Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
42
PENDUGAAN KARAKTERISTIK AWAN BERDASARKAN DATA
SPEKTRAL CITRA SATELIT RESOLUSI SPASIAL MENENGAH
LANDSAT 8 OLI/TIRS (STUDI KASUS: PROVINSI DKI JAKARTA)
Yudha Kristanto*, Tiara Agustin, Fadhlil Rizki Muhammad
Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor, Bogor
*Email: [email protected]
ABSTRAK
Pendugaan karakteristik awan wilayah sangat penting bagi keilmuan atmosfer. Penelitian ini menerapkan
interpretasi digital dan visual dalam menentukan karakteristik awan wilayah Jakarta menggunakan data
penginderaan jauh satelit. Data diperoleh dari satelit pengindera sumberdaya alam seri Landsat terbaru yaitu
Landsat 8 OLI/TIRS. Data masukan yakni spectral radiance dari citra satelit kanal tampak mata 4 dan 5, kanal
6 inframerah dekat, serta kanal inframerah termal 10 dan 11. Interpretasi awan menggunakan kanal tampak
mata 4 dan 5, kanal 6 inframerah dekat Landsat 8 OLI untuk mengidentifikasi kelas awan yang dihasilkan
melalui klasfikasi citra secara terbimbing. Kanal inframerah termal digunakan untuk menduga suhu permukaan
awan dan suhu daratan di bawah awan. Data suhu awan dan suhu permukaan daratan dapat digunakan untuk
menganalisis karakteristik awan berdasarkan ketinggian menggunakan persamaan dry adiabatic lapse rate.
Karakteristik awan berdasarkan ketebalan, volume, dan massa air yang terkandung pada awan diturunkan
dengan persamaan saturated adiabatic lapse rate. Setelah sampel awan dikelompokkan berdasar ketinggian
yang sama, interpretasi selanjutnya dilakukan dengan interpretasi visual untuk menentukan karakteristik awan
berdasarkan bentuk menggunakan kombinasi kanal 4, 5, dan 6 Landsat 8 OLI. Analisis karakteristik awan
menggunakan wilayah DKI Jakarta dengan musim penghujan dari data bulan Januari dan bulan Agustus untuk
mewakili musim kemarau. Hasil analisis karakteristik awan di wilayah DKI Jakarta saat musim penghujan
didominasi oleh bentuk awan yang heterogen, mulai dari awan rendah hingga tinggi. Berbeda dengan musim
penghujan, tutupan awan pada musim kemarau didominasi oleh bentuk awan yang homogen yaitu awan rendah
di atas wilayah DKI Jakarta. Informasi tutupan awan dan perbedaannya pada kedua musim di DKI Jakarta ini
dapat menjadi gambaran secara umum kondisi cuaca di wilayah tropis dengan tingkat evaporasi tinggi maupun
wilayah tropis di pesisir pantai. Kajian awan dapat dimanfaatkan dalam bidang hidrometeorologi seperti
pendugaan pola cuaca dan pola curah hujan wilayah, serta peringatan dini terhadap kemungkinan bencana
hidrometeorologi.
Kata kunci: spektral radians, DALR, SALR, klasifikasi terbimbing
ABSTRACT
Estimation of the cloud’s characteristics is very important for science atmosphere. This study applies digital and
visual interpretation to determine the cloud’s characteristics in Jakarta using satellite remote sensing data. The
data for this research was obtained from natural resource sensing satellite, Landsat 8 OLI / TIRS with data input
are the spectral radiance of the satellite imagery visible bands 4 and 5, band 6 as near infrared, and thermal
infrared in bands 10 and 11. Interpretation of the cloud using the
visible bands 4, 5 and near infrared band 6, while creating the cloud classes using supervised image
classification. Thermal infrared band is used to estimate the surface temperature of the clouds and the
temperature of the ground beneath the cloud object. Cloud temperature and land surface temperature data can
be used to analyze the cloud’s characteristics based on altitude using equation of dry adiabatic lapse rate.
Characteristics of the cloud by thickness, volume, and the mass of water contained in the clouds are derived by
saturated adiabatic lapse rate equation. After the sample of clouds are classified by the same altitude, further
interpretation is done by visual interpretation to determine the cloud’s characteristics based on its forms using a
combination of bands 4, 5, and 6 of Landsat 8 OLI. The analysis of the cloud's characteristics using area of
Jakarta with January data to represent the rainy season and August to represent the dry season. The results of
the characteristics analysis of clouds in Jakarta shows cloud cover during the rainy season is dominated by
heterogeneous cloud forms, ranging from low to high clouds. In contrast to the rainy season, cloud cover during
the dry season is dominated by homogeneous cloud forms above the area of Jakarta. The characteristics analysis
of the cloud cover able to describe the differences of weather conditions between the rainy and dry season in
area of Jakarta. Information of cloud cover and the difference in the two seasons in Jakarta can be used as
general overview of weather conditions in tropical areas with high evaporation rate and tropical coastal
regions. Thorough study can be utilized for the benefit of hydro-meteorological fields such as estimating weather
patterns or rainfall patterns of region, as well as early warning against the possibility of hydro-meteorological
disasters in the future.
Keywords: spectral radiance, DALR, SALR, supervised classfication
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
43
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Studi awan sangat penting bagi meteorologiwan
dan ilmuwan atmosfer. Observasi dan citra
awan merupakan alat yang sangat bernilai untuk
menentukan karakteristik termodinamika dan
dinamika udara yang selanjutnya dipakai dalam
peramalan cuaca jangka pendek. Studi tentang
awan menjadi penting karena awan merupakan
fasa yang penting dalam siklus air di atmosfer.
Awan bertindak sebagai perwujudan uap air
(fasa gas) menjadi air (fasa cair) yang sangat
dibutuhkan manusia, karena tanpa air manusia
dipastikan tidak dapat mempertahankan hidup
di bumi (Tjasyono, 2012). Informasi tentang
cuaca khususnya tutupan awan akan lebih
mudah didapatkan apabila didukung oleh data
penginderaan jauh satelit yang semakin maju.
Secara umum manusia melakukan pengamatan
awan tanpa menggunakan instrumen. Dengan
mata telanjang, manusia dapat melakukan
pengamatan jumlah liputan awan dan jenis
awan. Pengamatan visual tersebut sudah
mencukupi untuk keperluan lokal, akan tetapi
adakalanya diperlukan kemampuan melihat
liputan awan dengan jangkauan pandang yang
lebih luas untuk analisis skala regional yang
mungkin dipengaruhi oleh keberadaan awan
tersebut (Nardi dan Nazori, 2012). Dengan
berkembangnya teknologi penginderaan jauh,
NASA Amerika Serikat meluncurkan satelit
sumberdaya alam pertama pada tanggal 23 Juli
1972, yang diberi nama ERTS-1 (Earth
Resources Technology Satellite) dan ERTS-2
pada tahun 1975. Setelah peluncuran ERTS-1
dan ERTS-2, diluncurkan juga satelit
berikutnya dengan seri Landsat 3,4,5,6,7 dan
yang terakhir dikenal dengan Landsat 8 yang
membawa 9 kanal pada sensor OLI
(Operational Land Imager) dan 2 kanal TIRS
(Thermal Infrared Sensor). Landsat 8 memiliki
resolusi temporal 16 hari dan resolusi spasial
30m x 30m.
Penggunaan citra Landsat 8 sebagai data utama
karena data citra landsat memiliki resolusi
spasial yang cukup baik, yaitu 30x30m
walaupun resolusi temporalnya rendah.
Sugiarto (2013) menjelaskan keunggulan yang
dimiliki Landsat 8 berdasarkan kanal-kanalnya.
Kanal 9 misalnya, dapat digunakan untuk
mendeteksi awan cirrus tanpa melalui proses
pengolahan nilai digital number menjadi nilai
spektral. Sementara itu, citra satelit Landsat 8
yang memiliki tutupan awan yang banyak
biasanya tidak dimanfaatkan dalam analisis
utama citra satelit Landsat sebagai satelit
pengindera sumberdaya alam, land use, dan
land cover karena menghalangi kenampakan
permukaan bumi. Disisi lain, citra dengan
tutupan awan yang tinggi justru sangat berguna
apabila dimanfaatkan dalam bidang kajian
hidrometeorologi.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah menduga
klasifikasi awan berdasarkan ketinggian dari
cloud base yang diperoleh dari data Spektral
Landsat 8 dan klasifikasi awan berdasarkan
bentuk dari data spektral hasil klasifikasi
terbimbing. Hasil klasifikasi tersebut dianalisis
lebih lanjut dalam pemetaan sebaran awan
menggunakan sistem informasi geografis untuk
melihat pola sebaran awan pada musim
kemarau dan musim penghujan di wilayah DKI
Jakarta.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Awan adalah kumpulan butiran air dan kristal
es yang sangat kecil atau campuran keduanya
dengan konsentrasi berorde 100 per sentimeter
kubik dan mempunyai radius sekitar 10
mikrometer. Awan terbentuk jika volume udara
lembap mengalami pendinginan sampai di
bawah temperatur titik embunnya. Pada
keadaan lapisan atmosfer di atas benua maritim
(maritime continent) seperti Indonesia,
pendinginan sangat sering disebabkan oleh
ekspansi adiabatik udara yang naik melalui
konveksi, orografi, dan konvergensi. Jenis awan
yang terbentuk oleh ekspansi adiabatik tersebut
disebut awan konvektif, awan orografik, dan
awan konvergensi. Pendinginan dapat juga
disebabkan oleh proses radiatif atau
percampuran udara yang berbeda temperatur
dan kelembabannya (Tjasyono, 2012).
Sistem awan dikendalikan oleh gerak udara
vertikal akibat konveksi, efek orografik,
konvergensi, dan front dimana sistem gerak
udara vertikal tersebut akan memberikan bentuk
atau tekstur dan ketinggian awan yang khas
(Tjasyono 2012). Berdasarkan bentuk atau
tekstur tersebut, awan terbagi ke dalam kelas
stratiform, cumuliform, dan cirriform.
Stratiform merupakan awan yang menyebabkan
hujan kontinu, terbentuk karena kenaikan udara
skala makro oleh front atau konvergensi atau
topografi. Awan stratiform mencakup daerah
hujan yang cukup luas, intensitas hujan kecil
dari gerimis sampai hujan sedang, dan arus
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
44
udara ke atas dalam awan ini mencakup daerah
yang luas tetapi lemah. Cumuliform adalah
awan yang menyebabkan hujan lokal yang
disebabkan oleh konveksi yang terletak dalam
udara labil dengan intensitas hujan tinggi dari
hujan normal sampai hujan lebat (shower). Arus
udara ke atas dalam awan cumuliform
mencakup daerah yang kecil tetapi kuat.
Sedangkan awan cirriform merupakan bentuk
awan yang digunakan untuk mendeskripsikan
awan tinggi yang memiliki tekstur berserat dan
relatif tidak berpotensi turun sebagai presipitasi
(Wang, 2013).
Awan juga diklasifikasikan berdasarkan
ketinggiannya yakni pada daerah tropis,
ketinggian 0-2000 m adalah awan rendah
dengan jenis Stratus, Stratocumulus, dan
Nimbostratus, ketinggian 2000-6000 m adalah
klasifikasi awan menengah dengan jenis awan
Altocumulus dan Altostratus, dan terakhir
adalah awan tinggi dengan ketinggian 6000 -
18000 m dengan jenis awan Cirrus,
Cirrocumulis, dan Cirrostratus. Selain dari
ketiga klasifikasi tersebut, ada juga awan yang
diklasifikasikan sebagai awan dengan
perkembangan vertikal yaitu awan jenis
Cumulus dan Cumulunimbus. Awan jenis ini
biasanya memiliki cloud base 1000 m untuk
cumulus dengan cloud top bisa mencapai 12000
m (Ahrens, 2016). Walaupun terdapat
klasifikasi berdasarkan ketinggian, penentuan
jenis awan tidak bisa hanya didsarkan pada
ketinggian awan, tetapi juga dengan
pengamatan visual. Ciri visual yang penting
dalam klasifikasi awan menurut Ahrens (2016)
adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Klasifikasi awan berdasarkan
ketinggian dan ciri visual
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi Kajian
Provinsi DKI Jakarta merupakan wilayah
dataran rendah yang memiliki ketinggian rata-
rata 7 mdpl, terletak pada 5° 19' 12"-6° 23' 54"
LS dan 106° 22' 42"-106° 58' 18" BT.
Berdasarkan Keputusan Gubernur No. 1227
Tahun 1989, luas wilayah Provinsi DKI Jakarta
adalah 7659,02 km2, terdiri atas daratan seluas
661,62 km2 termasuk di dalamnya 110 pulau di
Kepulauan Seribu. Wilayah kajian yang dipilih
meliputi wilayah daratan Provinsi DKI Jakarta
yakni Kota Jakarta Utara, Kota Jakarta Pusat,
Kota Jakarta Barat, Kota Jakarta Timur, dan
Kota Jakarta Selatan tanpa mengikut sertakan
Kabupaten Kepulauan Seribu. Kepulauan
Seribu memiliki luasan terlalu kecil pada
masing-masing pulaunya sehingga lebih sulit
diinterpretasikan ketika luasan awan melebihi
luasan pulau yang ditutupi. Wilayah DKI
Jakarta dipilih sebagai sampel wilayah pada
penelitian ini karena kondisi cuaca DKI Jakarta
menarik dikaji, didukung dengan penelitian dari
BMKG dan Direktur Eksekutif Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia yang menyatakan
bahwa wilayah DKI Jakarta merupakan zona
konvektif di pesisir barat daya Laut Jawa yang
berpotensi sebagai tempat pertumbuhan awan.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah seperangkat komputer yang telah
terpasang Microsoft Office, ArcGIS 10.5,
ERDAS IMAGINE 2014, dan GrADS.
Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini
berupa dua (2) buah citra satelit Landsat 8 yang
mewakili waktu dan wilayah kajian, yaitu
LC81220642016052LGN00 dan
LC81220642016235LGN00, Peta RBI
Administrasi DKI Jakarta sebagai dasar
membuat peta tematik, dan data ECMWF-ERA
Interim tutupan awan (Cloud Cover) yang
digunakan untuk validasi.
3.3. Analisis Data
Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan
yakni input, analisis, dan output. Tahap input
meliputi proses memasukkan data citra Landsat
8 dan peta RBI kedalam software berbasis SIG
untuk dianalisis. Tahap analisis terbagi menjadi
empat proses utama yaitu digital image
processing, pemodelan suhu permukaan,
klasifikasi awan, dan GIS analysis terhadap
data hasil klasifikasi awan. Tahap terakhir
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
45
adalah output yang berupa penyatuan data
spasial dan layouting peta.
3.3.1. Digital Image Processing
Digital image processing adalah proses
pengolahan gambar dua dimensi oleh perangkat
komputer digital (Jensen, 1996). Adapun
menurut Acharya dan Ray (2005), digital image
processing merupakan proses pengambilan
atribut-atribut pada gambar dengan input dan
output yang berupa gambar. Digital image
processing memiliki berbagai macam fungsi
untuk bermacam-macam bidang seperti koreksi
geometrik, koreksi radiometrik, pendeteksian
objek pada gambar, penajaman gambar,
pengurangan noise, dan sebagainya.
Koreksi geometrik dilakukan akibat distorsi
geometrik antara citra hasil penginderaan dan
objeknya. Koreksi geometrik dapat dilakukan
dengan menggunakan posisi geografik (titik
kontrol tanah) yang terdistribusi merata di
seluruh citra. Posisi geografik ini ditentukan
dari beberapa obyek yang mudah diidentifikasi
pada citra, sehingga diperoleh koordinat dalam
sistem geografik (X,Y) dan dalam sistem
koordinat citra (X,Y) sebagai titik sekutu.
Selanjutnya citra dikoreksi dengan sistem
transformasi polinomial dengan bantuan
perangkat lunak Erdas Imagine 2014.
Koreksi radiometrik yang dilakukan pada
penelitian kali ini adalah konversi nilai DN
menjadi spectral radiance. Proses konversi ini
memerlukan informasi Gain dan Bias dari
sensor di setiap kanal. Transformasi dilakukan
berdasarkan kurva kalibrasi DN ke radiance
yang telah dihitung secara sistematik. Formula
yang digunakan untuk menghitung nilai Gain
dan Bias bervariasi untuk setiap citra yang
diproses. Metode menentukan nilai Gain
dan Bias tersebut adalah:
;
… (1)
Metode untuk mengkalibrasi nilai DN menjadi
nilai spectral radiance (Lλ) adalah:
… (2)
3.3.2. Pemodelan Suhu Permukaan
Suhu permukaan merupakan suhu bagian
terluar dari suatu obyek dan merupakan unsur
pertama yang dapat di identifikasi dari cita
satelit termal. Suhu permukaan benda
tergantung dari sifat fisik permukaan obyek, di
antaranya adalah emisivitas, kapasitas panas
jenis, dan konduktivitas termal. Selain itu suhu
permukaan juga di pengaruhi oleh panjang
gelombang. Panjang gelombang yang paling
sensitif terhadap suhu permukaan adalah
inframerah termal (Lillesand dan Kiefer, 2004).
Suhu permukaan (Ts) didapatkan melalui
perhitungan spectral radiance (Lλ),
temperature brightness (Tb), dan emisivitas (e)
dengan persamaan sebagai berikut:
… (3)
… (4)
dimana Lλ adalah spectral radiance puncak
atmosfer (Watt / (m2 srad μm), Tb adalah
brightness temperature (°C), K1 dan K2 adalah
konstanta konversi spesifik kanal termal 10 dan
11 Landsat 8, e adalah emisifitas, Ts adalah
suhu permukaan (°C), w adalah nilai tengah
panjang gelombang dari radiasi yang
diemisikan objek (μm), h adalah konstanta
planck (6,626 * 10-34
Js), s adalah konstanta
Stefan-Boltzmann (1,138 * 10-23
J/K), serta c
adalah kecepatan cahaya (2,998 * 108 m/s).
3.3.3. Klasifikasi Awan
Awan diklasifikasikan berdasarkan
ketinggiannya melalui persamaan DALR dan
SALR dari suhu awan yang diperoleh. Awan
juga diklasifikasikan berdasarkan bentuknya
melalui klasifikasi terbimbing (supervised
classification).
Klasifikasi terbimbing data satelit penginderaan
jauh diartikan sebagai metoda klasifikasi pixel
(picture element) pada citra digital ke dalam
sejumlah kelas objek dengan pengajaran
pola/ciri kelas penutup/penggunaan lahan
melalui ground control point kepada komputer
pemroses dan klasifikasi didasarkan pada
pengelompokkan pola/ciri yang mirip secara
alami ke dalam sejumlah kelas tertentu
(clustering) (Mukhaiyar, 2010). Klasifikasi
terbimbing pada penelitian kali ini
menggunakan empat ground control point
untuk menentukan piksel mana yang memiliki
spektral serupa dengan piksel lain dan
kemudian mengelompokkan nilai piksel
tersebut ke dalam berbagai kelas-kelas
homogen dan dihasilkan dua kelas objek utama
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
46
yang berbeda menurut pola digital numbernya,
yaitu kelas awan dan non awan. Sedangkan
kelas awan terbagi menjadi beberapa sub kelas
sesuai dengan sebaran digital number dari
threshold yang digunakan sebesar 95%.
Menurut Stull (2000), lapse rate adiabatik
kering adalah tingkat pendinginan suatu parcel
udara ketika tidak terjadi pertukaran kalor
antara parcel udara dengan lingkungannya.
Secara teoritis, suatu parcel udara yang dipaksa
bergerak naik dalam atmosfer akan mengalami
tekanan yang lebih rendah sehingga parcel
udara tersebut akan mengembang dan
mendingin. Temperatur lapse rate yakni sebesar
9,8 °C/km mengikuti perubahan ketinggian
dianggap sebagai tingkat adiabatik kering.
… (5)
dimana dT = Tb – Ta adalah perubahan suhu,
dz = Zb – Za adalah perubahan ketinggian, Tb
(suhu dasar awan) < Ta (suhu permukaan laut
atau suhu rata-rata objek permukaan di bawah
awan), dan Zb (ketinggian dasar awan) > Za
(elevasi permukaan dari muka laut).
Lapse Rate Adiabatik Jenuh atau Saturated
Adiabatic Lapse Rate atau Moist Adiabatic
Lapse Rate adalah tingkat pendinginan suhu
parsel udara dalam kondisi jenuh, contohnya
yaitu ketika kelembaban relatif udara mencapai
100%. Saturated lapse rate berkisar antara 5-
9 °C/km (aproksimasi rata-rata lapisan atmosfer
adalah 6 °C/km) mengikuti perubahan
ketinggian dianggap sebagai tingkat adiabatik
jenuh (Marshall dan Plumb, 2010).
… (6)
dimana dT = Tb – Ta adalah perubahan suhu,
dz = Zb – Za adalah perubahan ketinggian, Tb
(suhu puncak awan) < Ta (suhu puncak awan),
dan Zb (ketinggian puncak awan) > Za
(ketinggian dasar awan).
3.3.4. Pemodelan Suhu Permukaan
Pada tahap ini dilakukan proses pembentukan
peta baru yang telah diolah secara manual dan
secara komputer. Beberapa alat untuk analisis
berbasis GIS pada penelitian kali ini meliputi
generalisasi (merge), konversi (raster to vector
atau sebaliknya), overlay (erase, intersect, dan
union), serta extract (clip).
2.4. Batasan Masalah dan Asumsi
Batasan dan asumsi yang digunakan dalam
penelitian kali ini meliputi, (1) suhu terendah
awan merupakan suhu puncak awan dan suhu
tertinggi awan merupakan suhu dasar awan, (2)
kelas-kelas awan yang dihasilkan klasifikasi
terbimbing cukup mewakili kelas-kelas awan
sebenarnya berdasarkan sebaran digital
numbernya, (3) rata-rata suhu daratan pada
ketinggian 0 mdpl dianggap mewakili suhu
rata-rata daratan Jakarta untuk digunakan
sebagai suhu dasar dalam perhitungan dry
adiabatic lapse rate, serta (4) laju lapse rate
baik adiabatik kering maupun jenuh
diaproksimasikan sama disetiap wilayah dan
ketinggian pada lapisan troposfer.
Gambar 1. Diagram alir membuat peta awan
berdasarkan data spektral citra satelit Landsat 8
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Wilayah DKI Jakarta yang terletak di dekat
Laut Jawa menghasilkan uap air cukup besar
yang berperan dalam pembentukan awan-awan
konvektif. Variasi harian keawanaan terlihat di
atas daratan dan lautan. Kondisi keawanan di
atas daratan biasanya menjadi maksimum pada
siang hari sampai sore hari yang diakibatkan
oleh proses konveksi terutama di daerah tropis.
Keawanan minimum terjadi pada malam hari
ketika udara mulai stabil akibat turunnya suhu
permukaan bumi (Handoko, 2003).
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
47
(a)
(b)
Gambar 2. Peta sebaran awan berdasarkan
ketinggian: (a) 23 Agustus 2016 dan (b) 21
Februari 2016
Interpretasi citra awan dilakukan dengan
menghitung potensi pembentukan awan
menggunakan persamaan termodinamika
atmosfer yaitu dengan perpaduan persamaan
DALR (Dry Adiabatic Lapse Rate) dan SALR
(Saturated Adiabatic Lapse Rate), serta
interpretasi visual menggunakan klasifikasi
terbimbing. Citra Landsat 8 yang digunakan
berupa citra composite band 6-5-4 (SWIR-NIR-
Red) untuk mengkelaskan awan secara digital
dengan supervised classification serta citra
band 10 dan 11 (Thermal Infrared) untuk
memperoleh data suhu permukaan. Awan yang
tercitra oleh satelit Landsat-8 diklasifikasikan
berdasarkan ketinggiannya melalui interpretasi
digital spectral radiance awan dan
diklasifikasikan berdasarkan bentuknya melalui
supervised classification. Berdasarkan
ketinggiannya, awan diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu awan rendah (low cloud), awan
menengah (mid cloud), dan awan tinggi (high
cloud). Berdasarkan bentuknya seperti, awan
diklasifikasikan menjadi kelas stratus
(stratiform), kelas cumulus (cumuliform), dan
kelas cirrus (cirriform), kelas
altostratus/altocumulus, dan kelas
cumulunimbus.
Berdasarkan Gambar 2, awan terklasifikasi
berdasarkan selang nilai suhu dan ketinggian
menjadi tiga kelas awan. Selang suhu dan
ketinggian yang dimaksud adalah jarak antara
cloud base dan cloud top yang diperoleh dari
pemodelan data spectral radiance citra awan
tersebut. Ketiga kelas tersebut meliputi awan
rendah dengan ketinggian 0-2000 meter, awan
menengah dengan ketinggian 2000-6000 meter,
dan awan tinggi dengan ketinggian lebih dari
6000 meter. Daerah pada ketinggian 6000-8000
merupaka dearah overlap yang dapat
mengklasifikasikan awan sebagai awan
menengah maupun awan tinggi (Ahrens, 2016).
Namun, beberapa kelas awan tidak dapat
dijelaskan secara rinci bahkan tidak terpetakan
ketika spectral radiancenya mendekati spectral
radiance daratan walaupun secara visual
terlihat pada wilayah tersebut tertutup oleh
awan.
(a)
(b)
Gambar 3.Peta sebaran awan berdasarkan
ketinggian dan klasifikasi terbimbing: (a) 23
Agustus 2016 dan (b) 21 Februari 2016
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
48
Data spektral tanpa pengolahan lebih lanjut
tidak mampu menghasilkan klasifikasi awan
yang baik. Sebagai konsekuensinya, klasifikasi
awan berdasarkan ketinggian melaui nilai
spektral diklasifikasikan kembali menggunakan
klasifikasi terbimbing untuk memperoleh peta
awan yang lebih detail, baik ketinggian hingga
bentuknya. Pengklafikasian sampel awan
dilakukan secara independen dan selanjutnya
dianalisis melalui interpretasi visual dan
menggunakan alat analisis SIG melalui
kombinasi kanal 6-5-4. Kanal 6-5-4 sangat jelas
membedakan pola digital number setiap kelas
awan, yaitu didapatkan awan tinggi dalam
bentuk cirriform
maupun awan altostratus/altocumulus, awan
menengah dalam bentuk altocumulus/altostratus
dan cumulunimbus, serta awan rendah dalam
bentuk cumulunimbus, cumuluform, dan
stratiform seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 3. Hal ini dikarenakan kombinasi band
6-5-4 merupakan salah satu kombinasi kanal
yang detail dalam mengkelaskan objek pada
citra melalui klasifikasi terbimbing, bahkan
objek awan yang memiliki digital number
hampir seragam. Setiap sampel awan yang
dikumpulkan disimpan dalam database bersama
dengan data radiometrik, lokasi, dan
karakteristik vektorial sampel tersebut seperti
luas wilayah tutupan awan.
Sebaran awan pada Gambar 2 dan Gambar 3
membandingkan komposisi tutupan awan
berdasarkan ketinggian pada musim kemarau
dan musim penghujan di DKI Jakarta. Gambar
2a dan 3a menunjukkan bahwa awan stratiform
sudah terklasifikasi melalui data secara spektral
menjadi awan menengah dan awan rendah yang
kemudian dikoreksi melalui pengamatan secara
visual seperti pada Gambar 3a. Sedangkan pada
Gambar 2b dan 3b terlihat bahwa awan
stratiform tidak terklasifikasi apabila hanya
berdasarkan data spektral saja, awan stratiform
baru teridentifikasi melalui interpretasi secara
visual. Perbedaan hasil pada klasifikasi ini
dikarenakan suhu awan stratiform yang
terdeteksi pada Gambar 2b mendekati suhu
daratan sehingga tidak terklasifikasi menjadi
awan, lain halnya dengan Gambar 2a dimana
suhu awan stratiform cukup berbeda dengan
daratan sehingga terklasifikasi dengan baik
dengan menggunakan data spektral saja. Awan
kumulonimbus terdeteksi secara visual
menggumpal dan vertikal serta mempunyai
luasan lebih besar dibandingkan awan lain dan
ketebalan yang lebih tinggi daripada awan-
awan lain.
Komposisi tutupan awan ini ditampilkan pada
Gambar 3 yang menunjukkan jenis-jenis awan
dan persentase luasan tutupannya pada musim
kemarau dan penghujan di DKI Jakarta. Awan
cirriform sebagai awan tinggi sulit untuk
diidentifikasi karena lapisannya yang tipis
membuat nilai piksel awan ini sulit dibedakan
dengan nilai piksel daratan, oleh sebab itu
cirriform hanya mampu teridentifikasi dengan
persentase kecil pada musim penghujan karena
terdapat di atas lapisan awan
altocumulus/altostratus. Awan vertikal
cumuluform dan cumulonimbus pada musim
penghujan membentuk kelompok berukuran
besar yang menunjukkan potensi yang tinggi
untuk turunnya hujan, sedangkan pada musim
kemarau awan-awan ini menyebar secara
merata menutupi daratan di DKI Jakarta.
Tutupan awan altocumulus/altostratus dan
stratiform yang terlihat dari citra satelit
menunjukkan pola yang hampir sama dengan
awan cumuluform yakni menyebar secara
merata pada musim kemarau dan cenderung
berkumpul di musim penghujan. Perbedaan
tutupan awan pada kedua musim ini
menunjukkan awan pada musim penghujan
memiliki potensi turun hujan yang jauh lebih
besar dibandingkan dengan tutupan awan saat
kemarau.
Secara umum tutupan awan pada musim
penghujan lebih heterogen dibandingkan
dengan musim kemarau. Awan di musim
kemarau didominasi oleh awan rendah dan
sangat sedikit ditemukan awan tinggi.
Sedangkan pada musim penghujan tutupan
awan rendah dan menengah sedikit lebih
mendominasi dibandingkan awan tinggi.
Analisis karakteristik awan ini mampu
menggambarkan perbedaan kondisi cuaca di
musim penghujan dan musim kemarau di
wilayah DKI Jakarta. Informasi tutupan awan
dan perbedaannya pada kedua musim di DKI
Jakarta ini dapat menjadi gambaran secara
umum kondisi cuaca di wilayah tropis dengan
tingkat evaporasi tinggi maupun wilayah tropis
di pesisir pantai. Kajian awan secara mendalam
dapat dimanfaatkan untuk bidang
hidrometeorologi seperti pendugaan pola cuaca,
pola curah hujan wilayah, serta peringatan dini
terhadap kemungkinan bencana
hidrometeorologi seperti badai dan banjir di
masa depan.
(a)
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
49
(a)
(b)
Gambar 4. Sebaran tutupan awan rendah (a)
dan awan tinggi (b) di Jakarta (kotak hitam)
tanggal 21 Februari 2016 menggunakan data
ECMWF-ERA Interim
Pola sebaran awan dilihat pula menggunakan
data ECMWF-INTERIM resolusi 0,125o x
0,125o
(sekitar 13,875 km x 13,875 km),
resolusi yang sangat rendah apabila
dibandingkan dengan resolusi Landsat 8 sebesar
30 m x 30 m. Data yang dipakai adalah tutupan)
awan (cloud cover) pada 21 Februari 2016
yang terdiri atas dua variabel, yaitu LCC (low
cloud cover) dan HCC (high cloud cover). Data
tutupan awan rendah ECMWF-ERA Interim
menggambarkan pola yang sama dengan
tutupan awan rendah hasil klasifikasi dari data
spektral Landsat 8 OLI/TIRS yakni tutupan
awan rendah terbesar berada di wilayah selatan
dan tenggara DKI Jakarta dan semakin jarang
ke arah barat dan barat laut. Pola yang sama ini
menunjukkan metode pengklasifikasian tutupan
awan rendah menggunakan data spektral satelit
dapat dilakukan sebagai salah satu metode
pengklasifikasian awan, sedangkan dalam
menentukan awan tinggi cirrus sangat lemah
apabila menggunakan data spektral satelit. Hal
ini dikarenakan pola awan tinggi yang
ditunjukkan data ECMWF-INTERIM berlainan
dengan pola awan tinggi berdasarkan nilai
spektral Landsat 8 di beberapa wilayah. Oleh
karena itu, sebagai konsekuensinya
pengklasifikasian awan tinggi dapat dilakukan
tanpa menggunakan data spektral, melainkan
langsung menggunakan fasilitas kanal 9 pada
Landsat 8 OLI/TIRS.
V. KESIMPULAN
Awan dapat dikelaskan berdasarkan
ketinggiannya, yaitu awan rendah, menengah,
dan awan tinggi menggunakan persamaan dry
adiabatic lapse rate, yakni dengan
menggunakan perbedaan suhu permukaan awan
tertinggi (suhu dasar awan) dan suhu
permukaan objek dibawahnya. Ketebalan awan
dapat diperoleh menggunakan persamaan
saturated adiabatic lapse rate menggunakan
perbedaan suhu permukaan awan tertinggi
(suhu dasar awan) dan suhu awan terendah
(suhu puncak awan). Selain itu, interpretasi
visual awan menggunakan kombinasi kanal 6-
5-4 pada Landsat 8 OLI/TIRS dapat
mengelaskan awan berdasarkan bentuk seperti
cumulus, cumolonimbus, nimbostratus, dan
altostratus. Analisis karakteristik awan wilayah
DKI Jakarta menunjukkan awan dalam bentuk
cirriform, stratiform, cumuluform,
cumulonimbus, dan altostratus/altocumulus.
Ketika musim penghujan, penutupan awan DKI
Jakarta lebih heterogen (terdiri atas berbagai
macam kelas awan) dan berpotensi turun
sebagai hujan dibandingkan pada musim
kemarau yang tutupan awannya lebih homogen
dan kurang berpotensi turun sebagai hujan. Pola
tutupan awan rendah pada hasil
pengklasifikasian menggunakan data spektral
dengan data ECMWF-INTERIM yang sama
menunjukkan metode pengklasifikasian tutupan
awan rendah menggunakan data spektral satelit
dapat dilakukan sebagai salah satu metode
pengklasifikasian awan, sedangkan dalam
menentukan awan tinggi cirrus dapat dilakukan
langsung menggunakan fasilitas kanal 9 pada
Landsat 8 OLI/TIRS.
DAFTAR PUSTAKA
Ahrens C.D dan Henson R., 2016. Meteorology
Today: An Introduction to Weather,
Climate and the Environment, 11th Ed.
Boston: Cengage Learning. 127 hlm.
Handoko (Ed.), 2003. Klimatologi Dasar.
Jakarta : PT Dunia Pustaka Jaya Press.
Kuester M., 2016. Radiometric use of
WorldView-3 imagery. Digital Globe.
Vol.1, hlm 1- 12.
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
50
Lillesand T.M dan Kiefer R.W., 2004. Remote
Sensing and Image Interpretation. New
York: John Wiley & Sons.
Marshall J. dan Plumb R.A., 2010. Atmosphere,
Ocean, and Climate Dynamics. New
York: Academic Press.
Mukhaiyar R., 2005. Klasifikasi penggunaan
lahan dari data remote sensing. J.
Teknologi Informasi dan Pendidikan.
Vol.2, no.1 hlm 1-15.
Nardi dan Nazori AZ., 2012. Otomasi
klasifikasi awan citra satelit MTSAT
dengan pendekatan fuzzy logic. J.
Telematika MKOM. Vol.4, no.1 hlm 104-
117.
Setiawan K.T., Anggraini N., Manoppo K.S.,
2016. Estimasi perhitungan luas daerah
di pulau-pulau kecil menggunakan data
citra satelit Landsat 8, studi kasus: Pulau
Pramuka Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
Seminar Nasional Penginderaan Jauh
2016. 294-100.
Stull R. 2000., Meteorology for Scientist and
Engineers Second Edition. California:
Brooks/Cole CENGAGE Learning.
Tjasyono B. 2012., Mikrofisika Awan. Jakarta:
Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika.
Wang H.J.,Chen Y.N. Chen Z.S., 2013. Spatial
distribution and temporal trends of mean
precipitation and extremes in the arid
region, northwest of China, during 1960-
2010. Hydrological Process. Vol.27 hlm
1807-1818.
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Vol. 4 No. 2, Juli 2017
51
Top Related