Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota...

104
-ANTOLOGI CERPEN- Penerbit Kota Cerita

Transcript of Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota...

Page 1: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

-ANTOLOGI CERPEN-

Penerbit

Kota Cerita

Page 2: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

2

Antologi Cerpen Kota Cerita

Oleh: Kota Cerita and Friends

Copyright © 2012 by Kota Cerita

Penerbit Kota Cerita

http://kotacerita.blogspot.com

[email protected]

Desain Sampul dan Ilustrasi:

@_usaneko / Orinthia Lee

Diterbitkan melalui:

www.nulisbuku.com

Page 3: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

3

Ucapan Terimakasih:

Pertama-tama, tentu saja ucapan terimakasih akan kami ucapkan pada Tuhan YME atas berkat dan perlindungannya selama penyusunan antologi cerpen perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan juga tenaga untuk mengedit, menyusun layout juga menemani para KC-ers di twitter sampai mengecek e-mail secara berkala. Ketiga, untuk teman-teman penulis yang telah berpartisipasi dalam proyek perdana Kota Cerita dan membagikan kisah-kisah yang ada dalam kepala mereka dalam sebuah tulisan yang menawan. Sungguh, sebuah karya adalah harta yang tidak tergantikan. Kami percaya, sekalipun mungkin para penulis yang menyumbangkan karyanya masih pemula tapi karya mereka yang ditulis dengan segenap hati akan menggugah hati para pembaca. Keempat, untuk teman-teman yang telah membeli atau pun membaca buku antologi cerpen ini, terima kasih banyak. Tetaplah berkarya, jangan pernah berhenti meraih mimpi.

Salam,

Redaksi

Page 4: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

4

DAFTAR ISI

1. Warna Kedelapan – A. Masyitta 2. Jakarta-Semarang – Sylvia Astri 3. Rindumu Membawaku Kembali – Orinthia Lee 4. Aurora – Tania Mutia 5. Serba Ada – Juliana Wina Rome 6. Orion – A. Masyitta 7. Cintaku Tertinggal di Solo – Ida Farida 8. Kota Fatamorgana – Aya Maulia 9. Kota Terbalik – Prasetyo Condro Gumilar

Page 5: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

5

Penulis: A. Masyitta

Menurutmu bagaimana rasanya ketika setelah hampir sepuluh tahun merelakan dan melakukan apa pun demi cita-citamu, lalu selanjutnya kau justru dibuang?

Perkenalkan. Aku adalah pemuda yang berbakat besar di bidang fotografi. Aku mampu menangkap sudut-sudut terbaik dari segala objek. Inderaku sangat awas menemukan pesona-pesona tersembunyi dan memunculkannya. Dan ngomong-ngomong, itu semua bukan kata-kataku, tapi orang-orang di sekitarku.

Yah, harus kuakui aku memang hebat. Jadi tidak heran juga kalau kemudian aku menjadi salah satu lulusan terbaik dari jurusan fotografi tempat kuliahku dan diterima tanpa hambatan berarti di penerbit majalah favoritku.

Tapi kalau kau pikir dengan begitu cita-citaku langsung tercapai maka kau salah besar. Sebagai orang baru, aku harus rela menjadi semacam budak bagi fotografer-

Page 6: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

6

fotografer senior di sana. Tidak ada kesempatan bagiku untuk menampilkan hasil karyaku sendiri.

Akhirnya setelah empat tahun, aku benar-benar diberi tugas untuk menjelajahi satu wilayah dan mengabadikannya dengan foto. Di kepalaku sudah terbayang kota-kota yang akan kudatangi. New York, mungkin? Atau Tokyo? Paris? Yang terakhir itu terdengar cocok sekali untukku. Sophisticated.

Tapi apa yang selanjutnya kudapatkan? Kota antah berantah yang bahkan belum pernah kudengar namanya. Bergen. Yakin itu nama kota? Bukan semacam tempat pembuangan orang-orang jenius yang tidak diapresiasi?

Aku curiga pemimpin redaksiku sengaja memilih kota ini untukku. Lihat saja. Aku sudah hampir tiga hari di kota ini dan tidak satu haripun disinari matahari. Kota ini seperti magnet bagi mendung. Segalanya terasa dan terlihat kelabu. Cocok sekali sebagai latar episode paling tidak beruntung dalam hidupku. Apa yang mereka harapkan bisa kuabadikan dari kota sekelam ini, hah?

Aku baru saja mulai memikirkan cara-cara untuk membalas dendam pada pemimpin redaksiku ketika satu tabrakan keras menghantam punggungku dari belakang.

―Oi! Pakai mata kalau jalan!‖ Hardikanku ternyata dihadapkan pada sebuah wajah

kerdil dari seorang anak lelaki cebol, yang kini melongo memandangiku. Aku hendak kembali meneriakinya saat ia mendadak tersenyum lebar hingga matanya menyipit.

―Paman, kenapa diam saja di sini?‖ tangan kecilnya mendadak mencengkeram lengan bajuku, menarik-nariknya. ―Tidak lihat ya hujan akan datang? Ayo pergi!‖

Dan tahu-tahu ia sudah menyeretku berlari bersamanya, entah ke mana. Berteduh dari hujan? Yang benar saja, bahkan setitik gerimis pun tidak tampak. Lagipula, kenapa aku harus ikut segala?

Page 7: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

7

―Oi, bocah, berhenti! Lihat baik-baik, tidak ada hujan.‖

―Ada kok, Paman!‖ Ia menjawab seraya tertawa. ―Sebentar lagi hujannya datang, percayalah padaku!‖

Aku mendengus mengejek, ―Bagaimana kau bisa tahu hujan akan turun? Dan jangan panggil aku paman, aku belum setua it—―

―Lihat, lihat! Lihat, Paman! Hujan datang!‖ Bocah itu berhenti mendadak, menunjuk langit

seraya melonjak-lonjak. Aku mendongak dan kurasakan setetes air membasahi wajahku. Perlahan, tetesan itu berubah menjadi gerimis, lalu menjelma menjadi hujan masif. Cih. Baju baruku jadi basah, sialan. Anehnya, bocah itu justru tertawa riang, begitu senang dan kembali menarik lenganku. Kali ini lebih bersikeras.

―Ayo, ayo, cepat, Paman! Nanti pelanginya keburu pergi!‖

―Sudah kubilang jangan panggil aku Paman!‖ jawabku ketus, mulai kesal. ―Lagipula, belum tentu akan ada pelangi setelah hujan ini red—―

―Lihat, lihat! Lihat, Paman! Pelangi datang!‖ Bocah ini peramal atau bagaimana? Jauh di depan

sana, sebuah pelangi besar melengkung—hujan mereda. Sudah lama aku tidak melihat pelangi sebesar dan sejelas itu, dan aku sudah hendak merogoh tas kameraku ketika aku sadar tindakanku itu akan terlihat kelewat kekanakan. Terpesona pada pelangi? Bah.

―Nah, kau sudah dapat pelangimu kan, bocah? Kalau begitu biarkan aku perg—―

Sayang sekali aku tidak seanarki itu untuk menghajar bocah yang sepertinya hanya beberapa tahun di atas balita itu untuk mau melepaskanku. Ia kembali menyeretku berlari bersama langkah-langkahnya yang kecil. Apa lagi selanjutnya? Aurora? Bintang jatuh?

Page 8: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

8

Dan ada yang janggal dari bocah ini. Ya, ya, aku tahu anak-anak cenderung menyukai hujan. Tapi yang satu ini tampak lebih dari sekedar suka. Seolah ia menganggap hujan sama dengan Sinterklas dan ia akan mendapatkan hadiah khusus untuknya ketika reda. Terkubur di dekat pelangi atau semacamnya. Caranya menyebut hujan dan pelangi bahkan terdengar seolah mereka adalah kawannya, yang biasa singgah dan kemudian pulang. Kota yang kelabu rupanya berefek menjadikan penduduknya aneh.

―Kita sampai, Paman!‖ Bocah itu sekali lagi berhenti, kali ini mendatangi

sebuah pohon besar. Ia berjongkok di antara dua akar besarnya yang menonjol, dan mulai menggali dengan tangan kosong. Kelewat bersemangat.

―Kau sedang apa?‖ Ia tersenyum semakin lebar, menarikku untuk ikut

berjongkok, lalu mengarahkan pandanganku pada pelangi besar itu dengan telunjuknya.

―Paman tidak tahu, ya? Ujung pelangi kan tempat yang ajaib!‖

Pantas saja. Jika dilihat dari jauh, ujung pelangi itu seolah jatuh di bawah pohon besar ini. Jadi teoriku soal pelangi tadi rupanya benar—meski sedikit melenceng.

―Kalau kita menulis surat dan memasukkan ke dalam botol kaca lalu menguburnya di ujung pelangi, pelangi akan menguraikan kata-katanya menjadi warna-warna mereka dan mengantarkannya pada malaikat di langit!‖ Ia melanjutkan, masih asik menggali, sesekali memamerkan senyum selebar wajahnya padaku. ―Lalu para malaikat akan mengabulkan permintaan yang kita tulis di surat!‖

Sekali lagi, aku mendengus diiringi senyum mengejek. Aku bukan pecinta mitos. ―Dan bagaimana kau tahu permintaanmu dikabulkan?‖

Page 9: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

9

Senyumnya benar-benar lebar kini, wajahnya jadi terlihat seolah terbelah. ―Kalau permintaan kita dikabulkan, malaikat akan memberi tanda dengan memunculkan satu warna baru pada pelangi!‖

Astaga. Orangtua bocah ini terlalu berlebihan mengarang dongeng bagi anaknya. Malang sekali kau, Nak, dibodohi sejak usia sedini ini. Tanganku bergerak menepuk-nepuk kepalanya bersimpati, ketidakpercayaan tampak jelas pada ekspresiku, dan bocah itu segera merengut.

―Paman tidak percaya padaku, ya? Ya, kan?‖ ―Well,‖ sahutku seraya mengangkat bahu, ―pelangi

itu hanya biasan dari cahaya dan tetes air, kiddo, bukan kurir pengantar surat atau semacamnya, jadi—―

―Tidak, Paman salah!‖ Bocah ini harus belajar untuk tidak memotong perkataanku setiap lima menit sekali. ―Paman bodoh!‖ Apa-apaan. ―Paman payah!‖

Okay, that’s it. ―Berisik!‖ Aku bangkit berdiri, habis kesabaran.

―Terserah! Suatu saat kau akan paham bahwa yang bodoh itu kau, bukan aku!‖ Aku berbalik dan bersiap pergi, menoleh untuk terakhir kali untuk menambahkan, ―Dan jangan panggil aku Paman!‖

Lihat siapa yang bersikap kekanakan sekarang. Tapi aku tak peduli. Suasana hatiku sedang buruk dan aku tidak mau memperparahnya dengan meladeni bocah aneh pecinta hujan dan pelangi. Sial, aku bahkan belum menghasilkan satu foto pun hari ini. Umpatan kulontarkan, dan aku bergegas pulang menuju rumah kecil yang disewakan untukku, berpikir sebaiknya aku beristirahat dan mencoba lagi besok. Dan semoga aku tak perlu bertemu orang aneh lainnya.

Tapi sepertinya ketidakberuntunganku belum berakhir. Gedoran gaduh terdengar dari jendela kamarku, memaksaku bangun. Terlalu pagi. Sialan. Aku mati-matian

Page 10: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

10

menyeret kaki dan mataku yang masih diselimuti kantuk untuk membuka jendela, hanya untuk menemukan wajah kerdil itu lagi—tersenyum tanpa rasa bersalah.

―Mau apa ka—― ―Paman, kalau tidak cepat-cepat, nanti terlambat

lho!‖ Lagi-lagi aku tidak bisa melepaskan diri ketika

tangan kecil itu menarikku keluar dari kamarku melalui jendela. Aku merasa jadi korban penculikan. Kupikir kali ini pun bocah itu akan membawaku melihat hujan, atau pelangi, atau semacamnyalah, tapi akhirnya kami duduk di salah satu meja pada teras sebuah kafe kecil, yang disebutnya memiliki menu sarapan paling enak sejagad raya. Hah, kepercayaan konyol lainnya.

Aroma yang kemudian tercium dari hadapanku seketika menutup mulut sinisku. Aku bukan orang yang menganggap sarapan itu penting, tapi potongan roti dan secangkir kopi hitam pekat yang masih mengepul itu entah bagaimana mampu membuat pengecualian. Segera, kulahap keduanya seperti orang kelaparan. Crap. Bocah itu benar.

Dua tawa lepas terdengar. Si bocah dan wanita setengah baya yang mengantarkan makanan itu tersenyum lebar menatapku menyantap dengan rakus, seolah sejak awal tahu akan reaksiku.

―Kalau ingin tambah, akan kuberi bonus gratis, Nak.‖

Wanita itu menepuk bahuku, mengiringinya dengan senyum hangat yang tidak bisa tidak kubalas. Seraya menghabiskan sarapan pertamaku setelah bertahun-tahun itu, aku mengamati sekelilingku. Bocah di hadapanku, wanita pemilik kafe itu, dan wajah-wajah lainnya. Kusadari satu hal. Seberapapun seringnya mendung memayungi kota ini, penduduknya tidak pernah tampak muram. Sebaliknya,

Page 11: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

11

mereka memiliki wajah-wajah sesejuk pagi dan senyum-senyum secerah matahari.

Damn. Aku mulai berubah menjadi melankolis. ―Bocah, apa tadi yang kau bilang tentang

terlambat?‖ tanyaku, mengalihkan pandang kembali ke mejaku sendiri. Bocah itu mendongak, menghadiahiku senyum lebarnya yang mulai familiar di mataku.

―Hujan akan turun sebentar lagi!‖ Bocah ini bisa membuat bangkrut badan

meteorologi. Tidak lama setelah kami menghabiskan sarapan kami masing-masing, gerimis turun, pelangi muncul kemudian, dan tidak jauh berbeda dengan kemarin, langkah cepat kami berakhir di bawah sebuah pohon besar. Perut kenyang sepertinya memang berpengaruh pada suasana hati, jadi kali ini aku tidak banyak omel, meski aku tetap tidak sudi turut mengotori tanganku untuk membantu bocah itu menggali. Aku hanya berjongkok di sampingnya, sementara ia sibuk dengan agendanya sendiri.

―Kenapa kau harus mencari pelangi lagi hari ini?‖ tanyaku sambil lalu, ―Memangnya permintaanmu yang kemarin tidak dikabulkan?‖

―Aku tidak melihat ada warna baru. Pasti ada permintaan lain yang lebih penting dariku untuk dikabulkan kemarin.‖ jawabnya tanpa nada sedih ataupun kecewa seraya menguburkan botol kacanya kembali dengan tanah. ―Tapi kali ini mungkin saja giliranku!‖

Senyum simpul muncul di wajahku. Kuangkat tanganku untuk mengusap puncak kepalanya. Dasar keras kepala. Malaikat itu tidak ada. Hanya manifestasi dari harapan-harapan tidak nyata manusia. Tapi aku tidak sampai hati mengatakannya segamblang itu. Tidak ketika yang kuhadapi adalah sesosok yang bahkan tidak menyimpan dendam karena mengetahui permintaannya tidak dikabulkan demi orang lain yang ia pikir lebih membutuhkannya.

Page 12: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

12

Jadi biar kuikuti saja permainannya. Esok harinya, esok hari setelahnya, dan esok hari

berikutnya, bocah itu selalu membangunkanku dengan gedoran di jendelaku, menyeretku berlari keluar bahkan sebelum kedua mataku benar-benar terbuka. Aku jadi tidak perlu punya alarm.

Dan tiap hari pula aku melihatnya mengejar pelangi, melumuri kedua tangannya dengan bulir-bulir tanah hitam demi mengubur permintaannya. Dan jawabannya selalu sama. Barangkali ada permintaan orang lain yang lebih penting untuk dikabulkan. Barangkali hari ini adalah gilirannya. Tapi bahkan setelah lebih dari satu minggu, ia tidak juga menemukan warna baru untuknya.

Hari kesepuluh sejak pertama kali jendelaku digedor, aku telah lebih dulu bangun. Aku bahkan telah berpakaian lengkap. Kedua mata dan pikiranku sepenuhnya terjaga. Senyum lebar kubuat di wajahku, siap menyombong bahwa aku bisa bangun sebelum ia tiba.

―Ha! Hari ini aku bangun lebih dulu daripada—― Bocah itu tidak ada. Aneh. Langit mendung seperti biasa, aku tidak akan

kaget jika tak lama lagi hujan turun. Tapi ke mana perginya pecinta hujan itu? Ke mana perginya pengejar pelangi itu?

Berbekal secarik alamat dari pemilik kafe, kubawa langkahku pada sebuah rumah mungil di tepi kota. Kuketuk pintunya tanpa ragu dan seorang wanita muda menyambutku.

―Permisi, madam, apakah aku bisa bertemu dengan… ngg…‖

Aku baru sadar aku tidak mengetahui nama bocah itu. Wanita itu tersenyum padaku, tampak letih namun membukakan pintu lebih lebar untukku, mempersilakanku masuk seolah tahu siapa yang kumaksud. Ia mengantarku ke depan pintu kamar anaknya di lantai dua. Kuputar

Page 13: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

13

kenopnya, mengayunkan daun pintunya terbuka. Bocah itu ada di sana, berbaring di tempat tidurnya, memunggungiku. Selimut menutupi hingga lehernya.

―Hei,‖ aku berjongkok di sisi tempat tidurnya, ―kau tidak membangunkanku pagi ini.‖

Terlalu gengsi untuk bertanya apakah ia baik-baik saja.

―Karena hujan tidak akan datang.‖ ―Hah?‖ ―Hujan tidak akan datang.‖ ―Kau bercanda.‖ Aku terbahak, menepuk-nepuk

kepalanya. ―Hujan selalu datang. Tiap hari. Bukankah kau sendiri yang bilang—―

―Hujan tidak akan datang!‖ Ia mendadak bangkit duduk, menyibakkan

selimutnya dan berbalik menghadapiku. Wajahnya memerah. Bukan karena marah. Lebih karena gusar—atau takut. Aku tidak tahu.

―Hujan tidak akan datang! Dan tidak akan ada pelangi! Dan tidak akan ada warna baru!‖ Ia menjerit, berteriak keras tepat di wajahku. Ia seolah menggunakan seluruh udara yang ada di paru-parunya dan mengiris pita suaranya sendiri dengan kalimatnya yang berikutnya. ―Dan permintaanku tidak akan pernah dikabulkan!‖

Aku membeku. Terlalu kaget untuk merespon. Kedua mata bocah itu mulai disaputi air mata, dan detik berikutnya ia sudah membenamkan wajahnya kembali ke bantalnya, memunggungiku lagi. Kurasakan tepukan di pundakku—ibunya. Ia memberi isyarat untuk mengikutinya keluar dari kamar. Kami berdua duduk di meja makan kemudian, saling berhadapan dengan secangkir teh hangat disertai ucapan maaf atas sikap anaknya padaku.

―Tidak apa-apa,‖ sahutku tidak enak hati meski aku sebetulnya merasa perlu penjelasan. Selama lebih dari

Page 14: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

14

seminggu bocah itu memaksaku bangun dan menyeret-nyeretku mengejar pelangi, sekarang mendadak ia berkata hujan tidak akan datang? Konyol.

―Saya harap Anda bisa memakluminya,‖ wanita itu mulai bicara lagi, keletihan tampak lebih kentara di balik senyumnya kini. ―Ia begitu percaya pada kisah itu, dan ia begitu ingin sembuh, karenanya...‖

―Maaf—apa?‖ Ada yang terdengar janggal di sini. ―Sembuh? Sembuh dari apa?‖

Wanita itu sejenak tampak tersentak, menyadari sesuatu hingga ia melepaskan sebuah desah berat. Ia tampak jauh lebih lelah dari sebelumnya.

―Ia tidak pernah menceritakannya, saya kira.‖ Ia menyesap tehnya dengan tangan gemetar, sebelum melanjutkan kata-katanya. ―Ia menderita kanker. Dokter berkata ia hanya punya waktu beberapa minggu, atau bulan, jika beruntung. Sejak saat itu ia selalu berusaha mengejar pelangi.‖

Aku merasakan hantaman asing di perutku. Tenggorokanku tercekat. Napasku seolah tertahan. Tiap kata itu terlalu mengejutkan untuk kucerna. Terlalu tidak masuk akal. Bocah itu sekarat—itu tidak mungkin. Bocah yang selalu tersenyum itu, yang tidak mengenal sedih itu.

―…Permisi.‖ Aku melangkahkan kaki keluar. Benang kusut

menyesaki kepalaku. Sialan. Sialan. Seharusnya aku tahu lebih cepat. Seharusnya aku tidak membiarkannya kehujanan. Seharusnya aku membantunya menggali agar ia tidak perlu berlama-lama di udara sedingin itu. Seharusnya aku menanyakan apa permintaannya.

Dan, hujan benar-benar tidak datang. Tidak hari ini. Tidak juga esoknya. Tidak juga esok

berikutnya. Dan aku mulai kehabisan kesabaranku—juga umpatan untuk kumuntahkan pada langit atau dewa atau

Page 15: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

15

malaikat apa pun yang bertugas mengatur hujan di atas sana. Aku selalu berusaha menemui bocah itu, membujuknya untuk keluar, berkata kemungkinan hujan akan datang hari ini. Tapi ia bergeming, kembali meneriakiku bahwa hujan tidak akan datang. Dan ia benar, seperti biasanya.

Tapi ketiadaan hujan tidak membuatku segusar ketika kulihat betapa cepat perubahan fisik bocah itu. Aku nyaris tidak mengenalinya lagi. Wajahnya semakin tirus, tubuhnya tampak menciut hingga aku merasa bisa melihat garis-garis rusuk di bawah piyamanya. Dan meski ia masih mampu menjerit padaku, bisa kurasakan tiap gerak dan suara yang dibuatnya menghabiskan banyak energi dari yang seharusnya, membuatnya kesakitan.

Maka aku berhenti mendatanginya. Menghabiskan sisa hariku dengan mengutuki langit, dan Tuhan, yang sebetulnya tidak kupercayai keberadaannya. Tapi aku butuh seseorang—sesuatu—untuk kusalahkan, untuk kujadikan pelampiasan amarahku.

Satu minggu lagi berlalu dan tidak juga ada tanda-tanda hujan turun, segelap apa pun langit tampaknya. Perlahan namun pasti, ketakutan itu merayapiku. Ketakutan untuk mendengar yang terburuk. Aku terlonjak tiap kali teleponku berdering, berharap itu bukanlah suara yang memberitahukan ketakutanku berubah nyata.

Ketika aku mulai merasa tidak sanggup menahan ketakutan itu tanpa kehilangan kewarasanku—hujan pun turun.

Aku ternganga, perlu beberapa detik bagiku untuk menyadari tetes-tetes yang membasahi jendela di depan meja kerjaku bukanlah sekedar khayalanku, sebelum aku bangkit berdiri. Kursiku terjatuh karena gerakku yang terlalu tiba-tiba, begitu juga dengan berkas-berkas kerja di atas mejaku, tapi aku tidak peduli. Aku berlari, melawan hujan.

Akhirnya. Akhirnya.

Page 16: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

16

Aku bahkan tidak mengucap salam ketika ibunya membukakan pintu, dan tergesa-gesa menaiki tangga. Kubuka pintu kamarya hingga menjeblak dengan keras. Masa bodoh dengan tata krama.

―Bocah! Ayo keluar, kalau tidak kau akan terlambat—―

Tidak ada. Bocah itu tidak ada. Tidak, jangan bilang bocah itu sudah…

―Ia sudah pergi,‖ Aku berbalik, kedua tanganku mencengkeram bahu

wanita itu, terlalu keras hingga ia mengernyit. Ia menyadari kesalahannya, dan bergegas menyelesaikan kalimatnya.

―Ia sudah pergi mengejar pelanginya, sebelum Anda datang.‖

Sialan. Aku nyaris saja menangis. Kuucapkan maaf dengan cepat sebelum kembali berlari melewatinya, mempercepat lajuku. Hujan telah reda dan sebuah pelangi besar tampak di langit. Begitu dekat. Dan ia ada di sana. Bocah itu ada di sana. Di ujung pelangi itu.

―Bocah!‖ Ia mendongak, terbelalak melihatku tapi kemudian

ia tersenyum. Aku membalas senyumnya, begitu lega, sebelum kulihat tubuhnya mendadak limbung. Kuulurkan lenganku untuk menangkapnya sebelum menghantam tanah. Ia tampak begitu pucat. Wajahnya dipenuhi peluh. Lututnya terluka dan berdarah. Kedua tangan dan kakinya kotor. Ia terlihat sulit bernapas. Tapi ia tersenyum. Senyum lebarnya yang biasa.

―Bocah bodoh.‖ Ia terkekeh, ―Paman, akhirnya permintaanku

terkabul.‖ Tangannya terangkat dengan susah payah, mengarah

pada pelangi yang masih bertengger dengan kokoh di langit. Mataku seketika terbelalak. Samar, di bawah lengkung ungu,

Page 17: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

17

kulihat satu warna yang tidak pernah kutahu ada pada pelangi mana pun sebelumnya. Warna yang tidak mampu kudefinisi. Tak terkatakan. Sebagaimana tak tersangkal.

―Kau benar,‖ pandanganku kembali pada wajah lugu bocah itu, tersenyum. Senyum yang tidak pernah kupikir bisa kubuat. ―Permintaanmu terkabul. Akhirnya.‖

Ia membalas senyumku dengan senyumnya yang paling lebar. Sebelum terlelap, tanpa kehilangan kurva itu di parasnya.

Dan sejak itu, ia tidak pernah lagi membuka matanya.

Permintaannya tidak terkabul. Tidak ada malaikat. Tidak ada yang membaurkan kata-katanya dan membawanya ke langit. Barangkali warna yang kulihat kali itupun hanyalah ilusi. Itu semua hanya karangan. Kebohongan. Dan dengan bodohnya aku berharap hal itu bukanlah sekedar dongeng, untuk satu kali itu saja.

Masa tinggalku di kota itu sudah berakhir. Dan tak satu pun foto berhasil kubuat. Pemimpin redaksi akan mencecarku, paling buruk memecatku. Tapi aku sudah mati rasa. Aku mengosongkan lemari dan kamarku dibantu wanita pemilik kafe yang membawakanku sarapan. Ia selalu mengunjungiku tiap pagi sejak kepergiannya, tidak satu kalipun percaya pada perkataan bahwa aku baik-baik saja. Akhirnya aku menyerah, membiarkannya. Aku sudah malas berdebat. Aku bahkan sudah terlalu lelah untuk menghibur diriku sendiri.

Desah berat kusuarakan, mengakibatkan satu lagi tanya ―Kau baik-baik saja?‖ dilontarkan padaku. Aku menggeleng tidak meyakinkan dan aku memutuskan untuk pergi ke luar, beralasan ingin memotret sesuatu sebelum pergi, hanya agar aku tidak perlu berhadapan dengan wajah cemasnya.

Page 18: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

18

Langit cerah. Biru. Terang. Tanpa satu pun helai awan. Tidak ada ancaman mendung. Aku tersenyum, menertawai ironi itu, mengejek diriku.

Tanpa sadar, langkahku terhenti di bawah satu pohon besar. Satu tempat yang selalu kuhindari setelah hari itu. Aku bukan orang hebat. Aku hanya manusia kecil yang tidak berdaya melawan kuasa yang sudah diguratkan atas setiap insan. Aku bahkan tidak berdaya melawan kesedihan yang menyeretku tenggelam terlalu dalam.

Tapi kurasa, pada akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal.

Aku berjongkok, menyentuh gundukan tanah yang masih baru itu. Perlahan, tanganku mulai menggali. Semakin dalam. Kuacuhkan tanah yang melaburi telapak tanganku, menyusupi kuku-kukuku. Aku dikuasai dorongan kuat untuk menemukan botol kaca itu. Yang menyimpan permintaan terakhir bocah itu. Satu-satunya yang kuanggap tersisa untuk mewakili keberadaannya.

Ujung jariku menyentuh sesuatu yang keras dan aku tahu aku berhasil menemukannya. Kutarik botol kaca itu dari benamannya, mencabut penutupnya. Aku sudah tahu. Aku sudah tahu apa permintaan bocah itu. Yang tersia-sia. Tak mampu bahkan sekedar menangguhkan kepergiannya barang sehari. Tapi biarkan aku membacanya sendiri. Biarkan aku merasakan hantaman sakitnya sekaligus sebelum benar-benar merelakannya. Kubuka gulungan kertas kecil di dalamnya, membaca coretan yang tertera di atasnya:

“Malaikat yang baik, aku tahu ini bukan

permintaanku yang pertama dan barangkali kau sudah bosan membaca tulisanku. Aku juga tahu ada permintaan lain yang penting, tapi kumohon, kumohon,

Page 19: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

19

kumohon, kumohon, kumohon, tolong kabulkan permintaanku kali ini.

Aku ingin melihat Paman tersenyum. Ia agak bodoh dan payah tapi ia baik hati. Ia cuma tidak tahu cara tersenyum. Jadi bisakah kau beri ia lebih banyak alasan untuk tersenyum?

Please? Aku berjanji tidak akan pernah meminta apa pun lagi setelah ini. Toh, sebentar lagi aku akan bertemu langsung denganmu, kan? Tolong ya, malaikat.

Salam sayang,

Frey.

PS. Oh ya, dan tolong buat ia bangun lebih pagi, ya. Pastikan Paman sarapan, ia gampang marah kalau belum makan.”

Tanganku bergetar dan kurasakan tetes-tetes air

mata mengaliri pipiku. Aku menengadah. Hujan turun. Langit berlabur kelabunya yang biasa. Tulisan dalam genggamanku sebagian pudar ditelan rinainya tapi tidak terhapus dari pikiranku. Aku mengingatnya. Aku akan mengingatnya.

Kubiarkan wajahnya diterpa, kubiarkan seluruh tubuhku basah, menghanyutkan gumpalan besar yang sudah berhari-hari mencekikku dari dalam, melumpuhkanku.

Page 20: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

20

Bersamaan dengan tetesnya yang terakhir, dan langit kembali membuka, aku dapat merasakan kedua kakiku lagi.

Dan pelangi itu ada di sana. Lebih besar dan lebih indah dari yang pernah kulihat sebelumnya. Warna-warnanya merekah terang, tapi tidak ada yang semempesona warna barunya. Warna kedelapan itu.

Kupandangi warna itu. Tersenyum. Bocah, permintaanmu terkabul. Dan warnamu telah kubingkai abadi... dalam potret

dan dinding kenanganku.

Page 21: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

21

Penulis: Sylvia Astri

"Putus?" "Ya." Lama kutatap gadis manis di hadapanku. Raut

wajahku menunjukkan kebingungan yang sangat kentara. Hasrat untuk mengguncang-guncang tubuh gadisku itu sangat besar. Kutarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan emosiku yang bergejolak tak tenang. Akan tetapi, di saat berikutnya, kusemburkan pertanyaanku ke wajahnya, tak mampu lagi untuk menjaga ketenanganku lebih lama.

"Kenapa?" "Kita... kita tidak cocok." Alisku terangkat tinggi, mataku melotot. Apa yang

dia maksud dengan tidak cocok? Menurutku, kami cocok-cocok saja. Hobi kami sama, kebiasaan kami mirip, kami juga tidak pernah bertengkar. Semuanya aman dan terkendali. Tapi sekarang, tidak ada angin, tidak ada hujan, gadis ini memutuskanku. Tatapanku masih terus tertuju pada gadisku, meminta penjelasan lebih tapi tak ada kata-kata

Page 22: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

22

lanjutan yang keluar. Aku ingin marah, meninju dan menghancurkan sesuatu. Aku ingin memaki gadisku, mengatainya dengan sumpah serapah. Tapi pada akhirnya, aku hanya menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.

"Oke," kutatap tajam gadisku... ah, mantan gadisku. "Kita sudah selesai."

"Ya." "Bye." "Yah... bye." Detik-detik berikutnya terasa sangat lambat. Aku

masih menatap mantan gadisku yang mendongakkan kepalanya. Kupandangi matanya, aku ingin tahu apa yang ada di dalam kepala gadis itu. Rasanya ingin membuka kepalanya lalu kuporak-porandakan isinya hanya untuk mencari alasan mengapa gadis itu mengakhiri hubungan kami. Tapi tidak ada percakapan lebih lanjut. Mantan gadisku kembali menundukkan kepalanya, menolak memandangku lama-lama lalu berbalik, pergi menjauh, meninggalkanku yang hanya bisa termangu menatap punggungnya.

Orang-orang di sekitarku masih lalu-lalang, keluar masuk toko, menjelajahi setiap sudut mall. Keriuhan di lantai bawah masih terdengar. Seharusnya, aku sangat bersemangat menjelajahi mall terbesar di Semarang ini jika tidak ada peristiwa tadi. Jujur, aku tidak mengerti. Kami memang menjalani hubungan jarak jauh—atau biasa disebut LDR—sejak setengah tahun yang lalu. Aku tinggal di Jakarta, berusaha meniti karir untuk menjadi orang sukses dan berpenghasilan besar. Sedangkan mantan gadisku memilih untuk bekerja di Semarang, kembali ke kota kelahirannya. Selama itu, kami berkomunikasi melalui telepon, pesan-pesan singkat, dan chatting. Kami baik-baik saja walaupun sudah setengah tahun tidak bertemu. Aku bahkan berjanji

Page 23: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

23

bahwa aku akan datang ke Semarang, bermain ke kota kelahirannya. Janji yang telah kutepati hari ini.

Aku mengacak rambut dengan kesal. Bubar sudah rencana liburanku. Apa menariknya jalan-jalan sendirian di kota kecil seperti Semarang?

Setahun telah berlalu sejak berakhirnya hubungan

jarak jauh pertama yang pernah kulakoni. Selama itu pula, aku serius mengejar karir dan nominal gaji. Marketing adalah dunia yang kupilih. Siapa yang tidak tergoda oleh gaji yang terus menanjak, posisi yang terus naik, dan mobilitas pekerjaan yang sangat tinggi? Rasanya keren ketika kau berada pada jam kerja tapi kau berada di sebuah cafe, mengobrol lepas dengan orang-orang berjabatan. Memang, tekanan dalam pekerjaan ini lebih besar daripada pekerjaan yang mengharuskanku untuk berada di balik meja. Tapi itu tidak menjadi masalah, mengingat lebih banyak kesenangan yang bisa kuperoleh.

Lalu soal perempuan. Saat ini aku masih single. Walaupun sebenarnya, ada beberapa gadis yang bisa kudekati, yang mau saja kuajak menemaniku setiap malam sekadar untuk menonton, jalan-jalan atau makan malam supaya aku tidak harus menghabiskan waktu di luar jam kerja sendirian. Tapi minat untuk sekadar bermain-main dengan gadis-gadis ini jarang muncul. Memang, usiaku masih muda, masih punya banyak waktu untuk bermain-main. Tapi perempuan di usiaku jarang yang mencari laki-laki untuk sekadar main-main, kan? Mereka mencari yang serius. Dan aku memang lebih tertarik untuk menjalin hubungan yang serius. Kau tahu, pacaran itu investasi. Ada uang pulsa, uang transpor, uang nonton, uang makan dan sebagainya. Bagaimana mungkin semua pengeluaran itu hanya untuk main-main? Masalahnya, tidak ada satu pun dari gadis-gadis

Page 24: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

24

yang kukenal yang bisa kuajak serius menjalin hubungan. Antara aku tidak cocok atau mereka memang lebih asyik dijadikan teman.

Dalam kekeringan akan romantisme ini, tiba-tiba aku mendapatkan pin Blackberry seorang gadis, teman kuliah yang pernah dekat denganku. Aku rindu, tentu saja. Gadis ini adalah gadis yang misterius. Aku sama sekali tidak mengerti jalan pikirannya. Dia bisa sangat ceria, juga bisa sangat muram di saat yang lain. Ketika sedang berdua pun, dia bisa terlihat sangat menikmati lalu berubah menjadi tampak terganggu, seolah-olah berdua denganku adalah hal yang salah. Aneh. Bahkan kedekatan kami memudar secara perlahan karena gadis ini secara implisit, menolak untuk berdua saja denganku. Tapi sudah dua tahun aku tidak berhubungan dengannya. Seharusnya, gadis ini sudah berubah, kan?

"Kau akan ke Jakarta?" Pada saat aku menggodanya dengan pertanyaan,

kapan akan kembali ke Jakarta, gadis ini menjawab dengan riang bahwa dia akan segera ke Jakarta. Aku agak tidak percaya mendengar hal ini. Kebetulan yang menyenangkan.

"Yoi, akhir bulan ini mungkin." "Tanggal berapa? Ayo, jalan-jalan." "Belum pasti tanggalnya. Soalnya, kan training.

Kantor yang bayar. Masih nunggu konfirmasi dulu. Ayo, jalan-jalan! Kangen Jakarta, nih."

Mendengar gadis ini mengiyakan ajakan jalan-jalanku dengan ceria saja sudah merupakan salah satu tanda-tanda perubahan yang baik. Dan gadis ini memang berubah. Sejak pertama kali menyapanya via BBM, sering aku mendapati diriku menghabiskan lebih banyak waktu untuk menekan tuts-tuts Blackberry dan tersenyum serta tertawa kecil. Harus kuakui, gadis ini memang menyenangkan.

Page 25: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

25

Ketika aku menggodanya, mengatakan sesuatu yang menjurus pada hubungan lebih serius, gadis ini tidak diam saja dan menarik diri lalu tidak mengacuhkanku seperti dulu. Dia membalasnya dengan candaan. Bahkan ketika di hari berikutnya, aku kembali menggodanya dengan hal-hal seperti itu, dia masih membalasnya dengan santai. Luar biasa.

Di malam-malam berikutnya, aku sering jatuh tertidur di tengah-tengah obrolan santai dan absurdku dengannya. Sebelum jatuh tertidur, aku sering merenung, penasaran pada perasaanku sendiri. Mungkinkah jika aku menyukainya? Rindu itu memang ada, mengingat dulu kami sering pergi bersama dengan teman-teman kuliah, berkeliling kota Jakarta, menonton bersama, jalan-jalan, piknik. Tapi apakah rindu ini lebih dari rindu pada seorang teman? Karena semakin sering aku memberikan candaan seputar hubungan yang lebih serius, semakin aku berpikir, mungkinkah jika aku benar-benar menyukainya?

Ah, tidak, tidak. Gadis ini sudah memiliki kekasih.

"Lho, kau sudah putus? Kapan?" "Iya, tahun kemarin." Aku tahu, gadis ini pernah menjalin hubungan

dengan seseorang. Saat itu, aku dan teman-teman lain yang mengenalnya hanya bisa berkata, "akhirnya." Karena gadis ini sering dekat dengan banyak laki-laki, tapi tak ada satu pun yang berlanjut ke hubungan lebih serius. Menurutku, gadis ini kesulitan untuk mempertahankan satu hubungan khusus dengan seseorang. Semakin erat hubungan khusus tersebut, semakin gadis ini menjauh. Seakan takut untuk diikat oleh sebuah status bernama pacaran. Terkadang, aku ingin tahu alasannya mengapa gadis ini seakan begitu anti dengan sebuah hubungan yang dekat.

"Kenapa putus?"

Page 26: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

26

"Mau tahu saja :))" "Sama-sama single dong kita. Mantanmu orang mana

emangnya? Bukannya orang Semarang?" "Bukan. Bogor dia." "LDR?" "Iya." Informasi baru bahwa gadis yang kuanggap sulit

untuk menjalin hubungan dekat dengan seseorang ternyata menjalani hubungan jarak jauh pada kali pertama dia berpacaran, cukup mengejutkanku. Keputusan yang cukup berani. Mungkin gadis ini mengira bahwa dengan jarak jauh, sepasang kekasih tidak perlu sering-sering bertemu, sehingga tidak ada tekanan untuk terus-menerus terikat pada satu orang saja. Baru setelah menjalaninya, gadis itu mungkin tersadar bahwa hubungan jarak jauh tidak semudah itu. Halangannya berbeda. Entah mengapa, aku yakin bahwa yang memutuskan hubungan gadis itu dengan mantan kekasihnya adalah si gadis. Kemungkinan besar, rasa tidak ingin untuk berada dalam sebuah hubungan khusus itu menyambangi gadis itu lagi.

Malam itu, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan tentang mantan. Lebih karena aku tidak ingin pertanyaannya berubah arah menjadi tentang... mantanku.

―Tanggalnya sudah keluar? Kapan?‖ ―Minggu depan! Ayo jalan-jalan! Tempat apa ya

yang bagus di Jakarta?‖ ―Kau maunya ke mana? Sebut saja, nanti kuantar

jalan-jalan.‖ ―Tidak tahu. Kan kau yang sudah lama tinggal di

Jakarta. Sebut dong.‖ ―Monas?‖

Page 27: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

27

―Boleh deh.‖ Minggu depan, aku akan menemuinya. Wow. Tidak

sabar rasanya menunggu minggu depan. Setelah dua minggu penuh dengan obrolan via BBM, akhirnya kami akan benar-benar bertemu.

Malam itu kuhabiskan dengan berbaring telentang di atas tempat tidur, pikiranku berkelana ke mana-mana. Aku merenung. Walaupun masih ragu dengan perasaanku sendiri, aku sadar bahwa aku tidak bisa mengenyahkan gadis itu dari pikiranku barang sehari saja. Sering aku membayangkan bahwa gadis itu berada di dalam satu kota denganku sehingga aku bisa memandanginya setiap saat. Tapi aku tahu, itu tidak mungkin terjadi dalam waktu dekat ini. Lalu apa? Apakah aku benar-benar jatuh cinta pada gadis itu? Apakah aku siap untuk menyatakan perasaanku minggu depan? Bagaimana jika ternyata gadis itu yang tidak siap untuk memulai sebuah hubungan baru? Aku gelisah. Beberapa kali, aku memikirkan cara-cara untuk menyatakan cinta pada gadis itu. Dari yang fantastis sampai yang sederhana. Tapi setiap cara-cara tersebut melintas di pikiranku, aku tidak bisa membayangkan reaksi gadis itu. Aku tidak yakin bahwa semuanya akan berjalan lancar sesuai dengan skenarioku.

Maka, aku memutuskan untuk membiarkan waktu yang menuntunku.

―Jadi, Monas itu seperti ini ya.‖ Setelah gadis itu melalui hari-hari yang padat oleh

jadwal training dan jalan-jalan dengan teman-temannya, membuatku benar-benar kesulitan menemukan hari yang cocok untuk bisa membawa gadis ini jalan-jalan, kami mendapatkan waktu luang di Sabtu pagi yang cerah. Sekarang, kami sudah berada di lapangan Monas yang sangat luas dan gadis itu berkacak pinggang dengan kepala diangkat,

Page 28: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

28

memandangi Monumen Nasional dari ujung atas sampai ujung bawah.

―Geez, empat tahun kuliah di Jakarta tapi tidak pernah ke Monas.‖

―Memangnya kau pernah?‖ ―Tidak juga sih. Tapi, kau perlu tahu, mayoritas

orang yang lahir dan besar di Jakarta tidak pernah ke Monas. Orang-orang dari luar Jakarta yang mau repot-repot datang ke Monas.‖

―Begitu?‖ ―Memangnya kau pernah pergi ke tempat wisata di

Semarang?‖ ―Pernah. Kan, aku ingin tahu mengapa banyak

orang mau datang dari jauh untuk mendatangi tempat-tempat itu.‖

Kami menikmati pagi ini dengan berjalan-jalan di area Monas. Rasanya segar dan menyenangkan berada di tengah-tengah taman dengan banyak pohon setelah lima hari menghadapi masalah demi masalah di kantor. Udaranya juga sejuk. Sambil berjalan santai, ada banyak hal yang kami bicarakan seperti teman-teman kuliah, pekerjaanku dan pekerjaannya sekarang, dan tempat-tempat wisata lain yang menarik di Jakarta. Kami juga mencari kegiatan untuk dilakukan nanti malam karena gadis itu ingin menikmati Sabtu tanpa teman-temannya.

Ya, itu berarti, bersamaku. Sehari penuh. Wow.

Siang harinya kami habiskan dengan mencoba naik busway. Memang terdengar konyol. Tapi gadis ini mengaku bahwa dia belum pernah naik busway dan dia ingin mencoba. Apalagi setelah mengetahui bahwa aku pernah naik busway, dia langsung minta ditemani. Jadi, saat sinar matahari mulai memanas, bukannya mencari tempat dingin seperti mall,

Page 29: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

29

kami malah berdesak-desakan dengan pengguna busway lain, terguncang dan terdorong-dorong di dalam busway bahkan merasakan antrian panjang di Harmoni. Selama berada di dalam busway, aku sempat berpikir, adakah turis yang mau mencoba busway seperti gadis ini? Jika ada, wow, busway bisa dijadikan daya tarik wisata dari Jakarta, eh?

―Belum pernah keliling Jakarta naik busway, kan?‖ ―Tentu saja belum.‖ ―23 tahun di Jakarta kok belum pernah keliling

Jakarta naik busway.‖ ―Tidak ada yang mau repot-repot keliling Jakarta

naik busway kali.‖ Tiba-tiba busway yang sedang melaju kencang ini

mengerem mendadak. Kami yang tidak mendapatkan kursi dan terpaksa berdiri, benar-benar merasakan efeknya, terlebih gadis yang sedang bersamaku itu. Dia hampir saja terjatuh jika aku tidak memegang lengannya. Gadis itu memang cukup nekat. Sudah tahu tidak pernah naik busway atau bus kota dan sudah tahu tidak dapat tempat duduk dan harus berdiri, gadis itu malah tidak berpegangan erat-erat pada apapun. Hanya menggenggam tiang bus di dekat pintu dengan genggaman lemah. Mana mungkin dia tidak jatuh kalau ada hal-hal mendadak seperti tadi?

―Pegangan yang benar.‖ ―Iyaaa.‖ Untuk memastikan gadis ini tidak terjatuh lagi, aku

memutuskan untuk berdiri di belakangnya, membiarkan punggungnya bersandar ke dadaku sementara kedua tanganku menggenggam erat-erat tiang bus yang juga digenggamnya. Aku terlihat seolah-olah sedang memeluknya.

―Kau ngapain?‖ Dan gadis itu protes. ―Memastikan kau tidak jatuh lagi.‖

Page 30: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

30

Gadis itu diam saja dan selama beberapa saat keheningan mendatangi kami. Tapi keheningan ini tak lama. Karena dua menit kemudian, gadis itu sudah menemukan topik untuk dibicarakan. Dalam hati, aku mendesah lega. Jika aku melakukan ini pada sosoknya yang dulu, mungkin tidak akan ada dialog yang terjadi sepanjang sisa perjalanan. Tapi gadis itu benar-benar sudah berubah.

Dan aku tidak menyesal harus berpanas-panas mencoba keliling Jakarta menggunakan busway.

Malamnya, kami berencana untuk pergi nonton. Kalau boleh jujur, menonton film di bioskop

bukanlah kenangan yang menyenangkan. Hanya sekali aku pergi berdua dengan gadis itu dan itu adalah terakhir kalinya aku pergi berdua saja dengannya.

Saat itu, aku mengajaknya menonton, berdua saja. Biasanya kami pergi beramai-ramai dengan teman-teman kuliah. Sebenarnya, gadis ini sudah terlihat kurang berminat saat kuajak. Tapi aku memaksa. Aku tahu, dia tidak punya kegiatan atau janji apapun. Aku juga telah memilihkan film yang bagus dan pasti disukai olehnya. Aku memaksa bahwa kami harus pergi. Sepanjang perjalanan, dia diam saja dan aku tidak tahu harus berbicara apa. Saat mengantre membeli tiket dan menunggu studio dibuka pun, dia tidak banyak bicara. Aku pun hanya bisa bertanya basa-basi, apakah dia mau membeli popcorn atau soda. Dialog lainnya hanya berkisar pada komentar-komentarku tentang poster-poster film yang dipasang di dinding ruang tunggu. Yang membuatku makin tidak tahu harus berbicara apa adalah reaksi gadis itu pada setiap topik yang kuangkat. Dia benar-benar pendiam, seakan tidak ingin berbicara denganku. Banyak dari ucapanku yang hanya direspon dengan gumaman atau jawaban pendek-pendek.

Page 31: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

31

Selama film diputar pun, gadis itu benar-benar fokus pada film di depan sana walaupun aku sudah beberapa kali menoleh kepadanya. Gadis itu seakan tidak ingin menoleh karena tahu aku sedang melihatnya. Setelah film berakhir pun, tidak ada satu pun dari kami yang berkomentar apa-apa. Gadis itu sepertinya tidak berminat bicara dan aku sudah benar-benar kehilangan minat untuk bicara. Percuma, tidak akan ditanggapi. Maka kuantarkan gadis itu pulang ke kosnya. Setelah itu, aku tidak pernah mencoba untuk mengajaknya pergi berdua lagi.

Malam itu, aku menyesal telah memaksakan keinginanku untuk mengajaknya pergi berdua saja.

Pada akhirnya, kami benar-benar menonton. Film

tentang perang. Tidak ada keheningan menyiksa seperti yang dulu pernah terjadi. Gadis itu tampak senang dan aku juga banyak bercerita. Reaksinya mendengar ceritaku benar-benar menyenangkan, sangat berbeda dengan dia yang lama. Sejauh ini, semuanya berjalan lancar.

―Do you fall for me?‖ Sampai tiba-tiba, gadis itu menanyakan sesuatu yang

aneh, membuatku menoleh dengan enggan dari adegan seru yang terpampang di layar lebar. Aku mengernyit bingung. Rasanya aku salah dengar.

―Eh?‖ ―Kau menyukaiku?‖ Gadis itu mengulangi pertanyaannya lagi. Adegan

film yang sedang seru-serunya tak lagi mampu mencegahku untuk menatap gadis yang duduk di sisiku. Hanya diterangi oleh cahaya dari hasil proyeksi film, kuperhatikan wajahnya, mencari ekpsresi bercanda di sana. Tapi tak ada. Gadis itu duduk memeluk lutut, sorot matanya tampak menerawang

Page 32: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

32

jauh. Aku tidak mengerti. Tiba-tiba gadis ini menoleh dan menatapku lekat-lekat.

―Kok diam?‖ Apa yang harus kujawab? Biasanya, aku yang

menggodanya dengan hal-hal seperti ini. Jarang sekali dia yang melakukannya. Seandainya gadis ini menggodaku terlebih dahulu pun, hal itu takkan berlangsung lama karena topik lain segera diangkat olehnya, membuat hal-hal sebelumnya berlalu begitu saja.

―Hm. Kalau iya?‖ ―Why do you fall for me?‖ ―You are a nice girl. Who won’t fall to you?‖ Aku berusaha membuat nada suaraku terdengar

santai, seakan-akan aku baru saja mengatakan sesuatu yang bukan rahasia. Berikutnya, tidak ada suara yang berasal dari gadis di sisiku. Padahal aku merasa bisa menebak apa yang akan diucapkannya. Kondisi hening diantara kami berdua masih berlangsung sampai lima menit ke depan. Aku memutuskan untuk memecahnya.

―Kenapa kau tanya begitu?‖ ―Jadi, kau menyukaiku atau tidak?‖ Aku memaki dalam hati. Dari tadi, aku terus

menjaga ucapanku supaya tidak menjurus pada pernyataan cinta. Bagiku, ini bukan tempat yang romantis untuk membuat sebuah pengakuan. Suara dari sound system terlalu keras, film yang kami tonton pun film tentang perang, membuat suara kami timbul tenggelam. Cahayanya juga remang-remang, membuatku tidak bisa memperhatikan wajah gadis yang akan kuberi pernyataan cinta. Tapi gadis itu seakan memaksaku untuk menjawab sekarang. Lihat saja gadis itu, tatapannya diarahkan langsung padaku, menunggu kalimat apapun yang akan keluar dari mulutku. Aku mencoba untuk rileks supaya bisa berbicara dengan nada yang biasa-biasa saja.

Page 33: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

33

―Yes, yes, I love you, Wina. Do you want to be my girlfriend?‖

Tapi gagal. Mana mungkin aku mengucapkan kalimat sepenting ini dengan nada yang biasa-biasa saja?

Kubalas tatapannya dengan sorot menantang. Aku sudah tidak peduli pada scene apa yang sedang diputar di layar lebar. Gadis itu, gadis yang sedang balas menatapku dengan keraguan adalah prioritasku sekarang. Nah, apa jawabanmu, Nona, setelah menantangku dengan pertanyaan seperti itu? Apa reaksimu? Apa kau akan menjauh lagi seperti dulu?

―Are you serious?‖ ―Of course I’m serious!‖ kusemburkan pernyataan itu,

mengabaikan tatapan tajam dari penonton di sekeliling kami. Bagaimana mungkin gadis itu menganggapku bercanda setelah memojokkanku untuk mengucapkan pernyataan itu? Apa gadis itu merasa bahwa aku tidak menyukainya? Apa gadis itu menganggapku hanya bermain-main? Bertemu dengan teman lama lalu jalan-jalan bersama selama beberapa hari sebelum masing-masing dari kami kembali ke rutinitas harian. Setelah gadis itu pulang, aku akan mencari gadis lain untuk diajak menemaniku jalan-jalan. Itukah yang ada di pikirannya?

―Are you sure?‖ Grah. Aku ingin mengacak rambutku, tidak tahan

dengan semua pertanyaan konyol yang diberikan gadis ini. Ingin rasanya berteriak di telinga gadis ini supaya dia tidak ragu-ragu lagi. Tapi aku berusaha tetap tenang dan menjaga nada suaraku supaya tidak semakin meninggi. ―Apa maksudmu dengan yakin? I wouldn’t confess to you if I’m not sure.‖

―Yah,‖ gadis itu berbicara setelah semenit keheningan berlalu, ―Kau tahu sendiri, record LDR kita sama-sama buruk. Lagipula, kau di Jakarta dan aku di Semarang.

Page 34: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

34

Kau yakin sudah memikirkannya baik-baik? Yakin mau mencoba denganku, Michael?‖

Aku menelengkan kepalaku, tidak mengerti apa yang membuatnya tidak yakin. Record LDR kami mungkin sama-sama buruk. Mantan gadisku memutuskanku begitu saja ketika aku akhirnya mengunjungi kota tempat tinggalnya. Setahun setelah itu baru kuketahui alasan berakhirnya hubungan kami. Mantan gadisku sudah menemukan pengganti di kota tempat tinggalnya. Masuk akal. Daripada mempertahankan hubungan denganku yang jaraknya begitu jauh, lebih baik mencari yang dekat, prospeknya lebih bagus. Lalu soal Wina, aku tidak tahu apa yang membuatnya mengakhiri hubungan sebelumnya. Tapi apapun alasannya, kurasa gadis itu sudah berubah. Menurutku, hubungan apapun yang dimiliki oleh gadis itu selanjutnya, tidak akan berakhir semudah hubungannya yang pertama. Gadis itu butuh belajar bagaimana cara menjalani sebuah hubungan dan dia sudah diberi kesempatan untuk belajar. ―Tentu saja, Wina, tentu saja.‖

Jujur saja, aku tidak sabar menghadapi saat seperti ini. ―Aku sudah memikirkannya baik-baik. Laki-laki memang lebih mengutamakan pikiran daripada perempuan yang selalu mengutamakan perasaan, kan?‖

Berikutnya, kami sama-sama diam. Kubiarkan dia meresapi apa yang telah kukatakan. Bahwa aku telah memikirkannya baik-baik. Bahwa aku yakin untuk menjalin sebuah hubungan dengannya. Semenit lagi berlalu dalam keheningan dan tidak ada tanda-tanda bahwa gadis ini akan berbicara. Aku memutuskan untuk bicara.

―Nah, apa yang dikatakan oleh perasaanmu?‖ ―I’m not sure...‖ ―Hm?‖ ―It said... let’s try.‖

Page 35: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

35

Nah, aku tidak menyesal telah mengajaknya menonton berdua saja untuk kedua kalinya. Karena lembaran baru dalam kehidupanku telah dibuka.

Page 36: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

36

Page 37: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

37

Penulis: Orinthia Lee

Jakarta, 13 Januari 2012

Hari ini ulang tahunnya yang ke-17. Biasanya, pesta megah akan diadakan untuk merayakan kedewasaan para gadis di usia tersebut. Mengenakan gaun cantik, menjadi pusat perhatian teman-teman, mendapatkan tumpukan hadiah beraneka rupa, tertawa bersama teman-teman karena permainan yang diusulkan pembawa acara dan menikmati nyanyian kelompok musik yang diundang, semua itu takkan pernah dirasakan gadis berparas Korea tersebut.

Park Shin Bi tak berminat mengadakan pesta ataupun sekedar merayakan ulang tahunnya kecil-kecilan.

Padahal dulu, sebelum tragedi itu terjadi, Shin Bi selalu menantikan hari ini. Ia bahkan telah menyusun daftar undangan untuk pestanya, telah mengumpulkan gambar-gambar gaun cantik yang ingin dikenakannya juga membahas

Page 38: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

38

apa saja yang diperlukan untuk membuat pestanya meriah dengan Han Mi Na; sahabatnya.

Shin Bi menghela napas. Ia sedang duduk di sudut perpustakaan, berhadapan dengan beberapa tumpuk buku yang sedang ia rapikan dan ia susun berdasarkan jenisnya. Perpustakaan sekolah itu tidak terlalu besar namun buku-bukunya cukup lengkap. Kira-kira sudah tiga bulan Shin Bi memutuskan pindah dari Seoul ke Jakarta. Ia tinggal di rumah pamannya yang adalah seorang guru bahasa Indonesia di sekolah yang mayoritas muridnya adalah orang Korea.

Banyak hal yang ia tinggalkan di Seoul. Kenangan buruknya, sahabatnya dan termasuk Jeo

Rin; pacarnya.

Seoul, 4 bulan lalu.

"Oppa!" Shin Bi melompat memeluk Jun Wo dari belakang.

Beberapa ekor burung merpati yang sedang menyantap biji-bijian di tanah terkejut lalu terbang menjauh. Tawa tergelak terdengar kemudian ketika Jun Wo kehilangan keseimbangan sesaat. Shin Bi selalu suka berlari memeluk Jun Wo setiap kali melihat punggungnya yang lebar.

"Shin Bi-ah!" ujar Jun Wo terengah. Kedua tangannya berpegangan pada dinding di depannya tepat sebelum ia terjatuh dengan Shin Bi bergelayut di punggungnya. "Kalau jatuh bagaimana? Bahaya! Harus berapa kali kuberitahu, sih?"

Shin Bi mengerucutkan bibirnya, turun dari punggung Jun Wo perlahan. "Tapi tidak jatuh, kan?" ujar gadis itu. "Oppa tak pernah jatuh setiap kali aku melakukan

Page 39: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

39

itu." Shin Bi tersenyum kemudian memandangi kedua mata cokelat Jun Wo. Ia tahu kakaknya tak akan memarahinya.

"Tak pernah bukan berarti tak akan," jawab Jun Wo singkat. Pemuda itu sesungguhnya merasa senang dengan kebiasaan Shin Bi memberinya kejutan dengan pelukan dari belakang. Ia hanya khawatir jika suatu hari ia tak sempat berpegangan lalu mereka berdua terjatuh dan menyebabkan Shin Bi terluka.

"Jangan marah, Oppa." Shin Bi mengulurkan tangan menggandeng tangan Jun Wo. Diremasnya telapak tangan pemuda itu, "Tangan Oppa dingin sekali. Sarung tangan Oppa mana?"

"Kuberikan pada Mi Na." Jun Wo balas meremas tangan Shin Bi yang

terbungkus sarung tangan wol tebal. "Tumben Jeo Rin tidak mengantarmu pulang," ujar

Jun Wo lagi. Shin Bi meneleponnya saat ia sedang makan malam bersama dengan Mi Na, meminta Jun Wo menunggunya selepas kencannya selesai di depan mini market di dekat sekolah mereka agar bisa pulang bersama. Raut wajah Shin Bi seketika berubah. Sebuah kernyitan sempat tergurat di keningnya. Dia menundukkan kepala, mengayunkan tangannya yang menggandeng tangan Jun Wo lalu tertawa lirih.

"Oppa, salju turun!" ujarnya mengalihkan pembicaraan. Ia merentangkan kedua tangannya ke atas, membiarkan salju turun perlahan ke atas telapak tangannya. "Waah... salju turun lebih cepat, ya!"

"Ada apa antara kau dan Jeo Rin?" Jun Wo bertanya. Dia berdiri di samping Shin Bi dengan kepala menghadap ke atas memandangi butiran salju yang mulai turun perlahan. Dari ekor matanya, dia bisa melihat Shin Bi menurunkan kedua tangannya lalu menunduk lesu.

―Tidak. Tidak ada apa-apa, kok.‖

Page 40: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

40

―Bertengkar?‖ Shin Bi terdiam lalu menganggukkan kepalanya

beberapa saat kemudian. ―Mau cerita?‖ Shin Bi cepat-cepat menggeleng. Air mata yang

sejak tadi ditahannya tiba-tiba saja mengalir membentuk sungai kecil di pipinya. Jun Wo merangkul gadis itu dan menuntunnya berjalan bersama menyusuri trotoar untuk pulang ke rumah. Dibiarkannya Shin Bi menangis sampai puas. Tak ada gunanya memaksa gadis itu bercerita saat sedang menangis seperti ini. Jun Wo tahu setibanya di rumah nanti Shin Bi pasti akan menjelaskan semuanya.

Sayangnya, baik Jun Wo maupun Shin Bi tak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Keduanya tak melihat ketika sebuah mobil sedan melaju dengan cepat di jalanan. Pengemudinya terkantuk-kantuk di belakang setir. Ketika Jun Wo tersadar akan datangnya bahaya, sedan itu telah terlanjur menabrak keduanya.

Shin Bi menjerit. Ia bisa merasakan Jun Wo memeluknya erat-erat ketika mereka berdua terlontar dari trotoar itu dengan keras, terguling-guling di atas aspal.

Ketika ia sadar kembali dua hari kemudian, Jun Wo sudah tak ada di sisinya. Pergi untuk selamanya.

―Shin Bi-ah.‖ Shin Bi bergeming. Kedua matanya tertutup sementara kepalanya bersandar ke dinding perpustakaan dengan tangan memegang kamus bahasa Indonesia-Korea yang terbuka lebar. ―Shin Bi-ah.... Ada yang datang mencarimu, tuh.‖

Page 41: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

41

Kedua mata itu akhirnya terbuka. Choi Eun Ae; si penjaga perpustakaan; membungkuk menatapnya sambil menepuk-nepuk pundaknya. ―Eun Ae? Ada apa? Aku ketiduran, ya...,‖ ujar Shin Bi menggosok-gosok matanya sambil menguap. ―Ada yang mencarimu. Seorang cowok yang sangat tampan!‖ ―Cowok tampan?‖ Shin Bi mengikuti Eun Ae yang mengantarnya ke depan pintu masuk perpustakaan. ―Aku sudah menawarinya masuk tapi dia bersikeras menunggu di luar,‖ kata Eun Ae lalu kembali ke dalam meninggalkan Shin Bi. Siapa? Shin Bi mendekati sosok yang memunggunginya. Jantungnya berdebar lebih cepat karena sesungguhnya ia mengenali sosok itu sekalipun dari belakang. Tapi, mungkinkah? Saat ini ia berada di Jakarta, bukan di Seoul. Tak seorang pun kenalannya di Seoul tahu ia ada di Indonesia. ―Anda mencariku?‖ tanya Shin Bi memberanikan diri. Shin Bi tak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika sosok yang ada di depannya itu kini berbalik menghadap ke arahnya. Dugaannya tak salah. ―Jeo Rin oppa...,‖ ujarnya terbata, ―kenapa oppa ada di sini?‖ Hwang Jeo Rin tak menjawab. Kedua tangannya dengan cepat merengkuh Shin Bi dalam pelukannya. ―Lepaskan aku,‖ kata Shin Bi seraya mendorong tubuh pemuda yang lebih tinggi darinya itu agar menjauh. Hwang Jeo Rin terlihat berantakan. Wajahnya pucat dan rambutnya seperti tidak disisir setelah bangun tidur. ―Seharusnya Jeo Rin oppa tidak datang ke sini.‖ ―Kenapa?‖

Page 42: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

42

―....‖ Shin Bi tak bisa menjawab. Gadis itu hanya menunduk dan menutupi wajahnya yang kini basah oleh air mata. Ia teringat lagi pada tragedi kecelakaan yang merenggut nyawa kakaknya. ―Kenapa, Shin Bi? Kenapa aku tak boleh menemui pacarku sendiri?‖ tanya Jeo Rin dengan nada meninggi. ―Kenapa kau meninggalkan Korea tanpa bilang apa-apa padaku? Orang tuamu sangat khawatir....‖ Shin Bi masih diam. Ia berbalik memunggungi Jeo Rin. ―Kau sudah tak lagi mencintaiku, Shin Bi-ah?" ―Pulanglah... aku ingin melupakan Korea dan juga semua kenanganku di sana,‖ ujarnya di sela isakan. ―Aku sudah bukan Shin Bi yang dulu kau kenal, Oppa.‖ ―Shin Bi-ah... jangan bersikap begini. Kumohon...,‖ pinta Jeo Rin memegang kedua sisi bahu Shin Bi dari belakang. ―Bukankah aku sudah bersumpah akan selalu di sisimu? Bukankah kau juga begitu?‖ ―Bukankah Oppa juga pernah bersumpah takkan membuatku menangis?‖ ―Apa hubungannya?‖ ―Kalau Oppa ada di sini... aku takkan bisa berhenti menangis.‖ Dan Jeo Rin terdiam. Bergeming di tempatnya ketika Shin Bi berlari meninggalkannya.

Keberadaanku di sini membuatnya menangis? Hwang Jeo Rin menatap Shin Bi yang berlari keluar gedung dengan perasaan campur aduk. Gadis yang dulu selalu bersikap manja padanya, gadis yang dulu selalu tertawa sesulit apa pun masalah yang sedang dihadapinya... kini terlihat begitu rapuh dan begitu mudah terluka. Membuat

Page 43: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

43

Jeo Rin semakin ingin melindunginya, merengkuhnya dalam pelukan dan tak lagi melepaskannya sendirian. Ingin rasanya ia memaki diri sendiri yang saat itu tak tahu harus berbuat apa agar gadis itu tersenyum. Ia sama sekali tak menyangka akan mendapatkan penolakan dari Shin Bi setelah jauh-jauh datang ke Jakarta. Tapi bagaimana pun ia tak bisa menyalahkan Shin Bi. Musibah yang menimpa Park Jun Wo telah menorehkan luka di hati gadis itu. Jeo Rin masih ingat bagaimana gadis itu menjerit-jerit histeris setelah tersadar dari koma pasca kecelakaan. Ia juga masih ingat jelas bagaimana gadis itu mencoba bunuh diri berkali-kali karena merasa kematian Jun Wo adalah kesalahannya. Bahkan keberadaannya tak cukup untuk memulihkan luka Shin Bi. ―Shin Bi kenapa?‖ Suara seseorang itu menyadarkan Jeo Rin dari lamunannya. Pemuda itu mendapati gadis yang tadi membantunya memanggilkan Shin Bi kini berdiri di dekatnya. Kelihatannya gadis itu melihat apa yang baru saja terjadi. ―Maaf, apa kau tahu di mana Shin Bi tinggal?‖ ―Dia tinggal di rumah pamannya. Dia guru Bahasa Indonesia di sekolah ini.‖ ―Bisa kau bantu mempertemukan aku dengan pamannya?‖ tanya Jeo Rin tak sabaran. Gadis itu menatap Jeo Rin curiga. ―Sebelum itu, boleh kutahu siapa kau? Kenapa Shin Bi menangis saat melihatmu?‖ tanya gadis itu. ―Aku tak bisa memberitahu informasi pribadinya kalau ternyata kau orang jahat.‖ ―Ah, maafkan aku. Namaku Hwang Jeo Rin. Aku pacar Shin Bi.‖

Page 44: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

44

―Oh! Aku pernah melihat fotomu di dompet Shin Bi! Pantas saja rasanya wajahmu familiar. Aku Choi Eun Ae, bisa dibilang aku teman Shin Bi yang paling dekat di sini.‖ Jeo Rin menatap gadis itu, menimbang-nimbang. ―Apakah dia menceritakan padamu alasan dia datang ke Jakarta?‖ Gadis itu menggeleng. ―Shin Bi selalu menghindar tiap kali aku bertanya tentang apa pun yang berkaitan dengan Korea.‖ ―Begitu....‖ ―Jadi... apa kau mau cerita padaku, Hwang Jeo Rin-ssi?‖ tanya Choi Eun Ae. ―Sebagai gantinya, aku akan mengantarmu ke rumahnya. Yah, kalau ceritamu menyentuhku, tentu.‖

Shin Bi terkejut ketika mendapati Jeo Rin berdiri di depan pintu rumahnya. Setiap hari pemuda itu selalu datang sekalipun Shin Bi berkali-kali menolak bertemu dengannya. Kamar tidurnya kini penuh dengan buket bunga dan boneka yang dibawakan Jeo Rin setiap harinya. Ada sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun serta beberapa lembar surat yang digeletakkan begitu saja di atas meja, semuanya dari Jeo Rin. Memintanya pulang ke Seoul, memintanya untuk memaafkan dirinya sendiri, mengatakan kata-kata penuh cinta dan sebagainya. Tapi Shin Bi masih mengeraskan hatinya. Ia sudah bertekad untuk melupakan semuanya tentang Korea. Tentang musibah itu. Dan hari itu, hujan turun sangat deras. Shin Bi bisa mendengar gelegar guntur menggetarkan jendela kamarnya. Langit di luar gelap namun ia bisa melihat Jeo Rin berdiri di luar, tepat di bawah jendela kamarnya. Tampak sengaja agar

Page 45: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

45

Shin Bi bisa melihatnya menunggu hingga ia membukakan pintu untuk pemuda itu.

Tiga hari pun berlalu dan Jeo Rin masih tetap berdiri di sana... bujukan paman Shin Bi tidak dipedulikannya. Pakaiannya sudah kotor terkena hujan dan debu, wajahnya pucat dan bibirnya gemetar karena hujan kembali mengguyur tubuhnya. Shin Bi menatap pemuda itu dari balik tirai jendelanya. Sesungguhnya gadis itu teramat khawatir. Ia tak menyangka Jeo Rin akan begitu keras kepala. Awalnya ia berpikir Jeo Rin akan menyerah jika ia terus menolaknya.

Haruskah ia mengubah keputusannya sekarang? Haruskah ia kembali ke Korea? Haruskah ia menelan lagi segala pahit yang telah

melubangi hatinya?

Dingin. Jeo Rin bisa merasakan tubuhnya gemetar hebat karena serangan dingin yang menusuk-nusuk hingga ke tulang. Kedua kakinya pun kelelahan, tak sabar untuk beristirahat. Perutnya lapar, lambungnya menjerit-jerit mengoyaknya. Tapi ia tak berniat untuk bergerak dari sana. Tak berniat untuk duduk atau pun mengisi perutnya. Ia ingin Shin Bi melihat tekadnya. Sampai kapan gadis itu akan membiarkannya? Sebentar lagi. Sebentar lagi. Jeo Rin percaya gadis itu masih mencintainya seperti dulu. Gadis itu masih peduli padanya. Hanya saja duka itu terlalu besar hingga posisinya tergeser dari hati Shin Bi. Ia akan merebut kembali tempatnya. Tak seharusnya gadis itu menghukum dirinya seperti sekarang. Kematian Jun Wo sama sekali bukan kesalahan gadis itu. Ia harus menyadarkan

Page 46: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

46

Shin Bi. Ia harus mengembalikan senyum itu ke wajah gadisnya. ―Shin Bi-ah...,‖ gumamnya parau. Kedua matanya bisa melihat Shin Bi tengah menatapnya dari balik tirai jendela. Pemuda itu tersenyum. Ia membuat bentuk hati dengan kedua jempol dan telunjuknya, mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar Shin Bi melihatnya. Saranghae....

Aneh. Jeo Rin menatapnya dan tersenyum. Tapi senyum itu justru membuatnya merasa seperti seorang gadis yang jahat. Ah, ia memang jahat... benar, kan? Siapa yang akan setega dirinya membiarkan pemuda sebaik Jeo Rin berdiri di tengah hujan selama tiga hari tiga malam? Shin Bi menekan dadanya—sakit. Lalu ia mau tak mau menyunggingkan senyum balasan ketika Jeo Rin membuat lambang hati dengan jemarinya. Jeo Rin masih mencintainya setelah apa yang ia lakukan. Ia takkan bisa memaafkan dirinya jika ia tetap mengeraskan hatinya pada Jeo Rin. Shin Bi mendorong jendela kamarnya terbuka, berniat meminta pemuda itu agar masuk ke dalam rumah tapi mulutnya tak bisa berkata-kata ketika dilihatnya Jeo Rin tiba-tiba ambruk ke tanah. ―Jeo Rin oppa!!‖ jeritnya. Pamannya keluar dari rumah dan segera mengangkat tubuh pemuda malang tersebut. Shin Bi pun segera berlari menuruni tangga dan menghambur memeluk Jeo Rin yang telah dibaringkan Pamannya di sofa. Pakaiannya basah kuyup dan tubuh pemuda itu demam tinggi. ―Oppa... mianhae...,‖ isak Shin Bi panik.

Page 47: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

47

―Shin Bi, ambil handuk kering dan selimut!‖ kata Park Jung Min sigap, lalu kepada istrinya, ―Ambilkan pakaian ganti yang hangat.‖

Park Jung Min memeriksa keadaan Jeo Rin sebentar dan setelah itu segera berkata pada putranya, ―Jung Soo, siapkan mobil. Kita harus membawanya ke rumah sakit.‖ ―Rumah sakit? Separah itu?‖ tanya Shin Bi panik. Park Jung Min menghela napas.

―Dia tak bernapas.‖

Dokter berkata Hwang Jeo Rin akan baik-baik saja. Tapi dokter itu juga marah besar begitu mengetahui alasan Jeo Rin tumbang. Pemuda itu bisa saja terkena radang paru-paru berat yang menyebabkan kematian jika sedang tidak beruntung, katanya. Beruntung saat ini tim medis berhasil menyelamatkannya. Saat dibawa ke rumah sakit, Jeo Rin masih bernapas, hanya saja napasnya begitu lemah sampai-sampai mereka mengira napasnya telah berhenti. Shin Bi ketakutan. Gadis itu kini duduk di samping tempat tidur Jeo Rin sambil menggenggam tangan pemuda itu. Jeo Rin masih belum sadarkan diri.

―Shin Bi-ah. Jun Wo sudah meninggal, tak ada yang bisa kau lakukan untuk membawanya kembali sekalipun kau berniat untuk berduka seumur hidup. Paman yakin kalau Jun Wo bisa melihatmu sekarang, ia tidak akan senang. Ia pasti ingin kau melanjutkan hidup dengan baik,‖ kata Park Jung Min. ―Yang terpenting saat ini adalah orang-orang yang masih hidup, orang-orang yang masih memerlukanmu seperti Jeo Rin. Jangan sampai kau kehilangan seseorang yang penting untukmu lagi.‖

Shin Bi mengangguk lalu Park Jung Min membiarkan gadis itu berdua saja dengan Jeo Rin.

Page 48: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

48

―Jeo Rin Oppa...,‖ panggil gadis itu sambil mengusap kening Jeo Rin. Matanya sembab karena menangis. Ia merasa dirinya begitu bodoh karena telah membuat Jeo Rin menderita karena dirinya. Ia baru sadar ketika ia nyaris kehilangan Jeo Rin. Tahu dengan jelas bahwa ia tak sanggup hidup jika Jeo Rin juga pergi selamanya.

―Maafkan aku, Oppa.... Aku jahat, aku bodoh... aku kekanak-kanakan....‖

―Kau tidak jahat....‖ ―Aku sudah membuatmu sakit.‖ ―Aku sudah sembuh.‖ ―Kau masih belum sadar....‖ Jeo Rin menahan tawa. Ia jelas-jelas sudah

membuka mata dan mengajak gadis itu bicara tapi rupa-rupanya Shin Bi masih belum menyadarinya. Gadis itu rupanya memang masih lemot seperti dulu.

―Aku akan sadar kalau kau bilang kau mencintaiku... lalu menciumku.‖

―....‖ ―Ayo, cepat!‖ ―Aku mencintaimu....‖ ―Ciumnya?‖ Baru saat itulah Shin Bi sadar dirinya sedang dikerjai

Jeo Rin. ―Oppaaaa! Tega-teganya mempermainkan aku!‖ ―Loh... kau yang lemot...,‖ ujar Jeo Rin membela diri

lalu terbatuk-batuk. ―Rasakan. Itu hukumannya karena sudah

mengerjaiku....‖ ―Shin Bi-ah....‖ Shin Bi menatap Jeo Rin. Pemuda itu memberinya

isyarat untuk mendekatkan wajahnya. Jeo Rin ingin membisikkan sesuatu.

―Apa, sih sampai harus bisik-bisik?‖

Page 49: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

49

Begitu wajah Shin Bi mendekat, Jeo Rin dengan cepat mencium bibirnya hingga wajah gadis itu memerah.

―Kau mau ikut pulang ke Seoul bersamaku, kan?‖ Shin Bi tersenyum lalu ia mengangguk. ―Dan aku masih ingin merayakan ulang tahunmu

meski sudah terlambat.‖ ―Tapi sebelum itu, kau harus sembuh dulu.‖

Page 50: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

50

Page 51: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

51

Penulis: Tania Mutia

Tatapanku tidak lepas dari dua pasangan yang baru saja mengikat janji mereka. Bukan. Bukannya aku cemburu, iri atau memandang mereka dengan penuh ketidaksukaan. Kedua pasangan itu sama-sama berparas oke, bahkan aku pun berani mengakui kalau diriku tidak seperti kedua pasangan itu malam ini.

Entahlah, seperti ada pancaran aura yang membuat mereka berbinar. Atau memang seperti itu adanya jika dua sejoli saling berkomitmen, menyatukan janji-janji mereka.

Namun di pikiranku berkecamuk beberapa hal yang tidak kumengerti terjadi di sini. Entah bagaimana aku bisa berprasangka buruk pada gadis yang berparas elok itu. Bahkan jika ditanya sekarang, apakah aku tidak suka dengan kelembutan gadis itu dan senyumnya yang manis—saat aku bersalaman dengannya tadi—tentu kebohongan besar kalau aku menjawabnya dengan jawaban yang sama seperti jawaban ketusku dulu.

Page 52: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

52

Bagaikan aurora yang terlukis di langit malam ini dengan pancarannya, perempuan yang dulu kucurigai itu memberikan warnanya tersendiri di pelaminannya. Menghapus semua kecurigaan menjadi sebuah misteri yang tidak aku ketahui. Bahkan kotaku, kota Tromso yang dengan aurora borealis-nya seakan turut memeriahkan pestanya.

―Hei, ngapain di sini?‖ tanya gadis yang tiba-tiba datang menghampiriku yang sedang memutar-mutarkan jari di bibir gelas di tanganku. Sejak tadi takjub dengan entitas yang menjadi pusat perhatian itu.

―Ya, menghadiri pesta yang kau minta kuhadiri,‖ jawabku. Tatapan sahabatku seakan berkata kalau itu ia juga tahu.

―Kenapa sih, kamu harus mengundangku di acara ini? Kalau tidak karena kakakmu, mungkin—―

―Kau pasti datang? Memangnya kau tahu nama perempuan itu sebelumnya?‖ sergah temanku dengan bangganya, seperti melupakan bagaimana dulu aku menceritakan setiap detail sikap aneh dari istri kakak Veraldine itu, terutama jika aku berada di dekatnya.

Hanya pandangan terkejut, tidak menyangka dengan apa yang kudengar, yang kuberikan padanya. Seperti dikhianati sahabat sendiri, aku terpojok dalam kecurigaanku yang tak berfakta. Tapi apa yang harus kucurigai lagi pada perempuan itu? Tidak ada, kecurigaanku tentang perempuan itu ternyata salah. Dan aku sempat menyesal karena membunuh rasa yang pernah kumiliki untuknya, dulu.

Parasnya yang tirus dengan bibirnya yang mungil tidak akan membuat orang membencinya dan mungkin tidak akan membunuh rasa yang sama dengan yang kurasakan dulu jika tidak berpikiran sepertiku.

―Apa? Apa yang kau sembunyikan dariku? Kau tidak cerita kalau perempuan yang akan dinikahi kakakmu adalah dia,‖ ujarku.

Page 53: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

53

Aku sekarang malah menaruh kecurigaan pada sahabatku. Baru kali ini aku mendapati sahabatku menyembunyikan sesuatu dariku. Bahkan aku merasa terkhianati olehnya. Tidak ada satu rahasia pun yang bisa kita saling sembunyikan, tapi sekarang… aku kecewa pada sahabatku.

Siapa yang tidak akan merasa dikhianati kalau gadis yang berada di sampingku, yang telah menjadi sahabatku sejak kecil, tidak mengatakan hal yang sejujurnya; berkaitan dengan apa yang selama ini salah kucurigai. Dan sekarang, aku bisa membayangkan kalau sahabatku dulu mendengarkanku sambil tertawa dalam hati, mengejekku.

Sungguh ironis. Lebih ironisnya lagi, ia malah terkikik kecil saat ini,

menahan tawanya agar tidak meledak. Aku tahu itu. Aku tahu dia mengingat kembali kata-kata yang kuucapkan. Dia, gadis yang memiliki ingatan baik, biasanya dapat mengingat setiap detail kata yang kuucapkan.

―Aku tidak menertawakanmu, tenang saja,‖ gumamnya melihat raut mukaku yang mungkin bersemburat merah. Marah atau malu, mungkin keduanya kurasakan saat ini.

Bohong. Aku tahu sahabatku berbohong. Matanya yang terfokus pada kedua pasangan muda di depan tidak dapat menipuku. Sejak kecil aku berteman dengannya bahkan dulu saat kami masih kecil, tanpa canggung kami tidur bersama dalam satu tenda di bawah langit malam terpanjang. Wajar saja kalau aku memahaminya dengan baik.

―Tapi dia memang lesbian, kan?‖ tanpa sadar aku bertanya hal yang kusalahi sendiri, mengulang kembali masa lalu tentang kecurigaanku.

Kebenaran harus kucari tahu, begitu yang ada di pikiranku. Dari sahabatku ini lah mungkin aku bisa

Page 54: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

54

mengetahuinya. Dengan begitu aku bisa sedikit lega tidak dibayang-bayangi perasaan bersalah yang terus-menerus.

Lalu—

Tanpa alasan yang jelas aku berteriak-teriak pada

kakakku untuk meninggalkan gadis yang baru dikenalnya sebulan lalu. Gadis yang baru saja pindah di musim panas ini, di saat kota kami menunjukkan siang terpanjangnya.

Kakakku mengira aku kepanasan di suhu yang tidak bisa kukatakan sebagai suhu karena panasnya yang ekstrim meskipun kami selalu melalui siang terpanjang di musim panas. Matahari hanya tidak tenggelam di malam hari.

Aku sungguh kaget mendengar kakakku memutuskan menikah dengan gadis yang tidak dikenalnya dengan baik—kukatakan begitu karena ia tidak kalau gadis itu…

―Dia LESBIAN, Ray,‖ ujarku berkali-kali dan pendapatku selalu bisa dipatahkan kakakku. Dengan yakin dia selalu memarahiku karena satu kata itu.

―Dia les—,‖ ah sudahlah. Aku memang tidak punya bukti. Bisa dikatakan ini

semacam fitnah dariku, seperti apa yang dikatakan kakakku. Tapi aku juga mempercayai sahabatku sendiri. Sahabatku yang sudah bertemu secara tak sengaja dengan gadis itu di persimpangan jalan menuju taman yang mengarah ke laut ketika ia bermain ke rumahku.

―Dia pasti lesbian, Din, ‖ ujar sahabatku dari telepon rumahnya lagi kali ini. Seperti mengetahui apa yang terjadi di rumahku dia meneleponku dengan tiba-tiba dan mengatakan hal yang sama lagi, lagi, dan lagi.

Aku percaya tapi… aku percaya kakakku juga. Ini sudah kesekian kalinya aku mendengar Raley menyebut-nyebut gadis itu lesbian.

Page 55: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

55

Aku tidak benar-benar percaya. Tidak terlalu percaya kalau tidak kubuktikan dengan

sendiri. Otakku berpikir dengan cepat, tidak ingin menampilkan kekurangpercayaanku pada sahabatku sendiri.

―Aku tahu, itu sudah kau katakan berulang kali,‖ kataku dengan nada yang tenang.

Siang yang panjang tidak menjadikanku bagai cacing kepanasan. Masih berpikir bagaimana cara agar Raley mau memberikan bukti padaku tanpa ia tahu hubungan antara kakakku dan gadis itu. Aku tahu ia akan sangat kecewa pada gadis itu tapi aku tidak mau melihatnya menjadi gusar juga dengan diriku yang tidak benar-benar percaya padanya.

―Hmm…,‖ sejenak aku masih berpikir. ―Kau tidak benar-benar percaya, aku tahu,‖ sergah

sahabatku yang berhasil menangkap kekurangpercayaanku. Kupikir itu wajar baginya bisa mengetahuinya dengan mudah. Raley sudah sekian lama bersahabat denganku, bahkan jari-jari pun tidak cukup untuk menghitung berapa bulan kebersamaan kami.

―Tidak, aku percaya,‖ aku masih saja berusaha menutupinya, ―Bagaimana kalau kita lihat sama-sama gadis itu, tunjukkan padaku! Biar tidak ada kesalahpahaman,‖ kataku dengan tepat pada poinnya. Alibi ‗kesalahpahaman‘, itulah yang aku butuhkan.

―Oke, aku ke tempatmu,‖ katanya. Sesuai dugaanku, sahabatku dengan cepat

mengiyakan permintaanku, mungkin dia terbakar emosi, aku tidak tahu pasti. Yang terpenting saat ini ialah mencari kebenaran.

Tempat terbaik untuk mengintai tentu saja semak-

semak tinggi. Rencana sudah kususun dengan baik, aku bersembunyi, Raley menghampirinya. Raley cukup mendekatinya dan mengajaknya ngobrol, kalau perlu dia

Page 56: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

56

harus menunjukkan adegan yang sama dengan yang terjadi sebelum pertama kali dulu dia berteriak-teriak di telepon mengatakan gadis itu lesbian. Hal apa yang membuatnya yakin?

Tidak menyenangkan berada di posisi yang menguping dan mengintai, tapi ini harus kulakukan demi kakakku dan Raley juga, mungkin. Mungkin akan lebih mudah jika aku yang berada di posisi Raley untuk mengetahuinya. Tapi itu tidak berarti apa-apa kalau aku tidak melihat Raley memang berkata jujur.

Rencana kedua, aku berada di posisi Raley jika dia gagal menunjukkan keganjilan pada gadis itu.

Tidak peduli ada hewan kecil yang mengigit kakiku, tidak peduli pada tanaman yang mengelitik badanku dan sesekali membuatku terpaksa mengaruk badanku dan meninggalkan bekas merah di kulitku, aku menajamkan telinga dan pandanganku.

―….‖ Aku terperanjat melihat yang terjadi pada gadis itu.

Ia berteriak. Tidak, dia tidak berteriak, entahlah, hanya suara Raley yang kudengar dengan jelas. Gadis itu menghentikan kegiatan membacanya dan menghamburkan bukunya tepat di muka Raley.

Tidak, itu belum bisa menjadi bukti kalau gadis itu lesbian, itu hanya menunjukkan kalau gadis itu takut pada Raley. Semula gadis itu hanya menggeser-geser badannya hingga ke ujung bangku yang didudukinnya.

Kenapa? Apa yang diperbuat Raley? Sependengaranku Raley hanya mengatakan kalau musim panas seperti ini sudah menjadi hal biasa bagi penduduk kota menikmati siang yang panjang bersama matahari. Tidak ada perlakukan kasar yang diperbuat Raley. Tidak ada. Hanya kalimat-kalimat biasa—ya, meskipun tidak begitu sopan, tapi itu biasa saja menurutku.

Page 57: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

57

Mungkin dia memang lesbian. Tapi, tidak mungkin, sikap seperti itu tidak menunjukkan tanda-tanda lesbian. Mungkin dia bi—mengingat dia mau menikahi kakakku—simpulku.

Rencana kedua harus dijalankan. Kupanggil Raley dengan kode suara yang sudah kita sepakati, sebelum amarahnya meledak. Raley meninggalkan gadis itu lebih cepat dari perkiraanku.

Saat Raley menjauh, kulihat gadis itu kembali duduk dan malah tersenyum pada gadis yang berjalan menujunya. Wajar saja, itu sering kuperbuat. Pandanganku kemudian terarah pada Raley yang menuju tempatku. Beralih lagi pada gadis itu dan—

―….‖ Aku tidak menemukannya di bangku tadi namun

gadis itu menghampiri gadis yang baru saja datang itu dan bibir mereka saling bertautan sesaat. Dengan cepat aku menarik Raley dan mengarahkan wajahnya pada gadis yang belum ku ketahui namanya. Dia…

―Bi, Ral. Bi….‖ Raley tidak melihat jelas adegan tadi, yang dia lihat

kini punggung gadis itu. ―Bi…‖ wajah temanku kebingungan, dan aku hanya

bisa menahan nafas, ―Lesbian maksudmu?‖ tanyanya yang kujawab dengan anggukan. Bisa kulihat senyum puas di bibir Raley.

Ia memang tidak berbohong. Rencana kedua tidak perlu dilakukan. Detik ini, aku

menyimpan rahasia kalau gadis misteri itu adalah Bi, sedangkan temanku menyimpan rahasia kalau gadis itu adalah Lesbian.

Sampai aku mengetahui kebenaran yang sebenar-benarnya.

Page 58: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

58

—aku kecewa. Meskipun malam ini malam terpanjang kota kami

yang juga diliputi dengan lukisan langit beraurora, tapi hatiku kecewa karena sahabatku benar-benar mengkhianatiku. Ini pertama kalinya aku kecewa dan benar-benar menyakitkan. Rasanya seperti malam panjang tanpa keindahan langit, gelap dan hampa.

Kutinggalkan dia yang melamun tidak meresponku dan hanya cekikikan sendiri.

―…,‖ kutolehkan wajahku melihat tanganku yang ditarik oleh sahabatku.

―Kau ini…,‖ geramnya, ―kenapa meninggalkanku begitu saja?‖ tanyanya tanpa rasa bersalah dan malah memarahiku.

―….‖ Aku tidak menjawabnya dan memperlihatkan

tatapan datar lalu berbalik mengambil makanan kecil di atas meja bundar. Aku belum makan apa-apa dari tadi, napsu makanku hilang karena sahabatku tidak jujur. Makanan kecil hanya untuk menganjal perutku saja.

―Kau marah, ya?‖ Iya, dalam hatiku. Dulu aku tidak bisa marah kalau

dia sudah berkata seperti itu. Tapi kali ini, sangat mengecewakan, apalagi dia tahu apa yang dulu kurasakan pada gadis itu setelah mengira ia lesbian. ―Dia bukan lesbian, tapi—― ―Dia bi, kan,‖ gumamku memotong kalimatnya. Aku ingat waktu itu gadis mungil yang menjadi sahabatku ini mengatakan ‗bi‘ yang dulu kupikir ia mengatakan lesbi. Veraldine malah tertawa. Aku beranjak lagi meninggalkannya. Tidak ingin mendengar ejekannya. Sekali lagi aku kecewa. ―Dia bukan bi, Ral,‖ gerutunya sebelum aku pergi lebih jauh. Dan aku terhenti. Lalu—aku berbalik badan

Page 59: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

59

menghampirinya. Bukankah ini saatnya aku mencari tahu kebenaran. Bodohnya aku harus ngambek sebelum mendengarkan penjelasan sahabatku. ―Dia bisu dan tuli.‖

Aku terperanjat mendengar dua kata itu. ―Aku sudah tahu dia akan menikah dengan kakakku,

saat kita mengintainya dulu,‖ lanjutnya lagi melihat keterkejutan di wajahku. Yah, aku butuh penjelasan yang lebih detail lagi. ―Tapi biarlah kau mengetahuinya sebagai lesbian dan aku sebagai bi, karena saat itu aku tidak mau kau tahu kakakku menikah dengan… kau tahu maksudku kan!‖ sambungnya lagi. Cepat-cepat kutarik tangan sahabatku untuk mencari tempat di sudut dekat jendela agar lebih nyaman membicarakan hal tersebut, tidak di tengah-tengah tamu yang lain. Kuputar kembali kejadian-kejadian antara aku dan perempuan itu. Awal kumelihatnya dan berbicara padanya, ia memang tidak pernah meresponku dan hanya sesekali melirikku. Kupikir itu karena dia pemalu. Setiap hari aku menghampirinya dan dia mulai meresponku dengan menjauh dari tempatku duduk kala itu. Hingga pada saat itu aku melihatnya mencium bibir seorang gadis setelah aku menyatakan cintaku dan direspon kasar olehnya karena aku memaksanya untuk mendengarku.

Bagaimana bisa aku tidak dapat menebaknya bisu dan tuli? Aku terlalu cepat menyimpulkan. Tapi— ―Lalu gadis yang kau lihat saat itu?‖ tanyaku penasaran. ―Dia kakak perempuannya,‖ kini dia benar-benar tertawa tanpa ditahan dan aku pun ikut tertawa. Kesimpulan sementaraku, tidak hanya aku yang salah paham.

Tapi masih ada yang mengganjal pikiranku.

Page 60: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

60

―Kau tidak pernah menanyakan, kenapa dia kasar padaku,‖ tanyaku lagi. ―Itu karena kau yang lebih dulu kasar padanya, dia mempunyai trauma pada laki-laki.‖ Aku hanya mengangguk-angguk seraya memandang gadis yang dulu kusukai. ―Tapi kakakmu?‖ kali ini aku hanya bertanya. ―Kau tidak tahu kakakku itu lembut, ya. Tidak sepertimu, mana ada yang suka padamu kecuali—‖ jawab sahabatku yang memandang ke arah langit malam ini. ―Namanya Aurora, dia cantik ya‖ katanya lagi. Pandanganku terarah mengikuti pandangannya. ―Kalau itu aku tahu namanya aurora, iya cantik,‖ tawaku kecil, ―Dan aku tahu kalau kota kita dijuluki ‗Paris di Utara‘, tidak perlu kau beri tahu lagi,‖ tawaku belum berhenti. ―Bukan, nama gadis itu Aurora, bodoh,‖ cemberut, merengut tidak seperti biasanya. Meninggalkanku begitu saja. Memangnya aku salah lagi ya?

Kubuka kembali undangan di balik jasku dan kulihat nama pengantin perempuannya adalah Aurora.

Gadis bisu dan tuli itu menyimpan banyak kejutan, seperti kotaku yang penuh pesonanya meskipun siang dan malam memiliki waktu panjang yang berbeda dari kota lain. Dan terakhir kutahu, kalau Aurora pindah ke kotaku karena orangtuanya mencintai kotaku karena aurora terbaik di sini sama seperti mereka mencintai Aurora, anak mereka, dengan kekurangannya.

Veraldine, sahabatku masih ngambek karena Aurora, kenapa ya? Seharusnya aku yang ngambek padanya karena dibohongi sebelumnya.

Page 61: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

61

Penulis: Juliana Wina Rome

JAKARTA

Pertama kali mendarat di kota ini yang ada di benakku adalah aku bakal buta terhadap jalan. Bingung. Sangat luas dan banyak jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai suatu tempat tertentu. Bisa lewat jalan besar kalau ingin menikmati macet atau melalui jalan tikus yang amat rumit jika mau cepat sampai. Astaga. Sungguh, kepalaku langsung pusing. Belum lagi udara panas yang rasanya seperti membakar kulit. Semangat yang berapi-api ketika berangkat dari kampung halaman langsung padam seketika. Membayangkan situasi kotanya saja sudah membuatku mual. Dan nanti aku harus menjalaninya setiap hari. Namanya juga mau bekerja dan mengumpulkan uang, memang harus kerja keras. Sesulit apapun tempat yang ditinggali harus diterima dengan lapang dada.

Page 62: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

62

―Kenapa, Win?‖ tanya Omku. Sejak mendarat, masuk mobil dan berada di dalam perjalanan menuju rumah Omku, aku hanya diam menikmati pemandangan di jalan yang penuh dengan mobil-mobil dan semua jenis kendaraan berbaris karena macet. ―Nggak apa-apa, Om.‖ ―Bingung yah lihat Jakarta?‖ ―Pusing.‖ Omku tertawa sambil terus fokus menyetir. ―Nanti lama-lama terbiasa kok. Enjoy!‖ Dalam hati, enjoy? Rasanya aku ingin kembali lagi ke airport dan pulang ke Malang. Tapi tidak mungkin begitu, aku sudah diterima bekerja di salah satu perusahaan dan harus segera mulai bekerja. Omku berbicara lagi dan memberitahu bagaimana caranya naik angkot. Memberikan trik -triknya agar aku tidak jatuh di saat berdesak-desakan, menghindari copet ataupun serangan hipnotis dari orang-orang yang bermaksud jahat. Aku menelan ludah dan merasa gemetar. Wajar jika di kota sebesar Jakarta banyak terjadi tindak kriminal. Lalu Omku menambahkan lagi, tips memilih taksi. Kepalaku semakin berputar-putar. Ternyata tidak seindah seperti yang aku bayangkan. ―Kamu kayaknya nggak semangat gitu?‖ Aku tersenyum paksa. ―Belum apa-apa sudah keder. Aku dulu juga gitu. Tapi akhirnya betah tinggal di Jakarta. Semangat, dong!‖ Omku yang baik hati itu terus memberikan motivasi untukku. Dia ingin mendidikku menjadi perempuan yang mandiri, tegar dan tahan banting. Dan memang, kota yang cocok untuk melakukan training ala militer itu harus di Jakarta. Disebut sebagai kota metropolitan, ibukota Indonesia ini memang gemerlap. Orang daerah sepertiku

Page 63: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

63

pastinya merasa takjub melihat suasananya. Banyak lampu-lampu indah yang menyala dengan terang dan penuh warna, gedung-gedung perkantoran yang kebanyakan menjulang tinggi, tempat-tempat belanja, sampai café-café keren seperti di luar negeri bertebaran di seluruh penjuru. Penduduk di kota Jakarta saja berjumlah sekitar 10 juta. Sedangkan keseluruhan untuk wilayah Jabodetabek sudah mencapai lebih dari 28 juta jiwa. Gila! Terlihat padat. Banyak orang berbondong-bondong datang ke kota besar ini untuk mengadu nasib. Termasuk aku tentunya. Awal mula aku tinggal di Jakarta, aku lalui dengan penuh keluhan. Mungkin karena aku terbiasa tinggal di kota kecil yang semuanya serba mudah. Mau kemana-mana dekat, udaranya sejuk dan tersedianya makanan yang bersih dan murah. Sementara bagiku tinggal di ibukota itu seperti neraka. Pergi kemana pun terasa jauh karena macet, polusinya pun mengerikan dan makanan yang bersih hanya tersedia di mal ataupun restoran. Harganya selangit. Ingin menghemat dengan membeli di warteg, tapi tampak jorok. Dalam hal ini aku yang melihat cara mereka mencuci peralatan makan yang kotor. Aduh! Mampus! Air yang sudah sangat keruh itu tetap saja di gunakan untuk membilas. Fiuh! Jika sudah stres, aku akan menangis. Untung saja aku bisa berbagi cerita dengan Omku. Kalau sudah begitu, dia akan mencoba menenangkan dan membeberkan kisahnya dulu. ―Kamu masih enak. Tempat kos kamu itu tinggi letaknya. Nggak kena banjir. Coba rumah kontrak Om dulu. Banjirnya bisa sampai sepinggang.‖ Aku makin melongo. Membayangkan listrik mati, banjir, kepanasan dan tidak bisa keluar rumah untuk membeli makanan. Inilah salah satu yang paling aku syukuri

Page 64: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

64

selama tinggal di Jakarta. Aku tidak pernah merasakan penderitaan terkena banjir. ―Sudahlah. Jangan putus asa dulu. Jalani dengan penuh kesabaran. Nanti banyak manfaat yang bisa kamu petik kalau semua kerasnya hidup di Jakarta bisa kamu lalui.‖ Dan Omku memang benar! Aku mencoba menikmati. Perlahan-lahan. Walaupun sulit, belum lagi homesick yang sering mendera, aku menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya dan berjanji pada diriku sendiri bahwa aku harus bisa. Pertama, aku menikmati enaknya shopping di Jakarta. Namanya cewek, pasti yang dicari tempat itu. Setelah mempunyai banyak teman disana, akupun sering membuat janji dengan mereka untuk menjelajah banyak sudut di ibukota. Tidak hanya shopping, kuliner juga pasti ikut serta. Ternyata yang namanya makan di warung-warung atau resto-resto kecil amatlah menyenangkan. Aku sudah tidak peduli lagi dengan kejorokannya. Kata teman-temanku, makin jorok makin sehat plus kuat. Busyet, yah! Dan yang namanya Jakarta, punya banyak berbagai jenis makanan. Mereka sangat kreatif. Mulai dari makanan ringan sampai menu berat. Makanan Indonesia, Western, Chinese, Japanese, Korean, any country. Tinggal pilih! Keren. Coba di Malang, mana ada. Kalaupun tersedia, aku rasa tidak selengkap Jakarta. ―Kamu, kok gendut sekarang, Win?‖ ―Kebanyakan makan, Om!‖ ―Wah, sudah mulai betah, nih kayaknya.‖ ―Enak ternyata di Jakarta.‖ ―Pantes aja Papa Mama kamu bilang kalau kamu jarang pulang.‖ ―Abis daripada duitnya buat beli tiket, mending shopping dan kuliner, Om.‖

Page 65: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

65

―Awas, jangan kebablasan. Ntar jadi boros biasanya kalau nggak direm.‖ ―Siap, Om! Pasti aku atur, kok. Nggak ngawur.‖ ―Bentar, bentar. Kamu keliatan PD juga. Wah, wah. Siapa ini yang ngajarin?‖ Omku memperhatikan penampilanku. Aku langsung tertawa. ―Masak, sih, Om? Emangnya dulu keliatan meragukan gitu?‖ ―Iya. Kayak nervous aja. Mau apa-apa nggak pernah yakin. Terus ngawur kalau pakai baju.‖ Aku tertawa keras. ―Wuih, ngawur, euy. Slengekan gitu ya, Om. Mungkin karena pikirannya ke Malang terus dulu.‖ ―Nah, betul itu. Kamu itu harus keluar dari comfort zone. Fight! Hidup nggak aka nada seninya kalau cuman gitu-gitu aja.‖ ―Terima kasih banyak, ya, Om. Aku sudah mulai terbiasa dan menikmati tinggal di Jakarta.‖ ―Jalan-jalan sudah hapal, dong sekarang?‖ ―Lumayan.‖ ―Good.‖ sahut Omku. Dia tersenyum lega. Secara tidak langsung aku sudah berhasil melewati fase-fase training ala militer yang sulit di Jakarta. Aku mulai menyukainya. Ah, ketika menuliskan cerita ini, aku jadi kangen Jakarta. Aku sudah menetap lagi di Malang setelah membawa pulang semua ilmu dan pengalaman selama berada di Jakarta. Sungguh itu sangat bermanfaat buatku. Justru aku sekarang malah sering membanding-bandingkan antara Malang dan Jakarta. Salah satu yang paling aku rindukan adalah mal dan perawatan untuk cewek, facial dan body treatmentnya, murah dan lengkap. Ya ampun, harus aku akui Jakarta adalah kota

Page 66: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

66

serba ada. Mau beli alas kaki trendi dengan harga miring, tinggal ke Pasar Baru. Mulai sepatu, sandal, bot, kets sampai bakiak. Mau beli baju dengan model apa saja tinggal ke Tanah Abang, Mangga Dua, mal Ambasador atau Plaza Semanggi. Dua tempat terakhir itu adalah mal favoritku. Selain dekat dengan tempat kos, semua busana kantor yang keren ada tersedia. Dan masih banyak lagi.

Tempat-tempat yang sering aku kunjungi yaitu yang aku sebutkan tadi. Jangan sampai lupa dengan Tebet area, Jakarta Selatan. Hmm, banyak makanan enak disitu. Oh, ya, aku sempat mengeluh dengan panasnya udara Jakarta. Ternyata itu bagus buat kulit, lho. Aku yang hitam jadi sedikit lebih cerah dan bersih. Setiap aku pulang kampung semua orang bilang aku terlihat lebih kinclong. Sekarang…? Kusam lagi, deh.

Ah, I miss living in Jakarta.

Page 67: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

67

Penulis: A. Masyitta

Dulu, aku kesulitan memberi jawaban ketika seseorang menanyakan apa arti ‗rumah‘ bagiku.

Ketika itu aku hanya seseorang yang terlalu belia dan dibuai segala naïf dan keegoisan. Tak penting bagaimana sesuatu bermakna. Seperti juga ‗rumah‘, yang kala itu hanya sebatas sebuah objek penunjuk tempat tinggal. Kata umum yang familiar didengar. Tak harus ada arti terlebih filosofi lebih dalam tentangnya—pikirku saat itu.

Namun aku baru benar-benar memahami maksud dari pertanyaan itu dan bagaimana menjawabnya, ketika aku mengangkat langkah meninggalkan ‗rumah‘ menuju satu tempat yang jauh untuk kutinggali demi pendidikan dan selanjutnya, karir. Dua hal yang saat itu kuanggap sebagai alasan yang tak terbantahkan untuk dijadikan prioritas di atas apa pun. Termasuk ‗rumah‘ku. Kota kelahiranku.

Tempatku mengistirahatkan raga yang lelah, menjernihkan pikir yang keruh, melabuhkan keluh. Bahkan

Page 68: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

68

tanpa rentet kata penghiburan panjang segera kudapat kesembuhan atas segala kontaminasi dunia luar begitu kakiku melintasi ambang masuknya. Tempatku pertama kali belajar cara melukis senyum, mencipta tawa bahkan menggurat sedih. Tempatku membentuk apa yang kemudian menjadi identitasku, lebih dari sekedar pemuda yang hanya tahu dunia dari balik kacamata lugunya. Tempatku menoreh kuasan-kuasan awal kenangan yang lalu tersimpan kokoh dalam ruang ingatanku, menjadi dasar dari segala diri yang kubawa dalam petualangan lebih panjang bernama hidup.

Jawaban-jawaban itulah yang membuatku tak mampu menahan antusiasmeku sedari awal aku membawa diriku naik ke dalam burung besi yang akan menerbangkanku kembali dari perantauanku di negara yang disebut adikuasa itu, kembali pada tempat yang memiliki asalku.

Satu kota kecil bernama Malang. Tak senada dengan nama yang disandangnya, kota kelahiranku ini dianugerahi sejuta pesona. Sulit kusebut celanya dan sekedar indah tak cukup untuk menggambarkannya. Jika ada satu kata dalam ranah berpuluh tingkat di atas indah, maka itulah yang akan kugunakan untuk menjabarkannya.

Aku lahir dan besar di salah satu sudutnya, pada satu petak wilayah kecil di kaki gunung. Pagi hariku biasa diawali dengan sinar matahari menyelinap membentuk garis-garis cahaya di lantai kamarku. Siang tak pernah ternodai terik, awan dan angin senantiasa bersahabat dan menghadiahi sejuk sepanjang hari ketika kami beraktivitas. Kawanan pepohonan, rendah dan tinggi, begitu ramai meneduhi. Juga semak dan perdu, penghasil buah dan bunga, begitu dekat dan akrab seolah menjadi bagian dari penduduk kota. Pada puncak-puncak palem yang menjejeri koridor jalan besar sering kutemui burung-burung bersarang

Page 69: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

69

dan mengepakkan sayap berputar-putar di atasnya. Bagai pertunjukan alam di mataku.

Senja memanjakan mata dengan hampar awan tipis disepuh jingga ketika matahari yang berangkat ke peristirahatannya perlahan hilang disembunyikan gumpal-gumpal bagai kapas itu, menyusup di antara pertemuan gunung-gunung yang menyibak bagai tirai.

Dan malam adalah waktu favoritku. Sebagian besarnya kuhabiskan dengan membawa kaki-kakiku mendaki, berlari dengan napas terengah tersembunyi desah riang, menuju apa yang aku—kami—sebut dengan Bukit Bintang.

Dari landaian dekat puncak beralas rerumputan rendah yang menggelitik lembut kaki-kakiku yang telanjang, hanya butuh satu tengadah kecil hingga pemandangan itu tertangkap penglihatan. Kerlip tak terhitung menitiki pekat langit, cemerlang menyinari gelap malam. Memancar, terkadang bergerombol, seolah di atas sana terdapat helai dunia lain dengan bintang-bintang itu sebagai penghuninya, berlomba-lomba mempercantik malam. Aku biasa mencipta nama bagi tiap koloni bintang baru yang mampu kukenali. Aku bahkan membuat peta langitku sendiri, dengan konstelasi-konstelasi itu sebagai pulau dan labur langit sebagai samuderanya.

Aku tidak sendiri—biasanya. Seorang gadis kecil seringkali ada di sana bersamaku, mendatangiku dengan langkah kekanakannya yang limbung, menanyaiku tanpa lelah tentang tiap keredap yang dilihatnya dengan celotehnya yang belum sempurna, ikut tertawa meski tidak paham pada kisah lelucon yang kukarang dengan kelap-kelip itu sebagai lakonnya. Ia tinggal dengan seorang nenek dalam satu rumah mungil tak jauh dari sana, tempatku biasa singgah untuk sekedar secangkir teh hangat sembari menikmati sudut

Page 70: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

70

lain pemandangan itu dari beranda mereka, ditemani keramahan keduanya.

Ya, keramahan. Barangkali itulah yang kurindukan akan kotaku melebihi segala vistanya. Satu hal yang tidak sepenuhnya dapat kutemui di negara yang berikutnya kusebut tempat tinggal.

Bukan berarti wajah-wajah yang kudapati di sana semerta-merta dingin dan enggan membuka lengan menyambut. Mereka toleran, mereka berhati lapang, mereka tahu cara menghormati seseorang sekalipun yang bukan berasal dari golongan sama. Kudapatkan kawan di sana, kurasakan pula senang dan nyaman di sana—namun tak mampu kubuat setara dengan kotaku. Rumahku.

Maka jangan heran jika melihatku begitu bersemangat untuk segera melihatnya kembali. Tenang adalah perangaiku yang biasa, tapi hari ini aku merasa bagai bocah yang melonjak tak sabar untuk melihat mainan yang sudah lama diinginkannya. Bandara telah kucapai, dan kupanggil taksi untuk mengantarku melintasi Kota Pahlawan, menuju kotaku. Perjalanan pulangku melewati langit menghabiskan waktu panjang dan melelahkan, maka aku pun segera terlelap tak lama setelah kututup pintu dan kusebut destinasi pada pengemudi.

Biarlah. Biar kujadikan ini bagai hadiah kejutan bagi diriku sendiri. Agar ketika kuizinkan lagi mataku membuka, yang pertama kulihat adalah keelokan yang kurindui. Kubebaskan kesadaranku pada alam mimpi, senyum tersampir di wajahku. Hanya beberapa putaran jam hingga aku akhirnya sampai. Pulang.

Tapi seperti yang telah lama kupelajari sejak lama, kejutan tak selalu menyenangkan.

Aku terperengah dengan apa yang kulihat melalui bingkai jendela. Kilasan-kilasan yang kutangkap sembari bergerak bersama kendaraan yang kutumpangi tak seperti

Page 71: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

71

yang kujanjikan pada diriku sendiri sebagai hadiah—kejutan. Kata asing dengan huruf-huruf besar terpeta dalam pikiranku.

Kawanan pepohonan dan perdu yang dulu begitu mudah kutemui tak ada lagi, digantikan batang-batang beton dalam rangka bangunan. Hanya sekelompok kecil pohon yang bisa kulihat tersisip di antara rimba dinding buatan tangan-tangan manusia, seolah artifisial adalah yang utama di atas yang alami. Burung-burung yang dulu menghias langit di antara pepohonan hilang sudah, entah tak lagi betah atau terusir. Meski aku berada dalam perlindungan tubuh mobil, bisa kulihat terik menerpa dataran di luar sana, sesuatu yang dulu tak perlu kutemui dengan segala sejuk nyaris menggigilkan.

Tak jauh berbeda dengan kota lain yang kutinggali. Perkembangan zaman dan inovasi yang dihasilkannya merubah wajah kota, perlahan-lahan mengikis paras yang menganyam identitasnya. Seharusnya aku tidak seterkejut itu. Modernisasi jelas menyebarkan jejaknya begitu luas, membawa segala yang disebut kemudahan-kemudahan yang meningkatkan kesejateraan penghuninya—bukankah itu berarti kotaku telah maju dan berkembang?

Meski dengan pikiran positif itu, tak sepenuhnya aku mampu membujuk diriku untuk menghilangkan kecewa.

Perlahan, kuajari benakku untuk mengobati diri dengan memfokuskan pada sisa-sisa keindahan yang masih kuingat. Aku lega beberapa bangunan peninggalan masa lampau masih berdiri tegak di tempatnya, di antara palem-palem tinggi yang juga bertahan. Semakin jauh menjauhi pusat kota, semakin mudah bagiku menyembuhkan kecewaku. Bulir hijau makin banyak kutemui, dingin udara sayup-sayup bisa kusentuh kembali.

Muka pintu hanya tinggal hitungan langkah dariku. Kuucap salam dan menghampiri pagar, hingga kusadari aku

Page 72: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

72

tak dapat membukanya. Terkunci. Dan tak ada jawab untuk salamku. Barangkali seharusnya aku menghubungi keluargaku terlebih dahulu. Kejutan kedua yang gagal hari ini.

Kutekan angka-angka dan kutinggalkan pesan, sebelum kuangkat kembali ransel ke salah satu bahuku, menyeret langkahku menjauh, mendaki. Aku tak lagi berlari. Tak juga riang. Pun berharap apa-apa. Bersiap menerima seberapa pun perubahan yang akan kutemui berikutnya.

Tidak. Bukit Bintangku tak lenyap. Rerumputan masih menjadi permadani yang menutupi tanah lembutnya. Angin yang kusukai masih setia berhembus, meski tak banyak lagi bisik di antara dedaunan yang bisa kudengar. Kujatuhkan beban di bahuku, menghempaskan tubuhku, berbaring terlentang dengan kedua tangan terlipat di bawah kepala, menatapi biru yang menaungiku. Memandanginya berubah warna seiring waktu yang berlalu. Perlahan pudar dalam jingga, memerah hingga menelan segala pemandangan bersamanya sampai semburat malam menyeka sisa hari.

Tak ada yang berubah, kecuali dongak bukanlah gerak yang benar jika ingin mencari kumpulan kerlip itu. Lirik ke bawah, di sanalah noktah-noktah yang lebih terang berada. Dari bohlam-bohlam yang menghiasi bidang-bidang dinding kaku dan menerobos ke luar kisi-kisi jendela kacanya. Beragam warna, dari remang kekuningan hingga putih terang. Cantik, harus kuakui. Gemerlap yang paling mendekati bintang di antara hiruk pikuk kota. Tapi kalau boleh memilih, dan jika bisa kuwujudkan semudah menjentikkan jari, aku lebih suka melihat lautan bintang di atas sana.

Aku mendesah, berat, dan kuangkat tubuhku untuk duduk. Barangkali aku harus berhenti mengeluh. Berhenti membiarkan diriku diselubungi kecewa yan berlarut-larut. Toh kotaku bukannya lenyap sama sekali, bukannya secara

Page 73: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

73

keseluruhan melepas wajahnya dan menyerahkannya pada peradaban untuk merombaknya. Nuansa damainya masih terjaga, kesan seolah waktu berjalan lambat masih tersisa, ketenangan yang menyambangi udara masih kentara. Hijau, coklat, dan warna-warni bunga masih memiliki tempatnya. Kotaku masih indah—kucoba meyakinkan diriku. Tapi…

―Oh,‖ Satu suara dalam nada terkejut terdengar dari balik

punggungku. Dengan satu tolehan, kulihat pemilik suara itu—yang kemudian juga membuatku terkejut.

―Mas Lintang? Mas Lintang, kan?‖ Aku memang tidak mengenali suaranya. Tapi aku

mengenali senyumnya, yang kini melengkung dalam, ditujukan untukku. Tak terhitung berapa kali sudah kulihat senyum itu, menemaniku menelusuri sudut-sudut langit untuk menemukan bintang baru. Kini hadir lagi di hadapanku, tanpa langkah tertatih dan irama kekanakan, meski dengan rasa penasaran yang sama.

Segera aku diberondong pertanyaan-pertanyaan, mulai dari ke mana saja aku pergi selama ini, apa yang kukerjakan selama itu, hingga kapan aku tiba. Tiap kalimatnya diucapkan dengan gembira, disertai nada rindu—kalau aku boleh sedikit tinggi hati. Dengan mudah aku menuruti ajakannya dan mengikuti langkah-langkahnya menuju rumah mungilnya, yang masih dengan anggun menghiasi landai bukit itu.

Diceritakannya segala kisah yang terjadi dalam rentang kepergianku, sembari sibuk menyiapkan minuman di dapur kecilnya, meninggalkanku duduk menungguinya di kursi ruang makan. Nenek telah tiada. Kabar yang sudah kuketahui, yang dulu menusuk ulu hatiku dengan kesedihan tak terkira ketika mendengarnya. Namun ketika aku berada di sini, di antara dinding-dinding kayu berhias foto-foto berpigura dan lukisan sulam beraneka bentuk itu, entah

Page 74: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

74

bagaimana aku merasakan sesungguhnya ia tak benar-benar meninggalkan kami semua. Seolah kehangatan kedua lengannya yang biasa memeluk menyambutku dapat dengan nyata kurasakan.

Kubawa pandanganku mengitari bagian lain ruangan dan kulihat jejak-jejakku. Gores pengukur tinggi badanku di salah satu kusen pintu, noda menghitam tempatku tanpa sengaja menjatuhkan batang kembang api yang kubawa untuk menyenangkan nenek dan gadis kecil itu hingga larik-larik pensil warna hasil pekerjaan rumah menggambarku pada salah satu sudut dinding. Mereka membiarkannya seperti itu. Bahkan setelah aku pergi.

Seolah mempertahankan rona keberadaanku di sini. ―Silakan.‖ Secangkir teh yang mengepulkan asap halus

disodorkan padaku. Gadis yang dulu hanya kusebut ‗dik‘ itu kini duduk di hadapanku, menyesap kehangatan teh dari cangkirnya sendiri. Seraya melanjutkan ceritanya, tak henti-hentinya ia tersenyum, mengulas senyum yang sama—barangkali lebih lebar—di wajahku. Hingga setelah beberapa lama, ia beranjak bangkit dan kembali dengan membawa sebuah gulungan. Lusuh, menguning, dan tepi-tepinya digerogoti usia. Ketika dihamparkannya lembar itu di depanku, mataku pun terbelalak—kehilangan kata-kata.

Peta bintangku. Peta bintang kami. Coretan-coretannya sebagian telah mengabur oleh masa, tapi aku tahu carik kertas itu disimpan dengan baik. Tak ada kusut, tak ada noda. Titik-titik yang kutoreh mewakili tiap bintang terlihat jelas, sejelas kenangan yang tersimpan bersamanya. Mataku lekat memandanginya, jariku bergerak menelesuri garis-garisnya. Satu rasa membuncah dalam dadaku. Yang tak bisa kuungkapkan dengan aksara.

―Mas Lintang, selamat datang kembali.‖ Aku mendongak. Dan senyum itu menyadarkanku.

Page 75: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

75

Wajah kotaku bisa saja berubah. Pepohonan bisa saja tumbang digantikan dinding-dinding tinggi. Bunga-bunga bisa saja redup digilas semak buatan. Teduh bisa saja ditaklukkan panas akibat kerakusan akan teknologi. Bintang-bintang bisa saja layu dikalahkan benderang lampu kota.

Tapi jiwa yang menghidupkannya tak pernah tergantikan.

Kehangatannya kuat menyelimuti, kemurahhatiannya lembut memayungi, keramahannya setia menjaga. Kurasakan berat yang menggelayuti kepalaku terangkat begitu saja. Penat yang menyesaki terburai lenyap. Kecewa yang menggumpal menguap sirna. Segala prasangka dan tuduh tersisih, digantikan kesadaran baru.

Bahwa bagaimanapun juga, kotaku tetaplah indah. Tetap terlalu indah untuk dilukiskan dengan lisan.

Kutatap kedua bola mata itu, membiarkan diriku tenggelam dalam kelembutannya. Kubalas senyumnya, dengan senyum paling lebar yang pernah kubuat setelah bertahun-tahun.

Akhirnya, aku pulang.

Page 76: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

76

Page 77: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

77

Penulis: Ida Farida

Pukul 04.00 pagi, aku dan dua orang penumpang

bus eksekutif akhirnya sampai di Banga, kabupaten Boyolali, Solo. Para tukang ojek berjejer rapi menyambut kedatangan kami sembari mempromosikan jasa ojek mereka, dua orang penumpang yang tadi bersamaku juga sudah pergi dengan ojek pilihannya masing-masing. Dari jauh aku melihat seorang pria mengendarai motor merah melambaikan tangan kepadaku. Aku cermati wajahnya yang tidak asing, iya, aku mengenalnya, dia adalah Triyatno—sahabat kecilku.

―Yatnooo...,‖ aku berteriak dan melambaikan tangan padanya.

‖Maaf, As. Kamu pasti lama, ya nunggu aku?‖

Page 78: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

78

‖Nggak, kok! Aku juga baru nyampe... udah 10 tahun enggak ketemu, kamu enggak berubah ya, No?! Masih aja ireng1. Hahahaha‖.

‖Baru ketemu wis2 nyela orang! Biar ireng kayak gini, aku ini legi, kan? Hehehe...‖, balas Yatno dengan logat Jawanya yang kental.

‖Oalah legi!! Gulali kali!‖ sahutku sambil naik ke motor Yatno. Sudah sewindu lebih aku tidak pulang ke Dukuh Pandanan, kampung halamanku yang terletak di Boyolali, Solo. Banyak perubahan drastis yang telah terjadi di sini. Mulai dari jalanan yang sudah di aspal, banyaknya pembangunan rumah BTN dan juga mini market yang sudah mulai merambah. Bangunan rumah-rumah penduduk asli juga sudah berubah seperti bangunan komplek-komplek di Jakarta. Aku hanya bisa mendecakan lidah dan menghela nafas melihat semua ini. Yatno yang menyadari penumpang di belakangnya tampak mengeluh segera mengajukan pertanyaan, ‖Kenapa kamu As? Kepanasan, ya?‖ ‖Nggak kok! Yah sedikit, sih... tapi aku juga udah biasa panas di Jakarta. Aku nggak nyangka aja ternyata di kampung sekarang udah panas kayak di Jakarta. Keadaan bangunan dan lingkungan di sini juga udah kayak kota, jadi nggak bisa dibilang kampung lagi, deh!‖ keluhku. ‖Kamu kecewa?‖ tanya Yatno. ‖Sedikit!‖ jawabku sambil merengut. ‖Ya memang, sih sedikit mengecewakan melihat kampung yang sudah hampir tidak asri lagi dan seperti sudah kehilangan jati dirinya. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya butuh perubahan biar nggak ketinggalan sama zaman!‖

1 Hitam

2 Sudah

Page 79: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

79

‖Zaman edan!‖ celetukku. ‖Hahaha... iya, iya, sekarang emang zaman edan

yang nggak perlu kita ikutin tapi perubahan yang ada di sini, kan positif, As! Dan tentang panas, itu udah pasti karena efek dari bumi yang udah marah. Apa tuh bahasa kerennya?‖

‖Global Warming!‖ ‖Iyo, bener, global warming! Di sini toh tetap jelas

lebih baik dari Jakarta, karena masyarakat di sini tetap menjaga penghijauan. Mereka tetap menjaga pohon-pohon dan nggak nebang sembarangan!‖

Ya, Yatno benar. Perubahan yang ada di sini memang positif dan kampung ini memang jauh lebih baik dari ibu kota Jakarta yang sudah semrawut. Di jakarta, tempat-tempat hiburan dan mini market begitu mudah mendapatkan ijin membangun. Dalam 1 jalan yang kurang dari 500 KM, kita sudah bisa menjumpai dua minimarket.

Kembali lagi ke kampung halamanku. Baiklah, kita memang harus melihat dari segi positifnya saja. Hatiku berdecak kagum melihat ini semua, ternyata pola pikir masyarakat di kampungku ini sudah maju dan modern, meskipun di lain sisi aku juga sedih karena sekarang aku sudah susah menjumpai rumah-rumah asri khas suku Jawa di sini. Rasanya tidak ada bedanya berada di Solo dengan di Jakarta! Udara pagi pandanan yang sejuk hingga menyusup ke tulang kini juga sudah lenyap.

Waktu 24 jam sudah cukup membuat otot-otot tegangku melemas melepas lelah. Hari ini aku membutuhkan otot-otot itu untuk bersemangat, terutama otot wajahku yang harus selalu bergerak mengembangkan senyum karena hari ini adalah hari yang bersejarah buat Pak‘le ku. dia akan menikah dengan gadis tambatan hatinya. Sudah tiga hari ini sambatannya (persiapan) dilakukan, rumah Mbah menjadi

Page 80: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

80

sangat ramai didatangi para tetangga yang ingin membantu atau sekadar memberikan bantuan berupa beras, sayur-sayuran dan lain-lain. Tapi sayang, di hari yang baik ini kedua orang tuaku tidak bisa hadir karena Bapakku sedang sakit dan Emakku harus menjaganya, jadi cuma aku seorang perwakilan dari keluargaku. Meskipun pulang kampung sendirian, aku sangat bersuka cita karena bisa ketemu teman-teman lama dan juga bisa melihat kekompakan orang Jawa dalam menyelenggarakan suatu acara. Ini yang membuat aku bangga menjadi bagian dari suku ini. Mereka mempunyai tepo seliro (tenggang rasa) yang tinggi, selalu bergotong royong dan bermusyawarah setiap kali ada masalah yang menimpa mereka.

‖Duh... cakep juga, ya wedo iki3 kalo didandani?!‖ Yatno membuyarkan lamunanku.

‖Eh, baru tau, ya mas?!‖ ―Walah geer, cape deh!!‖ Yatno berlalu tapi mataku

terus membututi bayangnya. Hmm... dia tambah manis dan terlihat gagah dengan batik tulis Solo itu. Rasanya cinta lamaku bersemi kembali. Yatno adalah cinta pertamaku, dia memiliki satu ruang di hatiku yang tidak pernah tergantikan dengan kehadiran pria lain. Meskipun deso tapi aku selalu nyaman dan tersenyum bila berada didekatnya. Selama ini kami hanya berhubungan melalui telepon, sms dan facebook tapi sekarang aku bisa ketemu dia, senang sekali rasanya! Meskipun hanya satu minggu, tapi menurutku... ini sudah cukup mengobati rasa rindu tidak berjumpa selama 10 tahun.

―Asti, ayo kita berangkat!‖ Yati mengajakku masuk mobil.

‖Oke!‖ Aku mengikutinya masuk ke dalam mobil.

3 Gadis ini

Page 81: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

81

‖Hari ini kamu cantik banget, Yat. Sampe pangling aku!‖ pujiku saat memperhatikan wajah Yati yang terpoles make-up sempurna.

‖Makasih... kamu juga ayu tenan4 kok. Eh, As, kenopo sih kamu enggak muleh5 ke sini?! Udah 10 tahun, lho... sibuk banget opo neng6 Jakarta??‖ tanya Yati.

‖Iya kemarin sibuk kuliah, ini juga lagi libur semester jadi bisa mudik, deh!‖

‖Enak, ya kamu kuliah sampai S1, aku D1 aja udah syukur banget! Eh, tapi nanti kalo aku sama Mas Yatno nikah kamu muleh7, yo?!‖

‖Apa?! Nikah ?!‖ hatiku bagai tersambar petir saat mendengar kalimat yang diucapkan oleh Yati. Ia dan Yatno akan menikah?! Bagaimana bisa? Yatno tidak pernah menceritakan hal ini padaku.

‖Iya! Maaf, kamu pasti kaget banget, ya? Aku sama Mas Yatno nggak bermaksud untuk nggak kasih kabar ke kamu! Waktu itu kami hanya nggak sempat. Baru 2 bulan yang lalu, kok kami tunangannya!!‖ jawab Yati dengan sangat tenangnya, sangat berlawanan dengan apa yang aku rasakan.

Dia bilang mereka tidak sempat mengabarkan kepadaku! Apa aku hanya teman jauh yang mereka anggap tidak ada? Bagaimana bisa mereka mengabaikan aku untuk hal sepenting ini. Aku benar-benar kecewa sama Yatno. Dia yang jelas-jelas selalu berhubungan denganku di dunia maya, tapi tidak pernah sekalipun ia membahas masalah ini. Yati memang teman kami tetapi dia tidak sedekat aku dengan Yatno. Selama ini kalau Yatno menghubungiku, dia juga

4 Sekali/Sangat

5 Pulang

6 Di (kata penghubung)

7 Pulang

Page 82: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

82

tidak pernah menyebut nama Yati, tapi bagaimana bisa mereka bertunangan dan akan segera menikah?! Tega sekali Yatno tidak memberitahuku soal ini, hatiku jadi tidak karuan, perasaanku berkecamuk. Wajah bahagia yang sepatutnya aku hadirkan di hari pernikahan lek-ku tergantikan dengan wajah murung tersirat duka. Yatno tersenyum melihatku tapi aku hanya mengacuhkannya.

Rasa kecewa, marah dan cemburu sepertinya telah tumpah ruah di hatiku ini, serasa ingin meledak karena tak kuat menahannya. ‖Kamu kenapa, As?‖ Yatno bertanya cemas.

‖Bukan urusan kamu!‖ aku menghindarinya tatapan matanya yang seakan-akan berkata kalau dia sangat mengkhawatirkan aku tapi entahlah aku tidak percaya.

‖Kamu marah, ya As sama aku?! Salah aku opo?‖ aku bangkit dari kursi dan berlalu meninggalkannya. Aku tidak mau berlama-lama berada di dekat manusia yang telah mengkhianatiku ini.

Yatno menemuiku keesokan harinya, dia

memaksaku ikut dengannya. Ternyata dia mengajakku ke waduk Cengklik yang berada tidak jauh dari rumah Mbah.

‖Ngapain kita ke sini?‖ aku bertanya dengan intonasi tinggi.

‖Aku ajak kamu ke sini biar kamu enggak marah lagi sama aku... liat, deh air waduknya pada surut gara-gara kamu marah!‖ Waduk yang indah ini kering, airnya surut dan kosong dibeberapa sisi.

Dalam hati aku berkata, ‖Waduk ini kering bukan karena marah tapi karena sedih, dia seakan-akan tahu kalau aku sedang berduka....‖

‖Kamu melamuni opo? Udah baikan?!‖ tanya Yatno dengan senyum khas andalannya membuat hatiku yang

Page 83: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

83

dingin jadi ingin mencair. Aku berdehem berusaha untuk menenangkan diri dan menguatkan hati kembali.

‖Apa enggak ada sesuatu yang ingin kamu bilang ke aku, No?‖ akhirnya pertanyaan itu keluar dari mulutku.

‖Opo? Ndak ada...,‖ jawabnya singkat membuat aku kecewa.

‖Tentang kamu sama Yati?! Tentang pertunangan kalian dan mungkin sebentar lagi pernikahan kalian?‖ aku langsung menodongnya ke masalah yang sedang mengakar di hatiku. Aku berharap Yatno akan mengatakan yang sebenarnya.

―Enggak ada apa-apa antara aku sama Yati,‖ jawabnya sambil memalingkan wajah, hal yang yang menjadi kebiasaannya saat dia sedang berbohong.

―Enggak ada apa-apa? Kamu pikir aku percaya?! Aku tahu kalau kamu lagi bohong, No! Dan aku udah tahu semuanya! Tega banget sih kamu nggak kasih tahu aku soal ini?! Apa kamu nggak anggep aku?‖

―Pasti Yati yang kasih tahu kamu! Jadi karena ini kamu marah?‖ tanyanya mengalihkan pembicaraan.

‖Ya, iyalah aku marah! Kamu enggak bilang apa-apa selama ini, No! Aku ini sahabatmu tapi kamu enggak anggep aku! Aku sedih banget, ternyata aku enggak berarti buat kamu!‖ tanpa sadar air mata jatuh membasahi pipiku. Rupanya aku tidak bisa mengendalikan air mataku yang sudah mulai mengalir deras. Aku pasti tampak terlihat konyol di depan Yatno sekarang.

‖Karena kamu sangat berarti buat aku makanya aku nggak kasih tahu kamu soal ini!‖ Yatno menghapus air mata yang membasahi pipiku.

‖Apa maksud kamu?‖ ‖Aku akan menolak pernikahan ini karena ini semua

hanya salah paham!‖ aku terperangah mendengarnya.

Page 84: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

84

‖Salah paham bagaimana maksud kamu?‖ tanyaku penasaran.

‖6 bulan yang lalu aku dekat sama Yati. Itu karena dia minta tolong aku untuk ngebantuin tugas akhirnya. Dia sering main ke rumahku begitu pula aku. Orang tuaku jadi salah paham ngeliat kedekatan aku sama Yati, mereka nganggap kalo aku suka sama Yati. Diam-diam orang tuaku buat rencana kejutan untukku, mereka melamar Yati tanpa sepengetahuanku. Pulang dari sana, mereka baru kasih tahu aku kalau aku akan tunangan sama Yati. Pas aku tahu, aku langsung marah tapi karena aku nggak mau orang tuaku malu, aku bersedia bertunangan sama Yati‖. Ya, Allah jadi ini kejadian yang sebenarnya. Aku percaya Yatno berkata jujur saat ini, aku bisa membaca dari matanya. Kasihan Yatno, ternyata dia korban dari kesalahpahaman ini. ‖Jadi kamu enggak suka sama Yati?‖ aku bertanya lagi penasaran.

‖Aku suka kamu, As!!!‖

Jawaban yang tidak aku duga keluar dari mulut Yatno tadi siang. Kalimat itu terus mengiang di benakku, aku jadi tidak bisa tidur! Aku memang sangat senang setelah tahu perasaan Yatno yang sebenarnya, tapi ini semua terlambat. Yatno akan menjadi milik Yati karena mereka sudah bertunangan.

Hatiku dilema, apa yang harus aku lakukan??? Haruskah aku mengorbankan cintaku dan berbesar hati menyuruh Yatno menikah dengan Yati? Atau...aku harus mendukung rencana Yatno yang ingin membatalkan rencana pernikahannya.?! Aku benar-benar bingung.

Page 85: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

85

Entah kenapa langit pagi ini terlihat suram, sesuram hatiku.

‖Nduk, mangan dulu nih bubur karo tempe gembos ne!‖ suara Mbah Putri memecah keheningan di hatiku.

Aku hanya menjawab Mbah dengan anggukan lemah. Tidak lama setelah itu Yati datang menemuiku. Dia menarikku ke belakang rumah dan langsung menangis tersedu-sedu.

‖Mas Yatno mau batalin rencana pernikahannya sama aku, As! Aku bingung kenapa tiba-tiba dia mau putus, aku tanya berkali-kali tapi dia enggak mau jawab sampai aku paksa.‖

‖Terus?‖ ‖Akhirnya dia bilang alasannya kenapa mau putus.

Di... dia bilang.... dia... suka sama perempuan lain!‖ keluh Yati sambil terisak-isak. Mulutku seakan-akan terkunci mendengarnya. Aku tidak bisa memberikan komentar apa-apa mendengar cerita Yati karena akulah perempuan yang dimaksud oleh Yatno. Aku hanya menepuk-nepuk bahunya, menyuruhnya untuk bersabar dan kuat.

‖Apa jangan-jangan wanita lain itu kamu, As?!‖ Yati menuduhku spontan, membuat mataku terbelalak kaget mendengarnya.

‖Ka... kamu ngomong apa, sih! Ya, enggak mungkinlah aku! Kami itu cuma sahabat dari kecil, kamu kan juga tahu?!‖ aku membela diri dan menjawab setenang mungkin meskipun aku tidak yakin jika suaraku tidak bergetar saat menjawabnya.

‖Tuduhanku ini punya alasan, As! Karena selain aku, cuma kamu perempuan yang dekat sama dia! Sikap dia berubah ke aku juga baru 4 hari ini, dan itu setelah kamu datang, As!‖ Yati terus membuatku tersudut.

Rasanya udara yang berada di sekitar kami seperti habis. Nafasku tercekat. Aku sulit untuk membuat

Page 86: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

86

pembelaan kali ini karena semua yang dikatakan oleh Yati adalah kebenaran.

Aku harus tenang dan tidak terpancing emosi. Semalam aku juga sudah mengambil keputusan dari persoalan yang sudah menganggu dan membuatku dilema seperti ini.

‖Yat... kalaupun Yatno menyukaiku, kamu enggak perlu khawatir karena aku tahu diri! Aku nggak mungkin menjadi orang ke-3 yang merusak rencana pernikahan kalian! Kamu harus percaya sama aku, kamu pasti jadi menikah sama Yatno!‖ aku menatapnya tajam.

‖Tapi... gimana perasaan kamu yang sebenarnya ke Mas Yatno?! Apa kamu suka dia?‖ pertanyaannya lagi-lagi membuatku terbunuh.

‖Aku nggak suka sama dia! Aku cuma anggap dia sahabat, nggak lebih!‖ aku berbohong. Aku jelas-jelas sudah membohongi Yati. Maaf Yat, aku tidak bisa mengatakan hal yang sebenarnya kalau aku menyukai Yatno. Kebohongan ini mungkin menjadi hal terbaik yang bisa aku lakukan saat ini.

Dermawan sekali diriku ini, bisa merelakan cinta

pertama hanya untuk seorang teman biasa seperti Yati. Yati, kenapa dia yang menjadi pasangan benang merah untuk Yatno? Kenapa bukan aku? Aku menjambak rambutku sendiri dengan kesal.

Hal ini memang harus aku lakukan. Aku yakin pengorbananku ini tidak akan sia-sia. Pengorbananku ini pasti akan membawa kebaikan untuk semua orang. Yatno dan keluarganya, Yati dan keluarganya. Sedangkan aku sang orang ke-3 nantinya pasti akan mendapatkan balasan yang setimpal pula.

Malam sebelum aku pulang ke Jakarta, aku menemui Yatno.

Page 87: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

87

‖Asti! Malam-malam ke sini ene opo8?‖ ‖Bisa kita bicara sebentar?‖ pintaku, dan dia

mengikutiku ke samping rumahnya yang sepi. ‖Apa kamu sudah punya jawaban buat aku, As?‖

tanya Yatno penasaran. ‖Apa kamu pikir aku ini wanita jahat yang tega

ngerebut tunangan orang?!‖ ‖Tapi aku tahu kamu juga suka aku, As! Orang-

orang juga pasti akan ngerti kalau kita saling cinta dan Yati, dia pasti akan mendapatkan laki-laki yang mencintainya! Tapi itu bukan aku!‖ Yatno meremas tanganku lembut.

Aku menatap ke arah tangannya, kemudian menarik tanganku kembali, ‖Iya kamu benar, aku memang suka sama kamu. Tapi itu bukan berarti aku bisa sama kamu! Kita nggak bisa bersatu. Kamu itu milik dia dan ini udah takdir. Nama kalian aja tuh udah jodoh... Yatno dan Yati!‖

‖Jadi kamu rela ngorbanin perasaan kamu buat Yati?‖

‖Bukan cuma buat Yati, No, tapi juga buat Mbah aku, kedua orang tua kamu dan juga kedua orang tua Yati‖, Yatno tertunduk sedih, ia tahu jika pertunangannya dengan Yati sampai batal maka orang tuanya dan orang tua Yati sudah pasti akan menanggung malu.

‖Dia wanita yang baik, No dan dia sayang plus cinta sama kamu! Kamu pasti bisa belajar mencintai dia, No!‖ aku berharap tegar untuk mengatakan semua ini.

‖Aku... aku pamit, No!‖ aku bergegas pergi meninggalkan Yatno dengan kekecewaannya. Selepas subuh aku pulang ke Jakarta dengan kereta api. Selama perjalanan air mataku tak henti-hentinya menetes. Rasanya sakit saat mengingat kalimat terkenal kalau cinta tak harus memiliki. Itulah nasib yang terukir untukku

8 Ada apa?

Page 88: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

88

dan Yatno. Maaf, No, aku telah menyakitimu. Tapi ini yang terbaik, kita berdua harus ikhlas menerimanya. Aku harap kamu bahagia dengannya.

Dengan sedih aku harus mengucapkan ini.... Selamat tinggal Solo... selamat tinggal cintaku..

Page 89: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

89

Penulis: Aya Maulia

Kuedarkan pandangan pada keadaan sekitarku.

Seketika, pandanganku menjadi jernih, dan paru-paruku terasa nyaman. Kuhirup sedalamnya udara. Hm… segar.

Bagaimana tidak? Kalian tahu? Sekarang, aku sedang ada di bangku

taman kota, sedang bersantai menikmati indahnya perpaduan hijau dedaunan dengan tingginya gedung-gedung pencakar langit. Udara yang dihasilkan pepohonan membuat udara segar selalu tersedia setiap hari. Belum lagi, sekarang sedang trend memelihara tanaman di halaman rumah. Apapun itu. Bunga, pohon, bahkan bonsai.

―Haha! Kamu kalah! Ayo, kamu yang jadi setannya!‖ seru ceria salah seorang anak yang sedang bermain dengan teman-temannya tak jauh dari tempatku duduk. Dengan riang gembira dan tawa membahana seakan tak ada beban. Tak ada wajah yang menyiratkan penderitaan karena tekanan ekonomi ataupun kekerasan fisik. Mereka benar-benar

Page 90: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

90

mengalami masa kecil yang menyenangkan. Bermain bersama. Disayangi kedua orang tua mereka.

Aku baru ingat. Perubahan kota ini. Saat aku masih anak-anak dulu, kota ini sangatlah parah. Sampah berserakan—sampah plastik maupun organik. Kemana pun mata memandang selalu saja terlihat sampah. Sampah buah duku lah, sampah durian sampai bungkus permen. Belum lagi bau dari sampah yang menumpuk.

Kekerasan terhadap anak-anak juga terjadi. Alasannya macam-macam. Tekanan ekonomi lah, stress lah, bandel lah. Uuh!

Sekarang? Wow! Lihat! Tak ada lagi kekerasan terhadap anak.

Tak ada satu pun sampah di kota tercintaku . Kota di mana aku lahir. Kota yang mendapat penghargaan terindah di Indonesia. Kalian tahu? Di sini, diterapkan denda bagi yang membuang sampah sembarangan. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi memungut sampah-sampah yang berserakan selama dua minggu juga membayar denda sekitar lima ratus ribu rupiah. Maka dari itu, orang-orang yang tak ingin terkena sanksi ataupun denda, menjaga baik-baik sikap mereka. Membuang sampah pada tempatnya—dipisah antara organik dan non-organik.

Yap! Kurasa, aku sudah mulai bosan duduk di taman ini. Akupun beranjak ke luar dari taman, menuju tangah kota dengan jalan kaki. Ya. Jalan kaki.

Sekarang, jalan kaki lebih dianjurkan dibanding berkendara. Kenapa?

Kalian tahu Global Warming, bukan? Saat ini, es di Kutub Utara sudah mulai mencair dan ketinggian air laut naik perlahan-lahan. Semua berkat gas karbon monoksida dari kendaraan dan CFC yang merusak lapisan ozon sehingga hawa panas yang dipancarkan matahari akan

Page 91: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

91

langsung jatuh menghujam bumi. Maka itu, kami dibatasi untuk memakai kendaraan bermotor.

Hm… kalian lihat? Banyak toko di antara gedung-gedung pencakar langit dan rumah tinggal. Ada toko roti, toko eletronik, toko alat tulis, makanan ringan dan banyak lainnya. Tahu, tidak? Sekarang, penduduk Kota Pekanbaru sudah tidak ada yang berpendapatan di bawah rata-rata. Semuanya membangun usaha dengan fasilitas dan dana yang cukup.

Tidak ada jalan berlubang di kota ini. Seluruh jalan benar-benar mulus. Jika berlubang sedikit saja, paling lambat minggu depan sudah mulai diperbaiki. Oh, juga pemadaman bergilir! Itu juga sudah terhapus dari daftar kota kami. Energi listrik benar-benar ditambah dalam jumlah besar. Aku rasa seluruh warga—sampai ke warga pelosok pun—terjamah aliran listrik. Hei! Kalian jangan melongo tidak percaya begitu, dong! Ini benar! Kalian tahu sebabnya apa? Itu karena pemerintah kami yang jujur.

Ya. Pemerintah yang jujur. Aku sangat bersyukur, pemerintah yang terpilih dalam pemilu baru-baru ini sangat jujur dan memperhatikan para rakyat. Ia benar-benar mencintai bangsa. Yang kulihat di berita kemarin, ia membeli produk industri lokal untuk membangun fasilitas politik. Gedung rapat ataupun toiletnya.

Dia juga sangat memperhatikan fasilitas untuk pendidikan. Sekarang, sekolah-sekolah sudah sangat bagus. Semua bangunan sekolah wajib terbuat dari bata dan dilengkapi dengan komputer guna sarana pembelajaran. Jumlah siswa yang mendapat beasiswa—baik dalam maupun luar negeri—bertambah pesat. Hihi… adikku yang masih kelas dua SMP saja merutuk, ia kerepotan mengejar nilai teman-temannya di kelas. Kalau sudah curhat padaku, ia bisa bicara selama berjam-jam. Yah… kukatakan saja kalau

Page 92: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

92

mengejar ilmu lebih penting daripada mengejar nilai. Mudah-mudahan dia mengerti. Haha….

Eh, tunggu, aku ngomong apa tadi? Melantur jadinya. Kembali pada topik awal, pemerintah yang jujur. Pemerintah kami juga mengutuk aksi korupsi. Semua para koruptor langsung dihukum mati jika terbukti bersalah. Tidak ada yang bisa kabur ke luar negeri atau pura-pura sakit. Yah… mungkin kalian tidak akan percaya, namun ini benar! Lihat saja, seluruh keadaan yang ada di depanku. Lalu-lintas yang sangat teratur, kebersihan yang amat sangat di jaga, fasilitas umum yang semuanya terlihat utuh, dan yang paling penting, seluruh warganya yang makmur sentosa. Wajah mereka terlihat sangat damai.

Aku tersenyum. Kututup mataku. Aku bersyukur aku terlahir di kota ini, bagian dari negara ini. Kota harapanku. Kota yang sangat membuatku nyaman. Kota yang kucintai. Selang beberapa lama, kucoba membuka kembali mataku dan kudapati tubuhku berada di atas tempat tidur.

Ya… kecewa. Yang kulihat tadi tak lebih hanya fatamorgana tidur rupanya. Sprei lembut ini, kasur empuk ini. Ya… inilah dunia nyata. Kupaksa tubuhku untuk bangkit dan membuka jendela, kulihat pemandangan yang sangat biasa kulihat setiap hari.

Jalanan rusak dengan kendaraan bermotor—baik besar maupun kecil berdesakan dengan begitu kacaunya. Anak-anak sekolah dasar yang pergi hanya bermodalkan sepatu robek. Udara panas dan menyegat juga sangat terasa walaupun masih pagi. Kualihkan pandanganku pada koran terbitan kemarin. Masih santer berita kriminal dan aksi korupsi.

Aku menghela napas. Ya… inilah nyatanya. Inilah kotaku apa adanya. Kota dari bagian negara bernama Indonesia.

Page 93: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

93

Kemana kota yang kulihat tadi? Apakah fatamorgana? Hanya fatamorgana? Tidak bisakah diwujudkan?

Page 94: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

94

Page 95: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

95

Penulis: Prasetyo Condro Gumilar

1 Sang legenda, telah datang.

John tidak banyak mengingat apa yang telah terjadi padanya tepat sebelum ia menapakkan kakinya ke dalam ruangan kosong itu. Serpihan ingatannya mengepul dingin dan kabur, tersangkut pada bayangan sosok-sosok yang telah memaksanya berjalan menuju ruangan itu. Sekeliling ruangan tertutup kaca tebal bening. Dari pemandangan malam di balik kaca, John bisa menebak dimana posisi ia berada dari radius kota Penumbra. Ya, bukit Aira, puncak tertinggi.

Selain dirinya dan dua penjaga yang menunggu di ambang pintu, terlihat seorang pria dengan kepala terbungkus kain coklat kusam berdiri di tepian kaca, diam terpaku sembari menengadahkan pandangan, mengawasi kota dari kejauhan. Satu-satunya furnitur hanyalah sepasang

Page 96: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

96

kursi besi yang tergeletak saling berhadapan dan sebuah papan catur, tidak jauh dari pria itu berdiri.

―Mendekatlah, kau bisa menyaksikan seluruh kota dari sini,‖ suara parau itu terdengar samar.

Mendengar suara itu, seketika John mulai dapat menebak perihal pertemuannya saat ini. ―Tentu saja, kau tidak ingin melewatkan pergantian tahun kali ini… Tuan John Adam. Karnaval Penumbra sebentar lagi akan dimulai.‖

―Apa yang membedakannya, tuan tanpa nama?‖ tukas pria setengah baya itu, berusaha untuk tenang. ―Betulkah demikian aku memanggilmu?‖

―Kau bisa menyebutku, Gemin… namun, apalah arti dari sebuah nama, jika ia tidak cukup bisa mendefinisikanmu.‖

Pria itu kemudian menoleh ke arah John. Hampir saja kain itu membungkus rapat seluruh bagian kepalanya, hanya secuil sobekan kasar yang membuka di daerah mata sebelah kanan. Tangan kanannya yang tersarung rapi ia rebahkan pada dinding kaca, mengusap-usap pelan di permukaan, seolah seluruh sudut kota kini terkubur dalam genggamannya.

―Malam tahun baru ini, Tuan John… Bumi akan dipenuhi cahaya.‖ 2 …bersiaplah.

Kegelapan nyaris menelan apapun di sekitar hutan itu. Gubuk kayu yang mereka intai selama setengah jam yang lalu sama sekali tidak memberikan sinyal kehidupan. Ketua komando sepenuhnya paham, teman-teman yang lain mulai

Page 97: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

97

kegerahan dengan spekulasi teror yang telah diinformasikan oleh pusat. Namun, kemungkinan ini pula yang masih membuatnya bertahan di sana. Karena jika itu sebuah fakta, maka sebuah kota lah yang akan menanggung konsekuensinya; tentang ancaman eksekusi di malam tahun baru.

―Bagaimana jika ini adalah pengalih?‖ sahut seorang teman di sampingnya penuh keraguan.

―Hanya ada 2 kemungkinan, sobat. Satu, kau benar. Dua, kau salah. Jika kau benar, maka berbanggalah, nama kita akan dikenang oleh sejarah. Namun jika kau salah, kau akan mengukir penyesalan seumur hidupmu beserta nama dari seluruh manusia yang tidak sepantasnya mati pada hari ini.‖

―Pergerakan dari dalam..!‖ suara tim lain dari walkie talkie tiba-tiba memotong pembicaraan.

―Baiklah. Ghost, Apple pie, tetap dalam posisi. Redneck, saatnya kita masuk,‖ balas ketua ke semua pasukan.

Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi tim Redneck menyusup di antara tembok gudang sebelah kiri. Sesaat kemudian, mereka telah sampai pada pintu utama. Gudang itu tidak memiliki banyak jendela, sehingga hanya tim pengintai utara yang dapat memastikan gerak-gerik dari dalam. ―Evan, Brom, ikut aku. Yang lain, jaga kami dari belakang, oke?‖

Mereka pun menyanggupi. ―Oke teman-teman. Dalam hitungan ketiga. Satu,

dua…‖

Page 98: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

98

3 ―Ken, kita kehilangan kontak.‖ Mimik wanita itu berganti pucat saat mendengar

berita yang baru saja ia terima. Gemuruh penyesalan mendadak mengerubungi tubuhnya akibat kesalahan instruksi yang ia berikan pada tim.

Asistennya berkata lagi, ―Ken, kita harus segera bertindak. Waktu yang tersisa sudah tidak banyak lagi. Dua jam sebelum eksekusi.‖

―Seret bajingan itu ke ruang 3, cepat!‖ Dua sipir langsung bergegas memindah paksa

pembelot itu ke sebuah ruangan terpencil di basement penjara, mengikatnya erat pada kursi yang telah dilengkapi alat pengunci. Ken dan asistennya turut memenuhi ruangan.

―Tidak ada istilah kedua, keparat. Kali ini, kita akan memulai dengan sesuatu yang berbeda. Ambil selangnya!‖

Tak tanggung lagi, seorang sipir langsung memasukkan sepertiga meter selang air ke dalam tenggorokannya.

―Isi!‖ Seketika hujaman air bertubi-tubi menerobos ke

dalam perutnya. Pemuda itu tersedak tak tertahankan, tubuh dan kakinya mengguncang tak karuan.

―Cukup. Sudah mau bicara?‖ Pemuda itu tertatih-tatih memuntahkan segala isi perutnya. Selang beberapa saat ia mengatur nafasnya, kemudian memandangi Ken, sembari tersenyum pahit. ―Maafkan aku, nona cantik, pria kesayanganmu telah mati konyol.‖ Tanpa basa-basi, Ken meraih colt dari sarungnya, melepaskan tembakan tepat ke arah betis kiri pemuda itu. Teriakan demi teriakan pun menggelegar hingga di luar koridor penjara. ―Selanjutnya adalah nyawamu.‖

Page 99: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

99

Wajah itu tersungkur lemas. Kali ini, ia terlihat lebih berputus asa.

―Baiklah. Akan kuberitahu, nona... di mana sebenarnya cinderella kecil itu sedang bersembunyi. Namun, izinkan aku berbisik padamu,‖ tutur pemuda itu. Kecurigaan Ken masih tersembul kuat dari raut wajahnya. ―Kau tidak perlu cemas, nona, aku hanya lebih mempercayaimu dari pada yang lain. Kuharap, kau melakukan hal yang sama.‖

Ken hanya fokus pada kesempatannya mencegah eksekusi ketimbang memikirkan resiko yang bakal terjadi apabila pemuda itu memilih untuk menyerang dirinya.

―Aku pegang janjimu.‖ Tidak ada yang berani menentang gagasannya sesaat

ia melangkah perlahan mendekati pemuda itu. Ucapan pemuda itu sungguh lirih, tidak ada yang bisa meraihnya selain wanita yang mendekatinya.

“Nona, gadis kecil itu sedang terduduk manis dalam kereta mimpinya. Jika waktunya telah tiba, ia akan terbangun, dan kereta itu akan meluncur di tengah-tengah tarian. Lalu malampun berubah menjadi cahaya...‖

Kalimat itu tiba-tiba terputus, seketika tubuh pemuda itu mulai berkejut-kejut tak karuan. Ken bergegas menjauh darinya. Semenit kemudian, tinggallah tubuh yang basah itu, tanpa nafas.

―Apa... yang tengah terjadi, Ken?‖ tukas asistennya panik. Wanita itu pun berdiri, membalikkan tubuhnya, lalu terdiam kaku di hadapan semua orang. Mulutnya terbata-bata, mencoba menyimpulkan sesuatu. ―...karnaval.‖ 4

Page 100: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

100

Riuh karnaval mulai menggema, memantul sayup pada dinding-dinding ruangan, semakin membuat John merasakan kekhawatiran akibat firasatnya. Sang pria berkepala kain itu kemudian berjalan berat ke arah belakang lalu mengambil sikap duduk di sebuah kursi besi, menatap John dengan mata yang penuh kekosongan.

―Pehatikanlah baik-baik, John. Dunia yang kau maksud itu sedang berusaha menggeser porosnya. Dia telah lama ditinggalkan takdir dan kebenaran. Dunia yang kau lihat sekarang, kenyataan yang ada di balik kaca itu, hanyalah proyeksi dari kemarau kekacauan yang terlunta-lunta mengemis kepada sesuatu yang sekiranya dapat menyelaraskannya kembali.‖

John tidak sanggup membalas pemikiran itu, namun bukan berarti ia tidak paham. Bayangan kekacauan kota Penumbra yang akan terjadi beberapa menit kedepan terus menerus menghantui dirinya. Terlebih, mengetahui kondisinya saat ini, ia sudah tidak bisa berbuat banyak lagi.

―Duduklah sejenak, John, temani aku menyelesaikan ini,‖ kata pria itu sembari menyusun bidak catur pada posisi semula.

―Aku telah kehilangan hasratku, Tuan.‖ Mata coklat itu masih terlihat kosong, tanpa empati.

―John, itu bukanlah sebuah pilihan untukmu.‖ John berusaha menutupi kegugupannya, berjalan

kecil mendekati pria itu, kemudian duduk berseberangan dengannya. Perasaannya semakin berkecamuk ketika ia berada begitu dekat dengan seseorang yang rupanya adalah otak dari pelaksanaan bencana malam ini.

―Aku bukanlah antagonis dalam sirkus ini, John, kau perlu tahu itu. Karena di balik wacana, mereka lah yang memilihkan jalan ini untukku, sebagai seorang tukang sulap, menyeimbangkan tekanan.‖

Page 101: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

101

John mencoba berargumen, menyangkal pemikiran-pemikiran salah dari sang pria berkepala kain. ―Masing-masing dari kita adalah pemilih, Tuan, antara baik dan buruk. Sedangkan sikap yang kau ambil adalah atas kehendakmu sendiri.‖

―…pernahkah kau merenungkan tentang apa yang ideal bagi kita semua?‖ potong pria itu datar.

John tidak berkata apapun. ―Sulit, bukan?‖ ―Karena dalam benakmu, semua telah saling

memisah, John. Yang tersisa bagi kita hanyalah gambaran relativitas. Masing-masing merasa berhak sepenuhnya atas ‗dunia‘ mereka sendiri, menjadikan figuran bagi yang lain. Mereka bermain dalam sistem buatan mereka, John, senang berlagak menjadi tuhan-tuhan kecil. Perhatikanlah dampaknya terhadap kenyataan. Tuhan kini telah dijadikan ajang sindiran dan olokan, sedangkan pembicaraan mengenai kebenaran selalu berujung bias. Pada akhirnya, kesemuanya itu kembali asing dan terlupakan.‖

Pria itu mulai memindahkan sebuah pion putih. ―Mereka sesungguhnya melupakan satu hal, John, bahwa dunia angan-angan yang mereka ciptakan itu akan runtuh sia-sia. Tampaknya, dunia begitu nyata bagi mereka. Jika saat itu telah tiba, mereka sudah tidak dapat lagi mendengarkan apapun… hanya dengungan panjang keheningan. Sekarang, giliranmu.‖

John kemudian menggeser 2 langkah pion hitam miliknya, berhadapan dengan pion hitam sebelumnya. Tangannya tak berhenti bergetar.

Pria itu kemudian melanjutkan permainan dengan kuda. ―Kehidupan itu bagaikan papan catur, John, sedangkan kita berada di antara hitam dan putih. Terkadang, kemunafikan itu perlu, John, demi membayar sebuah harga kemenangan. Sebuah pion putih terkadang perlu berdiri di

Page 102: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

102

atas sang hitam, begitu pula sebaliknya. Namun, tetap saja, putih tidak akan pernah menjadi hitam.‖

―Aku tidak sepenuhnya mengerti maksud perkataanmu, tuan Gemini.‖

―Dualisme itu terletak pada situasi, John. Apakah aku salah jika pelatuk ini kuarahkan ke sebelah kiri? Bukankah kau, beserta penegak hukum lainnya juga turut melakukan hal itu namun dengan porsi yang sedikit berbeda dariku? Kau hanya belum terbiasa dengan itu..‖

John kemudian turut menggerakkan kudanya, persis mengikuti langkah pria itu. ―Yang kau lakukan adalah menghabisi seluruh pion di permukaan, tanpa memilah mana yang hitam atau putih. Lalu, warna apa yang sebenarnya engkau pilih, tuan Gemini?‖

Pria itu menegakkan duduknya, kemudian tertawa kecil.

―Mereka semua abu-abu, John, apa yang bisa aku pilih?‖ 5

―Semuanya, minggir!‖ Hiruk pikuk karnaval seketika meredam menjadi

sunyi akibat puluhan petugas keamanan tiba-tiba menyerbu masuk ke dalam parade, membongkar satu per satu raksasa-raksasa kertas yang terpajang di haluan. ―Cari gadis itu!‖

Histeria mulai berjatuhan. Para peserta karnaval mulai ricuh melihat perusakan ‗tak diundang‘ hadir di hadapan mereka. Konflik mulai terjadi di sana-sini. Misi penyelamatan itu pun berubah menjadi mimpi buruk.

Lalu, seketika, suara sirine menyeruak ke atas langit. Sirine lagu lullaby yang memilukan menghias segala ketidakberaturan, menyentak jutaan manusia yang sedang

Page 103: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

103

berkumpul di tengah kota Penumbra. Kemudian, muncullah apa yang menjadi paradoks dari langit kota malam itu. Sebuah kereta bawang raksasa berwarna putih dengan seorang kusir bertopeng, tampak dari kejauhan, bergerak perlahan menuju arah pusat keramaian. Tidak ada manusia yang berbicara, tidak ada yang bergerak sedikit pun.

Ketika kereta itu telah berjarak cukup dekat, seorang petugas berjalan menghampirinya. Ia kemudian memanggil pelan sang kusir, namun tidak ada jawaban. Ketika ia cukup jeli mencermati, ada sesuatu yang menggumpal di bagian mulut sang kusir. Petugas itu langsung meraih topengnya, dan menemukan seorang pria dengan mulut tersumbat oleh kain. Beberapa petugas yang lain ikut bergegas mendekati kereta. Salah seorang di antaranya mencoba membuka pintu selendang kerta tersebut.

Dan disanalah, gadis itu berada, bersama bom nuklir yang melingkari tubuhnya.

6

Hari itu mendung. Seorang wanita terlihat tengah duduk di sebuah

bangku kayu di tengah reruntuhan kota Penumbra. Ia duduk sendiri, sambil memperhatikan langit kelabu di atasnya. Tak lama kemudian, seorang pria kurus duduk di sampingnya. Mereka tidak saling tatap muka.

―apa selanjutnya yang akan kau lakukan, Gemini?‖ tanya wanita itu.

―Sama sepertimu, Aquarius, menunggu,‖ timpal pria kurus itu.

―Akankah dia akan datang?‖

Page 104: Penerbit Kota Ceritaphoto.goodreads.com/documents/1359562771books/14625087.pdf · perdana Kota Cerita ini. Kedua, pada teman-teman tim Kota Cerita yang telah memberikan waktu dan

104

―Tentu saja, dia yang akan mengumpulkan kita semua.‖ Wanita itu tersenyum. ―Baiklah.‖ Mereka lalu terdiam kembali. ―Sudahkah genap dua ratus?‖ Tanya wanita itu lagi. ―Hampir, tinggal Afrika.‖ Wanita itu tersenyum lagi. ―Baiklah.‖ Pria itu akhirnya menolehkan pandangan ke arah seseorang yang menjadi lawan bicaranya, lalu mengeluarkan sesuatu dari tas lusuh yang ia bawa.

―Kau ingin bermain catur?‖ Senyumannya kini terlihat lebih lebar. ―Dengan senang hati.‖