PENGANIAYAAN DILIHAT DARI PERSPEKTIF KITAB ...repository.uinjambi.ac.id/290/1/SPM141886_Alra...
Transcript of PENGANIAYAAN DILIHAT DARI PERSPEKTIF KITAB ...repository.uinjambi.ac.id/290/1/SPM141886_Alra...
-
PENGANIAYAAN DILIHAT DARI PERSPEKTIF
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM
PIDANA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Program Strata Satu (S.1)
Jurusan Perbandingan Mazhab
Pada Fakultas Syariah
OLEH:
ALRA HARYNOVA
SPM 141886
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI1440 H / 2018 M
-
MOTTO
Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung
dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka
(pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya,
Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim”.1
1 Kementerian Agama, Al-Quran, Surah Al-Maidah ayat : 45
-
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa
menganugrahkan ni‟mat, taufiq serta hidayah sehingga skripsi ini dapat penulis
selesaikan dengan baik. Kemudian shalawat dan salam senantiasa penulis
sampaikan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW dengan diiringi
harapan semoga kelak di hari akhirat mendapat sepaat bari beliau, amin.
Skripsi ini diberi judul “penganiayaan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Dan Hukum Pidana Islam” merupakan kajian normative kualitatif
yang sifatnya kajian pustaka untuk mengetahui persepektik hukum Islam dan
hukum pidana terhadap tindak pidana penganiayaan.
Kemudian dalam penulisan skripsi ini penulis akui, tidak sedikit hambatan
dan rintangan yang penulis temui baik dalam mengumpulkan data maupun dalam
penyusunannya. Dan berkat dari bantuan dari berbagai pihak , terutama bantuan
dan bimbingan yang diberikan oleh dosen pembimbing, maka skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, hal yang layak penulis ucapkan adalah
kata terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu penyelesaian skripsi
ini, terutama sekali yang terhormat :
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN STS Jambi.
2. Bapak Dr.A.A.Miftah, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
3. Bapak H.Hermanto Harun, Lc.,M.HI.,Ph.D, Ibu Dr.Rahmi Hidayat,
S.Ag.,M.HI, Dan Ibu Dr.Yuliatin,S.Ag.,M.HI selaku wakil dekan satu dua dan
tiga Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
-
4. Bapak AI Husni,S.Ag.,M.HI, selaku Ketua Jurusan Perbandingan Mazhab
Fakultas Syariah UIN STS Jambi.
5. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani,SH.,M.Hum dan Bapak AI Husni,S.Ag.,M.HI
selaku Pembimbing I dan pembimbing II Skripsi Ini.
6. Bapak dan Ibu dosen,asisten dosen,dan seluruh karyawan/karwati Fakultas
Syariah UIN STS Jambi.
7. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini, baik langsung
maupun tidak langsung.
.
Disamping itu penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karenanya diharapkan kepada semua pihak untuk dapam
memberikan kontribusi demi perbaikan skripsi ini. Ahirnya sebagai penutup kata,
sejauh mana kaki melangkah kepada Allah juga lah kita akan kembali, tetaplah
selalu memohon ampunan atas semua dosa, janganlah berputus asa dari rahmat
Allah karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
Jambi Maret 2018
Penulis
Alra HaryNova
SPM 141886
-
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………… I
NOTA DINAS……………………………………………………………. II
PENGESAHAN PANITIA UJIAN………………………………………. III
MOTTO…………………………………………………………………… IV
PERSEMBAHAN………………………………………………………… V
KATA PENGANTAR……………………………………………………. VI
ABSTRAK………………………………………………………………... VII
DAFTAR ISI………………………………………………………………
X
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………. 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….. 5
C. Batasan Masalah………………………………………............. 5
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian……………………………... 5
E. Kerangka Teori………………………………………………... 6
F. Tinjauan Pustaka………………………………………………. 11
G. Metode Penelitian……………………………………………… 13
BAB II : TINJAUAN UMUM PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM
PIDANA
A. Penganiayaan Menurut Hukum Pidana
Islam……………………..……………………………………... 18
B. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Penganiayaan………..………………………………………….. 20
C. Persekusi Tindak Pidana
Penganiayaan…………………………………………..……….. 28
D. Pembagian Tindak Pidana……………………………………… 37
-
BAB III : TINJAUAN UMUM PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM
PIDANA ISLAM
A. Terminologi Penganiayaan Menurut Hukum
Islam………………………………………………..…………. 41
B. Azas Penganiayaan Menurut Hukum Pidana
Islam………………………….……………………………….. 43
C. Unsur-Unsur Penganiayaan Tindak Pidana
islam………………………………..…………………………. 43
BAB IV : PEMBAHASAN
A. Ketentuan Tindak Pidana Penganiayaan Dalam Perspektif Hukum
Pidana……………………………………………………..….. 41
1. Penganiayaan dalam KUHP………….…………..……… . 41
2. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan…………………. . 42
B. Ketentuan Penganiayaan Dalam Hukum Pidana Islam………. 45
1. Terminologi Penganiayaan dalam Hukum Islam………… 45
2. Pembagian Tindak penganiayaan………………………… 47
3. Hukuman Tindak Penganiayaan…………………………. 50
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………...…. 56
B. Kata Penutup………………………………………………….. 57
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 58
CURICURUM VITAE
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Negara Indonesia merupakan Negara hukum bukan Negara yang
mengandalkan kekuasaan, hal ini dapat dengan jelas dilihat dalam Undang-
undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 secara tegas menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum. Selaras dengan ketentuan tersebut maka
salah satu prinsip Negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi
setiap orang di depan hukum (equality before the law). Oleh karena itu setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang
adil dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku
orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari
hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib di dalam
masyarakat. 2 Kendatipun demikian dengan adanya statement di atas bukan
berarti seseorang tidak akan melakukan suatu tindak kejahatan yang
merugikan orang lain.
Hukum, dilihat dari fungsinya dibagi atas hukum perdata, hukum
dagang dan hukum pidana. Masing-masing memiliki sifat dan fungsi yang
berbeda-beda, sebagai contoh hukum pidana berfungsi untuk mengajar agar
2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : PT Eresco
1986) Hlm. 14
-
ketentuan-ketentuan hukum yang terdapa tdalam hukum perdata, dagang,
adat, dan tata Negara ditaati sepenuhnya.
Permasalahan penganiayaan merupakan salah satu bidang garapan dari
hukum pidana. Penganiayaan oleh KUHP secara umum diartikan sebagai
tindak pidana terhadap tubuh. Semua tindak pidana yang diatur dalam KUHP
ditentukan pula ancaman pidananya. Demikian juga pada delik penganiayaan
serta delik pembunuhan. Kedua delik ini ancaman pidananya mengacu pada
KUHP buku I bab II tentang pidana, terutama pada pasal 10. Di dalam pasal
tersebut disebutkan bahwa pidana terdiri dari dua macam, yaitu pidana pokok
dan pidana tambahan, untuk delik penganiayaan serta pembunuhan lebih
mengarah kepada pidana pokok yang terdiri atas pidana mati, pidana penjara,
kurungan dan denda.3
Dalam bab XX KUHP terdapat delapan pasal yang menjelaskan
tentang penganiyaan. Jika dilihat dari pasal ke pasal dan dari butiran ayat ke
ayat terdapat perbedaan jenis dan ancaman hukum yang diberikan. Setidaknya
ada lima jenis dari bentuk tindak pidana penganiyaan. Pertama, tindak pidana
penganiayaan biasa. Kedua, tindak pidana penganiyaan ringan. Ketiga, tindak
penganiyaan berencana. Keempat, tindak penganiyaan berat. Kelima, tindak
pidana berat berencana. Kemudian sanksi hukum yang diberikan pun juga
bervariasi sesuai dengan tingkat tindak pidana yang dilakukan dimulai dari
3Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, cet. Ke-16, (Jakarta : Bumi
Aksara, 1990), hlm. 6.
-
hukunman yang paling ringan yakni denda 4500.00 sampai ancaman penjara
paling lama lima belas tahun.
Tindak pidana penganiyaan pada dasarnya tidak hanya diatur dalam
KUHP atau hukum positif saja, dalam Islam juga mengatur dengan begitu
rapinya permasalahan-permasalahan pidana. Exsistensi permasalahan pidana
di dalam Islam dibagi secara khusus ke dalam satu bab fiq ih yaitu fiqih
jinayah, istilah lain dari fiqih jinayah adalah hukum pidana Islam.
Dalam hukum Islam istilah penganiayaan tidak digunakan, yang ada
dalam hukum pidana Islam adalah jarimah/jinayah terhadap selain jiwa, ada
juga sebagian orang yang menggunakan istilah jarimah/jinayah pelukaan.
Sama halnya dengan hukum positif, hukum pidana Islam juga
memiliki jenis tindak pidana penganiyaan dan sanksi hukum yang diberikan.
Para Ulama membagikan jinayah pelukaan terhadap tubuh menjadi lima
macam, yaitu :
1. Ibanat al-Atraf, yaitu memotong anggota badan termasuk didalamnya
memotong tangan, kaki, jari, hidung dan lain-lain.
2. Izhab Ma‟al-atraf, yaitu menghilangkan fungsi anggota badan dalam arti
lain anggota badan itu tetap ada tapi tidak berfungsi, misalnya membuat
korban buta, tuli, bisu, dan sebagainya.
3. Asy-Syaj, yaitu pelukaan terhadap kepala dan muka.
4. Al-Jarh, yaitu pelukaan terhadap selain wajah dan kepala termasuk
didalamnya pelukaan sampai kedalam perut atau rongga dada.
-
5. Pelukaan yang tidak termasuk ke dalam salah satu jenis pelukaan.
sanksi pidana dalam hukum Islam dikenal dengan al-„Uqubah yaitu
sesuatu yang datang setelah yang lainnya, maksudnya adalah bahwa hukuman
dapat dikenakan setelah adanya pelanggaran atas ketentuan hukum. „Uqubah
dapat dikenakan pada setiap orang yang melakukan kejahatan yang dapat
merugikan orang lain baik dilakukan oleh orang muslim atau yang lainnya.4
Hukuman merupakan suatu cara pembebanan pertanggung jawaban pidana
guna memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan kata lain
hukuman dijadikan sebagai alat penegak untuk kepentingan masyarakat.5
Adapun sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana
penganiayaan menurut hukum pidana Islam adalah qisas dan diyat dan juga
hukuman takzir.
Setelah melihat persepsi hukum pidana atau hukum positif yang dalam
hal ini terdapat di dalam KUHP, kemudian persepsi hukum pidana Islam atau
jinayah, penulis menemukan adanya perbedaan di antara persepsi-persepsi.
Diantaranya jenis atau macam-macam bentuk penganiayaan dan bentuk
hukuman yang diberikan, penulis memandang perlu untuk melakukan sebuah
penelitian ilmiyah yang bertujuan untuk memperbaharui hukum p idana
tentang penganiayaan, dan penelitian ini dikemas ke dalam sebuah skripsi
4Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari‟at Islam, (Jakarta : Rineka Cipta,
1992), hlm. 6.
5A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet.Ke-2, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976)
Hlm. 9
-
yang ber judul “Penganiayaan Dilihat Dari Perspektif Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Dan Hukum Pidana Islam.”
B. Rumusan Masalah
Beranjak dari latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah yang kan dikaji dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah penganiayaan menurut kitab undang-undang hukum
pidana?
2. Bagaimanakah penganiayaan menurut persektif hukum pidana Islam ?
3. Apa perbedaan dan kesamaan penganiayaan menurut perspektif KUHP
dan hukum pidana Islam ?
C. Batasan Masalah
Mengingat banyaknya masalah yang dibahas, maka penulis memandang
perlu mematasi permasalahan agar pembahasan yang akan dilakukan lebih
terarah dan tidak keluar dari apa yang menjadi tujuan dalam penelitian.
Dalam penelitian ini hanya membahas tentang tindak pidana penganiayaan
menurut KUHP dan hukum pidana Islam serta membahas titik kesamaan dan
perbedaan penganiayaan menurut perpektif KUHP dan hukum pidana Islam
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tindak penganiayaan menurut
kitab undang-undang hukum pidana.
b. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui penganiyaan menurut
perspektif hukum pidana Islam
-
c. Kemudian penelitian ini juga berjutuan untuk mengetahui titik persamaan
dan perbedaan tentang penganiayaan menurut KUHP dan hukum pidana
Islam.
2. Keguanaan Penelitian
a. Secara akademis, diharapkan dapat memberikan masukan dalam upaya
mengembangkan khasanah penelitian tentang pembaharuan hukum
pidana, serta dapat digunakan sebagai referensi bagi penelitian lain yang
berminat terhadap masalah pembaharuan hukum pidana.
b. Sebagai kelengkapan persyaratan bagi penulis dalam memperoleh gelar
Sarjana Srata Satu (S1) pada Fakultas Syariah Jurusan Perbandinagn
Mazhab (PM) UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
E. Kerangka Teori
Teori merupakan serangkaian pernyataan sistematik yang bersifat abstrak
tentang subjek tertentu. Subjek itu dapat berupa pemikiran, pendapat, nilai-
nilai, norma-norma, pranata-pranata sosial, peristiwa-peristiwa, dan
perilaku manusia.6 Kerangka teori merupakan uraian ringkasan tentang teori
yang digunakan dalam menjawab pertanyaan penelitian. 7 Agar peneliti ini
lebih terarah dan tepat, maka penulis menganggap perlu penggunaan
kerangka teori sebagai landasan berfikir guna mendapatkan konsep yang
benar dan tepat dalam penyusunan skripsi ini sebagai berikut :
6Tim Penulis Fakultas Syariah, Pedoman Penulisan Skripsi(edisi revisi) , (Jambi : Syariah
Press Fakultas Syariah IAIN STS Jambi, 2014), hlm. 25.
7 Sigiyono, Metode Penelitian Kualitatif Dan R & D, (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm.
52.
-
1. Penganiayaan
a. Pengertian Penganiayaan
Dalam Undang-undang tidak memberikan perumusan apa yang
dinamakan dengan penganiayaan. Namun menurut jurisprudensi
pengadilan yang dinamakan penganiayaan adalah8 :
1. Sengaja menyebabkan prasaan tidak enak (penderitaan)
2. Menyebabkan rasa sakit
3. Menyebabkan luka-luka
Menurut Poerdodarminto penganiayaan adalah perlakuan
sewenang-wenang dalam rangka menyiksa atau menindas orang lain. 9
Penganiayaan ini jelas melakukan suatu perbuatan dengan tujuan
menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain.
Sedangkan menurut sudarsono, penganiayaan adalah perbuatan
menyakiti atau menyiksa terhadap manusia atau dengan sengaja
mengurangi atau merusak kesehatan orang lain.10
Kemudian merut hukum pidana Islam, penganiayaan atau istilah
lain pelukaan adalah setiap perbuatan yang menyakitkan yang mengenai
badan seseorang namun tidak mengakibatkan kematian. Perbuatan
8 R. Soesilo, Kuhp Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , (Bogor :
Politeia, 1995) Hlm. 245
9 Poerdarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka)Hlm. 34
10
Sudrsono, Kamus Hukum, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992) Hlm. 34
-
tersebut bisa melukai, memukul, mendorong, menarik, mencekik dan lain
sebagainya.11
b. Dasar Hukum Penganiayaan
Dasar hukum penganiayaan adalah terdapat dalam nash Al-Quran
surah Al-Maidah ayat 45 :
Artinya :‟‟dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (at-
taurat) bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi
dan luka-luka pun ada qisashnya. Brang siapa yang melepaskan
hak qisashnya maka melepaskan hak itu menjadi penebus dosa
baginya‟‟12
Kemudian dalam hadits Rasulallah bersabda
سنانرضي هللا عنه ان نبي صلى هللا عليه وسلم قال ابن بن مالكاعن ابى سعد
الضرر والضرار
Artinya : „‟dari Abi Said Ibn Malik Ibn Sinan ra, bahwasanya Nabi SAW
bersabda : janganlah membahayakan orang lain dan janganlah
membahayakan diri sendiri‟‟ (HR. Ibnu Majah dan ad-Darqutni)
c. Unsur-Unsur Penganiayaan
11
Jalaludin As-sayuthi, Al-jami‟ As-saghir¸ Juz II (Beirut : Dar Al-Fikr) Hlm.24
12
Al-quran, Al-maidah (5) ayat 45
-
Menurut dokterin, penganiayaan mempunyai unsur sebagai
berikut:
1. Adanya kesengajaan
2. Adanya perbuatan
3. Adanya akibat perbuatan
2. Tindak Pidana
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana ini dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah
„‟star baar feit‟‟ star adalah pidana atau hukuman, baar adalah dapat
atau boleh, feit adalah tindak pristiwa, pelanggaran dan pembuktian.13
Menurut Mr. Tresma tindak pidana adalah rangkaian perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-
undangan lainnya terhadap perbuatan maka dikenakan hukuman.
Kemudian menurut hukum Islam tindak pidana disebut dengan
jinayah atau jarimah. Jinayah secara bahasa adalah perbuatan dosa,
kesalahan dan kejahatan. Sedangkan secara istilah adalah nama bagi
perbuatan yang diharamkan oleh syara‟ yang menyangkut jiwa, harta,
kehormatan dan lainnya. 14 Istilah jarimah menurut Al-Mawardi
adalah larangan- laranagn syara‟ yang diancam hukuman had dan
takzir.
13
Adamin Chawazi, Hukum Pidana, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002) Hlm.67 14
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2004) Hal.ix
-
Dari beberapa devinisi di atas penulis menyimpulkan bahwa tindak
pidana (jinayah / jarimah) adalah semua perbuatan atas peristiwa yang
dilarang oleh syara‟, bertentangan dengan hukum pidana baik
berkenaan dengan jiwa, anggota badan, harta dan lainnya akan
mendapat hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
b. Dasar Hukum Pidana
Adapun dasar hukum tindak pidana adalah Al-quran Surat Al-
Qashash ayat 77 yang berbunyi
Artinya : „‟dan janganlah kalian berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
membuat kerusakan‟‟15
c. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Dalam hukum pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana sebagai
berikut :
1. Unsur objektif
2. Unsur subjektif
Kemudian dalam hukum pidana Islam unsur-unsur pidana adalah
sebagai berikut :
1. Al-rukn Al-syar‟I atau unsur formil yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dikatan sebagai pelaku jarimah apabila ada
15
Al-Quran, Al-Qashash (28) Ayat 77
-
undang-undang yang secara tegas melarang dan menjtuhkan
sanksi kepada pelaku tindak pidana.16
2. Al-rukn al-madi atau unsure materil ialah unsure yang menyatakan
bahwa seseorang dapat dinyatakan pidana jika ia benar-benar
terbukti melakukan sebuah jarimah / tindak pidana, baik yang
bersifat positif (aktif dalam melakukan sesuatu) maupun yang
bersifat negatif (pasif dalam melakukan sesuatu).17
3. Al-Rukn Al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan
bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila,
anak dibawak umur, atau sedang berada di bawah ancaman.
F. Tinjauan Pustaka
Di antara langkah penting peneliti dalam memulai aktifitas penelitiannya
adalah melakukan tinjauan pustaka atau penelusuran penelitian terlebih
dahulu yang memiliki kaitan langsung atau tidak dengan permasalahan
penelitian yang diangkat. Bahkan tinjauan pustaka juga sangat diperlukan
sebelum peneliti menemukan permasalahan harus dipahami bahwa tinjauan
pustaka harus dimasukan pada jenis penelitian lapangan (field research) dan
jenis penelitian pustaka (library research).18
16
Nurul Irpan, Fiqih Jinayah, (Jakarta : Pena Grafika, 2014). Hlm.2
17
Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa Al-uqubah fi Fiqh Al-Islami, ( Al-Qahirah :
Dar Al-Fikr Al-Arabi, 1998) hlm. 393
18
Sayuti Una (ed), Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah IAIN STS Jambi dan
Syariah press, 2012, hlm. 34.
-
Permasalahan tentang penganiayaan baik menurut KUHP maupun dalam
pandangan hukum pidana Islam ini telah banyak di bahas dalam beberapa
penelitian sebelumnya. Sejauh informasi yang penulis peroleh, terdapat
beberapa buku dan skripsi yang membahas mengenai permasalahan ini secara
umum Diantaranya :
Skripsi yang ditulis oleh Krisna Bramantj Aji yang berjudul „‟Penerapan
Pidana Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan (pasal 351 KUHP) di
Pengadilan Negeri Kebupaten Semarang”. Dalam penelitiannya ia
menyimpulkan jumlah tindak pidana penganiayaan yang terjadi diwilayah
hukum Kabupaten Semarang selama 5 tahun mangalami peningkatan
fluktuatif.
Skripsi yang ditulis oleh Angga Nindia Saputra mahasiswa Universitas
Islam Negeri Sunan Kali Jaga yang berjudul “ Tinjauan Hukum Islam
Terhadap Tindak Pidana Penganiayaan Yang Menyababkan Kematian
(Analisis Terhadap Pasal 351 Ayat 3 KUHP)”. Dalam penelitiannya ia
menjelaskan dalam perspektif hukum pidana Islam, tindak pidana
penganiayaan yang mengakibatkan kematian termasuk dalam jenis
pembunuhan semi sengaja. Kemudian sanksi yang diberikan kepada pelaku
adalah diyat dan itu selaras dengan pendapat jumhur Ulama.
Skripsi yang ditulis oleh Nurindah Eka Fitriani mahasiswa Universitas
Hasnudi Makasar yang berjudul “Tinjauan Yuridis Tindak Pidana
Penganiayaaan Yang Mengakibatkan Luka Berat (studi kasus Putusan Nomor
7/Pid.Sus/2015/PN.Tka). dalam penelitiannya ia menyimpulkan penerapan
-
ketentuan pidana materil oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dalam
perkara Nomor 7/Pid.Sus/2015/PN.Tka yaitu ketentuan pidana diatur dalam
pasal 80 ayat (2) undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak, sesuai dengan hasil dari penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan
realita yang ada.
Meskipun penelitian tentang penganiayaan ini telah banyak diteliti oleh
peneliti terdahulu, namun jika ditelaah terdapat perbedaan dengan penelitian
yang penulis lakukan, di mana penelitian yang penulis lakukan ini membahas
dengan serinci mungkin tentang masalah penganiyaan menurut Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan hukum pidana Islam, kemudian juga
memaparkan titik perbedaan dan kesamaannya.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sumber Data
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu maka seluruh
data yang dituangkan dalam hasil penelitian ini berasal dari bahan-bahan
tertulis yang secara garis besar terdiri dari 2 data yaitu data primer dan
data sekunder.
a. Data primer
Sumber data primer dalam penulisan ini adalah undang-undang
tentang penganiayaan dalam kitab undang-undang hukum pidana.
b. Data Sekunder
-
Adapun data sekunder dalam penelitian ini adalah data penunjang
dalam penulisan skripsi ini seperti Al-qur‟an dan hadits, literatur
Fiqh, serta literatur –literatur berupa buku-buku, majalah, internet
dan buku-buku bacaan lainnya yang berkaitan dengan masalah
penganiayaan baik dalam pandangan KUHP maupun dalam
pandangan mazhab Syafi‟i, Maliki dan Hanbali.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik serta komperatif. Metode
deskriptif adalah menjelaskan suatu gejala atau fakta untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fakta. 19 Sedangkan
metode analitik yaitu usaha untuk mendeskripsikan suatu gejala dan
peristiwa dengan apa adanya secara sistematis sehingga dapat lebih mudah
untuk dipahami dan disimpulkan. Kemudian metode komperatif adalah
dengan membandingkan hasil yang didapat dalam hal ini perbandingan
yang dimaksud adalah membanding kan masalah penganiayaan menurut
KUHP dan hukum pidana Islam yang menjadi objek dari penelitian ini.
Seterusnya Penelitian ini berusaha memaparkan konsep penganiayaan
menurut Kitab Undang-undang hukum pidana dan menurut pandangan
hukum pidana Islam.
3. Tehnik Pengumpulan Data
Dikarenakan penelitian ini termasuk penelitian pustaka atau library
research maka pengumpulan data penyusun lakukan dengan merujuk pada
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. Ke -3 (Jakarta: UI-Press, 1986)
hlm. 10
-
buku yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti baik berupa
data primer atau sumber utamanya, yaitu undang-undang tentang
penganiayaan dan data sekunder, di antaranya Al-qur‟an, Hadits, literatur
Fiqh yang berkaitan dengan masalah penelitian, atau sumber bantuan lain
yang dalam hal ini dapat mempermudah menjawab permasalahan yang ada
hubungannya dengan penganiayaan dalam upaya pembaharuan hukum
pidana.
4. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan penyusun dalam penelitian skripsi ini
menggunakan pendekatan komperatif, yang bertolak ukur pada
penggunaan hukum pidana dan hukum pidana Islam.
5. Analisa Data
Setelah data yang dibutuhkan diperoleh, maka penyusun akan
mengelompokan data untuk di analisis. Dalam hal ini analisis data yang
digunakan adalah analisis data kualitatif dengan cara berfikir deduktif,
yaitu melakukan analisis dengan data yang bersifat umum yakni undang-
undang pidana tentang penganiayaan untuk kemudian akan menghasilkan
kesimpulan yang bersifat umum ke khusus.
6. Sistematika Pembahasan
Dalam penulisannya, penelitian ini akan dibagi menjadi beberapa
bab pembahasan yang setiap babnya terdiri dari sub bab. Hal ini dilakukan
guna mempermudah penulisan dan penyusunan skripsi ini. Sistematikanya
yaitu:
-
Bab I: Pendahuluan
pendahuluan ini bertujuan untuk mengantarkan skripsi secara
keseluruhan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah,
batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, tinjauan
pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan untuk
mengarahkan pembaca pada substansi penulisan ini.
Bab II: Tinjaun Umum Tentang Hukum Pidana
Dalam bab ini akan berisi sub-sub bab yaitu Penganiayaan Menurut
Hukum Pidana Islam, Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan ,Persekusi Tindak
Pidana Penganiayaan, Pembagian Tindak Pidana
BabIII: Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana Islam
Dalam bab ini akan membahas Terminologi Penganiayaan
Menurut Hukum Islam, Azas Penganiayaan Menurut Hukum Pidana
Islam, Unsur-Unsur Penganiayaan Tindak Pidana islam
.Bab IV: Hasil Penelitian
Pada bab ini berisi tentang, penganiayaan menurut KUHP,
penganiayaan dalam pandangan hukum pidanaIslam dan titik perbedaan
dan kesamaan penganiayaan menurut perspektik hukum pidana Islam dan
KUHP.
BabV: Penutup
Pada bab ini berisi tentang kesimpulan dari penelitian, saran dan
kata-kata penutup.
-
BAB II
TINJAUAN UMUM
PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA
A. Penganiayaan Menurut Hukum Pidana
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut
“Penganiayaan” Dibentuknya pengaturan tentang kejahatan terhadap tubuh
manusia ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh dari
perbuatan-perbuata berupa penyerangan atas tubuh atau baian dari anggota
tubuh yang mengakibatan rasa sakit atau luka, bahkan dengan luka yang
sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.
Mengeai Penganiayaan dalam pasal 351 KUHP, R. Soesilo dalam
bukunya yang berjudul “kitab Undag-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-Komentarnya Lengkap pasal demi pasal” Mengatakan
bahwa Undang-Undang tidak memberi ketentuanapakah yang diartikan
dengan “Penganiayaan” itu.
Menurut Yurisprudensi, maka yang diartikan dengan “Penganiayaan”
yaitu sengaja menyeabkan perasaan tidak enak (Penderitaan/Bulyying), rasa
sakit atau luka, hal Tersebut dapat juga disebut dengan istilah “Bulliying” .
1. “ Perasaan tidak enak” misalnya mendorong orang terjun ke
sungai sehingga basah, menuruh orang berdiri diterik matahari,da
sebagainya.
-
2. “rasa sakit” misalnya menyubit, mendupak, meuku,
menempeleng, dan sebagainya
3. “luka” misalna mengiris, memotong, menusuk dengan pisau dan
lain –lain.
4. “merusak kesehatan” misalnya orang sedang tidur, dan
berkeringat, dibuka jendela kamarnya, sehingga orang itu asuk
angin hingga menjadi sakit.
Secara tradisional, definisi hukum pidana adalah hukum
pidana yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung
keharusan dan larangan terhadap pelanggar yang diancam dengan
hukuman berupa siksaan badan.20
Kemudian hukum pidana sebagai mana yang telah dikutip oleh Topo
Santoso disebutkan bahwa hukum ( law ) adalah aturan-aturan dari tingkah
laku masyarakat yang terorganisir, ditegakkan dengan ancaman hukuman.
Sedangkan kata pidana secara bahasa berarti kejahatan atau criminal.21
Prof MoelJatno mendifinisikan hukum pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku diseluruh Negara yang mengadakan dasar-
dasar atau aturan aturan untuk :
20
Pipin Syarifin, Hukum Pidana Di Indonesia, ( Bandung : Pustaka Setia, 2000) Hal.13
21
Topo Santoso, Mengggagas Hukum Pidana Islam, ( Bandung : Asy-syamil, 2001) Hlm.
21
-
1. Menentukan perbuatan-perbuatan yang mana tidaka boleh dilakukan,
yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi pidana bagi tertentu
bagi siapa yang melanggarnya.
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melakukan larangan- larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagai mana pengenaan pidana dapat
dilaksanakan apabila orang yang telah diduga melakukan perbuatan
tersebut.22
Kalau diperhaikan secara umum dari pandangan para ahli hukum,
maka hukum pidana itu mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap
kepentingan umum. Di mana perbuatan itu adalah melanggar hukum dan
merugikan tata aturan kehidupan masyarakat serta meresahkan kehidupan
anggota masyarakat, karenanya perlu diterapkan sanksi yang dapat
menjerakan pelaku kejahatan dan memenuhi rasa keadilan.
Begitu juga yang telah dirumuskan oleh hukum Indonesia secara
umum adalah untuk memberikan rasa keadilan bagi warga serta untuk
memperbaiki kepuasan masyarakat akibat terjadinya kejahatan dan untuk
mencegah kejahatan dengan memberikan ancaman hukuman serta
pelaksanaan hukuman terhadap penjahat, member pendidikan pada
masyarakat, dan melenyapkan pelaku kejahtan dari pergaulan masyarakat.23
22
Suharto RM, Hukum Pidana Materil, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2002 ) Hal.4
23
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, ( Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa ) Hal. 60
-
Dengan demikian untuk menentukan suatu perbuatan yang masuk
dalam kejahatan ang harus dihukum bagi orang yang melanggarnya harus ada
ketentuan yang menetapkan bahwa perbuatan itu memang dilarang atau
diwajibkan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan suatu hukuman yang
telah ditentukan, ini berarti dalam melaksanakan aturan hukum pidana harus
jelas dasar hukumya, dan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur.
B. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan
a. Penganiayaan yang berdasarkan pada Pasal 351 KUHP yang dirinci
atas :
1. Penganiayaan biasa
2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat
3. Penganiayaan yang mengakibatkan orangnya mati.
b. Penganiayaan ringan yang diatur oleh Pasal 352 KUHP
c. Penganiayaan berencana yang diatur oeh Pasal 353 KUHP, dengan
rincian sebagai berikut :
1. Mengakibatkan luka berat
2. Mengakibatkan orangnya mati.
d. Penganiayaan berat yang diatur oleh Pasal 354 KUHP dengan rincian
sebagai berikut :
1. Mengakibatkan luka berat
2. Mengakibatkan orangnya mati.
e. Penganiayaan berat dan berencana yang diatur oleh Pasal 355 KUHP
dengan rincian sebagai berikut :
-
1. Penganiayaan berat dan berencana
2. Penganiayaan berat dan berencana yang mengakibatkan orangnya
mati.24
f. Selain daripada itu, penganiayaan oleh pasal 358 KUHP, orang-orang
yang turut pada perkelahian/penyerbuan/penyerangan yang dilakukan
oleh beberapa orang. Hal ini sangat mirip dengan pasal 170 KUHP,
sebab perkelahian pada umumnya adalah penggunaan kekerasan di
muka umum.
Penganiayaan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Penganiayaan Berdasarkan Pasal 351 KUHP
Pasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut :
(1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya
dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus
rupiah.
(2) Jika perbuatan itu berakibnat luka berat, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, yang bersalah dihukum
penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan
sengaja.
(5) Percobaan akan melakukan kejahatan ini tidak boleh dihukum.25
24
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 50. 25
Moeljatno, KUHP., hlm. 150.
-
Yang termasuk Pasal 351 ayat (1) , bukan penganiayaan
ringan, bukan penganiayaan berat atau berencana dan pula tidak
mengakibatkan luka berat atau matinya orang.
Jika kita mencermati Pasal 351 KUHP, maka ada 3 (tiga)
jenis penganiayaan biasa, yaitu :
1. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan luka berat atau
matinya orang.
2. Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat.
3. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang.
Terhadap penerapan Pasal 351 ayat (3) yakni penganiayaan
yang mengakibatkan matinya orang, tampaknya tidak begitu sulit
atau rumit, tetapi pada prakteknya kadang-kadang sulit
membedakan dengan Pasal 351 ayat (2), misalnya :
A dianiaya oleh B yang mengakibatkan luka berat, tetapi
karena dalam waktu yang tidak begitu lama, ada yang membawa ke
rumah sakit sehingga dapat diselamatkan jiwanya, dengan,
N dianiaya oleh M, yang mengakibatkan luka berat, tetapi
karena tidak ada yang menolong, ia kehabisan darah, lalu
meninggal.
Mengenai pengertian “luka berat” Pasal 90 KUHP
merumuskan artinya. “Luka berat” pada rumusan asli disebut
“zwaar lichamelijk letsel” yang diterjemahkan dengan “luka badan
-
berat” yang selalu disingkat dengan luka berat. Sebagian pakar
menyebut “luka parah” dan tidak tepat memakai kata “berat” pada
luka karena pada umumnya kata berat dimaksudkan untuk
menyatakan ukuran.26
Pada Pasal 90 KUHP “luka berat” diartikan sebagai berikut:
Luka berat berarti :
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan
akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya
maut;
2) Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan
atau pekerjaan pencarian;
3) Kehilangan salah satu pancaindera;
4) Mendapat cacat berat (verminking);
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggu daya pikir selama empat minggu lebih;
7) Gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.27
b) Penganiayaan Ringan
Hal ini diatur Pasal 352 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
(1) Lain dari pada hal tersebut dalam Pasal 353 dan 356
penganiayaan yang tidak menyebabkan sakit atau halangan
untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, dihukum sebagai
penganiayaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya
26
Ibid., hm. 53. 27
Moeljatno, KUHP., hlm. 44-45.
-
tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.
Hukuman itu boleh ditambah sepertiga bagi orang yang
melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya
atau yang dibawah perintahnya.
(2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak boleh
dihukum.28
c) Penganiayaan yang Direncanakan Terlebih Dahulu
Hal ini diatur oleh Pasal 353 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut:
(1) Penganiayaan dengan sudah direncanakan lebih dahulu
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat
tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah
dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya sembilan
tahun.29
Unsur “dengan rencana terlebih dahulu” menurut M.v.T.
pembentukan Pasal 340 diutarakan sebagai berikut :
Diperlukan saat pemikiran dengan tenang dan berfikir
dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika si pelaku berfikir
28
Ibid., hlm. 150. 29
Ibid., hlm. 150-151.
-
sebentar saja sebelum atau pada waktu ia akan melakukan
kejahatan, sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya.30
M.H. Tirtaamidjaja mengutarakan arti “direncanakan lebih
dahulu” sebagai : “Bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun
pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan
tenang”.31
Sedangkan Mahkamah Agung berdasarkan putusan No. 717
K/Pid/1984 tanggal 20 September 1985 mengutarakan pendapat,
antara lain sebagai berikut :
Tidak diperlukan suatu jangka waktu yang lama, antara saat
perencanaan itu timbul dengan saat perbuatan dilakukan. Hal ini
dapat disimpulkan dari sifat dan cara perbuatan itu dilakukan serta
alat yang digunakan untuk melaksanakan perbuatan itu.32
d) Penganiayaan Berat
Hal ini diatur oleh Pasal 354 KUHP yang bunyinya sebagai berikut
:
(1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain dihukum
dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun.
30
Leden Marpaung, Tindak Pidana, hlm. 31. 31
Ibid., 32
Ibid., hlm. 56.
-
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah
dihukum dengan hukuman penjara selama- lamanya sepuluh
tahun.33
e) Penganiayaan Berat dan Berencana
Hal ini diatur oleh Pasal 355 KUHP yang berbunyi :
(1) Penganiayaan berat dengan direncanakan terlebih dahulu,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas
tahun.
(2) Jika perbuatan itu berakibat orangnya mati, yang bersalah
dihukum dengan hukumann penjara selama-lamanya lima belas
tahun.34
f) Turut Perkelahian/Penyerbuan
Hal ini diatur oleh Pasal 358 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut:
Barangsiapa dengan sengaja turut serta dalam penyerangan
atau perkelahian yang dilakukan oleh beberapa orang, maka selain
dari tanggungan masing-masing atas perbuatan khusus yang
dilakukannya, ia dihukum :
1e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan
bulan, jika penyerangan atau perkelahian itu hanya berakibat
luka berat;
33
Moeljatno, KUHP., hlm. 151. 34
Ibid.,
-
2e. Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun jika
penyerangan atau perkelahian itu berakibat matinya orang.35
Rumusan Pasal 358 KUHP tersebut memuat 2 (dua) akibat
yakni, luka berat dan mati. Jika tidak timbul salah satu akibat
tersebut maka perbuatan itu, tidak dapat dikatakan melanggar Pasal
358 KUHP.
Selain itu, perlu diamati rumusan “.... selain daripada
tanggungannya masing-masing bagi perbuatannya”, rumusan
tersebut menyatakan bahwa Pasal 358 KUHP tersebut, semata-
mata diperlakukan karena keikutsertaan saja, sedang jika ia
melakukan perbuatan maka hal tersebut tetap
dipertanggungjawabkan padanya. Misalnya : A, B, C dan D
melakukan penyerangan terhadap R dan P dimana D hanya ikut
saja, tanpa berbuat sesuatu. Dalam hal ini D dapat dipersalahkan
melanggar Pasal 358 KUHP.
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa
unsur-unsur Pasal 358 KUHP adalah :
1. Si peserta dengan sengaja ikut dalam penyerangan/perkelahian;
2. Penyerangan/perkelahian, dilakukan lebih dari 2 (dua) orang;
3. Mengakibatkan luka parah atau mati.36
35
Ibid., hlm. 152. 36
Leden Marpaung, Tindak Pidana., hlm. 62.
-
C. Persekusi Tindak Pidana Penganiayaan
Dalam perilaku sosial, tindak kejahatan merupakan prototype dari
perilaku menyimpang, yaitu tingkah laku yang melanggar atau menyimpang
dari aturan-aturan pengertian normative atau dari harapan-harapan lingkungan
sosial yang bersangkutan.37 Dan salah satu cara untuk mengendalikan adalah
dengan sanksi pidana.
Hakikat dari sanksi pidana adalah pembalasan, sedangkan tujuan
sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan pada pelanggar hukum itu
sendiri maupun pada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat.
Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan
dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.38
Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP menyatakan
bahwa hukuman yang dapat dikenakan kepada seseorang pelaku tindak pidana
terdiri dari :
1. Hukuman Pokok (hoofdstraffen)
a. Hukuman mati
b. Hukuman penjara
c. Hukuman kurungan
d. Hukuman denda
2. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
37
Saparinah Sadlli, Persepsi Sosial Mengenai Perilaku Menyimpang , cet. ke-1, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1977), hlm. 35. 38
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanan di Indonesia , cet. ke-1, (Jakarta : Pradya
Parmita, 1989), hlm. 16.
-
1) Pencabutan beberapa hak tertentu
2) Perampasan barang-barang tertentu
3) Pengumuman putusan Hakim.
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan itu
kelihatannya sederhana sekali. Tetapi kalau diperhatikan benar-benar, maka
kesederhanaannya menjadi berkurang karena sistem hukuman yang
kelihatannya sederhana dalam pelaksanaannya kurang memperhatikan sifat
obyektifitas hukumannya yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk menghukum pelaku tindak
pidananya saja. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan terjadinya
perbedaan pendapat antar para ahli hukum.
1. Hukuman Pokok
a. Hukuman Mati
tujuan diadakan dan dilaksanakan hukuman mati supaya
masyarakat memperhatikan bahwa pemerintah tidak menghendaki
adanya gangguan terhadap ketenteraman yang sangat ditakuti umum.
Dengan suatu putusan yang kemudian harus dilaksanakan hukuman
mati bagi pelaku tindak pidana pembunuhan dan kejahatan lain yang
diancam dengan hukuman sama, maka diharapkan hendaknya
masyarakat menjadi takut dan jangan sampai melakukan tindak pidana
pembunuhan atau kejahatan lainnya yang dapat dihukum mati.
Disamping itu suatu pendirian “dalam mempertahankan tertib hukum
dengan menghukum mati seseorang karena tingkah lakuya yang
-
dianggap membahayakan” ada ditangan pemerintah. Karena itu
hukuman mati menurut pemerintah adalah yang sesuai dengan rasa
keadilannya.
Di Indonesia, sistem hukumannya masih mempertahankan
hukuman mati, hal ini tentu mempunyai pertimbangan tersendiri. Dan
walaupun pada tahun 1981 pernah dipermasalahkan oleh para ahli
hukum tentang hukuman mati itu, tetapi sampai sekarang masih tetap
dilaksanakan. Hal ini tidak berarti bahwa di Indonesia ada gejala
“homo homini lupus”, melainkan kejahatan terhadap negara perlu
diberi pertanggungjawaban yang seimbang.
Pelaksanaan hukuman mati dicantumkan dalam Pasal 11
KUHP yang menyatakan bahwa “Pidana mati dijalankan oleh algojo
pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat
terpidana berdiri”.39
b. Hukuman Penjara
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan
para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai putusan Hakim.
Tempat terhukum yang ada sampai sekarang merupakan peninggalan
penjajah terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur terdiri dari
kamar-kamar yang satu sama lain tidak dapat berhubungan. Fungsi
39
Moeljatno, KUHP., hlm. 6.
-
kamar untuk ditempati terhukum seorang diri tanpa dapat
berkomunikasi dengan terhukum lainnya dan kelihatan seperti orang
yang dikucilkan dari pergaulan sosial. Dengan jalan demikian
diharapkan terhukum kelak kalau selesai menjalankan hukumannya
akan menjadi insyaf dan tidak mau lagi melakukan tindak pidana
kejahatan. Tetapi tindakan seperti itu tidak bertujuan mendidik secara
positif, sebab secara psikologis dapat menimbulkan kemungkinan-
kemungkinan psikis yang berakibat sakit mental, kejahatan besar atau
kejahatan kambuhan.
Dari beberapa kemungkinan yang dapat terjadi inilah, yang
berarti tidak ada perbaikan tingkah laku, maka pemerintah Indonesia
mengubah fungsi penjara menjadi “Lembaga Permasyarakatan”.
Artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan
serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga
disamping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari
dilakukan secara terstruktur seperti kewajiban mengikuti bimbingan
mental rohani dan ketrampilan.
c. Hukuman Kurungan
Hukuman kurungan hampir sama dengan hukuman penjara,
hanya perbedaannya terletak pada sifat hukuman yang ringan dan
ancaman hukumannya pun ringan. Dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa
lamanya kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan tidak lebih dari
satu tahun empat bulan.
-
d. Hukuman Denda
Pidana denda merupakan kewajiban membayar sejumlah uang,
sebagaimana telah ditentukan di dalam putusan Hakim yang
dibebankan kepada terpidana atas pelanggaran atau kejahatan yang
telah dilakukannya. Pidana denda ini diancamkan terhadap hampir
semua pelanggaran (overtredingen) yang tercantum dalam buku III
KUHP dan juga terhadap kejahatan-kejahatan dalam buku II KUHP
yang dilakukan dengan tidak sengaja.40
Ancaman pidana denda ini oleh pembuat undang-undang
hukum pidana tidak ditentukan batas maksimum secara umum, tetapi
ditentukan hanya batas minimumnya saja, sebagaimana tercantum
dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP sebesar dua puluh lima sen (dikalikan
15 menurut Undang-undang No. 18/Prp/1960) 41 . Dalam rancangan
KUHP yang baru minimum pidana denda ini ditentukan sebesar paling
sedikit lima ratus rupiah.42
Ketentuan yang mengatur hukuman denda ini dicantumkan
dalam Pasal 30-33 KUHP. Pembayaran denda tidak ditentukan harus
terhukum, maka akan dapat dilakukan oleh setiap orang yang sanggup
membayarnya. Dilihat dari pelaksanaan pembayaran yang demikian
akan mengaburkan sifat hukumannya.
40
Aruan Sakid jo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum, Hukum
Pidana Kodifikasi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 95. 41
Lihat Rudy T. Erwin dan J.T. Prasetyo, Himpunan Undang-undang., hlm. 342-246. 42
Aruan Sakidjo dan Bambang Purnomo, Hukum Pidana., hlm. 95.
-
e. Pidana Tutupan
Pidana tutupan ini dikenal dalam KUHP sesudah tahun 1946
berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 1946 (Berita Negara RI
Tahun II No. 24 tanggal 1 dan 15 November 1946), dan merupakan
tambahan pidana pokok pada Pasal 10 KUHP.
Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 1946 tersebut
menyatakan bahwa : “Dalam mengadili orang yang melakukan
kejahatan yang diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh
maksud yang patut dihormati, maka Hakim boleh menjatuhkan pidana
tutupan (fertungshaft).” Pidana tutupan ini tidak akan dijatuhkan
apabila Hakim berpendapat perbuatan yang merupakan kejahatan atau
cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah
sedemikian rupa, sehingga terhadap perbuatan lebih tepat bila dijatuhi
dengan pidana penjara (Pasal 2 ayat (2)). Pelaksanaan pidana tutupan
dan segala sesuatunya yang perlu untuk menjalankan Undang-undang
No. 20 Tahun 1946 itu diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun
1948 yang diundangkan pada tanggal 5 Mei 1948 yang dinamakan
dengan Peraturan Pemerintah tentang Pidana Tutupan.43
Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 1946 dan Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 1948 yang dimaksud rumah tutupan itu bukan
suatu penjara biasa, dan suatu tempat yang lebih baik daripada penjara
biasa sesuai dengan orang yang dijatuhi pidana tutupan bukan orang
43
Ibid., hlm. 98.
-
atau terdakwa biasa, karena perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
bukan kejahatan biasa melainkan pada umumnya para pelaku
kejahatan politik.44
2. Hukuman Tambahan
Menurut aturan umum kodifikasi hukum pidana tambahan ini
dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok, sesuai dengan kata
“tambahan” yang diletakkan di belakang kata pidana, maka pidana
tambahan itu hanya ditetapkan disamping pidana utama atau pidana
pokok. Apabila Hakim tidak dapat menetapkan suatu pidana pokok dengan
sendirinya tidak dapat pula menetapkan pidana tambahan. Penjatuhan
pidana tambahan ini pada dasarnya bersifat fakultatif, dapat dijatuhkan
dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-undang, tetapi tidaklah
merupakan suatu keharusan.
Tujuan diadakannya pidana tambahan adalah preventif khusus.
Sifat preventif khusus ini kadang-kadsang begitu besarnya, sehingga
sifatnya sebagai pidana lalu hilang sebagaimana ternyata dalam hal
penyertaan yang kadang-kadang dalam UU tidak merupakan tambahan
lagi, melainkan suatu tindakan tambahan.
Sifat hukuman tambahan ini hanya sebagai penambah hukuman
pokok kalau dalam putusan Hakim ditetapkan hukuman tambahannya.
Misalnya, seorang warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana
44Ibid., hlm. 99.
-
tertentu oleh Hakim diputus dengan menjalankan hukuman penjara dan
dicabut hak pilihnya dalam Pemilihan Umum yang akan datang.
a. Pencabutan Hak-hak Tertentu
Pidana tambahan pencabutan hak oleh Undang-undang Hukum
Pidana ditegaskan bahwa pencabutan tersebut hanya terhadap beberapa
hak tertentu saja. Jika diartikan dicabut semua hak itu berarti
kehilangan kesmepatan hidup. Pencabutan semua hak itu bertentangan
dengan ketentuan dalam Pasal 3 KUH Perdata yang menyatakan :
“Tiada hukuman yang dapat mengak ibatkan kematian perdata atau
kehilangan semua hak-hak sipil (beenerlei straf den burgerlijken dood
of het verlies van alle burgerlijke regten ten gevolve).45
Pencabutan hak-hak tertentu itu tidak dengan sendirinya karena
penjatuhan pidana pokok, melainkan harus dengan suatu putusan
Hakim dan tidak untuk selama-lamanya.
Hak yang dapat dicabut menurut Pasal 35 ayat (1) KUHP
Sedangkan untuk lamanya pencabutan adalah sesuai dengan
pasal 38 ayat (1) dan (2) KUHP.
b. Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana tambahan terhadap perampasan barang-barang tertentu
termasuk barang milik terpidana. Perampasan milik terpidana
merupakan pengurangan harta kekayaan terpidana, karena meskipun
45Ibid., hlm. 100-101.
-
perampasan tersebut hanya terhadap barang-barang terentu milik
terpidana, namun dengan dirampasnya barang-barang tertentu itu
berarti harta kekayaan terpidana menjadi berkurang.
Diantara pidana-pidana tambahan, jenis pidana tambahan
perampasan barang inilah yang paling banyak atau paling sering
dijatuhkan oleh Pengadilan, karena sifatnya sebagai tindakan prevensi,
atau imperative, atau fakultatif.
c. Pengumuman Keputusan Hakim
Sesuai dengan sifat kejahatan atau keadaan yang menjadi
obyek kejahatan terpidana dapat dikenal tambahan pengumuman
putusan Hakim. Pidana tambahan tentang pengumuman keputusan
Hakim ini Di Indonesia jarang sekali dijalankan karena ketentuan
bahwa keputusan Hakim Pnegadilan dinyatakan dengan pintu terbuka
untuk umum, dan diucapkan oleh Ketua di muka anggota-anggota
yang turut memeriksa dan memutuskan perkara itu serta Penuntut
Umum pada Pengadilan Negeri dan Penasihat.
Maksud diadakannya “Pengumuman Keputusan Hakim” dalam
bab tentang pidana tambahan ini adalah publikasi ekstra, misalnya di
dalam surat kabar, dibuat plakat yang ditempelkan pada dinding
gedung pemerintahan, gedung bioskop, dan gedung lain yang biasanya
dikunjungi oleh umum, pengumuman melalui siaran radio, televisi dan
-
lain sebagainya. Biaya untuk publikasi ekstra ini dibebankan kepada
terpidana yang ditentukan pembayarannya.46
D. Pembagian Tindak Pidana
Kalau dilihat dari segi sistim kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP) tindak pidana terdiri dari dua bentuk tindaka pidana, yaitu kejahatan
dan pelanggaran. Terhadap pembagian dua jenis tindak pidana ini tidak secara
jelas ditegaskan oleh KUHP melainkan masalah pembagian dua jenis
tersebut masing-masing terdapat dalam buku II dan buku III KUHP, yang
mana tentang kejahatan disimpan dalam buku II kemudian untuk
pelanggarang disimpan dalam buku III KUHP.47
Selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, perbuatan pidana
biasanya dalam teori dan praktek terdapat perbedaan antara lain :
1. Delik Dolus dan Delik Culpa
Bagi delik dolus diperlukan adanya kesengajaan seperti yang terdapat
pada pasal 338 KUHP, yang mana sengaja merampas nyawa orang lain.
Sedangkan dalam Delik culpa, orang sudah dapat dipidana apabila
kesalahannya itu berbentuk kealpaan, seperti yang terdapat dalam pasal
359 KUHP yang mana yang menyababkan kematian orang lain
dikarenakan kealpaan.
2. Delik Commisionis dan Delikta Ommisionis
46Ibid., hlm. 106-107. 47
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tidak Pidana, ( Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada, 2002 ) Hlm.3
-
Delik yang pertama adalah delik yang terdiri dari melakukan suatu
perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, seperti mencuri,
menggelapkan dan menipu. Kedua, delik yang terdiri dari tidak berbuat
atau melakukan sesuatu padahal semestinya berbuat. Seperti yang
terdapat pada pasal 164, yaitu mengetahui sesuatu pemufakatan jahat dan
tidak berbuat apa-apa.
Selain itu ada pula yang dinamakan delikta peromissionem commisa,
yaitu delik-delik yang umumnya terdri dari berbuat sesuatu, tetapi dapat
pula dilakukan dengan tidak berbuat, seperti seorang ibu yang merampas
nyawa anaknya dengan tidak memberikan makanan pada anak tersebut.
3. Delik Biasa dan Delik Dikualifisir ( Dikhususkan )
Delik yang dikualifisir adalah delik biasa ditambah dengan unsur
unsur lain yang memberatkan ancaman pidana. Adakalanya unsur-unsur
lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa tadi,
misalkan yang terdapat dalam pasal 362 adalah pencurian biasa, dan
pasal 363 adalah pencurisn yang dikualifisir.
4. Delik seketika dan delik yang berlangsung terus menerus.
Delik seketika dinamakan juga dengan akipionde delict, dan del ;ik
yang berlangsung terus menerus dinamakan juga voortadurren;le delict,
dalam delik yang berlangsung terus menerus, perbuatan yang dilarang itu
menimbulkan keadaan yang berlangsung terus, seperti contoh yang
terdapat dalam pasal 250 KUHP, yaitu barang siapa yang membuat atau
mempunyai persediaan atu benda yang diketahui bahwa itu meniru,
-
memalsu atau merugikan nilai mata uang serta untuk meniru serta
memalsukan uang Negara atau bank.
5. Dilik Formal dan Delik Materil
Pada delik formal, yang dirumuskan adalah tindakan yang dilarang,
dan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu, seperti yang terdapat
dalam pasal 160 tentang penghasutan, pasal 209 penyuapan, 212 sumpah
palsu dan 362 pencurian.
Sedangkan pada delik materil adalah selain dari pada tindakan
yang dilarang itu dilakukan. Masih harus ada akibat dari tindakan itu,
baru dikatakan telah terjadi tindakan pidana tersebut secara utuh dan
sepenuhnya. Sebagai contoh pada pasal 187, 338 dan 378 yaitu
pembakaran dan sebagainya.
6. Gabungan Perbuatan Pidana
Ada tiga macm gabungan tindak pidana, yaitu :
a. Fendoasehe samenloop ( gabungan berupa satu perbuatan ), yaitu
seseorang dengan satu perbuatan melakukan beberapa tindak pidana
dinamakan juga dengan corcunsus idealis sebagaimana yang diatur
dalam pasal 63 ayat 1 KUHP, bahwa satu perbuatan masuk dalam
satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu di antara
aturan-aturan itu, jika berbeda-beda yang dikenakan memuat ancaman
pokok yang paling berat.
b. Voortgezette Handeling
-
Yaitu seseorang melakukan perbuatan yang masing-masing
merupakan tindak pidana, tetapi dengan adanya hubungan dengan
antara satu dengan yang lain dianggap sebagai perbuatan yang
dilanjutkan, sebagai mana yang diatur dalam pasal 64 ayat 1 KUHP.
-
BAB III
TINJAUAN UMUM
PENGANIAYAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
A. Terminologi Penganiayaan Dalam Hukum Islam
Dalam Kehidupan Manusia sering kali kita temui adanya kekerasan
terhadap sesama. Ada kekerasan yang dapat menyebabkan kematian dan ada
juga yang tidak menyebabkan kematian, Kekerasan yang Menyebabkan
kematian disebut dengan Pembunuhan, dan kekerasan yang tidak
menyebabkan kematian disebut penganiayaan.
Penganiayaan Menurut Hukum pidana Islam sering disebut dengan
istilah jinayah. jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan
seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Adapun jinayah secara
Istilah sebagai mana yang di Kemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu :
Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara‟ , baik
perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. 48
Beberapa pandagan intelektual lain mengartikan Hukum pidana Islam
yaitu Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah sebagai berikut : Yang
dimaksud dengan jinayah dalam istilah syara‟ dilarang. Dan perbuatan yang
dilarang utuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa,
akal, kehormatan atau harta benda.
Menurut A. jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah
mengacu kepada hasil perbuatan seseorang Biasaya pengertian tersebut
terbatas pada perbuatan yang dilarang. Abd al Qodir Awadah bahwa jinayah
adalah perbuatan yang dilarang oleh syara‟ baik perbuatan itu mengenai jiwa,
harta, benda, atau lainnya.
48
Abdul Qadir Audah, At Tasyri‟ Al jina „I Al Islami, (Beirut : Dar Al-Kitab Al- Araby,)
Hlm. 67
-
Secara umum, pengertian jinayah sama dengan hukum Pidana pada
hukum Positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang berkaitan dengan
jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya
Kemudian unsure-unsur atau rukun jinayah adalah sebagai berikut :
a. Unsur formil yaitu, adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan
megancamnya dengan hukuman.
b. Unsur materil yaitu, adanya tingkah laku yang membentuk tindak pidana
(Jarimah), baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak
berbuat (negatif).
c. Unsur moral atau pertanggung jawaban yaitu, bahwa pelaku adalah orang
yang mukallaf, akni orang yang dapat dimintai ertanggungjawaban atas
tinda pidana yang dilakukannya.
d. Unsu formil (al-Rukun al-Syar‟i)
B. Azas-Azas Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam
1. Azas Legalitas
Asas legalitas adalah suatu asas yang menyatakan bahwa tidak ada
pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum ada nash (ketentuan) yang
melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman. 49 Jadi,
Asas legalitas mengandung arti bahwa seseorang tidak akan dituntut
secara pidana akibat perbuatannya apabila belum ada aturan yang
menyatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana atau
dapat dikenai hukuman. Dengan kata lain, seseorang akan dituntut secara
49
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta, Sinar
Grafika, 2004), hlm.29.
-
pidana apabila ia melanggar aturan yang telah ada, baik melakukan suatu
perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan.
2. Asas Tidak Berlaku Surut
Asas tidak berlaku surut merupakan kelanjutan dari asas legalitas
dalam hukum pidana Islam. Dalam asas ini, mengandung arti bahwa
setiap aturan pidana yang dibuat terkemudian tidak dapat menjerat
perbuatan pidana yang dilakukan sebelum aturan itu dibuat.50
3. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas praduga tak bersalah adalah asas yang mendasari seseorang
yang dituduh melakukan suatu kejahatan harus dianggap tidak bersalah
sebelum hakim dengan bukti-bukti yang meyakinkan menyatakan dengan
tegas kesalahannya. Asas ini lahir dari adanya asas legalitas. Asas ini
diambil dari ayat Al-Qur‟an yang menjadi sumber asas legalitas dan asas
larangan memindahkan kesalahan kepada orang lain yang menyatakan
bahwa setiap orang terikat kepada apa yang dia kerjakan, dan setiap orang
tidak akan memikul dosa atau kesalahan yang diperbuat oleh oranglain.
C. Unsur-Unsur Penganiayaan Menurut Hukum Pidana Islam
Menurut Ahmad Hanafi bahwa unsur-unsur Penganiayaan tindak
pidana (jarimah) adalah bahwa tiap-tiap jarimah harus mempunyai unsur-
unsur umum yang harus dipenuhi, yaitu :
50
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, ( Bandung, Pustaka Bani
Quraisy, 2004 ), hlm.50.
-
a. Nash yang melarang perbuatan dan mengancam hukuman
terhadapnya, dan unsure ini disebut unsure “formil” (rukun syar‟i).
b. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah baik berupa
perbuatan-perbuatan ataupun sikap tidak berbuat, unsur ini disebut
dengan unsur “materil” (rukun maddi)
c. Pembuat adalah orang mukallaf yaitu orang yang dapat dimintai
pertanggung jawabkan terhadap jarimah (tindak pidana) yang
diperbuatnya, dan unsur ini disebut dengan unsur “moril” (rukun
adabi)
Ketiga unsur tersebut merupakan bukti seseorang dianggap
melakukan dan dikenal hukuman dan apabila tidak memenuhi
unsur-unsur umum diatas, maka orang yang melakukan tindak
pidana itu tidak dapat diadili dan dihukum
-
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Ketentuan Tindak Pidana Penganiayaan dalam Perspektif Hukum
Pidana
1. Penganiayaan dalam KUHP
Pasal 353 (1) Penganiayaan dengan direncanakan terlebuh dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Bila
perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (KUHP 90). (3) Bila
perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam
dengan pidana penjara palg lama Sembilan tahun. (KUHP 35, 37-1 sub 2‟,
338 DST, 340,352, 355 DST., 487‟, Sv. 71; IR. 62; RBg. 498; Uitlev. 2-
5‟,)
Mr. M.H Tirtamidjaja membuat pengartian penganiayaan sebagai
perbuatan atau tindakan yang dengan sengaja menyebabkan sakit atau
luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan
sakit atau luka pada orang lain tidak dianggap sebagai penganiayaan kalau
perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselematan badan. 51
Berbicara tentang pasal 351 KUHP kita harus tahu apa yang
dimaksud dengan perbuatan penganiayaan yang menurut istilah KUHP
adalah “Mishandelling” tetapi dalam BAB IX buku 1 KUHP” tidak ada
arti penganiayaan harus kita lihat pada :
51
M. Tirtamidjaja, Pokok-pokok hukum pidana, (Jakarta , frescho 1955), Hlm.74
-
a. Pada Sumbernya
b. Dalam praktek peradilan, dan
c. Dalam Ilmu Pengetahuan
Menurut Yuresprudensi maupun ilmu pengetahuan memberi
pengertian Penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang
lain.
Dalam pasal 351, Yang merupakan inti dari bab xx ini, tidak ada
uraian unsure-unsur selain hanya disebut penganiayaan saja,
karenanya jika kita menguraikan unsure-unsurnya maka sebaliknya
istilah penganiayaan itu diuraikan sehingga berbunyi “barang siapa
yang dengan sengaja da tanpa hak menyakiti atau melukai badan
orang lain karena penganiayaan, diancam dengan pidana penjara
maksimum dua tahun delapan bulan atau denda tiga ratus ribu rupiah
2. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan
Menurut Hukum pidana Indonesia, tindak pidana yang diatur
KUHP terdiri dari penganiayaan biasa (pasal 351) penganiayaan ringan
(pasal 352) Penganiayaan yang direncanakan lebih dahulu (pasal 353)
penganiayaan sengaja melukai berat (pasal 354) penganiayaan berat yang
dilakukan dengan rencana lebih dahulu (pasal 355) penganiayaan erhadap
orang-orang tertentu dengan menggunakan benda-benda dengan
membahayakan orang (pasal 356) Dalam pemidanaan karena salah satu
kejahatan yang diterangkan dalam pasal 353 dan 355. Dapat dijatuhkan
-
pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 No 1-4 penyerangan atau
perkelahian pasal (358).
Hukuman bagi pelaku penganiayaan menurut hukum positif telah
tertera pada pasal-pasal dalam KUHP sebagai berikut:52
a. Penganiayaan biasa diatur di dalam pasal 351 KUHP diancam dengan
pidana penjara paling lama 2(dua) tahun 8(delapan) bulan atau denda
paling banyak 300 (tiga ratus rupiah), apabila penganiayaan biasa
berakibat luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling
lama lima tahun, jika mengakibatkan mati dikenakan pidana penjara
paling lama tujuh tahun, dengan penganiayaan disamakan sengaja
merusak kesehatan, percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak
dipidana. Luka berat atau mati disini, harus merupakan akibat yang
tidak dimaksud oleh si pembuat. Apabila luka berat itu dimaksud
maka dikenakan pasal 355 dan kematian yang dimaksud maka
perbuatan itu termasuk pembunuhan (pasal 338)
b. Penganiayaan ringan diatur dalam pasal 352 KUHP, tindak pidana ini
termasuk kejahatan ringan. Penganiayaan yang tidak mengakibatkan
rasa sakit atau terhalangnya orang didalam melakukan jabatannya atau
mata pencahariannya. Ancaman hukumannya yaitu hukuma penjara
paling lama 3 (tiga) bulan atau denda 300 (tiga ratus) rupiah.
52
M. Sudrajat bassar, SH, Tindak Pidana tertentu Dalam KUHP, (Bandung, CV, Remaja karya, 1986), Cet ke-2 h.134
-
Hukuman ini dapat ditambah dengan sepertiga bagi yang bersalah
melakukan perbuatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau
yang berada dibawah kekuasaannya.
c. Penganiayaan direncakan terlebih dahulu
Diatur dalam pasal 353 KUHP diancam dengan hukuman penjara
paling lama 4 tahun . Apabila perbuatan itu membawa luka berat pada
tubuh, dihukum dengan hukuman penjara 7 tahun. Apabila
penganiayaan itu mengakibatkan matinya orang, dihukum dengan
hukuman penjara paling lama 9 tahun.
d. Penganiayaan yang disengaja untuk melukai berat
Diatur dalam pasal 354 KUHP diancam dengan hukuman penjara
paling lama 8 tahun. Dalam penganiayaan ini, niat sipembuat harus
ditunjukan pada “melukai berat” artinya luka berat itu harus dimaksud
oleh si pembuat. Jika mengakibatkan mati korbannya, maka
dikenakan pidana penjara paling lama 10(sepuluh) tahun.
e. Penganiayaan yang direncanakan untuk melukai berat
Diatur dalam pasal 355 KUHP, diancam dengan hukuman penjara
paling lama 12 tahun, apabila perbuatan ini menyebabkan kematian
orangnya, hukumannya dinaikkan menjadi 15 tahun.
f. Penganiayaan terhadap orang-orang tertentu dan dengan
menggunakan benda-benda yang membahayakan kesehatan orang.
Diatur dalam pasal 356 KUHP, ancaman hukumannya diatur dalam
pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya :
-
1. Apabila kejahatan yang dilakukan terhadap ibunya, bapaknya
yang sah, istrinya, suaminya atau anaknya.
2. Apabila kejahatan seorang pejabat ketika atau karena menjalankan
tugasnya yang sah.
3. Apabila kejahatan yang dilakukan dengan memberikan bahan
yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau
diminum.
g. Dalam pemidanaan karena salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 353 dan 355 dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut
dalam pasal 35 ayat 1-4.
h. Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian,
di mana terlibat beberapa orang, selain tanggug jawab masing-masing
terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya diancam :
1. Dengan pidana paling lama 2 tahun 8 bulan, jika akibat
penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat.
2. Dengan pidana penjara empat tahun, jika akibatnya ada yang mati
B. Ketentuan Tindak Pidana Penganiayaan Dalam Hukum Islam
1. Terminologi Penganiayaan dalam Hukum Islam
Penganiayaan dalam hukum Islam disebut dengan istilah tindak
pidana atas selain jiwa atau jinayat selain pembunuhan. Yang artinya setiap
tindakan haram yang dilakukan terhadap anggota tubuh, baik dengan cara
-
memotong, melukai maupun menghilangkan fungsinya. 53 Yang dimaksud
dengan tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan, seperti
dikemukakan oleh Abdul Qadir Awdah adalah setiap perbuatan menyakiti
orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai menimbulkan
kematian atau menghilangkan nyawa, Pengertian ini sejalan dengan definisi
yang dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain
jiwa adalah setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa
pemotongan anggota badan, pelukaa, maupun pemukulan, sedangkan jiwa
atau nyawa dan hidupnya masih tetap tidak terganggu. 54
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana, jika ada
unsure formil yaitu harus ada nash yang melarang perbuatan dan mengancam
dengan hukuman, unsure materil yaitu melakukan perbuatan yang
membentuk tindak pidana, baik perbuatan maupun sikap tidak berbuat. Dan
unsure moral yaitu pelaku harus seorang mukallaf artinya dia bertanggug
jawab atas tindak pidana yang diperbuat, sebuah kejahatan jika tidak
memenuhi unsure-unsur tersebut maka tidak bisa dikatakan jarimah (tindak
pidana). Adapun unsure-unsur dalam Jarimah penganiayaan yaitu :
1. Adanya pelaku tindak pidana penganiayaan ;
2. Adanya kesegajaan Adanya perbuatan;
3. Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau
luka pada tubuh;
53
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, shahih Fiqh Sunnah, terjemah : Abu Ihsan, (Jakarta
Pustaka At- Tazkia 2006). 319
54
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. 179
-
4. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya;
5. Adanya perencanaan penganiayan sehingga mengakibatkan luka berat.
2. Pembagian Tindak Pidana Penganiayaan
ada dua klasikisa dalam menentukan pembagian tindak pidana atas
selain jiwa, yaitu : ditinjau dari segi niatnya, dan ditinjau dari segi objek
(sasarannya).
1. Ditinjau dari segi niatnya 55
Ditinjau dari segi niat pelaku, tindak pidana atas selain jiwa dapat dibagi
kepada dua bagian :
a. Tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja
b. Tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja
Pengertian tindak pidana sengaja adalah setiap perbuatan dimana
pelaku sengaja melakukan perbuatan dengan maksud melawan hukum.
Sedangkan tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja adalah pelaku
dengan snegaja melakukan perbuatan yang dilarang dengan maksud
supaya perbuatannya itu mengenai dan menyakiti oran lain.
Tindak pidana karena kesalahan atau tidak sengaja adalah suatu
perbuatan dimana pelaku sengaja melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak
ada maksud untuk menyakiti atau melukai orang lain dengan melawan
hukum. Jadi tindak pidana atas selain jiwa dengan tidak sengaja atau
kesalahan adalah pelaku memang dengan sengaja melakukan perbuatan,
tetapi pemuatan tersebut sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengenai
55
Ibid. 180
-
atau menyakiti orang lain. Namun kenyataannya ada korban akibat
perbuatan tersebut. Sebagai contoh seseorang melempar batu dengan
maksud membuannya, namun karena kurang hati-hati batu tersebut
mengenai orang yang sedanglewat dan melukainya.
Menurut Syafi‟iyah dan Hanabilah selain dua diatas masih ada
tindak pidana atas selain jiwa yang ketiga, yaitu tindak pidana atas selain
jiwa menyerupai sengaja. Contoh dari tindak pidana atas selain jiwa
menyerupai sengaja adalah jika ada seseorang memukul seseorang
dengan ringan namun akibatnya sampai orang tersebut menderita luka
berat.
2. Ditinjau dari segi objeknya sasarannya
Tinjauan pidana atas selain jiwa bisa berupa pemotongan dan
pemisahan, melukai yang mengakibatkan tubuh robek, atau
menghilangkan fungsi tanpa merobek dan memisahkan. Berikut
pembagian tindak pidana atas selain jiwa. 56
a. Jinayat dengan memotong dan memisahkan anggota badan.
Adapun yang dimaksud dengan jenis yang pertama adalah tindakan
terhadap perusakan anggota badan dan anggota lain yang disetarakan
dengan anggota badan, baik berupa pelukaan atau pemotongan. Dalam
kelompok ini yaitu termasuk, tangan, kaki, jari, kuku, hidung, telinga,
bibir, pencongkelan mata, merontokan gigi, bibir , kemaluan wanita,
dan lidah.
56
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah. 324
-
b. Menghilangkan manfaat anggota badan sedangkan jenisnya masih
tetap utuh
Maksud dari jenis yang kedua ini adalah tindakan yang merusak
manfaat dari anggota badan, sedangkan jenis anggota badannya masih
utuh. Dengan demikian, apabila, apabila anggota hilang atau rusak,
sehingga manfaatnya juga ikut hilang maka itu termasuk kelompok
pertama diatas yang termasuk dalam kelompok ini adalah hilangnya
pendengaran, penglihatan, penciuman, perasa lidah, kemampuan
berbicara, bersetubuh dan lain-lain. 57
c. Ash- shaijaj
Yang dimaksud ash-shaijaj adalah pelukaan khusus pada bagian
muka dan kepala. Sedangkan pelukan atas badan selain muka dan
kepala termasuk kelompok keempat yang akan dibahas berikutnya.
Imam Abu Hanifah berbendapat bahwa shajjaj adalah pelukaan
pada bagian wajah dan kepala, tetapi khusus dibagian tulang saja,
seperti dahi. Sedangkan pipi yang banyak dagingnya tidak termasuk
shajjaj, tetapi ulama lain berpendapat bahwa shajjaj adalah pelukaan
peda bagian muka dan kepala secara mutlak. 58 Adapun organ-organ
tubuh yang termasuk kelompok anggota badan, meskipun pada bagian
muka, seperti mata, telinga dan lain- lain tidak termasuk shajjaj. Yang
termasuk Shajjaj adalah Muwaddihah, Kharisah. Daimiyah. Badhi‟ah.
57
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam .181 58
Ibid, 182
-
Mutalahimah, Simhaq, muwaddihah, hashimah, munaqqilah dan
aamah.
d. Al-Jirah
Al-jirah adalah pelukaan pada anggota badan selain wajah, kepala
dan athraf. Anggota badan yang termasuk dalam golonggan jirah ini
meliputi leher, dada, perut, sampai batas pinggul. Al jirah ada dua,
Yaitu :
1) Ja‟ifah, Yaitu pelukaan yang sampai kebagian dalam dari perut dan
dada, baik pelukaan dari depan, belakang, atau samping.
2) Ghai ja‟ifah, yaitu pelukaan yang tidak sampai bagian dalam dari
dada dan perut, tetapi hanya bagian luarnya saja.59
3. Hukuman Tindak Pidana Penganiayaan
Hukuman bagi tindak pidana penganiayaan dalam hukum pidana
Islam dibagi menjadi 2, yaitu hukuman pokok dan hukuman pengganti.
Hukuman pokok bagi tindak pidana penganiayaan adalah hukuman qhisas
terhalang atau gugur karena beberapa sebab adalah hukuman diat dan takzir.
1. Hukuman qishas
Secara literal, kisas merupakan kata turunan dari Qasa – yaqusu-
qassan wa qassan yang artinya mengguntingkan, mendekati,
menceritakan, mengikuti (jajaknya), dan membalas. Sedangkan secara
istilah, Ibnu Manzur di dalam Lisan al-Arab menyebutkan suatu
hukuman yang ditetapkan dengan cara mengikuti bentuk tindak pidana
59
Ibid, 183
-
yang dilakukan 60. Penerapan qishas dalam kasus tindak pidana selain
jiwa atau penganiayaan harus memenuhi beberapa syarat, antara lain :
a) Pelaku baligh
b) Pelaku Berakal termasuk juga pemabuk dengan ada niatan
c) Pelaku bukan keturunan korban
d) Korban status sosialnya tidak dibawah pelaku, seperti budak dan
kafir. 61
e) Aman dari bahaya yang berkelanjutan. Yaitu, dengan cara memotong
dipergelangan dan persendian, jika tidak demikian maka Qishas
tidak dapat dilakukan.
f) Adanya persamaan anggota tubuh korban dengan pelaku, sama
dalam hal nama dan keberadaan.
g) Anggota tubuh korban dan pelaku harus sama dari segi kesehatan
dan kesempurnaan.62
2. Hukuman Diyat
Ad- adiyah adalah bentuk jamak dari ad-diyah. Secara bahasa, diat
adalah bila wali pembunuh memberikan harta sebaga tebusan nyawa atau
selainnya. Sedangkan jika dalam kasus tindak pidana penganiayaan
adalah sebagai hukuman pengganti dan hukuman Qishas. Sedangkan
60
Paisol Burlian, Implementasi Konsep Hukum Qishas di Indonesia (Jakarta : Sinar Grafika,
2015). 28
61
Faishal Amin Dkk, Menyingkap Sejuta Permaalahan Dalam Fath AL- Qarib. (Kediri : Lirboyo
Pers, 2015). 591
62
Saleh Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Terjemah : Ahmad Ikhwani. (Jakarta. Gema Insani press, 2005). 789-790.
-
menurut istilah syariat, diat adlah harta yang wajib dibayarkan kepada
korban atau walinya karena disebabkan oleh jinayah (tindak pidana)
terhadap jiwa atau selain jiwa. 63 Kadar hukuman diat yang biasa menjadi
patokan adalah dengan unta untuk tindak pidana penganiayaan hukuman
paling berat adalah 100 ekor unta. Jika tidak dapat unta maka beralih
pada harga unta, atau membayar 100 dinar atau 12.500 dirham. 64
Hukuman diyat adalah hukuman pengganti dari hukuman qishas Jika
tidak mungkin dilaksanakan.
Hikmah adanya hukuman qishas dan diyat ini adalah adalah untuk
keberlangsungan hidup manusia di dunia, karena itu Islam meghukum
orang yang membunuh orang lain. Hukuman tersebut pada dasarnya
sebagai tindakan preventif sehingga manusia tidak gampang saling
membunuh yang akanmengakibatkan kekacauan dalam masyarakat.
Sementara diyat dengan harta bertujuan untuk kepentingan kedua belah
pihak.
Hukuman diyat merupakan hukuman pengganti untuk hukuman
qishas apabila hukuman qishas terhalang karena suatu sebab, atau gugur
karena sebab-sebab. Diyat sebagai hukuman pengganti berlaku dalam
tindak pidana atas selain jiwa dengan sengaja. Di samping itu, diyat juga
merupakan hukuman pokok apabila jinayahnya menyerupai sengaja atau
kesalahan. Diyat, baik sebagai hukum pokok maupun sebagai hukum
pengganti, digunakan pengertian untuk diyat yang penuh ( kamilah ),
63
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah, terjemah : Abu Ihsan. 342
64
Faishal amin dkk, menyingkap sejuta permasalahan dalam Fath Al-Qarib. Hal. 597
-
yaitu seratus ekor onta. Adapun untuk hukuman yang kurang dari diyat
yang penuh maka digunakan istilah irsh. Irsh terdiri dari dua macam
yaitu irsh yang sudah ditentukan ( muqaddar ) dan irsh yang belum
ditentukan ( ghairu muqaddar ). Irshun muqaddar adlah ganti rugi yang
sudah ditentukan batas dan jumlahnya oleh syara‟, contoh seperti diyat
untuk satu tangan atau satu kaki. Sedangkan irshun ghairu muqaddar
adalah ganti rugi yang belum ditentukan oleh syara‟ dan untuk
penentuannya diserahkan kepada hakim.
Pada penganiayaan ini banyak hal yang perlu diperhatikan dalam
menjatuhkan hukuman diyat antara lain dari jenis perbuatannya sendiri
ada yang berat dan yang ringan.
1. Diyat bagi luka berat
Luka sampai kelihatan tulang, dendan