PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

10
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017 42 PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA SPEKTRAL CITRA SATELIT RESOLUSI SPASIAL MENENGAH LANDSAT 8 OLI/TIRS (STUDI KASUS: PROVINSI DKI JAKARTA) Yudha Kristanto * , Tiara Agustin, Fadhlil Rizki Muhammad Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor, Bogor *Email: [email protected] ABSTRAK Pendugaan karakteristik awan wilayah sangat penting bagi keilmuan atmosfer. Penelitian ini menerapkan interpretasi digital dan visual dalam menentukan karakteristik awan wilayah Jakarta menggunakan data penginderaan jauh satelit. Data diperoleh dari satelit pengindera sumberdaya alam seri Landsat terbaru yaitu Landsat 8 OLI/TIRS. Data masukan yakni spectral radiance dari citra satelit kanal tampak mata 4 dan 5, kanal 6 inframerah dekat, serta kanal inframerah termal 10 dan 11. Interpretasi awan menggunakan kanal tampak mata 4 dan 5, kanal 6 inframerah dekat Landsat 8 OLI untuk mengidentifikasi kelas awan yang dihasilkan melalui klasfikasi citra secara terbimbing. Kanal inframerah termal digunakan untuk menduga suhu permukaan awan dan suhu daratan di bawah awan. Data suhu awan dan suhu permukaan daratan dapat digunakan untuk menganalisis karakteristik awan berdasarkan ketinggian menggunakan persamaan dry adiabatic lapse rate. Karakteristik awan berdasarkan ketebalan, volume, dan massa air yang terkandung pada awan diturunkan dengan persamaan saturated adiabatic lapse rate. Setelah sampel awan dikelompokkan berdasar ketinggian yang sama, interpretasi selanjutnya dilakukan dengan interpretasi visual untuk menentukan karakteristik awan berdasarkan bentuk menggunakan kombinasi kanal 4, 5, dan 6 Landsat 8 OLI. Analisis karakteristik awan menggunakan wilayah DKI Jakarta dengan musim penghujan dari data bulan Januari dan bulan Agustus untuk mewakili musim kemarau. Hasil analisis karakteristik awan di wilayah DKI Jakarta saat musim penghujan didominasi oleh bentuk awan yang heterogen, mulai dari awan rendah hingga tinggi. Berbeda dengan musim penghujan, tutupan awan pada musim kemarau didominasi oleh bentuk awan yang homogen yaitu awan rendah di atas wilayah DKI Jakarta. Informasi tutupan awan dan perbedaannya pada kedua musim di DKI Jakarta ini dapat menjadi gambaran secara umum kondisi cuaca di wilayah tropis dengan tingkat evaporasi tinggi maupun wilayah tropis di pesisir pantai. Kajian awan dapat dimanfaatkan dalam bidang hidrometeorologi seperti pendugaan pola cuaca dan pola curah hujan wilayah, serta peringatan dini terhadap kemungkinan bencana hidrometeorologi. Kata kunci: spektral radians, DALR, SALR, klasifikasi terbimbing ABSTRACT Estimation of the cloud’s characteristics is very important for science atmosphere. This study applies digital and visual interpretation to determine the cloud’s characteristics in Jakarta using satellite remote sensing data. The data for this research was obtained from natural resource sensing satellite, Landsat 8 OLI / TIRS with data input are the spectral radiance of the satellite imagery visible bands 4 and 5, band 6 as near infrared, and thermal infrared in bands 10 and 11. Interpretation of the cloud using the visible bands 4, 5 and near infrared band 6, while creating the cloud classes using supervised image classification. Thermal infrared band is used to estimate the surface temperature of the clouds and the temperature of the ground beneath the cloud object. Cloud temperature and land surface temperature data can be used to analyze the cloud’s characteristics based on altitude using equation of dry adiabatic lapse rate. Characteristics of the cloud by thickness, volume, and the mass of water contained in the clouds are derived by saturated adiabatic lapse rate equation. After the sample of clouds are classified by the same altitude, further interpretation is done by visual interpretation to determine the cloud’s characteri stics based on its forms using a combination of bands 4, 5, and 6 of Landsat 8 OLI. The analysis of the cloud's characteristics using area of Jakarta with January data to represent the rainy season and August to represent the dry season. The results of the characteristics analysis of clouds in Jakarta shows cloud cover during the rainy season is dominated by heterogeneous cloud forms, ranging from low to high clouds. In contrast to the rainy season, cloud cover during the dry season is dominated by homogeneous cloud forms above the area of Jakarta. The characteristics analysis of the cloud cover able to describe the differences of weather conditions between the rainy and dry season in area of Jakarta. Information of cloud cover and the difference in the two seasons in Jakarta can be used as general overview of weather conditions in tropical areas with high evaporation rate and tropical coastal regions. Thorough study can be utilized for the benefit of hydro-meteorological fields such as estimating weather patterns or rainfall patterns of region, as well as early warning against the possibility of hydro-meteorological disasters in the future. Keywords: spectral radiance, DALR, SALR, supervised classfication

Transcript of PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Page 1: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

42

PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA

SPEKTRAL CITRA SATELIT RESOLUSI SPASIAL MENENGAH

LANDSAT 8 OLI/TIRS (STUDI KASUS: PROVINSI DKI JAKARTA)

Yudha Kristanto*, Tiara Agustin, Fadhlil Rizki Muhammad

Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor, Bogor

*Email: [email protected]

ABSTRAK

Pendugaan karakteristik awan wilayah sangat penting bagi keilmuan atmosfer. Penelitian ini menerapkan

interpretasi digital dan visual dalam menentukan karakteristik awan wilayah Jakarta menggunakan data

penginderaan jauh satelit. Data diperoleh dari satelit pengindera sumberdaya alam seri Landsat terbaru yaitu

Landsat 8 OLI/TIRS. Data masukan yakni spectral radiance dari citra satelit kanal tampak mata 4 dan 5, kanal

6 inframerah dekat, serta kanal inframerah termal 10 dan 11. Interpretasi awan menggunakan kanal tampak

mata 4 dan 5, kanal 6 inframerah dekat Landsat 8 OLI untuk mengidentifikasi kelas awan yang dihasilkan

melalui klasfikasi citra secara terbimbing. Kanal inframerah termal digunakan untuk menduga suhu permukaan

awan dan suhu daratan di bawah awan. Data suhu awan dan suhu permukaan daratan dapat digunakan untuk

menganalisis karakteristik awan berdasarkan ketinggian menggunakan persamaan dry adiabatic lapse rate.

Karakteristik awan berdasarkan ketebalan, volume, dan massa air yang terkandung pada awan diturunkan

dengan persamaan saturated adiabatic lapse rate. Setelah sampel awan dikelompokkan berdasar ketinggian

yang sama, interpretasi selanjutnya dilakukan dengan interpretasi visual untuk menentukan karakteristik awan

berdasarkan bentuk menggunakan kombinasi kanal 4, 5, dan 6 Landsat 8 OLI. Analisis karakteristik awan

menggunakan wilayah DKI Jakarta dengan musim penghujan dari data bulan Januari dan bulan Agustus untuk

mewakili musim kemarau. Hasil analisis karakteristik awan di wilayah DKI Jakarta saat musim penghujan

didominasi oleh bentuk awan yang heterogen, mulai dari awan rendah hingga tinggi. Berbeda dengan musim

penghujan, tutupan awan pada musim kemarau didominasi oleh bentuk awan yang homogen yaitu awan rendah

di atas wilayah DKI Jakarta. Informasi tutupan awan dan perbedaannya pada kedua musim di DKI Jakarta ini

dapat menjadi gambaran secara umum kondisi cuaca di wilayah tropis dengan tingkat evaporasi tinggi maupun

wilayah tropis di pesisir pantai. Kajian awan dapat dimanfaatkan dalam bidang hidrometeorologi seperti

pendugaan pola cuaca dan pola curah hujan wilayah, serta peringatan dini terhadap kemungkinan bencana

hidrometeorologi.

Kata kunci: spektral radians, DALR, SALR, klasifikasi terbimbing

ABSTRACT

Estimation of the cloud’s characteristics is very important for science atmosphere. This study applies digital and

visual interpretation to determine the cloud’s characteristics in Jakarta using satellite remote sensing data. The

data for this research was obtained from natural resource sensing satellite, Landsat 8 OLI / TIRS with data input

are the spectral radiance of the satellite imagery visible bands 4 and 5, band 6 as near infrared, and thermal

infrared in bands 10 and 11. Interpretation of the cloud using the

visible bands 4, 5 and near infrared band 6, while creating the cloud classes using supervised image

classification. Thermal infrared band is used to estimate the surface temperature of the clouds and the

temperature of the ground beneath the cloud object. Cloud temperature and land surface temperature data can

be used to analyze the cloud’s characteristics based on altitude using equation of dry adiabatic lapse rate.

Characteristics of the cloud by thickness, volume, and the mass of water contained in the clouds are derived by

saturated adiabatic lapse rate equation. After the sample of clouds are classified by the same altitude, further

interpretation is done by visual interpretation to determine the cloud’s characteristics based on its forms using a

combination of bands 4, 5, and 6 of Landsat 8 OLI. The analysis of the cloud's characteristics using area of

Jakarta with January data to represent the rainy season and August to represent the dry season. The results of

the characteristics analysis of clouds in Jakarta shows cloud cover during the rainy season is dominated by

heterogeneous cloud forms, ranging from low to high clouds. In contrast to the rainy season, cloud cover during

the dry season is dominated by homogeneous cloud forms above the area of Jakarta. The characteristics analysis

of the cloud cover able to describe the differences of weather conditions between the rainy and dry season in

area of Jakarta. Information of cloud cover and the difference in the two seasons in Jakarta can be used as

general overview of weather conditions in tropical areas with high evaporation rate and tropical coastal

regions. Thorough study can be utilized for the benefit of hydro-meteorological fields such as estimating weather

patterns or rainfall patterns of region, as well as early warning against the possibility of hydro-meteorological

disasters in the future.

Keywords: spectral radiance, DALR, SALR, supervised classfication

Page 2: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

43

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan

dan ilmuwan atmosfer. Observasi dan citra

awan merupakan alat yang sangat bernilai untuk

menentukan karakteristik termodinamika dan

dinamika udara yang selanjutnya dipakai dalam

peramalan cuaca jangka pendek. Studi tentang

awan menjadi penting karena awan merupakan

fasa yang penting dalam siklus air di atmosfer.

Awan bertindak sebagai perwujudan uap air

(fasa gas) menjadi air (fasa cair) yang sangat

dibutuhkan manusia, karena tanpa air manusia

dipastikan tidak dapat mempertahankan hidup

di bumi (Tjasyono, 2012). Informasi tentang

cuaca khususnya tutupan awan akan lebih

mudah didapatkan apabila didukung oleh data

penginderaan jauh satelit yang semakin maju.

Secara umum manusia melakukan pengamatan

awan tanpa menggunakan instrumen. Dengan

mata telanjang, manusia dapat melakukan

pengamatan jumlah liputan awan dan jenis

awan. Pengamatan visual tersebut sudah

mencukupi untuk keperluan lokal, akan tetapi

adakalanya diperlukan kemampuan melihat

liputan awan dengan jangkauan pandang yang

lebih luas untuk analisis skala regional yang

mungkin dipengaruhi oleh keberadaan awan

tersebut (Nardi dan Nazori, 2012). Dengan

berkembangnya teknologi penginderaan jauh,

NASA Amerika Serikat meluncurkan satelit

sumberdaya alam pertama pada tanggal 23 Juli

1972, yang diberi nama ERTS-1 (Earth

Resources Technology Satellite) dan ERTS-2

pada tahun 1975. Setelah peluncuran ERTS-1

dan ERTS-2, diluncurkan juga satelit

berikutnya dengan seri Landsat 3,4,5,6,7 dan

yang terakhir dikenal dengan Landsat 8 yang

membawa 9 kanal pada sensor OLI

(Operational Land Imager) dan 2 kanal TIRS

(Thermal Infrared Sensor). Landsat 8 memiliki

resolusi temporal 16 hari dan resolusi spasial

30m x 30m.

Penggunaan citra Landsat 8 sebagai data utama

karena data citra landsat memiliki resolusi

spasial yang cukup baik, yaitu 30x30m

walaupun resolusi temporalnya rendah.

Sugiarto (2013) menjelaskan keunggulan yang

dimiliki Landsat 8 berdasarkan kanal-kanalnya.

Kanal 9 misalnya, dapat digunakan untuk

mendeteksi awan cirrus tanpa melalui proses

pengolahan nilai digital number menjadi nilai

spektral. Sementara itu, citra satelit Landsat 8

yang memiliki tutupan awan yang banyak

biasanya tidak dimanfaatkan dalam analisis

utama citra satelit Landsat sebagai satelit

pengindera sumberdaya alam, land use, dan

land cover karena menghalangi kenampakan

permukaan bumi. Disisi lain, citra dengan

tutupan awan yang tinggi justru sangat berguna

apabila dimanfaatkan dalam bidang kajian

hidrometeorologi.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah menduga

klasifikasi awan berdasarkan ketinggian dari

cloud base yang diperoleh dari data Spektral

Landsat 8 dan klasifikasi awan berdasarkan

bentuk dari data spektral hasil klasifikasi

terbimbing. Hasil klasifikasi tersebut dianalisis

lebih lanjut dalam pemetaan sebaran awan

menggunakan sistem informasi geografis untuk

melihat pola sebaran awan pada musim

kemarau dan musim penghujan di wilayah DKI

Jakarta.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Awan adalah kumpulan butiran air dan kristal

es yang sangat kecil atau campuran keduanya

dengan konsentrasi berorde 100 per sentimeter

kubik dan mempunyai radius sekitar 10

mikrometer. Awan terbentuk jika volume udara

lembap mengalami pendinginan sampai di

bawah temperatur titik embunnya. Pada

keadaan lapisan atmosfer di atas benua maritim

(maritime continent) seperti Indonesia,

pendinginan sangat sering disebabkan oleh

ekspansi adiabatik udara yang naik melalui

konveksi, orografi, dan konvergensi. Jenis awan

yang terbentuk oleh ekspansi adiabatik tersebut

disebut awan konvektif, awan orografik, dan

awan konvergensi. Pendinginan dapat juga

disebabkan oleh proses radiatif atau

percampuran udara yang berbeda temperatur

dan kelembabannya (Tjasyono, 2012).

Sistem awan dikendalikan oleh gerak udara

vertikal akibat konveksi, efek orografik,

konvergensi, dan front dimana sistem gerak

udara vertikal tersebut akan memberikan bentuk

atau tekstur dan ketinggian awan yang khas

(Tjasyono 2012). Berdasarkan bentuk atau

tekstur tersebut, awan terbagi ke dalam kelas

stratiform, cumuliform, dan cirriform.

Stratiform merupakan awan yang menyebabkan

hujan kontinu, terbentuk karena kenaikan udara

skala makro oleh front atau konvergensi atau

topografi. Awan stratiform mencakup daerah

hujan yang cukup luas, intensitas hujan kecil

dari gerimis sampai hujan sedang, dan arus

Page 3: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

44

udara ke atas dalam awan ini mencakup daerah

yang luas tetapi lemah. Cumuliform adalah

awan yang menyebabkan hujan lokal yang

disebabkan oleh konveksi yang terletak dalam

udara labil dengan intensitas hujan tinggi dari

hujan normal sampai hujan lebat (shower). Arus

udara ke atas dalam awan cumuliform

mencakup daerah yang kecil tetapi kuat.

Sedangkan awan cirriform merupakan bentuk

awan yang digunakan untuk mendeskripsikan

awan tinggi yang memiliki tekstur berserat dan

relatif tidak berpotensi turun sebagai presipitasi

(Wang, 2013).

Awan juga diklasifikasikan berdasarkan

ketinggiannya yakni pada daerah tropis,

ketinggian 0-2000 m adalah awan rendah

dengan jenis Stratus, Stratocumulus, dan

Nimbostratus, ketinggian 2000-6000 m adalah

klasifikasi awan menengah dengan jenis awan

Altocumulus dan Altostratus, dan terakhir

adalah awan tinggi dengan ketinggian 6000 -

18000 m dengan jenis awan Cirrus,

Cirrocumulis, dan Cirrostratus. Selain dari

ketiga klasifikasi tersebut, ada juga awan yang

diklasifikasikan sebagai awan dengan

perkembangan vertikal yaitu awan jenis

Cumulus dan Cumulunimbus. Awan jenis ini

biasanya memiliki cloud base 1000 m untuk

cumulus dengan cloud top bisa mencapai 12000

m (Ahrens, 2016). Walaupun terdapat

klasifikasi berdasarkan ketinggian, penentuan

jenis awan tidak bisa hanya didsarkan pada

ketinggian awan, tetapi juga dengan

pengamatan visual. Ciri visual yang penting

dalam klasifikasi awan menurut Ahrens (2016)

adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Klasifikasi awan berdasarkan

ketinggian dan ciri visual

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi Kajian

Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah

dataran rendah yang memiliki ketinggian rata-

rata 7 mdpl, terletak pada 5° 19' 12"-6° 23' 54"

LS dan 106° 22' 42"-106° 58' 18" BT.

Berdasarkan Keputusan Gubernur No. 1227

Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta

adalah 7659,02 km2, terdiri atas daratan seluas

661,62 km2 termasuk di dalamnya 110 pulau di

Kepulauan Seribu. Wilayah kajian yang dipilih

meliputi wilayah daratan Provinsi DKI Jakarta

yakni Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Pusat,

Kota Jakarta Barat, Kota Jakarta Timur, dan

Kota Jakarta Selatan tanpa mengikut sertakan

Kabupaten Kepulauan Seribu. Kepulauan

Seribu memiliki luasan terlalu kecil pada

masing-masing pulaunya sehingga lebih sulit

diinterpretasikan ketika luasan awan melebihi

luasan pulau yang ditutupi. Wilayah DKI

Jakarta dipilih sebagai sampel wilayah pada

penelitian ini karena kondisi cuaca DKI Jakarta

menarik dikaji, didukung dengan penelitian dari

BMKG dan Direktur Eksekutif Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia yang menyatakan

bahwa wilayah DKI Jakarta merupakan zona

konvektif di pesisir barat daya Laut Jawa yang

berpotensi sebagai tempat pertumbuhan awan.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini

adalah seperangkat komputer yang telah

terpasang Microsoft Office, ArcGIS 10.5,

ERDAS IMAGINE 2014, dan GrADS.

Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini

berupa dua (2) buah citra satelit Landsat 8 yang

mewakili waktu dan wilayah kajian, yaitu

LC81220642016052LGN00 dan

LC81220642016235LGN00, Peta RBI

Administrasi DKI Jakarta sebagai dasar

membuat peta tematik, dan data ECMWF-ERA

Interim tutupan awan (Cloud Cover) yang

digunakan untuk validasi.

3.3. Analisis Data

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan

yakni input, analisis, dan output. Tahap input

meliputi proses memasukkan data citra Landsat

8 dan peta RBI kedalam software berbasis SIG

untuk dianalisis. Tahap analisis terbagi menjadi

empat proses utama yaitu digital image

processing, pemodelan suhu permukaan,

klasifikasi awan, dan GIS analysis terhadap

data hasil klasifikasi awan. Tahap terakhir

Page 4: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

45

adalah output yang berupa penyatuan data

spasial dan layouting peta.

3.3.1. Digital Image Processing

Digital image processing adalah proses

pengolahan gambar dua dimensi oleh perangkat

komputer digital (Jensen, 1996). Adapun

menurut Acharya dan Ray (2005), digital image

processing merupakan proses pengambilan

atribut-atribut pada gambar dengan input dan

output yang berupa gambar. Digital image

processing memiliki berbagai macam fungsi

untuk bermacam-macam bidang seperti koreksi

geometrik, koreksi radiometrik, pendeteksian

objek pada gambar, penajaman gambar,

pengurangan noise, dan sebagainya.

Koreksi geometrik dilakukan akibat distorsi

geometrik antara citra hasil penginderaan dan

objeknya. Koreksi geometrik dapat dilakukan

dengan menggunakan posisi geografik (titik

kontrol tanah) yang terdistribusi merata di

seluruh citra. Posisi geografik ini ditentukan

dari beberapa obyek yang mudah diidentifikasi

pada citra, sehingga diperoleh koordinat dalam

sistem geografik (X,Y) dan dalam sistem

koordinat citra (X,Y) sebagai titik sekutu.

Selanjutnya citra dikoreksi dengan sistem

transformasi polinomial dengan bantuan

perangkat lunak Erdas Imagine 2014.

Koreksi radiometrik yang dilakukan pada

penelitian kali ini adalah konversi nilai DN

menjadi spectral radiance. Proses konversi ini

memerlukan informasi Gain dan Bias dari

sensor di setiap kanal. Transformasi dilakukan

berdasarkan kurva kalibrasi DN ke radiance

yang telah dihitung secara sistematik. Formula

yang digunakan untuk menghitung nilai Gain

dan Bias bervariasi untuk setiap citra yang

diproses. Metode menentukan nilai Gain

dan Bias tersebut adalah:

;

… (1)

Metode untuk mengkalibrasi nilai DN menjadi

nilai spectral radiance (Lλ) adalah:

… (2)

3.3.2. Pemodelan Suhu Permukaan

Suhu permukaan merupakan suhu bagian

terluar dari suatu obyek dan merupakan unsur

pertama yang dapat di identifikasi dari cita

satelit termal. Suhu permukaan benda

tergantung dari sifat fisik permukaan obyek, di

antaranya adalah emisivitas, kapasitas panas

jenis, dan konduktivitas termal. Selain itu suhu

permukaan juga di pengaruhi oleh panjang

gelombang. Panjang gelombang yang paling

sensitif terhadap suhu permukaan adalah

inframerah termal (Lillesand dan Kiefer, 2004).

Suhu permukaan (Ts) didapatkan melalui

perhitungan spectral radiance (Lλ),

temperature brightness (Tb), dan emisivitas (e)

dengan persamaan sebagai berikut:

… (3)

… (4)

dimana Lλ adalah spectral radiance puncak

atmosfer (Watt / (m2 srad μm), Tb adalah

brightness temperature (°C), K1 dan K2 adalah

konstanta konversi spesifik kanal termal 10 dan

11 Landsat 8, e adalah emisifitas, Ts adalah

suhu permukaan (°C), w adalah nilai tengah

panjang gelombang dari radiasi yang

diemisikan objek (μm), h adalah konstanta

planck (6,626 * 10-34

Js), s adalah konstanta

Stefan-Boltzmann (1,138 * 10-23

J/K), serta c

adalah kecepatan cahaya (2,998 * 108 m/s).

3.3.3. Klasifikasi Awan

Awan diklasifikasikan berdasarkan

ketinggiannya melalui persamaan DALR dan

SALR dari suhu awan yang diperoleh. Awan

juga diklasifikasikan berdasarkan bentuknya

melalui klasifikasi terbimbing (supervised

classification).

Klasifikasi terbimbing data satelit penginderaan

jauh diartikan sebagai metoda klasifikasi pixel

(picture element) pada citra digital ke dalam

sejumlah kelas objek dengan pengajaran

pola/ciri kelas penutup/penggunaan lahan

melalui ground control point kepada komputer

pemroses dan klasifikasi didasarkan pada

pengelompokkan pola/ciri yang mirip secara

alami ke dalam sejumlah kelas tertentu

(clustering) (Mukhaiyar, 2010). Klasifikasi

terbimbing pada penelitian kali ini

menggunakan empat ground control point

untuk menentukan piksel mana yang memiliki

spektral serupa dengan piksel lain dan

kemudian mengelompokkan nilai piksel

tersebut ke dalam berbagai kelas-kelas

homogen dan dihasilkan dua kelas objek utama

Page 5: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

46

yang berbeda menurut pola digital numbernya,

yaitu kelas awan dan non awan. Sedangkan

kelas awan terbagi menjadi beberapa sub kelas

sesuai dengan sebaran digital number dari

threshold yang digunakan sebesar 95%.

Menurut Stull (2000), lapse rate adiabatik

kering adalah tingkat pendinginan suatu parcel

udara ketika tidak terjadi pertukaran kalor

antara parcel udara dengan lingkungannya.

Secara teoritis, suatu parcel udara yang dipaksa

bergerak naik dalam atmosfer akan mengalami

tekanan yang lebih rendah sehingga parcel

udara tersebut akan mengembang dan

mendingin. Temperatur lapse rate yakni sebesar

9,8 °C/km mengikuti perubahan ketinggian

dianggap sebagai tingkat adiabatik kering.

… (5)

dimana dT = Tb – Ta adalah perubahan suhu,

dz = Zb – Za adalah perubahan ketinggian, Tb

(suhu dasar awan) < Ta (suhu permukaan laut

atau suhu rata-rata objek permukaan di bawah

awan), dan Zb (ketinggian dasar awan) > Za

(elevasi permukaan dari muka laut).

Lapse Rate Adiabatik Jenuh atau Saturated

Adiabatic Lapse Rate atau Moist Adiabatic

Lapse Rate adalah tingkat pendinginan suhu

parsel udara dalam kondisi jenuh, contohnya

yaitu ketika kelembaban relatif udara mencapai

100%. Saturated lapse rate berkisar antara 5-

9 °C/km (aproksimasi rata-rata lapisan atmosfer

adalah 6 °C/km) mengikuti perubahan

ketinggian dianggap sebagai tingkat adiabatik

jenuh (Marshall dan Plumb, 2010).

… (6)

dimana dT = Tb – Ta adalah perubahan suhu,

dz = Zb – Za adalah perubahan ketinggian, Tb

(suhu puncak awan) < Ta (suhu puncak awan),

dan Zb (ketinggian puncak awan) > Za

(ketinggian dasar awan).

3.3.4. Pemodelan Suhu Permukaan

Pada tahap ini dilakukan proses pembentukan

peta baru yang telah diolah secara manual dan

secara komputer. Beberapa alat untuk analisis

berbasis GIS pada penelitian kali ini meliputi

generalisasi (merge), konversi (raster to vector

atau sebaliknya), overlay (erase, intersect, dan

union), serta extract (clip).

2.4. Batasan Masalah dan Asumsi

Batasan dan asumsi yang digunakan dalam

penelitian kali ini meliputi, (1) suhu terendah

awan merupakan suhu puncak awan dan suhu

tertinggi awan merupakan suhu dasar awan, (2)

kelas-kelas awan yang dihasilkan klasifikasi

terbimbing cukup mewakili kelas-kelas awan

sebenarnya berdasarkan sebaran digital

numbernya, (3) rata-rata suhu daratan pada

ketinggian 0 mdpl dianggap mewakili suhu

rata-rata daratan Jakarta untuk digunakan

sebagai suhu dasar dalam perhitungan dry

adiabatic lapse rate, serta (4) laju lapse rate

baik adiabatik kering maupun jenuh

diaproksimasikan sama disetiap wilayah dan

ketinggian pada lapisan troposfer.

Gambar 1. Diagram alir membuat peta awan

berdasarkan data spektral citra satelit Landsat 8

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Wilayah DKI Jakarta yang terletak di dekat

Laut Jawa menghasilkan uap air cukup besar

yang berperan dalam pembentukan awan-awan

konvektif. Variasi harian keawanaan terlihat di

atas daratan dan lautan. Kondisi keawanan di

atas daratan biasanya menjadi maksimum pada

siang hari sampai sore hari yang diakibatkan

oleh proses konveksi terutama di daerah tropis.

Keawanan minimum terjadi pada malam hari

ketika udara mulai stabil akibat turunnya suhu

permukaan bumi (Handoko, 2003).

Page 6: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

47

(a)

(b)

Gambar 2. Peta sebaran awan berdasarkan

ketinggian: (a) 23 Agustus 2016 dan (b) 21

Februari 2016

Interpretasi citra awan dilakukan dengan

menghitung potensi pembentukan awan

menggunakan persamaan termodinamika

atmosfer yaitu dengan perpaduan persamaan

DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate) dan SALR

(Saturated Adiabatic Lapse Rate), serta

interpretasi visual menggunakan klasifikasi

terbimbing. Citra Landsat 8 yang digunakan

berupa citra composite band 6-5-4 (SWIR-NIR-

Red) untuk mengkelaskan awan secara digital

dengan supervised classification serta citra

band 10 dan 11 (Thermal Infrared) untuk

memperoleh data suhu permukaan. Awan yang

tercitra oleh satelit Landsat-8 diklasifikasikan

berdasarkan ketinggiannya melalui interpretasi

digital spectral radiance awan dan

diklasifikasikan berdasarkan bentuknya melalui

supervised classification. Berdasarkan

ketinggiannya, awan diklasifikasikan menjadi

tiga, yaitu awan rendah (low cloud), awan

menengah (mid cloud), dan awan tinggi (high

cloud). Berdasarkan bentuknya seperti, awan

diklasifikasikan menjadi kelas stratus

(stratiform), kelas cumulus (cumuliform), dan

kelas cirrus (cirriform), kelas

altostratus/altocumulus, dan kelas

cumulunimbus.

Berdasarkan Gambar 2, awan terklasifikasi

berdasarkan selang nilai suhu dan ketinggian

menjadi tiga kelas awan. Selang suhu dan

ketinggian yang dimaksud adalah jarak antara

cloud base dan cloud top yang diperoleh dari

pemodelan data spectral radiance citra awan

tersebut. Ketiga kelas tersebut meliputi awan

rendah dengan ketinggian 0-2000 meter, awan

menengah dengan ketinggian 2000-6000 meter,

dan awan tinggi dengan ketinggian lebih dari

6000 meter. Daerah pada ketinggian 6000-8000

merupaka dearah overlap yang dapat

mengklasifikasikan awan sebagai awan

menengah maupun awan tinggi (Ahrens, 2016).

Namun, beberapa kelas awan tidak dapat

dijelaskan secara rinci bahkan tidak terpetakan

ketika spectral radiancenya mendekati spectral

radiance daratan walaupun secara visual

terlihat pada wilayah tersebut tertutup oleh

awan.

(a)

(b)

Gambar 3.Peta sebaran awan berdasarkan

ketinggian dan klasifikasi terbimbing: (a) 23

Agustus 2016 dan (b) 21 Februari 2016

Page 7: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

48

Data spektral tanpa pengolahan lebih lanjut

tidak mampu menghasilkan klasifikasi awan

yang baik. Sebagai konsekuensinya, klasifikasi

awan berdasarkan ketinggian melaui nilai

spektral diklasifikasikan kembali menggunakan

klasifikasi terbimbing untuk memperoleh peta

awan yang lebih detail, baik ketinggian hingga

bentuknya. Pengklafikasian sampel awan

dilakukan secara independen dan selanjutnya

dianalisis melalui interpretasi visual dan

menggunakan alat analisis SIG melalui

kombinasi kanal 6-5-4. Kanal 6-5-4 sangat jelas

membedakan pola digital number setiap kelas

awan, yaitu didapatkan awan tinggi dalam

bentuk cirriform

maupun awan altostratus/altocumulus, awan

menengah dalam bentuk altocumulus/altostratus

dan cumulunimbus, serta awan rendah dalam

bentuk cumulunimbus, cumuluform, dan

stratiform seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 3. Hal ini dikarenakan kombinasi band

6-5-4 merupakan salah satu kombinasi kanal

yang detail dalam mengkelaskan objek pada

citra melalui klasifikasi terbimbing, bahkan

objek awan yang memiliki digital number

hampir seragam. Setiap sampel awan yang

dikumpulkan disimpan dalam database bersama

dengan data radiometrik, lokasi, dan

karakteristik vektorial sampel tersebut seperti

luas wilayah tutupan awan.

Sebaran awan pada Gambar 2 dan Gambar 3

membandingkan komposisi tutupan awan

berdasarkan ketinggian pada musim kemarau

dan musim penghujan di DKI Jakarta. Gambar

2a dan 3a menunjukkan bahwa awan stratiform

sudah terklasifikasi melalui data secara spektral

menjadi awan menengah dan awan rendah yang

kemudian dikoreksi melalui pengamatan secara

visual seperti pada Gambar 3a. Sedangkan pada

Gambar 2b dan 3b terlihat bahwa awan

stratiform tidak terklasifikasi apabila hanya

berdasarkan data spektral saja, awan stratiform

baru teridentifikasi melalui interpretasi secara

visual. Perbedaan hasil pada klasifikasi ini

dikarenakan suhu awan stratiform yang

terdeteksi pada Gambar 2b mendekati suhu

daratan sehingga tidak terklasifikasi menjadi

awan, lain halnya dengan Gambar 2a dimana

suhu awan stratiform cukup berbeda dengan

daratan sehingga terklasifikasi dengan baik

dengan menggunakan data spektral saja. Awan

kumulonimbus terdeteksi secara visual

menggumpal dan vertikal serta mempunyai

luasan lebih besar dibandingkan awan lain dan

ketebalan yang lebih tinggi daripada awan-

awan lain.

Komposisi tutupan awan ini ditampilkan pada

Gambar 3 yang menunjukkan jenis-jenis awan

dan persentase luasan tutupannya pada musim

kemarau dan penghujan di DKI Jakarta. Awan

cirriform sebagai awan tinggi sulit untuk

diidentifikasi karena lapisannya yang tipis

membuat nilai piksel awan ini sulit dibedakan

dengan nilai piksel daratan, oleh sebab itu

cirriform hanya mampu teridentifikasi dengan

persentase kecil pada musim penghujan karena

terdapat di atas lapisan awan

altocumulus/altostratus. Awan vertikal

cumuluform dan cumulonimbus pada musim

penghujan membentuk kelompok berukuran

besar yang menunjukkan potensi yang tinggi

untuk turunnya hujan, sedangkan pada musim

kemarau awan-awan ini menyebar secara

merata menutupi daratan di DKI Jakarta.

Tutupan awan altocumulus/altostratus dan

stratiform yang terlihat dari citra satelit

menunjukkan pola yang hampir sama dengan

awan cumuluform yakni menyebar secara

merata pada musim kemarau dan cenderung

berkumpul di musim penghujan. Perbedaan

tutupan awan pada kedua musim ini

menunjukkan awan pada musim penghujan

memiliki potensi turun hujan yang jauh lebih

besar dibandingkan dengan tutupan awan saat

kemarau.

Secara umum tutupan awan pada musim

penghujan lebih heterogen dibandingkan

dengan musim kemarau. Awan di musim

kemarau didominasi oleh awan rendah dan

sangat sedikit ditemukan awan tinggi.

Sedangkan pada musim penghujan tutupan

awan rendah dan menengah sedikit lebih

mendominasi dibandingkan awan tinggi.

Analisis karakteristik awan ini mampu

menggambarkan perbedaan kondisi cuaca di

musim penghujan dan musim kemarau di

wilayah DKI Jakarta. Informasi tutupan awan

dan perbedaannya pada kedua musim di DKI

Jakarta ini dapat menjadi gambaran secara

umum kondisi cuaca di wilayah tropis dengan

tingkat evaporasi tinggi maupun wilayah tropis

di pesisir pantai. Kajian awan secara mendalam

dapat dimanfaatkan untuk bidang

hidrometeorologi seperti pendugaan pola cuaca,

pola curah hujan wilayah, serta peringatan dini

terhadap kemungkinan bencana

hidrometeorologi seperti badai dan banjir di

masa depan.

(a)

Page 8: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

49

(a)

(b)

Gambar 4. Sebaran tutupan awan rendah (a)

dan awan tinggi (b) di Jakarta (kotak hitam)

tanggal 21 Februari 2016 menggunakan data

ECMWF-ERA Interim

Pola sebaran awan dilihat pula menggunakan

data ECMWF-INTERIM resolusi 0,125o x

0,125o

(sekitar 13,875 km x 13,875 km),

resolusi yang sangat rendah apabila

dibandingkan dengan resolusi Landsat 8 sebesar

30 m x 30 m. Data yang dipakai adalah tutupan)

awan (cloud cover) pada 21 Februari 2016

yang terdiri atas dua variabel, yaitu LCC (low

cloud cover) dan HCC (high cloud cover). Data

tutupan awan rendah ECMWF-ERA Interim

menggambarkan pola yang sama dengan

tutupan awan rendah hasil klasifikasi dari data

spektral Landsat 8 OLI/TIRS yakni tutupan

awan rendah terbesar berada di wilayah selatan

dan tenggara DKI Jakarta dan semakin jarang

ke arah barat dan barat laut. Pola yang sama ini

menunjukkan metode pengklasifikasian tutupan

awan rendah menggunakan data spektral satelit

dapat dilakukan sebagai salah satu metode

pengklasifikasian awan, sedangkan dalam

menentukan awan tinggi cirrus sangat lemah

apabila menggunakan data spektral satelit. Hal

ini dikarenakan pola awan tinggi yang

ditunjukkan data ECMWF-INTERIM berlainan

dengan pola awan tinggi berdasarkan nilai

spektral Landsat 8 di beberapa wilayah. Oleh

karena itu, sebagai konsekuensinya

pengklasifikasian awan tinggi dapat dilakukan

tanpa menggunakan data spektral, melainkan

langsung menggunakan fasilitas kanal 9 pada

Landsat 8 OLI/TIRS.

V. KESIMPULAN

Awan dapat dikelaskan berdasarkan

ketinggiannya, yaitu awan rendah, menengah,

dan awan tinggi menggunakan persamaan dry

adiabatic lapse rate, yakni dengan

menggunakan perbedaan suhu permukaan awan

tertinggi (suhu dasar awan) dan suhu

permukaan objek dibawahnya. Ketebalan awan

dapat diperoleh menggunakan persamaan

saturated adiabatic lapse rate menggunakan

perbedaan suhu permukaan awan tertinggi

(suhu dasar awan) dan suhu awan terendah

(suhu puncak awan). Selain itu, interpretasi

visual awan menggunakan kombinasi kanal 6-

5-4 pada Landsat 8 OLI/TIRS dapat

mengelaskan awan berdasarkan bentuk seperti

cumulus, cumolonimbus, nimbostratus, dan

altostratus. Analisis karakteristik awan wilayah

DKI Jakarta menunjukkan awan dalam bentuk

cirriform, stratiform, cumuluform,

cumulonimbus, dan altostratus/altocumulus.

Ketika musim penghujan, penutupan awan DKI

Jakarta lebih heterogen (terdiri atas berbagai

macam kelas awan) dan berpotensi turun

sebagai hujan dibandingkan pada musim

kemarau yang tutupan awannya lebih homogen

dan kurang berpotensi turun sebagai hujan. Pola

tutupan awan rendah pada hasil

pengklasifikasian menggunakan data spektral

dengan data ECMWF-INTERIM yang sama

menunjukkan metode pengklasifikasian tutupan

awan rendah menggunakan data spektral satelit

dapat dilakukan sebagai salah satu metode

pengklasifikasian awan, sedangkan dalam

menentukan awan tinggi cirrus dapat dilakukan

langsung menggunakan fasilitas kanal 9 pada

Landsat 8 OLI/TIRS.

DAFTAR PUSTAKA

Ahrens C.D dan Henson R., 2016. Meteorology

Today: An Introduction to Weather,

Climate and the Environment, 11th Ed.

Boston: Cengage Learning. 127 hlm.

Handoko (Ed.), 2003. Klimatologi Dasar.

Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya Press.

Kuester M., 2016. Radiometric use of

WorldView-3 imagery. Digital Globe.

Vol.1, hlm 1- 12.

Page 9: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

50

Lillesand T.M dan Kiefer R.W., 2004. Remote

Sensing and Image Interpretation. New

York: John Wiley & Sons.

Marshall J. dan Plumb R.A., 2010. Atmosphere,

Ocean, and Climate Dynamics. New

York: Academic Press.

Mukhaiyar R., 2005. Klasifikasi penggunaan

lahan dari data remote sensing. J.

Teknologi Informasi dan Pendidikan.

Vol.2, no.1 hlm 1-15.

Nardi dan Nazori AZ., 2012. Otomasi

klasifikasi awan citra satelit MTSAT

dengan pendekatan fuzzy logic. J.

Telematika MKOM. Vol.4, no.1 hlm 104-

117.

Setiawan K.T., Anggraini N., Manoppo K.S.,

2016. Estimasi perhitungan luas daerah

di pulau-pulau kecil menggunakan data

citra satelit Landsat 8, studi kasus: Pulau

Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta.

Seminar Nasional Penginderaan Jauh

2016. 294-100.

Stull R. 2000., Meteorology for Scientist and

Engineers Second Edition. California:

Brooks/Cole CENGAGE Learning.

Tjasyono B. 2012., Mikrofisika Awan. Jakarta:

Badan Meteorologi Klimatologi dan

Geofisika.

Wang H.J.,Chen Y.N. Chen Z.S., 2013. Spatial

distribution and temporal trends of mean

precipitation and extremes in the arid

region, northwest of China, during 1960-

2010. Hydrological Process. Vol.27 hlm

1807-1818.

Page 10: PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA …

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017

51