Pengantar Fiqih, Sejarah, Asbabbul Khilaf Dan Madzhab Fiqih
description
Transcript of Pengantar Fiqih, Sejarah, Asbabbul Khilaf Dan Madzhab Fiqih
. FIQH SALAF
FIQH DAN SUMBER PENGAMBILANNYA MENURUT SALAF
A. Pengertian Fiqh.
Secara bahasa, arti fiqh adalah al-fahmu (paham atau mengerti). Dan secara
istilah, maknanya adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yang dihasilkan dari dalil-
dalilnya yang terperinci. Ada juga yang mengatakan bahwa fiqh adalah pengetahuan
atas hukum-hukum syar’i yang ditempuh dengan cara berijtihad. Sedangkan hukum-
hukum syar’i itu terdiri dari wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh.
B. Madzhab-Madzhab Fiqh dan Sumber Pengambilannya.
Dalam hal ini, di antara aliran-aliran fiqh yang banyak dijadikan acuan kaum
muslimin ada empat : madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan
madzhab Hanbali. Namun tidak dapat dipungkiri bahwasanya masih ada lagi
madzhab-madzhab yang diakui para salaf (baca : ahlu sunnah wal-jama’ah),
contohnya madzhab Al-Auza’i, madzhab Ats-Tsauri, madzhab Al-Laits, madzhab
Azh-Zhahiri dan madzhab Ath-Thabari. Hanya saja dengan semakin berputarnya
zaman, kini madzhab-madzhab tersebut tidak banyak berkembang lagi tidak banyak
dipakai oleh kebanyakan kaum muslimin saat ini khususnya.
Awal yang dijadikan patokan tiap-tiap imam-imam madzhab dalam berijtihad
menyimpulkan suatu hukum adalah nash-nash Al-Qur’an, As-Sunnah, kemudian
ijma’, dan setelah itu qiyas. Sedang selebihnya merupakan dalil-dalil yang sifatnya
mukhtalaf (diperselisihkan), seperti qaul shahaby, istihsan, ‘urf, al-mashalih al-
mursalah....dan lain sebagainya.
Mereka imam-imam madzhab, metode dalam menyimpulkan suatu hukum adalah
secara berurutan, sebagai manhaj bagi mereka dalam menetapkan sebuah hukum dari
dalil-dalilnya meskipun satu sama lain di antara mereka didapatkan perbedaan dan
ketidaksamaan.
Oleh karena itu, mereka berempat adalah tauladan utama bagi setiap orang yang
ingin menempuh langkah berijtihad secara benar dan selamat. Mereka merupakan
suri tauladan dalam keilmuan, istiqomah dan amal sholih. Terbukti dengan adanya
legitimasi dari seluruh kaum muslimin di berbagai masa sesudah mereka.
1. Madzhab Hanafi.
Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah, Nu’man bin Tsabit Al-Kufy
yang hidup di Kufah-Irak. Lahir pada tahun 80 Hijriyah. Imam Abu Hanifah dikenal
sebagai pendiri Madrasah Qiyas bersama dua sahabatnya, Imam Abu Yusuf A-Qadhi
dan Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Dan beliau wafat pada tahun 180
Hijriyah.
Untuk sekarang madzhab ini banyak digunakan di negara-negara Asia Bagian
Selatan dan Barat Daya, seperti Pakistan, India, Afghanistan, Libya, Lebanon dan
Irak. Juga di Turki, Sudan dan Negeria.
Adapun sumber pengambilan hukum fiqh dalam madzhab ini ada enam :
a. Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Al-Ijma’.
c. Qaul shahaby (pendapat sahabat RA)
d. Jika tidak didapatkan qaul shahaby, beralih untuk berijtihad tanpa mengambil
qaul tabi’in.
e. Istihsan dan Qiyas.
f. ‘Urf.
2. Madzhab Maliki.
Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Abu Abdillah, Malik bin Anas Al-
Anshary yang hidup di kota Madinah. Lahir pada tahun 93 Hijriyah. Imam Malik
dikenal dengan Imam Darul Hijrah, sebagai Pendiri Madrasah Al-Hadits. Dan beliau
wafat pada tahun 179 Hijriyah.
Pada zamannya dulu, madzhab ini berkembang pesat di Madinah dan Mesir.
Adapun sekarang, tidak banyak berkembang kecuali hanya di beberapa negara seperti
Maroko dan sekitarnya di belahan Afrika.
Sumber pengambilan hukum fiqh dalam madzhab ada sebelas :
a. Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Al-Ijma’.
c. Ijma’ para sahabat RA.
d. Fatwa para sahabat RA.
e. Qiyas.
f. Istihsan.
g. Al-Mashalih Al-Mursalah.
h. Sadd Adz-Dzara-i’.
i. Al-Istishab.
j. Syar’u Man Qablana (syari’at umat terdahulu).
k. ‘Urf.
3. Madzhab Syafi’i.
Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Abu Abdillah, Muhammad bin Idris Asy-
Syafi’i. Seorang berketurunan Quraisy yang bertemu nasabnya dengan Rasulullah
SAW. Lahir pada tahun 150 Hijriyah dan hidup berpindah-pindah, mulai dari
Palestina, Makkah, Madinah, Yaman, Irak, dan wafat di Mesir pada tahun 204
Hijriyah. Imam Syafi’i dikenal sebagai orang yang memadukan antara metode fiqh
Madrasah Qiyas dan Madrasah Al-Hadits.
Hingga sekarang madzhab ini banyak dijadikan acuan fiqh di berbagai negara,
khususnya di Asia Bagian Tenggara seperti Malaysia, Indonesia dan Philipina.
Adapun sumber pengambilan hukum fiqh dalam madzhab ini ada lima :
a. Al-Qur’am dan As-Sunnah.
b. Al-Ijma’.
c. Ijma’ para sahabat RA.
d. Memilih pendapat di antara para sahabat jika terjadi beda pendapat..
e. Qiyas.
Dan juga telah dinukil dari Imam Syafi’i, bahwa -setelah qiyas- beliau juga
bersandar kepada ‘urf, istihsan dan al-mashalih al-mursalah.
4. Madzhab Hanbali.
Madzhab ini dinisbatkan kepada Imam Abu Abdillah, Ahmad bin Muhammad
bin Hanbal Asy-Syaibani yang hidup di Baghdad-Irak. Lahir pada tahun 164
Hijriyah. Imam Ahmad dikenal sebagai Imam Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Selain ahli
fiqh, beliau juga seorang ahli hadits yang hafal sekitar satu juta hadits. Wafat pada
tahun 241 Hijriyah.
Tidak banyak dari kaum muslimin yang berpegang dengan madzhab ini,
melainkan hanya di Saudi Arabia dan di beberapa daerah saja.
Adapun sumber pengambilan hukum fiqh dalam madzhab ini ada lima :
a. Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Fatwa sahabat RA.
c. Memilihkan salah satu pendapat yang diperselisihkan para sahabat.
d. Beramal dengan hadits mursal atau dha’if jika tidak didapatkan yang lainnya,
dengan syarat perawi yang ada di dalamnya bukan perawi yang terkenal
kedustaan atau kefasikannya, dan juga tidak didapatkan dalil yang
bertentangan dengannya.
e. Menggunakan qiyas di saat terpaksa.
Dan dalil-dalil di atas ini merupakan prinsip ijtihad yang dipakai dalam
madzhab Hanbali yang telah menjadi kesepakatan para ulama’. Dan
selebihnya, konon madzhab ini juga menggunakan istish-hab, istihsan, al-
mashalih al-mursalah, dan sadd adz-dzara-i’, yang masih diperselisihkan para
ulama’.
Keterangan Istilah-istilah Ushul Fiqh
Ijma’ :
Kesepakatan para mujtahid dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW
terhadap hukum syar’i yang bersifat amaly (praktisi). Para ulama telah bersepakat,
bahwa ijma’ dapat dijadikan argumentasi untuk menetapkan hukum syar’i. Dan ijma’
yang dipakai adalah ijma’ para ulama’ jumhur. Seperti ijma’ para sahabat yang
melarang seorang laki-laki melakukan poligami dengan bibi isteri dari ayah atau ibu.
Qiyas :
Menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an dan Al-
Hadits dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nash. Sebagai contoh Rasulullah SAW menghubungkan
antara berkumur dalam keadaan shiyam dengan mencium isteri dengan cara
membandingkan antara keduanya. Dua hal tersebut mengandung dua kemungkinan,
antara membatalkan dan tidak membatalkan shiyam. Memang berkumur dan
mencium itu sendiri tidaklah termasuk kategori berbuka, tetapi boleh jadi hal itu
membatalkan shiyam. dengan cara membandingkan dua hal tadi, akan melahirkan
kesamaan hukum. Apabila berkumur tidak membatalkan shiyam, maka demikian
halnya dengan mencium, tidaklah membatalkan shiyam.
Istihsan :
penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang
menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang
serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya
penyimpangan itu. Contoh : seluruh tubuh wanita adalah aurat dari ujung rambut
sampai ujung kaki. Namun kemudian diperbolehkan melihat sebagian anggota badan
tertentu karena ada hajat, seperti karena untuk kepentingan pemeriksaan oleh seorang
dokter kepada pasiennya. Di sini terdapat pertentangan kaedah, bahwa seorang
wanita adalah aurat, karena memandang wanita akan mendatangkan fitnah. Kedua,
adanya suatu sifat yang kemungkinan besar akan mendatangkan masyaqqah
(kesulitan) dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti ketika dalam pengobatan. Dalam
hal ini dipakai ‘illat (alasan) yang berupa at-taysir (menudahkan).
Al-Mashalih Al-Mursalah :
mashlahat-mashlahat yang bersesuaian dengan maqashid asy-syari’ah (tujuan-
tujuan syari’at) Islam dan tidak ditopang oleh sumber dalil yang khusus, baik bersifat
melegitimasi atau membatalkan mashlahat tersebut. Jika mashlahat didukung oleh
sumber dalil yang khusus, maka termasuk ke dalam qiyas dalam arti umum. Dan jika
terdapat ashl khash (sumber dalil yang khusus) yang bersifat membatalkan, maka
mashlahat tersebut menjadi batal. Mengambil mashlahat yang yang terakhir ini
bertentangan dengan tujuan-tujuan syar’i. Dan Imam Malik adalah imam madzhab
yang menggunakan dalil al-mashalih al-mursalah.
Untuk menetapkan dalil ini, ia mengajukan tiga syarat :
a. Adanya persesuaian antara mashlahat yang dipandang sebabagi sumber dalil yang
berdiri sendiri dengan maqashid asy-syari’ah. Sedangkan maqashid asy-syari’ah
itu di antaranya meliputi keselamatan dien, jiwa, akal, keluarga dan keturunan
serta harta benda.
b. Mashlahat itu harus masuk akal.
c. Penggunaan dalil mashlahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan
yang mesti terjadi. Dalam pengertian, seandainya mashlahat yang dapat diterima
akal itu tidak diambil, niscaya manusia akan mengalami kesulitan.
Imam Malik dan golongan Hanbali berpendapat bahwa mashlahat dapat diterima
dan diijadikan sumber hukum selama memenuhi semua syarat-syarat di atas. Sebab
pada hakekatnya keberadaan mashlahat adalah dalam rangka merealisasikan maqashid
asy-syari’ah meskipun secara langsung tidak terdapat nash yang menguatkannya.
Hanya saja golongan madzhab Hanafi dan madzhab Syafi’i tidak menganggap al-
mashalih al-mursalah sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dan
memasukkannya ke dalam kategori qiyas. Jika di dalam suatu mashlahat tidak
ditemukan nashyang bisa dijadikan acuan qiyas, maka mashlahat tersebut di anggap
batal, tidak diterima. Oleh karena itu al-mashalih al-mursalah termasuk sumber
hukum yang masih dipertentangkan di antara ulama’ ahli fiqh. Namun jumhur fuqaha’
sepakat bahwa mashlahat dapat diterima dalam fiqh Islam. Dan setiap mashlahat
wajib diambil sebagai sumber hukum selama bukan dilatarbelakangi oleh dorongan
syahwat dan hawa nafsu, tidak bertentangan dengan nash serta maqashid asy-syari’ah.
Contoh dari al-mashalih al-mursalah adalah praktek para sahabat radhiyallahu
‘anhum dalam mengumpulkan Al-Qur’an ke dalam beberapa mush-haf. Padahal hal
ini tidak pernah dilakukan di masa Rasulullah SAW. Alasan yang mendorong mereka
melakukan pengumpulan ini tidak lain kecuali semata-mata karena mashlahat, yaitu
menjaga Al-Qur’an dari kepunahan atau kehilangan kemutawatirannya karena
wafatnya sejumlah besar huffazh (para penghafal Al-Qur’an) dari generasi sahabat
radhiyallahu ‘anhum. Selian itu, merupakan bukti nyata dari firman Allah :
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr : 9)
‘Urf (tradisi) :
bentuk-bentuk mu’amalah yang telah menjadi adat kebiasaan dan telah
berlangsung konstan di tengah masyarakat. ‘Urf ini merupakan satu sumber hukum
yang diambil oleh madzhab Hanafi dan Maliki, yang berada di luar lingkup nash.
‘Urf terbagi menjadi dua macam :
a. ‘Urf yang fasid (rusak/jelek) yang tidak bisa diterima, yaitu ‘urf yang bertentangan
dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Contohnya adalah kebiasaan masyarakat dalam
melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan, seperti minum arak atau memakan
riba, maka ‘urf tersebut ditolak.
b. ‘Urf yang shahih (baik/benar), yaitu ‘urf yang bisa diterima dan dipandang sebagai
salah satu sumber pokok hukum Islam karena tidak bertentangan dengan nash.
Sebagai contoh ialah larangan menerima gaji bagi guru ngaji Al-Qur’an atau orang
yang berjuang menegakkan syi’ar Islam. Alasannya karena hal itu merupakan ibadah,
sedang ibadah tidak tidak pantas mendapatkan imbalan berupa gaji. Akan tetapi
ketika masyarakat tidak mau mengajar Al-Qur’an atau mensyia’rkan dienul Islam
kecuali harus diberi imbalan gaji, maka para ahli fiqh memperbolehkan mereka
menerima gaji agar eksistensi Al-Qur’an tetap terjaga dan syi’ar Islam tetap tegak di
muka bumi seperti adzan dan jama’ah di masjid-masjid.
Istish-hab :
dalil yang memandang tetapnya suatu perkara selama tidak ada sesuatu yang
mengubahnya. Dalam pengertian, bahwa ketetapan di masa lampau, berdasarkan
hukum asal, tetap terus berlaku untuk masa sekarang dan masa mendatang. Bilamana
bertentangan dengan dalil lain, istish-hab harus dinomorduakan. Istish-hab
merupakan alternatif terakhir untuk fatwa (setelah tidak ditemukan pada sumber-
sumber lain). Apabila hukum asal suatu perkara adalah mubah (diperbolehkan)
seperti makanan, maka hukumnya adalah mubah sampai ada dalil yang menerangkan
keharamannya. Apabila hukum asal pada suatu perkara adalah haram seperti
pergaulan antara pria dan wanita, maka hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil
yang memperbolehkannya, misalnya melalui ikatan pernikahan. Sebagai contoh : jika
diketahui si fulan adalah pemilik suatu barang, maka hak milik itu tidak berpindah ke
tangan orang lain kecuali ditunjukkan bukti atas kepemilikannya.
Syar’u man qablana (syari’at umat terdahulu):
Jika syari’at umat terdahulu telah dinaskh (dihapus hukumnya) berdasarkan dalil
hukum Islam, maka tidak bisa diambil. Begitu pula apabila ada dalil yang
menunjukkan bahwa sesuatu ketentuan hukum berlaku khusus untuk kaum tertentu,
maka tidak bisa dijadikan hujjah dengan kesepakatan ulama’. Contoh :
diharamkannya segala binatang yang berkuku atas kaum Yahudi, dan diharamkannya
lemak dari sapi dan domba atas mereka selain lemak yang melekat di punggung
keduanya atau yang di perut besar.
Namun apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu hukum berlaku umum
untuk segala zaman, maka bisa dijadikan hujjah sesuai yang diinginkan syari’at.
Contoh : hukum qishash, yaitu jiwa yang terbunuh dibalas dengan jiwa