PENERAPAN HUKUM PIDANA SERTA FIQIH LINGKUNGAN...
-
Upload
vuongthien -
Category
Documents
-
view
223 -
download
0
Transcript of PENERAPAN HUKUM PIDANA SERTA FIQIH LINGKUNGAN...
i
PENERAPAN HUKUM PIDANA SERTA FIQIH LINGKUNGAN TERHADAP
PELAKU PENEBANGAN LIAR YANG BERMUKIM DI SEKITAR
KAWASAN HUTAN MILIK NEGARA
(Perkara No: 2615 K/Pid.Sus/2015)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
FATHIN TEGUH SAPUTRA
NIM 1110043200029
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukanlah hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 31 Juni 2017
Fathin Teguh Saputra
NIM 1110043200029
v
ABSTRAK
Fathin Teguh Saputra. NIM 1110043200029. PENERAPAN HUKUM PIDANA
SERTA FIQIH LINGKUNGAN TERHADAP PELAKU PENEBANGAN LIAR
YANG BERMUKIM DI SEKITAR KAWASAN HUTAN MILIK NEGARA
(Perkara No: 2615 K/Pid.Sus/2015). Program Studi Perbandingan Mazhab dan
Hukum, Konsentrasi Perbandingan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H / 2017 M. x + 66 halaman.
Skripsi ini membahas tentang bagaimana penerapan sanksi yang tepat
terhadap pelaku penebangan liar, bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan terhadap pelaku penebangan liar, bagaimana analisis putusan terhadap pelaku
penebangan liar, dan bagaimana perspektif fiqih Lingkungan terhadap pelaku
penebangan liar. Tentunya hal itu berdasarkan UU. No. 41/1999 tentang kehutanan
dan UU. No. 18/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Serta
tidak lupa juga berdasarkan Al Quran dan Hadits. Ini bertujuan agar warga
masyarakat mendapatkan rasa keadilan terhadap segala tindakannya serta kesadaran
akan lingkungan semakin besar.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif, sumber data
terdiri dari data primer yaitu putusan Mahkamah Agung No. 2615K/Pid.Sus/2015
terhadap pelaku penebangan liar, UU. No. 41/1999 tentang kehutanan dan UU. No.
18/2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Serta data sekunder
berupa data pustaka yang dihimpun dari sejumlah buku, jurnal, surat kabar, media
internet, dan sumber bacaan lainnya yang terkait dengan penelitian ini. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa putusan Mahkamah Agung terhadap
pelaku penebangan liar perkara No. 2615K/Pid.Sus/2015 belum memenuhi rasa
keadilan karena penerapan hukum yang didapat dari putusan tersebut masih terkesan
sepotong-sepotong. Serta kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pelaku
penebangan liar tidak dibenarkan menurut fiqih lingkungan.
Kata kunci : Tindak Pidana, Kehutanan, Penebangan Liar, Kerusakan
Hutan, Putusan Hakim, Fiqih Lingkungan.
Pembimbing : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA. dan Fahmi Muhammad
Ahmadi, M.Si.
Daftar Pustaka : Tahun 1958 s.d. Tahun 2017.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, inayah dan taufik Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
tugas akhir dalam menempuh studi di jurusan Perbandingan Hukum, program studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, yang berhasil menyampaikan risalahnya kepada umat manusia di
seluruh dunia, pendobrak revolusi akbar dalam peradaban sosial kehidupan kita yang
kita harapkan syafaat Nya kelak di akhirat.
Selanjutnya penulis menghaturkan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik
dalam bentuk dorongan moril maupun materiil. Karena penulis tanpa dukungan serta
bantuan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi
ini.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih
kepada pihak yang telah membantu atas terselesaikan nya penulisan skripsi ini,
terutama kepada:
vii
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga menjadi
pemimpin yang memberikan teladan dan integritas yang lebih baik.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si dan Ibu Siti Hanna, S.Ag, Lc., MA.
Selaku ketua dan sekretaris program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum
yang sudah membantu proses penyelesaian skripsi dari awal hingga akhir.
3. Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA. dan bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si
yang telah membimbing dan sangat membantu dengan keikhlasan nya, dan
memotivasi penulis untuk dapat segera menyelesaikan skripsi ini.
4. Dosen penguji yang telah menguji skripsi ini, yang telah memberikan kritik serta
saran demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Pegawai Perpustakaan Utama dan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah membantu menyediakan referensi bagi penulisan ini.
6. Bapak ibu dosen yang telah mengajar dan memberikan ilmu serta mendidik
penulis agar kelak menjadi manusia yang berguna bagi agama dan bangsa.
7. Kepada keluarga, kedua orang tuaku, Ibu, bapak, kedua adikku, paman-paman
beserta bibi-bibiku yang dengan sangat sabar dan ikhlas dalam mendukung,
mendidik, memberikan semangat luar biasa untuk penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
viii
8. Kepada sahabat Perbandingan Hukum, Aidz, Yusuf, Hafiz, Ridwan, Rafika dan
Berli yang sangat membantu dan memberikan semangat serta berjuang bersama,
semoga ilmu kita berguna.
9. Kepada rekan-rekan Silence Guild yang memberikan semangat dan mendukung
penulis dalam penulisan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan ketulusan semua pihak yang telah
membantu menyelesaikan skripsi ini dengan melimpahkan rahmat dan karunia Nya.
Semoga karya penelitian tugas akhir ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan
bagi banyak pihak demi kemaslahatan bersama serta bernilai ibadah di hadapan Allah
SWT. Amin.
Jakarta, 31 Juni 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
COVER DEPAN .................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ........................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 6
E. Metode Penelitian ........................................................................... 7
F. Sistematika Penulisan ..................................................................... 10
BAB II TINDAK PIDANA DAN PENEBANGAN LIAR
A. Definisi Umum Hukum Pidana ...................................................... 11
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana ....................................................... 12
1. Istilah Dan Definisi Tindak Pidana ........................................... 12
x
2. Unsur-unsur Tindak Pidana ...................................................... 13
3. Jenis Tindak Pidana .................................................................. 15
4. Tujuan Pemidanaan................................................................... 15
5. Sanksi Tindak Pidana................................................................ 16
C. Tinjauan Umum Penebangan Liar ................................................... 16
1. Pengertian Penebangan Liar ..................................................... 16
2. Ruang Lingkup Penebangan Liar ............................................. 18
3. Tindak Pidana Penebangan Liar ............................................... 20
4. Penebangan Liar dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999
dan No. 18 Tahun 2013............................................................. 20
BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG PELAKU
PENEBANGAN LIAR DALAM PERSPEKTIF HUKUM
PIDANA
A. Posisi Kasus ..................................................................................... 26
1. Identitas Terdakwa .................................................................... 26
2. Kronologis Perkara ................................................................... 27
3. Dakwaan Jaksa Penuntun Umum ............................................. 27
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ............................................... 28
5. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Terhadap pelaku Penebangan Liar ............................................ 29
xi
6. Amar putusan ............................................................................ 35
B. Analisis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Penebangan Liar Dalam
Perspektif Hukum Pidana ................................................................ 37
BAB IV TINJAUAN FIQIH LINGKUNGAN TERHADAP PELAKU
PENEBANGAN LIAR
A. Pandangan Fiqih Lingkungan Terhadap Pelaku Penebangan Liar .. 43
B. Pandangan Fiqih Lingkungan Terhadap Putusan Mahkamah
Agung Perkara No: 2615 K/Pid.sus/2015........................................ 49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 51
B. Saran ................................................................................................ 52
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... xii
LAMPIRAN .......................................................................................................... xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hutan memiliki peran yang sangat penting bagi manusia. Secara umum
hutan memiliki dua fungsi pokok, yaitu fungsi ekonomis dan ekologis.1 Sumber
daya hutan tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu
bagian komponen lingkungan hidup.2 Nilai penting sumber daya tersebut semakin
bertambah karena hutan merupakan sumber hajat hidup orang banyak. Siapapun
bagian dari masyarakat bangsa ini tidak akan menyangkal bahwa sumber daya
hutan adalah anugerah yang sangat besar yang telah berperan penting dalam
mendukung pembangunan nasional, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial
budaya maupun ekologi.
Allah SWT telah menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi ini untuk
semua mahluk hidup agar mereka dapat mengetahui nikmat yang telah diberikan
oleh nya begitu besar sehingga mereka sentiasa bersyukur atas nikmat tersebut.
Termasuk semua kekayaan alam yang diberikan Allah SWT kepada manusia untuk
dipergunakan sebaik-baiknya.
Manusia adalah makhluk yang paling unggul di dalam ekosistem (tempat
dimana terjadinya proses berinteraksi dan ketergantungan makhluk hidup dengan
lingkungan hidupnya), memiliki kemampuan mengkreasi dan mengkonsumsi
berbagai sumber daya alam dalam kebutuhan hidupnya. Contohnya hutan yang
merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia. Seiring dengan
perkembangan kehidupan masyarakat modern dalam menghadapi industrialisasi
1 Koesnadi hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan: Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm 3. 2 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hlm 6.
2
(usaha menggalakkan industri di suatu negara) dan modernisasi (proses pergeseran
sikap dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk dapat hidup sesuai dengan
tuntutan masa kini) dan terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar
pada kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan makhluk di
dunia. Untuk itu dalam kedudukannya hutan sebagai salah satu penentu sistem
penyangga kehidupan harus dijaga kelestariannya. Sebagaimana landasan
konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : “Bumi air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”.3
Kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka, sehingga akses
masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Kondisi tersebut memacu
permasalahan dalam pengelolaan hutan. Seiring dengan semangat reformasi
(perubahan secara drastis untuk perbaikan bidang sosial, politik, atau agama dalam
suatu masyarakat atau negara) kegiatan penebangan kayu dan pencurian kayu di
hutan menjadi semakin marak apabila hal ini dibiarkan berlangsung secara terus
menerus kerusakan hutan Indonesia akan berdampak pada terganggu nya
kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir, tanah longsor, dis fungsinya hutan
sebagai penyangga keseimbangan alam serta dari sisi pendapatan negara.
Aktifitas penebangan kayu dan pencurian kayu yang diambil dari kawasan
hutan dengan tidak sah atau tanpa izin yang sah dari pemerintah dikenal dengan
istilah penebangan liar, pembalakan liar, dan atau illegal logging. Untuk mengatasi
maraknya tindak pidana jajaran aparat penegak hukum (penyidik Polri maupun
penyidik Ppns yang lingkup tugasnya bertanggung jawab terhadap pengurusan
hutan, kejaksaan maupun hakim) telah mempergunakan undang-undang No. 18
tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
3 Republik indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat 3
3
Secara normatif, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat di
dalam dan di luar hutan, maka kepadanya dikenakan sanksi-sanksi hukum baik
sanksi administratif maupun sangsi pidana sebagaimana yang tertera dalam
ketentuan di atas. Hukum pidana Indonesia memandang, bahwa penebangan liar
merupakan perbuatan yang dapat dipidana, karena telah memenuhi unsur-unsur
perbuatan pidana.4
1. Unsur subjektif, yakni unsur yang berasal dalam diri pelaku yang meliputi
perbuatan yang disengaja.5
2. Unsur Objektif, yakni faktor-faktor penunjang, atau akibat perbuatan manusia,
keadaan-keadaan, adanya sifat melawan hukum.6
Akan tetapi dalam beberapa kasus terhadap pelaku penebangan liar, sering
terjadi kesalahpahaman seperti dalam kasus yang menimpa bapak Muhammad
Muhfid bin Mashuri. Kasus ini bermula dari pak Muhfid yang mengangkut sisa an
kayu jati untuk ia gunakan sebagai kayu bakar yang ditaksir harganya hanya
mencapai Rp 39.960,00 (tiga puluh ribu sembilan ratus enam puluh rupiah). Pak
Muhfid dijerat Pasal 12 juncto Pasal 83 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan. Bahwa kayu yang
dipermasalahkan Perum Perhutani pada saat kayu tersebut dibawa dari hutan tidak
disertai dengan dokumen angkutan, memang berkaitan dengan Undang-undang
nomor 18 tahun 2013. Pada pasal 12 huruf b disebutkan, “Setiap orang dilarang
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang”. Sedangkan pada huruf f disebutkan
4 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional, (Surabaya:
Airlangga University Press, 2005), hlm 333.
5 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Refika Aditamam,
2003), Cet, Ke-1, hlm 61. 6 I Wayan Suandra, Hukum Pertanahan Indonesia, (Jakarta: Rineke Cipta, 1991), hlm 48.
4
“Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu
yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan”.
Memang benar jika dilihat dari segi peraturan perundang-undangan, setiap
orang yang melakukan penebangan di kawasan hutan secara tidak sah dan
membawa kayu tanpa surat keterangan sahnya hasil hutan, dikenakan sanksi pidana
dan sanksi administratif (pasal 82 UU nomor 18 tahun 2013), tetapi penerapan
Undang-Undang tersebut tidak boleh sepotong-sepotong, harus menyeluruh.
Misalnya, apakah dari segi penyidikan dan penuntutan sudah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Jika melihat dari barang bukti tuntutan dan Peraturan
Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012, kasus ini termasuk dalam
kategori tindak pidana ringan (tipiring). Perma inilah membatasi perkara tindak
pidana dengan kerugian di bawah Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Intinya, jika nilai barang yang dicuri tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima
ratus ribu rupiah). Pengusutan kasus ini terlihat dilebih-lebihkan atau over-acting
oleh Perhutani. Sehingga sudah bayak kasus petani di sekitaran hutan seperti yang
dialami bapak Muhfid, yang tidak mendapatkan keadilan. Sementara pelaku illegal
logging yang membalak satu juta meter kubik kayu justru dibiarkan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan
menganalisis lebih lanjut terhadap pelaku penebangan liar. Adapun penelitian yang
akan di susun tersebut berjudul “PENERAPAN HUKUM PIDANA SERTA FIQIH
LINGKUNGAN TERHADAP PELAKU PENEBANGAN LIAR YANG BERMUKIM
DI SEKITAR KAWASAN HUTAN MILIK NEGARA (Perkara No: 2615
K/Pid.Sus/2015)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti
dan dianalisis dalam penelitian ini berisikan antara lain :
1. Bagaimana penerapan hukum yang tepat kepada pelaku penebangan liar?
5
2. Bagaimana pandangan hukum terhadap putusan Mahkamah Agung Perkara
No: 2615 K/Pid.Sus/2015 serta pandangan fiqih lingkungan tentang pelaku
penebangan liar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran maupun penjelasan terhadap pelaku penebangan liar
dalam hukum positif dan fiqih lingkungan.
2. Memberikan gambaran maupun penjelasan serta pandangan hukum terhadap
putusan Mahkamah Agung Perkara No: 2615 K/Pid.Sus/2015 dan pandangan
fiqih lingkungan terhadap pelaku penebangan liar.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara Keilmuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum kehutanan serta bahan
kajian hukum bagi akademisi terutama dalam bidang hukum kehutanan.
2. Secara Praktis
Sebagai kajian hukum bagi pemerintah, lembaga peradilan dan lembaga
perhutanan serta lembaga swadaya masyarakat agar lebih baik dalam
menentukan kebijakan dan mengambil tindakan dalam menyelesaikan masalah
seperti penebangan liar serta masalah lainnya mengenai kelestarian sumber
daya hutan yang terjadi dalam masyarakat.
6
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Tinjauan studi terdahulu dari penelitian ini yang membahas konsepsi
tentang pelaku penebangan liar sebagai berikut tentunya dalam penelitian ini
terdapat sudut perbedaan:
Skripsi karya Hari Wibowo, yang berjudul “Tinjauan Hukum Pidana
Islam Terhadap Putusan Kasasi Mahkamah Agung tentang Ilegal Logging”. Bila
dalam skripsi ini menitik beratkan kepada pemidanaan ilegal logging menurut
hukum pidana Islam, berbeda dengan apa yang akan penulis teliti yaitu
menggabungkan antara konsep tindak pidana pelaku penebangan liar menurut
hukum positif dengan hukum islam dari segi fiqih yaitu fiqih lingkungan. Adapun
judul dari penelitian penulis yaitu “Penerapan Hukum Pidana Serta Fiqih
Lingkungan Terhadap Pelaku Penebangan Liar Yang Bermukim Di sekitar
Kawasan Hutan Milik Negara (Perkara No: 2615 K/Pid.Sus/2015)”.
Artikel yang berjudul “Sisi Kriminologi Pembalakan Hutan Illegal”.
karya Josias Simon Runturambi dari Jurnal Kriminologi Indonesia. Jurnal ini
membahas tentang deskripsi pembalakan hutan secara illegal dipandang dari sisi
prilaku kriminal pelaku pembalakan hutan. Berbeda dengan karya yang penulis
teliti yaitu penebangan liar dipandang dari sisi tindak pidana serta hukum fiqih
lingkungan. Adapun judul karya yang penulis teliti yaitu “Penerapan Hukum
Pidana Serta Fiqih Lingkungan Terhadap Pelaku Penebangan Liar Yang
Bermukim Di sekitar Kawasan Hutan Milik Negara (Perkara No: 2615
K/Pid.Sus/2015)”.
Berangkat dari kajian di atas maka penulis memiliki asumsi masih
diperlukan pengkajian yang mendalam terhadap masalah ini. Demikian menjadi
jelaslah penelitian ini dari kajian-kajian sebelumnya.
7
E. Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian ini dilakukan melalui penelitian hukum normatif (yuridis
normative),7
yakni bagaimana hukum didayagunakan sebagai instrumen
mewujudkan penerapan mekanisme penyelesaian perkara pelaku penebangan liar
melalui kewenangan mengadili Pengadilan Negeri. Penelitian ini menggunakan
tipe penelitian hukum normatif (normative legal research) yang merupakan
penelitian dengan mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data
sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan lembaga pengadilan,
teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif analitis, artinya membatasi
kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau klasifikasi tanpa secara
langsung bertujuan untuk membangun atau menguji hipotesa-hipotesa atau
teoriteori. Dengan kata lain, penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif,
yakni memberikan, menganalisis dan mensistematisasikan hukum yang berlaku
dengan penelitian lapangan sebagai penunjang.8
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang dipergunakan untuk mendukung penelitian ini
adalah data sekunder, dimana bahan-bahan hukum seperti yang dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tertier. Sehingga penulisan ini menitik beratkan pada penelitian
bahan pustaka atau yang dalam metode penelitian dikenal sebagai data sekunder,9
yang terdiri dari :
7 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet, Ke-1, hlm 10. 8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Perss),
2008), hal 50-51. 9 Ibid, 51-52.
8
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang diperoleh melalui kepustakaan (library research)
yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran
peraturan perundangundangan yaitu UUD 1945, UU No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, serta UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pencegahan Perusakan Hutan. Selain perundang-undangan, ada pula putusan
pengadilan yaitu putusan Pengadilan Negeri Blora No.
43/Pid.Sus/2015/PN.Bla, putusan Pengadilan Tinggi Semarang No.
199/Pid.Sus/2015/PT.Smg, serta putusan Mahkamah Agung No.
2615K/Pid.Sus/2015.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, berupa
literatur bahan bacaan berupa buku, artikel, dan kamus-kamus hukum, dan
jurnal-jurnal hukum.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan diambil dari ensiklopedia, dan surat kabar baik cetak maupun
elektronik untuk penunjang informasi dalam penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada data sekunder maka
pengumpulan data terutama ditempuh dengan melakukan penelitian kepustakaan
(library research)10
dan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, yang
dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut:11
a. Menginventarisasi dan menilai serta menganalisis peraturan perundang-
undangan yang terkait dan relevan dengan penulisan skripsi ini.
10
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, hlm 12. 11
Ronny Hanityo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm 11.
9
b. Menginventarisasi dan menilai buku-buku literatur yang pokok pembahasan
nya berkenaan dengan penebangan liar dan mengenai kompetensi mengadili
lembaga peradilan.
c. Menginventarisasi dan menilai serta memilih secara selektif bahan-bahan
bacaan lainnya seperti majalah, surat kabar, bulletin yang menunjang dan
memperkaya penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian
dalam rangka memberikan jawaban terhadap masalah yang diteliti, sebelum
analisis data dilakukan, terlebih dahulu diadakan pengumpulan data, kemudian
dianalisis secara kualitatif dan ditafsirkan secara logis dan sistematis, terhadap
asas-asas hukum sistem-sistem hukum dan sinkronisasi hukum dengan
menggunakan metode berpikir deduktif dan induktif. Maksudnya kaidah-kaidah
yang benar dan tepat diterapkan menyelesaikan suatu permasalahan dari kasus ke
kasus yang akan membantu.12
5. Teknik Penulisan Skripsi
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017 yang merupakan panduan dari penulisan karya ilmiah
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya, khususnya
Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum.13
12
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), Cet, Ke-6, hlm 54-63. 13
Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: UIN Jakarta Pres, 2017),
hlm 32-43.
10
F. Sistematika Penulisan
Sebagaimana halnya setiap karya tulis dimana antara satu bab dengan
yang lainnya memiliki satu kesatuan agar dapat menjelaskan permasalahannya dan
untuk memperoleh sistematika yang teratur maka skripsi ini menggunakan
sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I Bab ini memuat latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penelitian.
Bab II Bab ini memuat deskripsi umum tentang hukum pidana, tindak pidana,
dan penebangan liar.
BAB III Bab ini memuat deskripsi putusan Mahkamah Agung, meliputi
kronologis perkara dan putusan hakim terhadap pelaku penebangan
liar.
Bab IV Bab ini membahas analisa putusan serta pandangan fiqih lingkungan
terhadap pelaku penebangan liar.
Bab V Bab ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran
yang diambil berdasarkan hasil dari penelitian yang dilakukan.
11
BAB II
TINDAK PIDANA DAN PENEBANGAN LIAR
A. Definisi Umum Hukum Pidana
Kata-kata hukum pidana merupakan kata-kata yang mempunyai lebih
dari satu pengertian.14
Hukum pidana adalah wilayah dimana negara
memberikan perlindungan kepada warga negaranya dari kejahatan warga
negara yang lain.15
Hukum pidana Indonesia tunduk kepada ketentuan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Ada dua macam pidana yang
dianut oleh KUHP yaitu pelanggaran dan kejahatan. Berikut beberapa
pendapat pakar hukum mengenai hukum pidana.
Apeldoorn, menyatakan bahwa hukum pidana dibedakan menjadi dua
bagian yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana
materiil menunjuk pada perbuatan pidana dan yang oleh sebab perbuatan itu
dapat dipidana, dimana perbuatan pidana itu dibagi ke dalam bagian objektif
serta subjektif.
Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang
bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat melawan hukum
yang menyebabkan tuntutan hukum atas pelanggarannya. Serta bagian
subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk pelaku untuk
dipertanggungjawabkan menurut hukum. Sedangkan hukum pidana formal
yang mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil dapat ditegakkan.16
14
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), Cet, Ke-3, hlm 1.
15 YLBHI dan AusAID, Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2014), hlm 20. 16
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), Cet, Ke-1, hlm 5.
12
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di
suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk menentukan
mana perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, yang disertai
ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan pidana
sebagaimana yang telah diancamkan. Serta menentukan dengan cepat
bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan tersebut. Pengertian tersebut dikemukakan
oleh pakar hukum Moeljatno.17
B. Tinjauan Umum Tindak Pidana
1. Istilah dan Definisi Tindak Pidana
Kata-kata tindak pidana merupakan istilah dari terjemahan bahasa
belanda yaitu strafbaar feit. Demikian istilah strafbaar feit, telah di
terjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu (a) perbuatan yang dapat atau
boleh di hukum; (b) peristiwa hukum; (c) perbuatan pidana; (d) tindak pidana;
dan (e) delik.18
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari strabaar feit
diperkenalkan pertama kali oleh pihak Kementerian Kehakiman, sering dipakai
dalam perundang-undangan.19
Dengan demikian tindak pidana adalah suatu perbuatan atau tindakan
yang dapat diancam dengan suatu pidana oleh suatu peraturan atau undang-
undang, jika bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh
17
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), Cet, Ke-7, hlm 8. 18
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapan nya, (Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1996), Cet, Ke-4, hal 200.
19 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, hml 55.
13
seseorang yang telah mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang
dilakukannya.20
Dimana pengertian perbuatan di sini dilakukan secara aktif
(melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang hukum) juga perbuatan yang
bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).
Pasal 1 KUHP menyebutkan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat
dipidana/dihukum adalah perbuatan yang sudah disebutkan di dalam
perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.21
Berikut pengertian tindak pidana menurut beberapa pakar hukum.
Menurut Simons, tindak pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana
yang melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sedangkan menurut
Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi
barang siapa yang melanggar larangan tersebut.22
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Terdapat dua aliran mengenai materi unsur-unsur tindak pidana
strabaar feit, antara lain sebagai berikut:23
a. Aliran monistis, menurut aliran ini unsur tindak pidana meliputi
unsur-unsur perbuatan, melawan hukum, diancam dengan sanksi,
dilakukan dengan kesalahan, tidak ada alasan pembenar, dan oleh
orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Pakar hukum yang
menganut aliran ini adalah Simon.
20
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hml 7. 21
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), Cet, Ke-5, hml 3. 22
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, hml 54. 23
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), Cet, Ke-1, hlm 18.
14
b. Aliran dualistis, menurut aliran ini unsur tindak pidana meliputi unsur-
unsur perbuatan, melawan hukum, dan diancam dengan pidana
sanksi. Pakar hukum yang menganut aliran ini adalah Moeljanto.
Satochid kartanegara menjelaskan unsur-unsur tindak pidana terbagi
ke dalam dua bagian, unsur objektif dan unsur subjektif.24
Unsur-unsur
objektif yaitu unsur-unsur yang terdapat di luar dari manusia. Dalam hal ini
berupa suatu tindakan (perbuatan), suatu akibat tertentu, dan suatu keadaan.
Ketiganya dilarang dan diancam pidana. Unsur objektif dari ketiga unsur
tersebut dapat di jelaskan melalui contoh sebagai berikut:
a) Suatu tindakan atau perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-
undang. Seperti pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu. Dalam perbuatan
ini unsur objektifnya adalah memberikan keterangan palsu dalam sumpah.
Dan pasal 362 KUHP tentang pencurian. Dalam perbuatan ini unsur
objektifnya adalah mengambi suatu barang.25
b) Suatu akibat tertentu yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
undang-undang. Seperti pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Dalam
perbuatan ini merupakan unsur objektifnya adalah akibat perbuatan
seseorang yaitu hilangnya nyawa orang lain.26
c) Suatu keadaan tertentu atau keadaan khusus yang dilarang dan diancam
hukuman oleh undang-undang. Seperti pasal 281 KUHP tentang
menghasut. Unsur objektif dalam keadaan ini yaitu dilakukan di muka
umum.27
Sedangkan Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang terdapat di
dalam diri manusia. Unsur dapat dipertanggungjawabkan maksudnya suatu
24
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, (Balai Lektur Mahasiswa, t.th.), hlm 71-72.
25 Ibid, hlm 60.
26 Ibid, hml 61.
27 Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Islam di Indonesia, (Bandung: Refika
Aditama, 2003), hml 78.
15
perbuatan merupakan perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan oleh
pelaku tindak pidana. Unsur kesalahan (dolus atau culpa) maksudnya suatu
perbuatan merupakan kesalahan yang telah dilakukan oleh pelaku tindak
pidana.28
3. Jenis Tindak Pidana
Bila dilihat dari sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
berlaku di Indonesia, tindak pidana ini terdiri dari dua jenis tindak pidana yaitu
kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (oventredingen). Di dalam KUHP
yang berlaku di Indonesia bab tentang kejahatan dimaksudkan ke dalam buku
II (pasal 104-488 KUHP), sedangkan bab tentang pelanggaran dimasukkan ke
dalam buku III (pasal 489-569 KUHP).29
Selain itu, terdapat pula jenis pidana yang meliputi delik formal dan
delik material, delik dolus dan delik culpa, delik commissionis dan delik
omissionis, delik aduan dan delik biasa, serta jenis delik lain seperti delik
berturut-turut (voortgezet delict), delik yang berlangsung terus, delik yang
berkualifikasi (gequalificeerd), delik dengan privilage, delik propia, dan delik
politik.30
4. Tujuan Pemidanaan
Di dalam penerapan hukum pidana yang berlaku sekarang pada
dasarnya mengandung 4 (empat) konsep tujuan pemidanaan atau tujuan
penjatuhan hukuman terhadap pelaku kejahatan. Keempat konsep tersebut
adalah Reformation (memperbaiki merehabilitasi, Restraint (pengasingan),
Retribution (pembalasan), dan Deterrence (penjeraan atau pencegahan).31
28
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian I, hlm 73-75 29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), Cet, Ke-1 hlm 3.
30 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, hlm 57-60
31 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, hlm 28.
16
5. Sanksi Tindak Pidana
Sanksi pidana dalam hukum pidana positif dibagi menjadi dua bagian
yaitu berupa hukuman pokok dan hukuman tambahan. Sebagaimana yang
tercantum dalam KUHP pasal 10 yang berbunyi sebagai berikut:32
a. Pidana pokok terdiri dari Hukuman mati, hukuman penjara, hukuman
kurungan, hukuman denda, dan hukuman tutupan
b. Pidana tambahan terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.
C. Tinjauan Umum Penebangan Liar
1. Pengertian Penebangan Liar
Penebangan liar atau pembalakan liar dalam istilah bahasa Inggris
disebut “Illegal Logging”. Dalam The Contemporary English Indonesian
Dictionary, “illegal” artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan
hukum, haram. Dalam Black’s Law Dictionary illegal artinya “forbiden by law,
unlawdull” artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. “Log” dalam
bahasa Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan, dan “logging” artinya
menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian.33
Secara umum illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan
dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu tidak
mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu
perbuatan yang dapat merusak hutan. Unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan
illegal logging tersebut antara lain: adanya suatu kegiatan, menebang kayu,
mengangkut kayu, pengolahan kayu, penjualan kayu, pembelian kayu, dapat
32
Andi Hamzah, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), (Bumi Aksara, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet, Ke-12, hlm 6.
33 Salim, Kamus Indonesia Inggris, (Jakarta: Modern English Press, 1987), hlm 925.
17
merusak hutan, ada aturan hukum yang melarang dan bertentangan dengan
aturan hukum yang berlaku.
Illegal logging adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan
dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan
dengan aturan hukum yang berlaku dan atau berpotensi merusak hutan.34
Maksud
dari kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayati nya, yang
menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan
fungsinya.” Istilah “Kerusakan hutan” yang dimuat dalam peraturan
perundangundangan dibidang kehutanan yang berlaku ditafsirkan bahwa
kerusakan hutan mengandung pengertian yang bersifat dualisme yaitu : pertama,
kerusakan hutan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari
pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum.
Kedua, kerusakan yang berdampak negatif (merugikan) adalah suatu tindakan
nyata melawan hukum dan bertentangan dengan kebijaksanaan atau tanpa adanya
persetujuan pemerintah dalam bentuk perizinan.35
Unsur Illegal logging terdiri
dari tujuh unsur meliputi :
a. Perizinan merupakan kegiatan logging dikatakan illegal apabila kegiatan
tersebut tidak ada izinnya, atau belum ada kegiatan izinnya atau izin yang
telah kadaluarsa.
b. Praktek (tekhnik operasi) merupakan kegiatan logging dikatakan illegal
apabila pada praktek nya tidak menerapkan praktek logging yang
benar/sesuai peraturan. Contohnya, menebang tidak sesuai dengan sistem
silvikultur, menebang sembarang jenis, menebang sembarang diameter
dan sebagainya.
34
Bambang Tri Bawono dan Anis Mashdurohatun, Penegakan Hukum Pidana Di Bidang Illegal Logging Bagi Kelestarian Lingkungan Hidup Dan Upaya Penanggulangannya, (Semarang: Fakultas hukum UNISSULA, 2011), Jurnal Hukum Vol XXVI, No. 2, hlm 592-593.
35 Ibid, hlm 539.
18
c. Lokasi merupakan kegiatan logging dikatakan illegal apabila dilakukan
pada lokasi di luar izin, menebang di kawasan konservasi/lindung, atau
asal usul lokasi tidak dapat ditujukan.
d. Produksi kayu merupakan kegiatan logging dikatakan illegal apabila
kayunya sembarang jenis (terutama jenis dilindungi), tidak ada batas
diameter, tidak ada identitas asal usul kayu (LHC/LHP), tidak ada tanda
pengenal perusahaan.
e. Dokumen merupakan kegiatan logging dikatakan illegal apabila tidak asa
dokumen sahnya kayu.
f. Pelaku merupakan kegiatan logging dikatakan illegal apabila orang-
perorangan atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau
melakukan kegiatan pelanggar hukum bidang kehutanan.
g. Penjualan merupakan kegiatan logging dikatakan illegal apabila pada saat
penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu
diselundupkan.36
2. Ruang Lingkup Penebangan Liar
Praktek eksploitasi hutan secara illegal, mencakup tiga hal yaitu:
a. Illegal logging
Merupakan praktek langsung pada penebangan pohon di kawasan
hutan secara tidak sah. Dilihat dari jenis kegiatannya, ruang lingkup illegal
logging terdiri atas:
a) Rencana penebangan, meliputi semua atau sebagian kegiatan dan
pembukaan akses ke dalam hutan negara, melawa alat-alat atau sarana dan
prasarana untuk melakukan penebangan pohon untuk tujuan eksploitasi
kayu secara tidak sah.
36
Risa Suarga, Pemberantasan Illegal Logging, Optimisme di Tengah Praktek Premanisme Global, (Tanggerang: Wana Aksara, 2005), hlm 7.
19
b) Penebangan pohon dalam makna sesungguhnya untuk tujuan eksploitasi
kayu secara tidak sah.
b. Illegal processing
Merupakan semua atau sebagian kegiatan sebagai proses lanjutan
terhadap kayu (logs) hasil tebangan secara tidak sah. Dilihat dari jenis
kegiatannya, ruang lingkup illegal processing terdiri dari:
a) Hal kepemilikan, menguasai atau memiliki atau menyimpan kayu (logs)
hasil tebangan secara tidak sah.
b) Pergerakan kayu, meliputi mengangkut atau mengeluarkan kayu dari
kawasan hutan negara hasil tebangan secara tidak sah.
c) Pengolahan kayu, merupakan kegiatan pengolahan kayu dari bahan baku
logs hasil tebangan secara tidak sah.
c. Illegal trading
Merupakan kegiatan lanjutan dari proses illegal logging dan atau
illegal processing. Kegiatan-kegiatannya merupakan proses lebih lanjut (end
used) yang dapat memicu atau menjadi alasan kegiatan eksploitasi kayu secara
illegal tetap berjalan. Dilihat dari jenis kegiatannya, ruang lingkup ilegal
trading :
a) Perdagangan, merupakan kegiatan transaksi terhadap logs atau hasil olahan
nya dari kayu hasil tebangan secara tidak sah. Kegiatannya meliputi semua
atau sebagian dari menerima, menjual, menerima tukar, menerima titipan
atau membeli logs atau hasil olahan nya dari kayu hasil tebangan secara
tidak sah.
b) Penyelundupan, merupakan kegiatan mengeluarkan atau perdagangan kayu
(atau olahan) ke luar negeri secara illegal terhadap kayu (atau olahan nya)
melalui eksploitasi kayu secara illegal maupun secara legal.37
37
Ibid, hlm 17-18.
20
3. Tindak Pidana Penebangan Liar
Penebangan liar merupakan salah satu bentuk tindak pidana di bidang
kehutanan. Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana khusus yang
diatur dengan ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapat menunjukkan
hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subjeknya yang
khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten). Hukum
pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau
pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk
golongan militer. Dan kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus
maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang
tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik -delik fiskal.
Kejahatan penebangan liar (illegal logging) merupakan tindak pidana khusus
yang dalam kategori hukum pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-
delik kehutanan yang menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu.38
Penegakan hukum terhadap penebangan liar (illegal logging) mengacu
pada ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang kehutanan dan Undang-Undang no.18 Tahun 2013 tentang
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.
4. Penebangan Liar dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 dan No. 18 Tahun
2013
Penebangan liar merupakan perbuatan atau kegiatan penebangan hutan
secara tidak sah sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan yang dilakukan
oleh perseorangan atau korporasi. Sayangnya kerusakan hutan di tanah air cukup
memprihatinkan. Berdasarkan catatan Kementerian Kehutanan Republik
Indonesia, sedikitnya 1,1 juta hektar atau 2% dari hutan Indonesia menyusut tiap
tahunnya. Data Kementerian Kehutanan menyebutkan dari sekitar 130 juta
38
Pope, Strategi Memberantas Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm.19
21
hektar hutan yang tersisa di Indonesia, 42 juta hektar diantaranya sudah habis
ditebang.39
Kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan alam di
Indonesia adalah penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan,
kebakaran hutan dan eksploitasi hutan secara tidak lestari baik untuk
pengembangan pemukiman, industri, maupun akibat perambahan. Kerusakan
hutan yang semakin parah menyebabkan terganggu nya keseimbangan ekosistem
hutan dan lingkungan di sekitarnya. Rusaknya hutan telah menjadi ancaman bagi
seluruh makhluk hidup. Berikut ini adalah penjelasan penebangan liar dalam UU
No. 41 tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2013.
1. UU No. 41 Tahun 1999
Indonesia pertama kali memiliki Undang-Undang Kehutanan tahun
1927. Undang-undang ini hanya berlaku untuk mengatur pengelolaan hutan di
pulau Jawa dan Madura. Sementara itu Indonesia sebenarnya memiliki hutan
alam tropika basah di luar Jawa yang sangat luas dan mempunyai potensi
ekonomi tinggi untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu lalu disusun Undang-
undang kehutanan untuk mengatur pengusahaan hutan di luar Jawa, yang dikenal
dengan UU No:5/1967.40
Acuan yang tersedia bagi pengambil keputusan di bidang kehutanan
pada waktu itu tentu saja hanya Undang-undang Kehutanan untuk Jawa &
Madura tadi. Sesuai dengan perkembangan ilmu kehutanan, hutan alam jati di
Jawa yang rusak akibat praktek penambangan kayu, khususnya oleh VOC
selama dua abad, lalu dibangun dengan model Jerman. Bentuk pengelolaan hutan
model Jerman itu dikenal dengan kebun kayu (timber management), dan
39
http://www.wwf.or.id/kehutanan/ di akses tangal 06 juni 2017 14:01 WIB. 40
Hasanu Simon, Kilas Balik Sejarah Peraturan Tentang Kehutanan, (Yogyakarta: Arupa,
Jurnal PSDA, Januari 2000), Vol-1, hlm 1.
22
pemerintah Hindia Belanda dengan sukses dapat membangun hutan tanaman jati
monokultur. Pengelolaan kebun kayu jati itulah yang dituangkan di dalam
Undang-undang Kehutanan Jawa dan Madura tahun 1927 tersebut. Oleh karena
itu UU No. 5/1967 mempunyai dua kelemahan, yaitu hutan yang dihadapi di luar
Jawa bukan kebun kayu monokultur dan kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang berbeda dengan keadaan di Jawa dan Madura awal abad ke-20 ini.41
Karena adanya dua kelemahan itu maka sudah sejak lama para
pemerhati dan pengamat kehutanan Indonesia mulai awal dekade 1990-an telah
menyuarakan perlunya ditinjau kembali UU No. 5/1967. Himbauan tersebut
tidak ditanggapi secara serius oleh Departemen Kehutanan. Walaupun pada
mulanya dibentuk tim untuk mengkaji kemungkinan perubahan itu, namun pada
tahun 1997 diputuskan bahwa perubahan tersebut dianggap belum mendesak.
Tetapi setelah terjadi perubahan politik nasional karena krisis ekonomi dan
kepemimpinan tahun 1998, maka Departemen Kehutanan dan Perkebunan
membentuk tim untuk menyusun undang-undang kehutanan yang baru. Akhirnya
lahirlah undang-undang yang baru itu, dikenal sebagai Undang-Undang No.
41/1999.42
Unsur penebangan liar yang di tuangkan dalam UU No. 41 tahun 1999
Tentang Kehutanan diantaranya meliputi unsur melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan 500 (lima ratus)
meter dari tepi waduk atau danau, 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan
kiri kanan sungai di daerah rawa, 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai,
50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai, 2 (dua) kali kedalaman
jurang dari tepi jurang, dan 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang terdiri dan
pasang terendah dari tepi pantai. Membakar hutan. Serta menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau
41
Ibid, hlm 2. 42
Ibid, hlm 8-9.
23
izin dari pejabat yang berwenang. Hal ini sebagaimana tertuang dalam pasal 50
ayat (3) huruf c, d, dan e.43
Adapun ketentuan pidana dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan diantaranya meliputi pasal pasal 78 ayat (2) disebutkan barang siapa
dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat
(3) huruf c diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Dalam pasal 78
ayat (3) disebutkan barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam
Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Serta dalam pasal 78 ayat (5) barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan
dalam pasal 50 ayat (3) huruf e diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).44
2. UU No. 18 Tahun 2013
Kedudukan hukum setiap warga negara adalah sama di hadapan hukum.
Jangan sampai ada perlakuan yang berbeda atau justru sebaliknya yaitu adanya
diskriminasi perlakuan yang sengaja dibedakan karena berbagai segi dan faktor
yang menyebabkannya.45
Saat sekarang ini seiring dengan maraknya perbuatan
penebangan liar, maka sejak tahun 2013 disahkan lah Undang-undang Nomor
18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
UU No. 18 Tahun 2013 lahir akibat peraturan yang ada di UU No. 41 tahun 1999
dinilai masih banyak kelemahan dalam menjerat pelaku penebangan liar.
43
Lembar Negara Republik Indonesia nomor 167, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, (Kementerian Sekretariat Negara RI, 199), hlm 18.
44 Ibid, hlm 28.
45 John Salindeho, Undang-Undang Gangguan Dan Masalah Lingkungan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1993), Cet Ke-2, hlm 111.
24
UU No. 18 Tahun 2013 pada pasal 8 tidak hanya sekadar melindungi
atau membuat perlindungan terhadap hutan. Akan tetapi, lebih mengarah pada
upaya pemberantasan perusakan hutan. Pemberantasan perusakan hutan
dilakukan dengan cara menindak secara hukum pelaku perusakan hutan, baik
langsung, tidak langsung, maupun terkait lainnya, dan tindakan secara hukum
sebagaimana dimaksud yaitu meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan. Oleh karena itu, dalam hal ini dimasukkan
dalam perkara tindak pidana dan prosesnya berdasarkan hukum acara pidana
yang berlaku.46
Dalam UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan unsur penebangan liar yang di tuangkan dalam pasal 12 huruf
a, b, c, d, dan e yaitu setiap orang dilarang (a) melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan hutan. (b)
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. (c) melakukan penebangan pohon
dalam kawasan hutan secara tidak sah. (d) memuat, membongkar, mengeluarkan,
mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan
tanpa izin. Dan yang terakhir huruf (e) mengangkut, menguasai, atau memiliki
hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya
hasil hutan.47
Adapun ketentuan pidana dalam UU No. 18 tahun 2013 tertuang
diantaranya dalam pasal 82 ayat (1) yaitu orang perseorangan yang dengan
sengaja melakukan penebangan pohon dalam pasal 12 huruf a, b, dan c dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
46
Wahyu Prawesthi, Politik Kehutanan dalam Penegakan Hukum Lingkungan dan Pengendalian Pengurangan Risiko Bencana, (Surabaya: Universitas Dr. Soetomo, Jurnal Politik, 2016), Vol. 12, No. 01, hlm 1788-1789.
47 Lembar Negara Republik Indonesia nomor 130, Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan, (Kementerian Sekretariat Negara RI, 2013), hlm 9-10.
25
tahun serta pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta
rupiah). 48
Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dilakukan
oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar
kawasan hutan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah) hal ini tertuang dalam pasal 82 ayat (2).
Dalam pasal 83 ayat (1) di sebutkan orang perseorangan yang dengan
sengaja melanggar pasal 12 huruf d dan e dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun serta pidana denda paling
sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).49
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888)
yang mengatur tindak pidana perusakan hutan dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Ketentuan ini
berdasarkan pasal 113 UU No. 18 tahun 2013.50
48
Ibid, hlm 38. 49
Ibid, hlm 39. 50
Ibid, hlm 67.
26
BAB III
DESKRIPSI UMUM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG
PELAKU PENEBANGAN LIAR
A. Posisi Kasus
Dalam rangka memperjelas dan memperkuat serta mendukung uraian dari
bab-bab yang penulis uraikan di atas, maka dalam bab ini penulis menyajikan data
hasil penelitian yang selanjutnya di analisis untuk memperoleh kesimpulan.
Sebelum penulis melakukan analisis terhadap putusan Mahkamah Agung No.
2615K/Pid.Sus/2015, maka sebelumnya penulis akan menuliskan identitas lengkap
terdakwa, kasus posisi, dakwaan yang didakwakan kepada terdakwa, tuntutan yang
diajukan oleh penuntut umum, pertimbangan-pertimbangan hakim terhadap fakta-
fakta hukum yang terungkap di persidangan dan amar putusan yang di jatuhkan
oleh hakim kepada terdakwa.
1. Identitas Terdakwa
Nama lengkap terdakwa adalah Muhammad Mufid bin Mashuri, lahir di
Blora, umur 41 tahun/16 Maret 1973, jenis kelamin laki-laki, kewarganegaraan
Indonesia, Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora, ia beragama Islam, bekerja
sebagai petani. Terdakwa ditahan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim
pengadilan negeri Blora sejak tanggal 18 april 2015 sampai dengan tanggal 15
september 2015. Di dalam kasus ini terdakwa tidak didampingi oleh penasihat
hukum.51
51
Ahmad Zulpikar dkk, Putusan No. 43/Pid.Sus/2015/PN.Bla tentang penebangan liar, (Blora: Pengadilan Negeri Blora, 2015), hlm 1.
27
2. Kronologis Kasus
Bermula pada hari jumat tanggal 17 April 2015 sekira pukul 17.30 WIB
terdakwa berangkat dari rumah dengan membawa sabit sebagai sarana untuk
memotong kayu dengan berjalan kaki menuju ke kawasan hutan, sesampainya di
petak 107 RPH Jatikusumo BKPH Kedungjambu KPH Randublatung terdakwa
melihat ada segerombolan orang sedang memotong pohon jati dan meninggalkan
potongan kayu jati yang berukuran agak kecil. Terdakwa mengambil sisa potongan
kayu jati yang ditinggalkan tersebut. Kemudian terdakwa membersihkan ranting-
rantingnya dengan sabit sehingga membentuk ukuran 249 x 13 cm dengan Volume
0,037 M3.
Setelah kayu jati tersebut diangkutnya dengan cara dipikul untuk dibawa
pulang ke rumah, akan tetapi baru berjalan sampai petak108 RPH Jatikusumo
BKPH Kedungjambu KPH Randublatung terdakwa berpapasan degan 2 (dua)
petugas Perhutani. Petugas Perhutani masing-masing bernama Sudaryanto Bin
Darji (sebagai saksi 2) dan Susanto Bin Parjo (sebagai saksi ke 3). Saksi 2 dan 3
menanyakan kepada terdakwa dari mana kayu jadi yang terdakwa bawa serta
menanyakan izin dari pengangkutan kayu jati tersebut. Karena terdakwa tidak dapat
menujukan izin untuk mengangkut kayu tersebut saksi 2 dan 3 lantas menangkap
terdakwa dan melaporkan nya kepada atasan mereka yaitu Hariyani bin Hadi
Sucipto (sebagai saksi 1). 52
3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum
Kasus perkara tindak pidana “kehutanan” dan “pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan” dengan Nomor Register Perkara:
43/Pid.Sus/2015/PN.Bla yang di lakukan terdakwa Muhammad Mufid bin Mashuri
didakwa dalam bentuk dakwaan alternatif, yakni53
:
52
Ibid, hlm 3-4. 53
Hari Sasangka dkk, Penuntutan dan Teknik Membuat Surat Dakwaan, (Surabaya: Dharma Surya Berlian, 1996), hlm 98.
28
Dalam dakwaan kesatu pasal 50 ayat (3) huruf e jo pasal 78 ayat (5) UURI
No. 41 Tahun 1999 jo pasal 113 UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan yaitu menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dikurangi waktu
selama Terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap
ditahan.54
4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Adapun yang menjadi tuntutan jaksa penuntut umum yakni menyatakan
terdakwa Muhammad Mufid Bin Mashuri terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana “telah mengangkut, menguasai
atau memiliki hasil hutan berupa kayu jati sebanyak 1 (satu) batang dengan ukuran
249 x 13 cm tanpa dilengkapi dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH)” sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 12 huruf e jo pasal
83 ayat (1) huruf b UURI No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Muhammad Mufid Bin Mashuri
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi waktu
selama Terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap
ditahan dan denda 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) subsider 1 (satu) bulan
kurungan.
Menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) batang kayu jati berbentuk
gelondong dengan ukuran 249 cm Ø 13 cm jumlah Volume 0,037 M3. (Dirampas
untuk Negara Cq Perhutani KPH Randublatung) dan 1 (satu) buah bendo terbuat
dari besi yang pada ujungnya tumpul salah satu sisinya tajam dan tangkai terbuat
dari kayu dan besi yang dibungkus dengan karet bekas ban dalam sepeda warna
54
Ahmad Zulpikar dkk, Putusan No. 43/Pid.Sus/2015/PN.Bla tentang penebangan liar, hlm 10.
29
merah (Dirampas untuk dimusnahkan). Serta menetapkan agar terdakwa dibebani
membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah).55
5. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap pelaku
Penebangan Liar
a. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Negeri Blora dalam Putusan No:
43/Pid.Sus/2015/PN.Bla
Sebelum hakim Pengadilan Negeri Blora memberikan keputusan
terhadap terdakwa (Muhammad Mufid bin Mashuri), keputusan hakim
haruslah berdasarkan surat pelimpahan dakwaan atas kesalahan terdakwa,
serta keputusannya itu haruslah berdasarkan hasil pemeriksaan
persidangan dalam ruang lingkup dakwaan tersebut. Seperti saksi-saksi
yang telah dihadirkan di persidangan, barang bukti dan keterangan dari
terdakwa.56
Pertama akan dijelaskan mengenai keterangan saksi-saksi di
persidangan.57
Saksi pertama Hariyani bin Hadi Sucipto selaku petugas
Perhutani. Hariyani telah menerima laporan dari saksi Sudaryanto dan
saksi Susanto yang telah menangkap terdakwa yang sedang memikul kayu
jati dan tidak dilengkapi dengan surat izin dari Perhutani. Kayu jati yang
dibawa terdakwa dengan ukuran 249 diameter 13 cm dengan volume
0,037 M3. Potongan kayu jati tersebut menurut saksi dipotong
menggunakan alat gergaji, karena potongannya rapi. Di petak 107 RPH
Jatikusumo masih ditemukan bekas tunggak tebangan baru, dan bekas
tunggak lebih besar dari kayu yang diambil terdakwa karena yang
diambil terdakwa adalah bagian pucuknya dari sisa bekas tebangan orang
55
Ibid, hlm 2-3. 56
A. Hamzah, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm 9. 57
Ahmad Zulpikar dkk, Putusan No. 43/Pid.Sus/2015/PN.Bla tentang penebangan liar, hlm 5-8.
30
lain. Akibat perbuatan Terdakwa Negara dalam hal ini KPH
Randublatung menderita kerugian sebesar Rp. 39.960,- (tiga puluh
sembilan ribu sembilan ratus enam puluh rupiah).
Saksi kedua Sudaryanto Bin Darji menjelaskan telah melakukan
penangkapan bersama petugas Perhutani Susanto kepada terdakwa
Muhammad Mufid bin Mashuri yang sedang membawa kayu jati yang di
taruh di atas pundak. Pada saat saksi menangkap terdakwa disamping
mengangkut satu batang kayu jati hutan juga membawa sebilah bendog.
Saksi ada menanyakan kepada terdakwa tentang ijin kayu tersebut, dan
terdakwa tidak mempunyai ijin nya.
Saksi ketiga Susanto Bin Parjo menjelaskan saat melakukan
penangkapan bahwa kayu jati yang dibawa terdakwa tidak memiliki izin
Perhutani. Melihat bekas potongan kayu jati menggunakan alat gergaji.
Bahwa berdasarkan keterangan terdakwa, terdakwa ditunjukkan oleh
teman satu desanya bahwa di hutan ada sisa kayu bekas tebangan yang
sudah tidak dipakai.
Kedua bukti yang dihadirkan di persidangan. Barang bukti pertama
berupa 01 (satu) batang kayu jati berbentuk gelondong dengan ukuran 249
cm Ø 13 cm jumlah volume 0,037 M3. Barang bukti kedua berupa 01
(satu) buah bendo terbuat dari besi yang pada ujungnya tumpul salah satu
sisinya tajam dan tangkai terbuat dari kayu dan besi yang dibungkus
dengan karet bekas ban dalam sepeda warna merah.58
Ketiga pengakuan terdakwa. Terdakwa pada hari jumat tanggal 17
April 2015 sekira kurang dari pukul 16.30 WIB berangkat dari rumahnya
berjalan kaki sambil membawa parang/bendog menuju ke hutan untuk
mencari rencek untuk kayu bakar. Sesampainya di hutan petak 107
terdakwa bertemu dengan empat orang, tetangga satu desa terdakwa
58
Ibid, hlm 9.
31
yaitu Sugiharto, Sagi, Kamari dan Sumindar, yang sedang menebang kayu
jati, lalu Terdakwa ditunjukkan oleh mereka masih ada sisa pucuk kayu
jati yang bisa dijadikan bahan kayu bakar.
Setelah itu terdakwa ambil dan terdakwa membersihkan ranting-
rantingnya dengan parang setelah bersih diangkut dengan cara diletakkan
diatas pundak. Terdakwa mengatakan tidak dalam rombongan tetangga
terdakwa tersebut, karena terdakwa bertemu dengan mereka setelah
terdakwa berputar-putar mencari ranting kayu jati yang sudah agak kering
(rencek) namun tidak menemukannya, lalu bertemu mereka yang telah
lebih dahulu berada di dalam hutan yang kemudian menunjukkan sisa
tebangan mereka. Terdakwa biasanya ke hutan untuk mencari kayu
bakar/rencek dan mencari kroto. Terdakwa memikul kayu jati tersebut
tanpa izin dari Perhutani.59
Berdasarkan fakta hukum tersebut elemen unsur yang tepat adalah
elemen unsur “setiap orang” dan “memungut”. Fakta hukum tersebut
tergambar jelas bahwa terdakwa hanya mengambil sisa tebangan berupa
pucuk pohon jati yang sebelumnya telah dipotong oleh empat orang,
tetangga satu desa terdakwa yaitu Sugiharto, Sagi, Kamari dan Sumindar.
Meskipun terdakwa hanya memungut sisa tebangan orang lain
namun berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 13 UU No. 18 Tahun 2013,
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, hasil hutan
kayu adalah hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan,
atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan. Oleh karena itu
pucuk kayu jati yang di pungut oleh terdakwa tetap harus meminta ijin
Perhutani, namun hal tersebut tidak dilakukan terdakwa sehingga
perbuatan terdakwa memungut pucuk kayu jati tersebut memenuhi unsur
tidak ada ijin dari pejabat yang berwenang yang dalam hal ini dari perum
59
Ibid, hlm 8.
32
Perhutani. Menurut hemat majelis hakim unsur tersebut telah terpenuhi
pula.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, ternyata
perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur-unsur dari dakwaan
penuntut umum. Sehingga majelis hakim berkesimpulan bahwa terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya yaitu pasal 50 ayat (3) huruf e jo pasal 78 ayat (5)
UURI No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan jo pasal 113 UU No. 18
Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Dalam pertimbangan hakim ada pertimbangan yang memberatkan
dan meringankan terdakwa. Pertimbangan hakim pengadilan negeri hal-
hal yang memberatkan terdakwa adalah terdakwa menyadari mengambil
kayu jati di wilayah hutan Perhutani tetapi tetap mengambilnya.
Sedangkan hal-hal yang meringankan terdakwa adalah terdakwa berterus
terang selama di persidangan sehingga memperlancar jalannya
persidangan, terdakwa adalah tulang punggung keluarga, terdakwa
belum pernah dihukum, dan terdakwa tidak pernah sebelumnya
mengambil kayu jati di wilayah hutan Perhutani.60
b. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan Tinggi Semarang dalam Putusan
No. 199/Pid.Sus/2015/PT.Smg
Pada tingkat pengadilan tinggi Semarang, sebelum hakim
memberikan putusan maka harus mempertimbangkan beberapa hal
terlebih dahulu. Pertama hakim dapat menerima permintaan banding jika
penuntut umum mengajukannya sesuai dengan cara yang diatur oleh
undang-undang. Kedua, penuntut umum harus mengajukan memori
banding dan terdakwa mengajukan kontra memori banding atau
60
Ibid, hlm 16.
33
sebaliknya kepada pengadilan tinggi Semarang. Upaya hukum ini dikenal
dengan upaya hukum biasa.61
Sebenarnya pertimbangan majelis hakim tingkat banding tidak
jauh berbeda dengan pertimbangan Majelis Hakim tingkat pertama, yaitu
unsur “setiap orang dan “memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang” dalam pasal 50 ayat
(3) huruf e jo pasal 78 ayat (5) UURI No. 41 Tahun 1999 jo pasal 113 UU
No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan, unsur-unsurnya telah terpenuhi.62
Majelis Hakim tingkat banding tidak menemukan hal-hal yang
dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan
pembenar dan atau alasan pemaaf, maka terdakwa harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karena terdakwa mampu
bertanggung jawab, maka terdakwa harus dinyatakan bersalah dan
dijatuhi pidana.
Ketiga, majelis hakim tingkat banding setuju dengan lamanya
pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa karena telah sesuai dengan
hukum yang berlaku. Keempat, berdasarkan kepada pertimbangan aspek
tujuan pemidanaan maka putusan pengadilan negeri Blora harus dikuatkan
mengenai pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa karena tidak
menyalahi aturan hukum yang berlaku.
c. Pertimbangan Hukum Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan No.
2615K/Pid.Sus/2015
Sebelum memberikan keputusan terhadap pemohon kasasi
(Jaksa/penuntut umum)63
, hakim harus mempertimbangkan terlebih
61
A. Hamzah, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, hlm 47.
63 Ibid, hlm 112.
34
dahulu alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi. Alasan tersebut
diajukan karena penerapan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya dan tidak sesuai dengan judex facti. Alasan yang
diajukan oleh pemohon kasasi adalah bahwa majelis hakim tingkat
banding yang telah menjatuhkan putusan yang pertimbangan dan amar
nya telah melakukan kekeliruan yaitu tidak menerapkan peraturan hukum
atau menerapkan suatu peraturan hukum tidak sebagaimana semestinya.
Dalam musyawarah majelis hakim mempertimbangkan terlepas
alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum judex facti salah menerapkan hukum
dalam hal menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e jo.
Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 jo. Pasal 113
Undang-Undang No.18 Tahun 2013.
Majelis hakim juga mempertimbangkan fakta hukum yang ada di
persidangan yaitu terdakwa sebenarnya hanya mengambil sisa potongan
kayu jati yang ditinggalkan. Kemudian terdakwa membersihkan ranting-
rantingnya dengan alat sabit selanjutnya kayu tersebut diangkut dengan
cara dipikul untuk dibawa pulang ke rumah tanpa izin dari pejabat yang
berwenang. Berselang setelah itu terdakwa ditangkap petugas Perhutani.
Bahwa, sebelum judex facti menjatuhkan pidana kepada terdakwa terlebih
dahulu telah cukup mempertimbangkan hal yang memberatkan sesuai
Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP.
Alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat
penghargaan tentang suatu kenyataan. Hal semacam itu tidak dapat
dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak
diterapkan suatu peraturan hukum, peraturan hukum tidak diterapkan
sebagaimana mestinya, apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
35
ketentuan undang-undang, dan apakah pengadilan telah melampaui batas
wewenang nya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP.64
6. Amar Putusan
Setelah majelis hakim memberikan pertimbangan-pertimbangannya, maka
tibalah majelis hakim memutus perkara, maka majelis hakim memutuskan:
a. Putusan Pengadilan Negeri Blora
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim, maka Hakim memutuskan
menyatakan terdakwa Muhammad Mufid bin Mashuri terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana memungut hasil hutan tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Menjatuhkan pidana oleh
karena itu kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima) bulan, dan
denda sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) dengan ketentuan apabila
tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) batang kayu jati berbentuk
gelondong dengan ukuran 249 cm diameter 13 cm jumlah Volume 0,037 M3
dirampas untuk Negara Cq. Perhutani KPH Randublatung, serta barang bukti
berupa 01 (satu) buah bendo terbuat dari besi yang pada ujungnya tumpul
salah satu sisinya tajam dan tangkai terbuat dari kayu dan besi yang dibungkus
dengan karet bekas ban dalam sepeda warna merah dirampas untuk
dimusnahkan. Dan Membebankan biaya perkara ini kepada Terdakwa
sejumlah Rp. 2.000,00 (dua ribu rupiah).65
64
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hlm 336-337. 65
Ahmad Zulpikar dkk, Putusan No. 43/Pid.Sus/2015/PN.Bla tentang penebangan liar, hlm 16-17.
36
Berdasarkan pasal 1 butir 12 KUHAP upaya hukum yang dapat
dilakukan penuntut umum karena tidak puas dengan keputusan pengadilan
tingkat pertama adalah dengan melakukan banding. Permintaan banding
menurut pasal 233 butir 1 KUHAP dapat diajukan ke pengadilan tinggi oleh
penuntut umum menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum.66
b. Putusan Pengadilan Tinggi Semarang
Berdasarkan pertimbangan majelis hakim, maka hakim memutuskan
menerima permintaan banding jaksa penuntut umum. Menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Blora No. 43/Pid.Sus/2015/PN.Bla, tanggal 3 Agustus 2015
yang dimintakan banding tersebut. Memerintahkan agar terdakwa tetap berada
dalam tahanan dan membebani terdakwa membayar biaya perkara dalam
kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding sebesar Rp2.000,00 (dua
ribu rupiah).67
Berdasarkan pasal 241 KUHAP putusan pada tingkat pengadilan
tinggi dapat berupa putusan yang menguatkan, mengubah atau memperbaiki
putusan dan dapat juga membatalkan putusan pengadilan negeri. Jadi dalam
perkara ini putusan yang dijatuhkan terhadap terdakwa adalah putusan yang
menguatkan putusan pengadilan negeri dan sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.68
c. Putusan Mahkamah Agung
Berdasarkan pertimbangan majelis hakim, Mahkamah Agung
memutuskan alasan kasasi jaksa/penuntut umum tidak dapat dibenarkan Judex
Facti tidak salah dalam mengadili perkara a quo dan tidak salah dalam
menerapkan telah sesuai fakta yang terungkap di persidangan dan terdakwa
66
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, hlm 326. 67
Surya Jaya dkk, Putusan No. 2615K/Pid.Sus/2015 Tentang Penebangan Liar, (Jakarta: Mahkamah Agung, 2015), hlm 4-5.
68 Harun M Husin, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hlm 35.
37
ternyata hanya mengambil sisa tebangan orang yang tidak seberapa jumlahnya
dan sudah sesuai dan setimpal dengan perbuatan yang didakwakan tersebut.
Dengan begitu alasan kasasi jaksa/penuntut umum tidak dapat
dibenarkan Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum putusan Judex
Facti yang menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara
selama 5 (lima) bulan oleh karena terdakwa dipersalahkan melakukan tindak
pidana memungut hasil hutan tanpa memiliki izin dari yang berwenang
didasarkan pada pertimbangan yang tepat dan benar atas seluruh fakta-fakta
yang relevan secara yuridis sebagai pertimbangan dalam menentukan dasar
kesalahan terdakwa.
Penerapan hukum di dalam perkara ini tidak bertentangan dengan
hukum serta undang-undang. Maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP majelis
hakim setelah bermusyawarah mengambil keputusan dengan suara terbanyak
yaitu menolak permohonan kasasi yaitu jaksa penuntut umum pada kejaksaan
negeri Blora tersebut. Serta membebankan kepada terdakwa untuk membayar
biaya perkara pada tingkat kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus
rupiah)69
Maka sebenarnya berdasarkan pasal 244 dan pasal 248 KUHAP,
upaya hukum kasasi dilakukan guna menentukan benar atau tidaknya suatu
peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.
Jika penerapan suatu hukum sudah diterapkan dengan benar maka kasasi
ditolak oleh Mahkamah Agung.70
B. Analisis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Penebangan Liar Dalam Perspektif
Hukum Pidana
Majelis hakim pada tingkat pertama Pengadilan Negeri Blora memutuskan
bahwa terdakwa (Muhammad Mufid bin Mashuri) terbukti bersalah dengan pidana
69 Surya Jaya dkk, Putusan No. 2615K/Pid.Sus/2015 Tentang Penebangan Liar, hlm 14.
70 Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, hlm 331-332.
38
penjara selama 5 (lima) bulan, dan denda sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah)
dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1
(satu) bulan.
Namun, bila dikaji kembali berdasarkan fakta-fakta hukum di persidangan
baik dari keterangan saksi Hariyani, Sudaryanto dan saksi Susanto (saksi-saksi dari
Perhutani), bahwa kayu jati yang diambil oleh terdakwa hanya kayu jati bagian
pucuk. Bila dilihat dari bekas potongannya sangat rapi karena menggunakan alat
potong gergaji. Pada saat penangkapan terdakwa jelas hanya membawa
bendog/parang alat yang biasa digunakan terdakwa untuk mengambil rencek
(dahan-dahan/kayu yang sudah tidak terpakai). Alat tersebut digunakan untuk
membersihkan ranting-ranting pucuk pohon kayu jati, hal tersebut bersesuaian
dengan keterangan terdakwa yang hanya memungut pucuk pohon jati bekas
tebangan orang lain yang rencananya akan terdakwa gunakan untuk rencek.
Ukuran serta diameter kayu jati yang jadi barang bukti tersebut tidak lah layak
dikategorikan sebagai kayu jati yang nantinya akan bernilai ekonomis yang
memadai untuk dijual kembali, karena dengan ukuran tersebut kayu jati oleh
masyarakat sekitar kawasan hutan akan dibelah lagi dengan kampak untuk
dijadikan kayu bakar.
Dengan melihat fakta kerugian dari pihak Perhutani yang relatif kecil, yaitu
sebesar Rp. 39.960,00 (tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus enam puluh rupiah).
Menurut penulis, hal tersebut tidak sepadan dengan derita yang harus dijalani
terdakwa di dalam tahanan bila mengacu kepada putusan hakim yakni 5 (lima)
bulan, dan denda sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) dengan ketentuan
apabila tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Seyogyanya hakim haruslah menyikapi nya dengan bijak, bagaimanapun antara
Perhutani yang mewakili negara dalam menjaga kelestarian hutan dan masyarakat
sekitar kawasan saling membutuhkan (simbiosis mutualisme) sehingga perlunya
kesadaran dari para pihak untuk saling menyadari hak dan kewajibannya sehingga
39
adanya keselarasan dan menekankan pada tindakan persuasif dengan masyarakat
sekitar hutan.
Berdasarkan fakta-fakta di dalam persidangan, hukuman yang dijatuhkan
kepada terdakwa masih terlalu berat. Karena jika memperhatikan hukuman di
dalam pasal 50 ayat (3) huruf h jo pasal 78 ayat (5) UU No. 41 Tahun 1999 masih
jauh dari keadilan. Jika melihat dari barang bukti tuntutan dan Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012, kasus ini termasuk dalam kategori tindak
pidana ringan (tipiring). Perma inilah membatasi perkara tindak pidana dengan
kerugian di bawah Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Intinya, jika
nilai barang yang dicuri tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu
rupiah), maka pasal yang dikenakan adalah pasal 364 KUHP tentang pencurian
ringan yang ancaman hukumannya hanya 3 bulan. Dengan ketentuan tersebut maka
tersangka atau terdakwa dalam kasus pencurian ringan tidak perlu dikenakan
penahanan.71
Pada tingkat selanjutnya yaitu Pengadilan Tinggi Semarang, hakim
memutuskan bahwa terdakwa tetap dinyatakan bersalah serta dihukum dengan
pidana penjara, memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan dan
membebani terdakwa membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang
untuk tingkat banding sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah). Dalam hal ini, majelis
hakim tingkat banding hanya menguatkan apa yang di putuskan oleh hakim
pengadilan tingkat pertama sehingga tidak merubah atau memperbaiki putusan dari
pengadilan tingkat pertama.
Hal ini sangat disayangkan melihat tidak adanya putusan yang merubah
dari hakim tingkat banding kepada putusan pengadilan tingkat pertama. Memang
benar pertimbangan hakim bahwa terdakwa terbukti memenuhi unsur hukum
“setiap orang” dan “memungut hasil hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang”
71
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Penyesuaian Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP, (Jakarta: Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02, 2012) hlm 1-2.
40
pada pasal 50 ayat (3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 telah terpenuhi. Akan tetapi
seharusnya hakim mempertimbangkan pula masyarakat seperti bapak Mufhid yang
hidup turun temurun di dalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan, dan
papan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menebang pohon (dalam kasus ini
memungut pucuk pohon) dan dapat dibuktikan tidak disalahgunakan untuk
kepentingan pihak lain atau komersial. Bagi masyarakat itu tidaklah termasuk
dalam larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e UU
Kehutanan dan tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya.
Seperti dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 Para warga masyarakat
hukum adat mempunyai hak membuka hutan ulayat nya untuk dikuasai dan
diusahakan tanahnya bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya. Jadi,
tidak mungkin hak warga masyarakat hukum adat itu ditiadakan atau dibekukan
sepanjang memenuhi syarat dalam cakupan pengertian kesatuan masyarakat hukum
adat. Peraturan tersebut diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi No.
35/PUU-IX/2012 yang isinya adalah a) Hutan adat terpisah dari Hutan Negara, b)
Hutan adat merupakan hutan hak, c) Definisi Hutan adat adalah hutan yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat, dan d) hutan adat merupakan hak yang
dimiliki oleh masyarakat hukum adat. 72
Berdasarkan hal tersebut seharusnya masyarakat adat memiliki hak penuh
atas tanah, wilayah dan sumber daya alam, termasuk atas hutan adat. Pengakuan
terhadap hak-hak ini, merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi yang melekat
pada masyarakat adat dan dijamin oleh UUD 1945. Seharusnya majelis hakim
tingkat banding bisa lebih lebih bijaksana lagi dalam mempertimbangkan
pengambilan keputusan untuk kasus tersebut. Sehingga UU kehutanan pasal 50 ayat
72
Moh. Mahfud MD, dkk, Putusan No. 35/PUU-X/2012 Tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi, 2012), hlm 185-187.
41
(3) huruf e tidak di jadikan alat kriminalisasi terhadap masyarakat kecil sekitaran
hutan.
Pada tingkat selanjutnya jaksa penuntut umum mengajukan kasasi atas
putusan Pengadilan Tinggi Semarang. Jaksa penuntut umum mengajukan kasasi
karena di dalam penerapan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya dan
sangat merugikan negara. Sedangkan bila dilihat dari fakta-fakta di dalam
persidangan dan penerapan dakwaan beserta hukumannya sudah memenuhi judex
facti. Dan unsur-unsur di dalam penerapan undang-undang sudah terpenuhi dengan
baik. Maka kasasi yang diminta oleh jaksa penuntut umum ditolak demi hukum.
Berdasarkan pertimbangan di atas, hakim memang tepat dalam menolak
kasasi karena putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan
hukum dan/atau undang-undang. Akan tetapi, sesuai dengan tugas dan
kewajibannya, UU No. 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 ayat
(1) dan (2) hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat
ringan nya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari
terdakwa. Hakim seharusnya lebih jeli dalam dalam melihat fakta-fakta di
persidangan dana tidak hanya berpatokan pada putusan hakim tingkat pertama dan
banding yang telah sesuai atau tidak dalam putusan judex facti.
Fakta di persidangan menujukan bahwa terdakwa adalah masyarakat
sekitar hutan yang memungut hasil hutan untuk kebutuhan hidupnya. Sampah kayu
pungutan terdakwa pun hasil dari bekas tebangan orang lain yang sudah tidak
dipakai lagi dan tidak mempunyai nilai ekonomis yang besar dan dihubungkan
dengan nilai kerugian negara yang diakibatkan perbuatan terdakwa sangat rendah
yaitu sebesar Rp39.960,00. Bahwa, yang harus dipersalahkan melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan jaksa/penuntut umum adalah orang yang bertemu
dengan terdakwa melakukan penebangan kayu jati. Dengan demikian terdakwa
42
tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada
terdakwa, sehingga terdakwa seharus bisa dibebaskan.
43
BAB IV
TINJAUAN FIQIH LINGKUNGAN TERHADAP PELAKU PENEBANGAN
LIAR
A. Pandangan Fiqih Lingkungan Terhadap Pelaku Penebangan Liar
Masalah lingkungan adalah berbicara tentang kelangsungan hidup
(manusia dan alam). Melestarikan lingkungan sama maknanya dengan menjamin
kelangsungan hidup manusia dan segala yang ada di alam dan sekitarnya.
Sebaliknya, merusak lingkungan hidup, apapun bentuknya, merupakan ancaman
serius bagi kelangsungan hidup alam dan segala isinya, tidak terkecuali manusia.73
Sebagai disiplin ilmu yang mengatur hubungan manusia terhadap Tuhannya,
hubungan manusia terhadap dirinya sendiri, hubungan manusia terhadap sesama
manusia, hubungan manusia terhadap lingkungan hidup di sekitarnya, maka tidak
diragukan bila fiqih memiliki peran yang krusial dalam merumuskan tata kelola
lingkungan hidup yang sesuai dengan hukum-hukum syara.74
Dalam bukunya yang berjudul Riayatul Biah fi Syariatil Islam, Yusuf
Qardhawi menjelaskan bahwa fiqih sangat concern terhadap isu-isu lingkungan
hidup ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan pembahasan-pembahasan yang terdapat
dalam literatur fiqih klasik, seperti: pembahasan thaharah (kebersihan), ihya al-
mawat (membuka lahan tidur), al-musaqat dan al-muzara’ah (pemanfaatan lahan
milik untuk orang lain), hukum-hukum terkait dengan jual beli dan kepemilikan air,
api dan garam, hak-hak binatang peliharaan dan pembahasan-pembahasan lainnya
yang terkait dengan lingkungan hidup yang ada di sekitar manusia.75
73
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, (Jakarta: Sinar Grafik, 2013), Cet. Ke-2 hlm 4. 74
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2010), Cet. Ke-1 hlm 5-7. 75
Yusuf Al-Qardhawi, Riayatu Al-Biah fi As-Syariah Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Syuruq, 2001), hlm. 39
44
Beliau juga menegaskan, bahwa pemeliharaan lingkungan merupakan
upaya untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kemudharatan. Hal ini
sejalan dengan maqāsid al-syarī’ah (tujuan syariat agama) yang terumuskan dalam
kulliyāt al-khams, yaitu: hifzu al-nafs (melindungi jiwa), hifzu al-aql (melindungi
akal), hifzu al-māl (melindungi kekayaan/property), hifzu al-nasb (melindungi
keturunan), hifzu al-dīn (melindungi agama). Menjaga kelestarian lingkungan
hidup menurut beliau, merupakan tuntutan untuk melindungi kelima tujuan syariat
tersebut. Dengan demikian, segala prilaku yang mengarah kepada pengrusakan
lingkungan hidup semakna dengan perbuatan mengancam jiwa, akal, harta, nasab,
dan agama.76
Fenomena penebangan hutan secara liar atau yang lebih dikenal dengan
illegal logging sehingga menimbulkan kerusakan tidak dibenarkan dalam ajaran
islam. Dalam konsep fiqih lingkungan melarang praktek penebangan liar karena
berakibat pada kerusakan dan bencana yang mengancam makhluk hidup. Landasan
hukum perusakan hutan sebagaimana firman Allah SWT dalam al Quran surah
saba ayat 15, 16, dan 17 yaitu:
نمذ كهى ف نسجإ كب آخ يس جتب ع بل كهىا وش ق ي كشوا سثكى سص ثه ذح نه واش
شض( ٥١) غفىس وسة طجخ سه ب ىافأع هى فأس م عه ن بهى ان عشو س هى وثذ ثجت جت
ط أكم روات ء وأث م خ وش س ي بهى رنك( ٥١) لهم سذ ب جض إال جبصي وهم كفشوا ث
(٥١) ان كفىس
Artinya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba ada tanda (kekuasaan Tuhan) di
tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan
di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari
rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu)
adalah Tuhan Yang Maha Pengampun"(15). “Tetapi mereka
berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar
dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang
76
Ibid, hlm 44.
45
ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit
dari pohon Sidr”(16). “Demikianlah Kami memberi balasan kepada
mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab
(yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang
sangat kafir”(17).
Ketiga ayat di atas adalah perintah Allah SWT untuk menjaga sumber
kekayaan alam. Dalam ayat tersebut Allah SWT telah menggambarkan bagaimana
suatu bangsa yang telah diberikan kekayaan alam yang melimpah kemudian
mereka melakukan kerusakan pada alam tersebut, yang mengakibatkan timbulnya
bencana. Berdasarkan pandangan dari ketiga ayat tersebut, menjaga atau mencegah
lingkungan dari perusakan khususnya penebangan liar sangat diharuskan. Sehingga
bencana yang ditimbulkannya bisa dihindari. Adapun tafsir dari ketiga ayat di atas
adalah sebagai berikut.
Saba adalah sebuah kabilah yang terkenal di daerah dekat Yaman.77
Tempat kediaman mereka adalah sebuah negeri yang dikenal dengan nama Marib.
Termasuk nikmat Allah dan kelembutan-Nya kepada manusia secara umum dan
kepada bangsa Arab secara khusus adalah Dia mengisahkan dalam Al Quran kisah
orang-orang yang telah binasa yang dekat dengan bangsa Arab, sisa
peninggalannya dapat disaksikan oleh mereka dan sering disebut-sebut. Yang
demikian agar membuat mereka mau beriman dan mau menerima nasihat.
Mereka mempunyai lembah yang besar, lembah itu biasa didatangi oleh
aliran air yang banyak, dan mereka membuat bendungan yang kokoh yang menjadi
tempat berkumpulnya air. Aliran air biasa mengalir kepadanya dan berkumpul di
sana, lalu mereka alirkan dari bendungan itu ke kebun-kebun mereka yang berada
di sebelah kanan dan sebelah kiri bendungan itu.
Kedua kebun yang besar itu memberikan hasil yang baik, berupa buah-
buahan yang cukup bagi mereka sehingga mereka bergembira dan senang, maka
77
Abdullah bin Muhammad bin Abdurahman bin Ishaq Al-Sheikh, Tafsir Ibnu Katshir, (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafii, 2004), Jilid 6, Cet Ke-1, hlm 559.
46
Allah memerintahkan mereka mensyukuri nikmat-Nya itu karena beberapa sisi, di
antaranya adalah karena diberikan kedua kebun yang besar itu yang menjadi pusat
makanan mereka, selain itu karena Allah telah menjadikan negeri mereka sebagai
negeri yang baik karena udaranya yang baik, sedikit sesuatu yang mengganggu
kesehatan, dan di sana mereka memperoleh rezeki yang banyak.78
Di samping itu, Allah telah berjanji, bahwa jika mereka bersyukur, maka
Dia akan mengampuni dan merahmati mereka. Oleh karena itu Dia berfirman,
“Negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun.” Selain itu juga, karena Allah mengetahui kebutuhan mereka dalam
perdagangan dan berbisnis di negeri yang diberkahi, yaitu beberapa daerah di
Shana (menurut sebagian ulama salaf), namun menurut yang lain bahwa negeri
yang diberkahi yang mereka tuju adalah Syam. Allah telah mempersiapkan untuk
mereka berbagai sebab dan sarana agar mereka dapat dengan mudah sampai ke
sana dengan aman dan tanpa ada rasa takut, dan lagi daerahnya antara yang satu
dengan yang lain saling bersambung sehingga mereka tidak perlu membawa bekal
dan air (karena mereka bisa membeli langsung di daerah yang mereka lewati).
Karena nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada mu di negeri Saba. Dari
yang memberi nikmat (Allah) dan dari beribadah kepada-Nya, mereka tidak mau
bersyukur kepada-Nya dan malah bosan dengannya sampai mereka meminta
kebalikan dari itu dan berharap agar jarak perjalanan mereka dijauhkan, padahal
sebelumnya mudah. Maka Alah memberikan azab atas kekafiran mereka.
Maksudnya, banjir besar yang disebabkan runtuhnya bendungan Marib, lalu
menenggelamkan kebun dan harta mereka. Allah pun mengati pohon-pohon
mereka dengan pohon Atsl ialah sejenis pohon cemara, sedangkan pohon Sidr ialah
sejenis pohon bidara (pohon berduri).79
78
Ibid, hlm 561. 79
Ibid, hlm 562-563.
47
Berdasarkan uraian di atas, dapat dimaknai bahwa Indonesia adalah negeri
yang dikaruniai oleh Allah SWT dengan kekayaan sumber daya alamnya yang
sangat melimpah termasuk sumber daya hutan nya. Oleh karena itu kita sebagai
warga negara harus menjaga dan mensyukuri segala apa yang telah dianugerahkan-
Nya. Berarti, kerusakan hutan yang disebabkan oleh penebangan liar termasuk
tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Dampak kerusakan
lingkungan karena penebangan liar sangat merugikan terhadap mahluk hidup
lainnya, seperti timbulnya banjir, udara yang tidak sehat, longsor, dan sebagainya.
Dengan begitu, dalam ajaran Islam perusakan terhadap lingkungan tidak dapat
dibenarkan.
Adapun Hadits larangan perusakan hutan yang mengganggu kepentingan
orang lain. Sebagaimana dalam Hadits dari Abu Dawud dalam kitab Adab-nya no.
5239:80
سسىللبل "وسهىعههللاصهىللا سح لطعي ةسذ صى سئم."انبسفسأ سهللا
داودأثى ىع تصش ان حذثهزافمبلان حذثهزايع يخ ع سح لطعي فالح فسذ
تظم ثهبس جماث بعجث بوان جهبئىانس شوظه حك ثغ ةفهبنهكى صى فسأ سهللا
انجخبسي(صحح.)انبس
Artinya: “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa
menebang pohon bidara maka Allah akan membenamkan kepalanya
dalam api neraka.” Abu Dawud pernah ditanya tentang hadits
tersebut, lalu ia menjawab, “Secara ringkas, makna hadits ini adalah
bahwa barangsiapa menebang pohon bidara di padang bidara
dengan sia-sia dan zhalim; padahal itu adalah tempat untuk berteduh
para musafir dan hewan-hewan ternak, maka Allah akan
membenamkan kepalanya di neraka.”
Berdasarkan Hadits diatas, pelaku penebangan liar adalah prilaku sia-sia
dan zhalim. Karena hutan adalah penyanggah hajat hidup orang bayak termasuk
80
Abi Dawud Sulaiman Ibn al-Asy as-Sijistani al-Azdi, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm 782.
48
flora dan fauna di dalamnya. Prilaku seperti itu adalah prilaku yang dibenci oleh
Allah SWT karena mengganggu dan menimbulkan bahaya/bencana kepada mahluk
hidup lainnya. Prilaku pengrusakan terhadap lingkungan hidup dan membuat
kemudharatan bagi orang lain bertentangan dengan kaedah-kaedah yang telah
dirumuskan oleh para fuqaha (al-Qawaid al-Fiqhiyyah), antara lain:81
1. Kaedah: ال ضشاس وال ضشاس
Kaedah ini melarang untuk berbuat bahaya atau merusak. Maksudnya,
prilaku penebangan liar adalah prilaku yang dilarang karena merusak tatanan
lingkungan hidup sehingga membahayakan kehidupan. Bahaya yang
ditimbulkan oleh kerusakan ini seperti banjir tanah longsor sangat merugikan
orang bayak. Oleh karena itu prilaku penebangan liar dalam kaedah ini tidak
dapat dibenarkan.
2. Kaedah: دسء نفبسذا يمذو عهى جهت انصبنح
Kaedah ini memilik arti yaitu menghilangkan kerusakan lebih
didahulukan atas menarik kemaslahatan. Maksudnya, eksploitasi besar-besaran
terhadap hutan memang telah gencar-gencarnya dilakukan dari awal tahun
90an, dengan tujuan untuk mendapatkan peningkatan pendapatan negara.
Memang benar peningkatan pendapatan negara diperlukan untuk
mensejahterakan masyarakatnya. Tetapi, kerusakan yang di timbulkan dari
eksploitasi besar-besaran menimbulkan dampak kerusakan hutan yang kian
hari makin luas. Sehingga menciptakan ketidak seimbangan ekosistem.
Berdasarkan kaedah ini pencegahan kerusakan hutan harus lebih diutamakan
dibandingkan dengan kemaslahatan yang didapat dari eksploitasi hutan
tersebut. Sehingga terciptanya kelestarian lingkungan yang berkesinambungan.
81
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004), Cet. Ke-1, hlm 125-154
49
Dalam konteks pelestarian lingkungan, Yusuf Qardhawi bahkan
menegaskan penerapan hukuman sanksi berupa kurungan (at-tazir) bagi pelaku
pengrusakan lingkungan hidup yang ditentukan oleh pemerintah (waliyyul amr).Di
dalam jarimah tazir hakim dapat mempunyai hak lebih besar untuk menentukan
bentuk dan berat hukumannya.
Dapat dikatakan bahwa bentuk pidana tazir ini merupakan pengembangan lebih lanjut
dari gagasan-gagasan pemidanaan dalam Al Quran dan as Sunnah, khususnya terhadap
bentuk-bentuk tindak pidana yang tidak atau belum diatur dalam kedua sumber hukum
yaitu Al Quran dan as Sunnah seperti pembalakan liar. Hal ini dimungkinkan karena
ketentuan pidana yang secara tegas diatur dalam Al-Quran dan Hadits, memang masih
terbatas pada empiris di jaman Nabi.82
B. Pandangan Fiqih Lingkungan Terhadap Putusan Mahkamah Agung Perkara
No: 2615 K/Pid.sus/2015
Dalam putusan Mahkamah Agung perkara No: 2615 K/Pid.sus/2015 bapak
Muhfid sebagai tersangka dinyatakan bersalah dalam kasus penebangan liar. Namun
bila dilihat dari perspektif fiqih lingkungan putusan tersebut tidaklah tepat.
Berdasarkan bukti-bukti dalam persidangan apa yang dilakukan oleh pak Muhfid
tidak bertentangan degan dengan fiqih lingkungan, karena seseorang atau kelompok
dapat dikatakan bertentangan dengan fiqih lingkungan bilamana apa yang diperbuat
menimbulkan kerusakan bagi lingkungan serta merugikan orang lain. Sedangkan Apa
yang dilakukan oleh pak Muhfid sebagai warga sekitaran hutan dengan memungut
ranting kayu dari hutan milik negara (perhutani) dengan maksud menjadikan kayu
bakar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan maupun merugikan orang lain.
82
Jimly ash-Shidiqie, Pembaharuan hukum Pidana Islam : Studi Bentuk-bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh. (Bandung: Angkasa, 1996) hlm 144.
50
Dengan demikian pak Muhfid tidak bisa dikatakan sebagai pelaku penebangan
liar karena unsur-unsur merusak dan merugikan orang lain tidak terpenuhi. Sehingga
pak Muhfid seharusnya bisa terhindar dari sanksi berupa kurungan (at-tazir) seperti
yang disebutkan oleh Yusuf Qardhawi terhadap pelaku pengrusakan lingkungan
hidup yang ditentukan oleh pemerintah (waliyyul amr).
51
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Penerapan hukum tindak pidana illegal logging dalam Undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan terdapat pada pasal 50 ayat (3) huruf c, d, e, f, h,
j dan huruf k. Tetapi pada pasal 112 Undang-undang 18 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dinyatakan Pasal 50 ayat (3)
huruf a, f, g, h, j, dan k dihapus. Jadi rumusan tindak pidana illegal logging
terdapat pada Undang-undang 18 Tahun 2013 yaitu Pasal 12 huruf a, b, c, d, e, f,
dan g dan pasal 19 huruf a, b, c, d dan f. Setiap orang dalam Undang-undang No.
18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan adalah
orang-perorangan dan atau korporasi. Sanksi pidana yang telah dirumuskan
dalam Undang-undang No. 41 Tahun 1999 yang berkaitan dengan illegal logging
telah dihapuskan, sehingga digunakan sanksi pidana dalam Undang-undang No.
18 Tahun 2013 yang terkait tentang tindak pidana illegal logging terdapat pada
pada Pasal 82-85, pasal 94 dan pasal 98. Pada saat Undang-Undang ini mulai
berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan
pelaksana dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3888) yang mengatur tindak pidana perusakan hutan
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini. Hal tersebut tertuang dalam pasal 113.
2. Pandangan hukum terhadap putusan Mahkamah Agung No: 2615
K/Pid.Sus/2015 terhadap pelaku penebangan liar belum cukup memenuhi rasa
52
keadilan kepada masyarakat karena penerapan hukum yang didapat dari putusan
terebut masih terkesan sepotong-sepotong. Dalam pandangan fiqih lingkugan
Pelaku penebangan liar tidak dapat dibenarkan, karena menyebabkan kerusakan
lingkungan seperti banjir, longsor, pencemaran udara, dan lain sebagainya.
Perilaku tersebut adalah prilaku yang zhalim sehingga merugikan mahluk hidup
lainnya. Yusuf Qardhawi bahkan menegaskan penerapan hukuman sanksi berupa
kurungan (at-tazir) bagi pelaku pengrusakan lingkungan hidup.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan seperti yang
telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan saran-saran sebagai berikut:
1. Peraturan pelaksana UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
diharapkan kepada Pemerintah agar peraturan pelaksana yang masih berlaku
segera diperbaiki apabila di dalamnya memiliki pasal-pasal yang bertentangan
dengan undang-undang yang lebih tinggi.
2. Dalam rangka penegakan hukum hal-hal yang berkenaan dengan penyertaan
dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menentukan tindakan penegak hukum
bagi setiap pelaku tindak pidana penebangan liar. Penegak hukum memberikan
sanksi kepada pelaku tindak pidana penebangan liar sesuai dengan fakta hukum
dan dapat menganalisis dengan baik tindak pidana yang dilakukan, sehingga bisa
memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.
xii
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Ahmad Sudirman, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, Banyu Kencana, Jakarta
2003.
Abbas Ahmad Sudirman, Qawaid Fiqihiyyah Dalam Prespektif Fiqh, Radar Jaya
Offset, Jakarta 2004.
Abdurrahman Humam, Peradilan Islam Keadilan Sesuai Fitrah Manusia, Wadi
Press, Jakarta 2004
Ahmadi Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode penelitian Hukum, Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta 2010.
Al-Qardhawi Yusuf, Riayatu Al-Biah fi As-Syariah Al-Islamiyah, Dar Al-Syuruq,
Kairo 2001.
Arief Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
2003.
Bakry H.M.K., Hukum Pidana Dalam Islam, AB. Sitti Sjamsijah, Solo 1958.
Dahlan Rahman, Ushul Fiqh, Amzah, Jakarta 2010.
Daliyo J.B., Pengantar Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1992.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Gema Risalah Press,
Bandung, 1989.
Djauli Ahmad, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta 1997.
xiii
Hamzah A. dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, Bina Aksara,
Jakarta 1987.
Hamzah Andi, KUHP & KUHAP, Rineka Cipta, Jakarta 1995.
Hanafi Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1989.
Hardjasoemantri Koesnadi, Hukum Perlindungan Lingkungan: Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Gadjah Mada Universty Press,
Yogyakarta 1991.
Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah pembentukan Undang-undang
pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah nasional,
Djambatan, Jakarta 1994.
Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta 2013.
Hosen Ibrahim, Jenis-jenis Hukuman dalam Hukum Pidana Islam, Mizan, Bandung,
1997.
Indonesia Corruption Watch, Pengadilan Yang Tidak Berpihak Pada Keadilan,
Indonesia Corruption Watch, Jakarta 2005.
J.L.K. Valerine, Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
2009.
Komar Yaman, Tanah Terlantar, Perspektif Hukum Islam Perbandingan dengan
Hukum Agraria Nasional, Malang: Lembaga Penelitian Universitas Brawijaya
Press, Majalah Investor, edisi 50, 13-27 Maret 2002.
xiv
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Jakarta
1997.
Lembar Negara Republik Indonesia nomor 130, Undang-Undang No. 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Kementerian
Sekretariat Negara RI 2013.
Lembar Negara Republik Indonesia nomor 167, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan, Kementerian Sekretariat Negara RI 1999.
Moeljanto, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 2002.
Moeljanto, KUHP, Bumi Aksara, Jakarta 1990.
Mudakir Iskandar Syah, Dasar-Dasar Pembebasan Tanah: Untuk Kepentingan
Umum, Jakarta: Jala Permata, 2007.
Nazir Moh., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Cetakan keenam, Bogor 2005.
Prasetyo Teguh, Hukum Pidana, Rajawali Perss, Jakarta 2010.
Putusan Mahkamah Agung No. 2615K/Pid.Sus/2015.
Putusan Pengadilan Negeri Blora No. 43/Pid.Sus/2015/PN.Bla.
Putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 199/Pid.Sus/2015/PT.Smg.
Rangkuti Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, Surabaya 2005.
Rasjid Sulaiman, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung 1994.
Salim, Kamus Indonesia Inggris, Modern English Press, Jakarta 1987.
Siregar Bismar, Hukum Dan Iman, Grafikatama, Jakarta 1990.
xv
Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian
Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta 2005.
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Jakarta
2008.
Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Perss),
Jakarta 2008.
Soemitro Ronny Hanityo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1988.
Soetomo R.H., Ruwetnya Mencari Keadilan Di Indonesia, Nice World, Jakarta 2008.
Suarga Risa, Pemberantasan Illegal Logging, Wana Aksara, Tanggerang 2005.
Sunggono Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta
1996.
Taufiq Muhammad, Keadilan Subtansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2014.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1990.
Tim Redaksi Tatanusa, Advokat & Bantuan Hukum, PT Tatanusa, Jakarta 2014.
Tri Bawono Bambang dan Anis Mashdurohatun, Penegakan Hukum Pidana Di
Bidang Illegal Logging Bagi Kelestarian Lingkungan Hidup Dan Upaya
Penanggulangannya, Jurnal Hukum Vol XXVI, Fakultas Hukum
UNISSULA, Semarang 2011.
xvi
Yanggo, Huzaemah T. dan Hafiz Ansyary AZ., Problematika Hukum Islam dan
Kontemporer, Jilid II, Pustaka Firdaus, Jakarta 2000.
Yanggo, Huzaemah T. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus,
Jakarta 2000.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/04/23/nn8yms-nenek-asyani-
divonis-satu-tahun di akses pada 01 juni 2017.
http://regional.liputan6.com/read/2875127/kerusakan-hutan-pembalakan-liar-hingga-
penambangan-emas-ilegal diakses pada tanggal 30 mei 2017.
http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/tentang_forest_spesie
s/kehutanan/ diakses pada tanggal 06 juni 2017.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kehutanan diakses pada tanggal 20 juni 2017.
https://id.wikipedia.org/wiki/Pembalakan_liar diakses pada tanggal 20 juni 2017.
https://sunnah.com/abudawud/43/467 diakses pada tanggal 29 mei 2017.
https://sunnah.com/bukhari/47/11 diakses pada tanggal 29 mei 2017.
https://www.tempo.co/topik/masalah/756/pembalakan-liar diakses pada tanggal
30mei 2017.
https://www.tempo.co/topik/tokoh/2173/nenek-asyani diakses pada tanggal 01 juni
2017.
xvii
LAMPIRAN
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 1 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
P U T U S A N No. 2615 K/Pid.Sus/2015
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G yang memeriksa dan mengadili perkara pidana khusus pada tingkat kasasi telah
memutuskan sebagai berikut dalam perkara Terdakwa:
Nama : MUHAMMAD MUFID bin MASHURI; Tempat lahir : Blora;
Umur / tanggal lahir : 41 tahun / 16 Agustus 1973;
Jenis kelamin : Laki-laki;
Kebangsaan : Indonesia;
Tempat tinggal : Dk. Polsokulon RT.09/03, Desa Kediren,
Kecamatan Randublatung, Kabupaten
Blora;
Agama : Islam;
Pekerjaan : Tani;
Terdakwa ditahan dalam tahanan Rumah Tahanan Negara (RUTAN) oleh:
1. Penyidik sejak tanggal 18 April 2015 sampai dengan tanggal 7 Mei
2015;
2. Perpanjangan oleh Penuntut Umum sejak tanggal 8 Mei 2015 sampai
dengan tanggal 16 Juni 2015;
3. Penuntut Umum sejak tanggal 11 Juni 2015 sampai dengan tanggal 30
Juni 2015;
4. Hakim Pengadilan Negeri sejak tanggal 18 Juni 2015 sampai dengan
tanggal 17 Juli 2015;
5. Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri sejak tanggal 18 Juli 2015
sampai dengan tanggal 15 September 2015;
6. Hakim Pengadilan Tinggi sejak tanggal 10 Agustus 2015 sampai
dengan tanggal 8 September 2015;
Terdakwa diajukan di muka persidangan Pengadilan Negeri Blora karena
didakwa:
DAKWAAN: Pertama:
Bahwa ia Terdakwa Muhammad Mufid bin Mashuri pada hari Jum’at
tanggal 17 April 2015 sekira pukul 17.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu
lain di bulan April di tahun 2015 bertempat di dalam hutan petak 107 RPH
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 2 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
Jatikusumo BKPH Kedungjambu KPH Randublatung Kelurahan Wulung,
Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat lain yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri
Blora, telah menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan
berupa kayu jati sebanyak 1 (satu) batang dengan ukuran 249 x 13 cm tanpa
memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, perbuatan tersebut
dilakukan Terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut :
Bahwa ia Terdakwa pada hari Jum’at tanggal 17 April 2015 sekira pukul
17.30 WIB berangkat dari rumah dengan membawa sabit sebagai sarana untuk
memotong kayu dengan berjalan kaki menuju ke kawasan hutan, sesampainya
di petak 107 RPH Jatikusumo BKPH Kedungjambu KPH Randublatung
Terdakwa melihat ada segerombolan orang sedang memotong pohon jati dan
meninggalkan potongan kayu jati yang berukuran agak kecil. Selanjutnya
Terdakwa mengambil sisa potongan kayu jati tersebut yang ditinggalkan.
Kemudian Terdakwa membersihkan ranting-rantingnya dengan sabit sehingga
membentuk ukuran 249 x 13 cm dengan Volume 0,037 M3. Selanjutnya kayu jati
tersebut diangkutnya dengan cara dipikul untuk dibawa pulang ke rumah tanpa
izin dari pejabat yang berwenang, akan tetapi baru berjalan sampai petak108
RPH Jatikusumo BKPH Kedungjambu KPH Randublatung Terdakwa dapat
ditangkap petugas perhutani;
Akibat perbuatan Terdakwa Negara dalam hal ini KPH Randublatung
menderita kerugian sebesar Rp39.960,00 (tiga puluh sembilan ribu sembilan
ratus enam puluh rupiah). Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan
diancam pidana dalam pasal 50 ayat (3) huruf e jo. Pasal 78 ayat (5) Undang-
Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diubah dan ditambah
Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 jo. Pasal 113 Undang-Undang No. 18 Tahun
2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan;
Atau: Kedua:
Bahwa ia Terdakwa Muhammad Mufid bin Mashuri pada hari Jum’at
tanggal 17 April 2015 sekira pukul 17.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu
lain di bulan April di tahun 2015 bertempat di dalam hutan petak 107 RPH
Jatikusumo BKPH Kedungjambu KPH Randublatung Kelurahan Wulung,
Kecamatan Randublatung, Kabupaten Blora atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat lain yang masih termasuk dalam daerah Hukum Pengadilan Negeri
Blora, telah mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu jati
sebanyak 1 (satu) batang dengan ukuran 249 x 13 cm tanpa dilengkapi dengan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 3 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), perbuatan tersebut dilakukan
Terdakwa dengan cara antara lain sebagai berikut : Bahwa ia Terdakwa pada
hari Jum’at tanggal 17 April 2015 sekira pukul 17.30 WIB berangkat dari rumah
dengan membawa sabit sebagai sarana untuk memotong kayu dengan berjalan
kaki menuju ke kawasan hutan, sesampainya di petak 107 RPH Jatikusumo
BKPH Kedungjambu KPH Randublatung Terdakwa melihat ada segerombolan
orang sedang memotong pohon jati dan meninggalkan potongan kayu jati yang
berukuran agak kecil. Selanjutnya Terdakwa mengambil sisa potongan kayu jati
tersebut yang ditinggalkan. Kemudian Terdakwa membersihkan ranting-
rantingnya dengan sabit sehingga membentuk ukuran 249 x 13 cm dengan
Volume 0,037 M3. Selanjutnya kayu jati tersebut diangkutnya dengan cara
dipikul untuk dibawa pulang ke rumah tanpa izin dari pejabat yang berwenang,
akan tetapi baru berjalan sampai petak 108 RPH Jatikusumo BKPH
Kedungjambu KPH Randublatung Terdakwa dapat ditangkap petugas perhutani;
Akibat perbuatan Terdakwa Negara dalam hal ini KPH Randublatung
menderita kerugian sebesar Rp39.960,00 (tiga puluh sembilan ribu sembilan
ratus enam puluh rupiah).
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 12 huruf e jo. Pasal 83 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan; Mahkamah Agung tersebut;
Membaca tuntutan pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri
Blora tanggal 27 Juli 2015 sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Muhammad Mufid bin Mashuri terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana “Telah
mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan berupa kayu jati sebanyak
1 (satu) batang dengan ukuran 249 x 13 cm tanpa dilengkapi dengan Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)” sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 12 huruf e jo. Pasal 83 ayat (1) huruf b Undang-Undang
No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Muhammad Mufid bin Mashuri
dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi
waktu selama Terdakwa dalam tahanan sementara dengan perintah
Terdakwa tetap ditahan dan denda Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah)
subsidair 1 (satu) bulan kurungan;
3. Menyatakan barang bukti berupa :
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 4 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
• 1 (satu) batang kayu jati berbentuk gelondong dengan ukuran 249 cm Ø 13
cm jumlah volume 0,037 M3;
(Dirampas untuk Negara Cq. Perhutani KPH Randublatung);
• 1 (satu) buah bendo terbuat dari besi yang pada ujungnya tumpul salah
satu sisinya tajam dan tangkai terbuat dari kayu dan besi yang dibungkus
dengan karet bekas ban dalam sepeda warna merah;
(Dirampas untuk dimusnahkan);
4. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar
Rp2.000,00 (dua ribu rupiah);
Membaca putusan Pengadilan Negeri Blora No. 43/Pid.Sus/2015/PN Bla,
tanggal 3 Agustus 2015 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Muhammad Mufid bin Mashuri tersebut diatas, telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
memungut hasil hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang
berwenang;
2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana
penjara selama 5 (lima) bulan, dan denda sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti dengan pidana
kurungan selama 1 (satu) bulan;
3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
5. Menetapkan barang bukti berupa :
• 1 (satu) batang kayu jati berbentuk gelondong dengan ukuran 249 cm
diameter 13 cm jumlah Volume 0,037 M3;
Dirampas untuk Negara Cq. Perhutani KPH Randublatung;
• 1 (satu) buah bendo terbuat dari besi yang pada ujungnya tumpul salah
satu sisinya tajam dan tangkai terbuat dari kayu dan besi yang dibungkus
dengan karet bekas ban dalam sepeda warna merah;
Dirampas untuk dimusnahkan;
6. Membebankan biaya perkara ini kepada Terdakwa sejumlah Rp2.000,00 (dua
ribu rupiah);
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Semarang No. 199/Pid.Sus/2015/
PT.SMG, tanggal 7 September 2015 yang amar lengkapnya sebagai berikut:
• Menerima permintaan banding yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum;
• Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Blora No. 43/Pid.Sus/2015/PN.Bla,
tanggal 3 Agustus 2015 yang dimintakan banding tersebut;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 5 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
• Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
• Membebani Terdakwa membayar biaya perkara dalam kedua tingkat
peradilan, yang untuk tingkat banding sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah);
Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi No. 43/Pid.B/2015/
PN.Bla jo. No. 199/Pid.Sus/2015/PT.Smg yang dibuat oleh Panitera pada
Pengadilan Negeri Blora yang menerangkan, bahwa pada tanggal 11
September 2015 Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Blora
mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi tersebut;
Memperhatikan memori kasasi tanggal 21 September 2015 dari Jaksa/
Penuntut Umum sebagai Pemohon Kasasi yang diterima di kepaniteraan
Pengadilan Negeri Blora pada tanggal 21 September 2015;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut telah
diberitahukan kepada Jaksa/Penuntut Umum pada tanggal 10 September 2015
dan Jaksa/Penuntut Umum mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 11
September 2015 serta memori kasasinya telah diterima di kepaniteraan
Pengadilan Negeri Blora pada tanggal 21 September 2015 dengan demikian
permohonan kasasi beserta dengan alasan-alasannya telah diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara menurut undang-undang, oleh karena itu
permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;
Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/
Jaksa/Penuntut Umum pada pokoknya sebagai berikut:
Bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding yang telah menjatuhkan putusan
yang pertimbangan dan amarnya berbunyl seperti tersebut diatas telah
melakukan kekeliruan yaitu:
Tidak menerapan peraturan hukum atau menerapkan suatu peraturan hukum
tidak sebagaimana semestinya;
Bahwa didalam petikan putusan perkara pidana No. 199/Pid.Sus/2015/PT.SMG
yang dibacakan pada hari Senin tanggal 7 September 2015 Majelis Hakim
Tingkat Banding dalam putusannya tidak membuat pertimbangan secara
lengkap dan sampai saat Penuntut Umum membuat memori kasasi kami belum
menerima salinan putusan maka Penuntut Umum tidak mengetahui apa yang
menjadi alasan Pengadilan Tingkat Banding atau pertimbangan yuridis Majelis
Hakim Tingkat Banding menguatkan Putusan Pengadilan Tingkat Pertama.
Padahal salinan putusan Majelis Hakim Banding menjadi bahan Penuntut
Umum untuk membuat memori kasasi, oleh karena itu Penuntut Umum akan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 6 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
menanggapi pertimbangan putusan pengadilan Tingkat Pertama;
Bahwa di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang
menerangkan:
“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan
bahwa pada han Jum’at tanggal 17 April 2015 sekira pukul 16.30 WIB,
Terdakwa berangkat dan rumahnya berjalan kaki sambil membawa parang/
bendog menuju ke hutan untuk mencari rencek untuk kayu bakar, dan
sesampainya di hutan petak 107, Terdakwa bertemu dengan empat orang,
tetangga satu desa Terdakwa yaitu Sugiharto, Sagi, Kamari dan Sumindar, yang
sedang menebang kayu jati, lalu Terdakwa ditunjukkan oleh mereka masih ada
sisa kayu pucukan yang bisa untuk bahan bakar, lalu Terdakwa ambil dan
Terdakwa membersihkan ranting-rantingnya dengan parang/bendog setelah
bersih diangkut dengan cara diletakkan diatas pundak, dan sekira pukul 17.20
WIB Terdakwa ditangkap oleh petugas Perhutani di petak 108 RPH Jatikusumo
BKPH Kedung jambu KPH Randublatung, ketika sedang memikul kayu jati dan
Terdakwa dalam memungut kayu jati tersebut tanpa izin dan perhutani dan
akibat perbuatan Terdakwa Negara dalam hal ini KPH Randublatung menderita
kerugian sebesar Rp39.960,00 (tiga puluh sembilan rìbu sembilan ratus enam
puluh rupiah);
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut elemen unsur yang tepat
adalah elemen unsur memungut, karena dan fakta hukum tersebut tergambar
jelas bahwa Terdakwa hanya mengambil sisa tebangan berupa pucuk pohon jati
yang sebelumnya telah dipotong oleh empat orang, tetangga satu desa
Terdakwa yaitu Sugiharto, Sagi, Kamari dan Sumindar, namun dalam hal ini
walaupun Terdakwa memungut sisa tebangan orang lain namun berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 18 Tahun 2013, tentang
Pecegahan dan Pemberantasan Perusakan Rutan, hasil hutan kayu adalah
hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil, kayu olahan, atau kayu pacakan
yang berasal dan kawasan hutan, oleh karena itu pucuk kayu jati yang dipungut
oleh Terdakwa tetap harus meminta izin Perhutani, namun hal tersebut tidak
dilakukan Terdakwa sehingga perbuatan Terdakwa memungut pucuk kayu jati
tersebut memenuhi unsur tidak ada izin dan pejabat yang berwenang yang
dalam hal ini dan Perum Perhutani, oleh karena itu menurut hemat Majelis
Hakim unsur tersebut telah terpenuhi pula;”
Penuntut Umum tidak sependapat dengan pertimbangan putusan Pengadilan
Tingkat Pertama yang dikuatkan oleh Majelis Hakim Pngadilan Tingkat Banding
antara lain sebagai berikut:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 7 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan yaitu keterangan dua
orang saksi Penangkap Sudaryanto bin Darji dan Susanto bin Parjo pada saat
melakukan patroli di petak 108 sekira pukul 17.30 WIB menangkap Terdakwa
sedang memikul (mengangkut), menguasai satu batang kayu jati dengan ukuran
249 x 13 cm tanpa dilengkapi surat keterangan sahnya Hasil Hutan, kemudian
saksi-saksi penangkap melakukan pengecekan di petak 107 di temukan
tunggak baru bekas potongan selanjutnya dalam persidangan terungkap bahwa
saksi-saksi penangkap tersebut tidak melihat Terdakwa sedang memungut atau
memotong kayu hanya menerangkan sebatas yang la lihat, ia ketahui Terdakwa
sedang menguasai atau memikul (mengangkut) kayu jati hutan;
Kemudian dalam fakta persidangan Terdakwa menerangkan memperoleh kayu
jati tersebut dan tetangga Terdakwa yang Terdakwa kenal bernama yaìtu
Sugiarto, Sagi, Kamani dan Sumindar (Belum Tertangkap I DPO) yang sedang
memotong kayu jati hutan di petak 107 selanjutnya memberitahukan pada
Terdakwa ada satu batang pucukan kayu jati sisa potongan mereka kemudian
Terdakwa mengambil kayu jati tersebut. Selanjutnya kayu dipikul di atas
pundaknya setelah berjalan sampai di petak 108 sekitar pukul 17.30 WIB
Terdakwa dihentikan petugas perhutani yang sedang berpatroli dan ditangkap;
Dan uraian tersebut diatas maka menurut putusan Pengadilan Tingkat Pertama
yang dikuatkan Pengadilan Tingkat Banding yang mempertimbangkan
Terdakwa memungut kayu jati hutan adalah tidak tepat dan keliru karena
pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama hanya mempertimbangkan
keterangan Terdakwa. Sedangkan Terdakwa mempunyai hak ingkar dan itu
merupakan alibi Terdakwa yang seharusnya dikesampingkan oleh Majelis
Hakim Tingkat Pertama maupun Majelis Hakim Tingkat Banding;
Bahwa menurut pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia memungut adalah mengambil yang ada di
tanah atau dilantai, sedangkan Terdakwa memperoleh satu batang kayu jati
tersebut dan ke 4 (empat) orang DPO tetangga Terdakwa sisa hasil
penebangan kayu jati hutan. Dengan demikian perbuatan Terdakwa tidak
memenuhi unsur memungut;
Dan keterangan saksi-saksi dihubungkan dengan keterangan Terdakwa dan
dihubungkan pula dengan barang bukti telah berkaitan dan bersesuaian dengan
demikian maka unsur teÍah mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan sesuai Pasal 12 huruf e jo. Pasal 83
ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 8 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
Berkaitan dengan uraian tersebut diatas maka terhadap putusan pengadilan
Tingkat Pertama yang dikuatkan oleh Pengadilan Tingkat Banding tidak tepat,
keliru, karena Tidak Menerapkan Peraturan Hukum Atau Menerapkan Suatu
Peraturan Hukum Tidak Sebagaimana Mestinya;
Kenapa Penuntut umum mengatakan demikian? karena mempunyai alasan
yang kuat berdasarkan fakta Hukum Yuridis sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP;
Sudah seharusnya Majelis Hakim baik Tingkat Pertama maupun Tingkat
Banding dalam memutuskan suatu perkara tetap berpedoman pada Pasal 183
dan Pasal 184 KUHAP;
Kalau dicermati dan dipelajari mengapa eksekutif dan legislatif membuat
Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang ancaman
hukumannya ada batasan minimalnya yaitu 1 (satu) tahun dan denda minimal
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), dengan tujuan supaya para pelaku
pencurian kayu timbul efek jera, karena selama ini Undang-Undang No. 1 Tahun
1999, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 19 Tahun
2004 tidak ada ancaman minimalnya dan banyak putusan pengadilan yang
ringan antara 4 (empat), 5 (lima) bulan sehingga mengakibatkan pencurian kayu
jati hutan selalu meningkat dan di kabupaten Blora mendapat Rengking 3 (tiga)
terbanyak pencurian kayu jati hutan se Jawa Tengah. OIeh karena itu
dibutuhkan keseriusan baik aparat penegak hukum dan Hakim dalam
menegakkan hukum dan keadilan jangan sampal perkara ini dijadikan tolok ukur
oleh mafia peradilan;
Dalam pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama yang dikuatkan oleh
Majelis Hakim Tingkat Banding:
“Bahwa barang bukti kayu dengan ukuran 249 cm x 13 cm diameter 0,037 m3
menurut pertimbangan Majelis Hakim dikatakan kayu Rencek atau kayu bakar
yang tidak mempunyai nilai ekonomis, mengambil kayu bakar berupa rencek
(dahan-dahan/kayu yang sudah tidak terpakai) dikawasan hutan dan oleh
perhutani sebatas untuk mengambil rencek, hal tersebut berdasarkan kebiasaan
di wilayah Blora dan sekitarnya diperbolehkan. Ukuran serta diameter kayu jati
yang dijadikan barang bukti tersebut, tidaklah Iayak dikategorikan kayu jati yang
memadai untuk dijual karena kayu jati tersebut nantinya akan dibelah dijadikan
kayu bakar rencek”;
Kemudian dalam pertimbangan berikutnya Majelis Hakim mempertimbangkan:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 9 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
“Menimbang, bahwa perlunya bagi perhutani memilah kasus yang memang
layak karena kerugian yang diderita relatif besar, jangan sekedar mengambil
orang yang harus dipersalahkan untuk tindakan penebangan pohon kayu
jatinya, karena jelas mereka yang disebutkan oleh Terdakwa di persidangan
adalah orang yang menebang dan mengambil kayu pohon jatinya, yang
kemudian berhasil meloloskan din, sedangkan Terdakwa yang jelas-jelas hanya
mengambil rencek untuk kayu bakar yang kebetulan ada di TKP menjadi
sasaran untuk adanya pertanggung jawaban tindakan yang tidak dilakukannya,
hal ini menurut Majelis mengusik rasa kemanusiaan dan keadilan bagi Majelis
Hakim, sehingga Majelis Hakim mengetuk hati nurani, apakah layak seorang
yang nyata-nyata hanya/merungut hasil bekas tebangan orang lain dan
mengambil pucuknya untuk dijadikan kayu bakar, dan kerugian perhutani hanya
sebesar Rp39.960,00 (tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus enam puluh
rupiah) patut di hukum dengan pidana yang tidak sebanding, dimana rasa
keadilan itu?;
Pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakìm Tìngkat Pertama, Penuntut Umum
tidak sependapat bahwa fakta hukum yang terungkap di persidangan tidak ada
satu saksipun yang menerangkan barang bukti tersebut adalah kayu rencek
atau kayu bakar;
Bahwa barang bukti tersebut mempunyai nilal ekonomis karena ada kerugian
Negara sebesar Rp39.960,00 (tiga puluh sembilan ribu sembilan ratus enam
puluh rupiah) dan hanya keterangan Terdakwa yang menerangkan barang bukti
kayu jati tersebut akan dibelah dijadikan kayu rencek;
Jika Majelis Hakim hanya mempertimbangkan keterangan Terdakwa tanpa
didukung oleh keterangan saksi-saksi yang lain, maka menurut Penuntut Umum
tidak tepat dan keliru. Perlu dijelaskan yang dimaksud rencek atau kayu bakar
adalah ranting-ranting kayu jati yang sudah kering yang tidak punya nilai
ekonomis dan tidak laku dijual oleh Perum Perhutani dan oleh Perum Perhutani
memberikan kebijakan tidak tertulis bagi masyarakat pinggir hutan bias
mengambil untuk dijadikan kayu bakar. Sedangkan barang bukti kayu jati yang
dikuasai atau dipikul oleh Terdakwa masìh mempunyai nilai ekonomis dan
setelah Penuntut Umum konsultasikan kepada ahlinya yaitu tukang kayu barang
bukti tersebut dapat digunakan sebagai belandar rumah dan juga bisa dijadikan
soko (tiang teras rumah) dengan demikian maka pertimbangan Majelis Hakim di
atas tidak beralasan dan faktanyà terbantahkan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 10 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
Memang harus kita akui bersama bahwa perkara ini belum tergambar secara
jelas atau lengkap dalam hal pembuktian Penuntut Umum hanya dapat
membuktikan kesalahan Terdakwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap
dipersidangan yaitu Terdakwa terbukti membawa, memikul (mengangkut),
menguasai kayu jati hutan tanpa dilengkapi surat sahnya hasil hutan, namun
apabila ke 4 (empat) orang rekan Terdakwa yang menjadi DPO sudah
tertangkap maka perkara ini akan terungkap secara terang, apakah Terdakwa
itu ikut kelompok gerombolan penebang kayu jati atau tidak. Karena ke 4
(empat) orang DPO tersebut akan menjadi saksi kunci bagi Terdakwa dan
masih dimungkinkan keruan Negara sebesar Rp39.960,00 (tiga puluh sembilan
ribu sembilan ratus enam puluh rupiah) bisa bérubah menjadi jutaan rupiah jika
terbukti Terdakwa ikut dalam gerombolan ke 4 (empat) orang DPO;
Adapun dugaan kuat Terdakwa ikut terlibat dalam gerombolan penebang kayu
ke 4 (empat) orang DPO tersebut antara lain:
1. Terdakwa berangkat dan rumah sekitar pukul 16.30 WIB sudah mendekati
gelap untuk lingkungan hutan dan tertangkap pukul 17.30 WIB. Padahal
pada umumnya kebiasaan masyarakat pinggir hutan kalau mencari rencek
atau kayu bakar pada pagi hari;
2. Ke 4 (empat) orang DPO yang memberi satu batang kayu jati pada
Terdakwa yang dijadikan barang bukti adalah tetangga Terdakwa dan saling
kenal;
3. Bahwa dalam pencurian kayu jati hutan atau penebangan kayu biasanya
dilakukan secara berkelompok atau gerombolan, antara satu dan lainnya
mempunyai tugas dan peran masing-masing, ada yang bertugas menjadi
penebang, pengawas kalau ada petugas Perum Perhutani dengan
menggunakan Hand Phone segera menghubungi temannya yang sedang
menebang atau memotong supaya segera melarikan diri ada juga yang
bertugas mengangkut dll. Sehingga dimungkinkan Terdakwa mampunyai
tugas atau peran mengangkut atau memikul kayu;
Dari uraian diatas timbul pertanyaan bagaimana jika ke 4 (empat) orang
DPO dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat ditangkap oleh petugas
perhutani atau polisi, kemudian seteÌah disidangkan ke 4 (empat) orang
tersebut menerangkan bahwa Terdakwa ikut dalam gerombolan penebang
kayu, maka ke 4 (empat) orang tersebut akan terbukti memotong kayu dan
akan diterapkan dengan Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 yang ancaman
hukumannya minimal 1 (satu) tahun dan denda minimal Rp500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah), sedangkan Terdakwa diputus 5 (lima) bulan oleh
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 11 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
Majelis Hakim Tingkat Pertama dan dikuatkan oleh Majelis Hakim Tingkat
Banding. Apakah nantinya tidak akan terjadi gejolak, bila ke 4 (empat) orang
tersebut menuntut keadilan yang sama, itulah yang perlu dipikirkan sebelum
terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan bersama;
Padahal pelaku pencurian kayu jati hutan hampir rata-rata ada cukongnya
(pengurus perkara), mengingat dalam perkara ini Terdakwa seolah-olah
adalah masyarakat miskin yang tìnggal di sekitar hutan. Namun dalam
perkara ini sudah berkali kali Penuntut Umum didatangi seseorang yang
mengaku keluanga Terdakwa, ada yang datang ke kantor kejaksaan, ada
yang datang ke rumah ada yang menemui di Kanton Pengadilan Negeri Blora
dan meminta supaya Penuntut Umum membuktikan Terdakwa hanya sekedar
memungut kayu jati hutan dengan imbalan uang sebesar Rp15.000.000,00
(lima belas juta rupiah), tentu saja Penuntut Umum menolak dengan tegas,
dan tidak mau mengorbankan penegakan Hukum demi keadilan, sehingga
hukum dapat ditegakkan seadil-adilnya sesuai dengan harapan pencan
keadilan;
Sebenarnya perkara ini mudah pembuktiannya karena tertangkap tangan,
ada saksi-saksi penangkap ada Terdakwa dan ada barang bukti. Seharusnya
tidak perlu perkara ini sampai upaya hukum kasasi, mengingat perkara ini
perkara kecil bukanlah perkara yang berat akan tetapi karena belum ada
keseriusan dalam menegakkan keadilan dan peradilan Tingkat Pertama
sampai Peradilan Tingkat Banding maka Mahkamah Agung Republik
Indonesia sebagai benteng terakhir yang kami harapkan untuk menegakkan
keadilan;
Menimbang, bahwa atas alasan-alasan Pemohon Kasasi/Jaksa/
Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa, alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan
Judex Facti tidak salah dalam mengadili perkara a quo dan tidak salah dalam
menerapkan telah sesuai fakta yang terungkap di persidangan dan Terdakwa
ternyata hanya mengambil sisa tebangan orang yang tidak seberapa jumlahnya
dan sudah sesuai dan setimpal dengan perbuatan yang didakwakan tersebut;
Bahwa, alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan
Judex Facti tidak salah dalam menerapkan hukum putusan Judex Facti yang
menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 5 (lima)
bulan oleh karena Terdakwa dipersalahkan melakukan tindak pidana memungut
hasil hutan tanpa memiliki izin dari yang berwenang “Didasarkan pada
pertimbangan yang tepat dan benar atas seluruh fakta-fakta yang relevan
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 12 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
secara yuridis sebagai pertimbangan dalam menentukan dasar kesalahan
Terdakwa;
Bahwa, Terdakwa mengambil sisa potongan kayu jati yang ditinggalkan,
kemudian Terdakwa membersihkan ranting-rantingnya dengan alat sabit
selanjutnya kayu tersebut diangkut dengan cara dipikul untuk dibawa pulang ke
rumah tanpa izin dari pejabat yang berwenang, kemudian Terdakwa ditangkap
petugas perhutani;
Bahwa, sebelum Judex Facti menjatuhkan pidana kepada Terdakwa
terlebih dahulu telah cukup mempertimbangkan hal yang memberatkan sesuai
Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP;
Bahwa, lagi pula alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian
yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan semacam itu tidak
dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena
pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan
suatu peraturan hukum, atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana
mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang, dan apakah Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya,
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 KUHAP;
Bahwa, dari kenyataan Terdakwa hanya mengangkat/memanggul kayu
tersebut, dengan demikian kayu tersebut kecil dan ringan, wajar jika hanya akan
digunakan sebagai kayu bakar;
Bahwa, atas dasar hal tersebut di atas alasan kasasi Jaksa/Penuntut
Umum tidak dapat dibenarkan dan haruslah ditolak;
Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim terdapat
perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari Prof. Dr. Surya Jaya, S.H.,
M.Hum. selaku Ketua Majelis dengan pendapat sebagai berikut:
Bahwa, terlepas alasan kasasi Jaksa/Penuntut Umum Judex Facti salah
menerapkan hukum dalam hal menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana melanggar Pasal 50 ayat (3)
huruf e jo. Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang No.41 Tahun 1999 jo. Pasal 113
Undang-Undang No.18 Tahun 2013;
Bahwa, pada tanggal 17 April 2015 Terdakwa berangkat dari rumah
berjalan kaki sambil membawa parang (tradisi petani) menuju ke hutan untuk
tujuan mencari rencek untuk kayu bakar. Setibanya di hutan petak 17 RPH,
Terdakwa bertemu dengan 4 orang tetangga satu desa yang sedang menebang
kayu jati di petak 17 RPH;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 13 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
Bahwa, keempat orang tersebut lalu mengatakan dan menunjukkan
kepada Terdakwa bahwa ada sisa kayu pucukan yang sudah tidak dipakai lagi
dan bisa dijadikan bahan kayu bakar. Setelah itu Terdakwa mengambil kayu
dimaksud untuk kemudian dibersihkan ranting-rantingnya dengan parang dan
setelah bersih kemudian diangkut di atas pundak Terdakwa;
Bahwa, keterangan saksi Hariyani sejalan dengan keterangan Terdakwa
bahwa kayu jati yang dibawa Terdakwa adalah bekas tebangan orang lain.
Pada petak 17 RPH ditemukan bekas tunggak tebangan baru;
Bahwa, berdasarkan pada fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa
Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan Jaksa/
Penuntut Umum melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e jo. Pasal 78 ayat (5)
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 jo. Pasal 113 Undang-Undang No.18
Tahun 2013, karena unsur memungut hasil hutan tanpa memiliki hak atau izin
dari pejabat yang bewenang;
Bahwa, perbuatan Terdakwa mendapatkan sisa kayu/sampah kayu
tebangan orang lain yang sudah tidak dipakai lagi dan tidak mempunyai nilai
ekonomis yang besar dan dihubungkan dengan nilai kerugian negara yang
diakibatkan perbuatan Terdakwa sangat rendah yaitu sebesar Rp39.960,00;
Bahwa, yang harus dipersalahkan melakukan tindak pidana
sebagaimana dakwaan Jaksa/Penuntut Umum adalah 4 (empat) orang yang
bertemu dengan Terdakwa melakukan penebangan kayu jati dipetak 17 RPH
sebagaimana hasil kayu jati mereka bawa;
Bahwa, sampah kayu atau sisa kayu tebang yang sudah tidak dipakai
lagi dan tidak mempunyai nilai ekonomis tinggi, diambil oleh Terdakwa atau
siapapun juga untuk kepentingan pribadi tidak dapat dipandang melanggar
ketentuan pasal-pasal dalam dakwaan Jaksa/Penuntut Umum;
Bahwa, berdasarkan pertimbangan tersebut Prof. Dr. Surya Jaya, S.H.,
M.Hum berpendapat bahwa Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana
sebagaimana dakwaan Jaksa/Penuntut Umum sehingga harus dibebaskan;
Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam
Majelis Hakim dan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh tetapi tidak
tercapai mufakat, maka sesuai Pasal 182 ayat (6) KUHAP Majelis Hakim
setelah bermusyawarah mengambil keputusan dengan suara terbanyak yaitu
menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri/Blora tersebut;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 14 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata,
putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak;
Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dipidana, maka harus
dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;
Memperhatikan Pasal 50 ayat (3) huruf e jo. Pasal 78 ayat (5) Undang-
Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 113 Undang-Undang
No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan,
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan;
MENGADILI Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA/PENUNTUT
UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI BLORA tersebut;
Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara pada
tingkat kasasi ini sebesar Rp2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari Selasa, tanggal 31 Mei 2016 oleh Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai
Ketua Majelis, Dr. H. Margono, S.H., M.Hum., M.M. dan Maruap Dohmatiga Pasaribu, S.H., M.Hum. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota, dan diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum pada hari dan tanggal itu juga oleh Ketua
Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh H. Santhos Wachjoe P., S.H., M.H., Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon
Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum dan Terdakwa.
Hakim-Hakim Anggota: Ketua Majelis: t.t.d./ t.t.d./
Dr. H. Margono, S.H., M.Hum., M.M. Prof. Dr. Surya Jaya, S.H., M.Hum. t.t.d./ Maruap Dohmatiga Pasaribu, S.H., M.Hum.
Panitera Pengganti: t.t.d./
H. Santhos Wachjoe P., S.H., M.H. Untuk Salinan
Mahkamah Agung RI a.n. Panitera
Panitera Muda Pidana Khusus ROKI PANJAITAN, S.H.
NIP. 19590430 198512 1001
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Hal. 15 dari 14 hal. Put. No. 2615 K/Pid.Sus/2015
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15