Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena...

280

Transcript of Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena...

Page 1: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

iDr. Media Zainul Bahri

Page 2: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

Penerbit Pustaka PelajarCeleban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167Telp. (0274) 381542, Faks. (0274) 383083e-mail:[email protected]:pustakapelajar.co.id9 786022 295457

Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)Hingga Masa Reformasi

Dr. Media Zainul Bahri

Dr. M

ed

ia Z

ain

ul B

ah

ri

Sejak dulu banyak orang menganggap kajian ilmiah terhadap agama

sebagai sesuatu yang absurd dan tidak menyenangkan. Menurut Ninian

Smart, disebut absurd karena pendekatan ilmiah cenderung untuk

melalaikan atau mendistorsi perasaan-perasaan batin dan respons-

respons terhadap yang tak terlihat (Yang Ilahi). Disebut tidak disukai

karena studi ilmiah membawa pendekatan yang dingin (rasional)

terhadap apa yang seharusnya “hangat dan menggetarkan.” Anggapan

tersebut keliru, meskipun sepenuhnya dapat dimengerti. Tentu saja

ilmu-ilmu humaniora—termasuk agama—harus berurusan dengan

perasaan batin, karena manusia tidak bisa dipahami jika sentimen,

emosi dan penghayatan keagamaannya tidak dipahami. Hal ini tentu

berbeda dengan pendekatan dalam ilmu-ilmu pasti (eksak) yang

memperlakukan batu-batu atau elektron-elektron. Studi agama juga

tidak disukai disebabkan problem menguatnya fundamentalisme

agama saat ini yang “alergi” terhadap studi agama yang ilmiah, karena

hal itu dianggap akan “membahayakan akidah,” “menyesatkan” atau

setidaknya membuat seorang beragama akan jauh dari agamanya

disebabkan mengkaji keyakinan agama yang sudah pasti dengan

metode-metode ilmiah yang menganggap agama sebagai bagian dari

kebudayaan sehingga absah untuk “diobrak-abrik.”

“Studi Media Zainul Bahri ini patut dipuji karena bermutu dan sangat

informatif. Buku Wajah Studi Agama-Agama ini sesungguhnya tidak

mendeskripsikan sejarah salah satu disiplin akademik saja, tetapi

sekaligus menunjukkan bagaimana “wajah” masyarakat (muslim) di

Indonesia dicerminkan di dalam pemikiran ihwal agama lain.” —Prof.

Dr. Edwin P. Wieringa

Page 3: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

iiiDr. Media Zainul Bahri

Page 4: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

i v Wajah Studi Agama-Agama

Wajah Studi Agama-AgamaDari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)

Hingga Masa Reformasi

PenulisDr. Media Zainul Bahri

Desain CoverHaetamy el-Jaid

Tata LetakAbi Fairuz

Pemerikasa AksaraRatih

Cetakan I, Oktober 2015

PenerbitPUSTAKA PELAJAR

Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167Telp. (0274) 381542, Fax. (0274) 383083

E-mail: [email protected]: pustakapelajar.co.id

ISBN: 978-602-229-545-7

Page 5: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

xviiDr. Media Zainul Bahri

DAFTAR ISI

Ucapan Terima Kasih vPengantar xiDaftar Isi xvii

BAB I. Pendahuluan 1Catatan 12

BAB II. Aneka Pendekatan Terhadap StudiAgama 13

A. Signifikansi Studi Ilmiah Agama 13B. Beberapa Pendekatan 15

1. Pendekatan Historis 152. Pendekatan Teologis 203. Pendekatan Fenomenologis 234. Pendekatan Komparatif 275. Pendekatan Perenial 306. Pendekatan Dialogis 387. Pendekatan Sosiologis 438. Pendekatan Antropologis 479. Pendekatan Psikologis 56

Catatan 61

BAB III. Teosofi: Pengertian dan Tujuan 65A. Pengertian Teosofi 65B. Tujuan Teosofi 70C. Makna Simbol/Lambang Teosofi 72D. Teosofi dan Agama 79E. Munculnya Masyarakat Teosofi Indonesia 87Catatan 94

Page 6: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

xviii Wajah Studi Agama-Agama

BAB IV. Teosofi dan Model StudiPerbandingan Agama 99A. Teosofi dan Doktrin Agama-Agama 100

1. Islam dan Teosofi 1002. Agama Hindu dan Teosofi 1023. Agama Buddha dan Teosofi 1034. Agama Kristen dan Teosofi 1035. Konghucu dan Teosofi 1036. Baha’i dan Teosofi 104

B. Teosofi dan Model Studi Perbandingan Agama 1051. Satu Tuhan Banyak Agama 1052. Kesatuan Esensi dan Hubungan Substansial

Para Utusan Tuhan 1093. Soal Perbedaan Agama 1184. Soal Penghinaan Agama, Konversi, dan Kerukunan 122

C. Membaca Pandangan Keagamaan Teosofi 1291. Perenialisme: Cinta dan Kesatuan 1292. Komparasi “Sederhana” 1373. India yang Berbeda dan Westernisasi 1454. Humanisme Religius 1495. MTI dan Kejawen 152

D. Model Studi yang Dilakukan 157E. Pendidikan Agama Berbasis Multikultur 161F. Masa Suram Gerakan Teosofi 162

1. Kecaman dan Reaksi 1622. Tanggapan Terhadap Kecaman 1633. Kasus Khusus “Islam” 165

G. Studi Perbandingan Agama Sesudah Teosofi:Menimbang Peran Mahmud Yunus danZainal Arifin Abbas 167

H. Model Studi yang Dilakukan 176Catatan 177

Page 7: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

xixDr. Media Zainul Bahri

BAB V. Studi Perbandingan Agama Di MasaOrde Baru 185A. Studi Perbandingan Agama Di Masa Orde Baru:

Mencermati Peran Sentral Mukti Ali 185B. Studi Perbandingan Agama: Pengertian dan Tujuan 188

1. Pengertian 1882. Kegunaan dan Tujuan 192

C. Tipologi “Agama Langit” dan “Agama Bumi” 199D. Metodologi 203

1. Periode Awal: Pendekatan Teologis 2032. Mengapa Apologetik? 2113. Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah 217

E. Studi Perbandingan Agama dan Politik 243F. Isu-Isu Penting 249

1. Agama dan Pembangunan 249A. Pembangunan Manusia Seutuhnya 249B. Kerukunan Antarumat Beragama 253

2. Pluralisme Agama 259A. Nurcholish Madjid 259B. Abdurrahman Wahid 271C. Djohan Efendi 291D. Jalaluddin Rakhmat 301

3. Dialog Antaragama dan Passing Over 312A. Dialog Antaragama 312B. Passing Over 337

G. Model Studi dan Pengajaran 3411. Materi dan Model Pengajaran 3412. Model Historis-Kronologis 3473. Mengapa Selalu Dimulai dengan

Teori Asal-Usul Agama 354H. Model Studi yang Dilakukan 363Catatan 372

Page 8: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

xx Wajah Studi Agama-Agama

BAB VI. Studi Agama-AgamaDi Era Reformasi 389A. Polemik Pergantian Nama 389B. Melanjutkan Tradisi 403C. “Baju Lama, Badan Baru” 404D. CRCS dan ICRS: Model Religious Studies yang Ideal 411E. Masa Depan Studi Perbandingan Agama 417Catatan 421

BAB VII. Penutup 425Bibliografi 427Biodata Penulis 439Index 441

Page 9: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

1Dr. Media Zainul Bahri

BAB IBAB IBAB IBAB IBAB IPENDAHULUAN

A. PendahuluanSecara dramatis, Daniel L. Pals menceritakan bahwa pada suatuhari di musim semi bulan Februari 1870, seorang ilmuwan setengahbaya berkebangsaan Jerman menaiki mimbar di sebuah acara ke-rajaan di London guna menyampaikan satu kuliah umum. Saatitu, profesor-profesor Jerman sudah diakui kemampuannya di Ing-gris, tak terkecuali orang ini. Meski demikian, ia tampil seperti se-orang Inggris tulen. Nama profesor itu adalah Friedrich Max Müller(1823-1900). Ia datang ke Inggris pertama kali sewaktu muda untukbelajar tulisan-tulisan kuno dari kitab Weda-India. Sejak saat itu, iamerasa betah di Inggris, bahkan menikahi gadis Inggris dan akhir-nya mendapatkan posisi penting di Universitas Oxford. Müller sa-ngat dikagumi karena pengetahuannya yang mendalam tentangHinduisme kuno dan keahliannya dalam menulis dengan bahasaInggris yang ia gunakan untuk membuat tulisan populer mengenaibahasa dan mitologi. Dalam kesempatan kuliah umum itu, ia meng-usulkan disiplin ilmu baru, suatu ilmu yang siap ia promosikandan ia sebut sebagai “the science of religion.”1

Menurut Pals, istilah the science of religion yang diajukan Müllerpada mulanya hampir membuat “marah” yang hadir karena ma-syarakat Inggris—dalam satu dekade itu—masih dihebohkan de-ngan karya Charles Darwin, The Origin of Species (1859) yang me-munculkan persaingan sengit antara sains dan agama. Karena itu,istilah the science of religion kembali memunculkan rasa keingin-tahuan mereka: apakah mungkin kepastian-kepastian iman yangtelah lama dianut dapat “dicampuraduk” dengan kajian ilmiah yang

Page 10: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

2 Wajah Studi Agama-Agama

selalu mendasarkan diri pada eksperimen, revisi dan perubahan-perubahan? Namun Max Müller meyakinkan para pendengarnyabahwa studi ilmiah tentang agama akan memberikan kontribusikepada agama dan ilmu sekaligus. Ia mengingatkan para audiensbahwa adagium yang dibuat oleh Johann Wolfgang von Goethe(1749-1832), sastrawan termasyhur Jerman, dalam puisinya tentangbahasa manusia yang bisa dipakai dalam agama, yaitu: “Ia yanghanya tahu satu hal, sesungguhnya tidak tahu apa-apa (He whoknows one, knows none)”2 (dalam studi agama menjadi: Ia yang hanyatahu satu agama, sesungguhnya tidak tahu apa-apa).

Menurut Müller, sudah saatnya pandangan objektif dan benar-benar baru harus digunakan dalam studi agama yang sebenarnyasudah berumur tua. Daripada terus-menerus bertaklid kepada parateolog yang hanya ingin membuktikan kebenaran agamanya sendirisambil menyalahkan agama orang lain, saatnya kini untuk mene-rapkan berbagai pendekatan yang beragam, meneliti elemen, ben-tuk, dan prinsip-prinsip yang bisa ditemukan dalam semua agama,kapan pun dan di mana pun. Dalam disiplin baru ini, banyak halyang bisa dilakukan sebagaimana telah dilakukan oleh kaum sain-tis, yaitu mengumpulkan fakta-fakta, adat-istiadat, ritual, dan keper-cayaan-kepercayaan dari seluruh agama yang ada di bumi ini, lalumembangun teori tentang agama-agama tersebut, persis seperti ahlibiologi dan kimia yang mampu menjelaskan cara kerja alam ini.3

Sejak saat itu, studi ilmiah agama terus menggelinding danberkembang, tidak semata di Eropa dan Amerika, tetapi juga di Asia.Studi ilmiah itu muncul dengan nama (sebutan) yang bermacam-macam seperti Perbandingan Agama (Comparative Religion), StudiPerbandingan Agama (The Study of Comparative Religion) StudiPerbandingan Agama-Agama (Comparative Study of Religions atauComparative Studies of Religions), Studi Agama-Agama (The Study ofReligions), Studi Keagamaan (Religious Studies) dan lain-lain. Semuanamaitu biasanya merujuk kepada studi ilmiah agama-agama yangdirintis oleh Max Müller.

Page 11: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

3Dr. Media Zainul Bahri

Di Indonesia, studi ilmiah agama secara resmi dibuka di PTAIN(Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada tahun 1961dengan nama (Jurusan) “Ilmu Perbandingan Agama” atau biasadisingkat “Perbandingan Agama” saja. Perintis utama berdirinyastudi itu adalah Profesor Mukti Ali.

Namun, jauh sebelum 1961, studi Perbandingan Agama di Nu-santara sesungguhnya telah dirintis pada akhir abad ke-19 oleh Ge-rakan Teosofi Hindia-Belanda. Jika ditelusuri kemunculan, perkem-bangan dan formasi kematangan akademiknya, saya membagi studiini di Nusantara di abad modern dalam empat fase penting. Yaitu,pertama, Studi Perbandingan Agama, dalam pengertian mempe-lajari agama-agama, membandingkannya dan secara spesifik men-cari titik-temu diantara agama-agama, muncul pertama kali secaramengejutkan diawal abad 20 oleh sebuah paguyuban yang mena-makan diri teosofi Hindia Belanda (sejarawan menyebutnya GerakanTeosofi Indonesia, tetapi saya lebih memilih untuk menyebutnyaMasyarakat Teosofi Indonesia atau MTI). MTI adalah organisasi non-pemerintah Belanda—sebagai cabang dari Teosofi Internasional yangberpusat di Adyar, India—yang anggotanya didominasi oleh parapriyayi Jawa, kaum santri Muslim non-priyayi, orang-orang Belandadan Eropa non-Belanda, yang eksis pada rentang waktu 1901 hingga1940 (pra-kemerdekaan).

Tujuan kedua dari tiga tujuan pokok organisasi Teosofi Inter-nasional, yang juga diikuti oleh Teosofi Indonesia, adalah “Mema-jukan pelajaran membanding-bandingkan agama, Filsafat dan IlmuPengetahuan. Dalam sumber yang lain disebutkan: mempelajariagama-agama kuno dan modern, filsafat dan sains.” Helena Blavatsky,tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuankedua ini, “Untuk mempromosikan studi kepercayaan bangsa Aryadan kitab-kitab suci lainnya dari agama-agama dunia dan berbagaimacam ilmu pengetahuan, dan mempertahankan pentingnyaliteratur Asia kuno, yakni filsafat-filsafat kaum Brahmana, Buddhisdan Zoroaster.”4

Page 12: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

4 Wajah Studi Agama-Agama

Ciri utama studi PA pada MTI adalah: (1) Studi PA merekalakukan dengan pendekatan “dari dalam” (“from within”), yaknimereka mempelajari langsung agama yang dikaji dari para peng-anutnya, terutama dari ahli agama yang dikaji. Ahli-ahli agama itukemudian menulis secara berkala pengetahuan tentang agama ma-sing-masing di majalah-majalah Teosofi yang terbit secara berkalaselama hampir 40 tahun. (2) Mengeksplorasi ide-ide perenialisme.Teosofi sendiri adalah wujud lain dari paham dan praktik pere-nialisme. Helena Blavatsky sebagai pendiri teosofi dan tokoh-tokohutama sesudahnya sering menegaskan bahwa teosofi adalah penge-tahuan atau Hikmah yang sangat kuno yang diambil dari para filosofawal Yunani yang kemudian dilanjutkan oleh para generasi filosofsesudahnya ke generasi berikutnya di berbagai negeri yang suburdengan Kearifan Abadi. (3) Sebagai konsekuensi dari yang kedua,MTI banyak mengeksplorasi hubungan di antara agama-agama yangada di Nusantara, dilihat perbedaan eksoterik dan persamaan (eso-terik)-nya, namun aspek titik-temu dan persamaan lebih ditekan-kan. Mereka selalu menghubungkan titik-temu esoterik agama-agama itu dengan doktrin-doktrin mistik teosofi. Dan terakhir (4),MTI—dalam banyak publikasi mereka—juga melakukan “kompa-rasi sederhana” di antara agama-agama, namun sekali lagi, aspektitik-temu agama-agama lebih ditekankan.

Fase kedua adalah fase setelah masa teosofi, yakni studi Perban-dingan Agama yang dilakukan oleh para sarjana Muslim Indonesiadimana karya-karya mereka dipelajari bahkan diwajibkan di seko-lah-sekolah Islam, seperti pondok pesantren misalnya. Dua sarjanaMuslim yang mencolok di era ini— kira-kira akhir 1930-an hinggaawal 1960—adalah Mahmud Yunus dengan karyanya, al-Adyândan Zainal Arifin Abbas dengan bukunya, Perkembangan FikiranTerhadap Agama (2 jilid). Al-Adyân terbit pertama kali pada No-vember 1937, lalu dicetak ulang hingga akhir 1980, dan Perkem-bangan Fikiran terbit pertama kali tahun 1951, lalu dicetak ulangpada 1965 dan 1970. Dua karya itu pada masanya adalah buku yangwajib dipelajari pada level sekolah lanjutan atas (semacam madrasah

Page 13: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

5Dr. Media Zainul Bahri

aliyah) baik di sekolah agama milik pemerintah atau di pondokpesantren.

Kedua karya itu memiliki kemiripan dalam isi dan metodo-loginya. Pendekatan historis dan teologis tampak dominan dalamuraian Yunus dan Abbas tentang agama-agama dunia. Yunus sepe-nuhnya mendasarkan bukunya, al-Adyân, pada produk (pandang-an) teologi Islam tentang agama non-Islam. Untuk sejarah agama-agama non-Islam, ia juga merujuk kepada banyak ulama Muslim.Ketika menuliskan sumber-sumber untuk karyanya itu, Yunus me-nyebut nama-nama penulis dan ulama Muslim terkemuka sepertiMuhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Amin, Farid Wajdi, JurziZaydan, Musthafa Amin, Ibn Hazm, Syahrastani dan lain-lain sertakarya-karya mereka yang sudah dikenal baik di kalangan kaumMuslim. Karena itu, model Yunus adalah model teologis dengancorak Islam ala Timur Tengah. Yunus menggambarkan agama-aga-ma non-Islam persis (serupa) dengan gambaran para ulama danpenulis di atas.

Yunus sama sekali tidak mendiskusikan agama-agama dan ke-percayaan yang ada di Nusantara, misalnya Hindu-Buddha Indo-nesia, Aliran Kebatinan, atau Katolik-Protestan Indonesia dan perbe-daan spesifik mereka dengan agama-agama serupa yang dijelas-kannya. Dengan kata lain, Yunus sama sekali tidak mengaitkanagama-agama dunia yang dibicarakannya dengan konteks agama-agama yang ada di Nusantara.

Hal serupa juga terlihat pada karya Abbas, Perkembangan Fikir-an. Meskipun karya itu jauh lebih tebal dari al-Adyân, karena meng-uraikan banyak hal tentang sejarah dan isi filsafat dan agama-agamadunia, namun perspektif Islam ala Timur Tengahnya juga cukupmenonjol. Seperti halnya Yunus, Abbas juga tidak mendiskusikanagama-agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia.

Fase ketiga adalah masa ketika studi PA didirikan di perguruantinggi Islam. Secara formal-akademik lahir di PTAIN (PerguruanTinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta pada 1961, setahun setelahberdirinya dua pendidikan tinggi Islam negeri, yaitu di PTAIN Yog-

Page 14: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

6 Wajah Studi Agama-Agama

yakarta dan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) Jakarta. Kelahiranjurusan Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin ini tak bisadilepaskan dari peran Profesor Mukti Ali, seorang cendekiawanMuslim terkemuka yang meraih gelar Doktor di Universitas Karachi,Pakistan dalam bidang Sejarah Islam, dan Magister UniversitasMcGill, Kanada dalam kajian Islamic Studies. Karena kepelopor-annya ini, ia sering disebut sebagai ‘Bapak Ilmu Perbandingan Aga-ma Indonesia.’ Menurut Mukti Ali, ilmu Perbandingan Agamadibutuhkan sebagai ikhtiar menjadi salah satu solusi penting dalammengelola kemajemukan agama dan budaya di Indonesia. Peme-rintah Orde Lama dan Orde Baru menyadari betul akan kebhine-kaan Indonesia dan membutuhkan suatu disiplin ilmu keagamaanyang secara langsung dapat memahami pluralisme Indonesia dancara mengelolanya secara produktif.5

Fase keempat adalah studi Perbandingan Agama di masa refor-masi. Fase ini ditandai dengan dua hal penting: (1) perubahan para-digma dari Perbandingan Agama menjadi Studi Agama-Agamapada beberapa program studi Perbandingan Agama di UIN/IAIN.Perubahan paradigma ini membawa konsekuensi serius, misalnyajika pada program studi Perbandingan Agama, perbandingan (kom-parasi) menjadi sebuah disiplin ilmu di mana pendekatan atau mo-del “perbandingan” mendominasi karya-karya akademik aktor-ak-tor Perbandingan Agama, baik mahasiswa maupun dosen, makapada Studi Agama-Agama, perbandingan hanyalah satu saja dariberagam pendekatan Studi Agama. Dengan kata lain, Studi Agama-Agama yang konsen kepada agama sebagai subjek memiliki banyakpendekatan dalam studinya dan dengan otomatis muncullah tema-tema dan isu-isu yang luas. (2) Seiring dengan perkembangan kehi-dupan sosial-keagamaan yang kompleks di awal abad ke-21 makamuncul pula problem dan isu-isu sosial keagamaan yang layak men-jadi “garapan” atau topik-topik penting Studi Agama-Agama. Bah-kan, respons Studi Agama atas perkembangan yang terjadi tidaksemata “menyegarkan” studi ini dan membuatnya tetap relevan

Page 15: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

7Dr. Media Zainul Bahri

dan kontekstual, namun juga akan membuat studi ini tetap “dibu-tuhkan” masyarakat.

Studi ini penting dilakukan dengan alasan-alasan yang pentingpula. Pertama, dengan mengetahui genealogi studi PerbandinganAgama selama lebih dari satu abad (1901-2014), maka akan diketa-hui peta disiplin ilmu ini, yang dengannya dapat dibuat rencanadan rancang bangun pengembangan akademik Studi Agama-Aga-ma di Indonesia untuk masa mendatang. Secara akademik pula,belum ada studi ilmiah yang komprehensif mengenai genealogidan perkembangan studi PA selama satu abad ini. Karenanya, studiini juga dapat menjadi semacam “karya ensiklopedi” atau “karyasejarah” yang langka dan pertama kali dilakukan di Indonesia.

Kedua, hasil dari studi ini akan menunjukkan suatu bentukwajah Studi Agama-Agama Indonesia yang lahir dari pergumulanwacana dan ide studi Perbandingan Agama dari Barat dan TimurTengah yang kemudian dikontekstualisasikan—melalui sebuahpergulatan yang dinamis dan panjang—ke dalam kultur kehidupanumat beragama Indonesia. Karena itu, penelitian ini juga akan me-nunjukkan satu model Studi Agama-Agama yang “khas” yang ber-beda dari apa yang terjadi di dunia Barat dan Timur Tengah.

Ketiga, dengan melihat kontribusi studi Perbandingan Agamadari masa ke masa terhadap kehidupan keagamaan di Indonesia,maka secara praktis, hasil dari studi ini dapat menjadi rujukan (pan-duan) dalam membuat rencana strategis dan regulasi untuk pe-ngembangan kerukunan hidup umat beragama, dialog antar agamadan kerja sama agama-agama di Indonesia.

Studi ini pertama-tama akan merujuk kepada referensi primer.Untuk studi Perbandingan Agama pada masa Teosofi, saya merujukkepada majalah-majalah (sebenarnya mirip dengan jurnal) teosofiyang diterbitkan oleh MTI secara berkala selama hampir 40 tahun,yakni Pewarta Theosophie Boeat Tanah Hindia Nederland (atau PTHN,Bahasa Melayu, 21 volume, 188 Nomor, 1911-1938), Teosofie InNederland Indie: Theoshopie Di Tanah Hindia Nederland (Bahasa Be-landa dan Melayu, 80 Nomor, 1918-1925), Theosophie in Neder-

Page 16: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

15Dr. Media Zainul Bahri

bersifat pluralistik karena ada banyak agama dan tradisi keagamaan,dan akan tampak bahwa tidak ada studi agama yang dilakukan se-cara penuh yang tidak tertarik kepada lebih dari satu tradisi. Studiagama bersifat tanpa batas yang tegas, karena tidak mungkin atautidak realistis untuk menggeneralisir definisi yang baku tentang aga-ma. Satu definisi mungkin akan menjelaskan beberapa elemen is-timewa dari satu atau dua agama, namun tidak mungkin menca-kup agama-agama lain.3

Agama sebagai bagian dari kebudayaan adalah agama yang di-pahami, dihayati dan dipraktikkan oleh manusia-manusia historisdan karena itu ia menjadi bagian dari objek kajian ilmiah. Termasukdalam hal ini adalah produk-produk yang dihasilkan oleh aktor-aktor agama seperti teks atau aktivitas-aktivitas keagamaan sepertilembaga agama dan semacamnya. Segala produk pemikiran danaktivitas keagamaan biasanya berkelindan erat dengan aktivitaspolitik, ekonomi, budaya dan kehidupan sosial yang semakin me-nguatkan agama sebagai objek kajian ilmiah. Di bawah ini akan di-paparkan secara singkat beberapa pendekatan ilmiah yang biasadilakukan dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama.

B. Beberapa Pendekatan1. Pendekatan Historis

Pendekatan historis adalah salah satu pendekatan yang cukup“favorit” dalam Studi Agama dan Perbandingan Agama. Pende-katan ini merupakan pendekatan yang paling tua dan dipakai per-tama kalinya untuk mempelajari, menyelidiki, dan meneliti agama-agama baik sebelum ilmu agama menjadi disiplin yang berdiri sen-diri (otonom) atau sesudahnya. Dengan pendekatan historis, suatustudi berusaha menelusuri asal-usul dan pertumbuhan ide-ide danpranata-pranata keagamaan melalui periode-periode perkembanganhistoris tertentu dan menilai peranan kekuatan-kekuatan yangdimiliki agama untuk memperjuangkan (mempertahankan) dirinyaselama periode-periode itu. Menurut Frederick J. Streng, interpre-tasi historis telah dibenarkan dengan daya tarik dokumentasi dan

Page 17: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

16 Wajah Studi Agama-Agama

dengan klaim bahwa peristiwa-peristiwa historis diinterpretasikansebagai hasil peristiwa-peristiwa historis lain atau sebagai hasil ke-kuatan-kekuatan manusia. Metode menginterpretasikan kehidupanmanusia ini merupakan suatu reaksi yang menentang interpretasidoktrinal yang berdasar pada wahyu dan juga yang menentanginterpretasi filosofis yang berdasar pada asumsi-asumsi tentang sifatmanusia atau esensi realitas.

Sebelum menggunakan pendekatan sejarah, seorang penelitiharus memahami benar apa itu sejarah dan bagaimana menulissejarah suatu agama. Juga terdapat perbedaan antara sejarah (his-tory) dengan kisah sejarah (historical narrative) yang dipahami ataudiceritakan dari generasi ke generasi. Selama ini kita sering mende-ngar kisah suatu sejarah tetapi yang didengar sesungguhnya rekon-struksi sejarah bukan fakta sejarah, dan hanya berasal dari satusumber. Yang selama ini diterima oleh banyak orang sesungguhnyaadalah kisah sejarah, baik itu tentang kemunculan dan perkem-bangan suatu agama atau non-agama. Dalam kisah-kisah yangdirekonstruksi itu terdapat konflik satu sama lain dan kontestasiklaim-klaim. Setiap sejarawan memiliki kepentingan dan tujuan-tujuan, apakah untuk melegitimasi atau menunjukkan identitastertentu.

Menulis suatu sejarah berarti merekonstruksi suatu episodeatau kejadian masa lalu untuk dihadirkan masa kini, untuk diper-tanyakan, dilihat relevansi dan kepentingannya dengan masa kini.Pada sisi lain, secara metodologi, penulisan sejarah menggunakanbanyak perspektif dan banyak sumber4 karena—sangat mungkinkejadian itu memiliki beragam sumber, yang boleh jadi sama, bolehjadi pula bertentangan. Sehingga hasil yang dipahami pada masakini juga bisa multiperspektif.

Penulisan sejarah tentang agama biasanya tergantung kepadakisah-kisah yang disuguhkan oleh “orang dalam” atau “orang yangterlibat” dengan agama itu. Sejauh mana ia bisa menghadirkan ke-seluruhan konteks sejarah agamanya dan menunjukkan bukti-buk-

Page 18: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

17Dr. Media Zainul Bahri

ti yang kuat. Kisah-kisah yang direkonstruksi itu lalu dihadapkankepada rekonstruksi dan bukti lain yang kritis dari “orang luar.”5

Namun, selama ini bukti-bukti—dan yang lebih menonjol ada-lah “keimanan” yang ditunjukkan oleh “orang yang terlibat” diang-gap sebagai “kebenaran” dan merupakan fakta sejarah. Padahal,untuk membuktikan kebenaran fakta sejarah secara ilmiah hal itumembutuhkan kajian kesejarahan lebih mendalam dengan bantuanilmu-ilmu lain. Hal-hal yang cukup penting itu harus dipahamioleh seseorang yang akan menggunakan pendekatan kesejarahan.

Sejarah agama-agama mempunyai dua perhatian utama: (1)melukiskan seobjektif mungkin kondisi-kondisi dan unsur-unsursuatu situasi historis dan (2) mengenal bahwa perubahan-perubahandalam kehidupan manusia adalah akibat dari interaksi-interaksi dankondisi-kondisi historis yang mengitari peristiwa keagamaan.6

Menurut Mircea Eliade, penegasan bahwa fakta keagamaanbersifat historis merupakan suatu hal yang sah, setiap fakta keaga-maan selalu terkait dengan sejarah. Karena itu, jika seseorang maumemahami fakta keagamaan, ia harus mencoba memahami sifathistorisnya. Dengan mengerti sifat historisnya itu, seseorang dapatmenunjukkan bagaimana suatu fakta dan makna keagamaan telahdialami dan dihayati dalam tahap-tahap kebudayaan dan sejarahtertentu, dan bagaimana makna itu telah berubah, entah diperkayaatau dipermiskin.7

Hingga saat ini, studi sejarah agama terus berevolusi menjadikajian ilmiah yang bersikap kritis terhadap pemahaman kesejarahanyang mapan. Kurt Rudolf, seorang ahli sejarah agama, menunjuk-kan poin-poin penting yang harus dipahami dalam studi sejarahagama:8

(1) Studi kesejarahan tentang agama adalah studi ilmiah tentangsuatu peristiwa keagamaan. Disebut “studi ilmiah” karena sejaksejarah agama (the history of religions) menjadi ilmu yang oto-nom (a science), maka tugasnya adalah refleksi kritis dan historis,bukan bertujuan untuk propaganda atau menyebarkan pa-ham, keyakinan dan klaim keagamaan. Sejarah agama sebagai

Page 19: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

18 Wajah Studi Agama-Agama

kajian ilmiah seharusnya “bebas nilai secara relatif” dan hanyamengejar objektivitas. Karena itu, dalam cahaya saintifik Barat,sejarah agama tidak bisa menerima begitu saja sebuah hasildari metode fenomenologi, yaitu “memahami” (understanding,atau Verstehen [bahasa Jerman]), maksudnya “pemahaman diritentang kebenaran keyakinan seperti yang dirasakan peme-luknya.” “Kebenaran teologis” dari para penganut agama tidakmenjadi kriteria bagi sejarah agama untuk menemukan sebuahkebenaran atau ketepatan yang objektif. Justru, sejarah agamaharus mengajukan sebuah aturan metode ilmiah, yaitu aturanyang mensyaratkan sarjana dalam bidang ini untuk melakukan“penjarakan secara kritis” atas klaim keyakinan teologis yangberdasar keyakinan kebenaran sejarah versi “orang dalam.”Tugas sejarah agama adalah untuk mengetahui lebih mendalam;tegasnya tidak boleh mengalah kepada pemahaman keseja-rahan yang sudah mapan dan pasif, juga tidak boleh berkurangsedikit pun sikap kritisnya. Dalam pengertian inilah disiplinsejarah agama berfungsi untuk “membebaskan” dan melaku-kan kritik ideologi terhadap paham tradisional yang kaku dansikap serta pemahaman keagamaan yang naif. Dengan katalain, sejarah agama bekerja dengan cara investigasi ilmiah ter-hadap data-data kesejarahan yang selama ini dijadikan landasankeimanan oleh para pemeluk agama.

(2) Sejarah agama, saat ini, tidak bisa tidak harus bekerja samadengan disiplin ilmu lain yang terkait atau sangat terkait sepertifilologi, etnologi (antropologi), hermeneutik, sosiologi dan psi-kologi. Ilmu-ilmu bantu ini, tidak saja memperkaya kajian seja-rah agama, namun juga dapat “melawan” ambisi-ambisi teologidan filsafat agama yang tidak mampu bersikap kritis terhadapsejarah keagamaan. Sejarah agama harus terus berdiskusi,mengadopsi dan meminjam metode disiplin ilmu-ilmu bantudi atas untuk menemukan sedalam-dalamnya kebenaran suatusejarah keagamaan yang selama ini diklaim secara mapan olehsuatu agama. Sejarah agama adalah sejarah tentang keimanan

Page 20: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

19Dr. Media Zainul Bahri

orang-orang beragama, bukan tentang iman itu sendiri. Karena-nya, berbicara tentang “orang-orang” berarti berbicara tentangbudayanya, kehidupan sosialnya, dan kejiwaannya. Khususuntuk sosiologi, studi ini telah mendominasi kajian kesejarahanagama dalam rentang waktu yang lama, seperti yang dilakukanoleh Emile Durkheim, Max Weber, Peter L. Berger dan yangpaling mutakhir adalah Robert N. Bellah. Sejarah agama dansosiologi terkait erat karena manusia disebut sebagai homo re-ligiosus dan pada saat yang sama ia juga homo sociologus. Sejarahagama tidak akan meninggalkan “cahaya” sosiologi karenaagama sebagai objek kajian sejarah agama sesungguhnya adalahagama dalam pengertiannya sebagai fenomena sosial.

(3) Sejarah agama lahir pada masa “pencerahan” (Enlightenment,Aufklarung), di mana manusia mulai menemukan keagunganilmu pengetahuan dan kemanusiaan dan berusaha melepaskandiri dari dogma dan tradisi yang membelenggu. Karena itu,kalau pun sejarah agama harus berpihak, maka ia harus berpi-hak kepada “pencerahan manusia” yaitu toleransi, objektivitasilmiah, penilaian yang kritis, melawan rasisme dan sektarianis-me atau eksklusivisme, dan mengembangkan paham-pahamkemanusiaan. Dalam pengertian inilah sejarah agama dapatberkontribusi dalam membangun kesadaran akan pentingnyamasa lalu bagi masa kini. Kesadaran kesejarahan (historical con-sciousness) dapat meningkatkan pemahaman akan diri, mem-bangun imaji masa lalu yang objektif demi kemanusiaan masakini, dan mengatasi model-model pemikiran yang sudah tidakrelevan lagi. Sejarah agama—dengan sikap kritisnya—akanmenunjukkan kepada umat manusia bahwa mereka memilikisejarah yang panjang dengan agama, dan (sejarah itu jugamenunjukkan) hidup mereka tidak sempurna tanpa agama.Sejarah agama akan menunjukkan sosok manusia (human be-ing) dengan segala kekayaan dan kompleksitasnya karena iabukanlah homo religiosus dengan tiba-tiba atau sejak lahir, me-lainkan ia menjadi homo religiosus karena pada saat yang sama

Page 21: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

20 Wajah Studi Agama-Agama

ia juga homo sociologus, homo sapiens, homo historicus, homotechnicus, homo ludens, homo educandum, homo recentis, homovalens, homo aesteticus dan lain-lain. Manusia beragama dapatterus menemukan makna agamisnya yang dinamis bersama-sama dengan penemuan-penemuan baru dalam sejarah agama.Model kritis ala Rudolph ini, meskipun ditulis dalam cahaya

saintifik Barat yang positivistik, namun inilah salah satu cara terbaikuntuk mendorong Studi Agama atau Perbandingan Agama denganpendekatan kesejarahan menjadi kajian ilmiah yang menarik dandinamis, dan tidak lagi perlu mengikatkan diri pada Fakultas ataudepartemen/kajian suatu agama yang biasanya mengkaji agama de-ngan tujuan dakwah/misionari.

2. Pendekatan Teologis

Pendekatan ini dalam rentang sejarah yang cukup lama meru-pakan pendekatan yang paling dominan dan paling berpengaruhdalam Studi Agama dan studi agama-agama (Perbandingan Aga-ma), bahkan hingga hari ini meskipun tidak lagi mendominasi.Selama berabad-berabad, teologi dianggap sebagai “Ratu IlmuPengetahuan (Queen of the Sciences),” terutama di dunia Yahudi,Kristen dan Islam. Inilah pendekatan yang bersifat normatif dansubyektif. Dengan pendekatan ini seorang penganut suatu agama,apakah itu Kristen, Islam atau agama lain ketika membuat studiteologis biasanya ia melakukan satu dari dua hal: pertama, studiinternal. Dalam hal ini, seorang sarjana/peneliti agama adalah orangdalam (insider) yang berusaha secara aktif dalam kegiatan ilmiahnyauntuk melestarikan dan mempromosikan keunggulan agamanyaserta mempertahankannya dari ancaman atau serangan orang lain.Kedua, eksternal. Dalam hal ini, seorang peneliti atau penganutagama tertentu melakukan kajian terhadap agama/keyakinan oranglain untuk “menilai” dan “menghakiminya” dengan ukuran agamasang peneliti. Dulu, pendekatan ini disebut juga pendekatan teks-tual atau pendekatan kitabi dengan sifat utamanya: apologis danpolemis.

Page 22: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

21Dr. Media Zainul Bahri

Dalam sejarah Kristen misalnya, muncul teolog-teolog besarseperti St. Augustinus dari Hippo dengan karyanya On ChristianDoctrine dan Confessions, Thomas Aquinas dengan Summa Theologica,Paul Tillich dengan Systematic Theology, Karl Barth dengan magnumoppus-nya Church Dogmatics, dan lain-lain. Mereka tidak sematamembuat karya teologi yang mempromosikan, mempertajam danmemperdalam keunggulan ajaran Kristen, namun juga melakukanpenilaian terhadap agama lain. Thomas Aquinas misalnya mengajar-kan bahwa semua agama di luar Kristen adalah palsu. Kita bisamembaca berjilid-jilid karya teolog-teolog Kristen dari abad perte-ngahan hingga modern dengan model teologis yang apologetik.

Begitu pula dalam sejarah Islam. Kita bisa membaca karya-karya teologi pra dan di abad pertengahan seperti al-Ghazali dengansalah satu karyanya, al-Qawl al-Jamîl Fi Radd ‘alâ Man Ghayyaraal-Injîl, Ibn ‘Arabi dengan al-Futûhât al-Makkiyyah, ‘Ali Ibn Hazmmelalui al-Facl Fi al-Milal wa al-Ahwâ wa al-Nihal, Abdul KarimSyahrastani melalui al-Milal wa al-Nihal, Ibnu Taymiyyah melaluial-Jawâb al-Sahîh Liman Baddala Dîn al-Masîh. Karya-karya ini jugatidak semata mendeklarasikan kesempurnaan Islam namun jugamelucuti “kecacatan” agama-agama lain. Di masa kini karya-karyaserupa menyeruak lebih banyak lagi.

Teologi vis-a-vis Studi Agama

Seperti telah disebut tugas seorang teolog adalah mempromo-sikan keunggulan tradisi agamanya dan meyakinkan orang bahwadoktrin dan ajaran agama tersebut dapat memberi makna dan ha-rapan dalam hidup yang tak menentu. Namun lebih dari itu, se-orang teolog juga dapat mendiskusikan isu-isu penting yang kon-tekstual seperti lingkungan hidup, perubahan iklim global, hak asasimanusia, problem dalam toleransi dan intoleransi, tiadanya harapanbagi manusia yang termarginalkan dan lain-lain. Semua isu itu di-beri nilai teologi. Atau sejauh mana doktrin-doktrin teologis dapatmerespons isu-isu penting itu. Namun, tetap saja seorang teolog

Page 23: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

22 Wajah Studi Agama-Agama

adalah “orang dalam” yang sedang menginterpretasikan pan-dangan-pandangan teologisnya.

Disiplin studi agama atau Perbandingan Agama berbeda dengantugas teologi di atas, setidaknya itulah yang terjadi (diinginkan) diperguruan tinggi di Barat yang memiliki departemen Studi Agama.Sarjana studi agama harus didesain untuk tidak menjadi “orangdalam” dalam tradisi agama apapun. Tugasnya adalah melakukankajian ilmiah atas tradisi keagamaan dengan pendekatan-pende-katan ilmiah tertentu, apakah dengan pendekatan fenomenologi,sejarah, sosiologi, antropologi, hermeneutik dan lain-lain. Maka,seorang sarjana bukanlah “orang dalam” yang sedang memainkanperan sebagai seorang teolog yang berbicara kepada audiens agamatertentu. Meskipun seorang sarjana Studi Agama adalah orang yangagamis atau memiliki ketaatan dalam agama tertentu, tetapi ia harusmenghindari peran “normatif” seorang teolog. Ia harus menghin-dari untuk “menilai,” “menentukan,” dan “mempromosikan” nilai-nilai, norma dan klaim atas tradisi agama yang ditelitinya.9 Tugasnyaadalah membuat klasifikasi dan menganalisis klaim-klaim dan kon-teks-konteks di sekitar tradisi itu, apakah sejarahnya, budayanya,atau interaksi sosialnya yang melahirkan pandangan dan klaimteologi itu.

Memang, di sini harus dipahami perbedaan mendasar antaraagama (religion), studi agama (the study of religion), dan menjadiagamis (being religious).10 Banyak sarjana, mahasiswa, dan terutamaorang awam yang kebingungan untuk membedakan tiga poin itu,dan juga dalam praktiknya. Di Indonesia, hampir semua sarjanaagama yang melakukan studi ilmiah terhadap agama— bahkanmenjadi profesor dalam studi agama (tertentu), namun di saat yangsama sering kali ia menjadi teolog di tengah-tengah masyarakat ataukomunitasnya. Ketika berbicara di depan publik juga, ia “menyatu-kan” sikap antara sebagai seorang sarjana yang berusaha menjelas-kan analisis ilmiahnya sekaligus pula membuat “nilai” “menentu-kan,” dan “mempromosikan” tradisi keagamaannya. Sikap ini se-rupa dengan sikap teolog-teolog Kristen di Barat, juga di Asia pada

Page 24: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

23Dr. Media Zainul Bahri

era 1950-an hingga 1990-an. Namun di Barat kini secara gradualsudah ada pembedaan yang tegas antara figur-figur teolog dan sar-jana studi agama dengan melihat kiprah dan karya-karya mereka.

Menjadi sarjana agama yang mahir tentang agama tidak harusmenjadi teolog (orang dalam), sebagaimana juga seorang yang aga-mis tidak berarti tidak bisa menjadi ahli kajian ilmiah agama. Halitu sesuai dengan adagium bahwa “untuk mahir mengajar biologitidak harus menjadi kodok atau ikan terlebih dahulu.” Saat ini,ketika studi agama atau Perbandingan Agama didekati dengan multipendekatan disiplin ilmiah, maka yang mengajar studi agama tidakharus seseorang yang terlatih dalam disiplin ilmu itu. Sosiolog, an-tropolog, ahli ilmu politik, psikolog, filsuf, dan ahli ilmu budayadapat mengajar studi agama atau Perbandingan Agama denganpendekatan atau perspektif keahlian ilmunya. Memang, agamaadalah objek utama untuk studi agama, namun kajiannya tidaklagi didominasi oleh hanya sarjana-sarjana dalam disiplin ilmuagama.11

3. Pendekatan Fenomenologis

Pendekatan fenomenologis yang bermula dari cara berfilsafatyang didirikan oleh Edmund Husserl kemudian hari dipergunakanpula dalam berbagai bidang disiplin lain, termasuk PerbandinganAgama. Joachim Wach mengatakan bahwa Fenomenologi Agamabertujuan memahami ide-ide, kegiatan-kegiatan, tingkah laku, danpranata-pranata keagamaan dengan menangkap maksudnya tanpamendasarkan diri pada teori-teori yang sudah dipergunakan sebe-lumnya entah itu teori teologis, filosofis, metafisis, atau psikologis.12

Fenomenologi, seperti telah disebut di muka, awalnya adalahistilah filsafat yang dibangun oleh Edmund Husserl (1859-1938)13

dalam melihat fenomena: gejala yang tampak atau yang menam-pakkan diri. Fenomenologi adalah ilmu pengetahuan (logos) tentangapa yang tampak (phainomenon).14

Namun, apa yang sesungguhnya disebut fenomena dalam fil-safat Husserl, bukan hanya “apa yang menampakkan diri dalam

Page 25: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

24 Wajah Studi Agama-Agama

dirinya sendiri,” apa yang menampakkan diri seperti apa adanya,apa yang jelas di hadapan kita—sehingga para pengikut aliran inimemopulerkan slogan mereka, “Zurück zu den Sachen selbst, backto the thinks themselves” (kembalilah kepada benda-benda sendiri)—melainkan juga apa yang bisa diserap secara ruhani, tanpa lewatindra, dan tidak mesti berupa sebuah peristiwa.15Jadi, filsafat inimau mencari meaning (numena) dari apa yang sekadar tampak(fenomena).

Filsafat fenomenologi ini besar sekali pengaruhnya di Eropadan Amerika, tak terkecuali terhadap ilmuwan-ilmuwan agama diatas, yang kemudian melahirkan sebuah disiplin ilmu yang populerdisebut fenomenologi agama. Dalam konteks memahami agamaorang lain, metode fenomenologis adalah sebuah usaha melihatsecara utuh dan menyeluruh pelbagai gejala-gejala keagamaan yangdimanifestasikan dalam bentuk ide, pengalaman dan ritual-ritualpara pemeluknya, untuk kemudian didata, diklasifikasi dan dike-lompokkan dengan teknik ilmiah tertentu, sehingga diperoleh pan-dangan yang menyeluruh dan utuh dari isi dan bentuk ritual-ritualyang dilakukan, kemudian ditangkap dengan sangat benar maknaagamis (religious meaning) yang dikandungnya16 (tentu dalam per-spektif pemeluknya).

Alat utama yang digunakan dalam pendekatan model ini adalahapa yang disebut dengan “epoche” dan “eiditik vision”. Epoche adalahsebuah istilah yang digunakan Husserl yang berarti “menangguh-kan memberikan penilaian terhadap persoalan kebenaran dari gejalakeagamaan, menunjukkan sikap tidak memihak, mendengarkandengan serius untuk mencapai pemahaman yang benar tentanggejala-gejala keagamaan orang lain/luar.”17 Sementara eidetic visionadalah “the research for the eidos: the essence of the religious fact.”18

(pencarian yang berkenaan dengan eidos (inti sari): yakni esensitentang fakta-fakta keagamaan).

Ringkasnya, “epoche,” bagi seorang peneliti gejala keagamaanorang lain, adalah: (1) sebuah sikap menangguhkan memberikanpenilaian tentang benar atau salah dari gejala-gejala keagamaan yang

Page 26: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

25Dr. Media Zainul Bahri

diteliti, karena memberikan penilaian (benar atau salah) biasanyadilakukan oleh Teologi dan Filsafat Agama, bukan oleh Fenome-nologi Agama. Sikap ini dibarengi pula dengan melepaskan segalapraduga dan asumsi yang ada sebelumnya terhadap objek. (2) ber-sikap netral/tidak memihak, (3) mendengarkan secara serius apayang sesungguhnya menjadi makna agamis (religious meaning) danadanya pengalaman spiritual (spiritual experience) dari gejala-gejalakeagamaan yang tampak. Dengan sikap seperti ini, maka akan me-mudahkan peneliti menemukan eidos: esensi mengenai fakta ataufenomena keagamaan yang ditelitinya.

Seorang fenomenolog, dengan kata lain, berarti orang luar (out-sider) yang berusaha memahami agama orang lain, dengan caramasuk ke dalam; menanggalkan dan meluruhkan (“epoche”, stop-ping) segala asumsi, praduga, penilaian dan pengetahuansebelumnya mengenai agama yang hendak dipahami, dan mem-biarkan objek berbicara tentang dirinya sendiri hingga dapat dike-tahui dengan benar dan jelas inti sari (eidos) objek.

Dalam menyelidiki fakta keagamaan, dengan pendekatan fe-nomenologis orang tidak lagi bertitik-tolak dari rumusan-rumusanatau teori-teori tertentu melainkan dari fakta, data, dan gejala-gejala.Apa yang mesti digarap adalah onggokan perbuatan, kepercayaan,dan sistem-sistem yang secara bersama-sama membentuk gejala-gejala keagamaan. Pendekatan fenomenologis membiarkan gejala-gejala keagamaan “berbicara untuk dirinya sendiri” (speak for them-selves) dengan melemparkan jauh-jauh segala yang subjektif, pra-sangka, teori, dan hal-hal yang kebetulan, dan membatasi diri padapengamatan gejala-gejala. Penundaan penilaian (“epoche”) mempu-nyai peranan yang terpenting dalam pendekatan ini.

Tugas utama Fenomenologi Agama ialah menjelaskan struktur-struktur inti gejala-gejala keagamaan. Fenomenologi Agama meru-pakan pendekatan sistematis dan komparatif yang mencoba meng-gambarkan kesamaan-kesamaan yang terdapat dalam berbagai ma-cam gejala keagamaan. Unsur yang sama ini adalah makna inti yangterdapat di dalamnya. Makna inti ini hanya dapat dipahami lewat

Page 27: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

26 Wajah Studi Agama-Agama

penggabungan pengetahuan tentang fakta-fakta historis dengansuatu simpati, empati, dan “perasaan” (feeling) terhadap data-datakeagamaan.

Secara teknis, untuk mendapatkan informasi yang benar ten-tang pengalaman keagamaan yang valid, Spickard merekomen-dasikan empat langkah dalam memakai metode fenomenologis,yaitu (1) Menempatkan informan kita dalam suatu tempat yangtepat, lalu mewawancarainya untuk berbagi pengalaman spiritualyang direguknya, (2) Membantu informan itu untuk berkonsentrasidan menjelaskan secara pasti bagaimana pengalaman spiritual ituhadir di dalam kesadarannya. Diusahakan juga agar “suara-suara”rendah atau “bisikan-bisikan” yang tidak penting dapat dihindari,dan hanya fokus kepada apa “yang sesungguhnya” terjadi. Dengankata lain, hanya fokus pada kesejatian pengalaman keagamaannya.(3) Melakukan komparasi dan menganalisis data-data yang didapatuntuk mengidentifikasi struktur-struktur pokok dari pengalamanitu, dan (4) Melakukan penggambaran ulang dan meringkas peng-alaman keagamaan tersebut.19Jadi, mendengarkan dengan seriusapa yang menjadi pemahaman dan pengalaman informan dalamkeseluruhan sikap dan kesadarannya. Lalu, kita membuat pemi-lahan, pembagian dan identifikasi data-data yang didapat untukdicapai satu pengertian dan pandangan yang utuh mengenai subjekyang diteliti.

Selanjutnya, fenomenologi, dalam proses kerjanya, bersinergidengan sejarah agama dan disiplin sejarah lainnya. Keduanya ba-gaikan dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Apa yang disebutdengan fenomenologi agama atau metode fenomenologis, inherendi dalamnya sejarah agama-agama. Tanpa sejarah fenomenologi ti-dak akan bekerja dengan sempurna dan makna agamis yang menjaditarget yang hendak dicapai tak akan tertangkap secara utuh. Selainmakna agamis dan pengalaman spiritual yang diungkapkan, kontekskesejarahan di mana ajaran atau doktrin itu pertama kali munculatau di “wahyukan” sangat penting untuk (diketahui) kelengkapandata. Oleh karenanya, model ini sering kali disebut dengan Feno-

Page 28: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

27Dr. Media Zainul Bahri

menologi Historis Agama. Kerja sama, analogi dan hubungan timbalbalik keduanya, secara gamblang ditegaskan oleh Raffaele Pettaz-zoni (1883-1959), sejarawan agama Italia, dalam kutipan berikut:

“Fenomenologi dan sejarah saling melengkapi satu sama lain.Fenomenologi tak dapat bekerja tanpa etnologi, filologi dan disiplinsejarah lainnya. Fenomenologi, di lain pihak memberikan kepadailmu sejarah, pengertian keagamaan yang tak dapat dicapai olehnya.Bila kita mengerti demikian, maka fenomenologi agama adalah pe-mahaman (Verständniss) religius mengenai sejarah; adalah sejarahdalam dimensi religiusnya. Fenomenologi dan sejarah bukanlah duailmu melainkan dua aspek yang saling melengkapi dari suatu ilmuyang menyeluruh mengenai agama, dan ilmu agama yang demikianini mempunyai suatu ciri yang pas yang ditentukan baginya olehobjek penyelidikannya yang khas.”20

Model fenomenologis ini merupakan pendekatan yang sangatbanyak diminati oleh para peminat Perbandingan Agama, bahkanJames Spickard menyebutnya sebagai pendekatan yang super-kuat(powerfull) dalam studi agama-agama, padahal di saat yang samabanyak orang yang tak paham tentang pendekatan fenomenologiini.21 Pendekatan ini sangat lazim disukai karena dianggap sangatmembantu dalam memahami agama dan kehidupan (pengalaman)keagamaan orang lain.

4. Pendekatan Komparatif

Selain pendekatan sejarah dan fenomenologi, pendekatan kom-parasi juga sangat diminati oleh para mahasiswa, peneliti dan ahliPerbandingan Agama, karena salah satu tugas Ilmu PerbandinganAgama adalah mem(per) bandingkan agama-agama. Marc Bloch,sejarawan Prancis, seperti dikutip oleh Michael Stausberg, meng-gambarkan empat proyek studi perbandingan, yaitu: (a) penya-ringan (selection); bagaimana melakukan seleksi terhadap beberapafenomena atau lingkungan sosial yang berbeda, (b) menggambarkangaris-garis evolusi fenomena atau keadaan sosial itu, (c) melakukanpengamatan atas kesamaan dan perbedaan-perbedaan di antara me-

Page 29: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

28 Wajah Studi Agama-Agama

reka, dan (d) sejauh kemungkinan yang dapat dicapai adalah mem-beberkan penjelasan dan analisis kritis. Studi perbandingan ini telahdipakai oleh banyak sekali bidang ilmu, termasuk ilmu sosial danilmu humaniora.22

Menurut Stausberg, perbandingan sesungguhnya merupakanaktivitas kognitif umum yang dilakukan manusia di mana saja, baiksecara eksplisit maupun implisit. Dalam ranah akademis, Stausberglebih condong untuk menyebut bahwa studi perbandingan sesung-guhnya lebih tepat disebut sebagai desain penelitian (research de-sign), namun banyak sarjana sudah telanjur menyebutnya sebagaimetode, yaitu metode perbandingan (the comparative method). Ka-rena itu, metode komparatif telah melekat kuat dan selalu menjadibagian yang tak terpisahkan dari Metode Penelitian (research meth-ods).23

Dalam Perbandingan Agama, tugas membandingkan dilaku-kan dengan menempatkan gejala-gejala keagamaan yang paraleldari agama-agama yang dikaji secara berdampingan, dan memban-dingkan gejala-gejala itu untuk mengetahui strukturnya. Langkahawal yang harus dilakukan ialah mencari “keparalelan” gejala-gejalaatau bentuk-bentuk keagamaan yang spesifik dari agama-agamayang akan dibandingkan, karena perbandingan tidak dapat dila-kukan kecuali antara gejala-gejala atau bentuk-bentuk “yang para-lel,” yang mempunyai kesejajaran, atau kesamaan. Dengan caraini, misalnya ide tentang Tuhan dalam suatu agama dibandingkandengan ide tentang Tuhan dalam agama lain. Ide tentang wahyudalam suatu agama dibandingkan dengan ide tentang wahyu dalamagama lain. Tokoh sentral dalam suatu agama, dibandingkan de-ngan tokoh sentral dalam agama lain. Kitab Suci suatu agama diban-dingkan dengan kitab suci dalam agama lain. Korban dalam suatuagama, dibandingkan dengan korban dalam agama lain, dan sete-rusnya.

Menurut Kautsar Azhari Noer, dalam praktiknya, metode per-bandingan ini sering menemukan kesulitan, bahkan jalan buntu,ketika berusaha menetapkan mana gejala-gejala atau bentuk-bentuk

Page 30: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

29Dr. Media Zainul Bahri

keagamaan yang paralel dari agama-agama yang hendak dibanding-kan. Kautsar (2001) memberi tiga contoh gejala keagamaan yangdiperbandingkan, yaitu nirwana dalam Buddhisme, al-Qur‘an da-lam Islam, dan trikarya dalam Buddhisme Mahayana.24

Sebagaimana telah disinggung bahwa perbandingan tidak da-pat dilakukan kecuali antara gejala-gejala atau bentuk-bentuk keaga-maan “yang paralel” dari agama-agama yang hendak dibandingkan,maka ide tentang Tuhan harus dibandingkan dengan ide tentangTuhan, ide tentang wahyu dengan ide tentang wahyu, kitab sucidengan kitab suci, tokoh sentral dengan tokoh sentral dan seterus-nya. Akan tetapi, dalam tulisan Kautsar mengenai usaha-usahamembandingkan nirwana, membandingkan al-Qur`an dan mem-bandingkan trikaya, muncul kesulitan ketika menetapkan manabentuk-bentuk yang paralel yang hendak dibandingkan. MenurutKautsar, kesulitan ini tampaknya berasal dari keunikan bentuk-bentuk keagamaan yang ada dalam struktur-struktur berbagai aga-ma yang berbeda. Ada bentuk-bentuk yang paralel antara beberapaagama dan ada bentuk-bentuk yang tidak paralel karena keunikanmasing-masing. Bentuk-bentuk yang paralel dapat dibandingkan,bentuk-bentuk yang tidak paralel tidak dapat dibandingkan.25

Untuk mengetahui mana bentuk-bentuk yang paralel dan ma-na bentuk-bentuk yang tidak paralel, para pengkaji terlebih duluharus memahami dengan tepat bentuk-bentuk itu dalam masing-masing agama yang dipelajari. Di sini kita kembali kepada prob-lem klasik perbandingan agama yang harus diatasi: “Apakah orangdapat memahami agama yang bukan agamanya sendiri?” Jika per-soalan ini belum teratasi, perbandingan antara agama-agama yangdipelajari mustahil dilakukan. Untuk memahami agama-agamalain, seperti yang dikatakan di atas, Kautsar memilih metode per-sonalis atau dialogis yang diusulkan Smith, meskipun metode kon-templatif yang disulkan Florida adalah yang terbaik secara ilmiah.Di sini tampak bahwa membandingkan bentuk-bentuk keagamaanantara berbagai agama bukanlah tugas yang ringan karena sebelum

Page 31: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

30 Wajah Studi Agama-Agama

tugas ini dilakukan, harus dipahami terlebih dulu bentuk-bentukyang hendak dibandingkan itu.

Ketidaktepatan, apa lagi kekeliruan, dalam menetapkan ben-tuk-bentuk yang paralel yang hendak dibandingkan membawa ke-keliruan dan kekacauan pemahaman. Akan tetapi, ketepatan dalammenetapkan mana bentuk-bentuk yang paralel membuka peluangyang lebih besar bagi ketepatan perbandingan dan akhirnya mem-berikan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih akurat. Da-lam hal ini harus ditetapkan mana persamaan-persamaan yangmendalam dan esensial dan mana-mana persamaan yang dangkaldan longgar. Di samping itu, harus dijaga keseimbangan antarapencarian persamaan-persamaan dan pencarian perbedaan-per-bedaan. Perbandingan yang simplistik harus dihindari. Usaha mem-buat generalisasi yang tergesa-gesa adalah bahaya lain yang harusdihindari pula. Karena itu, metode komparatif ini harus dilakukandengan sangat hati-hati.26

5. Pendekatan Perenial

Perenialisme atau filsafat perenial telah lama dijadikan pende-katan dalam memahami asal-usul wahyu keagamaan, aspek onto-logis dan epistemologis agama dan akhirnya memahami perbedaanbentuk-bentuk agama historis dan titik-temu esoterik agama-agama. Saya kira penting untuk memahami sejarah formulasi filsa-fat perenial secara singkat dan kemudian membedah isinya. Filsafatperenial atau dalam bahasa Latin populer disebut philosophia perennisadalah filsafat tentang Yang Abadi dan Sejati yang memiliki dayatahan (enduring) dan tahan lama dalam keabadiannya (ever lasting)dan telah (atau selalu) diwariskan dari generasi ke generasi.27

Menurut Charles Schmitt, banyak orang menyangka bahwafilsafat perenial berasal dari Leibniz, karena ia memang sering meng-gunakan istilah itu dalam sebuah surat untuk temannya, Remundo,yang banyak dikutip orang, tertanggal 26 Agustus 1974. Namun,sebuah penelitian yang lebih cermat membuktikan bahwa istilahphilosophia perennis sudah digunakan orang jauh sebelum Leibniz,

Page 32: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

31Dr. Media Zainul Bahri

bahkan menjadi judul sebuah buku yang terbit tahun 1540, ditulisoleh seorang pengikut Augustinus, dari Italia: Agostino Steuco(1490-1548). Meskipun besar kemungkinan Steuco adalah orangpertama yang memunculkan istilah itu, dan secara pasti adalahorang pertama yang memberinya makna yang kompoleks dan siste-matis, namun ia berangkat dari sebuah tradisi filsafat yang sudahberkembang mapan. Dari tradisi tersebut kemudian ia mencobamemformulasikan sintesis terhadap filsafat, agama, dan sejarah yangia beri nama philosophia perennis.28

Menurut Steuco seperti dikutip oleh Schmitt, filsafat perenialmenegaskan adanya “prinsip tunggal dari segala sesuatu” yang satudan selalu sama dalam pengetahuan semua manusia. Terdapat se-buah kesejatian tunggal atau Hikmah tunggal yang ada dan akanselalu ada, yang sudah sangat tua setua umur manusia itu sendiri,atau filsafat yang sudah ada “bahkan semenjak awal munculnyaspesies manusia.” Pengetahuan perenial itu bermakna pula adanyakesamaan abadi yang tak tereduksi oleh pergeseran ruang dan wak-tu. Menurut Steuco, yang perlu mendapat penekanan adalah “kon-tinuitas” sejarah. Perubahan memang terjadi, namun hal itu hanyabersifat minor jika dibandingkan dengan unsur-unsur yang tetap.Sebenarnya Steuco juga berbicara tentang progress, namun dalampengertiannya yang tak lebih dari “gerak ke depan,” atau “perkem-bangan” waktu. Perenialisme mengajarkan hanya satu kesejatiantunggal yang mencakup semua periode sejarah, yang meskipuntidak selalu menampakkan diri secara mencolok dalam setiap perio-de sejarah, namun pasti akan dapat ditemukan oleh orang-orangyang bersungguh mencarinya.29

Steuco banyak memakai ide-ide Yunani tentang degradasi terus-menerus dalam sejarah manusia. Pengetahuan misalnya, telah meng-alami tiga tahap degradasi: pertama, ia sempurna, diturunkan secaralangsung dari Tuhan kepada manusia. Kemudian menjadi kaburdan terpecah-pecah, dan akhirnya hilang dan hanya tampak sebagaidongeng atau mimpi. Sesuatu yang pernah diketahui secara pastipada zaman dahulu, menjadi semakin kabur dan terlupakan semua-

Page 33: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

32 Wajah Studi Agama-Agama

nya, atau hanya menjadi dongeng atau mitos. Kesejatian dan Hik-mah merupakan sebuah paket yang telah dikemas dengan lengkap,ditransmisikan dari generasi ke generasi umat manusia, dimulaidari Adam. Dalam proses perjalanan waktu pengetahuan tersebutmengalami pemudaran, dan hanya dapat dipertahankan denganpaling baik menurut Steuco, melalui Prisca Theologia.30

Kata Priscus barangkali lebih tepat diterjemahkan dengan “sela-lu diwariskan” (venerable). Prisca merujuk kepada “para filosof danteolog yang saling berkesinambungan.” Kontinuitas atas pengeta-huan abadi dan sejati para filsuf menurut Schmitt, sama sekali tidakterjadi secara kebetulan, karena memang kesejatian berasal darisumber mata air yang sama, namun muncul dalam bentuk manifes-tasi yang beragam. Diwahyukannya kesejatian sudah berlangsungsejak zaman kuno, karena itu berulang-ulang Steuco dan para peng-anut filsafat perenial menegaskan bahwa Hikmah, Keabadian danKesejatian telah ada sejak azali, sejak zaman awal manusia, dan ke-mudian ditransmisikan kepada generasi-generasi selanjutnya.31

Filsafat perenial mengajarkan bahwa Realitas Ultim, Yang Ilahi(secara ontologis) adalah tanpa nama, sesuatu yang tak terjangkau,di mana tak satu pun ungkapan dapat menunjuknya,32 namun padasaat yang sama filsafat ini memiliki epistemologi bahwa Tuhan jugadapat dijangkau dengan pemahaman akal. Dengan kata lain, Rea-litas Ultim adalah Godhead, Esensi, Tao, Brahman, Energi, Kesadaran,atau sebutan-sebutan lain yang sejenis. Bagi-Nya, ada sifat-sifatsekaligus tidak ada sifat. Dengan memperhatikan sifat-sifat-Nya,maka Ia adalah wujud yang personal, material dan benar-benarada dalam ruang dan waktu. Namun, Ia juga dapat muncul dalamkarakter yang impersonal, non-material, dan di luar jangkauan di-mensi ruang dan waktu. Ia di dalam kita, di sekitar kita, dan bahkandiri kita sendiri; namun Ia juga sekaligus sepenuhnya di luar kita,dan secara esensial sama sekali bukan kita. Banyak yang dapat dika-takan tentang-Nya, namun tak satu pun juga kata dapat menyata-kan-Nya.33

Page 34: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

33Dr. Media Zainul Bahri

Frithjof Schuon membuat empat perbedaan fundamental an-tara Yang Absolut dan yang relatif, atau antara Yang Tak-Berhinggadengan yang berhingga, atau antara Atma dengan Maya. Bentukpertama mengekspresikan Esensi Tunggal secara a priori, “Good-head” menurut Eckhart, Beyond Being. Bentuk kedua mengekspre-sikan Tuhan yang personal, yang secara “Absolut-Relatif,” dan dalampengertian tertentu juga mencakup keseluruhan wilayah relativitashingga batas akhir proyeksi kosmogonis.34 Perbedaan pertama inirelevan dengan penjelasan diatas dan banyak mendapat perhatiandari para peminat filsafat perenial.

Dalam diskursus filsafat perenial, Schuon membuat kategoriyang kompleks dan jelas mengenai dua aspek agama, yaitu esote-risme dan eksoterisme. Dua kategori ini sebagai konsekuensi daripenjelasan mengenai Realitas Yang Ultim, terutama pada aspeknyayang epistemologis, menjadi salah satu pendekatan dalam studiagama, terutama ketika memahami perbedaan dan titik temu sertakesatuan esensial agama-agama.

Esoterisme adalah dimensi dalam atau inti agama. SedangkanEksoterisme biasanya diartikan sebagai aspek luar, eksternal, for-mal, dogma, ritual, etika atau moral sebuah agama sebagai kebalikandari esoterisme sebagai inti terdalam agama.

Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi; keduanya ba-gaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Esoterik bagai-kan “hati” dan eksoterik ibarat “badan” agama.35 Kehidupan keaga-maan yang eksoterik ada pada dunia bentuk (a world of forms),namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formlessEssence) atau yang esoterik. Dimensi esoterik berada di atas ataumelampaui dimensi eksoterik.

Esoterisme adalah inti terdalam agama yang mengejawantahdalam bentuk eksoterik dan sekaligus menjamin perkembangan(bentuk agama itu) secara normal dan dalam stabilitas yang maksi-mal. Esoterisme merupakan pancaran sinar tetapi sekaligus tabirbagi eksoterisme.36 Jika suatu agama, tepatnya para pemeluk agamayang bersangkutan, menolak keberadaan inti atau yang esoterik

Page 35: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

34 Wajah Studi Agama-Agama

karena ketakpercayaannya atau ketakpahamannya terhadap dimen-si ini, maka, menurut Schuon, bangunan agama itu akan bergun-cang, bahkan mengalami kehancuran bagian demi bagiannya. Yangtinggal hanya unsur-unsurnya yang paling luar saja, yakni sekadarkata-kata kosong dan sentimentalitas belaka.37

Sebab itu bagi Schuon, eksoterisme membutuhkan esoterismekarena dua hal. Pertama, dengan sebab esoterisme, eksoterisme da-pat muncul dan mewujud secara normal. Maksudnya, esoterisme,sebagai inti, berfungsi menyuplai darah segar yang merupakansumber hidup bagi bentuk atau eksoteris agama. Tanpa inti ini,eksoterisme terpaksa hanya bersandar dan tergantung pada dirinyasendiri yang terbatas. Kedua, karena keterbatasan merupakan ka-rakteristik utama dari eksoterisme, dan hal itu memang telah meli-puti seluruh dirinya, maka jika eksoterisme tercabut dari dimensiinti (esoterik)-nya, ia hanya menjadi semacam badan yang padatdan gelap, yang karena kepadatannya sendiri akan menyebabkankeretakan. Eksoterisme akhirnya hanya akan terkungkung olehberbagai akibat lahiriah dari keterbatasannya sendiri.38

Dengan demikian, bagi Schuon, eksoterisme tidak memilikikepastian mutlak; ia bersifat relatif. Dalam sebuah rumusan yangdibuatnya, Schuon meyakini bahwa kebenaran sejati dan absoluttidak mungkin dapat ditemukan hanya pada sebuah bentuk atauperwujudan yang mungkin (ada). Logikanya, setiap kebenaran yangdiungkapkan pasti memiliki bentuk tertentu, yakni perwujudan-nya, dan dari segi metafisik, mustahil suatu bentuk mesti memuatsemua nilai kebenaran sehingga meniadakan bentuk-bentuk lain-nya. Menurut pengertiannya, suatu bentuk pasti bersifat terbatas,karena itu tidak mungkin suatu bentuk merupakan satu-satunyaperwujudan (dari Kebenaran) yang mungkin dari apa yang diung-kapkannya. Menurut pengertiannya pula, suatu bentuk pasti me-ngandung makna kekhususan atau pembedaan. Yang bersifat khu-sus hanya mungkin dipahami sebagai bentuk dari suatu species,yakni suatu kategori yang menghimpun kombinasi dari berbagaibentuk yang serupa. Apa yang bersifat terbatas, menurut penger-

Page 36: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

40 Wajah Studi Agama-Agama

dan metode yang digunakan. Pertama, ada suatu dasar epistemo-logis yang penting. Dalam mempelajari suatu agama lain yangbukan agama sendiri, sumber pengetahuan tentang agama itu bu-kan hanya berasal dari “thing,” tetapi juga dari para penganut agamaitu sendiri. Kedua, masalah audensi harus diperhatikan. Untuk siapasebuah buku ditulis? Karena isi tulisan sebagian ditentukan olehpengalaman penulis dan sebagian lagi oleh pengalaman (keadaan)audiensinya. Dalam dunia modern saat ini sebuah buku tidakmungkin ditulis untuk masyarakat tertentu. Buku yang ditulis khu-sus untuk masyarakat tertentu pasti akan dibaca juga oleh masyara-kat lain, terutama oleh masyarakat yang diceritakan dalam bukuitu. Misalnya, seorang Muslim menulis tentang Barat, atau Kristenatau umat Kristen, meskipun dalam bahasa Arab atau Urdu, ataubahasa lain, dan ditujukan kepada masyarakat Islam, tetap saja akandipelajari dan dianalisis oleh sarjana-sarjana Barat, dan hasilnya akanditerbitkan. Hal ini akan memberi pengaruh bukan hanya terhadaptulisan orang Muslim sendiri, tetapi juga terhadap orientasi Baratkepada Islam.53

Hal lain yang harus diperhatikan dalam hubungannya denganaudensi ialah bahwa pernyataan tentang suatu agama tidak validjika tidak diakui oleh penganut agama itu sendiri.54 Orang-orangnon-Kristen bisa saja menghasilkan tulisan yang otoritatif tentangsejarah gereja, namun sebaik, secermat, atau sebijak apa pun, mere-ka sama sekali tidak bisa membantah orang-orang Kristen menge-nai bagaimana keimanan atau kesyahduan Kristen terhadap gereja.Hal yang sama berlaku pula bagi semua agama lain. Apa pun yangdikatakan tentang Islam sebagai agama yang hidup adalah validhanya sejauh bisa diterima oleh orang-orang Muslim sendiri.55

Langkah kedua adalah bahwa pengamat (peneliti) harus memi-liki suatu sifat yang dipersonalisasikan (personalized quality). Duluseorang sarjana, secara ideal, dipandang sebagai orang pandai aka-demis yang tak memihak, yang meneliti bahan-bahan penelitian-nya itu secara impersonal, dan yang melaporkannya secara objektif.Konsep seperti itu adalah karakteristik tradisi akademis Eropa Barat

Page 37: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

41Dr. Media Zainul Bahri

abad ke-19. Seseorang tidak bisa meremehkan tradisi itu atau hasil-hasil yang telah mereka capai dalam studi ini (PerbandinganAgama) maupun dalam bidang-bidang lain.

Langkah ketiga adalah jika penulis dan apa yang ditulisnya telahmenjadi personal, maka hubungan antara keduanya juga harus per-sonal. Terjadi perjumpaan antara keduanya. Jika komunitas ma-nusia bertemu, muncullah kebutuhan untuk berkomunikasi. Inilahsebuah proses yang akan menjadi suatu dialog. Berbicara tentangmasyarakat tidak sama dengan berbicara kepada mereka; juga tidaksama dengan berbicara dengan mereka.56

Dalam situasi dialog terdapat tiga cara yang bisa dilakukan olehahli Perbandingan Agama. Pertama, ia dapat berpartisipasi dalamdialog sebagai seorang anggota suatu kelompok tertentu. Dalamsebuah pertemuan misalnya, antara orang-orang Kristen dan orang-orang Buddha, jelas bahwa komunikasi akan berlangsung lebih baikjika kontingen Buddha melibatkan orang-orang Buddhis yang memi-liki pengetahuan cukup baik dalam bidang Perbandingan Agama.Dalam pertemuan, semua anggota diharapkan tidak bertindaksebagai seseorang yang mencari penganut baru untuk agama ma-sing-masing. Setiap peserta harus menghormati dan menghargaiagama (kepercayaan) orang lain;57

Kedua, Ahli Perbandingan Agama dalam pertemuan antara aga-ma-agama dapat berperan sebagai pemandu pertemuan itu. Sebagaiketua, ia harus bisa bertindak sebagai mediator atau penafsir (in-terpreter) yang membantu agama-agama untuk dapat menginter-pretasikan dirinya dalam berhubungan dengan agama lain.58 Ketiga,Ahli Perbandingan Agama bisa pula berperan sebagai pengamat(observer). Jika ia tidak berpartisipasi sebagai peserta dialog, jugatidak sebagai perantara dalam ajang dialog-dialog yang semakinintens diadakan di mana-mana, maka setidaknya ia bisa menjadipengamat yang mencurahkan perhatian terhadap apa yang sedangberlangsung dalam sebuah dialog.

Seperti telah dinyatakan oleh Smith bahwa kaidah pokok dalamstudi Perbandingan Agama adalah pernyataan tentang suatu agama

Page 38: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

42 Wajah Studi Agama-Agama

bisa dianggap valid jika terang dan diakui oleh penganut agamayang bersangkutan. Karena itu, jika orang-orang Muslim dan Bud-dha mengadakan pertemuan, yang harus diperhatikan adalah suatupernyataan tentang Islam hanya dapat diakui sebagai valid olehorang-orang Muslim dan dapat diakui mempunyai arti oleh orang-orang Buddha; dan pernyataan tentang agama Buddha adalah validjika diakui oleh orang-orang Buddha dan dipahami oleh orang-orangMuslim. Dalam ajang dialog di mana pun, para peserta, pemandudan para penulis tentang tema-tema pokok ini dan akan dibaca olehbanyak orang di mana pun, harus bergerak menuju ke arah pe-ngertian di atas jika mengharapkan interkomunikasi akan berlang-sung.59

Langkah terakhir adalah bahwa keberadaan dialog bukan hanyapenting untuk dialog itu sendiri, tetapi untuk implikasi-implikasiselanjutnya. Implikasi itu misalnya, terwujudnya sebuah perda-maian dan kerja sama antar umat manusia sebagai satu masyarakatdunia dalam menghadapi berbagai problem bersama dan merekasemua terlibat didalamnya.60

Sebuah karya yang bernilai adalah jika karya itu ditulis olehseseorang yang digambarkan oleh W. C. Smith sebagai berikut:

When a work does appear worthy of typifying achievement in thisrealm, we predict that it will be written by a person who has seen andfelt, and is morally, spiritually, and intellectually capable of givingexpression to, the fact that we – all of us – live together in a world inwhich not they, not you, but some of us are Muslims, some are Hindus,some are Jews, some are Christians. If he is really great, he will per-haps be able to add, some of us are Communists, some Inquirers.61

(Ketika sebuah karya muncul dan sesuai dengan target yang kita te-tapkan dalam bidang ini, kita perkirakan bahwa ia ditulis oleh sese-orang yang memang telah melihat dan merasakan secara moral, spiri-tual, dan intelektual memiliki kemampuan untuk mengekspresikankenyataan bahwa kita – semuanya – hidup bersama dalam satu duniadi mana tidak ada mereka, tidak ada engkau, melainkan sebagian kitaadalah Muslim, Hindu, Yahudi, Kristen. Jika ia benar-benar hebat ia

Page 39: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

43Dr. Media Zainul Bahri

akan menambahkan, di antara sebagian kita adalah Komunis, sebagiansedang dalam pencarian).Pendekatan dialogis atau personalis yang dipelopori oleh W.

C. Smith ini mempunyai dua keistimewaan: keistimewaan aka-demis dan keistimewaan praktis. Keistimewaan akademis adalahbahwa hasil-hasil penyelidikan metode ini lebih akurat, karena me-tode ini mempunyai “alat” pengontrol agar terhindar dari kekeliruandalam memahami agama yang dipelajari, dan “alat” pengontrol ituadalah para penganut agama itu sendiri yang dijadikan teman dia-log dan sumber informasi sekaligus. Keistimewaan praktis adalahbahwa metode ini, dengan dialog dengan para penganut berbagaiagama, bertujuan tidak hanya untuk memperoleh pengetahuan il-miah tentang agama-agama yang dipelajari, tetapi juga bertujuanuntuk menciptakan harmoni, perdamaian, dan kerja sama antaraumat manusia yang berbeda agama dan kepercayaan. Dengan de-mikian, diharapkan terciptanya satu masyarakat dunia yang mem-punyai satu tanggung jawab dalam mengatasi problem-problemdunia.

Barangkali pendekatan dialogis ini adalah salah satu pendekatanyang terbaik untuk Perbandingan Agama saat ini, meskipun iamembutuhkan biaya yang mahal dan hanya berlaku untuk agamayang masih hidup.

7. Pendekatan Sosiologis

Pendekatan sosiologis terhadap agama bermaksud mencarirelevansi dan pengaruh agama terhadap fenomena sosial. MichaelS. Northcott menjelaskan bahwa pendekatan sosiologis dibedakandari pendekatan lainnya karena fokusnya pada interaksi agama danmasyarakat. Pra-anggapan dasar perspektif sosiologis adalah perha-tiannya pada struktur sosial, konstruksi pengalaman manusia dankebudayaan termasuk agama. Objek-objek, pengetahuan, praktik-praktik dan institusi-institusi dalam dunia sosial, oleh para sosiologdipandang sebagai produk interaksi manusia dan konstruksi sosial.Bagi para sosiolog, agama adalah salah satu bentuk konstruksi sosial.

Page 40: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

44 Wajah Studi Agama-Agama

Pemahaman akan Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinan-keyakinan,dan perilaku religius, menurut sosiolog adalah untuk memperolehkekuatan kreatif atau menjadi subjek dari kekuatan lain yang lebihhebat dalam dunia sosial.62

Pendekatan sosiologis dalam studi agama berfokus kepada ma-syarakat yang memahami dan mempraktikkan agama; bagaimanapengaruh masyarakat terhadap agama dan pengaruh agama terha-dap masyarakat. Emile Durkheim misalnya, sosiolog agama yangpaling berpengaruh, seperti dikutip Daniel L. Pals, melihat arti yangsangat penting atas apa yang dinamakan masyarakat (society). Dur-kheim mengklaim tanpa adanya masyarakat yang melahirkan danmembentuk apa pun: hukum dan moralitas, lapangan kerja danrekreasi, keluarga dan kepribadian, ilmu pengetahuan, seni (jugaagama), maka tak ada satu pun yang akan muncul dalam kehidupanini.63 Durkheim meyakini bahwa “agama adalah sesuatu yang amatbersifat sosial.”64

Sebagai hasil risetnya yang mendalam pada suku Aborigin diAustralia, Durkheim membangun tesisnya yang kukuh tentangagama sebagai hasil “ciptaan” masyarakat. Bagi Durkheim, padamasyarakat Aborigin, pemujaan terhadap Totem (binatang yangdisakralkan) tak lain adalah pemujaan terhadap masyarakat itusendiri. Suku atau klan butuh ikatan yang mempersatukan mereka,dan Totemlah yang disakralkan dan dianggap sebagai elemen yangdapat menyatukan klan. Karena itu, pemujaan (cult) yang terdiridari perasaan-perasaan peserta upacara (ritual) dan timbul dalamwaktu-waktu tertentu, merupakan inti kehidupan suku secara kese-luruhan.65

Durkheim ingin menegaskan satu hal yang fundamental bahwaTuhan atau agama hanya akan ada sejauh Dia memiliki tempat da-lam kesadaran masyarakat. Tuhan tidak akan bisa berbuat apa-apajika tidak ada yang menyembah-Nya. Dan masyarakat pun tidakakan bisa melakukan pemujaan jika tidak ada yang disembah (Tu-han). Karena itu, masyarakat yang menjadi satu-satunya simbolekspresi tuhan tidak akan berfungsi apa-apa tanpa adanya individu-

Page 41: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

45Dr. Media Zainul Bahri

individu di dalamnya, sebagaimana juga individu-individu tidakakan bisa berbuat apa-apa jika masyarakat tidak ada. Inilah jantungteori Durkheim tentang agama. Dalam analisis terakhirnya, Dur-kheim menyatakan bahwa keyakinan dan ritual-ritual agama adalahekspresi simbolis dari kenyataan sosial. Memakan totem sesungguh-nya adalah pernyataan kesetiaan kepada klan. Pemujaan terhadaptotem adalah penegasan dan bantuan terhadap klan, sebuah carasimbolis setiap anggota kelompok untuk menyatakan bahwa kepen-tingan klan lebih utama dari kepentingan individu.66 Tesis Dur-kheim amat jelas bahwa masyarakatlah yang melahirkan agama.Tanpa masyarakat, maka tidak ada agama.

Karya terbaru Sosiologi Agama yang senapas dengan Durkheimadalah Religion in Human Evolution (2011), karya Robert N. Bellah,salah seorang sosiolog hebat dan cemerlang di abad ke-21 ini. Sayasebut “senafas” dengan Durkheim karena sama-sama mengenyam-pingkan adanya “Tuhan” atau kekuatan “Supranatural” dalam pro-ses kemunculan agama. Jika Durkheim berfokus pada struktur ma-syarakat yang memunculkan agama, maka Bellah memusatkanperhatian pada proses evolusi biologis makhluk hidup yang kelakmelahirkan agama. Menurut Bellah, agama muncul dari prosesevolusi biologis natural dan evolusi sosiokultural. Tak ada keterli-batan dunia supernatural sama sekali. Dalam karyanya itu, ia meng-analisis kelahiran agama-agama tidak hanya berdasarkan variabel-variabel sosiokultural, tetapi menempatkannya dalam rentang seja-rah panjang evolusi spesies di muka Bumi, planet kita yang terben-tuk 4,5 miliar tahun lalu bersamaan dengan terbentuknya tatasurya.

Kemunculan agama tak dapat dilepaskan dari naluri induk he-wan-hewan sebelum munculnya mamalia, yakni naluri yang meng-gerakkan induk hewan-hewan untuk memelihara anak-anak yangbaru dilahirkan (parental care). Parental care ditemukan pada se-jumlah hewan pra-mammalia, seperti ikan, cumi-cumi, buaya, ularberbisa, dan kemampuan menampakkan parental care ini dite-ruskan sampai ke hewan mamalia (misalnya anjing, kera, monyet,

Page 42: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

46 Wajah Studi Agama-Agama

dan tentu saja manusia) dan juga burung. Parental care yang dialamianak-anak yang baru dilahirkan memberi rasa lega, tenang, relaks,dan bebas stres. Pada tahap berikutnya, rasa lega dan bebas stresini ingin dialami kembali oleh makhluk-makhluk bernyawa, dankeinginan ini terpenuhi dalam kegiatan bermain (play). Bermainadalah suatu kegiatan rekreatif, yang bebas dari tekanan Darwin-ian mengenai “the struggle for existence” (atau “survival of the fit-test”). Bermain adalah suatu kegiatan yang berlangsung di “relaxedfield” atau “relaxed selection.” Semua mamalia (misalnya serigala,anjing, chimpanse, manusia) adalah makhluk bermain. Manusiaadalah Homo ludens, makhluk bermain, yang baru muncul300.000 tahun lalu (sementara spesies Homo sendiri muncul 5 jutatahun lalu bersama sepupunya chimpanse dan gorila, dan 2 jutatahun lalu dari spesies Homo ini muncul dua cabang, yakni Homohabilis dan Homo erectus, kemudian dari Homo erectus ini munculHomo sapiens).67

Melalui parental care dan empati, atau parental love, yang di-rasakan dan dialami kembali lewat play, terbangunlah social bond-ing (ikatan sosial) yang memperluas ikatan kekerabatan. Melaluiplay, social bonding ini diperkuat dan diperluas terus-menerus, hing-ga terbangunlah solidaritas. Bellah menempatkan evolusi sosial-kultural dalam empat tahap: kebudayaan episodik (atau unitif),kebudayaan mimetik (atau enaktif), kebudayaan mitik (atau sim-bolik), kebudayaan teoretik (atau konseptual). Zaman Aksial adalahzaman kebudayaan teoretik; dalam zaman-zaman sebelumnyaberlangsung evolusi kebudayaan episodik sampai kebudayaanmitik. Walaupun berevolusi, setiap kebudayaan sebelumnya tidakhilang tapi berinteraksi dengan kebudayaan yang menyusulnya.68

Ringkas kata, semua agama di muka bumi asal-usulnya darinaluri parental care makhluk-makhluk bukan mamalia, yang dite-ruskan ke mamalia, bermain (play), social bonding dan ritual, se-muanya merupakan bagian dari mata rantai evolusi kosmik, evo-lusi geologis, evolusi biologis dan evolusi sosiokultural. Tuhan samasekali tak diperlukan untuk memunculkan agama-agama di dunia.

Page 43: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

47Dr. Media Zainul Bahri

Karenanya, judul buku Bellah berbunyi Religion in Human Evolu-tion.69

Di samping dua teori besar di atas (yang bercorak ateistik) se-bagai bagian dari pendekatan sosial terhadap agama, terdapat pen-dekatan sosiologis lain yang berkaitan dengan keyakinan akan ha-dirnya Tuhan dalam kehidupan sosial. Northcott menyatakanbahwa di samping mengajukan pertanyaan “apakah Tuhan ada,”sosiolog mendekati perilaku keagamaan dengan pertanyaan misal-nya, “model keyakinan dan ritual keagamaan macam apa yangterus bertahan dalam lingkungan kehidupan tertentu dan menga-pa?,” atau “Sejauh mana kaitan antara lingkungan personal ataukonteks sosial tertentu dengan keyakinan mengenai Tuhan atautuhan-tuhan?,” atau “Apakah penjelasan keagamaan mengenaipenderitaan sosial berpengaruh untuk memperbaiki penderitaanitu?” Studi sosiologis terhadap agama tidak hanya memberi perha-tian pada dependensi keyakinan dan komunitas keagamaan ter-hadap kekuatan dan proses sosial, tetapi juga memberi perhatianterhadap kekuatan penggerak organisasi dan doktrin keagamaandalam dunia sosial, termasuk pada bentuk dan karakteristik yangkhas dari dunia kehidupan yang dimunculkan oleh komunitas-komunitas religius, baik dalam masyarakat primitif maupun mo-dern. Pendekatan sosiologis terhadap agama, sekali lagi, bertujuanuntuk mencari hubungan sejauhmana agama berpengaruh terha-dap struktur-struktur sosial dalam memainkan perannya.70

Dalam konteks studi Perbandingan Agama, kehidupan sosialdan keagamaan para pemeluk agama yang berbeda-beda dapat di-kaji, diteliti dan diperbandingkan satu sama lain dengan menggu-nakan metode ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu sosial sekaligus un-tuk melihat kaitan atau keterpengaruhan antara keyakinan keaga-maan dengan kehidupan sosial.

8. Pendekatan Antropologis

Pendekatan ini berupaya memahami kebudayaan-kebudayaanproduk manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana

Page 44: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

48 Wajah Studi Agama-Agama

agama memberi pengaruh terhadap budaya dan sebaliknya; sejauhmana kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi pengaruhterhadap agama. Dalam sejarah Studi Agama terdapat beberapafigur yang selalu menjadi rujukan atas pendekatan ini, yangkemudian dikenal luas sebagai studi Antropologi Agama. MisalnyaEdward Burnett Taylor (1832-1917), James George Frazer (1854-1941), Andrew Lang (1844-1912), Wilhelm Schmidt (1868-1954),Clifford Geertz dan lain-lain.

A. E.B. TylorSelain Geertz, nama-nama di atas adalah para ilmuwan yang

mendedikasikan hidupnya untuk meneliti kebudayaan masyarakatprimitif. Tylor misalnya, adalah ilmuwan yang sebagian besarhidupnya dipakai untuk mengarahkan perhatian pada orang-orangprimitif, khususnya pada suku Indian di Amerika Tengah. Ataspengamatannya yang sangat serius, ia menghasilkan karya-karyayang bermutu seperti Anahuac: Or Mexico and The Mexican Ancientand Modern (1861), dan Researches inti the Early History of Mankindand the Development of Civilization (1865). Namun, karya puncaknyaPrimitive Culture (1871) yang ia tulis dalam dua jilid besar, telahmengantarkannya menjadi ahli antropologi Inggris ternama, danPrimitive Culture dapat disebut sebagai “kitab suci” bagi para ilmu-wan sesudahnya yang sangat terinspirasi oleh apa yang mereka sebutsebagai “Mr. Taylor’s Science.”71

Pada mulanya, Tylor tidak tertarik pada soal agama. Namun,keterlibatannya pada kehidupan kaum primitif mengharuskannyauntuk memahami kepercayaan mereka tentang roh, dewa-dewa,mitos, dan asal-usul kepercayaan itu. Setelah bergelut lama dengankebudayaan kaum primitif, Tylor sampai pada kesimpulan bahwaagama adalah “keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual.” Menu-rutnya, semua agama, besar dan kecil, yang primitif maupun yangmodern, selalu mendasarkan keyakinan kepada roh-roh yang ber-pikir, berperilaku dan berperasaan seperti manusia. Karena itu,esensi setiap agama adalah animisme (anima: roh), yaitu keper-

Page 45: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

49Dr. Media Zainul Bahri

cayaan terhadap sesuatu yang hidup, yang memiliki kekuatan, yangberada di balik segala sesuatu.72 Animisme inilah yang menjadi titikperhatian Tylor.

Pada masyarakat primitif, awalnya muncul dua pertanyaan dankegelisahan: pertama, apakah yang membedakan antara tubuh yanghidup dan yang telah mati; apa yang menyebabkan manusia bisaterjaga, tidur, pingsan, sakit dan mati? Kedua, wujud apakah yangmuncul dalam mimpi dan khayalan-khayalan manusia? Mencer-mati kedua persoalan ini, “para filsuf liar kuno” (the ancient savagephilosopher) masyarakat primitif kemudian mencoba menjawabnyadengan dua tahap: pertama, dengan menyatakan bahwa setiapmanusia memiliki dua hal, yaitu jiwa dan roh (phantom) sebagaibayangan dari diri kedua bagi jiwa. Kedua hal ini juga dianggapsebagai bagian yang tak terpisahkan dari tubuh. Kedua, denganmengkombinasikan jiwa dan roh tadi, “para filsuf liar” berhasilmenemukan konsepsi tentang Jiwa Yang Memiliki Pribadi.73 Peng-alaman nyata mereka mengenai kematian dan mimpi menye-babkan masyarakat primitif mampu berpikir untuk pertama kali-nya akan suatu teori sederhana bahwa setiap kehidupan disebabkanoleh sejenis roh atau prinsip spiritual. Mereka menganggap rohsebagai sesuatu yang sangat halus, bayangan tak bersubstansi darimanusia dengan bentuk yang sangat “halus,” “tipis” dan berupa“bayangan.” Dialah yang memberikan kehidupan bagi individutempat ia berada.74

Selanjutnya menurut Tylor, animisme mengalami perkem-bangan dan pertumbuhan. Mulanya, orang-orang hanya memi-kirkan satu roh individual sebagai sesuatu yang kecil dan spesifik,menyatu dengan pepohonan, sungai ataupun binatang-binatangyang mereka temukan. Lalu, kekuatan roh ini mulai berkembang.Dalam pemikiran masyarakat primitif, roh sebatang pohon perla-han-lahan berkembang menjadi roh hutan atau roh seluruh pohon.Selanjutnya, roh yang sama juga akan dianggap semakin terpisahdari objek yang pertama kali dikuasainya dengan semakin mengu-kuhkan identitas dan karakternya sendiri. Masing-masing tempat

Page 46: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

50 Wajah Studi Agama-Agama

dan wilayah memiliki roh-roh yang berbeda kekuatannya danbertingkat-tingkat: roh paling tinggi, roh tinggi, roh rendah, danroh paling rendah. Terdapat roh angin, hujan dan matahari yangderajatnya lebih tinggi dibanding roh pohon dan sungai. Roh-rohpohon tidak bisa berbuat apa-apa jika roh matahari memutuskanuntuk tidak menurunkan hujan sehingga pepohonan akan keke-ringan atau Dewi Hujan memutuskan untuk menghancurkan pepo-honan dengan mengirimkan banjir.75 Dengan pandangan teologistentang macam-macam tingkatan roh dan kekuasaannya, makamuncullah penyembahan terhadap banyak roh (politeisme).

Sistem politeistik yang kompleks semacam ini merupakan cirikhas model keagamaan pada masa Barbar. Sesederhana apa pun,peradaban ini akan selalu mencari tingkatan yang paling tinggi,yaitu ketika mereka berusaha membentuk satu masyarakat yangpunya satu Tuhan, satu Kekuatan Tunggal yang mengatasi tuhan-tuhan lain. Menurut Tylor, dengan perlahan namun pasti, setiapperadaban akan menuju ke arah baru, tahapan paling akhir darianimisme, yaitu percaya kepada satu Tuhan (monoteisme), mes-kipun jalan yang ditempuh tidak selalu sama. Tidak diragukan lagi,masyarakat Kristen dan Yahudi (termasuk Islam, sic.) merupakancontoh yang paling tepat untuk tahap terakhir ini. Mereka telahmembentuk satu formula akhir yang sangat logis dari seluruh per-kembangan proses yang telah dimulai berabad-abad sebelumnya,yang diselubungi kabut gelap zaman pra-sejarah. Yaitu, ketika ma-nusia pertama yang disebut Tylor sebagai “filsuf liar” yang menyim-pulkan bahwa roh-rohlah yang mengendalikan dunia yang ada disekelilingnya.76

Dengan berbagai penjelasan di atas, Tylor ingin menunjukkanbahwa asal-usul kepercayaan agama (Tuhan) pada umat manusiasejatinya berevolusi: dari animisme ke politeisme dan berakhir padamonoteisme. Tylor, yang lahir dan besar di Inggris, tentu terpengaruhdengan teori evolusi Charles Darwin. Darwin yang menerbitkanThe Origin of Species (1859) kemudian menjadi buah bibir dan sosokyang sangat kontroversial, terutama di Inggris. Gagasannya tentang

Page 47: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

51Dr. Media Zainul Bahri

ide perkembangan (the idea of development) menurut L. Pals, meng-ambil bentuknya yang paling nyata dalam pemikiran Tylor. Padatahun-tahun sesudahnya, ketika perdebatan itu kian hebat, munculbanyak pemikir yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan “yangmenggelisahkan” tentang elemen-elemen dasar keyakinan Kristianiseperti kebenaran sejarah yang dikisahkan Injil, kebenaran mukjizatdan masalah ketuhanan Yesus Kristus. Dengan terbitnya PrimitiveCulture yang membawa teori baru tentang asal-usul seluruh agama,termasuk agama Kristen, keragu-raguan yang sebelumnya telahmengendap dalam masyarakat Eropa semakin menjadi-jadi.77 Hasilpenelitian Tylor sesungguhnya menampilkan kesimpulan yangserupa dengan para sosiolog seperti Durkheim misalnya, bahwaagama sejatinya hasil konstruksi sosial (dan budaya) manusia, danbukan “wahyu yang diturunkan” Tuhan seperti yang diyakini olehorang-orang yang beriman.

Teori Tylor itu kemudian mendapat perlawanan, terutama daripihak ilmuwan gereja. Andrew Lang misalnya, seorang ahli folklordari Skotlandia, yang sebelumnya menjadi pengikut teori Tylor,kemudian membantahnya. Berdasarkan riset yang ia lakukan, ter-dapat bukti-bukti bahwa masyarakat primitif sejak awal telah meng-anut monoteisme. Pemahaman keagamaan kaum primitif, kataLang, tidak pernah dimulai dari politeisme dan monoteisme aslimereka bukan merupakan perkembangan yang sempurna dari ani-misme. Observasi Lang ini kemudian mendapat dukungan dariWilhelm Schmidt, seorang antropologis dan pendeta Katolik dariJerman. Ia juga berargumentasi bahwa paham keagamaan seluruhmasyarakat primitif sejak awal adalah monoteis, dan monoteismemerupakan bentuk asli dari seluruh agama manusia yang pernahada, sampai hari ini.78

B. Clifford GeertzAntropolog lain yang pantas kita jadikan contoh adalah Clifford

Geertz. Geertz, salah satu “begawan” antropologi Amerika yangamat masyhur dan memasyhurkan sebuah kota kecil di Jawa Ti-

Page 48: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

52 Wajah Studi Agama-Agama

mur, menjadi sangat diperhitungkan pada era 1970-an karena kon-sep baru yang digagasnya, yakni antropologi interpretatif. Sepertidiketahui, kariernya bermula ketika menjadi mahasiswa programdoktor di tahun kedua di Harvard, Geertz bersama istrinya, berang-kat ke pulau Jawa dan menetap selama dua tahun di Mojokuto(Pare, Kediri) Jawa Timur, untuk mempelajari sebuah masyarakatyang heterogen dari sisi budaya dan keyakinan keagamaan. Setelahmendapat gelar doktor dalam bidang antropologi pada 1956, iakembali ditemani istrinya datang ke Indonesia, tepatnya ke pulauBali untuk sebuah riset antropologi. Misi utama Geertz sebagai se-orang antropolog di Jawa dan Bali adalah etnografi, yakni memberigambaran rinci dan sistematis tentang masyarakat di dua pulau itudemi mengungkapkan bagaimana keragaman aspek-aspek kehi-dupan masyarakatnya bisa melebur menjadi sebuah kebudayaanyang utuh.79

Pada 1960 Geertz memublikasikan The Religion of Java, sebuahkarya yang amat masyhur dan “kontroversial” mengenai trikotomiabangan-santri-priyayi dalam pola hubungan sosio-religius padamasyarakat Jawa. Karya inilah yang selalu dikenang masyarakatantropologi di seluruh dunia dan mengantarkan Geertz ke panggungkemasyhuran dan tempat “khusus” dalam jagat antropologi Ame-rika. Setelah itu, muncul karya-karyanya yang lain yang juga ber-mutu seperti Agricultural Revolution (1963), The Socio-History of anIndonesian Town (1965), Islam Observed (1968), The Interpretation ofCulture (1973), Meaning and Order in Morocean (1980) dan LocalKnowledge (1983).

Dalam sebuah esai berjudul “Thick Description: Toward an In-terpretative Theory of Culture,” yang terdapat pada The Interpreta-tion of Culture, Geertz mengingatkan, seperti dikutip oleh L. Pals,bahwa meskipun kata kebudayaan (culture) dipahami oleh paraantropolog dengan pengertian yang berbeda-beda, namun kunciuntuk memahaminya adalah ide tentang makna (meaning, signifi-cance). Manusia, kata Geertz dengan mengutip Weber, adalah “he-wan yang terkurung dalam jaring-jaring makna (significance) yang

Page 49: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

53Dr. Media Zainul Bahri

mereka pintal sendiri.” Karena itu, jika seseorang ingin melakukanapa yang telah dilakukan oleh para antropolog, yaitu menjelaskankebudayaan orang lain, maka ia tidak punya pilihan lain kecualimenggunakan metode yang disebut oleh filsuf Inggris, Gilbert Ryledengan Thick Description (lukisan yang mendalam). Seseorang harusmampu melukiskan tidak semata apa yang secara aktual terjadi,namun juga (menjelaskan) bagaimana pemahaman seseorang ten-tang kejadian itu.80

Ryle memberi contoh tentang dua anak yang mengerdipkanmata. Anak yang pertama mengerdipkan mata tanpa disadarinya(dengan tidak sengaja) karena gerak saraf matanya, sedangkan anakyang lain mengerdipkan matanya kepada orang lain secara sengaja.Secara fisik atau “thin description” (lukisan yang dangkal) menun-jukkan bahwa kedua peristiwa itu sama saja. Namun, jika seseorangmenelusuri lebih lanjut akan makna (significance) masing-masingperistiwa itu, ia akan mendapatkan sebuah perbedaan. Kejadian yangpertama tidak mengandung makna apa-apa. Sebaliknya, kerdipanyang kedua penuh dengan makna yang ingin disampaikan anakkedua. “Thick description” yang melibatkan makna dalam peristiwatersebut menunjukkan bahwa kerdipan anak kedua (wink) jauhberbeda dari kerdipan anak pertama (twitch). Karena itu, menurutGeertz, dapat dipahami bahwa etnografi—juga antropologi—secaraumum selalu melibatkan “lukisan mendalam.” Tugasnya, bukansemata mendeskripsikan (melukiskan) struktur suku-suku primitifatau bagian-bagian ritual yang lebih khusus, misalnya praktik puasakaum Muslim di bulan Ramadhan. Tugas utamanya adalah mencarimakna, menemukan hakikat di balik perbuatan seseorang, maknayang ada di balik seluruh kehidupan dan pemikiran ritual, strukturdan kepercayaan objek yang diteliti.81

Meski demikian, harus pula diingat bahwa suatu kebudayaanbukan sekadar masalah makna saja, atau hanya sebagai sesuatuyang murni bermuatan sistem-sistem simbol seperti layaknya ma-tematika. Adat-istiadat atau perilaku masyarakat juga harus diamatisebab kebudayaan menemukan artikulasinya melalui jalur tingkah

Page 50: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

54 Wajah Studi Agama-Agama

laku, atau lebih tepatnya melalui tindakan sosial.82 Jika antropologiinterpretatif merupakan cara untuk melihat sistem makna dan nilaiyang dipakai masyarakat dalam menjalankan kehidupannya, makaantropologi interpretatif ini juga akan selalu tertarik dengan masalahagama. Geertz sangat yakin akan hal itu dan ia tunjukkan dalambukunya yang amat terkenal, The Religion of Java. Para ahli antro-pologi menyebut karya ini sebagai buku etnografi terbaik dalamtradisi antropologi Amerika. Geertz tidak semata melakukan studiyang mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupandan bahasa masyarakat Jawa, namun juga ia membahas secara de-tail hubungan yang kompleks antara tradisi keagamaan Islam, Hin-du dan kepercayaan asli setempat (Abangan, Kejawen). Dalam bukuini, Geertz melihat agama bukan semata ekspresi kebutuhan sosialdan ekonomis melainkan juga sebagai fakta kultural sebagaimanaadanya dalam kebudayaan masyarakat Jawa.83

Dalam risetnya pada budaya dan agama masyarakat Bali yangsangat unik, Geertz membuat satu kesimpulan bahwa studi apapun tentang agama akan berhasil dengan baik jika menjalani dualangkah penting: pertama, seseorang harus memulai dengan meng-analisis seperangkat makna yang terdapat dalam simbol-simbolkeagamaan itu sendiri. Menurut Geertz, hal ini adalah tugas yangcukup sulit. Kedua, yang tak kalah sulitnya adalah karena simbol-simbol itu sangat terkait dengan struktur masyarakat dan aspekpsikologi anggota masyarakat, maka rangkaian simbol-simbol ituharus ditelusuri secara kontinu, baik cara terciptanya, proses pene-rimaan dan pemaknaannya serta penyimpangan terhadap maknaitu. Hubungan tersebut dapat dianalogikan melalui sebuah gambardengan tiga titik yang membentuk sebuah segitiga. Titik pertamauntuk simbol, titik kedua untuk masyarakat, dan titik ketiga untukpsikologi individu.84

Contoh lain penggunaan antropologi interpretatif adalah karyaGeertz yang berjudul Islam Observed (1968). Buku ini menjelaskanperbandingan budaya Islam Indonesia dan Maroko. Di sampingkedua negara ini mayoritas penduduknya beragama Islam, ke-

Page 51: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

55Dr. Media Zainul Bahri

duanya juga mengalami perubahan sosial yang drastis pada era mo-dern ini. Sebagian besar penduduk Indonesia bekerja dalam bidangpertanian (harap diingat bahwa riset ini dilakukan pada era 1960-an) dan mayoritas penduduk Maroko bekerja sebagai penggembala.Keduanya sama-sama pernah dijajah oleh bangsa Barat (Indonesiaoleh Belanda dan Maroko oleh Prancis). Geertz ingin melihat peranpenting agama yang telah dan sedang dimainkan dalam proses trans-formasi sosial yang terjadi di kedua negara itu.85

Dalam proses masuknya Islam ke Indonesia, dalam hal ini Jawa,Geertz membuat gambaran tentang legenda Sunan Kalijaga sebagaiseorang Wali yang amat populer penyebar Islam di tanah Jawa. Ialahir di tengah keluarga penguasa saat itu, di masa kekuasaan Hindu-Buddha, ketika kelas penguasa berkasta tinggi dianggap sebagaielite spiritual di negara tersebut. Dalam suasana kehidupan bang-sawan istana, pelaksanaan ritus-ritus agama sesungguhnya berfungsisebagai kekuatan politik dan otoritas keagamaan raja sekaligus. Yangmenarik dari legenda Kalijaga adalah bahwa ia ketika telah men-jadi wali penyebar Islam, yang ditahbiskan oleh Sunan Ampel, tidakmeninggalkan kebudayaan Hindu-Buddha masa kecilnya dulu.Menurut Geertz, ia kemudian membantu berdirinya kerajaan Ma-taram dan memanfaatkan posisinya dalam upacara-upacara kera-jaan untuk memperkenalkan Islam, dan salah satu caranya adalahdengan tetap menyuarakan nilai-nilai agama Hindu dan Buddha.86

Identik dengan kisah Sunan Kalijaga, menurut Geertz, ke-munculan Islam di Maroko dapat dilihat dengan baik dari kisahhidup seorang wali bernama Sidi Lahsen Lyusi (nama sebenarnyaadalah Abu Ali al-Hasan Ibn Mas’ud al-Yusi), salah seorang generasiterakhir Marabouth yang hidup sekitar tahun 1600-an. Marabou-thisme adalah paham dan praktik mistik Islam Maroko warisandinasti Murabithun. Seperti juga Kalijaga, Lyusi dianggap olehkaum Muslim Maroko sebagai seorang wali yang berpengetahuanluas, berakhlak mulia dan memiliki karisma spiritual pada dirinyasehingga ia juga memiliki banyak karamah (keramat).87 MenurutGeertz, Kalijaga dan Lyusi memiliki banyak kesamaan. Keduanya

Page 52: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

56 Wajah Studi Agama-Agama

muncul dan memainkan peranan dalam masa-masa kritis perkem-bangan masyarakatnya, namun kemudian mereka menemukanjalan keluar dan penyelesaian. Keduanya mengembara dari satutempat ke tempat lain dengan penuh semangat pencarian. Keduanyahidup pada masa yang berdekatan: Kalijaga di abad enam-belasdan Lyusi di abad tujuh belas. Keduanya juga berasal dari kalanganelite masyarakatnya, Kalijaga seorang bangsawan, dan Lyusi seorangsyarif (keturunan Nabi Muhammad).88

Namun, lanjut Geertz, terdapat perbedaan yang cukup signi-fikan antara keduanya dalam konteks sosio-kultur mereka dan pe-mecahan masalah. Di Jawa, krisis yang dihadapi Kalijaga adalahakibat melemahnya Majapahit yang Hindu-Buddha dan demorali-sasinya, kemudian introduksi Islam yang vital dan dinamis. Sedang-kan di Maroko, krisis yang ditemukan Lyusi adalah masyarakatyang sudah terislamkan selama berabad-abad, namun mengalamidisintegrasi dari dalam yang membuat masyarakat terpecah kedalam kelompok-kelompok kecil dengan seseorang yang dipercayaisebagai ‘Wali’ selaku tokoh sentral. Karena itu, jika Kalijaga mencaripenyelesaian krisis masyarakatnya dengan menemukan harmoni,keselarasan, dan keutuhan estetik, maka Lyusi mencoba mengatasi-nya dengan mengarahkan masyarakat kepada tuntutan-tuntutanmoral yang ketat (syari’ah dan akhlak) yang dipercaya sebagai ajaranagama yang benar.89 Dalam definisi Geertz, agama di Maroko danIndonesia, meskipun sama-sama Islam, namun memperlihatkanbudaya, perasaan dan motivasi yang jauh berbeda. Di Indonesia(maksudnya Jawa, sic.), terdapat ketenangan, kesabaran, mawasdiri, penuh pertimbangan, kepekaan, asketisme dan bahkan bisadikatakan hampir-hampir tidak punya obsesi. Di Maroko, Islambersifat aktif, penuh semangat, berani, tidak sabaran, ulet, moralis,populis dan obsesif.90

9. Pendekatan Psikologis

Pendekatan ini bermaksud mencari hubungan atau pengaruhagama terhadap kejiwaan pemeluk agama atau sebaliknya pengaruh

Page 53: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

57Dr. Media Zainul Bahri

kejiwaan pemeluk terhadap keyakinan keagamaannya. Para psi-kolog religius meyakini ada dimensi yang sakral, spiritual, divine,transenden, supernatural yang tidak empiris yang dapat meme-ngaruhi kejiwaan manusia. Namun, para psikolog non-religius me-nolak dimensi-dimensi itu atau paling tidak sangat meragukannya.Psikolog non-religius biasanya akan berusaha menjelaskan feno-mena keagamaan seseorang tanpa perlu merujuk kepada realitas-realitas yang super-natural itu, sementara psikolog religius ingintetap membuka kemungkinan realitas itu menjadi satu faktor yangberpengaruh terhadap kejiwaan seseorang.91

Psikolog yang memusuhi agama dan sangat berpengaruh ada-lah Sigmund Freud. Menurut Freud seperti dikutip JalaluddinRakhmat (2004), agama ditandai dengan dua ciri yang menonjol:kepercayaan yang kuat pada Tuhan dalam sosok seorang ayah danritus-ritus wajib yang dijalankan secara rumit. Kepercayaan danpraktik keagamaan, kata Freud berakar pada pengalaman univer-sal kanak-kanak. Pada usia dini, anak-anak menganggap orangtua,terutama bapak, sebagai orang yang mahatau dan mahakuasa. Pe-meliharaan yang penuh perlindungan dan kasih sayang yang dila-kukan oleh sosok-sosok berkuasa seperti itu menenteramkan anakyang tidak berdaya dan ketakutan, serta menciptakan surga buatanbaginya. Bertahun-tahun kemudian, ketika kekuatan alam dan si-tuasi hidup lainnya kembali membangkitkan perasaan tidak berda-ya, kerinduan individu akan seorang bapak yang berkuasa memper-oleh pemuasannya dalam pengkhayalan citra tuhan sebagai bapakyang mengayomi dan melindungi. Kerinduan kepada bapak, yangdisebut Freud merupakan “akar setiap bentuk agama” ditandai de-ngan kegelisahan. Sebabnya, sebagai akibat cengkeraman kompleksOedipus, ayah juga menjadi objek ketakutan, kekecewaan dan rasabersalah. Kepasrahana penuh kepada Tuhan sebagai proyeksi ayahpada akhirnya memulihkan kembali hubungan yang telah lamahilang itu.92

Karena itu bagi Freud agama adalah ilusi. Hal ini berarti agamamerupakan hasil pemuasan keinginan dan bukan hasil pengamatan

Page 54: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

58 Wajah Studi Agama-Agama

dan pemikiran. Bagi Freud, agama adalah takhayul, namun ia bukantakhayul sembarangan melainkan takhayul yang sangat menarikkarena memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang ma-nusia. Mengapa manusia masih mau memercayai agama, bahkandilakukan dengan kesungguhan yang mendalam, padahal agamaadalah kekeliruan? Jika agama itu tidak rasional, mengapa manusiamasih membutuhkannya? Dan mengapa pula mereka memegangi-nya dengan kuat?

Freud lalu menulis buku-buku dan artikel yang serius untukmenjawab pertanyaan di atas. Dalam salah satu artikelnya yangberjudul Obsessive Actions and Religious Practices (1907) sepertidikutip L. Pals, Freud menyimpulkan perilaku orang beragamamirip dengan tingkah laku pasien penyakit sarafnya (neurotik). Mi-salnya, keduanya sama-sama menekankan bentuk-bentuk sere-monial dalam melakukan sesuatu, dan sama-sama akan merasabersalah seandainya tidak melakukan ritus-ritus tersebut dengansempurna.93 Jadi, menurut Freud, ibadah yang dilakukan orang-orang beragama mirip, jika tidak dikatakan sama, dengan tingkahlaku orang-orang yang memiliki penyakit saraf (gila).

Kebalikan dari Freud adalah William James, seorang psikologyang pro terhadap agama. Jalaluddin Rakhmat menyebut Jamessebagai “Bapak” psikologi agama. Bukunya, The Varieties of Reli-gious Experience, merupakan pembahasan (psikologi) agama per-tama yang paling mendalam dan komprehensif. Jika Freud meng-anggap agama sebagai ilusi, khayalan, kekeliruan, sifat kanak-ka-nak, dan tidak ada manfaatnya sama sekali, maka James berpen-dapat sebaliknya. Bagi James, agama mempunyai peranan sentraldalam menentukan perilaku manusia dorongan beragama padamanusia, kata James, paling tidak sama menariknya dengan do-rongan-dorongan lainnya. James menolak setiap penjelasan agamayang ia sebut sebagai “materialisme medis.” Para ilmuwan denganpongah menerangkan bahwa pengalaman hidup kita yang lebihtinggi itu adalah pengalaman “hanya sekadar.” Seperti kata Freudbahwa agama “hanya sekadar proyeksi dari ketakutan masa kecil.”

Page 55: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

59Dr. Media Zainul Bahri

Menurut James, argumentasi “hanya sekadar” dapat denganmudah dibalikkan kepada pencetusnya. Teori-teori ilmiah sekalipundapat dilacak pada kondisi organis para ilmuwan, sebagaimanapengalaman beragama dapat dihubungkan dengan keadaanemosional orang-orang yang mengalaminya.94

Dalam membahas agama, James tidak mau merujuk kepadaorang-orang awam (your ordinary religious believer) yang memper-oleh agama melalui tradisi, imitasi, dan kebiasaan. James ingin me-lihat agama seperti tampak pada perilaku “religious genuises.” Padadiri mereka, kata James, agama tidak lagi menjadi rutinitas yangmembosankan, tetapi menjadi “demam yang akut dan mengge-tarkan” (“an acute fever”). Bagi James, hubungan manusia denganrealitas yang tak terlihat (agama atau Tuhan) memiliki efek padakehidupan individual. Ia akan mengaktifkan “energi spiritual” danmenggerakkan “karya spiritual.” Agama menggairahkan semangathidup, meluaskan kepribadian, memperbarui daya hidup, dan mem-berikan makna dan kemuliaan baru pada hal-hal yang biasa dalamkehidupan. Orang yang beragama akan mencapai perasaan ten-teram dan damai. Kebahagiaan agama, menurut James, ditandaidengan hilangnya upaya untuk melarikan diri (no escape): it caresno longer for escape.95 Dengan pengertian itu, maka seorang pemelukagama sejatinya adalah ia yang “berani” menghadapi badai kehi-dupan dengan segala problemnya yang kompleks.

Selain dari dua contoh pendekatan psikologis dalam agama,studi Perbandingan Agama atau Studi Agama-Agama dapat melihatlebih jauh dan dalam kompleksitas hubungan kejiwaan para peme-luk agama atau kaum ateis dengan agama.

Beberapa pendekatan di atas hanyalah sebuah pengantar ring-kas dan sederhana, karena studi agama memiliki pendekatan yangluas dan kompleks—atau dalam istilah Ninian Smart bersifat po-limetodis.96 Ada pendekatan filologi untuk melihat isi (makna) se-buah naskah atau manuskrip kuno yang bersama-sama dengan seja-rah melihat keseluruhan konteksnya. Ada pendekatan politik yangakan memahami pandangan dan sikap politik kaum beragama yang

Page 56: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

75Dr. Media Zainul Bahri

(manunggal) Ego dengan Monade, antara badan Manas luhurdengan kesadaran di alam Budhi. Ada yang berpendapat bahwakata AUM (OM) seakar kata dengan Amen (agama Mesir ku-no), lalu berubah menjadi Aion dalam bahasa Yunani kuno danAivum dalam bahasa Latin.25 Amen dalam bahasa Mesir kunokemudian dilanjutkan menjadi “Amen dan Amin” dalam ritualtiga agama Semitik.Slogan teosofi adalah “Satyan Nasti Paro Dharma:” “tak ada

agama yang lebih tinggi daripada kenyataan (kebenaran).”26 “Ke-nyataan” merupakan fokus atau pembicaraan inti kaum teosofi.27

Apa itu kenyataan? Pengetahuan yang “dirasakan,” “dialami,” pe-ngetahuan yang meresap, atau pengetahuan dengan “pengalamanlangsung” (tajribah mubasyarah)—dalam istilah sufisme Islam—sehingga melahirkan Kebenaran. Kenyataan yang demikian lebihtinggi tarafnya dari sekadar percaya atau kepercayaan yang biasadituntut oleh agama—dalam aspeknya yang eksoterik. Namun, da-lam sisi batin (dalam, inner) agama yang dituntut adalah memahamidan menyelami yang esoterik. Pengetahuan dan pengalaman eso-terik inilah yang sejalan maknanya dengan Kenyataan dalam teo-sofi. Kadang teosofi juga dimaknai dengan “Keyakinan,” namuntentu bukan sembarang keyakinan, melainkan Keyakinan yangmantap setelah “merasakan” atau “mengalami.” Dalam satu ke-sempatan, ketika menjelaskan perihal kenyataan itu, orang teosofimengutip sebuah hadis yang populer di kalangan kaum sufi Mus-lim, “Barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia telah menge-tahui Tuhannya.” Apa atau siapa yang disebut diri itu? Setelah me-mahami panca indra manusia dengan sifat-sifatnya, yaitu: sifat baudengan alat hidung (penciuman), rupa dengan alat mata (pengli-hatan), suara dengan alat telinga (pendengaran), merasakan denganalat perasaan atau saraf badan, dan sifat rasa dengan alat lidah, makaseseorang harus terus mencari ke “dalam,” ke “dzat,” ke “inti” ma-nusia. Seperti seseorang yang mencium bau (harum) bunga. Dimana bunga itu? Mungkin di kebun. Di mana baunya? Pasti “dalam”bunga. Juga seperti mendengar suara burung, di mana burung?

Page 57: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

76 Wajah Studi Agama-Agama

Mungkin di atas. Di mana suaranya? Pasti “dalam” burung.28 Rumi(1207-1273), seorang Sufi Masyhur dari Konya, Turki, telah lebihdulu mendendangkan alam makna yang berada di “dalam” dantarafnya lebih tinggi dibanding bentuk luar. Renungkanlah dua syairRumi di bawah ini:

Pernahkah engkau tahu sebuah nama tanpa yang diberi nama?Atau pernahkah engkau menyunting sekuntum mawar dari M.A.W.A.R?Engkau baru menyebut nama itu: pergi dan carilah yang empunyanama. Bulan itu di langit bukan di air.29

Di hadapan makna, apalah arti bentuk! Sangat tak sepadan. Maknalangit tetap tersembunyi di tempat persemayamannya.30

Ketahuilah, bahwa segala bentuk luar akan sirna, tapi Dunia Maknaakan menetap selamanya.Sampai kapankah engkau akan terpikat oleh bentuk bejana? Tinggal-kan ia: Pergi, airlah yang harus engkau cari!Hanya melihat bentuk, makna tak akan engkau temukan. Jika engkauseorang yang bijak, ambillah mutiara dari dalam kerang.31

Harun Atmawidjaja memberi ilustrasi tentang kedalaman mak-na bahwa ketika seseorang membaca Pewarta Teosofi, di mana bukuitu? Di atas meja. Di mana hurufnya? Di dalam buku. Di manaartinya? Di dalam hati. Buku Pewarta itu berbentuk persegi, ker-tasnya berwarna putih, hurufnya hitam, bahasanya Melayu. Bagai-mana makna/artinya? Makna dalam buku itu tidak persegi, tidakputih, tidak hitam, tidak Melayu, namun terang, terasa, mewujud,hidup dan menyala dalam hati. Berapa lapis buku itu? Orang me-ngatakan dua lapis: kertasnya yang putih dan jilidnya yang hijau.Seorang teosof akan mengatakan: hurufnya yang hitam dan mak-nanya yang dalam. Huruf dapat dibaca dengan mata kepala, namunmakna hanya dapat dibaca dengan Mata Hati.32

Page 58: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

77Dr. Media Zainul Bahri

Bagi MTI, dengan mengutip sufisme Islam, kenyataan terbagiatas tiga tingkatan. Pertama, ‘Ilm al-Yaqin (Ilmul Yakin), artinyanyata berdasarkan ilmu. Segala bentuk kenyataan hanya berdasar-kan teori, ilmu atau mendengar dari orang lain. Sulit meyakinibahwa kenyataan itu benar-benar ada. Kedua, ‘Ayn al-Yaqin (AinulYakin), artinya nyata berdasar panca indra. Sesuatu itu diyakinisebagai kenyataan setelah terlihat oleh mata. Namun, bagi orangteosofi, sulit juga meyakini dengan sebenar-benarnya akan sebuahkenyataan jika hanya bersandar kepada mata kepala. Ketiga, Haqqal-Yaqin (Hakul Yakin), inilah tingkatan tertinggi. Kenyataan benar-benar dapat dirasakan sebagai Kenyataan setelah “dialami,” “dirasa-kan” hakikat-dzatnya dengan segenap lahiriah-batiniahnya.33 Maka,apa yang disebut “Diri” itu adalah benar-benar telah “dirasakan”atau “dialami” sampai ke kedalaman diri itu, tidak semata mema-hami panca indra belaka. Dengan “mengalami”34 diri itu maka sese-orang pasti akan mengenal Tuhannya dengan baik.

Alam Kenyataan dalam penjelasan di atas adalah kenyataan dankebenaran yang harus terus dicari oleh kaum teosofi dan dalampengertian yang hubungannya dengan alam makna dan alam Tu-han. Jika kenyataan itu terus ditelusuri sampai ke kedalaman jan-tungnya maka seorang teosof akan manunggal (bersatu) dengan Rea-litas Yang Satu. Ia akan masuk ke alam Tunggal. Alam Kesempur-naan Yang Satu itu itulah alam Tunggal, alam Buddha, alam Meneng(Diam), alam Hidup dan alam Mati sekaligus. Merasakan tidak hi-dup tidak mati, merasakan manunggalnya kadim dan baka. Di alamTunggal itu dirasakan Tuhan itu ada; bukan di sini, bukan di situ,sebab jika dikatakan di sini berarti ada yang di situ, jika dikatakandi situ berarti mesti ada yang di sini. Jika dikatakan Tuhan ada dimana-mana, berarti ia niscaya banyak, padahal Ia Tunggal; tidak disana tidak di sini. Jika telah berada di alam Tunggal, maka sebaiknyaseorang teosof kembali lagi ke alam dualitas; ia akan melihat kegan-daan: ada ini ada itu, ada wayang ada dalang, ada sifat ada dzat, adaAku di sini ada Tuhan di situ. Lalu, teruslah ia kembali ke alam Tigaatau alam Trimurti: ada wayang, ada dalang dan ada peran, dalam

Page 59: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

78 Wajah Studi Agama-Agama

bahasa China: ada Thian, ada The ada Jihin. Alam tiga ini adalah alamramai, alam dunia, ada keanekaan dan perbedaan-perbedaan. Na-mun, bagi kaum teosofi, alam Tunggal, alam kesempurnaan, atausetidaknya dapat memahami dan merasakan kenyataan dan kebe-naran seperti dalam penjelasan di atas, itulah yang inti, yang hakikiatau yang sejati. Sementara alam dunia yang ramai dan fana iniadalah alam yang penuh dengan fatamorgana dan tipuan. Denganmengutip ayat al-Qur‘an, kaum teosofi meyakini bahwa barang siapayang cinta akan kesenangan dunia, maka sungguh ia telah tertipu(mata’ al-ghurur).35

Jika semua orang dapat memahami dan merasakan akan Ke-nyataan dan Kebenaran di atas dengan bersungguh-sungguh men-carinya dalam pelajaran-pelajaran teosofi, maka dunia ini akan da-mai, penuh cinta kasih dan terciptalah persaudaraan universal seper-ti yang dicita-citakan oleh Gerakan Teosofi di seluruh dunia.

Selain kenyataan yang berhubungan dengan alam makna danalam Tuhan, ada pula penjelasan mengenai kenyataan yang ber-hubungan dengan hukum alam atau hukum sebab akibat. Menurutkaum teosofi, kodrat Tuhan telah menciptakan “kenyataan-kenya-taan” di alam ini berdasarkan hukum alam yang ajeg atau pasti(konstan/tetap). Segala keteraturan, keselaran dan keindahan dialam ini diciptakan oleh kodrat Tuhan sebagai kenyataan. Maka,manusia harus menjalani hidup berdasarkan kenyataan hukumalam itu atau berdasarkan dharma, dalam bahasa agama Budha.Melakukan apa pun pasti ada akibatnya. Ada sebab pasti ada akibat.Hukum kenyataan ini bersifat pasti dan tetap. Manusia selalu dipe-rintahkan untuk banyak melakukan dharma, kebaikan-kebaikansupaya akibat yang ditimbulkannya juga baik, dan alam ini akanterus teratur dan selaras.36 Konsep kaum teosofi tentang kenyataanyang kedua ini, yang berhubungan dengan hukum alam sangatdipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Buddha mengenai hukum kesu-nyataan, hukum sebab-akibat, hukum karma-pahala dan ajaran-ajaran lain yang terkait.

Page 60: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

79Dr. Media Zainul Bahri

D. Teosofi dan AgamaApakah hubungan teosofi dengan agama? Tentu saja hubung-

annya erat sekali, setidaknya dalam dua hal penting: (1) esensi teosofidan agama, (2) tujuan keduanya. Marilah kita lihat kedua hal itu.Pertama, MTI dalam banyak publikasi mereka menegaskan bahwateosofi bukan agama baru, bukan suatu agama dalam pengertiannyayang umum dan dalam pengertian agama sebagai seperangkat sis-tem. Dua kutipan di bawah ini menegaskan hal itu:

Djoega Theosofie itoe boekan agama baroe, apabila dirasakan benar-benar, masing-masing agama itoe seteroesnja pada theosofie danisjarat boeat menjantausaken kelakoean.37

Djikalau toean-toean setoedjoe dengan pengertian saja ini, barangkalitoean-toean dengan lekas mendjawab, bahwa Theosofie itoe boekanagama. Memang betoel boekan agama. Tapi toean-toean djangan loepa,bahwa di dalam Theosofie itoe memang ada sebagian besar berisipengajaran agama... pengajaran segala agama terbagi atas doea bagianjang besar jaitoe pengadjaran lahir dan pengadjaran batin.38

Teosofi, sebagai ajaran, sikap dan pandangan hidup sesungguh-nya merupakan esensi agama. Teosofi adalah inti agama. Seseorangyang mempelajari teosofi atau menjadi anggota teosofi, maka iamesti sampai kepada esensi/inti terdalam agama. Dalam bahasaMTI, teosofi adalah tiangnya agama.39 Teosofi dapat menjelaskanagama kepada penganutnya secara lebih terang dan dalam danmembuatnya menjadi taat beribadah, seperti penjelasan Leadbeaterdi bawah ini:

Akan tetapi Theosofie itoe menerangkan padanja (seseorang) agamanjasendiri, dan menoendjoek maksoednja agamanja sendiri, jang lebihdalem, jang belom pernah diketahoeinja. Kadang-kadang djoega Theo-sofie menoeloeng manoesia mengerti agamanja sendiri dan menjuruhmendjalankan ibadah; ada poela orang soedah hampir maoe moertad,dari sebab koerang mengerti agamanja, diberi kenjataan sampai tidakdjadi moertad.40

Page 61: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

80 Wajah Studi Agama-Agama

Seseorang yang memahami agama hanya sebatas kulit atauidentitas atau berhenti pada syari’at, doktrin dan dogma belaka ma-ka—jika mengikuti logika teosofi—agama seseorang tersebut akanruntuh karena tiada tiangnya, atau setidaknya agama itu menjadilayu, kering, tak bergairah, bagaikan jasad tanpa ruh dan pema-haman keagamaannya pun menjadi keras, kaku, saklek dan kuranglembut. Karena itu, teosofi laksana ruh bagi agama yang memberihidup, dengan teosofi perasaan seorang beragama menjadi baha-gia,41 menjadi luas karena teosofi menjelaskan kedalaman ilmu danagama, menjadi penerang, cahaya dan penuntun hidup.42 Laksanasayap, teosofi dapat membawa terbang seorang pemeluk agamadari yang gelap menuju terang, dari yang fana‘ menuju baka‘, dariketertarikan hanya kepada yang tampak-terbatas kepada keindah-an inti agama yang maha luas tak terbatas.43

Karena fokus teosofi kepada jantung agama, maka dalam pe-ngertiannya yang khusus, seorang teosof sejati sesungguhnya telahmelampaui (beyond) syari’at, identitas, buku dan bentuk agama-agama.44 Dalam pengertian inilah teosofi lebih luas dari agama-agama dunia karena fokus teosofi sampai kepada hakikat dan makri-fat,45 sampai kepada pengalaman, “mengalami” langsung, “kenya-taan,” “kebenaran” yang dialami dibanding sekadar terpikat kepadaidentitas dan terpenjara oleh kulit luar agama. Dalam sebuah pu-blikasi ditegaskan oleh pemimpin redaksi Koemandang Theosofie:

Kami sendiri berfikir, Theosofie itoe sesoenggoehnja segala peladjaran-nja soedah ada lebih loeas dari pada agama-agama kebanjakan, keranasemoea peladjarannja itoe, orang tidak boleh menerima dengan lantaspertjaja sadja, pada sebeloem peladjaran itoe dinjatakan sendiri, dija-kinkan sendiri bagaimana kenjatannja...46

Jika dianalogikan dengan agama sebagai badan atau sistem yangtotal, teosofi bisa lebih dari agama karena ia merupakan inti sariagama-agama karena perhatian totalnya hanya kepada Tuhan47 dankepada keelokan dan kelurusan budi, cinta kasih, persaudaraan

Page 62: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

81Dr. Media Zainul Bahri

dan perdamaian utuh, sementara agama sangat memungkinkanuntuk “ditafsirkan” dalam cahaya buram kekerasan, kebengisan,konflik, perang dan saling bunuh antarmanusia atau setidaknyaselalu memandang ke-liyan-an orang lain (yang berbeda).

Mengenai pengertian agama yang condong kepada kehalusanbudi dan cinta kasih, Labberton menjelaskannya sebagai berikut:

Sebab jang diseboet igama itoe, sifatnja: tjinta pada sesama, ringan memberipertoeloengan dan sofan ati boedinja; djadi jang diseboet igama jang sedjatiitoe boekannja perkara lahir, tetapi perkara di dalem ati, batin. Djikasareat igama itoe dikeras-kerasken, dibagoes-bagoesken dengan tjeri-ta’an dan pentjela’an pada lain roepa igama, itoelah djadi bidji kedja-hatan.48

Dalam pengertian ini pula, sudah tidak memadai lagi jika dok-trin teosofi yang menekankan rasa kesucian dan pengalaman “rasaketuhanan” kemudian diikat-ikat oleh adat, cara, wujud, bentukagama dan kekuasaan lahir. Semua ikatan itu akan membatasi hidupbahkan membunuh hidup padahal hidup memberi kebebasankepada manusia.49 Nah, teosofi hanya terikat kepada Tuhan YangMaha Tak Terbatas. Kritik teosofi itu tertuju kepada dua hal: per-tama, kepada orang yang menuhankan syari’at, akidah dan iden-titas. Menurut teosofi, orang mestinya setia dengan esensi agamadibanding kepada bentuk atau manifestasinya. Saat ini banyak orangmelakukan kekerasan, merusak kehidupan sesamanya bahkanmembunuh dengan dalih setia kepada “syari’at agama,” padahal“esensi agama” mengutuk perbuatan itu. Kedua, sekarang banyakorang yang lebih terpikat kepada lahiriah hidup yang glamour ataupada kekuasaan lahiriah hingga menghalalkan segala cara untukmeraihnya, sementara esensi/roh hidup diabaikan padahal esensihidup itulah yang mulia karena di dalamnya bersemayam nilai-nilaikejujuran dan kesucian hidup yang harus mewujud dalam praktik.

Apakah teosofi membuat seseorang menjadi tak setia dengansyari’at, ajaran atau doktrin agamanya? Tidak juga. Karena selain

Page 63: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

82 Wajah Studi Agama-Agama

menegaskan bahwa teosofi bukan sebuah agama atau agama baru,Perhimpunan Teosofi dan ajaran-ajarannya tidak hendak memin-dahkan agama seseorang (Islam misalnya) ke agama lain (Kristenmisalnya); tidak menghendaki konversi agama, seperti penegasandi bawah ini:

Perhimpoenan Tasaoef ini djangan kita kira jang bakal mendjadikanatau memasoekkan igama atau menoeroet pada lain Nabi, saoepamaChristen di djadikan Islam atau Islam di djadikan Christen, itoe per-himpoenan Tasaoef tida sekali-kali akan mempergoenakan jang sade-mikian, melainkan perhimpoenan Tasaoef bilang mesti kita lid-lid darilain igama mesti roekoen akan mentjahari apa kehendaknja dan mak-soednja dari kita ampoenja Nabi seperti kita misti taoe apa jang dipe-rentah oleh Nabi kita, dan kita misti taoe apa kepintarannja Nabi danperdjalananja, itoe kita semoea lid wadjib mengetahoei..50

Kutipan di atas menunjukkan dengan jelas justru Perhimpunanini menginginkan para pemeluk agama—sebagai anggota-ang-gotanya—untuk meyakini betul agama masing-masing dengan caramempelajari maksud dan inti ajaran nabi masing-masing serta hi-dup rukun dalam kebersamaan meskipun berbeda agama dan ke-yakinan.51 Menurut klaim MTI, pada kenyataannya, alih-alih terjadikonversi—teosofi justru memperkuat keyakinan keagamaan sese-orang dan para pengikut teosofi tetap setia dengan (syari’at) agama-agama masing-masing namun dalam pemahamannya yang mistik-filosofis yang melampaui (beyond) makna-makna lahiriah semata.Teosofi membuka mata hati para pemeluk agama untuk mengenallebih dalam agama masing-masing yang belum pernah diketahuisebelumnya, bahkan—dalam beberapa kasus—menolong orang un-tuk taat beribadah sesuai keyakinannya. Dalam sebuah kutipan diatas, telah dijelaskan pernah ada kasus seseorang hendak murtad dariagamanya, tetapi guru teosofi menjelaskan kebenaran dan kenya-taan agamanya hingga ia urung menjadi murtad.52

Page 64: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

83Dr. Media Zainul Bahri

Bagi teosofi, ajaran dan tujuan agama sesungguhnya bisa dipa-hami oleh akal, karenanya agama selaras pula dengan kaidah-kaidahyang logis dan rasional. Karena itu, tidak benar kecurigaan dantuduhan-tuduhan bahwa teosofi adalah agama baru yang menyesat-kan dengan model sinkretik (campuran berbagai ajaran agama yangberbeda), teosofi melemahkan keyakinan seseorang, teosofi menjadiajang konversi atau teosofi hendak merelatifkan dan menyamakansemua agama.53 Ada tuduhan bahwa teosofi adalah agama Hindudan Buddha, atau Gerakan Hindu Baru (New Hindu Movement). Be-berapa orang Islam menuduh Teosofi sebagai agama Kristen. Jikamembaca publikasi-publikasi MTI dari tahun 1900 hingga 1950-an, segala tuduhan itu tidak sesuai dengan fakta penjelasan-pen-jelasan publikasi mereka.

Kedua, teosofi dan agama memiliki tujuan yang sama. Teosofimengarahkan pandangan dan tujuan seorang manusia hanya ke-pada Tuhan, mengajarkan untuk terus memupuk kesucian batin,mengasihi dan mencintai sesama, saling tolong dan bekerja sama,menyuburkan akal-budi yang jernih, kejujuran, kesabaran, keadilandan kebijaksanaan. Bukankah hal-hal tersebut juga menjadi tujuannormatif agama-agama? Dalam banyak publikasi MTI, mereka me-negaskan bahwa tujuan teosofi sama dan sejalan dengan tujuanagama.54 Teosofi dan agama sama-sama menghendaki kebahagiaanmanusia dengan cara pengalaman spiritual. Teosofi hendak mencarihakikat (rahasia) agama55 untuk apa? Untuk mencapai kebenaran.Jika demikian, agama sendiri telah “mengandung” atau “menam-pung” kebenaran dan teosofi adalah alatnya. Karena itu, tak adapertentangan di antara keduanya. Jika agama hendak menemukankebenaran, maka agama dan teosofi adalah satu tujuan. Jika punseorang penganut agama merasa kesulitan mencapai hakikat (ra-hasia terdalam) agama, maka ia dan seorang teosof tetap dapat ber-sahabat dan bersaudara, tidak mesti menjadi musuh dan terjadipertentangan.56 Secara umum, agama dan teosofi bertujuan sama:sama-sama menghendaki sampai kepada kebenaran, persaudaraandan perdamaian di antara umat manusia dan akhirnya kemajuan

Page 65: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

84 Wajah Studi Agama-Agama

dunia dalam cahaya keadilan, kemakmuran dan kesetaraan. Dalambahasa lain, MTI menegaskan bahwa teosofi dan agama-agama du-nia hendaknya bersatu mengusahakan perdamaian. Dengan berba-gai tujuan yang normatif itu, tampak bahwa teosofi dan agamamenghendaki kesempurnaan hidup manusia atau membimbinghidup manusia ke arah kesempurnaan lahir dan batin.

Dalam salah satu publikasi Perhimpunan Teosofi disebutkanboleh jadi ada perbedaan antara agama dan teosofi. Perbedaannyaadalah jika agama menjanjikan berbagai dogma dan doktrin, ter-utama yang berkaitan dengan hal-hal metafisis dan para penganut-nya harus menerima dan memercayainya begitu saja, maka teosofimenjelaskan dogma-dogma itu. Banyak pemeluk agama yang tidakpuas dengan berbagai dogma yang harus diimani, ternyata merekamenemukan penjelasannya ketika menjadi anggota teosofi.57 Jikadilihat secara jeli, sesungguhnya tidak ada perbedaan, yang adaadalah teosofi menjelaskan agama; teosofi menyempurnakan pen-jelasan-penjelasan mengenai doktrin-doktrin agama yang selamaini taken for granted. Bagi seorang teosof, agama tak lain adalahajaran yang menuntun manusia kepada kenyataan, kenikmatandan kesempurnaan. Dalam konteks ini, ada dua model orang ber-agama: (1) mengerjakan ajaran agama di mulut, (2) mengerjakanajaran agama di hati.58 Orang yang memahami dan mempraktikkanagama sampai ke dalam (hati) dan menjadi sikap hidup sehari-hariberarti ia telah menjadi seorang teosof; paham dan praktik keaga-maannya sejalan dengan teosofi. Di sini agama sebagai kenyataan,pengalaman dan kebenaran yang dirasakan berarti sama dengantujuan teosofi.

Relevan dengan pembahasan ini adalah karya William C.Chittick yang sangat menarik yang berjudul Science of the Cosmos,Science of the Soul: The Pertinence of Islamic Cosmology in the ModernWorld (2007). Dalam karya itu, Chittick memfokuskan pembahasanpada dua model pengetahuan yang hampir seluruhnya dianut olehkaum Muslim dalam beragama, yaitu: (1) pengetahuan nukilan ataunakliah (naql) atau pengetahuan tiruan atau meniru (taqlid) dan

Page 66: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

85Dr. Media Zainul Bahri

(2) pengetahuan akliah atau intelektual (‘aqliyah) atau disebut jugapengetahuan dengan cara realisasi dan verifikasi (tahqiq). MenurutChittick, ilmu nakliah dicirikan oleh fakta bahwa ia harus diturun-kan dari satu generasi ke generasi lain. Satu-satunya cara yang mung-kin untuk mempelajarinya adalah dengan menerimanya dari oranglain. Pengetahuan nukilan bergantung pada apa kata orang. Ini ada-lah semacam pengetahuan yang paling umum dalam setiap budayaatau agama. Kaum Muslim mengetahui bahwa Allah menyeru me-reka untuk mendirikan shalat wajib lima kali sehari atau puasa padabulan ramadhan, tetapi pengetahuan ini mereka ambil dari penje-lasan ulama, yaitu kaum yang telah mempelajari al-Qur`an dan ha-dis. Mereka tidak dapat benar-benar menemukan apa yang Allahinginkan dari mereka tanpa penukilan dari sumber-sumber yangdiwahyukan. Dalam Islam, termasuk ke dalam ilmu nakliah iniadalah ilmu fikih, tafsir, hadis, gramatikal bahasa Arab dan sejarah.59

Sebaliknya, pengetahuan akliah tidak bisa diturunkan, meski-pun guru-guru tetap dibutuhkan guna membimbing ke arah yangbenar. Cara untuk menerimanya adalah dengan menemukannyadalam diri sendiri melalui latihan pikiran, kontemplasi, atau sebagai-mana yang disebutkan dalam banyak teks, dengan “menjernihkanhati.” Tanpa menguak pengetahuan tersebut melalui penemuandiri, maka orang akan bergantung pada yang lain dalam segala se-suatu yang dia ketahui. Contoh umum dari ilmu akliah, meskipunia tidak memenuhi semua kriteria, adalah matematika. Kita tidakmengatakan, “Dua ditambah dua sama dengan empat karena se-jumlah pihak berwenang mengatakan demikian.” Pikiran mampumenemukan dan memahami kebenaran matematis tersebut de-ngan sendirinya. Ketika ia menemukannya, itu tidak bergantungkepada sumber-sumber eksternal. Pengetahuan itu dinyatakan be-nar karena kita memahaminya dan hal itu bersifat self-evident. Kitatidak bisa menyangkal kebenarannya sama dengan tidak bisanyakita menolak kesadaran kita sendiri. Dalam tradisi Islam, ilmutasawuf dan filsafat Islam adalah kategori ilmu akliah yang mampu

Page 67: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

86 Wajah Studi Agama-Agama

menemukan atau mengalami secara langsung “kenyataan” dan“kebenaran” akan Tuhan dan alam ini secara meyakinkan.

Menurut Chittick, baik ilmu nukilan/nakliah maupun penge-tahuan intelektual/akliah sangat penting bagi kelangsungan hidupagama apa pun. Untuk menjadi anggota salah satu agama, budaya,masyarakat atau kelompok, orang perlu belajar dari mereka yangsudah menjadi anggota, dan proses belajar ini berlangsung dengancara “meniru.” Namun, yang terbaik tentu adalah “mengalami lang-sung” akan “kenyataan atau kebenaran” dalam diri kita, bukansekadar meniru orang atau terus bergantung kepada apa kata orang.Para cendekiawan Muslim berpendapat bahwa meniru orang laindalam masalah-masalah intelektual adalah status pemula atau pela-jar, bukan seorang pakar, namun meniru al-Qur`an dan Nabi dalammasalah-masalah nukilan berarti telah mengikuti jalan yang benar.60

Dalam publikasi MTI yang lain disebutkan pula suatu perbe-daan: bahwa jika agama dasarnya adalah kepercayaan, maka teosofimengakarkan diri pada kenyataan. Teosofi sebagai dharma berartikenyataan, sedangkan agama berarti kepercayaan.61 Bagi MTI, ke-nyataan lebih tinggi atau lebih utama dibanding kepercayaan seba-gaimana tercantum dalam slogan Teosofi “Satyan Nasti Paro Dhar-ma:” “tak ada agama yang lebih tinggi daripada kenyataan (kebe-naran).” Namun, apa yang disebut perbedaan itu sesungguhnyajuga bukan perbedaan, namun hubungan yang erat antara kedua-nya. Dalam sebuah istilah yang dibuat MTI disebutkan bahwa“kenyataan” ada di dalam dharma, namun dharma tentu saja mun-cul karena adanya “kepercayaan penuh.”62 Dengan kepercayaanpenuh, berbudi luhur, lalu “mengamalkan” lelaku spiritual danmengarahkan komunikasi hanya kepada Tuhan sesuai atau sepertiyang diajarkan oleh agama masing-masing, maka seorang pemelukagama dapat naik derajatnya dari sekadar “percaya” menjadi “meng-alami kenyataan/kebenaran” seperti yang dikehendaki oleh teosofi.Inilah relevansi pernyataan kaum teosofi bahwa teosofi adalah tiang-nya agama; inti/esensi atau jantung agama. Jika seseorang telah sam-pai pada derajat ini—yang berarti ia telah melampaui identitas, kulit

Page 68: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

87Dr. Media Zainul Bahri

atau bentuk-luar agama—maka ia akan “mengalami” akan “kenya-taan-kebenaran-kedalaman” agama yang dianutnya. Dalam bahasalain, jika seseorang mampu memahami dan mempraktikkan agamasampai pada “hakikat”nya atau “rasa”nya, maka ia akan mengertibahwa agama sejalan dengan teosofi.63 Karena itu, PerhimpunanTeosofi menegaskan bahwa teosofi tidak bertentangan dengan aga-ma karena teosofi mengandung inti semua agama dan filsafat. Teo-sofi adalah inti sari agama, filsafat dan ilmu pengetahuan.64

E. Munculnya Masyarakat TeosofiIndonesia

Gerakan Teosofi didirikan pertama kali di kota New York, Ame-rika Serikat, tahun 1875 oleh 16 orang, termasuk inisiator, HelenaPetrovna Blavatsky (1831-1891), seorang wanita bangsawan ketu-runan rusia yang memiliki bakat mistik atau supranatural yang luarbiasa. Termasuk di antara mereka adalah dua orang Amerika, yakniHenry Steel Olcott dan William Quan Judge, sekutu dekat Blavatsky.Segera setelah organisasi tersebut berdiri, Henry Olcott diangkatmenjadi Presiden pertama perkumpulan yang kemudian diberinama Theosophical Society (TS). Tahun 1879 Blavatsky dan Olcottmenancapkan pengaruh mereka di India, dan baru pada 1883 pusatTS dipindahkan oleh Madam Blavatsky dari New York ke Adyar,India. Tahun 1907, TS memasuki babak baru karena munculnyaseorang tokoh baru asal Inggris, yaitu Annie Bessant, menjadi Presi-den TS menggantikan Olcott. Tokoh inilah yang membawa TS ber-pengaruh secara tajam, tidak saja di India, namun menyebar keseluruh dunia, termasuk Indonesia.65

Menurut Iskandar Nugraha (2001 & 2011), bukti-bukti pastiyang mengungkap kemunculan awal Gerakan Teosofi di Indone-sia hampir tidak ada kecuali beberapa catatan yang hanya memberigambaran bersifat umum. Salah satu gambaran umum itu memberipetunjuk bahwa Gerakan Teosofi di Hindia (Indonesia) pertama kalididirikan di kota Pekalongan, Jawa Tengah, 8 tahun sesudah Teosofiberdiri di Amerika tahun 1883, dan sebagai bagian dari Gerakan

Page 69: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

88 Wajah Studi Agama-Agama

Teosofi Nederland, dan tentu saja semuanya menginduk kepadagerakan Internasional yang berpusat di Adyar, India. Loji (lodge)Teosofi di kota kecil ini dipimpin seorang bangsawan Eropa, Baronvan Tengnagel. Tahun 1883 belum dapat dipastikan sebagai awalGerakan Teosofi di Hindia secara pasti, sebab sumber lain menye-butkan tahun 1881. Yang dapat dipastikan oleh Nugraha adalahbahwa kemunculan awal Gerakan itu berada di akhir abad ke-19.Saat itu, setidaknya Teosofi telah menarik perhatian sebagian ma-syarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah. Siapa, apa dan bagaimanalatar belakan pendiriannya belum diperoleh petunjuk yang pasti.Yang diketahui adalah bahwa The Pekalongan Theosophical Societyini dipimpin seorang Kapitein Infantri tentara Hindia Belanda yangpernah ditempatkan di Dinas Topografi. Organisasi tersebut secarasah diakui kantor pusat Teosofi di Adyar dan izinnya ditanda tanganiKolonel Olcott.66

Namun sesungguhnya, jauh sebelum Blavatsky mendirikanTeosofi di New York (1875), Madam diberitakan pernah berkun-jung ke Hindia lebih dari satu kali. Menurut majalah Teosofi, Luci-fer, perhatian Madam cukup tinggi kepada Hindia sebelum ia men-dirikan Teosofi, terutama tentang kemungkinan nilai-nilai Jawayang menurutnya dapat dijadikan penyumbang ajaran Teosofi. Da-lam rangka itulah, pada 1852-1860, Blavatsky mengunjungi candiMendut dan Borobudur, dan sempat singgah di Pekalongan danbermalam di Pesanggrahan Limpung di bawah gunung Dieng. Pada1862, ia kembali berkeliling pulau Jawa dan diberitakan menying-gahi banyak tempat di Jawa. Menurut Iskandar, kemungkinanmunculnya Gerakan Teosofi awal di Pekalongan dapat dikaitkandengan fakta kunjungan Blavatsky di Jawa, dan kemungkinan kuatkegiatan Gerakan Teosofi paling awal di Hindia ini masih terbataspada aspek kebatinan saja seperti yang berlangsung di pusatnyasaat itu.67 Mengenai kegiatan detail organisasi Teosofi di akhir abadke-19 di Hindia serta aktivitas Baron van Tenggnagel hingga wa-fatnya, menurut Iskandar masih gelap alias belum terkuak. Yangdiketahui Baron meninggal di Bogor tahun 1893.68

Page 70: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

89Dr. Media Zainul Bahri

Dalam catatan Nugraha, babak baru gerakan teosofi dimulaikembali pada awal abad 20. Pada 1901, muncul kembali kelom-pok-kelompok pelajar teosofi di kota semarang. Propaganda-pro-paganda untuk menarik orang agar masuk gerakan ini diprakarsaioleh Asperen Velde, orang Belanda dan direktur sebuah percetakandan penerbitan buku-buku. Dengan pekerjaannya itu, ia menyebar-kan brosur-brosur mengajak orang menjadi anggota teosofi. Darijumlah anggota pertama hanya 7 orang di Semarang, gerakan teo-sofi mulai menyebar ke daerah lain seperti Surabaya, Yogyakartadan Surakarta. Karena kepeloporannya, Asperen kemudian dijulukisebagai “Bapak Pemimpin loji bagian Batin.”69

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa di awal abad ke-20 hing-ga tahun 1933, gerakan teosofi Indonesia merangkak maju secarapelan namun pasti; dari tahun ke tahun mendapat simpati dan ang-gota yang terus membengkak. Pada masa keemasannya, kira-kiratahun 1910 hingga 1930, teosofi membangun banyak organisasisayap demi merealisasikan semangat persaudaraan, menyebarkanpaham teosofi, dan memberdayakan kaum pribumi, terutama da-lam bidang pendidikan dan pengembangan kualitas moral ketimur-an yang adiluhung. Nugraha mengurai beberapa organisasi pentingyang lahir di bawah teosofi, yakni: (1) Bintang Timoer (1911), yangmengkhususkan pengajaran dan praktik tasawuf dan kebatinan,(2) Moeslim Bond (1924), wadah bagi kaum Muslim anggota teosofiuntuk belajar menerima kenyataan akan perubahan-perubahan du-nia, (3) Mimpitoe atau M 7 (1909), yaitu organisasi yang berfokusmemerangi 7 hal: (a) Main (berjudi), (b) Minoem (mabuk), (c) Ma-don (main perempuan), (d) Madat (mabuk karena menghisap ganjadan sejenisnya), (e) Maling, (f) Modo (mencela atau mengumpatkarena dengki dan benci), (g) Mangani (makan berlebihan dari yangdibutuhkan), (4) Perhimpunan Toeloeng-Menoeloeng (1909), (5) Wi-dija-Poestaka (1909), yaitu organisasi yang bertujuan mengumpul-kan setiap pengetahuan zaman kuno yang ditemukan di Hindia(Nusantara). Upaya ini dilakukan semata-mata untuk melindungi-nya dari kemusnahan. (5), NIATWUV (Nederlandsch-Indische Wereld

Page 71: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

90 Wajah Studi Agama-Agama

Afdeling Theosofische Wereld Universiteit Vereeniging), yaitu Per-himpunan Universitas Dunia Teosofi Cabang Hindia Belanda yangmenyelenggarakan sejumlah sekolah dan mendukung pendiriansejumlah pranata pendidikan di Hindia. Salah satu sekolah yangdidirikan dan menjadi favorit adalah Sekolah Arjuna (Ardjoena-scholen) (1914).70 Sekolah-sekolah yang didirikan kaum teosofi di-beri nama Sekolah Arjuna karena tokoh ini sangat digandrungi tidakhanya di dunia wayang, namun juga oleh orang-orang teosofi, danwayang adalah salah satu media penyebaran paham teosofi yangterfavorit,71 (6) Organisasi Ati Soetji (1914), yang berupaya mema-jukan kehidupan kaum wanita dan usaha-usaha sosial lainnya. Tigatujuan Ati Soetji; menjunjung derajat kebangsaan; memajukanonder-wijs (pengajaran); dan membantu ekonomi kaum Bumiputra.Selain itu juga bertujuan mengadakan perlindungan, pertolongan,dan tunjangan kepada mereka yang terkena celaka atau sengsarakarena kejahatan.72

Dalam hal keanggotaan, penting dipertanyakan siapakah ma-yoritas anggota teosofi Indonesia? Nugraha memiliki penjelasanyang cukup jelas. Hasil risetnya menunjukkan bahwa Gerakan Teo-sofi di Hindia (Indonesia) terdiri orang-orang Belanda asli, Bumi-putera, China dan Indo-Eropa (keturunan Eropa). Sampai tahun1900-an mayoritas Indo sebagai bagian dari masyarakat Eropa Hin-dia Belanda memiliki kedudukan sosioekonomi yang buruk danteralienasi. Hal ini karena mereka ditolak oleh “ayah” mereka sen-diri bangsa Eropa dan tuntutan-tuntutan mereka tak pernah digu-bris. Di sisi lain, mereka juga sulit menyesuaikan diri dengan kaumBumiputera karena posisi mereka yang tetap sebagai orang Eropa.Dengan keadaan ini, kaum Indo yang menjadi penganjur GerakanAsosiasi mendominasi keanggotaan teosofi. Dalam gerakan ini,mereka agaknya menemukan konsep yang membawa mereka de-kat dengan kalangan Bumiputera dan dapat memperjuangkan per-samaan seperti yang dikatakan Ricklefs, “Theosophy...was one of thefew movements which brought elite Javanese, Indo-Europeans andDutcman together in this period...”.73

Page 72: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

91Dr. Media Zainul Bahri

Golongan Bumiputera merupakan golongan kedua terbanyakmenjadi anggota Teosofi. Di antara kalangan Bumiputera, orang Jawamerupakan kelompok yang paling dominan menjadi anggota. Kon-sep teosofi dan pendekatan para pemimpin teosofi adalah dua faktorpenyebab utama tertariknya kaum priyayi Jawa74 terhadap gerakanini. Ajaran-ajaran teosofi yang bersifat esoterik, spiritual atau “keba-tinan” cocok dengan budaya para priyayi Jawa yang menyukai mis-tik. Ajaran teosofi dianggap banyak kesamaannya dengan ajaran-ajaran rahasia yang terdapat dalam kitab-kitab kuno berbahasa Jawa(sebagai warisan mulia leluhur orang-orang Jawa). Para priyayi Jawaitu, meskipun menganut agama Hindu, Islam atau Kristen, padakenyataannya mereka adalah panteis yang berhasil mengkom-binasikan kepercayaan dari agama resmi mereka dengan pemikiranleluhur (nenek moyang) yang memiliki sifat mistik. Itulah sebab-nya, menurut Nugraha, mengapa Gerakan Teosofi meskipun kemu-dian menyebar luas di Nusantara, pengaruh terkuatnya justru terda-pat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.75

Menurut Nugraha, masuknya seorang Bumiputera dalam ling-kungan teosofi yang kebanyakan anggotanya dari kalangan bang-sawan tinggi (priyayi) tentu menjadi suatu gengsi atau kebanggaantersendiri. Anggota-anggota pertama dari kalangan priyayi yangkemudian turut menyebarluaskan ajaran teosofi di kalangan pelajaradalah tokoh-tokoh berkarisma tinggi, baik karena kedudukan, pen-didikan maupun karena pemikiran-pemikiran mereka. Faktorinilah yang membuat kaum terpelajar non-priyayi (umumnya orangJawa) tertarik untuk bergabung dengan teosofi. Kesempatan ber-gaul dengan kaum priyayi tinggi dan orang-orang Eropa (terutamaBelanda) berkedudukan tinggi yang mau menghargai keberadaanmereka, merupakan hal yang sangat langka pada masa itu. Terlebihlagi, Gerakan Teosofi juga memiliki fasilitas intelektual yang me-madai, misalnya perpustakaan. C.L.M. Panders, penulis The LifeTimes of Soekarno (1974), seperti dikutip Nugraha, menceritakanbahwa “Soekarno menghabiskan waktu berjam-jam di Perpusta-kaan Theosophical Society di mana ia memperoleh akses karena ke-

Page 73: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

92 Wajah Studi Agama-Agama

anggotaan ayahnya. Di sanalah ia bergumul dengan pemikirantokoh-tokoh politik termasyhur dalam sejarah.”76 Selain perpus-takaan yang memiliki koleksi literatur yang lengkap, Gerakan Teo-sofi (lewat organisasi NITV), juga menyediakan sarana bagi arenadiskusi-diskusi terbuka, baik dalam studie-klasse atau dalam bentukopenbare lezing (ceramah terbuka).77

Watak kolonial yang diwarnai oleh pembagian masyarakat ber-dasarkan warna kulit yang tajam (colour line division) dan prinsipdasar Gerakan Teosofi yang tidak memandang warna kulit, ras, aga-ma dan suku-bangsa, semakin mendorong kalangan Bumiputeraterpelajar bergabung dalam organisasi ini. Berkaitan dengan domi-nasi orang-orang Jawa, pada kongres teosofi pertama di Yogyakartapada 1907, dari 78 orang utusan yang hadir di rumah M.R.T. Sosro-negoro, 19 priyayi bergelar “Raden” (R), “Raden Mas” (RM), dan“Raden Ngabehi” (R.Ng). Sementara 17 lainnya adalah priyayi wa-nita. Meskipun Jawa amat dominan, diantara anggota-anggotanyaada juga yang berasal dari kelompok suku lain seperti Sunda, Mi-nangkabau, Melayu, bahkan Manado dan Ambon. Berdasarkanladenlijst (daftar keanggotaan) tahun 1914 dan 1915, selain parapriyayi Jawa, terdapat banyak kaum bangsawan dari Sumatera Barat(Minangkabau). Hal ini dibuktikan dengan adanya gelar-gelar yangditulis sesudah nama mereka, yaitu “Galar Sutan,” “Galar Datuk,”“Galar Marah,” “Galar Tan,” “Datuk Rangkayo,” dan lainnya.78 Diantara orang Sumatera Barat yang menjadi anggota adalah Haji AgusSalim, tokoh-pejuang dan pahlawan nasional, dan Dt. Sutan Maha-radja, seorang tokoh pergerakan nasional yang sangat terkenal.79

Orang-orang Sunda yang menjadi anggota juga banyak yang ber-gelar “Raden.”80

Secara detail, Herman Tollenaere menguraikan bahwa pada1930 keanggotan teosofi Indonesia mencapai puncaknya, yaitu 2090orang, yang terdiri dari: (1) 1006 orang-orang Eropa yang lebih dari50 %-nya adalah orang-orang Belanda, (2) 876 orang-orang asli Indo-nesia, (3) 208 orang-orang asing dari Asia, dan (4) 190 orang-orangChina dan India (orang-orang India berjumlah sekitar 20 orang dari

Page 74: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

93Dr. Media Zainul Bahri

angka itu). Secara geografis, keanggotaan (dan loji-loji) berpusat diJawa, dan secara sosial, sebagian besar anggota orang Indonesiaadalah para priyayi Jawa, sebagian kecil orang-orang Sumatera Baratdan Ningrat Bali.81

Selain dari gambaran keanggotaan diatas, jika kita menelaahlebih lanjut tulisan-tulisan tentang Islam dalam majalah-majalahTeosofi, kita juga menemukan satu kelompok lain, yaitu kaum santriMuslim. Kelompok santri ini bisa berasal dari golongan priyayi,meskipun sangat jarang, atau berasal dari kaum terpelajar non-priya-yi. Dalam stratifikasi masyarakat Jawa, kaum santri ini kedudukan-nya lebih tinggi dari orang-orang kecil/biasa (wong cilik) tetapi tetaplebih rendah dari kaum priyayi. Mengenai keanggotaan kaum san-tri Muslim terpelajar ini, Agus Salim menyatakan:

Saya bergabung ke dalam Theosophical Society karena saya melihatmereka mengakomodasi banyak kaum Muslim, khususnya Muslimyang diasingkan karena pendidikan Baratnya namun masih berpe-gang kuat pada tradisi. Mereka adalah orang-orang yang tertarik padaTheosophical Society.82

Page 75: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

99Dr. Media Zainul Bahri

BAB IVBAB IVBAB IVBAB IVBAB IVTEOSOFI DAN MODEL STUDI

PERBANDINGAN AGAMA

Bab ini akan menjelaskan aktivitas dan model studi PerbandinganAgama yang dilakukan oleh MTI. Bab ini merujuk kepada majalah-majalah (istilah yang digunakan saat itu untuk menyebut jurnal)yang mereka terbitkan mulai tahun 1900 hingga 1954 yang mere-kam sebuah episode penting dalam kehidupan sosial-keagamaanIndonesia, di antaranya Pewarta Theosophie Boeat Tanah Hindia Ne-derland (atau PTHN, Bahasa Melayu, 21 volume, 188 Nomor, 1911-1938), Teosofie In Nederland Indie: Theoshopie Di Tanah Hindia Neder-land (Bahasa Belanda dan Melayu, 80 Nomor, 1918-1925), Theoso-phie in Nederlandsch Indie (atau TINI, Bahasa Belanda, 1912-1930),Kumandang Theosofie (atau KT, Bahasa Melayu, 6 volume, 46 Nomor,1932-1937) dan Persatoean Hidoep (atau PH, Bahasa Melayu, 11 Vo-lume, 109 Nomor, 1930-1940), Pewarta Theosofie Boeat Indonesia(atau PTBI, Bahasa Melayu, 1912-1930), dan Pewarta TheosofiTjabang Indonesia (atau PTTI, Bahasa Melayu, 1954).1 Publikasi MTIyang berbahasa melayulah yang saya jadikan sumber utama dalambab ini.

Kita akan melihat bagaimana pemahaman keagamaan merekayang esoterik dan hubungannya dengan agama-agama lain, ataupemahaman esoterik mereka tentang agama-agama. Dari diskusi-diskusi dan tulisan yang dipublikasikan tampak bahwa merekabanyak membedah paham pluralisme yang menyangkut tema SatuTuhan banyak nama (agama), kesatuan esensial para nabi dan kitab-kitab suci, dan model perenial serta komparasi yang mereka laku-kan.

Page 76: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

100 Wajah Studi Agama-Agama

A. Teosofi dan Doktrin Agama-AgamaDalam konteks studi Perbandingan Agama, satu hal yang sangat

menonjol pada kegiatan MTI adalah membedah doktrin agama-agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Di sini setiap penulisatau peminat kajian agama yang beragam menjelaskan ajaran agamamasing-masing sejauh yang dapat dijelaskan hingga menukik keaspek batin/esoterik dari agama mereka. Penjelasan mengenai aspekmistik-esoterik merupakan hal yang terpenting yang menjadi fokusmereka, dan dalam beberapa kesempatan mereka kaitkan hal itudengan doktrin teosofi di mana mereka duduk sebagai anggota/pengikutnya. Bagaimana pun, penjelasan mengenai aspek syari’atatau eksoterik agama tetap mendapat porsi yang luas karena tidakmungkin menjelaskan yang esoterik tanpa mendeskripsikan yangeksoterik.

Maka, anggota teosofi dalam agama apa pun akan mendengaratau membaca doktrin agama orang lain melalui ceramah dan tulis-an langsung pemeluknya (tokoh atau sarjananya).2 Para pemelukagama mendapat penjelasan tentang agama lain langsung dari ta-ngan pertama, hingga mereka memiliki pemahaman yang cukup.Kata pemahaman mengandung beberapa pengertian. Pertama, pe-mahaman yang belum utuh sehingga memunculkan rasa kepe-nasaran dan keingintahuan lebih lanjut. Di sini lalu muncul dialogatau diskusi yang komprehensif. Kedua, pemahaman yang cukupbaik dan mendalam, namun pendengar atau pembaca tetap meng-ajukan pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan yang kritis. Ketiga,dari pemahaman yang baik dan utuh muncullah cara pandang dansikap yang positif terhadap agama lain, seperti adanya respek, sim-pati dan empati atau “merasakan” akan paham, keyakinan dan ritusagama orang lain yang berbeda.

1. Islam dan Teosofi

Dari kalangan Islam tampillah kaum terdidik Muslim yangcukup mengerti bahkan mendalami ajaran Islam—untuk ukuransekarang, kita sebut saja mereka kaum sarjana agama, meskipun

Page 77: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

101Dr. Media Zainul Bahri

tidak bergelar Doktor atau Profesor yang memang langka saat itu—yang menjelaskan banyak aspek doktrin Islam. Dalam banyak pu-blikasi MTI dan dalam rentang waktu belasan hingga puluhantahun, mereka membedah detail-detail ajaran atau syari’at Islam,seperti rukun Islam yang meliputi syahadat, shalat, zakat, puasadan haji, serta rukun iman: iman kepada Allah, Malaikat, parautusan Tuhan, kitab-kitab suci, hari akhir dan ketetapan takdir.3

Yang menarik, mereka menguak aspek-aspek esoterik dari berbagaipenjelasan doktrin yang eksoterik tersebut. Pada tataran ini merekamembicarakan tasawuf Islam, maka doktrin sufisme al-Ghazali, Ibn‘Arabi, Rumi dan al-Junaidi kerap disebut. Ini berarti ajaran-ajarantasawuf sudah akrab dalam kamus keberagamaan mereka saat itu.Di saat yang sama, mereka juga memperkaya penjelasan eksoterikIslam dengan mistik Jawa atau Kejawen yang telah banyak dipe-ngaruhi oleh doktrin-doktrin Hindu-Buddha.

Ketika membincang sufisme Islam, mereka menegaskan bah-wa Islam sejalan dengan doktrin teosofi; Islam dalam pemahaman-nya yang mendalam—maksudnya pada dimensi mistik—tidak ber-tentangan dengan teosofi, namun sejalan-seiring, karena sufismedan teosofi memiliki satu tekad yang sama yaitu mencoba menguakyang inti atau yang esensi dari ajaran kulit agama. Bahkan, dalambeberapa kesempatan, kaum cerdik Muslim itu, ketika menjelaskanpengertian dan seluk-beluk ‘teosofi’ mereka menyebutnya dengan‘tasawuf’ dan penjelasannya tentu saja tasawuf Islam. Hal lain yangcukup menonjol adalah istilah-istilah Islam yang banyak sekali di-gunakan oleh jurnal-jurnal MTI. Mungkin teosofi Indonesia—dengan anggota dan pembacanya yang mayoritas Muslim—meng-ambil jargon-jargon Islam untuk lebih familier dan mudah dipa-hami dan diterima. Kita menemukan banyak sekali kata atau istilahseperti Allah, Gusti Allah, nabi dan rasul, ilham, tauhid, syari’at,tarekat, ma’rifat, hakikat dan lain-lain—dengan aksen Arab—dalampublikasi-publikasi MTI, meskipun materi yang sedang dibicarakanmisalnya tentang Hinduisme, Buddhisme, Kristen atau Konghucu.Keadaan ini tentu berbeda dengan teosofi di tempat lain, di India

Page 78: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

102 Wajah Studi Agama-Agama

misalnya yang kental dengan istilah dan aksen Hindu dan budayaHindustan. Bahkan, yang sangat khas dari teosofi Indonesia adalahperan dan kontribusi Islam, dalam arti anggota teosofi Muslim yangmenyebarkan gagasan mengenai inklusivisme dan pluralismeagama dengan basis sufisme Islam. Suatu keunikan yang tidakterdapat pada gerakan teosofi di mana pun.

2. Agama Hindu dan Teosofi

Dari pemeluk agama Hindu, muncul banyak sekali penjelasanmengenai karma, reinkarnasi, Trimurti, yoga, bhakti, kitab Wedadan Bhagawadgita, tokoh-tokoh Hindu: dari Sri Ramakrisna hinggaSwami Vivekananda, dan lain-lain.4 Diskursus yang mencolok ter-utama adalah konsep mistik Hindu. Penjelasan berbagai doktrinHinduisme terutama diarahkan untuk membedah pandangan duniamistik kaum Hindu dan korelasinya dengan teosofi. Bahkan, ba-nyak kalangan yang menunjuk teosofi identik dengan Hinduismekarena beberapa doktrin pokok teosofi seperti kepercayaan terha-dap reinkarnasi, karma-pahala dan pandangan kosmosnya samaatau identik dengan doktrin agama Hindu. Blavatsky sendiri begituterpesona dengan tradisi Hinduisme dan budaya India, dan melaluiteosofi ia ingin melestarikan semua tradisi itu. Annie Bessant, pe-mimpin teosofi yang sangat berpengaruh setelah Blavatsky danHenry Olcott, menyatakan bahwa ia amat mencintai India danagama Hindu. India disebut Bessant sebagai ibu negerinya karenadi negeri inilah ia menemukan hidup yang sebenarnya, dan agamaHindu dicintainya karena mengandung banyak kebenaran yangmasih tersembunyi.5 Mahatma Gandhi menyebut ajaran teosofiBlavatsky sebagai “wajah terbaik Hinduisme.”Namun, menyebutteosofi identik dengan Hinduisme juga tidak sepenuhnya benarkarena doktrin komprehensif teosofi merupakan kumpulan darikearifan hikmah abadi (perennial wisdom) agama-agama: Hindu,Buddha, Yahudi, Kristen, Zoroaster, Konghucu, Phytagoras,Socrates, filsafat ekslektik dan lain-lain. Jadi, tidak hanya Hinduisme.

Page 79: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

103Dr. Media Zainul Bahri

3. Agama Buddha dan Teosofi

Dari para penganut agama Buddha, muncul penjelasan me-ngenai doktrin-doktrin pokok Buddhisme seperti Empat Kesunya-taan (Catur Ariya Saccani), Jalan Tengah (Majjima-Pathipada),Delapan Jalan Mulia, kamma (karma), reinkarnasi, hukum sebab-akibat, roda kehidupan (Paticcasamuppada), nirwana, cinta kasih(metta-maitri-karuna), sejarah kehidupan Siddharta dan lain-lain.6

Ada juga tuduhan bahwa teosofi adalah bentuk lain Buddisme ka-rena Blavatsky sendiri disebut oleh A.P. Sinnet sebagai Buddhis eso-terik (Esoteric Buddhism). Blavatsky sendiri membantah hal itu danmenyatakan bahwa yang benar adalah ajaran kearifan Siddhartamerupakan/menjadi salah satu unsur keseluruhan doktrin teosofi.

4. Agama Kristen dan Teosofi

Kaum Kristiani tidak terlalu memberi penjelasan yang luas dandetail mengenai ajaran-ajaran teologis mereka kecuali tentang Yesusmistik/roh, beberapa fase kehidupan Yesus, perbandingan antaraKristus dengan kaum sufi Muslim dan kaum sofis, perbandinganantara Trinitas dengan Trimurti Hindu, beberapa penjelasan me-ngenai sejarah perkembangan Kristen dan Yahudi serta tempat sem-bahyang Kristen Protestan dan Katolik.7 Dalam banyak publikasiMTI, anggota teosofi yang beragama Kristen dan non-Kristen ter-utama mengarahkan pembahasan mereka tentang Yesus dan hu-bungannya (titik-temu) dengan para tokoh/nabi agama-agama laindan kaitan ajaran-ajaran mistik dan kearifan Yesus dengan teosofidan mistik agama-agama lain. Hal ini dapat dipahami karena fokusteosofi memang ke doktrin mistik dan Kristen sendiri bukan meru-pakan agama syari’at layaknya Islam atau Hindu.

5. Konghucu dan Teosofi

Telah lama konghucu, baik sebagai seperangkat etik-filosofismaupun sebagai agama, dianut oleh banyak masyarakat Indone-sia, baik di kota-kota besar maupun di pedesaan kecil. MasyarakatIndonesia telah lama mengenal istilah pecinan, yaitu tempat khusus

Page 80: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

115Dr. Media Zainul Bahri

jang sempoerna, jang djadi tjonto dan pengadjaran ilmoe kehidoepanbatin.40

Mengenai kesinambungan dan kesatuan esensial kitab suci ini,MTI meyakini bahwa pertama, semua kitab suci: Taurat, Injil, Weda,Upanisad, Bhagawad Gita, al-Qur‘an, Tripitaka dan lain-lain adalahbenar-benar kitab suci, berisi ajaran mulia untuk para nabi dalamkonteks yang berbeda-beda, namun berasal dari Tuhan Yang Sa-ma.41 Kedua, jika dipahami, didalami dan dipraktikkan oleh setiappemeluk agama, semua kitab suci itu merupakan penerang bagihidup yang gelap gulita dan akan membawa keselamatan sejati.42

Ketiga, semua kitab suci sederajat; tidak ada yang lebih tinggi ataulebih rendah antara satu dengan yang lainnya. Semua penganutagama yang beragam hendaknya mempelajari dan melakukan studibanding terhadap dua atau beberapa kitab suci itu.43 Keempat, de-ngan semua kitab suci itu, Tuhan masih terus bersuara dan berbicarakepada semua kaum beriman yang membacanya atau berdialogdengan-Nya melalui kitab-kitab itu.44

Berbagai doktrin MTI tentang kesatuan esensial agama-agama,pesan kenabian dan kitab-kitab suci sesungguhnya merupakan ba-gian dari usaha Gerakan Teosofi dalam mewujudkan persaudaraanuniversal di antara umat manusia dengan tanpa memandang ras,bangsa, warna kulit dan agama. Teosofi menyandarkan ideologinyatentang hal ini melalui mistik agama-agama. Sekali lagi, kaum teosofimenegaskan bahwa semua agama adalah benar, sederajat dan sama-sama berasal dari Kenyataan Ilahi. Karena doktrin ini, seorang teosoftidak suka merendahkan atau menghina agama lain yang berbedadan tidak setuju jika ada orang berpindah agama. Konversi agamahanya terjadi jika seseorang tidak mengerti akan kemuliaan dankeagungan agamanya. Karena doktrin ini pula teosofi menghendaki:“pemandangan persatoean” dan “persaudaraan” seloeroeh doenia.45

Jika setiap orang saling menghina atau merendahkan keyakinanorang lain yang berbeda, sulit terjadi persatuan dan persaudaraankemanusiaan itu.

Page 81: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

116 Wajah Studi Agama-Agama

Bagi MTI, jika Tuhan itu Satu maka kemanusiaan juga satu.Karenanya, perbedaan bangsa, warna kulit dan agama tidak berartitiadanya kesatuan ketuhanan. Jika seseorang hendak mengenalTuhan dengan baik, maka ia mesti membuang tabiat membeda-bedakan agama, bangsa dan warna kulit. Dengan menghormatimanusia dan kemanusiaan, niscaya tirai yang menghalangi sese-orang dengan Tuhan dapat sirna.46 Dengan konsep kesatuan-kesa-tuan seperti dijelaskan di atas, kaum teosofi mencita-citakan hanyaada satu agama untuk semua orang. Ketika meresensi buku karyaLeadbeater yang berjudul De Vorming van het de Wortelras, seoranganggota menulis:

Di dalam boekoe tadi ada menjeboetkan djoega dari hal agama-agama.Nantinja itoe agama-agama mendjadi satoe. Agamanja orang se-doenia (Wereldgodsdienst), agama boeat semoea orang.47

Konsep ini, menurut MTI, sejatinya paralel dengan doktrinSatu Tuhan banyak nama. Karena Tuhan atau Yang Ilahi bersifatkekal-abadi, sementara nama-nama-Nya yang banyak merupakanpemahaman atau respons dari para penganut agama yang beragam,maka kaum teosofi yang lebih fokus kepada yang mistik-esoterik(yang abadi) menghendaki umat manusia mengarahkan pan-dangan dan batinnya kepada Satu Tuhan, satu kemanusiaan dansatu tempat ibadah. Hal itu akan mewujudkan persaudaraan kema-nusiaan dan kemajuan umat manusia, dan dengan sendirinya me-minimalisir konflik dan pertikaian. Mengenai hal ini seorang ang-gota mengutip tulisan Annie Besant:

Djadi boleh dipandang nantinja akan ada satoe gredja sedoenia bagisekalian manoesia, atau satoe masjid oemoem bagi orang sedoenia,dimana orang manoesia dari roepa-roepa igama disitoe tidak hanjasama menjembah pada satoe Toehan sadja; tetapi sama merasa poeladjadi hambanja sator Leerar Besar dari kemanoesiaan. Inilah satoe

Page 82: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

117Dr. Media Zainul Bahri

tjita-tjita jang maha moelia jang dapat menarik kemadjoean djikadipikirkan sampai berasa.48

Namun, apakah cita-cita kaum teosofi tersebut utopis alias mus-tahil diwujudkan? Kenyataannya memang demikian; mustahildiwujudkan. Gerakan teosofi memang memilki banyak mitosyangsulit dipahami kecuali bagi orang-orang yang mempercayai danmendalami “mistisisme.” Jika tidak, maka banyak doktrin teosofiyang akan menjadi “tertawaan” belaka. Jika ditelusuri, paham dancita-cita yang menghendaki satu agama atau satu tempat ibadahuntuk semua tidak hanya dimiliki kaum teosofi belaka. Hampirsemua gerakan sufi atau mistik dalam banyak agama dan tradisimemiliki keinginan itu. Karena concern-nya kepada kasih sayangTuhan, maka kelembutan dan kedamaian hidup menjadi dambaankaum mistik. Dengan itu mereka mencita-citakan kesatuan umatmanusia, kesatuan persaudaraan dan kesatuan agama serta kesatuantempat ibadah. Berbagai konsep kesatuan kaum mistik harus dipa-hami pula sebagai buah dari pengalaman spiritual mereka. Di “alamTuhan” atau “alam spiritual” yang sering mereka alami, merekahanya melihat kesatuan, tak ada dualitas dan heterogenitas. Di alammaya, alam fenomenal atau alam manusia inilah baru terlihatkeragaman, dualisme, berbagai pertentangan dan paradoks-para-doks.

Dalam konteks kesatuan tempat ibadah, Sefik Can, seorangahli sufisme Rumi dari Turki menyebut istilah rumah ibadah uni-versal dengan mengutip syair Rumi:

Orang kafir dan yang beriman mencari-MuMereka bersatu (tidak terpisah) berteriak kepada-Mu.49

Dalam terang cahaya syair di atas, Sefik Can melihat Langitlaksana Kubah besar yang berfungsi sebagai rumah ibadat univer-sal. Di bawah Kubah itu bermunculan tempat-tempat ibadah parti-kular semisal masjid, gereja, biara dan sinagog. Di dalamnya, banyak

Page 83: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

118 Wajah Studi Agama-Agama

manusia dengan beragam agama, suku, ras, warna kulit dan ke-bangsaan bersimpuh kepada Tuhan dan hanya berharap kepada-Nya,50namun tetap dalam naungan satu rumah ibadah universal.

3. Soal Perbedaan Agama

Sedari awal, kaum teosofi Indonesia memahami bahwa bentuk,institusi dan wajah agama-agama berbeda satu sama lain. Mengapa“badan” agama-agama itu berbeda? Jawaban mereka sederhanasaja:

Tjoemah sadja dari sebab samoea Roesoel itoe lahirnja didoenia adadjamannja sendiri, djadi bagi kelahirannja sarak (syari’at) djoega adajang berbeda, karena satoe-satoe djaman, keadannja dari pikirannjamanoesia djuga tida sama.51

Perbedaan konteks tempat para utusan Tuhan dan turunnyawahyu menyebabkan agama menjadi beragam pula. Argumen logisini juga digunakan oleh kaum pluralis dan para pendukung filsafatperenial. Dalam bahasa MTI yang lain, karena bentuk (form, vorm)kelahiran agama berbeda-beda sesuai dengan kultur masing-ma-sing, maka bentuk “Kenyataan” juga berbeda-beda.52 inilah yangmembuat doktrin dan syari’at menjadi beragam dan berbeda. Halitu wajar karena agama turun bukan di ruang yang hampa sejarah.Syari’at agama biasanya hadir sebagai respons terhadap situasi dankondisi zaman. Hasan Hanafi, seorang intelektual Muslim kena-maan dari Mesir, menyatakan bahwa wahyu bukanlah sesuatu yangberada di luar konteks yang kukuh tak berubah, melainkan beradadalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan.53

Karena itu, keragaman ras, bangsa, suku bahkan perbedaan ruangdan waktu meniscayakan adanya perbedaan syariat. Sejauh me-nyangkut aturan-aturan rinci, tak mungkin ada ajaran tunggal danuniversal yang bisa dipakai di setiap masa, situasi, dan kondisi.54

Seorang penulis teosofi merujuk kepada cerita tentang empatorang buta yang memegang gajah lalu membuat kesimpulan ten-tang gajah. Cerita ini sesungguhnya dipopulerkan oleh Jalaluddin

Page 84: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

119Dr. Media Zainul Bahri

Rumi (1207-1273) seorang sufi dari Konya, Turki sekarang.55 Tentusaja, hasil rabaan setiap orang buta yang bersifat parsial itu akanmelahirkan pemahaman yang parsial pula tentang gajah. Namun,mereka mengklaim telah memahami gajah (baca: agama) secarautuh. Dari sini sering kali muncul konflik dan perselisihan.56

Menurut kaum teosofi, Tuhan menurunkan atau memperbaruiwahyu-Nya kepada masyarakat yang sakit yang memang membu-tuhkan. Sakitnya satu masyarakat dengan yang lain berbeda, karenaitu obatnya (syari’at) harus berbeda pula, tidak mungkin sama. Se-orang anggota membuat tamsil:

Tabiatnja seorang Iboe memelihara anak-anaknja jang sama sakit itoetidak sama; jang seorang diberi nasi dengan kare, jang kedoea boeboersagoe dan garoet, jang ketiga roti dengan mentega. Demikian djugakehendak Toehan adanja Ia mengadakan roepa-roepa agama itoe hanjasoepaja djadi djalannja masing-masing bangsa menoeroet tabiat jangsetoedjoe dengan kodratnja sendiri-diri, boeat berbakti kepada Toe-han.57

Maka, setiap bangsa memiliki ajaran yang unik dan cocok bagidiri mereka masing-masing. Setelah dirasa cocok, menurut MTI,setiap pemeluk agama harus teguh menjalankan ajaran, kewajibandan aturan agama masing-masing dengan bebas dan saling meng-hormati satu sama lain.58

Salah satu penyebab konflik antarpemeluk agama yang disorotoleh MTI adalah persoalan fanatisme buta. Fanatisme yang dimak-sud kaum teosofi adalah perasaan bahwa agamanya lebih baik ataulebih tinggi derajatnya dari agama lain, lalu memandang sinis kepadaagama-agama lain. Seorang penulis menganjurkan para anggotateosofi untuk tidak memiliki perasaan bahwa agamanya lebih baik,melainkan mesti merasa bahwa semua agama bertujuan baik, se-hingga prasangka dan perselisihan dapat dihindari.59 Seorang guruteosofi mengajarkan untuk tidak “jatuh cinta” atau “kesengsem”kepada tata-cara (syari’at) agama, perkumpulan teosofi atau organi-

Page 85: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

120 Wajah Studi Agama-Agama

sasi apa pun yang membuatnya menjadi fanatik buta. Tidakberhenti atau “menuhankan” syari’at. Yang harus dilakukan adalahmenemukan inti sari/hakikat agama dan bekerja untuk kepenting-an banyak orang.60

Dalam soal fanatisme ini, teosofi memandang bahwa seseorangyang fanatik berlebihan sulit akan terhubung dengan Tuhan danmendapatkan kebaikan berlimpah. Dalam suatu cerita, setelah mem-beri nasihat kepada para pemujanya, “Djanganlah terlaloe fanatiek,membeda-bedakan lain igama,” Batara Siwa kemudian menegaskanbahwa Dia selamanya tidak akan menerima ibadah pemujanyaselama ia membenci dewa-dewa lain. Namun, pemuja tetap padapendiriannya. Siwa menegaskan lagi bahwa ia tidak akan mencin-tainya selama masih ada kebencian kepada dewa lain. Karena sangpemuja tetap pada keyakinannya, maka Siwa turun lagi denganseparuh badan Wisnu dan separuh Siwa. Pemuja fanatik itu menjadibingung, lalu beribadah kepada dua dewa. Akhirnya, dewa Siwabersabda bahwa ia turun dengan dua badan untuk membuktikanbahwa semua dewa asalnya hanya dari satu wajah Tuhan.61

Cerita ini mirip sekali dengan ajaran Ibn ‘Arabi (1165-) tentang“Tuhan kepercayaan.” “Tuhan keperacayaan” adalah gambar ataubentuk tuhan, atau pemikiran, konsep, ide, atau gagasan tentangTuhan yang diciptakan oleh akal manusia. Tuhan seperti itu bukan-lah Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, Tuhan pada diri-Nya, Zat-Nya, tetapi adalah Tuhan ciptaan manusia, yaitu Tuhan yang di-ciptakan oleh pengetahuan, konsep, penangkapan, atau persepsimanusia. Tuhan seperti itu adalah Tuhan yang “dimasukkan” atau“ditempatkan” oleh manusia dalam pemikiran, konsep, ide, ataugagasannya dan “diikat”-nya dalam dan dengan kepercayaannya.“Bentuk,” “gambar,” atau “wajah” Tuhan seperti itu ditentukan ataudiwarnai oleh manusia yang mempunyai kepercayaan kepada-Nya.“Apa yang diketahui” diwarnai oleh “apa yang mengetahui”. De-ngan mengutip perkataan al-Junayd, Ibn al-’Arabi berkata, “Warnaair adalah warna bejana yang ditempatinya.” Itulah sebabnya Tuhanberkata, “Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang-Ku.” Tu-

Page 86: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

121Dr. Media Zainul Bahri

han disangka, bukan diketahui. Dengan kata lain, Tuhan hanyadalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhanyang sejati tak diketahui dan tak dapat diketahui.62

Karena itu, “Tuhan kepercayaan” adalah Tuhan ciptaan manu-sia. Manusia tidak bisa mencipta Tuhan, yang mampu dilakukannyaadalah mencipta Tuhan dalam keyakinannya. Mencipta mesti ber-dasar pengetahuan, dan mengetahui sesuatu berarti menemukan-nya, dan menemukan sesuatu berarti menetapkan batas-batas kon-septual pada sesuatu tersebut. Tuhan, sesuai dengan kapasitas pe-ngetahuan manusia dapat ditemukan; Tuhan dapat menjadi objekpenemuan (wajd) oleh subjek manusia. Karena itu bagi Ibn ‘Arabi,manusia tidak menyembah Tuhan kecuali dari apa yang telah dite-tapkannya sendiri. Karena pengetahuan serta keyakinan manusiasangat beragam sesuai dengan konteks kesejarahan masing-masing,maka ada banyak doktrin dan konsep tentang Tuhan yang berbeda-beda. Setiap kelompok akan menolak konsep atau doktrin Tuhanyang tidak sesuai yang ada pada kelompok lain, seperti kata imamJunayd bahwa warna air akan sangat ditentukan oleh warna beja-nanya. Beragam agama dan kepercayaan ketika menghadirkan Tu-han sesungguhnya sedang “membentuk-Nya,” “memformulasikan-Nya,” atau “memecah-Nya” dalam bermacam-macam bentuk.Padahal Dia Yang Hakiki adalah Esa, tidak berubah, dan tidak dapatdibatasi atau diikat oleh beragam bentuk.63

Dengan teori ini, Ibn ‘Arabi sesungguhnya hendak mengkritikorang yang memutlakkan, atau jika boleh, “menuhankan” keperca-yaannya kepada Tuhan, yang menganggap kepercayaannya itu se-bagai satu-satunya yang benar dan menyalahkan kepercayaan oranglain. Orang seperti itu memandang bahwa Tuhan yang diperca-yainya itu adalah Tuhan yang sebenarnya, yang berbeda denganTuhan yang dipercayai oleh orang lain yang dianggapnya salah.Padahal Tuhan yang diyakininya pun adalah Tuhan hasil kreasi nalardan kalbunya, bukan Tuhan yang sesungguhnya. Apa yang terjadisaat ini, ketika agama menjadi sistem yang begitu kuat dan domi-nan, orang cenderung bersikap eksklusif dan intoleran.64

Page 87: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

122 Wajah Studi Agama-Agama

4. Soal Penghinaan, Konversi, Pluralisme,dan Kerukunan

Dalam konteks ini, kaum teosofi tidak suka dengan perkataandan sikap yang merendahkan, menjelekkan dan menghina agamaorang lain yang berbeda. Ada empat (4) prinsip utama kaum teosofitentang keberadaan banyak agama dan sikap terhadap agama oranglain. Pertama, menurut mereka, ada ribuan agama yang cocok bagibangsanya masing-masing. Karena keunikan dan kecocokan kulturitu, maka tidak ada agama yang lebih tinggi dan lebih bagus dariyang lain, dus setiap agama pasti mengandung kebaikan, kemuliaandan tujuan akhir yang sama.65 Dari pemahaman ini berarti semuaagama sederajat. Kiai Somo Citro, lagi-lagi dengan merujuk ke-pada kaum sufi Muslim, menuliskan sikapnya:

Djadi setoedjoe dengan perkata’an-perkata’an ahli soefi, bahwa semoeaagama itoe satoe toedjoean. Dari sebab itoe, barangsiapa mempeladjaritheosofie, soedah tentoe akan lebih teguh perdjalanannja dan akanlebih dalam pengertian dalam agamanja sendiri, apa poela akan tidakmentjela pada lain agama dan kedjadiannja akan menambah kesla-metan dalam doenia.66

Kedua, sangat tidak pantas jika seseorang membenci dan meng-hina agama orang lain hanya karena perbedaan keyakinan, apalagiorang tersebut belum mendalami hakikat agamanya sendiri danbelum mempelajari agama yang dicelanya—dengan alasan “haram”mempelajari agama orang lain. Orang yang menghina agama laindisebut oleh kaum teosofi sebagai “Si picik” yang tidak luas dantidak dalam pengetahuan agamanya. A. Karim, seorang penulisMuslim menunjukkan kekesalannya sebagai berikut:

Agama itoe berpangkat-pangkat, menoeroet orang jang memakainja.Orang, selamanja memudji agamanja sendiri sadja, dan lebih adjaibsekali, agama jang lain ditjatjatnja, pada halnja ia beloem pernahmemeriksa agama-agama jang lain; konon katanja haram. Perkataan

Page 88: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

123Dr. Media Zainul Bahri

itoe hamba pandang hanja oleh kepitjikan ilmoe sadja, sebagai katakdibawah tempoeroeng67

Jika ia Muslim, Kristen atau pengikut Hindu, menurut seoranganggota teosofi, berarti ia belum mendalam pengetahuan agama-nya.68 Kaum teosofi meyakini jika seseorang telah sampai pada esen-si terdalam dari agamanya, ia tidak akan menghina dan membeda-bedakan agama.69

Ketiga, kasih sayang dan keadilan Tuhan untuk semua orang,bukan hanya untuk satu orang atau satu bangsa saja. Kaum teosofimeyakini jika ada seseorang yang berkeyakinan bahwa hanya diayang dibimbing Tuhan sedangkan yang lain tidak; hanya suara diayang merdu dan fasih ketika berdoa yang didengarkan Tuhan, se-dangkan doa dan harapan orang lain yang hening tak bersuara takakan dipedulikan Tuhan, sungguh orang tersebut tidak meyakiniakan keadilan dan kekuasaan Tuhan dan menyangka Tuhan butadan tuli. Jika ada orang yang gampang memvonis orang lain sebagai“sesat” berarti ia lebih tahu dari Tuhan, menurut kaum teosofi, justruorang itulah yang patut dikasihani dan akan menderita akibat per-buatannya itu.70 Hanya Tuhan saja yang lebih tahu agama yang sah,baik, benar dan utama, sedangkan pengetahuan manusia akan halitu selalu menimbulkan perselisihan.71

Keempat, menurut Labberton, sikap yang baik adalah mempela-jari agama orang lain; sikap yang sangat baik adalah mendalamiagamanya sendiri lalu mempraktikkannya dalam hal-hal yang baik;sikap yang sangat keliru adalah merayu, membujuk bahkan me-maksa orang lain untuk mengikuti agamanya. Sikap yang tak dapatdiampuni adalah memakai agamanya sebagai senjata untuk mem-bodohi dan membuat orang lain menjadi fanatik buta.72

Orang-orang teosofi sangat tidak menghendaki konversi agama.Dalam banyak kesempatan mereka menegaskan bahwa para peme-luk agama—apalagi anggota teosofi— mestinya tidak boleh pindahagama. Orang harus setia dengan syari’at atau ajaran agama masing-

Page 89: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

124 Wajah Studi Agama-Agama

masing. Seorang teosof Muslim menyebut yang pindah agama seba-gai orang yang musyrik atau mungkir, katanya:

Bagi Boemipoetera jang soedah berigama Islam laloe berpindah keChristen atau Boeda itoe sebetulnja tidak boleh, begitoepoen sebaliknja,malah lebih dalam, orang jang bertabiat demikian itoe diseboet mosrik(moengkir), lahirnja melambatkan perdjalanan, karena masing-masing igama itoe hanja roepa-roepa djalan oentoek berbakti kepadaToehan—(Toehan hanja Satoe)—kembali kepada Toehan, dalilnja al-Koran: Inna lillahi wa Inna Ilaihi raji’un.73

Perbedaan agama berarti jalan-jalan beragam menuju Tuhan.Dengan mengutip ayat dalam Bhagawadgita yang berbunyi, “Ma-nusia itu datang kepada-Ku menurut beberapa jalan, dan jalan manapun seorang manusia datang kepada-Ku, Aku terima ia pada jalanitu karena semua jalan itu milik-Ku,”74 dan ayat al-Qur`an yangberbunyi, “Bagi pemeluk tiap-tiap agama, Kami sudah tetapkanaturan tertentu yang harus diikuti mereka sebaik-baiknya, jangan-lah mereka berbantah perkara itu denganmu, tetapi ajaklah me-reka kepada Tuhanmu karena sesungguhnya engkau berada padapetunjuk dan jalan yang lurus,”75 kaum teosofi meyakini bahwaperbedaan jalan bukan hal yang prinsip dan fundamental tetapitujuanlah yang utama dan tujuan semua jalan pasti kepada TuhanYang Sama jua. Seorang penulis Muslim lainnya dari Bogor berna-ma Broto menegaskan:

Adapoen agama itoe adalah beberapa matjam; akan tetapi semoeaitoe hanjalah mempoenjai satoe maksoed atau satoe jang ditoedjoenja,jaitoe Sang Hidoep. Maka jang kelihatan berbeda-beda itoe melainkandjalannja sadja.76

Pendapat serupa juga ditunjukkan oleh Louis Baehler, katanya:

Page 90: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

125Dr. Media Zainul Bahri

Adapoen roepa-roepa agama itoe lain tidak hanja beberapa djalanjang menoedjoe pada jang Maha Koewasa. Banjak dan berbeda-bedasekali djalan-djalan jang dapat menoedjoe Tjandi Kali di Kalighat(deket Kalkoeta). Begitoepeon banjak poela djalan ke Ka’batoe’llah.Satoe-satoe igama ialah satoe djalan kepada Allah.77

Jika pluralisme agama sering disebut semakna dengan jargon-jargon: “satu Tuhan banyak agama,” “satu Tuhan disebut denganbanyak nama disembah dengan berbagai cara,” “banyak jalanmenuju Tuhan,” atau “jalan-jalan mengantarkan ke puncak yangsama,” atau “jalan-jalan yang berbeda mengantarkan ke tujuan yangsama, “agama-agama yang berbeda adalah jalan-jalan yang memilikivaliditas yang sama menuju kepada Tuhan yang sama,” “agama-agama yang berbeda bicara tentang yang berbeda (dengan bahasayang berbeda pula) namun memiliki kebenaran yang sama,”78 makaitulah pandangan dan sikap yang dianut MTI pada sekitar satu abadyang lalu, jauh sebelum tokoh-tokoh pluralis masa kini di Baratdan kaum intelektual Muslim Indonesia mengumandangkan halserupa.

Dalam sebuah publikasi tahun 1926 disebutkan suatu beritayang menarik bahwa Muhammadiyah baru saja mengadakan kong-resnya di Surabaya, dan Tuan Muhammad Husni, Bestuur (pim-pinan) Perkumpulan Muhammadiyah berpidato tentang “PoesatPersatoean Segala Agama.” Menurut Husni, bapak umat manusiaadalah satu yaitu nabi Adam, dan agama yang diberikan kepadaumat manusia juga satoe pangkal dan toenggal pokok, dan dasaragama mereka adalah Islam, yaitu berserah kepada Allah.79 Mes-kipun Husni pada akhirnya merujuk kepada Islam sebagai institusi,namun ia juga menyadari adanya Islam kualitas atau Islam esensiyang dianut semua manusia dengan masing-masing nabi yangberagam. Pandangan tokoh Muhammadiyah itu tentu menarik dancukup “berbahaya” di lingkungan Muhammadiyah, bahkan sam-pai hari ini.

Page 91: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

126 Wajah Studi Agama-Agama

Dengan paham pluralisme, keberagamaan kaum teosofi diper-kaya satu sama lain karena mereka bersedia belajar dari kekayaantradisi agama orang lain yang berbeda. Dengan tetap teguh meme-gang keyakinan (agama) masing-masing, kaum teosofi sejatinyamerayakan keragaman dan perbedaan dalam suatu hubungan yangharmonis. Mereka sadar bahwa Nusantara ini dihuni oleh berbagaiagama dan keyakinan yang rentan dengan konflik dan pertikaian,sementara di saat yang sama sebagian besar kaum pribumi sedangberusaha keras untuk merdeka dari penjajah Belanda. Hanya de-ngan pemahaman agama yang mendalam sampai ke jantungnyadan mau mempelajari agama orang lain, konflik dapat diminimalisirdan kedamaian hidup bersama dapat diraih. Bahkan, mereka “ber-mimpi” terciptanya persaudaraan universal dan perdamaian duniadengan “Satu Agama Universal” bagi semua.

Pada bagian lain, MTI sesungguhnya juga berhasrat besar un-tuk mengadakan semacam “dialog antaragama” dalam skala yangbesar dan formal yang dapat dihadiri oleh tokoh-tokoh agama diHindia Belanda. Namun kiranya—sejauh penelusuran penulis—has-rat yang mulia itu tidak pernah terwujud dengan baik sampai ber-akhirnya gerakan mereka. Hasrat untuk melakukan dialog itu, me-reka kemukakan dalam sebuah terbitan tahun 1927. Dalam nomoritu, mereka memberitahukan kepada pembaca bahwa pada 22 Juni1927 baru saja diadakan dialog antaragama di London yang meng-hadirkan tokoh-tokoh agama Buddha, Islam, Hindu, Kristen, Kong-hucu, Yahudi dan Teosofi. Ruangan dialog itu penuh alias dipadatipengunjung yang antusias menghadirinya. Di akhir pemberitahuanitu, penulis Muslim berharap, “Patut sekali djikalau bangsa kita Is-lam di Indonesia sini bisa mengirimkan oetoesan ka itoe Broderschap,boekan?.”80

Dengan berbagai pandangan dan kesadaran di atas, perbedaansemestinya tidak menjadi bibit konflik dan perselisihan. Secara spe-sifik, kaum teosofi menyoroti satu aspek teologis yang sering me-micu konflik, yaitu perasaan superioritas satu agama atas yang lain.Perasaan dan sikap itu sering ditonjolkan dalam interaksi sosial ber-

Page 92: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

127Dr. Media Zainul Bahri

barengan dengan sikap menghina atau merendahkan keyakinanorang lain,81 dan dicarilah ayat kitab suci atau legitimasi agama un-tuk menyerang agama lain yang dianggap salah.82 Menurut seorangpenulis Muslim, jika seseorang menganut agama dan memprak-tikkannya, namun buahnya adalah permusuhan dan perselisihanberarti orang tersebut keliru dalam memahami dan mempraktikkanagamanya. Sikap ini harus segera diubah.83 Menurut kaum teosofi,salah satu cara terbaik meminimalisir konflik dan perselisihan antarpemeluk agama adalah menonjolkan paham dan sikap bahwa se-mua agama bertujuan baik dan mulia; semuanya adalah cara danjalan yang beragam menuju Tuhan Yang Esa.84

Seorang anggota teosofi yang lain mengingatkan para pemelukagama untuk tidak berdebat atau berbantah-bantahan mengenaiperbedaan agama, karena alih-alih menemukan kebenaran dan ke-damaian hal itu sering memicu konflik. Mengapa? Karena setiaporang telah memiliki kepercayaan suci masing-masing. Denganperdebatan di mulut saja (debat kusir) sulit ditemukan mana yangbenar dan mana yang salah, yang muncul selamanya adalah perse-lisihan. Seharusnya setiap orang menghormati dan membiarkanorang lain berkeyakinan dan mempraktikkan agamanya. Justru de-ngan berpikir jernih dan mau memahami agamanya secara men-dalam, seseorang akan sadar bahwa debat kusir tak ada gunanya.85

Menurut A. Latief, seorang penulis Muslim dan anggota teosofi,pemahaman Islam yang mendalam pasti akan cocok dengan doktrinteosofi, dan jika seseorang ingin meneliti tema-tema mengenai per-saudaraan di dalam kitab suci agama-agama, maka ia akan mene-mukan ayat-ayat mengenai kesatuan esensial agama-agama dan per-saudaraan umat manusia.86 Seseorang hanya akan menemukan duatema itu jika ia mampu menembus aspek terdalam ajaran kitab-kitab suci. Jika tidak, maka yang ditonjolkan adalah perbedaan danpertentangan keyakinan agama, dan hal inilah yang sering memicukonflik. Karena tujuan pokok gerakan teosofi adalah persaudaraanuniversal dan perdamaian, maka para anggotanya dan semua peng-

Page 93: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

128 Wajah Studi Agama-Agama

anut agama dianjurkan untuk menonjolkan kedua aspek itu ketikamempelajari agama-agama.

Ketika membicarakan hubungan antar agama dan pentingnyaorang memahami agamanya dan agama orang lain sehingga munculrespek satu sama lain, Labberton menegaskan bahwa bagi orangHindia Belanda (Indonesia) hanya ada dua jalan buat kemajuan me-reka: pertama, bersama-sama orang Belanda mempelajari berbagaiilmu pengetahuan hingga sejajar dengan orang-orang Eropa, kedua,dengan cara berperang melawan bangsa lain yang tak sebanding(mungkin maksudnya Belanda). Jalan yang pertama akan meng-hasilkan perdamaian dan keamanan, dan cara yang kedua akanmemunculkan perang dan kebinasaan. Terserah kepada orang Hin-dia; mau memilih konflik atau persaudaraan, perang atau perda-maian, binasa atau kemajuan. Menurut Labberton, bangsa Eropa,Tionghoa dan Jawa yang telah memilih jalan kedua sesungguhnyatelah menjadi kawan atau tentaranya “Sang Ijajil” (mungkin mak-sudnya Dajjal), sedangkan yang memilih jalan pertama akan jaditentaranya Sri Tunjung Seto—Sang Guru Dewa, Rajanya Dunia ke-tenteraman.87

Seorang tokoh teosofi Muslim Indonesia, Raden Djojosoediromengingatkan kaum Muslim untuk tidak “cemburu” ketika adasesama Muslim yang pindah agama. Persoalan konversi agama ini,terutama di kalangan kaum Muslim sering menimbulkan konflikbaik intra maupun antar pemeluk agama. Menurut Djojosoediro,konflik—baik karena konversi atau hal yang lain—biasanya munculdari kalangan “kaoem-kaoem jang rendah,” mungkin maksudnyayang rendah pendidikannya. Sementara bagi anggota teosofi yangterpelajar harus dapat hidup bersama dalam guyub dan rukun mes-ki ada perbedaan. Kaum Muslim mesti meneladani Nabi Muham-mad yang tidak gampang “cemburu” dan berkonflik dengan oranglain, tetapi lebih banyak menonjolkan welas asih. Djojosoediro mem-beri contoh negeri India dalam hal kerukunan umat beragama. Dinegeri ini—pada waktu itu—berbagai macam bangsa dan rupa-rupa agama dapat hidup rukun saling menghormati, menghargai

Page 94: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

129Dr. Media Zainul Bahri

dan setiap pemeluk agama bebas menjalankan keyakinannya. In-dia telah membuktikan bahwa adanya perbedaan agama dan keya-kinan tidak serta-merta melahirkan konflik dan pertikaian.88

Kebebasan beragama merupakan hal yang paralel dengan kon-sep dan paham teosofi mengenai kesederajatan agama-agama. Tentusaja, teosofi dengan segala doktrinnya tentang kesatuan dan titik-temu agama-agama sangat mendukung aturan dan praktik kebe-basan beragama. Kaum teosofi sangat setuju dengan peraturan yangdibuat pemerintah Belanda dalam pasal X (10) mengenai agamayang menyebutkan bahwa “Tidak boleh memaksa orang lain dalamhal berpikir dan agama. Semua manusia merdeka untuk beribadahkepada Tuhan masing-masing. Hari-hari raya semua agama diakui.Tidak boleh menghina atau mengurangi hak semua agama... danjangan sampai membuat kesedihan dan kesusahan kepada oranglain. Semua pengajar agama dan ulama tidak mendapat bayarandari negara.”89 Tidak diketahui kapan undang-undang ini dibuatdan disahkan oleh pemerintah Belanda, namun kaum teosofi me-mublikasikannya pada 1921 dengan klaim bahwa pemerintahanyang dibentuk Belanda ternyata berdasar persaudaraan atau perda-maian, dan itu sesuai dengan doktrin inti gerakan teosofi. Berbagaiajaran teosofi mengenai Perbandingan Agama ternyata sejalan de-ngan pasal X tersebut, terutama dalam hal kebebasan beragama.

C. Membaca Pandangan KeagamaanTeosofi Indonesia

1. Perenialisme: Cinta dan Kesatuan

Setelah kita membaca keseluruhan penjelasan di atas, makatampak bahwa pendekatan MTI dalam studi perbandingan agamaadalah pertama dan utama menggunakan pendekatan perenial.Teosofi sendiri adalah wujud lain dari paham dan praktik perenialis-me. Helena Blavatsky sebagai pendiri teosofi dan tokoh-tokoh utamasesudahnya sering menegaskan bahwa teosofi adalah pengetahuanatau Hikmah yang sangat kuno yang diambil dari para filsuf awal

Page 95: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

130 Wajah Studi Agama-Agama

Yunani yang kemudian dilanjutkan oleh para generasi filsuf sesu-dahnya ke generasi berikutnya di berbagai negeri yang subur de-ngan Kearifan Abadi. Kaum teosofi mengagungkan adanya RealitasUltim Yang Sejati dan Abadi yang dari-Nya muncul keanekaragam-an manifestasi. Dari Yang Esa-Sejati muncul beragam wujud, ter-masuk bentuk-bentuk agama yang majemuk. Karena itu, sedariawal, Blavatsky telah mengajarkan bahwa agama-agama besar, alir-an-aliran dan sekte-sekte adalah ranting-ranting kecil atau tunas-tunas yang tumbuh di dahan-dahan lebih besar, namun harus disa-dari bahwa tunas-tunas dan dahan-dahan itu muncul dari pohonyang sama yaitu “Agama Kearifan” (Wisdom Religion). Inilah salahsatu ajaran pokok teosofi yang diambil dari Kebijaksanaan Abadi(sophia perennis).

Dari pangkal itu, perenialisme selanjutnya membedah dua sisiagama, yaitu: (1) aspek esoterik yang bersifat kekal dan abadi padasemua agama, dan ditemukannya titik-temu serta kesatuan agama-agama, (2) aspek eksoterik yang mengungkap segala perbedaanbentuk agama-agama. Dalam studi sufisme dan perbandingan aga-ma di dunia Islam, figur-figur utama seperti Rene Guenon, FrithjofSchuon yang diikuti oleh Seyyed Hossein Nasr dan William Stodartadalah para ahli sufisme Islam yang mengeksplorasi perenialismedan menggunakannya untuk menjelaskan titik-temu dan titik-bedadi antara agama-agama manusia.

Hal pokok lain yang menjadi perhatian kaum teosofi adalahmasalah-masalah “gaib” yang berkelindan erat dengan “dongeng-dongeng” atau “mitos-mitos mistik” tentang alam, tentang orang-orang suci, tentang figur-figur penyelamat dunia seperti “Sang RatuAdil” atau “Sang Jagat Guru” yang selalu hadir dan membimbingmurid-murid teosofi, dan akan turun/muncul ke alam fenomenaluntuk menyatukan umat manusia, mewujudkan persaudaraan uni-versal atau mewujudkan “Satu Agama Universal” bagi umat ma-nusia. Kita akan menemukan banyak sekali tulisan dalam majalah-majalah MTI yang membicarakan mitos-mitos mistik ini. Boleh jadi,keyakinan mereka tentang dongeng-dongeng gaib itu akan meng-

Page 96: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

131Dr. Media Zainul Bahri

undang tawa sinis orang-orang modern atau para penganut agamakonvensional.

Kenyataan akan keyakinan gaib itu sesungguhnya tidak bisadipisahkan dari keyakinan para filsuf perenial awal dan murid-mu-rid pengikut mereka bahwa Pengetahuan Sejati dan Abadi—apa-kah ia bernama wahyu atau nama-nama lain yang semakna—pertama kali diturunkan Tuhan secara sempurna kepada manusiasuci, apakah ia seorang nabi, rasul, Maharsi atau sejenisnya. Lalu,pesan perenial ketuhanan itu ditransmisikan kepada para pengikutmanusia suci dan diwariskan selanjutnya kepada orang-orang terke-mudian. Dalam proses transmisi atau pewarisan itu terjadi banyakreduksi sehingga menjadi kabur dan terpecah-pecah. Seiring de-ngan proses waktu yang lama, pesan perenial itu pelan-pelan me-mudar, terlupakan, hilang dan akhirnya hanya menjadi semacam“dongeng” atau “mitos” belaka. Bagi kaum teosofi atau para peng-anut filsafat perenial, apa yang disebut “dongeng” atau “mitos” bagiorang-orang modern (belakangan) justru itulah kebenaran dan ke-nyataan. Karena mereka merasakannya dengan “intuisi” bukan se-perti orang-orang modern yang memandang segala sesuatu denganpandangan positivistik (logis, rasional, empiris dan dapat diveri-fikasi). Karena itulah, Annie Besant, salah seorang Presiden TeosofiInternasional yang sangat terkemuka, dengan percaya diri mene-gaskan bahwa mitos justru jauh lebih nyata dan benar dan dapatsecara pasti menangkap bayangan dibanding pengetahuan sejarahyang cuma berusaha meraba-raba bayangan. Katanya: “A myth isfar truer than a history, for a history only gives a story of the shadows,whereas a myth gives a story of the substance that casts the shadows.”90

Huston Smith, seorang penganut perenialisme dan pengagumFrithjof Schuon serta penulis buku modern paling top tentang Aga-ma-Agama Dunia menunjukkan kesadaran yang sama dengan An-nie Besant dan tokoh-tokoh perenial lainnya. Di depan kuil suci Ise(agama Shinto) di Jepang dengan kriptomania raksasanya, sambilmerenungi buku Schuon yang berjudul In The Track of Buddhism(1969), Smith mengakui bahwa ia merasakan keagungan, ketenang-

Page 97: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

132 Wajah Studi Agama-Agama

an, keindahan dan nuansa intelektual yang mendalam. Ia berkata:“Saya menjadi mampu melihat bahwa nenek moyang kita samasekali tidak lebih rendah dari turunannya, dan bahkan, jika kitacermati, mereka justru merupakan pintu gerbang menuju transen-densi. Saya baru benar-benar dapat melihat bahwa alam yang pe-rawan—khususnya dalam penampakan yang utama seperti ma-tahari, angin, bulan, petir, kilat serta bumi yang mewadahinya—dapat menjadi simbol yang paling transparan dari yang Ilahi.”91

Bukankah agama Shinto dan kuilnya yang dipuji-puji Smith sebagaijalan menuju Ilahi justru sering menjadi tertawaan orang-orang Je-pang modern?

Dengan perenialisme dan supranaturalisme yang disebarkanoleh Blavatsky, MTI juga sesungguhnya telah menyerap ide-idespiritualisme Eropa dan Amerika, meskipun kemudian disesuaikandengan konteks agama-agama Nusantara. Walaupun perenialismememiliki jalur yang panjang kepada para filsuf Yunani, tetapi peranBlavatsky secara subjektif amat kuat. Seperti diketahui, Blavatskyadalah orang Rusia yang memiliki pengetahuan dan bakat yangluar biasa dalam hal mistik. Dua karyanya tentang “rahasia mistik”:Isis Unveiled (1877) dan The Secret Doctrine (1888) menjadi semacambuku wajib yang dibaca oleh anggota teosofi di seluruh dunia. Se-kutu Blavatsky yang sama-sama dari Eropa adalah William QuanJudge yang lahir di Dublin, Irlandia (1851) dan Annie Besant yanglahir di London, Inggris (1847). Sedangkan teman karib Blavatskyyang orang Amerika adalah Henry Olcott yang lahir di New Jerseypada 1832. Setelah Blavatsky, mereka bertiga adalah tokoh pertamadan terpenting organisasi teosofi internasional. Blavatsky dan ketigatemannya itulah yang paling populer dan paling aktif menyebarkanajaran teosofi ke seluruh dunia dengan muatan spiritualisme dansupranaturalisme ala Eropa dan Amerika. Adanya fakta mengenaijumlah keanggotaan ITS—seperti disebutkan dalam catatan Her-man—bahwa pada 1930 dari 2090 anggota, 1006-nya adalah orang-orang Eropa, dan kebanyakan didominasi oleh orang-orang Belanda.Sekali lagi, kita bisa berasumsi bahwa pengaruh spiritualisme dan

Page 98: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

133Dr. Media Zainul Bahri

keagamaan model Eropa—sedikit atau banyak—sulit dihindari olehpara anggota teosofi yang asli Indonesia.

Dalam studi agama-agama, perenialisme sendiri dianggap—oleh beberapa ahli studi agama— telah memberi manfaat yang besarbagi kerja sama harmonis antar kaum beriman. Kata-kata pentingdari Nabi Malachi, “Tidakkah kita semua berasal dari bapak moyangyang satu? Tidakkah kita diciptakan oleh Tuhan yang satu juga?Mengapa kita kemudian saling tidak memercayai satu sama lain?”diulang kembali oleh seorang rabbi Yahudi beberapa dekade yanglalu ketika ia memberi selamat kepada seorang Kardinal Katolikdalam kesempatan pentahbisannya. Friedrich Heiler (1892-1967),seorang ahli Fenomenologi Agama berkebangsaan Jerman yangmeyakini bahwa doktrin tentang kesatuan dan titik-temu agama-agama membawa manfaat praktis, berpandangan bahwa keyakinanakan kesatuan ketuhanan dan hubungan substansial diantara aga-ma-agama seharusnya membangkitkan kesadaran akan kebersa-maan dalam satu keluarga dan kewajiban untuk berdiri bersamadalam hangatnya persaudaraan.92

Menurut Heiler, salah satu manfaat dari studi agama yang men-dalam adalah ditemukannya hubungan yang erat di antara agama-agama yang berbeda. Para ahli sejarah agama-agama telah menemu-kan kesejajaran yang tak terhingga jumlahnya antara Kristen danagama-agama lain. Dalam Kristen misalnya, tidak ada doktrin ten-tang ketuhanan, etika, ritus-ritus dan lembaga gerejawi yang tidakmemiliki padanan yang sejajar dengan agama-agama lain. Begitupula sarjana-sarjana non-Kristen telah menemukan analogi-analogiyang tak terhitung mengenai eratnya hubungan di antara agama-agama.93

Jika ditembus (menukik) lebih ke dalam lagi, maka Heiler me-yakini bahwa salah satu tugas terpenting studi agama adalah me-nunjukkan adanya kesatuan esensial dari semua bentuk-bentukagama. Studi agama akan sampai pada satu tujuan yang sama, yaitupengetahuan yang murni akan Kebenaran. Kesatuan esensial, tran-senden, atau spiritual ini tentu saja pertama-tama disingkapkan oleh

Page 99: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

134 Wajah Studi Agama-Agama

mistisisme atau sufisme. Menurut Heiler, Kabbalah dan KhasidismeYahudi dan sufisme Islam ternyata memperlihatkan kesamaan yangmengejutkan dengan mistisisme Kristen, dan mistisisme ini padagilirannya menggelombangkan kesatuan di sekitar bentuk-bentukterkait dari mistisisme yang menjadi inti agama-agama Timur: Tao-isme, Brahmanisme, Hinduisme dan Buddhisme. Dalam studi agamayang menekankan pada sufisme atau perenialisme ini, akan dite-mukan kesatuan agung yang mencakup keseluruhan bentuk-ben-tuk dan tingkat keagamaan. Pada agama-agama dengan tingkatyang tinggi, kesatuan agung itu diikat secara lebih erat lagi.94

Meskipun terdapat perbedaan-perbedaan yang mencolokantara agama-agama mistik penebusan (mystic religions of redemp-tion) dengan agama-agama nabi pewahyuan (prophetic religions ofrevealation) dan bahkan di antara kelompok yang kedua pun terda-pat perbedaan-perbedaan besar di antara agama-agama yang memi-liki hubungan dekat: Yahudi, Mazdaisme-Zoroaster, Kristen danIslam, terdapat juga kesatuan ultim, kesatuan pada Realitas Transen-den, Yang Kudus, Yang Ilahi. Realitas itu juga imanen dalam hatimanusia, juga bermakna Cinta Tertinggi, Kebenaran, Keindahan,dan Kebaikan Tertinggi. Adanya kesatuan itu telah diakui oleh ba-nyak sarjana agama di Barat masa lalu. Scheilermacher menyatakanbahwa semakin pesat kemajuan dalam studi agama, akan semakintampak bahwa dunia keagamaan adalah satu kesatuan yang tak ter-bagi. Suara yang sama diutarakan oleh Max Müller, sarjana besarAnglo-Jerman dalam bidang ilmu agama dan “Bapak” ilmu perban-dingan agama modern, katanya, “Hanya ada satu agama universaldan abadi yang melingkupi, mendasari, dan melampaui semuaagama-agama yang di situ mereka termasuk atau dapat dimasuk-kan.”95

Ketika menutup pidato pengukuhannya sebagai Presiden SeksiIranian dari International Oriental Congress di London pada 1874,Max Müller kembali menyuarakan kesatuan dan damai, denganmengutip Rigweda (X, 91):

Page 100: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

135Dr. Media Zainul Bahri

Kesatuan telah datang, kesatuan telah bicaramaka biarkan ruhmu setuju...!Biarkan usahamu menjadi satu; menyatukan hatimu.Biarkan usahamu menjadi satu; dengan mana engkaudengan erat berpadu...damai, damai, damai.96

Dalam menghargai kesatuan agung agama-agama ini, Heilermerekomendasikan bahwa umat beragama patut merenungi danmengulang doa Kardinal Nicholas de Cusa: “Engkaulah, wahaiTuhan, yang menjadi tujuan berbagai agama melalui berbagai jalan,dan menamai dengan berbagai nama, karena Engkau tetaplah Eng-kau, yang tak terpahami dan tak tergambarkan Yang maha pemu-rah, tunjukkanlah wajah-Mu...Ketika Engkau dengan kemurahan-Mu ingin melakukan hal itu, maka perang, dendam yang penuhkebencian, dan segala kejahatan akan musnah, dan semua akanmengetahui bahwa hanya ada satu agama di antara aneka bentukritus keagamaan (una religio in rituum varietata).”97

Kesatuan ketuhanan, dalam mistik agama-agama tak mungkinterpisah dengan Cinta; suatu paham, denyut, aliran suara dan sen-tuhan utama kaum mistik. Penyatuan dengan Tuhan, dalam agamaapa pun, harus melalui Cinta yang sublim. Cinta ini tidak sematadalam pengertiannya sebagai ritus-ritus atau jalan menuju Tuhanyang dilakukan dengan cinta, bukan kewajiban apalagi keterpak-saan, namun juga sekaligus dan selalu sebuah jalan kepada sesama.Sesama bukan hanya seluruh manusia tanpa kecuali, melainkanseluruh makhluk. Jalan keutamaan mistik tidak hanya berhentidalam via contemplativa “penerbangan dari yang sendiri kepadayang sendiri,” seperti kata Plotinus, melainkan ia menemukan ke-lanjutan niscayanya dalam pelayanan kepada sesama, via activa.98

Para nabi dan orang suci, apakah Buddha Gautama, Kong Fu Tze,Lao Tzu, Yesus, Muhammad dan yang lain tentu saja telah meregukCinta Tuhan via contemplativa, namun mereka juga harus turun ke

Page 101: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

136 Wajah Studi Agama-Agama

bumi untuk membantu yang lemah dan tertindas, menghibur yangsakit dan memberikan pengorbanan terbaiknya via activa.

Dalam pandangan kaum mistik, semakin dalam ketundukan,kekaguman dan cinta seseorang kepada Tuhan, semakin dalam pulahormatnya kepada agama lain. Lebih dari dua ribu tahun yang lalu,Raja Ashoka, murid Buddha yang cemerlang menunjukkan denganjelas kepada rakyatnya bahwa barang siapa yang menghormati aga-ma lain berarti menghormati agamanya sendiri. Sebaliknya, siapayang mencela keyakinan orang lain berarti mencela keyakinannyasendiri. Pernyataan ini sejatinya masih tetap relevan di masa yangditandai dengan berbagai intoleransi keagamaan yang menyedih-kan.99

Menurut Heiler, seseorang yang telah sampai menembus mis-teri agamanya, pasti tidak akan memiliki keinginan lagi untuk “me-murtadkan” para pemeluk agama lain demi masuk agamanya. Yangdiinginkan orang “arif” itu hanya memberi dan menerima; memberiuntuk menghadirkan ajaran agama yang paling dalam dan indahkepada orang lain, sekaligus belajar dan menerima sifat-sifat palingsublim dari keimanan orang lain.100

Jika para pemeluk agama-agama yang majemuk mau belajaruntuk saling memahami dan bekerja sama, mereka akan menyum-bangkan banyak hal yang dapat menyelamatkan nilai-nilai luhurkemanusiaan yang telah dirusak oleh macam-macam kepentinganrendah dan oleh paham keagamaan yang yang sempit dan kaku.Pada saat yang sama, semua agama berhak untuk terus memperta-hankan individualitas atau identitasnya yang autentik.

Penjelasan-penjelasan ini cukup menjadi bukti bahwa MTI me-lalui sebuah perkumpulan resmi (non-pemerintah)—telah merintis,menyumbang dan mengembangkan suatu model pendidikan ke-agamaan yang humanis, yang dapat mengapresiasi secara men-dalam akan kenyataan kemajemukan agama di Nusantara, tanpaharus tercerabut dari identitas masing-masing yang autentik.

Page 102: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

137Dr. Media Zainul Bahri

2. Komparasi “Sederhana”

Pendekatan lain adalah komparasi. Metode perbandingan inisangat kental digunakan oleh MTI dalam menjelaskan berbagaidoktrin agama yang berbeda. Secara umum—dalam berbagai pu-blikasinya, MTI melakukan kajian perbandingan agama dalam tigahal pokok: (1) dalam masalah ketuhanan, (2) dalam ajaran (syariat),dan (3) soal etika.

Dalam soal ketuhanan misalnya, seorang penulis teosofi mem-bedah persoalan Trimurti. Dalam sufisme Islam katanya, terdapatajaran pancaran Nur Muhammad yang menyebabkan adanya alamsemesta. Cahaya Muhammad ini memancarkan tiga sifat Tuhanatau Trimurti Tuhan atau al-Tsulutsul Aqdas. Lalu, ia bandingkandengan Trinitas Kristen dan Trimurti Hindu. Kemudian ia berke-simpulan bahwa Trinitas dan Trimurti keduanya memiliki kede-katan makna dibanding dengan Islam:

Begitoe djoega dalam agama Kristen diseboet dengan nama: Vader(Bapa), Zoon (Anak) dan Heilige Geest (Roh Kudus), ada sama roepadjoega maksoednja dengan apa jang agama Hindoe menjeboet: Shiwa,Wisnoe dan Brahma, seperti terseboet diatas itoe. Djadi tentang “Tri-murti” ini jang lebih berdekatan atawa setoedjoe tjoema agama Hindoedan Kristen101

Namun demikian, penulis itu dengan segera menekankan bah-wa konsep Trimurti dalam Islam, Hindu dan Kristen dengan pena-maan yang berbeda-beda sesungguhnya bermakna Satu Substansidengan tiga sifat dan bukan “tiga benda jang diikat mendjadi satoeatawa persatoeannja tiga Allah.”102 Jadi, dalam Trinitas dan Trimurtiyang harus dipahami adalah konsep dari teologi Kristen mengenaiperbedaan ousia sebagai yang esensi, dan hypostatis sebagai bentukyang menampakkan diri. Muncul pula doktrin tentang Tritunggaldari Tertullianus (120-225 M) yang salah satu pembahasannyaadalah substansi dan persona. Dari Tertullianus lahir istilah substansiatau zat dan persona atau pribadi yang selalu disematkan kepada

Page 103: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

138 Wajah Studi Agama-Agama

Tritunggal. Ia merumuskan bahwa Tuhan Allah adalah satu di dalamsubstansi-Nya atau zat-Nya dan tiga di dalam persona-Nya atau pri-badi-Nya atau oknum-Nya (una substansia, tres personae atau onesubstance, three persons).103

Seorang anggota teosofi beragama Konghucu menunjukkankesamaan konsep Tuhan dalam Konghucu, Islam dan Yahudi. Me-nurutnya, jika dalam al-Qur‘an ada surat al-Ahad (maksudnya al-Ikhlas) dan banyak ayat yang menerangkan keesaan Tuhan dankekekalan-Nya, juga dalam Yahudi ada Syema bahwa Tuhan ituEsa dan juga konsep tentang ke-Baka-an-Nya, maka dalam Kong-hucu ada konsep Sing atau Ch’ing. Ch’ing itu bermakna Sing, yaituYang Kekal, Yang Sejati yang Cuma Satu saja. Hanya orang-orangTionghoa yang bisa merasakan Ch’ing dan menerangkan kesejatian-Nya. Pada akhirnya, nabi Kong Fu Tze menunjukkan umat manusiabahwa mereka berasal dari Pokok yang sama dan karenanya me-reka benar-benar bersaudara.104 Dalam beberapa publikasi MTI,kita menemukan beberapa penulis Konghucu melakukan perban-dingan konsep mengenai ketuhanan dan keimanan Konghucu de-ngan agama-agama lain dengan tujuan untuk menunjukkan persa-maan kemanusiaan dan persaudaraan.

Masih seputar ketuhanan, seorang penulis Muslim, Raden Djo-josoediro menyebut lafazh Allah terdiri atas tiga huruf, yaitu alif,lam dan ha. Menurutnya, tiga huruf itu menunjukkan tiga cahayayang dipahami dalam agama Hindu sebagai Agni, Maruta dan Wa-runa. Yang tiga itu disebut juga Yang Mengadakan (Brahma), YangMemelihara (Wisnu), dan Yang Membinasakan (Siwa). Inilah Tri-murti yang bermakna tiga wajah Tuhan. Yang tiga itu sejatinya ber-asal dari Satu substansi, yaitu biasa disebut Nur Muhammad, Kris-tus dan Buddha; kualitasnya sama saja.105 Penulis ini memiliki duapengertian tentang Tuhan, yaitu pertama, pengertian Tuhan orangIslam semakna dengan Tuhan orang Hindu Indonesia (karena kon-sep Trimurti khas Hindu Indonesia, tepatnya Bali). Akan tetapi tentusaja kesamaan atau kemiripan makna itu dalam esensinya (esoterik),bukan dalam pengertiannya yang harafiah (eksoterik). Kedua, pe-

Page 104: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

139Dr. Media Zainul Bahri

nyebab munculnya alam semesta yang biasa disebut Nur Muham-mad dalam sufisme Islam ternyata kualitas Cahaya Muhammaditu ia samakan juga dengan Kristus dan Buddha. Jadi, dua tokohterakhir juga semakna dengan Nur Muhammad.

Pandangan yang agak mirip dengan di atas datang dari LouisBaehler ketika ia menulis tentang hubungan esensial di antara aga-ma-agama. Ia menyatakan bahwa semua utusan Tuhan, Avataradan orang suci seperti Rama, Krisna, Buddha, Kristus, Muhammaddan lain-lain, dalam kaitannya dengan Nur Muhammad diibaratkanseperti ombak dengan lautnya.106 Pernyataan ini memiliki penger-tian bahwa para nabi suci itu sesungguhnya memiliki dua natur,yaitu natur esensi atau hakikat mereka sebagai penyebab terjadinyaalam ini dan natur historis mereka yang menjelma atau turun kedunia sebagai utusan Tuhan. Dengan kata lain, dapat dikatakanada Yesus Hakikat dan Yesus historis, ada Muhammad sebagai Esen-si dan Muhammad historis, demikian juga Buddha dan lain-lain.

Seorang penulis Muslim lainnya mencoba menunjukkan bah-wa Tuhan yang Sama pada setiap agama adalah Tuhan yang men-ciptakan alam ini. Ia merujuk kepada al-Qur‘an surat al-Hadid ayat1 sampai 5; Yohanes 1: 5 dalam Kristen; Tevijja Sutta dalam agamaBuddha; Amos 4:13 dalam Yahudi; Spentomad Gatha 1:10 dalamagama Zoroaster; Bhagawadgita 7,8,9 dalam agama Hindu; danSukhmani, Guru, V dalam agama Sikh. Penulis ini meyakinkan pem-bacanya bahwa dalam kitab-kitab suci tersebut Tuhan menegaskankeberadaan-Nya dan kekuasaan-Nya sebagai Pencipta dan Pengatursemesta raya.107

Pada bagian lain, MTI juga sering sekali menyebut figur paranabi utusan Tuhan dan guru-guru suci dari berbagai agama untukdipahami kesamaan esensi ajaran-ajaran mereka dan perbedaanlahiriah beberapa doktrin keagamaan. Seorang anggota teosofi darietnis Tionghoa (beragama Konghucu) membuat tulisan denganjudul “Khong Foe Tze, Jezus Christus, Krishnadji” menjelaskansecara detail kesamaan esensial ajaran para nabi dan guru suci sertaadanya ajaran-ajaran partikular yang berbeda disebabkan perbe-

Page 105: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

140 Wajah Studi Agama-Agama

daan tempat dan budaya.108 Penyebutan figur para nabi dan orangsuci kelihatannya menjadi trend di kalangan kaum teosofi dan selaludimuat pada tiap publikasi MTI untuk menegaskan bahwa ajaranmereka—terutama mistik—memang berasal dari para nabi, dan paranabi sejatinya memiliki kesatuan esensi ajaran yang sama di manaumat manusia dapat memahami dan menjalin persaudaraan kema-nusiaan universal.

Menurut kaum teosofi, para utusan Tuhan atau wakil Tuhan—dalam bahasa mereka—adalah harus seorang manusia dan lahir dariseorang manusia (perempuan) karena hanya manusialah dengansegala kemanusiaannya dapat menampung kualitas ketuhanan. Makadalam sejarah pendiri agama-agama, Yesus, meskipun Ia Tuhan,dilahirkan dari seorang perempuan, begitu pula Siddharta Gautama,Sri Krisna, Osiris dalam agama Mesir kuno, Muhammad, dan se-mua agama memiliki konsep tentang “wakil Tuhan” yang dilahirkanoleh manusia.109 Hal itu juga berarti hanya manusia yang dapat me-nyapa manusia dan mengajak kepada jalan Tuhan.

Doktrin lain yang sering dijadikan studi komparasi adalah soalkarma dan reinkarnasi. Sejatinya dua ajaran itu berasal dari Hin-du110 dan Buddha111 yang meyakini sejak awal bahwa setiap per-buatan manusia akan berbuah pahala atau dosa (karma) dan karenaitulah setiap manusia akan menikmati pahala atau menanggungdosa pada kehidupannya yang akan datang (sebab belum tuntas di-terimanya pada kehidupan terdahulu). Para penganut teosofi, apapun agama mereka, sangat meyakini akan dua hal itu. Tema inimerupakan salah satu topik yang sering dibicarakan atau palingfavorit dalam setiap publikasi MTI. Menurut mereka, dua ajaranitu sesungguhnya juga dikandung oleh semua agama manusia. Se-orang penganut teosofi, Reksosiswoio, menulis sebuah artikel yangmenunjukkan bahwa inti dan maksud dua doktrin itu terdapatdalam agama-agama. Ia merujuk kepada al-Qur‘an surat al-Sajdahayat 46, Dhammapada I: 1 dan 2 (Buddha), Devi Bhagavata 1;5; 74(Hindu), Korintias III; 8 (Kristen), Genesis IX; 6 (Yahudi), AhunavadGatha 30; 11 (agama Zoroaster), dan Japji, Guru I (agama Sikh).112

Page 106: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

141Dr. Media Zainul Bahri

Semua kitab suci itu dengan jelas menyatakan bahwa semua per-buatan manusia akan ada akibatnya; setiap orang akan menanggungakibat perbuatannya, baik di waktu dekat maupun di masa yang akandatang. Bahkan, dalam Bhagawadgita ditegaskan bahwa di alam inimustahil adanya tindakan yang tak bersebab; hukum sebab akibatbersifat pasti.

Beberapa penulis Muslim juga menunjukkan kesesuaian ajaranIslam dengan Hindu dan Buddha dalam dua doktrin tersebut. Da-lam pemahaman mereka, banyak ayat al-Qur‘an yang menjelaskanfase-fase kehidupan seperti dalam surat al-Baqarah ayat 28 bahwaTuhan menghidupkan manusia lalu mematikan, kemudian meng-hidupkan kembali lalu memberikan kematian terakhir. Dalam suratal-Zalzalah dua ayat terakhir menyatakan dengan jelas bahwa setiapmanusia akan melihat (menerima) semua konsekuensi perbuatan-nya, yang baik maupun yang buruk. Lalu, penulis itu merujuk jugakepada surat al-Dhuha ayat 4 bahwa kehidupan akhirat jauh lebihbaik daripada kehidupan dunia ini. Menurutnya, ayat ini bisa ditaf-sirkan bermacam-macam tafsir, salah satunya adalah jika kita matimeninggalkan dunia nanti kita akan hidup lagi (reinkarnasi) dandatang lagi ke dunia ini untuk menikmati segala kesenangan hidupyang lebih baik dibanding hidup yang lalu.113

Karma dan reinkarnasi merupakan satu paket yang tak ter-pisah. Jika tidak ada reinkarnasi atau kehidupan selanjutnya, jelaslahbahwa Tuhan tidak adil karena begitu banyak persoalan kebaha-giaan dan kesengsaraan yang belum tuntas dan belum terjawabdengan memuaskan. Adanya kepastian tentang karma, hukumsebab-akibat, evolusi atau pergerakan dan reinkarnasi menunjuk-kan keagungan Tuhan di satu sisi dan memberikan keadilan sepan-tasnya kepada manusia yang belum mendapatkannya pada kehi-dupan masa kini di sisi lain.114

Seorang anggota teosofi Muslim terkemuka bernama A. Karimmenulis artikel dengan judul “Re-Inkarnatie” namun khusus meru-juk kepada pandangan sufistik Ibn ‘Arabi (1165-1240). Menurutnya,kitab Fushus al-Hikam karya Ibn ‘Arabi berisi pengetahuan tentang

Page 107: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

142 Wajah Studi Agama-Agama

reinkarnasi. Ia menunjuk seorang komentator (pen-syarah) Fushusal-Hikam yaitu al-Qaysari dalam bukunya Syarh Fushus al-Hikamyang menyatakan bahwa Nabi Ilyas tak lain adalah Nabi Idris juga,begitu pula Nabi Khidir tak lain adalah Nabi Nuh dan Nabi Ilyas,dan Nabi Ilyas sendiri tak lain adalah Nabi Dzulkifli. Jadi, para nabiitu sesungguhnya ber-inkarnasi; ruhnya sama hanya memakai jasaddan nama baru. Menurut Karim, Nabi Muhammad memerintahkan(secara musyahadah) kepada Ibn ‘Arabi di Damaskus melalui Fushusal-Hikam untuk menyebarkan paham “Reinkarnasi” kepada seluruhdunia. Paham reinkarnasi di sini bukan ajaran mengenai “tanasuk”yaitu “kerasukan” atau “kesurupan” disebabkan masuknya nyawayang lain seperti orang atau harimau “jadi-jadian” atau siluman,dan bersifat sesaat. Melainkan, reinkarnasi yang benar-benardipahami dalam doktrin teosofi atau Hindu, yaitu berpindahnyaruh dari jasad lama kepada badan baru dengan membawa semuakarma terdahulu.115Pandangan A. Karim ini patut dipertanyakan/diperdebatkan lebih lanjut. Benarkah kitab Fushus berisi ajaran me-ngenai Reinkarnasi? Sebab para komentator Ibn ‘Arabi yang diakuiseperti ‘Afifi, ‘Abd al-Razaq al-Kasyani, William Chittick dan lain-lain tidak pernah mengemukakan hal itu.

Seorang penulis Muslim lainnya membandingkan ajaran Hin-du tentang Karma-yoga dan Triguna dengan ajaran al-Qur‘an. Kar-ma-yoga yang berarti berbakti kepada Tuhan atau bekerja buat ber-ibadah kepada Tuhan merupakan “jalan utama” dalam hidup. Na-mun, untuk menempuh jalan utama, hidup manusia selalu diha-langi oleh Triguna, yaitu (1) Tamas, tabiat ingin selalu senang danmerasakan kenikmatan, (2) Rajas, tabiat tamak, loba, ingin memilikisemuanya, dan (3) Satwam, tidak suka disamai atau dikalahkanoleh orang lain). Menurut penulis itu, ajaran di atas serupa denganyang tercantum di dalam al-Qur‘an surat Ali ‘Imran ayat 12 dankandungan makna surat al-Takatsur yang menyatakan bahwa ma-nusia dihiasi dengan berbagai macam kesenangan syahwati, sepertiingin memiliki istri yang cantik, anak yang banyak, harta yang ba-nyak dan berkompetisi untuk mendapatkan kemewahan dunia

Page 108: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

143Dr. Media Zainul Bahri

lainnya. Padahal, semua itu hanya kesenangan duniawi yang sesaatdan menipu.116 Di dalam al-Qur‘an terdapat banyak ayat yang meng-ingatkan manusia untuk tidak tertipu oleh kenikmatan duniawisehingga lalai berbakti kepada Tuhan. Ajaran al-Qur‘an ini sesung-guhnya juga ditegaskan oleh banyak ajaran Hindu selain doktrintentang Karma-yoga dan Triguna.

Jika kita perhatikan, studi perbandingan yang dilakukan selalumenonjolkan persamaan-persamaan ajaran atau makna yang dikan-dungnya. Dalam publikasi mereka, jarang sekali kita menemukanperbedaan ajaran atau doktrin agama-agama yang dimunculkan,apalagi perdebatan yang sengit sehingga mengarah kepada tulisanyang bersifat kritis, atau tulisan yang menunjukkan kelemahanajaran agama lain. Hal itu kemungkinan kuat tidak akan dimuatdalam publikasi MTI. Ada juga beberapa perbedaan ajaran dalamdua atau tiga agama yang dimunculkan, namun selalu dicari kesa-maan makna esensinya. Model komparasi ini sesungguhnya tidaklepas dari model perenial yang mereka lakukan. Karena dalam filsa-fat perenial, perbedaan ajaran lahiriah di antara agama-agama tidakbersifat mutlak, namun telah diikat oleh adanya satu ikatan (kesa-tuan), apakah itu bernama kesatuan ketuhanan, kesatuan esoterik,kesatuan spiritual atau kesatuan transenden. Maknanya sama; itu-itu juga.

Begitu pula komparasi dalam hal etika. Mereka mengambil ajar-an etika, terutama cinta kasih dari pandangan kitab-kitab suci, paranabi dan figur-figur suci, tetapi konsep-konsep atau kandunganmakna agama-agama yang memiliki kesamaan doktrin yang mere-ka tonjolkan. Teosofi sendiri, selain kepada mistik, juga sangat per-hatian kepada soal-soal etis ini. Bagi mereka berbakti kepada Tuhanjuga mesti berbakti kepada manusia.117 Semua agama dan keya-kinan, apakah yang kecil atau besar selalu mengajarkan keluruhanmoral dan cinta kasih.118 Kaum teosofi juga selalu merujuk kepadaucapan dan perilaku Buddha, Konghucu, Kristus, Muhammad danorang-orang suci dari Hindu. Semua mereka, tidak hanya mengajar-kan, namun juga menunjukkan kesungguhan hidup dalam keju-

Page 109: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

144 Wajah Studi Agama-Agama

juran, kemurahan, kerelaan berkorban tanpa pamrih, cinta kasihyang sesungguhnya dan kualitas keluhuran moral lainnya. 119

Bagi mereka, Tuhan amat mencintai seorang hamba yang sung-guh banyak berbakti kepada kemanusiaan, tak peduli apakah iaMuslim, Kristen, Hindu, Buddha atau penganut Konghucu. Yangdilihat Tuhan adalah pengabdiaannya kepada sesama. Seorang pe-nulis teosofi membuat tamsil mengenai seorang majikan yang memi-liki karyawan. Pekerja yang berdedikasi, jujur, loyal, mencintai pe-kerjaannya dengan sepenuh hati dan kesungguhan, itulah yang di-cintai majikan, tak peduli apakah karyawan itu beragama Hindu,Buddha, Islam atau yang lainnya.120

Seorang anggota teosofi lain menunjukkan ajaran etis dari Bud-dha, Konghucu dan Islam mengenai larangan membunuh binatang.Baginya, binatang itu apakah ayam, babi, kerbau, kambing dan lain-lain adalah mungkin reinkarnasi dari manusia. Karena itu, manusiatidak memiliki hak untuk menahan kemajuan (evolusi) jiwa-jiwahewan itu ke tingkat yang lebih tinggi. Dalam ajaran Konghucu,setiap hewan dan manusia terlahir dengan jiwa, nama dan nasibmasing-masing, misalnya Che Cheng adalah hewan reptil, HoaCheng hewan yang hidup di air, Loan Cheng hewan yang terbang,T’ao Chen hewan yang berkaki empat, Koan Koa How orang yangmiskin dan hina, dan Kong I (Kiang I) adalah orang yang berpang-kat atau kaya. Menurutnya, bukankah dalam Islam juga ada larang-an memakan binatang-binatang tertentu dan membunuhnya?121

Maka, manusia sesungguhnya tak boleh sembarangan membunuhhewan karena mereka punya jiwa yang akan berevolusi.

Salah satu kesungguhan kaum teosofi dalam soal kualitas moralini, mereka mendirikan organisasi sayap namanya Mimpitoe atauM 7 pada 1 Januari 1909. M 7 berarti kaum teosofi akan bersungguh-sungguh memerangi 7 hal, yaitu: (1) Main (berjudi), (2) Minoem(mabuk), (3) Madon (main perempuan), (4) Madat (mabuk karenamenghisap ganja dan sejenisnya), (5) Maling, (6) Modo (mencelaatau mengumpat karena dengki dan benci), (7) Mangani (makanberlebihan dari yang dibutuhkan).122

Page 110: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

145Dr. Media Zainul Bahri

Jika kita perhatikan, model komparasi dalam etika juga tidakbenar-benar sebuah studi perbandingan yang kritis. Karena MTImemiliki perhatian serius terhadap etika dan moral para pemelukagama, mereka mengambil legitimasi dari setiap ajaran agama ten-tang pentingnya memiliki keluhuran moral dan kelembutan hati.Lagi-lagi, mereka mengambil semua ajaran agama yang sama ataumemiliki kandungan makna yang sama untuk memperkuat paham,pandangan dan sikap keagamaan mereka.

Karena itu, kita tidak menemukan sebuah model komparasikritis sebagaimana lazimnya sebuah metode komparasi dilakukandi masa kini. Kita tidak melihat, bagaimana seorang penulis Mus-lim, Hindu, Kristen atau Konghucu melakukan identifikasi (identi-fication), pemilahan (selection), pembagian atas topik atau tema-tematertentu, lalu menjelaskan (explaining), melakukan komparasi (com-parison) terhadap suatu tema ajaran agama lain dan menyuguhkananalisis yang kritis dari berbagai sisi. Komparasi yang mereka la-kukan berbentuk kerangka yang “sederhana” yang terus menarikbenang merah adanya hubungan substansial dan kesatuan agama-agama.

3. India yang “Berbeda” dan Westernisasi

Hal penting lain yang patut diperhatikan adalah hubungan teo-sofi dengan India, atau tepatnya hubungan yang saling memenga-ruhi antara nilai-nilai India dan teosofi. Herman Tollenaere, seorangBelanda yang ahli teosofi Indonesia, berpendapat bahwa orang-orangIndonesia—pada awal abad ke-20—memiliki pandangan tentangnegeri India seperti yang diinformasikan oleh teosofi. Pandanganmereka tentang India berdasarkan dari sejauh mana mereka mene-rima informasinya dari teosofi Hindia Belanda. Meskipun, secarageografis dan ideologis, terdapat hubungan yang erat antara teosofidengan India, tetapi tidak otomatis bahwa teosofi itu berakar dariIndia, setidaknya sampai sebelum tahun 1942-an. Menurut Herman,untuk mengetahui sejauh mana teosofi menyebarkan pemikirandan nilai-nilai India ke bumi Nusantara, seseorang harus melihat

Page 111: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

146 Wajah Studi Agama-Agama

bagaimana teosofi merepresentasikan dan memediasi pengaruh-pengaruh dari agama, sastra dan politik India.123

Menurut Herman, terdapat sekelompok kecil intelektual danseniman India124 yang dipengaruhi oleh teosofi. Salah satunya ada-lah Rabindranath Tagore, seorang pujangga India, yang pernah me-ngunjungi Jawa dan Bali pada 1927, dan diterima dengan sangatbaik dan hangat oleh para intelektual Jawa dan Bali saat itu.125 Tagoresaat itu berdiskusi dengan kaum terpelajar Jawa dan Bali tidak sema-ta tentang ajaran-ajaran teosofi, namun juga soal politik. Misalnyaperjuangan politik India untuk merdeka dari Inggris. Diskusi itu,tentu saja, juga memiliki pengaruh terhadap pandangan keagamaandan politik tokoh-tokoh teosofi Jawa dan Bali.

Di India sendiri menurut Herman, para anggota teosofi, dalamloji-loji, selalu mendiskusikan soal-soal politik India, terutama isu-isu yang menyangkut kemerdekaan India dari Inggris. Saat itu ter-jadi perdebatan tajam antara Mahatma Gandhi yang menginginkankemerdekaan penuh India atas Inggris dengan Annie Besant yangmenentangnya. Orang-orang teosofi tentu saja berpihak kepadaBesant. Dalam banyak tulisannya, Besant memandang (atau me-muji) bahwa India adalah negeri utama tempat tinggal ras Aryayang direpresentasikan secara beradab oleh kerajaan Inggris (yangmenguasai India).126 Watak politik tokoh-tokoh teosofi rupanya sela-lu sama, yaitu sikap akomodatif dengan kaum kolonial. Jika diHindia Belanda ditunjukkan oleh pandangan-pandangan Labbertonmengenai sikap akomodatif sebagai jalan terbaik, maka Annie Besantjuga menunjukkan hal serupa di India. Mengenai keunggulan rasArya ini, seorang mantan asisten Residen di Hindia Belanda yangjuga anggota teosofi, C.A.H. von Wolzogen Kühr menyatakan se-buah mitos kuno bahwa bangsa India yang membawa peradabanIndia ke pulau-pulau di Indonesia (dari abad ke-4 sampai abad ke-15) adalah bangsa India ras Arya. Dan sekarang (dari abad ke-16sampai abad ke-20) katanya, yang membawa peradaban ke tanahHindia Belanda adalah bangsa Belanda yang juga dari ras Arya.127

Page 112: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

147Dr. Media Zainul Bahri

Tentu saja pandangan itu memuat lebih banyak mitosnya daripadakebenarannya.

Menurut Herman, jika benar bahwa kedatangan Islam ke In-donesia dibawa oleh para pedagang India dari Gujarat, maka dipas-tikan para pedagang Muslim itu bukan anggota teosofi, karena diIndia tidak ada Muslim yang jadi anggota teosofi. Di India sendiri,pandangan tentang teosofi sangat beragam, mulai dari yang me-nerima dan memujinya hingga yang mengkritiknya. Swami Vive-kananda, tokoh Hindu India terkemuka adalah salah satu di antarayang mengkritik tajam teosofi. Katanya, “Teosofi India, yang sebe-narnya adalah cangkokan dari spiritualisme Amerika dan seringmengutip kata-kata dari bahasa Sanskerta, sesungguhnya tak lebihdari jargon spiritualitas belaka!” Vivekananda menyesalkan bahwabanyak orang di luar India, termasuk orang-orang Hindia Belanda(Indonesia) yang memandang India dan agama Hindu melalui kaca-mata teosofi. Padahal hal itu tidak benar. Secara sinis ia menyatakanbahwa “orang-orang Hindu tidak membutuhkan hantu-hantu yangmati dari Rusia dan Amerika.”128 Jadi, bagi Vivekananda, teosofi ituakarnya bukan dari India, melainkan dari spiritualisme Barat.

Adanya pandangan bahwa teosofi banyak dipengaruhi oleh pe-mikiran India dan Hindu juga dibantah oleh fakta-fakta berikutini. Dari sisi ajaran misalnya, terdapat beberapa istilah yang samaantara teosofi dengan Hindu-Buddha. Padahal menurut Leadbeatermisalnya, seorang tokoh teosofi di Hindia Belanda, sangat seringistilah yang sama itu memiliki makna yang berbeda. Misalnya,konsep tentang Cakra (Chakra). Menurut filosofi yoga India, Cakraadalah titik imajiner yang dipakai sebagai media untuk memusat-kan pikiran dan hati dalam berhubungan dengan para dewa. Tetapidalam doktrin teosofi, Cakra berarti sesuatu yang sangat halus (eter)yang benar-benar hidup dalam jiwa manusia. Pengertian teosofitentang Cakra itu persis sama dengan apa yang dimengerti olehpara pelaku New Age di Barat akhir-akhir ini.129

Ajaran lain yang sama tetapi berbeda adalah soal karma. Dalamteosofi, karma memiliki pengertian yang lebih filosofis dan ideal di-

Page 113: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

162 Wajah Studi Agama-Agama

juga judul tulisan hanya dengan memakai “Agama Buddha,” atau“Tentang Agama Islam,” atau “Hindu,” “Baha’i,” “Kristen” atau“Konghucu.” Jika telah selesai satu tulisan tentang satu agama, makatulisan selanjutnya tentang agama lain. Begitu pula, jika selesai ten-tang satu tema, tulisan selanjutnya tentang tema lain. Sering sekalikita menemukan tulisan yang “bersambung.” Tetapi, sambungan-nya tidak langsung pada tulisan berikutnya, melainkan dipotongdulu oleh dua sampai empat tulisan. Kita sebagai pembaca jugatidak bosan dengan hanya membaca satu agama, keyakinan atausatu paham saja atau satu tema saja. Keragaman dalam bentuk pe-nerbitan sangat terasa oleh pembaca, dan hal ini dapat memperkayahorison tentang harmoni dan toleransi dalam pengertian yang se-sungguhnya. Kondisi itu berbeda dengan majalah-majalah keaga-maan yang terbit pada masa Orde lama hingga tahun 1980-an. Se-ring kali pada majalah era itu tertera tulisan “Hanya untuk kalangansendiri,” atau “Hanya untuk kalangan terbatas,” dan biasanya isinyajuga tentang paham keagamaan yang eksklusif, juga sering kalimenyerang paham atau keyakinan orang lain yang berbeda.

F. Masa Suram Gerakan Teosofi1. Kecaman dan Reaksi

Sebagaimana gerakan Teosofi Internasional, gerakan Teosofi diIndonesia juga tak luput dari kecaman dan reaksi dari berbagaipihak. Selain datang dari golongan agama konvensional seperti Is-lam dan Katolik, reaksi juga datang dari pihak pemerintah HindiaBelanda serta golongan nasionalis Indonesia.155

Nugraha menguraikan bahwa topik kecaman dan reaksi sesuaidengan konteks dan waktu. Pada awalnya, yang dipermasalahkansoal organisasi teosofi sebagai suatu organisasi kebatinan. Pada per-kembangan selanjutnya kecaman menjadi bervariasi dengan mo-tif yang meluas, tidak sekadar masalah kepercayaan/keyakinan. Halitu tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan pergerakan na-sional dan keadaan Indonesia itu sendiri. Di tahun-tahun awal ke-munculannya, organisasi teosofi di Hindia hampir tak pernah men-

Page 114: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

163Dr. Media Zainul Bahri

dapat kecaman atau menimbulkan reaksi, mungkin karena sebagianbesar anggotanya adalah orang Eropa (Belanda) dan kegiatannyaboleh dikatakan agak tertutup, dan adanya kenyataan bahwa kegiat-an mereka tak lebih dari bidang kebatinan (okultis) semata.156

Hantaman yang keras dari kaum agama konvensional bahwateosofi adalah ajaran “sesat” dan “membahayakan” eksistensi aga-ma-agama serta “penggembosan” dari kaum nasionalis Indonesiamembuat gerakan teosofi Indonesia terus melemah. Jika di masa-masa sebelumnya organisasi ini selalu memperlihatkan aktivitasluar biasa di segala bidang, tampaknya sekarang hanya meneruskansegala kegiatan mereka di masa sebelum redup, misalnya di bidangpendidikan dan pengajaran. Sekolah-sekolah milik Teosofi tetapberdiri dan menerima murid. Lewat lembaga inilah proses pengaruhgerakan teosofi tetap berlanjut di kalangan masyarakat, terutamaproses transformasi ide-idenya hingga gerakan ini benar-benar ha-nya tinggal catatan sejarah.157

Seiring dengan hilangnya gerakan teosofi Indonesia, selesai su-dah studi Perbandingan Agama yang cukup intensif pada masa itu.Secara resmi, studi PA kemudian dibuka oleh pemerintah Indone-sia pada 1961 yang dipelopori oleh Mukti Ali, setahun setelah berdiriPTAIN [Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri] (1960) di Yogyakartadan ADIA di Jakarta.

2. Tanggapan Terhadap Kecaman

Sejauh penelusuran penulis, hampir semua tuduhan dan ke-caman terhadap MTI bersifat emosional dan tidak sepenuhnya ber-dasarkan kenyataan. Misalnya, teosofi sering dituduh sebagai upayapeng-kristenan kaum pribumi, atau teosofi identik dengan agamaKristen, atau teosofi lebih banyak memublikasikan agama Kristen,Hindu dan Buddha, dan hanya sedikit menjelaskan ajaran Islam.

Jika kita membaca secara cermat dan detail semua publikasiMTI terutama PTHN, PTBI, KT dan PH, dan kita jadikan publikasi-publikasi tersebut sebagai ukuran seberapa sering publikasi/penje-lasan suatu agama, maka kita akan menemukan fakta sebaliknya.

Page 115: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

164 Wajah Studi Agama-Agama

Agama Kristen sering disebut, terutama menyangkut kehidupanYesus, ajaran Trinitas dan cinta kasih dalam PTHN (1918) nomor 1,PTHN (1922) nomor 1 dan 2, KT (1931) nomor 1, KT 1932 nomor1, dan PTTI (1954) nomor 32 dan 33. Hanya pada nomor-nomorini secara khusus membicarakan agama Kristen.

Tulisan khusus yang membicarakan agama Hindu adalahPTHN (1917), PTHN (1918) pada halaman 38-40 ada tuduhan bah-wa teosofi hanya menyiarkan paham Hindu, PTHN (1920), PTHN(1921), PTHN (1925), PTHN (1926), PTHN (1928), KT (1931 dan1932). Yang banyak dibicarakan adalah soal Trimurti, karma, rein-karnasi, Weda dan orang-orang suci Hindu. Tulisan khusus yangmembahas agama Buddha adalah PTHN (1926), PTHN (1927),PTHN (1923), PTHN (1925), KT (1929, 1931, dan 1932), dan PTTI(1954). Biasanya yang banyak dibicarakan adalah riwayat SidhartaGautama, ajaran tentang Jalan Tengah, karma, reinkarnasi dan kesu-nyataan.

Tulisan khusus lain yang cukup luas adalah tema tentang “Teo-sofi dan titik-temu agama-agama.” Tema ini ditulis oleh penulisHindu, Kristen, Buddha, Konghucu dan Islam, di mana merekamembicarakan secara luas agama masing-masing—terutama aspekmistiknya—yang dihubungkan dengan teosofi, atau dihubungkanantara satu agama dengan agama lain, tentu saja hubungan esote-riknya. Tema tentang “Teosofi dan titik-temu agama-agama,” atau“titik-temu di antara agama-agama” dapat kita baca secara luas, da-lam banyak nomor dan dalam ratusan halaman pada PTHN (1917),PTHN (1919), PTHN (1920), PTHN (1921), PTHN (1922), PTHN(1923), PTHN (1925), PTHN (1928), PTHN (1929), PTHN (1930),KT (1929, 1931, dan 1932), dan PTTI (1954).

Sementara yang paling sedikit dibicarakan adalah tentang aga-ma Tao dan Baha’i. Agama Konghucu relatif sama banyak porsinyadengan agama Buddha, tetapi Hindu lebih banyak dibanding ke-duanya.

Mengenai kecaman bahwa teosofi adalah agama baru, inginmerelatifkan semua agama, membuat pemeluk agama menjadi ti-

Page 116: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

165Dr. Media Zainul Bahri

dak yakin dengan syari’at agamanya, merupakan ajang pemurtadandan hal-hal semacamnya, semua tidak berdasar dan telah dibantaholeh MTI dalam penjelasan terdahulu.

3. Kasus “Khusus Islam”

Hal unik dalam teosofi Indonesia adalah fakta tentang keterli-batan Islam, tepatnya tulisan-tulisan tentang Islam yang sangat luaspada majalah-majalah teosofi. Beberapa nama penulis yang sangataktif adalah A. Latif, A. Karim, Raden Djojodiredjo, Raden Siswo-soeparto, J.M., N., Kijahi Somo Tjitro, A. Rivai, Broto, dan LouisBaehler. Sulit melacak siapa di antara mereka yang benar-benar“santri” atau hanya Muslim KTP atau non-Muslim yang hanya ter-tarik dengan Islam. Tiga kategori itu sangat mungkin melekat padapara penulis tersebut. Dari namanya, mungkin Louis Baehler adalahorang Eropa non-Muslim yang tertarik menulis aspek-aspek Islampada majalah teosofi.

Namun, yang menarik adalah beberapa nama seperti Latif,Karim, Rivai dan Djojodiredjo membuat tulisan-tulisan tentang Is-lam yang menunjukkan bahwa mereka cukup menguasai aspeksyariat dan hakikat Islam. Fakta ini menunjukkan sesuatu yangpenting mengenai posisi dan peran Islam dalam mengembangkanorganisasi teosofi di Nusantara. Disebut penting dan menarik karenahanya di Hindia Belanda (Indonesia) Islam terlihat sangat menonjoldalam organisasi ini. Seperti dilaporkan oleh Herman, bahkan diIndia sebagai pusat gerakan Teosofi Internasional, tak ada Muslimyang jadi anggota. Gerakan teosofi di Asia Tenggara pada masa itu,seperti di Vietnam dan Thailand juga tidak menunjukkan keterli-batan Islam (Muslim), apalagi dalam jumlah yang signifikan sepertidi Nusantara.

Jika membaca sebagian besar majalah teosofi di Hindia Belandasaat itu, kita menemukan tulisan khusus yang membicarakan ajaranIslam secara luas jauh lebih banyak dibanding agama-agama lain,di antaranya PTHN (1911), PTHN (1912), PTHN (1915), PTHN(1916), PTHN (1917), PTHN (1918), PTHN (1919), PTHN (1920),

Page 117: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

166 Wajah Studi Agama-Agama

PTHN (1921), PTHN (1922), PTHN (1923), PTHN (1925), PTHN(1926), PTHN (1927), PTBI (1928), PTHN (1929), dan KT (1929,1931, dan 1932). Dalam setiap tahun publikasi tersebut terdapatlima (5) sampai 7 (tujuh) nomor membicarakan aspek-aspek ajaranIslam, dari mulai pentingnya memahami syari’at: shalat, puasa,zakat, haji dan sedekah, hingga keharusan memahami tasawuf Is-lam. Aspek sufisme ditekankan dengan tetap mendiskusikan as-pek syariat. Inilah yang saya sebut “dari syari’at menuju hakikat.”Di saat yang sama, para penulis tentang Islam di atas, banyak mem-bandingkan ajaran esoterik Islam tersebut dengan agama-agamalain, juga hubungannya dengan doktrin teosofi. Sekali lagi, sayamenemukan ratusan halaman pembahasan mengenai Islam secaraluas yang jauh lebih banyak porsinya dibanding Kristen, Hindudan Buddha.

Bersama-sama dengan pembahasan yang luas mengenai “Is-lam” dan “Teosofi dan titik-temu” agama-agama adalah pemba-hasan mengenai pengertian “Teosofi” dan tentang “Jagat Guru.”Dua tema terakhir tidak seluas pembahasannya dibanding dua temapertama. Dengan menelusuri data-data di atas secara detail, tidakbenar tuduhan jika ajaran Islam mendapat “porsi” yang sedikit,sedangkan Kristen, Hindu dan Buddha mendapat “jatah” yang lebihbanyak. Sebaliknya, “Islam” merupakan bahan kajian terbesar da-lam publikasi MTI bersama dengan “Teosofi dan titik-temu agama-agama.” Justru saya beranggapan bahwa majalah-majalah teosofiitu seperti corong untuk mendakwahkan Islam. Redaksi majalahtersebut telah memberi ruang yang luas sekali bagi penulis-penulisMuslim untuk menjelaskan ide-ide Islam dan teosofi. Dengan ini,dapat juga dikatakan bahwa gerakan teosofi sesungguhnya hendak“menarik” lebih banyak lagi anggota-anggota yang beragama Is-lam, yang kebanyakan ada di akar rumput.

Beberapa data signifikan tentang peran Islam, tentang “teosofibukan agama baru,” “teosofi tidak menginginkan konversi agamabagi para pemeluk agama di Nusantara,” dan sebaliknya “teosofimenghendaki para pemeluk agama menjadi lebih taat pada agama-

Page 118: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

167Dr. Media Zainul Bahri

nya masing-masing dengan jalan menekuni aspek hakikat agamadan teosofi” seolah membantah para apologis Muslim modern se-perti Herry Nurdi (2006), Ridwan Saidi dan Rizki Ridyasmara(2006), dan Artawijaya (2010) yang selalu memandang teosofi secara“negatif.” Mereka selalu menghubungkan teosofi dengan gerakanFreemasonry dan gerakan politik kaum Zionis yang ingin ‘merusak’Islam dan agama-agama konvensional. Dengan mengutip Muham-mad Natsir misalnya, Artawijaya memandang teosofi sebagai “aga-ma gado-gado” yang ingin “mencampuradukkan semua agama atasnama kebaikan dan nilai-nilai universal.” Akhirnya, bagi Artawijaya,gerakan teosofi hanya memiliki satu tujuan, yaitu “misi besar me-rusak agama-agama.”158

Menurut penulis, kesalahan fatal para penulis Muslim moderntentang teosofi adalah bahwa mereka selalu “mengukur” gerakanteosofi Hindia Belanda dengan tulisan-tulisan dan ide Blavatsky,Annie Besant, Jiddu Krisnamurti, dan figur lain seperti tokoh teosofiBelanda Dirk Van Hinloopen Labberton dan Bishop Leadbeater.Para penulis itu tidak pernah secara luas merujuk kepada tulisan-tulisan anggota teosofi pribumi, apakah dari kalangan terdidik pri-yayi, non-priyayi, dan santri Muslim yang “ahli” dalam kajian Is-lam, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu. Seperti telah diung-kap, gerakan teosofi Indonesia di masa itu, dalam beberapa hal pen-ting sesungguhnya berbeda dengan teosofi model Blavatsky danAnnie Bessant yang mereka kembangkan di India dan di tempatlain.

G. Studi Perbandingan Agama Sesudah MasaTeosofi: Menimbang Peran Mahmud Yunusdan Zainal Arifin AbbasSesudah era teosofi, studi PA sesungguhnya tidak pernah benar-

benar “tamat.” Sebelum menjadi kajian yang resmi secara akade-mik di masa Orde Baru melalui PTAIN, riak-riak studi PA setelahkemerdekaan —khususnya pada Muslim Nusantara— masih terde-ngar meskipun hanya sayup-sayup. Harus diakui—setidaknya me-

Page 119: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

168 Wajah Studi Agama-Agama

nurut Karel Steenbrink, studi PA memang tidak pernah memilikiposisi yang kuat dalam sistem pendidikan tradisional Islam di Indo-nesia. Bahkan sampai sekarang pun, studi PA tidak pernah masukdalam daftar pelajaran yang harus dipelajari di pesantren-pesantrenatau sekolah Islam.159

Sebelum memasuki alam studi PA di masa Orde Baru, sayaingin menyuguhkan dua figur penting dalam studi PA dalam masapra dan dekade awal setelah kemerdekaan, yaitu peran MahmudYunus dan Zainal Arifin Abbas di kalangan kaum terpelajar Mus-lim Indonesia.160

Dalam konteks pesantren dan sekolah Islam “modern” me-mang benar bahwa studi PA tidak memiliki posisi yang kuat. Na-mun, pada masa 1970 akhir hingga 1980 akhir, terdapat mata pela-jaran Perbandingan Agama di Madrasah Aliyah Negeri dan Swastadi hampir seluruh wilayah Indonesia. Menurut Steenbrink, keke-cualian dari tiadanya studi PA di masa lalu (terutama sebelum danmasa awal kemerdekaan) adalah Mahmud Yunus, seorang pendidikdan intelektual Muslim yang banyak menulis karya-karya tentangIslam, khususnya pendidikan Islam. Beberapa karyanya yang masihterkenang hingga kini misalnya Sejarah Pendidikan Islam: DariZaman Nabi Hingga Khilafah Utsmaniyah Turki (1979), Sejarah Pen-didikan Islam Di Indonesia (1979), Tafsir Qur`an Karim (1962, 1973),Hukum Perkawinan Dalam Islam (1964, 1991) dan Kamus Arab-Indo-nesia (1972; dicetak ulang hampir setiap tahun). Karya yang terakhirbahkan masih dipakai di banyak pesantren modern hingga saat ini.

Yunus kuliah di Mesir pada 1920-an. Ketika kembali pada 1931,ia mulai mengajar di pesantren di Padang, namun belum ada pela-jaran PA. Pada 1932, mulailah ada kurikulum baru yang membuatpelajaran Riwajat-Riwajat Agama untuk pelajar tingkat akhir. Pela-jaran inilah yang menjadi pintu masuk untuk karya Mahmud Yu-nus yang berjudul al-Adyân (Agama-Agama)161 yang selesai ditu-lisnya pada November 1937 di Padang.162 Inilah sebuah karya perta-ma yang komprehensif yang ditulis seorang sarjana Muslim Indo-nesia mengenai agama-agama manusia dalam bahasa Arab, yang

Page 120: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

169Dr. Media Zainul Bahri

diajarkan di pesantren-pesantren dan sekolah Islam lainnya yangmewajibkan para pelajarnya berbicara dan menggunakan buku-buku berbahasa Arab.

Dalam karya setebal 72 halaman,163 Yunus menyajikan pemba-hasan mengenai agama-agama yang dikenal manusia, yaitu Majusi(Zoroaster), Sabean, agama Mesir Kuno, agama kaum Brahmana,Buddha, Sinto, Konghucu, Tao, Fetis di Afrika Barat, Yahudi, Nasra-ni, dan Islam dengan berbagai sekte pada agama-agama tersebut.Yunus memulai dengan definisi agama, atau yang ia sebut sebagaitadayyun, yaitu “kecenderungan manusia dengan segenap naturnyauntuk menerima adanya satu kekuatan, atau Kekuatan yang mahakuat di atas kekuatannya sendiri bahkan di atas kekuatan manusia.Natur keberagamaan ini merupakan tabiat (kualitas) manusia yangpaling tua (awal). Pada mulanya manusia berpikir bahwa tuhan itubanyak dan segala fenomena di alam ini merupakan penampakankekuatan tuhan, baik yang bermanfaat maupun yang berbahaya.Ketika pengetahuan manusia telah berkembang, muncullah kesa-daran bahwa tidak mungkin ada banyak tuhan. Tuhan itu pastihanyalah satu, dan Dialah penyebab segala yang ada, Pencipta yangawal dan yang akhir.”164

Menurut Steenbrink, definisi Yunus itu sama atau setidaknyakental sekali dengan pandangan teori evolusi. Yunus sama sekalitidak menyebut tentang teori revelasi atau adanya agama wahyusebagai agama primordial yang pertama diturunkan kepada nabiAdam, misalnya. Kelihatannya Yunus hanya mengutip definisiagama itu, mungkin dari para penulis Arab yang telah dipengaruhioleh teori evolusi dalam agama seperti yang tampak pada karya-karya Edward Taylor, Emile Durkheim dan Malinowsky.165

Lalu, Yunus membagi agama-agama ke dalam dua kelompokbesar: (1) agama yang bersifat ruhiyah dan (2) agama material. Aga-ma ruhiyah adalah yang menyembah ruh (bukan materi) yang ab-strak. Agama ini terdiri atas: (a) agama-agama ketuhanan yang me-mang menyembah Satu Tuhan Yang Agung, (b) agama orang-orangdulu yang menyembah ruh, (c) agama orang-orang yang menyem-

Page 121: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

170 Wajah Studi Agama-Agama

bah alam. Agama-agama ketuhanan terbagi lagi menjadi agamatauhid dan agama syirik. Agama tauhid adalah agama yang hanyamenyembah satu tuhan yang maha kuasa. Agama ini terdiri atas limakelompok yang terkenal, yaitu: (a) Zarathustra atau agama majusiatau agama orang Persia dahulu, (b) agama-agama orang India danChina, (c) agama Yahudi, (d) agama Masehi, dan (e) agama Islam.Sedangkan dalam daftar agama-agama syirik, yaitu yang me-nyembah tuhan lebih dari satu, yang paling terkenal adalah: (a)agama Mesir kuno, (b) Asyur, (c) Babilonia, (d) Yunani, (e) Romawi,dan (f) kaum Brahmana.166

Pada satu sisi, Yunus memberi apresiasi positif terhadap agama-agama non-Islam dan non-Semitik sebagai agama tauhid. Ia me-nyebut Zoroaster bersama-sama dengan Siddharta Gautama, KongFu Tze dan Lao Tze sebagai tokoh-tokoh hikmah dengan ajaran-ajaran mulianya. Para pengikut merekalah yang menyelewengkanagama ini menjadi agama syirik dan menuhankan tokoh-tokohnya.Terhadap agama Hindu juga, Yunus memandang bahwa ajaran asal-nya adalah monoteis, tetapi pada perkembangannya menjadi Tri-murti, yaitu menyembah tuhan Brahma, Wisnu dan Syiwa.167 Cu-kup aneh Yunus menyebut Trimurti ini, karena konsep ketuhananini hanya populer di Indonesia, terutama Hindu Bali. Padahal iasedang menyajikan pembahasan mengenai konsep ketuhanan Hin-du India. Menurut Yunus, orang-orang Hindu menyadari akan kon-sep Tuhan Yang Esa, namun karena tuhan itu memiliki nama dansifat yang banyak, maka yang kemudian disembah adalah manifes-tasi nama-nama dan sifat itu yang kemudian dipanggil dengan dewa.Menurut Yunus lebih lanjut, konsep tentang banyak tuhan (mak-sudnya dewa) dan Trimurti sesungguhnya tidak terdapat dalamkitab suci Weda.168

Pada sisi lain, kajian Yunus jelas bersifat apologetik. Denganjudul “agama-agama syirik” dan “agama-agama yang menyembahpatung, bintang, matahari dan kekuatan alam lain” segera kita me-mahami bahwa ia sedang melakukan penilaian (penghakiman) teo-logis terhadap agama-agama yang dianggapnya telah menyimpang.

Page 122: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

171Dr. Media Zainul Bahri

Terhadap agama Yahudi dan Nasrani, Yunus membuat pembahasanyang cukup panjang menyangkut sejarah, ajaran-ajaran pokok dansekte-sekte mereka. Terhadap Kristen, Yunus membahas secara khu-sus mengenai Katolik dan Protestan, dua sekte yang justru tidakdibicarakan oleh penulis Muslim ahli PA, Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal. Yunus juga mendeskripsikan penyimpangan-penyimpangan serius yang dilakukan para teolog Yahudi dan Kris-ten atas ajaran-ajaran asli yang diturunkan Tuhan. Yunus menye-but—dengan mengutip sejarawan Prancis—misalnya bahwa Tauratadalah produk dari para teolog dan sejarawan Yahudi yang ditulisbeberapa abad setelah wafatnya Musa. Taurat sekarang adalahproduk penulisan ulang atas sejarah Bani Israel. Taurat yang aslitelah hilang.169

Terhadap agama Kristen, Yunus menunjukkan kritik kerasnyabahwa doktrin penyaliban nabi Isa dan konsep Trinitas benar-benarsulit diterima “akal sehat” dan bertentangan dengan keadilan Tu-han.170 Pada mulanya, agama Kristen adalah agama tauhid dari Allah,namun kaum Nasrani mengubahnya menjadi agama pagan dengankonsep Trinitas yang tidak masuk akal. Agama ini dinodai kesucian-nya oleh kaum Nasrani sendiri dengan mengambil ide-ide dan tradisikeagamaan dari Yunani, Romawi, Trinitas Mesir kuno dan kaumBrahmana.171 Dalam membahas soal teologi agama-agama, Yunusselalu menunjukkan bagaimana pandangan Islam atas model akidahatau syari’at dari agama yang sedang dibicarakannya.

Di akhir pembahasan, tentu saja adalah tentang agama Islamsebagai agama terakhir dan yang terbaik (huwa akhir al-adyan waahsanuha), yang tak ada kecacatan sedikit pun dalam seluruh aspek-nya.172 Sebagaimana ulama Islam lainnya, Yunus juga menjelaskansekte-sekte Islam seperti Asy’ariyah, Mu’tazilah dan Syi’ah. Dalamkaitan sekte itu, Yunus membuat pembahasan khusus yang cukuppanjang mengenai Jama’ah Ahmadiyah dengan dua alirannya, yaituLahore dan Qadiyan.173

Sebagai buku ajar yang memuat banyak agama dengan kajianyang cukup komprehensif, karya Yunus itu cukup menarik dan

Page 123: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

172 Wajah Studi Agama-Agama

membawa suatu horison baru bagi para pelajar Muslim tentangagama-agama non-Islam. Untuk ukuran saat itu, al-Adyân merupa-kan sebuah prestasi dan memiliki tempat yang khusus di kalangansantri Muslim. Menurut Steenbrink, meskipun gaya tulisan Yunusitu sederhana, namun bagi para pelajar tingkat akhir dan para guru,buku itu sangat menarik dan suatu hal yang baru tentang agama-agama non-Islam. Dalam menulis karya itu, Yunus kelihatannyaseperti memiliki hubungan yang dekat dengan keadaan dunia yangmajemuk di mana non-Muslim benar-benar nyata, dan karya itujuga memuat informasi yang cukup “akurat” tentang kaum non-Muslim. Salah satu sisi menariknya adalah jika Nuruddin al-Raniri,dalam karyanya al-Tibyân fî Ma’rifat al-Adyân, membuat catatantentang Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Sumatrani sebagai to-koh-tokoh yang dianggap “menyimpang” dari Islam yang “benar,”maka Yunus juga membuat penjelasan yang panjang mengenai Ja-ma’ah Ahmadiyah, satu sekte dalam Islam yang juga dipandangtelah “menyimpang secara serius” pada saat itu,174 bahkan hinggahari ini.

Tokoh kedua yang juga sangat penting dalam penyebaran pe-ngetahuan tentang PA adalah Haji Zainal Arifin Abbas, seorangpengajar agama Islam dan Filsafat yang tinggal di Medan dari tahun1900 hingga 1970. Ia menulis Sejarah Hidup Nabi Muhammad danTafsir al-Qur‘an. Namun, karyanya yang paling ambisius adalahPerkembangan Fikiran Terhadap Agama (1951). Inilah karya yangditulisnya dalam tiga volume yang di dalamnya terdapat pembahasanmengenai agama-agama dunia, baik yang tinggal sejarahnya mau-pun agama yang masih hidup. Sebagaimana terlihat dari judulnya,maka isi buku itu seperti dinyatakan oleh penulisnya, “...adalahintisari dari pendapat puluhan ahli pikir dalam sedjarah 2500 tahunjang lalu, mulai dari Thales orang Maleiti sampai kita sekarangini.”175 Abbas mengurai sejarah pemikiran umat manusia tentangagama dan respons-respons mereka. Dalam satu pembahasan yangpanjang, ia mengurai berbagai pengertian agama dan menyebutlebih dari 100 pemikir, sarjana dan kaum mistik yang menjelaskan

Page 124: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

173Dr. Media Zainul Bahri

pengertian itu, namun ia banyak mengutip buku al-Din wa al-Wahy wa al-Islam karya Mustafa Abdur-Raziq, mantan RektorUniversitas al-Azhar, Mesir. Menurut Steenbrink, Abbas banyakmenghadirkan kutipan tanpa komentar lebih lanjut, tanpa konteksdan tidak bersikap kritis.176 Terutama Abbas banyak mengutip sar-jana Muslim dari Mesir ketika membicarakan agama-agama non-Islam. Misalnya ketika menulis tentang agama Mesir Kuno (Purba)sebagian besar ia mengutip buku Filsafat Timur karya MuhammadGhallab.177 Ketika menjelaskan agama Hindu, ia pun banyak me-rujuk kepada Ghallab dan Tsaqafat al-Hind karya Abdus Salam.178

Meskipun dalam beberapa bagian ia juga merujuk kepada HadzaRa‘y al-Hind karya Gustav de Bone179 dan Ensiklopedi Dunia.

Dengan membaca daftar isinya saja segera kita melihat bahwaAbbas memang berambisi untuk mengurai sejarah panjang pemi-kiran umat manusia tentang agama. Terdapat tiga bab khusus yangmengulas pandangan para filsuf Yunani Kuno tentang agama; darimulai Thales, Xenophanes, Parmenides, Zeno, Socrates hingga Plato.Satu bab khusus pandangan para filsuf Muslim: Ibnu Sina, IbnuBajah, Ibnu Thufayl, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun dan lain-lain. Satubab khusus pandangan para filsuf Barat; dari Descartes, Venilone,Jocques Benicte Bosuette, Leibniz, Newton, Clark (mungkin SamuelClarke), Rocke (mungkin maksudnya John Locke, karena Abbasmenyebut karya Locke yang terbit tahun 1690, Essay ConcerningHuman Understanding), Voltaire, Rousseau, astronomis Herschel,Herbert Spencer dan Leneitte. Nama-nama pemikir itu bahkanhingga tiga puluh orang, dengan begitu saja diterjemahkan (pemi-kiran mereka) oleh Abbas tanpa ada pendahuluan dan komentarlebih lanjut.180 Setelah itu Abbas menjelaskan, dalam bab-bab yangpanjang (dan detail) agama-agama manusia: Mesir Kuno, India(Hindu), Buddha, Kaldea, Yahudi, agama-agama di Persia (Majusidan Manu), dan Shinto.

Menurut Steenbrink lebih lanjut, buku Abbas itu mengandungbanyak kesalahan, kekacauan, inkonsistensi, baik dalam penye-butan nama-nama, istilah atau pemahamannya mengenai suatu pe-

Page 125: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

174 Wajah Studi Agama-Agama

mikiran. Karena itu buku tersebut cukup membingungkan. Misal-nya ketika ia membicarakan tiga tuhan dalam agama Yunani, yaituApollo, Delphes dan Zuess, ia terjemahkan ke dalam bahasa Arabyang membingungkan. Lalu, ketika membahas konsep mana ataumani dalam pemikiran Durkheim, ia identikkan kata itu dengan“makna,” suatu istilah dalam bahasa Arab dan Indonesia yang berartimakna.181

Menurut saya, meski terdapat beberapa kekeliruan dan inkon-sistensi, karya Abbas ini cukup menarik, dan meski banyak meru-juk kepada karya-karya sarjana Muslim ketika menulis tentang aga-ma-agama non-Islam, ia dapat menyajikannya dengan pendekatanyang simpatik dan humanis. Abbas selalu menyandingkan agamadengan peradaban suatu bangsa. Ketika membicarakan agama Me-sir Kuno, ia menegaskan bahwa peradaban Mesir yang agung itutak lain adalah karena orang-orang Mesir memiliki agama. Raja-raja Mesir juga senang berteman dengan kaum agamawan. Padamasa kekuasaan raja Amnahat dan Amoun misalnya, agama men-jadi pelajaran wajib orang-orang Mesir, banyak kaum adib atauintelektual yang lahir dari pengajaran agama. Bahkan konsep TuhanYang Maha Esa yang memanifestasi dalam banyak atiribut-Nyaseperti Tuhan Matahari, Tuhan Alam dan lain-lain, telah dikenaldan diajarkan pada masa dua raja itu. Karena itulah, peradaban tinggiMesir yang kental dengan agama, menurut Abbas, sesungguhnya“turun dari langit” bukan semata hasil pemikiran manusia. MenurutAbbas, kemajuan pikiran dan peradaban orang Mesir pada masaitu, terutama masa Amnahat I, kira-kira serupa dengan peradabanIslam abad ke-7 atau peradaban Barat abad ke-17 Masehi. MenurutAbbas, peradaban Mesir bersama-sama dengan Tiongkok pada ma-sa 3000 tahun sebelum Masehi atau masa Nabi Isa, menjadi agungberkat peranan besar agama.182

Hal yang sama juga ia tunjukkan ketika menulis tentang AgamaIndia (Hindu). Meskipun ia tidak menyebut kitab suci Weda sebagaiberasal dari Tuhan, juga “bukan kitab suci orang India dan Aria,melainkan dibawa oleh orang-orang yang datang kemudian ke lem-

Page 126: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

175Dr. Media Zainul Bahri

bah Punjab,”183 namun ia berhasil memaparkan secara detail paham,keyakinan dan praktik orang-orang Hindu secara lebih simpatik.Orang-orang Hindu sesungguhnya telah mengenal konsep TuhanYang Satu dan konsep kesatuan Tuhan dengan alam. Tuhan yangsatu itu kemudian memanifestasi dalam bentuk yang banyak. Me-nurut Abbas, filsafat adalah agama dan agama adalah filsafat. Itulahyang terjadi di India, Tiongkok dan Mesir kuno.184 Penjelasan Abbastentang syari’at agama Hindu yang meliputi hak dan kewajibanraja, mencari rejeki yang halal, masa haid perempuan, hubungansuami-istri, hak-hak perempuan, soal poligami, soal halal-haram,soal dosa, soal riba dan lain-lain, disajikan secara cukup menarikdan informatif untuk ukuran buku agama-agama pada masa itu.

Ringkasnya, meskipun buku itu tetap menonjolkan Islam seba-gai agama yang paling sempurna dan dalam beberapa hal menyebutkeyakinan lain sebagai syirik185 dan menyimpang—dan karena itudapat pula disebut sebagai karya “semi apologetik,” tetapi Abbasmembuat deskripsi simpatik tentang keyakinan agama lain; dalampengertian bahwa Abbas sering menekankan betapa umat manusiadalam macam-macam agama itu ingin selalu dekat dengan Tuhan,ingin membangun masyarakat yang beretika dengan landasan aga-ma dan pada akhirnya mereka berhasil membangun peradabandunia dengan beralaskan agama. Abbas selalu melihat positif apre-siasi bangsa-bangsa terhadap agama, yang pada saatnya, apresiasiitu memunculkan peradaban yang kemudian memengaruhi ma-syarakat dunia dari masa ke masa. Karena itu, karya tersebut tidakseluruhnya penuh dengan “tuduhan” dan penilaian yang “meren-dahkan,” meskipun sulit pula disebut objektif sepenuhnya. Dalammenjelaskan doktrin-doktrin agama lain sering kali Abbas menggu-nakan istilah-istilah Islam seperti kata halal, haram, Khalik, Allah,syari’at dan lain-lain. Mungkin salah satu alasannya adalah supayabuku itu lebih mudah dipahami oleh “pandangan dunia” (world-view) para pelajar Muslim. Apalagi buku itu kemudian menjadibuku wajib (buku ajar) para pelajar di PGA, yaitu calon guru-guruagama.

Page 127: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

176 Wajah Studi Agama-Agama

H. Model Studi yang DilakukanPendekatan historis dan teologis tampak dominan dalam uraian

Yunus dan Abbas tentang agama-agama. Yunus sepenuhnya menda-sarkan bukunya, al-Adyân, pada produk (pandangan) teologi Is-lam tentang agama non-Islam. Untuk sejarah agama-agama non-Islam, ia juga merujuk kepada banyak ulama Muslim. Ketika me-nuliskan sumber-sumber untuk karyanya itu, Yunus menyebut na-ma-nama penulis dan ulama Muslim terkemuka seperti Muham-mad Abduh, Rasyid Ridha, Ahmad Amin, Farid Wajdi, Jurzi Zaydan,Musthafa Amin, Ibn Hazm, Syahrastani dan lain-lain serta karya-karya mereka yang sudah dikenal baik di kalangan kaum Muslim.Karena itu, model Yunus adalah model teologis dengan corak Is-lam ala Timur Tengah. Yunus menggambarkan agama-agama non-Islam persis (serupa) dengan gambaran para ulama dan penulis diatas. Yunus sama sekali tidak mendiskusikan agama-agama dankepercayaan yang ada di Nusantara, misalnya Hindu-Buddha In-donesia, Aliran Kebatinan, atau Katolik-Protestan Indonesia danperbedaan spesifik mereka dengan agama-agama serupa yang dije-laskannya. Dengan kata lain, Yunus sama sekali tidak mengaitkanagama-agama dunia yang dibicarakannya dengan konteks agama-agama yang ada di Nusantara.

Hal serupa juga terlihat pada karya Abbas, Perkembangan Fikir-an. Meskipun karya itu jauh lebih tebal dari al-Adyân karena meng-uraikan banyak hal tentang sejarah dan isi filsafat dan agama-agamadunia, namun perspektif Islam ala Timur Tengahnya juga cukupmenonjol. Seperti halnya Yunus, Abbas juga tidak mendiskusikanagama-agama dan kepercayaan yang hidup di Indonesia.

Page 128: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

185Dr. Media Zainul Bahri

BAB VBAB VBAB VBAB VBAB VSTUDI PERBANDINGAN

AGAMA DI MASA ORDE BARU(1968-1998)

Pada Bab IV kita telah melihat suatu model studi PerbandinganAgama (selanjutnya disingkat PA) pada MTI di masa 1900 awalhingga 1940. Ada suatu model studi PA yang digunakan dan dikem-bangkan oleh sekelompok elite atau anggota terbatas teosofi. Disebutelite atau terbatas karena model studi itu memang terbatas padapaguyuban loji-loji dan publikasi jurnal yang berputar hanya dikalangan mereka. Kajian dan model studi PA masa itu tidak bersifatresmi sebagai regulasi pemerintah kolonial di sekolah-sekolah atauakademi karena itu tidak bersifat masif, terstruktur dan sistematis.Pada bab ini kita akan melihat kebangkitan kembali—jika bolehdisebut—studi PA, namun dengan penampilannya yang “resmi”dan terstruktur karena berdiri di atas fondasi pemerintah Orde Barudan didukung oleh aktor-aktor yang terdidik secara modern dalamdisiplin ilmu PA. Fokus bab ini hanya terbatas pada sarjana Mus-lim Indonesia dan lembaga pendidikan tinggi Islam Indonesia, khu-susnya di Yogyakarta dan Jakarta.

A. Studi Perbandingan Agama Di Masa OrdeBaru: Mencermati Peran Sentral Mukti AliIlmu PA di kalangan kaum Muslim Indonesia secara formal-

akademik lahir di PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri)Yogyakarta pada 1961, setahun setelah berdirinya dua pendidikantinggi Islam negeri, yaitu di PTAIN Yogyakarta dan ADIA (Akademi

Page 129: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

186 Wajah Studi Agama-Agama

Dinas Ilmu Agama) Jakarta. Kelahiran jurusan PA di FakultasUshuluddin ini tak bisa dilepaskan dari peran Profesor Mukti Ali,seorang cendekiawan Muslim terkemuka yang meraih gelar Doktordi Universitas Karachi, Pakistan dalam bidang Sejarah Islam, danMagister Universitas McGill, Kanada dalam kajian Islamic Studies.Pada 11 September 1971, Mukti Ali dilantik jadi Menteri Agamakabinet Orde Baru. Mukti Ali layak disebut sebagai seorang MenteriAgama yang menempati posisi khusus dalam sejarah kebijakanpemerintah Indonesia di bidang agama, baik dalam pengertianperannya dalam proses panjang modernisasi politik-keagamaanyang sedang mengalami masa “transisi” waktu itu,1 maupun dalamkebijakan-kebijakannya dalam hal mengatur hubungan intra danantar pemeluk agama yang berbeda serta hubungan (tokoh-tokohdan lembaga) agama dengan pemerintah. Karena kecintaannyayang mendalam kepada ilmu PA berkat pengaruh yang kuat dariprofesornya, Willfred Cantwell Smith, ketika menjadi Menteri Aga-ma, Mukti Ali tak pernah lelah memperkenalkan kepada mahasiswadan masyarakat luas akan pentingnya belajar ilmu PA. Ia juga menja-dikan dialog antar umat beragama sebagai kebijakan utama di De-partemen Agama.2

Terlepas dari peran politiknya sebagai Menteri Agama, di awalberdirinya studi PA pada 1961, Mukti Ali adalah figur utama yangberperan menyusun kurikulum ilmu PA untuk pertama kalinya.Menurut pengakuannya, mata kuliah yang ia susun untuk diajarkanadalah: Ilmu PA, Sosiologi Agama, Filsafat Agama, Psikologi Agama,Kristologi, Dogmatika Kristen, Sejarah Gereja, Tafsir Injil, Orienta-lisme dan Kebatinan, di samping Tafsir, Hadis, Fikih, Ilmu Kalamdan Aliran-Aliran Modern dalam Islam. Saat itu hanya ada dua or-ang mahasiswa PA yaitu Yusnina Hanim dan Habibullah.3 Menu-rut Mukti Ali, pendirian jurusan PA pada masa itu berdasarkanbeberapa faktor penting. Pertama, merupakan regulasi pemerintahuntuk pengembangan keilmuan, khususnya ilmu agama. Kedua,ilmu PA dibutuhkan sebagai ikhtiar menjadi salah satu solusi pentingdalam mengelola kemajemukan agama dan budaya di Indonesia.

Page 130: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

187Dr. Media Zainul Bahri

Ketiga, secara umum ilmu PA dianggap dapat berkontribusi bagi“ketahanan nasional,” suatu terminologi yang “dikeramatkan” olehOrde Baru.4

Namun, menurut Mukti Ali, harus diakui keadaan studi agama,khususnya agama Islam, di Indonesia di tahun 1950 dan 1960-ansangat lemah. Sebab kelemahan dalam pengembangan ilmu agama,khususnya Islam, antara lain (1) kekurangan bacaan ilmiah, (2) ke-kurangan kegiatan penelitian secara ilmiah, (3) kekurangan diskusiakademis, dan (4), masih rendahnya penguasaan bahasa asing di an-tara sebagian besar mahasiswa dan dosen, sementara relatif sedikitbuku-buku ilmu agama yang ditulis dalam bahasa Indonesia yangpembahasannya sangat analitik. Ini merupakan sebab-sebab yangpraktis.5

Faktor-faktor fundamental lainnya masa itu menurut MuktiAli adalah: Pertama, kehidupan keagamaan di Indonesia yang lebihmenekankan aspek mistik, tepatnya lebih ke “amaliah” daripada“pemikiran.” Karena itu, kehidupan keagamaan model itu jauh daripendekatan agama secara ilmiah. Kedua, pemikiran ulama-ulamadi Indonesia dalam Islam masa itu lebih banyak ditekankan dalambidang fikih dengan pendekatan yang sangat normatif. Ketiga, de-ngan kondisi itu muncullah reaksi di kalangan pemikir-pemikirMuslim Indonesia, seperti Profesor Harun Nasution, Guru BesarFilsafat Islam IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ia menentang kehi-dupan agama yang serba mistis dan pendekatan agama secara nor-matif yang terpusat kepada fikih. Karenanya, ia menulis buku-bukuyang amat penting dan fundamental dalam bidang Ilmu Kalamdan Filsafat. Meski demikian, Ilmu PA, dalam menghadapi reaksiseperti itu, menurut Mukti Ali, tetap mesti berhati-hati supaya ilmuitu tidak terseret ke dalam Teologi maupun Filsafat Agama.

Keempat, timbulnya semangat dakwah yang begitu hebat di In-donesia, terutama setelah terjadi pemberontakan komunis pada1965. Dengan pemberontakan itu umat Islam menjadi sadar bahwadakwah di Indonesia harus lebih ditingkatkan. Semangat dakwahyang seperti ini menimbulkan satu cabang ilmu pengetahuan sen-

Page 131: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

188 Wajah Studi Agama-Agama

diri, yaitu “Ilmu Dakwah” atau “Misiologi.” Jika dalam Perban-dingan Agama, agama-agama diuraikan sebagaimana adanya de-ngan berusaha untuk mencari persamaan dan perbedaan antarasatu agama dengan agama lainnya, maka dalam Ilmu Dakwah, aga-ma-agama diuraikan dalam hubungannya dengan agama Islam un-tuk menunjukkan keunggulan Islam atas agama-agama lain. Tentusaja ilmu Perbandingan Agama berbeda dengan Ilmu Dakwah.

Kelima, yang menyebabkan ilmu PA kurang berkembang diIndonesia adalah dugaan bahwa ilmu ini datang dari Barat. Karenaitu, orang-orang Islam melihatnya dengan curiga.

Keenam, peserta-peserta kuliah PA kurang menguasai ilmu-ilmu bantu Perbandingan Agama, seperti sejarah, sosiologi, antro-pologi, arkeologi, yaitu ilmu-ilmu yang dapat membantu orang un-tuk memahami fenomena berbagai agama. Selain kekurangan itu,peserta Jurusan ilmu ini juga kurang memahami bahasa asing. Halyang ideal jika orang yang ingin mempelajari ilmu PA itu adalahmemahami bahasa asli dari kitab suci dan ajaran-ajaran dari agamayang akan dipelajarinya. Seorang peminat PA, menurut Mukti Ali,harus menguasai bahasa Arab, supaya dapat memahami Islam darisumber aslinya, dan menguasai bahasa-bahasa modern, khususnyaInggris, agar dapat memahami buku-buku yang ditulis dalam bahasaasing.6

B. Ilmu Perbandingan Agama: Pengertiandan Tujuan

1. Pengertian

Penting untuk mengetahui pengertian ilmu yang baru berdiriini dan tujuannya pada Mukti Ali dan sarjana-sarjana PA sesudah-nya yang menulis dan mengajarkan ilmu ini di perguruan tinggiIslam. Pengertian yang mereka pahami dengan segala misinya akanmemberi kita gambaran bagaimana posisi ilmu ini dalam kancahilmu-ilmu mapan lain yang berhubungan dengannya dan relasinyadengan Islam sebagai studi akademik dan praktik dakwah.

Page 132: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

204 Wajah Studi Agama-Agama

non-Islam, memiliki otak yang cerdas (berpengetahuan luas) namuntetap memiliki komitmen terhadap Islam dan terjaga kesalehan-nya.48 Menurut Singgih, rumusan Mukti Ali mengenai “ilmiah aga-mis” sesungguhnya sejalan dengan ide Dr. Satiman dan Dr. Mu-hammad Hatta (sang proklamator) ketika merumuskan PerguruanTinggi Agama Islam pada 1960-an, yaitu bahwa PTAI kelak akanmencetak sarjana (ahli) yang cerdas pikirannya, namun tetap terjagakesalehannya. Cerdas dan saleh—dengan segala kualitasnya, misal-nya rendah hati (tawadhu’)—menurut Singgih, inilah yang konsis-ten melekat pada pribadi Mukti Ali hingga akhir hayatnya.49

Melalui testimoni kedua figur studi PA UIN Yogyakarta terse-but, akan sulit bagi kita membuat—katakanlah— pembagian “pe-riodisasi” atau “dua dimensi” pandangan Mukti Ali ke dalam pe-riode teologis dan ilmiah. Pembagian itu, dalam perspektif murid-murid Mukti Ali, setidaknya akan terlihat absurd, kurang tepat dantidak relevan. Akan tetetapi, saya hanya ingin kembali kepada teksatau data-data yang diketengahkan Mukti Ali sendiri (dan murid-murid intelektualnya) dengan cara melihatnya dari perspektif StudiIlmiah Agama yang saat ini berkembang. Cara pandang itu mung-kin tidak adil karena melihat studi PA 30 atau 40 tahun lalu dengan“kacamata” sekarang, tetapi bagi saya hal itu masih “tepat” dan“relevan” dilakukan mengingat Studi Ilmiah Agama yang diletakkanoleh Max Müller lebih dari satu abad yang lalu adalah Studi Agamayang “deskriptif” dan “non-normatif,” yang bisa dipakai untuk me-lihat model-model studi PA yang dilakukan sesudahnya. Lagi pula,apa yang dimaksud sebagai studi PA bagi Mukti Ali adalah sepertiapa yang dirumuskan oleh Max Müller mengenai Studi Ilmiah Aga-ma, hanya saja Mukti Ali menambahkan rumusan “agamis” atau“doktriner.” Periodisasi itu juga penting untuk mengurai gagasan-gagasan Mukti Ali mengenai studi PA dalam periode yang panjangsecara lebih “mudah” dan dalam sebuah “bingkai” yang bisa dipi-lah-pilah.

Pertama, kita melihat periode awal Mukti Ali sebagai perintis.Dalam karya pertamanya tentang PA, ia menulis:

Page 133: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

205Dr. Media Zainul Bahri

Methodos dalam Ilmu Perbandingan Agama sebagian besar tergan-tung kepada pandangan orang terhadap agama-agama bukan aga-manja. Biasanya Perbandingan Agama itu dilakukan dari dalam Aga-ma jang dipeluk oleh seorang dalam usahanja untuk menilai isi dantjiri dari agama lain.50

Memang harus diakui bahwa ilmu Perbandingan Agama bisa men-djadi bahaja jang besar bagi agama Islam, apabila salah mempergu-nakannja, tetapi sebaliknja akan merupakan bantuan jang besar sekalibagi perkembangan agama Islam, apabila betul dalam memperguna-kannja...51

Dalam kutipan pertama kita memahami studi PA sebagai kajian“subjektif” karena isinya adalah menilai yang dalam terminologisekarang disebut juga “menghakimi” (judgment), yaitu menilai ataumenghakimi keyakinan/agama orang lain berdasarkan atau denganukuran agama pengkaji. Jika konsisten mengikuti rumus ini, makapendekatan (metode) apa pun dalam studi PA apakah fenomenolo-gis, historis, psikologis, apalagi teologis, akan muncul sebuah “pe-nilaian” atau “penghakiman” apakah di bagian akhir pembahasanatau bersama-sama dengan pembahasan yang dilakukan.52 MuktiAli sendiri ketika diundang berceramah di Perguruan Tinggi Theo-logia Duta Wacana Yogyakarta (20 September 1968) tentang konsepTuhan Yang Esa dalam al-Qur`an memakai metode ini. Ceramahitu kemudian menjadi buku berjudul Ke-Esaan Tuhan Dalam Al-Qur`an (1969). Di bagian akhir buku itu, Mukti Ali menegaskanbahwa dalam Islam tidak banyak muncul sekte-sekte yang berten-tangan satu sama lain karena sumber utama, yaitu al-Qur`an sudahterang, konsisten dan tidak membuat bingung tentang konsep me-ngenai keesaan Tuhan. Hal itu berbeda dengan Kristen. Mukti Ali“menilai” banyak pasal soal ketuhanan dalam Al-Kitab sulit diga-bungkan atau disintesiskan karena memang bertentangan satu samalain. Karena itu, sejak awal hingga kini selalu muncul sekte yangbanyak sekali dalam Kristen.53

Page 134: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

206 Wajah Studi Agama-Agama

Dilihat dari perspektif studi PA sekarang, pandangan MuktiAli ini adalah pandangan teologis, bukan penjelasan seorang sarjanaPA. Hal ini juga diperkuat oleh pandangan Djam’annuri bahwadalam ceramah itu, Mukti Ali sedang memosisikan dirinya sebagaisarjana Muslim yang sedang mengemukakan pandangan teologis-nya, bukan sebagai seorang ahli Perbandingan Agama.54

Nah, sarjana-sarjana Muslim yang menulis karya tentang PAdan telah disebut seperti Thalhas, Rifai, Mastur Halim, Agus Hakim,Abu Ahmadi, Zakiah Daradjat, Bahri Ghazali, Abdullah Ali danmasih banyak lagi adalah para “pengikut” atau “murid” Mukti Alidalam hal penggunaan pendekatan teologis. Figur-figur lain yangmenonjol yang memakai metode serupa, namun bukan murid Muk-ti Ali juga muncul seperti Ahmad Shalabi dalam hampir semuakaryanya tentang PA dan Abu Zahra, Profesor Tamu IAIN dari Mesir.Salah satu karyanya adalah Agama Kristen Menurut Pandangan Is-lam (1969).

Pendekatan komparatif dalam semangat teologis yang apologe-tik, dalam pengertian membandingkan keunggulan Islam dengankeyakinan dan agama lain juga mulai muncul di awal tahun 1960-an dan marak berkembang pada tahun-tahun sesudahnya. Has-bullah Bakry misalnya, menulis beberapa buku: Isa Dalam Al-Qur-‘an dan Muhammad Dalam Bible (1960), Yesus Kristus dalam Pan-dangan Islam dan Kristen (1965), dan Al-Qur‘an Sebagai Korektorterhadap Taurat dan Injil (1966). Tharick Chehab dalam karyanyaBible dan Al-Qur‘an: Sebuah Studi Perbandingan (1961) pada akhir-nya berkesimpulan bahwa Injil yang diturunkan Allah kepada nabiIsa sudah tidak ada lagi dan Injil-Injil yang ada di tangan orangKristen adalah palsu atau setidaknya banyak mengalami penyim-pangan. Meski demikian dalam Injil yang asli dan palsu sesungguh-nya terdapat keterangan yang jelas mengenai kabar akan datangnyaNabi Muhammad, namun penafsirannya kemudian diseleweng-kan.55 Dalam semangat yang sama dengan Hasbullah Bakry danChehab, karya Abuyamin Ruham, Agama Kristen dan Islam sertaPerbandingannya (1968),56 juga menunjukkan isi serupa.

Page 135: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

207Dr. Media Zainul Bahri

Karya lain yang patut disebut adalah Islam dan Kebatinan karyaH.M. Rasyidi (1967). Buku kecil setebal 134 halaman ini memban-dingkan ajaran kebatinan yang berasaskan Hindu-Buddha danTeosofi dengan Islam sebagai agama wahyu. Rasyidi mengkritikajaran-ajaran kebatinan yang absurd, tidak konsisten, tidak percayaakan alam akhirat dan menginginkan ekstase atau lepas dari pen-deritaan di dunia ini, lalu menunjukkan Islam sebagai agama yangsuci, konsisten, realistis dan humanis.57 Fatchuddin Abd. Ganie,seorang akademisi senior PA dari UIN Yogyakarta juga memu-blikasikan hasil penelitiannya yang bertitel Perbandingan Agama(Suatu Pembahasan Phenomenologis) (1970). Karya ini meskipun me-makai nama “Fenomenologis”, tetapi isinya juga studi perbanding-an tentang beberapa ajaran Kristen semisal doktrin tentang Tuhan,Dosa, Firman, Roh Kudus, Sembahyang dan Syahadat (Kredo). Ha-silnya, pada banyak ajaran itu Islam lebih jelas, konsisten dan ung-gul dibanding Kristen.58

Contoh lain yang dapat ditunjukkan adalah Toleransi dan Ke-merdekaan Beragama Dalam Islam Menuju Dialog dan KerukunanAntar Agama karya Umar Hasyim (1979). Buku setebal 459halaman ini membandingkan konsep dan praktik toleransi dankerukunan pada agama Kristen dan Islam. Hasyim menunjukkanbahwa ajaran Injil dan terutama sejarah perjalanan Kristen penuhdengan intoleransi, kekerasan dan perang terhadap agama lain.Salah satu ayat tentang Kristen sebagai agama pedang adalah:“Janganlah kamu sangkakan bahwa Aku (Isa) datang untukmembawa perdamaian di dunia ini. Aku datang bukan membawakeamanan, tetapi membawa pedang. Aku datang untukmemisahkan manusia dengan ayahnya, anak perempuan denganibunya, dan memisahkan menantu perempuan dari mertuanya;dan orang yang serumahnya masing-masing akan menjadiseterunya.”59 Puluhan halaman buku itu lalu menunjukkan sejarahKristen yang penuh intoleransi dan darah karena misionari dankonflik dengan para penganut agama lain, termasuk kaum Mus-lim. Dalam penjelasan yang luas, Hasyim lalu menunjukkan ajaran

Page 136: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

208 Wajah Studi Agama-Agama

Islam yang indah mengenai toleransi, kerukunan dan perdamaianserta praktiknya dalam sepanjang sejarah Islam. Sementara agamaKristen banyak dipotret dari aspek sejarah, sedangkan Islam lebihbanyak diulas dari ajaran-ajarannya yang ideal. Jadi, buku itu adalahperbandingan “tidak relevan” antara Kristen yang “historis” denganIslam yang “ideal.” Pendekatan teologis, fenomenologis, dan historisdengan semangat “dakwah” terus berkembang secara masif hinggaujung tahun 1980. Setelah berdiri tahun 1961 hingga awal 1990,kita juga bisa membayangkan berapa ratus skripsi, tesis dan hasilpenelitian dosen PA (yang tidak diterbitkan dan dibaca secara luas)muncul dalam semangat “dakwah” itu.

Karena itu menurut Burhanuddin Daya (murid generasi per-tama Mukti Ali), sampai awal 1990-an belum ada buku PA yangditulis di Indonesia yang memenuhi kriteria objektif murni, dalamarti diterima sepenuhnya oleh pemeluk agama yang menjadi obyekkajiannya. Bukankah tulisan mengenai suatu agama oleh seseorangbaru dapat dikatakan baik dan benar, jika penganut agama bersang-kutan mengakui kebenaran tulisan itu?60 Daya mengkritik bebe-rapa buku PA yang beredar di masyarakat. Ia menulis:

Karya Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama masih menulis “Guna PABagi Seorang Muslim,” Honig Jr. dalam Ilmu Agama selalu mengakhirisetiap bab dengan evaluasi kitab Bibel. Verkuyl dalam karyanya,Samakah Semua Agama? hanya menonjolkan keunggulan Injil dariagama-agama lain. HM Rasyidi melalui Empat Kuliah Agama Islam PadaPerguruan Tinggi menelaah agama-agama non Islam secara filosofishanya untuk menunjukkan kebenaran absolut Islam sebagai agamasamawi terakhir. Banyak buku-buku PA untuk pelajar Sekolah Mene-ngah Atas yang ditulis untuk kepentingan dakwah. Studi ini biasanyamelakukan perbandingan (ritual, kredo, nabi, kitab suci satu agamadibandingkan dengan agama lain). Metode perbandingan memangmudah, tapi tidak selalu membawa kepada pandangan yang obyektif.61

Page 137: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

209Dr. Media Zainul Bahri

Kutipan Mukti Ali soal “bahaya studi PA jika salah mengguna-kannya” juga dapat dipahami dalam perspektif studi PA bercorak“teologis” versus studi yang “benar-benar ilmiah.” Mukti Ali tidakingin seorang Muslim mesti melepaskan identitas keislamannyaketika mendalami PA. Bahkan, seharusnyalah, seorang Muslimmenggunakan ilmu ini untuk dakwah: mengajak orang lain yangbelum mendapat petunjuk tentang kebenaran (Islam) untuk meli-hat keunggulan agama Nabi Muhammad ini.62 Jadi, meskipun Be-gawan ini menulis tentang berbagai metode ilmiah untuk disiplinilmu ini—sebagaimana ia banyak merujuk kepada karya-karya Ba-rat—namun kelihatannya ia bersikap “hati-hati” dan “setengah ha-ti.” Di alam dunia Islam Indonesia pada era 1960-an dan 1970-anrasanya sulit—secara psikologis dan kultural—untuk seorang MuktiAli (meski ia mengagumi sosok dan pemikiran gurunya, Smith)menyuguhkan disiplin ilmu yang baru berdiri itu dengan seperang-kat “ilmiah murni” secara penuh seperti halnya terjadi di beberapaperguruan tinggi di Barat saat itu (meski tidak semuanya).

Sikap “ambigu” atau setidaknya “setengah hati” terlihat jelasjuga dalam karya Zakiah Daradjat. Buku itu sesungguhnya telah“berhasil” menyajikan pendekatan-pendekatan ilmiah dan prosedurilmiah yang seharusnya ditempuh dalam disiplin ilmu ini. Namun,Zakiah dalam subbab-subbab tertentu menunjukkan kekhawatir-annya atas akidah Islam jika seorang Muslim terjun sepenuhnyadalam penggunaan metode ilmiah yang ia paparkannya sendiri. Misal-nya, ia menyatakan bahwa menghargai agama orang lain tidak iden-tik dengan pengakuan akan kebaikan dan kebenaran agama terse-but. Dan bagi seorang Muslim, dalam tugasnya menyelidiki agama-agama lain, maka harus selalu berpedoman pokok kepada al-Qur-`an.63 Jika ini dilakukan, lagi-lagi pengkaji akan terjebak dalam pan-dangan dan sikap teologis.

Menurut Singgih, kalaupun kita harus mengatakan bahwaMukti Ali telah terjatuh ke dalam sikap “apologetik” karena pende-katan teologis yang dilakukannya, maka hal itu terjadi karena iasepenuhnya mengikuti model Joachim Wach, yaitu bahwa ilmu

Page 138: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

210 Wajah Studi Agama-Agama

harus bertujuan untuk ibadah.64 Dalam kaitan ini, Djam’annurimenambahkan bahwa setelah selesai menjabat Menteri Agama,Mukti Ali membuat dua program utama: (1) mengoordinir dosen-dosen menulis Agama-Agama Dunia, (2) menjadikan buku JoachimWach, The Comparative Study of Religions (1966), sebagai teks utamaprogram studi PA. Mengapa buku Wach? Karena bagi Mukti Alikarya itu mendiskusikan tiga hal fundamental, yaitu meaning,method dan objek kajian. Menurut Djam’annuri, metode Wach ada-lah metode sintesis, yakni perpaduan antara sui-generik (yang dok-triner) dengan saintifik. Dari model ini, Mukti Ali menyusun ga-gasannya mengenai “scientific-cum-doctrinair.” Wach adalah se-orang teolog, dan Mukti Ali merasa sangat cocok dengan Wachyang berpendirian bahwa ilmu tidak sekadar untuk ilmu, melainkanilmu untuk ibadah.65

Kita juga dapat memahami bahwa ilmu PA adalah sebuah studiyang “sensitif” dan “bahaya” tidak semata bagi kaum Muslim na-mun juga bagi semua pemeluk agama, sebab dalam satu perspektifyang “pesimis” jika mendalaminya secara serius, ilmu ini akanmengantarkan para pengkajinya kepada sebuah “keragu-raguanbaru” tentang keunikan dan kebenaran absolut agamanya ketikaberhadapan dengan agama-agama lain yang juga memiliki kebe-naran, keindahan, dan ajaran-ajaran yang rasional. Tentu saja, ke-adaan ini cukup membuat seseorang menjadi “bergetar,” “limbung”dan “goyah” keimanannya dan mulai merenungkan hal-hal yangpositif pada agama lain. Akan tetapi, dalam perspektif lain yang“optimis” ilmu ini justru membawa manfaat yang besar bagi kesa-daran kemanusiaan dan keagamaan. Mempelajari agama orang lainberarti membuka cakrawala tentang kebudayaan dan peradabanorang lain sebab sebagian besar peradaban agung umat manusiadibangun di atas kontribusi signifikan agama-agama manusia. Se-butkan saja monumen-monumen besar dunia atau rumusan-ru-musan etis dan filosofis yang membentuk karakter umat manusia.Sebagian besarnya ditancapkan oleh agama. Mempelajari agamaorang lain dengan sikap simpatik dan dalam semangat wawasan

Page 139: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

211Dr. Media Zainul Bahri

yang terbuka (open minded) sejatinya akan memperkaya tradisiagamanya sendiri dan membawa sensasi baru dalam menghayatipengalaman keagamaannya.

2. Mengapa Apologetik?

Mengapa Apologetik? mungkin pertanyaan banyak orang. Un-tuk menjawabnya secara luas kita perlu sekilas menengok ke bela-kang. Mircea Eliade menyebut bahwa Ilmu Agama (Religionwis-senschaft) mulai dirintis pada abad ke-19 dalam waktu yang hampirbersamaan dengan Ilmu Bahasa. Max Müller, sebagai sarjana yangdianggap “Bapak” Ilmu Agama atau Perbandingan Agama di dunia,dalam pengantarnya pada edisi Chips from a German Workshop (Lon-don, 1867) memberinya nama “Ilmu Agama-Agama” atau “IlmuPerbandingan Agama.” Menurut Wilfred C. Smith, disiplin IlmuAgama (Perbandingan Agama) dimulai menjadi kajian serius sejakZaman Penemuan (the Age of Discovery) ketika dunia Kristen Baratmenemukan bagian-bagian dunia lain; agama-agama lain, kemu-dian mulai menyelidiki, mengurasnya dan secara bertahap menjadisadar akan adanya masyarakat dan wilayah yang berada jauh daribumi mereka. Abad ke-19 adalah era bangkitnya sebuah usaha yangserius, berdisiplin untuk mengumpulkan dan menemukan bahan-bahan, merekamnya secara hati-hati, memahami dan mencerma-tinya secara lebih sistematis. Lalu, ketika banyak yang menggan-drungi kajian dunia Timur (oriental) dan antropologi, maka mulailahdi sana-sini dibuka jurusan Religionwissenschaft.66 Dengan kata lain,muncul kesan yang kuat bahwa ilmu PA adalah temuan KristenBarat, dan proyek awalnya menurut Ninian Smart, tak lepas darikesan “Western imperialism and Christian superiority.”67 Bahkandalam penjelasan khusus Smith, definisi dan kategori “agama” punadalah temuan Kristen Barat, yang kemudian banyak digunakanatau sangat berpengaruh di dunia Timur.68 John Hinnells menulissecara eksplisit bahwa,

Page 140: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

212 Wajah Studi Agama-Agama

The term ‘comparative study of religion’ is widely suspected, becauseit was used by particular Western academics, mainly in the nine-teenth century, who were trying to prove that Christianity was supe-rior to other religions.69

Karena itu, perbandingan dilakukan untuk menguasai ataumeletakkan “yang lain” (agama lain) dalam kerangka (ukuran)subjektif (agama) pembanding. Inilah yang terjadi pada suatu pe-riode panjang studi PA di Barat.

Rupanya itulah juga yang terjadi di Indonesia. Apakah hal itumerupakan gejala umum di banyak belahan dunia? Seperti dike-tahui, dalam waktu yang sangat lama, Teologi dianggap sebagaiQueen of the Sciences (Ratunya para ilmu); “Induk”nya ilmu-ilmuyang dikenal oleh manusia.70 Karena itu, wajar jika ia memiliki pe-ngaruh atau “cengkeraman” yang sangat kuat selama berabad-abaddalam memori kolektif umat beragama. Di Indonesia pun, polapikir dan sikap teologis memiliki sejarah yang panjang mulai abadpertengahan; abad Majapahit; abad para Wali Songo, bahkan bisalebih jauh lagi ke belakang. Karena itu tidak mengherankan kuatnyacara pandang dan sikap teologis yang selalu hadir, baik pada masasebelum kemerdekaan, maupun di masa-masa sesudah kemerde-kaan hingga runtuhnya Orde Lama dan Orde Baru. Kita bisa mema-hami “pandangan dunia” kaum Muslim Indonesia pada masa 1950-an hingga akhir 1980-an yang berkutat kuat pada Teologi dan Fikih,karena atmosfer studi agama (Islam) yang mereka hirup dan temu-kan adalah pada dua dimensi itu. Teologi dan Fikih memiliki penga-ruh yang sangat kuat dalam denyut nadi kaum Muslim Indonesiakarena memiliki riwayat, silsilah, dan hubungan yang panjang, ter-utama hubungan intelektual dan emosional dengan ulama-ulamabesar di Timur Tengah yang menjadi Guru-Guru bagi ulama-ulamabesar Nusantara. Teologi dan Fikih berhubungan langsung denganproses terus-menerus mereka “menjadi Muslim,” dan bersentuhanlangsung dengan soal-soal praktis kehidupan mereka. Mungkin,Tasawuf dan Filsafat Islam dikenal, tetapi tidak diakrabi; tidak

Page 141: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

213Dr. Media Zainul Bahri

familier, tidak bersentuhan langsung dengan persoalan praktis,karena itu “level”nya dianggap terlalu tinggi bagi mayoritas kaumMuslim Indonesia.

Secara politis, seperti telah disebut Mukti Ali di muka, semangatdakwah meningkat di Indonesia akibat pemberontakan komunispada 1948 dan 1965. Dua peristiwa itu menyadarkan kaum Mus-lim bahwa semangat dakwah harus terus digalakkan mengingatIndonesia dihuni oleh mayoritas Muslim yang secara teologis sangatbertentangan dengan paham komunisme, yang dalam pandangankaum Muslim saat itu adalah paham pengusung utama ateisme.Dalam tensi sosial-politik yang meninggi antara komunisme dankaum beragama saat itu, maka kegiatan sosial-keagamaan apa pun,termasuk pendidikan, harus bermuatan dakwah.

Hal lain dari munculnya sikap dan kajian teologis yang apolo-getik adalah polemik teologis terutama yang terjadi antara Islamdan Kristen Indonesia, yang pada perkembangsnnya melibatkanbanyak pihak dan munculnya banyak publikasi karya-karya teo-logis. Dari pihak Islam misalnya, polemik merupakan respons atau“serangan balik” kepada karya-karya non-Islam, terutama Kristenyang melakukan serangan terhadap aspek-aspek Islam yang di-anggap sakral seperti soal akidah, al-Qur`an dan pribadi Nabi Mu-hammad yang sering kali “diserang” atau dikritik secara tajam olehpara sarjana (penulis) non-Muslim. Dari sini muncullah buku-bukupara sarjana Muslim sebagai bentuk “pertahanan” atau “seranganbalik.” Kisah saling serang Islam-Kristen di Indonesia adalah kisahpermusuhan yang cukup lama dalam sejarah perjumpaan keduakomunitas itu. Ismatu Ropi, dalam karyanya yang sangat baik ten-tang “hubungan rapuh” Islam-Kristen memuat penjelasan karya-karya polemis di antara keduanya, sejak abad ke-19 hingga masaOrde Baru. Misalnya, Hendrik Kraemer menulis sebuah buku ajarberjudul Agama Islam (1928) untuk guru-guru Kristen. Namun,isinya terdapat hal-hal yang dianggap “menyinggung” atau “meng-hina” keyakinan kaum Muslim. Maka muncullah respons atas karyaKraemer itu. Seorang tokoh Muhammadiyah, A.D. Haanie menulis

Page 142: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

214 Wajah Studi Agama-Agama

Islam Menentang Kraemer (1929) sebagai bentuk perlawanan atasbuku Agama Islam.71

Kasus lain adalah Ten Berge, seorang Pendeta Jesuit menulisdua artikel pada 1931 yang salah satu isinya menghina Nabi Mu-hammad sebagai orang Arab yang “bodoh” dan suka tidur denganperempuan. Kontan saja, tulisan itu mengundang amarah dan reak-si. Salah satunya adalah Muhammad Natsir, mantan Perdana Men-teri dan tokoh Masyumi, yang kemudian menulis “Islam, Katolikdan Pemerintah Kolonial” sebagai bentuk bantahan yang keras.Antara tahun 1930 dan 1940, Natsir juga menulis beberapa artikelsebagai reaksi atas aktivitas Kristenisasi dan serangan kaum nasio-nalis sekuler serta kaum abangan. Dua artikelnya yang berjudulQur`an en Evangelie dan Moehammad als Profeet adalah reaksi atastulisan-tulisan Domingus Christoffel yang sering menyerang Islamdan menghina Nabi Muhammad.72

Pada masa Orde Lama dan Orde Baru muncul tokoh-tokohIslam atau sarjana Muslim yang membuat tulisan polemis atau tu-lisan yang bersifat reaktif. Di antaranya adalah A. Hassan, tokohutama Persatuan Islam dan Hasbullah Bakry. Hassan menulis bukuberjudul Iesa dan Agamanja: Djawaban Terhadap Buku ‘Isa didalamAlquran (1958). Dari judulnya saja terlihat bahwa buku itu meru-pakan reaksi (balasan atau pertahanan) atas buku berjudul Isadidalam Alquran (1956) tulisan seorang Kristen Advent bernamaRifai Boerhanoe’ddin.73 Buku Hassan itu kemudian dielaborasi lebihluas oleh O. Hashem dengan judul Keesaan Tuhan: Sebuah Pemba-hasan Ilmiah (1962). Karya Hasbullah Bakry yang berjudul Isa dalamQur`an, Muhammad dalam Bible (1959) adalah buku yang me-nyanggah karya F.L.Bakker berjudul Tuhan Yesus dalam Agama Is-lam (1957).74

Sebagai respons atas maraknya isu Kristenisasi di Jawa munculkarya Umar Hasyim yang berjudul Toleransi dan Kemerdekaan Da-lam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama(1979). Dalam satu bab berjudul “Cita-Cita, Program Kerja, DanMetode Kerja Mereka” Hasyim menyebutkan bahwa ia menerima

Page 143: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

215Dr. Media Zainul Bahri

selebaran (pamflet) yang isinya menerangkan bahwa umat KristenKatolik akan mengkristenkan pulau Jawa dalam waktu 20 tahun,dan seluruh Indonesia dalam 50 tahun dengan berbagai cara danprogram kerja mereka.75 Karya-karya lain yang menunjukkan “per-musuhan” Islam-Kristen itu misalnya Kedudukan Indjil BarnabasMenurut Islam (1970) karya Anwar Musaddad, Di Sekitar Perdjan-djian Lama dan Perdjandjian Baru (tanpa tahun) karya DjarnawiHadikusuma, dan tulisan-tulisan Sidi Gazalba seperti Dialog AntaraPropagandis Kristen dan Logika (1971), Dialog Antara Kristen Ad-vent dan Islam (1972), dan Djawaban Atas Kritik Kristen TerhadapIslam (1971).76

Dengan beberapa contoh karya di atas, saya tidak berniat untukmenganalisis lebih jauh isi, materi dan konteks lahirnya karya-karyaitu, namun saya hanya ingin menunjukkan bahwa tulisan-tulisanyang bercorak teologis-apologetik juga lahir disebabkan adanya“serangan” yang agresif karena kebencian dan permusuhan yangcukup lama yang menempel dalam memori kolektif dua agamaturunan Nabi Ibrahim tersebut, sehingga memunculkan “seranganbalik” atau semata bentuk “pertahanan.” Namun, tentu tidak sedi-kit karya-karya apologis yang lahir karena panggilan keyakinankeagamaannya untuk menunjukkan mana keyakinan yang “benar,”“suci,” dan mana keyakinan yang telah “menyimpang” atau “pal-su.”

Selain faktor-faktor seperti semangat dakwah atau misionaris-me, pemahaman keagamaan yang formal-normatif, dan polemikteologis antara Islam dengan Kristen, Burhanuddin Daya juga me-nyebut bahwa pada masa-masa itu ilmu PA tidak dikenal denganbaik, apa lagi metodenya. Saya ingin kembali mengutip ungkapanBurhanuddin Daya mengenai sifat apologi ilmu PA pada awal ke-munculannya. Ia menulis:

Sebelum Institut Agama Islam Negeri (IAIN) ada, pemerintah Indone-sia sudah mempunyai dua lembaga pendidikan tinggi Islam, yaituPerguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan

Page 144: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

216 Wajah Studi Agama-Agama

Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta. Masing-masing di-dirikan tahun 1951 dan 1957... Sampai saat itu, pemahaman terhadapPerbandingan Agama masih sangat terbatas. Perbandingan Agamadipahami sebagai alat dakwah. Agama-agama lain diajarkan untukkepentingan pembuktian keunggulan Islam. Begitu juga buku-bukuyang ditulis. Perbandingan Agama sebagai ilmu yang memiliki meto-de, sistem, sejarah dan objek pembahasan tidak dikenal. Tokoh-tokohyang mengajarkannya bukan ahli Perbandingan Agama. AhmadShalabi, ahli kebudayaan Islam; Mahmud Yunus, ahli pendidikan Is-lam; Muchtar Luthfi dan Iljas Ja’qub; dua-duanya mubaligh politik;begitu pula H. Zainal Arifin Abbas, adalah seorang ulama.77

Meski demikian, pada sosok Mukti Ali kita tidak benar-benarmenemukan ia sebagai seorang apologis seperti dalam gambaranpara sarjana Muslim semasanya. Saya sudah menyinggung bahwaselain mengagumi Wilfred Smith, Mukti Ali sesungguhnya jugatelah mewarisi “jalan pikiran” gurunya itu, namun ia harus bersikap“hati-hati” dalam menghadapi euforia kaum Muslim atas semangatdakwah yang baru dan sedang berlangsung di masa itu. Pada Januari1962 Mukti Ali memberi ceramah tentang Isra dan Mikraj, antaraIman dan Ilmu Pengetahuan. Ceramah ini menurut saya memberipetunjuk yang jelas bahwa Mukti Ali adalah sarjana Muslim yangistimewa. Dalam ceramah itu, ia memberi ulasan khusus mengenaimunculnya para apologis Muslim modern yang memandang bah-wa Islam sedang terancam karena adanya serangan dari agama Kris-ten, rasionalisme, liberalisme dan Westernisasi. Menurut Mukti Ali,para apologis Muslim secara “membabi-buta” mempertahakan Is-lam dari berbagai serangan itu dengan cara menunjukkan bahwakesempurnaan dan keunggulan Islam terdapat dalam seluruh cita,ide, nilai dan implementasinya secara sempurna.78

Para apologis itu selalu berbangga dengan zaman keemasansejarah Islam pada masa Khulafa Rasyidin, Umawi dan Abbasiah.Menurut Mukti Ali, tak ada yang bisa dilakukan oleh kaum apologisselain emosi dan semangat belaka. Padahal—Mukti Ali membuat

Page 145: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

217Dr. Media Zainul Bahri

catatan penting—bahwa agama dan dunia hanya bisa dibangundengan iman, otak (ilmu) dan tjutjuran peluh (kerja keras),79 bukandengan emosi dan mimpi romantisme masa lalu. Dalam konteksinilah, Mukti Ali kemudian menunjukkan bahwa ia bukan seorangapologis; ia malah mengkritik pandangan dan sikap apologi, lalumenekankan kepada kaum Muslim akan pentingnya ilmu penge-tahuan dan sikap rasional dalam membangun agama dan negara.Ia menulis:

Memang betul disana-sini apologi menimbulkan faedah yang positif,tetapi dalam keseluruhannja ia adalah negatif. Ia menimbulkankepuasan, tidak lebih daripada itu, dan djarang sekali apologi itu bisamenimbulkan semangat untuk bekerdja lebih keras. Dalam masjarakatjang dinamis, jang segala pikiran harus dipergunakan untuk mentjarisoal-soal baru jang creatif untuk disadjikan kepada masjarakat,sematjam di Indonesia sekarang ini, maka usaha-usaha apologisebenarnja lebih banjak merugikan daripada menguntungkan.80

3. Periode Kedua: Merintis Metodologi Ilmiah

Dalam semangat rasionalisasi dan pengembangan ilmu penge-tahuan inilah, maka pada periode kedua—lagi-lagi hanya istilah teknisbelaka—kita tidak mungkin bisa mengabaikan keinginan MuktiAli untuk membuat kajian PA menjadi ilmu yang otonom denganseperangkat metodologi tertentu. Ia menegaskan:

Perbandingan Agama itu bukan apology. Perbandingan Agamabukanlah suatu alat untuk mempertahankan kepertjajaan dan agamaseseorang, tetapi sebaliknja, Perbandingan Agama merupakan alatuntuk memahami fungsi dan tjiri agama, sebagai suatu tjiri jang naluribagi manusia...81

Sekarang timbul pertanjaan, apakah mungkin bagi seorang jang telahmempertjajai sesuatu agama bisa menaruh simpati terhadap agamadan kepertjajaan lain dalam penjelidikannja itu? Kami kira bisa, sebab

Page 146: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

218 Wajah Studi Agama-Agama

sekalipun orang telah mempunjai kejakinan jang kokoh tentangbenarnja sesuatu kepertjajaan jang ia peluk, ia toh bisa menghargaipengalaman-pengalaman rohani lain orang, karena keharusan bagiseseorang untuk menghargai dan menghormati sesama manusia,termasuk djuga agama dan kepertjajaannja...82

Dua pernyataan penting bahwa studi PA bukan “sikap teologisyang apologetik” dan kemampuan atau keharusan seorang pengkajiPA untuk bersikap “simpatik” terhadap keyakinan orang lain me-nunjukkan bahwa Mukti Ali sejak awal telah menyadari akan keha-rusan kemandirian ilmu ini dan perbedaannya yang tegas denganTeologi, Sejarah Agama, dan Filsafat Agama misalnya, meskipundalam beberapa kasus ia sendiri dan murid-muridnya “terjebak”mempraktikkan kajian PA dengan pendekatan teologis. Mukti Alimenyebut tiga bagian pokok Ilmu Agama (Science of Religion) yaituSejarah Agama (History of Religion), Perbandingan Agama (Com-parison of Religion), dan Filsafat Agama (Philosophy of Religion).Pembagian ini dalam perspektif Mukti Ali menunjukkan bahwaPA adalah disiplin otonom yang berusaha memahami aspek-aspekyang diperoleh dari Sejarah Agama misalnya, kemudian menghu-bungkan atau membandingkan satu agama dengan lainnya untukmenemukan struktur yang fundamental dari berbagai pengalamandan konsepsi keagamaan dengan cara menganalisis persamaan danperbedaan di antara agama-agama.83 Bagi Mukti Ali dalam periodeitu, “Perbandingan” adalah sebuah disiplin ilmu sekaligus juga pen-dekatan yang berbeda (baik definisi, tujuan dan metodenya) dengancabang ilmu-ilmu agama lain.

Studi ilmiah agama dalam kerangka sikap simpatik dalammempelajari agama orang lain seperti disebut Mukti Ali sesungguh-nya merupakan arus utama (mainstream) di Barat, dan Mukti Alisendiri mengambilnya dari tradisi Barat. Sejak akhir abad ke-19,lalu awal abad ke-20 hingga tahun 1980-an, figur-figur penting studiPA di Barat seperti Rafael Pettazoni, Fridrich Heiler, Joachim Wach,Mircea Eliade, Willfred Cantwell Smith, Ninian Smart, Joseph Ki-

Page 147: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

219Dr. Media Zainul Bahri

tagawa, Raimundo Pannikar hingga Ursula King, Jacques Waar-denburgh dan Frank Whalink telah menancapkan “fondasi” me-ngenai studi ilmiah agama kritis dari sisi metodologi, dan keharusanmemiliki sikap yang simpatik dan empati terhadap keyakinan danritus agama-agama yang dikaji, dari sisi materi agama-agama. Jikaseseorang menggunakan cara ini dan kaidah lain yang melengkapi-nya tentu ia akan berhasil mendeskripsikan sebuah pandangan du-nia tentang agama yang dikajinya atau pengalaman spiritual parapemeluknya yang relatif lebih objektif. Dan yang terpenting ia akanmenghindari sikap “menilai” atau “menghakimi” seperti yang biasadilakukan oleh Teologi Agama.

Dalam karyanya pada periode kedua ini, Ilmu Perbandingan Aga-ma Di Indonesia (1988), sebuah karya yang ditulis Mukti Ali sebagaiprasaran dalam seminar Peringatan Seperempat Abad Ilmu Perban-dingan Agama di IAIN sekaligus karya yang mengantarkannya kegerbang pensiun pada Agustus 1988, aspek metode ilmiah dalamstudi PA terlihat lebih menonjol. Mukti Ali termasuk sarjana yangpercaya bahwa untuk memahami agama secara luas dibutuhkanberagam pendekatan. Ia setuju dengan pendekatan konvensionalyang biasa dilakukan seperti pendekatan historis yang dibantu ataudidasarkan pada hasil penelitian arkeologis dan filologis, pendekatanantropologis, sosiologis, psikologis, fenomenologis; pada model ini iamenunjukkan perhatian yang cukup luas, dan pendekatan tipologis.Namun berbagai pendekatan itu dalam pengertiannya sebagai me-tode ilmiah dengan prosedur dan disiplin yang empiris, logis danutuh dari premis-premis yang jelas, dianggap Mukti Ali masih me-miliki kekurangan karena persoalan agama adalah soal realitas danpengalaman spiritual. Karena itu, ia menambahkan satu pendekatanyang khas agama, yaitu “dogmatis.” Dengan model ini, Mukti Alimenganggap telah membuat “sintesis” baru yaitu apa yang disebutsebagai pendekatan “religion-scientifik” atau “scientifik-cum-doc-trinair” atau “ilmiah agamais.”84

Apa yang dimaksud dengan “ilmiah-agamais”? Kiranya MuktiAli menunjuk kepada “makna agamis” (religious meaning) yang di-

Page 148: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

220 Wajah Studi Agama-Agama

kandung dalam keyakinan, pemahaman, ritus, simbol dan hal-halyang serupa. Ia merujuk kepada pandangan Mircea Eliade bahwaarti suatu fenomena agama dapat dipahami hanya jika ia dipelajarisebagai sesuatu yang agamais. Menurut Eliade, untuk dapat mema-hami esensi fenomena keagamaan, alat-alat seperti fisiologi, psiko-logi, ekonomi, bahasa, seni, atau studi-studi lainnya, adalah palsu(dalam pengertian yang moderat: tidak cukup!). Harus ada sebuahcara untuk bisa menangkap sebuah fenomena yang lahir dari ele-men kesucian, dari Yang Kudus.85 Jika ilmiah-agamais yang dimak-sud Mukti Ali untuk menemukan religious meaning dari pengalamankeagamaan, maka pendekatan Fenomenologis-lah yang sedang dibi-diknya.

Bagaimana pengalaman keagamaan yang subjektif itu bisaditeliti? Bagi Mukti Ali yang subjektif itu bisa diobjektifkan karenaia memiliki beragam ekspresi, dan ekspresi-ekspresi itu memilikistruktur positif yang bisa dipelajari. Pengalaman keagamaan itudiekspresikan dalam tiga bentuk: pertama, teoretis atau intelektualis,termasuk di dalamnya teologi, kosmologi, dan antropologi; kedua,praktis atau amalan, yaitu ibadah; dan ketiga adalah sosiologis, yaituekspresi dalam bentuk pergaulan sosialnya. Ekspresi teoritis daripengalaman keagamaan yang utama adalah mitos, doktrin, dogmadan soal-soal teologis lainnya. Adapun tema fundamental dalampemikiran agama (intelektualis) adalah Tuhan dan kosmos, yang didalamnya dunia dan manusia. Setelah masalah ketuhanan, makamasalah dunia adalah topik besar kedua yang dikandung dalamekspresi intelektual dari pengalaman keagamaan. Termasuk dalamkosmologi ini adalah masalah hakikat dunia, asal-usulnya, susunan-nya dan kehancurannya. Hakikat manusia adalah topik terakhirdari tiga topik besar: teologi, kosmologi, dan antropologi. Namun,yang dimaksud manusia (dalam pengertian antropologis) di sini bagiMukti Ali adalah soal ontologis-filosofis: apa dan siapa manusia da-lam pandangan agama-agama, ruhnya, tujuan hidupnya dan tujuanakhirnya.86 Ini semacam pembahasan manusia dari perspektif teo-logi dan filsafat agama-agama. Jadi, bukan antropologi dalam pe-

Page 149: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

221Dr. Media Zainul Bahri

ngertian budaya-budaya dan struktur kebudayaan manusia denganberbagai kompleksitasnya seperti yang lazim dipelajari dalam IlmuAntropologi.

Soal cara atau metode untuk memahami agama orang lain me-mang cukup populer dalam studi PA. Mukti Ali sendiri membuatsatu ulasan khusus mengenai hal ini dengan mengutip seluruhnyadari Joachim Wach. Menurut Mukti Ali, setidaknya ada empat halyang harus diperhatikan seorang pengkaji untuk memahamikeyakinan orang lain, (1) syarat intelektual; berarti adanya data daninformasi yang menyeluruh mengenai agama yang hendak dipa-hami. Hal itu hanya dapat dipahami dengan cara menguasai bahasaasli kitab sucinya. Sulit rasanya untuk memahami agama oranglain tanpa kemampuan membaca kitab sucinya dan ajaran-ajaran-nya dalam bahasa ibunya (asli). (2) Kondisi emosional yang cukup;berarti harus ada “feeling,” perhatian, partisipasi aktif, kepedulian,keinginan untuk bergaul dan tidak bersikap masa bodoh. (3) Ke-mauan yang kuat dan harus berorientasi konstruktif, dan (4) memi-liki pengalaman dalam pengertiannya yang luas, yakni mampumenyelami pikiran, watak, perasaan, dan segala perilaku pemelukagama yang ditelitinya.87 Catatan Mukti Ali ini kemudian dikutipoleh hampir semua buku ajar PA di Indonesia.

Sampai di sini Mukti Ali telah membuat semacam peta yangcukup sistematis, simpel, bisa diaplikasikan (applicable) dan kom-prehensif, dalam pengertian bahwa ilmu-ilmu sosial sebagai perang-kat metodologis telah disinggungnya. Meskipun secara garis besar,corak yang terlihat dominan masih pada aspek (pendekatan) teolo-gis. Aspek yang dominan memang masih pada Teologi, yaitu Teologitentang manusia dan alam. Bagaimanapun, pada masa itu MuktiAli sudah mulai memperkenalkan ilmu-ilmu sosial dalam penelitiantentang agama.88

Dalam periode ini, dapat dikatakan Mukti Ali telah mengu-kuhkan aspek metodologis bagi studi PA. Bahkan dalam dua perio-disasi yang saya buat atau dalam rentang hampir tiga dekade (1961-1988) karier dan pengabdiannya dalam studi PA, ilmu Perbandingan

Page 150: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

222 Wajah Studi Agama-Agama

Agama ini sebagai disiplin dan metode (perbandingan) telah men-jelma menjadi sosok yang jelas (bukan “banci”) dengan sebuah keje-lasan pula—untuk masa itu—dalam aspek ontologis, epistemologisdan aksiologisnya sebagaimana lazimnya sebuah ilmu yang otonom.Inilah jasa terbesar Mukti Ali dalam mendirikan dan membangunilmu PA di Indonesia sebagai ilmu yang benar-benar baru dalamkonstelasi studi agama atau studi Islam Indonesia. Karena jasanyaini, ia disebut sebagai Bapak Ilmu Perbandingan Agama Indonesiayang dapat disejajarkan—dalam beberapa hal—dengan Muham-mad ‘Abd al-Karim al-Syahrastani di dunia Islam.89 Meskipun harusdiingat, bagi Djam’annuri, bahwa segala usaha Mukti Ali dalammengukuhkan ilmu PA, pada aspek terminologi, metodologi danaksiologinya—adalah dalam konteks Perguruan Tinggi Islam ataubagian dari studi Islam.

Di saat yang sama ketika merumuskan scientific cum-doctri-naire, Mukti Ali sendiri secara jujur menyatakan bahwa “sebenarnyaIlmu Perbandingan Agama sebagai ilmu belum pernah dibicarakansecara mendalam di Indonesia,”90 namun melalui rumusannyamengenai “ilmiah agamais” itu ia telah membuka jalan yang lebarbagi ‘pengembangan’ dan ‘pendalaman’ studi PA selanjutnya.Karena itulah, beberapa “murid” senior Mukti Ali pada masa awal1990-an kemudian mempertegas aspek metodologis dan cara kerjadisiplin ilmu ini. Sekadar contoh beberapa nama seperti Burhanud-din Daya, Alef Theria Wasim, Amin Abdullah, Romdhon, Djam’an-nuri, dan Singgih Basuki dari UIN Yogyakarta, Farihin Chumaididari UIN Bandung, Kautsar Azhari Noer dari UIN Jakarta adalahpara sarjana ahli PA yang berkontribusi dalam memperjelas objek,cakupan, dan cara kerja PA. Bahkan, pada gilirannya, mereka terusmendorong ilmu PA ke arah transformasi baru, baik dari aspekmetodologis maupun isu-isunya yang terus berkembang.

Dalam hal pengertian dan manfaat studi PA, Singgih mene-kankan kembali pandangan Mukti Ali bahwa dengan mempelajariagama-agama dan pendekatan-pendekatan yang melingkupinya,maka seseorang akan memahami bahwa agama itu multi dimensi,

Page 151: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

223Dr. Media Zainul Bahri

bukan hanya terdiri atas aspek yang normatif atau doktriner saja,melainkan ada aspek-aspek sosial atau agama sebagai fenomenasosial. Bagi Mukti Ali, seperti dikemukakan Singgih, poin pentingstudi PA adalah bahwa seorang pengkaji akan memahami: (1) struk-tur asasi pengalaman keagamaan, dan (2) makna (meaning), nilaidan pentingnya agama bagi kehidupan manusia. Jadi, studi PAbukan semata mencari persamaan dan perbedaan di antara agama-agama. Jika hanya melakukan itu, maka orang awam juga bisamelakukannya.91

Menurut Djam’annuri, dengan scientifik-cum-doctrinair, MuktiAli mengarahkan studi PA dalam dua proses: pertama, prosesobyektif-saintifik, yakni menjadikan agama-agama atau fenomenakeagamaan sebagai konsumsi keilmuan yang “objektif.” Kedua,proses studi dalam cahaya “dialog imani” atau dengan muatan yang“doktriner.” Dalam arti, bagaimana melihat studi PA dari perspektifstudi keislaman. Menurut Djam’annuri, tahap kedua ini tidak bolehdibaca sebagai bagian dari studi PA, melainkan harus dilihat bahwastudi PA berada di “lingkungan” IAIN/UIN yang memiliki misikeislaman.92

Dalam hal metode konvensional PA, Burhanuddin Daya mene-gaskan bahwa tidak benar adanya anggapan jika ilmu ini tidak me-miliki metode tersendiri. Metode yang berlaku dalam PA, di sam-ping metode ilmu-ilmu sosial, juga metode filsafat dan metodeteologis, atau metode teks suci, tergantung pada aspek apa yangditeliti, siapa yang meneliti dan untuk kepentingan apa penelitiandilakukan.93 Menurut Daya, studi agama berkembang menjadi disi-plin yang berdiri sendiri dirintis oleh Max Müller dengan teori eti-mologi dan perbandingan bahasa (etymological theories dan com-parative linguistics), juga menggunakan metode sejarah. Orang yangfanatik dengan metode sejarah adalah C.P. Tiele (1830-1902). Iaorang pertama yang menawarkan survey sejarah terhadap sejumlahagama berdasarkan studi atas sumber material dalam bahasa-bahasaasli Iran, Mesir, Mesopotamia, Israel dan Yunani. Tiele kemudianmelengkapinya dengan metode filsafat.94

Page 152: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

224 Wajah Studi Agama-Agama

Muncul pula metode kritik dalam memahami Bibel, kehidupanYesus dan sejarah gereja. Tokohnya adalah Joseph-Ernest Renan(1823-1892). Lalu muncul metode psikologi dengan tokoh-tokohseperti William James, Hendry Leuba dan lain-lain. Lalu, metodeantropologi tentang asal-usul agama pada masyarakat primitif danteori evolusi agama. Lalu, metode sosiologi. Lalu, metode tipologiNathan Soderblom (1866-1931).95 Jadi, dalam pandangan Bur-hanuddin, ilmu PA tidak hanya fokus pada perbandingan ajaranteologis pada agama-agama semata, namun dapat meminjam ma-cam-macam disiplin/pendekatan ilmu lain, tergantung pada aspekyang ditelitinya. Pandangan ini sesungguhnya juga masih dalamkerangka yang telah dirumuskan Mukti Ali.

Alef Theria Wasim mencoba mendiskusikan lebih lanjut pan-dangan Mukti Ali di atas. Menurutnya, secara terminologis, ilmuPA adalah sebutan lain dari Ilmu Agama (science of religion atauReligionwissenschaft). Disebut ilmu PA karena lebih menekankanaspek “perbandingan,” dalam pengertian mementingkan perbe-daan dan persamaan objek yang dikaji. Akan tetapi, Alef mengi-ngatkan bahwa studi perbandingan bukan perkara mudah. Ia me-merlukan keahlian dan keterampilan tersendiri. Ketika Alef menulisartikel ini (pada 1989), ilmu PA tidak bisa menghindari pengaruhkuat ilmu-ilmu sosial.96 Dalam konteks inilah, orang bisa mengertigagasan Mukti Ali mengenai gabungan pendekatan-pendekatanilmu sosial dengan pendekatan “dogmatis” atau “doktriner” (feno-menologis).

Meski demikian bagi Alef, pertanyaan yang cukup menantangadalah apakah ilmu PA akan menjadi ilmu “murni,” “netral” atau“berdiri sendiri” yang lepas dari studi Islam di IAIN? Atau tetapmenjadi bagian dari wilayah studi Islam IAIN? Menurut Alef, jikalepas dari IAIN, maka studi PA akan menghasilkan sarjana yangahli Hinduisme, Buddhisme, Yudaisme, Kristen, dan lain-lain yangtanpa keterkaitan dengan perbandingan atau analisis dari Islam.97

Apakah hal ini yang diinginkan? Kelihatannya Alef tidak menyetujuimodel itu. Seperti Mukti Ali, ia mengusulkan para pengkaji studi

Page 153: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

225Dr. Media Zainul Bahri

PA dalam melakukan studi untuk tidak mengambil secara mentahapa yang datang dari “Barat,” namun juga tidak melulu menjadi“orang dalam” yang sempit. Tidak semata mengikuti model paraOrientalis Barat dalam mengkaji agama sebagai yang netral danilmiah murni, juga tidak menjadi apologis terhadap agama sendiri.Bagi Alef, yang terbaik adalah meneruskan ide Mukti Ali tentangScientific-cum-Doctrinair (ScD), tetapi harus jelas apa yang mau di-kembangkan dalam rumusan ScD itu? Cara kerjanya seperti apa(secara konkret)? Jika telah ditemukan model yang konkret, makakerja selanjutnya adalah menemukan sintesis baru dari rumusanScD itu.98

Secara umum, artikel Alef di atas berisi banyak pertanyaan kritisdan “kegelisahan” mengenai bentuk konkret dari rumusan ScDMukti Ali. Namun, Alef sendiri tidak memiliki jawaban yang me-muaskan, kecuali hanya meneruskan rumusan metodologis MuktiAli tersebut. Hal itu dikuatkan dengan komentar Alef di akhir artikeltersebut bahwa ketidakjelasan sosok ilmu PA, termasuk fungsi danprospek pengembangannya di IAIN, akan semakin berkurang jikakita bisa menegaskan kembali tujuan umum dan tujuan khususdari studi PA. Tujuan yang bersifat umum adalah tujuan ilmu pe-ngetahuan secara umum, yakni untuk “mengetahui” dan “mema-hami” (dalam hal ini agama), sedangkan tujuan khusus adalahtujuan yang lebih ditekankan pada kepentingan pemeluknya (yakniMuslim karena di IAIN), misalnya untuk memperdalam keyakinanIslam, untuk dakwah, untuk membina keislaman di kalangan kaumMuslim sendiri, dan akhirnya tujuan khusus ilmu ini adalah untuk“ibadah.”99 Lagi-lagi, pandangan Alef ini tak lain adalah gagasanpokok yang telah ditancapkan oleh Mukti Ali.

Tiga sarjana PA lain, yaitu Romdhon, Farichin, dan Kautsar ber-sepakat (atau setidaknya membuat catatan) dalam hal-hal pentingberikut: (1) studi PA adalah studi deskriptif bukan normatif sepertidalam teologi. Studi deskriptif adalah usaha untuk memahami danmenggambarkan objek tanpa melibatkan unsur-unsur subjektif danberubah-ubah dari pihak pengkaji. Semboyannya adalah “Ob-

Page 154: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

226 Wajah Studi Agama-Agama

jektivitas.” Inilah ciri dan karakter sikap ilmiah. Studi PA juga me-miliki perbedaan yang tegas dengan Teologi Agama dan FilsafatAgama dalam hal objek kajian dan cara kerjanya. Studi PA hendakmengkaji semua agama, tidak hanya satu agama atau agama tertentusaja seperti dalam Teologi dan Filsafat Agama. Dalam melakukankajiannya, PA tidak memberikan penilaian, baik yang berkenaandengan “salah” dan “benar,” maupun yang berkenaan dengan “ke-kuatan” dan “kelemahan” pada agama-agama yang dikaji. Persoalan“penilaian” itu adalah wewenang Teologi dan Filsafat Agama. JugaPA tidak bertugas mengaslikan, memperbarui atau memajukansuatu agama sebab itu juga tugas Teologi.100 Dalam Diktat Ilmu Per-bandingan Agama: Sejarah dan Metode (Jakarta, 1989), Kautsarmembuat Skema perbedaan yang tegas antara PA, Filsafat Agama,dan Teologi Agama, sebagai berikut:101

Perbedaan Antara Perbandingan Agama,Filsafat Agama, dan Teologi

TEOLOGI

NormatifSubjektifBerpihakTerikat

Berdasar pada wahyu

Metafisis, SpekulatifBertolak dari kepercayaanatau keimanan

Membicarakan satu agama

PERBANDINGANAGAMA

DeskriptifObjektifNetralTidak terikat

Berdasar padapengamatanEmpiris, PositifBertolak darikeinginan untukmengetahui

Membicarakansemua agama

FILSAFAT AGAMA

NormatifSubjektifNetral atau berpihakTidak terikat atauterikatBerdasar pada akal

Metafisis, SpekulatifBertolak dari kritikrasional, keragu-raguan, ataupertanyaanMembicarakan dasar-dasar agama padaumumnya atau dasar-dasar agama satuagama

Page 155: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

227Dr. Media Zainul Bahri

(2) Objek formal PA adalah pengalaman keagamaan (religiousexperience) yang diekspresikan melalui pemikiran, perbuatan danpersekutuan menurut istilah Joachim Wach, atau tiga ekspresi da-lam bahasa Mukti Ali adalah teoretis (intelektualis), praktis (amalan),dan sosiologis (pergaulan). Dari berbagai ekspresi atau fenomenayang muncul dari pengalaman keagamaan itu, hendak mene-mukan “makna agamis” (religious meaning). Menurut Farichin,pertama-tama Ilmu PA diarahkan pada pemahaman tentang “mak-na” (meaning) dari fenomena-fenomena agama. Ini adalah khas IlmuPA yang membedakannya dengan bidang-bidang studi lain yangsejenis yang sama-sama mengkaji agama-agama seperti SejarahAgama, Sosiologi Agama, Psikologi Agama, Antropologi Agama danlain-lain. Sebab, jika tidak dibedakan dengan tegas, maka keman-dirian dan eksistensi Ilmu PA akan digugat oleh bidang-bidang studilain yang sejenis, dan hal itu akan membuat “goyah” ilmu PA sebagaiilmu yang telah berdiri sendiri.102 Lalu, menurut Farichin lebih lan-jut, objek kajian ilmu PA bukan hanya satu agama tertentu yangdiyakini kebenarannya, dan juga bukan hanya satu agama tertentudi luar agamanya sendiri. Garapan pengkajian dan penelitian ilmuPA adalah lebih dari satu agama, baik agama-agama masa lalu mau-pun agama-agama yang hidup masa kini (living religions).103

Kedua, Farichin juga menyatakan bahwa Ilmu PA sesung-guhnya juga berbeda dengan Fenomenologi Agama. Perbedaannyajelas bahwa fokus penelitian PA adalah persamaan, perbedaan, tipo-logi, klasifikasi, generalisasi dan struktur asasi dari agama-agama.Sedangkan Fenomenologi Agama mengarahkan penelitiannya un-tuk memahami religious meaning dari berbagai fenomena agamayang dikajinya. Ilmu PA juga berbeda dengan Sosiologi Agama yangfokus kajiannya pada pengaruh dan peranan agama dalam kehidup-an masyarakat, atau sebaliknya. Dalam dua catatan di atas, Farichinmenegaskan tugas pokok PA yang tidak bisa keluar dari bangunanatau struktur pokok agama-agama yaitu kredonya, keyakinannya,ritusnya, mitosnya dan hal-hal yang berkaitan.104 Jadi, Farichin—dalam hal tugas pokok dan objek formal PA—menegaskan posisi-

Page 156: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

239Dr. Media Zainul Bahri

kat agamis atau model pemerintahan yang berasaskan agama, mun-culnya pandangan teologi yang progresif mengenai pluralismeagama dan dialog antaragama dan hal-hal lain, menyebabkan gairahterhadap studi agama meningkat, baik dari sisi isu-isu yang munculmaupun metodologinya. Pada saat yang sama, banyak dosen IAINyang dikirim sekolah ke luar negeri, terutama Barat, sebagai salahsatu program unggulan Departemen Agama kala itu (yang dirintisoleh Menteri Agama Munawwir Syadzali) mulai kembali pulangke tanah air dengan membawa “oleh-oleh” berupa isu-isu dan meto-dologi studi agama yang berkembang di Barat saat itu. Keadaan iniberpengaruh secara langsung terhadap munculnya sosok baru studiagama di Indonesia yang progresif dan sering kali “kontroversial.”

Kedua, keadaan di dalam negeri sendiri, pada era 1990-an, ada-lah masa senja Orde Baru. Gelombang demokratisasi di negera-negara maju tak bisa dibendung untuk masuk ke Indonesia. Dis-kursus yang marak—waktu itu—soal politik, suksesi kepemim-pinan, demokrasi dan tatanan sosial mau tak mau harus juga mem-bincangkan peran sosok agama: menyangkut pemahaman masya-rakat atas agama, lembaga-lembaga agama, bagaimana cara menge-lola kemajemukan agama dalam sebuah negara demokrasi, posisidan kontribusi tafsir agama atas persoalan yang sedang trend saatitu. Dari sinilah gayung bersambut. Faktor yang pertama berjumpadengan yang kedua. Keadaan inilah yang menyebabkan studi PAmendapat perhatian luas seiring dengan harapan masyarakat ataskontribusinya di bidang kerukunan umat beragama misalnya, ataudalam bidang lain yang membawa kesejukan (dan harmoni) bagikehidupan sosial-keagamaan yang sedang meluncur ke arah per-ubahan.

Meski demikian, hingga menjelang masa reformasi (tahun1997) di mana perubahan yang telah diprediksi benar-benar terjadi,belum banyak muncul karya-karya PA sarjana Muslim Indonesiayang benar-benar ilmiah. Jika di Barat pada tahun-tahun ini, banyakmuncul karya yang serius dari para sarjana Studi Agama-Agama(religious studies) mengenai metodologi, atau dari sisi materi agama

Page 157: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

240 Wajah Studi Agama-Agama

banyak lahir pula buku-buku mengenai agama-agama dunia yangvalid atau isu-isu yang berkembang seperti pluralisme agama dandialog antaragama, maka tidak demikian halnya yang terjadi di tanahair. Tidak benar-benar nihil; memang muncul beberapa karyabermutu yang langsung berkaitan dengan studi PA, namun cukupsedikit dari segi kuantitas. Sebaliknya, karya-karya yang berkaitanlangsung dengan studi Islam semarak muncul di mana-mana. Se-bagian besarnya merupakan karya yang bermutu, baik tentang te-ma-tema tertentu maupun karya yang menyoroti metodologi studiIslam kontemporer.

Perkembangan yang kurang signifikan dari sisi produktivitaskarya-karya bermutu tentang PA dikeluhkan oleh BurhanuddinDaya; salah satu orang dalam lingkaran pusat studi PA. Katanya:

Tidak majunya studi PA di Indonesia disebabkan tidak ada penelitianserius, publikasi dan penerbitan PA berkala, juga lemahnya metodologisarjana-sarjana PA sendiri, Guru Besarnya hanya Mukti Ali itu punsudah pensiun. Hal itu sangat jauh berbeda dengan di Eropa danAmerika.129

Keadaan itu tentu disadari juga oleh para akademisi yang terli-bat langsung dengan kajian PA. Kautsar Azhari Noer misalnyamenulis satu artikel yang relevan berjudul Beberapa KemungkinanPengembangan Studi Perbandingan Agama (1998). Menurutnya, PAsebagai sebuah cabang studi ilmiah tentang agama-agama perlumendapat perhatian serius agar studi ini dapat berkembang denganbaik sesuai dengan tuntutan akademis yang inovatif dan tuntutanpraktis yang dinamis. Apa kemungkinan-kemungkinan yang dapatdilakukan untuk mengembangkan PA? Menurut Kautsar setidak-nya ada empat (4) hal penting yang harus disoroti: (1) Berbagi (shar-ing) informasi di antara para sarjana PA, mengingat abad ini adalahabad “banjir bah” informasi. (2) Peningkatan kualitas ilmiah paratenaga pengajar PA. Misalnya, pengiriman para dosen itu untukbelajar S-2 dan S-3 di bidang studi PA atau Studi Agama-Agama di

Page 158: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

241Dr. Media Zainul Bahri

Barat, atau mendatangkan Guru Besar PA dari luar negeri untukmengajar di UIN/IAIN selama satu atau dua semester. (3) Pengem-bangan tema-tema yang relevan dengan kehidupan/perubahanumat manusia. PA harus meninggalkan tema atau topik-topik lamayang sudah tidak relevan. (4) Pengembangan metodologi. Pende-katan-pendekatan studi PA selama ini seperti sosiologis, antro-pologis, psikologis, fenomenologis, historis, komparasi dan dialogismemiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Tergantungkepada objek kajian yang hendak diteliti. Dalam hal memahamistruktur, sistem dan esensi agama-agama, menurut Kautsar, pende-katan fenomenologis dan dialogis masih merupakan pendekatanterbaik.

Pada masa akhir 1980 hingga pertengahan 1990-an sebagaiera kemunculan studi PA yang ilmiah dan humanis, meskipun tidakbanyak—seperti telah disinggung, beberapa karya bermutu layakuntuk dicatat. Dalam aspek metodologi PA, lahir karya-karyaseperti Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (1988) tulisan MuktiAli, Diktat Ilmu Perbandingan Agama: Sejarah dan Metode (1989)karya Kautsar Azhari Noer. Lalu, ada pula dua buku kumpulantulisan ahli-ahli PA Indonesia terbitan INIS (Indonesia-NetherlandsCooperation in Islamic Studies), yaitu Ilmu Perbandingan Agamadi Indonesia (Beberapa Permasalahan) (1990) dan Ilmu PerbandinganAgama Di Indonesia dan Belanda (1992). Ilmu Perbandingan Agama(1994) karya Mudjahid Abdul Manaf, dosen PA IAIN Semarang,Metodologi Ilmu Perbandingan Agama: Suatu Pengantar Awal (1996)karya Romdhon. Muncul pula Agama Masa Depan, PerspektifFilsafat Perenial (1995) karya Komaruddin Hidayat dan M. WahyuniNafis. Studi Agama, Normativitas atau Historisitas (1996) karya M.Amin Abdullah. Dua karya terakhir ini mendapat sambutan luaspublik. Karya Amin Abdullah pada tahun itu telah mengukuhkanmetodologi PA yang bercorak deskriptif, historis-empirik bersama-sama dengan pendekatan fenomenologis dan teologi yang telahdirekonstruksi. Lalu, patut disebut juga Perbandingan Agama (1994)karya Achmad Asrori, dosen PA IAIN Raden Intan Tanjungkarang,

Page 159: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

242 Wajah Studi Agama-Agama

Lampung, dan Ilmu Perbandingan Agama (1994) karya MudjahidAbdul Manaf, dosen PA IAIN Semarang. Dua tulisan menarikKautsar Azhari Noer yang dimuat Jurnal Ulumul Qur‘an berjudul“Perbandingan Agama: Apa yang Diperbandingkan (1993)” dan“Passing Over” Memperkaya Pengalaman Keagamaan (1994)”pantas juga disebut sebagai tawaran kritis atas metode memahamistruktur asasi dan esensi agama-agama. Karya-karya lain yang sangatmungkin tak terjangkau oleh saya.

Dalam hal materi studi PA segelintir karya bermutu juga mun-cul seperti Agama-Agama Dunia (1988) karya 12 dosen PA Yogya-karta, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan (1996) karya Romdhon.Dua karya itu ditulis dalam semangat akurasi dan validitas iman,penghayatan dan pemahaman keagamaan para pemeluknya. Santridan Abangan Di Jawa (diterbitkan oleh INIS pada 1988, meskipunTesis di McGill, Kanada ini selesai pada 1975) karya Zaini Much-tarom, akademisi senior PA (khususnya dalam bidang SosiologiAgama) dan sudah pensiun, juga sebuah karya kritis tentang per-gumulan santri dan abangan dengan pendekatan sejarah sosial-politik di Jawa. Tentang dialog antaragama yang mulai marak padamasa itu, maka buku terbitan Interfidei, Dialog: Kritik & IdentitasAgama (1993) adalah karya sangat baik mengenai seluk-beluk dia-log intra dan antariman serta posisi identitas masing-masing pe-meluk agama. Buku ini ditulis oleh 13 tokoh agama dan budaya ter-kemuka Indonesia dan tiga tokoh agama dari luar negeri. Buku lainyang berkaitan langsung dengan tema PA adalah “Passing Over,”Melintas Batas Agama (1998). Inilah buku segar pada era itu yangmendapat apresiasi dan sambutan antusias publik. Dalam konteksmetode memahami agama lain yang berbeda, karya ini cukup ber-pengaruh bahkan sampai hari ini. Passing Over ditulis oleh 18 tokohdan sarjana agama terkemuka dari Islam, Kristen, Konghucu, Bud-dha dan Hindu. Namun, tulisan khusus Kautsar Azhari Noer, “Pass-ing Over”: Memperkaya Pengalaman Keagamaan,” di samping ke-mudian menjadi judul buku, artikel tersebut merupakan salah satutema pokok dalam PA yang sedang hangat dibicarakan saat itu.

Page 160: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

243Dr. Media Zainul Bahri

E. Studi Perbandingan Agama dan PolitikMeskipun berada di tengah pembahasan (yang mungkin se-

mestinya berada di awal), namun saya tetap ingin membuat satubagian khusus mengenai hubungan studi PA dan politik, suatupembahasan yang sulit dihindari. Bagian ini saya letakkan di tengahdengan harapan dapat melengkapi penjelasan bagian-bagian pen-ting di atas dan bagian-bagian yang akan dibahas di bawah, terutamabagian mengenai isu-isu penting. Bahwa secara akademis, MuktiAli memiliki kemampuan dan minat yang sangat besar terhadapstudi PA dan dialog antaragama, tak ada yang meragukan. Namun,naiknya ia menjadi Menteri Agama dan dengan jabatan itu ia me-nyebarkan isu-isu penting dalam studi PA tak bisa dilepaskan darisebuah proses dan kerja politik. Dua tulisan Ali Munhanif, Islamand Struggle for Religious Pluralism in Indonesia; A Political Readingof the Religious Thought of Mukti Ali (1996) dan Prof. Dr. A. MuktiAli; Modernisasi Politik-Keagamaan Orde-Baru (1998) serta satutulisan Herman Beck, A Pillar of Social Harmony: The Study of Com-parative Religion In Contemporary Indonesia (2002) kiranya dapatmenjelaskan proses dan kerja politik itu.

Saya ingin mendiskusikan dua hal pokok yang saling terkaiterat: pertama soal proses politik Mukti Ali menjadi Menteri Agama,dan kedua soal kisruh sosial politik hingga menjadi latar belakang(backround) pembentukan PTAIN dan studi PA khususnya sertaharapan sumbangan studi ini secara sosio-kultural. Pertama, prosespolitik di sekitar Mukti Ali. Menurut Munhanif, keahlian MuktiAli dalam ilmu agama, ketokohannya sebagai intelektual Muslim,dan perhatiannya pada dialog antaragama adalah beberapa alasanpokok ia dipercaya menjadi Menteri. Namun, kemunculan Korps Kar-yawan (Kokar) Departemen Agama adalah fenomena yang kelakmemainkan peran kunci (king maker) bagi Mukti Ali menuju kursiMenteri Agama. Korps itu muncul sebagai bentuk kekecewaan, atautepatnya perlawanan dari orang-orang yang “kecewa” (terutamayang dianggap keluarga Masyumi) terhadap Menteri Agama Mo-hammad Dachlan yang berasal dari Nahdlatul Ulama (NU). Menu-

Page 161: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

244 Wajah Studi Agama-Agama

rut Kokar, dengan Muljanto Sumardi sebagai tokoh utamanya,Departemen Agama di bawah Dachlan telah dijadikan instrumenpolitik untuk melindungi kepentingan-kepentingan NU. KetikaOrde Baru melakukan kampanye besar-besaran pada pemilu 1971untuk mengooptasi seluruh departemen ke dalam barisan pendu-kung Golkar, hal itu tidak berpengaruh banyak pada orientasi ideo-logis pimpinan Departemen Agama.130

Mohammad Dachlan, sebagai Menteri dari partai NU, secarapolitis menghendaki departemennya untuk tetap berperan mendu-kung agenda-agenda politik NU yang tentu saja tidak mendasarkanpada agenda-agenda pemerintah Orde Baru yang sedang gencarmelakukan proyek pembangunan di segala bidang. Dengan lobiintensif yang dilakukan Kokar dengan pusat kekuasaan Orde Baru,yang saat itu direpresentasikan oleh CSIS (Kelompok Tanahabang),akhirnya Mohammad Dachlan “berhasil” dicopot dari kursi Menteridan dilantiklah Mukti Ali pada 11 September 1971 sebagai MenteriAgama yang baru.131

Kedua, seperti tercatat dalam sejarah bahwa di masa-masa akhirkekuasaan presiden Soekarno, terjadi konflik yang cukup keras diantara pemeluk agama di tanah air. Mukti Ali sebenarnya sangatmeyakini bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yangcinta damai dan kerukunan. Namun kenyataannya, di era 1960-ankonflik antar pemeluk agama sulit dihindari, tetapi kondisi ini jikadilihat secara positif—kelak akan memunculkan sejarah baru bagikaum Muslim Indonesia, yaitu pembentukan PTAIN. Pada 1959Sukarno membuat regulasi ideologis tentang Manipol-Usdek, dansetahun sesudahnya ideologi itu disempurnakan menjadi Nasakom(nasionalis-Komunis-Agama). Melalui Nasakom, Soekarno berharapdapat menyatukan kaum nasionalis, komunis dan agama (Mus-lim). Namun, pada praktiknya, ideologi itu justru memunculkankonflik baru di antara ketiga golongan itu, meskipun tidak sedikityang menerimanya. Di kalangan kaum Muslim menurut Beck, po-litik Soekarno itu bahkan memunculkan konflik antara Muslimmodernis-ortodoks dengan tradisionalis-ortodoks. Di saat yang sa-

Page 162: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

245Dr. Media Zainul Bahri

ma, ketika tekanan terhadap komunisme meningkat, kelompokKristen secara agresif melakukan misionari, suatu aktivitas yangbiasa mereka lakukan sejak masa kolonial dulu. Keadaan ini mem-buat kaum Muslim merasa terancam dan harus melakukan sesuatuterhadap kaum minoritas Kristen itu. Dengan keadaan yang cukuppanas itu, pemerintah Soekarno menyetujui pendirian PTAIN diYogyakarta dan ADIA di Jakarta sebagai cara untuk menunjukkanperhatian pemerintah terhadap Muslim Indonesia dengan beberapaharapan, yaitu semoga kebutuhan kaum Muslim dalam bidangpendidikan agama dapat terpuaskan, tetapi di sisi lain pemerintahmenghendaki kaum Muslim dapat “setia” terhadap pemerintah,dan yang terpenting adalah bahwa melalui lembaga milik peme-rintah itu, pemerintah dapat “mentraining” kaum Muslim menge-nai pentingnya hidup rukun dan damai.132 Dalam konteks inilah,studi PA dipilih sebagai studi-ilmiah yang cocok untuk proyek ke-rukunan di negeri yang sedang dilanda konflik sektarian dan agamaitu.

Apakah setelah itu keadaan menjadi semakin membaik? Ter-nyata tidak. Setelah peristiwa PKI 1965, banyak kaum komunisyang masuk Kristen karena takut dibunuh, dan pada saat yangsama, agresivitas misionari kaum Kristen berhasil mengkristenkankaum Muslim yang tidak berpendidikan dengan iming-imingpendidikan, kebutuhan pokok dan kecukupan material lainnya.Keadaan ini tentu saja semakin memperburuk konflik Islam-Kris-ten. “Bom waktu” yang akan meledakkan konflik itu menjadi pe-rang saudara dapat meletus kapan saja. Segera setelah Soeharto men-jadi presiden, ia memikirkan langkah-langkah dan kebijakan untukmembuat “stabilitas” sebagai pra-syarat pembangunan. Pada Maret1967, Soeharto mengumpulkan tokoh-tokoh agama untuk membuatproyek dialog dan kerukunan sebagai langkah menuju “stabilitas.”Akhirnya, pada 30 November 1967, diadakan perhelatan nasionaldialog antar-agama dengan nama Musjawarah Antar Agama, di manaMukti Ali terlibat di dalamnya. Namun, konferensi ini gagal totalkarena penolakan kelompok Kristen atas poin-poin penting. Menu-

Page 163: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

246 Wajah Studi Agama-Agama

rut kelompok Muslim, kegagalan musyawarah itu karena kaumKristen menolak tiga proposal pokok presiden Soeharto, yaitu: (1)Untuk menahan diri dari segala sikap memaksakan kehendak da-lam beragama, (2) untuk menahan diri dari kegiatan misionari (dak-wah) kepada orang yang sudah memeluk agama, dan (3) untukmengembangkan paham keagamaan yang mendukung sikap tole-ransi sosial. Kelompok Muslim cenderung menerima proposal Soe-harto tersebut demi menjaga stabilitas, sementara kelompok Kristencenderung menolaknya karena akan menghalangi “kewajiban ke-agamaan” untuk berdakwah, jika proposal itu disetujui.133

Menurut Beck, karena kegagalan itu, sekarang Soeharto meng-ubah kebijakannya dari memfokuskan pada “stabilitas” menujufokus pada “pembangunan.” Proyek pembangunan itu dimulai de-ngan dicetuskannya istilah Pelita I, yaitu dari 1969 hingga 1974.Semangat pembangunan dalam kehidupan sosial-politik pada Pelita Iini terermin pada studi PA di masa-masa itu, dan Mukti Ali adalahfigur utamanya. Saat itu kata Beck, Mukti Ali bukan semata salahsatu dari sedikit Sarjana Indonesia yang memiliki keahlian dalambidang Perbandingan Agama, namun sebagai Menteri Agama padaperiode 1971-1978, ia juga telah mengembangkan paham dan ben-tuk keagamaan yang cocok dengan kebijakan pembangunan Soe-harto.134 Segera setelah dilantik menjadi Menteri, Mukti Ali mem-buat rumusan-rumusan doktrin keagamaan yang sesuai dengansemangat pembangunan. Baginya, agama tidak semata mendorongumat manusia untuk hidup rukun dan harmonis, namun juga mam-pu memberi sumbangan bagi pembangunan. Mukti Ali melihat tigapotensi kekuatan agama. Pertama, agama sesungguhnya dipenuhiajaran yang mendorong manusia untuk bekerja keras dalam kehi-dupan ini. Kedua, selain mendorong bekerja, agama juga sumberkreativitas dan inovasi. Dengan kata lain, agama adalah inspirasibagi “kerja cerdas.” Ketiga, agama juga sesungguhnya menyatukan,bukan memisahkan. Agama dapat menyinergikan aktivitas indi-vidual dan sosial sekaligus dalam satu kesatuan utuh. Dengan tigagagasan pokok itu, Mukti Ali meyakini bahwa agama dapat ber-

Page 164: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

247Dr. Media Zainul Bahri

peran dalam pembangunan ekonomi dan keharmonisan sosial diera modern.135

Pandangan keagamaan Mukti Ali yang “rasional” dan “mo-dern” saat itu memang sangat “pas” dengan harapan dan proyek-proyek pembangunan Orde baru. Kecocokan itu juga menemukanmomentumnya yang juga “pas” ketika Menteri Agama sebelumnya,Muhammad Dachlan, tidak bisa diharapkan lagi untuk ikut dalamarus besar “rasionalisasi” agama dan “pembangunan.” DenganMukti Ali, Soeharto telah menemukan figur yang “pas” yang sesuaidengan “semangat zamannya” (istilah Jerman: Zeitgeist).

Namun menurut Beck, karya-karya Mukti Ali dari 1965 hingga1971 (sebelum menjadi Menteri) sesungguhnya telah menunjukkanpoin-poin penting yang sudah sesuai dengan keinginan Soeharto.Pertama, dalam pandangan keagamaan misalnya, Mukti Ali mene-gaskan bahwa natur keberagamaan sesungguhnya melekat dalamdiri manusia. Karena itu, seseorang yang tidak beragama berarti iayang melawan esensi naturnya sendiri. Dengan demikian, pembica-raan mengenai apakah Tuhan itu ada atau tidak, bagi Mukti Ali,tidak relevan. Yang paling relevan untuk dibicarakan adalah apakahTuhan yang disembah itu Tuhan yang benar atau tuhan yang salah.Tuhan yang sejati, kata Mukti Ali, adalah Tuhan yang terdapat padaagama-agama monoteistik. Sedangkan agama dan tradisi non-mo-noteistik “terpisah” dari keesaan dan kekuasaan Tuhan. Pemikirankeagamaan ini cocok dengan pandangan Orde Baru yang sedanggiat menghadang/melawan komunisme (yang selalu dianggap iden-tik dengan ateisme), yang ditakutkan akan bangkit atau populerkembali kapan saja. Pandangan keagamaan Mukti Ali saat itu, yangmembela doktrin monoteistik dianggap memperkuat Pancasila.Dari poin ini saja menurut Beck, studi PA dianggap sesuai dengankebijakan pemerintah Orde Baru.136

Kedua, Mukti Ali juga mengajukan konsep agree in disagree-ment: sepakat dalam ketidaksepakatan atau sepakat dalam perbe-daan. Konsep ini juga berhasil dalam praktiknya. Ketika Soehartogagal membuat kesepakatan penting mengenai kerukunan dan

Page 165: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

248 Wajah Studi Agama-Agama

dialog antaragama dalam Musjawarah Antar Agama (1968), MuktiAli pada 1969 berhasil mengumpulkan tokoh-tokoh agama yangberagam untuk sebuah perhelatan dialog antaragama yang tidakresmi. Mukti Ali berhasil meyakinkan koleganya, yaitu tokoh-tokohagama non-Islam bahwa dialog antaragama tidak semata fokus padapersoalan-persoalan teologis, melainkan penting pula mendalamiisu-isu sosial-keagamaan yang juga menjadi pusat perhatian setiappemeluk agama. Dalam konteks ini, studi PA memberi sumbanganpengetahuan yang sangat signifikan bagi pemahaman mengenaiisu-isu sosial-keagamaan itu dan menjadi sumber utama bagi dia-log antaragama yang akan membawa dampak positif bagi stabilitassosial. Menurut Beck, gagasan dan proposal Mukti Ali mengenaisignifikansi dan relevansi studi PA sangat berbeda dengan tokohmodernis Muhammadiyah, Hasbullah Bakry dan gerakan Muham-madiyah sendiri yang selalu menggunakan studi PA dalam carayang apologis. Hasbullah Bakry misalnya, menulis beberapa bukuperbandingan agama dengan pendekatan teologis dan tujuan apo-logetik. Juga training-training kader Muhammadiyah yang disebutDarul Arqam pada 1970-an mengajarkan studi perbandingan agamadengan tujuan apologetik; jauh berbeda dengan apa yang dilakukanoleh Mukti Ali, yang juga anggota Muhammadiyah yang mengajar-kan studi PA demi meretas dialog antaragama.137

Ketiga, bahwa pada periode 1965-1970, Mukti Ali tidak kenallelah memperkenalkan studi PA sebagai disiplin “ilmu sosial” yangsangat penting bagi masyarakat Indonesia yang sedang dalam proses“menjadi.” Mukti Ali menyadari benar bahwa hubungan harmonisantarpemeluk agama adalah kondisi yang sangat dibutuhkan dalampembangunan, sedangkan huru-hara adalah halangan yang sangatserius. Dalam pengertian ini, hidup bersama dalam sikap salingmenghormati dan toleran satu sama lain adalah kebutuhan bersama.Karena itu bagi Mukti Ali, gagasan mengenai agree in disagreementtidak semata dapat meminimalisir pertentangan yang disebabkanperbedaan-perbedaan di antara agama-agama, namun juga akanmenunjukkan “kebersamaan” (bahwa agama-agama memiliki ajar-

Page 166: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

249Dr. Media Zainul Bahri

an yang sama, juga perhatian dan kebutuhan yang sama). Studi PAakan memberi kontribusi yang signifikan untuk mengembangkanhal-hal di atas.138

Sejak dini, Mukti Ali sebenarnya telah menyadari atau meng-arahkan studi PA bagi kepentingan kehidupan sosial dibandinghanya sebagai sekadar “ilmu murni” dengan seperangkat metodeilmiah tertentu. Baginya, ilmu PA harus bermanfaat bagi kehidupansosial yang harmonis antarpemeluk agama. Studi PA dan relevansisosial-nya ini disandarkan oleh Mukti Ali kepada karya-karya Joa-chim Wach, Friedrich Heiler dan Wilfred Cantwell Smith. Parasarjana ini telah mengarahkan studi PA sebagai disiplin yang sangatpenting dalam mempromosikan dialog antaragama dan hidup har-moni di antara umat manusia. Mukti Ali mengadopsi pendekatanpara sarjana itu untuk konteks Indonesia yang ternyata sesuai de-ngan kebijakan (keinginan) pemerintah Orde Baru.139 Karena itulahgayung bersambut, dan dalam bingkai inilah kita bisa memahamihubungan ilmu PA dan politik kerukunan dan pembangunan.

F. Isu-Isu Penting1. Agama dan Pembangunan

A. Pembangunan Manusia SeutuhnyaSeperti telah disebut bahwa salah satu tugas pokok Mukti Ali

sebagai Menteri Agama kala itu adalah membuat rumusan-rumus-an bagaimana agama memberi kontribusi yang signifikan bagi“pembangunan nasional” dan “stabilitas”; dua istilah yang sangat“sakti” dan proyek besar dalam pemerintahan Orde Baru yang se-dang gencar membangun. Karena itu, isu tentang hubungan agamadan pembangunan merupakan salah satu diskursus yang pokokpada awal-awal berdirinya studi PA. Isu itu kemudian ramai dibica-rakan orang karena usaha-usaha Mukti Ali yang serius sebagai Men-teri Agama membicarakan hal itu dalam forum-forum nasional, baikresmi maupun informal. Bagi Mukti Ali, agama harus berperanmemberi makna bagi arah pembangunan yang membawa kesejah-teraan, bukan hanya bagi fisik-lahiriah manusia-manusia Indone-

Page 167: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

250 Wajah Studi Agama-Agama

sia, tetapi juga sejahtera batin-spiritualnya. Karena itu, pertama-tama harus dipahami dulu apa pengertian pembangunan guna men-capai kebahagiaan lahir dan batin itu? Bagi Mukti Ali, pembangunanadalah proses untuk menciptakan manusia baru, yaitu manusiayang dapat terbebas dari dua hal sekaligus, yaitu bebas dari ancamanfisik seperti kelaparan, penyakit dan hal-hal semacamnya, serta be-bas dari penyakit mental dan rohani140 seperti kebodohan, kekering-an spiritual hingga teralienasi, dan termasuk dalam pengertian iniadalah kesalahan memahami agama yang benar dan humanis. Kare-na itu, maka tujuan pembangunan adalah membentuk karaktermanusia seutuhnya dan umat manusia secara umum. Hal itu berar-ti, sekali lagi, bahwa pembangunan tidak semata fokus kepada ke-sejahteraan ekonomi semata, melainkan juga pada mental-spiritualumat manusia.141

Untuk mencapai pembangunan yang utuh dan integral bagimanusia, menurut Mukti Ali, diperlukan sebuah revolusi; revolusibukan dalam pengertiannya yang negatif, tetapi revolusi dalam pe-ngertian perubahan radikal pada nilai-nilai dan struktur masyarakat,tanpa kekerasan dan tanpa anarki.142 Dengan pandangan ini, MuktiAli sesungguhnya menghendaki perubahan yang radikal dari pa-radigma, cara pandang dan mental manusia Indonesia yang tradi-sional dan konservatif ke arah yang modern-progresif. Pandangan-nya yang sangat maju pada saat mengemukakan ide ini di awal1970-an sejatinya telah menempatkan Mukti Ali sebagai pejabattinggi pemerintah dan Cendekiawan Muslim yang berpandanganjauh ke depan, namun sekaligus juga sulit diimplementasikan da-lam kondisi masyarakat yang masih tradisional, “ndeso” dan “barubangun” untuk memulai pembangunan.

Dalam skenario besar pembangunan seperti yang diinginkanMukti Ali tersebut, maka ia sendiri, sebagai Menteri Agama, kemu-dian mengetengahkan pentingnya peranan agama dalam prosespembangunan itu. Bagi Mukti Ali, pembangunan bertujuan mem-bangun manusia, dan agama juga bertujuan untuk kebahagiaanumat manusia. Karenanya, pembangunan memerlukan nilai agama

Page 168: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

251Dr. Media Zainul Bahri

dan agama akan memberi bentuk hidup yang berkualitas. Jika pem-bangunan mengabaikan agama, maka pembangunan model ituakan kehilangan tujuan, kedalaman dan keindahannya. Karena itumenjadi jelas bahwa agama tidak semata memberi motivasi dantujuan bagi pembangunan, melainkan juga telah menjadi roh (spirit)dalam “badan” pembangunan itu sendiri.143 Gagasan yang cemer-lang dari Mukti Ali ini, jika ditelusuri lebih dalam maka akan mun-cul suatu pandangan yang koheren bahwa proses-proses pemba-ngunan terutama dalam bidang ekonomi dan politik harus mem-bawa turut serta nilai-nilai utama dari agama seperti kejujuran, ke-adilan, kesetaraan dan kasih sayang. Semua pembangunan dalambidang ekonomi tidak boleh curang, koruptif dan hanya dikuasaioleh segelintir orang saja, seperti halnya pembangunan dalam bi-dang politik dan lembaga-lembaga politik tidak boleh manipulatif.Mukti Ali berjasa besar memopulerkan istilah “pembangunan ma-nusia seutuhnya,” yaitu pembangunan yang menghendaki kesejah-teraan fisik dan batin manusia Indonesia. Bagi Mukti Ali, tidak adaperbedaan (pengotakan) atau diskriminasi antara pembangunanspiritual dan non-spiritual. Keduanya berjalan secara utuh dalamsatu paket. Karena itu, Mukti Ali menyebut pendekatannya dalamskenario besar pembangunan nasional sebagai pendekatan integralatau menyeluruh.144

Bagi Mukti Ali, ketika pembangunan dimaknai sebagai prosespembebasan manusia, maka para pemeluk agama harus menyadaripotensi-potensi yang besar pada diri mereka. Dengan kata lain, parapemeluk agama tidak semata berproduksi dan berkonsumsi saja,melainkan mampu merealisasikan aspirasi mereka untuk kebebas-an, kehormatan, keadilan dan pertumbuhan spiritualitas keagamaanmereka. Dengan dasar ini pula, para pemeluk agama harus berusahauntuk membentuk masyarakat yang baru dengan kultur dan etosyang baru pula. Mereka harus berani merenungkan kembali kon-sep-konsep keagamaan dan sikap hidupnya vis-a-vis (berhadapandengan) perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Para pe-meluk agama, kata Mukti Ali, harus menafsir ulang pemahaman

Page 169: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

252 Wajah Studi Agama-Agama

dan praktik keagamaan selama ini dalam konteks kontribusi agamabagi pembangunan. Pemahaman dan sikap keagamaan harus pro-gresif dan sesuai dengan semangat pembangunan. Dengan katalain, paham keagamaan yang fatalistik, terlalu mistik dan membuatorang malas harus diganti dengan paham baru yang rasional, pro-gresif dan modern dengan tetap tidak menghilangkan unsur-unsurspirit dan pokok dalam agama. Pada saat yang sama, ahli-ahli agamajuga harus bekerja sama dengan para ahli di bidang ilmu lain dalamproses pembangunan manusia seutuhnya itu.145

Gagasan Mukti Ali mengenai agama dan pembangunan dapatdilihat juga sebagai transformasi wajah Departemen Agama yangsebelumnya didominasi oleh kaum tradisionalis (menteri-menterisebelumnya berasal dari kalangan NU) ke arah modernistik. MuktiAli adalah Muslim modernis, yang ketika diangkat oleh PresidenSoeharto, ia tidak berafiliasi kepada partai politik mana pun. Ia di-anggap modernis, selain karena alumni Barat dan banyak terlibatdalam pertemuan internasional mengenai dialog antaragama, jugagagasannya mengenai pembangunan itu sangat progresif. Karenagagasannya tentang pembangunan itu, saya setuju dengan pan-dangan Karel Steenbrink yang menyebut Mukti Ali sebagai Weberi-an. Dalam memimpin Departemen Agama, Mukti Ali kata Steen-brink, mencoba mempraktikkan teori Max Weber (tentang hubung-an Protestanisme dan kapitalisme) di Indonesia dan pada agama-agama.146 Gambaran di atas dengan jelas menunjukkan bahwa iamendorong semua agama di Indonesia untuk terlibat aktif dalampembangunan sosial dan ekonomi. Sekolah-sekolah agama yangberbasis tradisional oleh Mukti Ali didorong untuk menambah kete-rampilan dan latihan-latihan yang bersifat praktis agar memilikinilai lebih (added value, sic.). Beberapa lembaga yang konsen kepadapengembangan masyarakat dari luar negeri juga diundang untukmembantu sekolah-sekolah Islam dalam negeri dalam menjalankanproyek-proyek pembangunan terutama dalam bidang pertaniandan peternakan. Mukti Ali secara serius berusaha mendorong agamaagar sejalan dengan proyek-proyek pembangunan fisik (terutama

Page 170: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

253Dr. Media Zainul Bahri

ekonomi), dan di sisi lain, ia menekankan bahwa ajaran-ajaran agamayang bersifat normatif harus bisa menunjukkan pandangan dansikap untuk saling menghormati atas berbagai perbedaan keya-kinan.147

B. Kerukunan Antarumat BeragamaIsu lain yang juga sangat penting dibicarakan sepanjang studi

PA di masa Orde Baru, bahkan sampai sekarang, adalah soal keru-kunan intra dan antar-umat beragama. Mukti Ali, baik sebagaiMenteri Agama atau akademisi PA yang konsen kepada kerukunan,selalu bersemangat membicarakan ide-ide tentang kerukunan danpraktiknya dalam kehidupan nyata. Seperti telah disinggung, bagiMukti Ali, pembangunan sangat bergantung kepada agama, ter-masuk di dalamnya adalah ketergantungan kepada kerukunan hi-dup antaragama. Pembangunan mustahil dilakukan dalam masya-rakat yang kacau. Karena itu, kerukunan merupakan salah satufondasi pokok dalam pembangunan. Menurut Mukti Ali, keru-kunan dalam kehidupan beragama hanya akan terwujud jika ma-sing-masing pemeluk agama memiliki sikap tenggang rasa dan la-pang dada. Hal ini sulit dilakukan,148 namun dengan kesadaran,kemauan dan usaha tidak mustahil dapat tercipta.

Demi menciptakan kerukunan sejati, Mukti Ali mengajukanlima pandangan teologis yang niscaya dianut oleh para pemelukagama yang beragam,149 yaitu pertama, sinkretisme: pandangan yangmenyatakan bahwa semua agama adalah sama karena manifestasidari Tuhan yang sama. Dalam agama Hindu, tokoh sinkretis yangpaling terkenal adalah Sri Ramakrishna. Di Indonesia, sinkretismejuga tumbuh subur, terutama melalui agama “kejawen” dan gerak-an-gerakan kebatinan. Dari segi teologi, dasar sinkretisme adalahsuatu pandangan hidup yang tidak melihat adanya “garis batas”antara Tuhan dan yang diciptakan-Nya, antara Khalik dan makh-luk-Nya. Sinkretisme berpendapat bahwa semua agama adalah ma-nifestasi dari Kebenaran Yang Asal, pancaran dari Terang Asli yangsatu, ekspresi dari Substansi yang satu, atau sebagai ombak dari

Page 171: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

254 Wajah Studi Agama-Agama

Samudra yang satu.150 Menurut Mukti Ali, ajaran sinkretisme initidak dapat diterima, karena dalam Islam misalnya, terdapat per-bedaan yang tegas antara Khalik dengan makhluk, antara SangPencipta dengan yang diciptakan, antara yang menyembah danYang Disembah.151

Kedua, rekonsepsi (reconception), yaitu mengevaluasi kembaliagama sendiri ketika berhadapan dengan agama lain. Tokohnyaadalah W.E. Hocking. Ia berpendapat semua agama adalah samasaja. Yang menjadi problem adalah bagaimana sebenarnya hubung-an di antara agama-agama yang ada dan bagaimana membuat satuagama yang dapat memenuhi semua kebutuhan manusia. Ia meng-hendaki dibentuk suatu agama universal yang dapat memenuhikebutuhan semua orang dan bangsa, dan caranya adalah denganjalan rekonsepsi.152 Bagi Mukti Ali, jalan re-konsepsi ini tidak dapatditerima, karena dengan jalan ini agama berarti produk manusia,padahal agama sesungguhnya adalah wahyu ciptaan Tuhan. Bukanakal yang menciptakan agama, tetapi agamalah yang membimbingmanusia untuk menggunakan akalnya.153 Ketiga, adalah sintesis:menciptakan agama baru dengan cara mengambil berbagai elemendari macam-macam agama.154 Pemikiran ini juga tidak dapat dite-rima sebab masing-masing agama memiliki latar belakang dan seja-rahnya sendiri-sendiri yang sulit untuk disatukan.155

Keempat, penggantian, yaitu keyakinan bahwa agamanyasendiri yang paling benar, sedang agama-agama lain salah, karenaitu seseorang berusaha mengajak orang lain untuk masuk ke dalamagamanya. Agama-agama lain yang masih hidup harus diganti de-ngan agama yang dipeluknya.156 Pandangan ini juga tidak dapatditerima, apalagi dalam masyarakat yang plural (plural society). Jalanini tidak akan memunculkan kerukunan hidup beragama, bahkanyang niscaya hadir adalah konflik dan intoleransi.157 Jalan ini justrusangat membahayakan kerukunan. Kelima, adalah setuju dalamperbedaan (agree in disagreement): keyakinan bahwa agama yang iapeluk itulah yang terbaik dan paling benar, dan mempersilakanorang lain untuk memercayai bahwa agamanya juga yang paling

Page 172: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

255Dr. Media Zainul Bahri

baik dan paling benar. Jika keyakinan itu tidak ada, maka untukapa orang memeluk suatu agama. Dengan keyakinan itu pula, se-seorang akan bersikap dan berbuat sesuai dengan ucapan batinnyasebagai dorongan dari agama yang ia peluk. Ia juga yakin bahwaselain terdapat perbedaan, agama juga memiliki banyak persamaan.Berdasarkan pengertian ini, harusnya muncul sikap saling meng-hormati-menghargai secara tulus yang akan berbuah toleransi dankerukunan yang sesungguhnya. Menurut Mukti Ali inilah jalanyang terbaik bagi semua pemeluk agama.158 Seseorang bisa me-ngerti dan menghargai orang lain dengan tetap setia kepada keya-kinan agamanya. Di masa kejayaan Orde Baru, istilah agree in dis-agreement sangat populer dalam konteks hubungan antarumatberagama. Mukti Ali berhasil memopulerkan istilah ini tidak se-mata dalam kuliah-kuliah PA, namun hingga masyarakat luasberkat “kekuasaannya” sebagai Menteri Agama kala itu.

Konsep agree in disagreement adalah tawaran terbaik dari MuktiAli dari konsep-konsep lain yang akan mengalami jalan buntuuntuk dapat diterima oleh semua pemeluk agama di Indonesia yangsangat majemuk. “Konsep kiri,” yaitu ajaran sinkretisme, re-kon-sepsi, dan sintesis tidak akan diterima oleh mayoritas umat ber-agama yang “konservatif.” Begitu pula “konsep kanan” yaitu pahameksklusif “penggantian” juga pasti ditolak oleh sebagian besar kaumberagama yang moderat, inklusif, apalagi yang liberal. Konsep agreein disagreement sesungguhnya cukup menarik dan dapat memuas-kan semua umat beragama secara umum pada era itu, meskipunjika dilihat secara kritis pandangan-pandangan dasar Mukti Alimengenai sinkretisme misalnya dapat diperdebatkan lebih lanjut.Apakah benar dalam sinkretisme itu ada paham yang ingin menya-makan Tuhan dengan makhluk-Nya? Apakah para tokoh mistiksebodoh itu? Apa yang dimaksud “sama” dan “beda” itu dalampengertian mistik? Apakah benar jika ada pandangan mistik tentangkesamaan substansial semua agama, lalu seseorang tidak setia kepadaagamanya? Atau orang tersebut akan berpindah-pindah dalam ber-ibadah? Hari ini ke gereja besok ke masjid, apakah seperti itu? Di

Page 173: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

256 Wajah Studi Agama-Agama

sini Mukti Ali langsung melakukan generalisasi atas konsep sinkre-tisme tanpa melihat lebih dalam dan luas maksud objektif daridoktrin itu.

Meski demikian, gagasan agree in disagreement secara teologisdan sosial cukup masuk akal untuk dapat diterima semua pihak.Secara sederhana konsep itu ingin menunjukkan bahwa dalamberinteraksi, para pemeluk agama yang berbeda-beda memilikipandangan-pandangan teologis mendasar yang tidak dapat disepa-kati karena perbedaan konteks, penghayatan-pengalaman spiritualdan pandangan dunia (world view) yang memang berbeda sejakdari hulu hingga hilirnya.

Dalam hubungannya dengan ilmu PA, muncul pertanyaan:dengan “kerukunan” sebagai—katakanlah tujuan praktis atau“subjektif” dari ilmu PA—apakah ilmu ini masih bisa dikatakansebagai ilmu? Demi menjawab ini, Mukti Ali membuat satu artikelmenarik berjudul “Ilmu Perbandingan Agama dan KerukunanHidup Antar Umat Beragama” untuk buku Memoar 70 Tahun T.B.Simatupang (1990). Dalam artikel itu, Mukti Ali membuat dua ke-lompok besar dalam studi PA yang berkembang di dunia saat itu.Kelompok pertama, adalah para sarjana agama yang “paling senior”seperti C.P. Tiele, Max Müller, J.G. Frazer dan Chantepie de laSaussaye. Menurut Mukti Ali, mereka adalah “orang-orang liberal”dalam arti mereka tidak terikat kepada otoritas tertentu dalam aga-ma. Bagi mereka, satu-satunya otoritas agama adalah otoritas kebe-naran yang ditemukan dalam penelitian yang bebas.159 Ilmu adalahuntuk ilmu. Pandangan mereka kelak diteruskan oleh sebagian be-sar tokoh-tokoh IAHR dan para sarjana Eropa. Mereka tidak setujujika studi PA sebagai disiplin ilmu dimaksudkan (bertujuan) untuk“meningkatkan kehidupan” atau demi membangun hubunganyang harmonis antarpemeluk agama.

R.J. Zwi Werblowsky misalnya, yang menjadi Sekretaris Jen-deral IAHR (pada 1959) mengkritik tajam buku Joachim Wach,The Comparative Study of Religion (1958). Menurut Werblowsky,buku itu secara serius mencampuradukkan antara Religionwissen-

Page 174: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

257Dr. Media Zainul Bahri

schaft (ilmu PA) dengan teologi. Buku itu sebenarnya secara umumditujukan kepada ahli-ahli teologi atau para pembaca yang simpatiterhadap aspek-aspek teologi. Dan Wach memang seorang teolog,sedangkan ilmu PA tidak bisa kompromi dengan teologi. Karenaitu, buku itu bukan karya tentang PA, melainkan “teologi yang ber-usaha ke arah pendekatan positif terhadap kajian PA.”160 MenurutMukti Ali, pandangan Werblowsky itu adalah aliran keilmuan yang“murni” dan “objektif.” Seorang sarjana agama sesungguhnyaadalah—menurut Werblowsky—”harus meninggalkan agamanyadari studinya, betapapun kuat motif dan dorongan keagamaan yangmembuat ia mengkaji agama.” Menurut Mukti Ali, tak diragukanlagi sebagian besar sarjana agama di Barat dan tokoh IAHR sepen-dapat dengan Werblowsky bahwa kecenderungan “agama pribadi”yang dianut (seorang pengkaji agama) tidak boleh dilibatkan padakajian ilmiah agama.161 Sekali lagi, ilmu adalah untuk ilmu.

Kelompok kedua, adalah sebagian sarjana dari Barat dan seba-gian besar sarjana dari Timur yang menyetujui bahwa Studi Agamaatau PA dapat memberi sumbangan yang sangat positif bagipeningkatan kehidupan keagamaan dan hubungan yang harmonisdi antara pemeluk agama yang beragam. Mereka adalah FriedrichHeiler, Sri Rama Krishna, Swami Vivekananda, Rudolf Otto, Sar-vepalli Radhakrishnan, R.C. Zaehner dan lain-lain. Friedrich Heilermisalnya, berpendapat bahwa salah satu manfaat dari studi agamayang mendalam adalah ditemukannya hubungan yang erat di antaraagama-agama yang berbeda. Jika ditembus (menukik) lebih kedalam lagi, maka Heiler meyakini bahwa salah satu tugas terpentingstudi agama adalah menunjukkan adanya kesatuan esensial darisemua bentuk agama. Karena itu bagi Heiler, satu-satunya alasanpokok yang dapat dibenarkan ketika “melibatkan diri” dalam studiagama adalah untuk mempererat hubungan di antara pemeluk aga-ma yang beragam.162

Pandangan Heiler tentang Kesatuan Sumber dan tujuan agama-agama dalam studi PA yang dapat memberi sumbangan besar bagikemanusiaan diamini oleh nama-nama besar di atas. Radhakrishnan

Page 175: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

258 Wajah Studi Agama-Agama

misalnya, dalam hampir semua bukunya menyatakan dengan jelasbahwa tugas dan tanggung jawab studi PA adalah untuk membantumenyatukan umat manusia.163 Menurutnya, Studi Agama dapatmembawa harapan yang lebih baik, kepercayaan dan penghargaanyang tumbuh di antara pemeluk agama.164 Hal yang sama disua-rakan Zaehner. Menurutnya, studi PA memiliki tiga fungsi utama:(1) meluaskan perhatian pada agama-agama dunia, (2) melakukaninterpretasi, membanding dan mempertentangkan sistem-sistem-nya, dan (3) membawa semua itu dalam “pengertian harmoni danpersahabatan” yang makin dekat di antara agama-agama besar.165

Di antara perdebatan dua kelompok besar di atas, Mukti Alimenyatakan sikapnya bahwa selain pendekatan saintific-cum-dok-triner, studi PA dapat digunakan untuk “memperoleh kerukunanhidup antarumat beragama.” Berulang kali, Mukti Ali menyampai-kan bahwa ilmu bukan sekadar untuk ilmu, ilmu adalah untukberibadah kepada Allah. Karena itulah, Mukti Ali menginginkandan mengarahkan bahwa studi PA harus bermanfaat membentukdunia yang aman dan damai berdasarkan etika dan moral, yangjauh dari pertikaian, permusuhan, dan kebencian, dan itu adalahbentuk ibadah kepada Tuhan.166

Gagasan Mukti Ali mengenai kerukunan kemudian lebih di-perkuat oleh Menteri Agama sesudahnya, yaitu Alamsjah RatuPerwiranegara (yang menjabat pada 1978-1983).167 Untuk meman-tapkan kerukunan akibat beberapa konflik serius baik intra mau-pun antarpemeluk agama kala itu, Menteri Alamsjah membuat ke-bijakan apa yang kemudian populer disebut sebagai Trilogi Keru-kunan Umat Beragama, yaitu (1) kerukunan intern umat beragama,(2) kerukunan antar-umat beragama, dan (3) kerukunan antaraumat beragama dengan pemerintah.168

Perhatian serius Mukti Ali mengenai pentingnya agama men-dorong pembangunan, dialog antar-agama dan kerukunan antar-umat beragama—sekali lagi menunjukkan fakta yang kuat bahwailmu PA harus fungsional; harus memiliki kontribusi positif bagimanusia dan kemanusiaan, dan para akademisi PA idealnya mampu

Page 176: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

259Dr. Media Zainul Bahri

terlibat penuh dengan persoalan sosial-keagamaan yang konkret.Bagi Mukti Ali, ilmu PA jangan dibuat hanya “mengawang-awang”di langit, tetapi harus “membumi” dalam bentuk-bentuk yang kon-kret pada kehidupan nyata sosial-keagamaan. Inilah yang disebutilmu untuk ibadah, bukan sekadar ilmu untuk ilmu.

2. Pluralisme Agama

Pada masa 1990-an, seiring dengan isu dan diskursus StudiAgama yang berkembang di Barat serta perkembangan kehidupansosial-keagamaan dalam negeri, muncul isu-isu penting, yang selainhangat dibicarakan di dunia akademis dan masyarakat luas, jugamenjadi semacam “wajah baru” Studi Agama Indonesia. Isu-isuaktual di masa itu pada gilirannya berperan menunjukkan arahbaru Studi Islam dan Studi Agama-Agama serta merangsang mun-culnya tema-tema lain yang lebih luas serta metodologi yang me-nyertainya. Pertama-tama, dapat dikatakan bahwa diskursus me-ngenai konsep pluralisme agama saat itu merupakan isu yang pal-ing hangat dan menyedot perhatian luas publik keagamaan. Dibawah ini, saya akan menyajikan empat tokoh Islam—secara singkatsaja— yang berhasil menggulirkan gagasan mengenai pluralismeagama dan mendapat sambutan luas, terutama dalam jagat kajianStudi Agama dan Studi Islam Indonesia. Mereka adalah NurcholishMadjid, Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi dan Jalaluddin Rakh-mat.

A. Nurcholish MadjidNurcholish Madjid atau biasa disapa Cak Nur adalah figur

utama yang membuat isu pluralisme agama ramai dibicarakan. CakNur kemudian menjadi ikon yang sulit dipisahkan dengan isu itu,meskipun pada masa-masa sebelumnya Mukti Ali juga sebenarnyatelah membicarakan tema itu secara terbatas, atau Ahmad Wahibmelalui catatan hariannya yang terkenal itu. Jika pada era 1970-anCak Nur populer karena gagasannya mengenai pembaruan pemi-kiran Islam Indonesia dan isu soal Sekularisasi, maka di tahun 1990-an ia kembali ramai menjadi pembicaraan publik karena tulisan-

Page 177: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

260 Wajah Studi Agama-Agama

tulisan dan ceramahnya mengenai pentingnya memahami pluralis-me agama dalam masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.Karena ketokohannya sebagai cendekiawan Muslim Indonesiaterkemuka dan bantuan media massa yang intens memublikasikangagasan-gagasannya, dan terutama sekali penerbitan Yayasan Para-madina yang didukung oleh kelas menengah Muslim perkotaan,memudahkan Cak Nur untuk “meledakkan” isu itu menjadi pem-bicaraan ramai kaum terpelajar Indonesia.

Sebagai seorang sarjana yang dibesarkan dalam tradisi studi-studi keIslaman (Islamic studies) Cak Nur banyak mengelaborasiteologi Islam untuk tema-tema agama yang dibicarakannya, terma-suk wacana pluralisme agama. Menurut Cak Nur ayat 148 surat al-Baqarah adalah inti sari dari problem dan sekaligus solusi tentangpluralitas dan pluralisme dalam pemahaman Islam.169 Dalampemahaman Cak Nur, pluralisme (bukan pluralitas! sic.) merupakanaturan Tuhan (Sunnatullah) yang tidak akan berubah, sehingga jugatidak mungkin dilawan atau diingkari.170 Kenyataan sosiologis me-mang telah menunjukkan bahwa masyarakat terbagi ke dalam ber-bagai macam kelompok dan komunitas yang masing-masing me-miliki keyakinan, paham dan orientasi yang memberikan merekaarah petunjuk.171 Jika dalam surat al-Hujurât ayat 13 Tuhan mene-gaskan bahwa Dia mencipta manusia beraneka bangsa dan sukusupaya saling mengenal dan menghargai, maka menurut Cak Nur,pluralitas itu kini meningkat menjadi pluralisme, yaitu suatu sistemnilai yang memandang kemajemukan secara positif-optimis denganmenerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin ber-dasarkan kenyataan itu. Dalam cahaya al-Qur‘an, apa yang diharap-kan adalah bahwa komunitas yang beragam itu saling berkompetisidalam hal kebaikan dengan cara yang dapat dibenarkan dan sehatguna meraih yang terbaik bagi semua.172

Secara teologis, gagasan Cak Nur tentang pluralisme agamamemancar dari pandangannya yang mendalam seputar konsep Taw-hid, Islam dan Kalimah Sawâ‘ (titik-temu) di antara agama-agama.Menurut Cak Nur, paham Tawhid, yakni Ketuhanan Yang Maha

Page 178: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

261Dr. Media Zainul Bahri

Esa atau memahaesakan Tuhan, adalah ajaran pokok semua nabidan rasul. Konsekuensi terpenting Tawhid yang murni adalah sikappasrah sepenuhnya hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa itu,tanpa memberi ruang sedikit pun untuk berpasrah selain kepada-Nya. Ini pulalah yang disebut al-islâm (kepasrahan) yang menjadiinti sari semua agama yang benar.173 Cak Nur banyak mengelaborasipandangan Ibn Taymiyyah mengenai pengertian al-islâm ini danmerujuk kepada pandangan-pandangan Muhammad Asad dan Ab-dullah Yusuf Ali dalam hal tafsir al-Qur‘an tentang pengertian al-islâm dan kontinuitas para nabi. Cak Nur sampai pada kesimpulan,yang sebenarnya juga bukan sesuatu yang baru, bahwa “agamayang benar di sisi Allah adalah kepasrahan total atau sikap penuhberserah diri (al-islâm).” Inilah pengertian yang sesungguhnya darisurat Ali ‘Imran ayat 19, “Inna al-Dîn ‘Inda Allâh al-Islâm.”Penegasan al-Qur‘an itu disertai dengan konsekuensi selanjutnyabahwa siapa pun yang menganut agama selain al-Islâm atau yangtidak disertai sikap penuh pasrah dan berserah diri kepada Allahadalah suatu sikap yang tidak sejati, karena itu tertolak, meskipunia adalah seorang “Muslim formal” atau “beragama Islam” dalampengertian sosiologisnya.174 Cak Nur perlu berulang kali menggaris-bawahi bahwa hanya sikap berserah diri sepenuhnya kepada Allahsebagai konsekuensi dari mengesakan Tuhan Yang Maha Esa itu,tanpa sedikit pun mengasosiasikan atribut ketuhanan kepada apadan siapa pun selain-Nya, itulah satu-satunya sikap keagamaan yangbenar, dan selain sikap itu, dengan sendirinya tertolak.175

Karena itu, dengan merunut cara pandang Cak Nur, maka al-islâm di sini pertama-tama harus dimaknai sebagai sebuah kualitassikap, yaitu sikap berpasrah sepenuhnya kepada Allah. Jadi, sebelumIslam menjadi “proper name” atau “agama historis” Nabi Muham-mad, al-islâm sebagai kualitas sikap pasrah itu sesungguhnya telahmenjadi ajaran pokok semua utusan Tuhan bersamaan dengan dok-trin mengenai Tauhid. Dengan al-islâm dalam pengertian generik-nya, maka sumbu titik-temu agama-agama yang dibawa oleh pararasul menjadi terlihat terang. Cak Nur kembali mengutip Ibn Tay-

Page 179: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

262 Wajah Studi Agama-Agama

miyyah yang menyatakan bahwa karena pokok agama, yakni al-islâm, itu satu, meskipun syari’atnya bermacam-macam, maka NabiMuhammad menyatakan dalam sebuah hadis shahih, “Kami, go-longan para nabi, agama kami adalah satu,” dan “Para nabi itu se-muanya bersaudara, tunggal ayah dan lain ibu,” dan “Yang palingberhak kepada Isa putra Maryam adalah aku.”176 Dengan hadisNabi ini, lalu ayat-ayat al-Qur`an yang akan dijelaskan serta pan-dangan para ulama salaf dahulu, maka bagi Cak Nur menjadi jelasadanya “hubungan substansial” para nabi atau “kontinuitas” paraleldi antara mereka. Dengan ajaran dasar mengenai al-islâm dan Tauhidyang diturunkan kepada para rasul sebagai ajaran pokok yang benarkarena berasal dari Allah, maka terdapat konsep Kesatuan Kebe-naran, yaitu adanya Kebenaran Universal untuk semua utusan Tu-han dan umat manusia, karena ia datang dari Tuhan Yang Satu danSama dan Maha Benar. Menurut Cak Nur, Kebenaran Universalitu, dengan sendirinya, bersifat tunggal, meskipun ada kemung-kinan manifestasi lahiriahnya beraneka ragam. Dengan kata lain,Kebenaran Universal, atau dapat juga disebut sebagai “Agama Uni-versal,” “Agama Yang Lurus” atau “Agama Yang Benar” itu tunggaladanya karena berasal dari Tuhan Yang Tunggal, meskipun ketikaturun ke dunia historis, atau ke alam fenomena, menjadi bentuk/wujud agama-agama dan keyakinan yang beragam (berbeda).Bahkan menurut Cak Nur, secara antropologis, pada mulanya umatmanusia adalah tunggal karena berpegang pada kebenaran yangtunggal. Namun, mereka kemudian berselisih satu sama lain karenaadanya kepentingan yang berbeda dan nafsu memenangkan suatupersaingan, maka terjadilah perbedaan dan perpecahan sebagaibagian dari hukum alam yang tak mungkin dihindari.177 Sejak saatitu manusia menjadi beragam dan bermacam-macam, termasukkeyakinan keagamaannya. Meski begitu, al-Qur`an telah merekammengenai Kesatuan asal umat manusia itu dan perpecahan merekahingga menyebabkan Tuhan mengutus banyak nabi dengan ajaranhistoris yang berbeda-beda, namun Satu dalam esensinya.

Page 180: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

263Dr. Media Zainul Bahri

Dalam keyakinan Cak Nur, adanya persamaan atau “kesatuanesensial” dari sumber agama yang berbeda-beda bukan sesuatuyang mengejutkan, sebab semua yang benar berasal dari sumberyang sama, yaitu Allah Yang Maha Benar (al-Haqq). Dan semuanabi dan rasul membawa ajaran kebenaran yang sama. Perbedaanyang ada hanyalah dalam bentuk-bentuk respons khusus (partiku-lar) tugas seorang rasul sesuai dengan konteks ruang dan waktu dimana ia berada. Karenanya, perbedaan (manifestasi, bentuk atausyari’at agama-agama) tidak bersifat prinsipil, sedangkan ajaran po-kok para nabi dan rasul adalah sama.178 Ketika membicarakan hu-bungan substansial para nabi, Cak Nur membuat catatan-catatankhusus mengenai komunitas para pemilik kitab suci atau Ahl al-Kitâb. Menurut Cak Nur, konsep Islam mengenai Ahl al-Kitâbmerupakan doktrin yang unik yang tidak pernah ada sebelum Is-lam. Dengan doktrin ini Islam memberi pengakuan tertentu kepadapara penganut lain yang memiliki kitab suci, namun bukan berartimemandang semua agama adalah sama—suatu hal yang mustahilkarena banyak agama yang berbeda memiliki prinsip-prinsip ajaranyang berbeda pula. Konsep mengenai Ahl al-Kitâb juga memilikidampak sosiokultur dan keagamaan yang luar biasa, sehingga da-lam pandangan Cak Nur, Islam adalah agama yang pertama kalimemperkenalkan pandangan tentang toleransi dan kebebasan ber-agama pada umat manusia, dan pada gilirannya, dalam sejarah per-adaban Islam, kaum Muslim mengembangkan budaya kosmopoli-tanisme yang didasarkan pada tata masyarakat yang terbuka dantoleran.179

Pembicaraan tentang Ahl al-Kitâb biasanya dialamatkan kepadakaum Yahudi dan Nasrani karena al-Qur‘an menyebut kedua ko-munitas itu secara eksplisit sebagai Ahl al-Kitâb. Namun, bagi CakNur karena orang Arab umumnya dan kaum Muslim perdana khu-susnya hanya mengenal dua komunitas itu sebagai yang memilikikitab suci, maka hal itu menjadi alasan kontekstual atau asbab nuzûlal-Qur‘an hanya menyebut dua komunitas itu. Dengan mengutippara sarjana Islam yang dianggap Cak Nur memiliki otoritas, ke-

Page 181: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

264 Wajah Studi Agama-Agama

luasan cakrawala dan kedalaman pemahaman Islam, Cak Nur inginmelangkah lebih jauh tentang komunitas keagamaan lain yang jugamemiliki kitab suci selain Yahudi dan Kristen. Maka dengan meru-juk kepada pandangan Abdullah Yusuf Ali melalui The Holy Qur‘an,Translation and Commentary, Muhammad Rasyid Ridha melaluiTafsîr al-Manâr, dan seorang ulama Nusantara, Abdul Hamid Hakimmelalui karyanya al-Mu’în al-Mubîn, Cak Nur mengajak kaum Mus-lim untuk mempertimbangkan secara serius, untuk tidak menye-butnya “mengajak menyetujui,” bahwa para pemeluk agama lainseperti kaum Sabean, Majusi, Zoroaster, Hindu, Buddha, Kong-hucu, Shinto Tao dan lain-lain yang memang memiliki kitab yangdisucikan oleh para pemeluknya, juga pantas disebut Ahl al-Kitâb.180

Dari uraian panjang Cak Nur tentang hal ini, kiranya ia memi-liki tiga alasan pokok: pertama, terdapat ayat-ayat dalam al-Qur‘anyang menegaskan bahwa “Tuhan telah mengutus seorang utusan(rasul) kepada setiap umat (komunitas),” “Dan rasul-rasul itu adayang diceritakan (oleh al-Qur‘an) dan ada yang tidak,” juga ayatlain yang menyatakan bahwa “Tuhan tidak pernah mengutus se-orang rasul kecuali dalam bahasa kaumnya.” Nah, menurut CakNur, apa yang disebut ummah adalah sekumpulan manusia. Karena-nya, kalau di Jawa ada sekumpulan manusia, maka di situ ada nabi.Begitu pula di tempat lain seperti China, India atau Persia misalnya,Tuhan pasti mengutus seorang utusan untuk membawa kabar gem-bira dan ajaran pokok lainnya. Namun, jangan harap utusan Tuhanitu disebut “nabi” atau “rasul” pada bangsa-bangsa non-Semitikkarena dua kata itu berasal dari bahasa Arab dan Ibrani yang artinyaorang yang mendapat berita dan utusan. Juga apa yang dimaksuddengan “bahasa kaumnya” adalah bahasa dan simbol-simbol yangdikenal oleh komunitas tempat utusan Tuhan itu berada; bahasakultural, the mode of thinking, dan termasuk pula kosmologi.181

Kedua, Dengan kembali mengutip pandangan Rasyid RidhaCak Nur berargumen bahwa al-Qur‘an hanya menyebut kaum Ya-hudi, Nasrani, Sabean dan Majusi disebabkan komunitas inilah yangpertama-tama dikenal oleh bangsa Arab dan letak geografis mereka

Page 182: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

265Dr. Media Zainul Bahri

juga berdekatan dengan bangsa Arab. Orang-orang Arab pada masaitu belum pernah melakukan perjalanan ke negeri India, Jepangatau China sehingga mereka tidak mengetahui komunitas keaga-maan lain. Menurut Ridha seperti dirujuk Cak Nur, al-Qur‘an telahberhasil mencapai maksudnya dengan cara menyebut agama-aga-ma yang dikenal oleh bangsa Arab tanpa perlu membuat kete-rangan yang asing (ighrâb) tentang golongan lain yang tidak dikenalbangsa Arab.182

Ketiga, dengan merujuk kepada pandangan Abdul HamîdHakîm, Cak Nur setuju bahwa agama-agama Hindu, Buddha, Chinadan Jepang termasuk Ahl al-Kitâb adalah karena ajaran asli/dasarmereka adalah Tauhid.183 Seperti telah disebut di muka bahwa padasetiap komunitas Tuhan menurunkan seorang rasul yang mem-bawa ajaran pokok berupa Tawhid: mengenal Tuhan Yang MahaEsa dan Maha Pencipta segala sesuatu. Karena ajaran dasar merekaadalah Tawhid, maka Ahl al-Kitâb tidak termasuk ke dalam go-longan kaum musyrik. Dalam hal ini Cak Nur lalu merujuk kepadapendapat Ibn Taymiyyah. Menurut Ibn Taymiyyah seperti dikutipCak Nur, asal-usul agama Ahl al-Kitâb adalah mengikuti kitab-kitabyang diturunkan dari Allah yang membawa ajaran Tawhid, bukanajaran syirik. Kitab suci mereka juga tidak mengandung syirik. JikaAllah menyifati mereka dengan syirik seperti tercantum dalam suratal-Taubah: 31 misalnya, karena mereka memang melakukan syirikdan bid’ah, itu adalah penyimpangan dan tidak berarti ajaran asli/dasar mereka berkurang keasliannya karena perbuatan syirik mere-ka. Hal itu sama dengan ajaran Islam dan kitab suci al-Qur‘an yangmengajarkan doktrin Tauhid dan memerangi pandangan serta sikapsyirik. Namun, dalam praktiknya tidak sedikit kaum Muslim yangmenciptakan banyak bid’ah dan melakukan perbuatan syirik.184

Karena ajaran pokok para utusan Tuhan yang turun pada semuabangsa di dunia ini—dalam beragam bahasa, kultur dan manifes-tasinya—maka kata Cak Nur, semua agama, baik karena dinamikainternalnya sendiri atau karena persinggungannya satu sama lain,akan secara bertahap menemukan kebenaran asalnya sendiri, se-

Page 183: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

266 Wajah Studi Agama-Agama

hingga semuanya akan bertumpu dalam suatu “titik-pertemuan,”“common platform” atau dalam istilah al-Qur`an “kalimah sawâ`”sebagaimana perintah Allah kepada Nabi Muhammad untukmengajak kaum Ahl al-Kitâb kepada kalimah sawâ` itu, yaknikonsep dan sikap ber-Tawhid dan tidak menyekutukan-Nya dengansiapa dan apa pun jua.185

Dengan mengakui Ahl al-Kitâb sebagai komunitas yang meng-anut paham Tawhid dengan ajaran dasar yang ber-Tawhid juga,maka kini Cak Nur melangkah kepada persoalan keselamatan diakhirat, suatu persoalan klasik yang telah dan akan terus menjadiperdebatan sengit di kalangan ulama dan sarjana Muslim, apakahnon-Muslim (bukan umat Nabi Muhammad) akan selamat di akhi-rat serta mendapat rahmat-Nya? Sebagaimana sarjana Muslim plu-ralis (atau inklusif) lainnya, Cak Nur juga mengetengahkan suratal-Baqarah ayat 62 yang menyatakan bahwa orang-orang yangberiman (pengikut Nabi Muhammad), kaum Yahudi, kaum Nas-rani, kaum Sabean, siapa saja di antara mereka yang benar-benarberiman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, mereka akanmenerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terha-dap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Menurut CakNur, perbedaan pandangan di kalangan ahli tafsir mengenai ayatini sulit didamaikan karena dalam pandangan para ahli tafsir tradi-sional siapa pun yang ingkar terhadap Nabi Muhammad adalah “ka-fir” dan orang kafir “tidak akan masuk surga.” Karena itu, beberapamufassir tradisional akan menafsirkan ayat itu dengan pendapatbahwa yang dimaksud kaum Yahudi, Nasrani, Sabean, dan Majusiadalah mereka para penganut agama tersebut sebelum Islam datang.Atau, komunitas keagamaan itu adalah mereka yang kemudianmasuk Islam setelah datangnya Nabi Muhammad. Karenanya, yangdimaksud dengan beriman kepada Allah, hari akhir, dan berbuatkebajikan adalah menurut ajaran agama Islam versi Nabi Muham-mad.186

Namun, Cak Nur kelihatannya lebih mendukung pandangantafsir Abdullah Yusuf Ali dan Muhammad Asad yang menyatakan

Page 184: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

267Dr. Media Zainul Bahri

bahwa firman Allah itu sebuah ketegasan bahwa siapa pun dapatmemperoleh keselamatan (salvation) asalkan ia beriman kepadaAllah, hari akhir dan berbuat baik, tanpa memandang apakah iaketurunan Nabi Ibrahim seperti kaum Yahudi (dan kaum Quraisydi Mekkah) atau bukan. Ini sejalan dengan penegasan Tuhan kepa-da Nabi Ibrahim sendiri, ketika nabi itu dinyatakan akan diangkatoleh Allah untuk menjadi pemimpin umat manusia, dan ketikaIbrahim bertanya, dengan nada memohon, “Bagaimana dengan ke-turunanku (anak-cucuku) (apakah mereka juga akan diangkat men-jadi pemimpin umat manusia)? Maka Allah menjawab, “Perjanjian-Ku ini tidak berlaku bagi mereka yang zalim.”187 Jadi, menurut CakNur, keselamatan tidak didapat oleh manusia karena faktor ketu-runan, tetapi oleh siapa saja berdasarkan iman kepada Allah, hariakhirat, dan prestasi yang saleh, suatu prinsip yang banyak sekalimendapat tekanan dalam kitab suci.188

Seluruh pandangan teologis Cak Nur di atas; dari konsep Taw-hid, Islam, Ahl al-Kitâb hingga keselamatan kaum beriman dalamtradisi agama apa pun sesungguhnya menggambarkan pandanganutuh dan holistik Cak Nur mengenai apa yang disebut dengan“pluralisme agama” bukan sekadar “pluralitas agama.” MenurutCak Nur, berdasarkan prinsip-prinsip teologis di atas, umat Islammelalui para pemimpin dan ulamanya sejatinya telah lama me-ngembangkan pluralisme agama. Khusus mengenai konsep Ahlal-Kitâb, menurut Cak Nur, maka pluralisme agama dalam Islambukan semata pengakuan terhadap kaum Yahudi dan Kristen beser-ta berbagai aliran dan sektenya yang secara eksplisit memang dise-but oleh al-Qur`an sebagai Ahl al-Kitâb, namun juga mencakupagama-agama lain seperti Majusi atau Zoroastrian, agama-agamadi India seperti Hindu dan Buddha, dan agama-agama di Chinadan Jepang.189

Apa yang dimaksud Cak Nur dengan pengertian pluralismeagama? Dalam sebuah tulisan Cak Nur menjelaskan pandanganpara ahli teologi mengenai sikap-sikap beragama, yaitu pertama,sikap eksklusif dalam melihat agama lain (Agama-agama lain adalah

Page 185: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

268 Wajah Studi Agama-Agama

jalan yang salah, yang menyesatkan bagi para pengikutnya). Kedua,sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk implisit agamakita), dan ketiga, pluralis, yang bisa diekspresikan dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-agama lain adalah jalan yangsama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama,” atau “Aga-ma-agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenar-an-kebenaran yang sama-sama sah.” Nah, menurut Cak Nur,sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifatinklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin plu-ralis.190 Jadi, bagi Cak Nur, prinsip-prinsip Islam yang ia pahamiminimal membawa semangat inklusivisme, dan jika ditelusuri lebihdalam hingga ke jantungnya (hakikat) maka ajaran-ajaran pokokIslam sejatinya sesuai dengan semangat doktrin pluralisme agama,yaitu pengakuan bahwa agama-agama non-Islam adalah jalan-jalanyang sejajar dan sama-sama absah dalam mencapai Tujuan Akhiryang Sama, yaitu Tuhan Yang Mahaesa. Cak Nur lalu merujuk ke-pada filsafat perenial, yang juga diapresiasi oleh sarjana-sarjanaMuslim terkemuka seperti Rene Guenon, Frithjof Schuon dan Sey-yed Hossein Nasr, yang salah satu doktrin pokoknya adalah bahwasetiap agama merupakan ekspresi keimanan (dalam bentuk yangberagam) terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda ituadalah Tuhan, dan jari-jarinya adalah beragam jalan dari berbagaiagama. Filsafat perenial, lanjut Cak Nur, juga membagi agama padalevel esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbedadengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalamlevel esoteriknya. Karenanya, ada istilah “Satu Tuhan Banyak Ja-lan.”191

Meski demikian, harus pula disadari bahwa Cak Nur menegas-kan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi dan utusan Tuhan yangterakhir. Cak Nur—dalam banyak kesempatan—sering menyatakantentang hal ini, bahkan ia membuat satu tulisan khusus mengenaihal ini.192 Di sini kita melihat Cak Nur sebagai “Muslim formal”yang sulit untuk tidak bersikap taat terhadap ajaran normatif Is-lam. Menurut Cak Nur, ajaran bahwa Nabi Muhammad adalah

Page 186: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

280 Wajah Studi Agama-Agama

hasa Latin (Katolik) dan satunya dengan bahasa Arab (Islam). Ter-hadap agama-agama lain yang berbeda, Gus Dur memandang bah-wa dengan cara melihat persamaan-persamaan esensial diantaraagama-agama, maka yang muncul adalah unsur yang dapat mem-persatukan ketimbang memisahkan dan sikap saling menghargaisatu sama lain.223

Bagi Gus Dur, secara esensial semua agama adalah sama karenadiwahyukan dari Tuhan Yang Sama. Pandangan Gus Dur ini samadengan doktrin dalam filsafat perenial bahwa Satu Esensi yang samaitu memanifestasi dalam banyak atribut, bentuk atau identitas kul-tural yang bermacam-macam. Perbedaan-perbedaan bentuk ataumanifestasi agama yang disebabkan oleh keragaman budaya menu-rut Gus Dur, sejatinya harus membuat orang saling mengenal danmenyayangi demi menegakkan moralitas, solidaritas dan kasih sa-yang di antara sesama.224 Pandangan esoterik keagamaan Gus Duritu membawanya kepada penafsiran-penafsiran Islam yang pluralisdan liberal; liberal dalam arti lebih menekankan konteks ajaranagama dibanding terpaku pada yang tekstual. Tentang persoalansiapakah yang disebut orang kafir? Bagi Gus Dur, non-Muslimbukanlah orang kafir. Non-Muslim yang memiliki agama tidak bisadisebut kafir. Dalam penafsiran Gus Dur, kelompok yang disebutkafir dalam al-Qur‘an adalah orang-orang yang menolak eksistensiTuhan, nikmat Tuhan, dan kaum kafir Mekkah yang memerangiNabi Muhammad dan sahabatnya. Jadi, harus dilihat konteksnya.225

Dalam soal merayakan Natal misalnya. Ketika Gus Dur ditanyatentang orang-orang Islam yang ikut merayakan atau berpartisipasidalam kegiatan Natal tetangga mereka yang Kristen karena adanyapandangan bahwa Nabi Isa memiliki tempat yang istimewa dalamajaran Islam, Gus Dur menjawab, “ Jika kita mengikuti ajaran agamakita secara penuh, maka kita (kaum Muslim) juga boleh merayakanNatal sebagaimana kita merayakan kelahiran Nabi Muhammad.”226

Dalam sebuah tulisan berjudul Harlah, Natal dan Maulid, GusDur kembali menegaskan bahwa Natal memang diakui oleh kitabsuci al-Qur’an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran Nabi Isa,

Page 187: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

281Dr. Media Zainul Bahri

yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa hari kelahiranitu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalambentuk yang sama tetapi dengan maksud yang berbeda, adalah halyang tidak perlu dipersoalkan. Bagi Gus Dur, jika ia merayakanNatal adalah penghormatan untuk Nabi Isa dalam pengertian yangia yakini, sebagai Nabi Allah. Ini berarti, kemerdekaan bagi kaumMuslim untuk turut menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yangsekarang disebut hari Natal. Mereka bebas merayakannya atau ti-dak, karena itu sesuatu yang dibolehkan oleh agama. Gus Dursendiri menghormatinya, bahkan ia senang jika ikut merayakannyabersama-sama dengan kaum Kristiani. Bagi Gus Dur, “Penghargaankepada kaum non-Muslim oleh kaum Muslim, tidak berarti me-nunjukkan kita telah meninggalkan akidah kita sendiri, melainkanjustru menunjukkan kedewasaan pandangan kita di mata mere-ka.”227 Di Mesir misalnya, menurut Gus Dur, Mufti kaum Muslim-yang bukan pejabat pemerintahan- mengirimkan ucapan selamatNatal secara tertulis, kepada Paus Shanuda (Pausnya kaum KristenKoptik di Mesir). Begitu pula sebaliknya, Paus itu memberi ucapanselamat pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi Gus Dur, Na-tal dan Maulid Nabi Muhammad, awalnya adalah sebuah acarakeagamaan, namun lama-kelamaan berubah menjadi sebuah “bu-daya” atau “dibudayakan” oleh masyarakat setempat.228

Terhadap kontroversi keberadaan Konghucu di Indonesia, apa-kah ia sebuah agama atau hanya sekadar filsafat hidup? Gus Durmembuat uraian kesejarahan. Menurutnya, Paham Konghucu (Konfu-sionisme) adalah sebuah kenyataan sejarah yang dibawa ke Indo-nesia oleh bangsa Tionghoa dari tanah air mereka, sejak berabad-abad yang lalu. Orang-orang keturunan Tionghoa didatangkan olehpemerintahan kolonial Belanda ke Nusantara untuk menggali tam-bang, membuka tanah-tanah pertanian dan mengolah hutan.Mereka datang ke sini dalam gelombang kedua, karena dibutuhkanuntuk mengolah daerah-daerah kosong yang masih merupakantanah-tanah perawan (virgin lands). Sementara itu, pada abad ke-15, seorang Menteri Peperangan Tiongkok yang menjadi wali raja

Page 188: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

282 Wajah Studi Agama-Agama

yang masih kecil, dan seorang pengikut Konghucu yang fun-damentalis, merasa takut jika orang-orang Tionghoa di perantauanakan kembali ke daratan China dan membeli tanah-tanah –yangterbatas jumlahnya itu, dari harta yang diperoleh dari perantauan.Karena itu, ia memerintahkan ditariknya kapal-kapal laut Tiongkokdari perantauan, lalu di akar di pantai Hainan. Dengan peristiwaini, maka terputuslah orang-orang China perantauan dengan lelu-hurnya. Di Indonesia sendiri, saat ini banyak orang asli Indonesiayang beragama Islam sesungguhnya adalah keturunan Tionghoa,namun telah bercampur dengan darah Arab dan lain-lain. MenurutGus Dur, sebagian orang Tionghoa yang dulu datang ke Nusantaramemandang Konfusionisme sebagai agama termasuk budaya-budaya yang mereka warisi dari leluhur. Sedangkan sebagian orang,termasuk paham Komunis di Tiongkok tidak bisa menerima pahamini sebagai agama, melainkan hanya sebagai filsafat hidup. MenurutGus Dur, jika ia ditanya pendapatnya soal ini, maka menurutnya,persoalan agama harus diserahkan kepada para pemeluknya, bukankepada pemerintah. Jika orang-orang Konghucu menganggapKonfusionisme sebagai agama, maka hal itu harus dihormati danditerima oleh pemerintah. Jika ada pejabat yang tidak menghargaikenyataan ini, maka ia telah menentang UUD 1945.229

Pandangan Gus Dur bahwa persoalan agama harus diserahkankepada para pemeluknya adalah pandangan Studi PerbandinganAgama modern yang mengarah kepada sikap-sikap yang humanisdan pluralis. Memang, seharusnya yang berhak menentukan vali-ditas suatu keyakinan adalah para pemeluknya, bukan orang luardan bukan negara. Karena hanya pemeluknya yang memiliki pe-ngalaman dan penghayatan penuh atas keyakinannya itu.

Pandangan-pandangan keagamaan Gus Dur yang humanis danpluralis itu, menurut Husein Muhammad, seorang tokoh NU dariCirebon dan pendukung pluralisme, adalah gagasan yang juga di-usung oleh para sufi besar. Para sufi agung seperti Ibn ‘Arabî, Rûmî,al-Ghazâlî, dan Ibn ‘Athâillah, kata Husein, adalah mereka yangsering menyuarakan gagasan pluralisme dan persaudaraan univer-

Page 189: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

283Dr. Media Zainul Bahri

sal. Mereka tidak memiliki keraguan sedikit pun bahwa tidak adaapa pun di alam semesta ini kecuali Tuhan Yang Satu, yang ke ha-dapan-Nya seluruh yang ada tunduk dan berserah. Seluruh yangada, sejak ia ada sampai keberadaannya dicabut, selalu dan akanterus menerus mencari Dia melalui jalan dan bahasa yang berbeda-beda, seperti sebuah syair sufistik yang indah:

Bahasa kita begitu beragamtetapi Engkaulah Satu-satunya yang IndahDan kita masing-masing menujukepada Keindahan Yang Satu itu.230

Kedua, gagasan pluralisme Gus Dur juga berakar pada pan-dangan politiknya, dalam arti politik kebangsaan. Sejak awal GusDur meyakini bahwa Pancasila merupakan ideologi terbaik bagibangsa Indonesia, dan bukan ideologi negara Islam. Gus Dur adalahsalah satu tokoh muda NU pada 1980 yang berperan aktif men-dorong NU untuk menerima asas tunggal Pancasila. Dalam negaraPancasila, semua pemeluk agama memiliki hak dan kewajiban yangsama di depan hukum. Tidak ada agama yang dinomorduakan,juga tidak ada yang dinomorsatukan. Pancasila memang tidak bisadibandingkan dengan agama. Pancasila, yang berfungsi sebagaiideologi dasar negara dan konstitusi dapat mengakomodasi aspirasiberbagai agama dan menempatkannya secara fungsional. Dalampengertian inilah menurut Gus Dur, Pancasila dipahami sebagaiaturan main yang mengatur semua agama dan keyakinan dalamkehidupan sosialnya.

Sebagai seorang nasionalis, Gus Dur memandang bahwa me-letakkan Pancasila sebagai dasar negara oleh para pendiri bangsaini sudah sangat tepat. Gus Dur sering merujuk kepada MuktamarNU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), yang memutuskanbahwa Negara Hindia Belanda yang diperintah oleh kolonialBelanda (non-Muslim) wajib hukumnya dipertahankan secaraagama dengan dua alasan: pertama, karena kaum Muslim merdeka

Page 190: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

284 Wajah Studi Agama-Agama

dan bebas menjalankan ajaran Islam, dan kedua, karena dulu dikawasan tersebut (Nusantara) telah ada Kerajaan Islam.231 Fleksibi-litas tokoh-tokoh NU dan tokoh Islam lainnya kemudian ditunjuk-kan pula melalui penerimaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasardan konstitusi negara, sambil menolak Piagam Jakarta. Namundemikian, menurut Gus Dur, hubungan antara Islam dengan Pan-casila belum benar-benar dapat selesai dengan tuntas, mengingatkemungkinan munculnya friksi antara kepentingan kaum Mus-lim dengan kepentingan negara. Friksi itu niscaya muncul karenaadanya perbedaan watak di antara keduanya. Islam, sebagai agama,memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan individu dankolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti Republik In-donesia tidak akan mungkin memberlakukan nilai-nilai normatifyang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dariagama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain,tidak semua nilai normatif yang dimiliki Islam dapat diberlakukandalam kehidupan bernegara di Indonesia.232

Meski demikian, penerimaan ideologi Pancasila oleh kaumMuslim telah didudukkan secara tepat, yaitu sebagai landasan kon-stitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkanIslam menjadi akidah dalam kehidupan kaum Muslim. Antara ideo-logi sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan denganagama, tidak mencari penggantinya dan tidak diperlakukan sebagaiagama.233 Bagi Gus Dur, esensi Pancasila adalah menjaga pluralisme.Gus Dur merujuk kepada pidato Bung Karno bahwa kebhinekaan-lah yang menjadi alasan berdirinya bangsa ini. Kebhinekaan ataupluralitas budaya bangsa ini, selain menjadi pengikat dalam mem-bentuk sebuah bangsa juga merupakan kekayaan yang menghim-pun untuk menjadi sebuah wadah yang disebut Negara KesatuanRepublik Indonesia.234 Dengan Pancasila dan kebhinekaan itu, makasemua pemeluk agama memiliki kemerdekaan untuk berkeyakinandan bebas mengekspresikan keyakinannya tersebut. Karena itulahbagi Gus Dur, mengekang kebebasan beragama dengan alasan apapun, termasuk oleh negara, adalah tindakan kriminal yang harus

Page 191: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

285Dr. Media Zainul Bahri

dilawan.235 Menurut Gus Dur, kesadaran pluralisme hanya akanmuncul jika negara tidak melakukan “formalisasi” ajaran agama.Dalam pemahaman teologis Gus Dur, karena al-Qur`an sendiri men-jamin kebebasan beragama dan tidak ada pemaksaan dalam berke-yakinan, maka negara tidak boleh menentukan satu agama tertentulebih unggul dibanding agama lain.236 Namun, dalam konteksmasyarakat Indonesia yang agamis, Gus Dur juga tidak setuju jikaPancasila diberi arti sebagai ideologi sekuler, dalam arti memisahkanagama dari negara seperti pandangan Ali Abdurraziq, seorangpemikir liberal dari Mesir. Agama, dalam hal ini Islam, menurutGus Dur, dalam negara Pancasila memiliki dua fungsi: pertama,sebagai sumber etika sosial, dan kedua, unsur-unsur Islam se-sungguhnya dapat berpenetrasi menjadi hukum positif melaluikonsensus, misalnya lahirnya undang-undang tentang Perkawinan(1974) dan undang-undang Peradilan Agama (1989)237 sebagai pro-duk yang “Islami.”

Dalam konteks Pancasila, kebhinekaan, dan kebebasan ber-agama inilah Gus Dur selalu tampil di depan untuk membela ke-lompok-kelompok minoritas keagamaan yang dihambat kebebasanberagamanya oleh kelompok mayoritas. Gus Dur membela kebe-basan beragama itu sembari mengkritik pandangan dan sikap kaumMuslim, terutama tokoh-tokohnya, seperti Majelis Ulama Indone-sia (MUI) misalnya, yang bersikap arogan dalam kehidupanbernegara yang majemuk ini. Dalam hal ini kita bisa melihat pem-belaan Gus Dur terhadap pluralisme yang diharamkan oleh MUIdan Ahmadiyah. Menurut Gus Dur, batasan dan hubungan antarakebenaran sebuah keyakinan dengan pergaulan antara sesama peng-anut agama dalam konteks negara Republik Indonesia tidak bisahanya melihat dari kerangka keyakinan keagamaan saja. Banyakkaum Muslim misalnya, yang melihat dan memperlakukan peng-anut agama lain hanya dengan kerangka akidah Islam saja. Denganukuran ini, seorang Muslim menjadi sangat arogan dan puas ketika‘mengalahkan’ agama lain. Arogansi seperti inilah yang menjadikankaum Muslim yang “sempit pandangan” itu berstandar ganda da-

Page 192: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

286 Wajah Studi Agama-Agama

lam bernegara. Di satu pihak, mereka memerlukan negara untuktetap hidup. Di pihak lain, mereka tidak peduli terhadap eksistensi/wujud negara ini. Padahal, salah satu cara untuk mempertahan-kannya adalah memahami watak kemajemukan hidup beragamadi negeri ini, yaitu dengan bersikap toleransi (tenggang rasa) antarasesama penganut agama. Dalam pengertian inilah, Gus Dur me-mandang bahwa MUI yang mengeluarkan fatwa haram atas plu-ralisme memperlihatkan adanya sikap yang tidak mau tahu dengantoleransi, yang sebenarnya menjadi inti dari kehidupan beragamayang serba majemuk di negeri ini. Itulah sebabnya, mengapa parapendiri Republik Indonesia berkeras mengatakan bahwa negaraini bukanlah sebuah negara agama. Lalu apakah para pemimpinIslam waktu itu seperti: Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. KaharMuzakir dari Muhammadiyah, Abikusno Tjokrosuyoso dari SerikatIslam, Achmad Subarjo dari Masyumi, AR. Baswedan dari PartaiArab Indonesia, K.H. Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama dan H.Agus Salim, adalah tokoh-tokoh gadungan yang tidak mewakiligolongan Islam?238

Menurut Gus Dur, mereka adalah tokoh-tokoh Muslim pendiriIndonesia yang berpandangan luas mengenai hubungan timbal ba-lik dengan para pengikut dan pimpinan agama-agama lain. Selamalebih dari empat dasawarsa, umat beragama hidup dalam tradisisaling menghormati. Secara retoris, Gus Dur bertanya: “Mengapakita harus menerima ‘pandangan kaku’ seperti itu, yang dimulaioleh segelintir orang yang ‘menggunakan’ MUI secara tidak wajar?Bukankah itu adalah sikap tergesa-gesa dari mereka yang meng-anggap diri sendiri sebagai pihak yang paling berhak menafsirkan‘kebenaran’ ajaran Islam?”239 Ketika Mr. AA Maramis mengajukankeberataan atas Piagam Jakarta, karena akan mengakibatkan duakelas warga negara di Indonesia (Muslim sebagai kelas pertama danNon Muslim kelas kedua), maka kata Gus Dur, para pendiri negaraini setuju seluruhnya untuk mengeluarkan piagam tersebut daripembukaan UUD 45. Berarti negeri ini bukan lagi negara agama,atau tepatnya negara Islam, dan dengan demikian penafsiran Mah-

Page 193: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

287Dr. Media Zainul Bahri

kamah Agung atas UUD 45 menjadi satu-satunya penafsiran legalatas hukum di negeri ini.240

Pemikiran Wahid yang sangat penting dalam soal Islam, negaradan pluralisme adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologi-sasi, dan syariatisasi Islam.241 Bagi Wahid, kejayaan Islam justruterletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secarakultural.242 Dengan kata lain, Wahid lebih memberikan apresiasikepada upaya kulturalisasi (culturalization). Karena itu, ayat yangberbunyi “udkhulû fi al-silmi kâffah” dan al-silmi ditafsirkan olehkaum Islam formalis dengan kata “Islami,” tetapi Wahid menafsir-kan kata itu dengan “perdamaian.” Menurut Wahid, konsekuensidari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. Mereka yang ter-biasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upaya-upaya untukmewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan meng-abaikan pluralitas masyarakat. Orang lain yang tidak sepaham de-ngan mereka yang “Islami” itu akan dianggap kurang atau tidakIslami. “Sistem Islami” secara otomatis juga akan menempatkanwarga non-Muslim di bawah kedudukan kaum Muslim, atau de-ngan kata lain, non-Muslim akan menjadi warga negara kelas dua.243

Ini yang ditolak secara tegas oleh Wahid.Ideologisasi Islam juga ditolak Wahid karena tidak sesuai de-

ngan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan “ne-gerinya kaum Muslim moderat.” Islam di Indonesia, bagi Wahid,muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju ideologis.244

Di sisi lain, Wahid melihat bahwa ideologisasi Islam mudah men-dorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah padapenafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan. Im-plikasi paling nyata dari ideologisasi Islam adalah upaya-upaya se-jumlah kalangan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi alternatifterhadap Pancasila, serta keinginan sejumlah kelompok untuk mem-perjuangkan kembalinya Piagam Jakarta. Juga langkah-langkahsejumlah pemerintah daerah dan DPRD yang mengeluarkan per-aturan daerah berdasarkan “Syari’at Islam.” Menurut Wahid, usaha-usaha untuk “meng-Islam-kan” dasar negara dan “men-syariatkan”

Page 194: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

288 Wajah Studi Agama-Agama

peraturan-peraturan daerah bukan saja ahistoris, melainkan jugabertentangan dengan UUD 1945.245

Penolakan Wahid terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari-atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan tentangnegara Islam. Seperti sering dinyatakannya, Wahid secara tegas me-nolak gagasan negara Islam.246 Sikapnya ini didasari oleh pandanganbahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsepyang baku tentang negara.247 Wahid mengklaim, sepanjang hidup-nya ia telah mencari dengan sia-sia makhluk yang bernama negaraIslam itu. “Sampai hari ini belum juga saya temukan. Sehinggasaya sampai pada kesimpulan bahwa Islam memang tidak memilikikonsep yang jelas tentang bagaimana negara dibuat dan diperta-hankan.”248

Atas larangan terhadap Ahmadiyah, Gus Dur juga menyesalkanpelarangan dan fatwa MUI tentang kesesatannya. Menurut GusDur, MUI lagi-lagi menunjukkan sikap arogan dan tidak bertang-gung jawab. Maka Gus Dur, bersama-sama dengan tokoh Islam lainseperti Azyumardi Azra, Ahmad Syafi’i Ma’arif (yang disegani orangkarena sikapnya yang hati-hati), M. Syafi’i Anwar, dan DawamRahardjo menolak fatwa MUI itu. Menurut Gus Dur, dirinya dantokoh-tokoh itu memahami benar bahwa Gerakan Ahmadiyah Indo-nesia (GAI) dilindungi oleh konstitusi kita, betapa pun kita berbedapendirian dengan mereka. Sementara argumentasi orang-orangyang tergabung dalam usaha pelarangan atau yang mendukungargumentasi untuk melarang GAI itu, adalah bahwa Saudi Arabiamelarangnya. Namun, kata Gus Dur, mereka melupakan satu halfundamental, yaitu Saudi Arabia adalah sebuah negara Islam, se-dangkan Republik ini bukan negara agama. Negeri ini, dengan Pan-casila dan sifat nasionalitasnya, dapat menerima perbedaan apa pundalam paham kenegaraan (kecuali komunisme dalam pandangansejumlah orang). Menurut Gus Dur, jika GAI dilarang, karena berbe-da dari pendapat doktriner sebagian besar kaum Muslim di negeriini, maka konsekuensinya adalah harus melarang juga pandangan-pandangan kaum Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan lain-lain.

Page 195: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

289Dr. Media Zainul Bahri

Lagi-lagi Gus Dur bertanya secara retoris: bukankah keyakinan me-reka juga tidak sama dengan keyakinan teologis mayoritas kaumMuslim?249

Menurut Gus Dur, menguatnya fundamentalisme Islam akhir-akhir ini, telah memunculkan kelompok Islam yang arogan yangkeinginannya hanya menunjukkan kelebihan Islam atas agama-agama lain. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki penge-tahuan agama yang mendalam. Kesenangan mereka adalah bersi-kap curiga secara berlebihan dan menonjolkan perbedaan-perbe-daan yang ada ketimbang mencari titik-temu antara Islam denganagama-agama lain. Keadaan ini sesungguhnya dapat memecah be-lah kaum Muslim sendiri. Karena itu, Gus Dur menawarkan bebe-rapa pandangan penting: (1) kaum Muslim mesti meresapi kembalipandangan teologis dari al-Qur‘an bahwa manusia diciptakan ber-beda-beda untuk saling mengenal (al-Hujurat: 13) dan satu ayat yangmemerintahkan kaum Muslim untuk bersatu, berpegang teguhkepada tali Allah dan tidak terpecah belah, (2) kaum Muslim harussadar dan bersikap realistis bahwa mereka tidak hidup sendirian disini, melainkan ditakdirkan oleh Allah untuk hidup bersama-samadengan para penganut agama lain. Bahkan mereka saat ini harus hidupdengan mereka yang tidak ber-Tuhan (Ateis), atau mereka yang me-miliki kerangka etis lain.250 Kaum Muslim hidup bersama denganorang-orang lain dalam satu ikatan kebangsaan. Segala perbedaanseharusnya mendorong munculnya sikap yang arif bijaksana, bu-kan sikap yang membuat hubungan yang ada menjadi semakinmemburuk, seperti pendapat MUI yang menimbulkan reaksi yangbegitu keras. Dengan berbagai kesadaran ini, Gus Dur berharapbahwa Islam akan menjadi agama yang besar bersamaan dengankedewasaan sikap dan keluasan pandangan kaum Muslim sen-diri.251

Jelas kiranya bahwa pandangan-pandangan Gus Dur tentangpluralisme, humanisme, toleransi dan dialog antaragama sepertiyang akan kita lihat, seluruhnya berakar pada warisan sejarah per-adaban Islam, pandangan teologis Islam, Pancasila dan kenyataan

Page 196: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

290 Wajah Studi Agama-Agama

keragaman kultur masyarakat Indonesia. Sebagai agamawan yangmemiliki pandangan luas mengenai kebudayaan, Gus Dur meng-gagas apa yang disebut sebagai “Pribumisasi Islam.” PribumisasiIslam pantas pula kita letakkan sebagai salah satu unsur pahampluralisme pada diri Gus Dur. Tesis Pribumisasi bagi Gus Dur ber-mula dari sebuah kenyataan bahwa Islam mengalami perubahan-perubahan besar dalam sejarahnya. Dalam bidang teologi, fikih,politik dan unsur-unsur Islam lainnya, Islam selalu mengalami per-gumulan dan dialektika dengan budaya-budaya di seluruh duniatempat Islam datang dan disambut. Ruh Islam tetap pada esensinya,namun bentuk-bentuk luarnya tidak harus selalu di “Arabkan,”karena tidak adanya keharusan (kewajiban) hukum agama untukdiseragamkan. Dalam konteks Islam Indonesia, Gus Dur bertanya:mengapa harus menggunakan kata ‘shalat,’ kalau kata ‘sembahyang’juga tidak kalah benarnya? Mengapa harus ‘dimushalakan,’ padahaldahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yangbaru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad.’ Dulu tuan guru atau kiaisekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankahini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukungkehadirannya di Nusantara ini?252

Menurut Gus Dur, yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi atauekspresi kehidupan Islam, bukan ajaran yang menyangkut inti ke-imanan dan peribadatan formalnya. Tidak diperlukan adanya ‘al-Qur’an Batak’ atau ‘Hadis Jawa.’ Islam tetap Islam, di mana saja ber-ada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya.Karena itu, sebagai bentuk kecintaan kepada budaya-budaya yangtelah lama berakar di Nusantara, Gus Dur lagi-lagi bertanya secararetoris: salahkah jika Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehi-dupan?253 Tentu saja bagi Gus Dur, jawaban atas pertanyaaan ituadalah bukan semata tidak salah melainkan juga perlu demi me-nunjukkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, di mana rahmatnya bisa“menyentuh” atau “mengakomodasi” kebudayaan umat manusiayang sejalan dengan esensi ajaran Islam, bahkan rahmat itu bisa me-wujud dalam wajah kebudayaan yang humanis.

Page 197: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

291Dr. Media Zainul Bahri

Seperti telah disebut di awal, Gus Dur tidak membuat tulisanakademik yang utuh, sistematis dan komprehensif mengenai ga-gasan-gagasannya tentang pluralisme, humanisme dan toleransiantarumat beragama. Akan tetapi, ia lebih banyak menunjukkanaksi-aksi nyata dalam memperjuangkan dan mewujudkan plu-ralisme itu. Ketika menjadi Presiden misalnya, Gus Dur, melaluiKepres No. 6/2000, mencabut peraturan yang melarang pemelukKonghucu untuk menjalankan ajaran agamanya secara terbuka.Indonesia juga pernah memiliki SK (Surat Keputusan) Menteri Da-lam Negeri tahun 1974 tentang pengisian kolom agama pada KTPyang hanya mengakui lima agama selain Konghucu. SK ini olehGus Dur kemudian dianulir karena bertentangan dengan Pasal 29UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia.Sebenarnya Gus Dur juga mengusulkan agar TAP MPRS No. XXIX/MPR/1966 yang melarang Marxisme-Leninisme untuk dicabut, na-mun usul Gus Dur itu kandas oleh penolakan yang masif dari ber-bagai elemen masyarakat, terutama oleh umat Islam sendiri yangtrauma dengan peristiwa Gerakan PKI pada 30 September 1965.Semua usaha itu menunjukkan komitmen Gus Dur yang kuat ke-pada pluralisme dan humanisme universal yang tidak dapat lagidibatasi oleh sekat-sekat primordialisme yang sempit.

C. Djohan EffendiMembincang isu pluralisme agama dan dialog antar-iman di

era Indonesia modern tak mungkin mengabaikan sosok dan peranpenting Djohan Effendi. Secara pribadi dan pemikiran ia dikenaldekat dengan Mukti Ali, Gus Dur, dan Cak Nur. Bersama dengandua nama terakhir dan tokoh-tokoh Muslim lainnya, Djohan jugaberani membela kebebasan beragama dan kelompok minoritas ke-agamaan yang tertindas. Yang unik dari Djohan adalah bahwa iaseorang birokrat di pemerintahan dan aktivis LSM sekaligus. Seba-gai pegawai, ia pernah menjadi staf pribadi Sekjen DepartemenAgama (Bahrum Rangkuti waktu itu), penulis pidato-pidato MenteriAgama Mukti Ali, dan selama 20 tahun menjadi penulis pidato-

Page 198: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

292 Wajah Studi Agama-Agama

pidato Presiden Soeharto.254 Puncaknya, sebagai birokrat, Djohandiangkat oleh Presiden Gus Dur sebagai Kepala Litbang DepartemenAgama. Sebagai aktivis LSM, Djohan memfasilitasi lahirnya lem-baga-lembaga dialog lintas agama dan iman seperti DIAN (DialogAntariman) Interfidei, MADIA (Masyarakat Dialog Antaragama)dan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace).255

Terkait dengan wacana pluralisme agama, Djohan menulis ba-nyak artikel, baik terkait langsung dengan isu tersebut maupunmenyangkut isu-isu kerukunan, dialog antar-iman dan kebebasanberagama. Sebelum bicara pluralisme agama, Djohan pertama-ta-ma mendefinisikan dulu apa itu pluralisme. Menurutnya, pluralis-me adalah;

Cara pandang dan pendekatan yang apresiatif dalam menghadapiheterogenitas suatu masyarakat yang para warganya terdiri dariberbagai kelompok etnik, ras, agama dan sosial yang menerima, meng-hargai dan mendorong partisipasi dan pengembangan budaya tra-disional serta kepentingan spesifik mereka dalam lingkup kehidupanbersama256

Dengan pengertian itu, Djohan mengandaikan bahwa pluralis-me akan benar-benar berfungsi jika terdapat ruang bersama di manamasing-masing pihak terlibat dalam pembentukan dan pengem-bangan komunitas bersama yang lebih luas, mencakup dan mewa-dahi semuanya tanpa menelantarkan kekayaan tradisi masing-masing.257 Dengan perspektif ini, maka prinsip utama pluralismebagi Djohan adalah: (1) adanya sikap toleran dan respek terhadappandangan, perspektif dan pengalaman masing-masing kelompokyang berbeda; (2) bersikap terbuka dan bisa menerima berbagaitanggapan semua pihak yang semuanya sah sepanjang bersikapkonsekuen dan konsisten menjunjung pluralisme.258

Terlihat bahwa Djohan sedang merumuskan pengertian plu-ralisme pada level sosio-politik dan prinsip-prinsip penting di da-lamnya. Penjelasan di atas dengan gamblang menunjukkan bahwa

Page 199: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

293Dr. Media Zainul Bahri

dalam pluralisme (yang dianut siapa pun: individu, kelompok ataunegara), maka yang ditonjolkan bukan semata sikap respek, apre-siatif dan toleran terhadap berbagai paham, cara pandang dan peng-alaman masing-masing, melainkan juga adanya keterlibatan aktifdalam membentuk dan mengembangkan komunitas masing-ma-sing yang diikat oleh prinsip-prinsip pluralisme, kebersamaan dankesetaraan. Jadi, bukan pluralisme dalam pengertian pasif dan cuek,masa bodoh, yang penting tidak saling mengganggu, melainkanpluralisme yang peduli, aktif, dinamis, dan kreatif dalam mengem-bangkan komunitas bersama.

Bagi Djohan pemahaman mengenai pluralisme sosial itu meru-pakan modal yang sangat penting bagi masyarakat multikultural.Saat ini masyarakat multikultural, yakni komunitas yang terdiridari beragam ras, etnik, budaya, dan agama, menghadapi tantanganproblem yang lebih luas dan kompleks. Problem masyarakat maje-muk yang multikultur saat ini lebih menantang karena adanya per-soalan diskriminasi, kesenjangan sosial-ekonomi, problem politikdan ideologi, adanya tuntutan persamaan dan kesetaraan dalamkedudukan dan kekuasaan dan lain-lain.259

Menurut Djohan, berbagai tantangan itu harus meneguhkanwarga bangsa untuk berkomitmen pada dua hal pokok: (1) masya-rakat multikultural secara konsisten dan konsekuen tidak memper-lakukan komunitas-komunitas kultural, baik internal maupun eks-ternal, secara diskriminatif, baik disengaja maupun tidak. Masya-rakat model ini harus menjamin keadilan sosial dan akses yangsama, baik bagi mayoritas maupun minoritas, untuk mendapatkankekuasaan politik dan kemampuan bekerja sama dalam semangatkesetaraan. Dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat multikul-tural hendaknya dapat mengembangkan identitas nasional yangtidak menyingkirkan kelompok mana pun. (2) Dengan semangatitu, maka para warga masyarakat multikultural tidak perlu ragudan takut untuk menyatakan identitas kultural mereka karenaadanya jaminan non-diskriminasi.260

Page 200: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

294 Wajah Studi Agama-Agama

Setelah menjelaskan pluralisme sosial, Djohan merumuskanpengertian pluralisme agama dari perspektifnya sebagai sarjanaMuslim. Menurutnya, pluralisme agama adalah fakta yang takmungkin dihindari, sama tidak mungkinnya untuk mengambil si-kap antipluralisme. Islam, yang dipahami Djohan, mengakui eksis-tensi agama-agama yang ada dan tidak menolak nilai-nilai ajaranagama-agama itu. Secara eksplisit, al-Qur’an menegaskan bahwarahmat dan ganjaran Tuhan akan diberikan kepada kaum berimanselain umat Nabi Muhammad yang diiringi amal kebajikan (al-Ba-qarah: 62).261 Dari perspektif ini, maka pluralisme agama bagi Djo-han adalah adanya pengakuan nilai-nilai kesucian dan kebenaranpada agama-agama non-Islam dan adanya kasih sayang Tuhan ataujalan keselamatan di akhirat kelak bagi para pemeluk agama non-Islam.

Pandangan pluralisme agama Djohan didasarkan pada tiga halpenting. Pertama, menurut Djohan soal paham pluralisme agamaterkait erat dengan konsep kesatuan kenabian. Al-Qur’an meng-ajarkan bahwa iman kepada para nabi berarti pula bahwa kaumMuslim tidak boleh membeda-bedakan mereka (al-Baqarah: 136).Semua nabi dan rasul, menurut Djohan, membawa misi yang sama,yaitu menebarkan agama perdamaian yang berlandaskan pada ke-pasrahan kepada Tuhan. Terkait dengan konsep kesatuan kenabian,Djohan mengutip hadis Nabi, “Para nabi itu bersaudara, ibu-ibumereka berlainan namun agama mereka satu.” Hadis ini dianggapDjohan memperkuat konsep kesatuan kenabian.262

Kedua, dengan konsep kesatuan kenabian, maka Islam meng-akui adanya titik-temu esensial dari berbagai agama, khususnyaagama-agama Semitik. Titik-temu itu misalnya dapat dilihat daripersamaan ajaran mengenai kepercayaan terhadap Tuhan YMEsebagai landasan untuk hidup bersama (Ali Imran: 63).263 Ketiga,adanya pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang relatiftidak mungkin mampu menangkap dan menjangkau secara utuh-menyeluruh akan agama sebagai doktrin kebenaran mutlak, apalagimenjangkau Tuhan. Karena itu, bagi Djohan, ketika seorang peng-

Page 201: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

295Dr. Media Zainul Bahri

anut agama berbicara tentang agama, maka yang sedang dibicara-kannya adalah agama dalam pemahaman, pengertian dan tafsir diaatas agama, bahkan agama yang dimaksudkannya adalah selaludalam bayang-bayang perspektif aliran atau sekte agama yang di-anutnya. Seorang beragama tidak mungkin dapat bicara “agama”dengan penjelasan yang komprehensif yang dapat disetujui olehpara pemeluk agama lain.264

Dalam mengapresiasi paham pluralisme agama dan fakta ke-majemukan agama yang rentan terhadap konflik intra dan antarpemeluk agama, Djohan menawarkan apa yang ia sebut sebagai“Teologi Kerukunan.” Teologi ini berarti suatu pandangan keaga-maan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan;suatu pandangan keagamaan yang didasarkan pada kesadaran bah-wa agama sebagai ajaran kebenaran tak pernah tertangkap dan ter-ungkap oleh manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keber-agamaan seseorang—pada umumnya—lebih merupakan produkatau pengaruh dari lingkungannya.265

Teologi Kerukunan merekomendasikan bahwa penerimaandan penganutan suatu agama sebagai satu-satunya keyakinan yangbenar dan menyelamatkan, tidak lagi cocok dan relevan. Pandanganyang eksklusif itu lahir dari pandangan keagamaan yang bersifatmutlak dan statis. Padahal pengalaman dan pengahayatan keaga-maan selalu bersifat dinamis. Pandangan yang eksklusif itu dengansendirinya tidak sesuai dengan paham pluralisme agama. MenurutDjohan, jika seorang Muslim membaca ayat ihdinas shirâmal mus-taqîm minimal 17 kali dalam sembahyangnya, mengapa ia harusmenganggap keyakinannya sebagai satu-satunya kebenaran? Jikaagama bisa dianggap sebagai jalan keselamatan, tidakkah keberaga-maan itu pada hakikatnya suatu proses pencarian yang tiada henti(seperti diisyaratkan dalam ayat di atas)?266 Karena itu efek dari pa-ham pluralisme agama adalah bahwa paham itu bisa merangsangpemeluk agama untuk beragama dalam proses yang terus dinamis,tidak statis dan final.

Page 202: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

296 Wajah Studi Agama-Agama

Teologi Kerukunan bagi Djohan lahir dari pergulatan dalamdialog antar-iman yang intens. Pada gilirannya, Teologi Kerukunanjuga akan melahirkan dialog yang berkualitas, yaitu dialog yangtidak asal dialog, melainkan dialog yang terbuka yang menuntutkedewasaan. Dialog yang dilakukan dengan dirinya sendiri dandengan orang lain dalam semangat kesetaraan dan semangat men-cari kebenaran dan titik-temu agama-agama.267 Berdasar pengalam-annya terlibat dalam banyak dialog, Djohan merasa kecewa dengandialog-dialog yang dilakukan selama ini. Menurut Djohan, hasil-hasil yang dicapai dialog antaragama tidak memuaskan, terutamaketika dihadapkan pada kenyataan bahwa prakarsa dialog hanyamelahirkan toleransi sosial.268 Dialog hanya menghasilkan sikapsaling menghormati saja, tetapi tidak menyentuh pada soal-soalyang substansial dan mendalam, misalnya pada soal iman danteologi.

Analisis Djohan yang mendalam terhadap gesekan dan bentur-an keras dalam kehidupan umat beragama, membawanya kepadasuatu pemahaman bahwa toleransi sosial masih cukup rapuh danmudah terjatuh kembali pada sikap saling curiga. Karena itu, Djo-han berpikir untuk memecahkan masalah ini dari akarnya, yaituiman. Dalam berbagai program dialog selama ini, kata Djohan,masalah-masalah yang menyangkut keimanan dan teologi selaludihindari, karena ingin menghindari perdebatan yang tidak perlu,bahkan berbahaya karena masalah iman sangat sensitif. Tetapi, bagiDjohan justru itulah masalah mendasar yang harus dipecahkan,yaitu keberanian berdialog pada soal-soal teologi yang sensitif.269

Teologi Kerukunan yang digagas Djohan juga dapat dibacasebagai bentuk kekecewaan dia terhadap model kerukunan yangdibuat oleh pemerintah Orde Baru yang formalistik, monolog dantop-down. Djohan lalu memikirkan model kerukunan yang cocokdengan apa yang dihadapi dan dibutuhkan oleh para pemeluk aga-ma; suatu model yang berakar dari situasi yang dihadapi masyarakatitu sendiri, yang menurutnya, lebih membutuhkan dialog yang“jujur dan terbuka” dibanding hanya menerima peraturan dan an-

Page 203: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

297Dr. Media Zainul Bahri

caman. Teologi kerukunan yang digagasnya adalah sesuai denganberkembangnya teologi inklusivisme yang dipelopori tokoh-tokohagama non-pemerintah, yang dengan gembira diapresiasi oleh Djo-han sendiri.270

Djohan merasa cocok dengan teologi inklusivisme karena mo-del teologi ini mendorong umat beragama untuk memeriksa kem-bali paham keselamatan yang dianut masing-masing agama. Setiappemeluk agama berhak mengklaim keselamatan bagi dirinya, na-mun pada saat yang sama ia tidak berhak untuk menghakimi bahwapemeluk agama lain tidak akan selamat alias akan masuk neraka.Bagi Djohan jelas bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatifTuhan. Manusia tidak pantas merampas wewenang Tuhan itu. BagiDjohan, dalam konteks hubungan antarpemeluk agama yang bera-gam, perlu ditumbuhkan sikap absolut-relatif. Absolut bahwa diri-nya benar dan selamat, tetapi kebenaran dan keselamatan itu menja-di relatif di hadapan pemeluk agama lain yang juga mengklaimkebenaran dan keselamatan. Teologi inklusif bekerja dalam kesa-daran menghargai pilihan-pilihan orang lain yang berbeda secaratulus.271

Sebagai kelanjutan dari Teologi Kerukunan, Djohan meyakinibahwa kehadiran agama-agama yang beragam merupakan anu-gerah Tuhan yang indah. Bagi Djohan, jika para pemeluk agamamau membaca secara luas seluk beluk agama-agama, maka setiaporang beriman akan menyadari betapa kaya perbendaharaan ke-arifan yang tersimpan dalam tiap-tiap agama. Setiap penganut aga-ma, menurut Djohan, mestinya membuka diri untuk menyimaknilai-nilai luhur yang tersimpan dalam berbagai agama dan keya-kinan.272 Bacaan dan pengalaman seorang pemeluk agama akanpersentuhannya dengan keyakinan orang lain akan memperkayacakrawala dan horizon keagamaan orang tersebut.

Pandangan dan sikap keagamaan Djohan yang pluralis sesung-guhnya disuburkan pula oleh sufisme Islam. Sejak 1970-an Djo-han ternyata sudah gandrung dengan sufisme, dan menulis skripsiyang membahas tasawuf al-Qur’an tentang perkembangan jiwa

Page 204: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

298 Wajah Studi Agama-Agama

manusia. Dengan penuh keyakinan, Djohan menuturkan bahwasufisme merupakan wahana untuk mengembangkan apa yangdiharapkan sebagai teologi cinta, sebab esensi sufisme memang cin-ta. Teologi cinta bisa memberi makna bagi hidup manusia yang kerasdan gersang. Cinta dalam sufisme bisa mengembangkan kehidupanyang lebih manusiawi dan bermartabat dalam sorotan Nur Ilahi.Bagi Djohan, teologi cinta dalam sufisme dapat menjadi obat bagidua hal pokok: (1) secara psikologis, teologi itu membawa optimis-me dan harapan. Sikap-sikap kebencian juga dapat diubah dandiganti oleh cinta; (2) sufisme mengajak para pengkajinya untuksampai pada jantung/esensi agama. Dengan menukik pada dimensibatin/terdalam dari agama, lahirlah pandangan dan sikap keaga-maan yang lentur, toleran dan menolak sikap-sikap absolut dalamberagama.273

Dengan teologi cinta dari sufisme, Djohan memimpikan sebuahdunia yang tidak dipisahkan oleh kotak-kotak agama. Hal ini tidakberarti ia menafikan agama-agama, namun sebagai pemikir danaktivis dialog antar-iman, Djohan memandang bahwa para pemelukagama lebih senang menciptakan pembatas satu sama lain. Tembokpembatas itu dibangun di atas teologi kebencian. Dengan teologicinta, Djohan tidak bermaksud untuk melebur agama-agama men-jadi satu—sebuah usaha yang mustahil—melainkan untuk men-dekatkan para pemeluk agama dalam satu kesadaran bahwa merekaadalah umat yang satu, seperti telah dinyatakan oleh al-Qur’an, yangsemestinya saling mengasihi. Ketika dunia dipenuhi oleh konflik,kebencian dan permusuhan, di mana para pemeluk agama juga ter-libat di dalamnya, maka bagi Djohan, ruh cintalah yang harus disu-burkan dalam kehidupan umat manusia.274

Terkait erat dengan gagasan pluralisme agama, Djohan sangatmenekankan pada kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menu-rutnya, kebebasan berkeyakinan adalah hak yang paling asasi dalamkehidupan umat manusia, baik pada tingkat pribadi maupun padatingkat kolektif. Bahkan, dengan mengutip tulisan Agus Salim,salah satu tokoh pendiri bangsa ini, Djohan menyetujui bahwa kebe-

Page 205: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

299Dr. Media Zainul Bahri

basan berkeyakinan itu bukan semata bagi orang yang percaya ke-pada Tuhan Yang Esa saja, melainkan harus pula ada kebebasan ber-keyakinan bagi orang-orang yang percaya pada tuhan yang banyak(polities) dan bagi orang ateis sekalipun. Mereka tetap berhak hidupdi tanah Indonesia. Dalam konteks ini menurut Djohan, hukum po-sitif harus adil dan harus menjamin kebebasan berkeyakinan ter-sebut.275

Seperti telah disebut, dalam masyarakat yang multikultur danmulti agama, toleransi yang harus dikembangkan adalah toleransiyang tidak berhenti pada sekadar pengakuan akan keberadaan oranglain yang menganut keyakinan yang berbeda bahkan bertentangandengan kaum Muslim, melainkan juga menuntut komitmen danusaha untuk hidup bergandengan dalam semangat kebersamaandan kesetaraan.276 Bahkan, menurut Djohan, dari perspektif Islamyang diyakininya, menghormati keyakinan orang lain dan membelakebebasan berkeyakinan adalah bagian dari ajaran Islam danmerupakan bagian dari kemusliman. Keharusan untuk membelakebebasan beragama, menurut Djohan, telah diisyaratkan oleh al-Qur’an sendiri yang disimbolkan dalam sikap mempertahankanrumah-rumah peribadatan seperti biara, gereja, sinagog dan masjid(surat al-Hajj: 40).277

Sekali lagi, bagi Djohan, diskriminasi adalah musuh bersamamasyarakat multikultur dan multi agama. Ia adalah aib dan nodayang mencemari sebuah masyarakat beradab yang menjunjungtinggi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan. Diskriminasi bersum-ber dari egoisme kelompok yang ingin menang sendiri, sikap yangmeremehkan pihak lain—yang dianggap minoritas—hingga me-munculkan perlakuan tidak adil terhadap keberadaan dan kepen-tingan mereka. Indonesia di hari-hari ini menurut Djohan, adalahIndonesia yang digaduhkan oleh fenomena egoisme sektarian yangmakin marak yang ditandai oleh tindak kekerasan dan pemaksaankehendak dari mereka yang merasa lebih berhak tinggal di tanahIndonesia ini. Menurut Djohan, ia sukar untuk mengerti mengapamereka yang mengaku beriman kepada Tuhan namun bertindak

Page 206: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

300 Wajah Studi Agama-Agama

seolah-olah lebih tuhan dari Tuhan sendiri, Pencipta dan PemilikKerajaan langit dan bumi, yang menyediakan bumi untuk dihunidan dinikmati oleh manusia makhluk ciptaan-Nya, tak peduliapakah mereka beriman atau kufur terhadap-Nya, apakah merekaberagama atau tidak? Bagi Djohan, sikap-sikap egoisme dan arogansiatas nama tuhan yang disertai tindak kekerasan adalah sebuahkezaliman tiada tara.278

Seseorang yang arogan dan diskriminatif dalam beragama dandalam kehidupan sosial biasanya adalah ia yang anti-pluralis. Menu-rut Djohan, seorang anti-pluralis tidak bersedia berbagi tempat de-ngan orang lain yang tidak sepaham dengannya. Ia tidak bersediamenerima kehadiran orang lain yang berbeda, apalagi bertentangandengannya. Jika seorang anti-pluralis memegang kekuasaan, ia akanmemaksakan pikiran dan pendirian yang tidak sama dengan pikirandan pendirian yang hidup dan berkembang. Baginya satu-satunyakebenaran adalah pikiran dan pendiriannya. Yang lain dianggap“salah” dan “sesat.” Dengan memonopoli kebenaran, seorang anti-pluralis, disadari atau tidak, telah mengambil posisi Tuhan dan de-ngan gampang menghakimi iman orang lain.279 Pandangan dansikap seorang anti-pluralis, selain tidak cocok dengan atmosfer ma-syarakat multikultur dan multi agama, juga bertentangan dengansemangat agama yang humanis.

Sebagai Muslim, Djohan selalu tersentuh dengan pribadi NabiMuhammad yang menunjukkan sikap-sikap yang simpatik ter-hadap keyakinan non-Islam. Bagi Djohan, konflik-konflik Nabi de-ngan orang-orang Yahudi Madinah misalnya, bukan karena keya-kinan keagamaan mereka, melainkan karena pengkhianatan me-reka sendiri terhadap perjanjian-perjanjian yang dibuat denganNabi. Djohan juga senang untuk merujuk kepada fakta sejarah bah-wa Nabi—di masjidnya—pernah berdebat keras soal ketuhanandengan orang-orang Kristen Najran. Namun, ketika saatnya merekaharus melakukan kebaktian dan pamit kepada Nabi untuk mening-galkan masjid tempat mereka berdebat, secara mengejutkan Nabi

Page 207: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

301Dr. Media Zainul Bahri

mencegah mereka pergi keluar dari masjid dan mempersilakanmereka melakukan kebaktian di dalam masjid Nabawi itu.280

D. Jalaluddin RakhmatJalaluddin Rakhmat adalah salah satu cendekiawan Muslim In-

donesia yang mulai dikenal dan diperhitungkan pada era 1990-an.Ia juga dikenal sebagai dai yang memikat dan orator ulung karenakekayaan kosakata, intonasi suaranya yang sangat khas dan gayabicaranya yang komunikatif. Selain karena talenta yang dimilikinyadan bacaannya yang sangat luas, juga karena ia adalah ahli komu-nikasi dengan pendidikan formal dalam bidang Ilmu Komunikasi,bahkan menjadi Guru besar dalam bidang itu. Saat itu, dua kar-yanya yang cukup populer adalah Islam Aktual dan Islam Alternatif.Melalui pengajian rutin di “Salman ITB” Kang Jalal, begitu sapaanakrabnya, mulai menyebarkan gagasan-gagasan keislamannya yangbanyak merujuk kepada pemikiran Ali Ibn Abi Thalib, MurtadhaMuthahari dan tokoh-tokoh Syi’ah (Iran) lainnya. Di awal kemun-culannya, ia tidak pernah mengaku sebagai penganut Syi’ah. Namun,setelah reformasi meletus dan adanya jaminan kebebasan berpen-dapat, berkeyakinan dan berserikat Kang Jalal mulai mendekla-rasikan dirinya sebagai penganut Syi’ah, sebagai salah satu pendiriIjabi (Ikatan Jamaah Ahlul Bayt Indonesia), dan menjadi KetuaDewan Syuro lembaga Syi’ah Indonesia itu. Dulu, Kang Jalal banyakbicara tentang Islam yang berpihak kepada kaum lemah dan ter-tindas, lalu ia mendalami sufisme, terutama dari tokoh-tokoh Syi’ah.Pada saat yang bersamaan ia juga menggulirkan gagasan-gagasankeislaman yang bercorak inklusif, liberal dan pluralis. Baru bela-kangan ini ia secara intensif menulis dan berceramah tentang Syi’ah.

Pandangan pluralisme agama Kang Jalal sesungguhnya telahdimulai pada pertengahan era 1990-an. Namun, baru beberapa ta-hun terakhir ini gagasan-gagasan teologisnya tentang isu tersebutbaru diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Islam dan Plu-ralisme, Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan (2006). Kang Jalal me-mulai pandangan teologisnya dengan mengemukakan renungan

Page 208: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

302 Wajah Studi Agama-Agama

Gamal al-Banna, seorang anggota Ikhwan al-Muslimin dan adikdari Hasan al-Banna, salah satu tokoh terkemuka Ikhwan. Ketikameringkuk di penjara di tengah kota Kairo yang menyesakkan dandalam ancaman penguasa Muslim yang tidak berperikemanusiaan,Gamal al-Banna, kata Kang Jalal menemukan epifani; menemukanIslam-nya yang “baru” dan melihat dunia dengan cara yang baru.Ia melihat moral sosial dan sistem sosial orang-orang Eropa lebihIslami dibanding orang Islam sendiri yang penuh kemunafikan.Secara moral, masyarakat Eropa bisa jadi lebih dekat dengan Allahdan idealisme Islam dibanding banyak masyarakat yang mengakusebagai pemeluk Muslim. Dalam renungan Gamal, orang-orangnon-Muslim yang telah berjasa besar bagi kemanusiaan, seperti Tho-mas Alfa Edison misalnya, yang menemukan listrik dan dipakaioleh seluruh manusia, layak masuk surga. Kaum Muslim tidak ber-hak mengklaim bahwa hanya mereka yang masuk surga sedangkaum non-Muslim masuk neraka, karena kunci-kunci surga bukandi tangan kaum Muslim.281

Menurut Gamal seperti dijelaskan Kang Jalal, pandangan eks-klusif tentang neraka bagi kaum non-Muslim adalah keberanianyang luar biasa dalam merampas wewenang Allah. Apakah kaumMuslim yang memegang kunci-kunci neraka? Apakah mereka yangmenenggelamkan manusia ke neraka? Atas dasar apa mereka mem-bangun kesimpulan itu? Apakah mereka tidak sadar bahwa rahmatAllah tidak terbatas dan Dia akan membalas satu kebaikan dengantujuh ratus lipat kebaikan? Menurut Kang Jalal, Gamal al-Bannaberubah dari seorang eksklusif menjadi pluralis. Bagi kaum pluralis,semua pemeluk agama memiliki peluang yang sama untuk mem-peroleh keselamatan dan masuk surganya Allah. Semua agama be-nar berdasarkan kriteria masing-masing (Each one is valid within itsparticular culture). Kaum pluralis percaya rahmat Allah itu luas.Tuhan berfirman dalam hadis qudsi, “Al-Khalqu ‘iyâlî,” semuamakhluk itu keluarga besar Tuhan. Menurut Kang Jalal, “pertanyaandan kegelisahan Gamal al-Banna adalah juga pertanyaan saya sekianlama. Dan jawaban saya sama seperti jawaban al-Banna.” Kasih

Page 209: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

303Dr. Media Zainul Bahri

sayang Tuhan jauh lebih luas dari kasih sayang seorang ibu kepadaanak-anaknya.282

Kang Jalal mendasarkan pandangan teologisnya kepada duakarya tafsir yang dikaguminya, yaitu pertama Tafsîr yang ditulisoleh Sayyid Husseyn Fadhlullah, tokoh Syi’ah Hizbullah Libanon,dan kedua, Tafsîr al-Manâr karya Sayyid Rasyîd Ridhâ yang me-wakili mazhab Ahlussunnah. Ketika menafsirkan surat al-Baqarahayat 62 dan al-Ma‘idah ayat 69, Sayyid Fadhlullah menegaskanbahwa makna ayat-ayat itu sangat jelas. Keselamatan pada hari akhi-rat akan dicapai oleh semua kelompok agama yang berbeda-bedadalam pemikiran dan pandangan agamanya berdasarkan akidahdan kehidupan mereka dengan satu syarat: memenuhi kaidah imankepada Allah, hari akhir, dan amal saleh. Bagi Kang Jalal, ayat-ayatitu sangat jelas mendukung pluralisme. Ayat-ayat itu tidak menje-laskan semua agama benar atau semua kelompok agama sama.Tidak sama sekali. Ayat-ayat itu menegaskan bahwa semua golonganagama akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hariakhir, dan beramal saleh. Sebagian mufasir eksklusif mengakuimakna ayat-ayat itu, tetapi mereka menganggap ayat-ayat itu telahdihapus (nasakh) oleh surat Ali ‘Imran ayat 85, “Barang siapa yangmencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterimadarinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”Menurut Sayyid Fadlullah, makna ayat ini tidak bertentangan de-ngan ayat 62 al-Baqarah dan ayat 69 al-Ma‘idah. Karena itu tidakada ayat yang di-mansûkh. Islam pada Ali ‘Imran 85 adalah Islamyang “umum, yang meliputi semua risalah langit, bukan Islam da-lam arti istilah,” bukan Islam dalam arti agama Islam yang dibawaNabi Muhammad. Kesimpulan Fadhlullah itu diambil dari konteksayat itu dan ayat-ayat lain. Misalnya ayat 19 Ali ‘Imran: “Sesungguh-nya agama di sisi Allah adalah Islam.” Menurut Fadhlullah, berda-sarkan keterangan al-Qur‘an sendiri bahwa semua agama itu Islamdalam pengertian Islam umum, yaitu kepasrahan kepada Tuhan.Hal itu misalnya ditegaskan lagi dalam surat al-Baqarah 131-132.283

Page 210: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

304 Wajah Studi Agama-Agama

Kang Jalal sependapat sepenuhnya dengan Sayyid Fadhlullahbahwa makna Islam dalam Ali ‘Imran 85 adalah “kepasrahan to-tal” bukan Islam institusi. Menurut Kang Jalal selanjutnya, ayat 62surat al-Baqarah bagi Fadhlullah dimaksudkan untuk menegaskanunsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syaratuntuk memperoleh pahala Allah. Fadhlullah menyindir orang yangmerasa akan selamat hanya karena nama atau penampilan lahiriahbelaka. Keselamatan adalah berpegang teguh pada keimanan kepa-da Allah dan memiliki prestasi amal saleh. Atas ayat 62 surat al-Baqarah itu, Rasyîd Ridhâ juga menegaskan bahwa hukum Allahitu adil dan sama. Dia memperlakukan semua pemeluk agamadengan sunah yang sama, tidak berpihak pada satu kelompok danmenzalimi kelompok lain. Ketetapan dari sunah ini ialah bahwabagi mereka pahala tertentu dengan janji Allah melalui lisan rasulmereka. Rasyid Ridha lalu menyebut surat an-Nisa ayat 123-124.Menurutnya, dua ayat itu menjelaskan perlakuan Allah kepada se-tiap umat yang memercayai Nabi dan wahyunya masing-masing,yang mengira bahwa kebahagiaan pada hari akhirat seakan-akanpasti akan tercapai hanya karena ia Muslim, Yahudi, Nasrani, Sha-biah, misalnya. Padahal Allah berfirman keselamatan bukan karenakelompok keagamaan (jinsiyyah dîniyyah). Keselamatan diraih de-ngan iman yang benar yang menguasai jiwa dan amal saleh yangdapat memperbaiki manusia. Karena itu bagi Kang Jalal, tertolaklahanggapan bahwa keputusan Allah bergantung pada angan-anganorang Islam dan Ahli Kitab. Sudah ditetapkan bahwa keputusanAllah bergantung pada prestasi amal saleh dan iman yang benar(menurut agamanya masing-masing). Jadi, menurut Kang Jalal, ber-dasarkan uraian Sayyid Rasyîd Ridhâ itu, maka orang yang merasapasti akan selamat hanya karena ia Muslim, Nasrani atau Yahudiadalah orang yang terbuai atau tertipu (mughtarrîn) dengan nama(identitas lahiriah). Keselamatan hanya melalui tiga syarat sepertidisebut al-Baqarah ayat 62 di atas.284

Menurut Kang Jalal, jika semua agama adalah valid, mengapaTuhan harus repot membuat agama yang bermacam-macam? Me-

Page 211: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

305Dr. Media Zainul Bahri

ngapa Allah tidak menjadikan agama itu satu saja? Apa tujuan pen-ciptaan berbagai agama? Bagi Kang Jalal berbagai pertanyaan itutelah dijawab oleh al-Qur‘an dengan indah melalui surat al-Ma‘idahayat 48. Ayat itu berisi tiga pesan penting kata Kang Jalal, yaitu: (1)Agama itu berbeda-beda dari segi aturan hidup (syari’at) dan orien-tasi hidup (akidah). Karena itu, pluralisme bukan berarti semuaagama sama. Agama historis berbeda dengan agama lainnya dalamhal syari’at dan akidahnya. Perbedaan telah menjadi kenyataan. (2)Tuhan, sejak azali, tidak menghendaki manusia menganut agama yangtunggal. Keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji ma-nusia. Ujiannya adalah seberapa banyak manusia memberikan kon-tribusi kebaikan bagi manusia lain. Setiap agama disuruh bersaingdengan agama lain dalam memberikan kontribusi kepada kemanu-siaan (al-khayrât). (3) Semua agama kembali kepada Allah. Islam,Yahudi, Nasrani, Hindu, Buddha dan lain-lain hanya kembali kepadaAllah. Hanya Allah yang memiliki tugas dan wewenang untuk me-nyelesaikan perbedaan di antara agama. Manusia, sejatinya, tidakboleh mengambil alih wewenang Tuhan untuk menyelesaikan per-bedaan agama dengan cara apa pun, termasuk dengan fatwa.285

Pembicaraan mengenai pluralisme agama dalam Islam mem-buat Kang Jalal, sebagaimana juga Cak Nur, Gus Dur dan cende-kiawan Muslim lainnya—perlu menelaah lebih lanjut pengertiankata Dîn dan Islâm dalam berbagai variasinya. Menurut Kang Jalal,perdebatan di kalangan kaum eksklusif, inklusif dan pluralis menge-nai apakah orang-orang non-Muslim selamat atau tidak di akhiratkelak biasanya selalu merujuk kepada surat Ali ‘Imran ayat 85.Setelah menjelaskan pengertian kata Dîn menurut Hasan al-Mus-thafawî dalam karyanya al-Tahqîq Fî Kalimat al-Qur`ân al-Karîm,Kang Jalal sampai pada kesimpulan bahwa makna kata Dîn tidakakan jauh dari kepatuhan atau kepasrahan. Hukum disebut Dîn,karena peraturan tidak bisa tegak tanpa kepatuhan. Tradisi atauadat juga disebut Dîn karena perilaku tertentu dipatuhi dan dija-lankan terus-menerus, lalu seluruh anggota komunitas harus pasrahpadanya. Menurut makna asalnya, Dîn sama saja dengan Islam.

Page 212: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

306 Wajah Studi Agama-Agama

Dalam berbagai pengertian asalnya, kata Islâm ternyata hanyaberputar pada pengertian patuh, pasrah, berserah diri dan damai.286

Raghîb al-Isfahânî membagi Islam menjadi dua macam: (1) Islamdi bawah iman, yakni hanya mengakui dengan lidahnya saja sepertipernyataan orang Arab Badawi bahwa mereka telah beriman, na-mun kata Allah mereka hanya baru ber-islam.287 (2) Islam di atasiman, yakni pengakuan, keyakinan dalam hati, pelaksanaan dalamtindakan dan penyerahan diri kepada Allah secara total seperti kisahIbrahim yang sudah muslim (pasrah) tapi oleh Tuhan diperintahlagi “Islamlah (pasrahlah),” Ibrahim menjawab, “Aku pasrah kepadaPemelihara seluruh alam.”288 Al-Musthafawî juga membagi Islamdalam tiga tingkatan: (1) kepasrahan dalam amal lahiriah, gerakanbadan dan anggota tubuh. (2) Menjadikan diri sesuai atau sejalan lahirdan batin sehingga tidak terjadi pertentangan dalam niat, hati danamalnya. (3) Benar-benar dapat menghilangkan kontradiksi antaraniat, hati, amal dan eksistensi zat. Pada tingkat ini tidak ada eksistensidiri atau melihat diri. Seluruh wujudnya tenggelam dalam samuderawujud Yang Haqq, fana dalam kebesaran cahaya Dia. Yang tampakadalah hakikat makna penyerahan diri dan penyesuaian diri kepadaal-Haqq Yang Maha Mutlak, seperti firman-Nya, “Sesungguhnyakepatuhan di sisi Allah adalah kepasrahan total” (Ali ‘Imran: 19).289

Menurut Kang Jalal, tingkatan Islam yang diuraikan al-Mus-thafawî, meskipun ia penulis kamus, lebih bercorak esoterik diban-ding linguistik. Namun, baik al-Isfahânî maupun al-Musthafawîmenyebutkan tingkatan Islam itu karena menghadapi kesulitanmakna Islam dalam beragam ayat al-Qur‘an. Pada satu sisi, kataIslam dipergunakan dalam posisi lebih rendah dari Iman seperti“islam”nya orang Arab Badawi. Pada sisi lain, dalam kisah Ibrahimyang sudah jelas-jelas muslim, Tuhan menyuruhnya untuk Islamlagi. Tentulah Islam yang kedua ini lebih tinggi dari Islam yangpertama. Pada al-Musthafawî, kata Islam menunjukkan tingkatIslam yang paling tinggi, yakni dalam pengertiannya sebagai ‘irfân,ketika orang sudah meninggalkan al-katsrah (manyness, keanekaan)dan tiba di al-wahdah (oneness, kesatuan). Dengan merujuk pada dua

Page 213: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

307Dr. Media Zainul Bahri

kamus itu saja, bagi Kang Jalal, segera seseorang akan mengetahuibahwa pendapat yang mengatakan bukan Muslim tidak diterimaamalnya mengacaukan makna Islam dalam berbagai tingkatannya.Kata Islam dalam Inna al-Dîn ‘Inda Allâh al-Islâm (Ali ‘Imran: 19)menunjukkan Islam yang tinggi seperti Islamnya Nabi Ibrahim bu-kan Islam seperti yang tercatat dalam kartu penduduk. Dan Islampada tingkatan ini, menurut Kang Jalal, boleh jadi meliputi semuapengikut agama yang berbeda-beda. Dalam tulisan MurthadhaMuthahhari, inilah Islam wâqi’î sebagai lawan dari Islam geografis.290

Kang Jalal lalu merujuk kepada tingkatan Islam dalam pan-dangan Muthahhari, seorang ulama dan cendekiawan istimewakaum Syi’ah. Untuk menjawab apakah amal saleh non-Muslimditerima Allah atau tidak, Muthahhari membagi tiga tingkatanbentuk Islam (kepasrahan): (1) Islam fisik, yaitu kepasrahan karenaterpaksa atau karena mengikuti lingkungannya. Muthahhari me-nyebut istilah al-Islâm al-Jughrâfî (Islam geografis) kepada merekayang lahir, hidup, dan mati dalam lingkungan Islam. Inilah Islamketurunan. Menurut Muthahhari, kebanyakan kita adalah Mus-lim tradisional dan geografis. Kita menjadi Muslim karena orangtua kita Muslim. Kita juga hidup dan tumbuh dalam lingkunganmasyarakat Muslim. (2) Islam Aktual atau al-Islâm al-wâqi’î. InilahIslam yang memikul nilai-nilai ruhani dari langit (rûhiyyah sama-wiyyah). Menurut Muthahhari, seperti dikutip Kang Jalal, IslamAktual adalah Islam seseorang yang sudah pasrah kepada kebenarandengan segenap hatinya. Ia mengamalkan kebenaran yang diya-kininya setelah ia memperoleh kebenaran itu melalui penelitian(penelaahan) dan tanpa fanatisme buta. Bila ada orang yang telahberusaha mencari kebenaran, lalu ia menerimanya dengan sepenuhhati, tetapi ia tidak memeluk agama Islam, Tuhan tidak akan meng-azabnya. Mustahil Tuhan menghukum orang di luar kemampuan-nya. Bila seseorang hanya mampu mengetahui kebenaran Kristen,misalnya, dan ia mengikutinya dengan setia, pada hakikatnya iatelah menerima Islam dalam pengertian kepasrahan yang tulus.291

Page 214: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

308 Wajah Studi Agama-Agama

Muthahhari memberi contoh Descartes. Dalam pencarian ke-benaran, Descartes menerima Kristen sebagai agama yang benarseraya mengatakan bahwa itulah agama yang dikenalnya denganbaik. Ia tidak menolak kemungkinan agama lain juga benar, hanyasaja ia tidak mengetahuinya. Bagi Muthahhari, orang-orang sepertiDescartes—dan masih banyak lagi—tidak mungkin kita sebut kafir,karena mereka tidak memiliki sifat membangkang dan tidak me-nutupi kebenaran. Bukankah kekafiran adalah pembangkangandan menutup pintu kebenaran? Mereka adalah Muslim secara fit-rah. Jika kita tidak dapat menyebut mereka Muslim, kita juga tidakboleh menyebut mereka kafir.292

Akhirnya, jika diajukan pertanyaan: apakah hanya Islam agamayang diterima Allah? Bagi Kang Jalal, jawabannya bisa Ya dan Tidak.Ya, jika yang dimaksud adalah Islam sebagai kepasrahan sepenuhhati kepada kebenaran yang diperoleh melalui proses pencarianyang tulus dan sungguh-sungguh. Tidak, bila yang dimaksud de-ngan Islam adalah institusi keagamaan seperti yang tercantumdalam kartu identitas. Bila pertanyaan di atas kita buat lebih spesifiklagi: apakah orang-orang yang beragama selain Islam, seperti Kris-ten, Hindu, Buddha, Konghucu akan diterima di sisi Allah? KataKang Jalal, jawabannya tergantung kepada ideologi yang kita anut.Jika kita kelompok garis keras (al-mutasyaddidûn) maka hanya Is-lam kita saja yang diterima Allah. Jika kita kaum yang tercerahkan(al-mustanîrûn), kita akan berkata bahwa agama adalah jalan menu-ju Tuhan seperti yang dikatakan kaum sufi, jalan menuju Tuhansebanyak napas manusia. Bagi Kang Jalal, mengapa kita harus me-nyempitkan kasih Tuhan yang meliputi langit dan bumi?293 PosisiKang Jalal sudah jelas bahwa ia berada dalam kelompok yang dise-butnya al-mustanîrûn. Kang Jalal, sebagai seseorang yang mendalamisufisme, baik yang berhaluan Sunni maupun Syi’ah, sepakat dengankaum sufi, kelompok pluralis dan kaum mustanîrûn lainnya bahwakeselamatan di akhirat kelak adalah wewenang Tuhan, sama sekalibukan hak manusia untuk menentukannya. Bagi Kang Jalal—selainberiman kepada Tuhan, hari akhir dan banyak berbuat kebajikan—

Page 215: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

309Dr. Media Zainul Bahri

semangat mencari kebenaran secara tulus dan prosesnya yang terusmenerus serta kepasrahan hati sepenuhnya kepada Tuhan setelah ber-bagai proses dan amal kebajikan itu dilakukan, maka itulah syarat-syarat pokok yang boleh jadi Tuhan akan menempatkan orang-orangseperti itu dalam Kasih Sayang dan Kenikmatan-Nya, apa pun keya-kinan dan agama yang dianutnya. Pandangan ini harus pula diiringidengan kesadaran penuh bahwa tak ada seorang pun yang dapatmenjamin secara mutlak mengenai perkara keselamatan dan siksa-Nya, selain Tuhan saja Yang Maha Mengetahui secara mutlak.

Isu pluralisme agama yang diwacanakan dan diperjuangkanempat tokoh terus menggelinding. Di satu sisi, diskursus mengenaihal itu rasanya dianggap sebagai “vitamin” oleh kaum akademisiMuslim dan non-Muslim, para penggiat pluralisme dan aktiviskerukunan serta hubungan antaragama. Namun di sisi lain, isu itucukup menghebohkan masyarakat umum, terutama para pemelukagama yang awam dan kaum eksklusif. Hingar bingar wacanapluralisme agama, bagi “kaum Islamis-tekstualis-skripturalis” yangtidak paham atau tidak mau memahami, dianggap mengganggukenyamanan pandangan teologis yang selama ini dianut. Di saatyang bersamaan, hal itu menguatkan pandangan mereka bahwapemikiran keagamaan Cak Nur, Gus Dur dan kawan-kawannyamemang “membahayakan,” untuk tidak menyebutnya “merusak”akidah. Para pengusung ide-ide itu dianggap telah menyimpangdari ajaran “Islam yang benar.” Maka, seiring dengan hal itu, munculaneka pandangan yang sangat emosional dan berlebihan kepadatokoh-tokoh pembaru itu sebagai “antek Kristen-Yahudi,” “antekZionis,” atau “antek Barat,” “murtad,” “kafir,” dan cap-cap sema-camnya.

Karena kontroversi yang cukup tajam itu, pada gilirannya, MUIsebagai lembaga penjaga ortodoksi dan tradisionalisme Islam, akhir-nya mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan libe-ralisme hukumnya haram. Dalam fatwa itu, MUI menjelaskan bah-wa yang dimaksud pluralisme agama adalah “suatu paham yangmengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya ke-

Page 216: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

310 Wajah Studi Agama-Agama

benaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemelukagama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yangbenar sedangkan agama lain salah. Pluralisme agama juga mengajar-kan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdam-pingan di surga.” Dengan paham seperti itu, maka bagi MUI “Plu-ralisme, sekularisme, dan liberalisme agama adalah paham yangbertentangan dengan ajaran agama Islam.” “Umat Islam harammengikuti paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme aga-ma.”294

Jika kita membaca pandangan empat tokoh di atas mengenaipengertian pluralisme agama dan hal-hal yang melingkupinya, de-ngan jelas terbaca bahwa mereka mengambil paham itu dari sum-ber-sumber Islam sendiri, apakah dari teologi Islam yang merekapahami (yang tentu saja teologi progresif dan kontekstual, bukantekstual) atau dari renungan mereka tentang sejarah peradaban Is-lam. Menurut saya, terdapat dua cara pandang yang berbeda se-hingga tidak bisa bertemu antara tokoh-tokoh pengusung pluralis-me dengan MUI. Keempat tokoh itu misalnya, memandang spiritajaran Islam dari sisi esoterik (batin) atau pandangan yang melam-paui (beyond) teks-teks Islam yang harfiah. Pada dimensi ajaranterdalam Islam (yang esoterik) terdapat keniscayaan titik-temubahkan kesatuan esensial agama-agama. Dengan cara pandang ini,maka terdapat “celah yang besar” bahwa Rahmat atau Kasih SayangAllah (yang berbentuk surga misalnya) dapat dianugerahkan padasiapa pun dan dalam tradisi agama apa pun dengan syarat merekaberiman kepada ajaran pokok agamanya masing-masing dan ber-amal saleh. Kesimpulan ini dapat kita baca secara eksplisit padauraian-uraian teologis Cak Nur dan Kang Jalal. Sementara padaGus Dur, kita bisa menangkap sebuah “semangat” yang implisitbahwa non-Muslim akan mendapat Rahmat Allah. MUI menang-kap satu pandangan yang tepat bahwa kesimpulan yang dihasilkandari paham pluralisme agama adalah (seperti ditulis oleh MUI sen-diri) “bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup ber-dampingan di surga.”

Page 217: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

311Dr. Media Zainul Bahri

Kebalikan dari pandangan keempat tokoh di atas, MUI, te-patnya figur-figur “ulama” dalam tubuh MUI, lebih memandangsecara tekstual (eksoterik) ajaran-ajaran Islam yang berkaitan de-ngan isu pluralisme agama. Karena itu, pada halaman kedua darifatwa itu, MUI menyajikan ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi (tanpapenjelasan tafsirnya) yang menegasikan adanya “kebenaran” dan“keselamatan” pada agama non-Islam. MUI misalnya, menunjuk-kan dua ayat al-Qur`an yang sangat populer, yaitu “Barang siapamencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akanditerima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi,” (QS. Ali ‘Imran: 85) dan “Sesungguhnya agama(yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam...” (QS. Ali ‘Imran: 19).295

Juga sebuah hadis Nabi, “Demi Dzat Yang menguasai jiwa Mu-hammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yangmendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dantidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadipenghuni neraka” (Hadis riwayat Muslim).296 Dengan dalil-dalil teo-logis itu, MUI ingin menegaskan bahwa, secara akidah, hanya Is-lam saja agama yang diridhai oleh Tuhan dan selamat di akhirat,sedangkan agama-agama non-Islam, terutama Yahudi dan Nasrani,tidak akan selamat di akhirat. Dengan dua ayat yang sama, yaitusurat Ali ‘Imran ayat 19 dan 85, kita melihat terjadi penafsiran/pem-bacaan yang berbeda antara MUI dengan para pengusung konseppluralisme di atas. Sekali lagi, jika MUI “membaca” kejelasan teks-teks ayat dan hadis di atas pada dirinya sendiri, tanpa perlu penaf-siran yang lebih jauh lagi, maka tokoh-tokoh pluralisme diatasmenafsirkannya dalam perspektif lain yang lebih luas, misalnyamenghubungkan ayat-ayat itu dengan konsep keadilan Tuhan, ke-manusiaan, dan melihat konteks-konteks yang menyertai ayat-ayatdan hadis itu. Menurut saya, problem pokoknya adalah pada carapandang dan penafsiran yang berbeda itu. Jika sama-sama sedangmemerankan sebagai penafsir atau pembaca, karena tentu saja Tu-han Yang Maha Kuasa-lah yang mengetahui maknanya secara mut-lak, maka apakah pantas memperlakukan penafsiran (pembacaan)

Page 218: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

312 Wajah Studi Agama-Agama

yang berbeda dengan cara mengeluarkan fatwa “keharaman” dan“kesesatan” atas tafsir yang berbeda itu?

3. Dialog Antaragama dan Passing Over

Pada era ini (1990-an) selain isu pluralisme, dialog antar-agama(interreligious dialogue), atau dialog antar umat beragama, ataukadang disebut dialog antar-iman (interfaith dialogue) juga menjadiarus utama dalam Studi Agama-agama dan Studi Islam Indonesia.Forum dialog ini ramai diadakan, baik dalam forum-forum resmitingkat nasional dan internasional maupun ruang-ruang kecil in-formal, baik dengan model-model yang lebih akademis karena di-adakan di perguruan tinggi atau kantor pemerintah, maupun dalamlingkup-lingkup kecil di masyarakat yang terdiri dari banyak peng-anut agama. Sebelum melihat model-model dialog pada masa 1990-an, penting untuk membaca sejarah dialog antar-agama di Indone-sia dan peran penting Mukti Ali sebagai perintis dan pendorongbanyak aktivitas dialog intra dan antar umat beragama.

A. Dialog AntaragamaDalam sejarah dialog antaragama di Indonesia, sebenarnya

Mukti Ali sendiri telah merintis dan terlibat aktif dalam kegiatandialog ini sejak 1969. Aktivitasnya dalam dialog antar-agama sema-kin intens ketika ia menjadi Menteri Agama. Karena itu, ketikaberdiskusi dengan Mukti Ali, B.J. Boland menyatakan bahwa ia“menolak” menyebut Mukti Ali sebagai sarjana Perbandingan Aga-ma, tetapi lebih tepat menamainya sebagai “Teolog Muslim tentangagama-agama” (Muslim theology of religions), dan dalam istilahSteenbrink, Mukti Ali adalah designer of Muslim Theology of Reli-gion.297 Pandangan Boland itu berdasarkan kepada beberapa argu-men pokok. Menurut Boland, Islam sejak awal telah mengenal “teo-logi agama-agama,” dalam pengertian selain menegaskan finalitasdan kesempurnaannya, Islam juga menghormati dan memiliki pan-dangan yang positif atas agama-agama lain, terutama Yahudi danKristen. “Teologi agama-agama” menurut Boland, berbeda denganstudi Perbandingan Agama. Studi PA adalah studi ilmiah tentang

Page 219: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

313Dr. Media Zainul Bahri

asal usul, perkembangan dan saling keterhubungan (interrelations)antara sistem-sistem keberagamaan umat manusia yang berbeda satusama lain. Studi PA harus berusaha memahami doktrin dan ajaranagama lain dari sumber pertama, yaitu pengetahuan dan pengalam-an pemeluknya langsung, dan pada saat yang sama “orang luar”—sebisa mungkin—harus menghindari melakukan penilaian subjek-tif atas agama yang ditelitinya itu.298

Menurut Boland, karya Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama:Sebuah Pembahasan Tentang Methodos dan Sistima (1965) bukan kar-ya Perbandingan Agama melainkan karya teologi agama-agama.Buku itu menjelaskan tentang tradisi kesarjanaan Islam mengenaiilmu PA dan tradisi Perbandingan Agama di Barat. Yang juga cukupmenonjol adalah kesimpulan Mukti Ali, antara lain bahwa (1) bagikaum Muslim yang mempelajari agama-agama lain harus menda-sarkan diri kepada al-Qur’an, karena kitab itu merupakan sumberpokok tentang agama-agama lain, (2) kitab suci agama-agama laintidak memberikan solusi bagi kehidupan sosial, tetapi al-Qur’anlangsung member perhatian atas kehidupan sosial, (3) al-Qur’anjuga menunjukkan sistem dan etika monoteisme yang murni, yangdapat menjadi rujukan utama dalam mempelajari agama-agamamonoteis, (4) Islam adalah agama dakwah, sebagaimana juga Hin-du, Buddha dan Kristen. Tetapi dakwah harus dengan cara yangsimpatik dan sikap saling menghormati.299 Dengan membaca kese-luruhan karya itu, muncul kesan bahwa Islam memiliki posisi dalamstudi PA, dan dapat memberi kontribusi bagi studi PA serta bagikehidupan keagamaan yang harmonis. Selain itu, menurut Boland,Mukti Ali adalah figur yang paling getol mempromosikan dialogantaragama dengan cara—salah satunya—menunjukkan bahwailmu PA memiliki posisi yang sangat penting dan memiliki materiyang berlimpah untuk proses dan merancang dialog.300

Pandangan kesarjanaan dan keislaman Mukti Ali tentang hal-hal di atas yang membuat Boland menilai bahwa karya Mukti Ali diatas adalah bukan karya studi PA yang ketat, melainkan bahwaMukti Ali adalah figur/teolog Muslim perancang dialog yang handal.

Page 220: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

314 Wajah Studi Agama-Agama

Di samping hal-hal itu menurut Steenbrink, Mukti Ali sendiri tidakpernah melakukan penelitian “mendalam” tentang agama-agamalain.301 Pandangan Boland memang cukup “tajam” dan secara aka-demik/kesarjanaan studi PA dapat diterima. Tetapi, kita harus mem-pertimbangkan konteks sosio-keagamaan pada masa 1960-an. Saatitu, Mukti Ali, melalui pergulatan intelektual dan keagamaan harus“memulai” atau “melahirkan” ilmu baru di tengah kondisi keba-tinan dan pandangan keagamaan umat beragama yang cenderungeksklusif. Bukan hal mudah bagi Mukti Ali untuk menawarkandisiplin ilmu PA yang harus langsung “ekstra ilmiah.” Karena itu,kurang adil jika Boland melihat posisi Mukti Ali sebagai perintisatau pelopor dengan ukuran perkembangan ilmu PA pada tahap-nya yang ideal. Dengan kepeloporan itu saja dan usaha-usahanyayang tak kenal lelah, Mukti Ali tetap dikenang sebagai ahli, bahkan“Bapak” ilmu PA di Indonesia.

Jika kita membaca tulisan-tulisan Mukti Ali mengenai dialog,terdapat petunjuk bahwa pada 1969 dialog antar-agama diadakandua kali: pertama, seperti yang ia tulis dalam Ilmu PerbandinganAgama Di Indonesia, dialog yang difasilitasi oleh pemerintah padatahun itu dan dihadiri oleh para pemimpin agama Islam, Protestan,Katolik, Hindu dan Buddha. Namun kata Mukti Ali, kegiatan dia-log saat itu tidak berhasil karena terdapat satu hal yang tidak dise-tujui oleh Protestan dan Katolik tentang adanya saran bahwa pe-nyiaran agama tidak boleh ditujukan kepada orang-orang yang su-dah beragama. Klausul ini ditolak oleh para pemimpin dua organisasiKristen itu, hingga pertemuan (dialog) itu tidak menghasilkan ru-musan (kesepakatan) seperti yang diharapkan.302

Kedua, Dialog antara Islam dan Kristen yang berlangsung padaNovember 1969 di sebuah kolese Katolik. Menurut pengakuanMukti Ali dalam makalahnya, Dialogue Between Muslims and Chris-tians in Indonesia and Its Problems, dialog itu terlaksana atas inisiatif-nya sendiri yang kemudian direspons oleh teman-teman Kristiani.Dialog itu dihadiri oleh seorang Muslim (Mukti Ali sendiri), duaorang Katolik dan tiga orang Protestan. Lalu, dialog (pertemuan)

Page 221: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

315Dr. Media Zainul Bahri

kedua diadakan lagi padaDesember di tahun yang sama.303 Kitaakan melihat pandangan Mukti Ali lebih lanjut mengenai penger-tian dialog, model-modelnya dan alasan kebutuhan pentingnya ber-dialog.

Bagi Mukti Ali, dialog antar-agama adalah pertemuan hati danpikiran antar pemeluk berbagai agama. Dialog adalah komunikasiantara orang-orang yang percaya pada tingkat agama. Dialog me-rupakan perjumpaan antar pemeluk agama tanpa merasa rendahdan tanpa merasa tinggi, dan tanpa agenda atau tujuan yang dira-hasiakan. Jikapun ada tujuan, maka tujuannya adalah hendak men-capai kebenaran, saling pengertian dan kerja sama dalam proyek-proyek yang menyangkut kepentingan bersama. Seorang Muslimmisalnya, yang berjumpa dengan penganut agama lain dalam dia-log, maka ia tetap sebagai Muslim. Begitu pula seorang Kristen,Hindu, dan Buddha yang berjumpa dengan orang lain beda agama.Seorang penganut agama mau mendengarkan mitra dialognya yangberbeda agama dan bersedia belajar darinya. Setiap peserta dialoghendaknya mau saling mendengar dan saling belajar dari mitradialog masing-masing. Karena itu menurut Mukti Ali, syarat utamaberhasilnya suatu dialog adalah adanya sikap mental tertentu daripara peserta dialog seperti hormat, suka mendengarkan, ikhlas, ter-buka dan kemauan untuk menerima dan bekerja sama dengan oranglain.304

Lebih dari itu, bagi Mukti Ali, dalam berdialog setiap pesertamemiliki hak penuh dan kebebasan untuk menyampaikan keper-cayaan keagamaannya, hingga akan muncul suatu kejelasan adanyapersamaan dan perbedaan ajaran satu agama dengan yang lain.Dialog tidak berarti setiap orang harus meninggalkan keyakinanagamanya, baik sebagiannya maupun seluruhnya. Sekali lagi, bagiMukti Ali, dialog antaragama adalah suatu perjumpaan yang sung-guh-sungguh, bersahabat dan berdasarkan hormat dan cinta antarberbagai pemeluk agama yang beragam.305

Bagi Mukti Ali, kegiatan dialog memiliki dua manfaat sekaligus,yaitu (1) dialog antarumat beragama membantu orang untuk tum-

Page 222: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

316 Wajah Studi Agama-Agama

buh lebih kukuh dan mantap dalam agamanya sendiri ketika iaberjumpa dengan orang dan kelompok yang memiliki kepercayaandan agama yang berbeda dengannya. Sering kali kebenaran itu lebihtampak, lebih dihargai, dan lebih dipahami, jika dihadapkan denganpandangan orang lain yang berbeda. Dialog semacam itu akan se-makin memurnikan dan memperdalam keyakinannya sendiri.306

Pandangan Mukti Ali ini dapat juga diartikan bahwa dialog yangdi dalamnya terdapat proses saling mengerti dan memahami, dandengan demikian juga belajar dari kekayaan tradisi orang lain, akhir-nya akan memunculkan keyakinan yang sungguh-sungguh akankebenaran agama sendiri. Kita tidak tahu apakah Mukti Ali mem-baca tulisan Hans Küng atau tidak karena ia tidak mencantumkanreferensi itu, namun pandangan Mukti Ali itu ternyata memilikikesamaan dengan sebuah tulisan Hans Küng yang dipublikasikanpada 1983 (sepuluh tahun lebih dulu dari makalah Mukti Ali). Dalamsetiap dialog antar-iman yang dilakukan, Küng menyebut tiga man-faat dialog:a. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan dan nilai-

nilai, ritus dan simbol-simbol orang lain atau sesama kita, makakita dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh.

b. Hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain,maka kita dapat memahami iman kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang konstan danberubah.

c. Hanya jika kita berusaha memahami orang lain, maka kita da-pat menemukan dasar yang sama, meskipun ada perbedaannya,yang dapat menjadi landasan untuk hidup bersama secaradamai dalam dunia ini.307

(2) Dialog antarumat beragama, bagi Mukti Ali, dapat mening-katkan kerja sama, saling pengertian dan saling menghormati antarmanusia. Motivasi agama adalah salah satu dorongan yang palingkuat untuk melahirkan tindakan. Kebudayaan dan agama erat se-kali hubungannya. Masyarakat umat manusia selalu dihadapkanoleh adanya perubahan dan tantangan, bahaya dan ketegangan,

Page 223: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

317Dr. Media Zainul Bahri

krisis dan kesempatan, yang menuntut umat beragama untuk me-ningkatkan keadilan dan perdamaian, cinta dan kasih.308 Hal itudapat terlaksana dengan baik melalui serangkaian dialog yang dila-kukan. Pada poin kedua ini, saya kira, pandangan Mukti Ali sangatpositif. Lalu, Mukti Ali juga menyebut macam-macam dialog, yaitu:(a) Dialog Kehidupan. Para pemeluk agama yang berbeda dalamkehidupan sehari-hari dapat melakukan “dialog kehidupan” baikformal maupun informal mengenai hal-hal yang menyangkut ke-pentingan bersama. (b) Dialog Kerja sama dalam kegiatan-kegiatansosial yang diinspirasi oleh agama. Misalnya, para pemeluk agamayang berbeda dapat merancang proyek-proyek pembangunan se-perti program meningkatkan kehidupan keluarga, orang miskin,kekeringan, pengangguran dan lain-lain.309

(c) Dialog untuk Doa Bersama. Dialog model ini sering dila-kukan dalam pertemuan nasional dan internasional yang dihadirioleh berbagai tokoh agama yang beragam dan para pengikutnya.(d) Dialog Komunikasi Pengalaman Agama, atau Dialog Intermo-nastik. Contoh dari model dialog ini misalnya pemimpin agamaHindu tinggal di biara Buddhisme untuk satu minggu, atau pe-mimpin Kristen tinggal di pondok pesantren untuk satu minggudemi mempelajari tradisi agama yang ditinggalinya. Jelasnya, pe-mimpin suatu agama bersedia tinggal dalam waktu tertentu di pusatagama orang lain. Dengan itu, akan timbul saling pengertian yangmendalam, dan dengan itu pula saling penghargaan dan kerja samadalam berbagai bidang dapat diadakan. Namun, yang melakukandialog model ini bukanlah sembarang orang, melainkan para pe-mimpin atau tokoh-tokoh agama, atau orang yang bersungguh-sungguh ingin mengetahui kehidupan sehari-hari pemimpin agamalain. (e) Dialog Koloqium Teologis, atau Dialog Diskusi Teologis,yaitu ahli-ahli agama saling bertukar informasi tentang keyakinan,kepercayaan dan praktik agama masing-masing demi terwujudnyarasa dan sikap saling pengertian.310

Mukti Ali mengemukakan beberapa alasan penting adanya ke-butuhan untuk berdialog, misalnya pertama, pluralisme agama

Page 224: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

318 Wajah Studi Agama-Agama

merupakan kenyataan yang semakin jelas (Mukti Ali tidak menye-but pluralitas agama). Di Indonesia sendiri terdapat banyak agamadan kepercayaan. Pada konteks ini, orang tidak bisa menutup mataakan hadirnya agama dan kepercayaan lain. Seseorang tidak bisalagi mengabaikan kenyataan eksistensi agama-agama lain yang hi-dup berdampingan dengannya. Kedua, karena kenyataan pluralismeitu, seorang pemeluk agama akhirnya memiliki keinginan dan ke-butuhan untuk menjalin kontak dengan pemeluk agama lain. Ka-rena itu mengisolasi diri, selain harus ditinggalkan juga tidak mung-kin lagi dilakukan. Dalam dunia yang cepat berubah dan tersedianyateknologi komunikasi yang sangat canggih, setiap orang, setiap pe-meluk agama akan dan mesti bersentuhan dan berkomunikasi de-ngan orang lain, dengan pemeluk agama lain. Karena alasan inilahpara penganut agama yang berbeda-beda membutuhkan komuni-kasi dan dialog antar mereka dengan variannya masing-masing.311

Lalu, Mukti Ali juga mengemukakan alasan teologis, yaitubahwa umat manusia berasal dari Sumber yang sama, yaitu Tuhan.Dalam ajaran sufisme disebutkan bahwa baik laki-laki maupun pe-rempuan merupakan citra atau image Tuhan (imago Dei) dan dicip-takan untuk tujuan akhir yang sama yaitu menuju Tuhan sendiri.Dari sini lahir konsep kesatuan (esensial) umat manusia, dan kesa-tuan inilah yang mendorong manusia untuk berusaha mewujudkanperdamaian bersama (universal). Karena alasan teologis inilah, makapara penganut agama harus mengambil sikap positif terhadap aga-ma-agama yang bukan agamanya sendiri. Hal ini bisa dilakukandengan dialog dan kerja sama antar pemeluk agama untuk bersama-sama mengenal, memelihara dan meningkatkan lelaku spiritual danmoral. Dengan cara ini, umat beragama akan mengetahui betapabanyak kemurahan Tuhan yang dilimpahkan kepada hamba-Nya.312

Dengan berbagai penjelasan itu, maka dialog antar-agamabukan semata kerja akademis, bukan pula merupakan diskusi filo-sofis dan teologis belaka, melainkan ia adalah anjuran agama. Dia-log adalah usaha untuk keselamatan dan kesejahteraan, dan itu

Page 225: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

319Dr. Media Zainul Bahri

adalah bagian dari tujuan total agama. Tugas agama sangat kom-pleks, dan hanya dapat dicapai melalui hubungan vertikal (denganTuhan) dan horizontal (dengan manusia) sekaligus.313 Bagi MuktiAli, dalam konteks Indonesia, dialog antaragama sesungguhnyamudah diadakan dan dapat berhasil, dalam arti dapat merumuskankonsep kerukunan yang bisa disepakati bersama, karena apa? Ka-rena masyarakat Indonesia telah memiliki tradisi yang sudah lama,yaitu “musyawarah untuk mufakat.” Tradisi ini tidak semata berlakudalam kehidupan politik, tetapi juga telah dipraktikkan dalam ke-hidupan sehari-hari. Dalam pandangan dan praktik kehidupan ma-syarakat Indonesia juga memiliki kemampuan untuk “merelatifkan”segala sesuatu. Tidak main mutlak-mutlakkan, melainkan fleksibeldan tepo-seliro (tenggang rasa). Hal ini dapat menjadi dasar danmodal bagi berhasilnya suatu dialog antar umat beragama demikedamaian bersama.314

Gagasan dialog yang dirancang oleh Mukti Ali dan model-mo-delnya, sesungguhnya suatu prestasi yang cemerlang pada masaitu, setidaknya ketika ia menjadi ahli Perbandingan Agama danMenteri Agama sekaligus. Ia banyak membaca referensi dari Barat,melihat hubungan antar-agama serta model dan praktik kerukunandi negeri-negeri lain, lalu merumuskannya untuk konteks Indone-sia yang majemuk dan kenyataan adanya hubungan yang kompleksantar berbagai agama dan keyakinan. Ide tentang dialog Inter-monistik juga sangat menarik dan kiranya relevan untuk konteksIndonesia yang sangat majemuk ini. Dalam pengalaman banyakorang, dialog yang intens atau tinggal di suatu tempat orang yangberbeda dalam waktu-waktu tertentu ternyata dapat “meruntuh-kan” atau “meluruhkan” berbagai prasangka, kecurigaan dan pan-dangan negatif tentang orang lain yang berbeda dengan kita. Padasaat yang sama, yaitu ketika kita telah menemukan pemahamanyang benar dan tepat tentang keberbedaan itu atau jawaban yangmemuaskan—muncul perasaan “respek” dan “empati.” Dialog se-jatinya suatu cara yang sungguh manusiawi, menyentuh dan me-miliki kekuatan untuk memperbarui autentisitas diri kita.

Page 226: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

320 Wajah Studi Agama-Agama

Lalu, Apakah ada hubungan antara Ilmu PA dengan dialog?Menurut Mukti Ali, para ahli Perbandingan Agama memang telahberdebat soal tujuan ilmu PA yang dicapai dengan metodologi yang“objektif” dengan praktik dialog yang sering kali “subjektif.” Per-debatan para ahli itu kemudian menghasilkan kesimpulan yangbermacam-macam, misalnya satu pandangan yang menonjol bahwaaktivitas dialog bukanlah bagian dari tujuan mempelajari Perban-dingan Agama. Di tengah berbagai macam pandangan soal itu, Muk-ti Ali sendiri menilai dan meyakini bahwa keberadaan ilmu PA diIndonesia telah membantu memudahkan kegiatan dialog antar-umat beragama. Bagi Mukti Ali, seperti telah disinggung di muka,bahwa “ilmu tidak semata untuk ilmu” sebagaimana ia tidak setujujika “seni untuk seni.” Ilmu, sebagaimana juga seni, harus bertujuanuntuk ibadah kepada Allah. Karena keyakinan itu, maka bagi MuktiAli, studi PA di Indonesia, di samping mempelajari agama secarailmiah, juga dimaksudkan untuk pembangunan masyarakat danbangsa. Tujuan ilmu PA—bersama-sama dengan orang-orang yangmemiliki maksud yang baik—juga hendak menciptakan dunia yangaman dan damai berdasarkan etika dan moral agama.315 Maka, dia-log antaragama adalah salah satu elemen ilmu PA, atau satu pen-dekatan dalam ilmu PA untuk memahami agama orang lain secarabenar dan tepat seperti yang diyakini oleh para pemeluknya. De-ngan pemahaman yang objektif itu akan muncul perasaan meng-hormati dan saling menghargai, dengan harapan praktis agar ke-damaian dapat terwujud dan dirasakan bersama.

Sekarang kita kembali pada gagasan dan praktik dialog yangpopuler disuarakan pada masa 1990-an. Pada masa ini, kembalikita melihat para sarjana dan tokoh Islam, yang sebagiannya terlibataktif menyuarakan isu pluralisme agama. Cak Nur misalnya—da-lam berbagai tulisan dan ceramah-ceramahnya—juga terlibat aktifmendorong aktivitas dialog antar-agama. Menurut Cak Nur, lan-dasan pokok dialog antar-agama dalam perspektif Islam adalah pan-dangan-pandangan al-Qur‘an sendiri yang memberi isyarat secaraimplisit dan memerintahkan kaum beriman secara eksplisit untuk

Page 227: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

321Dr. Media Zainul Bahri

berdialog. Ide-ide pokok teologis Cak Nur mengenai dialog sesung-guhnya “satu paket” dengan isu inklusivisme dan pluralisme agama.Gagasan utamanya dijelaskan dalam dua hal penting, yaitu pertama,adanya kesatuan pesan kenabian. Para nabi dan rasul yang diutusTuhan membawa ajaran lahiriah (syari’at) yang berbeda-beda sesuaikebutuhan umat dan konteks masing-masing. Namun, pesan intikenabian yang diturunkan sesungguhnya dalam satu spirit yangsama, yaitu ajaran tunduk-patuh dan taat pasrah kepada Tuhanyang disebut dengan al-islâm dan ajaran Tawhid. Inti agama (Dîn)seluruh rasul adalah sama (al-Syûrâ: 13) dan umat serta agama me-reka itu seluruhnya adalah umat dan agama yang satu, seperti dise-but Tuhan, “Sungguh inilah persaudaraan kamu, persaudaraan yangsatu dan Aku adalah Tuhanmu, sembahlah Aku.” (al-Anbiyâ: 92 danal-Mu‘minûn: 52).

Kaum Muslim sendiri juga diperintahkan untuk beriman(mengakui) kepada semua nabi dan rasul yang diturunkan, tanpamembeda-bedakan seorang pun atas yang lain, sambil berserahdiri kepada Tuhan (al-Baqarah: 136). Kedua, ajaran mengenai Ahlal-Kitâb (Ahli Kitab), yaitu pandangan mengenai pengakuan terten-tu kepada para penganut agama lain yang memiliki kitab suci, yangmemberikan kebebasan menjalankan ajaran agama mereka ma-sing-masing. Bagi Cak Nur, berbagai pandangan Islam inklusif-pluralis inilah, sebagaimana telah saya paparkan secara memadaidalam subbab “Pluralisme Agama,” maka sesungguhnya dialogantar umat beragama adalah sesuatu yang tidak saja dimungkinkan,bahkan diperlukan, jika tidak disebut diharuskan. Kaum Muslimdiperintahkan Tuhan untuk mengajak kaum Ahli Kitab menujuke “pokok-pokok kesamaan” (kalimat-un sawâ`), yaitu menuju keajaran Ketuhanan Yang Maha Esa (Tawhid) seperti disebut dalamAli ‘Imran: 64. Adanya ayat-ayat yang positif dan simpatik kepadaAhli Kitab, menurut Cak Nur, adalah ajakan Allah kepada kaumMuslim untuk membuka diri dalam proses dialog demi mendapat-kan keyakinan bersama tentang Kebenaran yang paling mendalam,seperti disebut Wilfred Cantwell Smith, “All inner faith is interfaith.”

Page 228: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

322 Wajah Studi Agama-Agama

Meskipun Esensi semua agama adalah satu dan sama, namunmanifestasi sosiokulturalnya secara historis berbeda-beda, bahkanada “doktrin” (eksoterik) yang tidak bisa “didamaikan” antara satuagama dengan agama lain. Karena itu, berdialog sangat diperlukanuntuk rumusan-rumusan yang membawa kedamaian bagi semua.Menurut Cak Nur, jika rumusan linguistik dan verbal keyakinan(doktrin-doktrin lahiriah) keagamaan itu berbeda-beda, namun ek-ternalisasi keimanan itu dalam dimensi sosial kemanusiaannya tentusama, karena menyangkut praktik yang konkret. Maka al-islâmsendiri, menurut Nabi, paling baik dinyatakan dalam aktivitas ke-manusiaan seperti menolong kaum miskin atau mengusahakanperdamaian kepada semua orang tanpa kecuali. Dengan pandanganini, Cak Nur sesungguhnya sedang membicarakan dua model dia-log sekaligus, yaitu dialog pada tataran teologis yang normatif dandialog praksis, yakni pada problem-problem sosial kemanusiaanyang konkret. Pada dua level ini, umat beragama dalam tradisi aga-ma apa pun sesungguhnya dapat berdialog, saling mendengar, bela-jar dan berbagi (sharing). Dengan melihat dua model dialog yangdinamis ini, maka bagi Cak Nur dialog antaragama dapat dipan-dang sebagai realisasi (praktik) ajaran agama yang paling asasi, dankerja sama kemanusiaan yang dihasilkannya berdasarkan keimanankepada Tuhan Yang Mahaesa adalah berarti memenuhi perintahmulia dalam Kitab Suci.

Dalam dialog teologis, menurut Cak Nur lebih lanjut, tujuan-nya bukan untuk “membuat” suatu kesamaan pandangan, apalagikeseragaman, karena hal itu seperti “mengkhianati” tradisi suatuagama. Setiap agama memiliki keunikan/kekhasan masing-masing.Karenanya, yang dicari adalah mendapatkan titik-titik pertemuan(secara teologis) hanya sejauh yang dimungkinkan, bukan atas ajar-an-ajaran yang sulit—untuk tidak menyebut mustahil—bertemu.Dalam dialog teologis ini, setiap peserta dialog harus bersikap cermatdan adil. Harus dapat memilah atau membedakan mana ajaranagama yang bersifat teologis-filosofis dan mana ajaran agama dalamdimensi historisnya. Karena itu, jika materi dialog untuk melaku-

Page 229: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

323Dr. Media Zainul Bahri

kan perbandingan misalnya, maka harus cermat membandingkansuatu ajaran agama tertentu dalam aspek teologis-normatifnya de-ngan ajaran agama lain yang juga bersifat teologis. Jika melihat ke-nyataan historis suatu agama, maka juga harus dibandingkan denganfakta historis agama lain, dan begitu seterusnya. Dialog yang berlan-daskan semangat kebersamaan, keadilan, kejujuran dan keterbu-kaan itulah dialog yang akan bermanfaat dan memperkaya satusama lain.

Jika Cak Nur banyak membicarakan pandangan normatif-teologis Islam atas keniscayaan dialog kaum Muslim dengan parapenganut agama lain, maka Abdurrahman Wahid atau Gus Dur,dalam sebuah artikelnya, “Dialog Agama dan Masalah Pendang-kalan Agama” (1998) lebih melihat secara konkret hambatan-ham-batan psikologis dan teologis dalam berdialog, terutama pada umatIslam. Menurut Gus Dur, pada masa itu (tahun 1990-an) kaumMuslim Indonesia tengah mengalami proses pendangkalan agamakarena interaksinya dengan Islam model Timur Tengah. Proses pen-dangkalan karena interaksi itu sebenarnya telah berlangsung lamajika dilihat sejarahnya ke belakang, tepatnya ketika kaum MuslimNusantara mulai berinteraksi dengan Islam Timur Tengah. Islammodel Timur Tengah menurut Gus Dur telah menjadi ideologi ataukomoditas politik. Hal ini berbeda dengan Islam Indonesia yanglebih bersifat kultural dan hidup di tengah suasana yang damai,aman dan tanpa kekhawatiran.316 Model-model Islam Timur Tengahyang terlihat lebih agresif, militan dan ideologis karena perjuang-annya melawan musuh-musuh mereka (misalnya Israel) dan ke-inginannya membentuk negara Islam (teokrasi) telah “mengimpor”pengaruh yang cukup besar terhadap pandangan, sikap dan carahidup Muslim Indonesia.

Karena pengaruh-pengaruh itu dan beberapa faktor lain, makaproses pendidikan dan dakwah Islam di tanah air dalam 40 tahunterakhir, menurut Gus Dur, cenderung bersifat memusuhi, men-curigai dan tidak mau mengerti agama lain. Sikap ini tidak sajaditunjukkan para mubaligh di mimbar dakwah, tetapi juga oleh para

Page 230: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

324 Wajah Studi Agama-Agama

guru sekolah. Dua faktor penting di dalam negeri, selain pengaruhTimur Tengah, menurut Gus Dur adalah: pertama, banyak orangIslam mengalami masa transisi dari kehidupan tradisional ke kehi-dupan modern, yang kemudian berdampak pada hilangnya akar-akar psikologis dan kultural. Banyak orang yang sudah tinggal dikota-kota besar, tetapi mentalnya masih “kampungan.” Mereka be-lum menerima modernisasi secara total. Selalu ada rasa khawatirterlepas dari agama. Karena itu sikap beragamanya cenderung kaku,keras dan intoleran. Kedua, Islam telah dijadikan ajang kepentinganpolitik dan bendera politik yang dipakai untuk menghadapi oranglain. Dari sini muncul proses pendangkalan agama: kepentinganIslam diletakkan dalam kepentingan yang eksklusif, dan menjadikepentingan yang paling utama. Karena itu terjadilah eksklusivismeagama di kalangan kaum Muslim.317 Jika sikap-sikap eksklusif dantidak mau mengerti agama orang lain terus ditonjolkan, maka sulitmelakukan dialog dalam pengertian yang sebenarnya (bukan mono-log).

Menurut Gus Dur, dirinya yang dekat dengan kalangan non-Muslim dibanding dengan kaum Muslim sendiri sering mendapatkritik tajam dari tokoh-tokoh Islam. Mereka merujuk kepada ayatal-Qur‘an bahwa Nabi Muhammad dan pengikutnya harus kerasterhadap orang-orang kafir dan santun kepada sesamanya (asyiddâ‘ala al-kuffâr, ruhamâ baynahum). Menurut Gus Dur, dengan me-ngutip ayat al-Qur‘an, kritik itu tampaknya sangat serius, tetapikekeliruan yang dilakukannya juga cukup serius. Yang dimaksuddengan “keras terhadap orang kafir” dalam ayat itu bukan orang-orang non-Muslim, melainkan kaum kafir yang memerangi agamaIslam (dalam konteks ayat itu, kaum kafir Mekkah). Sudah tentuada perbedaan antara orang-orang non-Muslim dengan kaum kafiryang seperti itu—katakanlah kafir kategoris. Lalu, “santun terhadapsesamanya” (ruhamâ baynahum) juga patut dipertanyakan. NabiMuhammad pernah bersabda, “Seandainya Fatimah anak perem-puanku mencuri, maka akan aku potong tangannya.” Apakah sikapRasul itu santun atau tidak? Menurut Gus Dur, itu santun, karena

Page 231: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

325Dr. Media Zainul Bahri

Nabi menyayangi Fatimah dan tidak ingin ia melakukan perbuatanyang hina. Akan tetapi sikap santun itu ditunjukkan dengan caramemotong tangannya jika ia mencuri. Karena itu, pertanyaannya:apakah ukuran kedekatan dan kesantunan itu? Apakah jika tidakmenyenangkan satu pihak dianggap tidak santun kepada umat Is-lam? Secara hipotesis, bagi Gus Dur, esensi “saling menyantuni”justru terletak pada sikap-sikap saling mengoreksi sesama kaumMuslim.318

Sikap eksklusif dan antitoleransi ditunjukkan lagi oleh kaumMuslim eksklusif dengan mengutip ayat favorit, yaitu “Wahai Mu-hammad, sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akanrela kepadamu sampai engkau mengikuti agama mereka.” MenurutGus Dur, kata “tidak rela” di sini dianggap melawan atau memusuhi,lalu dikaitkan dengan pembangunan gereja-gereja, pengabaran Injil,Kristenisasi, konflik Israel-Palestina, dan lain-lain. Dua hal yang ber-beda sama sekali diletakkan dalam satu hubungan yang tidak jelas.Padahal jika masalahnya didudukkan secara proporsional, kaumMuslim tidak akan keliru memahami arti “tidak rela” di situ. Tidakrela itu artinya tidak bisa menerima konsep-konsep dasar. Itu pasti(dan wajar, sic.). Menurut Gus Dur, ibarat seorang gadis muda yangdipaksa kawin dengan seorang kakek, gadis itu pasti tidak akanrela. Artinya, ia tidak bisa menerima konsep dasar bahwa ia akanhidup bahagia jika kawin dengan kakek itu. Tetapi belum tentu iamelawan atau memusuhi. Ia terpaksa menjalani rumah tangga itumeskipun tidak rela, persis seperti Siti Nurbaya yang dipaksa kawindengan Datuk Maringgih.319

Pandangan yang menyatakan bahwa Yahudi dan Kristen tidakbisa menerima konsep dasar Islam, bagi Gus Dur, itu hal yang pasti(dan tentu saja harus seperti itu). Sebab, jika mereka rela meneri-manya, itu artinya mereka bukan Yahudi dan Kristen lagi. Begitupula kebalikannya. Kaum Muslim tentu tidak akan rela terhadapkonsep-konsep dasar Yahudi dan Kristen, misalnya konsep menge-nai ketuhanan Kristen, kaum Muslim sulit menerima konsep itukarena dasarnya memang sudah berbeda. Namun, tidak berarti

Page 232: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

326 Wajah Studi Agama-Agama

harus menunjukkan kebencian dan permusuhan. Dalam Islam,seorang Muslim harus mantap keyakinan tauhidnya, namun padasaat yang sama harus juga menghargai keyakinan dan pendapatorang lain. Menurut Gus Dur, sikap mau mendengar dan meng-hargai perbedaan itu telah dicontohkan oleh para pendiri republikini. Mereka bisa menerima bahwa konsep ketuhanan yang lain jugamemiliki hak untuk hidup di Indonesia. Padahal sebagian besar,yakni 5 dari 9 orang adalah wakil-wakil dari (gerakan) Islam, yaituKi Bagus Hadikusumo, Abdul Wahid Hasyim, Kahar Mudzakir,Agus Salim, dan Ahmad Subarjo—belum termasuk Soekarno danMuhammad Hatta, sebab keduanya sering dianggap tidak mewakiliIslam. Dalam pandangan Gus Dur, para tokoh itu menunjukkansikap lapang dada yang luar biasa hingga mereka mengakui bahwamacam-macam agama dan kepercayaan di Indonesia sama-samaber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam konteks dialog antaragama, Gus Dur berpendapat bah-wa bangsa Indonesia harus terus mengembangkan paham dan sikapbertoleransi, bertenggang rasa, saling mengerti dan memiliki komit-men untuk hidup bersama. Misalnya pemerintah memiliki prog-ram Kerukunan Umat Beragama, namun selama ini dimaknai ha-nya sekadar rukun saja. Rukun itu artinya peaceful coexistence: hidupberdampingan secara damai, tetapi tidak saling mengerti. Padahalyang mesti dikembangkan adalah rasa kebersamaan dan salingmengerti. Contoh konkret yang sering menimbulkan konflik adalahsoal pendirian gereja. Kaum Muslim berteriak marah karena tidaksuka. Menurut Gus Dur, kaum Muslim hendaknya dapat mengertibahwa agama Kristen memiliki banyak sekte, sinoda dan aliran-aliran yang berbeda. Tiap aliran butuh gerejanya sendiri karenamemang ritus dan liturginya berbeda-beda. Karena itu, tidak meng-herankan jika tiap sekian kilometer dibangun sebuah gereja. Bukankarena bersaing dengan orang Islam, tetapi bersaing dengan sesamamereka sendiri. Hal itu berbeda dengan Islam. NU, Muhamma-diyah, Sunni, Syi’ah, tentara, sipil, ulama, orang awam, bahkanmaling sekali pun bisa duduk dan shalat dalam satu masjid yang

Page 233: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

327Dr. Media Zainul Bahri

sama.320 Namun secara prinsipiel, kata Gus Dur, mau membangungereja atau tidak, dasarnya adalah saling mengerti, dan bukan salingmenolak. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa jika terdapatsaling pengertian semuanya tidak akan menjadi sulit. Salah satupihak harus mengalah sesuai dengan situasi dan kondisi yang di-hadapi.321

Menurut Gus Dur, apa yang disebut dialog adalah kesediaanuntuk mau mendengar, mengerti, terbuka dan jujur atas apa yangada (terjadi), dan mau belajar satu sama lain. Ia bercerita bahwadirinya pernah diminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untukmewakili MUI dalam wadah kerukunan beragama. Akan tetapi,tugas itu ia tolak karena dalam wadah itu tidak ada kejujuran, yangada hanya “kepura-puraan.” Dalam wadah itu, orang yang melihatkejelekan atau penyakit tidak berani untuk mengatakan itu “jelek”atau ini “penyakit.” Semua terlihat seperti baik-baik saja, tidak adamasalah, dan pada akhirnya tidak ada dialog yang sesungguhnyaatau yang diinginkan. Seperti penjual kecap, sehabis teriak kecap-nya nomor satu lalu tutup telinga. Yang lain juga demikian, gantianberteriak bahwa kecapnya nomor satu. Tidak ada dialog. Yang ter-jadi adalah seri-monolog, masing-masing berbicara sendiri-sendiri,orang lain tidak didengarkan. Masyarakat Indonesia yang sangatmajemuk tidak membutuhkan model dialog seperti itu.322

Dalam dialog menurut Gus Dur seperti dikutip Ali, seseorangharus bersungguh-sungguh mencari dan menjaga kebenaran sertamemiliki kebebasan dalam mengekspresikannya. Pencarian akankebenaran yang mendalam hanya akan ditemukan jika ada atmosferkebebasan dan dialog yang terbuka dan dihadiri oleh orang-orangyang berpikiran jernih dan sehat. Sebaliknya, pandangan yang sem-pit dan ketiadaan pemahaman keagamaan yang memadai biasanyaakan memunculkan intoleransi. Dua hal itu misalnya dapat denganmudah dilihat pada orang yang suka menghina tuhan-tuhan agamalain. Atas aksi ini, Gus Dur biasanya menyatakan—dengan merujukkepada ayat al-Qur‘an—bahwa “jika engkau menghina tuhan agamalain sesungguhnya engkau juga menghina tuhanmu sendiri.”323

Page 234: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

328 Wajah Studi Agama-Agama

Keseluruhan pandangan Gus Dur di atas menunjukkan bahwakerukunan, dialog, dan toleransi adalah pandangan dan sikap hidupyang aktif dan dinamis, bukan pandangan yang statis, tidak mautahu atau “yang penting asal tidak saling mengganggu.” Sikap masabodoh seperti itu tidak bisa dijadikan kekuatan untuk merawatkerukunan dan kemajemukan. Setiap pemeluk agama atau kelom-pok agama seharusnya bersikap aktif, kreatif dan selalu memilikiinisiatif—dengan cara apa pun yang positif—untuk merajut keber-samaan dalam merawat kemajemukan Indonesia.

Karena berbagai persoalan umat beragama yang kompleks,pendangkalan pemahaman agama dan manipulasi politik atas namaagama, maka menurut Gus Dur, tugas umat beragama, terutamatokoh-tokohnya sangat berat. Untuk umat beragama, maka tugasmereka adalah melakukan pendalaman kembali ajaran agama ma-sing-masing. Untuk tokoh-tokoh agama, maka tugas utamanyaadalah memberi pencerahan dan penyadaran umat masing-masingbahwa hubungan antaragama seharusnya dijalin atas dasar salingpengertian. Lalu, meyakinkan umat itu untuk tidak mudah dihasutdan diadu-domba oleh tangan-tangan misterius yang memiliki ke-pentingan politik tertentu.324

Amin Abdullah, seorang akademisi yang mendalami Studi(Perbandingan) Agama juga terlibat menawarkan gagasannyamengenai dialog. Menurut Amin, membicarakan teori dan praksisdialog antar-agama dalam perspektif Islam, maka referensi utama-nya hanya dua, yaitu al-Qur‘an dan sejarah hidup Nabi Muhammad.Hanya melalui pemahaman al-Qur‘an secara utuh dan komprehensifakan dapat ditemukan pokok-pokok ajaran yang berkaitan denganpluralisme keberagamaan manusia karena sedari awal al-Qur‘anmemang telah berdialog dengan berbagai nilai fundamental (fun-damental values) yang dianut oleh berbagai kelompok agama dannon-agama yang tumbuh berkembang sebelum hadirnya tawaranIslam. Fundamental values yang ada dalam al-Qur‘an itu kemudianteraktualisasikan dalam perilaku Nabi Muhammad dan para sa-habatnya. Jika terdapat istilah “das sein” dan “das sollen” yang

Page 235: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

329Dr. Media Zainul Bahri

masing-masing menunjuk kepada dimensi historisitas kenabian dandimensi normativitas wahyu, maka bagi kaum Muslim keduadimensi tersebut ibarat keping mata uang dengan permukaan yangtidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain. Ada hubunganorganik dan tarik menarik yang kuat antara kedua sisi tersebut,sehingga membentuk dinamika kehidupan beragama yang kukuhtetapi juga lentur.325

Menurut Amin, al-Qur‘an telah mengisyaratkan adanya dina-mika historis atau pergumulan di kalangan internal umat Islamsendiri. Karena itu, manusia Muslim dituntut untuk bersikap ren-dah hati dan bersedia berdialog dengan “kebenaran” (al-Haqq) dankesabaran (al-shabr) dalam hidupnya. Bahkan secara keras, kaumMuslim beriman diperingatkan oleh al-Qur‘an untuk tidak mence-mooh golongan atau kelompok lain, karena jangan-jangan orangatau kelompok yang dicemooh itu jauh lebih baik daripada orangyang mencemooh. Dengan begitu, dari jauh hari, al-Qur‘an sejatinyatelah mensinyalir akan munculnya bentuk truth claim (klaim ke-benaran). Truth claim yang menyeruak, baik pada wilayah internumat beragama maupun yang muncul pada persinggungan antarumat beragama, sama-sama tidak menguntungkan (favourable) dantidak kondusif bagi upaya membangun tata pergaulan masyarakatyang sehat.326

Truth claim yang mendalam pada diri orang-orang beragamasesungguhnya wajar dan dapat dibenarkan karena dengan itu aga-ma menjadi terus bermakna, menarik untuk diikuti dan dapat terusmenjadi pedoman hidup. Yang buruk itu adalah truth claim yangberlebihan dan membabi buta. Karena itu, al-Qur‘an mengingatkanuntuk tidak berlebih-lebihan dalam beragama (lâ taghlû fî dînikum).Jika demikian, maka keberagamaan yang paling baik adalah yangmoderat; berada di tengah-tengah. Al-Qur‘an menyebut kaum Mus-lim sebagai “ummatan wasathan” (umat yang berada di tengah-te-ngah). Menurut Amin, ayat ini mungkin memiliki beragam tafsir-an, namun dari perspektif pluralitas keberagamaan manusia, tam-pak bahwa al-Qur‘an memang menganjurkan umat manusia untuk

Page 236: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

346 Wajah Studi Agama-Agama

nesia untuk sastra Semit, dan aktif dalam kegiatan dialog antar-iman, membuat laporan:

Di sebuah seminari di Taiwan, para mahasiswa diwajibkan untukberkunjung ke kuil-kuil dan berbicara dengan orang-orang yangdatang bersembahyang. Para mahasiswa harus menyampaikanlaporan mengenai kunjungan itu sebagai bagian dari pelajaranmereka. Demikian pula, beberapa seminari di India sekarang men-syaratkan mahasiswa yang belajar agama untuk mengunjungi kuil-kuil dan menghadiri perayaan keagamaan lain, dan melaporkanmakna dan pentingnya agama bagi umat beragama yang bersang-kutan. Di Jepang beberapa mahasiswa teologi ditugaskan mengun-jungi biara Zen, dan mengambil bagian dalam meditasi mereka selamabeberapa minggu, supaya bisa lebih memahami Zen Buddhisme.355

Semua aktivitas di atas menurut Ihromi, bertujuan memungkin-kan mahasiswa mengenal kepercayaan lain, tidak semata sebagai“sistem keyakinan”, namun juga sebagai kepercayaan yang hidup,yang membentuk dan mengarahkan kehidupan sesamanya.356

Seseorang yang belajar langsung, mendengarkan langsung atauberjumpa langsung dengan sumber pertama dari agama yang dika-jinya, mungkin memiliki beberapa pandangan, keyakinan atau se-buah sikap yang hati-hati. Misalnya, bagi seorang mahasiswa yangbersikap “hati-hati” atau “ragu-ragu,” kegiatan itu ia lakukan sebataskegiatan akademik, sebatas tahu dan mengerti. Ia tidak ingin “terli-bat” lebih jauh dalam memahami dan menikmati pengalaman barumengenai agama lain karena takut membahayakan akidahnya. Na-mun bagi mahasiswa lain yang menghendaki pemahaman maksimaldan menginginkan keterlibatan secara emosional, ia akan melaku-kannya dengan sepenuh hati dan nalarnya sehingga muncul sikapempati, mengakui kebenaran agama itu dan belajar untuk mem-bawa perspektif dan kekayaan baru bagi agamanya sendiri.

Para pemeluk agama, terutama yang eksklusif, mungkin akanmenggugat apakah model kunjungan atau studi banding itu (tidak)akan membahayakan akidah para mahasiswa? Bagi mereka, halitu bukan saja “tidak Islami” atau “tidak Kristiani,” namun juga

Page 237: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

347Dr. Media Zainul Bahri

membahayakan keyakinan. Terlepas apakah mereka dapat meneri-ma atau tidak jawaban yang diberikan oleh Studi Agama-Agama,namun studi ini telah mensyaratkan, setidaknya sedari awal telahdinyatakan oleh Mukti Ali bahwa syarat intelektual seperti kemam-puan bahasa asli agama-agama yang diteliti dan syarat afektif sepertikemauan yang kuat, kondisi emosional yang memadai, dalam artiadanya feeling, partisipasi, empati, tidak masa bodoh dan memupukpengalaman yang luas mengenai agama, keyakinan dan tradisikeagamaan orang lain, adalah syarat-syarat utama untuk keberha-silan seseorang dalam memahami agama dan keyakinan orang lainyang berbeda.

2. Model Historis-Kronologis

Salah satu model pengajaran PA yang mencolok dalam halmateri agama-agama, sejak awal jurusan PA berdiri hingga masaakhir Orde Baru, bahkan hingga masa reformasi adalah melaluipendekatan historis-kronologis. Agama-agama diperkenalkan kepa-da mahasiswa mulai dari sejarah hingga perkembangannya. Modelpengajaran ini terlihat eksplisit dalam karya-karya PA. Sejak masaMahmud Yunus melalui karyanya, al-Adyan (1937) hingga Perkem-bangan Fikiran Terhadap Agama (1965) karya Zainal Arifin Abbas,semua pembahasan mengenai suatu agama selalu dimulai dengankronologi sejarahnya. Metode yang sama dapat kita baca pada seba-gian besar buku PA yang terbit sesudah berdirinya Jurusan Perban-dingan Agama pada 1961 hingga masa kini, seperti PerbandinganAgama karya Moh. Rifai (1965), Perbandingan Agama karya MasturHalim (1970), Perbandingan Agama, dua volume karya Abu Ahmadi(1977), Agama Yahudi karya Burhanuddin Daya (1982), Agama Sintokarya Djam’annuri (1982), Agama-Agama Besar Di Dunia karyaJoesoef Sou’yb (1983), Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besarkarya H.M. Arifin (1986), Agama-Agama Besar Di Dunia karya 12dosen PA IAIN Yogyakarta (1988), dua karya Ahmad Shalabi: Per-bandingan Agama, Bagian Agama Masehi (1964) dan PerbandinganAgama, Agama-Agama Besar di India (1998), Studi Agama-Agama

Page 238: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

348 Wajah Studi Agama-Agama

Dunia karya Bahri Ghazali (1994), Pengantar Studi Ilmu Perban-dingan Agama karya Thalhas (2006), Agama dalam Ilmu Perban-dingan karya Abdullah Ali (2007), tiga buku karya Ikhsan Tanggok:Mengenal Lebih Dekat Agama Konghucu di Indonesia (2005), Menge-nal Lebih Dekat Agama Tao (2006), dan Agama Buddha (2009). Lalu,Agama Jepang karya Djam’annuri, Syafatun Almirzanah dan UstadiHamzah (2008), Studi Agama, Suatu Pengantar karya Syarif Hida-yatullah (2011), Agama-Agama Besar Masa Kini karya Sufa’at Man-sur (2011) dan lain-lain.

Setelah mengurai sejarah suatu agama, baik secara detail mau-pun ringkas, karya-karya itu kemudian membuat pembahasan-pembahasan khusus mengenai Tuhan, Pembawa agama itu, KitabSuci, Etika, Hukum, Eskatologi dan sekte-sekte (aliran) yang mun-cul kemudian. Dengan model seperti itu, ada kesan bahwa parapenulis dan para pengajar PA membuat “kotak-kotak” yang menye-babkan semua yang terlibat dalam proses pembacaan dan pema-haman terhadap agama-agama non-Islam itu masih tetap sebagai“orang luar” (outsider), dan sulit menjadi “orang dalam” (insider)yang ikut merasakan dan menghayati makna agamis (religious mean-ing) seperti yang dirasakan oleh para pemeluknya. Dengan modelseperti itu, tidak sepenuhnya juga disebut “gagal” memahami aga-ma orang lain (yang bukan agamanya), tetapi akan sulit menemukanmakna terdalam (the inner meaning) dari agama yang dikaji. Padahaljustru di situlah tujuan pokok mempelajari agama-agama manusia.

Model pengajaran historis-kronologis yang “kaku dan kering”serta “kotak-kotak” yang dibuat juga telah lama menjadi modelyang secara umum berlangsung dalam dunia Islam—dalam meng-ajarkan Islam, tak terkecuali Indonesia. Model historis, apalagi yangtidak dibarengi sikap kritis, serta dogma-dogma yang diajarkan se-cara doktriner, membuat para pelajar Muslim gagal memahamimakna terdalam dari Islam yang menunjukkan Kasih Tuhan dankeagungan manusia. Islam yang terbuka, universal, dan dalamdimensinya yang terdalam (esoterik) adalah Islam yang sesuai de-ngan manusia dan kemanusiaan, dan itulah Islam yang akan ber-

Page 239: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

349Dr. Media Zainul Bahri

tahan lama. Pemahaman Islam yang melulu berorientasi syari’ah(normatif) yang kaku dan kering sering menimbulkan “keguncang-an” dan problem baru ketika berhadapan dengan perubahan duniayang begitu kompleks.

Salah satu model pengajaran PA yang terbaik, dalam pengertiancara memahami agama-agama yang bukan agamanya melalui pema-haman yang simpatik dan mendalam, adalah model Huston Smithmelalui karyanya The Religions of Man (1975) yang kemudian dire-visi menjadi The World’s Religions: Our Great Wisdom Traditions(1991). Buku Smith ini adalah karya filosofis mengenai keyakinanterdalam dan pandangan dunia orang-orang yang menganut ma-cam-macam agama; sebuah deskripsi yang mendalam dan menge-jutkan, termasuk bagi “orang-orang dalam,” yaitu para penganut-nya sendiri. Smith tidak menjelaskan suatu agama berdasarkankronologi sejarahnya dan konsep-konsep yang akan memberi kesansebagai sekumpulan “kotak-kotak” cara pandang dan keyakinanorang beragama. Namun, ia menghadirkan pengalaman psikologisorang-orang beragama, yaitu kumpulan kekayaan pengalaman ba-tin, dan keluasan cakrawala mereka.

Ketika berbicara tentang agama Hindu misalnya, di halaman-halaman pertama Smith mengemukakan pengaruh filsafat dandoktrin Hindu terhadap peradaban Barat, bahkan terhadap dunia,suatu cara yang Smith lakukan pada hampir semua agama yangditulisnya. Misalnya, ia mengutip pidato Max Müller tentang sum-bangan besar spiritualisme India kepada dunia, atau pernyataanArthur Schopenhauer bahwa “Di seluruh dunia, tidak ada naskahyang demikian indah dan agung selain Upanishad. Kitab tersebutmerupakan hiburan dalam hidupku dan akan menjadi hiburandalam kematianku.”357 Lalu, Smith menyebut sejumlah filsuf danilmuwan Barat seperti Aldous Huxley, Christoper Isherwood, Vin-cent Sheean, Gerald Heard, John Van Druten, Rene Guenon, Jo-seph Campbell dan akhirnya Heinrich Zimmer. Nama terakhir inimelalui karyanya Philosophies of India, menegaskan akan “gemu-ruh rimba kearifan India yang menggetarkan dunia.” Kata Zimmer,

Page 240: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

350 Wajah Studi Agama-Agama

“Kita di Barat baru akan mencapai persimpangan jalan, yang telahdilalui oleh para pemikir India kira-kira 700 tahun sebelum Ma-sehi.”

Pada halaman kedua, segera Smith membuat subjudul tentang“Kebutuhan Manusia.” Menurut Smith, Hinduisme secara keselu-ruhan menegaskan satu hal pokok kepada manusia: “Engkau bolehmelakukan apa pun yang kau inginkan.” Pernyataan itu kedengar-annya baik sekali, tetapi sesungguhnya membawa masalah bagi kita,karena apa yang kita inginkan? Secara umum, manusia mengingin-kan kesenangan yang terdiri atas kekayaan, kemasyhuran dankekuasaan. Tetapi pencarian akan kesenangan itu sering kali, tidakhanya mengalami kegagalan besar, namun juga membawa ke-sengsaraan. Smith lalu mengutip filsuf Soren Kierkegaard dalamkarnya Sickness Unto Death, kata Kierkegaard, “Dalam samudrakenikmatan yang tidak ada dasarnya itu, dengan sia-sia aku mencaritempat untuk melabuhkan sauh. Aku merasakan adanya suatukekuatan yang hampir tidak dapat dilawan, yang akan menarikkita dari suatu kesenangan berikutnya. Ia mampu menghasilkankegairahan murni, namun yang menyusul adalah kebosanan dansiksaan.”358 Karena itu, kesenangan yang bersifat duniawi tidak se-penuhnya memuaskan manusia. Meskipun bisa diraih dan dapatmemuaskan, tetapi ternyata sifatnya hanya sementara belaka, pa-dahal manusia selalu memimpikan keabadian.359 Dengan latar be-lakang ini, Smith lalu masuk untuk memulai penjelasan mengenaiajaran Hindu tentang Jalan Keinginan dan Jalan Penolakan.

Pada halaman ke-7 Smith meneruskan penjelasan di atas de-ngan membuat subjudul “Apa yang Sesungguhnya DiinginkanManusia?” Maka, orang-orang Hindu akan memiliki jawaban yangberagam. Namun, secara umum, manusia menginginkan empathal, yaitu pertama, manusia ingin terus ada. Setiap orang mengingin-kan untuk ada ketimbang tidak ada. Biasanya tak seorang pun ingincepat-cepat mati atau tidak ingin mati. Kedua, manusia ingin menge-tahui, ingin sadar akan sesuatu. Manusia memiliki rasa ingin tahuyang tak terpuaskan, apakah ia seorang ilmuwan atau orang biasa.

Page 241: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

351Dr. Media Zainul Bahri

Ketiga, manusia menginginkan kebahagiaan sebagai lawan dari rasaputus asa, hidup tak bermakna dan rasa bosan. Apakah denganketiga keinginan itu, jika terpenuhi, manusia akan merasa puas?Menurut Hindu, belum sempurna kepuasannya! Karena itu menu-rut Hinduisme, ada yang keempat, yaitu bahwa manusia mengingin-kan pembebasan (mukti): pembebasan yang tak terhingga, pembe-basan yang sempurna dari berbagai keterbatasan yang tak terbilangjumlahnya yang begitu menekan manusia,360 terutama manusiamodern.

Dengan keempat keinginan itu, Hinduisme ingin mengatakanbahwa keinginan yang sejati dari manusia sesungguhnya hanya satusaja, yaitu mukti alias bebas secara sempurna. Namun, bagaimanacaranya? Sebelum mengetahui apa itu mukti, Hinduisme mengajakpara pemeluknya untuk mengetahui terlebih dahulu, apa itu ma-nusia? Apakah ia suatu badan jasmani? Tentu saja! Namun, apakahhanya itu? Apakah termasuk suatu kepribadian yang mencakuppikiran, ingatan, dan kecenderungan yang tumbuh dari pengalam-an hidupnya? Ya benar! Apakah ada hal lain? Ada yang mengatakanhanya itu, tetapi, agama Hindu tidak setuju. Menurut Hinduisme,yang mendasari kepribadian manusia dan menjiwainya adalah suatutelaga kehidupan yang tidak pernah kering, tidak pernah habis dantak berhingga dalam kesadaran dan kebahagiaan. Pusat setiap ke-hidupan yang tak berhingga ini, yang terdapat pada diri manusiayang tersembunyi atau Atman, tak lain adalah Brahman, atau Tuhan.Manusia belum lengkap sebagai manusia sebelum ketiga unsur itudisebutkan, yaitu badan, kepribadian, dan Atman Brahman.361

Dengan contoh uraian di atas, Smith menunjukkan beberapahal penting dalam Studi Agama-Agama, yaitu pertama, Studi Agamaadalah studi tentang manusia, atau tepatnya tentang pengalamanmanusia yang konkret mengenai “keberagamaan” atau “ketuhan-an.” Smith menempatkan agama bukan sebagai data, fakta danperistiwa yang mati dan beku, yang hanya terdiri atas catatan-catatanperistiwa, kejadian, dan nama-nama orang belaka. Karena itu, karyaSmith tidak banyak mencantumkan nama orang, tempat, atau pe-

Page 242: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

352 Wajah Studi Agama-Agama

ristiwa yang dikajinya. Smith lebih menekankan bahwa sejarah aga-ma adalah sejarah kehidupan para pengikutnya yang bersifat hidup,dinamis, dan selalu berubah.362 Karena itulah bukunya diberi judulReligions of Man. Bersamaan dengan poin pertama itu, maka kedua,Smith menghadirkan langsung pengalaman keagamaan para peme-luknya. Kita diajak langsung mendengar penuturan pemeluknyasendiri. Bahkan, kita menangkap kesan bahwa ia telah menjadi “ju-ru bicara” atau “orang dalam” agama yang sedang dijelaskannya.

Ketiga, Smith menunjukkan betapa ajaran-ajaran agama yangagung dan konkret itu sesungguhnya juga menjadi perhatian “du-nia lain,” yaitu para ilmuwan dan filsuf. Smith selalu menghubung-kan ajaran-ajaran agama itu dengan pandangan para filsuf danilmuwan dunia; suatu koneksi yang menarik dan mengejutkan.Keempat, Smith melakukan pembahasan yang kompleks tentangsatu tema yang dihubungkan atau dianalisis dengan tema-tema lainsecara bersamaan. Ketika berbicara tentang manusia dalam agamaHindu misalnya, Smith juga menghubungkannya dengan konsepTuhan dan doktrin tentang mukti: tujuan akhir Hinduisme. Smithtidak membuat “kotak” tema-tema seperti “Tuhan” “Kitab Suci”“Utusan Tuhan” “Ritual” dan lain-lain yang dibuat sendiri-sendiri.Setelah sub-judul “Apa yang Sesungguhnya Diinginkan Manusia?”Smith membuat subjudul-subjudul lain yang berurutan: “Di LuarItulah yang di Dalam,” “Empat Jalan Mencapai Tujuan,” “JalanMenuju Tuhan Melalui Ilmu Pengetahuan,” “Jalan Menuju TuhanMelalui Cinta,” “Jalan Menuju Tuhan Melalui Kerja,” “Jalan MenujuTuhan Melalui Latihan Psikologis,” “Empat Tahap,” “Tingkatan-tingkatan Hidup,”Ia yang Melumpuhkan Semua KemampuanKata,” “Menjadi Dewasa di Alam Semesta,” “Selamat Datang danSelamat Jalan, Dunia,” dan terakhir “Banyak Jalan Menuju Puncakyang Sama.” Sekali lagi, kita tidak menemukan satu subjudul khu-sus tentang “Konsep Tuhan” misalnya atau “Kitab Suci,” “SejarahAgama Hindu,” “Syariat dan Ritus Hindu,” atau ajaran mengenai“Maharesi” sebagai utusan Tuhan dalam Hinduisme. Namun, de-ngan sub-sub judul yang ia buat di atas, Smith secara mengagumkan

Page 243: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

353Dr. Media Zainul Bahri

telah berhasil menjelaskan ajaran-ajaran pokok Hinduisme tentangTuhan, kitab suci, ritual, konsep manusia, mistik Hindu, dan lain-lain.

Hal yang sama juga terlihat ketika Smith membicarakan agamaKristen sebagai rangkaian sejarah, ketokohan Yesus dan Paus, dok-trin-doktrin pokok, serta alam pikiran Kristen di Barat dan Timur.Ia merangkai keseluruhan itu dengan subjudul-subjudul yang me-narik seperti “Ia yang Diurapi,” “Ia yang berkeliling Sambil BerbuatBaik,” “Tak Pernah Ada Orang Berbicara Demikian,” “Kami TelahMenyaksikan Kemuliaannya,” “Awal dan Akhir,” “Kabar Gembira,”“Tubuh Mistis Kristus,” Alam Pikiran Gereja,” Gereja Roma Ka-tolik,” “Gereja Ortodoks Timur,” dan “Agama Protestan.”

Banyak kolega di Perbandingan Agama menyatakan bahwamodel Smith adalah suatu model bagi yang sudah memahami de-ngan baik sejarah dan ajaran-ajaran pokok suatu agama, bukanuntuk pemula yang baru belajar suatu agama, karena pembahasanSmith terlalu filosofis. Jika ditujukan bagi orang awam (umum)yang tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai suatu aga-ma, atau bahkan nihil sama sekali, anggapan itu mungkin benar.Akan teteapi, bagi Mahasiswa Fakultas Ushuluddin non-Perban-dingan Agama, yang telah memiliki modal dasar Studi Filsafat,pemahaman tertentu tentang agama lain, dan pemahaman yangbaik tentang Islam, model Smith sesungguhnya dapat diterapkandengan tanpa kesulitan yang berarti. Apalagi untuk MahasiswaPerbandingan Agama, yang “makanan” sehari-harinya adalah “me-nu” agama-agama. Jika mata kuliah “Agama-Agama Dunia” tetapdipertahankan di Ushuluddin bagi Mahasiswa non-PerbandinganAgama, atau bagi Mahasiswa Perbandingan Agama sekalipun, harusada kemauan kuat untuk meniru model Huston Smith dengan ber-bagai variasinya, dan berani keluar dari “model lama” yang bercorakhistoris-kronologis yang kering dengan “kotak-kotak” yang me-nyertainya.

Page 244: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

354 Wajah Studi Agama-Agama

3. Mengapa Selalu Dimulai Dengan Teori“Asal-Usul Agama”?

Seiring dengan model pengajaran yang bercorak historis-kro-nologis, maka isu (materi) pertama yang diajarkan, terutama dalamMata Kuliah “Pengantar Studi Agama (Perbandingan Agama)” atau“Sejarah Agama-agama” adalah teori Asal-Usul Agama. Model ini,tentu saja, adalah model Studi Agama yang telah lama dilakukandi Barat. Secara formal-akademik, kajian asal-usul agama—baikyang pro maupun yang kontra Tuhan—mulai ramai didiskusikandi Barat pada abad ke-19 melalui karya-karya Max Müller misalnya,sebagai sarjana ahli Filologi dan asal-usul mitos Hindu, atau melaluitokoh-tokoh Antropologi yang mengungkap teori asal-usul agamaseperti E.B. Taylor, James George Frazer, John Lubbock, Evans-Pritchard, Andrew Lang dan Wilhelm Schmidt. Dalam disiplinSosiologi, Emile Durkheim adalah figur utama yang menguak asal-usul agama. Dalam ranah Psikologi, dua nama: William James danSigmund Freud adalah figur-figur yang ikut terlibat dalam perde-batan soal asal-usul agama. Dalam tradisi Studi Agama di Barat,perdebatan soal asal-usul agama sesungguhnya dibentangkan jauhke belakang hingga ke tokoh-tokoh seperti Herodotus (484-425 SM)yang membuat catatan tentang sejarah agama-agama orang asingnon-Yunani, atau Demokritos (460-370 SM), atau Theophratus (372-287 SM) yang menyusun 6 jilid sejarah agama. Karena usahanyaini, Theophratus dianggap sebagai sejarawan pertama Yunani dibidang studi agama.

Di Indonesia, Mukti Ali sendiri menulis satu buku tipis yangberjudul Asal-Usul Agama (1969). Tulisan itu—tentu saja—dalampengaruh kuat dari apa yang terjadi di Barat. Dalam konteks per-tarungan antara para ilmuwan (antropolog, sosiolog, dan psikolog)yang menegasikan Tuhan dan menegaskan bahwa asal-usul agamaberasal dari konsepsi manusia sendiri dengan Gereja yang tetapmempertahankan revelasi sebagai asal-usul agama, Mukti Ali “ber-diri” bersama-sama dengan para teolog Kristen atau katakanlah para“misionaris” Kristen yang meyakini wahyu sebagai awal-mula aga-

Page 245: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

355Dr. Media Zainul Bahri

ma. Dalam pengertian inilah kita bisa memahami karya Mukti Alitersebut. Dalam buku itu, Mukti Ali kembali mengetengahkan pan-dangan kaum evolusionis tentang asal-usul manusia sekaligus prosesevolusi pemahaman manusia atas tuhan, dari mulai penyembahankepada alam, kepada banyak dewa (politeisme) hingga kepada satutuhan (monoteisme). Mukti Ali merujuk kepada karya-karya sepertiThe Origin of Species by means of Natural Selection (1859) karya Char-les Darwin, The Idea of Progress (1955) karya John Bury, The Believ-ing World (tanpa keterangan tahun) karya Lewis Browne, Proces-sion of Gods karya G.G. Atkins, dan E.D. Soper melalui karyanya,Religion of Mankinds.

Menurut Mukti Ali, pendekatan antropologis dan sosiologisterhadap agama adalah sesuatu yang menggembirakan, dan me-mang sudah seharusnya seperti itu jika Studi Agama ingin berkem-bang. Tetapi, Mukti Ali menyayangkan jika hasil dari riset antropo-logi itu dibuat untuk menilai masalah agama, salah satunya adalahsoal asal-usul agama.363Menurutnya, bukan hanya kaum evolusionisyang percaya kepada evolusi makhluk hidup, bahkan para penulisKristen pun seperti Atkins dan Soper juga meyakini bahwa proseskeberagamaan manusia atau pemahaman manusia tentang Tuhan,terutama Yahudi, Kristen, dan Islam juga mengalami evolusi. Halini kata Mukti Ali, sangat mengherankan dan bertentangan denganpandangan kitab suci ketiga agama tersebut.364

Sebagai bantahan atas kaum evolusionis itu, Mukti Ali mengaju-kan pandangan tokoh-tokoh revelasionis yang meneguhkan bahwasejak awal manusia sudah memiliki konsep tentang Tuhan YangMaha Esa (monoteisme). Mukti Ali membuat kutipan-kutipan yangcukup jelas dari kaum revelasionis seperti Israil Rabin melalui karya-nya, Studien zur Vormosaischen Gottesvorstellung, dan Andrew Langdalam karyanya The Making of Religion (1898). Mukti Ali juga me-nunjuk para sarjana dan pendeta di Barat yang menolak teori evolusiseperti Wilhelm Schmidt, Archbishop Soderblom dari Swedia,Alfred Bertholet, Edward Blum-Ernst, Le Roy, dan Albert C. Kruijt.Dari sarjana Muslim, Mukti Ali merujuk kepada Muhammad

Page 246: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

356 Wajah Studi Agama-Agama

Abduh melalui Risalah al-Tauhid, Ameer Ali dengan The Spirit ofIslam (1922), dan Muhammad Iqbal dengan karyanya, The Recon-struction of Religions Thought in Islam (1944). Pada akhirnya, bagiMukti Ali, teori evolusi yang digunakan untuk menolak Tuhan tidakdapat diterima seperti tidak dapat diterimanya teori ini dalam me-nilai proses pemahaman manusia terhadap Tuhan. Seperti pan-dangan para pendeta di Barat dan kaum revelasionis lainnya, MuktiAli juga mengamini bahwa ide tentang Tuhan sejak awal adalahmonoteisme. Politeisme adalah penyelewengan dari monoteismeini.365

Sebagai seseorang yang dianggap pelopor atau “Bapak” StudiPerbandingan Agama, maka karya-karya PA di Indonesia selalumengikuti model sang “Bapak,” yakni Mukti Ali, termasuk memulaipembahasan studi PA dengan materi asal-usul agama. Karena itu,karya-karya PA atau buku-buku ajar tentang PA, seperti yang sudahsaya tunjukkan berulang-ulang di atas, selalu memuat satu bahasandi awal tentang asal-usul agama, biasanya dimulai dengan AgamaPrimitif dengan model-model keyakinan mereka: animisme, dina-misme, fetisisme, dan shamanisme.

Pendekatan historis, atau utamanya pembahasan asal-usul aga-ma, sebagai langkah awal dalam Studi PA atau Studi Agama-Agamasesungguhnya dapat dilihat secara normal, pertama misalnya sebagai“gejala umum” dalam disiplin Ilmu-Ilmu Humaniora. Jika kitabelajar Filsafat sebagai sebuah disiplin misalnya, maka pertama-tama, biasanya, mempelajari sejarah filsafat terlebih dahulu: darimana dan kapan filsafat bermula, siapa tokoh-tokoh filsafat pertama,filsafat model apa yang pertama kali muncul, dan seterusnya. Kedua,dalam Studi Agama, terutama dalam konteks figur Max Mülleryang ahli filologi agama-agama India, menelusuri asal usul agamabermakna sebuah usaha mencari bentuk yang paling asli dan pa-ling awal dari agama-agama karena dianggap sebagai bentuk yangpaling murni. Sebuah usaha yang menantang dalam mencari ben-tuk yang paling awal/murni dari agama karena akan menguak

Page 247: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

357Dr. Media Zainul Bahri

misteri besar dan menjadi modal untuk menganalisis perkembang-an historis agama-agama.

Ketiga, dalam Studi Agama, persoalan dari mana asal mulaagama merupakan problem yang paling krusial, terutama di duniaKristen Barat. Sebelum muncul kajian agama yang bersifat des-kriptif atau saintifik, ilmu agama di Barat dikuasai sepenuhnya olehTeologi (tetapi, Teologi sebagai “Ratu Ilmu Pengetahuan” (queen ofsciences) sesungguhnya juga menjadi gejala umum di dunia Islam(Timur) selama rentang waktu yang cukup lama). Karena itu, dalamkonteks Kristen Barat (Eropa), ketika muncul teori-teori antro-pologi, sosiologi, dan psikologi yang menolak Tuhan, maka perso-alan asal-usul agama adalah problem “hidup-mati” yang tidak bisaditawar lagi, karena menyangkut hal yang pokok dan utama dalamagama, yaitu keyakinan terhadap adanya Tuhan. Gereja, denganberbagai propaganda dan dakwah, ingin membendung paham dangerakan ateisme itu dan menarik kembali masyarakat Eropa kedalam pelukan gereja.

Ketika dunia Islam atau katakanlah Mukti Ali, melalui Institutatau Perguruan tinggi Islam, mengadopsi model Kristen Eropa da-lam “menghadang” gerakan ateisme itu dalam pengajaran StudiPA atau Studi Agama secara umum, maka apa yang dilakukannyaitu adalah “melanjutkan” atau “mempertahankan” warisan kaummisionaris Kristen Eropa itu. Sekarang persoalannya adalah, dalamStudi Agama modern, apakah model itu masih relevan untuk diper-tahankan? Jika kita setuju bahwa teori asal-usul agama masih pen-ting untuk diperdebatkan oleh para mahasiswa dan pelajar Mus-lim sebagai pengetahuan awal, maka hal itu harus dilakukan dengansemangat ilmiah bukan dengan tujuan dakwah, yaitu ingin menun-jukkan keunggulan dalil-dalil agama vis-a-vis kajian-kajian antro-pologis, sosiologis dan psikologis yang telah dihasilkan melalui se-rangkaian riset yang panjang oleh para tokohnya. Yang sering terjadiadalah bahwa para mahasiswa, pelajar, bahkan dosennya sekalipuntidak memahami dengan baik dan benar teori-teori asal-usul agamaitu melalui tulisan pertama dari para sarjana penggagasnya. Yang

Page 248: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

358 Wajah Studi Agama-Agama

sering terjadi, mereka mendiskusikan teori-teori itu melalui referensiketiga366 atau keempat atau melalui buku terjemahan, yang sangatmungkin telah mereduksi materi utama atas teori-teori itu.

Dalam sebuah tulisan yang menarik berjudul “The study of re-ligion and the rise of atheism: conflict or confirmation?” (2011) MichaelBuckley, profesor Teologi pada departemen Religious Studies Uni-versitas Santa Clara, California, menjelaskan bahwa memang terjadipertarungan yang sengit antara para pendukung Uratheismus de-ngan para pendukung Urmonotheismus. Pencarian ilmiah para ahliantropologi, sosiologi dan psikologi pada abad ke-19 terhadap kebu-dayaan orang-orang primitif mengharuskan mereka meneliti lebihdalam asal-usul kepercayaan keagamaan kaum primitif terhadapRealitas yang Ultim. Dan hasil penelitian itu kemudian menjadisesuatu yang sangat pahit bagi gereja. E.B. Taylor misalnya berkesim-pulan bahwa riset ilmiah yang dilakukannya telah menguatkanpendirian personalnya untuk menjadi seorang agnostik yang me-mandang skeptik terhadap agama.367 Sir John Lubbock melalui TheOrigin of Civilization and the First Condition of Man (1870) sepertidikutip Buckley, mengajukan tesis bahwa ateisme memang meru-pakan fenomena yang paling awal dan paling primitif dari keber-agamaan manusia. Fenomena ini, sebelum masa Lubbock, telahmemberi darah segar bagi teori August Comte (1798-1857) tentangtiga tahap perkembangan intelektual masyarakat. Melalui risetmendalam tentang budaya keagamaan pada masyarakat primitif,Lubbock menemukan bahwa Uratheismus bukan sebuah penolakaneksplisit terhadap dewa atau tuhan mana pun, melainkan ide tentangtuhan memang tidak ada sejak masa-masa kebudayaan yang pa-ling awal dari seluruh agama (“Uratheismus not in an explicit denialof the reality of any god, but in the absence within these earliest cul-tures of all religion.”).368

Senada dengan Lubbock, para sarjana lain seperti Durkheim,George Frazer, dan Freud sama-sama menegaskan bahwa penyem-bahan terhadap totem, sebagai representasi realitas tertinggi, padamasyarakat primitif adalah bentuk keyakinan yang paling primor-

Page 249: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

359Dr. Media Zainul Bahri

dial, dan fondasi paling asali dari seluruh agama. Dalam melihatpengalaman keagamaan pada diri manusia, Freud menukik kedalam pengalaman psikis terdalam manusia melalui apa yangdisebutnya sebagai “kerinduan Oedipus” dan perasaan bersalahnyakarena telah membunuh ayahnya. Melalui psikoanalisis, Freudberpendapat bahwa secara dasariah apa yang disebut Tuhan sesung-guhnya tidak ada, ia hanya imaji (gambaran) belaka tentang seorangbapak yang agung. Karena itu, jika totem adalah bentuk yang palingawal dari bapak pengganti, maka konsep tentang tuhan atau dewabaru muncul kemudian.369

Dalam satu spirit yang sama dengan Freud, C.G. Jung, ahli psi-kologi yang juga kontra agama, berpendapat bahwa apa yangdisebut tuhan sesungguhnya adalah representasi dari sejumlahenergi libido. Melalui serangkaian riset psikologi, Jung meyakinibahwa tuhan merupakan konstruksi dari libido yang mendasarkanpada imaji seorang ibu ketimbang figur bapak370 (dalam hal figuratau imaji ini, Jung berbeda dengan Freud yang lebih menunjukkepada figur bapak). Figur-figur di atas telah sampai pada kesim-pulan bahwa agama bisa ditemukan pada manusia primitif yangpaling awal, tetapi tidak dengan konsep tuhan. Tylor misalnya, mes-kipun ia membuat definisi agama sebagai “kepercayaan kepadawujud spiritual,” namun dalam pandangan masyarakat purba, apayang disebut wujud spiritual itu tak lain adalah ruh-ruh individuyang bersemayam di alam,371 bukan Tuhan dari “alam sana.”

Berlawanan dari apa yang menjadi pandangan para sarjana diatas, para pendukung Urmonotheismus juga menunjukkan argu-men-argumen “ilmiah” tentang keyakinan akan Tuhan pada ma-syarakat primitif yang paling kuno. Wilhelm Schmidt misalnya,dengan mengambil teori Andrew Lang tentang tuhan-tuhan yangtinggi, menegaskan melalui karyanya Der Ursprung der Gottesideeseperti dikutip Buckley, bahwa ide tentang Wujud Tertinggi (Su-preme Being) dapat ditemukan pada hampir seluruh kebudayaanmasyarakat primitif, yang di banyak tempat tidak diekspresikandalam bentuk dan model yang sama, tetapi ide tentang itu cukup

Page 250: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

360 Wajah Studi Agama-Agama

menonjol yang membuat posisinya cukup dominan dan tidak dira-gukan lagi. Karena itu, ide dan keyakinan tentang Urmonotheismusterdapat pada tahap yang paling awal sebagai objek agama dariseluruh model kebudayaan primitif berikutnya. Masyarakat primitiftidak memiliki kesulitan untuik mengenal ide tentang Wujud Ter-tinggi itu. Dengan demikian, monoteisme berada pada tahap awal,bukan di akhir, dari perkembangan pemikiran keagamaan umatmanusia. Lebih dari itu, Raffaelle Pettazzoni, menurut Buckley, me-nunjukkan justru ide monoteisme primitif adalah bentuk revolusimelawan politeisme pada masyarakat primitif itu sendiri. Pettaz-zoni melakukan riset pada masyarakat primitif Maori. Mereka me-nyembah Io sebagai tuhan langit. Mereka juga memercayai Iosebagai pencipta tuhan-tuhan lain seperti Rangi dan Papa. Namun,dalam analisis terakhir, Pettazzoni menemukan justru Io itu adalahRangi sendiri dan Rangi-lah yang berdiri di belakang Io sebagaiTuhan Langit yang sesungguhnya yang pada akhirnya diagungkandan tinggikan posisinya sebagai Io (dengan nama Io), zat yang tidaktercipta dan sebagai sumber awal dari segala sesuatu.372 Jadi, risetPettazzoni menyimpulkan bahwa sedari awal kepercayaan masya-rakat primitif bukan semata monoteisme, namun juga mereka me-nentang politeisme dengan cara menunjukkan satu-satunya Ke-kuatan Agung sebagai sumber awal dan pencipta segala sesuatu,termasuk menciptakan tuhan-tuhan minor.

Dalam perdebatan sengit antara para pendukung Uratheismusdan Urmonotheismus, pada ranah akademis, riset-riset yang telahdilakukan oleh Lubbock, Taylor, Evans-Pritchard, Frazer, dan Dur-kheim misalnya, atau kaum evolusionis seperti Darwin dan RobertN. Bellah yang paling mutakhir, memiliki pengaruh yang sangatkuat, dan menjadi referensi wajib bagi para peminatnya. Lebih dariitu juga telah menjadi bacaan umum yang digemari. Dalam skalaluas, karya-karya mereka bersama dengan teori evolusi Darwin me-nyebabkan menguatnya pandangan dan sikap yang skeptik, bah-kan ateistik pada masyarakat Eropa di abad ke-19. Tentu saja, risetantropologis, sosiologis, dan psikologis yang mendasarkan diri pada

Page 251: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

361Dr. Media Zainul Bahri

observasi sulit dibantah, meskipun selalu ada kemungkinan untuk“dipatahkan” dengan bukti dan penemuan baru yang berbeda. Sela-ma masa keemasan para sarjana itu, bahkan hingga hari ini, gereja(para teolog) atau ilmuwan-ilmuwan yang sepaham dengan gerejaselalu menunjukkan konfrontasi.

Sikap konfrontasi, bahkan permusuhan itu disayangkan olehBuckley. Dalam konteks kedigdayaan teori-teori asal-usul agamayang mengabaikan revelasi Tuhan, Buckley mengusulkan disiplinStudi Agama yang ilmiah untuk menggali usaha-usaha teologis yangberbeda (nuansanya) dengan apa yang telah dilakukan oleh StudiTeologi pada abad ke-19 dan 20. Dengan kata lain, sudah tidakmasanya lagi para teolog dan disiplin Teologi terus bermusuhandengan kaum saintis. Jika kajian teologi memfokuskan diri kepadailmu-ilmu ketuhanan, maka para teolog harus melakukan sebuahperjalanan menuju pengetahuan yang mendalam mengenai apapun tentang Tuhan yang akan menghasilkan perspektif yang positifdan mencerahkan. Buckley menulis:

There is no time now to argue and nuance this suggestion with thedistinctions it obviously cries for, but only to propose that the scien-tific study of religion could well call the theological enterprise to aninquiry quite different from that which obtained in the nineteenthand twentieth centuries. For, to allow the final word to Nicholas Lash:“Every Christian, and hence every Christian theologian, is called tojourney in the direction of deeper knowledge of the things of God, andthe journey is a homecoming, for God is our end as well as our begin-ning.”373

Jika kebudayaan manusia telah dieksplorasi sedemikian rupaoleh para ilmuwan dalam berbagai disiplin ilmu, maka hal yangmenarik bagi para pengkaji studi ilmiah agama menurut Buckley,adalah menyingkap hal-hal yang berkaitan dengan Tuhan. Misalnya,mengungkap momen-momen penting pengalaman spiritual ma-nusia tentang Tuhan. Buckley secara retorik bertanya: bisakah Kris-

Page 252: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

362 Wajah Studi Agama-Agama

tus dilihat sebagai yang memberi cahaya, sehingga menarik untukdikaji, ketimbang harus berkompetisi dengan problem-problemkontroversial yang telah ditemukan dalam studi ilmiah agama? Teo-log-teolog Kristen mungkin dapat mengkaji secara baik tentangiluminasi Yesus dengan tanpa harus mencari data-data kebudayaanmanusia, tetapi cukup dapat menunjukkan secara memadai apayang bisa dipelajari dari Tuhan. Nostra aetate374 yang dihasilkan olehkonsili Vatikan II merupakan refleksi dari kekayaan spiritual Bapa-Bapa suci. Nostra itu, menurut Buckley, telah mengakui bahwa Ca-haya Tuhan dapat menerangi siapa pun dari makhluk-Nya dan da-lam tradisi agama apa pun. Bisakah para teolog Kristen membuatstudi ilmiah mengenai kekayaan batin tokoh-tokoh Kristen tentangTuhan hingga menghasilkan Nostra yang mengagumkan itu?375

Pada abad Pertengahan, teologi Kristen juga mengambil sum-ber-sumber dari ajaran Aristoteles, Ibn Rusyd dan Dionysius neo-Platonik untuk mempelajari banyak hal tentang Tuhan. Apakahbisa para teolog Kristen hari ini belajar dari kekayaan Islam kontem-porer? Atau dari mistik Hindu? Menurut Buckley, saat ini tidaksedikit teolog dan sarjana agama yang memiliki pandangan yangsempit tentang kata “agama” sehingga menyulitkannya untuk ber-integrasi dengan dunia lain yang lebih luas. Padahal, Gereja perdana(the early Church) berhasil menyerap unsur-unsur yang agung dariNeo-Platonisme, Stoisisme dan Neo-Phytagorianisme. Padahal,tradisi-tradisi filsafat kuno itu bukan agama, dan sampai hari ini puntidak juga kita menyebutnya sebagai agama.376 Berbagai pertanyaandan penjelasan di atas penting untuk menunjukkan bahwa StudiAgama masih memiliki lahan yang luas, dan karenanya masih me-miliki posisi yang penting dibanding menghabiskan energi untukberkonflik dengan disiplin ilmu lain. Bahkan, dalam satu dasawarsaterakhir, lebih dari sekadar kajian mengenai pengalaman spiritualatau saling keterpengaruhan di antara kebudayaan dan agama, isu-isu aktual mengenai fundamentalisme dan liberalisme agama, agamadan radikalisme, hubungan agama dan negara, atau agama dan

Page 253: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

363Dr. Media Zainul Bahri

perubahan iklim adalah tema-tema menarik yang juga menjadi la-han Studi Agama.

Meski demikian, kemunculan buku terbaru Robert N. Bellah,Religion In Human Evolution, From The Paleolithic to the Axial Age(2011) kembali menunjukkan bahwa teori asal-usul agama tetapmemiliki posisi yang penting di Barat. Buku Bellah itu disebut-sebutsebagai karya terbesar dalam bidang sosiologi dan sejarah agamasetelah Hegel, Durkheim dan Weber. Jürgen Habermas menyebutkarya Bellah itu sebagai karya agung yang lahir dari tradisi intelek-tual dan akademik yang kaya dari seorang ahli teori sosial terke-muka yang menggabungkan pendekatan biologis, antropologis danhistoris demi menghasilkan karya yang ambisius mengenai asal usulritus dan mitos keagamaan dalam proses evolusi natural spesiesmanusia yang disandingkan dengan proses evolusi keagamaanpada zaman Aksial.377 Karya Bellah ini tentu saja memperkaya tu-lisan-tulisan para antropolog, sosiolog, dan sejarawan sebelumnyatentang tema yang sama, namun dengan eksplorasi bukti-buktibaru yang mengejutkan. Karya ini sesungguhnya memperkuatpandangan bahwa diskursus tentang teori asal-usul agama masihrelevan untuk didiskusikan, terutama dalam materi studi PA, dalamsemangat ilmiah dan demi mencari kebenaran ilmiah.

H. Model Studi yang DilakukanDalam rentang waktu lebih dari tiga dasawarsa setelah berdi-

rinya Jurusan PA pada 1961, kita melihat munculnya berbagai mo-del studi PA. Karya-karya PA yang dihasilkan beserta modelpengajarannya menunjukkan model atau pendekatan studi PA telahberkembang sesuai dengan perkembangan aktor-aktor akade-miknya. Pada masa-masa awal berdirinya studi PA, secara umumkita melihat satu model yang cukup dominan, yaitu model historis-komparasi-teologis, atau historis-fenomenologis plus teologis, ataukomparasi-teologis. Agama-agama manusia dilihat berdasarkan se-jarah, ajaran-ajaran teologinya, fenomena-fenomena keagamaanyang melingkupinya, kemudian dibandingkan dengan Islam atau

Page 254: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

364 Wajah Studi Agama-Agama

diberi “nilai” oleh Islam. Model ini cukup lama berlangsung danmenjadi pendekatan “favorit” di kalangan kaum Muslim para peng-kaji studi PA masa itu, karena hasil dari studi model itu menunjuk-kan hal yang “menggembirakan” bagi mereka, yaitu keunggulanIslam atas agama-agama lain.

Pada perkembangan selanjutnya, yaitu di masa akhir 1980-anhingga menjelang akhir 1990-an, mulai muncul kajian-kajian yangbersifat obyektif (ilmiah) dan humanis. Tokoh-tokoh studi PA di(IAIN) Yogyakarta dan Jakarta menghasilkan karya-karya denganpendekatan-pendekatan yang beragam: historis-fenomenologis,atau fenomenologis saja, atau komparatif saja, atau sosiologis-antro-pologis, dan mulai memublikasikan rumusan-rumusan pendekatanseperti yang dirumuskan oleh Mukti Ali sebagai “scientific-cum-doctrinair” atau “ilmiah agamis,” yaitu pendekatan dengan berbagaiilmu sosial plus pendekatan dogmatis agama atau fenomenologis, atauplus pendekatan komparatif. Rumusan ini diikuti oleh BurhanuddinDaya. Amin Abdullah menggagas pendekatan multi-disiplinerseperti pendekatan ilmu-ilmu sosial plus fenomenologis atau plusteologis yang telah “dicerahkan” oleh filsafat. Farichin Chumaidyconcern kepada pendekatan komparatif dan fenomenologis. Rom-dhon mengembangkan pendekatan historis, fenomenologis dankomparatif yang objektif. Kautsar Azhari Noer juga setia denganpendekatan komparatif dan fenomenologis plus pendekatanperenial yang menjadi fokusnya pada masa-masa awal 1990-an. Iajuga mendukung berbagai pendekatan sekaligus seperti pendekatanhistoris, fenomenologis dan komparatif yang didukung secara ber-samaan dengan ilmu-ilmu bantu lain seperti hermeneutik, antro-pologi, sosiologi dan lain-lain.

Sepanjang masa ini, terdapat macam-macam model (pende-katan) sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan parainsan akademik PA. Kita tidak bisa menggeneralisir adanya satu ataudua model untuk semua model-model yang pernah dimunculkan.Model Burhanuddin Daya misalnya tidak pasti sama dengan modelFarichin Chimaidi. Model Amin Abdullah tidak sama dengan Kau-

Page 255: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

365Dr. Media Zainul Bahri

tsar. Model para penulis buku Perbandingan Agama diatas juga ber-beda-beda penekanannya, meskipun sama-sama dalam semangatapologis. Ada yang menekankan model komparatif-teologis, adapula yang menekankan fenomenologis, komparatif dan teologissekaligus.

Meski demikian, secara keseluruhan, model studi yang dila-kukan sejak awal Jurusan PA berdiri hingga masa akhir Orde Barudapat dibagi dalam dua periode, yaitu pertama, periode model ka-jian normatif (dari 1961 hingga pertengahan 1980), yaitu mengkajiagama-agama non-Islam dengan memakai beberapa pendekatan,namun pada akhirnya akan ditarik pada pendekatan teologis (sub-jektif). Kedua, masa model kajian non-normatif atau deskriptif (mu-lai akhir 1980 hingga akhir 1990), yaitu kajian yang mengusahakanberbagai pendekatan ilmiah yang melihat agama atau keberagamaansuatu komunitas dengan aspek-aspek studi yang kompleks dantunduk kepada kaidah-kaidah ilmiah yang berlaku dalam disiplinilmu yang menjadi pendekatannya. Namun, harus juga dipahamibahwa dua periodisasi di atas, normatif dan deskriptif, tidak bersifat“pasti” atau “absolut” secara keseluruhan. Sangat mungkin terda-pat aspek-aspek yang “cair” atau kondisi yang “fleksibel” dalamsetiap periode itu. Mungkin terdapat beberapa karya yang bercorak“semi-ilmiah” pada era normatif, atau terdapat pula beberapa karyadengan corak “teologis-apologetik” pada era deskriptif seperti karya-karya yang telah kita lihat dalam dua periodisasi itu.

Sepanjang era ini, kita melihat studi PA dilakukan denganmengikuti tradisi kesarjanaan Barat (termasuk Kristen Barat) danrealitas sosioreligio masyarakat Indonesia. Dua corak itu, terutamaterlihat menonjol pada sosok Mukti Ali. Murid-murid intelektualdan para pengikutnya yang tersebar, terutama di Jawa, menjadi“corong suara” Mukti Ali pada Jurusan-Jurusan PerbandinganAgama di IAIN, yang tentu saja dengan memasukkan beberapavariasi dan perkembangan lebih lanjut dari apa yang telah diru-muskan oleh Mukti Ali. Dalam hal ini Mukti Ali berjasa besar dalammengambil referensi yang berlimpah dari Barat dan mengolahnya

Page 256: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

366 Wajah Studi Agama-Agama

untuk konteks Indonesia yang majemuk dan untuk konteks per-guruan tinggi Islam. Karena itu, corak studi PA pada masa OrdeBaru tidak semata berorientasi ke Barat (Western oriented), dalamhal materi dan metodologi, namun juga melibatkan konteks ke-Indonesiaan. Hal itu dapat dilihat pada materi-materi perkuliahanyang mendiskusikan agama-agama dan kepercayaan yang hidupdi Indonesia.

Pandangan atas dua corak di atas yang berdasarkan penelusuransaya ternyata dikuatkan oleh, atau paling tidak memiliki kesamaandengan catatan Ahmad Norma Permata, seorang alumni PA danakademisi Studi Agama. Ia mencatat tiga karakter penting modelstudi agama di Indonesia, terutama pada masa-masa awal kemun-culannya. Pertama, studi tentang agama-agama (study of religionsdan bukan religious studies) di Indonesia dibangun menurut dasar-dasar tradisi Religionwissenschaft dan IAHR (International Associa-tion for the History of Religions). Karakter utama dari tradisi ini adalahkehendak untuk menjadikan studi agama sebagai sebuah disiplinilmu yang independen, objektif dan ilmiah namun tetap memilikinuansa religius. Metode inilah yang disebut Mukti Ali sebagai ”sci-entific-cum-doctrinair” atau istilah lain “religio-scientific,” yaitu pen-dekatan yang paling memadai dan paling berhak untuk menguasaikajian agama. Menurut Permata, mengandaikan satu pendekatanyang “super” yang akan mengkaji realitas agama secara kompre-hensif menyebabkan para sarjana dalam tradisi IAHR di seluruhdunia, termasuk Indonesia, menghadapi problem yang kompleksdan jalan buntu. Usaha seperti itu, disebut Permata, ibarat “meng-gantang asap, menghasta kain sarung,” karena realitas agama ter-nyata seluas kehidupan itu sendiri yang mustahil untuk “ditangkap”secara memadai hanya dengan sebuah pendekatan.378

Menurut Permata, jalan buntu tersebut kemudian mulai dapatdiatasi oleh para pemikir IAHR kontemporer melalui munculnyakesadaran metodologis (methodological awareness) bahwa realitasagama tidak mungkin dapat didekati secara utuh hanya dari sebuahsudut pandang. Masing-masing perspektif menghadirkan realitas

Page 257: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

367Dr. Media Zainul Bahri

sesuai dengan kapasitasnya, dan tidak ada salah satu di antara mere-ka yang secara inheren lebih unggul atas yang lain.379

Kedua, studi agama di Indonesia pada awalnya hanya berkem-bang di dalam lembaga-lembaga yang memiliki afiliasi formal de-ngan agama tertentu, yang notabene memiliki misi keagamaan(dakwah). Dalam kasus Islam, studi agama yang memiliki namaPerbandingan Agama secara resmi dibuka pertama kali di PTAINYogyakarta. Seperti telah banyak disebut bahwa dengan label Islampada perguruan tinggi itu, maka studi PA yang dilakukan pun da-lam semangat dakwah. Menurut Permata dan berdasarkan faktayang ada, tidak satu pun lembaga pendidikan umum, baik tingkatmenengah maupun tinggi, yang menyelenggarakan studi agamadalam arah Religionwissenschaft.380 Fenomena ini tidak berarti sesua-tu yang negatif sebab sampai pada pertengahan abad 20, corak ke-agamaan pada dunia Kristen dan Islam yang lazim terjadi memangmodel dalam semangat dakwah. Karena itulah, dalam konteks per-guruan tinggi Islam pada era 1960-an, adanya model studi agamaatau Perbandingan Agama yang berorientasi ilmiah, empirik, danobjektif masih dianggap sebagai sesuatu yang “asing.”

Ketiga, studi agama di Indonesia juga memiliki kecenderunganyang kuat ke arah aktivisme pragmatis keagamaan masyarakat se-cara luas. Kajian atas fenomena agama tidak pernah dilakukan se-mata-mata demi kepentingan keilmuan atau dunia akademik ansich. Hal itu terjadi terutama karena para praktisi studi agama seba-gian besarnya aktif di dalam lembaga-lembaga keagamaan.381 MuktiAli sendiri yang dianggap sebagai sarjana istimewa didikan Baratmasih tetap berpegang pada pandangan tradisional Islam bahwahidup untuk ibadah, termasuk tujuan pengembangan studi PA ada-lah untuk ibadah.382Sekali lagi, pada level ini kita bisa melihat MuktiAli sebagai teolog Muslim yang mengarahkan studi PA untuk tujuanyang bersifat keagamaan dan (tujuan) praktis. Begitu pula, diskusidan perdebatan soal pluralisme agama yang diusung empat tokohdi atas, tidak semata atas kehendak mengembangkan kajian teologis(keilmuan) an sich, melainkan didasarkan pula atas kenyataan so-

Page 258: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

368 Wajah Studi Agama-Agama

siologis masyarakat Indonesia yang majemuk. Menurut tokoh-tokohdan para pendukungnya, isu pluralisme perlu terus dikembangkansebagai respons dan dukungan teologis bagi kehidupan sosial yangharmoni dan damai di antara para pemeluk agama.

Dari sisi isu dalam studi PA, tampaknya isu pluralisme agamaselalu menjadi kajian yang menarik, untuk tidak menyebutnya se-bagai isu yang abadi, sejak masa teosofi hingga masa reformasi.Pluralisme agama sesungguhnya tidak pernah menjadi mata kuliahtersendiri atau menjadi bagian dari kurikulum PA. Namun yangmenarik—pada level yang sangat teoretis—keseluruhan mata kuliahpokok (keahlian), terutama yang menyangkut materi agama-aga-ma, secara langsung atau tidak, akan menghasilkan pemahamandan sikap yang pluralis atas agama-agama non-Islam, atau setidak-nya inklusif. Pandangan yang mengarah kepada paham inklusivismedan pluralisme ini sulit dihindari, karena selain menerima penjelasanlangsung tentang agama-agama dari sumber (karya) pertama dandari seorang dosen yang ahli (dan berpengalaman) dalam materiitu, meskipun dosen tetap seorang Muslim, secara perlahan sang ma-hasiswa atau peserta kuliah juga memiliki ketertarikan (feeling danempati) serta pengalaman emosional dengan agama yang dipelajari,apalagi ditambah dengan mata kuliah praktikum (kunjungan lang-sung) ke tempat ibadah dan pusat studi, atau menerima kuliahumum (studium general) dari sarjana atau tokoh agama yang ber-sangkutan. Pengalaman-pengalaman intelektual dan emosionalyang didapatkan mahasiswa PA pada mata kuliah-mata kuliah po-kok menjadikannya memiliki perspektif baru yang berbeda, danterkadang benar-benar berbeda, dengan penjelasan para teolog Mus-lim tentang agama-agama non-Islam.

Para teolog itu (termasuk sebagian sarjana Muslim) yang tidakpernah belajar atau mengenyam pendidikan tentang agama-agamasecara akademis, namun sering berbicara tentang agama-agama laindipandang oleh para mahasiswa dan orang-orang yang terlibat da-lam studi ilmiah PA hanya memiliki pemahaman teologis yangsubjektif, yang berbeda dengan studi PA yang ilmiah dan objektif.

Page 259: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

369Dr. Media Zainul Bahri

Dalam perspektif ini pula, Studi Agama-Agama atau Studi Perban-dingan Agama dengan produk yang dihasilkannya sulit “berdamai”dengan pandangan atau fatwa tradisional Islam yang mengharam-kan pluralisme. Meski secara teoretis bahwa sebagian besar (danbelum tentu seluruhnya) pandangan pluralisme agama akan men-jadi produk studi PA, tetapi tidak berarti secara otomatis para maha-siswa dan insan akademiknya menerima pandangan tentang “kesa-tuan Asal (Sumber) dan (kesatuan) tujuan agama-agama,” atau me-miliki pandangan bahwa “semua agama sama,” atau “merelatifkan”semua agama, apalagi seenaknya berpindah-pindah agama. Jikadilihat secara tajam lagi, terdapat derajat atau tingkatan pemahamanmahasiswa dan dosen tentang apa itu pluralisme. Dari istilah “plu-ralisme” yang sama akan muncul pemahaman yang berbeda-beda,dari hanya sekadar menghormati eksistensi agama-agama lain hing-ga pemahaman mengenai kesederajatan semua agama (equality ofreligions).

Karena itu, pada level praktis, harus pula disadari bahwa terda-pat proses belajar-mengajar, transfer ilmu, dan diskusi diantara do-sen dengan dosen atau dosen dengan mahasiswa yang sangat hati-hati dengan “isu sensitif” seperti pluralisme agama. Ahmad Mut-taqin misalnya, Ketua Program Studi PA UIN Yogyakarta, menyata-kan bahwa sikap kehati-hatian para dosen PA dalam mendiskusikanisu pluralisme agama dengan mahasiswa adalah sangat penting,mengingat mahasiswa yang diajar adalah program S-1 yang diang-gap belum memiliki “modal yang kuat” tentang keislaman. Dosenperlu “mengarahkan” para mahasiswa untuk tidak menelan secarabulat diskursus mengenai pluralisme agama seperti yang dipahamidi Barat. Sikap “kehati-hatian” dan “pengarahan” para dosen di UINYogyakarta sesungguhnya “satu bingkai” dengan semangat danrumusan Mukti Ali mengenai studi PA dalam konteks perguruantinggi Islam yang tetap harus berpegang kepada misi keislaman.383

Saya kira sebagian insan akademik PA UIN Jakarta juga memilikipandangan dan sikap serupa.

Page 260: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

370 Wajah Studi Agama-Agama

Menurut Djam’annuri, Mukti Ali tidak mau berkompromi soalakidah, dan Djam’annuri memberi penekanan bahwa mungkin—sekali lagi mungkin—Mukti Ali tidak mengakui adanya kesela-matan pada agama lain. Jika pluralisme agama berarti bahwa “se-mua agama sederajat” atau “semua agama sama,” maka menurutDjam’annuri, Mukti Ali tidak pernah menganut paham itu. Djam-’annuri merujuk kepada pidato Mukti Ali di Gedung Wanita Yogya-karta pada 1993 yang menyatakan bahwa “Islam adalah satu-satu-nya jalan yang benar menuju Tuhan. Adalah keliru jika orang me-ngatakan bahwa semua agama adalah sama, sama kelirunya denganmengatakan bahwa putih sama dengan hitam.”384

Menurut Muttaqin, boleh jadi banyak alumni PA Yogyakartayang menganut paham pluralisme agama—sebagai konsekuensidari “output” mata kuliah-mata kuliah keahlian atau persentuhanmereka dengan dunia yang lebih luas, tetapi kebijakan lembagatetap dalam semangat Mukti Ali di atas. Di kalangan dosen punhanya satu atau beberapa (dari sekian banyak) yang benar-benarmenganut paham itu. Dalam melihat kebijakan lembaga dan dina-mika para insan akademik PA di Yogyakarta, Muttaqin membuattamsil yang tepat, yaitu “eksklusif (atau mungkin inklusif) dalamhal teologi, tetapi pluralis dalam ranah sosial.”385

Saya kira gambaran di Yogyakarta itu relatif sama dengan apayang terjadi di UIN Jakarta. Meski demikian, terdapat dinamikapemikiran dan perdebatan yang cukup menarik di internal dosendan mahasiswa, walaupun secara kelembagaan, Jurusan Perban-dingan Agama tetap bersikap “hati-hati” dalam “membina” paramahasiswa ketika mendialogkan pergumulan Islam dengan agama-agama lain. Namun, dengan membaca silabus yang dirancang danoutput-nya, tak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa dosen,alumni dan mahasiswa yang “menganut” paham pluralisme agama,dalam pengertian pada ranah pemikiran dan penghayatan tentangkeniscayaan keselamatan pada agama-agama non-Islam. Saya kiraKautsar Azhari Noer adalah salah satu “mahaguru” yang secara eks-plisit menganut dan menghayati doktrin pluralisme agama itu seba-

Page 261: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

371Dr. Media Zainul Bahri

gai konsekuensinya mendalami sufisme Ibn Arabi, mistik agama-agama dan passing over. Ia adalah seorang “sufi” yang kukuh mem-bela kebebasan beragama sembari tetap mempromosikan semuaumat beragama untuk mendalami “jantung” atau yang inti (eso-terik) dari agama masing-masing, dan tidak hanya berhenti padaaspek syariat (eksoterik) semata.

Dalam rentang lebih dari satu dasawarsa di penghujung eraOrde Baru inilah, isu pluralisme agama menjadi semacam “brand”(merek) studi PA bersamaan dengan isu-isu lain beserta denganmetodologinya yang menjadikan studi ini tampil dalam wajah yangbaru.

Page 262: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

389Dr. Media Zainul Bahri

BAB VIBAB VIBAB VIBAB VIBAB VISTUDI PERBANDINGAN

AGAMA DI ERA REFORMASI(1998-2014)

A. Polemik Pergantian NamaNama “Perbandingan Agama” tetap digunakan di UIN Yogyakartadan Jakarta dan IAIN lain semisal IAIN Walisongo Semarang danUIN Bandung. Sebenarnya, di kalangan dosen-dosen muda UINYogyakarta dan Jakarta di masa Reformasi—terutama masa-masadi atas tahun 2000-an, terdapat keinginan yang kuat untuk meng-ganti nama Jurusan atau Program Studi menjadi religious studiesseperti yang ada di Barat atau dalam istilah Indonesia menjadi “Stu-di-Studi Agama” atau “Studi Agama-Agama.” Nama yang terakhiritu yang ramai diperbincangkan sebagai ganti dari nama yang lama.Menurut Ahmad Muttaqin, beberapa “suara” generasi muda UINYogyakarta yang menghendaki perubahan nama memiliki alasanpokok misalnya nama Perbandingan Agama di masa reformasi (de-mokrasi terbuka) terlalu “sensitif.” Di masa ketika menguatnya fun-damentalisme agama, istilah Perbandingan Agama selalu menjadisasaran/hantaman keras kaum Islamis yang menganggap programstudi itu “berbahaya.”1

Dari prospek lapangan pekerjaan, sarjana Perbandingan Agamajuga sulit bersaing karena nama Perbandingan Agama kurang layakjual (marketable).2 Alasan pokok lain menurut Muttaqin, adalah bah-wa ilmu PA di masa Orde Baru belum memiliki epistemologi yangmapan. Saat itu, studi PA lebih mengarah ke aktivisme dibanding

Page 263: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

390 Wajah Studi Agama-Agama

kegiatan akademik atau pengembangan keilmuan. Sedangkan saatini, ilmu PA telah berkembang pesat, baik dari sisi metodologismaupun dari aspek materi-materinya.3

Namun, sebagian besar generasi tua tidak setuju dengan peru-bahan nama. Menurut Muttaqin, beberapa dosen senior mengkha-watirkan perubahan SK mengajar atau Sertifikat Profesi yang selamaini secara mapan telah tercantum “Dalam Bidang Ilmu Perban-dingan Agama.” Perubahan SK Profesi Dosen dari PerbandinganAgama ke Studi Agama-Agama bukan perkara mudah. MenurutDjam’annuri, penolakan atas perubahan nama, termasuk penolak-an dirinya, setidaknya memiliki tiga alasan pokok: pertama, alasanhistoris. Nama Perbandingan Agama memiliki sejarah yang panjangbaik di Barat, di Timur Tengah dan di Indonesia sendiri. Nama itusudah begitu akrab di kalangan akademisi Studi Agama karenaakar yang kuat dan proses yang panjang. Kedua, alasan akademik.Nama Perbandingan Agama (Comparative Religion) masih diguna-kan di banyak universitas di seluruh dunia. Ketiga, inti (core) Com-parative Religion adalah tetap pada posisinya yaitu mempelajari aga-ma-agama yang bukan agama sendiri. Fakta itu masih tetap dijalan-kan di program studi PA, setidaknya di dua UIN yang besar, yakniUIN Yogyakarta dan Jakarta.4

Di UIN Jakarta, Ismatu Ropi, dosen (generasi) muda Perban-dingan Agama, memiliki perspektif yang kritis menyangkut “duniacomparative religion” dan “dunia religious studies.” Menurutnya,Studi Agama dapat dilihat dalam tiga perspektif pokok. Pertama,apa yang disebut sebagai theological studies, yakni studi agama yangmembahas elemen-elemen tertentu dari satu agama tertentu. Studiteologis, yang berumur sangat tua yang juga disebut “Queen of theSciences”—terus mengalami perkembangan terutama pada masya-rakat yang sedang bergairah dalam beragama. Kedua, comparativereligion, yakni elemen-elemen satu agama tertentu—seperti yangada pada theological studies—dibandingkan dengan elemen agamalain. Namun, yang sering terjadi, perbandingan itu dilakukan darisudut pandang “agama besar,” atau dari satu perspektif “agama

Page 264: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

391Dr. Media Zainul Bahri

tertentu” ketika melihat agama-agama lain. Perspektif ini pernahlama mendominasi kajian comparative religion di dunia Kristen Barat.Model studi ini bersifat preskriptif, dalam pengertian harus adaelemen-elemen tertentu sebagai “alat” untuk mengukur agama lain.5

Perguruan tinggi Islam Indonesia—sejak dulu sampai kini—terjebak memakai model preskriptif ini. Misalnya, ketika membuatciri-ciri agama, maka harus ada konsep tuhan, kitab suci, nabi/utus-an tuhan, aturan kewajiban dan larangan. Ciri-ciri ini selalu dipakaiketika akan menentukan apakah sebuah keyakinan layak disebutagama atau tidak. Cara pandang “mengukur” bahkan “menilai”keyakinan orang lain biasanya adalah ciri khas dari comparative reli-gion. Hal paling “buruk” yang akhirnya terjadi adalah ingin menun-jukkan superioritas agama tertentu atas agama lain. Meskipun tidakselalu akhirnya berujung seperti itu.6

Ketiga, religious studies. Menurut Ismet—panggilan akrabnya,jika dibandingkan dengan Religionwissenschaft atau science of reli-gion yang dulu digagas Max Müller, istilah dan pengertian religiousstudies sesungguhnya memiliki kemiripan dan semangat yang sama.Perbedaan pokoknya adalah bahwa dalam Religionwissenschaft saatitu agama dilihat (diletakkan) dalam satu perspektif, misalnya meli-hat agama hanya dalam perspektif sosiologis, atau hanya fenome-nologis, atau hanya teologis. Sementara pada religious studies agamadapat dibaca dalam beberapa perspektif sekaligus. Satu komunitasagama misalnya, dapat didekati melalui sejarah komunitas itu (histo-ris), penghayatan/pengalaman keagamaan mereka (psikologis), in-teraksi sosial-keagamaan mereka (sosiologis) dengan komunitas lain,prosesi ritus dan cara pemaknaan mereka atas simbol-simbol keaga-maan (antropologis) dan lain-lain.7

Hal yang paling menonjol dari religious studies adalah bahwasetiap fenomena keagamaan diperlakukan sama. Misalnya konseptentang Tuhan. Ia tidak dilihat sebagai apakah konsep ketuhananitu monoteis, politeis, atau henoteis yang diletakkan dalam carapandang tertentu, tetapi lebih dilihat nilai (value) dan maknanya(meaning) bagi pemeluknya dan bagaimana pengalaman ketuhanan

Page 265: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

392 Wajah Studi Agama-Agama

itu dihayati. Jika pada comparative religion, ciri yang menonjol adalahsifatnya yang preskriptif, maka watak utama religious studies adalahdeskriptif, dalam pengertian bagaimana elemen-elemen keagamaandideskripsikan sebagai hal bermakna bagi penghayatnya. Deskriptifbiasanya dimaknai sebagai “suatu penjelasan tentang fenomenayang bisa diukur.” Padahal, dalam religious studies, yang dikehendakipada studi deskriptif adalah penjelasan tentang meaning (numena),disamping yang fenomen itu.8

Dengan watak utamanya pada deskripsi, religious studies lebihcenderung kepada tema-tema seperti Tuhan, Kitab Suci, Reinkar-nasi, Manusia Suci (Santo) dan lain-lain. Soal Kitab Suci misalnya.Dalam religious studies, tidak penting apakah kitab suci itu diwahyu-kan, diinspirasikan dari langit, atau diciptakan oleh kultur tempatkitab itu lahir, tetapi lebih melihat kitab suci sebagai titik sentralbagi komunitas agama tertentu dan bagaimana kitab suci itu ber-pengaruh terhadap hidup keseharian mereka. Soal utusan Tuhanatau nabi misalnya. Bagi religious studies tidak penting apakah nabiitu harus mendapat wahyu dari tuhan atau tidak, harus memilikimukjizat atau tidak, tetapi yang paling penting adalah bagaimanamakna nabi atau orang suci dalam komunitas tertentu, bagaimananabi itu memiliki pengaruh dan posisi yang khusus pada sebuahkomunitas.9

Menurut Ismet, dalam comparative religion, aspek-aspek ter-tentu dari kitab suci, nabi atau liturgi diperbandingkan antara satuagama dengan agama lain: menyangkut sejarahnya, asal-usul, dandoktrin pokoknya, tetapi nilai dan makna tema-tema itu tidak di-eksplorasi secara memadai seperti apa yang dilakukan oleh reli-gious studies. Sebenarnya, comparative religion mau mencari yangesensi, namun sering kali terjebak pada “ukuran” atau “nilai” yangdigunakan. Contoh yang lain adalah konsep mengenai spiritualitas.Spiritualitas satu agama dibandingkan dengan spiritualitas agamalain dan dicoba untuk dicari esensi dan makna spiritualitas keduaagama yang dibandingkan. Akan tetapi, dalam comparative religion,biasanya harus ada satu model spiritualitas yang dijadikan “ukuran.”

Page 266: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

393Dr. Media Zainul Bahri

Dalam comparative religion, selalu harus ada “ukuran”—disadariatau tidak.10

Jika dikaji secara mendalam, sesungguhnya tidak ada elemendalam agama-agama yang bisa benar-benar dibandingkan secaratepat, adil, dan objektif karena masing-masing pandangan, pengha-yatan dan pengalaman keagamaan tidak bisa “disama-samakan”atau “dibeda-bedakan” secara head to head dan secara pasti (empi-ris). Misalnya konsep Allah dalam Islam, Trinitas dalam Kristen,dan Trimurti dalam Hindu. Dengan “cara pandang” dan “pengalam-an keagamaan” yang subjektif dan kompleks dari para pemeluk-nya, apakah mungkin membandingkan secara objektif konsep tu-han dalam tiga agama tersebut? Jangankan tiga agama, dalam Is-lam-pun, pandangan dan pengalaman ketuhanan antara seorangMuslim dengan Muslim yang lain akan sulit dibuat komparasi yangbenar-benar tepat dan adil.11

Dengan penjelasan di atas, Ismet seperti ingin menegaskan bah-wa model yang paling ideal untuk Studi Agama-Agama adalahmodel religious studies. Selain memenuhi kriteria yang “obyektif”atau “ilmiah,” model ini juga bersifat humanis, dalam arti mampumenjelaskan fenomena dan numena keagamaan seperti yang benar-benar dihayati oleh pemeluknya, tanpa ada ukuran, nilai atau per-spektif dari (agama) yang besar terhadap yang kecil (minor) ataudari (agama) yang mayoritas terhadap yang minoritas. Jika inginberbicara tentang Studi Agama secara ketat, model comparative re-ligion dengan beberapa eksesnya yang negatif sesungguhnya tidakbisa dipertahankan lagi. Bahkan nama “Perbandingan Agama”—pun yang lebih bernada pejoratif sebenarnya tidak bisa dipakai lagi.

Menurut Ismet, ilustrasi menarik tentang bagaimana keinginancomparative religion mendeskripsikan fenomena keagamaan seka-ligus value dan meaning yang dihayati pemeluk agama tertentu seba-gai pengalaman personal yang subjektif adalah teori tentang IkanMas (golden fish) ala Wilfred Cantwell Smith. Menurut Smith, parapeneliti berdiri di depan akuarium kecil yang berisi ikan mas. Yangsatu fokus kepada matanya, yang lain kepada mukanya, yang lain

Page 267: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

394 Wajah Studi Agama-Agama

lagi kepada badannya, yang lain lagi kepada ekornya dan begituseterusnya. Menurut Smith, semua penjelasan mereka tentang ikanmas (mata, muka, badan, ekor) adalah benar. Namun, yang tidakbisa mereka jelaskan adalah “bagaimana rasanya menjadi ikan mas?”Model comparative religion dan pendekatan-pendekatan studi il-miah agama yang lain sering kali berpuas diri pada penjelasan-pen-jelasan “dari luar” yang tidak menyentuh esensi keberagamaan.Menurut Ismet, religious studies adalah usaha yang serius dan me-narik tentang mendeskripsikan bagaimana “rasanya menjadi ikanmas;” bagaimana memahami agama sebagai tindakan yang ber-makna bagi pemeluknya, atau bagaimana agama berfungsi dalamhidup mereka.12

Namun, menurut Ismet lebih lanjut, model religious studiesmasih sangat sulit dilakukan di UIN atau IAIN di tanah air. Reli-gious studies murni hanya bisa berkembang di negara-negara sekulerkarena model ini mengasumsikan bahwa negara tidak mengakuiatau tidak mengistimewakan satu atau beberapa tradisi agama ter-tentu. Juga, insan akademik model ini—para dosen, peneliti danmahasiswa—tidak mesti terlibat dalam (menganut) agama tertentu,atau tidak beragama sama sekali, karena yang terpenting adalahaktivitas studi yang objektif berdasarkan kaidah-kaidah religiousstudies. Dalam pengertian inilah, UIN dan IAIN tidak bisa mengem-bangkan religious studies murni seperti yang dilakukan di negeri-negeri Barat.13

Meski demikian, bagi Ismet, keberadaan program studi PA diUIN dan IAIN, dilihat dari perspektif lain yang lebih positif, adalahsebuah kemajuan bagi Studi Agama di Indonesia. Di negeri ini,pendidikan agama, baik di sekolah menengah-atas (SMP-SMU)maupun di perguruan tinggi, dilakukan dengan cara confesionalizeclass room, yakni belajar/mendalami agama tertentu bagi siswa/ma-hasiswa pemeluk agama itu untuk memperkuat keyakinan siswa/mahasiswa dengan pendekatan yang sangat teologis dan tidak meli-batkan siswa/mahasiswa pemeluk agama lain.14 Pada saat mata pela-jaran/kuliah agama Kristen, yang beragama Kristen mengikuti ma-

Page 268: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

395Dr. Media Zainul Bahri

teri itu hanya bersama teman-temannya yang Kristen. Begitu pulamateri Islam bagi Muslim, Hindu bagi pemeluk Hindu dan seterus-nya. Agama masing-masing dipelajari masing-masing tanpa meli-batkan pemeluk agama yang berbeda.

Dalam konteks demikian, adalah sebuah kemajuan bagi UINdan IAIN yang mengembangkan program studi PA, yakni belajaragama-agama bersama-sama dengan penganut beragam agama.Pada keseluruhan kegiatan perkuliahan studi PA, mahasiswa Mus-lim sesungguhnya tidak hanya belajar agama-agama non-Islam daripara dosen yang Muslim, namun juga berinteraksi dengan pengajardan mahasiswa non-Muslim untuk bersama-sama mendalami kajianagama yang bukan agama mereka sendiri. Tidak hanya perjumpaanyang terjadi, namun juga berbagi (sharing) pandangan dan penga-laman. Menurut Ismet, meskipun tidak semua orang nyaman de-ngan model comparative religion, tetapi apa yang dilakukan olehPA di UIN adalah keadaan yang sangat maju untuk ukuran negarayang menganut confesionalize class room.15

Dalam konteks perguruan tinggi Islam Indonesia, Ismet mena-warkan model-model mata kuliah PA yang relevan dengan keislamandan keindonesiaan. Pertama, mata kuliah ke-Ushuludin-an diper-kuat. Misalnya subjek Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf diajar-kan secara mendalam, sehingga sarjana PA kelak tetap memilikiakar keislaman. Tiga materi di atas juga memiliki keterkaitan eratdengan materi-materi pokok agama-agama. Akan tetapi, subjekkeislaman yang lain seperti ilmu hadis, tafsir, fikih dan ushul fikihtidak perlu diajarkan kepada mahasiswa PA karena tidak relevanatau tidak terkait langsung dengan penguatan tradisi keilmuan PA.Kedua, tema mengenai sejarah agama-agama atau agama-agamadunia diperkuat untuk bekal memasuki tema-tema pokok PA.Topik sejarah agama-agama harus kembali diajarkan pada programstudi PA UIN Jakarta , yang dalam dua dasawarsa terakhir hanyadiajarkan kepada mahasiswa program studi non-PA. Ketiga, materi-materi mata kuliah keahlian harus diarahkan kepada tiga hal pokok:(1) agama-agama yang hidup di Indonesia. Karena itu harus tetap

Page 269: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

396 Wajah Studi Agama-Agama

dipertahankan mata kuliah seperti Hindu dan Buddha di Indone-sia, Islam di Indonesia, Kristen di Indonesia, Konghucu di Indone-sia, Agama-Agama Lokal, dan Aliran Kepercayaan, (2) topik tema-tema Perbandingan Agama dibuat mata kuliah sendiri-sendiri,misalnya Tuhan Dalam Agama-Agama, Kitab Suci Agama-Agama,Utusan Tuhan Dalam Agama-Agama, Eskatologi Dalam Agama-Agama dan seterusnya, (3) dibuat mata kuliah keterampilan,misalnya Agama dan Resolusi Konflik, Dialog Antar-agama, StrategiPenanganan Konflik dan hal-hal semacam itu.16

Dengan kerangka tiga tema besar di atas, maka dalam bayanganIsmet, sarjana PA kelak adalah mereka yang memiliki akar keis-laman (karena lahir dari institusi Islam), memiliki keahlian dalamStudi Agama-Agama dan memiliki keterampilan pada wilayahagama dan problem-problem sosial. Harus diakui, pada programS-1 tidak mungkin diharapkan output (sarjana) yang benar-benarahli dan terampil dalam Studi Agama-Agama atau dalam hal agamadan problem sosial. Sulit mencetak sarjana S-1 menjadi para ahli(expert) dalam pengertian yang sesungguhnya. Namun, Silabus/mata kuliah yang dibuat harus dirancang untuk—minimal—”mem-bekali” mahasiswa ke arah tiga perspektif di atas, sehingga merekamemiliki “imajinasi” dalam hal-hal yang bersifat teoretis dan prak-tis.17 Bekal itu dapat sangat bermanfaat, apakah untuk melanjutkanke jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau untuk bekerja.

Berbeda dengan Ismet, Kautsar Azhari Noer, generasi tua studiPA UIN Jakarta memandang bahwa nama Perbandingan Agamamasih relevan untuk dipertahankan. Kautsar senada dengan Djam-’annuri menyatakan bahwa nama PA memiliki akar historis yangpanjang. Karena itu, dalam area akademik, nama itu juga masihdipakai di banyak perguruan tinggi di seluruh dunia. Kautsar kon-sisten dengan keyakinannya bahwa kajian inti (core) PA adalah dok-trin-doktrin teologis dan praktik keberagamaan (pada agama-aga-ma), bahkan lebih tinggi lagi, yakni pemikiran dan pengalamanspiritual. Inilah ruh agama-agama. Kautsar menunjuk satu contohbuku tentang World Spirituality yang berisi studi perbandingan

Page 270: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

397Dr. Media Zainul Bahri

tentang aspek-aspek mistik pada agama-agama sebagai model idealkajian inti studi PA. Begitu pula buku karya Toshihiko Izutsu, Sufismand Taoism, menurut Kautsar adalah salah satu buku terbaik tentangPA.18

Menurut Kautsar, penekanan yang kuat pada aspek pemikiran,tepatnya pemikiran teologis dan spiritualitas pada PA sangat relevandengan core Ushuluddin yang juga fokus pada aspek pemikiran.Bagi Kautsar, aspek pemikiran bukanlah pemikiran biasa, tetapipemikiran yang mencerahkan, yang mampu mengubah pola pikir(mindset) manusia beragama. Kautsar sangat setuju dengan adagiumyang menyatakan “Jika mau mengubah manusia, ubahlah pemi-kirannya.” Kautsar menceritakan ketika ia menjadi salah satu pema-kalah dalam sebuah simposium internasional di Oxford, Inggris,yang diadakan oleh Ibn Arabi Society, seorang sarjana agama me-ngatakan bahwa “Ibn Arabi’s thought changes my life.” MenurutKautsar, tema spiritualitas tetap menarik bukan semata tema abadiyang masih ramai dikonsumsi banyak kaum beragama, namunjuga mampu mengubah cara berpikir manusia. Dalam konteks inimenurut Kautsar, studi PA bukanlah aktivitas “membanding-ban-dingkan” semata, tetapi perbandingan yang mampu mengubah mind-set umat beragama, bahkan bisa memperkaya pengalaman spiri-tual mereka, seperti yang terjadi pada passing over.19

Kautsar sesungguhnya dapat memahami area studi pada reli-gious studies dan pendekatan-pendekatannya yang berkembangselama ini. Namun, ia melihat pendekatan-pendekatan pada reli-gious studies lebih fokus pada ilmu-ilmu sosial, yang dalam konteksmateri dan pendekatan ilmu PA, hal itu akan tumpang tindih dengandisiplin ilmu-ilmu sosial. Karena itu, Kautsar tidak setuju jika titiktekan pendekatan ilmu-ilmu sosial adalah bagian dari core PA. Me-nurutnya, jika suatu kajian yang penekanannya pada pendekatanilmu-ilmu sosial, meskipun objeknya agama, maka hal itu lebihcocok di program studi ilmu sosial, bukan di PA. Menurut Kautsar,jika di UIN ada perdebatan apakah sosiologi agama atau antropologiagama bagian dari ilmu sosial atau religious studies, maka ilmu itu

Page 271: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

414 Wajah Studi Agama-Agama

Religions, Inter-Religious Dialogue: theories and practices, Violence andPeace in Religions, Inter-Religious Study of Mysticism, dan SpecialTopics in Inter-Religious Relation.50

Dalam Religion and Local Culture, tentu saja yang didiskusikanadalah soal agama dan kebudayaan lokal Nusantara, konversi parapenganut agama lokal kepada salah satu agama besar (formal) diIndonesia atau sebaliknya, dan lain-lain. Dalam kluster ini juga ter-dapat lima (5) mata kuliah: Indigenous Religion, World Religion andLocal Culture, Art Religion and Spirituality, Religion and Environ-ment, dan Special Topics in Religions and Local Culture.51

Dalam Religion and Contemporary Issues, didiskusikan soalperjumpaan agama dengan isu-isu yang hangat dan berkembang,baik isu-isu pada level lokal maupun isu pada tingkat dunia. Dalammendiskusikan Agama dan Isu-Isu Kontemporer, dibutuhkan duakeahlian (wawasan), yaitu penguasaan atas teori-teori sosial (socialtheories) dan etika-sosial keagamaan atau agama dalam dimensietika dan sosialnya (religious social ethics). Dalam kluster ini, ter-dapat enam (6) mata kuliah pokok, yaitu Religion, State, and CivilSociety, Religion and Gender, Religion, Science, and Technology, Reli-gious Education, Religion and Human Rights, dan Special Topics inReligion and Contemporary Issues.52

Dengan melihat penjelasan Ancu dan mata kuliah-mata kuliahyang diajarkan, tampak jelas bahwa model religious studies di CRCSadalah model yang saat ini dikembangkan di Barat. Inilah modeldeskriptif, bukan preskriptif, dan lebih fokus kepada tema-temakeagamaan dan sosial keagamaan yang sedang aktual diperbincang-kan. Dalam mendiskusikan World Religions, misalnya Buddhisme,tentu saja itu adalah satu agama yang kompleks dan panjang seja-rahnya. Tetapi CRCS hanya memilih topik-topik tertentu yang bisadihubungkan atau diperbandingkan dengan agama lain. Ketikamendiskusikan sejarah agama tertentu misalnya, dosen yang ahlidalam bidang ini juga mengajak para mahasiswanya untuk melihatsecara luas konteks sosial, budaya dan politik agama yang dikaji.

Page 272: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

415Dr. Media Zainul Bahri

Dalam menjaga kualitas mata kuliah menurut Ancu, kuriku-lum CRCS di review setiap dua tahun. Kurikulum dibuat oleh ko-mite akademik yang terdiri atas dosen dari dalam dan ahli dariluar.53 Hal ini sedikit berbeda dengan kurikulum PA di UIN danIAIN yang hanya dirumuskan oleh konsorsium, yaitu dosen-dosenahli dari dalam saja dan dapat direview kapan saja sesuai dengankebutuhan/aspirasi dosen-dosen Jurusan PA. Pembuatan kuriku-lum CRCS adalah gabungan dari model yang berkembang di Baratdengan di Indonesia. Dengan gabungan itu, tampak pula bahwaCRCS memiliki perhatian serius terhadap kajian akademik menge-nai agama-agama di Indonesia, baik agama-agama resmi maupunpraktik dan kepercayaan lokal, dan fenomena kehidupan keagama-an di tanah air. Dari kajian ini sesungguhnya akan lahir teori danmodel kajian mengenai agama-agama di Nusantara; suatu modelkhas yang tidak ada di Barat, di Timur Tengah, atau di tempat laindi Asia Tenggara.

Selain fokus pada pengembangan akademik, CRCS juga con-cern berpihak pada kerukunan dan pluralisme. Bukti konkretnyaadalah membuat laporan tahunan kehidupan beragama di Indo-nesia (tahun 2014 adalah tahun ke-6 pembuatan laporan itu). Jugamembuat monograf, yaitu hasil penelitian CRCS yang bekerja samadengan LSM-LSM lokal seperti di Bali, Jakarta, Yogyakarta, Kali-mantan dan Papua. Konsep akademik CRCS atau posisi CRCSdalam mendefinisikan pluralisme tertuang dalam buku berjudulPluralisme Kewargaan, Arus Balik Politik Keragaman di Indonesia(Mizan, 2011). Bagi CRCS apa yang dimaksud pluralisme adalahpluralisme kewargaan. Kerja sama CRCS dengan beberapa aktivisdan lembaga penggiat pluralisme di Jakarta dan Yogyakarta meng-hasilkan buku seperti Kontroversi Gereja di Jakarta (Yogyakarta:CRCS, 2011), Mengelola Keragaman dan Kebebasan Beragama: Seja-rah, Teori dan Advokasi (Yogyakarta: CRCS, 2014). Pihak CRCS jugabekerja sama dengan peneliti tamu, Agus Indiyanto sehingga me-lahirkan buku berjudul Agama di Indonesia dalam Angka: DinamikaDemografis Berdasarkan Sensus Penduduk Tahun 2000 dan 2010 (Yog-

Page 273: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

416 Wajah Studi Agama-Agama

yakarta: CRCS, 2013). Kerja sama CRCS dengan aktivis dan LSMdi Kalimantan Tengah menghasilkan buku Badingsanak Banjar-Dayak: Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan Selatan(Yogyakarta: CRCS, 2011). Dengan aktivis di Bali menghasilkanbuku Bulan Sabit Di Pulau Dewata: Jejak Kampung Islam Kusamba-Bali (Yogyakarta: CRCS, 2012). Dengan LSM di Yogyakarta mela-hirkan buku Politik Ruang Publik Sekolah: Negosiasi dan Resistensidi SMUN di Yogyakarta (Yogyakarta: CRCS, 2011), dan lain-lain.

Meski demikian menurut Najiah Martiam, Staf Public Educa-tion CRCS, CRCS tidak masuk terlalu jauh seperti apa yang dilaku-kan oleh LSM. Misalnya, CRCS tidak melakukan advokasi langsungdi lapangan seperti halnya LSM. Fokus CRCS tetap pada penguatanakademik, dan peran mediator/fasilitator atas pertemuan-perte-muan penting menyangkut kerukunan.54 Berbagai macam kerjapenguatan akademik CRCS seperti penelitian, pembuatan mono-graf, laporan tahunan kehidupan beragama, kerja sama denganbanyak pihak dan mengadakan Sekolah Pengelolaan Kerukunan(SPK), yaitu pelatihan gratis bagi para aktivis LSM selama 10 hariuntuk memperkuat wawasan akademik mengenai kerukunan danpluralisme, adalah bagian dari proyek besar CRCS, yaitu apa yangdisebut Pluralism Knowledge Programme (PKP).55

Memang, program CRCS (S-2) tidak bisa dibandingkan de-ngan program Perbandingan Agama S-1 di UIN dan IAIN. Titiktekan program S-1 lebih pada hal-hal mendasar seperti sejarah danajaran agama-agama secara umum, yang dalam banyak hal bersifat“pendahuluan.” Meskipun telah ada tema-tema khusus, misalnyatopik tentang catur ariya satyani dan tumimbal lahir, namun halitu masuk dalam mata kuliah Agama Buddha, bukan subjek khusustentang kedua topik itu. Begitu pula, beban mata kuliah S-1 yangmasih terlalu “gemuk,” dan—dalam kasus Perbandingan AgamaUIN Jakarta—minimnya penguatan materi dan aplikasi ilmu-ilmusosial pada program studi, membuat hal itu masih jauh “panggangdari api.” Jika pada program S-2, pada kasus CRCS misalnya, lebihbanyak aspek “pendalaman” dan penalaran kritis atas topik-topik

Page 274: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

417Dr. Media Zainul Bahri

khusus yang dijadikan mata kuliah sendiri-sendiri, maka pada prog-ram S-1, sekali lagi, tak lebih dari sebuah “pengantar umum” atau“pendahuluan” yang dapat menjadi modal pokok untuk melan-jutkan ke jenjang studi S-2 atau bekerja pada lembaga-lembaga(amatir dan profesional) yang concern dengan kerukunan, plu-ralisme dan hubungan antaragama. Adanya kenyataan bahwa akti-vitas studi Perbandingan Agama yang dilakukan di Perguruan Ting-gi Islam, yang tentu saja tidak akan “netral” dan terjadi banyak bias,juga menjadi problem tersendiri dalam hal pengembangan keil-muan Perbandingan Agama.

Bagaimanapun, pengetahuan mengenai model CRCS sebagailembaga formal-akademik yang boleh disebut sebagai ‘institusiideal’ dalam hal religious studies kiranya dapat memperkaya per-spektif para akademisi dan mahasiswa Perbandingan Agama prog-ram S-1 di UIN dan IAIN.

E. Masa Depan Studi Perbandingan AgamaMelalui pergulatan sejarahnya yang panjang, kita telah melihat

bahwa studi PA—dalam banyak hal—telah bertransformasi ke arahStudi Agama-Agama (religious studies) sebagai hasil adaptasi atasperkembangan isu-isu keagamaan dan perkembangan pendekatan-pendekatan ilmiah. Melihat perubahan karakteristik itu—sebagaisesuatu yang tak bisa dihindari—maka studi PA sesungguhnyamasih memiliki masa depan yang prospektif. Dinamika kehidupankeagamaan yang semakin kompleks tidak semata membuat agamamakin digandrungi dan dipelajari, melainkan pula makin merang-sang munculnya isu-isu dan pendekatan baru dalam Studi Agama.Problem-problem seperti menguatnya fundamentalisme agama,kerinduan akan kehangatan spiritual, kemunculan agama-agamabaru dan Gerakan Keagamaan Baru (new religious movement), keber-agamaan kaum difabel, konflik sosial antar pemeluk agama, hu-bungan antaragama, regulasi negara terhadap agama, kepadatanpenduduk, hubungan agama dan sains, pemanasan global, konser-vasi hutan dan laut, dan demokrasi di antara yang prosedural dan

Page 275: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

418 Wajah Studi Agama-Agama

yang substansial, menuntut kajian agama untuk melahirkan satuperspektif yang dapat mencerahkan para pemeluk agama di satusisi, dan mengembangkan keilmuan Studi Agama di sisi lain. Untuktopik-topik kontemporer seperti itu studi PA sudah tidak memadailagi. Akan tetapi, untuk pergulatan teologi dan spiritualitas yangakan terus berlangsung, kajian PA tetap aktual. Masing-masingdapat memainkan perannya yang kontributif.

Dalam lingkungan institusi Islam atau pendidikan tinggi Is-lam, selalu muncul pertanyaan, apakah bisa studi PA dan religiousstudies menjadi kajian yang benar-benar ilmiah, tanpa kepentingandakwah di dalamnya? Untuk menjawabnya secara tuntas, kita perlumelihat perbedaan fundamental antara studi PA di dunia Islamdengan religious studies yang berkembang di Barat. Religious studiesyang berkembang di Barat, terutama di Amerika, Kanada dan Eropaadalah berada di negara-negara sekuler yang tidak memprioritaskanagama tertentu atau tidak mengakui adanya agama yang resmi dantidak resmi. Studi Agama juga dilakukan “with a value free orienta-tion.” Disiplin ilmu hanya mengejar objektivitas. Orang-orang yangterlibat dengan studi adalah orang-orang yang tidak “terlibat” de-ngan agama tertentu; orang-orang netral yang memiliki kebebasanuntuk menguji, mengkritik, dan mengeksplorasi agama berdasar-kan kaidah-kaidah studi ilmiah agama yang empiris.56

Sementara studi PA atau Studi Agama-Agama yang berlangsungdi pendidikan tinggi Islam Indonesia adalah kajian yang harus ber-hadapan dengan negara yang mengakui beberapa agama resmi.Mahasiswa, dosen dan peneliti yang terlibat didalamnya adalah“kaum beriman” yang terikat (involve) dengan agama tertentu. Sulituntuk melepaskan diri dari cengkeraman subjektivitas. Namun de-mikian—seperti telah dikemukakan di atas, transformasi studi PAke religious studies dengan mengikuti perkembangan keilmuan danisu-isu keagamaan kontemporer seperti yang berkembang di Barat,dapat dilakukan dengan baik. Hal itu berarti keislaman atau terlibatmenjadi Muslim tidak menghalangi seseorang untuk bersikap il-miah. Para akademisi Muslim dapat membedakan antara keyakinan

Page 276: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

419Dr. Media Zainul Bahri

keagamaannya dengan kerja ilmiah profesional. Islam sendiri—dalam penafsirannya yang progresif—sesungguhnya sejalan dengansemangat mencari kebenaran sebagai bagian dari kerja ilmiah.

Meski demikian, Jacques Waardenburg membuat catatan pen-ting yang harus diingat oleh para akademisi Muslim yang inginmengembangkan Studi Agama-Agama di dunia Islam. Menurut-nya, terdapat dua problem penting dalam mengembangkan StudiAgama-Agama di dunia Islam. Pertama, problem adanya adagiumbahwa Islam adalah agama yang paling benar dan terakhir. MenurutWaardenburg, terlepas dari apakah pandangan ini benar atau tidak,model pandangan teologi itu tidak bisa dimasukkan dalam studikesarjanaan empiris. Mengenai pertanyaan tentang “kebenaranmutlak” agama-agama, Studi Agama yang berkembang di Baratbiasanya meletakkan pertanyaan itu dalam “dua tanda kurung”(brackets, epoche). Hal itu mengasumsikan bahwa ilmu pengetahuantidak bisa menjawab pertanyaan itu, tetapi meletakkannya dalamsuatu perspektif. Pertanyaan itu terletak pada wilayah iman, bukanstudi empiris agama-agama. Pertanyaan dan pernyataan itu jugaakan membuyarkan konsentrasi tentang kenyataan dan fakta bah-wa terdapat juga para pemeluk agama-agama lain “yang absah”selain Islam, Kristen atau Buddha. Fokus studi agama-agama adalahtentang para pemeluk agama-agama itu dan tentang agama mereka.Sekali lagi, pertanyaan itu terletak pada wilayah iman, bukan padastudi empiris agama-agama.57

Problem kedua, adalah adanya kenyataan bahwa Islam, dalambeberapa dekade terakhir, semakin terus menguat menjadi ideologidan praktik politik. Lebih meningkat dibandingkan dengan Kristenatau agama Buddha. Kenyataan lain, ideologisasi dan politisasi Is-lam juga heterogen. Jika gereja Kristen atau kelompok-kelompokKristen misalnya memiliki interpretasi “resmi” tentang kekristenan,maka hal itu berbeda dengan Islam. Terdapat banyak kelompok,gerakan dan negeri-negeri Muslim yang memiliki interpretasi ma-sing-masing tentang Islam. Karena itu, sulit untuk membuat studiyang adil atau yang tidak penuh prasangka pada orientasi-orientasi

Page 277: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

420 Wajah Studi Agama-Agama

yang berbeda itu di dalam satu kebudayaan dan keislaman.58

Meski demikian, sikap-sikap ideologis dan politis pada Mus-lim dan Kristen misalnya, bukan berarti tanpa manfaat. Sikap-sikapitu ternyata memiliki relevansi bagi studi lintas kebudayaan danagama. Dalam 50 tahun terakhir misalnya, terdapat studi-studi aka-demik yang serius pada banyak sarjana Muslim tentang kekristen-an, lebih banyak daripada studi mereka tentang Yahudi. Bahkan,usaha para akademisi Muslim dan Kristen dalam mengembangkandialog antaragama memiliki efek yang sangat bermanfaat dalammembangun kerja sama antara Barat dan para sarjana Muslim. War-denburg bahkan meyakini bahwa proses perdamaian di Timur Te-ngah dapat difasilitasi oleh studi-studi mengenai hubungan Mus-lim dan kaum Yahudi, terutama dalam banyak fakta sejarah yangmenunjukkan hubungan yang harmonis di antara mereka. Dapatjuga dilakukan studi komparatif antara kitab suci kaum Muslimdan Yahudi yang memiliki banyak kesamaan akarnya. Dengan be-gitu akan mempererat pemahaman dan hubungan timbal balikantara Muslim dan Yahudi yang benar-benar menginginkan adanyahubungan baik.59

Waardenburg kemudian menggarisbawahi bahwa ketika aga-ma-agama yang hidup (living religions) menjadi fokus kajian, makahal itu menuntut keterbukaan akademik, kontak, perjumpaan, dis-kusi dan perdebatan. Konsekuensinya, Studi Agama-Agama mem-butuhkan kebebasan untuk riset, berpikir dan berekspresi. Sikap-sikap seperti itu dibutuhkan oleh institusi mana pun yang inginmengembangkan kajian ilmiah agama dan harus dipertahankanoleh para sarjana agama di mana pun, termasuk di dunia Islam.60

Hanya dengan sikap dan pandangan seperti ini, para akademisiMuslim di lembaga pendidikan tinggi Islam dapat mempertahan-kan dan mengembangkan Studi Agama-Agama, baik pada aspek-aspek yang sangat teorrtis maupun aspek praktis-fungsional.

Page 278: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

425Dr. Media Zainul Bahri

BAB VIIBAB VIIBAB VIIBAB VIIBAB VIIPENUTUP

Keseluruhan pembahasan buku ini telah menunjukkan bahwa Stu-di Agama-Agama atau Perbandingan Agama memiliki akar dansejarah yang cukup panjang di Nusantara, setidaknya dalam ren-tang satu abad lebih. Pada mulanya, kesadaran kaum terpelajarIndonesia untuk mendiskusikan agama-agama yang hidup di Nu-santara dimotivasi oleh keingintahuan berdasar fakta kemajemukanagama dan kehendak membangun kehidupan sosial-keagamaanyang harmonis. Di tengah-tengah proses tersebut muncul pula kon-flik dan kontestasi di antara agama-agama sehingga memunculkanmodel-model Studi Agama yang menyertainya. Seiring dengan per-kembangan isu-isu dan materi sosial-keagamaan yang sangat dina-mis, berbagai metodologi Studi Agama-Agama juga dirumuskan,apakah dengan cara membuat sintesis atas berbagai model atau mem-buat tesis (model) baru.

Sejauh agama masih memiliki daya tarik sehingga terus dicintai,dianut dan dipelajari, maka Studi Agama tidak akan pernah redup.Selama itu, tema-tema keagamaan dan pendekatan-pendekatanStudi Agama masih akan terus berkembang, mencari model danbentuk-bentuknya yang relevan dan aktual, apakah model itu masihmodel lama, atau perpaduan dari yang lama dengan yang baru,atau muncul model yang benar-benar baru. Pencarian itu tidak akanpernah selesai, dan tidak akan sampai pada titik final. Bagaimana-pun, karena kompleksitas fenomena keagamaan dan macam-ma-cam variannya, tak akan muncul “satu model (pendekatan) utama”untuk beragam kajian keagamaan. Yang niscaya terjadi akan adabanyak pendekatan yang mungkin bekerja sendiri-sendiri atau be-kerja sama di antara mereka (inter-disciplinary studies).

Page 279: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

426 Wajah Studi Agama-Agama

Studi ini tentu saja memiliki keterbatasan. Beberapa riset men-datang dapat dilakukan. Misalnya pertama, mengingat studi yangsaya lakukan hanya di UIN Yogyakarta, Jakarta dan IAIN Semarang,maka menarik untuk dilihat model-model Studi Agama-Agama diUIN dan IAIN lain, misalnya di UIN Bandung dan Surabaya yangcukup berkembang. Juga sangat menarik untuk melakukan studiperbandingan antara perkembangan Studi Agama-Agama di Jawadan luar Jawa, misalnya dengan melihat perkembangan disiplinilmu ini di Sumatra, Aceh, Kalimantan, dan Sulawesi. Kedua, kare-na UIN Yogyakarta, Jakarta dan Bandung telah membuka programMagister Studi Agama-Agama, maka menarik untuk melakukanriset tentang perkembangan studi ini pada level Pascasarjana.

Page 280: Dr. Media Zainul Bahri · Soal Penghinaan Agama, Konversi, ... filsafat dan sains.” Helena Blavatsky, tokoh sentral dan pendiri Teosofi Internasional, menyebut tujuan kedua ini,

439Dr. Media Zainul Bahri

BIODATA PENULIS

Media Zainul Bahri adalah dosen Studi Agama-Agama pada Fa-kultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Lahir di Pama-nukan-Subang, Jawa Barat, 19 Oktober 1975. Mengenyam pendi-dikan Menengah dan Atas di Pondok Pesantren Daarul-Rahman,Kebayoran Baru Jakarta-Selatan (1987-1994). Menyelesaikan S-1di Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin UniversitasIslam Bandung (UNISBA) (1995-1999), S-2 (2000-2003) dan S-3(2006-2010) keduanya pada Konsentrasi Pemikiran Islam SekolahPascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan sponsor dariSEASREP-SEPHIS, mengikuti workshop on Alternative ResearchMethodologies di Universitas Filipina, kampus Diliman (Oktober2007), melakukan penelitian Disertasi di Universitas Ankara Turki(November 2008 hingga Januari 2009) dengan beasiswa dari Peme-rintah Turki, Postdoctoral research di Institut Indonesia dan StudiKeislaman, Universitas Köln, Jerman (Maret 2012 hingga Desember2013) dengan sponsor Alexander von Humboldt Stiftung, dan mela-kukan studi kepustakaan di KITLV Universitas Leiden pada Juli-Agustus 2012 dan Juli-Agustus 2013. Beberapa karyanya yang telahdipublikasikan antara lain Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Meng-urai Maqamat Dan Ahwal Dalam Tradisi Sufi (Jakarta: Prenada Me-dia, 2005), menulis 17 Entri untuk Ensiklopedi Tasawuf (Bandung:Penerbit Angkasa, 2008), Tasawuf Mendamaikan Dunia (Jakarta:Penerbit Erlangga, 2010), Satu Tuhan Banyak Agama (Jakarta: Mizan,2011), dan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, Sebuah Peng-antar (Jakarta: HIPIUS, 2015).