Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara...

133
Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah Perkebunan DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2015 DITERBITKAN OLEH: PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL 2015

Transcript of Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara...

Page 1: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

ASEP DINDIN HAERUDIN, ST ROMI NUGROHO, S.SI SURYALITA, A.PTNH

Pembantu Peneliti

Peneliti Muda/Koordinator

INDRIAYATIIndriayati merupakan peneliti muda di Puslitbang-BPN RI. Pendidikan S1 diselesaikan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta pada tahun 2001 dan meraih master dalam bidang Administrasi Publik dari STIA-LAN Jakarta tahun 2011. Beberapa penelitian yang pernah dilaksanakan diantaranya, pengembangan SDM dalam mendukung pelayanan pertanahan (2009), penataan kebijakan pertanahan di kawasan bekas pertambangan (2010), model access reform dan pemberdayaan masyarakat di wilayah perkebunan (2011), pelimpahan kewenangan di BPN (2012) dan peluang peningkatan optimalisasi penggunaan CORS dalam mendukung pelayanan pertanahan (2013).

Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah Perkebunan

PENELIT

IAN

POLA

-POLA

KO

NFLIK

PERTA

NA

HA

N D

I WILAYA

H PER

KEB

UN

AN

DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG /BADAN PERTANAHAN NASIONAL2015

DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL2015

Pembantu Peneliti

YUDHA PURBAWA, SPROMI NUGROHO, S.Si

Dra. RATNA DJUITAPeneliti Madya/Koordinator

Penulis buku ini Dra.Ratna Djuita, dilahirkan di Lahat tanggal 5 April 1952 dan sejak tahun 1955 pindah lagi ke Palembang ibu kota Provinsi Sumatera Selatan dan berturut-turut bersekolah dari Taman kanak kanak sampai dengan menamatkan SMA di SMA Negeri II Kota

Palembang. Kemudian melanjutkan kuliah ke Surabaya di Akademi Ajun Akuntan Surabaya (A3S), kemudian ditindak lanjuti kuliah di Sekolah Tinggi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (STIA LAN-RI) di Jakarta jurusan Administrasi Negara.

Sejak tahun 1978 sampai dengan 1980 bekerja di Klinik Hukum Persatuan Advokad Indonesia (PERADIN) (Persatuan Advokat, dan pada tahun 1981 sampai dengan 1985 bergabung di Perusahaan Swasta yang bergerak dibidang Perumahan dan Jasa. Pada tahun 1986 masuk Pegawai Negeri Sipil dan bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Puslitbang BP-7 Pusat) dan juga lulus sebagai Penatar Tingkat Nasional.

Sejak peristiwa politik tahun 1998 BP-7 dibubarkan, kemudian bergabung pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak Juli 1999 yang kemudian berubah dengan nama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Unit Pusat Penelitian dan Pengembangan sebagai Peneliti Madya bidang pertanahan.

Penulis sudah memimpin dan melaksanakan penelitian baik di BP-7 Pusat dan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Page 2: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

i

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

LAPORAN AKHIR

Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan

Di Wilayah Perkebunan

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang /

Badan Pertanahan Nasional2015

Page 3: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

ii

Penyusunan laporan akhir ini dibuat dalam rangka pertanggung jawaban terhadap Penelitian Swakelola tahun 2015 tentang Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah Perkebunan.

Laporan ini secara garis besar membahas persoalan konflik pertanahan di wilayah perkebunan yang berkaitan dengan: (1). riwayat perolehan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang badan hukum perusahaan milik negara dan milik swasta, yang sudah tentu harus mengikuti prosedur yang sudah diatur oleh negara, sehingga dalam proses pengusahaan tanah terdapat jaminan dari negara serta perlindungan hukum. Perolehan tanah dapat dilakukan antara lain karena: (a). Nasionalisasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan milik Belanda yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia Jo Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1959 tentang Tugas Kewajiban Panitia Penetapan Ganti Rugi Perusahaan Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Rugi, (b). Hak-hak Barat seperti Hak Erpacht yang di konversi menjadi Hak Guna Usaha, dan (c). Pembebasan dari dengan status tanah negara bebas dengan pola ganti rugi. (2). Akar masalah sebagai akar penyebab terjadinya konflik. (3). Solusi mengatasi konflik.

Penelitian ini merupakan penelitian deskrifptif kualitatif dengan metode pendekatan Yuridis Empiris. Jenis data primer diperoleh melalui wawancara dengan para pejabat di tingkat Kanwil BPN Provinsi, Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Pejabat Pemerintah Daerah, Pejabat Dinas Perkebunan Kabupaten, para pakar pertanahan dan data sekunder diperoleh melalui studi literatur, ataupun dokumen yang terkait dengan konflik pertanahan di wilayah perkebunan skala besar, baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta. Adapun 6 (enam) provinsi, sebagai lokasi penelitian yakni: (1). Sumatera Utara, (2). Lampung, (3). Sumatera Selatan, (4). Kalimantan Timur, (5). Jawa Barat, (6). Jawa Timur.

Penelitian ini menghasilkan: 1). Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht dan Konsensi khususnya ada di daerah Swapraja seperti di wilayah Kesultanan Deli, yang dimiliki pemerintahan Belanda yang di Nasionalisasi menjadi perkebunan pemerintah Republik Indonesia/perkebunan Milik Negara/PTPN kemudian tanah-tanah perkebunan tersebut merupakan Asset Negara. (ii). Akar masalah penyebab konflik pertanahan: (a). Perbedaan pandangan mengenai Riwayat Tanah Perkebunan Milik Negara (PTPN) antara pandangan Yuridis dengan Sejarah masa lalu

Perlu diterbitkan peraturan bersama tentang tata cara penyelesaian konflik di wilayah perkebunan milik negara (sebagai aset negara) dan perkebunan milik swasta.

Kata Pengantar

Page 4: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

iii

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

masyarakat adat dan tanah garapan leluhur, sehingga terjadi klaim dan okupasi. (b). Tuntutan masyarakat terhadap tanah garapan leluhur, kemudian di klaim dan belum menerima ganti rugi. (iii). Penanganan/Penyelesaian konflik pertanahan: (a). Non Litigasi: Mediasi. (b) Litigasi: melalui Pengadilan. 2) Pola Konflik Perkebunan Milik Swasta terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, yang berasal dari: perkebunan bekas Hak Erpacht yang dikonversi menjadi HGU. (ii). Akar masalah konflik pertanahan: Klaim tanah bekas garapan leluhur, oleh Klaim masyarakat adat, Okupasi terhadap tanah terlantar, Tumpang tindih SHGU dengan SHM dan sebaliknya, Pemanfataan tanah Perkebunan merambah pada desa yang belum dibebaskan. (iii). Penanganan/Penyelesaian konflik pertanahan Non Litigasi : Mediasi dan Litigasi.

Rekomendasi yang diajukan dari penelitian adalah: (1). Perlu diterbitkan peraturan bersama tentang Tata Cara Penyelesaian Konflik di Wilayah Perkebunan Milik Negara (sebagai Aset Negara) dan Perkebunan Milik Swasta; (2). Perlu diterbitkan peraturan tentang kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam menangani konflik dan penyelesaian pertanahan di wilayah perkebunan milik negara dan swasta.

Penelitian ini belumlah sempurna, oleh sebab itu kepada para pembaca kami mohon tanggapan dan masukan agar hasil penelitian ini dapat diperbaiki dan disempurnakan dalam rangka revisi dimasa yang akan datang. Atas perhatiannya di ucapkan terima kasih.

Penyusun,

Tim Peneliti

Page 5: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

iv

Daftar IsiKATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 2

1.2 Permasalahan Penelitian 7

1.3 Tujuan Penelitian 7

1.4 Ruang Lingkup Penelitian 8

1.5 Manfaat Penelitian 8

1.6 Kerangka Pikir Penelitian 9

BAB II TINJAUAN LITERATUR 11

2.1 Pengertian Tanah Negara 12

2.2 Status Tanah Negara dan Berakhirnya

Hak Atas Tanah 13

2.3 Pengaturan Pemberian Hak Atas

Tanah Negara Di Wilayah

Perkebunan 15

2.4 Pengertian Istilah Sengketa atau

Konflik 15

2.5 Definisi Tanah Terlantar 16

2.6 Pengaturan Perkebunan 17

2.7 Pengertian Hak Guna Usaha (HGU) 20

2.8 Pengertian Okupasi Tanah 20

2.9 Pengertian Reclaiming Tanah 21

2.10 Penyelesaian Konflik Pertanahan 21

2.11 Izin Lokasi dan Pertimbangan Teknis 22

2.12 Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 2007 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 23

3.1 Metode Penelitian 24

3.2 Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 24

3.3 Populasi, Sampel dan Lokasi

Penelitian 24

3.4 Metode Pengolahan dan Analisa Data 25

BAB IV SEBARAN KONFLIK PERTANAHAN

DI WILAYAH PERKEBUNAN DI LOKASI

SAMPEL PENELITIAN 27

4.1 Sebaran Konflik Pertanahan di

Wilayah Perkebunan Provinsi

Jawa Barat 28

4.2 Konflik Pertanahan di Wilayah

Perkebunan Provinsi Sumatera Utara 30

4.3 Sebaran Konflik Pertanahan di

Wilayah Perkebunan Provinsi

Sumatera Selatan 31

4.4 Sebaran Konflik Pertanahan di

Wilayah Perkebunan Provinsi

Kalimantan Timur 32

4.5 Sebaran Konflik Pertanahan di

Wilayah Perkebunan Provinsi

Lampung 32

4.6 Sebaran Konflik Pertanahan di

Wilayah Perkebunan Provinsi

Jawa Timur 32

BAB V HASIL LAPANGAN DAN

PEMBAHASAN 39

5.1 Hasil Lapangan 40

5.2 Pembahasan Pola Konflik Pertanahan

antara Perkebunan Milik Negara dan

Milik Swasta dengan Masyarakat 97

BAB VI KESIMPULAN DAN

REKOMENDASI 111

6.3 Kesimpulan 112

6.4 Rekomendasi 113

DAFTAR PUSTAKA 116

LAMPIRAN 119

Page 6: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

1

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN1Bab IPendahuluan

Page 7: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

2

1.1. LATAR BELAKANG

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengandung konsep dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, yakni bahwa: 1) bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara, 2) bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam tersebut dipergunakan untuk sebesar-besar kemamuran rakyat. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan pengatur pelaksanaan pengelolaan agraria tersebut yang sangat memperhatikan tanah untuk keadilan dan kesejahteraan sosial dengan berusaha menata ulang struktur penguasaan, pemilikan tanah, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lain yang menyertainya agar terwujud masyarakat yang sejahtera yang dimaknai dengan pembaruan agraria atau reforma agraria.

Undang Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), pasal 2 ayat (1) mengatakan: Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara. Dalam ayat (2) Hak menguasai Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: 1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan

bumi tersebut;2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan

bumi;3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi.

Kemudian pasal 4 UUPA ayat (1) antara lain dikatakan atas dasar Hak Menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut TANAH, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang dengan orang lain serta badan-badan hukum. Sedangkan dalam ayat (2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud memberi wewenang untuk mempergunakan tanah sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan penggunaan tanah itu.

Di dalam Bab II UUPA tentang Hak-Hak Atas Tanah, Air dan Ruang Angkasa Serta Pendaftaran Tanah, khususnya pasal 16 ayat 1 poin b disebutkan bahwa salah satu hak-hak atas tanah adalah Hak Guna Usaha (HGU).Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, pengertian

BAB IPENDAHULUAN

Negara Indonesia disebut sebagai negara kepulauan, karena berdasarkan data yang ada, terdapat 17.508 buah pulau besar dan kecil.

Page 8: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

3

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 atau 35 tahun, yang bila diperlukan masih dapat diperpanjang lagi 25 tahun, guna usaha pertanian, perikanan atau peternakan.

Selanjutnya dalam pasal 34 diatur mengenai hapusnya HGU yang disebabkan oleh, anatara lain jangka waktunya berakhir, dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, dicabut untuk kepentingan umum, diterlantarkan, tanahnya musnah dan hal yang disebutkan pada pasal 30 (harus warga negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia)

Perolehan Hak Guna Usaha bagi badan hukum perusahaan maupun perorangan sudah tentu harus mengikuti prosedur yang sudah diatur oleh negara, sehingga dalam proses pengusahaan tanah terdapat jaminan dari negara serta perlindungan hukum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 40 Tahun 1996 Pasal 6 ayat 2 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai tata cara dan syarat permohonan pemberian HGU diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden (Keppres). Namun demikian hingga saat ini belum ada Keppres yang diterbitkan untuk mengatur hal tersebut.

Untuk memperoleh HGU badan hukum perusahaan atau perorangan wajib memiliki izin lokasi dalam rangka penanaman modal yang diterbitkan oleh kepala daerah, yang mana untuk mendapatkannya harus memenuhi kriteria persyaratan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1999 (Pasal 6) yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2015 tentang Izin Lokasi disebutkan dalam Bab IV tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi khususnya Pasal 9 bahwa Izin Lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan yang memuat aspek penguasaan tanah dan teknis penatagunaan tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta kemampuan tanah. Disamping itu dalam Surat Edaran Kepala BPN RI No. 5/SE/VI/2014 juga menyebutkan setiap permohonan Hak Atas Tanah yang mensyaratkan Izin Lokasi, dapat diproses apabila Izin Lokasi telah mendapat pertimbangan teknis pertanahan.Dalam Surat Edaran tersebut mencantumkan bagi permohonan HGU pertama kali dengan luasan lebih dari 250 Ha, wajib melaksanakan kemitraan dan memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (plasma) paling rendah seluas 20% (dua puluh persen) dari luas areal Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) atau Izin Usaha Perkebunan untuk Pengelolaan (IUP).

Adapun kewajiban-kewajiban pemegang Hak Guna Usaha ditentukan berdasarkan UU No.5 Tahun 1960 jig PMPA No.11 Tahun 1962, PMPA No.2 Tahun 1964, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 2/Pert/OP/8/1969 Tahun 1969, Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, secara singkat kewajiban ini dapat dirinci antara lain sebagai berikut: 1. Tanah yang diberikan dengan hak guna usaha harus diusahakan secara layak menurut

norma-norma yang berlaku bagi penilaian perusahaan perkebunan;

*1). Mhd.Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm.234

Page 9: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

4

2. Pemegang hak guna usaha tunduk pada peraturan mengenai syarat-syarat perburuhan; 3. Apabila di dalam areal hak guna usaha ternyata masih terdapat penggarapan/pendudukan

rakyat secara menetap dan dilindungi Undang-Undang serta belum memperoleh penyelesaian, maka pemegang hak guna usaha harus menyelesaikan masalah tersebut menurut ketentuan perundang undangan yang berlaku;

4. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan hak guna usaha tersebut kepada Negara sesudah jangka waktunya berakhir atau haknya hapus atau dibatalkan;

5. Menyerahkan Sertipikat hak atas tanahnya apabila jangka waktu haknya berakhir atau hapus.

Apabila kita melihat lebih kedalam, terhadap penguasaan tanah pada HGU perkebunan tersebut diindikasikan terjadi berbagai permasalahan,antara lain pada: perbedaan pandangantentangriwayat tanah, batas bidang tanahdan pemanfaatan tanahnya yang menjadi polemik antara pemegang HGU dengan masyarakat sekitar sehingga pada akhir berujung pada KONFLIK.

Seperti yang kita jelaskan di muka, bahwa penyebab terjadinya konflik di wilayah perkebunan antara perusahaan perkebunan Negara dan Swasta dengan masyarakat diindikasikan adalah adanya antara lain ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah sehingga masyarakat mengokupasi dan mengklaim tanah milik perusahaan perkebunan. Okupasi dan klaim yang dimaksud adalah:1. Okupasi terhadap tanah yang sudah berakhirnya hak atas tanah (HGU).

Menurut UUPA dengan berakhirnya hak atas tanah (HGU) maka status tanah tersebut dinyatakan menjadi tanah negara. Persoalannya adalah, apakah bekas pemegang hak masih mempunyai hak atas tanah bekas HGU tersebut? Dari beberapa kasus yang ada, menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi antara berbagai otoritas dalam memahami TANAH NEGARA BEKAS HAK tersebut. Disatu sisi terdapat pandangan, bahwa bekas pemegang hak tidak mempunyai hak atas bekas HGU tersebut, sebagaimana dianut oleh otoritas Kejaksaan dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Disisi lain terdapat pandangan, bahwa bekas pemegang hak masih mempunyai hak atas bekas HGU tersebut, sebagai mana selama ini menjadi pegangan bagi otoritas pertanahan. Otoritas pertanahan berpendapat, bahwa meskipun hak atas tanah berakhir, namun masih terdapat hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanahnya, karena hubungan subyek hukum dengan tanah pada hakikatnya berdemensi 2 (dua), yaitu: (1) hak atas tanah, dan (2) pemilikan/penguasaan tanah. Dalam pemikiran ini, walaupun sesuatu hak atas tanah berakhir, namun kewenangan bekas pemegang hak atas tanah masih diakui.Di dalam praktek hal tersebut dapat dilihat adanya pemberian ganti kerugian atas tanah-tanah yang terkena ketentuan Landreform (tanah bekas nasionalisasi, tanah absentee, tanah yang terkena batas maksimum), dan tanah-tanah terlantar1.

2. Okupasi terhadap tanah diindikasikan terlantar (HGU)Menurut Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 2010 Pasal 1 Angka 5 menyebutkan bahwasaannya tanah yang diindikasi terlantar adalah tanah yang diduga tidak diusahakan,

1 Sustiyadi dalam Oloan Sitorus dkk., 2008, “Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara: dalam Bhumi, Jurnal Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Nomor 24 Tahun 8, Desember 2008, hlm.4.

Page 10: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

5

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Dari definisi tersebut menjelaskan bagaimana tanah terlantar bisa terjadi dan lebih jauh menjadi penyebab timbulnya okupasi oleh masyarakat yang berinisiatif mengelola serta memanfaatkan tanah terindikasi terlantar. Perusahaan swasta maupun negara yang diberikan kewenangan (HGU) belum tentu dan serta merta akan mengelola tanah secara keseluruhan sesuai pemberian hak, sehingga dalam jangka waktu yang lama apabila tidak dikelola bisa jadi akan “membangun” persepsi bahwa tanah tersebut terindikasi terlantar. Kondisi demikian jika tidak disikapi dengan arif, maka dapat menjadi gejala munculnya konflik antara masyarakat dengan pemegang HGU.

3. Counter-Claim (Reclaim) penguasaan atas tanahPengambil-alihan tanah oleh masyarakat petani ataupun masyarakat lokal terhadap Tanah Perkebunan Negara dan Perkebunan Swasta disebabkan adanya perbedaan pandangan terhadap penguasaan pemilikan tanah antara masyarakat petani/lokal dengan argumen berbasis sejarah dan pemegang HGU dengan argumen berbasis hukum.Penjarahan atau pendudukan tanah perkebunan selain untuk pemenuhan kebutuhan hidup, juga yang terjadi dalam bentuk reclaiming action yaitu tuntutan pengembalian hak atas tanah leluhur atau tanah ulayat yang dianggap telah diambil untuk perkebunan dengan cara paksa, tanpa izin atau tanpa ganti rugi yang layak pada puluhan tahun yang lalu atau ada dugaan bahwa luas hasil ukur yang diterbitkan HGU berbeda dengan kenyataan di lapangan, sehingga tanah-tanah masyarakat masuk pada areal perkebunan. Pada umumnya tanah-tanah perkebunan di Sumatera berasal dari tanah-tanah bekas Erpacht, atau dari tanah ulayat yang telah diberikan recognisi dan merupakan tanah perkebunan baru.

Berdasarkan data BPN-RI (Deputi Sengketa Konflik Perkara- BPN RI s/d September 2013), maka jumlah kasus sengketa konflik perkara pertanahan secara nasional adalah:1. Kasus : 4.2232. Selesai : 2.0143. Sisa : 2.209

Konflik pertanahan pada wilayah perkebunan perlu penanganan lebih lanjut sehingga mampu terselesaikan tanpa adanya kekerasan dan korban jiwa. Berbagai konflik pertanahan di wilayah perkebunan swasta seringkali dapat diselesaikan, walaupun tidak mudah dan membutuhkan waktu lama dan penanganan serius, sebagai contoh seperti konflik pertanahan:

PT. Sumbersari Petung di Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri yang meliputi beberapa desa, antara lain Desa Sempu, Desa Babadan dan Desa Suguhwaras. Konflik tersebut dapat diselesaikan dengan diredistribusinya 250 ha tanah HGU PT. Sumbersari Petung kepada 1.760 KK pada tahun 2011. Pola penyelesaian konflik dengan kesediaan perkebunan swasta tersebut untuk melepaskan bagian dari HGU-nya yang telah dikuasai masyarakat. Konflik pertanahan di wilayah perkebunan swasta PT. Sumbersari Petung dapat diselesaikan, walaupun tidak mudah dan membutuhkan waktu lama dan penanganan yang serius.

Namun ada juga konflik pertanahan di kawasan perkebunan swasta yang belum terselesaikan, antara lain:

Page 11: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

6

1. Wilayah Perkebunan PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI), Desa Sri Tanjung, Kabupaten Mesuji – Lampung.Permasalahan pada areal Perkebunan PT. BSMI terjadi pada tahun 1997 akibat munculnya protes dari masyarakat atas penerbitan SK HGU oleh Kepala BPN bagi PT. BSMI seluas 9.513 Ha yang juga diperluas 2500 Ha. Pada awalnya PT BSMI menerima ijin lokasi untuk perkebunan sawit seluas 17.000 Ha, dengan rincian peruntukan 10.000 Ha untuk kebun dan 7000 Ha sebagai kebun plasma yang dikerjakan oleh masyarakat tiga desa, yaitu (i) Desa Kagungan Dalam; (ii) Desa Sri Tanjung; dan (iii) Desa Nipah Kuning. Namun hingga tahun 1997 belum dilakukan penyerahan lahan seluas 7000 kepada masyakarat untuk digarap sesuai dengan kesepakatan. Selain itu PT.BSMI juga belum membayarkan ganti rugi seluas 5000 Ha pada masyarakat penggarap yang telah ada sebelumnya.

2. Wilayah Perkebunan Kelapa Sawit HGU PT. Sumber Wangi Abadi (SWA) di Desa Sungai Sodong, Kabupaten Ogan Komering Ilir – Sumatera Selatan.Permasalahan pertanahan di Desa Sodong diawali dengan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) seluas 3.193,90 untuk perkebunan kelapa sawit di Desa Sungai Sodong kepada PT. Sumber Wangi Abadi (SWA) pada tahun 2001. HGU tersebut diberikan dengan syarat PT. SWA mendirikan perkebunan plasma seluas 1.068 dari total luas yang diberikan HGU. Namun hingga tahun 2002 PT. SWA tidak mampu melaksanakan kewajibannya sehingga pada tahun 2010 masayarakat menduduki lahan PT. SWA. Pendudukan lahan tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya bentrokan antara pihak pengamanan swakarsa perusahaan dengan masyarakat dan mengakibatkan 7 orang tewas.

Selain itu, apabila menyangkut perkebunan negara yang dikelola PTPN maka penyelesaian konflik menjadi tidak sesederhana penyelesaian pada kasus perkebunan swasta. Konflik di wilayah perkebunan Milik Negara lebih sulit dalam penyelesaiannya dibutuhkan waktu yang tidak sebentar, karena terkait dengan birokrasi dimana tanah perkebunan merupakan aset negara yang merupakan kewenangan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk pelepasan tanahnya.Contoh konflik pertanahan di wilayah Perkebunan Negara antara lain adalah :

PT Perkebunan Nusantara VIII di lahan Kebun Talun Santosa, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. (Kompas, Kamis, 2 Januari 2014)Konflik pertanahan di Bandung Selatan dimana ribuan petani memprotes penanaman kopi oleh PT Perkebunan Nusantara VIII di lahan Kebun Talun Santosa, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Para petani beralasan, status lahan yang ditanami kopi oleh PTPN VIII itu belum jelas. “Selama 13 tahun, lahan itu ditelantarkan oleh PTPN VIII, sehingga petani menanam sayuran di sana, namun sekarang/saat ini perusahaan menanam kopi di lahan itu tanpa sosialisasi,”menurut Ketua Forum Masyarakat Peduli Desa (FMPD/ merupakan forum yang menghimpun petani dari sejumlah desa di Bandung Selatan ). Petani menuntut penanaman kopi oleh PTPN VIII dihentikan, jika tuntutan tidak dipenuhi, petani akan mencabut paksa tanaman tersebut. Kepala Urusan Humas PTPN VIII Lilik A Arifin mengatakan, protes petani tidak memiliki alasan kuat, sebab, PTPN VIII telah memperpanjang sertifikat hak guna usaha (HGU) atas Afdeling Cikembang. Perpanjangan HGU keluar pada 2010 dan sejak awal 2012 PTPN VIII mulai menanam kopi, hingga saat ini, 211,17 hektar lahan Afdeling Cikembang telah ditanami kopi dan penanaman kopi telah diberitahukan kepada Pemerintah Kabupaten Bandung dan petani di sekitar lahan. Lahan

Page 12: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

7

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

yang menjadi sengketa merupakan bagian dari Afdeling Cikembang, Kebun Talun Santosa, yang meliputi empat desa di Kertasari, total luas afdeling alias unit perkebunan itu adalah 913,66 hektar.

Konflik pertanahan di wilayah perkebunan cenderung memiliki karakteristik antara lain: i). melibatkan banyak pihak yang berkonflik, ii). waktu penyelesaian yang lama, iii). sengketa dan konflik agraria seringkali berulang, iv). disertai dengan kekerasan yang intensitasnya meningkat. Mengingat konflik pertanahan di wilayah perkebunan ini mengemuka ke tingkat nasional sehingga menjadi kasus nasional yang perlu mendapatkan penanganan serius dari berbagai pihak, seperti Kasus Mesuji di Lampung dan Cinta Manis di Sumatera Selatan. Penanganan konflik perkebunan dapat dilaksanakan dengan menggunakan cara-cara yang sifatnya lebih memberikan keadilan bersama, baik melalui litigasi maupun non litigasi. Lembaga peradilan sebagai lembaga penyelesaian sengketa yang kemudian dalam prosesnya dikatakan sebagai proses litigasi, sedangkan penyelesaian melalui kegiatan non litigasi antara lain dapat melalui negoisasi, mediasi, dan konsoliasi2.

Munculnya berbagai konflik pertanahan yang diliput oleh berbagai media massa pada awal tahun 2012 merupakan akumulasi dari kasus pertanahan yang telah berlangsung lama dan tidak terselesaikan yang mendapat perhatian publik. Kasus pertanahan ini terjadi dibeberapa lokus yang berbeda dengan keterlibatan berbagi pihak yang bersengketa dengan akar masalah yang berbeda pula serta belum menemukan metode penyelesaian, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak yang berkonflik. Meningkatnya konflik pertanahan yang terjadi mengindikasikan pelaksanaan sistem pengelolaan pertanahan yang belum optimal, sehingga menghambat program-program pembangunan yang sedang berjalan. Mengingat sistem pengelolaan pertanahan sebagai salah satu kunci dalam penyelesain konflik pertanahan, maka untuk itu perlu dilakukan identifikasi terhadap kasus-kasus konflik pertanahan yang terjadi sehingga dapat ditarik pembelajaran dan akar permasalahannya dapat diselesaikan.

Berdasarkan problematika tersebut di atas, maka pada tahun 2015, Puslitbang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, melakukan penelitian tentang “Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah Perkebunan”.

1.2. PERMASALAHAN PENELITIAN

Berdasarkan permasalahan konflik di wilayah perkebunan di atas, maka pertanyaan penelitiannya adalah:1. Bagaimana deskripsi pola-pola konflik pertanahan dan penyebabnya yang terjadi di

wilayah perkebunan? 2. Bagaimana penaganan dan penyelesaian mengatasi pola-pola konflik pertanahan di

wilayah perkebunan?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengdiskripsikan dan menganalisa penyebab pola pola konflik di wilayah perkebunan;2. Menganalisa solusi untuk mengatasi pola-pola konflik pertanahan di wilayah perkebunan.

2 Mu’adi, Sholih. 2010.Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan dengan cara Litigasi dan Non Litigasi. Prestasi Pustakaraya.

Page 13: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

8

1.4. RUANG LINGKUP PENELITIAN

1. Arti dari Pola dalam penelitian ini adalah bentuk, corak atau model (http://kbbi.web.id/pola);

2. Maksud dari pola konflik pertanahan wilayah perkebunan dalam penelitian ini adalah dilihat dari Subyek pemilikan perusahaan perkebunan yang dibedakan menjadi bentuk/corak/model konflik di wilayah perkebunan milik negara dan perkebunan milik swasta;

3. Materi penelitian:a. Riwayat perolehan tanah;b. Penyebab sebagai akar permasalahan: 1) Okupasi, 2) Reclaiming;c. Pihak yang berkonflik;d. Solusi konflik.

4. Lokasi penelitian a. Provinsi yang terdapat beberapa konflik pertanahan antara masyarakat dengan

pemegang HGU perkebunan;b. Perusahaan perkebunan milik negara dan swasta yang sudah selesai ataupun masih

dalam tahap penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan dengan masyarakat.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

Penerima manfaat dari penelitian ini antara lain:1. BPN RI sebagai lembaga yang diamanatkan untuk mengelola bidang pertanahan sehingga

diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai: a. Riwayat perolehan tanah di lokasi konflik;b. Akar masalah pencetus konflik pertanahan di wilayah perkebunan;c. Pihak yang terlibat dalam konflik pertanahan di wilayah perkebunan;d. Pola penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan di wilayah perkebunan;e. Solusi penanganan konflik pertanahan di wilayah perkebunan.Diharapkan dari gambaran-gambaran tersebut dapat berkontribusi dalam memberikan bahan informasi dalam rangka meminimalisir, menangani dan menyelesaikan sengketa konflik pertanahan di wiayah perkebunan.

2. Perusahaan perkebunan Negara dan Swasta dalam rangka menangani dan menyelesaikan konflik pertanahan;

3. Kementerian Negara BUMN dalam menangani dan menyelesaikan konflik pertanahan;4. Masyarakat dan pihak yang bersengketa agar memperoleh penyelesaian konflik pertanahan

yang berkeadilan.

Page 14: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

9

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

1.6. KERANGKA PIKIR PENELITIAN

Gambar 1. Keranga Pikir Penelitian

Riwayat Tanah

Masyarakat Perkebunan Milik Swasta

Perkebunan Milik Negara

Konflik

Pola Penanganan Konflik

SOLUSI

Perkebunan Negara Perkebunan Swasta

Pola Konflik Perkebunan Milik

Swasta

Pola Konflik Perkebunan Milik

Negara

• Okupasi• Reclaiming• Tumpang Tindih

• Okupasi• Reclaiming

Page 15: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

10

Page 16: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

11

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN2Bab IITinjauan Literatur

Page 17: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

12

BAB IITINJAUAN LITERATUR

Di dalam UUPA sendiri sebutan yang digunakan bagi tanah Negara adalah “tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.”

2.1 PENGERTIAN TANAH NEGARA

1. Terjadinya Hak Guna Usahaa. Tanah bekas hak-hak Barat antara lain:

1) Hak Guna Usaha (HGU) dari segi sejarahnya berasal dari konsep Hak Barat yaitu Hak Erpacht yang diatur dalam Buku II KUHPerdata (BW), yang kemudian di adopsi dalam UUPA dengan nama HGU;

2) Hak Konsensi yang khususnya ada di daerah Swapraja seperti di wilayah Kesultanan Deli sejak berlakunya UUPA di konversi menjadi HGU.

b. Penetapan Pemerintah sesuai pasal 31 dan 37 UUPABerasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang diberikan Pemerintah sebagai HGU kepada yang memerlukannya atas permohonan yang telah diproses sesuai peraturan yang berlaku.

2. Pengertian tanah Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah sebagai berikut:a. UUPA dan Undang-Undang yang terkait dengan tanah beserta peraturan pelaksananya

tidak menyebut dan mengatur tanah Negara secara tegas. Di dalam UUPA sendiri sebutan yang digunakan bagi tanah Negara adalah “tanah yang dikuasai langsung oleh Negara”. Istilah tanah negara itu sendiri muncul dalam praktek administrasi pertanahan, dimana penguasaannya dilakukan oleh otoritas pertanahan3.Pengaturan tanah Negara pasca kemerdekaan melanjutkan konsepsi dan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, tentang Penguasaan tanah-tanah Negara. PP tersebut menyatakan, bahwa tanah Negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara. Penjelasan PP tersebut menyatakan, bahwa tanah yang dikuasai penuh, jika tanah-tanah tersebut memang bebas sama sekali dari hak- hak yang melekat atas tanah (hak-hak Barat, seperti Eigendom, Erpacht dan Opstal, maupun Hak Adat seperti Ulayat dan Hak Pribadi)4.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, tentang Penguasaan tanah-tanah Negara: tanah Negara ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara (Pasal 1a).

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah: tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh

3 Maria SW.Sumardjono, 2010, Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat, Penerbit Bagian Hukun Agraria Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, hlm. 23-27.

4 Julius Sembiring, Tanah Negara: Dikotomi Persepsi, Sektoralisasi Regulasi Dan Potensi Konflik, Makalah, 2000, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), hlm.3.

Page 18: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

13

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Pasal 1 ayat 3).

d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973, tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah: tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh Negara seperti dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Pasal 1 butir 2).

e. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah: tanah Negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh Negara adalah tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah (Pasal 1 angka 3).

f. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar: dalam pasal 9 ayat (2) dan (3) dinyatakan, bahwa penetapan tanah terlantar meliputi penetapan hapusnya hak (dalam hal “tanah hak”) dan sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (dalam hal tanah hak dan juga tanah yang telah diberikan dasar penguasaan).

g. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara: tanah Negara adalah tanah yang langsung dikuasai Negara sebagaimana dimaksud dalam UUPA (Pasal 1 butir 2).

h. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan: tanh Negara adalah tanah yang langsung dikuasai Negara sebagaimana dalam UUPA (Pasal 1 butir 2).

3. Pengertian tanah Negara yang berasal dari para Pakar, Praktisi Hukum Agraria dan juga sebagaimana terdapat dalam peraturan perundang-undangan, adalah sebagai berikut:a. Maria SW Sumardjono: tanah Negara adalah tanah yang tidak diberikan dengan sesuatu

hak kepada pihak lain, atau tidak dilekati dengan suatu hak, yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah ulayat dan tanah wakaf5.

b. Boedi Harsono: tanah negara adalah bidang-bidang tanah yang dikuasai langsung oleh Negara6.

c. Arie Sukanti Hutagalung: tanah negara yaitu tanah-tanah yang belum ada hak-hak perorangan di atasnya7.

d. I.Soegiarto: tanah Negara ialah tanah-tanah yang belum dilekati sesuatu hak atas tanah8.

e. Ali Achmad Chomzah: tanah Negara adalah tanah yang tidak dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah sesuai ketentuan yang berlaku9.

2.2 STATUS TANAH NEGARA DAN BERAKHIRNYA HAK ATAS TANAH

Menurut UUPA, dengan berakhirnya Hak Atas Tanah (HGU, HGB dan HP), maka status tanah

5 Maria SW.Sumardjono, 2010, op.cit.,hlm.256 Boedi harsono, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Perkembangan Pemikiran & Hasilnya sampai menjelang Kelahiran

UUPA tanggal 24 September 2007, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hlm.537 Arie Sukanti Hutagalung, Pengaturan Pengelolaan ..., hlm.58 I,Soegiarto dalam Bhumi Bhakti, Majalah terbitan Badan Pertanahan Nasional, No.7 Tahun 1994, hlm. 25.9 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi ustaka, 2002, Jakarta, hlm.1

Page 19: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

14

tersebut dinyatakan menjadi tanah Negara. Pertanyaannya apakah bekas pemegang hak masih mempunyai hak atas tanah bekas HGU tersebut? Dari beberapa kasus yang ada diindikasikan bahwa terdapat perbedaan persepsi antara berbagai otoritas dalam memahami tanah Negara bekas hak tersebut.

Disatu sisi terdapat pandangan, bahwa bekas pemegang hak tidak mempunyai hak atas bekas HGU tersebut sebagaimana dianut oleh otoritas kejaksaan dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Semetara itu disisi lain terdapat pandangan, bahwa bekas pemegang hak masih mempunyai hak atas bekas HGU tersebut, sebagaimana selama ini menjadi pegangan bagi otoritas pertanahan10. Otoritas pertanahan berpendapat, bahwa meskipun hak atas tanah berakhir, namun masih terdapat hubungan hukum antara bekas pemegang hak atas tanah dengan tanahnya, yaitu:

Hubungan subyek hukum dengan tanah tersebut pada hakikatnya berdimensi 2 (dua), yaitu berwujud: (a) hak atas tanah, dan (b) pemilikan/penguasaan tanah. Dalam pemikiran ini, meski sesuatu hak atas tanah berakhir dan/atau diakhiri, namun kewenangan bekas pemegang hak atas tanah masih diakui. Dalam praktek, hal tersebut dapat dilihat dalam hal adanya pemberian ganti kerugian atas tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform (tanah bekas Nasionalisasi, tanah Absentei, tanah kelebihan Maksimum, dan tanah-tanah terlantar11.

Sedangkan otoritas Kejaksaan berpendapat, bahwa:Dengan berakhirnya hak atas tanah maka berakhirlah hubungan hukum antara bekas pemegang hak atas tanah dengan tanah tersebut, sehingga segala bentuk ganti rugi yang diberikan kepada bekas pemegang hak, dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi12.

Khusus untuk tanah-tanah bekas HGU yang tidak dilakukan perpanjangan haknya, maka untuk menyelesaikan status tanah-tanah bekas HGU tersebut, otoritas pertanahan mengeluarkan kebijakan tentang pemutusan hubungan hukum bekas pemegang hak dengan hak atas tanahnya tersebut. Kebijakan tersebut dapat dilihat antara lain pada dokumen-dokumen sebagai berikut:1. Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional yang ditanda tangani Deputi Hak Tanah dan

Pendaftaran Tanah tanggal 20 Maret 2007, Nomor 880-310.3-D.II, perihal Permohonan/Usul Penegasan Status Tanah dalam rangka Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Bogor, yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat, dinyatakan bahwa tanah bekas HGU atas nama PT. Jasinga telah dibuatkan Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah seluas 1.044,4962 Ha.

2. Surat Direktur Landreform, Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan, Nomor 43/S-LR/VI/2010 tanggal 14 Januari 2010, menyatakan bahwa sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 25 Tahun 2002, tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara menjadi Objek Pengaturan Penguasaan Tanah/Landreform, atas tanah-tanah Negara bekas Hak Guna Usaha tetap harus melampirkan

10 Julius Sembiring, Tanah Negara: Dikotomi Persepsi, Sektoralisasi Regulasi Dan Potensi Konflik, Makalah, 2000, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), hlm.16-17.

11 Sustiyadi dalam Oloan Sitorus dkk, Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara, dalam Bhumi, Jurnal Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Nomor 24 Tahun 8, Desember 2008,.hl. 4

12 Ibid., hlm. 4.

Page 20: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

15

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Surat Pelepasan dari bekas pemegang hak.

2.3 PENGATURAN PEMBERIAN HAK ATAS TANAH NEGARA DI WILAYAH PERKEBUNAN

Penguasaan tanah oleh Negara menurut Pasal 33 ayat (3) UUD diadopsi oleh UUPA, maka ketentuan yang mengatur Tata Cara Pemberian Tanah Negara diatur dalam:1. Keputusan Menteri Agraria No.SK.112/Ka/61 tanggal 1 April 1961, tentang Pembagian

Tugas Wewenang Agraria, berlaku surut sejak 1 Mei 1960;2. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No.SK XIII/17/Ka/1962 tanggal 12

September 1962 tentang Penunjukan Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 14 PP No.221 Tahun 1952, Ketentuan ini mengatur tentang wewenag pemberiak Hak Milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform.

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah;

4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah Negara;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah 7. PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997.8. PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999, tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas

Tanah Negara dan Hak Pengelolaan9. Peraturan KBPN RI Nomor 1 Tahun 2011, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak

Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu jo. Peraturan KBPN RI Nomor 3 Tahun 2012, tentang Perubahan atas Peraturan KBPN RI No.1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu.

10. PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.11. Undang Undang No.18 Tahun 2004, tentang Perkebunan.

Selain peraturan di atas yang bersumber dari UUPA, juga terdapat peraturan lain yang mengatur terkait dengan pemberian Hak Atas Tanah Perkebunan yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pemberian Hak Atas Tanah wilayah perkebunan menjadi kewenangan lembaga pertanahan, dalam hal ini adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Penegasan yang tertuang pada UU No.18 Tahun 2004 tersebut dapat dilihat pada Bab III Penggunaan Tanah Untuk Usaha Perkebunan, dari Pasal 9 sampai dengan Pasal 12.

12. Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014, tentang PerkebunanPasal 11 (1) Pelaku Usaha Perkebunan dapat diberi hak atas tanah untuk Usaha Perkebunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.4 PENGERTIAN ISTILAH SENGKETA ATAU KONFLIK

Kedua istilah sengketa dan konflik seringkali sipakai sebagai suatu padanan kata dan dianggap mempunyai makna yang sama, akan tetapi kedua istilah itu memiliki karakteristik berbeda, karena tidak semua konflik menimbulkan sengketa, sebaliknya setiap sengketa adalah konflik13.1. Kovach mengatakan, Conflict berasal dari bahasa Latin, yakni con (together) dan fligere

13 Rohmad, Abu, 2008, Paradigma Resolusi Konflik Agraria, Walisongo Press, hlm.9

Page 21: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

16

(to strike)14. Jadi conflict adalah as an encounter with arms, a fight, a battle, a prolonged struggle. Secara singkat definisi ini menjelaskan, bahwa konflik adalah suatu perjuangan manusia menyangkut perbedaan berbagai prinsip, pernyataan dan argumentasi yang berlawanan.

2. Black menyatakan, bahwa sengketa adalah konflik atau kontoversi, konflik mengenai klaim/hak pernyataan tentang suatu hak, klaim atau tuntutan di satu pihak berhadapan dengan pihak lain, hal yang berkaitan dengan hukum.

3. Vilhelm Aubert mengatakan, bahwa sengketa atau konflik sebagai suatu keadaan dimana dua orang atau lebih terlibat pertentangan secara terang-terangan15.

4. Wiradi Gunawan mengatakan, sengketa atau konflik agraria adalah suatu proses interaksi antara dua (atau lebih) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingan atas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah16.

5. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, Badan Pertanahan Nasional RI memberi batasan mengenai sengketa, konflik maupun perkara pertanahan. Pasal 1 Peraturan Kepala BPN tersebut menyatakan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.Konflik pertanahan sendiri merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio politis.

2.5 DEFINISI TANAH TERLANTAR

Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010, tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar:1. Penjelasan Pasal 4 menyebutkan bahwa tanah yang terindikasi terlantar yaitu tanah

hak atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak ataudasar penguasaannya yang belum dilakukan identifikasi dan penelitian. Selanjutnya, tanah hak atau dasar penguasaan apa saja yang dapat menjadi objek penertiban tanah terlantar.

2. Pasal 2 mengatur bahwa yang menjadi objek penertiban tanah terlantar,meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa hak milik, hak gunausaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan, atau dasar penguasaanatas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuaidengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Pasal 2 ini bila dibaca secara independen, maka menimbulkan tafsir hukum yang argument acontrario dengan keberadaan tanah sebagai fungsi sosial karena eksistensi tanah hak milik perorangan dan tanah yang dikuasai pemerintah pun merupakan objek tanah yang dapat diindikasikan sebagai tanah terlantar apabila tidak sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan

14 ibid, hlm.1015 ibid, hlm.1116 Wiradi, Gunawan, 1999, Kebijakan Agraria/Pertanahan Yang Berorientasi Kerakyatan dan Berkeadilan, Makalah disampaikan dalam Seminar

Nasional Pertanahan diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) di Yogyakarta, Tanggal 25-26 Pebruari 1999, hlm.35.

Page 22: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

17

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

pemberian hak atau dasar penguasaannya.Hal ini tentunya akan menimbulkan resistensi secara faktual, karena tanah-tanah yangdimiliki perorangan belum tentu dimanfaatkan sesuai keadaan atau sifat atau tujuanpemberian dikarenakan persoalan ketidakmampuan secara ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkannya.Selain itu, tanah yang dikuasai pemerintah tersebut tidak dipergunakan karena keterbatasan anggarannegara/daerah sehingga penggusaannya, penggunaannya, atau peruntukannya tidak sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Sebagai wujud resolusi permasalahan dimaksud, dalam PP ini diatur mengenai pengecualian objek tanah terlantar yakni tanah hak milik atau tanah hak guna bangunan atas nama perorangan yang secara tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya dan tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung ataupun tidak langsung dansudah berstatus maupun belum berstatus barang milik negara/daerah yang tidak sengaja tidak dipergunakan.

2.6 PENGATURAN PERKEBUNAN

1. Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan:a. Pasal 1, mengatakan antara lain:

1) Perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budi daya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait Tanaman Perkebunan.

2) Tanah adalah permukaan bumi, baik yang berupa daratan maupun yang tertutup air dalam batas tertentu sepanjang penggunaan dan pemanfaatannya terkait langsung dengan permukaan bumi, termasuk ruang di atas dan di dalam tubuh bumi.

3) Hak Ulayat adalah kewenangan masyarakat hukum adat untuk mengatur secara bersama-sama pemanfaatan Tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada di wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan yang menjadi sumber kehidupan dan mata pencahariannya.

4) Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan yang kuat dengan Tanah, wilayah, sumber daya alam yang memiliki pranata pemerintahan adat dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya.

5) Lahan Perkebunan adalah bidang Tanah yang digunakan untuk Usaha Perkebunan. 6) Perusahaan Perkebunan adalah badan usaha yang berbadan hukum, didirikan

menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Indonesia, yang mengelola Usaha Perkebunan dengan skala tertentu.

7) Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

8) Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

9) Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Page 23: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

18

10) Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perkebunan.

b. Pasal 16 (1) Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan: a. paling lambat 3 (tiga) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan Lahan Perkebunan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari luas hak atas tanah; dan b. paling lambat 6 (enam) tahun setelah pemberian status hak atas tanah, Perusahaan Perkebunan wajib mengusahakan seluruh luas hak atas tanah yang secara teknis dapat ditanami Tanaman Perkebunan. (2) Jika Lahan Perkebunan tidak diusahakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bidang Tanah Perkebunan yang belum diusahakan diambil alih oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c. Pasal 57 (1) Untuk pemberdayaan Usaha Perkebunan, Perusahaan Perkebunan melakukan kemitraan Usaha Perkebunan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, serta saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan Pekebun, karyawan, dan masyarakat sekitar Perkebunan.

d. Pasal 58 (1) Perusahaan Perkebunan yang memiliki izin Usaha Perkebunan atau izin Usaha Perkebunan untuk budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh perseratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan. (2) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pola kredit, bagi hasil, atau bentuk pendanaan lain yang disepakati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak hak guna usaha diberikan. (4) Fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya. Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

e. Pasal 55 menyatakan, bahwa setiap orang dilarang:1) Mengerjakan menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai lahan perkebunan;2) Mengerjakan menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah masyarakat

atau tanah hak ulayat;3) Melakukan penebangan tanaman dalam kawasan perkebunan; atau4) Memanen dan/atau memungut hasil perkebunan.

2. Peraturan Perundang-undangan tentang Kekayaan Negara

Aset Negara yang dimiliki Pemerintah adalah Aset yang dipisahkan atau yang disebut Barang Milik Negara/Daerah adalah barang yang diperoleh/dibeli atas beban APBN/APBD dan barang yang berasal dari perolehan lain yang sah meliputi barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Aset negara yang dipisahkan disebut investasi pemerintah, yang terdiri penyertaan modal pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD), Perseroan Terbatas lainnya, dan Badan Hukum milik pemerintah lainnya.

Page 24: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

19

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Landasan hukum pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan adalah:1. Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003, tentang Keuangan Negara

a. Pasal 9 Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut : f.mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;

b. Pasal 24 (1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah. (2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD. (3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara. (4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan daerah. (5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara setelah mendapat persetujuan DPR. (6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah setelah mendapat persetujuan DPRD. (7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan swasta setelah mendapat persetujuan DPR.

2. Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003, tentang Badan Usaha Milik Negaraa. Pasal 1, dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan (pada angka-angka):

1. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

5. Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan memiliki modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan.

6. Menteri Teknis adalah menteri yang mempunyai kewenangan mengatur kebijakan sektor tempat BUMN melakukan kegiatan usaha.

10. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang besaral dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.

b. Pasal 2 Ayat (1) Maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah antara lain dalam point: e. turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi dan masyarakat. Ayat(2) Kegiatan BUMN harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan.

c. Pasal 4 (1) Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.(2) Penyertaan modal negara dalam rangka pendirian atau penyertaan pada BUMN bersumber dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. Kapitalisasi cadangan; c. Sumber lainnya. (3) Setiap penyertaan modal negara dalam rangka pendirian BUMN atau perseroan terbatas yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. (4) Setiap perubahan penyertaan modal negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), baik berupa penambahan maupun pengurangan, termasuk perubahan struktur kepemilikan negara atau saham Persero atau perseroan terbatas, ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Page 25: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

20

d. Pasal 88 (1) BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah.Pelaksanaan ketentuan pasal 41 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004 pelaksanaannya di atur dalam PP Nomor 1 Tahun 2004 tentang investasi pemerintah.Pasal 2 (1) investasi Pemerintah dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya. (2) Investasi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraan umum.

2.7 PENGERTIAN HAK GUNA USAHA (HGU)

1. HGU adalah hak untuk mengusakan tanah yang dikuasai oleh Negara, meliputi bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan perternakan yang lasnya minimum 5 hektar untuk perorangan dan luas maksimum 25 hektar untuk badan usaha. Luas maksimum ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/KBPN.

2. Objek tanahnya adalah Tanah Negara.3. Subyek Hak adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum yang berkedudukan

di Indonesia.4. Jangka waktu HGU diberikan untuk jangka maksimum 35 tahun dan dapat diperpanjang

maksimum 25 tahun. Permohonan perpanjangan tersebut diajukan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum berakhirnya HGU tersebut.

5. HGU terjadi karena penetapan Pemerintah, dengan cara melalui permohonan pemberian HGU oleh pemohon kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Apabila persyaratan sudah dipenuhi, maka BPN menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak (SKPH). SKPH tersebut wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk di catat dalam Buku Tanah dan di terbitkan Sertipikat HGU sebagai tanda bukti haknya. Pendaftaran SKPH tersebut menandai lahirnya HGU. Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi berwenang menerbitkan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 hektar, apabila luasannya lebih dari 200 hektar, maka yang berwenang menerbitkan SKPH-nya adalah Kepala BPN.

6. Hapusnya HGU, karena antara lain:a. Jangka waktunya berakhir;b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena suatu syarat tidak dipenuhi;c. Diterlantarkan.

2.8 PENGERTIAN OKUPASI TANAH

Definisi okupasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pendudukan, penggunaan, atau penempatan tanah kosong. Pendudukan yang dimaksud dilakukan tanpa izin pemegang hak atau kuasanya sehingga dapat dikatakan illegal. Kegiatan okupasi ditujukan untuk menggunakan (memakai) dan memanfaatkan obyek okupasi meskipun tidak ada dasar atau bukti yang melegalkan melakukan kegiatan tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak atau Kuasanya, memakai tanah ialah menduduki, mengerjakan dan/atau menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya, dengan tidak

Page 26: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

21

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

dipersoalkan apakah bangunan itu dipergunakan sendiri atau tidak. Dalam konteks okupasi, memakai tanah tidak didasarkan atas cara-cara perolehan yang dilegalkan namun terjadi lebih karena obyek tanah yang tidak dikelola atau ditelantarkan sehingga memunculkan inisiatif pengelolaan.

2.9 PENGERTIAN RECLAIMING TANAH

Berbeda dengan okupasi, reclaiming tanah dilakukan karena melihat sejarah tanah tersebut. Reclaiming memiliki dasar moral dan berbeda terhadap penjarahan yang mana pelaku reclaiming merasa memiliki obyek tanah tersebut, meskipun telah diduduki oleh pihak lain dengan cara perampasan17. Reclaiming diawali dari adanya pengakuan oleh pihak yang merasa dirugikan sebelumnya karena haknya telah diambil tanpa melalui proses yang dibenarkan menurut peraturan. Reclaiming bukan penjarahan, reclaiming mempunyai dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dimensi moral, ketidakadilan, normatif yuridis, historis dan nilai-nilai lokal, struktur yang menindas, kebutuhan dasar manusia dan kewajiban negara. Sedangkan penjarahan adalah merupakan tindakan kriminal, pencurian yang tidak mendasarkan pada hak yang sesungguhnya dia miliki18.

2.10 PENYELESAIAN KONFLIK PERTANAHAN19

Berbagai penyelesaian konflik pertanahan cukup banyak ditawarkan baik yang bersifat litigasi maupun non litigasi, namun hasilnya terasa kurang memuaskan. Penyelesaian melalui pengadilanpun terkadang dirasakan oleh masyarakat tidak memuaskan, dan tidak sedikit mereka yang telah menduduki tanah selama bertahun-tahun ditolak gugatannya untuk mempertahankan hak atau mendapatkan hak karena adanya pihak lain yang menguasai tanah yang bersangkutan. Atau sebaliknya gugatan seseorang terhadap penguasaan tanah tertentu dikabulkan pengadilan walaupun bagi pihak yang menguasai tanah tidak cukup kuat atau gugatan kurang beralasan.

Di Indonesia, konflik pertanahan dapat diselesaikan melalui Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara, namun ada juga penyelesaian konflik pertanahan di luar pengadilan yang dilakukan adalah: negosiasi, musyawarah mufakat dan mediasi.Negosiasi dilakukan dengan jalan dimana para pihak yang berkonflik duduk bersama untuk mencari jalan terbaik dalam penyelesaian konflik dengan prinsip bahwa penyelesaian itu tidak ada pihak yang dirugikan (win-win solution), kedua pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Musyawarah mufakat adalah lengkah lebih lanjut dari negosiasi. Jika dalam negosiasi tidak terdapat kesepakatan yang saling menguntungkan, maka langkah lebih lanjut adalah melakukan musyawarah mufakat dengan melibatkan pihak lain selaku penengah. Hasil musyawarah tersebut selanjutnya dibuatkan surat kesepakatan bersama yang ditanda tangani oleh para pihak dan para saksi.

Mediasi merupakan pengendalian konflik pertanahan yang dilakukan dengan cara membuat konsensus diantara dua pihak yang berkonflik untuk mencari pihak ketiga yang berkedudukan

17 Andik Hardiyanto. Penuntasan Masalah Lahan Perkebunan Untuk Keadilan Agraria dan Kemakmuran Petani. Surabaya, 2000, hal. 6.18 Mary Herawati. Siti. Rahma.,et al. Atas Nama Pendidikan Hak-Hak Pagilaran Atas Tanah, Serial Kasus Pertanahan Di Jawa Tengah, Cetakan

Pertama, LBH Semarang dan PMGK Batang Diskusi Bedah Kasus Di UGM Yogyakarta, 19 Februari 2003, hal. 1619 Sunarto, SH, M,Eng, Penanganan dan Penyelesaian Konflik Pertanahan dengan Prinsip Win-Win Solutions oleh BPN RI.

Page 27: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

22

netral sebagai mediator dalam penyelesaian konflik. Penyelesaian secara mediasi baik yang bersifat tradisional ataupun melalui berbagai Lembaga Alternative Dispute Resolution (ADR). Mediasi memberikan kepada para pihak perasaan kesamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir perundingan yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan. Dengan demikian solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution.

Win-win Solution adalah situasi di mana kedua belah pihak yang berselisih (berkonflik) sama-sama merasa diuntungkan dalam suatu transaksi atau kesepakatan dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Dalam semangat win-win solution, penyelesaian sengketa tidak semata-mata didasarkan pada siapa yang memiliki sertifikat.

2.11 IZIN LOKASI DAN PERTIMBANGAN TEKNIS

Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pasal 1 (1) Izin Lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Penerbitan Izin Lokasi dapat dilakukan setelah adanya Pertimbangan Teknis Pertanahan. Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 1 (1), Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi adalahpertimbangan yang memuat ketentuan dan syarat penggunaan dan pemanfaatantanah, sebagai dasar penerbitan Izin Lokasi yang diberikan kepada perusahaanuntuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yangberlaku pula sebagai izin pemindahan hak dan untuk menggunakan tanah tersebutguna keperluan usaha penanaman modalnya. Didalam Pasal 5 disebutkan bahwa Pertimbangan Teknis meliputi:1. Risalah Pertimbangan Teknis Pertanahan; dan 2. Peta-peta Pertimbangan Teknis Pertanahan

2.12 PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 38 TAHUN 2007

Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Lampiran I menjelaskan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi memiliki kewenangan dalam hal Izin Lokasi adalah sebagai berikut:1. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan persyaratan.2. Kompilasi bahan koordinasi.3. Pelaksanaan rapat koordinasi.4. Pelaksanaan peninjauan lokasi.5. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) provinsi dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi terkait.

6. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin lokasi yang diterbitkan.7. Penerbitan surat keputusan izin lokasi.8. Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat keputusan izin lokasi atas

usulan kabupaten/kota dengan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah BPN provinsi;.9. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.

Page 28: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

23

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN3Bab IIIMetodologi

Penelitian

Page 29: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

24

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian deskrifptif kualitatif.

3.1 METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan sebagai penelitian deskrifptif kualitatif. Bersifat desktiptif adalah penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan obyek atau peristiwanya, sedangkan kualitatif diartikan sebagai kegiatan menganalisa data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik berupa buku, peraturan perundangan, hasil penelitian lainnya maupun informasi yang terkait dengan penelitian.Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode penelitian Yuridis Empiris, pendekatan yuridis digunakan sebagai acuan dasar berupa peraturan-peraturan yang berhubungan dengan Hak Menguasai Negara atas tanah, Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan, sedangkan pendekatan empiris digunakan untuk menganalisa bagaimana proses konflik yang dikemukakan sebagai kenyataan data di lapangan.

3.2 JENIS DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA

3.2.1. Jenis Data

1. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan para pejabat di tingkat Kanwil BPN Provinsi, Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, Pejabat Pemerintah Daerah, Pejabat Dinas Perkebunan Kabupaten, para pakar pertanahan, serta para stakeholder terkait lainnya;

2. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur, hasil-hasil penelitian ataupun dokumen yang terkait dengan konflik pertanahan di wilayah perkebunan skala besar, baik perkebunan negara maupun perkebunan swasta.

3.2.2. Teknik Pengumpulan Data

Observasi melalui wawancara dengan nara sumber.

3.3 POPULASI, SAMPEL DAN LOKASI PENELITIAN

3.3.1. Populasi

Populasipenelitian adalah badan hukum perkebunan berskala besar yang berkonflik dengan masyarakat.

3.3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian akan mengambil 6 provinsi sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan, provinsi-provinsi tersebut terdapat beberapa badan hukum perkebunan (HGU) yang berkonflik dengan masyarakat.

3.3.3. Sampel Penelitian

Dari populasi tersebut akan ditetapkan sampel penelitian melalui purposive sampling, dengan pendekatan Non Probibilitas, kemudian ditetapkan sampel sebanyak 2 (dua) atau 3 (tiga)

Page 30: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

25

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

badan hukum perkebunan di wiliyah Provinsi dengan pertimbangan minimnya ketersediaan data di Kantor Wilayah Provinsi.

Adapun 6 (enam) provinsi, sebagai lokasi penelitian yakni:1. Sumatera Utara, 2. Lampung, 3. Sumatera Selatan,4. Kalimantan Timur, 5. Jawa Barat, 6. Jawa Timur.

Responden penelitian yang akan dijadikan sebagai sumber data adalah:1. Kepala Kantor Wilayah Provinsi BPN2. Kabid SKP3. Kabid HTPT4. Kepala Kantor Pertanahan 5. Kasi SKP6. Kasi HTPT7. Pemerintah Daerah

3.4 METODE PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

3.4.1. Pengolahan Data

Sesuai dengan sifat penelitian deskriptif kualitatif, maka pengolahan data adalah setelah diperoleh data sekunder kemudian dilakukan pengelompokan data sesuai dengan tujuan penelitian. Data sekundernya adalah sebagai berikut :1. Riwayat perolehan tanah;2. Akar masalah/penyebab konflik pertanahan;3. Penanganan dan solusi konflik pertanahan.

3.4.2. Analisa Data

Analisa data dimulai dari penelusuran data berupa kenyataan di lapangan yang dihubungkan dengan teori, konsep dan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai riwayat perolehan tanah, akar masalah/penyebab permasalahan konflik dan solusi penyelesaian konflik.

Page 31: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

26

Page 32: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

27

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN4Bab IVSebaran Konflik

Pertanahan di Wilayah Perkebunan di Lokasi

Sampel Penelitian

Page 33: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

28

BAB IVSEBARAN KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNANDI LOKASI SAMPEL PENELITIAN

4.1. SEBARAN KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN PROVINSI JAWA BARAT

Tabel 1 Sebaran KonfliK Pertanahan HGU Perkebunan Provinsi Jawa Barat

No Lokasi Status Luas (Ha) Subyek Yang Ber Konflik

Tipologi Konflik

1 Kab. Sumedanga.

Kec. Jatinangor Ex HGU No. 1,2,3 907.37 Pemda Jawa Barat vs Ahli Waris (klaim)

Reclaiming

Desa Sayang

Desa Cikeruh

Desa Hegarmanah Desa Cilayung Desa Cileles Desa Sindangsari

b. Kec. Buah Dua Ex HGU No. 2/Gendereh

1,260.30 PT. Bukit Jonggol vs petani penggarap

Okupasi

Desa Gendereh

Desa Ciawitali 2 KAB. Indramayu

Desa Sukamulya HGU No. 2 6,248.52 PT. PG Rajawali II vs Masyarakat (KOMNASPAN)

Okupasi

Desa Mulyasari Desa Jatisura

3 KAB. Ciamisa. Sukajaya Tanah Perkebunan

Ex PT Cikencreng 368.70 PTP N VIII vs Masyarakat

Cimerakb.

Kec. Cipaku HGU No 1/Muktisari 63.73 PT. Maloya vs Masyarakat

Okupasi

Desa Muktisari HGU No 2/Muktisari 39.79 Desa Cipaku HGU No 3/Cipaku 10.40

c.

Kec. Ciamis HGU No 1/Desa Sukamulya

111.86 PT. Raya Sugar Industries vs Masyarakat

Okupasi

Desa Jelat HGU No 1/Desa Cintanegara

200.71

Desa Sukamulya Kec. Jatinegara Desa Cintanegara

Page 34: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

29

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

No Lokasi Status Luas (Ha) Subyek Yang Ber Konflik

Tipologi Konflik

d.

Kec. Padaherang Tanah Perkebunan PT. Pesawahan Cipicung

574.98 PT. Cipicung vs Masyarakat

Okupasi

Desa Bojongsari Desa Karangsari

e.

Kec. Tambaksari Tanah Ex HGU PT. Latek

437.11 PT. BJA vs Masyarakat Okupasi

Desa Kaso Desa Kadupandak

f.

Kec. Banjasari Tanah Perkebunan HGU PT. Mulya Asli

348 PT.Mulya Asli vs Masyarakat

Okupasi

Desa Cigayam g.

Kec. Langkaplancar Tanah Perkebunan PTPN VIII Cikupa

- PTPN VIII vs Masyarakat Okupasi

Desa Cikupa Karang Kamiri

h. Kec. Banjarsari Tanah Ex PT. Bukit Jonggol Asri

708.04 Perum Perhutani, Pengusaha vs Petani penggarap

Okupasi

Desa Cikaso Desa Cigayam Desa Banjaranyar Desa Pasawahan

4 KAB. GARUTa.

Desa Mekarmukti PTPN VIII Dayeuhmanggung (SK HGU No 59/HGU/DA/85)

402.66 PTPN VIII Dayeuhmanggung vs Masyarakat

Okupasi: 102 Ha

Desa Sukamukti (tidak ada tanda batas/patok)

Desa Dangiang b.

Kec. Cibalong HGU No 57/Karyamukti (Eks HGU No 10/Maroko)

115.35 PTPN VIII Miramare vs Masyarakat penggarap

Okupasi

Desa Karyamukti c.

Kec. Cibalong HGU No 41/Mekarsari (Eks HGU No 11/Cibalong)

253.20 PTPN VIII Bunisarilendra vs Masyarakat penggarap

Okupasi

Desa Mekarsari d.

Kec. Cikajang Eks HGU 1/Jayabakti 422 PT. Surya Andaka Mustika vs Masyarakat

Okupasi

Desa Cipangramatan Kec. Banjarwangi Desa Bojong

e.

Kec. Pakenjeng HGU No 2/Tegalgede 111 PT. Condong Garut vs Masyarakat penggarap

Reclaiming

Desa Tegalgede f.

Kec. Cikajang Eks HGU 1,900 PDAP Prov. Jabar vs Masyarakat

Okupasi

Desa Banjarwangi Desa Bayongbong

Page 35: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

30

No Lokasi Status Luas (Ha) Subyek Yang Ber Konflik

Tipologi Konflik

g.

Kec. Cisurupan Eks HGU No 1, 2, 3/Sukawargi

107 PT. Hardjasari vs Masyarakat

Okupasi

Desa Sukawargi h.

Kec. Cikajang HGU 2,215.81 PTPN VIII Papandayan vs Masyarakat

Okupasi

Kec. Cilawu Desa Sukamaju Desa Cibalong Desa Cikandang

5 KAB. SUKABUMIa.

Kec. Sukaraja HGU No 1/Selaawi 41.37 PTPN VIII (Perkebunan Goal Para) vs Masyarakat

Okupasi

Desa Margaluyu b.

Kec. Jampang Tengah

HGU No 8, 9, 10, 10, 10, 11, 11, 9, 8, 6, 5

1,621.86 PT. Tutu Kekal vs Masyarakat

Okupasi

Desa Cijulang Kec. Purabaya Desa Pagelaran Desa Purabaya Desa Neglasari Kec. Sagaranten Desa Puncakmanggis Desa Cibaregbeg Desa Hegarmanah Desa Datarnangka

Sumber: Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat, 2015.

4.2. KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN PROVINSI SUMATERA UTARA

Tabel Sebaran Konflik Pertanahan di Wilayah Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara (tidak tersedia data).

Konflik Pertanahan di Wilayah Perkebunan Kabupaten Sampel Penelitian adalah:

4.2.1. PT Bridgestone (Kabupaten Serdang Bedagai)

Lokasi perkebunan PT. Bridgestone yang menjadi obyek sengketa berada di Desa Tinokah, Kecamatan Sipispis dan masuk bagian dari areal HGU No. 1/Nagarai Pane dengan luas total kebun 2.846,73 Ha yang akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2022. Adapun pihak yang bersengketa adalah masyarakat Desa Tinokah yang diwakili oleh Panitia Pengembalian Tanah Sorba Jahe, Naga Tongah, Sihora-hora, Desa Tinokah dengan PT. Bridgestone (dahulu PT. Goodyear).

4.2.2. PT Perkebunan Nusantara III/Kebun Rambutan (Kabupaten Serdang Bedagai)

Lokasi perkebunan PTPN III/Kebun Rambutan (Paya Bagas) yang menjadi obyek sengketa adalah tanah seluas ± 82 Ha dan bagian dari areal HGU No.1/Paya Bagas tanggal 14 Mei 1996. Adapun HGU tersebut akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2025. Pihak yang bersengketa adalah masyarakat yang menggarap sebagian lahan tersebut dengan PTPN III/Kebun Rambutan (Paya Bagas).

Page 36: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

31

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

4.2.3. PT Perkebunan Nusantara II (Kabupaten Langkat)

Sebaran lokasi yang menjadi obyek sengketa dan kemudian dikeluarkan dari perpanjangan HGU atas nama PTPN II khususnya di Kabupaten Langkat (Keputusan Kepala BPN No. 43/HGU/BPN/2002) meliputi 12 kebun. Luas total tanah yang dikeluarkan tersebut mencapai 1210,868 Ha dengan rincian sesuai tabel berikut:

Tabel 2 Luas Tanah yang dikeluarkan dari perpanjangan HGU PTPN II di Kabupaten Langkat

No. KebunLuasan Obyek Permasalahan (Ha)

Tuntutan Garapan Perumahan Karyawan

Masuk RUTRWK

Masyarakat Adat

1. Kwala Begumit 221,02 11,62 23,00 35,00 -2. Kwala Bingei I 190,06 - 54,00 200,00 -3. Kwala Bingei II - - 25,70 73,47 200,004. Tanjung Jati - 16,41 11,34 - -5. Tanjung Keliling - 6,64 - - -6. Maryke - 43,93 - - -7. Glugur Langkat - 5,92 - - -8. Gohor Lama I 16,52 - - - -9. Gohor Lama II - - - - -10. Besilam 14,00 - - - -11. Timbang Langkat/

Purwobinangun- 33,74 - - -

12. Timbang Langkat/ Binjai Estate

25,80 2,70 - - -

Jumlah 467,40 120,96 114,04 308,47 200,00Sumber: Keputusan Kepala BPN No. 43/HGU/BPN/2002.

4.3. SEBARAN KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN

Tabel 3 Sebaran KonfliK Pertanahan HGU Perkebunan Provinsi Sumatera Selatan

No Lokasi Status Luas(Ha)

Subyek Yang Berkonflik

Tipologi Konflik

1. Kab. Ogan Komering Ilir Desa Nusantara di Kec. Air Sugihan OKI

HGU PT. SAML Nomor 07/OKI dan HGU Nomor 08/OKI

1.100,2 Ha dan 972 Ha

PT. SAML vs Masyarakat

Okupasi

2. Kab. Ogan Ilir Kab. Ogan Ilir Tumpang Tindih

Bidang Tanah- PT. Gembala

Sriwijaya dengan HM. Romli/Lisa

Tumpang Tindih Bidang Tanah dengan GS. 05 An. PT. Gembala Sriwijaya

3. Kab. Musi BanyuasinDesa Tanjung Agung Selatan, Kec.Lais,Kab.Musi Banyuasin

HGU PTPN VII Unit Usaha Betung No. 46/Muba dan No. 47/Muba

1.693 Ha PTPN VII Unit Usaha Betung vs Masyarakat

Tuntutan warga Dusun IV Talang Ucin untuk tidak memproses HGU PTPN

Page 37: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

32

No Lokasi Status Luas(Ha)

Subyek Yang Berkonflik

Tipologi Konflik

4. Kab. Banyuasina. Desa Siju, Kec.

Rambutan,Kab.Banyuasin

Proses Permohonan HGU

- PT. Patri Agung Perdana vs Masy.Desa Siju

Tuntutan

b. Desa Sungai Rengit, Kab.Banyuasin

Tanah HGU 65 Ha PT. Swadaya Indo Palma (SIP)

Penyerobotan tanah masyarakat yang sudah digarap sejak 1980 oleh PT. SIP sejak 2006

5. Kab. Lahata. Desa Pagardin

dan Desa Karang Cahaya, Kec. Kikim

Tanah perkebunan belum berstatus HGU milik PT. Adi Tarwan dikuasai oleh masyarakat.

­± 303 Ha PT. Adi Tarwan vs Masyarakat

Tuntutan

b. Desa Cecar, Kec. Kikim Timur, Kab.Lahat

- PT. Pan London Sumatera Plantation dengan Koperasi Tani Makmur

Recaliming

6. Kab. Ogan Komering Ulu TimurDesa Peracak, Kab.OKU Timur

Tidak ada data 1.800 Ha PT. Mincar Jaya Martapura vs Masyarakat

Reclaiming

7. Kab. Muara Enima. Desa Toman,

Jerambah, Rengas, Cambai, Sungutan Air Besar, Pulauan, Penanggoan Duren dan desa sekitarnya Kab.Muara Enim

Proses permohonan HGU

- PT. Bumi Sriwjaya Sentosa vs Masyarakat

Tuntutan Pencabutan Izin Lokasi dan terbitnya HGU

b. Desa Sumber Mulya Kec.Rambang Lubai Kab. Muara Enim

Tidak ada data 1.414 Ha PTPN VII vs Warga Desa Sumber Mulya

Tuntutan masyarakat atas lahan yang telah dirampas PT.PN VII sejak tahun 2000 untuk dikembalikan kepada masyarakat.

Sumber: Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Kanwil BPN Prov. Sumatera Selatan 2015

4.4. SEBARAN KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Tidak tersedia data sebaran.

4.5. SEBARAN KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN PROVINSI LAMPUNG

Tidak tersedia data sebaran

4.6. SEBARAN KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN PROVINSI JAWA TIMUR

Page 38: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

33

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Tabel 4 Sebaran KonfliK Pertanahan HGU Perkebunan Provinsi Jawa Timur

No. Pihak Yang Bersengketa

TipologiSengketa/

KonflikPokok Masalah Upaya

Penyelesaian

1. Kabupaten Jembera. Warga Desa Pakis

dan Suci dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Kabupaten Jember.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Warga Desa Pakis dan Suci mengklaim tanah Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Kabupaten Jember seluas 477,8 Ha yang terletak di Desa Pakis dan Suci, Kecamatan Paniti (Perkebunan Ketadjek).

Bupati Jember melakukan audiensi dengan paguyuban masyarakat pemilik tanah Ketadjek.

b. Warga Desa Curah Nongko, Kecamatan Tempurejo dengan PTPN XII Perkebunan Kalisanen).

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Luas kebun 2500 Ha diklaim Warga Desa Curah Nongko, Kecamatan Tempurejo seluas 332 Ha, sedangkan yang sudah dikuasai oleh masyarakat seluas 125 Ha terletak di Desa Curah Nongko, Kecamatan Tempurejo (Perkebunan Kalisanen).

Mediasi

c. Ahli waris P. Nira (69 orang) dengan PTPN XII.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Sengketa penguasaan tanah HGU oleh rakyat.Ahli waris P. Nira (69 orang) menuntut sebagian tanah HGU, seluas 120,7 Ha yang terletak di Desa Wirowongso, Kecamatan Ajung dikembalikan, dengan alasan merupakan tanah Hak Adat (Yasan) milik P. Nira dengan bukti berupa Petok C dan surat perjanjian sewa menyewa dengan mandor besar Belanda.

Melakukan penelitian lapangan dan administrasi (tahun 2001) oleh BPN bersama Kantor PBB.

d. Sekelompok orang yang mengatasnamakan warga Desa Nogosari dengan PTPN XI.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Sekelompok orang yang mengatasnamakan warga Desa Nogosari mengklaim tanah milik PTPN XI, seluas 135 Ha Terletak di Desa Nogosari, Kecamatan Rambipuji

Telah disarankan kepada warga Desa Nogosari untuk menyelesaikan masalah dimaksud melalui Lembaga Peradilan.

e. Warga masyarakat Dusun Kebonpring Desa Mangaran Kecamatan Anjung dengan PTPN XII.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Penguasaan perkebunan rakyat seluas 47,3 Ha yang terletak di Desa Mangaran Kecamatan Anjung (Perkebunan Renteng) oleh Perkebunan HGU (sebagian dari tanah obyek sengketa sudah diduduki warga).

Disepakati agar PTPN XII segera melepaskan tanah seluas 43,4 Ha dimaksud.

2. Kabupaten KediriWarga masyarakat dengan PTPN XII (Persero).

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Sebagian tanah Perkebunan Ngrangkah Pawon seluas 2.521,76 Ha yang terletak di Desa Sepawon, Kecamatan Plosoklaten dituntut oleh Sdr Nyono, dkk seluas ±124 Ha.

Sebagian perkebunan telah digarap warga masyarakat sekitar dengan pola kemitraan dengan pihak PTPN XII (Persero).

Page 39: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

34

No. Pihak Yang Bersengketa

TipologiSengketa/

KonflikPokok Masalah Upaya

Penyelesaian

3. Kota KediriPT. Perkebunan Nusantara X dhl. Perusahaan Perkebu-nan Gula Negara PESANTREN dengan warga Kelurahan Manisrenggo, Kec. Kota Kediri yang mengatasnamakan “Tim 15”

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Usaha Tim 15 untuk membebaskan tanah HGU/Persil seluas ±57 Ha yang terletak di Dusun Kemiri, Kelurahan Manisrenggo, Kecamatan Kota yang dikelola oleh Pabrik Gula Pesantren atas kuasa dari ahli waris yang selanjutnya tanah akan dipergunakan untuk tempat tinggal, tempat ibadah, fasilitas umum guna kesejahteraan masyarakat, dengan alasan bahwa tanah tersebut adalah tanah yang berasal dari warga dan harus dikembalian kepada ahli warisnya.

Hingga saat ini, Tim Peneliti Kasus Tanah yang dibentuk oleh Walikota Kediri belum mampu menyelesaikaan perma-salahan dimaksud.

4. Kabupaten Malanga. Kelompok Tani

Rukun Makmur (Sadelan dkk) dengan TNI-AD Kodam V Brawijaya Lawang.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Tanah Negara bekas Hak Erfacht Nomor 1294, 1234, 2135, 1565, (±57,6 Ha) terletak di Desa Wonorejo dan tanah Hak Milik Adat/Yasan (±179,5 Ha), dikuasai oleh PUSKOPAD dan diklaim masyarakat.

Proses mediasi

b. Masyarakat Desa Ringin Kembar dengan TNI-AD Kodam V Brawijaya (PUSKOPAD).

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Permohonan tambahan tanah garapan warga Dukuh Sumbermas/Sumberejo dan Dukuh Pancurjo/Talangsari (544 KK) seluas 355 Ha terletak di Desa Ringin Kembar, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, yang mana masyarakat membabat tanaman perkebunan dan menguasai tanahnya.

Mediasi belum berhasil

c. Masyarakat Desa dengan PTPN XII (Perkebunan Kalibakar).

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Masyarakat membabat Perkebunan Kalibakar PTPN XII dan menguasai sebagian besar tanah perkebunan seluas 1.936,7 Ha terletak di Desa Simojayan, Desa Tirtoyudo, Desa Bumiaji, DesaTlogosari, Desa Kepatihan, Desa Ampelgading, Desa Dampit, Desa Tirtoyudo (Perkebunan Kalibakar).

Mediasi

d. Masyarakat Desa Tegalsari dan Sekarbanyu dengan PTPN XII (Perkebunan Pancursari).

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Tanah Perkebunan Pancursari yang terletak di Desa Tegalrejo dan Sekarbanyu seluas ± 912 Ha dimohon masyarakat dengan alasan ditelantarkan PTPN XII.

Proses Mediasi

5. Kabupayen Blitara. PT. Kemakmuran

dengan Masyarakat Desa Karangrejo Kec. Garum.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Bekas HGU seluas 600 Ha, masyarakat Desa Karangrejo, Kecamatan Garum menuntut sebagian tanah kebun seluas 412 Ha, yang dikuasai 108 Ha.

412 Ha diberikan HGU kepada PT. Kemakmuran, sedangkan sisanya 108 Ha diberikan kepada masya-rakat.

Page 40: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

35

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

No. Pihak Yang Bersengketa

TipologiSengketa/

KonflikPokok Masalah Upaya

Penyelesaian

b. PT. Perkebunan Rotorejo Kruwuk dengan Masyarakat Desa Gadungan dan masyarakat Desa Sumberagung

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

HGU No. 1/Sumberagung dituntut masyarakat Desa Sumberagung seluas 15 Ha.

HGU No. 4/Gadungan dituntut masyarakat Desa Gadungan seluas 38 Ha sebagai sisa tanah yang belum diredistribusikan atas dasar SK 49/Ka/1964.

Secara lisan pihak perke-bunan bersedia melepas seluas 15 Ha di Desa Sumberagung, dan belum mau melepaskan seluas 38 Ha di Desa Gadungan. Dalam proses Mediasi.

c. PT. Dewi Sri dengan Masyarakat Desa Ngadirenggo Kecamatan Wlingi.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Masyarakat Desa Ngadirenggo menuntut tanah seluas 180 Ha atas dasar pengakuan warga pernah menduduki/ menggarap sebagian tanah kebun.

Pihak perkebunan belum bersedia melepaskan hak atas tanahnya. Dalam proses mediasi

d. PT. Tri Windu, luas dengan Masyarakat Desa Ngadirenggo Kecamatan Wlingi.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Masyarakat Desa Ngadirenggo menuntut tanah seluas 50 Ha atas dasar pengakuan warga pernah menduduki/ menggarap sebagian tanah kebun.

Pihak kebun mohon penyele-saian kepada Pemkab Blitar. Pemkab Blitar sendiri mene-kankan penyelesaian melalui jalur hukum. Dalam proses mediasi

e. PT. Gappri dengan Masyarakat Desa Sidorejo Kecamatan Doko.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Masyarakat Desa Sidorejo menuntut sebagaian tanah perkebunan seluas 135 Ha atas dasar pengakuan warga pernah menggarap/ menduduki sebagian tanah kebun.

Ada kesepakatan dalam bentuk kompensasi kepada masya-rakat sebagian hasil panen cengkeh sebesar 2,5 % (min 2-5 ton) diberikan kepada masyarakat. Memberikan bantuan berupa 100 ton jagung selama 2 tahun (1999 s/d 2001).

Page 41: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

36

No. Pihak Yang Bersengketa

TipologiSengketa/

KonflikPokok Masalah Upaya

Penyelesaian

f. PTPN XII dengan Warga Desa Penataran (800 KK).

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

HGU Nomor 8/Penataran seluas 399 Ha dituntut warga Desa Penataran seluas 182 Ha atas dasar pengakuan warga penah menduduki/ menggarap sebagian tanah perkebunan.

Pihak perkebunan bersedia melepaskan seluas 70 ha.

Belum ada rekomendasi Menteri BUMN dan Menteri Keuangan.

Belum ada pelepasan dari PTPN XII.

g. PT. Veteran Sri Dewi dengan masyarakat Desa Modangan.

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Dua kelompok masyarakat Desa Mondangan, yang pertama kelompok A beberapa orang melalui jalur hukum menang di MA, sedangkan kelompok B yang merupakan sebagian besar masyarakat menuntut melalui mediasi Pemkab, karena tanah dikuasai oleh kelompok B, maka kelompok A keberatan sebelum biaya yang mereka keluarkan diganti rugi.

Proses Mediasi

h. PT. Kismo Handayani dengan masyarakat Desa Soso, Kecamatan Gandusari.

Sengketa Pemilikan dan Penguasaan

Masyarakat menuntut kepada pihak PT. Kismo Handayani tanah perkebunan seluas 100 Ha dan 74 Ha, sisa 26 Ha di lokasi lain, atas dasar SK 49/Ka/1964.

Mediasi

6. Kabupaten JombangWarga masyarakat dengan PT. Gunung Matabeyan

Sengketa Penguasaan dan Pemilikan

Tanah Perkebunan Gunung Matabeyan seluas 490,26 Ha yang terletak di Desa Sambiroto, Kecamatan Wonosalam, Kab Jombang sebagian dikuasai oleh masyarakat, tahun 1998/1999.

Pernah dilakukan musyawarah/mediasi, belum ada kesepakatan.

Sumber: Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan, Kanwil BPN Prov. Jawa Timur

Konflik Pertanahan di Wilayah Perkebunan Kabupaten Sampel Penelitian adalah:

4.6.1. PTPN XII/Kalisanen (Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

Lokasi PT Perkebunan Nusantara XII yang menjadi obyek sengketa dikenal dengan nama Kebun Kalisanen yang masuk wilayah Kabupaten Jember. Luas tanah yang dituntut atas nama masyarakat adalah seluas ±332 Ha dari luas keseluruhan areal PT Perkebunan Nusantara XII Kebun Kalisanen 2.709,49 Ha, tetapi jika melihat kondisi faktual dilapangan hanya ±125,05 Ha yang dikuasai masyarakat sedangkan sisanya (±207 Ha) masih dikuasai pihak PTPN XII. Pada tahun 1986 melalui Menteri Dalam Negeri cq. Direktur Jenderal Agraria tepatnya tanggal 29 November 1986 telah diterbitkan SK.64/HGU/DA/1986 yang memberikan Hak Guna Usaha kepada PTP XXVI (Sekarang dilebur menjadi PTPN XII). Namun hingga beberapa tahun kemudian Hak Guna Usaha tersebut belum didaftarkan di Kantor Pertanahan Kabupaten Jember sehingga SK menjadi batal demi hukum (melewati masa pendaftaran).

Page 42: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

37

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

4.6.2. PT. Kemakmuran Swaru Buluroto (Kabupaten Blitar)

Lokasi yang menjadi obyek sengketa antara PT. Kemakmuran Swaru Buluroto dengan masyarakat dan PT. Satya Mukti Raya terletak Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar dengan inti pokok permasalahan adalah masyarakat menuntut sebagian tanah kebun seluas 412 Ha, yang dikuasai 108 Ha sedangkan sengketa terhadap PT. Satya Mukti Raya terkait dengan perolehan tanah yang mana pada tahun 1973 pernah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.70/HGU/DA/73 (Sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 1/Karangrejo) atas nama PT. Satya Mukti Raya. Adapun untuk saat ini pada tanah sebagian bekas Hak Erpacht No. 85, 88, 93, 96, 324, 325 dan 326 tertulis atas nama A Van Hoobogen & Co tersebut telah diterbitkan HGU melalui Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor: 44/HGU/BPN RI/2010 yang diberikan kepada PT. Kemakmuran Swaru Buluroto (Sertipikat HGU No. 2/Karangrejo).

Page 43: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

38

Page 44: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

39

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN5BAB VHasil Lapangan

dan Pembahasan

Page 45: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

40

BAB VHASIL LAPANGAN DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL LAPANGAN

5.1.1. DeskripsiKonflik Pertanahan Antara HGU Perkebunan Milik Negara dan Swastadengan Masyarakat di Lokasi Sampel Penelitian

5.1.1.1. Provinsi Jawa Barat

5.1.1.1.1. PT. Tutu Kekal (Kabupaten Sukabumi)

1. Riwayat Penguasaan Tanaha. Pada Mulanya Perkebunan Miramontana seluas ±1.621,8636 Ha berasal dari tanah

bekas Hak Erpacht dan Hak Opstal kemudian dikuasai/ diusahakan oleh PT Ciputat yang berkedudukan di Sukabumi. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Cq. Dirjen Agraria tanggal 1-05-968 Nomor SK. 13/HGU/1968 dibatalkan haknya dan kembali menjadi tanah yang dikuasai Negara;

b. Tanah eks PT Ciputat yang statusnya telah menjadi tanah yang dikuasai Negara dimohonkan Hak Guna Usaha oleh PT TUTU KEKAL berkedudukan di Bogor, berdasarkan Surat Keputusan Dalam Negeri tanggal 13-05-1968 No. SK 14/HGU/DA/1968, diterbitkan Sertipikat HGU sebagai berikut:

Tabel 5 Sertipikat HGU PT Tutu Kekal

No. HGU No. Eks Verponding No. Surat Ukur/Tahun Luas (Ha)

1. 5 176 343/1919 0,48802. 6 175 295/1919 0,3697

3. 7 194 472/1922 1,17404. 8 235 28/1989 173,86975. 8 679 190/1930 140,79466. 9 574 490/1991 183,94137. 9 602 451/1924 126,97048. 10 173 10/1895 69,69009. 10 211 76/1896 333,5355

10. 10 165 sisa 34/1894 169,340011. 11 50 24/1881 331,129412. 11 166 sisa 35/1894 7,660013. 12 180 492/1919 0,955014. 12 187 264/1922 0,165515. 13 303 591/1937 1,023016. 14 177 694/1919 0,7575

Sumber: Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat, 2015

c. Masing-masing Hak Guna Usaha yang telah berakhir Haknya pada tanggal 31-12-1998 dimohonkan pembaharuan Haknya oleh PT Tutu Kekal tanggal 28-05-2009 Nomor 17/TK/G/5/2009 yang disampaikan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Page 46: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

41

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Nasional Provinsi Jawa Barat pada tanggal 22-03-2011 Nomor 5/P-32/III/2011;d. Atas permohonan pembaharuan HGU oleh PT Tutu Kekal, Bupati Sukabumi melalui

Suratnya tanggal 23-04-2009, No. 593.4/941-Tapem memberikan rekomendasi perpanjangan Hak Guna Usaha atas tanah perkebunan Miramontana An. PT Tutu Kekal dengan catatan:1) Menyelesaikan garapan masyarakat yang berada di lahan HGU dengan cara

musyawarah dalam kondisi yang kondusif dan tidak merugikan kedua belah pihak;2) Dari seluruh areal ±1.617,6249 Ha yang dimohon peruntukannya ditentukan

sebagai berikut:a) Seluas 1521 Ha termasuk 65 Ha dalam bentuk sawah tadah hujan yang

pengelolaannya dimitrakan dengan karyawan sekitar dan seluas 21 Ha dalam bentuk Situ/cekdam yang dalam pengelolaannya dikerjasamakan dengan Pemerintah Desa;

b) Agar dilakukan penyisihan sebagian lahan dari permohonan pembaharuan HGU seluas 100 Ha selanjutnya diperuntukan untuk pemukiman, fasilitas sosial, fasilitas umum, sarana pengembangan pemerintah serta lahan untuk relokasi penggarap tanaman tumpang sari tahunan.

3) Tanah yang dimohonkan pembaharuan Hak Guna Usaha oleh PT Tutu Kekal telah mendapat rekomendasi dari:a) Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat dengan Surat tanggal 11-05-

2009, No. 593/1059/PPUP/2009 dan Dinas Kehutanan dan perkebunan Kab. Sukabumi tanggal 19-02-2009 No. 525/208/P.Bun

b) Kepala Dinas Kehutanan danPerkebunan Kabupaten Sukabumi tanggal 19-02-2009 No. 525/208/P-Bun dan Tanggal 26-01-2011 No. 525/121-P.Bun.

4) Letak tanah yang dimohon pembaharuan HGU oleh PT Tutu Kekal semula sesuai Sertipikat HGU No 10/Jampang Tengah, HGU No. 5 sampai dengan 12/Purabaya, HGU No. 8 sampai dengan 14 /Cibaregbeg, Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi tanggal 21-01-2001 No. 01/2001 menjadi terletak di Desa Cijulang kecamatan Jampang Tengah, Desa Hegarmanah, Desa Cibaregbeg, Desa Datarnangka, Desa Puncak Manggis Kecamatan Sagaranten, desa Pagelaran, Desa Purabaya, Desa Neglasari kecamatan Purabaya.

2. Lokasi HGU Perusahaan PerkebunanMeliputi beberapa kecamatan yang seluruhnya masuk kedalam Kabupaten Sukabumi. Adapun lokasi kebun tersebut berada di:a. Desa Cijulang Kebun Jampang Tengahb. Desa Pagelaran, Purbaya dan Neglasari Kecamatan Purabayac. Desa Puncak Manggis, Cibaregbeg, Hegarmanah dan Datar Nangka Kecamatan

Sagaranten.Sedangkan apabila ditinjau dari segi batas-batas lokasi maka lokasi perkebunan memiliki batas sebagai berikut:a. Utara:

1) Tanah milik masyarakat Desa Purbaya2) Tanah HGU PTPN VIII Afdeling Artana

b. Selatan: Tanah HPH Perum Perhutanic. Timur: Tanah milik masyarakat Desa Pagelaran, Desa Cijulang

Page 47: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

42

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PT Tutu Kekal dengan Masyarakata. Klaim/okupasi kepemilikan atas tanah yang tidak dikelola PT Tutu Kekal dan digarap

oleh masyarakat untuk dimanfaatkan. Penggarapan tersebut ada yang seijin Pemegang Hak dan sebagian besar penggarapan tanpa seijin Pemegang Haknya;

b. Terdapat perbedaan luas tanah yang terdapat di dalam Sertipikat dengan hasil pengukuran oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jawa Barat;

c. Permohonan pembaharuan HGUPT. TUTU KEKAL terhambat karena terdapat Terhambatnya pengajuan pembaharuan HGU An. PT TUTU KEKAL akibat adanya gugatan di pengadilan Tata Usaha Negara Bandung dengan Perkara tanggal 29-09-201 No. 08/G/2011 Jo. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta dengan Perkara tanggal 11-04-2012 No. 256/B/2011/PT.TUN-Jkt terhadap Surat Ijin Usaha Perkebunan (SIUP) An. PT TUTU KEKAL yang dikeluarkan oleh Bupati Sukabumi (SK Bupati Sukabumi tanggal 02-07-2009 No. 525/Kep.368-Dishutbun/2009);

d. Sejak tahun 1986 sampai dengan 1999, pihak perkebunan tidak membayar pajak PBB yang tercatat sebesar Rp. 102.376.343, (Seratus Dua Juta Tiga Ratus Tujuh Puluh Enam Ribu Tiga Ratus Empat Puluh Tiga Rupiah).

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Pada tanggal 24-02-2010 terhadap tanah yang dimohon telah diadakan pengukuran

secara Kadastral oleh Tim Pengukuran Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi.

d. Barat: Tanah milik masyarakat Desa Puncak Manggis, Desa Sagaranten

Lokasi kegiatan penggarapan tanah oleh masyarakat untuk dimanfaatkan, dimana penggarapan tersebut ada yang seizin pemegang hak dan sebagian besar tanpa seizin pemegang hak terdapat di beberapa desa dan kecamatan, antara lain:

Tabel 6 Lokasi Penggarapan Oleh Masyarakat di Tanah HGU

No. Desa Kecamatan

1. Neglasari Purabaya2. Pagelaran Purabaya3. Purabaya Purabaya4. Datar Nangka Sagaranten5. Hegarmanah Sagaranten6. Cibaregbeg Sagaranten7. Puncak Manggis Sagaranten8. Cijulang Jampang Tengah

Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat, 2015

Tabel 7 Luasan Hasil Pengukuran Kadastral

No. No Peta Nomor Identifikasi Bidang Luas (M2)

1. 01/2010 10.13.00.00.00015 s/d 10.13.00.00.00025 5.365.7732. 02/2010 10.13.00.00.00026 3.132.6483. 03/2010 10.13.00.00.00027 s/d 10.13.00.00.00034 6.516.991

Jumlah 15.015.412Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat 2015

Page 48: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

43

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Terhadap Sertipikasi tanah Melalui program Prona ini yang menjadi dasar penerbitan Sertipikat adalah adanya Rekomendasi Bupati Sukabumi tanggal 23-04-2009 No. 593.4/941-Tapem posita 7.b yakni ”Seluas kurang lebih 100 Ha agar disisihkan/dikeluarkan dari permohonan HGU, selanjutnya diperuntukan bagi pemukiman, Fasos, Fasum sarana pengembangan pemerintahan serta lahan untuk relokasi penggarap tanaman tumpang sari tahunan yang pengaturannya akan ditentukan kemudian”

d. Selanjutnya, untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial telah dialokasikan sesuai dengan pengaturan penyisihan Lahan yang keluarkan oleh Bupati Kabupaten Sukabumi melalui Surat Keterangan tanggal 15-01-2010 No. 590/57.A-Tapem/2010 dengan hasil sebagai berikut:

b. Dari hasil pengukuran terdapat perbedaan luas antara luas dalam Sertipikat (16.176.249 M2) dengan hasil pengukuran oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Jawa Barat (15.015.412 M2), Hal ini disebabkan adanya pergeseran letak batas bidang tanah maupun dipergunakan untuk fasilitas jalan umum dan dipergunakan oleh pihak lain;

c. Pada Tahun 2012 telah diadakan Sertipikasi tanah di lokasi Perkebunan Miramontana (PT TUTU KEKAL) melalui Program PRONA dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 8 Sertipikat Prona di Lokasi Perkebunan PT Tutu Kekal

No. Desa Kecamatan Jumlah Bidang Luas (M2)

1. NeglaSari Purabaya 359 101.6012. Pagelaran Purabaya 110 87.3013. Purabaya Purabaya 131 43.677

4. Datar Nangka Sagaranten 70 11.0655. Hegarmanah Sagaranten 582 146.2776. Cibaregbeg Sagaranten - -7. Puncak Manggis Sagaranten 95 14.0748. Cijulang Jampang Tengah 226 237.792

Jumlah 1573 641.787Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat 2015

Tabel 9 Alokasi Luas Penyisihan Lahan

No. Desa Kecamatan Peruntukan Luas (M2)

1. Neglasari Purabaya Tempat Pemakaman Umum 10.000 Lapangan Sepak Bola 10.000 Sarana Pendidikan 10.000 Sarana Pengembangan Perekonomian Desa

40.000

2. Pagelaran Purabaya Sarana Pendidikan 30.000 Tempat Pemakaman Umum 3.400 Lapangan Sepak Bola 10.000 Sarana Pengembangan Perekonomian Desa

9.580

Masjid/musollah 960 Sarana Peternakan 5.000

Page 49: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

44

No. Desa Kecamatan Peruntukan Luas (M2)

3. Purabaya Purabaya Rumah Dinas Polsek 1.440

Kantor Camat dan Rumah Dinas 3.240 Kompleks M.A.N 6.000 Kompleks SMPN 6.000 Masjid Agung 5.000 Kantor Koramil 3.000 Kantor Dinas Pendidikan 2.500 Kantor Dinas Keluarga Berencana 2.500 Kantor Urusan Agama 2.500 UPTD Puskesmas 2.500 Kantor Bersama Keagamaan 2.500 K.N.P.I 800 K.O.N.I 800 P.W.R.I 800 L.V.R.I 800 Terminal 5.000 Pasar 5.000 Polsek 2.000 Gedung Olah Raga 10.000 UPTD Pertanian 6.000 Perumahan Karyawan 19.620 Lapangan Sepak Bola 12.000

4. Puncak Manggis Sagaranten Tempat Pemakaman Umum 5.000 Sarana Pertanian 5.000

5. Cibaregbeg Sagaranten Tempat Pemakaman Umum 2.600 Sarana Pertanian 5.000 Lapangan Sepak Bola 10.000

6. Hegarmanah Sagaranten Sarana Pendidikan 1860 Tempat Pemakaman Umum 5.000 Sarana Pertanian 7.500 Lapangan Sepak Bola 15.000 Masjid/Musholla 1.981

7. Datarnangka Sagaranten Sarana Pendidikan 10.000 Sarana Perkemahan Pramuka 50.000 Sarana Pertanian 45.350 Lapangan Sepakbola 10.000

8. Cijulang Jampang Tengah Sarana Pendidikan 40.000 Sarana Perkemahan Pramuka 20.000 Tempat Pemakaman Umum 10.000 Sarana Pertanian 20.000

Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat, 2015 dan pengolahan data Puslitbang Kementerian ATR, September, 2015

Terhadap Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial yang terdapat di Kecamatan Purabaya Pihak Pemerintahan Kecamatan Purabaya melalui Surat tanggal 20-02-2013 No 600/084-PMD/II/2013 telah megusulkan Revisi Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Kecamatan Purabaya Kepada Kepala Dinas Tata Ruang Pemukman dan Kebersihan Kabupaten Sukabumi. Untuk penyisihan lahan untuk fasilitas Umum (Fasum) dan Fasilitas Sosial (Fasos) yang

Page 50: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

45

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

5. Solusi Penyelesaian Konflik PertanahanSaat ini telah dilakukan kegiatan mediasi yang mana saat pengajuan pembaharuan HGU, PT Tutu Kekal bersedia meng-enclave tanahnya seluas 1.304.912 m2 untuk dapat digunakan pada kegiatan kemasayarakatan (fasilitas umum dan fasilitas sosial) dan sumber penghidupan masyarakat sekitar.

5.1.1.1.2. PT. Perkebunan Nusantara VIII/Dayeuhmanggung (Desa: Mekarmukti, Sukamukti, Dangiang, Dayeuhmanggung dan Mekarsari, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat)

1. Riwayat Penguasaan Tanaha. PTP VIII/Dayeuhmanggung (dahulu PTP XIII) memiliki luas 402, 6575 Ha yang terletak

di Desa Dayeuhmanggung Kecamatan Cilawu semula merupakan tanah negara bekas kawasan hutan RPH Cilawu milik kehutanan hasil tukar menukar dengan HGU 22,25, 27,29 dan sebagian HGU 7 dan HGU 8 atas nama PTP XIII (sekarang PTP VIII) seluas 596,25 Ha yang terletak di Kecamatan Cisompet Kabupaten Garut. Didalam tukar menukar areal tanah tersebut telah dibuatkan Berita Acara dengan Peta Situasi Tanda Batas oleh Kepala Brigade Planologi Kehutanan Jawa Barat tanggal 23 Juni 1976;

b. Pada tahun 1978 PT. Perkebunan XIII mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah seluas 402,6575 Ha tersebut kepada Menteri Dalam Negeri cq. Direktur Jenderal Agraria melalui Direktorat Agraria Propinsi Jawa Barat sesuai surat tanggal, 20-03-1978 No. B.II/148/1978;

c. Pada tahun 1985 terbit Surat Keputusan Pemberian HGU dari Menteri Dalam Negeri No. SK.59/HGU/DA/85 tanggal, 13 Desember 1985;

d. PT. Perkebunan XIII hingga saat ini tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam Diktum Ketiga, Keempat dan Kelima Surat Keputusan Pemberian HGU dari Menteri Dalam NegeriNo. SK.59/HGU/DA/85 tanggal, 13 Desember 1985 salah satunya adalah mendaftarkan HGU ke Kantor Agraria Kabupaten Garut;

e. Pada tahun 2008 PTPN VIII (Persero) mengajukan permohonan Perpanjangan SK. HGU atas tanah tersebut diatas kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional RI. melalui Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat sesuai surat tanggal, 6 Pebruari 2008 No.

telah dialokasikan oleh Bupati melalui Surat Keterangan tanggal tanggal 15-01-2010 No. 590/57.A-Tapem/2010 secara fisik sebagian Fasum dan Fasos telah dikuasai dan dipergunakan sesuai dengan peruntukannya, tetapi Pihak Perkebunan Miramontana belum memberikan pelepasan Haknya terhadap Fasum dan Fasos tersebut.

e. Terhadap tanah yang dimohon baik melalui program Prona, Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial telah dilakukan Deliniasi oleh Tim Pengukuran Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Jawa Barat dengan Luas 1.304.912 m2 dengan Nomor Peta Sebagai berikut:

Tabel 10 Luas Tanah Enclave

No. Nomor Peta Luas (M2)

1. 13 484.7602. 14 307.5193. 15 512.633

Jumlah 1.304.912Sumber: Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat

Page 51: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

46

SB/D.III/415/II/2008, akan tetapi secara fisik dilapangan telah terjadi penggarapan dan penguasaan oleh petani sekitar kurang lebih 100 Ha (± 700 Kepala Keluarga)

f. Berdasarkan Surat Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi Jawa Barat tanggal, 28-12-2012 No. 2096/10-32.300/XII/2012 yang ditujukan kepada Direksi PTPN VIII (Persero) permohonan perpanjangan HGU PTPN VIII (Persero) tersebut belum bisa diproses lebih lanjut karena berkas permohonannya belum lengkap.

2. Lokasi HGU Perusahaan Perkebunan

Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Garut, 2015

Gambar 2. Lokasi Perkebunan PT. Perkebunan Nusantara VIII/ Dayeuhmanggung

Page 52: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

47

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Garut, 2015

Gambar 3. Lokasi Permasalahan Tanah dengan Masyarakat

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PTPN VIII/Dayeuhmanggung Dengan Masyarakata. Batas-batas penguasaan tanah PTP VIII/Dayeuhmanggung yang tidak ada satu kejelasan

karena tidak ada patok-patok batas tanah yang terpasang sehingga masyarakat sekitar merasa kalau luas tanah perkebunan melampaui luasperkebunan yang sebenarnya. Kondisi seperti ini membuat masyarakat menuntut dilakukan pengukuran oleh BPN;

b. Terjadi pembakaran dan pembabatan tanaman teh seluas ±3 Ha yang dilakukan oleh masyarakat sekitar di Perkebunan PTP VIII/Dayeuhmanggung pada tanggal 24 September 2012. Indikasi terjadinya konflik sebenarnya sudah cukup lama, akan tetapi puncaknya terjadi pada tanggal, 24 September 2012;

c. Sebagai akibat pembakaran dan pembabatan tanaman teh tersebut kondisi keamanan dilokasi konflik menjadi tidak kondusif dan akhirnya pihak PTPN VIII meminta bantuan keamanan ke POLDA Jawa Barat dan dikirim Pasukan BRIMOB POLDA JABAR ke lokasi konflik dengan harapan agar situasimenjadi kondusif;

d. Pada akhirnya masyarakat mengadu kepada LSM Serikat Petani Pasundan (SPP) dan sejak saat itu maka kepentingan masyarakat dalam kaitannya dengan konklik tersebut diadvokasi oleh LSM SPP sampai saat ini. Situasi yang tidak kondusif ini membuat LSM Serikat Petani Pasundan (SPP) tampil yang mengatasnamakan masyarakat sekitar yaitu petani penggarap untuk membela masyarakat sekitar yang merasa tertindas hak-haknya sebagai warga negara yang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan hakatas tanah karena negara menjamin hak tersebut untuk kesejahteraan rakyat;

e. Batas-batas penguasaan tanah PTP VIII/Dayeuhmanggung yang tidak ada satu kejelasan karena tidak ada patok-patok batas tanah yang terpasang sehingga masyarakat sekitar merasa kalau luas tanah perkebunan melampaui luas perkebunan yang sebenarnya. Kondisi seperti ini membuat masyarakat menuntut dilakukan pengukuran oleh BPN;

Page 53: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

48

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Pada tanggal, 10 Oktober 2012 diadakan Rapat Koordinasi di Pemda Kab. Garut yang

dihadiri oleh Pihak Pemda, Muspida, Komisi A DPRD Kab. Garut, Dinas Perkebunan, Kantor Pertanahan Kab. Garut, Camat Cilawu dan SPP. Hasilnya adalah sebagaiberikut:1) Perlu mengaktifkan dan mengoptimalkan kinerja Tim Penyelesaian Masalah

Pertanahan Kab. Garut.2) Dalam pengajuan permohonan perpanjangan HGU, Rekomendasi Pemda Garut

untuk lebih teliti dan berhati-hati.3) Musyawarah merupakan hukum yang tertinggi.4) Keberadaan BRIMOB di PTPN VIII Kebun Dayeuhmanggung untuk ditinjau kembali.

b. Diadakan mediasi yang dipimpin oleh Sekda Kab. Garut selaku Ketua Tim Koordinasi Penyelesaian Masalah Pertanahan Kab. Garut yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara kesepakatan yang isinya sebagai berikut :1) Para Penggarap tidak akan memperluas lahan garapannya dan tidak akan merusak

asset PTPN VIII/ Dayeuhmanggung.2) Pihak PTPN VIII/Dayeuhmanggung tidak akan menanam tanaman baru diluar

tanah yang bukan haknya.5. Solusi Penyelesaian Konflik Pertanahan

a. PTPN VIII/Dayeuhmanggung segera menarik Pasukan BRIMOB dari lahan garapan paling lambat 4 (empat) hari setelah kesepakatan ini;

b. Pemerintah Daerah/ Tim Koordinasi Penyelesaian Masalah Pertanahan Kab. Garut akan segera bekerja dimulai 7 (tujuh) hari setelah penandatanganan kesepakatan ini;

c. Seluruh fihak terkait berkewajiban melakukan sosialisasi dan pengawasan dalam pelaksanaan kesepakatan ini;

d. Semua fihak selalu menjalin komunikasi dan koordinasi yang intensif dalam rangka pelaksanaan kesepakatan ini;

e. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai kondisi fisik di lapangan pada tanggal 23 Oktober 2012 telah dilakukan peninjauan lapangan oleh Tim Koordinasi Penyelesaian Masalah Pertanahan Kab. Garut;

f. Dilakukan audiensi di DPRD Kab. Garut pada tanggal, 21 November 2012 yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara yang isinya sebagai berikut :1) Pihak Serikat Petani Pasundan (SPP) meminta kepada DPRD Kab. Garut dan

Muspida dalam hal ini pihak Kepolisian untuk mengevaluasi kembali keberadaan BRIMOB yang ada di lapangan/lokasikonflik.

2) Proses hukum berjalan terus dan mohon kepada Kepolisian agar warga yang ditahan untuk diberikan penangguhanpenahanan untuk menjaga ketenangan masyarakat.

3) Meminta agar Pemda dan BPN untuk membantu proses penyelesaian konflik tanah secara administrasi.

4) Meminta penyelesaian konflik ini melalui jalur mediasi.g. Pada tanggal, 21 Desember 2012 ada Rapat Kerja dengan KOMNAS HAM kesimpulan

Rapat Kerja dalah sebagai berkut:1) KOMNAS HAM akan melaksanakan mediasi kedua dengan menghadapkan para

pihak (penggarap diwakili oleh LSM SPP) dengan Administratur Perkebunan Dayeuhmanggung dengan fasilitas oleh Tim Koordinasi Penyelesaian Masalah Pertanahan Kabupaten Garut.

Page 54: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

49

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

2) BPN Kanwil Jawa Barat melalui Kantor Pertanahan Kabupaten Garut akan meminta pihak Direksi PTPN VIII untuk segera melengkapi persyaratan administrasi dalam permohonan perpanjangan HGU PTPN VIII Dayeuhmanggung.

h. Diadakan Mediasi di Kantor Pertanahan Kab. Garut tanggal, 4 Januari 2013 yang hasilnyadituangkan dalam Berita Acara sebagai berikut :1) Untuk melakukan cek lokasi guna menentukan batas antara lahan garapan

masyarakat dengan tanah PTPN VIII/Dayeuhmanggung yang dijadwalkan pada hari Kamis, tanggal 10 Januari 2013.

2) Hasil mediasi ini agar dilaporkan ke Tim Koordinasi Penyelesaian Masalah Pertanahan Kabupaten Garut untuk ditindaklanjuti.

3) Dilaporkan ke Kanwil BPN Prop. Jabar sebagai bahan masukan dalam proses pengajuan Perpanjangan HGU.

4) Pihak Perkebunan tidak melakukan pelarangan penggarapan kepada masyarakat melalui BRIMOB di Wilayah garapanmasyarakat terhitung tanggal 5 Januari 2013.

5) Dengan kesadaran, masyarakat akan mengganti pola tanam di bawah binaan Dinas Perkebunan. Dilakukan mediasi oleh KOMNAS HAM bersama Tim Penanganan Permasalah Pertanahan Kab. Garut tanggal27-02-2013 dengan salah satu Direksi PTPN VIII Dayeuhmanggung, Instansi Terkait, Kapolres, Dandim, masyarakat penggarap dan LSM SPP.Dalam mediasi ini KOMNAS HAM merekomendasikan agar dari luas tanah 402 Ha. tersebut untuk diberikan hak garap kepada masyarakat seluas 202 Ha pemanfaatannya berdasarkan pola kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak masyarakat penggarap dengan pihak perkebunan Dayeuhmanggung dan sisanya tetap dalam penguasaan PTPN VIII dan hal ini akan dijadikan bahan dalam rapat dengan Direksi PTPN VIIIdi Bandung.

6) Tanggal, 28 Juni 2013 diadakan mediasi di Tingkat Propinsi Jawa Barat bertempat di Hotel Guci Bandung dengan mediator KOMNAS HAM kesepakatan yang dihasilkan antara masyarakat melalui SPP dengan PTPN VIII adalah sebagai berikut:a) Para pihak sepakat penyelesaian konflik ditempat dengan mekanisme

pemanfaatan dan pengelolaan lahan seluas 202 Ha. selama jangka waktu 25 tahun (sesuai jangka waktu HGU).

b) Selama kesepakatan belum mendapat persetujuan pihak berwenang para pihak saling berkomunikasi, menjaga kebersamaan dan saling menjaga keamanan dan Kondusifitas.

c) Pola pemanfaatan dan pengelolaan, jaminan keberlangsungan serta hal-hal lain yang dipandang perlu akan diatur kemudian oleh para pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan akan dibahas pada mediasi selanjutnya.

d) Berdasarkan poin 1, 2 dan 3, maka masyarakat melalui SPP dan Pemerintah Kab. Garut mendukung kelancaran proses penerbitan HGU atas nama PTPN VIII (Persero) yang sudah diajukan kepada BPN.

e) Dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak ditanda-tangani kesepakatan sementara ini penyelesaian teknis lapangan terkait subyek dan obyek tanah dikoordinasikan dengan Tim Koordinasi Penanganan Masalah Pertanahan Kabupaten Garut dan Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat.

f) Untuk mempermudah koordinasi penyelesaian di lapangan perlu di tunjuk PIC

Page 55: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

50

yang terdiri dari Nurkholis (Koordinator Sub Komisi mediasi KOMNAS HAM, Sekda Garut, Sekjen SPP dan Agus Iskandar Kabag Hukum dan Umum PTPN VIII/Dayeuhmanggung.

g) Masing-masing pihak menyiapkan konsep secara rinci terkait penyelesaian untuk dijadikan bahan pembahasan draft akhir kesepakatan.

7) Tanggal 27 Agustus 2013 diadakan pertemuan kaukus antara para pihak denganTim Koordinasi Penanganan Masalah Pertanahan Kab. Garut, Dinas Instansi terkait, aparat Keamanan dengan fasilitator KOMNAS HAM.Hasil pertemuan tersebut antara lain:a) Mengadakan pembahasan kesepakatan final melalui konsultasi dan

menampung saran dari audien.b) Melakukan validasi para calon petani penggarap yang dilakukan oleh Tim

Koordinasi Penanganan Masalah Pertanahan Kab. Garut beserta SPP dengan melibatkan Camat dan Kepala Desa setempat.

c) Sosialisasi hasil kesepakatan kepada msyarakat penggarap oleh SPP dan hasilnya masyarakat menerima hasil kesepakatan tersebut.

d) Para Penggarap siap menjaga kondusifitas dan tidak memperluas garapan.e) Tim Penanganan Masalah Pertanahan Kab. Garut setelah menerima masukan

dari berbagai fihak termasuk KOMNAS HAM akan segera membuat draft nota perjanjian antara PTPN VIII Dayeuhmanggung dengan masyarakat Penggarap.

8) Tanggal 13-03-2014 bertempat di BTC Hotel Bandung telah diadakan pertemuan kaukus antara para pihak dengan Tim Koordinasi Penanganan Masalah Pertanahan Kabupaten Garut, Dinas Instansi terkait, aparat keamanan dan KOMNAS HAM dalam rangka pembahasan materi Kesepakatan final Perjanjian Kerjasama Pemanfaatan Lahan, di mana pembahasan tersebut akan ditindaklanjuti pertemuan selanjutnnya yang bertempat di Jakarta dengan mengundang Deputi BPN RI dan Kanwil BPN Provinsi Jawa Barat yang pelaksanaannya akan dijadwalkan setelah Pemilu;

9) Penyelesaian konflik pertanahan PTPN VIII Dayeuhmanggung oleh Komnas HAM akan dijadikan contoh secara nasional di dalam penyelesaian konflik Pertanahan antara PTPN dengan masyarakat;

10) Tanggal 18 Agustus 2014, bertempat di Ruang Rapat Paripurna Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI di Jakarta telah diadakan pertemuan tindak lanjut upaya mediasi yang dihadiri oleh Sekda Kabupaten Garut, Perwakilan Kementrian BUMN, Kasubdit Deputi Bidang V BPN RI dan jajarannya, Direksi PTPN VIII beserta Jajarannya, Kabid PPSKP Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Barat dan jajarannya, Perwakilan Serikat Petani Pasundan/SPP, Kepala Seksi SKP Kantor Pertanahan Kabupaten Garut beserta jajarannya dan Tim Koordinasi Penyelesaian Masalah Pertanahan Kabupaten Garut, dengan kesimpulan sebagai berikut :a) Terhadap tanah seluas 30 Ha. yang terletak di Blok Legok Haji perlu dilakukan

pengecekan ke lapangan melalui pengukuran, di mana pelaksanaan pengukurannya dimulai minggu depan;

b) Mengenai masalah pengajuan jangka waktu 5 (lima) tahun dalam kerjasama akan menunggu persetujuan dari Serikat Petani Pasundan/SPP sebagai pendamping petani penggarap dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama;

c) Masih diperlukan pertemuan teknis di Kabupaten Garut antara Pemerintah Daerah Kabupaten Garut dengan BPN, PTPN VIII/Kebun Dayeuhmanggung

Page 56: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

51

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

dan SPP untuk membahas pengukuran, jangka waktu, dan tindak lanjut hasil pengukuran khususnya terhadap tanah seluas 30 Ha. Yang terletak di Blok Legok Haji, apakah masuk di dalam HGU atau di luar HGU;

d) Perlu pembahasan lebih lanjut tentang Pola Kerjasama dan Peran Pemerintah Daerah dalam hal:

− Pengelolaan lahan dan komoditas tanaman. − Pengawasan agar Hak Garap tidak lepas kepada Pengusaha Besar.

5.1.1.1.3. PT. Surya Andaka Mustika (SAM)/Badega, Ds.Cipangramatan, Kecamatan Cikajang; Ds.Jayabakti, Ds.Bojong & Ds.Tanjungjaya, Kecamatan Banjarwangi,Kabupaten Garut

1. Riwayat Penguasaan Tanaha. Status Tanah semula adalah Tanah Negara bekas Hak Erpacht Verponding No.177

dan 224 seluas ±498,6143 Ha tercatat atas nama NV.Cultuur Mastchappij Tjikanere berkedudukan di Jakarta, yang berakhir haknya tanggal 02 Januari 1989;

b. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Cianjur tanggal 15 April 1965 No.1/PN/1965 Amar Putusannya menyatakan bahwa Tanah Perkebunan (Erpacht) tersebut dirampas untuk Negara;

c. Atas dasar Putusan PN tersebut Tanah Perkebunan Badega oleh Negara di lelang, yang dimenangkan oleh HASANUDIN SAMHUDI sebagaimana Kutipan Risalah Lelang tanggal 14-02-1972 No.42, kemudian dibalik nama kepada pemenang lelang sekaligus dikonversi menjadi HGU selama 20 tahun, berakhir 24-09-1980. HGU yang tercatat atas nama HASANUDIN SAMHUDI:1) No. 6 / Ds.Dangiang seluas : 361,9215 Ha. 2) No. 7 / Ds.Dangiang seluas : 59,1848 Ha;3) No. 8 / Ds.Dangiang seluas : 38,2777 Ha;4) No. 9 / Ds.Dangiang seluas : 41,2307 Ha

d. Setelah HGU berakhir, HASANUDIN SAMHUDI tidak bisa memperpanjang lagi karena terbentur persyaratan, kemudian haknya dilepaskan kepada PT. Surya Andaka Mustika (PT. SAM) berdasarkan Surat Pelepasan Hak pada tanggal 19-10-1984 No.30076 yang dibuat oleh Notaris Masri Husein, SH;

e. PT. SAM kemudian mengajukan permohonan HGU, pada tgl.22-10-1984, Panitia B telah mengeluarkan Risalah Pemeriksaan Tanah tgl.30-03-1985 No. 05/DA –PHT/HGU/PAN.B/1985;

f. Hasil Pemeriksaan Panitia B pada pokoknya:1) Permohonan dapat dikabulkan seluas ±450 Ha;2) Dikecualikan ±48,6143 Ha yang telah digarap oleh rakyat untuk dimiliki sesuatu

hak kepada para penggarap, sesuai dengan Surat Pernyataan dari para penggarap tgl.08-08-1984 yang diketahui oleh Kades dan Camat setempat;

g. Atas dasar Risalah Panitia B tersebut, Menteri Dalam Negeri Cq. Ditjen Agraria mengabulkan permohonan PT.SAM berdasarkan SK No. SK.33/HGU/DA/1986 tgl. 03-07-1986 tentang Pemberian HGU kepada PT.SAM, berkedudukan di Bandung seluas ±450 Ha selama 25 tahun dan akan berakhir tgl.31-12-2011;

h. Menindaklanjuti SK No. SK.33/HGU/DA/1986 tgl. 03-07-1986, untuk penerbitan Sertipikat HGU maka diadakan pengukuran dan penataan batas secara global;

i. Berdasarkan hasil pengukuran itu, diterbitkan sertipikat HGU atas nama PT.SAM

Page 57: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

52

berkedudukan di Bandung seluas 422,3065 Ha, meliputi 2 (dua) kecamatan dan empat desa, karena ada pemekaran kecamatan dan desa, yaitu:1) Kecamatan Cikajang, seluas 249,7905 Ha, terdiri dari:

a) HGU No. 6/Ds.Cipangramatan seluas 41,5420 Ha;b) HGU No. 7/Ds.Cipangramatan seluas 34,2000 Ha;c) HGU No. 8/Ds.Cipangramatan seluas 174,0485 Ha.

2) Kecamatan Banjarwangi, seluas 172,5160 Ha, terdiri:a) HGU No.1/Ds.Jayabakti seluas 34,1120 Hab) HGU No.2/Ds.Jayabakti seluas 36,2770 Hac) HGU No.1/Ds.Bojong seluas 23,5790 Had) HGU No.1/Ds.Tanjungjaya seluas 78,5480 Ha

j. Semula luasnya : 498,6143, berdasarkan HGU PT SAM diberikan seluas: 422,3065 Hadan sisanya seluas ±76,3078 Ha, direncanakan (pada waktu itu) untuk diredistribusikan kepada para petani penggarap murni sejumlah 317 KK (dari dua kecamatan Cikajang dan Banjarwangi).

2. Lokasi HGU Perusahaan Perkebunan

Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Garut, 2015

Gambar 4. Perkebunan PT. Surya Andaka Mustika (SAM)/Badega

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PT.SAM/Badega Dengan Masyarakata. Pernyataan dari Sdr. Radi tanggal 03-01-1985 yang bertindak atas nama para penggarap

menyatakan bahwa penggarapan tanah perkebunan Badega oleh masyarakat sejak tahun 1975 atas dasar Sewa Menyewa dengan pemegang HGU pada waktu itu Hasanudin Samhudi;

b. Sebelum terbitnya SK No. SK.33/HGU/DA/1986 tgl. 03-07-1986, rakyat penggarap

Page 58: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

53

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

telah mengajukan permohonan Hak Milik kepada Bupati Garut, namun dengan surat tg.14-01-1985 No.593/61/Pem permohonan tersebut tidak dikabulkan, dg alasan akan dikembalikan sebagai fungsi kebun dan sedang dalam proses untuk diberikan HGU kepada PT.SAM, hal itu didukung oleh Gubernur Jabar dg suratnya tg. 02 -09-1985 No.593.41/16176/Pem.Um.;

c. Tuntutan rakyat kembali muncul setelah terbitnya SK No. SK.33/HGU/DA/1986 tgl. 03-07-1986 yang dipelopori oleh Sdr. SUHDIN Dkk, yang tetap menuntut agar tanah perkebunan diberikan kepada mereka seluruhnya, ditandai dg gerakan pencabutan patok-patok batas tanah hasil pengukuran, pengrusakan tanaman Teh milik perkebunan serta memancangkan plakat yang bernadakan menantang kebijakan Pemerintah ;

d. Berdasarkan pengaduan dari PT.SAM kepada Kepolisian, maka dilakukan penangkapan ke-13 org penggarap yang dipandang sebagai penggerak utamanya, dan diajukan ke Pengadilan Negeri Garut;

4. Permasalahan a. Dalam SK No. SK.33/HGU/DA/1986 tgl. 03-07-1986, berakhirnya hak tanggal 31-12-

2011, akan tetapi dalam sertipikat HGU berakhir tgl. 01-09-2011, dengan demikian berkaitan dg kepastian hukum, akan mengacu kepada masa berakhir yang mana ?

b. Tanah yang digarap oleh para petani penggarap dengan tanah yang masih dikuasai oleh PT.SAM dengan tanaman Teh secara sporadik luasnya belum jelas, untuk itu harus dilakukan pengukuran terlebih dahulu, namun siapa yang harus membiayai pengukuran tersebut ?

c. Kaitan dengan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam UU No.12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 Tahun 1994, pajak dikenakan terhadap orang atau badan yang memperoleh manfaat atas tanah dan/atau bangunan, akan tetapi belum diadakan penataan terhadap subyek PBB;

d. Dari total luasan 422,3065 Ha di atas, maka yang dimanfaatkan/dikelola Perusahaan hanya seluas: 38,36 Ha, yang terpecah dalam 2 (dua) lokasi:1) Gunung Badega : 26,98 Ha2) Potongan : 11,4 Ha

Artinya sisanya termasuk dalam indikasi tanah terlantar seluas: 383,9465 Ha, pertanyaannya apakah sudah ada pengendalian dari BPN?

5. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Bupati Garut membentuk Tim Peneliti batas HGU Perkebunan Badega melalui SK

tanggal 11-11-1987 No.593.4/SK.263/Huk/1987, dan Tim tersebut telah melaksanakan tugasnya antara lain:1) Memberikan penyuluhan kepada masyarakat petani penggarap tentang status

tanah tersebut;2) Mengadakan pengecekan batas tanah HGU sekaligus menetapkan dan mengadakan

pengukuran tanah yang diperuntukkan rakyat;3) Mengadakan koordinasi, Integrasi dan Sinkronisasi dg pihak-pihak terkait.

b. Diterbitkan Sertipikat HGU an. PT. Surya Andaka Mustika berkedudukan di Bandung sebanyak tujuh buah sertipikat seluas 422,3065 Ha jangka waktu 25 th yang berakhir haknya tanggal 01-09-2011;

c. Pemerintah Daerah telah mengambil kebijakan untuk mengusulkan kepada

Page 59: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

54

Pemerintah Pusat, agar tanah yang akan diberikan sesuatu hak kepada para penggarap seluas ±76,3078 Ha, dan untuk pelaksanaan pemberian haknya akan ditentukan sesuai dengan hasil penelitian baik subyek maupun obyeknya serta ditinjau dari segi kemampuan dan tofografinya ;

d. Bila ditinjau dari segi Penatagunaan Tanah, keadaan fisik mempunyai ketinggian 1000 – 1200 dpl, secara tofografis berbukit dan bergelombang, kemiringan lereng rata-rata diatas 40%, serta berfungsi sebagai areal peresapan air yang harus dipertahankan keberadaannya sebagai fungsi kebun dan tanaman keras sesuai dg Risalah Fatwa TGT tanggal.13-02-1986 No.009/ FTGT/1986 dan Surat Bupati Garut tanggal 19-12-1988 No. 525.02/10/Pem yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Barat ;

e. Tim Koordinasi Penanganan Masalah Pertanahan Tingkat Kabupaten Garut, pada tanggal 04-05-1999 telah mengadakan penelitian lapangan yang hasilnya kondisi kenyataan di lapangan atas areal HGU tersebut sebagian besar telah menjadi pemukiman dan garapan masyarakat, sedangkan yang masih ada tanaman teh diperkirakan seluas ±60 Ha yang lokasinya sporadis;

f. Untuk melaksanakan penertiban/pemberian hak garapan seluas ±76 Ha kepada masyarakat juga belum bisa dilaksanakan sehubungan dengan:1) Pada pertemuan tanggal 04-05-1999 antara Tim dengan masyarakat petani

Badega, ternyata mereka menolak dan menginginkan seluruh areal perkebunan seluas ±498 Ha untuk dibagikan kepada masyarakat;

2) Kondisi Fisik areal perkebunan tersebut secara tofografis bergelombang dan berbukit dg kemiringan tanah rata-rata diatas 40 % ;

g. Pada tanggal08-07-2010 dengan surat No. 217/500-32.05/ VII/2010 telah dilaporkan ke Kanwil BPN Prov. Jawa Barat mengenai Validasi Data Tekstual dan Spasial atas nama PT. SAM yang dilaporkan ± 70 % terindikasi Terlantar;

h. Kemudian ditetapkanlah lokasi Penertiban Tanah Terindikasi Terlantar di Jawa Barat dg SK Kakanwil BPN Prov. Jabar No.48/KEP-32.16/II/2011 tanggal 22-02 -2011 tentang Penetapan Lokasi Penertiban Tanah Terlantar Provinsi Jawa Barat Tahun 2011, diantaranya Tanah Badega atas nama PT. SAM yang telah berakhir haknya tgl. 01-09-2011;

i. Pada hari Kamis tanggal 6 Oktober 2011, telah dilaksanakan Sidang Panitia C di Kantor Pertanahan Kabupaten Garut dalam Rangka Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terindikasi Terlantar. Pada kesempatan itu telah dipaparkan hasil identifikasi dan penelitian terhadap obyek tanah yang diduga terindikasikan terlantar sebagai berikut :PT. Surya Andaka Mustika seluas 422,3100 Ha yang terletak di : Desa Cipangramatan, Kecamatan Cikajang, Desa Jayabakti, Desa Bojong dan Desa Tanjungjaya Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, yang berakhir haknya tanggal 01-09-2011. Berdasarkan hasil identifikasi lapangan bahwa tanah tersebut seluas ±385,5600 Ha dikuasai oleh masyarakat yang dipergunakan untuk menanam sayuran, sedangkan seluas ±38,7500 Ha masih dikuasai oleh pemegang hak yang ditanami Teh.

Pada hari Kamis tanggal 20-10-2011 diadakan dialog terbuka yang bertempat di Lapangan Sepak Bola Kampung Negla, Ds. Cipangramatan, Kec.Cikajang, dalam rangka memperingati 25 tahun perjuangan rakyat Petani Badega yang tergabung dalam Serikat Petani Badega (SPB). Dalam acara tersebut juga dihadiri oleh para Pegiat

Page 60: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

55

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Agraria yang terdiri dariKonsorsium Pembaruan Agraria (KPA), PELIHARA dan SPP serta sebagai pendamping adalah LBH Bandung;

Dari jajaran BPN RI diwakili oleh Staf Khusus Bidang Hukum Bpk. Usep Setiawan, yang mengemukakan Tanah Badega akan masuk dalam target prioritas penertiban tanah terlantar dari BPN RI, kepada masyarakat agar bersabar karena ada tahapan-tahapan dalam penertiban tanah-tanah terlantar, kemudian mayarakat Badega agar menyiapkan konsep pengembangan usaha ekonomi yang lebih maju lagi agar keadilan dan kesejahteraan rakyat Badega bisa tercapai.

6. Solusi Penyelesaian Konflik Pertanahana. Kepada para petani penggarap diberikan pengertian dan penyuluhan agar perjuangan

yang bertahun-tahun itu tidak sia-sia, maka terhadap kepemilikan tanah agar tidak dialihkan kepada pihak lain di luar petani Badega;

b. Disarankan bagi para petani penggarap Badega agar segera membentuk Koperasi dan/atau Badan Hukum yang dapat menjadi subyek hak atas tanah, terutama kepemilikan bersama seperti HGU, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah.

5.1.1.2. Provinsi Sumatera Utara

5.1.1.2.1. PT Bridgestone (Kabupaten Serdang Bedagai)

1. Riwayat Tanaha. Areal perkebunan merupakan bagian tanah Perkebunan Naga Raja yang semula bekas

konsesi dengan luas 3.120,64 Ha, terletak di Kecamatan Sipispis, Kabupaten Deli Serdang, diberikan berdasarkan surat perjanjian antara ZELFBESTUUR Deli dengan NV. Tabak My Areanburg tanggal 12 Desember 1899 No. 208 untuk jangka waktu 75 tahun;

b. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 1965, tanah Perkebunan Naga Raja tersebut berada dalam pengawasan dan penguasaan pemerintah dan kemudian berdasarkan Agreement antara Pemerintah Indonesia dengan The Goddyear Tire & Rubber Coy Akron Ohio, USA tanggal 10 Oktober 1967 pemilikan dan pengusahaan dengan kesanggupan pemerintah memberikan Hak Guna Usaha selama 30 tahun terhitung sejak tanggal 1 Oktober 1967 sebagaimana tercantum dalam artikel 4 huruf a dalam Agreement dimaksud;

c. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 2/HGU/DA/80 tanggal 2 Januari 1980 diberikan Hak Guna Usaha kepada NV. Goodyear Sumatera Plantations Company LTD berkedudukan di Medan untuk tanah seluas 3.120,64 Ha yang berakhir haknya pada tanggal 31 Desember 1997 sebagaimana yang tertuang dalam Sertipikat HGU No. 1/Nagur Pane tanggal 15 Oktober 1982;

d. HGU No.1/Nagur Pane tanggal 15 Oktober 1982 tersebut kemudian telah diperpanjang haknya sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114/HGU/BPN/1997 tanggal 16 September 1997 selama jangka waktu 25 tahun untuk tanah seluas 2.846,73 m2 sebagaimana Sertipikat HGU No. 1/Nagarai Pane.

Page 61: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

56

Sumber: Kanwil Provinsi Sumatera Utara, Gambar. Peta Kebun PT. Bridgestone

Gambar 5. Peta Situasi Khusus HGU PT. Bridgestone

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PT Bridgestone dengan Masyarakata. Terdapat selisih luas antara HGU Nomor 1/Nagur Pane dengan luas HGU

perpanjangannya yaitu HGU Nomor 1/Nagarai Pane yaitu 3.119,38 Ha - 2.846,37 Ha = 273,01 Ha dimana areal tersebut telah dikeluarkan untuk perkampungan, sempadan sungai dan sekolah dasar;

b. Masyarakat menuntut kembali areal seluas 273,01 Ha dengan alasan bahwa masyarakat hingga saat ini belum pernah menerima pembebasan tanah dari Perkebunan Naga Raja hingga saat ini;

c. Semula masyarakat Desa Tinokah menuntut pengembalian lahan milik mereka seluas ±400 Ha yang merupakan bekas perkampungan dan perladangan yang terletak di Kampung Sorba Jahe/Naga Tongah, Sihora-hora, Kecamatan Sipispis dimana menurut mereka pada tahun 1920 telah diambil paksa oleh penjajah Belanda sehingga mereka terusir ke Kampung Tinokkah dan Kampung lainnya dan sejak tahun 1967 areal tersebut kemudian dikuasai oleh PT Good Year (Sekarang PT Bridgestone);

d. Areal perkampungan dan perladangan yang terletak di Kampung Sorba Jahe/Naga Tongah, Sihora-hora, Kecamatan Sipispis tersebut pernah ditanami masyarakat berupa tanaman rambung, nibung, enau, dan lain-lain, dan juga terdapat kuburan sebanyak 28 buah, termasuk kuburan dari keturunan raja (Pertuanan) yakni bermarga Damanik;

e. Areal seluas 273,01 Ha yang telah dikeluarkan dari HGU Nomor 1/Nagarai Pane merupakan bagian dari lahan seluas ±400 Ha yang dituntut oleh masyarakat tersebut;

2. Lokasi HGU PerkebunanLokasi HGU PT. Bridgestone yang dahulu merupakan PT. Goodyear terdapat di Kecamatan Sipispis. Adapun gambar lokasi perkebunan tersebut adalah sebagai berikut.

Page 62: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

57

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan Upaya penanganan penyelesaian telah dilakukan oleh tim internal Badan Pertanahan Nasional (Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan) pada tanggal 19 April 2012 dengan beberapa rekomendasi sebagai berikut:a. Untuk antisipasi mengurangi konflik ditanah seluas 226,85 Ha disarankan agar

masyarakat ke 5 Desa (Desa Nagori, Banjarawan, Simorang, Selapuh, SD dan DAS) dilakukan pengukuran dan selanjutnya dilakukan legalisasi aset kepada pemerintah daerah dengan biaya swadaya masyarakat sesuai dengan PP 13 Tahun 2010;

b. Terhadap tanah yang dituntut masyarakat Sorba Jahe seluas 273 Ha mengingat statusnya adalah HGU No. 1/Nagur Pane dan managemen PT. Bridgestone Sumatra Rubber Estate tidak bersedia melepaskan, maka perlu diajukan gugatan melalui Badan Peradilan;

c. Apabila dikemudian hari ditemukan bukti yang menguatkan secara otentik bahwa tanah seluas 273 Ha benar-benar merupakan bekas perkampungan dan tidak dipertimbangkan dalam pemberian HGU pada pendaftaran pertama kali, maka dapat dijadikan alasan pembatalan dengan cacat administrasi;

d. Untuk mengetahui luas pembanding terhadap luas yang tercantum dalam sertipikat, maka BPN RI cq. Kantor Pertanahan Kabupaten Serdang Bedagai melakukan penelitian kembali terhadap peta dengan bantuan foto citra (google map) selambat-lambatnya 2 minggu setelah gelar ini yaitu tanggal 19 April 2012 dan hasilnya dilaporkan kepada Kepala BPN RI, Kamwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Bupati Serdang Bedagai dengan tembusan kepada Gubernur Sumatera Utara, DPRD Sumatera Utara, DPRD Serdang Bedagai, Masyarakat Desa Tinokah serta PT. Bridgestone Sumatra Rubber Estate.

Kelanjutan dari penanganan tersebut, Plt. Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan sebagaimana suratnya No. 148/25.3-500/IV/2012 tanggal 30 April 2012 yang ditujukan kepada Bupati Serdang Bedagai dan Batara Muliaa Hasibuan, SH selaku Kuasa Hukum PT. Bridgestone Sumatra Rubber Estate, perihal tuntutan atas areal HGU PT. Bridgestone Sumatra Rubber Estate menjelaskan:a. Penerbitan SK Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114/

HGU/BPN/1997 tanggal 16 September 1997 tentang pemberian perpanjangan HGU (Sertipikat No .1/Nagur Pane) seluas 2.846,73 Ha An. PT. Bridgestone Sumatra Rubber Estate yang terletak di Kabupaten Serdang Bedagai (Dahulu Kabupaten Deli Serdang) Sumatera Utara telah diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

b. Terdapat perbedaan luas antara SK No. 2/HGU/DA/80 tanggal 12 Januari 1980 seluas 3.119,38 Ha dengan SK No. 114/HGU/BPN/97 tanggal 16 September 1997 menjadi 2.846,73 Ha adanya selisih ±273 Ha adalah untuk DAS, Perkampungan dan Bangunan Sekolah Dasar;

c. Berdasarkan Peta Khusus No. 45/04/10/96 setelah diukur dan dihitung kembali ternyata luas tanah sebelumnya adalah 3.073, 58 Ha kemudian dikeluarkan untuk DAS, Perkampungan dan Bangunan Sekolah Dasar seluas 226,85 Ha sehingga luas tanah perpanjangan HGU menjadi 2.846,73 Ha.

Selanjutnya ketua DPRD Kabupaten Serdang Bedagai melalui suratnya No. 170/598.7/162/2012 tanggal 15 Mei 2012 yang ditujukan kepada Kepala BPN RI dan tembusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Serdang Bedagai pada intinya meminta

Page 63: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

58

agar segera ditindaklanjuti pengukuran lapangan untuk menentukan luas HGU yang sebenarnya untuk penyelesaian sengketa tanah atas tuntutan masyarakat Desa Tinokah terhadap PT. Bridgestone Sumatra Rubber Estate.

BPN RI melalui Plt. Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan melalui suratnya No: 1505/25.3-500/VII/2012 tanggal 12 Juli 2012 telah membalas surat Ketua DPRD Kabupaten Serdang Bedagai tersebut diatas yang pada intinya:a. Proses penerbitan Sertipikat HGU No. 1/Nagarai Pane an. PT. Bridgestone Sumatra

Rubber Estate telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana dalam PP. 24 Tahun 1997, luas dan letaknya, sebagaimana dimaksud dalam Peta GS No. 45/04/IV/1996 seluas 2.846,73 Ha merupakan hasil pengukuran kadasteral melalui pengukuran lapang (Terestis);

b. Pengukuran dapat dilakukan apabila ada persetujuan dari subyek hak (PT. Bridgestone Sumatra Rubber Estate) atau adanya putusan pengadilan;

c. Sehubungan dengan hal tersebut maka permohonan untuk melakukan pengukuran ulang atas lokasi HGU PT. Bridgestone Sumatra Rubber Estate tidak dapat dipertimbangkan kecuali memenuhi syarat sebagaimana huruf b tersebut diatas dan apabila masyarakat tetap merasa keberatan dipersilahkan menempuh upaya hukum ke pengadilan.

5.1.1.2.2. PT. Perkebunan Nusantara III/Kebun Rambutan (Kabupaten Serdang Bedagai)

1. Riwayat Tanaha. Tanah PTPN III/Kebun Rambutan dahulunya merupakan bekas Hak Konsesi NV.

RUBBER CULTUR MAATSCHAPIJ ASMTERDAM yang diuraikan dalam Peta Gambar Situasi Khusus No. 18/1998 yang luas seluruhnya 4.442,20 Ha terletak di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Deli Serdang (sebelum pemekeran);

b. Tanah tersebut semula dikuasai oleh Negara berdasarkan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda juncto Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1959 dan pengelolaannya diserahkan kepada PPN Karet V, selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1968 diserahkan kepada PN. Perkebunan V;

c. Berdasarkan Konstatering Rapport Perkebunan Rambutan tanggal 12 dan 13 Januari 1994 No. 17/PPT/B/1994 tanah tersebut telah dikuasai/dipergunakan oleh pemohon untuk perkebunan kelapa sawit dan karet serta sebagian areal tersebut seluas 68,42 Ha dipergunakan untuk kepentingan Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi, Koperasi PT. Perkebunan V, jalan umum dan lintasan rel kereta api yang dikeluarkan dari areal perkebunan tersebut sehingga luas tanah yang dapat dikabulkan untuk diberikan Hak Guna Usaha seluas 4.373,78 Hadengan Surat Ukur No. 1459/1996 tanggal 2 April 1996, merupakan kutipan dari Peta Situasi Khusus No. 46/04/IV/1994 tanggal 25 November 1994 dan berakhir haknya pada tanggal 31 Desember 2025, diterbitkan berdasarkan SK Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 51/HGU/BPN/1995 tanggal 4 agustus 1995 (Sertipikat HGU No. 1/Desa Paya Bagas, luas 4.373,78Ha);

Page 64: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

59

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Sumber: Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara, Gambar. Peta HGU PTPN III/Kebun Rambutan dan Obyek Sengketa

Gambar 6. Lokasi Permasalahn PT. Perkebunan Nusantara III/Kebun Rambutan dengan masyarakat

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PTPN III/Kebun Rambutan dengan masyarakat.a. Obyek yang diklaim oleh masyarakat seluas lebih kurang 82 Ha, merupakan bagian

dari tanah PTPN III/Kebun Rambutan (Sertipikat HGU No. 1/Desa Paya Bagas tahun 1996 dengan luas 4.373,78 Ha);

b. Adanya pengakuan dari masyarakat, dengan dasar:1) Tanah seluas ± 82 Ha merupakan tanah warisan yang dikuasai sejak tahun 1936

dan sejak tahun 1954 telah mendapat kartu Register Pendaftaran Tanah (KRPT) dari Dinas Agraria yang dilindungi Undang-Undang Darurat No. 8/1954;

2) Pada tahun 1966 tanah tersebut diambil paksa oleh PTPN III (dahulu PTPN V);3) Sejak tahun 1999 masyarakat kembali mengambil/menguasai tanah;4) Masyarakat mengakui tidak pernah menerima ganti rugi atas tanah tersebut dari

PTPN III sejak tahun 1966.

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai maupun Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah beberapa kali mengupayakan penyelesaian agar tanah seluas ± 82 Ha segera dikeluarkan dari areal HGU No. 1/Paya Bagas, jika PTPN III tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut telah diganti rugi kepada masyarakat.

Pada tahun 2001 PTPN III menggugat Bupati Deli Serdang dengan amar putusan membatalkan Surat Bupati Deli Serdang yang isinya bahwa ganti rugi kepada masyarakat

2. Lokasi HGU PerkebunanTanah yang menjadi obyek permasalahan seluas ±82 Ha terletak di Desa Paya Bagas, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai. Adapun lokasi HGU PTPN III/Kebun Rambutan dan obyek sengketa tersaji pada gambar berikut.

Page 65: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

60

seluas 82 Ha tidak benar semata-mata berpedoman data sepihak.Selanjutnya tahun 2007 PTPN III mengajukan gugatan perdata terhadap penggarapan masyarakat dan dimenangkan PTPN III dimana tergugat harus mengosongkan areal perkebunan yang dikuasai.Tahun 2009 tergugat (masyarakat) mengajukan banding, dimenangkan PTPN III dengan amar putusan gugatan Suwarno dkk ditolak seluruhnya. Adapun pada tahun 2010 PTPN III akan mengeksekusi tanah yang disengketakan sebagai pelaksanaan putusan Peradilan yang sudah inkracht, namun pada pertemuan forum pelaksanaan eksekusi tersebut pihak PTPN III meninggalkan forum dan oleh hal itu masalah eksekusi ditunda.

Selanjutnya, upaya untuk menyelesaikan permasalahan antara PTP III dengan masyarakat yang diwakili oleh Sdr. Suwarno dkk telah dilaksaknakan oleh Badan Pertanahan Nasional melalui Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan gelar kasus pada tahun 2012 (Berita Acara Pelaksanaan Gelar Kasus No. 8/BAHGP/DV/2012). Adapun kesimpulan hasil gelar kasus tersebut adalah:a. Bahwa gelar tanggal 28 Oktober 2012 dengan hasil pengukuran Super Impose

berdasarkan Peta Foto Citra Udara (Google), lokasi yang dimohonkan untuk dikeluarkan seluas ± 82 Ha berada di dalam Sertipikat HGU No. 1/Paya Bagas an. PTPN III Kebun Rambutan;

b. Hasil gelar tersebut telah diberikan tanggapan oleh pemohon yang intinya areal seluas ± 82 Ha tetap harus dikeluarkan dari HGU;

c. Badan Pertanahan Nasional setelah mendengar, memperhatikan dokumen HGU No. 1/Paya Bagas, untuk mempertimbangkan permohonan Sdr. Suwarno dkk, juga untuk mempertimbangkan putusan Badan Peradilan yang sudah inkracht.

Disamping itu terdapat rekomendasi yang disarankan untuk ditindaklanjuti. Adapun rekomendasi tersebut berupa pembentukan tim oleh Bupati Serdang Bedagai dengan melibatkan unsur BPN untuk memproses permohonan masyarakat tersebut serta perlu permohonan tertulis yang diajukan kepada Kementerian BUMN oleh Pemerintah Serdang Bedagai. Dalam perkembangan berikutnya berdasarkan SE Ka. BPN RI No. 2 Tahun 2012 tanggal 27 Desember 2012, Kanwil BPN Sumatera Utara menyarankan agar masyarakat penggarap dijadikan anggota plasma dalam areal HGU.

5.1.1.2.3. PT Perkebunan Nusantara II (Kabupaten Langkat)

1. Riwayat Tanaha. Riwayat areal PTPN II (Persero) dahulu PTP IX semula berada dibawah NV. Van Deli

Maatschappij (Deli Planters Vereniging) membentang antara Sei Wampu di Kabupaten Langkat sampai Sei Ular di Kabupaten Deli Serdang, seluas ± 250.000 Ha sebagaimana yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Agr. 12/5/14 tanggal 28 Juni 1951;

b. Kemudian atas sebagian tanah seluas ± 250.000 Ha tersebut diduduki atau digarap oleh masyarakat. Atas penggarapan tersebut berdasarkan SK. Menteri Dalam Negeri No. Agr. 12/5/14 tanggal 28 Juni 1951 menetapkan antara lain penyerahan kembali kepada Negara (Pemerintah) seluas ± 125.000 Ha yang kemudian ditindaklanjuti dengan SK. Gubernur Sumatera Utara No. 36/K/Agr tanggal 28 September 1951 yang isinya antara lain menunjuk penggunaan tanah untuk keperluan perusahaan dan yang dikembalikan kepada pemerintah (dikeluarkan). Tanah yang dikeluarkan ini (± 125.000

Page 66: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

61

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Ha) kemudian disebut tanah suguhan;c. Areal kebun PTPN II yang berada di Kabupaten Langkat terdiri atas beberapa kebun,

seperti yang tertuang dalam SK. Badan Pertanahan Nasional No. 43/HGU/BPN/2002 tanggal 29 November 2002 tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu HGU, antara lain:1) Kebun Kwala Begumit2) Kwala Bingei I3) Kwala Bingei II4) Tanjung Jati5) Tanjung Keliling6) Marike7) Glugur Langkat8) Gohor Lama I9) Gohor Lama II10) Basilam11) Timbang Langkat/Purwobinangun12) Timbang Langkat/Binjai Estate

2. Lokasi HGU PerkebunanTidak tersedia Data Peta

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PTPN III/Kebun Rambutan Dengan Masyarakata. Tahun 1997, PTPN II mengajukan perpanjangan HGU yang berada di wilayah Kabupaten

Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kota Binjai sebanyak 66 kebun seluas 62.214,79 (Kabupaten Deli Serdang: 40.754,87 Ha, Kabupaten Langkat: 21.221,40 Ha dan Kota Binjai: 238,52 Ha). Pada masa itu juga bergulir reformasi yang salah satunya berupa adanya kelompok masyarakat mengajukan tuntutan/garapan di areal PTPN II. Alasan yang mendasari tuntutan tersebut adalah pengembalian tanah bekas garapan, hak ulayat maupun permohonan pensiunan karyawan;

b. Mengingat banyaknya tuntutan dan garapan masyarakat atas areal PTPN II terutama yang diajukan ke Pemerintah, Pemerintah Daerah Sumatera Utara mengambil kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut (perpanjangan HGU PTPN II dan penyelesaian tuntutan/garapan masyarakat) dengan menerbitkan Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 593.4/065/K/2000 tanggal 11 Februari 2000 jo. 593.4/2060/K Tahun 2000 tanggal 17 Mei 2000 tentang Panitia Penyelesaian Perpanjangan HGU PTPN II dan Penyelesaian Masalah Tuntutan/Garapan Rakyat atas areal PTPN II yang juga disebut dengan Panitia B Plus;

c. Hasil identifikasi Panitia B Plus terhadap permasalahan yang ada di areal perkebunan PTPN II dapat diklasifikasikan kedalam 5 kategori, yaitu:1) Adanya tuntutan rakyat;2) Adanya garapan rakyat;3) Adanya permohonan pensiun untuk pertapakan perumahan karyawan;4) Adanya tuntutan hak ulayat masyarakat adat melayu;5) Adanya permohonan berbagai instansi pemerintah untuk pengadaan fasilitas

umum termasuk Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RUTRWK);d. Tuntutan yang didasarkan atas alas hak khsusus di Kabupaten Langkat seluas 467,40

Page 67: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

62

Ha. Adapun bukti alas hak tersebut berupa KTPPT/KRPT, SK Gubernur Sumatera Utara Tahun 1980, Inventarisasi, SK Redistribusi, SIM, SKT Bupati dan bukti lainnya (Putusan Pengadilan, Putusan Kerapatan Adat, Peta Kalk dan BPPST). Lokasi yang dituntut masih dikuasai oleh PTPN II;

e. Areal kebun yang digarap/dikuasai masyarakat di Kabupaten Langkat seluas 120,96 Ha. Adapun yang menjadi dasar terjadinya situasi tersebut adalah PTPN II tidak menggunakanya lagi sehingga tanahnya diusahakan/digarap masyarakat;

f. Areal masuk Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota di Kabupaten Langkat seluas 308,47 Ha. Dasar pertimbangan untuk dapat dikeluarkan tanah tersebut adalah Peraturan Menteri Negeara Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 Pasal 28 menyatakan bahwa permohonan perpanjangan HGU harus sesuai RTRW. RTRW sendiri telah dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan lokasi yang masuk PTPN II tersebut sebagian diarahkan untuk non pertanian;

g. Areal pertapakan perumahan pensiunan karyawan PTPN II di wilayah Kabupaten Langkat seluas 114,04 Ha. Dasar pertimbangannya adalah kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk menyikapi tuntutan pensiunan karyawan PTPN II. Disamping itu rumah tersebut benar-benar ditinggali pensiunan karyawan atau keluarganya serta telah terjadi perubahan fisik/penamabahan bangunan;

h. Areal untuk kompensasi/penghargaan kepada Masyarakat Adat Melayu di Kabupaten Langkat seluas 200 Ha. Dasar pertimbangannya adalah kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk menyikapi tuntutan Masyarakat Adat Melayu (Langkat) sebagai anak negeri yang berdomisili di sekitar areal PTPN II. Selain itu semata-mata sebagai penghargaan terhadap Masyarakat Adat Melayu dan tidak boleh diperjualbelikan serta diarahkan untuk perkampungan adat dalam rangka pengembangan budaya etnis Melayu;

i. Panitia B Plus mengeluarkan rekomendasi perpanjangan HGU terhadap tanah yang bersih dari tuntutan/garapan rakyat dan juga melakukan seleksi, pembahasan serta penelitian atas semua berkas tuntutan rakyat yang hasilnya areal seluas 5.873,06 Ha (meliputi Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat dan Kota Binjai) untuk dikecualikan dari perpanjangan HGU PTPN II. Dari usulan Panitia B Plus ditegaskan dengan Keputusan Kepala BPN No. 42, 43 dan 44/HGU/BPN/2002 Tanggal 29 November 2002 dan No. 10/HGU/BPN/2004 Tanggal 6 Februari 2004. Khusus Kabupaten Langkat yang dikecualikan seluas 1.210,868 Ha;

j. Hasil kerja Panitia B Plus masih menyisakan sejumlah masalah baik secara yuridis, administratif dan faktual di lapangan. Secara yuridis hingga saat ini belum dapat diselesaikan karena terkendala ijin pelepasan aset dan pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah oleh Gubernur Sumatera Utara sebagaimana dipersyaratkan dalam Keputusan Kepala BPN No. 42, 43 dan 44/HGU/BPN/2002 dan No. 10/HGU/BPN/2004. Perdebatan juga muncul mengenai dasar hukum ketentuan ijin pelepasan aset dan pelimpahan kewenangan pengaturan kepada Gubernur Sumatera Utara. Secara administratif belum dapat di identifikasi secara jelas mengenai data yang terdapat dalam berkas-berkas tuntutan rakyat yang dikerjakan Panitia B Plus, mengingat belum adanya dasar hukum penyelesainnya sehingga penelitian belum dapat dilaksanakan. Secara faktual di lapangan belum dapat dipisahkan areal yang telah diberikan perpanjangan HGU dengan areal yang telah dikeluarkan dari HGU mengingat permasalahan hukum ijin pelepasan aset dan ujicoba

Page 68: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

63

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

yang dilakukan untuk pengukuran pengembalian batas HGU pada dua kebun terdapat ketidaksinkronan antara data dalam matrik dan peta Panitia B Plus dengan data fisik di lapangan;

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan Upaya penangan penyelesaian konflik yang telah diusahakan baik oleh Pemerintah Daerah maupun Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN Provinsi Sumatera Utara), yaitu:a. Mengusulkan peninjauan ulang serta revisi atas masalah ijin pelepasan aset dan

pemberian kewenangan pengaturan atas tanah yang tidak diperpanjang HGU PTPN II kepada Gubernur Sumatera Utara sebagaimana dicantumkan dalam Keputusan Kepala BPN No. 42, 43 dan 44/HGU/BPN/2002 dan No. 10/HGU/BPN/2004 yang ternyata tidak memiliki dasar hukum dalam UUPA dan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 sehingga Kanwil BPN Sumatera Utara (Panitia B Plus) dapat melaksanakan pengaturan lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku guna mencari penyelesaian secara komprehensif terhadap masalah yang ada pada bekas areal PTPN II;

b. Secara faktual agar dapat memperoleh ijin pelepasan aset sesuai dengan Keputusan Kepala BPN, Gubernur Sumatera utara telah mengirimkan 4 (empat) surat permohonan kepada Menteri Negara BUMN, akan tetapi hingga saat ini belum ada penerbitan ijin pelepasan aset dari lembaga tersebut.

5.1.1.3. Provinsi Sumatera Selatan

5.1.1.3.1. PTPN VII/Unit Usaha Beringin (Kabupaten Muara Enim)

1. Riwayat Tanaha. Pembangunan perkebunan Unit Usaha Beringin adalah berdasarkan program

pemerintah dalam membangun perkebunan besar PIR/Perkebunan Inti Rakyat (Proyek PIRSUS) yang perolehan lahan berasal dari tanah negara bebas pencadangan lahan disediakan melalui SK Gubernur Kepala Daerah Tk I Sumatera Selatan tanggal 25 Juni 1983 No 321/KPTS.I/1983 tentang pencadangan tanah seluas ±10.000 Ha terletak di Kecamatan Prabumulih Kabupaten Daerah Tingkat II Muara Enim untuk keperluan Proyek Perkebunan Inti Rakyat PT. Perkebunan Nusantara X (Persero). Program pengembangan kebun inti PTPN VII dengan pola ganti rugi berdasarkan SK Bupati Muara Enim No. 022/SK-IL/MAE/1997 seluas ±2.800 Ha;

b. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 21/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 14 April 2015 tentang pemberian HGU atas nama Perusahaan Perseroan PT. Perkebunan Nusantara VII atas tanah yang terletak di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, bahwa tanah yang dimohon oleh PTPN VII Unit Usaha Beringin seluas 3.662,14 Ha berstatus tanah negara, yang berasal dari eks proyek PIRSUS atas nama M. Hasbi bin Seri, dkk (534 orang) seluas 2.401,07 Ha sebagaimana dimaksud dalam Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Muara Enim tanggal 4 Maret 1989 Nomor 525/1159/V/1989 dan Surat Sekretaris PIR, Dirjen Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan tanggal 6 Oktober 1998 Nomor 231/IX/PIR.2/1998 dan dari pelepasan hak bekas penguasaan masyarakat atas nama Yanpol, dkk (171 orang) seluas 1.261,35 Ha, yang masing-masing nama bekas pihak yang menguasai tanah, letak tanah, luas tanah dan bukti perolehan tanah pemohon.

Page 69: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

64

Sumber: Kantah Kabupaten Muara Enim

Gambar 7. Peta Bidang Tanah HGU PTPN VII/Unit Usaha Beringin

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PTPN VII/Unit Usaha Beringin dengan Masyarakata. Tanah areal PTPN VII Unit Usaha Beringinseluas ±1.414 Ha, diklaim sebagai tanah

Desa Sumber Mulya seluas 964 Ha, dan Desa Pagar Dewa seluas 450 Ha, sehingga Masyarakat menuntut pengembalian tanah atau ganti rugi atas tanah seluas tersebut;

b. Pada Tahun 2000, terdapat 249 orang mengatasnamakan warga desa Pagar Dewa dan Sumber Mulia (ex. Pagar dewa) mengajukan tuntutan ganti rugi lahan dengan isi tuntutan yakniganti rugi atas hilangnya kesempatan berusaha sebesar Rp. 10.000.000/ha dan melarang adanya aktivitas/sadap karet;

c. Pada tahun 2012, tanah seluas yang disengketakan tersebut kembali diklaim oleh masyarakat, permasalahannya adalah tuntutan dari masyarakat yang berulang, dari permasalahan sebelumnya yang telah selesai dan telah tercapai kesepakatan antara pihak penuntut dan pihak PTPN VII Unit Usaha Beringin, kemudian dituntut lagi oleh pihak masyarakat.

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Dari riwayat permasalahan yang terjadi antara PTPN VII Unit Usaha Beringin dengan

masyarakat, dapat dilihat bahwa pola penyelesaian yang dilakukan adalah selalu melalui cara mediasi dengan jalan memberikan pola kemitraan kepada para penuntut dimana peserta kemitraan tersebut telah melalui hasil seleksi oleh tim yang dibentuk oleh Pemkab Muara Enimdengan menawarkan solusi pola kemitraan dalam berbagai macam bentuk;

b. Telah terjadi kesepakatan yang tertuang dalam Berita Acara Kesepakatan pada tanggal

2. Lokasi HGU PerkebunanLokasi kebun PTPN VII/Unit Usaha Beringin dan obyek yang disengketakan masyarakat berada di Kecamatan Lubai yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Muara Enim. Adapun peta HGU PTPN VII/Unit Usaha Beringin adalah sebagai berikut:

Page 70: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

65

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

14 Maret 2002, yang berisi:5 Desa (Pagar Dewa, Sumber Mulia, Karang Mulia, Karang Agung dan Air Sugihan):1) Setelah mengikuti pelaksanaan seleksi oleh Tim pada tanggal 23 April s/d 19

September 2001 dan hasil kesimpulan Tim Seleksi yang disampaikan kepada Pemkab Muara Enim 5/11/2001 menyatakan menyepakati menerima hasil seleksi;

2) Untuk tidak lagi menimbulkan permasalahan baru dan guna penegakkan hukum serta keadilan, menyepakati bahwa tuntutan lahan selesai (ditutup);

3) Bagi yang tumpang tindih dan tidak jelas akan dilakukan penelitian ulang paling lambat 10 hari sejak BA ditanda tangani.

c. 3. Pada tanggal 21 Maret 2002, dilakukan penelitian ulang hasil seleksi peserta kemitraan, yang menghasilkan:5 Desa (Pagar Dewa, Sumber Mulia, Karang Mulia, Karang Agung dan Air Sugihan), isinya: 1) Setelah melakukan penelitian ulang bersama Tim seleksi tingkat kecamatan

terhadap warga penuntut yang tumpang tindih dan tidak jelas disaksikan Pemkab Muara Enim, DPRD Muara Enim serta Prov Sumsel menyatakan menyepakati menerima hasil seleksi;

2) Untuk tidak lagi menimbulkan permasalahan dan guna penegakkan hukum serta keadilan, menyepakati bahwa tuntutan lahan yang tumpang tindih dan tidak jelas dinyatakan gugur/ selesai (ditutup).

d. Pada tanggal 22 Maret 2002 dilakukan pertemuan di di Ruang Kerja Asisten Pemerintahan Kab. Muara enim, menghasilkan :1) 17 orang warga penuntut yang lahannya tumpang tindih dan tidak jelas sudah

diselesaikan sehingga tidak perlu lagi pemeriksaan di lapangan;2) Dengan selesainya seluruh permasalahan untuk 242 KK diminta agar PTPN VII

Beringin memberikan kepedulian kepada seluruh warga penuntut sesuai dengan kemampuan PTPN VII itu sendiri;

3) Bagi warga penuntut yang sudah mendapatkan kepedulian dari Pihak PTPN VII Beringin diwajibkan membuat pernyataan tertulis bahwa tidak akan menuntut dalam bentuk apapun kepada PTPN VII maupun Pemerintah secara kelompok yang dilegalisasi oleh Kepala Desa dan BPRD masing-masing Desa.

e. Pada tahun 2012, tanah seluas yang disengketakan tersebut kembali diklaim oleh masyarakat;

f. Dalam rangka penyelesaian terhadap tuntutan tersebut, diadakan pertemuan yang difasilitasi oleh Pemkab Muara Enim pada tanggal 7 Agustus 2012, yang menghasilkan:1) Masyarakat menuntut kemitraan perkebunan, dengan lahan seluas 638 Ha untuk

masyarakat Desa Sumber Mulya dan Pagar Dewa;2) Masyarakat desa Sumber Mulya dan Desa Pagar Dewa menuntut dana kompensasi

produksi dari tahun 2007 sd 2012 senilai Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah);

3) PTPN VII belum bisa menerima tuntutan tersebut dan menawarkan program kemitraan (tanpa pengadaan lahan) dengan formulasi usulan dari warga dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta membuka diri untuk berdialog mencari solusi yang terbaik;

4) Pemkab Muara Enim siap memfasilitasi pertemuan antara masyarakat penuntut dengan PTPN VII Unit Usaha Beringin.

Page 71: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

66

g. Sejumlah warga dari Desa Pagar Dewa, Karang Mulya, dan Desa Sumber Mulya sepakat menerima pola kemitraan dalam bentuk ternak ayam, modal kerja usaha kecil, serta kerjasama perawatan kebun, namun sebagian pihak masih ada yang tidak setuju dengan penyelesaian melalui pola kemitraan yang ditawarkan tersebut;

h. Sampai saat ini dari pihak Kantor Wilayah BPN Provinsi Sumatera Selatan dan Kantor Pertanahan Kabupaten Muara Enim masih sebatas melakukan upaya penyelesaiannya dengan cara peninjauan lapangan terhadap lokasi yang dipermasalahkan seluas ±1.414 Ha tersebut;

i. Hasil dari peninjauan lapangan dengan meneliti data fisik, lahan yang diklaim oleh masyarakat terletak di dalam lokasi PTPN VII Unit Usaha Beringin yang telah diterbitkan Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 21/HGU/KEM-ATR/BPN/2015 tanggal 14 April 2015 tentang pemberian HGU atas nama Perusahaan Perseroan PT. Perkebunan Nusantara VII atas tanah yang terletak di Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan;

j. Hasil dari peninjauan dengan meneliti data yuridis yang dimiliki oleh PTPN VII Unit Usaha Beringin, lahan yang diklaim adalah sesuai dalam SK HGU tersebut diatas.

5.1.1.3.2. PT. Arta Prigel (Kabupaten Lahat)

1. Riwayat Tanaha. Riwayat awal perolehan tanah berdasarkan Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lahat

Nomor: 593/969/I/1993 tanggal 4 Juni 1993 tentang Izin Prinsip Pencadangan Tanah untuk perkebunan kelapa sawit seluas ± 5.000 Ha An. PT. Arta Prigel di Kabupaten Daerah Tingkat II Lahat;

b. Berdasarkan Surat Menteri Pertanian Nomor: HK.350/E-4.425/06.93 tanggal 15 Juni 1993 tentang Persetujuan Perubahan Lokasi dan Jenis Tanaman menjadi kelapa sawit seluas 3.000 Ha;

c. Berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Nomor: 487/SK/I/1993 tanggal 24 Juni 1993 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk keperluan perkebunan kelapa sawit seluas ± 5.000 Ha An. PT. Arta Prigel;

d. Berdasarkan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Nomor 593/05239/I/1993 tanggal 20 September 1993 tentang Izin Pembukaan Lahan untuk perkebunan kelapa sawit seluas ± 5.000 Ha An. PT. Arta Prigel;

e. Berdasarkan Surat Dinas Perkebunan Tingkat I Sumatera Selatan Nomor: 593.4/345/Perke tanggal 26 Februari 1994 tentang dukungan Hak Guna Usaha atas nama PT. Arta Prigel seluas ± 5.000 Ha;

f. Berdasarkan Surat Departemen Kehutanan Kantor Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Nomor: 476/Kwl-6.3/3/94 tanggal 11 Maret 1994 tentang Rekomendasi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit seluas ± 5.350,5 Ha di Kabupaten Dati II Lahat atas nama PT. Arta Prigel menyatakan lahan yang dimohon diluar Kawasan Hatan (APL);

g. Berdasarkan Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lahat Nomor: 04/SK/K{K/1995 tanggal 4 Januari 1995 tentang Perubahan dan Penggunaan Izin Lokasi untuk keperluan perkebunan kelapa sawit An. PT. Arta Prigel seluas ± 3.500 Ha;

h. Berdasarkan Surat Direktorat Jenderal Perkebunan Nomor: H.350/E.5.1200/II/1997 tanggal 27 November 1997 tentang Pembaharuan Persetujuan Prinsip Usaha Budidaya Perkebunan Kelapa Sawit seluas 3.000 Ha kepada PT. Arta Prigel;

i. Berdasarkan Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lahat Nomor: 593/231/I/1998

Page 72: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

67

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

tanggal 7 Maret 1998 tentang Pembaharuan Izin Prinsip atas nama PT.Arta Prigel seluas ± 2.075 Ha untuk lahan inti dan seluas ± 1.800 Ha untuk lahan plasma;

j. Berdasarkan Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Selatan Nomor: 593/2656/I tanggal 5 Juli 1998 tentang Persetujuan PrinsipIzin Lokasi seluas ± 2.075 Ha untuk lahan inti dan seluas ± 1.800 Ha untuk lahan plasma;

k. Berdasarkan proyek proposal yang dibuat oleh PT. Arta Prigel tanggal 21 Juli 1998 yang merupakan kerangka acuan dalam pelaksanaan pembangunan proyek perkebunan kelapa sawit seluas ±2.075 Ha yang terletak di Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat yang diketahui Kepala Dinas Perkebunan KDH. Tk. I Provinsi Sumatera Selatan;

l. Berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lahat Nomor: 191/SK/BPN/1999 tanggal 4 Juni 1999 tentang Pemberian Izin Lokasi untuk keperluan perkebunan kelapa sawit An. PT. Arta Prigel seluas ±2.075 Ha;

m. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 20/HGU/BPN/2006 tentang Pemberian Hak Guna Usaha Atas Tanah Terletak di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan seluas 2.075 Ha kepada PT. Arta Prigel selama 35 tahun.

2. Lokasi HGU PerkebunanLokasi perkebunan kelapa sawit PT. Arta Prigel berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 20/HGU/BPN/2006 terletak di Kecamatan Lahat, Kecamatan Merapi dan Kecamatan Pulau Pinang, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Sedangkan yang menjadi obyek lokasi sengketa berada di Desa Padang Lengkuas. Adapun Peta HGU dan obyek sengketa tersebut tersaji pada gambar berikut:

Sumber: Kantah Kabupaten Lahat, 2015

Gambar 8. Peta HGU PT. Arta Prigel dan Obyek Sengketa

Page 73: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

68

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PT. Arta Prigel dengan Masyarakata. Obyek yang menjadi tuntutan agar dikembalikan kepada masyarakat diwakili oleh Ny.

Nurdiana, SH (selaku Kuasa Hukum Masyarakat Desa Padang Lengkuas) adalah seluas ±900 Ha. Tuntutan tersebut menurut mereka didasarkan atas pengakuan adanya tanah adat Desa Padang Lengkuas dan telah diusahakan terus menerus serta turun temurun;

b. Alas hak yang menjadi dasar tuntutan tersebut berdasarkan Surat Keterangan Hak No. 147/MGL/1965 tanggal 11 Desember 1965 yang dikeluarkan oleh Krio/Kepala Desa Padang Lengkuas;

c. Dilakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran tersebut, melalui Bupati Lahat dengan menurunkan Tim sesuai Surat Tugas Nomor: 730/ST/I/1998 tanggal 14 September 19981) Tanah yang dituntut sebagian sudah dibuka/ditanami kelapa sawit oleh perusahaan

dan sebagian lagi masih berupa kebun rakyat yang menyebar secara sporadik serta sebagian lagi untuk rencana kebun plasma;

2) Untuk mendapatkan data yang akurat mengenai letak dan luas lahan perlu dilaksanakan pengukuran keliling dan rincikan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Selatan bersama-sama dengan Kantor Pertanahan Kabupaten Lahat.

d. Pada saat penelitian dilapangan Tim diberitahukan oleh Kuasa Hukum dari PT. Arta Prigel yaitu Saudara Amin Kias, SH bahwa permasalahan tanah yang dituntut oleh saudara Ny. Nurdiana, SH masih dalam proses Pengadilan Negeri Lahat yang telah terdaftar sebagai perkara perdata tanggal 18 Juni 1998 Nomor: 06/PDT.6/1998 PNLT;

e. Berdasarkan Keputusan Pengadilan Negeri Lahat tanggal 20 Oktober 1998 Nomor: 06/Pdt.G/1998 PNLT, tuntutan Saudara Ny. Nurdiana, SH selaku kuasa hukum warga masyarakat Desa Padang Lengkuas digugurkan karena pihak penggugat tidak memenuhi biaya perkara;

f. Dalam perkembangannya, lahan yang dituntut Ny. Nurdiana, SH terjadi tumpang tindih tuntutan yaitu:1) Warga masyarakat Desa Padang Lengkuas An. Sansah dan Kobri dengan luas 533

Ha nilai ganti ruginya sebesar Rp. 40.000.000,- (empat Puluh Juta Rupiah) oleh pihak PT. Artha Prigel (kelompok warga masyarakat Desa Padang Lengkuas diluar kelompok Ny. Nurdiana, SH);

2) Warga masyarakat Desa Karang Endah Kecamatan Merapi mengklaim bahwa tanah yang dituntut oleh Ny. Nurdinana, SH tersebut bukan milik warga masyarakat Desa Padang Lengkuas dan warga masyarakat Desa Karang Endah menuntut ganti rugi kepada PT. Arta Prigel dan sampai sekarang belum ada penyelesainnya;

3) Ny. Nurdiana, SH yang mendapat kuasa dari dari sebagian warga masyarakat Desa Padang Lengkuas diluar kelompok Sansah dan Sobri, menuntut dikembalikan tanah terhadap lahan yang telah digarap oleh PT. Arta Prigel.

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Pada tanggal 21 Maret 2001 diruang Bina Praja Setda Provinsi Sumatera Selatan

mengadakan rapat untuk membahas tuntutan Ny. Nurdiana, SH selaku Kuasa Hukum warga masyarakat Desa Padang Lengkuas, dengan kesimpulan rapat:1) Dalam waktu 2 minggu terhitung sejak tanggal 21 Maret 2001 Tim dari Daerah

Provinsi Sumatera Selatan dan Pemerintah Daerah Lahat akan turun ke lapangan guna melakukan inventarisasi permasalahan yang ada serta untuk melihat sejauh

Page 74: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

69

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

mana lahan yang diberikan kepada perusaan telah terealisasi pembukaannya;2) Kepada pihak perusahaan agar segera mengajukan Hak Guna Usahanya kepada

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Selatan khususnya terhadap lahan-lahan yang sudah dibebaskan/diganti rugi/tidak bermasalah;

3) Terhadap lahan plasma yang diberikan seluas ± 103 Ha agar peserta pemilik tanah yang berhak diikutsertakan sebagai peserta plasma;

4) Setiap investor yang akan menanamkan investasinya di Sumatera Selatan akan diberikan HGU sepanjang perusahaan telah menyediakn lahan untuk plasma kepada masyarakat.

b. Sesuai dengan surat tanggal 8 November 2001 Nomor: 005/2023/I/2001 Sekretariat Daerah Kabupaten Lahat mengundang:1) Saudara Tim TP3D Kabupaten Lahat2) Saudara Camat Lahat3) Ny. Nurdiana, SHUntuk hadir pada hari Jum’at tanggal 9 November 2001 di Kantor PT. Arta Prigel dalam rangka membahas penyelesaian kasus antara Ny. Nurdiana, SH dengan PT. Arta Prigel. Pembahasan dimaksud tidak dapat dilaksanakan karena Sudara Ny. Nurdiana, SH tidak hadir.

c. Rapat dengar pendapat Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan Komisi II DPR RI pada tanggal 17 Juli 2002 diruang rapat Komisi II Gedung Nusantara DPR RI tentang kasus PT. Arta Prigel di Kabupaten Lahat dengan kesimpulan sebagai berikut:1) Terhadap permasalahan tanah ulayat Desa Padang Lengkuas seluas 900 Ha Badan

Pertanahan Nasional Pusat telah memberi petunjuk kepada Bupati Lahat dengan Surat No. 570.26-2471 tanggal 30 Agustus 2001 yang intinya meminta Bupati mengadakan penelitian administrasi dan lapangan untuk penyelesaian masalah dimaksud dengan mengacu pada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang oedoman penyelesaian masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat;

2) Menurut laporan dari Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Selatan melalui surat tanggal 18 Februari 2002 No. 500/276/26 disebutkan belum ada penyelesaian lebih lanjut karena dalam rapat untuk mencari penyelesaian masalah tersebut pada tanggal 9 November 2001 atas undangan Bupati Lahat kepada Tim TP3D Kabupaten Lahat, Camat Lahat, PT. Arta Prigel dan Ny. Nurdiana, SH tidak terlaksana karena pihak Ny. Nurdiana, SH tidak hadir dengan alasan undangan terlambat diterima.

d. Pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Lahat melalui surat tanggal 11 Oktober 2006 Nomor: 500/295/KPK/2006 menyarankan kepada Ny. Nurdiana, SH mengajukan keberatannya ke pengandilan setempat mengingat sebelumnya sudah sering dilakukan musyawarah berkali-kali baik ditingkat Kabupaten Lahat maupun Tk. Provinsi namun tidak memperoleh penyelesaian;

e. Berdasarkan surat Bupati Lahat tanggal 27 September 2007 No. 591/288/Tanah/X/2007 kepada camat disarankan agar masyarakat desa Padang Lengkuas menyelesaiakan permasalahan dengan PT. Arta Prigel melalui jalur hukum.

Page 75: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

70

5.1.1.4. Provinsi Kalimantan Timur

5.1.1.4.1. PTPN XIII (Dahulu PTPN VI)(Kabupaten Paser)1. Riwayat Tanah

a. Tanah yang dimohon oleh PTPN XIII merupakan tanah negara yang dikuasai oleh pemohon;

b. Berdasarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur Nomor: 065/590-XII/UM-38/1988 memberikan Ijin Lokasi dan Pembebasan/Pembelian Tanah seluas ±11.500 Ha di daerah Kecamatan Pasir Belengkong dan Kecamatan Tanjung Aru, Kabupaten Pasir untuk proyek NES VII Pasir kepada PT. Perkebunan VI (PERSERO).

2. Lokasi HGU PerkebunanLokasi kebun PTPN XIII dan obyek yang disengketakan masyarakat (Aji Ayub) berada di Desa Lempesu, Kecamatan Pasir Belengkong yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Pasir. Adapun peta HGU PTPN XIII adalah sebagai berikut:

Sumber: Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Timur

Gambar 9. Peta Bidang Tanah HGU PTPN XIII

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PTPN XIII dengan Masyarakata. Sebelum diterbitkannya ijin lokasi dan diberikannya HGU kepada PTPN XIII, terdapat

Surat Pernyataan Penguasaan/Pemilikan An. Aji Masberawan tanggal 1 Maret 1973 dengan ukuran luas 1.500 m x 2.000 m;

b. SPPPT tanggal 1 Maret 1975 dengan ukuran 1.200 m x 1.400 m;c. SPPT tanggal 1 Mei 1982 dengan ukuran 100 m x 200 m;d. Terdapat tindakan pemortalan jalan masuk PTPN XIII dan menghalangi kegiatan,

sehingga pihak PTPN XIII memhon kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Paser untuk media atas masalah tersebut.

Page 76: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

71

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Dari permasalahan tersebut, pihak PTPN menyampaikan Surat Nomor: Tajat/X/10/

II/2014 kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Paser perihal Permohonan Bantuan Mediasi dengan Bapak Aji Ayub;

b. Pada tanggal 6 Maret 2014 dilaksanakan mediasi, dengan hasil poin kesepakatan berupa:1) Permasalahan portal menjadi pihak tanggung jawab pihak keamanan dan pihak Aji

Ayub siap membuka portal;2) Segera dilakukan pengukuran/pengecakan;3) Pembiayaan ditanggung pihak PTPN XIII;4) Hasil pengukuran selambat-lambatnya Juni 2014Sebelum petugas Kantor Pertanahan Kabupaten Pasir melakukan pengecekan lapangan terlebih dahulu diadakan ploting lokasi yang mana menurut data pertanahan (peta dan tekstual) bahwa lokasi yang disengketakan masuk wilayah HGU No. 3 milik PTPN XIII.

c. Pada tanggal 16 Juli 2014, Aji Ayub menyampaikan surat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pasir yang isinya adalah bahwasannya Aji Ayub menganggap tuntutan sudah selesai dikarenakan areal yang dituntut masih dalam wilayah HGU PTPN XIII (Pesero) dan mediasi yang kedua sudah tidak perlu diadakan lagi.

5.1.1.1.2. PT Malaya Sawit Khatulistiwa (Kabupaten Kutai Kartanegara)

1. Riwayat Tanaha. Tanah yang dimohon oleh PT. Malaya Sawit Khatulistiwa adalah berasal dari Tanah

Negara yang dikuasai pemohon;b. PT. Malaya Sawit Khatulistiwa memperoleh perpanjangnan Ijin Lokasi Bupati

Kutai Kartanegara Nomor: 89/DPN.K/IL-89/XII-2007 tanggal 17 Desember tentang Perpanjangnan Ijin Lokasi untuk Keperluan Inti dan Plasma Kelapa Sawit seluas 19.000 Ha jo Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor: 503/32/SK-DISBUN KUKAR/VIII/2006 tanggal 1 Agustus 2006 tentang Pemberian Ijin Usaha Budidaya Perkebunan Komoditi Kelapa Sawit yang terletak di Kecamatan Sebulu dan Kecamatan Tenggarong;

c. Bidang tanah yang dimohon telah mendapat persetujuan/dukungan dari masing-masing wilayah Kecamatan dan Desa/Keluarahan yang tertulis dalam bentuk Surat Dukungan;

d. Tahun 2009 diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 99/HGU/BPN RI/2009 (pemberian HGU) terletak di Desa Beloro, Sebulu Ulu, Sebulu Modern, Kecamatan Sebulu dan Desa Rapak Lambur, Loa Tebu, Mangkurawang, Maluhu, Loa Ipuh Darat, Jahab, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.

2. Lokasi HGU PerkebunanLokasi perkebunan kelapa sawit PT. Malaya Sawit Khatulistiwa berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 99/HGU/BPN RI/2009 terletak di Desa Beloro, Sebulu Ulu, Sebulu Modern, Kecamatan Sebulu dan Desa Rapak Lambur, Loa Tebu, Mangkurawang, Maluhu, Loa Ipuh Darat, Jahab, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.Sedangkan yang menjadi obyek lokasi sengketa berada di wilayah perkebunan beberapa desa di Kecamatan Tenggarong. Adapun Peta HGU dan obyek sengketa tersebut tersaji pada gambar berikut:

Page 77: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

72

Sumber: Kantah Kab.Kutai Kertanegara, 2015

Gambar 10. Peta HGU PT. Malaya Sawit Khatulistiwa dan ObyekSengketa

3. Penyebab Sengketa Pertanahan Antara PT. Malaya Sawit Khatulistiwadengan Masyarakata. Akar permasalahan adalah di areal HGU ada Hak Milik atas tanah masyarakat dan

tanah garapan;b. Tumpang tindih HGU atas nama PT. Malaya Sawit Khatulistiwa dengan Hak Milik atas

tanah masyarakat dan tanah garapan yang belum dilepaskan dan ganti rugi terhadap tanah sertipikat HM dan tanah garapan masyarakat oleh pemegang HGU;

c. Obyek yang menjadi tuntutan masyarkat adalah agar tanah yang sudah bersertipikat Hak Milik dan sudah digarap oleh masyarakat untukdikeluarkan dari areal HGU PT. Malaya Sawit Khatulistiwa;

d. Adanya tuntutan dari fenomena tumpang tindih tersebut sangat realisitis mengingat antara terbitnya SK dan Sertpikat HGU tahun 2009 dengan terbitnya SHM tahun 2006 (program sertipikasi tanah Transmigrasi), dan pada saat proses permohonan HGU juga tidak terjadi ganti rugi/pembebasan tanah terhadap tanah-tanah yang digarap dan bersertipikat Hak Milik tersebut;

e. Tuntutan tersebut disampaikan oleh Bapak Asmuni, Cs (Perwakilan Masyarakat Kelurahan Mangkurawang).

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Pada tanggal 22 September 2014 bertempat di Kantor Camat Tenggarong dilakukan

mediasi dengan musyawarah antara perwakilan warga masyarakat Keluarahan Mangkurawang dengan pihak Manager PT. Malaya Sawit Khatulistiwa yang ikut dihadiri juga oleh Lurah dan dari pihak Kecamatandengan hasil musyawarah adalah akan diadakan pengecekan/peninjauan lokasi PT. Malaya Sawit Khatulistiwa di Kelurahan Mangkurawang pada tanggal 25 September 2014;

Page 78: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

73

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

b. Pada tanggal 29 September 2014 telah dilakukan pengecekan batas-batas HGU PT. Malaya Sawit Khatulistiwa oleh petugas dari Kantor Camat Tenggarong, Lurah Mangkurawang dan staf, Babinkamtibmas dan Babinsa Kelurahan Mangkurawang, Managemen PT. Malaya Sawit Khatulistiwa, Ketua RT. 18 dan Ketua RT. 19 serta warga masyarakat Kelurahan Mangkurawang, yang salah satu kesimpulannya adalah warga yang tanahnya berada didalam areal HGU PT. Malaya Sawit Khatulistiwa meminta pihak pemerintah daerah membantu dalam upaya menyelesaiakan masalah tersebut dengan menghadirkan instansi teknis seperti Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara;

c. Pada tanggal 4 November 2014 Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara dan beberapa instansi teknis Kabupaten Kutai Kartanegara melaksanakan pengecekan lapangan batas HGU PT. Malaya Sawit Khatulistiwa. Dari hasil pengecekan tersebut disimpulkan bahwa:1) Tidak ditemukan dilapangan tanda batas (patok batas) areal HGU PT. Malaya Sawit

Khatulistiwa;2) Tanah masyarakat yang sudah bersertipikat diperkirakan masuk kedalam areal HGU

PT. Malaya Sawit Khatulistiwa dan kebun-kebun lainnya yang berada di Kelurahan Mangkurawang, Keluarahan Rapak Lambur, Kelurahan Maluhu, Kelurahan Loa Ipuh Darat dan kelurahan-keluarahan lain di Kecamatan Tenggarong.

3) Perlu dilakukan pengukuran pengembalian batas dan pemasangan patok batas terhadapa areal HGU PT. Malaya Sawit Khatulistiwa agar warga masyarakat yang berada disekitar areal HGU PT. Malaya Sawit Khatulistiwa mengetahui keberadaan batas-batas posisinya, dalam hal ini untuk menghindari terjadinya tumpang tindih (overlaping);

4) Perlu dilakukan inclave terhadap tanah-tanah masyarakat warga transmigrasi Desa Rapak Lambur dan warga lain khususnya yang sudah bersertipikat.

5.1.1.1.3. PT. Mahakam Sawit Plantation (PT.MSP, Kabupaten Kutai Kartanegara)

1. Riwayat Tanaha. Bidang tanah yang dimohon PT. MSP adalah berasal dari Tanah Negara yang dikuasai

oleh pemohon;b. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 81/HGU/BPN

RI/2009 tanggal 17 Juni 2009 tentang pemberian HGU atas nama PT. Mahakam Sawit Plantation atas tanah di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur, bahwa PT. MSP telah memperoleh ijin lokasi dan perpanjangannya untuk keperluan perkebunan kelapa sawit atas tanah seluas ±19.500 Ha, salah satunya terletak di Desa Selerong, Kec. Sebulu, Kab. Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur berdasarkan SK Bupati Kutai Kartanegara tanggal 29 Desember 2005 Nomor 51/DPtn/UM-49/XII-2005 jis. Tanggal 28 Desember 2006 No. 79/DPN.K/IL-75/XII-2006, tanggal 19 Desember 2007 No. 90/DPN.K/IL-90/XII-2007, surat Bupati Kutai Kartanegara tanggal 11 September 2008 No. 590.1-266.1/DPN.K/IX/2008;

c. Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 81/HGU/BPN RI/2009 tanggal 17 Juni 2009 tentang pemberian HGU atas nama PT. Mahakam Sawit Plantation atas tanah di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur, bahwa terhadap tanah yang telah diberikan ijin lokasi dan perpanjangannya tersebut telah dilakukan pengukuran kadastral, diperoleh hasil ukur keliling seluas 7.356,54 Ha

Page 79: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

74

yang didalamnya terdapat jalan, sempadan jalan, sungai dan pemukiman seluas 374,42 Ha dikeluarkan dari areal yang dimohon, sehingga diberikan HGU seluas 6.972,12 Ha;

d. PT. MSP menduga telah terjadi penyerobotan oleh masyarakat di dalam areal HGU, sehingga PT. MSP melaporkan dugaannya tersebu tkepada Polres Kutai Kartanegara melalui surat pengaduan saudara Eko Puji Nugroho (PT. MSP) Nomor 01/MSP/I/2014 tanggal 10 Januari 2014 tentang dugaan tindak pidana Penggelapan Hak Atas Tanah/Penyerobotan Tanah yang dilakukan oleh Saudara H. Sumarli alias H. Mandeng beralamatkan di Desa Selerong, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara.

2. Lokasi HGU Perkebunan

Keterangan: posisi tanah sengketaSumber: Kantor Pertanahan Kab.Kutai Kertanegara

Gambar 11. Peta HGU PT. Mahakam Sawit Plantation

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PT. Mahakam Sawit PlantationDengan Masyarakata. Tanah yang menjadi obyek sengketa terletak di pinggiran HGU atau berbatasan

langsung dengan tanah masyarakat;b. Pihak masyarakat (H. Mandeng) merasa bahwa tanah yang digarapnya belum pernah

dibebaskan oleh pihak PT. MSP;c. Hasil cek lapangan oleh pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara, bahwa

di atas tanah yang menjadi obyek sengketa, belum ada aktifitas dari PT. MSP.4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan

Upaya penangan penyelesaian konflik yang telah diusahakan baik oleh Pemerintah Daerah maupun Badan Pertanahan Nasional (Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara/Kanwil BPN Provinsi Kalimantan Timur), yaitu:a. Penyelesaian atas pengaduan dari pihak PT. MSP atas dugaan penyerobotan tanah

Page 80: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

75

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

oleh masyarakat dilakukan melalui Polres Kutai Kartanegara, kemudian pihak Polres meminta klarifikasi dari pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara;

b. Pada tanggal 1 April 2014 pihak Polres mengeluarkan undangan pengecekan lokasi atas tanah yang menjadi obyek permasalahan;

c. Pada tanggal 4 April 2014 dilakukan pengecekan atas tanah tersebut dan berdasarkan laporan hasil pengecekan lokasi yang dibuat oleh pihak Kantor Pertanahan Kab Kutai Kartanegara adalah sebagai berikut :1) Bahwa pada lokasi yang menjadi sengketa benar sebagian masuk di dalam areal

HGU PT. MSP;2) Bahwa yang menjadi sengketa belum ada aktifitas dari PT. MSP;3) Bahwa yang menjadi sengketa sudah digarap oleh H. Sumarli alias H. Mandeng

dengan ditanami komoditas sengon;4) Bahwa lokasi yang digarap oleh H. Sumarli alias H. Mandeng tersebut belum

pernah dibebaskan oleh pihak PT. MSP;5) Peta lokasi obyek sengketa terlampir.

d. Berdasarkan hasil pengecekan lokasi, dari pihak Kantor Pertanahan Kab. Kutai Kartanegara menyarankan agar :1) PT. MSP segera mengambil langkah-langkah dalam rangka penyelesaian masalah

tersebut;2) Mencermati kondisi lapangan dengan mempertimbangkan dari kepentingan

semua pihak agar melakukan koordinasi atau penyelesaian secara kekeluargaan.

5.1.1.5. Provinsi Lampung

5.1.1.5.1. PTPN VII/Unit Usaha Way Lima, Tangkit Serdang (Kabupaten Tanggamus)

1. Riwayat Tanaha. Tanah perkebunan yang dimohonkan Hak Guna Usaha oleh PT. Perkebunan X (Saat

ini PTPN VII) di Tanjung Karang, Provinsi Lampung dengan prosedur SK. 32/DDA/1970 jo SK.45/DJA/1973 terkenal dengan perkebunan Way Lima adalah bekas Hak Erpacht Verp. No. 64, 132, 3, 2, 1 (sisa) dan 145 luas seluruhnya ±2.986,31 Ha terletak didaerah Kabupaten Lampung Selatan menurut Surat Keterangan Pendaftaran Tanah setempat tanggal 16 Januari 1980 No. 72 s/d 77/KV-1980 tertulis atas nama NV. Lampong Sumatera Rubber Maatschappy Gevestigde te Amsterdam yang terkena nasionalisasi berdasarkan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 jo Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1959. Berhubung telah habis tenggang waktu pendaftarannya pada akhir tahun 1973 sebagai ditentukan oleh Surat Keputusan No. SK. 45/DJA/1973 maka terhadap permohonan tersebut ditempuh prosedur biasa dalam menyelesaikan pemberian Hak Guna Usahanya;

b. Panitia B dalam risalah pemeriksaan tanahanya tanggal 10 Desember 1975 No. 04/PPT/DA/1975 berkesimpulana meluluskan permohonan PT. Perkebunan X atas areal tanah perkebunan Way Lima seluas ±2.986,31 Ha, sedangkan areal tanah garapan/pendudukan rakyat seluas ±2.701,31 Ha dikecualikan dari permohonan Hak Guna Usahanya;

c. Gubernur KDH Tk. I Lampung cq. Kepala Direktorat Agraria Provinsi Lampung dalam suratnya tanggal 17 Februari 1980 No.AG. 120/DA.352/Ph. XI/1980 menyatakan tidak menaruh keberataan atas dikabulkannya permohonan Hak Guna Usaha dari PT. Perkebunan X atas tanah perkebunan Way Lima;

Page 81: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

76

d. Pada tanggal 6 januari 1981 diterbitkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK. 10/HGU/DA/1981 tentang pemberian Hak Guna Usaha atas tanah perkebunan Way Lima seluas ±2.986,31 Ha mulai berlaku sejak tanggal didaftarkannya pada Kantor Agraria Kabupaten yang bersangkutan dan akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2005;

e. Berdasarkan Risalah Pemeriksaan Tanah (Konstatering Rapport) Nomor: 06/Konst./KW/2004 pada tanggal 10 Februari 2004 menerangkan bahwa dari hasil pemeriksaan dilapangan permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha Sertipikat No. 2 tanggal 9 Mei 1997 (An. PTPN VII) dapat dipertimbangkan untuk dikabulkan seluas ±2.986,31 Ha (sesuai gambar situasi No.7/1974 tanggal 20 Maret 1974) dengan alasan telah memenuhi syarat serta tidak ada keberatan yang diterima dam kecuali pemohon tidak ada yang berhak atas tanah.

2. Lokasi HGU PerkebunanLokasi kebun PTPN VII/Unit Way Lima dan obyek yang disengketakan masyarakat berada di Kecamatan Lubai (Tidak tersedia peta)

3. Penyebab Sengketa Pertanahan Antara PTPN VII/Unit Usaha Way Limadengan MasyarakatBerdasarkan Surat No. 001-T/IWAPTA/III/2015 yang disampaikan oleh Tim Kerja Ikatan Warga Adat Pepadun Tanggamus (IWAPTA) Marga Pugung kepada Asisten Kepala Unit Wilayah PTPN VII Tangkit Serdang, Manager Unit Wilayah PTPN VII Way Lima dan Direktur Utama PTPN VII menyampaikan tuntutan Hak Warga Masyarakat Adat Pepadun Marga Pugung mengingat menurut data-data yang ada pada warga tersebut lahan perkebunan karet PTPN VII Unit IV Tangkit Serdang adalah kepemilikan Hak Adat Warga Masyarakat Adat Pepadun Lampung Pubian Marga Pugung;

5.1.1.5.2. PT. Daya Kalianda Raya (Kabupaten Lampung Selatan)

1. Riwayat Tanaha. Adanya UU. No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, CV. Daya Karya

(Sekarang PT Daya Kalianda Raya) yang bergerak dibidang pertanian/perkebunan, pada tahun 1970 mengajukan permohonan perolehan tanah untuk keperluan perkebunan kelapa hybrida kepada Kepala Negeri Kalianda Kabupaten Lampung Selatan;

b. Melalui terbitnya Ketetapan Kepala Negeri Kalianda No. 01/9/TNK/1970 tanggal 20 Maret 1970 dan Sk. Bupati/KDH Tk. II Lampung Selatan No. KEP-01/1.U.S/LS/1970 tanggal 4 April 1970 tentang Pemberian izin usaha sementara untuk membuka tanah pertanian seluas 3.147 Ha serta Sk. Gubernur KDH. Tk.I Lampung No. Des.087/B.I/HK/70 tanggal 23 April 1970 tentang Persetujuan penyerahan tanah kepada CV. Daya karya (Sekarang PT Daya Kalianda Raya) seluas 3.147 Ha yang selanjutnya dilakukan pengukuran dan hasilnya tertuang didalam Peta Situasi No. 1/1972 tanggal 8 Januari 1972 seluas 382 ,66 Ha;

c. Bahwa tanah yang telah diukur tersebut kemudian dibayar gantirugioleh PT. Daya Kalianda Raya pada tahun 1975 s/d 1977 seluas 379,46Ha, terletak di Desa Tanjungan, Bandar dalam dan Desa Campang Tiga;

d. Areal yang telah menjadi pencadangan CV. Daya Karya (sekarang PT. Daya Kalianda Raya) dan telah dibayar Ganti Ruginya dan kemudian dimohon Hak Guna Usaha

Page 82: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

77

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

(sertipikat HGU No. U.1/KT tanggal 4 April 1983 yang berakhir haknya pada 31 Desember 2007 seluas 255,11 Ha);

e. Perpanjangan SHGU yang dimohon seluas 190,76 Ha (255,11 Ha – 64,35 Ha untuk Hak Pakai) dan kemudian diterbitkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung Nomor: 540-03-08-2006 (sertipikat HGU No. U.1/KT 8 Desember 2006).

2. Lokasi HGU PerkebunanLokasi perkebunan kelapa sawit PT. Daya Kalianda Raya Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung Nomor: 540-03-08-2006 terletak di Desa Tanjungan dan Desa Bandar Dalam Kecamatan Ketibung, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung.

Sumber: Kantor WilayahBPN Provinsi Lampung 2015

Gambar 12. Peta HGU PT. Daya Kalianda Raya dan Obyek Sengketa

3. Penyebab Sengketa Pertanahan Antara PT. Daya Kalianda Raya dengan Masyarakata. Didalam areal yang telah menjadi pencadangan CV. Daya Karya (sekarang PT. Daya

Kalianda Raya) dan telah dibayar Ganti Ruginya dan kemudian dimohon Hak Guna Usaha tersebut, ternyata terjadi penjualan tanah milik PT. Daya Kalianda raya tersebut seluas 10 Ha dengan harga Rp.1.000.000,- (Satu juta rupiah) oleh Sdr. Usman Bin Naad kepada Sdr. Muksin Tatang yang beralamat di Jl. Irian No. 14 Telukbetung Kota Bandar Lampung;

b. Terhadap tanah yang dijual belikan tersebut selanjutnya dibuatkan Surat Keterangan Tanah Nomor : 37/BD/20/1979 tanggal 29 April 1979 An. Muksin Tatang oleh Kepala

Page 83: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

78

Desa Bandar Dalam yang bernama Djuperi dan diketahui oleh Camat Ketibung Syaiful Rohman dan untuk selanjutnya diterbitkan Akta Jual Beli (AJB) Nomor : 118/PAT/II/1979 tanggal 12 Mei 1979 oleh Camat Ketibung Syaiful Anwar, BA selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara Kecamatan Ketibung;

c. Bahwa kasus penjualan tanah CV. Daya Karya (Sekarang PT Daya Kalianda Raya) oleh Sdr. Usman Bin Naad telah mendapat perhatian dari Pemerintah Provinsi Daerah Tk. I Lampung sesuai Suratnya tertanggal 23 Juli 1979 Nomor: TB.000/1042/WAS/1979 Perihal Pembatalan Akta Jual Beli Tanah di Kampung Bandar Dalam yang disampaikan kepada Bupati Kdh. Tk. II Lampung Selatan, kemudian ditindak lanjuti dengan Surat tanggal 29 Oktober 1979 Nomor : TB.000/1391/WAS/1979, Perihal Kasus Penjualan areal CV. Daya Karya (Sekarang PT. Daya Kalianda Raya) oleh Sdr Juperi (Kepala Kampung Bandar Dalam) yang juga disampaikan kepada Bupati Kdh. II Lampung Selatan, dan Surat Bupati KDh. Tk.II Lampung Selatan tanggal 27 Desember 1980 Nomor : AG.000/874/WAS/LS/80 Perihal Kasus penjualan areal CV. Daya Karya oleh Sdr Juperi Kepala Kampung Bandar Dalam Kecamatan Ketibungyang disampaikan kepada Gubernur Kdh Tk.I Provinsi Lampung;

d. Berdasarkan surat-surat sebagaimana tersebut diatas, Camat Ketibung menerbitkan Surat Keputusan Nomor : 012/IX/81 tanggal 7 September 1981 Tentang Penarikan Akta Jual Beli Atas Tanah pada Areal Pencadangan untuk PT Daya Kalianda Raya (Dahulu CV. Daya Karya) yang telah disampaikan untuk didaftarkan pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang dalam Diktum Keenam Menyatakan menarik kembali Akta Jual Beli atas Tanah sebagaimana yang tercantum pada Lampiran I (satu) dan Lampiran II (dua) Keputusan ini dan Diktum Kedelapan Memerintahkan kepada CV. Tri Makmur untuk menghentikan segala kegiatannya (Penggarapannya, Penguasaan, Pengusahaannya) atas tanah tersengketa sampai ada ketentuan dari penetapan Pengadian Negeri yang berwenang;

e. Dalam Surat Keterangan Tanah maupun Akta Jual Beli sebagaimana disebutkan diatas menjelaskan bahwa lokasi tanah yang dijual belikan terletak di Desa Bandar Dalam, sedangkan secara fisik tanah tersebut terletak di Desa Tanjungan bukan di Desa Bandar Dalam sebagaimana disebutkan dalam Surat Pernyataan Kepala Desa Bandar Dalam (Husein) No. 83/ BD/IV/82 tanggal 10 Mei 1982;

f. Dalam kasus penjualan tanah milik PT Daya Kalianda Raya Sdr. Usman Bin Mahad telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Tinggi Tanjungkarang sesuai Keputusan No. 21/1982/Pid/PT-TK tanggal 18 Maret 1982 dan divonis dengan hukuman selama 5 Bulan masa percobaan satu tahun karena melakukan tindak pidana penipuan hak milik orang lain;

g. Tanah seluas 48,6035 Ha yang Akta Jual Belinya telah ditarik kembali oleh Camat yang bersangkutan, ternyata pada tahun 2007 melalui program ajudikasi tanah tersebut terbit Sertipikatnya dengan No. Hak Milik: 826 s/d 833/Bandar Dalam an. Muksin Tatang Cs yang berdasarkan lampiran ke I Keputusan Camat/Kepala Wilayah Kecamatan Ketibung No. 012/IV/81 tanggal 7 September 1981 beralamat di Jl. Irian No.14 Teluk Betung Bandar Lampung.

h. Sertipikat Hak Milik No. 826s/d 833/Bandar Dalam tersebut terbit diatas Hak Guna Usaha No. U.1/KT Peta Situasi No. 28/1980 an. PT Daya Kalianda Raya yang diduga alas haknya menggunakan Akta Jual Beli No. 118/PAT/II/1979 tanggal 12 Mei 1979 yang sudah dicabut/ditarik kembali oleh Camat yang bersangkutan berdasarkan Keputusan

Page 84: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

79

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

camat/Kepala Wilayah Kecamatan Ketibung Kabupaten Dati.II Lampung Selatan Nomor: 012/IV/81 tanggal 7 September 1981;

i. Berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 02/AJB/V.09/XII/2007 tanggal 26 Desember 2007 melalui PPAT Kec. Sidomulyo Kab. Lampung Selatan Zubaidi Karim, BA, tanah tersebut beralih kepada Agus Sutanto,ST Cs, dan didaftarakan pada Kantor Pertanahan Kab. Lampung Selatan tanggal 12 Maret 2008.

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Telah dilakukan Penelitian Lapang oleh petugas Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung

dan petugas Kantor Pertanahan Kabupaten Lampung Selatan, untuk meneliti data fisik dan data yuridis atas permasalahan Sengketa tanah seluas 81.186 M2 terletak di Desa Tanjungan Kecamatan Ketibung Kabupaten Lampung Selatan, berdasarkan Surat Tugas Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung No. 493/ST.600/IV/2015 tanggal 02 April 2015;

b. Dilaksanakan gelar kasus pada tanggal 4 Agustus 2015 dengan hasil sebagai berikut:1) Bahwa Sertipikat Hak Milik No. 826 s/d 833/Bandar Dalam seluas 48,6035Ha an.

Muksin Tatang Cs yang pada saat ini telah beralih kepada Agus Susanto, ST Cs terbit diatas Sertipikat Hak Guna Usaha No. U.1/KT an. PT. Daya Kalianda Raya;

2) Bahwa alas hak berupa Akta Jual Beli yang diterbitkan oleh Camat Ketibung selaku PPAT Sementara wilayah Kecamatan Ketibung yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sertipikat Hak Milik No. 826 s/d 833/Bandar dalam sudah tidak berlaku lagi, karena telah dicabut/ditarik kembali oleh Camat yang bersangkutan berdasarkan Keputusan Camat/Kepala Wilayah Kecamatan Ketibung Kabupaten Dati. II Lampung Selatan Nomor : 012/IV/81 tanggal 7 September 1981;

3) Selain terjadi tumpang tindih dengan Hak Guna Usaaha No. U.1/KT, Sertipikat Hak Milik No. 826 s/d 833/Bandar Dalam tersebut terjadi cacat hukum administrasi, karena secara fisik lokasi tanahnya berada di Desa Tanjungan bukan di Desa Bandar Dalam sebagaimana pernyataan Kepala Desa Bandar Dalam (Husein) Nomor : 83/Bd/20/V/82 tanggal 10 Mei 1982;

4) Berkaitan dengan kasus penjualan tanah milik PT Daya Kalianda Raya (Usman Bin Naad) karena perbuatannya telah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana penipuan hak milik orang lain, oleh karena itu oleh Pengadilan Tinggi Tanjungkarang telah divonis hukuman selama 5 Bulan dengan masa percobaan satu tahun tanpa masuk penjara.

c. Selain hasil kesimpulan dari gelar kasus pada tanggal 4 Agustus 2015 tersebut, juga terdapat rekomendasi berupa:1) Sertipikat Hak Milik No. 826 s/d 833/Bandar Dalam an. Agus Susanto, ST Cs

dibatalkan, karena disamping terjadi tumpang tindih dengan Sertipikat Hak Guna Usaha No. U.1/KT an. PT Daya Kalianda Raya, proses penerbitannya cacat hukum administrasi sesuai Pasal 71 ayat 1 (satu) dan ayat 2 (dua) serta Pasal 74 huruf a Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik indonesia No. 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan;

2) Akan dilakukan pemanggilan kepada para pihak untuk dilakukan mediasi guna mencari win-win solution terhadap kasus tersebut dan apabila tidak dicapai kesepakatan disarankan untuk melakukan upaya hukum dengan melaksanakan gugatan ke pengadilan.

Page 85: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

80

5.1.1.5.3. PT. Pemuka Sakti Manis Indah

1. Riwayat Tanaha. Pada tanggal 29 Juni 2001 PT. Pemuka Sakti Manis Indah (PSMI) mengajukan

permohonan Hak Guna Usaha kepada Kepala badan Pertanahan Nasional yang ditandatangani oleh HM. Jimmy Mahshum atas tanah seluas 428,05 ha terletak di Desa Tiuh baru Kecamatan Pakuan Ratu Kabupaten Way Kanan Provinsi lampung;

b. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor : 34/HGU/BPN/2001 tanggal 28 Desember 2001 tentang Pemberian Hak Guna Usaha Kepada PT. Pemuka Sakti Manis Indah (PSMI) obyeknya tidak menunjuk nama Desa Tiuh Baru, akantetapi hanya mencantumkan nama Kecamatan Pakuan Ratu kabupaten Way Kanan sebagaimana yang diuraikan dalam Peta Bidang Tanah tanggal 11 Desember 2000 nomor 18/2000 (seluas 428,05 ha);

c. Berdasarkan Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah B Nomor : 01/PPT/KW/2001 tanggal 25 September 2001, dalam Daftar pemilik tanah yang dibebaskan oleh PT. Tehnik Umum yang kemudian diserahkan kepada PT. Pemuka Sakti Manis Indah (Lampiran Risalah Panitia B) bahwa tanah yang diganti rugi oleh PT Tehnik Umum hanyalah tanah di Wilayah Desa Tiuh Baru tidak termasuk tanah wilayah Desa Negeri Besar;

d. Berdasarkan Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lampung Utara Nomor: 146/B.721/BG.I/HK/1989 tanggal 13 November 1989, Tentang Penetapan tata batas Wilayah Desa Negeri Besar, Desa Kaliawi, Desa Kiling Kiling dan Desa Tiuh Baru Kecamatan Pakuan Ratu Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Utara, bahwa areal perkebunan tebu PT. Pemuka Sakti Manis Indah seluas 428,05 ha fakta dilapangan baik secara fisik dan Yuridis bukan merupakan Wilayah Desa Tiuh Baru saja akan tetapi termasuk juga meliputi Wilayah Desa Negeri Besar.

2. Lokasi HGU Perkebunan

Sumber: Kantor Wilayah BPN Provinsi Lampung 2015

Gambar 13. HGU PT. PSMI dan Obyek Sengketa

Page 86: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

81

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

3. Penyebab Konflik Pertanahan Antara PT. Pemuka Sakti Manis Indah dengan Masyarakata. Areal perkebunan tebu PT. PSMI masuk kedalam Desa Negeri Besar adalah tanah milik

keluarga Jumadil secara turun temurun seluas lebih kurang 139 ha dan dibuktikan dengan Surat Keterangan Hak Milik dari Kepala Kampung Negeri Besar tanggal 4 Agustus 1983 dan dikuatkan dengan Berita Acara Hasil Sidang Desa tanggal 10 Oktober 1988 yang dihadiri oleh Unsur Pemerintahan Desa dan tokoh tokoh Masyarakat Desa Negeri Besar;

b. Pihak Jumadil CS pernah menduduki lahan tersebut dikarenakan merasa belum pernah mendapatkan ganti rugi atau mendapatkan kemitraan perkebunan tebu dari pihak perusahaan atau pembagian hasil panen tebu, maka turunlah TIM 13 Provinsi Lampung, terjadi kesepakatan antara kelompok masyarakat Jumadil CS dengan Pihak PT.PSMI yang dituangkan dalam Surat Perjanjian Kesepakatan tanggal 30 Agustus 2001, dimana disebutkan bahwa PT. PSMI akan memberikan uang perdamaian panen tebu setiap tahun sebesar Rp. 70 juta sampai menunggu penyelesaian lebih lanjut;

c. Berdasarkan Surat Sekretaris Daerah Propinsi Lampung nomor : 900/1114/01/2002 tanggal 12 Juni 2002 menyebutkan bahwa pembayaran uang kompromi seperti yang tersebut dalam surat kesepakatan tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan PT. PSMI baik pada tahun 2001 maupun pada tiap tahunnya;

d. Pada saat proses Permohonan penerbitan Hak Guna Usaha oleh PT.PSMI tanah yang dimohon masih dalam keadaan sengketa dengan Saudara Jumadil Cs sebagaimana Surat Perjanjian Kesepakatan antara PT. PSMI dengan Sdr. Jumadil Cs tanggal 30 Agustus 2001 serta Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah B. No. 01/tanggal 25 September 2001;

e. Bahwa permasalahan Sengketa Tanah antara Jumadil Cs dengan PT. Pemuka Sakti Manis Indah telah ditangani oleh Pengadilan Negeri Kotabumi dan berdasarkan Putusan Nomor : 08/PDT.G/2004/PN.KB tanggal 09 Nopember 2004 dimenangkan oleh Sdr. Jumadil Cs.

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Telah dilakukan Penelitian data fisik dan data yuridis oleh petugas Kantor Wilayah BPN

Provinsi Lampung, disaksikan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Way Kanan dan petugas/pegawai PT. PSMI atas permasalahan Sengketa tanah seluas kurang lebih 139 Ha antara PT. PSMI dengan Sdr. Jumadil Cs terletak di Desa Negeri Besar Kecamatan Negeri Besar Kabupaten Way Kanan, berdasarkan Surat Tugas Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung No. 36/ST.600/VIII/2015 tanggal 29 Agustus 2015 dan No. 254/ST.600/II/2015 tanggal 25 Februari 2015;

b. Telah dilakukan Gelar Kasus Internal permasalahan sengketa tanah antara PT. PSMI dengan Sdr. Jumadil Cs di Kantor Pertanahan Kabupaten Way Kanan tanggal 12 Agustus 2015 sesuai berita Acara No. 17/BAP.600/VIII/2015;

c. Sebelum adanya pengaduan ke Kanwil BPN Provinsi Lampung kasus Sengketa tanah seluas 139 ha antara PT. Pemuka Sakti Manis Indah (PSMI) dengan Sdr. Jumadil Cs telah ditangani oleh Tim 13 Provinsi Lampung dan hasil kesepakatannya tertuang dalam Perjanjian Kesepakatan Pemanenan tebu PT.PSMI dengan Kelompok Masyarakat Kiling-Kiling (Sdr. Jumadil Cs) tanggal 30 Agustus 2001 bertempat di Graha Gading Karang Bandar Lampung yang antara lain menyebutkan bahwa Pihak Perusahaan akan memberikan uang kompromi perpanen sebesar Rp. 70.000.000,- (Tujuh puluh juta rupiah) dengan ketentuan uang tersebut diberikan langsung kepada masyarakat yang memiliki bukti-bukti kepemilikan tanah sementara dan pembayarannya disaksikan dan

Page 87: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

82

diawasi Tim 13 Provinsi Lampung serta disaksikan/diketahui Kepala Desa Kiling-Kiling akan tetapi realisasinya hanya dibayar 1 (satu) kali saja;

d. Disebabkan tidak ada tindak lanjut dari perjanjian tersebut diatas, maka pihak Jumadil melalui keasa hukunya menyampikan gugatan terhadap PT. Pemuka Sakti Manis Indah (PSMI) ke Pengadilan Negeri Kotabumi dan berdasarkan Putusan No. 08/PDT.G/2004/PN.KB tanggal 09 Nopember 2004 dimenangkan oleh pihak penggugat Sdr. Jumadil Cs;

e. Telah dilakukan Eksekusi pengosongan terhadap tanah pihak penggugat berdasarkan Berita Acara Pelaksanaan Eksekusi Pengosongan tanah Nomor: 01/Eks.HT.DEL/2007/PN.BU jo. Nomor: 08/Pdt.G/2004/PN.KB tanggal 14 Juni 2007 dengan cara mengosongkan tanah dengan secara simbolis guna diberikan kesempatan kepada PT. PSMI untuk memanen terlebih dahulu pohon tebu dari areal tanah yang dikosongkan tersebut kemudian tanah tersebut diserahkan kepada para pemohon Eksekusi, akan tetapi kasus tersebut hingga saat ini belum selesai;

f. Pada tanggal 16 September 2015 bertempat di Kantor Pertanahan Kabupaten Way Kanandilaksanakan gelar mediasi antara PT. PSMI dengan Sdr. Jumadil Cs menghasilkan kesimpulan bahwa:1) Dari hasil penelitian data fisik dan data yuridis dilapangan dapat disimpulkan

bahwa dengan mengacu kepada SK. Bupati Lampung Utara Nomor: 146/B.721/BG.I/HK/1989 tentang penetapan tata batas wilayah Desa Negeri Besar Desa Kaliawi, Desa Kiling kiling dan Desa Tiuh Baru Kecamatan Pakuan Ratu Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Utara, lokasi tanah Sdr. Jumadil Cs seluas 139 ha adalah benar masuk didalam HGU No. 01/Tiuh Baru (tahun 2002) an. PT Pemuka Sakti Manis Indah sesuai Peta Bidang Tanah Nomor Lembar 1 dari 1 tanggal 11 Desember 2000;

2) Berdasarkan Risalah Panitian Pemeriksaan Tanah B Nomor : 01/PPT/KW/2001 tanggal 25 September 2001, bahwa tanah Sdr. Jumadil Cs seluas 139 ha tersebut tidak pernah dibayar ganti ruginya oleh PT. Tehnik Umum (sekarang PT. Pemuka Sakti Manis Indah);

3) Pada saat diajukan proses penerbitan Hak Guna Usaha oleh PT. Pemuka Sakti Manis Indah status tanah yang dimohon masih dalam keadaan sengketa dengan Sdr. Jumadil Cs;

4) Didalam Putusan Pengadilan Negeri Kota Bumi Nomor : 08/PDT.G/2004/PN.KB tanggal 09 Nopember 2004, Sdr. Jumadi Cs sebagai penggugat telah dinyatakan menang sehingga perlu untuk ditindak lanjuti sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

g. Gelar mediasi pada 16 September 2015 di Kantor Pertanahan Way Kanan tersebut juga menghasilkan rekomendasi berupa:1) Kepada pihak PT. Pemuka Sakti Manis Indah disarankan untuk membayar uang

ganti rugi tanah Sdr Jumadil Cs selluas 137,5 ha (luas hasil penelitian lapang) atau menerimanya sebagai peserta kemitran pihak perusahaan;

2) Tanah seluas 137,5 ha yang diklaim milik Sdr Jumadil Cs dikeluarkan dari Hak Guna Usaha nomor: 01 Tiuh Baru an. PT. Pemuka Sakti Manis Indah.

Page 88: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

83

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

5.1.1.6. Provinsi Jawa Timur

5.1.1.6.1. PTPN XII/Kalisanen (Kabupaten Jember)

1. Riwayat Tanaha. Lokasi Kebun Kalisanen merupakan Tanah ex. Erpacht Verp.1161, 1162, 1163, 1164,

1165, 1385, 4155, 4267, 4268, 4269, 4363, dan 4626, Luas seluruhnya 3.105. 4664 Ha;b. Terhadap tanah tersebut telah tindak lanjuti dengan pemberian Hak Milik kepada

masyarakat dalam rangka redistribusi tanah dengan rincian:1) SK. Gubernur KDH TK. I Jatim No. DA/C.2.II/SK/06/PR/1981 tanggal 07-12-1981,

kepada 2.097 KK/ Luas seluruhnya ± 400,5306 Ha.2) SK. Gubernur KDH TK. I Jatim No. DA/C.2.II/SK/01/PR/1983 tanggal05-03-1983,

kepada 116 KK/Luas seluruhnya ± 25,4418 Ha.c. Pemberian HGU berdasarkan SK Mendagri Cq. Dirjen Agraria No. Sk.64/HGU/DA/1986

tanggal 29-11-1986 kepada PTPN XII / Seluas ± 2.709,49 Ha, namun tidak didaftarkan haknya, sehingga SK HGU batal demi hukum;

d. Warga Desa Curahnongko menuntut tanah seluas ± 332 Ha dengan dalil bahwa tanah tersebut merupakan tanah garapan rakyat sejak tahun 1942 yang diambil alih untuk dijadikan tanah perkebunan dengan proses ganti rugi yang belum tuntas disertai intimidasi. Jika melihat kondisi dilapangan bahwa tanah seluas ± 125,05 Ha telah dikuasai warga sedangkan ± 207 Ha masih dikuasai PTPN XII.

2. Lokasi HGU PerkebunanLokasi kebun PTPN XII/Kalisanen dan obyek yang disengketakan masyarakat berada di Desa Curahnongko, Kecamatan Tempurejo yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Jember. Adapun peta HGU PTPN XII/Kalisanen adalah sebagai berikut:

Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Jember

Gambar 14. Peta Bidang Tanah HGU PTPN XII/Kalisanen dan Obyek yang di Permasalahkan

Page 89: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

84

3. Penyebab Sengketa Pertanahan Antara PTPN XII/Kalisanendengan Masyarakata. Pada pertengahan tahun 1998, PTPN XII mengadakan peremajaan terhadap kebun

karet yang telah berusia lebih dari 30 tahun dengan melaksanakan penebangan dan pendongkelan terhadap tunggul-tunggul pohon karet pada areal afdeling Worowiri;

b. Pada saat penebangan dan pendongkelan selesai dilaksankan dan lahan tersebut siap untuk ditanami pohon karet, tanpa seijin PTPN XII warga Desa Curahnongko (± 80 KK) menduduki dan menggarap tanah tersebut dengan tanaman padi, jagung dan tanaman polowijo seluas ±125,05 Ha;

c. Pendudukan/penggarapan oleh warga Desa Curahnongko telah diketahui dan tidak dapat dicegah oleh pihak PTPN XII dengan pertimbangan untuk menghindari terjadinya benturan fisik dilapangan dengan warga Desa Curahnongko.

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Kanwil Provinsi Jawa Timur memfasilitasi pertemuan tanggal 11-02-1999 yang dihadiri

oleh pihak Pemkab. Jember, Kankantah Kab. Jember, Wakil warga Desa Curahnongko dan PTPN XII dengan kesimpulan Direksi PTPN XII tidak berwenang membuat pelepasan hak atas tanah yang dituntut warga;

b. Pemerintah Kabupaten Jember memfasilitasi musyawarah tanggal 19-10-2005 yang dihadiri Adm. Kebun Kalisanen, Kakantah Kab. Jember, Ketua SIPER dan Wakil warga Desa Curahnongko dengan menghasilkan Surat Bupati Jember No. 590/693/436.010/2005 tanggal 01-12-2005, berisi permintaan agar tanah obyek sengketa dikeluarkan dari permohonan HGU PTPN XII dan diserahkan kepada warga Desa Curahnongko;

c. Kantor Pertanahan Kabupaten Jember memfasilitasi pertemuan tanggal 12-04-2006 yang dihadiri Kasi PMP Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur, Pemkab. Jember, Camat Tempurejo, Kepala Desa Curahnongko, Direksi PTPN XII, Adm. Kebun Kalisanen, Ketua SIPER dan Wakil warga Desa Curahnongko dengan kesimpulan bahwa PTPN XII akan melakukan pemasangan tugu batas tanah seluruhnya serta bersama warga Desa Curahnongko melakukan identifikasi tanah obyek sengketa dan tanah yang tidak bermasalah akan diajukan permohonan ukur dan HGUnya, sedangkan tanah obyek sengketa (bermasalah) tetap diagendakan penyelesaiannya;

d. Dalam penanganan tanah obyek sengketa, PTPN XII melakukan :1) Kerjasama dengan pihak Kejaksaan Negeri Jember di bidang Perdata dan TUN,

meliputi bantuan hukum, pelaya hukum dan tindakan hukum (vide Surat Perjanjian Kerja Sama Bidang Perdata Dan Tata Usaha Negara Antara PT. Perkebunan Nusantara XII (Persero) Unit Usaha Strategik Kalisanen-Jember Dengan Kejaksaan Negeri Jember No. B.001 /KLN / V /2006 dan No. B. 07105.12 / GS.1 / 5 / 06 tanggal 19-05- 2006 dan Surat Kuasa Khusus No. 001 /O.5.12 /Gs.1 / 05 /2006 tanggal 22-05-2006);

2) Pengaduan kepada Polres. Jember, perkara tindak pidana penggunaan tanah perkebunan tanpa ijin milik PTPN XII yang dilakukan oleh K. Musri dkk.;

3) Penahanan terhadap K. Musri dkk. oleh Polres. Jember dalam rangka penyidikan;4) Dalam proses peradilan K. Musri dkk. divonis tidak bersalah dan dibebaskan dari

penahanan. e. Dalam perkembangannya warga Desa Curahnongko melaporkan tindakan PTPN XII dan

Kejaksaan Negeri Jember tersebut kepada Komisi Ombudsman Nasional, atas dugaan

Page 90: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

85

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Mal administrasi oleh Kepala Kejaksaan Negeri Jember dan jajarannya (vide Surat Komisi Ombudsman Nasional No. 182/REK/0303.2006/TM.05/X/2006);

f. PTPN XII mengajukan permohonan pengukuran terhadap sebagian tanah perkebunan Kalisanen yang dianggap sudah tidak bermasalah seluas 2.584,49 Ha (2.709,49 Ha – 125 Ha), dalam pelaksanaan pengukuran terkendala, karena warga desa Curahnongko menganggap yang bermasalah adalah seluas 332 Ha;

g. Dalam pertemuan tgl. 13 Oktober 2010, dihasilkan kesepakatan yang ditandatangani oleh Siswo Prajitno,SH (Kepala Kantor Pertanahan Kab. Jember), Moh. Jumain (SIPER), Ir. Endang Sulaiman (Menejer Wilayah II PTPN XII), Ir. Irsan Rambe (Menejer Kebun Kalisanen) dan Salam (Perwira keamanan PTPN XII), intinya berisi:1) SIPER akan mengajukan permohonan pengukuran dan pembayaran pengukuran

seluas 125 Ha kepada BPN RI melalui Kantor Pertanahan Jember;2) Para pihak tidak akan saling mengganggu dan tidak berkeberatan thp pelaksanaan

pengukuran seluas 2.584,49 Ha yang diajukan PTPN XII dan seluas 125 Ha yang akan diajukan SIPER.

h. Pada tanggal 13 Desember 2012 tim dari BPN RI dan Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur melakukan penelitian lapangan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Jember dan dilanjutkan ke Lokasi Sengketa;

i. Pada tanggal 7 – 2 - 2013 bertempat di Kanwil BPN Prop. Jatim diadakan ekspose permohonan perpanjangan HGU , tercatat atas nama PTPN XII (persero) berkedudukan di Surabaya, terletak di Jember, Banyuwangi, Malang, Ngawi, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang. Salah satu obyek yang dimohon oleh PTPN XII adalah Perkebunan Kalisanen, dalam arahannya Bapak Kakanwil menyampaikan :1) Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon dalam hal ini PTPN XII

wajib menggunakan tanahnya seluas 20 % untuk masyarakat baik dengan Pola Kemitraan atau dilepaskan;

2) Permohonan hak oleh PTPN XII harus dilaksanakan secara clear dan clean dalam artian tanah sengketa seluas 125 Ha harus dikeluarkan dulu dari permohonan HGU nya;

3) Dalam perkembangannya perwakilan warga Desa Curahnongko terbagi menjadi 4 kelompok, disarankan agar keempat kelompok tersebut dilebur menjadi satu kesatuan perwakilan warga Desa Curahnongko.

j. Sampai pada tahapan ini konflik tanah tidak kunjung selesai, aktifitas terhadap tanah pada lokasi konflik terhenti sehingga fungsi tanah untuk sebesar besar kemakmuran rakyat tidak dapat dilaksanakan. Disisi lain perpanjangan/Pembaharuan HGU tidak dapat dilaksanakan dan rentan muncul konflik horizontal;

k. Untuk mengatasi permasalahan tersebut kemudian dibentuk Tim Penanganan Masalah Curahnongko yang diketuai oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Jember. Tim terdiri dari unsur Pemerintah Kabupaten Jember, Forum Komunikasi Daerah Plus, PTPN XII, Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur, Kantor Pertanahan Kabupaten Jember, Piahk Kecamatan, Pihak Desa dan Perwakilan Masyarakat. Adapun tugas tim tersebut adalah:1) Sosialisasi/penyuluhan;2) Menyepakati batas obyek yang bermasalah dan yang tidak bermasalah yang

kemudian dilanjutkan dengan pemasangan tanda batas;3) Mengupayakan selama belum ada penyelesaian, masing-masing pihak dapat

Page 91: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

86

menjalankan aktifitas dan mendapat manfaat atas tanah yang dikerjakan tanpa ada gangguan dari pihak manapun;

4) Melakukan identifikasi data-data obyek dan subyek atas tanah yang bermasalah dan melarang pengalihan penggarapan selama proses penanganan masalah masih berlanggsung

l. Tim Penanganan Masalah Curahnongko melaporkan hasil penelitian kepada Tim Task Force melalui Kakanwil dengan tembusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN dan Dirjen Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan Tanah, guna penyelesaian lebih lanjut;

m. Tim Task Force meminta kepada DPD RI untuk memfasilitasi bersama-sama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN, PTPN XII, Kementerian BUMN yang intinya PTPN XII mengajukan pelepasan aset kepada Menteri BUMN;

n. Atas Obyek yang tidak bermasalah disepakati, permohonan perpanjangan HGU/pembaharuan HGU atas nama PTPN XII dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.

5.1.1.6.2. PT. Kemakmuran Swaru Buluroto (Kabupaten Blitar)

1. Riwayat Tanaha. Firma Kemakmuran mengklaim memiliki tanah Perkebunan Swarubluroto seluas ± 609

Ha (Tanah Obyek Sengketa), terletak di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar berdasarkan Akte Penjualan dan Pembelian tanggal 7 September 1960 Nomor 24, antara Indra Djelata Pontoan bertindak untuk dan atas nama Firma Kemakmuran dengan Andi Hamid;

b. Status tanah obyek Sengketa dimaksud semula merupakan tanah bekas hak erpacht yaitu:1) Persil Swaru Verponding Nomor 326 seluas 2,8173 Ha.2) Persil Swaru I Verponding Nomor 85 seluas 117,8637 Ha.3) Persil Swaru II Verponding Nomor 93 seluas 27,1294 Ha.4) Persil Buluroto I Verponding Nomor 32 seluas 43,5902 Ha.5) Persil Buluroto II Verponding Nomor 88 seluas 237,5902 Ha.6) Persil Buluroto I Verponding Nomor 96 seluas 173,5902 Ha.7) Persil Buluroto II Verponding Nomor 324 seluas 6,5902 Ha.Luas seluruhnya 609,3239 Ha, terletak di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur, terakhir tercatat atas nama Andi Hamid yang masing-masing telah berakhir pada tanggal 17 Januari 1959, 8 Maret 1959 dan 30 September 1960, telah beralih kepada Firma Kemakmuran berdasarkan Akta Penjualan dan Pembelian Nomor 24 tanggal 7 September 1960;

c. Tanah tersebut belum sempat dibalik nama oleh Firma Kemakmuran kemudian disita oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk dijadikan barang bukti dalam perkara Pidana dengan tuduhan perbuatan subversi, atas nama tertuduh PT. Bank Benteng, R.1; Indra Djelata Pontoan dan Tan Tek Hoat, berdasarkan Surat Perintah Penyitaan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 5/80/SPT/DRPDK/1964 tanggal 29 Pebruari 1964 dan Berita Acara Penyitaan Setempat tanggal 3 Maret 1964;

d. Firma Kemakmuran pernah mengajukan Hak Guna Usaha dengan surat Nomor 674/C.I/68 tanggal 10 Desember 1968, namun berdasarkan pemeriksaan Panitia B setempat tanggal 20 Agustus 1970 menyatakan keberatan untuk diberikan Hak Guna

Page 92: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

87

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Usaha karena pengusahaannya tidak sebagaimana mestinya;e. Berdasarkan Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Nomor 3084/1.5.2/9/1970

tanggal 23 September 1970 yang menyebutkan bahwa sejak Maret 1969 Perkebunan Swarubuluroto tidak berada di bawah pengawasan Kejaksaan Negeri Blitar, Inspeksi Agraria Provinsi Jawa Timur melalui Surat Keputusan Nomor 1/Agr/l/HGU/P3/1971 tanggal 26 Januari 1971 telah menempatkan Perkebunan Swarubuluroto yang dikelola oleh Firma Kemakmuran dalam Pengawasan/Bimbingan/Pembinaan Panitia Pertimbangan Perkebunan Propinsi (P3) Jawa Timur yang pelaksanaannya diserahkan kepada Tim Pelaksana Pengawasan dan Bimbingan Daerah yang diketuai oleh Sdr. Sanoesi Prawirodihardjo, Bupati Blitar pada saat itu;

f. Pengelolaan atas tanah Perkebunan Swarubuluroto selanjutnya diserahkan kepada PT. Satya Mukti Raya oleh Sdr. Sanoesi Prawirodihardjo dan selanjutnya terbit Sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 1/Karangrejo atas nama PT. Satya Mukti Raya tanggal 9 Mei 1975 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.70/HGU/DA/73 tanggal 5 Oktober 1973, luas 6.235.000m2, sesuai Surat Ukur Nomor 20/1978 tanggal 12 Maret 1975 yang berakhir haknya pada tanggal 12 Desember 1997;

g. Hak Guna Usaha No. 1/Karangrejo dibebani Hipotik Pertama sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) oleh kreditur Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur di Surabaya berdasarkan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah SOERACHMAD tanggal 23 Juni 1993, Nomor: 28/Garum/1993, Sertipikat Hipotik nomor: 507/1993, tanggal 09 Desember 1993;

h. Sesuai surat dari Kejaksaan Agung Nomor B.1025/F/Fpk/11/1995 tanggal 14 Nopember 1995 yang ditujukan kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, isinya antara lain menyebutkan bahwa Surat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Nomor 3084/1.5.2/9/1970 tanggal 23 September 1970 sebagaimana tersebut pada butir 5 yang menyebutkan bahwa sejak Maret 1969 Perkebunan Swarubuluroto tidak berada di bawah pengawasan Kejaksaan Negeri Blitar, telah dicabut dengan surat Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Nomor B¬261/K.5/Fpy.2/10/1986 tanggal 30 Oktober 1986 karena penerbitan surat tersebut tidak mempunyai dasar hukum;

i. Perkara Pidana sebagaimana tersebut pada butir 3 tersebut di atas telah diputus oleh Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 3546/1965/Pid.Subv tanggal 16 Agustus 1966 jo. Putusan pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 1/1967/PT.Pidana tanggal 6 Juni 1967 yang amarnya antara lain menyatakan Sdr. Indra Djelata Pontoan selaku Direktur Firma Kemakmuran dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan/atau tidak terbukti melakukan tindak pidana. (Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai Surat Keterangan Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor MA/PAN/ 43/11/1983 tanggal 16 Pebruari 1983);

j. Berdasarkan. Surat Ketetapan Pengembalian Benda Sitaan/Barang Bukti Yang Tidak Diperlukan Lagi Bagi Kepentingan Penyitaan/Penuntutan Nomor SKET-01/0.522/Fuh.1/08/2007 tanggal 21 September 2007 dari Kepala Kejaksaan Negeri Blitar, tanah tersebut tidak diperlukan lagi bagi kepentingan penyidikan/penuntutan perkara atas nama tertuduh PT. Bank Benteng, R.1; Indra Djelata Pontoan dan Tan Tek Hoat, dan telah dikembalikan kepada Drs. J. A. Paat, Direktur Utama Finna Kemakmuran berdasarkan Berita Acara Pengembalian Benda Sitaan/Barang Bukti tanggal 21 Agustus 2007 dari Kejaksaan Negeri Blitar.

Page 93: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

88

k. Sesuai surat Ketua Pengadilan Negeri Blitar Nomor W 14.0 l l /706/KPN/ IX/2007 tanggal 28 September 2007 diterangkan bahwa tidak terdapat adanya permohonan Konsinyasi (penitipan uang) yang diajukan oleh PT. Satya Mukti Raya terhadap Firma Kemakmuran;

l. Terhadap permasalahan tanah Perkebunan Swarubuluroto telah dilakukan gelar perkara dan penelitian lapangan oleh Tim dari Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 276-XXVI-2007 tanggal 24 September 2007 jo. Surat Perintah Tugas Nomor Sprin/22/IX/2007/DV tanggal 24 September 2007, dengan hasil antara lain:1) Secara, fisik tanah perkebunan Swarubuluroto, ditanami tebu yang dikelola oleh

Bupati Blitar/Pemerintah Daerah dan masyarakat berdasarkan Surat Keputusan Bupati Blitar Nomor 173 Tahun 2005 tanggal 4 Juli 2005 tentang Pengelolaan Tanah Eks Perkebunan Swarubuluroto, jo. Surat Pedanjian Kerjasama Bagi Hasil Amara Pemerintah Kabupaten Blitar dengan CV. Barokah Nomor 188/269/409.011/2005 tanggal 11 Agustus 2005;

2) Sebagian tanah perkebunan telah menjadi pemukiman penduduk, yang selanjutnya berdasarkan Berita Acara Serah Terima tanggal 25 Mei 2007 tanah seluas ± 162 Ha telah dilepas oleh Drs. J.A. Paat selaku Direktur Utama Firma Kemakmuran kepada masyarakat yang diwakili oleh Sdr. Suryanto Satram selaku Ketua Panitia Redistribusi Tanah Bekas Perkebunan Swarubuluroto.

m. Selanjutnya terhadap permasalahan tanah bekas Perkebunan Swarubuluroto tersebut telah ditindaklanjuti dengan diterbitkan surat Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan surat Nomor 3263-620.1-DV tanggal 8 Oktober 2007 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur, yang pada intinya menyatakan Firma Kemakmuran dapat mengajukan permohonan hak kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur untuk diproses sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila di dalam proses penerbitan Hak Guna Usaha masih ditemukan masalah yang antara, lain adanya indikasi Pidana, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur selaku Ketua Tim AdHoc dapat menggunakan mekanisme yang diatur dalam Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 khususnya Petunjuk Teknis Nomor 10/JUKNIS D.V/2007;

n. Berdasarkan Surat Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan surat Nomor 3263-620.1-DV tanggal 8 Oktober 2007 tersebut di atas ditanggapi oleh pihak PT. Setya Mukti Raya dengan surat Nomor 25/PT. SMR/IV/2009 tangggal 29 April 2009 yang pada intinya antara lain :1) Bahwa Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tidak obyektif dan

memihak, seakan-akan Hak Guna Usaha yang diberikan kepada PT. Satya Mukti Raya dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut, menyimpang dari ketentuan yang berlaku;

2) Demi nama baik PT. Satya Mukti Raya dan instansi yang menerbitkan Surat KeputusanMenteri Dalam Negeri Nomor SK.70/HGU/DA/73 tanggal 5 Oktober 1973 tentang pemberian Hak Guna Usaha kepada PT. Satya Mukti Raya, maka PT. Satya Mukti Raya akan melaporkan hal tersebut kepada Menteri Dalam Negeri dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);

Page 94: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

89

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

3) Agar proses penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Usaha yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur untuk sementara dihentikan, sebelum PT. Satya Mukti Raya mendapat penyelesaian yang diharapkan.

o. Disisi lain terhadap tanah Perkebunan Swarubuluroto, Forum Warga Swarubuluroto (FORWASWA) telah mengirim surat yang ditujukann kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 01/FSW/K.S/Eks.03/XII/2008 tanggal 15 Desember 2008 perihal permohonan dukungan, yang pada intinya berupaya mengajukan permohonan hak kepemilikan atas tanah bekas perkebunan Swarubuluroto untuk masyarakat Swarubuluroto dan surat tanggal 1 Juni 2009 yang intinya mohon kejelasan tentang rencana peruntukkan tanah Swarubuluroto;

p. Menanggapi surat dari PT. Setya Mukti Raya dan Forum Warga Swarubuluroto (FORWASWA), Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan surat Nomor 2342/26.1-600/VI/2009 tanggal 25 Juni 2009 yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Jawa Timur meminta agar melaporkan perkembangan terakhir permasalahan tanah Perkebunan Swarubuluroto kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia;

q. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Jawa Timur telah menanggapi Surat Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dengan Surat Nomor 2342/26.1-600NI/2009 tanggal 25 Juni 2009 tersebut di atas dengan mengirim. surat Nomor 10603/18.35.600/XI/2009 tanggal 17 November 2009 yang isinya melaporkan antara lain:1) PT. Kemakmuran Swarubuluroto berkedudukan di Jakarta yang merupakan

peningkatan/perubahan status dari Firma Kemakmuran berkedudukan di Ujung Pandang, telah mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah negara bekas Hak Erpacht Verponding Nomor 85, 88, 93, 96, 324, 325 dan 326 selaus 5.043.645 (504.3645 Ha) terletak di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, yang telah diteruskan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dengan surat Nomor 8608/9.35.300/IX/2009 tanggal 14 September 2009;

2) Berkaitan dengan pengaduan/keberatan masing-masing dari:a) Drs. H. Junaid Kede, MM qq. PT Satya Mukti Raya yang disampaikan melalui

surat Nomor 05/PT.SMR/IV/2009, pemohon telah membuat Surat Pernyataan yang menyatakan bahwa PT. Kemakmuran Swarubuluroto tidak memiliki hubungan/sangkut pant dengan PT. Satya Mukti Raya dan tidak pernah menerima uang ganti rugi yang dikonsinyasikan di Pengadilan Negeri Blitar, sebagaimana surat Ketua Pengadilan Negeri Blitar No. W. LU 11/706/KPN/IX/ 2007 tanggal 28 September 2007;

b) Jusuf Sudardi dan Achmad Juni Sunarijadi, SH selaku. Ketua dan Sekretaris Forum Warga Swarubuluroto (Forwaswa) qq. ±500 KK warga masyarakat yang disampaikan melalui surat No. 04/FWS/A.1/06/2009 tanggal 1 Juni 2009, pemohon dengan surat masing-masing No. 10/VI/09 tanggal 10 Juni 2009 dan No. 05/VII/PT/2009 tanggal 3 Juli 2009, telah menyatakan bahwa tanah yang dikuasai/dihuni warga masyarakat seluas 108,6499 Ha oleh pemohon akan diserahkan/dilepaskan melalui Pemerintah Kabupaten Blitar untuk selanjutnya diredistribusikan kepada warga masyarakat/penduduk setempat.

Page 95: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

90

3) Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia telah menerbitkan keputusan tanggal 09 Agustus 2010, nomor: 44/HGU/BPNRI/2010 tentang Pemberian Hak Guna Usaha atas nama PT. KEMAKMURAN SWARUBULUROTO, atas tanah di Kabupaten Blitar Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan keputusan tersebut di atas, terbit sertipikat Hak Guna Usaha Nomor 02/Desa karangrejo, Surat Ukur tanggal 03 November 2010, Nomor: 009/karangrejo/2010, NIB. 12.29.41.10.00001, luas: 5.043.645 m2, atas nama PT. KEMAKMURAN SWARUBULUROTO berkedudukan di Jakarta dalam jangka waktu selama 30 (tiga puluh) tahun, akan berakhir haknya pada tanggal 03 November 2040;

4) Selanjutnya ada perkembangan terbaru tentang Perkebunan Swarubuluroto, yakni adanya pihak yang mengaku berhak atas Perkebunan Swarubuluroto tersebut. SUWARDI dari Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya kantor Blitar yang beralamat di Jl. Sulaiman No. 17 Nglegok, Kabupaten Blitar selaku kuasa dari ahli waris R. SOENGKONO dengan suratnya tanggal 30 Oktober 2010, Nomor: 018/LPKSM/KB.SB/IX/2010 menyatakan bahwa CV. SRI WIDODO berkedudukan di Malang, di mana salah satu anggota direksinya bernama R. SOENGKONO telah membeli Perkebunan Swarubuluroto dari ANDI HAMID dengan melampirkan bukti-bukti anatara lain berupa foto copy:a) Kontra djual Beli Perkebunan Kopi & The Co Swarubuluroto tanggal 16

Desember 1955;b) Surat Persetujuan Bersama tanggal 3 Djuni 1956;c) Surat tanggal 15 Desember 1955 perihal hak dan pertanggungdjawaban

Swarubuluroto;d) Proses Verbal Timbang Terima tanggal 28 desember 1955;e) Surat Keterangan tanggal 9 Djuli 1956.

5) PT. Kemakmuran Swarubuluroto dengan suratnya tanggal 21-09-2012 No. 023/KS-SR/XI/2012 yang ditujukan kepada Kepala kantor Pertanahan Kabupaten Blitar, pada intinya menyerahkan tanah seluas ±108,6499 Ha untuk diusulkan menjadi tanah obyek landreform karena tanah dimaksud sudah telah dikeluarkan dari HGU No. 2/Karangrejo an. PT. Kemakmuran Swarubuluroto berkedudukan di Jakarta;

6) Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar dengan suratnya tanggal 02-10-2012 No. 463/13.35.05/X/2012, menanggapi usulan dari PT. Kemakmuran Swarubuluroto menyampaikan agar segera membuat surat pernyataan pelepasan dihadapan notaris atas tanah seluas ±108,6499 Ha.

2. Lokasi HGU PerkebunanLokasi perkebunan kelapa sawit PT. Kemakmuran Swarubuluroto berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia telah menerbitkan keputusan tanggal 09 Agustus 2010, nomor: 44/HGU/BPNRI/2010 terletak di Desa Karangrejo, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Adapun peta HGU tersebut adalah sebagai berikut:

Page 96: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

91

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Sumber: Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar

Gambar 15. Peta HGU PT. Kemakmuran Swarubuluroto

3. Penyebab Sengketa Pertanahan Antara PT. Kemakmuran Swarubuluroto dengan Masyarakata. Sampai saat ini tanah seluas ±108,6499 Ha yang diusulkan menjadi tanah obyek

landreform dan akan didistribusikan kepada masyarakat belum terealisasi;b. Dalam perjalanannya Sertipikat HGU No.2/Karangrejo (Asli) tidak dipegang oleh

subyek hak tetapi telah dipegang oleh Haji Maskur;c. Tanah areal HGU No.2/Karangrejo telah digarap oleh masyarakat secara keseluruhan;d. Pada tanggal 27 Februari 2015 Kajati Jawa Timur menerbitkan Surat No. R-702/0.5.5/

Fd.1/02/2015 yang berisi untuk memblokir dan tidak diperkenankan segala perbuatan hukum peralihan terhadap HGU tersebut.

4. Upaya Penanganan Konflik Pertanahan a. Dari pihak BPN baik dari Kantor Pertanahan Kabupaten Blitar maupun Kanwil BPN

Provinsi Jawa Timur belum melakukan penanganan lebih lanjut mengingat posisi permasalahan administrasi/hukum berada di Kejaksaan Tinggi Provinsi Jawa Timur;

b. Terkait distribusi tanah obyek landreform belum dapat dilaksanakan karena status permasalahan antara PT.Kemakmuran Swarubuluroto dengan Haji Maskur belum selesai.

Berdasarkan deskripsi/gambaran konflik pertanahan di wilayah perkebunan di lokasi sampel penelitian di atas, dapat kami uraikan garis besar riwayat tanah dan konflik pertanahan di wilayah perkebunan milik Negara/PTPN dan milik Swasta dengan masyarakat, sebagai berikut:1. Kronologis konflik dengan masyarakat di perkebunan milik Negara/PTPN

a. PTPN II, Kabupaten Langkat1) Tanah Bekas Konsensi;2) Tahun 1951 di Nasionalisasi (SK Mendagri) kemudian di kelola PTPN II (Dulu PTPN

IX);3) Tahun 1977 perpanjangan HGU;

Page 97: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

92

4) Tahun 1977 tuntutan masyarakat atas tanah garapan leluhur masa lalu (Lanjuran);5) Tahun 1999 Tuntutan pengembalian: Tanah Ulayat Masyarakat Melayu, tanah

garapan leluhur dan tanah pensiunan karyawan;6) Tahun 2000, Tim Penyelesaian Masalah Tuntutan/garapan diatas PTPN II oleh

Panitia B Plus, dgn hasil :a) Tututan tanah garapanb) Pengembalian hak ulayat masyarakat adat Melayuc) Pengembalian tanah perumahan pensiunan karyawand) Permohonan Instansi Pemerintah untuk Fasum dan Fasus dan RUTRWK

7) Tahun 2002:a) SK Kab BPN EKS HGU tidak diperpanjangb) Penyelesaian diserahkan kepada Gubernur Sumut untuk mengatur P4T,

setelah mendapat ijin pelepasan Aset dari Kemnterian BUMN. b. PTPN VII/Unit Usaha Way Lima, Tangkit Serdang, Kabupaten Tanggamus

1) Bekas Hak Erpacht;2) Tahun 1975 di Nasionalisasi;3) Tahun 1985 terbit SHGU dan berakhir thn 2005;4) Tahun 2004 Perpanjangan HGU;5) Tahun 2015 Kalim Masyarakat Adat atas tanah PTPN VII Way Lima dengan berkirim

surat kepada PTPN VII memberitahukan bahwa wilyah tersebut adalah milik adat;6) Tahun 2015 Pihak PTPN VII berkirim surat Ke Kanwil BPN Prov.Lampung untuk

menanyakan Riwayat tanah PTPN VII;7) Potensi Konflik

c. PTPN III (Dulu PTPN V Deli Serdang), Kabupaten Serdang Bedagai1) Di Nasionalisasi;2) Tahun 1968 Dikelola PN Perkebunan;3) Tahun 1995 Terbit SK HGU;4) Tahun 1996 Terbit SHGU;5) Tahun 1999: Klaim Masyarakat terhadap tanah seluas 82 Ha didalam PTPN III,

sebagai warisan tanah leluhur (Register tahun 1954 dari Dinas Agraria dilindungi UU Darurat No.8/1954, Deli Serdang);

6) Masuk ke Pengadilan dan sudah inkracht yang dimenangkan Masyarakat dimana PTPN harus melepaskan 82 Ha;

7) Belum terlaksana terkait Asset BUMN.d. PTPN VII/Beringin, Kabupaten Muara Enim

1) Tanah Negara bebas untuk Proyek PIRSUS tahun 1983;2) Tahun 1997 Program Pengembangan Kebun PTP dengan Pola Ganti Rugi di Wilayah

Beringin, Kab. Muara enim;3) Tahun 2000 Kalim Masyarakat atas tanah dan menuntut Ganti Rugi;4) Tahun 2001 Mediasi : kesepakatan dengan Masyarakat untuk Pola Kemitraan;5) Tahun 2002 Mediasi: Kesepakatan ganti rugi;6) Tahun 2012 Kalim Kembali masyarakat yang belum menerima dengan menuntut

ganti rugi;7) Tahun 2012 Mediasi: Kesepakatan (Sejumlah masyarakat menerima Pola Kemitraan

dan sebagian lainnya tidak sepakat).

Page 98: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

93

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

e. PTPN VIII/Dayeuhmanggung, Kabupaten Garut1) Tahun 1976, Tukar menukar tanah Negara bebas Kawasan Hutan;2) Tahun 1985 Terbit SK.HGU, tidak di proses dan tidak ada patok batas;3) Di Okupasi dan Reklaming masyarakat Petani seluas: 100 Ha;4) Tahun 2008 PTPN VIII mengajukan perpenjangan SK.HGU5) 24 Sep. 2012 :Pembakaran dan pembabatan tanah PTPN seluas 3 Ha;6) PTPN melapor ke Polda dan diturunkan pasukan Brimob Polda;7) Bulan Oktober 2012 Rapat Koordinasi di Pemda Kab.Garut: Pemda/Muspida,

Komisi A DPRD, Dinas Perkebunan, Kantah Kab.Garut, Camat, Petani beserta Serikat Petani Pasundan, PTPN VIII: Hasil penarikan pasukan Brimob;

8) Bulan Januari 2013 PTPN tidak melarang masyarakat menggarap tanah;9) Bulan Juni 2013: Rekomendasi Komnas HAM : Agar diberikan Hak garap seluas :

202 Ha dengan Pola Kerjasama selama 25 tahun;10) Bulan Agustus 2013: Validasi calon penggarap;11) Belum teralisasi.

f. PTPN XII, Kalisanen, Jember1) Tanah bekas Hak Erpacht: 3.105 Ha2) Tahun 1986 Terbit SK.pemberian HGU dari Mendagri Cq. Dirjen Agraria, tapi SK

tidak didaftarkan;3) Masyarakat Desa Curahnongko menuntut tanah garapan leluhur sejak tahun

1942 seluas: 332 Ha (karena proses ganti rugi belum selesai).Dari Luas yg dituntut masyarakat: 332 Ha yang dikuasai masyrakat seluas 125 Ha, yang dikelola/dimanfaatkan PTPN seluas: 207 Ha;

4) Masyarakat tetap menuntut seluas : 332 Ha;5) Tahun 2005 Srt.Bupati Jember agar dalam permohonan HGU PTPN, tanah seluas

332 Ha di enclave utk diserahkan kpd Masyarakat desa curahnongko;6) Tahun 2006 : 1) Pemasangan tugu batas, 2) identifikasi tanah sengketa yg akan

diselsaikan;7) Tahun 2006: Warga desa Curahnongko melaporkan PTPN ke Komisi Ombusman

Nasional dgn dugaan Mal Administrasi;8) Tahun 2010-2013: Masy. menolak pelepasan hanya : 125 Ha;9) Tahun 2015: Asset kewenangan Kemnterian BUMN utk pelepasannya, belum

terlaksana.

2. Kronologis konflik dengan masyarakat di perkebunan milik Swastaa. PT.Bridgestone (Dahulu Goodyear) Kabupaten Serdang Bedagai

1) Tahun 1899 sebagai Hak Konsesi;2) Tahun 1965 Penguasaan oleh Pemerintah Republik Idonesia;3) Tahun 1967 Sertipikat HGU NV.Goodyear selama: 30 tahun;4) Tahun 1997 Sertipikat HGU Berakhir;5) 1997 Perpanjangan SHGU: seluas 2.846 Ha selama: 25 tahun;6) Masyarakat 5 Desa menuntut tanah garapan leluhur seluas: 273 Ha.7) 15 Maret 2012, Ketua DPRD Kab.Serdang Bedagai melalui suratnya kepada Ka.BPN,

agar dilakukan Pengukuran Ulang untuk mengetahui luas HGU yang sebenarnya;8) Tanggal 12 Juli 2012, Plt.Deputi Bidang Pengkajian dan penanganan Sengketa

dan Konflik Pertanahan membalas surat tersebut yang pada intinya:Penerbitan

Page 99: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

94

Sertipikat HGU sudah sesuai dengan Ketentuan perundangan yang berlaku;9) Tahun 2014, PT.Bridgestone bersedia melakukan pengukuran ulang tapi belum

terlaksana karena ada perbedaan pandangan dengan masyarakat terkait dengan Obyek dan luasnya.

b. PT. Arta Prigel, Desa pandang Lengkuas, Kabupaten Lahat 1) Tahun 1993 ijin Prinsip Pencadangan untuk Kebun Kelapa sawit;2) Tahun 1998 Tuntutan ke Pengadilan olehMasyarakat Adat Desa Padang Lengkuas

seluas 900 Ha yang berada di Area PT.Arta Prigel (Alas Hak: SK.Hak 1965 dikeluarkan Krio/Kades Padang Lengkuas) tidak dilanjutkan karena tidak memenuhi biaya perkara;

3) Tahun 2001 Masyarakat menuntut : 900 Ha ke Kantah Lahat dan PT.Arta Prigel;4) Tahun 2006 terbit Sertipikat HGU PT.Arta Prigel:831 Ha;5) Tahun 2006 Masyarakat menuntut kembali : 900 Ha ke Kantah Lahat dan PT.Arta

Prigel;6) Tahun 2006 Kakantah Kab.Lahat menyarankan untuk ke Pengadilan;7) Tahun 2007 Bupati menyarankan untuk ditempuh dengan jalur hukum.

c. PT. Tutu Kekal, Sukabumi1) Bekas Hak Erpacht;2) Tahun 1968 Terbit Sertipikat HGU atas nama PT.Tutu Kekal;3) Tahun 2009 Pembaharuan Sertipikat HGU seluas: 1.621,8636 Ha;4) Pemanfaatan Tanah:

a) Tanah tidak pernah dikelola oleh perusahaan, b) Masyarakat mengokupasi dan menggarap tanah perusahaan tersebut;

5) Tahun 2012: a) Dikeluarkan untuk Prona: 64,1787 Hab) Dikeluarkan untuk Prona, Fasum dan Fasus: 130,4912 Ha

6) Tahun 2015 Dalam rangka pembaruan kembali Sertipikat HGU PT. Tutu Kekal mau meng-enclave seluas : 130,4912 H (Utk Masyarakat, fasum dan fasus).

d. PT. Surya Andhika Mustika (SAM), Garut1) Bekas Hak Erpacht: 498 Ha tahun 1965;2) Tahun 1972 Dirampas Negara, di lelang dan di Konversi HGU Perorangan;3) Tahun 1980 HGU Perorangan tidak diperpanjang;4) Tahun 1984 Pelepasan hak;5) Tahun 1986 SHGU PT SAM seluas: 422,360 Ha berakhir tahun 2011, yang digarap

PT.SAM: 38,75 Ha sedangkan seluas: 385,56 Ha dikuasai masyarakat untuk permukiman dan tanaman sayur;

6) Tahun 2011, 1) Sidang panitia C di kantah Kb.Garut Penertiban Pendayagunaan Tanah Terlantar; 2) Petani penggarap disuruh menunggu proses penertiban tanah terlantar dan para petani dianjurkan untuk mempersiapkan Konsep pengembangan usaha ekonomi yang berbadan hukum.

e. PT. Malaya Sawit Khatulistiwa, Kutai Kertanegara1) Tanah Negara;2) Tahun 2007 Perpanjangan Ijin Lokasi;3) Tahun 2009 Terbit SHGU PT. Malaya Sawit Khatulistiwa;4) Sebelumnnya sdh terbit thn 2006 SHM (Prog.Sertipikasi transmigrasi);5) Pengukuran dan Pemetaan serta Panitia B tidak Clear dan clean;

Page 100: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

95

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

6) Mediasi: Perusahaan mau menginclave SHM dan tanah garapan masyarakat.f. PT. Daya Kalianda Raya (DKR),

1) Tahun 1970 Permohonan perolehan tanah;2) Tahun 1975 s/d 1977: proses ganti rugi;3) Tahun 1979 terbit AJB, terjadi jual beli di dalam wilayah perkebunan;4) Tahun 1981 AJB dibatalkan Camat;5) Tahun 1983 terbit SHGU berakhir: 2007;6) Tahun 2006 Perpanjangan SHGU;7) Tahun 2007 Masyarakat ke Pengadilan dan AJB dimenangkan dan dijadikan alas

hak untuk pembuatan SHM;8) Tahun 2007 terbit SHM (program Ajudikasi);9) Tahun 2015 Konflik;10) Tahun 2015 Mediasi.

g. PT. Pemuka Sakti Manis 1) Tahun 2001 Terbit SHGU seluas: 428,05 Ha;

Didalam SHGU hanya mencantumkan nama Kecamatan, sedangkan nama-nama Desa tdk di cantumkan. Terhadap Desa Negeri Besar seluas 139 Ha tidak ada ganti rugi, sedangkan alas hak masyarakat desa adalah SK,hak milik dari Kepala kampung Negeri Besar tahun 1983 dan dikuatkan oleh pemuka pemerintahan desa tahun 1988;

2) Penerbitan SHGU, tanah masih dalam sengketa;3) Tahun 2002 Kesepakatan ganti rugi tapi tidak dipenuhi oleh perusahaan;4) Tahun 2004 Masyarakat mengajukan ke Pengadilan dan dimenangkan masyarakat

negeri besar, dalam keputusan pengadilan yng sdh inkracht bahwa perusahaan harus meng-enklave (139 Ha) tanah masyarakat desa negeri besar;

5) Belum diekseskusi hanya bersifat simbolis;6) Tahun 2015 Mediasi: Pola kemitraan atau enclave 139 ha.

Garis besar/time line riwayat tanah dan konflik di wilayah perkebunan milik negara/PTPN dan swasta dengan masyarakat dapat dilihat dalam lampiran 1 dan 2.

5.1.2. Identifikasi Pola Konflik Pertanahan di Wilayah Perkebunan Milik Negara dan Swasta dengan Masyarakat Di Lokasi Sampel

Sesuai dengan sifat penelitian deskriptif kualitatif, maka pengelompokan diindentifikasi ke dalam pola konflik wilayah perkebunan milik negara dan milik swasta dengan masyarakat kedalam: (1) riwayat perolehan tanah, (2) akar masalah/penyebab konflik pertanahan, dan (3) penanganan dan solusi konflik pertanahan, seperti di uraikan di bawah ini: 1. Pola Konflik Perkebunan Milik Negara

a. Riwayat perolehan tanah, berasal dari:1) Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht dan Konsensi khususnya ada di daerah

Swapraja seperti di wilayah Kesultanan Deli, yang dimiliki pemerintahan Belanda yang di Nasionalisasi kemudian dilakukan ganti rugi antara pemerintah Belanda dengan pemerintah Republik Indonesia yang kemudian tanah-tanah perkebunan tersebut menjadi Perkebunan Milik Negara dan merupakan Asset Negara.

2) Tanah Negara Bebas dengan Pola Ganti Rugi;3) Tukar menukar tanah negara bebas kawasan hutan.

Page 101: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

96

b. Akar masalah penyebab konflik pertanahan1) Perbedaan pandangan mengenai Riwayat Tanah Perkebunan Milik Negara (PTPN)

antara pandangan Yuridis dengan Sejarah masa lalu masyarakat adat, sehingga terjadi klaim dari masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat adat;

2) Tuntutan masyarakat terhadap tanah garapan leluhur, kemudian di okupasi sebagai tempat permukiman/perumahan dan tanah garapan;

3) Tuntutan masyarakat terhadap tanah garapan leluhur, kemudian di klaim karena belum menerima ganti rugi;

4) Konflik dimulai ketika HGU:a) Akan berakhir/akan di perpanjang;b) pada era Reformasi tahun 1999;c) sejak adanya ganti rugi sebelum dan setelah SHGU terbit; d) ketika SK HGU tidak di proses sehingga tidak ada patok tanah.

5) Penanganan/Penyelesaiankonflik pertanahana) Non Litigasi : Mediasi

− HGU tidak diperpanjang, seperti di PTPN II Langkat, dan berdasarkan Tim Penyelesaian Masalah tuntutan/garapan diatas PTPN II oleh panitia B plus dengan Hasil: (i) pengembalian tuntutan tanah garapan, (ii) pengembalian hak ulayat masyarakat adat Melayu, (iii) pengembalian tanah perumahan pensiunan karyawan, (iV) permohonan Instansi Pemerintah untuk Fasum dan Fasus dan perubahan RUTRWK;

− Kesepakatan ganti rugi dan pola kemitraan untuk tanah negara bebas pola ganti rugi;

− Tidak melarang hak menggarap kepada masyarakat di wilayah perkebunan; − Memberikan hak garapan dan pola kejasama kepada masyarakat di wilayah perkebunan;

− PTPN memperhatikan dan bersedia pelepasan atas tanah yang sudah di okupasi dan digarap, pemukiman, fasum dan fasus;

b) Litigasi: Pengadilan, dianjurkan penyelesaian tanah adat melalui pengadilan.

2. Pola Konflik Perkebunan Milik Swastaa. Riwayat perolehan tanah, yang berasal dari:

1) Perusahaan perkebunan milik swasta berasal dari status tanah perkebunan bekas Hak Erpacht dan Konsensi khususnya ada di daerah Swapraja seperti di wilayah Kesultanan Deliyang di konversi menjadi hak guna usaha (HGU);

2) Tanah Negara Bebas dengan Pola Ganti Rugi.b. Akar masalah konflik pertanahan

1) Klaim tanah bekas garapan leluhur oleh masyarakat 5 desa terhadap wilayah perkebunan PT.Bridgestone,Serdang Bedagai seluas 273 Ha;

2) Klaim masyarakat adat desa Padang lengkuas, Lahat seluas 900 Ha, dengan alas hak masyarakat adat: SK Hak tahun 1965 yang dikeluarkan Krio/Kades Padang Lengkuas, sedangkan SHGU PT.Arta Prigel terbit tahun 2006 seluas 831 Ha;

3) Okupasi terhadap tanah terlantar di wilayah perkebunan PT.Tutu Kekal, Kab. Sukabumidan PT.Surya Andhika Mustika, Kab. Garut;

4) Tumpang tindih SHGU tahun 2009 PT. Malaya Sawit Khatulistiwa, Kutai Kertanegara dengan SHM tahun 2006 (Prog.Sertipikasi Transmigrasi);

Page 102: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

97

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

5) Tumpang tindih SHGU tahun 1983 PT.Daya Kalianda Raya dengan SHM tahun 2008 (Program Ajudikasi);

6) Pemanfataan tanah Perkebunan PT.Pemuka Sakti Manis merambah pada desa Negeri Besar seluas 139 Ha (dengan alas hak: SK.Hak Milik tahun 1983 dari Kepala Kampung Negeri Besar dan dikuatkan oleh pemerintahan desa tahun 1988), dan tidak pernah ada ganti rugi dari pihak perusahaan perkebunan. Hal ini disebabkan dalam SHGU hanya mencantumkan nama Kecamatan, tidak nama-nama desa yang sudah mendapatkan ganti rugi.

c. Penanganan/Penyelesaian konflik pertanahan1) Non Litigasi: Mediasi

a) PT.Bidgestone bersedia melakukan pengukuran ulang, tapi belum terlaksana karena ada perbedaan pandangan dengan masyarakat 5 Desa terkait dengan Objek dan luasnya;

b) Kakantah Kab.Lahat dan Bupati menyarankan kepada masyarakat adat desa Padang lengkuas untuk ditempuh dengan jalur hukum, karena Mediasi yang dilaksanakan tidak pernah berhasil;

c) Dalam rangka pembaharuan SHGU PT.Tutu Kekal bersedia meng-enklave tanah seluas 130,4912 Ha;

d) Perusahaan PT.Malaya Sawit Khatulistiwa bersedia meng-enclave tanah SHM dan tanah garapan masyarakat;

e) SHM (program Ajudikasi) diatas SHGU dinyatakan batal;f) Dianjurkan untuk pola kemitraan atau PT.Pemuka Sakti Manis meng-enclave

tanah desa Negeri Besar seluas 139 Ha;g) Untuk PT.Surya Andhika Mustika, pada tahun 2011, di Kantah Kabupaten

Garut dilakukan Sidang Panitia C tentang Penertiban Pendayagunaan Tanah Terlantar, dan bagi petani penggarap dianjurkan untuk mempersiapkan Konsep pengembangan usaha ekonomi yang berbadan hukum.

2) Litigasi: PengadilanNegeri memenagkan masyarakat desa Negeri Besar dengan amar putusan yang sudah inkracht, bahwa PT Pemuka Sakti Manis harus meng-enclave tanah desa Negeri Besar seluas 139 Ha. Eksekusi belum dilaksanakan, hanya bersifat simbolis.

Rekapitulasi Pola Konflik di Perkebunan Milik Negara dan Swasta dengan Masyarakat dapat dilihat pada lampiran 3.

5.2. PEMBAHASAN POLA KONFLIK PERTANAHAN ANTARA PERKEBUNAN MILIK NEGARA DAN MILIK SWASTA DENGAN MASYARAKAT

Analisa dimulai dari penelusuran pola konflik wilayah perkebunan milik negara dan milik swasta dengan masyarakat kedalam: (1) riwayat perolehan tanah, (2) akar masalah/penyebab konflik pertanahan, dan (3) solusi konflik pertanahanyang dihubungkan dengan teori, konsep dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti di uraikan di bawah ini:

5.2.1. Pembahasan Pola Konflik Perkebunan Milik Negara Dengan Masyarakat

Konflik di wilayah perkebunan milik negara dengan masyarakat dimulai dengan sejarah perolehan tanah milik negara tersebut sejak nasionalisasi perusahaan milik Belanda yang kemudian dilakukan ganti rugi yang pada akhirnya tanah perkebunan milik negara tersebut

Page 103: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

98

dinyatakan sebagai asset negara. Selain itu perolehan tanah milik perkebunan Negara juga berasal dari status tanah negara bebas yang dibebaskan dengan pola ganti rugi. Kemudian perolehan tanah perkebunan milik negara tersebut di hadapkan pada sejarah tanah masyarakat adat, seperti di uraikan dibawah ini:

1. Riwayat Perolehan Tanah Perkebunan Milik Negaraa. Perolehan Tanah Karena Nasionalisasi

Riwayat perolehan tanah perkebunan milik PTPN cenderung bersumber dari status tanah hak-hak barat seperti Hak Erpacht, ataupun dari Konsensi antara raja dengan pemerintah Hindia Belanda yang kemudian di Nasionalisasi. Berdasarkan UUPA Pasal 19, maka salah satu hak atas tanah yang dapat diberikan kepada antara lain adalah badan hukum menurut UUPA adalah Hak Guna Usaha (HGU). HGU tersebut dari segi sejarahnya berasal dari konsep Hak Barat yaitu Hak Erpacht yang diatur dalam Buku II KUHPerdata (BW), yang kemudian di adopsi dalam UUPA dengan nama Hak Guna Usaha. Selain itu dikenal pula adanya Hak Konsensi yang khususnya ada di daerah Swapraja seperti di wilayah Kesultanan Deli. Hak Erpacht dan Hak Konsensi tersebut sejak berlakunya UUPA di konversi menjadi HGU. Untuk itu mari kita lihat bagaimana perjalanan perusahaan perkebunan milik Belanda di Nasionalisasi sebagai perkebunan milik Negara Republik Indonesia dan kemudian terjadi ganti rugi antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Belanda dalam peralihan tersebut, seperti di jelaskan dalam peraturan-peraturan sebagai berikut:1) Pada permulaan kemerdekaan, hampir seluruh perkebunan Milik Asing dikuasai

oleh Negara, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1946 didirikan Pusat Perkebunan Negara. Pusat Perkebunan Negara ini menguasai kebun-kebun milik asing dan perkebunan milik negara (ex G.L.B);

2) Berdasarkan persetujuan Konferensi Meja Bundar, maka semua perkebunan milik asing pada umumnya dan Belanda pada khususnya dikembalikan kepada pemiliknya;

3) Dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat dari penjajahan Belanda maka dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956 telah dibatalkan persetujuan Konferensi Meja Bundar;

4) Sebagai follow up pembatalan Persetujuan Konferensi Meja Bundar itu maka dengan Surat Keputusan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan Nomor 1063/PMT/1957 ditetapkan bahwa : Semua Perusahaan Milik Belanda baik yang perorangan maupun yang berbentuk Badan hukum diambil alih penguasaannya oleh Pemerintah. Surat Keputusan Penguasa Militer/Menteri Pertahanan tersebut yang mengatur khusus Bidang Perkebunan dan Pertanian Nomor 229/UM/57 Tahun 1957;

5) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1958, tentang Penempatan Perusahaan-Perusahaan Perkebunan/Pertanian Milik Belanda Di Bawah Penguasaan Pemerintah Republik Indonesia, di dalam pasal 1 dikatakan:

“Perusahaan-perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda termasuk yang dimiliki Belanda , bersama-sama denga Pemerintah Republik Indonesia atau Warga Negara Indonesia beserta pabrik-pabriknya, lembaga-lembaga penyelidikan ilmiah di lapangan pertanian, bangunan-bangunannya dan benda-benda tidak bergerak lainnya, benda-benda

Page 104: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

99

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

bergerak dari perusahaan termasuk keuangannya dan surat-surat berharga, serta perkumpulan dan organisasi-organisasi perusahaan perkebunan, dan organisasi-organisasi lainnya yang mempunyai tugas antara lain mengurus kepentingan bersama daripada anggotanya perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda dimaksud di atas, dikuasai seluruhnya oleh Pemerintah Republik Indonesia”.

6) Undang Undang No. 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda, di dalam Menimbang point c dikatakan:

“bahwa dengan Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda tersebut dimaksudkan untuk memberi kemanfaatan sebesar-besarnya pada masyarakat Indonesia dan pula untuk memperkokoh keamanan dan pertahanan Negara. Kemudian di dalam pasal 1 undang undang ini dikatakan:”Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan Nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia”. Pasal 2 ayat 1 dikatakan: “Kepada pemilik-pemilik perusahaan-perusahaan tersebut dalam pasal 1 di atas diberi ganti kerugian yang besarnya ditetapkan oleh sebuah Panitia yang angota-anggotanya ditunjuk oleh Pemerintah”.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959, tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, di dalam pasal 1 ayat 1 dinyatakan:“Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dapat dikenakan nasionalisasi menurut pasal 1 undang undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda (Undang Undang Nomor 86 Tahun 1958) adalah:a) Perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik

perseorangan warganegara Belanda dan bertempat-kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia;

b) Perusahaan milik sesuatu badan hukum yang seluruhnya atau sebagian modal perseroannya atau modal pendiriannya berasal dari perseorangan warganegara Belanda dan Badan Hukum itu bertempat-kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia;

c) Perusahaan yang ltaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan warganegara Belanda yang bertempat kediaman di luar wilayah Republik Indonesia;

d) Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan milik sesuatu Badan Hukum yang bertempat-kedudukan dalam wilayah Negara Kerajaan Belanda.

7) Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1959, tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda, di dalam pasal 1 dikatakan:“Dengan tempat kedudukan di jakarta di bentuk “Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda” dan dalam singkatnya “Banas”, kemudian di dalam pasal 3 ayat c di katakan: ”menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul akibat Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda yang berhubungan dengan soal-soal pemindahan/pembebanan hak milik serta yang mengenai peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan ketentuan-ketentuan lain dari Penguasa

Page 105: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

100

Perang”. Di dalam pasal 5 dikatakan bahwa Banas bertanggung-jawab kepada Dewan Menteri.

8) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 , tentang Tugas Kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan-perusahaan Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian, di dalam pasal 1 dikatakan:a) Panitia Penetapan Ganti Kerugian bertugas mengadakan pemeriksaan

seperlunya tentang keadaan perusahaan Belanda yang dikenakan Nasionalisasi dan menetapkan besarnya ganti kerugian yang dapat diberikan;

b) Panitia Penetapan Ganti Kerugian memberitahukan hasil pekerjaannya kepada Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda;

c) Besarnya ganti kerugian yang ditetapkan oleh Panitia Penetapan Ganti Kerugian atau oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia diumumkan dalam Berita Negara.

Perkebunan milik Belanda yang sudah di Nasionalisasi milik Pemerintah Republik Indonesia melalui ganti rugi tersebut, dinanyatakan secara hukum sebagai Asset Negara, seperti di jelaskan dalam peraturan-peraturan di bawah ini:1) Undang-Undang 17 tahun 2003, tentang Keuangan Negara, pasal 1 angka 3

dikatakan antara lain kekayaan negara ada yang langsung di kelola negara dan ada yang dipisahkan. Untuk kekayaan negara yang dipisahkan dibentuk Badan Usaha Milik Negara dan dikatakan sebagai ASSET berdasarkan Surat Edaran Kepala BPN No.500-1255 tanggal 4 Mei 1992 antara lain menyatakan Tanah yang menjadi aset instansi pemerintah termasuk BUMN dapat berasal dari:a) tanah Negara;b) tanah milik Belanda yang di Nasionalisasi berdasarkan UU Nomor 86 Tahun

1958.Aset Negara yang dimiliki Pemerintah adalah Aset yang dipisahkan atau yang disebut Barang Milik Negara/Daerah adalah barang yang diperoleh/dibeli atas beban APBN/APBD dan barang yang berasal dari perolehan lain yang syah meliputi barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.Aset negara yang dipisahkan disebut investasi pemerintah, yang terdiri penyertaan modal pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/BUMD), Perseroan Terbatas lainnya, dan Badan Hukum milik pemerintah lainnya.

2) Undang Undang Nomor 49/Prp/1960 tentang Panitia urusan Piutang Negara, maka “Kekayaan BUMN bagian dari kekayaan Negara.

3) Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003, tentang Badan Usaha Milik Negara, di dalam Pasal 1, dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan (pada angka-angka):1. Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan

usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

5. Menteri adalah menteri yang ditunjuk dan/atau diberi kuasa untuk mewakili

Page 106: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

101

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

pemerintah selaku pemegang saham negara pada Persero dan memiliki modal pada Perum dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan.

6. Menteri Teknis adalah menteri yang mempunyai kewenangan mengatur kebijakan sektor tempat BUMN melakukan kegiatan usaha.

10. Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya.

4) Undang Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dalam pasal 1 pada angka-angka: 1. Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban

keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD,

10. Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.

b. Perolehan Tanah Negara Bebas dengan Pola Ganti RugiSecara hukum perusahaan milik negara yang perolehannya dari status tanah negara dengan pola ganti rugi di dalam SK pemberian HGU menyebutkan:”apabila di dalam areal tanah yang akan diberikan dengan hak guna usaha ini ternyata terdapat pendudukan/penggarapan rakyat yang sudah ada sebelum pemberian hak ini, dan belum mendapatkan penyelesaian, maka menjadi kewajiban/tanggung jawab sepenuhnya dari penerima hak untuk menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya, menurut ketentuan putusan yang berlaku.

c. Riwayat Tanah Masyarakat Adat di IndonesiaSecara historis, warga masyarakat hukum adat di Indonesia secara kultural mereka termasuk dalam kawasan budaya Austronesia, yaitu budaya petani sawah, dengan tatanan masyarakat serta hak kepemilikan yang di tata secara kolektif, khususnya hak kepemilikan atas tanah ulayat.

Seperti kita ketahui, bahwa hak atas tanah masyarakat adat di Indonesia hampir tidak ada surat sama sekali, ataupun walaupun ada suratnya hanya berupa surat-surat bermeterai yang ditanda tangani oleh pihak-pihak kepala desa/kepala kampung/krio atau kepala Marga dan sebagainya. Disamping itu sifat Hukum Adat adalah pada umumnya tidak tertulis, demikian juga dalam hukum adat tanah, dimana pada umumnya pemilikan atas tanah adat oleh seseorang/masyarakat hukum adat tidak ada bukti tertulis. Dalam hal ini pemilik hak atas tanah oleh masyarakat adat cukup di buktikan dengan penguasaan fisik oleh yang bersangkutan dengan adanya pengakuan dari ketua adat dan masyarakat adat. Artinya dengan adanya penguasaan dan pengakuan tersebut dapat menimbulkan hak atas tanah.

Masyarakat Hukum Adat dan Hak-Haknya, menurut Soekanto (1983 : 3), masyarakat hukum adat merupakan subjek hukum, oleh karena bersifat otonom, yang kemudian disebut otonomi desa; artinya masyarakat hukum tersebut menyelenggarakan perbuatan hukum, misalnya mengambil keputusan yang mengikat warga masyarakat, menyelenggarakan peradilan, mengatur penggunaan tanah, mewarisi dan sebagainya.

Page 107: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

102

Menurut Ter Haar (Riyanto , 2004 : 7), masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

Soepomo (Riyanto, 2004 : 7-8) dalam mendiskripsikan masyarakat hukum adat/persekutuan hukum adat menyatakan bahwa persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia dapat dibagi menjadi dua golongan, menurut dasar susunannya, yaitu (a) yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogis); dan (b) yang mendasarkan lingkungan daerah (territorial).

Masyarakat adat merupakan salah satu segmen riil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan memiliki berbagai kepentingan yakni kepentingan politik, ekonomi, budaya, hukum, politik, perekonomian, sejarah dan hak atas kehidupan otonom. Masyarakat adat juga memiliki lingkungan alam dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta kebebasan untuk mengelola serta memanfaatkan sumberdaya alam secara arif (Titahelu : 1998).

Salah satu antropolog Indonesia yaitu Koentjaraningrat (1993) menggunakan istilah masyarakat terasing yaitu masyarakat yang terisolasi dan memiliki kemampuan terbatas untuk berkomunikasi dengan masyarakat lain yang lebih maju. Kelompok masyarakat tersebut bersifat terbelakang serta tertinggal dalam prsoses mengembangkan kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan ideologi. Soebroto (1999) menggunakan istilah masyarakat adat untuk menunjukkan kelompok masyarakat itu dengan karakteristik bersifat otonom yaitu kuasa untuk mengatur sistem kehidupannya sendiri (hukum, politik, ekonomi) dan bersifat otonom yaitu suatu kesatuan yang lahir atau dibentuk oleh masyarakat itu sendiri.

Hasil dari kegiatan Kongres Masyarakat Adat Nusantara merumuskan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas wilayah adat yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya (Rudito, 1999).

Hubungan-hubungan sosial antar anggota persekutuan masyarakat adat diatur oleh hukum adat yang mengatur hubungan-hubungan hukum (hak dan kewajiban) antara orang atau organisasi dalam suatu persekutuan adat dengan sumber-sumber alam diwilayah mereka.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dari hukum adat akan muncul konsepsi tentang hak adat. Pada dasarnya hak adat dapat dikatakan sebagai hak masyarakat adat untuk menguasai, memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam

Page 108: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

103

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

dalam wilayahnya. Dalam konsep hak tenurial adat, subyek hukum yang berhak mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber alam hanyalah anggota masyarakat adat setempat, yang bukan anggota masyarakat adat setempat tidak memiliki hak apapun, kecuali atas izin masyarakat adat yang bersangkutan, sebab inti dari hak adat adalah kedaulatan masyarakat adat setempat atas wilayah mereka.

Identifikasi tentang masyarakat adat bukan saja berkaitan pada konsep-konsep yuridis tentang apa yang disebut sebagai masyarakat adat dan dimanakah kedudukannya, tetapi pada dasarnya juga mengarah pada suatu tuntutan pengakuan dari masyarakat adat atas hak-hak mereka yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai masyarakat adat. Tuntutan pengakuan dari masyarakat adat atas hak-hak mereka berpegang pada dua hal yaitu:1) Kedudukannya sebagai komunitas masyarakat adat;2) Berakar pada susunan asli dan pertumbuhan masyarakat itu sendiri.

Pengakuan atas eksistensi atau keberadaan masyarakat adat sangat beragam satu dengan lainnya, demikian pula bentuk pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat adat oleh pemerintah daerah yang berbeda. Selain kebijakan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat, terdapat pula kesepakatan-kesepakatan internasional yang sebagian telah diratifikasi ke dalam kebijakan-kebijakan perundang-undangan Republik Indonesia dan juga wacana-wacana masyarakat di tingkat nasional misalnya antara lain tentang sistem penguasaan tanah.

Hukum adat sebenarnya mengakui bahwa penguasaan suatu wilayah petuanan negeri ditandai dengan aktivitas atau kegiatan-kegiatan dari warga atau anak negeri tersebut, misalnya dengan kegiatan berkebun, berburu untuk mencari hasil hutan dan sebagainya (Ter Haar) Semua ini merupakan bukti bahwa warga atau anak negeri dari negeri tersebut telah berulang kali mengusahakan tempat atau wilayah tersebut, sehingga secara nyata (de facto) mereka menguasai wilayah tersebut. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah apakah secara hukum (de yure) hal itu dapat diterima. Berkaitan dengan masalah hukum ini sebenarnya harus dibarengi atau diikuti dengan pengakuan baik lisan maupun tertulis bahwa wilayah tersebut memang milik warga atau milik negeri tersebut. Hal itu dapat kita lihat dari kesepakatan-kesepakatan antar warga atau negeri-negeri tertentu, yang ditaati oleh mereka baik secara individu (pribadi) maupun warga masyarakat negeri secara keseluruhan.

Patut diakui bahwa penguasaan baik de facto maupun de yure seperti disebutkan di atas kadang-kadang tidak di akui juga oleh penguasa negara, sehingga melahirkan konflik atau pertentangan. Negara hadir dengan berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang cenderung merugikan warganya sendiri. Padahal negara seharusnya mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber-sumber (Sumber-sumber Agraria meliputi tanah atau bumi dan barang-barang atau benda-benda yang terkandung didalamnya termasuk dalam wilayah perairan maupun udara) agraria yang mereka miliki.

Selama ini ada kelemahan yang dimiliki oleh masyarakat adat ialah batas-batas wilayah

Page 109: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

104

yang kurang jelas, siapa pemegang hak atas wilayah tersebut, objek apa saja yang ada di atas tanah tersebut dan jenis hak apa saja yang melekat pada bidang tanah itu dan sebagainya. Kondisi inilah yang membuat masyarakat adat mempunyai kemampuan tawar-menawar (bargaining power) yang agak lemah, menghadapi pihak-pihak tertentu, katakanlah pemerintah dan pengusaha yang mendapat izin dari pemerintah karena mempunyai kekuasaan dan uang.

Masyarakat yang mengakui keberadaannya sebagai masyarakat adat, tidak dapat diterima begitu saja, tetapi harus memperlihatkan identitas, kriteria dan aktivitas tertentu yang mencerminkan nilai-nilai dan norma sebagai suatu masyarakat adat.Pengelolaan atas sumberdaya laut pada hakikatnya berjalan beriringan dengan pengelolaan atas sumberdaya yang ada di darat. Jadi, sumber daya di darat maupun sumberdaya di laut adalah merupakan milik masyarakat adat. Dikatakan sebagai suatu milik dari masyarakat berarti adanya hak dari masyarakat itu diatas suatu wilayah tertentu yang cukup luas. Hak tersebut bukan merupakan hak yang disebut bersifat hukum privat ataupun bersifat hukum publik, tetapi merupakan sekumpulan hak dan kewajiban dari (a) masyarakat atau keluarga anggota masyarakat adat; (b) masyarakat adat secara bersama-sama, dan (c) orang lain bukan anggota masyarakat adat tetapi memperoleh ijin memakai atau menggunakan tanah dengan memenuhi syaratr-syarat tertentu sebelumnya, yakni membayar sesuatu (recognitie). Apa yang dikemukakan terakhir ini menunjukkan bahwa masyarakat adat yang menempati dan memiliki wilayah petuanan atau wilayah ulayat yang dapat berada di darat maupun di pesisir laut.20

2. Akar Masalah Penyebab KonflikPenyebab konflik pertanahan di wilayah perkebunan milik negara dalam penelitian ini, adalah: Riwayat perolehan dari tanah perkebunan milik Belanda yang di Nasionalisasi menjadi perkebunan Milik Negara Republik Indonesia, yang menyebabkan tanah masyarakat adat dan garapan tanah lelhuhur dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum. Akibatnya terjadilah klaim dan okupasi dari masyarakat adat dan bagi tanah bekas garapan tanah leluhur di masa lalu di wilayah perkebunan milik negara.

3. SolusiBerdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka tuntutan atau klaim dan okupasi oleh masyarakat adat dan tanah leluhur atas tanah perkebunan yang dikuasai dan dimiliki oleh negara/PTPN tersebut sangatlah mendasar, karena:a. Adanya pengakuan secara yuridis keberadaan/eksistensikeberadaan masyarakat

hukum adat atas tanah, yakni:1) Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen di dalam pasal 18 B ayat (2) yang

berbunyi: ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dengan undang-undang”. Dari pasal tersebut ada isyarat

20 Tjiptabudy, Jantje. 2013. Aspek Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat. Kompilasi Pemikiran Tentang Dinamika Hukum Dalam Masyarakat (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013).

Page 110: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

105

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

bahwa pemerintah harus memperhatikan hak masyarakat hukum adatnya, dan apabila terdapat suatu komunitas masyarakat hukum adat masih ada dan masih hidup, negara harus melindungi hak-hak adat mereka atas tanah;

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IX/MPR/2001, tentang Pembaharuan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan ini merumuskan bberapa prinsip dalam pengelolaan sumber daya alam antara lain dalam pasal 4 J mengatakan:”Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keaneka ragaman dalam unifikasi hukum, mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam”;

3) Undang Undang Nomor 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (UUPA). Secara normatif telah mengakui bahwa Hukum Agraria Nasional didasarkan pada hukum adat atas tanah. Antara hak ulayat sebagai atribut masyarakat hukum adat dengan Hak Menguasai Negara (HMN) sebagai atribut dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, terdapat hubungan kefilsafatan. Artinya asas-asas dan cita-cita hukum adat tentang TANAH dijadikan sumber menyusun hukum agraria nasional, antara lain:a) Pasal 3 mengatakan:”Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1

dan pasal 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi”;

b) Pasal 5 “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa dengan sosialisme Indonesia dengan peraturan lainnya”;

c) Penjelasan Umum bagian II UUPA, menyatakan:”Hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia merupakan hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara”;

d) Penjelasan III angka 1 alinea 2 menyatakan bahwa “... oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional disesuaikan dengan sosialisme Indonesia”.

4) Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), pada level internasional perjuangan pengakuan atas tanah ulayat masyarakat hukum adat telah sampai pada Deklarasi Hak Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on The Rights of Indegeneous People) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 13 September 2007. Salah satu isinya adalah penegasan hubungan antara masyarakat adat dengan hak-hak tradisionalnya termasuk tanah ulayat sebagai hak-hak dasar yang harus diakui, dihormati,dilindungi dan dipenuhi secara universal.

Page 111: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

106

b. Keberadaan Masyarakat Adat dihapuskan dan apabila masih ada, maka harus memenuhi kriteria-kriteria seperti dimaksud dalam peraturan-peraturan, antara lain:1) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979, tentang Pemerintahan Desa yang

menghapuskan masyarakat adat di luar Jawa, karena undang undang ini menyama ratakan pemerintahan Desa menurut model pemerintahan desa di pulau Jawa, sehingga gugurlah pemerintahan Marga yang mempunyai konsep pemerintahan adat dan yang serupa dengan itu, diluar pulau Jawa;

2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.400/2626/1999 yang ditujukan kepada Gubernur, Bupati/Walikota serta badan Pertanahan Nasional di seluruh Indonesia, namun tidak dapat dilaksanakan dengan efektif;

3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penetepan Hak Komunal Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada Dalam Kawasan Tertentu, sebagai pengganti Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Di dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2). Pada ayat (1) disebutkan bahwa persyaratan masyarakat hukum adat dapat dikukuhkan hak atas tanahnya meliputi: masyarakat masih dalam bentuk paguyuban; ada kelembagaan dalam perangkat penguasa adatnya; ada wilayah hukum adat yang jelas; dan ada pranata dan perangkat hukum yang masih ditaati. Pada ayat (2) persyaratan kelompok masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu dapat diberikan hak atas tanahnya meliputi: menguasai secara fisik paling kurang 10 (sepuluh) tahun atau lebih secara berturut-turut; masih mengadakan pemungutan hasil bumi di wilayah tertentu dan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; menjadi sumber utama kehidupan dan mata pencaharian masyarakat; dan terdapat kegiatan sosial dan ekonomi yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat;

4) Sebelum terbitnya hak Erpacht, diindikasikan sudah terjadi pelepasan tanah hak adat kepemegang hak Erpacht. Artinya dengan terjadinya nasionalisasi, dan akhirnya tanah perkebunan milik negara/PTPN merupakan aset negara, maka putuslah hubungan tanah perkebunan sebagai tanah milik masyarakat adat/leluhur.

Mengingat konflik pertanahan terjadi di wilayah perkebunan milik negara/PTPN, harus melalui pelepasan Asset dari Kementerian BUMN, maka solusi yang ditawarkan dalam penelitian ini adalah Kementerian ATR/BPN agar mendorong, agar tanah-tanah yang sudah dikuasai dan digarap/dimanfaatkan oleh masyarakat di atas 20 tahun dan tanah PTPN tersebut di terlantarkan, dapat dilepaskan dengan merujuk pada:

1. Undang Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dalam pasal 45 (1) (2) Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan. Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai

Page 112: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

107

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

modal Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD.

Pasal 46 (1) Persetujuan DPR dilakukan untuk: a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan. b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang: sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; diperuntukkan bagi pegawai negeri; diperuntukkan bagi kepentingan umum; dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundangundangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.

Pasal 47 (1) Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dilakukan untuk: a. pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan. b. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada huruf a ayat ini tidak termasuk tanah dan/atau bangunan yang: sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah atau penataan kota; harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti sudah disediakan dalam dokumen pelaksanaan anggaran; diperuntukkan bagi pegawai negeri; diperuntukkan bagi kepentingan umum; dikuasai daerah berdasarkan keputusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundangundangan, yang jika status kepemilikannya dipertahankan tidak layak secara ekonomis.

2. Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor 02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemidahtanganan Aktiva Tetap BUMN, di dalam “Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa RUPS/Menteri dan atau Dewan Komisaris/Dewan Pengawas sesuai dengan kewenangannya berdasarkan anggaran dasar, memberikan pertimbangan dan atau persetujuan atau penolakan hanya terhadap usul pengahapusbukuan dan atau pemindahtanganan aktiva tetap yang disampaikan oleh direksi (Apabila ada pelepasan Hak Atas Tanah)”.Pasal 5 ayat 1 poin C yang intinya menyatakan “penghapusbukuan yang dikarenakan pemindahtanganan dengan cara penjualan dapat dilakukan apabila memenuhi salah satu persyaratan antara lain peruntukan bagi kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan RUTR/RUTRWK yang telah disahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Selain itu bagi tanah negara bebas (bukan tanah adat) adalah dengan pola ganti rugi yang belum diselesaikan oleh perkebunan milik negara/PTPN, maka merupakan kewajiban PTPN untuk menyelesaikannya dengan masyarakat dengan persetujuan para petani/masyarakat yang tergusur dari tanah leluhurnya. Berdasarkan Undang Undang nomor 18 tahun 2004, tentang Perkebunan, di dalam pasal 9 ayat (1) dikatakan dalam rangka penyelenggaraan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan berupa ... Hak Guna Usaha ... sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Ayat 2 dikatakan:”Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannnya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana pada ayat (1), pemohon wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh

Page 113: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

108

kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya”.

5.2.2. Pembahasan Pola Konflik Pertanahan antara Perkebunan Milik Swasta Dengan Masyarakat

1. Riwayat perolehan tanahPerolehan tanahperkebunan milik swasta adalah: (1) bekas hak Erpacht yang di konversi menjadi HGU, dan (2) tanah negara dengan pola ganti rugi;

2. Akar masalah konflik pertanahana. Klaim masyarakat 5 desa (Desa Nagori, Banjarawan, Simorang, Selapuh, SD dan DAS)

atas tanah bekas perkampungan leluhur mereka yang pada masa itu diambil paksa oleh Belanda; Klaim bagi masyarakat Desa Tinokah menuntut pengembalian lahan milik mereka seluas ± 400 Ha yang merupakan bekas perkampungan dan perladangan yang terletak di Kampung Sorba Jahe/Naga Tongah, Sihora-hora, Kecamatan Sipispis dimana menurut mereka pada tahun 1920 telah diambil paksa oleh penjajah Belanda sehingga mereka terusir ke Kampung Tinokkah dan Kampung lainnya dan sejak tahun 1967 areal tersebut kemudian dikuasai oleh PT Good Year (Sekarang PT Bridgestone);

b. Okupasi terhadap tanah HGU PT. Tutu Kekal seluas 130,4912 Ha yang digunakan sebagai fasilitas umum dan fasilitas sosial serta digarap masyarakat;

c. Adanya tumpang tindih SHGU dengan Hak Milik atas tanah masyarakat dan sebaliknya:1) Tahun 2009 diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 99/

HGU/BPN RI/2009 (pemberian HGU) terletak di Desa Beloro, Sebulu Ulu, Sebulu Modern, Kecamatan Sebulu dan Desa Rapak Lambur, Loa Tebu, Mangkurawang, Maluhu, Loa Ipuh Darat, Jahab, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur namun pada tahun 2006 sudah terbit SHM masyarakat transmigran;

2) Perpanjangan SHGU PT. Daya Kalianda Raya HGU No. U.1/KT 8 Desember 2006 seluas 190,76 Ha (255,11 Ha – 64,35 Ha untuk Hak Pakai) namun pada tahun 2007 terbit SHM (program Ajudikasi) atas nama masyarakat.

d. Pemanfaatan tanah perkebunan di atas tanah masyarakat Desa Negeri Besar adalah tanah milik masyarakat secara turun temurun seluas lebih kurang 139 ha yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Hak Milik dari Kepala Kampung Negeri Besar tanggal 4 Agustus 1983 dan dikuatkan dengan Berita Acara Hasil Sidang Desa tanggal 10 Oktober 1988 oleh Unsur Pemerintahan Desa dan tokoh tokoh Masyarakat Desa Negeri Besar namun tanah di Desa Negeri Besar (139 ha) dimanfaatkan oleh PT. Pemuka Sakti Manis Indah untuk perkebunan tebu.

3. Solusi konflik pertanahana. Mengingat didalam mediasi PT. Bridgestone telah menyarakan untuk melakukan

pengukuran ulang dengan biaya swadaya masyarakat berdasarkan PP No. 13 Tahun 2010 maka untuk mengurangi konflik kepada masyarakat 5 Desa (Desa Nagori, Banjarawan, Simorang, Selapuh, SD dan DAS) disarankan untuk segera menindaklanjuti manajemen PT. Bridgestone; Tuntutan masyarakat Desa Tinokah yang menuntut pengembalian lahan seluas± 400 Ha disarankan agar menyelesaikan melalui pengadilan;

b. Hasil mediasi PT. Tutu Kekal bersedia meng-enclave tanah seluas 130,4912 Ha oleh karenanya berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2010

Page 114: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

109

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

oleh sebab itu Panitia C harus sesegera mungkin menetapkan tanah terlantar dan kepada masyarakat yang sudah menguasai dengan kenyataan telah berdiri hunian dan garapan masyarakat untuk dijadikan skala prioritas sebagai subyek redistribusi tanah terlantar atau pola kemitraan sesuai dengan kesepakatan hal ini mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998, tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar di dalam pasal 2 dikatakan:”Obyek penertiban tanah terlantar meliputi tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa ..., Hak Guna Usaha ...,atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dan penguasaannya”.

c. Terjadinya tumpang tindih antara:1) Sertipikat Hak Milik dengan Sertipikat HGU disebabkan Panitia B kurang

memperhatikan makna PerkaBPN No. 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah pasal 14 angka 1 poin c yang mempunyai tugas: ”mengadakan penelitian dan peninjauan fisik atas tanah yang dimohon mengenai penguasaan, penggunaan/keadaan tanah serta batas-batas tanah yang dimohon”. Selain itu berdasarkan hasil wawancara Tim Peneliti Puslitbang turun ke Kantor Pertanahan Kabupaten Kutai Kartanegara yang dijelaskan oleh staff Pengukuran bahwa pada saat Tim Pengukuran dari BPN Pusat datang ke lapangan tidak berkoordinasi dengan Seksi Pengukuran dan Pemetaan Kantor Pertanahan. Oleh sebab itu di waktu yang akan datang Panitia B wajib melakukan tugasnya dan melaksanakan koordinasi yang intensif dengan Kantor Pertanahan. Walapun pada akhirnya dalam mediasi atas permasalahan tumpang tindih tersebut sudah disepakati bahwa pemegang HGU bersedia meng-enclave dan melepaskan obyek tanah yang tumpang tindih antara Hak Milik dengan HGU;

2) Kantor Pertanahan Kabupaten wajib mempunyai database HGU perkebunan baik Badan Hukum maupun perorangan sehingga tidak terjadi pemberian sertipikat Hak Milik diatas hak yang sudah terbit.

d. Perlu ditindaklanjuti hasil Putusan Pengadilan Negeri Kota Bumi Nomor : 08/PDT.G/2004/PN.KB tanggal 09 Nopember 2004, Sdr. Jumadi Cs (wakil masyarakat Desa Negeri Besar) penggugat telah dinyatakan menang. Putusan pengadilan yang sudah inkracht seharusnya segera dilaksanakan eksekusi agar tidak menimbulkan keresahan masyarakat yang dimenangkan dalam pengadilan.

Page 115: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

110

Page 116: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

111

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN6BAB VIKesimpulan dan

Rekomendasi

Page 117: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

112

BAB VIKESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. KESIMPULAN

6.1.1. Pola Konflik Perkebunan Milik Negara

1. Riwayat perolehan tanahRiwayat perolehan tanah perkebunan milik PTPN cenderung bersumber dari status tanah hak-hak barat seperti Hak Erpacht, ataupun dari Konsensi antara raja dengan pemerintah Hindia Belanda yang kemudian di nasionalisasi menjadi perkebunan milik Negara/PTPN dan secara hukum dinyatakan sebagai Aset Negara.

2. Akar masalah konflik pertanahanAdanya perbedaan pandangan Yuridis tanah milik perkebunan Belanda yang di nasionalisasi dengan pandangan masyarakat adat terhadap tanah adat dan tanah warisan leluhur, sehingga memicu masyarakat untuk mengklaim dan mengokupasi tanah milik perkebunan Negara yang berakhir dengan terjadinya konflik.

3. Solusi konflik pertanahanMengingat tanah perkebunan milik Negara merupakan Aset Negara, maka pelepasannya harus melalui Kementerian BUMN, oleh sebab itu Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN hendaknya mendorong Kementerian BUMN agar melepaskan tanah-tanah yang sudah dikuasai dan digarap oleh masyarakat (20 tahun keatas) yang sudah terbentuk RT/RW/Pemerintahan Desa dan perubahan tata ruang atau dengan pola kemitraan sesuai dengan peraturan yang berlaku guna mewujudkan tanah bagi sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.

6.1.2. Pola Konflik Perkebunan Milik Swasta

1. Riwayat perolehan tanahPerolehan tanahperkebunan milik swasta adalah: (1) bekas Hak Erpacht yang di konversi menjadi HGU, dan (2) tanah negara dengan pola ganti rugi.

2. Akar masalah konflik pertanahana. Klaim masyarakat 5 desa atastanah bekas perkampungan leluhur mereka yang pada

masa itu diambil paksa;b. Okupasi dan digarap oleh masyarakat atas tanah yang tidak dimanfaatkan oleh pihak

perusahaan perkebunan (tapi belum ditetapkan indikasi tanah terlantar) dan digarap oleh masyarakat;

c. Adanya tumpang tindih SHGU dengan Hak Milik atas tanah masyarakat dan sebaliknya;d. Pemanfaatan tanah perkebunan di atas tanah masyarakat.

3. Solusi konflik pertanahana. Apabila sudah diterbitkan Hak Erpacht diindikasikan pada saat pemberian Hak

tersebut sudah ada kewajiban yang dibebankan kepada subyek Hak Erpacht, kemudian

Page 118: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

113

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

dikonversi menjadi HGU. Terhadap klaim mayarakat terhadap tanah leluhur ditempuh melalui pengadilan;

b. Apabila sudah sesuai dengan PP 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, HGU tersebut dapat dijadikan sebagai obyek penetapan tanah terlantar;

c. Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang nomor 39 Tahun 2014, tentang Perkebunan dinyatakan bahwa “dalam hal tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya.”

6.2. REKOMENDASI

1. Perlu diterbitkan peraturan bersama tentang Tata Cara Penyelesaian Konflik di Wilayah Perkebunan Milik Negara (sebagai Aset Negara) dan Perkebunan Milik Swasta;

2. Perlu diterbitkan peraturan tentang kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam menangani konflik dan penyelesaian pertanahan di wilayah perkebunan milik negara dan swasta.

Page 119: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

114

Page 120: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

115

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Daftar Pustaka

Page 121: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

116

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang Undang Dasar Tahun 1945.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria.

Undang Undang No. 86/1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.

Undang Undang Nomor 49/Prp/1960 tentang Panitia urusan Piutang Negara.

Undang-Undang 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Undang Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953, tentang Penguasaan tanah-tanah Negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1958, tentang Penempatan Perusahaan-Perusahaan Perkebunan/Pertanian Milik Belanda Di Bawah Penguasaan Pemerintah Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959, tentang Pokok-Pokok Pelaksanaan Undang Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda.

Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1959, tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959, tentang Tugas Kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan-perusahaan Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010, tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1972, tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973, tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1999, tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun1999, tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Surat Edaran Kepala BPN No.500-1255 tanggal 4 Mei 1992 tentang Tata Cara Pengurusan Hak dan Penyelesaian Sertifikat Tanah yang Dikuasai oleh Instansi Pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Page 122: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

117

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

BUKU

B. Riyanto. 2004. Pengaturan Hutan Adat di Indonesia – Sebuah Tinjauan Hukum Terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan.

Chrysantini, Pinky. 2007. Berawal dari tanah: melihat ke dalam aksi pendudukan tanah. Bandung: Yayasan Aka Tiga.

Harsono, Boedi. 2007. Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Perkembangan Pemikiran & Hasilnya sampai menjelang Kelahiran UUPA tanggal 24 September 2007. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, halaman 53.

Koentjaraningrat. (1993). Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI- Press).

Mary Herawati. Siti. Rahma.,et al. 2003. Atas Nama Pendidikan Hak-Hak Pagilaran Atas Tanah, Serial Kasus Pertanahan di Jawa Tengah, Cetakan Pertama, LBH Semarang dan PMGK Batang Diskusi Bedah Kasus di UGM Yogyakarta, 19 Februari 2003, hal. 16.

Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakt Hukum Adat. Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, 9 Agustus 2006. Jakarta: Komnas HAM Press September 2006.

Mu’adi, Sholih. 2010. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan dengan cara Litigasi dan Non Litigasi. Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Pelzer, Karl Josef. 1991. Sengketa agraria: pengusaha perkebunan melawan petani. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

S. Soekanto. 1983. Beberapa Permaslahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia. Jakarta: UI-Press.

Sumardjono, Maria S. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sumardjono, Maria S. 2010. Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat. Yogyakarta: Penerbit Bagian Hukun Agraria Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, halaman 23-27.

JURNAL

Bahari, Syaiful. Konflik Agraria di Wilayah Perkebunan: Rantai Sejarah Yang Tak Berujung. Jurnal Analisis Sosial Vol. 9 No. 1 April 2004.

Sembiring, J. 2009. Konflik Tanah Perkebunan di Indonesia. Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16 Juli 2009: 337 – 353.

Sumardjo, dkk. 2014. Tipologi Konflik Berbasis Sumber Daya Pangan di Wilayah Perkebunan Sawit. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 19 (3) Desember 2014: 189-196.

Sustiyadi dalam Oloan Sitorus dkk., 2008. “Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Bhumi Nomor 24 Tahun 8, Desember 2008, hlm.4

Page 123: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

118

Wahyono, Teguh. 2003. Konflik Penguasaan Lahan Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Sumatera. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit, 2003, 11 (1): 47-59.

MAKALAH

Gunawan, Wiradi. 1999. Kebijakan Agraria/Pertanahan Yang Berorientasi Kerakyatan dan Berkeadilan, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanahan diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) di Yogyakarta, Tanggal 25-26 Pebruari 1999, hlm.35.

Sembiring, Julius. 2000. Tanah Negara: Dikotomi Persepsi, Sektoralisasi Regulasi dan Potensi Konflik, Makalah, 2000, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), hlm.3.

Titahelu, R.Z. 1998. Makalah Tentang Hak-Hak Adat. Ambon.

Tjiptabudy, Jantje. 2013. Aspek Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat. Kompilasi Pemikiran Tentang Dinamika Hukum Dalam Masyarakat (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013).

Page 124: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

119

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Lampiran

Page 125: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

120

Tukar menukar dengan tanah negara bekas

kawasan hutan

1976

Nasionalisasi, dikelola PN Perkebunan

1968

Nasionalisasi berdasarkan SK

Mendagri

1951

Tanah negara bebas, proyek PIRSUS

1983

Erpacht, habis masa pendaftarannya

1973

Tanah bekas erpacht

-

Terbit SK HGU

1985

Terbit SK HGU

1995

Dikelola PTPN II (dahulu PTPN IX)

1951

Program pengembangan kebun PTP dengan pola ganti

rugi

1997

Nasionalisasi

1975

Sebagian di redis

1981

Perpanjangan HGU

2008

Terbit Sertipikat HGU

1996

Perpanjangan HGU

1997

Konflik (masyarakat menuntut ganti rugi)

2000

Terbit HGU (berakhir 2005)

1981

Sebagian di redis

1982

Puncak Konflik

2012

Konflik (Reclaiming)

1999

Konflik (Tuntutan garapan dari masyarakat)

1997 s.d era reformasi

Penyelesaian melalui non litigasi (Mediasi

menghasilkan kesepakatan)

2002

Perpanjangan HGU

2004

terbit SK HGU

1986

PTPN VIII/DAYEUHMANGGUNG (KAB. GARUT)

PTPN III/PAYABAGAS/KEBUN RAMBUTAN (KAB. SERDANG BEDAGAI)

PTPN II (KAB. LANGKAT)

PTPN VII/BERINGIN (KAB. MUARA ENIM)

PTPN VII/TANGKIT SERDANG (KAB. TANGGAMUS)

PTPN XII/KALISANEN (KAB. JEMBER)

Sumber: Pengolahan Data Puslitbang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN 2015

LAMPIRAN 1. TIMELINE GARIS BESAR RIWAYAT TANAH DAN KONFLIK DI PT PERKEBUNAN NEGARA

Page 126: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

121

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Mediasi melibatkan KOMNASHAM

2013 s.d 2014

Penyelesaian melalui litigasi

2001 s.d 2010

Penyelesaian melalui non litigasi

(Panitia B plus)

2000 s.d sekarang

Konflik lagi (klaim dari masyarakat)

2012

Potensi Konflik, klaim dari pihak yang

mengatasnamakan masyarakat adat

2015

SK HGU batal karena tidak di daftar

-

Kesepakatan

2014

Penyelesaian melalui Non litigasi

2012

Penyelesaian melalui non litigasi (Mediasi

menghasilkan kesepakatan)

2012

PTP melakukan replanting

1998

Terbit SK HGU dan Sertipikat HGU

2015

Konflik, sebagian lahan diduduki dan digarap

masyarakat

1998

Sebagian masyarakat ada yang tidak sepakat

2015

Penyelesaian melalui jalur non litigasi menghasilkan kesepakatan

1999 s.d 2010

Page 127: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

122

LAMPIRAN 2. TIMELINE GARIS BESAR RIWAYAT TANAH DAN KONFLIK DI PT PERKEBUNAN MILIK SWASTA

Erpacht berakhir

1965

Dirampas negara, dilelang, konversi

jadi HGU perorangan

1972

HGU perorangan berakhir,

tidak dapat memperpanjang

1980

Pelepasan hak

1984

Masyarakat penggarap

mengajukan permohonan HM diatas tanah tsb

1985

Terbit sertipikat HGU (berakhir hak nya tahun

2011)

1986

bekas Erpacht kembali menjadi

tanah negara

1968

Permohonan HGU

1968

Terbit HGU

1968

HGU berakhir

1998

Pembaruan HGU

2009

Konflik, pembaruan HGU tidak

dapat diproses karena sebagian tanah diduduki

dan digarap masyarakat

2009

Consessie

1899

Penguasaan Pemerintah

1965

Terbit HGU (berlaku 30

tahun)

1967

terbit SK HGU

1980

Terbit sertipikat HGU (berakhir hak nya tahun

1997)

1982

Perpanjangan HGU

1997

Izin prinsip pencadangan

tanah dari Bupati

1993

Pembaruan izin prinsip

1998

Konflik, klaim dari masyarakat

1998

Penyelesaian melalui non

litigasi, dilakukan penelitian lapangan

1998

Terbit izin lokasi

1999

Penyelesaian melalui

non litigasi (melibatkan

Komisi II DPR)

2001

Tanah negara

-

Perpanjangan izin lokasi

2007

Terbit sertipikat HGU

2009

Konflik, sebagian HGU terbit diatas HM dan garapan

masyarakat

(2009 - 2014)

Penyelesaian melalui jalur non litigasi (mediasi dan pengecekan

lapangan)

2014

Permohonan Perolehan Tanah

1970

Diberikan ijin usaha sementara

1970

Proses pembayaran

ganti rugi

1975 s.d 1977

Terbit AJB diatas sebagian tanah

yang telah diganti rugi

1979

Penarikan AJB tsb oleh camat

1981

Terbit Sertipikat HGU (berakhir hak nya tahun

2007)

1983

PT. SAM (KAB. GARUT)

PT. TUTU KEKAL (KAB. SUKABUMI)

PT. BRIDGESTONE (KAB. SERDANG BEDAGAI)

PT. ARTA PRIGEL (KAB. LAHAT)

PT. MSK (KAB. KUTAI KARTANEGARA)

PT. DKR (KAB. LAMPUNG SELATAN)

Page 128: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

123

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Konflik

-

Penyelesaian melalui jalur non litigasi (Tim yang

dibentuk oleh Bupati Garut)

1987

Tanah terindikasi terlantar

2010

Ditetapkan menjadi tanah

terlantar

2011

Penyelesaian melalui jalur non litigasi, dilakukan

pengukuran kadastral

2010

Terbit SHM diatas sebagian

tanah tsb melalui PRONA, atas dasar surat

rekomendasi Bupati2012

Penyelesaian melalui jalur non litigasi,

menghasilkan kesepakatan

-

Konflik, klaim dari masyarakat

atas sebagian tanah

-

Penyelesaian melalui jalur non litigasi, mediasi,

pengukuran ulang (belum menghasilkan kesepakatan

2012 s.d sekarang

Terbit SK HGU

2006

Disarankan penyelesaian

untuk menempuh jalur

litigasi

2007

Perpanjangan HGU

2006

Terbit lagi AJB atas tanah yang AJB nya pernah ditarik kembali

tsb

2007

Terbit SHM (melalui

Ajudikasi) atas AJB tsb

2008

Konflik, tumpang tindih SHM diatas HGU

2015

Penyelesaian melalui jalur non litigasi (mediasi)

2015

Page 129: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

124

Permohonan HGU

2001

Terbit SK HGU

2001

Konflik, sebagian areal HGU

dimiliki oleh masyarakat

secara turun temurun

(dibuktikan dengan surat2 tahun 1983)

2001

Terjadi kesepakatan

antara perusahaan

dengan masyarakat

2001

Terbit sertipikat HGU

2002

Bekas Erpacht habis hak nya

1959, 1960

Terbit AJB atas tanah tersebut

1960

Disitia kejaksaan

1964

Terbit surat dari Kejaksaan intinya lepas sita tanah

tersebut

1969

Dikuasai Pemda dan

pengelolaanya diserahkan

kepada swasta

1971

Terbit HGU (berakhir hak nya

tahun 1997)

1975

Poin-poin kesepakatan

tidak dilaksanakan

oleh perusahaan

2002

PT. KEMAKMURAN SWARUBULUROTO (KAB. BLITAR)

PT. PSMI (KAB. WAY KANAN)

Sumber: Pengolahan Data Puslitbang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN 2015

Page 130: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

125

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

Terbit surat dari kejaksaan intinya mencabut surat kejaksaan tahun

1969

1986

Penyelesaian melalui litigasi menghasilkan

ketetapan yang sudah inkraht

dimenangkan oleh pihak masyarakat

2004

Terbit Sertipikat Hak Tanggungan

atas sertipikat HGU tsb

1996

Konflik, karena eksekusi

pengosongan lahan hanya

dilakukan secara simbolis

2007

HGU berakhir

1997

Penyelesaian melalui jalur non litigasi,

menghasilkan rekomendasi

2015

Lepas dari sita oleh kejaksaan

2007

Konflik, masyarakat mengajukan permohonan

HM atas tanah tersebut

2008

Redistribusi belum

terlaksana, sertipikat asli

tidak dipegang oleh subyek hak

2015

Untuk tanah yang telah dikuasai

masyarakat akan diredistribusi

2009

Terbit sertipikat HGU, diluar tanah yang

dikuasai masyarakat

2010

Page 131: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional

126

LAMPIRAN 3. REKAPITULASI POLA KONFLIK DI PERKEBUNAN MILIK NEGARA DAN SWASTA DENGAN MASYARAKAT

No.

Lokasi Riwayat Tanah Permasalahan Pemecahan Masalah

KeteranganProvinsi Kabupaten

Perusahaan PTPN Swasta PTPN Swasta PTPN Swasta

PTPN Swasta

Tanah N

egara

Tanah Bekas

Hak B

arat

Tanah N

egara

Tanah Bekas

Hak B

arat

Reclam

ing

Okupasi

Tumpang

tindih

Reclam

ing

Okupasi

Tumpang

tindih

Litigasi

Non Litigasi

Litigasi

Non Litigasi

1 Jawa Barat Garut PTPN VIII/Dayeuhmanggung PT. SAM █ █ █ █ █ █ -

Sukabumi PT. Tutu Kekal █ █ █ █ -

2 Sumatera Utara Serdang Bedagai

PTPN III/Payabagas PT. Bridgestone █ █ █ █ █ █ █ █ -

Langkat PTPN II █ █ █ █ -

3 Sumatera Selatan Muara Enim PTPN VII/Beringin █ █ █ -

Lahat PT. Arta Prigel █ █ █ █ -

4 Kalimantan Timur Kutai Kartanegara

PT. Malaya Sawit Khatulistiwa █ █ █ -

Paser PTPN XIII/Pasir Blengkong █ sengketa dengan satu orang - -

5 Lampung Lampung Selatan

PT. DKR █ █ █ -

Way Kanan PT. PSMI █ █ █ █ -

Tanggamus PTPN VII/Tangkit Serdang █ █ Potensi Konflik

6 Jawa Timur Jember PTPN XII/Kalisanen █ █ █ █ -

Blitar PT. Kemakmuran Swarubuluroto █ █ █ -

Sumber: Pengolahan Data Puslitbang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN 2015

Page 132: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

127

PENELITIAN POLA-POLA KONFLIK PERTANAHAN DI WILAYAH PERKEBUNAN

No.

Lokasi Riwayat Tanah Permasalahan Pemecahan Masalah

KeteranganProvinsi Kabupaten

Perusahaan PTPN Swasta PTPN Swasta PTPN Swasta

PTPN Swasta

Tanah N

egara

Tanah Bekas

Hak B

arat

Tanah N

egara

Tanah Bekas

Hak B

arat

Reclam

ing

Okupasi

Tumpang

tindih

Reclam

ing

Okupasi

Tumpang

tindih

Litigasi

Non Litigasi

Litigasi

Non Litigasi

1 Jawa Barat Garut PTPN VIII/Dayeuhmanggung PT. SAM █ █ █ █ █ █ -

Sukabumi PT. Tutu Kekal █ █ █ █ -

2 Sumatera Utara Serdang Bedagai

PTPN III/Payabagas PT. Bridgestone █ █ █ █ █ █ █ █ -

Langkat PTPN II █ █ █ █ -

3 Sumatera Selatan Muara Enim PTPN VII/Beringin █ █ █ -

Lahat PT. Arta Prigel █ █ █ █ -

4 Kalimantan Timur Kutai Kartanegara

PT. Malaya Sawit Khatulistiwa █ █ █ -

Paser PTPN XIII/Pasir Blengkong █ sengketa dengan satu orang - -

5 Lampung Lampung Selatan

PT. DKR █ █ █ -

Way Kanan PT. PSMI █ █ █ █ -

Tanggamus PTPN VII/Tangkit Serdang █ █ Potensi Konflik

6 Jawa Timur Jember PTPN XII/Kalisanen █ █ █ █ -

Blitar PT. Kemakmuran Swarubuluroto █ █ █ -

Page 133: Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah ......Pola Konflik Perkebunan Milik Negara terkait: (i). Riwayat perolehan tanah, berasal dari: Tanah perkebunan bekas Hak Erpacht

ASEP DINDIN HAERUDIN, ST ROMI NUGROHO, S.SI SURYALITA, A.PTNH

Pembantu Peneliti

Peneliti Muda/Koordinator

INDRIAYATIIndriayati merupakan peneliti muda di Puslitbang-BPN RI. Pendidikan S1 diselesaikan dari Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta pada tahun 2001 dan meraih master dalam bidang Administrasi Publik dari STIA-LAN Jakarta tahun 2011. Beberapa penelitian yang pernah dilaksanakan diantaranya, pengembangan SDM dalam mendukung pelayanan pertanahan (2009), penataan kebijakan pertanahan di kawasan bekas pertambangan (2010), model access reform dan pemberdayaan masyarakat di wilayah perkebunan (2011), pelimpahan kewenangan di BPN (2012) dan peluang peningkatan optimalisasi penggunaan CORS dalam mendukung pelayanan pertanahan (2013).

Penelitian Pola-Pola Konflik Pertanahan Di Wilayah Perkebunan

PENELIT

IAN

POLA

-POLA

KO

NFLIK

PERTA

NA

HA

N D

I WILAYA

H PER

KEB

UN

AN

DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG /BADAN PERTANAHAN NASIONAL2015

DITERBITKAN OLEH:PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN PERTANAHAN NASIONAL2015

Pembantu Peneliti

YUDHA PURBAWA, SPROMI NUGROHO, S.Si

Dra. RATNA DJUITAPeneliti Madya/Koordinator

Penulis buku ini Dra.Ratna Djuita, dilahirkan di Lahat tanggal 5 April 1952 dan sejak tahun 1955 pindah lagi ke Palembang ibu kota Provinsi Sumatera Selatan dan berturut-turut bersekolah dari Taman kanak kanak sampai dengan menamatkan SMA di SMA Negeri II Kota

Palembang. Kemudian melanjutkan kuliah ke Surabaya di Akademi Ajun Akuntan Surabaya (A3S), kemudian ditindak lanjuti kuliah di Sekolah Tinggi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (STIA LAN-RI) di Jakarta jurusan Administrasi Negara.

Sejak tahun 1978 sampai dengan 1980 bekerja di Klinik Hukum Persatuan Advokad Indonesia (PERADIN) (Persatuan Advokat, dan pada tahun 1981 sampai dengan 1985 bergabung di Perusahaan Swasta yang bergerak dibidang Perumahan dan Jasa. Pada tahun 1986 masuk Pegawai Negeri Sipil dan bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Puslitbang BP-7 Pusat) dan juga lulus sebagai Penatar Tingkat Nasional.

Sejak peristiwa politik tahun 1998 BP-7 dibubarkan, kemudian bergabung pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak Juli 1999 yang kemudian berubah dengan nama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Unit Pusat Penelitian dan Pengembangan sebagai Peneliti Madya bidang pertanahan.

Penulis sudah memimpin dan melaksanakan penelitian baik di BP-7 Pusat dan di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.