PENELITIAN PRIORITAS NASIONAL MASTERPLAN … · b) Pencarian solusi untuk mengintegrasikan tiga...
Transcript of PENELITIAN PRIORITAS NASIONAL MASTERPLAN … · b) Pencarian solusi untuk mengintegrasikan tiga...
i
Fokus Kegiatan : Pariwisata
PENELITIAN PRIORITAS NASIONAL
MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN
PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA 2011 – 2025
(PENPRINAS MP3EI 2011-2025)
FOKUS/KORIDOR:
PARIWISATA / BALI – NUSA TENGGARA
TOPIK KEGIATAN
PENYUSUNAN MODEL PENGEMBANGAN AGROWISATA
BERKELANJUTAN BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Prof. Dr. Ir. I Ketut Satriawan, M.T. (Peneliti Utama)
Dr. Ida Bagus Gde Pujaastawa, M.A. (Anggota Peneliti)
I Made Sarjana, SP., M.Sc. (Anggota Peneliti)
UNIVERSITAS UDAYANA
Tahun 2012
ii
HALAMAN PENGESAHAN
1. Topik Kegiatan : Penyusunan Model Pengembangan Agrowisata
Berkelanjutan Berbasis Pemberdayaan Masyarakat
2. Fokus : Pariwisata (Deversifikasi Obyek Wisata)
3. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Prof. Dr. Ir. I Ketut Satriawan, MT.
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. NIP/NIK : 19640717 198903 1 001
d. NIDN : 0017076403
e. Jabatan Struktural : Ketua LPPM
f. Jabatan Fungsional : Guru Besar
g. Perguruan Tinggi : Universitas Udayana
h. Fakultas/Jurusan : Teknologi Pertanian/ Teknologi Industri Pertanian
i. Pusat Penelitian : Kebudayaan dan Pariwisata
j. Alamat : Kampus Bukit Jimbaran, Badung (80364) - Bali
k. Telpon/Faks : 0361-703367 / 704622
l. Alamat Rumah : Br. Darmatiaga, Blahbatuh (80581), Gianyar-Bali
m. Telpon/Faks/E-mail : 08128409393/ - / [email protected]
4. Jangka Waktu Penelitian : 3 (tiga) tahun (keseluruhan)
Laporan ini adalah Laporan Kemajuan tahun ke-1 (pertama)
5. Pembiayaan
Jumlah yang disetujui Dikti tahun ke-1: Rp 150.000.000
6. Mitra Kontribusi dari Mitra (in cash) : Belum Ada
Jimbaran, Nopember 2012
Mengetahui
Ketua LPPM Universitas Udayana, Ketua Peneliti,
ttd ttd
Prof. Dr. Ir. I Ketut Satriawan, MT. Prof. Dr. Ir. I Ketut Satriawan, MT.
NIP. 196407171989031001 NIP. 196407171989031001
Menyetujui,
Rektor Universitas Udayana
ttd
Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD (KHOM)
NIP. 194806281979031001
iii
STRATEGI PENGEMBANGAN MODEL AGROWISATA BERKELANJUTAN
BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI PROVINSI BALI
I Ketut Satriawan1*, Ida Bagus Gde Pujaastawa
2, dan I Made Sarjana
3
1 Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana;
2
Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Udayana; 3 Agribisnis, Fakultas Pertanian,
Universitas Udayana. *Koresponden: [email protected]
ABSTRAK
Kebijakan pengembangan pariwisata Bali secara formal lebih mengarah pada
pariwisata budaya yang berbasis pada kebudayaan Bali sebagai potensi dominan, namun
belakangan ini pengembangan pariwisata alternatif mulai mendapat perhatian para
pelaku pariwisata di daerah ini. Diantaranya pengembangan daya tarik wisata berbasis
pertanian (agrowisata) yang tersebar di sejumlah wilayah kabupaten/kota di Bali. Secara
kuantitas, keberadaan daya tarik agrowisata cenderung meningkat dari tahun ke tahun,
sehingga menimbulkan persaingan yang cukup ketat.
Berpijak pada fenomena tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk (1)
mengklasifikasi profil agrowisata yang ada berkembang saat ini; (2) menganalisis faktor
internal (kelemahan dan kekuatan) dan eksternal (peluang dan tantangan) dalam
pengembangan model agrowisata; (3) merumuskan strategi pengembangan model
agrowisata berkelanjutan dan berbasis pemberdayaan masyarakat; dan (4) membuat
standarisasi destinasi dan pengelolaan agrowisata. Melalui model ini pengembangan
agrowisata diharapkan mampu memberikan manfaat bagi kelestarian ekologi,
revitalisasi budaya, dan peningkatan ekonomi lokal secara lebih merata dan
berkelanjutan.
Agrowisata yang menjadi fokus penelitian adalah agrowisata yang berlokasi di
wilayah Provinsi Bali. Agrowisata yang dijadikan sebagai sampel penelitian ditentukan
dengan menggunakan metode snowbowling. Metode pengumpulan data dilakukan
dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam (indepth interview), observasi
lapangan, dan diskusi kelompok terbatas (focus group discussion).
Profil klasifikasi atau tipologi agrowisata di Bali berdasarkan potensi daya
tariknya dapat dibedakan ke dalam lima tipe, yaitu: (1) Agrowisata berbasis pertanian,
(2) Agrowisata berbasis perkebunan, (3) Agrowisata berbasis peternakan, (4)
Agrowisata berbasis perikanan, dan (5) Agrowisata campuran (Terpadu). Persebaran
jumlah objek agrowisata berdasarkan wilayah terkonsentrasi pada 3 kabupaten, yaitu
Gianyar, Bangli dan Tabanan. Kabupaten ini memang memiliki potensi pertanian yang
baik dan jalur-jalur pariwisata utama. Kombinasi potensi pertanian dan pariwisata inilah
yang mendorong pertumbuhan agrowisata yang relatif cepat.
Beberapa grand strategy yang dapat dirumuskan adalah (1) peningkatan nilai
keunikan daya tarik dengan mengangkat kearifan lokal; (2) penetapan standar kualitas
berbagai produk agroindustri yang disajikan kepada wisatawan; (3) standarisasi daya
tarik dan pengelolaan pelayanan agrowisata; (4) pembentukan kelembagaan asosiasi
agrowisata; (5) pemanfaatan dan pengelolaan lahan pertanian secara berkelompok, dan
(6) penyusunan regulasi yang berorientasi pada prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan,
konservasi lingkungan, dan revitalisasi budaya.
iv
Beberapa standar destinasi agrowisata sebagai salah satu langkah pemberdayaan
masyarakat, harus mempertimbangan berbagai hal berikut: (1) luas areal pertanian
(kebun) minimal yang dijadikan daya tarik utama; (2) koleksi tanaman; (3) unit
pengolahan produk agro; (4) toko cinderamata / produk agro; (5) pemandu, yang dapat
memahami dan menjelaskan secara baik dan benar tentang objek dan atraksi yang
ditawarkan; (7) kebersihan dan kesehatan lingkungan; dan (8) memanfaatkan tenaga
kerja lokal setempat. Sedangkan standarisasi pengelolaan agrowisata meliputi standar
infrastruktur, fasilitas, dan sumber daya manusia pengelola.
Kata kunci : strategi pengembangan, agrowisata, pemberdayaan masyarakat,
berkelanjutan
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………….. ii
ABSTRAK ……………………………………………………………………... iii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… v
I. PENDAHULUAN …………………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1
1.2 Tujuan Penelitian ………………………………………………………. 1
1.3 Urgensi Kegiatan ………………………………………………………. 2
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………………….. 3
II. STUDI PUSTAKA ………………………………………………………… 4
2.1 Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Pariwisata ……… 4
2.2 Agrowisata …………………………………………………………….. 7
III. METODE PENELITIAN …………………………………………………. 9
3.1 Lokasi dan Sampel Penelitian ………………………………………… 9
3.2 Variabel Penelitian ……………………………………………………. 10
3.3 Formulasi Strategi ……………………………………………………. 10
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………… 13
4.1 Klasifikasi Profil Agrowisata ………………………………………… 13
4.1.1 Agrowisata Berbasis Pertanian …………………………………….. 13
4.1.2 Agrowisata Berbasis Perkebunan ………………………………….. 17
4.1.3 Agrowisata Berbasis Peternakan …………………………………… 29
4.1.4 Agrowisata Berbasis Perikanan ……………………………………. 31
4.1.5 Agrowisata Campuran ……………………………………………… 32
4.2 Analisis Faktor Internal dan Eksternal ……………………………….. 36
4.2.1 Analisis Faktor Internal …………………………………………….. 36
4.2.2 Analisis Faktor Eksternal …………………………………………… 38
4.3 Strategi Pengembangan Model Agrowisata …………………………. 41
4.4 Standarisasi Destinasi dan Pengelolaan Agrowisata ………………… 42
4.4.1 Standarisasi Destinasi Agrowisata …………………………………. 42
4.4.2 Standarisasi Pengelolaan Agrowisata ………………………………. 44
V. KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………… 49
5.1 Kesimpulan ……………………………………………………………. 49
5.2 Saran …………………………………………………………………… 50
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………... 51
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagi Provinsi Bali, sektor pariwisata telah lama menjadi primadona penghasil
devisa. Sumbangan sektor pariwisata terhadap pendapatan daerah Bali dari tahun ke
tahun terus meningkat mengungguli sektor-sektor lainnya. Namun demikian, kebijakan
pengembangan pariwisata Bali yang cenderung mengarah pada pariwisata bersekala
besar dan padat modal dikhawatirkan akan mengancam ketahanan budaya dan
lingkungan setempat.
Pembangunan berbagai jenis fasilitas kepariwisataan berskala besar tidak saja
menyebabkan alih fungsi lahan pertanian secara kurang terkendali, sekaligus juga
mengancam keberadaan subak sebagai salah satu warisan budaya agraris yang bersifat
adiluhung (Pujaastawa, 2003). Dalam berbagai kasus, pengembangan obyek wisata yang
hanya dilandasi oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi semata tanpa memperhatikan
dimensi ekologi dan sosial-budaya, kerap menimbulkan kerusakan lingkungan dan
masalah sosial-budaya yang pada gilirannya dapat mengancam keberlanjutan pariwisata
itu sendiri. Di samping itu, manfaat ekonomi pariwisata berskala besar kerap lebih
berpihak kepada pemilik modal yang umumnya bukan berasal dari masyarakat setempat.
Sebagai upaya untuk mengantisipasi dan menanggulangi persoalan di atas,
kebijakan pengembangan pariwisata Bali belakangan ini juga memberi perhatian
terhadap pengembangan agrowisata sebagai daya tarik wisata alternatif. Berpijak pada
fenomena tersebut, maka studi ini akan mencoba untuk memformulasikan model
pengembangan agrowisata berkelanjutan berbasis pemberdayaan masyarakat. Melalui
model ini pengembangan agrowisata diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
kelestarian ekologi, revitalisasi budaya, dan peningkatan ekonomi secara lebih merata
dan berkelanjutan.
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendesain suatu Model Pengembangan
Agrowisata Berkelanjutan yang dapat dijadikan acuan dalam pengembangan dan
2
pengelolaan agrowisata secara umum, dan khususnya di Provinsi Bali. Pada tahun
pertama, penelitian ini bertujuan untuk :
1) Mengklasifikasi profil agrowisata yang ada berkembang saat ini;
2) Menganalisis faktor internal (kelemahan dan kekuatan) dan eksternal (peluang dan
tantangan) dalam pengembangan Model Agrowisata;
3) Merumuskan Strategi Pengembangan Model Agrowisata Berkelanjutan dan Berbasis
Pemberdayaan Masyarakat;
4) Membuat Standarisasi Destinasi dan Pengelolaan Agrowisata;
1.3 Urgensi Kegiatan
Peranan sektor pariwisata bagi Provinsi Bali yang mengembangkan pariwisata
sebagai sektor andalan dapat dilihat secara jelas dari kontribusi sektor yang terkait
dengan kepariwisataan, yaitu perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB dan
penyerapan tenaga kerja. Kontribusi sektor ini terhadap PDRB pada tahun 1969 (awal
Pelita I) sebesar 9,52% dan meningkat menjadi 32,33% pada tahun 2009 menurut harga
konstan tahun 2000. Namun, perkembangan pariwisata mengundang berbagai perhatian
dan kritik yang ditujukan terhadap berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh
pariwisata “mass tourism”, diantaranya adalah menurunnya kualitas lingkungan, baik
fisik, biotik maupun sosial budaya. Pengembangan “mass tourism” harus dibayar mahal
oleh degradasi lingkungan dan kesenjangan pendapatan antar lapisan masyarakat dan
antar daerah. Menurut Suwantoro (2001), wisatawan dalam jumlah besar dan
terkonsentrasi di tempat tertentu dapat menurunkan kualitas kehidupan masyarakat,
yang pada akhirnya justru akan menghilangkan daya tarik daerah tersebut. Keindahan
lingkungan alam terganggu bila jumlah dan kualitas perilaku wisatawan tidak dapat
dikendalikan secara efektif.
Dalam rangka pengembangan dan pemantapan citra pariwisata Bali perlu
dilakukan :
a) Berbagai diversifikasi jenis usaha, produk, dan objek wisata sesuai dengan
perkembangan pariwisata dunia, yaitu pariwisata alternatif yang berwawasan
lingkungan.
3
b) Pencarian solusi untuk mengintegrasikan tiga sektor prioritas pembangunan
(pertanian, pariwisata dan industri kecil) Provinsi Bali.
c) Peningkatan kesejahteraan petani sehingga sektor pertanian dapat mendukung sektor
pariwisata secara berkelanjutan.
d) Distribusi manfaat ekonomi pariwisata yang lebih besar kepada masyarakat luas
secara langsung yang bergerak pada sektor lain terkait dengan pariwisata.
e) Penataan dan pengembangan objek daerah tujuan wisata baru untuk penyebaran
wisatawan, pengendalian kualitas lingkungan, dan menciptakan pusat pertumbuhan
baru (Satriawan, 2005).
Pengintegrasian sektor pertanian dan pariwisata dalam perencanaan pembangunan
ekonomi wilayah melalui pengembangan kawasan agrowisata menjadi salah satu
alternatif.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
1) Bagi Pengelola dan Pengembang Pariwisata (Investor), sebagai bahan informasi
yang dapat memberikan model alternatif pengelolaan agrowisata dan pertimbangan
dalam mengembangkan investasi dibidang agrowisata.
2) Bagi Pihak Perbankan, sebagai bahan informasi dalam memutuskan pemberian
kredit investasi.
3) Bagi Pemerintah, dapat dijadikan sebagai bahan dalam menyusun kebijakan dan
regulasi dibidang pariwisata, khususnya objek agrowisata.
4) Bagi Masyarakat, dapat dilibatkannya dalam setiap perencanaan, evaluasi,
pelaksanaan, dan pengembangan objek agrowisata sehingga dapat memberikan
manfaat dan kesejahteraan masyarakat.
4
BAB II. STUDI PUSTAKA
2.1 Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Pariwisata
Wacana mengenai pembangunan berdimensi kerakyatan merupakan reaksi keras
terhadap kebijakan pembangunan konglomerasi yang selama ini lebih berpihak pada
para pemilik modal (investor). Berbagai potensi kepariwisataan digali, dikembangkan,
dan dipromosikan untuk memperoleh manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya tanpa
memperhatikan hak-hak dan kepentingan masyarakat tuan rumah. Para pemikir dan
praktisi pembangunan perdesaan telah lama menyadari bahwa pembangunan
konglomerasi kerap merugikan masyarakat setempat. Masyarakat sebagai tuan rumah
sekaligus pemilik sah atas sumber daya justru kerap mengalami marginalisasi yang
ditandai dengan terbatasnya kesempatan mereka untuk berperanserta dalam
pembangunan pariwisata, sehingga perkembangan sektor pariwisata tidak mampu
memberikan manfaat signifikan bagi peningkatan kesejahteraan hidup mereka.
Atas dasar pemikiran tersebut di atas, beberapa pakar menekankan pentingnya
pembangunan dari bawah, yakni pembangunan yang mengutamakan adanya partisipasi
masyarakat lokal dalam berbagai tahap pembangunan, sehingga pengelolaan
pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling
dipengaruhi oleh pembangunan tersebut, atau apa yang dikenal dengan community-
based resource management atau community management (Korten, 1986). Ada tiga
alasan dasar yang diajukan Korten mengenai mengapa community management sangat
penting sebagai ancangan dasar pembangunan, yaitu :
a) Adanya local variety (variasi lokal) yang tidak dapat diberikan perlakuan sama.
Karakteristik daerah yang berbeda menuntut sistem pengelolaan yang berbeda pula
dan masyarakat lokallah yang paling memahami situasi daerahnya.
b) Adanya local resources (sumber daya lokal) yang secara tradisional telah dikelola
oleh masyarakat setempat secara turun-temurun. Pengalaman mengelola sumber
daya setempat yang telah diwariskan secara turun-temurun umumnya menimbulkan
akumulasi pengetahuan tentang pengelolaan. Pengambilalihan pengelolaan ini akan
dapat menimbulkan rasa ketersinggungan masyarakat, dan masyarakat bersikap
antipati terhadap proyek pembangunan.
5
c) Adanya local accountability (tanggung jawab lokal) yang berarti bahwa
pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat biasanya lebih bertanggung
jawab, karena berbagai hal yang mereka lakukan terhadap sumber daya akan
berpengaruh langsung terhadap kehidupan mereka. Pengelolaan oleh pihak luar
kerap tidak mengandung kedekatan moral dengan masyarakat lokal, sehingga tidak
merasa mempunyai tanggung jawab moral yang tinggi.
Belakangan ini kesadaran akan pentingnya pendekatan pembangunan pariwisata
berdimensi kerakyatan terasa kian meningkat, mengingat dalam kenyataannya selama
ini manfaat pariwisata lebih banyak berpihak pada para pemilik modal yang umumnya
bukan berasal dari warga masyarakat setempat. Pengembangan industri pariwisata
bersekala besar dan padat modal umumnya sangat kurang melibatkan peran serta
masyarakat setempat, bahkan justru mengakibatkan terjadinya proses marginalisasi
terhadap hak-hak komunitas budaya lokal. Berkaitan dengan hal ini Cernea (1991),
menyatakan bahwa baik di negara-negara maju maupun berkembang masyarakatnya
sering merasa tak berdaya untuk mempengaruhi pola-pola pembangunan pariwisata.
Pembangunan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu kepada pembangunan
pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada
dasarnya juga merupakan model pemberdayaan masyarakat yang memberikan lebih
banyak peluang kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam
kegiatan-kegiatan pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau kekuasaan
kepada masyarakat lokal untuk mengerahkan kemampuan mereka sendiri dalam
mengelola sumber daya setempat. Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran utama
dalam membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang
mempengaruhi kehidupannya (Cernea, 1991). Pendekatan ini melibatkan masyarakat
sebagai proses pengembangan dirinya.
Konsep pembangunan dari bawah yang lebih mengedepankan partisipasi
masyarakat sebenarnya sudah menjadi jargon pembangunan yang selama ini banyak
dibicarakan oleh kalangan birokrasi. Konsep tersebut mengandung pengertian bahwa
setiap kebijakan pembangunan semestinya dimulai dari mendengar suara rakyat, atau
berguru kepada rakyat, dengan keyakinan bahwa “rakyat adalah sumber ilmu”.
Berdasarkan sejumlah pengalaman, gagasan – gagasan yang lahir dari proses seperti ini
6
akan lebih mudah dimengerti dan diterima oleh masyarakat karena ia disusun
berdasarkan logika rakyat (Chambers, 1987).
Partisipasi masyarakat merupakan aspek terpenting dari konsep pembangunan
berdimensi kerakyatan. Selama ini partisipasi kerap dipahami secara keliru dan sepihak.
Para perencana pembangunan, pemerintah dan aparatnya cenderung memahami
partisipasi sebagai dukungan yang harus diberikan oleh rakyat terhadap kebijakan dari
atas (top down); sedangkan kaum intelektual cenderung memposisikan rakyat sebagai
subyek yang bisa menciptakan kebutuhan pembangunannya sendiri. Konsep ini
menempatkan rakyat pada posisi equal powership berhadapan dengan pemerintah dan
aparat pembangunan. Idealnya rakyat diajak merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi proses pembangunan (Korten dan Sjahrir, 1988)
Berpijak dari fenomena tersebut, maka pengelolaan potensi kepariwisataan,
khususnya agrowisata akan lebih mengedepankan peranserta dan tanggungjawab
masyarakat setempat. Hal tersebut dianggap penting sebagai upaya menuju pengelolaan
sumberdaya yang berbasis kerakyatan (community based management). Masyarakat
sebagai salah satu stakeholder haruslah dilibatkan dalam pengelolaan berbagai
sumberdaya yang terdapat di daerah/wilayah mereka. Masyarakat lokal memiliki hak-
hak azasi untuk menginterpretasikan, memelihara dan mengelola sumberdaya yang
mereka miliki (Ascherson 2000). Faulkner (2000) mengemukakan konsep yang
disebutnya “Democratic Archaeology from Below”, yang pada dasarnya
mengedepankan partisipasi masyarakat pada semua jenis dan tingkat pekerjaan.
Kearifan lokal maupun lembaga tradisional yang berkembang di masyarakat
bersangkutan dalam pengelolaan sumberdaya budaya harus tetap dipelihara dan
dilibatkan. Pemerintah maupun instansi yang berwenang berperan sebagai fasilitator
dalam pengelolaan sumberdaya budaya yang bersangkutan.
Keterlibatan dan peranserta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya harus
dimulai sedini mungkin atau sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Pengelolaan sumberdaya tersebut harus mampu memberikan manfaat ekonomi kepada
masyarakat setempat. Di samping itu pengelolaan sumberdaya harus dilakukan secara
berkelanjutan, bukan saja untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi
mendatang.
7
Kodhyat (1997) menyatakan bahwa pariwisata harus dipersepsikan sebagai suatu
instrumen untuk meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, kualitas hidup
penduduk setempat, dan kualitas lingkungan hidup. Pengembangan pariwisata perlu
dijadikan sebagai bagian dari pembangunan nasional yang berkelanjutan, dan dilakukan
dalam kesatuan terpadu dengan sektor-sektor pembangunan lainnya. Beberapa kriteria
untuk memberikan arahan tentang pengembangan pariwisata perlu ditetapkan, seperti
yang diperkenalkan oleh Rev. Ron O’Grady sebagi berikut :
a) Pembuatan keputusan tentang bentuk pariwisata pada suatu tempat harus dilakukan
melalui konsultasi dan dapat diterima masyarakat lokal
b) Masyarakat harus mendapatkan bagian yang layak dari keuntungan yang berasal dari
pariwisata
c) Pariwisata harus berdasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan dan ekologi yang
logis, peka terhadap budaya lokal dan tradisi keagamaan dan seharusnya tidak akan
menempatkan anggota masyarakat tuan rumah dalam posisi yang rendah
d) Jumlah wisatawan yang mengunjungi suatu tempat seharusnya tidak akan melebihi
populasi lokal dan meniadakan nilai keaslian kemanusiaan yang ada.
2.2 Agrowisata
Menurut Keputusan Bersama Mentan dan Menparpostel (1989) agrowisata
adalah suatu bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai obyek
wisata dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan
hubungan usaha dibidang agro. Guntoro (1995) menyatakan bahwa agrowisata adalah
suatu bentuk kegiatan pariwisata yang obyeknya berupa usaha tani (agro), beserta
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha tersebut, termasuk kegiatan penelitian
dan eksplorasi sumberdaya pertanian, peralatan usaha tani serta produk pertanian.
Agrowisata dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu : agrowisata tanaman pangan
dan hortikultura, agrowisata tanaman industri (perkebunan), agrowisata perikanan dan
agrowisata peternakan. Untuk tujuan penelitian ini pengertian agrowisata adalah suatu
bentuk pariwisata yang memanfaatkan aktivitas-aktivitas pertanian dari hulu sampai
hilir beserta fisilitas terkait sebagai objek dan atraksi wisata untuk memenuhi tujuan
pariwisata.
8
Nilai dan prinsip yang terkandung dalam konsep pariwisata agro meliputi lima
aspek utama, yaitu : pertanian, konservasi, pendidikan, keterlibatan masyarakat dan
ekonomi (Ahmadjayadi 2001). Penduduk sekitar harus mengenal dan menghargai
agrobiodiversity sebagai proteksi yang berharga dan bermanfaat, untuk menjamin
bahwa agrowisata juga membantu melestarikan keanekaragaman sumberdaya hayati
(Kasparek 2004).
9
BAB III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Sampel Penelitian
Agrowisata yang menjadi fokus penelitian adalah agrowisata yang berlokasi di
Provinsi Bali. Agrowisata yang bermunculan dan berkembang di Provinsi Bali tersebar
pada beberapa daerah tujuan wisata. Lokasi dan alamat detailnya sangat susah dilacak
karena tidak ada data yang akurat di Dinas Pariwisata provinsi maupun kabupaten, atau
dinas lainnya. Hal ini terjadi karena agrowisata tersebut kebanyakan tidak memiliki ijin
sehingga tidak terdata dengan baik. Oleh karena itu agrowisata yang digunakan sebagai
sampel penelitian ditentukan dengan metode snowbowling, yaitu dengan cara
menanyakan lokasi agrowisata lainnya yang terdekat dari salah satu agrowisata acuan
yang telah diketahui dengan pasti. Pencarian sampel dihentikan sampai tidak diperoleh
lagi informasi agrowisata lainnya yang diketahui dari agrowisata acuan sebelumnya.
Berdasarkan metode tersebut di atas sampai saat ini telah diperoleh sampel
penelitian seperti pada Tabel 1. berikut. Tabel satu menunjukkan bahwa perkembangan
agrowisata cukup pesat terjadi di Kabupaten Bangli, Gianyar, dan Tabanan, terutama
pada jalur wisata Tampaksiring – Kintamani atau Ubud – Kintamani, dan Denpasar -
Bedugul.
Tabel 1. Jumlah agrowisata sebagai sampel penelitian
No Kabupaten / Kota Jumlah Sampel
1 Gianyar 9
2 Bangli 10
3 Klungkung -
4 Karangasem 3
5 Singaraja -
6 Tabanan 8
7 Jembrana -
8 Badung 3
9 Denpasar 9
Total 42
10
3.2 Variabel Penelitian
Penelitian Penyusunan Model Agrowisata Berkelanjutan Berbasis Pemberdayaan
Masyarakat direncanakan selama tiga tahap (tahun) dengan tahapan dan metode serta
output seperti disajikan pada Gambar 1. Untuk kegiatan tahun pertama dapat diuraikan
sebagai berikut :
1) Pengklasifikasian Agrowisata yang ada saat ini dengan menggunakan metode survey
(kuisioner terlampir) dan Focus Group Discussion (FGD);
2) Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal menggunakan Matriks Evaluasi Faktor
Internal (EFI), Matriks Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) (Rangkuti, 2000)
3) Perumusan Strategi menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrics (QSPM)
(David, 2002).
4) Standarisasi Agrowisata dilakukan melalui metode survey, FGD, dan Need
Assessment.
3.3 Formulasi Strategi
Tahapan kerangka kerja perumusan strategi menurut Rangkuti (2000) dan David
(2002), terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap input, tahap analisis (pencocokan) dan tahap
keputusan.
Tahap Input. Tahap input meringkas informasi input dasar yang diperlukan untuk
merumuskan strategi, dilakukan melalui pengembangan matriks evaluasi faktor
eksternal (Matriks EFE) dan matriks evaluasi faktor internal (Matriks EFI).
Tahap Analisis. Tahap analisis (pencocokan) memfokuskan untuk menghasilkan
alternatif strategi yang layak dengan memadukan faktor-faktor eksternal dan internal.
Teknik yang digunakan adalah matriks SWOT (Stengths-Weaknesses-Opportunities-
Threats). Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan
ancaman eksternal yang dihadapi dan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat set kemungkinan
alternatif strategis seperti Tabel 2.
11
Tabel 2. Diagram Matriks SWOT
Kekuatan/Strengths (S)
• Tentukan 5-10 faktor-
faktor kekuatan internal
Kelemahan/Weaknesses (W)
• Tentukan 5-10 faktor-faktor
kelemahan internal
Peluang/Opportunities (O)
• Tentukan 5-10 faktor-
faktor peluang eksternal
Strategi S-O
Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk memanfaatkan
peluang
Strategi W-O
Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan
untuk memanfaatkan peluang
Ancaman / Threats (T)
• Tentukan 5-10 faktor-
faktor ancaman eksternal
Strategi S-T
Ciptakan strategi yang
menggunakan kekuatan
untuk mengatasi ancaman
Strategi W-T
Ciptakan strategi yang
meminimalkan kelemahan dan
menghindari ancaman
Tahap Keputusan. Pada tahap keputusan ini dibuat peringkat strategi untuk
memperoleh daftar prioritas menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrices
(QSPM). QSPM adalah alat untuk mengevaluasi strategi alternatif secara obyektif,
berdasarkan pada faktor-faktor kritis eksternal dan internal yang dikenali sebelumnya.
QSPM menggunakan input dari analisis tahap-1 (input) dan hasil analisis tahap-2
(analisis/pencocokan) untuk memutuskan alternatif strategi terbaik diantara beberapa
strategi alternatif yang ada.
QSPM mempunyai beberapa kelebihan dan keterbatasan. Kelebihan QSPM dapat
mengevaluasi sejumlah set strategi secara beurutan dan bersamaan serta tidak ada batas
jumlah strategi yang dapat dievaluasi sekaligus. Dalam proses evaluasi QSPM, ahli
strategi harus memadukan faktor-faktor eksternal dan internal yang terkait dalam proses
keputusan. QSPM dapat disesuaikan untuk organisasi kecil atau besar dan praktis
diterapkan untuk tipe organisasi apapun.
Keterbatasan QSPM adalah proses ini selalu memerlukan penilaian intuitif dan
asumsi yang diperhitungkan sehingga akan bergantung pada ahli strategi yang terlibat.
Pemberian peringkat dan nilai daya tarik menggunakan keputusan subyektif, walaupun
demikian prosesnya harus menggunakan informasi obyektif. Hasil QSPM akan sangat
bergantung pada informasi awal (tahap input) dan tahap pencocokan yang menjadi
landasannya.
12
Kegiatan Metode Output Tahap I (2012)
Tahap II (2013)
Tahap III (2014)
Gambar 1. Tahapan Pelaksanaan Penelitian
Klasifikasi Profil
Agrowisata
Survei, FGD Profil
Agrowisata
Analisis Lingkungan
Internal & Eksternal
Matriks EFE &
EFI, QSPM
Pemetaan
Agrowisata
Perumusan Strategi
Pengembangan
Metode SWOT Strategi
Pengembangan
Standarisasi
Agrowisata
Survei, FGD,
Need Assesment
Standar Objek &
SOP Pengelolaan
Penyusunan Model Metode MPE,
PHA
Alternatif Model
Agrowisata
Analisis Kelayakan Metode NPV,
IRR, PBP, BCR
Nilai Kriteria
Kelayakan
Layak ? Evaluasi
Skenario Model
Mulai
Sosialisasi dan Aksi
YA
TIDAK
Penyuluhan,
Pelatihan, Bintek
Agrowisata
Berkelanjutan
Selesai
13
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Klasifikasi Profil Agrowisata
Agrowisata pada dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata yang memanfaatkan
usaha agro (agribisnis) sebagai daya tarik wisata dengan tujuan untuk memperluas
pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian. Secara
lebih spesifik Yoeti (2000) menyatakan agrowisata merupakan jenis pariwisata yang
khusus menjadikan komoditas pertanian, peternakan, perkebunan sebagai daya tarik
bagi wisatawan.
Berpijak pada konsep agrowisata seperti dikemukakan di atas, maka agrowisata
di Bali dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis-jenis komoditas yang menjadi daya
tariknya, sebagai berikut : (1) Agrowisata Berbasis Pertanian, (2) Agrowisata Berbasis
Perkebunan, (3) Agrowisata Berbasis Peternakan, (4) Agrowisata Berbasis Perikanan,
dan (5) Agrowisata Campuran (Terpadu).
4.1.1 Agrowisata Berbasis Pertanian
Agrowisata berbasis pertanian mengacu pada jenis agrowisata yang menyajikan
komoditas tanaman pertanian sebagai daya tarik utamanya. Dari berbagai jenis usaha
pertanian yang ada di Bali, hingga sejauh ini hanyalah usaha pertanian padi lahan basah
(sawah) yang mendapat sentuhan pengelolaan sebagai daya tarik agrowisata dengan
sistem subak sebagai daya tarik utamanya. Jenis agrowisata yang menjadikan subak
sebagai daya tarik utama ini lebih dikenal dengan sebutan agrowisata subak.
Berdasarkan jenis komoditas yang menjadi daya tarik utamanya, maka agrowisata
subak tergolong agrowisata berbasis pertanian monokultur.
Sebaran Lokasi
Meskipun keberadaan subak dapat dijumpai di masing-masing kabupaten/kota di
Bali, namun pengelolaan subak sebagai daya tarik agrowisata baru berkembang di
Kabupaten Tabanan, khususnya di Desa Jatiluwih dan Wongaya Gede, Kecamatan
Penebel yang juga dikenal sebagai daerah lumbung beras dengan beberapa varietas
padi berkualitas tinggi. Terkait dengan ini sidang komite warisan dunia UNESCO di
14
Saint Petersburg pada tanggal 29 Juni 2012 menetapkan Kawasan Jatiluwih sebagai
salah satu warisan budaya dunia. Hingga saat ini di kawasan ini baru tercatat dua usaha
agrowisata berbasis subak.
Potensi Daya tarik
Potensi daya tarik agrowisata berbasis pertanian padi lahan basah di Bali pada
umumnya adalah aspek ideofak (sistem nilai), sosiofak (sistem sosial), dan artifak
(infrastruktur) dari sistem subak yang merupakan sistem bercocok tanam tradisional di
Bali yang sudah cukup terkenal di mata dunia.
Keberadaan Subak di Bali selain menjadi perhatian para pakar pembangunan
sektor pertanian dan pedesaan, juga sangat menarik perhatian para wisatawan dari
berbagai belahan dunia. Secara formal subak diartikan sebagai masyarakat hukum adat
yang bersifat sosio-agraris-religius, yang terdiri dari para petani yang menggarap sawah
pada suatu areal persawahan yang mendapatkan air dari suatu sumber2. Geertz (1980),
memberikan batasan subak sebagai areal persawahan yang mendapatkan air irigasi dari
suatu sumber mata air. Sementara Sutawan, dkk., (1986), menyatakan definisi subak
sebagai organisasi petani lahan basah yang mendapatkan air irigasi dari satu sumber
mata air secara bersama, memiliki satu atau lebih pura subak, yaitu Pura Bedugul
(tempat pemujaan Dewi Sri, manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan), serta
mempunyai kebebasan dalam mengatur rumah tangganya sendiri maupun dalam
hubungan dengan pihak luar.
Dari sejumlah batasan mengenai Subak tersebut terlihat bahwa secara garis
besar subak memiliki tiga aspek pokok, yaitu aspek religius, sosial, dan fisik. Dalam
konsep budaya lokal (Bali) ketiga aspek tersebut merupakan aspek-aspek Tri Hita
Karana yang berarti “Tiga Penyebab Kesejahteraan”, yaitu: (1) Parhyangan
(lingkungan spiritual), (2) Pawongan (lingkungan sosial), dan (3) Palemahan
(lingkungan alamiah). Berkenaan dengan itu, untuk mencapai kesejahteraan maka
manusia hendaknya senantiasa menjaga hubungan yang seimbang dan harmonis dengan
lingkungan spirtitualnya, lingkungan sosialnya, dan lingkungan alam sekitarnya.
2 PERDA Bali No.02/DPRD/1972.
15
Sebaliknya hubungan yang tidak seimbang dan tidak harmonis diyakini akan dapat
mengganggu kesejahteraan hidup umat manusia.
Unsur parhyangan memberikan nuansa religius yang mengekspresikan
hubungan manusia dengan lingkungan spiritual. Setiap Subak dilengkapi dengan tempat
suci (pura) yang disebut Pura Ulun Suwi atau Bedugul yang dibangun tidak jauh dari
sumber mata air, bendungan, atau bagian hulu kawasan persawahan. Di tempat suci
tersebut para petani menyelenggarakan berbagai jenis ritual keagamaan yang berkaitan
dengan sistem bercocok tanam, seperti : ritual memohon kesuburan, memohon hujan,
menolak bala (hama dan penyakit tanaman), dan lain sebagainya. Unsur pawongan
mengacu kepada aspek sosial (manusia), yakni para petani yang terhimpun dalam
organisasi subak yang lazim disebut krama subak. Dalam rangka menjalankan
fungsinya, organisasi subak dilengkapi dengan awig-awig berupa seperangkat aturan
mengenai tata-tertib organisasi serta hak dan kewajiban para anggotanya. Unsur
palemahan merupakan komponen infrastruktur yang terdiri dari lingkungan fisik
alamiah berupa areal persawahan yang disebut uma atau carik dengan berbagai macam
fasilitas sistem irigasinya (Pujaastawa, 2003).
Dalam konteks dunia kepariwisataan, subak merupakan daya tarik yang
menyajikan perpaduan atraksi alam dan budaya agraris yang unik. Panorama rice
terrace yang mempesona dan berbagai aktivitas pertanian serta tradisi ritual
masyarakat agraris merupakan pemandangan dunia perdesaan sehari-hari yang hampir
tidak pernah luput dari rekaman lensa kamera wisatawan. Diakui atau tidak, subak
merupakan aset yang sangat berharga yang telah banyak memberikan kontribusi bagi
dunia kepariwisataan di Bali.
Bentuk-bentuk Kegiatan Wisatawan
Bentuk-bentuk kegiatan wisatawan dalam rangka melakukan kunjungan wisata
ke kawasan agrowisata berbasis pertanian meliputi :
• Sight seeing atau melihat-lihat panorama terasering persawahan
• Trekking atau menyusuri kawasan pertanian dengan berjalan kaki
• Cycling atau mengelilingi kawasan pertanian dengan mengendarai sepeda
16
• ATV riding atau menyusuri kawasan pertanian dengan mengendarai kendaraan ATV
(all terrain vehicle) yang telah dirancang secara khusus untuk kegiatan adventure
(berpetualang) di sekitar kawasan pertanian atau perkebunan
• Matekap (membajak sawah dengan menggunakan sapi)
• Menanam bibit padi
• Menikmati aneka jenis kuliner dari hasil pertanian lokal, seperti nasi beras merah
atau beras organik, teh beras merah serta aneka lauk dan sayur-sayuran dari hasil
pertanian setempat.
Kunjungan Wisatawan
Kunjungan rata-rata wisatawan ke Kawasan Agrowisata Jatiluwih dan Wangaya
Gede mencapai sekitar 450 orang tiap bulan. Dari keseluruhan wisatawan yang
berkunjung dan melakukan berbagai jenis kegiatan wisata di kawasan ini, sekitar 75% di
antaranya adalah wisatawan mancanegara, sedangkan wisatawan nusantara pada
umumnya hanya sebatas menikmati panorama terasering persawahan sambil memotret.
Kepemilikan dan Sistem Pengelolaan
Sistem pengelolaan usaha agrowisata di Kawasan Jatiluwih dan Wongaya Gede
dapat dibedakan atas pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan secara mandiri dan
pengelolaan yang dilakukan atas kerjasama antara perusahaan dan organisasi subak.
setempat.
Pada pengelolaan tipe pertama, baik lahan pertanian yang dimanfaatkan sebagai
daya tarik wisata maupun fasilitas akomodasi dan fasilitas pendukung lainnya
sepenuhnya merupakan milik perusahaan. Agrowisata yang dikelola secara mandiri ini
di samping memiliki keterbatasan dalam penyediaan lahan pertanian juga dalam jenis-
jenis atraksi wisata yang ditawarkannya, yakni hanya trekking dan menikmati aneka
hidangan kuliner lokal. Namun demikian, agrowisata yang dikelola secara mandiri ini
memiliki kelebihan, yakni berupa beberapa unit bungalo sebagai tempat menginap bagi
wisatawan.
Dalam pengelolaan usahanya, agrowisata yang dikelola secara mandiri ini di
samping melibatkan tenaga kerja dari lingkungan keluarga, juga memanfaatkan
17
sejumlah tenaga kerja yang berasal dari desa setempat, khususnya mereka yang
memiliki latar belakangan pendidikan menengah kejuruan di bidang kepariwisataan.
Pada pengelolaan agrowisata tipe kedua, pihak perusahaan hanya menyediakan
fasilitas akomodasi seperti tempat peristirahatan yang dilengkapi dengan restoran dan
fasilitas penunjang atraksi seperti sepeda gunung, kendaraan ATV, dan lainnya,
sedangkan kawasan pertanian yang dimanfaatkan sebagai daya tarik utama disediakan
oleh petani yang tergabung dalam organisasi subak setempat.
Dalam pengelolaan usahanya, agrowisata yang dikelola dengan pola kerjasama
ini lebih banyak memanfaatkan tenaga kerja lokal terutama yang memiliki latar
belakang pendidikan menengah kejuruan di bidang kepariwisataan. Pada umumnya
mereka dilibatkan sebagai interpreter atau pemandu untuk kegiatan hikking, cycling,
ATV riding, dan sebagai pelayan restoran. Khusus untuk demonstrasi atraksi membajak
atau matekap dilakukan oleh petani setempat.
4.1.2 Agrowisata Berbasis Perkebunan
Secara garis besar, agrowisata berbasis perkebunan dapat dibedakan menjadi dua
macam, yakni agrowisata perkebunan dengan komoditas tanaman tunggal atau sejenis
(monokultur) dan tanaman campuran (polikultur)
4.1.2.1 Agrowisata Berbasis Perkebunan Monokultur
Berdasarkan jenis komoditasnya, agrowisata berbasis perkebunan monokultur
yang ada di Bali dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a) Agrowisata Berbasis Perkebunan Bunga
Sebaran Lokasi
Berdasarkan sebaran lokasi pengembangan komoditas unggulan nasional dan
unggulan daerah, Provinsi Bali tergolong salah satu sentra pengembangan tanaman hias
(http://www.hortikultura.deptan.go.id). Menurut data statistik Dinas Pertanian Tanaman
Pangan Provinsi Bali, luas areal tanaman hias di Provinsi Bali cenderung mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Sampai tahun 2009 luas areal untuk berbagai jenis
tanaman hias mencapai 915,51 ha. Jenis-jenis tanaman hias yang dikembangkan di
18
antaranya adalah anggrek, anyelir, mawar, melati, angsoka, krisan, gladiol, pisang-
pisangan, sedap malam, palm, ephorbia, soka, adenium, antorium, pakis dan lainnya.
Meskipun usaha tanaman hias, khususnya perkebunan bunga di Bali cenderung
menunjukkan perkembangan, namun pengelolaan usaha perkebunan bunga sebagai daya
tarik wisata (agrowisata) masih sangat terbatas. Hingga sejauh ini upaya untuk
memanfaatkan usaha perkebunan bunga sebagai daya tarik agrowisata baru dijumpai di
wilayah Badung Utara, tepatnya di Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung
dengan jenis tanaman bunga hortensia sebagai potensi daya tarik utamanya.
Potensi Daya tarik
Tanaman bunga-bungaan tergolong jenis tanaman hias. Salah satu jenis tanaman
hias yang belakangan ini kian banyak dikembangkan adalah tanaman bunga hortensia
(Hydrangea macrophylla). Tanaman hortensia merupakan tanaman berbunga indah
yang dapat ditanam di dalam pot, maupun di lapangan. Biasanya tanaman hortensia
dibudidayakan sebagai tanaman hias maupun bunga potong. Tanaman hortensia juga
dikenal dengan nama kembang bokor karena bentuk calyx (mahkota) dekat dengan dasar
bunga yang berkumpul berbentuk bokor (http://id:wikipedia.org). Tanaman hortensia
yang memiliki efek warna putih kebiruan antara lain kerap digunakan sebagai hiasan
dekorasi taman pelaminan pengantin. Di Bali tanaman hortensia lebih dikenal dengan
nama bunga pecah seribu atau kembang seribu yang dibudidayakan sebagai bunga
potong untuk sarana upacara adat/agama terutama banten (sesaji) bagi umat Hindu
(Sumerta dkk, 2005).
Keindahan tanaman bunga hortensia menjadikan kawasan perkebunan bunga
hortensia sebagai panorama yang sangat menarik perhatian wisatawan. Di samping
menikmati indahnya hamparan bunga hortensia, wisatawan juga dapat menyaksikan atau
berpartisipasi secara langsung dalam berbagai kegiatan terkait usaha budi daya
perkebunan bunga, seperti pembibitan, penanaman, pemupukan, perawatan, dan
pemanenan sambil menikmati udara pegunungan yang sejuk dan segar.
19
Bentuk-bentuk Kegiatan Wisatawan
Bentuk-bentuk kegiatan wisatawan dalam rangka melakukan kunjungan wisata
ke kawasan agrowisata berbasis perkebunan bunga hortensia ini meliputi :
• Relaksasi atau bersantai sambil menikmati keindahan panorama perkebunan
• Trekking atau berjalan kaki di sekitar kawasan perkebunan
• Menyaksikan atau berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan usaha budi daya
perkebunan bunga, seperti pembibitan, penanaman, pemupukan, perawatan, dan
pemanenan sambil menikmati udara pegunungan yang sejuk dan segar
• Menyaksikan atau berpartisipasi secara langsung demonstrasi seni merangkai bunga
hortensia
• Berbelanja (bunga atau bibit tanaman bunga dan beberapa jenis cindramata)
Kunjungan Wisatawan
Dari keseluruhan wisatawan yang berkunjung dan melakukan berbagai jenis
kegiatan wisata di Kawasan Agrowisata Perkebunan Bunga di Desa Plaga, 50% di
antaranya adalah wisatawan mancanegara, sedangkan 50% lainnya adalah wisatawan
nusantara (termasuk wisatawan lokal). Kegiatan wisata yang dilakukan oleh wisatawan
nusantara di kawasan ini pada umumnya hanya sebatas menikmati keindahan panorama
perkebunan bunga sambil memotret, sedangkan wisatawan lokal di samping menikmati
keindahan panorama perkebunan bunga juga kerap berbelanja bibit tanaman bunga
untuk tanaman hias dan bunga untuk keperluan upacara keagamaan.
Kepemilikan dan Sistem Pengelolaan
Usaha agrowisata berbasis perkebunan bunga di Desa Plaga merupakan usaha
milik sendiri yang pengelolaannya melibatkan individu anggota keluarga. Keterlibatan
mereka dalam usaha agrowisata ini lebih banyak tercurah pada kegiatan-kegiatan yang
terkait dengan pembudidayaan tanaman, seperti pembibitan, penanaman, pemupukan,
perawatan, dan pemanenan. Sementara untuk penanganan wisatawan sepenuhnya
diserahkan kepada interprener dari pihak agen perjalanan.
20
b) Agrowisata Berbasis Perkebunan Strowberi
Sebaran Lokasi
Agrowisata berbasis perkebunan stroberi atau yang lebih dikenal dengan sebutan
agrowisata strowberi lebih banyak terdapat di Kawasan Bedugul (Tabanan), Pancasari
(Buleleng), dan Plaga (Badung) yang merupakan daerah dataran tinggi dan pegunungan.
Hal ini dapat dimaklumi mengingat tanaman strowberi merupakan jenis tanaman
subtropis yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi tropis pada ketinggian
1.000 -1.500 meter dari permukaan laut dengan suhu udara berkisar antara 17-20oC.
Potensi Daya tarik
Di samping suasana lingkungan alam pegunungan yang hijau dan sejuk,
agrowisata strowberi menampilkan keindahan panorama kawasan perkebunan dengan
komoditas buah stroberi sebagai daya tarik utama. Di samping itu, di dalam kawasan
perkebunan wisatawan juga dapat menyaksikan atau turut berpartisipasi dalam berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan budidaya tanaman strowberi, seperti pembibitan,
penanaman, pemupukan, perawatan, dan pemanenan buah strowberi sambil menikmati
udara pegunungan yang sejuk dan segar.
Bentuk-bentuk Kegiatan Wisatawan
Dalam rangka melakukan kunjungan wisata di kawasan agrowisata berbasis
perkebunan strowberi, wisatawan dapat melakukan sejumlah kegiatan sebagai berikut :
• Relaksasi atau bersantai menikmati keindahan panorama perkebunan stroberi sambil
menikmati segarnya buah strowberi dan udara pegunungan yang sejuk dan segar
• Trekking atau berjalan kaki di sekitar kawasan perkebunan
• Menyaksikan atau berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan usaha budi daya
tanaman strowberi, seperti pembibitan, penanaman, pemupukan, perawatan, dan
pemanenan
• Menyaksikan atau berpartisipasi secara langsung dalam proses pengolahan buah
strowberi menjadi produk olahan seperti juice, sirup, selai, ataupun stup (compote)
strowberi.
21
• Berbelanja (buah, bibit tanaman strowberi, dan beberapa jenis produk olahan sebagai
cindramata)
Di samping beberapa kegiatan wisata seperti dikemukakan di atas, di kawasan
agrowisata di Desa Plaga wisatawan juga dapat melakukan beberapa jenis kegiatan
seperti :
• Buggy riding yakni mengelilingi properti dengan menggunakan kendaraan khusus
(buggy). Selama perjalanan, petugas agrowisata menjelaskan mengenai tanaman
yang dibudidayakan di sekitar areal agro.
• Bird watching, selain menikmati pemandangan alam sekitar, wisatawan juga dapat
menyaksikan beraneka jenis satwa burung yang terdapat di sekitar kawasan
agrowisata. Kegiatan ini terutama dapat dilakukan pada pagi hari saat matahari
terbit.
• Children playground, disediakan bagi pengunjung yang datang bersama anak-anak.
Tempat bermain anak-anak dibuat sedemikian rupa sehingga anak-anak bisa
mengenal alam secara lebih dekat sambil bermain.
Kunjungan Wisatawan
Dari tiga sebaran kawasan agrowisata berbasis perkebunan strowberi yang
terdapat di Bali, ternyata kunjungan wisatawan lebih banyak (70%) tertuju pada daya
tarik agrowisata yang ada di Kawasan Bedugul-Pancasari. Hal ini disebabkan karena
keberadaan Kawasan Bedugul-Pancasari merupakan kawasan daya tarik wisata khusus
(KDTWK) dengan deversitas daya tarik dan fasilitas akomodasi pariwisata yang lebih
beragam.
Kepemilikan dan Sistem Pengelolaan
Pada umumnya usaha agrowisata berbasis perkebunan stroberi yang terdapat di
Kawasan Bedugul-Pancasari merupakan milik perorangan yang pengelolaannya
melibatkan individu-individu anggota keluarga. Keterlibatan mereka dalam usaha
agrowisata ini lebih banyak tercurah pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
pembudidayaan tanaman, seperti pembibitan, penanaman, pemupukan, perawatan, dan
pemanenan. Sementara untuk penanganan wisatawan sepenuhnya diserahkan kepada
22
interprener dari pihak agen perjalanan. Di samping merupakan usaha keluarga, di
kawasan Pancasari juga terdapat agrowisata berbasis perkebunan strowberi yang
dikelola oleh sebuah yayasan yang bergerak di bidang pariwisata dan pelestarian
lingkungan yang anggota-anggotanya berasal dari pihak pemerhati dan peduli pariwisata
dan lingkungan setempat. Sedangkan usaha agrowisata berbasis perkebunan stroberi
yang terdapat di Desa Plaga merupakan sebuah usaha yang dikelola dengan prinsip
manajemen profesional yang sebagian besar karyawannya berasal dari penduduk
setempat.
c) Agrowisata Berbasis Perkebunan Salak
Sebaran Lokasi
Selain terkenal sebagai daerah tujuan wisata, Pulau Bali juga terkenal sebagai
salah satu sentral produksi buah salak di Indonesia. Desa Sibetan dan Perangsari
(Karangasem) yang berjarak sekitar 85 Km dari Denpasar berada pada ketinggian 500 m
di atas permukaan laut merupakan wilayah yang sangat cocok untuk budidaya
perkebunan salak. Di kedua desa ini terdapat kawasan perkebunan salak dengan luas
areal keseluruhan sekitar 1.125.000 hektar, yang oleh Pemerintah Kabupaten
Karangasem telah dikembangkan menjadi daya tarik agrowisata.
Potensi Daya Tarik
Jenis-jenis potensi daya tarik agrowisata berbasis perkebunan salak atau yang
yang lebih dikenal dengan sebutan agrowisata salak meliputi :
• Kawasan perkebunan salak. dengan jejeran pohon salak yang ditata rapi menyerupai
barisan serta dibatasi dengan pagar dari batang pohon salak merupakan daya tarik
tersendiri. Petani salak juga membagi kebunnya ke dalam beberapa bagian sesuai
dengan jenis salak yang diusahakan, sehingga memudahkan pengunjung untuk
mengetahui jenis dan nama varietas salak yang ditanam. Sekitar 15 jenis tanaman
salak yang ditanam di areal perkebunan desa Sibetan dan Perangsari, di antaranya
adalah salak nanas dan salak gula pasir yang merupakan varietas unggul dengan rasa
yang sangat manis serta daging buah yang tebal.
23
• Teknik budidaya tanaman salak mulai dari pembibitan, pemeliharaan tanaman,
hingga panen
• Beraneka jenis komoditas buah salak segar yang siap disantap
• Teknik pengolahan buah salak menjadi aneka produk kuliner (dodol, anggur)
• Suasana kehidupan penduduk pedesaan dengan berbagai jenis tradisi dan adat-
istiadatnya, di antaranya tradisi ritual keagamaan (tumpek uduh) yang berlangsung
secara periodik setiap 210 hari sekali, dan
• Seni merangkai buah salak dalam bentuk gebogan atau pajegan
.Bentuk-bentuk Kegiatan Wisatawan
Jenis-jenis kegiatan wisata yang dapat dilakukan oleh wisatawan dalam rangka
melakukan kunjungan di kawasan agrowisata salak di Desa Sibetan dan Perangsari
meliputi :
• Trekking atau berjalan kaki menyusuri kawasan perkebunan salak
• Cycling atau menyusuri kawasan perkebunan salak dengan mengendarai sepeda
• Di dalam kawasan perkebunan wisatawan dapat memetik sendiri buah salak yang
diinginkan
• Menyaksikan atau turut mencoba demonstrasi pengolahan buah salak menjadi aneka
produk olahan seperti dodol salak, sirup salak, manisan salak, anggur salak, dan
lainnya
• Menyaksikan atau turut mencoba seni merangkai buah salak dalam bentuk gebogan
atau pajegan
• Berbelanja (membeli buah salak segar atau berbagai jenis produk olahannya.
Kunjungan Wisatawan
Kunjungan wisatawan ke kawasan agrowisata salak di Desa Sibetan dan
Perangsari umumnya didominasi oleh wisatawan asing (65%) yang sebagian besar
berasal dari Jerman dan Australia sedangkan 35% lainnya adalah wisatawan nusantara
(termasuk wisatawan lokal).
24
Kepemilikan dan Sistem Pengelolaan
Usaha agrowisata berbasis perkebunan salak baik di Desa Sibetan dan Perangsari
dikelola secara kolektif oleh para warga pemilik perkebunan salak yang tergabung
dalam kelompok sadar wisata. Dengan demikian, pengembangan pariwisata di kedua
desa ini dapat dikatakan telah mengacu pada konsep pengembangan pariwisata berbasis
komunitas yang bertumpu pada model pemberdayaan masyarakat. Pengembangan
agrowisata dengan model ini memnawa implikasi terhindarnya alih kepemilikan lahan
dari masyarakat setempat ke tangan investor. Di samping membentuk kelompok sadar
wisata, para petani perkebunan salak juga membangun koperasi guna meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Dengan adanya kelompok sadar wisata dan koperasi, memudahkan mereka baik
dalam bidang pengelolaan maupun pengembangan usaha agrowisata. Misalnya, melalui
kelompok sadar wisata mereka memiliki peluang dan akses yang lebih baik untuk
memperoleh peningkatan keterampilan melalui pendidikan dan pelatihan, serta
kerjasama dengan pihak-pihak lain terkait dengan pengembangan agrowisata. Di
samping itu yang terpenting adalah dengan adanya kelomok sadar wisata yang
beranggotakan petani setempat, memberi peluang besar untuk penyerapan tenaga kerja
lokal. Jenis-jenis pekerjaan yang dimaksud misalnya sebagai karyawan restoran, proses
produksi wayn atau anggur salak, pemadu trekking, pemandu petik salak, dan lainnya.
d) Agrowisata Berbasis Perkebunan Kopi
Sebaran Lokasi
Meskipun potensi perkebunan kopi tersebar di sejumlah wilayah kabupaten di
Bali (seperti Tabanan, Badung, Buleleng, dan Bangli), namun upaya pengelolaan
perkebunan kopi sebagai daya tarik agrowisata yang berbasis perkebunan monokultur
dengan memanfaatkan tanaman kopi sebagai komoditas tanaman tunggal belum banyak
dijumpai. Hingga saat ini agrowisata berbasis perkebunan kopi sebagai perkebunan
monokultur dapat dijumpai di Desa Landih, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli.
25
Potensi Daya Tarik
Jenis-jenis potensi daya tarik agrowisata berbasis perkebunan kopi yang bersifat
monokultur ini meliputi :
• Kawasan perkebunan dengan tanaman kopi sebagai komoditas monokultur
• Teknik fermentasi buah kopi secara alamiah dengan menggunakan proses
pencernaan melalui binatang luwak atau musang.
• Proses pengolahan buah kopi pasca fermentasi hingga siap saji
• Produk olahan kopi luwak
• Tradisi upacara ritual keagamaan (tumpek uduh) yang berlangsung secara periodik
setiap 210 hari sekali
• Outlet untuk memajang dan menjual barang-barang produk olahan dan cindramata.
Bentuk-bentuk Kegiatan Wisatawan
Dalam rangka melakukan kunjungan wisata di kawasan agrowisata berbasis
perkebunan monokultur khususnya perkebunan kopi, wisatawan dapat melakukan
sejumlah kegiatan sebagai berikut :
• Hikking atau berjalan kaki di sekitar kawasan perkebunan kopi sambil mengamati
tanaman kopi dan binatang luwak yang dilepas secara bebas.
• Menyaksikan atau ikut mencoba proses sangrai kopi dengan menggunakan
peralatan dan teknologi tradisional
• Mencoba produk olahan kopi luwak
• Mengambil foto untuk kenang-kenangan
• Berbelanja (membeli beraneka jenis produk olahan dan barang-barang kerajinan
sebagai cindramata)
Kunjungan Wisatawan
Wisatawan yang mengunjungi agrowisata berbasis perkebunan kopi ini rata-rata
berjumlah 70 orang tiap bulan yang terdiri dari 75 persen wisatawan mancanegara dan
25 persen wisatawan nusantara. Berdasarkan tipologi perjalanan wisatanya pada
umumnya, kunjungan wisatawan mancanegara ke daya tarik agrowisata berbasis
26
perkebunan kopi ini sebagai bagian dari package tour atau paket perjalanan wisata
mereka ke beberapa daya tarik wisata yang telah direncanakan sebelumnya. Sedangkan
bagi wisatawan nusantara, kunjungan mereka ke daya tarik agrowisata berbasis
perkebunan campuran ini umumnya bukan merupakan kunjungan yang telah
direncanakan sebelumnya.
Kepemilikan dan Sistem Pengelolaan
Agrowisata berbasis perkebunan kopi ini merupakan usaha milik perorangan
yang dikelola dengan ststem manajemen yang bersifat informal yang melibatkan
individu-individu anggota keluarga. Keterlibatan mereka dalam usaha agrowisata ini
lebih banyak tercurah pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pembudidayaan
tanaman (seperti pembibitan, penanaman, pemupukan, dan perawatan tanaman),
pembuatan dan penyajian produk olahan, serta kebersihan dan keamanan lingkungan.
Sementara untuk penanganan wisatawan sepenuhnya diserahkan kepada interprener dari
pihak agen perjalanan. Namun demikian, sebagian dari pengelola agrowisata juga
menyiapkan tenaga interprener yang pada umumnya berasal dari masyarakat lokal.
4.1.2.2 Agrowisata Berbasis Perkebunan Campuran (Polikultur)
Sebaran Lokasi
Agrowisata berbasis perkebunan campuran merupakan jenis agrowisata yang
paling dominan. Hingga saat ini, dari keseluruhan daya tarik agrowisata yang ada di
Bali, sekitar 80% di antaranya tergolong agrowisata berbasis perkebunan campuran.
Keberadaannya tersebar di empat kabupaten, dengan jumlah populasi terbanyak terdapat
di Kabupaten Bangli (40%), menyusul Kabupaten Gianyar (30%), Kabupaten Tabanan
(20%), serta Kabupaten Badung dan Karangasem masing-masing (5%). Sebagian besar
dari usaha agrowisata tersebut terletak di dekat jalan raya yang merupakan jalur-jalur
pariwisata utama di Bali, seperti di sepanjang jalur pariwisata Ubud-Tampak Siring-
Kintamani (wilayah Kabupaten Gianyar dan Bangli), jalur pariwisata Tembuku-Besakih
(wilayah Kabupaten Bangli dan Karangasem), dan jalur pariwisata Bedugul-Pancasari
(wilayah Kabupaten Tabanan).
27
Potensi Daya Tarik Wisata
Sebagian besar (86%) usaha agrowisata berbasis perkebunan campuran di Bali
mengusahakan tanaman kopi jenis arabica sebagai tanaman utama. Di samping tanaman
kopi, juga terdapat tanaman lainnya sebagai pelengkap, seperti kakao, rempah-rempah,
tanaman obat-obatan (herbal), dan tanaman buah-buahan dan beberapa jenis tanaman
lokal lainnya. Selain itu, juga terdapat sejumlah (14%) usaha agrowisata berbasis
perkebunan campuran yang mengusahakan jenis-jenis tanaman lainnya, seperti manggis,
coklat, durian, salak, duku, nangka, dan lainnya.
Agrowisata berbasis perkebunan campuran memiliki potensi daya tarik yang
cukup beragam. Secara lebih rinci, jenis-jenis potensi daya tarik agrowisata berbasis
perkebunan campuran ini adalah sebagai berikut:
• Pada umumnya usaha agrowisata berbasis perkebunan campuran menyajikan
suasana lingkungan perkebunan yang sejuk dan asri dengan berbagai jenis tanaman
perkebunan, termasuk tanaman langka.
• Di beberapa tempat, pengunjung juga dapat menyaksikan indahnya panorama
lembah dengan latar perbukitan yang ada di sekitar kawasan.
• Teknologi budidaya tanaman mulai dari pembibitan, pemeliharaan tanaman, hingga
panen
• Teknik fermentasi buah kopi secara alamiah dengan menggunakan proses
pencernaan melalui binatang luwak atau musang.
• Proses pengolahan buah kopi pasca fermentasi hingga siap saji
• Produk olahan kopi luwak
• Produk tanaman buah-buahan lainnya (jeruk, durian, nangka, mangga, manggis,
duku, dan lainnya) serta aneka produk olahan lainnya.
• Produk olahan lainnya seperti herbal dan obat-obatan
• Tradisi upacara ritual keagamaan (tumpek uduh) yang berlangsung secara periodik
setiap 210 hari sekali
28
• Di beberapa tempat daya tarik agrowisata berbasis perkebunan campuran ini juga
dilengkapi dengan fasilitas peristirahatan berupa kubu-kubu atau gazebo dengan
langgam arsitektur tradisional Bali, serta tempat berkemah (camping grown)
• Di beberapa tempat kawasan perkebunan juga dilengkapi dengan representasi
rumah tradisional Bali dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti tembok
popolan, atap alang-alang, dan dinding dari bahan bambu.
• Outlet untuk memajang dan menjual barang-barang produk olahan dan cindramata.
Bentuk-bentuk Kegiatan Wisatawan
Dalam rangka melakukan kunjungan wisata di kawasan agrowisata berbasis
perkebunan campuran, wisatawan dapat melakukan sejumlah kegiatan sebagai berikut :
• Hikking atau berjalan kaki di sekitar perkebunan sambil mengamati beraneka ragam
jenis tanaman
• Mengamati binatang luwak
• Memberi makan luwak
• Menyaksikan atau ikut mencoba proses sangrai kopi dengan menggunakan
peralatan dan teknologi tradisional
• Mencoba produk olahan kopi luwak dan produk lainnya seperti ginger tea, jamu,
dll.
• Mencoba produk tanaman buah-buahan serta produk olahannya
• Mengambil foto untuk kenang-kenangan
• Berbelanja (membeli beraneka jenis produk dan barang-barang kerajinan sebagai
cindramata)
• Melakukan kegiatan camping
Kunjungan Wisatawan
Wisatawan yang mengunjungi agrowisata berbasis perkebunan campuran ini
umumnya didominasi (90%) oleh wisatawan mancanegara, sedangkan 10% lainnya
adalah wisatawan nusantara. Pada umumnya, kunjungan wisatawan mancanegara ke
daya tarik agrowisata berbasis perkebunan campuran ini sebagai bagian dari package
29
tour atau paket perjalanan wisata mereka ke beberapa daya tarik wisata yang telah
direncanakan sebelumnya. Sedangkan bagi wisatawan nusantara, kunjungan mereka ke
daya tarik agrowisata berbasis perkebunan campuran ini umumnya bukan merupakan
kunjungan yang telah direncanakan sebelumnya.
Kepemilikan dan Sistem Pengelolaan
Pada umumnya usaha agrowisata berbasis perkebunan campuran di Bali
merupakan usaha milik perorangan yang pengelolaannya melibatkan individu-individu
anggota keluarga. Keterlibatan mereka dalam usaha agrowisata ini lebih banyak tercurah
pada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pembudidayaan tanaman (seperti
pembibitan, penanaman, pemupukan, dan perawatan tanaman), pembuatan dan
penyajian produk olahan, serta kebersihan dan keamanan lingkungan. Sementara untuk
penanganan wisatawan sepenuhnya diserahkan kepada interprener dari pihak agen
perjalanan. Namun demikian, sebagian dari pengelola agrowisata juga menyiapkan
tenaga interprener yang pada umumnya berasal dari masyarakat lokal.
4.1.3 Agrowisata berbasis Peternakan
Sebaran lokasi
Hingga sejauh ini, keberadaan agrowisata berbasis peternakan di Bali masih
sangat terbatas. Meskipun beberapa tahun silam pernah dicoba upaya pengembangan
agrowisata berbasis peternakan dengan model pengembangan Agro Techno Park di
Desa Pangkung Tanah, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, namun tampaknya
upaya tersebut akhirnya menemui kegagalan. Satu-satunya daya tarik agrowisata
berbasis peternakan yang ada di Bali saat ini adalah Kawasan Pemeliharaan Lembu
Putih yang terdapat di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar.
Keberadaannya yang masih bertahan hingga saat ini tidak terlepas dari konsepsi
keyakinan masyarakat setempat yang menilai satwa lembu putih sebagai binatang suci
dan keramat.
30
Potensi Daya Tarik
Jenis-jenis potensi daya tarik agrowisata berbasis peternakan di Desa Taro
meliputi sebagai berikut :
• Populasi satwa lembu putih yang tergolong satwa endemik
• Kawasan pemeliharaan lembu putih dengan pola ranch yang cukup luas dengan latar
belakang persawahan.
• Adanya konsepsi keyakinan masyarakat setempat tentang lembu putih sebagai
binatang suci dan keramat
• Adanya bentuk-bentuk perlakuan khusus (istimewa) oleh masyarakat setempat
terhadap satwa lembu putih yang dinilai sebagai binatang suci dan keramat
• Beberapa tempat tempat dan kawasan suci yang terkait dengan konsepsi keyakinan
terhadap lembu putih sebagai binatang suci dan keramat.
• Tradisi ritual keagamaan (tumpek uye) yang berlangsung secara periodik setiap 210
hari sekali.
Bentuk-bentuk Kegiatan Wisatawan
Dalam rangka melakukan kunjungan wisata di kawasan agrowisata berbasis
pemeliharaan lembu putih di Desa Taro, wisatawan dapat melakukan sejumlah kegiatan
sebagai berikut :
• Hikking atau berjalan kaki mengelilingi kawasan pemeliharaan lembu putih
• Menyaksikan aktivitas pemeliharaan lembu putih, khususnya pemberian pakan
• Mendengarkan penjelasan mengenai mitos lembu putih sebagai binatang suci dan
keramat
• Mengunjungi tempat suci dan kawasan hutan yang terkait dengan mitos lembu putih
sebagai binatang suci dan keramat
Kunjungan Wisatawan
Wisatawan yang mengunjungi agrowisata lembu putih di Desa Taro umumnya
didominasi (80%) oleh wisatawan mancanegara, sedangkan 20% lainnya adalah
wisatawan nusantara. Hanya pada saat-saat tertentu, khususnya pada saat pelaksaan
31
ritual pujawali di Pura Gunung Raung yang letak di Banjar Taro Kaja yang berlangsung
setiap 210 hari, kawasan pemeliharaan lembu putih banyak dikunjungi oleh wisatawan
lokal sehabis melakukan persembahyangan di Pura Gunung Raung. Sedangkan
kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara ke tempat itu umumnya sebagai
kunjungan tambahan setelah Kawasan Elephant Safari Park yang letaknya tidak jauh
(sekitar 100 meter) dari kawasan pemeliharaan lembu putih.
Kepemilikan dan Sistem Pengelolaan
Kawasan pemeliharaan lembu putih beserta satwa lembu putih yang terdapat di
Desa Taro merupakan hak ulayat desa adat atau desa pakraman Taro Kaja yang telah
mereka warisi secara turun-temurun. Sistem pengelolaannya sepenuhnya melibatkan
warga desa adat dengan aturan yang telah ditetapkan dalam bentuk seperangkat undang-
undang adat yang disebut awig-awig atau perarem.
4.1.4 Agrowisata Berbasis Perikanan
Sebaran Lokasi
Sementara ini agrowisata berbasis perikanan di Bali dijumpai di Desa Sidakarya,
Denpasar. Di desa ini terdapat sekitar lima usaha pemeliharaan ikan yang sekaligus
dikelola sebagai daya tarik wisata memancing dengan luas lahan berkisar antara 0,5-1,0
hektar. Lokasi daya tarik wisata memancing ini terletak di pinggir jalan by pass I Gusti
Ngurah Rai yang merupakan jalur pariwisata utama Tohpati-Nusa Dua. Selain itu,
kolam pemancingan juga terdapat di Jalan Cokroaminoto dan Kebo Iwa, Denpasar.
Potensi Daya Tarik
Jenis-jenis potensi daya tarik agrowisata berbasis perikanan di Bali meliputi
sebagai berigut :
• Kolam pemancingan yang dilengkapi dengan balai-balai atau gazebo yang umumnya
terbuat dari bahan bambu beratapkan alang-alang sehingga terkesan cukup artistik
• Berbagai jenis ikan air tawar seperti nila, mujair, karper, patin, bawal, dan lainnya.
32
• Tempat membakar atau memanggang ikan hasil pancingan
• Restoran yang menyediakan aneka jenis kuliner ikan air tawar
Bentuk-bentuk Kegiatan Wisatawan
Pada umumnya (80%) wisatawan yang berkunjung ke daya tarik agrowisata
berbasis perikanan bertujuan untuk melakukan kegiatan memancing ikan. Hal ni dapat
dilihat dari kedatangan mereka ke tempat itu dilengkapi dengan peralatan memancing
ikan. Sedangkan 20% lainnya wisatawan yang datang untuk sekadar melihat-lihat atau
menonton wisatawan lainnya yang sedang memancing ikan, atau kedatangan mereka
untuk menikmati aneka hidangan kuliner ikan air tawar yang tersedia di restoran tempat
pemancingan. Selain itu, wisatawan juga dapat memasak (membakar atau memanggang)
ikan hasil pancingannya sendiri di tempat yang telah disediakan.
Kunjungan Wisatawan
Pada hari-hari biasa, sebagian besar (80%) wisatawan yang berkunjung ke
agrowisata berbasis perikanan adalah wisataan lokal, sedangkan 20% lainnya adalah
wisatawan domestik. Kunjungan wisatawan domestik ke tempat itu biasanya mengalami
peningkatan pada saat-saat liburan, seperti liburan sekolah, lebaran, natal, dan tahun
baru.
Kepemilikan dan Sistem Pengelolaan
Sebagian usaha agrowisata berbasis perikanan di Bali merupakan usaha milik
perorangan dan sebagian lainnya merupakan kerjasama antara pemilik lahan dengan
pemilik modal. Pengelolaan daya tarik umumnya dilakukan dengan merekrut tenaga
kerja lokal yang dipekerjakan untuk pemeliharaan ikan dan perawatan kolam, pemandu
wisata memancing, pelayan restoran, dan sebagainya.
4.1.5 Agrowisata Campuran (Terpadu)
Agrowisata campuran (terpadu) adalah usaha agrowisata yang menyajikan
perpaduan lebih dari satu jenis komoditas sebagai daya tarik utamanya. Sebagai contoh
33
misalnya, agrowisata yang menyajikan komoditas perkebunan, pertanian, peternakan,
atau perikanan sebagai daya tarik utamanya.
Sebaran Lokasi
Di Bali, usaha agrobisnis dengan pola campuran (terpadu) sesungguhnya dapat
dijumpai di beberapa tempat. Seperti di sekitar wilayah Kintamani, misalnya, banyak
terdapat usaha perkebunan dengan komoditas campuran seperti jeruk, kopi, dan tanaman
hortikultura. hal yang sama juga dapat dijumpai di sekitar Kawasan Bedugul (Tabanan),
Pancasari (Buleleng), dan Pelaga (Badung). Namun demikian, keberadaan usaha
agribisnis tersebut belum banyak dikelola sebagai daya tarik agrowisata terpadu.
Sementara ini usaha agribisnis yang telah dikelola sebagai daya tarik agrowisata terpadu
adalah sebagaimana yang dapat dsaksikan di Kawasan Desa Budaya Kertalangu,
Denpasar dan Kawasan Agrowisata Kerta yang terletak di Desa Kerta, Kecamatan
Payangan, Kabupaten Gianyar.
Potensi Daya Tarik
Jenis-jenis potensi daya tarik agrowisata terpadu seperti yang dapat disaksikan di
Desa Budaya Kertalangu dan Kawasan Agrowisata Kerta meliputi :
Desa Budaya Kertalangu
• Taman Santhi Buwana ditandai dengan keberadaan “Tugu Perdamaian Dunia”
berupa patung-patung tokoh perdamaian dunia antara lain Mahatma Gandhi, Bung
Karno, Madame Theresa, Barack Obama, serta tokoh perdamaian dunia lainnya di
tengah-tengah hamparan rumput hijau yang luas dan asri. Untuk menghantarkan kita
pada suasana damai sekaligus menghayati jiwa besar para tokoh perdamaian dunia.
• Megalitic Paviliun sebagai sumber informasi dan pengetahuan tentang peradaban
jaman megalitik
• Hamparan persawahan yang menghijau serta aktivitas petani desa Kertalangu dalam
mengelola pertanian dengan sistem subaknya.
• Cultural Park yang secara berkala menggelar pertunjukkan dan pergelaran untuk
memperingati peristiwa national dan international untuk ikut serta mempromosikan
34
semangat perdamaian dunia. Perayaan akan diselenggarakan dalam bentuk diskusi
berkala, pergelaran, festival, pertunjukkan tari-tarian, musik dan makanan serta
pameran kesenian dan kerajinan.
• Empat buah kolam pancing yang masing-masing kolam dihuni oleh berbagai
macam jenis ikan air tawar
Kawasan Agrowisata Kerta
• Kawasan agrowisata campuran dengan berbagi jenis komoditas yang diusahakan
seperti perkebunan jeruk, sayuran, buah-buahan, beraneka jenis pohon bambu,
peternakan sapi dan babi, serta hamparan persawahan yang ada di sekelilingnya.
• Aneka produk buah-buahan, dan sayuran
• Souvenir, handicraft dari bahan bambu.
Bentuk-bentuk Kegiatan Wisatawan
Desa Budaya Kertalangu
Wisatawan yang berkunjung ke Desa Budaya Kertalangu dapat menikmati
berbagai jenis kegiatan yang meliputi sebagai berikut :
• Hikking atau jogging mengelilingi hamparan sawah yang hijau serta menyaksikan
lebih dekat kehidupan petani desa kertalangu melakukan kegiatan pertanian dengan
sistem subaknya.
• Horse riding (menunggang kuda) mengelilingi kawasan
• Menyaksikan atau turut mencoba demonstrasi menanam padi, mengejar bebek, dan
menangkap belut,
• Fishing atau memancing ikan di kolam yang sudah disediakan
• Cooking Class, Desa Budaya Kertalangu menawarkan pengalaman kuliner serta
belajar bersama dan langsung dibawah asuhan chef yang handal dan berpengalaman
• MICE, menggelar acara-acara seperti pertemuan, pameran, workshop, pernikahan
dan lainnya. Tersedia fasilitas Sasana Budaya yang dapat menampung hingga 3000
orang peserta. Sementara Taman Santhi Buwana dilengkapi dengan panggung
terbuka untuk pentas budaya dan jamuan makan hingga pesta taman dengan
kapasitas 3000 orang
35
• Kuliner, menikmati aneka kuliner yang telah disediakan di restoran setempat
• Shopping, berbelanja berbagai macam produk industri budaya dan cindramata.
Kawasan Agrowisata Kerta
Wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Agrowisata Kerta dapat menikmati
berbagai jenis kegiatan yang meliputi sebagai berikut :
• Trekking sambil melihat-lihat keindahan panorama di sekitar kawasan perkebunan
• Menyaksikan atau mengamati berbagai jenis tanaman perkebunan serta peternakan
sapi dan babi
• Menikmati aneka produk buah-buahan segar
• Berbelanja aneka produk buah-buahan dan cindramata.
Kunjungan Wisatawan
Sebagian besar (80%) wisatawan yang berkunjung ke Desa Budaya Kertalangu
adalah wisatawan nusantara (termasuk wisatawan lokal), sementara 20% lainnya adalah
wisatawan mancanegara. Baik kunjungan wisatawan nusanstara maupun wisatawan
lokal biasanya mengalami peningkatan pada hari-hari libur nasional dan keagamaan.
Sedangkan wisatawan yang berkunjung ke Kawasan Agrowisata Kerta didominasi oleh
wisatawan mancanegara dengan jumlah kunjungan rata-rata perbulan sekitar 50 orang
Kepemilikan dan Sistem Pengelolaan
Daya tarik wisata Desa Budaya Kertalangu merupakan milik masyarakat Desa
Kesiman Kertalangu yang pengelolaannya dipercayakan kepada pihak swasta PT Uber
Sari dengan menerapkan sistem manajemen formal. Konsep pengelolaannya lebih
mengarah pada konservasi lahan pertanian melalui pemanfaatannya sebagai daya tarik
wisata dengan lebih mengedepankan partisipasi masyarakat setempat (community based
development). Sedangkan Agrowisata Kerta yang juga merupakan milik masyarakat
setempat, namun sistem pengelolaannya lebih mengarah pada konsep pemberdayaan
masyarakat, yakni sepenuhnya melibatkan partisipasi masyarakat setempat.
36
4.2 Analisis Faktor Internal dan Eksternal
Analisis lingkungan internal dan eksternal merupakan analisis terhadap kondisi
internal dan eksternal wilayah yang berpengaruh terhadap pengembangan destinasi
agrowisata di Provinsi Bali. Analisis internal meliputi faktor kekuatan (strengths) dan
kelemahan (weaknesses), sedangkan analisis eksternal meliputi faktor peluang
(opportunities) dan ancaman atau tantangan (threats).
4.2.1 Analisis Faktor Internal
Faktor internal yang berpengaruh terhadap pengembangan agrowisata terdiri dari
faktor kekuatan dan faktor kelemahan.
Kekuatan (Strengths). Beberapa faktor internal yang dapat diidentifikasi
menjadi kekuatan atau keunggulan dalam pengembangan destinasi agrowisata di
Provinsi Bali adalah:
1) Ketersediaan kebun (kopi, kakao, jeruk, salak, strowberi, dan lainnya) yang
memadai. Beberapa wilayah kabupaten di Provinsi Bali memiliki kawasan
perkebunan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai daya tarik
agrowisata. Pemanfaatan kebun sebagai daya tarik agrowisata akan memberikaan
nilai tambah bagi pekebun/petani.
2) Memiliki pemandangan (view) alam yang menarik. Hampir semua lokasi agrowisata
memiliki pemandangan alam yang menarik sebagai daya tarik penunjang. Beberapa
view yang dimaksud seperti kawasan persawahan, perkebunan, hutan, pegunungan,
perbukitan, lembah, landscape garden, dan lainnya.
3) Lahan milik sendiri. Kepemilikan lahan oleh pengelola atau pemilik destinasi
agrowisata memberikan modal keberanian untuk memulai usaha agrowisata. Lahan
tersebut merupakan modal utama yang memang sangat diperlukan dalam
pembukaan destinasi agrowisata.
4) Kopi luwak sebagai unggulan. Kopi luwak merupakan produk komoditas kopi yang
sedang populer saat ini dan mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Pemanfaatan kopi luwak sebagai produk unggulan sekaligus menjadi ikon destinasi
agrowisata di samping menambah nilai keunikan sekaligus juga menjadi identitas
37
dari agrowisata. Selain itu, demonstrasi proses pengolahan kopi secara tradisional
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman yang menarik bagi para wisatawan;
5) Pengalaman pengelola atau pemilik di bidang kepariwisataan. Tidak sedikit
pengelola atau pemilik agrowisata sebelumnya sudah memiliki pengalaman kerja di
bidang pariwisata. Pengalama kerja yang dimaksud misalnya sebagai pemandu
wisata, pedagang acung, karyawan travel agent, karyawan hotel, karyawan restoran,
dan lainnya. Selain pengalaman kerja, umumnya mereka juga telah memiliki
networking di dunia pariwisata, sehingga lebih mempermudah mereka dalam
promosi dan pemasaran.
Kelemahan (Weaknesses). Beberapa faktor internal yang dapat diidentifikasi
menjadi kelemahan dalam pengembangan agrowisata di Provinsi Bali adalah:
1) Kuantitas dan kualitas koleksi tanaman yang relatif terbatas. Beberapa agrowisata
memiliki koleksi tanaman yang relatif terbatas, sementara jenis-jenis produk olahan
yang ditawarkan kepada wisatawan cukup beragam. Hal ini menyebabkan
interpreter kerap tidak dapat menunjukkan secara langsung atau menjelaskan
tentang asal usul dari produk yang ditawarkannya.
2) Kualitas pelayanan sumber daya manusia (SDM) pelaku agrowisata belum
sepenuhnya memenuhi standar. Beberapa SDM pelaku agrowisata belum memenuhi
standar karena tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang kepariwisataan,
bahkan sebagian di antaranya hanya tamat sekolah dasar (SD) dan sekolah
menengah pertama (SMP).
3) Masih kurangnya promosi. Promosi yang dilaksanakan oleh masing-masing
destinasi agrowisata sangat terbatas. Pada umumnya promosi dilakukan dengan
membagikan kartu nama, komunikasi langsung dengan pemandu wisata, dan
beberapa melalui website. Promosi melalui pameran sangat jarang dilakukan.
4) Keterbatasan Modal. Sumber permodalan yang dapat diakses oleh
pemilik/pengelola agrowisata masih relatif terbatas. Kalaupun ada, suku bunganya
masih dianggap relatif tinggi, sehingga sulit dijangkau terutama bagi pengelola
agrowisata yang baru memulai usahanya. Keperluan dana operasional (modal kerja)
antara lain untuk membeli pakan luwak berupa buah kopi petik merah. Hal ini
38
disebabkan oleh keterbatasan lahan, sehingga kopi yang dihasilkan di kebun sendiri
tidak mencukupi untuk pakan luwak.
5) Terbatasnya luas areal kebun kopi yang dijadikan usaha agrowisata berimplikasi
pada sistem pengelolaan agrowisata yang cenderung dilakukan secara individual.
6) Produk souvenir tidak mempunyai standar perdagangan internasional. Produk yang
tidak mempunyai standar perdagangan internasional akan menjadi penghambat bagi
wisatawan dalam proses transaksi karena produk yang dibeli tersebut tidak bisa
dibawa pulang ke negaranya.
7) Teknik penataan dan perawatan tanaman yang masih kurang. Umumnya penataan
dan perawatan tanaman tidak dilakukan oleh tenaga profesional, melainkan oleh
pekebun dengan pengetahuan otodidak yang kurang memahami prinsip-prinsip
estetika untuk penataan daya tarik agrowisata.
8) Keterbatasan infrastruktur akses jalan. Umumnya destinasi agrowisata berkembang
pada jalur utama pariwisata. Namun, beberapa agrowisata belum memiliki
infrastruktur terutama akses jalan yang memadai karena tidak berada pada posisi
jalur wisata utama.
9) Kompetisi pemanfaatan sumberdaya air. Beberapa usaha agrowisata terkendala oleh
terbatasnya ketersediaan air untuk kebutuhan pemeliharaan tanaman. Untuk
mengatasi masalah ini harus dilakukan pengeboran air bawah tanah yang cukup
dalam atau penyedotan dari sumber air yang cukup jauh dengan biaya yang tinggi.
Selain itu, kompetisi pemanfaatan air dengan jenis-jenis usaha lainnya juga
meningkatkan nilai penggunaan air sehingga sumberdaya air akan menjadi langka
dan mahal.
4.2.2 Analisis Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap pengembangan agrowisata terdiri
dari faktor peluang dan faktor tantangan.
Peluang (Opportunities). Beberapa faktor eksternal yang dapat diidentifikasi
sebagai peluang dalam pengembangan agrowisata di Provinsi Bali adalah:
1) Networking yang telah terbangun dengan baik. Kebanyakan pemilik atau pengelola
destinasi agrowisata telah memiliki pengalaman di bidang pariwisata. Hal ini
39
memberikan peluang terbentuknya relasi yang lebih baik sehingga akan
mempermudah promosi dan pemasaran agrowisata mereka.
2) Lokasi Agrowisata di jalur wisata utama. Agrowisata yang banyak berkembang di
Kabupaten Gianyar dan Bangli terutama berada pada lokasi yang dilalui jalur wisata
Tampaksiring-Kintamani. Demikian juga untuk agrowisata di Kabupaten Tabanan,
yang banyak berkembang adalah agrowisata pada jalur Denpasar – Bedugul. Lokasi
agrowisata yang dilalui jalur utama pariwisata Bali menjadi peluang yang besar bagi
agrowisata untuk dapat dikunjungi wisatawan.
3) Rasa ingin tahu wisatawan terhadap tanaman penghasil produk yang sering
dikonsumsinya. Banyak wisatawan yang tidak mengetahui tanaman asal produk
yang sering dikonsumsinya, seperti tanaman kopi, kakao, rempah-rempah, dan
lainnya. Hal ini disebabkan tanaman tersebut tidak dijumpai di daerah asalnya, baik
karena kondisi tanah, iklim, atau faktor lainnya sebagai penghambat.
4) Konsumen atau penikmat kopi cukup banyak. Khusus untuk agrowisata dengan ikon
utama kopi (kopi luwak), para penikmat kopi luwak memberikan kontribusi yang
signifikan. Selain karena perkembangan jumlah penduduk, jumlah penikmat kopi
semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin menjamurnya café-café
yang menyajikan kopi sebagai hidangan utama, terutama di tempat-tempat strategis
untuk kalangan menengah ke atas. Beberapa kaum hawa pun juga sebagai penikmat
kopi, selain untuk kebutuhan, juga sebagai trend gaya hidup (life style) dan bukan
rutinitas seperti kaum laki-laki.
5) Usaha agrowisata menjadi trend pasar, karena minat wisatawan yang cenderung
ingin kembali ke alam (back to nature) dan issue green tourism.
6) Diakuinya subak sebagai warisan budaya dunia. Pengakuan ini memberikan
kesempatan yang lebih luas dalam upaya memperkenalkan destinasi agrowisata pada
wisatawan di seluruh dunia.
7) Kemacetan lalu-lintas di destinasi wisata lainnya. Kemacetan lalu-lintas yang
belakangan ini makin menjadi masalah serius di beberapa destinasi wisata (seperti
daerah tujuan wisata Kuta, Ceking Tegalalang) dapat menyebabkan menurunnya
minat wisatawan untuk berkunjung ke daerah itu. Hal ini tentunya akan membuka
peluang bagi destinasi wisata lainnya.
40
Tantangan (Threats). Beberapa faktor eksternal yang dapat diidentifikasi
sebagai ancaman atau tantangan dalam pengembangan agrowisata di Provinsi Bali
adalah:
1) Persaingan semakin ketat. Dengan semakin menjamurnya usaha agrowisata di
berbagai daerah tujuan wisata ditambah pula jarak antara agrowisata yang satu
dengan yang lainnya relatif berdekatan, menyebabkan tingkat persaingan menjadi
semakin ketat. Hal ini memerlukan langkah-langkah antisipasi agar keberlanjutan
masing-masing usaha agrowisata dapat terjamin.
2) Sistem komisi terlalu tinggi. Sebagian besar pengelola agrowisata berpendapat
bahwa jumlah komisi (fee) untuk jasa para guide yang telah mengantarkan
wisatawan ke agrowisatanya terlalu tinggi (hingga mencapai 70%). Hal ini dirasakan
sangat memberatkan para pengelola atau pemilik agrowisata. Kondisi ini
dikhawatirkan akan menurunkan kualitas layanan agrowisata dan akhirnya akan
berpengaruh kepada penurunan kunjungan wisatawan karena kepuasan yang mereka
peroleh berkurang.
3) Persaingan harga produk antar sesama agrowisata. Beberapa produk dan paket
wisata yang ditawarkan antar agrowisata memang tidak bisa distandarkan karena
ragam jenis dan kualitasnya yang berbeda. Namun, hal ini menjadi tantangan yang
harus diantisipasi agar produk yang disajikan tetap berkualitas dengan harga yang
wajar sehingga tidak terjadi “perang harga produk” antar agrowisata dengan
mengabaikan kualitas produk.
4) Perburuan di sekitar lokasi agrowisata. Adanya perburuan berbagai satwa di sekitar
lokasi agrowisata di samping dapat mengganggu kenyamanan pengunjung, juga
menimbulkan citra negatif bagi upaya pelestarian lingkungan.
5) Perkembangan investasi sektor lainnya. Berkembangnya investai pada sektor-sektor
lainnya, seperti sektor industri, perdagangan, property dan lainnya yang disertai
dengan penguasaan lahan termasuk lahan agrowisata, dapat mengganggu keindahan
dan kenyamanan daya tarik atau bahkan mengancam keberlanjutan usaha agrowisata
yang sudah ada.
41
4.3 Strategi Pengembangan Model Agrowisata
Beberapa grand strategy yang dapat dirumuskan dalam pengembangan
agrowisata sehingga berkelanjutan dan dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat
di Provinsi Bali adalah:
1) Peningkatan nilai keunikan daya tarik dengan mengedepankan unsur-unsur kearifan
lokal. Pertumbuhan jumlah destinasi agrowisata yang semakin meningkat dengan
jenis produk yang hampir seragam serta jarak antarlokasi yang semakin berdekatan
menyebabkan terjadinya persaingan yang semakin tajam. Untuk mengatasi hal
tersebut masing-masing agrowisata perlu memiliki keunikan tersendiri sebagai
pemberi identitas yang berbeda sekaligus mencerminkan keunggulannya.
2) Penetapan standar kualitas berbagai produk agroindustri yang dikemas dan disajikan
sebagai daya tarik agrowisata. Produk-produk pertanian yang diperdagangkan di
dalam agrowisata sudah seharusnya memenuhi standar kualitas yang dipersyaratkan
sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam transaksi dan pendistribusiannya.
3) Standarisasi daya tarik dan pengelolaan pelayanan agrowisata. Jenis dan
karakteristik potensi daya tarik agrowisata cukup beragam, sehingga
pengkemasannya sebagai daya tarik agrowisata membutuhkan standarisasi sesuai
dengan prinsip-prinsip pengembangan agrowisata. Demikian pula terhadap kualitas
SDM yang terlibat dalam sistem pengelolaan dan pelayanannya perlu ditingkatkan
melalui pelatihan bersertifikasi.
4) Pembentukan kelembagaan asosiasi agrowisata. Pembentukan asosiasi diperlukan
untuk meningkatkan nilai tawar usaha agrowisata, pertukaran informasi dan
pengalaman, penguatan jaringan, promosi bersama, atau kegiatan lainnya yang dapat
memberikan dampak bersama.
5) Pemanfaatan dan pengelolaan lahan pertanian secara kolektif dan terintegrasi untuk
meningkatkan luas areal dan keanekaragaman potensi. Umumnya luas lahan
agrowisata yang ada saat ini relatif terbatas dan cenderung diusahakan secara
individual. Pengelolaan lahan secara kolektif dan terintegrasi di samping akan
meningkatkan luas dan jumlah jenis tanaman, juga meminimalisasi persaingan.
42
6) Penyusunan regulasi yang berorientasi pada prinsip-prinsip ekonomi kerakyatan,
konservasi lingkungan, dan revitalisasi budaya secara lebih merata dan
berkelanjutan.
4.4 Standarisasi Destinasi dan Pengelolaan Agrowisata
4.4.1 Standarisasi Destinasi Agrowisata
Pengembangan agrowisata dapat dikatakan sebagai aksi nyata pemberdayaan
masyarakat perdesaan berpendapatan rendah seperti petani, peternak, nelayan, perajin
dan yang lainnya. Merekalah yang menjadi aktor utama dalam pengembangan dan
pelestarian budaya Bali akan tetapi ketika aset budaya Bali menjadi daya tarik wisata,
komunitas berpendapatan rendah ini belum mendapatkan kontribusi memadai sebagai
imbalannya. Lebih dari itu pengembangan agrowisata juga sebagai langkah
penyelamatan lingkungan di suatu daerah. Dalam konteks ini, kegiatan tersebut
memiliki beberapa tujuan antara lain: untuk memproteksi dan memelihara lahan
pertanian, meningkatkan produktivitas pertanian dan pemasaran produk-produk
pertanian, menciptakan peluang kerja baik di bidang pertanian dan non pertanian, serta
meningkatkan kontribusi sektor pertanian pada pendapatan nasional dan masyarakat
pedesaan (Akpinar dkk., 2004). Secara ringkas dapat dijelaskan bahwa areal sawah atau
perkebunan yang dikelola sebagai destinasi agrowisata akan mendapat perhatian lebih
dari pemiliknya sehingga kerusakannya dapat dicegah. Petani tentu tidak mau
pendapatannya berkurang akibat ekosistem sawah atau kebunnya terganggu.
Dalam mengembangkan destinasi agrowisata, petani harus memahami
peningkatan kualitas pengelolaan areal pertaniannya. Misalnya, tidak menebang pohon
sembarangan untuk menjaga kawasan tetap hijau, rindang dan juga menghindari tanah
longsor. Petani sebaiknya memanfaatkan teknologi ramah lingkungan di sawah atau di
kebunnya mengingat pertanian organik menjadi isu utama dalam pembangunan
pertanian dan kesehatan masyarakat. Petani juga dituntut untuk menata areal
pertaniannya (landscape) agar terlihat sebagai panorama alam yang memikat hati
pengunjung.
Akhirnya petani pun harus memahami perubahan yang terjadi di areal
pertaniannya. Semula kawasan pertanian hanya dimanfaatkan untuk produksi produk-
43
produk pertanian, selanjutnya pengelolaannya ditingkatkan menjadi kawasan yang layak
dikunjungi untuk melepas kepenatan bagi pengunjung. Menyimak pendapat Pandurang
dalam Maruti (2009) bahwa agrowisata sebagai aktivitas agribisnis dimana petani
pemilik menawarkan paket perjalanan pariwisata di areal pertaniannya dan mengizinkan
pengunjung untuk melihat proses penanaman, pemeliharaan, panen, dan proses
pembuatan pangan yang berbahan baku lokal seperti kelapa, nenas, gula merah, jagung,
dan produk pertanian lainnya dimana pengunjung tidak mendapatkan pengalaman
serupa di kota kelahiran atau negaranya.
Kondisi tersebut menjadi peluang usaha bagi masyarakat perdesaan. Petani pun
memberi respon yang cukup positif, terbukti di beberapa lokasi destinasi agrowisata di
luar negeri maupun di luar Bali banyak petani telah menyewakan rumahnya sebagai
penginapan bagi wisatawan. Lebih jauh, petani juga terbuka menerima wisatawan di
areal sawah atau pekerbunan untuk memberi ruang bagi para wisatawan untuk
mendapatkan pengalaman nyata hidup di desa sebagai petani. Dalam konteks ini, sawah
atau kebun petani sebagai tempat praktik lapangan (pendidikan) pertanian. Secara
ringkas dapat disimpulkan bahwa agrowisata merupakan aktivitas wisata yang ditujukan
untuk mendistribusikan efek ekonomi dari kegiatan pariwisata kepada penduduk lokal
(Juganaru dkk, ?).
Berdasarkan kajian Howell (2001) inilah standar dasar dalam mengelola
destinasi agrowisata adalah sebagai berikut:
1) Atraksi agrowisata: ruang pengunjung, museum, panduan perjalanan, area bagi
pengunjung untuk berinteraksi dengan satwa di sekitar destinasi agrowisata.
2) Aktivitas agrowisata: menunggang kuda, memancing, memanen buah, mencicipi.
3) Akomodasi agrowisata: penginapan, rumah makan/restaurant, fasilitas camping.
4) Adanya fasilitas lain yang menunjang kenyamanan pengunjung seperti cafe, toko
buah-buahan lokal , stand menjual sayur mayur.
5) Akses ke lokasi agrowisata: kualitas infrastruktur (jalan, telekomunikasi, air bersih,
kesehatan dll.), rute angkutan umum.
Mengacu pada kajian diatas, lebih detail dapat dirumuskan beberapa standar
destinasi agrowisata sebagai salah satu langkah pemberdayaan masyarakat
44
berpendapatan rendah di perdesaan. Dalam mengembangkan destinasi agrowisata harus
mempertimbangan berbagai hal berikut:
1) Kebun/areal pertanian minimal 2 hektar baik yang dimiliki perorangan, lembaga
komunitas petani, ataupun lembaga masyarakat (Maruti, 2009). Hanya saja, dalam
konteks pengembangan agrowisata di Bali luas areal pertanian (kebun) yang
dijadikan daya tarik utama minimal rata-rata adalah 50 are.
2) Koleksi tanaman, diutamakan memiliki tanaman dominan yang menjadi unggulan
agrowisata tersebut. Misalnya kalau unggulannya adalah produk kopi luwak maka
di agrowisata tersebut harus memiliki kebun kopi dan binatang luwaknya.
3) Unit pengolahan, setiap destinasi agrowisata minimal dapat menunjukkan salah satu
proses produk yang menjadi ikon utama. Sebagai tambahan dapat dilibatkan
partisipasi wisatawan dalam proses pengolahan produk tersebut sebagai atraksi
untuk menambah pengalaman wisatawan.
4) Toko cinderamata / produk agro, sebagai tempat untuk memajang produk-produk
agrowisata dan tempat menjual cinderamata (souvenir). Produk-produk yang dijual
agar memenuhi standar perdagangan internasional sehingga produk yang dibeli
wisatawan dapat dibawa pulang ke negaranya masing-masing.
5) Pemandu, yang dapat memahami dan menjelaskan secara baik dan benar tentang
objek dan atraksi yang ditawarkan agrowisata.
6) Kebersihan dan kesehatan lingkungan di sekitar destinasi agrowisata
7) Ketenagakerjaan, minimal (50% dari seluruh tenaga kerja) memanfaatkan tenaga
kerja lokal setempat.
4.4.2 Standar Pengelolaan Agrowisata
Tahapan atraksi atau pelayanan yang dapat dinikmati wisatawan jika berkunjung
ke destinasi agrowisata, menurut Maruti (2009) dalam mengelola destinasi agrowisata
sepatutnya mengacu pada standar infrastruktur, fasilitas dan lainnya:
a. Standar infrastruktur
• Fasilitas akomodasi di areal agrowisata atau di sekitar ada kawasan perhotelan.
45
• Rumah petani yang disewakan untuk penginapan bagi tamu, dimana rumah
tersebut mesti nyaman dengan persyaratan tertentu.
• Kaya sumberdaya pertanian terutama air dan kebun/komoditas pertanian.
• Peralatan dapur memadai, untuk memasak jika wisatawan menginginkannya.
• Kolam renang atau kolam pancing untuk wisatawan yang senang mancing atau
berenang.
• Fasilitas komunikasi, dll.
b. Standar fasilitas
• Menawarkan keaslian perdesaan seperti penganan lokal untuk sarapan
(breakfast), makan siang (lunch), dan makan malam (dinner).
• Petani harus menawarkan kepada wisatawan untuk melihat dan berpartisipasi
dalam aktivitas pertanian.
• Adanya kesempatan yang ditawarkan bagi wisatawan untuk mengikuti
permainan tradisional.
• Tersedianya informasi yang memadai tentang budaya, cara berpakaian, kesenian,
kerajinan, festival (kegiatan), tradisi lokal, dan juga sebaiknya ada upaya untuk
mendemostrasikan dihadapan wisatawan.
• Menyediakan fasilitas hiking, menunggang kuda, memancing atau yang lainnya
di sekitar kawasan agrowisata.
• Menyediakan buah-buahan lokal, jagung, kacang, tebu, dan produk pertanian
lainnya yang tersedia.
• Mampu menunjukkan keanekaragaman hayati seperti burung, binatang liar
lainnya, air terjun dan mampu memberikan informasi yang sebenarnya tentang
semua itu.
• Harus mampu menyediakan fasilitas wisata yang aman seperti adanya fasilitas
kesehatan yang memadai.
• Menyelenggarakan pertunjukkan seni lokal.
• Tersedianya toko souvenir lokal bagi wisatawan.
46
c. Lainnya
• Memastikan lingkungan yang bebas polusi bagi wisatawan.
• Berupaya menciptakan kreasi budaya lokal yang menarik ditawarkan bagi
wisatawan menyongsong industri pariwisata.
• Memperkenalkan wisatawan kepada masyarakat setempat
• Mempekerjakan staff yang telah lulus training kepariwisataan dengan baik atau
orang yang memiliki selera humor tinggi dengan keahlian komunikasi tinggi dan
pandai menghibur orang.
• Menyediakan informasi tentang rute transportasi publik yang menghubungkan
destinasi agrowisata dan tempat lainnya.
d. Standar pengelola SDM pariwisata
Anon (2006) memaparkan sumber daya manusia yang bekerja di lingkungan
pertanian termasuk destinasi agrowisata wajib memenuhi kualifikasi atau standar
tertentu. Karenanya, standar SDM agrowisata berikut ini dapat diadopsi atau
dimodifikasi sesuai kebutuhan para pengelola destinasi agrowisata, sehingga mereka
lebih mudah dalam mengelola agrowisatanya.
1. Pekerja Agrowisata mesti menguasai pengetahuan dasar tentang spesifikasi
komoditi pertanian, prosedur operasional di perkebunan pertanian, kegiatan
pertanian dan pemasaran produk. Kemampuan dasar tersebut menunjang
kemampuan pengelola agrowisata dalam menjelaskan bentuk, warna, dan
perkembangan fisiologi tanaman atau hewan pertanian secara tepat.
2. Pekerja agrowisata juga harus memiliki kemampuan hukum ketenagakerjaan seperti
kebijakan, prinsip-prinsip dan prosedur perekrutan ketenagakerjaan. Dalam konteks
ini, pengelola agrowisata harus memahami aturan ketenagakerjaan, persetujuan
kontrak kerja, deskripsi kerja (job description), evaluasi personal, dan perjanjian
kinerja.
3. Pekerja agrowisata mesti memahami standar kesehatan, keamanan, regulasi
lingkungan, kebersihan pribadi. Dalam konteks ini pekerja agrowisata agar mampu
menjaga kesehatan dan kebersihan bagi dirinya dan melayani wisatawan dengan
kinerja yang memadai sehingga wisatawan merasa puas.
47
4. Pekerja agrowisata harus mampu menyimpan dan memanfaatkan data/informasi
pribadi, mengelola data sistem keamanan, dan kerahasian seseorang secara baik.
5. Pekerja wisata harus mampu mengidentifikasi semua pemangku kepentingan yang
terlibat dalam jaringan bisnis wisata, sehingga yang bersangkutan mampu
membangun dan mengembangkan jaringan kerja (networking) dalam menunjang
kelancaran usaha agrowisata tempatnya bekerja.
6. Pekerja agrowisata harus mampu berbagi berbagai manfaat agrowisata dengan
pemangku kepentingan dan memahami peran dari serikat pekerja/organisasi lainnya
dalam menyelesaikan konflik kepentingan yang kemungkinan muncul di tempat
kerjanya.
7. Pekerja agrowisata harus memiliki keahlian dalam penyelesaian masalah (problem
solving)
8. Pekerja agrowisata harus mampu bekerja dalam tim
9. Pekerja agrowisata harus mampu menginterpretasikan informasi yang ada
10. Pekerja agrowisata harus mampu menjalin komunikasi formal ataupun imformal
11. Pekerja agrowisata harus menggunakan ilmu pengetahuan terutama teknologi
informasi
12. Pekerja agrowisata harus mampu dan mau meningkatkan kapasitas diri (self
development) secara terus menerus.
Berdasarkan temuan fakta-fakta di lapangan sejumlah destinasi agrowisata sudah
dikelola mendekati standar pengelolaan diatas, mengingat tidak semua standar-standar
tersebut dapat diterapkan secara mutlak di setiap destinasi agrowisata. Sebagai contoh,
pada destinasi agrowisata yang menjadi bagian dari Desa Budaya Kertalangu, pengelola
tidak perlu merangkul petani memodifikasi rumah tinggalnya sebagai tempat menginap
bagi wisatawan. Destinasi ini sangat mudah diakses karena terletak di dekat kawasan
wisata Sanur, dimana wisatawan akan dengan mudah menemukan tempat menginap
sesuai dengan keinginannya baik hotel melati, homestay ataupun hotel bintang lima.
Secara umum aksesibilitas destinasi agrowisata yang ada di perdesaan terutama
yang tidak berada di jalur utama jaringan destinasi wisata, memiliki kualitas jalan yang
jelek. Kondisi jalan yang kurang memadai ini kemungkinan menurunkan animo
48
wisatawan untuk berkunjung ke sebuah destinasi agrowisata. Sebagai contoh, akses
jalan menuju destinasi agrowisata kopi luwak/kopi organik B36 Desa Landih, Bangli
masih perlu ditingkatkan kualitasnya, sehingga kunjungan wisatawan ke destinasi
agrowisata tersebut bisa lebih banyak lagi.
Buruknya kualitas jalan di perdesaan atau kawasan yang potensial
dikembangkan menjadi destinasi agrowisata sangat tergantung pada kebijakan
pemerintah. Banyak terjadi di Indonesia termasuk Bali penyediaan/perbaikan
infrastruktur (jalan, telekomunikasi, air bersih) adalah tanggung jawab pemerintah
(baik lokal maupun pusat). Untuk kawasan wisata yang sudah terkenal, dan ramai
dikunjungi wisatawan kondisi infrastrukturnya akan lebih baik, sedangkan destinasi
wisata yang baru berkembang belum mendapatkan perhatian yang serius dari
pemerintah untuk perbaikannya.
Sementara itu, pengusaha yang memiliki tugas utama menata objek wisata agar
layak dikunjungi. Sebagian besar dari destinasi agrowisata yang menjadi objek pada
penelitian ini sudah dipersiapkan dengan baik. Pengusaha umumnya telah, menyediakan
fasilitas toilet, tempat istirahat, dan atraksi wisata yang memikat wisatawan.
Mencermati kualitas sumberdaya manusia yang dipekerjakan di destinasi
agrowisata, secara umum pekerja telah memiliki wawasan/pengetahuan tentang
pelayanan kepariwisataan memadai. Sebagaian besar pekerjanya sudah dilatih atau
memiliki latar belakang pendidikan kepariwisataan, sehingga mereka sudah terampil
melayani wisatawan yang berkunjung ke tempatnya bekerja. Di sisi lain, sangat minim
ditemukan tenaga kerja yang memiliki wawasan pengelolaan “atraksi pertanian”
memadai, sehingga banyak landscape pertanian pada destinasi agrowisata terkesan asal
jadi, bahkan ada kesan areal pertanian tidak terurus sebagai mana mestinya.
Mengantisipasi kemungkinan kemunduran destinasi agrowisata yang kini sedang
berkembang pesat, para pengelola destinasi agrowisata merekrut tenaga yang trerampil
melayani wisatawan dan mengelola kebun/sawah secara profesional. Tujuannya, agar
ada keseimbangan dalam menampilkan produk agrowisata, promosi, dan pelayanan
terhadap wisatawan. Pada akhirnya, semua pihak akan terpuaskan dengan adanya
destinasi agrowisata di lokasi tertentu, baik pengelola, pengunjung, pemerintah dan yang
utama masyarakat sekitar dapat mengembangkan berbagai usaha.
49
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian dalam bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1) Secara garis besar, klasifikasi atau tipologi agrowisata di Bali berdasarkan potensi
daya tariknya dapat dibedakan ke dalam 5 tipe, yaitu: (1) Agrowisata Berbasis
Pertanian, (2) Agrowisata Berbasis Perkebunan, (3) Agrowisata Berbasis
Peternakan, (4) Agrowisata Berbasis Perikanan, dan (5) Agrowisata Campuran
(Terpadu). Persebaran jumlah objek agrowisata berdasarkan wilayah terkonsentrasi
pada 3 kabupaten, yaitu Gianyar, Bangli dan Tabanan. Kabupaten ini memang
memiliki potensi pertanian yang baik dan jalur-jalur pariwisata utama. Kombinasi
potensi pertanian dan pariwisata inilah yang mendorong pertumbuhan agrowisata
yang relatif cepat.
2) Berdasarkan analisis internal dan eksternal, maka beberapa faktor kekuatan harus
diberdayakan dan faktor kelemahan harus diperbaiki. Demikian juga untuk faktor
eksternal harus dapat diupayakan pemanfaatan peluang dengan sebaik-baiknya dan
menyelesaikan permasalahan yang disebabkan oleh faktor tantangan.
3) Beberapa grand strategy yang dapat diusulkan adalah : (1) meningkatkan nilai
keunikan daya tarik dengan mengedepankan unsur-unsur kearifan lokal; (2)
penetapan standar kualitas berbagai produk agroindustri yang dikemas dan disajikan
sebagai daya tarik agrowisata; (3) standarisasi daya tarik dan pengelolaan pelayanan
agrowisata; (4) pembentukan kelembagaan asosiasi agrowisata; (5) pemanfaatan dan
pengelolaan lahan pertanian secara berkelompok untuk meningkatkan luas areal dan
keanekaragaman potensi (6) penyusunan regulasi yang berorientasi pada prinsip-
prinsip ekonomi kerakyatan, konservasi lingkungan, dan revitalisasi budaya secara
lebih merata dan berkelanjutan.
4) Standarisasi destinasi agrowisata meliputi: luas kebun/areal pertanian, koleksi
tanaman, unit pengolahan, toko cinderamata / produk agro, pemandu, kebersihan dan
kesehatan lingkungan, dan ketenagakerjaan. Sedangkan standarisasi pengelolaan
50
agrowisata meliputi standar infrastruktur, fasilitas, dan sumber daya manusia
pengelola.
5.2 Saran
1) Perlu segera dibentuk kelembagaan yang mengurus agrowisata seperti Asosiasi
Wisata Agro Indonesia (AWAI) Cabang Bali. Kelembagaan ini nantinya dapat
memfasilitasi permasalahan yang dialami agrowisata dan memberikan sharing
keberhasilan sesama anggota, yang pada intinya dapat saling meningkatkan kualitas
pelayanan untuk memenuhi kepuasanan wisatawan.
2) Dengan semakin berkembangnya destinasi agrowisata maka pemerintah perlu
menerbitkan regulasi untuk mengatur keberadaan destinasi agrowisata sehingga
tercipta iklim yang kondusif dan sinergis antar pelaku pariwisata dan saling
menguntungkan.
51
DAFTAR PUSTAKA
Anon. 2006. Guide Facilitator: Apply basic human resource management principles
and practices applicable in an agricultural environment. Agriseta-Department of
Agriculture, Republic of South Africa.
Ahmadjayadi C. 2001. Kebijakan dan dukungan pemerintah daerah dalam
pengembangan wisata agro di era otonomi daerah. Makalah Rapat Kerja
Nasional Wisata Agro Departemen Pertanian; Cisarua Bogor, 11-13 Oktober
2001.
Akpinar, N., Talay, I., Ceylan,C., Gunduz,S., 2004. Rural Women and Agrotourism in
the Context of Sustainable Rural Development: A Case Study from Tukey.
Kluwer Journal 6: 473–486.
Cernea, M.M. 1991. “Unit-unit Alternatif Organisasi Sosial untuk Mendukung Strategi
Penghutanan Kembali”, dalam M.M. Cernea (ed.) : Menguatkan Manusia dalam
Pembangunan. Basulio Bengo Teko (Penerjemah). Jakarta : Universitas
Indonesia.
Chambers, R. 1987. Pembangunan Desa Mulai dari Belakang.
David FR. 2002. Manajemen Strategis : Konsep. Sindoro A, penerjemah. Jakarta : PT
Ikrar Mandiri. Terjemahan dari : Concepts of Strategic Management.
Foulker, N. 2000. “Archaeologi from Below” dalam Public Archaeology, Volume 1,
No.1, Halaman : 21 – 23.
Geertz, Cliffiord. 1980 : “Organization of Balinese Subak”, dalam Coward E.W. Jr.
(ed.) : Irrigation and Agricultural Development in Asia. Cornell University,
Ithaca.
Guntoro S. 1995. Panca Pesona Wisata Agro Daeah Bali. Denpasar : Yayasan Bina
Hayati.
Howell, A. 2001.Developing Quality Standard for Agritourism. Report of Research
Project Submitted in Partial Fulfillment of The Requirements For The Degree of
Master of Resource Management in Simon Fraser University- Canada
Juganaru, I.D., Juganaru,M., Anghel, A. (?) Sustainable Tourism Types. Ovidius
Universty of Constanta, Faculty of Economic Scienses.
Kasparek M. Agrotourism and agricultural diversity. http://www.gtz.de [6 Sep 2004].
Korten, D.C. (ed.). 1986. Community Management : Asian Experience and
Perspektives. Connenticut : Kumarian Press.
Korten, D.C. dan Syahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta :
Yayasan obor Indonesia.
Maruti, K.V,. 2009. Agro-Tourism: Scope And Opportunities for The Farmers in
Maharashtra. Socio-Economic Voices. Indiastat.com Sept.-Oct., 2009.
52
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 02/PD/DPRD/1972, Tentang. Irigasi Daerah
Provinsi Bali.
Pujaastawa, I.B.G. 2003. “Pariwisata Subak : Menjaga Identitas Budaya dan
Keseimbangan Ekologi Bali Tengah”, dalam Guratan Budaya dalam Perspektif
Multikultural. Denpasar : Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana
Denpasar.
Rangkuti F. 2000. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
Satriawan, IK. 2005. Rancang Bangun Sistem Penunjang Keputusan Model Integrasi
Agroindustri dan Pariwisata Dalam Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Kabupaten Jembrana. Disertasi. Sekolah Pascasrjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor
Spillane, S.J. James, J., 1994 : Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa
Kebudayaan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
Sutawan, dkk., 1986 : Studi Mengenai Subak Gede : Suatu Wdah Koordinasi Antar
Subak di Bali. Kerjasama Sub Dinas Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Propinsi
Bali dengan Universitas Udayana, Denpasar.
Suwantoro G. 2001. Dasar-Dasar Pariwisata. Yogyakarta : Andi.
Yoeti, Oka A. 2000. Ilmu Pariwisata: Sejarah, Perkembangan dan Prospeknya, Jakarta :
PT. Perca.