PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus :...

60
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN DATA TERRA-MODIS L1B DAN SRTM 90 m (Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat) FAUZAN NURRACHMAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus :...

Page 1: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS

PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN

DATA TERRA-MODIS L1B DAN SRTM 90 m

(Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat)

FAUZAN NURRACHMAN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

2013

2013

Page 2: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pendugaan Nilai Suhu

Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m adalah benar karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk

apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Fauzan Nurrachman

NIM G24080033

Page 3: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

ABSTRAK

FAUZAN NURRACHMAN. Pendugaan Nilai Suhu Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B

dan SRTM 90 m (Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat). Dibimbing oleh :

IDUNG RISDIYANTO.

Suhu Permukaan Lahan (SPL) merupakan salah satu indikator terbaik dari keseimbangan

energi di permukaan bumi dan merupakan parameter kunci dalam proses fisika permukaan lahan

yang mampu mengkombinasikan interaksi antara fluks energi gelombang panjang di permukaan

dan di atmosfer. Beberapa metode untuk penentuan nilai SPL dengan data penginderaan jauh telah

banyak dikembangkan salah satunya adalah menggunakan satelit Terra-MODIS. MODIS

mempunyai misi untuk memantau fenomena di permukaan dan atmosfer agar pengguna dapat

mengetahui informasi perubahan yang terjadi secara near-realtime. Tujuan penelitian ini adalah

mengembangkan metode dan algoritma menggunakan data penginderaan jauh satelit Terra-

MODIS untuk pendugaan dan pemetaan SPL serta mengetahui hubungan suhu permukaan yang

diturunkan dari data satelit Terra-MODIS dengan topografi permukaan dan penutupan lahan.

Penentuan SPL dilakukan dengan menggunakan algoritma split window yaitu dengan memasukkan

faktor-faktor utama seperti emisivitas dan suhu kecerahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nilai rata-rata SPL tertinggi yaitu pada algoritma Vidal. Pada hubungan SPL dengan ketinggian

didapat rata-rata R2 terbesar yaitu pada bulan Juni/Juli sedangkan yang terendah yaitu pada bulan

September/Oktober. Selanjutnya, pada hubungan dengan penutupan lahan didapat nilai rata-rata

SPL tertinggi yaitu pada lahan terbuka dan lahan terbangun sedangkan nilai rata-rata SPL terendah

yaitu pada lahan hutan. Sudut zenith matahari sangat mempengaruhi ketelitian sensor terhadap

penentuan nilai SPL.

Kata kunci : Emisivitas, MODIS, Penutupan Lahan, Suhu Permukaan Lahan (SPL)

Page 4: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

ABSTRACT

FAUZAN NURRACHMAN. Estimation of Surface Temperature value based on MODIS L1B and

SRTM 90 m (Case Study : Banten, DKI Jakarta, and Jawa Barat Province). Supervised by :

IDUNG RISDIYANTO.

Land Surface Temperature (LST) is one of the best indicators of the energy balance at the

earth's surface and a key parameter in the physics of land surface processes that combine the

interaction between long wave energy flux at the surface and in the atmosphere. Several methods

for determining the value of LST with remote sensing data have been widely developed one of

which is the use of Terra-MODIS satellite. MODIS has a mission to monitor the phenomenon on

the surface and the atmosphere so that users can find information changes that occur in near-

realtime. The purpose of this study is develop methods and algorithms using satellite remote

sensing Terra-MODIS data for prediction and mapping LST and determine the relationship of

surface temperature derived from Terra-MODIS satellite data with surface topography and land

cover. LST determination was done by using the split window algorithm by including the main

factors such as emissivity and brightness temperature. The results showed that average of the

highest LST that the Vidal algorithm. The relationship between LST and altitude be obtained

average of the highest R2 is in June/July whereas the lowest is in September/October. Further, the

relationship between LST and land cover be obtained average of the highest LST value is on open

land and built land whereas average of the lowest value is forest land. Solar zenith angle is greatly

affect sensor accuracy to determination LST value.

Key words: Emissivity, MODIS, Land Cover, Land Surface Temperature (LST)

Page 5: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Page 6: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN

DATA TERRA-MODIS L1B DAN SRTM 90 m

(Studi Kasus: Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat)

FAUZAN NURRACHMAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Page 7: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

Judul Skripsi : Pendugaan Nilai Suhu Permukaan Berdasarkan Data Terra-

MODIS L1B dan SRTM 90m

Nama : Fauzan Nurrachman

NRP : G24080033

Menyetujui,

Pembimbing

Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc

NIP. 19730823 199802 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen

Geofisika dan Meteorologi

Dr. Ir. Rini Hidayati, MS

NIP. 19600305 198703 2 002

Tanggal Lulus:

Page 8: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur kepada Allah SWT penulis ucapkan atas segala rahmat,

hidayah, dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah

dengan judul : Pendugaan Nilai Suhu Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m

(Studi Kasus : Provinsi Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat). Karya ilmiah ini merupakan salah

satu syarat kelulusan di program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan

Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Selama

kegiatan penulisan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini penulis mengucapkan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Heri Darman, Ibunda Erlinda Mansur serta adik tercinta Farid Lindarman atas

segala bentuk dukungan, semangat, doa dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Idung Risdiyanto,S.Si, M.Sc selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan

waktu, ilmu, bimbingan, arahan, saran dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Bapak Dr.Sobri Effendi, M.Sc dan Bapak Sonny Setiawan, S.Si, M.Si selaku dosen

penguji yang telah memberikan ilmu, saran, perhatian dan dukungan.

4. Ibu Dr.Ir.Rini Hidayati, MS selaku ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi atas

waktu, bimbingan, arahan dan nasehat dalam menyelesaikan perkuliahan dan karya

ilmiah ini.

5. Bapak Prof.Dr.Ir.Ahmad Bey selaku ketua bagian Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer

yang telah memberikan ilmu, saran, dan dukungan.

6. Segenap staf pengajar dan pegawai Departemen Geofisika dan Meteorologi yang

memberikan bimbingan, arahan, serta ilmu yang bermanfaat bagi penulis.

7. Astri Wiliastri yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, saran dan perhatian

selama perkuliahan di IPB.

8. Sahabat-Sahabat Kontrakan dan Wisma 82 (Rifki, Indra, Andre, Johannes, Harryade,

Habibie, Edo, Eko, Iqbal, Sofian, Ido) beserta teman-teman lainnya (Mamad, Mundi,

Agus, Arya) atas bantuan, dukungan, dan semangat pada penulis.

9. Pak Yanto, Andi, Gilang, Yunus, Taufik, Ferdy, Iput, Faiz, Dodi, Sintong, Dewa atas

bantuan, kritik, saran bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

10. Sahabat-Sahabat HATORI (Taufik, Pungki, Okta, Iput, Om, Hafidz, Pandu) dan teman-

teman lainnya (Asep, Yuda, Firman) yang telah memberikan dukungan pada penulis.

11. Ernawati Apriani, Dicky Sucipto, Bambang Triatmojo, dan Aulia Maharani, atas

kerjasama dan pendalaman ilmu bagi penulis selama menjadi asisten Meteorologi Satelit.

12. Sahabat-Sahabat GFM 45 (Asep, Fida, Emod, Geno, Okta, Yuda, Fella ,Dewi, Farah,

Hanifah, Mirna, Fitra, Akfia, Ketty, Mela, Maria, Ruri, Dila pera, Fitri, Tiska, Putri, Nia,

Dora, Nadita, Widya, Citra, Fatcha, Ria, Aila, Usel, Nisa, Ratdil, Diyah, Adit, Adi, Sarah,

Yoga, Ian atas semua bantuan, kebersamaan, dukungan selama perkuliahan baik suka

maupun duka, kritik dan saran yang telah diberikan.

13. Teman-Teman BEM FMIPA Kabinet Totalitas Kebangkitan, HIMAGRETO, dan seluruh

Mahasiswa GFM tingkat atas, adik-adik GFM tingkat bawah dan semua teman-teman

yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak dapat

disebutkan satu per-satu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan untuk perbaikan di masa yang akan

datang. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak

dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin

Bogor, Mei 2013

Fauzan Nurrachman

Page 9: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 22Agustus 1990 di Kota Bogor

Provinsi Jawa Barat dari pasangan Heri Darman dan Erlinda

Mansur. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan tingkat dasar di SD Negeri Kebon

Pedes I Bogor pada tahun 1996-2002, pendidikan menengah pertama

di SMP Negeri 8 Bogor pada tahun 2002-2005 dan pendidikan

menegah atas di SMA Negeri 2 Bogor pada tahun 2005-2008. Pada

tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun

yang sama diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk

Institut Pertanian Bogor (USMI) untuk program studi Meteorologi

Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA).

Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor penulis aktif dalam kegiatan

organisasi di IPB seperti Badan Eksekutif Mahasiswa FMIPA (BEM FMIPA) Departemen Sains

dan Teknologi tahun 2009–2010 dan Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO)

Departemen Internal pada tahun 2010-2011. Selain itu, selama menjadi mahasiswa penulis aktif

menjadi panitia di berbagai acara yang pernah dilakukan di IPB, BEM FMIPA maupun di

HIMAGRETO seperti MPKMB (2009), METRIK (2009), MPD (2010), MPF(2010), Pesta Sains

(2010), Pekan Ilmiah mahasiswa FMIPA (2010), dan lain-lain. Penulis juga berkesempatan

menjadi asisten mata kuliah Meteorologi Satelit pada tahun 2011-2012 dan 2012-2013. Sebagai

syarat lulus dari IPB, penulis telah melaksanakan penelitian yang berjudul : Pendugaan Nilai Suhu

Permukaan berdasarkan Data MODIS L1B dan SRTM 90 m (Studi Kasus Provinsi Banten, DKI

Jakarta, dan Jawa Barat) yang dibimbing oleh Bapak Idung Risdiyanto, S.Si, M.Sc. Penelitian ini

merupakan salah satu satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains diprogram studi

Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Page 10: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL............................................................................................................................ x

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................ xii

I PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................................... 1

1.2 Tujuan ........................................................................................................................................ 1

II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................. 2

2.1 Gelombang Elektromagnetik ..................................................................................................... 2

2.2 Hukum-Hukum Radiasi ............................................................................................................. 2

2.3 Karakteristik Satelit (Terra-MODIS) ......................................................................................... 3

2.4 Efek Bowtie ............................................................................................................................... 3

2.5 Suhu Permukaan ........................................................................................................................ 4

2.6 Albedo ........................................................................................................................................ 4

2.7 Teknik Split Window ................................................................................................................. 5

2.8 Jenis-Jenis Algoritma Split Window .......................................................................................... 5

2.9 DEM-SRTM .............................................................................................................................. 5

III METODOLOGI ....................................................................................................................... 6

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................................................... 6

3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................................................... 6

3.3 Metode Penelitian ...................................................................................................................... 6

3.3.1 Pemrosesan Awal Data Citra Satelit ............................................................................... 6

3.3.1.1 Koreksi Bowtie ................................................................................................... 6

3.3.1.2 Koreksi Geometrik dan Penentuan GCP (Ground Check Point) ........................ 6

3.3.1.3 Penentuan Nilai RMSE....................................................................................... 7

3.3.1.4 Penentuan Nilai Koefisien Korelasi ................................................................... 7

3.3.1.5 Pemotongan Wilayah Kajian .............................................................................. 7

3.3.2 Ekstraksi Nilai Parameter-Parameter Suhu Permukaan .................................................. 7

3.3.2.1 Konversi Nilai SI (Scaled Integer) ke Nilai Spektral Radiance .......................... 7

3.3.2.2 Konversi Nilai Spectral Radiance menjadi Brightness Temperature.................. 8

3.3.2.3 Konversi Nilai Suhu Kecerahan menjadi Nilai Suhu Permukaan ...................... 8

3.3.3 Penentuan Albedo ........................................................................................................... 9

3.3.4 Pemisahan Penutupan Awan ( Cloud Masking) .............................................................. 9

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................... 10

4.1 Kondisi Geografis Wilayah ...................................................................................................... 10

4.2 Pemrosesan Awal Citra Satelit ................................................................................................. 10

4.2.1 Koreksi Bowtie ............................................................................................................. 10

4.2.2 Koreksi Geometrik ........................................................................................................ 11

4.2 Pemisahan Awan dan Ekstrasi Nilai Parameter Suhu pada Citra MODIS ............................... 12

4.2.1 Suhu Kecerahan (Brightness Temperature ) ................................................................. 12

4.2.2 Pemisahan Penutupan Awan (Cloud Masking) ............................................................. 13

4.2.3 Suhu Permukaan Lahan (Land Surface Temperature) .................................................. 14

4.3 Hubungan Nilai Suhu Permukaan dengan Parameter-Parameter lainnya ................................ 14

4.3.1 Hubungan Suhu Permukaan dengan Nilai Ketinggian .................................................. 14

4.3.2 Hubungan Suhu Permukaan dengan Penutupan Lahan ................................................. 22

4.3.3 Hubungan antara Suhu Permukaan, Altitude, dan Penutupan lahan ............................. 27

V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................ 29

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 29

Page 11: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Nilai albedo pada berbagai jenis permukaan ............................................................... 5 Tabel 2 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (20 Juli

2002) .......................................................................................................................... 11 Tabel 3 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (15 Oktober

2002) .......................................................................................................................... 11 Tabel 4 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (12 Juni

2003) .......................................................................................................................... 11 Tabel 5 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (23

September 2003) ........................................................................................................ 11 Tabel 6 Hasil nilai RMS (20 Juli 2002) .................................................................................. 11 Tabel 7 Hasil nilai RMS (15 Oktober 2002) ........................................................................... 11 Tabel 8 Hasil nilai RMS (12 Juni 2003) ................................................................................. 12 Tabel 9 Hasil nilai RMS (23 September 2003) ....................................................................... 12 Tabel 10 Nilai rata–rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2002) ............................................. 14 Tabel 11 Nilai rata–rata SP seluruh wilayah kajian (tahun 2003) ............................................. 14 Tabel 12 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan

beberapa algoritma (20 Juli 2002) ............................................................................. 23 Tabel 13 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan

beberapa algoritma (15 Oktober 2002) ...................................................................... 24 Tabel 14 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan

beberapa algoritma (12 Juni 2003) ............................................................................ 25 Tabel 15 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan

beberapa algoritma (23 September 2003) .................................................................. 26

Page 12: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Bagian-bagian dari spektrum gelombang elektromagnetik .......................................... 2 Gambar 2 Intensitas emisi benda hitam pada berbagai suhu ........................................................ 2 Gambar 3 Morfologi efek Bowtie................................................................................................. 4 Gambar 4 Diagram Alir Penelitian ............................................................................................... 9 Gambar 5 Citra sebelum dan sesudah pengkoreksian Bowtie efek ............................................ 10 Gambar 6 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (20 Juli 2002) ................. 12 Gambar 7 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (15 Oktober 2002) .......... 12 Gambar 8 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (12 Juni 2003) ................ 12 Gambar 9 Hubungan sebaran hasil suhu kecerahan kanal 31 dan 32 (23 September 2003) ...... 12 Gambar 10 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3

setelah dilakukan pemisahan awan (20 Juli 2002) ..................................................... 13 Gambar 11 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3

setelah dilakukan pemisahan awan (23 September 2003) .......................................... 13 Gambar 12 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (20 Juli 2002) ............... 15 Gambar 13 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (15 Oktober 2002) ........ 16 Gambar 14 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (12 Juni 2003) .............. 17 Gambar 15 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian(23 September 2003) ..... 18 Gambar 16 Peta garis transek wilayah kajian (20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003,

dan 23 September 2003) ............................................................................................ 19 Gambar 17 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning

(Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (20 Juli 2002) ................................................ 20 Gambar 18 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning

(Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (15 Oktober 2002) ......................................... 20 Gambar 19 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning

(Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (12 Juni 2003) ............................................... 21 Gambar 20 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning

(Kiri) dan garis transek hijau (Kanan) (23 September 2003) ..................................... 21 Gambar 21 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan

beberapa algoritma (20 Juli 2002) ............................................................................. 23 Gambar 22 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan

beberapa algoritma (15 Oktober 2002) ...................................................................... 24 Gambar 23 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan

beberapa algoritma (12 Juni 2003) ............................................................................ 25 Gambar 24 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan

beberapa algoritma (23 September 2003) .................................................................. 26 Gambar 25 Nilai suhu permukaan dari tiga piksel badan air pada penutupan lahan disekitar

badan air yang berbeda-beda. .................................................................................... 27 Gambar 26 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Vidal) di berbagai ketinggian

dan berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober

2002, 12 Juni 2003, 23 September 2003 .................................................................... 28 Gambar 27 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Coll) di berbagai ketinggian

dan berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober

2002, 12 Juni 2003, 23 September 2003 .................................................................... 28

Page 13: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Spesifikasi kanal pada MODIS .................................................................................. 32 Lampiran 2 Gambar dari data Terra-MODIS L1B (R, G, B, Kanal 1, 4, dan 3) pada 20 Juli

2002 (10:05 AM), 15 Oktober 2002 (10:10 AM), 12 Juni 2003 (10:10 AM), dan

23 September 2003 (10:15 AM) ................................................................................ 33 Lampiran 3 Spesifikasi data Terra-MODIS L1B .......................................................................... 33 Lampiran 4 Nilai Emisivitas MODIS pada berbagai jenis penutupan lahan ................................. 34 Lampiran 5 Spesifikasi dari satelit Terra/Aqua ............................................................................. 34 Lampiran 6 Konversi Persamaan Planck menjadi nilai Suhu Kecerahan (Brightness

Temperature) ............................................................................................................. 35 Lampiran 7 Rata-rata nilai parameter solar spectral irradiance Terra/Aqua MODIS L1B .......... 36 Lampiran 8 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada

koordinat peta vektornya (20 Juli 2002) .................................................................... 37 Lampiran 9 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada

koordinat peta vektornya (15 Oktober 2002) ............................................................. 37 Lampiran 10 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada

koordinat peta vektornya (12 Juni 2003) ................................................................... 37 Lampiran 11 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada

koordinat peta vektornya (23 September 2003) ........................................................ 37 Lampiran 12 Peta Nilai Suhu Permukaan (Becker and Li 1990) .................................................... 38 Lampiran 13 Peta Nilai Suhu Permukaan (Coll 1997) .................................................................... 39 Lampiran 14 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price 1984) ................................................................... 40 Lampiran 15 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price modifikasi Sobrino 1994) ................................... 41 Lampiran 16 Peta Nilai Suhu Permukaan (Sobrino 1993) .............................................................. 42 Lampiran 17 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri 1992) .............................................................. 43 Lampiran 18 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri modifikasi Sobrino) ........................................ 44 Lampiran 19 Peta Nilai Suhu Permukaan (Vidal 1991) .................................................................. 45 Lampiran 20 Peta Digital RBI Tema 1 : Penutupan Lahan ............................................................. 46

Page 14: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suhu Permukaan Lahan (SPL)

merupakan salah satu indikator terbaik dari

keseimbangan energi di permukaan bumi dan

merupakan parameter kunci dalam proses

fisika permukaan lahan yang mampu

mengkombinasikan interaksi antara fluks

energi gelombang panjang di permukaan dan

di atmosfer (Wan 2006). Pada suatu lahan

terbuka, suhu permukaan dapat diartikan

sebagai suhu permukaan lahan atau dikenal

dengan istilah Land Surface Temperature

(LST). Pada vegetasi dapat dipandang

sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan

dan pada tubuh air dapat didefinisikan

sebagai suhu dari permukaan badan air.

Pada saat ini, perolehan data suhu dapat

dilakukan dengan menggunakan alat

termometer. Termometer yang terpasang di

permukaan tanah dapat digunakan untuk

menghitung nilai suhu permukaan tanah dan

termometer yang terpasang di sangkar cuaca

dapat digunakan untuk mendapatkan nilai

suhu udara. Namun data suhu yang didapat

melalui pengukuran pada umumnya masih

bersifat lokal. Oleh karena itu, untuk

mendapatkan data suhu yang bersifat lebih

regional diperlukan data suhu yang

dikumpulkan dari beberapa stasiun (Prasasti

2004).

Beberapa metode untuk penentuan nilai

suhu permukaan secara spasial dan regional

telah banyak dikembangkan salah satunya

menggunakan data penginderaan jauh.

Penelitian Risdiyanto (2001) menggunakan

data NOAA-AVHRR telah menjelaskan

bahwa citra satelit dapat digunakan untuk

memprediksi nilai suhu permukaan dan

faktor-faktor meteorologi lainnya. Suhu

permukaan merupakan unsur pertama yang

dapat diidentifikasi dari citra satelit termal.

Besarnya nilai suhu permukaan dapat

dipengaruhi oleh panjang gelombang.

Panjang gelombang yang paling sensitif

terhadap suhu permukaan adalah inframerah

termal. Kanal termal dari suatu satelit dapat

berfungsi mencari nilai suhu kecerahan

(Brightness Temperature) dari emisi yang

dihasilkan oleh suatu objek. Nilai suhu

kecerahan yang telah didapat, dapat

dilakukan pengkoreksian dengan faktor

emisivitas masing–masing jenis penutupan

lahan untuk mendapatkan nilai suhu

permukaan lahan.

Pada penelitian ini akan digunakan

satelit pengamatan lingkungan yaitu Terra

dengan sensornya yaitu Moderate Resolution

Imaging Spectroradiometer (MODIS). Satelit

ini mempunyai misi untuk memantau

fenomena yang terjadi di permukaan bumi

dan atmosfer dengan kemampuan liputan

kawasan yang besar yaitu sebesar 2330 km

dan resolusi spektral yang tinggi yaitu jumlah

saluran sebanyak 36 kanal. Selain itu, satelit

ini mempunyai resolusi temporal yang juga

tinggi, kurang lebih sama dengan NOAA–

AVHRR yaitu 1–2 harian sehingga pengguna

dapat mengetahui informasi perubahan yang

terjadi secara near-realtime seperti

pemantauan curah hujan, kehijauan

tumbuhan, kebakaran hutan, kekeringan

lahan sawah, dan perubahan penggunaan

lahan.

MODIS merupakan penyedia data

untuk proses–proses pengkajian global

tentang atmosfer, daratan, dan lautan.

Pengembangan aplikasi dari data MODIS ini

cukup banyak hingga saat ini khususnya di

LAPAN Deputi bidang Penginderaan Jauh

dan bidang sains, pengkajian dan informasi

kerdirgantaraan telah memanfaatkan satelit

lingkungan ini untuk pemantauan harian

dalam rangka mendukung kegiatan mitigasi

bencana.

Fokus pada penelitian ini tidak hanya

menghitung dan menduga kisaran nilai suhu

permukaan, tetapi juga akan dilakukan

analisa lebih lanjut untuk melihat hubungan

nilai suhu permukaan terhadap faktor–faktor

lain yang mempengaruhi nilai suhu

permukaan tersebut seperti pengaruh

topografi (ketinggian tempat), perubahan

penutupan lahan dan posisi sudut zenith

matahari. Hasil analisa penelitian ini dapat

digunakan untuk analisa perubahan suhu

permukaan di Provinsi Banten, DKI Jakarta,

dan Jawa Barat di berbagai bidang penelitian.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengembangkan metode dan algoritma

menggunakan data penginderaan jauh

satelit Terra-MODIS untuk pendugaan

dan pemetaan suhu permukaan lahan

(Land Surface Temperature - LST)

2. Mengetahui hubungan suhu permukaan

yang diturunkan dari data satelit Terra-

MODIS dengan topografi permukaan

dan penutupan lahan

Page 15: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

2

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gelombang Elektromagnetik

Sifat radiasi elektromagnetik dapat

diuraikan dengan menggunakan teori

gelombang maupun menggunakan teori

partikel. Hukum Planck memberikan dasar

mengenai sifat dualisme energi radiasi yaitu

sebagai kuanta dan gelombang

elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik

merupakan gelombang atau partikel yang

dapat merambat tanpa melalui adanya

medium. Gelombang elektromagnetik terdiri

dari beberapa spektrum mulai dari gelombang

pendek sampai gelombang panjang (Gambar

1). Spektrum-spektrum tersebut yaitu sinar

kosmis, sinar Gamma, sinar X, sinar

ultraviolet, sinar tampak, sinar inframerah,

gelombang mikro, dan gelombang radio.

Gambar 1 Bagian-bagian dari spektrum

gelombang elektromagnetik

(http://www.lib.utexas.edu/chem/in

fo/spectrum.html)

2.2 Hukum-Hukum Radiasi

Semua benda di permukaan bumi

merupakan sumber radiasi walaupun besar dan

komposisi spektralnya berbeda dengan radiasi

matahari. Oleh karena itu, semua benda diatas

suhu nol derajat kelvin dapat memancarkan

radiasi elektromagnetik secara terus menerus.

Besarnya energi radiasi yang dikeluarkan oleh

suatu objek di permukaan bumi merupakan

fungsi suhu permukaan objek tersebut, seperti

yang ditunjukkan oleh hukum Stefan

Boltzman yaitu :

Rl out = e σ T4

Keterangan :

Rl out : Fluks Total (W m-2

)

e : Emisivitas permukaan

σ : Tetapan Stefan Boltzman (5.56697

x 10-8

W m-2

K-4

)

T : Suhu absolut objek (K)

Benda hitam sempurna (blackbody)

mempunyai nilai emisivitas sebesar satu,

artinya benda akan menyerap energi yang

diterimanya dari segala sudut penerimaan dan

akan memancarkannya kembali senilai yang

diserap ke segala arah dengan seluruh panjang

gelombang yang ada. Fakta di alam, hampir

semua benda tidak memiliki sifat seperti

benda hitam sempurna, yang ada hanya

mendekati sifat tersebut. Oleh karena itu,

setiap energi yang dipancarkan suatu objek di

permukaan bumi tidak tergantung pada suhu

absolutnya, tetapi tergantung pada daya

pancarnya sehingga jumlah energi yang

dipancarkan merupakan fungsi suhu dan akan

meningkat dengan adanya peningkatan suhu.

Hal ini menyebabkan jumlah energi yang

dipancarkan suatu objek bervariasi dengan

suhunya dan didasarkan pada panjang

gelombangnya.

Gambar 2 Intensitas emisi benda hitam pada

berbagai suhu (Salby 1996)

Gambar 2 menunjukkan distribusi

radiasi untuk benda hitam sempurna pada

berbagai suhu. Kurva tersebut menunjukkan

adanya pergeseran puncak distribusi radiasi

benda hitam ke arah panjang gelombang yang

makin pendek apabila suhu naik sehingga

menyebabkan intensitas radiasi yang

dipancarkan juga naik. Panjang gelombang

yang dominan atau panjang gelombang yang

mencapai radiasi maksimum sangat berkaitan

Page 16: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

3

dengan suhunya. Hubungan antara pancaran

maksimum objek, panjang gelombang, dan

suhu dinyatakan dengan hukum pergeseran

Wien dengan persamaan :

𝜆 maks = 2897 / Ts

Berdasarkan persamaan di atas, dengan

suhu mutlak matahari 6000 K maka akan

didapatkan nilai panjang gelombang

maksimum radiasi matahari yang mampu

memberikan pancaran puncak maksimum

terjadi pada panjang gelombang 0.55 μm yang

merupakan nilai tengah panjang gelombang

cahaya tampak sedangkan untuk permukaan

bumi dengan suhu permukaan sebesar 300 K

memberikan nilai pancaran puncak maksimum

pada panjang gelombang 9.7 μm. Oleh karena

itu, penginderaan jauh termal banyak

dilakukan pada kisaran panjang gelombang

antara 8 μm sampai 14 μm.

2.3 Karakteristik Satelit (Terra-MODIS)

Moderate Resolution Imaging

Spectroradiometer (MODIS) merupakan

sebuah instrumen/sensor yang terpasang pada

satelit Terra dan Aqua yang merupakan satelit

pengamat lingkungan. Terra mengorbit bumi

dari utara ke selatan dan melintasi equator di

pagi dan malam hari sedangkan Aqua

melintasi equator dari selatan ke utara dan

melintasi equator di siang dan malam hari.

MODIS Terra dan Aqua meliput seluruh

permukaan bumi setiap 1-2 hari,

menggunakan 36 kanal spektral.

Satelit Terra merupakan sebuah misi

internasional yang diluncurkan pada 18

Desember 1999 dan membawa lima instrumen

yang dapat mengobservasi atmosfer, laut,

darat, salju, es, dan kesetimbangan energi.

Instrumen-instrumen tersebut berasal dari

Amerika Serikat, Jepang, dan Kanada. Semua

instrumen ini dijalankan secara bersama dan

mampu memberikan gambaran unik

bagaimana sistem bumi bekerja dan berubah

(MCST 2003). Observasi Terra mengungkap

dampak manusia terhadap planet dan

memberikan data penting mengenai bencana

alam seperti kebakaran dan aktivitas

vulkanik.

Instrumen-instrument yang terpasang

yaitu : Earth's Radiant Energy System

(CERES) (USA), Multi-angle Imaging

Spectroradiometer (MISR) (USA), Moderate

Resolution Imaging Spectroradiometer

(MODIS) (USA), Advanced Spaceborne

Thermal Emission and Reflection Radiometer

(ASTER) (JAPAN), Measurements of

Pollution in the Troposphere (MOPITT)

(KANADA).

MODIS merupakan sebuah instrumen

penyedia data untuk proses–proses pengkajian

global tentang atmosfer, daratan, dan lautan.

Pengembangan aplikasi dari data MODIS ini

cukup banyak hingga saat ini khususnya di

LAPAN Deputi bidang Penginderaan Jauh dan

bidang Sains, Pengkajian dan Informasi

Kerdirgantaraan telah memanfaatkan satelit

lingkungan ini untuk pemantauan fenomena

yang terjadi di permukaan bumi dan atmosfer

secara harian dalam rangka mendukung

kegiatan mitigasi bencana.

Data MODIS menghasilkan resolusi

radiometrik 16-bit per piksel ini menghasilkan

citra digital dalam beberapa kanal : biru (band

3), merah (band 1), hijau (band 4), near-

infrared (band 2, 5, dan 16-19), SWIR (band

6&7), visible (band 8-15), MWIR (band 20-

26), dan TIR (band 27-36). Sementara hasil

citra terdiri dari 36 kanal/band yang memiliki

resolusi spasial beragam mulai dari antara 250

m hingga 1000 m : band 1-2 (250 m), band

1-7 (500 m), dan band 1-36 (1000 m).

Data yang dihasilkan sensor MODIS

terdiri dari beberapa format level data, yaitu:

1. Format data level 1, merupakan data

mentah ditambah dengan informasi tentang

kalibrasi sensor dan geolokasi. Format data

level 1 terdiri dari:

Level 1a, mengandung informasi lebih

yang dibutuhkan pada set data. Digunakan

sebagai input untuk geolocation,

calibration, dan processing.

Level 1b, data yang telah mempunyai

terapannya yang merupakan hasil dari

aplikasi sensor kalibrasi level 1a.

2. Format data level 2, dihasilkan dari proses

penggabungan data level 1a dan 1b. Data

level 2 menerapkan nilai geofisik pada tiap

piksel yang berasal dari perhitungan raw

radiance level 1a dengan menerapkan

kalibrasi sensor, koreksi atmosfer, dan

algoritma bio-optik. Pada umumnya level

2 ini adalah suatu bentuk produk.

3. Format data level 3, merupakan data level

2 yang dikumpulkan dalam periode 1 hari,

8 hari, 1 bulan, dan 1 tahun

(http://modis.gsfc.nasa.gov/).

2.4 Efek Bowtie

Pada data mentah citra MODIS L1B

terdapat kerusakan citra berupa efek duplikasi

data akibat peningkatan Instantaneous Field of

View (IFOV) yang semula berukuran 1x1 km

pada titik nadir menjadi 2x5 km pada sudut

scan maksimum yaitu 55o. Fenomena ini

Page 17: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

4

dikenal dengan efek Bowtie. Efek Bowtie ini

terjadi akibat pengaruh kelengkungan bumi,

dikarenakan satelit Terra merupakan satelit

Low Earth Orbit (LEO) dan MODIS

merupakan sensor resolusi rendah dengan

lebar cakupan (Swath) yang besar sehingga

ukuran piksel yang direkam diatas sudut 15o

dari titik nadir/pusat akan mulai mengalami

perbesaran. Oleh karena itu, untuk

memperbaiki kerusakan pada data seluruh data

pada citra asli akan ditransformasikan secara

matematik ke citra akhir atau resampling.

Dalam hal ini akan dibentuk piksel baru

sebagai perbaikan pada piksel lama yang

mengalami kerusakan yaitu dengan "metode

tetangga terdekat" (nearest neighbour).

Teknik ini dilakukan dengan cara

mengalihkan titik keabuan piksel yang telah

terkoreksi dengan harga keabuan piksel

tetangganya pada citra semula (Diana 2010).

Gambar 3 Morfologi efek Bowtie

(http://eoweb.dlr.de:8080/short_g

uide/D-MODIS.html)

Gambar 3 menunjukkan bahwa data

yang dipengaruhi oleh efek Bowtie menempati

sebagian samping dari gambar. Oleh karena

itu, efek Bowtie harus dihapus sebelum

aplikasi data MODIS dikeluarkan. Scan

pertama dan ketiga diwakili oleh kisi yang

cerah sedangkan scan kedua diwakili oleh kisi

yang hitam (Wen 2008).

2.5 Suhu Permukaan

Suhu permukaan dapat didefinisikan

sebagai suhu bagian terluar dari suatu objek.

Suhu permukaan dapat didefinisikan sebagai

suhu rata–rata dari suatu permukaan yang

digambarkan dalam cakupan suatu piksel

dengan tipe permukaan yang berbeda–beda.

Pada suatu lahan terbuka, suhu permukaan

dapat diartikan sebagai suhu permukaan lahan

/daratan atau dikenal dengan land surface

temperature (LST). Pada vegetasi dapat

dipandang sebagai suhu permukaan kanopi

tumbuhan, dan pada tubuh air dapat

didefinisikan sebagai suhu dari permukaan

badan air. Suhu permukaan benda tergantung

dari sifat fisik permukaan objek, diantaranya

yaitu emisivitas, kapasitas panas jenis, dan

konduktivitas termal. Jika suatu objek

memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis

yang tinggi, sedangkan konduktivitas

termalnya rendah maka suhu permukaan objek

tersebut akan menurun, contohnya pada

permukaan berupa perairan. Selanjutnya, jika

suatu objek memiliki emisivitas dan kapasitas

panas jenis yang rendah sedangkan

konduktivitas termalnya tinggi maka suhu

permukaan objek tersebut akan meningkat,

contohnya pada permukaan berupa daratan

(Sutanto 1994).

Suhu permukaan merupakan fungsi dari

Suhu Kecerahan/Brightness Temperature (Tb)

yang didapat dari penurunan persamaan

Planck. Suhu permukaan dapat diidentifikasi

dengan mengetahui nilai emisivitas dari

berbagai penggunaan lahan atau memakai

asumsi emisivitas sama dengan satu yang sifat

tersebut hanya dimiliki oleh benda hitam.

Benda hitam adalah objek yang menyerap

seluruh radiasi elektromagnetik. Dalam teori

fisika klasik, objek tersebut juga

memancarkan energi yang diserapnya. Oleh

karena itu, energi suatu benda hitam dapat

diukur.

Suhu permukaan merupakan unsur

pertama yang dapat diidentifikasi dari citra

satelit termal. Suhu permukaan dapat

didefinisikan sebagai suhu permukaan rata-

rata dari suatu permukaan yang digambarkan

dalam satuan piksel dengan berbagai tipe

permukaan.

2.6 Albedo

Albedo berasal dari bahasa Latin yaitu

albus yang berarti putih. Albedo merupakan

perbandingan antara radiasi gelombang pendek

yang datang dan yang dipantulkan dari semua

spektrum panjang gelombang. Persamaan

albedo dapat ditulis sebagai berikut :

𝜶 =𝐑𝐬 𝒐𝒖𝒕

𝐑𝐬 𝒊𝒏

Keterangan :

α : Albedo

Rs out : Radiasi gelombang pendek yang

dipantulkan

Rs in : Radiasi gelombang pendek yang

datang

Albedo menunjukkan sifat kehitaman

badan objek. Albedo mempunyai kisaran nilai

Page 18: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

5

0-1. Apabila suatu objek mempunyai nilai

albedo = 0 maka objek tersebut mengabsorbsi

seluruh radiasi gelombang pendek yang

datang dan albedo = 1 maka objek tersebut

memantulkan seluruh radiasi gelombang

pendek yang datang. Tidak ada satu pun benda

di alam semesta yang memiliki albedo bernilai

0 atau 1, yang ada hanya mendekati 0 dan 1.

Semakin mendekati nilai nol maka

kenampakan suatu objek semakin gelap dan

semakin mendekati nilai satu maka

kenampakan suatu objek semakin cerah.

Tabel 1 Nilai albedo pada berbagai jenis

permukaan

Albedo Jenis Permukaan

0.05 – 0.19

0.05 – 0.15

0.05 – 0.15

Perairan dalam

Jalan Aspal

Hutan

0.06 – 0.08

0.09

0.12

0.15

Tanah abu-abu lembab

Bangunan

Tanaman Padi

Pemukiman rata-rata

0.16 – 0.18

0.18

0.19

Tanah terang kering

Tanaman Jagung

Tanaman Kentang

0.2 – 0.4 Awan Cirrus (Ci)

0.4 – 0.5 Awan Stratus (St)

0.7 – 0.95 Awan Tebal

Sumber : Stull (2000)

2.7 Teknik Split Window

Sekitar 80% dari energi termal sensor

mampu diterima oleh sensor di wilayah

panjang gelombang 10.5–12.5 μm yang

diemisikan oleh permukaan tanah atau

perairan dan membuat variabel suhu

permukaan mudah untuk diekstrak dari sinyal

radiansi inframerah termal. Penelitian lebih

lanjut telah dilakukan melalui pengembangan

algoritma untuk memperkirakan suhu

permukaan lahan dari suhu kecerahan saluran

4 dan 5 (AVHRR) dan emisivitas permukaan

untuk mengoreksi efek atmosfer di permukaan

laut dan permukaan tanah/lahan (Price 1984;

Becker dan li 1990). Pendekatan ini sering

disebut dengan Teknik Split Window atau Split

Window Technique (SWT). Pada sensor

MODIS teknik ini dilakukan pada saluran 31

dan 32. Telah dicatat bahwa antara saluran 4

dan 5 dari AVHRR maupun saluran 31 dan 32

dari MODIS memiliki keidentikkan dari setiap

masing-masing saluran dikarenakan nilai

panjang gelombang yang ditangkap adalah

hampir sama yaitu panjang gelombang

inframerah termal. Namun antara kanal dari

masing-masing sensor mempunyai perbedaan

utama dalam penyerapan uap air. Saluran

5(AVHRR) dan saluran 31(MODIS) lebih

sensitif terhadap uap air di atmosfer daripada

saluran 4(AVHRR) dan saluran 32(MODIS),

sehingga selisih perbedaan antara suhu

kecerahan saluran 4(AVHRR)/31(MODIS)

dan saluran 5(AVHRR)/32(MODIS) lebih

besar untuk kondisi atmosfer lembab daripada

kondisi kering.

Split window telah digunakan selama

beberapa periode dalam penentuan suhu

permukaan lahan/perairan dengan hasil yang

sangat memuaskan. Banyak penulis

mengembangkan skema baru untuk

mengambil suhu permukaan yang

dihubungkan dalam suatu model/algoritma.

Model tersebut dipengaruhi oleh beberapa

faktor :

1. Tergantung pada data empiris wilayah

2. Tergantung pada emisivitas

3. Tergantung pada konten uap air

4. Tergantung pada sudut pandang matahari

5. Tergantung pada kombinasi dari metode-

metode di atas

2.8 Jenis-Jenis Algoritma Split Window

Banyak sekali jenis algoritma split

window yang telah digunakan dalam beberapa

periode waktu untuk mendapatkan nilai suhu

permukaan lahan (SPL). Perbedaan utama dari

beberapa contoh algoritma split window

seperti (Price, Becker & Li, Sobrino, Vidal

Ulivieri, Prata & Plat) ini yang sering

dilupakan adalah bahwa semuanya berasal

dari sensor AVHRR yang berbeda. Algoritma

Price (1984) digunakan dari data NOAA-7

AVHRR, algoritma Becker_li (1990)

digunakan dari data NOAA-9 AVHRR, dan

algoritma Sobrino (1993) digunakan dari data

NOAA-11 AVHRR. Walaupun berbeda

sensor, nilai panjang gelombangnya masih

dalam batasan panjang gelombang inframerah

termal sehingga penggunaan algoritma ini bisa

diterapkan di salah satu sensor lainnya yaitu

MODIS. Koreksi pada contoh algoritma diatas

disesuaikan dengan jenis masing-masing

emisivitas dan koreksi faktor–faktor yang

dibutuhkan lainnya.

2.9 DEM-SRTM

Penentuan nilai altitude atau ketinggian

dapat diduga menggunakan data DEM-SRTM.

Data SRTM atau Shuttle Radar Topography

Mission merupakan suatu bentuk data yang

menyediakan informasi tentang ketinggian

tempat atau biasa disebut DEM (Digital

Elevation Model). Data ini diperoleh dari

sistem radar yang dipasang pada Pesawat

ruang angkasa selama 11 hari.

Page 19: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

6

III METODOLOGI

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

September sampai dengan Februari tahun

2012-2013, dengan wilayah kajian berada

pada wilayah Provinsi Jawa Barat, DKI

Jakarta, dan Banten. Pengolahan data

dilakukan di laboratorium Meteorologi dan

Pencemaran Atmosfer, Departemen Geofisika

dan Meteorologi, FMIPA-IPB.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah perangkat lunak pengolah citra (image

processing) seperti HDF view 2.8, ENVI 4.5,

dan Er.Mapper 7.1, perangkat pengolah

sistem informasi geografis seperti ArcGis 10.0

(Lisensi IPB No. EFL588104064) dengan

ekstensi Hawths analysis tools dan perangkat

pengolah lainnya seperti Microsoft Office,

Notepad ++, Stellarium 0.10.2. Adapun data

yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

1. Data citra satelit Terra-MODIS level 1B

yang mencakup wilayah Jawa Barat,

Banten, dan DKI Jakarta pada tanggal 20

Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni

2002, dan 23 September 2003. Citra

yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu sedikit penutupan awan. Kanal

yang digunakan yaitu kanal 1, 4, dan 3

sebagai kanal reflektan dan kanal 31, 32

sebagai kanal emissive. Resolusi yang

dipakai 1x1 km untuk setiap masing-

masing kanal. Data tersebut dapat

diperoleh dari alamat :

(http://ladsweb.nascom.nasa.gov/data/se

arch.html).

2. Data DEM–SRTM yang telah dikonversi

resolusinya menjadi 1x1 km. Data

tersebut dapat diperoleh dari alamat :

(http://www.cgiar.csi.org/data/srtm-

90m-digital-elevation-database-v4-1).

3. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) tema 1

: penutupan lahan tahun 2002 (BPDAS).

4. Peta Administrasi wilayah Provinsi Jawa

Barat, Banten, dan DKI Jakarta.

3.3 Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan pada

penelitian ini disajikan dalam diagram alir

(Gambar 4).

3.3.1 Pemrosesan Awal Data Citra Satelit

Georeferensi MODIS merupakan suatu

langkah awal dalam pemrosesan data citra

satelit. Langkah ini digunakan untuk

mendapatkan informasi-informasi yang

diinginkan dari suatu data citra sebelum

dilakukan analisis spasial dan atributnya,

seperti penentuan sistem proyeksi yang akan

digunakan, pemilihan datum, penentuan

Ground Control Point (GCP) yang digunakan

sebagai acuan dalam proses georeferensi, dan

pengkoreksian citra. Beberapa tahapan yang

akan dilakukan yaitu :

3.3.1.1 Koreksi Bowtie

Pada data mentah citra MODIS level

1B terdapat kerusakan citra berupa efek

duplikasi data akibat peningkatan

Instantaneous Field of View (IFOV) yang

semula berukuran 1x1 km pada titik nadir

menjadi 2x5 km pada sudut scan maksimum

yaitu 55o. Fenomena ini dikenal dengan

Bowtie effect yang terjadi akibat pengaruh

kelengkungan bumi yang mengakibatkan

ukuran piksel yang direkam diatas sudut 15o

mengalami perbesaran. Sebelum citra diproses

lebih lanjut, diperlukan suatu pengkoreksian

untuk menghilangkan efek tersebut.

Pengkoreksian ini menggunakan perangkat

lunak ENVI 4.5 pada semua kanal yang

digunakan.

3.3.1.2 Koreksi Geometrik dan Penentuan

GCP (Ground Check Point)

Pada data pemanfaatan penginderaan

jauh, pengaruh rotasi bumi, arah gerakan

satelit, dan kelengkungan permukaan bumi

mengakibatkan posisi geografis hasil scanning

pada citra tidak sesuai dengan koordinat

geometri pada peta. Oleh karena itu, informasi

posisi koordinat citra satelit harus diperbaiki

antara lain dengan menggunakan acuan

koordinat peta dasar atau peta topografi.

Proses ini dikenal dengan istilah koreksi

geometrik. Tujuan koreksi ini adalah untuk

mereferensikan citra sehingga mempunyai

koordinat geografi dan mengkoreksi

/mencocokan secara geometri dengan citra

yang menjadi dasar koreksi.

Pada pengkoresian ini dilakukan

dengan memberikan 11 titik ikat atau 11

Ground Check Point (GCP) pada citra dan

peta dasar menggunakan metode image to

map. Jumlah titik yang dicatat koordinatnya

dianjurkan menyebar terutama pada daerah

yang bertopografi berbukit sampai bergunung.

Koreksi geometrik ini dilakukan

menggunakan perangkat lunak ENVI 4.5

dengan penggunaan sistem proyeksi UTM

dengan unit meter dan datum WGS-84.

Pada proses pengkoreksian ini akan

ditampilkan juga nilai kesalahan/

ketidaktepatan pengkoreksian. Pada dasarnya

Page 20: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

7

kesalahan tersebut masih dapat diterima

sepanjang masih memenuhi kaidah-kaidah

kartografi. Menurut Purwadhi (2001) batas

toleransi untuk nilai kesalahan adalah RMS ≤

1 piksel, sehingga apabila nilai RMS > 1

piksel maka harus dilakukan perhitungan

ulang.

3.3.1.3 Penentuan Nilai RMSE

Root Mean Square Error (RMSE)

merupakan besarnya simpangan dari nilai data

dugaan/koreksi dengan nilai data aslinya.

Dalam penelitian ini, penentuan RMSE ini

dilakukan untuk melihat besarnya simpangan

nilai reflektan/nilai radiansi, ketika citra

sebelum dikoreksi dan citra sesudah dikoreksi

(citra terkoreksi). Persamaan yang digunakan

adalah sebagai berikut:

RMSE ∶ 1

n (Xi − Yi)2

n

n=1

Keterangan :

Xi = Nilai reflektan/nilai radiansi kanal

ke-i citra sebelum dikoreksi

Yi = Nilai reflektan/nilai radiansi kanal

ke-i citra terkoreksi

n = Jumlah piksel

3.3.1.4 Penentuan Nilai Koefisien Korelasi

Koefisien korelasi menggambarkan

ketepatan dan hubungan linear antara peubah

tidak bebas dengan peubah bebas atau antara

sesama peubah bebas. Dalam penelitian ini,

penentuan koefisien korelasi ini bertujuan

untuk melihat seberapa besar ketepatan

hubungan nilai reflektan/nilai radiansi ketika

citra sebelum dikoreksi dan citra sesudah

dikoreksi (citra terkoreksi). Selain itu juga,

penentuan koefisien korelasi digunakan untuk

melihat seberapa besar ketepatan hubungan

antara parameter-parameter fisis lainnya

seperti nilai suhu permukaan dengan nilai

ketinggian/altitude. Persamaan yang

digunakan adalah sebagai berikut :

r = Xi − X . ( Yi − Y )

Xi − X 2. ( Yi − Y )2

Keterangan :

r = Nilai koefisien korelasi

Xi = Nilai reflektan/radiansi kanal ke-i

citra sebelum dikoreksi dan nilai

ketinggian/altitude

Yi = Nilai reflektan/radiansi kanal ke-i

citra terkoreksi dan nilai suhu

permukaan

X = Rata–rata nilai reflektan/radiansi

kanal ke-i citra sebelum dikoreksi

dan nilai Ketinggian/altitude

Y = Rata–rata nilai reflektan/radiansi

kanal ke-i citra terkoreksi dan nilai

suhu permukaan

3.3.1.5 Pemotongan Wilayah Kajian

Data citra satelit Terra-MODIS yang

telah terkoreksi kemudian dipotong dengan

data vektor wilayah Provinsi Jawa Barat,

Banten, dan DKI Jakarta menggunakan

perangkat lunak pengolah citra.

3.3.2 Ekstraksi Nilai Parameter-

Parameter Suhu Permukaan

Citra MODIS L1B yang telah

dipotong/cropping kemudian dilakukan

ekstraksi nilai untuk menghasilkan beberapa

indikator variabel yang dibutuhkan dalam

menjadi nilai suhu permukaan. Beberapa

tahapan yang akan dilakukan adalah sebagai

berikut :

3.3.2.1 Konversi Nilai SI (Scaled Integer)

ke Nilai Spektral Radiance

Pada produk data MODIS L1B,

masing–masing nilai 𝐿𝜆 atau Radiansi (energi

radiasi yang diterima permukaan bumi per

satuan luas) pada piksel diekspresikan pada

format 32–bit floating point. Penulisan dalam

format floating point ke file produk L1B akan

membuat ukuran file menjadi besar. Sebagai

gantinya, MCST menulis produk level 1B ke

dalam format 16-bit scaled integer untuk

merepresentasikan dari kalibrasi sinyal yang

diukur oleh sensor MODIS. Nilai radiansi

tersebut dapat dihitung dari dua istilah yaitu

radiance scale dan radiance offset yang

tertulis pada attribute emissive band di

Scientific Data Sets (SDS). Format 16–bit

Scaled Integer sering disebut juga dengan

istilah Skala bilangan bulat (SI) yang

merupakan suatu nilai yang berkisar antara 0–

32767 dimana nilai 𝐿𝜆 min dikonversi ke skala

0 dan nilai 𝐿𝜆 max dikonversi ke skala 32767.

Nilai yang lebih rendah dari 0 dan lebih besar

dari 32767 mengindikasikan nilai piksel yang

hilang (null value) (MCST 2009). Nilai

radiansi dapat dihitung dari nilai SI yang

diperoleh. Persamaan yang digunakan adalah

sebagai berikut :

Lλi = R scale (SI − R offset) Keterangan :

Lλi = Nilai radiansi kanal ke-i (W m-2

μm-1

sr-1

)

Page 21: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

8

R scale = Nilai radiance scale pada kanal ke-i

(W m-2

μm-1

sr-1

)

R offset = Nilai radiance offset pada kanal ke-

i (Dimensionless)

SI = Nilai konversi radiansi pada kanal

ke-i dalam skala bilangan bulat

(Dimensionless)

Penentuan atribut nilai radiance

scale dan radiance offset dapat dilihat pada

Scientific Data Sets (SDS) MODIS. Selain itu,

penentuan atribut tersebut dapat juga

menggunakan persamaan sebagai berikut:

Radiance scales = (Lλmax – Lλmin )

32767

Radiance_offsets = − (32767 Lλmin )

(Lλmax − Lλmin )

3.3.2.2 Konversi Nilai Spectral Radiance

menjadi Brightness Temperature

Nilai brightness temperature (suhu

kecerahan) dapat dihitung dari konversi nilai

spectral radiance dengan menerapkan hukum

Planck dari radiasi benda hitam (Janssen

2001). Benda hitam merupakan benda yang

mampu menyerap seluruh energi dan mampu

mengemisikan kembali semuannya. Hukum

Planck dapat digunakan untuk menghitung

intensitas radiasi yang dipancarkan oleh suatu

objek permukaan. Persamaan yang digunakan

adalah sebagai berikut :

Tb =h c

k λ (ln2 hc2 λ−5

Lλ+ 1)

Jika C1 = 2 hc2 dan C2 =

h c

k

maka persamaan tersebut menjadi :

Tb =C2

λ (lnC1 λ−5

Lλ+ 1)

Keterangan : Lλ = Spektral radiance (Wm

-2 μm

-1 sr

-1)

Tb = Suhu kecerahan (K)

h = Konstanta Planck (6.62076 x 10-34

J s)

c = Kecepatan cahaya (2.9979 x108 m s

-1)

k = Konstanta Boltzmann

(1.386058 x 10-23

J K-1

)

C1 = Konstanta radiasi pertama

(1,191044 x 108 Wm

-2 sr

-1(μm

-1)

-4)

C2 = Konstanta radiasi kedua

(1,4387 x 104μmK)

λ = Nilai tengah panjang gelombang kanal

31 (10,78-11,28 μm) dan kanal 32

(11,77-12,27 μm)

3.3.2.3 Konversi Nilai Suhu Kecerahan

menjadi Nilai Suhu Permukaan

Estimasi nilai suhu permukaan dari

citra MODIS dapat diduga dari nilai suhu

kecerahannya. Persamaan yang digunakan

merupakan persamaan algoritma split window

dengan memasukkan faktor-faktor utama

seperti emisivitas dan suhu kecerahan.

Persamaan-persamaan yang digunakan adalah

sebagai berikut :

Price (1984)

Ts = [[Tb31+ 3.33 (Tb31–Tb32)] 5.5 – ε31

4.5] +

[0.75 Tb32 ε31 – ε32 ]]

Becker and Li (1990)

Ts = [1.274 + [Tb31+ Tb32

2] (1 + 0.15616 ε1bl –

0.482 ε2bl) + Tb31+ Tb32

2 (6.26 + 3.98 ε1bl

– 38.33ε2bl )] ]

Vidal (1991)

Ts = Tb31 + [2.78 (Tb31–Tb32)] [50 ε1bl] –

[300 ε3v]

Ulivieri (1992)

Ts = Tb31 + [1.8 (Tb31–Tb32)] + [48 (1 –ε)] –

[75 ∆ε]

Sobrino (1993)

Ts = Tb31 + [1.06 (Tb31–Tb32)] + [0.46

[(Tb31–Tb32)]] + [53 (1 –ε3l)] – [53(ε3l –

ε32)]

Price modifikasi Sobrino (1994)

Ts = [[Tb31+ 2.79 (Tb31–Tb32)] 7.6 –ε31

6.6] +

[0.26 Tb32 ε31 – ε32 ]

Ulivieri modifikasi Sobrino (1994)

Ts = Tb31 + [2.76 (Tb31–Tb32)] + [38.6 (1 –

ε)] – [96 ∆ε]

Coll (1997)

Ts = Tb31 + [2.13 (Tb31–Tb32)] + 0.18 + [50

(1 –ε3l)] – [200 ∆ε]

dengan

∆ε = (ε31 − ε32) ε = (ε31 + ε32)/2 ε1bl = (1 − ε)/ε ε2bl = (∆ε/ (ε)2 ε3v = ∆ε/ (ε) Keterangan:

Ts = Suhu Permukaan (K)

Tbi = Suhu Kecerahan kanal ke-i (K)

εi = Emisivitas Objek kanal ke-i

Page 22: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

9

3.3.3 Penentuan Albedo

Penentuan albedo dapat dilakukan

menggunakan perhitungan dari USGS (2003)

kanal 1, 4, dan 3. Persamaan yang digunakan

adalah sebagai berikut:

α = Lλ π D2

E0Sunλi cosθs

Keterangan:

D = Jarak astronomi bumi-matahari

pada tanggal tertentu (SA)

(Stellarium 0.10.2)

𝐸0Sunλi = Rata-rata nilai solar spectral

irradiance pada kanal ke-i (W m-2

μm-1

) (Lampiran 7)

Lλ = Nilai Spectral radiance (Wm-2

sr-1

μm-1

)

θs = Sudut zenith matahari (Degree)

3.3.4 Pemisahan Penutupan Awan ( Cloud

Masking)

Pemisahan penutupan awan dapat

dilakukan menggunakan pendekatan albedo

awan pada kanal 1, 4, dan 3 melalui nilai

radiansinya atau menggunakan pendekatan

nilai reflektan pada kanal 3 MODIS. Jika nilai

rata-rata albedo kanal 1, 4, dan 3 atau nilai

reflektan dari kanal 3 lebih besar dari 0.2

maka dapat dikatakan nilai tersebut sebagai

awan (Xiao 2004).

Gambar 4 Diagram Alir Penelitian

Page 23: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

10

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kondisi Geografis Wilayah

Secara geografis wilayah Provinsi

Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat terletak

pada 5.79–7.82 0LS dan 105.10–108.76

0BT.

Ketinggian wilayah berdasarkan data DEM-

SRTM berkisar dari -3 sampai 2830 mdpl.

Berdasarkan data BPS tahun 2002

menunjukan bahwa Provinsi Banten

mempunyai 4 kabupaten dan 4 kota, Provinsi

DKI Jakarta mempunyai 6 kota, dan Provinsi

Jawa Barat mempunyai 17 kabupaten dan 9

kota.

4.2 Pemrosesan Awal Citra Satelit

4.2.1 Koreksi Bowtie

Koreksi Bowtie merupakan tahap awal

pengolahan data sebelum dilakukan analisis

citra lebih lanjut. Pada hasil koreksi Bowtie,

didapatkan nilai reflektan dan nilai radiansi

dari citra yang belum dikoreksi dengan yang

sudah dikoreksi mengalami perubahan.

Perubahan ini dapat dilihat melalui simpangan

yang dihasilkan melalui besarnya nilai Root

Mean Square Error (RMSE) dan koefisien

korelasi (r). RMSE mengindikasikan besarnya

simpangan dari citra sebelum terkoreksi dan

citra setelah terkoreksi sedangkan koefisien

korelasi menggambarkan ketepatan atau

keeratan hubungan linear antara citra sebelum

terkoreksi dan citra setelah terkoreksi.

Nilai RMSE yang didapatkan dari

koreksi Bowtie pada semua tanggal dan kanal

menunjukkan nilai yang relatif kecil (Tabel 2,

3, 4, dan 5). Pada tanggal 20 juli 2002,

perubahan nilai tersebut menginterpretasikan

bahwa terjadi perubahan nilai reflektan pada

kanal 1, 4, dan 3 dengan rata-rata sebesar

0.0267, 0.0242, dan 0.0253. Selanjutnya pada

kanal 31 dan 32, perubahan nilai tersebut

menginterpretasikan bahwa terjadi perubahan

nilai radiansi pada kanal 31 dan 32 dengan

rata-rata sebesar 0.1000 dan 0.0766 Wm-2

μm-1

sr-1

. Nilai RMSE yang relatif kecil pada semua

kanal menunjukkan bahwa kesalahan atau

error yang dihasilkan pada tahap

pengkoreksian adalah kecil. Penyebab utama

nilai RMSE yang kecil adalah wilayah kajian

yang berada pada sudut scan kurang dari 150

sehingga pengaruh efek Bowtie tidak terlihat

jelas.

Selain itu, nilai koefisien korelasi yang

didapatkan dari koreksi Bowtie pada semua

tanggal dan kanal adalah cukup besar, hal ini

mengindikasikan bahwa keeratan data antara

sebelum dan sesudah pengkoreksian adalah

besar. Keeratan disini mengindikasikan nilai

perubahan sebelum pengkoreksian dan

sesudah pengkoreksian tidak jauh berbeda.

Semakin kecil nilai Root Mean Square

Error (RMSE) dan semakin besar nilai

koefisien korelasi (r) dengan hubungan yang

positif maka citra terkoreksi yang dihasilkan

adalah sangat baik karena nilai hasil koreksi

menunjukkan perubahan yang tidak terlalu

jauh atau menyimpang dari nilai aslinya.

Gambar 5 Citra sebelum dan sesudah pengkoreksian Bowtie efek

Page 24: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

11

Tabel 2 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (20 Juli 2002)

Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32

RMSE 0.0267 0.0242 0.0253 0.1000 0.0766

Koefisien Korelasi 0.9639 0.9709 0.9658 0.9781 0.9960

Tabel 3 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (15 Oktober 2002)

Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32

RMSE 0.0287 0.0237 0.0259 0.1686 0.1345

Koefisien Korelasi 0.8371 0.9036 0.8513 0.9419 0.9908

Tabel 4 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (12 Juni 2003)

Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32

RMSE 0.0167 0.0142 0.0154 0.0865 0.0691

Koefisien Korelasi 0.8567 0.9489 0.8988 0.9693 0.9962

Tabel 5 Perbandingan parameter statistik pada setiap masing–masing kanal (23 September 2003)

Statistik Kanal 1 Kanal 4 Kanal 3 Kanal 31 Kanal 32

RMSE 0.0392 0.0351 0.0370 0.1747 0.1424

Koefisien Korelasi 0.8233 0.8635 0.8335 0.9629 0.9895

4.2.2 Koreksi Geometrik

Koreksi Geometrik merupakan tahap

kedua pengolahan data sebelum didapatkan

citra terkoreksi. Pada hasil koreksi geometrik

didapatkan perubahan koordinat piksel baru

dari koordinatnya semula, dikarenakan posisi

koordinat baru disesuaikan dengan citra dasar

atau peta dasar sebagai acuan. Perubahan

koordinat ini dapat dilihat melalui simpangan

yang dihasilkan melalui besarnya nilai (RMS).

Root Mean Square (RMS) merupakan

parameter statistik yang fungsinya sama

dengan RMSE yaitu melihat simpangan yang

terjadi ketika citra sebelum dikoreksi

geometrik dan setelah dikoreksi geometrik.

Perbedaannya adalah pada karakteristik

penggunaannya. Pada proses koreksi Bowtie,

pengkoreksian hanya menyebabkan perubahan

ukuran piksel dan nilai spektral radiansi/nilai

reflektan yang ada di citra, sedangkan koreksi

geometrik menyebabkan perubahan posisi

piksel dari posisinya semula. Ketika nilai

RMS = 1 menunjukkan bahwa terjadi

pergeseran piksel utama sebesar 1 piksel dari

posisi semula.

Dari hasil pengkoreksian citra tanggal

20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003,

dan 23 September 2003 menunjukan nilai

rata-rata RMS yang sangat kecil dari setiap

titik GCP (Tabel 6, 7, 8, dan 9). Sebagai

contoh pada titik GCP nomor 1 (20 Juli 2002),

nilai RMS yang dihasilkan yaitu sebesar 0.06.

Hal ini mengindikasikan bahwa setiap piksel

dititik atau sekitar titik GCP dari citra yang

telah dikoreksi hanya mengalami perubahan

sekitar 0.06 piksel dari posisi semula.

Perubahan koordinat/posisi piksel tersebut

tidak terlalu besar dari posisi awal sehingga

dapat dikatakan bahwa hasil pengkoreksian ini

adalah baik karena memiliki nilai error yang

sangat kecil yaitu ≤ 1 piksel (Purwadhi 2001).

Tabel 6 Hasil nilai RMS (20 Juli 2002)

No Cell X Cell Y Easting Southing RMS

1 680.98 977.08 105.45 E 6.83 S 0.06

2 943.4 1075.5 107.88 E 7.74 S 0.08

3 1013.57 939.57 108.53 E 6.49 S 0.01

4 757.46 879.37 106.16 E 5.93 S 0.06

5 748.78 1036.3 106.41 E 7.38 S 0.12

6 851.69 877.83 107.03 E 5.92 S 0.10

7 880.95 949.58 107.30 E 6.58 S 0.10

8 712.55 943.56 105.74 E 6.52 S 0.10

9 939.59 907.59 107.85 E 6.19 S 0.09

10 856.71 1044.3 107.07 E 7.45 S 0.02

11 884.45 963.1 107.33 E 6.70 S 0.05

Tabel 7 Hasil nilai RMS (15 Oktober 2002)

No Cell X Cell Y Easting Southing RMS

1 850.49 1064.95 106.04 E 5.88 S 0.03

2 777.42 1148.59 105.36 E 6.66 S 0.04

3 829.17 1110.55 105.84 E 6.31 S 0.05

4 8333.79 1167.89 105.89 E 6.84 S 0.04

5 904.31 1079.45 106.54 E 6.02 S 0.03

6 889.30 1225.25 106.40 E 7.37 S 0.01

7 1012.82 1097.44 107.55 E 6.18 S 0.05

8 1045.68 1263.12 107.85 E 7.72 S 0.01

9 1121.17 1147.92 108.55 E 6.65 S 0.05

10 991.39 1134.67 107.35 E 6.53 S 0.03

11 1133.20 1263.32 108.67 E 7.72 S 0.01

Page 25: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

12

Tabel 8 Hasil nilai RMS (12 Juni 2003)

No Cell X Cell Y Easting Southing RMS

1 851.56 864.32 105.21 E 6.75 S 0.10

2 941.64 771.02 106.04 E 5.89 S 0.03

3 901.30 837.57 105.67 E 6.50 S 0.04

4 952.89 775.96 106.15 E 5.93 S 0.01

5 980.36 932.50 106.41 E 7.38 S 0.03

6 1044.65 784.15 107.00 E 6.01 S 0.07

7 1096.76 949.37 107.48 E 7.54 S 0.01

8 1133.76 803.25 107.82 E 6.19 S 0.03

9 1082.50 840.67 107.35 E 6.53 S 0.05

10 1206.55 974.86 108.50 E 7.77 S 0.03

11 1173.96 808.38 108.19 E 6.23 S 0.09 Tabel 9 Hasil nilai RMS (23 September 2003)

No Cell X Cell Y Easting Southing RMS

1 1052.45 974.42 106.15 E 5.94 S 0.02

2 973.50 1073.49 105.42 E 6.85 S 0.05

3 999.65 1033.62 105.66 E 6.48 S 0.02

4 1080.33 1129.68 106.40 E 7.37 S 0.02

5 1094.63 983.67 106.53 E 6.02 S 0.03

6 1025.29 1072.54 105.89 E 6.84 S 0.06

7 1182.73 1038.64 107.35 E 6.53 S 0.02

8 1325.61 1167.30 108.67 E 7.72 S 0.02

9 1177.38 1060.65 107.30 E 6.73 S 0.05

10 1164.48 1140.52 107.18 E 7.47 S 0.04

11 1184.74 981.53 107.37 E 6.00 S 0.04

4.2 Pemisahan Awan dan Ekstrasi Nilai

Parameter Suhu pada Citra MODIS

4.2.1 Suhu Kecerahan (Brightness

Temperature )

Nilai suhu kecerahan bergantung dari

nilai spektral radiansi yang diterima

permukaan persatuan luas persatuan waktu

pada kisaran panjang gelombang tertentu.

Pada citra MODIS, nilai suhu kecerahan dapat

diekstrasi dari kanal 31 dan kanal 32 yang

merupakan kanal emisi termal. Kanal 31 dapat

merekam nilai radiasi gelombang dengan

kisaran panjang gelombang 10.78-11.28 μm,

sedangkan kanal 32 dapat merekam nilai

radiasi gelombang dengan kisaran panjang

gelombang 11.77-12.27 μm.

Gambar 6 Hubungan sebaran hasil suhu

kecerahan kanal 31 dan 32 (20

Juli 2002)

Gambar 7 Hubungan sebaran hasil suhu

kecerahan kanal 31 dan 32 (15

Oktober 2002)

Gambar 8 Hubungan sebaran hasil suhu

kecerahan kanal 31 dan 32 (12

Juni 2003)

Gambar 9 Hubungan sebaran hasil suhu

kecerahan kanal 31 dan 32 (23

September 2003)

Gambar 6, 7, 8 dan 9 menunjukkan

perbandingan suhu kecerahan pada dua kanal

termalnya (TB31 dan TB32). Hasil analisis

menunjukkan, nilai koefisien determinasi (R2)

yang dihasilkan adalah sebesar 0.98 pada 20

Juli 2002 (Gambar 6), 12 Juni 2003 (Gambar

8), 23 September 2003 (Gambar 9) dan 0.96

pada 15 Oktober 2002 (Gambar 7). Nilai ini

Page 26: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

13

menginterpretasikan bahwa 98% atau 96%

keragaman dari nilai suhu kecerahan kanal 31

dapat diterangkan oleh keragaman dari nilai

suhu kecerahan kanal 32. Nilai koefisien

determinasi (R2) yang tinggi pada grafik akan

menyebabkan koefisien korelasi (r) yang

dihasilkan juga tinggi sehingga kedua kanal

tersebut mempunyai hubungan yang

berkorelasi positif atau mempunyai

keidentikkan. Akibat korelasi positif dari

kedua nilai suhu kecerahan, maka nilai suhu

kecerahan dapat dihubungkan dengan

menggunakan suatu algoritma dari simulasi

untuk mendapatkan nilai suhu permukaan.

Semakin besar nilai koefisien determinasi (R2)

maka dapat dikatakan hasil model adalah baik.

4.2.2 Pemisahan Penutupan Awan (Cloud

Masking)

Energi radiasi matahari yang datang ke

permukaan bumi, sebagian ada yang diserap

oleh permukaan dan ada juga yang dilepaskan

oleh permukaan dalam bentuk emisi termal.

Nilai emisi yang dilepas oleh permukaan yang

tertutup oleh awan bukanlah nilai emisi

sebenarnya yang dilepaskan oleh permukaan

daratan, tetapi nilai tersebut merupakan nilai

emisi yang dihasilkan oleh permukaan awan.

Pemisahan awan menggunakan emisi dari

permukaan bumi, sangat sulit untuk

membedakan karakteristik awan dan daratan.

Oleh karena itu, pemisahan penutupan awan

yang baik dapat dilakukan melalui pendekatan

nilai albedo atau nilai reflektannya

menggunakan kanal reflektan 1, 4, dan 3.

Gambar 10 dan Gambar 11

menunjukkan perbandingan citra true colour

kanal 1, 4, dan 3 dengan nilai rata-rata albedo

dari permukaan awan pada tanggal 20 Juli

2002 dan 23 September 2003 sebagai contoh,

dimana nilai piksel yang berwarna kisaran

merah hingga kuning menginterpretasikan

nilai kisaran albedo permukaan awan terendah

hingga tertinggi. Persamaan USGS dan

Xiaming Xiao untuk menghitung albedo dan

pemisahan awan mampu membuktikan bahwa

pemisahan awan melalui pendekatan albedo

dapat dilakukan dalam penginderaan jauh

dengan menggunakan sensor MODIS kanal

reflektan 1, 4, dan 3.

Gambar 10 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3

setelah dilakukan pemisahan awan (20 Juli 2002)

Gambar 11 Citra true colour kanal 1, 4, dan 3 serta albedo rata-rata awan kanal 1, 4, dan 3

setelah dilakukan pemisahan awan (23 September 2003)

Page 27: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

14

4.2.3 Suhu Permukaan Lahan (Land

Surface Temperature)

Suhu permukaan sangat mempengaruhi

jumlah energi untuk memindahkan panas dari

permukaan ke udara. Energi tersebut menjadi

sumber pembangkit gradien suhu, gradien

kecepatan, dan gradien konsentrasi. Gradien

tersebut merupakan penggerak pada proses

pemindahan massa, bahang, dan momentum.

Nilai suhu permukaan lahan sangat

dipengaruhi berbagai faktor–faktor yang

mempengaruhinya seperti emisivitas,

kapasitas panas jenis, dan konduktivitas

termal pada lahan tersebut.

Tabel 10 dan Tabel 11 menunjukkan

nilai rata-rata suhu permukaan dari seluruh

wilayah kajian. Nilai rata-rata suhu

permukaan tertinggi berada pada algoritma

Vidal yaitu sebesar 310C (20 Juli 2002), 37

0C

(15 Oktober 2002), 32.4 0C (12 Juni 2003),

36.2 0C (23 September 2003) sedangkan nilai

rata-rata suhu permukaan rata-rata terendah

berada pada algoritma Ulivieri sebesar 27.9 0C

(20 Juli 2002), 33.7 0C (15 Oktober 2002),

30.2 0C (12 Juni 2003), 33.9

0C (23 September

2003).

Tabel 10 Nilai rata–rata SP seluruh wilayah

kajian (tahun 2002)

Jenis Algoritma

Rata-rata SP seluruh

wilayah kajian (oC)

20-Jul-02 15-Okt-02

Vidal 31.0 37.0

Ulivieri 27.9 33.7

Coll 29.4 35.2

Sobrino 28.8 35.0

Price 30.3 36.4

Becker and Li 29.9 35.9

Ulivieri [Sobrino] 30.0 36.0

Price [Sobrino] 29.0 35.0

Tabel 11 Nilai rata–rata SP seluruh wilayah

kajian (tahun 2003)

Jenis Algoritma

Rata-rata SP seluruh

wilayah kajian (oC)

12-Jun-03 23-Sep-03

Vidal 32.4 36.2

Ulivieri 30.2 33.9

Coll 31.5 35.1

Sobrino 30.3 34.1

Price 31.1 35.1

Becker and Li 31.5 35.3

Ulivieri [Sobrino] 31.4 35.3

Price [Sobrino] 30.4 34.3

Hasil perhitungan (Tabel 10 dan 11)

menunjukkan bahwa algoritma Vidal

menghasilkan nilai suhu permukaan rata-rata

yang paling tinggi sedangkan algoritma

Ulivieri menghasilkan nilai suhu permukaan

rata-rata yang paling rendah untuk wilayah

kajian.

4.3 Hubungan Nilai Suhu Permukaan

dengan Parameter-Parameter lainnya

4.3.1 Hubungan Suhu Permukaan dengan

Nilai Ketinggian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nilai dari suhu permukaan pada citra MODIS

berbeda secara nyata dengan berbagai faktor-

faktor yang mempengaruhinya (Gambar 12,

13, 14, dan 15). Nilai suhu permukaan pada

citra MODIS akan cenderung menurun dengan

bertambahnya suatu ketinggian. Hal ini dapat

dilihat dari nilai koefisien korelasi yang

dihasilkan bernilai negatif yang menunjukkan

bahwa hubungan nilai suhu permukaan dan

nilai ketinggian adalah berbanding terbalik

(Gambar 12, 13, 14 dan 15). Selain itu, pada

satu ketinggian yang sama nilai suhu

permukaan yang didapatkan sangat beragam,

sehingga koefisien determinasi yang

dihasilkan sangat kecil. Nilai koefisien

determinasi yang kecil mengindikasikan

bahwa bukan hanya faktor ketinggian yang

mampu direspon oleh sensor satelit namun

masih banyak faktor–faktor lain yang mampu

direspon sensor seperti penutupan lahan, sudut

zenith matahari, bayangan awan dan berbagai

macam efek atmosferik lainnya.

Perbedaan nilai koefisien korelasi dan

koefisien determinasi sangat dipengaruhi oleh

perbedaan sudut zenith matahari (sudut

kemiringan sinar matahari–permukaan–

satelit). Sudut zenith matahari sangat

mempengaruhi ketelitian sensor terhadap

penentuan nilai SPL. Pada tahun 2002, rata-

rata nilai koefisien determinasi terbesar

(seluruh algoritma) didapat pada bulan Juli

sebesar 0.5761 dengan rata-rata koefisien

korelasi (seluruh algoritma) sebesar -0.7585

sedangkan rata-rata nilai koefisien determinasi

terendah (seluruh algoritma) didapat pada

bulan Oktober sebesar 0.2250 dengan rata-rata

koefisien korelasi (seluruh algoritma) sebesar

-0.4735. Selanjutnya pada tahun 2003, rata-

rata nilai koefisien determinasi terbesar

(seluruh algoritma) didapat pada bulan Juni

sebesar 0.4584 dengan rata-rata koefisien

korelasi (seluruh algoritma) sebesar -0.6764

sedangkan rata–rata nilai koefisien

determinasi terendah (seluruh algoritma)

didapat pada bulan September sebesar 0.3576

dengan rata-rata koefisien korelasi (seluruh

algoritma) sebesar -0.5975.

Page 28: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

15

Gambar 12 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (20 Juli 2002)

Page 29: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

16

Gambar 13 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (15 Oktober 2002)

Page 30: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

17

Gambar 14 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian (12 Juni 2003)

Page 31: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

18

Gambar 15 Hubungan nilai suhu permukaan pada berbagai ketinggian(23 September 2003)

Page 32: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

19

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa

pada bulan Juli dan Juni ketika sudut zenith

matahari besar sensor lebih sensitif terhadap

perubahan ketinggian sedangkan bulan

September dan Oktober ketika sudut zenith

matahari kecil sensor lebih sensitif terhadap

perubahan penutupan lahan. Kemiringan

sudut matahari yang besar pada bulan Juli/Juni

menyebabkan pemanasan terhadap penutupan

lahan kurang begitu efektif dikarenakan nilai

suhu permukaan lahan (SPL) tersebut masih

dipengaruhi oleh faktor topografi atau

ketinggian dari suatu permukaan. Selanjutnya,

kemiringan sudut matahari yang kecil pada

bulan September dan Oktober menyebabkan

pemanasan terhadap penutupan lahan sangat

efektif dikarenakan kemampuan menyerap

panas (konduktivitas termal) dan penyimpan

panas (kapasitas panas) dari tiap jenis

lahan/permukaan berbeda-beda sehingga dapat

meningkatkan nilai suhu dari suatu permukaan

dan akibatnya nilai keragaman suhu

permukaan dari masing-masing lahan akan

menjadi lebih besar.

Pembuktian lebih lanjut, pada

penelitian ini akan dilakukan pengambilan dua

contoh garis transek pada wilayah kajian

(Gambar 16). Penentuan nilai suhu permukaan

yaitu menggunakan dua algoritma yaitu Vidal

dan Coll untuk sebagai contoh. Pengambilan

garis transek ini ditunjukkan untuk

membuktikan seberapa besar respon sensor

dalam merekam piksel dan melihat hubungan

nilai suhu permukaan dengan pengaruh

berbagai ketinggian ketika nilai derajat lintang

bertambah dalam derajat bujur yang tetap.

Garis berwarna kuning menunjukan transek

pada bujur 106.60 dan garis berwarna hijau

menunjukan transek pada bujur 107.20. Pada

Gambar 17, 18, 19, dan 20 dapat dilihat

hubungan masing-masing perubahan nilai

suhu permukaan pada setiap transek kajian.

Gambar 16 Peta garis transek wilayah kajian (20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12 Juni 2003, dan

23 September 2003)

Page 33: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

20

Gambar 17 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri)

dan garis transek hijau (Kanan) (20 Juli 2002)

Gambar 18 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri)

dan garis transek hijau (Kanan) (15 Oktober 2002)

Page 34: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

21

Gambar 19 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri)

dan garis transek hijau (Kanan) (12 Juni 2003)

Gambar 20 Hubungan nilai suhu permukaan dengan ketinggian pada garis transek kuning (Kiri)

dan garis transek hijau (Kanan) (23 September 2003)

Page 35: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

22

Hasil analisis transek menunjukkan

bahwa perubahan nilai suhu permukaan (SP)

berbanding terbalik dengan bertambahnya

suatu ketinggian. Ketika bertambahnya suatu

ketinggian, nilai suhu permukaan akan

menurun dan begitu pula sebaliknya. Pola

perubahan itu terkadang berbeda dari keadaan

sebenarnya seperti terjadi peningkatan SP

ketika bertambahnya suatu ketinggian. Hal ini

menunjukkan bahwa bukan hanya variabel

ketinggian yang mampu direspon sensor

namun masih banyak faktor–faktor lain yang

mampu direspon oleh sensor dalam

menentukan perubahan nilai suhu permukaan.

Sebagai contoh, pada transek kuning (Gambar

17, 18, 19 dan 20) dapat dilihat bahwa nilai

suhu permukaan pada wilayah ketinggian

rendah di bagian utara (Jakarta) nilainya lebih

tinggi dibandingkan wilayah ketinggian

rendah di bagian selatan (Sukabumi). Hal ini

disebabkan, pada wilayah utara merupakan

pusat pemukiman dan lahan terbangun. Oleh

karena itu, sangat dimungkinkan bahwa

penggunaan lahan dapat menentukan

perubahan nilai suhu dari suatu permukaan

4.3.2 Hubungan Suhu Permukaan dengan

Penutupan Lahan

Seperti yang dijelaskan pada subbab

sebelumnya, perubahan nilai suhu permukaan

tidak hanya dipengaruhi oleh dari ketinggian

dari suatu daerah, terkadang nilainya

meningkat dan menurun pada ketinggian yang

tetap. Perbedaan ini salah satunya dipengaruhi

oleh aktivitas dari penggunaan lahan.

Penutupan lahan secara tidak langsung

memberikan pengaruh terhadap suhu di dalam

dan di sekitar penutupan lahan tersebut (Tabel

12, 13, 14, 15 dan Gambar 21, 22, 23, 24,

25). Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai

dari suhu permukaan pada berbagai penutupan

lahan berbeda secara nyata walaupun

perbedaanya tidak besar. Hal ini menunjukkan

bahwa perubahan penutupan lahan secara

signifikan merubah nilai-nilai pada setiap

komponen nilai suhu permukaan.

Pada tanggal 20 Juli 2002, nilai SPL

tertinggi terdapat pada lahan terbuka dan

lahan terbangun. Pada lahan terbuka

didominasi oleh algoritma Vidal, Ulivieri,

Sobrino, Coll, Ulivieri modifikasi Sobrino

dengan rataan sebesar 33.3 0C dan lahan

terbangun didominasi oleh algoritma Price,

Becker and Li, dan Price modifikasi Sobrino

dengan rataan sebesar 32.3 0C sedangkan nilai

SPL terendah terdapat pada lahan hutan

(seluruh algoritma) dengan rataan sebesar

25.4 0C. Pada tanggal 15 Oktober 2002, nilai

SPL tertinggi terdapat pada lahan terbuka dan

lahan terbangun. Pada lahan terbuka

didominasi oleh algoritma Vidal, Ulivieri,

Sobrino, Coll, Ulivieri modifikasi Sobrino

dengan rataan sebesar 39.3 0C dan lahan

terbangun didominasi oleh algoritma Price,

Becker and Li, dan Price modifikasi Sobrino

dengan rataan sebesar 38.5 0C sedangkan nilai

SPL terendah terdapat pada lahan hutan

(seluruh algoritma) dengan rataan sebesar

30.70C. Pada tanggal 12 Juni 2003, nilai SPL

tertinggi terdapat pada lahan terbuka dengan

rataan sebesar 35.0 0C sedangkan nilai SPL

terendah terdapat pada lahan hutan (seluruh

algoritma) dengan rataan sebesar 26.7 0C.

Lalu pada tanggal 23 September 2003, nilai

SPL tertinggi terdapat pada lahan terbuka

dengan rataan sebesar 39.4 0C sedangkan nilai

SPL terendah terdapat pada lahan hutan

sebesar 29.5 0C pada seluruh jenis algoritma.

Lahan terbuka dan lahan terbangun

merupakan lahan yang cepat menyerap panas

dan cepat melepaskan panas, akibat dari nilai

emisivitas, kapasitas panas jenisnya yang

rendah dan nilai konduktivitas termalnya yang

tinggi sehingga suhu permukaan pada lahan

terbuka akan jauh lebih tinggi dibandingkan

dengan jenis lahan lainnya. Suatu objek di

permukaan yang memiliki emisivitas dan

kapasitas panas jenis rendah, sedangkan

konduktivitas termalnya tinggi akan

menyebabkan suhu permukaannya meningkat.

Selain itu juga, pada lahan ini peningkatan

suhu permukaan dapat disebabkan dari

peningkatan populasi manusia di lahan ini,

yang berdampak pada banyaknya aktivitas–

aktivitas yang dilakukan oleh manusia seperti

pembangunan infrastruktur perhubungan dan

jalan, pembangunan tata kota yang rapat tanpa

ada tempat untuk ruang terbuka hijau.

Lahan hutan merupakan lahan yang

mampu menyerap sebagian besar radiasi

matahari untuk proses fotosintesis. Radiasi

yang telah diserap oleh jenis hutan tidak

mudah untuk dilepaskan semuanya ke udara

akibat dari nilai emisivitas, kapasitas jenisnya

yang lebih tinggi dan konduktivitas termal

yang rendah. Kapasitas panas jenis yang tinggi

disebabkan pada tubuh hutan banyak

menyimpan air. Suatu objek di permukaan

yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas

jenis tinggi, sedangkan konduktivitas

termalnya rendah akan menyebabkan suhu

permukaannya menurun.

Perbedaan nilai suhu permukaan dari

setiap penutupan lahan ini akan digunakan

sebagai analisis perubahan penutupan lahan

secara spesifik pada tahapan selanjutnya.

Page 36: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

23

Tabel 12 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa

algoritma (20 Juli 2002)

CLASS Suhu Permukaan (Ts)

Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker_Li

Ulivieri

[Sobrino]

Price

[Sobrino]

Badan Air 28.7 27.4 27.7 28.2 30.8 30.6 29.4 29.5

Hutan 26.5 24.2 25.3 24.4 25.9 26.0 25.7 25.0

Lahan Pertanian 31.0 27.8 29.4 28.6 30.3 29.9 29.9 29.1

Lahan Terbangun 34.7 30.7 32.6 32.0 33.0 32.3 33.0 31.6

Lahan Terbuka 36.1 30.9 33.7 32.4 32.7 31.9 33.4 31.3

Semak / Belukar 29.0 26.8 27.7 27.4 29.0 28.8 28.6 27.8

Rata-rata 31.0 27.9 29.4 28.8 30.3 29.9 30.0 29.0

Gambar 21 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa

algoritma (20 Juli 2002)

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

Vidal Ulivieri Coll Sobrino

Su

hu

Per

mu

ka

an

(oC

)

Jenis-jenis Algoritma

Badan Air

Hutan

Lahan Pertanian

Lahan Terbangun

Lahan Terbuka

Semak Belukar

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

Price Becker and Li Ulivieri[Sobrino] Price[Sobrino]

Su

hu

Per

mu

ka

an

(oC

)

Jenis-Jenis Algoritma

Badan Air

Hutan

Lahan Pertanian

Lahan Terbangun

Lahan Terbuka

Semak Belukar

Page 37: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

24

Tabel 13 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa

algoritma (15 Oktober 2002)

CLASS Suhu Permukaan (Ts)

Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker_Li

Ulivieri

[Sobrino]

Price

[Sobrino]

Badan Air 34.4 32.8 33.3 34.1 36.7 36.3 35.1 35.2

Hutan 31.8 29.4 30.6 29.8 31.2 31.3 31.0 30.3

Lahan Pertanian 37.8 34.3 36.0 35.7 37.3 36.7 36.7 35.9

Lahan Terbangun 40.8 36.5 38.6 38.5 39.3 38.4 39.1 37.7

Lahan Terbuka 42.1 36.6 39.4 38.7 38.9 37.9 39.4 37.4

Semak / Belukar 34.9 32.6 33.6 33.3 34.9 34.7 34.5 33.7

Rata-rata 37.0 33.7 35.2 35.0 36.4 35.9 36.0 35.0

Gambar 22 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa

algoritma (15 Oktober 2002)

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Vidal Ulivieri Coll Sobrino

Su

hu

Per

mu

ka

an

(oC

)

Jenis-jenis Algoritma

Badan Air

Hutan

Lahan Pertanian

Lahan Terbangun

Lahan Terbuka

Semak Belukar

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Price Becker and Li Ulivieri[Sobrino] Price[Sobrino]

Su

hu

Per

mu

ka

an

(oC

)

Jenis-Jenis Algoritma

Badan Air

Hutan

Lahan Pertanian

Lahan Terbangun

Lahan Terbuka

Semak Belukar

Page 38: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

25

Tabel 14 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa

algoritma (12 Juni 2003)

CLASS Suhu Permukaan (Ts)

Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker_Li

Ulivieri

[Sobrino]

Price

[Sobrino]

Badan Air 29.8 29.4 29.5 29.3 31.4 31.7 30.5 30.6

Hutan 27.6 26.2 27.1 26.1 26.5 27.3 26.9 26.1

Lahan Pertanian 32.4 30.1 31.4 30.1 31.1 31.5 31.3 30.4

Lahan Terbangun 36.4 33.4 35.0 33.6 34.1 34.3 34.7 33.3

Lahan Terbuka 38.2 34.1 36.5 34.2 34.1 34.4 35.5 33.4

Semak / Belukar 29.8 28.7 29.3 28.5 29.2 29.8 29.4 28.6

Rata-rata 32.4 30.2 31.5 30.3 31.1 31.5 31.4 30.4

Gambar 23 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa

algoritma (12 Juni 2003)

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Vidal Ulivieri Coll Sobrino

Su

hu

Per

mu

ka

an

(oC

)

Jenis-jenis Algoritma

Badan Air

Hutan

Lahan Pertanian

Lahan Terbangun

Lahan Terbuka

Semak Belukar

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

Price Becker and Li Ulivieri[Sobrino] Price[Sobrino]

Su

hu

Per

mu

ka

an

(oC

)

Jenis-Jenis Algoritma

Badan Air

Hutan

Lahan Pertanian

Lahan Terbangun

Lahan Terbuka

Semak Belukar

Page 39: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

26

Tabel 15 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa

algoritma (23 September 2003)

CLASS Suhu Permukaan (Ts)

Vidal Ulivieri Coll Sobrino Price Becker_Li

Ulivieri

[Sobrino]

Price

[Sobrino]

Badan Air 33.9 33.2 33.4 33.3 35.6 35.8 34.6 34.7

Hutan 30.5 28.9 29.8 28.8 29.5 30.1 29.7 29.0

Lahan Pertanian 36.7 34.2 35.6 34.4 35.6 35.8 35.7 34.8

Lahan Terbangun 40.4 37.2 38.9 37.6 38.2 38.3 38.7 37.3

Lahan Terbuka 42.7 38.1 40.6 38.7 38.8 38.7 39.9 37.9

Semak / Belukar 33.3 31.9 32.6 31.9 32.9 33.3 32.9 32.2

Rata-rata 36.2 33.9 35.1 34.1 35.1 35.3 35.3 34.3

Gambar 24 Nilai rataan suhu permukaan dari berbagai jenis penutupan lahan dengan beberapa

algoritma (23 September 2003)

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Vidal Ulivieri Coll Sobrino

Su

hu

Per

mu

ka

an

(oC

)

Jenis-jenis Algoritma

Badan Air

Hutan

Lahan Pertanian

Lahan Terbangun

Lahan Terbuka

Semak Belukar

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

Price Becker and Li Ulivieri[Sobrino] Price[Sobrino]

Su

hu

Per

mu

ka

an

(oC

)

Jenis-Jenis Algoritma

Badan Air

Hutan

Lahan Pertanian

Lahan Terbangun

Lahan Terbuka

Semak Belukar

Page 40: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

27

4.3.3 Hubungan antara Suhu Permukaan,

Altitude, dan Penutupan lahan

Hasil analisis pada subbab sebelumnya

menunjukkan nilai suhu permukaan sangat

bervariasi dari setiap penutupan lahan (Tabel

12, 13, 14, dan Tabel 15). Nilai keragaman

suhu permukaan yang besar mengindikasikan

bahwa suhu permukaan tidak hanya

dipengaruhi oleh salah satu faktor yaitu

penutupan lahan saja melainkan faktor-faktor

lainnya juga saling mempengaruhinya. Dua

faktor yang didapatkan, lalu dihubungkan

kedalam suatu matriks untuk melihat seberapa

besar pengaruh dua variabel tersebut tehadap

perubahan nilai suhu permukaan. Pengambilan

nilai rataaan suhu permukaan dilakukan pada

setiap rataan ketinggian 300 mdpl. Gambar

26 dan 27 menunjukkan nilai rataan suhu

permukaan per-300 m pada setiap jenis lahan.

Penentuan hubungan yaitu menggunakan dua

algoritma Vidal dan Coll untuk sebagai

contoh.

Seperti penjelasan subbab sebelumnya,

kemiringan sudut matahari yang besar pada

bulan Juli dan Juni menyebabkan pemanasan

terhadap penutupan lahan kurang begitu

efektif sehingga nilai SPL sangat dipengaruhi

dari nilai ketinggiannya dari suatu permukaan.

Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien

determinasinya yang besar yang menunjukkan

bahwa ada keeratan antara nilai SPL dengan

ketinggian pada bulan Juli. Lalu kemiringan

sudut matahari yang kecil pada bulan

September dan Oktober menyebabkan

pemanasan terhadap penutupan lahan sangat

efektif sehingga nilai SPL sangat dipengaruhi

jenis permukaan lahannya. Hal ini dapat

dilihat dari nilai koefisien determinasinya

yang sangat kecil yang menunjukkan bahwa

tidak adanya keeratan antara nilai SPL dengan

ketinggian sehingga ada suatu faktor yang

menyebabkan nilai SPL tersebut menjadi

beragam.

Selain itu, hasil grafik menunjukkan

bahwa nilai perubahan suhu permukaan yang

sangat ekstrim terlihat pada lahan terbuka dan

lahan terbangun (Gambar 26 dan Gambar 27).

Koefisien determinasi yang dihasilkan begitu

rendah, hal ini disebabkan oleh kapasitas jenis

permukaan lahan yang rendah sehingga ketika

radiasi yang datang diserap oleh permukaan

(proses konduktivitas panas), permukaan

tersebut merespon cepat pemanasan sehingga

permukaan mudah menjadi panas dan ketika

radiasi yang datang intensitasnya rendah,

permukaan tersebut merespon cepat

pendinginan sehingga permukaan mudah

menjadi lebih dingin.

Selanjutnya pada badan air, nilai

koefisien determinasi yang rendah disebabkan

karena pengaruh dari kondisi geografis dan

permukaan disekitarnya yang menyebabkan

nilai suhu permukaannya menjadi beragam.

Ketika kondisi geografis disekitar badan air

adalah lahan terbuka atau lahan terbangun,

maka nilai suhu permukaan badan air tersebut

akan lebih besar dibandingkan badan air pada

kondisi lahan disekitarnya adalah hutan. Hal

ini disebabkan oleh aktivitas manusia dalam

mengelola air, misalnya pembuangan sampah

pada hulu sungai dan objek wisata disekitar

badan air tersebut dapat menaikkan nilai suhu

permukaan. Selain itu juga, keterbatasan

sensor dengan resolusi hanya 1x1 km

sehingga ketika di overlay/digabungkan

dengan penutupan lahan, jenis lahan pada

piksel merupakan jenis lahan yang paling

dominan (Gambar 25) akibat dari adanya

composite nilai. Sebagai contoh, nilai suhu

permukaan pada ketinggian yang sama tempat

yang berbeda, satu piksel yang terdiri dari

50% badan air, 45% lahan terbangun, 5%

hutan bisa menjadi lebih tinggi dibandingkan

dengan satu piksel yang terdiri dari 85%

badan air, 10% lahan terbangun, 5% hutan

walaupun lahan yang mendominasi satu piksel

tersebut adalah badan air.

Gambar 25 Nilai suhu permukaan dari tiga

piksel badan air pada penutupan

lahan di sekitar badan air yang

berbeda-beda.

Page 41: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

28

Gambar 26 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Vidal) di berbagai ketinggian dan

berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12

Juni 2003, 23 September 2003

Gambar 27 Hubungan dari nilai rataan nilai suhu permukaan (Coll) di berbagai ketinggian dan

berbagai klasifikasi lahan dengan i, ii, iii, iv adalah 20 Juli 2002, 15 Oktober 2002, 12

Juni 2003, 23 September 2003

Page 42: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

29

V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Nilai suhu permukaan lahan (SPL)

dimungkinkan untuk dikembangkan

menggunakan data penginderaan jauh satelit

Terra-MODIS dengan menggunakan

beberapa algoritma. Berdasarkan algoritma,

nilai suhu permukaan lahan rata-rata tertinggi

yaitu pada algoritma Vidal sedangkan nilai

suhu permukaan lahan rata-rata terendah

yaitu pada algoritma Ulivieri. Secara spasial,

nilai suhu permukaan tertinggi berada pada

Provinsi Jakarta yang disebabkan oleh

ketinggiannya yang sangat rendah dan jenis

penutupan lahannya yaitu lahan

terbuka/terbangun.

Suhu permukaan memiliki hubungan

dengan berbagai faktor-faktor yang

mempengaruhinya seperti ketinggian dan

penutupan lahan. Pada hubungannya dengan

ketinggian, nilai suhu permukaan lahan dari

satelit Terra-MODIS akan menurun secara

linear ketika bertambahnya suatu ketinggian.

Pada hubungan dengan penutupan lahan nilai

suhu permukaan rata-rata tertinggi yaitu pada

lahan terbuka sedangkan nilai suhu

permukaan rata-rata terendah yaitu pada

lahan hutan. Selain itu, sudut zenith matahari

sangat mempengaruhi ketelitian sensor

terhadap nilai suhu permukaan lahan pada

wilayah yang dikaji. Pada bulan Juli dimana

sudut kemiringan matahari besar sensor lebih

sensitif terhadap perubahan ketinggian

sedangkan bulan September dimana sudut

matahari kecil sensor lebih sensitif terhadap

perubahan penutupan lahan.

5.2 Saran

Penelitian ini masih merupakan tahap

pengkajian potensi pemanfaatan data Terra-

MODIS untuk ekstraksi data suhu permukaan

berdasarkan 8 algoritma, sehingga masih

perlu evaluasi dan validasi terhadap hasil

yang diperoleh dari penelitian tersebut.

Perubahan LST tak hanya dipengaruhi

oleh dua faktor itu saja, masih banyak faktor–

faktor lain yang mempengaruhi seperti

analisis bayangan awan dalam pemisahan

awan dan faktor water vapour transmittance

(pengaruh uap air) sehingga perlu dianalisis

untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA Becker F and Li Z L. 1990. Towards a local

split window method over land

surface. Int J Remote Sens. 3 : 369-

393.

Coll C, Caselles V. 1997. A split-window

algorithm for land surface

temperature from advanced very

high resolution radiometer data.

Validation and algorithm

comparison. J Geophys Res.102:

16697-16713.

Czajkowski K P, Goward S N, Mulhern T,

Goetz S J, Walz A, Shirey D, Stadler

S, Prince S D, Dubayah R O, Kerr Y

H, Lagouarde J P. 2000. Thermal

Remote Sensing in Land Surface

Processes. Quattrochi D A, Luvall J

C, editor. Florida(US): CRC Pr.

[DLR] Deutsches Zentrum fur Lutf und

Raumfahrt, (DFD) Deutsches

Fernerkundungs Datenzentrum.

Short guide Moderate resolution

imaging spectometer. [internet].

[diunduh 2013 Jun 27]. Tersedia

pada:http://eoweb.dlr.de:8080/short_

guide/D-MODIS.html.

Gomez-Landessaa E, Rango A. Bleiweiss M.

2004. An algorithm to address the

MODIS bowtie effect. Canadian J

of Remote Sens. 30(4) : 644-650

Handoko. 1993. Klimatologi Dasar. Bogor

(ID) : Pustaka Jaya

Janssen L L F, Huumerman G C. 2001.

Priciples of Remote Sensing (2nd

ed). Enscheda : ITC Pr.

Khomarudin MR, Risdiyanto I. 2002.

Penentuan Evapotranspirasi

Regional dengan Landsat TM dan

NOAA-AVHRR. [Skripsi]. Bogor

(ID) : Institut Pertanian Bogor.

Liang S. 2001. Quantitative Remote Sensing

of Land Surface. Kong J A,

editor.New Jersey(CA) : Wiley Pr.

Maharani L P, Khomarudin M R, Santoso I.

2005. Identifikasi Neraca Energi

untuk Deskripsi Potensi Kekeringan

dengan Data Landsat TM (Studi

Kasus Kota Semarang dan

Sekitarnya. Pertemuan Ilmiah

Tahunan MAPIN XIV ; 2005 Sept

14-15 ; Surabaya. Surabaya (ID) :

Kampus Institut Teknologi Sepuluh

November.

Mather P M. 1987. Computer Processing Of

Remotely–Sensed Images (3rd ed).

Chicester (UK) : Wiley Pr.

[MCST] MODIS Characterization Support

Team. 2003. MODIS Level 1B

Product User’s Guide. USA :

NASA/Goddard Space Flight

Center. [internet]. [diunduh 2013

Apr 12]. Tersedia pada :

Page 43: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

30

http://mcst.gsfc.nasa.gov/content/l1b

-documents.

[MCST] MODIS Characterization Support

Team. 2013. MODIS Calibration

Parameter. [internet]. [diunduh 2013

Apr 12]. Tersedia pada:

http://mcst.gsfc.nasa.gov/sites/mcst.

gsfc/files/file_attachments/MODIS_

Terra_Esun_values.xlsx.

Oguro Y, Ito S, and Tsuchiya K. 2011.

Comparisons of Brighness

Temperatures of Landsat-7/ETM+

and Terra/MODIS around Hotien

Oasis in the Taklimakan Desert.

Applied and Enviromental Soil

Science. Article ID 948135

Prasasti I, Sambodo K A, Carolita. 2004.

Pengkajian pemanfaatan data terra-

modis untuk ekstraksi data suhu

permukaan lahan (SPL)

berdasarkan beberapa algoritma.

Bandung (ID) : Pusbangja Inderaja

LAPAN.

Price J C. 1984. Land Surface Temperature

Measurements From the Split

Window Channels of the NOAA 7

AVHRR. Journal of Geophysical

Researc. 89 (D5) : 7231 - 723.

Purwadhi S H. 2001. Interpretasi Citra

Digital. Jakarta (ID): Grasindo.

Richards J A. 1986. Remote Sensing Digital

Image Analysis An Introduction.

Berlin (DE) : Spinger-Verlag.

Risdiyanto I. 2008. Weather Monitoring

Model Based On Satellite Data. J

Agromet. 22(1) : 70-87.

Rumondang D. 2011. Penurunan Nilai

Albedo dan Suhu Permukaan dari

Data Terra MODIS L1B untuk

Klasifikasi Awan. [Skripsi]. Bogor

(ID) : Institut Pertanian Bogor.

Salby M L. 1996. Fundamentals of

Atmospheric Physics. USA :

Academic Pr.

Seta G A. 2012. Utilization of Terra/MODIS

L1B Data for Analysis of Horizontal

Wind Profile in The Troposfer.

[Skripsi]. Bogor (ID) : Institut

Pertanian Bogor.

Sobrino J A, Li Z L, Stall M P, and Becker

F. 1993. Impact of the atmospheric

transmittance and total water vapour

content in the algorithms for

estimating sea surface tenperatures.

IEEE Trans Geosci Remote Sens.

31: 946-958.

Sobrino J A, Li Z L, Stall M P, and Becker

F.1994. Improvements in the split-

window technique for land surface

temperature determination. IEEE

Trans Geosci. Remote Sens. 32 :

243-253.

Sobrino J A, El Kharraz, and Li Z L. 2003.

Surface temperature and water

vapour retrieval from MODIS data.

Int J Remote Sens. 24 :5161– 5182.

Stull R B. 1995. Meteorology Today for

Scientist and Engineers : A

Technical Companion Book. USA :

West Publishing Company Co.

Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 2.

Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada

University Press.

Thuillier G, Herse M, Labs D, Foujols T,

Peetermans W, Gillotay D, Simon P

C, and Mandel H. 1998. The Visible

Solar Spectral Irradiance from 350

to 850 nm as measured by the

SOLSPEC spectrometer during the

ATLAS I mission. J Solar Physics.

177 : 41-61.

Ulivieri C. 1992. A SW algorithm for

estimating land surface temperature

from satellite.Presented at COSPAR

Washington DC USA. Adv Space

Res. 14(3) : 59-65.

USGS. 2003. Landsat 7 Science Data Users

Handbook. [internet]. Tersedia pada:

http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov

Vidal A. 1991. Atmospheric and emissivity

correction of land surface

temperature measured from satellite

using ground measurements or

satellite data. Int J Remote Sens. 12 :

2449-60.

Walpole R E. 1995. Pengantar Statistika.

Jakarta (ID) : Gramedia Pustaka

Utama.

Wan Z. 2008. New refinements and

validation of the MODIS land

surface temperature/emissivity

products. J Remote Sensing of

Environment. 112 (1) : 59–74.

Wan Z and Dozier J A. 1996. Generalized

Split-Window Algorithm for

Retrieving Land Surface

Temperature from Space. IEEE

Trans Geosci Remote Sens. 34(4) :

892-905.

Xiao X, Boles S, Frolking S, Li C, Babu J Y,

Salas W, Moore B. 2004. Mapping

Paddy Rice Agriculture in Southern

China Using Multi-Temporal

MODIS Image. J Remote Sens of

Environtment. 100 : 95–113.

Page 44: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

31

LAMPIRAN

Page 45: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

32

Lampiran 1 Spesifikasi kanal pada MODIS

Primary Use Band

Bandwith

(nm)

Spectral Radiance

(Wm-2

μm-1

sr-1

)

Spatial

Resolution (m)

Land/Cloud/Aerosols

Boundaries

1 620-670 21.8 250

2 841-876 24.7 250

Land/Cloud/Aerosols Properties

3 459-479 35.3 500

4 545-565 29.0 500

5 1230-1250 5.4 500

6 1628-1652 7.3 500

7 2105-2155 1.0 500

Ocean Colour/

Phytoplankton/Biogeochemistry

8 405-420 44.9 1000

9 438-448 41.9 1000

10 483-493 32.1 1000

11 526-536 27.9 1000

12 546-556 21.0 1000

13 662-672 9.5 1000

14 673-683 8.7 1000

15 743-753 10.2 1000

16 862-877 6.2 1000

Atmospheric Water Vapour

17 890-920 10.0 1000

18 931-941 3.6 1000

19 915-965 15.0 1000

Surface/Cloud Temperature

20 3660-3840 0.45 (300K) 1000

21 3929-3989 2.38 (335 K) 1000

22 3929-3989 0.67 (300 K) 1000

23 4020-4080 0.79 (300 K ) 1000

Atmospheric Temperature 24 4433-4498 0.17 (250 K ) 1000

25 4482-4549 0.59 (275 K) 1000

Cirrus Cloud Water Vapour

26 1360-1390 6.0 1000

27 6535-6895 1.16 (240 K) 1000

28 7175-7475 2.18 (250 K) 1000

Cloud Properties 29 8400-8700 9.58 (300 K) 1000

Ozone 30 9580-9880 3.69 (250 K) 1000

Surface/Cloud Temperature 31 10780 -11280 9.55 (300 K) 1000

32 11770-12270 8.94 (300 K) 1000

Cloud Top Altitude

33 13185-13485 4.52 (260 K) 1000

34 13485-13785 3.76 (250 K) 1000

35 13785-14085 3.11 (240 K) 1000

36 14085-14385 2.08 (220K) 1000

(http://modis.gsfc.nasa.gov/about/specifications.php)

Page 46: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

33

Lampiran 2 Gambar dari data Terra-MODIS L1B (R, G, B, Kanal 1, 4, dan 3) pada 20 Juli 2002

(10:05 AM), 15 Oktober 2002 (10:10 AM), 12 Juni 2003 (10:10 AM), dan 23

September 2003 (10:15 AM)

Daerah penelitian ditunjukkan oleh kotak persegi panjang berwarna putih.

20 Juli 2002 dan 15 Oktober 2002

12 Juni 2003 dan 23 September 2003

Lampiran 3 Spesifikasi data Terra-MODIS L1B

Satellite Sensor Product Acquisition Scan time

(Local

Time)

Sun

azimuth

Solar

zenith

type Date (degrees) (degrees)

TERRA

TERRA

TERRA

TERRA

MODIS

MODIS

MODIS

MODIS

MOD021

MOD021

MOD021

MOD021

Juli 20, 2002

Oktober 15, 2002

June 12, 2003

September 23, 2003

10:05

10:10

10:10

10:15

40.88

96.21

36.72

73.28

36.81

19.63

37.77

22.73

Page 47: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

34

Lampiran 4 Nilai Emisivitas MODIS pada berbagai jenis penutupan lahan

Land Use e31 e32 Class

Water 0.992 0.988 Badan Air

Evergreen needleleaf forest 0.987 0.989

Hutan

Evergreen broadleaf forest 0.981 0.984

Deciduous needleleaf forest 0.987 0.989

Deciduous broadleaf forest 0.981 0.984

Mixed forest 0.981 0.984

Closed shrubland 0.983 0.98 Semak Belukar

Open shrubland 0.972 0.976

Cropland 0.983 0.987 Lahan Pertanian

Grassland 0.983 0.987 Lahan Terbuka

Bare soil and rocks 0.965 0.972

Urban and built up 0.97 0.976 Lahan Terbangun

Sumber : Oguro et.all

Lampiran 5 Spesifikasi dari satelit Terra/Aqua

Orbit 705 km, 10:30, menuju selatan (Terra) atau 13:30 menuju utara

(Aqua), sun-synchronous, near-polar, circular

Scan rate 20.3 rpm, cross track

Lebar swath 2330 km, dengan 10 km (along track at nadir)

Teleskop Diameter 17.78 cm off-axis

Ukuran 1.0 x 1.6 x 1.0 m

Berat 228.7 kg

Power 162.5 W

Laju transfer

data

10.6 Mbps (maksimal per hari); 6.1 Mbps (rata-rata per orbit)

Kuantitas 12 bits, untuk 36 kanal spektral dengan panjang gelombang 0.4

µm sampai 14.4 µm

Resolusi

spasial

250 m (bands 1-2)

500 m (bands 3-7)

1000 m (bands 8-36)

Desain umur 5 tahun

Page 48: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

35

Lampiran 6 Konversi Persamaan Planck menjadi nilai Suhu Kecerahan (BrightnessTemperature)

Lλ = 2 h c2

λ5 eh c

λ k Tb − 1

Lλ = 2 h c2

λ5

1

eh c

λ k Tb − 1

Lλλ

5

2 h c2 =

1

eh c

λ k Tb − 1

2 h c2

Lλλ5

+ 1 = eh c

λ k Tb

ln 2 h c2λ−5

Lλ + 1 =

h c

λ k Tb

Tb = h c

k λ ln2 hc2 λ−5

Lλ + 1

atau dalam satuan 0C menjadi

Tb ( 0C ) = h c

k λ ln2 hc2 λ−5

Lλ + 1

− 273.15

Jika C1 = 2 h c2 dan C2 =

h c

k maka persamaan tersebut menjadi :

Tb = C2

λ ( lnC1 λ−5

Lλ + 1)

− 273.15

Keterangan : Lλ = Spektral radiance (Wm

-2μm

-1 sr

-1)

Tb = Suhu kecerahan (0C)

h = Konstanta Planck (6.62076 x 10-34

J s) atau (6.62076 x 10-22

Kg μm2 s

-1)

c = Kecepatan cahaya (2.9979 x108 m s

-1) atau (2.9979 x10

14μm s

-1)

k = Konstanta Boltzmann (1.386058 x 10-23

J K-1

)

C1 = Konstanta radiasi pertama (1,191044 x 108 Wm

-2 sr

-1(μm

-1)

-4)

C2 = Konstanta radiasi kedua (1,4387 x 104 μmK)

λ = Nilai tengah panjang gelombang kanal 31 (10,78-11,28 μm) dan kanal 32 (11,77-12,27

μm)

Catatan :

1 Joule = 1 Kg m2 s

-2 , 1 m = 10

6 μm

Untuk mencari konstanta radiasi pertama gunakan konstanta Planck dengan satuan (Kg μm2

s-2

)

dan kecepatan cahaya dengan satuan (μm s-1

)

Untuk mencari konstanta radiasi kedua gunakan konstanta Planck dengan satuan (J s), kecepatan

cahaya dengan satuan (μm s-1

) dan konstanta Boltzmann dengan satuan J K-1

Page 49: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

36

Lampiran 7 Rata-rata nilai parameter solar spectral irradiance Terra/Aqua MODIS L1B

TERRA

Kanal Esun(W/m

2 µm)

1 1606.17

2 992.2

3 2087.94

4 1865.94

5 474.34

6 240.23

7 90.33

8 1745.75

9 1903.77

10 1980.94

11 1884.19

12 1892.24

13L 1548.18

13H 1548.18

14L 1508.14

14H 1508.14

15 1294.8

16 973

17 934.8

18 873.7

19 873.2

26 364.95

AQUA

Band Esun(W/m

2 µm)

1 1608.05

2 991.33

3 2088.17

4 1865.27

5 474.94

6 240.61

7 90.4

8 1747.74

9 1906.19

10 1977.14

11 1885.26

12 1892.84

13L 1547.47

13H 1547.47

14L 1506.12

14H 1506.12

15 1294.69

16 973.21

17 934.5

18 872.39

19 873.11

26 365.07

Sumber: http://mcst.gsfc.nasa.gov/calibration/parameters

Catatan :

0.4-0.8 micron from Thuillier et al., 1998;

0.8-1.1 micron from Neckel and Labs, 1984;

Above 1.1 micron from Smith and Gottlieb, 1974.

Page 50: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

37

Lampiran 8 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada

koordinat peta vektornya (20 Juli 2002)

Lampiran 9 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada

koordinat peta vektornya (15 Oktober 2002)

Lampiran 10 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada

koordinat peta vektornya (12 Juni 2003)

Lampiran 11 Pengambilan 11 titik GCP untuk koreksi geometrik dengan mencocokkan pada

koordinat peta vektornya (23 September 2003)

Page 51: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

38

Lampiran 12 Peta Nilai Suhu Permukaan (Becker and Li 1990)

Page 52: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

39

Lampiran 13 Peta Nilai Suhu Permukaan (Coll 1997)

Page 53: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

40

Lampiran 14 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price 1984)

Page 54: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

41

Lampiran 15 Peta Nilai Suhu Permukaan (Price modifikasi Sobrino 1994)

Page 55: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

42

Lampiran 16 Peta Nilai Suhu Permukaan (Sobrino 1993)

Page 56: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

43

Lampiran 17 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri 1992)

Page 57: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

44

Lampiran 18 Peta Nilai Suhu Permukaan (Ulivieri modifikasi Sobrino)

Page 58: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

45

Lampiran 19 Peta Nilai Suhu Permukaan (Vidal 1991)

Page 59: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

46

Lampiran 20 Peta Digital RBI Tema 1 : Penutupan Lahan

Page 60: PENDUGAAN NILAI SUHU PERMUKAAN BERDASARKAN … · data terra-modis l1b dan srtm 90 m (studi kasus : provinsi banten, dki jakarta, dan jawa barat) fauzan nurrachman departemen geofisika

47