Pengampunan dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari ......keluarga.4 Hal ini terlihat pada...

27
BAB IV PENGAMPUNAN DALAM MENYIKAPI PERSELINGKUHAN SUAMI DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS Pada bagian ini, temuan-temuan pada penelitian akan diinterpretasi dan dianalisis berdasarkan beberapa pendekatan yang terkait yang telah dipaparkan pada Bab 2, khususnya dari perspektif konseling feminis. Data yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa fenomena pengampunan yang difasilitasi oleh kedua istri ini dapat diobservasi mulai dari faktor penyebab dan dampak perselingkuhan, alasan-alasan kedua istri dalam memberi pengampunan, serta tahapan atau proses yang dilakukan dalam memberikan pengampunan. 3.3.1. Faktor Penyebab dan Dampak Perselingkuhan Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dalam penelitian, dapat diketahui bahwa baik ibu Anna maupun ibu Helena menyadari dan memahami bahwa mereka mengalami persoalan komunikasi bersama suami yang disebabkan oleh kesibukan pekerjaan mereka masing-masing. Kesibukan dalam bekerja dan bahkan harus terpisah dalam menjalani pekerjaan menyebabkan kurangnya intensitas pertemuan di antara kedua pasangan suami-istri ini. Selain itu, sifat yang introvert atau tidak terbuka kepada istri juga menjadi tantangan bagi kepuasan seksual di antara mereka. Persoalan komunikasi, kurangnya intensitas pertemuan, dan sifat introvert

Transcript of Pengampunan dalam Menyikapi Perselingkuhan Suami dari ......keluarga.4 Hal ini terlihat pada...

  • BAB IV

    PENGAMPUNAN DALAM MENYIKAPI

    PERSELINGKUHAN SUAMI

    DARI PERSPEKTIF KONSELING FEMINIS

    Pada bagian ini, temuan-temuan pada penelitian akan diinterpretasi dan

    dianalisis berdasarkan beberapa pendekatan yang terkait yang telah dipaparkan pada

    Bab 2, khususnya dari perspektif konseling feminis. Data yang diperoleh dari

    penelitian menunjukkan bahwa fenomena pengampunan yang difasilitasi oleh kedua

    istri ini dapat diobservasi mulai dari faktor penyebab dan dampak perselingkuhan,

    alasan-alasan kedua istri dalam memberi pengampunan, serta tahapan atau proses

    yang dilakukan dalam memberikan pengampunan.

    3.3.1. Faktor Penyebab dan Dampak Perselingkuhan

    Berdasarkan hasil wawancara dan observasi dalam penelitian, dapat diketahui

    bahwa baik ibu Anna maupun ibu Helena menyadari dan memahami bahwa mereka

    mengalami persoalan komunikasi bersama suami yang disebabkan oleh kesibukan

    pekerjaan mereka masing-masing. Kesibukan dalam bekerja dan bahkan harus

    terpisah dalam menjalani pekerjaan menyebabkan kurangnya intensitas pertemuan di

    antara kedua pasangan suami-istri ini. Selain itu, sifat yang introvert atau tidak

    terbuka kepada istri juga menjadi tantangan bagi kepuasan seksual di antara mereka.

    Persoalan komunikasi, kurangnya intensitas pertemuan, dan sifat introvert

  • menciptakan kerentanan dalam hubungan pernikahan mereka yang berujung pada

    perselingkuhan. Perselingkuhan menjadi cara bagi suami dalam kasus ini untuk

    memuaskan hasrat seksualnya.

    Secara teoritis, penyebab terjadinya perselingkuhan di dalam kasus penelitian

    ini dapat dipahami dari pandangan psikologis Leone yang menegaskan bahwa

    perselingkuhan merupakan sebuah kegagalan dan trauma relasional yang dapat

    disebabkan oleh beberapa faktor intrapsikis dan interpersonal.1 Dikatakan intrapsikis

    karena faktor penyebabnya berasal dari diri pelaku perselingkuhan sendiri. Sementara

    itu, dikatakan faktor interpersonal karena faktor penyebabnya berasal dari antar-

    pribadi yang sedang bermasalah. Faktor intrapsikis ini terjadi pada suami ibu Anna

    dan ibu Helena. Suami ibu Anna dan ibu Helena sama-sama memiliki sifat yang

    introvert, tidak terbuka untuk menyampaikan perasaannya. Sifat yang demikian

    membuat hubungan di antara pasangan suami-istri menjadi rumit untuk

    dikomunikasikan dan diperbaiki. Di sisi lain, secara psikologis, Lewandowski Jr. dan

    Ackerman menyoroti penyebab perselingkuhan sebagai faktor inter-personal ketika

    pasangan suami-istri tidak mampu memenuhi kebutuhan; keintiman, kebersamaan,

    seks, keamanan, dan keterlibatan emosional.2 Pemenuhan kebutuhan ini juga tidak

    akan dapat dicapai jika pasangan suami-istri tidak dapat mengkomunikasi dengan

    baik tentang kebutuhan mereka.

    Berkaitan dengan persoalan perselingkuhan suami, hal ini tentu membawa

    dampak yang sangat serius terhadap kedua istri yang terluka ini. Mereka mengalami

    1 Carla, “Helping Couples Heal From Infidelity……” , 282.

    2 Lewandowski Jr, dan Ackerman, “Something’s Missing …….” , 389.

  • guncangan batin; kekecewaan, kemarahan, keputus-asaan, hilang kepercayaan

    terhadap suami, kecurigaan, dan rasa malu yang mendalam. Semua perasaan ini

    membuat mereka tidak dapat hidup sejahtera, sehingga berdampak pada seluruh

    aspek kehidupan keluarga; kerenggangan relasi, pendidikan dan kebutuhan anak-anak

    menjadi terabaikan, pekerjaan berantakan, pelayanan ditinggalkan, dan penarikan diri

    dari masyarakat.

    Berdasarkan perspektif terapetik, Fife dkk. menyoroti apa yang terjadi pada

    ibu Anna dan ibu Helena sebagai bentuk reaksi emosional terhadap pengkhianatan

    pasangannya. Pengkhianatan atau perselingkuhan dalam hubungan berkomitmen

    memang memiliki konsekuensi yang serius terhadap individu. Pasangan yang terluka

    akan mengalami depresi, kemarahan, perasaan ditinggalkan, perasaan ditolak,

    penurunan akan harga diri, kehilangan rasa percaya pada pasangan.3 Selain itu Agnew

    dkk. dan Glass dalam fife dkk. menambahkan bahwa gangguan stress paska

    perselingkuhan ini akan berdampak pada kestabilan di seluruh aspek kehidupan

    keluarga.4 Hal ini terlihat pada ketidakmampuan ibu Anna dan ibu Helena dalam

    menjalankan aktifitasnya sehari-hari sehingga mengganggu kestabilan hidup dalam

    keluarga mereka.

    Dari kaca mata patriarki, feminis menyoroti bahwa perselingkuhan dapat

    terjadi sebagai akibat dari kesalahan perempuan dalam hal ini istri yang tidak bisa

    memenuhi kebutuhan seksual suami. Di sini perempuan dijadikan sebagai objek yang

    harus bertanggungjawab atas seksualitas kaum laki-laki. Hal ini dibenarkan oleh

    3 Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 344.

    4 Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 344.

  • Firestone dalam Humm yang menyatakan bahwa bentuk-bentuk seksualitas bukanlah

    sesuatu yang inheren dalam diri perempuan melainkan merefleksikan institusi politik

    dan budaya yang mempengaruhi kondisi kehidupan dan kesadaran individu.5 Dengan

    demikian dapat dipahami bahwa kaum laki-laki dalam dunia patriarki memiliki

    kontrol terhadap seksualitas perempuan. Mereka dengan seenaknya dapat mengklaim

    tentang seksualitasnya sendiri, sementara perempuan hanya dapat bungkam dan justru

    menerima bahwa mereka turut andil dalam peristiwa perselingkuhan tersebut.

    Sementara dari perspektif konseling feminist, Degges-White memandang dari

    sisi yang berbeda yaitu bahwa dengan memiliki kesadaran dan pemahaman tentang

    faktor penyebab perselingkuhan suami dan dampaknya terhadap individu, relasi dan

    bahkan terhadap seluruh aspek kehidupan telah membuktikan bahwa kedua istri ini

    memiliki kemampuan dalam mengkonsepsikan masalah.6 Kesadaran dan pemahaman

    ini merupakan modal yang baik untuk melakukan pemberdayaan terhadap kedua istri

    sehingga mampu mengevaluasi persoalan-persoalan kehidupan dan memberdayakan

    mereka dalam membuat keputusan.

    3.3.2. Alasan-Alasan Istri dalam Memberikan Pengampunan

    Kesadaran dan pemahaman akan faktor penyebab dan dampak perselingkuhan

    dalam kehidupan memberdayakan kedua istri ini dalam memfasilitasi pengampunan

    kepada suaminya. Namun, sebelum membahas mengenai alasan pengampunan kedua

    istri ini, penulis ingin memaparkan sekilas tentang perekonomian dari kedua keluarga

    5 Humm, Ensiklopedia Feminisme ……..., hlm. 432.

    6 Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ……..” 97.

  • untuk memberi gambaran dan melihat apakah persoalan ekonomi menjadi salah satu

    pertimbangan dalam mempertahankan pernikahan sehingga mempengaruhi keputusan

    pengampunan dari kedua istri. Kedua keluarga yang penulis teliti saat ini sangat

    mapan dalam hal ekonomi, namun mereka sama-sama memulainya dari titik nol. Ibu

    Anna dan suaminya adalah PNS sementara ibu Helena dan suaminya pedagang,

    namun saat ini suaminya duduk sebagai seorang perwakilan rakyat di DPRD. Dari

    hasil wawancara, penulis memperoleh data bahwa ibu Anna tidak

    mempertimbangkan persoalan ekonomi dalam usahanya mempertahankan

    pernikahannya, karena dia menganggap bahwa dia mampu membiayai anak-anaknya

    dengan honornya sebagai PNS. Hal ini sudah terbukti jauh sebelum dia diterima

    sebagai PNS, dia mampu membiayai kehidupannya bersama suami dan anak-anaknya

    dengan melakukan beberapa pekerjaan tidak tetap. Sementara ibu Helena dengan

    tegas mengatakan bahwa masalah ekonomi merupakan salah satu pertimbangannya

    dalam mempertahankan pernikahan. Dia telah bekerja keras sampai tahap sekarang

    ini dan dia tidak ingin apa yang didapatnya mengalami kehancuran. Dia khawatir,

    anak-anaknya tidak mendapatkan pendidikan dan kehidupan yang layak jika

    perceraian terjadi.

    Melihat persoalan di atas, dapat dipahami bahwa ibu Anna tidak bersifat

    ketergantungan pada peranan suami jika berbicara tentang persoalan ekonomi.

    Sementara ibu Helena memperlihatkan sebuah ketergantungan akan peranan suami

    dalam menjaga kestabilan perekonomian keluarga. Secara teoritis, Beauvoir

    menegaskan bahwa permasalahan perempuan adalah kebutuhannya untuk melengkapi

  • dirinya terhadap laki-laki.7 Namun, hasil penelitian justru membuktikan bahwa tidak

    semua istri tergantung pada peranan suami dalam hal pertumbuhan atau kestabilan

    perekonomian keluarga. Lebih lanjut, penulis memahami bahwa ketergantungan ibu

    Helena bukan merupakan sebuah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan untuk

    mempertahankan apa yang telah dimilikinya. Dia tidak ingin semua yang telah

    dirintisnya mengalami kehancuran. Pemahaman ini didukung oleh psikolog Jean

    Miller yang menyatakan bahwa apa yang kadang-kadang dilihat sebagai kelemahan

    bisa menjadi kekuatannya.8 Hal ini yang terjadi pada ibu Helena, dia memiliki kontrol

    untuk hal perekonomian keluarga. Meskipun persoalan ekonomi menjadi pemicu

    dalam mempertahankan pernikahan, namun bukan berarti bahwa persoalan ekonomi

    menjadi alasan dalam memfasilitasi pengampunan kepada suami yang berselingkuh.

    Berkaitan dengan perihal pengampunan, penulis menemukan bahwa kedua

    istri ini memutuskan untuk mengampuni dan menerima kembali suaminya untuk

    beberapa alasan. Ibu Anna selalu berpegang teguh pada beberapa alasan berikut: (1)

    Alasan religius dari ajaran agama Kristen mengenai pernikahan. (2) Cinta-kasih yang

    tulus kepada suami. (3) Ketenangan batin. (4) Keinginan untuk memperbaiki relasi

    dalam keluarga-keutuhan keluarga Sementara itu, alasan ibu Helena mengampuni

    suaminya adalah: (1) Trauma masa lalu (2) Ajaran Kristen tentang pengampunan. (3)

    Ketenangan batin. (4) Keinginan untuk memperbaiki relasi demi mempertahankan

    keutuhan keluarga.

    7 Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 100.

    8 Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 100.

  • Alasan pengampunan dari kedua istri ini sebenarnya tidak jauh berbeda.

    Beberapa alasan yang mereka miliki tentunya berdasarkan pemahaman mereka

    sendiri tentang pengampunan. Penulis memahami bahwa urutan pengampuan di atas

    secara tidak langsung telah memperlihatkan mengenai siapa diri mereka, bagaimana

    pengalaman hidup dan latar belakang keluarga mereka. Ibu Anna menempatkan

    alasan religius pada tempat pertama. Hal ini disebabkan oleh kepribadiannya yang

    religius. Selain itu, dia juga merupakan salah satu penatua di gerejanya. Di sisi lain,

    ibu Helena menempatkan alasan keagamaan mengenai ajaran pengampunan pada

    urutan yang ke dua. Ibu Helena mengubah keyakinannya setelah menikah dengan

    suaminya. Namun, dia tidak sekedar mempelajari ajaran Kristen, melainkan juga

    berusaha menerapkannya. Terkhusus dalam hal mengampuni, dia percaya bahwa

    perihal mengampuni tidak hanya dilakukan satu kali saja, namun berlulang kali. Hal

    ini memperlihatkan bahwa dia dengan sadar bersedia belajar untuk memahami ajaran

    agama yang saat ini dia anut tanpa tekanan oleh pihak manapun. Ini juga

    membuktikan bahwa ibu Helena memiliki pilihan untuk hidupnya dan setia pada

    pilihan tersebut.

    Dari segi pemahaman kedua istri ini dapat dipahami bahwa tindakan

    pengampunan yang mereka lakukan tidak terlepas dari alasan religius spiritual yang

    mereka pegang dalam agama mereka. Mereka menggangap bahwa persoalan

    pengampunan sudah menjadi nilai rohani yang hakiki yang harus diterapkan dalam

    kehidupan mereka sehari-hari. Mereka juga meyakini bahwa Tuhan tidak pernah

    menginginkan perceraian dalam kehidupan pernikahan.

  • Secara teoritis, alasan religius ini dapat dipahami berdasarkan penelitian yang

    dilakukan Covert dan Johnson bahwa orang-orang bersedia mengampuni orang yang

    telah mengkhianati atau melukainya karena alasan keagamaan dan spiritual yang

    menjadi kode moral yang mendasari tindakan pengampunan. Selain itu,

    pengampunan juga menjadi refleksi atas hubungan vertikal manusia dengan Tuhan

    sebagai penciptanya.9 Perihal mengampuni merupakan ajaran pokok dalam Iman

    Kristen. Ajakan untuk mengampuni dapat dijumpai berkali-kali di dalam Kitab umat

    Kristiani. Hal ini juga membuktikan bahwa perihal pengampunan telah menjadi

    karakteristik dari sifat Tuhan sebagai pencipta manusia dan segala isinya. Oleh sebab

    itu, ajaran ini menjadi gambaran nyata dalam menjalankan hukum pertama dan yang

    terutama dalam agama Kristen, yaitu Cinta Kasih. Selain itu, Nedumaruthumchalil

    dari perspektif terapetik, menegaskan bahwa bagi banyak klien yang berhubungan

    dengan penderitaan dalam relasi atau transgresi, pengampunan adalah unsur penting

    bagi kesehatan, fungsi spiritual, begitu juga kesehatan hidup mereka.10

    Dengan

    demikian dapat dipahami bahwa pengampunan bukan merupakan ajaran keagamaan

    semata, melainkan unsur yang penting dalam praktek terapetik untuk kesehatan

    jasmani maupun spiritual manusia.

    Dari sudut pandang feminis, alasan pengampunan yang diberikan ibu Anna

    yang berdasarkan ajaran tentang pernikahan di dalam Alkitab dipandang sebagai

    sebuah nilai keagamaan yang lahir dari sebuah budaya patriarki. Hal ini dibenarkan

    oleh Stanton dalam Humm bahwa bahasa dan interpretasi ayat-ayat yang berkaitan

    9 Covert dan Johnson, “A Narrative Exploration of Motivation …..” , 62.

    10 Nedumaruthumchalil, “The Role of Religion and Sprituality…..” , 23.

  • dengan perempuan dalam Injil merupakan sumber utama status inferioritas

    perempuan. Hal ini juga dibuktikan olehnya bahwa perempuan pada abad sembilan

    belas sering merujuk pada injil untuk kenyamanan dan inspirasi mereka.11

    Demikian

    halnya yang terjadi dengan pernikahan ibu Anna, dimana dia sebagai istri diharapkan

    dapat menjalankan nilai-nilai religius yang menjadi kekuatan untuk mempertahankan

    pernikahan dari ancaman perceraian. Begitu juga halnya dengan keyakinan ibu

    Helena tentang ajaran pengampunan. Keyakinan terhadap ajaran ini merupakan

    dogma yang dipandang sebagai satu-satunya cara untuk menyelamatkan keutuhan

    keluarganya.

    Dari sisi yang berbeda, jika ditinjau berdasarkan teori konseling feminis,

    Degges-White dkk. memandang persoalan pengampunan merupakan sebuah kekuatan

    dari pribadi yang memberikannya. Perihal megampuni merupakan tindakan kesadaran

    moral yang memberdayakan pemberi pengampunan untuk menjaga perilaku hidup

    sehat, baik itu secara jasmani, maupun secara spiritual rohani. Dalam kasus ini, kedua

    istri yang memfasilitasi pengampunan kepada suaminya telah memperlihatkan bahwa

    mereka memiliki kesadaran penuh atas apa yang mereka yakini. Dengan kekuatan

    pengampunan yang mereka miliki, mereka dimampukan dalam bertindak dengan

    lebih bijaksana dan penuh pertimbangan.

    Ibu Helena menempatkan alasan trauma masa lalu pada tempat pertama. Dia

    mengalami kepahitan pada masa kecil akibat dari perceraian orangtuanya. Dia tidak

    ingin hal yang sama terulang pada anak-anaknya. Penulis memahami bahwa

    pengalaman masa lalu telah mengajarkan ibu Helena untuk terus berjuang demi

    11

    Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 394.

  • keluarga dan kehidupannya. Pemahaman ini didukung oleh Degges-White dkk.

    berdasarkan perspektif konseling feminist. Mereka menyoroti pemahaman ini sebagai

    sebuah kesadaran dan self-acceptance yang memampukan seseorang dalam membuat

    keputusan untuk memperkokoh kehidupannya. Dalam hal ini, ibu Helena benar-benar

    memahami dan menerima bahwa dirinya sangat terluka dengan kepahitan masa lalu

    yang dialaminya, sehingga hal ini memampukannya untuk membuat keputusan untuk

    masa depannya. Masa depan anak-anak merupakan masa depannya sendiri.

    Pilihannya adalah berjanji untuk mempertahankan pernikahan. Keputusan ini

    dibuatnya untuk menyelamatkan anak-anaknya dari tekanan psikologis. Tindakan ini

    membuktikan bahwa ibu Helena memiliki pilihan dan tanggungjawab untuk masa

    depan anak-anak dan dirinya sendiri. Secara psikologis, hal ini dibenarkan oleh

    Birnbaum dkk. yang mengatakan bahwa salah satu alasan orang bersedia

    mengampuni untuk kebahagian yang lebih besar.12

    Kesediaan untuk mengampuni

    memampukan orang lebih bertanggungjawab pada kebahagiaan masa depannya

    sendiri. Surabhi dari perspektif konseling feminis juga menyoroti hal yang sama. Dia

    melihat pemahaman ini sebagai sebuah kesadaran akan adanya dampak buruk yang

    harus diantisipasi untuk menciptakan keamanan internal dan eksternal.13

    Tindakan

    antisipasi ini merupakan pilihan yang hanya dapat diambil pada tingkat kesadaran

    yang baik.

    Dari sudut pandang yang berbeda, dari perspektif feminis Humm menyoroti

    alasan utama dibalik alasan trauma yang dialami ibu Helena adalah untuk kebaikan

    12

    Birnbaum dkk. menulis pada Harvard Women’s Health Watch, “Five Reason ….” , 3. 13

    Surabhi, “Feminism in the therapeutic space ……” HTML, 31-33.

  • psikologis anak. Alasan ini justru membuktikan bahwa sumber kekuatan perempuan

    terletak pada tugas pemeliharaan anak.14

    Artinya, kekuatan yang dimiliki oleh ibu

    Helena telah dibangun oleh konsep sosial dan budayanya. Konsep ini semakin

    mengukuhkan pemahaman di mana perempuan di dalam keluarga selalu terikat pada

    peran domestik termasuk untuk tanggungjawab terhadap pemeliharaan dan masa

    depan anak-anak.

    Sementara itu, Mahatma Gandhi, dari perspektif sosiologi menyoroti peran

    pengasuhan anak merupakan seni mengasuh tunas bangsa, dan hal ini merupakan

    tugas utama perempuan dan satu-satunya hak istimewa. Baginya, tanpa pengasuhan

    seorang perempuan, suatu bangsa akan mati.15

    Hal ini sejalan dengan apa yang

    ditegaskan oleh Irigaray dalam Daggers bahwa potensi menjadi istri atau ibu harus

    dilihat sebagai hak dalam identitas perempuan, bukan prioritas yang menjadi

    kewajiban.16

    Pernyataan Gandhi, dari sisi feminis dapat dipahami sebagai

    pengukuhan stereotipe yang diberikan oleh budaya patriarki kepada perempuan.

    Namun, di sisi lain, penulis memahami bahwa Gandhi mencoba untuk melihat

    persoalan dari sisi realistis yang ada, di mana seorang ibu telah berperan banyak

    dalam pengasuhan generasi penerus bangsa. Seperti yang dinyatakan oleh Irigaray

    bahwa dengan melihat potensi menjadi ibu sebagai hak dapat membebaskan kaum

    istri untuk mendapatkan haknya dan menjalankannya dengan sebaik mungkin. Hak

    itu jugalah yang membuat perempuan bebas memilih dalam menjalani kehidupannya

    14

    Humm, Ensiklopedia Feminisme ………, 315.

    15

    Gandhi, mahatma, Kaum Perempuan dan Ketidakadilan Sosial (Woman and Social Injustice)

    (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 48. 16

    Daggers, “Luce Irigaray and The Divine Women…….” , 38.

  • sebagai seorang pribadi, sebagai istri atau ibu dalam rumah tangga, dan bahkan

    sebagai anggota dalam masyarakat.

    Beralih pada kasus ibu Anna, alasan ke dua yang dimilikinya adalah cinta

    kasih. Alasan ini memiliki makna yang sangat fundamental dalam menjalin hubungan

    yang berkomitmen. Secara teoritis, menurut pemahaman konseling feminis, Gilbert

    menilai bahwa perasaan yang tulus yang dimiliki ibu Anna terhadap suaminya

    merupakan kesadaran yang dapat diberdayakan untuk dapat memperlakukan

    pasangan dalam hubungan yang egaliter.17

    Dengan membangun hubungan yang

    egaliter memperlihatkan bahwa ibu Anna memiliki kesadaran bahwa dia dan

    suaminya memiliki hak dan peranan yang sama dalam menjalani hubungan

    pernikahan. Kesadaran ini membuat ibu Anna mampu memahami dan mengasihi

    suaminya dengan tulus serta menerima kelebihan bahkan kekurangan sebagai seorang

    pribadi. Berada pada hubungan yang egaliter dapat menolong pasangan dalam bekerja

    sama dalam banyak hal termasuk berurusan dalam persoalan hubungan dalam

    pernikahan.

    Jika dilihat dari sudut pandang feminis, konsep cinta bukan merupakan

    sebuah proses dari dalam diri melainkan sebuah konstruksi sosial.18

    Sejalan dengan

    Firestone dalam Humm yang menyatakan bahwa perempuan diajarkan untuk

    mengembangkan kebutuhan emosional untuk laki-laki dan emosi ini dikorupsi oleh

    konteks kekuasaan dari sistem kelas jenis kelamin.19

    Dari perspektif ini dapat

    dipahami bahwa emosi dan hasrat perempuan dalam dunia patriarki dikontrol oleh

    17

    Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship In Feminis …..” , 427. 18

    Humm, Ensiklopedia Feminisme ……, 258. 19

    Humm, Ensiklopedia Feminisme ……, 258.

  • kaum laki-laki, sehingga ketulusan dari perempuan tidak pernah dianggap atau dinilai

    sebagai sebuah kekuatan cinta.

    Di sisi lain, feminis Irigaray dari gelombang ke tiga menyatakan bahwa cinta

    itu agung, luhur, hasrat yang ideal, yang bergerak dari sifat-sifat badaniah menuju

    impian keharmonisan, dan hal-hal yang berlainan dapat diselesaikan menjadi

    kesatuan.20

    Berangkat dari pendapat Irigaray, penulis memahami bahwa cinta dalam

    kasus ibu Anna merupakan luapan emosi dari dalam diri manusia dan dapat menjadi

    kekuatan yang bisa menggerakkannya untuk berjuang mempertahankan yang

    dicintainya.

    Pada urutan ke tiga dan ke empat, baik ibu Anna maupun ibu Helena memiliki

    alasan yang sama dalam mengampuni. Mereka meyakini bahwa dengan mengampuni

    pasangan, mereka telah membebaskan diri dari rasa sakit atau tekanan yang

    mendalam. Hal ini merupakan sebuah pilihan nyata yang membuat ke dua perempuan

    ini bangkit dan melanjutkan hidup. Bebas dari tekanan batin juga telah memampukan

    kedua istri ini memulai relasi bersama suami, keluarga dan bahkan masyarakat

    umum. Ini juga menunjukkan bahwa mereka memiliki kepribadian yang mau

    berjuang untuk keluarga. Keutuhan keluarga bagi ibu Anna dan ibu Helena

    merupakan sebuah kestabilan bagi kehidupan keluarga secara keseluruhan.

    Dari sisi psikologis, Birnbaum dkk. menyoroti alasan ke tiga dan ke empat

    dari kedua istri ini merupakan sebuah pertimbangan dan peningkatan kapasitas yang

    membantu meringankan penderitaan sehingga memampukan mereka membangun

    20

    Humm, Ensiklopedia Feminisme ……, 102.

  • relasi yang lebih kuat.21

    Di sisi lain, Marecek dkk. dari perspektif konseling feminist

    menyoroti bahwa alasan ketenangan batin ini mengindikasikan bahwa kedua istri ini

    memiliki kesadaran akan semua dampak negatif yang dapat menghalangi

    pertumbuhannya dalam dunia pribadi maupun profesional.22

    Pertimbangan dan

    kesadaran merupakan kekuatan yang akhirnya membebaskan kedua istri ini keluar

    dari trauma paska perselingkuhan suami dan memperoleh ketenangan batin,

    kematangan dalam berpikir serta mampu bertindak dengan lebih optimis. Selain itu,

    dengan ketenangan batin, kedua istri mampu membangun kembali relasi bersama

    suami. Ketika relasi dapat diperbaiki, maka rekonsiliasi dalam hubungan dapat

    dicapai. Ketika rekonsiliasi hubungan terjadi, maka keutuhan keluarga juga bisa

    dipertahankan.

    Selanjutnya, para psikolog R.D Laing dan Thomas Szasz dan sejarahwan dan

    sosiolog Michael Foucault dalam Humm menggambarkan bahwa masyarakat

    menggunakan kesehatan mental sebagai sebuah bentuk kontrol sosial.23

    Hal ini dapat

    dipahami sebagai sebuah cara dari tatanan sosial untuk mengendalikan perempuan

    yang terluka dalam hal ini adalah kedua istri yang dikhianati oleh suaminya. Untuk

    alasan berjalannya segala aspek kehidupan dengan normal, kedua istri seakan

    dihadapkan pada pilihan pengampunan agar mereka dapat melepaskan segala

    kepahitan dan mendapatkan ketenangan batin atau kesehatan mental.

    Secara psikologis, Fife dkk. menyoroti alasan ke tiga dari kedua istri ini

    merupakan alasan penting dalam memfasilitasi pengampunan. Fife et all. menegaskan

    21

    Birnbaum dkk. Menulis pada Harvard Women’s Health Watch, “Five Reason ……” , 3. 22

    Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship ……..” , 427 23

    Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 282.

  • bahwa pengampunan merupakan fenomena individu dan psikologis. Pengampunan

    dapat mengurangi kebutuhan individu yang terluka pada penghukuman dan balas

    dendam, namun sebaliknya dapat membantu membebaskan mereka dari beban

    kemarahan dan kebencian terhadap pelaku pengkhianatan.24

    Demikian yang terjadi

    dalam kasus ini, pengampunan difasilitasi untuk mendatangkan ketenangan batin bagi

    istri yang telah menjadi korban dari perselingkuhan suaminya. Kedua istri dalam

    kasus penelitian ini merasakan tekanan batin yang menghancurkan harga diri dan

    kepercayaannya, namun mereka menyadari bahwa berlarut-larut dalam kepahitan

    tidak akan mendatangkan ketenangan bagi batinnya. Oleh sebab itu, mereka memilih

    untuk memberi pengampunan kepada suami agar terlepas dari segala tekanan yang

    membelenggu.

    Sementara itu alasan relasi dapat dikaji dari sudut pandang psikologis Covert

    dan Johnson. Memperbaiki relasi dipahami sebagai usaha untuk mempertahankan

    keutuhan keluarga. Covert dan Johnson melihat motivasi relasi ini dapat terbentuk

    berdasarkan 3 hal penting yang berhubungan dengan relasi tersebut, yaitu; hasrat

    untuk rekonsiliasi, kedekatan hubungan sebelum pelanggaran dan rasa cinta.25

    Hal ini

    dapat ditemui di dalam tahapan-tahapan pengampunan yang dilakukan oleh ke dua

    istri yang terluka ini. Dengan mengingat kembali kebaikan-kebaikan suami dan

    perjuangan-perjuangan yang sudah dilakukan bersama suami telah menghidupkan

    kembali harapan kedua istri ini untuk memperbaiki relasi diantara mereka. Harapan

    24

    Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 346-347. 25

    Covert dan Johnson, “A Narrative Exploration of Motivation ……” , 62.

  • merupakan energi bagi mereka untuk memaknai relasi dan menjalani kehidupan

    mereka.

    Dari sudut pandang feminis, sebuah relasi dalam dunia patriarki dapat

    dipahami sebagai sebuah ketergantungan. Humm mendefenisikan ketergantungan

    sebagai sebuah kondisi subordinasi. Lebih lanjut, De Beauvoir dalam Humm menulis

    pada bukunya The Second Sex bahwa permasalahan perempuan adalah kebutuhannya

    untuk melengkapi dirinya sebagai individu untuk laki-laki, sementara laki-laki secara

    sosial indipenden.26

    Berangkat dari pernyataan Beauvoir, persoalan relasi yang

    diperjuangkan oleh kedua istri ini dapat dipahami sebagai sebuah ketergantungan

    keluarga terhadap sosok suami atau ayah untuk menjaga kestabilan seluruh aspek

    kehidupan keluarga tersebut.

    Secara keseluruhan, feminis menyoroti semua yang dilakukan oleh kedua

    istri, kalau dilihat dari kaca mata patriarkal, hal itu merupakan pengorbanan diri

    perempuan. Kedua istri ini telah terhisap di dalam sistem tatanan dunia patriarkal

    yang berbicara tentang perempuan dan stereotipe yang diberikan kepada perempuan

    dalam hal ini istri sekaligus ibu. Hal ini terlihat dari peranan yang dijalankannya

    sehari-hari. Kedua istri dalam kasus ini memiliki pekerjaan di luar rumah yang

    memainkan peran dalam bidang produksi dan berpengaruh pada pertumbuhan

    ekonomi keluarga, namun di sisi lain, kedua istri ini juga masih bertanggungjawab

    untuk area domestik. Selain itu, budaya patriarkal dengan segala konsepnya secara

    tidak langsung telah mempengaruhi kedua istri dalam membangun pemahamannya

    dalam pemberian pengampunan.

    26

    Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 100.

  • Berbeda dari sudut pandang feminis, Augsburger, dari sisi psikologis,

    menyoroti fenomena pengampunan kedua istri ini sebagai langkah baru membuka

    kesempatan untuk masa depan yang lebih baik.27

    Dengan kata lain, ketidakmampuan

    dalam mengampuni akan membuat pasangan terjebak dalam kebingungan, kehilangan

    kepercayaan, keputus-asaan dan kepahitan yang mendalam. Agnew dkk. dan Glass

    dalam Fife et all, menyoroti bahwa dampak yang dihasilkan dari perselingkuhan

    sangat merusak hubungan dan kestabilan hidup keluarga.28

    Berangkat dari pendapat

    ini, penulis melihat, dari sisi ekonomi, ketidakmampuan untuk bangkit dari persoalan

    ini akan berpengaruh pada urusan pekerjaan dan bahkan seluruh aspek kehidupan.

    Jika pekerjaan terabaikan maka secara tidak langsung akan berpengaruh kepada

    pertumbuhan ekonomi keluarga. Keputusan mengampuni dari kedua istri dalam kasus

    ini telah membuktikan bahwa mereka adalah perempuan yang memiliki pandangan

    jauh ke masa depan terutama dalam hal ekonomi sebagai salah satu faktor yang dapat

    mendukung kestabilan kehidupan keluarga.

    3.3.3. Tahapan-Tahapan dalam Memberikan Pengampunan

    Untuk memahami pengampunan kedua istri dalam menyikapi perselingkuhan

    suaminya ini tidak hanya berdasarkan beberapa alasan atau pertimbangan yang telah

    dibahas di atas, melainkan juga dapat dilihat dari tahapan-tahapan atau proses yang

    mereka telah lewati untuk mempertahankan pernikahan atau menyelamatkan

    27

    Augsburger, Helping People Forgive ……….., 19. 28

    Fife, Weeks, dan Stellberg-Filbert, “Facilitating ……” , 344.

  • keutuhan keluarganya. Tahapan-tahapan ini tentunya dilakukan berdasarkan alasan

    pengampunan yang dimiliki kedua istri tersebut.

    Ibu Anna berproses pada beberapa tahapan dalam menyikapi perselingkuhan

    suami: (1) Mengambil waktu untuk berdiam diri; merasakan kemarahan dan

    kekecewaan yang sedang dialaminya, dan menyadari akan adanya kerusakan

    hubungan antar suami-istri, ayah-anak. (2) Mengingat janji setianya dan berpegang

    teguh pada hukum pernikahan di dalam Kristen. (3) Mempertimbangkan segala hal

    yang mungkin akan terjadi jika perceraian terjadi; psikologis anak. (4) Berbicara dari

    hati ke hati kepada suaminya. (5) Mengadakan pertemuan keluarga. Sementara itu,

    ibu Helena melakukan beberapa tahapan dalam proses pemberian pengampunan

    kepada suaminya: (1) Mengingat trauma masa lalu; berdampak pada psikologis anak

    (2) Mengingat firman Tuhan tentang pengampunan. (3) Berbicara langsung kepada

    suami. (4) Melihat kesungguhan suami untuk tetap mempertahankan pernikahan. (5)

    Melepaskan luka batin.

    Dari ketiga tahapan pertama yang dilakukan oleh ibu Anna dapat dipahami

    bahwa ibu Anna benar-benar menyadari bahwa perselingkuhan suaminya telah

    membawa dampak serius baginya secara pribadi. Perselingkuhan tidak lantas

    membuat ibu Anna mengambil langkah perceraian, namun juga tidak langsung

    memberikan pengampunan kepada suaminya. Pengampunan secara implisit tampak

    dalam setiap tahapan yang dilakukannya. Dengan mengingat firman Tuhan tentang

    pengampunan dan perceraian yang tidak dikehendaki oleh Tuhan, mengingat tentang

    masa indah dan kebaikan suami dan mempertimbangkan semua dampak buruk yang

    dihasil oleh perselingkuhan dan kemungkinan dampak yang dapat dihasilkan oleh

  • perceraian terhadap psikologis anak, akhirnya memampukan ibu Anna melepaskan

    luka batin yang dialaminya dan menerima kembali suaminya.

    Secara teoritis, apa yang dilakukan oleh ibu Anna dapat dipahami dari

    perspektif konseling yang dipahami oleh Gordon dan Baucom, bahwa pada tahap

    awal pengampunan, pasangan akan berurusan dengan dampak perselingkuhan.29

    Seperti yang terlihat pada kasus ibu Anna, bahwa dia menyadari akan adanya dampak

    negatif yang terjadi padanya secara pribadi dan juga terhadap hubungan mereka

    sebagai pasangan suami-istri begitu juga terhadap hubungan ayah-anak. Sehingga,

    dengan alasan dampak ini, ibu Anna menyediakan waktu untuk dapat memikirkan

    cara dan solusi yang bisa diambil untuk menyikapi persoalan mereka.

    Dari perspektif konseling feminis, Degges-White dkk. memandang ketiga

    tahapan pertama ini sebagai kesadaran diri merupakan kekuatan yang dapat

    memberdayakan ibu Anna untuk tetap berpikir dengan tenang meskipun dalam

    keadaan tertekan.30

    Keteguhan hati untuk mengampuni telah memampukan ibu Anna

    keluar dari persoalan tekanan batin yang dialaminya. Kesadaran diri telah

    memerdekakan mereka untuk dapat berpikir dan merasakan dengan baik, serta

    mampu mengambil keputusan dengan penuh pertimbangan. Di sisi lain, tiga tahapan

    yang dipaparkan di atas membuktikan bahwa ibu Anna memiliki kemampuan dalam

    memahami masalah yang sedang terjadi.

    Sementara itu, pada dua tahapan terakhir yang dilakukan oleh ibu Anna, dari

    perspektif konseling feminist, Degges-White dkk. menilai bahwa tindakan yang

    29

    Gordon dan Baucom, “Forgiveness and Marriage……….” , 181. 30

    Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ………” , 97.

  • dilakukannya menunjukkan bahwa dia memiliki sifat yang kolaboratif.31

    Sifat yang

    kolaboratif sangat berpengaruh dalam usaha pencarian solusi. Hal ini terlihat pada

    kesediaannya dalam membangun komunikasi bersama suaminya. Ibu Anna bersedia

    berbicara langsung kepada suami untuk dapat mengetahui keinginan dan kepastian

    dari suaminya tentang hubungan mereka. Pada tahap ini ibu Anna mendapati bahwa

    suaminya tidak menginginkan perceraian, dan memohon untuk diampuni. Tahapan

    ini merupakan tahapan yang penting dalam memulihkan komunikasi sehingga

    membuka kesempatan besar terhadap rekonsiliasi hubungan diantara pasangan.

    Sementara itu, Gilbert menyoroti tindakan ibu Anna dalam menginisiasi

    pertemuan keluarga berdasarkan perspektif konseling feminist sebagai tindakan

    politis dalam konteks sosialnya.32

    Tahap ke lima dari proses pengampunan ini

    menunjukkan bahwa ibu Anna menyadari bahwa perilaku berselingkuh

    mendatangkan pandangan buruk di dalam kehidupan sosial. Sehingga ibu Anna

    merasa perlu untuk menghadirkan persoalan perselingkuhan itu langsung di hadapan

    keluarga masyarakat, dan tokoh agama. Secara tidak langsung hal ini juga

    menunjukkan bahwa ibu Anna meminta perhatian dari keluarga dan masyarakat.

    Persetujuan dan penerimaan dari keluarga dan masyarakat dapat menjadi kekuatan

    bagi ibu Anna, suaminya, dan segenap keluarganya untuk kembali bersosialisasi

    dengan normal di tengah-tengah masyarakat. Dari sudut pandang feminis, hal ini

    memperlihatkan betapa kuatnya peranan masyarakat dalam menjalankan kehidupan

    31

    Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ………” , 97. 32

    Rader dan Gilbert, “The Egalitarian Relationship …..” , 427.

  • berkeluarga, sehingga perihal pengampunan istri kepada suami yang berselingkuh

    pun dipandang perlu untuk diketahui oleh masyarakat umum.

    Berdasarkan sudut pandang konseling feminist, Degges-White melihat semua

    tahapan yang dilewati oleh ibu Anna dapat dipahami sebagai self-awareness yang

    memberdayakannya untuk membuat keputusan yang dapat memperkokoh

    kehidupannya.33

    Ibu Anna dengan sadar bersedia berkomunikasi langsung kepada

    suaminya dan mengadakan pertemuan keluarga. Ini memperlihatkan bahwa ibu Anna

    memiliki pilihan sendiri dan berjuang untuk apa yang diinginkannya. Tindakan ini

    menunjukkan bahwa ibu Anna memahami arti dari memiliki seseorang dalam

    hidupnya. Selain itu, keputusan untuk mengadakan pertemuan merupakan sebuah

    gambaran bahwa ibu Anna memiliki sifat yang kolaboratif dan mampu

    mengkonsepsikan masalah yang sedang dialaminya. Dia menyadari bahwa peristiwa

    perselingkuhan yang dilakukan suaminya telah membuat masyarakat memiliki

    pandangan buruk terhadap suaminya yang juga berdampak pada anak-anak dan

    keluarga besarnya. Dengan menghadirkan persoalan mereka langsung di dalam

    pertemuan keluarga yang dihadiri oleh tokoh masyarakat dan agama, maka secara

    tidak langsung akan memperlihatkan bahwa mereka membenarkan bahwa mereka

    sedang mengalami pengalaman yang buruk dalam hubungan pernikahan, namun

    dengan kesadaran penuh juga mereka bersedia untuk mempertahankan dan memulai

    kembali kehidupan pernikahan mereka.

    Beberapa tahapan yang dilakukan oleh ibu Helena cukup berbeda dengan apa

    yang dilakukan oleh ibu Anna. Hal ini disebabkan oleh pendidikan, pengalaman

    33

    Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ……….” , 92.

  • hidup dan respon suami yang berbeda. Meskipun begitu, berdasarkan kelima tahapan

    ini, dapat dipahami bahwa ibu Helena merupakan pribadi yang mau berjuang dan

    tidak pasif. Dia juga tidak mau tenggelam dalam persoalan yang ada.

    Secara teoritis, perspektif konseling feminis Surabhi memandang tahapan

    pertama yang dilakukan oleh ibu Helena memperlihatkan usahanya untuk mencoba

    keluar dari tekanan dan trauma masa lalunya.34

    Dengan mempertimbangkan segala

    kemungkinan dampak yang dapat terjadi telah mengajarkan ibu Helena menjadi

    pribadi yang sabar dan tenang dalam menyikapi setiap persoalan. Selain itu, ibu

    Helena memiliki pandangan untuk masa depan anak-anaknya. Anak-anak menjadi

    kekuatan yang besar baginya untuk mampu bertahan dan berjuang.

    Tahap kedua menunjukkan keyakinan ibu Helena terhadap ajaran

    pengampunan. Keyakinan ini telah membuatnya bersedia melepaskan rasa kecewa

    dan marah yang dirasakannya dan memulihkan hubungan komunikasi diantara dia

    dan suaminya, dan diantara ayah dan anak-anak mereka. Secara teoritis, keyakinan ini

    dapat diapahami berdasarkan perspektif konseling feminis, Radov et all. yang

    menyatakan bahwa kesadaran akan diri sendiri dapat menumbuhkan harga diri.

    Demikian juga yang terjadi pada ibu Helena. Dia menyadari bahwa ketidakmampuan

    dalam mengampuni akan membuatnya tenggelam dalam rasa sakit, sehingga dia

    memutuskan untuk mengampuni untuk dapat memulihkan hubungan dan

    menyelamatkan keutuhan keluarganya. Keutuhan keluarga baginya adalah sebuah

    harga diri.

    34

    Surabhi, “Feminism in the therapeutic space…….” HTML, 31-33.

  • Pada tahapan ke tiga dan ke empat, penulis menilai bahwa ibu Helena juga

    merupakan pribadi yang bersifat kolaboratif. Dia bersedia berkomunikasi dan

    mendengarkan permohonan suaminya, serta memperhatikan kesungguhan dari

    permohonannya. Tindakan ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh ibu

    Anna. Degges-White dkk. menilai bahwa tindakan ini menunjukkan bahwa ibu

    Helena juga memiliki sifat yang kolaboratif, sama seperti ibu Anna.35

    Kesediaan ibu

    Helena dalam memperhatikan kesungguhan suami juga membuktikan bahwa ibu

    Anna memiliki pertimbangan dalam mempertahankan relasi.

    Pada tahapan terakhir memperlihatkan bahwa proses pengampunan itu

    semakin nyata. Keputusan untuk melepaskan luka batin membebaskan ibu Helena

    dari trauma yang membelenggu. Secara psikologis, bebas dari luka batin

    memberdayakan ibu Helena untuk memulai hidup dengan segala aktifitasnya seperti

    sedia kala. Secara ekonomi, ketika kehidupan dapat berjalan dengan stabil atau

    keharmonisan sebuah keluarga dapat dijaga, maka hal ini akan berdampak terhadap

    pertumbuhan ekonomi keluarga. Sementara dari sisi sosiologis, ketenagan batin telah

    memampukan ibu Helena untuk membangun relasi bersama masyarakat dan jemaat

    gereja setempat.

    Secara teoritis, semua tahapan pengampunan yang dilakukan oleh kedua istri

    ini sejalan dengan apa yang Gordon dan Baucom lakukan dalam penelitiannya

    mengenai model pengampunan. Mereka mengatakan bahwa di dalam memberikan

    pengampunan klien akan berurusan dengan dampak, pencarian makna tentang

    35

    Degges-White, Colon, dan Borzumato-Gainey, “Counseling Supervision ………” , 92.

  • hubungan, dan bangkit dari persoalan.36

    Semua tahapan ini juga dilalui oleh kedua

    istri yang memberikan pengampunan kepada suaminya dengan cara dan

    pemahamannya masing-masing tentang pengampunan. Hasil observasi

    menggambarkan bahwa kedua istri ini memiliki perbedaan dalam segi pendidikan,

    pekerjaan, latar belakang keluarga, dan juga pengalaman bersosialisasi, sehingga hal

    ini sangat mempengaruhi mereka dalam melakukan tahapan pengampunan dalam

    menyikapi perselingkuhan suami. Ibu Anna adalah sosok perempuan yang cerdas,

    namun sangat menghargai hubungan pernikahannya. Dia memperlakukan suaminya

    dalam hubungan yang sejajar dengannya, sehingga hal ini memampukannya untuk

    menginisiasi setiap tindakan dengan penuh pertimbangan. Sementara ibu Helena

    tidak memiliki pendidikan yang tinggi, namun dia bukan orang yang pasif dalam

    menjalani kehidupannya. Usaha yang dirintisnya bersama suaminya telah banyak

    membantu suami dalam usaha perdagangan, karir bahkan untuk kebutuhan rumah

    tangga dan pendidikan anak. Pada prakteknya pengampunan telah difasilitasi di

    dalam setiap tahapan yang dilakukan oleh kedua istri ini; karena tanpa pengampunan

    setiap tahapan menjadi mustahil untuk dilakukan. Meskipun alasan dan proses

    pengampunan kedua istri ini cukup berbeda, namun mereka memiliki tujuan yang

    sama yaitu dapat mengantarkan mereka pada kehidupan masa depan yang lebih

    bahagia dan sejahtera.

    Dari sudut pandang yang berbeda, perspektif feminis menyoroti semua

    tahapan yang telah dilakukan oleh kedua istri ini tidak terlepas dari kontrol sosialnya,

    seperti yang telah dianalisa sebelumnya pada beberapa alasan pengampunan kedua

    36

    Gordon dan Baucom,” Forgiveness and Marriage ……” , 181-182.

  • istri. Dalam dunia patriarki, pernikahan merupakan sebuah institusi yang secara

    tradisional menyediakan identitas sosial bagi perempuan.37

    Sejalan dengan itu

    Asiyanbola juga menegaskan bahwa pembentukan dan praktek dominasi laki-laki

    terhadap perempuan dan anak-anak adalah sebuah proses historis yang dibentuk oleh

    laki-laki dan perempuan di dalam sebuah keluarga patriarkal yang merupakan sebuah

    unit dasar organisasi dalam masyarakat.38

    Stereotipe yang diberikan kepada

    perempuan di dalam keluarga merupakan bukti dominasi laki-laki terhadap

    perempuan. Di dalam keluarga perempuan mendapat identitas baru yang telah

    dibentuk sedemikian rupa sehingga sangat terikat pada peran domestiknya. Hal ini

    tentunya sangat mempengaruhi dan membatasi perempuan dalam memutuskan

    pilihan dan bertindak. Demikian halnya yang terjadi pada ibu Anna dan ibu Helena.

    Meskipun mereka memiliki peranan sebagai perempuan yang bekerja di luar wilayah

    domestik, namun kedua perempuan ini masih sangat terikat pada tanggungjawab dan

    peranannya di dalam keluarga. Berbagai bentuk sterotipe yang diberikan kepada

    perempuan seperti peran domestik prokreasi, produksi, reproduksi, dan pengasuh

    menuntut perempuan seperti ibu Anna dan ibu Helena untuk selalu

    mempertimbangkan setiap hal berdasarkan kepentingan anggota keluarga, bukan

    untuk kepentingannya sebagai pribadi. Namun sisi yang lain, penelitian yang penulis

    lakukan memperlihatkan bahwa laki-laki mengalami saling ketergantungan.

    Ketidakbersediaan suami untuk bercerai dan permohonannya untuk diampuni

    membuktikan bahwa laki-laki dalam keluarga juga saling ketergantungan.

    37

    Humm, Ensiklopedia Feminisme …….., 266. 38

    Asiyanbola, “Patriarchy, male dominance ………., 3.

  • Pemahaman ini didukung oleh Cuddy dkk. yang menegaskan dalam papernya bahwa

    dimensi ketergantungan tidak hanya dapat dilabelkan kepada perempuan. Pada

    penelitian di Korea, menunjukkan bahwa laki-laki bersifat saling ketergantungan

    dibanding perempuan dalam hal-hal tertentu, dan hal ini dianggap berharga secara

    budaya. Laki-laki dianggap sebagai yang mewujudkan cita-cita budaya.39

    Hal ini

    berarti bahwa laki-laki di dalam budaya patriarkal saling ketergantungan; terikat

    dalam keluarga. Peranan suami-istri dalam keluarga telah dibentuk oleh budaya.

    Setiap peranan dijalankan dengan tujuan mendapatkan keamanan dan kenyamanan.

    Tetapi, jika suami memutuskan untuk meninggalkan keluarga (bercerai), maka dia

    akan kehilangan keamanan dan kenyamanan tersebut. Berkaitan dengan penelitian,

    suami dari kedua istri ini tidak pernah menginginkan perceraian dan selalu memohon

    pengampunan dari istrinya. Tidakan ini ingin menunjukkan bahwa kedua suami ingin

    mempertahankan keamanan dan kenyamanan yang telah dimilikinya selama ini.

    Berangkat dari perbedaan sudut pandang masing-masing perspektif yang

    sudah dipaparkan di atas, secara pribadi, penulis memahami bahwa perihal

    pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan memang merupakan sebuah

    fenomena yang sangat kompleks; sulit untuk dijangkau. Di satu sisi, tindakan

    pengampunan bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan oleh semua orang.

    Namun di sisi lain, dengan adanya konteks sosial yang mengontrol manusia dalam

    menjalani aktifitas kehidupannya membuat seakan-akan tindakan pengampunan

    menjadi mudah untuk dilakukan. Dengan kata lain, ketika kedua istri memutuskan

    untuk mengampuni berarti mereka sedang melakukan pengorbanan diri untuk

    39

    Cuddy, Crotty, Chong, Norton, “Men as Cultural Ideals: ...., 4.

  • kebaikan seluruh anggota keluarga. Bagaimana pun juga manusia memang tidak

    pernah bisa dipisahkan dari dunia sosial dan budaya yang telah mengikatnya. Karena

    manusia adalah makhluk sosial, tidak dapat hidup sendiri. Namun, terlepas dari

    konteks sosial yang telah membangun stereotipe khusus terhadap manusia khususnya

    perempuan, penulis memahami bahwa setiap pribadi, baik itu laki-laki atau

    perempuan, terlahir dengan hak dan kesempatan yang sama. Persoalannya saat ini

    adalah bagaimana manusia dapat memaknai hak tersebut dan menggunakan

    kesempatan yang mereka miliki untuk memperoleh kehidupan yang lebih bermakna.

    Dalam kaitannya dengan fenomena pengampunan dalam menyikapi perselingkuhan

    suami, penulis menilai bahwa pendampingan berdasarkan perspektif konseling

    feminis dapat gunakan untuk membantu istri yang terluka dalam mengeksplor

    kekuatan dan kemampuan mereka yang dapat diberdayakan untuk memperoleh hak

    dan memiliki kesempatan dalam menjalankan peran mereka dalam keluarga, maupun

    di dalam masyarakat.