PENGANIAYAAN DILIHAT DARI PERSPEKTIF KITAB ...repository.uinjambi.ac.id/290/1/SPM141886_Alra...

78
PENGANIAYAAN DILIHAT DARI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.1) Jurusan Perbandingan Mazhab Pada Fakultas Syariah OLEH: ALRA HARYNOVA SPM 141886 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI1440 H / 2018 M

Transcript of PENGANIAYAAN DILIHAT DARI PERSPEKTIF KITAB ...repository.uinjambi.ac.id/290/1/SPM141886_Alra...

  • PENGANIAYAAN DILIHAT DARI PERSPEKTIF

    KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM

    PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM

    SKRIPSI

    Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh

    Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.1)

    Jurusan Perbandingan Mazhab

    Pada Fakultas Syariah

    OLEH:

    ALRA HARYNOVA

    SPM 141886

    PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

    FAKULTAS SYARI’AH

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SULTHAN THAHA SAIFUDDIN

    JAMBI1440 H / 2018 M

  • MOTTO

    Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)

    bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung

    dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka

    (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya,

    Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa

    tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka

    mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.1

    1 Kementerian Agama, Al-Quran, Surah Al-Maidah ayat : 45

  • KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa

    menganugrahkan ni‟mat, taufiq serta hidayah sehingga skripsi ini dapat penulis

    selesaikan dengan baik. Kemudian shalawat dan salam senantiasa penulis

    sampaikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW dengan diiringi

    harapan semoga kelak di hari akhirat mendapat sepaat bari beliau, amin.

    Skripsi ini diberi judul “penganiayaan menurut Kitab Undang-Undang

    Hukum Pidana Dan Hukum Pidana Islam” merupakan kajian normative kualitatif

    yang sifatnya kajian pustaka untuk mengetahui persepektik hukum Islam dan

    hukum pidana terhadap tindak pidana penganiayaan.

    Kemudian dalam penulisan skripsi ini penulis akui, tidak sedikit hambatan

    dan rintangan yang penulis temui baik dalam mengumpulkan data maupun dalam

    penyusunannya. Dan berkat dari bantuan dari berbagai pihak , terutama bantuan

    dan bimbingan yang diberikan oleh dosen pembimbing, maka skripsi ini dapat

    diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, hal yang layak penulis ucapkan adalah

    kata terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi

    ini, terutama sekali yang terhormat :

    1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN STS Jambi.

    2. Bapak Dr.A.A.Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.

    3. Bapak H.Hermanto Harun, Lc.,M.HI.,Ph.D, Ibu Dr.Rahmi Hidayat,

    S.Ag.,M.HI, Dan Ibu Dr.Yuliatin,S.Ag.,M.HI selaku wakil dekan satu dua dan

    tiga Fakultas Syariah UIN STS Jambi.

  • 4. Bapak AI Husni,S.Ag.,M.HI, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab

    Fakultas Syariah UIN STS Jambi.

    5. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani,SH.,M.Hum dan Bapak AI Husni,S.Ag.,M.HI

    selaku Pembimbing I dan pembimbing II Skripsi Ini.

    6. Bapak dan Ibu dosen,asisten dosen,dan seluruh karyawan/karwati Fakultas

    Syariah UIN STS Jambi.

    7. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, baik langsung

    maupun tidak langsung.

    .

    Disamping itu penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

    kesempurnaan, oleh karenanya diharapkan kepada semua pihak untuk dapam

    memberikan kontribusi demi perbaikan skripsi ini. Ahirnya sebagai penutup kata,

    sejauh mana kaki melangkah kepada Allah juga lah kita akan kembali, tetaplah

    selalu memohon ampunan atas semua dosa, janganlah berputus asa dari rahmat

    Allah karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.

    Jambi Maret 2018

    Penulis

    Alra HaryNova

    SPM 141886

  • DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL

    LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………… I

    NOTA DINAS……………………………………………………………. II

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN………………………………………. III

    MOTTO…………………………………………………………………… IV

    PERSEMBAHAN………………………………………………………… V

    KATA PENGANTAR……………………………………………………. VI

    ABSTRAK………………………………………………………………... VII

    DAFTAR ISI………………………………………………………………

    X

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah………………………………………. 1

    B. Rumusan Masalah…………………………………………….. 5

    C. Batasan Masalah………………………………………............. 5

    D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian……………………………... 5

    E. Kerangka Teori………………………………………………... 6

    F. Tinjauan Pustaka………………………………………………. 11

    G. Metode Penelitian……………………………………………… 13

    BAB II : TINJAUAN UMUM PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM

    PIDANA

    A. Penganiayaan Menurut Hukum Pidana

    Islam……………………..……………………………………... 18

    B. Jenis-Jenis Tindak Pidana

    Penganiayaan………..………………………………………….. 20

    C. Persekusi Tindak Pidana

    Penganiayaan…………………………………………..……….. 28

    D. Pembagian Tindak Pidana……………………………………… 37

  • BAB III : TINJAUAN UMUM PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM

    PIDANA ISLAM

    A. Terminologi Penganiayaan Menurut Hukum

    Islam………………………………………………..…………. 41

    B. Azas Penganiayaan Menurut Hukum Pidana

    Islam………………………….……………………………….. 43

    C. Unsur-Unsur Penganiayaan Tindak Pidana

    islam………………………………..…………………………. 43

    BAB IV : PEMBAHASAN

    A. Ketentuan Tindak Pidana Penganiayaan Dalam Perspektif Hukum

    Pidana……………………………………………………..….. 41

    1. Penganiayaan dalam KUHP………….…………..……… . 41

    2. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan…………………. . 42

    B. Ketentuan Penganiayaan Dalam Hukum Pidana Islam………. 45

    1. Terminologi Penganiayaan dalam Hukum Islam………… 45

    2. Pembagian Tindak penganiayaan………………………… 47

    3. Hukuman Tindak Penganiayaan…………………………. 50

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan………………………………………………...…. 56

    B. Kata Penutup………………………………………………….. 57

    DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 58

    CURICURUM VITAE

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Negara Indonesia merupakan Negara hukum bukan Negara yang

    mengandalkan kekuasaan, hal ini dapat dengan jelas dilihat dalam Undang-

    undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 secara tegas menyatakan bahwa Negara

    Indonesia adalah Negara hukum. Selaras dengan ketentuan tersebut maka

    salah satu prinsip Negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi

    setiap orang di depan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap

    orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang

    adil dan perlakuan yang sama di depan hukum.

    Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku

    orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari

    hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib di dalam

    masyarakat. 2 Kendatipun demikian dengan adanya statement di atas bukan

    berarti seseorang tidak akan melakukan suatu tindak kejahatan yang

    merugikan orang lain.

    Hukum, dilihat dari fungsinya dibagi atas hukum perdata, hukum

    dagang dan hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang

    berbeda-beda, sebagai contoh hukum pidana berfungsi untuk mengajar agar

    2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT Eresco

    1986) Hlm. 14

  • ketentuan-ketentuan hukum yang terdapa tdalam hukum perdata, dagang,

    adat, dan tata Negara ditaati sepenuhnya.

    Permasalahan penganiayaan merupakan salah satu bidang garapan dari

    hukum pidana. Penganiayaan oleh KUHP secara umum diartikan sebagai

    tindak pidana terhadap tubuh. Semua tindak pidana yang diatur dalam KUHP

    ditentukan pula ancaman pidananya. Demikian juga pada delik penganiayaan

    serta delik pembunuhan. Kedua delik ini ancaman pidananya mengacu pada

    KUHP buku I bab II tentang pidana, terutama pada pasal 10. Di dalam pasal

    tersebut disebutkan bahwa pidana terdiri dari dua macam, yaitu pidana pokok

    dan pidana tambahan, untuk delik penganiayaan serta pembunuhan lebih

    mengarah kepada pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara,

    kurungan dan denda.3

    Dalam bab XX KUHP terdapat delapan pasal yang menjelaskan

    tentang penganiyaan. Jika dilihat dari pasal ke pasal dan dari butiran ayat ke

    ayat terdapat perbedaan jenis dan ancaman hukum yang diberikan. Setidaknya

    ada lima jenis dari bentuk tindak pidana penganiyaan. Pertama, tindak pidana

    penganiayaan biasa. Kedua, tindak pidana penganiyaan ringan. Ketiga, tindak

    penganiyaan berencana. Keempat, tindak penganiyaan berat. Kelima, tindak

    pidana berat berencana. Kemudian sanksi hukum yang diberikan pun juga

    bervariasi sesuai dengan tingkat tindak pidana yang dilakukan dimulai dari

    3Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. Ke-16, (Jakarta : Bumi

    Aksara, 1990), hlm. 6.

  • hukunman yang paling ringan yakni denda 4500.00 sampai ancaman penjara

    paling lama lima belas tahun.

    Tindak pidana penganiyaan pada dasarnya tidak hanya diatur dalam

    KUHP atau hukum positif saja, dalam Islam juga mengatur dengan begitu

    rapinya permasalahan-permasalahan pidana. Exsistensi permasalahan pidana

    di dalam Islam dibagi secara khusus ke dalam satu bab fiq ih yaitu fiqih

    jinayah, istilah lain dari fiqih jinayah adalah hukum pidana Islam.

    Dalam hukum Islam istilah penganiayaan tidak digunakan, yang ada

    dalam hukum pidana Islam adalah jarimah/jinayah terhadap selain jiwa, ada

    juga sebagian orang yang menggunakan istilah jarimah/jinayah pelukaan.

    Sama halnya dengan hukum positif, hukum pidana Islam juga

    memiliki jenis tindak pidana penganiyaan dan sanksi hukum yang diberikan.

    Para Ulama membagikan jinayah pelukaan terhadap tubuh menjadi lima

    macam, yaitu :

    1. Ibanat al-Atraf, yaitu memotong anggota badan termasuk didalamnya

    memotong tangan, kaki, jari, hidung dan lain-lain.

    2. Izhab Ma‟al-atraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan dalam arti

    lain anggota badan itu tetap ada tapi tidak berfungsi, misalnya membuat

    korban buta, tuli, bisu, dan sebagainya.

    3. Asy-Syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka.

    4. Al-Jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk

    didalamnya pelukaan sampai kedalam perut atau rongga dada.

  • 5. Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu jenis pelukaan.

    sanksi pidana dalam hukum Islam dikenal dengan al-„Uqubah yaitu

    sesuatu yang datang setelah yang lainnya, maksudnya adalah bahwa hukuman

    dapat dikenakan setelah adanya pelanggaran atas ketentuan hukum. „Uqubah

    dapat dikenakan pada setiap orang yang melakukan kejahatan yang dapat

    merugikan orang lain baik dilakukan oleh orang muslim atau yang lainnya.4

    Hukuman merupakan suatu cara pembebanan pertanggung jawaban pidana

    guna memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan kata lain

    hukuman dijadikan sebagai alat penegak untuk kepentingan masyarakat.5

    Adapun sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana

    penganiayaan menurut hukum pidana Islam adalah qisas dan diyat dan juga

    hukuman takzir.

    Setelah melihat persepsi hukum pidana atau hukum positif yang dalam

    hal ini terdapat di dalam KUHP, kemudian persepsi hukum pidana Islam atau

    jinayah, penulis menemukan adanya perbedaan di antara persepsi-persepsi.

    Diantaranya jenis atau macam-macam bentuk penganiayaan dan bentuk

    hukuman yang diberikan, penulis memandang perlu untuk melakukan sebuah

    penelitian ilmiyah yang bertujuan untuk memperbaharui hukum p idana

    tentang penganiayaan, dan penelitian ini dikemas ke dalam sebuah skripsi

    4Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari‟at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta,

    1992), hlm. 6.

    5A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet.Ke-2, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976)

    Hlm. 9

  • yang ber judul “Penganiayaan Dilihat Dari Perspektif Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana Dan Hukum Pidana Islam.”

    B. Rumusan Masalah

    Beranjak dari latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi

    rumusan masalah yang kan dikaji dalam penelitian ini adalah :

    1. Bagaimanakah penganiayaan menurut kitab undang-undang hukum

    pidana?

    2. Bagaimanakah penganiayaan menurut persektif hukum pidana Islam ?

    3. Apa perbedaan dan kesamaan penganiayaan menurut perspektif KUHP

    dan hukum pidana Islam ?

    C. Batasan Masalah

    Mengingat banyaknya masalah yang dibahas, maka penulis memandang

    perlu mematasi permasalahan agar pembahasan yang akan dilakukan lebih

    terarah dan tidak keluar dari apa yang menjadi tujuan dalam penelitian.

    Dalam penelitian ini hanya membahas tentang tindak pidana penganiayaan

    menurut KUHP dan hukum pidana Islam serta membahas titik kesamaan dan

    perbedaan penganiayaan menurut perpektif KUHP dan hukum pidana Islam

    D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

    1. Tujuan Penelitian

    a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tindak penganiayaan menurut

    kitab undang-undang hukum pidana.

    b. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui penganiyaan menurut

    perspektif hukum pidana Islam

  • c. Kemudian penelitian ini juga berjutuan untuk mengetahui titik persamaan

    dan perbedaan tentang penganiayaan menurut KUHP dan hukum pidana

    Islam.

    2. Keguanaan Penelitian

    a. Secara akademis, diharapkan dapat memberikan masukan dalam upaya

    mengembangkan khasanah penelitian tentang pembaharuan hukum

    pidana, serta dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian lain yang

    berminat terhadap masalah pembaharuan hukum pidana.

    b. Sebagai kelengkapan persyaratan bagi penulis dalam memperoleh gelar

    Sarjana Srata Satu (S1) pada Fakultas Syariah Jurusan Perbandinagn

    Mazhab (PM) UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

    E. Kerangka Teori

    Teori merupakan serangkaian pernyataan sistematik yang bersifat abstrak

    tentang subjek tertentu. Subjek itu dapat berupa pemikiran, pendapat, nilai-

    nilai, norma-norma, pranata-pranata sosial, peristiwa-peristiwa, dan

    perilaku manusia.6 Kerangka teori merupakan uraian ringkasan tentang teori

    yang digunakan dalam menjawab pertanyaan penelitian. 7 Agar peneliti ini

    lebih terarah dan tepat, maka penulis menganggap perlu penggunaan

    kerangka teori sebagai landasan berfikir guna mendapatkan konsep yang

    benar dan tepat dalam penyusunan skripsi ini sebagai berikut :

    6Tim Penulis Fakultas Syariah, Pedoman Penulisan Skripsi(edisi revisi) , (Jambi : Syariah

    Press Fakultas Syariah IAIN STS Jambi, 2014), hlm. 25.

    7 Sigiyono, Metode Penelitian Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm.

    52.

  • 1. Penganiayaan

    a. Pengertian Penganiayaan

    Dalam Undang-undang tidak memberikan perumusan apa yang

    dinamakan dengan penganiayaan. Namun menurut jurisprudensi

    pengadilan yang dinamakan penganiayaan adalah8 :

    1. Sengaja menyebabkan prasaan tidak enak (penderitaan)

    2. Menyebabkan rasa sakit

    3. Menyebabkan luka-luka

    Menurut Poerdodarminto penganiayaan adalah perlakuan

    sewenang-wenang dalam rangka menyiksa atau menindas orang lain. 9

    Penganiayaan ini jelas melakukan suatu perbuatan dengan tujuan

    menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.

    Sedangkan menurut sudarsono, penganiayaan adalah perbuatan

    menyakiti atau menyiksa terhadap manusia atau dengan sengaja

    mengurangi atau merusak kesehatan orang lain.10

    Kemudian merut hukum pidana Islam, penganiayaan atau istilah

    lain pelukaan adalah setiap perbuatan yang menyakitkan yang mengenai

    badan seseorang namun tidak mengakibatkan kematian. Perbuatan

    8 R. Soesilo, Kuhp Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , (Bogor :

    Politeia, 1995) Hlm. 245

    9 Poerdarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka)Hlm. 34

    10

    Sudrsono, Kamus Hukum, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992) Hlm. 34

  • tersebut bisa melukai, memukul, mendorong, menarik, mencekik dan lain

    sebagainya.11

    b. Dasar Hukum Penganiayaan

    Dasar hukum penganiayaan adalah terdapat dalam nash Al-Quran

    surah Al-Maidah ayat 45 :

    Artinya :‟‟dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-

    taurat) bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata,

    hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi

    dan luka-luka pun ada qisashnya. Brang siapa yang melepaskan

    hak qisashnya maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa

    baginya‟‟12

    Kemudian dalam hadits Rasulallah bersabda

    سنانرضي هللا عنه ان نبي صلى هللا عليه وسلم قال ابن بن مالكاعن ابى سعد

    الضرر والضرار

    Artinya : „‟dari Abi Said Ibn Malik Ibn Sinan ra, bahwasanya Nabi SAW

    bersabda : janganlah membahayakan orang lain dan janganlah

    membahayakan diri sendiri‟‟ (HR. Ibnu Majah dan ad-Darqutni)

    c. Unsur-Unsur Penganiayaan

    11

    Jalaludin As-sayuthi, Al-jami‟ As-saghir¸ Juz II (Beirut : Dar Al-Fikr) Hlm.24

    12

    Al-quran, Al-maidah (5) ayat 45

  • Menurut dokterin, penganiayaan mempunyai unsur sebagai

    berikut:

    1. Adanya kesengajaan

    2. Adanya perbuatan

    3. Adanya akibat perbuatan

    2. Tindak Pidana

    a. Pengertian Tindak Pidana

    Tindak pidana ini dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah

    „‟star baar feit‟‟ star adalah pidana atau hukuman, baar adalah dapat

    atau boleh, feit adalah tindak pristiwa, pelanggaran dan pembuktian.13

    Menurut Mr. Tresma tindak pidana adalah rangkaian perbuatan

    yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-

    undangan lainnya terhadap perbuatan maka dikenakan hukuman.

    Kemudian menurut hukum Islam tindak pidana disebut dengan

    jinayah atau jarimah. Jinayah secara bahasa adalah perbuatan dosa,

    kesalahan dan kejahatan. Sedangkan secara istilah adalah nama bagi

    perbuatan yang diharamkan oleh syara‟ yang menyangkut jiwa, harta,

    kehormatan dan lainnya. 14 Istilah jarimah menurut Al-Mawardi

    adalah larangan- laranagn syara‟ yang diancam hukuman had dan

    takzir.

    13

    Adamin Chawazi, Hukum Pidana, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) Hlm.67 14

    Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar

    Grafika, 2004) Hal.ix

  • Dari beberapa devinisi di atas penulis menyimpulkan bahwa tindak

    pidana (jinayah / jarimah) adalah semua perbuatan atas peristiwa yang

    dilarang oleh syara‟, bertentangan dengan hukum pidana baik

    berkenaan dengan jiwa, anggota badan, harta dan lainnya akan

    mendapat hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.

    b. Dasar Hukum Pidana

    Adapun dasar hukum tindak pidana adalah Al-quran Surat Al-

    Qashash ayat 77 yang berbunyi

    Artinya : „‟dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang

    membuat kerusakan‟‟15

    c. Unsur-Unsur Tindak Pidana

    Dalam hukum pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana sebagai

    berikut :

    1. Unsur objektif

    2. Unsur subjektif

    Kemudian dalam hukum pidana Islam unsur-unsur pidana adalah

    sebagai berikut :

    1. Al-rukn Al-syar‟I atau unsur formil yang menyatakan bahwa

    seseorang dapat dikatan sebagai pelaku jarimah apabila ada

    15

    Al-Quran, Al-Qashash (28) Ayat 77

  • undang-undang yang secara tegas melarang dan menjtuhkan

    sanksi kepada pelaku tindak pidana.16

    2. Al-rukn al-madi atau unsure materil ialah unsure yang menyatakan

    bahwa seseorang dapat dinyatakan pidana jika ia benar-benar

    terbukti melakukan sebuah jarimah / tindak pidana, baik yang

    bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu) maupun yang

    bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu).17

    3. Al-Rukn Al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan

    bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila,

    anak dibawak umur, atau sedang berada di bawah ancaman.

    F. Tinjauan Pustaka

    Di antara langkah penting peneliti dalam memulai aktifitas penelitiannya

    adalah melakukan tinjauan pustaka atau penelusuran penelitian terlebih

    dahulu yang memiliki kaitan langsung atau tidak dengan permasalahan

    penelitian yang diangkat. Bahkan tinjauan pustaka juga sangat diperlukan

    sebelum peneliti menemukan permasalahan harus dipahami bahwa tinjauan

    pustaka harus dimasukan pada jenis penelitian lapangan (field research) dan

    jenis penelitian pustaka (library research).18

    16

    Nurul Irpan, Fiqih Jinayah, (Jakarta : Pena Grafika, 2014). Hlm.2

    17

    Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa Al-uqubah fi Fiqh Al-Islami, ( Al-Qahirah :

    Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1998) hlm. 393

    18

    Sayuti Una (ed), Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah IAIN STS Jambi dan

    Syariah press, 2012, hlm. 34.

  • Permasalahan tentang penganiayaan baik menurut KUHP maupun dalam

    pandangan hukum pidana Islam ini telah banyak di bahas dalam beberapa

    penelitian sebelumnya. Sejauh informasi yang penulis peroleh, terdapat

    beberapa buku dan skripsi yang membahas mengenai permasalahan ini secara

    umum Diantaranya :

    Skripsi yang ditulis oleh Krisna Bramantj Aji yang berjudul „‟Penerapan

    Pidana Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan (pasal 351 KUHP) di

    Pengadilan Negeri Kebupaten Semarang”. Dalam penelitiannya ia

    menyimpulkan jumlah tindak pidana penganiayaan yang terjadi diwilayah

    hukum Kabupaten Semarang selama 5 tahun mangalami peningkatan

    fluktuatif.

    Skripsi yang ditulis oleh Angga Nindia Saputra mahasiswa Universitas

    Islam Negeri Sunan Kali Jaga yang berjudul “ Tinjauan Hukum Islam

    Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyababkan Kematian

    (Analisis Terhadap Pasal 351 Ayat 3 KUHP)”. Dalam penelitiannya ia

    menjelaskan dalam perspektif hukum pidana Islam, tindak pidana

    penganiayaan yang mengakibatkan kematian termasuk dalam jenis

    pembunuhan semi sengaja. Kemudian sanksi yang diberikan kepada pelaku

    adalah diyat dan itu selaras dengan pendapat jumhur Ulama.

    Skripsi yang ditulis oleh Nurindah Eka Fitriani mahasiswa Universitas

    Hasnudi Makasar yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana

    Penganiayaaan Yang Mengakibatkan Luka Berat (studi kasus Putusan Nomor

    7/Pid.Sus/2015/PN.Tka). dalam penelitiannya ia menyimpulkan penerapan

  • ketentuan pidana materil oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dalam

    perkara Nomor 7/Pid.Sus/2015/PN.Tka yaitu ketentuan pidana diatur dalam

    pasal 80 ayat (2) undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan

    anak, sesuai dengan hasil dari penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan

    realita yang ada.

    Meskipun penelitian tentang penganiayaan ini telah banyak diteliti oleh

    peneliti terdahulu, namun jika ditelaah terdapat perbedaan dengan penelitian

    yang penulis lakukan, di mana penelitian yang penulis lakukan ini membahas

    dengan serinci mungkin tentang masalah penganiyaan menurut Kitab

    Undang-undang Hukum Pidana dan hukum pidana Islam, kemudian juga

    memaparkan titik perbedaan dan kesamaannya.

    G. Metode Penelitian

    1. Jenis dan Sumber Data

    Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

    penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu maka seluruh

    data yang dituangkan dalam hasil penelitian ini berasal dari bahan-bahan

    tertulis yang secara garis besar terdiri dari 2 data yaitu data primer dan

    data sekunder.

    a. Data primer

    Sumber data primer dalam penulisan ini adalah undang-undang

    tentang penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum pidana.

    b. Data Sekunder

  • Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah data penunjang

    dalam penulisan skripsi ini seperti Al-qur‟an dan hadits, literatur

    Fiqh, serta literatur –literatur berupa buku-buku, majalah, internet

    dan buku-buku bacaan lainnya yang berkaitan dengan masalah

    penganiayaan baik dalam pandangan KUHP maupun dalam

    pandangan mazhab Syafi‟i, Maliki dan Hanbali.

    2. Sifat Penelitian

    Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik serta komperatif. Metode

    deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau fakta untuk memberikan

    data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fakta. 19 Sedangkan

    metode analitik yaitu usaha untuk mendeskripsikan suatu gejala dan

    peristiwa dengan apa adanya secara sistematis sehingga dapat lebih mudah

    untuk dipahami dan disimpulkan. Kemudian metode komperatif adalah

    dengan membandingkan hasil yang didapat dalam hal ini perbandingan

    yang dimaksud adalah membanding kan masalah penganiayaan menurut

    KUHP dan hukum pidana Islam yang menjadi objek dari penelitian ini.

    Seterusnya Penelitian ini berusaha memaparkan konsep penganiayaan

    menurut Kitab Undang-undang hukum pidana dan menurut pandangan

    hukum pidana Islam.

    3. Tehnik Pengumpulan Data

    Dikarenakan penelitian ini termasuk penelitian pustaka atau library

    research maka pengumpulan data penyusun lakukan dengan merujuk pada

    19

    Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke -3 (Jakarta: UI-Press, 1986)

    hlm. 10

  • buku yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti baik berupa

    data primer atau sumber utamanya, yaitu undang-undang tentang

    penganiayaan dan data sekunder, di antaranya Al-qur‟an, Hadits, literatur

    Fiqh yang berkaitan dengan masalah penelitian, atau sumber bantuan lain

    yang dalam hal ini dapat mempermudah menjawab permasalahan yang ada

    hubungannya dengan penganiayaan dalam upaya pembaharuan hukum

    pidana.

    4. Pendekatan Masalah

    Pendekatan masalah yang digunakan penyusun dalam penelitian skripsi ini

    menggunakan pendekatan komperatif, yang bertolak ukur pada

    penggunaan hukum pidana dan hukum pidana Islam.

    5. Analisa Data

    Setelah data yang dibutuhkan diperoleh, maka penyusun akan

    mengelompokan data untuk di analisis. Dalam hal ini analisis data yang

    digunakan adalah analisis data kualitatif dengan cara berfikir deduktif,

    yaitu melakukan analisis dengan data yang bersifat umum yakni undang-

    undang pidana tentang penganiayaan untuk kemudian akan menghasilkan

    kesimpulan yang bersifat umum ke khusus.

    6. Sistematika Pembahasan

    Dalam penulisannya, penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa

    bab pembahasan yang setiap babnya terdiri dari sub bab. Hal ini dilakukan

    guna mempermudah penulisan dan penyusunan skripsi ini. Sistematikanya

    yaitu:

  • Bab I: Pendahuluan

    pendahuluan ini bertujuan untuk mengantarkan skripsi secara

    keseluruhan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,

    batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, tinjauan

    pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan untuk

    mengarahkan pembaca pada substansi penulisan ini.

    Bab II: Tinjaun Umum Tentang Hukum Pidana

    Dalam bab ini akan berisi sub-sub bab yaitu Penganiayaan Menurut

    Hukum Pidana Islam, Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan ,Persekusi Tindak

    Pidana Penganiayaan, Pembagian Tindak Pidana

    BabIII: Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana Islam

    Dalam bab ini akan membahas Terminologi Penganiayaan

    Menurut Hukum Islam, Azas Penganiayaan Menurut Hukum Pidana

    Islam, Unsur-Unsur Penganiayaan Tindak Pidana islam

    .Bab IV: Hasil Penelitian

    Pada bab ini berisi tentang, penganiayaan menurut KUHP,

    penganiayaan dalam pandangan hukum pidanaIslam dan titik perbedaan

    dan kesamaan penganiayaan menurut perspektik hukum pidana Islam dan

    KUHP.

    BabV: Penutup

    Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian, saran dan

    kata-kata penutup.

  • BAB II

    TINJAUAN UMUM

    PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA

    A. Penganiayaan Menurut Hukum Pidana

    Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut

    “Penganiayaan” Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh

    manusia ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari

    perbuatan-perbuata berupa penyerangan atas tubuh atau baian dari anggota

    tubuh yang mengakibatan rasa sakit atau luka, bahkan dengan luka yang

    sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.

    Mengeai Penganiayaan dalam pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam

    bukunya yang berjudul “kitab Undag-Undang Hukum Pidana (KUHP)

    Serta Komentar-Komentarnya Lengkap pasal demi pasal” Mengatakan

    bahwa Undang-Undang tidak memberi ketentuanapakah yang diartikan

    dengan “Penganiayaan” itu.

    Menurut Yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “Penganiayaan”

    yaitu sengaja menyeabkan perasaan tidak enak (Penderitaan/Bulyying), rasa

    sakit atau luka, hal Tersebut dapat juga disebut dengan istilah “Bulliying” .

    1. “ Perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke

    sungai sehingga basah, menuruh orang berdiri diterik matahari,da

    sebagainya.

  • 2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, meuku,

    menempeleng, dan sebagainya

    3. “luka” misalna mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan

    lain –lain.

    4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan

    berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu asuk

    angin hingga menjadi sakit.

    Secara tradisional, definisi hukum pidana adalah hukum

    pidana yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung

    keharusan dan larangan terhadap pelanggar yang diancam dengan

    hukuman berupa siksaan badan.20

    Kemudian hukum pidana sebagai mana yang telah dikutip oleh Topo

    Santoso disebutkan bahwa hukum ( law ) adalah aturan-aturan dari tingkah

    laku masyarakat yang terorganisir, ditegakkan dengan ancaman hukuman.

    Sedangkan kata pidana secara bahasa berarti kejahatan atau criminal.21

    Prof MoelJatno mendifinisikan hukum pidana adalah bagian dari

    keseluruhan hukum yang berlaku diseluruh Negara yang mengadakan dasar-

    dasar atau aturan aturan untuk :

    20

    Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, ( Bandung : Pustaka Setia, 2000) Hal.13

    21

    Topo Santoso, Mengggagas Hukum Pidana Islam, ( Bandung : Asy-syamil, 2001) Hlm.

    21

  • 1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang mana tidaka boleh dilakukan,

    yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi pidana bagi tertentu

    bagi siapa yang melanggarnya.

    2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah

    melakukan larangan- larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana

    sebagaimana yang telah diancamkan.

    3. Menentukan dengan cara bagai mana pengenaan pidana dapat

    dilaksanakan apabila orang yang telah diduga melakukan perbuatan

    tersebut.22

    Kalau diperhaikan secara umum dari pandangan para ahli hukum,

    maka hukum pidana itu mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap

    kepentingan umum. Di mana perbuatan itu adalah melanggar hukum dan

    merugikan tata aturan kehidupan masyarakat serta meresahkan kehidupan

    anggota masyarakat, karenanya perlu diterapkan sanksi yang dapat

    menjerakan pelaku kejahatan dan memenuhi rasa keadilan.

    Begitu juga yang telah dirumuskan oleh hukum Indonesia secara

    umum adalah untuk memberikan rasa keadilan bagi warga serta untuk

    memperbaiki kepuasan masyarakat akibat terjadinya kejahatan dan untuk

    mencegah kejahatan dengan memberikan ancaman hukuman serta

    pelaksanaan hukuman terhadap penjahat, member pendidikan pada

    masyarakat, dan melenyapkan pelaku kejahtan dari pergaulan masyarakat.23

    22

    Suharto RM, Hukum Pidana Materil, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2002 ) Hal.4

    23

    Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, ( Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa ) Hal. 60

  • Dengan demikian untuk menentukan suatu perbuatan yang masuk

    dalam kejahatan ang harus dihukum bagi orang yang melanggarnya harus ada

    ketentuan yang menetapkan bahwa perbuatan itu memang dilarang atau

    diwajibkan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan suatu hukuman yang

    telah ditentukan, ini berarti dalam melaksanakan aturan hukum pidana harus

    jelas dasar hukumya, dan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur.

    B. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan

    a. Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci

    atas :

    1. Penganiayaan biasa

    2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat

    3. Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati.

    b. Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP

    c. Penganiayaan berencana yang diatur oeh Pasal 353 KUHP, dengan

    rincian sebagai berikut :

    1. Mengakibatkan luka berat

    2. Mengakibatkan orangnya mati.

    d. Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian

    sebagai berikut :

    1. Mengakibatkan luka berat

    2. Mengakibatkan orangnya mati.

    e. Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP

    dengan rincian sebagai berikut :

  • 1. Penganiayaan berat dan berencana

    2. Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya

    mati.24

    f. Selain daripada itu, penganiayaan oleh pasal 358 KUHP, orang-orang

    yang turut pada perkelahian/penyerbuan/penyerangan yang dilakukan

    oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan pasal 170 KUHP,

    sebab perkelahian pada umumnya adalah penggunaan kekerasan di

    muka umum.

    Penganiayaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

    a) Penganiayaan Berdasarkan Pasal 351 KUHP

    Pasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut :

    (1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya

    dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus

    rupiah.

    (2) Jika perbuatan itu berakibnat luka berat, yang bersalah dihukum

    dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.

    (3) Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum

    penjara selama-lamanya tujuh tahun.

    (4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan

    sengaja.

    (5) Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.25

    24

    Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50. 25

    Moeljatno, KUHP., hlm. 150.

  • Yang termasuk Pasal 351 ayat (1) , bukan penganiayaan

    ringan, bukan penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak

    mengakibatkan luka berat atau matinya orang.

    Jika kita mencermati Pasal 351 KUHP, maka ada 3 (tiga)

    jenis penganiayaan biasa, yaitu :

    1. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau

    matinya orang.

    2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.

    3. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang.

    Terhadap penerapan Pasal 351 ayat (3) yakni penganiayaan

    yang mengakibatkan matinya orang, tampaknya tidak begitu sulit

    atau rumit, tetapi pada prakteknya kadang-kadang sulit

    membedakan dengan Pasal 351 ayat (2), misalnya :

    A dianiaya oleh B yang mengakibatkan luka berat, tetapi

    karena dalam waktu yang tidak begitu lama, ada yang membawa ke

    rumah sakit sehingga dapat diselamatkan jiwanya, dengan,

    N dianiaya oleh M, yang mengakibatkan luka berat, tetapi

    karena tidak ada yang menolong, ia kehabisan darah, lalu

    meninggal.

    Mengenai pengertian “luka berat” Pasal 90 KUHP

    merumuskan artinya. “Luka berat” pada rumusan asli disebut

    “zwaar lichamelijk letsel” yang diterjemahkan dengan “luka badan

  • berat” yang selalu disingkat dengan luka berat. Sebagian pakar

    menyebut “luka parah” dan tidak tepat memakai kata “berat” pada

    luka karena pada umumnya kata berat dimaksudkan untuk

    menyatakan ukuran.26

    Pada Pasal 90 KUHP “luka berat” diartikan sebagai berikut:

    Luka berat berarti :

    1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan

    akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya

    maut;

    2) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan

    atau pekerjaan pencarian;

    3) Kehilangan salah satu pancaindera;

    4) Mendapat cacat berat (verminking);

    5) Menderita sakit lumpuh;

    6) Terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;

    7) Gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.27

    b) Penganiayaan Ringan

    Hal ini diatur Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

    (1) Lain dari pada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356

    penganiayaan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan

    untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum sebagai

    penganiayaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya

    26

    Ibid., hm. 53. 27

    Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.

  • tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.

    Hukuman itu boleh ditambah sepertiga bagi orang yang

    melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya

    atau yang dibawah perintahnya.

    (2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh

    dihukum.28

    c) Penganiayaan yang Direncanakan Terlebih Dahulu

    Hal ini diatur oleh Pasal 353 KUHP yang bunyinya sebagai

    berikut:

    (1) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu

    dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat

    tahun.

    (2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum

    dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.

    (3) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah

    dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya sembilan

    tahun.29

    Unsur “dengan rencana terlebih dahulu” menurut M.v.T.

    pembentukan Pasal 340 diutarakan sebagai berikut :

    Diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir

    dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berfikir

    28

    Ibid., hlm. 150. 29

    Ibid., hlm. 150-151.

  • sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan

    kejahatan, sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya.30

    M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan arti “direncanakan lebih

    dahulu” sebagai : “Bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun

    pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan

    tenang”.31

    Sedangkan Mahkamah Agung berdasarkan putusan No. 717

    K/Pid/1984 tanggal 20 September 1985 mengutarakan pendapat,

    antara lain sebagai berikut :

    Tidak diperlukan suatu jangka waktu yang lama, antara saat

    perencanaan itu timbul dengan saat perbuatan dilakukan. Hal ini

    dapat disimpulkan dari sifat dan cara perbuatan itu dilakukan serta

    alat yang digunakan untuk melaksanakan perbuatan itu.32

    d) Penganiayaan Berat

    Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP yang bunyinya sebagai berikut

    :

    (1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum

    dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.

    30

    Leden Marpaung, Tindak Pidana, hlm. 31. 31

    Ibid., 32

    Ibid., hlm. 56.

  • (2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah

    dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya sepuluh

    tahun.33

    e) Penganiayaan Berat dan Berencana

    Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP yang berbunyi :

    (1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu,

    dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas

    tahun.

    (2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah

    dihukum dengan hukumann penjara selama-lamanya lima belas

    tahun.34

    f) Turut Perkelahian/Penyerbuan

    Hal ini diatur oleh Pasal 358 KUHP yang bunyinya sebagai

    berikut:

    Barangsiapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan

    atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain

    dari tanggungan masing-masing atas perbuatan khusus yang

    dilakukannya, ia dihukum :

    1e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan

    bulan, jika penyerangan atau perkelahian itu hanya berakibat

    luka berat;

    33

    Moeljatno, KUHP., hlm. 151. 34

    Ibid.,

  • 2e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun jika

    penyerangan atau perkelahian itu berakibat matinya orang.35

    Rumusan Pasal 358 KUHP tersebut memuat 2 (dua) akibat

    yakni, luka berat dan mati. Jika tidak timbul salah satu akibat

    tersebut maka perbuatan itu, tidak dapat dikatakan melanggar Pasal

    358 KUHP.

    Selain itu, perlu diamati rumusan “.... selain daripada

    tanggungannya masing-masing bagi perbuatannya”, rumusan

    tersebut menyatakan bahwa Pasal 358 KUHP tersebut, semata-

    mata diperlakukan karena keikutsertaan saja, sedang jika ia

    melakukan perbuatan maka hal tersebut tetap

    dipertanggungjawabkan padanya. Misalnya : A, B, C dan D

    melakukan penyerangan terhadap R dan P dimana D hanya ikut

    saja, tanpa berbuat sesuatu. Dalam hal ini D dapat dipersalahkan

    melanggar Pasal 358 KUHP.

    Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa

    unsur-unsur Pasal 358 KUHP adalah :

    1. Si peserta dengan sengaja ikut dalam penyerangan/perkelahian;

    2. Penyerangan/perkelahian, dilakukan lebih dari 2 (dua) orang;

    3. Mengakibatkan luka parah atau mati.36

    35

    Ibid., hlm. 152. 36

    Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 62.

  • C. Persekusi Tindak Pidana Penganiayaan

    Dalam perilaku sosial, tindak kejahatan merupakan prototype dari

    perilaku menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau menyimpang

    dari aturan-aturan pengertian normative atau dari harapan-harapan lingkungan

    sosial yang bersangkutan.37 Dan salah satu cara untuk mengendalikan adalah

    dengan sanksi pidana.

    Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tujuan

    sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu

    sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat.

    Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan

    dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.38

    Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP menyatakan

    bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana

    terdiri dari :

    1. Hukuman Pokok (hoofdstraffen)

    a. Hukuman mati

    b. Hukuman penjara

    c. Hukuman kurungan

    d. Hukuman denda

    2. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)

    37

    Saparinah Sadlli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang , cet. ke-1, (Jakarta :

    Bulan Bintang, 1977), hlm. 35. 38

    Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanan di Indonesia , cet. ke-1, (Jakarta : Pradya

    Parmita, 1989), hlm. 16.

  • 1) Pencabutan beberapa hak tertentu

    2) Perampasan barang-barang tertentu

    3) Pengumuman putusan Hakim.

    Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan itu

    kelihatannya sederhana sekali. Tetapi kalau diperhatikan benar-benar, maka

    kesederhanaannya menjadi berkurang karena sistem hukuman yang

    kelihatannya sederhana dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan sifat

    obyektifitas hukumannya yang sesuai dengan perkembangan ilmu

    pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak

    pidananya saja. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya

    perbedaan pendapat antar para ahli hukum.

    1. Hukuman Pokok

    a. Hukuman Mati

    tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya

    masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki

    adanya gangguan terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum.

    Dengan suatu putusan yang kemudian harus dilaksanakan hukuman

    mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan lain yang

    diancam dengan hukuman sama, maka diharapkan hendaknya

    masyarakat menjadi takut dan jangan sampai melakukan tindak pidana

    pembunuhan atau kejahatan lainnya yang dapat dihukum mati.

    Disamping itu suatu pendirian “dalam mempertahankan tertib hukum

    dengan menghukum mati seseorang karena tingkah lakuya yang

  • dianggap membahayakan” ada ditangan pemerintah. Karena itu

    hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa

    keadilannya.

    Di Indonesia, sistem hukumannya masih mempertahankan

    hukuman mati, hal ini tentu mempunyai pertimbangan tersendiri. Dan

    walaupun pada tahun 1981 pernah dipermasalahkan oleh para ahli

    hukum tentang hukuman mati itu, tetapi sampai sekarang masih tetap

    dilaksanakan. Hal ini tidak berarti bahwa di Indonesia ada gejala

    “homo homini lupus”, melainkan kejahatan terhadap negara perlu

    diberi pertanggungjawaban yang seimbang.

    Pelaksanaan hukuman mati dicantumkan dalam Pasal 11

    KUHP yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo

    pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang

    gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat

    terpidana berdiri”.39

    b. Hukuman Penjara

    Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan

    para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan Hakim.

    Tempat terhukum yang ada sampai sekarang merupakan peninggalan

    penjajah terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur terdiri dari

    kamar-kamar yang satu sama lain tidak dapat berhubungan. Fungsi

    39

    Moeljatno, KUHP., hlm. 6.

  • kamar untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat

    berkomunikasi dengan terhukum lainnya dan kelihatan seperti orang

    yang dikucilkan dari pergaulan sosial. Dengan jalan demikian

    diharapkan terhukum kelak kalau selesai menjalankan hukumannya

    akan menjadi insyaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana

    kejahatan. Tetapi tindakan seperti itu tidak bertujuan mendidik secara

    positif, sebab secara psikologis dapat menimbulkan kemungkinan-

    kemungkinan psikis yang berakibat sakit mental, kejahatan besar atau

    kejahatan kambuhan.

    Dari beberapa kemungkinan yang dapat terjadi inilah, yang

    berarti tidak ada perbaikan tingkah laku, maka pemerintah Indonesia

    mengubah fungsi penjara menjadi “Lembaga Permasyarakatan”.

    Artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan

    serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga

    disamping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari

    dilakukan secara terstruktur seperti kewajiban mengikuti bimbingan

    mental rohani dan ketrampilan.

    c. Hukuman Kurungan

    Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara,

    hanya perbedaannya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan

    ancaman hukumannya pun ringan. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa

    lamanya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari

    satu tahun empat bulan.

  • d. Hukuman Denda

    Pidana denda merupakan kewajiban membayar sejumlah uang,

    sebagaimana telah ditentukan di dalam putusan Hakim yang

    dibebankan kepada terpidana atas pelanggaran atau kejahatan yang

    telah dilakukannya. Pidana denda ini diancamkan terhadap hampir

    semua pelanggaran (overtredingen) yang tercantum dalam buku III

    KUHP dan juga terhadap kejahatan-kejahatan dalam buku II KUHP

    yang dilakukan dengan tidak sengaja.40

    Ancaman pidana denda ini oleh pembuat undang-undang

    hukum pidana tidak ditentukan batas maksimum secara umum, tetapi

    ditentukan hanya batas minimumnya saja, sebagaimana tercantum

    dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP sebesar dua puluh lima sen (dikalikan

    15 menurut Undang-undang No. 18/Prp/1960) 41 . Dalam rancangan

    KUHP yang baru minimum pidana denda ini ditentukan sebesar paling

    sedikit lima ratus rupiah.42

    Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan

    dalam Pasal 30-33 KUHP. Pembayaran denda tidak ditentukan harus

    terhukum, maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup

    membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan pembayaran yang demikian

    akan mengaburkan sifat hukumannya.

    40

    Aruan Sakid jo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum

    Pidana Kodifikasi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 95. 41

    Lihat Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo, Himpunan Undang-undang., hlm. 342-246. 42

    Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana., hlm. 95.

  • e. Pidana Tutupan

    Pidana tutupan ini dikenal dalam KUHP sesudah tahun 1946

    berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1946 (Berita Negara RI

    Tahun II No. 24 tanggal 1 dan 15 November 1946), dan merupakan

    tambahan pidana pokok pada Pasal 10 KUHP.

    Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 1946 tersebut

    menyatakan bahwa : “Dalam mengadili orang yang melakukan

    kejahatan yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh

    maksud yang patut dihormati, maka Hakim boleh menjatuhkan pidana

    tutupan (fertungshaft).” Pidana tutupan ini tidak akan dijatuhkan

    apabila Hakim berpendapat perbuatan yang merupakan kejahatan atau

    cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah

    sedemikian rupa, sehingga terhadap perbuatan lebih tepat bila dijatuhi

    dengan pidana penjara (Pasal 2 ayat (2)). Pelaksanaan pidana tutupan

    dan segala sesuatunya yang perlu untuk menjalankan Undang-undang

    No. 20 Tahun 1946 itu diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun

    1948 yang diundangkan pada tanggal 5 Mei 1948 yang dinamakan

    dengan Peraturan Pemerintah tentang Pidana Tutupan.43

    Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1946 dan Peraturan

    Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang dimaksud rumah tutupan itu bukan

    suatu penjara biasa, dan suatu tempat yang lebih baik daripada penjara

    biasa sesuai dengan orang yang dijatuhi pidana tutupan bukan orang

    43

    Ibid., hlm. 98.

  • atau terdakwa biasa, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa

    bukan kejahatan biasa melainkan pada umumnya para pelaku

    kejahatan politik.44

    2. Hukuman Tambahan

    Menurut aturan umum kodifikasi hukum pidana tambahan ini

    dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sesuai dengan kata

    “tambahan” yang diletakkan di belakang kata pidana, maka pidana

    tambahan itu hanya ditetapkan disamping pidana utama atau pidana

    pokok. Apabila Hakim tidak dapat menetapkan suatu pidana pokok dengan

    sendirinya tidak dapat pula menetapkan pidana tambahan. Penjatuhan

    pidana tambahan ini pada dasarnya bersifat fakultatif, dapat dijatuhkan

    dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-undang, tetapi tidaklah

    merupakan suatu keharusan.

    Tujuan diadakannya pidana tambahan adalah preventif khusus.

    Sifat preventif khusus ini kadang-kadsang begitu besarnya, sehingga

    sifatnya sebagai pidana lalu hilang sebagaimana ternyata dalam hal

    penyertaan yang kadang-kadang dalam UU tidak merupakan tambahan

    lagi, melainkan suatu tindakan tambahan.

    Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman

    pokok kalau dalam putusan Hakim ditetapkan hukuman tambahannya.

    Misalnya, seorang warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana

    44Ibid., hlm. 99.

  • tertentu oleh Hakim diputus dengan menjalankan hukuman penjara dan

    dicabut hak pilihnya dalam Pemilihan Umum yang akan datang.

    a. Pencabutan Hak-hak Tertentu

    Pidana tambahan pencabutan hak oleh Undang-undang Hukum

    Pidana ditegaskan bahwa pencabutan tersebut hanya terhadap beberapa

    hak tertentu saja. Jika diartikan dicabut semua hak itu berarti

    kehilangan kesmepatan hidup. Pencabutan semua hak itu bertentangan

    dengan ketentuan dalam Pasal 3 KUH Perdata yang menyatakan :

    “Tiada hukuman yang dapat mengak ibatkan kematian perdata atau

    kehilangan semua hak-hak sipil (beenerlei straf den burgerlijken dood

    of het verlies van alle burgerlijke regten ten gevolve).45

    Pencabutan hak-hak tertentu itu tidak dengan sendirinya karena

    penjatuhan pidana pokok, melainkan harus dengan suatu putusan

    Hakim dan tidak untuk selama-lamanya.

    Hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP

    Sedangkan untuk lamanya pencabutan adalah sesuai dengan

    pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHP.

    b. Perampasan Barang-barang Tertentu

    Pidana tambahan terhadap perampasan barang-barang tertentu

    termasuk barang milik terpidana. Perampasan milik terpidana

    merupakan pengurangan harta kekayaan terpidana, karena meskipun

    45Ibid., hlm. 100-101.

  • perampasan tersebut hanya terhadap barang-barang terentu milik

    terpidana, namun dengan dirampasnya barang-barang tertentu itu

    berarti harta kekayaan terpidana menjadi berkurang.

    Diantara pidana-pidana tambahan, jenis pidana tambahan

    perampasan barang inilah yang paling banyak atau paling sering

    dijatuhkan oleh Pengadilan, karena sifatnya sebagai tindakan prevensi,

    atau imperative, atau fakultatif.

    c. Pengumuman Keputusan Hakim

    Sesuai dengan sifat kejahatan atau keadaan yang menjadi

    obyek kejahatan terpidana dapat dikenal tambahan pengumuman

    putusan Hakim. Pidana tambahan tentang pengumuman keputusan

    Hakim ini Di Indonesia jarang sekali dijalankan karena ketentuan

    bahwa keputusan Hakim Pnegadilan dinyatakan dengan pintu terbuka

    untuk umum, dan diucapkan oleh Ketua di muka anggota-anggota

    yang turut memeriksa dan memutuskan perkara itu serta Penuntut

    Umum pada Pengadilan Negeri dan Penasihat.

    Maksud diadakannya “Pengumuman Keputusan Hakim” dalam

    bab tentang pidana tambahan ini adalah publikasi ekstra, misalnya di

    dalam surat kabar, dibuat plakat yang ditempelkan pada dinding

    gedung pemerintahan, gedung bioskop, dan gedung lain yang biasanya

    dikunjungi oleh umum, pengumuman melalui siaran radio, televisi dan

  • lain sebagainya. Biaya untuk publikasi ekstra ini dibebankan kepada

    terpidana yang ditentukan pembayarannya.46

    D. Pembagian Tindak Pidana

    Kalau dilihat dari segi sistim kitab undang-undang hukum pidana

    (KUHP) tindak pidana terdiri dari dua bentuk tindaka pidana, yaitu kejahatan

    dan pelanggaran. Terhadap pembagian dua jenis tindak pidana ini tidak secara

    jelas ditegaskan oleh KUHP melainkan masalah pembagian dua jenis

    tersebut masing-masing terdapat dalam buku II dan buku III KUHP, yang

    mana tentang kejahatan disimpan dalam buku II kemudian untuk

    pelanggarang disimpan dalam buku III KUHP.47

    Selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, perbuatan pidana

    biasanya dalam teori dan praktek terdapat perbedaan antara lain :

    1. Delik Dolus dan Delik Culpa

    Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan seperti yang terdapat

    pada pasal 338 KUHP, yang mana sengaja merampas nyawa orang lain.

    Sedangkan dalam Delik culpa, orang sudah dapat dipidana apabila

    kesalahannya itu berbentuk kealpaan, seperti yang terdapat dalam pasal

    359 KUHP yang mana yang menyababkan kematian orang lain

    dikarenakan kealpaan.

    2. Delik Commisionis dan Delikta Ommisionis

    46Ibid., hlm. 106-107. 47

    Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tidak Pidana, ( Jakarta :

    PT Raja Grafindo Persada, 2002 ) Hlm.3

  • Delik yang pertama adalah delik yang terdiri dari melakukan suatu

    perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, seperti mencuri,

    menggelapkan dan menipu. Kedua, delik yang terdiri dari tidak berbuat

    atau melakukan sesuatu padahal semestinya berbuat. Seperti yang

    terdapat pada pasal 164, yaitu mengetahui sesuatu pemufakatan jahat dan

    tidak berbuat apa-apa.

    Selain itu ada pula yang dinamakan delikta peromissionem commisa,

    yaitu delik-delik yang umumnya terdri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat

    pula dilakukan dengan tidak berbuat, seperti seorang ibu yang merampas

    nyawa anaknya dengan tidak memberikan makanan pada anak tersebut.

    3. Delik Biasa dan Delik Dikualifisir ( Dikhususkan )

    Delik yang dikualifisir adalah delik biasa ditambah dengan unsur

    unsur lain yang memberatkan ancaman pidana. Adakalanya unsur-unsur

    lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa tadi,

    misalkan yang terdapat dalam pasal 362 adalah pencurian biasa, dan

    pasal 363 adalah pencurisn yang dikualifisir.

    4. Delik seketika dan delik yang berlangsung terus menerus.

    Delik seketika dinamakan juga dengan akipionde delict, dan del ;ik

    yang berlangsung terus menerus dinamakan juga voortadurren;le delict,

    dalam delik yang berlangsung terus menerus, perbuatan yang dilarang itu

    menimbulkan keadaan yang berlangsung terus, seperti contoh yang

    terdapat dalam pasal 250 KUHP, yaitu barang siapa yang membuat atau

    mempunyai persediaan atu benda yang diketahui bahwa itu meniru,

  • memalsu atau merugikan nilai mata uang serta untuk meniru serta

    memalsukan uang Negara atau bank.

    5. Dilik Formal dan Delik Materil

    Pada delik formal, yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang,

    dan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu, seperti yang terdapat

    dalam pasal 160 tentang penghasutan, pasal 209 penyuapan, 212 sumpah

    palsu dan 362 pencurian.

    Sedangkan pada delik materil adalah selain dari pada tindakan

    yang dilarang itu dilakukan. Masih harus ada akibat dari tindakan itu,

    baru dikatakan telah terjadi tindakan pidana tersebut secara utuh dan

    sepenuhnya. Sebagai contoh pada pasal 187, 338 dan 378 yaitu

    pembakaran dan sebagainya.

    6. Gabungan Perbuatan Pidana

    Ada tiga macm gabungan tindak pidana, yaitu :

    a. Fendoasehe samenloop ( gabungan berupa satu perbuatan ), yaitu

    seseorang dengan satu perbuatan melakukan beberapa tindak pidana

    dinamakan juga dengan corcunsus idealis sebagaimana yang diatur

    dalam pasal 63 ayat 1 KUHP, bahwa satu perbuatan masuk dalam

    satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara

    aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan memuat ancaman

    pokok yang paling berat.

    b. Voortgezette Handeling

  • Yaitu seseorang melakukan perbuatan yang masing-masing

    merupakan tindak pidana, tetapi dengan adanya hubungan dengan

    antara satu dengan yang lain dianggap sebagai perbuatan yang

    dilanjutkan, sebagai mana yang diatur dalam pasal 64 ayat 1 KUHP.

  • BAB III

    TINJAUAN UMUM

    PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

    A. Terminologi Penganiayaan Dalam Hukum Islam

    Dalam Kehidupan Manusia sering kali kita temui adanya kekerasan

    terhadap sesama. Ada kekerasan yang dapat menyebabkan kematian dan ada

    juga yang tidak menyebabkan kematian, Kekerasan yang Menyebabkan

    kematian disebut dengan Pembunuhan, dan kekerasan yang tidak

    menyebabkan kematian disebut penganiayaan.

    Penganiayaan Menurut Hukum pidana Islam sering disebut dengan

    istilah jinayah. jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan

    seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Adapun jinayah secara

    Istilah sebagai mana yang di Kemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu :

    Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara‟ , baik

    perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. 48

    Beberapa pandagan intelektual lain mengartikan Hukum pidana Islam

    yaitu Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah sebagai berikut : Yang

    dimaksud dengan jinayah dalam istilah syara‟ dilarang. Dan perbuatan yang

    dilarang utuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa,

    akal, kehormatan atau harta benda.

    Menurut A. jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah

    mengacu kepada hasil perbuatan seseorang Biasaya pengertian tersebut

    terbatas pada perbuatan yang dilarang. Abd al Qodir Awadah bahwa jinayah

    adalah perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan itu mengenai jiwa,

    harta, benda, atau lainnya.

    48

    Abdul Qadir Audah, At Tasyri‟ Al jina „I Al Islami, (Beirut : Dar Al-Kitab Al- Araby,)

    Hlm. 67

  • Secara umum, pengertian jinayah sama dengan hukum Pidana pada

    hukum Positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang berkaitan dengan

    jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya

    Kemudian unsure-unsur atau rukun jinayah adalah sebagai berikut :

    a. Unsur formil yaitu, adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan

    megancamnya dengan hukuman.

    b. Unsur materil yaitu, adanya tingkah laku yang membentuk tindak pidana

    (Jarimah), baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak

    berbuat (negatif).

    c. Unsur moral atau pertanggung jawaban yaitu, bahwa pelaku adalah orang

    yang mukallaf, akni orang yang dapat dimintai ertanggungjawaban atas

    tinda pidana yang dilakukannya.

    d. Unsu formil (al-Rukun al-Syar‟i)

    B. Azas-Azas Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam

    1. Azas Legalitas

    Asas legalitas adalah suatu asas yang menyatakan bahwa tidak ada

    pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada nash (ketentuan) yang

    melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman. 49 Jadi,

    Asas legalitas mengandung arti bahwa seseorang tidak akan dituntut

    secara pidana akibat perbuatannya apabila belum ada aturan yang

    menyatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana atau

    dapat dikenai hukuman. Dengan kata lain, seseorang akan dituntut secara

    49

    Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Sinar

    Grafika, 2004), hlm.29.

  • pidana apabila ia melanggar aturan yang telah ada, baik melakukan suatu

    perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang

    diperintahkan.

    2. Asas Tidak Berlaku Surut

    Asas tidak berlaku surut merupakan kelanjutan dari asas legalitas

    dalam hukum pidana Islam. Dalam asas ini, mengandung arti bahwa

    setiap aturan pidana yang dibuat terkemudian tidak dapat menjerat

    perbuatan pidana yang dilakukan sebelum aturan itu dibuat.50

    3. Asas Praduga Tak Bersalah

    Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari seseorang

    yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah

    sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan

    tegas kesalahannya. Asas ini lahir dari adanya asas legalitas. Asas ini

    diambil dari ayat Al-Qur‟an yang menjadi sumber asas legalitas dan asas

    larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain yang menyatakan

    bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang

    tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang diperbuat oleh oranglain.

    C. Unsur-Unsur Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam

    Menurut Ahmad Hanafi bahwa unsur-unsur Penganiayaan tindak

    pidana (jarimah) adalah bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunyai unsur-

    unsur umum yang harus dipenuhi, yaitu :

    50

    Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, ( Bandung, Pustaka Bani

    Quraisy, 2004 ), hlm.50.

  • a. Nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman

    terhadapnya, dan unsure ini disebut unsure “formil” (rukun syar‟i).

    b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah baik berupa

    perbuatan-perbuatan ataupun sikap tidak berbuat, unsur ini disebut

    dengan unsur “materil” (rukun maddi)

    c. Pembuat adalah orang mukallaf yaitu orang yang dapat dimintai

    pertanggung jawabkan terhadap jarimah (tindak pidana) yang

    diperbuatnya, dan unsur ini disebut dengan unsur “moril” (rukun

    adabi)

    Ketiga unsur tersebut merupakan bukti seseorang dianggap

    melakukan dan dikenal hukuman dan apabila tidak memenuhi

    unsur-unsur umum diatas, maka orang yang melakukan tindak

    pidana itu tidak dapat diadili dan dihukum

  • BAB IV

    PEMBAHASAN

    A. Ketentuan Tindak Pidana Penganiayaan dalam Perspektif Hukum

    Pidana

    1. Penganiayaan dalam KUHP

    Pasal 353 (1) Penganiayaan dengan direncanakan terlebuh dahulu,

    diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Bila

    perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam

    dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP 90). (3) Bila

    perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam

    dengan pidana penjara palg lama Sembilan tahun. (KUHP 35, 37-1 sub 2‟,

    338 DST, 340,352, 355 DST., 487‟, Sv. 71; IR. 62; RBg. 498; Uitlev. 2-

    5‟,)

    Mr. M.H Tirtamidjaja membuat pengartian penganiayaan sebagai

    perbuatan atau tindakan yang dengan sengaja menyebabkan sakit atau

    luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan

    sakit atau luka pada orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan kalau

    perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselematan badan. 51

    Berbicara tentang pasal 351 KUHP kita harus tahu apa yang

    dimaksud dengan perbuatan penganiayaan yang menurut istilah KUHP

    adalah “Mishandelling” tetapi dalam BAB IX buku 1 KUHP” tidak ada

    arti penganiayaan harus kita lihat pada :

    51

    M. Tirtamidjaja, Pokok-pokok hukum pidana, (Jakarta , frescho 1955), Hlm.74

  • a. Pada Sumbernya

    b. Dalam praktek peradilan, dan

    c. Dalam Ilmu Pengetahuan

    Menurut Yuresprudensi maupun ilmu pengetahuan memberi

    pengertian Penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan

    dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang

    lain.

    Dalam pasal 351, Yang merupakan inti dari bab xx ini, tidak ada

    uraian unsure-unsur selain hanya disebut penganiayaan saja,

    karenanya jika kita menguraikan unsure-unsurnya maka sebaliknya

    istilah penganiayaan itu diuraikan sehingga berbunyi “barang siapa

    yang dengan sengaja da tanpa hak menyakiti atau melukai badan

    orang lain karena penganiayaan, diancam dengan pidana penjara

    maksimum dua tahun delapan bulan atau denda tiga ratus ribu rupiah

    2. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan

    Menurut Hukum pidana Indonesia, tindak pidana yang diatur

    KUHP terdiri dari penganiayaan biasa (pasal 351) penganiayaan ringan

    (pasal 352) Penganiayaan yang direncanakan lebih dahulu (pasal 353)

    penganiayaan sengaja melukai berat (pasal 354) penganiayaan berat yang

    dilakukan dengan rencana lebih dahulu (pasal 355) penganiayaan erhadap

    orang-orang tertentu dengan menggunakan benda-benda dengan

    membahayakan orang (pasal 356) Dalam pemidanaan karena salah satu

    kejahatan yang diterangkan dalam pasal 353 dan 355. Dapat dijatuhkan

  • pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No 1-4 penyerangan atau

    perkelahian pasal (358).

    Hukuman bagi pelaku penganiayaan menurut hukum positif telah

    tertera pada pasal-pasal dalam KUHP sebagai berikut:52

    a. Penganiayaan biasa diatur di dalam pasal 351 KUHP diancam dengan

    pidana penjara paling lama 2(dua) tahun 8(delapan) bulan atau denda

    paling banyak 300 (tiga ratus rupiah), apabila penganiayaan biasa

    berakibat luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling

    lama lima tahun, jika mengakibatkan mati dikenakan pidana penjara

    paling lama tujuh tahun, dengan penganiayaan disamakan sengaja

    merusak kesehatan, percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak

    dipidana. Luka berat atau mati disini, harus merupakan akibat yang

    tidak dimaksud oleh si pembuat. Apabila luka berat itu dimaksud

    maka dikenakan pasal 355 dan kematian yang dimaksud maka

    perbuatan itu termasuk pembunuhan (pasal 338)

    b. Penganiayaan ringan diatur dalam pasal 352 KUHP, tindak pidana ini

    termasuk kejahatan ringan. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan

    rasa sakit atau terhalangnya orang didalam melakukan jabatannya atau

    mata pencahariannya. Ancaman hukumannya yaitu hukuma penjara

    paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 300 (tiga ratus) rupiah.

    52

    M. Sudrajat bassar, SH, Tindak Pidana tertentu Dalam KUHP, (Bandung, CV, Remaja karya, 1986), Cet ke-2 h.134

  • Hukuman ini dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang bersalah

    melakukan perbuatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau

    yang berada dibawah kekuasaannya.

    c. Penganiayaan direncakan terlebih dahulu

    Diatur dalam pasal 353 KUHP diancam dengan hukuman penjara

    paling lama 4 tahun . Apabila perbuatan itu membawa luka berat pada

    tubuh, dihukum dengan hukuman penjara 7 tahun. Apabila

    penganiayaan itu mengakibatkan matinya orang, dihukum dengan

    hukuman penjara paling lama 9 tahun.

    d. Penganiayaan yang disengaja untuk melukai berat

    Diatur dalam pasal 354 KUHP diancam dengan hukuman penjara

    paling lama 8 tahun. Dalam penganiayaan ini, niat sipembuat harus

    ditunjukan pada “melukai berat” artinya luka berat itu harus dimaksud

    oleh si pembuat. Jika mengakibatkan mati korbannya, maka

    dikenakan pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun.

    e. Penganiayaan yang direncanakan untuk melukai berat

    Diatur dalam pasal 355 KUHP, diancam dengan hukuman penjara

    paling lama 12 tahun, apabila perbuatan ini menyebabkan kematian

    orangnya, hukumannya dinaikkan menjadi 15 tahun.

    f. Penganiayaan terhadap orang-orang tertentu dan dengan

    menggunakan benda-benda yang membahayakan kesehatan orang.

    Diatur dalam pasal 356 KUHP, ancaman hukumannya diatur dalam

    pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya :

  • 1. Apabila kejahatan yang dilakukan terhadap ibunya, bapaknya

    yang sah, istrinya, suaminya atau anaknya.

    2. Apabila kejahatan seorang pejabat ketika atau karena menjalankan

    tugasnya yang sah.

    3. Apabila kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan

    yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau

    diminum.

    g. Dalam pemidanaan karena salah satu kejahatan yang diterangkan

    dalam pasal 353 dan 355 dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut

    dalam pasal 35 ayat 1-4.

    h. Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian,

    di mana terlibat beberapa orang, selain tanggug jawab masing-masing

    terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya diancam :

    1. Dengan pidana paling lama 2 tahun 8 bulan, jika akibat

    penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat.

    2. Dengan pidana penjara empat tahun, jika akibatnya ada yang mati

    B. Ketentuan Tindak Pidana Penganiayaan Dalam Hukum Islam

    1. Terminologi Penganiayaan dalam Hukum Islam

    Penganiayaan dalam hukum Islam disebut dengan istilah tindak

    pidana atas selain jiwa atau jinayat selain pembunuhan. Yang artinya setiap

    tindakan haram yang dilakukan terhadap anggota tubuh, baik dengan cara

  • memotong, melukai maupun menghilangkan fungsinya. 53 Yang dimaksud

    dengan tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan, seperti

    dikemukakan oleh Abdul Qadir Awdah adalah setiap perbuatan menyakiti

    orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menimbulkan

    kematian atau menghilangkan nyawa, Pengertian ini sejalan dengan definisi

    yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain

    jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa

    pemotongan anggota badan, pelukaa, maupun pemukulan, sedangkan jiwa

    atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu. 54

    Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, jika ada

    unsure formil yaitu harus ada nash yang melarang perbuatan dan mengancam

    dengan hukuman, unsure materil yaitu melakukan perbuatan yang

    membentuk tindak pidana, baik perbuatan maupun sikap tidak berbuat. Dan

    unsure moral yaitu pelaku harus seorang mukallaf artinya dia bertanggug

    jawab atas tindak pidana yang diperbuat, sebuah kejahatan jika tidak

    memenuhi unsure-unsur tersebut maka tidak bisa dikatakan jarimah (tindak

    pidana). Adapun unsure-unsur dalam Jarimah penganiayaan yaitu :

    1. Adanya pelaku tindak pidana penganiayaan ;

    2. Adanya kesegajaan Adanya perbuatan;

    3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau

    luka pada tubuh;

    53

    Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, shahih Fiqh Sunnah, terjemah : Abu Ihsan, (Jakarta

    Pustaka At- Tazkia 2006). 319

    54

    Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. 179

  • 4. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya;

    5. Adanya perencanaan penganiayan sehingga mengakibatkan luka berat.

    2. Pembagian Tindak Pidana Penganiayaan

    ada dua klasikisa dalam menentukan pembagian tindak pidana atas

    selain jiwa, yaitu : ditinjau dari segi niatnya, dan ditinjau dari segi objek

    (sasarannya).

    1. Ditinjau dari segi niatnya 55

    Ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi

    kepada dua bagian :

    a. Tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja

    b. Tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja

    Pengertian tindak pidana sengaja adalah setiap perbuatan dimana

    pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum.

    Sedangkan tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja adalah pelaku

    dengan snegaja melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud

    supaya perbuatannya itu mengenai dan menyakiti oran lain.

    Tindak pidana karena kesalahan atau tidak sengaja adalah suatu

    perbuatan dimana pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak

    ada maksud untuk menyakiti atau melukai orang lain dengan melawan

    hukum. Jadi tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau

    kesalahan adalah pelaku memang dengan sengaja melakukan perbuatan,

    tetapi pemuatan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengenai

    55

    Ibid. 180

  • atau menyakiti orang lain. Namun kenyataannya ada korban akibat

    perbuatan tersebut. Sebagai contoh seseorang melempar batu dengan

    maksud membuannya, namun karena kurang hati-hati batu tersebut

    mengenai orang yang sedanglewat dan melukainya.

    Menurut Syafi‟iyah dan Hanabilah selain dua diatas masih ada

    tindak pidana atas selain jiwa yang ketiga, yaitu tindak pidana atas selain

    jiwa menyerupai sengaja. Contoh dari tindak pidana atas selain jiwa

    menyerupai sengaja adalah jika ada seseorang memukul seseorang

    dengan ringan namun akibatnya sampai orang tersebut menderita luka

    berat.

    2. Ditinjau dari segi objeknya sasarannya

    Tinjauan pidana atas selain jiwa bisa berupa pemotongan dan

    pemisahan, melukai yang mengakibatkan tubuh robek, atau

    menghilangkan fungsi tanpa merobek dan memisahkan. Berikut

    pembagian tindak pidana atas selain jiwa. 56

    a. Jinayat dengan memotong dan memisahkan anggota badan.

    Adapun yang dimaksud dengan jenis yang pertama adalah tindakan

    terhadap perusakan anggota badan dan anggota lain yang disetarakan

    dengan anggota badan, baik berupa pelukaan atau pemotongan. Dalam

    kelompok ini yaitu termasuk, tangan, kaki, jari, kuku, hidung, telinga,

    bibir, pencongkelan mata, merontokan gigi, bibir , kemaluan wanita,

    dan lidah.

    56

    Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah. 324

  • b. Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih

    tetap utuh

    Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang merusak

    manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota badannya masih

    utuh. Dengan demikian, apabila, apabila anggota hilang atau rusak,

    sehingga manfaatnya juga ikut hilang maka itu termasuk kelompok

    pertama diatas yang termasuk dalam kelompok ini adalah hilangnya

    pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa lidah, kemampuan

    berbicara, bersetubuh dan lain-lain. 57

    c. Ash- shaijaj

    Yang dimaksud ash-shaijaj adalah pelukaan khusus pada bagian

    muka dan kepala. Sedangkan pelukan atas badan selain muka dan

    kepala termasuk kelompok keempat yang akan dibahas berikutnya.

    Imam Abu Hanifah berbendapat bahwa shajjaj adalah pelukaan

    pada bagian wajah dan kepala, tetapi khusus dibagian tulang saja,

    seperti dahi. Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk

    shajjaj, tetapi ulama lain berpendapat bahwa shajjaj adalah pelukaan

    peda bagian muka dan kepala secara mutlak. 58 Adapun organ-organ

    tubuh yang termasuk kelompok anggota badan, meskipun pada bagian

    muka, seperti mata, telinga dan lain- lain tidak termasuk shajjaj. Yang

    termasuk Shajjaj adalah Muwaddihah, Kharisah. Daimiyah. Badhi‟ah.

    57

    Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam .181 58

    Ibid, 182

  • Mutalahimah, Simhaq, muwaddihah, hashimah, munaqqilah dan

    aamah.

    d. Al-Jirah

    Al-jirah adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, kepala

    dan athraf. Anggota badan yang termasuk dalam golonggan jirah ini

    meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. Al jirah ada dua,

    Yaitu :

    1) Ja‟ifah, Yaitu pelukaan yang sampai kebagian dalam dari perut dan

    dada, baik pelukaan dari depan, belakang, atau samping.

    2) Ghai ja‟ifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai bagian dalam dari

    dada dan perut, tetapi hanya bagian luarnya saja.59

    3. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan

    Hukuman bagi tindak pidana penganiayaan dalam hukum pidana

    Islam dibagi menjadi 2, yaitu hukuman pokok dan hukuman pengganti.

    Hukuman pokok bagi tindak pidana penganiayaan adalah hukuman qhisas

    terhalang atau gugur karena beberapa sebab adalah hukuman diat dan takzir.

    1. Hukuman qishas

    Secara literal, kisas merupakan kata turunan dari Qasa – yaqusu-

    qassan wa qassan yang artinya mengguntingkan, mendekati,

    menceritakan, mengikuti (jajaknya), dan membalas. Sedangkan secara

    istilah, Ibnu Manzur di dalam Lisan al-Arab menyebutkan suatu

    hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak pidana

    59

    Ibid, 183

  • yang dilakukan 60. Penerapan qishas dalam kasus tindak pidana selain

    jiwa atau penganiayaan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain :

    a) Pelaku baligh

    b) Pelaku Berakal termasuk juga pemabuk dengan ada niatan

    c) Pelaku bukan keturunan korban

    d) Korban status sosialnya tidak dibawah pelaku, seperti budak dan

    kafir. 61

    e) Aman dari bahaya yang berkelanjutan. Yaitu, dengan cara memotong

    dipergelangan dan persendian, jika tidak demikian maka Qishas

    tidak dapat dilakukan.

    f) Adanya persamaan anggota tubuh korban dengan pelaku, sama

    dalam hal nama dan keberadaan.

    g) Anggota tubuh korban dan pelaku harus sama dari segi kesehatan

    dan kesempurnaan.62

    2. Hukuman Diyat

    Ad- adiyah adalah bentuk jamak dari ad-diyah. Secara bahasa, diat

    adalah bila wali pembunuh memberikan harta sebaga tebusan nyawa atau

    selainnya. Sedangkan jika dalam kasus tindak pidana penganiayaan

    adalah sebagai hukuman pengganti dan hukuman Qishas. Sedangkan

    60

    Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukum Qishas di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika,

    2015). 28

    61

    Faishal Amin Dkk, Menyingkap Sejuta Permaalahan Dalam Fath AL- Qarib. (Kediri : Lirboyo

    Pers, 2015). 591

    62

    Saleh Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terjemah : Ahmad Ikhwani. (Jakarta. Gema Insani press, 2005). 789-790.

  • menurut istilah syariat, diat adlah harta yang wajib dibayarkan kepada

    korban atau walinya karena disebabkan oleh jinayah (tindak pidana)

    terhadap jiwa atau selain jiwa. 63 Kadar hukuman diat yang biasa menjadi

    patokan adalah dengan unta untuk tindak pidana penganiayaan hukuman

    paling berat adalah 100 ekor unta. Jika tidak dapat unta maka beralih

    pada harga unta, atau membayar 100 dinar atau 12.500 dirham. 64

    Hukuman diyat adalah hukuman pengganti dari hukuman qishas Jika

    tidak mungkin dilaksanakan.

    Hikmah adanya hukuman qishas dan diyat ini adalah adalah untuk

    keberlangsungan hidup manusia di dunia, karena itu Islam meghukum

    orang yang membunuh orang lain. Hukuman tersebut pada dasarnya

    sebagai tindakan preventif sehingga manusia tidak gampang saling

    membunuh yang akanmengakibatkan kekacauan dalam masyarakat.

    Sementara diyat dengan harta bertujuan untuk kepentingan kedua belah

    pihak.

    Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk hukuman

    qishas apabila hukuman qishas terhalang karena suatu sebab, atau gugur

    karena sebab-sebab. Diyat sebagai hukuman pengganti berlaku dalam

    tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja. Di samping itu, diyat juga

    merupakan hukuman pokok apabila jinayahnya menyerupai sengaja atau

    kesalahan. Diyat, baik sebagai hukum pokok maupun sebagai hukum

    pengganti, digunakan pengertian untuk diyat yang penuh ( kamilah ),

    63

    Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, terjemah : Abu Ihsan. 342

    64

    Faishal amin dkk, menyingkap sejuta permasalahan dalam Fath Al-Qarib. Hal. 597

  • yaitu seratus ekor onta. Adapun untuk hukuman yang kurang dari diyat

    yang penuh maka digunakan istilah irsh. Irsh terdiri dari dua macam

    yaitu irsh yang sudah ditentukan ( muqaddar ) dan irsh yang belum

    ditentukan ( ghairu muqaddar ). Irshun muqaddar adlah ganti rugi yang

    sudah ditentukan batas dan jumlahnya oleh syara‟, contoh seperti diyat

    untuk satu tangan atau satu kaki. Sedangkan irshun ghairu muqaddar

    adalah ganti rugi yang belum ditentukan oleh syara‟ dan untuk

    penentuannya diserahkan kepada hakim.

    Pada penganiayaan ini banyak hal yang perlu diperhatikan dalam

    menjatuhkan hukuman diyat antara lain dari jenis perbuatannya sendiri

    ada yang berat dan yang ringan.

    1. Diyat bagi luka berat

    Luka sampai kelihatan tulang, dendan