PENGANTAR REDAKSI - bappenas.go.id 2013/MPP 2013... · Demikian judul yang diangkat dalam Majalah...

44
Pitts , W. D., & Wise , L. R. (2009). Workforce Diversity in the New Millennium: Prospects for Research. Review of Public Personnel Administration, 44. Post, C., De Lia, E., Ditomaso, N., Tirpak, T. M., & Borwankar, R. (2009). Capitalizing on Thought Diversity for Innovation. Technology Management, 14. Serrat, O. (2009). Harnessing Creativity and Innovation in the Workplace. Knowledge Solution. ASian Development Bank. Söllner, R. (2010, April 27). Human Capital Diversity and Product Innovation: A Micro-Level Analysis. International Schumpeter Society Conference 2010 on. Aalborg. Talkea, K., Salomob, S., & Katja, R. (2010). How Top Management Team Diversity Affects Innovativeness and Performance Via The Strategic Choice to Focus on Innovation Fields. Research Policy, 907. Van der Vegt , G. S., & Janssen, O. (2003). Joint Impact of Interdependence and Group Diversity on Innovation. Journal of Management , 729. Wise, L. R., & Tschirhart, M. (2000). Examining Empirical Evidence on Diversity Effects: How Useful Is Diversity Research for Public-Sector Managers? Public Administration Review, 386. Yang Yang, Alison M. Conrad. (2011). Diversity and Organizational Innovation: The Role of Employee Involvement. Journal of Organizational Behavior, 1062. 88 Edisi 03/Tahun XIX/2013 Pitts , W. D., & Wise , L. R. (2009). Workforce Diversity in the T alkea, K., Salomob, S., & Katja, R. (2010). How Top PENGANTAR REDAKSI 1 Edisi 03/Tahun XIX/2013 Quo Vadiz Pariwisata? Demikian judul yang diangkat dalam Majalah Perencanaan Pembangunan edisi kali ini. Secara sederhana Quo Vadiz Pariwisata dapat di Indonesiakan sebagai Kemanakah arah pembangunan kepariwisataan di Indonesia? Data menunjukkan potensi pariwisata di Indonesia masih belum dioptimalkan, berdasarkan laporan yang dimuat dalam The Travel and Tourism Competitiveness Report 2013, peringkat daya saing pariwisata nasional berada pada rangking ke 70 dari 140 negara. Peringkat ini masih di bawah Singapura (10), Malaysia (34), dan Thailand (43). Rantai sektor pariwisata tidak dapat dilepaskan dari sektor pembangunan lainnya. Penciptaan nilai tambah sektor pariwisata sangat berkaitan erat dengan paradigma pembangunan nasional dimana tujuan akhirnya adalah untuk mensejahterakan rakyat dan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat sepanjang zaman. Pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, serta lingkungan yang berkelanjutan merupakan sektor- sektor penting yang mengiringi pencapaian sektor pariwisata agar dapat dioptimalkan. Tidak kalah penting adalah visi sektor pariwisata agar komersialisasi sumber daya alam tidak menjadikan investor mengambilalih dan menjadi predator bagi masyarakat sekitar yang telah menjaga keindahan alam. Prinsipnya, keindahan alam boleh dijual dan dikomersialisasikan tapi tidak untuk pengambilalihan, karena semua kembali untuk kesejahteraan rakyat. Beragam tulisan pilihan redaksi menyoroti kinerja sektor pembangunan. Proses pembangunan yang tiada henti tersebut harus didasarkan semangat atau nilai (values) untuk selalu melakukan perbaikan (continous improvement) dan mencapai kinerja yang lebih baik (better performance) dari waktu ke waktu. Kedua semangat ini perlu didukung dengan kegiatan evaluasi yang merupakan salah satu upaya untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan termasuk dalam penyelesaian permasalahan yang muncul dari suatu kebijakan pembangunan. Edisi III tahun 2013 Majalah Perencanaan Pembangunan ini menampilkan delapan tulisan yang dapat dikategorikan sebagai evaluasi dan pembelajaran dari pelaksananaan kebijakan pembangunan, serta upaya perbaikan ke depan. Substansi kedelapan tulisan tersebut saling terkait, sektor pariwisata yang memiliki potensi luar biasa membutuhkan dukungan dari sektor pembangunan lainnya seperti sektor sosial budaya, ekonomi dan moneter, sumber daya manusia, dan upaya penanganan permasalahan lingkungan termasuk pendidikan tentang penanganan bencana alam. Sejatinya sudah banyak tulisan tentang permasalahan di atas. Namun, mengingat pembangunan merupakan proses yang terus menerus dan tidak pernah berhenti sepanjang kehidupan manusia, maka diharapkan tulisan-tulisan dalam edisi III dapat memberikan informasi atau hal-hal baru bagi para pembaca, khususnya bagi para perencana pembangunan dalam melaksanakan tugas dan memberikan kontribusi yang terbaik bagi kemajuan Indonesia. PENGANT AR REDAKSI MAJALAH.indd Spread 1 of 44 - Pages(88, 1) MAJALAH.indd Spread 1 of 44 - Pages(88, 1) 31/12/2013 16:00:18 31/12/2013 16:00:18

Transcript of PENGANTAR REDAKSI - bappenas.go.id 2013/MPP 2013... · Demikian judul yang diangkat dalam Majalah...

Pitts , W. D., & Wise , L. R. (2009). Workforce Diversity in the New Millennium: Prospects for Research. Review of Public Personnel Administration, 44.

Post, C., De Lia, E., Ditomaso, N., Tirpak, T. M., & Borwankar, R. (2009). Capitalizing on Thought Diversity for Innovation. Technology Management, 14.

Serrat, O. (2009). Harnessing Creativity and Innovation in the Workplace. Knowledge Solution. ASian Development Bank.

Söllner, R. (2010, April 27). Human Capital Diversity and Product Innovation: A Micro-Level Analysis. International Schumpeter Society Conference 2010 on. Aalborg.

Talkea, K., Salomob, S., & Katja, R. (2010). How Top Management Team Diversity Aff ects Innovativeness and Performance Via The Strategic Choice to Focus on Innovation Fields. Research Policy, 907.

Van der Vegt , G. S., & Janssen, O. (2003). Joint Impact of Interdependence and Group Diversity on Innovation. Journal of Management , 729.

Wise, L. R., & Tschirhart, M. (2000). Examining Empirical Evidence on Diversity Eff ects: How Useful Is Diversity Research for Public-Sector Managers? Public Administration Review, 386.

Yang Yang, Alison M. Conrad. (2011). Diversity and Organizational Innovation: The Role of Employee Involvement. Journal of Organizational Behavior, 1062.

88 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Pitts , W. D., & Wise , L. R. (2009). Workforce Diversity in the Talkea, K., Salomob, S., & Katja, R. (2010). How Top PENGANTAR REDAKSI

1Edisi 03/Tahun XIX/2013

Quo Vadiz Pariwisata? Demikian judul yang diangkat dalam Majalah Perencanaan Pembangunan edisi kali ini. Secara sederhana Quo Vadiz Pariwisata dapat di Indonesiakan sebagai Kemanakah arah pembangunan kepariwisataan di Indonesia? Data menunjukkan potensi pariwisata di Indonesia masih belum dioptimalkan, berdasarkan laporan yang dimuat dalam The Travel and Tourism Competitiveness Report 2013, peringkat daya saing pariwisata nasional berada pada rangking ke 70 dari 140 negara. Peringkat ini masih di bawah Singapura (10), Malaysia (34), dan Thailand (43).

Rantai sektor pariwisata tidak dapat dilepaskan dari sektor pembangunan lainnya. Penciptaan nilai tambah sektor pariwisata sangat berkaitan erat dengan paradigma pembangunan nasional dimana tujuan akhirnya adalah untuk mensejahterakan rakyat dan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan bermartabat sepanjang zaman. Pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, serta lingkungan yang berkelanjutan merupakan sektor-sektor penting yang mengiringi pencapaian sektor pariwisata agar dapat dioptimalkan. Tidak kalah penting adalah visi sektor pariwisata agar komersialisasi sumber daya alam tidak menjadikan investor mengambilalih dan menjadi predator bagi masyarakat sekitar yang telah menjaga keindahan alam. Prinsipnya, keindahan alam boleh dijual dan dikomersialisasikan tapi tidak untuk pengambilalihan, karena semua kembali untuk kesejahteraan rakyat.

Beragam tulisan pilihan redaksi menyoroti kinerja sektor pembangunan. Proses pembangunan yang tiada henti tersebut harus didasarkan semangat atau nilai (values) untuk selalu melakukan perbaikan (continous improvement) dan mencapai kinerja yang lebih baik (better performance) dari waktu ke waktu. Kedua semangat ini perlu didukung dengan kegiatan evaluasi yang merupakan salah satu upaya untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan termasuk dalam penyelesaian permasalahan yang muncul dari suatu kebijakan pembangunan.

Edisi III tahun 2013 Majalah Perencanaan Pembangunan ini menampilkan delapan tulisan yang dapat dikategorikan sebagai evaluasi dan pembelajaran dari pelaksananaan kebijakan pembangunan, serta upaya perbaikan ke depan. Substansi kedelapan tulisan tersebut saling terkait, sektor pariwisata yang memiliki potensi luar biasa membutuhkan dukungan dari sektor pembangunan lainnya seperti sektor sosial budaya, ekonomi dan moneter, sumber daya manusia, dan upaya penanganan permasalahan lingkungan termasuk pendidikan tentang penanganan bencana alam.

Sejatinya sudah banyak tulisan tentang permasalahan di atas. Namun, mengingat pembangunan merupakan proses yang terus menerus dan tidak pernah berhenti sepanjang kehidupan manusia, maka diharapkan tulisan-tulisan dalam edisi III dapat memberikan informasi atau hal-hal baru bagi para pembaca, khususnya bagi para perencana pembangunan dalam melaksanakan tugas dan memberikan kontribusi yang terbaik bagi kemajuan Indonesia.

PENGANTAR REDAKSI

MAJALAH.indd Spread 1 of 44 - Pages(88, 1)MAJALAH.indd Spread 1 of 44 - Pages(88, 1) 31/12/2013 16:00:1831/12/2013 16:00:18

Tantangan di Era Kebangkitan Nasional Kedua

Sunata, Inyoman, Drs., Mpd *)

Email: [email protected]

ASPEK SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN ASPEK SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN TELUK TRADISIONAL GILIMANUKTELUK TRADISIONAL GILIMANUK

Abstract

Ketika geliat Pariwisata Provinsi Bali telah menempatkan Pulau Seribu Pura sebagai Primadona Daerah Tujuan Wisata di Dunia; pengembangan kepariwisataan Bali memerlukan kawasan wisata yang memadai, akibatnya penetapan kawasan pariwisata sering merambah tempat-tempat yang semestinya wajib dijaga kelestariannya.Banyak program pemerintah dalam menata kawasan wisata mendapat penolakan dari masyarakat misanya: Penetapan Kawasan Strategis Nasional Besakih, dan Reklamasi Teluk Benua Kabupaten Badung Bali. Salah satu kawasan lindung yang dibuka untuk kawasan Pariwisata adalah Zona Tradisional Teluk Gilimanuk. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : Sk. 143/IV-KK/2010 tanggal 20 September 2010 tentang Zonasi Taman Nasional Bali Barat; Zona Tradisional Teluk Gilimanuk ditetapkan sebagai Zona Pemanfaatan. Masyarakat mendukung kebijakan pemanfaatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk asal pemerintah memperhatikan kearifan lokal dan

aspek sosial masyarakat. Penolakan beberapa kebijakan pemerintah disebabkan karena pemerintah dalam menetapkan kawasan tidak memeperhatikan aspek sosial berupa peran serta masyarakat; mulai dari perencanaan hingga pelaksanaannya.

Kata Kunci: Aspek Sosial, Penetapan Kawasan, dan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk

Pendahuluan

Bercermin dari penolakan masayarakat tentang Penetapan Kawasan Pura Besakih sebagai salah satu Kawasan Strategis Nasional Pariwisata (KSPN) dan penolokan Reklamasi Teluk Benua Kabupaten Badung Bali, pemerintah pusat maupun daerah semestinya melakukan refl eksi, kenapa konsep yang sangat baik dan strategis ditolak masyarakat. Masyarakat Bali tidak sepenuhnya menolak kebijakan pemerintah pusat maupun kebijakan daerah dalam menata kawasan wisata. Masyarakat Bali menyadari bahwa pariwisata merupakan denyut nadi kehidupan. Masyarakat berharap setiap kegiatan pembangunan agar dilakukan secara transparan dan partisipatif. Mereka ingin dilibatkan mulai dari perencanaan, pelaksanaan maupun kontrol sosial dalam setiap pembangunan.

*) Drs. I Nyoman Sunata,M.Pd- Perencana Utama pada Bappeda dan PM Kabupaten Jembrana

Provinsi Bali- Anggota Tim Penyusun Buku Kajian Pemanfaatan Zona Tradisional

Teluk Gilimanuk pada Balai Taman Nasional Bali Barat

2 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Christian R. Østergaard, Bram Timmermans, Kari Kristinsson. (2011). Does a diff erent view create something new? The eff ect of employee diversity on innovation. Research Policy, 500.

Corinne Post, m. D. (2009). Capitalizing on Though Diversity for Innovation. Research Technology Management, 14-25.

Dendhardt, R. B., Dendhardt, J. V., & Aristigueta, M. P. (2009). Human Managing Behavior in Public and Non Profi t Organizations. SAGE Publication, Inc.

Ferhan Karabacakoglu, Mustafa Özbilgin. (2010). Ericsson: the Business Case. In Cases in Strategic Management. London: McGraw-Hill.

Fernando, Martin-Alcazar; Pedro, M., Romero-Fernandez; Gonzalo, Sanchez-Gardey;. (2010). Eff ects of Diversity on Group Decision-Making Processes: The Moderating Role of Human Resource Management. Equality, Diversity and Inclusion: An International Journal, 491.

Gassman, O. (2001). Multicultural Teams: Increasing Creativity and Innovation by Diversity. In Creativity & Innovation Management (pp. 88-95). Blackwell Publishers Ltd.

Gebert, D., Boerner, S., & Kearney, E. (2006). Cross-Functionality and Innovation in New Product Development Teams: A Dilemmatic Structure and Its Consequences for the Management of Diversity. European Journal of Work and, 431.

Gerben S. Van der Vegt, Onne Janssen. (2003). Joint Impact of Interdependence and Group Diversity on Innovation. Journal of Management, 729.

Horwitz, S. K., & Horwitz, I. B. (2007). Team Demography The Eff ects of Team Diversity in Team Outcomes: A Meta-Analytic Review of Team Demography. Journal of Management, 987.

Johansson, F. (2006). The Medici Eff ect. Boston: Harvard Business School Press.

Justesen, S. (2007, November 8). Diversity As A Building Block For Innovation In Europe. Udine, Italia.

King, E., Michelle , H. R., & Beal , D. J. (2009). Confl ict and Cooperation in Diverse Workgroups. Journal of Social Issues, 261.

Lauretta , P. M., Lobel, S. A., & Cox, H. T. (1996). Ethnic Diversity and reativity in Small Groups Small Group Research 1996 27: 248. Small Group Research , 248.

Lauring, J. (2007). Obstacles to Innovative Interaction: Communication Management in Culturally Diverse Organizations . Journal of Intercultural Communication.

Laursen, K., Mahnke , V., & Vejrup-Hansen, P. (2005). Do Diff erences Make A Diff erence? The Impact Of Human Capital Diversity, Experience And Compensation On Firm Performance In Engineering Consulting. DRUID Working Paper, 1.

Leibinger, D. (2011, November 13). Diversity, Successfully Managing Innovation Through Cultural. Retrieved from http://www.allegra-consulting.com/

López-Fernández, M., & Sánchez-Gardey, G. (2010). Managing the Eff ects of Diversity on Social Capital. Equality, Diversity and Inclusion: An International Journal, 491.

Lovelace, K., Shapiro , D. L., & Weing, L. R. (2010). Maximizing Cross-Functional New Product Teams’ Innovativeness and Constraint Adherence: A Confl ict Communications Perspective. The Academy of Management Journal, 779.

Nai-Wen Chi, Yin-Mei Huang, Shu-Chi Lin. (2009). Between Organizational Tenure Diversity and Team Innovation: The Moderating Role of Team-Oriented HR Practices. Group & Organization Management, 698.

Niebuhr, A. (2010). Migration and innovation: Does cultural diversity matter for regional R&D activity? Papers in Regional Science, 563-585.

Orlando , R., Mcmillan, A., Chadwick , K., & Dwyer, S. (2003). Employing an Innovation Strategy in Racially Diverse Workforces Eff ects On Firm Performance. Group & Organization Management, 107.

Parrotta, P., Pozzoli, D., & Pytlikova, M. (2011). The Nexus Between Labor Diversity And Firm’s Innovation. ORFACE MIGRATION Discussion Paper, 1.

Peter Nijkamp, C. O. (2011, April). Immigration and Innovation in European Regions. DIscussion Paper Series, pp. 1-30.

87Edisi 03/Tahun XIX/2013

Christian R. Østergaard, Bram Timmermans, Kari Lauretta , P. M., Lobel, S. A., & Cox, H. T. (1996). Ethnic

MAJALAH.indd Spread 2 of 44 - Pages(2, 87)MAJALAH.indd Spread 2 of 44 - Pages(2, 87) 31/12/2013 16:00:3631/12/2013 16:00:36

Conclusion and Policy Implications

The impacts of diversity dimensions are varied on various individual and organizational performances. The pattern of relationship between one diversity variable and certain type of outcome cannot be generalized whether consistently positive, negative, curvilinear, or unrelated. Based on the observation on the several research across countries, diversity in education has positive impacts on organizational outcomes in terms of innovation. Surprisingly enough, there is no evidence related to negative and curvilinear relationship. Moreover, diversity in higher educated/skilled employees has the strongest impact on administrative innovation, not administrative innovation such presented in the case of diversity in banks in the Midwestern U.S. and numbers of patent application in Denmark. Evidences from the observed research convince that educational diversity contributes not only to improve productivity of fi rms but also productivity of the regions.

Limited number of available research related to the impact of educational diversity on innovation becomes a possible weakness of the generalizability. The generalizability of the relationship between educational diversity and innovative performance is possibly reviewed when the number of empirical research is higher than present observation. Another weakness is a lack of representation of public organizations in the research. Consequently, public managers may use untested assumption as a basis for diversity policies, strategies, and actions (Wise & Tschirhart, 2000). Diff erent organizational culture between private and public organizations is a possible factor that can result other patterns of relationships.

To improve innovativeness of the organizations, managers face a dilemma. In one side, they can improve the competitive advantages the educational diversity but in another side they have to deal with the negative eff ects of the workforce diversity They can either seek to adopt diversity policies in order to promote creativity and innovation or they can disregard the diversity dimension. However, both positive and negative eff ects of diversity depend on certain conditions that can be directly or indirectly managed by the Human Resources Management function (López-Fernández & Sánchez-Gardey, 2010).

Managers can play signifi cant roles to supervise innovative team creation and formulize the best

composition of team members. Since the negative eff ects of diversity on team cooperation can decline overtime, the managers can facilitate and coordinate team to reduce the potential barriers that may disrupt communication among team members at the early age of teams. Team members should be encouraged to learn from each other and to voice divergent opinions. To capitalize on the value of diversity, managers should pay more attention to enhancing collaboration so that team members can learn from each other and mutually educate and encourage their colleagues to accomplish tasks and to promote one another’s success (Post, De Lia, Ditomaso, Tirpak, & Borwankar, 2009).

Works Cited

Karen A. Bantel, Susan E. Jackson. (1989). Top Management and Innovations in Banking: Does The Composition Of The Top Team Make A Diff erence? Strategic Management Journal, 107.

(2006). Managing Diversity, Measuring Success. London: Chartered Institute of Personnel and Development.

(2011, November 13). Global Diversity and Inclusion: Fostering Innovation Through a Diverse Workforce. New York: Forbes Insight. Retrieved from http://www.forbesmedia.com

Adler, N. J. (2002). International Dimensions of Organizational Behavior. Mason: South-Western.

Amabile, T. M. (1998 ). How To Kill Creativity. Harvard Business Review, 77.

Aparna, J., Erhardt , N. L., & Jackson, S. E. (2003). Recent Research on Team and Organizational Diversity: SWOT Analysis and Implications. Journal of Management, 801.

Bassett-Jones, N. (2005). The Paradox of Diversity Management, Creativity and Innovation. Diversity Management, Creativity, and Innovation, 169.

Bellini, E., I.P. Ottaviano, G., & Pine, D. (2008). Cultural Diversity and Economic Performance: Evidence from European Regions. HWWI Research.

Bouncken, R. B. (2009). Cultural Diversity in Innovation Teams: Surface and Deep Level Eff ects. International Journal of Business Research, 17-26.

86 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Conclusion and Policy Implications composition of team members. Since the negative Maksud kajian aspek sosial dalam Pemanfaatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk di Taman Nasional Bali Barat adalah agar dalam penjabaran Rencana Penegelolaan Jangka Panjang Taman Nasional Bali Barat khususnya Pemanfaatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk guna memantapkan fungsi dan manfaat kawasan, sosial dan budaya yang serasi dan seimbang dengan ekologi maupun ekonomi, sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Aspek sosial bermanfaat dalam mengelola potensi kawasan, memformulasikan kebijakan dan strategi operasional, menegaskan/penataan batas zonasi, memberikan arah kegiatan dan jenis kegiatan dan kesempatan masyarakat sekitar melakukan aktivitas ekonomi, rekreasi dan ekowisata, pengawasan dan pengendalian yang dapat dijadikan tools dalam mengembangkan zona tradisional secara partisipatif.

Tujuan kajian aspek sosial Pemanfaatan Zona Teluk Tradisional Gilimanuk adalah terakomodasinya peranserta masyarakat dalam penyusunan Dokumen ”Pemanfaatan Zona Teluk Tradisional Gilimanuk” sebagai pengintegrasian perencanaan pemanfaatan ruang zonasi TNBB dengan RTRWP Bali maupun RTRWK Jembrana. Seluruh stakeholders pada kawasan Gilimanuk sebagai Kawasan Strategsis memahami dan memiliki persespsi yang sama dalam pengembangan program kegiatan ekonomi masyarakat dan pengawasan dan pengendalian berdasarkan prinsip-prinsip konservasi yang seimbang, serasi dan selaras untuk mempertahan kelestarian ekosistem perairan secara berkelanjutan

Sesuai dengan hasil Review Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bali Barat periode tanggal 1 April 1997 – 31 Maret 2022; Manajemen pengelolaan Taman Naman Nasional secara umum diharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Nilai Ekonomi: Dapat dikembangkan sebagai kawa-san yang mempunyai nilai ekonomis, sebagai con-toh potensi terumbu karang merupakan sumber alam yang memiliki produktivitas dan keanekaraga-man yang tinggi sehingga membantu meningkat-kan kwalitas lingkungan dan habitat berbagai jenis ikan jika dimanfaatkan akan dapat meningkatkan pendapatan bagi nelayan, penduduk pesisir bahkan devisa negara.

2. Nilai Ekologi: Lingkungan biotik dan abiotik di dara-tan maupun perairan apabila dikelola secara arif dan bijaksana akan dapat memperbaiki kualitas dan ke-seimbangan lingkungan.

3. Nilai Estetika: Keindahan alam dapat dikelola sebagai obyek ekowisata/wisata alam bila dikembangkan sebagai usaha pariwisata alam bahari maupun daratan.

4. Nilai Pendidikan dan Penelitian: Merupakan obyek dalam pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.

5. Nilai Jaminan Masa Depan : Keanekaragaman sumber daya alam kawasan konservasi baik di darat maupun di perairan memiliki jaminan untuk dimanfaatkan secara terbatas bagi kehidupan yang lebih baik untuk generasi kini dan yang akan datang.

Seiring dengan kebijakan penataan kawasan wisata, adanya kebijakan akses pemanfaatan Taman Nasional Bali Barat, khususnya Zona Tradisional Teluk Gilimanuk sebagai Kawasan pariwisata, penulis sebagai salah satu Tim Penyusun Buku ”Pemanfaatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk” memandang perlu melakukan kajian aspek sosial dalam penetapan ”Pemanfaatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk”.

Metode Penelitian

Dalam studi pembangunan diperlukan kajian sosial, hal ini dilakukan karena aspek sosial sering menghambat implementasi kebijakan pemerintah di daerah. Untuk menggali aspek sosial dalam pemanfaatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk dengan memberi akses pada masyarakat, maka strategi yang digunakan adalah penelitian qualititative research. Menurut John W. Creswell, ( dalam Amandus Jong Tallo dan Anselmus Tallo : 2013) pendekatan kualitatif adalah suatu proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial atau masalah manusia, berdasarkan penciptaan gambar holistic yang dibentuk dengan kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci, dan disusun dalam sebuah latar ilmiah. Untuk menunjukan pemanfaat Zona pada Balai Taman Nasional dalam setiap aktivitas masyarakat, pertama-tama dilakukan wawancara semi terstuktur pada orang kunci (key informan) yang mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan tema dalam pemanfaatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk. Key informan selanjutnya akan merekomendasikan informan lain yang berkaitan Konsep Tri Hita Karana yaitu hubungan Mnusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam lingkungan.

3Edisi 03/Tahun XIX/2013

MAJALAH.indd Spread 3 of 44 - Pages(86, 3)MAJALAH.indd Spread 3 of 44 - Pages(86, 3) 31/12/2013 16:00:3731/12/2013 16:00:37

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, studi pustaka dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan Bendesa Desa Pekraman sebagai tokoh yang dituakan dalam Masyarakat Gilimanuk, serta tokoh masyarakat yang mengetahui permasalahan dalam Pemanfaatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk. Data hasil wawancara yang sudah diperoleh, kemudian di rekap, sehingga menghasilkan pandangan masyarakat tentang pemanfaatan Pemanfaatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk dalam Konsep Tri Hita Karana.

Pengolahan data dilakukan dengan metode diskriptif dan komparatif. Data-data yang telah terkumpul dikelompokan secara sistematis dan disbanding bandingkan satu dengan lainnya sehingga diperoleh kesimpulan.

Kajian Pustaka

Indonesia banyak memiliki Kawasan lindung yang indah menjadi incaran wisatawan untuk sekedar menikmati hingga memanfaatkan sebagai kawasan wisata. Salah satu kawasan wisata yang memanfaatkan kawasan lindung adalah Taman Nasional.Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai fungsi pelestarian sistem penyangga kehidupan, pelestarian sumber daya genetik dan pemanfaatan secara lestari (Menteri Kehutanan :2007). Sementara itu dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.03/Menhut-II/2007 tanggal 1 Pebruari 2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Balai Taman Nasional; Balai Taman Nasional Bali Barat diberi tugas mengelola kawasan Taman Nasional Bali Barat seluas 19.002,89 Ha. terdiri kawasan daratan seluas 15.587,89 Ha dan kawasan perairan seluas 3.415 Ha. Tipe ekosistem asli yang terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat meliputi wilayah perairan, mangrove, padang lamun dan pesisir, sedangkan ekosistem daratan mulai dari ekonsistem pantai, savana, hutan hujan dataran rendah dan hutan pegunungan. Pengelolan Taman Nasional berdasarkan sistem zonasi untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi alam.

Menurut Menteri Kehutanan; Keberadaan Taman Nasional Bali Barat tidak terlepas dari potensi sumber daya genetik yang khas dan endemik Bali yang dilestarikan yaitu Burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi). Potensi fauna langka lainnya yang terdapat

didalam kawasan Taman Nasional Bali Barat adalah jenis Banteng (Bos javanicus), Rusa (Cervus timorensis), penyu Rider (Lepidochelys olivaceae). Beraneka ragam jenis fl ora dan fauna yang dilindungi Undang-Undang juga terdapat beraneka ragam jenis ekosistem yaitu ekosistem hutan savana, hutan hujan tropika, hutan musim dan hutan mangrove serta ekosistem terumbu karang yang sangat menarik bagi wisatawan dan peneliti untuk melakukan pengkajian, budi daya untuk kesejahteraan bagi manusia.

Salah satu Kawasan wisata di Pulau Bali yang mulai banyak dilirik wisatawan adalah Zona Tradisional Teluk Gilimanuk yang populer dengan sebutan ”Karang Sewu”. Teluk Tradisional Gilimanuk merupakan salah satu lokasi wisata yang berada di Balai Taman Nasional Bali Barat. Zona tradisional kawasan Perairan Teluk Gilimanuk berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : Sk. 143/IV-KK/2010 tanggal 20 September 2010 tentang Zonasi Taman Nasional Bali Barat mempunyai luas 259,038 Ha meliputi seluruh perairan Teluk Gilimanuk kecuali 50 M dari pantai Pulau Kalong, Pulau Burung, Pulau gadung, dan 150 m dari pantai daratan utama Teluk lumpur kearah Timur dan kearah Utara hingga pantai Lama, batu Payung dan Teluk Buaya.

Gambar 1. Lokasi Zona Tradisional Teluk GilimanukSumber : Bappeda dan PM Kab Jembrana 2012

Secara administrasi pemerintahan Teluk Tradisional Gilimanuk terletak di wilayah lingkungan Arum Timur Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana sedangkan secara admininstrasi pengelolaan hutan termasuk wilayah kerja Resor Polisi Hutan Ambyarsari, Seksi Pengeloaan Taman nasional Wilayah I Jembrana Balai Taman Nasional Bali Barat. Secara geografi s Teluk Tradisional Gilimanuk terletak pada koordinat :

4 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi, studi didalam kawasan Taman Nasional Bali Barat adalah expertise may prevent team members to integrate their diff erent perspectives through collaborative learning. The impacts of cross functional team diversity on innovation depend on the collaborative contribution of each team member that uses multiple perspectives and knowledge bases (Lovelace, Shapiro, & Weing, 2010).

Based on a research conducted a cross-section of Germany regions, Niebuhr (2010) concluded that cultural diversity in terms of nationality has strong relationship with innovation. The fi ndings suggest that diff erences in knowledge and capabilities of workers from diverse nationalities enhance performance of regional R&D sectors. However, this research also results that education levels are important. The strongest impact on innovation output is related to diversity among highly qualifi ed employees. These results indicate that cultural diversity of highly skilled labor is very important to develop new ideas and products.

A broader sample research conducted by Talkea, Salomob, & Katja (2010). They used empirical sample on cross-national and focuses on fi rms which operate in only one major business area, off er manufactures goods (no services) and publicly listed. To minimize intra-fi rm hetereogenity, they selected only fi rms with a dominant or single-product business from manufaturing sectors. They concluded that task-oriented of top management team (TMT) diversity has a signifi cant and positive impact on a fi rm’s strategic choice to focus on innovation fi elds. Task oriented variables used are educational background, functional background, industrial background, organization background, and board tenure. Educational background measures the maximum educational level of each TMT member within the categories high school degree, bachelor’s degree, master’s degree, doctoral degree. Functional background describes which category most closely represents a TMT member’s functional specialization.

Using data from 1,775 Danish companies, Østergaard, Timmermans, & Kristinsson (2011) investigated the relation between employee diversity and innovation in terms of gender, age, ethnicity, and education. The statistical model reveals a positive relation between diversity in education and gender on the likelihood of introducing an innovation. They found a negative eff ect of age diversity and no signifi cant eff ect of ethnicity on the fi rm’s likelihood to innovate. Furthermore, the statistical model presented a positive relationship between an open culture towards diversity and innovative performance. These fi ndings did not

show any curvilinear relationship between diversity and innovation. Firms with more balanced gender composition are more likely to innovate compared to fi rms with high concentration in one gender. Firms with a higher number of employees with a higher education and diversity in the types of educations have a higher likelihood of innovation. Diversity in age appears to have either negative or neutral eff ect, although average age has no signifi cant impact. The study also results no signifi cant eff ect of ethnical diversity on innovation.

Another related study from Denmark is conducted by Parrotta, Pozzoli, & Pytlikova (2011). They investigated the impacts of racial and educational diversity in 14,000 fi rms per year over from 1996 to 2003. They found strong evidence that diversity in education/skills and ethnicity of the labor has positive impacts on the innovation of fi rms. The regresion model resulted that a one percent increase in the educational heterogeneity implies a 2.23 percent increase in the number of patent applications. Moreover, this result suggests that educated or skilled foreign labors can contribute to for productivity and economic growth.

Table 1 The Impact of Educational Diversity on Innovation in the Observed Research

No. Researchers and Year Sample Relationship

1. Bantel & Jackson (1989)

Top management team in 199 banks in Midwestern region of the United States

Positive

2. Niebuhr (2010) Regional data on patentapplications in 95 regions across Germany

Positive

3 Post, De Lia, Ditomaso, Tirpak, & Borwankar (2009)

28 innovation teams Positive

4. Talkea, Salomob, & Katja (2010).

Cross-national manufacturing fi rms, operating in only one major business area, publicly listed

Positive

5. Østergaard, Timmermans, & Kristinsson (2011)

1,775 Danish companies, Denmark

Indirect positive

6. Parrotta, Pozzoli, & Pytlikova (2011).

Denmark, 14,000 fi rms per year over from 1996 to 2003

Positive

85Edisi 03/Tahun XIX/2013

expertise may prevent team members to integrate their show any curvilinear relationship between diversity

MAJALAH.indd Spread 4 of 44 - Pages(4, 85)MAJALAH.indd Spread 4 of 44 - Pages(4, 85) 31/12/2013 16:00:3831/12/2013 16:00:38

is associated with high quality idea production, particularly when group members are heterogeneous along dimension to the tasks facing the group. Moreover, Diversity of perspective generates more alternatives and greater critical evaluation (Bassett-Jones, 2005). Diverse teams that actually utilized the variety of perspective present outperformed the homogeneous teams whereas diverse teams that did not utilize the diversity performed worse than the homogeneous teams.

The members of functionally diverse teams have less collaborating learning ability since they tend to rely on the expertise of individual members rather than undertaking the more diffi cult task of learning from one another (Post, De Lia, Ditomaso, Tirpak, & Borwankar, 2009). Cross functionality does not automatically contribute to positive impacts on team innovation. To avoid negative impatcs, cross functionality teams should separate relationship confl icts and value confl icts from task confl icts (Gebert, Boerner, & Kearney, 2006). Representation of various educational and functional backgrounds may provide a team with more knowledge and expertise. Furthermore, team members from various backgrounds can also connect the team to more sources of ideas because the members collectively possess broader networks than teams that have homogeneous backgrounds. Finally, representation from a variety of organizational functions should also help teams understand a problem’s complexity as well as address the potential impact of a proposed innovation throughout the organization.

The Impact of Educational Diversity on Innovative

Performance

Research on the impact of multicultural workforce diversity related to innovation is relatively scarce. On the other hand, demand for promoting innovation related to the impact of diversity has been increasing due to competition in turbulent markets and environmental uncertainty (Horwitz, 2007). Since market changes very quickly, private sectors are in competition to produce goods and services that will lead market share. Human capital of the fi rms plays signifi cant role to maintain fi rm’s competitiveness to produce goods or services creatively. Diverse employees can increase competitive advantages of organizations in terms of organizational fl exibility, creativity, and problem solving (Cox & Blake, 1991).

Many claims arise that human capital diversity becomes increasingly important in a business environment that requires competitive advantage coming from innovative activities. Competitive advantage in the industry seems to be based on combining skills, which are more fundamentally diff erent (Laursen, Mahnke , & Vejrup-Hansen, 2005). However, although human capital is an important factor that infl uences fi rm’s innovation, the composition of human capital that may aff ect innovative performance is still unclear (Söllner, 2010).

Based on a research on Top Management Team (TMT) in Bank located in the midwestern region of the United States, Bantel & Jackson (1989) concluded that innovation is positively correlated with team heterogeneity with respect to age, education, and functional experience. Only tenure heterogeneity is not signifi cantly correlated with innovation. Innovation was greater in banks led by more educated managers who came from diverse functional backgrounds. It indicates that more innovative organization should have diverse and highly educated team members. However, diff erent aspects of team composition aff ect two types of innovations diff erently. Various educational levels are signifi cant for technical innovation that is related to product and services produced and production process, but not for administrative innovation. On the other hand, functional heterogeneity is signifi cant for administrative innovations that is associated to changes in the organizational structure and the people within the organization but not for technical innovation. A possible explanation for high association between education and technical innovation, more educated management teams are more proactive in initiating the development of technical innovations.

Based on study of 28 innovation teams, Post, De Lia, Ditomaso, Tirpak, & Borwankar (2009) concluded that the degree of educational diversity among team members had no detectable infl uence on team’s innovative behavior. However, increasing educational diversity on a team increases the degree of connective thinking, so educational diversity appears to have an indirect positive eff ect on innovativeness. Therefore, increasing the educational diversity of team members may foster innovation through the eff ects on the team’s range of problem-solving approaches. This study also suggests that although functional diversity can help produce innovation, it also leads to detrimental team dynamics. Functional diversity provides space to fi nd innovative solution for solving complex problem due diff erent expertise of team members. However, the diff erences of

84 Edisi 03/Tahun XIX/2013

is associated with high quality idea production, Many claims arise that human capital diversity becomes Utara : 08o09’32” LS dan 114o26’36,37” BT

Selatan : 08o09’32” LS dan 114o26’39,70” BT

Timur : 08o09’70” LS dan 114o27’57,59” BT

Barat : 08o10’10,73” LS. dan 114o26’26,58” BT

Menurut data Balai Taman Nasional Bali Barat (2012), ekosisitem pada zone Teluk Tradisional Gilimanuk terdiri dari ekosistem daratan berupa hutan mangrove, ekosistem hutan pantai, ekosistem hutan musim, ekosistem hutan hujan dataran rendah, ekosistem evergreen, dan ekosistem savana. Sedangkan tipe ekosistem perairan meliputi ekosistem coral reef, ekosistem padang lamun, ekosistem pantai berpasir, ekosistem perairan laut dangkal, dan ekosistem perairan taut. Iklim kawasan zona pemanfaatan tradisional diperairan Teluk Gilimanuk berdasarkan klasifi kasi Schmit & Ferguson termasuk tipe iklim E, dimana bulan hujan hanya berlangsung dari Desember sampai April, curah hujan rata-rata tahunan kurang dari 1.500 mm dengan kelembaban udara dibawah 55 %.

Geologi dan tanah yang membentuk kawasan ini merupakan batuan Andesit termasuk formasi batuan klatakan - merboek sedangkan jenis tanah merupakan endapan aluvial coklat kelabu berpasir mempunya sifat remah dan jerap air yang rendah hal ini mengakibatkan zona ini tidak cocok untuk budi daya dan rehabilitasi kurang berhasil.

Kondisi topografi zona pemanfaatan tradisonal kawasan perairan Taman Nasional Bali Barat secara keseluruhan datar dengan kelerengan 0 - 2 % dan ketinggian tempat antara 0 - 250 m diatas permukaan laut. Hidrologi daerah ini sebagaian besar merupakan daerah perairan yang terletak disekitar Teluk Gilimanuk kondisi sirkulasi air laut sangat cepat mengikuti kondisi peraiaran Selat Bali hal ini berpengaruh pada tipe vegetasi hutan mangrove dan terumbu karang yang ada.

Gambar 2.Rencana Akomodasi Wisata di Teluk GilimanukSumber : Bappeda dan PM Kab Jembrana 2012

Potensi wisata yang memungkinkan untuk dikembangkan dikawasan zona pemanfaatan tradisional ini adalah atraksi wisata alam berupa penyediaan jasa wisata tirta seperti penyewaan kano, berperahu tradisional, lomba perahu tradisional, wisata pendidikan, wisata ke Pulau Burung dan sekitarnya, tour mangrove dan bird wathcing, sedangkan didaratan dapat dilakukan aktifi tas rekreasi keluarga, penyewaan tikar, warung makanan dan minuman ringan dengan konsep alamiah dan tidak permanen.

Dalam Perda Nomor 11 Tahun 2012 tentang RTRW Kabupaten Jembrana 2012-2032 disebutkan Sesuai dengan visi jangka panjang pembangunan Kabupaten Jembrana untuk mewujudkan Jembrana yang Jagadhita berlandaskan Tri Hita Karana membutuhkan penataan ruang wilayah secara terpadu yang hijau, lestari, aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandasarkan kebudayaan Bali; diperlukan kearifan lokal dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah secara terpadu meliputi perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang untuk dapat mengarahkan struktur dan pola ruang wilayah Kabupaten Jembrana yang memberikan manfaat bagi semua kepentingan, yang dilaksanakan secara bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan/atau dunia usaha.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 5 tahun 1990, PP. No. 36 tahun 2010) pengelolaan Taman Nasional dilaksanakan oleh Pemerintah, namun hak mengelolanya dapat diberikan kepada Swasta maupun kelompok secara kolaboratif bekerjasama Masyarakat disekitar kawasan Taman Nasional Bali Barat, hal ini dimaksudkan sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah kepada masyarakat dalam turut serta berpartisipasi aktif dalam pembangunan kehutanan sesuai visi Kementerian Kehutanan ”Hutan Lestari Masyarakat Sejahtera yang Berkeadilan”.

Adapun sasaran yang hendak diwujudkan sebagai berikut :

1. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang seimbang menunjang sistem penyangga kehidupan bermapaat bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteran masyarakat sekitar kawasan Taman Nasional Bali Barat

2. Pemanfaatan sumber daya alam secara tearah dan terkendali untuk menjamin kelestarian manfaat dan berkelanjutan.

5Edisi 03/Tahun XIX/2013

Utara : 08o09’32” LS dan 114o26’36,37” BT Potensi wisata yang memungkinkan untuk

MAJALAH.indd Spread 5 of 44 - Pages(84, 5)MAJALAH.indd Spread 5 of 44 - Pages(84, 5) 31/12/2013 16:00:3931/12/2013 16:00:39

3. Terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistem sehingga mampu menunjang kehidupan masyarakat, pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi dan ecotourism, seni dan budaya

Seseuai UU No. 27 tahun 2007 dimana sebagai kawasan Taman Nasional Bali Barat mempunyai potensi perairan sekaligus merupakan bagian Kawasan Konservasi Perairan yang sudah exissting dimana peneglolaannya sudah lebih permanen, dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau - pulau kecil dimasukan kedalam Jejaring Kawasan Komservasi Perairan (JKKP Bali) yang dalam progresnya dalam tahun 2012 penyelesaian cetak biru (blue print) pengelolaan Jejaring Kawasan Konservasi Perairan Bali (JKKP Bali).Landasan hukum kebijakan pengelolaan Taman Nasional Bali Barat yang dituangkan dalan rencana pengelolaan jangka panjang adalah UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan PP. No. 36 tahun 2010 tentang pengusahan pariwisata di Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya, serta kebijakan Pembangunan Kehutanan Propinsi Bali yang ditindak lanjuti dengan Peraturan menteri Kehutanan No. 48 Tahun 2010 tentang tata cara pengajuan Ijin Pengusahaan pariwisata alam Di Taman Nasional, Taman Wisata alam dan Taman Hutan raya mengatur bahwa pemberian hak pengelolaan/pengusahaan pariwisata alam dapat diberikan kepa badan usaha, kopersai, kelompok masyarakat maupun lembaga dalam bentuk penyediaan sarana pariwisata alam dan penyediaan jasa wisata alam.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : 56 /Menhut-II/2006 bahwa kegiatan masyarakat yang ada ketergantunganya dengan sumber daya alam yang dapat dilakukan pada zona tradisional antara lain :

Perlindungan dan pengamanan

Inventarisasi dan monitoring jenis yang dimanfaat-kan oleh masyarakat

Pembinaan habitat dan populasi

Penelitian dan pengembangan

Pemanfaatan potensi dan kondisi sumberdaya alam sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan yang ber-laku

Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengatur jenis usaha yang dapat dikembangkan dalam pembinaan obyek baik dalam bentuk Daerah Tujuan Wisata (DTW) dann penetapan Kawasan Daerah Tujuan Wisata Kabupaten/Kota (KDTWK) maupun sebagai penetapan Obyek Wisata (OW), maka jenis-jenis usaha yang dapat dikembangkan dikawasan perairan teluk Gilimanuk adalah sebagai berikut :

Penyediaan Jasa wisa Tirta

Penyediaan jasa Makanan dan minuman wisata

Penyediaan jasa informasi wisata

Penyedian jasa wisata alam

Penyediaan jasa pemandu wisata alam

Penyediaan jasa wisata spiritual

Dan lain-lain

Untuk menyelaraskan beberapa peraturan perundang-undangan tersebut diatas dengan kebijakan pemerintah daerah terutama dalam penataan ruang sesuai Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 16 tahun 2009 dijadikan acuan pula dalam masukan ini, khusunya pada pasal 49 ayat 5 ditegaskan kawasan Taman Nasional Bali Barat seluas 19.002,89 ha meliputi wilayah daratan dan perairan laut berlokasi di Desa Penginuman, Kecamatan Melaya Kabupaten Jembrana dan di Desa Sumberkima dan Desa Sumber klampok Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng menjadi wilayah yang harus dipertahankan.

Didalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali kawasan Gilimanuk ditetapkan sebagai kawasan strategis dengan fungsi perhubungan, ekonomi dan pariwisata dimana kawasan Taman Nasional Bali Barat termasuk didalamnya. Didalam rencana pengelolaan jangka panjang /rencana karya pengelolaan Taman Nasional Bali Barat fungsi sosial kawasan terhadap masyarakat penyangga telah diatur pula keberadaan masyarakat dan atau lembaga masyarakat, baik untuk kepentingan pengembangan lembaga pemerintah, masyarakat maupun swasta.

Pembahasan

Perkembangan pemanfaatan ruang dipengaruhi oleh aktivitas manusia, perkembangan jumlah penduduk,

6 Edisi 03/Tahun XIX/2013

3. Terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik Undang-Undang No. 10 tahun 2009 tentang 4. Creativity as a process.

Creativity is a process of generating and testing ideas. The creative process may or may not yield a new product or process and individual can play dif-ferent roles in the process.

5. Integrated view perspective. Creativity is a function of the interaction among people, their environment, as well as their task.

Related to the integrated view perspective, Johansson (2006) concluded that creativity or a large number of extraordinary new ideas can be created from an intersection of fi elds, disciplines, or cultures. Innovation requires interactive process that often involves communication and interaction among employees in the organization (Østergaard, Timmermans, Kristinasson, 2011). World changing discoveries come from the interaction of various dimensions of diversity. Mutual interaction and communication across cultural boundaries plays signifi cant role to activate innovative potency (Lauring, 2007). For example, the invention of DNA structure was supported not only by diversity of educational background but also diversity of nationality, institutions, and gender.

However, various barriers may prevent fi nding intersec-tion or interaction. Based on research conducted on 14 Danish companies, insuffi cient language skills is the primary barrier to interaction (Lauring, 2007). Subse-quently, the communication across cultural boundaries becomes one of the basic preconditions for the devel-opment of an innovative international environment. Un-fortunately, communication in culturally diverse organi-zations is often a complicated matter. Another possible barrier is lack of cohesiveness of team since diversity could cause confl ict among employees. However, when it is eff ectively handled, it can lead to improved creative problem-solving and decision-making. King, Michelle , & Beal (2009) argued that the eff ects of demographic heterogeneity led to group norms emphasizing lower cooperation, but the eff ects weakened over time. They concluded that the negative eff ects of demographic di-versity would be strongest for team newcomers and for newly developed teams, but the eff ects would actually be positive in the long run.

Workforce diversity has broad dimensions but it can be grouped in two common dimensions including demographic diversity and human capital diversity (López-Fernández & Sánchez-Gardey, 2010).

Demographic diversity dimensions is related to age, gender, and race/ethnicity while human capital diversity is reff ered to the set of knowledege, skills, experience, and values possesed by group members. Diversity in human capital plays signifi cant role to leverage innovative performance. The human capital is aff ected by diversity in the composition of employees and their interaction (Laursen, Mahnke , & Vejrup-Hansen, 2005). For example, racial diversity is positively related to innovation under the condition of high variation in involvement where minority employees are equally or more active in involvement behaviors than their majority counterparts (Yang & Conrad, 2011). However, racial diversity is unrelated to innovation when level of employee involvement is low or under the condition of high level with low variation in involvement. Based on a research in 177 banks, the relationship between racial diversity and performance is conditional and depends on the level of innovativeness in a fi rm (Orlando , Mcmillan, Chadwick , & Dwyer, 2003). When racial diversity increases in banks with high in innovativeness, performance is enhanced. In contrast, performance for banks low in innovativeness decreases as racial diversity is increased.

As seen from the above studies, the power of diversity on innovation is belong to the diversity itself, not similarity. The benefi ts of diversity to innovation depend on how much collective diff erence as on aggregate ability. Thinking diff erently is required to fi nd new and better solutions, and innovation. Large pool of knowledge, skills, life experience, perspectives, and expertise could be available in workplaces that promote diversity. Heterogeneity has positive impact on generating and sharing various ideas but it also prevents the team members to achieve consensus, even more it can cause confl ict among team members.

Cognitive diversity among heterogeneous members promotes creativity, innovation, and problem solving, and thus results in superior performance relative to cognitively homogeneous teams (Horwitz, 2007). Positive eff ects come basically from the cognitive side of group working. Diff erent mental models and ways of perceiving and interpreting information coincide in diverse groups, which are able to generate more alternatives to decide and solve problems (Martin-Alcazar, Romero-Fernandez, Sanchez-Gardey, 2010). Lauretta , Lobel, & Cox (1996) concluded that heterogeneity of team member characteristics is related to various perspectives. Variety in perspectives

83Edisi 03/Tahun XIX/2013

4. Creativity as a process. Demographic diversity dimensions is related to age,

MAJALAH.indd Spread 6 of 44 - Pages(6, 83)MAJALAH.indd Spread 6 of 44 - Pages(6, 83) 31/12/2013 16:00:4031/12/2013 16:00:40

1996). Actual productivity of multicultural teams is infl uenced by how well the teams can manage resources they have and minimize faulty process.

In economic perspective, diversity has a positive relationship with regional productivity. In a study of the economic value of cultural diversity in the U.S., Ottaviano and Peri (2006) argue that cultural diversity has positive impacts on the productivity of natives. A more multicultural urban environment makes US-born citizens more productive. The fi ndings of this study are consistent with those of Bellini, I.P. Ottaviano, & Pine, (2008) in Europe. Common sense seems to dictate that skills of foreign workers might complement those of native labor force. Another possible explanation, the foreign workers may provide services that are not perfectly substitutable with those of natives. However, higher regional productivity may be also infl uenced by the demographics of regions such as higher education, higher international experience, and higher exposure to culture and news. People who have these characteristics may be more appreciative to diversity. In such regions, productivity is not infl uenced by diversity but tolerant citizens.

A study of the implication of diversity for organizational competitivenss by Cox and Blake (1991) illustrated the cost of diversity where failure to manage women and racio-ethnic minorities is accociated with high turnover and absenteesm. On the other hand, organizational accomodation to diversity such as sponsoring child care and greater fl exible work schedulling contributes to reduce absenteeism. Based on the result of the study, these scholars suggest that the organization should invest on managing workforce diversity in order to anticipate the higher costs or to gain more benefi ts associated with diversity.

Theoretical Framework

Innovation cannot be separated from creativity as it is an essential part of the process of innovating. According to Serrat (2009), creativity plays a signifi cant role in the innovation process and it is a creator and sustainer of performance and change. Moreover, Johansson (2006) claims that creativity consists of new and valuable ideas while innovation come from creative ideas that had become realized. The essence of Johansson’s argument is that not all creative ideas become innovation. With regards to creativity within individual, Amabile (1998) defi nes three elements of creativity.

First is expertise which is associated with knowledge-technical, procedural and intellectual. Second is intrinsic motivation that refers to an inner drive for problem solving which gives an individual satisfaction without rewards. Third element is creative thinking skills which relates to how people approach problems.

Figure 1 Three Components of Creativity

Source: Amabile, 1998.

After looking at several studies, it is assumed that there is no single defi nition of creativity because creativity is commonly viewed by diff erent settings or perspectives. In line with the concept of creativity, Dendhardt, & Aristigueta (2009) summarized fi ve prespectives of creativity as follows:

1. Creativity as a trait.

People have inborn characteristics that infl uence them to be creative. Some people may have traits that make them naturally creative and they would probably be cre-ative wherever they are situated.

2. Creativity as cognitive skills an abilities.

Creative is based on conceptual skills and abilities such as divergent and abstract thinking. Creative can be en-hanced by learning and improving certain cognitive skills.

3. Creative as behavior.

Creativity is whatever results in the formation of new ides or solutions that are useful. The value of creativity lies in what useful outcomes are produced.

82 Edisi 03/Tahun XIX/2013

1996). Actual productivity of multicultural teams is First is expertise which is associated with knowledge- penyediaan infra struktur dan sarana prasarana pendidikan, kesehatan sosial keagamaan, lingkungan dan pemukiman maupun fasilitas umum lainnya seperti kawasan pariwisata. Dilihat dari asal muasal penduduk yang bermukim diwilayah kelurahan Gilimanuk sangat beragam mereka berasal dari suku Jawa, Madura, Bali, Bugis, Sunda dan lain-lain, berdasarkan data statistik jumlah penduduk Gilimanuk (Tahun 2012) mencapai 8.626 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata 31.118 Jiwa/Km2 . Kondisi kependudukan ini sangat perlu dipertimbangkan dalam aspek sosial penataan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk.

Gambar 3. Peta Citra Kepadatan Penduduk Gilimanuk.

Hasil dari penelusuran di masyarakat, berdasarkan inventarisasi, observasi, dan wawancara dengan narasumber maka diperoleh gambaran sebagai berikut:

Menurut masyarakat Gilimanuk, pemanfaatan tradisional saat ini belum diatur secara formal karena belum memilki legalitas baik perijinanannya maupun jenis-jenis kegiatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh masyarakat karena belum pernah dilakukan kajian disisi lain pihak pengelola Taman Nasional belum memiliki perangkat (tools) untuk mengendalikan aktifi tas masyarakat dan adanya kekhawatiran terjadi oven akses dan bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Aktifi tas masyarakat disekitar perairan teluk Gilimanuk saat ini lebih banyak dilakukan oleh nelayan atau pokmas, wisata tirta berupa pemanduan, penyewaan perahu tradisional, lomba perahu tradisional, canoing, tour mangrove, bird watching, , pengambilan kerang-kerangan saat air surut secara manual, sedangkan didaratan di sekitar pantai Karangsewu dimanfaatkan untuk wisata keluarga, penjualan makanan ringan dengan warung tidak permanen.

Masyarakat nelayan maupun pokmas wisata sangat peduli akan kelestarian sumber daya alam zona pemanfaatan tradisonal, terutama dalam hal kebersihan dan keamanan dengan ikut berpatroli jika menemukan hal-hal yang mencurigakan cepat berkoordinasi dengan petugas Taman Nasional Bali Barat.

Aktifi tas yang kurang tepat dilakukan masyarakat terutama yang tingkat keasadarannya kurang mengerti tentang estetika dan etika adalah pembuangan sampah limbah rumah tangga kedalam kawasan Taman nasional Bali Barat, penggembalaan ternak secara liar dan pengambilan hijauan pakan ternak hal ini bertentangan dengan ketenuan yang berlaku.

Bentuk kelembagaan masyarakat yang beraktifi tas di-sekitar perairan teluk Gilimanuk adalah Kelompok Ma-syarakat (Pokmas) di teluk Gilimanuk bergerak dibidang penyediaan jasa wisata alam dan Kelmpok Nelayan Ka-rangsewu yang ditunjuk sebagai sentra penyuluhan ke-hutanan pedesaan (SPKP) yang bergerak dalam peny-uluhan pelestarian sumber daya alam, penyediaan jasa wisata alam dan nelayan. Masing-masing kelompok ini (Pokmas dan SPKP) sudah memiliki peraturan organisa-si dalam bentuk anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sehingga jelas arah dan dan tujuan masing-ma-sing lembaga ini.

Potensi zone pemanfaatan tradisional diperairan Teluk Gilimanuk yang sudah teridentifi kasi dan berkembang adalah wisata alam dan pendidikan lingkungan, se-dangkan potensi fl ora fauna adalah sebagai berikut :

Wisata tirta/glas buttum boat

Penyelaman/diving serta selam/snorkeling

Pendidikan konservasi/demplot mangrove terma-suk Pengenalan biota laut, jenis burung air, jenis reptil pesisir, mamalia mangrove

Wisata ke Pulau Burung dan sekitarnya menikmati pasir putih

Pendidikan pengenalan mangrove/Tuor mangrove

Penjualan Cendramata/souvenir

Penjualan makanan dan minuman ringan

Perkemahan singkat/camping

Pendidikan lingkungan/ kebersihan pantai

Lain-lain

Dari hasil wawancara dengan beberapa narasumber baik yang berasal dari Instansi teknis, Pemerintah

7Edisi 03/Tahun XIX/2013

penyediaan infra struktur dan sarana prasarana Masyarakat nelayan maupun pokmas wisata sangat

MAJALAH.indd Spread 7 of 44 - Pages(82, 7)MAJALAH.indd Spread 7 of 44 - Pages(82, 7) 31/12/2013 16:00:4131/12/2013 16:00:41

Kelurahan Gilimanuk maupun dari Taman Nasional Bali Barat dapat dikumpulkan data sebagai berikut ini :

Perlu adanya penegasan kegiatan terhadap jenis dan bentuk kegiatan yang direkomendasikan kepada masyarakat agar pemanfaatan zonasi sesuai arahan rencana pengelolaan dalam kajian ini

Perlu adanya standar Prosedur dan Operasional Pemanfaatan Kawasan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk

Perlu memperhaikan daya dukung lingkungan dalam pemanfaatan Zona Tradisinal Teluk Gilimanuk sebagaimana amanat pasal 15 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009

Perlu adanya paduserasi antara kebijakan pembangunan bidang kehutanan dengan kebijakan pembangunan di daerah (UU Konservasi, PP Pemberdayaan masyarakat,Perda tentang tata ruang baik Provinsi Bali/RUTRWP maupun Kabupaten/RUTRWK Jembrana).

Perlu adanya penyamaan persepsi antara pemerintah dan masyarakat dalam implementasi pembangunan disekitar perairan teluk Gilimanuk dengan berlandaskan fungsi lingkungan, sosial, ekonomi berdasarkan prinsip Tri Hitta Karana maupun kerifan lokal lainnya.

Pemanfaatan zona tradisional ini merupakan satu langkah berani pihak pengengelolan TNBB dalam akselerasi pengembangan wilayah persisir melalui pemberdayaan masyarakat tanpa mengorbankan ekosistem perairan dan lingkungan Teluk Gilimanuk.

Agar masyarakat disekitar kawasan diberi kesempatan memanfaatkan sumber daya alam menunjang budidaya dan ekowisata sebagai wujud nyata keberpihakan pemerintah pada masyarakat lokal.

Perlu adanya pertemuan secara berkala antara pihak Taman Nasional Bali Barat,Tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pokmas, SPKP dan masyarakat sekitar untuk sosialisasi dan koordinasi

Permasalahan yang dihadapi pengelola kawasan teluk Gilimanuk sebagai zona pemanfaatan tradisional sangat beragam dan komplek mulai dari masalah sosial, pencemaran, lingkungan dan hukum maupun pergeseran nilai pemenfatan sesuai arahan rencana pengelolaan. Beberapa permasalahan tersebut ada yang menjadi kewenangan dan tanggung jawab pengelola

Taman Nasional Bali Barat ada yang terkait dengan Pemerintah Daerah (Pemkab Jembrana, Pemerintah Kecamatan Melaya dan Kelurahan Gilimanuk) maupun koordinasi dengan stakehoder lain seperti Majelis Alit dan Desa Pakraman maupun Lembaga Swadaya Masyarakat.

Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas ditempuh melalui Strategi Pengelolaaan Taman Nasional Bali Barat. Strategi Pengelolaaan Taman Nasional Bali Barat dari aspek sosial adalah sebagai berikut ;

a) Peningkatan peran serta Stakeholders, dimaksudkan untuk memberi akses kepentingan masyarakat sekitar dalam berpartisipasi aaktif pemanfaatan kawasan seperti Pemerintah Kabupaten Jembrana, LSM, Koperasi, dan Kelompok Masyarakat terus dikembangkan.

b) Integrasi dan Koordinasi; memaduserasikan antara pembangunan konservasi dan pengembangan wilayah serta tata ruang secara terintegrasi sebagai modal kekuatan dalam pembangunan secara lokal, regeional maupun nasional..

c) Dukungan dan perhatian dunia Internasional; konsekuensi logis dari Pemerintah Indonesia ikut meratifi kasi konvensi keanekaragaman hayati maka perhatian dunia terhadap kawasan Taman Nasional Bali Barat dalam bentuk bantuan tenaga ahli, pelatihan, pendidikan dan penenelitian, maupun dukungan terhadap pemberdayan masyarakat dalam penyelesaian kasus-kasus kawasan.

Penutup

1. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa :

1). Zona Tradisional Teluk Gilimanuk yang populer dengan sebutan ”Karang Sewu”, merupakan salah satu kawasan Balai Taman Nasional Bali Barat dibuka sebagai kawasan wisata berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : Sk. 143/IV-KK/2010 tanggal 20 September 2010 tentang Zonasi Taman Nasional Bali Barat.

2). Dalam pemanfatan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk masyarakat tidak menolak, asal dilibatkan sejak perencanaan hingga pelaksanaan.

8 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Kelurahan Gilimanuk maupun dari Taman Nasional Bali Taman Nasional Bali Barat ada yang terkait dengan The patterns of relationship are varied between various dimensions of diversity on the individual or organizational performance. There were limited evidences from empirical research to generalize the impacts of diversity dimensions (Wise & Tschirhart, 2000). Aparna, Erhardt, & Jackson (2003) found a few obvious patterns of the impact of the dimensions of diversity on the outcomes of organization. The impacts are sometimes positive, sometimes negative, and sometimes not signifi cant. They summarized mixed fi ndings in Big Five personality dimensions, sex diversity, age diversity, and international diversity. Two of Big Five personalities, extraversion and emotional stability, have positive impacts on performance but the other three of Big Five personality was unrelated to performance. Sex/gender diversity infl uenced the performance (ratings) of woman, but not the performance (ratings) of men. Sex composition on student working on a simulation infl uenced some measure of performance but not others. A study in sport teams showed that age diversity has negative impact to less interdependence team (baseball) while it has unrelated relationship to more interdependence team (basketball). International diversity may aff ect the performance but it was detrimental to the performance in the long run.

Another type of relationships that is commonly found is curvilinear, more complicated that linear relationship. Nai-Wen, Yin-Mei, Shu-Chi (2009) found curvilinear or U-shape relationship between organizational tenure and team innovation. They conducted the research in sixty-seven R&D teams (with 321 team members) from 35 Taiwanese high-technology companies. Organizational diversity is initially positively associated with team innovation, whereas the relationship turns negative as the level of diversity further increases. Furthermore, the downside of curvilinear relationship was moderated by team-oriented HR practices. At moderate levels of diversity, organizational tenure diversity is most strongly associated with team innovation. In contrast, teams with too much or too little tenure diversity impede the development of team innovation. Curvilinear relationship also could be found in the relationship between expertise diversity and learning behaviors (Van der Vegt and Bunderson, 2005) as well as in the relationship between educational diversity and team information use (Dahlin, 2005). 1

Apart from contradictive fi nding issue in the previous research, this paper focuses on examining the relationship between innovation and educational

1 (Nai-Wen, Yin-Mei, Shu-Chi, 2009, p. 714)

diversity. This paper also would elaborate conditions that contribute to various patterns of relationship whether positive, negative, unrelated, or curvilinear. This research is expected can eliminate external validity issue since the observed research use data sample from various countries such as Germany, USA, Denmark, as well as data from cross nation.

Cost and Benefi t of Workforce Diversity

Diversity within an organization may have negative eff ects as well as positive ones. Diversity may simultaneously off er opportunity to gain more benefi ts but could be costly for individual and organizational performance. On the other hand, it may also cause misunderstanding among workers within an organization due to language barriers and socio-cultural diff erences. For example, an experience from Hitachi Europe shows a positive result in which the company combines Japanese and western mentalities in workforce and attains high quality results (Gassman, 2001). Another experience from Ericsson Company presents that workforce diversity can improve team performances at all levels and positively impacts on customer success (Ferhan Karabacakoglu, Mustafa Özbilgin, 2010). The impact of cultural diversity on team’s productivity was formulated by Adler (2002) as follows:

(↑↓) Actual productivity = (↑)Potential productivity – (↑)Losses due to faulty process

The formula indicates that the productivity of multicultural teams would be possible higher, lower or same as homogeneous teams. Bassett-Jones (2005) argued that diversity looks like “a double edged sword”. Diversity is a recognizable source of creativity and innovation that can provide a basis for competitive advantage. On the other hand, diversity also could be a disruptive factor for the organization. Diversity could be a source of misunderstanding, suspicion and confl ict in the workplace and it can result in absenteeism, poor quality, low morale and loss of competitiveness. Organizations face a paradoxical situation to gain competitive advantages from the workforce diversity. If they promote diversity, they have to deal with workplace confl ict, and if they avoid diversity, they risk loss of competitiveness. Heterogeneous teams have more potential performance advantage than homogeneous teams but the members of heterogeneous teams may have more negative aff ective reactions to their groups than did heterogeneous teams (Lauretta , Lobel, & Cox,

81Edisi 03/Tahun XIX/2013

The patterns of relationship are varied between diversity. This paper also would elaborate conditions

MAJALAH.indd Spread 8 of 44 - Pages(8, 81)MAJALAH.indd Spread 8 of 44 - Pages(8, 81) 31/12/2013 16:00:4231/12/2013 16:00:42

Managing Diversity: The Impact of Educational Managing Diversity: The Impact of Educational

Diversity on Innovative PerformanceDiversity on Innovative Performance

Nurul Wajar Mujahid

Abstract

Although the relationship between diversity and innovation has become an emerging issue, research on the impacts of educational diversity on individual and organizational outcomes in terms of innovation is scarce. This research uses limited available resources to investigate the impacts of educational diversity on innovative performance. The evidences from the six research conducted in the various countries presents that educational diversity has a positive linear relationship on the innovation. This common relationship provides justifi cation for the managers to promote educational diversity within their organizations in order to gain competitive advantages from the innovative performances. However, since diversity also has negative impacts on team cohesiveness and cooperation, the managers should manage the diversity appropriately. Lack of representation of public organizations in the observed research possibly becomes a weakness toward generalizability of the patterns of relationship. Misrepresentation of public organizations may remind public managers to adjust diversity management based on the nature of public organization.

Introduction

Promoting workforce diversity management is inevitable since demographic and market are more diverse locally and globally. Managing workforce diversity is not only related to meet social justice and equity but also to be associated with organizational performance. Relationship between various dimensions of diversity and organizational performance has been explored by many scholars. However, the majority of research is dominated by relationship between work outcome and three demographic aspects including sex, race/ethnicity, and age. Less research on work outcome were related to education, work experience, functional background, as well as team and organizational tenure (Wise & Tschirhart, 2000). This fi nding has not signifi cantly changed such presented in the recent meta analysis research (Aparna, Erhardt , & Jackson, 2003; Pitts & Wise , 2009). Based on research publication from 2000 to 2008, Wise and Pitts found that research on diversity dimension has been remainly dominated by sex/gender (49.4 %), race/ethnicity (37.1 %), and age (10.1 %).

80 Edisi 03/Tahun XIX/2013

3). Pelibatan masyarakat sangat penting untuk kebelanjutan penataan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk sesuai dengan konsep Tri Hita Karana yaitu keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan.

2. Rekomendasi

Untuk menjamin konsep keberlanjutan dan keseimbangan dalam penataan hubungan manusia dengan maka direkomendasikan :

1). Penataan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk dilakukan dengan memperhatikanpasal 15 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 32 Th 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dimana dalam penataan kawasan agar merperhatikan daya dukung lingkungan termasuk aspek sosial bukan aspek spasial saja.

2).Jenis kegiatan yang diberi akses dalam Penataan Zona Tradisional Teluk Gilimanuk disesuaikan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor : Sk. 143/IV-KK/2010 tanggal 20 September 2010 tentang Zonasi Taman Nasional Bali Barat, sehingga konsep pelestarian tetap terjaga..

Daftar Pustaka

1. UU. No. : 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya.

2. UU. No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan

3. UU. No. 27 tahun 2007 tetang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

4. UU No. 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan

5. UU No. 32 Th 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

6. Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat

7. Peraturan Pemerintah No. 36 tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di KPA dan KSA

8. Permenhut 48 tahun 2010 tentang Prosedur dan Tata Cara Permohonan Pengusahan Pariwisata di KPA dan KSA

9. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.8/Menhut-II/2010 tentang Penetapan Rencana Strategik Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014;

10. Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor SK.128/IV‐Sek/HO/2006 tentang Taman Nasional Bali Barat sebagai Taman Nasional Model.

9Edisi 03/Tahun XIX/2013

3). Pelibatan masyarakat sangat penting untuk Daftar Pustaka

MAJALAH.indd Spread 9 of 44 - Pages(80, 9)MAJALAH.indd Spread 9 of 44 - Pages(80, 9) 31/12/2013 16:00:4331/12/2013 16:00:43

Konsumsi Energi Listrik dan Konsumsi Energi Listrik dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia: Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia:

Aplikasi dan ModelAplikasi dan ModelYusuf Suryanto

Bappenas, IndonesiaEmail: [email protected]; [email protected]

Abstract

The purpose of this study is to investigate causal relationships between economic growth and electricity consumption in Indonesia. It uses time-series data spanning from 1971 to 2010. Vector autoregressive (VAR) model is used to understand the relationships. Using ADF and PP tests, it fi nds that the investigated variables are non stationary integrated order one or I(1). Engle-Granger cointegration as well as Johansen cointegration tests fail to reject not-cointegrated hypothesis. Finally, Granger non-causality methodology is employed and the results indicate that no causality between selected variables. Therefore, it can be concluded that economic growth does not support electricity consumption and vice versa. It implies that Indonesian government may impose conservation and economic growth polices simultaneously.

Tujuan dari studi ini adalah untuk menyelidiki hubungan sebab-akibat/kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik di Indonesia. Studi ini

menggunakan data time-series dari tahun 1971 sampai tahun 2010. Vector autoregressive (VAR) model digunakan untuk memahami hubungan dimaksud. Dengan menggunakan uji augmented dickey fuller (ADF) dan Phillips-Perron (PP), dan Kwiatkowski-Phillips-Schmidt-Shin (KPSS), studi ini menemukan bahwa variabel yang diselidiki adalah variabel non-stasioner terintegrasi orde 1 atau I(1). Uji Engle-Granger cointegration dan Johansen cointegration tidak dapat menolak not-cointegrated hypothesis. Terakhir, metode Granger non-causality digunakan dan hasilnya mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara variabel terpilih. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak mendukung konsumsi energi listrik dan sebaliknya. Hal ini berimplikasi bahwa pemerintah dapat menempuh kebijakan conservation and economic growth secara simultan.

Keywords: konsumsi energi listrik, pertumbuhan ekonomi, vector autoregressive (VAR), kausalitas.

10 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Sachs, Jeff rey, and Felipe Larrain, “Macroeconomics in the Global Economy”, Harverter Wheatsheaf, New York, 1993.

Salvatore, D., Twin defi cits in the G-7 countries and global structural imbalances. Elsevier Journal of Policy Modeling, 2007.

Sri Adiningsih dan Laksmi Yustika Devi, Dinamika Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter di Indonesia, Yogyakarta: Kanisus, 2012.

Stanley Fischer and William Easterly, The Eeconomics of the Government Budget Constraint, The Worlbank Reserach Observer, Vol 2 No., 5, Juli 1990.

Tulus Tambunan, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: Putaka LP3ES, 2001.

Wijayanto Samirin, Defi sit Kembar: Lingkaran Setan Yang Menjerumuskan Availabel at: http://beritamoneter.com/defi sit-kembar-lingkaran-setan-yang-menjerumuskan/

World Bank, Country Page and Key Indicators:Vietnam. World Bank East Asia and Pasifi c Economic Update 2012, Volume 1, 2012.

World Economic Outlook (http://world-economic-outlook.fi ndthedata.org/compare/2583-2584/Indonesia-vs-Indonesia#/)

79Edisi 03/Tahun XIX/2013

Sachs, Jeff rey, and Felipe Larrain, “Macroeconomics in Tulus Tambunan, Perdagangan Internasional dan

MAJALAH.indd Spread 10 of 44 - Pages(10, 79)MAJALAH.indd Spread 10 of 44 - Pages(10, 79) 31/12/2013 16:00:4631/12/2013 16:00:46

c. Kebijakan peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk mensuplai kebutuhan kelas menengah yang sedang tumbuh pesat, melalui percepatan upaya penguasaaan teknologi.

d. Perumusan kebijakan diversifi kasi negara tujuan Ekspor dan peningkatan ekspor barang bernilai tambah untuk meningkatkan nilai ekonomi

e. Koordinasi kebijakan fi skal melalui subsidi dalam menyerap resiko suatu gejolak terhadap perekonomian secara keseluruhan. Untuk praktik di Indonesia, konsep ini antara lain terkait dengan peran subsidi BBM dan pengelolaan pasokan kebutuhan pokok (horticultura). Untuk subsidi kebutuhan pokok, kajian untuk kasus di Indonesia berimplikasi pengelolaan terhadap distribusi dan pasokan kebutuhan pokok oleh pemerintah menjadi sangat penting artinya dalam pengendalian infl asi di Indonesia.

Daftar Pustaka

Anjum Aqeel and Mohammed Nishat, The Twin Defi cits Phenomenon: Evidence from Pakistan, The Pakistan Development Review 39 : 4 Part II (Winter 2000).

Anonim, Waspadai Jebakan “Twin Defi cit”, http://klikheadline.com/in/berita/waspadai-jebakan-twin-defi cit.html, diakses Mei 2013

Aviliani dan Iman Sugema dalam diskusi EC-Think. Avalibale at: http://www.metrotvnews.com/ metronews/read/2013/03/21/2/140365/Defisit-Kembar-Ancaman-Perekonomian-Indonesia

A. Tony Priantono, Defi sit Kembar, Kompas 18 Februari 2013 available at: http://psekp.ugm.ac.id/ artikel/id/13.

Baharumshah, A. Z., Lau, E., and Khalid, A. M., “Testing Twin Defi cits Hypothesis: Using VARs and Variance Decomposition”, University Putra Malaysia- Faculty of Economics and Management, 2004.

Bank Indonesia, Evaluasi Perekonomian Tahun 2012, Prospek 2013-2014, dan Kebijakan Bank Indonesia, Jakarta: Bank Indoensia, 2013.

Biro Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2013, Berita Resmi Statistik No. 17/03/Th. XVI, 1 Maret 2013.

Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik: Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia. Availabel at: http://www.bps.go.id/aboutus.php?news=1&nl=1.

Brian Ng, Twin Defi cits: An empirical analysis on the relationship between budget defi cits and trade defi cits in Argentina, USA: The College of New Jersey, 2007.

Fleegler, Ethan, The Twin Defi cits Revisited: A Cross-Country, Empirical Approach. Durham: Duke University, 2006.

Hossain, A dan A. Chowdurry, Open Economy Macroeconomics Macroeconomics for Developing Countries. Edwar Elgar Publishing Limited. Cheltenham, UK, 1998.

http://beritamoneter.com/defisit-kembar-lingkaran-setan-yang-menjerumuskan/

Iskandar Simorangkir, Peranan Koordinasi Kebijakan Moneter dan Fiskal terhadap Perekonomian Indonesia, dalam Koordinasi dan Interaksi Kebijakan Fiskal-Moneter: Tantangan ke Depan. Yogyakarta: Kanisius, 2012.

John Bluedron and Daniel Leigh, Revisiting the Twin Defi cit Hypothesis: The Eff ect of Fiscal Consolidation on the current Account, 2003.

Malahayati, Marrisa, Fenomena Twin Defi cit pada Negara-Negara Asean, Bogor: FEM-IPB, 2011.

Majed Bader, The Eff ect of the Twin Defi cits on the Foreign Debt In Jordan: an Econometrical Study, Jordan: Hashemite University, 2006.

Mankiw, Gregory, Macroeconomics fi fth edition. Worth Publisher, 2002.

Republik Indonesia, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, Jakarta: Kementerian Keuangan RI, 2013.

78 Edisi 03/Tahun XIX/2013

c. Kebijakan peningkatan kemampuan industri dalam Biro Pusat Statistik, Perkembangan Ekspor dan Impor 1. Pendahuluan

Salah satu isu utama di sektor energi saat ini adalah efi siensi pemanfaatan energi terkait dengan semakin meningkatnya harga energi dan dorongan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (green house gas emissions). Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang perlu lebih bijak dalam merespon isu tersebut. Hal ini mengingat bahwa konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat. Upaya untuk mengetahui hubungan sebab-akibat atau kausalitas (causality) diantara keduanya menjadi sangat penting. Arah (direction) dari hubungan kausalitas tersebut sangat menentukan kebijakan yang harus diambil. Sebagai contoh, apabila terdapat hubungan kausalitas dari konsumsi energi ke pertumbuhan ekonomi, maka kebijakan penghematan energi seharusnya tidak dilakukan karena dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian upaya untuk mengetahui hubungan kausalitas baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang antara kedua variabel ekonomi tersebut sangat relevan untuk dilakukan.

Terkait kausalitas antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi, Chen et al. (2007) menyatakan empat kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, hubungan kausalitas satu arah (uni-directional causality) dari konsumsi energi listrik ke pertumbuhan ekonomi yang berimplikasi bahwa keterbatasan penggunaan energi listrik dapat berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi. Kedua, hubungan kausalitas satu arah dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi energi listrik yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi akan mendorong pemakaian energi listrik dan juga upaya konservasi pemanfaatan energi listrik tidak akan berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi. Ketiga, hubungan kausalitas timbal balik (bidirectional causality/feedback) yang berarti bahwa kedua variabel ekonomi tersebut saling terkait. Terakhir, tidak ada hubungan kausalitas (no causality) yang berarti bahwa konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi tidak berkorelasi atau kebijakan konservasi ataupun ekspansi dalam penyediaan energi listrik tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Mengingat hal tersebut di atas, tujuan dari studi ini adalah untuk menyelidiki kembali hubungan kausalitas

antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik di Indonesia dan mendiskusikan implikasi kebijakan yang ditimbulkan. Dengan demikian makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baru dalam literatur ekonomi energi di Indonesia terkait dengan masih terbatasnya penggunaan studi ekononometrika sebagai dasar formulasi kebijakan pembangunan bidang energi pada umumnya dan bidang ketenagalistrikan pada khususnya. Hal baru yang disajikan dalam studi ini adalah penggunaan data yang lebih terkini dengan periode yang lebih panjang dibandingkan dengan studi yang telah ada sebelumnya. Selain itu, menurut pengetahuan penulis, studi ini adalah yang pertama menggunakan metode Toda-Yamamoto untuk uji kausalitas antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik di Indonesia sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pembanding atas literatur yang telah ada sebelumnya.

Selanjutnya, makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 1 berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang dan tujuan. Bagian 2 mengulas secara ringkas mengenai literatur yang telah ada, sedangkan Bagian 3 menjelaskan mengenai variabel dan data yang digunakan serta menerangkan mengenai metode yang digunakan. Bagian 4 melaporkan hasil estimasi. Terakhir, Bagian 5 menyajikan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan.

2. Studi Literatur

Terdapat dua kelompok pendapat mengenai hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi. Kelompok pertama berpendapat bahwa energi hanya merupakan input antara dalam proses produksi. Diyakini bahwa meskipun sumber daya energi terbatas, ekonomi tetap dapat tumbuh karena pengaruh perkembangan teknologi dan penggunaan faktor-faktor produksi lainnya secara lebih efi sien termasuk diantaranya pemanfaatan energi terbarukan. Dengan kata lain kelompok ini mendukung neutrality hyphotesis atau conservation hyphotesis. Hipotesa tersebut berimplikasi bahwa keterbatasan ataupun hambatan atas suplai energi tidak akan menimbulkan dampak yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehingga pemerintah dapat secara simultan mengadopsi kebijakan konservasi energi dan pertumbuhan ekonomi.

11Edisi 03/Tahun XIX/2013

1. Pendahuluan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi

MAJALAH.indd Spread 11 of 44 - Pages(78, 11)MAJALAH.indd Spread 11 of 44 - Pages(78, 11) 31/12/2013 16:00:4831/12/2013 16:00:48

Kelompok kedua berpendapat bahwa konsumsi energi merupakan faktor yang membatasi pertumbuhan ekonomi. Perkembangan teknologi dan input produksi lainnya tidak dapat menggantikan peran penting dari energi dalam proses produksi. Lebih lanjut, energi adalah faktor utama dalam proses produksi karena faktor lainnya seperti tenaga kerja (labor) dan kapital (capital) tidak dapat bekerja tanpa adanya energi. Kelompok ini mendukung growth hypothesis yang berarti bahwa gangguan ataupun hambatan pada suplai energi dapat memberikan dampak yang negatif kepada pertumbuhan ekonomi.

Terkait hubungan kausalitas antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi, studi yang ada saat ini dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu studi multi negara (multi-country study) dan studi negara tunggal (single-country study). Studi multi-negara yang terkait dengan negara-negara di Asia tenggara diawali oleh Murry dan Nan (1996). Mereka menggunakan standar Granger method untuk menguji hubungan antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi yang diwakili oleh gross domestic product (GDP) di negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Dengan menguji data tahun 1970-1990 dihasilkan hubungan yang bervariasi. Khusus untuk Indonesia mereka menemukan bahwa konsumsi energi listrik mengikuti pertumbuhan ekonomi (electricity follows economic growth) dalam jangka pendek (short-run). Kesimpulan yang sama ditemukan oleh Yoo (2006) dengan menggunakan metode Hsiao’s version of Granger causality tests dengan data tahun 1971–2002 di empat negara anggota Association of South East Asian Nations (ASEAN) yaitu

Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura. Chen et al. (2007) menggunakan uji kausalitas Granger dan error correction model (ECM) menguji hubungan kausalitas di 10 negara Asia berdasarkan data tahun 1971-2001. Khusus Indonesia mereka menemukan uni-directional long-run causality dari konsumsi energi listrik ke GDP. Namun, mereka tidak menemukan bukti adanya short-run causality di Indonesia.

Untuk studi negara tunggal, Yoo dan Kim (2006) tidak hanya menyelidiki kausalitas konsumsi tenaga listrik dan pertumbuhan ekonomi tetapi juga kausalitas pembangkitan listrik dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Hsiao’s version of Granger causality tests untuk periode waktu 1971-2002. Hasilnya adalah peningkatan GDP menyebabkan peningkatan pembangkitan listrik, namun tidak sebaliknya (uni-directional) dan peningkatan GDP juga menyebabkan peningkatan konsumsi tenaga listrik. Sebagai tambahan, Chandran et al. (2010) menyelidiki kausalitas antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi di Malaysia menggunakan data time-series untuk periode waktu 1971-2003. Mereka menggunakan metode autoregressive distribute lag (ARDL). Mereka menyimpulkan adanya kausalitas satu arah dari konsumsi energi listrik ke pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek (short-run) di Malaysia. Dari berbagai studi tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil uji kausalitas berbeda-beda atau tidak konklusif (inconclusive). Perbedaan hasil studi tersebut diakibatkan oleh beberapa hal seperti karakteristik masing-masing negara, sample periods, dan metodologi riset, serta variabel yang digunakan (Binh, 2011).

12 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Kelompok kedua berpendapat bahwa konsumsi energi Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura. Chen et al. yang menjerumuskan, serta dalam jangka panjang akan mengganggu stabilitas perekonomian suatu negara. Mengingat, dampak negatif twin defi cit sangat membahayakan bagi stabilitas perekonomian Indonesia, baik jangka menengah maupun jangka panjang, maka diperlukan tindakan secara koordinatif dalam perumusan kebijakan moneter dan fi skal untuk mengantisipasi fenomena twin defi cit yang berkepanjangan.

Dalam rangka mengantisipasi dampak negatif defi sit kembar yang berkepanjangan terhadap stabilitas ekonomi, maka diperlukan langkah-langkah sinkronisai kebijakan moneter dan fi skal, melalui: (1) pemberlakuan kebijakan moneter ketat yaitu kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan; (2) pengurangan pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi, dan (3) pemberlakuan kebijakan yang dapat memperbaiki kemampuan pengelolaan sektor publik dan swasta, termasuk upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif, (4) menaikkan harga BBM, mengupayakan penghematan konsumsi BBM, mengurangi subsidi BBM, menghindari penyelundupan BBM, dan menekan impor BBM, (5) meningkatkan pendapatan pajak melalui penurunan tingkat kebocoran penarikan pajak serta memperluas tax base (jumlah pembayar pajak), (6) Mengupayakan peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk mensuplai kebutuhan kelas menengah yang sedang tumbuh pesat, dan (7). Pemerintah membantu swasta untuk negosiasi ulang pinjaman jangka pendek swasta menjadi pinjaman jangka menengah /panjang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan valas.

B. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan kesimpulan di atas, dalam rangka meminimalisir terjadinya defi sit kembar, serta mengurangi dampak defi sit kembar yang berkepanjangan, maka direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:

Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter yang

Besifat Jangka Pendek:

a. Dalam jangka pendek, dengan pendekatan kurva IS-LM, jalan keluar yang dapat ditempuh untuk

mengantisipasi dampak negatif dari twin defi sit adalah dengan menghidupkan kembali produksi dan pendapatan nasional melalui ekspansi fi skal yang didukung dengan kebijakan dari otoritas moneter dengan cara menciptkan kondisi keseimbangan sektor moneter yang lebih bersifat elastis (sehingga kurve LM semakin datar). Kebijakan penurunan pajak akan mengakibatkan peningkatan produksi yang lebih besar yang mendorong peningkatan pendapatan dan mengurangi defi sit fi skal dan defi sit perdagangan.

b. Perumusan kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, dengan cara pemerintah membantu swasta untuk negosiasi ulang pinjaman jangka pendek swasta menjadi pinjaman jangka menengah /panjang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan valas;

c. Kebijakan efi siensi fi skal dengan cara pengurangan pengeluaran pada kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi. PenghemataN fi skal ini dibarengi dengan kebijakan moneter yang bersifat pengetatan terhadap penggunaan valas.

d. Perumusan kebijakan kenaikan harga BBM, mengupayakan penghematan konsumsi BBM, mengurangi subsidi BBM, menghindari penyelundupan BBM, dan menekan impor BBM. Kebijakan pemerintah ini dibarengi dengan kebijakan dari otortas moneter yang bersifat penghematan dan pembatasan penggunaan Valas.

Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter yang

Besifat Jangka Menengah:

a. Kebijakan peningkatan kemampuan pengelolaan sektor publik dan swasta (termasuk sektor pariwisata yang diperkirakan cukup berpotensi dalam menghimpun devisa), kebijakan mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif,

b. Kebijakan peningkatan pendapatan pajak melalui penurunan tingkat kebocoran penarikan pajak serta memperluas tax base (jumlah pembayar pajak),

77Edisi 03/Tahun XIX/2013

yang menjerumuskan, serta dalam jangka panjang mengantisipasi dampak negatif dari twin defi sit

MAJALAH.indd Spread 12 of 44 - Pages(12, 77)MAJALAH.indd Spread 12 of 44 - Pages(12, 77) 31/12/2013 16:00:4931/12/2013 16:00:49

Gambar 10: Efektifi tas Kebijakan Moneter

Gambar 10 di atas, mengilustrasikan bahwa, misalnya pemerintah akan mengambil kebijakan moneter yang bersifat ekspansif yang ditandai dengan bergesernya kurva LM dari LM0 ke LM1 (misalnya pemerintah akan meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan cara: membeli surat berharga pemerintah atau menurunkan tingkat suku bunga bank sentral atau menurnkan ratio cadangan wajib) untuk meningkatkan output (pendapatan/pertumbuhan nasional), berdasarkan pendekatan kurve IS-LM, maka kebijakan moneter yang ekpansif tersebut akan TIDAK EFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan/posisi Keynesian, karena tidak ada perubahan pada Y (tetap di Y1); dan akan EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) bersifat intermadiate change, karena masih ada perubahan positif dari Y2 ke Y3; dan akan SANGAT EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan Klasik, karena perubahan pendapatan nasional paling optimal, dari Y4 ke Y5.

Dalam konteks twin defi sit, pemerintah juga dapat melakukan analisis melalui pendekatan IS-LM, untuk menentukan pilihan kebijakan mana (fi skal atau moneter) dan bagaimana kebijakaan tersebut dikoordinasikan agar dapat memberikan pareto optimal terhadap perekonomian secara makro. Misalnya, pemerintah akan mengurangi defi sit fi skal dengan cara meningkatkan pendapatan nasional dan menghidupkan kembali produksi. Misalnya, otoritas fi skal mengambil tindakan dengan cara menurunkan tingkat pajak (tax). Kebijakan penurunan pajak, akan menggeser kurve IS ke kanan. Kebijakan penurunan tax ini harus diresponse oleh otoritas moneter dengan cara menciptkan kondisi keseimbangan sektor moneter yang lebih bersifat elastis (sehingga kurve LM semakin

datar). Kebijakan penurunan pajak akan mengakibatkan peningkatan produksi yang lebih besar dalam kondisi keseimbangan permintaan uang yang bersifat elasitis, karena akan mendorong peningkatan pendapatan yang optimal sehingga mampu mengurangi defi sit fi skal dan defi sit perdagangan. Kalau otoritas moneter salah dalam meresponse kebijakan fi skal yang bersifat ekspasif tersebut, sehingga mengakibatkan kurve LM semakin in-elastis, maka akan memberikan trade-off terhadap dampak perekonomian secara makro.

III. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

A. Kesimpulan

Fenomena defi sit kembar yang terjadi pada tahun 2012 cenderung berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah terhadap USD. Data memperlihatkan bahwa pada tahun 2011 nilai rupiah masih memperlihatkan penguatan yang cukup baik pada level Rp. 8.776/1 USD. Namun, nilai rupiah kembali terdepresiasi ke level Rp. 9.384/1 USD pada tahun 2012 dan menyentuh level Rp. 9.694,9/USD pada Maret 2013. Defi sit neraca transaksi berjalan sejak tahun 2012 ditengarai telah berimbas pada menurunnya pasokan valas. Karena pemerintah tidak mampu mengimbangi permintaan valas maka nilai rupiah terus terdepresiasi hingga tahun 2013. Pada tahun 2012, neraca transaksi berjalan mengalami defi sit, sedangkan neraca arus modal mengalami surplus. Jadi sumber masalah utama pelemahan nilai tukar pada 2012 dan 2013 diperkirakan bersumber dari defi sit neraca transaksi berjalan. Penyebab utama terjadinya defi sit neraca transaksi berjalan pada tahun 2012, termasuk defi sit keseimbangan primer, diperkirakan karena (1) turunnya permintaan barang dan jasa oleh negara lain karena krisis dan jatuhnya harga komoditas primer andalan ekspor (sawit dan batu bara); (2) naiknya impor minyak karena lifting minyak (produksi minyak mentah siap jual yg ditergetkan pemerintah) anjlok dari 900.000 barrel menjadi 830.000 barrel per hari; (3) tingginya impor barang modal, termasuk pembelian pesawat komersial; serta (4) kurs rupiah tak lagi kompetitif mendorong ekspor dan menahan impor.

Apabila gejala twin defi sit ini tidak segera diantisipasi, maka akan berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD karena kurangnya pasokan valuta asing, dan dalam jangka menengah, bukannya tidak mungkin akan memunculkan kekawatiran dari para pengamat ekonomi, yaitu mendorong munculnya fenomena downward death spiral, lingkaran setan

76 Edisi 03/Tahun XIX/2013

datar). Kebijakan penurunan pajak akan mengakibatkan Tabel 1. Rekapitulasi hasil studi

No. Authors Countries Methodology Time Period Results

1. Murry and Nan (1996)

Philippines Standard Granger causality test

1970–1990 No causality

Indonesia 1970–1990 GDPàElectricity

Singapore 1970–1990 ElectricityàGDP

Malaysia 1970–1990 ElectricityßàGDP

2. Yoo (2006) Indonesia Hsiao’s version of Granger causality method

1971–2002 GDPàElectricity (LR)

No causality (SR)

Malaysia 1971–2002 ElectricityßàGDP (SR)

Singapore 1971–2002 ElectricityßàGDP (SR)

Thailand 1971–2002 GDPàElectricity (SR)

3. Chen, Kuo, and Chen (2007)

Indonesia Granger causality test dan ECM

1971–2001 ElectricityàGDP

Malaysia 1971–2001 GDPàElectricity (SR)

Thailand 1971–2001 No causality (LR)

Singapore 1971–2001 No causality (LR)

GDPàElectricity (SR)

Philippines 1971–2001 GDPàElectricity (SR)

4. Yoo, Kim (2006) Indonesia Hsiao’s version of Granger causality method

GDPàElectricity (SR)

5. Chandran, Sharma, Madhavan (2010)

Malaysia ARDL method 1971-2003 ElectricityàGDP (SR)

Catatan: GDPàElectricity berarti bahwa hubungan kausalitas terjadi dari konsumsi energi listrik ke pertumbuhan ekonomi; ElectricityàGDP berarti bahwa hubungan kausalitas terjadi dari pertumbuhan ekonomi ke konsumsi energi listrik; ElectricityßàGDP berarti terjadi hubungan kausalitas dua arah; LR = long-run; SR= short-run.

3. Data, Model, dan Metodologi

3.1. Data

Variabel yang digunakan dalam studi ini adalah real gross domestic product (GDP) sebagai representasi dari pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik (EC). Pemilihan kedua variabel tersebut konsisten dengan studi yang dilakukan oleh Chen et al. (2007). Data diperoleh dari World Development Indicators (WDI) yang disusun oleh Bank Dunia (the World Bank). Real GDP disajikan dalam satuan juta US$ untuk harga

konstan tahun 2005 sedangkan konsumsi energi listrik direpresentasikan dalam satuan juta kWh atau GWh. Data time-series yang digunakan adalah antara tahun 1971-2010. Kedua variabel tersebut selanjutnya diubah dalam bentuk logaritma natural (LnGDP dan LnEC) yang dimaksudkan untuk mengurangi problem heteroskedastisitas dalam estimasi. Selain itu, diff erenced logarithms merepresentasikan pertumbuhan (growth) dari variabel tersebut. Penjelasan mengenai kedua variabel yang digunakan disajikan dalam Tabel 2.

13Edisi 03/Tahun XIX/2013

Tabel 1. Rekapitulasi hasil studi

MAJALAH.indd Spread 13 of 44 - Pages(76, 13)MAJALAH.indd Spread 13 of 44 - Pages(76, 13) 31/12/2013 16:00:5031/12/2013 16:00:50

Tabel 2. Deskripsi variabel

No. Variabel Description

1. LnGDP Logaritma natural dari real GDP.

Real GDP dalam harga konstan 2005 dalam juta USD.

Diperoleh dari Bank Dunia (http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD).

2. LnEC Logaritma natural dari konsumsi energi listrik.

Konsumsi energi listrik dalam satuan juta kWh atau GWh.

Diperoleh dari Bank Dunia (http://data.worldbank.org/indicator/EG.USE.ELEC.KH).

Tabel 3 memperlihatkan bahwa kedua variabel memiliki tren dan intersep. Informasi ini akan digunakan dalam uji stationaritas (stationary test). Dari 40 observasi, rata-rata real GDP adalah 170 miliar USD sedangkan rata-rata konsumsi energi listrik adalah 48 ribu GWh. Kedua variabel memiliki positive skewnes yang menunjukkan bahwa kemungkinan kenaikan nilai lebih besar daripada penurunan.

Tabel 3. Deskripsi Statistik dan Grafi k

GDP EC

 Mean  169816.6  48049.27

 Median  156791.2  31166.50

 Maximum  377898.9  153832.0

 Minimum  40581.26  1692.000

 Std. Dev.  97623.17  46878.93

 Skewness  0.407254  0.757499

 Observations  40  40

EC: Konsumsi Energi ListrikGDP: Real GDP

0

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

300,000

350,000

400,000

1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010

Electriciy Power Consumption (in mill. kWh)Real GDP (in mill. US$)

3.2 Model dan Metodologi

Studi ini menggunakan vector autoregressive (VAR) model sebagai basis uji kausalitas Granger (Granger Causality Test). Struktur dari sebuah model VAR dengan p-lag(s) atau VAR(p) adalah bahwa setiap variabel direpresentasikan sebagai fungsi linear dari p lag(s) variabel tersebut dan p lag(s) variabel lainnya. Dengan demikian semua variabel menjadi variabel dependent dan independent. Model VAR (p) secara umum adalah sebagai berikut.

(1)

dimana, Xt adalah vektor dari variabel endogen dengan dimensi (n x 1). Xt-i adalah vektor dari lagged variabes. A0 = vektor dari variabel eksogen, termasuk konstanta (intersept) dan tren, Ai adalah koefi sien matriks berdimensi (n x n), dan εt adalah vektor dari white noise residual, sedangkan p adalah jumlah lag(s) yang dipilih.

Dalam uji kausalitas Granger (Granger-causality test), dinyatakan bahwa X2t menyebabkan (Granger-causes) X1t jika nilai lampau (past values) dari X2t membantu dalam memprediksikan X1t (Wooldridge, 2006). Dengan demikian, uji kausalitas Granger antara dua stationary variabel, pertumbuhan ekonomi (LnGDP) dan konsumsi energi listrik (LnEC), dapat dijelaskan dengan mengurai persamaan (1) sebagai berikut.

(2)

(3)

Persamaan (2) dan (3) memiliki empat kemungkinan hubungan sebab-akibat/kausalitas yaitu: (i) apabila

� � �

� � � � � � � � � �

14 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Tabel 2. Deskripsi variabel tax base (jumlah pembayar pajak), (6) Mengupayakan peningkatan kemampuan industri dalam negeri untuk mensuplai kebutuhan kelas menengah yang sedang tumbuh pesat, dan (7). membantu swasta untuk re-negosiasi pinjaman jangka pendek swasta menjadi pinjaman jangka menengah/panjang, sehingga dapat mengurangi kebutuhan valas.

D. Pendekatan Kurva IS-LM dalam Memprediksi

Efektifi tas Koordinasi dan Interaksi antara

Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter

Interaksi dan koordinasi antara kebijakan fi skal dan moneter dapat dianalisis dengan pendekatan kurve IS dan LM. Kurve IS menjelaskan bahwa keseimbangan pasar barang dan jasa terjadi ketika tingkat tabungan (saving/S), yang yang mewakili sisi penawaran barang dan jasa (agregat supply) sama dengan tingkat investasi (investment/I), yang mewakili sisi permintaan barang dan jasa (agregat demand). Kurve IS juga menyatakan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di di pasar barang dan jasa. Slope kurva IS bersifat negatif yang berarti semakin peningkatan tingkat suku bunga akan menurunkan output riil agregat dalam pasar banrang dan jasa. Sedangkan, kurve LM menjelaskan bahwa keseimbangan pasar uang-modal terjadi ketika permintaan uang (liquidity preference/L) sama dengan tingkat penawaran uang (money supply/L). Kurve LM juga menunjukkan hubungan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di pasar uang. Slope kurva LM bersifat positif yang berarti peningkatan suku bunga akan meningkatkan output riil agregat dalam pasar uang. Prinsip umum dari pendekatan IS-LM adalah bahwa keseimbangan umum ekonomi akan tercapai jika pasar barang-jasa dan pasar uang-modal secara simultan berada dalam kesimbangan.

Melalui pendekatan kurve IS-LM, menurut para ekonom, efektifi tas interaksi antara kebijakan moneter dan kebijakan fi skal, tergantung pada 3 situasi/keadaan, yaitu: (a) daerah Keynes, yang biasa disebut sebagai daerah liquidity trap, yaitu suatu kondisi pada kurve LM yang memiliki tingkat suku bunga yang sangat rendah sehingga tidak mungkin turun lagi; (b) daerah intermediate range, yaitu daerah yang menunjukkan kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga; dan (c) daerah klasik, yang memiliki kurve LM tegak lurus, karena menurut faham klasik, permintaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga. Secara grafi s dapat dijelaskan dapal gambar 9 sebagai berikut:

Gambar 9 di atas mengisyaratkan pentingnya koordinasi antara kebijakan fi skal dan kebijakan moneter. Dalam memprediksikan apakah suatu kebijakan fi skal (misalnya) akan efektif atau tidak untuk mempengaruhi suatu variabel makroekonomi, maka para penentu kebijakan perlu memperhatikan tindakan/kondisi/kebijakan (yang terjadi atau yang akan diambil) oleh para penentu kebijakan lain (moneter). Sebagai ilustrasi, misalnya pemerintah akan mengambil kebijakan fi skal yang bersifat ekspansif yang ditandai dengan bergesernya kurva IS dari IS0 ke IS1 (misalnya menaikkan G/pengeluaran pemerintah, atau penurunan T/pajak) untuk meningkatkan output (pendapatan/pertumbuhan nasional). Berdasarkan pendekatan kurve IS-LM, maka kebijakan fi skal yang ekspansif tersebut akan SANGAT EFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan/posisi Keynesian, karena perubahan Y0 ke Y1 paling optimal; dan akan EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) bersifat intermadiate change, karena masih ada perubahan positif dari Y0 ke Y1, dan akan TIDAK EFFEKTIF apabila kondisi keseimbangan moneter (kurve LM) dalam keadaan Klasik, karena tidak merubah pendapatan nasional (Y).

Begitu halnya dalam memprediksikan apakah langkah-langkah yang akan diambil oleh otoritas moneter akan efektif atau tidak dalam mempengaruhi berbagai kebijakan makroekonomi perlu juga mempertimbangkan parameter-parameter (slope) kondisi kesimbangan baik di sektor moneter (LM) itu sendiri maupun di sektor fi skal (IS). Gambar 10 berikut mengilustrasikan efektifi tas kebijakan moneter dalam mempengaruhi peningkatan output riil.

L

M

Y

I0

S0

I0

S0

I1

S1

I0

S0

I1

S1

I1

S1

R

Daerah Keynes

Daerah Klasik

Daerah Intermediate Range

Y0 Y0 Y0 ..Y1 Y1 Y1

Gambar 9: Efeketifitas Kebijakan Fiskal

75Edisi 03/Tahun XIX/2013

tax base (jumlah pembayar pajak), (6) Mengupayakan I1

MAJALAH.indd Spread 14 of 44 - Pages(14, 75)MAJALAH.indd Spread 14 of 44 - Pages(14, 75) 31/12/2013 16:00:5131/12/2013 16:00:51

valuta asing di pasar domestik. Di samping itu, jumlah cadangan devisa yang meningkat dan imbal hasil rupiah yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan peer countries telah memberikan sinyal positif kepada investor mengenai ketahanan perekonomian Indonesia terhadap guncangan di pasar internasional. Sampai dengan akhir tahun 2009, rata-rata nilai tukar rupiah berada pada Rp10.399 per dolar AS atau mengalami pelemahan sekitar 7,4 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sumber: Diolah dari data BPSGambar 8: Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

terhadap USD periode 2007 s.d. 2013

Proses transmisi pengaruh defi sit anggaran terhadap defi sit transaksi berjalan dapat dijelaskan dengan dua cara sebagai berikut: (a) Defi sit anggaran berarti tabungan nasional yang lebih rendah yang menyebabkan pembiayaan investasi pinjaman luar negeri menyebabkan defi sit transaksi berjalan yang lebih besar, dan (b) Defi sit anggaran menyebabkan apresiasi mata uang nasional yang mempengaruhi secara negatif ekspor dan menyebabkan defi sit perdagangan yang lebih besar16.

C. Tinjauan tentang Pengalaman Indonesia dalam

Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter.

Tidak mudah memang melakukan praktek koordinasi kebijakan yang melibatkan 3 lembaga, yaitu BI, Kementerian Keuangan dan Menko Perekonomian. Dalam prakteknya sering terjadi ketidaksinkronan dalam peuncuran berbagai paket kebijakan, baik di bidang moneter maupun fi skal. Pengalaman pada tahun 2007, dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 6/2007 tentang kebijakan percepatan pengembangan sektor riil dan

16Majed Bader, 2006, The Eff ect of the Twin Defi cits on the Foreign Debt In Jordan: an Econometrical Study, Jordan: Hashemite University, pp. 23-24.

pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, untuk pemulihan sektor riil dan pengembangan UKM. Namun, tidak ada respons yang visioner dari otoritas moneter atau BI atas Keppres itu. Bahkan langkah BI pada 2007, justru mengarahkan fokus perhatiannya ke potensi ekonomi daerah. Delapan arah kebijakan perbankan tahun 2007 tentang peningkatan peran intermediasi perbankan, malah mendorong bank umum fokus pada pengembangan potensi ekonomi daerah, dengan stimulus kredit perbankan. Muncul asumsi bahwa daerah menjadi target utama BI memaksimalkan penyaluran kredit perbankan, karena permintaan dan daya serap kredit di perkotaan sangat rendah. BI mungkin melihat sektor perkebunan dan pertanian di daerah lebih prospektif, karena harga komoditas perkebunan dan pertanian sedang bagus di pasar internasional. Namun, langkah itu tidak sinkron dengan target pemerintah yang ingin memulihkan sektor riil dan mengembangkan UKM di luar perkebunan dan pertanian.

Kasus lain terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/PMK.011/2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Produk-produk Tertentu, dengan tujuan meringankan biaya produksi agar produk akhirnya kompetitif. Namun, seminggu kemudian BI sudah keburu menaikkan BI Rate 0,25 basis poin, yang menyebabkan harga kredit modal kerja menjadi lebih mahal. Ketidaksinkronan antara kebijakan fi skal dan moneter ini perlu dihindari manakala pemerintah harus melakukan tindakan dalam mengantisipasi dampak negatif yang berkepanjangan dari munculnya defi sit kembar.

Koordinasi dan sinkronisasi kebijakan fi skal dan moneter guna mengantisipasi dampak bruuk dari twin defi sit dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: (1) menaikkan harga BBM, mengupayakan penghematan konsumsi BBM, mengurangi subsidi BBM, menghindari penyelundupan BBM, dan menekan impor BBM; (2) pemberlakuan kebijakan moneter ketat yaitu kebijakan moneter untuk mengurangi penurunan atau depresiasi nilai mata uang lokal yang berlebihan, dan (3) pemberlakuan kebijakan yang dapat memperbaiki kemampuan pengelolaan sektor publik dan swasta, termasuk upaya mengurangi intervensi pemerintah, monopoli dan kegiatan-kegiatan yang kurang produktif, (4), pengurangan pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan tidak produktif dan mengalihkannya pada pengeluaran untuk kegiatan yang diharapkan dapat mengurangi biaya sosial akibat krisis ekonomi, (5) meningkatkan pendapatan pajak melalui penurunan tingkat kebocoran penarikan pajak serta memperluas

74 Edisi 03/Tahun XIX/2013

valuta asing di pasar domestik. Di samping itu, jumlah pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah, untuk parameter α12 statistically jointly signifi cant maka dinyatakan konsumsi energi listrik Granger-causes GDP atau terjadi kausalitas satu arah (unidirectional causality) dari konsumsi energi listrik ke GDP; (ii) apabila parameter α21 statistically jointly signifi cant maka dinyatakan GDP Granger-causes konsumsi energi listrik atau terjadi kausalitas satu arah (unidirectional causality) dari GDP ke konsumsi energi listrik; (iii) apabila parameter α12 dan α21 statistically jointly signifi cant maka dinyatakan GDP Granger-causes konsumsi energi listrik dan sebaliknya atau terjadi kausalitas dua arah (bidirectional causality/feedback); dan (iv) apabila parameter α12 dan α21 statistically jointly insignifi cant maka dinyatakan GDP dan konsumsi energi listrik tidak memiliki hubungan kausalitas (no causality).

Uji kausalitas Granger dalam persamaan di atas mensyaratkan penggunaan stationary variables. Untuk mengetahui apakah suatu variabel stationer atau tidak dilakukan uji unit root (unit root test). Uji unit root ini digunakan untuk menentukan orde integrasi (order of integration). Variabel dengan orde integrasi d atau I(d) berarti variabel tersebut menjadi stationer setelah dilakukan diff erencing sebanyak d kali. Orde integrasi sangat penting karena standar uji kausalitas Granger dengan menggunakan level data menjadi tidak valid apabila sebagian atau semua variabel yang digunakan adalah non-stationary. Jika variabel yang digunakan tidak terkointegrasi (not cointegrated) maka uji kausalitas harus dilakukan dengan menggunakan diff erenced data. Lebih lanjut Engle and Granger (1987) menyatakan bahwa jika non-stationary variabel dimaksud terkointegrasi (cointegrated) maka tidak hanya terdapat hubungan kausalitas dalam jangka pendek namun juga dalam jangka panjang yang tidak terdeteksi oleh model dengan diff erenced data. Dalam kasus ini, maka estimasi dilakukan menggunakan vector error correction model (VECM). VECM dari persamaan (2) dan (3) dapat disajikan sebagai berikut.

(4)

(5)

dimana ECT adalah error correction term yang dihasilkan dari long-run relationship, π menunjukkan speed of adjustment atau deviasi dependent variabel dari long-

run equilibrium. Jika parameter π statistically signifi cant maka disimpulkan terdapat Granger-causality dalam jangka panjang. Sedangkan koefi sien γ1 dan γ2 menunjukkan short-run causality.

Konsep kointegrasi sendiri dapat diartikan sebagai pergerakan yang sama (keterkaitan) diantara dua atau lebih variabel-variabel ekonomi dalam jangka panjang (Yoo, 2006). Menurut Engle and Granger (1987), jika X dan Y adalah non-stationary, maka dapat diduga bahwa linear combination dari X dan Y adalah random walk. Namun apabila linear combination tersebut adalah stationary, maka dikatakan bahwa X dan Y terkointegrasi. Sebagai tambahan, kointegrasi hanya menunjukkan adanya hubungan kausalitas diantara variabel tetapi tidak mengindikasikan arah (direction) dari hubungan tersebut sehingga kointegrasi dapat digunakan sebagai cross-check atas hasil uji kausalitas1.

Uji kointegrasi menurut Engle-Granger dapat dilakukan dalam dua langkah yaitu melakukan regresi dari variabel yang dimaksud untuk mendapatkan residual dan menguji stationaritas dari residual yang dihasilkan. Non-stationary residual dalam uji kointegrasi Engle-Granger berarti variabel yang diuji not-cointegrated. Johansen and Juselius (1990) menentukan jumlah persamaan kointegrasi berdasarkan dua uji likelihood ratio yaitu berdasarkan trace statistics dan maximum eigenvalue. Untuk tes dengan dua variabel (bivariate), null hyphotesis-nya adalah bahwa jumlah vektor kointegrasi adalah nol diuji melawan alternative hypothesis bahwa jumlah vektor kointegrasi dalah paling besar satu.

Uji kausalitas Granger dalam studi ini dilakukan mengikuti metode Toda-Yamamoto (T-Y). Toda dan Yamamoto (1995) memodifi kasi standar uji kausalitas Granger sehingga dapat digunakan untuk non-stationary variables namun dengan menggunakan level data. Metode T-Y lebih unggul untuk uji kausalitas karena dapat digunakan untuk variabel yang memiliki integrasi order (order of integration) yang berbeda-beda. Langkah yang perlu dilakukan dalam metode T-Y adalah sebagai berikut.

(i) menentukan ode integrasi (order of integration) maksimum (m). Hal ini dilakukan melalui uji stationaritas (unit root test) misalnya dengan

1Dave Giles, http://davegiles.blogspot.com/2011/04/testing-for-granger-causality.html

� � � � � � � � � � � �

15Edisi 03/Tahun XIX/2013

parameter α12 statistically jointly signifi cant maka t run equilibrium. Jika parameter π statistically signifi cant

MAJALAH.indd Spread 15 of 44 - Pages(74, 15)MAJALAH.indd Spread 15 of 44 - Pages(74, 15) 31/12/2013 16:00:5331/12/2013 16:00:53

menggunakan tes augmented Dickey Fuller (ADF), Phillips-Perron (PP), atau Kwiatkowski-Phillips-Schmidt-Shin (KPSS).

(ii) jika variabel yang digunakan memiliki orde integrasi yang sama, lakukan uji kointegrasi dengan menggunakan pendekatan dua-langkah Granger (Granger two step approach) ataupun metodologi Johansen-Joselius. Uji kointegrasi dilakukan sebagai cross-check atas hasil uji kausalitas Granger yang dilakukan.

(iii) susun model VAR(p) dan cek agar tidak miss-specifi ed (tidak ada serial correlation). Kemudian menambahkan maksimum integrasi order (m

lags) dalam VAR model terpilih dan melakukan uji kausalitas Granger.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1.1. Hasil Uji Stationaritas (Unit Root Test)

Studi ini menggunakan beberapa metode untuk uji stationaritas yaitu tes ADF, PP, dan KPSS. Metode tersebut dipilih agar mendapatkan hasil yang teguh (robust). Tes ADF dan PP berdasarkan pada null hypothesis bahwa variabel memiliki unit root (tidak stationer), sebaliknya tes KPSS menguji null hypothesis stationary. Hasil uji stationaritas disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Stationaritas (Unit Root Tests)

Null Hypothesis: Variable has a unit root Null Hypothesis: Variable is stationary

Variabel

ADF Test PP Test KPSS Test

Level Δ Level Δ Level Δ

No trend With trend

No trend No trend

With trend

No trend No trend

With trend

No trend

LnGDP -2.191 -1.543 -4.323 -2.002 -1.658 -4.328 0.773* 0.174* 0.308

[0.213] [0.797] [0.002]* [0.285] [0.751] [0.002]* (0.463) (0.146) (0.463)

LnEC -2.571 -0.107 -4.529 -2.413 -0.069 -4.450 0.760* 0.197* 0.534

[0.108] [0.993] [0.001]* [0.145] [0.994] [0.001]* (0.463) (0.146) (0.739)1

Catatan: Δ adalah fi rst diff erence. Variabel dalam bentuk logaritma natural. Baris pertama adalah tes statistik dan baris kedua adalah probability value [ ] atau critical value ( ). * berarti null hypothesis (non stationary) di tolak pada level of signifi cance 5%. Lag length menggunakan kriteria Schwarz Info Criterion. 1 adalah critical value pada level 1%.

Dari tabulasi di atas dapat disimpulkan bahwa kedua dataset (GDP dan konsumsi energi listrik) memiliki unit root atau I(1). Hasil ini sejalan dengan unit root test yang dilakukan oleh Chen et al. (2007) dan Yoo (2006) yang hanya menggunakan ADF test dan PP test. Selanjutnya perlu dilakukan uji kointegrasi untuk mencari kemungkinan adanya long-run relationship antara GDP dan konsumsi energi listrik.

1.2. Uji Kointegrasi (Cointegration Test)

Hasil uji kointegrasi Engle-Granger disajikan dalam Tabel 5. Tes memasukkan intersep (konstan) dengan jumlah lag ditentukan secara otomatis menurut Schwarz criterion. Engle-Granger t-statistik dan z-statistik tidak dapat menolak (fail to reject) null hypothesis bahwa variabel tidak terkointegrasi (not cointegrated) dengan the signifi cance level (tingkat signifi kansi) 5 persen.

16 Edisi 03/Tahun XIX/2013

menggunakan tes augmented Dickey Fuller (ADF), lags) dalam VAR model terpilih dan melakukan uji dan diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun 2013 dengan perkiraan nilai defi sit kesimbangan primer sebesar 36,9 trilyun rupiah. Kondisi perkembangan APBN dan kondisi surplus/defi sit sejak tahun 2005 s.d. 2013 terlihat dalam Gambar 6. Sementara itu, gambaran tentang defi sit APBN terhadap PDB tahun 2005 s.d. 2013 tercermin dalam Gambar 7.

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas

Gambar 6: Perkembangan APBN dan Kondisi

Surplus/Defi sit 2005 s.d. 2013

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas

Gambar 7: Gambaran Defi sit APBN terhadap PDB

tahun 2005 s.d. 2013

4. Perkembangan Subsidi 2007-2013

Dalam rentang waktu 2007-2012, realisasi anggaran belanja untuk subsidi cukup berfl uktuasi, rata-rata mengalami peningkatan sebesar 10,3 persen per tahun, atau secara nominal mengalami pertumbuhan sebesar Rp. 94,9 triliun/tahun. Subsidi energi (BBM dan Listrik) merupakan alokasi anggaran yang cukup besar. Realisasi anggaran belanja subsidi BBM dan Listrik, dalam rentang waktu 2007–2012 secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp. 85,5 triliun atau tumbuh rata-rata 11,6 persen per tahun, yaitu dari Rp. 116,9 triliun (3,0 persen terhadap PDB) pada tahun 2007, dan diperkirakan mencapai Rp. 202,4 triliun (2,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2012.

Pertumbuhan subsidi yang cukup tinggi tersebut, antara lain disebabkan oleh: (1) perubahan parameter subsidi, antara lain harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price, ICP), nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, volume BBM bersubsidi, kuantum raskin, jumlah rumah tangga sasaran (RTS), volume pupuk dan benih bersubsidi; dan (2) berbagai kebijakan Pemerintah antara lain berupa kebijakan penetapan harga BBM dalam negeri dan tarif tenaga listrik serta kebijakan dalam rangka mendukung program surplus beras 10 juta ton pada tahun 2014.

Tingginya peningkatan belanja pemerintah untuk komponen subsidi (khususnya subsisi energi) sejak tahun 2007 s.d. 2012 inilah yang diperkirakan ikut andil terjadinya defi sit keseimbangan primer, yang pada tahun 2012 diperkirakan sebesar 72,3 trilyun rupiah, dan diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun 2013 dengan perkiraan nilai defi sit kesimbangan primer sebesar 36,9 trilyun rupiah. Perkembangan realisasi belanja subsidi tahun 2007-2012 disajikan dalam Tabel 1 berikut:

Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2013

5. Perkembangan Nilai Tukar rupiah terhadap USD

periode 2007-2013

Pada kuartal I tahun 2009, depresiasi nilai tukar rupiah masih terus berlanjut hingga menyentuh level terendah pada 6 Maret 2009 sebesar Rp12.065 per dolar AS sebagai imbas kekhawatiran terhadap meluasnya krisis keuangan global. Namun, secara bertahap mulai kuartal II tahun 2009, nilai tukar rupiah mengalami penguatan hingga mencapai nilai tertinggi pada 8 Juni 2009 sebesar Rp9.985 per dolar AS. Penguatan nilai tukar rupiah tersebut sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian yang semakin membaik serta keseimbangan permintaan dan penawaran

73Edisi 03/Tahun XIX/2013

dan diperkirakan masih akan berlanjut pada tahun Pertumbuhan subsidi yang cukup tinggi tersebut,

MAJALAH.indd Spread 16 of 44 - Pages(16, 73)MAJALAH.indd Spread 16 of 44 - Pages(16, 73) 31/12/2013 16:00:5431/12/2013 16:00:54

Secara total neraca perdagangan Indonesia pada tahun 2012 mengalami defi sit sebesar USD 1,7 milyar, memburuk dibandingkan dengan kinerja neraca perdagangan tahun 2011 yaitu surplus USD 26,1 milyar. Memburuknya kinerja neraca perdagangan tahun 2012 ini disebabkan oleh menurunnya kinerja neraca perdagangan migas dari surplus USD 0,8 milyar di tahun 2011 menjadi defi sit USD 5,6 milyar pada tahun 2012. Selain itu, menurunnya surplus neraca perdagangan non migas dari USD 25,3 milyar pada tahun 2011 menjadi USD 4 milyar pada tahun 2012 juga mendukung memburuknya neraca perdagangan Indonesia di tahun 2012. Memburuknya kinerja neraca perdagangan indonesia pada tahun 2012 inilah yang ditengarai sebagai penyebab utama timbulnya defi sit transaksi berjalan dan berujung pada munculnya fenomena defi sit kembar (twin defi sit) di Indonesia tahun 2012.

2. Data Empiris Perkembangan Neraca Transaksi

Berjalan Indonesia Periode 2000 s.d. 2012

Data yang diolah dari World Ecnomic Outlook memerlihatkan bahawa defi sit transaksi berjalan di Indonesia tahun 2012 mencapai USD 3,89 Milyar atau sebesar 0,42% dari PDB. Defi sit transaski berjalan ini merupakan merupakan hal yang pertama kali terjadi di Indonesia sejak tahun 2005. Penyebab utamanya defi sit transaski berjalan ini adalah adanya surplus neraca perdagangan yang terus menyusut sehingga tidak dapat mengimbangi defi sit neraca jasa dan neraca pendapatan yang semakin melebar. Tingginya impor BBM untuk memenuhi kebutuhan domestik yang terus meningkat juga ditengarai sebagai penyebab defi sit transaski berjalan. Berdasarkan data, selama Januari – Juli 2012 ini, realisasi konsumsi BBM telah mencapai sekitar 25,6 juta kilo liter atau sekitar 64% dari kuota volume BBM tahun 2012. Defi sit transaski berjalan juga telah menyebabkan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap USD yang cenderung melemah selama tahun 2012. Sejauh ini, Rupiah menunjukkan kinerja yang paling buruk jika dibandingkan dengan mata uang pada kawasan Asia Tenggara. Implikasi dari pelemahan Rupiah ini menyebabkan cadangan devisa tergerus dari sebesar USD111,99 milyar menjadi USD106,6 milyar pada Juli 2012 sebelum menjadi USD108,99 milyar pada Agustus 2012. Gambaran tentang perkembangan transaksi berjalan sejkat tahun 2000 s.d. 2012 terlihat dalam gambar 5 berikut.

Sumber: Diolah dari World Economic Outlook (http://world- economic- out look . f indthedata .org/ compare/2583-2584/Indonesia-vs-Indonesia#/)

Gambar: 5. Perkembangan Neraca Transaksi

Berjalan Indonesia Periode 2000 s.d. 2012

3. Perkembangan APBN (Trilyun RP) 2005-2013

Selama periode 2005–2012, realisasi APBN memperlihatkan defi sit yang cenderung meningkat. Pada periode 2005–2012, realisasi pendapatan negara dan hibah berada pada kisaran 15,1 hingga 19,8 persen terhadap PDB, realisasi belanja negara pada kisaran 16,2 sampai 19,9 persen, dan defi sit fi skal berada pada kisaran 0,9 persen sampai dengan 2,4 persen terhadap PDB. Terdapat setidaknya 3 (tiga) gejolak eksternal yang berpengaruh terhadap peningkatan defi sit APBN, yaitu: (1) Lonjakan drastis harga minyak mentah dunia hingga sempat menyentuh level psikologis USD 112,73 per barel pada tahun 2012. Pada tahun 2005, harga minyak masih berada pada posisi USD 53,66 per barel, dan terus melonjak hingga mencapai USD 111,555 per barel pada tahun 2011 dan USD 112,73 per barel pada tahun 2012; (2) lonjakan harga internasional beberapa produk dan bahan pangan, salah satunya kedelai, cabai, bawang, dan daging yang mengalami kenaikan dramatis hingga di atas 100%; dan (3) Perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan Eropha, terutama disebabkan efek multiplier (ganda) krisis kredit keuangan.

Sementara itu, Dari sisi penerimaan negara tercatat bahwa rata-rata pertumbuhan penerimaan negara selama kurun waktu 2006-2013 hanya tumbuh sebesar 14,3%/tahun; sedangkan, dari sisi belanja negara selama kurun waktu yang sama tumbuh sebesar 15,1 %. Tingginya peningkatan belanja pemerintah untuk komponen subsidi (khususnya subsisi energi) sejak tahun 2007 s.d. 2012 inilah yang diperkirakan ikut andil terjadinya defi sit keseimbangan primer, yang pada tahun 2012 diperkirakan sebesar 72,3 trilyun rupiah,

72 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Secara total neraca perdagangan Indonesia pada Tabel 5. Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger

Dependenttau-

statistic Prob.* z-statistic Prob.*LNEC -2.570647  0.2694 -16.93082  0.0612

LNGDP -2.584029  0.2642 -17.46085  0.0531*MacKinnon (1996) p-values.

Alternatif uji kointegrasi menurut Johansen cointegration approach juga dilakukan untuk memeriksa hubungan jangka panjang (long-run relationship) antara GDP dan konsumsi energi listrik. Tabel 6 menyajikan hasil uji kointegrasi dimaksud. Bukti yang mendukung kointegrasi tidak dapat ditemukan, dengan null hypothesis tidak ada kointegrasi ditolak pada tingkat signifi kansi 5 persen baik untuk maximum eigenvalue maupun trace statistics.

Tabel 6. Hasil Uji Kointegrasi Johansen

Hypothesized No. of

CE(s)Max eigenvalue Trace

None 10.863 13.983[0.161] [0.083]

At most 1

3.120

3.120[0.077]* [0.077]*

Catatan: Baris pertama adalah t-statistic, baris kedua adalah probability value. * berarti null hypothesis di tolak pada level of signifi cance 5%. Jumlah lag yang digunakan adalah dua.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa variabel LnGDP dan LnEC tidak terkointegrasi (not cointegrated). Hal ini berarti bahwa tidak terjadi kausalitas dalam jangka panjang antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik. Hasil ini konsisten dengan studi yang dilakukan oleh Yoo (2006). Langkah selanjutnya adalah uji kausalitas yang dilakukan dengan mengikuti metode Toda-Yamamoto.

1.3. Uji Kausalitas Granger (Granger Causality Test)

Langkah pertama dalam uji kausalitas Granger adalah menyusun model VAR yang stabil dan tidak miss-specifi ed. Di sini banyaknya lag (lag length) menjadi

sangat menentukan karena jumlah lag yang tepat dapat menghilangkan serial correlation. Beberapa kriteria yang umumnya digunakan untuk menentukan lag length adalah Akaike information criterion (AIC), Schwarz information criterion (SC), dan Hannan-Quinn information criterion (HQ). Tabel 7 menampilkan lag length berdasarkan kriteria-kriteria tersebut. Ketiga kriteria tersebut memilih satu lag (p=1). Dalam studi ini jumlah lag yang digunakan adalah dua (p=2) untuk lebih meminimalisir serial correlation. Berdasarkan uji stabilitas dan uji serial correlation dengan LM-test, VAR (2) terbukti memenuhi syarat kestabilan dan juga bebas dari problem serial correlation. Dengan demikian model VAR (2) dapat digunakan untuk tes kausalitas dalam studi ini.

Tabel 7. Seleksi Kriteria VAR Lag Order

 Lag LogL LR FPE AIC SC HQ

0 -13.12852 NA   0.007766  0.817758  0.904835  0.848456

1  118.1118   241.1985*   8.01e-06*  -6.060100*  -5.798870*  -5.968004*

2  120.8143  4.674566  8.61e-06 -5.989964 -5.554581 -5.836471

3  123.2121  3.888309  9.45e-06 -5.903358 -5.293821 -5.688468

 Catatan: * indicates lag order selected by the criterion. LR: sequential modifi ed LR test statistic (each

test at 5% level). FPE: Final prediction error

Tabel 8 menyajikan hasil uji kausalitas Granger berdasarkan T-Y prosedur. Null hypothesis bahwa GDP tidak mempengaruhi konsumsi energi listrik dan sebaliknya ditolak pada tingkat signifi kansi 5 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan kausalitas antara kedua variabel. Hal ini menunjukkan bahwa growth hypothesis ditolak untuk kasus Indonesia. Sebaliknya neutrality hypothesis dapat diterima sehingga kebijakan konservasi pemanfaatan energi listrik dapat dilaksanakan tanpa memberikan akibat yang buruk terhadap pertumbuhan ekonomi.

Tabel 8. Uji Kausalitas Granger

Dependent variable: LnEC

Excluded Chi-sq df Prob. Kesimpulan

LNGDP 0.758894 1 0.3837GDP does not Granger-cause

konsumsi energi listrik

Dependent variable: LnGDP

Excluded Chi-sq df Prob. Kesimpulan

LNEC 0.001477 1 0.9693Konsumsi energi listrik does not

Granger-cause GDP

17Edisi 03/Tahun XIX/2013

Tabel 5. Hasil Uji Kointegrasi Engle-Granger sangat menentukan karena jumlah lag yang tepat

MAJALAH.indd Spread 17 of 44 - Pages(72, 17)MAJALAH.indd Spread 17 of 44 - Pages(72, 17) 31/12/2013 16:00:5531/12/2013 16:00:55

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Tujuan dari makalah ini adalah menguji kembali hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi listrik di Indonesia. Makalah ini menggunakan metode-metode yang umumnya digunakan untuk mengkaji hal dimaksud. Uji stationaritas dengan menggunakan ADF test menemukan bahwa kedua variabel tersebut memiliki unit root atau integrated order 1 (I(1)). Selanjutnya Engle-Granger cointegration method digunakan untuk menguji hubungan kausalitas jangka panjang (long run relationship). Hasilnya adalah tidak terjadi kointegrasi antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan dalam jangka panjang antara kedua variabel yang dikaji. Yoo (2006) menyatakan bahwa ketiadaan kointegrasi merupakan akibat dari lemahnya kaitan antara konsumsi energi listrik dan pertumbuhan ekonomi dan juga kenyataan bahwa konsumsi listrik tidak bergantung (independen) pada pertumbuhan ekonomi.

Metode Toda-Yamamoto digunakan untuk menguji hubungan kausalitas diantara variabel pertumbuhan ekonomi dan konsumsi energi listrik. Uji kausalitas menunjukkan kedua variabel tidak memiliki hubungan kausalitas. Implikasi kebijakan dari tidak adanya kausalitas tersebut adalah bahwa pertumbuhan ekonomi tidak memberikan pengaruh ataupun dampak negatif terhadap konsumsi energi listrik dan juga sebaliknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk effi siensi penggunaan energi listrik ataupun pengurangan konsumsi energi listrik melalui demand side management dapat dilakukan di Indonesia.

Temuan di atas dapat dipahami melihat kenyataan bahwa konsumsi energi listrik di Indonesia dalam jumlah yang signifi kan digunakan hanya untuk pemenuhan kebutuhan dasar (penerangan dan hiburan). Berdasarkan data statistik tahun 20112 penjualan energi listrik untuk rumah tangga, sosial dan penerangan jalan sebesar 72.174 GWh dari total penjualan 157.993 GWh atau mencapai sekitar 46 persen. Selain itu, belum semua penduduk Indonesia memiliki kesempatan untuk mendapatkan layanan energi yang memadai. Sebagai ilustrasi, rasio elektrifi kasi Indonesia tahun 2011 baru mencapai sekitar 73 persen atau dengan kata lain 41 juta penduduk belum dapat menikmati listrik.

2 2012 Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia, Kementerian ESDM.

Dengan demikian dapat dimaklumi apabila sampai saat ini konsumsi energi listrik tidak berdampak secara signifi kan terhadap GDP mengingat masih terbatasnya pemanfaatan dan tingkat layanan energi.

Penjelasan lainnya sebagai ditemukan oleh Yoo (2006) dan Shiu dan Lam (2004) adalah problema inefi siensi ataupun pemakaian energi listrik yang boros. Lebih lanjut, Chen et al. (2007) menyatakan intensitas3 energi listrik (electricity intensity) yang tinggi menunjukkan pemakaian energi listrik yang tidak efi sien yang berarti adanya potensi untuk peningkatan efi siensi. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa intensitas energi listrik di Indonesia yang mencapai 0.85 relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia (0.75) dan Thailand (0.78). Kondisi ini mendukung kebijakan konservasi energi listrik yang bertujuan untuk meningkatkan efi siensi dan nilai tambai dari pemanfaatan energi listrik yang sekaligus mengurangi konsumsi energi listrik dengan tanpa berdampak buruk baik pada pengguna maupun pada pertumbuhan ekonomi.

Studi ini memiliki keterbatasan yang memerlukan perhatian yaitu kemungkinan adanya structural change/break. Keberadaan structural break tersebut dapat mempengaruhi hasil uji unit root maupun uji kointegrasi. Uji unit root akan condong pada tidak dapat ditolaknya unit root hypothesis apabila data yang diuji sebenarnya adalah stationer dengan structural break. Standar uji Granger cointegration dan Johansen cointegration memiliki keterbatasan apabila digunakan pada variabel dengan structural break. Hasil uji akan cenderung menolak cointegration hypothesis. Hal tersebut didasari bahwa residuals hasil dari cointegration regressions tidak memperhitungkan adanya break. Keterbatasan lainnya adalah masih minimnya dataset. Diharapkan di masa depan studi ini dapat disempurnakan dengan memperhitungkan adanya structural break dengan rentang sampel penelitian yang lebih panjang. Tak kalah pentingnya adalah studi lebih lanjut dengan memperhitungkan pemanfaatan energi lainnya seperti bahan bakar minyak, gas, dan batubara sehingga kita dapat mengetahui dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Sekaligus kita dapat menemukenali implikasi kebijakan untuk masing-masing sektor terkait. Hal lainnya adalah memperluas analisa dari yang berbasiskan bivariate model ke multi-variate model dimana beberapa variabel lainnya seperti harga, urbanisasi, eksport, dan sebagainya di tambahkan ke dalam estimasi.

3Didefi nisikan sebagai jumlah konsumsi energi listrik per GDP.

18 Edisi 03/Tahun XIX/2013

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Dengan demikian dapat dimaklumi apabila sampai Y = C + S + T ............ (2)

dimana:

Y= Pendapatan Nasional, C = Konsumsi, S = Tabungan Swasta Domestik, T= Pajak.

Jika persamaan (1) dan (2) disusun kembali maka: C+I+G+(X – M) = C+S+T, sehingga X-M= C+S+T-C-I-G, jika disederhanakan hasilnya: X-M= S+T-I-G atau X-M= (S-I) + (T-G).... .....(3). Persamaan (3) ini disebut sebagai hubungan twin defi cit, yang menyatakan bahwa defi sit yang terjadi pada current account ( X < M) akan diikuti oleh budget defi cit pemerintah (T < G). Menurut Hossain dan Chowdurry, twin defi cit ini hanya berlaku apabila gap antara investasi sektor swasta dan tabungan (S - I) diasumsikan tetap.14

B. Analisis Praktis Twin Defi sit

Isu yang lebih penting adalah apa yang mesti pemerintah harus lakukan ketika defi sit anggaran pemerintah dan defi sit transaksi berjalan muncul secara bersamaan serentak. Fenomena ini disebut sebagai defi sit kembar, yang muncul pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 1980-an. Akibatnya, hal ini membuat keyakinan baru di kalangan ekonom bahwa defi sit anggaran pemerintah menyebabkan defi sit transaksi berjalan. Dengan kata lain, pemerintah dapat mengurangi defi sit eksternal (current account) dengan mengendalikan yang domestik (anggaran pemerintah). Dengan demikian, neraca transaksi berjalan distabilkan dengan mengurangi pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak atau dengan mengendalikan defi sit anggaran pemerintah.mengenai defi sit kembar, khususnya tentang dampak defi sit kembar dan analisis hubungan antara defi sit fi skal dan defi sit current account, akhir-akhir ini menjadi bahan telaahan yang menarik untuk dianalisis oleh para peneliti dibidang ekonomi.

1. Data Empiris Perkembangan Ekspor, Impor dan

Defi sit/Surplus Neraca Perdagangan Indonesia

(Milyar USD)

Neraca perdagangan Indonesia sejak tahun 2000 s.d. tahun 2011 memperlihatkan adanya surplus perdagangan dengan rata-rata setiap tahun sebesar USD 26,367 Milyar. Namun, sejak tahun 2012, neraca perdagangan internasional Indonesia mengalami

14Hossain, A dan A. Chowdurry, 1998. Open Economy Macroeconomics Macroeconomics for Developing Countries. Edwar Elgar Publishing Limited. Cheltenham, UK

defi sit sebsar USD 1,7 milyar, dan hingga pada Januari s.d. Mei 2013 masih menunjukkan adanya defi sit neraca perdangan Indonesia sebesar USD 2,5 milyar15. Total ekspor Indonesia periode Januari-Mei 2013 sebesar USD 76,3 Milyar didominasi oleh ekspor non migas sebesar USD 62,8 Milyar (83,33%), dan sisanya sebesar USD 13,5 Milyar (17,67%) berasar dari ekspor migas. Sementara itu, total impor periode Januari s.d. Mei 2013 sebesar USD 78,8 Milyar didominasi oleh impor non migas sebesar USD 60,2 Milyar (76,42%), dan sisanya sebesar USD 18,6 Milyar (23,58%) merupakan impor migas. Impor jenis mesin dan peralatan mekanik, dan jenis mesin dan peralatan listrik masih mendominasi nilai impor pada tahun 2013 dengan kontribusi masing-masing sebesar 18,64% dan 12,9% dari total impor Januari-Mei 2013. Perkembangan neraca perdagangan Indonesia Periode 2000 s.d. Mei 2013 terlihat pada Gambar 3 berikut:

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemnekeu, dan Bappenas

Gambar 3: Perkembangan Neraca Perdagangan

Indonesia Periode 2000 s.d. Mei 2013

Sementara itu, kalau kita perhatikan pada sisi impor, terlihat bahwa impor Migas sejak tahun 2009 hingga 2012 memperlihatkan trend yang cenderung meningkat. Perkembangan Impor Migas dan Non Migas (USD) 2006 s.d. Jan-Mei 2013 terlihat pada Gambar 4 berikut:

Sumber: Diolah berdasarkan data BPS, BI, Kemenkeu, dan Bappenas

Gambar 4: Impor Migas dan Non Migas (Juta USD)

2006 s.d. Jan-Mei 2013

15Biro Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik: Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia. Availabel at: http://www.bps.go.id/aboutus.php?news=1&nl=1.

71Edisi 03/Tahun XIX/2013

Y = C + S + T ............ (2) defi sit sebsar USD 1,7 milyar, dan hingga pada Januari

MAJALAH.indd Spread 18 of 44 - Pages(18, 71)MAJALAH.indd Spread 18 of 44 - Pages(18, 71) 31/12/2013 16:00:5631/12/2013 16:00:56

A. Analisis Teoretis Fenomena Twin Defi sit

1. Konsep Pendapatan Nasional

Mankiw, dalam Marrisa Mahalayati (2011), menjelaskan bahwa berdasarkan model pengeluaran total Keynessian (Keynessian Total Expenditure Model) faktor-faktor yang merupakan komponen pendapatan nasional adalah : 1) Konsumsi, 2) Investasi, 3) Belanja Pemerintah (Government Purchase), dan 4) ekspor bersih11. Keempat faktor tersebut mempengaruhi permintaan agregat (aggregate demand) dan memiliki dampak untuk tingkat harga dan tingkat pendapatan nasional.

2. Konsep Neraca Transaksi Berjalan (Current

Account)

Current account atau neraca transaksi berjalan merupakan bagian dari neraca pembayaran internasional yang mencakup arus pembayaran jangka pendek (mencatat transaksi ekspor-impor barang dan jasa). Ekspor barang-barang dan jasa yang diperlakukan sebagai kredit, impor barang-barang dan jasa diperlakukan sebagai debit. Net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai jasa karena mencerminkan pembayaran untuk penggunaan modal. Net transfer (transfer unilateral), yang meliputi bantuan luar negeri, pemberian-pemberian dan pembayaran lain antar pemerintah dan antar pihak swasta. Komposisi transaksi berjalan mencakup neraca perdagangan dan neraca barang dan jasa. Transaksi berjalan umumnya digunakan untuk menilai neraca perdagangan. Secara sederhana, neraca Perdagangan merupakan selisih/perbedaan antara ekspor dan impor. Jika ekpsor lebih rendah dari impor, maka yang terjadi adalah defi sit neraca perdagangan. Sebaliknya, jika impor lebih rendah dari ekspor, yang terjadi adalah surplus. Sedangkan neraca jasa adalah neraca perdagangan ditambah jumlah pembayaran bunga kepada para investor luar negeri dan penerimaan dividen dari investasi di luar negeri, serta penerimaan dan pengeluaran yang berhubungan dengan pariwisata dan transaksi ekonomi lainnya.

Konsep Anggaran Pemerintah (Government Budget)

Anggaran pemerintah (Government Budget) yang biasa disebut sebagai Anggaran Pendapatan dan belanja Negara (APBP) adalah selisih antara penerimaan pemerintah yang berasal dari pajak dengan pengeluaran

11Malahayati, Marrisa, 2011, Fenomena Twin Defi cit pada Negara-Negara Asean, Bogor: FEM-IPB, pp. 6-13.

pemerintah. Pemerintah mengalami surplus anggaran (budget surplus) apabila penerimaan pemerintah lebih besar dibandingkan pengeluarannya, sebaliknya pemerintah mengalami defi sit anggaran (budget defi cit) jika pengeluaran pemerintah lebih besar dibandingkan penerimaannya.

Fischer dan Easterly (1990) mengatakan bahwa defi sit anggaran pemerintah (budget defi cit) dapat dibiayai melalui empat sumber, antara lain: 1) Mengambil cadangan mata uang asing , 2) Melalui pinjaman domestik dengan cara menjual surat berharga kepada masyarakat, 2) Melalui pinjaman luar negeri, 3) Melakukan pencetakan uang, atau perpaduan antara ketiga sumber tersebut.12 Seluruh sumber permbiayaan defi sit anggaran pemerintah tersebut memiliki risiko masing-masing. Pembiayaan defi sit anggaran pemerintah dengan pinjaman domestik mengakibatkan suku bunga riil domestik meningkat sehingga investasi domestik akan turun. Sedangkan, sumber pembiayaan defi sit dengan menggunakan cadangan mata uang asing atau melalui sumber pinjaman luar negeri dapat menyebabkan kurs domestik menguat (terapresiasi) sehingga daya saing produk domestik menurun dan dapat berakibat turunnya ekspor. Fenomena ini menyebabkan menurunnya net expor sehingga berdampak pada penurunan cadangan mata uang asing di dalam negeri dan pelunasan hutang yang tidak berkesinambungan (unsustainable external indebtedness).

3. Hubungan antara current account defi ct dengan

Government bugdet defi cit

Aqeel dan Nishat (2000) menyatakan bahwa hubungan antara current account dan budget defi cit dapat diturunkan dari persamaan pendapatan nasional. Persamaan pendapatan nasional dapat dituliskan sebagai berikut13:

Y = C + I + G+ (X – M) .............(1)

dimana:

Y = Pendapatan Nasional, C = Konsumsi, I = Investasi Swasta, G = Pengeluaran Pemerintah, X = Ekpor, M = Impor, Selain itu, persamaan lain yang merumuskan pendapatan nasional adalah:

12Stanley Fischer and William Easterly, The Eeconomics of the Government Budget Constraint, The Worlbank Reserach Observer, Vol 2 No., 5, Juli 1990.

13Anjum Aqeel and Mohammed Nishat, The Twin Defi cits Phenomenon: Evidence from Pakistan, The Pakistan Development Review 39 : 4 Part II (Winter 2000) p. 2

70 Edisi 03/Tahun XIX/2013

A. Analisis Teoretis Fenomena Twin Defi sit pemerintah. Pemerintah mengalami surplus anggaran LAMPIRAN

1. LM Test VAR Residual Serial Correlation LM Tests Null Hypothesis: no serial correlation at lag order h Date: 07/24/13 Time: 13:05 Sample: 1971 2010 Included observations: 38

Lags LM-Stat Prob

1 1.830625 0.7669 2 4.559803 0.3355 3 4.185753 0.3815 4 1.393427 0.8453 5 1.000063 0.9098 6 3.933901 0.4150 7 1.343636 0.8539 8 2.007598 0.7344 9 4.131076 0.3886

10 1.136295 0.8885 11 0.600294 0.9630 12 0.750046 0.9450

Probs from chi-square with 4 df. 2. Uji Kestabilan

-1.5

-1.0

-0.5

0.0

0.5

1.0

1.5

-1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5

Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial

19Edisi 03/Tahun XIX/2013

LAMPIRAN

MAJALAH.indd Spread 19 of 44 - Pages(70, 19)MAJALAH.indd Spread 19 of 44 - Pages(70, 19) 31/12/2013 16:00:5831/12/2013 16:00:58

DAFTAR PUSTAKA

Binh, P. T. (Vol. 1, No.1, 2011). Energy Consumption and Economic Growth in Vietnam: Threshold Cointegration and Causality Analysis. International Journal of Energy Economic and Policy, 1-117.

Chen, S.-T., Kuo, H.-I., & Chen, C.-C. (2007). The relationship between GDP and electricity consumption in 10 Asian countries. Energy Policy, 2611–2621.

Dickey, D. A., & Fuller, W. (Juli 1981). Likelihood Ratio Statistics for Autoregressive Time Series with a Unit Root. Econometrica, Vol 49, No. 4, 1057-1072.

Engle, R., & Granger, C. (Mar.,1987). Cointegration and error correction: representation, estimation and testing. Econometrica, Vol. 55, No. 5, 251-276.

Giles, D. (n.d.). Testing for Granger Causality . Retrieved July 2013, from Econometrics Beat: Dave Giles’ Blog: http://davegiles.blogspot.com/2011/04/testing-for-granger-causality.html

Johansen, S., & Juselius, K. (1990). Maximum likelihood estimation and inference on cointegration with applications to the demand for money. Oxford Bulletin of Economics and Statistics 52, 169-210.

Murry, D. A., & Nan, G. D. (Spring 1994, v. 19, iss. 2). A Defi nition of the Gross Domestic Product-Electrifi cation Interrelationship. Journal of Energy and Development, , 275-83.

Phillips, P., & Perron, P. (1988). Testing for a unit root in time series regression. Biometrika 75, 335–346.

Shiu, A., & Lam, P.-L. (2004 32(1)). Electricity consumption and economic growth in China. Energy Policy, 47-54.

The World Bank. (n.d.). Indicators | Data. Retrieved July 2013, from The World Development Indicators (WDI): http://data.worldbank.org/indicator/all

Toda, H., & Yamamoto, T. (1995). Statistical inferences in vector autoregressions with possibly integrated processes. Journal of Econometrics, 66, 225-250.

Wooldridge, J. M. (2006). Introductory Econometric: A Modern Approach Fourth Edition. Mason, OH: South-Western Cengage Learning.

Yoo, S.-H. (2006 34(18)). The causal relationship between electricity consumption and economic growth in the ASEAN countries. Energy Policy , 3573-3582.

Yoo, S.-H., & Kim, Y. (2006 31(14)). Electricity generation and economic growth in Indonesia. Energy , 2890-2899.

20 Edisi 03/Tahun XIX/2013

DAFTAR PUSTAKA Murry, D. A., & Nan, G. D. (Spring 1994, v. 19, iss. 2). A menjerumuskan. Semakin lama dibiarkan, semakin sulit untuk mengatasinya. Hal ini dapat terjadi apabila defi sit kembar tidak segera diantisipasi oleh pemerintah Indonesia, seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat, dimana defi sit perdagangan dan defi sit fi skal ditutup dengan hutang. Dalam jangka menengah, hutang, yang kebanyakan berasal dari hutang luar negeri ini akan menumpuk, sehingga akan semakin banyak sumber dana dikeluarkan untuk membayar bunga, serta perekonomian Indonesia akan semakin rentan terhadap guncangan ekonomi global. Mengingat, dampak negatif twin defi cit sangat membahayakan bagi stabilitas perekonomian Indonesia, baik jangka menengah maupun jangka panjang, maka diperlukan tindakan secara koordinatif dalam perumusan kebijakan moneter dan fi skal untuk mengantisipasi fenomena twin defi cit yang berkepanjangan.

Policy paper ini menganalisis secara diskriptif mengenai fenomena terjadinya twin defi sit di Indonesia dan analisis perumusan alternatif kebijakan sinkronisasi/koordinasi kebijakan antara kebijakan moneter dan fi skal dalam mengantisipasi dampak twin defi cit yang berkepanjangan.

B. Perumusan masalah

Sesuai dengan latar belakang di atas, maka permasalahan fenomena twin defi cit dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses terjadinya twin defi cit, baik secara teoretis maupun secara praktis?

2. Bagaimanakah alternatif kebijakan sinkronisasi antara sektor moneter dan fi skal yang dianggap sesuai untuk mengantisipasi munculnya defi sit kembar?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan policy paper ini adalah untuk:

1. Melakukan analisis diskriptif mengenai fenomena terjadinya twin defi cit di Indonesia (baik secara teoretis maupun secara praktis);

2. Melakukan analisis perumusan alternatif kebijakan sinkronisasi/koordinasi antara kebijakan moneter dan fi skal dalam mengantisipasi fenomena twin defi cit yang berkepanjangan

D. Metodologi

Analisis yang digunakan dalam menjawab permasalahan yang diajukan dalam policy paper ini adalah dengan menggunakan metode inferential dekriptive analysis, yaitu dengan cara menyajikan fakta-fakta berupa data dan informasi terkait fenomena defi sit kembar, kemudian melakukan analisis deskriptif berdasarkan landasan teoretis, data dan informasi yang ada untuk kemudian diambil berbagai kesimpulan dalam rangka policy reccomendation. Hasil analisis deskriptif dan rumusan rekomendasi kebijakan dikonsultasikan bersama pakar (pembimbing) dan didiskusikan dalam forum pertemuan policy paper.

II. ANALISIS TEORETIS DAN PRAKTIS FENOMENA

TWIN DEFISIT

Permasalahan defi sit, baik defi sit fi skal maupun defi sit transaksi berjalan (current account defi cit), seringkali dialami oleh pemerintah suatu negara, baik di negara maju maupun negara yang sedang berkembang. Gejala defi sit fi skal biasaya terjadi saat pemerintah meningkatkan pelayanan publik kepada rakyatnya atau untuk meningkatkan pembangunan perekonomian sehingga pemerintah dapat bertindak dengan cara meningkatkan pengeluaran pemerintah (government expenditure) atau` menurunkan tingkat pajak (taxes). Fleegleler (2006) menjelaskan bahwa defi sit perdagangan (current account defi cit) terjadi apabila penerimaan pemerintah dari ekspor lebih kecil dibandingkan pengeluaran pemerintah untuk impor, hal ini seringkali terjadi apabila produk domestik kurang memiliki daya saing dibandingkan produk lain di pasar internasional atau karena kurs domestik yang terapresiasi sehingga menurunkan daya saing produk domestik di pasar internasional10.

10Fleegler, Ethan. 2006. The Twin Defi cits Revisited: A Cross-Country, Empirical Approach. Durham: Duke University.

69Edisi 03/Tahun XIX/2013

menjerumuskan. Semakin lama dibiarkan, semakin 2. Melakukan analisis perumusan alternatif kebijakan

MAJALAH.indd Spread 20 of 44 - Pages(20, 69)MAJALAH.indd Spread 20 of 44 - Pages(20, 69) 31/12/2013 16:00:5931/12/2013 16:00:59

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis keuangan global yang mendera zona Euro dan Amerika Serikat sejak pertengahan tahun 2008 telah berdampak pada penurunan yang tajam pada pertumbuhan ekonomi dunia dan bahkan hampir semua negara mengalami kontraksi ekonomi. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia sebelum krisis (2007) sebesar 5,4% menjadi 2,8% pada tahun 2008, dan bahkan pada tahun 2009 mengalami kontraksi sebesar -0,6%1. Ketidakpastian kondisi ekonomi global pasca krisis Eropha dan Amerika yang dibarengi dengan meningkatnya eskalasi kawasan Timur Tengah, Jepang-China, Korea Utara-Korea Selatan, telah berimbas kepada penurunan pemintaan barang dan jasa global yang signifi kan termasuk permintaan barang dan jasa ke Indonesia. Namun demikian, dalam kondisi ekonomi dunia yang masih dibayang-bayangi oleh krisis keuangan global ini, ekonomi Indonesia pada tahun 2012 masih mampu tumbuh sebesar 6,23% menduduki posisi kedua tertinggi dunia setelah China yang tumbuh sebesar 8,7%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup tinggi ditengah kelesuan ekonomi global ini, nampaknya membawa mimpi buruk bagi kondisi makroekonomi, karena untuk pertama kalinya sejak tahun 1961, Indonesia mengalami defi sit kembar (twin defi cit)2.

Twin defi sit merupakan fenomena dimana defi sit anggaran pemerintah (APBN) terjadi bersamaan dengan defi sit transaksi berjalan (current account)3. Tahun 2012 defi sit APBN Indonesia sebesar Rp. 190,1 trilyun atau 2,23% dari PDB, dianggap aman karena masih di bawah angka toleransi defi sit sebesar 3%4. Permasalahan utamanya adalah bahwa defi sit fi skal tahun 2012 ini diantaranya berasal dari defi sit keseimbangan primer sebesar Rp 72,3 triliun, dan pertama kali terjadi sejak tahun 1990-an. Keseimbangan primer merupakan total penerimaan negara dikurangi belanja, tetapi tidak memasukkan pembayaran bunga. Disamping defi sit fi skal, pada tahun 2012 Indonesia juga mengalami

1Republik Indonesia, (2013). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, pp. 2-3

2A. Tony Priantono, Defi sit Kembar, Kompas 18 Februari 2013 available at: http://psekp.ugm.ac.id /artikel/id/13.

3John Bluedron and Daniel Leigh, Revisiting the Twin Defi cit Hypothesis: The Eff ect of Fiscal Consolidation on the current Account, pp. 1.

4Republik Indonesia, (2013). Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013, pp. 1-9

defi sit neraca perdagangan sebesar US$ 1,7 milliar yang juga merupakan pengalaman pertama sejak 2009 yang surplus US$ 19,6 miliar, pada tahun 2010 surplus sebesar US$ 22,1 miliar dan pada 2011 surplus US$ 26 milliar5. Defi sit neraca perdagangan ini terjadi karena kombinasi faktor domestik (impor migas meningkat dan lifting minyak dalam negeri menurun) dan menurunnya ekspor karena menurunnya permintaan barang dan jasa khususnya dari Amerika dan Eropa.

Neraca transaksi berjalan (current account) merupakan penjumlahan neraca barang (trade balance), neraca jasa (service account), dan neraca transaksi unilateral (hibah atau grant), baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh swasta.6 Kecenderungan sebelum tahun 2012, neraca transaksi berjalan yang dilakukan oleh pemerintah sering defi sit, tetapi bisa ditutup oleh transaksi swasta. Masalah mulai timbul ketika transaksi berjalan yang dilakukan oleh swasta mulai mengalami defi sit, dan pada saat yang sama pemerintah tidak mampu menekan defi sit anggaran. Neraca transaksi berjalan secara total mengalami defi sit 2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2012, dan 0,2% dari PDB pada 2011. Pada tahun 2012, neraca transaksi perdagangan dan jasa mengalami defi sit, sedangkan neraca arus modal mengalami surplus. Jadi sumber masalah utama pelemahan nilai tukar pada 2012 adalah defi sit neraca perdagangan dan jasa. Defi sit neraca transaksi berjalan ini, berujung pada penurunan pasokan valuta asing.

Defi sit kembar ini dapat berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap USD karena kurangnya pasokan valuta asing (Aviliani dan Iman Sugema, 2013)7, dalam jangka menengah dapat mendorong munculnya fenomena downward death spiral, lingkaran setan yang menjerumuskan (Wijayanto Samirin, 2013)8, dan dalam jangka panjang akan mengganggu stabilitas perekonomian suatu negara (Edward, 2001)9. Defi sit kembar dalam jangka menengah sangat berbahaya, seperti downward death spiral, lingkaran setan yang

5BPS, Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia Januari 2013, Berita Resmi Statistik No. 17/03/Th. XVI, 1 Maret 2013, pp. 1-11

6Tulus Tambunan, Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran: Teori dan Temuan Empiris, Jakarta: Putaka LP3ES, P. 184

7Aviliani dan Iman Sugema dalam diskusi EC-Think. Avalibale at: http://www.metrotvnews.com/ metronews/read/2013/03/21/2/140365/Defi sit-Kembar-Ancaman-Perekonomian-Indonesia.

8Wijayanto Samirin, Defi sit Kembar: Lingkaran Setan Yang Menjerumuskan Availabel at: http://beritamoneter.com/defi sit-kembar-lingkaran-setan-yang-menjerumuskan/

9Anonim, Waspadai Jebakan “Twin Defi cit”, availabel at: http://klikheadline.com/in/berita/waspadai-jebakan-twin-defi cit.html

68 Edisi 03/Tahun XIX/2013

I. PENDAHULUAN defi sit neraca perdagangan sebesar US$ 1,7 milliar

Pembangunan Kepariwisataan: Overview, Pembangunan Kepariwisataan: Overview, Tantangan, dan Kebijakan Pembangunan ke DepanTantangan, dan Kebijakan Pembangunan ke Depan

Esti *Esti *

ABSTRAK

Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), Devisa, Kebijakan, Multiplier Eff ect, Wisatawan

Pariwisata merupakan salah satu bidang yang penting dalam mendukung pembangunan perekonomian nasional melalui sumbangan devisa yang dihasilkan dari jumlah kunjungan wisatawan asing ke Indonesia. Perkembangan pariwisata di suatu daerah akan ditengarai dengan meningkatnya jumlah hotel dan restoran maupun membaiknya infrastruktur serta berkembangnya industri yang terkait dengan kepariwisataan. Dampak lebih lanjut, dengan berkembangnya industri-industri tersebut akan memperluas lapangan pekerjaan. Pariwisata merupakan bidang yang pembangunnya melibatkan banyak sektor. Oleh karenanya, permasalah yang dihadapi selama ini selalu terkait dengan koordinasi dan sinergi kebijakan dalam mengembangkan dan meningkatkan daya saing destinasi pariwisata dan sekaligus mempromosikannya serta menciptakan keamanan dan kenyamanan wisatawan di daerah wisata.

I. POTRET PARIWISATA INDONESIA SAAT INI

Kebijakan pembangunan kepariwisataan sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 sampai sekarang telah mengalami perubahan-

perubahan seiiring dengan perubahan kondisi sosial politik dan ekonomi di Indonesia maupun dunia. Walaupun terjadi perbedaan dan perubahan pemerintahan, namun pada dasarnya kebijakan pembangunan kepariwisataan terutama ditujukan untuk meningkatkan jumlah orang yang melakukan perjalananan wisata wilayah Indonesia atau dikenal dengan wisatawan. Meningkatnya jumlah wisawatan diharapkan mampu meningkatkan perekonomian lokal sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan melestarikan alam dan budaya tradisional. Tulisan ini akan diawali dengan potret pariwisata Indonesia, kemudian dilanjutkan dengan perjalanan kebijakan pembangunan kepariwisataan selama periode Orede Lama sampai dengan periode Reformasi. Dan terakhir penulis mencoba menawarkan alternatif kebijakan pembangunan kepariwisataan ke depan.

Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata1 dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Sedangkan kepariwisataan adalah keseluruhan

1Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribasi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara (UU No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan).

21Edisi 03/Tahun XIX/2013

MAJALAH.indd Spread 21 of 44 - Pages(68, 21)MAJALAH.indd Spread 21 of 44 - Pages(68, 21) 31/12/2013 16:01:0031/12/2013 16:01:00

kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha. Pembangunan kepariwisataan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan secara terencana dan terpadu dan memegang prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kelestarian nilai-nilai agama, budaya, dan lingkungan alam, dan yang paling penting harus tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peran Pariwisata dalam Pembangunan di Indonesia

Pariwisata mempunyai peran penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusinya terhadap penerimaan devisa negara yang dihasilkan dari jumlah wisatawan asing (wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Jumlah kunjungan wisman yang berkunjung ke Indonesia dari tahun ke tahun sejak periode Repelita I sampai dengan Periode RPJMN I selalu mengalami peningkatan dengan tingkat pertumbuhan yang berfl uktuasi. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada periode Repelita IV (Gambar 2), yang disebabkan karena adanya kemudahan-kemudahan bagi wisman antara lain pemberian bebas visa selama 2 bulan untuk wisman di 26 negara, memantapkan Kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia (P3I) di luar negeri dan pengembangan dan peningkatan daya tarik wisata, sedangkan yang terendah terjadi pada era Transisi (Propenas). Pada era tersebut tepatnya pada tahun 2002 Bali digoncang Bom yang menewaskan ratusan manusia yang sebagian besar adalah wisatawan asing. Walaupun obyek wisata di Indonesia bukan Bali semata, namun karena Bali merupakan provinsi yang menyumbangkan wisatawan paling besar di antara provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, maka pertumbuhan wisman yang berkunjung ke Indonesia berada di titik terendah. Sementara itu, kontribusi pariwisata dalam penerimaan devisa negara pada tahun 2010 menduduki peringkat keempat setelah minyak & gas bumi, minyak kelapa sawit, dan karet olahan. Keberhasilan pembangunan pariwisata tersebut belum dibarengi dengan peringkat daya saing Indonesia di pasar global. Berdasarkan laporan The Travel & Tourism Competitiveness Report

yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF), peringkat daya saing pariwisata Indonesia pada tahun 2013 meningkat menjadi peringkat 70 dari 140 negara, dari posisi daya saing tahun 2011 yaitu peringkat 74 dari 139 negara. Namun peringkat tersebut masih dibawah Singapura (peringkat 10), Thailand (43), dan Malaysia (34), serta China (45).

Tabel 1: Peringkat Daya Saing Pariwisata Negara-

negara ASEAN dan China

Tahun Indonesia Kamboja Malaysia Filipina Singapura Thailand Vietnam China2008 1) 80 112 32 81 16 42 96 62

2009 1) 81 108 32 86 10 39 89 472011 1) 74 109 35 94 10 41 80 3920132) 70 106 34 82 10 43 80 45

Sumber : 1) The Travel and Competitiveness Report (World Economic

Forum Report 2011)2) Insight Report: The Travel & Tourism Competitiveness

Report 2013, Reducing Barriers to Economic Growth and Job Creation

Dari aspek kebudayaan, pengembangan pariwisata terutama wisata budaya akan membantu menyadarkan dan memperkenalkan kepada masyarakat betapa kaya dan uniknya kebudayaan Indonesia. Di samping itu, dana yang dihasilkan dari kunjungan wisatawan di obyek wisata budaya dapat dimanfaatkan untuk melestarikan dan menata kebudayaan yang ada.

Grafi k 1: Perkembangan Wisatawan Mancanegara (wisman) Periode Repelita I – Periode Propenas

Sumber: Repelita

22 Edisi 03/Tahun XIX/2013

kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF),

Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Sinkronisasi Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam

Mengantisipasi Fenomena Desifi t Kembar (Mengantisipasi Fenomena Desifi t Kembar (Twin Twin

Defi sit)Defi sit)

Haryanto

Abstract

Twin defi cits hypothesis is one of the signifi cant economic issues in developed and developing countries in the world during past 20 years. This paper is itended to carry out a descriptive analysis of the twin defi cit phenomenon that occurred in Indonesia in the period of 2012, and to propose some policy recomendations in term of synchronization between monetary and fi scal policies. Results of the analysis concluded that the twin defi cits in 2012 was triggered by the current account defi cit and the primary balance defi cit, and likely resulted in the decline of domestic exchange rate against the USD. The main causes of the current account defi cit, estimated as (1) the drop in demand for goods and services to other countries, (2) rising oil imports since oil lifting decreased from 900,000 barrels to 830,000 barrels per day, (3) high imports of capital goods, (4) no longer a competitive exchange rate to encourage exports and restrain imports. In the medium term, the twin defi cit lead to the emergence of

downward death spiral, a vicious cycle that plunged, and could destabilize the economy. To anticipate the negative impact of twin defi cit, it is necessary to synchronize the monetary and fi scal policy formulation, as follows: (1) the implementation of monetary policy to mitigate the decline or depreciation of the local currency excessive, (2) reduction in spending on unproductive activities and divert it to activities that reduce the social costs of the economic crisis, (3) the implementation of policies to improve the ability of public and private sector management, including eff orts to reduce government intervention, monopolies and activities that are less productive, (4) increasing fuel prices, seeking fuel consumption savings, reducing fuel subsidies, avoiding fuel smuggling, and reducing the imports of fuel, (5) increasing tax revenues through tax collection decrease the leakage rate and expand the tax base, (6) promote the upgrading of domestic industries, and (7). Assisting the private to renegotiate short-term private loans into medium-term / long terms loans, to reduce the private current need of foreign exchange.

67Edisi 03/Tahun XIX/2013

MAJALAH.indd Spread 22 of 44 - Pages(22, 67)MAJALAH.indd Spread 22 of 44 - Pages(22, 67) 31/12/2013 16:01:0331/12/2013 16:01:03

a new paradigm in disaster education. Disaster Prevention and Management,17. 2. 183-198.

Shaw, R., Shiwaku, K., Kobayashi, H., and Kobayashi, M. (2004). Linking experience, education, perception and earthquake prepredness. Disaster Prevention and Management, 13, 1. 39-49.

Shiwaku, K. (2009). Essentials of school disaster education: example from Kobe, Japan. In Disaster Management: global challenges and local solutions, ed. Rajib Shaw and R.R. Krishnamurty. Hyderabad, India: Universities Press.

Shiwaku, K., Shaw, R. Kandel, R.C., Shrestha S.N., and Dixit, A. M., (2007). Future perspective of school disaster education in Nepal. Disaster Prevention and Management, 16(4), 576-587. doi: 10.1108/09653560710817057.

Simpson, D.M. (2002). Earthquake Drills and Simulations in Communitybased Training and Preparedness Programmes. Disasters, 26(1), 55–69.

Sugimoto, M., Iemura, H., and Shaw, R., (2010). Tsunami height poles and disaster awareness. Disaster Prevention and Management, 19, 5. 527-540. doi: 10.1108/09653561011091869.

UNCRD. (2009). Mengurangi Kerentanan Anak-anak Sekolah terhadap Bahaya Gempa Bumi. Jakarta: Proyek Inisiatif Keselamatan Sekolah Terhadap Gempa Bumi (SESI). Retrieved from http://www.hyogo.uncrd.or.jp/publication/pdf/Report/SESI%20Outcome/SESI%20Outcome%20Bahasa%20Indonesia%20fi nal.pdf

UN-ISDR - Thematic Platform on Knowledge and Education (TPKE). (2011). School safety baseline study. UN-ISDR, Thematic Platform on Knowledge and Education (TPKE). Retrieved from http://www.unisdr.org/fi les/23587_doc18766contenido.pdf

UNICEF. (2011). Disaster risk reduction: integrating into school curriculum in Lesotho. Lesotho: UNICEF Lesotho. Retrieved from http://www.p re ve n t i o nwe b. n e t / e n g l i s h / p ro fe s s i o n a l /publications/v.php?id=23844

Widhiarso, W. (2010). Aplikasi Analisis Kovarian dalam Psikologi Eksperimen. Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta. Retrieved from http://wahyupsy.blog.ugm.ac.id/2011/02/20/aplikasi-analisis-kovarian-dalam-penelitian-eksperimen/

66 Edisi 03/Tahun XIX/2013

a new paradigm in disaster education. Disaster UNCRD. (2009). Mengurangi Kerentanan Anak- Grafi k 2: Pertumbuhan Wisatawan MancanegaraPeriode Repelita I – Periode Propenas anegara

Sumber: Repelita

Pariwisata sebagai suatu industri mempunyai peran sebagai multiplier eff ect dalam pembangunan ekonomi. Salah satu dampak penting dalam berkembangnya pariwisata adalah adanya perbaikan infrastruktur sosial di suatu destinasi pariwasata, seperti bandara udara, akses jalan, hotel, transportasi, dan energi, industri kerajinan, dan industri-industri lainnya yang mempunyai keterkaitan dengan industri pariwisata (Backward maupun forward linkage) yang semuanya itu dibutuhkan untuk menjamin kenyamanan wisatawan menuju dan tinggal selama di destinasi pariwisata. Dampak lebih jauh, dengan berkembangnya industri pariwisata2 akan memperluas lapangan kerja dan pada akhirnya akan menurunkan angka penganngguran dan kemiskinan. Kontribusi pariwisata terhadap penyediaan lapangan kerja mengalami peningkatkan setiap tahunnya (Tabel 2).

Grafi k 3:

Sumber: Neraca Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,

Catatan: Angka dalam triliun rupiah, kecuali tenaga kerja dalam juta orang

2Menurut Undang-undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan, yang dimaksud industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata

Grafi k 4:

Tabel 2 :Dampak Ekonomi Mikro berdasarkan

Neraca Satelit Pariwisata Nasional

Tahun 2006-2011

Tahun

Dampak terhadap

Produksi /Output(Barang dan Jasa) PDB Lapangan kerja Gaji dan Upah Pajak tidak

Langsung

Rp triliun

Share(%) Rp triliun Share

(%) Juta

orangShare

(%) Rp

triliunShare

(%) Rp

triliun Share

(%)

2006 306,50 4,62 143,62 4,30 4,44 4,65 45,63 4,44 5,40 4,122007 362,10 4,62 169,67 4,29 5,22 5,22 53,88 4,43 6,31 4,092008 499,67 5,06 232,93 4,70 7,02 6,84 75,45 4,97 8,41 4,322009 504,69 4,79 233,64 4,16 6,98 6,68 75,49 4,70 8,36 4,192010 565,15 4,73 261,06 4,06 7,44 6,87 84,80 4,63 9,35 4,132011 648,49 4,34 296,97 4,00 8,53 7,75 96,57 4,14 10,72 3,85

Sumber: Depbudpar, 2009, NESPARNAS

Catatan: Angka dalam triliun rupiah, kecuali tenaga kerja dalam juta orang

II. PERJALANAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

KEPARIWISATAAN NASIONAL

Pada masa setelah kemerdekaan yang juga dikenal dengan masa Orde Lama, pembangunan ekonomi berdasarkan pada Pembangunan Nasional Semesta Delapan Tahun 1961 – 1969 yang ditetapkan melalui Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. II/MPRS/1960 Tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1061- 1969. Pada

23Edisi 03/Tahun XIX/2013

Grafi k 2: Pertumbuhan Wisatawan Mancanegara Grafi k 4:

MAJALAH.indd Spread 23 of 44 - Pages(66, 23)MAJALAH.indd Spread 23 of 44 - Pages(66, 23) 31/12/2013 16:01:0631/12/2013 16:01:06

masa itu, pembangunan pariwisata belum menjadi perhatian pemerintah. Fokus pemerintah pada pada saat itu masih pada pembangunan dan pembenahan perekonomian nasional sehingga mampu berdiri sendiri. Pembangunan diprioritaskan pada bidang pertanian dan meletakkan dasar-dasar bagi industrialisasi terutama industri dasar dan industri berat.

Memasuki era Orde Baru kondisi sosial, ekonomi dan politik secara bertahap mulai tertata. Pembangunan nasional pada masa itu mengacu pada Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). GBHN pada dasarnya memuat Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pembangunan Nasional untuk masa 25 tahun, yaitu selama terlaksananya Pembangunan Lima Tahun (PELITA) I sampai dengan V3.

Di masa Orde Baru pembangunan pariwisata mulai mendapat perhatian pemerintah yang ditandai dengan dituangkannya kebijakan pembangunan kepariwisatan di dalam Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun pertama yang dimulai tahun 1967/68 dan berakhir pada tahun 1998/99. Pembangungan Jangka Panjang tersebut kemudian dijabarkan ke dalam rencana lima tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita Pertama – Repelita Keenam)

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Pertama (1969/70 – 1973/74) tidak dilakukan secara menyeluruh dan bersamaan melainkan melalui pentahapan dengan berbasis pada pengembangan wilayah. Tahap pertama difokuskan pada wilayah Indonesia bagian Tengah dan berpusat di pulau Bali. Hal ini bukan berarti kegiatan pembangunan kepariwisataan di daerah lain tidak mendapat perhatian pemerintah. Pembangunan kepariwisataan tetap diarahkan untuk semua wilayah Indonesia, namun akan dilakukan secara bertahap dengan memanfaatkan pulau Bali sebagai titik tolak pengembangan kepariwisataan di pulau-pulau lainnya di Indonesia, mengingat pulau Bali sudah terkenal di seluruh dunia sebagai destinasi pariwisata yang menarik baik dari segi budaya maupun alamnya. Kemudian tahap kedua, difokuskan di Indonesia Bagian Barat dan berpusat di Medan.

Dalam rangka meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia, pemerintah Indonesia membuka kantor-kantor cabang kepariwisataan di

3 GBHN, Ginandjar Kartasasmita

Jepang, Australia, Eropa, dan Amerika Utara, disamping upaya menyelesaikan lapangan terbang Tuban/Bali untuk memungkinkan pendaratan penerbangan-pener-bangan luar negeri secara langsung, dengan frekwensi pener bangan yang besar. Selanjutnya, dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada wisatawan, pada tahun 1969 dibentuk “Tourist Information Center” terutama di Bali dan Jakarta. Sementara untuk memudahkan wisatawan mancanegara asing masuk ke Indonesia dibentuk “National Facilitation Commitee” yang bertugas mempersiapkan peraturan-peraturan yang terkait dengan hambatan masuknya wisatawan mancanegara masuk ke Indonesia, misalnya “special air agreement”. Dalam tahun 1972, usaha promosi berhasil memas tikan akan dilangsungkannya Konperensi Pasifi c Area Travel Association di Indonesia tahun 1974. Hal ini membuka kesem patan yang sangat baik bagi promosi pariwisata Indonesia di dunia pariwisata Internasional umumnya dan daerah Pasifi k khususnya.

Dalam Repelita Pertama, peranan Pemerintah dalam mendukung pembangunan kepariwisataan dipusatkan pada pengembangan prasa rana obyek pariwisata, dan pelayanan yang bersifat umum, selebihnya diserahkan pengusahaannya kepada sektor swasta. Atas dasar ini maka dalam Repelita Pertama telah dilaksanakan pro gram rehabilitasi obyek-obyek pariwisata di daerah konsentrasi usaha pariwisata. Tumbuh dan berkembangnya industri pariwisata berdampak pada meningkatnya kebutuhan tenaga kerja profesional di bidang pariwisata. Oleh karenanya dalam rangka memenuhi pasar tenaga kerja tersebut telah didirikan berbagai pusat pendidikan pariwisata baik baik oleh pemerintah , se perti Pusat Pendidikan Pariwisata (Hotel and Training Institute) di Bandung maupun oleh swasta.

Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 1969 dibentuk Badan Pengembangan Pariwisata Nasional (Bapparnas) untuk menjamin pembinaan pengembangan pariwisata secara efektif dan kontinyu baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Badan yang beranggotakan pemerintah dan swasta tersebut bertugas membantu Menteri Perhubungan dengan tetap bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pariwisata.

Kebijakan-kebijakan tersebut telah mampu meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia cukup mencolok. Pada tahun 1974 jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia sekitar 297,6 ribu orang atau

24 Edisi 03/Tahun XIX/2013

masa itu, pembangunan pariwisata belum menjadi Jepang, Australia, Eropa, dan Amerika Utara, disamping Daftar Pustaka

ADPC. (2003, April-June). “Lest we forget”- Learning to Remember - Memorials, Mascots and Safety Days. Newsletter of the disaster management community in Asia and the Pacifi c, 9 (2). Retrieved from http://www.adpc.net/irc06/2003/04-06.pdf

ASEAN Secretariat. (2011). Disaster resilience starts with the young: Mainstreaming disaster risk reduction in the school curriculum 2011. Jakarta: ASEAN Secretariat. Retrieved from http://www.preventionweb.net/files/submissions/18743_disasterresilienceyounglowresfi nal.pdf

Gaillard, JC., Clave, E., Vibert, O., Azhari, Dedi, Denain , J.C., Efendi, Y, Grancher, D., Liamzon,C.C., Sari, D., R., Setiawan, R. (2008). Ethnic groups’ response to the 26 December 2004 earthquake and tsunami in Aceh, Indonesia. Natural Hazards, 47, 17–38. doi: 10.1007/s11069-007-9193-3.

GeoHazard International. (2007). Preparing your community from tsunamies. Retrieved from http://www.geohaz.org/news/images/publications/Preparing%20Your%20Community%20for%20Tsunamis%20version%202%20low%20res.pdf

ICHARM-UNESCO. (2010). Report on the international workshop on sustainable tsunami disaster management: developing awareness, hazard mapping and coastal forest implementation.ICHARM Publication no.19.Retrieved from http://www.pacifi cdisaster.net/pdnadmin/data/original/ICHARM_2010_tsunami_workshop.pdf

Johnston, D.M., Bebington, M, S., Lain, C. D., Houghton, B.F., & Paton, D. (1999).Volcanic hazard perception: comparative shift in knowledge and risk. Disaster Prevention & Management, 8(2) 118-126.

LIPI & UNESCO. (2010). Cerita dari Aceh: membangun kapasitas dan sekolah siaga bencana. Jakarta: LIPI & UNESCO.

Kurita, T., Arakida, M., and Colombage, S.R.N. (2007). Regional characteristics of tsunami risk perception among the tsunami aff ected countries in the Indian ocean. Journal of Natural Disaster Science, 29(1), 29-38. doi: 10.1108/09653560654266.

Lavigne, F., Coster, B.D., Juvin, N., Flohic, F., Gailard, J.C., Texier, P., Morin, J., and Sartohadi, J. (2008). People’s behaviour in the face of volcanoic hazards: perspective from Javanese communities, Indonesia.

Journal of Vulcanology and Geothermal Research, 172, 273-287.

Morin, J.,N., Flohic, F., and Lavigne. (2008). Tsunami-resilient communities’ development in Indoensia thorugh educative actions. Disaster Prevention and Management, 13 (1), 39-49. doi: 10.1108/09653560810887338.

Mulilis, J.P., Duval, T.S., & Bovalino, K. (2000).Tornado preparedness of students, nonstudents renters, and nonstudent owners: issue of PrE theory. Journal of Applied Social Psychology, 30( 6) 1310-1329.

Murata, S., Imamura, F., Katoh, K., Kawata, Y., Takahashi, S., and Takayama. (2010). Tsunami: to survive from tsunami. Singapore: World Scientifi c.

Ozmen, Fatma. (2006). The level of preparedness of the schools for disasters from the aspect of the school principals. Disaster Prevention and Management, 15 (3), 383-395. doi: 10.1108/09653560610669873.\

Paton, D. (2003). Disaster preparedness: a social-cognitive perspective. Disaster Prevention and Management, 12, 3, 210.

Kementerian Pendidikan Nasional-Pusat Kurikulum. (2009). Modul ajar pengintegrasian pengurangan resiko gempa bumi: bahan pengayaan bagi guru SMA/SMK/MA/MAK. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional.

Rachmalia, Hatthakit, U., and Chaowalit, A. (2011). Tsunami preparedness of people living in aff ected and non-aff ected areas: a comparative study in coastal area in Aceh, Indonesia. Australasian Emergency Nursing Journal, 14, 17-25.

Ronan, K. R., and Johnston, D.M. (2010). Promoting community resilience in disaster: the role for schools, youth and families. New York: Springer

Ronan, K. R., Crellin, K., and Johnston, D. (2009). Correlates of hazards education for youth: a replication study. Natural Hazards, 53, 503–526. doi: 10.1007/s11069-009-9444-6

Ronan, K. R., and Johnston, D.,M. (2003). Hazards education for youth: a quasi-experimental investigation. Risk Analysys, Vo. 23 No. 5, 2003.

Ronan, K. R., and Johnston, D.,M. (2001). Hazards education program for youth. Risk Analysys, 21(6).

Shaw, R and Shiwaku, K., (2008). Proactive co-learning:

65Edisi 03/Tahun XIX/2013

Daftar Pustaka Journal of Vulcanology and Geothermal Research,

MAJALAH.indd Spread 24 of 44 - Pages(24, 65)MAJALAH.indd Spread 24 of 44 - Pages(24, 65) 31/12/2013 16:01:0731/12/2013 16:01:07

anak sekolah dan sekolah terkait dengan pengurangan risiko bencana sebagian terbukti. Efek yang kurang signifi kan terdapat pada kesadaran kritis karena pendekatan yang berbeda dari pendidikan bencana di sekolah yang mungkin disebabkan anak-anak sekolah di kedua sekolah merasa bahwa telah dilaksanakan pendidikan bencana di sekolah, sehingga tidak perlu untuk membahas masalah bencana tsunami di sekolah dan rumah. Temuan ini mirip dengan penelitian sebelumnya bahwa pendidikan bencana di sekolah tidak mempengaruhi tingkat kesadaran bencana daripada persepsi resiko23).

Temuan penting lainnya adalah bahwa hasil dari penerapan isu bencana berbasis kurikulum di sekolah bisa menimbulkan sikap kesiapsiagaan anak-anak sekolah meskipun terbatas hanya dengan mengunjungi fasilitas pendidikan bencana (museum tsunami, kapal terdampar, pemakaman massal dan runtuhan bangunan). Temuan ini memenuhi harapan umum bahwa pendidikan bencana seharusnya tidak hanya berfokus pada memberikan pengetahuan tentang bencana tetapi juga bagaimana menjadi siap dan tanggap bencana23).

Memberikan pengetahuan mengenai bencana dalam program pendidikan bencana bukanlah tugas yang begitu berat. Tantangannya adalah bagaimana program pendidikan bencana dapat mendorong masyarakat untuk memperbarui informasi, meningkatkan tingkat persepsi risiko, menjaga kesadaran, serta melakukan dan memperbarui persiapan yang tepat terhadap bencana di masa mendatang. Sebagai tindak lanjut, perlu dikembangkan berbagai pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang akan mampu mencapai tujuan utama dari pengurangan risiko bencana: membuat orang memiliki budaya kesiapsiagaan bencana. Metode ceramah dalam pendekatan pembelajaran akan kurang efektif kecuali didukung oleh metode yang berbeda termasuk simulasi permainan, kunjungan lapangan, percobaan dan pelatihan rutin bencana. Seperti didukung oleh pernyataan Johnston dan Ronan17), melibatkan anak-anak dalam pendidikan bencana yang berbeda akan mendapatkan manfaat yang signifi kan daripada program tunggal.

Standar kesiapsiagaan tsunami yang dikemukakan dalam penelitian ini, digambarkan sebagai seringnya kunjungan ke fasilitas pendidikan bencana dan fasilitas darurat yang mana akan berguna sebagai salah satu sikap perlindungan yang diperlukan untuk mengadopsi tidak hanya anak-anak sekolah tetapi juga bagi anggota

masyarakat secara keseluruhan. Mengunjungi jalur evakuasi, membangun penampungan, menara sirene, dan museum tsunami akan membuat orang terbiasa dengan fasilitas tersebut. Ketika tsunami terjadi mereka akan dengan mudah menemukan tempat-tempat yang aman ke tempat dan waktu yang tepat. Mengunjungi pemakaman massal, kapal terdampar dan tiang tinggi tsunami tiang juga dapat dikategorikan sebagai tindakan kesiapsiagaan karena akan menjaga kesadaran masyarakat pada bencana di masa mendatang.

Penelitian ini yang hanya mencakup kesiapsiagaan tsunami pada anak-anak sekolah sebagai hasil dari penerapan pendidikan bencana berbasis kurikulum merupakan salah satu keterbatasan dalam penelitian ini. Kerbatasan lain dari penelitian ini adalah tidak menyertakan kelompok sekolah yang tidak pernah menerapkan pada program pendidikan bencana sebagai kelompok kontrol. Penelitian selanjutnya harus difokuskan pada hasil dari program pendidikan bencana di sekolah terhadap kesiapsiagaan bencana tsunami baik di rumah tangga atau masyarakat.

6. Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa efek dari sekolah yang mengadopsi isu bencana berbasis kurikulum terhadap anak-anak sekolah berkaitan dengan pengurangan risiko bencana adalah efektif dalam meningkatkan pengetahuan bencana, meningkatkan tingkat persepsi risiko, kesiapsiagaan individu dan sekolah. Temuan penting adalah bahwa hasil dari penerapan isu bencana berbasis kurikulum di sekolah dapat membangkitkan sikap kesiapsiagaan anak-anak sekolah meskipun terbatas hanya pada kunjungan ke fasilitas pendidikan dan fasilitas darurat. Pengertian umum bahwa hukuman Tuhan sebagai penyebab utama tsunami harus ditangani secara komprehensif - tidak terbatas di sekolah. Guru dan siswa memainkan peran penting dalam meningkatkan kesadaran masyarakat, menyebarkan pengetahuan yang benar tentang bencana dan membangkitkan sikap kesiapsiagaan perilaku pada bencana lebih luas di masyarakat daripada terbatas di sekolah.

Acknowledgment: Penelitian ini didukung oleh Disaster Mitigation Urban and Cultural Heritage(DMUCH), Ritsumeikan Universiy Global Centre of Excellence (G-COE). Kami juga mengucapkan terima kepada para siswa, guru, pemerintah daerah, dan TDMRC Aceh, Indonesia untuk dukungan dalam penelitian ini.

64 Edisi 03/Tahun XIX/2013

anak sekolah dan sekolah terkait dengan pengurangan masyarakat secara keseluruhan. Mengunjungi jalur mengalami peningkatan yang sangat tinggi hampir 2 kali lipat dari kunjungan wisman tahun 1969 yaitu sekitar 245,64persen.

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kedua (1974/75 – 1978/79) ditujukan untuk memperke nalkan kebudayaan, keindahan alam dan kepribadian Indonesia kepada masyarakat wisatawan, dan sekaligus membantu meningkatkan pendapatan masyarakat dan membuka kesempatan bagi wisatawan dalam negeri untuk mengenal tanah airnya sendiri. Titik berat pembangunan kepariwisataan pada waktu itu adalah pada (1) pengembangan sarana dan prasarana obyek pariwisata, khususnya di Bali terutama di Nusa Dua, Kuta, Sanur, dan daerah tujuan pariwisata lainnya; dan (2) pembinaan kelembagaan dan organisasi unsur-unsur penunjang pariwisata agar mampu mendukung pengembangan pariwisata, baik bagi wisatawan asing maupun wisatawan dalam negeri.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka langkah-langkah yang diambil antara lain: (a) menyusun pola pengembangan rencana induk pariwisata terutama pada daerah-daerah yang mempunyai potensi menarik wisatawan; (b) menyerasikan pola pengembangan pariwisata dari semua daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia menjadi satu rencana induk pembangunan pariwisata nasional; (c) melanjutkan peningkatan prasarana dan sarana kepariwisataan yang telah dimulai pada Repelita Pertama serta memulai perencanaan prasarana dan sarana baru di bidang pariwisata; (d) mengadakan konsolidasi dan peningkatan pembinaan tenaga kerja berikut fasilitasnya untuk menampung pelayanan wisata yang memenuhi persyaratan kepariwisataan internasional; (e) memantapkan kedudukan Indonesia sebagai daerah tujuan wisata internasional; (f ) menyusun langkah-langkah pengembangan pariwisata dalam negeri; (g) meningkatan jumlah wisatawan terutama ditujukan pada segi peningkatan kualitas, sehingga penerimaan yang akan diperoleh negara menjadi lebih besar; (h) mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) pariwisata; (i) mengembangkan kelembagaan dan organisasi yang menunjang pengembangan pariwisata.

Dalam upaya meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia, pemerintah telah membuka Kantor-kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia di Frankfurt untuk kawasan Eropa Barat, San Francisco untuk kawasan Amerika Utara, Tokyo untuk kawasan Australia dan di Singapura untuk kawasan ASEAN serta melakukan kerjasama dengan beberapa media

masa luar negeri. Untuk perencanaan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, dalam Repelita kedua pemerintah mulai menyusun Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Nasional yang mengacu pada pola pengembangan pariwisata induk daerah-daerah di Indonesia. Selama Repelita kedua, jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya dan pada akhir Repelita kedua jumlah tersebut mencapai 501,4 ribu orang atau meningkat sekitar 68,48 persen dari tahun 1974 yang sebesar 297,6 ribu orang.

Pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Ketiga (1979/80 – 1983/84) ditujukan untuk meningkatkan penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja dan memperkenalkan ke budayaan bangsa dengan tetap berupaya melestarikan keindahan alam dan keunikan budaya yang merupakan daya tarik wisata dan difokuskan pada 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu kegiatan-kegiatan: (1) promosi pariwisata luar negeri yang akan lebih diintensifkan langsung ke negara-negara asal yang mempunyai potensi pasar; (2) Pengembangan pariwisata dalam negeri yang bertujuan untuk memperkecil mengalirnya devisa ke luar negeri, mendorong industri dalam negeri serta menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat; (3) Penataan dan peningkatan obyek wisata akan terus dilakukan sesuai dengan Rencana Induk Kepariwisataan Nasional; (4) Peningkatan pelayanan wisata melalui upaya pemberian kemudahan kepada wisatawan yang datang selama berada dan pada waktu meninggalkan Indonesia. Untuk itu akan dilakukan berbagai perbaikan dalam pelayanan kepada wisatawan, meliputi penyederhanaan dalam memperoleh visa, seperti pemberian visa pada waktu tiba (visa on arrival); memperluas pusat penerangan pariwisata; meningkatkan pelayanan sarana ang-kutan (penerbangan, kereta api, bis dan lain-lain); meningkatkan pelayanan hotel dan biro perjalanan; meningkatkan kemampuan personal yang melayani wisata, seperti pramuwisata, juru penerang dan penterjemah; (5) Kegiatan Penunjang Pariwisata yang meliputi upaya untuk (i) meningkatkan kemampuan lembaga pendidikan pariwisata melalui pembangunan Institut Pariwisata Nasional dan pembinaan lembaga pendidikan pariwisata swasta; (ii) menyusun undang-undang kepariwisataan nasio nal serta peraturan-peraturan pelaksanaannya; (iii) Memberikan bim-bingan dan penataran kepada para pengusaha biro perjalanan, peng usaha restoran, pengusaha hotel,

25Edisi 03/Tahun XIX/2013

mengalami peningkatan yang sangat tinggi hampir masa luar negeri. Untuk perencanaan pembangunan

MAJALAH.indd Spread 25 of 44 - Pages(64, 25)MAJALAH.indd Spread 25 of 44 - Pages(64, 25) 31/12/2013 16:01:0831/12/2013 16:01:08

para pramuwisata, para pengusaha yang bergerak dalam usaha jasa agar dapat meningkatkan mutu pela-yanannya.

Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisman ke Indonesia, pada tahun 1983 Pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1983 Tentang Kebijakan Pengembangan Pariwisata. Kebijakan tersebut memuat kebijakan pemberian bebas visa kunjungan singkat (BVKS) selama 2 (dua) bulan untuk wisatawan dari 26 negara, kebijakan membuka 3 pelabuhan udara sebagai pintu gerbang masuknya wisatawan asing ke Indonesia yaitu Mokmer (Biak), Sam Ratulangi (Manado), dan Pattimura (Ambon); dan menetapkan pelabuhan laut Belawan, Batu Ampar, Tanjung Priok, Tanjung Perak, Benoa, Padang Bai, Ambon dan Bitung sebagai pintu masuk kapal-kapal pesiar bagi wisatawan rombongan (cruise) dari luar negeri. Pada akhir Repelita ketiga pemerintah berhasil mendatangkan wisman sebesar 749,4 ribu orang atau meningkat sekitar 24,89 persen dari kunjungan wisman tahun 1980.

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Keempat (1984/85 – 1988/89) diarahkan pada pengembangan beberapa kawasan wisata terutama untuk wisata resort baik resort di kawasan pantai (termasuk Tirta), kawasan pegunungan maupun resort di kawasan wisata budaya. Disamping itu juga akan dikembangkan Taman wisata dan hiburan yang potensial. Dalam rangka meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, disamping memberikan kemudahan bagi wisman masuk ke Indonesia dengan kebijakan bebas visa, melalui Intrusksi Presiden (Inpres) No. 46 Tahun 1988 pemerintah juga menambah (1) empat Bandara Udara (Bandara), yaitu Bandara Frans Ksiepo (Biak), Supadio (Pontianak), El Tari (Kupang), Sepinggan (Balikpapan), dan Bandara Juanda (Surabaya); (2) tiga pelabuhan laut, yaitu Sekupang (Pulau Batam), Tanjung Mas, dan Tanjung Pinang, sebagai pintu masuk wisatawan dari luar negeri. Sementara itu, untuk mendorong tumbuhnya investasi di industri pariwisata, pemerintah memberikan insentif berupa keringanan perpajakan dan restribusi daerah bagi investor yang menanamkan modalnya di Indonesia. Kebijakan-kebijakan tersebut dibarengi dengan kebijakan di bidang penerbangan Internasional yaitu dengan membuka pintu masuk pariwisata dan perluasan jaring an penerbangan ke daerah tujuan wisata di Indonesia. Semua kebijakan tersebut tidak akan efektif untuk mendatangkan wisman tanpa dibarengi dengan upaya pemasaran dan

promosi yang efektif baik di dalam maupun di luar negeri, diantaranya yaitu dengan memantapkan kantor Pusat Promosi Pariwisata Indonesia (P3I) di luar negeri.

Sejalan dengan kebijakan pembangunan Nasional, mulai Repelita Keempat, kebijakan pembangunan kepariwisataan dilakukan melalui 1 (satu) Program, yaitu Program Pengembangan Pariwisata yang merupakan bagian dari Bidang Perhubungan dan Pariwisata. Program ini terutama diarahkan untuk menarik jumlah wisatawan asing hingga mencapai lebih dari 1(satu) juta orang melalui langkah-langkah antara lain : pemberian ijin bebas visa bagi wisatawan asing yang berasal dari 26 negara pasaran wisata, kebijaksanaan pintu masuk lebih diperlonggar, penye lesaian Rancangan Undang-undang Kepariwisataan Nasional (RUU Kepariwisataan Nasional), penyelesaian obyek wisata (resort) di 10 daerah tujuan wisata, pemberian insentif bagi calon in vestor (perpajakan, retribusi, pungutan) dan pemantapan pro-mosi ke luar negeri terutama dalam mencapai sasaran pasar wi sata internasional. Kebijakan pemerintah tersebut telah mampu mendatangkan wisman sebesar 1.625,0 ribu orang pada akhir Repelita keempat atau meningkat cukup tinggi (116,91 persen) dibandingkan jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia pada tahun pertama Repelita keempat.

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kelima (1989/90 – 1994/95) diarahkan pada upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa, memperkenalkan kekayaan dan keunikan budaya, keindahan alam termasuk alam bahari, serta menanamkan jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional di samping untuk mendorong peningkatan kegiatan perekonomian nasional. Untuk mendukung kebijakan tersebut diperlukan langkah-langkah antara lain melakukan diversifi kasi produk dan atraksi wisata dengan pendekatan Wilayah Tujuan Wisata (WTW), yaitu suatu wilayah yang meliputi beberapa Pro vinsi atau daya tarik wisata (DTW) yang berdekatan, dirangkai menjadi suatu paket wisata yang terintegrasi dan saling mengisi. Selain itu, juga dikembangkan wisata konvensi mengingat adanya kecenderungan semakin meningkatnya kegiatan pertemuan internasional, konperensi, eksibisi dan pameran di Indonesia; dan wisata kapal pesiar me lalui kerja sama dengan perusahaan wisata kapal pesiar inter nasional untuk dapat menjaring peningkatan kunjungan transit ke objek-objek wisata bahari dan taman laut, serta obyek wisata lainnya. Sementara itu untuk menarik wisatawan dalam negeri, pemerintah menerapkan insentif bagi wisatawan dalam negeri, terutama wisatawan remaja,

26 Edisi 03/Tahun XIX/2013

para pramuwisata, para pengusaha yang bergerak promosi yang efektif baik di dalam maupun di luar negeri, Table 3 Pemahaman Siswa terhadap Tsunami

Pengetahuan Kurikulum N(%)

Non- Kurikulum N(%)

Peyebab tsunami 98 (100%0 70 (100%)

Hukuman TuhanFenomena alamPerbuatan manusiaTidak tahuLainnya

30 (31%)37 (38%)20 (22%)

9 (9%)2 (2%)

28 (40%)4 (6%)

25 (36%)11 (15%)

2 (3%)

Kemungkinan terjadi tsunami 97 (100%) 70(100%)

Kapan sajaTahun iniTahun depan 25 tahun ke depan50 tahun ke depan100 tahun ke depan

82 (84%)4 (4%)2 (2%)2 (2%)2 (2%)5 (5%)

50 (71%)3 (4%)5 (9%)2 (3%)3 (4%)6 (9%)

Table 4 Mean, Standard Error and MANOVA test: skor pengetahuan, persepsi resik, kesadaran

kritis, kesiapasiaaan individual dan sekolah masing-masing kelompok sekolah

Dependent

Variables/School Groups

(Min-

Max)

Mean

Standard

Error df F Sig (p)

Partial Eta

Squared

Pengetahuan (0 - 2) - 1 18.094 .000 .147

Kurikulum

No- Kurikulum

1.12

.596

.081

.092

-

-

-

-

-

-

Persepsi resiko (1 - 5) - 1 5.810 .018 .052

Kurikulum

No- Kurikulum

3.788

3.463

.089

.101

-

-

-

-

-

-

Kesadaran Kritis (1 - 5) - 1 .578 .449 .005

Kurikulum

No- Kurikulum

2.416

2.427

.110

.129

-

-

-

-

-

-

Kesiapan Individu (1 - 5) - 1 11.405 .001 .098

Kurikulum

No- Kurikulum

2.686

2.191

.097

.110

-

-

-

-

-

-

Kesiapan Sekolah (1 - 5) - 1 32.627 .000 .237

Kurikulum

No- Kurikulum

4.507

3.945

.065

.097

-

-

-

-

-

-

Nilai rata-rata dari pengetahuan anak-anak sekolah, persepsi resiko, kesadaran kritis, kesiapsiagaan sekolah dan individu dapat dilihat pada table 4. Secara umum, nilai rata-rata semua variable tersebut lebih tinggi di sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana dibandingkan dengan sekolah yang non kurikulum kecuali dalam hal kesadaran kritis. Dalam hal pengetahuan, 2 Kelompok Sekolah dapat dikategorikan sama rendah. Untuk sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana dengan Mean=1.1, sedikit lebih tinggi dibanding sekolah non-adopsi (Mean=6). Sementara dalam hal persepsi resiko, kesadaran kritis, kesiapsiagaan sekolah dan individu, Nilai rata-rata dari sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana lebih tinggi dibandingkan sekolah non adopsi

kecuali untuk kesadaran kritis. Nilai kesadaran kritis di kedua sekolah cukup rendah atau dibawah nilai tengah dengan skala 5 (2.5). Secara keseluruhan, nilai yang lebih rendah

Analisis MANOVA menunjukkan bahwa Box M tidak memenuhi dugaan homogenitas varian (F (15, 39121) = 2,339, sig = 002). Hasil pengujian oleh Lavene menunjukkan bahwa hanya variabel persepsi (F (1, 105) = 4,626, sig = 0,034) dan kesiapsiagaan sekolah (F (1, 105) = 19,465, sig = .000) yang tidak terpenuhi dugaan homogenitas asumsi varian. Namun karena sampel berukuran hampir sama, prosedur MANOVA secara umum kuat 30).

Hasil analisis mendukung adanya perbedaan pengaruh yang efektif dari program pendidikan bencana di sekolah. Terdapat pengaruh yang signifi kan dukungan terhadap program pendidikan bencana berbasis kurikulum pada gabungan variabel tetap seperti pengetahuan anak sekolah, persepsi resiko, kesadaran kritis dan kesiapsiagaan sekolah. (F (5,101) =10.55, p=.000; Wilks’ Lambda= .66; Partial Eta Squared = .343).

Seperti ditunjukkan pada tabel 4, analisis setiap variabel tetap menunjukkan bahwa penerapan pendekatan yang berbeda dari pendidikan bencana di sekolah kurang begitu mempengaruhi secara signifi kan terhadap kesadaran kritis (F (1.105) = 0,578, p = 0,449). Di sisi lain, terdapat hasil dari penerapan topik bencana berbasis kurikulum pada pengetahuan anak-anak sekolah (F (1, 105) = 18,094, p = .000), persepsi risiko (F (1.105) = 5,810, p = 018), kesiapsiagaan individu (F (1.105) = 11,405, p = 011) dan kesiapsiagaan sekolah (F (1.105) = 32,627, p = 000).

Jumlah jawaban yang lebih besar dari anak-anak sekolah di kedua sekolah terhadap penyebab tsunami menunjukkan bahwa peran agama dalam memahami fenomena alam sangat penting. Dalam mengembangkan materi terkait pengurangan risiko bencana di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, keyakinan bahwa bencana disebabkan karena hukuman Tuhan harus lebih diberikan perhatian. Biar bagaimanapun, keyakinan tersebut tidak akan secara signifi kan mempengaruhi pengurangan risiko bencana yang efektif jika orang memiliki kemauan untuk membangun kesiapsiagaan yang tepat. Sangat penting untuk mengembangkan pengetahuan bencana berdasarkan perspektif keagamaan.

Temuan ini menunjukkan bahwa pengaruh sekolah mengadopsi isu bencana berbasis kurikulum pada anak-

63Edisi 03/Tahun XIX/2013

Table 3 Pemahaman Siswa terhadap Tsunami kecuali untuk kesadaran kritis. Nilai kesadaran kritis di

MAJALAH.indd Spread 26 of 44 - Pages(26, 63)MAJALAH.indd Spread 26 of 44 - Pages(26, 63) 31/12/2013 16:01:0931/12/2013 16:01:09

tsunami dengan anggota keluarga (ayah, ibu, nenek, nenek, kakak, adik, dll )”, “saya berbicara (membahas) tentang tsunami dengan teman-teman di sekolah saya/desa” (tidak pernah / selalu).

Terdapat 7 item (Cronbach Alpha = 0,738) dari kesiapsiagaan individu termasuk “dalam waktu enam bulan terakhir, seberapa sering Anda: (1) mengunjungi (mengindahkan) jalur evakuasi dan tempat penampungan, (2) mengunjungi menara sirene tsunami, (3) berpartisipasi dalam pelatihan rutin bencana tsunami/simulasi, (4) mengunjungi pemakaman massal, (5) mengunjungi museum tsunami, (6) tiang penanda tinggi tsunami, dan (7) mengunjungi kapal”. Jawabannya dievaluasi dengan memberikan nilai dengan skala 3 “tidak pernah, 1 kali, 2 kali dan 3 atau lebih dari 3 kali”.

Kesiapsiagaan sekolah dikembangkan dari LIPI (2009) dan berbagai referensi lainnya terdiri dari 7 item (Cronbach Alpha = 0,781), dengan bertanya kepada siswa “perjanjian bahwa sekolah telah (1) mengajarkan tentang tsunami kepada siswa, (2) mengajarkan bagaimana tanggap tsunami, (3) mengembangkan rencana evakuasi dan menyiapkan perlengkapan darurat, (4) mengembangkan sistem peringatan dini atau komunikasi darurat, (5) memasang petunjuk-petunjuk evakuasi, (6) memberikan informasi, (7) melakukan pelatihan rutin bencana “. Jawabannya dinilai dengan memberikan nilai dengan skala 5 “sangat tidak setuju, tidak setuju, tidak setuju atau setuju, setuju, dan sangat setuju”.

5. Temuan dan Pembahasan

Sebagaimana dipaparkan dalam tabel 1, secara umum tidak terdapat karakteristik yang berbeda diantara anak-anak sekolah dari dua sekolah. Tabel 2 menunjukkan informasi mengenai pengalaman tsunami tahun 2004, apakah mereka memiliki pengalaman secara langsung atau tidak, rumah mereka telah terpukul oleh tsunami dan anggota keluarga kehilangan atau tidak. Dalam hal pengetahuan, hasil deskriptif yang menunjukkan bahwa bagian jawaban yang benar tentang penyebab tsunami dan ketika tsunami akan terjadi adalah terhitung rendah sebanyak 38% di sekolah yang mengadopsi kurikulum bencana terpadu dan hanya 6% di sekolah yang tidak mengadopsi ada kurikulum tersebut. Tabel 3 menunjukkan bahwa bencana tsunami yang disebabkan oleh hukuman Allah tetap sama tinggi di kedua sekolah dengan masing-masing perolehan 31% dan 40%.

Tabel 1 Karakteristik subyek (siswa)

Karakteristik Subyek (siswa) Kurikulum N(%)

Non- Kurikulum

N(%)Kelas 97 (100%) 71 (100%)

456

0 (0%)54 (55%)43 (44%)

20 (28%)26 (37%)25 (35%)

Umur 89 (100%) 71 (100%)<10 thn10 thn11 thn12 thn13 thn

9 (9%)42 (43%)38 (39%)

9 (9%)0 (0%)

14 (20%)19 (27%)30 (42%)

5 (7%)3 (4%)

Jender 98 (100%) 69 (100%)Laki-lakiPerempuan

50 (51%)48 (49%)

37 (54%)32 (46%)

Hidup bersama 96 (100%) 71 (100%)Kedua orang tuaAyah sajaIbu sajaKakek/nenekSaudaraLainnya

89 (93%)1 (1%)1 (1%)0 (0%)3 (3%)2 (2%)

58 (82%)5 (6%)1 (2%)1 (2%)3 (4%)3 (4%)

Lama tinggal di rumah ini 98 (100%) 70 (100%)Kurang dari 1 tahun1- 3 tahun3- 5 tahunLebih dari 5 tahun

11 (11%)21 (22%)12 (12%)54 (55%)

8 (11%)11 (16%)10 (14%)41 (59%)

Jarak rumah ke pantai 95 (100%) 68 (100%)<500 m0.5-1 km1.1 – 2.0 km2.1-3.0 km>3 km

19 (20%)18 (19%)11 (12%)

7 (7%)40 (42%)

19 (28%)12 (17%)21 (31%)10 (15%)

6 (9%)

Tabel 2 Pengalaman Siswa dalam tsunami 2004

Pengalaman Siswa dalam tsunami 2004

Kurikulum

N (%)

Non- Kurikulum N

(%)

Mengalami Tsunami 2004 97 (100%) 69 (100%)

Ya,melihat dipantai

Ya, melihat di daratan

Diceritakan keuarga/media

10 (6%)

36 (22%)

51 (31%)

12 (17%)

23 (33%)

34 (50%0Rumah rusak 98 (100%) 70 (100%)

Ya

Tidak

Tidak tahu

65 (66%)

20 (21%)

13 (14%)

49 (70%)

7 (10%)

14 (20%)Kehilangan keluarga 98 (100%) 69 (100%)

Ya

Tidak

55 (56%)

43(44%)

37 (54%)

32 (46%)

62 Edisi 03/Tahun XIX/2013

tsunami dengan anggota keluarga (ayah, ibu, nenek, Tabel 1 Karakteristik subyek (siswa) pemuda dan pelajar yang melakukan kegiatan berwisata. Dalam pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan paket-paket rombongan studi ilmiah dan studi lingkungan, pengenalan kebuda yaan nasional, kegiatan pesta olah raga, dan masa liburan.

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kelima dijabarkan ke dalam 1 (satu) Program, yaitu Program Pengembangan Pariwisata yang akan diarahkan pada upaya untuk menarik jumlah wisatawan asing hingga mencapai lebih dari 2,5 juta orang pada tahun terakhir Repelita kelima. Dalam rangka mendorong pencapaian sasaran tersebut, Pemerintah memberikan izin bebas visa bagi wisatawan asing yang berasal dari negara pasaran wisata, pelonggaran lebih besar dalam kebijaksanaan pintu masuk, penyelesaian Rancangan Undang-undang Kepariwisataan Nasional (RUU Kepariwisataan Na sional), penyelesaian obyek Wisata (resort) di daerah tujuan wisata, pemberian insentif bagi calon investor dalam kepari wisataan (perpajakan, retribusi, pungutan) dan pemantapan promosi ke luar negeri, terutama dalam mencapai sasaran pasar wisata internasional. Selain itu pemerintah juga menambah jumlah negara yang mendapatkan bebas visa dari 26 negara menjadi 44 negara dan menambah pintu masuk wisman menjadi 13 Bandara Udara dan 16 pelabuhan laut, dari 9 bandar udara dan 7 pelabuhan laut.

Selama Repelita Kelima berbagai kawasan pariwisata telah dibangun dan beroperasi, antara lain Bali Tourism Development Corporation (Bali TDC) di Provinsi Bali dan Manado TDC di Provinsi Manado; Belitung TDC; Baturaden TDC; Krakatau-Lampung TDC; Goa Makasar TDC; dan Biak - Irian TDC. Pada 1995 atau tahun terkahir Repelita kelima kenaikan jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia masih cukup tinggi (86,91persen) dibandingkan dengan tahun 1989.

Pembangunan Jangka Panjang Kedua disusun dengan mengacu pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR) No. II/MPR/1993 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sebagaimana ditetapkan dalam GBHN tahun 1993, pariwisata merupakan industri jasa yang mempunyai peran penting dalam mendorong upaya meningkatkan penerimaan devisa, pendapatan daerah dan masyarakat, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa, dengan memanfaatkan keindahan dan kekayaaan alam Indonesia yang beraneka ragam.

Repelita keenam (1993/94 – 1998/99) yang merupakan tahapan pertama Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Kedua, ditetapkan dengan Ketetapan MPR-RI No. II/MPR/1993 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993 – 1998. Sejalan dengan amanah GBHN 1993, secara umum kebijakan pembangunan kepariwisataan terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas dan memeratakan kesempatan usaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memperkaya kebudayaan nasional dengan tetap mempertahankan kepribadian bangsa dan tetap terpeliharanya nilai-nilai agama, mempererat persahabatan antarbangsa, memupuk cinta tanah air, serta memperhatikan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Pembangunan kepariwisataan juga diarahkan untuk mendorong pengembangan, pengenalan, dan pemasaran produk nasional. Secara rinci kebijakan pembangunan kepariwisataan diarahkan pada upaya-upaya (a) meningkatkan peran pariwisata sebagai sektor andalan dalam pembangunan nasional melalui penyusunan konsep pengembangan pariwisata nasional yang kemudian dijabarkan ke dalam pengembangan pariwisata daerah; pengembangan obyek dan daya tarik wisata berikut sarana dan prasarana penunjangnya; (b) meningkatkan daya saing kepariwisataan Nasional melalui usaha pengembangan pemasaran dan promosi yang efi sien dan efektif termasuk pengembangan wisata Meetings, Incen tives, Congress, and Exhibitions (MICE); (c) mengembangkan pariwisata nusantara melalui pengembangan pola pembinaan agar aktivitas wisnus dapat saling mengisi dan saling menunjang dengan aktivitas wisman sehingga penggunaan fasilitas kepariwisataan yang ada dapat optimal; pengembangan pola penyebaran wisnus dalam rangka pemerataan pendapatan; serta pengembangan pariwisata nusantara agar dapat menjadi landasan yang mantap bagi kepariwisataan nasional; (d) mengembangkan SDM pariwisata melalui peningkatan pendidikan dan pelatihan tingkat dasar dan menengah, pendidikan untuk tingkat penyelia dan manajemen; pengembangan kemitraan; serta pengembangan dan peningkatan fasilitas pendidikan dan pelatihan; (e) meningkatkan peran serta koperasi, swasta, dan masyarakat melalui usaha kepariwisataan, baik yang berskala kecil, menengah maupun besar; pengembangan keterkaitan berbagai usaha pariwisata dengan berbagai sektor yang lain agar kegiatan ekonomi masyarakat dapat lebih meningkat lagi; (f ) memberikan kemudahan dan insentif untuk kegiatan investasi dan usaha; (g) membuat percontohan dan perintisan

27Edisi 03/Tahun XIX/2013

pemuda dan pelajar yang melakukan kegiatan berwisata. Repelita keenam (1993/94 – 1998/99) yang merupakan

MAJALAH.indd Spread 27 of 44 - Pages(62, 27)MAJALAH.indd Spread 27 of 44 - Pages(62, 27) 31/12/2013 16:01:1031/12/2013 16:01:10

pembangunan objek dan daya tarik wisata, serta (h) meningkatkan usaha perintisan untuk menjangkau daerah dan masyarakat tertinggal sebagai salah satu upaya mengentaskan kemiskinan; (i) mendorong usaha pariwisata berskala besar dan menengah untuk membantu penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja di kalangan usaha kecil, dan mengembangkan modul tingkat khusus untuk semua jenjang pekerjaan atau jabatan, terutama bagi usaha golongan menengah dan kecil; serta (j) membentuk unit pelatihan khusus untuk melakukan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja di daerah yang lokasinya berjauhan dengan lembaga pendidikan dan pelatihan yang ada.

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Keenam dijabarkan ke dalam 2 (dua) program pokok dan 5 (lima) program penunjang. Kedua Porgram Pokok tersebut adalah (1) Program Pengembangan Pemasaran yang meliputi kegiatan-kegiatan pemasaran dalam negeri dan pemasaran luar negeri; (2) Program Pengembangan Produk Wisata yang meliputi kegiatan-kegiatan: penyusunan rencana induk pengembangan kepariwisataan nasional dan rencana pengembangan kawasan, obyek dan daya tarik wisata yang mempunyai potensi; pengembangan obyek dan daya tarik wisata bahari yang mencakup antara lain; pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam, agrowisata, peninggalan sejarah dan budaya; pengembangan obyek wisata dan daya tarik wisata minat khusus; pengembangan dan pengelolaan kawasan pariwisata Krakatau, kawasan Batam dan Bintan dalam kaitan dengan kawasan kawasan Sijori, kawasan Aceh dan Sumatera Utara dalam kaitan dengan kawasan segitiga Utara, kawasan Sulawesi Utara dalam kaitan dengan kawasan Utara Indoneisa, dan Kawasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur dalam kaitan dengan kawasan Selatan Indonesia; pembangunan Taman Rekreasi dan tempat hiburan; pengembangan wisata konvensi di Jakarta, Bali, Medan, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya; pendirian usaha perjalanan wisata sebanyak yang dibutuhkan; pengembangan dan penyusunan informasi pariwisata; peningkatan peran serta koperasi, usaha kecil dan menengah dalam usaha pengembangan produk wisata; dan pembangunan sarana akomodasi sekitar 100.000 kamar tersebar di seluruh Indonesia sejalan dengan pengembangan obyek dan daya tarik wisata

Selanjutnya kelima Program Penunjang meliputi: (1) Program Pengemdalian Pencemaran Lingkungan Hidup; (2) Program Pendidikan, Pelatihan, dan

Penyuluhan Pariwisata; (3) Program Penelitian dan Pengembangan Pariwisata; (4) Program Pembangunan Prasarana pariwisata; dan (5) Program Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan dan Kesenian

Kebijakan pembangunan kepariwisataan selama periode Orde Baru cukup menggembirakan. Hal ini ditandai bahwa pada masa tersebut jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia meningkat secara mencolok dari 86,1 ribu orang dengan devisa yang dihasilkan sebesar USD 10,8 juta pada tahun 1969 menjadi 2.569,9 ribu orang (30 kali lipat dari tahun 1969) dengan devisa yang dihasilkan sebesar USD 2.518,1 juta pada tahun 19914 (Gambar....).

Gambar 5:

Grafik 6:

Sumber: Orde Baru Dalam Angka, Hasil-hasil Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama

Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Kedua yang seharusnya berlangsung sampai dengan tahun 2020, hanya dapat dilaksanakan Pembangunan

4 Sekretariat Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya, “Orde Baru Dalam Angka, Hasil-hasil Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama”, Jakarta 1992, hal. 96-97

28 Edisi 03/Tahun XIX/2013

pembangunan objek dan daya tarik wisata, serta (h) Penyuluhan Pariwisata; (3) Program Penelitian Meskipun surat Edaran Kementerian Pendidikan mendorong pemerintah daerah untuk mengadopsi Pendidikan Bencana berbasis Sekolah, namun di Aceh kebijakan tersebut secara resmi telah diterapkan meluas ke semua sekolah. Memiliki pengalaman mengembangkan SSB, didukung oleh pendanaan internasional yang disebut DRR - A, pada tahun 2011, TDMRC mulai meniru model SSB di 28 sekolah di tempat yang berbeda di Aceh . Sebagai ganti dari menerapkan pendidikan bencana berbasis kurikulum, mereka memulai proyek dengan pelatihan mengenai isu-isu bencana langsung kepada guru dan anak-anak sekolah yang terpisah dari mata pelajaran dan jam sekolah. Meskipun pada akhirnya, proyek ini akan menerapkan pendidikan bencana berbasis kurikulum sekolah, program yang diajarkan lebih interaktif dengan menggunakan berbagai metode seperti permainan peran, diskusi dan metode lainnya. Setiap bulan TDMRC melibatkan pemerintah daerah, organisasi Palang Merah mengadakan kegiatan yang berbeda di sekolah sesuai jadwal. Meskipun terdapat kegiatan serupa yang berkaitan dengan pendidikan bencana yang diadakan di sekolah-sekolah, namun terdapat perbedaan yang signifi kan terhadap cara yang berbeda dalam memasukan tema bencana berbasis kurikulum secara resmi dan waktu pelaksanaan.

Secara singkat, perbedaan metode antara sekolah dengan pendidikan bencana berbasis kurikulum dan sekolah non kurikulum adalah, di sekolah dengan kurikulum: (1) difasilitasi dan dibiayai oleh pemerintah pusat dan daerah, sementara di sekolah non-kurikulum oleh NGO, (2) permasalahan bencana telah digabungkan ke dalam mata pelajaran sekolah (Bahasa, Ilmu Sosial, Ilmu Pengetahuan, Agama, dll) sementara di non-kurikulum belum digabungkan, (3) topik bencana diajarkan oleh guru yang bertanggung jawab untuk setiap mata pelajaran, sementara di non-kurikulum diajarkan oleh staf NGO.

Melihat perbedaan tersebut, hipotesis penelitian adalah bahwa sekolah yang mengadopsi pendidikan bencana berbasis kurikulum lebih efektif dalam hal pengetahuan, kesadaran, risk reception, kesiapsiagaan bencana tsunami dibandingkan dengan sekolah yang mengadopsi non-kurikulum baik secara kelembagaan maupun individual. Pengaruh pendidikan bencana tidak hanya mempengaruhi pengetahuan, kesadaran kritis, dan persepsi risiko tetapi juga pada sikap kesiapsiagaan.

4. Metode

Survei dengan metode pembagian kuesioner dilakukan di antara anak-anak sekolah pada tiga sekolah di Banda Aceh (25-26 November 2011) dan kabupaten Aceh Jaya (27-28 November 2011). Sekolah A yang mengadopsi tema bencana ke dalam kurikulum sekolah (n = 98) dikelompokkan ke dalam Kelompok Sekolah 1 dan sekolah B dan C dikelompokkan ke dalam pendidikan bencana berbasis non kurikulum (n = 71) atau Kelompok Sekolah 2. Wawancara mendalam dengan guru, pejabat pemerintah daerah, dan organisasi non pemerintah dilakukan untuk membahas aspek-aspek terkait pelaksanaan kurikulum pengurangan risiko bencana.

Pembagian kuesioner dilakukan oleh peneliti dengan bantuan guru, staf pejabat pemerintah daerah dan LSM. Guru dan staf lokal diberi pengarahan dan dibekali dengan “penjelasan kuesioner” untuk memastikan siswa tepat dalam mengisi kuesioner. Awalnya 110 set kuesioner dibagikan dan dikembalikan 110 (100%) di Sekolah 1 tetapi hanya 98 (89%) yang dapat dianalisis. Hal tersebut dikarenakan tanggapan yang kurang lengkap. Sedangkan Sekolah 2, dari 80 kuesioner yang dikembalikan 75 (93%) namun hanya 71 (88%) dimasukkan dalam analisis, karena jawaban kurang lengkap.

Kuesioner dibagi menjadi tiga bagian: karakteristik demografi , pengalaman dengan tsunami 2004, dan pengetahuan anak-anak sekolah, persepsi risiko, kesadaran kritis, pemahaman dan kesiapsiagaan individual. Pengetahuan mengenai tsunami berasal dari dua pertanyaan, seperti “apa yang dimaksud tsunami dan penyebab tsunami” dan “kapan tsunami berikutnya dapat terjadi”. Tanggapan hanya memiliki satu jawaban yang benar, berkisar dari 0 sampai 2 (respon yang benar total = 2).

Persepsi risiko dievaluasi dengan 4 hal (Cronbach Alpha = 0,574) terdiri dari 1 hal mengenai “Bagaimana kemungkinan tsunami yang dapat terjadi selanjutnya” dan 3 hal mengenai “Apabila tsunami terjadi di daerah Anda, bagaimana kemungkinan anda berpikir hal tersebut dapat mempengaruhi /mengakibatkan bahaya bagi anda/keluarga anda (kerusakan properti dan mengganggu keluarga untuk mencari nafkah), (sangat tidak mungkin / sangat mungkin)”. Kesadaran kritis dinilai oleh 3 hal (Cronbach Alpha = 0,562) menggunakan karya dari Paton et. al .14 ) yang mana “saya berpikir tentang peristiwa tsunami dan dampak kami kehidupan kami”, “saya berbicara (membahas) tentang

61Edisi 03/Tahun XIX/2013

Meskipun surat Edaran Kementerian Pendidikan 4. Metode

MAJALAH.indd Spread 28 of 44 - Pages(28, 61)MAJALAH.indd Spread 28 of 44 - Pages(28, 61) 31/12/2013 16:01:1131/12/2013 16:01:11

kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, risk perception, dan critical awareness. Sudut pandang secara teori dan praktek menegaskan bahwa pengetahuan bencana di sekolah tidak hanya ditujukan pada pengetahuan murid sekolah, kesadaran kritis ,dan persepsi resiko tapi juga perubahan sikap terhadap kesiapsiagaan.

3. Pembangunan Program Kesiapsiagaan Bencana

berbasis Sekolah di Indonesia

Tidak lama setelah tsunami yang menghancurkan pada tahun 2004, pemerintah Indonesia didesak untuk mengadopsi kurikulum bencana ke dalam sekolah. Dikarenakan peliknya birokasi pendidikan, pembahasan mengenai pengurangan resiko bencana ke dalam sekolah menimbulkan perdebatan apakah pendidikan resiko bencana seharusnya dijadikan mata pelajaran khusus atau digabungkan dengan mata pelajaran yang sudah ada. Kedua metode tersebut memiliki keuntungan dan kerugian. Menciptakan mata pelajaran dengan tema bencana kedalam kurikulum dapat menimbulkan kesulitan dan memakan waktu yang lama untuk menerapkannya. Karena hal tersebut terkait dengan kebutuhan untuk mengubah peraturan, mengembangkan kurikulum yang mencakup nasional, dan mengadopsi karakteristik local kedalam mata pelajaran bencana.

Setelah memberlakukan Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana Nomor 24/2007, pemerintah mengembangkan kurikulum bencana dengan menerapkan proyek percontohan di beberapa sekolah baik untuk sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Pada tahun 2009, Pusat Pengembangan Kurikulum, Kementerian Pendidikan meluncurkan modul pengajaran tentang pengarusutamaan pengurangan risiko bencana berdasarkan jenis bencana seperti gempa bumi, tsunami, kebakaran, tanah longsor dan banjir15).

Pada saat yang bersamaan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan proyek percontohan untuk sekolah berbasis pendidikan bencana yang disebut Sekolah Siaga Bencana (SSB). SSB yang didukung oleh UNESCO, telah sukses diterapkan di tempat yang berbeda di Indonesia 7, 9, 28). Program mendasar dari SSB adalah mengembangkan kurikulum bencana melalui berbagai kegiatan termasuk pelatihan untuk pelatih yang ditujukan bagi para guru, lokakarya, pengembangan modul, pelatihan untuk warga

sekolah, melengkapi dengan kegiatan percobaan yang berkaitan dengan subjek bencana. Kegiatan lainnya adalah memasang tanda dan pesan tentang pendidikan bencana, membagikan bahan-bahan yang berhubungan dengan informasi bencana dan penilaian bangunan sekolah tahan gempa7, 28).

Kebijakan pengarusutamaan pendidikan bencana kedalam sekolah terutama ditandai dengan terbitnya Surat Edaran Menteri Pendidikan (Kemendiknas) No 70a/MPN/SE/2010 tentang Pengarusutamaan Bencana ke Sekolah oleh Kementerian Pendidikan27). Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah harus dapat mengadopsi dan mengembangkan sekolah berbasis program pendidikan bencana berdasarkan kebutuhan dan karakteristik daerah namun tetap didasarkan pada pedoman umum dari kebijakan pemerintah pusat dalam hal penanggulangan bencana.

Pada tahun 2009, proyek percontohan SSB mulai diterapkan di Aceh yang didukung oleh LIPI, UNESCO dan TDMRC9). Terdapat satu sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di Banda Aceh. Tema bencana telah digabungkan terutama ke dalam mata pelajaran Agama, Bahasa Indonesia, Ilmu Sosial, Ilmu Pengetahuan dan Muatan Lokal. Modul tersebut dikembangkan oleh para pemangku kepentingan daerah seperti Dinas Pendidikan Kota, guru, TDMRC berdasarkan pedoman nasional untuk kurikulum bencana.

Pada dasarnya mata pelajaran mengenai bencana diberikan kepada semua tingkatan kelas. Untuk satu mata pelajaran yang diajarkan dalam satu semester, setidaknya ada lebih dari 3 kali (2 jam) pembahasan dengan tema bencana. Terutama dalam Ilmu Alam dan Sosial, permasalahan mengenai bencana dibahas secara lebih mendalam dan rinci. Awalnya, para guru diberi pelatihan bagaimana mengembangkan dan mengajarkan tema mengenai bencana kepada anak-anak sekolah. Mereka juga didorong untuk mengembangkan metode yang berbeda dalam mengajar siswa seperti mengembangkan percobaan sederhana yang berkaitan dengan mata pelajaran tersebut dan metode lainnya seperti kegiatan ekstrakurikuler dan mengadakan pengajaran umum dengan mengundang narasumber dari luar sekolah. Sekolah juga harus dapat mengembangkan pedoman sekolah tentang penanggulangan bencana, rencana darurat, memasang petunjuk-petunjuk darurat, pameran pendidikan umum, dan pelatihan rutin bencana.

60 Edisi 03/Tahun XIX/2013

kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana, risk sekolah, melengkapi dengan kegiatan percobaan lima tahun Pertama. Hal ini disebabkan terjadinya gejolak politik dan ekonomi pada tahun 1998 yang mengakibatkan jatuhnya Orde Baru dan melahirkan era Reformasi. Peristiwa tersebut mengakibatkan situasi dalam negeri yang kurang kondusif dan akhirnya berdampak pula pada menurunya jumlah kunjungan wisman pada tahun 1998 sebesar 12,11 persen dari tahun 1997.

Empat tahun pertama masa Reformasi dikenal dengan masa transisi. Dalam masa tersebut kebijakan perencaaan pembangunan kepariwisataan mengacu pada Program Pembangunan Nasional Lima Tahun. Sesuai dengan amanah GBHN 1999 – 2004, arah kebijakan pembangunan nasional dituangkan dalam Program Pembangunan Nasional Lima Tahun (Propenas) yang ditetapkan oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) tahun 2000 – 2004. Propenas kemudian dirinci dalam Rencana Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditetapkan oleh Presiden bersama DPR. Di dalam GBHN disebutkan bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor yang mendukung pembangunan ekonomi -“Mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif berdasarkan keunggulan komparatif sebagai negara maritim dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan di setiap daerah, terutama pertanian dalam arti luas, kehutanan, kelautan, pertambangan, pariwisata, serta industri kecil dan kerajinan rakyat”.

Dalam periode Propenas, kebijakan pengembangan Pariwisata diarahkan untuk mendukung kebijakan Peningkatan Daya Saing pariwisata dan diprioritaskan pada upaya pemulihan citra pariwisata yang sempat menurun sebagai akibat dari peristiwa bom Bali pada tahun 2002 dan tahun 2005. Kedua peristiwa tersebut tentu saja berdampak pada menurunnya jumlah wisman yang berkunjung ke Indonesia (Grafi k 2) mengingat Bali merupakan penyumbang terbesar jumlah wisman. Secara khusus pembangunan pariwisata diarahkan untuk mendukung pencapaian sasaran prioritas pembangunan nasional, yaitu “ Meningkatnya kesejahteraan rakyat, kualitas kehidupan beragama, dan meningkatnya ketahanan budaya” melalui pengembangan kepariwisataan dengan secara

terpadu bersifat interdisipliner dan partisipatoris dan menggunakan kriteria ekonomis, teknis, ergonomis, sosial budaya, hemat energi, melestarikan alam, dan tidak merusak lingkungan.

Kebijakan pariwisata tersebut dilaksanakan melalui 1 (satu) program yaitu program pengembangan pariwisata. Program ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperluas diversifi kasi produk dan kualitas pariwisata nasional yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat, kesenian, dan kebudayaan, dan sumber daya alam (pesona alam) lokal dengan tetap memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan hidup setempatl; mengembangkan dan memperluas pasar pariwisata terutama pasar luar negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan-kegiatan pokok yang akan dilakukan antara lain (i) merumuskan reformasi kebijakan pariwisata nasional berlandaskan pemberdayaan sumber daya lokal; (ii) merumuskan strategi pemasaran industri pariwisata dengan penekanan pada keterpaduan antara produk dan pemasaran pariwisata; (iii) mengembangkan sumber daya alam; (iv) mengembangkan serta pengkayaan kesenian dan kebudayaan tradisional sebagai produk wisata potensial; (v) meningkatkan profesionalisme SDM pariwisata; dan meningkatkan aksessbilitas ke tujuan-tujuan wisata potensial; (vi) meningkatkan kemampuan lembaga pelayanan publik; dan (vii) meningkatkan koordinasi

Dalam rangka menata dan memperkuat perencanaan pembangunan nasional pada tahun 2007 dikeluarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang-undang tersebut mengamanahkan untuk menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Dalam Pasal 19 ayat (1), Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menetapkan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ditetapkan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah Presiden dilantik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional merupakan penjabaran visi, misi, dan program Presiden selama 5 (lima) tahun, ditempuh melalui Strategi Pokok yang dijabarkan dalam Agenda Pembangunan Nasional memuat sasaran-sasaran pokok yang harus dicapai, arah kebijakan, dan program-program pembangunan. Disamping itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional disusun dengan tetap mempertimbangkan amanah

29Edisi 03/Tahun XIX/2013

lima tahun Pertama. Hal ini disebabkan terjadinya terpadu bersifat interdisipliner dan partisipatoris dan

MAJALAH.indd Spread 29 of 44 - Pages(60, 29)MAJALAH.indd Spread 29 of 44 - Pages(60, 29) 31/12/2013 16:01:1231/12/2013 16:01:12

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025 yang ditetapkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.

Sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005 – 2025 dan dalam rangka memperkuat Perekonomian Domestik dengan Orientasi dan Berdaya Saing Global pembangunan Kepariwisataan diarahkan untuk mendorong kegiatan ekonomi dan meningkatkan citra Indonesia, meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, serta memberikan perluasan kesempatan kerja. Pengembangan kepariwisataan memanfaatkan keragaman pesona keindahan alam dan potensi nasional sebagai wilayah wisata bahari terluas di dunia secara arif dan berkelanjutan, serta mendorong kegiatan ekonomi yang terkait dengan pengembangan budaya bangsa. Amanah tersebut kemudian dijabarkan dalam rencana lima tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

RPJMN Pertama merupakan penjabaran lima tahun pertama dari kebijakan pembangunan keparwisataan yang diamanahkan oleh RPJPN 2005 – 2025. RPJMN ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004 – 2009. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam RPJMN pertama diarahkan untuk mendukung peningkatan daya saing pariwisata di tingkat global dalam rangka mencapai sasaran Prioritas Nasional “Peningkatan Investasi dan peningkatan ekspor”.

Arah kebijakan pengembangan kepariwisataan adalah adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara yang difokuskan pada upaya: (a). Peningkatan efektivitas kelembagaan promosi pariwisata, baik di dalam maupun di luar negeri; (b). Pengembangan jenis dan kualitas produk-produk wisata, terutama pengembangan wisata bahari yang potensinya sangat besar dengan tetap memperhatikan pembangunan yang berkelanjutan; (c) harmonisasi dan simplifi kasi berbagai perangkat peraturan yang terkait di dalam mendukung pengembangan pariwisata, termasuk di dalamnya wisata bahari; dan (d) Optimalisasi dan sinkronisasi dalam pengelolaan jasa pelayanan pariwisata, terutama yang melibatkan lebih dari satu moda transportasi.

Dalam RPJMN Pertama (2004 – 2009), kebijakan pembangunan kepariwisataan dilaksanakan dengan 3 (tiga) program pembangunan, yaitu: (1) Program Pengembangan Pemasaran Pariwisata. Program ini ditujukan untuk menciptakan promosi pariwisata yang efektif dengan pendekatan profesional, kemitraan antara swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan. (2) Program Pengembangan Destinasi Pariwisata. Program ini ditujukan untuk meningkatkan pengelolaan destinasi wisata dan aset-aset warisan budaya menjadi obyek daya tarik wisata yang atraktif dengan pendekatan profesional, kemitraan swasta, pemerintah, dan masyarakat dan memperkuat jaringan kelembagaan serta mendorong investasi. dan (3) Program Pengembangan Kemitraan. Program ini bertujuan untuk mengembangkan dan memperkuat jaringan kerjasama antara Pemerintah (pusat-kabupaten/kota)-swasta-dan masyarakat dan pelaku industri budaya dan pariwisata di dalam maupun di luar negeri dalam bidang penelitian, sumber daya manusia, dan kelembagaan dan sekaligus mengembangkan pariwisata yang berbasis budaya.

RPJMN Kedua ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010 – 2014. Dalam RPJMN Kedua, Presiden menetapkan 11 Prioritas Naional, yaitu: (1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola; (2) Pendidikan; (3) Kesehatan; (4) Penanggulangan Kemiskinan; (5) Ketahanan Pangan; (6) Infrastruktur; (7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha; (8) Energi; (9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana; (10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca-Konfl ik; (11) Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi. Disamping itu, juga telah ditetapkan 3 Prioritas Lainnya Bidang Politik, Hukum dan Keamanan; Prioritas Lainnya Bidang Ekonomi, dan Prioritas Lainnya Bidang Kesejahteraan Rakyat. Pariwisata merupakan salah satu prioritas nasional yang diharapkan mampu mendukung pencapaian sasaran Prioritas Lainnya Bidang Kesejahteraan Rakyat.

Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam RPJMN Kedua difokuskan pada upaya mendukung pelaksanaan amanah presiden terpilih, yaitu: (i) peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20% secara bertahap dalam 5 tahun; (ii) promosi 10 tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif; (iii)

30 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun Dalam RPJMN Pertama (2004 – 2009), kebijakan tahun 1995, sebagai contoh, guru dan pemerintah daerah mengembangkan penanggulangan bencana ke dalam mata pelajaran seperti geografi , sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan jasmani dan kesehatan, lingkungan 21,23). Pendekatan lainnya termasuk simulasi permainan, lokakarya, pembuatan peta, pelatihan rutin kuis danmenciptakan kompetensi2, 25).

Pengarusutamaan pengurangan resiko bencana diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan anggota masyarakat, tingkat kesadaran dan persepsi bencana, dan kesiapan dalam menanggapi bencana di masa mendatang. Kesadaran akan bahaya merupakan salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam menanggulangi bencana14). Paton et al.,14) menyimpulkan bahwa kesadaran kritis menentukan kesiapsiagaan masyarakat dalam hal gempa dan bahaya kebakaran. Selain itu, adanya keterikatan yang erat antara kesadaran umum dan kesiapsiagaan bencana dikemukakan oleh Pusat Ancaman Alam, Universitas Colorado11).

Bagaimana masyarakat mengartikan resiko sering dianggap sebagai sebuah penanda penting dari keputusan mereka untuk melakukan persiapan terhadap ancaman alam. persepsi resiko mengacu pada kemungkinan bahwa bahaya yang akan terjadi dan dampak yang parah bagi mereka11,18,19).

Sementara semakin tingginya persepsi resiko dapat memotivasi masyarakat dalam mengambil tindakan untuk kesiapsiagaan, sebaliknya rendahnya persepsi mengurangi penyesuaian dalam mengadopsi bencana. Johnston et. Al.,6) mengidentifi kasikan peran penting risk perception dan tingkat pengetahuan mengenai bahaya dalam mempengaruhi masyarakat untuk penanggulangan persitiwa bencana. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Shaw22) menunjukan bahwa pendidikan sekolah mengenai bencana memberikan kontribusi untuk pengembangan pengetahuan dan persepsi dari bencana gempa namun terbatas pada kesiapsiagaan gempa.

Penelitian bencana yang dilakukan di negara berkembang menemukan bahwa masyarakat mengartikan bahaya berdasarkan pada budaya dan kepercayaan agama daripada pengetahuan modern10). Di Indonesia, anggapan bahwa penyebab bencana merupakan hukuman Tuhan dikarenakan dosa oleh manusia masih berlaku17, 10). Aceh merupakan sebuah provinsi khusus di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, pengetahuan mengenai tsunami akan berguna

dalam meneliti persepsi siswa terhadap bencana tsunami.

Beberapa ahli menyarankan bahwa tujuan dari pendidikan umum termasuk di sekolah tidak hanya terbatas pada meningkatkan kemampuan, persepsi resiko dan kesadaran tapi juga memiliki sikap kesiapsiagaan. Murata et.al12) memberikan perhatian mengenai pentingnya proses menafsirkan dari pengetahuan ke dalam tindakan dengan memberikan pengetahuan baik di sekolah dan masyarakat sehingga mereka akan siap dalam menghadapi tsunami.

GeoHazard International4), Sugimoto et.al.,26) ICHARM-UNESCO5), and Murata et.al.,12) memberikan pedoman bagaimana membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Murata et.al.,12) menyarankan bahwa untuk menekan dampak dari tsunami, masyarakat harus menciptakan sebuah “budaya bencana” melalui pembelajaran (menyiapkan diri dengan pengetahuan khusus mengenai tsunami), pelatihan rutin (berlatih secara teratur untuk menghindari kehilangan pengetahuan) dan latihan (kemahiran dibuktikan dengan latihan). GeoHazard International menyarankan bahwa membuat ancaman tsunami dan peta jalur evakuasi merupakan contoh bagus dalam memulai upaya kesiapsiagaan.

Sugimoto et., al.,26) menyatakan bahwa membangun perangkat unik, tiang ketinggian tsunami dapat membuat masyarakat mengingat dampak tsunami dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, berlatih secara teratur dan mengenal jalur evakuasi sangat berguna ketika terjadi bencana4, 5, 12, 26), kepanikan sering terjadi. Mengenal baik jalur evakuasi akan membantu orang dalam menemukan tempat yang lebih aman ketika bencana tsunami terjadi. Oleh sebab itu, mengunjungi atau berlatih di jalur evakuasi tsunami menjadi salah satu sikap penting dalam kesiapsiagaan tsunami. Tingkat kesiapsiagaan siswa dapat terlihat dari intensitas mengunjungi museum tsunami, kapal terdampar, dan pemakaman massal sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah sebagai fasilitas pendidikan bencana tsunami dan fasilitas kedaruratan lainnya1,5). Objek utama dari penelitian ini adalah murid sekolah, dimana kesiapsiagaan individu ditekankan dengan kegiatan murid sekolah yang berkaitan dengan fasilitas bencana dan peringatan bencana, sementara persiapan “nyata” harus dilakukan oleh orang dewasa.

Secara singkat, penelitian sebelumnya telah mengevaluasi faktor-faktor penting terkait dengan

59Edisi 03/Tahun XIX/2013

tahun 1995, sebagai contoh, guru dan pemerintah dalam meneliti persepsi siswa terhadap bencana

MAJALAH.indd Spread 30 of 44 - Pages(30, 59)MAJALAH.indd Spread 30 of 44 - Pages(30, 59) 31/12/2013 16:01:1331/12/2013 16:01:13

tsunami dibandingkan dengan masyarakat di Pulau Simeleu dimana korban tewas sebanyak 44 orang, karena masyarakat Simeleu mendengar cerita turun-menurun dari para leluhur mengenai tsunami3).

Pemerintah, lembaga daerah, nasional dan internasional serta Organisasi Non Pemerintah (NGO) memberikan perhatian untuk mendidik masyarakat agar lebih sadar bencana dan siaga ketika terjadi bencana. Karena anak-anak merupakan salah satu kelompok yang rentan akan bencana, pemerintah melakukan upaya dengan memperkenalkan pendidikan bencana berbasis sekolah dengan memasukkan pengurangan resiko bencana ke dalam kurikulum sekolah. Pengenalan pendidikan bencana berbasis kurikulum di sekolah diharapkan dapat membuat sekolah menjadi lebih sadar akan bencana alam2.

Pada tahun 2009, pemerintah mulai mengembangkan sebuah proyek percontohan dari penggabungan pendidikan bencana ke dalam kurikulum sekolah atau Sekolah Siaga Bencana (SBB) atau Program Kesiapsiagaan Bencana berbasis Sekolah (PKBS). SSB difokuskan pada pembangunan struktur, infrastruktur, dan sistem sekolah. Struktural termasuk pembangunan gedung sekolah, sementara non structural mencakup peningkatan pengetahuan, keahlian, modul, sistem peringatan dini sekolah, perencanaan darurat sekolah, dan pengerahan kemampuan sumber daya sekolah selama bencana7)..

Sementara terbatasnya sekolah yang memiliki kesempatan demikian, beberapa NGO mencoba untuk mengembangkan pendidikan bencana sekolah di sekolah lain yang tidak tercakup oleh PKBS. Didukung oleh pendanaan internasional yang disebut DRR-A, pada tahun 2011, Tsunami Disaster Management Researh Centre (TDMRC) mulai mereplikasi model SSB di sekolah yang berbeda-beda di Aceh. Sebagai ganti dalam menerapkan pendidikan bencana berbasis kurikulum, TDMRC memulai proyek tersebut dengan pelatihan mengenai pelatihan bencana kepada para guru dan murid-murid sekolah secara terpisah dari mata pelajaran dan jam sekolah.

Walaupun pendekatan yang berbeda diterapkan pada pendidikan bencana di sekolah, kedua program tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu: membangun pengetahuan, kesadaran, dan keahlian dalam mendukung sekolah agar mampu mempersiapkan, tanggap terhadap bencana dan pulih dari bencana7,28). Oleh karenanya, penting untuk mengevaluasi

efektifi tas kedua program tersebut dalam peningkatan pengetahuan sekolah, kesadaran, persepsi resiko, dan kesiapsiagaan bencana tsunami. Penelitian terhadap kesiapsiagaan bencana berbasis sekolah di Indonesia masih sedikit. Penelitian ini menguji efektifi tas dari pendidikan bencana berbasis kurikulum dan sekolah berbasis non kurikulum terhadap pengetahuan siswa, persepsi resiko kesadaran dan perilaku kesiapsiagaan. Pendekatan yang berbeda terhadap pendidikan kebencanaan di sekolah juga akan didiskusikan.

2. Peran Penting Sekolah dalam Pengurangan

Resiko Bencana

Bencana tidak membeda-bedakan ras, jenis kelamin, umur, dan tempat2). Bahkan bencana hampir sering menimpa golongan yang rentan, seperti anak-anak, lansia, perempuan, dan orang-orang miskin. Terutama anak-anak, mereka adalah anggota masyarakat yang paling rentan terhadap bencana karena mereka memiliki kapasitas dan sumber daya yang terbatas dalam mengatasi bencana. Terdapat pengakuan secara luas bahwa pendidikan bencana yang efektif harus dimulai pada tingkat individu, keluarga, sekolah, dan masyarakat20).

Sekolah berperan penting dalam membangun kesadaran bencana dalam masyarakat, dengan demikian upaya yang dilakukan adalah bagaimana membangun sekolah yang siap siaga menghadapi bencana alam 27). Sekolah memiliki beberapa fungsi dalam pengurangan resiko bencana termasuk memfasilitasi dan bekerjasama dengan lingkungan sekitar, meningkatkan kacakapan masyarakat, pusat penampungan pengungsi ketika terjadi bencana, dan memberikan contoh model gedung sekolah tahan gempa kepada masyarakat23,24,13). Belajar dari kejadian di Jepang, sekitar 60% penampungan pengungsi adalah gedung sekolah selain fasilitas umum seperti kantor pemerintahan, kantor pemadam kebakaran, dan kantor polisi27). Dalam kaitannya dengan kesadaran umum, sekolah dapat bertindak sebagai perantara dalam masyarakat yang bertanggungjawab untuk menyebarluaskan informasi bencana kepada keluarga siswa dan anggota masyarakat1,29).

Pendekatan umum yang sering digunakan untuk membangun sekolah tahan gempa adalah dengan memasukan mata pelajaran bencana ke dalam kurikulum sekolah. Defi nisi kurikulum mengacu “pada pendidikan sebagai tempat untuk menciptakan budaya keselamatan”27). Setelah gempa Kobe pada

58 Edisi 03/Tahun XIX/2013

tsunami dibandingkan dengan masyarakat di Pulau efektifi tas kedua program tersebut dalam peningkatan perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata; (iv) peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitf di kawasan Asia.

Dalam rangka mendukung pencapaian sasaran tersebut, kebijakan pembangunan kepariwisataan terutama diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteran rakyat, dengan tetap memperhatikan asas manfaat, kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan, kemandirian, kelestarian, partisipasi masyarakat, berkelanjutan, demokratis, kesetaraan, dan kesatuan serta berpegang pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Kebijakan tersebut kemudian dijabarkan ke dalam strategi-strategi (a) pengembangan industri pariwisata dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dan peluang usaha yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja; (b) pengembangan destinasi pariwisata dengan mendorong perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata, melakukan konsolidasi akses transportasi mancanegara dan dalam negeri, terutama ke sepuluh tujuan pariwisata Indonesia, dan mengembangkan kawasan strategis dan daya tarik pariwisata berbasis wisata bahari, alam, dan budaya di luar Jawa dan Bali, termasuk industri kreatif, serta mengembangkan desa wisata melalui PNPM Mandiri; (c) pengembangan pemasaran dan promosi pariwisata dengan meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20 (dua puluh) persen secara bertahap dalam 5 (lima) tahun dan mempromosikan ke 10 (sepuluh) tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif, serta menguatkan strategi pemasaran dan promosi pariwisata terpadu berbasis teknologi informasi dan komunikasi, dan responsif terhadap pasar; (d) pengembangan sumber daya pariwisata dengan strategi meningkatkan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di kawasan Asia, dan meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan kepariwisataan.

Strategi tersebut diatas didukung oleh peningkatan koordinasi lintas sektor pada tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang (a) pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; (b) keamanan dan ketertiban; (c) prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan; (d) transportasi darat, laut, dan udara; dan (e) bidang promosi dan kerja sama luar negeri; serta koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.

Di dalam RPJMN Kedua (2010 – 2014), arah kebijakan pembangunan pariwisata dijabarkan ke dalam fokus prioritas dan kegiatan prioritas sebagai berikut:

1. Fokus Prioritas Pengembangan Industri Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Pengembangan Usaha, Industri, dan Investasi Pariwisata; dan (b) Pengembangan Standardisasi Pariwisata.

2. Fokus Prioritas Pengembangan Tujuan Pariwisata yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Pengembangan Daya Tarik Pariwisata; (b) Pemberdayaan Masyarakat di Tujuan Pariwisata; (c) Peningkatan PNPM Mandiri Bidang Pariwisata; dan (d) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Direktorat Jenderal Pengembangan Tujuan Pariwisata

3. Fokus Prioritas Pengembangan Pemasaran dan Promosi Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Peningkatan Promosi Pariwisata Luar Negeri; (b) Peningkatan Promosi Pariwisata Dalam Negeri; (c) Pengembangan Informasi Pasar Pariwisata; (d) Peningkatan Publikasi Pariwisata; (e) Peningkatan Pertemuan, Perjalanan Insentif, Konferensi, dan Pameran (Meeting, Incentive Travel, Conference, and Exhibition/MICE); dan (f ) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Direktorat Jenderal Pemasaran

I. Fokus Prioritas Pengembangan Sumber Daya Pariwisata, yang didukung oleh kegiatan prioritas: (a) Pengembangan SDM Kebudayaan dan Pariwisata; (b) Penelitian dan Pengembangan Bidang Pariwisata; (c) Pengembangan Pendidikan Tinggi Bidang Pariwisata

31Edisi 03/Tahun XIX/2013

perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana Strategi tersebut diatas didukung oleh peningkatan

MAJALAH.indd Spread 31 of 44 - Pages(58, 31)MAJALAH.indd Spread 31 of 44 - Pages(58, 31) 31/12/2013 16:01:1431/12/2013 16:01:14

Tabel 2 :

Perkembangan Wisatawan

Tahun 2009-2012

URAIAN 2008 2009 2010 2011 2012

Wisatawan mancanegara

– Jumlah (juta) 6,23 6,32 7,00 7,65 8.04

– Rata-rata pengeluaran per kunjungan (USD) 1.178,54 995,93 1.085,75 1.118,26 1.133,81

– Rata-rata lama tinggal (hari) 8,58 7,69 8,04 7,84 7,70

– Rata-rata pengeluaran per hari (USD) 137,38 129,57 135,01 142,69 147,22

– Penerimaan devisa (Juta USD) 7,347,60 6.297,99 7.603,45 8.554,39 9.120,85

Wisatawan nusantara

– Jumlah pergerakan (juta perjalanan) 225,04 229,73 234,38 236,75 105.95*

– Rata-rata pengeluran per perjalanan (ribu) 547,33 600,30 641,76 662,68 n.a.

– Total pengeluaran wisnus (Rp.Trilliun) 123,17 137,91 150,41 156,89 n.a

Wisatawan Nasional- Jumlah (juta orang) 4,99 5,05 6,23 6,75 7,31- Rata-rata lama tinggal (hari) 10,62 8,81 8,20 7,67 7,67**- Total pengeluaran selam diluar negeri (juta USD) 5.245,02 4.939,01 6.090,00 6.308,26 7.173,24**

Sumber: Kemenparekraf dan BPS*Data Sementara; ** angka estimasi

II. TANTANGAN DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN

KEPARIWISATAAN KE DEPAN

Pariwisata merupakan salah satu industri jasa yang mempunyai peluang pasar dunia yang cukup tinggi. World Tourism Organisation (2007)5 memperkirakan bahwa pada tahun 2020 jumlah wisatawan akan mencapai jumlah lebih dari 1,56 miliar orang dengan kontribusi dari wilayah Asia Timur/Pasifi k

5 UN-WTO, 2007, “Tourism Highlight 2007 Edition, Fact & Figure

sekitar 397,17 juta orang (Tabel 3). Sebagai negara yang mempunyai potensi wisata yang besar dengan keunikan budaya dan keindahan alamnya diharapkan mampu memanfaatkan peluang pasar tersebut dan terus menerus berupaya meningkatkan pangsa pasar nya di dunia. Oleh karenanya, untuk merebut pasar dunia tersebut daya saing pariwisata dari sagala aspek termasuk aspek SDM harus ditingkatkan terus.

32 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Tabel 2 :

Efektifi tas Dampak Penerapan Pendidikan Kebencanaan Efektifi tas Dampak Penerapan Pendidikan Kebencanaan di Sekolah terhadap Kesiapsiagaan Siswa Menghadapi di Sekolah terhadap Kesiapsiagaan Siswa Menghadapi

Bencana Tsunami di Aceh, IndonesiaBencana Tsunami di Aceh, Indonesia

Wignyo Adiyoso1 dan Hidehiko Kanegae2

Abstract

After 2004 tsunami eff orts have been made to build school disaster resilience yet study of its eff ectiveness is limited. This study examines the eff ect of diff erent disaster education programs on school children’s knowledge, risk perception, awareness and preparedness behaviour. Data gathered from 169 school children (Group 1=98 and Groups 2=71) in 3 elementary schools in Aceh. Using the MANOVA analysis revealed that there was signifi cant diff erence of knowledge, risk perception, individual preparedness and school preparedness but not for critical awareness among school children. The important fi nding is that the eff ect of the implementation of the curriculum-based disaster issues in school can promote the school children’s preparedness behaviour although limited only visiting disaster education and emergency facilities. The common knowledge that god punishment is as the main cause of tsunami should be addressed

1Staf, Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Bappenas

2Professor, Graduate School of Policy Science, Ritsumeikan University, Japan

comprehensively—not limited in school. Teachers and students play the important role in raising public awareness, spreading correct knowledge about disaster and promoting behavioural preparedness on disaster in the wider community rather than limited in school. This study provides evidence that the curriculum-based disaster education program was eff ective.

1. Pendahuluan

Tsunami pada Desember 2004, yang dipicu oleh gempa berkekuatan 9.0 SR di sebelah utara pulau Sumatera mengakibatkan kerugian yang sangat besar dari segi sosial, ekonomi, serta mata pencaharian masyarakatnya. Diantara negara-negara yang terletak di sepanjang kawasan Samudra Hindia yang terkena dampak tsunami, Aceh merupakan daerah paling parah dengan korban tewas sebanyak 123,000 jiwa, 113,000 orang hilang, dan 406,000 orang kehilangan tempat tinggal16). Lebih tingginya jumlah korban yang tewas disebabkan oleh tidak adanya sistem peringatan dini dan kurangnya kesiapsiagaan dari masyarakat7). Masyarakat terutama di Banda Aceh tidak memiliki pengalaman mengenai

57Edisi 03/Tahun XIX/2013

MAJALAH.indd Spread 32 of 44 - Pages(32, 57)MAJALAH.indd Spread 32 of 44 - Pages(32, 57) 31/12/2013 16:01:1531/12/2013 16:01:15

VI. Conclusion

As can be seen from the elaboration of MDGs and its controversial indicators that try to measure the achievement of women equality and women justice at the same time, the result is necessarily unsatisfying, especially for women. It is true that indicators can support the achievement of gender equality, but MDGs are still too narrow to measure the dynamics of women experiences and violations of their rights. The unsupportive characters possessed by these indicators show that development and human rights continuously refl ect the imbalanced structures of

power that characterized the relationship between Third World and international hegemonies. Women’s movement in Indonesia will continuously be reluctant to become participation of development planning, if the national structures still represent that kind of relationship. Therefore, female involvement in the Indonesian development needs to be more about substantive involvement instead of formality. In each process of development planning and decision-making, the agendas of substantive gender equality and gender justice should be regarded as equal priorities, in order to treat the measurement of women’s rights diff erently.

56 Edisi 03/Tahun XIX/2013

VI. Conclusion power that characterized the relationship between Gambar berikut menggambarkan tingkat pertumbuhan jumlah wisatawan sampai dengan 2020.

Gambar 1:

Sumber: UN-WTO 2007, Tourism Highlight 2007 Edition: Fact & Figure

Tabel 3 :

Sumber: UN-WTO 2007, Tourism Highlight 2007 Edition: Fact & Figure

Dalam rangka meningkatkan daya saing pariwisata, berbagai kendala yang hampir setiap tahun dihadapi adalah sinergi dan koordinasi perencanaan dan pelaksanaann antar pemangku kepentingan. Hal ini dikarenakan Pariwisata merupakan sektor yang multidisiplin sehingga keberhasilan pembangunannyapun sangat tergantung dari sektor lain seperti sektor perhubungan dan transportasi, infrastruktur. Setelah era otonomi daerah dimana kewenangan pembangunan kepariwitaan ada di Pemerintah daerah koordinasi dan sinergi dengan pemerintah daerah harus selalu ditingkatkan. Koordinasi

dan sinergi yang belum optimal akan berdampak pula pada pengembangan dan pengelolaan destinasi dan promosi pariwisata serta sumber daya manusia pariwisata.

Dalam era globalisasi dimana antar negara tidak ada batas, persaingan untuk menarik wisatawan global akan semakin ketat. Kondisi ini diperparah dengan krisis keuangan global yang dikhawatirkan akan menurunkan pasar pariwisata dunia sehingga akan menambah sulitnya merebut pasar dunia. Oleh karenanya, pengembangan wisata domestik merupakan salah satu alternatif untuk mempertahankan pariwisata sebagai tulang punggung perekonomian. Paradigma untuk menjadikan destinasi unggulan dunia secara bertahap dirubah untuk menjadikan destinasi unggulan wisata nusantara. Faktor lain yang sangat penting dan perlu mendapatkan perhatian adalah Kemajuan Teknologi Komunikasi dan Informasi. Pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi menuntut adanya perubahan strategi dalam pemasaran pariwisata.

Pada akhirnya, kebijakan pembangunan kepariwisataan tidak semata-mata hanya menyangkut koordinasi antar pemangku kepentingan, infrastruktur, sumber daya dan produk pariwisata, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kebijakan pariwisata mampu mendatangkan manfaat bagi ekonomi dan masyarakat lokal, serta menciptakan tenaga kerja, sekaligus memperkuat jatidiri bangsa.

III. SUMBANGAN PEMIKIRAN SEBAGAI ALTERNATIF

KEBIJAKAN

Pada tahun 2009 Pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 10 Tentang Pariwisata. Salah satu amanah Undang-undang tersebut adalah pemerintah harus segera menyusun Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) dan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah (RIPPARDA) bagi daerah sebagai acuan pokok pembanguan kepariwisataan. Sejalan dengan amanah tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2010 – 2025. Berdasarkan RIPPARNAS, pendekatan pembangunan adalah pendekatan perwilayahan, yaitu Perwilayahan Destinasi Pariwisata Nasional (DPN)6. Perwilayahan pembangunan DPN merupakan

6 Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) adalah Destinasi Pariwisata yang berskala Nasiomal, RIPPARNAS, hal. 11

33Edisi 03/Tahun XIX/2013

Gambar berikut menggambarkan tingkat pertumbuhan dan sinergi yang belum optimal akan berdampak

MAJALAH.indd Spread 33 of 44 - Pages(56, 33)MAJALAH.indd Spread 33 of 44 - Pages(56, 33) 31/12/2013 16:01:1831/12/2013 16:01:18

hasil perwilayahan pembangunan kepariwisataan yang diwujudkan dalam bentuk DPN (ada 50 DPN) dan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional yang selanjutnya disingkat KSPN (ada 88 KSPN). Disamping RIPPARNAS, pembangunan kepariwisataan juga harus tetap mempertimbangkan tata ruang nasional yang tertuang dalam Undang-undang RI No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Pengembangan ke 50 DPN tersebut tidak mungkin dilakukan secara bersamaan melainkan dilakukan secara bertahap dan terfokus selama 15 tahun sehingga pemanfaatan dana pembangunan baik yang bersumber dari Pemerintah maupun Swasta dapat optimal.

Dalam periode 5 (lima) tahun kedua pelaksanaan RIPPARNAS, pembangunan kepariwisataan diprioritaskan pada (i) mengembangkan DPN yang berpotensi untuk menjadi titik tolak penyebaran wisatawan ke daerah lain dan mampu menciptkan multiplier eff ect perekonomian bagi daerah lain di Indonesia; (ii) mengembangkan destinasi wisata lainnya yang merupakan rangkaian dari destinasi yang telah dikembangkan pada tahun-tahun sebelumnya (i); (iii) Destinasi yang terletak dalam Kawasan Strategis Nasional (KSN) dan Kawasan Andalan menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007.

Selanjutnya dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, kegiatan-kegiatan penting yang juga perlu mendapat perhatian utama adalah:

i. Pengembangan pariwisata berbasis Teknologi Informasi. Pada era teknologi seperti saat ini, e-business telah menjadi strategi baru dalam pemasaran pariwisata. Dalam beberapa hal e-business mampu memberikan banyak kemudahan, baik dalam konteksi business to business (B to B), maupun business to customer (B to C). Sebagai salah satu strategi, e-business akan sangat mendukung pelaksanaan rencana-rencana bisnis masa depan yang tidak lagi boros (high cost economy) tetapi merupakan rangkaian strategi yang lebih afektif dengan jangkauan yang jauh lebih luas, tanpa batas.

ii. Investasi. Mendorong tumbuhnya investasi di industri pariwisata dengan memberikan insentif bagi investor yang akan beriventasi dalam industri pariwisata dan terlibat dalam pengembangan kepariwisataan

iii. Pengembangan dan peningakatan profesionalisme SDM pariwisata. Sebagai industri jasa, peran sumber daya manusia sangat penting bagi pembangunan kepariwisataan. Keberhasilan pariwisata untuk menarik wisatawan disamping destinasi yang unik juga kemampuan industri tersebut membangkitkan minat dan menciptakan kesenangan serta kenyamanan kepada konsumen/ wisatawan melalui SDM yang profesional. Dalam persaingan global, SDM pariwisata berada di peringkat 61 dari 140 negara, jauh dibawah Malaysia (peringkat 28), Singapura (2), dan Brunai (36). Namun masih di atas Thailand (70), dan Vietnam (77)7. Di era dunia tanpa batas, tanpa SDM yang kuat industri pariwisata dkhawatirkan akan semakin kalah bersaing dengan tenaga kerja asing. Sebagai industri yang bergantung pada keberadaan SDM, strategi peningkatan profesionalisme SDM sangat diperlukan.

iv. Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnership).Di era sekarang dimana kemampuan keuangan negara semakin terbatas, kebijakan pembangunan kepariwisataan mulai mengarah pada pengembangan Kerjasama Pemerintah Swasta dengan memfaatkan dana CSR (Coorporate Social Responsibility) perusahaan.

DAFTAR PUSTAKA

Insight Report: The Travel & Tourism Competitiveness Report 2013, Reducing Barriers to Economic Growth and Job Creation

Jennifer Blanke & Thea Chiesa, “Insight Report: The Travel & Tourism Competitiveness report 2013, Reducing Barriers to Economic Growth and Job Creation, World Economic Report (WEF) 2013.

Kartasasmita, Ginandjar, “GBHN”. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Ketetapan-Ketetapan MPRS Tahun 1960 – 1967 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

Ketetapan-Ketetapan MPR-RI, Maret 1993

Ketetapan-Ketetapan MPR-RI Hasil Sidang Umum MPR-RI Tahun 1999

7 Jennifer Blanke & Thea Chiesa, “Insight Report: The Travel & Tourism Competitiveness report 2013, Reducing Barriers to Economic Growth and Job Creation, World Economic Report (WEF) 2013.

34 Edisi 03/Tahun XIX/2013

hasil perwilayahan pembangunan kepariwisataan iii. Pengembangan dan peningakatan profesionalisme c. Re-construct Women’s Roles in Development

Planning

From those dilemmas, it is clear that women participation in the development planning is not negotiable, because they are the ones who able to translate it appropriately. Women can become the planner themselves or infl uence the planners. Development planners as a ‘double-agent of development’ hold the key role in re-allocating the development so that women can access it adequately and representatively through translating and accommodating the multiple stories of women into strategic planning.160 They have more chances and latitudes to move in the economic, social and political complexities.161 At the same time, they can represent what the political and female actors want, not only limited to state actors but also including non-state actors. Development planners have moments where they can consolidate independently many strategic issues into policies, particularly at the crucial moment of policies formulation. At that moment, it requires adequate and reliable sources of information that comprehensively cover theoretical and practical materials of women’s rights.

Women involvement in the policy-making is not necessarily regarded as formality from the government to maintain public image on good policy, rather it is because women are the subject who have all of the stories, the experiences, the defi nition and importantly the data. Women’s movements in the form of organizations are the best representation of women concerns because they are the one who works and interact daily with women. They are the best reliable source of data and information in decision-making. Moreover, this involvement can be a chance for facilitating ‘raw result’ of participatory development or grass root inputs and the comparative studies of Feminists studies into technocratic processes.162 This is important to consider not only for the interest of the government but also together with the empowerment of women’s organization themselves, because both

160 Young, above n 366-367.161 Ibid.162Jane Parpart, ‘Lessons from the Field: Rethinking

Empowerment, Gender and Development from a Post-(Post?) Development Perspective’ in Kriemild Saunders (ed) Feminist Post-Development Thought: Rethinking Modernity, Post-Colonialism and Representation (Zed Books, 2002) 41, 46-52; Brenda J. Cossman, ‘Turning the Gaze Back on Itself: Comparative Law, Feminist Legal Studies, and the Postcolonial Project’ (1997) 2 Utah Law Review 525, 531-541; Antoinette Sedillo Lopez, ‘Comparative Analysis of Women’s Issues: Toward a Contextualised Methodology’ (1999) 10 Hastings Women’s Law Journal 347, 348.

women’s organizations and government can optimize public pressure for empowering their internal and external accountability. The collaborative and partnership relationship between government and women’s organizations should not be seen as threat for their independence, but it should be seen as an opportunity for national and international promotion that will give better precedent for the advancement of women’s rights in the future. Women’s organizations have their own moment and stage to maintain their independence, particularly through their activities in the fi eld.

Policy makers who deal with women issues have to face some challenges related with knowledge hegemony or dominant academic discourses. Just like women researchers and activists, policy makers also cannot avoid themselves from ‘the requirement to take cultures and discourses that are peripheral to predominant Western knowledge forms, and ‘translate’ them into a discourse recognizable to Western public audiences’.163 Moreover, formulating policies with qualitative data, which resulted from qualitative research, is full of scepticism, because ‘qualitative research almost inevitably appears ‘unconvincing’ within this relationship because dominant understanding of concepts of ‘validity’, ‘reliability’ and ‘representativeness’ are posed within a numerical rather than a process framework’.164

In viewing women’s concerns about the technocratic system that try to measure them with quantifi cation it may be necessary to look at fi rst how the technocratic system perceives social problems and treat it by employing public equality policies. Because for enforcing public equality policies as what women need, does not require the production of every single new policy for every single social problems, rather it requires monitoring and evaluating the eff ectiveness of existing policies to solve social problems.165 In that case, if the indicators only try to simplify the whole issues and concerns of women into the number of policy that is being produced, without assessing the level of social change as the eff ect of policies for women and men, it is not answering women’s questions.

163 Rosalind Edwards and Jane Ribbens, ‘Living on the Edges: Public Knowledge, Private Lives, Personal Experience’ in Jane Ribbens and Rosalind Edwards (eds) Feminist Dilemmas in Qualitative Research: Public Knowledge and Private Lives (Sage Publications, 1998) 1, 3.

164 Ibid 3-4.165 Carol Lee Bacchi, Women, Policy and Politics: The Construction

of Policy Problems (Sage Publications, 1999) 199-207.

55Edisi 03/Tahun XIX/2013

c. Re-construct Women’s Roles in Development women’s organizations and government can optimize

MAJALAH.indd Spread 34 of 44 - Pages(34, 55)MAJALAH.indd Spread 34 of 44 - Pages(34, 55) 31/12/2013 16:01:1931/12/2013 16:01:19

constructively and destructively in broad dimensions of society as well.144

b. Continuous Affi rmation of Women’s Rights are

Human Rights

With respect to the international attempts to address women’s rights as equal as men or human rights, the notion of human rights itself is full of criticism. In some cases, human rights are narrowly seen as only a business of legal text, or a matter of protection through legislation. Regrettably, human rights are necessarily to be understood more than text or legislation, because human rights are political, social, economic and cultural texts.145 In that case, rights can empower for those who are able to mastering that broad realms of rights.146 Another critique is that the notion of multidimensional contents of human rights which maybe will not be adequately captured merely by legal dimension. As emphasized by Pahuja, bringing the implementation of human rights only into the institutionalization sphere or regulatory form will undermine its universality and the importance of political character of human rights.147 Adding the complexities, human rights are exceptionally dependent on political process that enables them to be defi ned and to be implemented.148 As a result of that, rights serve more senses of power and dependence.149 That is why for women rights are like an inescapably paradoxes that require disclosure of women desires and women miseries at the same time.150 Therefore, would women hold back or move forward toward those paradoxes?

The justifi cation is just starting from a simple claim. Women’s rights are human rights and that should be end of the debate. But, the extent of human rights regimes, internationally and nationally, locates women’s rights equally with other subjects within the regimes

144 Ibid 55.145Balakrishnan Rajagopal, ‘Culture, Resistance, and the Problems

of Translating Human Rights’ (2006) 41 Texas International Law Journal 419, 421.

146 Wendy Brown, ‘Suff ering Rights as Paradoxes’ (2000) 7 Constellations 230, 232.

147Sundhya Pahuja, ‘Rights as Regulation: The Integration of Human Rights and Development’ in Bronwen Morgan (ed), The Intersection of Rights and Regulation (Ashgate, 2007) 167-191.

148 Martti Koskenniemi, `The Future of Statehood’(1991) 32 Harvard International Law Journal 397, 399; Robinson, above 32-33; Anne Galagher, ‘Ending Marginalisation: Strategies for Incorporating Women into the UN Human Rights Systems’ (1997) 19 Human Rights Quarterly 283, 326-328.

149 Brown, above n 231. 150 Brown, above n 232 and 238.

that should be where the discussion goes along.151 That woman is also the bearer of basic rights as other bearer of human rights.152 That women needs and rights as the same as men needs and rights.153 That regarding women’s rights as equal as human rights has a tendency of fall into limited approach of protection, instead of encouraging substantive equality through affi rmative action.154 Moreover, the fundamental idea of human rights as the basic justifi cation of the citizens against the abuse of state power is sometimes misrepresented.155 That women’s rights violation by non-state actors remain be seen as a matter of public and private matters.156 That the lacked sensitivity of public policies toward women’s needs are continuously not realize by state actors.157 That infl exible government and progressive non-government approaches to women’s rights occasionally perform in opposite way. That every stakeholder of women’s rights has responsibilities and roles in transforming the concepts of women’s rights into practical and multidisciplinary approaches.158 More importantly, that positive conception of women’s rights must be represented adequately in a practical implementation of states’ businesses, such as development and public policy.159

151Charlesworth and Chinkin, above n 208-212; Radhika Coomaraswarmy, ‘Reinventing International Law: Women’s Rights as Human Rights in the International Community’ (1997) 23 Commonwealth Law Bulletin 1249-1262; Cook, above n 3-36; Merry, above n 379-381.

152 Alda Facio, ‘From Basic Needs to Basic Rights’ (1995) 3 Gender and Development 16-22; Joanna Kerr, ‘From Opposing to Proposing: Finding Proactive Global Strategies for Feminist Futures’ in Joanna Kerr, Ellen Sprenger and Alison Symington (eds) The Future of Women’s Rights: Global Visions and Strategies (Zed Books, 2004) 14, 25.

153 Otto, ‘A Post-Beijing Refl ection on the Limitations and Potential of Human Rights Discourse for Women’, above n 115; Hayes, above n 70.

154 Otto, ‘Lost in Translation: Re-scripting the Sexed Subjects of International Human Rights Law’, above n 325-329, 337-344.

155 Karen Knop, ‘Why Rethinking the Sovereign State is Important for Women’s International Human Rights Law’ in Rebecca J. Cook (ed) Human Rights of Women: National and International Perspectives (University of Pennsylvania Press, 1994) 153-164.

156 Charlesworth and Chinkin, above n 56-59; Bunch, above n 11-17; Celina Romany, ‘State Responsibility Goes Private: A Feminist Critique of the Public/Private Distinction in International Human Rights Law’ in Rebecca J. Cook (ed) Human Rights of Women: National and International Perspectives (University of Pennsylvania Press, 1994) 85-115; Byrnes, above n 225-231.

157 Tomasevski, above.158 Charlotte Bunch, ‘Women’s Rights as Human Rights: Toward

a Re-vision of Human Rights’ (1990) 12 Human Rights Quarterly 486, 492-498.

159 Tovi Fenster, ‘Gender and Human Rights: Implications for Planning and Development’ in Tovi Fenster (ed) Gender, Planning and Human Rights (Routledge, 1999) 3-21; Tovi Fenster, ‘Gender, Planning and Human Rights: Practical Lesson’ in Tovi Fenster (ed) Gender, Planning and Human Rights (Routledge, 1999) 171-175.

54 Edisi 03/Tahun XIX/2013

constructively and destructively in broad dimensions of that should be where the discussion goes along.151 Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I Tahun 1967/68-1973/74)

Mustopadidjaja AR, dkk,editor, “BAPPENAS, Dalam Sejarah Perencanaan Pembangunan Indonesia 1945 – 2025”, LP3ES, cetakan pertama, November 2012.

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) II Tahun 1974/75-1978/79)

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) III Tahun 1979/80-1983/84)

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) IV Tahun 1984/85-1988/89)

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) V Tahun 1989/90-1990/94)

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I Tahun 1967/68-1973/74)

Undan-Undang RI No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000 – 2004

Undang-Undang RI No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan

Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 - 2025

Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004 – 2009

Peraturan Presiden No 5 Tahun 2010 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2010 – 2014

The Travel and Competitiveness Report (World Economic Forum Report 2011)

Sekretariat Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya, “Orde Baru Dalam Angka, Hasil-hasil Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama”, Jakarta 1992.

UN-WTO, 2007, “Tourism Highlight 2007 Edition, Fact & Figure

www.wto.org/facts/eng/vision.htm

35Edisi 03/Tahun XIX/2013

Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I Tahun Peraturan Pemerintah RI No. 26 Tahun 2008 Tentang

MAJALAH.indd Spread 35 of 44 - Pages(54, 35)MAJALAH.indd Spread 35 of 44 - Pages(54, 35) 31/12/2013 16:01:2031/12/2013 16:01:20

Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Upaya Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam Upaya

Mitigasi Perubahan Iklim: Pengalaman Kota Mitigasi Perubahan Iklim: Pengalaman Kota

RotterdamRotterdam

Abstrak

Berangkat dari semakin luasnya fenomena pemanasan global dan perubahan iklim, tulisan ini hendak menengok best practice upaya-upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan oleh negara lain. Ilustrasi success story Pemerintah Kota Rotterdam yang mengeluarkan beberapa terobosan dalam memitigasi perubahan iklim sekaligus meningkatkan kualitas sosial ekonomi warganya akan diulas lebih mendalam sehingga diharapkan dapat menginspirasi para decision makers di tingkat lokal dalam merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Rotterdam yang dikenal sebagai pintu gerbang transportasi logistik di kawasaan Eropa, juga mengalami dampak dan konsekuensi dari perubahan iklim. Pesatnya pertumbuhan industri di Rotterdam menjadikan isu energi sebagai isu yang tak terelakkan. Dengan dikeluarkannya Rotterdam Climate Initiative (RCI) pada tahun 2007, beberapa program diluncurkan dengan 3

Adji Krisbandono

(tiga) tujuan, yaitu: (1) mengurangi 50% emisi CO2 pada tahun 2025 dibandingkan tahun 1990; (2) mewujudkan kota yang 100% climate proof pada tahun 2025; yang disertai dengan (3) perkuatan ekonomi kota. Sebagai lessons learned, pengalaman Rotterdam dapat dicontoh bahwa komitmen yang kuat dari seluruh stakeholder, baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat merupakan faktor utama penentu keberhasilan inisiatif mitigasi dan adaptasi.

Kata kunci: kerjasama, pemerintah, swasta, Rotterdam, mitigasi, perubahan iklim.

Abstract

The emerging issues of global climate change inspires this paper to take a closer look at how other countries/cities carry out mitigation and adaptation programmes. Rotterdam success story that launched a number of initiatives and programmes in climate change mitigation will further be explored to inspire decision makers,

36 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Then, when these conducive and supportive conditions of development for women, justify the products of development such as indicators, is it still fair to underestimate then? Unfortunately, yes. As Young argued that to re-allocate the development discourses to be accessible to women is not a simple task, but it needs the reconstruction of old structures of thought and practice through social change.131 The benefi ts of social change are not only merely for women interests but also for the whole society, since women are one of the social resources, their advantages are social advantages as well.132 On the other hand, development institutions are full of policymakers and bureaucrats with various levels of understanding of women and gender. The expectation of social change would not be adequate if it relied on the bureaucracies and public policies, because they cannot trigger political and social change, due to high risk of depoliticization.133 Moreover, what is lacking is bringing together the theoretical insight of gender and development with an equally sophisticated analysis of institutional roles and functions and how they are linked to or disconnected from the possibilities for change.134

3. Re-defi ned ‘development and human rights’ for

Women

a. Rethinking Development and (Women’s) Human

Rights

Women choose human rights as their entry point to development, because human rights provide a universal paradigm that can be implement locally. Most of women’s disadvantages created by unfavourable social conditions that undermine the need for equal conditions between men and women, not only for the interest of the women or men themselves, but also for the interest of the whole society. These unfavourable social conditions can be addressed through ‘human rights paradigm’,135 which employ the universal principles of

131 Kate Young, ‘Planning from a Gender Perspective: Making a World of Diff erence’ in Nalini Visvanathan, et al (eds) The Women, Gender and Development Reader (Zed Books, 1997) 366, 366.

132 Ibid.133 Hilary Standing, Gender, Myth and Fable: The Perils of

Mainstreaming in Sector Bureaucracies in Andrea Cornwall, Elizabeth Harrison and Ann Whitehead (eds) Feminisms in Development: Contradictions, Contestations and Challenges (Zed Books, 2007) 101, 104.

134 Ibid.135Abdullahi A. An-Na’im and Jeff rey Hammond, ‘Cultural

Transformation and Human Rights in African Society’ in Abdullahi A. An-Na’im (ed) Cultural Transformation and Human Rights in Africa (Zed

human rights to be adapted by local condition, without necessarily argues the origin of those principles.136 Having awareness and consciousness of the actual advantages of what universal human rights off er, give suffi cient latitude to employ those principles into local and cultural contexts, which would have more benefi ts for the whole society including women.137 Moreover, human rights off er possibility that is more concrete for women for expecting ‘cultural transformation’ from cultural boundaries that impede women’s progresses.138 Rights also establish legitimacy for women not only for their intervention but also for their roles.139

Nevertheless, women still need to be alerted about what the actual female position in the international human rights. As stressed by Otto, ‘[t]he international struggle for the full inclusion of women in the paradigm of universal human rights has reached a point where it needs reinvention’.140 According to that, decision to engage with international human rights require to be equipped with a reinvention strategy that help women to reinvent the principle notion of international human rights that take sides on what women perceive as their rights in relation with universal human rights. This idea is supported by Lacey that analyse many fundamental deliberations about gender and human rights.141 First, women need to be aware on the potency as well as the limitations of human rights framework in order to protect ‘justice, autonomy, or equality for women’.142 Second, engaging gender with human rights means continuous re-questioning or re-defi ning the rights, Feminists’ critiques about rights and how to conduct the re-questioning and re-defi ne that can satisfy women.143 Third, in order to understand the both questions before, women need to have complete picture about the multidimensional factors that shape rights

Books, 2002) 13, 15.136 Ibid 14-17.137 An-Na’im and Hammond, above; Sally Engle Merry, ‘Rights

Talk and the Experience of Law: Implementing Women’s Human Rights to Protection from Violence’ (2003) 25 Human Rights Quarterly 343, 379-381.

138 A. An-Na’im and Hammond, above.139 Andrea Cornwall and Maxine Molyneux, ‘The Politics of Rights

– Dilemmas for Feminist Praxis: an Introduction’ (2006) 27 Third World Quarterly 1175, 1179.

140 Dianne Otto, ‘Disconcerting ‘Masculinities’: Reinventing the Gendered Subject(s) of International Human Rights Law’ in Doris Buss and Ambreena Manji (eds) International Law: Modern Feminist Approaches (Hart Publishing, 2005) 105, 128.

141 Nicola Lacey, ‘Feminist Legal Theory and the Rights of Women’ in Karen Knop (ed) Gender and Human Rights (Oxford University Press, 2004) 13, 38-53.

142 Ibid 55.143 Ibid 53.

53Edisi 03/Tahun XIX/2013

Then, when these conducive and supportive conditions human rights to be adapted by local condition, without

MAJALAH.indd Spread 36 of 44 - Pages(36, 53)MAJALAH.indd Spread 36 of 44 - Pages(36, 53) 31/12/2013 16:01:2131/12/2013 16:01:21

arises, where indicators are able to fi t in within these diff erent approaches. Skeptically, how can a high sense of scientifi c and economic tool accommodate these tensions?

The formulation of women’s indicators should not intervene by particular actors whom claim themselves as the authority of indicators making. These claims will not facilitate the interpretation of women’s rights into a technocratic approach which involve bureaucrats and Feminists, because of high sense of standardization and control of knowledge that will disturb the appropriate processes of indicators making. The tendency of having the authority of knowledge is mostly over-control, because the high usages of rationalization, scientifi c methodologies and expertise’s superiority.122

This paper suggest that standardization and simplifi cation of development through indicator may not necessary reject as the only choice that women have, but indicators are women’s entry point into development where they can produce women-concerned ideology, knowledge and paradigm which adequately represent women in the ideas, processes and outcomes of development.123 This is because the usage of indicators is the legitimate pathway in development planning. Chatterjee has argued that India regain its own concept and legitimation of development from development paradigm and hegemony, through ‘development ideology and the bureaucratic mechanism of development planning.124 Indicators may be treated not as economical, scientifi c or even numerical tool of development, but as a facilitator and collaborator for women values and issues.

With the involvement of reliable and authorized source of women in formulating indicators, whether they are Feminists, women activists or even bureaucrats, women have opportunities to intervene the production processes of development programs and activities, with their methodologies and approaches. With this intervention, those indicators may be the collaborative product because of theoretical and practical conversations without necessary existence of any dominance, which cover progressive and prevention implementation.

122 Parpart, above n  221.123Merry, ‘Measuring the World: Indicators, Human Rights,

and Global Governance’, above n 88; Anne Galagher, ‘Ending Marginalisation: Strategies for Incorporating Women into the UN Human Rights Systems’ (1997) 19 Human Rights Quarterly 283, 327.

124 Partha Chatterjee, The Nation and its Fragments: Colonial and Postcolonial Histories (Oxford University Press, 1995) 15.

b. Measurement through Development (Gender)

Planning

Measuring women’s rights in development planning matters because it legitimates development for women by using indicators as the collaborative production between women and the development institutions. Indicators need to manifest not as simplifi cation of the various experiences of women and expected multiple choices for women. Rather it is as entry point for women to concretize all the conceptual approaches of feminist legacies to employ conditional acceptances of impartial structures of development for defending continuous questions that women inquire.

Parallel discourse occurs in gender planning. Gender planning allows women to be specifi cally addressed in their exclusivity, multiple roles, and needs without necessarily ignore their relationship with men and other social and cultural factors.125 Reducing gender planning to be purely about socio-economic matters will eliminate female contents.126 Gender planning provides many choices for women, from addressing their gender to strategic and practical gender needs through various policy approaches such as welfare, equity, anti-poverty, effi ciency, and empowerment.127 These choices let women intervene in the production of development.128 Nevertheless, the notion of gender itself as the main feature of gender planning gives alertness. Gender term remains in debates. Deploying gender as the approach for public policy has tendencies of being mainstreamed and depoliticised, which attained advantages and disadvantages.129 Then, the division of sex and gender is not merely positive; it also has some potencies and weaknesses.130

125 Moser, above n 1802.126 Saskia E. Wieringa, ‘Rethinking Gender Planning: A Critical

Discussion of the Use of the Concept of Gender’ (1998) 2 Gender, Technology and Development 349, 349.

127 Moser, above n 1799-1825.128 Ibid 1817.129 Sally Baden and Anne Marie Goetz, ‘Who Needs [Sex] When

You Can Have [Gender]? Confl icting Discourses on Gender at Beijing’, in Cecile Jackson & Ruth Pearson (eds) Feminist Visions of Development: Gender Analysis and Policy (Routledge, 1998) 19-37; Dianne Otto, ‘Lost in Translation: Re-scripting the Sexed Subjects of International Human Rights Law’ in Anne Orford (ed) International Law and Its Others (Cambridge: Cambridge University Press 2006) 318, 347; Joan Wallace Scott, ‘Gender: A Useful Category of Historical Analysis’ (1986) 1 American Historical Review 1053, 1066-1070; Hilary Charlesworth, ‘Not Waving but Drowning: Gender Mainstreaming and Human Rights in the United Nations’ (2005) 18 Harvard Human Rights Journal 1, 11-16.

130 Margaret Davies, ‘Taking the Inside Out: Sex and Gender in the Legal Subject’ in Ngaire Naffi ne and Rosemary J Owens (eds) Sexing the Subject of Law (LBC Information Services, 1997) 25-46.

52 Edisi 03/Tahun XIX/2013

arises, where indicators are able to fi t in within these b. Measurement through Development (Gender) especially at local level to formulate the most appropriate policy in tackling the impacts of climate change.

Rotterdam, as the main gate of transport and logistic across Europe also face the consequences and impacts of climate change. Industrial growth has made energy effi ciency to become its priority issue. Launched in 2007, Rotterdam Climate Initiative (RCI) aims at (1) reducing 50% CO2 emission in 2025 compared than in 1990; (2) becoming a climate proof city in 2025; and (3) improving economic development. The experience of Rotterdam proves that strong commitment among stakeholders, from the government, private, and local community would be the primary success factor in implementing mitigation and adaptation programmes.

Keywords: partnership, government, private, Rotterdam, mitigation, climate change.

Pendahuluan

Melihat semakin meluasnya fenomena pemanasan global dan perubahan iklim, tidak ada salahnya jika kita menengok best practice upaya-upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan oleh negara lain. Bagaimana mereka merumuskan langkah strategis nan efi sien dan efektif untuk mengantisipasi/mengurangi dampak pe-rubahan iklim, prasyarat kelembagaan apa saja yang mereka inisiasi, serta upaya apa yang mereka ambil untuk menjamin keberlanjutan inisiatif tersebut, perlu kita pahami sehingga diharapkan dapat menginspirasi para decision makers di tingkat lokal dalam merumuskan kebijakan yang tepat untuk mengatasi dampak peruba-han iklim. Tulisan ini hendak mengilustrasikan success story pemerintah kota Rotterdam yang mengeluarkan beberapa terobosan dalam rangka mitigasi perubahan iklim sekaligus meningkatkan kualitas sosial ekonomi warganya.

Rotterdam dikenal sebagai salah satu kota yang cukup penting dalam tatanan perkotaan, tidak hanya dalam lingkup Belanda, tetapi juga di Eropa. Beberapa keunggulan yang dimilikinya antara lain keberadaan pelabuhan internasional (Port of Rotterdam) yang menjadikan kota ini sebagai pintu gerbang serta pusat transportasi logistik dan kawasan industri. Dalam lingkup strategis regional, Rotterdam juga termasuk salah satu dari konstelasi empat kota besar di Belanda yang biasa disebut Ranstad Region. Menurut Rencana Tata Ruang Wilayah 2040 Ranstad Holland atau Ranstad Region, wilayah ini merupakan salah satu dari beberapa kota metropolis yang cukup memegang peranan

penting dalam pengembangan spasial dan ekonomi kota di Belanda. Aliansi yang terdiri atas empat kota besar yakni Amsterdam, The Hague, Rotterdam, dan Utrecht ini telah ditetapkan sebagai “Dutch Metropolis” sejak 1966.

Menjadi salah satu kota berpredikat internasional tidak lantas membuat Rotterdam “lupa diri”. Berbagai dampak, tuntutan, dan konsekuensi akan selalu melekat, tak terkecuali dampak dari perubahan iklim. Mengingat pesatnya pertumbuhan industri di Rotterdam, maka konsumsi energi merupakan isu yang tak terelakkan. Hasil studi menyebutkan bahwa Uni Eropa (UE) berkontribusi atas 15% – 20% emisi gas rumah kaca dunia (Victor, 2006; RCI, 2007). Oleh karena itu seluruh negara anggota Uni Eropa telah bersepakat akan mengambil bagian dalam aksi kolektif ini dengan menetapkan target pengurangan emisi CO2 sebesar 20%. Pemerintah nasional Belanda sendiri mentargetkan reduksi CO2 sebesar 30% dibandingkan dengan tahun 1990.

Jadi setidaknya, ada tiga tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah kota Rotterdam saat ini dan di masa depan, yaitu bagaimana mewujudkan kesinambungan perkembangan ekonomi kota, meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan dan hidup warga kota, serta menjawab tantangan mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton1 untuk mewujudkan Rotterdam yang lebih bersih di masa depan.

Rotterdam Climate Initiative (RCI): Keberlanjutan

Ekonomi dan Lingkungan Kota

Sebulan setelah kunjungan Bill Clinton ke Belanda2, tepatnya pada bulan Januari 2007, pemerintah kota Rotterdam resmi berkolaborasi dengan beberapa pihak swasta guna melawan dampak perubahan iklim dalam wadah Rotterdam Climate Initiative (RCI). Adalah Port of Rotterdam, Deltalings dan DCMR (Environmental Protection Agency Rijnmond) sebagai tiga stakeholders utama selain pemerintah kota Rotterdam yang menggawangi program ini. Deltalings merupakan konsorsium/aliansi yang beranggotakan lebih dari 600 perusahaan dan asosiasi yang khusus bergerak di bidang logistik dan perusahaan industri. Sebagai salah satu partner strategis pemerintah, organisasi ini juga

1 Pada bulan Desember 2006, Bill Clinton datang ke Belanda untuk mengkampanyekan Clinton Climate Initiative, sebuah program yang menyerukan kota‐kota besar di seluruh dunia untuk menginternalisasikan dan menerapkan praktik‐praktik mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam implementasi kebijakan kota mereka.

2

37Edisi 03/Tahun XIX/2013

especially at local level to formulate the most appropriate penting dalam pengembangan spasial dan ekonomi

MAJALAH.indd Spread 37 of 44 - Pages(52, 37)MAJALAH.indd Spread 37 of 44 - Pages(52, 37) 31/12/2013 16:01:2431/12/2013 16:01:24

cukup berpengaruh baik di tingkat regional maupun di Uni Eropa. Sedangkan DCMR adalah salah satu lembaga regional yang bertanggungjawab meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam lingkup Rijnmond area. Mengingat banyaknya kawasan industri di wilayah ini (seperti pengolahan minyak, tempat pembuangan akhir sampah, pabrik pengolahan bahan kimia, metalurgi, pengolahan makanan, insinerator sampah, dsb.), maka dapat dipastikan bahwa tugas DCMR adalah menyusun regulasi serta memonitor kinerja sektor industri tersebut agar tetap bekerja menurut standar dan kriteria baku mutu lingkungan.

Tujuan utama dari inisiatif ini adalah untuk mengkombinasikan tiga fungsi kota sekaligus, yaitu memperkuat perkembangan ekonomi, mewujudkan kota yang atraktif sebagai tempat tinggal warganya, serta menjadikan Rotterdam sebagai kota yang lebih “hijau” seiring berkurangnya emisi gas rumah kaca. Berikut penulis ilustrasikan tujuan dan komitmen dari program RCI tersebut yang kemudian diwujudkan dalam beberapa program riil di lapangan:

1) Tujuan program:

- Mengurangi 50% emisi CO2 pada tahun 2025 dibandingkan tahun 1990;

- Mewujudkan kota yang 100% climate proof pada tahun 2025; yang disertai dengan

- Perkuatan ekonomi kota

2) Komitmen dan partisipasi para stakeholders dalam program mitigasi:

Program yang terbilang cukup ambisius ini tidak akan pernah bisa terlaksana kecuali para stakeholders yang terlibat didalamnya berkomitmen penuh untuk memberikan kontribusi peran selama implementasi program. Seiring dengan semakin tingginya tuntutan serta tekanan internal dan eksternal, maka semakin kuat pula komitmen para stakeholders dalam menjalankan program RCI ini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa program yang telah berjalan dalam rangka mitigasi perubahan iklim:

- Green roofs (atap hijau); upaya ini telah diap-likasikan di atap perpustakaan kota. Tujuannya selain memperpanjang umur atap, atap hijau juga dibangun untuk mengurangi panas meng-ingat konstruksinya telah dilengkapi dengan

sistem drainase, tanah, dan tanaman (rumput). Mekanisme insulasi bangunan juga berfungsi optimal sehingga upaya konservasi energi dapat berjalan. Selain itu, beberapa partikulat udara yang merupakan komponen gas rumah kaca juga dapat disaring sehingga menghasil-kan udara yang lebih bersih.

- Deltalings Energy Forum; forum ini dibentuk untuk mendukung upaya konservasi energi di sektor industri. Beberapa isu yang didiskusi-kan antara lain carbon footprint dalam proses produksi, konservasi energi, pendekatan‐pendekatan baru dari aspek teknologis, dll.

- CO2 Capture and Storage (CCS); baru‐baru ini

pemerintah kota Rotterdam tengah mengkam-panyekan proyek CCS sebagai salah satu upaya mitigasi CO2 yang diproduksi oleh sektor indus-tri dan pembangkit energi. Masifnya aliran kap-ital dan kepastian pasar kredit karbon (carbon market), khususnya di Eropa menjadi salah satu pemicu para pengusaha untuk membenamkan investasi dan teknologi CCS di Rotterdam. Bah-kan pada tahun 2010, Deltalings telah meneri-ma grant dari the Global Carbon Capture Storage Institute (Global CCS Institute) sejumlah 1,5 juta Euro untuk ekspansi dan pengembangan insta-lasi CCS.

- Instalasi energi angin; pada tahun 2008, di beberapa titik area pelabuhan telah dibangun kincir angin berkapasitas total 151 MW. Ren-cana perluasan kapasitas sebesar 108 MW akan dilakukan di tahun‐tahun berikutnya.

- Program hemat energi di bangunan gedung

pemerintah; ratusan bangunan gedung milik pemerintah kota Rotterdam, baik yang lama maupun baru telah didesain agar lebih hemat energi.

Implikasi bagi Upaya Mitigasi Perubahan Iklim Kota-

kota di Indonesia

Belajar dari pengalaman Rotterdam dalam menghambat laju dampak perubahan iklim tersebut, kita dapat menarik beberapa poin penting. Menurut teori Underdal (Victor, 2006), rendahnya komitmen ditengarai sebagai faktor penghambat utama berhasilnya upaya‐upaya

38 Edisi 03/Tahun XIX/2013

cukup berpengaruh baik di tingkat regional maupun di sistem drainase, tanah, dan tanaman (rumput). of this measurement ability to accommodate or at least to refl ect women’s interests and needs.

There are some areas that women gain advantages through the deployment of indicators. Indicators are able to track social institutions that impede women.109 Women also acquire benefi ts of the global trends on gender-disaggregate data and growing international sources of women. Even so, the benefi ts are still limited and problematic and women still need to engage with indicators in order to maintain their theme in the global agenda.110 However, women are highly infl uenced by the trends of the indicator itself. Since most of the users of indicators are development practitioners and institutions, indicators are highly used for merely economical purposes.111 The quantifi cation of social and human development is simply for the interest of tracking the progresses of market and welfare. The similar situation happened to women. There are abundant sources of economical dimension of women that global and national governances provide. Although these governances try to provide indicators that capture civil and political rights of women, they are simply about the number of laws that being enacted or the number of women that being in the decision-making level.112 Unfortunately, these indicators insuffi ciently represent the dimensions of female’s experiences in relation to their empowerment and rights violations.

As Rustagi concluded that the multidimensional status of women cannot be quantifi ed.113 The idea of equality that women pursue will not be eff ective if the response of development continuously ignoring the measurement of outcomes of substantive equality.114 Failure to measure the actual role of women in the development,115 as benefi ciaries as well as participants

109 Christian Morrisson and Johannes P. Jutting, ‘Women’s Discrimination in Developing Countries: A New Data Set for Better Policies’ (2005) 33 World Development 1065-1081.

110 Mona Danner, Lucia Fort and Gay Young, ‘International Data on Women and Gender: Resources, Issues, Critical Use’ (1999) 22 Women’s Studies International Forum 249-259; Clair Apodaca, ‘Measuring Women’s Economic and Social Rights Achievement’ (1998) 20 Human Rights Quarterly 139-172.

111 Merry, ‘Measuring the World: Indicators, Human Rights, and Global Governance’, above 83 and 89; Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development Goals in Global Governance’, above n 474-475.

112Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development Goals in Global Governance’, above n 475-478.

113 Rustagi, above n 328.114 Kerry Rittich, ‘Engendering Development/Marketing Equality’

(2003-2004) 67 Albany Law Review 575, 582.115 Eva M. Rathgeber, ‘Gender and Development in Action’

in Marianne H. Marchand and Jane L. Parpart (eds) Feminism/Postmodernism/Development (Routledge, 1995) 204, 219-220.

and combined with failure to employ multidisciplinary analysis and approach will result in the production of indicators that simplify women issues into welfare issues.116 Moreover, gender-disaggregate data has not been a culture of policy-making in the Third World countries, which classically because of the limitation of sources and budget. But, it is actually more than that. There are less attention and awareness of the development planners regarding the importance to make diff erent data about men and women. This is again due to the social construction of women as secondary importance than men.117

Among so many contestations toward indicators, one particular observation is directed to the disagreement of the roles of the actors behind those indicators.118 Indicators can be made both by policy makers and academics or activists, in conjunction or separately. However, regardless of the mechanisms of the making of those indicators, whether it’s collaboratively or competitively, those two actors have diff erent approach when they are making indicators.119 Policy makers approach indicators to facilitate them in conducting intervention to social policies, by producing standardization and quantifi cation.120 On the other hand, academics, with respect also to Feminists, approach indicators in order to refl ect their diverse experiences and envisioned changes that often are not necessarily ought to conform to certain kind of standards or qualifi cations.121 Situating it concretely, when policy makers defi ne protectionism policies as their priority to reduce violence and discrimination against women, in a form of legislation and legal enforcement, Feminists may look at it as another form of limitation toward women, because Feminists perceive despite of the protection intensity for women, if women remain not suffi ciently expert to access that protection, those policies are pointless. Then, question

116Joycelin Massiah, ‘Indicators for Women in Caribbean Development’ in Joycelin Massiah (ed) Women in Developing Economies: Making Visible the Invisible (Berg Publishers, 1993) 11-134; Ruth Gordon and Jon Sylvester, ‘Deconstructing Development’ (2004) 22 Wisconsin International Law Journal 1, 29-44; Ester Boserup, Women’s Role in Economic Development (Earthscan, 2007) 53-65; Lourdes Benaria and Gita Sen, ‘Accumulation, Reproduction and Women’s Role in Economic Development: Boserup Revisited’ (1991) 7 Signs 279, 284-290.

117 Charlton, above n 39-40.118 Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development

Goals in Global Governance’, above n 480; Merry, ‘Measuring the World: Indicators, Human Rights, and Global Governance’, above n 84.

119 Ineke van Halsema, ‘Feminist Methodology and Gender Planning Tools: Divergences and Meeting Points’ (2003) 7 Gender, Technology and Development 75.

120 Ibid.121 Ibid.

51Edisi 03/Tahun XIX/2013

of this measurement ability to accommodate or at least and combined with failure to employ multidisciplinary

MAJALAH.indd Spread 38 of 44 - Pages(38, 51)MAJALAH.indd Spread 38 of 44 - Pages(38, 51) 31/12/2013 16:01:2531/12/2013 16:01:25

that standpoint, it is reasonable to say that almost the entire of wide-published international statistic and data, which based on these international instruments are directed to measure the achievement of states parties in implementing their obligations.

At the time women decided to enter the realm of development, quantifi cation or measurement is inevitable. Because of the development is matter of science, assumptions and economic exercises of Western ideology with its high sense of patriarchal contents.92 Moreover, development will gain its legitimacy from the transfer of knowledge from Western expertise.93 In addition, this transferred-paradigm of development perceives Third World women as a scientifi c object whom require scientifi c solution and unable to become a subject of development discourse.94

Within this kind of development discourse, some questions are urgent to be answered. The extent of indicators is able to refl ect specifi c rights and rights intersections.95 In order to be applicable, indicator, specifi cally human rights indicators need to be attached to specifi c fi eld of human rights and to their holders and duty bearers.96 For example, the relations between women’s rights and Indonesia government as a state party of CEDAW. The possibility of indicator to be able to measure the progress that leads to the goal of gender equality and justice.97 The purposes of indicator are also important; either can be as a means and end or partially.98

The word ‘indicator’ itself has not yet any agreed defi nition among human rights scholars.99 However, there are references of the usage of indicators as Green elaborated; they could be referred to statistical information, thematic approach, benchmarks and comparative indices.100 One of the critical point of indicators is the outcomes of the measurement. There are many factors that related to the measurement of human rights compliances by states, enjoyment by

92 Parpart, above n 221.93 Ibid.94 Ibid 229.95 Otto, ‘Shaping Women’s Property Rights through Indicators: a

Human Rights Approach’, above n 40.96 Maria Green, ‘What We Talk About When We Talk About

Indicators: Current Approaches to Human Rights Measurement’ (2001) 23 Human Rights Quarterly 1062, 1066.

97 Otto, ‘Shaping Women’s Property Rights through Indicators: a Human Rights Approach’, above n 41.

98 Ibid 41-42.99 Green, above n 1065.100 Ibid 1077-1084.

citizens and their impacts,101 which could be hard to identify precisely.102 That is why the contemporary discourses of development and human rights still cannot come up with agreed-distinction between human rights indicators and development indicators, because they are used interchangeably.103 However, they do have tendencies to be used in particular settings; such human rights indicators usually address legal matters and development indicators become references for decision-making processes.104 In addition to that, human rights indicators could eff ectively be used for measuring the degree of human rights violation,105 because they provide types of measurement which allow the users to engage with the various experiences of the rights exercises, such as events, standards, survey based and; socio-economic and administrative statistics.106 Therefore, these facts lead to the preliminary conclusion that human rights indicators use more in measuring civil and political rights, while development indicators deal more with quantifi cation of economic, social and cultural rights.107 Nevertheless, relying development indicators to measure economic, social and cultural rights is vulnerable to narrow interpretation of welfare approach as a summary of the three rights enjoyment instead of their ‘amount of inequality’.108

2. The Complexities of Indonesian Women versus

The Simplifi cation of MDGs Indicators

a. Criticising the Measurement/Quantifi cation of

Women’s Rights through Indicators

Compared to other social groups, women and development indicators have a kind of peculiar relationship. They strongly need each other, but their characteristics are contradictory. First concern is the possibility of measuring women’s rights by development indicators. Second, if there is a measurement, the extent

101 AnnJanette Rosga and Margaret L. Satterthwaite, ‘The Trust in Indicators: Measuring Human Rights’ (2009) 27 Berkeley Journal of International Law 253, 256-257.

102 Green, above n 1085-1088; 103 Ibid 1089-1091.104Sakiko Fukuda-Parr, ‘The Metrics of Human Rights:

Complementarities of the Human Development and Capabilities Approach’ (2011) 12 Journal of Human Development and Capabilities 73, 74.

105 Todd Landman, ‘Measuring Human Rights: Principle, Practice and Policy’ (2004) 26 Human Rights Quarterly 906, 909-910.

106 Todd Landman and Edzia Carvalho, Measuring Human Rights (Routledge, 2010) 130-131.

107 Landman, above n 924-926.108 Shareen Hertel, ‘Why Bother? Measuring Economic Rights:

The Research Agenda’ (2006) 7 International Studies Perspectives 215, 219.

50 Edisi 03/Tahun XIX/2013

that standpoint, it is reasonable to say that almost the citizens and their impacts,101 which could be hard to mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Adalah upaya yang tidak mudah untuk mengajak seluruh stakeholder termasuk warga kota untuk berpartisipasi dalam aksi perubahan iklim mengingat beragamnya kepentingan.

Oleh karena itu, pertama, kerangka acuan yang solid harus disiapkan untuk menggabungkan seluruh potensi yang dimiliki stakeholders; mulai dari kelembagaan pada berbagai level pemerintahan hingga masyarakat, sumber dana, serta kejelasan peran dan tanggungjawab sebelum mulai menyusun program dan strategi pengurangan dampak perubahan iklim. Pemerintah daerah, sebagai motor utama upaya mitigasi dan adaptasi di wilayahnya, bersama‐sama dengan pemerintah pusat (kementerian dan lembaga terkait termasuk Dewan Nasional Perubahan Iklim – DNPI), pusat‐pusat penelitian, serta sektor swasta dan industri harus memobilisasi segenap sumberdaya yang dimiliki berbekal Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (RAN-PI) dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Emisi (RAN-PE) yang telah disusun. DNPI sebagai wakil dari pemerintah pusat yang bertanggungjawab mengkoordinasikan upaya‐upaya ini juga harus terus mendorong pemerintah daerah untuk memunculkan inisiatif‐inisiatif serupa RCI, sebagaimana yang telah diinisiasi oleh Pemda DKI Jakarta yang bekerjasama dengan pemerintah kota Rotterdam membentuk sebuah Joint Forces in Climate Adaptation.

Kedua, partisipasi stakeholders harus diupayakan secara terus‐menerus. Komitmen para stakeholders dalam program RCI patut dijadikan contoh karena dengan berbekal komitmen inilah keberlanjutan program dapat terwujud. Mekanisme‐mekanisme insentif dan disinsentif dapat digunakan untuk mendorong proses partisipatif ini.

Ketiga, inovasi adalah salah satu dari faktor kunci yang membawa keberhasilan program RCI. Pemerintah kota Rotterdam tidak segan‐segan menginvestasikan kapitalnya dalam jumlah besar dalam rangka pengembangan teknologi guna memajukan ilmu pengetahuan terkini dalam konteks perubahan iklim. Dengan demikian, sudah selayaknya seluruh pusat-pusat penelitian yang melekat pada kementerian/lembaga pemerintah maupun non-pemerintah untuk terus mengupayakan invensi teknologi tepat guna yang ramah iklim serta mengkampanyekannya agar dapat dimanfaatkan oleh publik.

Keempat, kerjasama antar pemerintah daerah dan

kerjasama internasional juga penting sebagai sarana berbagi/bertukar pengetahuan serta pengalaman. Dalam konteks nasional, Netherlands Water Partnership (NWP) telah memperkuat jaringan baik internal maupun eksternal guna mendorong kerjasama dan sinkronisasi program bersama seluruh stakeholder yang diwujudkan melalui proyek bersama, bantuan darurat bencana, penyelenggaraan konferensi ilmiah, dan lain sebagainya. Dan pemerintah Indonesia dapat melakukan hal yang serupa dengan terus membangun dan memperkuat jaringan guna mendukung fungsi‐fungsi tersebut.

Kelima, kota-kota di Indonesia mungkin belum memiliki kapasitas dan kemampuan fi nansial yang besar untuk menghimbau para pelaku industri dalam rangka mengurangi emisi CO2 melalui pembangunan CCS yang cukup menyedot investasi mahal. Tetapi upaya‐upaya lain seperti green roof, program hemat energi untuk bangunan gedung pemerintah, serta efi siensi energi di sektor lain (transportasi, sumberdaya air, dll) dapat digalakkan dengan berbekal komitmen dan kesadaran yang tinggi.

Penutup

Sebagai penutup, sebagaimana disampaikan oleh Bill Clinton bahwa “jika mulai bertindak saat ini kita akan memetik manfaatnya di masa depan”, maka komitmen antar stakeholder memegang peran sentral guna memerangi dampak perubahan iklim. Komitmen yang kemudian dituangkan menjadi berbagai inisiatif dan kolaborasi program antara pemerintah, swasta, hingga skala komunitas merupakan prasyarat terwujudnya keberhasilan dan keberlanjutan upaya mitigasi.

Puslitbang Sosial Ekonomi dan Lingkungan (Puslitbang Sosekling) pun demikian. Sebagai salah satu unit litbang dibawah Balitbang PU yang disebut-sebut sebagai “Pusat Sustainability” oleh Dirjen Penataan Ruang saat diselenggarakannya Kolokium Puslitbang Sosekling beberapa waktu lalu, telah berkomitmen untuk menyediakan instrumen-instrumen guna menghitung yang intangible menjadi tangible dalam mendukung program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya dalam penyelenggaraan infrastruktur PU dan Permukiman.

Lantas, jika Rotterdam mampu melakukannya, mengapa kita tidak?

39Edisi 03/Tahun XIX/2013

mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Adalah kerjasama internasional juga penting sebagai sarana

MAJALAH.indd Spread 39 of 44 - Pages(50, 39)MAJALAH.indd Spread 39 of 44 - Pages(50, 39) 31/12/2013 16:01:2631/12/2013 16:01:26

Referensi

Adger, W.N., et.al., 2003, Adaptation to Climate Change in the Developing World, Progress in Development Studies, 3 pp. 179–195.

Krisbandono, A. 2010, Pendekatan Partisipatif Menuju Kota Berkelanjutan, http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/index.php?ar_id=Njk0MQ==

Morlot, J.C., et.al., 2009, Cities, Climate Change and Multilevel Governance, OECD Environmental Working Papers No. 14, 2009, OECD publishing, Paris.

O’Riordan, T & Jordan, A., 1999, Institutions, Climate Change and Cultural Theory: Towards a Common

Analytical Framework, Global Environmental Change 9 pp. 81‐93.

Rotterdam Climate Initiative, 2007, The New Rotterdam: 50% Reduction of CO2 Emission, 100% Climate Proof, Rotterdam Climate Initiative, Rotterdam.

Thomson, A., 2006, Economy, Politics and Institutions: From Adaptation to Adaptive Management in Climate Change, Guest Editorial, Climate Change Vol. 78 pp. 1‐5.

Victor, D. G., 2006. Towards Eff ective International Cooperation on Climate Change: Numbers, Interests, and Institutions, Global Environmental Politics, MIT Press, Massachusetts.

40 Edisi 03/Tahun XIX/2013

Referensi Analytical Framework, Global Environmental Change k that quantifi cation is able to represent the progress and changes of “rights, freedoms, choices, dignity, diversity, justice” and other yet be calculated.77 Moreover, MDGs implementation is remote from the character of human rights based-approach.78 It does mean that human rights based-approach can measure all of the immeasurable dimensions of equality and justice, but at any rate human rights based-approach can track the root of the causes of the unachievable equality and justice.79 Besides that, this approach will provide balance environment between the rights holders and rights providers.80

V. MEASURING WOMEN RIGHTS

1. The Characters of Indicators as Tools for

Measurement

a. Indicators as Social-based Tools

The key discussion of this paper regarding indicator is whether indicator is suffi cient to capture the social values and issues, as values and issues that women’s experienced, into quantitative method which mostly development planning employ nowadays. For that, it is essential to look at what is actually the intended-purpose of the creation and usage of indicator in the context of development planning, which inevitably closely attached with the global governance used for measuring the outcomes of power realization into decision and policy-making.

Indicator represents contemporary global governance as an indication of the exercises of knowledge and power.81 However, as stressed by Davis, Kingsbury and Merry in their article, the agreed-defi nition of indicator remains unsolved, which open the opportunities to

77 Ibid.78 Dianne Otto, ‘Shaping Women’s Property Rights through

Indicators: a Human Rights Approach’ (2006) 71 Development Bulletin 40, 42; Dorsey et al, above n 516; Barton, ‘Women Debate the MDGs’, above n 103; Barton, ‘Where to for Women’s Movements and the MDGs?’, above n 29; Hayes, above n 69; Caren Grown, ‘Answering the Skeptics: Achieving Gender Equality and the Millennium Development Goals’ (2005) 48 Development 82, 83.

79 Dorsey et al, above n 518; Uvin, above n 602-603.80 Uvin, above n 602-603.81 Oded Lowenheim, ‘Examining the State: a Foucauldian

Perspective on International ‘Governance Indicators’’(2008) 29 Third World Quarterly 255, 259-265; Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development Goals in Global Governance’, above n 466; Sally Engle Merry, ‘Measuring the World: Indicators, Human Rights, and Global Governance’ (2011) 52 Current Anthropology 83, 84; Kevin E. Davis, Benedict Kingsbury and Sally Engle Merry, ‘Indicators as a Technology of Global Governance’ (2012) 46 Law and Society Review 71, 72.

defi ne the meaning of indicator contextually.82 For the purpose of this paper inquiry, indicator is defi ne as the tool which actors who involve in development planning used to articulate abstract ideas and values into concrete measurement of programs and activities achievement. The discourses about technological and numerical of the indicator are outside the discussion of this paper.

Firstly, indicators are useful to compile or to aggregate data from sources.83 Second, various forms of social phenomenon can translate into various presentations as well through indicators.84 Third, analysis and evaluative functions that have correlation with data comparison and reconciliation are better assisted with using indicators, because the functions mentioned above. 85 In general, the practices of indicators are for problem-solving and decision-making processes,86 but the origin of the indicators is mostly associated with economic, fi nance and business fi elds.87

b. Human Rights Indicators

Major international instruments with regard to women’s rights require state parties to respond appropriately to ensure the full and equal enjoyment of human rights, such Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International Covenant on Civil and Political Rights, International Covenant on Economic, Social and Cultural rights, and Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women. Based on the substantial points from the UDHR Preamble, those measures imply several principles. First, the realization of women’s rights importantly needs a precondition of ‘social progress and better standards of life in larger freedom’.88 Second, ‘a common understanding’89 that signifi ed by UDHR as ‘a common standard of achievement’90 which is interpreted as state’s obligations to act appropriately. Third, those measures need to be ‘progressive’91. From

82 Davis, Kingsbury and Merry, above n 73-74.83 Merry, ‘Measuring the World: Indicators, Human Rights, and

Global Governance’, above n 86; Davis, Kingsbury and Merry, above n 74.

84 Davis, Kingsbury and Merry, above n 74-75.85 Ibid.86 Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development

Goals in Global Governance’, above n 467-474; Merry, ‘Measuring the World: Indicators, Human Rights, and Global Governance’, above n 85.

87 Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development Goals in Global Governance’, above n 474-475; Merry, ‘Measuring the World: Indicators, Human Rights, and Global Governance’, above n 83 and 89.

88UN General Assembly, Universal Declaration of Human Rights, 10 December 1948.

89 Ibid.90 Ibid.91 Ibid.

49Edisi 03/Tahun XIX/2013

that quantifi cation is able to represent the progress and defi ne the meaning of indicator contextually.82 For the

MAJALAH.indd Spread 40 of 44 - Pages(40, 49)MAJALAH.indd Spread 40 of 44 - Pages(40, 49) 31/12/2013 16:01:2731/12/2013 16:01:27

The targets and indicators, which are defi ned in the plans, are pointed toward the MDGs targets. Moreover, specifi c legal framework in level presidential instruction is also promulgated to accelerate the national achievement of these goals.66 Indonesia Report on MDGs wrote about positive changes and achievements. Indonesia also accentuated their accomplishments on gender mainstreaming, gender budgeting and Gender Analysis Pathway (GAP).67 Those products are implemented nationally and locally in the level of policy formulation and decision-making processes. In relation with MDGs, Indonesian Report on CEDAW implementation only mentioned the progressive role of women ministry in defending affi rmative action and the positive initiatives on the collection on gender statistics.68 However, The United Nations Commission on the Status of Women in its report explicitly raises strong criticism.69 Despite its outstanding and noble intention in continuously affi rming the inseparable linkages between Beijing Platform of Action and MDGs achievements, this commission specifi cally expressed great concerns and deplores on how those two global commitments on women yet harmonious.70 The crucial aspects in Beijing Platform of Action, as stated above, remain fewer representations in the goals and indicators of MDGs, where Indonesia also took part in this report session.71

Number 5 Year 2010 on Middle Term National Development Plan of Indonesia, <http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/opac/themes/bappenas4/templateDetail.jsp?id=94906&lokasi=lokal> ;< http://www.bappenas.go.id/node/42/> .

66 Presidential Instruction Number 3 Year 2010 on Equitable Development Plan, <www.bappenas.go.id/get-fi le-server/node/9274/ >.

67Ministry of National Development Planning/National Development Planning Agency (BAPPENAS), ‘Report on the Achievement of the Millennium Development Goals in Indonesia 2010’, September 2010, <http://www.bappenas.go.id/node/118/2813/laporan-pencapaian-mdgs-indonesia-2010/>.

68 Committee on the Elimination of Discrimination against Women, ‘Combined sixth and seventh periodic reports of the Republic of Indonesia on the implementation of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women in the State party during 2004–2009’ 7 January 2011, <http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2012/07/indonesia_state report_cedaw_c_idn_6_7.pdf >.

6915-year review of the implementation of the Beijing Declaration and Platform for Action (1995) and the outcomes of the twenty-third special session of the General Assembly (2000), <http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing15/index.html>.

70 The United Nations Commission on the Status of Women, ‘Report on the fi fty-fourth session (13 March and 14 October 2009 and 1-12 March 2010)’, 43-46, November 2010, <http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing15/index.html>.

71 Ibid.

3. MDGs for Women: Another Formality of

Development and Human Rights?

As the platform that tried to be established by Declaration of the Right to Development in 1986,72 regrettably this declaration not meet the expectation of self-defi ned development by people or groups or Third World states that are constantly being more disadvantaged and marginalized by development, where women are included.73 The values of having rights to self-defi ne and self-determinate are too vulnerable to simplifi cation or even relegation to be incorporated into regimes that quantify everything with indexes and numbers. That is why not only the incorporation of development and human rights is already a paradox, but also inserting women and their rights into development is gradually eroding the dynamics and multidimensionality of women itself. However, further attempts to incorporate these two regimes are becoming enthusiastic or even possessive global projects. That is because despite the critics and weaknesses of that incorporation, international and national governances and resources keep doing this kind of latest projects. So does MDGs included in these trends. MDGs seems further confi rmed that including human rights into development is just formality to mute demands, claims and tensions of human rights impasses. As argued by Otto, as women continuously emphasized the urgency of their rights to be taken into account by human rights agendas, at that time women’s movements become vulnerable of formalisation or cooptation by global projects.74

In addition to that, although MDGs try to convince the world that the goals are deeply committed to promote human rights through referring to UDHR and CEDAW,75 their implementation remains to indicate progress and changes through the terms of “increase and decrease” of percentages, numbers and indexes.76 Those indications are not explicitly addressing the extent of

72 Declaration on the Right to Development, UN Doc. A/Res/41/128, 4 December 1986, <http://www.un.org/documents/ga/res/41/a41r128.htm.>

73 Peter Uvin, ‘From the Right to Development to the Rights-Based Approach: How “Human Rights” entered Development’ (2007) 17 Development in Practice 597, 598-599; Charlesworth and Chinkin, above n 204-208; Rhoda Howard, ‘Women’s Rights and the Right to Development’ in Julie Peters and Andrea Wolper (eds) Women’s Rights Human Rights: International Feminist Perspectives (Routledge, 1995) 301, 303-305.

74 Otto, ‘A Post-Beijing Refl ection on the Limitations and Potential of Human Rights Discourse for Women’, above n 133.

75 Robinson, above n 41.76 United Nations, ‘The Millennium Development Goals Report

2012’ New York 2012, <http://www.un.org/millenniumgoals/reports.shtml.>

48 Edisi 03/Tahun XIX/2013

The targets and indicators, which are defi ned in the plans, 3. MDGs for Women: Another Formality of

Measuring Women’s Rights in Development: Measuring Women’s Rights in Development: Indonesia and MDGSIndonesia and MDGS

Maya Grandty*)Maya Grandty*)

Abstract

Millennium Development Goals or MDGs have challenged the objectives of women’s movements. MDGs accentuate the collection of concrete benchmarks and indicators, which need to be achieved by committed countries by the year of 2015. This paper critically analyses the aspects of MDGs that intersect with conceptual ideas of development and human rights in relation to the tendencies of measuring women’s rights, in the context of women’s movements in Indonesia. The question is whether MDGs indicators are capable to refl ect the dynamics and aspirations of women’s movements in Indonesia. This paper suggests that global indicators as the product of development and human rights projects simplify the diversities and experiences of women. MDGs indicators are not addressing the roots of the problems of women in Indonesia where despite the signifi cance of women involvement in the Indonesian development that leads to gender equality, violation against women are still regarded as private issues. Moreover, the current women involvement and empowerment in development are a matter of formality rather than substance. This analysis presents thoughts for understanding why some women’s groups in Indonesia remain reluctant to the formulation of indicators in the development planning.

I. Introduction

Millennium Development Goals or MDGs have challenged the objectives of women’s movements. As global agenda, MDGs focus on the basic needs of human beings that remain a fundamental issue of development. It covers broad benefi ciaries; human in general, women and children in particular. MDGs accentuate the collection of concrete benchmarks and indicators, which need to be achieved by committed countries by the year of 2015.

This paper critically analyses the aspects of MDGs that intersect with conceptual ideas of development and human rights in relation to the tendencies of measuring women’s rights, in the context of women’s movements in Indonesia. The question is whether MDGs indicators are capable to refl ect the dynamics and aspirations of women’s movements in Indonesia. This paper suggests that global indicators as the product of development and human rights projects simplify the diversities and experiences of women. MDGs indicators are not addressing the roots of the problems of women in Indonesia where despite the signifi cance of women involvement in the Indonesian development that leads to gender equality, violation against women are still regarded as private issues. Moreover, the current women involvement and empowerment in development

41Edisi 03/Tahun XIX/2013

MAJALAH.indd Spread 41 of 44 - Pages(48, 41)MAJALAH.indd Spread 41 of 44 - Pages(48, 41) 31/12/2013 16:01:2831/12/2013 16:01:28

are a matter of formality rather than substance. This analysis presents thoughts for understanding why some women’s groups in Indonesia remain reluctant to the formulation of indicators in the development planning.

The fi rst chapter of this paper engages with the perspectives of Postcolonial feminism that provides pertinent ideas in relation to women, their rights and development. This part tries to deliver some contextual point of view of women from Third World countries and their relationship with the ideas of development and human rights that brought them to their previous and contemporary movements. The second chapter provides contextual analysis of Indonesia and its women movement. The third part explores MDGs and criticisms toward it. The fourth chapter off ers a critical assessment of how the idea of measuring women rights through indicators that represent by MDGs is so problematic for women and particularly why it is problematic for women’s movements in Indonesia.

II. POSTCOLONIAL FEMINISM AND INTERNATIONAL

WOMEN’S MOVEMENTS

1. Postcolonial Feminism

Among many Feminists’ movements and ideologies, the salient feature of Feminist ideology for the purpose of this paper is the Postcolonial (or Third World) Feminists. The perspectives of Postcolonial Feminists provide critique when all the background experiences as the bases of women’s movements are all similar, while the facts are not.1 Women do share common concerns about the expectation of social changes, but the background stories behind those concerns are not comparable.2 Women face diff erent experiences because of historical realities, ideological manifestations, political systems, social structures, economical demands and cultural engagements. When western women are no longer

1* Maya Grandty, staff of Law and Human Rights Directorate, Deputy of Politics, Law, Defence and Security, Bappenas

Chandra Talpade Mohanty, ‘Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses’ in Reina Lewis and Sara Mills (eds) Feminist Postcolonial Theory: A Reader (Edinburgh University Press, 2003) 49-74; Hilary Charlesworth and Christine Chinkin, The Boundaries of International Law: A Feminist Analysis (Manchester University Press, 2000) 46-48; Chandra Talpade Mohanty, ‘Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses’ in Nalini Visvanathan, et al (eds) The Women, Gender and Development Reader (Zed Books, 1997) 79, 79; Chandra Talpade Mohanty, ‘Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses’ (1988) 30 Feminist Review 61, 61.

2Mohanty, ‘Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses’ above.

questioning their access to education and health care, Third World women remain struggling for those accesses. When women in developed countries are considered as modern women because they have more opportunities both in public and private spheres, women in less developing countries are not having any idea about modernity because the only visible future for them is being a wife and a mother. Postcolonial Feminists strongly address that their historical identities, as Postcolonial women are continuously imperializing, impeding, and even worse simplifying the many dimensions of women.3 This critical perspective will be the basic deliberation in investigating whether the imperial and colonial characters and products of development and human rights are able to articulate their multiple stories.

Some women, particularly Third World women, face diffi culties to engage with the development discourse, because women are only seen as the recipient of development project.4 The only visible way for women to have a diff erent role in the development discourse is by reconstructing the development theories and practices that undermine female expressions,5 instead of totally reject all the global notions of development. In this reconstructing moment, women have opportunities to tell diff erent stories about themselves and development, which allows and affi rms the active roles of women in within this process. However, Feminists need to be aware that their mission of integrating women into development project means that women challenge political and social structures. Ironically, these structures are the same structure that shapes them. This ironic reality need to be understood by women,6 and surely by the state as well.

Regarding the various concerns and issues of women, women reject the equated defi nitions of their disadvantages and paradigms; women actually need recognition for their internal and external diversity through choices, not merely through protection or partiality. Moreover, the signifi cant demand of the women is substantive involvement, particularly in

3 Mohanty, ‘Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses’ in Reina Lewis and Sara Mills above.

4 Jane L. Parpart, ‘Deconstructing the Development “Expert”: Gender, Development and the “Vulnerable Groups”’ in Marianne H. Marchand and Jane L. Parpart (eds) Feminism/Postmodernism/Development (Routledge, 1995) 221, 227.

5 Ibid.6 Sue Ellen M. Charlton, Women in Third World Development

(Westview Press, 1984) 210-211.

42 Edisi 03/Tahun XIX/2013

are a matter of formality rather than substance. This questioning their access to education and health that agenda into global and national priorities.46 MDGs are regarded as another chance for women to elevate their movements into practical and technical strategies in order to secure the implementation of gender mainstreaming and the achievement of gender substantive equality.47 On one side, these goals provide concrete, targeted and common index of progresses, in order to claim government commitment.48 On another side, women are challenged to engage more in intergovernmental processes.49 Within these progresses, the availability of sex and gender disaggregate data is essential, so women can get benefi ts from that.50 Gender equality is seen as infl uential factor to the accomplishment of other goals.51

On the other hand, the major weakness of MDGs is the indicators, particularly those related with women. Even though it has been claimed that almost all the goals of MDGs contribute to the realization of gender equality,52 apparently the indicators are less sensitive to gender and not indicate the systemic barriers of gender equality.53 MDGs indicators on women are not addressing comprehensively the root of the problems of gender inequality.54 Moreover, those indicators are relegating the representation of gender equality in a form of narrow indicators of education, employment and political participation.55 Relegating the achievement of gender equality through education, employment and political participation is not pointing clearly women practical needs,56 but lead to double burden to women.57

46 Ibid 103 and 105; 47 Noeleen Heyzer, ’Making the Links: Women’s Rights and

Empowerment are Key to Achieving the Millennium Development Goals 1’ (2005) 13 Gender and Development 9, 11.

48 Heyzer, above n 10; Barton, above n 102; 49 Carol Barton, ‘Where to for Women’s Movements and the

MDGs?’ (2005) 13 Gender and Development 25, 30.50 Heyzer, above n 10.51 Ceri Hayes, ‘Out of the Margins: The MDGs through a CEDAW

Lens’ (2005) 13 Gender and Development 67, 68.52 Barton, ‘Women Debate the MDGs’, above n 103.53 Jagriti Shankar, ‘MDGs Analysis and Operational Indicators for

Gender Mainstreaming and Equality’ (2010) 14 Gender Technology and Development 117, 117 and 119; Heyzer, above n 10; Hayes, above n 68; Robert Johnson, ‘Not a Suffi cient Condition: The Limited Relevance of the Gender MDG to Women’s Progress’ (2005) 13 Gender and Development 56, 64.

54 Barton, ‘Women Debate the MDGs’, above n 102; Heyzer, above n 10.

55 Shankar, above n 119; Naila Kabeer, ‘Gender Equality and Women’s Empowerment: A Critical Analysis of the Third Millennium Development Goal 1’ (2005) 13 Gender and Development 13, 13; Barton, ‘Where to for Women’s Movements and the MDGs?’, above n 25; Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development Goals in Global Governance’, above n 478.

56 Shankar, above n 119.57 Shankar, above n 119.

If those indicators are not met, women could be blamed for incapability among opportunities. Crucially, MDGs are not well representing women major issues such as violence against women, discrimination, women labour and reproductive rights.58

The most concerning weak point of MDGs is that they show how this global and ambitious project simplifi es and relegates the long struggles of women’s movements that have been achieved painstakingly through CEDAW and Beijing Platform of Action.59 MDGs are not as comprehensive and accommodative to crucial issues of women as CEDAW and Beijing Platform of Action present.60 It shows how once more women’s movements and global and national approaches move into diff erent directions. The pursuit of gender equality loose it grips when it is implemented without addressing its multidimensionality.61 Global burden of the failures of economic development is charged to only developing countries where most of the failures occurred.62 MDGs are greatly relying on governance or technocratic processes, which more pressure to articulate it into national and local agendas.63 These processes are clearly top-down mechanisms with limited space of civil society or even women participations.64 In this kind of debates, do women’s movements still can built upon these goals. However, the comparison between the negative and the positive is too imbalance.

2. MDGs for Indonesian Women

As the previous contexts of Indonesia, the responses to MDGs are almost entirely positive. The goals of MDGs are addressing most of the major low pace of Indonesian development. It can be seen on how the Indonesian government responded it promptly and strategically. Almost all MDGs goals became part of national development plans, in the long, middle and year terms.65

58 Shankar, above n 118-119; Heyzer, above n 10; Barton, ‘Where to for Women’s Movements and the MDGs?’, above n 25 and 29.

59 Barton, ‘Women Debate the MDGs’ above n 102; Hayes, above n 67.

60 Barton, ‘Women Debate the MDGs’ above n 103; Heyzer, above n 19.

61 Kaber, above n 23.62 Barton, ‘Women Debate the MDGs’ above n 103.63 Barton, ‘Where to for Women’s Movements and the MDGs?’,

above n 29; Hayes, above n 69.64 Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development

Goals in Global Governance’, above n 466; Robinson, above n 41; Barton, ‘Where to for Women’s Movements and the MDGs?’, above n 29; Hayes, above n 69.

65 Law Number 17 Year 2005 on Long Term National Development Plan of Indonesia, 21 December 2010, <http://www.bappenas.go.id/node/123/26/uu-no-17-tahun-2007-tentang-rencana-pembangunan-jangka-panjang-nasional-tahun-2005-2025-/> ; Presidential Decree

47Edisi 03/Tahun XIX/2013

that agenda into global and national priorities.46 If those indicators are not met, women could be blamed

MAJALAH.indd Spread 42 of 44 - Pages(42, 47)MAJALAH.indd Spread 42 of 44 - Pages(42, 47) 31/12/2013 16:01:3031/12/2013 16:01:30

of victim’s wounds and accuse the government as the main actor. On the other hand, Indonesia government seemingly circumvent having appropriate human and women’s rights discourses and policies because of lack of political will and avoiding more tensions. Human or even women’s rights that have bad memories tendencies are not government priority. Moreover, in Indonesia, bluntly spoken, recognition of women’s rights does not necessarily mean its implementation, which essentially make the recognition is pointless.34 Insuffi cient understanding about human rights, which can be a framework for problem solving and social change, will only result in limited perspectives of legal protection and enforcement.35

IV. THE DEBATES OF MDGS36

MDGs intersect and incorporate global contemporary discourses of development. MDGs appear among so many creations of development instruments. They also emerged in the tensional approaches of development, between economic and market based versus the human and social based.37 These global goals exist in the middle of dynamics of development and human rights incorporation. Moreover, this multinational and intergovernmental commitment off ers a middle way between gaps of inspirational or conceptual and practical aspects of development and human rights.38

Most of the goals try to address the most urgent global issues.39 Among eight major goals, two of the goals have direct and slightly indirect connections with women.40 The direct ones are Goal 3, promoting gender equality and empowering women and Goal 5, improving

34 Ibid 59.35 Sally Engle Merry, ‘Women, Violence, Human Rights’ in Marjorie

Agosin (ed) Women, Gender, and Human Rights (Rutgers University Press, 2001) 83, 94; Temma Kaplan, ‘Women’s Rights as Human Rights: Women as Agents of Social Change’ in Marjorie Agosin (ed) Women, Gender, and Human Rights (Rutgers University Press, 2001) 191-204.

36 United Nations, Millennium Development Goals, <http://www.un.org/millenniumgoals/>.

37Kerry Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development Goals in Global Governance’ in Helene Ruiz, Rudiger Wolfrum and Jana Gogolin (eds) Select Proceedings of the European Society of International Law Volume II 2008 (Hart Publishing, 2010) 463, 465- 471.

38 Mary Robinson, ‘What Rights Can Add to Good Development Practice’ in Philip Alston and Mary Robinson (eds) Human Rights and Development: Towards Mutual Reinforcement (Oxford University Press, 2005) 25, 40-41.

39 Ellen Dorsey et al, ‘Falling Short of Our Goals: Transforming the Millennium Development Goals into Millennium Development Rights’ (2010) 28 Netherlands Quarterly of Human Rights 516, 516.

40 Kinnear, above n 12-13.

maternal health. While, eradicating extreme poverty and hunger (Goal 1), reducing child mortality (Goal 2), combating HIV/AIDS, malaria and other diseases (Goal 7) and; developing a global partnership for development (Goal 8) indirectly connected to women. In relation to that, those goals are interconnected one to another, when one goal achieves its target it opens way to the achievement of another goal.41 The most important one, all goals have infl uential roles in establishing gender equality around the world.42 Therefore, the discussion needs to engage fairly between the potencies and drawbacks of what these goals imply for women.

From the general perspective, like other products of development and human rights, MDGs are full of optimisms and pessimisms. Regrettably, MDGs receive more scepticism rather than support,43 because MDGs seems like another ‘one-size-fi ts-all’ approach.44 This is contradicting among its plentiful predominance from the lens of economic development, because from the perspectives of human rights or human development activists, particularly women’s rights activists, MDGs just another affi rmation of the development alignment to economic, market and growth. MDGs goals and benchmarks show how the elements of human development are not seen entirely for the benefi ts of well-being. It is true that MDGs confi rm that human development is infl uential for the achievement of economic development and poverty eradication, but the realization of MDGs is more about how human development can give to a greater extent contribution to growth, not main contribution to the development of human itself. Disappointingly, that is identical with the scepticism for the perspectives of women’s movement.

1. Pros and Cons of MDGs

Positive support for MDGs is that MDGs consider as another global commitment of integrative and measurable approach of development and human rights.45 Fair to say that MDGs mark the success and the advancement of global women’s movements on the struggles of achieving gender equality and ensure

41 Ibid.42 Ibid.43 James D. Wolfensohn, ‘Some Refl ections on Human Rights and

Development’ in Philip Alston and Mary Robinson (eds) Human Rights and Development: Towards Mutual Reinforcement (Oxford University Press, 2005) 19, 20.

44Rittich, ‘Governing by Measuring: The Millenium Development Goals in Global Governance’, above n 464 and 482-484; Robinson, above.

45Carol Barton, ‘Women Debate the MDGs’ (2005) 48 Development 101, 102.

46 Edisi 03/Tahun XIX/2013

of victim’s wounds and accuse the government as the maternal health. While, eradicating extreme poverty development, where they are free to actualize their concerns and issues and formulate their own solutions.7

2. International Women’s Movements

Some claimed that the existence of women’s movements in the global and political forums is a strategy of utilizing the international discourses to incorporate women’s excluded rights to be part of human rights discourses.8 This strategy is identical with the strategy that claims that the term “development” does not merely involve economic development, but it is prior to people as well-being.9 The contest of this strategy has been continuously regarded as discouragement towards the impasses of women’s movements in the past few decades, such as concerns of culture and countered voices from Third World women toward globalisation and liberalisation.10 Since so many criticized that alteration, question appeared on the fundamental reason for entering their movements into what seems to be a contradictory sphere of human rights.11 Concerns emerged on their inclusivity that clearly opposite with political, public, liberal and universal natures of human rights.12 Moreover, the global discourses and forums of human rights have been criticized on excluding the discourses of women’s rights since the emergence of human rights.

7 Amartya Sen, Development as Freedom (Oxford University Press, 1999) 36.

8Charlesworth and Chinkin, above n 218-222; Maila Stivens, ‘Introduction: Gender Politics and the Reimagining of Human Rights in the Asia-Pacifi c’ in Anne-Maria Hilsdon, et al (eds) Human Rights and Gender Politics: Asia-Pacifi c Perspectives (Routledge, 2000) 1-36; Charlotte Bunch, ‘Transforming Human Rights from Feminist Perspective’ in Julie Peters and Andrea Wolper (eds) Women’s Rights Human Rights: International Feminist Perspectives (Routledge, 1995) 11-17; Hilary Charlesworth, ‘Feminist Methods in International Law’ (1999) 93 American Journal of International Law 379, 386-388; Andrew Byrnes, ‘Women, Feminism, and International Human Rights Law – Methodological Myopia, Fundamental Flaws or Meaningful Marginalisation’ (1992) 12 Australian Year Book of International Law 205, 207-225.

9Margaret Snyder, ‘Unlikely Godmother: The UN and the Global Women’s Movement’, in Myra Marx Ferree and Aili Mari Tripp (eds) Global Feminism: Transnational Women’s Activism, Organising, and Human Rights (New York University Press, 2006) 24, 48; Pieter de Vries, ‘Don’t Compromise Your Desire for Development! A Lacanian/Deleuzian Rethinking of the Anti-politics Machine’ (2007) 28 Third World Quarterly 25-43.

10Stivens, above.11Stivens, above; Katarina Tomasevski, Women and Human Rights

(Zed Books, 1993).12Stivens, above; Rebecca J. Cook, ‘Women’s International

Human Rights Law: The Way Forward’ in Rebecca J. Cook (ed) Human Rights of Women: National and International Perspectives (University of Pennsylvania Press, 1994) 3-36.

However, the global and political forums of human rights clearly took into account the women’s movements in several signifi cant international instruments and institutions. The United Nations Commission on the Status of Women 1946 (CSW 1946) is one of the strategic leverages of women’s movements that succeeded in infl uencing the drafting process of the Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR 1948).13 The paramount achievement of this leverage was the enactment of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women 1979 (CEDAW 1979), which raised women’s issues and struggles to be concerns of global and political forums of human rights.14 As suggested by Stivens, this tendency is described as a strategic movement to set up ‘a powerful political platform’ for women’s rights to be taken into account in the inevitable international discourses.15 The affi rmation of this commitment is manifested in global events that generate a global political platform for women’s movements. World conferences on women and human rights (Mexico City in 1975, Copenhagen in 1980, Nairobi in 1985 and Beijing in 1995; and Vienna, 1993) facilitated the emergence of the Beijing Platform for Action (1995).16

The latest development of those commitments is the establishment of institutions to ensure that the positive implementations of CEDAW and Beijing Platform for Action have impacts on women, internationally and nationally. From the establishment of United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women or UN Women (2010) that brings together previous attempts to generate greater impact,17 Beijing Platform for Action is also continuously followed-up through fi ve-year review and appraisal mechanisms (2000, 2005 and 2010).18 In the last review (2010), the report repeatedly addressed the importance of indicators in every sector that related to women, as a tool to measure progresses and impacts and to generate

13Dianne Otto, ‘Lost in Translation: Re-scripting the Sexed Subjects of International Human Rights Law’ in Anne Orford (ed) International Law and Its Others (Cambridge University Press, 2006) 318, 329-337; Stivens, above n 1, 5; Arvonne Fraser, ‘Becoming Human: The Origins and Development of Women’s Human Rights’ (1999) 21 Human Rights Quarterly 853, 888-889.

14 Fraser, above n 853, 889-894; Stivens, above.15 Fraser, above n 853, 895-899; Stivens, above n 24.16 Stivens, above n 6.17 The United Nations Entity for Gender Equality and the

Empowerment of Women, <http://www.unwomen.org/>. 18The United Nations Entity for Gender Equality and the

Empowerment of Women, Beijing and Its Follow Up, <http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing/index.html>.

43Edisi 03/Tahun XIX/2013

development, where they are free to actualize their However, the global and political forums of human

MAJALAH.indd Spread 43 of 44 - Pages(46, 43)MAJALAH.indd Spread 43 of 44 - Pages(46, 43) 31/12/2013 16:01:3131/12/2013 16:01:31

collaborative coordination among stakeholders, specifi cally in relation to the MDGs achievements for 2015.19

III. FOCUS ON INDONESIA

1. The Way in which Indonesia Understand Its

Human Rights

Human rights in Indonesia are constitutional rights; the Indonesian Constitution (Undang-Undang Dasar 1945) has undergone four rounds of amendments to accommodate the dynamics of Indonesian society and to refl ect the way Indonesians understand ‘their’ human rights.20 In the constitution, the ‘protection, advancement, upholding and fulfi lment’ of broad civil, political, economic, social and cultural rights are the state’s obligation.21 Indonesia expresses its human rights into international and national commitments. Internationally, Indonesia is a state party to main international human rights instruments.22 Domestically, Indonesia has government and non-government institutions and national and local legislation to support the implementation of state obligations. In general, human rights practices in Indonesia are remain depending on the formal institutions and legislation, which are highly infl uenced by rigidity of political exercises.23 On the other hand, the diversity and dynamics of Indonesian society to some extent are not necessarily compatible to that infl exibility.

The national principles and politics have great infl uences on how Indonesian perceive human rights, which give diff erent experiences toward the development of human rights in this multicultural society. The most contested principle of human rights not only in international forums, but also in Indonesia, is related with the distinction of Western and Asian (Eastern) perceptions on human rights, where the fi rst

19 The United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women, Fifteen year Review and Appraisal, <http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing15/index.html>.

20 Lindsey, above; Andrew Ellis, ‘The Indonesia Constitutional Transition: Conservatism or Fundamental Change? (2002) 6 Singapore Journal of International and Comparative Law 116.

21 The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, As amended by the First Amendment of 1999, the Second Amendment of 2000, the Third Amendment of 2001 and the Fourth Amendment of 2002

22 Hikmahanto Juwana, ‘Human Rights in Indonesia in Randall Peerenboom,’ in Carole J. Petersen and Albert H.Y. Chen (eds) Human Rights in Asia: A Comparative Legal Study of Twelve Asian Jurisdiction, France and the USA (Routledge, 2006) 364-383.

23 Ibid 379.

one respect more personal or individual rights whereas the second one respect collective or communities rights over individual rights.24 While, as suggested by Sen, women have more than one role in the community, it is not easy to locate in which community and in which collective rights that needs to be defi ned and ensured the position of women’s rights.25

‘New-Order’ leader tried to legitimate state actions and policies that violate human rights on behalf of national interests somehow has used this Asian perception.26 It is easier to introduce human rights discourses that discuss how human rights have a role in supporting welfare rather than the abandoned discussion on human rights violations by the state on the past. Most of the government discourses seem to avoid intentionally the discussion on how Indonesian can treat the past violations of human rights diff erently, because of some political issues and bad memories. However, this ‘good-looking’ signal hampers the women’s movements that are mostly based on the past violations of human rights that had severe implications on women. At the same time, it is a common trend that the growing number of human rights institutions is due to the protest of state violations of human rights.

2. Development in Indonesia

As a political manifesto, Indonesian development covers broad and various public and private spheres. Development is understood as multidimensional and continuous processes of society in achieving better standard of living.27 State is the main actor of the development and economic development remains perceive as an impetus of all spheres of development, such as human and social development. Indonesia recognizes that human development and social development are highly dependent on the achievement of economic development. If people are still struggling to get higher income for themselves, their accesses to have adequate basic needs are obviously limited. In this kind of high sense of economical perspective, the major challenge is how to synchronize and harmonize women’s claims and aspirations into national development framework.

24 Khrisna Sen, ‘The Human Rights of Gendered Citizens: Notes from Indonesia’ in Anne-Maria Hilsdon, et al (eds) Human Rights and Gender Politics: Asia-Pacifi c Perspectives (Routledge, 2000) 107, 108.

25 Ibid.26 Ibid.27 Diane Elson, ‘Theories of Development in Janice Peterson

and Margaret Lewis’ (eds) The Elgar Companion to Feminist Economics (Edward Elgar, 1999) 95-107.

44 Edisi 03/Tahun XIX/2013

collaborative coordination among stakeholders, one respect more personal or individual rights whereas In the long and middle terms Indonesian Development Plan, the main issue of women is the paradox between lack of access to welfare and high levels of violence and discrimination. Because of that, the main mission of Indonesian development related to women is on one hand increase women welfare and on the other hand reduce violence and discrimination against them. With better welfare, the quality of women’s life will be improved. With more protection, the level of violence and discrimination will be decreased. The achievement of those targets needs to be facilitated through empowerment. Moreover, empowerment could also be leverage for one to another. Through empowerment, women participation and equality are possible to achieve.

3. Women’s Movements in Indonesia

The dimension of women from South Asian perspectives provides description on how geopolitical backgrounds have tremendous eff ects on the women’s movements. South Asian countries, which typically share similar history of post-colonization and unavoidably globalization, struggle to survive from the robust infl uences of structural transformation and uneven development.28 Those conditions create resistances and demand changes for women issues, because the group of society that is aff ected greatly by the negative impacts of those conditions is women. The awareness of resistances and changes emphasizes on the demand for acknowledgement of their shared-diversity that is based on sovereign nations, socio-cultural and ethnic population, and range of religious faiths, legal systems and economic and political structures. Beside geopolitics, ‘gender ideologies’ in South Asia also becomes the main factor that compounds the incorporation of women into development.29 This gender ideology refers to ‘strong patriarchal ideology’ as a result from religious and cultural practices, which does not acknowledge the equal opportunities between men and women in many social spheres. The role of Indonesian women has been traditionally emphasized as a wife, a housewife and a homemaker.30 In those roles, women’s rights and obligations are closely connected to matters of

28 Karen L. Kinnear, Women in Developing Countries (ABC-CLIO, 2011).

29 Preet Rustagi, ‘Dimensions of Gender Development in South Asia Based on Human Development Indicators’ in Manjeet Bhatia, Deepali Bhanot and Nirmalya Samanta (eds) Gender Concerns in South Asia: Some Perspectives (Rawat Publications, 2008) 301, 303.

30 Aida Vitayala S. Hubeis, Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa (IPB Press, 2010) 91.

reproductive, management, educator and caregiver functions. These kinds of roles are characterized Third World women or “the triple role” of women.31

Kartini, as the initiator of women’s rights in Indonesia put the highlight on great expectation of indiscriminative societal condition of Indonesia in Dutch imperialism era.32 At that time, women were treated discriminatively by the society in relation to their educational rights and freedom from seclusion and polygamy practices. These discriminations were intolerable if human rights were to be perceived properly, because through education, women are being valued equally with human rights and education is a precondition for their rights’ progress and application.33 Kartini’s thoughts inspired national and international Historians, Nationalists and academics that concern about the realization of women’s rights in Indonesia, which undoubtedly remain infl uential on women’s movements up until now.

However, political turmoil that occurred in the ‘Fall of Suharto’ era or in 1998, gave diff erent feature on women’s movement in Indonesia. The impacts of Indonesian riots in 1998 accompanied by big number of rapes were intolerable not only from women’s perspectives but also from humanity perspective. Those bad memories spawned more number of women’s movements in Indonesia that strongly accused the ignorance and inability of government to tackle human rights abuses and violence’s against women. Since then, the characters of women’s movements change become strongly protest and counter the Indonesian government and not place priority to work with government. National Commission on Violence against Women (Komnas Perempuan) is one of the women’s organisations, which formed based on civil society demands that continuously promote its mission which claim for government responsibility of human rights violation, particularly on violence against women that resulted from government exercises.

Taking the historical milestones of women’s rights as described above, those descriptions are able to represent the Indonesian perception on their human rights. In Indonesian context, human rights, particularly women’s rights are often associated with bad memories

31Caroline E. Moser, ‘Gender Planning in the Third World: Meeting Practical and Strategical Gender Needs’ (1989) 17 World Development 1799-1825.

32 Imron Rosyadi, R.A. Kartini: Biografi Singkat, 1879-1904 (ar-Ruzz Media Group, 2010).

33 Arvonne S. Fraser, ‘Becoming Human: The Origins and Development of Women’s Human Rights’ in Marjorie Agosin (ed) Women, Gender, and Human Rights (Rutgers University Press, 2001) 15, 17.

45Edisi 03/Tahun XIX/2013

In the long and middle terms Indonesian Development reproductive, management, educator and caregiver

MAJALAH.indd Spread 44 of 44 - Pages(44, 45)MAJALAH.indd Spread 44 of 44 - Pages(44, 45) 31/12/2013 16:01:3231/12/2013 16:01:32