bakal sistem pendidikan anak usia dini. ”Terbukti, BKB PAUD dapat memenuhi kebutuhan pendidikan usia dini, terutama di desa-desa terpencil melalui posyandu.”

Menurut Vita Gamawan Fauzi, untuk meningkatkan mutu pelayanan BKB-PAUD, para kader PAUD terus diasah kompetensinya melalui pelatihan, kursus, dan pendidikan. ”Karena itu setiap ada informasi mengenai pelatihan, Tim Penggerak PKK Provinsi menginformasikan kepada kader PAUD melalui tim penggerak PKK di kabapaten/kota sampai ke tim penggerak PKK di lapisan paling bawah, yaitu nagari dan kelurahan,” kata Vita. ”Kemudian kalau ada dana, kader PAUD bisa melakukan studi banding ke kelompok PAUD yang lebih bagus,” ibu tiga anak itu menambahkan.

Saat ini Sumatera Barat memiliki PAUD percontohan yakni PAUD di Kabupaten Tanahdatar, yang merupakan PAUD pertama yang didirikan di Indonesia. “Saya selaku ketua tim penggerak PKK menghimbau ketua tim penggerak PKK kabupaten/kota, untuk belajar PAUD di Tanahdatar. Tidak usah jauh-jauh ke daerah lain, cukup di daerah kita sendiri saja,” ujar Vita, sambil tersenyum.

HIMPAUDI Upaya pengembangan penyelenggaraan

pendidikan anak usia dini, kini juga dilakukan Himpaudi Sumatera Barat. Himpaudi Sumatera Barat berdiri pertengahan Juni 2006. Ketuanya disepakati Dra. Hj. Maerawita Marlis Rahman M.Si, istri Wakil Gubernur Sumatera Barat. Saat ini jumlah anggota Himpaudi sekitar 50 orang, yang berasal dari

berbagai unsur, antara lain para pendidik PAUD, pengelola PAUD, dokter anak, unsur dinas pendidikan, dan akademisi.

Kegiatan Himpaudi Sumbar selama setahun ini lebih fokus pada kegiatan memberikan pelatihan kepada para anggotanya untuk menambah wawasan mereka baik dalam metode pembelajaran, maupun dalam pemanfaatan alat-alat permainan. Dalam satu tahun ini Himpaudi mengikuti dua pelatihan tingkat Sumatera.

S e l a i n i t u , m e re k a j u g a g e n c a r menyosialisasikan kegiatan PAUD ke seluruh stake holder, termasuk masyarakat, orangtua, anggota DPR, akademisi, dan praktisi pendidikan. Kegiatan sosial penting yang pernah dilakukan adalah pada saat gempa mengguncang Sumatera Barat, beberapa bulan lalu. Kala itu, mereka giat melakukan konseling pascagempa bagi anak-anak, dan orangtua yang mengalami trauma.

Menurut Maerawita Marlis Rahman, PAUD di Sumatera Barat masih mencari metode pembelajaran yang tepat. Metode Beyond Centre Circle Time (BCCT) yang sejatinya diterapkan untuk PAUD, belum bisa dijalankan sepenuhnya. ”Karena metode BCCT memang belum terpahami dengan jelas karena belum ada acuannya. Oleh karena itu untuk sementara, Himpaudi Sumatera Barat masih menggunakan alat seadanya untuk pembelajaran PAUD terutama di pelosok,” kata Maerawita. “Lagipula, kalau kita mengikuti model BCCT sepenuhnya, perlu biaya yang cukup besar untuk bisa menjangkau PAUD di daerah-daerah terpencil. Jadi belum sepenuhnya kita terapkan,” Maerawita menambahkan.

Maerawita berharap pemerintah bisa terus konsisten mengembangkan PAUD dengan memberikan dana rintisan yang cukup guna peningkatan kualitas. Untuk meningkatkan kualitas PAUD, tentu harus memperhatikan kualitas para pendidiknya.

”J i k a PAU D d i d i r i k a n s e b a n y a k mungkin, tapi pendidiknya tidak diberikan pembelajaran yang cukup mengenai kurikulum dan metode mengajar anak, maka tujuan memberikan pendidikan yang baik untuk anak usia dini, hanya tinggal angan-angan saja,” kata Maerawita. Ia mengusulkan agar dana rintisan dan dana pelatihan pendidikan PAUD, diberikan secara seimbang.

ES CAStRA dAN fEttY SHINtA LEStARI (PAdANg)

fEttY SHINtA LEStARI

Anak-anak PAUD YARI International School Padang sedang diperiksa giginya

Sumatera Barat

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd69 69 7/14/2007 10:06:51 AM

Page 72: pena pendidikan 14

70 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Gorontalo

Perhelatan lokakarya Forum PAUD dan HIMPAUDI (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini

Indonesia) yang berlangsung di Bandung, Jawa Barat, pertengahan Juni lalu terasa istimewa. Pasalnya, acara tersebut dihadiri oleh Hana Hasanah Fadel Muhammad, istri Gubernur Gorontalo Ir. Fadel Muhammad. Ia hadir dalam kapasitasnya sebagai Ketua Forum PAUD Provinsi Gorontalo.

Hana merupakan satu-satunya istri gubernur yang hadir. Ada juga istri pejabat lain yang datang, misalnya istri Wakil Gubernur Sumatera Selatan yang menjadi Ketua Forum PAUD di daerahnya. Hana menyempatkan mampir ke Bandung meski keesokan harinya pergi ke Eropa mendampingi suaminya.

Kehadiran Hana di acara lokakarya Forum PAUD dan HIMPAUDI Bandung hanya sebagian dari bentuk kepedulian dan komitmennya yang tinggi terhadap PAUD. Jajaran masyarakat pendidikan di provinsi

muda setelah melepaskan diri dari Sulawesi Utara itu mengakui Hana sangat aktif terlibat dalam kegiatan PAUD. “Kami mendapat dukungan penuh dari Pak Gubernur dan Ibu Gubernur dalam menjalankan program-program pendidikan, termasuk PAUD,” kata

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo, Drs. Weni Liputo.

Irina Popoi, Sekretaris Forum PAUD Provinsi Gorontalo, menyatakan bahwa Hana menjadi Ketua sejak paguyuban ini dibentuk pada Juni 2006 lalu. Kendati baru

JURUS AMPUH PROvINSI MUDAProgram PAUD di Provinsi Gorontalo berkembang sangat cepat antara lain karena kesediaan Hana Hasanah Fadel Muhammad, istri Gubernur Provinsi Gorontalo Ir. Fadel Muhammad, menduduki posisi sebagai Ketua Forum PAUD. Istri-istri bupati/walikota juga menjadi Ketua Forum PAUD di daerahnya masing-masing. Sosialisasi dilakukan lewat berbagai cara, antara lain siaran rutin melalui RRI.

SAIfU

L ANA

M

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd70 70 7/14/2007 10:06:53 AM

Page 73: pena pendidikan 14

71Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

dengan tiga prioritas pembangunan di provinsi tersebut, yaitu peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM), agropolitan jagung (pertanian), serta perikanan dan kelautan. PAUD menjadi bagian dari prioritas program pertama.

Hingga kini, jumlah lembaga PAUD di provinsi yang berpenduduk kurang lebih satu juta jiwa itu sudah mendekati angka 300. Padahal, kata Weni Liputo, pada 2003 baru ada tiga. Pertumbuhan paling pesat terjadi di Kabupaten Gorontalo dan Bualemo, lantaran bupati setempat juga sangat peduli.

Salah satu tantangan yang menghadang pelaksanaan program PAUD adalah fakta bahwa sebagian besar gurunya berpendidikan SMA. Namun Universitas Negeri Gorontalo (UNG) memberi dukungan penuh, yang dibuktikan dengan dibukanya program S-1 PAUD mulai 2007.

Irina yang sehari-hari bekerja sebagai dosen di Fakultas Ekonomi UNG memang tidak terlibat dalam pembukaan program S-1 PAUD, karena berada di bawah FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan). Namun, dalam pandangan dia sebagai pengurus Forum PAUD, didirikannya S-1 PAUD tersebut akan semakin memperkokoh pelaksanaan program PAUD di provinsi ini.

SAIfUL ANAM (goRoNtALo)

Sosialisasi juga dilakukan melalui paguyuban-paguyuban tertentu, seperti ik atan penggemar keroncong dan ikatan penggemar dangdut. “Kami juga bekerjasama dengan organisasi-organisasi wanita, mulai dari Muslimat NU, Aisyiah, PKK, BKOW (Badan Koordinasi Organisasi Wanita), hingga Bhayangkari,” ujar Irina. “Tak ketinggalan pula sosialisasi PAUD disisipkan melalui pesan-pesan yang disampaikan oleh pendeta dan pastur,” tambah Sastriwati.

Perhatian tinggi Gubernur Gorontalo dan istrinya terhadap program PAUD sejalan

Gorontalo

dibentuk setahun silam, namun lembaga PAUD sudah mulai tumbuh sejak 2003, misalnya PAUD Permata di Kabupaten Bone Bolango. “Saya senang Bu Hana bersedia menjadi ketua, apalagi beliau juga Ketua PKK Provinsi Gorontalo. Sehingga pelaksanaan program PAUD menjadi lancar,” katanya.

Kesediaan Hana menjadi Ketua Forum PAUD ternyata berimplikasi sampai kebawah. Buktinya, para istri bupati/walikota di Gorontalo juga menjadi Ketua Forum PAUD di daerahnya masing-masing. Walhasil, wajar jika program PAUD menjadi primadona.

Ada beragam kegiatan yang dilakukan oleh Forum PAUD. Satu yang khas adalah melalui siaran di radio RRI. “Dibanding media lain, siaran melalui radio RRI sangat efektif karena pendengarnya banyak. Masyarakat Gorontalo sangat fanatik dengan RRI,” timpal Sastriwati Mangkarto, Kepala Seksi PAUD Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo.

Di RRI, secara rutin program PAUD disisipkan dalam acara Hikmah Pagi yang disiarkan pukul 5.30 sampai 6.00. “Yang sering membawakan Ustad H. Muhammad Bakari,” kata Sastriwati . Selain itu, I r ina menambahkan, program PAUD juga dimasukkan dalam acara Dialog Rakyat yang disiarkan jam 15.00 dengan menggunakan bahasa daerah Gorontalo.

Irina Popoi

Sastriwati Mangkarto

PEM

PRov

. goR

oNtA

Lo

foto-foto: SAIfUL ANAM

Gubernur Gorontalo Ir. Fadel Muhammad bersama istri

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd71 71 7/14/2007 10:07:01 AM

Page 74: pena pendidikan 14

72 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Gorontalo

Program PAUD di Provinsi Gorontalo berkembang pesat berkat sokongan p e n u h d a r i G u b e r n u r Fa d e l

Muhammad dan istrinya. Pada 2005 baru ada tiga lembaga PAUD, kini sudah mendekati 300. Untuk mengetahui perkembangan PAUD, berikut wawancara PENA PENDIDIKAN dengan Drs. Weni Liputo, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo:

Bagaimana pelaksanaan program PAUD di Provinsi Gorontalo?

Sesuai rencana dan strategi kita ke depan dalam memacu perkembangan anak usia dini di Provinsi Gorontalo, hal pertama yang kita lakukan adalah mengadakan sosialisasi PAUD kepada masyarakat secara maksimal, terutama mereka yang memiliki anak usia dini. Kita berusaha untuk memberikan pencerahan pada masyarakat bahwa pendidikan bukan dimulai pada usia SD, tetapi sejak PAUD.

Kedua, kita mengintervensi program pendidikan usia dini mulai dari dua tahun. Sampai tahun 2005, kondisinya masih benar-benar memprihatinkan. Yang muncul baru beberapa kelompok bermain (KB) atau play group yang diinisiasi oleh pemerintah maupun masyarakat. Pada waktu itu baru kita temukan hanya tiga KB. Kemudian kita berusaha untuk lebih maksimal. Alhamdulillah pada awal 2006 sudah mulai muncul dengan melibatkan organisasi-organisasi wanita, terutama PKK, organiasasi keagamaan, termasuk juga aparatur-aparatur yang ada di tingkat desa.

Apa saja bentuk keterlibatan aparat desa dalam program PAUD?

Saya sampaikan kepada mereka, kalau bisa memanfaatkan fasilitas yang ada. Bisa bergabung dengan TK yang sudah ada yang dibina oleh masyarakat itu sendiri. Bisa juga

memanfaatkan balai desa, atau rumah-rumah pejabat yang ada di desa.

Berapa target yang hendak Anda capai?Saat ini lembaga PAUD yang ada sudah

hampir 300. Target kita sampai 2010 adalah minimal 75 persen desa-desa yang ada di Provinsi Gorontalo sudah memiliki layanan pendidikan anak usia dini. Saat ini tercatat 448 desa, tapi belum termasuk desa-desa pemekaran tahun 2007 ini. Lembaga PAUD yang ada sekarang masih belum merata. Ada satu desa yang sampai punya tiga, sementara di desa-desa lain belum ada.

Bagaimana komitmen dari gubernur?Sangat bagus. Bahkan Ibu Gubernur

menjadi Ketua Forum PAUD. Ini menjadi barang langka karena di daerah-daerah lain masih cukup banyak istri gubernur yang tidak terlibat. Bapak dan Ibu Gubernur sangat peduli PAUD karena menyadari bahwa kalau Gorontalo mau maju, kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya harus dipersiapkan dengan baik sejak dini.

Dengan posisi Ibu Gubernur menjadi Ketua Forum PAUD, maka kemudian dikuti oleh istri bupati/walikota. Mereka menjadi Ketua Forum PAUD di kabupaten/kota masing-masing. Pekerjaan Dinas Pendidikan menjadi terbantu.

Apa tantangan yang paling menonjol terkait pelaksanaan program PAUD?

Pertama, minimnya sarana prasarana. Ketersediaan alat-alat pendidikan untuk PAUD masih belum memadai. Kedua, kualitas gurunya. Mereka kebanyakan hanya lulusan SMA. Ketiga, kesejahteraan. Guru-guru PAUD paling hanya menerima honor Rp 100.000 per bulan, bahkan di daerah-daerah terpencil ada yang Rp 50.000. Kita memang ada insentif untuk mereka, tapi yang dapat baru sebagian.

Berapa anggaran pendidikan di Provinsi Gorontalo?

Sekitar Rp 33 miliar, atau 15,6% dari APBD. Khusus untuk PAUD sekitar Rp 875 juta. Kabupaten/kota malah ada yang menganggarkan lebih tinggi. Kabupaten Gorontalo, misalnya, sudah miliaran. Kabupaten Gorontalo dan Bualemo memang saya lihat paling bagus program PAUD-nya.

Wawancara drs. Weni LiputoKepala dinas Pendidikan Provinsi gorontalo

MENyIAPKANSDM BERKUALITAS

SAIfU

L ANA

M

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd72 72 7/14/2007 10:07:05 AM

Page 75: pena pendidikan 14

73Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Wawancara Hamsina tomeKetua HIMPAUdI Provinsi gorontalo

BERHARAP ADA BEASISwA

Gorontalo

HIMPAUDI Provinsi Gorontalo sudah menjangkau ke lima kabupaten/kota. Hanya satu yang belum terbentuk

kepengurusannya, yaitu Kabupaten Gorontalo Utara. Untuk mengetahui lebih dalam HIMPAUDI Gorontalo, berikut wawancara PENA PENDIDIKAN dengan Hamsina Tome, Ketua HIMPAUDI Provinsi Gorontalo.

Kapan HIMPAUDI Gorontalo berdiri?S ebenar nya berdi r inya pada 29

November 2005. Tetapi kami dikukuhkan kepengurusannya pada 11 April 2006, oleh Bapak Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Gorontalo.

Anda jadi ketua yang pertama? Iya. Waktu itu kami para pendidik PAUD

sedang mengikuti pelatihan tingkat provinsi yang difasilitasi oleh Dinas Pendidikan Gorontalo. Nah, momentum itu sekalian kami manfaatkan untuk pembentukan sekaligus pemilihan pengurus HIMPAUDI. Kepala Dinas Pendidikan setuju. Pemilihannya dilakukan secara langsung oleh peserta yang hadir, dan alhamdulillah saya terpilih sebagai ketua.

Anda sehari-hari mengajar PAUD?Saya dari dulu memang mengajar di

PAUD, yaitu PAUD formal (TK). Namanya TK Berlian. Muridnya 30 anak. Selain itu saya juga mengelola Kelompok Bermain(KB).

Namun sejak 2002, saya diperbantukan di SKB (Sanggar Kegiatan Belajar) Gorontalo untuk membantu pelaksanaan PAUD. Otomatis saya sering berkunjung memantau PAUD, baik formal maupun nonformal.

Apakah HIMPAUDI sudah menjangkau ke seluruh kabupaten/kota?

Alhamdulillah, dari enam kabupaten/kota yang ada di Provinsi Gorontalo, hanya satu yang belum terbentuk, yaitu Kabupaten Gorontalo Utara. Lima kabupaten/kota yang sudah berdiri adalah Kota Gorontalo, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bualemo, Kabupaten Pohuwato, dan Kabupaten Bone Bolango.

Iya, betul. Bahkan Ibu Gubernur menjadi Ketua Forum PAUD. Kalau ada acara lokakarya, beliau pasti menyempatkan hadir. Misalnya lokakarya Forum PAUD dan HIMPAUDI di Bandung, Juni 2007 ini. Di tengah kesibukannya beliau mau datang. Saya sendiri di Forum PAUD menjadi Wakil Sekretaris.

Kerjasama kami di HIMPAUDI dengan Forum PAUD juga berjalan sangat bagus. Organisasi-organisasi wanita seperti Muslimat NU, Aisyiah Muhammadiyah, PKK, Bhayangkari, juga aktif terlibat dalam program PAUD. Universitas Negeri Gorontalo juga mendukung penuh, dibuktikan dengan dibukanya S-1 PAUD.

Harapan Anda ke depan?Kalau bisa pemerintah memberi beasiswa

bagi teman-teman yang mau melanjutkan ke S-1 PAUD. Selain itu, alangkah bagus kalau para guru PAUD jelas statusnya, misalnya diangkat sebagai guru honorer dulu. Syukur kalau setelah itu bisa jadi pegawai negeri sipil.

Berapa jumlah anggota HIMPAUDI di Provinsi Gorontalo?

Total jumlahnya 854 orang. Mereka mengajar di 284 lembaga PAUD, yang terdiri dari 236 Kelompok Bermain dan sisanya berupa SPS (Satuan PAUD Sejenis).

Pada umumnya apa latar belakang pendidikan mereka?

Sekitar 90% lulusan SMA sederajat. Hanya sekitar 10 % yang lulusan D2 PGTK dan sarjana.

Anda sendiri lulusan dari mana?S a y a s e k a r a n g s e d a n g

mengambil S-1 PAUD di Universitas Negeri Gorontalo, dan sudah semester terakhir. Tadinya saya lulusan D2 PGTK.

Apa saja tantangan yang dihadapi HIMPAUDI?

Cukup banyak. Pertama, rendahnya kualifikasi dan kompetensi. Para pendidik pada awalnya belum tahu bagaimana cara mendidik anak yang benar. Maklum mereka lulusan SMA. Kami kemudian mengikutsertakan mereka dalam berbagai program pelatihan. Kira-kira masih ada 25% anggota HIMPAUDI yang belum pernah mengikuti pelatihan dasar.

Kedua, minimnya kesejahteraan. Dari 854 pendidik PAUD, sekitar 300 orang mendapat tunjangan insentif, yaitu mereka yang ada di Kabupaten Gorontalo. Sisanya yang 554 orang masih belum dapat. Kabupaten Gorontalo memang punya perhatian sangat tinggi terhadap PAUD.

Saya dengar kabar katanya Direktorat PTK-PNF (Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Nonformal) Depdiknas akan memberikan insentif. Syukurlah, mudah-mudahan terwujud.

Gubernur dan Ibu Gubernur Gorontalo punya perhatian dan komitmen tinggi terhadap PAUD?

SAIfU

L ANA

M

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd73 73 7/14/2007 10:07:14 AM

Page 76: pena pendidikan 14

74 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Gorontalo

Perasaan galau menyergap Rizal Hatibie, S.Pd, saat baru ditempatkan sebagai Kepala SD Inpres Huntu

Selatan, Kecamatan Tapa, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, tahun 1998 silam. Ia terperanjat, jumlah murid kelas I hingga VI hanya 60 anak. “Sedikit sekali,” katanya. Guru-guru yang bertugas lama di sekolah tersebut menceritakan kalau dari tahun ke tahun jumlah muridnya terus merosot. Kalau dibiarkan terus, bisa habis. Sekolah tersebut bisa ditutup.

H a t i b i e l a n t a s b e r u s a h a k e r a s mendongk rak jumlah muridnya. Ia berkomunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat sekitar. Ia juga merayu anak-anak agar mau masuk ke sekolahnya, yang sudah berdiri sejak 1980. Upayanya memang membuahkan hasil, namun Hatibie mengaku belum puas. Hingga tahun ajaran 2006/2007 total muridnya berjumlah 99 anak, atau bertambah 39 dibanding tahun 1998. Ia merasa heran, anak-anak di Desa Huntu Selatan tersebut lebih suka masuk ke SD Negeri Huntu Utara, meski lokasinya lebih jauh.

Selidik punya selidik, rupanya SD Negeri Huntu Utara punya TK. Sehingga anak-anak yang masuk TK, walaupun berasal dari Huntu Selatan, setelah lulus langsung dijanjikan masuk ke SD tersebut. “Ini rupanya kuncinya, pantas saya kuwalahan,” gumam pria kelahiran Gorontalo, 11 Maret 1953 itu.

Maka, Hatibie pun berniat mendirikan TK. Namun karena sekalian untuk menampung a n a k - a n a k usia di bawah empat

tahun, mak a ia dirikan PAUD di

samping SD tersebut.

Namanya PAUD Abdi Jaya.PAUD ini dibuka sejak

O kto be r 20 06 . Ju m l ah muridnya pada Juni 2007 lalu 38 anak. “Kalau nanti d i t a m b a h a n a k - a n a k yang non PAUD, I nsya Alloh jumlah murid SD kami akan ber tambah,” kata Hatibie yang juga menjadi penanggungjawab p e n g e l o l a a n P A U D tersebut.

P A U D A b d i J a y a mempunyai empat guru, yaitu Rukminu, Muliati Mamonto, Minar Sigani, dan ia sendiri yang merangkap sebagai Kepala PAUD. Tiga tenaga guru itu adalah h o n o r e r, d i b a y a r d a r i dana sekolah. “Sebulan Rp 100.000,” ujarnya.

Hatibie mengaku senang lantaran tanggapan dari masyarakat sekitarnya bagus. Kini mereka tak lagi perlu jauh-jauh memasukkkan anaknya ke TK Huntu Utara.

SAIfUL ANAM

AGAR TIDAK KEKURANGAN MURID

foto-foto: SAIfUL ANAM

Rizal Hatibie, S.Pd,

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd74 74 7/14/2007 10:07:18 AM

Page 77: pena pendidikan 14

75Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Gorontalo

Dari hampir 300 lembaga PAUD di Provinsi Gorontalo, salah satu yang terbi lang maju adalah

PAUD Permata, di Desa Ayula Selatan, Kecamatan Lamahu, Kabupaten Bone Bolango. Penanggungjawabnya adalah Sukarni Timbola. Jumlah muridnya 79 anak, sementara gurunya enam orang. Dua guru sudah berstatus pegawai negeri sipil, yang empat honorer.

PAUD Permata berdiri pada 16 Mei 2003, termasuk paling awal di Provinsi Gorontalo. Ia menjadi rujukan bagi lembaga-lembaga PAUD lain. Menempati lahan seluas 12x9 meter milik desa. Di PAUD ini ada tiga kelompok belajar, yaitu Kelompok A usia 3-4 tahun, B usia 4-5 tahun, dan C umur 5-6 tahun. Sebenarnya dari tahun ke tahun yang daftar membludak. “Tapi tidak bisa kami terima karena kapasitasnya terbatas,” ujar Sukarni.

Di PAUD Permata tersebut kalau sore dan malam juga dipakai untuk kegiatan pendidikan kesetaraan dan keaksaraan fungsional. Peminat pendidikan kesetaraan puluhan, terutama Paket C. Sedangkan peserta keaksaraan 20 orang, sebagian besar wanita.

Kepala Desa Ayula Selatan, Iskandar Gobel, menyambut gembira keberadaan PAUD Permata. “Masyarakat sangat antusias dan mendukung sekali ,” katanya. Ia berharap agar pemerintah membantu pengembangan PAUD tersebut sehingga bisa menampung seluruh anak yang berniat belajar.

Rita Gani, S.Pd, penilik Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Bone Bolango, mengakui kalau PAUD Permata salah satu yang termaju di Gorontalo. “PAUD ini menjadi andalan saya,” katanya. Ia membina lima PAUD yang tersebar di

PERTAMA DAN IDOLAbeberapa kecamatan.

Dari pantauannya, tantangan paling berat yang dihadapi PAUD adalah guru-gurunya yang umumnya kurang memiliki kompetensi yang diharapkan. Maklum, mereka kebanyakan lulusan SMA yang tidak punya pengetahuan cukup tentang anak. Setelah dilatih, ada sebagian yang cepat bisa menerapkan. Namun banyak yang masih tampak kesulitan mendidik anak.

SAIfUL ANAM

foto

-fot

o: SA

IfUL A

NAM

Iskandar Gobel dan Rita Gani

75Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd75 75 7/14/2007 10:07:35 AM

Page 78: pena pendidikan 14

76 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Sulawesi Selatan

Sekolah Bertaraf Internasional,” kata Drs. M. Yusuf Nippi, MEd, Kepala Subdin Pendidikan Menengah dan Tinggi, Dinas Pendidikan Sulsel optimistis.

PAUD dalam beberapa tahun terakhir juga menjadi fokus perhatian. Bersama dengan Jawa Barat dan Bali, Sulawesi Selatan

SULAWESI Selatan bukan cuma dikenal karena memiliki jajaran pantai nan indah. Provinsi dengan luas wilayah

45.574,48 km2 ini kini termasuk daerah yang pesat mengembangkan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Makassar, sebagai ibu kota provinsi, dan 20 kabupaten plus 2 kota mampu mencapai kinerja pendidikan yang baik. Setidaknya dalam

pencapaian Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP mencapai 79,56% dan angka kelulusan SMP tahun ini mencapai 95,4%.

Dinas Pendidik an Sulsel tengah merancang program sekolah unggulan. Nantinya akan dikembangkan sekolah berskala internasional di setiap kabupaten dan kota. ”Saat ini ada 109 sekolah dari SD, SMP dan SMA yang diproyeksikan menjadi

MENyONGSONG GENERASI CERDAS, KUAT DAN BERKUALITAS

Lembaga PAUD berkembang pesat. Partisipasi masyarakat meningkat, peran pemerintah daerah dan organisasi kemasyarakatan juga membuncah. Kesejahteraan para pendidik PAUD masih rendah.

Drs.M.Yusuf Nippi, MEd

foto

-fot

o: Ev

A Ro

HILA

H

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd76 76 7/14/2007 10:07:39 AM

Page 79: pena pendidikan 14

77Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Sulawesi Selatan

ditunjuk sebagai penerima proyek Bank Dunia untuk program PAUD. PAUD rintisan itu dikembangkan di 12 kabupaten. Di provinsi yang punya julukan Ayam Jantan dari Timur ini, yang ditunjuk adalah Gowa, Maros, Bulukumba dan Bone.

Meskipun kucuran dana Bank Dunia sudah dihentikan pada akhir 2006, perkembangan PAUD tak lantas berhenti. Kelompok Bermain tetap tumbuh. Sosialisasi PAUD di empat kabupaten tetap berjalan. Partisipasi masyarakat pun bermunculan dengan kehadiran kelompok bermain rintisan dan swadaya masyarakat.

“Alhamdulillah, sangat menggembirakan melihat orangtua, masyarakat, dan para pemimpin memperlihatkan komitmen tinggi dalam program PAUD,” kata Drs. H. Andi Patabai Pabokori, Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan seraya tersenyum.

Komitmen bupati, walikota dan gubernur selama ini dibuktikan dengan anggaran PAUD yang dari tahun ke tahun meningkat. Tahun lalu Sulses menganggarkan Rp 399 juta untuk PAUD. Tahun ini melonjak menjadi Rp 1 miliar. “Ini peluang emas kami dalam upaya menciptakan generasi muda yang cerdas, kuat dan berkualitas” ujar Andi Patabai.

KB dan TPA Menurut data Dinas Pendidikan Sulsel

Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah, Makassar tercatat yang paling banyak mengembangkan Kelompok Bermain (KB) yang mencapai tak kurang dari 173 KB Rintisan dan 65 KB Swadaya. Di Gowa dikembangkan 32 KB rintisan dan 10 KB

swadaya. Sedangkan di Bulukumba ada 34 KB rintisan dan 7 KB swadaya. Kabupaten lain macam Bone, Pinrang, Tana Toraja, Takalar dan Maros mulai tumbuh juga.

“Hampir 99%, Kelompok Bermain aktif, terutama di empat kabupaten yang mendapat dana Bank Dunia. Hal ini dipicu semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat,” ujar Abdul Wahab Jafar, SE, MM, Pembina PAUD Subdin Pendidikan Luar Sekolah Sulsel.

Melonjaknya jumlah KB tak diimbangi keberadaan Taman Penitipan Anak (TPA). “Sangat disayangkan, jumlah TPA sangat kurang. Kami hanya memiliki tujuh,” ujar Drs. Abdulah Parrewe, Kepala Subdin PLS Sulsel, saat memberikan sambutan Semiloka TPA Regional Timur. “Meski demikian, PAUD Sulsel terdepan dan paling cemerlang menyusul Keaksaraan Fungsional dan Buta Aksara,” ujar lelaki ramah berkacamata ini yang disambut tepuk tangan peserta semiloka.

Apa yang dikatakan Abdullah Parrewe diamini Ketua Forum PAUD Sulsel, Prof. Dr. Arismunandar, M.Pd. “Di sini ada Universitas Negeri Makassar yang memiliki jurusan PAUD untuk Program Pascasarjana. Bahkan sudah dibentuk PAUD berbasis teknologi komunikasi yang diharapkan menjadi PAUD Percontohan bagi wilayah regional timur,” kata lelaki yang menempuh S-3 Manajemen Pendidikan di IKIP Malang ini serius. (Lihat: Berharap Golden Age Menjadi Golden Program).

Berseminya jumlah lembaga PAUD itu memang masih jauh dari cukup jika

mencermati jumlah anak usia 0-6 tahun. Hingga 2006, PAUD terintegrasi Posyandu, PAUD terintegrasi Taman Pengajian Al Quran, Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak baru menjangkau tak lebih dari 13.000 anak.

Peran Pemda dan Ormas Menjamurnya PAUD di sana tak lepas

dari dukungan pemerintah kabupaten/kota dan organisasi kemasyarakatan. Juga Forum PAUD dan Himpaudi. Satu di antaranya yang memiliki komitmen tinggi mengembangkan PAUD adalah Gowa. Bupati H. Ichsan Yasin Limpo, SH, adalah pengggas Sanggar Pendidikan Anak Sholeh (SPAS) yang juga peraih Pratama dan Madya dari Departemen Pendidikan Nasional karena kepeduliannya terhadap pendidikan nonformal.

Organisasi kemasyarakatan seperti Mus-limat NU, Aisyiyah, PKK, dan Dharma Wanita juga menjadi kawan seiring pelaksanaan pendidikan dan pengasuhan anak usia dini di sana. “Tokoh-tokoh di sini cukup mema-hami pentingnya PAUD. Ketua MUI sangat peduli, ketua Himpaudi juga dari DPRD, ketua Forum PAUD dari Pembantu Rektor Universitas Negeri Makassar. Bahkan di UNM sudah dibuka jurusan PAUD untuk Program Pascasarjana. Saya juga sangat memberi apresiasi kegiatan Sanggar Pendidikan Anak Sholeh di Gowa yang didirikan di setiap desa dengan bantuan dana APBD,” kata Dr. Gutama, Direktur PAUD, usai membuka Semiloka TPA di Makassar itu.

EvA RoHILAH (MAKASSAR)

Kasubdin PLS Drs. Abdullah Parrewe

Drs.H.Andi Patabai Pabokori, Kepala Dinas Pendidikan Sulsel

Wahab Jafar, Pembina PAUD Subdit PLS Sulsel

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd77 77 7/14/2007 10:07:43 AM

Page 80: pena pendidikan 14

78 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Sulawesi Selatan

Forum PAUD dan Himpaudi Sulawesi Selatan bergerak cepat dalam melakukan sosialisasi PAUD. Di antaranya melalui

pelatihan, workshop, dan semiloka. Sasarannya tidak hanya lembaga dinas atau pamong, melainkan melibatkan berbagai pihak, termasuk organisasi kemasyarakatan.

”HIMPAUDI Sulsel sudah bekerjasama dengan Muslimat NU, PKK, Aisyiah, Dharma Wanita, Kepala SKB, Camat dan Ibu Camat, lurah dan Ibu lurah seterusnya dalam rangka percepatan akses layanan, sosialisasi PAUD, dan mendongkrak mutu tenaga pendidik,” kata M. Alimudin, MPd, Wakil Ketua Himpaudi Sulawesi Selatan.

Ormas ta cuma puas menyelenggarakan satu Kelompok Bermain. Mereka juga merintis KB binaan di beberapa cabang organisasi. Muslimat NU dan Aisyiyah kini memiliki masing-masing 20 Kelompok Bermain. Berikut profil Kelompok Bermain binaan kedua organisasi ini:

KB Muslimat NU, Gowa KB Muslimat NU Gowa memiliki 20 orang anak dan dua

orang pamong sebagai tenaga pendidik. Sesuai dengan visi dan misi Nahdlatul Ulama yang memegang teguh konsep ahli sunah waljamaah, sekolah ini meramu pembelajaran PAUD dengan Taman Pengajian Al Quran. ”Kami memang menekankan aspek spiritual,” kata Dra. Hj. Nurul Fuadi, MA, Ketua Pimpinan Wilayah Muslimat NU Sulsel.

Kelompok Bermain Muslimat NU Gowa adalah yang terbaik dari 20 KB yang telah dibentuk Muslimat NU. Peminatnya tak

cuma warga menengah. Mereka yang masuk kategori miskin pun juga dilayani.

KB Aisyiyah Jongaya, Makassar KB Aisyiyah Jongaya yang berada di ranting Balang Boddong,

Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, selalu dipenuhi anak-anak. Maklum lokasinya di perkotaan sehingga banyak diminati. Siang itu nampak anak-anak berlarian ke sana ke mari, ada yang bermain di ayunan. Sebagian bermain di perosotan di arena bangunan bercat warna-warni itu.

”Sebagai ormas yang konsen terhadap pendidikan anak, Aisyiyah Muhammadiyah sejak dini menanamkan nilai-nilai kemuhammadiyahan kepada anak. Di tingkat pusat kami memiliki divisi khusus PAUD yang bertugas melakukan sosialisasi PAUD dan merintis kelompok bermain di tingkat ranting,” kata Hj. Nasyiah Abdullah, S.Ag, Ketua Pimpinan Wilayah Aisyiyah Sulsel Majlis Dikdasmen.

Sayangnya, kata Nasyiah, kurangnya perhatian pemerintah pusat berkaitan dengan kesejahteraan tenaga pendidik maupun perawatan gedung.

”Saya harap pemerintah pusat memiliki perhatian yang lebih terhadap PAUD karena anak-anak kami banyak yang berasal dari kaum dhuafa,” ujar Nurul menyampaikan unek-uneknya yang selama ini ditahan.

Apa yang dikatakan Nurul diamini juga oleh Nas.”Mungkin perhatian yang sudah diberikan sekarang harus ditingkatkan lagi agar kami lebih termotivasi,” ungkap Nas terus terang.

MENEKANKAN ASPEK SPIRITUAL

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd78 78 7/14/2007 10:07:45 AM

Page 81: pena pendidikan 14

79Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Sulawesi Selatan

AWET muda dan cerdas. Itulah kesan pertama saat bertemu Profesor Dr. Arismunandar, MPd. Ketua Forum

PAUD Sulawesi Selatan ini nampak jauh lebih muda dari usianya yang 45 tahun, 14 Juli ini. Tutur katanya yang bernas pertanda Pembantu Rektor II Universitas Negeri Makassar, yang masih sering mengajar ini sosok yang amat menguasai pengetahuan tentang PAUD.

Kepada Eva Rohilah dari PENDA PENDIDiKAN, ayah tiga putra yang gemar tenis dan menyanyi ini bicara panjang lebar tentang PAUD, di ruang Purek II UNM, akhir Juni lalu. Berikut petikannya:

Bagaimana perkembangan Forum PAUD di Sulawesi Selatan?

Forum PAUD Sulsel berdiri pada 2003 sesuai SK Gubernur. Forum ini didirikan sebagai stimulus dari Forum PAUD Pusat, yang berusaha merangkul stakeholder seperti Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, BKKBN, akademisi dan praktisi. Tujuannya bersama-sama meningkatkan partisipasi masyarakat akan pentingnya pendidikan pada periode emas anak-anak usia dini untuk investasi di masa mendatang.

Apa potensi anak-anak usia dini di Sulsel?Sulawesi Selatan masih boleh disebut

daerah belum maju. PAUD belum dianggap sebagai investasi oleh sebagian besar masyarakat, sebagaimana investasi penting pada pendidikan dasar. Banyak anak usia dini masih dipelihara ibunya di rumah daripada disekolahkan.

Tapi di Gowa PAUD cukup maju, kesadaran orangtua akan pentingnya PAUD cukup tinggi?

Ya. Hanya empat kabupaten yang mendapat dana untuk PAUD rintisan. Masih banyak kabupaten lain yang belum maju. Saya kira partisipasi PAUD reaktif lebih baik

di daerah perkotaan seperti Makasar dan Pare-Pare. Meski ada program stimulus dari pemerintah pusat, tidak semua pemerintah daerah tergerak. Mestinya mencontoh Sinjai yang membiayai rintisan PAUD dari APBD.

Apa langkah Forum PAUD agar para pendidik memiliki kompetensi memadai?

Yang kami fokuskan adalah sosialisasi dan meningkatkan kapasitas manajemen pengelolaan PAUD. Kami minta pengelola PAUD, baik kepala kelompok bermain maupun pamong, mengikuti pelatihan untuk memperkuat aspek pengembangan income generating unit. Problemnya, hampir semua penyelenggara PAUD dibiayai masyarakat, tidak dapat disubsidi pemerintah. Kami juga sudah membuat kurikulum berstandar kompetensi bagi para pendidik PAUD.

Standar kompetensi seperti apa?Pertama, kami mengacu pada standar

kompetensi guru secara umum. Seorang guru paling tidak memiliki 4 kompetensi dasar. Yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, kompetensi sosial dan kompetensi pedagogik. Oleh karena itu mereka yang tidak berasal dari lembaga pendidikan akan kami beri penekanan pada kompetensi pedagogik, berupa metode mengajar untuk anak usia dini.

Sekarang masuk tahap apa?S u d a h k a m i r u m u s k a n s t a n d a r

k o m p e t e n s i ny a . H a ny a s a j a b e l u m disosialisasikan. Kami sudah menyusun kurikulum pelatihan untuk mendapat guru yang memiliki kompetensi.

Kapan rencana itu dilakukan?K a m i s e d a n g m e n c a r i d u k u n g a n

pembiayaan. Saat ini baru tahap uji coba,

berupa pelatihan yang benar-benar mampu menghasikan guru-guru yang memiliki kompetensi berdasar standar yang kami susun tadi.

UNM memiliki Jurusan PAUD jenjang S-2 dan memiliki PAUD berbasis teknologi dan komunikasi. Keterlibatan Forum PAUD apa?

Ya. Mahasiswa Jurusan PAUD S-2 baru sekitar 20 orang. Mahasiswanya dari Dinas Pendidikan Luar Sekolah, praktisi dan mahasiswa murni.

Forum PAUD bekerjasama dengan Subdin PLS Dinas Pendidikan Sulsel membangun Kelompok Bermain dan Taman Penitipan Anak dengan fasilitas lengkap seperti komputer dan internet. PAUD percontohan itu lebih mengarah pada sumber belajar bagi mahasiswa Pendidikan Guru Taman Kanak-kanak dan S-2 PAUD sebagai tempat riset. Harapannya, PAUD yang dibina Dharma Wanita UNM ini menjadi PAUD Percontohan untuk wilayah timur.

Apa harapan Anda untuk PAUD di Sulawesi Selatan?

Harapan saya, PAUD bukan hanya bisa menjadi golden age, tetapi juga bisa menjadi golden program bagi pemerintah Sulawesi Selatan. Artinya, PAUD harus menjadi prioritas agar usia emas benar-benar menjadi masa depan emas bagi anak-anak kita nanti.

Wawancara Profesor dr Arismunandar, MPd, Ketua forum PAUd Sulawesi Selatan

BERHARAP GOLDEN AGE JADI GOLDEN PROGRAM Ev

A Ro

HILA

H

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd79 79 7/14/2007 10:07:56 AM

Page 82: pena pendidikan 14

80 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Sulawesi Selatan

GOWA telah lama dikenal sebagai daerah yang sarat nuansa budaya. Selama beberapa abad, Gowa

dengan kebesaran jiwa dan semangat tokoh-tokoh pendahulunya menempatkan Gowa sebagai daerah yang diperhitungkan. Sebagai kabupaten yang mendapat bantuan proyek Bank Dunia untuk program PAUD, kemajuan di sana luar biasa. Gowa memiliki 32 PAUD ditambah 154 Sanggar Pendidikan Anak Shaleh yang digunakan pula untuk kegiatan PAUD.

“Menurut Pak Bupati Gowa, dana pendidikan luar sekolah, terutama PAUD dan Sanggar Pendidikan Anak Shaleh, diupayakan dibiayai APBD. Dana itu bisa dipergunakan untuk membangun fasilitas seperti taman bermain, perpustakaan, sekaligus ruang tunggu bagi orangtua. Buta aksara juga bisa diberantas melalui perpustakaan,” ujar Idris Faisal Kadir, SH, Kepala Dinas Pendidikan Gowa berapi-api.

SPAS: Pengentasan Kemiskinan

Keberadaan Sanggar Pendidikan Anak Shaleh (SPAS) lahir dari gagasan Bupati Gowa, H. Ichsan Yasin Limpo, SH. SPAS merupakan lembaga pendidikan Islam sekaligus wadah taman belajar mengajar bagi anak yatim piatu atau anak miskin putus sekolah usia 7-14 tahun. “Perda Nomor 7 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Buta Aksara Al Quran menjadi pemicu saya memajukan pendidikan di Gowa,” kata Pak Bupati.

Kehadiran SPAS persisnya ketika Ichsan Yasin Limpo masuk gelanggang pemilihan bupati. SPAS lahir berpijak pada data 36,36% warga Gowa miskin. Jumlahnya 507.507 jiwa. Sebanyak 20.646 Kepala Keluarga masuk kategori sangat miskin. Tingkat putus

sekolah juga cukup tinggi. “Salah satu cara memberantas kemiskinan adalah denga pendidikan. Strateginya saya menggalakkan SPAS,” ujar pria berkacamata yang saat diwawancari mengenakan baju dinas berwarna hijau ini panjang lebar.

Setelah terpilih sebagai bupati Gowa periode 2005-2010, alumni Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar ini hanya butuh waktu delapan bulan untuk merealisasikan janjinya. Program SPAS bergaung di mana-mana. Semua dana SPAS diambil dari APBD Gowa yang 20% di antaranya untuk pendidikan.

“Kabupaten Gowa sudah 2 tahun berturut-turut sebagai kabupaten yang pertama menyelesaikan pengalokasian anggaran pendidikan sebanyak 20% APBD. Itu murni untuk pendidikan, di luar gaji guru. Alokasi terbesar untuk pendidikan nonformal, ” ujar Ichsan Yasin Limpo. Atas kepedualiannya terhadap pendidikan nonformal itu Yasin Limpo mendapat penghargaan Pratama dan Madya dari Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal dan Menteri Pendidikan Nasional.

ESQ Bagi Guru T i d a k h a n y a s e g i f i s i k , G o w a

memperhatikan instrumen pendidikan.

Para tenaga pendidik baik formal maupun nonformal, termasuk PAUD dan SPAS, mendapat pelatihan Emotional Spiritual Quotient (ESQ) pimpinan Ary Ginanjar. “Saat ini sudah 462 guru mengikuti pelatihan ESQ,” ujar Idris Faisal Kadir bangga.

Hasil pelatihan ESQ? Para tutor menjadi lebih ikhlas dan sabar mengahadapi anak didik. Selain itu, kompetensi mereka juga meningkat. Meskipun tingkat kesejahteraan guru biasa-biasa saja.

Kabar menggembirakan juga menggapai 22 orang pamong PAUD yang diangkat menjadi PNS tahun ini. Di antara mereka adalah

Siti Aminah dari Pusat PAUD Bontomanai, Sokhrah A.Ma, Pusat PAUD Renggang Tana Bangka Bajeng Barat dan Ferawati dari Pusat PAUD Harapan Bangsa Desa Belapun Ranga, Kecamatan Parang Loe.

“Ini adalah satu kemajuan bagi PAUD Gowa,” ujar Dwinita Yunus, dari Subdit Penitipan Anak Direktorat PAUD Depdiknas yang bertemu langsung dengan mereka di kantor Dinas Pendidikan Gowa bersama Abdul Wahab Jafar SE MM Pembina PAUD dari Subdin Pendidikan Luar Sekolah Sulsel. Meningkatnya kompetensi guru dan

maraknya kegiatan PAUD dan SPAS di kabupaten Gowa membuat Bupati Gowa optimistis dengan kualitas Sumber Daya Manusia di Gowa dalam kurun 15-20 tahun mendatang.

“Saya yakin anak usia dini di kabupaten Gowa jika komputer otaknya terbuka 80%, maka potensi SDM-nya akan meningkat. Mereka mampu mengelola potensi Gowa di jalur strategis,” kata Bupati Gowa, yang mendapat penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulsel atas keaktifannya mendukung tugas pers di Sulsel pada 2006.

EvA RoHILAH (goWA)

gowa, Sulawesi Selatan

KONSISTEN MEMAJUKAN PENDIDIKAN Tidak hanya PAUD berkembang pesat, Sanggar Pendidikan Anak Shaleh jadi program andalan. Pendidikan bagi anak miskin berusia 7-14 tahun tersebar di setiap kecamatan.

H. Ichsan Yasin Limpo, SH.

Drs.Idris Faisal Kadir, SH.

foto

-fot

o: Ev

A RoH

ILAH

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd80 80 7/14/2007 10:08:02 AM

Page 83: pena pendidikan 14

81Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Sulawesi Selatan

Mengenakan seragam berompi warna hijau toska, Ikram terlihat riang gembira menyanyikan lagu

kanak-kanak berjudul ”Happy” bersama teman-temannya. Sambil bertepuk tangan, sesekali bocah 3 tahun berkulit gelap ini tertawa riang sambil melirik ibunya yang menunggu di luar. Ikram dan teman-temannya di Kelompok Bermain (KB) Teratai Pusat PAUD Mawang Kabupaten Gowa, Sulsel tampak ceria.

Pengelola PAUD sekaligus pamong yang kebetulan sedang mengajar pagi itu, terlihat sabar dan lincah. Rosmawati, atau biasa dipanggil Ros, usai bernyanyi membawa anak-anak ke tempat bermain yang ada dalam ruangan. Di sana ada beragam Alat Permainan Edukatif dari beragam jenis seperti sentra balok, macroplay, dan papan tempel.

”Ikram mau bermain apa? Tanya Ros kepada bocah yang terlihat aktif ini. “Balok Bu Guru,” ujarnya seraya berlari ke Sentra Balok

diikuti dua orang temannya. Sementara itu,Sementara itu, di belakang Ikram, Lastri terlihat pendiam. Saat ditanya gurunya ia mau bermain apa. Gadis empat tahun hitam manis ini menjawab, ”Menggambar Bu Guru.”

MengembangkanPotensi Anak

Ikram dan Lastri adalah satu di antara 24 anak Kelompok Bermain (KB) Teratai di Pusat PAUD Mawang. Pusat PAUD yang memiliki luas 1000 m2 adalah satu di antara 19 Pusat PAUD di Gowa yang mendapat bantuan dana dari Bank Dunia. Gedung PAUD berbentuk L ini memiliki fasilitas lengkap yang terdiri dari tiga ruangan: Ruang Pengelola, Ruang Belajar, dan Kelompok Bermain. Alat bermainnya pun komplit, baik di dalam ruangan maupun alat bermain di luar seperti jungkitan, perosotan, titian, ayunan dan panjatan.

Sejak 1999, secara serentak Bank Dunia

membangun pusat-pusat PAUD rintisan di Gowa. Sebelumnya pada 1999, para calon tenaga pendidik di empat kabupaten tersebut mendapat beasiswa untuk menjadi guru PAUD di Universitas Negeri Makassar (UNM). Sehingga setelah studi mereka selesai, gedung pusat PAUD juga siap dipakai.

“Dulu gedung ini dibangun pada 1999, saat masih rintisan. Jadi sementara gedung ini dibangun, para gurunya disekolahkan di UNM sampai 2002,” ujar Ros yang saat ini,” ujar Ros yang saat ini berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Sampai saat ini Pusat PAUD Mawang berhasil mengembangkan potensi anak usia dini dengan ”mewisuda” 200 anak binaan PAUD masuk Sekolah Dasar Negeri. ”Sudah ada tiga kali perpisahan,” ujar Ros bangga karena sudah lima tahun mengabdi di Pusat PAUD Mawang.

Kearifan Lokal Meskipun demikian, Ros masih sulit

memberikan pendidikan pada anak didiknya di Kelas Bermain untuk menggunakan Bahasa Indonesia, bukan bahasa Daerah.

”Anak di usia bermain 2-4 tahun, menyukai tanya jawab dan bercerita. Mereka menjawab dengan bahasa daerah dan Bahasa Indonesia. Biasanya kita luruskan agar mereka menggunakan bahasa Indonesia,” ujar wanita berbadan subur yang yang mengenakan jilbab ini kalem.

Jika Ros mengalami masalah dengan Bahasa, lain halnya dengan Ferawati, atau biasa dipanggil Fera. Pamong di Pusat PAUD Harapan Bangsa Desa Belapun Ranga kecamatan ParangLoe ini memiliki masalah yang berbeda dengan kearifan lokal di daerahnya berkaitan dengan Kelompok Bermain maupun Taman Penitipan Anak.

”Di daerah saya masih banyak Ibu-ibu yang belum rela anaknya bermain di Kelompok Bermain Pusat PAUD maupun TPA, mereka lebih senang mengasuhnya di rumah,” ujar Fera heran.

Meskipun demikian apa yang dialami Ros dan Fera bukanlah suatu hambatan dalam mendidik anak usia dini yang memiliki tujuan mulia ini. ”Menurut saya, menjadi seorang pamong harus lebih kreatif,” pungkas Ros yang berkeinginan Pusat PAUD Mawang memiliki Taman Penitipan Anak dan akan terus berkembang walaupun tanpa bantuan Bank Dunia.

EvA RoHILAH (goWA)

Kelompok Bermain teratai, Somba opu, gowa

MERINTIS DAN MEMAHAMI KEARIFAN LOKAL Happy ye ye ye happy yee. Aku pilih PAUD sajaAku pilih PAUD sajaSiang kita bermain, hati jadi gembira Cintaku semakin mendalam

foto

-fot

o: Ev

A RoH

ILAH

Anak-anak Kelompok Bermain Mawang Teratai Sumba Opu bernyanyi sebelum makan

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd81 81 7/14/2007 10:08:05 AM

Page 84: pena pendidikan 14

82 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Yogyakarta

RAGAM wajah Yogyakarta sebagai Kota Pelajar, Kota Wisata, Kota Budaya rasanya tak lekang dimakan zaman.

Sebagian Yogyakarta sempat luluh lantak diguncang gempa hebat berskala 5,9 Richter pada akhir Mei 2006. Kabupaten Bantul sebagai wilayah terparah sempat lumpuh semua sendi kehidupannya.

Setahun berlalu, wajah Yogyakarta seakan tak pernah berduka disapu bencana. Suasananya menjadi pesona yang ngangeni bagi siapa saja yang pernah bernostalgi. Jagat pendidikan yang sempat tersendat karena ratusan gedung sekolah rusak, hancur dan sebagian rata tanah, mulai bergulir pendidikan tetap menjadi harta yang tak ternilai dan harus tetap dijalankan dengan kondisi yang ada. “Pendidikan Yogyakarta masih sangat prospektif,” ujar Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DIY, Drs. Sugito, MSi, mantap.

Pertumbuhan pendidikan memang berkembang pesat di sana. Jalur pendidikan formal mencatat APK (Angka Partisipasi Kasar) SD/MI mencapai 109,24%. APK SMP yang lebih dari 100% juga melampaui syarat tuntas wajib belajar. Bahkan APK SMA mencapai 76,63%, melebihi APK SMA secara nasional yang hanya 56,2%. Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI mencapai 93,69. APM SMP tercatat 76,79% dan APM SMA/MA 55,89. Bahkan saat ini juga sedang dirintis Wajib Belajar 12 Tahun sampai tingkat SMA.

Pe n d i d i k a n n o n fo r m a l t a k m a u ketinggalan. Dana-dana rintisan dalam bentuk block grant banyak digulirkan. Penyelenggaraan Pendidikan Aanak Usia Dini (PAUD), program Kejar Paket A, B, dan C, juga Taman Baca Masyarakat (TBM) Mobile mengalami kenaikan kuantitas cukup signifikan.

PAUD, yang gencar disosialisasikan sejak tahun 2003 juga berkembang baik di provinsi ini. Setidaknya ada 1.398 jumlah lembaga PAUD yang tersebar di 5 kabupaten dengan rincian: 330 Kelompok Belajar (KB), 61 Taman Penitipan Anak (TPA), dan 1007 Satuan PAUD Sejenis (SPS).

Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD mengalami kenaikan per tahunnya. Saat ini dari 305.032 jumlah anak usia dini (0-6 tahun) di DIY, 113.294 anak atau 37,1% mengecap bangku PAUD. Sehingga masih tersisa jumlah 191.738 anak belum terlayani.

Adalah Satuan PAUD Sejenis (SPS) dan Program 1000 Pos PAUD yang menjadi ujung tombak. Seperti diungkapkan Drs. Aliyanto, MPd, Kabid PLS Dinas Pendidikan Provinsi DIY, “Kalau ada da’i sejuta umat, maka di sini ada 1000 Pos PAUD.”

SPS dan Pos PAUD ini didirikan di tingkat RW dan bekerjasama dengan PKK. Konsepnya mengintegrasikan PAUD ke dalam kegiatan Posyandu. Tenaga pengajarnya berasal dari ibu-ibu PKK, remaja, dan orang-orang yang peduli terhadap PAUD.

PAUD jenis ini justru menjadi pelayanan holistik. Yakni memperhatikan pendidikan, pengasuhan dan pelayanan kesehatan anak. Pelaksanaan SPS ini didampingi lembaga PAUD yang ditunjuk dan didukung dana rintisan dari pemerintah. Keberadaan SPS diharapkan mampu menjaring semua anak usia dini. “Meskipun tidak dilaksanakan setiap hari, namun keberadaannya cukup memfasilitasi masyarakat,” jelas Aliyanto.

M e n j a m u r nya l e m b a g a PAU D d i Yogyakarta didukung banyak faktor. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY yang sekaligus Ketua Forum PAUD Provinsi Yogyakarta, Drs. Muh. Farozin, MPd menerangkan beberapa analisis. Faktor paling buruk adalah latah dan gengsi. Mereka yang ada dalam kelompok ini tidak memiliki pengetahuan cukup mengapa penting memasukkan anaknya ke lembaga PAUD. Mereka juga yang nantinya justru membebani pihak lembaga dengan tuntutan-tuntutan yang tidak sesuai, dalam hal ini metode pembelajaran menjadi kasus yang paling jamak dialami lembaga-lembaga PAUD.

Sebaliknya, tidak menjadi masalah ketika orangtua tahu kebutuhan anaknya akan pendidikan di usia dini dan karena alasan tersebut kemudian memasukkan anaknya ke lembaga PAUD. Di faktor yang ketiga ini, orangtua bisa memahami bahwa anak

MENEBAR SERIBU POS PAUD Taman Penitipan Anak berkembang pesat. Masyarakat masih memandang Kelompok Bermain tak ubahnya TK. Butuh kerja ekstra keras mendongkrak kualitas pendidik.

Justina, pengelola, dan anak binaan GRHA TAA GAYAM YK

foto-foto: MURNItA d. KARtINI

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd82 82 7/14/2007 10:08:09 AM

Page 85: pena pendidikan 14

83Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Group dan Preschool (sekolah persiapan), dan Satuan PAUD Sejenis.

Di Yogyakarta, kebanyakan lembaga PAUD berbentuk TPA. Beberapa lembaga PAUD memang masih memegang fungsi ini secara murni. Satu di antaranya TPA Grha Asih Anak yang berlokasi di Jalan Ki Mangunsarkoro 80, Gayam. Di lembaga ini, anak tak sekadar dititipkan tetapi juga mendapatkan pendidikan yang tepat dan sesuai dengan tingkat pertumbuhan mereka.

TPA ini dilaksanakan oleh gereja St. Antonius dalam naungan Yayasan Papa Miskin Kotabaru Yogyakarta. Seperti diungkapkan kepala TPA, Yustina Satiti Sumardi, “Metode pengasuhan adalah pelayanan penuh cinta kasih dan memberikan pendidikan mengacu pada sistem PAUD 0-6 tahun.”

T PA d i b u k a p u k u l 0 8 . 0 0 - 1 5 . 0 0 . Pembelajarannya meliputi pengembangan aspek moral dan agama, fisik, bahasa, kognitif, sosial emosional dan seni. Biaya yang ditawarkan Rp 5.000,00/hari dan uang pangkal Rp 50.000 untuk berbagai fasilitas termasuk makanan bergizi, layanan konsultasi psikologi, kesehatan, dan keluarga. Dengan berbagai keunggulan itulah, pada 2003 lembaga PAUD ini dinyatakan sebagai Juara I Lomba Kelembagaan Pendidikan PAUD DIY.

MURNItA d. KARtINI (YogYAKARtA)

Yogyakarta

dengan usia dini membutuhkan teman bermain yang sesuai dan lingkungan belajar yang baik. Ketika orangtua merasa tidak mampu memenuhi kewajiban itu karena kesibukan bekerja, maka mereka mempercayakan lembaga PAUD untuk membantu memenuhi kebutuhan tersebut. Tapi di satu sisi, mereka tetap sadar bahwa proses itu tetap melibatkan mereka sebagi tokoh sentral.

Forum PAUD dan HIMPAUDIAdalah Himpaudi dan Forum PAUD,

institusi yang lekat dengan penyelenggaraan PAUD. Keduanya berbeda peran, meskipun dalam kenyataannya banyak peran yang berhimpitan. Namun secara struktural keanggotaan kedua lembaga ini berbeda. ”Sebenarnya saya lebih menekankan forum PAUD untuk mencari pemikiran-pemikiran cara yang bagus tentang pendidikan anak usia dini,” jelas Farozin.

Secara struktural Forum PAUD terdiri dari pemerhati anak, unsur akademisi, LSM, PKK (BKOW), Aisyiyah, tokoh masyarakat dan dari unsur kedinasan seperti Dinas Kesehatan, BKKBN, dan Departemen Sosial.” Pokoknya berbagai macam unsur yang diduga erat dengan pendidikan terhadap anak baik secara langsung maupun tidak,” kata Farozin lagi.

Keterangan ini diperjelas Ketua

H I M P A U D I P r o v i n s i D I Y , E n d i n W i c a k s o n o , ” H i m p a u d i i t u b e k e r j a

di l ingkup teknis,

pelaksana kebijakan.” Maksudnya, organisasional Himpaudi terdiri dari para praktisi PAUD yang terjun langsung ke lapangan.

A k t i v i t a s H i m p a u d i d a n Forum PAUD bergerak di seputar penyelanggaran diklat, sosialisasi dan pendampingan. Himpaudi bergerak langsung ke lapangan, mengintegrasikan PAUD lewat Posyandu dan kegiatan PKK. Himpaudi tengah bekerja keras mengusahakan pengadaan insentif untuk para pendidik PAUD dan persiapan menjelang peluncuran program 1000 Pos PAUD bulan Juli 2007.

Sedangkan Forum PAUD bekerja lewat seminar, lokakarya dan pendampingan yang membahas tentang metode, fasilitas, hingga pemahaman PAUD. Termasuk penyelenggaraan peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2007, 23 Juli ini. Tahun ini ada tiga kegiatan pada HAN sesuai arahan dari dinas provinsi. Di antaranya pameran lembaga-lembaga PAUD, seminar PAUD dan pengembangan penyaluran kreativitas anak.

Soal kesejahteraan pendidik PAUD yang masih jauh dari memadai juga menjadi perhatian Forum PAUD. Banyak dari para pendidik honornya masih di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota. Selain itu, Forum PAUD juga berupaya mendongkrak kualitas para pendidika. Misalnya dengan menyelenggarakan diklat. Sayangnya, lagi-lagi, kegiatan ini berjalan tersendat lantaran keterbatasan anggaran.

Antara TK dan PAUDPAUD adalah rival TK, begitu stigma yang

masih berkembang di masyarakat. Istilahnya “rebutan lahan”. Bagaimanapun sosialisasi TK ke dalam masyarakat lebih mengena karena

berlangsung lebih dulu dan lebih lama. Ironisnya, kehadiran lembaga-lembaga

PAUD mengurangi kuantitas siswa yang masuk ke TK. Padahal keduanya berbeda fungsi, pun secara teknis.

TK adalah lembaga PAUD formal. Sedangkan PAUD adalah jalur nonformal. PAUD terbagi dalam Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain/Play

Drs. Muh. Farozin,MPD, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan UNY

Drs. Sugito, Msi, Kadis Pendidikan DIY

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd83 83 7/14/2007 10:08:24 AM

Page 86: pena pendidikan 14

84 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

EMBRIONYA berupa Taman Penitipan Anak. Lalu melebarkan sayap menjadi TK dan Kelompok Bermain. Jadilah

Taman Asuh Anak, Kelompok Bermain, dan Taman Kanak-kanak menjadi satu manajemen berlabel Aisyiyah Nur’aini. Nur’aini yang terletak di lokasi strategis di Jalan KH Ahmad Dahlan Nomor 152 Ngampilan, Yogyakarta, tergolong favorit. Di area seluas 1500 m2 dan gedung berkelas-kelas berkapasitas 200 anak, ini dilengkapi ragam perangkat permainan. Dari bola dunia, ayunan, jungkat-jungkit, titian, mangkok putar, tangga majemuk, keranjang bola, hingga kolam renang.

Meski mampu menerima 200-an anak, jumlah siswa Nur’aini sekarang hanya 92 anak. Taman Asuh Anak (TA) menampung anak usia 1-3 tahun menerima layanan sejak pukul 07.00 sampai 16.00. Kelompok Bermain (KB) dengan murid-murid umur 3-4 tahun dan TK untuk kelompok anak 4-6 tahun, belajar hingga pukul 10.00. Anak TK dan KB ini setelah jam belajar usai, tak sedikit yang dititipkan di TAA. Biaya pendidikan berkisar Rp 100.000-Rp 250.000 per bulan, tampaknya masih murah bagi warga Yogyakarta. Terbukti, tahun ajaran depan, siswa yang diterima jumlahnya naik menjadi 104 anak.

Nur’aini hanya satu dari hampir 1.400 lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Yogyakarta. Sesuai namanya, Nur’aini berada di bawah payung organisasi kemasyarakatan Aisyiyah, yang menginduk pada Muhammadiyah. Tentu saja, konsentrasi pembelajaran di sana yang paling utama adalah penanaman nilai dasar tentang budi pekerti dan keagamaan versi Muhammadiyah. Mereka juga punya visi untuk membentuk sikap kedisiplinan dan kemandirian, mengembangkan potensi anak, berupa potensi spiritual, bahasa, motorik, kognitif, seni, sosial dan emosional.

“Secara umum kami mengadaptasi sistem BCCT (Beyond Centres and Circles Time). Namun yang utama bagi kami memberikan sentra Imtak, Iman dan Takwa,” kata Kis Rahayu, Pimpinan Aisyiyah Nur’aini.

Mulai ajaran 2007-2008, Nur ’aini menyelenggarakan Materi Pagi, yakni kelas kelas agama yang dikemas dalam

m o d e l p e m b i a s a a n . Misalnya, membiasakan anak memulai segala kegiatan dengan doa dan membiasakan anak membaca surat-surat pendek Al Quran.

Pengajar Nur’aini sendiri tergolong cukup memadai. Hampir separuhnya, dari 37 pendidik sudah mengenyam pendidikan sarjana. Bahkan kurang lebih 75% dari para guru pernah mengikuti berbagai diklat dan seminar mengenai tumbuh kembang anak dan pendekatan-pendekatan penyelenggaraan PAUD, baik yang dibiayai dinas pendidikan Yoogyakarta maupun dari kocek yayasan.

Hasilnya memang lumayan. Banyak penghargaan digapai murid-murid Nur’aini melalui berbagai lomba. Seperti lomba melukis, tari, dan kesenian. Sejak Desember

2002, Nur’aini juga membuka diri menjadi pusat kunjungan dan magang (latih kerja). Setidaknya dalam lima tahun terakhir itu tercatat 109 kunjungan dari berbagai institusi dari sejumlah daerah. Juga menjadi tujuan magang bagi 28 pendidik PAUD dari berbagai latar belakang.

Berbasis KemitraanMuhammadiyah maju dengan Aisyiyah,

Nahdlatul Ulama (NU) punya Yayasan Muslimat NU. Masyarakat Yogyakarta pun akrab dengan nama ini. Maklum, Yayasan Muslimat NU selama ini lekat dengan aneka kegiatan pengajian. Begitu juga dengan yang di Yogyakarta, mereka memang biasa mengadakan pengajian saban sore di masjid An Nuur di Desa Krapyak, Triharjo, Sleman.

Anak-anak yang mengaji jumlahnya sekira 100-an anak usia 5-13 tahun. Ketika

SENTUHAN IMTAK DAN KEMITRAANMemadukan sentuhan muatan Islam dengan aspek pendidikan, pengasuhan, dan layanan kesehatan. Masih terbentur pendanaan. Pendidiknya bergaji di bawah Upah Minimum Provinsi. Masyarakat belum paham esensi PAUD.

Yogyakarta

Dra. Kis Rahayu, Kepala Aisyiyah Nur'aini Ngampilan

foto

-fot

o: M

URNI

tA d.

KAR

tINI

dAN

M. f

AtHo

NI A

RIEf

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd84 84 7/14/2007 10:08:28 AM

Page 87: pena pendidikan 14

85Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

sosialisasi pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai ke sana, timbullah niatan membuka Taman Balita (TB) dan Kelompok Bermain (KB). Mereka menerapkan pendidikan holistik: memadukan aspek pendidikan, pengasuhan, dan layanan kesehatan. Layanan kesehatan dilakukan dengan menggandeng Posyandu. Set iap bulan Posyandu mengecek kesehatan dan imunisasi siswa.

Layanan kesehatan juga mendatangkan dokter-dokter. Bukan berarti mereka kaya dan mampu membayar jasa dokter. Sebab sang dokter adalah sukarelawan yang t i d a k m e n d a p at h o n o r sepeser pun. Mereka anggota masyarakat yang sukarela membantu. “Pendidikan tidak bisa dilaksanakan sendiri,” kata Nur Cholimah, Kepala TBKB An Nuur Sleman.

An Nuur memang dibangun dengan mengedepankan konsep kemitraan. Mereka sadar tidak bisa membangun “sekolah” dalam sekejap tanpa didukung modal memadai. An Nuur pun sengaja memperkuat jaringan mitranya. Di antaranya dinas-dinas pendidikan, sosial, dan agama, di tingkat provinsi, kabupaten, hingga kelurahan. PKBM pun dilibatkan dalam berbagai kegiatan.

Di usia seumur jagung, An Nuur telah membuka beberapa kelas. Di sana ada Taman Balita (TB) yang disebut Kelas Kupu-kupu, Kelompok Bermain (KB) atau Kelas Lebah, dan Pendidikan Al I’dad/ Kelas Persiapan atau Kelas Laba-laba. Biaya pendidikannya Rp 175.000 per bulan. Jumlah yang tidak murah untuk warga Yogyakarta. Namun menjadi wajar bila menyimak apa yang didapat sang buah hati bila bersekolah di sana. Gedung berlantai dua itu dilengkapi ruang tidur bagi yang dititipkan sehari penuh. Ada uang bermain, ruang belajar cukup lapang dan komplit dengan alat permainan edukatif. Masih ada tambahan menu makanan bergizi hasil olahan sendiri, konsultasi anak dan kesehatan, dan ekstra kurikuler yang disesuaikan dengan minat anak.

Meski menjaring dari kalangan menengah atas. Namun, Yayasan Muslimat NU sengaja “menyisakan” jatah 25% buat anak dari keluarga tak mampu. Biaya pendidikan mereka cuma Rp 50.000 per bulan, yang

diperuntukkan buat uang makan. Sisanya tertutup dari subsidi silang.

Total murid saat ini mencapai 125 anak. Kelas Kupu-kupu yang diperuntukkan bagi anak usia 4 bulan-2,5 tahun dibuka hanya tiga kali dalam sepekan: Senin, Selasa,

dan Rabu, pada 08.00-10.30. Kelas ini menampung maksimal 20 anak dengan 5 orang pengasuh.

K e l a s L e b a h untuk anak-anak usia 2,5-4 tahun. Di sini 30 muridnya

diberi pengajaran mendasar soal sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk kelas jenjang lebih tinggi. Hari belajar juga dilaksanakan tiga kali dalam sepekan dari pukul 08.00-11.30.

Kelas Laba-laba adalah kelas persiapan yang diperuntukkan bagi anak usia 4-6 tahun yang akan memasuki dunia sekolah dasar. Di kelas ini ada 75 anak yang bergabung. Pembelajarannya menitikberatkan pada memberikan stimulasi dan memberdayakan potensi anak. Kelas ini dibuka setiap hari, kecuali Sabtu dengan jam belajar pada 08.00-11.30. Sabtu hanya berupa pengajaran ekstra kurikuler berupa renang, melukis, outbond dan filtrip.

Yogyakarta

Sebagaimana Nur’aini, An Nuur juga menonjol muatan Islamnya. Inilah yang mereka sebut program plus. Ada pemberian materi berupa pembiasaan anak untuk berdoa, bersuci dan menjalankan ibadah lain. Hal lain yang menonjol adalah semangat kekeluargaan. Orangtua juga dilibatkan dalam proses kembang tumbuh anak. Sekolah juga punya program home visit yang memungkinkan para pendidik menyambangi anak asuhnya. Misalnya ketika si anak tidak masuk sekolah, atau pada hari istimewa seperti Idul Fitri. “Ini juga proses belajar,” kata Nur Cholimah.

Kendala KlasikMeski mampu membangun lem-

baga PAUD yang jadi favorit ma-syarakat, Nur’aini dan An Nuur sama-sama mengaku kesulitan dengan menjaring dana. Untuk operasional pengajaran saja mereka masih belum mampu memenuhi secara optimal. Alat Permainan Edukatif pun seba-gian dibikin sendiri dari bahan-bahan sederhana dan murah.

Dana operasional juga belum mampu buat membayar gaji para pendidiknya dengan layak. Sekolah bahkan belum bisa membayar sesuai upah minimum provinsi DI Yogykarta. Artinya, masih di bawah UMP 2007 yang sebesar Rp 500.000 per bulan. “Mungkin sebentar lagi masyarakat akan berteriak-teriak karena SPP naik,” Kis Rahayu prihatin. Biaya pendidikan sebesar Rp 175.000, memang dinaikkan dari semula Rp 150.000 pada tahun lalu.

Selain belum mampu menggaji para pendidik secara layak, An Nuur juga belum bisa mendongkrak kualitas para pendidik. Pelatihan para guru baru sebatas upaya mandiri. Caranya membahas materi pelatihan dalam pertemuan rutin. Sesekali mereka mendatangkan instruktur.

Persoalan lain justru datang dari masyarakat. Warga masyarakat tampaknya belum paham benar esensi PAUD. Mereka justru menuntut anak mereka bisa baca tulis. Padahal PAUD hanyalah motivator dan fasilitator, dalam mengembangkan potensi anak, yang metodenya dengan cara bermain.

MURNItA d. KARtINI dAN M. fAtHoNI ARIEf (YogYAKARtA)

Nur Cholimah, SpD, Kepala TPKB An Nuur Sleman

Mengakrabkan anak dengan teknologi

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd85 85 7/14/2007 10:08:33 AM

Page 88: pena pendidikan 14

86 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

TAK ada meja-kursi layaknya sebuah kelas. Kalau pun ada hanya beberapa. Anak-anak belajar memanfaatkan

sejumlah area. Ada yang belajar di area bermain peran, area persiapan baca tulis, area balok dan area cair. Anak-anak bebas bermain dengan koleksi beragam mainan, baik buatan pabrik maupun karya mereka sendiri. Ada yang terbuat dari bahan-bahan sisa, sebagian dari bahan alami. Semua mainan dipilih yang bisa memberikan rangsangan motorik, pola pikir (kognisi), kreativitas, kemampuan berbahasa dan rasa sosial anak.

I tulah model active learning yang diterapkan Eearly Childhood and Care

Development-Resource Centre (ECCD-RC) Yogyakarta. Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang beralamat di Jalan DI Panjaitan Nomor 70 Yogyakarta ini membagi satu kelas menjadi kelompok-kelompok kecil. Untuk kelas “play group kecil”, maksimal setiap kelompok kecil beranggotakan 4 anak dengan 2 educator, sapaan buat para pendidik di sana.

Sedangkan untuk “play group besar”, satu kelompok terdiri dari 7 anak dengan 2 educator. Untuk TK kecil setiap kelompok terdiri dari 12 anak, juga 2 educator. Sedangkan TK besar berisikan 21 murid diasuh 3 educator. Pembagian kelompok belajar ini tak lazim ditemui di sekolah lain.

“Kami ingin semua anak terfasilitasi dengan rasio guru-anak yang ideal,” kata Linawati, SH, Wakil Direktur ECCD-RC.

Bukan sekadar mengejar rasio guru-murid yang ideal. Kualitas dan kualifikasi guru pun menjaid perhatian serius. Para educator semuanya sarjana dari bermacam konsentrasi pendidikan. Mereka mendapat sejumlah diklat. Untuk lebih meningkatkan kualitas educator ECCD sedang mendorong para educator bisa memiliki Akta IV.

Dukungan guru yang oke, metode pembelajaran yang tepat plus perangkat pembelajaran yang pas itu, jelas butuh dana tak sedikit. Sebelum dilepas 3 induk LSM pendirinya, ECCD masih mendapat kucuran dana lumayan. Namun sejak manajemennya independen, ECCD mau tak mau mesti membiayai operasional mereka dari SPP siswa.

ECCD menerapkan pola subsidi silang untuk pembiayaan sekolah. Ada uang tahunan dan ada uang bulanan. Sekolah menawarkan tiga level pembiayaan sesuai keadaan ekonomi orangtua siswa. Yakni kelompok rendah untuk program beasiswa, level menengah untuk para orangtua dari kalangan menengah, dan level tinggi untuk yang mampu.

Besarnya SPP tiap bulan untuk siswa dari keluarga mampu berkisar Rp 200.000 hingga Rp 250.000. Bagi murid dari golongan sedang antara Rp 150.000. Sedangkan siswa dari kelompok ekonomi lemah cukup membayar Rp 50.000-Rp 75.000/bulan. Beberapa staf ECCD ada yang memberikan subsidi kepada anak-anak dari kalangan tak mampu.

K o n s e p l a i n ya n g m e m b e d a k a n ECCD dari lembaga lain, adalah sekolah yang menjunjung tinggi perbedaan ras, kultur dan agama. Lembaga PAUD ini memang lahir dari komitmen tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbeda latar belakang. Yakni Lembaga Studi Perkembangan Perempuan dan Anak, Plan International Indonesia, dan AusAid.

Sesuai latar belakang pendirinya yang berbeda visi, ECCD yang didirikan 22 Juni 2002 ini garis kerjanya pun mewakili banyak tujuan. “Kami memang universal oriented,” kata Linawati. Tak heran jika yang menjadi fokus lembaga ini adalah gabungan antara pendidikan dan pengasuhan anak usia dini, semangat jender yang adil, penghargaan terhadap hak anak dan

ECCd-RC Yogyakarta

MENGUSUNG ORIENTASI UNIvERSALDidirikan tiga LSM beda karakter. Menghapus bias jender, perbedaan ras, dan agama. Semua anak, baik laki-laki atau perempuan dari semua latar belakang mempunyai hak yang sama untuk mengem-bangkan potensi yang dimiliki.

Yogyakarta

foto-foto: MURNItA d. KARtINI dAN M. fAtHoNI ARIEf

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd86 86 7/14/2007 10:08:36 AM

Page 89: pena pendidikan 14

87Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

keragaman budaya.Semangat menghapus pengkotakan

berdasar ras, budaya dan agama ini masih diemban ECCD, meski pada 2004 lembaga ini dilepas dari tiga induknya. ECCD-RC bermitra kerja dengan LSM, donatur, pemerintah, universitas untuk bisa optimal memberikan pelayanan bagi anak, keluarga, pendidik anak usia dini, sekolah maupun institusi dan kelompok yang peduli dengan pendidikan dan tumbuh kembang anak usia dini.

Tujuan dari berdirinya ECCD sendiri untuk mewujudkan pembelajaran anak usia dini yang lebih menyenangkan. Linawati melihat selama ini ada semacam tuntutan memberatkan bagi anak agar harus lancar calistung (baca-tulis-hitung). Tatanan yang sudah mapan itu akan didobrak dengan pembelajaran menyenangkan. Pertimbangannya, masa-masa kritis anak atau yang populer disebut golden age harus mendapat metode pembelajaran yang tepat. “Metode bermain dipilih sebagai sarana paling tepat bagi anak usia dini untuk belajar,” kata Linawati.

Sengaja menampung banyak perbedaan latar belakang, adalah keistimewaan ECCD. Sebagai lembaga universal, siswa yang ditampung di sana tak terbatas dari golongan, ras, dan agama tertentu. ECCD

juga menerima siswa dari negara asing. Perlakuannya hampir-hampir sama. Hanya berbeda pada penggunaan bahasa. Namun setelah beberapa bulan, anak-anak itu mampu membiasakan diri berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.

Satu hal lagi yang menjadi komitmen ECCD, “Kami tidak m e m a k a i s e r a g a m ,” u c a p perempuan muda yang akrab disapa Lina ini. Memang, seringkali menjadi pertanyaan, ketika siswa PAUD lainnya memakai seragam. Mengapa tidak berseragam? “Lebih fleksibel dan tidak membebani orangtua dengan biaya seragam,” tambah Lina. Baju kerja para educator, sebutan bagi pendidik di sana, boleh memakai jins dan kaos asal bukan kaos oblong.

Metode MandiriAda tiga divisi utama dikembangkan

ECCD. Yakni Laboratorium School (Lab-school) Rumah Citta yang terdiri dari kelompok bermain, taman kanak-kanak, dan taman penitipan anak edukatif. Kemudian

Training Program, dan program pengembangan media dan kampanye.

Program di rancang untuk memperkaya anak d e n g a n p e n g a l a m a n . Berbahan alam dan limbah, mengenal dan mencintai lingkungan, mengenal cara kerja mesin tradisional dan modern, sains, dan seni budaya.

L a b - s c h o o l R u m a h Citta mengaplikasi prinsip pendidikan yang berpusat pada anak dan berbasis aktifitas pada anak usia 2-6 tahun. Kurikulumnya b e r i s i k a n n i l a i - n i l a i inklusivitas yang disusun secara mandiri oleh Rumah Citta. Metode BCCT tidak sepenuhnya dipakai di sini. Sebab setiap tahun lembaga ini memperbarui kurikulum dengan penyesuaian sesuai

kebutuhan. Divisi Training berfungsi memberikan

pelatihan bagi siapa pun yang ingin belajar cara mendidik anak usia dini. Kegiatannya mengadakan pelatihan-pelatihan dan seminar-seminar. Pelatihan ini menjadi sarana ECCD untuk mensosialisasikan nilai-nilai dan konsep pembelajaran anak usia dini kepada masyarakat.

Media kampanye, salah satu yang populer di sini adalah perpustakaan. Yakni perpustakaan dewasa dan perpustakaan anak. Inilah wahana kampanye melalui buku-buku. Lebih familiar dengan set sebagai perpustakaan ramah, artinya semua buku yang masuk adalah hasil seleksi yang ketat. Buku-buku edukatif ini boleh dipinjam.

Pembelajaran didukung juga dengan metode filtrip yang memperkenalkan anak pada keadaan nyata. Misalnya, kunjungan ke pasar tradisional, museum dirgantara, dan kegiatan outdoor seperti outbond dan berenang sebulan sekali. ECCD tidak mengajarkan calistung, tapi lebih pada persiapan bagaimana mereka menghadapi belajar membaca dan menulis. Lebih tepatnya mempersiapkan anak didik untuk siap menghadapi teks di SD.

MURNItA d. KARtINI dANM. fAtHoNI ARIEf (YogYAKARtA)

Yogyakarta

Kegiatan mencuci tangan

Linawati, Wakil Direktur EECD-RC

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd87 87 7/14/2007 10:08:45 AM

Page 90: pena pendidikan 14

88 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

SEMARANG yang panas, layaknya kota pelabuhan lain menjadi teman warga kota yang terkenal karena lunpianya

yang lezat ini. Bukan tengah mengobrolkan aneka jajanan yang memang enak-enak di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah ini. Namun persoalan pendidikan yang belum segurih lunpia dan semantap tahu gimbal. Jawa Tengah termasuk lumbung buta aksara, selain Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Persoalan pendidikan keaksaraan pun menjadi salah satu prioritas kebijakan pendidikan, Jawa Tengah. Namun Jawa Tengah juga tergolong provinsi yang memberi perhatian baik pada pendidikan anak usia dini (PAUD). Jawa Tengah adalah provinsi besar dengan jumlah penduduk terbanyak setelah Jawa Timur. Di sana ada 3,5 juta anak usia dini tersebar di 35 kabupaten/kota. Hanya sekitar 780.000 anak terlayani lembaga PAUD.

Ada sekitar 2000 lembaga PAUD yang terbagi dalam 1385 Kelompok Belajar (KB),

104 Taman Penitipan Anak (TPA), dan lebih dari 500 Pos PAUD. Pos PAUD atau Satuan PAUD Sejenis (SPS) yang diselenggarakan di tingkat RW memang menjadi target pencapaian program 1000 Pos PAUD.

Pos PAUD ini mengintegrasikan konsep pendidikan anak usia dini dengan pelayanan kesehatan di Posyandu. Tenaga pendidiknya berasal dari ibu-ibu PKK, remaja, dan orang-orang yang peduli terhadap perkembangan PAUD. Mereka jugalah yang dilibatkan sebagai kader dan menjadi narasumber dalam pelatihan-pelatihan seperti memasak dan ketrampilan. Sebanyak 500 Pos PAUD sudah mendapat dana kelembagaan dari pemerintah.

Perluasan akses PAUD di Jawa Tengah itu masuk kategori cepat secara nasional. Dalam Workshop Himpaudi dan Forum PAUD Tingkat Nasional, Juni lalu, Jateng dinyatakan sebagai yang tercepat membentuk PAUD. Bahkan semua kabupaten di Jawa Tengah

sudah melantik pengurus Himpaudi, bahkan di kecamatan.

Penanganan PAUD di Jawa Tengah memang terkesan berlari. Himpaudi Jawa Tengah, bersama Dinas Pendidikan Jawa Tengah, punya andil besar dalam gerak cepat memperluas akses PAUD. Sosialisasi gencar dilaksanakan. Di antaranya melalui media massa, seminar, yang melibatkan kelembagaan masyarakat seperti PKK. Juga melalui penyelenggaraan diklat dan pengusahaan insentif untuk pendidik, menjalin kemitraan dengan swasta, dan mendukung database pemerintah.

Kini Himpaudi dan Dinas Pendidikan Provinsi sedang mengadakan program diklat untuk 1050 pendidik dari 350 lembaga PAUD yang memperoleh dana rintisan dari pemerintah. Diklat ini berlangsung secara maraton selama kurun Juni-September. Program diklat dilanjutkan dengan magang (latih kerja) di 15 lembaga PAUD yang ditunjuk di 15 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Di antaranya Purworejo, Cilacap, Pekalongan, Kota Tegal, Solo, Klaten, Kudus, Boyolali, Semarang, Pati, Magelang, Wonosobo, dan Karanganyar.

Kerjasama dengan swasta di antaranay dijalin dengan penerbit Erlangga. Bentuknya menerbitkan modul-modul materi PAUD dan menyelenggarakan diklat gratis untuk para pendidik. Upaya mendongkrak kesejahteraan pendidik PAUD juga menunjukkan hasil. Tahun 2007, ada tambahan insentif dari APBD. “Upaya efektif dengan mengetuk hati nurani para pejabat saat sosialisasi,” kata Ir. Nila Kusumaningtyas, Ketua Himpaudi Jawa Tengah.

Saat sosialisasi di daerah, panitia sengaja mengumpulkan para pejabat di lingkungan Pemda dan instansi terkait. Hasilnya, insentif dikucurkan 15 kabupaten dari kantong anggaran APBD.

MURNItA dIAN KARtINI (SEMARANg)

KOLABORASI KUAT, JADI yANG TERCEPATTercepat dalam perluasan akses PAUD secara nasional. Padahal masih ada 2,8 juta anak belum terlayani. Menggandeng swasta dan mendapat kucuran APBD sejumlah kota/kabupaten.

Jawa Tengah

Aktivitas Himpaudi Semarang

Ir. Nila. K, Ketua HIMPAUDI Semarang (Berkas Kuning) saat pencanangan POS PAUD

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd88 88 7/14/2007 10:08:50 AM

Page 91: pena pendidikan 14

89Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

KETIKA Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) melebur menjadi universitas, gaung kampusnya para

guru ini meredup. Tidak halnya dengan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Semarang (dulu IKIP Semarang). Fakultas ini tak jenuh menggodok metode pembelajaran, manajemen, dan masalah-masalah tumbuh kembang anak. “Pusat studi ini adalah kekayaan secara akademis,” kata Dra. Sri Dewanti H, M.Pd, Ketua Program Studi Pendidikan Guru TK FIP Universitas Negeri Semarang.

Apa saja yang dikaji dan dipelajari di PGTK, wartawan PENA PENDIDIKAN, Murnita Dian Kartini mewancarainya, akhir Juni lalu. Petikannya:

Bagaimana perkembangan PAUD di Jawa Tengah?

Istilah PAUD saat ini sangat booming. Semua lapisan masyarakat mengenal istilah ini dengan baik. Sebenarnya sejak lama kita punya kegiatan untuk PAUD. Misalnya, Posyandu. Ketika ada program resmi dari pemerintah (Dinas Pendidikan Luar Sekolah Jawa Tengah), secara teknis menjadi tersistematika dengan baik. Masyarakat mulai sadar anak-anak usia dini perlu mendapat pelayanan pendidikan.

Sebagai sebuah pusat studi mengenai PAUD, apa saja yang diteliti di sini?

Keseluruhan. Mulai setting kelas, manajemen, metode pembelajaran, dan masalah-masalah tumbuh kembang anak. Pusat studi ini adalah kekayaan secara akademis, di mana siswa-siswi PGTK yang calon guru ini mempunyai laboratorium untuk mendukung pendidikan mereka. Mereka bisa langsung mempelajari tumbuh kembang anak dengan metode-metode tertentu.

Apa bedanya PAUD nonformal dan TK?Sebenarnya hanya masalah teknis birokrasi

dan istilahnya saja. Secara kajian akademis yang diakui secara makro di seluruh dunia menyebutkan usia dini adalah anak usia 0-8 tahun. Kajian lain menyebutkan usia 0-4 tahun sebagai usia dini. Sedangkan anak usia 4-6 tahun masuk kategori usia TK.

Apa pentingnya PAUD? Jika proses tumbuh kembang anak tidak

optimal, maka terjadi ketidaksempurnaan.

Banyak orangtua merasa puas anaknya terlayani dengan baik. Ketika sampai di SD anak-anak sudah mengenal banyak hal secara sistematis dan terarah.

Bagaimana dengan mutu pendidik PAUD?Orang yang terjun sebagai tutor/guru

PAUD adalah orang-orang yang terpanggil hatinya. Meskipun dengan honor yang hanya Rp 100.000- Rp 150.000, tapi dia punya kekuatan berkumpul dengan anak-anak kecil yang masih polos. Unsur emosi yang lekat dengan anak seperti ini yang tidak selalu dipunyai orang. Saat ini perkembangannya sedang berproses untuk profesional. Proses ke arah sertifikasi masih dalam dalam bentuk pelatihan.

Banyak pendidik berlatar belakang pendidikan bukan sebagai pendidik PAUD hanya mendapat pelatihan PAUD. Program Studi Pendidikan Guru TK sedang merintis program terjun ke lapangan tanpa honor. Program ini dikaitkan dengan mata kuliah, pelaksanaannya dibiayai kampus sekadar untuk transport. Yang perlu digarisbawahi bahwa menjadi guru adalah tugas yang sangat mulia.

Apa yang perlu diperhatikan dalam menyelenggarakan PAUD?

Per tama, pengelolaan lembaga, manajemen lembaga harus solid dan kuat. Kemudian metode pembelajaran. Tidak harus metode tertentu, karena sifatnya harus variatif. Tidak bisa dikatakan satu metode lebih baik dari yang lain, karena sasarannya multiple intelegent. Metode Beyond Centre and Circle Time (BCCT) secara ideal membutuhkan sentra luas. Di luar negeri ukuran satu rumah itu untuk satu sentra belajar. Maka di Indonesia sistemnya hanya mengenalkan konsepnya saja.

Seperti apa pengelompokan anak itu?Secara umum anak dikelompokkan

berdasarkan kemampuan intelejensi (IQ), kebutuhan layanan khususnya, misal anak mempunyai keadaan psikologis autis atau hiperaktif, tentu pelayanannya berbeda dengan mereka yang tidak. Lalu, karena bakat dan minat, kalau dengan sistem sentra berarti ada pembelajaran mengenai respons. Ke mana arah minatnya. Ada anak yang hanya menyenangi satu sentra, itu berarti multiple inteligent-nya sedang berkembang.

Wawancara Ketua Program Studi Pendidikan guru tKfIP Universitas Negeri Semarang, dra. Sri dewanti H, M.Pd

DARI SETTING KELAS HINGGA MANAJEMEN

Jawa Tengah

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd89 89 7/14/2007 10:08:54 AM

Page 92: pena pendidikan 14

90 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Jawa Tengah

JAWA TENGAH masih menanggung beban berat dalam pengembangan PAUD. Saat ini, dari 3,5 juta anak usia

dini yang tersebar di 35 kabupaten dan kota, hanya sekitar 780.000 saja yang terlayani lembaga PAUD. Jumlah yang masih minim.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir, ratusan PAUD bersemi di sana. Setidaknya ada sekira 2000 lembaga PAUD. Bentuknya sebagian besar Kelompok Belajar (KB). Sisanya Taman Penitipan Anak dan lebih dari 500 Pos PAUD. Berikut sejumlah KB di Jawa Tengah yang patut jadi teladan:

yayasan Nasima Semarang:NASIONALISME DAN AGAMA

KESIBUKAN nampak terlihat di gedung mentereng berlantai dua bercat putih bersih di kawasan Jalan Pusponjolo Selatan Nomor 53 Semarang. Nampak seratusan anak berseragam putih-putih tengah sibuk mempersiapkan sholat Jumat berjamaah di

aula sekolah yang cukup untuk menampung tiga ratusan anak. Ada yang tengah berwudhu dan menggelar tikar. Beberapa yang lain tampak hilir mudik menunggu jemputan orangtuanya.

Mereka siap-siap Jumatan itu siswa SD kelas 4 hingga kelas 6. Sedangkan mereka yang tengah menanti jemputan adalah murid SD kelas 1-3. Aktivitas seperti itu rutin dijumpai di sekolah yang berdiri di bawah nauangan Yayasan Perguruan Islam Nasima ini. Nasima menyelenggarakan pendidikan dari jenjang PAUD sampai SMA. Namun bangunan di Pusponjolo hanya khusus untuk tempat belajar siswa PAUD dan SD saja.

Nasima, kependekan dari nasionalisme dan agama, berdiri tahun 1994. Mulanya menyelenggarakan TK untuk anak usia 3-4 tahun. Pada 2001 memperluas area pendidikan usia dini hingag rentang usia 8 tahun. Sesuai namanya, Nasima berciri khas perpaduan kurikulum bernuansa

kebangsaan dan keislaman. Di jenjang PAUD mereka memberikan materi pengajaran spesifik. Misalnya budaya aneka daerah, dari bahasa, tarian hingga lelaguan tradisional. Pengajarannya dengan metode keseharian.

Selain mengangkat budaya berbagai daerah yang dikemas dalam sentra-sentra pembelajaran, Nasima selalu menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya. Misalnya, tema keluarga sakinah diajarkan dengan tokoh wayang, seperti keluarga Pandawa dan Punakawan. Pembelajaran berkembang dengan mengajari anak membuat wayang dari daun, kertas, padi, ranting juga dengan ekspresi warna. “Kami memadukan konsep formal dan nonformal, tapi hanya esensinya saja yang kami adaptasi,” kata Roostrianawati, Manajer Pendidikan Nasima.

Pada hari-hari besar tertentu, umpamanya Hari Pahlawan, mereka mengadakan kegiatan tabur bunga dan mengundang para veteran perang. Para veteran diminta

TRADISIONAL OKE, NASIONALIS BOLEH JUGA

90 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Kegiatan anak-anak Yayasan Nasima

foto

-fot

o: M

URNI

tA d

IAN

KARt

INI d

AN M

. fAt

HoNI

ARI

Ef

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd90 90 7/14/2007 10:08:56 AM

Page 93: pena pendidikan 14

91Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jawa Tengah

bercerita perjuangan mereka melawan penjajah. Anak-anak dilatih menjadi pribadi kritis, kreatif dan mampu menghargai jasa pahlawan. Nasima juga mengajak anak-anak terlibat dalam kegiatan perayaan hari besar bersama masyarakat sekitar.

PAUD Nasima membuka Kelompok Bermain (KB) untuk 12 anak dan TK untuk 24 anak. Di tingkat SD, muridnya lebih dari 300 anak. Rasio pendidik untuk PAUD, 2 orang pendidik untuk 10-15 anak usia 2-3 tahun, 2 pendidik untuk 24 anak usia 4-6 tahun, dan seorang pendidik untuk 28 anak SD.

Biaya SPP per bulan beragam. Berkisar di

angka Rp 200.000,00 dengan uang pangkal Rp 3 juta. Nasima mampu menyelenggarakan pendidikan secara mandiri, tak menunggu bantuan pemerintah. Juga memberi pelatihan internal setiap bulan dan beasiswa bagi para pengajarnya hingga tingkat S-3.

KB Masyitoh Pekalongan: PRAKTIK SHOLAT DAN MENDONGENG

Di Kota Batik Pekalongan, lembaga PAUD milik Muslimat NU adalah salah satu pilihan bagi para orangtua bekerja untuk mempercayakan pendidikan usia dini bagi

putra-putri mereka. Menariknya, dari anak Ketua DPRD Pekalongan hingga anak tukang becak bisa belajar di meja yang sama. Tak ada perbedaan bagi mereka yang ingin menyekolahkan anaknya di lembaga PAUD yang berdiri pada 2002 ini.

Kini mereka menampung 66 anak, yang terbagi dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan usia. Kelompok 1 untuk usia 2,5-3 tahun, Kelompok 2 untuk usia 4-5 tahun, sedangkan Kelompok 3 buat anak usia 5-6 tahun. Pada dasarnya yayasan tidak pilih-pilih dalam memberikan pendidikan bagi mereka yang membutuhkan. Pun dengan anak-anak yang mempunyai kebutuhan khusus. Masyitoh mengajarkan bagaimana

m e n s y u k u r i a p a saja yang diberikan Tuhan. “Dengan itu anak bisa mengetahui bahwa setiap orang mempunyai kelebihan selain kekurangannya,” kata Parlina, Kepala KB Masyitoh ketika diwawancarai PENA PENDIDIKAN di Semarang.

Selain mengadaptasi metode BCCT, Masyitoh juga menerapkan muatan agama dan muatan khusus lain. Contohnya, materi pagi berisi berisi hafalan surat-surat pendek, doa sehari-hari plus gerakan dan bacaan sholat. “Kami berusaha agar selepas dari Masyitoh, di usia 6 tahun anak sudah hafal surat dan bisa praktik sholat sendiri, karena usia 7 tahun anak sudah wajib sholat,” lanjutnya.

Mendongeng dan bertutur menjadi satu kegiatan yang disukai siswa-siswa di Masyitoh. Kegiatan ini menstimulasi kemampuan keaksaraan anak, selain juga mengajarkan anak untuk kreatif dalam berpikir dengan membedah satu cerita setiap harinya. Menarik karena mungkin jarang bagi mereka didongengkan sebelum tidur. Atau bagi mereka yang biasa dibacakan cerita, kemudian membawa buku cerita favorit mereka untuk dibacakan dan dibahas di kelas.

Semua murid dibebani biaya SPP sama besarnya: SPP pokok Rp 52.000 plus biaya makan Rp 39.000. Sedangkan uang pangkal dibedakan menurut kemampuan orangtua siswa. Mereka yang masuk golongan ekonomi lemah hanya diminta membayar uang pangk al sebesar Rp 150.000. Sedangkan kelompok ekonomi sedang dan atas, masing-masing membayar Rp 200.000

Laboratorium komputer Nasima

Parlina, Kepala KB Masyitoh

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd91 91 7/14/2007 10:09:05 AM

Page 94: pena pendidikan 14

92 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Jawa Tengah

dan Rp 250.000. Untuk menjaring siswa, Masyitoh

menerapkan cara unik. Ada potongan Rp 10.000 untuk SPP jika wali murid bisa mengajak rekan, saudara atau tetangga untuk menyekolahkan anak mereka di Masyitoh. Cara ini dinilai efektif menjaring siswa baru setiap tahunnya karena secara tidak langsung para orangtua berlomba mencari dan mempromosikan sekolah. Iklan dari mulut ke mulut ini rupanya menjadi media promosi terbaik bagi Masyitoh.

Bukit Aksara Semarang:KELAS MEMASAK INTENSIF

Bukit Aksara mungkin satu di antara sedikit lembaga PAUD sekaligus Sekolah Dasar (SD), atau biasa disebut TK-SD Satu Atap. Sekolah yang beralamat di Jalan Bukitsari Raya Nomor 1 Semarang ini yang pertama menggunakan metode BCCT di Semarang. Di awal berdiri, mereka mengajar menulis dan membaca dengan metode klasikal.

Penerapan metode BCCT baru pada 2003. Persisnya, tak lama setelah mereka berdiskusi dengan konsultan Direktorat PAUD mengenai metode pembelajaran yang sesuai untuk anak usia dini. Model belajar agar anak pandai baca-tulis di usia dini mulai dihapuskan. Gantinya, pengajaran yang dikemas sambil bermain. Sistem diubah 180 derajat, sarana dan prasarana disesuaikan, para pengajar diberi pelatihan dan pemahaman disosialisasikan kepada orangtua murid.

Metode ini dijabarkan dalam perluasan kelas. Anak-anak dibebaskan belajar dalam konteks bermain sesuai usianya. Satu yang istimewa di Bukit Aksara adalah kelas

memasak intensif. Materi pembelajarannya dilengkapi dengan fasilitas dapur mini yang asli memang untuk memasak beneran. Anak-anak diajar memasak, mulai persiapan bahan, meracik, memasaknya hingga membersihkan kembali peralatan masak.

Kunjungan ke lapangan juga menjadi kegiatan favorit di Bukit Aksara. Lokasinya yang berada di kompleks usaha, seperti perbengkelan, stasiun radio, dan stasiun pemancar televisi memperkaya wawasan murid-murid.

Kegiatan belajar di sentra-sentra ala BCCT dibuat dan didesain semenarik mungkin dengan dekorasi yang asyik. Sentra belajar terdiri dari 5 kelas, Block Center (sentra balok), Messy and Fluid Center (Sentra bahan cair), Symbolic Play Center (sentra bermain

simbol), Readiness Center (Kelas

Persiapan),

dan Art Center (sentra seni). Dekorasi disesaikan dengan tema harian yang dipilih. Contohnya, saat pelajaran tema pedesaan maka disulaplah kelas menjadi bernuansa pedesaan dengan menambahkan gubuk atau kandang-kandang dari bambu secara sederhana. “Metode BCCT memang sesuai dengan tujuan membentuk anak-anak kreatif dan berkarakter,” kata Yuli Siantayani, MPd, Kepala Bukti Aksara.

Murid-murid juga menjadi mandiri, b e ra n i b e r p e n d a p at , d a n m a m p u bersosialisasi dengan baik. “Anak-anak hasil didikan lembaga PAUD terbukti lebih siap,

dan metode bermain itu tidak membuang-buang waktu,” Yuli menambahkan.

Bukit Aksara membagi kelasnya dalam 10 kelompok kecil yang masing-masing diampu seorang pengajar. Pengajarnya yang berjumlah 13 orang semuanya sarjana pendidikan.

Pembelajaran yang oke dan fasilitas yang layak itu diimbangi biaya pendidikan yang lumayan tinggi untuk ukuran daerah. Uang pangkal per siswa dipatok Rp 4 juta. Tapi ada diskon 20% bagi mereka yang mendaftar jauh-jauh hari sebelum tahun ajaran baru. SPP per bulannya Rp 275.000/siswa. Bagi anak yang melanjutkan ke Bukit Aksara Primary School, SD ala Bukit Aksara, mereka tidak ada lagi dipungut uang gedung.

92 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Kegiatan anak-anak Bukit Aksara Semarang

foto-foto: MURNItA dIAN KARtINI dAN M. fAtHoNI ARIEf

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd92 92 7/14/2007 10:09:08 AM

Page 95: pena pendidikan 14

93Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Jawa Tengah

Bunga Bangsa, Semarang: HOLIDAy FUN DANEKSTRA KURIKULER

Mulanya membuka sanggar kegiatan belajar bagi anak TK dan SD yang tinggal di sekitar Tlogosari, Semarang, pada 2000. Kemudian membuka layanan PAUD. Yayasan Bunga Bangsa yang beralamat di Jalan Taman Sekar Jagad Nomor 32 Semarang ini membuka Play Group (Junior Kid Class) dan TK (Kindy A-B).

Play group dibagi 2 kelas: Batita untuk anak dengan usia 1-2,6 tahun dan Kelas Play Group untuk anak usia 2,6-3,6 tahun. Sedangkan Kindy untuk anak 4-6 tahun. Secara umum pola pembelajaran di sana dengan lembaga PAUD lain yang mengedepankan pembelajaran menyenangkan. Ciri khasnya pelajaran ekstra kurikuler dan holiday fun. Semua anak, baik dari TK dan play group , juga anak-anak sanggar belajar turut bergabung dalam kegiatan ini.

Pilihan ekstrakurikuler beragam. Bina vokalia menjadi pilihan favorit. Setiap tahun anak-anak diberi kesempatan membuat rekaman dan video klip dalam bentuk CD. Ada juga sempoa, komputer, bahasa Inggris, melukis, taekwondo, alat musik (keyboard dan angklung), menari, hingga fashion show dan modelling. Semua diajarkan dengan metode yang mudah dipahami anak.

Sedangkan Holiday Fun merupakan kegiatan mengisi liburan yang rutin diadakan per semester. Kegiatannya berupa outbond, fieldtrip, cooking class, berenang, seni, dan day shopping.

Ada lagi kegiatan Polisi Sahabat Anak. Anak dikenalkan dengan polisi, rambu lalu lintas, dan mengakrabkan hubungan polisi dan anak. Selain itu ada Parents Day, sebuah kegiatan dimana orangtua terlibat secara langsung dalam kegiatan pembelajaran. Orangtua mengajar sesuai

dengan profesinya. B u n g a B a n g s a y a n g n a s i o n a l i s

mengajarkan makna keragaman budaya dan agama. Ada program Aim Damai (Anak Indonesia Membangun Budaya Cinta Damai). Program saban Senin ini mengakrabkan murid TK pada kegiatan religius sesuai agama yang dianut dengan pendekatan budi pekerti. Selain pengajaran di kelas, juga disertai pengenalan tempat ibadah, praktik ibadah dan perayaan hari raya agama.

Aneka kegiatan Bunga Bangsa didukung fasilitas memadai. Tempat bermain outdoor dan indoor, kolam renang, sentra-sentra belajar, sentra memasak dan musik, ruang komputer, pengajar profesional, dan layanan kesehatan dan konsultasi. Sekolah mengutip SPP Rp 135.000 per bulan.

Play GroupAisyiyah 01 Semarang:MENANAMKAN JIwA SOSIAL SEJAK DINI

Minimnya jumlah PAUD di bulangan Banyumanik, Semarang menjadi inspirasi bagi Aisyiyah, organisasi wanita Muhammadiyah, untuk membuka PAUD Aisyiyah, 2003 lalu. Aisyiyah juga mengedepankan pembelajaran nilai-nilai Islam. Secara khusus, Aisyiyah mengedepankan tumbuhnya karakter

Silviana, Kepala KB Bunga Bangsa

Konsultasi Kesehatan Aisyiyah

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd93 93 7/14/2007 10:09:13 AM

Page 96: pena pendidikan 14

94 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Jawa Tengah

intelektual dan spiritual. Mengembangkan karakter intelektual

dan karakter spiritual dipandang sebagai modal awal pembentukan karakter pribadi anak. Caranya melalui pendekatan kecintaan lingkungan, pengenalan ibadah, dan empati sosial.

Konsep belajarnya dirancang dengan pola tematik. Misalnya mengenalkan anak-anak untuk mencintai lingkungan dengan tema belajar Aku Ciptaan Allah atau Tanaman dan Hewan Ciptaan Allah.

Mengajari anak berinfak di masjid pada Jumat atau Sabtu menjadi kebiasaan di sana. Namanya kegiatan Tabungan Akhirat. Infak yang terkumpul disumbangkan ke panti asuhan. Kegiatan ini untuk menanamkan rasa sosial sejak dini. Anak ditanamkan sikap saling berbagi dan menumbuhkan empati kepada mereka yang bernasib tak beruntung.

Kegiatan rutin laiannya adalah Pemberian Makanan Tambahan setiap pagi, Bina Pustaka, Aku Senang Ibadah, konsultasi kesehatan dan psikologi, juga kegiatan pengembangan potensi melalui pentas seni Akhirrusannah, kelas bahasa Inggris, Talents Day dan kegiatan outbond.

Aisyiyah juga menerapkan metode BCCT. Fasilitas yang oke memungkinkan mereka mengembangkan sentra-sentra bermain seperti sentra bahan cair, sentra peran, sentra seni, sentra balok, sentra memasak, dan sentra iman dan takwa yang dikembangkan sendiri.

Aisyiyah mempunyai 30 murid yang terbagi dalam 2 kelompok: usia 2-3 tahun dan 3-4 tahun. Kegiatan anak-anak didukung dengan bermacam fasilitas mulai dari permainan indoor dan outdoor, sentra-sentra bermain yang nyaman, dan layanan antarjemput.

Ada pengalaman menarik ketika Aisyiyah menangani salah seorang murid yang mempunyai kelainan Down Syndrome dalam tahap debile. Mereka bekerjasama dengan psikolog untuk menentukan perlakuan yang pas. Penanganan dan terapi yang tepat itu mampu membawa sang anak bisa diterima baik di lingkungan bermainnya. Anak-anak yang normal juga diajari bisa menerima kekurangan orang lain dan lebih bisa bersyukur.

Rangkaian pelayanan Aisyiyah ini butuh biaya pendidikan Rp 175.000 per bulan. Namun tak semua siswa dibebani biaya

sama. Sebab di sana diberlakukan sistem subsidi silang. Biaya sebesar itu hanya bagi anak keluarga mampu. Sedangkan siswa dari keluarga tak mampu mendapat subsidi.

KB Taman Beliayayasan Putri Ibu: BERKREASI DAN BERPRESTASI

Kelompok Bermain (KB) Taman Belia amat dikenal di Semarang. Tak lain karena sekolah ini milik Ir Nila Kusumaningtyas, Ketua Himpaudi Jawa Tengah melalui bendera Yayasan Putri Ibu. Bukan saja karena nama Nila sekolah ini amat dikenal. Prestasinya memang ciamik. Desember 2006 lalu KB Taman Belia menerima penghargaan Juara I Kelompok Bermain Tingkat Nasional.

Taman Belia menjadi yang terbaik dalam 4 kriteria penilaian: berkualitas, murah, mudah, dan inovatif. Berkualitas karena menerapkan metode-metode yang mampu memberi stimulasi kecerdasan majemuk anak dengan didukung fasilitas dan sentra yang memadai.

Murah karena di kota Semarang lembaga PAUD ini tergolong yang berbiaya tak mahal-mahal amat. Biaya pendidikan antara Rp 180.000-Rp 225.000. Uang pangkalnya maksimal Rp 2,5 juta. Sistemnya juga subsidi silang sehingga bisa dijangkau kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Kriteria “mudah” dihubungkan dengan kriteria inovatif. Setiap dua minggu sekali

para pendidik menggagas dan menciptakan Alat Permainan Edukatif secara mandiri dan sederhana. Bahan-bahannya dari barang bekas. Kegiatan membuat APE ini juga diberikan di sentra seni. Sehingga anak-anak tidak hanya mengenal mainan-mainan komersil yang mahal, tetapi juga mampu membuat mainan sendiri dengan cara yang mudah dan sederhana. “Kami juga menciptakan inovasi-inovasi di aspek pembelajaran dengan terus mengembangkan metode-metode belajar,” ujar Nila.

Taman Belia mempunyai 6 kelompok kelas dan 1 kelas transisi. Kelas untuk anak usia 1,5-2 tahun, 2-2,5 tahun, 2,5-3 tahun, 3-4 tahun, 4-5 tahun, 5-6 tahun dan satu kelas peralihan bagi anak-anak usia antara TK dan SD. Setiap Sabtu lembaga belajar ini dipakai untuk kegiatan Pos PAUD dan membina anak-anak di lingkungan sekitar dengan biaya Rp 3.250 per anak.

Sebulan sekali anak-anak diajak berenang di hotel Patra Jasa, melakukan kegiatan outbond atau kunjungan ke perusahaan atau kolektor binatang. Taman Belia juga mengajak orangtua menjadi guru di kegiatan Parents Visiting atau mengajak orangtua bermain bersama anak dan guru di kegiatan Parents Day. Kegiatan ini melibatkan orangtua secara langsung dalam kegiatan sang anak sehingga peran orangtua sebagai “guru” utama bagi anak-anaknya.

Pendekatan kepada anak dilakukan dengan ekstra. Tidak boleh ada pemaksaan, itu prinsipnya. “Pemaksaan” pun dilakukan dengan cara halus misalnya dengan bercerita atau bernyanyi. Misalnya ketika menghadapi anak yang cepat bosan. Kalau anak berpindah-pindah permainan maka berarti pekerjaannya tidak tuntas. Maka dengan dibantu bunda, sebutan untuk para pendidik, anak dirayu dengan cerita atau perumpamaan, hingga secara tidak sadar pekerjaan mereka bsia rampung. Anak pun terbiasa menyelesaikan pekerjaan.

Sekolah juga menanamkan kepada orangtua agar perilaku mereka bisa menjadi contoh bagi sang anak. Nilai berharap agar orangtua tak cuma berharap anak mereka bisa mandiri sementara di rumah, orangtua membiasakan bergantung kepada pembantu.

MURNItA dIAN KARtINI dANM. fAtHoNI ARIEf (SEMARANg)

94 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

MUR

NItA

dIA

N KA

RtIN

I dAN

M. f

AtHo

NI A

RIEf

Ellysa Aditya Suryawati, Kepala PG Aisyiyah 01 Banyumanik dan Ketua Yayasan Aisyiyah Ranting Banyumanik

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd94 94 7/14/2007 10:09:17 AM

Page 97: pena pendidikan 14

95Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Non Formal

BUTA aksara masih mengepung 12 juta penduduk Indonesia. Jumlah itu sebenarnya sudah turun sekitar

3 jutaan dalam tiga tahun terakhir. Tapi, keberhasilan itu masih perlu di genjot. Karena itu, Departemen Pendidikan Nasional menggelar seminar penuntasan buta aksara di Yogyakarta, akhir Mei lalu.

Menteri Pendidikan Nasional, Profesor Dr Bambang Sudibyo, menyebutkan, pada 2009, ia menargetkan angka buta huruf tinggal tersisa 7,5 juta. Masalahnya, selama ini pengajaran baca tulis itu membutuhkan waktu 6 bulan. Akibatnya, penurunan angka buta huruf jauh dari target.

Untunglah, sebagai universitas riset, Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (PPM) UGM telah mengembangkan metoda pengajaran baca-tulis dalam dua bulan. Metoda tersebut dikembangkan seiring program Kuliah Kerja Nyata (KKN).

KKN Pemberantasan Buta Aksara (PBA) yang dikampanyekan UGM sejak tahun lalu, kini diikuti 51 universitas di Indonesia. “KKN memang menjadi karakteristik UGM yang tidak bisa dipisahkan,” ujar penanggung

jawab KKN Pemberantasan Buta Aksara, Prof. Retno Sunarminingsih, yang tak lain istri Mendiknas Bambang Sudibyo.

Pada tahap orientasi, program berbasis pola pemberdayaan itu, UGM memberangkatkan 450 mahasiswa. Program itu, menurut Koordinator Program KKN PBA, Dra. Wiwin Widyawati, M.Hum, berhasil mengentaskan 2.500 orang buta aksara.

Program tersebut akan diteruskan dengan memberangkatkan 825 mahasiswa. Targetnya, 12.000 orang buta aksara di puluhan daerah berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Pelaksanaan KKN-PPM UGM meliputi tiga tahap. Paket tersebut dimulai dengan pengenalan baca tulis (ca-lis) dengan bahasa ibu. Lalu, pengenalan ca-lis dengan Bahasa Indonesia. Selanjutnya, pengenalan aspek berhitung. Pelaksanaan dan pendataan warga ajar buta aksara diakhiri dengan ujian keaksaraan. Nanti, para peserta akan mendapat sertifikat dari Depdiknas.

Tingkat keberhasilan paket tersebut, menurut Wiwin, mencapai 86%. Keberhasilan itu, menurut dia, ditunjang oleh modul yang inovatif, yakni yang disusun menggunakan

bahasa ibu yang ditunjang peran tutor lokal.Selain itu, ujar Wiwin, mereka juga

menghilangkan gambar pada modul ajar karena dianggap sering menyesatkan. Contoh yang diberikan berupa suku kata yang tidak punya arti. Dengan demikian, tutor bisa mengetahui apakah peserta bisa membaca atau tidak.

Karena melibatkan penggunaan bahasa ibu, mahasiswa KKN diusahakan putra daerah yang benar-benar memahami bahasa ibu di daerah pemberantasan buta aksara. Syarat itu itu juga berlaku bagi dosen pembimbingnya. Maksudnya, untuk menghindari kesalahan dan pelanggaran budaya lokal.

Sekalipun sudah dipilih putra daerah, kata Wiwin, tetap saja mahasiswa masih terkejut dengan kondisi yang ditemuinya di lapangan. Sebab, acapkali lokasi KKN berbeda dengan informasi yang berkembang tentang daerah tersebut. Padahal, menurut Wiwin, kekeliruan

informasi tersebut sering membuat mahasiswa kuatir secara berlebihan.

Wiwin memberi contoh Pulau Madura, yang dikenal masyarakat sebagai daerah carok. Buktinya, setelah mahasiswa melewati KKN

beberapa pekan, mereka justru mendapat tanggapan di luar dugaan. “Mereka begitu antusias menyambut kegiatan para mahasiswa,” ujar Herli, mantan Koordinator Mahasiswa Tingkat Unit KKN PBA di Kabupaten Sumenep.

Kenyataannya, kata Wiwin, pendekatan yang baik justru dilakukan oleh mahasiswa yang agamanya berbeda dengan mayoritas penduduk. “Ia bisa mengajar di surau,” ujarnya. Saking luwesnya, menurut dia, bahkan ada mahasiswa yang akan mengajar menunggui muridnya mencari pasir.

Pengalaman itu, kata Wiwin, terjadi karena para mahasiswa menggunakan cara jemput bola “Warga belajar yang menentukan waktu dan tempatnya,” kata Wiwin. Hal itu berbeda dengan metoda para tutor yang dibentuk oleh Dinas. Di sini, warga justru menyesuaikan waktu dengan para tutornya.

Untuk memaksimalkan pengabdiannya, UGM sengaja memilih daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau. “Karena selama ini angka tinggi buta aksara justru terdapat di wilayah seperti itu,” katanya.

MURNItA dIAN KARtINI dAN MoCH fAtHoNI ARIEf (YogYAKARtA)

Universitas Gadjah Mada sukses menyelenggarakan Kuliah Kerja Nyata bertema pemberatasan buta aksara. Telah dikembangkan metode belajar baca-tulis singkat. 51 perguruan tinggi melaksanakannya.

DUA BULAN MELEK HURUFSA

IfUL A

NAM

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd95 95 7/14/2007 10:09:20 AM

Page 98: pena pendidikan 14

96 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Non Formal

HIMPAUDI dan FORUM PAUD se-nasional yang digelar pada 17-19 Juni 2007 membahas banyak

persoalan. Dua persoalan yang kerap muncul di acara itu: soal status tenaga pendidik dan tugas dan fungsi kedua wadah itu.

Sejak berdirinya Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), di Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada 2002, gaung PAUD semakin nyata. Berbagai pertemuan, seperti seminar, semiloka, dan workshop hadir di mana-mana. Ada yang kemudian rutin digelar saban tahun, seperti workshop Forum PAUD dan Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi).

Workshop itu kembali digelar Direktorat PAUD di Hotel Topas Galeri Bandung, pada 17-19 Juni lalu. Pertemuan dua organisasi penggerak PAUD itu berlangsung meriah.

MEMPERKUAT KIPRAH PAUD NONFORMALStatus pendidik PAUD hangat dibincangkan. Tugas dan fungsi Himpaudi dan Forum PAUD belum sepenuhnya dipahami pengurus daerah. Belum ada PNS untuk pendidik PAUD Nonformal.

Tak lain karena dihadiri semua utusan dari kabupaten dan kota di Tanah Air. Apalagi kebanyakan pengurus Himpaudi dan Forum PAUD dijabat istri pejabat (gubernur, bupati dan walikota), praktisi, dan ahli pendidikan dari perguruan tinggi.

Dari lintas departemen juga hadir pada pertemuan itu. Yakni dari Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Deputi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Bidang Pendidikan, Agama, dan Aparatur Negara, serta Badan Koordinasi Keluarga Berencana. Pejabat Depdiknas yang datang, di antaranya, Erman Syamsuddin, SH, M.Pd (Direktur Tenaga Pendidik dan Kependidikan Nonformal).

Tentu saja Dr Gutama, Direktur PAUD sebagai tuan rumah hadir. Ia bahkan mengikuti acara hingga tuntas. Drs Damanhuri Rosyadi, SKM (Ketua Forum PAUD) dan Masyitoh Chusnan (Ketua Harian

Himpaudi) juga hadir hingga acara rampung. “Kami memang ingin melihat persoalan demi persoalan, baik yang dialami Forum PAUD maupun Himpaudi,” kata Gutama.

Dilibatkan DepsosBeragam persoalan yang membelit

PAUD bukan semata menjadi menjadi beban Depdiknas. Depsos dengan program Taman Penitipan Anak (TPA), Depkes dengan Posyandu, dan Depag dengan Raudhatul Atfal, turut andil mengembangkan PAUD. Workshop itu salah satunya memang ingin membuat program yang sinergi antardepartemen terkait. “Lembaga PAUD adalah wadah yang bersifat terbuka bagi siapa saja yang peduli terhadap pengembangan anak dini usia, terutama para pakar, praktisi, pemerhati, LSM, pengembangan di bidang PAUD, penerbit buku anak, produsen makanan pengganti ASI/Susu/Vitamin untuk anak, instansi terkait dan elemen lainnya,” kata dr. Haniff Asmara, MMSc, Direktur Bina Pelayanan Sosial Anak, Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Depsos, dalam paparannya.

Haniff berharap lembaga PAUD bisa memperluas jangkauan dan pemerataan pelayanan dan rehabilitasi sosial hingga menjangkau anak di berbagai tingkatan wilayah. Selain itu, kata Haniff, lembaga ini harus meningkatkan dan memperkuat peran serta masyarakat, melengkapi sarana dan prasarana pelayanan dan rehabilitasi sosial, baik fisik, personil dan pembiayaan.

Ia juga berharap PAUD bisa menjalin koordinasi intra dan intersektoral untuk mendukung penyelenggaraan pelayanan dan rehabilitasi sosial, memantapkan manajemen pelayanan dan rehabilitasi sosial, dan meningkatkan pendataan dan informasi masalah kesejahteraan sosial dalam koordinasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat.

Selama ini, kata Hanif, peran Depsos sudah nyata. Di antaranya, peningkatan capacity building pekerja sosial terhadap p e r l i n d u n g a n a n a k d a n p r o g r a m multilayanan terhadap panti-panti sosial. Nah, karena ada gerakan serupa, Depsos kini akan melibatkan PAUD. “Kita akan bersama-sama melaksanakan pengawasan dan monitoring,” kata Haniff. Depsos juga berjanji akan memfasilitasi rujukan ke institusi sosial untuk balita yang membutuhkan

Workshop HIMPAUDI & Forum PAUD Tingkat Nasional yang diadakan di Bandung

SAIfU

L ANA

M

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd96 96 7/14/2007 10:09:23 AM

Page 99: pena pendidikan 14

97Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Non Formal

perlindungan khusus. Muhammad Fuad, Deputi Menko Kesra

Bidang Pendidikan, Agama dan Aparatur Negara menyampaikan bahwa gerakan PAUD selama ini hanya menjangkau kalangan terbatas. Hal senada juga disampaikan sejumlah narasumber dari Depkes, Deputi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak, dan BKKBN. Mereka beranggapan PAUD belum bisa menjangkau lapisan masyarakat. Meski begitu, mereka juga sadar gerakan PAUD baru dimulai. Tentu, banyak kekurangan di sana sini.

Walau begitu, bukan berarti kegiatan workshop HIMPAUDI & FORUM PAUD yang digelat direktorat PAUD tak ada artinya. Mereka menilai langkah-langkah seperti itu adalah positif dan konstruktif bagi pengembangan anak usia dini. Apalagi jika ke depan melakukan gerakan ini dengan cara yang sinergis.

Kesejahteraan MinimPenguatan kerjasama antardepartemen

terkait itu memang menjadi tugas dan kegiatan Subdit Kemitraan Direktorat PAUD Depdiknas. Selain itu, workshop diharapkan bisa menjadi wahana untuk memecahkan

berbagai persoalan di lapangan. “Apa saja persoalan yang dihadapi di lapangan terkait penyelenggaraannya terungkap di sini,” kata Drs. HM Nuch Rahardjo, M.Pd, Kepala Subdit kemitraan, Direktorat PAUD, Depdiknas.

Sejumlah persoalan yang banyak disinggung utusan daerah adalah status

t e n a g a p e n d i d i k PA U D nonformal. Para pendidik yang tergabung dalam Himpaudi sendiri masih mempertanyakan status pengajar di PAUD nonformal. Misalnya, soal s e b u t a n p e n d i d i k PAU D, a p a k a h p a m o n g s e p e r t i pendidik di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau bisa juga disebut guru.

Ketua Harian Himpaudi, Masyitoh Chusnan, menyadari tenaga pendidik di PAUD nonformal masih terbatas j u m l a h d a n k u a l i t a s nya . Bahkan pada umumnya belum sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi yang disyaratkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. “Tingkat kesejahteraan tenaga pendidik belum memperoleh perhatian serius. Sederhananya, belum ada tenaga pendidik PAUD yang PNS pada jalur nonformal,” kata Chusnan.

O l e h k a re n a i t u , k at a C h u s n a n , keberadaan Himpaudi bertujuan, antara lain, menampung, memperjuangkan dan mewujudkan aspirasi, para penyelenggara, pendidik dan tenaga kependidikan PAUD.

Sementara pengurus Forum PAUD sendiri banyak yang masih bingung tugas dan fungsi mereka dibanding Himpaudi. Kegundahan peserta itu dijawab Damanhuri yang dengan panjang lebar menjelaskan tugas dan fungsi Forum PAUD. “Forum PAUD merupakan wadah komunikasi dan kerjasama untuk menyatukan visi, misi, langkah dan peran masing-masing anggota dalam upaya pengembangan anak usia dini seutuhnya. Anggotanya para pakar pendidikan, praktisi, pemerhati, LSM, pengembangan bidang PAUD, penerbit buku anak, produsen makanan pengganti anak, dan instansi terkait. Dari sini saja sudah terlihat tugas dan fungsinya,” kata Damanhuri panjang lebar.

Gerakan PAUD yang belum maksimal itu diakui Gutama. “Jika mengikuti proses gerakan PAUD sembari awal, dua lembaga ini amat berperan dalam mengembangkan PAUD. Mereka bekerja dengan hati yang ikhlas,” katanya.

Gutama berharap, di masa mendatang, workshop semacam itu semakin memperkuat gerakan PAUD. “Harapannya, nanti tidak ada lagi anak usia dini yang tidak terlayani pendidikannya.”

RoBI SUgARA (BANdUNg)

Drs. H. M. Nueh Rahardjo, MPd., Kasubdit Kemitraan

SAIfU

L ANA

M

RoBI

SUgA

RA

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd97 97 7/14/2007 10:09:31 AM

Page 100: pena pendidikan 14

98 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Non Formal

ULVA tak sengaja melintas di Jalan Teluk Mandar, Malang, Jawa Timur. Kedua matanya terantuk pada

bangunan bernomor 55 --persis di depan Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (P4TK) Otomotif dan Elektronika. “Benar ini sekolah? Kok seperti tempat wisata,” kata mahasiswi Universitas Negeri Malang itu terheran.

Keheranan Ulva itu bisa jadi dialami banyak orang yang melintas di taman indah itu. Di area lapang seluas 4677 m2 itu berdiri bangunan megah yang dikelilingi taman plus sejumlah sarana bermain. Mulai kereta luncur, papan luncur, papan panjat tebing, wahana bersepatu roda, ayunan, dan permainan lainnya. Bahkan ada lapangan futsal, kolam renang, dan lapangan bola basket. Di lokasi itu yang mirip tempat wisata itu berdirilah sekolah berlabel Pusat Pendidikan Unggulan Al Ya’lu.

Al Ya’lu membuka pendidikan dari jenjang TK, playgroup dan sekolah dasar.

“Kami akan segera membangun SMP dan tengah merencanakan jenjang SMA dan SMK. Mudah-mudahan nantinya bisa membuat pula perguruan tinggi,” kata Drs Bambang Triono, MM, Ketua Yayasan Pendidikan Al Ya’lu, pendiri dan pengelola Sekolah Unggulan Al Ya’lu.

Al ya’lu dirintis Bambang pada 2003. Kala itu baru dibangun jenjang TK dan Kelompok Bermain. Pada 2005, yayasan membuka kelas untuk SD. Bambang merintis Al Ya’lu karena kecintaannya pada pendidikan. ”Saya kesengsem dengan dengan sekolah-sekolah maju di luar negeri. Sebut saja di Jerman, Arab Saudi, Swiss, Cina, Jepang, dan Korea Selatan,” kata pria asal Ponorogo itu.

Konsep pendidikan di Al Ya’lu juga terinspirasi sekolah-sekolah di luar negeri yang pernah dikunjungi Bambang. Ia memang beberapa kali bertandang ke luar negeri ketika bertugas di P4TK Otomotif dan Elektronika, Malang. Paling sering ia terbang ke Jerman dan Arab Saudi. Ia selalu

menyempatkan diri mempelajari sistem dan kultur pendidikan di sana.

Sekolah Unggulan Al Ya’lu pun dibangun dengan standar

internasional. Sarana dan prasarananya lengkap: mulai laboratorium komputer, perpustakaan, musola, peralatan olahraga, musik, memasak, hingga kerajinan tangan. Setiap kelas didukung beragam alat permainan edukatif, loker sepatu dan tas. Loker sepatu disediakan karena setiap masuk kelas, anak dan guru melepas sepatu.

Aturan lepas sepatu itu bukan saja berdampak lantai kelas selalu bersih. Melainkan sengaja diciptakan agar siswa tidak selalu duduk di kursi selama belajar. Acapkali guru mengemas pelajarannya dengan gaya lesehan. Kursi di TK dan playgroup sengaja dipakai yang bisa berputar. ”Agar anak-anak tetap bisa riang dan rileks dalam belajar,” kata Endang

Didisain berstandar internasional. Sarana prasarana pendukung komplit. Setiap kelas diajar dua guru yang hampir semuanya sarjana. Bisa di kursi, lesehan, atau belajar di luar kelas. Guru-gurunya harus punya tiga metode pembelajaran berbeda.

yANG CERDAS, BERAKHLAK,DAN NASIONALIS

Pusat Pendidikan Unggulan Al Ya’lu Malang

foto

-fot

o: M

UKtI

ALI

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd98 98 7/14/2007 10:09:34 AM

Page 101: pena pendidikan 14

99Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Non Formal

Supadminingsih, SPd, MPd, Kepala TK dan Playgroup Al Ya’lu.

Sedangkan kursi buat siswa SD dibikin seperti layaknya anak kuliahan: kursi berdisain menyatu dengan lembaran papan yang difungsikan sebagai meja kecil. “Hal ini untuk memudahkan penciptaan model tatap muka antara siswa dengan guru saat mengajar,” kata Isnada Waris Tasrim SPd, MPd, Kepala SD Unggulan Al Ya’lu.

Posisi duduknya kadang melingkari sang guru. Lain waktu formasi duduk di kelas berbentuk huruf U. Bisa juga tatap muka dengan gaya lesehan. Pembelajarannya juga tidak melulu di ruang kelas. Kadang guru mengajar di tempat-tempat umum, seperti bank, perkebunan, hutan, atawa sawah.

Dengan fasi l i tas pendukung dan pembelajaran yang komplit itu, Al Ya’lu tak ragu menyelenggarakan sistem pendidikan sehari penuh (full day school). TK dan playgroup sehari penuh? Begitulah.BambangBegitulah. BambangBambang tak gentar dengan ketakutan masyarakat bahwa pendidikan yang berlebihan pada anak usia dini bisa membahayakan perkembangan otak si anak. “Yang penting tidak keluar dari konsep bermain sambil belajar,” katanya.

Bambang mencontohkan keberadaan alat permaian seperti kereta luncur. Kereta luncur, selain membuat anak senang, juga untuk menumbuhkan keberanian. Selain metode, iklim dan lingkungan sekolah mesti mendukung, yang bisa menjadikan sekolah sebagai rumah kedua sang anak. Misalnya, saat istirahat, ia mendisain waktu yang cukup dan ruang khusus untuk tidur siang. Kebutuhan

energi juga dicukupi dengan penyediaan makan siang yang bergizi dan higienes.

Al Ya’lu memiliki 105 murid TK, 30 murid playgroup dan 96 siswa SD, sebatas kelas I dan II, plus 7 murid kelas III dan 9 siswa kelas IV. Resminya, SD Al Ya’lu baru memiliki dua angkatan, kelas I dan II. Siswa kelas III dan IV hanyalah siswa pindahan dari sekolah lain. Tiap kelas dibatasi tak lebih dari 24 murid.

Pengajarnya, setiap kelas dan setiap mata pelajaran dilakukan dua guru untuk jenjang SD. Sedangkan setiap kelas TK diajar tiga guru. Bahkan tiap kelas playgroup diajar 5 guru. Para guru di sana hampir semua S-1. Hanya tujuh guru dari 24 guru TK dan playgroup yang berijasah D-2 Pendidikan Guru TK.

Selebihnya berijasah S 1 d a n S 2 . B a h k a n 21 guru SD merek a seluruhnya berijasah S1. Beberapa orang di antaranya berijasah S-2. Al Ya’lu juga didukung tenaga kependidikan, kebersihan, sopir, hingga satpam.

Setiap guru di sana juga wajib hukumnya memiliki minimal dua keterampilan khusus. “Mereka juga harus bisa berbahasa Inggris aktif. Setiap guru juga harus memiliki kemampuan pengasuhan terhadap

anak,” kata Endang Supadmaningsih.Selama proses belajar mengajar setiap

guru juga diharuskan selalu siap dengan minimal tiga metode mengajar. “Sehingga uru bisa mengatasi keadaan siswa yang seringkali berubah-ubah,” kata Isnada Isnada Waris Tasrim SPd, MPd, Kepala SD Unggulan Al Ya’lu, menambahkan.

Sarana dan pembelajaran yang terjamin itu memang diimbangin dengan biaya sekolah yang tergolong mahal. Siswa TK dan playgroup dibebani Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) Rp 520.000/bulan plus ”uang gedung” sebesar Rp 4 juta. Sedangkan murid-murid SD membayar SPP sebesar Rp 500.000/bulan dan uang gedung Rp 6 juta rupiah.

Sarana prasarana oke, biaya pendidikan tercukupi, hasilnya? Setidaknya sejumlah pretasi diraih siswa-siswi Al Ya’lu. Di antaranya Qonita Deifaky Tsauria yang menyabet Juara Nasional English Conversation yang diselenggarakan Badan Kesejahteraan Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) pada 2005. Qonita juga Juara I Lomba Akting Calon Bintang on Contest oleh Matahari Departement Store pada 2006.

Selain itu, Abyan Nagata Javier yang Juara I Vocabulary pada 2004. Ada lagi M.Fawwaz Musyafa’ (Juara II English Contest Kindergarten 2004), Dara Zulfa Maulida (Juara III Mewarna Integreted Campaign).

MUKtI ALI (MALANg)

Model pengaturan kelas SD Al-Ya_lu Malang

Bambang Triono saat menyambut kunjungan Fasli Jalal, Ph.D, Dirjen PMPTK Depdiknas

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd99 99 7/14/2007 10:09:38 AM

Page 102: pena pendidikan 14

100 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Figur

Tangan kirinya berbalut perban, baru beberapa hari yang lalu jatuh saat hendak melaksanakan tahajud.

Suaranya juga sedang parau, radang tenggorokan. Tapi ingatannya masih sangat tajam. Itulah gambaran awal ketika Pena Pendidikan menyambangi Hj. Nibras OR Salim di ruang kerjanya TK Istiqlal di kompleks Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, awal Juli ini.

Di usia rentanya yang memasuki 76 tahun, Ibu Nibras masih fasih bercerita kisahnya bergelut di dunia anak-anak sejak 1958. Bagi yang berkecimpung di jagat pendidikan anak usia dini, khususnya pendidikan Islam, sosok Ibu Nibras tak asing lagi. Selama dua periode, 1995-2000 dan 2000-2005, Ibu Nibras dipercaya menjadi Ketua Umum Badan Pembina TK Islam Indonesia.

Dia pula yang mengembangkan TK dan Kelompok Bermain Masjid Istiqlal sebagai PAUD Islam percontohan. Saat konsep PAUD baru dikenalkan Bank Dunia di Indonesia pada 1996, Ibu Nibras-lah yang terbang ke Florida, Amerika Serikat melakukan studi banding. Selama tiga bulan, ia melakukan observasi penyelenggaraan pendidikan TK di sana. “Saya melihat nilai-nilai Islam dipraktikkan di sana, meskipun mereka nonmuslim,” katanya seperti dikutip dalam buku karya Saiful Anam berjudul Taman Yang Paling Indah: Jangan Remehkan Taman Kanak-kanak (2007).

Menurut pengamatannya di Florida, anak-anak usia 2-4 tahun dibiasakan menyapa orang lain, saat bertemu di mana pun seraya tersenyum. Nilai itu menurut Ibu Nibras sama dengan konsep Islam tatbiihussalam, yang maknanya memberikan salam pada orang

yang dikenal dan yang tidak diketahui.

Pahitnya Masa KecilBerlinang air mata, Nibras menceritakan

perjalanan hidupnya yang terjal kala PENA PENDIDIKAN menanyakan kisah masa lalunya. Nibras kecil lahir di Maninjau, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dengan segepok kenangan pahit. Sang ayah, Oedin Rahmani Salim, yang pejuang kemerdekaan ditangkap dan dibuang ke Digul, Papua, ketika Nibras berusia 2 tahun. Ibunya menjadi depresi lantaran kakak dan seorang anaknya meninggal dunia, selang beberapa bulan sejak tak bersanding dengan sang suami.

Nibras kecil diungsikan ke rumah neneknya di Lubuk Basung, masih di K a b u p a t e n A g a m . D i s a n a l a h i a menghabiskan masa kecil hingga remaja bersama neneknya. Nibras remaja akrab dengan suasana sawah dan ladang. Biasa memasak dan mengerjakan aktivitas harian sebagai perempuan dewasa. Sang bunda hanya setahun sekali menengoknya.

Ia merasa asing terpisah dengan keluarga dekat. Pelukan hangat sang ibu justru membuatnya takut. Lantaran ia lebih terbiasa bersama sang nenek. Memang ketika ia dewasa, hubungannya dengan ibunda membaik. Sayangnya, ibunda Nibras tetap tinggal di Maninjau. Sementara Nibras tetap ikut neneknya di Lubuk Basung.

K e t i k a s a n g a y a h k e m b a l i d a r i pembuangan pada 1946, Nibras tak kenal lagi ayahandanya. Maklum, di usia dua tahun ingatan tentang sang ayah tak begitu banyak. Selang 3 tahun kemudian, Ibu Nibras baru bisa menjalani kehidupan bersama ayahnya. “Ketika ada anak berpisah dengan ibunya, saya benar-benar sedih,” Nibras berkaca-kaca.

Ibu Nibras kembali ke Maninjau. Namun tak lama berkumpul kembali dengan ayah dan ibunya, Ibu Nibras memilih sekolah ke Sekolah Guru Hakim Agama, setingkat Sekolah Pendidikan Guru (SPG) di Purworejo. Ia baru mengantongi SK PNS sebagai guru agama di Purworejo pada 1958. Di sanalah Ibu Nibras merintis TK.

Pada 1960 Ibu Nibras hijrah ke Jakarta. Ia sempat berpindah karier menjadi guru agama di SMA 4 Jakarta hingga 1966. Selang lima tahun kemudian, di usia 40 tahun, Nibras menikah dengan seorang

Hj. Nibras binti oedin Rahmani Salim

PERJALANAN HIDUP yANG MENGINSPIRASI

Sejak usia 2 tahun terpisah dari orangtuanya. Tergerak menggeluti pendidikan anak lantaran prihatin melihat anak SMA tak hafal kalimat syahadat. Pada 1958 ia merintis TK Islam yang mengenalkan pendekatan bermain sambil belajar, selalu bertaut dengan nafas Islam. TK Istiqlal yang dipimpinnya menjadi rujukan model PAUD tingkat nasional.

foto

-fot

o: M

URNI

tA d

IAN

KARt

INI

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd100 100 7/14/2007 10:09:40 AM

Page 103: pena pendidikan 14

101Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Figur

pedagang asal Jawa Timur bernama Salim Abdul Manaf.

Kariernya berpindah ke Departemen Agama. Ia menjabat Kepala Seksi Pembinaan Dai Depag selama kurun 1975-1980. Tahun 1980-1984 Nibras berpindah bagian menjadi Kepala Seksi Urusan Bimbingan Perkawinan Depag. Di posisi itulah ia pensiun, di usia 53 tahun.

Integrasi Nilai-nilai AgamaK ala mengajar d i SMA ada satu

pengalaman yang tak terlupakan, yang pada akahirnya mendorong untuk terjun di pendidikan anak. Ia prihatin saat dua orang muridnya mengaku tidak hafal syadahat dan materi tentang khilafiyah. Ia sadar betapa susah membentuk anak usia belasan tahun.

Ia pun mengalihkan perhatiannya pada pendidikan anak usia dini. “Bayi lahir tidak dibekali apa-apa,” katanya, “Tapi bayi dibekali kemampuan melihat, mendengar dan merasa.” Alasan itulah yang membuat PAUD begitu penting di matanya.

Ia meyakini semua pendidikan harus didasari sentuhan agama. Sejak usia 0 tahun, saat sang jabang bayi lahir, cairan-cairan dari telinganya mulai dibersihkan, sang ayah melafalkan kalimat azan, kata Allah yang didengar pertama yang orok. “Itu sudah bentuk pendidikan anak usia dini,” kata Ibu Nibras.

Ibu Nibras menjumput salah satu ayat Al Quran, yang berbunyi, “Allah berfirman, ”Kenalkan Aku pada bayi yang baru lahir.” “Ruh sendiri berjanji kepada Allah untuk mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan. Kalimat azan adalah kalimat yang paling bisa dipahami anak karena ketika baru lahir telinga bayi yang paling berfungsi, sementara kemampuan hati dan matanya belum stabil. Kalimat itu meluncur ke seluruh organ tubuh bayi melalui otaknya,” kata Ibu Nibras panjang lebar.

Artinya, kata Nibras, PAUD menjadi begitu penting karena sejalan dengan perintah Allah. Mestinya setiap orang memahami akan pentingnya PAUD. Perkembangan otak bayi yang sudah mencapai 40%, sudah mampu bagi bayi untuk meniru orangtuanya. Dari cara bersikap, bahasa, dan perbuatan. “Jadi ketika masa keemasan tidak direbut, perkembangan anak menjadi tidak

optimal,” katanya. PAUD yang kali pertama didengungkan

pada 2000, kata Ibu Nibras, dirasa mampu membawa nuansa pencerahan bagi pendidikan anak-anak usia dini. Nibras menggambarkan betapa dahulu tidak pernah didengar ist i lah PAUD. Tapi perkembangannya saat ini memang luar biasa. Nibras menjadi orang yang turut berkiprah langsung “kelahiran” PAUD di Tanah Air. Sejak seminar PAUD pertama digelar, Nibras sudah mengikuti. Dari seminar ke seminar itu Nibras mencatat poin-poin yang harus dikembangkan dalam penyelenggaraan PAUD.

Sayangnya, kata Nibras, masyarakat menganggap usia ideal anak mengenyam pendidikan dimulai pada usia minimal 3-4 tahun. “Padahal itu terlambat. Karena pendidikan anak dimulai sejak usia 0 tahun,” kata Ibu Nibras menegaskan.

Kala merintis TK di Purworejo, sejatinya Ibu Nibras sudah mengenalkan pentingnya pendidikan spir itual dalam konteks kehidupan beragama sejak anak usia 0 tahun. Secara metode, Ibu Nibras juga sudah mengembangkan metode bermain sambil belajar, secara sederhana di TK yang didirikannya itu.

Di masa pensiunnya Ibu Nibras total mengabdikan hidupnya untuk pendidikan anak. Wawasannya berkembang saat ia dikirim Yayasan Al Falah, Cibubur melakukan studi banding mengenai metode Beyond Center and Circle Time (BCCT) ke Florida, Amerika Serikat, pada 1996.

B a n y a k h a l dipelajar inya. M i s a l n y a , i a b e l a j a r c a r a m e n g e n a l k a n s e s u a t u p a d a anak usia dini. Ia melihat guru m e n g e n a l k a n pensil pada bayi u m u r s e t a h u n . B u k a n d e n g a n m e n g a t a k a n , “ I n i p e n s i l . ” Melaink an guru memberikan pensil kepada si mungil. B a y i d i b i a r k a n menggunakannya untuk menulis atau sekadar dimainkan di

tembok atau lantai. Cara itu yang paling pas untuk mengenalkan bentuk dan fungsi pensil kepada anak usia dini. Ketika orang dewasa memakainya, sang bayi dengan sendiri meniru bagaimana menggunakan pensil.

Metode BCCT sendiri lahir dari konferensi internasional, bukan hasil pemikiran perorangan saja. Metode ini menggabungkan sejumlah model pembelajaran yang dipakai sebelumnya, misalnya Montesori. Konsep BCCT ini kemudian diadaptasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pelaksanaannya disesuaikan dengan kultur dan kemampuan masing-masing negara.

Di Indonesia, BCC T kal i per tama diadaptasi oleh lembaga PAUD berlatar belakang Islam. Konsepnya secara tidak langsung mengadopsi materi-materi keislaman, seperti mengucap salam dan berdoa. “Semua harus berbalut agama. Sudah saatnya berpikir tentang kecerdasan spiritual anak,” kata Nibras. Pun ketika mengenalkan sesuatu, pendidik wajib mengenalkan anak pada ciptaan Allah.

Meski kesejahteraan pendidik PAUD jauh dari layak, Nibras tidak menjadikan itu sebagai alasan PAUD tak berkembang. “Ikhlas, itu kuncinya.” Di usianya genap 76 tahun, ia tetap ikhlas dan selalu bersyukur menjalani profesi sebagai guru. Sakit berulang kali yang mendera tubuh ringkihnya, justru membuat Ibu Nibras menerimanya sebagai lahan menjaga keimanan dan ketakwaan.

MURNItA dIAN KARtINI

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd101 101 7/14/2007 10:09:42 AM

Page 104: pena pendidikan 14

102 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Figur

Ratusan penggiat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) menjejali kota Bandung, Jawa Barat, pertengahan

Juni lalu. Sebagian besar dari mereka adalah ibu-ibu. Para undangan itu adalah Ketua HIMPAUDI (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Anak Usia Dini Indonesia) dan Forum PAUD dari 33 provinsi. Selain itu juga hadir para pengurus teras HIMPAUDI dan Forum PAUD pusat, sejumlah pakar PAUD dari perguruan tinggi, aktivis lembaga swadaya masyarakat, dan jajaran pejabat penting Departemen Pendidikan Nasional. Selama tiga hari mereka menghadiri lokakarya gabungan dua organisasi yang mengurusi PAUD tersebut.

Salah satu undangan yang tampak tekun mengikuti kegiatan itu adalah Ir. Hj. Umi Rosidah, MS, Ketua HIMPAUDI Sumatera Selatan. Perbincangan wartawan PENA PENDIDIKAN dengan dosen Universitas Sriwijaya Palembang di sela-sela acara lokakarya itu berjalan gayeng lantaran Umi memiliki cerita sangat menarik dalam menggeluti PAUD.

Umi yang lahir di Desa Gondanglegi, Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, 20 November 1960, itu setelah

tamat dari SMA 5 Malang lantas melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor (IPB) Jurusan Teknologi Pertanian. Ia lulus dan meraih gelar insinyur pertanian pada 1984. Setelah itu, sejak 1985 ia menjadi dosen di Unsri. Di kampus ini pula ia dipertemukan jodohnya, menikah dengan Slamet Widodo yang mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik di universitas tersebut. Untuk meningkatkan ilmunya, Umi melanjutkan ke jenjang S-2 dan lulus pada 1990.

Saat menyelesaikan studinya di IPB tahun 1984, Umi sempat berkumpul dan melakukan perenungan bersama teman-teman jurusan seangkatannya. “Kita sudah dibekali ilmu cukup banyak di bidang teknologi pertanian. Selanjutnya kita berpikir, apa yang mesti kita lakukan ke depan untuk memberi manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Nah, saat itulah tercetus keinginan kami suatu saat nanti mendirikan sekolah,” katanya.

Namun, usai acara pertemuan tersebut tidak pernah ada kelanjutannya. Kesepakatan untuk mendirikan sekolah yang dikelola bersama-sama tidak pernah terwujud. Umi pun seolah terbenam dalam tumpukan tugas-tugasnya sebagai dosen. Hasil kerjanya ia investasikan berupa rumah, mobil, dan

mengembangkan usaha percetakan dan fotocopy. Selain mengajar, Umi bersama suaminya memang mengelola usaha percetakan dan forokopi. Kendati begitu, keinginannya untuk mendirikan sekolah tidak pernah pudar.

Saran Amien RaisSetelah sekian lama keinginannya mendiri-

kan lembaga pendidikan terbengkalai, baru pada 2002 Umi membangun Taman Kanak-kanak (TK). Ceritanya, pada tahun itu ia diajak suaminya bersilaturahmi ke Prof. Dr. Amin Rais, tokoh reformasi yang juga pendiri Partai Amanat Nasional. Slamet Widodo memang kenal baik Amin Rais lantaran ia adik kelasnya saat kuliah di Universitas Gajah Mada.

“Kami bertanya ke Pak Amin, perjuangan di bidang apa yang lebih memberi manfaat besar bagi masyarakat? Beliau merekomendasikan untuk berjuang di bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah, karena perjuangan lewat sekolah lebih bermakna dan mengena,” kenang Umi. Ia pun merasa klop dengan keinginannya mendirikan sekolah yang sudah lama dipendamnya.

Rekomendasi Amin Rais itu juga sejalan

Ir. Hj. Umi Rosidah, MS

JUAL RUMAH DAN MOBIL UNTUK BANGUN PAUDWalaupun berprofesi sebagai dosen di Universitas Sriwijaya Palembang, namun Ir. Hj. Umi Rosidah, MS mengaku lebih enjoy mendidik anak-anak usia dini. Tekadnya yang besar dalam mengembangkan PAUD sampai membuatnya menjual enam rumah dan sebuah mobilnya. Kini ia dipercaya sebagai Ketua HIMPAUDI Sumatera Selatan.

foto

-fot

o: SA

IfUL A

NAM

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd102 102 7/14/2007 10:09:51 AM

Page 105: pena pendidikan 14

103Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Figur

dengan kegelisahaan Umi selama menjalani pekerjaan sebagai dosen. Sebagai dosen, ia merasa susah sekali membentuk karakter mahasiswa. Ia maunya menegakkan disiplin, tapi malah diolok-olok. “Kalau ada mahasiswa terlambat mengumpulkan tugas lantas saya kasih nilai nol, eh saya malah dibilang dosen jahat. Padahal saya ingin membentuk manusia yang disiplin dan tertib, agar mereka nanti diperhitungkan di masyarakat dan laku di pasaran kerja setelah lulus. Tapi saya malah rugi sendiri. Jadi, begitu susahnya merubah pola pikir dan karakter mahasiswa. Rupanya, setelah saya pelajari, pembentukan karakter itu harus dimulai sejak usia dini. Dari situ saya lantas tertarik menggeluti PAUD,” tandasnya.

Untuk mendirikan PAUD, Umi bersama suaminya tak tanggung-tanggung. Enam rumah yang tersebar di Yogyakarta dan Palembang, plus sebuah mobil dijual. Ia merasa sangat berat saat melego mobil kesayangannya, Izusu Panther keluaran 2001 yang baru dibelinya. “Saya sampai menangis saat melepas mobil itu, yang sehari-hari saya pakai mengajar. Tapi suami saya bilang kita harus ikhlas kehilangan apapun jika sudah diniatkan,” katanya.

Dari hasil jual rumah dan mobil itu terkumpul uang sekitar 700 juta. Namun rupanya masih belum cukup. Ia masih harus pinjam uang di bank Rp 500 juta untuk tambahan modal membangun PAUD. Namun ia lancar mengangsur berkat usaha

percetakan dan fotocopy miliknya yang berkembang pesat.

Lembaga PAUD yang pertama dibentuknya adalah TK (PAUD formal), yang diberi nama TK Harapan Mulia. Selama dua tahun Umi naik sepeda motor untuk menemani aktivitasnya mengajar. Kendati begitu, ia merasakan kenikmatan luar biasa saat bertemu dan bercengkerama dengan anak-anak. “Mereka polos, lucu, dan menyenangkan. Selama menjadi dosen tidak pernah ada mahasiswa yang bilang saya cantik. Tapi anak-anak sering memuji, Bu Umi cantik ya,” ujarnya sembari tertawa.

Dalam waktu singkat TK yang didirikan Umi di pusat kota Palembang itu berkembang pesat. Tahun berikutnya, 2003, Umi mendirikan Kelompok Bermain. Kini, jumlah murid PAUD tersebut 192 anak, meliputi KB dan TK. PAUD yang dirintis Umi bersama suaminya itu kini dikenal sebagai lembaga pendidikan unggulan di Palembang. Kurikulumnya menerapkan BCCT (Beyond Center and Circle Times), baik di KB maupun TK. Dan, setelah sempat dua tahun naik sepeda motor, pada 2004 Umi berhasil membeli mobil Isuzu Panther lagi.

Ketua HIMPAUDIA k t i v i t a s n y a d i PAU D a k h i r n y a

mengantarkan Umi terpilih menjadi Ketua HIMPAUDI Provinsi Sumatera Selatan, yang dibentuk Mei 2006 lalu. Menurut dia, di

Provinsi Sumatera Selatan yang terdiri dari 15 kabupaten/kota sudah tumbuh ratusan lembaga PAUD formal dan nonformal. Di kota Palembang terdapat paling banyak, yaitu 110 PAUD. “Tentu ini perkembangan yang sangat menggembirakan, terutama PAUD nonformal yang banyak menjangkau kelompok masyarakat menengah ke bawah yang sangat membutuhkan pendidikan,” katanya.

Ia mengakui, kucuran dana rintisan dari Departemen Pendidikan Nasional yang besarnya Rp 25 juta per lembaga sangat membantu perluasan akses PAUD. Masyarakat yang awalnya tidak punya kekuatan mendirikan PAUD, menjadi terbantu. Bahkan tidak sedikit rumah-rumah panggung yang disulap menjadi PAUD.

Sebagai Ketua HIMPAUDI, Umi ikut berperan dalam meningkatkan mutu para pendidik dan tenaga kependidikan PAUD. Persoalan ini ia rasakan berat. Pasalnya, sebagian besar pendidik PAUD lulusan SMA sederajat yang kurang paham tentang seluk-seluk dunia anak. Selain itu, honor mereka sangat kecil. Banyak yang menerima bayaran Rp 100.000 per bulan, bahkan kurang dari itu. “Untuk transpor saja mungkin tidak cukup. Tetapi, inilah hebatnya guru-guru PAUD. Pengabdian dan militansinya luar biasa,” tambahnya.

Hingga kini, berapa jumlah persinya lembaga PAUD, jumlah murid, dan jumlah gurunya di Sumatera Selatan masih dalam pendataan. Kendati begitu, upaya yang sudah dilakukan untuk meningkatkan mutu sebagian guru PAUD adalah memberikan pelatihan kepada mereka, baik tentang perkembangan anak maupun BCCT.

Umi berharap, ke depan pemerintah memberi perhatian lebih besar terhadap program PAUD, terutama dari sisi pendanaan. Selain itu, ia mengharapkan agar perusahaan-perusahaan besar juga peduli. Apalagi mereka punya program CSR (Corporate Social Responsibility), yang salah satunya bisa diwujudkan dalam bidang pendidikan.

Benar, memang. Jika pemerintah memberi perhatian lebih serius dan perusahaan-perusahaan besar beradu kecepatan dalam mengucurkan bantuan untuk PAUD, maka anak-anak usia dini akan mendapat layanan pendidikan optimal. Guru-gurunya bisa tersnyum ceria. Dan, masa depan bangsa lebih menjanjikan.

SAIfUL ANAM

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd103 103 7/14/2007 10:09:54 AM

Page 106: pena pendidikan 14

Wawancara

104 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Rubrik BiasaInternasionalWawancara

ORANG yang akrab dengannya akan sepakat menyebut sosok ini memiliki banyak gagasan dan pemikiran oke

tentang memajukan dunia pendidikan di Indonesia. Khususnya pendidikan non formal sebagai alternatif sejajar dengan pendidikan formal. Dialah, Ace Suryadi PhD, Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah D e p a r t e m e n Pendidikan

Nasional (Depdiknas), yang belum lama ini berganti nama menjadi Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal.

Mungkin tak banyak yang mengetahui bahwa Ace punya andil besar lahirnya ketentuan perundangan yang mensyaratkan dana pos pendidikan dalam APBN setiap tahunnya minimal 20 persen dari APBN. Bahkan Ace, orang pertama yang menggagasnya, melalui artikel di media massa, yang menjadi rujukan para pengambil keputusan.

Lelaki sederhana yang menghabiskan masa kecilnya di Cipamekan, Congeang, Sumedang, ini adalah anak tertua dari empat bersaudara. Ayahnya Haji Muhamad Kosim berotak pintar meski secara formal hanya lulusan kelas lima SD. Demikian pula Ibunya Hj.Siti Mariyah lulusan kelas tiga SD yang nyaris buta huruf. Namun ia penyandang master (S-2) jurusan ekonomi pendidikan di Amerika Serikat. Dalam usia relatif muda sekitar 30-an tahun, Ace yang

sering melontarkan humor ini berhasil menggondol gelar doktor (S-3) hanya dalam tempo 3,7 tahun saja.

Kini, mantan Kepala Pusat Pendataan Balitbang Depdikbud ini bintangnya

sedang bersinar. Ibarat mutiara yang diletakkan di tempat yang

semestinya akan memancarkan kilau cahaya. Sejak diangkat

sebagai Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (Dirjen PLS) pada Mei 2005, mantan Staf Ahli Menteri

Bidang Desentralisasi Pendidikan di era Malik Fajar ini banyak melakukan terobosan dan gebrakan baru dalam Pendidikan Luar Sekolah atau Pendidikan Nonformal.

Kepada Saiful Anam dari PENA PENDIDIKAN, lelaki penggemar olahraga bulutangkis yang logat Sundanya sangat kental ini, berbicara panjang lebar tentang berbagai programnya. Dari pemberantasan buta Aksara, aktualisasi pendidikan nonformal, dan pentingnya Literacy Economy.

Petikan wawancaranya: Pada 2006, peringkat Human Development Indeks (HDI) Indonesia naik dari 110 menjadi 108. Apakah hal ini terjadi karena jumlah penyandang buta aksara turun?

Pemberantasan buta aksara memang besar sekali pengaruhnya pada HDI. HDI 2006 itu berasal dari data rujukan tahun 2005. Kalau data pemberantasan buta aksara (PBA) tahun 2006 bisa masuk, maka peringkat HDI bisa mencapai 104 atau 102. Dilihat dari sisi Angka Partisipasi Kasar (APK) pun, kita sudah naik. Bahkan jika data 2006 dan 2007 itu digabungkan, maka angka HDI kita akan kembali seperti sebelum krisis yaitu peringkat ke 104.

Bagaimana perkembangan terakhir pemberantasan buta aksara?

Sebenarnya literacy ini menjadi program yang sangat prioritas dari mulai Rencana Pendidikan Jangka Panjang (RPJP) sampai dengan Rencana Strategis. Saya sangat beruntung karena kita punya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Sekarang ini ada sekretariat tersendiri untuk PBA yang langsung di bawah koordinasi menteri.

Tahun 2006 ini merupakan awal yang baik. Dilihat dari segi hasil dan proses, sangat memuaskan. Kita sudah mencapai 8,07% saja dari jumlah penduduk. Sekarang ini tinggal 12,7 juta penyandang buta aksara usia 15 tahun ke atas. Artinya, tinggal 5 juta untuk mencapai target menjadi 7,7 juta pada 2009.

Akan tetapi 5 juta penyandang buta aksara ini kondisinya berbeda dengan 10 tahun lalu. Karena sekarang ini lebih

Ace Suryadi Phd, direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal, departemen Pendidikan Nasional

MENGENTASKANANAK KANDUNG yANG DIANAKTIRIKANPenuntasan buta huruf dengan enam strategi. Dari sistem blok di kecamatan hingga Kuliah Kerja Nyata tematik di kampus-kampus. Pendidikan Anak Usia Dini menjadi kunci pendidikan berkelanjutan.

104 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Ace Suryadi

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd104 104 7/14/2007 10:10:02 AM

Page 107: pena pendidikan 14

Wawancara

105Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Rubrik BiasaWawancara

sukar dientaskan atau masuk kategori hard rock seperti di Papua. Papua memang harus mendapat perhatian lebih dalam pemberantasan buta akasara. Di samping itu literacy economy juga penting.

Bagaimana upaya mengatasi penyandang buta aksara kategori hard rock itu tadi?

Begini. Penyandang buta aksara kategori hard rock itu berada di daerah terpencil. Jadi kita harus punya strategi khusus.

Secara keseluruhan, ada enam strategi yang kami gunakan. Pertama, daerah prioritas. Yang dianggap daerah prioritas adalah daerah transmigrasi, perbatasan, terisolasi dan sulit komunikasinya serta daerah kepulauan, rimba pedalaman dan suku terasing. Juga provinsi terpadat jumlah buta aksaranya seperti Papua.

Meskipun jumlah penyandang buta aksara di Papua hanya 360.000, tapi hampir merata di kampung-kampung. Kami sudah mengalokasikan 150.000 sasaran khusus Papua. Kenapa kami konsentrasikan Papua, karena kantong terbesar di sana, dalam arti persentase.

Strategi kedua adalah sistem blok, yaitu memberantas secara tuntas di suatu kecamatan atau kabupaten yang terpadat buta aksaranya kemudian secara bertahap berpindah ke kecamatan atau kabupaten yang kurang padat jumlah buta aksaranya. Begitu seterusnya sampai ke tingkat desa, sehingga efektivitas pemberantasan menjadi

sangat tinggi. Bagi desa yang sudah tuntas, kita beri anugerah.

Bentuk anugerahnya seperti apa?Sertifikat dan tambahan block grant untuk

taman bacaan masyarakat, agar mereka mau membaca. Sertifikat tuntas saat ini sudah ratusan. Kategori tuntas juga ada tiga yakni tuntas pratama, tuntas madya, dan tuntas paripurna.

Bagaimana dukungan aparat daerah terhadap upaya penuntasan dengan sistem blok ini?

Hal itu berkaitan dengan strategi ketiga, yaitu pendekatan Vertikal. Presiden, melalui Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 menginstruksikan kepada menteri hingga kepala desa untuk menggerakkan seluruh unsur masyarakat yang ada di daerah dalam memberantas buta aksara.

Berkat pendekatan vertikal ini maka semua komponen masyarakat bergerak secara aktif. Seperti Unit Pelaksana Teknis PLS, khususnya dengan BPPLSP, BPKB, SKB, dan PKBM. Saat ini jumlah PKBM kurang lebih ada 3000.

Apakah 3000 PKBM sebagian besar berperan aktif?

Saya kira hanya seperlima saja yang benar. Jadi saya bilang ke Pak Zaini Aroni (Seketaris Ditjen PLS) agar hati-hati dalam memilih PKBM. Jangan pukul rata juga. Lihat mana yang sekiranya berpotensi bagus baru diberi

bantuan. Jadi, kalau sekadar papan namanya doang ya buat apa.

Berapa dana yang diterima PKBM setiap tahunnya?

Rp 10 juta selama setahun. Sekarang ini sedang memperbaiki standar. Artinya sedang meneliti dan memperbaiki sistem yang ada. Sebetulnya menurut saya PKBM itu jangan menjadi satuan pendidikan nonformal yang kaku. Harapan saya justru PKBM itu menjadi pusat produksi atau pusat bisnis.

Berkaitan dengan tenaga pendidik nonformal, waktu saya ke NTT, pamong di PKBM dan lembaga sejenis itu kok seperti anak tiri?

Seperti anak kandung yang dianaktirikan. Sebenarnya begini, kalau dilihat dari komitmen Pak Menteri, sudah tidak diragukan lagi. Kalau dilihat dari 2004 naiknya sudah dua kali lipat.

Saya rasa komitmen pemerintah sudah serius. Persoalannya justru di tengah-tengah. Di Bappenas kabarnya akan ada perubahan. Nah, misalnya kalau dananya diturunkan artinya pemerintah tidak komit terhadap pendidikan nonformal (PNF). Padahal PNF itu besar artinya dalam penanggulangan masalah pendidikan dan pengangguran di Indonesia. Dalam perkembangannya PNF juga sudah melakukan pendekatan horisontal.

Apa yang dimaksud dengan pendekatan horisontal?

Pendekatan horisontal adalah strategi keempat dalam pengentasan buta aksara. Dalam pendekatan ini pemerintah melakukan kerjasama formal dengan Perguruan tinggi, organisasi perempuan, organisasi sosial dan organisasi kemasyarakatan yang ada seperti: Kowani, PKK, Aisyiah, Muslimat NU, Wanita Indonesia, Dewan Masjid Indonesia dan lain-lain.

Strategi kelima?Strategi yang kelima dalam reaching the

unreach penuntasan buta aksara adalah dengan mengunakan KKN tematik yang digagas Ibu Retno Bambang Sudibyo dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, sejak tahun 2006. Ada 11 kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur termasuk Madura yang dikelola UGM.

Anak-anak Papua sedang belajar baca tulis

doK.

PENA

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd105 105 7/14/2007 10:10:05 AM

Page 108: pena pendidikan 14

Wawancara

106 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Sudah berapa kampus yang menjalin kerjasama penuntasan buta aksara?

Sudah 52 k ampus. UGM sebagai koordinatornya. Model yang dikembangkan UGM terbukti bagus dan efektif. Ada sekitar 86% yang lulus dari 4500 orang penyandang buta aksara. Kalau lewat program ini efektif. Dalam waktu dua bulan hal ini bisa berjalan. Nah sekarang sudah diikuti oleh universitas lain di luar jawa.

Strategi yang terakhir dilakukan PLS?Yang terakhir adalah standarisasi dan

penjaminan mutu dan sertifikasi. Agar mereka terukur. Kalau dulu pemberantsan buta huruf ada tanda tangan dan daftar nama saja. Dengan sertifikasi kita bisa memperlihatkan kemampuan dia. Jadi enam strategi itu yang kita laksanakan dan kita perkuat di tahun 2007.

Anda optimistis target 2009 bisa tercapai?

Yah, saya yakin dan optimistis. Semua harus kerja keras karena kebanyakan yang diberantas adalah penyandang buta aksara kategori hard rock.

Selain pentingnya pemberantasan buta aksara, di awal tadi Anda mengatakan tentang pentingnya literacy economy,

bisa dijelaskan lebih jauh tentang konsep literacy economy?

L i t e r a c y e c o n o m y a t a u m e l e k ekonomi, menurut saya itu harus jadi pendidikan dasar (basic education). Selama ini pendidikan ekonomi hanya diperoleh di tingkat sarjana. Seolah-olah ekonomi itu sesuatu yang sulit dijangkau. Padahal transaksi ekonomi itu sudah dilakukan setiap orang. Kenapa tidak sejak kecil saja diterapkan literacy ekonomi. Sebagai UPE (universal primary education).

Apakah Anda akan menerapkan literacy economy di pendidikan nonformal?

Selama ini kebanyakan masalah ekonomi diberikan melalui teori baik di SMP maupun SMA hingga perguruan tinggi. Padahal sejak kecil kita selalu mempraktikkan kegiatan ekonomi. Ekonomi seharusnya menjadi pendidikan dasar. Hal ini mungkin supaya anak-anak itu paham sejak dini, sehingga anak-anak

itu tidak akan menjadi orang yang harak (rakus).

Saya sekarang minta Bu Ella Yulaelawati ( D i r e k t u r Pe n d i d i k a n K e s e t a r a a n ) mempersiapkan hal itu. Mungkin 2007 ini akan dimulai. Saya punya 20 standar kompetensi untuk mempertajam dan memperkuat literacy economy. Saya menjalin kerjasama dengan NCFEE (National Council For Economic Education) yang berkedudukan di New York.

Jadi muridnya nanti lebih diorientasikan untuk menjadi praktisi ya?

Ya begitu. Jadi memang lebih dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Yang namanya pendidikan ekonomi. Saat ini kan orientasinya sarjana. Tiap orang jadi gak paham. Padahal tidak semua orang jadi sarjana.

Literacy economy itu sudah harus jadi basic education. Anak SD harus tahu cara membeli yang baik, cara memutuskan untuk membeli sesuatu, mengapa harus meminjam, kenapa harus dikembalikan, kenapa harus bayar pajak dan sebagainya itu sudah harus diterapkan sejak dini. Dalam pendidikan dasar kita, literacy economy belum diajarkan.

Apa kritik bapak terhadap pendidikan dasar?

Selama ini kita mengartikan pendidikan dasar itu SD, SMP, Paket A dan Paket B. Sebena-rnya itu adalah lembaganya. Nah, maknanya banyak yang tidak diketahui orang.

Kalau dalam Education for All (EFA) ada dua jenis pendidikan dasar. Pertama Basic Learning Skill (BLS). Basic Learning Skill itu mengharuskan siswa bisa membaca, menghitung, menganalisis, dan memecahkan masalah. Kemampuan ini harus dimiliki setiap orang.

Kedua, Basic Learning Content. Didalamnya ada values, pemahaman dan sikap. Kita telah memiliki standar isi dalam BLC. Menurut saya isi pendidikan itu jangan jadi hafalan, karena kecendrungannya kita tidak bisa mempraktekkan apa yang kita hafal.

Anak-anak Papua yang antusias untuk belajar

doK.

PENA

doK

PENA

Kegiatan Outbond adalah salah satu alternatif bagus untuk pendidikan di luar kelas

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd106 106 7/14/2007 10:10:10 AM

Page 109: pena pendidikan 14

Wawancara

107Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Program yang juga tengah gencar dilaksanakan Direktorat Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal

Depdiknas adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Berbagai kegiatan, program dan kebijakan digulirkan untuk mendorong kemajuan PAUD.

”Di masa tumbuh kembang anak, yang harus diperhatikan adalah fisik dan kecerdasan. Forum PAUD dan Himpaudi harus bisa memikirkan keserasian perkembangan fisik dan kecerdasan anak. Terus terang, pemerintah banyak dibantu dengan kehadiran Forum PAUD dan Himpaudi,” kata Ace Suryadi saat membuka Workshop Forum PAUD dan Himpaudi di Bandung, pada 17-19 Juni 2007.

Ace berharap PAUD tetap berpegang pada prinsip tidak membatasi interaksi anak dengan lingkungan. Ia mewanti-wanti agar lembaga PAUD tidak mengajari membaca dan menulis. Interaksi anak dengan lingkungan jauh lebih ditekankan agar anak belajar berpendapat, mengenal orang lain, dan

mampu mengekspresikan emosi mereka. ”Berinteraksi bisa saja dengan cara melihat

kemacetan, polusi udara, polisi yang sibuk mengatur lalu lintas di jalan raya. Atau melihat air keruh dan pemandangan indah,” kata Ace.

Beda halnya bila anak cuma ditekankan bisa bisa membaca. Lebih-lebih bagi sekolah yang seharian mengajar anak harus bisa menulis. ”Orang Sunda bilang kecerdasannya akan kecentet,” kata Ace seraya tertawa.

Akses PAUD semakin diperluas jaringannya. Pemerintah punya komitmen mewujudkan PAUD sebagai education sustainable development. Buktinya, pada 2004, APK PAUD Indonesia masih di bawah Afrika. Kini, meningkat sedikit. Sudah di atas Afrika, meski masih di bawah sejumlah negara tetangga di Asia.

Ace menyadari PAUD masih belum menjangkau hingga ke pelosok pedesaan. Pemerintah sedang mengembangkan program PAUD yang mudah, murah dan terjangkau. Tujuannya agar anak-anak miskin

memiliki kesempatan sama mendapat layanan PAUD. ”Program PAUD ini telah diujikan di 50 kabupaten termiskin dan paling rendah APK-nya,” katanya.

Soal alat permainan edukatif, misalnya, Ace menekankan agar tidak perlu mahal-mahal sehingga membebani orangtua murid. Sebab APE bisa berupa kerikil, kayu, kaleng, lidi, dan benda sederhana dan murah lainnya. ”Kita harus bisa mengembangkan alat permainan bermuatan lokal,” ujarnya.

Sedangkan mengenai ketidakharmonisan antara PAUD dan TK, kata Aceh, mendorong Mendiknas membuat peraturan baru. ”Harus ada aturan mengenai substansi yang disepakati antara Pak Gutama (Direktur PAUD) dan Pak Mudjito (Direktur Pembinaan TK dan SD). Juga antara saya dengan Pak Suyanto (Dirjen Manajemen Dikdasmen),” kata Ace. Selain itu, perlu juga tambahan beleid yang melibatkan Ditjen Pendidikan Islam Depag yang membawahi banyak lembaga pendidikan bernuansa agama.

RoBI SUgARA

JANGAN BATASI INTERAKSI ANAK

SAIfU

L ANA

M

Workshop Forum PAUD Tingkat Nasional di Bandung

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd107 107 7/14/2007 10:10:12 AM

Page 110: pena pendidikan 14

108 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

INGGRIS Raya tengah gelisah. Dua bulan terakhir ini, negeri dengan tradisi pendidikan formal berusia ribuan tahun

itu terus-menerus bertanya: apakah ujian nasional bagi para murid sekolah dasar memang diperlukan. Banyak pemerhati pendidikan, guru, juga orang tua murid merasak an uj ian nasional tak juga mendongkrak kualitas pendidikan.

Kerisauan itu antara lain diungkapkan GTC (General Teaching Council for England), badan khusus untuk pengajar professional untuk meningkatkan standard pengajaran

dan kualitas belajar di Inggris. Sekitar Maret 2007 lalu, mereka meneliti efektivitas tes atau ujian. GTC juga menyelenggarakan pelatihan di London dan Birmingham yang melibatkan para guru dan orang tua.

Dalam setahun, murid sekolah dasar hingga menengah harus melewati sedikitnya 70 kali tes tertulis untuk dapat melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. “Hampir 40% hasil tes itu salah menempatkan level siswa. Kalau sudah begitu, siapa yang bertanggung jawab? Kertas ujian?” kata seorang guru asal Manchester.

Sistem ujian ala Inggris melibatkan 54.000 penguji dan harus memeriksa 25 juta lembar tes setiap tahun. Meskipun begitu,menurut penelitian yang dilakukan DfES (Departemen for Education and Skills) pada 2003, berjibun tes ini tidak meningkatkan standar mutu pendidikan.

Karena itulah GTC berinisiatif memulai penelitian serius ihwal perlu tidaknya ujian buat anak di bawah umur 16 tahun. Ujian atau tes seharusnya bisa digunakan sebagai tolak ukur sejauh mana siswa-siswi mengerti apa yang sudah diberikan selama ini. Kalau mereka hanya bisa menangkap 50% dari apa yang para guru ajarkan, apakah itu salah si anak? Atau justru sistem mengajarnya yang salah? Level pendidikan seorang anak harusnya tidak hanya tergantung dari hasil tes. ‘’Setiap anak punya keistimewaan sendiri-sendiri. Kami sebagai pengajar yang harus memahami cara yang pas untuk memberikan pendidikan bagi pelajar kami,’’ kata Natalie Davis, salah seorang anggota GTC.

Hasil penelitian dan workshop tersebut mengejutkan. Ternyata, rata-rata banyak anak-anak stress di usia dini karena harus

Internasional

Inggris

DIBIKIN SIALUJIAN NASIONALPara penjaga gawang kualitas pendidikan di Inggris sedang resah. Ujian untuk anak-anak dibawah umur 16 tahun sudah saatnya dihapuskan. Indonesia pun mengalami.

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd108 108 7/14/2007 10:10:13 AM

Page 111: pena pendidikan 14

109Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

dihapuskan begitu saja. Sebagai gantinya, GTC menyarankan agar ujian nasional (Standard Attainment Tests, biasa disingkat SATs, yang merupakan bagian dari National Assessments Curriculum) diganti dengan bentuk tes lain tergantung tujuannya.

Contohnya, bila seorang anak terlihat berminat besar terhadap m a t e m a t i k a . K e t i k a m e r e k a dianggap siap untuk memilih jenjang pendidikan yang lebih tinggi, tes yang diberikan adalah tes yang berkaitan dengan matematika. Usulan GTC itu mendapat dukungan. ‘’Kepala serikat guru, dan para orang tua murid, setuju,’’ kata Davis.

G TC b e r h a r a p E S S C a l i a s The Education and Skills Select Committee, komite di bawah Depar temen Pendidikan, bisa menggunak an wewenangnya untuk mendesak pemerintah segera mengambil tindakan dan mereview kembali kebijakan mereka terhadap berbagai tes yang dilakukan secara nasional.

Keahlian para guru diharapkan terus meningkat. Mereka diminta mengunakan penilaian profesionalnya dalam menilai kemampuan siswa siswinya. Sistem yang disebut Assessment For Learning (AfL) (tes untuk belajar) ini adalah sistem yang membuat semua pihak aktif, baik itu siswa, pengajar maupun orang tua. Setiap siswa

menghadapi ujian. Padahal anak-anak dibawah umur 16 tahun, harusnya dipacu untuk meningkatkan keingintahuan mereka terhadap banyak hal, untuk selanjutnya jadi panduan minat mereka terhadap berbagai bidang. ‘’Bukannya disuruh duduk dan mengerutkan kening untuk menghadapi ujian,’’ kata Davis lagi. Ujian terbukti dapatUjian terbukti dapat menekan motivasi siswa dan menambah kegelisahan.

Selain itu tes ini tidak cukup memenuhi kepentingan hubungan orang tua dan siswa. Anak-anak akhirnya hanya belajar untuk menghadapi ujian dan bukan untuk menambah keingintahuan mereka. Berdasarkan workshop tersebut, banyak juga orang tua yang tidak mengerti, atau lebih tepatnya bingung tentang bagaimana anak mereka dinilai di sekolah. MerekaMereka berharap, ujian di sekolah dapat membantu memberikan apa yang bisa mendukung hasil tes tersebut.

“Tapi apa yang bisa kami dapatkan dengan ujian yang lebih terlihat sebagai aktivitas formal menggunakan kertas dan pensil ? Yang kami tahu, dari ujian itu mereka naik kelas, lalu apa yang harus kami lakukan ketika anak kami naik kelas? Tidak cukup hanya dengan bangga kan? Lalu bagaimana kalau tidak naik kelas? Masa sudah stress nggak naik kelas, mereka harus kami hukum?” begitu salah satu komentar dari orang tua siswa yang dikutip dari laporan GTC.

GTC tidak menganjurkan semua ujian untuk anak di bawah umur 16 tahun

Internasional

–tentu saja melalui bimbingan pengajar profesional—akan diarahkan untuk menemukan sendiri minatnya. Orang tua akan terus diberi laporan tentang perkembangan minat si anak. Sementara guru, bertugas mengamati dan memberi fasilitas.

GTC juga menyarankan agar para guru bisa mendapat akses langsung ke bank tes nasional dan menggunakan akses tersebut untuk mengevaluasi perkembangan murid ketika mereka dianggap sudah siap. DiDi Bank tes ini, setiap pengajar bisa mencari tes macam apa yang cocok untuk diberikan kepada muridnya. Jika si murid ternyata mengalami kesulitan ---entah karena bentuk tesnya yang terlalu rumit, atau memang daya tangkap si anak belu sampai kesitu—maka pengajar harus mencari bentuk tes yang lain.

Dengan menggunakan metode AfL ini, GTC berharap bisa meningkatkan keahlian para guru, mempertajam analisa mereka dan mengaktifkan proses moderasi di sekolah untuk menumbuhkan informasi yang lebih baik, dialog yang lebih beragam antara para orang tua dan pihak sekolah. Yang paling penting, anak-anak dapat menikmati belajar tanpa tekanan tes. Mereka bisa mengeksplorasi keingintahuannya terhadap berbagai subjek.

ASMAYANI KUSRINI

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd109 109 7/14/2007 10:10:14 AM

Page 112: pena pendidikan 14

110 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

DEWAN Guru Umum (General Teaching Council) merupakan lembaga independen, bertujuan memberi

masukan kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pada prakteknya, tak hanya masukan yang bisa ia sampaikan. Sejak 2000, Dewan Guru bisa memindahkan, bahkan memberhentikan guru yang dinilai tidak layak.

Mereka dinilai tak becus bila setelah mendapatkan pelatihan berulang-ulang, tetap saja kinerjanya tak membaik.

Untuk menggenjot kualitas para pengajar, di Wales saja

pemerintah menganggarkan £ 5 juta, lebih dari Rp 90 milyar setahun. Dengan itu, seorang guru bisa mengajukan proposal untuk ikut kursus, penelitian, atau pelatihan, setahun Rp 184 juta. Ketika program ini diluncurkan pada 2001, sebanyak 1.400 guru memanfaatkan paket ini. Ada yang mengambil kursus, ada pula yang menggunakannya untuk uji banding ke sekolah lain.

Banyak guru yang memanfaatkannya untuk belajar ilmu teknologi informasi, kursus mengenai bagaimana mengendalikan emosi murid, lingkungan hidup, serta mengatasi pelecehan di sekolah.

Melihat manfaatnya, program peningkatan kualitas guru akan ditambah dananya. Pemerintah akan menganggarkan £1,500 dalam bentuk hibah untuk para guru yang ingin ikut program perturkaran internasional. Juga ada £3,000 hingga £5,000 bila para guru ingin mengikuti kuliah sabatikal.

Ini merupakan program lanjutan bagi guru yang ingin ‘’nyepi’’ untuk membuat buku, penelitian, atau tesis. Bila sekolah ingin mengadakan program peningkatan kualitas bagi lembaganya, pemerintah menyediakan £30,000.

Perbaikan lain yang diusulkan adalah pada metode menentukan kelulusan. Inilah yang mendorong GTC kemudian mengusulkan ‘revolusi di bidang ujian nasional’. Penyebabnya, menurut pemantauannya, tidak ada peningkatan kualitas dari anak-anak pengikut ujian kurikulum nasional pada usia 7, 11, dan 14 tahun, yang menjadi sampel.

Internasional

BUKAN SEKAdAR dEwAN

Segenap jajaran redaksi dan usahaMajalah PENA Pendidikan

mengucapkan

Selamat Hari Anak nasional23 juli 2007

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd110 110 7/14/2007 10:10:18 AM

Page 113: pena pendidikan 14

111Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Peristiwa

Seolah sudah terpatri di memori warga Jakarta bahwa Manggarai identik dengan pintu air. Manggarai

juga dikenal sebagai salah satu kantong permukiman kumuh di Jakarta Selatan. Tiap tahun, daerah ini nyaris selalu jadi pelanggan banjir. Sebaliknya, pada musim kemarau, bahaya kebakaran pun mengintai karena letak rumah-rumah kumuh yang berjejalan. Tiap banjir datang, warga Manggarai dihadapkan dengan masalah kesehatan akibat kondisi lingkungan yang tidak sehat. Pendidikan anak-anaknya pun terganggu. Mereka tak bisa masuk sekolah karena rumahnya atau sekolahnya terendam banjir.

Kondisi itu mengundang empati Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), sebuah lembaga swadaya masyarakat, yang peduli pada masalah-masalah sosial masyarakat. Lembaga yang berkantor di bilangan Condet, Batuampar, Jakarta Timur, itu berhasil mengajak warga Manggarai untuk bersama-sama membenahi kawasan tempat tinggal mereka. Bekerjasama dengan Indosat, PKPU kini menjadikan Manggarai sebagai kampung percontohan di Jakarta. Program-program perbaikan kawasan yang dilaksanakannya meliputi program kesehatan dan pendidikan.

Di bidang kesehatan, PKPU mengajak para kader PKK dan Posyandu di Manggarai untuk bersama-sama menyadarkan warga mewu-judkan budaya sadar gizi. Sedangkan dalam bidang pendidikan, program yang digelar adalah pendidikan anak usia dini (PAUD) bagi anak-anak usia 4 – 6 tahun, pemberantasan buta aksara, serta program life skill yang meliputi kursus komputer dan menjahit. Di Manggarai, kini telah berdiri taman bacaan dan taman bermain bagi anak-anak usia dini dan anak-anak usia SD dan SMP.

“Program yang kami jalankan merupakan stimulus bagi masyarakat Manggarai untuk

menjadikan permukiman mereka sebagai masyarakat pembelajar,” kata Suharyanto, aktivis sekaligus juru bicara PKPU. Kampung percontohan Manggarai merupakan bagian dari rangkaian program bina desa yang digulirkan PKPU tahun ini.

Saat ini PKPU telah mendirikan sebuah posko serbaguna bagi masyarak at Manggarai. Kelak, posko itu akan difungsikan untuk berbagai macam kegiatan, mulai dari aktivitas pembelajaran, pelayanan kesehatan, pemberdayaan

ekonomi, sarana urun rembuk warga hingga posko siaga banjir yang dilengkapi dengan alat-alat evakuasi. PKPU kini tengah melakukan survey untuk mendapatkan data yang valid guna menetapkan prioritas program yang akan dilaksanakan.

Berapa dana yang dibutuhkan? “Tidak banyak, karena yang kami lakukan untuk masyarakat Manggarai ini hanyalah stimulus awal, untuk memotivasi warga agar mau membangun daerahnya sendiri,” kata Suharyanto. Menurut dia, kendala yang

dihadapi dalam pelaksanaan program ini adalah sifat apatis pada sebagian masyarakat, yang memang masih hidup pas-pasan. Mereka hanya berpikir bagaimana mencari makan hari ini, bukan apakah harus bersekolah atau tidak. “Karena itu kami berupaya menanamkan kepada warga bahwa belajar itu penting. Dan, belajar tidak harus di dalam sebuah ruangan dengan deretan meja dan kursi,” kata Suharyanto. Belajar bisa dilakukan di mana saja.

Sejak didirikan tahun 1999, PKPU giat melaksanakan program-program sosialnya, terutama program pendidikan. “PKPU selalu berupaya untuk memperluas dan memperbaiki keseluruhan perawatan dan pendidikan anak usia dini terutama bagi anak-anak rawan dan tidak beruntung,” kata Suharyanto. PKPU juga berusaha memulihkan sistem pendidikan di daerah yang dilanda konflik, ketidakstabilan dan bencana alam. Misalnya, di Ambon, Ternate (Maluku), Madura, Aceh, Yogyakarta, Pangandaran (Jawa Barat) dan terakhir di Padang.

Di daerah-daerah rawan itu, PKPU telah berupaya memulihkan kegiatan pendidikan, d e n g a n c a r a m e n d i r i k a n s e k o l a h , laboratorium --mulai dari SD hingga SMU, sekolah terbuka, rumah baca, perpustakaan keliling, beasiswa bagi siswa yang tidak mampu, dan menggelar pelatihan berkala untuk meningkatkan profesionalime guru. Dengan pendidikan yang layak, diharapkan anak-anak korban bencana atau korban konflik pun bisa meneratas jalan ke masa depan yang lebih baik.

ESCAStRA dAN fEttY SHINtA LEStARI

Kampung Percontohan Manggarai

DARI PELANGGAN BANJIR KE PERCONTOHANPKPU bersama Indosat mengajak warga Manggarai untuk membangun kawasan sadar pendidikan dan kesehatan. Masih banyak warga yang apatis.

fEtt

Y SHI

NtA

LESt

ARI

Tandatangan kesepakatan Manggarai

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd111 111 7/14/2007 10:10:20 AM

Page 114: pena pendidikan 14

112 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Peristiwa

EMPAT Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) dan Akademi Pariwisata (Akpar) segera berubah status menjadi

institut. Untuk menyiapkan perubahan status itu, serangkaian lokakarya digelar di berbagai kota. Lokakarya nasional pertama dilangsungkan di Sekolah Tinggi Pariwisata Bali, Denpasar, 4 Juli lalu. Selanjutnya, lokakarya akan diadakan di Bandung, 10 Juli. Lalu, Makassar, 18 Juli. Lokakarya akan berakhir di Medan, 24 Juli.

Adapun pesertanya meliputi Departemen Kebudayaan dan Pariwisata serta Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Selain itu, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, Sekolah Tinggi Pariwisata, Akademi Pariwisata, serta Asosiasi Pariwisata.

D a l a m u p aya p e r u b a h a n s t at u s kelembagaan sekolah tinggi menjadi institut, Departemen Pendidikan Nasional bersinergi dengan Departemen Kebudayaan Pariwisata, beserta 13 kementrian dan lembaga lainnya.

Lokakarya tersebut, menurut Kepala Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Depdiknas, Dr. Ir. Gatot Hari Priowirjanto,

didasarkan pada kondisi aktual sekolah pariwisata di Indonesia. Ia melihat, pertumbuhan sekolah pariwisata tidak diimbangi percepatan pengembangan kualitas.

Kondisi itu, kata Gatot, disebabkan belum diakuinya pariwisata sebagai disiplin ilmu yang mandiri. Padahal, sebagai sektor yang menyerap devisa cukup besar, pariwisata membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi di berbagai tingkatan. Mulai dari akademisi, teknokrat, professional, hingga tenaga teknis yang siap pakai.

“Sekolah pariwisata itu baru mendidik dalam jumlah kecil, padahal kebutuhan akan SDM-nya sangat tinggi,” kata Gatot. Karena itu, yang penting bagi Gatot adalah menyiapkan SDM yang siap bertempur di tingkat nasional.

Atas dasar itu, menurut Gatot, lokakarya itu akan mencapai sasaran sesuai persoalan yang terjadi di lingkup pariwisata Indonesia. Terutama, dengan meningkatnya sistem pendidikan di STP dan Akpar yang berorientasi pada kualitas, profesionalisme, pelayanan kepada masyarakat, dan peserta didik.

Gatot berharap, sebagai negara yang berpotensi menciptakan tenaga kerja pariwisata, Indonesia dapat menambah jumlah lembaga pendidikan pariwisata yang mampu melahirkan tenaga profesional di bidang pariwisata. Tujuannya, untuk mememenuhi kebutuhan SDM dalam negeri, khususnya bidang perhotelan. Selain itu, sebagai tenaga kerja di perhotelan internasional, Indonesia juga punya target untuk menciptakan 10% tenaga perhotelan.

Perubahan status STP dan Akpar, ujar Gatot, juga diharapkan mampu meningkatkan keyakinan otoritas pendidikan tinggi di lingkungan Depdiknas. Terutama, atas pentingnya pengakuan terhadap kepariwisataan sebagai ilmu mandiri.

Aspek legal dari STP atau Akpar baik di bawah Depdiknas maupun Depbudpar, diharapkan juga berhasil digodok dalam lokakarya. Sehingga, jaringan kerja nasional dan internasional di bidang perhotelan dan pariwisata dapat ditingkatkan.

Secara spesifik lokakarya ini bertujuan mengembangkan sistem pendidikan dan ketetapan STP dan Akpar yang sesuai dengan sumber standar pendidikan tinggi Depdiknas. Dengan demikian, terjadi kesamaan pendapat tentang pariwisata sebagai ilmu mandiri, sehingga akan mewujudkan pendidikan formal dan kepariwisataan.

Target lain yang ingin dicapai adalah meningkatkan status lembaga kependidikan pariwisata dengan adanya jurusan atau program Meeting, Incentive, Conference, Exhibition (MICE). “Mata kuliah ini bertujuan meningkatkan kualitas SDM lulusan pariwisata,” ujar Navendi Makalan, Kepala Biro Perjalanan dan Hukum.

Sebenarnya, menurut Navendi, MICE sudah ada dari dulu. Namun masih tergabung dengan mata kuliah lain. Padahal, Seperti Singapura, dari dulu lebih fokus kepada MICE, karena mereka tidak mempunyai sumber daya alam yang cukup.

Menghadapi tuntuan perubahan itu, Sekolah Tinggi Pariwisata Bandung berbenah sejak dua tahun lalu. Lembaga pendidikan yang berdiri pada 1962 itu tidak menghendaki perubahan serba mendadak. Sejak jauh hari mereka melakukan proses pengkajian, baik internal maupun eksternal. Mereka menyiapkan kurikulum, kompetensi dosen, serta fasilitas sarana dan prasarana.

fEttY SHINtA LEStARI

TUNTUTAN INSTITUT PENyERAP DEvISA Pelaku pariwisata mendesak agar pariwisata dijadikan disiplin ilmu mandiri. Empat lembaga pendidikan pariwisata berubah status.

Dr. Ir. Gatot Hari Priowirjanto (tengah) dalam perbicangan secara teleconference membahas sekolah tinggi pariwisata

fEttY SHINtA LEStARI

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd112 112 7/14/2007 10:10:21 AM

Page 115: pena pendidikan 14

113Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Peristiwa

Sejumlah kepala sekolah SMP/SMA se-Indonesia berkumpul di Hotel Mirah, Bogor, Jawa Barat, 25-27 Juni lalu.

Mereka mendapat pengarahan teknis untuk pengarahan teknis untuk segera mempersiapkan rintisan sekolah bertaraf internasional pada 2008.

Hajatan besar itu digelar Direktorat Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK).

Bisa dibilang, ini merupakan kelanjutan program yang sudah dipersiapkan semenjak Undang-undang No 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dilaksanakan. Undang-undang itu pada prinsipnya dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan negeri ini.

Salah satu yang pernah digelar Direktorat Tenaga Kependidikan untuk mewujudkan sekolah bertaraf internasional (SBI) adalah dengan mengirim delegasi beranggota 20 kepala sekolah rintisan SBI untuk berpartisipasi pada konferensi tingkat dunia bagi kepala sekolah. Konferensi internasional itu bernama ICP, kependekan dari International Confederation of Principals/Konfederasi Internasional Kepala Sekolah, di Selandia Baru, pada 2-5 April 2007. Pertemuan tiap dua tahun itu merupakan kongres ke-8.

Tahun ini, pesertanya 1.700 kepala sekolah dari 30 negara. Keikutsertaan Indonesia dalam acara itu merupakan yang pertama. Selanjutnya, konferensi yang ke-9 digelar pada 2009, di Singapura.

Menurut Surya Dharma, MPA, Ph.D, Direktur Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal PMPTK, keikutsertaan Indonesia pada forum itu untuk membuka wawasan kepala sekolah rintisan SBI tentang perkembangan wacana kepemimpinan pada tataran internasional. Yang paling penting, kata Surya, adalah untuk mengukur tingkat kesiapan kepala sekolah Indonesia dalam menghadapi persaingan global di bidang pendidikan.

Dari sana, bisa dilakukan perbandingan strategi pembangunan sekolah-sekolah di negara maju dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Dengan itu, para pendidik bisa mendapat bekal menyiapkan siswa menghadapi persaingan ketenagakerjaan di era globalisasi. ‘’Bayangkan ketika siswa SD sekarang memasuki dunia kerja 10 sampai dengan 20 yang akan datang,’’ kata Surya Dharma.

Bagi Surya, Indonesia tidak mungkin bisa menghadapi arus global tanpa dibarengi pendidikan yang maju. “Untuk menjadi maju tentu dengan cara mengimbangi arus global itu lewat penguasaan teknologi dan bahasa,” ungkap Surya di acara Bogor itu.

Caranya, lanjut Surya, salah satunya dengan mempersiapkan sekolah yang bertaraf internasional. Pada 2008, Depdiknas menganggarkan akan ada sekolah sejenis

ini—minimal di setiap propinsi. Setelah itu, berlanjut ke tingkat kabupaten dan kota.

Dari acara bimbingan teknis ini, katanya, akan muncul sejumlah aturan main untuk mengatur rintisan SBI. Yang paling mudah membedakan antara SBI dengan sekolah reguler—sekolah negeri yang sudah ada, yakni nilai plus yang dimiliki SBI. Lebih dasar lagi, kata Surya, seorang kepala SBI wajib lancar berbahasa Inggris.

Untuk menguatkan persoalan ini, sejumlah narasumber dan testimoni dari sekolah turut dihadirkan. Di antaranya Jubile School dan Global Jaya, keduanya dar Jakarta. Kemudian, dari sekolah negerinya yang ikut presentasi ada SMKN 57 Jakarta dan SMAN 1 Solo, Jawa Tengah. Tak kurang sejumlah pakar dan akademis juga turut menguatkan dalam acara itu.

Ada hal menarik diungkapkan dalam acara itu. Jika model SBI berhasil diterapkan di sekolah negeri, kemungkinan sekolah-sekolah bertaraf internasional garapan swasta akan tersaingi. “Jika ada sekolah dengan model pembelajarannya sama, kenapa tidak memilih yang berkualitas dan murah,” ungkap presentator dari Jubile School. Wah menarik juga.

RoBI SUgARA

ACARA MEMBIMBING SBIKepala sekolah dari rintisan Sekolah Bertaraf Internasional mendapat pengarahan teknis. Dikirim ke Konfederasi Internasional Kepala Sekolah, di Selandia Baru. Menambah wawasan tentang kepemimpinan sekolah di tataran internasional.

Surya Dharma, MPA, Ph.D

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd113 113 7/14/2007 10:10:23 AM

Page 116: pena pendidikan 14

114 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

“Di Ujung Kulon, Jawa Barat, untuk mencapai sebuah SMP terdekat mereka harus jalan kaki

sejauh empat puluh kilometer,” kata Prof Suyanto, PhD, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Bisa dibayangkan betapa perjuangan murid-murid sekolah di kawasan yang dikenal karena ”si badak bercula satu” itu untuk bisa menuntaskan pendidikan dasar saja.

Kondisi memprihatinkan itu mendorong Departemen Pendidikan Nasional,

khususnya Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, memperbanyak SMP dan SD-SMP Satu Atap. Block grant buat pembangunam unit sekolah baru itu dikucurkan sejak Februari lalu. Tahap kedua bantuan block grant yang ditandai p e n a n d a t a n g a n a n M e m o r a n d u m o f Agreement (MoA) dilakukan di Wisma Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, awal Juni lalu.

Block grant pembangunan SMP pada tahap kedua ini untuk 171 kabupaten di 31 provinsi. Dana hibah ini memang khusus bagi kabupaten dengan Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP di bawah rata-rata nasional yang sebesar 88,68%. Provinsi yang tidak ”kebagian” dana hibah hanya DKI Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Maklum, Jakarta-Yogyakarta t e l a h m e n u n t a s k a n Wajib Belajar Sembilan Tahun. Tentu, prioritas pembangunan pendidikan di Jakarta dan Yogyakarta

bukan pembangunan unit baru SMP.Pemerintah butuh kerja ekstra keras buat

mendongkrak APK mencapai 95%, syarat untuk bisa disebut tuntas wajib belajar. Upaya ini tak lain untuk memenuhi amanat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1994 tentang Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun dan Inpres Nomor 5 Tahun 2006 tentang Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara. Inpres menghendaki tuntas Wajib Belajar 9 Tahun pada 2008/2009. Artinya, di sisa tenggat kurang dari 2 tahun ini pemerintah pusat dan daerah mesti mampu mengatrol APK SMP sebesar 6,32%. Diharapkan pembangunan unit sekolah baru itu mampu menjaring 1,5 juta anak usia 13-15 tahun.

Pinjaman Lunak dan Hibah Tentu saja, butuh dana tak sedikit buat

memancang ribuan sekolah di ratusan kabupaten itu. Satu unit sekolah baru rata-rata dirancang menampung 6 kelas, masing-masing kelas untuk 40 siswa. Berdasar hitungan kasar, membangun satu unit

Pemerintah Australia mengucurkan pinjaman lunak dan hibah untuk pembangunan unit sekolah baru dan SD-SMP Satu Atap. Tiga tahun terakhir telah membangun lebih dari dua ribu sekolah. Butuh ribuan guru di daerah-daerah.

MENEBAR RIBUAN SEKOLAH SATU ATAP

Penandatanganan MoA Blockgrant SMP oleh Prof. Dr. Suyanto disaksikan oleh Mendiknas Bambang Sudibyo

foto

-fot

o: AY

U N

ANdI

NI

Proyek rehabilitasi

Peristiwa

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd114 114 7/14/2007 10:10:28 AM

Page 117: pena pendidikan 14

115Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

sekolah baru setidaknya butuh Rp 800 juta-Rp 1,5 miliar. Anggaran sebesar Rp 800 jutaan diperuntukkan bagi kabupaten di Pulau Jawa. Sedangkan, di luar Jawa, lebih-lebih di Papua, diperkirakan lebih dari Rp 1 miliaran. Total jenderal pemerintah menganggarkan sekira Rp 600 miliar.

Dana itu hampir separuhnya didukung pemerintah Australia, berupa pinjaman l u n a k d a n h i b a h m e l a l u i A u s t r a l i a Indonesia Partnership on Reconstruction and Development (AIPRD) dalam Australia-Indonesia Basic Education Program (AIBEP). Bantuan berupa pinjaman nilainya 200 juta dolar Australia. Pinjaman lunak ini bunganya 0%, dengan pengembalian jangka 20-25 tahun.

Tahun ini, pemerintah memancang target bisa membangun 611 unit sekolah baru. Hampir separuhnya didirikan dengan bantuan duit dari Australia itu tadi. Proyek yang didanai Autralia itu dikhususkan bagi kabupaten di wilayah Indonesia Timur. Selama kurun dua tahun terakhir, pemerintah telah membangun 1001 SMP. Rinciannya, sejak tahun 2004, setiap tahun dibangun masing-masing 246 unit, 291 unit, dan 464 unit sekolah.

Sedangkan pembangunan SD-SMP Satu Atap pada kurun 2005-2006 telah dibangun sebanyak 1.185 unit. Pada tahun ini, target Depdiknas bisa menambah 1.221 unit SD-SMP Satu Atap. Sekira 270 unit di antaranya dibangun dari dana bantuan Australia.

Di Tangan Forum dan Komite

Block grant pembangunan sekolah ini memang menjadi tanggung jawab para bupati/walikota dan dinas pendidikan. Namun, pada pelaksanaannya, peran serta masyarakat justru amat besar. Pasalnya, setiap satu unit sekolah yang dibangun di bawah pengawasan Forum Komunikasi Masyarakat dan Komite Pembangunan Sekolah. Keberadaan forum dan komite ini mutlak dibutuhkan bagi mereka yang menerima hibah.

Forum ini sendiri ini diketuai camat dengan anggota kepala dinas pendidikan kecamatan, lurah dan perangkat desa lainnya. Forum ini kemudian membentuk Komite Pembangunan Sekolah. Anggota komite di antaranya warga masyarakat, yang semuanya ditetapkan bupati/walikota. Komite inilah yang bekerja sebagai panitia pelaksana. Mereka bertanggung jawab sepenuhnya tetek bengek urusan pengelolaan block grant hingga proses pembangunan sampai selesai. Keterlibatan masyarakat memang diharapkan bisa mempercepat tuntas Wajib Belajar.

Sebelum komite memanggul tugas tak ringan itu, Depdiknas memberikan pelatihan pengelolaan block grant. ”Masing-masing Komite Pembangunan Sekolah nantinya akan didampingi tim konsultan perencana (construction management) dari Depdiknas,” kata Dr Hamid Muhammad, Direktur Pembinaan SMP Direktorat Manajemen Dikdasmen. Tim konsultan perencana ini juga bertugas mengawasi dan memastikan pembangunan gedung sesuai kriteria kelayakan.

Mekanisme penyaluran dananya langsung dikucurkan ke rekening atas nama komite pembangunan sekolah. Artinya, setiap komite wajib hukumnya membuka nomor rekening di bank. Besarnya dana yang ditransfer atas sepengetahuan bupati/walikota. “Transfer dana terbagi dalam tiga tahap. Tahap pertama sebesar 40%. Tahap kedua dan ketiga, masing-masing 40% dan 20%,” kata Hamid menjelaskan.

Pemerintah menargetkan pembangunan setiap unit sekolah baru rampung dalam 4 sampai 6 bulan. “Artinya bulan November nanti sudah harus selesai,” kata Hamid menegaskan. Bangunan-bangunan baru itu

bisa langsung dipakai untuk belajar mengajar, tanpa menunggu tahun ajaran baru dimulai.

Kebutuhan Guru MembludakSatu hal yang belum jelas adalah

keberadaan guru-guru di semua unit skeolah baru itu. Tampaknya pemerintah belum memberikan lampu hijau rekrutmen guru baru, khusus buat 600-an SMP dan SD-SMP Satu Atap yang tersebar di ratusan kota/kabupaten itu. Jika setiap sekolah rata-rata butuh 20 orang guru, setidaknya butuh 12.000-an guru baru yang mau ditempatkan di daerah.

“Di Bangka Tengah, kami masih kekurangan guru. Untuk 125 sekolah di sana, hanya ada 1100 orang guru. SMP akan dibangun di Kecamatan Simpang Katis. Namun kami belum punya guru yang akan mengajar di sana,” kata Drs. Tamsyir, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bangka Tengah.

Bagaimana Pak Menteri? Depdiknas baru mengisyaratkan akan mengangkat guru-guru baru secara bertahap. Belum jelas kapan rekrutmen guru diadakan, dan berapa banyak yang dibutuhkan. ”Untuk sementara kami akan meminta beberapa orang guru di sekitar lokasi SMP maupun SD-SMP Satu Atap untuk mengajar di tempat tersebut,” kata Hamid.

Tampaknya, pemerintah amat berhati-hati untuk langsung menggangkat guru baru dalam jumlah besar. Selain mengangkat guru baru dalam beberapa tahap, Direktorat Pembinaan SMP dan Ditjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bagi memilih melatih para guru SD di sana untuk bisa mengajar mata pelajaran di SMP.

AYU N. ANdINIHamid Muhammad

Prof. Dr. Suyanto

Peristiwa

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd115 115 7/14/2007 10:10:35 AM

Page 118: pena pendidikan 14

116 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

Apa Siapa

olvina Lapa

Lulus Paket C,Daftar Polwan

Gantunglah cita-citamu setinggi langit. Begitu kata-kata mutiara yang kerap kita dengar. Kalimat itu pula yang terus merasuk di benak Olvina Lapa, gadis kelahiran

Gorontalo, 29 Mei 1986. Sejak kecil ia bercita-cita ingin jadi Polwan alias polisi wanita. “Penampilannya keren dan tegas. Saya suka wanita yang tegas,” ujar putri pasangan Sumiyati Lamutu dan Bani Lapa itu kepada Saiful Anam dari PENA PENDIDIKAN.

Tapi, apa boleh buat, kondisi ekonomi rumah tangganya yang pas-pasan terpaksa membuat cita-citanya tertunda. Setelah lulus dari SMP tahun 2002, orangtuanya tak sanggup lagi membiayai. Olvina kemudian bekerja sebagai tenaga penjual

di sebuah perusahaan yang memasarkan alat-alat memasak. Kantornya di Menado, Sulawesi Utara. Ia pernah bertugas hingga ke Ambon dan Ternate.

Sejak itu ia beberapa kali berberpindah-pindah pekerjaan. Sampai kemudian selama setahun terakhir ia menganggur. Ia lantas memperoleh informasi adanya program Paket C. Cita-cita lamanya pun bersemi kembali. “Saya mulai mengikutinya sejak Januari 2007. Setelah lulus nanti, saya mau coba daftar Polwan,” katanya.

Berbekal wajahnya yang lumayan, membuat Olvina menjadi pirmadona di program Paket C yang digelar di PAUD Permata, Gorontalo. Olvina bertekad menyelesaikan

pendidikannya. Sebab jika gagal, harapannya menjadi Polwan hanya tinggal mimpi.

dra. Ida Syafriani, M.Si

ANAK PUN DIBERI NAMA PAUDSosok Ida Syafriani terbilang cukup kondang di kalangan

penggiat pendidikan di Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Maklum, selain mengajar di Universitas Bondowoso,

wanita berbadan subur ini juga dikenal aktif menggeluti program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang merupakan salah satu program unggulan di ”Kota Tape” itu. Ida tercatat sebagai Sekretaris II Forum PAUD Kabupaten Bondowoso. Ketuanya adalah Ny. Mashoed, istri Bupati Bondowoso.

Begitu getolnya membantu program PAUD, saat hamil tua tahun lalu Ida mendapat hadiah khusus dari Pak Bupati dan Bu Bupati. “Saya titip, kalau lahir laki-laki agar diberi nama Muhammad Paud,” ujar Dr. Mashoed, M.Si, Bupati Bondowoso. “Saya juga titip ada nama ‘brilian’-nya agar kelak jadi anak pintar seperti ibunya,” timpal Ny. Mashoed.

Benar juga, anak kedua Ida tersebut lahir laki-laki. Supaya agak manis, lantas diberi nama Muhammad Brilian Paudi Safitra. ”Jadi nama yang dari saya sendiri adalah ujungnya, Safitra,” ujar wanita kelahiran Sumenep, 14 Juni 1975 itu kepada Saiful Anam dari PENA PENDIDIKAN.

Di mata lulusan program pascasarjana bidang administrasi publik dari Universitas Negeri Jember tahun 2004 ini, titipan nama dari Pak Bupati dan Ibu Bupati itu ibarat penghargaan. Kelak saat anaknya besar, ia akan menceritakan ihawal nama itu.

Ida mengaku enjoy mem-bantu Pak Bupati dan Bu Bupati mengembangkan program PAUD. “Berkecimpung di dunia anak itu sangat mengasyik-kan,” tambah istri Sucipto, guru di SMA Negeri Prajekan, Bondo-woso, itu.

SAIfU

L ANA

M

SAIfU

L ANA

M

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd116 116 7/14/2007 10:10:50 AM

Page 119: pena pendidikan 14

117Juli-Agustus 2007 Pena Pendidikan

Apa Siapa

dr Hj Sylviana Murni, SH, MSi

SQUASH yES, NARKOBA NO

USIA boleh saja mendekati setengah abad. Namun bagi yang belum akrab dengan Sylviana Murni, bisa jadi akan ”terkecoh” dengan tampilannya yang bak lebih muda

sepuluh tahun dari usianya. Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta yang tetap cantik ini memang selalu bugar meski kesibukannya seakan tiada henti.

Tentu saja butuh energi lebih untuk melakoni aneka kegiatan. Sylvi, bagitu ibu dua anak yang usianya genap 49 tahun pada 11 Oktober mendatang ini akrab disapa, memang rajin menjaga kebugaran tubuh. None Jakarta 1981 ini gemar berenang. Satu lagi yang belum lama ia sukai adalah squash. Ia bahkan terpilih menjadi Ketua Pengurus Provinsi Persatuan Squash Indonesia (PSI) DKI Jakarta.

”Meskipun kurang popular, olahraga ini sangat baik sebagai olahraga prestasi, olahraga pendidikan dan olahraga rekreasi,” kata None Jakarta 1981 ini bersemangat.

Sylviana pun ketambahan tugas baru: mensosialisasikan squash. Ia gencar mengenalkan squash ke sekolah-sekolah. Yang paling jadi fokus perhatiannya sekarang adalah menyiapkan tim Jakarta dalam Pra-PON dan PON 2008 di Kalimantan Timur. “Olahraga Yes…Narkoba No, mari kita siapkan DKI sebagai juara umum PON 2008,” ujar Sylviana dalam sambutan penutupan kejuaraan squash persiapan PON 2008.

Upacara penutupan berlangsung meriah di Pintu IX Istora Senayan. Penutupan diramaikan penampilan marching band, cherleaders, band, dan goyang dangdut dari siswa-siswa SD dan SMP Jakarta. Tak canggung-canggung, Sylviana Murni dan suaminya Gde Sarjana, berjoget diiringi tembang ”Kucing Garong” yang dipopularkan Erna Sari. Kelakuane si kucing garong…

Jackie Chan

Ingatkan BahayaFlu Burung

Bintang laga asal Hongkong, Jackie Chan memperingatkan anak-anak di seluruh dunia akan bahaya flu burung. Peringatan ini disampaikan dalam bentuk iklan layanan

masyarakat untuk media televisi yang diproduksi Lembaga Dana Anak untuk PBB (United Nation Children`s Fund / UNICEF), bersama Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), dengan dana berasal dari Pemerintah Jepang.

Dalam iklan yang berdurasi satu menit itu, Jackie yang juga Duta Khusus Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef ) berbicara kepada enam anak dari berbagai etnis berusia antara enam sampai sembilan tahun. Anak-anak tampak bermain dengan burung yang terbuat dari kertas warna-warni. Jackie kemudian memperingatkan mereka bahwa burung bisa menyebarkan virus berbahaya kepada manusia.

“Sangat menyenangkan dapat bekerja dengan anak-anak mengenai hal penting yang menyangkut Asia dan seluruh dunia. Ini bukan untuk menimbulkan kepanikan, tetapi untuk menolong anak supaya lebih waspada dan berhati-hati. Jika kita bicara mengenai flu burung, kita tidak ingin mempertaruhkan anak-anak kita,”tegas Jackie Chan.

Anak-anak dalam iklan layanan yang dibuat di Sekolah Dasar Sha Tin di Hong Kong berasal dari beberapa negara di dunia, sehingga benar-benar merupakan perwakilan antarbangsa.

EvA

RoHI

LAH

goog

LE.Co

M

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd117 117 7/14/2007 10:10:56 AM

Page 120: pena pendidikan 14

118 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

oleh : Saiful Anam

PAUD

PAUD singkatan dari Pendidikan Anak Usia Dini. Tetapi, cakupan persoalannya tidak sependek singkatannya. Sebagai contoh, sesuai Pasal 28 UU No 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa PAUD mencakup usia 0-6 tahun. Namun ketika Anda bertanya: mengapa urusan pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) yang mendidik anak-anak usia 4-6 tahun tidak dimasukkan ke Direktorat PAUD? Nah, jawabannya bisa panjang.

Meski PAUD di Indonesia usianya terbilang sangat muda, yaitu sejak 1997/1998 melalui proyek Bank Dunia, namun program ini cepat menyeruak ke jajaran isu pendidikan papan atas. Bahkan kini PAUD menjadi salah satu dari 10 program prioritas Departemen Pendidikan Nasional.

Sejumlah tokoh penting, mulai pimpinan organisasi wanita (Muslimat NU, Aisyiah Muhammadiyah, PKK, Bhayangkari, dan lain-lain), dokter, pakar dari perguruan tinggi, birokrat, hingga istri-istri gubernur, walikota/bupati, camat, sampai lurah, terlibat aktif dalam perancangan dan pelaksanaan program PAUD. Pendeknya, demam PAUD kini tengah melanda seantero negeri. Puluhan ribu lembaga PAUD sudah didirikan, yang menyodok sampai di perkampungan-perkampungan pelosok. Boleh jadi, Dr. Gutama, Direktur PAUD Depdiknas, tersenyum lega menyaksikan perkembangan PAUD yang luar biasa dahsyat ini.

Lantaran mencakup usia 0-6 tahun, PAUD meliputi formal (TK) dan nonformal (Kelompok Bermain, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Minggu, Taman Pendidikan Al-Qur’an, Pos PAUD, dan lain-lain). Kehadiran pendidikan nonformal, secara teoritis-filosofis dimaksudkan sebagai komplemen pendidikan formal. Namun dalam pelbagai kasus kita jumpai di lapangan, antara pendidikan formal dan nonformal tidak jarang berada dalam posisi yang saling berhadapan.

Begitu juga PAUD formal dan nonformal. Fakta di lapangan menunjukkan dengan gamblang bahwa perseteruan diam-diam kerap terjadi antara mereka yang mengurusi PAUD formal dan nonformal. Persoalannya, bagaimana mencari upaya secara cerdas untuk meredakan ketegangan itu, dan semuanya dipersembahkan untuk optimalisasi layanan pendidikan bagi anak.

Asumsi-asumsi yang mengemuka di lapangan yang menganggap bahwa TK itu elitis, mahal, formalistik, kaku, hingga pemaksaan penyeragaam terhadap keunikan anak, mestinya tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Begitu pula sebaliknya, PAUD nonformal yang dianggap katrok alias ndeso, ala kadarnya, asal jalan, tak punya standar, juga perlu mendapat perhatian serius.

Tampaknya, yang perlu dilakukan adalah bagaimana mengambil nilai-nilai positif yang terdapat pada TK dan PAUD nonformal, kemudian dipadu menjadi satu adonan yang enak

dicerna. Sementara nilai-nilai negatifnya dibuang jauh-jauh. Langkah yang dilakukan Dr. Rasiyo, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur, untuk mengintegrasikan TK dan PAUD nonformal agaknya patut disambut positif. Sehingga dikotomi PAUD formal dan nonformal, yang sebenarnya membingunkan dan semakin menumbuhkan pertentangan, pada akhirnya bisa dihilangkan.

Perkembangan PAUD nonformal yang luar biasa pada gilirannya membutuhkan banyak guru. Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) belum siap. Dari ratusan ribu guru PAUD, boleh jadi 90% lulusan SMA sederajat. Padahal, potensi anak usia dini akan berkembang optimal jika mendapat rangsangan secara tepat. Jika gurunya tidak paham tentang anak, bagaimana bisa optimal? Apalagi honor mereka sebulan ada yang cuma Rp 30.000.

Inilah dilema raksasa yang dihadapi program PAUD. Kondisi ini bisa dibandingkan dengan periode tahun 1970-an hingga 1980-an. Saat itu, untuk menggenjot perluasan akses pendidikan sekolah dasar, pemerintah membangun ratusan ribu SD melalui proyek SD Inpres. Untuk memenuhi gurunya, diangkat ratusan ribu guru yang juga dinamakan Guru Inpres.

Apa yang terjadi? Karena kebutuhan guru baru banyak, sementara suplai lulusan SPG sedikit, maka lulusan SMP, STM, SMA, bahkan SD rame-rame diangkat jadi guru SD. Misalnya, pada tahun 1985/1986 terjadi pengangkatan guru SD secara spektakuler, yaitu 141.324 guru. Padahal kemampaun SPG waktu itu cuma menghasilkan sekitar 31.000 lulusan. Praktis, sisanya yang sekitar 110.000 berasal dari non SPG. Mereka dilatih, toh tak memberi hasil optimal. Inilah yang dianggap sebagai salah satu biang kerok bobroknya mutu pendidikan dasar kita hingga sekarang. Hal itu mesti menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan terkait kebutuhan guru PAUD dewasa ini.

Sembari menunggu kebijakan baru untuk mengatasi kekurangan dan mutu guru PAUD nonformal, agaknya langkah darurat yang perlu segera diambil adalah menyediakan tenaga pendamping bagi para guru PAUD untuk lebih memahami tentang anak, teknik mengajar yang tepat, teknik bermain, hingga bagaimana cara mengatasi jika ada persoalanyang muncul. Tenaga itu harus stan by dan siap diminta bantuan kapan saja. Mestinya tugas itu dilakukan oleh penilik Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Tetapi, apakah kualifikasi dan kompetensi mereka memadai?

Oleh karena itu, agaknya perlu ditaruh tenaga psikolog anak, misalnya di setiap kecamatan. Mereka menjadi pendamping sekaligus memberi training kepada guru. Dengan demikian, urusan teknis pembelajaran bisa diselesaikan secara cepat, tepat, dan secara akademis bisa dipertanggungjawabkan. Juga sekaligus untuk mencegah stigma bahwa PAUD nonformal dikelola asal-asalan.

Catatan Pena

118 Pena Pendidikan Juli-Agustus 2007

LO_PENA14_VOL02_PAUD_65-118.indd118 118 7/14/2007 10:10:58 AM